ProposaL

64
PENGGUNAAN METODE HYBRID UNTUK IDENTIFIKASI KERAPATAN KANOPI DI SEBAGIAN KABUPATEN KULON PROGO PROPOSAL PENELITIAN Oleh : Endra Gunawan No. Mhs 05/186755/GE/05691 UNIVERSITAS GADJAH MADA

description

hybrid method,visuaL and spektraL

Transcript of ProposaL

Page 1: ProposaL

PENGGUNAAN METODE HYBRID UNTUK IDENTIFIKASI KERAPATAN KANOPI

DI SEBAGIAN KABUPATEN KULON PROGO

PROPOSAL PENELITIAN

Oleh :

Endra Gunawan

No. Mhs 05/186755/GE/05691

UNIVERSITAS GADJAH MADA

FAKULTAS GEOGRAFI

YOGYAKARTA

2010

Page 2: ProposaL

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pengolahan citra penginderaan jauh mencakup berbagai bidang mulai dari

koreksi hingga aplikasinya dalam analisis yang dilandasi pada pendekatan spasial,

salah satu bidang yang paling sering dibahas adalah klasifikasi suatu obyek

berdasarkan nilai spektral yang direkam oleh sensor, nilai spektral tiap obyek

bersifat unik dan umumnya berbeda pada tiap panjang gelombang., kemampuan

tiap sistem optik-elektronik dalam membedakan obyek berdasar nilai spektralnya

dikenal dengan resolusi spektral (Danoedoro,1996). Resolusi spektral untuk tiap-

tiap sistem bervariasi tergantung pada jumlah sensor dan lebar jendela spektral

yang dibawa oleh suatu sistem, semakin banyak jumlah sensor dan semakin

sempit jendela spektral yang dimiliki suatu sistem maka akan semakin baik sistem

tersebut dalam membedakan suatu obyek (resolusi spektral).

Klasifikasi multispektral adalah suatu klasifikasi yang bertujuan untuk

mendapatkan suatu gambaran penutup lahan yang ada di lapangan berdasar nilai

spektral yang ditangkap oleh sensor, klasifikasi multispektral dibedakan menjadi

beberapa jenis berdasar tingkat otomasinya yaitu klasifikasi terkontrol dan tak

terkontrol (supervised dan unspervised). Klasifikasi tak terkontrol pada dasarnya

adalah pengelompokan piksel yang didasarkan pada statistiknya, tanpa campur

tangan manusia dalam penentuan kelas, hasil dari metode ini adalah kelas-kelas

yang berisi kelompok piksel. Algoritma yang sering digunakan pada klasifikasi

tak terkontrol adalah algoritma jarak terdekat ke pusat kluster (minimum distance

to cluster centre) dan pengelompokan statistik (statistic clustering). Pada

algoritma ini pengguna hanya menentukan jumlah kelas yang akan dihasilkan,

cara kerja dari algoritma ini pada dasarnya hanya mengelompokkan piksel-piksel

menurut jaraknya ke titik pusat, penentuan pusat kluster dilakukan secara acak

oleh komputer, titik-titik pusat ini tidak sekali saja ditentukan namun mengalami

perubahan saat kluister-kluster mulai terbentuk, penyesuaian letak titik pusat

terjadi karena titik pusat yang pertama digunakan sebagai dasar pengelompokkan

ditentukan secara acak sebelum terbentuk suatu kluster, setelah kluster pertama

1

Page 3: ProposaL

terbentuk komputer kembali menentukan titik pusat berdasar kluster yang telah

ada, hal ini terjadi seterusnya sampai didapat titik puast akhir.

Pada algoritma kedua atau pengelompokkan yang didasarkan pada statistik

pusat kluster ditentukan berdasar perhitungan yang dilakukan dengan suatu

jendela yang berupa matrik yang mengkalkulasi nilai-nilai piksel yang dilewati

oleh jendela ini, pusat kluster ditentukan berdasar nilai variansi yang diperoleh

saat jendela matrik bergerak. Pada algoritma ini pengguna terlebih dahulu

menentukan jumlah kluster ataukelas yang akan dihasilkan, nilai variansi, jumlah

gerakan jendela matrik dan jarak untuk tiap kluster. Pada metode klasifikasi tak

terkontrol pennguna menentukan jenis penutup lahan pada akhir klasifikasi

dengan cara mendefinisikan kluster-kluster yang terbentuk dengan kondisi yang

ada di lapangan.

Metode yang kedua adalah klasifikasi terkontrol, pada metode ini

pengguna menentukan terlebih dahulu suatu sampel berupa kelompok piksel yang

digunakan sebagai dasar klasifikasi yang akan dilakukan, penentuan sampel ini

sangat berpengaruh terhadap hasil akhir yang diperoleh nantinya. Pada penentuan

sampel yang ideal perlu diperhatikan homogenitasnya, homogenitas ini

didasarkan pada nilai piksel tiap sampel, sampel yang baik harus memiliki

simpangan baku yang rendah pada tiap saluran, homogenitas ini dapat dilihat dari

bentuk histogram tiap sampel dan kluster yang terbentuk pada feature space.

Setelah ditentukan sampel pengguna harus menentuka algoritma yang

akan digunakan untuk klasifikasi, pada metode klasifikasi terkontrol ada beberapa

algoritma yang sering digunakan, diantaranya algoritma tetangga terdekat (nearest

neighbour), parallelepiped (box classificaton) dan kemiripan maksimum

(maximum likelihood). Algoritma tetangga terdekat sering dikatakan sebagai

variasi dari algoritma kemiripan maximum (Danoedoro 1996), pada kedua

algoritma ini pengkelasan dilakukan berdasarkan asumsi bahwa objek yang sama

akan membentuk suatu histogram yang berdistribusi normal atau memiliki satu

puncak, penentuan bahwa suatunilai piksel masuk ke dalam suatu kelas tertentu

didasarkan pada suatu elipsoida yang posisinya ditentukan nilai vektor rerata

(rata-rata, variansi dan kovariansi) (Donoedoro 1996). Perbedaan algoritma

2

Page 4: ProposaL

kemiripan maksimum dan tetangga terdekat terletak pada adanya faktor pembobot

yang terdapat pada algoritma tetangga terdekat, faktor pembobot ini menentukan

probabilitas tiap kelas yang ada, sedang pada algoritma kemiripan maksimum

probanilitas untuk tiap kelas dianggap sama (walaupun sebenarnya tidak.).

Algoritma paralleliped menggunakan piksel sampel sebagai dasar

penentuan nilai rata-rata dan simpangan baku yang selanjutnya pada algoritma ini

digunakan sebagai dasar klasifikasi. Simapangan baku yang telah ada dikalikan

dengan suatu koefisien pengali yang sebelumnya ditentukan oleh pengguna, hasil

dari perkalian ini akan membentuk suatu ruang atau box yang menjadi batas kelas,

nilai-nilai piksel yang ada pada citra akan diproses dan diputuskan masuk ke

dalam suatu kelas yang diwakili oleh box tersebut, sedang nilai-nilai piksel yang

tidak masuk dalam box yang telah ada akan dinyatakan sebagai piksel yang tak

terklasifikasi (unclasified), namun apabila faktor pengali yang diberikan oleh

pengguna terlalu besar maka akan terjadi overlap dari box-box yang ada yang

mengakibatkan ada piksel-piksel yang masuk ke dalam dua kelas atau

misclassified sehingga dapat diketahui bahwa yang paling menentukan dalam

algoritma ini adalah nilai faktor pengali.

Selain metode terkontrol dan tak terkontrol ada juga metode hybrid yang

menggabungkan kedua metode tersebut, tujuan dari penggabungan kedua metode

tersebut adalah untuk penghematan waktu dan biaya, pada klasifikasi ini

ditentukan suatu kelas dari sebagian citra yang ada yang mewakili seluruh liputan

citra, hasil klasifikasi ini digunakan sebagai acuan pengkelasan satu liputan citra

yang utuh.

Selain pengklasifikasian penutup lahan secara spektral telah dikenal pula

suatu metode klasifikasi citra secara manual yang dilakukan berdasar tampilan

visual citra yang terkomposit, kegiatan klasifikasi ini dilakukan melalui

interpretasi kenampakan yang ada pada tampilan citra, interpretasi secara visual

sangat bergantung pada penguasaan konsep dan pengalaman interpreter, hal

tersebut dikarenakan tampilan pemilihan saluran untuk komposit warna akan

mempengaruhi kenampakan visual tiap-tiap obyek, pemilihan saluran juga sangat

berpengaruh terhadap hasil dan akurasi interpretasi yang dilakukan karena

3

Page 5: ProposaL

masing-masing saluran memiliki kepekaan yang berbeda terhadap suatu obyek,

oleh karena itu pemilihan saluran harus disesuaikan dengan obyek yang akan

diinterpetasi. Berbeda dengan klasifikasi multispektral yang sangat terpengaruh

oleh resolusi spektral, kegiatan interpretasi ini sangat dipengaruhi oleh resolusi

spasial suatu citra, semakin baik resolusi spasialnya maka akan lebiah detail

informasi yang ditampilkan dan yang dapat diinterpretasi, walaupun pengalaman

dan penguasaan konsep masih sangat berpengaruh.

Lain halnya dengan klasifikasi multispektral yang hanya menghasilkan

kelas penutup lahan kegiatan interpretasi secara visual dapat menghasilkan

informasi yang berbeda dan beragam seperti penggunaan lahan dan bentuk lahan,

sedang tingkat akurasi sangat dipengaruhi oleh kemampuan dan pengetahuan

interpreter.

Penelitian yang dilakukan mengambil lokasi di Kabupaten Kulon Progo,

karena daerah ini masih memiliki kenampakan vegetasi yang baik sehingga dapat

digunakan sebagai daerah penelitian untuk obyek vegetasi, hal tersebut

dikarenakan belum padatnya pemukiman yang ada di sana yang menyebabkan

masih banyaknya daerah dengan tutupan vegetasi alami (bukan hutan produksi)

yang memiliki tingkat kerapatan yang bervariasi.

1.2. Perumusan Masalah

Kecenderungan penelitian di bidang Penginderaan Jauh dewasa ini Lebih

mengarah ke penelitian yang bersifat aplikatif yang menyebabkan tersendatnya

perkembangan bidang ilmu ini, khususnya untik munculnya suatu gagasan baru

baik untuk metode maupun perbaikan metode yang telah ada melalui penyesuaian

algoritma yang ada dan umum dipakai agar lebih sesuai dengan tipe sensor yang

semakin berkembang.

Metode hybrid merupakan suatu metode yang dapat menjadi pintu

munculnya teknik baru dalam bidang pengideraan jauh, hal tersebut dikarenakan

metode ini berusaha memadukan dua metode yang umum dipakai untuk

mendapatkan hasil yang lebih baik. Metode hybrid yang biasa dan umum dipakai

adalah penggabungan dari klasifikasi un-supervised dan supervised. Akhir-akhir

4

Page 6: ProposaL

ini metode hybrid yang diharapkan menjadi jembatan munculnya ide-ide baru

dalam bidang penginderaan jauh menjadi terbatas pada metode yang telah ada

tanpa menunjukkan adanya perkembangan lebih lanjut., walaupun banyak metode

baru yang dapat dijembatani oleh metode ini, salah satunya dalam hal klasifikasi

atau identifikasi suatu objek melalui karakter spektralnya yang unik.

Aplikasi penginderaan jauh di berbagai bidang memunculkan banyak

algoritma yang biasa digunakan dalam suatu transformasi unyuk suatu obyek,

transformasi pada dasarnya menggunakan respon spektral obyek yang dapat

membedakannya dengan obyek atau kenampakan lain. Salah satu transformasi

yang terkenal dan sering digunakan adalah Normalization Difference Vegetation

Index (NDVI) yang menggunakan respon spektral dari obyek vegetasi. Selain

NDVI masih ada beberapa transformasi yang menggunakan respon spektral obyek

sebagai dasar suatu algoritma, hal tersebut menunjukkan bahwa vegetasi memiliki

nilai respon spektral yang baik dan mampu dibedakan dari obyek lainnya baik

untuk identifikasi obyek maupun hal lain yang berhubungan dengan vegetasi,

diantaranya seperti kesehatan vegetasi, kelembaban dan beberapa lainnya.

Tingkat kerapatan kanopi daun merupakan salah satu obyek kajian yang

sering dibahas dalam aplikasi penginderaan jauh khususnya yang berkaitan

dengan aplikasi di bidang vegetasi, semakin besar nilai kerapatan kanopi tentunya

akan semakin banyak kenampakan vegetasi (bukan jumlah vegetasi) yang

menutupi permukaan tanah dan semakin sedikit cakupan obyek lain yang terlihat

dari suatu kenampakan spasial baik peta, foto, maupun citra. Berangkat dari hal

tersebut dapat diasumsikan bahwa pada citra satelit semakin rapat kanopi akan

memunculkan semakin banyak nilai piksel citra yang mencerminkan obyek

vegetasi, dan untuk kerapatan tinggi tentunya akan memunculkan semakin banyak

pula piksel murni ( untuk obyek vegetasi ) yang akan mengurangi nilai piksel

yang mencerminkan obyek selain vegetasi.

Berdasarkan latar belakang penelitian, perumusan masalah dan asumsi

yang telah diuraikan sebelumnya kemudian timbul suatu pertanyaan penelitian,

sbb :

5

Page 7: ProposaL

1. Dapatkah teknik yang berbasis spektral dan visual digabungan menjadi suatu

metode gabungan baru (hybrid)?

2. Apakah respon spektral dan banyaknya nilai piksel murni yang menunjukkan

obyek vegetasi dapat digunakan sebagai acuan penentuan tingkat kerapatan

kanopi?

3. Dapatkah disusun suatu rumusan baru berdasar nilai spektral vegetasi yang

memudahkan untuk identifikasi dan klasifikasi kerapatan kanopi daun?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu dilakukan suatu percobaan dengan

menggabungkan teknik manual (visual) dan berbasis nilai spektral, untuk

melakukan hal tersebut tentunya dibutuhkan suatu citra yang representatif untuk

kedua tehnik, visual maupun spektral, untuk itu dipilih citra yang memiliki

resolusi spasial mendukung identifikasi secara visual dan memiliki resolusi

spektral yang baik untuk klasifikasi multispektral dan identifikasi objek berdasar

nilai reflektansinya. Untuk itu dipilih Citra ASTER VNIR karena dilihat dari segi

resolusi spasial yg cukup memadai untuk melakukan interpretasi secara visual,

yaitu 15 meter untuk VNIR, selain itu ASTER VNIR juga telah mencukupi untuk

transformasi indeks vegetasi yang menggunakan saluran merah dan inframerah

dekat.

Daerah penelitian dipilih di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta hal

tersebut dikarenakan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki kenampakan

fisik yang cukup bervariasi baik dilihat dari morfologi bentuk lahan maupun

kenampakan penutup lahan yang ada di dalamnya yang mendukung untuk

dijadikan sebagai lokasi penelitian dalam berbagai tema, termasuk dalam hal

penutup lahan terutama vegetasi, kondisi vegetasi yang ada di beberapa kabupaten

di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki kerapatan dan variasi jenis

tegakan yang mendukung untuk suatu penelitian, salah satunya adalah Kabupaten

Kulon Progo, di kabupaten ini terdapat kenampakan vegetasi yang cukup

bervariasi dari segi kerapatan maupun jenis tegakannya, pemilihan daerah

penelitian dilakukan pada daerah dengan topografi yang datar sampai

bergelombang sehingga faktor arah lereng terhadap sensor dapat diabaikan, selain

itu luasan daerah dengan penutup lahan berupa vegetasi yang ada di Kabupaten

6

Page 8: ProposaL

Kulon Progo apabila dilihat dari segi resolusi spasialnya sangat memungkinkan

Citra ASTER digunakan sebagai sumber data pada kegiatan penelitian yang kan

dilakukan.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menyusun suatu rumusan statistik berdasar nilai piksel untuk memudahkan

identifikasi tingkat kerapatan kanopi daun dan jenis tegakan.

2. Mengkaji hubungan antara homogenitas piksel dengan tingkat kerapatan kanopi

daun dan jenis tegakannya.

3. Klasifikasi hybrid untuk mengoptimalkan kelebihan-kelebihan yang ada pada

metode manual (visual) dan otomatis (komputasi).

1.4 Kegunaan Penelitian

Bagi ilmu pengetahuan dapat menambah pilihan metode untuk identifikasi

dan klasifikasi khususnya yang berhubungan dengan tingkat kerapatan vegetasi dan

kanopinya, selain itu diharapkan dapat mendorong memunculkan ide-ide penelitian

baru yang lebih baik dan inovatif yang mampu mengembangkan ilmu pengetahuan

khususnya dalam bidang penginderaan jauh.

7

Page 9: ProposaL

2. Telaah Pustaka

2.1. Konsep Energi dalam Pengindraan Jauh

Pengertian penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh

informasi tentang obyek, daerah, atau gejala dengan jalan menganalisis data yang

diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek, daerah,

atau gejala yang dikaji, seperti yang tertulis dalam Sutanto 1986, mengutip dari

Lillesand dan Kiefer 1979, ”Remote sensing is the science and art of obtaining

information about an object, area, or phenomenon through the analysis of data

acquired by a device that is not in contact with the object, area, or phenomenon

under investigation”. Alat yang dimaksud dalam pengertian tersebut adalah alat

pengindera atau sensor yang dibawa melalui wahana yang berupa pesawat, balon

udara, satelit dan sebagainya.

Craknell (1981) dalam Sutanto (1986) membedakan teknik penginderaan jauh

atas tiga sistem, yaitu sistem pasif yang memanfaatkan tenaga pancaran obyek, sistem

pasif yang menggunakan tenaga pantulan matahari, dan sistem aktif yang berupa

radar, lidar, laser, dan sebagainya, dari ketiga sistem yang ada tersebut dapat

diketahui bahwa tenaga atau energi adalah komponen utama yang digunakan dalam

penginderaan jauh. Tenaga yang dimaksud disini adalah tenaga elektromagnetik,

yaitu paket elektrisitas dan magnetisme yang bergerak dengan kecepatan sinar pada

frekuensi dan panjang gelombang tertentu, dengan sejumlah tenaga tertentu,(Chanlet

1979 dalam Sutanto 1986), dimana matahari merupakan sumber utama dari energi

tersebut. Sumber energi tersebut dibagi lagi menjadi spektra kosmis, Gamma, X,

ultraviolet, visible (tampak), inframerah, glombang mikro, dan gelombang radio,

(Purwadhi 2001). Dalam pengindraan jauh, tenaga elektromagnetik yang sering

digunakan adalah sebagian spektrum ultraviolet (0,3 μm-0,4 μm), spektrum

tampak/visible (0,4 μm-0,7 μm), spektrum inframerah dekat (0,7 μm-1,3 μm),

spektrum inframerah termal (3 μm-18 μm), dan gelombang mikro (1 mm-1 m).

Dalam penginderaan jauh, semakin panjang suatu panjang gelombang, maka

kandungan tenaga kuantumnya justru akan semakin rendah. Akibatnya pancaran

radiasi alami pada spektrum yang mempunyai panjang gelombang panjang justru

akan semakin sulit untuk diindera oleh sensor.

8

Page 10: ProposaL

Gambar 1. Spektrum elektromagnetik(Sumber: Lillesand, et al., 2004.)

2.2 Sistem ASTER

Teknologi penginderaan jauh yang semakin berkembang saat ini telah

memunculkan berbagai generasi satelit penginderaan jauh. Earth Observing

System (EOS) merupakan salah satu produk dari misi NASA untuk mengindera

bumi, misi tersebut dinamai dengan Mission to Planet Earth (MTPE) yang

kemudian pada tahun 1998 berganti nama menjadi Earth Science Enterprise

(ESE). Misi ini juga telah berhasil meluncurkan Landsat 7. Lalu selanjutnya misi

ini juga meluncurkan dua satelit baru yaitu Terra (18 Desember 1999), dan Aqua

(4 Mei 2002). Masing-masing satelit ini membawa sensor pada tubuhnya. Terra

memiliki lima sensor, yaitu :

ASTER = Advanced Spaceborne Thermal Emision and Reflection Radiometer

CERES = Clouds and the Earth’s Radiant Energy System

MISR = Multi-Angle Imaging Spectro-Radiometer

MODIS = Moderate Resolution Imaging Spectro-Radiometer

MOPITT= Measurements of Pullution in the Troposphere

Sedangkan Aqua mempunyai enam sensor, dua diantaranya adalah MODIS dan

CERES), keempat sensor tersebut yaitu :

AMSR/E = Advanced Microwave Scanning Radiometer-EOS

AMSU = Advanced Microwave Sounding Unit

AIRS = Atmospheric Infrared Sounder

HSB = Humidity Sounder for Brazil

9

Page 11: ProposaL

Sensor ASTER terdiri dari tiga macam instrumen, yaitu : Visible and

Near-Infrared Radiometer (VNIR), Short Wavelength Infrared Radiometer

(SWIR), dan Thermal Infrared Radiometer (TIR). Posisi masing-masing

instrumen pada satelit TERRA dapat dilihat pada Gambar 1.1. berikut :

Gambar 2 : Satelit TERRA dan sensor yang ada. (Sumber: http://asterweb.jpl.nasa.gov)

Ketiga sensor ASTER yaitu VNIR, SWIR dan TIR memiliki karakter yang

perbedaan, misalnya pada resolusi spasialnya (ground resolution) dimana sensor

VNIR memiliki resolusi tertinggi yaitu 15 meter, sedang terendah pada sensor

TIR yaitu 90 meter, karakteristik lainnya tersaji pada tabel 1.

Tabel 1. ASTER Characteristic

Characteristic VNIR (µm) SWIR (µm) TIR (µm)

Spectral Range Band 1: 0.52 - 0.60

Nadir looking

Band 2: 0.63 - 0.69

Nadir looking

Band 3: 0.76 - 0.86

Nadir looking

Band 3: 0.76 - 0.86

Backward looking

Band 4: 1.600 -1.700

Band 5: 2.145 -2.185

Band 6: 2.185 -2.225

Band 7: 2.235 -2.285

Band 8: 2.295 -2.365

Band 9: 2.360 -2.430

Band 10: 8.125 - 8.475

Band 11: 8.475 - 8.825

Band 12: 8.925 - 9.275

Band 13: 10.25 - 10.95

Band 14: 10.95 - 11.65

Ground Resolution 15 m 30m 90m

Data Rate (Mbits/sec) 62 23 4.3

Cross-track Pointing (deg.) ±24 ±8.55 ±8.55

Cross-track Pointing (km) ±318 ±116 ±116

Detector Type Si PtSi-Si HgCdTe

10

Page 12: ProposaL

Quantization (bits) 8 8 12

System Response Function VNIR Chart

VNIR Data

SWIR Chart

SWIR Data

TIR Chart

TIR Data

Sumber : http://asterweb.jpl.nasa.gov/characteristics.asp, 22 Agustus 2009

VNIR merupakan instrumen yang digunakan untuk mendeteksi pantulan

energi dari permukaan bumi dengan julat dari spektrum tampak hingga spektrum

inframerah (0,52 - 0,86 µm) dan memiliki 3 saluran. Saluran nomor 3 dari VNIR

ini terdiri dari nadir dan backward looking, sehingga kombinasi saluran ini dapat

digunakan untuk mendapatkan citra stereoskopik. Digital Elevation model (DEM)

dapat diperoleh dengan mengaplikasikan data ini.

SWIR merupakan instrumen dengan 6 saluran yang digunakan untuk

mendeteksi pantulan energi dari permukaan bumi pada julat spektrum inframerah

dekat (1,6 - 2,43 µm). Hal ini memungkinkan menerapkan ASTER untuk

identifikasi jenis batu dan mineral, serta untuk monitoring bencana alam seperti

monitoring gunung berapi yang masih aktif.

TIR adalah instrumen untuk observasi radiasi infamerah termal (800 -

1200 µm) dari permukaan bumi dengan menggunakan 5 saluran. Saluran-saluran

ini dapat digunakan untuk monitoring jenis tanah dan batuan di permukaan bumi.

2.3 Sistem Penginderaan Jauh dan Kaitannya dengan Vegetasi

Dalam suatu analisis digital pada sistem penginderaan jauh, dikenal suatu

teknik manipulasi yang bertujuan untuk menonjolkan kenampakan-kenampakan

khusus. Teknik tersebut sering disebut dengan penajaman citra, yang dapat

dilakukan dalam tiga cara, yaitu manipulasi contrast (contrast manipulation),

manipulasi kenampakan spasial (spatial feature manipulation), dan manipulasi

multi-citra (multi-image manipulation). Masing-masing cara dalam manipulasi

tersebut mempunyai fungsi dan tujuan sendiri-sendiri. Tiga unsur utama

dipermukaan bumi yang dapat diindera secara langsung melalui sistem

penginderaan jauh adalah obyek vegetasi, tanah,dan air. Pada kurva pantulan

spektral antara obyek vegetasi, tanah, dan air; vegetasi mempunyai pantulan

11

Page 13: ProposaL

spektral yang kuat pada panjang gelombang 0,7 μm – 1,3 μm (spektrum

inframerah dekat). Pada panjang gelombang 0,45 μm – 0,67 (spektrum biru dan

merah) μm akan terjadi penyerapan energi secara kuat oleh klorofil daun,

sehingga akibatnya mata manusia akan melihat warna vegetasi tampak hijau.

Pantulan yang kuat pada spektrum inframerah dekat disebabkan karena struktur

internal daun (yang dapat dimanfaatkan untuk mengidentifikasi jenis tumbuhan).

Mengacu pada kamus Merriam-Webster (1974, dalam Danoedoro,1989), definisi

vegetasi dalam penelitian ini dibatasi sebagai tumbuhan dalam fungsinya sebagai

penutup suatu wilayah. Vegetasi tidak dipandang sebagai individu namun berupa

suatu kumpulan yang menutupi wilayah tertentu. Dalam penelitian ini keberadaan

faktor internal daun tidak diperhitungkan secara khusus. Karakteristik daun secara

individual akan berbeda dengan karakteristik daun dalam struktur vegetasi

(Hoffer, 1978 dalam Danoedoro, 1989).

Berkaitan dengan unsur vegetasi yang berupa tanaman padi, intensitas

vegetasi itulah yang akan diteliti. Untuk menonjolkan obyek tersebut dalam

analisis citra digital dipergunakan operasi manipulasi multi-citra (multi-image

manipulation), yang termasuk didalamnya adalah proses penajaman berdasarkan

indeks vegetasi yang pembuatannya dengan cara pengurangan, penambahan, dan

membandingkan nilai digital setiap saluran yang spektralnya berbeda. Terdapat

beberapa macam cara untuk menentukan nilai indeks vegetasi, yaitu dengan

membandingkan beberapa saluran (citra rasio, normalisasi, dan hasil

transformasi), dengan membuat selisihnya (different vegetation index), citra index

vegetasi hasil kebakaran (Ashburn vegetation index), model ”Tasseled Cap”, dan

perpendicular vegetation index. Dalam beberapa penelitian tentang penggunaan

transformasi index vegetasi, terdapat hubungan yang sangat erat antara kerapatan

tajuk dengan nilai kecerahan pada hasil transformasi indeks vegetasi. Semakin

tinggi kerapatan tajuk maka akan semakin tinggi pula nilai kecerahan pada saluran

hasil transformasi indek vegetasinya. Transformasi indek vegetasi merupakan

salah satu proses penajaman dengan membuat citra perbandingan dari beberapa

saluran. Tujuan dari penggunaan teknik transformasi ini adalah menonjolkan

kenampakan vegetasi agar indeks yang didapat mempunyai julat yang pasti, yaitu

12

Page 14: ProposaL

antara 0 dan 1, dimana selisih antara pantulan inframerah dekat dinormalisasi

dengan cara membagi dengan jumlah dari keduanya.

2.4. Karakteristik Spektral Vegetasi

Setiap obyek di permukaan bumi mempunyai karakteristik tertentu dalam

memantulkan dan atau memancarkan tenaga ke sensor. Pengenalan obyek pada

dasarnya dilakukan dengan melihat karakteristik spektral pada citra. Secara

umum, karakteristik spektral obyek dirinci menurut obyek utama di permukaan

bumi yaitu karakteristik spektral air, tanah, dan vegetasi. Berdasarkan ketiga

obyek tersebut, objek vegetasi mempunyai variasi spektral dibandingkan kedua

obyek yang lain. Objek vegetasi memiliki nilai pantulan yang tinggi pada

spektrum hijau, rendah pada spektrum biru dan merah, serta sangat tinggi pada

inframerah. Grafik yang menunjukkan karakteristik respon spektral vegetasi hijau

dapat dilihat pada Gambar 3 berikut.

4.

Pada gafik tersebut, ada tiga faktor dominan yang mampu mempengaruhi

respon spektral vegetasi, yaitu : pigmen daun, struktrul sel daun, dan kandungan

air. Pada panjang gelombang tampak, pigmen daun (klorofil) akan mempengaruhi

respon spektral vegetasi. Serapan tenaga pada saluran hijau relatif rendah,

sedangkan pada saluran tampak lainnya serapan tenaga yang terjadi lebih tinggi.

13

Gambar 3 : Karakteristik Respon Spektral pada Vegetasi HijauSumber: Hoffer, 1987 dalam Danoedoro 1996

Page 15: ProposaL

Hal inilah yang memungkinkan mata kita melihat warna hijau pada vegetasi yang

sehat. Tanaman yang mengalami stress akan menyebabkan kandungan klorofil

berkurang, sehingga serapan tenaga juga akan berkurang dan dengan sendirinya

pantulan spektrum merah bertambah. Hal ini dapat menyebabkan vegetasi tampak

pucat kekuningan. Pada saluran inframerah dekat, serapan tenaga semakin

berkurang atau dengan kata lain pantulan tenaga yang terjadi meningkat tajam.

Pada kondisi ini, respon pantulan didominasi oleh kandungan air dalam daun dan

karena kelembaban daun hijau cukup tinggi, maka pantulan spektral inframerah

lebih tinggi dibandingkan spektrum tampak.

Struktur internal daun yang kompleks memiliki pengaruh yang besar

terhadap pantulan tenaga pada spektrum inframerah dekat. Hal ini disebabkan

karena spektrum inframerah dekat mampu menembus lapisan pigmen daun,

sehingga serapan tenaga yang terjadi kecil. Tenaga tersebut akan dipantulkan oleh

lapisan mesofil dan menyebabkan apa yang dinamakan pantulan dalam. Jenis

tanaman yang berbeda memiliki struktur internal yang berbeda pula,

menyebabkan perbedaan nilai pantulan spektral pada saluran tertentu. Pada

spektrum inframerah tengah, pantulan lebih ditentukan oleh kandungan air bebas

dalam jaringan daun; semakin banyak kandugan air bebas akan menghasilkan

pantulan yang rendah. Oleh sebab itu, saluran inframerah tengah ini disebut

dengan saluran serapan air.

2.5. Transformasi Indeks Vegetasi

Dengan penginderaan jauh, vegetasi dapat dibedakan dari material lain

berdasarkan pada perbedaan serapan terhadap sinar merah dan biru pada spektrum

tampak, dan memiliki pantulan terhadap sinar hijau yang besar, terlebih untuk

inframerah dekat nilai pantulannya sangat tinggi.

Berbagai transformasi indeks vegetasi telah dikembangkan guna

memperoleh hasil yang lebih sensitif terhadap respon spektral objek vegetasi, jika

dibandingkan dengan menggunakan saluran tunggal. Transformasi indeks vegetasi

yang dipakai dalam penelitian ini adalah :

a. NDVI (Normalization Difference Vegetation Index)

14

Page 16: ProposaL

NDVI merupakan salah satu produk standar NOAA (National Oceanic and

Atmospheric Adinistration), yaitu satelit cuaca yang berorbit polar namun

memberikan perhatian khusus pada fenomena global objek vegetasi. NDVI

merupakan suatu transformasi yang menggunakan kombinasi antara teknik

penisbahan dan teknik pengurangan citra dan dapat menonjolkan aspek kerapatan

vegetasi.

NDVI dipilih karena formula ini telah dikenal luas dalam penginderaan jauh

untuk studi vegetasi. Meskipun sederhana, namun terbukti memiliki kemampuan

untuk menonjolkan fenomena yang terkait dengan kerapatan vegetasi dengan

menekan sumber-sumber variasi spektral lain. Nilai hasil transformasi indeks

vegetasi berkisar antara +1 hingga -1. Formula NDVI adalah sebagai berikut :

NDVI =

Inframerah dekat−saluran merahInframerah dekat+saluran merah ..........................................(1)

atau

NDVI =

band3 N−band2band3 N+band2 ...................................................................(2)

b. SAVI (Soil-Adjusted Vegetation Index)

SAVI merupakan suatu formula indeks vegetasi yang didesain untuk

meminimalisir efek dari tanah yang pada citra menjadi latar belakang objek

vegetasi. Formula ini dinamakan SAVI dan memiliki formula sebagai berikut :

SAVI=x= inframerah dekat−merahinframerah dekat+merah+L

x (1+L)………(3)

atau

SAVI=x= Band 3 N – Band MerahBand 3 N+Band Merah+L

x (1+L)……………………..(4)

15

Page 17: ProposaL

Untuk tutupan vegetasi yang tinggi, nilai L adalah 0,0 dan untuk tutupan

vegetasi yang rendah 1,0. Sedangkan untuk tutupan vegetasi yang sedang, nilai L

adalah 0,5 dan nilai inilah yang umumnya digunakan. Penggunaan nilai L sebagai

faktor pengali menyebabkan SAVI memiliki julat nilai yang identik dengan NDVI

(-1 hingga +1).

c. MSAVI (Modified Soil-Adjusted Vegetation Index)

MSAVI merupakan suatu formula indeks vegetasi yang merupakan

optimalisasi dari transformasi SAVI, formula MSAVI juga menggunakan dua

band yang digunakan dalam transformasi indeks vegetasi lainnya, saluran merah

dan inframerah dekat, formula dari MSAVI adalah sebagai berikut :

MSAVI = 2NIR+1 – √(2NIR+1) ²−8(NIR−2R)

2......(5)

dimana : -NIR = band infra merah dekat

-R = band merah

nilai transformasi MSAVI ini juga berkisar antara -1 sampai +1.

Pada citra ASTER terdapat banyak saluran yang beroperasi pada saluran

yang peka terhadap respon spektral vegetasi, dengan demikian maka sangat

menguntungkan dalam penelitian dan studi tentang vegetasi. Dengan

memanfaatkan saluran-saluran yang peka terhadap vegtasi tadi ke dalam formula

transformasi yang kemudian disebut sebagai indeks vegetasi, maka nilai spektral

di luar vegetasi dapat dihilangkan atau dileminasi. Hal ini terutama pada hal yang

menyangkut radiometri terhadap nilai kecerahan vegetasi atau bahkan mengurangi

spektral obyek yang melatarbelakanginya. Melihat kenyataan ini maka dapat

dimungkinkan untuk melakukan studi tentang kerapatan vegetasi, indeks luas

daun (LAI/ Leaf Area Index), biomasa, umur tegakan, konsentrasi klorofil dan

juga kandungan nitrogennya. Karakteristik indek vegetasi tanaman padi tidak

hanya ditentukan oleh pertumbuhan dan kerapatan daun yang khas, melainkan

juga kombinasi antara air dan tanaman padi itu sendiri. Karakteristiknya terletak

pada proporsi air dan tanaman padi yang terus berubah sejalan dengan

pertumbuhannya.

16

Page 18: ProposaL

2.6. Prosedur Interpretasi Citra Digital

Prosedur pengolahan dan interpretasi citra digital diuraikan sesuai dengan

format data dari CDROM, CCT, atau Cartridge, dan peralatan yang digunakan.

Analisis dan interpretasi data penginderaan jauh atau citra digital dapat dikelompokan

menjadi tiga prosedur operasional, yaitu pra-pengolahan data mencakup rektifikasi

(koreksi geometrik) dan restorasi (pemugaran atau pemulihan) citra, pembuatan citra

komposit, penajaman citra (image enhancement) atau peningkatan mutu citra, serta

klasifikasi citra mencakup klasifikasi terselia, klasifikasi tak terselia, dan klasifikasi

gabungan (hibrida). Hasil pengolahan perlu dikoreksi ketelitian hasilnya baru

kemudian dikeluarkan sebagai hasil klasifikasi atau interpretasi data

(Danoedoro,1996)

2.6.1. Pra-Pengolahan Data Digital

Pra-pengolahan data digital mencakup rektifikasi dan restorasi citra.

Rektifikasi dan restorasi merupakan prosedur operasi agar diperoleh data

permukaan bumi sesuai dengan aslinya. Citra hasil sensor penginderaan jauh

mengalami berbagai distorsi yang disebabkan oleh gerakan sensor, faktor media

antara, dan faktor obyeknya sendiri sehingga perlu diperbaiki atau dipulihkan

kembali. Prosedur operasi ini biasa disebut dengan operasi data awal (pre-

processing operations) atau pra-pengolahan citra yang meliputi berbagai koreksi,

yaitu koreksi radiometrik, koreksi geometrik, dan koreksi atmosferik.

2.6.2. Klasifikasi Citra Digital

Klasifikasi citra adalah proses pengumpulan informasi dari citra digital

berdasarkan analisis nilai spektral, bertujuan untuk mengelompokan atau

membuat segmentasi mengenai kenampakan-kenampakan yang homogen dengan

teknik kuantitatif. Prosedur operasi dilakukan dengan pengamatan dan evaluasi

setiap piksel yang terkandung di dalam citra dan dikelompokan pada setiap

kelompok informasi.

17

Page 19: ProposaL

Pada proses klasifikasi citra digital tersebut, kriteria yang digunakan hanya

nilai spektralnya, dengan asumsi perbedaan obyek dapat dikenali berdasarkan

perbedaan karakteristik spektralnya. Karakteristik spektral merupakan gambaran

sifat dasar interaksi obyek dan spektral yang bekerja padanya (Dulbahri, 1984)

Klasifikasi secara digital secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua

cara, yaitu :

1. Klasifikasi nilai piksel didasarkan pada contoh daerah yang diketahui jenis

obyek dan nilai spekltralnya, disebut sebagai klasifikasi terbimbing atau

terselia (supervised classification).

2. Klasifikasi tanpa daerah contoh yang diketahui jenis obyek dan nilai

spektralnya, disebut klasifikasi tak terbimbing atau tak terselia (unsupervised

classification).

Metode klasifikasi yang dapat digunakan dalam pengelompokan nilai

spektral ada tiga macam, salah satunya adalah klasifikasi kemiripan maksimum

(maximum likelihood). Pengklasan kemiripan maksimum (maximum likelihood)

merupakan kegiatan evaluasi, baik secara kuantitatif, varian, maupun korelasi pola

tanggapan spektral kategori ketika mengklasifikasikan piksel tak dikenal dengan

suatu asumsi bahwa distribusi titik (piksel) yang berbentuk data sampel

mempunyai kategori bersifat distribusi normal (Gaussian).

2.7. Penelitian Sebelumnya

Penelitian mengenai vegetasi dengan bantuan citra penginderaan jauh telah

banyak dilakukan sebelumnya dengan menggunakan berbagai metode. Hildanus

dalam tulisannya yang berjudul “Pendugaan Beberapa Parameter Tegakan Hutan

Tropika Dataran Rendah Menggunakan Data Satelit Landsat” meneliti mengenai

hubungan nilai NDVI pada citra Landsat dengan jumlah pohon, rata-rata tinggi

total, basal area, biomasa bagian pohon di atas permukaan tanah, LAI, dan

penutupan tajuk dengan cara matematis, pendugaan yang dilakukan pada

penelitian ini menggunakan persamaan alometrik. Penelitian ini menggunakan

interpretasi visual sebagai dasar penentuan plot-plot sample pada citra, untuk

klasifikasi hutan pada penelitian ini menggunakan system klasifikasi dari FAO

18

Page 20: ProposaL

yang membagi menjadi tiga kelas, yaitu hutan rapat (closed forest:high density),

hutan kerapatan sedang (closed forest:medium density) dan hutan jarang (opened

forest), dari hasil interpretasi visual tersebut dibuat plot-plot sample berukuran 80

x 80 m. Penelitian ini menggunakan citra Landsat yang telah ditransformasi NDVI

sebagai sumber data yang akan dikorelasikan dengan data-data yang dikumpulkan

di lapangan). Pada analisis data digunakan model regresi antara parameter tegakan

hutan hasil pengukuran di lapangan (jumlah pohon, rata-rata tinggi total, basal

area, biomasa bagian pohon di atas permukaan tanah, LAI, dan penutupan tajuk)

dengan NDVI, untuk menunjukkan ada atau tidaknya hubungan antara parameter

tegakan hutan dengan nilai NDVI penelitian ini menggunakan uji hipotesis

dengan uji F pada taraf nyata 95%, sedang untuk menentukan tingkat ketelitian

model atau menunjukkan presentase kemampuan peubah bebas (nilai NDVI)

dalam menjelaskan peubah tidak bebas (parameter tegakan hutan) digunakan

koefisien determinasi (R²). Penelitian menghasilkan suatu kesimpulan yang

menyebutkan bahwa transformasi NDVI pada citra Landsat berkorelasi dengan

rata-rata tinggi total, basal area, biomasa, di atas permukaan tanah, LAI, dan

penutupan tajuk dari pohon berdiameter 10cm atau lebih, tetapi tidak mempunyai

korelasi dengan jumlah pohon.

Penelitian lainnya yang menyebutkan mengenai hubungan transformasi

indeks vegetasi terutama NDVI dan keterkaitannya dengan presentasi vegetasi

dilakukan oleh A. Rahman As-syakur dan I.W. Sandi Adnyana dalam Jurnal Bumi

Lestari melakukan mengenai analisis indeks vegetasi dengan menggunakan citra

ALOS/AVNIR-2, pada penelitian ini digunakan tiga jenis transformasi indeks

vegetasi yaitu NDVI, SAVI dan MSAVI yang akan ditentukan hubungan ketiga

transformasi tersebut dengan persentasi vegetasi, disebutkan bahwa dari ketiga

transformasi tersebut transformasi indeks vegetasi dengan NDVI dan SAVI

memiliki akurasi yang lebih baik dibanding MSAVI. Penelitian ini menghasilkan

suatu persamaan yang yang menghubungkan antara nilai NDVI dengan presentase

vegetasi sebagai berikut: Presentase Vegetasi = 132.71 (NDVI)² + 3.461 (NDVI)

+ 5.6775.

19

Page 21: ProposaL

Michael Shank (2008) pada penelitiannya yang dilakukan bagian selatan

West Virginia dengan menggunakan citra multispektral quickbird juga

menyebutkan keterkaitan antara NDVI dengan presentase vegetasi. Penelitian

menggunakan sampel yang diperoleh melalui identifikasi citra stelit yang telah

mengalami transformasi NDVI, disini NDVI digunakan untuk dasar pengukuran

kerapatan vegetasi homogenitas nilai piksel suatu obyek, nilai rata-rata NDVI dari

kernel berukuran 5 x 5 digunakan untuk mengkelaskan nilai-nilai piksel obyek

menjadi sepuluh kelas mulai dari lahan terbuka sampai mdaerah bervegetasi

penuh, dari setiap kelas dipilih sejumlah nilai piksel dengan jumlah sama dan

dilakukan secara acak dari suatu set piksel dengan varian tetangga yang rendah

(low neighborhood variance) yang akan digunakan sebagai sample uji lapangan.

penelitian ini menfokuskan penelitiannya pada pembandingan dua tipe area, yaitu

area tanpa vegetasi dan tertutup penuh oleh vegetasi, dengan asumsi awal bahwa

daerah diantara nilai NDVI kedua tipe area tersebut memiliki presentase vegetasi

yang membentukm suatu model korelasi regresi, pada akhirnya penelitian ini

menyimpulkan bahwa NDVI dapat digunakan untuk estimasi penutup vegetasi

dengan dua ketentuan, yang pertama adalah material substrat yang cukup

seragam, kedua tidak ada pengaruh dari kelembaban tanah (material batu atau

kondisi daerah penelitian kering).

Penelitian yang dilakukan oleh Widyasamratri (2008) menggunakan data

satelit penginderaan jauh ASTER untuk mengetahui kondisi daerah perkotaan dari

keberadaan vegetasi serta lahan terbangun perkotaan. Proses ekstraksi obyek

vegetasi dari citra satelit menggunakan metode transformasi indek vegetasi yaitu

NDVI dan ekstraksi obyek kepadatan lahan terbangun menggunakan transformasi

urban indeks. Untuk melihat serta menganalisis kondisi daerah perkotaan dengan

menggunakan transformasi indeks perkotaan dan NDVI di Kota Semarang

dipergunakan analisis statistik deskriptif, yaitu berupa penyajian data kedalam

tabel silang.

Pengembangan metode untuk pemetaaan vegetasi juga dilakukan oleh

Y.Hirose dkk (Tanpa Tahun) dengan menggabungkan dua pendekatan melalui

metode hybrid, disini hybrid yang ada dimaksud pada penelitian ini lebih kepada

20

Page 22: ProposaL

pendekatan proses yang digunakan yaitu dengan analisa klasifikasi secara segment

based dan image based melalui pendekatan nilai piksel dengan metode maximum

likelihood, pada pengolahan secara digital berdasar nilai piksel dengan metode

maximum likelihood sering dijumpai kenampakan seperti taburan garam dan

merica yang biasanya dianggap sebagai gangguan, namun dalam konteks

pemetaan vegetasi dengan menggunakan data satelit dengan resolusi spasial yang

tinggi kenampakan tersebut sangat berguna untuk menggabungkan hasil

klasifikasi dari metode maximum likelihood dengan hasil klasifikasi berdasar

objek (object based classification) karena pada klasifikasi berdasar nilai pikesl

(maximum likelihood) dihasilkan informasi mengenai kerapatan dan distribusi

vegetasi yang dihasilkan pada deliniasi pendekatan berdasar obyek (object based).

Emil Galev (2006) meneliti mengenai pendataan ukuran sebenarnya dari

vegetasi di lapangan dengan menggunakan data penginderaan jauh resolusi tinggi

(IKONOS) dengan menggunakan bantuan software non spasial untuk proses

penajaman, penekanan yang dilakukan disini hanya pada kemampuan data spasial

resolusi tinggi merekam obyek dengan akurat sesuai dengan ukuran di lapangan.

Metode analisis yang dilakukan disini juga metode tradisional, yaitu deliniasi

secara visual.

Penelitian dalam vegetasi dapat menggunakan berbagai jenis citra, Frida

Sidik dan Denny Wijaya Kusuma (Tanpa Tahun) menggunakan citra Formosat

dengan resolusi 8 meter, yang digabungkan dengan data pengamatan lapangan

untuk pemetaan kerapatan hutan mangrove. Metode yang digunakan pada

penelitian ini adalah transformasi indeks vegetasi dengan NDVI.

Empat penelitian yang telah dibahas sebelumnya menganalisa hubungan

antara citra hasil transformasi indeks vegetasi dengan parameter vegetasi,

penelitian yang dilakukan Hildanus (2005) mengkaji hubungan antara NDVI pada

citra LAndsat dengan beberapa parameter vegetasi termasuk dengan tutupan tajuk

vegetasi, penelitian yang dilakukan oleh A. Rahman As-syakur dan I.W. Sandi

Adnyana (2009) mengkaji hubungan beberapa transformasi termasuk NDVI pada

citra ALOS dengan presentase tutupan vegetasi, penelitian yang dilakukan oleh

Michael Shank (2008) secara khusus mengakaji hubungan antara NDVI pada citra

21

Page 23: ProposaL

multispektral Quickbird dengan tutupan vegetasi, Frida Sidik dan Denny Wijaya

Kusuma (tanpa tahun) menggunakan indeks vegetasi hasil dari transformasi

dengan NDVI untuk analisa kerapatan hutan mangrove pada citra Formosat,

keempat penelitian tersebut menggunakan jenis citra yang berbeda baik dari

resolusi spasial maupun resolusi spektralnya, dalam penelitian tersebut disebutkan

adanya hubungan antara nilai indeks vegetasi pada citra hasil transformasi dengan

NDVI dengan tutupan vegetasi, khususnya kerapatan tegakan dan kanopi.

Penelitian lain yang dibahas sebelumnya mengkaji obyek vegetasi dengan

bantuan citra penginderaan jauh yang berbeda untuk tujuan yang berbeda dan

dengan metode yang berbeda, Widyasamratri (2008) menggunakan citra ASTER

untuk mengkaji hubungan antara variabel fisik perkotaan dengan, penelitian yang

dilakukan oleh Y.Hirose, M.Mori, Y.Akamatsu dan Y.Li (tanpa tahun)

menggunakan citra ikonos dengan metode hybrid untuk klasifikasi vegetasi.

Penelitian lain yang dibahas adalah penelitian dengan menggunakan citra ikonos

dengan menggunakan pendekatan visual untuk pendataan vegetasi berdasar

ukurannya.

Suharyadi (2010) melakukan penelitian dengan judul ”Interpretasi Hibrida

Citra Satelit Resolusi Spasial Menengah Untuk Kajian Densifikasi Bangunan

Daerah Perkotaan” yang mengambil lokasi di daerah Perkotaan Yogyakarta

menggunakan citra satelit resolusi menengah seperti Landsat TM, Landsat ETM+,

ASTER SWIR dan VNIR untuk pemetaan kerapatan bangunan dan mengkaji

karateristik densifikasi Daerah Perkotaan Yogyakarta.

Ide menggunakan transformasi indeks vegetasi khususnya NDVI

terinsparasi dari penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya

(mengacu pada tabel 1.2), demikian pula dengan penggabungan dua metode yang

berbeda pendekatan dengan menggunakan metode hybrid. Hybrid yang digunakan

dalam penelitian tersebut adalah kombinasi identifikasi obyek secara digital pada

kelompok pikselm dimana kelompok piksel tersebut telah dideliniasi secara

visual.

Penelitian yang akan dilakukan oleh Endra Gunawan (2010)

menggunakan data satelit penginderaan jauh ASTER untuk menganalisa

22

Page 24: ProposaL

hubungan antara nilai spektral dari citra ASTER dengan tingkat kerapatan kanopi.

Proses interpretasi dimulai dengan deliniasi citra secara manual atau visual untuk

membedakan variabel fotomorfik yang kemudian dilakukan analisa secara

spektral berdasarkan hasil interpretasi visual, ekstraksi obyek vegetasi dari citra

satelit menggunakan metode transformasi indek vegetasi.

2.8. Kerangka Pemikiran

Keberadaan teknologi penginderaan jauh sangat membantu dalam

mengamati berbagai kenampakan yang ada di permukaan bumi. Kenampkan

permukaan bumi yang oleh sensor satelit penginderaan jauh direpresentasikan

melalui nilai-nilai piksel memiliki karakteristik yang khas untuk tiap jenis obyek

pada panjang gelombang tertentu, hal tersebutlah yang digunakan sebagai acuan

interpretasi dari data penginderaan jauh dengan dibantu oleh data hasil uji

lapangan.

Citra satelit ASTER sebagai salah satu data penginderaan jauh merupakan

salah satu citra multispektral dengan resolusi sedang yang mempunyai saluran

VNIR (visible-near infra red) yaitu saluran yang memiliki kisaran panjang

gelombang 0,52-0,60 µm (band 1), 0,63-0,69µm (band 2), 0,76 – 0,86 µm (band

3N dan 3B) sehingga sesuai untuk mengidentifikasi obyek vegetasi secara spektral

karena obyek vegetasi memang peka terhadap panjang gelombang inframerah

dekat, selain itu citra ASTER memiliki ground resolution sebesar 15 m yang

mendukung interpretasi visual dengan cukup baik untuk obyek vegetasi. Citra

ASTER yang digunakan merupakan citra yang telah terkoreksi hingga level 1B,

yang berarti citra ini telah mengalami koreksi geometrik dan radiometrik.

Nilai piksel yang muncul pada suatu citra mewakili gambaran obyek pada

permukaan buni seluas resolusi spasial dari sensor itu sendiri, citra ASTER yang

memiliki resolusi spasial 15 m menunjukkan bahwa setiap kenampakan dalam

luasan 15 x 15 m di permukaan bumi direpresentasikan dalam satu nilai piksel,

walaupun dalam luasan tersebut memiliki kenampakan obyek yang beragam, jika

suatu piksel dengan luasan tersebut merepresentasikan satu jenis obyek saja maka

nilai piksel tersebut murni berasal dari obyek tersebut (piksel murni), pada

23

Page 25: ProposaL

penelitian ini keberadaan piksel murni digunakan sebagai salah satu obyek

bahasan untuk interpretasi kerapatan kanopi daun, satu piksel murni yang

merepresentasikan obyek vegetasi menunjukkan bahwa pada luasan 15 x 15 m

hanya berisi obyek vegetasi saja, hal tersebut memunculkan suatu hipotesis bahwa

semakin banyak jumlah piksel murni yang merepresentasikan obyek vegetasi

maka kerapatan kanopi daun di tempat tersebut semakin tinggi.

Penggunaan transformasi indeks vegetasi bertujuan untuk menonjolkan

kenampakan obyek vegetasi dan mengetahui persebaran dari obyek vegetasi itu

sendiri, hasil dari transformasi indeks vegetasi dapat digunakan untuk dasar

interpretasi kerapatan vegetasi dan kanopi daun secara visual melalui tingkat

kecerahannya dimana semakin cerah rona yang muncul pada citra hasil

transformasi akan menunjukkan tingkat kerapatan kanopi daun yang semakin

tinggi. Hasil dari interpretasi secara visual ini akan digunakan sebagai acuan

dalam penentuan blok sampel untuk pengumpulan data di lapangan dan jugan

untuk dasar pengambilan sampel piksel pada proses analisis data statistik

kumpulan piksel, penentuan blok sampel tersebut didasarkan pada kesamaan

aspek visual atau rona dari citra. Blok sampel yang telah diukur kerapatan kanopi

daunnya di lapangan akan digunakan juga pada tahap analisis spektral, yaitu

sebagai dasar klasifikasi spektral kerapatan kanopi daun yang selanjutnya akan

digunakan untuk menguji beberapa saluran untuk mengetahui saluran manakah

yang memiliki hubungan tertinggi dan terendah dengan obyek vegetasi yang dapat

digunakan untuk penyusunan suatu algoritma untuk memudahkan klasifikasi

kerapatan kanopi daun.

2.9. Hipotesis

Penggunaan metode hybrid yang menggabungkan antara klasifikasi secara

visual dan spektral akan menghasilkan akurasi yang lebih baik dibanding hasil

interpretasi secara visual atau spektral saja.

24

Page 26: ProposaL

Luas area tertutup vegetasi

Tertutup Sebagian Tidak TertutupTertutup Rata

Transformasi Indeks Vegetasi

Homogenitas Obyek

Piksel Vegetasi

Piksel Non-vegetasi

Presentase Kerapatan Kanopi

Dalam Area (Kumpulan Piksel)

Peta Kerapatan Kanopi

Kombinasi antara Piksel Vegetasi dan Piksel Non-vegetasi

Variabel Statistik

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran

Kunci Interpretasi

Hanya Piksel vegetai

Stop (tidak dapat dilanjutkan)

25

Citra ASTER

Page 27: ProposaL

Tabel 1.2 Beberapa Penelitian Sebelumnya

No. Nama Peneliti Judul Penelitian Lokasi Sumber Data Tujuan Metode Hasil

1.Hildanus (2005)

Pendugaan Beberapa Parameter Tegakan Hutan Tropika Dataran Rendah Menggunakan Data Satelit Landsat

Gunung Beratus, Kalimantan Tinur.

1. Landsat TM2. Uji LApangan

Meneliti mengenai hubungan nilai NDVI pada citra Landsat dengan jumlah pohon, rata-rata tinggi total, basal area, biomasa bagian pohon di atas permukaan tanah, LAI, dan penutupan tajuk.

Transformasi NDVI.

Model regeresi Linear antara NDVI dengan beberapa parameter tegakan hutan

2.A. Rahman As-syakur dan I.W. Sandi Adnyana (2009)

Analisis Indeks Vegetasi Menggunakan Citra ALOS/AVNIR-2 dan Sistem Informasi Geografis Untuk Evaluasi Tata Ruang Kota Denpasar

Denpasar Bali

1. Citra ALOS ( September 2006).

2. Peta tata ruang kota Denpasar 2003

Evaluasi Peta Tata Ruang kota Denpasar berdasar peta persebaran vegetasi

1. Transformasi NDVI

2. Transformasi SAVI

3. Transformasi MSAVI

4. Overlay/Tumpang Susun

1.Hubungan indeks Vegetasi dengan tutupan vegetasi untuk NDVI,SAVI, dan MSAVI

2.Peta sebaran vegetasi berdasarkan tutrupannya di Kota Denpasar

Page 28: ProposaL

3.Michael Shank(2008)

Using Remote Sensing to Map Vegetation Density on a Reclaimed Surface Mine

West Virginia, USA

1. Citra Multispektral Quickbird (14 Juni 2007)

Demonstrasi/Pembuktian Bahwa NDVI dapat digunakan untuk estimasi presentase vegetasi dengan akurasi yang baik

1. Transformas NDVI.

2. Regresi

1.Grafik Korelasi NDVI dengan tutupan Vegetasi

2.Peta Tutupan Vegetasi

4.Widyasamratri (2008)

Pemanfaatan Transformasi Indeks Perkotaan dan Indeks Vegetasi pada Citra ASTER untuk Analisis Kondisi Lingkungan Perkotaan (Kasus Kota Semarang)

Kota Semarang

1. Citra ASTER Kota Semarang tahun 2006

2. Peta RBI skala 1: 25.000.

1. Pemetaan obyek vegetasi dengan memanfaatkan citra satelit ASTER2. Pemetaan kepadatan lahan terbangun Kota Semarang.3. Analisis hubungan antara luas tutupan vegetasi dengan kondisi kepadatan perkotaan di Kota Semarang

1.Transformasi index vegetasi.

2. Transformasi index perkotaan

3.Analisis statistik deskriptif.

1.Peta vegetasi2.Peta kepadatan lahan

terbangun.3.Tabel hubungan antara

variabel fisik perkotaan dengan vegetasi.

5.Y.Hirose, M.Mori, Y.Akamatsu, Y.Li

Vegetation Cover Mapping Using Hybrid Analisis of IKONOS Data

Sebagian Daerah Aliran Sungai Niyodo, Jepang

Citra IKONOS Pengembangan metode pemetaan vegetasi untuk mengahasilkan metode survey yang lebih hemat biaya

1.Segment Based Clasification

2.Piksel Based Clasification

3.Hybrid (Penggabungan metode Segment

1.Peta Klasifikasi Vegetasi dengan Metode Segment Based

2.Peta Klasifikasi Vegetasi dengan Metode Piksel Based

3.Peta Klasifikasi Vegetasi

27

Page 29: ProposaL

Based dan Object Based) melalui pixel based

Dengan Metode Hybrid

6.Emil Galev (2006)

Applicability of Remote Sensing Data and GIS Methodology to Detailed Vegetation Mapping

Bulgarian Park, Balchik, Turki

IKONOS (3 Juli 2003)

Pendataan ukuran vegetasi melalui pendekatan digital

1. Deliniasi visual Peta Persebaran Vegetasi berdasar ukurannya

7Frida Sidik, Denny Wijaya Kusuma

Penggunaan Citra Formosat Unruk Identifikasi Kerapatan Hutan Mangrove di Gili Sulat-Gili Lawang, Lombok Timur

Gili Sulat-Gili Lawang, Lombok Timur

1. Citra satelit Formosat

2. Pengamatan Lapangan

Pemetaan kerapatan hutan mangrove

Transformasi NDVI

Peta Kerapatan hutan Mangrove

8Suharyadi Interpretasi

Hibrida Citra Satelit Resolusi Spasial Menengah Untuk Kajian Densifikasi Bangunan Daerah Perkotaan

Daerah Perkotaan Yogyakarta

1. Landsat TM,2. Landsat ETM+3. ASTER SWIR 4. ASTER VNIR

1. Pemetaan kerapatan bangunan

2. Mengkaji karateristik densifikasi Daerah Perkotaan Yogyakarta

Hibrida antara tehnik indentifikasi visual dan spektral (Hybrid)

Peta kerapatan bangunan

28

Page 30: ProposaL

9Endra Gunawan Penggunaan

Metode hybrid Untuk Identifikasi dan Klasifikasi Kerapatan Kanopi di Kabupaten Kulon Progo

Sebagian Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta

1. Citra Satelit ASTER 2006

1. Peta Rupa Bumi

2. Data Pengamatan Lapangan

1. Menggabungkan kelebihan-kelebihan yang ada pada metode manual (visual) dan otomatis (komputasi).

2. Mengetahui hubungan jumlah nilai piksel murni atau nilai piksel yang menunjukkan obyek vegetasi dengan tingkat kerapatan kanopi daun,

3. Menyusun suatu rumusan statistik berdasar nilai piksel untuk memudahkan identifikasi dan klasifikasi tingkat kerapatan kanopi daun.

1.Transformasi Indeks Vegetasi

2.Analisis Korelasi

1.Peta Kerapatan Kanopi Sebagian Daerah Kulon Progo

2.Tabel hubungan antara nilai spektral dengan kerapatan kanopi

Sumber: berbagai sumber 2009

29

Page 31: ProposaL

3. METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode hybrid yang

menggabungkan antara hasil interpretasi visual dan spektral ke dalam suatu

rumusan statistik yang dapat digunakan dalam kegiatan pemetaan kerapatan

kanopi. Interpretasi visual dalam kegiatan ini dilakukan dalam tahap awal untuk

mendapatkan gambaran tentatif dari kenampakan vegetasi yang ada berdasarkan

aspek fotomorfik yang terlihat pada citra yang selanjutnya akan menjadi acuan

dalam penentuan lokasi sampel dalam kegiatan penelitian ini, tahapan selanjutnya

adalah interpretasi dan analisa nilai piksel dari hasil blok-blok sampel untuk

mengetahui tingkat korelasi anatara nilai piksel dengan tingkat kerapatan kanopi.

3.1 Bahan dan Alat Penelitian

3.1.1 Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Data digital ASTER Level 1B sebagian Kabupaten Kulon Progo

2. Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) Lembar Sendang Agung (1406-232)

skala 1 : 25000

3. Data hasil uji akurasi di lapangan

3.1.2 Alat Penelitian

Alat penelitian terbagi menjadi dua, yaitu :

1. Peralatan laboratorium, meliputi :

a. Personal komputer untuk image processing

b. Perangkat lunak pengolahan citra digital

c. Perangkat lunak untuk analisa Sistem Informasi Geografis

d. Perangkat lunak untuk uji statistik

2. Peralatan lapangan :

a. GPS receiver

b. Kamera digital

Page 32: ProposaL

3.2. Tahap Penelitian

Tahap penelitian ini meliputi tiga bagian, yaitu : tahap pra-lapangan,

tahap lapangan, dan tahap pasca lapangan. Tahap pra-lapangan meliputi

pengumpulan data (studi pustaka yang terkait dengan penelitian ini, serta

persiapan bahan dan alat penelitian), pemrosesan citra digital, dan penentuan

sampel.

Tahap lapangan dilakukan untuk memperoleh informasi dari sampel

yang telah ditentukan, sedang tahap pasca lapangan dilakukan untuk

mengolah data yang telah dikumpulkan, analisis statistik, dan pengujian

tingkat akurasi hasil klasifikasi kerapatan vegetasi dengan metode hybrid.

3.2.1. Tahap Pra Lapangan

3.2.1.1. Tahap Pengumpulan Data

1. Studi Pustaka

2. Persiapan alat dan bahan yang dibutuhkan

3.2.1.2. Pemrosesan Citra Digital

1. Koreksi Geometrik

Koreksi geometrik bertujuan untuk menempatkan kembali posisi

piksel pada citra hasil perekaman satelit sesuai dengan koordinat bumi,

sehingga citra digital yang tertransformasi dapat dilihat gambaran obyek di

permukaan bumi yang terekam sensor sesuai dengan keadaan sebenarnya di

lapangan (Danoedoro, 1996), Sistem koordinat dan proyeksi peta tertentu

dijadikan rujukan untuk koreksi geometrik ini sehingga diperlukan titik ikat

lapangan atau Ground Control Point (GCP) berupa obyek statis yang mudah

dikenali pada citra atau peta rujukan.

2. Koreksi Radiometrik

Koreksi radiometrik bertujuan untuk menghilangkan atau

meminimalisir kesalahan radiometrik (radiometric error) akibat aspek

eksternal berupa gangguan atmosfer pada saat proses perekaman. Biasanya

gangguan atmosfer ini dapat berupa serapan, hamburan, dan pantulan yang

31

Page 33: ProposaL

menyebabkan nilai piksel pada citra hasil perekaman tidak sesuai dengan

nilai piksel obyek sebenarnya di lapangan.

Dari citra ASTER yang telah terkoreksi hingga level 1B ini dapat

diperoleh informasi fisik seperti nilai radian dan temperatur dengan

menggunakan nilai digital ( Digital Number/DN ) dalam data. Dalam

pemrosesan citra selanjutnya, nilai DN pada data harus dirubah dahulu

kedalam nilai radian. Langkah pengubahan dari DN ke nilai radian

merupakan suatu prosedur standar yang dilakukan dalam pemrosesan citra

digital, berfungsi untuk memperoleh informasi yang akurat bukan hanya di

permukaan obyek saja namun juga di sensor.

Pada citra ASTER nilai pantulan obyek dapat diperoleh dengan

melakukan koreksi atmosferik sehingga menghasilkan nilai radiance .

Nilai radiance digunakan karena nilai ini mengindikasikan seberapa kuat

emisi yang dipancarkan atau dipantulkan suatu permukaan yang akan

diterima kembali oleh sistem optik yang mengarah pada permukaan dari

berbagai sudut pandang. Nilai ini sangat baik digunakan sebagai indikator

seberapa cerah suatu obyek akan tampak. Nilai radiance yang dibagi oleh

index refraction square yaitu turunan dari geometrika optik, artinya untuk

keadan ideal suatu sistem optik di udara nilai radiance keluaran akan sama

dengan nilai radiance yang masuk. Hal ini sering disebut dengan

conservation of radiance. Tujuan dari dilakukannya langkah pengubahan

dari digital number ke nilai radiance adalah untuk memperoleh nilai pantulan

obyek asli seperti yang terekam pada sensor. Formula yang digunakan

adalah:

Radiance at sensor = (DN value – 1) x Unit Conversion Coefficient...(1)

Dimana :

DN : Digital Number

Unit Conversion Coefficient (UCC) : nilai unit konfersi koefisien yang

digunakan untuk mengkonversikan nilai skala DN ke sensor radian

ditunjukkan pada tabel berikut :

32

Page 34: ProposaL

Tabel 2.1.ASTER Unit Conversion Coeff icients

Band No High Gain Normal Gain Low Gain -1 Low Gain -2VNIR1 0,676 1,688 2,25 N/A2 0,708 1,415 1,89 N/A3N 0,423 0,862 1,15 N/A3B 0,423 0,862 1,15 N/ASWIR4 0.1087 0.2174 0,0290 0,02905 0.0348 0.0696 0.0925 0.4096 0.0313 0.0625 0.083 0.397 0.0299 0.0597 0.0795 0.3328 0.0209 0.0417 0.0556 0.2459 0.0159 0.0318 0.0424 0.265TIR10 N/A 6.882x 10-3 N/A N/A11 N/A 6.780x 10-3 N/A N/A12 N/A 6.590x 10-3 N/A N/A13 N/A 5.693x 10-3 N/A N/A14 N/A 5.225x 10-3 N/A N/A

Sumber : ASTER User Handbook 11 Agustus 2007

Setelah didapatkan nilai radiance proses berikutnya adalah

pengubahan ke nilai pantulan asli atau reflectance at sensor dengan

menggunakan rumusan

Pλ = π . L λ . d . 2 . ........(2)ESUN λ.cosθ

dimana:

- Pλ = nilai pantulan obyek tiap saluran

- L λ = nilai spektral radian

- ESUN λ = nilai spektral iradians matahari

- d = jarak bumi - matahari

- θ = sudut elevasi matahari

tujuan dari pengubahan nilai digital ke nilai pantulan pada sensor (reflectance

at sensor) adalah agar nantinya hasil dari penelitian ini dapat diaplikasikan pada

berbagai citra lain sehingga tidak terbatas pada citra tertentu saja (ASTER).

Kesalahan radiometrik pada citra dapat menyebabkan kesalahan

interpretasi terutama jika interpretasi dilakukan secara digital yang

33

Page 35: ProposaL

mendasarkan pada nilai piksel. Sehingga, koreksi radiometrik ini sangat

penting untuk dilakukan agar hasil yang diperoleh sesuai dengan yang

diinginkan. Koreksi radiometrik dapat dilakukan dengan berbagai cara,

diantaranya adalah penyesuaian regresi, penyesuaian histogram, dan kalibrasi

bayangan.

3. Transformasi Indeks Vegetasi

Transformasi indeks vegetasi diterapkan untuk mengubah nilai pixel

melalui suatu operasi aritmatik beberapa saluran sekaligus, sehingga nilai

pixel baru yang dihasilkan lebih representatif dalam menyajikan aspek-aspek

yang berkaitan dengan kondisi vegetasi, misalnya kerapatan, LAI, biomassa,

umur tegakan, konsentrasi klorofil, dan juga kandungan nitrogen

(Danoedoro, 1996). Transformasi indeks vegetasi ini biasanya melibatkan

saluran-saluran yang peka terhadap pantulan vegetasi, khususnya saluran

merah dan inframerah dekat, citra hasil transformasi indeks vegetasi ini akan

digunakan sebagai acuan interpretasi visual yang kemudian digunakan

sebagai acuan pengambilan sampel berdasarkan hasil klasifikasi/deliniasi

secara fotomorfik atau kenampakan visualnya, hal tersebut berdasar beberapa

penelitian yang telah dilakukan sebelumnya dan menyatakan bahwa tingkat

nilai piksel yang direpresentasikan dengan tingkat kecerahan pada citra hasil

transformasi indeks vegetasi memiliki hubungan dengan kerapatan vegetasi.

Transformasi indeks vegetasi yang digunakan dalam penelitian ini

adalah NDVI (Normalization Difference Vegetation Index). NDVI

merupakan salah satu transformasi indeks vegetasi yang biasa digunakan

dalam penginderaan jauh yang menggunakan kombinasi antara teknik

penisbahan dan teknik pengurangan citra, hasil transformasi ini mampu

menonjolkan kenampakan objek vegetasi. NDVI dipilih karena formula ini

telah dikenal luas dalam penginderaan jauh untuk studi vegetasi. Meskipun

sederhana, namun terbukti memiliki kemampuan untuk menonjolkan

fenomena yang terkait dengan objek vegetasi dengan menekan sumber-

sumber variasi spektral lain. Nilai hasil transformasi indeks vegetasi

34

Page 36: ProposaL

berkisar antara +1 hingga -1. Formula NDVI menggunakan persamaan

sebagai berikut:

NDVI =

Inframerah dekat−saluran merahInframerah dekat+saluran merah

..........(3)

pada ASTER

NDVI = Band 3N – Band 2 . .........(4) Band 3N + Band 2

Selain transformasi NDVI digunakan pula transformasi lain sebagai

pembanding, transformasi yang dipilih pada penelitian ini adalah Soil

Adjusted Vegetation Indeks (SAVI) dan Modified Soil Adjusted Vegetation

Indeks (MSAVI). Transformasi MSAVI merupakan optimalisasi transformasi

SAVI (Soil Adjusted Vegetation Indeks) yang bertujuan untuk mengurangi

efek tanah, sehingga obyek vegetasi lebih dapat terlihat, dimana algoritma

untuk SAVI dan MSAVI adalah sebagai berikut :

SAVI=x= inframera h dekat−merahinframera hdekat+merah+L

x (1+L)

MSAVI = 2 NIR+1 – √(2 NIR+1) ²−8(NIR−2R)

2

dimana : -NIR = band infra merah dekat

-R = band merah

pada ASTER akan saluran merah ada pada saluran 2, sedang infra

merah dekat ada pada saluran 3, saluran infra merah dekat yang digunakan

pada transformasi indeks vegetasi adalah saluran 3N (Nadir Looking).

1. Penentuan sampel

Tahap ini dilakukan untuk menentukan lokasi sampel yang akan

diugunakan sebagai acuan dalam kegiatan klasifikasi kerapatan vegetasi

dengan metode hybrid. Penentuan sampel didasarkan pada interpretasi pada

35

Page 37: ProposaL

citra hasil transformasi indeks vegetasi dengan transformasi NDVI yang telah

dideliniasi berdasar kenampakan fotomorfiknya. Metode sampling yang

digunakan adalah purposive sampling dengan tujuan mencari hubungan

kenampakan fotomorfik citra hasil transformasi dengan kerapatan kanopi

vegetasi di daerah penelitian.

Nilai kerapatan vegetasi yang disajikan dalam nilai NDVI dapat

dikelaskan dalam beberapa kelas, menurut kenampakan fotomorfiknya, yang

kemudian dari hasil interpretasi tersebut digunakan sebagai dasar

penentunan blok sampel, blok-blok sampel tersebut yang selanjutnya

digunakan dalam kegiatan pengukuran di lapangan.

Blok sampel yang telah ditentukan berdasar tingkat kecerahan indeks

vegetasi dari citra hasil transformasi NDVI yang telah melalui tahap kerja

lapangan (untuk diukur tingkat kerapatan kanopinya) kemudian digunakan

pada tahap analisis untuk diamati statistik untuk tiap blok sampel yang ada

untuk dihubungkan dengan hasil pengukuran kerapatan kanopi pada blok

sampel tersebut.

2. Analisis Statistik dan penyusunan algoritma

Analisis statistik pada penelitian ini bertujuan untuk menyusun suatu

rumusan dari hasil korelasi antara nilai piksel pada blok sampel yang telah

dipotong dengan hasil pengukuran tingkat kerapatan kanopi vegetasi di

lapangan, hasil dari tahap ini berupa suatu algoritma berdasar nilai piksel dari

saluran yang memiliki korelasi terbaik dengan tinkat kerapatan kanopi

vegetasi. Dari hasil intrpretasi visual didapat suatu blok-blok sampel yang

akan diuji di lapangan mengenai kerapatan vegetasinya, blok-blok sampel

tersebut terdiri dari kumpulan nilai-nilai piksel, dari kumpulan nilai piksel

dan hasil pengukuran disusun suatu rumusan yang menunjukkan hubungan

antara kumpulan nilai piksel dengan tingkat kerapatan kanopinya.

Algoritma yang disusun akan menjadi suatu kunci interpretasi dalam

kegiatan klasifikasi kerapatan kanopi vegetasi berdasar nilai-nilai matematis

ataupun spektral yang dihasilkan pada tahap pemrosesan citra digital sampai

36

Page 38: ProposaL

tahap uji lapangan, contoh penyusunan kunci interpretasi terlihat pada tabel

2.3, pada tebel tersebut kinci interpretasi disusun untuk klasifikasi kepadatan

bangunan dengan tiga kelas kerapatan, nilai yang digunakan pada kunci

interpretasi tersebut adalah nilai transformasi urban indeks (UI) dan saluran 4

Landsat ETM+.

Tabel 2.3 kunci Interpretasi Kepadatan Bangunan

NO KELASKEPADATAN KUNCI INTERPRETASI

1 I Padat (ui > 85 or if ((ui < 85 and ui > 65),b4 > 0.18)2 II Sedang ((ui < 85 and ui > 65),b4 < 0.18)3 III Jarang (ui < 65)

Sumber : Suharyadi 2008

6. Tahap Kerja Lapangan

Kerja lapangan pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat

kerapatan kanopi pada blok sampel yang akan digunakan sebagai dasar

penyusunan algoritma, selain itu hasil kerja lapangan digunakan juga pada

tahap uji ketelitian interpretasi. Pengukuran di lapangan dengan menggunakan

alat ukur berupa meteran, sampel di lapangan yang diambil harus memiliki

ukuran yang sesuai dengan resolusi spasial citra yang digunakan, yaitu 15 x

15m.

Uji lapangan merupakan suatu langkah yang sebaiknya dilakukan dalam

penelitian terutama penelitian yang berkaitan dengan wilayah keruangan.

Selain untuk lebih mengenali medan juga untuk mencocokkan hasil

interpretasi dengan kenyataan. Sampel uji lapangan juga dapat berfungsi

sebagai pengontrol hasil interpretasi. Penentuan sampel uji lapangan

dilakukan berdasarkan hasil pengolahan citra yang berupa hasil transformasi

indeks vegetasi. Sampel uji lapangan ditentukan setelah tahap pengolahan

citra digital, hasil yang diperoleh dalam uji lapangan akan berguna dalam

pencocokan hasil interpretasi dengan keadaan yang adadi daerah penelitian.

Metode pengambilan sampel yang dipilih pada uji lapangan adalah metode

purposive sampling, teknik ini dipilih karena yang strata yang didasarkan pada

hasil interpretasi untuk kelas kerapatan kanopi vegetasi. Pengambilan sampel

37

Page 39: ProposaL

dilakukan menyebar dan acak pada sebaran area bervegetasi yang ada di

daerah penelitian, sampel yang diambil secara menyebar bertujuan agar semua

area bervegetasi yang memiliki kriteria berbeda akan tersampel.

Pengukuran di lapangan dilakukan dengan mengukur diameter tajuk

terpenjang dan terpendek untuk tiap tegakan yang ada di dalam blok sampel

untuk mengetahui presentase tutupan kanopi yang kemudian dibagi dengan

luas area sampel untuk mengetahui presentase kerapatan kanopi dalam blok

sampel tersebut. Pengukuran dapat dilakukan dengan pengambilan sampel

dalam sampel dengan catatan bahwa ukuran diameter tajuk dalam blok sampel

homogen, bila tidak terdapat homogenitas dalam blok sampel maka perlu

dilakukan pengukuran diameter tajuk untuk tiap tegakan yang ada dalam blok

sampel.

7. Uji Ketelitian

Uji ketelitian pada penelitian ini dilakukan setelah didapatkan peta

kerepatan kanopi daun dari klasifikasi hybrid, tujuan dari uji ketelitian ini

adalah untuk mengetahui tingkat akurasi algoritma yang dihasilkan pada

penelitian ini, selain itu tingkat akurasi yang dihasilkan akan menentukan

apakah algoritma hasil penelitian ini dapat digunakan dalam penelitian lain

yang bersifat aplikatif. Metode Uji ketelitian yang dipakai adalah dengan

menggunakan tabel, Hasil klasifikasi dari pengolahan citra dengan

Transformasi NDVI akan lebih baik apabila dilakukan uji ketelitian

interpretasi.

Uji ketelitian dilakukan karena pada penginderaan jauh pengenalan

medan melalui analisis citra tidak menyentuh obyek secara langsung. Oleh

sebab itu, penentuan kualitas interpretasi citra ditentukan oleh ketelitian

tersebut. Metode uji ketelitian hasil interpretasi yang digunakan dalam

penelitian ini adalah metode uji hasil interpretasi yang dikemukan oleh

Short (1982) dalam Danoedoro (1996), Purwadhi (2001), dan Sutanto

(1986).Metode uji ketelit ian hasil interpretasi juga dipergunakan pada

penelitian yang dilakukan oleh Putristiyanto (2007) dan Nurcahyani

(2005). Langkah uji ketelitian tersebut disusun sedemikian rupa dengan

38

Page 40: ProposaL

membandingkan antara data dari hasil klasifikasi dan data dari pengamatan

di lapangan yang dibuat dalam bentuk matriks uji ketelitian hasil

interpretasi. Selanjutnya dari nilai keluaran yang didapat digunakan untuk

menghitung persentase akurasi pemetaan dan persentase ketelitian hasil

interpretasi.

39

Page 41: ProposaL

40

CITRA ASTER VNIR PETA RUPABUMI

KOREKSI GEOMETRIK

KOREKSI RADIOMETRIK

CITRA ASTER TRKOREKSI (RADIANCE AT SENSOR)

INTERPRETASI VISUAL INTERPRETASI DIGITAL

DELINIASI BERDASAR ASPEK FOTOMORFIK

SATUAN PEMETAANBLOK SAMPEL

CEK LAPANGAN

BLOK SAMPEL TERUKUR(KERAPATAN KANOPI)

TRANSFORMASI INDEKS VEGETASI

NDVI SAVI MSAVI

KOMPOSIT CITRA ASTER VNIR

BAND PADA ASTER VNIR

ANALISIS PADA BLOK SAMPEL TERUKUR

ANALISIS KORELASI

SALURAN DENGAN KORELASI TERBAIK

KUNCI INTERPRETASIREKLASIFIKASI

PETA KERAPATAN KANOPI

Gambar 2.2 Diagram Alir mrtode

CITRA ASTER DIGITAL