PROFIL HEMATOLOGI (INDEKS ERITROSIT) PADA ANJING … · maupun aplikasi pemberian. Beberapa obat...
Transcript of PROFIL HEMATOLOGI (INDEKS ERITROSIT) PADA ANJING … · maupun aplikasi pemberian. Beberapa obat...
PROFIL HEMATOLOGI (INDEKS ERITROSIT) PADA
ANJING BEAGLE YANG DIBERI OBAT ANTICAPLAK
AFOKSOLANER PER-ORAL TIGA KALI DOSIS
YUSA JAYA LAKSANA
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Profil Hematologi
(Indeks Eritrosit) pada Anjing Beagle yang Diberi Obat Anticaplak Afoksolaner
Per-Oral Tiga Kali Dosis adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2018
Yusa Jaya Laksana
NIM B04140046
ABSTRAK
YUSA JAYA LAKSANA. Profil Hematologi (Indeks Eritrosit) pada Anjing
Beagle yang Diberi Obat Anticaplak Afoksolaner Per-Oral Tiga Kali Dosis.
Dibimbing oleh UPIK KESUMAWATI HADI dan AGIK SUPRAYOGI.
Pengobatan caplak sangat beragam, baik itu ragam dalam jenis sediaan obat
maupun aplikasi pemberian. Saat ini telah muncul suatu sediaan obat yang
digunakan untuk membasmi caplak melalui aplikasi oral. Sediaan obat tersebut
adalah afoksolaner. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh
afoksolaner sebagai obat anticaplak terhadap indeks eritrosit pada anjing yang
diberi perlakuan 1 dosis (6.3 mg/kg BB) dan 3 dosis (18.9 mg/kg BB). Sebanyak 6
ekor anjing beagle diberikan perlakuan berupa pemberian obat anticaplak bahan
aktif afoksolaner. Sampel berupa darah diperiksa menggunakan alat haematology
analyzer Celltac α tipe MEK-6450. Data dianalisis secara deskriptif dan statistik
menggunakan software SPSS 16.0. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pemberian sediaan afoksolaner memiliki pengaruh terhadap profil hematologi
beberapa individu. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya peningkatan dan
penurunan nilai variabel pada beberapa individu. Berdasarkan analisis darah secara
statistik, tidak terdapat perbedaan yang nyata pada pemberian dosis 1 dan 3 pada
profil darah.
Kata kunci : afoksolaner, anjing, eritrosit, indeks eritrosit.
ABSTRACT
YUSA JAYA LAKSANA. Haematology Profile (Erythrocyte Index) in
Beagle Dogs which Treated by Three Dosages Administration of Afoxolaner (Anti-
tick Drug). Advised by UPIK KESUMAWATI HADI and AGIK SUPRAYOGI.
Treatment against ticks varies in terms of the types and the application of
drugs. Recently, an orally-administered anti-tick drug was developed. The drug is
called afoxolaner. This study aims to analyze effect of afoxolaner as an anti-tick
drugs to erythrocyte index of dogs who were given 1 dosage (6.3 mg/kg of body
weight) and 3 dosages (18.9 mg/kg of body weight). Six beagle dogs were given a
treatment of administering anti-tick drugs with afoxolaner as an active ingredient.
Blood samples were tested using haematology analyzer Celltac α type MEK-6450.
The datas were then analyzed descriptively and statistically using SPSS 16.0
software. The results showed that afoxolaner administration had an effect towards
haematology profile in few individuals, which was proven by an increase or
decrease of several variable. According to statistical blood analysis, there was not
a significance difference between administration of 1 dosage and 3 dosages of
afoxolaner to erythrocyte profile.
Key words : afoxolaner, dogs, erythrocyte, erythrocyte index.
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan
PROFIL HEMATOLOGI (INDEKS ERITROSIT) PADA
ANJING BEAGLE YANG DIBERI OBAT ANTICAPLAK
AFOKSOLANER PER-ORAL TIGA KALI DOSIS
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
YUSA JAYA LAKSANA
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan dengan sebaik – baiknya. Penelitian
yang berjudul “Profil Hematologi (Indeks Eritrosit) pada Anjing Beagle yang
Diberi Obat Anticaplak Afoksolaner Per-Oral Tiga Kali Dosis” ini dilaksanakan
pada bulan April hingga Juni 2017. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu
syarat dalam menyelesaikan studi di Program Sarjana Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak – pihak yang turut
membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada :
1 Ibu Prof. Drh. Upik Kesumawati Hadi, MS, PhD selaku pembimbing
skripsi yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dan
mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
2 Bapak Prof. Dr. Drh. Agik Suprayogi, MSc selaku pembimbing akademik
sekaligus pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan kepada
penulis.
3 Arba Subrata dan Oom Romnah, kedua orangtua yang telah memberikan
segalanya kepada penulis.
4 Ibu Drh. Tri Isyani dan segenap staf RSHP yang telah banyak membantu
penulis dalam melaksanakan penelitian.
5 Ade Mona Suherni dan Yusi Jaya Masdiana yang mau meluangkan waktu
mendengar keluh kesah penulis dalam menyelesaikan studi di Fakultas
Kedokteran Hewan IPB.
6 Keluarga besar IYD Jabodetabek yang telah menjadi tempat pelarian
penulis dari rasa bosan dalam menyelesaikan skripsi ini.
7 Rekan – Rekan yang telah bersama penulis selama 3 bulan dalan
melaksanakan penelitian.
8 Teman – teman yang telah meluangkan waktu menemani penulis dari
seminar hasil hingga sidang / ujian akhir sarjana kedokteran hewan.
9 Keluarga besar FKH 2014 (Acinonyx) atas kebersamaannya selama 4
tahun.
Bogor, Agustus 2018
Yusa Jaya Laksana
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 1
Manfaat Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
Hematologi Sel Darah Merah 2
Indeks Eritrosit 2
Ektoparasit Caplak 3
Sediaan Afoksolaner 4
METODE 4
Waktu dan Tempat 5
Desain Penelitian 5
Pengambilan Sampel Darah 5
Pemeriksaan Hematologi 5
Metode Analisis Data 6
HASIL DAN PEMBAHASAN 6
SIMPULAN DAN SARAN 12
Simpulan 12
Saran 12
DAFTAR PUSTAKA 12
RIWAYAT HIDUP 14
DAFTAR TABEL
1 Jumlah total eritrosit anjing beagle setelah diberi sediaan afoksolaner
1 dan 3 kali dosis
6
2 Kadar hemoglobin anjing beagle setelah diberi sediaan afoksolaner 1
dan 3 kali dosis
7
3 Nilai hematokrit anjing beagle setelah diberi sediaan afoksolaner 1 dan
3 kali dosis
8
4 Nilai MCV anjing beagle setelah diberi sediaan afoksolaner 1 dan 3
kali dosis
9
5 Nilai MCH anjing beagle setelah diberi sediaan afoksolaner 1 dan 3
kali dosis
10
6 Nilai MCHC anjing beagle setelah diberi sediaan afoksolaner 1 dan 3
kali dosis
11
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Anjing (Canis lupus) merupakan hewan domestik yang keberadaanya
sangat dekat dengan pemiliknya. Anjing dijadikan sebagai peliharaan dikarenakan
sifat setianya, selain itu hewan ini memiliki indra penciuman, pendengaran dan
penglihatan yang sensitif (Budiana 2007). Masalah kerapkali ditemukan pada saat
pemeliharaan anjing. Caplak keras dari spesies Rhipicephalus sanguineus.
merupakan salah satu ektoparasit yang sering menyerang anjing. Cara
mendiagnosa adanya infestasi caplak cukup mudah dilakukan, hal tersebut
dikarenakan ukurannya yang besar dapat terlihat pada kulit atau sela – sela rambut.
Predileksi dari caplak ini yaitu pada leher, sela – sela jari dan juga pada bagian
telinga (Hadi dan Soviana 2010). Keberadaan caplak ini menyebabkan berbagai
masalah serius bagi kesehatan anjing itu sendiri. Infestasi caplak Rhipicephalus
sanguineus. dapat menyebabkan lesio kemerahan pada kulit sehingga menimbulkan
rasa ketidaknyamanan bagi anjing (Case 2008).
Pengobatan caplak sangat beragam, baik itu ragam dalam jenis sediaan obat
maupun aplikasi pemberian. Beberapa obat anticaplak paten komersial telah
beredar bebas di masyarakat. Sebagian besar obat anticaplak merupakan obat
dengan aplikasi injeksi atau melalui suntikan. Saat ini telah muncul suatu sediaan
obat yang digunakan untuk membasmi caplak melalui aplikasi oral. Sediaan obat
tersebut yaitu afoksolaner.
Afoksolaner merupakan suatu senyawa aktif yang memiliki khasiat
membunuh caplak. Afoksolaner ini adalah obat dari golongan isoxazoline yang
dapat dipilih pemilik dalam mengendalikan caplak pada anjing (Halos et al. 2014).
Afoksolaner yang diformulasikan untuk aplikasi oral menjadi perhatian khusus.
Melalui penelitian ini dapat diketahui apakah sediaan ini memberikan efek
fisiologis yang tidak diinginkan bagi anjing, terutama kaitannya dengan nilai
indeks eritrosit pada anjing.
Pemeriksaan hematologi merupakan salah satu pemeriksaan laboratorium
yang penting untuk dilakukan (Siswanto 2011). Pemeriksaan hematologi digunakan
oleh ahli kesehatan dalam menunjang dan menegakkan hasil diagnosis terhadap
suatu kasus. Indeks eritrosit misalnya, gambaran ini dapat digunakan untuk
mempertegas diagnosis akan adanya kondisi anemia (Glader 2003). Kondisi –
kondisi yang diamati tersebut diharapkan dapat menjadi dasar bagi diterimanya
sediaan afoksolaner sebagai sediaan obat anticaplak yang aman. Hal ini
dikarenakan afoksolaner sebagai obat antiparasitik harus memenuhi syarat,
contohnya yaitu tidak menimbulkan efek samping pada tubuh.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh sediaan
afoksolaner sebagai obat anticaplak terhadap indeks eritrosit pada anjing yang
diberi 1 dan 3 kali dosis.
2
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai efek
yang dihasilkan oleh pemberian sediaan afoksolaner terhadap indeks eritrosit pada
anjing.
TINJAUAN PUSTAKA
Hematologi Sel Darah Merah
Eritrosit merupakan komponen sel yang terdapat di dalam darah. Eritrosit
memiliki fungsi penting dalam mengangkut hemoglobin (berisi oksigen) dari paru
- paru menuju jaringan (Guyton dan Hall 2006). Eritrosit memiliki fungsi sebagai
pembawa nutrisi dari saluran pencernaan menuju jaringan, mengatur suhu tubuh,
menjaga keseimbangan asam basa tubuh serta mengangkut hasil akhir metabolisme
ke organ ekskresi (Cunningham 2002). Kisaran normal total eritrosit pada anjing
yaitu antara 5.5 - 8.5 x 106/μL (Weiss dan Wardrop 2010). Kenaikan dan penurunan
nilai eritrosit dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah tingkat
stres. Kondisi stres dapat meningkatkan total eritrosit maupun kadar hemoglobin
(Marshanindya et al. 2016).
Hemoglobin merupakan komponen sel darah merah yang memiliki peran
dalam transportasi oksigen. Hemoglobin di dalam darah membawa oksigen dari
paru – paru ke seluruh jaringan tubuh dan membawa kembali karbondioksida dari
seluruh sel ke paru – paru untuk dikeluarkan dari tubuh (Erwin 2013). Kadar
hemoglobin hewan bervariasi, tergantung pada spesies hewan tersebut. Kadar
hemoglobin pada anjing normalnya berkisar pada nilai 11.8 – 18.9 g/dl (Weiss dan
Wardrop 2010).
Hematokrit dikenal sebagai Packed Cell Volume (PCV) merupakan
perbandingan persentase eritrosit dalam volume darah (whole blood). Nilai
hematokrit sering digunakan untuk menentukan apakah jumlah eritrosit terlalu
tinggi, terlalu rendah atau normal. Penurunan hematokrit hingga 30% menunjukan
pasien mengalami anemia sedang hingga parah. Nilai hematokrit pada hewan
sangat bervariasi mengikuti temperatur, ketinggian dan kelembapan tempat (Puja
2000). Nilai hematokrit pada anjing normalnya berkisar pada 35 – 57 % (Weiss dan
Wardrop 2010).
Indeks Eritrosit
Indeks eritrosit terdiri dari Mean Corpuscular Volumes (MCV), Mean
Corpuscular Hemoglobin (MCH) dan Mean Corpuscular Hemoglobin
Concentration (MCHC). Nilai indeks eritrosit ini bervariasi, bergantung pada
spesies hewan. Indeks eritrosit biasanya menjadi acuan dalam mendiagnosis
3
kondisi anemia dan dapat dihubungkan untuk mengetahui penyebab terjadinya
suatu kondisi anemia (Meyer dan Harvey 2004).
Mean Corpuscular Volume adalah volume rata – rata eritrosit yang
dinyatakan dengan satuan femtoliter (fl). Nilai MCV ini didapatkan dari nilai
perhitungan menggunakan alat maupun rumus. Nilai MCV diperoleh dari hasil nilai
hematokrit dibagi dengan nilai total eritrosit kemudian dikali dengan 10. Kisaran
nilai MCV normal pada anjing yaitu 61.3 – 69.5 fl (So-Young et al. 2011). Jika
nilai MCV mengalami penurunan, maka kemungkinan besar anjing mengalami
anemia mikrositik. Sedangkan jika meningkat diduga hewan mengalami anemia
makrositik, anemia aplastik atau anemia hemolitik (Gandasoebrata 2013).
Mean Corpuscular Haemoglobin atau hemoglobin korpuskuler rata – rata
adalah nilai yang mengindikasikan berat hemoglobin rata – rata pada eritrosit. MCH
dapat menentukan kualitas warna (normokromik, hipokromik dan hiperkromik)
eritrosit (Herawati et al. 2011). Nilai MCH didapatkan dari nilai perhitungan
menggunakan alat maupun rumus. Nilai MCH diperoleh dari pembagian
hemoglobin terhadap total eritrosit kemudian dikali 10. Kisaran nilai MCH normal
pada anjing yaitu 21.8 – 24.1 pg (So-Young et al. 2011). Kenaikan nilai MCH (di
atas nilai normal) dapat mengindikasikan bahwa anjing mengalami anemia
hiperkromik (Herawati et al. 2011).
Mean Corpuscular Haemoglobin Concentration atau konsentrasi
haemoglobin korpuskular rata – rata adalah nilai yang mengindikasikan konsentrasi
hemoglobin rata – rata dalam eritrosit (Herawati et al. 2011). Nilai MCHC
didapatkan dari nilai perhitungan menggunakan alat hematologi maupun rumus.
Nilai MCHC diperoleh dari pembagian hemoglobin terhadap hematokrit kemudian
dikali 100. Kisaran nilai MCHC normal pada anjing yaitu 33.2 – 37.2 % (So-Young
et al. 2011). Kenaikan MCHC pada hewan dapat mengindikasikan bahwa hewan
tersebut mengalami anemia hiperkromik Jika MCHC mengalami penurunan, anjing
diduga mengalami anemia hipokromik (Herawati et al. 2011).
Ektoparasit Caplak
Caplak adalah parasit obligat yang merupakan ektoparasit penghisap darah
dari filum Arthropoda. Ektoparasit ini termasuk ke dalam ordo Parasitiformes,
subordo Ixodida, superfamili Ixodoidea dan memiliki tiga famili meliputi Ixodidae,
Argasidae dan Nuttalliellidae (Guglielmone et al. 2010). Famili Ixodae merupakan
caplak keras yang terdiri atas beberapa genus seperti Ixodes, Rhipicephalus,
Dermacentor, Amblyomma, Hyalomma dan Haemaphysalis. Keberadaan caplak
sangat mengganggu karena merupakan penghisap darah yang ganas. Inang yang
terserang akan mengalami anemia dan iritasi pada kulit yang tergigit. Garukan yang
hebat (diakukan oleh inang) dapat menimbulkan infeksi sekunder oleh bakteri.
Selain itu caplak juga menghasilkan toksin (ixovotoxin) yang dapat mememgaruhi
susunan syaraf pusat dan neuromuscular junction sehingga menimbulkan
kelumpuhan atau tick paralysis (Hadi dan Soviana 2010).
Caplak coklat, Rhipicephalus sanguineus merupakan parasit yang sering
menyerang anjing di seluruh belahan dunia (Dantas-Torres et al. 2012). Anjing
merupakan inang utama spesies caplak ini karena semua tahapan perkembangan
terjadi pada anjing. Sedangkan bentuk dewasa dapat ditemukan pada mamalia kecil
4
lainnya (Blagburn dan Dryden 2009). Caplak R. sanguineus diketahui menjadi
vektor berbagai macam penyakit penting di dunia. Caplak ini dapat
mentransmisikan canine monocytic ehrlichiosis yang disebabkan oleh Ehrlichia
canis dan canine babesiosis yang disebabkan oleh Babesia vogeli (Sonenshine et
al. 2002)
Sediaan Afoksolaner
Isoxazolines merupakan golongan obat baru dalam sediaan akarisida dan
insektisida dengan administrasi oral yang bekerja sistemik. Obat golongan
isoxazoline dapat bertahan dalam tubuh selama 1 bulan setelah pemakaian oral
dosis tunggal. Sediaan obat yang tergolong dalam golongan isoxazoline memiliki
keamanan dan efek baik terhadap hewan yang diberi obat tersebut. Hal ini
dikarenakan sediaan isoxazoline bertindak selektif terhadap sistem syaraf caplak
yang sangat sensitif jika dibandingkan dengan mamalia (Shoop et al. 2014).
Afoksolaner adalah sediaan obat golongan isoxazoline yang mampu
menanggulangi infestasi caplak dan pinjal pada anjing (Halos et al. 2014).
Afoksolaner digunakan untuk menyembuhkan infestasi pinjal seperti
Ctenocephalides felis dan beberapa jenis caplak seperti Ixodes, Dermacentor,
Amblyomma dan Rhipicephalus (Chavez 2016). Sediaan afoksolaner ini digunakan
dengan aplikasi per-oral pada anjing dengan dosis minimum 2.5 mg/kg BB.
Penelitian dari Beugnet et al. (2016) menyebutkan bahwa daya kerja afoksolaner
efektif pada hari ketiga pasca pemberian. Pemberian obat afoksolaner yang
dilakukan Beugnet yaitu pada anjing beagle di Eropa. Dosis tunggal afoksolaner
mampu memberantas caplak Rhipicephalus sanguineus hingga mencapai 98.5%
pada 48 jam pasca pemberian pada anjing beagle (Kunkle et al. 2014). Menurut Six
et al. (2016) daya efikasi afoksolaner pada anjing beagle di Eropa yang diberi
sediaan mencapai 90% selama 7 hari pasca perlakuan.
Sediaan afoksolaner tergolong baru digunakan untuk mengatasi masalah
caplak dan pinjal. Bahkan sediaan ini dapat juga digunakan sebagai obat anti tungau
untuk mengatasi masalah demodikosis pada anjing. Berdasarkan penelitian Beugnet
et al. (2016) sediaan afoksolaner mampu memberantas tungau (Demodex canis)
pada anjing hingga 99% di hari ke 28. Oleh karena itu, sejak tahun 2015
afoksolaner diterima di Amerika Serikat melalui izin Food and Drug
Administration (FDA) dan kemudian digunakan dalam berbagai praktik klinik.
Selain itu sediaan ini telah dikenalkan di Peru dan beberapa negara di Eropa
(Chavez 2016).
Sediaan afoksolaner memiliki mekanisme kerja mengganggu transmisi
impuls pada sistem saraf caplak serta menyebabkan kematian pada individu target
setelah 48 - 72 jam pemakaian afoksolaner (Barbour 2015). Afoksolaner dapat
mengikat chloride ion channels dari Arthropoda dan menghambat aktivitas dari
Beta-Aminobutyric Acid (GABA) dan L-glutamate (Chavez 2016). Hal tersebut
dapat menyebabkan hipereksitasi tak terkendali dari pusat sistem syaraf caplak.
Pengikatan chloride ion channels di sel syaraf juga dapat memblokir transmisi
sinyal neuron yang mengakibatkan caplak mengalami kelumpuhan hingga
kematian (Shoop et al. 2014).
5
METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan dari tanggal 19 April hingga 19 Juni 2017. Penelitian
dilakukan di Institut Pertanian Bogor (IPB), Rumah Sakit Hewan Pendidikan
Fakultas Kedokteran Hewan (RSHP FKH), kandang penelitian hewan RSHP FKH,
dan Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) Bogor.
Metode Penelitian
Desain Penelitian
Metode penelitian yang digunakan yaitu dengan rancangan acak sederhana.
Objek penelitian berupa 6 ekor anjing beagle dengan variasi usia antara 6 hingga
10 bulan. Anjing beagle dipilih menjadi hewan coba karena sistem organ dalam
dan perototan yang kompleks, umur yang panjang, ukuran yang sedang (tidak
terlalu besar) dan jinak. Anjing diberikan perlakuan berupa obat anticaplak sediaan
bahan aktif afoksolaner (Nexgard®) yang diberikan secara oral. Anjing dibagi ke
dalam 2 kelompok perlakuan yang masing – masing kelompok diberikan dosis yang
berbeda. Dosis yang diberikan yaitu dosis 1 kali (6.3 mg/kg BB), dan dosis 3 kali
(18.9 mg/kg BB). Masing – masing perlakuan diberikan sediaan afoksolaner
dengan frekuensi 3 kali selama 2 bulan atau tepatnya pada hari ke 1, 28, dan 56.
Setiap hewan dicoba diambil sampel darah pra dan pasca perlakuan. Sampel darah
kemudian diuji menggunakan alat penunjang Haematology Analyzer Celltac α tipe
MEK-6450 produksi Nihon Kohden. Penelitian ini telah mendapat persetujuan dari
Komisi Etik RSHP FKH IPB dengan nomor izin 31-2016 ACUC RSHP FKH-IPB.
Pengambilan Sampel Darah
Sampel darah anjing diambil melalui Vena Saphena pra dan pasca
pemberian sediaan afoksolaner. Pengambilan darah menggunakan syringe. Setelah
diperoleh, sediaan darah kemudian disimpan di tabung penampung darah dengan
penambahan antikoagulan EDTA. Pengambilan sampel darah dilakukan sebanyak
4 kali yaitu pada hari ke 0, 1, 28, dan 56.
Pemeriksaan Hematologi
Pemeriksaan hematologi dilakukan menggunakan alat penunjang yaitu
haaematology analyzer Celltac α tipe MEK-6450 produksi Nihon Kohden.
Haematology analyzer merupakan alat penunjang yang mampu menganalisis
hematologi dengan beberapa parameter untuk pemeriksaan kuantitatif. Prinsip
dasar dari alat ini yaitu impedansi (resistensi elektrik) dan pembauran cahaya (light
scattering/optical scatter). Prinsip impedansi didasarkan pada deteksi dan
pengukuran perubahan hambatan listrik yang dihasilkan oleh sel-sel darah saat
mereka melintasi sebuah flow cell yang dilalui cahaya. Hasil pengukuran total
eritrosit dinyatakan dalam satuan per μl, kadar hemoglobin dalam g/dl, nilai
hematokrit dalam %, nilai MCV dalam satuan fl, nilai MCH dalam satuan pg, dan
nilai MCHC dalam satuan %.
6
Analisis Data
Data hasil pemeriksaan haematology analyzer yang diperoleh selanjutnya
diolah menggunakan software SPSS 16.0 for Windows. Uji yang digunakan adalah
T Test, meliputi Paired T Test untuk membandingkan antara base line dan dosis
serta Independent T Test yang untuk membandingkan perbandingan antar dosis.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data yang diperoleh melalui alat penunjang haematology analyzer Celltac
α tipe MEK-6450 adalah jumlah total eritrosit, kadar hemoglobin, nilai hematokrit,
dan indeks eritrosit (MCV, MCH dan MCHC) pada anjing beagle. Gambaran
hematologi terbagi dalam dua perlakuan yaitu pra perlakuan (base line) dan pasca
perlakuan (Pasca pemberian 1, 2, dan 3). Data diperoleh dari rata – rata tiga ekor
anjing dalam satu kelompok. Terdapat dua kelompok uji terbagi sesuai dosis yang
diberikan kepada masing – masing individu.
Total Eritrosit
Jumlah total eritrosit kelompok anjing yang diberi perlakuan 1 kali dosis
menunjukkan tidak ada perubahan signifikan. Kelompok 1 kali dosis memiliki total
eritrosit yang berada pada rentang nilai normal baik itu base line, pasca pemberian
1, 2, dan 3. Hal yang berbeda ditunjukkan oleh kelompok 3 kali dosis. Terdapat
nilai yang mengalami perubahan pada anjing C1 dan C3. Hasil hematologi total
eritrosit terhadap pemberian afoksolaner dosis 1 maupun dosis 3 ditunjukkan pada
Tabel 1.
Tabel 1 Jumlah total eritrosit anjing beagle setelah diberi sediaan afoksolaner 1 dan
3 kali dosis (x 106/μl)
Kelompok Nama Anjing Total Eritrosit (x 106/μl) Rata - Rata
(P1 – P3) Base Line P1 P2 P3
Dosis 1 Kali
(B)
B1 7.20 7.08 6.70 7.03 6.39 ± 0.36
B2 6.71 6.70 7.01 7.19 6.96 ± 0.51
B3 7.38 7.05 7.58 7.83 7.48 ± 0.66
Rata - Rata 7.10 ± 0.31 6.94 ± 0.74
Dosis 3 Kali
(C)
C1 5.80 5.39 7.56 7.21 6.72 ± 1.15
C2 5.78 6.03 6.95 6.82 6.60 ± 0.75
C3 7.53 7.28 6.24 4.84 6.12 ± 1.41
Rata - Rata 6.37 ± 0.76 6.48 ± 0.93
Keterangan : Pemberian kesatu (P1); Pemberian kedua (P2); Pemberian ketiga (P3).
Tabel 1 menunjukkan bahwa total eritrosit yang rendah terdapat pada anjing
C1 pasca pemberian 1 dan C3 pasca pemberian 3. Total eritrosit C1 pasca
7
pemberian 1 adalah 5.39 x 106/μl, sedangkan C3 pasca pemberian 3 yaitu 4.84 x
106/μl. Weiss dan Wardrop (2010) menyebutkan bahwa nilai normal total eritrosit
pada anjing yaitu 5.5 – 8.5 x 106/μL. Merujuk pada Weiss dan Wardrop (2010),
dapat diketahui bahwa total eritrosit C1 telah mengalami penurunan pada
pemberian kesatu, sedangkan C3 pada pemberian ketiga.
Penurunan total eritrosit dapat disebabkan oleh adanya laju metabolisme
yang tinggi (Isroli et al. 2009). Laju metabolisme yang semakin meningkat akan
membuat eritrosit bekerja keras dalam meningkatkan transportasi. Guyton dan Hall
(2006) menyebutkan salah satu fungsi eritrosit adalah sebagai pengangkut nutrisi
dan oksigen menuju jaringan. Tingkat metabolisme yang tinggi akan menyebabkan
eritrosit akan cepat mati untuk kemudian melakukan siklusnya kembali.
Afoksolaner merupakan sediaan yang bersifat sistemik, pemberiannya
kemungkinan dapat memberi pengaruh terhadap profil hematologi total eritrosit.
Hasil uji statistik rata - rata total eritrosit tidak menunjukkan adanya
perbedaan yang nyata. Semua perbandingan baik itu antara base line dengan dosis
1, base line dengan dosis 3, maupun dosis 1 dengan dosis 3 tidak berbeda nyata.
Melalui hasil uji, dapat disimpulkan bahwa pemberian sediaan afoksolaner pada
dosis 1 dan dosis 3 memberikan hasil yang tidak jauh berbeda. Pengaruh
afoksolaner pada total eritrosit anjing beagle tidak dipengaruhi oleh dosis yang
diberikan.
Kadar Hemoglobin
Penelitian ini menunjukkan tidak terjadi perubahan yang signifikan pada
kelompok anjing yang diberi perlakuan 1 kali dosis. Kelompok 1 kali dosis
memiliki kadar hemoglobin yang normal baik itu base line, pasca pemberian 1, 2,
dan 3. Kelompok 3 kali dosis mengalami perubahan yang ditunjukkan pada anjing
C3. Terdapat penurunan kadar hemoglobin pasca pemberian 3 pada anjing C3.
Hasil hematologi kadar hemoglobin terhadap pemberian afoksolaner dosis 1
maupun dosis 3 ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2 Kadar hemoglobin anjing beagle setelah diberi sediaan afoksolaner 1 dan
3 kali dosis (g/dl)
Kelompok Nama Anjing Kadar Hemoglobin (g/dl) Rata - Rata
(P1 – P3) Base Line P1 P2 P3
Dosis 1 Kali
(B)
B1 17.2 16.2 15.7 16.8 16.2 ± 0.31
B2 16.3 16.5 17.7 17.7 17.3 ± 0.83
B3 17.8 16.1 17.6 17.9 17.2 ± 0.93
Rata - Rata 17.1 ± 0.31 16.9 ± 0.80
Dosis 3 Kali
(C)
C1 12.9 12.2 13.9 15.8 13.9 ± 1.52
C2 12.7 13.3 16.0 15.6 14.9 ± 1.16
C3 16.5 16.2 16.9 10.9 14.6 ± 1.11
Rata - Rata 14.0 ± 1.07 14.4 ± 1.17
Keterangan : Pemberian kesatu (P1); Pemberian kedua (P2); Pemberian ketiga (P3).
8
Tabel 2 menunjukkan bahwa anjing C3 memiliki kadar hemoglobin
terendah pasca pemberian perlakuan ketiga. Kadar hemoglobin pada anjing C3
tersebut yaitu 10.9 g/dl. Weiss dan Wardrop (2010) menyatakan bahwa kadar
hemoglobin anjing umumnya berkisar antara 11.8 – 18.9 g/dl. Perubahan kadar
hemoglobin berkaitan erat dengan perubahan jumlah eritrosit di dalam darah.
Hemoglobin berfungsi dalam proses transportasi oksigen ke dalam jaringan.
Penurunan kadar eritrosit secara langsung dapat menurunkan kadar hemoglobin
(Guyton dan Hall 2006). Anjing C3 memiliki total eritrosit yang rendah, sehingga
mengakibatkan kadar hemoglobin yang terhitung menjadi rendah.
Hasil uji statistik rata - rata kadar hemoglobin tidak menunjukkan adanya
perbedaan yang nyata. Semua perbandingan baik itu antara base line dengan dosis
1, base line dengan dosis 3, maupun dosis 1 dengan dosis 3 tidak berbeda nyata.
Melalui hasil uji, dapat disimpulkan bahwa pemberian sediaan afoksolaner pada
dosis 1 dan dosis 3 memberikan hasil yang tidak jauh berbeda. Pengaruh
afoksolaner pada kadar hemoglobin anjing beagle tidak dipengaruhi oleh dosis yang
diberikan.
Nilai Hematokrit
Penelitian ini menunjukkan tidak terjadi perubahan yang signifikan pada
kelompok 1 kali dosis. Kelompok 1 kali dosis memiliki nilai hematokrit yang
berada pada rentang nilai normal baik itu base line, pasca pemberian 1, 2, dan 3.
Hasil berbeda ditunjukkan oleh kelompok 3 kali dosis. Perubahan nilai ditunjukkan
oleh anjing C3. Nilai hematokrit pada anjing C3 mengalami penurunan pasca
pemberian perlakuan 3. Hasil hematologi nilai hematokrit terhadap pemberian
afoksolaner dosis 1 maupun dosis 3 ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3 Nilai hematokrit anjing beagle setelah diberi sediaan afoksolaner 1 dan 3
kali dosis (%)
Kelompok Nama Anjing Nilai Hematokrit (%) Rata - Rata (P1 –
P3) Base Line P1 P2 P3
Dosis 1 Kali
(B)
B1 49.3 47.9 45.8 47.4 47.0 ± 0.92
B2 47.8 47.3 49.9 51.1 49.4 ± 1.46
B3 49.3 47.2 50.5 52.2 49.9 ± 1.67
Rata - Rata 48.8 ± 0.70 48.7 ± 1.34
Dosis 3 Kali
(C)
C1 38.8 36.3 40.9 46.8 41.3 ± 2.24
C2 38.0 39.3 46.9 45.7 43.9 ± 2.29
C3 48.7 47.3 48.4 31.8 42.5 ± 2.19
Rata - Rata 41.8 ± 1.74 42.5 ± 1.14
Keterangan : Pemberian kesatu (P1); Pemberian kedua (P2); Pemberian ketiga (P3).
Tabel 3 menunjukkan bahwa nilai hematokrit terendah terdapat pada anjing
C3 pasca pemberian 3. Nilai hematokrit pada anjing C3 pasca pemberian 3 adalah
31.8%. Nilai tersebut tergolong rendah apabila dibandingkan dengan nilai normal
hematokrit pada anjing. Weiss dan Wardrop (2010) menyebutkan bahwa nilai
hematokrit anjing normalnya yaitu antara 35 – 57%.
9
Nilai hematokrit disebut juga Packed Cell Volume (PCV), merupakan
perbandingan persentase eritrosit dalam volume darah (whole blood). Penurunan
nilai hematokrit merupakan salah satu indikator adanya anemia pada hewan.
Penurunan hematokrit hingga 30% menunjukkan hewan tersebut mengalami
anemia sedang hingga parah (Herawati et al. 2011). Anjing C3 mengalami
penurunan pada pemberian sediaan afoksolaner yang ketiga. Nilai hematokrit
mengalami penurunan hingga menjadi 31.8% dari nilai 48.4% pada pemeriksaan
kedua. Hal itu menunjukkan nilai hematokrit anjing C3 mengalami penurunan
hingga 16.6%. Walaupun begitu penurunan yang tejadi belum terlalu signifikan dan
belum menandakan terjadinya anemia seperti yang literatur sebutkan (apabila
penurunan mencapai 30%).
Hasil uji statistik rata - rata nilai hematokrit tidak menunjukkan adanya
perbedaan yang nyata. Semua perbandingan, baik itu antara base line dengan dosis
1, base line dengan dosis 3, maupun dosis 1 dengan dosis 3 tidak berbeda nyata.
Melalui hasil uji, dapat disimpulkan bahwa pemberian sediaan afoksolaner pada
dosis 1 dan dosis 3 memberikan pengaruh yang tidak jauh berbeda. Pengaruh
afoksolaner pada hematokrit anjing beagle tidak dipengaruhi oleh dosis yang
diberikan.
Nilai MCV
Perubahan nilai MCV terjadi pada anjing B2 kelompok satu kali dosis.
Perubahan nilai MCV anjing B2 bahkan terjadi pada pemberian kesatu hingga
pemberian ketiga. Sedangkan kelompok 3 kali dosis memiliki nilai MCV yang
berada pada rentang nilai normal, baik itu base line, pasca pemberian 1, 2, dan 3.
Hasil hematologi nilai MCV terhadap pemberian afoksolaner dosis 1 maupun dosis
3 ditunjukkan pada Tabel 4.
Tabel 4 Nilai MCV anjing beagle setelah diberi sediaan afoksolaner 1 dan 3 kali
dosis (fl)
Kelompok Nama Anjing Nilai MCV (fl) Rata - Rata (P1 –
P3) Base Line P1 P2 P3
Dosis 1 Kali
(B)
B1 68.5 67.7 68.4 67.4 67.8 ± 1.14
B2 71.2 70.6 71.2 71.1 70.9 ± 0.63
B3 66.8 67.0 66.6 66.7 66.7 ± 0.31
Rata - Rata 68.8 ± 0.59 68.4 ± 0.83
Dosis 3 Kali
(C)
C1 66.9 67.3 65.5 64.9 65.9 ± 1.34
C2 65.7 65.7 65.2 67.5 66.1 ± 0.31
C3 64.7 65.0 64.2 65.7 64.9 ± 0.22
Rata - Rata 65.8 ± 1.09 65.6 ± 0.50
Keterangan : Pemberian kesatu (P1); Pemberian kedua (P2); Pemberian ketiga (P3).
Tabel 4 menunjukkan bahwa anjing B2 memiliki nilai MCV tertinggi jika
dibandingkan dengan anjing lain. Nilai MCV anjing B2 pada pemberian kedua
mencapai 71.2 fl. Nilai tersebut tergolong tinggi apabila dibandingkan dengan nilai
normal MCV pada anjing. Nilai MCV pada anjing beagle normalnya berkisar antara
10
61.3 – 69.5 fl (So-Young et al. 2011). Nilai MCV anjing B2 pasca pemberian 1 dan
3 pun mengalami peningkatan yaitu 70.6 fl dan 71.1 fl.
Nilai MCV yang diperoleh menunjukkan ukuran eritrosit serta memiliki
hubungan terhadap nilai hematokrit dan total eritrosit (Kerr 2002). Perubahan nilai
MCV mengindikasikan bahwa anjing B2 mengalami anemia. Sedangkan jenis
anemia yang dialami yaitu anemia makrositik. Hal tersebut sesuai dengan pendapat
Gandasoebrata (2013). Peningkatan MCV yang terjadi pada anjing B2 diduga
disebabkan oleh kondisi dehidrasi. Menurut Mohandas dan Gallagher (2008)
selama terjadinya dehidrasi, sel darah merah tidak mampu lagi mempertahankan
homeostasis kation sehingga volume sel darah akan mengalami peningkatan.
Hasil uji statistik rata - rata nilai MCV tidak menunjukkan adanya
perbedaan yang nyata. Perbandingan antara base line dengan dosis 1, base line
dengan dosis 3, maupun dosis 1 dengan dosis 3 tidak berbeda nyata. Pemberian
sediaan afoksolaner pada dosis 1 dan dosis 3 memberikan pengaruh yang tidak jauh
berbeda. Pengaruh afoksolaner pada nilai MCV anjing beagle tidak dipengaruhi
oleh dosis yang diberikan.
Nilai MCH
Penelitian ini menunjukkan adanya perubahan nilai individu pada
kelompok anjing yang diberi perlakuan 1 kali dosis. Perubahan nilai MCH terjadi
pada anjing B2 yaitu nilai pemberian kesatu hingga pemberian ketiga. Sedangkan
kelompok 3 kali dosis memiliki nilai MCH yang berada pada rentang nilai normal,
baik nilai pasca pemberian 1, 2, dan 3. Nilai MCH terhadap pemberian afoksolaner
dosis 1 maupun dosis 3 ditunjukkan pada Tabel 5.
Tabel 5 Nilai MCH anjing beagle setelah diberi sediaan afoksolaner 1 dan 3 kali
dosis (pg)
Kelompok Nama Anjing Nilai MCH (pg) Rata - Rata (P1 –
P3) Base Line P1 P2 P3
Dosis 1 Kali
(B)
B1 23.9 22.9 23.4 23.9 23.4 ± 0.70
B2 24.3 24.6 25.2 24.6 24.8 ± 0.44
B3 24.1 22.8 23.2 22.9 22.9 ± 0.44
Rata - Rata 24.1 ± 0.44 23.7 ± 0.54
Dosis 3 Kali
(C)
C1 22.2 22.6 22.3 21.9 22.2 ± 0.54
C2 22.0 22.1 23.0 22.9 22.6 ± 0.77
C3 21.9 22.3 22.4 22.5 22.4 ± 0.31
Rata - Rata 22.0 ± 0.22 22.4 ± 0.44
Keterangan : Pemberian kesatu (P1); Pemberian kedua (P2); Pemberian ketiga (P3).
Tabel 5 menunjukkan nilai MCH yang tinggi pada kelompok 1 kali dosis
jika dibandingkan dengan kelompok 3 kali dosis. Anjing B2 memiliki nilai MCH
yang paling tinggi dibandingkan dengan yang lain. Nilai MCH anjing B2 pada
pemberian kesatu mencapai 25.2 pg. Nilai MCH normal pada anjing beagle berkisar
antara 21.8 – 24.1 pg (So-Young et al. 2011). Pemberian sediaan afoksolaner kedua
hingga ketiga menyebabkan anjing B2 masih mengalami peningkatan nilai MCH.
11
Nilai MCH dapat menentukan kualitas warna (normokromik, hipokromik
dan hiperkromik) eritrosit (Herawati et al 2011). Nilai MCH menurut Reece (2006)
memiliki keterkaitan dengan nilai MCV. Ukuran eritrosit yang besar (makrositik)
cenderung akan memiliki MCV yang tinggi, begitu pula sebaliknya. Nilai MCH
pada anjing B2 terjadi peningkatan dikarenakan adanya peningkatan nilai MCV.
Kenaikan nilai MCH (di atas nilai normal) dapat mengindikasikan bahwa anjing
mengalami anemia hiperkromik (Herawati et al. 2011).
Hasil uji statistik rata - rata nilai MCH tidak menunjukkan adanya
perbedaan yang nyata. Semua perbandingan, baik itu antara base line dengan dosis
1, base line dengan dosis 3, maupun dosis 1 dengan dosis 3 tidak berbeda nyata.
Pemberian sediaan afoksolaner pada dosis 1 dan dosis 3 memberikan pengaruh
yang tidak jauh berbeda. Pengaruh afoksolaner pada nilai MCH anjing beagle tidak
dipengaruhi oleh dosis yang diberikan.
Nilai MCHC
Penelitian yang dilakukan tidak menunjukkan perubahan pada kelompok
anjing yang diberi perlakuan 1 kali dosis. Kelompok 1 kali dosis memiliki nilai
MCHC yang berada pada rentang nilai normal, baik itu pasca pemberian 1, 2, dan
3. Sedangkan pada kelompok 3 kali dosis terjadi beberapa perubahan nilai MCHC.
Perubahan terjadi pada anjing C1 dan C2 sebelum dilakukan perlakuan (base line).
Hasil hematologi nilai MCHC terhadap pemberian afoksolaner dosis 1 maupun
dosis 3 ditunjukkan pada Tabel 6.
Tabel 6 Nilai MCHC anjing beagle setelah diberi sediaan afoksolaner 1 dan 3 kali
dosis (%)
Kelompok Nama Anjing Nilai MCHC (%) Rata - Rata (P1 –
P3) Base Line P1 P2 P3
Dosis 1 Kali
(B)
B1 34.9 33.8 34.3 35.4 34.5 ± 0.83
B2 34.1 34.9 35.5 34.6 35.0 ± 0.38
B3 36.1 34.1 34.9 34.3 34.4 ± 0.59
Rata - Rata 35.0 ± 0.38 34.6 ± 0.38
Dosis 3 Kali
(C)
C1 33.2 33.6 34.0 33.8 33.8 ± 0.63
C2 33.4 33.8 34.1 34.1 34.0 ± 0.31
C3 33.9 34.2 34.9 34.3 34.4 ± 0.54
Rata - Rata 33.5 ± 0.54 34.1 ± 0.59
Keterangan : Pemberian kesatu (P1); Pemberian kedua (P2); Pemberian ketiga (P3).
Tabel 6 menunjukkan nilai MCHC yang rendah terdapat pada anjing C1 dan
C2 base line. Nilai MCHC base line anjing C1 yaitu 33.2%, sedangkan base line
anjing C2 yaitu 33.4%. Nilai MCHC normal pada anjing beagle menurut So-Young
et al. (2011) yaitu 33.6 – 37.2 %. Rata - rata nilai MCHC tidak menunjukkan adanya
perbedaan antara base line dengan dosis 1, base line dengan dosis 3, maupun dosis
1 dengan dosis 3. Pemberian sediaan afoksolaner pada dosis 1 dan dosis 3 tidak
memberikan pengaruh yang berbeda. Pengaruh afoksolaner pada nilai MCHC
anjing beagle tidak dipengaruhi oleh dosis yang diberikan.
12
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Profil hematologi rata – rata secara umum tidak terjadi perubahan yang
signifikan pasca pemberian sediaan obat afoksolaner dosis 1 dan dosis 3. Uji
statistik yang dilakukan tidak menunjukkan adanya perbedaan nyata pada jumlah
total eritrosit, kadar hemoglobin, nilai hematokrit dan juga nilai indeks eritrosit
(MCV, MCH dan MCHC).
Saran
Penelitian yang dilakukan merupakan uji pengaruh obat terhadap profil
darah, sehingga tidak melibatkan efektifitas obat terhadap caplak. Oleh karena itu
perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap pengaruh dari sediaan afoksolaner
ini terhadap caplak.
DAFTAR PUSTAKA
Beugnet F, Halos L, de Vos C, Liebenberg L. 2016. Efficacy of oral afoxolaner for
the treatment of canine generalized demodicosis. Parasites & Vectors. 23 : 14.
Barbour AG. 2015. Lyme Disease. Baltimore (US) : John Hopkins University Press.
Blagburn BL, Dryden MW. 2009. Biology, treatment and control of flea and tick
infestations. Veterinary Clinical Small Animal. 39 : 1173 – 1200.
Budiana NS. 2007. Anjing. Jakarta (ID) : Penebar Swadaya.
Case LP. 2008. Canine and Feline Behaviour and Training. New York (US) :
Delmar.
Chavez F. 2016. Case report of afoxolaner treatment for canine demodicosis in four
dogs naturally infected with demodex canis. The International Journal Applied
Research in Veterinary Medicine. 14 (2) : 123 – 127.
Cunningham JG. 2002. Veterinary Physiology 3rd Edition. Philadephia (US) : WB
Saunders Company.
Dantas-Torres F, Chomel BB, Otranto D. 2012. Tick and tick-borne diseases : One
Health Perspective. Trends in Parasitology. 28 : 437 – 446.
Erwin, Nuzul A, Zuraida, Ela SH. 2013. Kadar hemoglobin selama induksi anestesi
per inhalasi dan anestesi per injeksi pada anjing lokal. Jurnal Medika Veterinaria.
7 (2) : 98 – 100.
Gandasoebrata. 2013. Penuntun Laboratorium Klinik . Jakarta (ID) : Dian Rakyat.
Glader B. 2003. Anemia : General Consideration. Di dalam: PJ Greer, J Foerster,
NJ Lukens, MG Rodgers, F Paraskevas, B Glader. Wintrobe’s Clinical
Haematology 11th Ed. Philadelphia (US) : Lippincott Williams and Wilkins.
Guglielmone AA, Robbing RG, Apanaskevich DM, Petney TN, Estrada PA, Horak
IG, Shao R, Barker SC. 2010. The Argasidae, Ixodidae and Nuttalliellidae
13
(Acari: Ixodida) of the world: a list of valid species names. Zootaxa. 2528: 1 –
28.
Guyton AC, Hall JE. 2006. Medical Physiology 11th Edition. Jakarta (ID) : Penerbit
EGC. Terjemahan dari : Review of medical physiology 11th Edition.
Hadi UK, Soviana S. 2010. Ektoparasit : Pengenalan, Identifikasi, dan
Pengendaliannya. Bogor (ID) : IPB Press.
Halos L, Lebon W, Chalvet-Monfray K, Larsen D, Beugnet F. 2014. Immediate
efficacy and persistent speed of skill of a novel oral formulation of afoxolaner
(Nexgard®) against induced infestions with ixodes ricinus ticks. Parasites &
Vectors. 7: 452.
Herawati F, Fatimah U, Retnosari A. 2011. Pedoman Intepretasi Data Klinik.
Jakarta (ID) : Kementerian Kesehatan.
Isroli, Susanti, Widiastuti S. 2009. Observasi beberapa variabel hematologis ayam
kedu pada pemeliharan intensif. Proseding Seminar Nasional Kebangkitan
Peternakan pada 20 Mei 2009 di Semarang. 548 - 557.
Kerr MG. 2002. Veterinary Laboratory Medicine 2 Edition. State Avenue (US) :
Blackwell Science.
Kunkle B, Dalya S, Dumont P, Drag M, Larsen D. 2014. Assessment of the efficacy
of orally administered afoxolaner against Riphicephalus sanguineus sensu lato.
Veterinary Parasitology. 201: 226 – 228.
Marshanindya A, Ida BKA, I Gusti AGPP. 2016. Gambaran total eritrosit, kadar
hemoglobin, nilai hematokrit terhadap xilazin – ketamin pada anjing lokal secara
subkutan. Indonesia Medicus Veterinus. 5(3) : 204 – 214.
Meyer DJ, Harvey JW. 2004. Veterinary Laboratory Medicine Interpretation and
Diagnosis. Philadelphia (US) : WB Saunders Company.
Mohandas N, Gallagher P. 2008. Red cell membrane : past, present, and future. The
American Society of Haematology. 112(10) : 3939 – 3947.
Puja IK. 2000. Anjing kintamani sebagai model pada penelitian biomedik : aspek
hematologi. Journal Veterinary. 1 (1) : 14 – 17.
Reece WO. 2006. Functional Anatomy and Physiology of Domestic Animals 3rd
Edition. Australia : Blackwell Publishing.
Shoop WL, Harline EJ, Gould BR, Waddell ME, McDowell RG, Kinney JB. 2014.
Discovery and mode of action of afoxolaner, a new isoxazoline parasiticide for
dogs. Veterinary Parasitology. 201 : 178 – 189.
Siswanto. 2011. Gambaran sel darah merah sapi bali (studi rumah potong). Buletin
Veteriner Udayana. 3 (2) : 99 – 105.
Six RH, Young DR, Holzmer SJ, Mahabir SP. 2016. Comparative speed of kill of
sarolaner (Simparica™) and afoxolaner (NexGard®) against induced infestations
of Rhipicephalus sanguineus s.l. on dogs. Parasites & Vectors. 9 : 91.
So-Young C, Jae-Sik H, Ill-Hwa K, Dae-Yeon H, Hyun-Gu K. 2011. Basic data on
the haematology, serum biochemistry, urology, and organ weights of the beagle
dogs. Laboratory Animal Research. 27 (4) : 283 – 291.
Sonenshine DE, Lane RS, Nicholson WL. 2002. Ticks (Ixodida) di dalam: Mullen
G, Durden L. Medical and Veterinary Entomology. Amsterdam (NL) : Elsevier
Science.
Weiss DJ, Wardrop KJ. 2010. Schalm Veterinary Hematology. State Avenue (US) :
Blackwell Publishing.
14
RIWAYAT HIDUP
Penulis memiliki nama lengkap Yusa Jaya Laksana, dilahirkan di
Majalengka pada 18 Desember 1995. Penulis merupakan anak kedua dari tiga
bersaudara keluarga pasangan suami istri Arba Subrata dan Oom Romnah. Penulis
memiliki satu orang kakak perempuan bernama Ade Mona Suherni dan satu orang
adik laki – laki bernama Yusi Jaya Masdiana.
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Cidenok 1 (Majalengka,
Jawa Barat) pada tahun 2008. Kemudian melanjutkan ke jenjang pendidikan
menengah pertama di SMP Negeri 3 Sumberjaya (Majalengka, Jawa Barat) hingga
lulus pada tahun 2011. Setelah itu penulis melanjutkan ke pendidikan menengah
atas di SMA Al – Azhar 5 Kota Cirebon dan berhasil lulus pada tahun 2014. Tahun
2014 juga, penulis berhasil diterima dan melanjutkan studi jenjang perguruan tinggi
di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB) melalui jalur
SNMPTN.
Selama mengikuti perkuliahan di FKH IPB, penulis aktif dalam berbagai
organisasi baik itu organisasi luar kampus maupun organisasi kemahasiswaan yang
berada di Institut Pertanian Bogor. Penulis merupakan anggota aktif Himpunan
Mahasiswa Profesi Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik Eksotik (2015-2017)
dan anggota Badan Eksekutif Mahasiswa FKH IPB (2015 – 2016). Selain itu
penulis aktif dalam organisasi non pemerintah (NGO) kepemudaan Indonesian
Youth Dream Regional Jabodetabek pada tahun 2016 sebagai Staff of Research and
Development serta tahun berikutnya (2017) dipercaya sebagai Head of Event and
Creative Division.