PROFIL DIREKTORAT SURVEILANS DAN KARANTINA ......DAFTAR ISt BAB I Analisa Situasi Awal Tahun 1 A....
Transcript of PROFIL DIREKTORAT SURVEILANS DAN KARANTINA ......DAFTAR ISt BAB I Analisa Situasi Awal Tahun 1 A....
PROFIL DIREKTORAT SURVEILANS DAN KARANTINA KESEHATAN
TAHUN 2016
DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
pardi, MPH,D.Sc 231983112001
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SVVT dan atas berkat dan karunia-Nya Profil 2016 Direktorat
Surveilans dan Karantina Kesehatan telah dapat diselesaikan.
Sesuai Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan
Organisasi Kementerian Negara, setiap pimpinan suatu organisasi wajib
menyampaikan laporan berkala tepat pada waktunya. Salah satu laporan berkala yaitu
laporan tahunan.
Dokumen profil ini menggambarkan prestasi yang dicapai oleh Dit Surveilans dan
Karantina Kesehatan selama kurun waktu satu tahun anggaran 2016. Setiap kegiatan
yang dilaksanakan merupakan kegiatan yang berkelanjutan. Dalam pelaksanaannya
ditemui beberapa hambatan dan tantangan, namun hal tersebut dapat diatasi secara
baik. Untuk selanjutnya dapat menjadi pemicu bagi peningkatan pencapaian kinerja di
tahun mendatang.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak
yang telah membantu memberikan kontribusi dalam penyusunan Profil Direktorat
Surveilans dan Karantina Kesehatan tahun 2016 mi.
Upaya maksimal sudah dilakukan untuk melaksanakan kegiatan berdasarkan rencana
kerja tahun 2016, namun disadari bahwa masih banyak kekurangan dan kelemahan
dalam mencapai tujuan pembangunan nasional.. Diharapkan profil ini dapat
memberikan gambaran dan acuan yang dapat digunakan sebagai salah satu bahan
dalam perencanaan kegiatan tahun berikutnya.
TIM PENYUSUNAN LAPORAN TAHUNAN DIREKTORAT SURVEILANS DAN KARANTINA KESEHATAN TAHUN 2016
Pelindung/Pengarah Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan
Penanggung Jawab Kasubdit Surveilans
Kasubdit Kekarantinaan Kesehatan Kasubdit Penyakit Infeksi Emerging
Kasubdit Imunisasi Kepala Subbag Tata Usaha
Kontributor Kepala Seksi Kewaspadaan Dini
Kepala Seksi Respon Kejadian Luar Biasa dan Wabah Kepala Seksi Deteksi Penyakit Emerging
Kepala Seksi Intervensi Penyakit Emerging Kepala Seksi Karantina Kesehatan Pelabuhan dan Bandar Udara
Kepala Seksi Karantina Kesehatan Wilayah dan Pos Lintas Batas Darat Negara Kepala Seksi Imunisasi Dasar
Kepala Seksi Imunisasi Lanjutan dan Khusus
Editor Siti Masfufah, SKM
Vivi Voronika, SKM,M.Kes Budi Hardiansyah, SKM,M.Epid
Vivi Yanti Sidi, SKM,MM Ibrahim, SKM
An Wijayanti, SKM Diani Litasari, SKM
Sekretariat Noviyawati,SE, M.Kes
Emy Sazali, SKM Dian Kartika Irnayanti, SKM Renitha Hertadiningtyas, SE
DAFTAR ISt
BAB I Analisa Situasi Awal Tahun 1
A. Hambatan Tahun Lalu 1
1. Kegiatan Kekarantinaan Kesehatan 1
2. Kegiatan Imunisasi 2
3. Kegiatan Penyakit Infeksi Emerging 3
4. Kegiatan Surveilans 3
B. Kelembagaan 4
C. Struktur Organisasi Dit Surveilans dan Karantina Kesehatan 8
D. Gambar Struktur Organisasi Dit Surveilans dan Karantina Kesehatan 9
BAB II Tujuan dan Sasaran Kerja 10
BAB HI Strategi Pelaksanaan 15
BAB IV Hasil Kerja 25
BAB V Kesimpulan 58
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud. Pembangunan kesehatan dilaksanakan melalui peningkatan upaya kesehatan, sumber daya manusia kesehatan, manajemen dan informasi kesehatan, dan lain sebagainya.
Pada tahun 2016, Dit. Surveilans dan Karantina Kesehatan telah melaksanakan beribagai hal dalam rangka mendukung hal tersebut di atas. Selama kurun waktu Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2015-2019. Dit. SKK telah mencapai keberhasilan kegiatan dalam rangka mendukung tercapainya target indikator Renstra SKK, yaitu : 1) Persentase bayi usia 0-11 bulan yang mendapat imunisasi dasar lengkap; 2) Persentase Kabupaten/Kota yang mencapai 80 Persen lmunisasi dasar lengkap; 3) Persentase anak usia 12-24 bulan yang mendapatkan imunisasi DPT-HB-Hib lanjutan; 4) Persentase kabupaten/kota yang mempunyai kebijakan kesiapsiagaan dalam penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah.
Agar semua data dan informasi keberhasilan kegiatan SKK selama tahun 2016 tersebut dapat terinformasikan kepada masyarakat, maka perlu dituangkan dalam Laporan Profil Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan tahun 2016.
B. TUJUAN
Tujuan Umum :
Terinformasikannya semua data keberhasilan pelaksanaan kegiatan Dit. Surveilans dan Karantina Kesehatan yang mendukung tercapainya target indikator nasional dalam Renstra selama tahun 2016.
Tujuan Khusus
a. Terinformasikan data keberhasilan pelaksanaan kegiatan SKK yang dilakukan dalam mendukung indikator Surveilans dan Karantina Kesehatan
b. Terinformasikannya capaian target indikator Renstra Surveilans dan Karantina Kesehatan selama tahun 2016.
C. DASAR HUKUM a. Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan
b. Undang-undang nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional
C. Undang-undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
d. Peraturan Pemerintah nomor 39 tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan
Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan.
e. Peraturan Menteri Keuangan nomor 249 tahun 2011 tentang Pengukuran dan Evaluasi
Atas Pelaksanaan RKA-KL
f. Permenkes Nomor 64 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tatakerja Kementerian Kesehatan.
D. LINGKUP TUGAS DIT. SURVEILANS DAN KARANTINA KESEHATAN
Berdasarkan Permenkes Nomor 64 Tahun 2015 pada pasal 284 Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan mempunyai tugas melaksanakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria, dan pemberian bimbingan teknis dan supervisi, serta pemantauan, evaluasi, dan pelaporan dibidang surveilans dan karantina kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 284, Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan menyelenggarakan fungsi :
1. Penyiapan perumusan kebijakan dibidang surveilans, penyakit infeksi emerging, kekarantinaan kesehatan dan imunisasi.
2. Penyiapan pelaksanaan kebijakan dibidang surveilans, penyakit infeksi emerging, kekarantinaan kesehatan dan imunisasi.
3. Penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria dibidang surveilans, penyakit infeksi emerging, kekarantinaan kesehatan dan imunisasi.
4. Penyiapan pemberian bimbingan teknis dan supervisi dibidang surveilans, penyakit infeksi emerging, kekarantinaan kesehatan dan imunisasi.
5. Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan dibidang surveilans, penyakit infeksi emerging, kekarantinaan kesehatan dan imunisasi.
6. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat.
Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan terdiri atas : 1 Subdirektorat Surveilans mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan
pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria, dan pemberian bimbingan teknis dan supervisi, serta pemantauan, evaluasi dan pelaporan bidang surveilans. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana pasal 287 Surveilans menyelenggarakan fungsi : a. Penyiapan bahan perumusan kebijakan dibidang kewaspadaan dini dan respon
kejadian luar biasa dan wabah; b. Penyiapan bahan pelaksanaan kebijakan dibidang kewaspadaan dini dan respon
kejadian luar biasa dan wabah; c. Penyiapan bahan penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria dibidang
kewaspadaan dini dan respon kejadian luar biasa dan wabah; d. Penyiapan bahan bimbingan teknis dan supervisi dibidang kewaspadaan dini dan
respon kejadian luar biasa dan wabah; e. Pemantauan evaluasi, dan pelaporan dibidang kewaspadaan dini dan respon kejadian
luar biasa dan wabah;
Subdit Surveilans terdiri atas 2 (dua) seksi a. Seksi Kewaspadaan Dini yang mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan
dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria, dan pemberian bimbingan teknis dan supervisi, serta pemantauan, evaluasi dan pelaporan di bidang kewaspadaan dini.
b. Seksi Respon Kejadian Luar Biasa dan Wabah yang mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar,
prosedur dan kriteria, dan pemberian bimbingan teknis dan supervisi, serta pemantauan, evaluasi dan pelaporan dibidang Respon Kejadian Luar Biasa dan Wabah.
2. Subdirektorat Penyakit Infeksi Emerging mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria, dan pemberian bimbingan teknis dan supervisi, serta pemantauan, evaluasi dan pelaporan di bidang penyakit infeksi emerging. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana pasal 291 Subdit Penyakit Infeksi Emerging menyelenggarakan fungsi :
a. Penyiapan bahan perumusan kebijakan dibidang deteksi dan intervensi penyakit infeksi emerging;
b. Penyiapan bahan pelaksanaan kebijakan dibidang deteksi dan intervensi penyakit infeksi emerging;
c. Penyiapan bahan penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria dibidang deteksi dan intervensi penyakit infeksi emerging;
d. Penyiapan bahan bimbingan teknis dan supervisi dibidang deteksi dan intervensi penyakit infeksi emerging;
e. Pemantauan evaluasi, dan pelaporan dibidang deteksi dan intervensi penyakit infeksi emerging;
Subdit Penyakit Infeksi Emerging terdiri atas 2 (dua) seksi : C. Seksi Deteksi Penyakit Infeksi Emerging yang mempunyai tugas melaksanakan
penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria, dan pemberian bimbingan teknis dan supervisi, serta pemantauan, evaluasi dan pelaporan di bidang Deteksi Penyakit Infeksi Emerging .
d. Seksi Intervensi Penyakit Infeksi Emerging yang mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria, dan pemberian bimbingan teknis dan supervisi, serta pemantauan, evaluasi dan pelaporan di bidang Intervensi Penyakit Infeksi Emerging.
Subdirektorat Karantina Kesehatan mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria, dan pemberian bimbingan teknis dan supervisi, serta pemantauan, evaluasi dan pelaporan di bidang Karantina Kesehatan. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana pasal 295 Subdit Karantina Kesehatan menyelenggarakan fungsi :
a. Penyiapan bahan perumusan kebijakan dibidang karantina kesehatan pelabuhan dan bandar udara dan karantina kesehatan wilayah dan pos lintas batas darat negara;
b. Penyiapan bahan pelaksanaan kebijakan dibidang karantina kesehatan pelabuhan dan bandar udara dan karantina kesehatan wilayah dan pos lintas batas darat negara;
c. Penyiapan bahan penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria dibidang karantina kesehatan pelabuhan dan bandar udara dan karantina kesehatan wilayah dan pos lintas batas darat negara;
d. Penyiapan bahan bimbingan teknis dan supervisi dibidang karantina kesehatan pelabuhan dan bandar udara dan karantina kesehatan wilayah dan pos lintas batas darat negara;
3
e. Pemantauan evaluasi, dan pelaporan dibidang karantina kesehatan pelabuhan dan bandar udara dan karantina kesehatan wilayah dan pos lintas batas darat negara.
Subdit Karantina Kesehatan terdiri atas 2 (dua) seksi : a. Seksi Karantina Kesehatan Pelabuhan dan Bandar Udara yang mempunyai tugas
melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria, dan pemberian bimbingan teknis dan supervisi, serta pemantauan, evaluasi dan pelaporan di bidang Karantina Kesehatan Pelabuhan dan Bandar Udara;
b. Seksi Karantina Kesehatan Wilayah dan Pos Lintas Batas Darat Negara yang mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria, dan pemberian bimbingan teknis dan supervisi, serta pemantauan, evaluasi dan pelaporan di bidang Karantina Kesehatan Wilayah dan Pos Lintas Batas Darat Negara.
4. Subdirektorat Imunisasi mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria, dan pemberian bimbingan teknis dan supervisi, serta pemantauan, evaluasi dan pelaporan di bidang Imunisasi. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana pasal 299 Subdit Imunisasi menyelenggarakan fungsi :
a. Penyiapan bahan perumusan kebijakan dibidang imunisasi dasar dan imunisasi lanjutan dan khusus;
b Penyiapan bahan pelaksanaan kebijakan dibidang imunisasi dasar dan imunisasi lanjutan dan khusus;
c. Penyiapan bahan penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria dibidang imunisasi dasar dan imunisasi lanjutan dan khusus;
d. Penyiapan bahan bimbingan teknis dan supervisi dibidang imunisasi dasar dan imunisasi lanjutan dan khusus;
e. Pemantauan evaluasi, dan pelaporan dibidang imunisasi dasar dan imunisasi lanjutan dan khusus.
Subdit Imunisasi terdiri atas 2 (dua) seksi a. Seksi Imunisasi dasar yang mempunyai tugas melaksanakan penyiapan
perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria, dan pemberian bimbingan teknis dan supervisi, serta pemantauan, evaluasi dan pelaporan di bidang Imunisasi Dasar;
b. Seksi Imunisasi lanjutan dan khusus yang mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria, dan pemberian bimbingan teknis dan supervisi, serta pemantauan, evaluasi dan pelaporan di bidang Imunisasi lanjutan dan khusus.
4
E. STRUKTUR ORGANISASI DIT. SURVEILANS DAN KARANTINA KESEHATAN
DIREKTORAT SURVEILANS,DAN KARANTINA KESEHATAN
TATA USAHA
SUB DIREKTORAT SURVEILANS
SUB DIREKTORAT IMUNISASI
SUB DIREKTORAT KARANTINA KESEHATAN
SUB DIREKTORAT PENYAKIT INFEKSI
EMERGING
5
JABATAN FUNGSIONAL (EPIDEMIOLOG, SANITARIAN,
ENTOMOLOG)
BAB II Pencapaian Pelaksanaan Kegiatan
A. Surveilans dan Respon KLB 1. Surveilans AFP (Accute Flaccid Paralysis = Lumpuh Layuh Akut)
Surveilans AFP dilaksanakan dalam dua hal, surveilans berbasis masyarakat maupun surveilans berbasis rumah sakit. Dalam hal ini, ada empat indikator utama kinerja surveilans AFP sesuai dengan standar sertifikasi yaitu : • Non Polio AFP rate minimal 2/100.000 populasi anak usia < 15 th • Persentase spesimen adekuat minimal 80% • Persentase kelengkapan laporan nihil (zero report) Puskesmas : 90% • Persentase kelengkapan surveilans aktif rumah sakit : 90%
;',-- % ,
...ti ' , \
.0, Sumber Sub& Surveilans, Dit SKK (Per 2 Juni 2017)
Gambar 2.1 Pencapaian Non Polio AFP Rate Per 100.000 Anak Usia <15 Tahun
Menurut Provinsi Tahun 2016
Non Polio AFP adalah kasus lumpuh layuh akut pada semua anak berusia kurang dan i 15 tahun yang dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium bukan kasus Polio. Secara nasional, Non Polio AFP rate pada tahun 2015 belum memenuhi target, yaitu 1,96/100,000 populasi anak < 15 tahun. Beberapa provinsi yang belum mencapai target yaitu: Riau, Kepulauan Riau, Bengkulu, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat.
iertrolk
p
\ • _
C
Sumber : Subdit Surveilans, Dit. SKK (Per 2 Juni 2017) Gambar 2. 2
Pencapaian Spesimen Adekuat Menurut Provinsi Tahun 2016
6
No case/report NP AFP rate <1
NP AFP rate 1-1,99
\El NP A FP rate >=2
No case/report El Adeq. Spec <60%
Adeq . Spec 60-79% Adeq.Spec >=80%
Sumber : Subdit Survellans, Dit. SKK (per 20 April 2017)
Pada tahun 2016, capaian indikator spesimen adekuat secara nasional telah mencapai target yaitu 83,2%. Namun, ada 4 provinsi dengan spesimen adekuat < 60% yaitu : DKI Jakarta, Nusa Tenggara Barat, Maluku Utara dan Papua. Gambaran trend capaian indikator kinerja Surveilans AFP di Indonesia tahun 2012 sd 2016 sebagai berikut:
2012 2013 2014 2015 2016 2,77 2,74 2,37 1,95 1,96 NM Non Polio AFP Rate
89,6 87,7 86,3 87,6 83,1 Spesimen —4— Adekuat 83,1 75,3 70,2 65,7 66,2 --A— Laporan Nihil Pusk.
Nihil RS 81,6 72,4 68,2 60,8 54,3 X Laporan
Sumber : Subdit Surveilans, Dit. SKK Grafik 2.1
Trend Capaian Indikator Kinerja Surveilans AFP di Indonesia Tahun 2012 sd 2016
Dalam 3 tahun terakhir, kinerja surveilans AFP cukup baik. Non Polio AFP rate mampu mencapai target yang ditetapkan tetapi cenderung menurun pada tahun 2015 dan 2016. Spesimen adekuat mencapai target (> 80%) dan mengalami peningkatan dan i tahun sebelumnya. Pencapaian indikator laporan nihil (zero report), baik di Rumah Sakit maupun Puskesmas, selama 5 tahun terakhir masih berada dibawah target (< 90%).
2.Surveilans Campak
Tahun 2016, kasus campak rutin dilaporkan sebesar 12.681 kasus. Kasus campak rutin terbanyak (lebih dan i 1.000 kasus) dilaporkan dan i provinsi Jawa Timur (2.937 kasus), provinsi Aceh (1.452 kasus) dan Jambi (1.156 kasus). Dan i seluruh kasus campak rutin tersebut, ada 1 kasus meninggal, yang dilaporkan dan i provinsi Jawa Barat.
Gambar 2.3 Distribusi Kasus Campak Rutin di Indonesia
Tahun 2016
7
380 360 340 320 300 280 260 240
0-220 .200
E'180 6.160 '140
120 100 80 60 40 20 0
163
6576
8 14 027 23
•
152 128 129
73
r-
12 6 15 19 7 1 5 13 5 1 0
68
KLB campak dapat terjadi apabila ada 5 atau lebih kasus klinis dalam waktu 4 minggu berturut-turut yang terjadi mengelompok dan dibuktikan adanya hubungan epidemiologi. Frekuensi KLB campak yang terjadi di Indonesia pada tahun 2016 sebanyak 129 kejadian, dengan jumlah kasus sebanyak 1.511 kasus. Frekuensi KLB dan jumlah kasus pada KLB campak mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya.
20000
18000
16000
14000
12000
10000
8000
6000
4000
2000
0
200
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
MIMI Freq. KLB
Kasus Rutin
iml. Kasus KLB
2012 2013
2014
2015
2016
Sumber Subdit Surveilans, Dit. SKK
Grafik 2.2 Trend Jumlah Kasus Campak Rutin, Frekuensi KLB Campak,
dan Jumlah Kasus KLB Campak Tahun 2012 sd 2016
Pada tahun 2016 kasus KLB yang telah dikonfirmasi laboratorium adalah positif campak dengan jumlah 13 kasus, sedangkan kasus rubella sebanyak 5 kasus. Perbandingan hasil laboratorium KLB campak dapat dilihat pada gambar berikut.
2012 2013 2014 2015 2016 Report Measles (Lab) • Rubella (Lab) Mix (Measles & Rubella) Negative
Sumber Subdit Survellans, Dit. SKK
Grafik 2. 3 KLB Campak yang Dilaporkan dan Konfirmasi Laboratorium
Tahun 2012 sd 2016
Sebagian besar kasus campak menyerang anak-anak usia pra sekolah dan usia SD. Selama periode 5 tahun, kasus campak lebih banyak terjadi pada kelompok umur 5-9 tahun sedangkan pada kelompok umur 1-4 tahun Banyaknya kasus campak pada
8
2623 1743
1.645
3614
2718
935
2422
2083
4013
2016 2014 2015
100% -
90% - 2483 80% -
2012 2013
kelompok umur tahun disebabkan karena telah terjadi akumulasi kelompok rentan akibat belum mendapatkan imunisasi campak pada waktu bayi, dan jg akibat efikasi vaksin campak hanya 85 `)/0, dimana ada 15 % anak yang diimunisasi tidak mempunyai kekebalan.
.<1 U1-4 k5-9 •10-14 • >14
Sumber : Subdit Surveilans. Dit. SKK
Grafik 2.4 Kasus Campak Rutin Berdasarkan Kelompok Umur
Tahun 2012 sd 2016
3. Surveilans Tetanus Neonatorum Pada tahun 2016 Indonesia di validasi oleh Tim WHO dan Unicef dalam rangka pencapaian Eliminasi Tetanus Maternal Neonatal. Hasil dan i validasi Indonesia di nyatakan sudah Eliminasi Tetanus Maternal Neonatal yang dibuktikan telah terimanya sertifikat Eliminasi Tetanus Maternal Neonatal oleh Menteri Kesehatan di Srilanka.
Sumber : Subdit Sumerians, Dit. SKK (per 15 Februari 2017)
Gambar2. 4 Distribusi Kasus Tetanus Neonatorum Per Provinsi
Tahun 2016
60% -
40% - 30% 20% -
- 0%
Tahun 2016, kasus Tetanus Neonatorum (TN) di Indonesia dilaporkan sebanyak 33 kasus yang tersebar di 7 provinsi. Adapun jumlah kasus meninggal akibat Tetanus Neonatorum tersebut sebanyak 14 kasus. Kasus TN paling banyak terjadi di provinsi Jawa Timur (19 kasus).
—m...TT 2+ 71,2 66,3 47,3 65,2 64,2
140
120
100
80
60
40
20
0 2012 2013 2014
1 2015
80
- 70
- 60
- 50
40
30
20
10
0
own TN Cases 119 78 75 69 33 2016
Grafik 2.5 Cakupan Vaksin TT2+ dengan Kasus Tetanus Neonatorum
Tahun 2012 sd 2016
4. Surveilans Difteri Jumlah kasus difteri pada tahun 2016 sebanyak 415 kasus, dengan jumlah kasus meninggal sebanyak 24 kasus. Dan 20 provinsi yang melaporkan adanya kasus difteri, kasus tertinggi terjadi di Jawa Timur sebanyak 209 kasus diikuti oleh Jawa Barat sebanyak 133 kasus.
Sumber Subdit Surveilans, Dit SKK (per 15 Maret 2017)
Gambar 2.5 Sebaran Kasus Difteri Menurut Provinsi
Tahun 2016
X KASUS
• KEMAT1AN
1200 -
700 -
200 -
-300 2012 2013 2014 2015 2016 1192 775 430 527 415 76 39 21 20 24
Sumber Subdit Surveilans, Dit. SKK
Grafik.2.6 Kasus dan Kematian Difteri
Tahun 2012 s.d 2016
10
70 63
JAW
A TEN
GAH
K a a - 0 ...- - Z K. r- < 0 a c-E, a v ar M' .- a M < '.' a .-. to
M I.- , 4.:
,,-- le a a. , z .:.o a a a 0
g
Q
'a a
1 g
a
4▪ ▪ 4 Y
• Frekuensi KLB icAU
MAN
TAN
MAG
NI
SULA
WE9
UTA
RA
BAN
GKA BE
D IU
NG
D I YOG
YAKA
RTA
Z
KALI
MAN
TAN
S ELA
TAN
KALIM
ANTA
N U T
ARA
60
50
40
30
20
10
0 9
9 717 161414 1414 14 l 10 9 9 9
ibmi
140
120
100
80
60
40
20
0
126
SI Frekuensi KLB
07-‘" v- v• •,.% '6'4' • c•-̀ .v-s" -c•t" 0̀, <S•
1̀ '' (3- *.v. ets' <3 giS' a•3 0- v- <to• vls eS"C' 4?-""" 0-
Dan i grafik diatas dapat dilihat bahwa terjadi penurunan yang bermakna jumlah kasus maupun kematian Difteri dan i tahun 2012 sampai tahu 2016.
5. Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB)
Penanggulangan KLB < 24 jam merupakan salah satu kegiatan yang sangat penting dalam rangka pemutusan mata rantai penularan atau penyebaran penyakit. Keberhasilan penanggulangan KLB <24 jam sangat tergantung dan: lokasi kejadian, akses terhadap fasilitas kesehatan/ petugas kesehatan dan kapasitas petugas kesehatan dilapangan berperan besar dalam kecepatan merespon KLB yang terjadi dilapangan
a. Frekuensi Kejadian Luar Biasa (KLB) Pada tahun 2016 KLB yang dilaporkan sebanyak 419 kejadian di seluruh Indonesia, frekuensi KLB tertinggi terjadi di Jawa Barat (63 kejadian), kemudian diikuti Sulawesi Selatan (30 kejadian) dan Sulawesi Tengah (29 kejadian). Secara umum, frekuensi KLB tertinggi masih didominasi oleh provinsi dengan jumlah penduduk yang padat.
umber : Sub& Surveilans, SKK S
Grafik. 2.7 Frekuensi KLB Berdasarkan Provinsi Tahun 2016
Frekuensi penyakit terbanyak penyebab KLB di Indonesia adalah Difteri/Difteri Klinis 126 kali, Keracunan Pangan sebanyak 107 kali, dan Campak/campak Klinis 66 kali. Berdasarkan hal tersebut perlu di analisis lebih lanjut faktor risiko dan perencanaan program terkait pengendalian penyakit yang banyak menimbulkan KLB.
9
11
Grafik.2.8 Frekuensi KLB Berdasarkan Jenis Penyakit
Tahun 2016
b. Respon Penanggulangan KLB < 24 Jam
Beberapa daerah di Indonesia saat ini masih mengalami kejadian luar biasa (KLB). Penanganan yang cepat terbukti mampu mengurangi dampak KLB dengan didukung oleh pelaporan yang cepat. Di bawah ini adalah beberapa analisis yang berhubungan dengan respon KLB.
2%
hd < 24 Jam
bid > 24 Jam
Sumber : Subdit Surveilans, Dit. SKK
Grafik.2.9 Persentase Respon KLB Tahun 2016
Grafik di atas memperlihatkan lama waktu respon sejak terjadi KLB secara nasional. Dan i semua KLB (419 kejadian) yang terjadi, 98% direspon kurang dan i 24 jam. Hanya 2% KLB direspon lebih dan 24 jam. KLB yang direspon lebih dan i 24 jam ini dapat terjadi karena informasi KLB terlambat diterima oleh petugas, lokasi KLB yang sulit dijangkau, serta jauh dan i fasilitas kesehatan.
c. Sistem Kewaspadaan Dini Dan Respon (SKDR) KLB
Sistem Kewaspadaan Dini dan Respons KLB merupakan salah satu perangkat dalam surveilans untuk mengetahui secara dini adanya sinyal peringatan/ancaman penyakit menular potensial KLB. Sampai dengan tahun 2016 secara nasional, SKDR sudah berjalan diseluruh Provinsi, dan yang sudah berbasis WEB sebanyak 34 Provinsi. Data yang dihimpun adalah data PWS (Pemantauan Wilayah Setempat) mingguan atau W2 yang berasal dan i pustu dan puskesmas yang dikirimkan secara berjenjang dan i Pustu/Puskesmas ke Dinas Kesehatan Kabupaten Kota, Dinas Kesehatan Provinsi dan Subdit Surveilans.
Tabel.2.1 Jumlah Provinsi yang telah melaksanakan SKDR Sampai Tahun 2016
PROVINSI JUMLAH
PUSKESMAS KAB/KOTA
ACEH 344 23
BALI 120 9
BANTEN 236 8
BENGKULU 179 10
GORONTALO 93 6
12
JAMB!
JAWA BARAT
197 11
1068 27
JAWA TENGAH 877 35
JAWA TIMUR 964 38 KEPULAUAN BANGKA BELITUNG 62 7
KALIMANTAN BARAT 243 14
KALIMANTAN TENGAH 201 14
KALIMANTAN SELATAN 235 13
KALIMANTAN TIMUR 182 10
KALIMANTAN UTARA 55 5
KEPULAUAN RIAU 76 7
LAMPUNG 296 15
MALUKU 205 11
MALUKU UTARA 132 10
NTB 160 10
NTT 387 22
PAPUA 424 29
PAPUA BARAT 116 13
RIAU 225 12
SULAWESI BARAT 95 6
SULAWESI SELATAN 453 24
SULAWESI TENGAH 201 13
SULAWESI TENGGARA 283 17
SULAWESI UTARA 192 15
SUMATERA BARAT 267 19
SUMATERA UTARA 575 33
SUMATERA SELATAN 335 17
YOGYAKARTA 121 5
DKI JAKARTA 328 6
INDONESIA 9.927 514 Sumber . Sub& Survellans, Dit SKK
13
0 03. 4. ..sr .1-
1
„§- .,..1, •<, C b ,... ,,,s, i s
,,L., -..)-•- ' ',
100,00 90,00 80,00 70,00 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00
j
.,„) 4. , .cy. te, ;,., , i... .) ,, ,,,,, ,s, ,g- ,.1.- ,.., 4.. v i.- v -\'• NY' N.N. ,,, ,:..., ,,,, s•s- ,,,,,- ,y,- ...., ..„6 ...,y- „„s 0,--,
' 0 ' k> - q ' QO `.. ‘,? -14c 0' 'i•• ,,''' 0- e 6° -.‘' •s1 /4' 6 4' ...3' .t.,'i'^ ,''` e " ., j.- V., J.' 4)
Cts ''' '1 /4' 4' ,k.,>-- ,,," ' 0) %;• ,•*'. `3") ‘4
Sumber : Subdit Survellans, Dit. SKK
Grafik.2. 10 Ketepatan dan Kelengkapan Laporan SKDR Tahun 2016
Secara nasional ketepatan dan kelengkapan laporan SKDR dan i puskesmas ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota kumulatif sampai minggu ke 52 belum mencapai target 80%. Terdapat 12 Provinsi yang telah mencapai target ketepatan laporan yaitu Provinsi Riau, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, Bali, Jakarta, Bangka Belitung, Jambi, Lampung, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Selatan. Sedangkan untuk kelengkapan laporan yang sudah mencapai target sebanyak 22 Provinsi. Ketepatan dan kelengkapan laporan ini meningkat dani capaian tahun sebelumnya.
label 2.2 Situasi Sistem Kewaspadaan Dini dan Respon (SKDR) KLB
Minciciu 01- Minciciu 52 2016 No PROPINSI
JMLH PERINGATAN PENYAKIT DI
D/NI PUSKESMAS JUMLAH KETEPATAN
(%) KELENGKAPAN
(%) M-52 2016 TOT . PUSK. KAB/KOTA 1 ACE H 26 1339 341 23 57.23 79.15 2 BALI 75 3664 120 9 90.38 96.22 3 BANGKA BELITUNG 9 394 62 7 88.90 96.40 4 BANTEN 25 1381 236 a 63.37 83.96 5 BENGKULU 20 1226 179 10 57.65 75.62 6 DI YOGYAKARTA 23 1638 121 5 95.23 98.59 7 GORONTALO 10 542 93 6 51.53 83.81 8 JAKARTA 34 2386 329 6 89.33 97.70 9 JAM BI 25 1146 196 11 88.87 93.40 10 JAWA BARAT 65 4801 1068 27 67.55 83.82 11 JAWA TENGAH 56 4046 877 35 73.81 93.52 12 JAWA TIMOR 63 2428 964 38 68.50 83.83 13 KALIMANTAN BARAT 18 995 243 14 84.14 92.73 14 KALIMANTAN SELATAN 17 1011 234 13 75.45 89.40 15 KALIMANTAN TENGAH 17 811 201 14 42.61 68.03 16 KALI MANTAN TIMUR 24 1443 182 10 84.88 97.15 17 KALIMANTAN UTARA 5 295 55 5 57.48 60.80 18 KEPULAUAN RIAU 5 441 76 7 77.13 91.19 19 LAM PUNG 39 1949 296 15 86.80 96.00 20 MALUKU 3 397 205 11 60.88 69.49 21 MALUKU UTARA 8 498 132 10 29.05 43.04 22 NUSA TENGGARA BARAT 14 585 159 10 91.15 97.70 23 NUSA TENGGARA TI M UR 61 3736 384 23 70.51 91.12 24 PAPUA 24 903 423 30 13.63 18.89 25 PAPUA BARAT 2 223 111 14 9.65 14.99 26 RIAU 10 1775 225 12 95.55 97.82 27 SULAWESI BARAT 9 241 95 6 48.44 60.97 28 SULAWESI SELATAN 16 1814 453 24 83.07 93.05 29 SULAWESI TENGAH 24 1465 200 13 71.44 80.76 30 SULAWESI TENGGARA 10 390 279 17 33.06 50.03 31 SULAWESI UTARA 29 2558 192 15 72.34 82.69 32 SUMATERA BARAT 35 2433 265 19 76.24 83.95 33 SU M ATE RA SE LATAN 35 2246 333 17 80.93 93.08 34 SUMATERA UTARA 22 1312 575 33 31.04 50.16
INDONESIA 858 52.512 9.904 517 66.2 78.6
II
ABKETEPATAN (%)
ELENG KAPAN PO,
14
Sinyal peringatan dini yang ditangkap tahun 2016 sebanyak 52.512 alert yang tersebar di 9.904 puskesmas, 517 kabupaten, dan 34 provinsi sehingga rata-rata alert muncul dalam 1 tahun di setiap puskesmas sebanyak 5 alert/ sinyal peringatan dini. Sebanyak 60% alert tersebut sudah direspons oleh puskesmas maupun dinas kesehatan kabupaten/kota.
Pada tahun 2016 kasus Suspek Tetanus merupakan kasus yang paling banyak terjadi dengan jumlah 5.207.863 kasus, diikuti dengan kasus AFP sebanyak 4.137.865 kasus dan Kluster penyakit yang tidak lazim sebanyak 1.001.535 kasus. Besarnya angka kasus penyakit tersebut dapat diketahui dengan adanya sinyal/a/ert yang muncul pada sistem SKDR. Dengan demikian dapat memudahkan untuk melakukan respon cepat serta meningkatkan kewaspadaan dini terhadap kejadian luar biasa (KLB).
SUSPEK DENGUE • 36 SUSPEK LEPTOSPIROSis 147
SUSPEK KOLERA 104 SUSPEK CHIKUNGUNYA 528
SUSPEK ANTRAX 620 SUSPEK FLU BURUNG PADA MANUSIA 646
PNEMONIA 1 647 SUSPEK CAMPAK 846
SUSPEK MENINGITIVENCEPHALITiS 1 1.376 SUSPEK DiFTER1 1 3.803
MALARIA KONFIRMAS 1 14.103 SUSPEK HEMD 1 18.735
PERTUSSIS 1 31.499 SUSPEK DEMAM T1FOID 43.167
SINDROM JAUNDICE AKUT 45.387 SUSPEKTETANUS NEONATORUM 73.602
DIARE AKUT 169.227 [RARE BERDARAW DISENTRI 323.841
iu ( PENYAKITSERUPA INFLUENZA) 324.116 GIGITAN HE WAN PENULAR RABIES 372.766
KLOSTER PENYAKITYANG TIDAK LAZ1M 1.001.535 ACUTE RACID PARALYSIS (AFP) 4.137.865
SUSPEK TETANUS 5.207.863
1.000.000 2.000.000 3.000.000 4.000.000 5.000.000 6.000.000
• Jumlah Kasus
Sumber Subdit Survellans. Dit. SKK
Grafik 2.11 Distribusi Penyakit Dalam SKDR Tahun 2016
15
B. IMUNISASI 1. Imunisasi Rutin a. Imunisasi Dasar Bayi
Bayi usia kurang dan 1 tahun harus diberikan imunisasi dasar lengkap yang terdiri dani imunisasi Hep B (1 dosis), BOG (1 dosis), DPT-HB-Hib (3 dosis), Polio tetes/b0PV (4 dosis) dan Campak (1 dosis). Pada tahun 2016, Indonesia melakukan introduksi imunisasi polio suntik/IPV (Inactivated Polio Vaccine) ke dalam program imunisasi rutin. IPV adalah polio suntik yang diberikan sebanyak 1 dosis pada anak usia 4 bulan sampai sebelum berusia 1 tahun. Jadwal pemberian masing-masing jenis imunisasi dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2.3 Jadwal Pemberian Imunisasi pada Bayi
Tahun 2016
Usia Jenis Imunisasi yang Diberikan
0-7 hari Hepatitis B
1 Bulan BCG, Polio 1
2 Bulan DPT-HB-Hib 1, Polio 2
3 Bulan DPT-HB-Hib 2, Polio 3
4 Bulan DPT-HB-Hib 3, Polio 4, IPV
9 Bulan Campak
Pada tahun 2016, pemberian imunisasi pentavalen (DPT-HB-Hib) sudah dilakukan diseluruh Indonesia secara penuh, yang berarti sudah tidak ada pemberian imunisasi DPT-HB (Kombo) lagi di unit pelayanan.
Dan i sudut pandang program, cakupan imunisasi BOG, HB (< 7 hari) dan DPT-HB-Hib1 merupakan indikator bagi jangkauan program, Drop Out/DO (DPT1-DPT3 atau DPT1-Campak) merupakan indikator manajemen program, sedangkan cakupan imunisasi DPT-HB-Hib3, Polio4 dan Campak adalah indikator bagi tingkat perlindungan program. Tiap jenis imunisasi tersebut memiliki target cakupan masing-masing. Pencapaian cakupan tiap jenis imunisasi akan disajikan dalam beberapa grafik di bawah ini.
16
1 " t, "I. 4. 160,0
11111111 1.1111111111 III
90,0
80,0
70,0
60,0
50.0
40,0
30,0
20,0
10,0
0,0
.;zaaz o; 116g2 IgIPA2
.
- a ..;-.;. ., 7,1 it ,,,I 74 a
1
I 1 , i 3i,
3 i 8 g g- . <I 5 I 5 LI rt• i 2 3 B. t;ti;35; 5
g
<
Sumber : Laporan Rutin Imunisasi Provinsi Tahun 2016, Subdit Imunisasi, Oft. SKK
Grafik 2.12 Pencapaian Cakupan Imunisasi HBO (<7 hari) Per Provinsi
Tahun 2016
Sejak tahun 2015, sesuai definisi operasional yang tertuang dalam RPJMN dan Renstra Kementerian Kesehatan, HBO masuk ke dalam perhitungan indikator imunisasi dasar lengkap (IDL). Target IDL pada akhir pada tahun 2019 sebesar 93% oleh karena hal tersebut, maka target pada masing-masing antigen mengalami perubahan. Cakupan imunisasi HBO (< 7 hari) yang semula ditargetkan pada 80%, menjadi 95% untuk dapat memenuhi target IDL. Pada tahun 2016, pencapaian yang didapat secara nasional sebesar 87,1% lebih tinggi dan i tahun 2015 sebesar 85,4%. Ada 5 provinsi yang telah mencapai target cakupan (>95%). Provinsi dengan cakupan imunisasi HBO (< 7 hari) tertinggi adalah provinsi Jambi (99,3%), sedangkan cakupan terendah adalah provinsi Papua (37,2%).
90.0
800
70.0
600
500
340
20.0
10.0 0.0
Sumber : Laporan Rutin Imunisasi Provinsi Tahun 2016, Subdit Imunisasi, Dit. SKK
Grafik 2.13 Pencapaian Cakupan Imunisasi BCG Per Provinsi
Tahun 2016
Secara nasional, cakupan imunisasi BCG adalah 92,8%, cakupan ini lebih tinggi dan i tahun 2015 sebesar 92,2% akan tetapi masih lebih rendah daripada tahun 2014 sebesar 94%. Capaian ini tidak mencapai target ?_95%. Provinsi yang sudah mencapai target sebanyak 11 provinsi, yaitu provinsi Sumatera Selatan. Jambi, Jawa Tengah, Bali, Banten, DI Yogyakarta, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat dan NIB. 3 provinsi dengan cakupan tertinggi tersebut, memiliki cakupan imunisasi BCG >100%. Provinsi dengan cakupan imunisasi BCG tertinggi
17
110,0
100,0
90,0
0%0
70,0
60,0
50,0
40,0
30,0
20,0
640
0.0
222 g
2 ^,
110,0 105,0 100,0
95,0 90,0 85,0 80,0 75,0 70,0 65,0 60,0
2011 2012 2013 2014 2015 2016 HBO (<7hr) 80,5 85,6 86,7 85,8 85,4 87,1
...11M- BC G 98,0 99,6 97,6 94,0 92,2 92,8 -411- OPT HB Hib1 97,9 103,0 101,0 97,7 95,0 94,8
adalah provinsi Sumatera Selatan (103,3%), sedangkan cakupan terendah ada pada provinsi Papua (61,5%).
Sumber : Laporan Rutin lmunisasi Provinsi Tahun 2016, Subdit lmunisasi, Dit. SKK
Grafik 2.14 Pencapaian Cakupan lmunisasi DPT-HB-Hib1 Per Provinsi
Tahun 2016
Pada tahun 2016, Cakupan imunisasi DPT-HB-Hib1 nasional tidak dapat mencapai target yang ditetapkan (?_ 95%), capaian cakupan imunisasi yang berhasil dicapai sebesar 94,8%. Cakupan ini menurun dan i capaian tahun 2015 sebesar 97,7%. Dan 13 provinsi yang telah mencapai target, 6 diantaranya memiliki cakupan >100%. Berdasarkan grafik, provinsi dengan cakupan imunisasi DPT-HB-Hib1 tertinggi yaitu provinsi Sumatera Selatan (108,0%), sedangkan cakupan terendah ada pada provinsi Kalimantan Utara (64,8%).
Sumber : Laporan Rutin Imunisasi Provinsi Tahun 2016, Subdit imunisasi, OiL SKK
Grafik 2.15 Pencapaian Cakupan lmunisasi
BCG, HBO (<7 hari), dan DPT-HB-Hib1 Tahun 2011 sd 2016
Setelah dalam tiga tahun terakhir (2013-2015), baik cakupan imunisasi BOG, HBO (< 7 hari), maupun DPT-HB-Hib1 cenderung mengalami penurunan, maka pada tahun 2016 dua jenis imunisasi BOG, HBO (< 7 hari) mengalami kenaikan sementara DPT-HB-Hib1 mengalami penurunan. Kenaikan dan penurunan yang terjadi masih sangat kecil dan tidak signifikan.
18
HI I
a I
a SULA
WES
I lfl'
ARA
Sumber : Laporan Rutin Imunisasi Provinsi Tahun 2016, Subdit lmunisasi, Dit. SKK
90.0
80.0
70.0
60.0
70,0
40,0
30.0
100
10,0
40
1100
1000
Sumbe : Laporan Rutin lmunisasi Provinsi Tahun 2016, Subdit Imunisasi, SKK
Grafik 2.16 Pencapaian Cakupan Imunisasi DPT-HB-Hib3 Per Provinsi
Tahun 2016
Pada tahun 2016, cakupan imunisasi DPT-HB-Hib3 secara nasional belum mencapai target yang ditetapkan (?_95%). Cakupan yang berhasil dicapai hanya sebesar 93,1%. Capaian ini sama dengan capaian pada tahun 2015 yaitu sebesar 93,1%. Sebanyak 10 provinsi telah mencapai target cakupan imunisasi DPT-HB-Hib3, 5 provinsi diantaranya melebihi 100%. Provinsi dengan cakupan imunisasi DPT-HB-Hib3 tertinggi yaitu provinsi Sumatera Selatan (106,9%), sedangkan cakupan terendah ada pada provinsi Papua (56,8%).
Grafik 2.17 Pencapaian Cakupan Imunisasi Polio3 Per Provinsi
Tahun 2016
Cakupan imunisasi Polio3 belum mencapai target yang telah ditetapkan (95`)/0) yaitu 92,8%. Capaian ini lebih rendah dari capaian tahun 2015 sebesar 93,0% dan tahun 2014 yang mencapai lebih dari 94%. Sebanyak 11 provinsi telah mencapai target cakupan imunisasi Polio3. Provinsi dengan cakupan imunisasi Polio3 tertinggi yaitu provinsi Sumatera Selatan (106,8%), sedangkan cakupan terendah adalah provinsi Papua (58,6%).
19
MA
111111 111111111111111111111
100 0
90 0 2 ; ; ; itt • gg g:
r, z Fz 2g s. Wi wp,g
f
3 1 3 2
Sumber: Laporan Rutin Imunisasi Provinsi Tahun 2016, Subdit Imunisasi, Cit. SKK
20,0
440
340
10.0
640-
740
040
50,0
0,0
I i
p a
_
1 — L4 illis - iii „ 111011100 7.,
g 4 5 3 3 3 § 3
1140
430
MO
10.0
40
Grafik 2.18 Pencapaian Cakupan Imunisasi Polio4 Per Provinsi
Tahun 2016
Secara nasional, cakupan imunisasi Polio4 belum mencapai target (?_95°/0) yaitu 91,5%. Cakupan ini sedikit lebih tinggi dari cakupan tahun 2015 yaitu 91,4%. Hanya tujuh provinsi yang telah mencapai target cakupan imunisasi Polio4. Provinsi dengan cakupan imunisasi Polio4 tertinggi yaitu Provinsi Sumatera Selatan (105,8%), sedangkan cakupan terendah adalah provinsi Papua (55,1%). Karena Provinsi DIY telah menerapkan pemberian imunisasi polio suntik (IPV) sebanyak tiga dosis sejak tahun 2014, maka pada capaian Polio4 per provinsi ini tidak disajikan data capaian Polio4 dari Provinsi DIY.
Sumber : Laporan Rutin Imunisasi Provinsi Tahun 2016, Subdit Imunisasi, Dit. SKK
Grafik 2.19 Pencapaian Cakupan Imunisasi Campak Per Provinsi
Tahun 2016
Cakupan imunisasi campak nasional belum mencapai target yang ditetapkan (?.95°/0), yaitu sebesar 92,6%. Capaian cakupan ini sedikit lebih tinggi daripada tahun 2015 sebesar 92,3%. Sebanyak 11 provinsi telah mencapai target cakupan imunisasi campak tersebut. Provinsi dengan cakupan imunisasi campak tertinggi yaitu Provinsi Sumatera Selatan (106,1%), sedangkan cakupan terendah adalah Provinsi Kalimantan Utara (57,8%).
20
,,0
2011 2012 2013 2014 2015 2016 94,9 100,9 99,2 94,9 93,1 93,1 93,3 100,9 91,6 94,3 91,4 91,5 93,6 99,3 97,7 94,6 92,3 92,6
85,0
•q111...P0004
100,0
95,0
90,0
Campak
Dalam beberapa tahun terakhir, cakupan imunisasi DPT3, Polio4, dan Campak cenderung mengalami penurunan bahkan dengan adanya perubahan target cakupan untuk mencapai indikator (balk Renstra, RPJMN, global dan program) tidak mencapai target yang ditetapkan. Hal ini disebabkan antara lain karena belum optimalnya pendataan dan pencarian target sasaran imunisasi. Petugas belum memanfaatkan sistem Pennantauan Wilayah Setempat (PWS) secara optimal dalam menganalisa cakupan. Masih ada petugas yang berfokus hanya pada sasaran yang mendapatkan pelayanan imunisasi di puskesmas dan jaringannya (posyandu, pustu, polindes, dip dan kurangnya koordinasi dengan fasyankes swasta seperti RS, klinik, bidan praktek mandiri dan dokter). Selain itu, adanya kelompok-kelompok masyarakat yang menolak imunisasi (black campaign). Pencapaian cakupan ketiga imunisasi tersebut selama periode 2011-2016 dapat dilihat pada gambar berikut.
Somber: Laporan Rutin lmunisasi Provinsi Tahun 2016, Subdit lmunisasi, Dit, SKK
Grafik 2.20 Pencapaian Cakupan lmunisasi DPT-HB3, Polio4, dan Campak
Tahun 2011 sd 2016
Keberhasilan program imunisasi dasar lengkap (IDL) dapat diukur melalui capaian cakupan imunisasi dasar lengkap pada bayi (0-11 bulan). Cakupan imunisasi dasar lengkap nasional tahun 2016 adalah 91,6%. Cakupan ini telah mencapai target yang ditetapkan dalam RPJMN yaitu sebesar 91,5%. Capaian pada tahun 2016 ini naik secara signifikan bila dibandingkan dengan capaian pada tahun 2015 yang hanya sebesar 86,5%. Dan 34 provinsi, hanya 12 provinsi yang dapat mencapai target tersebut. Provinsi dengan cakupan tertinggi adalah Provinsi Sumatera Selatan (105,3%), sedangkan Provinsi Kalimantan Utara memiliki cakupan imunisasi dasar lengkap terendah (56,1%). Pencapaian cakupan imunisasi dasar lengkap per provinsi pada tahun 2016 dapat dilihat pada gam bar benkut.
21
.11110111.0101111111
T .5.54<5 8 5.1 - gilwg
A 3
100,0
90,0
80,0
70,0
60,0
50,0
460-
30.0
20,0
10,0
0,0
Sumber Laporan Rutin Imunisasi Provinsi Tahun 2016, Sub& Imunisasi, Dit. SKK
2011 2012 2013 2014 2015 2016
9,1,0
92,0
90,0
88,0
86,0
84,0
82,0
1,6
86,8 86,8 86,5
Grafik 2.21 Pencapaian Cakupan Imunisasi Dasar Lengkap per Provinsi
Tahun 2016
Pencapaian cakupan imunisasi dasar lengkap tahun 2010-2015 cenderung mengalami penurunan. Perhitungan capaian imunisasi dasar lengkap pada bayi didasarkan pada analisa catatan kohort bayi. Seorang bayi telah mendapat imunisasi dasar lengkap jika telah mendapatkan imunisasi Hep B <7hr 1kali, BOG 1kali, DPT-HB-Hib 3 kali, Polio tetes (OPV) 4 kali (kecuali DI Yogyakarta 3 kali dengan IPV) dan Cam pak 1 kali sesuai dengan interval dan jadwal pemberian yang ditentukan.
Sumber Laporan Rutin Imunisasi Provinsi Tahun 2016, Subdit Imunisasi, Dit, SKK
Grafik 2.22 Pencapaian Cakupan Imunisasi Dasar Lengkap
Tahun 2011 sd 2016
Pencapaian Universal Child Immunization (UCI) Desa secara nasional pada tahun 2016 yaitu sebesar 81,1%. Capaian ini lebih rendah dan i cakupan yang didapat pada tahun 2015 sebesar 82,3%. Target yang ditetapkan untuk tahun 2016 sebesar 88%. Terdapat 13 provinsi yang telah mencapai target cakupan. Masih terdapat satu provinsi (Jawa Barat) belum menyampaikan hash l capaian UCI Desa tahun 2016. Dan i 33 yang telah melaporkan, Provinsi yang memiliki cakupan UCI desa paling rendah adalah provinsi Papua (30,7%) dan Papua Barat (56,8%). Salah satu hambatan dalam mencapai UCI desa di kedua provinsi tersebut adalah
111111 Ilaiiit a 2 3 2
WA •
MO •
5 1
geografi, dimana banyak memiliki desa dengan letak yang sulit dijangkau menyebabkan pelayanan tidak bisa secara rutin dilaksanakan. Pencapaian cakupan UCI desa per provinsi pada tahun 2016 dapat dilihat pada gambar berikut.
Sumber : Laporan Rutin Imunisasi Provinsi Tahun 2016, Subdit Imunisasi, Dit. SKK
Grafik 2.23 Pencapaian UCI Desa Per Provinsi
Tahun 2016
Pada grafik di bawah, selama tahun 2011-2014, terlihat bahwa cakupan UCI desa cenderung mengalami peningkatan, akan tetapi pada tahun 2015-2016 mengalami penurunan.
85,0
80,0 82,9 82,3 81,1
75,0
744 70,0
65,0
60,0
55,0
540 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Sumber : Laporan Rutin Imunisasi Provinsi Tahun 2016, Subdit Imunisasi, Olt. SKK
Grafik 2.24 Pencapaian UCI Desa Tahun 2011 sd 2016
Drop out (DO) imunisasi terjadi ketika bayi yang seharusnya mendapatkan imunisasi dasar lengkap sesuai dengan jadwal pemberian dan dosis yang dianjurkan, namun ternyata bayi tersebut tidak memperolehnya secara lengkap. Angka Drop Out (DO) merupakan indikator untuk menilai manajemen program, dihitung berdasarkan persentase penurunan cakupan imunisasi DPT1 terhadap cakupan imunisasi DPT3 ataupun Campak. Angka DO yang diharapkan adalah tidak lebih atau kurang dari 5%.
Analisa DO untuk profil ini menggunakan DO antara cakupan imunisasi DPT1 terhadap cakupan imunisasi Campak. Pencapaian angka DO secara nasional pada tahun 2016 telah memenuhi target, yaitu sebesar 2,4%, lebih rendah dari tahun 2015 sebesar 2,9%. Hal ini menunjukkan bahwa secara nasional, pada umumnya manajemen program imunisasi dikelola
23
11[111[1 , g
LI Eilgk g i!I
8 51 3 — a 5 8.0 4 9.0
-10,0 11,0 A 12,0 13,0 14.0 15,0 -• 16,0
3,3 3,1
5,0
4,5
4,0
3,5
3,0
2,5
2,0
1,5
1,0
0,5
0,0
2,9
2011 2012 2013 2014 )010,
dengan lebih baik. Sebanyak 21 provinsi telah mencapai target angka DO. Namun, masih terdapat sembilan provinsi yang belum memenuhi target. Terdapat juga empat provinsi dengan DO minus (Bangka Belitung, Kalimantan Selatan dan Kep. Riau). Kondisi ini dapat disebabkan dua hal yaitu : banyaknya anak yang diimunisasi campak dibandingkan dengan anak yang diimunisasi DPT1 atau karena menghitung anak dan i luar wilayah yang diimunisasi campak kedalam cakupan wilayah tersebut. Pencapaian angka DO per provinsi dapat dilihat pada grafik di bawah ini.
Sumber : Laporan Rutin Imunisasi Provinsi Tahun 2016, Subdit Imunisasi, Dit. SKK
Grafik 2.25 Angka Drop Out (DPT1-Campak)
Tahun 2016
Jika dilihat dan i tahun 2011-2016, angka Drop Out menunjukkan kecenderungan yang terus menurun. Angka Drop Out sejak lima tahun terakhir sudah sesuai dengan target yakni 5%. Hal ini berarti kecenderungan bayi tidak mendapat imunisasi lengkap pun semakin menurun.
Sumber Laporan Rutin Imunisasi Provinsi Tahun 2016, Subdit Imunisasi, Dit. SKK
Grafik 2.26 Pencapaian Angka Drop Out (DPT1-Campak)
Tahun 2011 sd 2016
Anak yang telah mendapatkan imunisasi dasar lengkap pada saat bayi, masih perlu diberikan imunisasi lanjutan pada saat usianya bawah dua tahun (baduta), sekolah dasar dan untuk perempuan saat usia subur (15-39 tahun).
24
,
1 .....,
a i a a a ,
a a
li,
i i 4 . .---i.
a
11 'I 1
I 1
3
b. Imunisasi Batita
Pemberian imunisasi lanjutan pada anak usia dibawah dua tahun (baduta) diberikan pada rentang usia 18-24 bulan berupa satu dosis imunisasi DPT-HB-Hib dan satu dosis imunisasi campak. Rentang usia pemberian ini dilakukan sebagai upaya untuk meluaskan jangkauan sasaran sehingga dapat dipastikan sebelum anak berusia dua tahun selain telah lengkap imunisasi dasarnya juga telah mendapatkan imunisasi lanjutan baduta.
Pelaksanaan imunisasi pada baduta di tahun 2016 telah dapat mencapai target yang ditetapkan dalam Renstra meskipun masih terbilang rendah. Hasil ini masih belum merata, bahkan masih terdapat daerah yang belum melaksanakan pemberian imunisasi lanjutan pada baduta. Penyebab dan i hal ini dikarenakan belum tersosialisasikannya kegiatan imunisasi rutin pada baduta ini kepada pelaksana imunisasi di lapangan maupun kepada institusi fasilitas pelayanan kesehatan. Terutama kepada institusi yang seringkali mengalami pergantian staf. Informasi yang ada terhenti pada petugas yang telah dilatih sebelumnya. Penyebarluasan informasi kepada masyarakat masih dirasakan kurang optimal sehingga masih banyak orang tua yang menolak membawa anaknya untuk mendapatkan imunisasi saat baduta karena menganggap imunisasi anaknya telah lengkap saat bayi.
Sumber : Laporan Rutin Imunisasi Provinsi Tahun 2016, Subdit Imunisasi, Dit. SKK
Grafik 2.27 Cakupan Imunisasi DPT-HB-Hib pada Baduta
Tahun 2016
Imunisasi lanjutan pada baduta masuk dalam program rutin sebagai upaya untuk meningkatkan kembali titer antibodi pada anak yang telah menurun di usia tersebut. Sehingga diharapkan dengan adanya program rutin ini, angka kasus penyakit campak, difteri, pertusis, meningitis dan pneumonia dapat berkurang.
Pada tahun 2016, telah ditetapkan target cakupan untuk imunisasi lanjutan pada baduta sebesar 40% dan pada tahun 2019 ditargetkan sebesar 70%.
25
Oka
no
0.0
no
0.0
1 I z
- a 2
!i
3
INDONESIA PAPUA
PAPUA BARAT MALUKU UTARA
MALUKU SULAWESI BARAT
GORONTALO SULAWESI TENGGARA
SULAWESI SELATAN SULAWESI TENGAH
SULAWESI UTARA KALIMANTAN UTARA KALIMANTAN TIMUR
KALIMANTAN SELATAN KALIMANTAN TENGAH
KAUMANTAN BARAT NUSA TENGGARA TIMUR NUSA TENGGARA BARAT
BALI BANTEN
JAWA 11MUR YOGYAICARTA
JAWA TENGAH JAWA BARAT DKI JAKARTA
KEPULAUAN RIAU BANGKA BELITU NG
LAM PU NG BE NO KU 111
SUMATERA SELATAN IAMBI RIAU
SUMATERA BARAT SUMATERA UTARA
ACEN
95.1 26,1
0,0 93,5
79,9 92,0
103 85,9
95,9
91,6 67,8
93,8
100,0 101,1 100,4
51,1 82,4
96,5 105
96,9
90,2
06 06
105 98,4
88,0 82,2
,9
6
3
7
8
• BIAS CPK 00 10,0 2040 30,0 40,0 50,0 6040 70,0 80,0 90,0 100,0110,0
INDONESIA PAPUA
PAPUA BARAT MALUKU UTARA
MALUKU SULAWESI BARAT
GORONTALO SULAWESI TENGGARA
SULAWESI SELATAN SULAWESI TENGAH
SULAWESI UTARA KALIMANTAN UTARA KALIMANTAN TIMUR
KAUMANTAN SELATAN KALIMANTAN TENGAH
KALIMANTAN BARAT NUSA TENGGARA TIMUR NUSA TENGGARA BARAT
BAU BANTEN
JAWA TIMUR D.I. YOGYAKARTA
JAWA TENGAH JAWA BARAT DKI JAKARTA
KEPULAUAN RIAU BANGKA BEUTUNG
LAM PU NG BENGKULU
SUMATERA SELATAN JAMBI RIAU
SUMATERA BARAT SUMATERA UTARA
ACEH
95,3
25,1 0,0
77,9 79,0
85,9
2
ammiwoh..
51 63,6
100,0 100,5 100,2
98,0
61,1 81,6
104 94,5
74,6 85,6
101 HI Of
I I 104
98,3 98,0
86,5 80,9
,s
,6 ,5 ,9
II BIAS DT 00 10,0 20,0 30,0 40,0 50,0 60,0 70,0 80,0 90,0 100,0 110,0
Sumber : Laporan Rutm Imunisasi Provinsi Tahun 2016, Subdit Imunisasi, Oft SKK
Grafik 2.28 Cakupan Imunisasi Campak pada Baduta
Tahun 2016
c. Imunisasi Anak Sekolah
Imunisasi pada anak sekolah diberikan kepada siswa di sekolah dasar (SD) yang terdiri dan i imunisasi Campak dan DT pada siswa kelas 1 dan imunisasi Td pada siswa kelas 2 dan 3. Pemberian imunisasi tersebut dilaksanakan pada bulan Agustus untuk imunisasi Campak dan bulan November untuk imunisasi DT dan Td, dikenal dengan Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS). Tujuan dan i BIAS ini adalah untuk memberikan perlindungan jangka panjang bagi anak terhadap penyakit Campak, Difteri, dan Tetanus.
26
INDONESIA PAPUA 23?
I 91 9
PAPUA BARAT 0,2 MALUKU UTARA
(7(1
MALUKU I 90 '
/1 2 I SULAWESI RABAT 9 T 0
GORONTALO 107 7 SULAWESI TENGGARA
SULAWESI SELATAN 00 9
SULAWESI TENGAH I 9, ,(
SULAWESI UTARA KALIMANTAN UTARA
I 1173
KALIMANTAN TIMUR I 53
KALIMANTAN SELATAN 1 I 90 4 KALIMANTAN TENGAH
KALIMANTAN BARAT NUSA TENGGARA TIMUR 8' ,4 NUSA TENGGARA BARAT I 95
BALI I 976 BANTEN 62 6
JAWA TIMUR 011 DJ. YOGYAKARTA I 102 2
JAWA TENGAH 10641 JAWA BARAT I 93 0 OKI JAKARTA I /0 0
KEPUIAUAN RIAli 1 90 9 BANGKA BELITU NG 407 0
LAMPU NG <11057 BENGKULU 11106,5
SUMATERA SELATAN Ag. IAMBI MEI RIAU 1 97 5
SUMATERA RABAT I 100 4 SUMATERA UTARA 89,2
ACEH ir
CI BIAS Td 0,0 10,0
1.
50,0 60,0 70,0
AN 86,2
20,0 30,0 40,0 80,0 90,0 100,0 110,0
Sumber Laporan Rutin Imunisasi Provinsi Tahun 2016, Subdit Imunisasi, Dit. SKK
Grafik 2.29 Cakupan BIAS Tahun 2016
Cakupan BIAS Campak, DT maupun Td nasional pada tahun 2016 belum mencapai target (..95%). Cakupan imunisasi campak pada anak sekolah mencapai 78,1%, cakupan DT 75,4%, dan cakupan Td 91,9%. Capaian antigen imunisasi Td lebih tinggi dan i tahun 2015, sementara untuk cakupan imunisasi campak dan DT lebih rendah dan i tahun 2015. Capaian pada tahun 2016 ini jauh lebih rendah dan i capaian tahun-tahun sebelumnya. Beberapa hal menjadi penyebab menurunnya capaian BIAS pada tahun 2016 ini dikarenakan mulai tahun 2016 sasaran yang digunakan menggunakan sasaran yang dikeluarkan oleh Pusdatin sehingga denominator langsung dibagi dengan jumlah anak pada kelas SD yang dimaksud seluruh Indonesia. Hal ini berbeda dengan penggunaan denominator sasaran di tahun-tahun sebelumnya yaitu masih menggunakan jumlah sasaran anak SD yang berasal dan i daerah. Hal tersebut mengakibatkan cakupan yang didapat masih belum valid, karena siswa dan i sekolah yang tidak ikut melaksanakan BIAS tidak tercatat sebagai denominator. Selain itu banyak daerah yang tidak melaksanakan BIAS dikarenakan keterbatasan anggaran dan adanya pelaksanaan Crash Program Campak.
Pada beberapa provinsi dimana sasaran Pusdatin lebih rendah daripada sasaran yang ada di daerah, maka cakupan yang didapat akan lebih dan i 100% seperti Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Bangka Belitung, DKI, Jawa Tengah, DIY, Bali, NTB, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah dan Gorontalo. Untuk cakupan imunisasi campak, imunisasi DT, dan imunisasi Td, terdapat 17 provinsi yang telah mencapai target cakupan masing-masing imunisasi tersebut, yaitu Provinsi Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Bangka Belitung, Jawa Tengah, DIY, Bali, NTB, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo.
27
96,0
94,0
92,0
90,0
88,0
86,0
84,0
82,0
80,0
78,0
.••••• BIAS CPI(
•410.131AS DT ▪ BIAS Td
2011 2012 2013 2014 2015 2016 89,3 91,8 93,4 91,8 94,9 95,1 84,0 91,7 93,1 92,6 85,9 92,0 91,4 93,4 94,6 92,7 93,7 91,9
Cakupan BIAS nasional pada tahun 2016 untuk campak dan DT lebih tinggi dibandingkan tahun 2015, sementara untuk cakupan Td sedikit lebih rendah dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Sumber : Laporan Rutin lmunisasi Prowls! Tahun 2016, Subdit lmunisasi, Dit SKK
Grafik 2.30 Cakupan BIAS Tahun 2011 sd 2016
d. Imunisasi pada Ibu Hamil
Salah satu penyakit menular yang menjadi penyebab kematian ibu dan anak adalah tetanus maternal (tetanus yang terjadi pada ibu hamil) dan tetanus neonatal (tetanus yang terjadi pada bay i baru lahir). Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementerian Kesehatan RI, berkomitmen dalam program Eliminasi Tetanus pada Maternal dan Neonatal (MNTE), yang merupakan program eliminasi tetanus pada bayi baru lahir dan wanita usia subur termasuk ibu hamil. Menurut WHO, tetanus maternal dan neonatal dikatakan tereliminasi apabila hanya terdapat kurang dan i satu kasus tetanus neonatal per 1000 kelahiran hidup di setiap kabupaten.
Salah satu upaya untuk mencapai eliminasi tersebut adalah pemberian imunisasi menggunakan vaksin mengandung T pada wanita usia subur, termasuk ibu hamil, untuk memberikan perlindungan seumur hidup terhadap penyakit tetanus, termasuk tetanus maternal dan tetanus neonatal. Perlindungan seumur hidup tersebut dapat diperoleh dengan imunisasi menggunakan vaksin mengandung T sebanyak 5 dosis sesuai dengan interval atau jarak waktu yang ditentukan. Pada tahun 2016, program imunisasi nasional mulai memberikan vaksin Td pada ibu hamil. Pemberian ini dilakukan sebagai perlindungan terhadap ibu hamil dan i penyakit tetanus dan difteri setelah melalui analisa epidemiologi terhadap peningkatan kasus difteri di Indonesia yang banyak terjadi pada usia diatas 15 tahun. Pemberian imunisasi Td dilakukan dengan menghabiskan terlebih dahulu stok vaksin TT yang ada di tingkat pelayanan dan tempat pelayanan milik Dinas Kesehatan.
Pada bulan Mei tahun 2016, Indonesia dinyatakan telah tereliminasi dan i Tetanus pada Maternal dan Neonatal (TMN) setelah regional 4 Indonesia yang meliputi Provinsi Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat dinyatakan tervalidasi dan i eliminasi TMN.
28
1040
93A
80.0
70.0
60.0
50.0
300
10,0
0,0
a% ai 5iv '1111
, yti8
111
1111111111111111111111f i
4 a ,
80,0
/0,0
00,0 63,6
50,0
64,4
47,3
40,0
30,0 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Sumber : Laporan Rutin Imunisasi Provinsi Tahun 2016, Subdit Imunisasi, Oft SKK
Sumber : Laporan Rutin Imunisasi Provinsi Tahun 2016, Sub& Imunisasi, Dit. SKK
Grafik 2.31 Pencapaian Cakupan Imunisasi TT2+ pada Ibu Hamil
Tahun 2016
Cakupan TT2+ ibu hamil secara nasional belum dapat mencapai target 80%), yaitu 64,4%. Dan i 34 provinsi, hanya lima provinsi yang telah mencapai target, yaitu Jawa Barat, Jambi, Bangka Belitung, Sumatera Selatan dan DI Yogyakarta. Cakupan tertinggi adalah provinsi Jawa Barat (102,1%). Rendahnya capaian ini karena masih belum optimalnya penerapan skrining status T pada saat pemberian imunisasi TT/Td saat WUS serta banyak daerah yang tidak optimal dalam memberikan laporan capaian pelaksanaan imunisasi TT/Td pada WUS.
Grafik 2.32 Pencapaian Cakupan Imunisasi T2+ pada lbu Hamil
Tahun 2011 sd 2016
Pada tahun 2011 sampai dengan tahun 2014, cakupan imunisasi T2+ pada ibu hamil cenderung mengalami penurunan. Tahun 2014 merupakan cakupan terendah dalam lima tahun terakhir. Akan tetapi cakupan imunisasi tersebut mengalami kenaikan yang cukup signifikan di
29
tahun 2015 menjadi 65,2% dan sedikit menurun pada tahun 2016. Dalam periode tahun 2011-2016, cakupan imunisasi 12+ bagi ibu hamil belum dapat mencapai target yang telah ditetapkan (>80%). Beberapa penyebab belum tercapainya target antara lain belum optimalnya penerapan skrining status T sebelum pemberian imunisasi TT/Td pada WUS, sehingga data cakupan T2+ yang terlaporkan cenderung under reporting. Pelaporan hasil imunisasi TT/Td Selain itu, Pemberian imunisasi TT/Td di lapangan lebih fokus pada WUS yang hamil.
e. Indikator persentase kabupaten/kota dengan IDL >80%
Dalam RPJMN dan Renstra Kementerian Kesehatan RI tahun 2015-2019, imunisasi memiliki indikator yang menjadi pantauan secara intensif, yaitu (a) persentase anak usia 0-11 bulan yang mendapat imunisasi dasar lengkap (IDL); dan (b) persentase kabupaten/kota dengan cakupan IDL minimal 80%.
Indikator kedua merupakan pengembangan dan i indikator UCI Desa. Pemilihan indikator ini didasarkan atas ketersediaan data dan ketersediaan anggaran di tingkat pusat maupun daerah, dimana daerah memiliki SPM sebagai acuan dalam pecapaian target nasional.
Target indikator persentase kabupaten/kota dengan cakupan minimal IDL 80% pada tahun 2016 sebesar 80%. Hal ini berarti minimal sebanyak 411 kabupaten/kota harus memiliki cakupan IDL minimal 80%.
lmunisasi memberikan perlindungan baik secara individu dan komunitas di suatu daerah dan i Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I). Apabila suatu daerah (dalam hal ini kabupaten/kota) memiliki cakupan imunisasi dasar lengkap minimal 80% dan i sasaran bayinya, maka kabupaten/kota tersebut memiliki sasaran yang telah terlindungi dan i PD3I.
Persentase kabupaten/kota dimana minimal 80% bayi 0-11 bulan di kabupaten/kota tersebut telah mendapat satu kali imunisasi Hepatitis B saat lahir, satu kali imunisasi BCG, tiga kali imunisasi DPT-HB-Hib, empat kali imunisasi polio tetes (atau 3 kali imunisasi polio suntik), dan satu kali imunisasi campak dalam kurun waktu satu tahun.
Capaian Indikator Tahun 2016:
No Indikator Kinerja Target (%)
Capaian (%)
% Capaian
1 Persentase kabupaten/kota yang mencapai minimal 80% imunisasi dasar lengkap pada bayi.
80 80,7 100,9
30
Capaian Indikator per Provinsi Tahun 2016:
Grafik 2.33 Pencapaian % Kabupaten/Kota dengan IDL Minimal 80%
Tahun 2016
Sumber Laporan Rutin lmunisasi Provinsi Tahun 2016, Subdit lmunisasi, Dit. SKK
Pada tahun 2016, sebanyak 415 (80,7%) kabupaten/kota telah mencapai target minimal 80% sasaran bayinya mendapatkan imunisasi dasar lengkap, sehingga dan i target 80% yang ditetapkan, telah tercapai sebesar 100,9%.
f. Eradikasi Polio
Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menjaga dan meningkatkan kualitas kesehatan rakyatnya dan bersama-sama dengan dengan negara-negara di dunia memiliki target-target global terkait kesehatan seeperti pengendalian, reduksi, eliminasi dan eradikasi terhadap penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (P03I). Eradikasi polio akan memberi keuntungan secara finansial. Biaya yang dikeluarkan untuk mencapai eradikasi tidak seberapa dibanding dengan keuntungan yang akan didapat dalam jangka panjang, yaitu tidak akan ada lagi anak-anak yang menjadi cacat karena polio dan biaya untuk imunisasi polio akan dapat dihemat.
Tahun 2016 merupakan tahun monumental bagi Indonesia, dimana pada tahun tersebut Indonesia turut serta dalam komitmen dan kesepakatan global untuk bersama-sama mencapai target eradikasi polio melalui pelaksanaan beberapa rangkaian kegiatan yaitu Pekan Imunisasi Nasional (PIN) Polio pada tanggal 8-15 Maret 2016 di seluruh Indonesia (kecuali DIY) dengan memberikan imunisasi polio tetes sebanyak satu dosis kepada anak usia 0-59 bulan tanpa memandang status imunisasi polio sebelumnya. Kegiatan tersebut diikuti dengan kegiatan penggantian (switching) vaksin polio oral trivalen (tOPV) menjadi vaksin polio oral bivalen (b0PV) pada tanggal 4 April 2016 diseluruh Indonesia, kecuali Provinsi DlYsecara serentak untuk kemudian melakukan pemusnahan vaksin tOPV hingga 30 April 2016 dan yang terakhir adalah introduksi imunisasi polio suntik IPV ke dalam program imunisasi nasional.
1. Pekan lmunisasi Nasional (PIN) Polio
31
„
111111141114,/fellirallastevd" Mk, if
Indonesia bersama dengan negara-negara anggota WHO lainnya di regional Asia Tenggara telah dinyatakan bebas polio pada 27 Maret 2014. Meskipun kasus polio sudah lama tidak ditemukan di Indonesia, namun berdasarkan hasil analisa para ahli, Indonesia dikategorikan berisiko tinggi untuk terjadi penularan virus polio dan i negara lain (importasi) karena masih terdapat daerah-daerah dengan cakupan imunisasi rutin yang rendah.
Berdasarkan akumulasi kelompok rentan terhadap polio, kinerja surveilans dan evaluasi program, maka Indonesia dikategorikan berisiko tinggi terhadap importasi polio. Dengan demikian, para ahli merekomendasikan agar dilaksanakan PIN Polio pada balita (anak usia 0-59 bulan) untuk memberikan perlindungan yang optimal bagi seluruh anak terhadap virus polio.
PIN Polio ini merupakan suatu kegiatan yang besar karena tidak hanya melibatkan unsur kesehatan (khususnya program imunisasi) tetapi juga melibatkan unsur lainnya dalam pemerintahan dan masyarakat baik yang ada di tingkat pusat, bahkan hingga tingkat desa. Pengerahan masyarakat untuk membawa anaknya mendapatkan imunisasi tambahan polio ini dilakukan oleh banyak pihak secara bersama-sama dan saling mendukung.
Beberapa upaya dan langkah dilakukan dalam rangka mempersiapkan PIN Polio seperti : advokasi dan sosialisasi secara berjenjang di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota dan puskesmas; pelatihan petugas imunisasi di seluruh puskesmas; penyusunan dan pengadaan buku pedoman; penyusunan materi KIE bersama dengan Direktorat Promosi Kesehatan dan pengadaan materi KIE; dibentuknya Kelompok Kerja Eradikasi Polio yang melibatkan berbagai unsur organisasi/instansi baik pemerintah maupun masyarakat; melaksanakan Rapat Koordinasi Nasional Pelaksanaan PIN Polio di Bogor pada 9-12 Februari 2016; pengiriman surat permohonan dukungan dan i Menteri Kesehatan RI dan Dirjen P2P.
Pelaksanaan PIN Polio tahun 2016 telah mencapai target cakupan yaitu > 95%. Cakupan PIN Polio yang sudah dicapai yaitu 96,5% atau sejumlah 22.883.895 balita telah diberikan imunisasi polio dan i total sasaran 23.721.004 balita. Hasil cakupan PIN Polio di masing-masing provinsi dapat dilihat pada peta dan tabel di bawah mi.
Gambar 2.6
Keterangan MR Cakupan .80%
Cakupan egg% dan .95% Cakupan a95%
32
Tabel 2.7 Laporan Has Pelaksanaan Pekan lmunisasi Nasional Polio Per Provinsi Di Indonesia
L APORAII HASIL PE AKSANAAN PEKAN IMUNISAS1 NASIONAl POLIO PER PROVINSI DI INDONESIA
NO KODE
7
PROVINCE SASARAN BALITA
(0-59 BULAN) DAERAH
4
SASARAN BALITA (0- 59 BOLAN) PUSAT
56
KUMU1ATIF HAM fIVIUNISASI
JUMLAH PERSENTASI
DAERAH PUSDATIN
0 7 1
1 11 ACEH 505.280 565.567 516.503 102,2 91,3 2 12 SUMATERA UTARA 1.467.061 1.556.525 1.479.038 100,8 95,0 3 13 SUMATERA EIARAT 444.178 545.359 509.194 114,6 93,4 4 14 RIAU 646.796 771.829 676.853 104,6 87,7 5 15 JAMBI 323.948 323.535 324.882 100,3 100,4 6 16 SUMATERA SELATAN 835.095 806.001 872.158 104,4 108,2 7 17 BENGKULU 181.560 182.675 173.815 95,7 95,1 8 18 LAMPUNG 786.031 788.255 815.325 103,7 103,4 9 31 DKI JAKARTA 934.696 934422 910.059 97,4 97,4
10 32 JAWA BARAT 4.129.128 4.371.807 4.161.954 100,8 95,2 11 33 JAWA TENGAH 2.626.006 2.712.253 2.753.554 104,9 101,5 12 35 lAWA TIMUR 2.776.419 2.899.420 2.930.630 105,6 101,1 13 61 KALIMANTAN BARAT 499.852 497.770 501.934 100,4 100,8 14 62 KALIMANTAN TENGAH 256.048 252.035 258.430 100,9 102,5 15 63 KALIMANTAN SELATAN 331.641 406.695 364.733 110,0 89,7 16 64 KAUMANTAN TIMUR 338.759 349.038 349.925 103,3 100,3 17 71 SULAWESI UTARA 184.478 208.701 189.923 103,0 91,0 18 72 SULAWESI TENGAH 299.678 299.678 293.093 97,8 97,8
19 73 SULAWESI SELATAN 796.106 834.646 770.640 96,8 92,3 20 74 SULAVVESI TENGGARA 294.820 294.820 267.625 90,8 90,8 21 51 BALI 270.961 325.151 322.047 118,9 99,0
22 52 NUSA TENGGARA BARAT 481.724 503.860 496.836 103,1 98,6 23 53 NUSA TENGGARA TIMUR 474.358 627.471 496.254 104,6 79,1 24 81 MALUKU 196.871 202.048 193.519 98,3 95,8
25 94 PAPUA 318.749 318.749 245.736 77,1 77,1 26 36 BANTU/ 1.226.909 1.226.909 1.169.875 95,4 95,4
27 82 MALUKU UTARA 113.022 138.071 117.428 103,9 85,0 28 75 GORONTALO 88.622 110.965 95.393 107,6 86,0 29 19 BANGKA BEUTUNG 133.230 131.595 135.767 101,9 103,2 30 91 PAPUA BARAT 97.394 97.394 104.998 107,8 107,8 31 21 KEPULAUAN RIAU 213.787 219.0% 190.645 88,9 86,7 32 76 SULAWESI BARAT 122.269 146.737 127.408 104,2 86,8 33 65 KALIMANTAN UTARA 65.471 71.927 68.321 104,4 95,0
INDONESIA 22.460.947 23.721.004 2/883.895 101,9 96,5
Dalam rangka pemantauan proses pelaksanaan sekaligus evaluasi hasil pelaksanaan PIN Polio, Kementerian Kesehatan juga melakukan monitoring dan evaluasi di provinsi terpilih yaitu Jawa Tengah, Sumatera Utara, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Lampung, NTB, Aceh, Maluku, dan Kalimantan Timur.
Berikut ini adalah hasil Rapid Convenient Assessment (RCA) di rumah tangga hasil pelaksanaan PIN Polio yang dilakukan oleh External Monitor maupun tim Kemenkes.
Total Jumlah Responden : 11755 Jumlah Balita : 14021 Persentase Balita yang di Imunisasi PIN : 93.7%
33
• Tahu • Tistak Tahu
-akst Dimunsstsa
Kenitra trdkasosN_ bsszr \
Kam
- ° WA prays, •
ipso,* POJO wbusi PIS tius
Sas. dan Pe ups Kepho
Grafik 2.34 Hasil Rapid Convenient Assessment (RCA)
Pengetahuan tentang PIN : Sumber informasi PIN: Alasan anak tidak diimunisasi:
Grafik 2.34 Hasil Rapid Convenient Assessment (RCA)
2. Penggantian tOPV menjadi bOPV
Penarikan OPV harus dilaksanakan untuk meminimalisasi risiko munculnya kasus polio yang disebabkan oleh virus polio liar Sabin. Fase pertama dan i penarikan OPV adalah penggantian dan i trivalent oral polio vaccine (tOPV) yang mengandung antigen virus polio tipe 1, 2, dan 3, ke bivalent oral polio vaccine (bOPV) yang hanya mengandung virus polio tipe 1 dan 3.
Virus polio liar tipe 2 sudah dinyatakan berhasil dieradikasi pada tahun 1999 dengan ditemukannya kasus terakhir di India, sedangkankasus kelumpuhan disebabkan virus polio liar tipe 3 terakhir dilaporkan pada tahun 2012 di Nigeria, namun belum dapat dinyatakan bahwa virus polio liar tipe 3 ini juga sudah berhasil dieradikasi. Ketika virus polio liar telah berhasil dieradikasi, kasus kelumpuhan karena circulating vaccine-derived polio virus justru melebihi kasus virus polio liar. Tujuan penggantian tOPV menjadi bOPV adalah untuk menghentikan Kejadian Luar Biasa (KLB) cVDPV (circulating Vaccine-Derived Polio Virus) dan VAPP (Vaccine-associated Paralytic Polio) yang disebabkan virus Polio tipe 2 karena vaksin. Penarikan komponen tipe 2 tOPV merupakan bagian dan i strategi eradikasi Polio dunia tahun 2013 -2018.
Penggantian dilaksanakan secara bersamaan di 156 negara pengguna OPV pada bulan April 2016 bagi program imunisasi rutin dan kegiatan imunisasi tambahan (SlAs). Produsen vaksin tidak akan mensuplai vaksin tOPV lagi sesudah hari penggantian, baik untuk kebutuhan imunisasi rutin maupun tambahan. Penggantian tOPV menjadi bOPV dilaksanakan serentak pada April 2016 karena secara epidemiologis pada bulan April transmisi virus polio terbukti rendah di negara endemis polio atau negara yang baru saja terjadi kasus polio. Penggantian nasional tOPV menjadi bOPV dilaksanakan serentak oleh 33 provinsi di Indonesia pada tanggal 4 April 2016.
Monitoring dan evaluasi dilaksanakan oleh tim Kementerian Kesehatan, WHO, UNICEF, external monitor, provinsi maupun shelf-assessment oleh kabupaten/kota sendiri. Sejumlah 422 kabupaten/kota dan i 509 kabupaten/kota yang harus dikunjungi (82,9%), telah dikunjungi dan dilakukan monitoring dan evaluasi. Sisanya, yaitu sejumlah 87 atau 16,1% kabupaten/kota belum dikunjungi. Dan i keseluruhan monitoring dan evaluasi yang dilaksanakan, diperoleh hasil sebagai berikut:
34
• Puskesmas/fasyankes/tempat penyimpanan vaksin yang masih ditemukan tOPV dim cold chain yaitu sejumlah 214 puskesmas/fasyankes/tempat penyimpanan vaksin atau sebesar 3.4%
• Puskesmas/fasyankes/tempat penyimpanan vaksin yang masih ditemukan tOPV di luar cold chain tetapi tanpa label yaitu sejumlah 221 puskesmas/fasyankes/tempat penyimpanan vaksin atau sebesar 3.5%
• Dan i sejumlah 214 puskesmas/fasyankes/tempat penyimpanan vaksin yang masih ditemukan tOPV dim cold chain, sebagian besarnya, yaitu 74% diantaranya merupakan fasilitas pelayanan kesehatan swasta sebagaimana disajikan dalam grafik di bawah mi.
• lah
I Swam
Dan i kegiatan monitoring ini juga diperoleh informasi bahwa setelah terjadi penggantian tOPV menjadi bOPV, vaksin bOPV di beberapa fasilitas pelayanan masih belum tersedia, sehingga perlu dilakukan tindak lanjut segera yaitu mendistribusikan vaksin bOPV ke fasilitas-fasilitas pelayanan tersebut.
tersedia u tdk tersedia
3. Introduksi IPV
Strategic Advisory Group of Experts (SAGE) WHO merekomendasikan seluruh negara untuk melakukan introduksi minimal 1 dosis IPV ke dalam program imunisasi rutin. Alasan dilaksanakannya introduksi IPV yaitu : a. Untuk mengurangi risiko terjadinya KLB setelah penarikan OPV tipe 2 b. Untuk menghentikan KLB secepatnya apabila virus polio tipe 2 muncul kembali C. Untuk meningkatkan imunitas terhadap virus polio tipe 1 dan 3
Kegiatan pencanangan introduksi IPV nasional dilaksanakan pada 22 Juli 2016 dengan melakukan kegiatan pencanangan secara resmi oleh lbu Menkes bersama dengan Bupati Gianyar dengan melakukan pemukulan gong yang diikuti dengan peninjauan pelaksanaan pelayanan imunisasi IPV di pos imunisasi yang ada di lokasi pencanangan serta berinteraksi dengan ibu dan balita (rundown acara terlampir). Kegiatan dilaksanakan di Balai Budaya Gianyar, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali.
Pelaksanaan introduksi IPV secara nasional ditandai dengan dicanangkannya introduksi IPV di Kabupaten Gianyar, Bali pada tanggal 22 Juli 2016 oleh lbu Menteri Kesehatan. Untuk 32 provinsi lainnya, introduksi IPV dimulai pada bulan Desember 2016. Keterlambatan mulainya introduksi IPV di 32 provinsi lainnya ini disebabkan karena terlambatnya penyediaan
35
vaksin IPV oleh penyedia dikarenakan ketersediaan vaksin di dunia yang sangat terbatas (global shortage). Cakupan pemberian imunisasi IPV di 33 provinsi yang melaksanakan introduksi di tahun 2016, sampai dengan tanggal 2 Desember 2016, adalah sebesar 0,1% atau sejumlah 4398 anak telah mendapatkan imunisasi IPV sebanyak 1 dosis. Untuk sementara, provinsi yang melaporkan data cakupan hanya provinsi Bali saja yang memang sudah lebih dulu melaksanakan introduksi di bulan Juli 2016.
g. Crash Program Campak
Campak merupakan penyakit yang sangat mudah menular yang disebabkan oleh virus dengan masa inkubasi rata-rata 8-13 hail. Gejala penyakit campak adalah demam, bercak kemerahan pada kulit (rash) disertai dengan batuk dan/atau pilek dan/atau konjungtivitis. Campak merupakan salah satu penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Saat ini target dunia termasuk Indonesia dalam pengendalian campak adalah tercapainya eliminasi campak.
Upaya-upaya yang dilakukan dalam rangka penguatan dan percepatan eliminasi campak adalah : penguatan imunisasi campak dosis pertama dan kedua, dengan cakupan minimal 95% di tingkat nasional dan 90% di tingkat kabupaten/kota untuk menjamin tinggi dan meratanya imunitas masyarakat terhadap campak; penguatan tatalaksana KLB dimana setiap KLB harus dilakukan investigasi menyeluruh; penguatan Case Based Measles Surveillance; pelaksanaan kampanye imunisasi campak pada daerah risiko tinggi campak. Kampanye imunisasi campak yang terakhir dilakukan di Indonesia adalah pada tahun 2009 — 2011 dengan cakupan 96,6%.
Indonesia telah berkomitmen untuk mencapai eliminasi campak pada tahun 2020. Akan tetapi masih banyak dilaporkan kasus campak dan daerah kantong dengan cakupan imunisasi rendah. Berdasarkan hal tersebut, maka diperlukan upaya untuk menutup kesenjangan imunitas dan menurunkan insiden campak serta meningkatkan status imunitas pada kelompok rentan sehingga dapat menurunkan risiko kejadian campak pada daerah-daerah dengan cakupan imunisasi campak yang rendah, diperlukan upaya pemberian imunisasi campak tambahan selain penguatan imunisasi rutin melalui kegiatan Crash Program Campak pada anak usia 9 — 59 bulan pada kabupaten/kota risiko tinggi pada tahun 2016. Crash Program Campak dilaksanakan berdasarkan hasil analisa dua indikator yaitu cakupan imunisasi dan surveilans. Analisa dilakukan dengan melakukan skoring yang mempertimbangkan hasil cakupan imunisasi, angka insidens penyakit, kejadian KLB, reporting rate, discarded rate dan kelengkapan laporan bulanan. Maka terpilih 183 kabupaten/kota risiko tinggi di 28 provinsi yang harus melaksanakan kegiatan Crash Program Campak pada tahun 2016.
Kegiatan Crash Program Campak dilaksanakan pada bulan Agustus 2016, terintegrasi dengan bulan pemberian vitamin A dan obat cacing (di kabupaten/kota tertentu). Untuk menandai dimulainya kegiatan CPC serta untuk meningkatkan perhatian masyarakat akan adanya kegiatan ini maka dilaksanakan pencanangan secara nasional di Kota Pontianak Provinsi Kalimantan Barat. Kegiatan Crash Program Campak dicanangkan oleh Ibu Menteri Kesehatan pada tanggal 4 Agustus 2016.
Hasil akhir pelaksanaan Crash Program Campak, secara nasional tercapai cakupan 86,2%, masih belum berhasil mencapai target cakupan sebesar 95%. Dad 28 provinsi didapatkan hasil sebagai berikut: • 10 provinsi berhasil mencapai cakupan lebih dan i 95%, yaitu provinsi Jambi, Lampung, Papua
Barat, Sumatera Selatan, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Maluku, Jawa Barat, Maluku Utara dan Sulawesi Tengah
36
• 15 provinsi dengan cakupan <95% - 80%, yaitu provinsi Kalimantan Tengah, DKI Jakarta, Bangka Belitung, Kalimantan Selatan, Riau, Kalimantan Barat, Bengkulu Sulawesi Tenggara, Sumatera Barat, Sumatera Utara, sulawesi Barat, NTB, Sulawesi Utara, Banten dan Sulawesi Selatan
• 3 provinsi dengan cakupan <80%, yaitu provinsi NTT, Aceh dan Papua.
Gam bar 2.7 Gambaran Capaian kegiatan Crash Program Campak
Beberapa masalah yang ditemukan di lapangan sebagai berikut: • Adanya perbedaan data sasaran daerah dengan Pusdatin di beberapa provinsi • Tidak tersedia dana operasional di beberapa kabupaten • Penolakan masyarakat karena takut suntikan, takut efek samping setelah imunisasi dan isu
vaksin palsu
Setelah berakhir pelaksanaan CPC maka dilakukan pertemuan untuk mengevaluasi hasil cakupan CPC dengan mengundang para ahli dan i Komite Verifikasi Campak, WHO dan UNICEF. Pertemuan dilaksanakan pada tanggal 1-2 September 2016 di Hotel Manhattan Jakarta. Cakupan secara nasional belum mencapai target yang diharapkan (78,3%), maka direkomendasikan untuk melanjutkan kegiatan sampai akhir September 2016 bagi provinsi yang belum mencapai target.
h. Demonstration Project Human Papillomavirus (HPV)
Kanker merupakan salah satu masalah kesehatan di Indonesia. Berdasarkan Riskesdas 2013, kasus kanker di Indonesia adalah ± 330.000 orang dimana kanker leher rahim atau yang disebut juga sebagai kanker serviks, merupakan kasus terbesar dengan prevalensi 0,8 permil atau 1 perseribu penduduk. Penyebab terbanyak dan i kanker serviks (>90%) adalah Human Papiloma Virus (HPV) tipe 16 dan 18.
Data Riskesdas 2013 dan WHO//CO Information Centre on HPV and Cervical Cancer menunjukkan bahwa 2 dan i 10.000 wanita di Indonesia akan menderita kanker serviks dan setiap harinya 26 wanita meninggal karena kanker serviks serta ditemukan 58 kasus baru setiap harinya. Sekitar 80% penderita yang datang sudah dalam stadium lanjut sehingga usia harapan hidup rendah dan membutuhkan biaya yang besar untuk pengobatannya.
37
Program nasional pencegahan kanker yang saat ini dilakukan adalah melalui deteksi dini kanker serviks dengan metode IVA. Pencegahan primer kanker serviks akan semakin efektif jika dibarengi dengan melakukan upaya proteksi spesifik dengan memberikan imunisasi HPV.
Pada tanggal 15 Februari 2016, Komite Penasihat Ahli Imunisasi Nasional (Indonesian Technical Advisory Group on Immunization) juga telah memberikan rekomendasi bahwa vaksin HPV dinyatakan aman dan efektif dalam pencegahan kanker serviks dan perlu dilakukan program demonstrasi (demonstration program) imunisasi HPV.
Kegiatan ini diawali dengan demonstration program pemberian imunisasi HPV di lokasi percontohan yang memiliki angka beban penyakit yang tinggi dan dipandang memiliki kesiapan dalam melaksanakan imunisasi PCV yaitu Provinsi DKI Jakarta mulai tahun 2016. Selanjutnya akan diperluas ke 2 (dua) Kabupaten di Provinsi DIY antara lain Kabupaten Gunung Kidul dan KuIon Progo serta 1 kota di Provinsi Jawa Timur yaitu Kota Surabaya pada tahun 2017.
Imunisasi HPV diberikan pada anak sekolah kelas 5 (dosis pertama) dan kelas 6 (dosis kedua) SD/MI dan yang sederajat melalui kegiatan Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) di seluruh SD/MI dan yang sederajat baik negeri maupun swasta di Provinsi DKI Jakarta.
Cakupan imunisasi HPV di seluruh SD/MI dan yang sederajat di DKI Jakarta dengan jumlah sasaran 71.830 anak kelas 5 yang tersebar di 2473 SD, 400 MI, 21 SLB, dan 2 panti sosial. Hasil cakupan imunisasi HP adalah 66.094 anak (92%).
D. SUBDIT PENYAKIT INFEKSI EMERGING Penyakit lnfeksi Emerging (PIE) adalah adalah penyakit infeksi yang bersifat cepat
menyebar pada suatu populasi manusia, dapat berasal dan i virus, bakteri atau parasit. Penyakit infeksi Emerging terbagi menjadi tiga jenis yaitu penyakit infeksi yang muncul dan menyerang suatu populasi manusia untuk pertama kalinya (New emerging), penyakit infeksi yang telah ada sebelumnya namun kasusnya meningkat dengan sangat cepat atau menyebar meluas ke daerah geografis baru (Re-Emerging), serta penyakit infeksi di suatu daerah yang kasusnya sudah sangat menurun atau terkontrol, tetapi meningkat lagi kejadiannya.
Dengan adanya Penyakit Infeksi Emerging tersebut perlu adanya jaminan penyelenggaraan pengendalian faktor risiko penyakit di semua tingkat yang memerlukan sumber daya yang baik, didukung NSPK yang tertuang dalam peraturan perundangan. Sumber daya ini rneliputi sumber daya manusia, pendanaan, serta sarana dan prasarana.
Berdasarkan hal tersebut diatas dan sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 64 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tatalaksana Kementerian Kesehatan maka terbentuklah Sub Direktorat Penyakit Infeksi Emerging yang memiliki tugas Dit Penyakit lnfeksi Emerging menyelenggarakan fungsi : • Penyiapan bahan perumusan kebijakan di bidang deteksi dan intervensi penyakit infeksi
emerging; • Penyiapan bahan pelaksanaan kebijakan di bidang deteksi dan intervensi penyakit
infeksi emerging; • Penyiapan bahan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang deteksi dan
intervensi penyakit infeksi emerging; • Penyiapan bahan bimbingan teknis dan supervisi di bidang deteksi dan intervensi
penyakit infeksi emerging; • Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan di bidang deteksi dan intervensi penyakit infeksi
emerging. Dalam melaksanakan tugas dan untuk mencapai Rencana strategis (RENSTRA)
Kementerian Kesehatan dan Rencana Aksi Program (RAP) maka, Subdit PIE memiliki Indikator program. Adapun indikator tersebut yaitu: 1. Jumlah kabupaten/kota yang mampu melaksanakan pencegahan dan pengendalian
penyakit infeksi emerging:
38
a. Definisi operasional pada indikator tersebut yaitu jumlah (angka absolut) kabupaten/kota di Indonesia yang:
Memiliki TGC aktif Melakukan pengamatan mingguan dan/atau penilaian risiko berkala
- Memiliki NSPK penanggulangan PIE - Memiliki pembiayaan penanggulangan PIE dan/atau KLB
b. Kegiatan yang telah dilaksanakan untuk mencapai indikator tersebut diantaranya : Penyusunan pedoman PIE (penyakit virus Zika, Mers-Cov, Yellow Fever) Advokasi dan Sosialisasi ke 10 provinsi Pemetaan kemampuan kabupaten/kota dalam pencegahan dan pengendalian penyakit infeksi emerging Pembiayaan untuk verifikasi rumor, penyelidikan epidemiolog, pemeriksaan laboratorium dan lain-lain. Pengadaan logistik (APD dan kit KLB) Pencetakan media KIE
c. Target capaian indikator kabupaten/kota yang mampu melaksanakan pencegahan dan pengendalian penyakit infeksi emerging, yaitu :
a. Target capaian indikator kabupaten/kota yang mampu melaksanakan pencegahan dan pengendalian penyakit infeksi emerging, adalah :
Tahun 2016 Tahun 2017 Tahun 2018 Tahun 2019 200 Kab/Kota 280 Kab/Kota 350 Kab/Kota 430 Kab/Kota
b. Capaian indikator kabupaten/kota yang mampu melaksanakan pencegahan dan pengendalian penyakit infeksi emerging
Pada tahun 2016 dan i seluruh kabupaten/kota (514 kabupaten/kota) yang ada di 34 provinsi, sebanyak 446 kabupaten/kota (86,6%) telah melaporkan kemampuan melaksanakan pencegahan dan pengendalian penyakit infeksi emerging. Dan i 446 kabupaten/kota yang telah melapor tersebut, ada 171 kabupaten/kota atau tercapai 85,5% yang mampu melaksanakan pencegahan dan pengendalian penyakit infeksi emerging (memiliki TGC aktif dan melakukan pengamatan mingguan dan/atau penilaian risiko berkala) dan i target yang telah ditetapkan sebanyak 200 kabupaten/kota (100%) yang mampu melaksanakan pencegahan dan pengendalian penyakit infeksi emerging.
Tabel 2. 7 Pendataan Kemampuan Kabupaten/Kota dalam P2PIE
Tahun 2016
NO PROVINSI Kab/Kota Kab/Kota yang Melapor
Kab/Kota yang Mampu P2PIE
1 Aceh 23 19 4 2 Sumatera Utara 33 33 8 3 Sumatera Barat 19 5 2 4 Riau 12 8 4 5 Jambi 11 11 10 6 Sumatera Selatan 17 7 4 7 Bengkulu 10 10 0 8 Lampung 15 15 2 9 Bangka Belitung 7 7 2
10 Kepulauan Riau 7 7 1 11 DKI Jakarta 6 6 6 12 Jawa Barat 27 27 13 13 Jawa Tengah 35 33 19
39
14 DI Yogyakarta 5 4 4 15 Jawa Timur 38 26 18 16 Banten 8 4 1 17 Bali 9 9 6 18 Nusa Tenggara Barat 10 10 0 19 Nusa Tenggara Timur 22 21 3 20 Kalimantan Barat 14 12 3 21 Kalimantan Tengah 14 14 5 22 Kalimantan Selatan 13 13 0 23 Kalimantan Timur 10 10 6 24 Kalimantan Utara 5 5 4 25 Sulawesi Utara 15 15 6 26 Sulawesi Tengah 13 13 11 27 Sulawesi Selatan 24 24 13 28 Sulawesi Tenggara 17 17 8 29 Gorontalo 6 6 3 30 Sulawesi Barat 6 5 4 31 Maluku 11 11 0 32 Maluku Utara 10 10 1 33 Papua Barat 13 13 0 34 Papua 29 16 0
_ . Total 514 446 171 a a :28 Februari17
40
if
if
4111.
•=. 60 aiti CI Ai..
100
90
80
70
60
50
40
30
Sum
ate
ra M
ar a
S
um a
te' a
Bar
at
460
Ea"
Jamb
i t
Sum
a ter
a Se
lata
n
7
DI Y
ogya
kar t
Grafik 1. Prosentase (%) Capaian Provinsi Yang Kabupaten/Kota
Mampu Melaksanakan Pencegahan dan PengendaIian Penyakit infeksi Emerging Berdasarkan Kabupaten/Kota Yang Sudah Melapor
Tahun 2016
I On
=
Grafik 2.35 Prosentase(%) Capaian Provinsi Yang Kabupaten/Kota
Mampu melaksanakan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit lnfeksi Emerging Berdasarkan Kabupaten/Kota Yang Sudah Melapor Tahun 2016
Pada grafik diatas menjelaskan bahwa ada 2 (dua) provinsi dengan kabupaten/kota telah mampu (100%) melaksanakan pencegahan dan pengendalian penyakit infeksi emerging yaitu Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi DI Yogyakarta. Selain itu, masih ada 6 (enam) provinsi dengan kabupaten/kota belum mampu (0%) melaksanakan pencegahan dan pengendalian penyakit infeksi emerging yaitu Provinsi Bengkulu, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, Maluku, Papua Barat dan Papua.
Pentingnya kabupaten/kota melakukan pencegahan dan pengendalian penyakit infeksi emerging yaitu agar mampu dalam: 1) Kesiapsiagaan kejadian luar biasa penyakit infeksi emerging, 2) Kewaspadaan dini penyakit infeksi emerging dan 3) Respon penanggulangan penyakit infeksi emerging sehinga terlaksana pencegahan dan pengendalian penyakit infeksi emerging di pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Tinggi rendahnya capaian lndikator Subdit Penyakit Infeksi Emerging ditunjukkan oleh jumlah kabupaten/kota yang mampu melaksanakan pencegahan dan pengendalian penyakit infeksi emerging dan ini didasarkan dani Kabupaten/Kota tersebut telah memiliki TGC Aktif dan melakukan pengamatan mingguan dan atau penilaian risiko berkala.
Dalam mencapai indikator kabupaten/kota yang mampu melaksanakan pencegahan dan pengendalian penyakit infeksi emerging tentunya mendapatkan kendala dan hambatan dalam penyelenggaraannya, sehingga belum semua kabupaten/kota mampu melaksanakannya.
41
Adapun kendala dan hambatan tersebut antara lain : belum semua kabupaten/kota memiliki TGC aktif atau sudah ada TGC tetapi belum di buat SK, upaya deteksi dini penyakit infeksi emerging melalui pengamatan penyakit belum dilaksanakan secara optimal, kurangnya petugas terlatih dalam P2PIE di kabupaten/kota balk dan i segi kuantitas dan kualitas, kurang tersosialisasinya program P2PIE di provinsi dan kabupaten/kota, kurangnya buku pedoman/KIE terkait penyakit infeksi emerging, kurang atau tidak adanya dukungan anggaran khusus P2PIE di kabupaten/kota dan kurang tersedianya sarana dan alat pendukung P2PIE (seperti alat transportasi, alat komunikasi, APD, kit KLB, buffer stok obat KLB dan bencana)
Adapun upaya yang dilakukan Subdit Penyakit lnfeksi dalam mencapai indikator kabupaten/kota yang mampu melaksanakan pencegahan dan pengendalian penyakit infeksi emerging yaitu menyusun pedoman penyakit infeksi emerging,advokasi dan sosialisasi program P2PIE ke provinsi secara bertahap mengingat ketersediaan anggaran, melakukan advokasi aktivasi TGC bagi kabupaten/kota yg belum memiliki TGC aktif, menyediakan pembiayaan Training Of Trainer (TOT) Tim Gerak Cepat (TGC) bagi provinsi untuk meningkatkan kewaspadaan dalam pencegahan dan pengendalian penyakit infeksi emerging, mendukung pembiayaan (verifikasi rumor, pemeriksaan laboratorium, penyelidikan epidemiologi), penguatan koordinasi LP/LS seperti pertemuan koordinasi pengelola program P2PIE yang diikuti oleh seluruh Dinkes Provinsi dan UPT (KKP dan B/BTKLPP) dan melakukan bimbingan teknis kewaspadaan dan deteksi dini penyakit infeksi emerging bagi kabupaten/kota, pengadaan logistik pendukung P2PIE (APD dan KLB Kit) serta pencetakan dan penggandaan media KIE berupa poster, leaflet dan banner (penyakit Demam Kuning, Demam Kongo, Demam Lassa, Meningitis, Polio, Flu Burung dan Rabies).
Kegiatan Karantina Kesehatan
1. Persentase alat angkut sesuai dengan standar kekarantinaan kesehatan sebesar 100%. a. Keg iatan
Alat angkut adalah pesawat udara, kapal, kereta api, kendaraan bermotor atau alat
angkut lainnya yang digunakan dalam melakukan perjalanan internasional yang berasal dan i LN
Alat Angkut yang diperiksa KKP adalah pesawat udara, kapal, kereta api, kendaraan
bermotor atau alat angkut lainnya yang digunakan dalam melakukan perjalanan
internasional yang berasal dan i LN dan telah diperiksa oleh KKP
Dokumen Kesehatan adalah surat keterangan kesehatan yang berkaitan dengan
kekarantinaan yang dimiliki oleh setiap alat angkut, awak, penumpang, barang dan
pelintas batas sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku
Pengawasan dan pemeriksaan kekarantinaan alat angkut dan dokumen kesehatan alat angkut adalah pemeriksaan alat angkut dan dokumen kesehatan alat angkut yang
dilaksanakan melalui kegiatan pemeriksaan langsung/tidak langsung oleh petugas
kesehatan, untuk kapal dengan dikeluarkannya Free Pratique dan untuk pesawat
dengan adanya pemeriksaan Gendec.
Alat Angkut Yang Diperiksa Sesuai Standar Kekarantinaan adalah alat angkut yang datang dan i Luar Negeri yang telah dilakukan pemeriksaan oleh petugas kesehatan
terhadap Dokumen Karantina Kesehatan, Awak Kapal (Nakhoda, ABK) dan faktor risiko
42
sampai dikeluarkannya Free Pratique untuk kapal dan pemeriksaan Kapten, Personil Penerbang dengan melalui pemeriksaan Gendec untuk pesawat.
Dengan hitungan sebagai berikut :
Jumlah Alat angkut datang dari LN yg diperiksa KKP(C0P+Gendec/HPAGD)
x 100% Jumlah Seluruh Alat angkut datang dari LN
Catatan
CoP : Certificate of Pratique
Gendec/HPAGD: General declaration/ Health part aircraft general declaration b. Capaian Indikator
No. Indikator Target Persentase alat angkut sesuai dengan standar kekarantinaan kesehatan sebesar 100%
2015 2016 2017 2018 2019
Jumlah 80 85 90 95 100
Tahun 2016
Jumlah Kedatangan kapal yang berasal dari Luar Negeri = 81.155 buah. Jumlah Kedatangan pesawat yang berasal dari Luar Negeri = 9.889 buah Pemberian CoP = 81.155 sertifikat Pemeriksaan Gendec = 8.897
Jumlah Alat angkut datang dari LN yg diperiksa KKP(C0P+Gendec/HPAGD) x 100%
Jumlah Seluruh Alat angkut datang dari LN
81.155 + 8.897 x100% = 98,9% 81.155 + 9.889
Capaian Tahun 2015
Jumlah Kedatangan kapal yang berasal dari Luar Negeri = 92.533 buah. Jumlah Kedatangan pesawat yang berasal dari Luar Negeri = 89.142 buah
43
Pemberian CoP
Pemeriksaan Gendec = 92.533 sertifikat
= 65.148
Jumlah Alat angkut datang dan i LN yg diperiksa KKP(C0P+Gendec/HPAGD) x 100%
Jumlah Seluruh Alat angkut datang dan LN
92.533 + 65.148 x100% = 86,8% 92.533 + 89.142
c. Upaya yang dilaksanakan untuk mencapai target indicator
Melaksanakan kegiatan pendampingan di Kantor Kesehatan Pelabuhan guna meningkatkan
pemahaman petugas terkait pentingnya instrument kesehatan termasuk CoP dan HPAGD
dalam deteksi dini, mendorong proses advokasi dan pendekatan kepada otoritas bandar
udara dan syahbandar guna meningkatkan kepatuhan nakhkoda/maskapai atau agennya
untuk menyampaikan dokumen pada saat kedatangan.Pertemuan koordinasi secara berkala
dilaksanakan oleh Kantor Kesehatan pelabuhan khususnya di pelabuhan dan bandar udara
dengan volume alat angkut dan i luar negeri yang besar. Penguatan mekanisme
Kekarantinaan kesehatan dengan mengintegrasikan aturan bidang Kekarantinaan Kesehatan
kedalam regulasi nasional yang bersifat umum sehingga dapat digunakan sebagai referensi
bersama di kementerian/lembaga. Hal ini termuat di dalam Peraturan Menteri Perhubungan
RI No. 61 Tahun 2015 tentang Fasilitasi Udara Nasional. Diharapkan semua pihak yang
terkait dengan fasilitasi memehami ruang lingkup, prosedur dan tata cara sesuai dengan
kewenangan, tugas, fungsi dan tanggung jawab institusi terkait dan penyelenggara jasa terkait.
Kendala/ masalah yang dihadapi Untuk penerapan pelaporan HPAGD di bandar udara,
masih memerlukan upaya dalam meningkatkan kepatuhan agen maskapai untuk
menyampaikan Health Part Aircraft General Declaration (HPAGD). Jumlah alat angkut
dair luar negeri yang besar berkontribusi terhadap kepatuhan dan kelengkapan
pelaporan.Implementasi pemberian sertifikat ijin karantina bagi pesawat dan i luar negeri
belum sepenuhnya berjalan sehubungan dengan kecepatan proses kedatangan dan
keberangkatan. Hal ini tidak dapat diimbangi dengan proses administrasi dalam
pencatatan dan pelaporan. Lanjutannya, analisis data CoP dan HPAGD juga masih
belum berjalan dengan baik termasuk umpan balik ke agen maskapai dan kapal serta ke
otoritas bandana dan pelabuhan.
Rencana Pemecahan Masalah Merintis sistem pelaporan dan penyampaian dokumen
HPAGD secara online, melalui aplikasi Simkespel. Diharapkan melalui sistem digital
44
Capaian Indikator s.d Tahun 2016
201')
Target apaian
akan mempermudah agen maskapai menyampaikan laporan, kemudahan dalam
menghitung kepatuhan dan kelengkapan laporan serta kemudahan mengidentifikasi
adanya factor risiko tertentu yang berpotensi menyebabkan terjadinya penularan
penyakit.
B. 8. Persentase Kabupaten/kota yang mempunyai kebijakan kesiapsiagaan dalam penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah.
Jumlah kabupaten/kota dengan pelabuhan/bandar udara/PLBD internasional yang memiliki
kebijakan kesiapsiagaan berupa dokumen rencana kontijensi penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah.
Grafik.2.36.
Persentase Kabupaten/kota yang mempunyai kebijakan kesiapsiagaan dalam
penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah.
Tahun 2015-2016
Pada tahun 2016, persentase kabupaten/kota dengan pintu masuk
internasional yang memiliki dokumen rencana kontinjensi penanggulangan
Kedaruratan Kesehatan Masyarakat (KKM) telah mencapai 47,17% dari target 46%.
Sedangkan pada tahun 2015, persentase kab/kota yang memiliki dokumen rencana
kontinjensi penanggulangan KKM sebanyak 27,35% dari target 29%.
45
Target & Kabupaten/Kota yang mempunyai kebijakan kesiapsiagaan dalam penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah 2015-2019
016rOMMANZA -T1 „
50 Kab Kota yang telah menyusun dokumen 2015-2016
Target 56 Kab Kota 2017-2019 Capaian s.d. Thn 2016: 102% (SO kab/kota dan i target 49 Kab/Kota)
Sampai dengan tahun 2016 tercapai 50 kab/kota yang menyusun dokumen
rencana kontinjensi dan i target 49 kab/kota.
4. Beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan pencapaian target
indikator antara lain:
- persiapan pelaksanaan kegiatan dengan melakukan komunikasi dan koordinasi baik
verbal maupun surat kepada propinsi/kabupaten/kota sasaran penyusunan dokumen
adanya sosialisasi dan advokasi dengan melibatkan Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD) dan lintas sektor
adanya workshop dan penyusunan dokumen rencana kontinjensi di kab/kota dengan
anggaran bersumber dan i pusat dan dana dekonsentrasi
- adanya rambu petunjuk perencanaan sehingga Dinas Kesehatan Provinsi dapat
menganggarkan kegiatan terkait kesiapsiagaan penanggulangan Kedaruratan Kesehatan
Masyarakat di wilayah
1. Upaya yang dilakukan untuk mencapai indikator 1) Sosialisasi dan advokasi regulasi kesehatan internasional atau International Health
Regulations (2005) termasuk kapasitas inti IHR dan paket aksi keamanan kesehatan
global
2) Penilaian pencapaian kapasitas inti (HR di pintu masuk negara, wilayah dan nasional
dengan melibatkan lintas sektor terkait
3) Sosialisasi dan advokasi kesiapsiagaan dan kewaspadaan terhadap faktor risiko
kedaruratan kesehatan masyarakat dengan melibatkan Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD) dan lintas sektor
46
4) Melaksanakan workshop penyusunan rencana kontingensi mencakup konsep
pedoman penyusunan renkon, identifikasi potensi KKM, membangun komitmen lintas
sektoral dan pengumpulan data dasar.
5) Melaksanakan kegiatan penyusunan rencana kontigensi KKM dengan melibatkan
seluruh lintas sektoral pemerintah daerah yang terkait dengan kesiapsiagaan, respon
dan koordinasi penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat.
6) Review dan update dokumen kebijakan yang telah disusun di kab/kota
2. Kendala/masalah yang dihadapi
1) Penyusunan dokumen kebijakan ini merupakan suatu pendekatan program baru di
kabupaten/kota sehingga memerlukan penyamaan pemahaman dan persepsi lintas
sektoral, karena Masih adanya pennahaman lintas sektor terkait dokumen yang
disusun menjadi tanggung jawab bidang kesehatan.
2) Adanya efisiensi anggaran dan kebijakan untuk tidak melaksanakan kegiatan selama
kurang lebih 3 minggu menyebabkan rangkaian kegiatan penyusunan rencana
kontinjensi tidak berjalan sesuai jadwal/rencana dan dapat berdampak pada kualitas
penyusunan dokumen renkon.
Pelaksanan kegiatan penyusunan dokumen rencana kontinjensi berbeda di beberapa
daerah karena adanya efisiensi anggaran. Ada beberapa kabupaten/kota dengan
komponen pembiayaan lengkap mulai dan i sosialisasi, workshop dan penyusunan
dokumen, sementara dibeberapa kabupaten lain hanya didukung dengan kegiatan
sosialisasi dan penyusunan.
3. Pemecahan Masalah
1) Mengintensifkan kegiatan sosialisasi dan advokasi kebijakan kesiapsiagaan
penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat kepada pemerintah daerah serta
lintas sektor terkait sasaran, dengan tujuan untuk meningkatkan komitmen daerah
dalam melaksanakan program yang disepakati.
2) Rangkaian kegiatan penyusunan rencana kontinjensi dilaksanakan sesuai
jadwal/rencana
4. Kegiatan Di KKP
Berdasarkan tupoksi, KKP berperan dalam mencegah keluar dan masuk (penyebaran) penyakit
lintas negara yang mempunyai potensi menimbulkan PHEIC melalui pintu masuk negara
(pelabuhan, bandara dan PLBD). Oleh karena itu diperlukan pengawasan, pencegahan dan
pengendalian beberapa aspek terkait yakni alat angkut (kapal laut, pesawat, kendaraan darat)
dan muatannya (termasuk kontainer); manusia (awak kapal, kapten, personil penerbang dan
47
penumpang); barang; serta lingkungan pelabuhan, bandara, dan PLBD yang dapat berpotensi
sebagai faktor risiko.
1). Kedatangan Kapal
Selama periode tahun 2011-2016, jumlah kedatangan kapal dan i dalam dan luar negeri
mencapai 3.813.851 kapal. Kapal yang datang dan i dalam negeri lebih banyak, yaitu 3.259.463
kapal (85.4%) dibandingkan yang datang dan i luar negeri, yaitu 473.233 kapal (14.5%). Adapun
kedatangan kapal dan i luar negeri tersebut 49716 kapal (10.50%) berasal dan i daerah terjangkit
dan 506237 kapal (89.50%) berasal dan i daerah tidak terjangkit.
Grafik 2.37 Kedatangan Kapal Dan i Dalam dan Luar Negeri
Tahun 2011 sd 2016
683920
Kedatangan Kapal
700000
600000 527030 517752 501503 500000
400000 276364
300000
200000 553 00 96 730
100000
0 2012 2013 2014 2015 2016
• Dalam Negeri • Luar Negeri
Sumber Subdit Karkes, Dit. SKK
Berdasarkan grafik tersebut, jumlah kapal yang datang dan i dalam negeri pada tahun
2011 sd 2016 cenderung mengalami penurunan, hanya pada tahun 2012 jumlah
kapal yang datang cukup meningkat sekitar 25% dan i tahun sebelumnya. Pola yang
sama juga terjadi pada kedatangan kapal dan i luar negeri, hanya sja kenaikan pada
tahun 2012 tidak cukup signifikan.
48
Grafik 2.38 Pemberian Free Pratique Untuk Kapal Yang Datang Dan i Luar Negeri
Tahun 2011 sd 2016
Pemberian Free Pratique
90000
80000
70000
600(X)
50000
40000
30000
20000
10000
0
83288 83788 80921
87654
68520
73231
90
85 44
2011 2012 2013 2014 2015 2016
• Tidak terjangkit • Terjangkit
Sumber Subdit Karkes, Dit SKK
Grafik di atas menunjukkan hampir seluruh kapal yang datang dan i luar negeri telah
dilakukan pemeriksaan dan diberikan Free Pratique yakni di atas 98% bahkan pada
tahun 2011-2013 mencapai 99,9%. Pada tahun 2011-2012, pemberian Free Pratique
untuk kapal yang datang dan i negara terjangkit meningkat tajam dibanding tahun
sebelumnya. Hal ini berkaitan dengan kejadian pandemi Swine Flu (H1N1), Zika di
beberapa negara, yang ditetapkan WHO sebagai PHEIC.
2). Keberangkatan Kapal
Pada periode tahun 2011-2016, jumlah kapal yang berangkat ke dalam dan luar
negeri berjumlah 3946873 kapal, terdiri dan i kapal yang berangkat ke dalam negeri
sebanyak 3363414 kapal (85.0%) dan kapal dan i luar negeri sebanyak 583459 kapal
(15.0°/0).Pada tahun 2012 terjadi peningkatan 26,8% keberangkatan kapal ke dalam
negeri dan i tahun sebelumnya. Sebaliknya, pada tahun 2012 kapal yang berangkat ke
luar negeri justru mengalami penurunan sekitar 17,3% dibanding tahun sebelumnya.
Grafik 2.39 Keberangkatan Kapal Ke Dalam dan Luar Negeri Tahun 2011 sd 2016
49
Keberangkatan Kapal 694410
700000
600000 530196 556757 553266
500000
400000
300000
369I 38 200000 144 100000
0 2011 2012 2013 2014 2015 2016
• Dalam Negeri a Liar Negeri
Sumber Subdit Karkes, Oft. SKK
Keberangkatan kapal terbanyak merupakan keberangkatan domestik (dalam negeri).
Untuk keberangkatan ke dalam dan luar negeri, trennya mengalami penurunan.
Pada tahun 2016, jumlah keberangkatan kapal ke dalam negeri mengalami
penurunan yang sangat signifikan 51%.
3) Kedatangan Pesawat
Selamaperiodetahun2011-2015, jumlah kedatangan pesawat dan i dalam dan luar
negeri mencapai 3.380.960 pesawat, terdiri dan i pesawat yang datang dan i dalam
negeri sebanyak 2.846.009 pesawat (84.2%) dan pesawat dan i luar negeri sebanyak
534.951 pesawat (15.8%).
Grafik 2.40 Kedatangan Pesawat Dan i Dalam dan Luar Negeri
Tahun 2011 sd 2015
Sumber Subdit Karkes, Dit. SKK
50
551254
1
281192
14 40
Pemeriksaan Pada Pesawat kedatangan dan i Luar Negeri
250000
200000
.c 150000 to
100000
50000
0
• Pemeriksaan gendec • Tidak diperiksa
2011 2012
62395 138663 93228 206985
2014 2015
68613 - 83415 88591 I 76543
2013
55216 35434
Berdasarkan grafik di atas diketahui bahwa kedatangan pesawat terbanyak berasal dan i dalam negeri. Dalam 6 tahun terakhir, kedatangan pesawat dan i dalam maupun luar negeri tersebut cenderung mengalami peningkatan. Selamaperiode 2009-2012
trennyamengalamipeningkatan, pada tahun 2009-2010, jumlah kedatangan pesawat dan i dalam negeri mengalami peningkatan yang signifikan, hampir dua kali
lipat.Untukditahun 2013 dan 2014 mengalamitrenpenurunan.
Sehubungan dengan pengawasan kekarantinaan, pesawat yang datang dan i luar negeri harus menyerahkan General Declaration (Gendec) kepada petugas terkait. General Declaration merupakan suatu dokumen kesehatan yang menginformasikan
mengenai kondisi kesehatan pelaku perjalanan di pesawat selama perjalanan
internasionalnya dan setiap tindakan penyehatan yang dilakukan.
SUM BE R DA VA
1. Sumber Daya Manusia
Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan memiliki sumber daya manusia berjumlah
89 orang dengan 14 pejabat struktural dan 75 orang staf (69 orang Jabatan Fungsional
Umum dan 6 orang Jabatan Fungsional Teknis).
Distribusi pegawai per bagian di Dit. Surveilans dan Karantina Kesehatan adalah seperti
dalam grafik 3.16 di bawah:
a. Subbag Tata Usaha : 28 orang
b. Subdit Surveilans : 16 orang
c. Subdit Karantina dan Kesehatan : 14 orang
d. Subdit Penyakit Infeksi Emerging : 16 orang
e. Subdit Imunisasi
19 orang
Distribusi pegawai berdasarkan jabatan di Dit. Surkarkes adalah : Pejabat struktural
sebesar 14,61% ; Pejabat Fungsional Teknis sebesar 7,87% ; dan Pejabat Fungsional
Umum sebesar 77,53%. Terlihat pada grafik 3.17 di bawah ini.
Grafik 3.10
Persentase distribusi pegawai per jabatan Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan Tahun
2016
51
Gt afik Jumlah Pegawat Bet dasarkan Jabatan
Strukteral 14 61 %
FT 7 S7 %
Distribusi pegawai berdasarkan golongan di Dit. surkarkes adalah : Golongan IV sebesar 8,99%;
Golongan III sebesar 89,89% ; dan Golongan II sebesar 1,12%. Terlihat path grafik 3.18 di
bawah.
Grafik 3.11
Persentase distribusi pegawai per golongan Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan
Tahun 2016
Grafik jumlah Pegawai Berdasarkan Golongan
( COI. II 1.12 % Col_ IV 8.99% -\
Col. ill 89.89 %
Distribusi pegawai berdasarkan pendidikan di Dit. SKK adalah : Pasca Sarjana (S.2) sebesar
42,70% ; Sarjana (S.1) sebesar 41,57% ; Diploma sebesar 6,74% ; dan SLTA sebesar 8,99%.
Terlihat path grafik 3.19 di bawah.
Grafik 3.12
Persentase distribusi pegawai per pendidikan
Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan Tahun 2016
52
Grafik Jumlah Pegawal Berdasarkan Pendidikan
Sekaiale Lauda= Tinglat Paps 8.99%
Wawa 1111 6.74 %
loascia Swims: 6.2) 4 2.70 %
5arjaisat (5.1) 41.57%
2. Sumber Daya Keuangan
Kegiatan program Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan didulcung oleh sumber anggaran
pembiayaan dari:
APBN Pusat sebesar Rp. 725.590.621.000,-
Realisasi belanja penggunaan anggaran adalah sebesar Rp.546.025.255.255 atau 75,25%
53
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Laporan Kinerja Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan 2016 merupakan
perwujudan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas pokok dan fungsi, kebijakan,
program, dan kegiatan direktorat dan i Direktur Direktorat Surveilans dan Karantina
Kesehatan kepada Direktur Jenderal P2P dan seluruh stakeholders yang terlilbat baik
langsung maupun tidak langsung dalam pelaksanaan pembangunan kesehatan
khususnya di bidang Pembinaan Surveilans dan Karantina Kesehatan.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan
sudah dapat merealisasikan target Indikator Kinerja Tahun 2016 dalam upaya mencapai
sasaran program sebagaimana tercantum dalam Renstra Kementerian Kesehatan 2015-
2019 yang diatur dengan SK Menkes Nomor : HK.02.02/Menkes/52/2015. indikator
kinerja Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan Dan i semua indikator, terdapat
indikator telah mencapai target yang ditetapkan pada tahun 2016 yaitu :
1. Indikator persentase bayi usia 0-11 bulan yang mendapat imunisasi dasar lengkap
dan i target sebesar 91,5 % telah dicapai hasil sebesar 91.6% kinerja 100,1 °/0.
2. Indikator Kabupaten/Kota yang mencapai 80% lmunisasi dasar lengkap pada bayi
dan i target 80% telah dicapai 80,7% dengan capaian kinerja 100.9%
3. Indikator Persentase anak usia 12-24 bulan yang mendapatkan Imunisasi DPT-
HB-Hib lanjutan dan i target 40% telah dicapai 58,5% sehingga pencapaian kinerja
sebesar 146,25%
4. Indikator Persentase Kabupaten/Kota yang mempunyai kebijakan kesiapsiagaan
dalam penanggulangan kedaruratan kesehatan berpotensi wabah dengan target
46% telah dicapai 47,17% sehingga pencapaian kinerja 102%
5. Indikator Persentase Alat angkut yang diperiksa sesuai standar Kekarantinaan
Kesehatan dan i target 85% telah dicapai 98,9% kinerja 116%.
6. Indikator Persentase Respon Sinyal SKD dan KLB, Bencana dan Matra diwilayah
layanan BTKLPP, dan i target 60% Capaian 95% dan capaian Kinerja 158%
54
Terdapat indikator yang tidak mencapai target ditetapkan, yaitu:
1. Persentase Respon Penanggulangan terhadap sinyal kewaspadaan dini Kejadian
Luar Biasa (KLB) untuk mencegah terjadinya KLB di Kabupaten/Kota dan i target
70% tercapai 60.12% kinerja 85.8%
2. Penemuan kasus AFP non polio pada penduduk usia < 15 tahun 2 per 100.000
penduduk Tahun 2016 sampai dengan minggu 52 capaian indikator penemuan
kasus AFP non polio pada penduduk usia < 15 tahun ?_ 2 per 100.000 penduduk
yaitu sebanyak 1,96 Kinerja 98% (per 31 Januari 2017).
3. Penemuan kasus discarded campak ?_ 2 per 100.000 penduduk Tahun 2016
sampai dengan minggu 52 capaian indikator penemuan kasus discarded campak
yaitu sebesar 0,49 per 100.000 penduduk kinerja 24,5 (per 31 Januari 2017).
Beberapa upaya perlu dilakukan untuk lebih meningkatkan kinerja Direktorat Surveilans
dan Karantina Kesehatan, khususnya untuk mempertahankan dan mencapai target
nasional yang telah ditetapkan, antara lain:
1. Melakukan advokasi kepada pimpinan daerah untuk mendukung program
imunisasi
2. Sosialisasi kepada masyarakat melalui berbagai media komunikasi, informasi dan
edukasi (KIE)
3. Pelaksanaan imunisasi daerah sulit bersamaan dengan pelaksanaan program
lain.
4. Pendekatan kepada tokoh agama, tokoh masyarakat dalam menanggulangi
kampanye negatif imunisasi.
5. Kelengkapan dan ketepatan laporan mingguan baik di puskesmas maupun di
Rumah Sakit yang masih rendah, menunjukkan masih rendahnya upaya
surveilans aktif Rumah Sakit.
6. Belum maksimalnya komitmen dan dukungan pemangku program surveilans PD3I
baik di provinsi maupun di kabupaten/kota, hal ini sejalan dengan masih
terbatasnya dukungan pendanaan operasional.
7. Penguatan mekanisme Kekarantinaan kesehatan dengan mengintegrasikan aturan
bidang Kekarantinaan Kesehatan kedalam regulasi nasional yang bersifat umum
sehingga dapat digunakan sebagai referensi bersama di kementerian/lembaga. Hal ini
termuat di dalam Peraturan Menteri Perhubungan RI No. 61 Tahun 2015 tentang
Fasilitasi Udara Nasional. Diharapkan semua pihak yang terkait dengan fasilitasi
55
memahami ruang lingkup, prosedur dan tata cara sesuai dengan kewenangan, tugas,
fungsi dan tanggung jawab institusi terkait dan penyelenggara jasa terkait.
B. TINDAK LANJUT
1. Reviuw terhadap Rencana Aksi Kegiatan Tahun 2015-2019 dalam rangka
memastikan semua indicator dapat dicapai pada akhir tahun evaluasi.
2. Meningkatkan kualitas SDM terutama dalam rangka kewaspadaan dini, pengendalian
penyakit re-emerging dan new-emerging, kegiatan situasi khusus, tanggap bencana dan
respon cepat < 24 jam baik yang diadakan melalui pendidikan dan pelatihan.
3. Melakukan sosialisasi dan bekerja sama dengan organisasi masyarakat yang
bergerak di bidang kesehatan untuk menggerakkan masyarakat mendapatkan
imunisasi.
Keberhasilan yang telah dicapai tahun 2016 merupakan hasil kerja keras dan i segenap
unsur di lingkungan Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan dalam
mengupayakan berbagai kegiatan secara optimal. Pencapaian di 2016 juga merupakan
awal untuk melanjutkan pelaksanaan kegiatan yang telah dicanangkan pada periode
berikutnya dan sekaligus menjadi barometer agar kegiatan-kegiatan di masa mendatang
dapat dilaksanakan secara lebih efektif dan efisien. Sedangkan segala kekurangan dan
hal-hal yang menghambat tercapainya target indikator kinerja dan rencana kegiatan
diharapkan akan dapat dicari solusi serta penyelesainnya dengan mengedepankan
profesionalisme dan ketentuan yang berlaku di lingkungan Ditjen P2P dan Kemenkes RI.
56
Tabel 5.2 Target dan Capaian Indikator Program/Kinerja Dit. Surveilans dan Karantina Kesehatan
Tahun 2015-2016
No. Indikator Kinerja Target Kinerja 2015
Realisasi Capaian Kinerja
Target Kinerja 2016
Realisasi Capaian Kinerja
1 Persentase bayi usia 0-11 bulan yang mendapat imunisasi dasar lengkap 91 85.8 94.2 91.5 91.6 100.1
2 Persentase kabupaten/kota yang mencapai 80 persen imunisasi dasar lengkap pada bayi sebesar 95%
75 55,8 74,4 80 80.7 100.7
3 Persentase anak usia dibawah tiga tahun yang mendapat imunisasi dasar lengkap dan imunisasi lanjutan sebesar 70%
35 30,4 86,9 40 58.5 146,25
4 Persentase respon penanggulangan terhadap sinyal kewaspadaan dini kejadian luar biasa (KLB) untuk mencegah terjadinya KLB di kabupaten/kota 65 51.4 79.1 70 60,12% 85,8 %
5 Presentase Penurunan kasus penyakit yg dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) tertentu
7 11.2 160 10 50,26% 502,6 %
6 Penemuan kasus 'discarded campak' a.2 per 100.000 penduduk /100.000
0.35 17.5 ?.2 /100.000 0,49 24,5 %
7 Penemuan Kasus AFP Non Polio per 100.000 penduduk usia <15 Tahun /100.000 1.95 97.5 /100.000 1,96 98 %
8 Persentase kabupaten/kota yang mempunyai daerah penyelaman yang melaksanakan upaya kesehatan matra
30 30.63 103.3%
9 Persentase kab/Kota yang mempunyai kesiapsiagaan dalam penanggulanagan kedaruratan kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah
29 29 93,5 46 47.17 102
10 Persentase alat angkut sesuai dengan standar kekarantinaan kesehatan sebesar 100% 80 79,5 99
85 98.9 116
11 Persentase respon sinyal SKD dan KLB, Bencana dan Kondisi Matra di wialyah layanan BBTKLPP sebesar 90% 50 154 200 60 95 158%
12 Jumlah Kabupaten/Kota yang mampu melaksanakan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Infeksi Emerging
- - 200 171 61%
57