Problematika Lembaga Pendidikan Islam

13
1 Problematika Lembaga Pendidikan Islam di Kabupaten Bengkalis dalam Menghadapi Otonomi Pendidikan Sopyan M. Asyari A. Pendahuluan Kenyataan adanya kelemahan konseptual dalam penyelenggaraan pendidikan nasional, khususnya selama masa Orde Baru, telah menyebabkan menguatnya aspirasi bagi otonomisasi dan desentralisasi pendidikan. Pelaksanaan otonomi dalam penyelenggaraan pendidikan merupakan konsekuensi dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pada ayat 1 pasal 7 Undang-Undang Nomor 22 dijelaskan bahwa seluruh bidang, kecuali politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, serta agama diserahkan kepada daerah, dan lebih tegas lagi, daerah tingkat dua. 1 Di antara masalah dan kelemahan yang sering diangkat dalam konteks ini adalah bahwa kebijakan pendidikan nasional sangat sentralistik dan serba seragam, yang pada gilirannya mengabaikan keragaman sesuai dengan realitas kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat Indonesia di berbagai daerah. Kebijakan pendidikan nasional hampir tidak memberi ruang gerak yang memadai bagi masyarakat di daerah tertentu untuk mengembangkan pendidikan yang sesuai dan relevan dengan kondisi daerah dan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Berbagai usaha telah dilakukan melalui seminar dan lokakarya yang menghasilkan platform reformasi atau paradigma baru pendidikan nasional. Di antara berbagai prinsip yang dirumuskan, yang paling penting adalah otonomi dan desentralisasi pendidikan. Otonomisasi dan desentralisasi menyangkut bukan hanya kandungan (contents) pendidikan, tetapi juga manajemen dan administrasi. Sejumlah wewenang seperti penetapan kurikulum inti dan evaluasi berada di tangan pusat. Sedangkan penyusunan kurikulum lokal dapat dilakukan di daerah, 1 Lihat Undang-undang Otonomi Daerah 1999 dan Juklak, (Cet. I; Jakarta: Sinar Grafika, 2000), h. 7.

description

Masalah-masalah pendidikan Islam dalam mengadapi otonomi pendidikan

Transcript of Problematika Lembaga Pendidikan Islam

Page 1: Problematika Lembaga Pendidikan Islam

1

Problematika Lembaga Pendidikan Islam di Kabupaten Bengkalis dalam Menghadapi Otonomi Pendidikan

Sopyan M. Asyari

A. Pendahuluan

Kenyataan adanya kelemahan konseptual dalam penyelenggaraan

pendidikan nasional, khususnya selama masa Orde Baru, telah menyebabkan

menguatnya aspirasi bagi otonomisasi dan desentralisasi pendidikan. Pelaksanaan

otonomi dalam penyelenggaraan pendidikan merupakan konsekuensi dari

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pada ayat 1 pasal 7 Undang-Undang

Nomor 22 dijelaskan bahwa seluruh bidang, kecuali politik luar negeri, pertahanan

dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, serta agama diserahkan kepada

daerah, dan lebih tegas lagi, daerah tingkat dua.1

Di antara masalah dan kelemahan yang sering diangkat dalam konteks ini

adalah bahwa kebijakan pendidikan nasional sangat sentralistik dan serba seragam,

yang pada gilirannya mengabaikan keragaman sesuai dengan realitas kondisi sosial,

ekonomi, dan budaya masyarakat Indonesia di berbagai daerah. Kebijakan

pendidikan nasional hampir tidak memberi ruang gerak yang memadai bagi

masyarakat di daerah tertentu untuk mengembangkan pendidikan yang sesuai dan

relevan dengan kondisi daerah dan kebutuhan masyarakat itu sendiri.

Berbagai usaha telah dilakukan melalui seminar dan lokakarya yang

menghasilkan platform reformasi atau paradigma baru pendidikan nasional. Di

antara berbagai prinsip yang dirumuskan, yang paling penting adalah otonomi dan

desentralisasi pendidikan. Otonomisasi dan desentralisasi menyangkut bukan

hanya kandungan (contents) pendidikan, tetapi juga manajemen dan administrasi.

Sejumlah wewenang seperti penetapan kurikulum inti dan evaluasi berada di

tangan pusat. Sedangkan penyusunan kurikulum lokal dapat dilakukan di daerah,

1Lihat Undang-undang Otonomi Daerah 1999 dan Juklak, (Cet. I; Jakarta: Sinar Grafika,

2000), h. 7.

Page 2: Problematika Lembaga Pendidikan Islam

2

bahkan di sekolah. Demikian pula halnya dengan rekrutmen, penempatan, mutasi,

penganggaran, dapat ditangani di daerah.

Seiring dengan pelaksanaan otonomi pendidikan, bagi pendidikan agama

Islam tampaknya masih terjadi tarik ulur apakah agama ini salah satu yang

diotonomikan, bagaimana dengan pendidikan agama? Sampai saat ini masih

terdapat dua versi, kalau madrasah—pendidikan keagamaan dan pendidikan

agama—itu masuk dalam sektor pendidikan, maka harus diotonomikan, tetapi

kalau masuk sektor agama berarti tidak otonomi.

Melihat fenomena yang demikian adalah menarik untuk melakukan

pengkajian tentang kondisi dan masalah-masalah yang sesungguhnya dihadapi

lembaga-lembaga pendidikan Islam di Kabupaten Bengkalis. Dengan mengetahui

masalah-masalah yang dihadapi oleh lembaga-lembaga pendidikan itu diharapkan

dapat ditemukan jalan keluar yang tepat bagi perumusan dan pengambilan

kebijakan lebih lanjut.

Permasalahan yang diangkat melalui penelitian ini yaitu:

1. Apa saja masalah yang dihadapi lembaga-lembaga pendidikan Islam di

Kabupaten Bengkalis?

2. Apa faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya masalah-masalah tersebut?

3. Bagaimana solusi yang mungkin ditawarkan untuk menyelesaikan masalah-

masalah tersebut?

Adapun tujuan penelitian ini, sesuai dengan rumusan masalah di atas,

adalah untuk mengetahui masalah-masalah yang dihadapi lembaga-lembaga

pendidikan Islam, mengetahui faktor-faktor penyebab munculnya masalah

tersebut. Dengan mengetahui masalah dan faktor-faktor penyebabnya, penelitian

ini juga bertujuan memberikan alternatif pemecahan bagi masalah-masalah

tersebut.

Hasil penelitian ini diharapkan memiliki arti akademis (academic significance)

yang dapat memperkaya khazanah keilmuan dalam rangka pengembangan teori-

teori kependidikan, terutama pendidikan Islam. Di samping itu, hasil penelitian ini

juga diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi para pengelola lembaga

Page 3: Problematika Lembaga Pendidikan Islam

3

pendidikan Islam dalam mengatasi problematika pendidikan yang mereka hadapi.

Sedang bagi instansi terkait, dalam hal ini adalah Dinas Pendidikan Kabupaten

Bengkalis dan Kantor Departemen Agama Kabupaten Bengkalis, hasil penelitian

ini diharapkan dapat menjadi bahan pijakan dan pertimbangan dalam penentuan

kebijakan dan pengambilan keputusan dalam bidang pendidikan di Kabupaten

Bengkalis terutama yang berkaitan dengan lembaga pendidikan Islam.

B. Tinjauan Teoretis

1. Lembaga Pendidikan Islam

Lembaga pendidikan Islam, dalam hal ini madrasah, merupakan satuan

pendidikan jalur sekolah berciri khas Islam yang diselenggarakan di bawah

binaan Departemen Agama Republik Indonesia. Identitas “Islam” yang

menjadi ciri khusus madrasah serta keberadaannya di bawah pembinaan

Departemen Agama telah melahirkan citra bahwa kehadirannya di tengah

masyarakat bukan sekedar menjalankan fungsi pengajaran ilmu-ilmu

pengetahuan keislaman semata, melainkan lebih dari itu menjadi sebuah

pranata sosial yang menjalankan fungsi rekonstruksi budaya Islam dan sistem

sosial Islam.

Selain itu madrasah juga dibedakan dengan sekolah pada umumnya

yang dibina oleh Departemen Pendidikan Nasional. Madrasah dipandang

memberikan bekal ilmu pengetahuan keislaman yang jauh lebih banyak, lebih

tinggi, dan lebih dalam daripada sekolah yang lain. Sehingga secara kuantitatif,

lulusan madrasah dipandang lebih menguasai ilmu-ilmu keislaman, atau

dipandang “ahli agama” sesuai dengan tingkatannya masing-masing.

Pandangan berikut harapan yang beredar di tengah masyarakat terhadap

madrasah itu sacara historis juga ada benarnya. Sejarah kelahiran madrasah

sesungguhnya merupakan sintetis dari konflik yang panjang antara lembaga

pendidikan agama yang tumbuh dan dikelola oleh masyarakat yang beragama

Islam, dengan sistem sekolah “sekuler” yang dikelola dan dikembangkan oleh

pemerintah sejak zaman kolonial Belanda. Sebab itu, istilah lain yang juga

Page 4: Problematika Lembaga Pendidikan Islam

4

umum digunakan masyarakat terhadap madrasah yaitu “Sekolah Agama” atau

“Lembaga Pendidikan Islam”.2

2. Desentralisasi Pendidikan dalam Rangka Otonomi Daerah

Menurut Rondinelli, desentralisasi adalah penyerahan otoritas pusat ke

daerah-daerah.3 Sedangkan Jiyono dkk. menyatakan bahwa desentralisasi sebagai

penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah sehingga wewenang dan tanggung

jawab sepenuhnya menjadi tanggung jawab daerah, termasuk di dalamnya penentuan

kebijakan perencanaan, pelaksanaan maupun yang menyangkut segi-segi pembiayaan

dan aparatnya.4 Adapun yang dimaksud dengan desentralisasi sebagaimana dalam

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah adalah

pelimpahan wewenang dari Pemerintah (Pusat) kepada Daerah Otonom5 dalam

kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.6 Dalam konteks otonomi daerah7

pada sektor pendidikan, desentralisasi berarti pelimpahan wewenang yang lebih luas

kepada daerah untuk membuat perencanaan dan pengambilan keputusannya sendiri

dalam mengatasi permasalahan yang dihadapinya di bidang pendidikan, dengan tetap

mengacu kepada tujuan pendidikan nasional sebagai bagian dari upaya pencapaian

tujuan pembangunan nasional.8

Dalam Penjelasan atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25

Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai

Daerah Otonom disebutkan bahwa tujuan peletakan kewenangan dalam

penyelenggaraan otonomi daerah adalah peningkatan kesejahteraan rakyat,

2AzyumardiAzra (ed.), Sejarah Perkembangan Madrasah, (Cet. II; Jakarta: Direktorat

Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama Republik Indonesia,

1999/2000). 3D.A. Rondinelli, ‘Financing the Decentralization of Education Services and Fasilities,’

dalam M. Puma dan D.A. Rondinelli (ed.), Decentralizing the Governance of Education, Woshington

D.C.: t.p., 1995, sebagaimana yang dikutip Sumarno dkk., ‘Filosofi, Kebijakan, dan Strategi

Pendidikan Nasional,’ dalam Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (ed.), Reformasi Pendidikan dalam Konteks

Otonomi Daerah, (Cet. I; Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2001), h. 75. 4Jiyono dkk., ‘Menuju Desentralisasi Pengelolaan Pendidikan Dasar,’ dalam Fasli Jalal dan

Dedi Supriadi (ed.), Ibid., h. 122. 5Yang dimaksud dengan Daerah Otonom sebagaimana dalam Undang-undang Nomor 22

Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah adalah kesatuan masyarakat hokum yang mempunyai batas

daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa

sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lihat

Undang-undang Otonomi Daerah 1999 dan Juklak, (Cet. I; Jakarta: Sinar Grafika, 2000), h. 4. 6Ibid.

7Yang dimaksud otonomi daerah sebagaimana dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999

tentang Pemerintahan Daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus

kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai

dengan peraturan perundang-uandngan. Lihat Ibid. 8Jiyono, dkk., Op. Cit., h. 125.

Page 5: Problematika Lembaga Pendidikan Islam

5

pemerataan dan keadilan, demokratisasi dan penghormatan budaya lokal dan

memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.9

Dalam bidang pendidikan, berdasarkan PP Nomor 25 Tahun 2000 tentang

Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom bab II

pasal 3 ayat (5) bidang pendidikan dan kebudayaan,10 disebutkan bahwa kewenangan

daerah (Propinsi) mencakup: (a) penetapan kebijakan tentang penerimaan siswa dan

mahasiswa dari masyarakat minoritas, terbelakang, dan atau tidak mampu; (b)

penyediaan bantuan pengadaan buku pelajaran pokok/modul pendidikan untuk

taman kanak-kanak, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan luar

sekolah; (c) mendukung/membantu penyelenggaraan pendidikan tinggi selain

pengaturan kurikulum, akreditasi, dan pengangkatan tenaga akademis; (d)

pertimbangan pembukaan dan penutupan perguruan tinggi; (e) penyelenggaraan

sekolah luar biasa dan balai pelatihan dan/atau penataran guru; (f) penyelenggaraan

museum Propinsi, suaka peninggalan sejarah, kepurbakalaan, kajian sejarah dan nilai

tradisional serta pengembangan bahasa dan budaya daerah.11 Adapaun kewenangan

Kabupaten/Kota tidak diatur dalam Peraturan Pemerintah karena Undang-undang

Nomor 22 Tahun 1999 pada dasarnya meletakkan semua kewenangan

pemerintahan pada daerah Kabupaten/Kota,12 kecuali kewenangan sebagaimana

diatur dalam Peraturan Pemerintah di atas.

Bahkan, lebih dari itu, desentralisasi atau otonomi pendidikan seharusnya

adalah otonomi lembaga pendidikan yang diarahkan pada “school-based management”

atau manajemen berbasis sekolah, kalau dalam pendidikan luar sekolah adalah

“community-based management” atau manajemen berbasis masyarakat. Pelaksanaan

desentralisasi atau otonomi pendidikan lebih diarahkan pada kemandirian lembaga

pendidikan dalam merencanakan penyelenggaraan termasuk pengembangan

kurikulum lokal berdasarkan standar minimal yang diterbitkan pemerintah,

9‘Penjelasan atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 tentang

Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom,’ dalam Undang-undang

Otonomi Daerah 1999… Op. Cit., h. 168. 10

‘Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan

Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom’ dalam Undang-undang Otonomi

Daerah… Op. Cit., h. 146. 11

Ibid., h. 160. 12

Lihat ‘Penjelasan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah,’ dalam Undang-undang Otonomi Daerah…Op. Cit., h. 55; lihat juga ‘Penjelasan

atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah

dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom,’ dalam Ibid., h. 169.

Page 6: Problematika Lembaga Pendidikan Islam

6

penyediaan berbagai buku/bahan ajar dan evaluasi hasil belajar dengan melibatkan

berbagai unsur yang mempunyai kepentingan dengan pendidikan.13

C. Metode Penelitian

Populasi penelitian ini adalah seluruh lembaga pendidikan Islam formal

yang meliputi Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah,

yang terdapat di Kabupaten Bengkalis. Berdasarkan keadaan populasi yang

bertingkat-tingkat, maka dalam pengambilan sampel digunakan teknik sampel

berstrata (stratified sample).14 Di samping teknik sampel berstrata, dengan

mempertimbangkan keterbatasan waktu, tenaga dan dana, dalam penelitian ini juga

digunakan teknik pengambilan sampel bertujuan (purposive sample).15

Untuk mengumpulkan data mengenai kondisi riil objek penelitian, seperti

status dan keadaan lembaga pendidikan Islam, keadaan guru dan siswa,

kelengkapan sarana dan prasarana di setiap lembaga pendidikan Islam digunakan

teknik observasi. Untuk memperoleh data tentang masalah-masalah yang dihadapi

lembaga-lembaga pendidikan Islam digunakan teknik wawancara (interview) dengan

nara sumber para kepala lembaga pendidikan Islam atau penyelenggara pendidikan

Islam dan pejabat terkait yang bertanggung jawab dalam pengurusan dan

pembinaan lembaga pendidikan Islam. Adapun data mengenai jumlah lembaga

pendidikan Islam, jumlah guru dan murid, jumlah sarana dan prasarana, serta data

lain yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini digunakan teknik

dokumentasi.

Selanjutnya, data yang telah terkumpul dianalisis dengan menggunakan

teknik analisis deskriptif kualitatif, yaitu dengan melakukan penalaran induktif dan

deduktif kemudian dilanjutkan dengan uraian secara deskriptif.

D. Deskripsi Lokasi Penelitian

1. Gambaran Umum Kabupaten Bengkalis

13

Ali Murwani (ed.), Seputar Langkah-langkah Menuju Tercapainya Sasaran Pembangunan

Pendidikan, disampaikan pada Sidang Kabinet tanggal 31 Januari 2002, (Jakarta: Departemen

Pendidikan Nasional, 2002), h. 29-30. 14

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, (Cet. VIII; Jakarta: PT

Rineka Cipta, 1992), h. 111. 15

Ida Bagoes Mantra dan Kasto, ‘Penentuan Sampel,’ dalam Masri Singarimbun dan Sofian

Effendi (ed.), Metode Penelitian Survai, (Cet. I; Jakarta: LP3ES, 1989), h. 165.

Page 7: Problematika Lembaga Pendidikan Islam

7

Kabupaten Bengkalis terletak pada bagian Pesisir Timur Pulau Sumatra

dengan ketinggian berkisar antara 2 - 6 meter dari permukaan air laut dan luas

wilayahnya 11.481,77 Km². Hampir seluruh wilayah Kabupaten Bengkalis, +

90 %, terdiri atas daratan rendah yang ditumbuhi hutan tropis, beriklim tropis

dengan temperatur berkisar 26 – 32 ºC sepanjang tahun.16

Wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten Bengkalis terdiri atas 11

kecamatan, yaitu: (1) Kecamatan Bengkalis; (2) Kecamatan Bantan; (3)

Kecamatan Bukit Batu; (4) Kecamatan Mandau; (5) Kecamatan Rupat; (6)

Kecamatan Rupat Utara; (7) Kecamatan Rangsang; (8) Kecamatan Rangsang

Barat; (10) Kecamatan Tebing Tinggi; (11) Kecamatan Tebing; (12) Kecamatan

Tinggi Barat; dan (134) Kecamatan Merbau, yang terdiri atas 132 desa dan 24

kelurahan17 dengan jumlah penduduk 556.057 jiwa.18 Penduduk Kabupaten

Bengkalis terdiri atas bermacam-macam suku, antara lain Suku Asli, Melayu,

Jawa, Bugis, Banjar, Tapanuli, dan Turunan Cina dengan memeluk agama

Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Budha dan lain-lain. Kabupaten

Bengkalis memiliki potensi sumber daya alam yang besar yang sekaligus

menjadi sumber mata pencaharian penduduknya, yang meliputi pertambangan,

perikanan, pertanian tanaman pangan, peternakan, perkebunan, kehutanan,

industri, dan pariwisata.19

2. Gambaran Umum Lembaga Pendidikan Islam di Kabupaten Bengkalis

Berdasarkan Laporan Tahunan Seksi Perguruan Agama Islam Kantor

Departeman Agama Kabupaten Bengkalis Tahun 2002, Madrasah Ibtidaiyah

(MI) di Kabupaten Bengkalis berjumlah 24 buah, terdiri atas 1 buah (4,17 %)

Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) dan 23 buah (95 %) Madrasah Ibtidaiyah

Swasta (MIS). Jumlah murid MI sebanyak 2287 siswa. Sebagian besar, 2201

siswa (96,24 %), belajar di MIS, dan hanya sebagian kecil yang berjumlah 86

siswa (3,76 %) belajar di MIN. Jumlah kelas MI sebanyak 142 buah, yang

16

Memori H. Fadlah Sulaiman, SH: Bupati Bengkalis Periode 1995-2000, h. 3-4. 17

Berdasarkan Data Jumlah Kecamatan, Kelurahan, Desa/Nama Lain dan Desa Pemekaran di

Kabupaten Bengkalis, (Sekretariat Daerah Kabupaten Bengkalis, Agustus 2002). 18

Berdasarkan Data Kependudukan Per-Desa/Kelurahan Se-Kabupaten Bengkalis Bulan Juni

2002, Dinas Kependudukan dan Tenaga Kerja Kabupaten Bengkalis. 19

Memori H. Fadlah Sulaiman, SH…Op. Cit., h. 8-13.

Page 8: Problematika Lembaga Pendidikan Islam

8

terdiri atas 136 buah (95,77 %) kelas MIS dan 6 buah (4,23 %) kelas MIN.

Ruang belajar yang dimiliki MI berjumlah 120 buah. 114 buah (95 %) milik

MIS dan 6 buah (5 %) milik MIN. Tenaga pengajar yang bertugas di MI

berjumlah 193 guru. 17 guru (8,81 %) berstatus pegawai negeri sipil (PNS) atau

guru tetap dan 176 guru (91,19 %) berstatus pegawai swasta (guru tidak tetap).

Dan hanya ada 2 orang tenaga administrasi (tata usaha/TU).

Madrasah Tsanawiyah (MTs) di Kabupaten Bengkalis berjumlah 67

buah, terdiri atas 5 buah (7,46 %) Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) dan

62 buah (92,54 %) Madrasah Tsanawiyah Swasta (MTsS). Murid MTs

berjumlah 7.891 siswa. 1.571 siswa (19,91 %) belajar di MTsN dan 6.320 siswa

(80,09 %) belajar di MTsS. Jumlah kelas MTs sebanyak 208 buah, yang terdiri

atas 22 buah (10,58 %) kelas MTsN dan 186 buah (89,42 %) kelas MTsS.

Ruang belajar yang dimiliki MTs berjumlah 256 buah. 44 buah (17,19 %) milik

MTsN dan 212 buah (82,81 %) milik MTsS. Tenaga pengajar yang bertugas di

MTs berjumlah 864 guru. 83 guru (9,61 %) berstatus PNS dan 781 guru

(90,39 %) berstatus pegawai swasta. Dan tenaga administrasi/tata usaha

berjumlah 74 orang.

Adapun Madrasah Aliyah (MA) di Kabupaten Bengkalis berjumlah 28

buah, terdiri atas 2 buah (7,14 %) Madrasah Aliyah Negeri (MAN) dan 26 buah

(92,86 %) Madrasah Aliyah Swasta (MAS). Murid MA berjumlah 2632 siswa.

715 siswa (27,17 %) belajar di MAN dan 1.917 siswa 972,83 %) belajar di

MAS. Jumlah kelas MA sebanyak 84 buah, yang terdiri atas 6 buah (7,14 %)

kelas MAN dan 78 buah (92,86 %) kelas MAS. Ruang belajar yang dimiliki MA

berjumlah 96 buah. 13 buah (13,54 %) milik MAN dan 83 buah (86,46 %)

milik MAS. Tenaga pengajar yang bertugas di MA berjumlah 393 guru. 13 guru

(3,49 %) berstatus PNS dan 360 guru (96,51 %) berstatus pegawai

swasta/guuru tidak tetap. Dan tenaga administrasi/tata usaha berjumlah 33

orang.20

20

Dikutip dari Laporan Tahunan Seksi Perguruan Agama Islam Tahun 2002, Kantor

Departeman Agama Kabupaten Bengkalis, h. Lampiran.

Page 9: Problematika Lembaga Pendidikan Islam

9

E. Temuan Penelitian

1. Problematika Lembaga Pendidikan Islam di Kabupaten Bengkalis

dan Faktor-faktor Penyebabnya

a. Mutu dan kesejahteraan tenaga kependidikan masih rendah

1) Kualifikasi guru masih perlu ditingkatkan sesuai dengan standar

minimal yang dipersyaratkan, yakni guru MI harus berkualifikasi

tamatan D2, guru SLTP/MTs berkualifikasi tamatan D3, dan guru

SLTA/MA berkkualifikasi tamatan S1.

2) Kompetensi guru pada saat ini belum terpetakan. Padahal, peta

tersebut sangat diperlukan untuk menyusun program-program

pembinaan dan pengembangan guru dalam rangka standardisasi dan

peningkatan kualitasnya, yang secara langsung berdampak pada

peningkatan mutu pendidikan.

3) Masih terdapat ketidaksesuaian (mismatch) latar belakang studi guru

dengan mata pelajaran yang diajarkan. Hal ini tentu sangat

mempengaruhi kkualitas proses pengajaran dan pembelajaran.

4) Kesejahteraan, penghargaan, dan perlindungan hukum bagi guru

masih belum memadai jika dibandingkan dengan profesi lain.

b. Sarana dan prasarana pendidikan tidak memadai. Kurang memadainya

ruang belajar, fasilitas perpustakaan, dokumentasi, pusat informasi, dan

laboratorium.

c. Sistem pengelolaan pendidikan yang kurang efektif dan efisien. Sebelum

diberlakukannya otonomi daerah, kewenangan pemerintah daerah

dalam mengelola pendidikan terbatas untuk tingkat sekolah dasar.

Jenjang pendidikan di atasnya, SLTP, SLTA, dan perguruan tinggi

ditangani oleh Departemen Pendidikan Nasional. Dengan berlakunya

otonomi daerah, maka pemerintah daerah menangani sebagian besar

urusan pendidikan mulai tingkat dasar hingga menengah, bahkan untuk

tingkat propinsi juga meliputi sebagian urusan pengelolaan perguruan

tinggi. Akan tetapi, untuk kasus lembaga pendidikan Islam yang berada

di bawah naungan Departemen Agama persoalannya lain. Kantor

Page 10: Problematika Lembaga Pendidikan Islam

10

Departemen Agama Kabupaten, dalam hal ini seksi Perguruan Agama

Islam, hanya memiliki kewenangan untuk mengurus MI. Sedangkan

untuk urusan pendidikan pada tingkat MTs dan MA masih menjadi

kewenangan Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi.

Inefektivitas dan inefisiensi ini terlihat pada:

1) Kurang lancarnya penyampaian laporan bulanan, laporan triwulan,

maupun laporan penerimaan murid baru pada setiap awal tahun

pelajaran, sehingga sulit untuk mendapatkan data yang akurat. Hal

ini disebabkan faktor-faktor berikut: (a) umumnya Kepala Madrasah

(MIS dan MDA) adalah swasta; (b) letak geografis yang sulit untuk

menyampaikan informasi dalam waktu yang singkat; (c) kurang

berfungsinya sebagian penilik Pendidikan Agama Islam untuk

mengintensifkan penerimaan dan pengiriman laporan dari madrasah

dalam wilayah/resortnya masing-masing; (d) tidak adanya dana bagi

pengawas untuk turun ke daerah kecamatan/monitoring madrasah.

2) Belum semua penilik Pendidikan Agama Islam berhasil dalam

membina dan meningkatkan mutu pendidikan agama di Madrasah

Ibtidaiyah dan Madrasah Diniyah Awaliyah di lingkungan wilayah

kerjanya masing-masing. Hal ini terlihat pada: (a) administrasi

madrasah yang tidak lengkap; (b) laporan bulanan madrasah yang

tidak lancar; (c) sebagian besar guru-guru agama honor belum di-

SK-kan oleh pengurus/yayasan yang bersangkutan; (d) tidak

terpenuhinya jam mengajar di MDA.

3) Tidak ada penggarisan/pembagian tugas yang jelas antara pengawas

madrasah dengan kepala madrasah/guru-guru agama dalam usaha

pembinaan dan pengembangan madrasah.

4) Sulitnya mendapatkan buku-buku bidang studi untuk MDA, baik

untuk pegangan guru maupun untuk murid.

5) Murahnya honor bagi guru-guru MDA yang mengakibatkan kurang

lancarnya proses belajar mengajar di sebagian madrasah.

6) Sulit untuk mendapatkan data dari MTs/MA karena laporan

bulanan penerimaan siswa baru dan data lulusan, karena laporannya

Page 11: Problematika Lembaga Pendidikan Islam

11

langsung ke Kantor Wilayah departeman Agama Propinsi Riau di

Pekanbaru.21

d. Adanya dikotomi sistem pengelolaan lembaga pendidikan di Kabupaten

Bengkalis. Pada satu pihak SD, SLTP, dan SMU dikelola oleh Dinas

Pendidikan Kabupaten Bengkalis, dan pada pihak lain MI, MTs, dan

MA dikelola oleh Kantor Departemen Agama Kabupaten Bengkalis.

Hal ini disebabkan posisi dilematis pendidikan agama Islam itu sendiri,

pada satu sisi ia termasuk sektor pendidikan yang harus diotonomikan,

tetapi pada sisi lain ia termasuk sektor agama yang tidak diotonomikan.

e. Belum adanya upaya pengembangan kurikulum lokal

f. Sebagian besar (93,47 %) lembaga pendidikan Islam adalah sekolah

swasta dengan tenaga pengajar (92,70 %) pegawai swasta/guru tidak

tetap, sehingga menjadi beban yang berat bagi penyelenggara

pendidikan Islam untuk menggaji mereka.

g. Rendahnya partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan

karena hambatan sosial-ekonomi dan budaya masyarakat.

2. Solusi Alternatif Problematika Lembaga Pendidikan Islam di

Kabupaten Bengkalis

a. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pendidikan. Pendidikan

dengan segala persoalannya tidak mungkin diatasi hanya oleh lembaga

persekolahan. Untuk melaksanakan program-programnya, sekolah perlu

mengundang berbagai pihak (a.l. keluarga, masyarakat, dan dunia

usaha/industri) untuk berpartisipasi secara aktif dalam berbagai

program pendidikan. Partisipasi ini perlu dikelola dan dikoordinassikan

dengan baik agar leih bermakna bagi sekolah, terutama dalam

meningkatkan mutudan efektivitas pendidikannya. Partisipasi

masyarakat tidak seharusnya hanya dalam bentuk dana, melainkan juga

sumbangan tenaga dan pemikiran.

b. Mendayagunakan sumber daya pendidikan secara bersama. Dalam

upaya mencapai tujuan otonomi daerah, tidak dapat dihindari adanya

21

Ibid., h. 15-16.

Page 12: Problematika Lembaga Pendidikan Islam

12

kebutuhan dan kepentingan bersama antar sektor, satuan, dan pelaku

pendidikan di daerah. Oleh karena itu, dibutuhkan strategi

pendayagunaan bersama sumber daya pendidikan (resource sharing policy)

yang spektrumnya bisa antarwilayah, antarsekolah, antarperguruan,

antarsektor, dan bahkan antarpemerintah daerah, keluarga, dan

kelompok masyarakat.

c. Membangun kemitraan antara stakeholder pendidikan. Strategi

pendayagunaan bersama sumber daya pendidikan perlu dikembangkan

menjadi hubungan simbiotik antara pemerintah, politisi, penyelenggara

pendidikan, pemerhati pendidikan, lembaga swadaya masyarakat, dan

yayasan-yayasan.

d. Mengembangkan infrastruktur sosial. Modal uang, tanah, teknologi, dan

sumber daya manusia memang penting dalam penyelenggaraan

pendidikan, tetapi tidak kalah pentingnya adalah modal sosial (social

capital) dalam bentuk infrastruktur yang kuat. Sementara itu, modal

sosial yang lebih penting adalah adanya infrastruktur sosial yang

mendukung penyelenggaraan pendidikan. Dengan dukungan pranata

sosial yang efektif, masyarakat memiliki kapabilitas yang lebih kuat dan

dapat diberdayakan.

e. Pelaksanaan supervisi pengawas pendidikan agama Islam perlu

dipertegas dengan dimonitor oleh atasan langsung dengan

menyampaikan bukti-bukti kunjungan ke madrasah dalam upaya

pembinaan guru-guru agama.

f. Meningkatkan disiplin guru agama negeri sehingga terpenuhi jam wajib

mengajar dikaitkan dengan pencapaian angka kredit untuk kenaikan

pangkat.22

g. Pengadaan dan penyebarlusan buku-buku pegangan murid agama Islam

perlu terus ditingkatkan dengan mengikutsertakan pihak masyarakat

untuk ambil bagian peranan yang lebih besar lagi.

22

Ibid., h. 17.

Page 13: Problematika Lembaga Pendidikan Islam

13

h. Perlu dikembangkan forum-forum dialog antar pemerintah dan tokoh-

tokoh masyarakat yang diarahkan untuk menyadarkan masyarakat

bahwa pendidikan agama harus dimulai dan dikembangkan di

lingkungan keluarga.23

F. Kesimpulan dan Saran

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa problematika lembaga

pendidikan Islam di Kabuapaten Bengkalis dalam menghadapi otonomi

pendidikan dalam konteks otonomi daerah adalah sebagai berikut: 1) mutu dan

kesejahteraan tenaga kependidikan masih rendah; 2) sarana dan prasana

pendidikan yang tidak memadai; 3) sistem pengelolaan pendidikan yang kurang

efektif dan efisien; 4) adanya dikotomi sistem pengelolaan pendidikan; belum

adanya pengembangan kurikulum lokal; 5) besarnya dana yang harus ditanggung

para penyelenggara pendidikan Islam; 6) rendahnya partisipasi masyarakat.

Untuk mengatasi problematika lembaga pendidikan Islam di atas, dapat

disarankan langkah-langkah sebagai berikut: 1) meningkatkan partisipasi

masyarakat dalam pendidikan; 2) mendayagunakan sumber daya pendidikan secara

bersama; 3) membangun kemitraan antara stakeholder pendidikan; 4) membangun

infrastruktur sosial.

23

Marwan Saridjo, Bunga RampaiPendidikan Agama Islam, (Jakarta: CV. Amissco, 1996), h.

94-95.