Problematika Lembaga Pendidikan Islam
-
Upload
sopyan-m-asyari -
Category
Documents
-
view
92 -
download
4
description
Transcript of Problematika Lembaga Pendidikan Islam
1
Problematika Lembaga Pendidikan Islam di Kabupaten Bengkalis dalam Menghadapi Otonomi Pendidikan
Sopyan M. Asyari
A. Pendahuluan
Kenyataan adanya kelemahan konseptual dalam penyelenggaraan
pendidikan nasional, khususnya selama masa Orde Baru, telah menyebabkan
menguatnya aspirasi bagi otonomisasi dan desentralisasi pendidikan. Pelaksanaan
otonomi dalam penyelenggaraan pendidikan merupakan konsekuensi dari
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pada ayat 1 pasal 7 Undang-Undang
Nomor 22 dijelaskan bahwa seluruh bidang, kecuali politik luar negeri, pertahanan
dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, serta agama diserahkan kepada
daerah, dan lebih tegas lagi, daerah tingkat dua.1
Di antara masalah dan kelemahan yang sering diangkat dalam konteks ini
adalah bahwa kebijakan pendidikan nasional sangat sentralistik dan serba seragam,
yang pada gilirannya mengabaikan keragaman sesuai dengan realitas kondisi sosial,
ekonomi, dan budaya masyarakat Indonesia di berbagai daerah. Kebijakan
pendidikan nasional hampir tidak memberi ruang gerak yang memadai bagi
masyarakat di daerah tertentu untuk mengembangkan pendidikan yang sesuai dan
relevan dengan kondisi daerah dan kebutuhan masyarakat itu sendiri.
Berbagai usaha telah dilakukan melalui seminar dan lokakarya yang
menghasilkan platform reformasi atau paradigma baru pendidikan nasional. Di
antara berbagai prinsip yang dirumuskan, yang paling penting adalah otonomi dan
desentralisasi pendidikan. Otonomisasi dan desentralisasi menyangkut bukan
hanya kandungan (contents) pendidikan, tetapi juga manajemen dan administrasi.
Sejumlah wewenang seperti penetapan kurikulum inti dan evaluasi berada di
tangan pusat. Sedangkan penyusunan kurikulum lokal dapat dilakukan di daerah,
1Lihat Undang-undang Otonomi Daerah 1999 dan Juklak, (Cet. I; Jakarta: Sinar Grafika,
2000), h. 7.
2
bahkan di sekolah. Demikian pula halnya dengan rekrutmen, penempatan, mutasi,
penganggaran, dapat ditangani di daerah.
Seiring dengan pelaksanaan otonomi pendidikan, bagi pendidikan agama
Islam tampaknya masih terjadi tarik ulur apakah agama ini salah satu yang
diotonomikan, bagaimana dengan pendidikan agama? Sampai saat ini masih
terdapat dua versi, kalau madrasah—pendidikan keagamaan dan pendidikan
agama—itu masuk dalam sektor pendidikan, maka harus diotonomikan, tetapi
kalau masuk sektor agama berarti tidak otonomi.
Melihat fenomena yang demikian adalah menarik untuk melakukan
pengkajian tentang kondisi dan masalah-masalah yang sesungguhnya dihadapi
lembaga-lembaga pendidikan Islam di Kabupaten Bengkalis. Dengan mengetahui
masalah-masalah yang dihadapi oleh lembaga-lembaga pendidikan itu diharapkan
dapat ditemukan jalan keluar yang tepat bagi perumusan dan pengambilan
kebijakan lebih lanjut.
Permasalahan yang diangkat melalui penelitian ini yaitu:
1. Apa saja masalah yang dihadapi lembaga-lembaga pendidikan Islam di
Kabupaten Bengkalis?
2. Apa faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya masalah-masalah tersebut?
3. Bagaimana solusi yang mungkin ditawarkan untuk menyelesaikan masalah-
masalah tersebut?
Adapun tujuan penelitian ini, sesuai dengan rumusan masalah di atas,
adalah untuk mengetahui masalah-masalah yang dihadapi lembaga-lembaga
pendidikan Islam, mengetahui faktor-faktor penyebab munculnya masalah
tersebut. Dengan mengetahui masalah dan faktor-faktor penyebabnya, penelitian
ini juga bertujuan memberikan alternatif pemecahan bagi masalah-masalah
tersebut.
Hasil penelitian ini diharapkan memiliki arti akademis (academic significance)
yang dapat memperkaya khazanah keilmuan dalam rangka pengembangan teori-
teori kependidikan, terutama pendidikan Islam. Di samping itu, hasil penelitian ini
juga diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi para pengelola lembaga
3
pendidikan Islam dalam mengatasi problematika pendidikan yang mereka hadapi.
Sedang bagi instansi terkait, dalam hal ini adalah Dinas Pendidikan Kabupaten
Bengkalis dan Kantor Departemen Agama Kabupaten Bengkalis, hasil penelitian
ini diharapkan dapat menjadi bahan pijakan dan pertimbangan dalam penentuan
kebijakan dan pengambilan keputusan dalam bidang pendidikan di Kabupaten
Bengkalis terutama yang berkaitan dengan lembaga pendidikan Islam.
B. Tinjauan Teoretis
1. Lembaga Pendidikan Islam
Lembaga pendidikan Islam, dalam hal ini madrasah, merupakan satuan
pendidikan jalur sekolah berciri khas Islam yang diselenggarakan di bawah
binaan Departemen Agama Republik Indonesia. Identitas “Islam” yang
menjadi ciri khusus madrasah serta keberadaannya di bawah pembinaan
Departemen Agama telah melahirkan citra bahwa kehadirannya di tengah
masyarakat bukan sekedar menjalankan fungsi pengajaran ilmu-ilmu
pengetahuan keislaman semata, melainkan lebih dari itu menjadi sebuah
pranata sosial yang menjalankan fungsi rekonstruksi budaya Islam dan sistem
sosial Islam.
Selain itu madrasah juga dibedakan dengan sekolah pada umumnya
yang dibina oleh Departemen Pendidikan Nasional. Madrasah dipandang
memberikan bekal ilmu pengetahuan keislaman yang jauh lebih banyak, lebih
tinggi, dan lebih dalam daripada sekolah yang lain. Sehingga secara kuantitatif,
lulusan madrasah dipandang lebih menguasai ilmu-ilmu keislaman, atau
dipandang “ahli agama” sesuai dengan tingkatannya masing-masing.
Pandangan berikut harapan yang beredar di tengah masyarakat terhadap
madrasah itu sacara historis juga ada benarnya. Sejarah kelahiran madrasah
sesungguhnya merupakan sintetis dari konflik yang panjang antara lembaga
pendidikan agama yang tumbuh dan dikelola oleh masyarakat yang beragama
Islam, dengan sistem sekolah “sekuler” yang dikelola dan dikembangkan oleh
pemerintah sejak zaman kolonial Belanda. Sebab itu, istilah lain yang juga
4
umum digunakan masyarakat terhadap madrasah yaitu “Sekolah Agama” atau
“Lembaga Pendidikan Islam”.2
2. Desentralisasi Pendidikan dalam Rangka Otonomi Daerah
Menurut Rondinelli, desentralisasi adalah penyerahan otoritas pusat ke
daerah-daerah.3 Sedangkan Jiyono dkk. menyatakan bahwa desentralisasi sebagai
penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah sehingga wewenang dan tanggung
jawab sepenuhnya menjadi tanggung jawab daerah, termasuk di dalamnya penentuan
kebijakan perencanaan, pelaksanaan maupun yang menyangkut segi-segi pembiayaan
dan aparatnya.4 Adapun yang dimaksud dengan desentralisasi sebagaimana dalam
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah adalah
pelimpahan wewenang dari Pemerintah (Pusat) kepada Daerah Otonom5 dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.6 Dalam konteks otonomi daerah7
pada sektor pendidikan, desentralisasi berarti pelimpahan wewenang yang lebih luas
kepada daerah untuk membuat perencanaan dan pengambilan keputusannya sendiri
dalam mengatasi permasalahan yang dihadapinya di bidang pendidikan, dengan tetap
mengacu kepada tujuan pendidikan nasional sebagai bagian dari upaya pencapaian
tujuan pembangunan nasional.8
Dalam Penjelasan atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25
Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai
Daerah Otonom disebutkan bahwa tujuan peletakan kewenangan dalam
penyelenggaraan otonomi daerah adalah peningkatan kesejahteraan rakyat,
2AzyumardiAzra (ed.), Sejarah Perkembangan Madrasah, (Cet. II; Jakarta: Direktorat
Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama Republik Indonesia,
1999/2000). 3D.A. Rondinelli, ‘Financing the Decentralization of Education Services and Fasilities,’
dalam M. Puma dan D.A. Rondinelli (ed.), Decentralizing the Governance of Education, Woshington
D.C.: t.p., 1995, sebagaimana yang dikutip Sumarno dkk., ‘Filosofi, Kebijakan, dan Strategi
Pendidikan Nasional,’ dalam Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (ed.), Reformasi Pendidikan dalam Konteks
Otonomi Daerah, (Cet. I; Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2001), h. 75. 4Jiyono dkk., ‘Menuju Desentralisasi Pengelolaan Pendidikan Dasar,’ dalam Fasli Jalal dan
Dedi Supriadi (ed.), Ibid., h. 122. 5Yang dimaksud dengan Daerah Otonom sebagaimana dalam Undang-undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah adalah kesatuan masyarakat hokum yang mempunyai batas
daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lihat
Undang-undang Otonomi Daerah 1999 dan Juklak, (Cet. I; Jakarta: Sinar Grafika, 2000), h. 4. 6Ibid.
7Yang dimaksud otonomi daerah sebagaimana dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai
dengan peraturan perundang-uandngan. Lihat Ibid. 8Jiyono, dkk., Op. Cit., h. 125.
5
pemerataan dan keadilan, demokratisasi dan penghormatan budaya lokal dan
memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.9
Dalam bidang pendidikan, berdasarkan PP Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom bab II
pasal 3 ayat (5) bidang pendidikan dan kebudayaan,10 disebutkan bahwa kewenangan
daerah (Propinsi) mencakup: (a) penetapan kebijakan tentang penerimaan siswa dan
mahasiswa dari masyarakat minoritas, terbelakang, dan atau tidak mampu; (b)
penyediaan bantuan pengadaan buku pelajaran pokok/modul pendidikan untuk
taman kanak-kanak, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan luar
sekolah; (c) mendukung/membantu penyelenggaraan pendidikan tinggi selain
pengaturan kurikulum, akreditasi, dan pengangkatan tenaga akademis; (d)
pertimbangan pembukaan dan penutupan perguruan tinggi; (e) penyelenggaraan
sekolah luar biasa dan balai pelatihan dan/atau penataran guru; (f) penyelenggaraan
museum Propinsi, suaka peninggalan sejarah, kepurbakalaan, kajian sejarah dan nilai
tradisional serta pengembangan bahasa dan budaya daerah.11 Adapaun kewenangan
Kabupaten/Kota tidak diatur dalam Peraturan Pemerintah karena Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1999 pada dasarnya meletakkan semua kewenangan
pemerintahan pada daerah Kabupaten/Kota,12 kecuali kewenangan sebagaimana
diatur dalam Peraturan Pemerintah di atas.
Bahkan, lebih dari itu, desentralisasi atau otonomi pendidikan seharusnya
adalah otonomi lembaga pendidikan yang diarahkan pada “school-based management”
atau manajemen berbasis sekolah, kalau dalam pendidikan luar sekolah adalah
“community-based management” atau manajemen berbasis masyarakat. Pelaksanaan
desentralisasi atau otonomi pendidikan lebih diarahkan pada kemandirian lembaga
pendidikan dalam merencanakan penyelenggaraan termasuk pengembangan
kurikulum lokal berdasarkan standar minimal yang diterbitkan pemerintah,
9‘Penjelasan atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom,’ dalam Undang-undang
Otonomi Daerah 1999… Op. Cit., h. 168. 10
‘Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom’ dalam Undang-undang Otonomi
Daerah… Op. Cit., h. 146. 11
Ibid., h. 160. 12
Lihat ‘Penjelasan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah,’ dalam Undang-undang Otonomi Daerah…Op. Cit., h. 55; lihat juga ‘Penjelasan
atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah
dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom,’ dalam Ibid., h. 169.
6
penyediaan berbagai buku/bahan ajar dan evaluasi hasil belajar dengan melibatkan
berbagai unsur yang mempunyai kepentingan dengan pendidikan.13
C. Metode Penelitian
Populasi penelitian ini adalah seluruh lembaga pendidikan Islam formal
yang meliputi Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah,
yang terdapat di Kabupaten Bengkalis. Berdasarkan keadaan populasi yang
bertingkat-tingkat, maka dalam pengambilan sampel digunakan teknik sampel
berstrata (stratified sample).14 Di samping teknik sampel berstrata, dengan
mempertimbangkan keterbatasan waktu, tenaga dan dana, dalam penelitian ini juga
digunakan teknik pengambilan sampel bertujuan (purposive sample).15
Untuk mengumpulkan data mengenai kondisi riil objek penelitian, seperti
status dan keadaan lembaga pendidikan Islam, keadaan guru dan siswa,
kelengkapan sarana dan prasarana di setiap lembaga pendidikan Islam digunakan
teknik observasi. Untuk memperoleh data tentang masalah-masalah yang dihadapi
lembaga-lembaga pendidikan Islam digunakan teknik wawancara (interview) dengan
nara sumber para kepala lembaga pendidikan Islam atau penyelenggara pendidikan
Islam dan pejabat terkait yang bertanggung jawab dalam pengurusan dan
pembinaan lembaga pendidikan Islam. Adapun data mengenai jumlah lembaga
pendidikan Islam, jumlah guru dan murid, jumlah sarana dan prasarana, serta data
lain yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini digunakan teknik
dokumentasi.
Selanjutnya, data yang telah terkumpul dianalisis dengan menggunakan
teknik analisis deskriptif kualitatif, yaitu dengan melakukan penalaran induktif dan
deduktif kemudian dilanjutkan dengan uraian secara deskriptif.
D. Deskripsi Lokasi Penelitian
1. Gambaran Umum Kabupaten Bengkalis
13
Ali Murwani (ed.), Seputar Langkah-langkah Menuju Tercapainya Sasaran Pembangunan
Pendidikan, disampaikan pada Sidang Kabinet tanggal 31 Januari 2002, (Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional, 2002), h. 29-30. 14
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, (Cet. VIII; Jakarta: PT
Rineka Cipta, 1992), h. 111. 15
Ida Bagoes Mantra dan Kasto, ‘Penentuan Sampel,’ dalam Masri Singarimbun dan Sofian
Effendi (ed.), Metode Penelitian Survai, (Cet. I; Jakarta: LP3ES, 1989), h. 165.
7
Kabupaten Bengkalis terletak pada bagian Pesisir Timur Pulau Sumatra
dengan ketinggian berkisar antara 2 - 6 meter dari permukaan air laut dan luas
wilayahnya 11.481,77 Km². Hampir seluruh wilayah Kabupaten Bengkalis, +
90 %, terdiri atas daratan rendah yang ditumbuhi hutan tropis, beriklim tropis
dengan temperatur berkisar 26 – 32 ºC sepanjang tahun.16
Wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten Bengkalis terdiri atas 11
kecamatan, yaitu: (1) Kecamatan Bengkalis; (2) Kecamatan Bantan; (3)
Kecamatan Bukit Batu; (4) Kecamatan Mandau; (5) Kecamatan Rupat; (6)
Kecamatan Rupat Utara; (7) Kecamatan Rangsang; (8) Kecamatan Rangsang
Barat; (10) Kecamatan Tebing Tinggi; (11) Kecamatan Tebing; (12) Kecamatan
Tinggi Barat; dan (134) Kecamatan Merbau, yang terdiri atas 132 desa dan 24
kelurahan17 dengan jumlah penduduk 556.057 jiwa.18 Penduduk Kabupaten
Bengkalis terdiri atas bermacam-macam suku, antara lain Suku Asli, Melayu,
Jawa, Bugis, Banjar, Tapanuli, dan Turunan Cina dengan memeluk agama
Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Budha dan lain-lain. Kabupaten
Bengkalis memiliki potensi sumber daya alam yang besar yang sekaligus
menjadi sumber mata pencaharian penduduknya, yang meliputi pertambangan,
perikanan, pertanian tanaman pangan, peternakan, perkebunan, kehutanan,
industri, dan pariwisata.19
2. Gambaran Umum Lembaga Pendidikan Islam di Kabupaten Bengkalis
Berdasarkan Laporan Tahunan Seksi Perguruan Agama Islam Kantor
Departeman Agama Kabupaten Bengkalis Tahun 2002, Madrasah Ibtidaiyah
(MI) di Kabupaten Bengkalis berjumlah 24 buah, terdiri atas 1 buah (4,17 %)
Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) dan 23 buah (95 %) Madrasah Ibtidaiyah
Swasta (MIS). Jumlah murid MI sebanyak 2287 siswa. Sebagian besar, 2201
siswa (96,24 %), belajar di MIS, dan hanya sebagian kecil yang berjumlah 86
siswa (3,76 %) belajar di MIN. Jumlah kelas MI sebanyak 142 buah, yang
16
Memori H. Fadlah Sulaiman, SH: Bupati Bengkalis Periode 1995-2000, h. 3-4. 17
Berdasarkan Data Jumlah Kecamatan, Kelurahan, Desa/Nama Lain dan Desa Pemekaran di
Kabupaten Bengkalis, (Sekretariat Daerah Kabupaten Bengkalis, Agustus 2002). 18
Berdasarkan Data Kependudukan Per-Desa/Kelurahan Se-Kabupaten Bengkalis Bulan Juni
2002, Dinas Kependudukan dan Tenaga Kerja Kabupaten Bengkalis. 19
Memori H. Fadlah Sulaiman, SH…Op. Cit., h. 8-13.
8
terdiri atas 136 buah (95,77 %) kelas MIS dan 6 buah (4,23 %) kelas MIN.
Ruang belajar yang dimiliki MI berjumlah 120 buah. 114 buah (95 %) milik
MIS dan 6 buah (5 %) milik MIN. Tenaga pengajar yang bertugas di MI
berjumlah 193 guru. 17 guru (8,81 %) berstatus pegawai negeri sipil (PNS) atau
guru tetap dan 176 guru (91,19 %) berstatus pegawai swasta (guru tidak tetap).
Dan hanya ada 2 orang tenaga administrasi (tata usaha/TU).
Madrasah Tsanawiyah (MTs) di Kabupaten Bengkalis berjumlah 67
buah, terdiri atas 5 buah (7,46 %) Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) dan
62 buah (92,54 %) Madrasah Tsanawiyah Swasta (MTsS). Murid MTs
berjumlah 7.891 siswa. 1.571 siswa (19,91 %) belajar di MTsN dan 6.320 siswa
(80,09 %) belajar di MTsS. Jumlah kelas MTs sebanyak 208 buah, yang terdiri
atas 22 buah (10,58 %) kelas MTsN dan 186 buah (89,42 %) kelas MTsS.
Ruang belajar yang dimiliki MTs berjumlah 256 buah. 44 buah (17,19 %) milik
MTsN dan 212 buah (82,81 %) milik MTsS. Tenaga pengajar yang bertugas di
MTs berjumlah 864 guru. 83 guru (9,61 %) berstatus PNS dan 781 guru
(90,39 %) berstatus pegawai swasta. Dan tenaga administrasi/tata usaha
berjumlah 74 orang.
Adapun Madrasah Aliyah (MA) di Kabupaten Bengkalis berjumlah 28
buah, terdiri atas 2 buah (7,14 %) Madrasah Aliyah Negeri (MAN) dan 26 buah
(92,86 %) Madrasah Aliyah Swasta (MAS). Murid MA berjumlah 2632 siswa.
715 siswa (27,17 %) belajar di MAN dan 1.917 siswa 972,83 %) belajar di
MAS. Jumlah kelas MA sebanyak 84 buah, yang terdiri atas 6 buah (7,14 %)
kelas MAN dan 78 buah (92,86 %) kelas MAS. Ruang belajar yang dimiliki MA
berjumlah 96 buah. 13 buah (13,54 %) milik MAN dan 83 buah (86,46 %)
milik MAS. Tenaga pengajar yang bertugas di MA berjumlah 393 guru. 13 guru
(3,49 %) berstatus PNS dan 360 guru (96,51 %) berstatus pegawai
swasta/guuru tidak tetap. Dan tenaga administrasi/tata usaha berjumlah 33
orang.20
20
Dikutip dari Laporan Tahunan Seksi Perguruan Agama Islam Tahun 2002, Kantor
Departeman Agama Kabupaten Bengkalis, h. Lampiran.
9
E. Temuan Penelitian
1. Problematika Lembaga Pendidikan Islam di Kabupaten Bengkalis
dan Faktor-faktor Penyebabnya
a. Mutu dan kesejahteraan tenaga kependidikan masih rendah
1) Kualifikasi guru masih perlu ditingkatkan sesuai dengan standar
minimal yang dipersyaratkan, yakni guru MI harus berkualifikasi
tamatan D2, guru SLTP/MTs berkualifikasi tamatan D3, dan guru
SLTA/MA berkkualifikasi tamatan S1.
2) Kompetensi guru pada saat ini belum terpetakan. Padahal, peta
tersebut sangat diperlukan untuk menyusun program-program
pembinaan dan pengembangan guru dalam rangka standardisasi dan
peningkatan kualitasnya, yang secara langsung berdampak pada
peningkatan mutu pendidikan.
3) Masih terdapat ketidaksesuaian (mismatch) latar belakang studi guru
dengan mata pelajaran yang diajarkan. Hal ini tentu sangat
mempengaruhi kkualitas proses pengajaran dan pembelajaran.
4) Kesejahteraan, penghargaan, dan perlindungan hukum bagi guru
masih belum memadai jika dibandingkan dengan profesi lain.
b. Sarana dan prasarana pendidikan tidak memadai. Kurang memadainya
ruang belajar, fasilitas perpustakaan, dokumentasi, pusat informasi, dan
laboratorium.
c. Sistem pengelolaan pendidikan yang kurang efektif dan efisien. Sebelum
diberlakukannya otonomi daerah, kewenangan pemerintah daerah
dalam mengelola pendidikan terbatas untuk tingkat sekolah dasar.
Jenjang pendidikan di atasnya, SLTP, SLTA, dan perguruan tinggi
ditangani oleh Departemen Pendidikan Nasional. Dengan berlakunya
otonomi daerah, maka pemerintah daerah menangani sebagian besar
urusan pendidikan mulai tingkat dasar hingga menengah, bahkan untuk
tingkat propinsi juga meliputi sebagian urusan pengelolaan perguruan
tinggi. Akan tetapi, untuk kasus lembaga pendidikan Islam yang berada
di bawah naungan Departemen Agama persoalannya lain. Kantor
10
Departemen Agama Kabupaten, dalam hal ini seksi Perguruan Agama
Islam, hanya memiliki kewenangan untuk mengurus MI. Sedangkan
untuk urusan pendidikan pada tingkat MTs dan MA masih menjadi
kewenangan Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi.
Inefektivitas dan inefisiensi ini terlihat pada:
1) Kurang lancarnya penyampaian laporan bulanan, laporan triwulan,
maupun laporan penerimaan murid baru pada setiap awal tahun
pelajaran, sehingga sulit untuk mendapatkan data yang akurat. Hal
ini disebabkan faktor-faktor berikut: (a) umumnya Kepala Madrasah
(MIS dan MDA) adalah swasta; (b) letak geografis yang sulit untuk
menyampaikan informasi dalam waktu yang singkat; (c) kurang
berfungsinya sebagian penilik Pendidikan Agama Islam untuk
mengintensifkan penerimaan dan pengiriman laporan dari madrasah
dalam wilayah/resortnya masing-masing; (d) tidak adanya dana bagi
pengawas untuk turun ke daerah kecamatan/monitoring madrasah.
2) Belum semua penilik Pendidikan Agama Islam berhasil dalam
membina dan meningkatkan mutu pendidikan agama di Madrasah
Ibtidaiyah dan Madrasah Diniyah Awaliyah di lingkungan wilayah
kerjanya masing-masing. Hal ini terlihat pada: (a) administrasi
madrasah yang tidak lengkap; (b) laporan bulanan madrasah yang
tidak lancar; (c) sebagian besar guru-guru agama honor belum di-
SK-kan oleh pengurus/yayasan yang bersangkutan; (d) tidak
terpenuhinya jam mengajar di MDA.
3) Tidak ada penggarisan/pembagian tugas yang jelas antara pengawas
madrasah dengan kepala madrasah/guru-guru agama dalam usaha
pembinaan dan pengembangan madrasah.
4) Sulitnya mendapatkan buku-buku bidang studi untuk MDA, baik
untuk pegangan guru maupun untuk murid.
5) Murahnya honor bagi guru-guru MDA yang mengakibatkan kurang
lancarnya proses belajar mengajar di sebagian madrasah.
6) Sulit untuk mendapatkan data dari MTs/MA karena laporan
bulanan penerimaan siswa baru dan data lulusan, karena laporannya
11
langsung ke Kantor Wilayah departeman Agama Propinsi Riau di
Pekanbaru.21
d. Adanya dikotomi sistem pengelolaan lembaga pendidikan di Kabupaten
Bengkalis. Pada satu pihak SD, SLTP, dan SMU dikelola oleh Dinas
Pendidikan Kabupaten Bengkalis, dan pada pihak lain MI, MTs, dan
MA dikelola oleh Kantor Departemen Agama Kabupaten Bengkalis.
Hal ini disebabkan posisi dilematis pendidikan agama Islam itu sendiri,
pada satu sisi ia termasuk sektor pendidikan yang harus diotonomikan,
tetapi pada sisi lain ia termasuk sektor agama yang tidak diotonomikan.
e. Belum adanya upaya pengembangan kurikulum lokal
f. Sebagian besar (93,47 %) lembaga pendidikan Islam adalah sekolah
swasta dengan tenaga pengajar (92,70 %) pegawai swasta/guru tidak
tetap, sehingga menjadi beban yang berat bagi penyelenggara
pendidikan Islam untuk menggaji mereka.
g. Rendahnya partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan
karena hambatan sosial-ekonomi dan budaya masyarakat.
2. Solusi Alternatif Problematika Lembaga Pendidikan Islam di
Kabupaten Bengkalis
a. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pendidikan. Pendidikan
dengan segala persoalannya tidak mungkin diatasi hanya oleh lembaga
persekolahan. Untuk melaksanakan program-programnya, sekolah perlu
mengundang berbagai pihak (a.l. keluarga, masyarakat, dan dunia
usaha/industri) untuk berpartisipasi secara aktif dalam berbagai
program pendidikan. Partisipasi ini perlu dikelola dan dikoordinassikan
dengan baik agar leih bermakna bagi sekolah, terutama dalam
meningkatkan mutudan efektivitas pendidikannya. Partisipasi
masyarakat tidak seharusnya hanya dalam bentuk dana, melainkan juga
sumbangan tenaga dan pemikiran.
b. Mendayagunakan sumber daya pendidikan secara bersama. Dalam
upaya mencapai tujuan otonomi daerah, tidak dapat dihindari adanya
21
Ibid., h. 15-16.
12
kebutuhan dan kepentingan bersama antar sektor, satuan, dan pelaku
pendidikan di daerah. Oleh karena itu, dibutuhkan strategi
pendayagunaan bersama sumber daya pendidikan (resource sharing policy)
yang spektrumnya bisa antarwilayah, antarsekolah, antarperguruan,
antarsektor, dan bahkan antarpemerintah daerah, keluarga, dan
kelompok masyarakat.
c. Membangun kemitraan antara stakeholder pendidikan. Strategi
pendayagunaan bersama sumber daya pendidikan perlu dikembangkan
menjadi hubungan simbiotik antara pemerintah, politisi, penyelenggara
pendidikan, pemerhati pendidikan, lembaga swadaya masyarakat, dan
yayasan-yayasan.
d. Mengembangkan infrastruktur sosial. Modal uang, tanah, teknologi, dan
sumber daya manusia memang penting dalam penyelenggaraan
pendidikan, tetapi tidak kalah pentingnya adalah modal sosial (social
capital) dalam bentuk infrastruktur yang kuat. Sementara itu, modal
sosial yang lebih penting adalah adanya infrastruktur sosial yang
mendukung penyelenggaraan pendidikan. Dengan dukungan pranata
sosial yang efektif, masyarakat memiliki kapabilitas yang lebih kuat dan
dapat diberdayakan.
e. Pelaksanaan supervisi pengawas pendidikan agama Islam perlu
dipertegas dengan dimonitor oleh atasan langsung dengan
menyampaikan bukti-bukti kunjungan ke madrasah dalam upaya
pembinaan guru-guru agama.
f. Meningkatkan disiplin guru agama negeri sehingga terpenuhi jam wajib
mengajar dikaitkan dengan pencapaian angka kredit untuk kenaikan
pangkat.22
g. Pengadaan dan penyebarlusan buku-buku pegangan murid agama Islam
perlu terus ditingkatkan dengan mengikutsertakan pihak masyarakat
untuk ambil bagian peranan yang lebih besar lagi.
22
Ibid., h. 17.
13
h. Perlu dikembangkan forum-forum dialog antar pemerintah dan tokoh-
tokoh masyarakat yang diarahkan untuk menyadarkan masyarakat
bahwa pendidikan agama harus dimulai dan dikembangkan di
lingkungan keluarga.23
F. Kesimpulan dan Saran
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa problematika lembaga
pendidikan Islam di Kabuapaten Bengkalis dalam menghadapi otonomi
pendidikan dalam konteks otonomi daerah adalah sebagai berikut: 1) mutu dan
kesejahteraan tenaga kependidikan masih rendah; 2) sarana dan prasana
pendidikan yang tidak memadai; 3) sistem pengelolaan pendidikan yang kurang
efektif dan efisien; 4) adanya dikotomi sistem pengelolaan pendidikan; belum
adanya pengembangan kurikulum lokal; 5) besarnya dana yang harus ditanggung
para penyelenggara pendidikan Islam; 6) rendahnya partisipasi masyarakat.
Untuk mengatasi problematika lembaga pendidikan Islam di atas, dapat
disarankan langkah-langkah sebagai berikut: 1) meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam pendidikan; 2) mendayagunakan sumber daya pendidikan secara
bersama; 3) membangun kemitraan antara stakeholder pendidikan; 4) membangun
infrastruktur sosial.
23
Marwan Saridjo, Bunga RampaiPendidikan Agama Islam, (Jakarta: CV. Amissco, 1996), h.
94-95.