PROBLEM HUKUM DAN PRAKTIK PENGAWASAN OBAT...
Transcript of PROBLEM HUKUM DAN PRAKTIK PENGAWASAN OBAT...
PROBLEM HUKUM DAN PRAKTIK PENGAWASAN OBAT
TRADISIONAL DI BANTEN TAHUN 2016
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
ABDUL RIZAL ASROR
NIM : 1113048000006
K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2017 M
iv
ABSTRAK
ABDUL RIZAL ASROR 1113048000006. PROBLEM HUKUM DAN
PRAKTIK PENGAWASAN OBAT TRADISIONAL DI BANTEN TAHUN
2016. Konsentrasi Hukum Bisnis. Program Studi Imu Hukum, Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Skripsi ini membahas mengenai problem hukum dan praktik pengawasan
obat tradisional di banten tahun 2016, kondisi yang terjadi di banten terhadap
pelanggaran obat tradisional sangat signifikan, di buktikan dari data yang telah di
dapat dari BPOM Provinsi banten, total pelanggaran yang terjadi dari keseluruhan
sebanyak 116 kasus, dan pelanggran yang terbanyak yaitu dari izin edar obat
tradisional. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui problem hukum dan peraktik
pengawasan obat tradisional di banten.
Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode yuridis
normatif. Penelitian yuridis normatif adalaha penelitian yang dilakukan mengacu
pada norma hukum yang ada dalam peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan perlindungan konsumen obat tradisional dan pengawasan hukum dalam
praktik obat tradisional.
Adapun hasil penulisan ini yaitu obat tradisional harus mempuya izin edar
agar tidak merugikan konsumen. semua bidang instansi harus saling berkoordinasi
untuk menjalin kerjasama, agar tercipta hukum yang bersifat internalization, yaitu
seseorang taat terhadap suatu aturan bener-bener karena ia merasa aturan itu
sesuai dengan nilai-nilai intristik yang di anutnya bukan karena aturan bukan
hanya karena takut terkena sanksi.
Kata kunci : perlindungan hukum; konsumen; obat tradisional; izin
edar.
Dosen Pembimbing : Dr. J. M. Muslimin, MA.
Andi Syafrani, SH.I. MCCL.
Daftar Pustaka : Tahun 1986 s.d. Tahun 2014
v
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya yang tak terkira, alhamdulillahi rabbil alamin tiada henti diucapkan
karena dapat terselesaikannya skripsi ini. Salawat serta salam semoga selalu
tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Penelilti menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari
kesempurnaan, tetapi skripsi ini merupakan hasil usaha dan upaya maksimal.
Banyak hal yang tidak dapat dihadirkan didalamnya karena keterbatasan
pengetahuan dan waktu. Namun patut disyukuri karena banyak pengalaman yang
didapat dalam penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa selama proses penulisan skripsi hingga
terselesaikannya skripsi ini ini tak lepas dari bantuan, bimbingan dan motivasi
dari banyak pihak. Oleh karena itu Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan
terima kasih kepada :
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum serta para wakil Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H., Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Drs. Abu Tamrin, SH., M.Hum., Sekretaris Program Studi
Ilmu Hukum.
3. Dr. J.M. Muslimin. MA. dan Andi Syafrani, SH.I. MCCL. dosen pembimbing I dan dosen pembimbing II yang telah bersedia membimbing
dan memberika pengarahan dalam penulisan skripsi ini dengan penuh
kesabaran, perhatian dan ketelitian, memberikan masukan serta
meluangkan waktunya untuk berdiskusidan memberikan bimbingan
hingga skripsi ini selesai.
4. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya dosen Program Studi Ilmu Hukum
yang telah memberikan ilmu pengetahuan dengan tulus dan ikhlas, semoga
ilmu pengetahuan yang diajarkan dapat bermanfaat dan menjadi
keberkahan dan bermanfaat bagi peneliti dunia dan akhirat.
5. Segenap staf Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah
memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan guna
menyelesaikan skripsi ini.
6. H. Otib Syatibi dan Hj. Ernih, selaku orang tua serta kakak-adik penelliti, Iin Syarini dan Ihda Khairunnisa yang mendoakan, memotivasi dan kasih
sayang yang telah diberikan dengan tulus sehingga peneliti dapat
menyelesaikan pendidikan pada jenjang Perguruan Tinggi.
Serta semua pihak yang telah membantu secara langsung dan tidak langsung, yang
tidak dapat disebutkan satu persatu
vi
Akhirnya, atas jasa dan bantuan semua pihak berupa moril dan materilil
hingga detik ini peneliti panjatkan doa, semoga Allah memberikan balasan yang
berlipat dan menjadikannya amal yang tidak pernah berhenti mengalir hingga akhir.
Peneliti berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi peneliti khususnya dan
bagi para pembaca pada umumnya. Semoga Allah senantiasa memberikan
kemudahan bagi kuta semua dalam menjalankan hari esok. Aamiin
Jakarta, 13 September 2017
Abdul Rizal Asror
vii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ............................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................................... iii
ABSTRAK .......................................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................................ v
DAFTAR ISI ...................................................................................................................... vii
BAB I PENDADULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1 B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah .............................. 5 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................... 6 D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ................................................. 7 E. Metode Penelitian .............................................................................. 9 F. Sistematika Penulisan ........................................................................ 12
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN
KONSUMEN
A. Teori Perlindungan Konsumen ......................................................... 14 B. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen ....................................... 15 C. Hak dan Kewajiban Konsumen .......................................................... 18 D. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha ..................................................... 22 E. Standarisasi Obat Tradisional ........................................................... 24
BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN OBAT TRADISIONAL DI
BANTEN
A. Peraturan-peraturan yang Terkait Perlindungan Konsumen Obat Tradisional ................................................................................. 28
B. Dasar Hukum Pengawasan Pemerintah dalam Perlindungan Konsumen Obat Tradisional ............................................................. 32
C. Dasar Hukum dan Fungsi Badan Pengawas Obat dan Makanan terhadap Obat Tradisional .................................................. 35
D. Jenis Pengawasan Obat Tradisional ................................................... 37
BAB IV ANALISIS PENGAWASAN OBAT TRADISIONAL DI
BANTEN
TAHUN 2016
A. Badan Pengawas Obat dan Makanan Provinsi Banten ...................... 39 B. Pelanggaran Obat Tradisional Provinsi Banten Tahun 2016 ............. 43
C. Pelanggaran Standarisasi izin edar Obat Tradisional di Banten ................................................................................................ 48
D. Hambatan dan Pengawasan Terhadap Obat Tradisional yang Tidak Memiliki Standar ..................................................................... 49
E. Perlindungan Konsumen Terhadap Obat Tradisional yang Tidak Memiliki Standarisasi .............................................................. 51
viii
A. Analisis Temuan Data Pelanggaran Obat Tradsional Terhadap Perubahan Sosial .............................................................. 53
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................ 55 B. Saran .................................................................................................. 56
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pasal 1 ayat (9) Undang-Undang Nomer 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan menyebutkan bahwa Obat tradisional adalah bahan atau ramuan
bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran digunakan untuk
pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di
masyarakat. Pengguna tumbuh-tumbuhan dalam penyembuhan adalah bentuk
pengobatan tertua di dunia. Setiap budaya di dunia memiliki sistem penobatan
tradisional yang khas dan di setiap daerah dijumpai berbagai macam jenis
tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai obat. WHO (World Health
Organization) pada tahun 1985 memprediksi bahwa skitar 80% penduduk
dunia telah memanfaatkan tumbuhan obat (herbal medicine, phytotherapy
phytomedicine, atau botanical madicine) untuk pemeliharaan kesehatan
primernya.1
Bertambahnya penguna obat tradisional di Indonesia dibuktikan dari
data Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Pada Tahun 2015
triwulan IV (empat) di bandingkan dengan data triwulan III (tiga) Tahun 2015
yang mana peningkatannya begitu pesat yaitu, dari 1.676 sampel obat
tradisional sampai 7.635 sampel (lokal dan impor). Hasil pengujian
menunjukan 1.455 sampel tidak memenuhi syarat (TMS) mutu dan keamanan
dimana sampel mengandung Bahan Kimia Obat (BKO).2 Tindak lanjut yang
dilakukan berupa pembinaan, pembatalan Nomor Ijin Edar serta penarikan
dan pemusnahan produk.
1Suli Angri, Priyono Prawito, dan Sumarto Widiono, Eksistensi Pemanfaatan Tanaman Obat
Tradisional (TOT) Suku Serawai Diera Medikalisasi Kehidupan,Jurnal Penelitian Pengelolaan Sumber
daya Alam dan Lingkungan, 1:3, (Bengkulu:EGC, 2012), h.1.
2http://www.pom.go.id/ppid/rar/2016/rtw2015-IV.pdf Pada 20/3/2017 13:59 WIB
http://www.pom.go.id/ppid/rar/2016/rtw2015-IV.pdf%20Pada%2020/3/2017%2013:59
2
Pemeriksaan kepatuhan implementasi Cara Pembuatan Obat Tradisional
yang Baik (CPOTB) dari 277 Industri Obat Tradisional (IOT), Usaha Kecil
Obat Tradisional (UKOT) dan Usaha Mikro Tradisional (UMOT),
menunjukan 42 (15,16%) IOT, UKOT dan UMOT yang tidak memenuhui
ketentuan (TMK), penyebab TMK yaitu 2 (0,72%) sarana memproduksi obat
tradisional yang mengandung bahan kimia obat (BKO), 31 (11,19%) sarana
memproduksi produk Tanpa Izin Edar (TIE), 2 (0,72%) sarana yang belum
menerapakan CPOTB, dan 7 (2,53%) sarana memproduksi produk TMK.
Tindak lanjut yang dilakukan berupa pembinaan serta pengamanan dan
pemusnahan produk TIE dan yang mengandung BKO.3 Pada data ini sudah
sangat terlihat obat tradisional yang memenuhi standar hanya 69,68% di
bandingkan dengan obat tradisional yang tidak memiliki ketentuan.
Dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a Undang-Undang Perlindungan
Konsumen Nomer. 8 Tahun 1999 telah mengatur tentang perbuatan yang
dilarang bagi pelaku usaha, yakni pelaku usaha dilarang memproduksi dan
atau memperdagangkan barang dan atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak
sesuai dengan standar yang di persyaratkan dan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Bahwa pelanggaran atas larangan tersebut
dikualifikasikan sebagai perbuatan melanggar hukum.4 tujuan dari pengaturan
ini menurut Nurmadjito, adalah untuk mengupayakan terciptanya tertib
perdagangan dalam rangka menciptakan iklim usaha yang sehat. Hal ini guna
menjamin terjadinya persaingan usaha antara pelaku usaha.5
Perlindungan konsumen merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
kegiatan bisnis yang sehat. Dalam kegiatan bisnis yang sehat terdapat
3http://www.pom.go.id/ppid/rar/2016/rtw2015-IV.pdf pada 20/3/2017 13:59 WIB.
4Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen,(Jakarta: PT. Raja
Grafindo, 2004), h. 91.
5 Nurmatjito, Kesiapan Perangkat Perundang-Undangan tentang Perlindungan
Konsumen,(Bandung : Mandar maju, 2000), h. 18-19.
http://www.pom.go.id/ppid/rar/2016/rtw2015-IV.pdf
3
keseimbangan perlindungan hukum antara konsumen dengan produsen. Tidak
adanya perlindungan yang seimbang menyebabkan konsumen berada pada
posisi yang lemah.6 Lebih-lebih jika produk yang dihasilkan oleh produsen
merupakan jenis produk yang terbatas, produsen dapat menyalah gunakan
posisinya yang monopolitis tersebut. Hal itu tentu saja akan merugikan
konsumen.
Obat tradisional merupakan kebanggaan asli Indonesia yang diwariskan
turun-temurun, digunakan luas oleh masyarakat dan telah menjadi industri,
maka pemerintah harus lebis serius dalam mengawasinya disertai melakukan
penelitian efektifitas dan keamanannya, sesuai dengan Pasal 59 Undang-
Undang Nomer. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
Dalam Undang-Undang Kesehatan diatur tentang pelayanan kesehatan
tradisional yakni, Berdasarkan cara pengobatannya, pelayanannya kesehatan
teradisional yang mengunakan keterampilan, dan Pelayanan kesehatan
tradisional yang mengunakan ramuan. Pelayanan keseahatan teradisional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibina dan diawasi oleh pemerintah agar
dapat dipertanggung jawabkan manfaat dan keamanannya serta tidak
bertentangan dengan norma agama.
Namun, kenyataannya yang terjadi di pasaran masih banyak terdapat
pelanggaran terhadap ketentuan yang terdapat di dalam Undang-Undang
kesehatan tersebut. Untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya,
seringkali pelaku usaha menyampingkan hak-hak konsumen serta larangan
yang telah diatur dalam Undang-Undang Kesehatan. Kebanyakan dari pelaku
usaha menyadari hal tersebut tetapi karena usaha mereka sudah berjalan maka
banyak pelaku usaha yang melabui aparat Kepolisian dan Badan Pengawasan
Obat dan Makanan (BPOM).
6Ahmadi Miru,Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, (Jakarta:
PT Raja Grafindo persada, 2011 Cet. Ke-4), h. 1.
4
Berdasarkan Undang-Undang Nomer. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, konsumen memiliki sejumlah hak seperti yang
termuat dalam Pasal 4, diantaranya hak konsumen atas kenyamanan,
keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
Sebaliknya pelaku usaha betranggung jawab memenuhi kewajibannya dengan
memberikan informasi yang benar, jelas, jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa tersebut serta memberikan penjelasan pengunaan,
perbaikan dan pemeliharaan.
Tujuan penyelenggaran, pengembangan dan pengaturan perlindungan
konsumen yang direncanakan adalah untuk meningkatkan martabat dan
kesadaran konsumen, dan secara tidak langsung mendorong pelaku usaha
dalam penyelenggarakan kegiatan usahanya dengan penuh rasa tanggung
jawab.7
Dengan diterapkannya otonomi daerah, BPOM membentuk suatu
balai besar POM di setiap provinsi untuk melakukan pengawasan obat dan
makanan. Salah satunya di Provinsi Banten. Berdasarkan Peraturan Kepala
Badan POM RI Nomor HK.00.05.21.3952 tanggal 9 Mei 2007 tentang
Perubahan Kedua atas Keputusan Kepala Badan POM RI
No.0018/SK/KBPOM Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja UPT di
Lingkungan Badan POM, cakupan wilayah kerja balai POM Provinsi Banten
meliputi seluruh wilayah administrasi provinsi banten, yaitu: Kabupaten
Lebak, Kabupateng Serang, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Tangerang,
Kota Tangerang, Kota Serang, Kota Cilegon, dan Kota Tangerang Selatan.
BPOM Provinsi Banten melakukan pengawasan pre-market dan post-
market, Pengawasan pre-market merupakan pengawasan sebelum barang
beredar dimasyarakat dengan melakukan pemeriksaan produk dan
pemeriksaaan sarana produksi. Sedangkan pengawasan post-marker
7Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Grasindo, 2000) , h.18.
5
merupakan pengawasan sebelum barang beredar di masyarakat dengan
melakukan infeksi langsung ke sarana distributor, toko, depot, minimarket dan
hypermarket.
Banten merupakan masyarakat yang masih mengonsumsi obat
tradisional untuk pemeliharaan kesehatan, walaupun Banten hanya memiliki
industri obat tradisional di Kota Tangerang akan tetapi masih sangat minim
industri obat tradisional dibanten tidak seperti kota lainnya, namun jumlah
distribusinya cukup banyak.
Banyaknya orang yang berlomba-lomba memasarkan atau
mempromosikan barang dan jasa, tetapi ketika barang tersebut tidak memiliki
standar yang telah diatur oleh Undang-Undang seperti halnya di Banten masih
banyak mobil obat tradisional keliling yang menjanjikan semua penyakit akan
sembuh hanya dengan konsumsi obat tersebut. Dan obat tradisional yang
dipromosikan tidak memiliki standar uji kelayakan yang diberikan oleh
BPOM dan tidak masuk dalam persyaratan Cara Pembuatan Obat Tradisional
yang Baik (CPOTB), dalam hal ini untuk menjamin pembuatan obat
tradisional yang memenuhi syarat edar agar tidak membahayakan bagi
konsumen.
Dari pemaparan diatas penulis bermaksud untuk melakukan penelitian
dalam bentuk skripsi yang berjudul: PROBLEM HUKUM DAN PRAKTIK
PENGAWASAN OBAT TRADISIONAL DI BANTEN TAHUN 2016.
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah dalam penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut:
a. Perlindungan konsumen di Banten terhadap promosi obat tradisional
yang tidak memiliki atau memenuhi setandar.
b. Pelaksanaan perlindungan hukum bagi konsumen dari obat tradisional
yang mengandung bahan kimia obat di Banten.
6
c. Hambatan POM di Banten dalam pengawasaan peredaran obat tradisional
yang tidak memiliki izin edar atau tidak memenuhi standar.
d. Kedudukan promosi obat tradisional yang ilegal dalam hukum
perlindungan konsumen.
e. Pengawasan dari pemerintah terhadap konsumen pengguna obat
tradisional ditinjau dari segi keamanan medis.
2. Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya cakupan dari peraturan perlindungan konsumen
maka disini akan difokuskan pada Problem Hukum dalam Praktik
Pengawasan Obat Tradisional di Banten.
3. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan pembatasan masalah yang
telah diuraikan, maka rumusan masalah dalam penulisan ini adalah
sebagai berikut:
a. Apa bentuk pengawasan yang dilakukan oleh Badan Pengawas Obat
dan Makanan terhadap Obat Tradisional di Banten ?
b. Bagaimana perlindungan konsumen terhadap obat tradisional yang
tidak memiliki ijin edar ?
c. Bagaimana penyelesaian hukum terhadap pelanggaran obat
tradisional di banten?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk menjelaskan bentuk pengawasan terhadap peredaran Obat
Tradisional di Banten;
b. Untuk menjelaskan Perlindungan Konsumen di Banten Terhadap Obat
Tradisional yang tidak memenuhi standar;
c. Untuk menjelaskan penyelesaian hukum terhadap pelanggaran obat
tradisional di Banten.
7
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis diharapkan dapat menambah pengetahuan dan
wawasan dalam bidang hukum perlindungan konsumen yang berkaitan
dengan obat tradisional yang tidak memenuhi standar atau yang
berkaitan dengan Undang-Undang Kesehatan.
b. Manfaat Peraktis
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan
sebagai berikut :
1) Memberikan saran bagi pemerintah khususnya pada perlindungan
konsumen untuk lebih teliti dalam perlindungan konsumen
terhadap obat tradisional yang belum mempunyai standar di
Banten.
2) Memberi masukan bagi para penegak hukum dalam rangka
pemberian kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi hak-hak
konsumen.
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Pernah ada skripsi yang membahas mengenai tinjauan kajian yuridis
terhadap promosi obat tradisional yang tidak memenuhi standar berdasarkan
hukum perlindungan kunsumen di antaranya ialah:
A. Judul Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Obat Tradisional
Impor (Studi Kasus Shen Long Gingseng Powder) yang disusun oleh
Nur Fika, Fakultas Syariah Dan Hukum, Tahun 2014. Pada Skripsi
pembahasan difokuskan pada kerugian konsumen terhadap label kemasan
obat tradisional impor khususnya hanya pada Obat Shen Long Gingseng
Powder. Perbedaannya dengan Skripsi yang diangkat adalah dari segi
penelitiannya hanya pada satu produk yaitu Obat Shen Long Gingseng
8
Powder. Akan tetapi skripsi yang diangkat yaitu mengenai problem
hukum dan praktik pengawasan obat tradisional di banten tahun 2016.
B. Judul Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Produk Pangan dalam
Kemasan Tanpa Label Halal pada Usaha Kecil yang disusun oleh
Inayatul Aini, Fakultas Syariah dan Hukum, Tahun 2014 Pada skripsi
pembahasan difokuskan pada produk pangan dalam kemasan tanpa label
halal pada usaha kecil dan upaya hukum yang dapat dilakukan konsumen
dalam memperoleh perlindungan haknya.
C. Buku Ahmadi Miru, berjudul Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum
Bagi Konsumen Di Indonesia. Buku ini membahas mengenai kondisi
konsumen yang banyak dirugikan memerlukan peningkatan upaya untuk
melindunginya sehingga hak-haknya dapat ditegakan. Sedangkan dalam
pembahasan skripsi peneliti membahas mengenai problem hukum dan
praktik Pengawasan Obat Tradisional Berdasarkan Hukum Perlindungan
Konsumen di Banten.
D. Buku Midian Sirait Berjudul Analisa dan Evaluasi Hukum Tentang
Perlindungan dan Pengawasan terhadap Pemakaian Obat
Tradisional.Buku ini membahas tentang permasalahan-permasalahan
yang timbul dari pelaksanaan peraturan di bidang obat tradisional, analisa
hukum tentang perlindungan konsumen dan pengawasan terhadap
pemakaian obat tradisional. Agar diharapkan dapat menambah informasi
hukum kepada masyarakat luas, khususnya kalangan yang berkecimpung
di bidang hukum dan selanjutnya memberikan pemikiran-pemikiran yang
berguna dalam menyusun peraturan perundang-undangan.
Sedangkan dalam pembahasan skripsi peneliti membahas mengenai
problem hukum dan praktik pengawasan obat tradisional berdasarkan
hukum perlindungan konsumen.
E. Jurnal Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Undayana Kajian
Yuridis Tentang Ketentuan Produksi dan Ijin Peredaran Obat Tradisional
9
Berkaitan dengan Perlindungan Konsumen. Jurnal ini membahas
mengenai produksi dan ijin peredaran Obat tradisional yang terkain
dengan perlindungan konsumen dan cara menemukan aturan hukum
dalam peredaran obat tradisional.
Dengan ini sepanjang penelusuran peneliti, penelitian yang
dilakukan penulis, belum ada yang melakukan penelitian mengenai
problem hukum dan praktik pengawasan obat tradisional di Banten
berdasarkan hukum perlindungan konsumen. Merupakan penelitian yang
belum pernah diangkat sebelumnya sebagai judul skripsi.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitan yang dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah research,
pada hakikatnya merupakan sebuah upaya pencarian. Lewat penelitian
(research) orang mencari (search) temuan-temuan baru, berupa
pengetahuan yang bener (truth, true, knowledge), yang dapat dipakai
untuk menjawab suatu pernyataan untuk memecahkan suatu masalah.8
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa
dan konstruksi. Metodologis berarti sesui dengan metode atau cara
tertentu. Sistematis adalah berdasarkan suatu sistem. Sedangkan konsisten
berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka
tertentu.9
Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah
yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang
bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu
8 M. Syamsudi, Operasional Penelitian Hukum (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007),
h.1.
9 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2014), h.42.
10
dengan jalan menganalisanya, kecuali itu, juga diadakan pemeriksaan
yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut kemudian mengusahakan
suatu pemecahan permasalahaan-permasalahaan yang timbul di dalam
gejala bersangkutan.10
Penulis dalam penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis
normatif yaitu penelitian yang dilakukan mengacu pada norma hukum
yang ada dalam peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
perlindungan konsumen obat tradisional dan pengawasan hukum dalam
praktik obat tradisional.
2. Bahan Hukum
Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini ada tiga jenis, yaitu:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1) Pasal 28 H Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
Tahun 1945.
2) Undang-Undang Nomer. 8 Tahun 1999 Tentang perlindungan
Konsumen.
3) Undang-Undang Nomer. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan,
4) Praturan Menteri Kesehatan Nomer. 07 Tahun 2012 tentang
Registrasi Obat Tradisional.
5) Peraturan Menteri kesehatan Nomer. 06 Tahun 2012 tentang
Registrasi Obat Tradisional,
6) Peraturan Menteri Kesehatan Nomer. 103 Tahun 2014 tentang
Pelayanan Kesehatan Tradisional,
10 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2012), h.38.
11
7) Peraturan Kepala BPOM RI Nomer. 28 Tahun 2013 tentang
Pengawasan Pemasukan Bahan Obat, Bahan Obat Tradisional,
Bahan Suplemen Kesehatan, dan Bahan Pangan dalam Wilayah
Indonesia,
8) berupa wawancara dengan BPOM Provinsi Banten, dan
wawancara ke lapangan mengenai problem hukum obat tradisional
b. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini terdiri
dari buku-buku hukum lainnya, skripsi hukum bisnis, tesis hukum
bisnis, disertasi hukum bisnis, dan Jurnal ataupun materi-materi
mengenai hukum yang berkaitan dengan peraktek pengawasan obat
tradisional di banten ditinjau dari perlindungan konsumen.
c. Bahan hukum tersier berupa bahan-bahan yang bersifat menunjang
sumber primer dan sumber hukum sekunder, seperti kamus hukum dan
website resmi dalam internet.
3. Pengelolaan dan Analisis Bahan Hukum
Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder maupun bahan hukum nonhukum diuraikan dan dihubungkan
sedemikian rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih
sistematis untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Cara
mengolahnya dengan mengumpulkan data-data yang diperoleh dari
pendekatan yang dilakukan oleh Penulis yakni pendekatan undang-
undang, pendekatan kasus, dan pendekatan konseptual, kemudian
dihubungkan dengan pendapat para ahli-ahli hukum. Dari sini akan
ditemukan jawaban yang berkaitan dengan permasalahan hukum dan
praktik pengawasan obat tradisional di Banten.
12
4. Metode Penulisan
Metode penulisan skripsi ini mengacu pada Pedoman Penulisan
Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2017.
F. Sistematika Penulisan
Skripsi disusun dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab.
Masing-masing bab terdiri atas beberapa sub, hal ini dapat membantu dan
mempermudah untuk mengrtahui dan memahaminya. Adapun sistematika
yang dimaksud adalah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Berisi pendahuluan, yang memuat latar belakang masalah,
identifikasi masalah, pembahasan dan perumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan (review) studi
terdahulu, metode penelitian, serta sistematika penulisan.
BAB II : TINJUAN UMUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
Berisi tentang uraian pengertian perlindungan konsumen,
tujuan perlindungan konsumen,dan hak konsumen dan
produsen .
BAB III: DASAR HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
OBAT TRADISIONAL
Pada bab ini penulisan menjelaskan dasar hukum perlindungan
konsumen obat tradisional, dasar hukum pengawasan
pemerintah dalam perlindungan konsumen obat tradisional,
dasar hukum dan fungsi badan pengawas obat dan makanan,
dan jenis pengawasan obat tradisional.
13
BAB IV : ANALISIS PENGAWASAN OBAT TRADISIONAL DI
BANTEN TAHUN 2016
Dalam bab ini penulis menjelaskan secara rinci dari temuan-
temuan data terkait pelanggaran obat tradisional dalam praktIk
pengawasan. Hambatan apa yang menjadi pengawasan obat
teradisional untuk menjawab data yang terkait.
BAB V : PENUTUP
Berisikan kesimpulan dan saran dari Penulis.
14
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Teori Perlindungan Konsumen
Hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen merupakan dua
hukum yang sulit untuk dipisahkan dan ditarik batasannya. Pada intinya
hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen
yang menyatu dan tidak dapat dipisahkan.1Sedangkan menurut Mochtar
Kusumaatmaja hukum konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah
hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama
lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen di dalam pergaulan
hidup.
Sedangkan menurut Az. Nasution hukum konsumen adalah sebagai
keseluruhan asas-asas dan kaidah uang mengatur hubungan dan masalah
penyediaan penggunaan produk (barang dan/atau jasa) antara penyedia dan
penggunaannya dalam kehidupan bermasyarakat.2
Sedangkan hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-
asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam
hubungannya dengan masalah penyediaan dan penggunaan produk (barang
dan/atau jasa) antara penyedia dan penggunanya dalam kehidupan
bermasyarakat.3
Oleh karena itu perlindungan konsumen merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari kegiatan bisnis yang sehat, dan dalam kegiatan bisnis yang
sehat terdapat keseimbangan perlindungan hukum antara konsumen dengan
1AZ. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen suatu pengantar, (Jakarta : Diadit Media,
2011), h. 20-21.
2AZ. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen suatu pengantar, h. 22.
3AZ. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen suatu pengantar, h. 23.
15
produsen. Tidak adanya perlindungan hukum perlindungan yang seimbang
yang menyebabkan kosumen pada posisi yang lemah.4
Menurut Treolstrup, konsumen pada dasarnya memiliki posisi tawar
yang lemah dan terus melemah, hal ini disebab kan5:
a. Terdapat lebih banyak produk, merek, dan cara penjualannya;
b. Daya beli konsumen makin meningkat;
c. Lebih banyak variasi merek yang beredar di pasaran, sehingga belum
banyak diketahui semua orang;
d. Model-model produk lebih cepat berubah;
e. Kemudahan transportasi dan komunikasi sehingga membuka akses yang
lebih besar kepada bermacam-macam pelaku usaha;
f. Iklan yang menyesatkan; dan
g. Wanprestasi oleh pelaku usaha.
Hukum perlindungan konsumen dibutuhkan apabila kondisi pihak-pihak
yang mengadakan hubungan hukum tersebut bermasalah dalam kehidupan
bermasyarakat dan berada dalam kedudukan yang tidak seimbang. Pada
umumnya, kedudukan konsumen lebih lemah dari pada pelaku usaha.
Pada dasarnya, hukum perlindungan konsumen merupakan usaha untuk
mewujudkan yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
B. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Asas adalah dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan berpikir,
berpendapat dan bertindak.6 Asas-asas pembentukan peraturan perundang-
4Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum bagi Konsumen di Indonesi, (Jakarta :
Rajawali Pers, 2011), h.1.
5Abdul Halim Barkatullah, Hak-Hak Konsumen, (Bandung : Nusa Media, 2010), h.9.
6Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : balai Pustaka,
2002), h.7.
16
undangan berarti dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan dalam
penyusunan peraturan perundang-undangan. Asas-asas hukum merupakan
fondasi suatu undang-undang dan peraturan pelaksanaannya.
Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama seluruh
pihak yang terkait, masyarakat, pelaku usaha, dan pemerintah berdasarkan
lima asas, yaitu menurut Pasal 2 UUPK adalah:7
1. Asas Manfaat
Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya
dalam penyelenggaraan perlindungan hukum bagi konsumen harus
memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan
pelaku usaha secara keseluruhan. Asas ini mempunyai makna bahwa
dalam menerapkan UUPK harus memberikan manfaat kepada pihak-pihak
yang bersangkutan yaitu konsumen dan pelaku usaha sehingga, tidak ada
satu pihak yang merasa kedudukannya lebih tinggi diantara yang lain.
2. Asas Keadilan
Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan
kewajibannya secara adil.
Asas keadilan mempunyai makna agar antara pelaku usaha dan konsumen
masing-masing memperoleh keadilan dalam melakukan kewajiban dan
keadilan dalam menerima hak-haknya, karena itu UUPK mengatur han
dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha.
3. Asas Keseimbangan
Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara
kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah;
7Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2004), h. 25-26.
17
Dengan adanya asas ini diharapkan antara kepentingan konsumen, pelaku
usaha, dan pemerintah dapat terwujud secara seimbang. Tidak ada pihak
yang merasa dirinya lebih dilindungi dari pihak lain.
4. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen
Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberi
jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam
penggunan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang di
konsumsi atau digunakan.
Asas ini mempunyai makna adanya suatu jaminan atas keamanan dan
keselamatan dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang
dan/atau jasa yang akan dimanfaatkan atau digunakan tidak akan
mengancam ketentraman, keselamatan jiwa, dan harta bendanya.
5. Asas Kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun
konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam
penyelenggaraan perlindungan hukum bagi konsumen, negara dalam hal
ini turut menjamin adanya kepastian hukum tersebut.
Selain kelima asas tersebut di atas, UUPK juga merumuskan tujuan
perlindungan konsumen, yang dirumuskan pada Pasal 3 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, yaitu:
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen
untuk melindungi diri,
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan,
dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung sistem
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi;
18
5. Membutuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha;
6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi baran dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, dan keselamatan konsumen.
C. Hak dan Kewajiban Konsumen
Signifikansi pengaturan hak-hak konsumen melalui Undang-undang
merupakan bagian dari implementasi sebagai suatu negara kesejahteraan,
karena Undang-undang Dasar 1945 di samping sebagai konstitusi politik juga
dapat disebut konstitusi ekonomi, yaitu konstitusi yang mengandung ide
negara kesejahteraan yang tumbuh berkembang karena pengaruh sosialisme
sejak abad sembilan belas.8
Secara Umum dikenal ada empat hak dasar konsumen, yaitu:
1. Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety)
2. Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed)
3. Hak untuk memilih (the right to choose)
4. Hak untuk didengar (the right to he heard)
Empat hak dasar ini diakui secara internasional. Dalam
perkembangannya, organisasi-organisasi konsumen yang bergabung dalam
The International Organization of Consumers Union (IOCU) menambahkan
lagi beberapa hak, seperti hak mendapatkan pendidikan konsumen, hak
mendaptkan ganti kerugian, dan hak mendapatkan lingkungan hidup yang
sehat dan baik.
Sedangkan hak konsumen di Indonesia sebagaimana tercantum dalam
Pasal 4 UUPK No. 8 Tahun 1999 adalah sebagai berikut :
8Jimly Asshidqie, Undang-undang Dasar 1945: Konstitusi Negara Kesejahteraan dan
Realitas Masa Depan , (Jakarta : Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1998), h.298.
19
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa;
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan;
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan;
e. Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan konsumen secara patut;
f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
h. Hak untuk mendapatkan konpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian
atau tidak sebagimana mestinya;
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Dari sembilan butir hak konsumen yang diberikan di atas, terlihat
bahwa masalah kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen
merupakan hal yang paling pokok dan utama dalam perlindungan
konsumen.9 Barang dan/atau jasa yang penggunanya tidak memberikan
keamanan, terlebih lagi yang tidak aman atau membahayakan keselamatan
konsumen jelas tidak layak untuk diedarkan dalam masyarakat.
Selanjutnya, untuk menjamin suatu barang dan/atau jasa yang
dikehendakinya berdasarkan keterbukaan informasi yang benar, jelas, dan
jujur. Jika terdapat penyimpangan yang merugikan, konsumen berhak
9Abdul Halim Barkatullah, Hak-Hak Konsumen, (Bandung : Nusa Media, 2010), h.34
20
untuk didengar, memperoleh advokasi, pembinaan, perlakuan yang adil,
kompensasi sampai ganti rugi.10
Hak-hak konsumen yang diatur dalam peraturan lainnya, yaitu
a. Hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat
Hak konsumen atas lingkungan yang baik dan sehat merupakan
hak yang diterima sebagi salah satu hak dasar konsumen oleh berbagai
organisasi konsumen di dunia. Lingkungan hidup yang baik dan sehat
berarti sangat luas, dan setiap makhluk hidup adalah konsumen atas
lingkungan hidupnya. Lingkungan hidup meliputi lingkungan hidup
dalam arti fisik dan lingkungan non fisik.
Dalam Pasal 6 Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan dan Pasal 15 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, hak untuk
mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat ini dinyatakan secara
tegas. Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup
menyatakan, setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan
hidup yang sehat.
b. Hak untuk dilindungi dari akibat negatif persaingan curang
Persaingan curang atau dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1999
disebut dengan persaingan usaha tidak sehat dapat terjadi jika
seorang pengusaha berusaha menarik langganan atau klien pengusaha
lain untuk memajukan usahanya atau memperluas penjualan dan
pemasarannya dengan menggunakan alat atau sarana yang
bertentangan dengan itikad baik dan kejujuran dalam pergaulan
perekonomian.
Walaupun persaingan terjadi antara pelaku usaha, namun
dampak dari persaingan itu selalu dirasakan oleh konsumen. Jika
10Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Gramedia
Pustaka, 2000), h.30
21
persaingan antara pelaku usaha sehat, konsumen memperoleh
keuntungan. Sebaliknya jika persaingan antara pelaku usaha tidak
sehat konsumen pula yang dirugikan. Kerugian itu boleh jadi tidak
dirasakan dalam jangka pendek tetapi cepat atau lambat pasti terjadi.
Betapa pentingnya hak-hak konsumen, sehingga melahirkan
pemikiran yang berpendapat bahwa hak-hak konsumen merupakan
generasi keempat hak asasi manusia, yang merupakan kata kunci
dalam konsepsi hak asasi manusia dalam perkembangan di masa-masa
yang akan datang.11
Selain memperoleh hak tersebut, sebagai balance, konsumen
juga mempunyai beberapa kewajiban sebagaimana tercantum dalam
Pasal 5 UUPK No. 8 Tahun 1999 adalah sebagai berikut :
1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan
dan keselamatan;
2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang
dan/atau jasa;
3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut.
Hal tersebut di atas dimaksudkan agar konsumen dapat
memperoleh hasil yang maksimal atas perlindungan dan/atau kepastian
hukum bagi dirinya. Pentingnya kewajiban ini, karena pelaku usaha
telah menyampaikan peringatan secara jelas pada label suatu produk,
namun konsumen tidak membaca peringatan yang telah disampaikan
kepadanya. Dengan pengaturan kewajiban ini, memberikan
konsekuensi hilangnya tanggung jawab pelaku usaha apabila
11Jimliy Asshidqie, Perkembangan Pemikiran Mengenai Hak Asasi Manusia, Instituate For Democracy dan Human Rights (Jakarta, The Habibi Center, 2000), h.12.
22
konsumen yang bersangkutan menderita kerugian akibat mengabaikan
kewajiban tersebut.
D. Hak dan kewajiban pelaku usaha
Pasal 1 ayat (3) UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
memberikan pengertian pelaku usaha, sebagai berikut:
Pelaku usaha adalah setiap perseorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum maua pun bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
Untuk menciptakan kenyamanan berusaha bagi para pelaku usaha dan
sebagai keseimbangan atas hak-hak yang diberikan kepada konsumen, kepada
pelaku usaha diberikan hak sebagaimana diatur pada Pasal 6 UUPK.
Hak-hak tersebut sebagai berikut:
1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
2. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan
konsumen yang beritikad tidak baik;
3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam
penyelesaian hukum sengketa konsumen;
4. Hak untuk rehabilitas nama baik apabila tidak terbukti secara
hukum kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau
jasa yang diperdagangkan;
5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan lainnya.
Selanjutnya, sebagai konsekuensi dari hak konsumen yang telah
disebutkan pada uraian terdahulu, maka kepada pelaku usaha dibebankan pula
23
kewajiban-kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UUPK, yakni sebagai
berikut:
1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
2. Memberikan infomasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa, serta memberikan penjelasan penggunaan,
perbaikan, dan pemeliharaan;
3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur, serta
tidak diskriminatif;
4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan mutu barang dan/atau jasa yang
berlaku;
5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau
mencoba barang dan/atau jasa tertentu, serta memberi jaminan dan/atau
garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan;
6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/jasa pengganti apabila barang
dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.
Kewajiban pelaku usaha beritikad baik dalam melakukan kegiatan usaha
merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian. Ketentuan
tentang itikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata. Bahwa
perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Sedangkan Arrest H.R. di
Negri Belanda memberikan peranan tertinggi terhadap itikad baik dalam tahap
pra perjanjian, bahkan kesesatan ditempatkan di bawah itikad tidak baik,
bukan lagi pada teori kehendak. Begitu pentingnya itikad baik tersebut,
sehingga dalam perjanjian antara para pihak, kedua belah pihak harus
mempunyai itikad baik.12
12Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), h.52
24
Jika diteliti lebih baik, jelas bahwa kewajiban-kewajiban tersebut
merupakan manifestasi hak konsumen dalam sisi lain yang ditargetkan
untuk menciptakan budaya tanggung jawab, pada diri para pelaku usaha.
E. Standarisasi Obat Tradisional
Meskipun pelayanan kesehatan modern telah semakin berkembang di
Indonesia, jumlah masyarakat yang memanfaatkan pengobatan tradisional
tetap tinggi. Menurut SUSENAS 2015 ditemukan sekitar 57,7% penduduk
indonesia melakukan pengobatan modern, 31,7% menggunakan obat
tradisional, dan 9,8% melakukan pengobatan sendiri.13
Karena begitu banyaknya konsumen obat tradisional, maka Pemerintah
memiliki perhatian khusus untuk itu dibuat kebijakan-kebijakan terkait hal ini
Berikut ini ada dua kebijakan umum dalam pengelolaan obat tradisional:14
1. Pengobatan teradisional merupakan salah satu upaya pengobatan dan/atau
perawatan cara lain diluar ilmu kedokteran dan/atau keperawatan, yang
banyak dimanfaatkan oleh masyarakat dalam mengatasi masalah
kesehatan.
2. Pengobatan tradisional perlu dibina dan diawasi untuk diarahkan agar
dapat menjadi pengobatan dan/atau perawatan cara lain yang dapat
dipertanggung jawabkan manfaat dan keamanannya.
Ada kebijakan umum adapula kebijakan khusus yaitu;
Pelayanan kesehatan tradisional dibina dan diawasi oleh pemerintah agar
dapat dipertanggung jawabkan manfaat dan keamanannya serta tidak
bertentangan dengan norma agama. Ini tercantum dalam UU Kesehatan No.
36 Tahun 2009 Pasal 56. Pengobatan tradisional yang dapat dipertanggung
jawabkan manfaat dan keamanannya perlu terus dibina, ditingkatkan,
13Badan Pusat Statistik, Survei Sosial Ekonomi Nasional 2015, diakses pada 5 Mei 2017
pukul 14:00, dari http://microdata.bps.go.id/mikrodata/index.php/catalog/43
14
Abdul Latief, Obat Tradisional, (Jakarta: EGC, 2012), h.4.
http://microdata.bps.go.id/mikrodata/index.php/catalog/43
25
dikembangkan, dan diawasi untuk digunakan dalam mewujudkan derajat
kesehatan yang optimal bagi masyarakat15
.
Obat tradisional sudah sangat pesat perkembangannya di Indonesia.
Peredaran obat tradisional di Indonesia harus memenuhi persyaratan dan
aturan yang telah ditetapkan dalam KEPMENKES No.
661/MENKES/SKVII/1994. Berdasarkan atauran tersebut, maka sangat
penting untuk melakukan suatu prosedur yaitu Standarisasi Obat
Tradisional/Herbal.
Standarisasi adalah sebuah alat untuk melakukan kontrol kualitas
terhadap seluruh proses pembuatan obat Tradisional (OT) dari tahap
penyiapan raw material, bahan jadi (ekstrak), proses produksi obat tradisional,
dan obat tradisional itu sendiri. Salah satu tahap standarisasi yaitu uji
penetapan parameter non spesifik yang meliputi penetapan kadar air (moist
content), cemaran mikroorganisme (microbial contaminant), dan identifikasi
aflatoskin.16
a. Penetapan kadar air
Salah satu jaminan kemurnian dan kontaminasi adalah penetapan
kadar air. Nilai kadar air yang tidak sesuai dengan standar Akan dapat
mempengaruhi kualitas herbal Yaitu Sebagai media tumbuh mikroorganisme
yang Baik. Pertumbuhan jamur ataupun bakteri dapat menyebabkan terjadinya
perubahan metabolit sekunder. Selain itu kadar air yang tinggi dapat
menyebabkan masih berlangsungnya reaksi enzimatis yang dapat merubah
metabolit sekunder di dalam tanaman tersebut. Perubahan metabolit sekunder
Akan sangat mempengaruhi kualitas herbal itu sendiri dalam hal aktivitas
farmakologinya. Penetapan kadar air dapat dilakukan dengan 3 metode
15Abdul Latief, Obat Tradisional, (Jakarta: EGC, 2012), h.4.
16
Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia, (Jakarta : BPOM, 2004), h. 121-146.
26
tergantung pada senyawa kimia didalamnya, yakni titrasi, gravimetri, dan
destilasi. Umumnya kadar air ditetapkan dengan cara destilasi apabila terdapat
minyak astir di dalamnya. Metode penetapan kadar air dapat
b. Penetapan kadar Abu
Dalam menentukan kadar Abu, bahan tanaman di bakar dan residu
Abu yang dihasilkan diukur Sebagai kadar Abu total. Kadar Abu total
menunjukkan jumlah senyawa anorganik, mineral internal dan eksternal.
Kadar Abu harus sesuai berdasarkan standar yang sudah ditetapkan di masing-
masing ekstrak bahan tanaman. Dari Abu total yang dihasilkan kita dapat
menentukan kadar Abu tidak larut asam, dengan cara Abu total dilarutkan
dalam asam klorida dan di bakar. Sisa Abu pembakaran merupakan nilai Abu
tidak larut asam. Kadar Abu tidak larut asam menandakan kehadiran silikat
yang terdapat didalam pasir atau tanah.
c. penetapan logam berat
Kontaminasi logam berat dapat terjadi secara tidak sengaja ataupun
sengaja untuk ditambahkan. Logam berat yang berbahaya dan Ada di sediaan
OT adalah merkuri, timbal, tembaga, kadmium, dan arsen. Cara penentuan
logam berat yang sederhana dapat ditemukan dalam pharmacopoeias dan
didasarkan pada reaksi warna menggunakan reagen spesifik Yaitu
thiocetamide atau diethyldithiocarbamate. Kehadiran logam berat diukur
dengan membandingkan menggunakan standar. Penetapan logam berat dapat
menggunakan instrument seperti Atomic Absorption Spectrophotometry
(AAS), Inductively coupled plasma (ICP), dan Neutron Activation Analysis
(NAA).
27
d. penetapan residu pestisida
Obat Tradisional dapat mengandung residu pestisida, yang
terakumulasi melalui proses agricultural seperti penyemprotan, treatment pada
tanah Selama proses penanaman, dan penggunaan pestisida gas Selama
penyimpanan. Banyak pestisida mengandung klorin atau fosfat. Pengukuran
residu pestisida dapat dilakukan dengan menetapkan total organik klorin dan/
total organik fosfat apabila tercemar pestisida lebih dari satu.
Penentuan pestisida tunggal dapat dilakukan dengan metode
kromatografi gas. Tetapi apabila senyawa pestisida atau senyawa lain juga
terdeteksi dalam kromatogram suatu residu pestisida maka perlu dilakukan
suatu perlakuan kimiawi atau Fisika lain untuk menghilangkan atau
mengurangi intervensi senyawa senyawa tersebut sebelum dilakukan
kuantitasi residu pestisida yang ingin ditentukan.
28
BAB III
PERLINDUNGAN KONSUMEN OBAT TRADISIONAL DI BANTEN
A. Peraturan-peraturan yang terkait Perlindungan Konsumen Obat
Tradisional
Peraturan dasar untuk melindungi konsumen terhadap obat tradisional
di Banten, agar konsumen dan pelaku usaha mengetahui adanya aturan dan
batasan yang diberikan oleh Undang-Undang adalah seabagi berikut :
1. ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Rapublik Indonesia Tahun 1945
Pasal 28 H, yang berbunyi:
Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan, dan setiap orang berhak mendapatkan
kemudahan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat
yang sama guna mencapai kesamaan dan keadilan.
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 disamping
sebagai konstitusi politik juga dapat disebut konstitusi ekonomi, yaitu
konstitusi yang mengandung ide negara kesejahteraan yang tumbuh dan
berkembang, dalam hal ini undang-undang dasar sebagai kiblat dari semua
undang-undang dan peraturan yang ada agar tidak terjadinya suatu
penyimpangan norma hukum
2. Undang-undang Nomer. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Undang-undang ini mengatur perlindungan hukum bagi konsumen
disebabkan posisi tawar konsumen yang lemah. Perlindungan hukum
terhadap konsumen mensyaratkan adanya pemihakan kepada posisi tawar
yang lemah (konsumen).1 Berhubungan dengan itu, mengingat tujuan
negara untuk menjaga dan memelihara tata tertib, diharapkan negara
1 Sudaryatmo, Hukum dan Advokasi Konsumen, (Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1999),
h.90.
29
memberi perhatian. Perhatian negara terhadap hukum perlindungan
konsumen ini, dinamakan politik hukum negara.2
Dalam Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen,
dinyatakan bahwa perlindungan hukum bagi konsumen diselenggarakan
sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) prinsip dalam pembangunan
nasional, yaitu:
a. Prinsip manfaat. Dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala
upaya dalam penyelenggaraan perlindungan hukum bagi konsumen
harus memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen
dan pelaku usaha secara keseluruhan;
b. Prinsip keadilan. Dimaksud agara partisipasi seluruh rakyat dapat
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk untuk memperoleh haknya dan
melaksanakan kewajibannya secara adil;
c. Prinsip keseimbangan. Dimaksud untuk memberikan keseimbangan
antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah;
d. Prinsip keamanan dan keselamatan konsumen. Dimaksud untuk
memberi jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen
dalam pengunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa
yang digunakan;
e. Prinsip kepastian hukum. Dimaksud agara baik pelaku usaha maupun
konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam
penyelenggaran perlindungan hukum bagi konsumen, diaman negara
turut menjamin adanya kepastian hukum tersebut.
Melalui kelima asas tersebut, terdapat komitmen untuk mewujudkan
tujuan perlindungan hukum bagi konsumen yang direncanakanan
adalah untuk meningkatkan martabat dan kesadaran konsumen, serta
2Soediman Kartohadiprodjo, Tata Hukum Indonesia, Cet.12,(Jakarta, Ghalia Indonesia,
1993), h.37.
30
secara tidak langsung mendorong pelaku usaha di dalam
menyelenggarakan kegiatan usaha dengan penuh rasa tanggung
jawab.3
3. Undang-Undang Nomer. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Undang-Undang Nomer. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pada
Pasal 105 ayat (2), sediaan farmasi yang berupa obat tradisional dan
kosmetik serta alat kesehatan harus memenuhi standar dan/atau
persyaratan yang ditentukan. Dalam hal ini obat tradisional harus
mempunyai standar dan/atau izin edar yang diatur secara rinci dalam
peraturan pemerintah, untuk memberikan perlindungan kepada pengguna
dan memberikan kepastian hukum.
Perlindungan kesehatan bagi konsumen adalah perlindungan
terhadap manusia agar kesehatan tidak menurun sebagai akibat pengunaan
produk.4 Perlindungan ini sangat penting bagi konsumen, sehingga perlu
bagi setiap konsumen. Begitu pentingnya hal ini, maka dalam WTO
dijadikan suatu bahasan sendiri, yaitu persetujuan tentang pelaksanaan
tindakan perlindungan kesehatan manusia, hewan dan Tumbuh-tumbuhan
(selanjutnya disebut perlindungan kesehatan manusia), yang mana salah
satu ketentuan yang terkandung di dalamnya adalah perlindungan
kesehatan manusia.
4. Peraturan Menteri Kesehatan dan Keputusan Menteri Kesehatan tentang
Obat Tradisional.
a. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 007 Tahun 2012 tentang
Registrasi Obat Tradisional.
b. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 006 Tahun 2012 tentang
Industri dan Usaha Obat Tradisional.
3Abdul Halim Barkatullah, Hak-Hak Konsumen, (Bandung : Nusa Media, 2010), h.27.
4Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2004), h.184.
31
c. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 386/MEN.KES/SK/IV/1994
tentang Pedoman Periklanan: Obat Bebas, Obat Tradisional, Alat
Kesehatan, Kosmetika, Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga dan
Makanan dan/atau Minuman.
Bahwa dalam hal ini suatu negara memasuki tahap negara
kesejahteraan (welfare state) tuntutan intervensi pemerintah melalui
pembentukan hukum yang melindungi pihak yang lemah sangatlah kuat.5
Pada priode ini negara mulai memperhatikan antara lain kepentingan
tenaga kerja, konsumen, usaha kecil, dan lingkungan hidup, dengan
membuat peraturan yang tidak bertentangan dengan norma lain.
Dalam rangka melindungi masyarakat dari peradaran obat
tradisional yang tidak memenuhi persyaratan keamanan, khasiat dan/atau
manfaat, dan mutu perlu dilakukan penilaian melalui registrasi obat
tradisional sebelum diedarkan untuk mengetahui suatu obat tradisional itu
layak atau tidak untuk dipasarkan dan dikonsumsi oleh masyarakat.
5. Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan terhadap Obat Tradisional
a. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia Nomor HK.00.05.1.23.35.16 tentang Izin Edar Produk
Obat, Obat Tradisional, Kosmetik, Suplemen Makanan dan Minuman
yang Bersumber, Mengandung, dari Bahan tertentu dan atau
Mengandung Alkohol.
b. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia Nomor HK.00.05.42.2996 tentang Pengawasan Pemasukan
Obat Tradisional.
c. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 2014 tentang Persyaratan Mutu Obat
Tradisional
5Karen S. Fishmen, An Overview of consumer Repoting Service, (Marylan: National Law
Publishing Corporation, 1986), h.7-9.
32
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam hal ini untuk
memberikan jaminan dan/atau perlindungan kepada masyarakat dari
penggunaan obat tradisional yang tidak memiliki izin edar. BPOM
membuat peraturan agar terciptanya keseimbangan perlindungan
kepentingan konsumen dan pelaku usaha dalam suatu perekonomian yang
sehat.
B. Dasar Hukum Pengawasan Pemerintah dalam Perlindungan Konsumen
Obat Tradisional
Peran pemerintah sebagai pemegang regulasi dan kebijakan sangat
penting. Tanggung jawab pemerintah dalam melakukan pembinaan
penyelenggaraan perlindungan konsumen dimaksudkan untuk
memberdayakan konsumen agar mendapatkan hak-haknya, sementara itu
tanggung jawab pemerintah dalam melakukan pengaasan penyelenggaraan
perlindungan konsumen juga menjadi bagian yang penting dalam upaya
membangun kegiatan usaha yang positif dan dinamis, sehingga hak-hak
konsumen tetap bisa diperhatikan oleh para pelaku usaha.6
a. Pembinaan dan pengawasan pemerintah dalam melindungi konsumen
1. Pembinaan
Dalam Undang-undang Perlindungan konsumen Pasal 29 Ayat
1 dinyatakan bahwa pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan
penyelenggraan perlindungan konsumen yang menjamin
diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya
kewajiban konsumen dan pelaku usaha.
Dalam penjelasan umum Peraturan Pemerintah Nomor 68
Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Perlindungan Konsumen, disebutkan bahwa pembinaan perlindungan
6Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta, Grasindo, 2004), h.63.
33
konsumen yang diselenggarakan oleh pemerintah adalah sebagai
upaya untuk menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha
serta dilakukannya kewajiban masing-masing dengan asas keadilan
dan asas keseimbangan kepentingan.
Tugas pembinaan dalam penyelenggaraan perlindungan
konsumen dilakukan oleh menteri atau menteri teknis terkait. Menteri
ini melakukan koordinasi atas penyelenggaraan perlindungan
konsumen beberapa tugas pemerintah dalam melakukan pembinaan
penyelenggaraan perlindungan konsumen telah dijabarkan dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan
Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen untuk
Menciptakan Iklim Usaha dan Tumbuhnya Hubungan Sehat Pelaku
Usaha dan Konsumen. berkembangnya lembaga perlindungan
konsumen swadaya masyarakat.
Dalam peraturan pemerintah Pasal 6 Nomor 58 Tahun 2001
tentang pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan perlindungan
konsumen, disebutkan bahwa upaya meningkatkan kegiatan
penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen
dengan materi terkait sebagai berikut:
a. Meningkatkan kualitas aparat penyidik pegawai negri sipil di
bidang perlindungan konsumen.
b. Meningkatkan kualitas tenaga peneliti dan penguji barang
dan/atau jasa.
c. Melakukan pengembangan dan pemberdayaan lembaga penguji
mutu barang.
d. Melakukan penelitian dan pengembangan teknologi pengujian
dan standar mutu barang dan/atau jasa serta penerapan.
34
2. Pengawasan
Pasal 30 ayat (1) Undang-undang perlindungan konsumen
disebutkan bahwa pengawasan terhadap penyelenggaraan
perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan
perundang-undangan diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat,
dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.
Dalam penjelasan umum Peraturan Pemerintah Nomor 58
Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Perlindungan Konsumen, disebutkan bahwa perlindungan konsumen
dilakukan secara bersama oleh pemerintah, masyarakat dan LPKSM,
mengingat banyak ragam dan jenis barang dan/atau jasa yang beredar
di pasar serta luasnya wilayah indonesia.
Berdasarkan penjelasan tersebut, tugas pengawasan tidak
hanya dibebankan kepada pemerintah, masyarakat umum dan
lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat (LPKSM)
juga bisa terlibat secara aktif. Sebagaimana diatur Pasal 30 ayat (3)
Undang-undang Perlindungan Konsumen bahwa pengawasan oleh
masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di
pasar. Lebih lanjut, Pasal 4 mengatur bahwa, apabila hasil
pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ternyata
menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat dapat disebar luaskan
kepada masyarakat dan bisa disampaikan kepada menteri terkait dan
menteri teknis.
Dalam hal ini pengujian terhadap barang dan/atau jasa yang
beredar sebagaimana yang diatur pasal 10 Peraturan Pemerintah
Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan
35
Penyelenggraan Perlindungan Konsumen, dilakukan melalui
laboratrium penguji yang telah diakriditasi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku (ketentuan PP No. 58 Tahun
2001). Maksud dari ketentuan ini untuk mendapatkan hasil yang
objektif, transparan, dan dapat dipertanggung jawabkan lembaga
laboratarium yang terakriditas bisa berupa lembaga nasional atau
internasional.
C. Dasar Hukum dan Fungsi Badan Pengawas Obat dan Makanan terhadap
Obat Tradisional
1. Dasar Hukum Badan Pengawas Obat dan Makanan
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) merupakan Lembaga
Pemerintah Non Departemen (LPND), yaitu sesuai dengan Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 103 Tahun 2001, yakni merupakan
lembaga pemerintah pusat yang di bentuk untuk melakukan tugas
pemerintah tertentu dari Presiden serta bertanggung jawab langsung
kepada Presiden.
Latar belakang terbentuknya Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM) adalah dengan melihat kemajuan teknologi telah membawa
perubahan yang cepat dan signifikan pada industri farmasi. Untuk itu
Indonesia harus memiliki Sistem Pengawasan Obat dan Makanan
(SisPOM) yang aktif dan efesien yang mampu mendeteksi, mencegah dan
mengawasi produk-produk dengan tujuan keamanan, keselamatan, dan
kesehatan konsumennya baik di dalam maupun di luar negri untuk itu
telah dibentuknya Badan Pengawas Obat dan Makanan yang memiliki
jaringan nasional dan internasional serta kewenangan penegakan hukum
dalam kredibilitas profesional yang tinggi.7
7http://pom.go.id/profile/latarbelakang. Diakses pada 10 Mei 2017, pukul 23.11 WIB.
http://pom.go.id/profile/latarbelakang
36
2. Fugsi dan Wewenang Badan Pengawas Obat dan Makanan
Menurut Pasal 3 Keputusan Kepala BPOM No.
002001/SK/KBPOM Fungsi dari BPOM yaitu :
a. Pengkajian dan penyusunan kebijakan norma di bidang pengawasan
obat dan makanan;
b. Pelaksanaan kebijakan tertentu di bidang pengawasan obat dan
makanan;
c. Koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas BPOM;
d. Pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan terhadap kegiatan
instansi pemerintah di bidang pengawasan obat dan makanan;
e. Penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi umum di
bidang perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tata
laksana, kepegawaian, keuangan, kearsipan, persandian,
perlengkapan rumah tangga.
Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
BPOM mempunyai kewenangan yaitu :
a. Penyusunan secara makro di bidang pengawasan obat dan makanan;
b. Perumusan kebijakan di bidang pengawasn obat dan makanan untuk
mendukung pembangunan secara makro;
c. Penetapan sistem informasi di bidang pengawasan obat dan makana;
d. Penetapan persyaratan pengunaan bahan tambahan (zat adiktif)
tertentu untuk makanan dan penetapan pedoman pengawasan
peredaran obat dan makanan;
e. Pemberian ijin dan pengawasan peredaran obat serta pengawasan
industri farmasi;
f. Penetapan pedoman penggunaan, konservasi, pengembangan, dan
pengawasan tanaman obat.
37
D. Jenis Pengawasan Obat Tradisional
Pengawasan obat dan makanan memiliki aspek permasalahan
berdimensi luas dan kompleks, oleh karena itu. Diperlukan sistem
pengawasan yang komprehensip, semenjak awal proses suatu produk hingga
produk tersebut beredar di tengah masyarakat. Ada berberapa jenis
pengawasan obat dan makanan yaitu:
a. Jenis pengawasan obat dan makanan di kewenangan Pusat untuk menekan
sekecil mungkin resiko yang bisa terjadi, dilakukan (SISPOM) Sistem
Pengawasan Obat dan Makanan ada tiga lapis yakni8:
1. Sub-Sistem Pengawasan Produsen
Sistem Pengawasan internal oleh produsen melalui pelaksanaan cara-
cara produksi yang baik atau good manufacturing practices agar setiap
bentuk penyimpangan dari standar mutu dapat dideteksi sejak awal
secara hukum produsen bertanggung jawab atas mutu dan keamanan
produk yang dihasilkannya. Apabila terjadi penyimpangan dan
pelanggaran terhadap standar yang telah ditetapkan maka produsen
dikenakan sanksi, baik administratif maupun pro-justisia.
2. Sub-Sistem pengawasan konsumen
Sistem pengawsan oleh masyarakat konsumen sendiri melalui
peningkatan kesadaran dan peningkatan pengetahuan mengenai
kualitas produk yang digunakannya dan cara-cara penggunaan produk
yang rasional. Pengawasan oleh masyarakat sendiri sangat penting
dilakukan karena pada akhirnya masyarakatlah yang mengambil
keputusan untuk membeli dang menggunakan suatu produk.
Konsumen dengan kesadaran dan tingkat pengetahuan yang tinggi
terhadap mutu dan kegunaan produk-produk yang tidak memenuhi
8http://www.pom.go.id/new/index.php/view/kerangkakonsepDiakses pada 10 Mei 2017, pukul 23.11 WIB.
http://www.pom.go.id/new/index.php/view/kerangkakonsep
38
syarat dan tidak dibutuhkan sedang pada sisi lain akan mendorong
produsen untuk ekstra hati-hati dalam menjaga kualitasnya.
3. Sub-Sistem Pengawasan Pemrintah/ BPOM
Sistem pengawasan oleh pemerintah melalui pengaturan dan
standardisasi; penilaian keamanan, penilaian keamanan, khasiat dan
mutu produk sebelum diijinkan di Indonesia, inpeksi pengambilan
sampel dan pengujian laboratorium produk yang beredar serta
peringatan kepada publik yang didukung penegakan hukum, untuk
meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat konsumen
terhadap mutu, khasiat dan keamanan produk maka pemerintah juga
melaksanakan kegiatan komunikasi, informasi dan edukasi.
b. Jenis pengawasan obat dan makanan di Provinsi Banten melakukan
dengan dua pengawasan pre-market dan post market, Pengawasan pre-
market merupakan pengawasan sebelum barang beredar di masyarakat
dengan melakukan pemeriksaan produk dan pemeriksaan sarana produksi.
Sedangkan pengawasan post-market merupakan pengawasan sebelum
barang beredar di masyarakat dengan melakukan infeksi ke sarana
distributor, toko, depot, minimarket, dan hypermarket.
39
BAB IV
PROBLEM HUKUM OBAT TRADISIONAL DI BANTEN
A. Badan Pengawas Obat dan Makanan Provinsi Banten
1. Profil dan data umum wilayah kerja Balai POM di banten
Balai POM di Banten dibentuk berdasarkan peraturan kepala Badan
POM RI Nomor HK.00.05.21.3592 tanggal 9 Mei 2007 tentang
perubahan kedua atas keputusan kepala Badan POM RI Nomor :
05018/SK/KBPOM Tahun 2001 tentang Organisasi dan tata kerja UPT di
lingkungan Badan POM. BPOM banten yang berlokasi di ibu kota serang.
meliputi seluruh Wilayah administrasi Propinsi Banten, yaitu :
Kabupaten Serang
Kabupaten Tangerang
Kabupaten Lebak
Kabupaten Pandeglang
Kota Serang
Kota Cilegon
Kota Tangerang
Kota Tangerang Selatan
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Banten dalam
Angka 2015/ Banten in Figurasi 2015 Propinsi Banten memiliki luas
wilayah sebesar 9662,92 km21. Seluruh wilayah kerja Balai POM di
Serang dapat dijangkau dengan perjalanan darat, dimana Kabupaten
Serang dan Kota Serang dikatgorikan sebagai wilayah dalam kota,
sedangkan wilayah administrasi lainnya dikatagorikan sebagai wilayah
luar kota. Adapun struktur organisasi dari BPOM banten sebagai berikut:
1https://www.bps.go.id/Subjek/view/id/153#subjekViewTab3|accordion-daftar-subjek1 Pada
22/08/2017 20:32 WIB.
https://www.bps.go.id/Subjek/view/id/153#subjekViewTab3|accordion-daftar-subjek1
40
Dalam rangka pengawasan obat dan makanan, sarana produksi dan
distribusi yang diawasi di propinsi Banten sampai dengan Desember 2015
sebanyak 4.665 sarana produksi obat dan makanan serta sarana distribusi
yang tersebar di 8 (delapan) wilayah kabupaten /kota.2
2. Tujuan dan Fungsi Pengaturan Regulasi Standarisasi Balai POM di
Banten
2https://www.bps.go.id/Subjek/view/id/153#subjekViewTab3|accordion-daftar-subjek1 Pada
22/08/2017 20:32 WIB.
Kepala Balai
Dra. Nurjaya Bangsawan, Apt.M.Kes.
Ka. Sub. Bag Tata Usaha
Dra. Renti Sambiring, Apt.
Staf Tata Usaha
Ka. Sie Pengujian Pangan Bahan
Berbahaya dan Mikrobiologi
Akhmad Kurnia, ST.
Ka. Sie Pengujian teranakoko
Hening Setyaningsih, S.
Farm., Apt.
Ka. Sie Pemdik Serlik
Faizal Mustofa Kamil, S.SI.,
Apt.
Staf Pengujian Pangan, Bahan
Berbahaya dan mikrobiologi Staf Pemdik Serlik Staf Pngujian teranakoko
https://www.bps.go.id/Subjek/view/id/153#subjekViewTab3|accordion-daftar-subjek1
41
Tujuan Balai POM Banten dalam pengaturan regulasi standarisasi
untuk terlindungnya masyarakat dari produk obat dan makanan yang
beresiko terhadap kesehatan.
Fungsi pengaturan regulasi standarisasi Balai POM di Serang untuk
srtifikasi industri di bidang obat dan makanan yang berdasar pada cara
produksi yang baik yaitu :
Pada evaluasi produk sebelum diedarkan di pasar, pengawasan
pasca edar di pasar termasuk sampling, pengujian laboratorium
pemriksaan sarana produksi dan distribusi, serta penyidikan dan
penegakan hukum, pada pre-audit dan pasca audit periklanan dan
kegiatan promosi, pada riset berkelanjutan terhadap pelaksanaan
kebijakaan pengawasan obat dan makanan, pada layanan publik terkait
dengan kegiatan komunikasi, informasi, edukasi dan peringatan publik.
3. Kegiatan utama Balai POM Banten
Untuk mencapai tujuan dan sarana sesuai visi dan misi Balai Pom di
Banten dengan didukung dengan sumber daya terbatas menetapkan
kegiatan utama yang mengacu kepada Rencana Strategis (Renstra) Balai
POM di Banten dan sarana mutu QMS (Quality Managemen System)
Balai POM di Banten yaitu :
a. Pengawasan obat dan makanan terlaksana secara efektif untuk
melindungi konsumen di Provinsi Banten:
Pemenuhan terhadap obat yang memnuhi standar keamanan,
manfaat dan mutu.
Pengawasan terhadap obat tradisional yang mengandung BKO
(Bahan Kimia Obat).
Pengawasan terhadap kosmetik yang mengandung bahan bahaya.
Pengawasan terhadap suplemen makanan yang tidak memenuhi
persyaratan keamanan.
42
Pengawasan iklan obat, obat tradisional, kosmetik suplemen
makanan, serta iklan dan lebel rokok.
Perketatan pengawasan narkotika, pisikotropika, prekursor, dan
adiktif/rokok.
Pemberdayaan konsumen/masyarakat di bidang obat dan
makanan melalui pameran, penyuluhan, sosialisasi, workshop,
seminar.
Penegakan hukum terkait dengan pelanggaran di bidang
kesehatan khususnya obat dan makanan melalui mekanisme
penyidikan.
Peningkatan post market dengan cara pengambilan smpel dan
diuji.
Perkuatan koordinasi lintas sektoral terkait tugas dan fungsi
pokok Balai POM di Banten
b. Terwujudnya laboratorium Pengawas obat dan makanan yang
terakriditasi.
Tercapainya sarana dan prasarana pendukung laboratarium
Ruang lingkup yang bertambah.
c. Meningkatnya kompensi, kapabilitas dan jumlah modal instansi yang
unggul dalam melaksanakan pengawasan obat dan makanan.
Peningkatan kualitas SDM (Sumber Daya Manusia), sistem
manajemen, perangkat hukum, dan profesionalisme sumber daya
manusia serta sarana.
Diterapkannya sistem manajemen mutu di Balai POM di Serang.
43
B. Pelanggaran Obat Tradisional Provinsi Banten Tahun 2016
1. Tinjuan umum tentang pelanggaran obat tradisional di Banten
Pelanggaran yang ada dalam data penelitian yaitu sebagai berikut :
1.1 Tanpa izin edar
Pasal 2 ayat (1) dan (2) obat tradisional yang diedarkan diwilayah
indonesia wajib memiliki izin edar, izin edar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Kepala Badan Pengawas
Obat dan Makanan.
2.1 Bahan Kimia Obat
Peraturan Mentri Kesehatan No 07 tahun 2012Pasal 7 ayat (1) obat
tradisional dilarang mengandung etil alkhohol lebih dari 1%
kecuali dalam bentuk sediaan tingtur yang pemakaiannya dengan
pengeceran, bahan kimia obat yang merupakan hasil isolasi atau
sintestik berkhasiat obat, narkotika atau psikotropika, dan/atau
bahan lain yang berdasarkan pertimbangan kesehatan dan/atau
berdasarkan penelitian membahayakan kesehatan.3
3.1 Administrasi
Pelanggaran administrasi yaitu mengedarkan obat keras tanpa
kewenangan, ini diatur pada Peraturan Mentri Kesehatan No 07
tahun 2012 Pasal 7 ayat (1) yaitu obat tradisional dilarang
mengandung psikotropika.
4.1 Kadaluwarsa atau Rusak
Berkaitan dengan kadaluwarsa suatu barang, salah satu perbuatan
yang dilarang bagi pelaku usaha, khususnya terkait produksi obat
tradisional atau perdagangan lainya, menurut Pasal 8 ayat (1)
3http://www.pom.go.id/mobile/index.php/view/berita/144/BAHAYA-BAHAN-KIMIA-
OBAT--BKO--YANG-DIBUBUHKAN-KEDALAM-OBAT-TRADISIONAL--JAMU-.html Pada
22/08/2017 21:00 WIB.
http://www.pom.go.id/mobile/index.php/view/berita/144/BAHAYA-BAHAN-KIMIA-OBAT--BKO--YANG-DIBUBUHKAN-KEDALAM-OBAT-TRADISIONAL--JAMU-.html%20Pada%2022/08/2017%2021:00http://www.pom.go.id/mobile/index.php/view/berita/144/BAHAYA-BAHAN-KIMIA-OBAT--BKO--YANG-DIBUBUHKAN-KEDALAM-OBAT-TRADISIONAL--JAMU-.html%20Pada%2022/08/2017%2021:00http://www.pom.go.id/mobile/index.php/view/berita/144/BAHAYA-BAHAN-KIMIA-OBAT--BKO--YANG-DIBUBUHKAN-KEDALAM-OBAT-TRADISIONAL--JAMU-.html%20Pada%2022/08/2017%2021:00
44
huruf g Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yaitu tidak
mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu
pengguna/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu.
Ancaman pidana bagi pelaku usaha yang melanggar larangan
tersebut berdasarkan Pasal 62 ayat (1) UU Perlindungan
Konsumen adalah pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar
rupiah).
5.1 Penandaan
Memiliki klaim berlebihan di labelnya, karena bisa
menyembuhkan penyakit.
2. Sanksi-sanksi
Berbicara soal pertanggung jawaban hukum, maka harus berbicara
soal ada tidaknya suatu kerugian yang telah diderita oleh suatu pihak
sebagai akibat (dalam hal hubungan konsumen dan pelaku usaha) dari
pemakaian, penggunaan, dan/atau pemanfaatan oleh konsumen atas
barang dan/atau jasa yang dihasilkan oleh pelaku usaha tertentu.4
Hukum sebagai kaidah merupakan patokan mengenai sikap tindak
atau perilaku yang pantas. Salah satu upaya yang biasanya dilakukan agar
kaidah hukum dipatuhi adalah dengan mencantumkan sanksi-sanksinya.
Ketentuan mengenai sanksi diatur dalam UUPK di dalam Bab XIII yang
dimulai dari Pasal 60 sampai dengan Pasal 63. UUPK membedakan
antara sanksi administratif dengan sanksi pidana sebagai berikut:
a. Sanksi Administratif
Sanksi administratif diatur dalam Pasal 60. Sanksi ini
merupakan hak khusus yang diberikan oleh Undang-Undang
4Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit Media,
2007), h. 44.
45
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen kepada
penyelesaian perlindungan konsumen (BPSK) atas tugas dan
wewenang yang diberikan untuk menyelesaikan sengketa konsumen
di luar pengadilan.
Sanksi asministratif yang dapat dijatuhkan oleh BPSK
berdasarkan Pasal 60 UUPK adalah berupa penetapan ganti rugi
setinggi-tingginya Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) terhadap
pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap /dalam rangka
tidak dilaksanakannya:
a) Pemberian ganti rugi oleh pelaku usaha kepada konsumen, dalam
bentuk pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau
jasa yang sejenis, maupun perawatan kesehatan atau pemberian
santunan atas kerugian yang diderita oleh konsumen;
b) Terjadinya kerugian sebagai akibat kegiatan produksi iklan yang
dilakukan oleh pelaku usaha periklanan;
c) Pelaku usaha yang tidak dapat menyediakan fasilitas jaminan
jual, baik dalam bentuk suku cadang maupun pemeliharannya,
serta pemberian jaminan atau garansi yang telah ditetapkan
sebelumnya; juga berlaku terhadap pelaku usaha yang
memperdagangkan barang dan/atau jasa.
b. Sanksi Pidana Pokok
Sanksi pidana pokok adalah sanksi yang dapat dikenakan dan
dijatuhkan oleh pengadilan atas tuntutan jaksa penuntut umum
terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha. Ketentuan
mengenai sanksi pidana dalam UUPK diatur dalam Pasal 62,
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dapat diberlakukan dalam
upaya penyelenggaraan perlindungan konsumen.
46
c. Sanksi Pidana Tambahan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen memungkinkan diberikan sanksi pidana tambahan di luar
sanksi pidana pokok. Hal tersebut seperti yang dicantumkan dalam
Pasal 63 UUPK Sanksi-sanksi pidana tambahan yang dapat
dijatuhkan berupa:
a) Perampasan barang tertentu;
b) Pengumuman putusan hakim;
c) Pembayaran ganti rugi;
d) Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan
timbulnya kerugian konsumen;
e) Kewajiban penarikan barang dari peredaran;
f) Pencabutan izin usaha.
3. Data temuan pemeriksaan sarana distribusi obat tradisional di Banten
tahun 2016
Metode pengumpulan data adalah teknik atau cara yang dilakukan oleh
peneliti untuk mengumpulkan data. Pengumpulan data dilakukan untuk
memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam rangka mencapai tujuan
penelitian. Sedangkan instrumen pengumpulan data merupakan alat yang
digunakan untuk mengumpulkan data. Karena berupa alat, maka
instrumen pengumpulan data dapa berupa check list, kuesioner, pedoman
wawancara, hingga kamrea untuk foto atau merekam gambar dan suara.
Metode pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini dengan
cara wawancara terstrukturl, yaitu penulis telah mengetahui dengan pasti
informasi apa yang hendak digali dari narasumber. Dan penulis
menggunakan berbagai instrumen penelitian seperti alat bantu recorder
untuk merekam wawancara dengan narasumber.
Penulis juga menggunakan Studi dokumen yaitu metode pengumpulan
data yang tidak ditujukan langsung kepada sebjek penelitian. Studi
47
dokumen adalah jenis pengumpulan data yang berguna untuk bahan
analisis. Penulis memakai dokumen sekunder yaitu dokumen yang ditulis
berdasarkan laporan yang benar. Seperti data pelanggaran obat tradisonal
di Banten tahun 2016 yang di dapatkan langsung dari BPOM Banten.
Tabel 1
Laporan Pemeriksaan Sarana Distribusi Obat Tradisional Banten 2016
NO KOTA TOTAL
PELANGGARAN
Keterangan
1 Kabupaten
Pandeglang
9 8 Tanpa Izin Edar, 1
Bahan kimia Obat
2 Kabupaten Lebak 6 5 Tanpa Izin Edar, 1
Bahan Kimia Obat
3 Kabupaten
Tangerang
33 25 Tanpa Izin Edar, 7
Bahan Kimia Obat, 1
Adiministrasi
4 Kabupaten Serang 15 10 Tanpa Izin Edar, 4
Bahan Kimia Obat, 1
Penandaan
5 Kota Tangerang 50 43 Tanpa Izin Edar, 17
Bahan Kimia Oba, 3
Penandaan
6 Kota Cilegon 9 7 Tanpa Izin Edar, 1
Administrasi,1Kadaluarsa
7 Kota Tangsel 36 21 Tanpa Izin Edar, 5
Bahan Kimia Obat, 2
Kadaluarsa, 1 Penandaan
8 Kota Serang 12 8 Tanpa Izin Edar, 4
Bahan Kimia Obat
48
- Total Kasus 183 127 Tanpa Izin Edar, 46
Bahan Kimia Obat, 5
penandaan,2Administrasi,
2 Kadaluarsa
Sumber :Badan Pemerikaan Obat dan Makanan (BPOM)
C. Pelanggaran Standarisasi izin edar Obat Tradisional di Banten
Standarisasi obat merupakan hal yang penting sehingga dalam
pengawasannya harus diperketat menyangkut kesehatan dan bahkan nyawa.
Dengan adanya Standarisasi akan memberikan rasa tenang pada publik
bahwa hak, keamanan, dan/atau kesejahteraan akan terlindungi.
Tujuan dari standarisasi obat tradisional untuk5 :
Keseragaman (supaya tidak merusak form