PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI ... · pernyataan saya tidak benar, maka saya...
Transcript of PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI ... · pernyataan saya tidak benar, maka saya...
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
i
PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI
KERUGIAN DITINJAU DARI HUKUM PERASURANSIAN DI
INDONESIA
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu
Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh
Ayu Agustina Arini
E0007091
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI
KERUGIAN DITINJAU DARI HUKUM PERASURANSIAN DI
INDONESIA
Oleh
Ayu Agustina Arini
E0007091
Disetujui untuk dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum
(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, Juli 2011
Pembimbing,
Djuwityastuti, S.H., M.H.
NIP. 19540511 198003 2 001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
iii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI
KERUGIAN DITINJAU DARI HUKUM PERASURANSIAN DI
INDONESIA
Oleh
Ayu Agustina Arini
E0007091
Telah diterima dan disahkan oleh Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada :
Hari : Tanggal : DEWAN PENGUJI
1. TUHANA, S.H., M.Si : Ketua
2. Pujiono, S.H., M.H. : Sekretaris
3. Djuwityastuti, S.H., M.H : Anggota
Mengetahui Dekan,
Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum. NIP. 19570203 198503 2 001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
iv
PERNYATAAN
Nama : Ayu Agustina Arini NIM : E0007091 Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul :
“Prinsip Subrogasi Dalam Perjanjian (Polis) Asuransi Kerugian Ditinjau
Dari Hukum Perasuransian Di Indonesia” adalah betul-betul karya sendiri.
Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda
citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti
pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik
berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari
penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, Juli 2011
Yang membuat pernyataan,
Ayu Agustina Arini
NIM. E0007091
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
v
ABSTRAK
Ayu Agustina Arini. E 0007091. 2011. PRINSIP SUBROGASI DALAM
PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI KERUGIAN DITINJAU DARI
HUKUM PERASURANSIAN DI INDONESIA. Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret.
Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui apakah dalam perjanjian
asuransi kerugian terdapat prinsip subrogasi sebagaimana ditentukan hukum perasuransian di Indonesia, baik di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan juga Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian.
Penulisan ini merupakan penulisan hukum normatif bersifat preskriptif dengan pendekatan perundang-undangan. Penulisan hukum (skripsi) ini menggunakan bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan teknik riset kepustakaan dan cyber media serta bahan pustaka. Teknik analisis yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah interpretasi dengan pola berpikir deduktif, yang berpangkal pada prinsip-prinsip dasar kemudian menghadirkan obyek yang ingin diteliti.
Berdasarkan hasil penulisan dan pembahasan dihasilkan beberapa simpulan, bahwa di dalam ketentuan Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang telah termuat secara tegas mengenai ketentuan subrogasi. Ketentuan tersebut juga diperkuat di dalam Polis Standart Asuransi Kebakaran Indonesia yang dikeluarkan oleh PT Wahana Tata Tahun 2005 tepatnya di dalam Pasal 16 dan juga termuat di dalam Polis Standart Asuransi Kendaraan Bermotor Indonesia yang dikeluarkan oleh Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) melalui Surat Keputusan Nomor 06 Tahun 2007 di dalam Pasal 22, yang mempunyai legitimasi hukum dimana proses pengalihan kedudukan dari tertanggung kepada penanggung atau yang disebut subrogasi hanya dapat terjadi apabila penanggung telah memberikan penggantian kerugian pada tertanggung.
Polis Standar Asuransi Kebakaran dan Polis Standar Asuransi Kendaraan Bermotor Indonesia masing-masing sudah mengakomodir konsep subrogasi dalam polisnya. Jadi bagi para pihak, baik pihak tertanggung maupun penanggung memiliki hak dan kewajiban masing-masing, baik untuk mengajukan klaim atau hak subrogasi yang diperoleh penanggung untuk menuntut ganti kerugian kepada pihak ketiga. Kata Kunci : Asuransi Kerugian, Prinsip Subrogasi, Ganti Rugi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
vi
ABSTRACT
Ayu Agustina Arini. E 0007091. 2011. PRINCIPLE OF SUBROGATION IN LOSS INSURANCE (POLICY) AGREEMENT VIEWED FROM INSURANCE LAW IN INDONESIA. Faculty Of Law, Sebelas Maret University.
This research aims to determine whether the insurance contract there is the
principle of subrogation as provided insurance law in Indonesia, both in the Book of the Law of Commercial Law and Law No. 2 of 1992 on Insurance Business. This research is a normative law is prescriptive approach to legislation. This research uses primary, secondary and teritary legal materials. A technique to find the legal materials made with library research techniques, cyber media and also library materials research. The analysis technique used in this research is the interpretation of the pattern of deductive reasoning, which stem from the basic principles and then bring the object you want explained.
Based on the results of research and discussion of the resulting conclusion, that in the Book of the provisions of Article 284 of Commercial Law Act has contained provisions expressly concerning subrogation. Provisions are also strengthened in the Standard Fire Insurance Policy issued by PT Indonesian Forum for Tata in 2005 precisely in Article 16 and also contained in the Standard Automobile Insurance Policy issued by the Indonesian General Insurance Association of Indonesia (AAUI) through Decree No. 06 Year 2007 in its Article 22 which have legal legitimacy which the process of transferring the position of the insured to the insurer or the so-called subrogation can only occur if the insurer has provided indemnity to the insured.
The Standard Fire Insurance Policy and Standards Policy Automobile Insurance Indonesia each had to accommodate the concept of subrogation in the policy. So for the parties, both the insured and the insurer has the rights and obligations of each, either to file a claim or right of subrogation obtained by the insurer to sue for losses to third parties.
Keywords: Loss Insurance, Principles Subrogation, Indemnity
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
vii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
atas berkah, karunia, kesabaran, dan jalan kemudahan sehingga Penulis dapat
menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) ini guna melengkapi persyaratan untuk
memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta. Adapun judul dari penulisan hukum (skripsi) Penulis adalah “Prinsip
Subrogasi Dalam Perjanjian (Polis) Asuransi Kerugian Ditinjau Dari Hukum
Perasuransian Di Indonesia”. Dalam penulisan hukum (skripsi) ini, Penulis
telah berusaha sebaik mungkin namun karena keterbatasan yang dimiliki, Penulis
menyadari masih banyak kekurangan baik dari penyajian materi maupun
penyampaiannya. Untuk itu Penulis mengharapkan kritik dan saran bagi berbagai
pihak guna memberikan masukan demi kesempurnaan penilisan hukum (skripsi)
ini. Dalam masa penulisan hukum (skripsi) ini Penulis menyadari sepenuhnya
bahwa Penulis banyak sekali menerima bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena
itu, dalam kesempatan ini Penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Ayah dan Ibu tercinta yang telah mencurahkan kasih sayang dan doa serta
tidak henti-hentinya memberi semangat kepada Penulis ;
2. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret ;
3. Ibu Rahayu Subekti, S.H., M.Hum., selaku Pembimbing Akademik
Penulis ;
4. Ibu Djuwityastuti, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing yang telah
bersedia dengan teliti dan sabar memberikan bimbingan dan pengarahan
dalam penyusunan penulisan hukum (skripsi) ini, sehingga Penulis dapat
menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) ini ;
5. Seluruh Dosen dan Karyawan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta. Terima kasih atas ilmu yang telah diberikan selama Penulis
menempuh studi di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
viii
6. Sahabat-sahabatku “Amalia Taufani, Sri Wahyu Febrina Handarbeni, Yuni
Asih, Amelia Intiastuti dan Ardatila Intan Nabilla” yang selama ini telah
memberikan semangat, dukungan dan membantu Penulis dalam
menyelesaikan penelitian hukum (skripsi) ini ; dan
7. Semua teman-teman angkatan 2007 Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
Akhir kata, dengan mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT atas
segala rahmat dan karuniaNya, Penulis berharap penulisan hukum (skripsi) ini
dapat bermanfaat baik bagi Penulis sendiri maupun bagi para pembaca dan dapat
digunakan untuk kemajuan bangsa dan negara.
Surakarta, Juli 2011
Penulis
Ayu Agustina Arini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .............................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI .............................................. iii
HALAMAN PERNYATAAN ................................................................ iv
ABSTRAK .............................................................................................. v
ABSTRACT ............................................................................................ vi
KATA PENGANTAR ........................................................................... vii
DAFTAR ISI .......................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR .............................................................................. xi
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................... 5
C. Tujuan Penulisan Hukum (Skripsi) ............................................. 6
D. Manfaat Penulisan Hukum (Skripsi) ............................................ 6
E. Metode Penulisan Hukum (Skripsi) ............................................. 7
F. Sistematika Penulisan Hukum (Skripsi) ....................................... 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori............................................................................. 15
1. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian ....................................... 15
a. Pengertian Perjanjian .......................................................... 15
b. Syarat Sahnya Perjanjian .................................................... 16
c. Unsur-Unsur Perjanjian ...................................................... 17
d. Prinsip-Prinsip Perjanjian ................................................... 18
e. Hapusnya Perjanjian ........................................................... 20
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
x
2. Tinjauan Umum Tentang Asuransi ......................................... 21
a. Pengertian Asuransi ............................................................ 21
b. Risiko Dalam Asuransi Kerugian ....................................... 25
c. Subyek dan Obyek Asuransi ............................................... 28
d. Prinsip-Prinsip Dalam Perjanjian Asuransi ....................... 33
e. Polis Asuransi .................................................................... 38
f. Premi Asuransi ................................................................... 41
g. Berakhirnya Perjanjian Asuransi ....................................... 41
3. Tinjauan Umum Tentang Prinsip Subrogasi Dalam Hukum
Asuransi di Indonesia ............................................................. 42
a. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ................. 42
b. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang ................. 43
c. Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 .................. 45
B. Kerangka Pemikiran ..................................................................... 47
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Prinsip Subrogasi Dalam Perjanjian (Polis) Asuransi
Kerugian ………………………………………………………49
B. Pengajuan Klaim Oleh Tertanggung Ketika Hak Klaim
Tidak Terpenuhi ................................................................. 60
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................... 73
B. Saran ............................................................................... 75
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 76
LAMPIRAN ........................................................................................... 78
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerangka Berpikir ................................................................. 47
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
xii
DAFTAR LAMPIRAN
1. Contoh Polis Standar Kebakaran Indonesia (PSKI) yang dikeluarkan oleh PT.
Wahana Tata Tahun 2005.
2. Contoh Polis Standar Kendaraan Bermotor Indonesia (PSKBI) yang
dikeluarkan oleh Asosiasi Asuransi Umum Indonesia melalui Surat Keputusan
Nomor 06 Tahun 2005.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kehidupan merupakan suatu anugerah yang paling berharga dan bernilai
tinggi bagi setiap umat manusia. Namun tidak semua umat manusia menyadari
betapa pentingnya arti kehidupan. Seringkali setiap keputusan yang diambil oleh
manusia membahayakan keselamatannya dan juga selalu mengandung sebuah
risiko. ”Risiko adalah kemungkinan kerugian yang akan dialami, yang diakibatkan
oleh bahaya yang mungkin terjadi, tetapi tidak diketahui lebih dahulu apakah akan
terjadi dan kapan akan terjadi” (Radiks Purba, 1992 : 29).
Risiko-risiko tersebut bersifat tidak pasti, tidak diketahui apakah akan
terjadi dalam waktu dekat atau dikemudian hari, apabila risiko tersebut betul-betul
terjadi, tidak diketahui berapa kerugiannya secara ekonomis. Timbulnya risiko
tersebut membuat manusia dalam menjalani kegiatan dan aktifitasnya diliputi oleh
perasaan yang tidak nyaman. Suatu ketika seseorang mendengar kabar bahwa
rumahnya habis terbakar, kemudian ada yang mendengar bahwa mobilnya
mengalami kecelakaan dan rusak parah, serta ada juga sejumlah orang meninggal
dunia atau mengalami luka-luka akibat kecelakaan pada kendaraan bermotor,
pesawat udara maupun kapal laut yang mereka gunakan atau tumpangi. Kerugian
yang ditimbulkan dari risiko-risiko tersebut di atas mempunyai nilai ekonomis dan
financial yang tidak sedikit yang mungkin dapat mengakibatkan kebangkrutan dan
merugikan hajat hidup orang banyak.
Salah satu cara untuk mengatasi risiko tersebut adalah dengan cara
mengalihkan risiko (transfer of risk) kepada pihak lain di luar diri manusia. Pada
saat ini, pihak lain penerima risiko dan mampu mengelola risiko tersebut adalah
perusahaan asuransi. Perusahaan asuransi menyediakan berbagai produk asuransi
sesuai dengan kebutuhan manusia karena asuransi merupakan salah satu hasil
peradaban manusia dan merupakan hasil evaluasi kebutuhan manusia yang sangat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
hakiki akan rasa aman dan terlindungi, terhadap kemungkinan menderita dari
segala macam jenis kerugian.
Asuransi sebagai lembaga keuangan bukan bank semakin mendapat
tempat di tengah-tengah masyarakat kita, baik dilihat dari sisi pengusaha maupun
dari sisi kebutuhan masyarakat, bahkan hampir dalam seluruh hal mereka harus
berurusan dengan pertanggungan. Namun, pengalihan risiko kepada perusahaan
asuransi tidak terjadi begitu saja tanpa kewajiban apa-apa kepada pihak yang
mengalihkan risiko. Hal tersebut harus diperjanjikan terlebih dahulu dengan apa
yang disebut perjanjian asuransi. Dalam perjanjian asuransi pihak yang
mengalihkan risiko disebut sebagai tertanggung dan pihak yang menerima
pengalihan risiko disebut sebagai penanggung. Adanya perjanjian pertanggungan
ini membawa konsekuensi yaitu adanya hak dan kewajiban bagi para pihak.
Perjanjian akan berjalan dengan baik apabila para pihak melaksanakan hak
dan kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati bersama, dan
akan menimbulkan suatu permasalahan apabila terdapat salah satu pihak yang
ingkar janji atau tidak memenuhi isi dari perjanjian yang telah disepakati.
Perjanjian pertanggungan merupakan suatu perjanjian timbal balik yang
senilai, dimana kedua belah pihak masing-masing mempuyai kewajiban untuk
membayar premi yang besarnya telah ditentukan oleh penanggung. Penanggung
sendiri, mempunyai kewajiban untuk mengganti kerugian yang diderita oleh
tertanggung. Seperti tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Pasal 1774 yang menyatakan bahwa : Suatu perjanjian untung-untungan adalah
suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak,
maupun bagi sementara pihak, bergantung pada suatu kejadian yang belum tentu.
Demikian adalah :
1. Perjanjian pertanggunggan;
2. Bunga cagak hidup; dan
3. Perjudian dan pertaruhan.
Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, yang dimaksud dengan
asuransi / pertanggungan adalah :
Perjanjian dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan memperoleh premi, untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu.
Peristiwa yang tidak pasti dalam pengertian asuransi tersebut di atas adalah
peristiwa terhadap mana asuransi diadakan, tidak dapat dipastikan terjadi dan
tidak diharapkan akan terjadi.
Pengertian asuransi dalam Pasal 1 angka 1 Undang–Undang Nomor 2
Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian yaitu :
Perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. Jenis usaha asuransi berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1992 tentang Usaha Perasuransian terbagi menjadi 3 (tiga) jenis yaitu :
1. Usaha asuransi kerugian, yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko
atas kerugian, kehilangan manfaat dan tanggung jawab hukum kepada pihak
ketiga, yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti;
2. Usaha asuransi jiwa, yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko yang
dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan;
dan
3. Usaha reasuransi, yang memberikan jasa dalam pertanggungan ulang terhadap
risiko yang dihadapi oleh Perusahaan Asuransi Kerugian dan atau Perusahaan
Asuransi Jiwa.
Asuransi kerugian menganut beberapa prinsip asuransi yang terkait erat
satu dengan yang lainnya, yaitu prinsip indemnitas dan prinsip subrogasi, Dimana
prinsip subrogasi merupakan konsekuensi logis dari prinsip idemnitas
(keseimbangan). Prinsip indemnitas ini merupakan salah satu prinsip utama dalam
perjanjian asuransi, karena merupakan prinsip yang mendasari mekanisme kerja
dan memberi arah tujuan dari perjanjian asuransi itu sendiri (khusus untuk
asuransi kerugian). ”Perjanjian asuransi mempunyai tujuan utama dan spesifik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
ialah untuk memberi ganti kerugian kepada pihak tertanggung oleh pihak
penangung” (Sri Rejeki Hartono, 2001 : 98).
Obyek yang diasuransikan terkena musibah sehingga menimbulkan
kerugian, maka penanggung akan memberi ganti rugi untuk mengembalikan
posisi keuangan tertanggung setelah terjadi kerugian menjadi sama dengan sesaat
sebelum terjadi kerugian. Dengan demikian tertanggung tidak berhak memperoleh
ganti rugi lebih besar daripada kerugian yang diderita. Prinsip ini dapat dijumpai
pada awal pengaturan perjanjian asuransi, yaitu Pasal 246 Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang : seorang tertanggung dengan memperoleh premi, untuk
memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan, atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena
suatu peristiwa yang tidak tentu.
Prinsip indemnity ini berkaitan prinsip subrogasi, dengan suatu keadaan
dimana kerugian yang dialami tertanggung merupakan akibat dari kesalahan pihak
ketiga (orang lain). Prinsip ini memberikan hak perwalian kepada penanggung
oleh tertanggung jika melibatkan pihak ketiga. Seperti diatur dalam Pasal 284
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yang menyatakan bahwa :
Seseorang penanggung yang telah membayar ganti kerugian atas suatu benda yang dipertanggungkan, menggantikan tertanggung dalam segala hak yang diperolehnya terhadap pihak ketiga yang telah menimbulkan kerugian tersebut, dan tertanggung bertanggung jawab untuk setiap perbuatan yang dapat merugikan hak penanggung terhadap pihak ketiga tersebut.
Dapat ditarik sebuah kesimpulan, apabila tertanggung mengalami kerugian akibat
kelalaian atau kesalahan pihak ketiga, maka setelah memberikan ganti rugi kepada
tertanggung, akan mengganti kedudukan tertanggung dalam mengajukan tuntutan
kepada pihak ketiga tersebut. Karena dalam prinsip subrogasi mengedepankan
prinsip keseimbangan sehingga pihak tertanggung tidak akan menerima ganti rugi
ganda (Double Pay) dari pihak penanggung dan pihak ketiga serta bertujuan untuk
mencegah pihak ketiga melarikan diri dari tanggung jawab dengan sepenuhnya
menyerahkan tanggung jawab penggantian kepada pihak penanggung.
Dengan demikian, prinsip subrogasi yang telah tercantum dalam Pasal 284
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang merupakan suatu perlindungan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
diberikan oleh hukum kepada penanggung yaitu perusahaan asuransi dalam hal
melaksanakan perjanjian asuransi kerugian yang telah dilakukan dengan
tertanggung apabila terjadi evenement yang menimbulkan kerugian yang
disebabkan oleh pihak ketiga. Dalam hal kerugian yang diakibatkan oleh pihak
ketiga, maka munculah prinsip subrogasi yang memiliki kaitan hubungan yang
erat antara tertanggung, penanggung dan pihak ketiga dalam hal penggantian
kerugian yang diterima tertanggung.
Perusahaan asuransi sebagai sebuah perusahaan yang menerima peralihan
risiko ( transfer of risk ) akan memberikan ganti rugi untuk mengembalikan posisi
keuangan tertanggung setelah terjadi kerugian menjadi sama dengan sesaat
sebelum terjadi kerugian. Lain halnya ketika kerugian yang diakibatkan oleh
evenement atau peristiwa yang tidak pasti itu disebabkan oleh pihak ketiga,
penanggung tidak serta merta langsung memberikan penggantian kerugian.
Karena dalam evenement ini, terjadi campur tangan dari pihak ketiga baik secara
sengaja maupun tidak. Maka berlakulah prinsip subrogasi sesuai dengan keadaan
di atas, dengan terlebih dahulu menganalisis kemungkinan kerugian antara pihak-
pihak.
Berdasarkan uraian sebelumnya, Penulis hendak mengkaji prinsip
subrogasi dalam asuransi kerugian ditinjau dari hukum perasuransian di Indonesia
melalui sebuah penulisan hukum yang berjudul : PRINSIP SUBROGASI
DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI KERUGIAN DITINJAU
DARI HUKUM PERASURANSIAN DI INDONESIA.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka
dalam rencana penulisan hukum (skripsi) ini penulis merumuskan masalah yang
hendak diteliti sehingga dapat memudahkan penulis dalam mengumpulkan,
menyusun, menganalisa, dan megkaji data secara lebih rinci. Adapun pokok
permasalahan yang hendak dikaji dalam penulisan ini adalah :
1. Apakah prinsip subrogasi dalam hal perasuransian terdapat di dalam perjanjian
(polis) asuransi kerugian?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
2. Apa yang harus dilakukan oleh Tertanggung jika hak atas klaim tidak terpenuhi?
C. Tujuan Penulisan Hukum (Skripsi)
Suatu rencana penulisan hukum (skripsi) harus mempunyai tujuan yang
hendak dicapai dengan jelas. Tujuan penulisan hukum (skripsi) diperlukan untuk
memberikan arah dalam mencapai tujuan penulisan hukum (skripsi). Adapun
tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan hukum (skripsi) ini adalah sebagai
berikut :
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui bagaimana prinsip subrogasi dalam perjanjian (polis)
asuransi kerugian ditinjau dari hukum Perasuransian di Indonesia; dan
b. Untuk mengetahui langkah-langkah apa yang dapat dilakukan oleh
Tertanggung ketika hak atas klaimnya tidak terpenuhi.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk menambah pengetahuan Penulis di bidang hukum perdata
mengenai prinsip subrogasi dalam perjanjian (polis) asuransi
kerugian ditinjau dari hukum perasuransian di Indonesia;
b. Untuk melatih kemampuan Penulis dalam menerapkan teori ilmu
hukum, mengembangkan dan memperluas wacana pemikiran serta
pengetahuan yang didapat selama masa perkuliahan guna
menganalisis mengenai prinsip subrogasi dalam perjanjian (polis)
asuransi kerugian ditinjau dari hukum perasuransian di Indonesia;
dan
c. Untuk melengkapi syarat-syarat guna memperoleh gelar sarjana
dalam bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penulisan Hukum (Skripsi)
Suatu penulisan hukum (skripsi) tentunya diharapkan dapat memberikan
manfaat bagi berbagai pihak. Adapun manfaat yang penulis harapkan dari
penulisan hukum (skripsi) ini yaitu :
1. Manfaat Teoritis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
a. Hasil penulisan hukum (skripsi) ini diharapkan dapat bermanfaat dan
memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan di
bidang Ilmu Hukum pada umumnya, dan Hukum Perdata pada
khususnya; dan
b. Hasil penulisan hukum (skripsi) ini diharapkan dapat memperkaya
referensi dan literatur kepustakaan tentang prinsip subrogasi dalam
perjanjian (polis) asuransi kerugian ditinjau dari hukum
perasuransian di Indonesia.
2. Manfaat Praktis
a. Melalui penulisan hukum (skripsi) ini diharapkan dapat
mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis,
sekaligus untuk mengembangkan kemampuan penulis dalam
menerapkan ilmu hukum yang diperoleh selama di bangku kuliah;
b. Melalui penulisan hukum (skripsi) ini diharapkan dapat membantu
memberikan pemahaman, memberikan tambahan masukan dan
pengetahuan kepada pihak-pihak terkait dengan masalah yang
sedang diteliti, dan juga kepada berbagai pihak yang berminat pada
permasalahan yang sama; dan
c. Melalui penulisan hukum (skripsi) ini diharapkan dapat
memberikan sumbangan pemikiran bagi berbagai pihak yang
terlibat, baik langsung maupun tidak langsung, dalam upaya
pelaksanaan hukum asuransi di Indonesia.
E. Metode Penulisan Hukum (Skripsi)
Penulisan hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum,
prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum
yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 35). Penulisan hukum digunakan
untuk mencari pemecahan masalah hukum atau isu hukum yang timbul. Penulisan
hukum merupakan suatu penulisan di dalam kerangka Know-How di dalam
hukum. “Hasil yang dicapai adalah untuk preskripsi dalam memecahkan masalah
yang dihadapi” (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 41).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
Adapun metode penulisan yang digunakan dalam penulisan ini dapat
dijelaskan sebagi berikut :
1. Jenis Penulisan
Berdasarkan penulisan dan rumusan masalah, penulisan ini dilakukan
termasuk dalam kategori penulisan hukum doktrinal atau penulisan hukum
kepustakaan (Doctrinal Research). Menurut Hutchinson dalam buku Peter
Mahmud Marzuki, Doctrinal Research adalah : “Research which provides a
systematic axposition of the rules governing a particular legal category, analyses
the relationship between rules, explain areas of difficulty, and perhaps predict
future development” ( Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 32).
Penulisan hukum doktrinal atau normatif, terdiri atas :
a. Penulisan pada ranah dogmatig hukum;
b. Penulisan pada ranah teori hukum; dan
c. Penulisan pada ranah filsafat hukum.
Jenis penulisan hukum normatif atau penulisan hukum dokrinal
(doctrinal research) yang digunakan penulis adalah penulisan pada ranah
dogmatig hukum, yaitu penulisan berdasarkan bahan-bahan hukum
(library based) yang fokusnya pada membaca dan mempelajari bahan-
bahan hukum primer dan sekunder (Johnny Ibrahim, 2006 : 44).
Penulisan hukum normatif atau penulisan hukum dokrinal pada
dasarnya adalah penulisan terhadap bahan-bahan pustaka yang terdiri dari
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.
Bahan-bahan hukum tersebut kemudian disusun secara sistematis, dikaji,
kemudian ditarik kesimpulan.
2. Sifat Penulisan
Ilmu hukum mempunyai karateristik sebagai ilmu yang bersifat
preskriftif dan terapan (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 22). Dari hasil telaah
dapat dibuat opini atau pendapat hukum. Opini atau pendapat dikemukakan oleh
ahli hukum merupakan suatu preskripsi. Untuk dapat memberikan preskripsi
itulah guna praktik penulisan hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 37).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
Berdasarkan definisi tersebut, penulis akan mencoba mengkaji tentang
prinsip subrogasi dalam asuransi kerugian ditinjau dari hukum perasuransian di
Indonesia.
3. Pendekatan Penulisan
Penulisan normatif dapat dilakukan dalam berbagi pendekatan. Dari
pendekatan itu yang akan diperoleh jawaban yang diharapkan atas permasalahan
hukum yang diajukan. Pendekatan yang dipakai dalam penulisan hukum yaitu :
a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach);
b. Pendekatan kasus (case approach);
c. Pendekatan historis (historical approach);
d. Pendekatan perbandingan (comparative approach); dan
e. Pendekatan konseptual (conseptual approach) (Peter Mahmud Marzuki,
2006 : 93).
Penulisan hukum (skripsi) ini menggunakan pendekatan
perundang-undangan (statute approach). Pendekatan ini dilakukan dengan
menelaah semua peraturan perundang-undangan yang ada dan semua
regulasi yang berkaitan dengan isu hukum yang sedang dikaji. Dalam
metode pendekatan perundang-undangan ini, penulis perlu memahami
hierarki dan prinsip-prinsip dalam peraturan perundang-undangan (Peter
Mahmud Marzuki, 2006 : 93).
Adapun beberapa peraturan perundang-undangan yang penulis
gunakan, antara lain :
1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
2) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang;
3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian;
dan
4) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian Di Indonesia sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999
Tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992
trntang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
4. Jenis dan Sumber Data
Dalam buku Penulisan Hukum karangan Peter Mahmud Marzuki, beliau
mengatakan bahwa pada dasarnya penulisan hukum tidak mengenal adanya
“Data”, sehingga yang digunakan adalah bahan hukum. Dalam penulisan ini
bahan hukum yang penulis gunakan, yaitu :
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat dan
bersifat autoratif, artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum
primer terdiri dari peraturan perundang-undangan, catatan-catatan
resmi, atau risalah di dalam pembuatan peraturan perundang-
undangan dan putusan-putusan hakim. Bahan hukum primer dalam
penulisan ini adalah :
1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
2) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang;
3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian; dan
4) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun
1999 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 73
Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu berupa publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi (Peter Mahmud Marzuki,
2006 : 41). Bahan hukum sekunder berupa data yang diperoleh secara
tidak langsung dari kepustakaan yaitu berupa buku-buku, dokumen-
dokumen,, jurnal hukum, artikel-artikel, internet dan sumber-sumber
lainnya yang memilki korelasi, khususnya yang berkaitan dengan
penulisan hukum penulis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
c. Bahan hukum tersier
Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder berupa kamus hukum atau kamus bahasa Indonesia untuk
menjelaskan maksud atau pengertian istilah-istilah yang sulit untuk
diartikan.
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dipergunakan oleh penulis dalam
penulisan ini adalah studi kepustakaan atau studi dokumen. Teknik ini merupakan
teknik pengumpulan data dengan mempelajari, membaca, dan mencatat buku-
buku, literatur, catatan-catatan, peraturan perundang-undangan, serta artikel-
artikel penting dari media internet yang erat kaitannya dengan pokok-pokok
masalah yang digunakan untuk menyusun penulisan hukum ini yang kemudian
dikategorikan menurut pengelompokan yang tepat.
6. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan langkah selanjutnya untuk memperoleh hasil
penulisan menjadi laporan. Teknik analisis yang digunakan dalam penulisan ini
adalah dengan metode silogisme dan interpretasi dengan menggunakan pola
berpikir deduktif. Pola berpikir deduktif yaitu berpangkal dari prinsip-prinsip
dasar, kemudian penulis tersebut menghadirkan objek yang hendak diteliti.
Sedangkan metode silogisme yang menggunakan pendekatan deduktif menurut
yang diajarkan Aristoteles yaitu berpangkal dari pengajuan premis mayor.
Kemudian diajukan premis minor, dari kedua premis ini kemudian ditarik suatu
kesimpulan atau conclusion ( Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 46).
Penulisan tersebut telah memberikan sumbangan bagi pengembangan
ilmu dan praktek hukum. Interpretasi dibedakan menjadi interpretasi berdasarkan
kata undang-undang, interpretasi berdasarkan kehendak pembentuk undang-
undang, interpretasi sistematis, interpretasi histories, interpretasi teleologis,
interpretasi antisipatoris,dan interpretasi modern ( Peter Mahmud Marzuki, 2006 :
106-107).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
Adapun metode interpretasi yang digunakan dalam penulisan ini adalah :
a. Interpretasi Berdasarkan Undang-Undang
Interpretasi ini berdasarkan dari makna kata-kata yang terdapat
di dalam undang-undang. Intertpretasi ini dikenal dengan sebutan
interpretasi harafiah atau interpretasi literal atau plain meaning
yakni berdasarkan kata-kata yang tertuang dalam undang-undang.
Interpretasi ini akan dapat dilakukan apabila kata-kata yang di
gunakan dalam undang-undang itu singkat artinya tidak bertele-
tele, tajam, artinya akurat mengenai apa yang dimaksud dan tidak
mengandung sesuatu yang bersifat dubious atau makna ganda. Hal
itu sesuai dengan karakter undang-undang sebagai perintah atau
aturan ataupun larangan (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 108-112).
b. Interpretasi Sistematis
Interpretasi sistematis yaitu interpretasi dengan melihat kepada
hubungan di antara aturan dalam suatu undang-undang yang saling
bergantung. Di samping itu, harus dilihat pula bahwa hubungan itu
tidak bersifat teknis, melainkan juga harus dilihat prinsip yang
melandasinya. Landasan pemikiran interpretasi sistematis adalah
undang-undang merupakan suatu kesatuan dan tidak satu pun
ketentuan di dalam undang-undang merupakan aturan yang berdiri
sendiri ( Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 111-112).
F. Sistematika Penulisan Hukum (Skripsi)
Penulisan dalam penulisan hukum ini terdiri dari 4 (empat) bab yaitu
pendahuluan, tinjauan pustaka, pembahasan, dan penutup. Selain itu, ditambah
dengan daftar pustaka dan lampiran-lampiran. Adapun sistematika yang terperinci
adalah sebagai berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini penulis mengemukakan mengenai latar
belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan,
manfaat penulisan, metode penulisan, dan sistematika
penulisan.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini penulis memaparkan sejumlah landasan teori
atau penjelasan secara teoritik dari para pakar dan doktrin
hukum berdasarkan literatur-literatur yang berhubungan
dengan permasalahan penulisan yang diangkat. Tinjauan
pustaka dibagi menjadi dua (2) yaitu :
1. Kerangka teori, yang berisikan tinjauan
mengenai Perjanjian, Asuransi, dan Prinsip
subrogasi dalam Hukum Perasuransian di
Indonesia; dan
2. Kerangka pemikiran, yang berisikan gambaran
alur berpikir dari penulis berupa konsep yang
akan dijabarkan dalam penulisan ini.
BAB III : PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis hendak menguraikan pembahasan dan
hasil perolehan dari penulisan yang dilakukan. Berdasarkan
rumusan masalah yang ada, maka dalam bab ini penulis
akan membahas mengenai prinsip subrogasi dalam
perjanjian ( polis ) asuransi kerugian ditinjau dari hukum
perasuransian di Indonesia.
BAB IV : PENUTUP
Pada bab ini penulis mengemukakan kesimpulan hasil
penulisan serta memberikan saran yang yang relevan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
dengan penulisan terhadap pihak-pihak yang terkait dengan
penulisan tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian
a. Pengertian Perjanjian
Istilah kontrak berasal dari bahasa Inggris, yaitu contracts. Sedeangkan
dalam bahasa Belanda, disebut dengan overeenkomst (perjanjian). Menurut
Kamus Umum Bahasa Indonesia, perjanjian adalah persetujuan (tertulis atau
dengan lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih yang masing-masing berjanji
akan mentaati apa yang tersebut dipersetujuan itu.
Pengertian perjanjian itu sendiri diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata, yang berbunyi : “ Suatu perbuatan dengan mana satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih
lainnya.”
Definisi perjanjian menurut Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata ini, memiliki beberapa kelemahan. Diantaranya definisi perbuatan
sangatlah luas, perbuatan yang seperti apa yang dapat disebut perjanjian.
Kemudian mengikatkan diri untuk berbuat apa dan bagaimana, tidak tercantum
secara jelas mengenai prestasi yang harus diperbuat ( Salim HS, 2003 : 25).
Menurut pendapat Sri Soedewi Masjehoen Sofwan, perjanjian adalah
perbuatan hukum dimana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap seorang lain atau lebih. Sedangkan menurut R. Wiryono Prodjodikoro
menyebutkan “Perjanjian sebagai suatu perbuatan hukum mengenai harta benda
kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji untuk melakukan
suatu hal, atau tidak melakukan suatu hal sedangkan pihak lain berhak menuntut
pelaksanaan janji itu” (www.tips-belajar-internet-blogspot.com/pengertian-
perjanjian.html).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
b. Syarat Sahnya Perjanjian
Adapun syarat sah perjanjian menurut ketentuan Pasal 1320 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata adalah :
1) Kesepakatan mereka yang mengikatkan perjanjian.
Bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus
bersepakat, setuju mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang
diadakan.
2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
Dalam Pasal 1330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata disebutkan
orang-orang yang tidak cakap dalam melaksanakan suatu perjanjian
adalah orang-orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh di
bawah pengampuan, dan istri. Namun dalam perkembangannya,
seorang istri dapat melakukan perbuatan hukum sebagaimana yang
diatur didalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan jo. SEMA Nomor 3 Tahun 1963.
3) Suatu pokok persoalan tertentu.
Suatu hal tertentu terkait dengan obyek perjanjian atau prestasi yang
wajib dipenuhi. Prestasi dalam perjanjian harus tertentu atau
sekurang-kurangnya dapat ditentukan. Kejelasan objek perjanjian
sangat diperlukan dalam pemenuhan prestasi (hak dan kewajiban).
4) Suatu sebab yang tidak terlarang.
Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan undang-
undang, kesusilaan, dan ketertiban umum ( Salim HS, 2003 : 33).
Keempat syarat sah perjanjian di atas digolongkan menjadi syarat
obyektif perjanjian dan syarat subyektif perjanjian. Jadi, syarat sah perjanjian
yaitu :
a) Syarat Subyektif
(1) Kesepakatan antara kedua belah pihak ;
(2) Kecakapan para pihak.
Kedua syarat di atas merupakan syarat subyektif
karena mengenai para pihak dan orang-orangnya/subjek
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
yang mengadakan perjanjian. Apabila kedua syarat di
atas tidak dipenuhi, maka prjanjian dapat dibatalkan atau
dapat dilanjutkan, sesuai kesepaktan para pihak ( Munir
Fuady, 2001 : 34).
b) Syarat Obyektif
(1) Suatu hal tertentu; dan
(2) Suatu sebab yang halal.
Kedua syarat di atas merupakan syarat obyektif
karena berkaitan dengan obyek perjanjian. Apabila
kedua syarat di atas tidak dipenuhi, maka perjanjian
dianggap batal demi hukum, atau dapat dikatakan
perjanjian dianggap tidak pernah ada sebelumnya (
Munir Fuady, 2001 : 34).
c. Unsur-Unsur Perjanjian
Berdasarkan perkembangan doktrin ilmu hukum dikenal adanya tiga
unsur dalam perjanjian, antara lain :
1) Unsur Esensialia (Essensial Unsure)
Unsur esensialia adalah unsur yang wajib ada dalam suatu
perjanjian, bahwa tanpa keberadaan unsur tersebut, maka perjanjian
yang dimaksudkan untuk dibuat dan diselenggarakan oleh para pihak
dapat menjadi berbeda, akibatnya menjadi tidak sesuai dengan
kehendak para pihak.
2) Unsur Naturalia ( Natural Unsure)
Unsur naturalia adalah unsur yang pasti ada dalam suatu
perjanjian tertentu, setelah unsur esensialianya diketahui secara pasti.
Misalnya dalam perjanjian yang mengandung unsur esensialia jual
beli, pasti terdapat unsur naturalia berupa kewajiban dari penjual
untuk menanggung kebendaan yang dijual dari cacat-cacat
tersenbunyi.
3) Unsur Aksidentalia (Accidental Unsure)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
Unsur aksidentalia adalah unsur pelengkap dalam suatu
perjanjian yang merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur
secara menyimpang oleh para pihak. Unsur aksidentalia merupakan
persyaratan khusus yang ditentukan secara bersama-sama oleh para
pihak. Misalnya dalam jual beli, unsur aksidentalia adalah ketentuan
mengenai tempat dan saat penyerahan kebendaan yang dijual atau
dibeli.
d. Prinsip-Prinsip Perjanjian
Ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata diberikan berbagai prinsip-prinsip umum, yang merupakan
pedoman atau patokan, serta menjadi batasan dalam mengatur dan membentuk
perjanjian yang akan dibuat hingga pada akhirnya menjadi perikatan yang
berlaku bagi para pihak, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya. Prinsip-prinsip
umum dalam perjanjian tersebut antara lain :
1) Prinsip Personalia
Prinsip ini diatur dalam ketentuan Pasal 1315 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata, yang berbunyi “Pada umumnya tidak
seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta
ditetapkannya suatu janji selain untuk dirinya sendiri”. Dari rumusan
tersebut dapat diketahui bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang
dibuat oleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai individu, subyek
hukum pribadi, hanya akan berlaku dan mengikat untuk dirinya
sendiri.
2) Prinsip Kebebasan Berkontrak
Prinsip yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk
membuat atau tidak membuat perjanjian, mengadakan perjanjian
dengan siapapun, menentukan isi perjanjian, pelaksanaan,
persyaratannya, dan menentukan bentuk perjanjian yang tertulis atau
tidak tertulis selama tidak bertentangan dengan ketentuan undang-
undang. Seperti tertera dalam ketentuan Pasal 1337 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa “Suatu sebab
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila
berlawanan dengan Kesusilaan baik atau Ketertiban umum.”
3) Prinsip Pacta Sunt Servanda
Prinsip ini adalah suatu perjanjian yang dibuat secara sah
mempunyai ikatan hukum yang penuh, yang diatur di dalam Pasal
1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang
menyatakan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya.”
4) Prinsip Konsensualisme
Prinsip konsensualisme mempunyai pengertian bahwa suatu
perjanjian sudah sah dan mengikat ketika tercapai kata sepakat,
tentunya selama syarat sah perjanjian lainnya sudah terpenuhi, jadi
dengan adanya kata sepakat, perjanjian tersebut pada prinsipnya
sudah mengikat dan sudah mempunyai akibat hukum sehingga mulai
saat itu juga sudah timbul hak dan kewajiban diantara para pihak (
Salim HS, 2003 : 9).
Prinsip-prinsip yang terdapat dalam hukum perjanjian itu
memperlihatkan bahwa sistem yang dianut pada Buku III Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata adalah sistem terbuka yang memberikan kebebasan seluas-
luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian sesuai dengan apa yang
dikehendaki, selama tidak bertentangan dan melanggar ketentuan undang-
undang, ketertiban umum serta kesusilaan. Dan perkembangan perjanjian dapat
mengikuti perkembangan masyarakat yang semakin maju, dimana muncul
macam-macam perjanjian baru sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
e. Hapusnya Perjanjian
Menurut Salim HS, cara berakhirnya perjanjian, yaitu :
a) Jangka waktunya berakhir;
b) Dilaksanakan objek perjanjian;
c) Kesepakatan kedua belah pihak;
d) Pemutusan secara sepihak oleh salah satu pihak; dan
e) Adanya putusan pengadilan. (Salim HS, 2003 : 165).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
2. Tinjauan Umum Tentang Asuransi
a. Pengertian Asuransi
Asuransi dalam Bahasa Belanda disebut ”verzekering” atau juga berarti
pertanggungan. Secara yuridis, pengertian asuransi atau pertanggungan menurut
Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang adalah :
Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan diderita karena suatu peristiwa yang tak tertentu. Pengertian asuransi menurut Pasal 246 Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang mendefinisikan mengenai asuransi kerugian, karena
secara historis ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang kebanyakan diambil dari asuransi laut, yang merupakan asuransi
kerugian yang paling lengkap peraturannya.
Dalam Jurnal Essentials and Legalities of an Insurance Contract
menyebutkan :
Insurance means the act of securing the payment of a sum of money in the event of loss or damage to property, life, a person etc., by regular payment of premiums. Insurance is a method of spreading over a large number of persons, a possible financial loss too serious to be conveniently borne by an individual. The aim of all insurance is to protect the owner from a variety of risks which he anticipates. The happening of the specified event must involve some loss to the assured or at least should expose him to adversity which is, in the law of insurance, called commonly the ‘risk’ (G. Gopalakrishna. 2008:6). Adapun terjemahan dalam bahasa Indonesia dari jurnal di atas
yaitu :
“Asuransi berarti tindakan mengamankan pembayaran jumlah uang dalam hal terjadi kerugian atau kerusakan properti, kehidupan, dan lain-lain orang, dengan pembayaran premi berkala. Asuransi adalah sebuah metode untuk menyebarkan ke sejumlah besar orang, kerugian keuangan yang mungkin terlalu serius untuk bisa mudah ditanggung oleh individu. Tujuan dari semua asuransi adalah untuk melindungi pemilik dari berbagai risiko yang mengantisipasi. Terjadinya beberapa peristiwa tersebut berkaitan dengan beberapa kerugian atau setidaknya harus mengekspos dia
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
dari kesulitan yang, dalam hukum asuransi, biasanya disebut dengan 'risiko'.”. Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1992 tentang Perasuransian, yang dimaksud dengan
asuransi atau pertanggungan adalah :
Perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. Dari definisi ini dapat ditentukan beberapa unsur penting dalam
pertanggungan, yaitu :
1) Ada pihak-pihak yaitu penanggung dan tertanggung jadi merupakan
perjanjian timbal balik;
2) Peralihan risiko dari tertanggung kepada penanggung;
3) Premi dari tertanggung kepada penanggung;
4) Peristiwa yang tidak tentu; dan
5) Ganti Kerugian (Abdulkadir Muhammad, 2002 : 28).
Asuransi atau pertanggungan merupakan suatu perjanjian, maka
didalamnya paling sedikit terdapat dua pihak yang mengadakan
kesepakatan. Pihak yang satu adalah pihak yang mengalihkan risiko
kepada pihak lain, yang disebut dengan tertanggung. Sedangkan pihak
yang lain adalah pihak yang menerima risiko dari pihak tertanggung, yang
disebut dengan penanggung, yaitu perusahaan asuransi.
Perjanjian dalam asuransi merupakan perjanjian dengan ciri dan
sifat khusus, jika dibandingkan dengan perjanjian lainnya. Kekhususan
tersebut antara lain :
a) Perjanjian asuransi adalah perjanjian yang bersifat aleatair
(aleatary), maksudnya ialah bahwa perjanjian ini merupakan
perjanjian, yang prestasi penanggung harus digantungkan pada
suatu peristiwa yang belum pasti, sedangkan prestasi tertanggung
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
sudah pasti. Dan meskipun tertanggung sudah memenuhi
prestasinya dengan sempurna, pihak penanggung belum pasti
berprestasi dengan nyata;
b) Perjanjian asuransi adalah perjanjian bersyarat (conditional),
maksudnya adalah bahwa perjanjian ini merupakan suatu
perjanjian yang prestasi penanggung hanya akan terlaksana
apabila syarat-syarat yang ditentukan dalam perjanjian dipenuhi.
Pihak tertanggung pada suatu sisi tidak berjanji untuk memenuhi
syarat, tetapi ia tidak dapat memaksa penanggung melaksanakan,
kecuali dipenuhi syarat-syaratnya;
c) Perjanjian asuransi adalah perjanjian yang bersifat pribadi
(personal), maksudnya ialah bahwa kerugian yang timbul harus
merupakan kerugian orang perorangan, secara pribadi, bukan
kerugian kolektif ataupun kerugian masyarakat luas. Kerugian
yang bersifat pribadi itulah yang nantinya akan diganti oleh
penanggung;
d) Perjanjian asuransi sebagai perjanjian sepihak, maksudnya dalam
perjanjian asuransi prinsipnya hanya ada satu pihak yang berjanji
akan mengganti kerugian yang dilakukan penanggung, yaitu jika
tertanggung sudah membayar premi dan sebaliknya penanggung
tidak berjanji apapun pada penanggung;
e) Perjanjian asuransi adalah perjanjian yang melekat pada syarat
penanggung (adhesion), karena di dalam perjanjian asuransi pada
hakikatnya syarat dan kondisi perjanjian hampir seluruhnya
ditentukan diciptakan oleh penanggung / perusahaan asuransi
sendiri, dan bukan karena adanya kata sepakat yang murni atau
menawar. Oleh karena itu dapat dianggap bahwa kondisi
perjanjian asuransi sebagian besar ditentukan sepihak oleh
penanggung sehingga penanggung dianggap sebagai penyusun
perjanjian dan seharusnya mengetahui apabila timbul pengertian
yang tidak jelas, harus diuntungkan pihak tertanggung; dan
f) Perjanjian asuransi adalah perjanjian dengan syarat itikad baik
yang sempurna, maksudnya ialah bahwa perjanjian asuransi
merupakan perjanjian dengan keadaan kata sepakat dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
tercapai / negosiasi dengan posisi masing-masing mempunyai
pengetahuan yang sama mengenai fakta, dengan penilaian sama
penelaahannya untuk memperoleh fakta yang sama pula,
sehingga dapat bebas dari cacat-cacat tersembunyi ( Man
Suparman Sastrawidjaja, 2003 : 18 ).
Sifat kekhususan perjanjian asuransi juga nampak dari syarat
sahnya perjanjian asuransi. Syarat sah perjanjian asuransi, yaitu :
(1) Kesepakatan antara kedua belah pihak dalam :
(a) Benda yang menjadi obyek asuransi;
(b) Pengalihan risiko dan pembayaran premi;
(c) Evenement dan ganti kerugian;
(d) Syarat khusus asuransi; dan
(e) Dibuad secara tertulis.
(2) Kecakapan atau kewenangan melakukan perbuatan hukum.
Dibagi menjadi 2, yaitu :
(a) Kewenangan subyektif dimana pihak-pihak yang
melakukan perjanjian asuransi dewasa, sehat, dan
tidak berada dibawah pengampuan; dan
(b) Kewenangan obyektif dimana tertanggung
mempunyai hubungan yang sah dengan benda yang
dijadikan obyek asuransi.
(3) Obyek pertanggungan tertentu yang dapat berupa :
(a) Harta kekayaan;
(b) Kepentingan yang melekat pada diri tertanggung;
dan
(c) Jiwa manusia itu sendiri.
(d) Kausa yang halal, tidak bertentangan dengan
undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan ;
dan
(4) Pemberitahuan ( Notifications)
Dalam teori obyektifitas dimana tertanggung mempunyai
kewajiban memberitahukan (Notify) keadaan benda yang
dipertanggungkan kepada penanggung, apabila tertanggung
lalai memberitahukan maka perjanjian asuransi dinyatakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
batal sebagai akibat hukumnya. Ketentuan ini tercantum
dalam Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (
Abdulkadir Muhammad, 2002 : 49 ).
Mengingat asuransi adalah perjanjian, maka ketentuan-
ketentuan perikatan dan perjanjian yang terdapat dalam buku
III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat berlaku bagi
perjanjian asuransi, selama ketentuan-ketentuan Kitab Undang-
Undang Hukum Dagang tidak mengatur atau sebaliknya.
b. Risiko Dalam Asuransi Kerugian
Dalam asuransi, risiko sangat diperlukan untuk menganalisis berbagai
cara untuk memberikan perlindungan terhadap obyek pertanggungan. Definisi
atau pengertian risiko diartikan beragam oleh para ilmuwan. Hal ini merupakan
akibat luasnya ruang lingkup serta banyaknya segi-segi yang mempengaruhinya,
sehingga tergantung dari sudut pandang dan titik berat dari mana seseorang itu
melihat dan mengamati.
Pengertian risiko menurut Radiks Purba adalah: ”Kemungkinan kerugian
yang akan dialami, yang diakibatkan oleh bahaya yang mungkin terjadi tapi tidak
diketahui lebih dahulu apakah akan terjadi dan kapan akan terjadi ( Radiks Purba,
1992 : 29). Sedangkan Sri Rejeki Hartono, mengartikan risiko sebagai
ketidakpastian tentang terjadinya atau tidak terjadinya suatu peristiwa yang
menciptakan kerugian ( Sri Rejeki Hartono, 2001 : 58).
Mempelajari tentang asuransi, khususnya asuransi kerugian risiko cukup
dilihat sebagai ketidakpastian akan terjadinya kerugian atau peristiwa yang tidak
diharapkan terjadi. Dengan demikian setiap terjadi kejadian hanya perlu
memfokuskan pada dua hal pokok, yakni “Ketidakpastian” (uncertainty) dan
“Kerugian” (loss). Segala sesuatu yang dapat dipastikan akan terjadi, tidak dapat
disebut sebagai risiko. Misalnya, kematian. Kematian adalah suatu hal yang pasti
terjadi, sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai risiko. Namun kapan matinya
seseorang adalah sesuatu hal yang tidak pasti sehingga dapat dikategorikan
sebagai risiko. Kriteria risiko dalam asuransi, diantaranya :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
1) Bahaya yang mengancam benda atau obyek asuransi;
2) Berasal dari factor ekonomi, alam, dan manusia;
3) Diklasifikasikan menjadi risiko pribadi, harta kekayaan, dan
tanggung jawab; dan
4) Hanya berpeluang menimbulkan kerugian ( Abdulkadir Muhammad,
2002 : 118).
Berdasarkan sifatnya risiko dibagi menjadi dua, yaitu : risiko murni
(pure risk) dan risiko spekulatif (speculative risk). Dalam risiko murni
kemungkinan yang akan timbul hanyalah dua hal yaitu adanya kerugian
(loss) atau tidak adanya kerugian (no loss). Sebagai contoh, ketika kita
berkendara menuju ke suatu tempat, kita menghadapi risiko kecelakaan
atau tidak terjadi kerugian apapun sampai di tujuan. Sedangkan dalam
risiko spekulatif, kemungkinan yang timbul tidak hanya kemungkinan
adanya kerugian atau tidak adanya kerugian, namun juga adanya
kemungkinan dapat menimbulkan keuntungan bagi salah satu pihak dan
menimbulkan kerugian bagi pihak lain ( Sri Rejeki Hartono, 2001 : 64).
Risiko berdasarkan obyek yang dikenai dapat dibagi menjadi 3
(tiga) yaitu :
a) Risiko perorangan atau pribadi (personal risk);
Risiko perorangan berhubungan dengan kematian atau
ketidakmampuan dari seseorang, dapat mengenai jiwa atau
kesehatan seseorang. Misalnya, kematian merupakan suatu hal
yang sudah pasti terjadi, akan tetapi mengenai kapan matinya
seseorang itu tidak dapat dipastikan. Seseorang juga pada suatu
dapat tidak mampu lagi bekerja karena kecelakaan.
b) Risiko harta kekayaan (property risk); dan
Risiko harta kekayaan dapat terjadi, karena suatu peristiwa
secara tiba-tiba tanpa diduga sebelumnya. Misalnya, seseorang
konglomerta tiba-tiba saja mengalami musibah took-tokonya
terbakar, sehingga secara langsung took-toko miliknya musnah,
dan secara tidak langsung seseorang tersebut kehilangan
keuntungan akibat toko-tokonya terbakar.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
c) Risiko tanggung jawab (liability risk)
Risiko tanggung jawab berhubungan dengan kerugian yang
menimpa pihak ketiga akibat perbuatan seseorang. Misalnya
karena kelalaian seseorang dalam mengemudikan kendaraan
menimbulkan kecelakaan dan mengakibatkan kerugian kepada
pihak ketiga, maka sesorang tersebut bertanggung jawab untuk
mengganti kerugian ( Sri Rejeki Hartono, 2001 : 50 ).
Di dalam kenyataannya, ada beberapa usaha manusia untuk
mengatasi suatu risiko, yaitu:
(1) menghindari risiko (avoidance);
(2) mencegah risiko (prevention);
(3) mengalihkan risiko (transfer); dan
(4) menerima risiko (assumption or retention) (Sri
Rejeki Hartono, 2001 : 69).
Usaha untuk mengatasi risiko yang berhubungan
dengan asuransi adalah memperalihkan risiko. Adalah tidak
mungkin bagi para penanggung untuk menanggung segala
risiko. Risiko-risiko yang dapat dialihkan kepada
penanggung adalah risiko-risiko yang dapat diasuransikan
(insurable risk).
Karakteristik risiko-risiko yang dapat diasuransikan,
adalah :
(a) Risiko tersebut dapat menimbulkan kerugian
yang dapat dinilai dengan uang. Misalnya,
kerusakan harta benda dimana tingkat rugi
dapat diukur dari biaya perbaikannya;
(b) Kerugian tersebut timbul akibat bahaya atau
evenement;
(c) Risiko tersebut haruslah risiko murni,
sehingga usaha untuk mencari keuntungan
dari adanya kerugian dapat dicegah;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
(d) Tidak bertentangan dengan undang-undang,
ketertiban umum, dan kesusilaan; dan
(e) Tertanggung mempunyai Insurable Interest
tersendiri ( Abdulkadir Muhammad, 2002 :
119).
c. Subyek dan Obyek Asuransi
Subyek dalam perjanjian asuransi adalah pihak-pihak yang bertindak
aktif yang melaksanakan perjanjian itu, yaitu :
1) Pihak Tertanggung
Pengertian tertanggung secara umum adalah pihak yang
mengalihkan risiko kepada pihak lain dengan membayarkan
sejumlah premi. Berdasarkan Pasal 250 Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang yang dapat bertindak sebagai tertanggung adalah :
Bilamana seseorang yang mempertanggungkan untuk diri sendiri, atau seseorang, untuk tanggungan siapa diadakan pertanggungan oleh seorang yang lain, pada waktu pertanggungan tidak mempunyai kepentingan atas benda tidak berkewajiban mengganti kerugian.
Berdasarkan Pasal 250 Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang tersebut yang berhak bertindak sebagai tertanggung
adalah pihak yang mempunyai interest (kepentingan) terhadap
obyek yang dipertanggungkan. Apabila kepentingan tersebut
tidak ada, maka pihak penanggung tidak berkewajiban
memberikan ganti kerugian yang diderita pihak tertanggung.
Pasal 264 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang menentukan,
selain mengadakan perjanjian asuransi untuk kepentingan diri
sendiri, juga diperbolehkan mengadakan perjanjian asuransi
untuk kepentingan pihak ketiga, baik berdasarkan pemberian
kuasa dari pihak ketiga itu sendiri ataupun di luar pengetahuan
pihak ketiga yang berkepentingan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
Tertanggung dalam pelaksanaan perjanjian asuransi
mempunyai hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan,
sehingga apabila terjadi peristiwa yang tidak diharapkan yang
terjamin kondisi polis maka penanggung dapat melaksanakan
kewajibannya. Hak-hak tertanggung adalah :
a) Menuntut agar polis ditandatangani oleh penanggung (Pasal
259 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang);
b) Menuntut agar polis segera diserahkan oleh penanggung
(Pasal 260 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang); dan
c) Meminta ganti kerugian ( Man Suparman Sastrawidjaja,
2003 : 20).
Sementara itu yang menjadi kewajiban tertanggung adalah :
a) Membayar premi kepada penanggung (Pasal 246 Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang);
b) Memberikan keterangan yang benar kepada penanggung
mengenai obyek yang diasuransikan (Pasal 251 Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang);
c) Mencegah atau mengusahakan agar peristiwa yang dapat
menimbulkan kerugian terhadap obyek yang diasuransikan
tidak terjadi atau dapat dihindari; apabila dapat dibuktikan
oleh penanggung, bahwa tertanggung tidak berusaha untuk
mencegah terjadinya peristiwa tersebut dapat menjadi salah
satu alasan bagi penanggung untuk menolak memberikan
ganti kerugian bahkan sebaliknya menuntut ganti kerugian
kepada tertanggung (Pasal 283 Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang); dan
d) Memberitahukan kepada penanggung bahwa telah terjadi
peristiwa yang menimpa obyek yang diasuransikan, berikut
usaha–usaha pencegahannya ( Man Suparman Sastrawidjaja,
2003 : 21).
2) Pihak Penanggung
Pengertian penanggung secara umum, adalah pihak yang
menerima pengalihan risiko dimana dengan mendapat premi, berjanji
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
akan mengganti kerugian atau membayar sejumlah uang yang telah
disetujui, jika terjadi peristiwa yang tidak dapat diduga sebelumnya,
yang mengakibatkan kerugian bagi tertanggung. Dari pengertian
penanggung tersebut di atas, terdapat hak dan kewajiban yang
mengikat penanggung.
Hak-hak dari penanggung adalah :
a) Menerima premi dari tertanggung sesuai perjanjian;
b) Mendapatkan keterangan dari tertanggung berdasar prinsip
itikad baik (Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang);
c) Hak-hak lain sebagai imbalan dari kewajiban tertanggung;
d) Memiliki premi dan bahkan menuntutnya dalam hal
peristiwa yang diperjanjikan terjadi tetapi disebabkan oleh
kesalahan tertanggung sendiri (Pasal 276 Kitab Undang-
Undang Hukum Dagang);
e) Memiliki premi yang sudah diterima dalam hal asuransi batal
atau gugur yang disebabkan oleh perbuatan curang dari
tertanggung (Pasal 282 Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang); dan
f) Melakukan asuransi kembali kepada penanggung yang lain,
dengan maksud untuk membagi risiko yang dihadapinya
(Pasal 271 Kitab Undang Undang Hukum Dagang) (Man
Suparman Sastrawidjaja, 2003 : 22).
Sedangkan kewajiban dari penanggung adalah :
a) Memberikan ganti kerugian atau memberikan sejumlah uang
kepada tertanggung apabila peristiwa yang diperjanjian
terjadi, kecuali jika terdapat hal yang dapat menjadi alasan
untuk membebaskan dari kewajiban tersebut;
b) Menandatangani dan menyerahkan polis kepada tertanggung
(Pasal 259, Pasal 260 Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang);
c) Mengembalikan premi kepada tertanggung jika asuransi
batal atau gugur, dengan syarat tertanggung belum
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
menanggung risiko sebagian atau seluruhnya (premi
restorno, Pasal 281 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang);
dan
d) Dalam asuransi kebakaran, penanggung harus mengganti
biaya yang diperlukan untuk membangun kembali apabila
dalam asuransi tersebut diperjanjikan demikian (Pasal 289
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang) ( Man Suparman
Sastrawidjaja, 2003 : 23).
Badan hukum penyelenggara perasuransian dalam Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian,
disebut perusahaan perasuransian. Kemudian jenis usaha
perasuransian seperti tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian tersebut
adalah :
(1) Perusahaan asuransi kerugian, yaitu perusahaan atau
usaha asuransi yang memberikan jasa dalam
penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan
manfaat dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga
yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti;
(2) Perusahaan asuransi jiwa, yaitu perusahaan atau usaha
asuransi yang memberikan jasa dalam penanggulangan
risiko yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya
seseorang yang dipertanggungkan; dan
(3) Perusahaan reasuransi, yaitu perusahaan atau usaha
asuransi yang memberikan jasa dalam pertanggungan
ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh perusahaan
asuransi kerugian dan atau perusahaan asuransi jiwa.
3) Obyek Pertanggungan
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992
menyatakan bahwa : Obyek asuransi adalah benda dan jasa, jiwa dan
raga, kesehatan manusia, tanggung jawab hukum, serta semua
kepentingan lainnya yang dapat hilang rusak, rugi, dan atau
berkurang nilainya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
Sementara itu ketentuan dalam Pasal 268 Kitab Undang-
Undang Hukum Dagang menyatakan bahwa : ”Pertanggungan
dapat berpokok semua kepentingan, yang dapat dinilai dengan
uang, diancam oleh suatu bahaya, dan oleh undang-undang
tidak terkecualikan.”
d. Prinsip-Prinsip dalam Perjanjian Asuransi
Suatu perjanjian asuransi tidak cukup hanya dipenuhi syarat umum
perjanjian yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata saja, tetapi
harus pula memenuhi prinsip-prinsip khusus yang diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Dagang. Hal ini agar sistem perjanjian asuransi tersebut dapat
dipertahankan, karena suatu norma tanpa dilengkapi dengan prinsip tidak
mempunyai kekuatan mengikat. Prinsip-prinsip tersebut antara lain :
1) Prinsip Kepentingan Yang Dapat Diasuransikan (Principle of
Insurable Interest)
Prinsip ini dijabarkan dalam Pasal 250 Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang yang menentukan bahwa :
Apabila seorang yang telah mengadakan pertanggungan untuk diri sendiri, atau apabila seorang, yang untuknya telah diadakan suatu pertanggungan, pada saat diadakannya pertanggungan itu tidak mempunyai kepentingan terhadap barang yang dipertanggungkan itu, maka penanggung tidaklah diwajibkan memberikan ganti rugi.
Kepentingan yang terdapat dalam Pasal 250 Kitab Undang-
Undang Hukum Dagang harus memenuhi syarat yang diatur
dalam Pasal 268 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang di
mana kepentingan tersebut dapat dinilai dengan uang, dapat
diancam oleh suatu bahaya dan tidak dikecualikan oleh
undang-undang.
Prinsip kepentingan yang dapat diasuransikan dapat timbul
dari beberapa hal sebagai berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
a) Adanya kepemilikan atas harta benda atau tanggung gugat
seseorang kepada orang lain dalam hal kelalaian;
b) Adanya kontrak. Menempatkan suatu pihak dalam suatu
hubungan yang diakui secara hukum dengan harta benda atau
tanggung jawab yang menjadi pokok perjanjian itu.
Misalnya, dalam perjanjian kontrak sewa bangunan,
perjanjian kredit; dan
c) Adanya undang-undang. Misalnya, di Indonesia terdapat
asuransi keselamatan kerja yang diatur dengan Jaminan
Sosial Tenaga Kerja.
2) Prinsip Indemnitas atau Prinsip Keseimbangan (Indemnity Principle)
Prinsip ini merupakan salah satu prinsip utama dalam perjanjian
asuransi, karena merupakan prinsip yang mendasari mekanisme kerja
dan memberi arah tujuan dari perjanjian asuransi itu sendiri (khusus
untuk asuransi kerugian). ”Perjanjian asuransi mempunyai tujuan
utama dan spesifik ialah untuk memberi ganti kerugian kepada pihak
tertanggung oleh pihak penangung” (Sri Rejeki Hartono, 2001 : 98).
Apabila obyek yang diasuransikan terkena musibah sehingga
menimbulkan kerugian, maka penanggung akan memberi ganti rugi
untuk mengembalikan posisi keuangan tertanggung setelah terjadi
kerugian menjadi sama dengan sesaat sebelum terjadi kerugian.
Dengan demikian tertanggung tidak berhak memperoleh ganti rugi
lebih besar daripada kerugian yang diderita.
3) Prinsip Itikad Baik (Utmost Good Faith Principle)
Prinsip itikad baik merupakan prinsip atau prinsip yang harus ada
dan dilaksanakan dalam setiap perjanjian. Hal ini ditegaskan dalam
Pasal 1388 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan
bahwa : “Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad
baik.” Penekanan terhadap berlakunya prinsip itikad terbaik dalam
perjanjian asuransi diatur secara tegas dalam Pasal 251 Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang yang menyatakan :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
Setiap keterangan yang keliru atau tidak benar, ataupun setiap memberitahukan hal-hal yang diketahui oleh si tertanggung, betapapun itikad baik ada padanya, yang demikian sifatnya, sehingga, seandainya si penanggung telah mengetahui keadaan yang sebenarnya, perjanjian itu tidak akan ditutup atau tidak ditutup dengan syarat-syarat yang sama mengakibatkan batalnya perjanjian.
Hal untuk melaksanakan itikad baik bukan hanya
merupakan kewajiban tertanggung, namun juga menjadi
kewajiban penanggung. Pihak penanggung yaitu pihak
Asuransi tidak dibenarkan memberikan pernyataan atau
keterangan yang tidak benar pada saat merundingkan
penutupan asuransi; penanggung tidak dibenarkan
menyembunyikan fakta-fakta yang dapat merugikan posisi
tertanggung.
4) Prinsip Subrogasi atau Prinsip Perwalian (Subrogation Principle)
Prinsip Subrogasi pada dasarnya hanya dikenal dalam asuransi
kerugian bukan asuransi sejumlah uang. Karena di dalam asuransi
kerugian, bertujuan untuk mengganti kerugian yang timbul pada
harta kekayaan tertanggung yang disebabkan sebuah evenement yang
terjadi akibat campur tangan pihak ketiga. Sedangkan pada asuransi
sejumlah uang bertujuan untuk membayar sejumlah uang tertentu dan
tidak tergantung apakah evenement menimbulkan kerugian atau
tidak.
Prinsip ini berkaitan dengan suatu keadaan dimana kerugian
yang dialami tertanggung merupakan akibat dari kesalahan pihak
ketiga (orang lain). Prinsip ini memberikan hak perwalian kepada
penanggung oleh tertanggung jika melibatkan pihak ketiga. Prinsip
ini diatur dalam Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
yang menyatakan bahwa :
Seseorang penanggung yang telah membayar ganti kerugian atas suatu benda yang dipertanggungkan, menggantikan tertanggung dalam segala hak yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
diperolehnya terhadap pihak ketiga yang telah menimbulkan kerugian tersebut, dan tertanggung bertanggung jawab untuk setiap perbuatan yang dapat merugikan hak penanggung terhadap pihak ketiga tersebut.
Dimana prinsip yang merupakan konsekuensi logis dari
prinsip idemnitas (keseimbangan).
5) Prinsip Kontribusi ( Contribution Principle)
“Prinsip kontribusi adalah hak penanggung untuk mengajak
penanggung lainnya yang sama-sama menanggung, tetapi tidak
harus sama kewajibannya terhadap tertanggung untuk ikut
memberikan indemnity”, dikutip dari
(http://id.wikipedia.org/wiki/asuransi).
Menurut Man Suparman, apabila dalam suatu polis
ditandatangani oleh beberapa penanggung, maka masing-masing
penanggung itu menurut imbangan dari jumlah mereka
menandatangani polis, memikul hanya harga yang sebenarnya dari
kerugian itu yang diderita oleh tertanggung.
Prinsip kontribusi ini terjadi apabila ada asuransi berganda
(double insurance) sebagai dimaksud dalam Pasal 278 Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang : Bila pada satu polis saja,
meskipun pada hari yang berlainan oleh berbagai penanggung
dipertanggungkan lebih dari nilainya, mereka bersama-sama menurut
perimbangan jumlah yang mereka tanda tangani, hanya memikul
nilai sebenarnya yang dipertanggungkan
Ketentuan ini juga berlaku bila pada hari yang sama,
terhadap satu benda yang sama diadakan berbagai
pertanggungan (Pasal 278 Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
6) Prinsip Sebab Akibat (Causalitiet Principle)
Menurut definisi asuransi yang diatur dalam Pasal 246 Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang, pihak penanggung hanya akan
wajib membayar ganti rugi, apabila kerugian atau kerusakan itu
disebabkan oleh suatu peristiwa yang tidak tertentu, yang dimaksud
dengan suatu peristiwa yang tidak tertentu disini adalah suatu
peristiwa yang tak tertentu yang telah diperjanjikan antara pihak
tertanggung dengan pihak tertanggung.
Dari aspek hubungan sebab akibat, untuk menentukan apakah
penyebab terjadinya kerugian dijamin atau tidak dijamin oleh polis,
terdapat 3 (tiga) pendapat, yaitu :
a) Causa proxima yaitu sebab dari kerugian itu adalah peristiwa
yang mendahului kerugian itu secara urutan kronologis
terletak paling dekat pada kerugian itu;
b) Condition Sine Quanon, yaitu segala kejadian dan kenyataan
yang merupakan syarat mutlak untuk terjadinya suatu akibat;
dan
c) Causa remota yaitu peristiwa yang menjadi sebab dari
timbulnya kerugian itu ialah peristiwa yang terjauh. (M.
Suparman Sastrawijaya, 2003 : 64).
e. Polis Asuransi
Hal-hal yang telah disepakati oleh pihak tertanggung dan pihak
penanggung berkenaan dengan resiko yang hendak
dipertanggungkan dituangkan dalam suatu dokumen atau akta yang
disebut polis. Hal ini tercantum dalam Pasal 255 Kitab Undang-
Undang Hukum Dagang yang menyatakan bahwa suatu
pertanggungan harus dibuat secara tertulis dalam suatu akta yang
dinamakan polis. Polis asuransi merupakan dokumen hukum utama
yang dibuat secara sah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan
dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal
251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Polis bukanlah suatu
kontrak atau perjanjian asuransi, melainkan sebagai bukti adanya
kontrak atau perjanjian itu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
Hal ini tercantum dalam Pasal 258 Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang ayat (1) yang menyatakan :
Untuk membuktikan hal ditutupnya perjanjian tersebut, diperlukan pembuktian tulisan, namun demikian bolehlah lain-lain alat pembuktian dipergunakan juga, manakala sudah ada suatu permulaan pembuktian dengan tulisan.
Sementara itu dalam Pasal 258 ayat (2) disebutkan :
Namun demikian ketetapan-ketetapan dan syarat-syarat khusus, apabila tentang itu timbul suatu perselisihan, dalam jangka waktu antara penutupan perjanjian dan penyerahan polisnya, dibuktikan dengan segala alat bukti, tetapi dengan pengertian bahwa segala hal yang dalam beberapa macam pertanggungan oleh ketentuan undang-undang atas ancaman-ancaman batal, diharuskan penyebutannya dengan tegas dalam polis, harus dibuktikan dengan tulisan. Kontrak dianggap telah terjadi pada saat pihak tertanggung
dan penanggung mencapai kata sepakat (konsensus),
sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 257 ayat (1) KUHD
sebagai berikut :
Perjanjian pertanggungan diterbitkan seketika setelah ia ditutup; hak-hak dan kewajiban-kewajiban bertimbal balik dari si penanggung dan si tertanggung mulai berlaku semenjak saat itu, bahkan sebelum polisnya ditandatangani. Sementara itu dalam ketentuan Pasal 257 ayat (2) KUHD,
menyebutkan bahwa ditutupnya perjanjian menerbitkan
kewajiban bagi si penanggung untuk menandatangani polis
tersebut dalam waktu yang ditentukan dan menyerahkan
kepada si penanggung.
Perjanjian asuransi adalah perjanjian antara dua pihak,
dimana sebelum terjadi kesepakatan, calon tertanggung
mempelajari lebih dulu syarat-syarat yang berlaku pada
asuransi. Apabila syarat-syarat yang ditawarkan penanggung
disetujui maka pihak tertanggung mengajukan surat
permohonan penutupan asurasi (SPPA) dan kemudian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
ditandatangani. Atau dibuatkan nota penutupan asuransi
(covernote) yang ditandatangani oleh kedua belah pihak,
sebagai bukti telah terjadi kesepakatan mengenai syarat-syarat
asuransi.
Pasal 19 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun
1992 menyatakan bahwa :
Polis atau bentuk perjanjian asuransi dengan nama apapun, berikut lampiran yang merupakan satu kesatuan dengannya, tidak boleh mengandung kata-kata atau kalimat yang dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda mengenai resiko yang ditutup asuransinya, kewajiban penanggung dan kewajiban tertanggung atau mempersulit tertanggung mengurus haknya.
Dalam polis disebutkan semua ketentuan dan persyaratan
tentang pertanggungan yang telah dibuat. Polis merupakan alat
bukti yang sempurna dan lengkap tentang apa yang mereka
perjanjikan dalam perjanjian asuransi. Jadi bagi tertanggung,
polis itu menentukan nilai yang sangat menentukan bagi
pembuktian haknya. Tanpa polis maka pembuktian akan
menjadi sulit dan terbatas.
Syarat-syarat formal polis diatur lebih lanjut pada Pasal 256
KUHD yang mengatur mengenai syarat-syarat umum yang
harus dipenuhi agar suatu akta dapat disebut sebagai suatu polis
dalam setiap polis, kecuali mengenai pertanggugan jiwa, harus
memuat hal – hal sebagai berikut :
a) Hari ditutupnya pertanggungan;
b) Nama orang yang menutup pertanggungan atas tanggungan
sendiri atau atas tanggungan orang ketiga;
c) Suatu uraian yang cukup jelas mengenai barang yang
dipertanggungkan;
d) Jumlah uang untuk berapa diadakan pertanggungan;
e) Bahaya-bahaya yang ditanggung oleh si penanggung;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
f) Saat mana bahaya mulai berlaku untuk tanggungan si
penanggung dan saat berakhirnya itu;
g) Premi pertanggungan tersebut;
h) Pada umumnya semua keadaan yang kiranya penting; bagi si
penanggung untuk diketahuinya; dan
i) Segala syarat yang diperjanjikan antara para pihak, polis
tersebut harus ditandatangani oleh tiap-tiap penanggung.
Syarat-syarat yang terdapat pada Pasal 256 Kitab Undang-
Undang Hukum Dagang tersebut pada dasarnya berfungsi
sebagai ketentuan umum, oleh karena itu masih diperlukan lagi
syarat-syarat tambahan lain yang khusus berlaku bagi para
pihak pada suatu persetujuan tertentu. Syarat-syarat tambahan
yang sifatnya khusus tadi biasanya ditulis atau diketik pada
bagian kertas polis yang khusus disediakan untuk keperluan itu.
Tetapi lambat laun syarat-syarat itu dilekatkan dalam polis.
f. Premi Asuransi
Premi atau Premium adalah jumlah yang harus dibayarkan oleh
Tertanggung kepada Penanggung untuk mendapatkan pertanggungan asuransi
yang diinginkan (www.prudent.web.id/kamus-asuransi-pengertian-istilah-dalam-
asuransi).
Premi adalah prestasi yang harus diberikan tertanggung kepada
penanggung. Premi ini biasanya ditentukan dalam suatu persentase (rate) dari
jumlah yang dipertanggungkan. Biasanya premi dibayarkan pada awal perjanjian
asuransi. Apabila tertanggung tidak memenuhi prestasinya dalam jangka waktu
yang telah ditentukan maka perjanjian asuransi batal dengan sendirinya dan
penanggung terbebas dari segala kerugian yang timbul.
Penanggung wajib memberikan ganti kerugian kepada tertanggung
apabila risiko yang dialihkan benar-benar terjadi dan menimbulkan kerugian
secara ekonomis. Perlu diperhatikan, bahwa penanggung hanya wajib
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
memberikan ganti rugi sesuai dengan kondisi pertanggungan, mengenai apa yang
terjamin dan tidak menjamin kerugian yang dikecualikan dalam polis.
g. Berakhirnya Perjanjian Asuransi
Berakhirnya perjanjian asuransi dapat dikarenakan hal-hal berikut :
1) Bila asuransi telah selesai dengan tibanya waktu yang telah
diperjanjikan;
2) Bila terjadi pemusnahan keseluruhan atau terjadi kerugian yang
mencapai jumlah yang dipertanggungkan (dalam hal asuransi jiwa
pertanggungan berakhir bila obyek pertanggungan meninggal dunia);
3) Bila asuradur (penanggung) dibebaskan oleh verzekerdenya
(tertanggung);
4) Bila perjanjian gugur karena :
a) obyek dari bahaya tidak lagi terancam bahaya (jika tidak ada
kemungkinan lagi, bahwa tertanggung akan menderita kerugian
terhadap mana telah diadakan asuransi);
b) penambahan bahaya; dan
c) bila perjanjian asuransi diputuskan, sebab salah satu pihak
melakukan wanprestasi .
3. Tinjauan Umum Tentang Prinsip Subrogasi Dalam Hukum Perasurasian di
Indonesia
a. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Subrogasi dapat kita temui dalam ketentuan Pasal 1400 hingga Pasal
1403 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Menurut ketentuan Pasal 1400
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menyatakan bahwa : “Subrogasi atau
perpindahan hak kreditur kepada seorang pihak ketiga yang membayar kepada
kreditur, dapat terjadi karena persetujuan atau undang-undang. “
Dalam ketentuan pasal 1401 menyatakan bahwa : “Penggantian itu
terjadi dengan persetujuan :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
(1) Apabila kreditur, dengan menerima oembayaran dari pihak ketiga, menetapkan bahwa orang ini akan menggantikannya dalam menggunakan hak-haknya, gugatan-gugatannya, hak-hak istimewa, dan dan hipotek-hipotek terhadap debitur. Subrogasi ini harus dinyatakan dengan tegas dan dilakukan secara bersamaan pada waktu pembayaran; dan
(2) Apabila debitur menjamin sejumlah uang untuk melunasi hutangnya, dan menetapkan bahwa orang yang meminjam uang itu akan mengambil alih hak-hak kreditur, agar subrogasi ini sah baik perjanjian pinjam uang maupun tanda pelunasan, harus dibuad dengan akta otentik, dan dalam surat perjanjian pinjam uang harus diterangkan bahwa uang itu dipinjam guna melunasi hutang tersebut; sedangkan dalam surat tanda pelunasan harus diterangkan bahwa pembayaran dilakukian dengan uang yang dipinjamkan oleh kreditur baru. Subrogasi inin diloaksanakan tanpa bantuan kreditur.
Selanjutnya dalam ketentuan pasal 1402 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, menyatakan bahwa :
Subrogasi terjadi demi undang-undang :
(1) Untuk seorang kreditur yang melunasi hutang seorang debitur kepada seorang kreditur lain, yang berdasarkan hak istimewa atau hipoteknya mempunyai suatu hak yang lebih tinggi daripada kreditur tersebut pertama;
(2) Untuk seorang pembeli benda tidak bergerak, yang telah memakai uang harga benda tersebut untuk melunasi mpara kreditur, kepada siapa barang itu diperkaitkan dalam hipotek;
(3) Untuk seorang yang bersama-sama dengan orang lain, atau untuk orang-orang lain, diwajibkan membayar suatu hutang, berkepentingan untuk membayar suatu hutang, berkepentingan untuk melunasi hutang itu; dan
(4) Untuk seorang ahli waris yang telah membayar hutang-hutang warisan dengan uangnya sendiri, sedang ia menerima warisan itu dengan hyak istimewa untuk mengadakan pencatatan tentang keadaan hartya peninggalan itu.
Terakhir dalam ketentuan Pasal 1403 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, menyebutkan bahwa :
Subrogasi yang ditetapkan dalam pasal-pasal lalu yang terjadi, baik terhadap orang-orang penanggung hutang maupun terhadap para debitur, subrogasi tersebut tidak dapat mengurangi hak-hak kreditur jika ia hanya menerima pembayaran sebagian; dalam hal ini ia dapat melaksanakan hak-haknya mengenai apa yang masih harus dibayar kepadanya, lebih dahulu daripada orang yang memberinya suatu pembayran sebagian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
Subrogasi yang terdapat di dalam ketentuan Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata ini, lebih menitikberatkan pada perjanjian hutang-piutang antara
debitur dan kreditur serta pihak ketiga. Sehingga subrogasi dari Pasal 1400 –
1403 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya digunakan dalam perjanjian
hutang piutang.
b. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
Menurut ketentuan Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
menyatakan bahwa :
Seseorang penanggung yang telah membayar ganti kerugian atas suatu benda yang dipertanggungkan, menggantikan tertanggung dalam segala hak yang diperolehnya terhadap pihak ketiga yang telah menimbulkan kerugian tersebut, dan tertanggung bertanggung jawab untuk setiap perbuatan yang dapat merugikan hak penanggung terhadap pihak ketiga tersebut.
Penggantian kedudukan semacam ini dalam perjanjian asuransi
dikenal dengan istilah prinsip subrogasi, yang secara khusus hanya dikenal
dalam asuransi kerugian. Dari ketentuan Pasal 284 Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang di atas, dapat disimpulkan bahwa syarat terjadinya
subrogasi, yaitu :
1) Tertanggung mempunyai hak terhadap penanggung dan pihak ketiga;
dan
2) Adanya hak tersebut karena timbul kerugian sebagai akibat perbuatan
pihak ketiga ( Abdulkadir Muhammad, 2002 : 129 ).
Ketentuan tersebut menyangkut risiko yang timbul dari perjanjian
pertanggungan khususnya asuransi kerugian yang melibatkan tiga pihak,
yaitu penanggung, tertanggung, dan pihak ketiga yang menimbulkan
kerugian akibat suatu perbuatan yang telah dilakukannya.
Jadi secara tegas penanggung dan pihak tertanggung telah terjadi
hubungan hukum dalam perjanjian asuransi kerugian. Maka apabila terjadi
suatu risiko atas suatu barang milik tertanggung yang dapat menimbulkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
kerugian, dengan sendirinya penanggung berkewajiban untuk memberikan
pengantian sesuai yang diperjanjikan.
Dalam hal yang menimbulkan kerugian tersebut adalah pihak
ketiga, dan kemudian penanggung melakukan kewajibannya untuk
memberikan ganti kerugian, maka kepada si tertanggung tidak
diperbolehkan lagi untuk menuntut ganti kerugian kepada pihak ketiga
tersebut.
Dalam keadaan yang demikian, penanggung justru akan
menggantikan kedudukan tertanggung untuk menuntut kepada pihak
ketiga guna memperoleh penggantian atas pembayaran yang telah
dilakukan kepada pihak tertanggung. Disini telah timbul prinsip subrogasi
(perwalian), yaitu penggantian kedudukan tertanggung oleh pihak ketiga
yang menyebabkan kerugian tersebut. Demikian pula ditegaskan bahwa
tertanggung bertanggung jawab terhadap setiap perbuatan yang merugikan
hak penanggung terhadap pihak ketiga.
Subrogasi ini dilakukan untuk memenuhi prinsip Indemnitas
(Indemnity) dalam rangka mendapatkan ganti kerugian yang wajar atau
tidak boleh berlebihan, artinya tidak dibenarkan mendapatkan ganti
kerugian ganda atau dua kali atau memperkaya diri tanpa hak, yang mana
dipegang teguh dalam hukum pertanggunggan. Pada dasarnya Subrograsi
mempunyai tujuan sebagai berikut :
a) Untuk mencegah tertanggung memperoleh ganti kerugian
melebihi hak yang sesungguhnya; dan
b) Untuk mencegah pihak ketiga membebaskan diri dari
kewajibannya untuk membayar kerugian ( Abdulkadir
Muhammad, 2002 : 130).
c. Dalam Undang-Undang Perasuransian Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian
Di dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian, memang tidak disebutkan secara jelas dalam pasal mengenai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
pengertian prinsip subrogasi dan bagaimana pelaksanaannya secara nyata dalam
perjanjian asuransi.
Namun keadaan yang memungkinkan prinsip subrogasi itu muncul
disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 yang berbunyi :
Perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Dari bunyi Pasal 1 angka 1 tersebut, jelas dalam kalimat tersebut, bahwa
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, telah
memperkirakan kemungkinan (possibilities) evenement yang disebabkan oleh
pihak ketiga yang akan diderita oleh tertanggung. Dari keadaan tersebut,
munculah prinsip subrogasi yang dapat diterapkan untuk mengatasi situasi yang
ada hubungannya antara, penanggung, tertanggung, dan pihak ketiga.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
B. Kerangka Pemikiran
KUHPER KUHD
PERJANJIAN ASURANSI KERUGIAN
TERTANGGUNG
EVENEMENT
UU ASURANSI NOMOR 2
TAHUN 1992
AKIBAT PIHAK
KETIGA
PENANGGUNG
DIBERLAKUKAN PRINSIP
SUBROGASI
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
Keterangan ;
Kerangka pemikiran di atas mencoba untuk memberikan gambaran
selengkapnya mengenai alur berpikir dalam menemukan jawaban dari
permasalahan yang menjadi perhatian dalam penulisan yang hendak dilakukan. Di
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang telah dikenal istilah subrogasi yang mempunyai makna masing-masing
dengan penggunaa masing-masing pula. Kemudian dalam Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, istilah subrogasi erat
kaitannya dengan salah satu jenis usaha perasuransani yaitu Asuransi Kerugian.
Dalam perjanjian asuransi kerugian secara garis besar merupakan
perjanjian yang melibatkan penanggung dan tertanggung berdasarkan klausula-
klausula yang telah disepakati mengenai penanggulangan risiko atas kerugian,
kehilangan manfaat, tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, yang timbul
akibat peristiwa yang tidak pasti (evenement).
Di dalam perjanjian asuransi kerugian yang melibatkan penanggung dan
tertanggung, terkadang terjadi evenement yang disebabkan oleh pihak ketiga baik
secara sengaja atau tidak. Sehingga, ketika kondisi tersebut terjadi, kedua belah
pihak baik Penanggung maupun Tertanggung harus menyesuaikan dengan
keberadaan pihak ketiga sebagai pihak yang menyebabkan evenement terjadi.
Maka, karena keadaan yang demikian membuat pihak penanggung dan
tertanggung sama-sama mencari jalan tengah yang tidak merugikan kedua belah
pihak dan mencegah pihak ketiga melarikan diri dari tanggung jawab hukum yang
ia perbuat. Menurut Noist Trinite, pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang ini dapat dianggap sebagai salah satu pasal yang bertujuan untuk
melindungi prinsip indemnitas dalam asuransi. Dikatakan demikian karena prinsip
indemnitas adalah prinsip yang menekankan keseimbangan antara risiko yang
dialihkan penanggung dengan kerugian yang diderita tertanggung sebagai akibat
evenement sehingga tertanggung tidak menerima melebihi apa yang menjadi hak
dan kewajibannya. Dengan uraian di atas, timbulah prinsip subrogasi untuk
menyelesaikan keadaan atau kondisi tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Prinsip Subrogasi Dalam Perjanjian (Polis) Asuransi Kerugian
Usaha perasuransian tumbuh seiring dengan berkembangnya ragam kebutuhan
manusia. Asuransi telah merambah hampir semua sektor kehidupan. Pada dasarnya
asuransi dapat dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu asuransi kerugian (senade
verzekering), asuransi sejumlah uang (sommen verzekering) atau asuransi jumlah atau
yang sering disebut dengan asuransi jiwa dan asuransi sosial. Pada asuransi kerugian
bertujuan untuk mengganti kerugian yang timbul pada harta kekayaan tertanggung.
Sedangkan pada asuransi sejumlah uang bertujuan untuk membayar sejumlah uang
tertentu dan tidak tergantung apakah evenement menimbulkan kerugian atau tidak.
Kemudian pada asuransi social adalah asuransi yang digerakan oleh Pemerintah untuk
melindungi masyarakat.
Perbedaan mudah mengenai asuransi kerugian dengan asuransi sejumlah uang
dapat dilihat dari prestasinya. Apabila penanggung mengikatkan dirinya untuk melakukan
prestasi memberikan sejumlah uang yang telah ditentukan sebelumnya, maka hal itu
merupakan asuransi sejumlah uang. Tetapi apabila penanggung mengikatkan dirinya
untuk melakukan prestasi dalam bentuk mengganti rugi sepanjang ada kerugian yang
timbul, maka hal itu merupakan asuransi kerugian.
Sementara menurut Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, jenis produk
asuransi yang dipasarkan oleh perusahaan asuransi kerugian diantaranya asuransi
kebakaran yang terdapat dalam Pasal 287 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
Selain itu terdapat jenis produk asuransi kerugian yang termasuk ke dalam
asuransi varia, misalnya, asuransi kendaraan bermotor, asuransi proyek
pembangunan, surety bond, asuransi barang-barang elektronik, asuransi mesin-
mesin (machinery breakdown), asuransi kecelakaan diri dan masih banyak jenis
asuransi yang sedang dan telah dikembangkan oleh perusahaan asuransi kerugian.
Sehubungan dengan tumbuhnya jenis baru dalam bidang asuransi, segala
macam kepentingan itu dapat diasuransikan asal memenuhi syarat yang ditentukan
dalam Pasal 268 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, yang menyatakan bahwa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
: ”Pertanggungan dapat menjadikan sebagai pokok yakni semua kepentingan yang
dapat dinilai dengan uang, dapat terancam bahaya, dan tidak dikecualikan undang-
undang.” Apabila melihat ketentuan tersebut, maka semua yang merupakan suatu
kepentingan yang memenuhi syarat-syarat di atas dapat diasuransikan dan hal itu
sangat sesuai dengan konsep asuransi kerugian.
Dengan melihat polis asuransi kerugian, dapat diketahui bahwa apa yang
diperjanjikan antara tertanggung dan tertanggung tidak bertentangan dengan
undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Isi dari perjanjian tersebut
adalah apa yang menjadi tujuan dari tertanggung yaitu mengalihkan risiko dari
tertanggung kepada penanggung, yang memberikan konsekuensi pembayaran
ganti rugi dari penanggung apabila tertanggung menderita kerugian akibat sebuah
evenement yang dijamin di dalam polis. Karena perjanjian asuransi antara
keduanya merupakan hubungan hukum yang bersifat timbal balik. Dengan
demikian, akibat dari perjanjian itu menyangkut hak dan kewajiban kedua pihak
dalam polis. Sehingga sudah sewajarnya, ketika ada kepentingan tertanggung
yang menderita kerugian, penanggung akan melaksanakan kewajibannya untuk
mengganti kerugian tersebut.
Berlaku Berbeda ketika evenement yang dijaminkan di dalam polis itu
terjadi akibat adanya campur tangan dari pihak ketiga, yang dalam hal ini tidak
ada hubungan sama sekali dengan perjanjian asuransi antara tertanggung dan
penanggung. Namun pada kenyataannya, tertanggung mengalami kerugian. Oleh
karena itu, kerugian yang ditimbulkan oleh pihak ketiga harus
dipertanggungjawabkan secara yuridis, sebagaimana diatur dalam pasal 1365
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa : “Tiap perbuatan
yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan
orang yang menimbulkan kerugian untuk mengganti kerugian tersebut.” Berkaitan
dengan ketentuan itulah maka pihak ketiga wajib bertanggung jawab menurut
undang-undang kepada tertanggung. Akan tetapi, persoalannya akan menjadi lain
dalam perjanjian asuransi. Ketika tertanggung telah mendapatkan ganti kerugian
dari penanggung dan juga pihak ketiga, maka tertanggung akan mendapatkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
ganti kerugian melebihi kerugiannya. Hal itu tidak dibenarkan dan melanggar
prinsip indemnitas.
Dalam pengaturan asuransi, terdapat pasal yang secara jelas menampilkan
prinsip keseimbangan atau prinsip indemnitas. Diantaranya pada ketentuan pasal
277 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yang menyatakan bahwa : “
Apabila pada penanggung pertama tidak ditanggung nilai penuh, maka
penanggung berikutnya bertanggung jawab untuk nilai selebihnya menurut urutan
waktu mengadakan pertanggungan itu.” Apabila melihat ketentuan pasal tersebut,
bahwa nilai pertanggungan suatu benda tidak boleh lebih dari nilai pertanggungan
yang sebenarnya. Miasalnya, perusahaan asuransi A telah menanggung nilai
barang X sebesar 60%, dan kemudian sisanya sebanyak 40% dipertanggungkan
pada perusahaan asuransi B. Ketika terjadi evenement, maka tertanggung akan
mendapat penggantian kerugian sebesar 60% dari A dan sebanyak 40% dari pihak
B sehingga nilai obyek pertanggungan pas 100%.
Hal itu tercantum pula dalam ketentuan Polis Standart Asuransi Kebakaran
Indonesia yang dikeluarkan oleh PT Wahana Tata Tahun 2007, adapun bumyi
dalam Pasal 15 mengenai ganti rugi pertanggungan rangkap adalah :
Pasal 15
(1) Menyimpang dari Pasal 277 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, dalam hal terjadi kerugian atau kerusakan atas harta benda dan atau kepentingan yang dipertanggungkan dengan Polis ini, di mana harta benda dan atau kepentingan tersebut sudah dijamin pula oleh satu atau lebih pertanggungan lain dan jumlah seluruh harga pertanggungan polis yang ada (berlaku) lebih besar dari harga sebenarnya dari harta benda dan atau kepentingan yang dimaksud itu sesaat sebelum terjadinya kerugian, maka jumlah ganti rugi maksimum yang dapat diperoleh berdasarkan Polis ini berkurang secara proporsional menurut perbandingan antara harga pertanggungan polis ini dengan jumlah seluruh harga pertanggungan polis yang ada (berlaku), tetapi premi tidak dikurangi atau dikembalikan.
(2) Ketentuan di atas akan dijalankan, biarpun segala pertanggungan yang dimaksud itu dibuat dengan beberapa polis yang diterbitkan pada hari yang berlainan, dengan tidak mengurangi ketentuan pada Pasal 277 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, yaitu jika pertanggungan atau semua pertanggungan itu tanggalnya lebih dahulu daripada tanggal Polis ini dan tidak berisi ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) di atas.
(3) Dalam hal terjadi kerugian atau kerusakan, Tertanggung wajib memberitahukan secara tertulis pertanggungan-pertanggungan lain yang sedang berlaku atas harta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
benda dan atau kepentingan yang sama pada saat terjadinya kerugian atau kerusakan. Dari uraian di atas, penulis beranggapan bahwa apabila harta benda
dan/atau kepentingan yang dipertanggungkan sudah dipertanggungkan terlebih
dahulu oleh satu atau lebih pertanggungan lain. Hal ini mengakibatkan, jumlah
yang telah dipertanggungkan akan berkurang menurut perbandingan antara jumlah
segala pertanggungan dengan harga yang dipertanggungkan.
Namun karena kepentingan tertanggung sudah dipenuhi oleh penanggung,
maka tidaklah mungkin tertanggung akan memperoleh ganti kerugian ganda.
Maka dari itu, tanggung jawab pihak ketiga akan beralih kepada penanggung
berdasarkan ketentuan undang-undang. Peristiwa seperti keadaan tersebut yang
disebut dengan konsep subrogasi.
Di dalam Polis Standart Asuransi Kebakaran Indonesia yang dikeluarkan
oleh PT Wahana Tata Tahun 2005 juga disebutkan mengenai ketentuan subrogasi
yang tercantum dalam Pasal 16. Adapun bunyinya adalah sebagai berikut :
Pasal 16 (1) Sesuai dengan Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, setalah
pembayaran ganti rugi atas harta benda dan atau kepentingan yang dipertanggungkan dalam polis ini, Penanggung menggantikanTeranggung dalam segala hak yang diperolehnya sehubungan dengan kerugian tersebut. Hak subrogasi termasuk dalam ayat ini berlaku dengan sendirinya tanpa memerlukan surat kuasa khusus dari tertanggung.
(2) Tertanggung tetap bertanggung jawabatas setiap perbuatan yang mungkin dapat merugikan hak Penanggung terhadap pihak ketiga tersebut.
(3) Kelalaian tertanggung dalam melaksanakan kewajibannya tersebut dalam ayat 2 di atas dapat menghilangkan atau mengurangi hak Tertanggung untuk mendapatkan ganti rugi (contoh Polis Standar Kebakaran Indonesia (PSKI) yang dikeluarkan oleh Wahana Tata tahun 2005). Peralihan pertanggungjawaban berdasarkan undang-undang tersebut
sekaligus membawa konsekuensi terhadap pengalihan hak kepada penanggung
atas hak-hak dari tertanggung terhadap pihak ketiga yang telah menimbulkan
kerugian. Prinsip demikian yang disebut dengan prinsip subrogasi dalam dunia
asuransi. Seperti yang tercantum dalam pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang. Apabila melihat ketentuan pasal di atas, tampak bahwa ketika seorang
penanggung telah membayar ganti kerugian kepada pihak tertanggung, maka pada
saat itulah penanggung terjadi peralihan kedudukan dimana penanggung
menggantikan kedudukan tertanggung dalam segala hak yang diperolehnya dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
pihak ketiga, dimana tertanggung bertanggung jawab kepada penanggung atas
setiap perbuatan yang dapat merugikan hak penanggung terhadap pihak ketiga
tersebut. Dengan kata lain, apabila tertanggung mengalami kerugian akibat
kelalaian atau kesalahan pihak ketiga, maka Perusahaan Asuransi, setelah
memberikan ganti rugi kepada tertanggung, akan mengganti kedudukan
tertanggung dalam mengajukan tuntutan kepada pihak ketiga tersebut. Adapun
mekanisme aplikasi subrogasi, yaitu :
1. Pihak tertanggung harus memilih salah satu sumber pengantian kerugian, dari pihak
ketiga atau dari asuransi;
2. Jika pihak tertanggung sudah menerima penggantian kerugian dari pihak ketiga, ia
tidak akan mendapatkan ganti rugi dari asuransi, kecuali jika jumlah penggantian dari
pihak ketiga tersebut tidak sepenuhnya; dan
3. Jika pihak tertanggung sudah mendapatkan penggantian dari asuransi, ia tidak boleh
menuntut pihak ketiga akibat perbuatannya. Karena hak menuntut tersebut sudah
dilimpahkan ke perusahaan asuransi.
Konsep subrogasi hanya dipergunakan dalam asuransi kerugian, dimana
prinsip indemnitas dapat sepenuhnya diberlakukan. Pada asuransi kerugian
dikenal berlaku contract of indemnity karena harta benda yang dipertanggungkan
dapat dinilai dengan uang, sedangkan dalam asuransi jiwa adalah non indemnity
contract karena tidak ada acuan mengenai berapa harga bagi jiwa atau nyawa
seseorang. Diantara prinsip-prinsip yang lain, seperti itikad baik dan kepentingan,
prinsip ini sangatlah penting karena kerugian yang diganti haruslah seimbang
dengan risiko yang dibebankan penanggung ( Sri Rejeki hartono, 2001 : 100).
Sebaliknya risiko yang dialihkan pada penanggung harus diimbangi dengan
pemberian premi oleh tertanggung sesuai dengan nemo plus, “ tidak menerima
melebihi apa yang menjadi haknya, tidak member melebihi apa yang menjadi
kewajibannya.” ( Abdulkadir Muhammad, 2002 : 126).
Lain halnya ketika terjadi evenement yang disebabkan oleh pihak ketiga,
pihak ketiga tidak mungkin terlepas dari tanggung jawabnya. Maka pihak ketiga
memberikan penggantian kerugian terhadap tertanggung sebesar nilai obyek yang
dipertanggungkan. Dan pihak tertanggung merasa memiliki hak terhadap
penanggung, karena telah membayar premi tiap bulannya, juga meminta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
penggantian kerugian atas kerugian yang menimpanya. Hal ini memungkinkan
terjadinya penggantian kerugian dua kali terhadap tertanggung apabila
tertanggung telah mendapat penggantian dari pihak ketiga.
Dalam pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, secara tegas
telah ditentukan bahwa penanggung yang telah membayar kerugian kepada
tertanggung memperoleh hak tertanggung terhadap pihak ketiga mengenai
kerugian itu, dan tertanggung bertanggung jawab untuk setiap perbuatan yang
dapat merugikan hak penanggung terhadap pihak ketiga. Dalam hal penanggung
telah melakukan kewajibannya untuk memberikan ganti kerugian, maka kepada
tertanggung tidak diperbolehkan lagi untuk meminta kerugian dari pihak ketiga
tersebut.
Misalnya, dalam kasus Bapak Budi mengasuransikan sebuah mobil
dengan merek X kepada perusahaan asuransi A dengan nilai pertanggungan
sebesar 100%. Kemudian suatu ketika, mobil bapak Budi ditabrak oleh pihak
ketiga yang bernama bapak Rio ketika tengah dikemudikan saat ia akan ke kantor.
Lalu bapak Budi mengajukan tuntutan ganti rugi kepada bapak Rio, dan Pak Rio
pun menyanggupi untuk mengganti kerugian tersebut. Setelah mendapat ganti
kerugian, maka Pak Budi perlu melaporkan kejadian tersebut kepada Perusahaan
Asuransi sebagai wujud itikat baik Tertanggung sesuai pasal 251 Kitab Undang-
Undang Hukum Dagang dan Pak Budi dilarang untuk meminta ganti rugi kedua
kalinya kepada Perusahaan Asuransi, karena itu akan melanggar prinsip
indemnitas (Jurnal Yustika, 207 : Volume 10 Nomor 2).
Hal itu, tercantum pula dalam Polis Standart Asuransi Kendaraan
Bermotor yang dikeluarkan pleh Surat Keputusan Asosiasi Asuransi Umum
Indonesia Nomor 06 Tahun 2007, di dalam Pasal 22 yang berbunyi sebagai
berikut :
Pasal 22 (1) Setelah pembayaran ganti rugi atas Kendaraan Bermotor dan atau kepentingan
yang dipertanggungkan dalam Polis ini, Penanggung menggantikan Tertanggung dalam hal hak penuntutan terhadap pihak ketiga sehubungan dengan kerugian tersebut. Hak Subrogasi termaksud dalam ayat ini berlaku dengan sendirinya tanpa memerlukan suatu surat kuasa khusus dari Tertanggung.
(2) Tertanggung tetap bertanggung jawab atas setiap perbuatan yang mungkin dapat merugikan hak Penanggung terhadap pihak ketiga tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
(3) Kelalaian Tertanggung dalam melaksanakan kewajibannya tersebut pada ayat (2) di atas dapat menghilangkan atau mengurangi hak Tertanggung untuk mendapatkan ganti-rugi. Dengan demikian tertanggung tidak berhak memperoleh ganti rugi lebih
besar atau ganti rugi ganda dari kerugian yang diderita. Pada hakekatnya
mengandung dua aspek yang saling berhubungan, yaitu :
a. Aspek Pertama, yaitu berhubungan dengan tujuan dari perjanjian, harus ditujukan
kepada ganti kerugian yang tidak boleh diarahkan bahwa pihak tertangung karena
pembayaran ganti rugi jelas akan menduduki posisi yang menguntungkan. Jadi
bila terdapat klusula yang bertentangan dengan tujuan ini menyebabkan batalnya
perjanjian; dan
b. Aspek kedua, yaitu berhubungan dengan pelaksanaan perjanjian asuransi sebagai
keseluruhan yang sah. Untuk keseluruhan atau sebagian tidak boleh bertentangan
dengan aspek yang pertama. Hal ini sangat penting artinya karena tujuan yang
hendak dicapai oleh perjanjian asuransi dan dalam pelaksanaannya harus
memenuhi syarat tertentu, yaitu pihak tertanggung karena memperoleh ganti rugi
tidak menjadi posisi keuangan yang lebih menguntungkan (Sri Rejeki Hartono,
2001 : 98).
Lain halnya, ketika Pak Budi mengajukan tuntutan ganti rugi kepada
Perusahaan Asuransi, ia tidak boleh lagi mengajukan tuntutan ganti kerugian
kepada pihak ketiga ( Pak Rio). Saat tuntutan ganti rugi itu dipenuhi oleh
perusahaan asuransi, maka saat itulah terjadi perpindahan kedudukan dimana
penanggung menggantikan kedudukan tertanggung atas segala hak yang ia
peroleh dari pihak ketiga, termasuk hak untuk menuntut atas perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh pihak ketiga yang menyebabkan kerugian bagi
penanggung.
Karena apabila Pak Budi ,menuntut juga dari pihak ketiga itu akan
melanggar prinsip indemnitas dan juga ketentuan Polis Asuransi Standart
Kendaraan Bermotor Indonesia yang dikeluarkan oleh Surat Keputusan Asosiasi
Asuransi Umum Indonesia Nomor 06 Tahun 2007 terdapat dalam Pasal 20
mengenai ganti rugi rangkap, yang bunyinya sebagai berikut :
Pasal 20 (1) Dalam hal terjadi kerugian dan atau kerusakan atas Kendaraan Bermotor dan atau
kepentingan yang dipertanggungkan, apabila Kendaraan Bermotor dan atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
kepentingan tersebut sudah dijamin pula oleh satu atau lebih pertanggungan lain dan jumlah seluruh harga pertanggungan polis yang ada (berlaku) lebih besar dari harga sebenarnya dari Kendaraan Bermotor dan atau kepentingan yang dimaksud itu sesaat sebelum terjadinya kerugian, maka jumlah ganti rugi maksimum yang dapat diperoleh berdasarkan Polis ini berkurang secara proporsional menurut perbandingan antara harga pertanggungan polis ini dengan jumlah seluruh harga pertanggungan polis yang ada (berlaku), tetapi premi tidak dikurangi atau dikembalikan.
(2) Ketentuan ayat (1) di atas akan dijalankan, biarpun segala pertanggungan yang dimaksud itu dibuat dengan beberapa polis yang diterbitkan pada tanggal yang berlainan, jika pertanggungan atau semua pertanggungan itu tanggalnya lebih dahulu daripada tanggal Polis ini dan tidak berisi ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) di atas.
(3) Pada saat terjadi kerugian dan atau kerusakan, Tertanggung wajib memberitahukan secara tertulis pertanggungan-pertanggungan lain yang sedang berlaku atas Kendaraan Bermotor dan atau kepentingan yang sama pada saat terjadinya kerugian dan atau kerusakan. Cara ini dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang untuk membatasi
penggantian kerugian agar-agar masing-masing pihak dapat memperoleh haknya
secara proporsional atau tidak berlebihan dan bagi pihak yang melakukan
kesalahan tidak terlepas dari kewajibannya untuk bertanggung jawab.
Tertanggung yang mengalami kerugian oleh pihak ketiga dapat meminta
penggantian melalui 2 (dua) cara yaitu :
a. Mengajukan klaim pada penanggung atas dasar perjanjian asuransi. Cara
yang pertama ini menimbulkan hak bagi penanggung meminta penggantian
kerugian pada pihak ketiga.
b. Menuntut pihak ketiga agar membayar ganti kerugian berdasarkan pasal 1365
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai perbuatan melanggar
hukum. Pada cara kedua ini, tertanggung sebenarnya tetap terbebani
kewajiban untuk memberikan informasi mengenai kondisi saat ini dari benda
yang dipertanggungkan. Hal ini merupakan pelaksanaan dari prisip itikad
baik (utmost good faith principle). Dalam masa berlakunya perjanjian, sama
halnya dengan tertanggung, penanggung dapat saja memilih melanjutkan atau
menghentikan perjanjian. Oleh karena itu, perubahan keadaan benda dapat
mempengaruhi pertimbangan penanggung. Apabila asuransi dihentikan,
berdasarkan Pasal 276 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yang
menyatakan bahwa : “ Tiada kerugian atau kerusakan yang disebabkan oleh
kesalahan dari tertanggung sendiri, dibebankan pada penanggung. Bahkan ia
boleh tetap memegang atau menagih preminya, bila ia sudah mulai memikul
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
bahayanya. “ Penanggung tetap memiliki hak atas premi yang telah
diterimanya. Dengan demikian, tidaklah tepat apabila kewajiban tertanggung
memberikan informasi sebagaimana diatur dalam pasal 251 Kitab Undang-
Undang Hukum Dagang hanya dimaksudkan pada awal perjanjian karena
sebenarnya kejujuran dalam memberikan informasi diperlukan selama
perjanjian berlangsung.
Berdasarkan pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, subrogasi hanya
dapat terjadi apabila penanggung telah memberikan penggantian kerugian pada
tertanggung. Urutan peristiwa bagi terjadinya subrogasi haruslah sebagai berikut :
1) Tertanggung menderita kerugian katrena perbuatan melanggar hukum
yang dilakukan pihak ketiga;
2) Tertanggung mengajukan klaim atas kerugiannya kepada pihak asuransi
dengan menjelaskan bahwa kerugian tersebut diakibatkan oleh pihak
ketia; dan
3) Penanggung memiliki hak untuk menuntut ganti kerugian pada pihak
ketiga.
Mekanisme demikian harus dilaksanakan berurutan untuk dapat disebut
subrogasi, artinya prinbsip subrogasi tidak akan pernah terjadi apabila
penanggung mendahului melakukan pembayaran kepada tertanggung. Pada
beberapa perusahaan asuransi, diantara beragam asuransi kerugian, subrogasi
lebih sering terjadi pada asuransi kendaraan bermotor, sedangkan asuransi
kebakaran dan asuransi kerugian yang lain jumlah terjadinya subrogasi lebih
sedikit. Hal ini dipengaruhi oleh beberapan hal, yaitu :
a) Potensi terjadinya asuransi kendaraan bermotor lebih besar
dipengaruhi oleh keharusan untuk mengikatkan diri dalam asuransi
saat membeli kendaraan bermotor secara angsuran; dan
b) Kemungkinan timbulnya kerugian tertanggung dalam asuransi
kendaraan bermotor jauh kebih besar.
Pada prinsipnya setiap perbuatan hukum yang dilakukan para pihak dalam
perjanjian asuransi perlu dilandasi dokumen perjanjian. Dari dokumen tersebut
akan dapat diketahui berbagai hal yang berkaitan dengan pelaksanaan, obyek
maupun isi serta tujuan dari perjanjian yang dilakukan tertanggung dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
penanggung. Dokumen tersebut juga sangat penting terutama sebagai alat bukti
yang sah baik untuk kepentingan tertanggung maupununtuk kepentingan
penanggung, serta pihak ketiga yang mempunyai keterkaitanh dengan perjanjian
asuransi.
Adapun dokumen penting yang ada dalam perjanjian asuransi kerugian
adalah sebagai berikut :
(1) Form Aplikasi
Merupakan form yang memuat berbagai macam
keterangan yang berkaitan dengan penutupan asuransi. Form
tersebut antara lain memuat tentang identitas calon tertanggung,
jenis pertanggungan, obyek yang dipertanggungkan, besarnya
pertanggungan, lama waktu pertanggungan sertabesarnya premi
yang harus dibayar calon tertanggung, serta hal penting lainnya.
Calon tertanggung dalam perjanjian asuransi dipersyaratkan
untuk mengisi dan mengajukan aplikasi permohonan membeli
asuransi meskipun pada kenyataannya yang melakukan pengisian
adalah agen asuransi, namun tanda tangan harus dibubuhkan oleh
calon tertanggung sendiri.
(2) Kwitansi Premi
Kwitansi premi merupakan dokumen penting dari
perajanjian asuransi, karena tidak hanya secara materiil saja yang
menunjukkan bahwa premi telah dibayar, akan tetapi kwitansi
tersebut juga merupakan alat bukti pembayaran yang sah tentang
telah terjadinya perjanjian asuransi terutama pada saat polis
asuransi belum diterbitkan oleh penanggung atau lembaga
asuransi. Kwitansi juga merupakan kelangkapan alat bukti yang
dipersyaratkan untuk mengajukan klaim apabila terjadi risiko
yang menimpa diri tertanggung
(3) Polis
Polis merupakan dokumen penting dalam perjanjian
asuransi karena polis memuat berbagai hal yang berkaitan
dengan perjanjian asuransi. Polis merupakan alat bukti yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
menunjukkan tentang adanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban
baik tertanggung maupun penanggung.Hak tertanggung
sebagaimana tertulis dalam polis adalah hak tertanggung atas
penggantian kerugian oleh penanggung terhadap terjadinya risiko
yang diderita dan kewajiban tertanggung atas pembayaran
sejumlah uang premi asuransi sesuai kesepakatan. Dengan
adanya tandatangan polis oleh penanggung, maka dapat
dikatakan bahwa penanggung telah terikat dengan tertanggung
terhadap segala hak dan kewajiban sebagaimana tertuang dalam
polis.
B. Pengajuan Klaim oleh Tertanggung Ketika Hak Klaim Tidak Terpenuhi
Meskipun tertanggung telah mendapat penggantian dari pihak ketiga,
dapat saja penggantian tersebut belum sesuai dengan kerugian yang diderita
tertanggung. Bahkan ketika klaimnya tidak terpenuhi mutlak oleh pihak ketiga,
maka tertanggung berhak meminta dari pihak Penanggung. Oleh karena itu,
tertanggung masih dimungkinkan untuk mengajukan klaim pada penanggung.
Dengan demikian, penanggung memberikan penggantian bagi kerugian yang
tersisa. Cara yang demikian ini sebenarnya juga memungkinkan timbulnya
subrogasi karena penanggung membayar kepada tertanggung, meskipun hanya
sebagian dari keseluruhan kerugian yang diderita oleh tertanggung yang
sebenarnya harus dipikul oleh pihak ketiga.
Dalam asuransi kerugian dinyatakan secara tertulis, yaitu dengan
diajukannya permohonan dengan mengisi SPPA oleh tertanggung kepada
penanggung. Asuransi kerugian berlaku setelah Surat Permintaan Penutupan
Asuransi (SPPA) yang diserahkan tertanggung kepada penanggung disetujui oleh
Penanggung. Dengan disetujuinya SPPA, berarti telah terjadi pertemuan kehendak
dari tertanggung dan penaggung. Dengan demikian perjanjian asuransi kerugian
sudah berlaku sebelum polisnya dibuat. Polis baru akan dibuat berdasarkan SPPA.
Di dalam SPPA tersebut, termuat data lengkap dari tertanggung,
keterangan lengkap, mengenai obyek dan subyek pertanggungan, dan syarat-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
syarat pertanggungan. Ketika SPPA yang diajukan oleh tertanggung disetujui oleh
penanggung, maka pada saat itulah perjanjian asuransi kerugian itu muncul.
Klaim terhadap asuransi kerugian yang diajukan oleh tertanggung berlaku
setelah Surat Permintaan Penutupan Asuransi (SPPA) yang diserahkan
tertanggung kepada penanggung disetujui oleh Penanggung. Dengan disetujuinya
SPPA, berarti Tertanggung sudah berhak mengajukan klaimnya kepada
penanggung. Namun ketika klaim yang diajukan oleh tertanggung tersebut
diakibatkan oileh sebuah evenement yang dilakukan oleh pihak ketiga, maka
setelah pembayaran klaim dilakukan oleh Penanggung, penanggung dengan serta
merta mempunyai hak subrogasi kepada pihak ketiga.
Selain itu, dalam polis asuransi kerugian, tertanggung wajib
mengungkapkan fakta material mengenai informasi, keterangan, keadaan dan
fakta yang mempengaruhi pertimbangan penanggung dalam menerima atau
menolak suatu permohonan penutupan asuransi dan dalam menetapkan suku
premi apabila permohonan dimaksud diterima. Selain itu, tertanggung wajib
membuat pernyataan yang benar tentang hal-hal yang berkaitan dengan penutupan
asuransi, yang disampaikan baik pada waktu pembuatan perjanjian asuransi
maupun selama jangka waktu pertanggungan.
Disisi lain, jika tertanggung tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana
diatur di atas, penanggung tidak wajib membayar kerugian yang terjadi dan
berhak menghentikan pertanggungan serta tidak wajib mengembalikan premi. Hal
ini sesuai dengan Pasal 6 Polis Standart Asuransi Kendaraan Bermotor Indonesia
mengenai Kewajiban Tertanggung mengungkapkan fakta, yang berbunyi sebagai
berikut :
Pasal 6
(1) Tertanggung wajib : 1.1. Mengungkapkan fakta material yaitu informasi, keterangan, keadaan dan fakta
yang mempengaruhi pertimbangan Penanggung dalam menerima atau menolak suatu permohonan penutupan asuransi dan dalam menetapkan suku premi apabila permohonan dimaksud diterima;
1.2. membuat pernyataan yang benar tentang hal-hal yang berkaitan dengan penutupan asuransi; yang disampaikan baik pada waktu pembuatan perjanjian asuransi maupun selama jangka waktu pertanggungan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
(2) Jika Tertanggung tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana diatur dalam ayat (1) diatas, Penanggung tidak wajib membayar kerugian yang terjadi dan berhak menghentikan pertanggungan serta tidak wajib mengembalikan premi.
(3) Ketentuan pada ayat (2) diatas tidak berlaku dalam hal fakta material yang tidak diungkapkan atau yang dinyatakan dengan tidak benar tersebut telah diketahui oleh Penanggung, namun Penanggung tidak mempergunakan haknya untuk menghentikan pertanggungan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah Penanggung mengetahui pelanggaran tersebut.
Ketentuan tersebut tidak berlaku dalam hal fakta material yang tidak diungkapkan
atau yang tidak dinyatakan dengan tidak benar itu telah diketahui oleh
penanggung namun penanggung tidak mempergunakan haknya untuk
menghentikan pertanggungan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah
penanggung mengetahui pelanggaran tersebut.
Dalam praktek, hak dari tertanggung kepada penanggung, secara formal
dialihkan melalui surat atau pernyataan khusus yang secara teknis dilaksanakan
sebagai berikut :
1. Pada saat pembayaran klaim oleh penanggung, tertanggung diminta
menandatangani surat kuasa khusus (letter of subrogation) yang isinya
mengalihkan hak untuk menagih pihak ketiga kepada penanggung; dan
2. Pada bagian bawah, lembar pembayaran klaim yang ditandatangani oleh
tertanggung telah tercantum kalimat yang menyatakan tentang pengalihan hak
tersebut.
Apabila melihat pada ketentuan pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
maupun isi polis, pembuatan surat kuasa atau surat pengalihan hak secara tertulis
sebenarnya tidak diperlukan, karena subrogasi yang dimaksudkan terjadi demi hukum,
bukan atas perjanjian. Namun dalam prakteknya, ketiadaan surat khusus menjadi alasan
bagi pihak ketiga untuk mengelak dengan alasan tidak memiliki hubungan hukum dengan
penanggung.
Secara teoritis, ketentuan tentang prinsip subrogasi adalah sudah semestinya
apabila dihubungkan dengan prinsip keseimbangan. Tujuan yang lain adalah untuk
mencegah pihak ketiga membebaskan diri dari kewajibannya membayar ganti kerugian (
Abdulkadir Muhammad, 2002 : 130). Dalam praktek, ketentuan pasal 284 Kitab Undang-
Undang Hukum Dagang ini ternyata tidak mudah untuk dijalankan. Banyak perusahaan
asuransi yang tidak menggunakan hak yang diperolehnya atas dasar prinsip subrogasi
tersebut. Meskipun pengaturannya telah cukup jelas dan dengan tegas dicantumkan dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
polis baik dalam Polis Standar Asuarnsi Kebakaran Indonesia dan Polis Standar Asuransi
Kendaraan Bermotor Indonesia, subrogasi pada prakteknya tidak dapat berjalan karena
berbagai factor, baik dari sisi penanggung, tertanggung maupun diluar keduanya. Berikut
akan diuraikan masing-masing factor tersebut :
a. Faktor dari Tertanggung
Tertanggung memiliki andil yang amat penting bagi terjadinya subrogasi
mengingat hubungan hukum antara penanggung dan pihak ketiga hanya dapat
timbul melalui tertanggung. Beberapa factor dari tertanggung diantaranya :
1) Ketidakjujuran tertanggung mengenai adanya penggantian dari pihak
ketiga.
Tidak terlaksananya subrogasi dipengaruhi juga oleh
ketidakjujuran tertanggung bahwa ia sebenarnya sudah mendapatkan
ganti rugi dari pihak ketiga. Dalam terminology Seidman, fenomena ini
berkaitan dengan perhitungan Cost and Benefit ( Robert B. Seidman,
1978 : 69). Setiap orang selalu memperhatikan keuntungan dan kerugian
yang akan diterimanya, jika suatu tindakan. Perhitungan keuntungan dan
kerugian sebagaimana diungkapkan oleh Seidman ini nampaknya yang
mempengaruhi tertanggung dalam menuntut ganti rugi (Jurnal Yustika,
2007 : Volume 2)
Pertimbangan cost and benefit yang demikian ini dapat dikatakan
merupakan suatu hal yang wajar karena individu pada dasarnya selalu
dimotivasi oleh kalkulasi untuk memperoleh keuntungan serta berusaha
menghindari kerugian. Setiap tindakan manusia bertujuan ekonomis
(material maupun nonmaterial) untuk memperbesar keuntungan (Profit
Oriented). Tindakan yang berdasarkan rasionalitas yang cenderung
mengutamakan efisiensi dan perolehan hasil dengan biaya yang sekecil
mungkin, tanpa perduli pada nilai-nilai normative. Pilihan tertanggung
yang demikian ini dengan sendirinya bertentangan dengan prinsip
keseimbangan, karena berarti tertanggung tidak hanya dipulihkan pada
kondisi semula, tetapi sekaligus juga mendapat keuntungan. Berpijak
pada hakekat keberadaan asuransi, hal semacam ini yang seharusnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
dicegah mengingat asuransi tidak dimaksudkan untuk memperkaya
tertanggung.
Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yang dikutip
secara apa adanya dalam berbagai polis standart, menetapkan bahwa
tertanggung bertanggung jawab atas setiap perbuatan yang dapat
merugikan hak penanggung dan kelalaian tertanggung dapat berakibat
berkurangnya hak tertanggung untuk mendapatkan ganti rugi dari
penanggung,. Namun demikian, secara substansial, ketentuan ini
mengalami kelemahan kerana tidak adanya sanksi tegas pelanggaran
tertanggung terhadap kewajibannya itu. Pada sisi yang lain. Penanggung
juga tidak terlalu peduli untuk melaksanakan ketentuan tersebut.
2) Kurang pahamnya tertanggung akan adanya pengaturan tentang
subrogasi.
Kurang pahamnya tertanggung akan adanya pengaturan
semacam ini dapat dimaklumi mengingat asuransi memjangkausegmen
pasar yang sangat luas dan terdiri dari berbagai lapisan social. Tidak
hanya untuk perjanjian asuransi, bahkan untuk perjanjian lain, seperti
perjanjian pembukaan rekening bank, deposito, dan beberapa perjanjian
standart lain, seringkali isi perjanjian tidak sepenuhnya dipahami oleh
pihak yang akan mengikatkan diri. Ditinjau dari sisi isi perjanjian, orang
cenderung klebih mencermati hak daripada kewajibannya sehingga
seringkali ada penafsiran yang berbeda terhadap isi perjanjian.
Pelaksanaan subrogasi juga mendapat kendala karena
tertanggung menyatakan tidak paham mengenai ketentuan prinsip
subrogasi. Ketidakpahaman tertanggung dapat dibedakan dalam 3 (tiga)
hal, yaitu :
(a) Tertanggung tidak paham bahwa atas perbuatan melanggar
hukum pihak ketiga.
Ia hanya diberikan penggantian kerugian sebatas
kerugian yang ia derita, jadi tidak boleh mendapatkan ganti
rugi dari kedua-duanya, yaitu penanggung dan pihak ketiga.
Ketentuan mengenai subrogasi ini sering dipertanyakan oleh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
tertanggung karena ia merasa berhak mendapat ganti rugi
dari pihak ketiga karena perbuatan melanggar hukumnya dan
pihak asuransi sebagai imbalan premi yang telah ia bayarkan;
(b) Tertanggung tidak paham apa yang harus dilakukan
selanjutnya.
Bahwa meskipun telah mendapatkan penggantian
kerugian dari pihak ketiga, ia semestinya tetap
menyampaikan perubahan kondisi benda yang
dipertanggungkan kepada penanggung. Hal ini didasari atas
ketentuan pasal 9 Polis Standar Kendaraan Bermotor
Indonesia yang menyatakan bahwa penanggung memiliki
hak untuk setiap waktu selama masa pertanggungan
melakukan pemeriksaan terhadap kendaraan yang
dipertanggungkan.
Ketidakpahaman tertanggung dipengaruhi secara
timbal balik oleh ada tidaknya informasi yang jelas mengenai
keseluruhan isi polis pada saat awal perjanjian. Sisi awam
tertanggung sebenarnya dapat dikurangi apabila penanngung
secara cermat menjelaskan hak dan kewajiban tertanggung.
apabila dalam Pasal 251 Kitab Undangt-Undang Hukum
Dagang diatur mengenai kewajiban pemberitahuan oleh
tertanggung, semestinya kewajiban yang sama juga dapat
dibebankan kepada penanggung.
(c) Keengganan tertanggung menjalani proses subrogasi.
Apabila tertanggung melaporkan pelanggaran hukum
pihak ketiga kepada pihak penanggung, maka setelah
memberikan penggantian kepada tertanggung, penanggung
akan mengajukan tuntutan kepada pihak ketigatersebut.
Untuk keperluan tersebut, penanggung memerlukan
identitas pihak ketiga. Keterangan ini diharapkan dapat
diperoleh dari tertanggung sebagai pihak yang berhubungan
langsung.dalam kenyataannya, saat peristiwa yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
menimbulkan kerugian tertanggung tersebut terjadi,
tertanggung justru sering enggan berurusan lebih jauh
dengan pihak ketiga dengan beberapa alasan seperti :
(1) Menghindari konflik lebih jauh, adu fisik misalnya,
dengan pihak ketiga mengingat emosi yang tinggi
pada saat evenement terjadi yang disebabkan oleh
pihak ketiga baik secara sengaja maupun tidak;
(2) Efisiensi waktu dan biaya;
(3) Keikutsertaan pada asuransi memang dimaksudkan
untuk mengatasi hal-hal seperti itu; dan
(4) Segala kerugian sudah menjadi tanggungan pihak
asuransi sebagai kompensasi dari premi yang
dibayarkan oleh tertanggung.
Alasan-alasan tersebut, tertanggung bersikap tidak mau berurusan
dan tidak perlu menginformasikan mengenai pihak ketiga kepada
penanggung. Dengan kata lain, tertanggung akan menyampaikan
keterangan bahwa kerusakan benda yang dipertanggungkan adalah
karena kesalahan atau kelalaian sendiri.
Keadaan seperti tersebut di atas sebenarnya merupakan
pelanggaran dari isi polis ( pasal 16 Polis Standar Kebakaran Indonesia,
Pasal 22 Polis Standar Kendaraan Bermotor Indonesia) maupun pasal
284 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang karena dapat digolongkan
sebagai “ mengurangi hak penanggung untuk menuntut ganti rugi “.
Konsekuensinya, tertanggung berkewajiban untuk bertanggung jawab.
Bahkan dalam kedua polis standar tersebut, pasal 284 Kitab Undang-
Undang Hukum Dagang dilengkapi dengan pemberian sanksi bagi
tertanggung berupa kemungkinan hilang atau berkurangnya hak
tertanggung atas ganti rugi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
b. Faktor Dari Penanggung
Berdasarkan keterangan pihak asuransi, subrogasi hanya dapat
dilaksanakan untuk kasus dengan angka klaim yang besar, sedangkan untuk
klaim yang kecil cenderung diabaikan.hal ini didasari pertimbangan bahwa
memproseshak timbul dari keadaan subrogasi tersebut tidak mudah.
Selain mempertimbangkan factor keuntungan, penanggung sebagai
pelaku bisnis sangat memperhitungkan masalah waktu dan biaya. Mengurus
hak berdasarkan subrogasi tidaklah mudah. Penanggung terlebih dahulu harus
mengetahui secara lengkap identitas pihak ketiga, kemudian menghubungi
pihak ketiga tersebut untuk menyampaikan tuntutannya. Sekiranya pihak ketiga
berlaku kooperatif, proses subrogasi mudah untuk dilaksanakan. Namun
adakalanya juga, pihak ketiga berbelit-belit sehingga permasalahan menjadi
berlarut-larut.
Berdasarkan hak yang dialihkan oleh tertanggung kepada penanggung,
apabila pihak ketiga dirasakan sulit atau bahkan menolak membayar ganti
kerugian, penanggung dapat saja mengajukan perkara tersebut ke pengadilan
berdasarkan ketentuan Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Akan
tetapi, pilihan ini juga tidak menyenangkan bagi penanggung karena beberapa
alasan seperti di bawah ini :
1) Akan semakin memperpanjang urusan yang brarti menghabiskan waktu
dan tenaga, dan biaya;
2) Pengajuan perkara ke pengadilan berpengaruh pada citra atau image
perusahaan di mata public. Karena berurusan dengan pengadilan
menimbulkan kesan kurang baik yang dikhawatirkan dapat
mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan asuransi
itu. Menyadari bahwa pengajuan tuntutan ke pengadilanberharga sangat
mahal, maka pihak asuransi cenderung untuk tidak mempermasalahkan
perkara tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
c. Faktor Dari Pihak Ketiga
Pihak ketiga adalah pihak yang menyebabkan proses subrogasi
dapat terjadi. Karena apbila terjadi sebuah evenement yang diakibatkan
oleh kelalaian tertanggung sendiri, maka penanggung akan mengganti.
Tidak perlu ada birokrasi yang panjang untuk mendapatkan penggantian
dari pihak lain. Lain halnya ketika evenement itu terjadi akibat perbuatan
yang dilakukan oleh pihak ketiga, maka perlu proses birokrasi yang
panjang agar klaim dibayarkan dengan proses subrogasi.
Namun ternyata tidak mudah untuk meminta pertanggungjawaban
dari pihak ketiga, banyak sekali kendala yang harus dihadapi baik oleh
pihak penanggung maupun tertanggung. beberapa kendala itu antara
lain:
1) Kesulitan menemukan kesalahan pihak ketiga.
Dalam beberapa peristiwa, walaupun kerugian tertanggung
ditimbulkan oleh pihak ketiga, tidaklah mudah untuk menetapkan bahwa
pihak ketiga yang benar-benar menyebabkan kerugian bagi tertanggung.
contohnya, kebakaran karena konsleting listrik pada rumah tetangga yang
juga mengebai rumah tertanggung. Tuntutan atas dasar subrogasi
sulit untuk dilaksanakan karena membuktikan bahwa si tetangga telah
melaksanakan kesalahn juga tidak mudah. Biasanya peristiwa semacam
ini akan diterima sebagai musibah yang tidak dapat ditimpakan sebagai
kesalahan pihak tertentu. Atas kondisi seperti tersebut di atas, tidak
mudah untuk menetapkan pihak ketiga sebagai pihak yang
memungkinkan tertanggung sehingga merugikan timbulnya subrogasi.
2) Pihak ketiga tidak dapat memberikan ganti rugi.
Dalam praktek asuransi kerugian, tuntutan gnti rugi terhadap
pihak ketiga tidak selalu mudah untuk dilaksanakan karena pihak ketiga
juga menderita kerugian. Misalnya, kebakaran yang menimpa rumah
tertanggung disebabkan oleh kompor yang meledak di rumah
tetangganya. Kecerobohan si tetangga jelas telah menimbulkkjan
kerugian bagi orang lain. Meskipun merupakan kelalaian, namun apabila
menilik konsep perbuatan melanggar hukum dalam pasal 1365 Kitab
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
Undang-Undang Hukum Perdata, si tetanngga tetap mempunyai
kewajiban memberikan ganti rugi terhadap tertanggung karena di dalam
perdata tidak dibedakan antara kesengajaan dan kelalaian. Kesulitannya
adalah, si tetangga tidak mmemiliki kemampuan untuk membayar ganti
rugi karena ia pun menjadi korban dalam peristiwa tersebut.
3) Tidak timbul subrogasi karena terdapat klausula lain dalam polis.
Dalam polis yang telah disepakati oleh tertanggung memuat
berbagai ketentuan. Pemberlakuan subrogasi bisa saja terhalang karena
ketentuan lain dalam polis tersebut.
Seperti halnya pada asuransi kendaraan bermotor, dapat terjadi
kasus mobil yang diasuransikan dicuri supir yang baru bekerja 4 (empat)
hari bekerja pada tertanggung. melihat pada peristiwanya menimbulkan
kerugian bagi tertanggung. akan tetapi untuk diarahkan ke bentuk
subrogasi tidak mungkin. Karena dalam pasal 3 Polis Standar Kendaraan
Bermotor Indonesia telah diatur bahwa penanggung tidak memberikan
ganti terhadap kerugian yang ditimbulkan oleh orang yang bekerja pada
tertanggung. Walaupun pada kenyataannyatertanggung tidak cukup
mengenal orang baru yang bekerja padanya atau memang orang tersebut
sudah beritikad buruk sebelumnya saat melamar menjadi supir
tertanggung.
4) Tertanggung dan pihak ketiga memilih jalan damai.
Kemungkinan terjadinya subrogasi bisa terhambat apabila
tertanggung dan pihak ketiga menyepakati untuk mengambil jalan damai.
Artinya, masing-masing pihak tidak akan saling menuntut. Akibatnya
hak tertanggung untuk meminta ganti rugi pada pihak ketiga menjadi
hapus pada saat penanggung membayarkan klaim tertanggung,
penanggung kehilangan hak subrogasinya.
Ditinjau dari ketentuan mengenai subrogasi di dalam pasal 16
ayat (2) Polis Standar Kebakaran Indonesia yang berbunyi “ Tertanggung
tetap bertanggung jawab atas setiap perbuatan yang mungkin dapat
merugikan hak Penanggung terhadap pihak ketiga tersebut. “ Dan pasal
22 ayat (2) Polis Standar Kendaraan Bermotor Indonesia yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
menyatakan bahwa “Tertanggung bertanggung jawab atas setiap
perbuatan yang mungkin dapat merugikan hak penanggung dari pihak
ketiga tersebut.” Maka perdamaian yang dilakuikan oleh tertanggung
dapat dikategorikan sebagai “perbuatan” sebagaimana yang dimaksud
dalam kedua pasal di atas akan mengurangi bahkan menghilangkan hak
Penanggung untuk melakukan subrogasi.Hal ini sesuai dengan Pasal 16
ayat (3) Polis Standar Kebakaran Indonesia yang berbunyi sebagai
berikut “ Kelalaian Tertanggung dalam melaksanakan kewajibannya
tersebut pada ayat (2 ) di atas dapat menghilangkan atau mengurangi hak
Tertanggung untuk mendapatkan ganti-rugi.” Dan Pasal 22 ayat (3) Polis
Standar Kendaraan Bermotor Indonsia menyatakan bahwa “Kelalaian
melaksanakan ayat (2) dapat menghilangkan atau mengurangi hak
tertanggung untuk mendapat ganti rugi dari mpenanggung.”
Dalam praktek, ketentuan dalam ayat (3) tidak selalu diterapkan
karena penanggung memiliki pertimbangan khusus terkait bonafiditas
tertanggung. pertimbangan-pertimbangan seperti tertanggung dianggap
potensial bagi setiap penanggung sehingga dalam kasus tertentu diberi
kelonggaran atau jumlah nominal diangkap kecil untuk dipermasalahkan
lebih lanjut, menjadi alasannya.
Sebaiknya, bisa juga terjadi perdamaian yang dilakukan
dimasukan sebagai “catatan” untuk menilai tertanggung. apabila
tertanggung dinilai terlalu banyak nmengajukan klaim, penanggung dapat
saja tidak bersedia melanjutkan pertanggungan setelah pertanggungan
yang sedang berjalan ini berakhir. Apabila kesalahan tertanggung
dianggap sangat merugikan sedangkan penanggung tidak bermaksud
memproses secara litigasi, maka berdasarkan pasal 27 ayat (1) Polis
Standar Kendaraan Bermotor Indonesia dan Pasal 22 ayat (1) Polis
Standar Kebakaran Indonesia, penanggung berhak untuk menghentikan
pertanggungan.
5) Knock For Knock Agreement
Dalam peristiwa terjadi saling tabrak yang merugikan
tertanggung dan juga pihak ketiga, dan kedua belah pihak masing-masing
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
memiliki asuransi, maka meskipun dalam polis ada ketentuan
penggantian terhadap pihak ketiga, namun yang diganti oleh pihak
asuransi adalah tertanggungnya sendiri. Hal ini disebabkan adanya Knock
for Knock Agreement antar perusahaan asuransi. Dengan demikian,
meskipun dalam polis ada kewajiban memberikan penanggungan
terhadap pihak ketiga, masing-masin penanggung hanya perlu
menanggung kerugian tertanggungnya masing-masing. Bagian yang
harus dibayar sendiri oleh tertanggunglah, yaitu risiko sendiri yang dapat
dituntutkan pada pihak ketiga.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pada uraian-uraian yang telah disampaikan pada bab-bab
sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Di dalam ketentuan Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang telah
termuat secara tegas mengenai ketentuan subrogasi. Ketentuan tersebut juga
diperkuat di dalam Polis Standart Asuransi Kebakaran Indonesia yang
dikeluarkan oleh PT Wahana Tata Tahun 2005 tepatnya di dalam Pasal 16 dan
juga termuat di dalam Polis Standart Asuransi Kendaraan Bermotor Indonesia
yang dikeluarkan oleh Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) melalui Surat
Keputusan Nomor 06 Tahun 2007 di dalam Pasal 22. Secara nyata mempunyai
legitimasi hukum dimana proses pengalihan kedudukan dari tertanggung kepada
penanggung atau yang disebut subrogasi hanya dapat terjadi apabila penanggung
telah memberikan penggantian kerugian pada tertanggung. Urutan peristiwa bagi
terjadinya subrogasi haruslah sebagai berikut :
a. Tertanggung menderita kerugian karena perbuatan melanggar hukum
yang dilakukan pihak ketiga;
b. Tertanggung mengajukan klaim atas kerugiannya kepada pihak asuransi
dengan menjelaskan bahwa kerugian tersebut diakibatkan oleh pihak
ketiga; dan
c. Penanggung memiliki hak untuk menuntut ganti kerugian pada pihak
ketiga.
2. Klaim terhadap asuransi kerugian yang diajukan oleh tertanggung berlaku setelah
Surat Permintaan Penutupan Asuransi (SPPA) yang diserahkan tertanggung
kepada penanggung disetujui oleh Penanggung. Dengan disetujuinya SPPA,
berarti Tertanggung sudah berhak mengajukan klaimnya kepada penanggung.
Namun ketika klaim yang diajukan oleh tertanggung tersebut diakibatkan oileh
sebuah evenement yang dilakukan oleh pihak ketiga, maka setelah pembayaran
klaim dilakukan oleh Penanggung, penanggung dengan serta merta mempunyai
hak subrogasi kepada pihak ketiga. Meskipun pengaturan prinsip subrogasi dalam
praktek perasuransian di Indonesia telah mendapat legitimasi berdasarkan pasal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
284 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan tercantum pula dalam polis,
terkadang prinsip subrogasi sulit untuk dilaksanakan karena hambatan-hambatan
dari berbagai factor baik dari tertanggung, penanggung, maupun factor-faktor
dari unsur lain. Tertanggung memiliki andil utama agar dapat terlaksananya tahap
berikutunya dalam subrogasi. Artinya hak penanggung dalam subrogasi baru
akan timbul apabila tertanggung mau menyampaikan adanya peran pihak ketiga
dalam evenement yang terjadi dan menimbulkan kerugian yang diderita oleh
tertanggung. Apabila tertanggung tidak jujur atau enggan menjalani proses
subrogasi, maka hak subrogasi penanggung sulit untuk diwujudkan. Selanjutnya,
meskipun tertanggung telah memberitahukan adanya andil pihak ketiga dalam
kerugian yang dideritanya, penanggung juga memberikan andil atas tidak
terlaksananya prinsip subrogasi tersebut apabila memilih untuk menuntut ganti
rugi dari pihak ketiga. Pada umumnya, alasan yang dikemukakan adalah karena
jumlah nominal subrogasi jauh lebih kecil dan proses pengurusan klaimnya yang
lama. Dalam hal penanggung dan tertanggung telah sama-sama menghendaki
dilakukannya proses subrogasi, dapat saja hak subrogasi tidak dapat dilaksanakan
karena beberapa factor, seperti : kesulitan menemukan kesalahan pihak ketiga,
pihak ketiga tidak dapat memberikan ganti rugi, adanya kalusula dalam polis
yang menghambat klaim tertanggung, dan adanya knock for knock agreement.
B. Saran
Beberapa saran atas penulisan hukum ini yang dapat diberikan antara lain :
1. Hak atas subrogasi yang diperoleh oleh Penanggung sudah terdapat di dalam
ketentuan perundang-undangan yang mengatur secara tegas tentang
pemberlakuan subrogasi baik di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
maupun Polis itu sendiri. Maka sebaiknya, Penanggung tidak mengabaikan hak
tersebut dan memanfaatkan semaksimal mungkin.
2. Bagi Tertanggung yang merasa hak atas klaimnya tidak terpenuhi segera setelah
pengajuan SPPA, Tertanggung dapat meminta penggantian kerugian kepada
Penanggung. Mengingat perjanjian asuransi yang telah dibuat dan disepakati oleh
para pihak. Selama itu pula hak dan kewajiban masing-masing pihak tetap harus
dijalankan.