Prestise Makanan Cepat Saji ala Barat menurut Pandangan Anak · 2019-04-30 · pandang anak. Kedua,...
Transcript of Prestise Makanan Cepat Saji ala Barat menurut Pandangan Anak · 2019-04-30 · pandang anak. Kedua,...
“Makan di McD yuk, Buk!”
Prestise Makanan Cepat Saji ala Barat menurut Pandangan Anak
Disusun oleh :
Yogo Condro Wibowo 17/409937/SP/27728
Mochamad Rizqi Zakaria 17/409928/SP/27773
M. Nafis Hidayat 17/409929/SP/27774
Alfian Muntahanatul Ulya 17/413240/SP/27957
Novia Reviana Nuryadin 17/413260/SP/27977
DEPARTEMEN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2018
BAB I
I. Pendahuluan
a. Latar Belakang
Fast food atau makanan cepat saji adalah makanan yang dapat diolah dan dihidangkan
atau disajikan dengan cepat oleh pengusaha jasa boga, rumah makan, restoran. Biasanya
makanan ini tinggi garam dan lemak serta rendah serat (Kemenkes RI, 2012). Secara umum
produk makanan cepat saji ala Barat bisa digambarkan seperti makanan yang disajikan secara
cepat dan umumnya berupa hamburger, ayam goreng tepung, kentang goreng, softdrink, dan
sejenisnya. Makanan cepat saji ala Barat sering juga disebut makanan praktis dan modern.
Kehadiran makanan cepat saji ala Barat dalam industri makanan di Indonesia juga bisa
memengaruhi pola makan anak ramaja di kota. Khususnya bagi anak dari keluarga dengan
status sosial ekonomi menengah ke atas, restoran makanan cepat saji merupakan tempat yang
tepat untuk bersantai.
Frekuensi konsumsi makanan cepat saji pada anak didorong oleh beberapa hal di
antaranya adalah status sosial ekonomi orangtua, media massa, pengetahuan, dan sikap anak
terhadap makanan cepat saji. Konsumen makanan cepat saji ala Barat di Indonesia sebagian
besar adalah orang dengan latar status sosial ekonomi menengah ke atas. Hal tersebut, secara
tidak langsung mengonstruksikan makanan cepat saji ala Barat merupakan gaya hidup yang
“ideal”. Kebiasaan mengonsumsi makanan cepat saji tersebut membuat tren gaya hidup baru
dikalangan masyarakat karena dianggap bisa mendongkrak status sosial ekonominya dalam
pergaulan di masa yang sudah modern ini.
Tren konsumsi makanan cepat saji sudah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat
modern (Fadhillawati, 2011). Makanan cepat saji dikonsumsi bukan hanya karena alasan
modernitas semata tetapi terdapat nilai tertentu yang terlekat di dalamnya. Nilai tersebut
mendorong seorang anak untuk mengonsumsi makanan cepat saji (Arief, 2011). Pola
konsumsi makanan cepat saji akan membentuk nilai tertentu di mana nila tersebut dapat
menentukan kedudukannya dalam suatu struktur sosial masyarakat. Seperti yang
diungkapkan oleh Alimuddin (1999) yang menyatakan bahwa adanya penilaian tertentu
terhadap orang-orang yang mengonsumsi makanan di restoran cepat saji dilihat memiliki
nilai sosial atau gengsi tersendiri yang mampu mengangkat kesan akan status dirinya.
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi, peneliti menemukan bahwa informan
dan objek observasi – yang dalam penelitian ini adalah anak – memberikan sudut pandang
yang berbeda mengenai makanan cepat saji ala Barat sebagai bagian dari prestige goods.
Meski makanan cepat saji ala Barat merupakan bagian dari prestige goods¸ mereka tidak
memiliki pola konsumsi tertentu yang mengindikasikan bahwa mereka mencoba dengan
keras untuk mendapatkan akses terhadap makanan cepat saji ala Barat. Hal tersebut, membuat
peneliti dapat melihat sisi lain dari arti makanan cepat saji ala Barat. Oleh karena itu, peneliti
ingin mengetahui bagaimana anak mengonstruksikan makanan cepat saji ala Barat sebagai
bagian dari prestige goods yang dalam realitanya telah menunjukkan sebuah pemahaman dari
sudut pandang yang berbeda.
b. Rumusan Masalah
Bagaimana anak mengonstruksikan makanan cepat saji ala Barat sebagai bagian dari prestige
goods?
II. Metodologi
a. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan analisis semiotik.
Semiotik merupakan cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari mengenai simbol dan
makna (Babbie, 2014) dimana – dalam penelitian ini – peneliti ingin melihat bagaimana
persepsi anak mengenai arti dan makna dari makanan cepat saji sebagai bagian dari prestige
goods.
Subjek penelitian ini adalah anak-anak di usia sekolah yang tinggal di Padukuhan
Nologaten, Desa Caturtunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta.
Peneliti mengumpulkan data dengan melakukan wawancara – baik wawancara individu
maupun focus group discussion – dan observasi di beberapa gerai makanan cepat saji ala
Barat di Yogyakarta. Wawancara direkam menggunakan alat perekam dari telepon genggam.
Hasil rekaman kemudian akan melalui proses verbatim transcript, indexing verbatim
transcript, dan coding. Kemudian, data yang dihasilkan dari proses coding akan ditampilkan
dalam bentuk data networking Setelah itu, peneliti akan menganalisa dengan pendekatan
semiotik untuk melihat bagaimana persepsi anak mengenai makanan cepat saji ala Barat
sebagai prestige goods dapat terbentuk.
Pengambilan data – berupa wawancara dan observasi – dilaksanakan pada tanggal 15-
22 April 2018. Wawancara tepatnya dilaksanakan pada tanggal 14-15 April 2018 di
Padukuhan Nologaten, Desa Caturtunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, DI
Yogyakarta. Kemudian, observasi dilaksanakan antara tanggal 17-22 April 2018 yang
bertempat di berbagai gerai makanan cepat saji ala Barat di Kota Yogyakarta.
b. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini :
1. Data primer : Data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah hasil
wawancara dan observasi langsung di Padukuhan Nologaten dan beberapa gerai
makanan cepat saji ala Barat di Yogyakarta.
c. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang dilakukan untuk mendapatkan data primer dari penelitian ini adalah
melalui:
1. Wawancara Semi-terstruktur
Peneliti melakukan wawancara semi-terstruktur kepada beberapa informan yang ada
di Padukuhan Nologaten. Peneliti juga menggunakan interview guide sebagai
instrumen yang digunakan untuk mempermudah pelaksanaan wawancara semi-
terstruktur.
2. Observasi Langsung
Peneliti melakukan observasi langsung di Padukuhan Nologaten dan beberapa gerai
makanan cepat saji ala Barat di Kota Yogyakarta. Salah satu gerai yang digunakan
sebagai tempat observasi adalah gerai KFC Jl. Sudirman.
3. Dokumentasi
Peneliti juga mengumpulkan data dengan cara mendokumentasi momen-momen saat
wawancara dan observasi di Pedukuhan Nologaten dan beberapa gerai makanan cepat
saji ala Barat.
BAB II
LATAR SOSIAL
Penelitian yang berjudul “Makan di McD yuk, Buk!” : Prestise Makanan Cepat Saji
menurut Pandangan Anak dilaksanakan di Padukuhan Nologaten, Desa Caturtunggal,
Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta. Penelitian dilakukan pada tanggal 14-
17 April 2018. Padukuhan Nologaten merupakan lokasi yang dipenuhi oleh berbagai gerai
makanan baik itu makanan cepat saji maupun bukan. Gerai makanan cepat saji lokal yang
dapat ditemukan di daerah Padukuhan Nologaten diantaranya adalah gerai Olive, Popeye,
Rocket Chicken, dan D’Ayam Crispy. Gerai makanan lainnya yang dapat ditemukan di
Padukuhan Nologaten antara lain adalah rumah makan pecel lele, nasi uduk, dan warung
makan Indomie atau yang sering disebut sebagai burjo.
Gambar 1. Letak Padukuhan Nologaten yang cukup dekat dengan Plaza Ambarukmo
Lokasi Padukuhan Nologaten juga dekat dengan salah satu pusat perbelanjaan yaitu
Ambarukmo Plaza. Bahkan, RW 03 Padukuhan Nologaten terletak persis di belakang Plaza
Ambarukmo. Selain itu, di dalam Plaza Ambarukmo terdapat beberapa gerai makanan cepat
saji ala Barat seperti KFC, Burger King, dan Pizza Hut. Hal tersebut menunjukkan bahwa
Padukuhan Nologaten memiliki akses yang sangat mudah untuk mendapatkan makanan cepat
saji ala Barat. Padukuhan Nologaten yang dapat dilihat sebagai daerah yang sangat heterogen.
Bahkan, peneliti dapat melihat kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda
Gambar 2. KFC Jalan Jendral Sudirman, Terban, Kota Yogyakarta
Kemudian, peneliti juga melakukan observasi di berbagai gerai makanan cepat saji ala
Barat yang ada di Kota Yogyakarta pada tanggal 17 April 2018, salah satunya adalah di gerai
KFC yang terletak di Jl. Jendral Sudirman. Gerai KFC tersebut terletak di tengah Kota
Yogyakarta yang penuh dengan aktivitas perkantoran. Bahkan, KFC ini berada di lantai dasar
sebuah gedung pusat perkantoran. Selain itu, KFC yang terletak di Jl. Jendral Sudirman juga
dapat dengan mudah diakses oleh siswa dari SMA Negeri 6 Yogyakarta, SMP 8 Yogyakarta,
dan SMA Stella Duce 1 Yogyakarta. Namun, hal tersebut tidak mengurangi kemungkinan
bahwa siswa dari beberapa sekolah lain pun banyak yang mengunjungi gerai KFC di Jl.
Jendral Sudirman.
Su
mb
er:
yo
gyes
.co
m (
20
14
)
BAB III
ANALISIS
Pada bab ini, peneliti akan memaparkan dan menganalisis beberapa hal mengenai
bagaimana anak mengonstruksikan makanan cepat saji ala Barat sebagai bagian dari prestige
goods. Pertama, peneliti akan menjelaskan temuan lapangan mengenai prestise dari sudut
pandang anak. Kedua, peneliti akan membahas mengenai latar belakang anak. Kemudian,
peneliti akan memaparkan mengenai ekonomi sebagai salah satu dimensi sosial yang dapat
menentukan sudut pandang anak terhadap makanan cepat saji ala Barat. Selain latar belakang
anak dan ekonomi, peneliti akan menjelaskan tetang peer group anak dan bagaimana hal itu
dapat membentuk persepsi anak akan berbagai hal yang salah satunya adalah makanan cepat
saji ala Barat. Pada bagian akhir, peneliti akan membahas mengenai persepsi anak mengenai
makanan cepat saji ala Barat sebagai bagian dari prestige goods.
I. Prestie
Prestise dapat dikonstruksikan melalui berbagai macam dimensi sosial yang sangat
erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari anak (Ridgeway, 1991). Latar belakang anak –
seperti ekonomi dan peer group anak – merupakan beberapa dimensi sosial yang
mengonstruksi persepsi mereka mengenai prestise terhadap makanan cepat saji ala Barat.
Adapula yang dimaksud dengan makanan cepat saji ala Barat adalah gerai-gerai KFC,
McDonald’s, Burger King, Pizza Hut dan lainnya yang kini makin menjamur keberadaannya
di Indonesia, khususnya di DI Yogyakarta. Gerai-gerai KFC, McDonald’s, Burger King, dan
Pizza Hut menjual makanan – seperti ayam goreng renyah, french fries, burger, dan lainnya –
yang disukai oleh anak. Namun, tidak semua kalangan masyarakat dapat mengakses makanan
cepat saji ala Barat karena harganya yang dapat dikatakan cukup tinggi. Oleh karena itu,
peneliti ingin mengetahui bagaimana pandangan anak mengenai makanan cepat saji ala Barat
sebagai prestige goods.
Penelitian dengan judul “Makan di McD yuk, Buk!”: Prestise Makanan Cepat Saji
ala Barat menurut Pandangan Anak dilaksanakan di Padukuhan Nologaten, Desa
Caturtunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta pada tanggal 14-15
April 2018. Padukuhan Nologaten terletak sangat dekat dengan salah satu pusat perbelanjaan
di Yogyakarta yaitu Plaza Ambarukmo. Makanan cepat saji dari gerai KFC, Burger King, dan
Pizza Hut dapat dijumpai di Plaza Ambarukmo. Peneliti juga menemukan banyak sekali
tempat makan di sepanjang Jl. Nologaten seperti rumah makan ayam geprek, nasi uduk, burjo
– yang cukup banyak ditemukan di daerah Padukuhan Nologaten – Popeye, Rocket Chicken,
dan Olive. Padukuhan Nologaten yang terletak di dua bentuk kota yang berbeda akan
memberikan cerita uniknya tersendiri.
Gambar 1. Salah satu dari sekian banyak
burjo yang dapat ditemukan di Padukuhan
Nologaten
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
cara anak di Padukuhan Nologaten, Desa Caturtunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten
Sleman, DI Yogyakarta mengonstruksikan makanan cepat saji ala Barat sebagai bagian dari
prestige goods. Pada bagian ini, pertama-tama peneliti akan memaparkan hasil wawancara
dari beberapa informan di Padukuhan Nologaten dan hasil observasi di Padukuhan Nologaten
dan analisisnya. Kemudian, peneliti akan menjelaskan juga hasil observasi di salah satu gerai
KFC di Jl. Jendral Sudirman beserta analisisnya. Setelah itu, peneliti akan menjelaskan secara
singkat bagaimana sebuah benda – khususnya makanan cepat saji ala Barat – dapat menjadi
bagian dari prestige goods.
Wawancara kepada beberapa informan di Padukuhan Nologaten, Desa Caturtunggal,
Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta pada tanggal 15 April 2018
menyebutkan pernyataan dari sudut pandang yang berbeda dari penjelasan makanan cepat
saji ala Barat. Namun, mereka memberikan pernyataan yang hampir sama mengenai
pandangan mereka terhadap makanan cepat saji ala Barat. Pertama, ada Christine yang
mengatakan bahwa mengonsumsi makanan cepat saji adalah hal yang biasa. Hal yang sama
juga diungkapkan oleh Darma, seorang informan yang tengah duduk di bangku kelas 6 SD
Muhammadiyah Demangan. Kemudian, ada Adit yang mengatakan bahwa mengonsumsi
makanan ceoat saji itu hal yang biasa dan “tidak keren-keren banget”. Informan selanjutnya
adalah Aji, seorang anak kelas 3 SMP, mengatakan bahwa tidak ada rasa bangga yang
muncul dan merupakan hal yang biasa saja ketika ia mengonsumsi makanan cepat saji. Ia
juga mengatakan bahwa orang yang merasa bangga ketika mengonsumsi makanan cepat saji
adalah orang yang alay. Informan selanjutnya adalah Arbi, kakak dari Aji yang sedang
menempuh pendidikan SMK, mengatakan bahwa Ia tidak merasa lebih percaya diri ketika
mengonsumsi KFC atau McDonald’s. Ia juga mengatakan bahwa orang yang mengonsumsi
KFC atau McDonald’s dan membagikan momen itu dengan posting di snapgram adalah hal
yang Ia anggap sebagai tindakan alay. Setelah itu ada Vari, seorang siswa SMP yang juga
merupakan teman dari Aji dan Arbi, mengatakan bahwa mengonsumsi makanan cepat saji itu
hal yang biasa saja.
Gambar 2. Aji, Arbi, Vari, dan teman-temannya selesai wawancara pada tanggal 15 April 2018
Meski informan-informan mengatakan hal yang hampir sama, ada beberapa yang
menyatakan bahwa makanan cepat saji – seperti KFC, McDonald’s, Burger King, Pizza Hut,
dan lainnya – merupakan makanan “tingkat tinggi”. Selain “tingkat tinggi”, informan-
informan itu juga menyatakan bahwa makanan tersebut tidak “se-level” dengan mereka.
Adapula yang menyebutkan hal-hal di atas adalah Arbi, Vari dan teman-temannya yang pada
saat diwawancarai sedang berkumpul bersama. Arbi, Vari dan teman-temannya merupakan
warga Padukuhan Nologaten yang tinggal di RW 01, RW 02, dan ada satu anak yang berasal
dari RW 03. Menurut Arbi, Vari dan teman-temannya, makanan cepat saji dari KFC,
McDonald’s, Burger King, Pizza Hut dan lainnya merupakan makanan “tingkat tinggi”
karena harga yang ditetapkan oleh fanchise tersebut. Oleh karena itu juga, mereka
mengatakan bahwa makanan cepat saji dari merek tertentu itu tidak “se-level” dengan
mereka. Para informan ini merupakan bagian dari publik yang kemudian akan mengakui
prestise atau status sosial seseorang yang mengonsumsi makanan cepat saji ala Barat. Ketika
mereka mengatakan makanan cepat saji ala Barat sebagai makanan “tingkat tinggi”,
nampaknya beberapa kalangan masyarakat yang dapat mengakses makana cepat saji ala Barat
dengan mudah telah berhasil meraih prestise dan status sosial mereka di mata para informan.
Pengakuan prestise dan status sosial telah terjadi saat beberapa golongan masyarakat
melakukan suatu pola konsumsi (Berger, Rosenholtz dan Zelditch Jr, 1980).
Berdasarkan Story Box 01 di atas, Arbi, Vari, dan teman-temannya bukan merupakan
bagian dari conspicuous consumption yang dikatakan oleh Charles dkk. (2009) sebagaimana
ditekankan Palma, Ness & Anderson (2015) sebagai pola konsumsi seseorang untuk
memenuhi kebutuhannya dalam pengakuan kekayaan, prestise, dan status sosial. Conspicuous
consumption yang dilakukan seseorang untuk memuaskan rasa bangga, prestise, dan identitas
diri adalah dengan mengonsumsi prestige goods. Sebuah barang dapat dikatakan memiliki
fungsi simbolis ketika barang tersebut memiliki peran yang signifikan dalam kehidupan
seseorang (Khalil, 2000) yakni sebagai pemuas kebutuhan yang secara inheren melekat pada
diri individu, yaitu pengakuan atas prestise dan status sosial (Berger, Rosenholtz & Zelditch
Jr, 1980). Ketika status sosial telah diperoleh, seseorang akan menggunakannya untuk
menciptakan rasa nyaman dalam dirinya. Bahkan, persepsi mengenai rasa nyaman ini sangat
bergantung pada status sosial dimana status sosial tersebut akan memengaruhi seseorang
hingga pada sistem neurobiologisnya dan membuat seseorang merasa nyaman karena status
sosial yang dimilikinya (Plassmann dkk., 2008). Argumentasi tersebut dapat menjelaskan
alasan seseorang yang mengonsumsi makanan dengan harga yang lebih tinggi memberikan
penilaian yang lebih tinggi pula (Just, Sığırcı & Wansink, 2014). Seseorang yang dapat
membayar harga yang lebih tinggi untuk membeli makanan kemudia merasa nyaman karena
dapat menyandang status sosial tertentu.
Story Box 01
Selain makanan cepat saji ala Barat yang Arbi, Vari, dan teman-temannya sebutkan
sebagai makanan untuk orang-orang “tingkat tinggi”, mereka juga menyebutkan beberapa tempat
dan makanan yang dianggap setingkat. Tempat-tempat makan dan makanan tersebut adalah:
Popeye, Olive, Rocket Chicken, Burjo (tempat makan yang menjual berbagai jenis makanan dan
makanan utama yang disajikan adalah mie instan), nasi uduk, pecel lele, dan ayam geprek.
Tempat-tempat makan yang menjual makanan yang hampir sama jenisnya dengan gerai makanan
cepat saji ala Barat tersebut juga dapat dengan mudah ditemukan di daerah Nologaten. Tempat
makan – seperti Popeye, Olive, dan Rocket Chicken – memberikan harga yang sangat murah
apabila dibandingkan dengan makanan dari gerai makanan cepat saji ala Barat dengan pilihan makanan yang sama.
Setelah melakukan wawancara di Padukuhan Nologaten pada tanggal 15 April 2018,
peneliti melakukan obervasi di salah satu gerai KFC di Jl. Jendral Sudirman pada tanggal 17
April 2018. Observasi peneliti lakukan dari pukul 13.37-16.00 WIB. Meski ketika peneliti
datang sudah melewati jam makan siang, KFC Jl. Jendral Sudirman masih dipenuhi orang
yang sedang makan khususnya anak SMA. Pada hari itu, bertepatan dengan pengumuman
SNMPTN sehingga peneliti menemui beberapa objek observasi yang saat itu tengah
menunggu pengumuman sembari mengerjakan latihan soal SBMPTN. Objek observasi yang
peneliti temukan tidak pernah menggunakan pakaian lusuh. Mereka selalu mengenakan
pakaian yang rapi dan pasti membawa telepon genggam di tangannya. Pakaian yang mereka
kenakan bahkan dapat dilihat berasal dari high end brand. Barang-barang yang tersemat pada
diri objek observasi, menunjukkan bahwa objek obervasi berasal dari golongan tertentu
masyarakat yang dapat mengakses makanan cepat saji. Mereka rela mengeluarkan uang yang
lebih banyak dengan membeli makanan cepat saji di gerai KFC, padahal ada gerai Popeye,
Olive, dan Rocket Chicken yang memberikan harga yang lebih murah dengan jenis makanan
yang sama. Kerelaan seseorang untuk membayar lebih tinggi suatu barang – padahal ada
barang lain dengan kualitas yang sama dengan harga yang lebih murah – akan membuat
barang tersebut menjadi bagia dari prestige goods (Palma, Ness & Anderson, 2015).
Gambar 2. Observasi di salah satu gerai KFC di Jl. Jendral Sudirman
Kebutuhan akan prestise dan status sosial akan terlihat dalam pola konsumsi
seseorang (Berger, Rosenholtz dan Zelditch Jr, 1980) dan akan Ia tunjukkan dalam kehidupan
sehari-harinya. Kemudian, Veblen dalam karyanya pada tahun 2005 (Palma, Ness dan
Anderson, 2015) mengatakan bahwa dengan menunjukkan kekayaannya kepada orang lain,
seseorang dapat memperoleh utilitas. Namun, kekayaan tidak dapat ditunjukkan secara
langsung sehingga seseorang harus mengonsumsi barang tertentu untuk menunjukkan
kekayaannya (Palma, Ness dan Anderson, 2015). Barang yang dikonsumsi ini lah yang
kemudian menjadi bagian dari prestige goods.
Makanan cepat saji ala Barat – seperti makanan dari gerai McDonald’s, KFC, Burger
King, Pizza Hut, dan gerai-gerai lainnya – di Indonesia merupakan makanan yang sering kali
dianggap sebagai prestige goods. Prestige goods merupakan bagian dari utilitas simbolis
yang digunakan untuk memuaskan rasa bangga, prestise, dan identitas diri (Khalil, 2000).
Makanan cepat saji ala Barat merupakan bagian dari prestige goods karena harganya yang
dapat dikatakan cukup tinggi apabila dibandingkan dengan makanan dari gerai lokal dengan
jenis makanan yang sama dan hanya dapat diakses oleh beberapa kalangan masyarakat saja.
Akses yang terbatas untuk memperoleh makanan cepat saji ala Barat dapat menunjukkan
sebuah pola konsumsi masyarakat dan membentuk identitas makanan tersebut menjadi
sebuah prestige goods. Seseorang yang mengonsumsi prestige goods atau barang prestise –
dalam hal ini adalah makanan cepat saji ala Barat – mungkin telah mengeskpresikan self-
admiration dalam usahanya untuk menempatkan diri pada tatanan sosial tertentu (Khalil,
2000).
Konstruksi prestise makanan cepat saji ala Barat pada anak dapat dilihat dari
penempatan diri anak pada struktur sosial yang ada di dalam masyarakat. Penempatan diri
yang akan membingkai persepsi anak terhadap makana cepat saji ala Barat tidak terlepas dari
dimensi sosial yang melekat pada diri anak. Hal itu dapat dilihat dari hasil wawancara Aji,
Arbi, Vari dan teman-temannya yang pada saat peneliti wawancarai tengah berkumpul untuk
bermain bersama. Hasil wawancara menunjukkan bahwa, bahkan dalam lingkungan
pertemanannya sendiri mereka telah menempatkan diri mereka pada lapisan tertentu.
Penempatan itu merujuk pada salah satu anak yang merupakan salah satu warga dari RW 3
dan menganggap bahwa anak tersebut adalah bagian dari “tingkat atas”. Selain disebut
sebagai bagian dari “tingkat atas”, anak tersebut juga dilihat sebagai “anak orang kaya”.
Pendapat yang Aji, Arbi, Vari, dan teman-temannya – selain anak dari RW 3 – nyatakan
kembali mendefinisikan lapisan mana mereka dalam struktur sosial masyarakat.
II. Latar Belakang Anak
Banyak faktor yang melatar belakangi seseorang dalam masyarakat khususnya anak-
anak dan remaja yang mudah terdorong dari dorongan secara eksternal maupun internal untuk
mengonsumsi makanan cepat saji ala Barat. Dari berbagai faktor pendorong ada kalanya
mereka terdorong untuk mengonsumsi makanan cepat saji ala Barat lebih dari sekedar
konsumsi normal melainkan mulai merujuk pada konsumsi simbol, gengsi dan prestis. Latar
belakang yang akan dibedah dibawah ini adalah faktor pendidikan dan lingkungannya yang
mempengaruhi kepribadian informan bisa beranggapan seperti itu.
Dalam penelitian yang peneliti lakukan dengan mengangkat tema mengenai prestis
yang kami lakukan di Desa Nologaten yang letaknya di belakang mall Ambarukmo Plaza
yang secara tidak langsung menunjukkan setting sosial yang lokasi dan juga akses sangat
dekat dengan letak persebaran gerai makanan cepat saji ala Barat yang mudah dijangkau
secara transportasi, ekonomi, dan waktu. Namun dalam fakta yang hadir dalam data
menunjukkan banyak faktor lainnya yang mendorong konsumsi makanan cepat saji dan
konstruksi mengenai nilai prestis yang mengikuti sebagai konsumsi simbol (seperti di
pendahuluan).
Banyak faktor yang mengonstruksi anggapan dan pemikiran masyarakat untuk
meilihat makanan cepat saji sebagai prestis atau tidak, salah satunya adalah latar belakang
pendidikan yang merujuk pada pengetahuan makanan cepat saji ala Barat, uang saku salah
satu dari banyak faktor yang merupakan pembangun anggapan maupun pikiran masyarakat
untuk melihat konsumsi terhadap makanan cepat saji ala Barat itu masuk dalam kategori
prestis atau tidak yang bisa diidentikkan dengan keren, semakin percaya diri ketika telah
mengonsumsi makanan cepat saji ala Barat, maupun gengsi dan status sosial yang menonjol
atau dari tingkat kelas sosial yang mana.
Jumlah restoran makanan cepat saji ala Barat yang meningkat, membuat semakin
banyak remaja mengkonsumsi makanan cepat saji. Hal ini dikarenakan makan cepat saji
bersifat cepat, mudah, menarik untuk remaja serta faktor kenyamanan yang mendukung.1.2
Hal ini tentu sejalan dengan kondisi sosial masyarakat yang sekarang sudah dekat dengan
lokasi gerai makanan cepat saji ala Barat karena menjamurnya gerai makanan cepat saji ala
Barat.
Kondisi masyarakat Nologaten yang termasuk daerah sub-urban dimana daerah yang
sudah mulai menuju kota dan juga kecepatan perkembangannya dengan adanya mall
Ambarukmo Plaza. Konsumsi makanan cepat saji sudah menjadi bagian dari gaya hidup pada
masyarakat kota.3 Gaya hidup yang menunjukkan prestis dapat dilihat dari sisi ini yang bisa
menjadi salah satu faktor pengetahuan makanan cepat saji ala Barat. Dalam perihal ini fokus
padagaya hidup remaja pada masyarakatnya yng seringkali sering mengonsumsi makanan
cepat saji ala Barat.
Frekuensi makanan cepat saji yang tinggi justru biasanya justru pada hari-hari
sekolah. Tentu itu merujuk pada konsumsi makanan cepat saji di gerai makanan cepat saji
lebih ramai konsumen pada hari sekolah yang tentu saja juga karena banyaknya jumlah anak
sekolah yang memilih gerai makanan cepat saji ala Barat karena enak dan cepat. Ramaja
sekolah tentu tidak semua bisa mengakses secara mudah untuk mengakses hal itu karena
anggapan mereka sendiri dan juga uang saku mereka yang tidak hanya digunakan untuk uang
makan saja.
”Jadi yaa yang cepat disajiin, jadi tuh apa yo udah siap tinggal ngangetin gitu terus
dikasih”... (analisis)
“Iya menang praktis”... (analisis)
Bla bla bla ...
Dari jawaban informan tersebut dapat disimpulkan bahwa mereka tertarik karena
memang prktis yang dalam arti penyajiannya cepat tidak memakan waktu yang lama
sehingga mereka tidak perlu menunggu lama dan membuang waktu yang lama untuk
mendapatkan makanan, dan itu merupakan alasan yang membuat mereka memilih makanan
cepat saji sebagai alternatif pilihan makan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan makanan meliputi faktor internal, seperti
: rasa lapar, nafsu makan, pantangan, kesukaan, emosi, dan tipe kepribadian dan faktor
eksternal, seperti: budaya, agama, keputusan etis, ekonomi, norma sosial, pendidikan dan
informasi yang diperoleh.5 Pendidikan dan pergaulan sebagai faktor eksternal dan uang saku,
kesukaan akan rasa yang bisa diklasifikasikan dalam faktor internal merupakan penyebab
mereka memilih untuk mengkonsumsi makanan cepat saji ala Barat dan bukan karena rasa
gengsi, prestis, maupun status sosial yang mereka junjung .
“Kalo enak iya, kalo keren biasa aja”... (analisis)
“Berarti faktor yang mempengaruhi itu apa aja? Pingin? Kantong?”... (analisis)
“Iyaa”... (analisis)
“Iyo enak sate kuwi” (translasi dari basa jawa = iya enak sate begitu) wawancara
pada Jaka 15 April 2018. (analisis)
Dari banyak jawaban mereka sebagai informan sudah jelas menunjukkan bahwa latar
belakang yang mendorong mereka untuk memilih mengonsumsi makanan cepat saji ala Barat
karena konstruksi pikiran mereka. Konstruksi pikiran mereka menganggap bahwa mereka
memilih mengonsumsi makanan cepat saji ala Barat adalah bukan karena rasa dan nilai
prestis yang identik dengan keren, justru mereka menganggap bahwa ketika mereka bisa
mendapatkan akses untuk bisa mengkonsumsi makanan cepat saji ala Barat tidak ada rasa
prestis maupun gengsi yang mengekori mereka bahkan mereka merasa biasa saja. Tidak
hanya itu saja faktor uang saku juga mendapat peran sebagai faktor pengaruh seseorang untuk
mengonsumsi makanan cepat saji ala Barat. Tapi data dari informan menunjukkan bahwa
mereka mengonsumsi makanan cepat saji ala Barat karena harga yang ditawarkan oleh gerai
makanan cepat saji mahal bagi mereka dengan uang saku yang mereka miliki. Sehingga bisa
didapati bahwa mereka mengonsumsi makanan cepat saji karena ukuran kantong mereka
yang dirasa kurang ramah dengan harga yang ditawarkan oleh gerai makanan cepat saji ala
Barat yang beredar di lingkungan sekitar mereka.
Dari pemaparan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa latar belakang mereka
memilih makanan cepat saji sebagai alternatif konsumsi mereka, pertama adalah karena
konstruksi pikiran mereka yang dibentuk dan dibangun karena pendidikan mereka yang
merujuk pada pengetahuan mereka mengenai makanan cepat saji ala Barat. Kedua karena
uang saku mereka yang dikantong merasa tidak ramah dengan harga yang ditawarkan oleh
gerai makanan cepat saji ala Barat. Ketiga, mereka memilih karena cepatnya pelayanan yang
diberikan oleh gerai makanan cepat saji sehingga tidak membuang waktu mereka sebagai
remaja yang masih pelajar dan menempuh pendidikan formal.
Story Box 02
Sore itu (15 April 2018) saya melihat Dharma dalam kerumunan bersama temen-teman
sekampungnya yang berkumpul di tanah lapang. Kedekatan mereka di kerumunan yang sangat
dekat itu terbentuk karena kegiatan mereka tiap sore hari sehingga solidaritas mereka dibentuk
berdasarkan solidaritas mekanik. Dari sini dapat membentuk pandangan Dharma dalam melihat
makanan cepat saji ala barat, pandangan yang juga mirip dengan pandangan kelompoknya, dimana
Dharma memandang tidak sebagai simbol prestis maupun ajang untuk menunjukkan status sosial
ekonomi yang tinggi, bagi Dharma biasa saja bahkan dia memandang sate lebih enak dari
mengonsumsi makanan cepat saji ala Barat. Bahkan Dharma pun juga beranggapan kalau lebih
enak mengonsumsi makanan lokal seperti sate.
III. Ekonomi
Dalam penelitian kualitatif yang berjudul “Makan di McD yuk, Buk!” yang di
dalamnya kami ingin meneliti tentang studi prestise makanan cepat saji ala Barat menurut
pandangan anak, kami menemukan salah satu faktor yang mempengaruhi pola konsumsi anak
dalam mengkonsumsi makanan cepat saji ala Barat tersebut yaitu faktor ekonomi. Seperti
yang sudah dijelaskan pada latarbelakang proposal penelitian ini bahwa konsumen makanan
cepat saji ala Barat di Indonesia sebagian besar adalah orang dengan status ekonomi kelas
menengah keatas yang mendorong munculnya persepsi bahwa mengkonsumsi makanan cepat
saji ala Barat merupakan gaya hidup yang dianggap bisa mendongkrak status ekonomi dalam
pergaulan di masa ini.
Dalam penelitian mengenai studi prestise makanan cepat saji ala Barat juga
didasarkan pada fenomena makanan cepat saji ala Barat yang digunakan sebagai penanda
bahwa siapa saja yang mengkonsumsinya adalah bagian dari kelas sosial yang memiliki
pengetahuan tentang modernitas yang beriringan dengan menjamurnya rumah makan
makanan cepat saji ala Barat di berbagai daerah, termasuk di Desa Nologaten yang mana
menjadi tempat kami dalam melakukan penelitian ini.
Desa Nologaten sendiri terletak tepat di belakang Plaza Ambarukmo dimana terdapat
makanan cepat saji ala Barat yang beranekaragam. Selain itu juga terdapat banyak sekali
rumah makan makanan cepat saji yang bukan ala Barat di sekitar Desa Nologaten itu sendiri,
dan juga terdapat banyak sekali burjo/warmindo yang ada di Desa Nologaten. Hal tersebut
menjadi sesuatu hal yang menarik dalam penelitian kami terutama keterkaitannya dengan
faktor ekonomi yang mempengaruhi pola konsumsi yang menghasilkan prestise itu sendiri.
Pada saat turun ke lapangan pada tanggal 15 April 2018 lalu, dari masing – masing
anggota kelompok kami telah melakukan wawancara dengan masing – masing informan yang
merupakan warga Desa Nologaten yang masih duduk di bangku sekolah. Dari masing –
masing informan yang telah kami wawancara pun hampir semua mempunyai persepsi yang
sama mengenai makanan cepat saji ala Barat itu sendiri. Berikut adalah persepsi dari masing
– masing informan yang telah diwawancara mengenai bagaimana faktor ekonomi juga
mempengaruhi pola konsumsi makanan cepat saji ala Barat.
Informan yang pertama bernama Dharma dan Christie, yang merupakan seorang
siswa SD kelas 6 dan seorang siswi SMK kelas 11. Dari hasil wawancara yang telah
dilakukan waktu lalu, diperoleh informasi bahwa uang saku sekolahnya perhari sebesar
Rp10.000,00 – Rp20.000,00 dan juga mereka jarang mengkonsumsi makanan cepat saji ala
Barat karena menurut persepsi mereka, makanan cepat saji/ fastfood ala Barat seperti KFC,
McD harganya mahal dan kurang ekonomis. Selain itu juga mereka tertarik untuk membeli
makanan cepat saji ala Barat jika ada promo dari makanan cepat saji tersebut.
Informan selanjutnya bernama Adit, yang berusia 17 tahun namun putus sekolah, dan
sekarang berprofesi sebagai tukang parkir di Plaza Ambarukmo dengan penghasilan
perbulannya sebesar Rp900.000,00 Semasa ia sekolah sampai sekarang belum pernah
mengkonsumsi makanan cepat saji ala Barat seperti KFC, McD. Namun pernah
mengkonsumsi makanan cepat saji yang memang banyak terdapat di Desa Nologaten seperti
Popeye, Olive yang harganya relatif murah dibandingkan dengan KFC dan McD.
Informan selanjutnya bernama Arbi, yang merupakan seorang siswa SMK. Dari hasil
wawancara yang telah dilakukan, diperoleh informasi bahwa uang sekolahnya perhari sebesar
Rp10.000,00 belum termasuk uang bensin. Ia juga tidak mempunyai pekerjaan
sampingan/paruh waktu/parttime dengan alasan karena ingin focus ke sekolah saja. Ia juga
berpendapat bahwa makanan cepat saji ala Barat seperti KFC, McD, Burger King harganya
mahal. Oleh karena itu, karena keterbatasan uang saku yang diberikan, membuat ia jarang
makan di gerai makanan cepat saji ala Barat. Ia berkata bahwa jika ingin makan di KFC/McD
harus menyisihkan uang sakunya terlebih dulu, jadi ia lebih memilih untuk makan makanan
cepat saji seperti Popeye yang harganya lebih murah dibandingkan dengan KFC/McD.
Informan selanjutnya bernama Vari, yang merupakan siswa SMK kelas 12. Dari hasil
wawancara dengan informan tersebut diperoleh informasi bahwa uang sakunya perhari
sebesar Rp10.000,00 Ia berpendapat bahwa makanan cepat saji ala Barat harganya mahal.
Informan yang terakhir bernama Aji, yang merupakan seorang siswa SMP kelas 9.
Dari hasil wawancara dengan informan tersebut diperoleh informasi bahwa Sang Ayah
berprofesi sebagai Go-jek dan buruh harian lepas, sedangkan Sang Ibu berprofesi sebagai ibu
rumah tangga. Uang saku sekolahnya perhari sebesar Rp. 10.000 (jika les) dan sebesar Rp.
5.000 (jika tidak les). Ia jarang sekali makan di KFC/McD, ia lebih sering makan di burjo
bersama teman – temannya. Sedangkan waktu makan bersama orangtuanya, ia lebih memilih
makan di warung – warung pinggir jalan seperti Pecel Lele. Ia juga berpendapat bahwa
makanan cepat saji ala Barat harganya mahal.
Dari beberapa hasil wawancara dengan masing – masing informan diatas dapat ditarik
kesimpulan bahwa faktor ekonomi juga mempengaruhi pola konsumsi anak terhadap
makanan cepat saji ala Barat. Hal tersebut dapat ditunjukkan dengan adanya salah satu
informan yang menyebutkan bahwa jika ingin makan makanan cepat saji ala Barat seperti
KFC/Mcd ia harus rela menyisihkan uang sakunya terlebih dahulu. Pekerjaan orangtua juga
menjadi faktor sering/tidaknya anak mengkonsumsi makanan cepat saji ala Barat yang
harganya relatif mahal tersebut. Dari hasil wawancara diatas juga diperoleh informasi bahwa
masing – masing informan lebih sering ke gerai Popeye/Olive dibandingkan ke gerai
KFC/McD dengan alasan harganya lebih murah dan terjangkau.
IV. Peer Group Anak
Konsumsi makanan cepat saji ala Barat tidak menjadi bagian dari gaya hidup atau
kebiasaan informan yang menjadi subjek penelitian kami. Informan yang kami teliti,
memiliki kebiasaan makan bersama peer groupnya di gerai makanan cepat saji ala Barat
namun yang sudah dilokalisasi seperti Popeye dan Rocket Chicken. Selain itu, beberapa
infoman yang kami teliti, memiliki kebiasaan makan bersama peer groupnya di Warmindo
atau burjonan. Keputusan pemilihan makanan cepat saji cukup didorong oleh kebiasaan yang
dilakukan peer groupnya, sehingga penelitian kami bertentangan dengan hasil penelitian yang
dilakukan Imtihani, 2012 yang membuktikan bahwa pemilihan makanan cepat saji pada
remaja tidak dipengaruhi oleh peer groupnya.
Informan yang menjadi subjek penelitian kami memiliki peer group yang tergolong
dalam usia remaja. Remaja merupakan golongan yang paling mudah terkena pengaruh
budaya dari luar karena mereka sedang mengalami masa pencarian identitas diri akibat
periode transisi yang dilalui. Pengaruh yang terjadi bukan hanya tampak pada penampilan
fisik, tetapi juga pada perubahan pola konsumsi makan. Robert dan Williams (2000),
mengatakan kebiasaan makan dan pilihan makanan di kalangan remaja ternyata lebih
komlpeks dan dipengaruhi banyak faktor seperti fisik, sosial, lingkungan budaya, pengaruh
lingkungan sekitar (teman, keluarga dan media) seeerta faktor psikososial. Kehadiran
makanan cepat saji ala Barat dalam industri makanan di Indonesia juga bisa mempengaruhi
pola makan kaum remaja di kota. Khususnya bagi remaja tingkat menengah keatas, restoran
makanan cepat saji merupakan tempat yang tepat untuk bersantai. Makanan yang ditawarkan
pada restoran cepat saji ala Barat mempunyai harga yang bervariasi, pelayanannya cepat dan
jenis makanannya memenuhi selera.
Secara garis besar, aktivitas yang dilakukan oleh peer group seperti tingginya
frekuensi makan dan nongkrong di Popeye dan Warmindo mengakibatkan persepsi anak di
Padukuhan Nologaten Caturtunggal Depok Sleman terhadap prestise mengkonsumsi
makanan cepat saji ala Barat menjadi biasa saja dan tidak memberikan kebanggan tersendiri.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Susanti (2008) yang
menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kebiasaan atau aktivitas yang
dilakukan dengan kebiasaan konsumsi makanan cepat saji.
Lingkungan sosial memberikan gambaran yang jelas tentang perbedaan-perbedaan
kebiasaan makan. Lingkungan di Nologaten yang tergolong sub-urban menggambarkan
bahwa peer group yang menjadi informan kami sudah mengetahui dan pernah mengkonsumsi
makanan cepat saji ala Barat namun tidak menjadikannya suatu hal yang istimewa. Nilai-nilai
masyarakat rural masih dapat terlihat jelas pada informan kami yang mana lebih menyukai
tempat makan yang sederhana namun tetap dapat menjalin suasana keakraban bersama
teman-teman.
Informan kami yang bernama Arbi Setia Budi menegaskan bahwa peer groupnya
lebih senang dan nyaman apabila makan bersama di Warmindo atau burjonan dan di Popeye.
Hal ini diungkapkan oleh Arbi karena apabila makan di gerai makanan cepat saji ala Barat
seperti McD, KFC, dan Pizza Hut harus mengeluarkan banyak uang. Frekuensi nongkrong
bersama peer group di Warmindo atau burjonan dan di Popeye lebih tinggi dibandingkan
nongkrong di gerai makanan cepat saji ala Barat. Arbi juga menambahkan bahwa orang yang
makan di McD, KFC, dan Pizza Hut biasanya memiliki sedikit teman, berbeda dengan orang
yang makan di Warmindo atau burjonan dan di Popeye. Berdasarkan keterangan yang
diutarakan oleh informan kami, maka dapat diartikan bahwa peer group yang lebih senang
makan di Warmindo atau burjonan dan di Popeye memiliki rasa solidaritas yang lebih tinggi
daripada peer group yang senang makan di gerai makanan cepat saji ala Barat. Selain
nongkrong bersama peer group di Warmindo atau burjonan dan di Popeye, Arbi dan peer
groupnya memiliki aktivitas lain yaitu bermain sepak bola di lapangan pinggir sawah.
Informan kami yang bernama Aji pun juga menuturkan hal yang serupa dengan
informan kami yang pertama. Aji bersama peer groupnya sangat jarang makan di gerai
makanan cepat saji ala Barat. Aji dan peer groupnya lebih sering makan di burjonan karena
memang harganya yang terjangkau dan lokasinya banyak tersebar di wilayah Nologaten. Aji
menambahkan bahwa ia makan makanan cepat saji, namun bukan yang ala Barat, contohnya
ia makan di Popeye yang terletak di RT 07 RW 02 Nologaten Caturtunggal Depok Sleman.
Popeye menjadi alternatif jika ia dan peer groupnya ingin makan makanan cepat saji dengan
harga yang cukup terjangkau.
Informan kami yang bernama Dharma dan Christie menjelasan bahwa aktivitas yang
sering dilakukan bersama peer groupnya adalah nongkrong. Hampir sama dengan informan
kami yang pertama dan kedua, Dharma dan Christie mengemukakan bahwa mereka jarang
nongkrong di gerai makanan cepat saji ala Barat seperti McD, KFC, dan Pizza Hut. Mereka
lebih sering nongkrong di kafe sekadar untuk mencari wifi dan mencari tempat yang nyaman.
Untuk tempat makan, Dharma dan Christie lebih suka makan di PREKSU (Geprek dan Susu)
dan di Warung Mas Kobis, karena kalau makan di PREKSU bisa mengambil nasi sepuasnya.
Informan kami yang keempat, bernama Adit sedikit berbeda dengan beberapa
informan kami sebelumnya karena ia tidak punya peer group. Adit bekerja sebagai tukang
parkir yang berlokasi di belakang Amplaz. Sehingga ia menghabisan waktu setiap harinya
dengan orang yang relatif berusia lebih tua darinya. Sehingga Adit pun tidak pernah
nongkrong di gerai makanan cepat saji ala Barat seperti McD, KFC, dan Pizza Hut bersama
peer group.
Informan kami yang terakhir bernama Vari Dwi Marwanto. Vari menjelasakan bahwa
ia dan peer groupnya kalau makan paling sering sering di burjonan, dan beberapa tempat
makan lain seperti Rocket Chicken, nasi uduk, pecel lele, ayam geprek, Olive, dan Popeye,
sehingga jarang makan di di gerai makanan cepat saji ala Barat seperti McD, KFC, dan Pizza
Hut. Aktivitas lain yang dilakukan Vari bersama peer groupnya adalah bermain di Amplaz
dan Lippo, namun hanya sekadat jalan-jalan saja dan tidak membeli apa-apa. Vari juga
menambahkan bahwa ia dan peer groupnya lebih sering bermain dengan anak-anak yang ada
di RW 1 dan RW 2, dan jarang bermain dengan RW 3 karena mayoritas tinggal di perumahan
sehingga minim interaksi.
Berdasarkan uraian di atas, keberadaan burjonan di Padukuhan Nologaten memang
sangat banyak dan tersebar di empat RW yang berbeda. Kami mengamati ada sembilan
burjonan dan beberapa bentuk lokalisasi makanan cepat saji ala Barat yang menjadi tempat
untuk nongkrong peer group informan kami. Berikut adalah dokumentasi tentang keberadaan
burjonan di Padukuhan Nologaten dan beberapa bentuk lokalisasi makanan cepat saji ala
Barat.
1
2
5
6
7
8
3
4
Keterangan :
Gambar 1 : Warmindo Mawar Bodas 1
Gambar 2 : Warmindo SKM
Gambar 3 : Warmindo Kamalayan
Gambar 4 : Warmindo Moro Kaboga
Gambar 5 : Warmindo Kayungyun
Gambar 6 : Warmindo Mang Uuk
Gambar 7 : Warmindo Poernomo Putra
Gambar 8 : Warmindo Maharasa Group
Gambar 9 : Popeye
Gambar 10 : D Ayam Crispy
Berdasarkan persebaran Warmindo di Padukuhan Nologaten, informan kami bersama
peer groupnya memiliki kebiasaan berpindah-pindah Warmindo karena memang jumlahnya
yang banyak, sehingga tidak tepusat pada salah satu Warmindo saja. Informan kami
mengungkapkan bahwa Warmindo merupakan tempat makan yang nyaman untuk nongkrong
bersama peer groupnya dan harganya terjangkau, sehingga bisa kapan pun makan dan
nongkrong di Warmindo bersama peer groupnya.
V. Persepsi Anak
Persepsi dalam arti umum adalah pandangan seseorang terhadap sesuatu yang akan
membuat respon bagaimana dan dengan apa seseorang akan bertindak. Persepsi seseorang
terhadap makanan yaitu pikiran apa yang mendasari seseorang untuk nantinya digunakan
dalam memilih dan menggunakan atau mengkonsumsi jenis makanan apa yang diinginkan
oleh konsumen itu sendiri. Persepsi seseorang merupakan proses aktif yang memegang
peranan, bukan hanya stimulus yang mengenainya tetapi juga individu sebagai satu kesatuan
9
10
dengan pengalaman -pengalamannya,motivasi serta sikapnya yang relevan dalam
menanggapi stimulus (Walgito, 2002).
Persepsi dalam konsumsi makanan cepat saji ala Barat pada anak di Padukuhan
Nologaten Caturtunggal Depok Sleman adalah Aktivitas atau kegiatan yang dilakukan oleh
beberapa mempengaruhi kebiasaan anak dalam pola konsumsi makanan cepat saji ala Barat
sehingga mempengaruhi pandangan anak terkait prestige dalam mengkonsumsi makanan
cepat saji ala Barat. Berdasarkan lima informan yang menjadi subjek penelitian kami, pola
aktivitas yang ada pada masyarakat padukuhan nologaten memberikan konstruksi bahwa
menganggap adalah hal yang biasa saja dan mengkonsumsi makanan cepat saji ala Barat
tidak memberikan kebanggan tersendiri. Dan menambah kepercayaan diri.
Informan yang menjadi subjek penelitian kami memiliki persepsi yang berbeda beda
tapi sebenarnya satu arti dari keseluruhan persepsinya dalam usia remaja. Remaja merupakan
golongan yang paling mudah terkena pengaruh budaya dari luar karena mereka sedang
mengalami masa pencarian identitas diri akibat periode transisi yang dilalui. Pengaruh yang
terjadi bukan hanya tampak pada penampilan fisik, tetapi juga pada perubahan pola konsumsi
makan (Robert dan Williams, 2000).
mengatakan kebiasaan makan dan pilihan makanan di kalangan remaja ternyata lebih
komlpeks dan dipengaruhi banyak faktor seperti fisik, sosial, lingkungan budaya, pengaruh
lingkungan sekitar (teman, keluarga dan media) seeerta faktor psikososial. Kehadiran
makanan cepat saji ala Barat dalam industri makanan di Indonesia juga bisa mempengaruhi
pola makan kaum remaja di kota. Khususnya bagi remaja tingkat menengah keatas, restoran
makanan cepat saji merupakan tempat yang tepat untuk bersantai. Makanan yang ditawarkan
pada restoran cepat saji ala Barat mempunyai harga yang bervariasi, pelayanannya cepat dan
jenis makanannya memenuhi selera.
Secara garis besar, frekuensi makan dan nongkrong di Popeye dan Warmindo
mengakibatkan persepsi anak di Padukuhan Nologaten Caturtunggal Depok Sleman terhadap
prestige mengkonsumsi makanan cepat saji ala Barat menjadi biasa saja dan tidak
memberikan kebanggan tersendiri. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Susanti (2008) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna
antara kebiasaan atau aktivitas yang dilakukan dengan kebiasaan konsumsi makanan cepat
saji.
Lingkungan sosial memberikan gambaran yang jelas tentang perbedaan-perbedaan
kebiasaan makan. Lingkungan di Nologaten yang tergolong sub-urban menggambarkan
bahwa persepsi yang menjadi informan kami sudah mengetahui dan pernah mengkonsumsi
makanan cepat saji ala Barat namun tidak menjadikannya suatu hal yang istimewa. Nilai-nilai
masyarakat rural masih dapat terlihat jelas pada informan kami yang mana lebih menyukai
tempat makan yang sederhana namun tetap dapat menjalin suasana keakraban bersama
teman-teman.
Persepsi informan pertama kami yang bernama Arbi Setia Budi menegaskan bahwa
makan di KFC, McD itu boros dan merugikan dan tidak sehat ,tidak bermanfaat dan sama
saja yang penting ayam, yang makan di McD/ KFC biasanya temannya sedikit serta
harganya mahal . lebih senang dan nyaman apabila makan bersama di Warmindo atau
burjonan dan di Popeye. Hal ini diungkapkan oleh Arbi karena apabila makan di gerai
makanan cepat saji ala Barat seperti McD, KFC, dan Pizza Hut harus mengeluarkan banyak
uang.
Persepsi Informan kami yang kedua bernama Aji pun juga mengutarakan hal yang
serupa dengan informan kami yang pertama.menurut Aji makanan cepat saji ala Barat tidak
sehat bikin kolesterol, Aji juga menambahkan harganya mahal dan lebih enak dan murah
makan di burjo dan warung “ pinggir jalan. Lebih enak makan rumah. Di rumah makan cepat
saji ala Barat itu tidak steril tetapi memiliki nilai praktis yang lebih daripada rumah makan
non-cepat saji.
Persepsi Informan kami yang ketiga bernama Dharma dan Christie menjelasan bahwa
persepsi tentang makanan cepat saji ala Barat seperti cepat di sajikan, enak, praktis,
tempatnya bagus, dan nyaman. Makanan cepat saji ala Barat seperti KFC dan McDonald’s
cuman unggul nama saja.
Persepsi Informan kami yang keempat, bernama Adit sedikit berbeda dengan
beberapa informan kami sebelumnya karena dia mempunyai pandangan yang biasa-biasa
saja prihal makanan cepat saji ala Barat ini sudut pandang adit hanya sama saja, kelihatannya
bagus di KFC atau McD adit juga menambahkan bahwa makanan cepat saji ala Barat itu
biasa aja tidak menambah percaya diri. Adit bekerja sebagai tukang parkir yang berlokasi di
belakang Amplaz. Sehingga ia menghabisan waktu setiap harinya dengan orang yang relatif
berusia lebih tua darinya. Sehingga Adit pun tidak pernah nongkrong di gerai makanan cepat
saji ala Barat seperti McD dan KFC.
Persepsi Informan kami yang terakhir bernama Vari Dwi Marwanto. Vari
menjelasakan bahwa KFC enak tetapi tinggi kalorinyaa nggak bagus buat kesehatan. Serta
makanan cepat saji ala Barat itu mahal. Dan makanan rumahan lebih enak. Vari Dwi
Mewanti juga menambahkan bahwa makanan cepat saji ala Barat merupakan makanan untuk
orang-orang tingkat tinggi. kalau makan paling sering sering di burjonan, dan beberapa
tempat makan lain seperti Rocket Chicken, nasi uduk, pecel lele, ayam geprek, Olive, dan
Popeye, sehingga jarang makan di di gerai makanan cepat saji ala Barat seperti McD, KFC,
dan Pizza Hut.
BAB IV
KESIMPULAN
Makanan cepat saji yang berasal dari gerai-gerai KFC, McDonald’s, Burger King, dan
Pizza Hut tidak dapat diakses dengan mudah oleh setiap kalangan masyarakat. Salah satu hal
yang menyebabkan makanan cepat saji ala Barat tersebut tidak dapat diakses dengan mudah
adalah karena harganya yang cukup tinggi apabila dibandingkan dengan gerai lokal dengan
jenis makanan yang sama. Keterbatasan akses bagi beberapa kalangan itu lah yang kemudian
menjadi alasan mengapa makanan cepat saji ala Barat menjadi bagian dari prestige goods.
Prestige goods dilihat sebagai benda pemuas rasa bangga, prestise, dan status sosial yang
dalam penelitian ini merupakan makanan cepat saji ala Barat.
Dalam penelitian ini, peneliti tidak menemukan aktor yang menggunakan prestige
goods – makanan cepat saji ala Barat – sebagai alat pemuas rasa bangga, prestise, dan status
sosial itu. Namun, peneliti menemukan subjek penelitian yang memiliki peran sebagai bagian
dari masyarakat yang persepsinya turut membentuk makanan cepat saji ala Barat sebagai
bagian dari prestige goods. Persepsi mereka yang turut membantu pengonstruksian makanan
cepat saji ala Barat tersebut tidak terlepas dari berbagai dimensi sosial yang inheren dalam
diri mereka. Dimensi sosial tersebut adalah latar belakang anak yang di dalamnya terdapat
dimensi ekonomi dan peer group.
Latar belakang anak yang memiliki dimensi sosial ekonomi dan peer group di
dalamnya sangat menentukan persepsi anak mengenai makanan cepat saji. Ketika anak
memiliki latar belakang ekonomi yang berada di atas atau di bawah rata-rata, tentu
persepsinya mengenai harga makanan cepat saji ala Barat akan berbeda dan sangat
menentukan tingkat aksesibilitas mereka terhadap makanan cepat saji ala Barat tersebut. Oleh
karena itu, definisi kata “mahal” akan berbeda di mata mereka. Persepsi anak juga sangat
dipengaruhi persepsi dari peer group anak itu miliki. Ketika peer group anak memiliki
persepsi tertentu, anak akan cenderung akan mengikuti kemana arah mayoritas persepsi
dalam peer group itu bergerak.
Daftar Pustaka
Alimuddin, R. 1999. Mencermati Bisnis Makanan Non-Tradisional. Jurnal Bisnis dan
Ekonomi STIE Stikubang, http://id.portalgaruda.org/ diakses tanggal 7 Maret 2018
Arief, Syam Djunaedi. 2011. Konsumsi Fast Food Remaja di Restoran Fast Food, Makassar
Town Square, Jurnal Media Gizi Masyarakat Indonesia, http://id.portalgaruda.org/
diakses tanggal 7 Maret 2018
Azanza, MPV. Food Consumption and Buying Patterns of Students from a Philippine
University Fastfood Mall. International Journal of Food Sciences and Nutrition
2001;52: 20-515
Babbie, E. 2014. The Basic of Social Research. 6th Edition. Wadsworth: Cengage Learning,
pp. 406-408.
Barasi, M.E. 2007. At A Glance: Ilmu Gizi. Erlangga, Jakarta.
Berger, J., Rosenholtz, S. J. and Zelditch Jr, M. (1980) ‘Status organizing processes’, Annual
review of sociology. Annual Reviews 4139 El Camino Way, PO Box 10139, Palo
Alto, CA 94303-0139, USA, 6(1), pp. 479–508.
Bowman SA, Vinyard BT. Fast Food Consumption of U.S. Adults: Impact on Energy and
Nutrient Intakes and Overweight Status. Journal of the American College of Nutrition
2004;23: 8-163
Eri Susanti, 2008, Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan Kebiasaan Konsumsi
Makanan Cepat Saji (Fast Food) Siswa SMA N 2 Jember, Jember: FKM Universitas
Jember, repository.unej.ac.id diakses tanggal 4 Mei 2018
Fadhillawati, E. 2011. Subjektivitas dan Identitas Kebudayaan Indonesia : FastFood sebagai
Identitas Baru di Kalangan Kaum Muda. Jurnal Fakultas Ilmu Sosial. Universitas
Negeri Jakarta,
http://www.academia.edu/5490651/Subjektivitas_Dan_Identitas_Kebudayaan_Indone
sia_Fastfood_Sebagai_Identitas_Baru_Di_Kalangan_Kaum_Muda, diakses tanggal 7
Maret 2018
Just, D. R., Sığırcı, Ö. and Wansink, B. (2014) ‘Lower buffet prices lead to less taste
satisfaction’, Journal of sensory studies. Wiley Online Library, 29(5), pp. 362–370.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Pedoman Pencegahan dan
Penanggulangan Kegemukan dan Obesitas pada Anak Sekolah. Jakarta. Kementrian
Kesehatan RI.
Khalil, E. L. (2000a) ‘Symbolic products: prestige, pride and identity goods’, Theory and
Decision, 49(1), pp. 53–77. doi: 10.1023/a:1005223607947.
Palma, M., Ness, M. and Anderson, D. (2015) ‘Prestige as a Determining Factor of Food
Purchases’, in 2015 Annual Meeting, January 31-February 3, 2015, Atlanta, Georgia.
Southern Agricultural Economics Association.
Plassmann, H. et al. (2008) ‘Marketing actions can modulate neural representations of
experienced pleasantness’, Proceedings of the National Academy of Sciences, 105(3),
p. 1050 LP-1054. Available at: http://www.pnas.org/content/105/3/1050.abstract.
Ridgeway, C. (1991) ‘The Social Construction of Status Value: Gender and Other Nominal
Characteristics*’, Social Forces, 70(2), pp. 367–386. Available at:
http://dx.doi.org/10.1093/sf/70.2.367.
Robert, B.S.W., Williams, S.R. 2000, Nutrition Throughout The Life Cycle. 4th Edition. The
McGraw-Hill Book Companies, Inc. Singapore,
http://www.mhee.com/hper/nutrition/worthington diakses tanggal 4 Mei 2018
Schmidt M, et al. Fast-Food Intake and Diet Quality in Black and White Girls. Arch Pediats
Adolesc Med. 2005 Juli, 159: 31-626
Tarigan, EF. Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara Tentang Konsumsi Makanan Cepat Saji (Fast Food). Medan: FKM
USU; 2012.
Yogyes (2014) KFC Jl. Jendral Sudirman, Kota Yogyakarta. [Gambar daring] Tersedia dari:
https://www.yogyes.com/id/places/jogja/kfc-sudirman/ [Diakses 26/05/18]
Lampiran
I. Daftar Informan
Adit diwawancarai oleh Yogo Condro Wibowo pada tanggal 15 April 2018
Aji diwawancarai oleh Alfian Muntahanatul Ulya pada tanggal 15 April 2018
Arbi Setia Budi (Arbi) diwawancarai oleh M. Nafis Hidayat pada tanggal 15
April 2018
Christie diwawancarai oleh Mochamad Rizqi Zakaria pada tanggal 15 April
2018
Dharma diwawancarai oleh Mochamad Rizqi Zakaria pada tanggal 15 April
2018
Vari Dwi Marwanto (Vari) dan tujuh orang temannya diwawancarai oleh
Novia Reviana Nuryadin pada tanggal 15 April 2018
II. Data Networking Kelompok 11
III. Data Networking Individu
a. Yogo Condro Wibowo (17/409937/SP/27728)
b. Mochamad Rizqi Zakaria (17/409928/SP/27773)
c. M. Nafis Hidayat (17/409929/SP/27774)
d. Alfian Muntahanatul Ulya (17/413240/SP/27957)
e. Novia Reviana Nuryadin (17/413260/SP/27977)
IV. Daftar Data Kompilasi Tugas Individu
No. Nama Verbatim
Transcript Indexing Coding
Data
Networking
Reflection
Diary
1. Yogo Condro W. ✓ ✓ ✓ ✓ ✓
2. Muhamad Rizqi
Z. ✓ ✓ ✓ ✓ ✓
3. M. Nafis Hidayat ✓ ✓ ✓ ✓ ✓
4. Alfian M. U. ✓ ✓ ✓ ✓ ✓
5. Novia Reviana N. ✓ ✓ ✓ ✓ ✓
V. Daftar Nama Penulis BAB II
Prestise oleh Novia Reviana Nuryadin (17/413260/SP/27977)
Latar Belakang Anak oleh Mochamad Rizqi Zakaria (17/409928/SP/27773)
Ekonomi oleh Alfian Muntahanatul Ulya (17/413240/SP/27957)
Peer Group oleh M. Nafis Hidayat (17/409929/SP/27774)
Persepsi Anak oleh Yogo Condro Wibowo (17/409937/SP/27728)