Pressus Word
-
Upload
sanni-rizky-putri -
Category
Documents
-
view
232 -
download
10
description
Transcript of Pressus Word
BAB I
PENDAHULUAN
Tinea korporis adalah infeksi dermatofita superfisial yang ditandai oleh baik lesi
inflamasi maupun non inflamasi pada glabrous skin (kulit yang tidak berambut) seperti
muka, leher, badan, lengan, tungkai dan gluteal. Manifestasinya akibat infiltrasi dan
proliferasinya pada stratum korneum dan tidak berkembang pada jaringan yang hidup.
Metabolisme dari jamur dipercaya menyebabkan efek toksik dan respon alergi. Tinea
korporis umumnya tersebar pada seluruh masyarakat tapi lebih banyak di daerah tropis5.
Dermatofita adalah jamur yang menyebabkan dermatofitosis. Golongan jamur ini
memiliki sifat mencerna keratin. Dermatofita termasuk kelas fungi imperfecti, yang
terbagi dalam 3 genus, yaitu Trichophyton, Microsporum, dan Epidermophyton. Ketiga
genus ini memiliki sifat keratolitik. Spesies dermatofitosis yang paling banyak diisolasi
adalah T. rubrum 2.
Prevalensi infeksi jamur superfisial di seluruh dunia diperkirakan menyerang 20-
25% populasi dunia dan merupakan salah satu bentuk infeksi kulit tersering. Penyakit ini
tersebar di seluruh dunia yang dapat menyerang semua ras dan kelompok umur sehingga
infeksi jamur superfisial ini relatif sering terkena pada negara tropis (iklim panas dan
kelembaban yang tinggi).9
Penyebab tinea korporis berbeda-beda di setiap negara, seperti di Amerika Serikat
penyebab terseringnya adalah Trycophyton rubrum, Trycophyton mentagrophytes,
Microsporum canis dan Trycophyton tonsurans. Di Afrika penyebab tersering tinea
korporis adalah Trycophyton rubrum dan Trycophyton mentagrophytes, sedangkan di
Eropa penyebab terseringnya adalah Trycophyton rubrum, sementara di Asia penyebab
terseringnya adalah Trycophyton rubrum, Trycophyton mentagrophytes dan Trycophyton
violaceum.9
Dermatomikosis atau mikosis superfisialis cukup banyak diderita penduduk
negara tropis. Di Indonesia angka yang tepat, berapa sesungguhnya insidens
dermatomikosis belum ada. Di Denpasar, golongan penyakit ini menempati urutan kedua
setelah dermatitis. Angka insiden tersebut diperkirakan kurang lebih sama dengan di
kota-kota besar Indonesia lainnya. Di daerah pedalaman angka ini mungkin akan
1
meningkat dengan variasi penyakit yang berbeda. Dilaporkan penyebab dermatofitosis
yang dapat dibiakkan di Jakarta adalah T. rubrum 57.6%, E. floccosum 17.5%, M.canis
9.2%, T. mentagrophytes var. granulare 9.0% dan T. concentricum 0.5%.9
Penyakit ini menyerang pria maupun wanita dan terjadi pada semua umur
terutama dewasa. Tinea korporis dapat terjadi pada semua usia bisa didapatkan pada
pekerja yang berhubungan dengan hewan-hewan. Maserasi dan oklusi kulit lipatan
menyebabkan peningkatan suhu dan kelembaban kulit yang memudahkan infeksi.
Penularan juga dapat terjadi melalui kontak langsung dengan individu yang terinfeksi
atau tidak langsung melalui benda yang mengandung jamur, misalnya handuk, lantai
kamar mandi, tempat tidur hotel dan lain-lain. Ada beberapa macam variasi klinis dengan
lesi yang bervariasi dalam ukuran derajat inflamasi dan kedalamannya. Variasi ini akibat
perbedaan imunitas hospes dan spesies dari jamur5.
Tinea korporis lebih sering ditemukan sebagai asimptomatik atau gatal ringan.
Secara obyektif tipikal lesinya mulai sebagai makula eritematosa atau papul yang
menjalar dan berkembang menjadi anular, dan lesi berbatas tegas, skuama atau vesikel,
tepi yang berkembang dan healing center. Tinea korporis lebih sering pada permukaan
tubuh yang terbuka antara lain wajah, lengan dan bahu8.
Untuk tinea korporis yang bersifat lokal, prognosisnya akan baik dengan tingkat
kesembuhan 70-100% setelah pengobatan dengan azol topikal atau allilamin atau dengan
menggunakan anti jamur sistemik4.
Tujuan penulisan makalah ini sebagai pembelajaran dalam mendiagnosa serta
menentukan penatalaksanaan yang tepat dalam kasus infeksi jamur dermatofita
khususnya tinea korporis.
2
I. Identitas Pasien
Nama : Ny. RA
No. RM : 287802
Umur : 28 tahun
Alamat : Palembang
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tanggal pemeriksaan : 7 November 2014
II. Anamnesis
Keluhan Utama: bercak kemerahan disertai gatal pada tungkai bawah kanan sejak 2
pekan sebelum dating ke rumah sakit
Riwayat Perjalanan Penyakit: Pasien datang ke RS. AK. Gani dengan keluhan bercak
kemerahan disertai gatal pada tungkai bawah kanan sejak 2 minggu SMRS (sebelum
masuk rumah sakit). Awalnya pasien hanya mengeluhkan gatal, tetapi tidak ada
kelainan didaerah gatal tersebut. Beberapa hari kemudian, pasien mengeluhkan
adanya bercak merah pada daerah gatal tersebut. Gatal tersebut dirasakan semakin
gatal ketika berkeringat dan saat cuaca panas sehingga pasien sering menggaruk
daerah tersebut karena dirasakan sangat menggangu. 1 minggu SMRS, pasien
mengaku daerah yang gatal menjadi kering tetapi bagian pinggirnya tetap kemerahan
dan terasa gatal. Pasien merasa daerah yang gatal semakin lama semakin meluas.
Untuk mengurangi rasa gatal, pasien memberikan bedak Herocine pada daerah yang
gatal. Pasien mengaku tidak pernah mengolesi salep atau krim lainnya sebelum atau
sesudah muncul keluhan pada daerah yang kemerahan dan gatal tersebut. Kegiatan
pasien dirumah sering mencuci sehingga menyebabkan bagian tungkai sering terkena
air dan basah.
Riwayat Higienitas: Pasien tidak bertukar pakaian dengan anggota keluarga lain
maupun dengan orang lain. Pasien mengaku sering menggunakan celana berbahan
karet dan ketat. Pasien mandi 2 kali dalam sehari dan selalu mengganti pakaiannya.
Riwayat Pengobatan: Pasien belum pernah mengobati keluhan tersebut.
3
Riwayat Penyakit Dahulu: Pasien tidak pernah mengalami keluhan seperti ini
sebelumnya. Pasien memiliki riwayat alergi di kulit sudah sejak 13 tahun yang lalu
(dimulai saat pasien kelas 3 SMP)
Riwayat Penyakit Keluarga: Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan
penyakit kulit lainnya ataupun gatal seperti yang dialami pasien. Orangtua laki-laki
pasien ada yang mempunyai riwayat penyakit alergi seperti bersin pada pagi hari.
III.Pemeriksaan Fisik
a. Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital : Dalam batas normal
Status Gizi : Baik
Kepala : Normocephali
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Leher : KGB tidak membesar
Thoraks : Suara nafas vesikuler, ronchi tidak (-), wheezing (-),
Bunyi jantung I-II regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Datar, supel, nyeri tekan (-)
Genitalia : Tidak diperiksa
Ekstremitas : Lihat status dermatologikus
Kuku : Normal, sianosis (-)
b. Status Dermatologikus
4
Gambar 1. Regio Cruris Medial Dextra. Efloresensi : plak eritematosa dengan tepi
polisiklik, sirkumskrip (berbatas tegas) disertai skuama ditengahnya dengan daerah tepi
lebih kemerahan berupa papul eritema dibandingkan daerah tengah, dengan bentuk
sirsinar (bulat/lingkaran), berukuran numular (sebesar uang logam)
IV. Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan KOH 10% diambil dari kerokan bagian tepi kelainan yang terlihat
lebih aktif sampai dengan sedikit di luar kelainan: positif memperlihatkan elemen
jamur berupa hifa panjang dan artrospora (hifa yang bercabang)
- Kultur dengan Agar Dekstrose Saboraud: menilai pertumbuhan jamur dan melihat
spesies jamur
- Pemeriksaan fluoresensi sinar Wood : hasil fluoresensi hijau atau biru kehijauan
5
V. Diagnosis
a. Diagnosis Banding
- Dermatitis Numularis
- Dermatitis Kontak
- Morbus Hansen
b. Diagnosis Kerja
Tinea Korporis
VI. Tatalaksana
Umum
- Edukasi kepada pasien tentang penyakit yang dikeluhkannya ini merupakan
penyakit yang disebabkan karena jamur dan menyerang saat kondisi kulit pasien
lembab sehingga pasien harus selalu memastikan kondisi kulit selalu kering dan
bersih
- Bersihkan kulit setiap hari menggunakan sabun dan air untuk menghilangkan sisa-
sisa kotoran agar jamur tidak mudah tumbuh
- Jika memungkinkan hindari penggunaan baju dan sepatu yang dapat
menyebabkan kulit selalu basah seperti bahan wool dan sintesis yang dapat
menghambat sirkulasi udara
- Edukasi kepada pasien tentang cara penggunaan obat yang dioleskan dengan cara
mengoleskannya kira-kira 3 cm dari tepi luar kulit yang sehat ke bagian lesi yang
dikeluhkan agar tidak terjadi perluasan lesi jika cara mengoleskan obat salep
dengan cara yang salah.
Khusus
- Antifungi topical golongan imidazole : Miconazol cream 2%, 2 kali sehari selama
4 minggu
VII. Prognosis
Quo ad Vitam : bonam
Quo ad Functionam : bonam
Quo ad Sanationam : bonam
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Tinea korporis adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur superficial
golongan dermatofita, menyerang daerah kulit tak berambut pada wajah, badan, lengan,
dan tungkai.1 Tinea korporis ini memiliki kesamaan nama dengan tinea sirsinata atau
tinea glabrosa.2,3
EPIDEMIOLOGI
Tinea korporis merupakan infeksi umum yang sering terlihat pada daerah dengan
iklim yang panas dan lembab. Tricophyton rubrum merupakan infeksi yang paling umum
di seluruh dunia dan sekitar 47% menyebabkan tinea korporis. Trycophyton tonsuran
merupakan dermatofit yang lebih umum menyebabkan tinea kapitis dan orang dengan
infeksi tinea kapitis antropofilik akan berkembang menjadi tinea korporis. Prevalensi
tinea korporis dapat disebabkan oleh peningkatan Tricophyton tonsuran atau
Microsporum canis yang merupakan organism ketiga sekitar 14% menyebabkan tinea
korporis.4
ETIOLOGI
Dermatofita adalah jamur yang menyebabkan dermatofitosis. Golongan jamur ini
memiliki sifat mencerna keratin. Dermatofita termasuk kelas fungi imperfecti, yang
terbagi dalam 3 genus, yaitu Trichophyton, Microsporum, dan Epidermophyton. Ketiga
genus ini memiliki sifat keratolitik.2
Gambar. Tricophyton Gambar. Epidermophyton
7
Gambar. Microsporum
KLASIFIKASI5
Berdasarkan lokasi dari lesi, dermatofitosis dibagi menjadi:
1. Tinea kapitis, dermatofitosis pada kulit dan rambut kepala.
2. Tinea barbe, dermatofitosis pada dagu dan jenggot.
3. Tinea kruris, dermatofitosis pada daerah genitokrural, sekitar anus,
bokong dan kadang-kadang sampai perut bagian bawah.
4. Tinea pedis et manus, dermatofitosis pada kaki dan tangan.
5. Tinea unguium, dermatofitosis pada kuku jari tangan dan kaki.
6. Tinea korporis, dermatofitosis pada bagian lain yang tidak termasuk
bentuk 5 tinea di atas.
Selain dari 6 bentuk tinea di atas, ada beberapa arti khusus yang dapat dianggap
sebagai sinonim tinea korporis, yaitu:
1. Tinea imbrikata
Dermatofitosis dengan susunan skuama yang konsentris dan disebabkan
oleh Tricophyton concentricum.
2. Tinea favosa atau favus
Dermatofitosis yang terutama disebabkan oleh Tricophyton schonleini
yang secara klinis berbentuk skutula dan berbau seperti tikus (mousy
odor).
3. Tinea fasialis
Tinea aksilaris yang juga menunjukkan daerah kelainan.
4. Tinea sirsinata
8
Arkuata yang memiliki penamaan deskriptif morfologis.
FAKTOR RISIKO
Cara penularan jamur dapat secara langsung dan secara tidak langsung. Penularan
langsung dapat secara fomitis, epitel, rambut-rambut yang mengandung jamur baik dari
manusia, binatang atau dari tanah. Penularan tak langsung dapat melalui tanaman, kayu
yang dihinggapi jamur, barang-barang atau pakaian, debu atau air. Disamping cara
penularan tersebut diatas, untuk timbulnya kelainan-kelainan di kulit tergantung dari
beberapa faktor :3
1. Faktor virulensi dari dermatofita
Virulensi ini tergantung pada afinitas jamur itu, apakah jamur
Antropofilik, Zoofilik atau Geofilik. Selain afinitas ini masing-masing jenis
jamur ini berbeda pula satu dengan yang lain dalam afinitas terhadap manusia
maupun bagian-bagian dari tubuh Misalnya : Tricophyton rubrum jarang
menyerang rambut, Epidermatofiton flokosum paling sering menyerang lipat
pada bagian dalam.3
2. Faktor trauma
Kulit yang utuh tanpa lesi-lesi kecil, lebih susah untuk terserang jamur.3
3. Faktor-suhu dan kelembaban
Kedua faktor ini sangat jelas berpengaruh terhadap infeksi jamur, tampak
pada lokalisasi atau lokal, di mana banyak keringat seperti lipat paha dan sela-
sela jari paling sering terserang penyakit jamur ini.3
4. Keadaan sosial serta kurangnya kebersihan
Faktor ini memegang peranan penting pada infeksi jamur di mana terlihat
insiden penyakit jamur pada golongan sosial dan ekonomi yang lebih rendah,
penyakit ini lebih sering ditemukan dibanding golongan sosial dan ekonomi
yang lebih baik.3
5. Faktor umur dan jenis kelamin5
PATOFISIOLOGI6
9
Dermatofitosis bukan merupakan jamur pathogen endogen. Transmisi dermatofit
ke manusia dapat melalui 3 sumber yang masing-masing penyebabnya memberikan
gambaran yang khas. Dermatofit tidak memiliki virulensi secara khusus dan hanya akan
mengivasi bagian luar stratum korneum dari kulit. Penggunaan bahan yang tidak berpori
akan meningkatkan suhu dan keringat sehingga mengganggu fungsi pertahanan dari
stratum korneum. Infeksi dapat ditularkan melalui kontak langsung dengan individu atau
hewan yang terinfeksi, benda-benda seperti pakaian, alat-alat dan lain-lain. Infeksi ini
dimulai dengan terjadinya kolonisasi hifa atau cabang-cabangnya dalam jaringan keratin
yang mati. Hifa ini memproduksi enzim keratolitik yang mengadakan difusi ke dalam
jaringan epidermis dan merusak kertainosit. Infeksi dermatofita terjadi dalam 3 tahap,
yaitu:6
1. Perlekatan ke keratinosit
Jamur superficial harus melewati berbagai rintangan untuk bisa melekat
pada jaringan keratin di antaranya sinar UV, suhu, kelembaban, kompetisi dengan
flora normal lain, sphingosin yang diproduksi oleh keratinosit, dan asam lemak
yang diproduksi oleh kelenjar sebasea yang bersifat fungistatik. 6
2. Penetrasi melalui atau di antara sel
Setelah terjadi perlekatan atau penempelan, spora harus berkembang dan
menembus stratum korneum pada kecepatan yang lebih cepat daripada proses
deskuamasi. Penetrasi juga dibantu oleh sekresi proteinase lipase dan enzim
musinolitik yang menyediakan nutrisi untuk jamur. Trauma dan maserasi juga
membantu penetrasi jamur ke jaringan. Fungal mannan di dalam dinding sel
dermatofita juga bisa menurunkan kecepatan proliferasi keratinosit. Pertahanan
baru akan muncul ketika jamur mencapai lapisan terdalam dari epidermis.6
3. Perkembangan respons hospes
Derajat inflamasi dipengaruhi oleh status imun pasien dan organism yang
terlibat. Reaksi hipersensitivitas tipe IV atau Delayed Type Hypersensitivity
(DHT) memiliki peran yang sangat penting dalam melawan dermatofita pada
pasien yang belum pernah terinfeksi dermatofita sebelumnya. Infeksi ini akan
menghasilkan sedikit eritema dan skuama yang dihasilkan oleh peningkatan
pergantian keratinosit. Disebutkan bahwa antigen dermatofita diproses oleh sel
10
langerhans epidermis dan dipresentasikan oleh limfosit T di nodus limfe. Limfosit
T melakukan proliferasi dan bermigrasi ke tempat yang terinfeksi untuk
menyerang jamur. Pada saat ini, lesi tiba-tiba menjadi inflamasi dan barier
epidermalmenjadi permeable terhadap transferrin dan sel-sel yang bermigrasi.
Setelah itu jamur hilang dan lesi secara spontan akan menjadi sembuh.6
Akan timbul respons jaringan terjadap infeksi yang semakin jelas dan
meninggi yang disebut dengan ringworm setelah adanya masa inkubasi sekitar 1 –
3 minggu. Respon terhadap infeksi ini berupa proses proliferasi sel epidermis dan
menghasilkan skuama. Kondisi ini akan menciptakan bagian tepi yang aktif untuk
berkembang dan bagian pusat akan bersih. 6
GEJALA DAN TANDA KLINIS
Predileksi tinea ini adalah di daerah leher, ekstremitas, dan badan. kelainan yang
dilihat dalam klinik merupakan lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas terdiri dari eritema,
skuama, kadang dengan vesikel dan papul di bagian tepi. Daerah tengahnya biasanya
lebih tenang. Kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi-lesi pada umumnya
merupakan bercakan terpisah satu dengan yang lain. Kelainan kulit dapat dilihat sebagai
lesi-lesi dengan pinggir yang polisiklik, karena beberapa lesi kulit yang menjadi satu.
Bentuk dengan tanda radang yang lebih nyata, lebih sering dilihat pada anak-anak
daripada orang dewasa karena umumnya mereka mendapat infeksi baru pertama kali. 2
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan mikologik untuk membantu menegakkan diagnosis terdiri atas
pemeriksaan langsung sediaan basah dan biakan.2 Pemeriksaan langsung sediaan basah
dilakukan dengan mikroskop, mula-mula dengan pembesaran 10x10, kemudian dengan
pembesaran 10x45. Pembesaran 10x10 biasanya tidak diperlukan.2
Sediaan basah dibuat dengan meletakkan bahan diatas gelas alas, kemudian
ditambah 1-2 tetes larutan KOH. Konsentrasi larutan KOH untuk sediaan rambut 10%
dan untuk kulit dan kuku 20%. Setelah sediaan dicampur dengan larutan KOH, ditunggu
15-20 menit hal ini diperlukan untuk melarutkan jaringan. Untuk mempercepat proses
pelarutan dapat dilakukan pemanasan sediaan basah dengan diatas api kecil. Pada saat
mulai keluar uap dari sediaan tersebut, pemanasan sudah cukup. Bila terjadi penguapan,
11
maka akan terbentuk Kristal KOH, sehingga tujuan yang diinginkan tidak tercapai. Untuk
melihat elemen jamur yang lebih nyata dapat ditambahkan zat warna pada sediaan KOH,
misalnya tinta Parker super-chroom blue black.2
Bahan pemeriksaan dari kulit sebaiknya diambil dari daerah pinggir lesi yang
lebih aktif, tidak dari daerah tengah lesi yang biasanya sudah mulai menyembuh,
sehingga diperoleh bahan pemeriksaan yang cukup banyak. Selanjutnya bahan diletakkan
pada cawan petri. Pada sediaan kulit yang terlihat adalah hifa, sebagai dua garis sejajar,
terbagi oleh sekat, dan bercabang, maupun spora berderet/berdekatan (arthrospora) pada
kelainan kulit lama dan / atau sudah diobati.2
Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menyokong pemeriksaan
langsung sediaan basah dan untuk menentukan spesies jamur. Pemeriksaan ini dilakukan
dengan menanamkan bahan klinis pada media buatan. Yang dianggap paling baik adalah
medium agar dekstrosa Saboraud.2
Pemeriksaan lampu Wood adalah pemeriksaan yang menggunakan sinar
ultraviolet dengan panjang gelombang 365 nm. Sinar ini tidak dapat dilihat. Bila sinar ini
diarahkan ke kulit yang mengalami infeksi jamur dermatofita tertentu, sinar ini akan
berubah menjadi dapat dilihat dengan memberi warna (fluoresensi). Beberapa jamur yang
memberikan fluoresensi yaitu M.canis, M. ferrugineum dan T. schoenleinii.9
DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
Dari anamnesis didapatkan rasa gatal yang sangat mengganggu, dan gatal
bertambah bila berkeringat. Rasa gatal yang dirasa membuat pasien
menggaruk sehingga timbul lesi dan lesi bertambah luas, terutama pada kulit
yang lembab.5
2. Gejala klinis yang khas5
3. Pemeriksaan laboratorium
Pada kerokan kulit dengan KOH 10 – 20% bila positif memperlihatkan
elemen jamur berupa hifa panjang dan artrospora (hifa yang bercabang) yang
12
khas pada infeksi dermatofita. Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan
untuk menyokong pemeriksaan langsung sediaan basah dan untuk
menentukan spesies jamur. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan
bahan klinis pada media buatan. Pemeriksaan yang dianggap paling baik pada
waktu ini adalah medium Agar Dekstrosa Sabouraud.5
PENCEGAHAN
Pencegahan untuk penyakit infeksi jamur adalah sebagai berikut:
1. Perkembangan infeksi jamur diperberat oleh panas, basah dan maserasi. Jika
faktor-faktor lingkungan ini tidak diobati, kemungkinan penyembuhan akan
lambat. Daerah intertrigo atau daerah antara jari-jari sesudah mandi harus
dikeringkan betul dan diberi bedak pengering atau bedak anti jamur.3
2. Pasien dengan hiperhidrosis dianjurkan agar memakai kaos dari bahan katun yang
menyerap keringat, jangan memakai bahan yang terbuat dari wool atau bahan
sintetis.3
3. Pakaian dan handuk agar sering diganti dan dicuci bersih-bersih dengan air
panas.3
PENATALAKSANAAN
Non-Medikamentosa9
Menurut Badan POM RI (2011), dikatakan bahwa penatalaksanaan non
medikamentosa adalah sebagai berikut:
a. Gunakan handuk tersendiri untuk mengeringkan bagian yang terkena infeksi atau
bagian yang terinfeksi dikeringkan terakhir untuk mencegah penyebaran infeksi
ke bagian tubuh lainnya
b. Jangan menggunakan handuk, baju, atau benda lainnya secara bergantian dengan
orang yang terinfeksi
c. Cuci handuk dan baju yang terkontaminasi jamur dengan air panas untuk
mencegah penyebaran jamur tersebut
d. Bersihkan kulit setiap hari menggunakan sabun dan air untuk menghilangkan sisa-
sisa kotoran agar jamur tidak mudah tumbuh
13
e. Jika memungkinkan hindari penggunaan baju dan sepatu yang dapat
menyebabkan kulit selalu basah seperti bahan wool dan sintesis yang dapat
menghambat sirkulasi udara
f. Sebelum menggunakan sepatu, sebaiknya di lap terlebih dahulu dan bersihkan
debu-debu yang menempel pada sepatu
g. Hindari kontak langsung dengan orang yang mengalami infeksi jamur. Gunakan
sandal yang terbuat dari bahan kayu dan karet
Medikamentosa
Topikal
Menurut Kuswadji dan Widaty (2001) obat antijamur topikal yang ideal adalah
obat yang aktif pada konsentrasi sangat rendah, mempunyai formula yang beragam, efek
samping minimal atau bahkan tidak ada, dengan formula yang spesifik (misalnya untuk
kuku dan mukosa) dan mempunyai manfaat tambahan untuk kelainan yang biasa
menyertai infeksi jamur (misalnya antiinflamasi, keratolitik dan antibakteri). Obat topikal
yang diperuntukkan pada infeksi dermatofita berdasarkan mekanisme kerjanya meliputi :
1. Bahan kimia antiseptik
Mempunyai sifat antibakteri dan antijamur ringan serta bersifat
mengeringkan, misalnya Cestallani paint (solusio carbol fuchsin) dapat digunakan
untuk kasus tinea kruris dan kandidosis intertriginosa. Selain itu juga dapat
dindikasikan untuk tinea unguium, tinea imbrikata dan tinea korporis.
2. Bahan keratolitik
Yaitu bahan yang meningkatkan eksfoliasi stratum korneum. Misalnya salep
Whitefield mengandung asam salisilat 3 %, asam benzoat 6 % dalam petrolatum,
dikatakan efektif bagi tinea pedis dan asam undesilenat krim dan bedak 3 %.
Asam salisilat pada konsentrasi rendah (1 2 %) berefek keratoplastik, konsentrasi
tinggi (3 20 %) berefek keratolitik dan dipakai pada keadaan dermatosis yang
hiperkeratotik dan pada konsentrasi sangat tinggi (40 %) dipakai untuk kelainan-
kelainan yang dalam. Asam salisilat berkhasiat fungisid terhadap banyak fungi
pada konsentrasi 3 6 % dalam salep, selain itu berkhasiat bakteriostasis lemah.
Asam salisilat tidak dapat dikombinasikan dengan seng oksida karena akan
14
terbentuk garam sengsalisilat yang tidak aktif. Asam benzoat mempunyai sifat
antiseptik terutama fungisidal. Salep Whitefield dapat juga berguna untuk
pengobatan topikal pada tinea kruris, tinea unguium dan tinea korporis. Asam
undesilenat dalam bentuk cairan dapat digunakan pada tinea unguium.
3. Golongan allilamin
Golongan ini bekerja dengan menghambat enzim epoksidase skualen pada
proses pembentukan ergosterol membran sel jamur. Allilamin memiliki
efektivitas klinis yang tinggi dengan angka kesembuhan berkisar 70 100 %.
Naftitin merupakan obat antijamur berspektrum luas dan derivat allilamin yang
sintetis. Dapat menurunkan ergosterol yang menghambat pertumbuhan sel jamur.
Pada konsentrasi 1 % memiliki daya antiinflamasi. Tersedia dalam bentuk krim,
gel atau solusio 1 %. Penderita tinea korporis dewasa maupun anak-anak cukup
dioleskan 4 kali sehari pada sekitar lesi selama 2 minggu dalam bentuk krim 1 %.
Tinea kruris 4 kali sehari selama 2 4 minggu dalam bentuk krim 1 %. Tinea pedis
dioleskan 4 kali sehari dalam bentuk krim 1 % atau 2 kali sehari dalam bentuk gel
1 %. Terbinafin merupakan derivat allilamin yang sintetis yang menghambat
epoksidase skualen, sebuah enzim penting dalam biosintesis sterol pada jamur
yang menghasilkan defisiensi ergosterol, penyebab kematian sel jamur. Penelitian
menemukan bahwa obat ini efektif dan tertoleransi dengan baik oleh anak-anak.
Terbinafin dioleskan 4 kali sehari pada penderita tinea kruris dan tinea korporis
baik dewasa maupun anak-anak dalam waktu 1 4 minggu. Penderita tinea pedis
dewasa dan anak-anak (>12 tahun) diberikan olesan sebanyak 2 kali sehari dalam
bentuk krim
4. Golongan benzilamin
Butenafin merupakan obat anti jamur baru, termasuk golongan benzilamin
yang bersifat fungisidik terhadap dermatofit, seperti Trichophyton
mentagrophytes, Microsporum canis dan Trichophyton rubrum yang
menyebabkan infeksi-infeksi tinea. Butenafin bekerja pada stadium yang lebih
dini dalam alur metabolisme sehingga menyebabkan terjadinya akumulasi skualen
dan kematian sel jamur. Sifat fungisidik butenafin menyebabkan masa pengobatan
yang pendek dengan angka kesembuhan yang tinggi dan angka kekambuhan yang
15
rendah. Penderita tinea korporis dewasa dan anak-anak (> 12 tahun) dioleskan
sebanyak 4 kali sehari selama 2 minggu dalam bentuk krim 1 %. Penderita tinea
kruris dewasa dan anak-anak (> 12 tahun) dioleskan sebanyak 4 kali sehari selama
2 4 minggu dalam bentuk krim 1 %. Penderita tinea pedis dewasa dan anak-anak
(> 12 tahun) dioleskan sebanyak 2 kali sehari selama 1 minggu atau 4 kali sehari
selama 2 4 minggu dalam bentuk krim 1 %.
5. Golongan imidazole
Umumnya senyawa imidazol ini berkhasiat fungistatis dan pada dosis tinggi
bekerja fungisid terhadap fungi tertentu. Imidazol memiliki efektivitas klinis yang
tinggi dengan angka kesembuhan berkisar 70 100 %. Mekanisme kerjanya dengan
menghambat sintesis ergosterol, suatu unsur penting untuk integritas membran
sel. Golongan imidazol meliputi :
a. Mikonazol
Derivat mikonazol ini berkhasiat fungisid kuat dengan spektrum kerja
lebar sekali. Lebih aktif dan efektif terhadap dermatofit biasa dan kandida
daripada fungistatika lainnya. Zat juga bekerja bakterisid pada dosis terapi
terhadap sejumlah kuman Gram positif kecuali basil-basil Doderlein yang
terdapat dalam vagina. Penderita tinea kruris dewasa dan anak-anak diberikan
sebanyak 2 kali sehari selama 4 minggu dalam bentuk krim 2 %, bedak kocok
ataupun bedak. Penderita tinea pedis dewasa dan anak-anak diberikan
sebanyak 2 kali sehari selama 2-6 minggu dalam bentuk krim 2 % atau bedak
kocok. Jika menggunakan bedak, maka cukup ditaburkan 2 kali sehari selama
2-4 minggu
b. Klotrimazol
Derivat imidazol ini memiliki spektrum fungistatis yang relatif lebih
sempit daripada mikonazol. Pada konsentrasi tinggi, zat ini juga berdaya
bakteriostatis terhadap kuman Gram positif. Penderita tinea pedis dan tinea
korporis dewasa diberikan sebanyak 2 kali sehari selama 2 6 minggu dalam
bentuk krim 1 % atau solusio, sedangkan pada anak-anak tidak tersedia.
Penderita tinea kruris dewasa dan anak-anak diberikan sebanyak 2 kali sehari
selama 4 minggu dalam bentuk krim 1 %, solusio ataupun bedak kocok
16
c. Ketokonazol
Ketokonazol adalah fungistatikum imidazol pertama yang digunakan per
oral (1981). Spektrum kerjanya mirip dengan mikonazol dan meliputi banyak
fungi patogen. Penderita tinea pedis dewasa dan anak-anak dioleskan
sebanyak 2 kali atau 4 kali sehari selama 2-4 minggu dalam bentuk krim 1 %.
Penderita tinea kruris dewasa dan anak-anak dioleskan sebanyak 2 kali atau 4
kali sehari selama 2-4 minggu dalam bentuk krim 2 %. Penderita tinea
korporis dewasa dan anak-anak dioleskan sebanyak 4 kali sehari selama 2
minggu dalam bentuk krim 2 %
d. Ekonazol
Ekonazol adalah derivat mikonazol, tetapi satu dari empat atom klor
diganti oleh atom H. Spektrum kerjanya lebih kurang sama, hanya lebih aktif
terhadap Aspergillus. Obat ini efektif untuk infeksi kutaneus. Titik
tangkapnya berhubungan dengan metabolisme sintesis RNA dan protein,
mengganggu permeabilitas dinding sel jamur sehingga menyebabkan
kematian sel jamur. Penderita tinea pedis dewasa dan anak-anak dioleskan
sebanyak 2 kali atau 4 kali sehari selama 4 minggu dalam bentuk krim 1 %.
Penderita tinea kruris dewasa dan anak-anak dioleskan sebanyak 2 kali atau 4
kali sehari dalam bentuk krim 1 %.
e. Oksikonazol
Oksikonazol merupakan obat jamur yang memiliki spetrum luas. Titik
tangkapnya yaitu menghambat sintesis ergosterol yang akan menyebabkan
kematian sel jamur. Penderita tinea pedis dewasa dan anak-anak dioleskan
sebanyak 4 kali sehari selama 2 minggu dalam bentuk krim 1 %. Penderita
tinea kruris dewasa dan anak-anak dioleskan sebanyak 4 kali sehari selama 2 4
minggu dalam bentuk krim 1 % atau bedak kocok.
f. Sulkonazol
Sulkonazol merupakan obat jamur yang memiliki spektrum luas. Titik
tangkapnya yaitu menghambat sintesis ergosterol yang akan menyebabkan
kebocoran komponen sel, sehingga menyebabkan kematian sel jamur.
17
Penderita tinea kruris dewasa dan anak-anak (> 12 tahun) dioleskan sebanyak
4 kali sehari selama 2 4 minggu dalam bentuk krim 1 % atau solusio.
g. Sertakonazol
Bentuk krim sertakonazol nitrat merupakan antijamur yang aktif melawan
Trichophyton rubrum, Trichophyton mentagrophytes dan Epidermophyton
floccosum. Diindikasikan untuk tinea pedis dengan dioleskan 2 kali sehari
baik dewasa maupun anak-anak (> 12 tahun).
h. Bifonazol
Bifonazol merupakan derivat imidazol yang berkhasiat terhadap beberapa
jenis jamur dan ragi yang patogen terhadap manusia serta terhadap beberapa
kuman Gram positif. Bifonazol bermanfaat pada pengobatan tinea unguium
dalam bentuk losio atau krim yang dikombinasikan bersama urea 40%.
6. Golongan lainnya
a. Siklopiroks
Senyawa hidroksipiridon ini berspektrum luas. Senyawa ini berkhasiat
fungisid terhadap Candida albican dan Trichophyton rubrum, fungistatis
terhadap Malassezia furfur (panu), lagi pula bekerja bakteriostatis lemah.
Walaupun struktur kimianya berbeda dengan zat-zat imidazol, tetapi
mekanisme kerjanya diperkirakan sama, yaitu terhadap membran plasma sel
jamur. Mungkin juga mekanisme kerjanya berdasarkan perintah transpor dari
asam-asam amino dan ion-ion melalui membran sel. Daya kerjanya diperkuat
bila dibuat ester oalmin. Siklopiroks khusus digunakan secara dermal.
Penderita tinea pedis dewasa dan anak-anak (> 10 tahun) dioleskan sebanyak
2 kali sehari dalam bentuk krim 1 %, jika tidak ada perbaikan setelah 4
minggu maka perlu dievaluasi lagi. Hal tersebut juga berlaku pada penderita
tinea kruris dan tinea kapitis. Solusio siklopiroks telah dilaporkan dapat
berpenetrasi melalui semua lapisan kuku pada kasus tinea unguium namun
memiliki efikasi yang rendah sehingga perlu kombinasi dengan obat antijamur
oral.
b. Tolnaftat
18
Tonaftat termasuk golongan tiokarbonat dan merupakan antijamur yang
sangat efektif terhadap dermatofitosis dan infeksi Pityrosporum orbiculare
tetapi tidak terhadap Candida. Mekanisme kerjanya adalah dengan
menghambat epoksidasi skualen pada membran sel jamur. Biasanya
digunakan 2 kali sehari selama 2 4 minggu dan dilanjutkan 2 minggu setelah
gejala klinis hilang. Penderita tinea kruris dewasa dan anak-anak dioleskan
sebanyak 2 kali sehari. Tersedia dalam bentuk krim 1 %, solusio dan bedak.
Tolnaftat dapat diindikasikan pada pengobatan topikal untuk tinea korporis
dan tinea unguium. Contoh nama merk dagang obat tolnaftat adalah tinactin.
c. Haloprogin
Haloprogin berkhasiat fungisid terhadap Epidermophyton, Pityrosporum,
Trichophyton dan Candida. Kadang-kadang terjadi sensitasi dengan timbulnya
gatal-gatal, perasaan terbakar dan iritasi kulit. Penderita tinea kruris dewasa
dan anak-anak dioleskan sebanyak 3 kali sehari. Tersedia dalam bentuk krim 1
% dan solusio. Biasanya digunakan dalam waktu 2 4 minggu.
Pengobatan pada tinea unguium sangat memerlukan kombinasi dengan obat
antijamur oral terutama generasi baru seperti itrakonazol dan terbinafin, karena jika
hanya mengandalkan obat topikal saja maka daya penetrasi terhadap kuku sangat terbatas
sehingga tidak efektif. Pengobatan tinea manus pada prinsipnya sama dengan pengobatan
yang dilakukan pada tinea pedis.
Sistemik
- Griseofulvin 500 mg sehari untuk dewasa, sedangkan anak-anak 10-25 mg/kgBB
sehari. Lama pemberian griseofulvin pada tinea korporis adalah 3-4 minggu,
diberikan bila lesi luas atau bila dengan pengobatan topikal tidak ada perbaikan.
- Pada kasus yang resisten terhadap griseofulvin dapat diberikan derivat azol yang juga
fungistatik seperti ketokonazol 200 mg per hari selama 2-4 minggu pada pagi hari
setelah makan, atauitrakonazol 100-200 mg/hari selama 2-4 minggu atau 200 mg/hari
selama 1 minggu, flukonazol 150 mg 1x/mgg selama 2-4 minggu, terbinafin 250
mg/hari selama 1-2 minggu.
19
- Terbinafin yang bersifat fungisidal juga dapat diberikan sebagai pengganti greosulfin
selama 2-3 minggu dosisnya 62,5 mg – 250 mg sehari bergantung pada berat badan.
- Antibiotika diberikan bila terdapat infeksi sekunder. Dan low-potency kortikosteroid
jangka pendek hanya pada keadaan tertentu (masih dalam penelitian).6
PROGNOSIS
Prognosis penyakit ini baik dengan diagnosis dan terapi yang tepat asalkan
kelembapan dan kebersihan kulit selalu dijaga.2
BAB III
PEMBAHASAN
20
Berdasarkan anamnesis, terdapat bercak kemerahan disertai gatal pada tungkai
bawah kanan sejak 2 pekan yang lalu. Awalnya pasien hanya mengeluhkan gatal, tetapi
tidak ada kelainan didaerah gatal tersebut. Beberapa hari kemudian, pasien mengeluhkan
adanya bercak merah pada daerah gatal tersebut. Gatal tersebut dirasakan semakin gatal
ketika berkeringat dan saat cuaca panas sehingga pasien sering menggaruk daerah
tersebut karena dirasakan sangat menggangu. Setelah itu, pasien mengaku daerah yang
gatal menjadi kering tetapi bagian pinggirnya tetap kemerahan dan terasa gatal. Pasien
merasa daerah yang gatal semakin lama semakin meluas dan kini pasien mengatakan
sudah lebih besar dari ukuran uang koin.
Keterangan berikut mendukung diagnosa adanya infeksi jamur atau dermatofita.
Menurut literature mengatakan pada infeksi jamur dermatofita atau tinea dimana
predileksi dari penyakit ini adalah di daerah leher, ekstremitas, dan badan. kelainan yang
dilihat dalam klinik merupakan lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas terdiri dari eritema,
skuama, kadang dengan vesikel dan papul di bagian tepi. Daerah tengahnya biasanya
lebih tenang. Kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi-lesi pada umumnya
merupakan bercakan terpisah satu dengan yang lain. Kelainan kulit dapat dilihat sebagai
lesi-lesi dengan pinggir yang polisiklik, karena beberapa lesi kulit yang menjadi satu.
Khas lesi pada pasien ini dapat melemahkan diagnosa banding dermatitis
nummular karena dari literature menyatakan pada khas dari dermatitis nummular adalah
terdapatnya lesi yang basah akibat papul-vesikel yang mudah pecah. Pada pasien ini tidak
ditemukan lesi khas tersebut. Khas lesi dari pasien ini bisa kita pikirkan diagnose untuk
Morbus Hansen. Berdasarkan literature bahwa pada Morbus Hansen tipe BL dan tipe BB
mempunyai khas lesi plak dan papul, tetapi jumlahnya multiple dan sensibilitas
berkurang. Pada pasien ini mengeluhkan adanya rasa gatal yang menandakan sensibilitas
yang masih baik, maka dari itu diagnose banding Morbus Hansen dapat dilemahkan.
Pasien juga mengatakan untuk mengurangi rasa gatal, pasien memberikan bedak
pada daerah yang gatal. Pasien mengaku tidak pernah mengolesi salep atau krim lainnya
sebelum atau sesudah muncul keluhan pada daerah yang kemerahan dan gatal tersebut.
Kegiatan pasien dirumah sering mencuci sehingga menyebabkan bagian tungkai sering
terkena air dan basah. Dari keterangan pasien tersebut dapat melemahkan diagnosa
banding dermatitis kontak. Menurut literature, dermatitis kontak timbul jika adanya
21
kontak atau paparan dengan bahan iritan dan allergen sebelum dan sesudah munculnya
keluhan.
Riwayat higienitas pasien berperan sebagai faktor resiko yang mendukung kearah
diagnose infeksi jamur dermatofita yaitu tinea korporis. Riwayat penyakit dahulu dan
penyakit keluarga menyatakan bahwa pada pasien terdapat riwayat dermatitis atopi yang
pada saat ini tidak bereaksi.
Pada pemeriksaan fisik dari inspeksi dan palpasi pada status dermatologikus
didapatkan pada tungkai bawah kanan bagian dalam terdapat papul eritematosa dengan tepi
polisiklik, sirkumskrip (berbatas tegas) disertai skuama ditengahnya dengan daerah tepi lebih
kemerahan dibandingkan daerah tengah, dengan bentuk sirsinar (bulat/lingkaran), berukuran
numular (sebesar uang logam). Lesi ini khas pada penyakit dermatofitosis dan semakin
melemahkan diagnosa banding dermatitis numularis yang mempunyai lesi khas yaitu lesi yang
basah.
Pada pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan KOH 10% dengan cara
mengambil kerokan dari bagian tepi kelainan yang terlihat lebih aktif sampai dengan
sedikit di luar kelainan dan didapatkan hasil positif memperlihatkan elemen jamur berupa
hifa panjang dan artrospora (hifa yang bercabang). Pada pemeriksaan biakan atau kultur
dengan Agar Dekstrose Saboraud yang bertujuan untuk menilai pertumbuhan jamur dan
melihat spesies jamur didapatkan spesies jamur Trycophyton rubrum, dimana spesies
jamur ini adalah jamur yang tersering menjadi penyebab tinea corporis. Pemeriksaan
fluoresensi sinar Wood didapatkan hasil fluoresensi hijau atau biru kehijauan yang
menunjukkan adanya infeksi jamur dermatofita. Dari semua pemeriksaan penunjang ini
membuktikan diagnosa pada pasien ini adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh
infeksi jamur superfisial golongan dermatofita yaitu Trycophyton rubrum dengan gejala
klinis dan tanda yang khas, yang dapat menyingkirkan diagnosa banding.
Pada penatalaksanaan pasien di edukasi mengenai penyakit akibat keluhannya tersebut.
Pasien diberikan obat topikal yaitu mikonazol 2%. Berdasarkan literatur menyatakan obat-obatan
antifungi berkhasiat sebagai fungisidal kuat dengan spectrum kerja yang lebar. Lebih
efektif dan aktif terhadap dermatofit biasa dan kandida daripada fungistatika lain.
Diberikan antibiotic topical untuk menghindari dari infeksi sekunder jika adanya erosi
dan kortikosteroid topical yang dikombinasikan dengan antifungi sebagai antiinflamasi
dari sifat-sifat inflamasi yang muncul pada penyakit ini.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Siregar, RS. 2008. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit Edisi 2. Jakarta: EGC.
2. Budimulja, U. 2007. Mikosis, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Editor: Djuanda
A, Hamzah M, AIsah S. Edisi Kelima. Cetakan ke-2. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
3. Harahap, M. 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates.
4. Rushing, ME. 2012. Tinea Corporis. Tersedia:
http://www.emedicine.com/asp/tineacorporis/article/pagetype=Article.htm.
5. Patel S, Meixner JA, Smith MB, McGinnis MR. 2006. Superficial mycoses and
dermatophytes. In : Tyring SK, Lupi O, Hengge UR, editors. Tropical
dermatology. China: Elsenvier inc.
6. Wolff, K. 2009. Fitzpatrick’s Color Atlas of Atlas & Synopsis of Clinical
Dermatology. 6th ed. United States of America : Mc Graw Hill.
7. Cholis, M. 2001. Penatalaksanaan Tinea Glabrosa dan Perkembangan Obat
Antijamur. Malang: Laboratorium Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya.
8. Arndt KA, Bowers KE. Manual of dermatology therapeutics with essential of
diagnostic. 6th ed. Philadelphia: Lippincot Williams & willkins.2002.
9. Arianna, Dewi. 2014. Tingkat Pengetahuan Mahasiswa Akademi Kebidanan
Medan Angkatan 2012 Tentang Penyakit Tinea Korporis. Medan: FK USU.
23