Pressus Word

36
BAB I PENDAHULUAN Tinea korporis adalah infeksi dermatofita superfisial yang ditandai oleh baik lesi inflamasi maupun non inflamasi pada glabrous skin (kulit yang tidak berambut) seperti muka, leher, badan, lengan, tungkai dan gluteal. Manifestasinya akibat infiltrasi dan proliferasinya pada stratum korneum dan tidak berkembang pada jaringan yang hidup. Metabolisme dari jamur dipercaya menyebabkan efek toksik dan respon alergi. Tinea korporis umumnya tersebar pada seluruh masyarakat tapi lebih banyak di daerah tropis 5 . Dermatofita adalah jamur yang menyebabkan dermatofitosis. Golongan jamur ini memiliki sifat mencerna keratin. Dermatofita termasuk kelas fungi imperfecti, yang terbagi dalam 3 genus, yaitu Trichophyton, Microsporum, dan Epidermophyton. Ketiga genus ini memiliki sifat keratolitik. Spesies dermatofitosis yang paling banyak diisolasi adalah T. rubrum 2 . Prevalensi infeksi jamur superfisial di seluruh dunia diperkirakan menyerang 20-25% populasi dunia dan merupakan salah satu bentuk infeksi kulit tersering. Penyakit ini tersebar di seluruh dunia yang dapat menyerang semua ras dan kelompok umur sehingga infeksi jamur superfisial ini relatif sering terkena pada negara tropis (iklim panas dan kelembaban yang tinggi). 9 1

description

stase kulit

Transcript of Pressus Word

BAB I

PENDAHULUAN

Tinea korporis adalah infeksi dermatofita superfisial yang ditandai oleh baik lesi

inflamasi maupun non inflamasi pada glabrous skin (kulit yang tidak berambut) seperti

muka, leher, badan, lengan, tungkai dan gluteal. Manifestasinya akibat infiltrasi dan

proliferasinya pada stratum korneum dan tidak berkembang pada jaringan yang hidup.

Metabolisme dari jamur dipercaya menyebabkan efek toksik dan respon alergi. Tinea

korporis umumnya tersebar pada seluruh masyarakat tapi lebih banyak di daerah tropis5.

Dermatofita adalah jamur yang menyebabkan dermatofitosis. Golongan jamur ini

memiliki sifat mencerna keratin. Dermatofita termasuk kelas fungi imperfecti, yang

terbagi dalam 3 genus, yaitu Trichophyton, Microsporum, dan Epidermophyton. Ketiga

genus ini memiliki sifat keratolitik. Spesies dermatofitosis yang paling banyak diisolasi

adalah T. rubrum 2.

Prevalensi infeksi jamur superfisial di seluruh dunia diperkirakan menyerang 20-

25% populasi dunia dan merupakan salah satu bentuk infeksi kulit tersering. Penyakit ini

tersebar di seluruh dunia yang dapat menyerang semua ras dan kelompok umur sehingga

infeksi jamur superfisial ini relatif sering terkena pada negara tropis (iklim panas dan

kelembaban yang tinggi).9

Penyebab tinea korporis berbeda-beda di setiap negara, seperti di Amerika Serikat

penyebab terseringnya adalah Trycophyton rubrum, Trycophyton mentagrophytes,

Microsporum canis dan Trycophyton tonsurans. Di Afrika penyebab tersering tinea

korporis adalah Trycophyton rubrum dan Trycophyton mentagrophytes, sedangkan di

Eropa penyebab terseringnya adalah Trycophyton rubrum, sementara di Asia penyebab

terseringnya adalah Trycophyton rubrum, Trycophyton mentagrophytes dan Trycophyton

violaceum.9

Dermatomikosis atau mikosis superfisialis cukup banyak diderita penduduk

negara tropis. Di Indonesia angka yang tepat, berapa sesungguhnya insidens

dermatomikosis belum ada. Di Denpasar, golongan penyakit ini menempati urutan kedua

setelah dermatitis. Angka insiden tersebut diperkirakan kurang lebih sama dengan di

kota-kota besar Indonesia lainnya. Di daerah pedalaman angka ini mungkin akan

1

meningkat dengan variasi penyakit yang berbeda. Dilaporkan penyebab dermatofitosis

yang dapat dibiakkan di Jakarta adalah T. rubrum 57.6%, E. floccosum 17.5%, M.canis

9.2%, T. mentagrophytes var. granulare 9.0% dan T. concentricum 0.5%.9

Penyakit ini menyerang pria maupun wanita dan terjadi pada semua umur

terutama dewasa. Tinea korporis dapat terjadi pada semua usia bisa didapatkan pada

pekerja yang berhubungan dengan hewan-hewan. Maserasi dan oklusi kulit lipatan

menyebabkan peningkatan suhu dan kelembaban kulit yang memudahkan infeksi.

Penularan juga dapat terjadi melalui kontak langsung dengan individu yang terinfeksi

atau tidak langsung melalui benda yang mengandung jamur, misalnya handuk, lantai

kamar mandi, tempat tidur hotel dan lain-lain. Ada beberapa macam variasi klinis dengan

lesi yang bervariasi dalam ukuran derajat inflamasi dan kedalamannya. Variasi ini akibat

perbedaan imunitas hospes dan spesies dari jamur5.

Tinea korporis lebih sering ditemukan sebagai asimptomatik atau gatal ringan.

Secara obyektif tipikal lesinya mulai sebagai makula eritematosa atau papul yang

menjalar dan berkembang menjadi anular, dan lesi berbatas tegas, skuama atau vesikel,

tepi yang berkembang dan healing center. Tinea korporis lebih sering pada permukaan

tubuh yang terbuka antara lain wajah, lengan dan bahu8.

Untuk tinea korporis yang bersifat lokal, prognosisnya akan baik dengan tingkat

kesembuhan 70-100% setelah pengobatan dengan azol topikal atau allilamin atau dengan

menggunakan anti jamur sistemik4.

Tujuan penulisan makalah ini sebagai pembelajaran dalam mendiagnosa serta

menentukan penatalaksanaan yang tepat dalam kasus infeksi jamur dermatofita

khususnya tinea korporis.

2

I. Identitas Pasien

Nama : Ny. RA

No. RM : 287802

Umur : 28 tahun

Alamat : Palembang

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Tanggal pemeriksaan : 7 November 2014

II. Anamnesis

Keluhan Utama: bercak kemerahan disertai gatal pada tungkai bawah kanan sejak 2

pekan sebelum dating ke rumah sakit

Riwayat Perjalanan Penyakit: Pasien datang ke RS. AK. Gani dengan keluhan bercak

kemerahan disertai gatal pada tungkai bawah kanan sejak 2 minggu SMRS (sebelum

masuk rumah sakit). Awalnya pasien hanya mengeluhkan gatal, tetapi tidak ada

kelainan didaerah gatal tersebut. Beberapa hari kemudian, pasien mengeluhkan

adanya bercak merah pada daerah gatal tersebut. Gatal tersebut dirasakan semakin

gatal ketika berkeringat dan saat cuaca panas sehingga pasien sering menggaruk

daerah tersebut karena dirasakan sangat menggangu. 1 minggu SMRS, pasien

mengaku daerah yang gatal menjadi kering tetapi bagian pinggirnya tetap kemerahan

dan terasa gatal. Pasien merasa daerah yang gatal semakin lama semakin meluas.

Untuk mengurangi rasa gatal, pasien memberikan bedak Herocine pada daerah yang

gatal. Pasien mengaku tidak pernah mengolesi salep atau krim lainnya sebelum atau

sesudah muncul keluhan pada daerah yang kemerahan dan gatal tersebut. Kegiatan

pasien dirumah sering mencuci sehingga menyebabkan bagian tungkai sering terkena

air dan basah.

Riwayat Higienitas: Pasien tidak bertukar pakaian dengan anggota keluarga lain

maupun dengan orang lain. Pasien mengaku sering menggunakan celana berbahan

karet dan ketat. Pasien mandi 2 kali dalam sehari dan selalu mengganti pakaiannya.

Riwayat Pengobatan: Pasien belum pernah mengobati keluhan tersebut.

3

Riwayat Penyakit Dahulu: Pasien tidak pernah mengalami keluhan seperti ini

sebelumnya. Pasien memiliki riwayat alergi di kulit sudah sejak 13 tahun yang lalu

(dimulai saat pasien kelas 3 SMP)

Riwayat Penyakit Keluarga: Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan

penyakit kulit lainnya ataupun gatal seperti yang dialami pasien. Orangtua laki-laki

pasien ada yang mempunyai riwayat penyakit alergi seperti bersin pada pagi hari.

III.Pemeriksaan Fisik

a. Status Generalis

Keadaan Umum : Baik

Kesadaran : Compos mentis

Tanda Vital : Dalam batas normal

Status Gizi : Baik

Kepala : Normocephali

Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

Leher : KGB tidak membesar

Thoraks : Suara nafas vesikuler, ronchi tidak (-), wheezing (-),

Bunyi jantung I-II regular, murmur (-), gallop (-)

Abdomen : Datar, supel, nyeri tekan (-)

Genitalia : Tidak diperiksa

Ekstremitas : Lihat status dermatologikus

Kuku : Normal, sianosis (-)

b. Status Dermatologikus

4

Gambar 1. Regio Cruris Medial Dextra. Efloresensi : plak eritematosa dengan tepi

polisiklik, sirkumskrip (berbatas tegas) disertai skuama ditengahnya dengan daerah tepi

lebih kemerahan berupa papul eritema dibandingkan daerah tengah, dengan bentuk

sirsinar (bulat/lingkaran), berukuran numular (sebesar uang logam)

IV. Pemeriksaan Penunjang

- Pemeriksaan KOH 10% diambil dari kerokan bagian tepi kelainan yang terlihat

lebih aktif sampai dengan sedikit di luar kelainan: positif memperlihatkan elemen

jamur berupa hifa panjang dan artrospora (hifa yang bercabang)

- Kultur dengan Agar Dekstrose Saboraud: menilai pertumbuhan jamur dan melihat

spesies jamur

- Pemeriksaan fluoresensi sinar Wood : hasil fluoresensi hijau atau biru kehijauan

5

V. Diagnosis

a. Diagnosis Banding

- Dermatitis Numularis

- Dermatitis Kontak

- Morbus Hansen

b. Diagnosis Kerja

Tinea Korporis

VI. Tatalaksana

Umum

- Edukasi kepada pasien tentang penyakit yang dikeluhkannya ini merupakan

penyakit yang disebabkan karena jamur dan menyerang saat kondisi kulit pasien

lembab sehingga pasien harus selalu memastikan kondisi kulit selalu kering dan

bersih

- Bersihkan kulit setiap hari menggunakan sabun dan air untuk menghilangkan sisa-

sisa kotoran agar jamur tidak mudah tumbuh

- Jika memungkinkan hindari penggunaan baju dan sepatu yang dapat

menyebabkan kulit selalu basah seperti bahan wool dan sintesis yang dapat

menghambat sirkulasi udara

- Edukasi kepada pasien tentang cara penggunaan obat yang dioleskan dengan cara

mengoleskannya kira-kira 3 cm dari tepi luar kulit yang sehat ke bagian lesi yang

dikeluhkan agar tidak terjadi perluasan lesi jika cara mengoleskan obat salep

dengan cara yang salah.

Khusus

- Antifungi topical golongan imidazole : Miconazol cream 2%, 2 kali sehari selama

4 minggu

VII. Prognosis

Quo ad Vitam : bonam

Quo ad Functionam : bonam

Quo ad Sanationam : bonam

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Tinea korporis adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur superficial

golongan dermatofita, menyerang daerah kulit tak berambut pada wajah, badan, lengan,

dan tungkai.1 Tinea korporis ini memiliki kesamaan nama dengan tinea sirsinata atau

tinea glabrosa.2,3

EPIDEMIOLOGI

Tinea korporis merupakan infeksi umum yang sering terlihat pada daerah dengan

iklim yang panas dan lembab. Tricophyton rubrum merupakan infeksi yang paling umum

di seluruh dunia dan sekitar 47% menyebabkan tinea korporis. Trycophyton tonsuran

merupakan dermatofit yang lebih umum menyebabkan tinea kapitis dan orang dengan

infeksi tinea kapitis antropofilik akan berkembang menjadi tinea korporis. Prevalensi

tinea korporis dapat disebabkan oleh peningkatan Tricophyton tonsuran atau

Microsporum canis yang merupakan organism ketiga sekitar 14% menyebabkan tinea

korporis.4

ETIOLOGI

Dermatofita adalah jamur yang menyebabkan dermatofitosis. Golongan jamur ini

memiliki sifat mencerna keratin. Dermatofita termasuk kelas fungi imperfecti, yang

terbagi dalam 3 genus, yaitu Trichophyton, Microsporum, dan Epidermophyton. Ketiga

genus ini memiliki sifat keratolitik.2

Gambar. Tricophyton Gambar. Epidermophyton

7

Gambar. Microsporum

KLASIFIKASI5

Berdasarkan lokasi dari lesi, dermatofitosis dibagi menjadi:

1. Tinea kapitis, dermatofitosis pada kulit dan rambut kepala.

2. Tinea barbe, dermatofitosis pada dagu dan jenggot.

3. Tinea kruris, dermatofitosis pada daerah genitokrural, sekitar anus,

bokong dan kadang-kadang sampai perut bagian bawah.

4. Tinea pedis et manus, dermatofitosis pada kaki dan tangan.

5. Tinea unguium, dermatofitosis pada kuku jari tangan dan kaki.

6. Tinea korporis, dermatofitosis pada bagian lain yang tidak termasuk

bentuk 5 tinea di atas.

Selain dari 6 bentuk tinea di atas, ada beberapa arti khusus yang dapat dianggap

sebagai sinonim tinea korporis, yaitu:

1. Tinea imbrikata

Dermatofitosis dengan susunan skuama yang konsentris dan disebabkan

oleh Tricophyton concentricum.

2. Tinea favosa atau favus

Dermatofitosis yang terutama disebabkan oleh Tricophyton schonleini

yang secara klinis berbentuk skutula dan berbau seperti tikus (mousy

odor).

3. Tinea fasialis

Tinea aksilaris yang juga menunjukkan daerah kelainan.

4. Tinea sirsinata

8

Arkuata yang memiliki penamaan deskriptif morfologis.

FAKTOR RISIKO

Cara penularan jamur dapat secara langsung dan secara tidak langsung. Penularan

langsung dapat secara fomitis, epitel, rambut-rambut yang mengandung jamur baik dari

manusia, binatang atau dari tanah. Penularan tak langsung dapat melalui tanaman, kayu

yang dihinggapi jamur, barang-barang atau pakaian, debu atau air. Disamping cara

penularan tersebut diatas, untuk timbulnya kelainan-kelainan di kulit tergantung dari

beberapa faktor :3

1. Faktor virulensi dari dermatofita

Virulensi ini tergantung pada afinitas jamur itu, apakah jamur

Antropofilik, Zoofilik atau Geofilik. Selain afinitas ini masing-masing jenis

jamur ini berbeda pula satu dengan yang lain dalam afinitas terhadap manusia

maupun bagian-bagian dari tubuh Misalnya : Tricophyton rubrum jarang

menyerang rambut, Epidermatofiton flokosum paling sering menyerang lipat

pada bagian dalam.3

2. Faktor trauma

Kulit yang utuh tanpa lesi-lesi kecil, lebih susah untuk terserang jamur.3

3. Faktor-suhu dan kelembaban

Kedua faktor ini sangat jelas berpengaruh terhadap infeksi jamur, tampak

pada lokalisasi atau lokal, di mana banyak keringat seperti lipat paha dan sela-

sela jari paling sering terserang penyakit jamur ini.3

4. Keadaan sosial serta kurangnya kebersihan

Faktor ini memegang peranan penting pada infeksi jamur di mana terlihat

insiden penyakit jamur pada golongan sosial dan ekonomi yang lebih rendah,

penyakit ini lebih sering ditemukan dibanding golongan sosial dan ekonomi

yang lebih baik.3

5. Faktor umur dan jenis kelamin5

PATOFISIOLOGI6

9

Dermatofitosis bukan merupakan jamur pathogen endogen. Transmisi dermatofit

ke manusia dapat melalui 3 sumber yang masing-masing penyebabnya memberikan

gambaran yang khas. Dermatofit tidak memiliki virulensi secara khusus dan hanya akan

mengivasi bagian luar stratum korneum dari kulit. Penggunaan bahan yang tidak berpori

akan meningkatkan suhu dan keringat sehingga mengganggu fungsi pertahanan dari

stratum korneum. Infeksi dapat ditularkan melalui kontak langsung dengan individu atau

hewan yang terinfeksi, benda-benda seperti pakaian, alat-alat dan lain-lain. Infeksi ini

dimulai dengan terjadinya kolonisasi hifa atau cabang-cabangnya dalam jaringan keratin

yang mati. Hifa ini memproduksi enzim keratolitik yang mengadakan difusi ke dalam

jaringan epidermis dan merusak kertainosit. Infeksi dermatofita terjadi dalam 3 tahap,

yaitu:6

1. Perlekatan ke keratinosit

Jamur superficial harus melewati berbagai rintangan untuk bisa melekat

pada jaringan keratin di antaranya sinar UV, suhu, kelembaban, kompetisi dengan

flora normal lain, sphingosin yang diproduksi oleh keratinosit, dan asam lemak

yang diproduksi oleh kelenjar sebasea yang bersifat fungistatik. 6

2. Penetrasi melalui atau di antara sel

Setelah terjadi perlekatan atau penempelan, spora harus berkembang dan

menembus stratum korneum pada kecepatan yang lebih cepat daripada proses

deskuamasi. Penetrasi juga dibantu oleh sekresi proteinase lipase dan enzim

musinolitik yang menyediakan nutrisi untuk jamur. Trauma dan maserasi juga

membantu penetrasi jamur ke jaringan. Fungal mannan di dalam dinding sel

dermatofita juga bisa menurunkan kecepatan proliferasi keratinosit. Pertahanan

baru akan muncul ketika jamur mencapai lapisan terdalam dari epidermis.6

3. Perkembangan respons hospes

Derajat inflamasi dipengaruhi oleh status imun pasien dan organism yang

terlibat. Reaksi hipersensitivitas tipe IV atau Delayed Type Hypersensitivity

(DHT) memiliki peran yang sangat penting dalam melawan dermatofita pada

pasien yang belum pernah terinfeksi dermatofita sebelumnya. Infeksi ini akan

menghasilkan sedikit eritema dan skuama yang dihasilkan oleh peningkatan

pergantian keratinosit. Disebutkan bahwa antigen dermatofita diproses oleh sel

10

langerhans epidermis dan dipresentasikan oleh limfosit T di nodus limfe. Limfosit

T melakukan proliferasi dan bermigrasi ke tempat yang terinfeksi untuk

menyerang jamur. Pada saat ini, lesi tiba-tiba menjadi inflamasi dan barier

epidermalmenjadi permeable terhadap transferrin dan sel-sel yang bermigrasi.

Setelah itu jamur hilang dan lesi secara spontan akan menjadi sembuh.6

Akan timbul respons jaringan terjadap infeksi yang semakin jelas dan

meninggi yang disebut dengan ringworm setelah adanya masa inkubasi sekitar 1 –

3 minggu. Respon terhadap infeksi ini berupa proses proliferasi sel epidermis dan

menghasilkan skuama. Kondisi ini akan menciptakan bagian tepi yang aktif untuk

berkembang dan bagian pusat akan bersih. 6

GEJALA DAN TANDA KLINIS

Predileksi tinea ini adalah di daerah leher, ekstremitas, dan badan. kelainan yang

dilihat dalam klinik merupakan lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas terdiri dari eritema,

skuama, kadang dengan vesikel dan papul di bagian tepi. Daerah tengahnya biasanya

lebih tenang. Kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi-lesi pada umumnya

merupakan bercakan terpisah satu dengan yang lain. Kelainan kulit dapat dilihat sebagai

lesi-lesi dengan pinggir yang polisiklik, karena beberapa lesi kulit yang menjadi satu.

Bentuk dengan tanda radang yang lebih nyata, lebih sering dilihat pada anak-anak

daripada orang dewasa karena umumnya mereka mendapat infeksi baru pertama kali. 2

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan mikologik untuk membantu menegakkan diagnosis terdiri atas

pemeriksaan langsung sediaan basah dan biakan.2 Pemeriksaan langsung sediaan basah

dilakukan dengan mikroskop, mula-mula dengan pembesaran 10x10, kemudian dengan

pembesaran 10x45. Pembesaran 10x10 biasanya tidak diperlukan.2

Sediaan basah dibuat dengan meletakkan bahan diatas gelas alas, kemudian

ditambah 1-2 tetes larutan KOH. Konsentrasi larutan KOH untuk sediaan rambut 10%

dan untuk kulit dan kuku 20%. Setelah sediaan dicampur dengan larutan KOH, ditunggu

15-20 menit hal ini diperlukan untuk melarutkan jaringan. Untuk mempercepat proses

pelarutan dapat dilakukan pemanasan sediaan basah dengan diatas api kecil. Pada saat

mulai keluar uap dari sediaan tersebut, pemanasan sudah cukup. Bila terjadi penguapan,

11

maka akan terbentuk Kristal KOH, sehingga tujuan yang diinginkan tidak tercapai. Untuk

melihat elemen jamur yang lebih nyata dapat ditambahkan zat warna pada sediaan KOH,

misalnya tinta Parker super-chroom blue black.2

Bahan pemeriksaan dari kulit sebaiknya diambil dari daerah pinggir lesi yang

lebih aktif, tidak dari daerah tengah lesi yang biasanya sudah mulai menyembuh,

sehingga diperoleh bahan pemeriksaan yang cukup banyak. Selanjutnya bahan diletakkan

pada cawan petri. Pada sediaan kulit yang terlihat adalah hifa, sebagai dua garis sejajar,

terbagi oleh sekat, dan bercabang, maupun spora berderet/berdekatan (arthrospora) pada

kelainan kulit lama dan / atau sudah diobati.2

Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menyokong pemeriksaan

langsung sediaan basah dan untuk menentukan spesies jamur. Pemeriksaan ini dilakukan

dengan menanamkan bahan klinis pada media buatan. Yang dianggap paling baik adalah

medium agar dekstrosa Saboraud.2

Pemeriksaan lampu Wood adalah pemeriksaan yang menggunakan sinar

ultraviolet dengan panjang gelombang 365 nm. Sinar ini tidak dapat dilihat. Bila sinar ini

diarahkan ke kulit yang mengalami infeksi jamur dermatofita tertentu, sinar ini akan

berubah menjadi dapat dilihat dengan memberi warna (fluoresensi). Beberapa jamur yang

memberikan fluoresensi yaitu M.canis, M. ferrugineum dan T. schoenleinii.9

DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan:

1. Anamnesis

Dari anamnesis didapatkan rasa gatal yang sangat mengganggu, dan gatal

bertambah bila berkeringat. Rasa gatal yang dirasa membuat pasien

menggaruk sehingga timbul lesi dan lesi bertambah luas, terutama pada kulit

yang lembab.5

2. Gejala klinis yang khas5

3. Pemeriksaan laboratorium

Pada kerokan kulit dengan KOH 10 – 20% bila positif memperlihatkan

elemen jamur berupa hifa panjang dan artrospora (hifa yang bercabang) yang

12

khas pada infeksi dermatofita. Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan

untuk menyokong pemeriksaan langsung sediaan basah dan untuk

menentukan spesies jamur. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan

bahan klinis pada media buatan. Pemeriksaan yang dianggap paling baik pada

waktu ini adalah medium Agar Dekstrosa Sabouraud.5

PENCEGAHAN

Pencegahan untuk penyakit infeksi jamur adalah sebagai berikut:

1. Perkembangan infeksi jamur diperberat oleh panas, basah dan maserasi. Jika

faktor-faktor lingkungan ini tidak diobati, kemungkinan penyembuhan akan

lambat. Daerah intertrigo atau daerah antara jari-jari sesudah mandi harus

dikeringkan betul dan diberi bedak pengering atau bedak anti jamur.3

2. Pasien dengan hiperhidrosis dianjurkan agar memakai kaos dari bahan katun yang

menyerap keringat, jangan memakai bahan yang terbuat dari wool atau bahan

sintetis.3

3. Pakaian dan handuk agar sering diganti dan dicuci bersih-bersih dengan air

panas.3

PENATALAKSANAAN

Non-Medikamentosa9

Menurut Badan POM RI (2011), dikatakan bahwa penatalaksanaan non

medikamentosa adalah sebagai berikut:

a. Gunakan handuk tersendiri untuk mengeringkan bagian yang terkena infeksi atau

bagian yang terinfeksi dikeringkan terakhir untuk mencegah penyebaran infeksi

ke bagian tubuh lainnya

b. Jangan menggunakan handuk, baju, atau benda lainnya secara bergantian dengan

orang yang terinfeksi

c. Cuci handuk dan baju yang terkontaminasi jamur dengan air panas untuk

mencegah penyebaran jamur tersebut

d. Bersihkan kulit setiap hari menggunakan sabun dan air untuk menghilangkan sisa-

sisa kotoran agar jamur tidak mudah tumbuh

13

e. Jika memungkinkan hindari penggunaan baju dan sepatu yang dapat

menyebabkan kulit selalu basah seperti bahan wool dan sintesis yang dapat

menghambat sirkulasi udara

f. Sebelum menggunakan sepatu, sebaiknya di lap terlebih dahulu dan bersihkan

debu-debu yang menempel pada sepatu

g. Hindari kontak langsung dengan orang yang mengalami infeksi jamur. Gunakan

sandal yang terbuat dari bahan kayu dan karet

Medikamentosa

Topikal

Menurut Kuswadji dan Widaty (2001) obat antijamur topikal yang ideal adalah

obat yang aktif pada konsentrasi sangat rendah, mempunyai formula yang beragam, efek

samping minimal atau bahkan tidak ada, dengan formula yang spesifik (misalnya untuk

kuku dan mukosa) dan mempunyai manfaat tambahan untuk kelainan yang biasa

menyertai infeksi jamur (misalnya antiinflamasi, keratolitik dan antibakteri). Obat topikal

yang diperuntukkan pada infeksi dermatofita berdasarkan mekanisme kerjanya meliputi :

1. Bahan kimia antiseptik

Mempunyai sifat antibakteri dan antijamur ringan serta bersifat

mengeringkan, misalnya Cestallani paint (solusio carbol fuchsin) dapat digunakan

untuk kasus tinea kruris dan kandidosis intertriginosa. Selain itu juga dapat

dindikasikan untuk tinea unguium, tinea imbrikata dan tinea korporis.

2. Bahan keratolitik

Yaitu bahan yang meningkatkan eksfoliasi stratum korneum. Misalnya salep

Whitefield mengandung asam salisilat 3 %, asam benzoat 6 % dalam petrolatum,

dikatakan efektif bagi tinea pedis dan asam undesilenat krim dan bedak 3 %.

Asam salisilat pada konsentrasi rendah (1 2 %) berefek keratoplastik, konsentrasi

tinggi (3 20 %) berefek keratolitik dan dipakai pada keadaan dermatosis yang

hiperkeratotik dan pada konsentrasi sangat tinggi (40 %) dipakai untuk kelainan-

kelainan yang dalam. Asam salisilat berkhasiat fungisid terhadap banyak fungi

pada konsentrasi 3 6 % dalam salep, selain itu berkhasiat bakteriostasis lemah.

Asam salisilat tidak dapat dikombinasikan dengan seng oksida karena akan

14

terbentuk garam sengsalisilat yang tidak aktif. Asam benzoat mempunyai sifat

antiseptik terutama fungisidal. Salep Whitefield dapat juga berguna untuk

pengobatan topikal pada tinea kruris, tinea unguium dan tinea korporis. Asam

undesilenat dalam bentuk cairan dapat digunakan pada tinea unguium.

3. Golongan allilamin

Golongan ini bekerja dengan menghambat enzim epoksidase skualen pada

proses pembentukan ergosterol membran sel jamur. Allilamin memiliki

efektivitas klinis yang tinggi dengan angka kesembuhan berkisar 70 100 %.

Naftitin merupakan obat antijamur berspektrum luas dan derivat allilamin yang

sintetis. Dapat menurunkan ergosterol yang menghambat pertumbuhan sel jamur.

Pada konsentrasi 1 % memiliki daya antiinflamasi. Tersedia dalam bentuk krim,

gel atau solusio 1 %. Penderita tinea korporis dewasa maupun anak-anak cukup

dioleskan 4 kali sehari pada sekitar lesi selama 2 minggu dalam bentuk krim 1 %.

Tinea kruris 4 kali sehari selama 2 4 minggu dalam bentuk krim 1 %. Tinea pedis

dioleskan 4 kali sehari dalam bentuk krim 1 % atau 2 kali sehari dalam bentuk gel

1 %. Terbinafin merupakan derivat allilamin yang sintetis yang menghambat

epoksidase skualen, sebuah enzim penting dalam biosintesis sterol pada jamur

yang menghasilkan defisiensi ergosterol, penyebab kematian sel jamur. Penelitian

menemukan bahwa obat ini efektif dan tertoleransi dengan baik oleh anak-anak.

Terbinafin dioleskan 4 kali sehari pada penderita tinea kruris dan tinea korporis

baik dewasa maupun anak-anak dalam waktu 1 4 minggu. Penderita tinea pedis

dewasa dan anak-anak (>12 tahun) diberikan olesan sebanyak 2 kali sehari dalam

bentuk krim

4. Golongan benzilamin

Butenafin merupakan obat anti jamur baru, termasuk golongan benzilamin

yang bersifat fungisidik terhadap dermatofit, seperti Trichophyton

mentagrophytes, Microsporum canis dan Trichophyton rubrum yang

menyebabkan infeksi-infeksi tinea. Butenafin bekerja pada stadium yang lebih

dini dalam alur metabolisme sehingga menyebabkan terjadinya akumulasi skualen

dan kematian sel jamur. Sifat fungisidik butenafin menyebabkan masa pengobatan

yang pendek dengan angka kesembuhan yang tinggi dan angka kekambuhan yang

15

rendah. Penderita tinea korporis dewasa dan anak-anak (> 12 tahun) dioleskan

sebanyak 4 kali sehari selama 2 minggu dalam bentuk krim 1 %. Penderita tinea

kruris dewasa dan anak-anak (> 12 tahun) dioleskan sebanyak 4 kali sehari selama

2 4 minggu dalam bentuk krim 1 %. Penderita tinea pedis dewasa dan anak-anak

(> 12 tahun) dioleskan sebanyak 2 kali sehari selama 1 minggu atau 4 kali sehari

selama 2 4 minggu dalam bentuk krim 1 %.

5. Golongan imidazole

Umumnya senyawa imidazol ini berkhasiat fungistatis dan pada dosis tinggi

bekerja fungisid terhadap fungi tertentu. Imidazol memiliki efektivitas klinis yang

tinggi dengan angka kesembuhan berkisar 70 100 %. Mekanisme kerjanya dengan

menghambat sintesis ergosterol, suatu unsur penting untuk integritas membran

sel. Golongan imidazol meliputi :

a. Mikonazol

Derivat mikonazol ini berkhasiat fungisid kuat dengan spektrum kerja

lebar sekali. Lebih aktif dan efektif terhadap dermatofit biasa dan kandida

daripada fungistatika lainnya. Zat juga bekerja bakterisid pada dosis terapi

terhadap sejumlah kuman Gram positif kecuali basil-basil Doderlein yang

terdapat dalam vagina. Penderita tinea kruris dewasa dan anak-anak diberikan

sebanyak 2 kali sehari selama 4 minggu dalam bentuk krim 2 %, bedak kocok

ataupun bedak. Penderita tinea pedis dewasa dan anak-anak diberikan

sebanyak 2 kali sehari selama 2-6 minggu dalam bentuk krim 2 % atau bedak

kocok. Jika menggunakan bedak, maka cukup ditaburkan 2 kali sehari selama

2-4 minggu

b. Klotrimazol

Derivat imidazol ini memiliki spektrum fungistatis yang relatif lebih

sempit daripada mikonazol. Pada konsentrasi tinggi, zat ini juga berdaya

bakteriostatis terhadap kuman Gram positif. Penderita tinea pedis dan tinea

korporis dewasa diberikan sebanyak 2 kali sehari selama 2 6 minggu dalam

bentuk krim 1 % atau solusio, sedangkan pada anak-anak tidak tersedia.

Penderita tinea kruris dewasa dan anak-anak diberikan sebanyak 2 kali sehari

selama 4 minggu dalam bentuk krim 1 %, solusio ataupun bedak kocok

16

c. Ketokonazol

Ketokonazol adalah fungistatikum imidazol pertama yang digunakan per

oral (1981). Spektrum kerjanya mirip dengan mikonazol dan meliputi banyak

fungi patogen. Penderita tinea pedis dewasa dan anak-anak dioleskan

sebanyak 2 kali atau 4 kali sehari selama 2-4 minggu dalam bentuk krim 1 %.

Penderita tinea kruris dewasa dan anak-anak dioleskan sebanyak 2 kali atau 4

kali sehari selama 2-4 minggu dalam bentuk krim 2 %. Penderita tinea

korporis dewasa dan anak-anak dioleskan sebanyak 4 kali sehari selama 2

minggu dalam bentuk krim 2 %

d. Ekonazol

Ekonazol adalah derivat mikonazol, tetapi satu dari empat atom klor

diganti oleh atom H. Spektrum kerjanya lebih kurang sama, hanya lebih aktif

terhadap Aspergillus. Obat ini efektif untuk infeksi kutaneus. Titik

tangkapnya berhubungan dengan metabolisme sintesis RNA dan protein,

mengganggu permeabilitas dinding sel jamur sehingga menyebabkan

kematian sel jamur. Penderita tinea pedis dewasa dan anak-anak dioleskan

sebanyak 2 kali atau 4 kali sehari selama 4 minggu dalam bentuk krim 1 %.

Penderita tinea kruris dewasa dan anak-anak dioleskan sebanyak 2 kali atau 4

kali sehari dalam bentuk krim 1 %.

e. Oksikonazol

Oksikonazol merupakan obat jamur yang memiliki spetrum luas. Titik

tangkapnya yaitu menghambat sintesis ergosterol yang akan menyebabkan

kematian sel jamur. Penderita tinea pedis dewasa dan anak-anak dioleskan

sebanyak 4 kali sehari selama 2 minggu dalam bentuk krim 1 %. Penderita

tinea kruris dewasa dan anak-anak dioleskan sebanyak 4 kali sehari selama 2 4

minggu dalam bentuk krim 1 % atau bedak kocok.

f. Sulkonazol

Sulkonazol merupakan obat jamur yang memiliki spektrum luas. Titik

tangkapnya yaitu menghambat sintesis ergosterol yang akan menyebabkan

kebocoran komponen sel, sehingga menyebabkan kematian sel jamur.

17

Penderita tinea kruris dewasa dan anak-anak (> 12 tahun) dioleskan sebanyak

4 kali sehari selama 2 4 minggu dalam bentuk krim 1 % atau solusio.

g. Sertakonazol

Bentuk krim sertakonazol nitrat merupakan antijamur yang aktif melawan

Trichophyton rubrum, Trichophyton mentagrophytes dan Epidermophyton

floccosum. Diindikasikan untuk tinea pedis dengan dioleskan 2 kali sehari

baik dewasa maupun anak-anak (> 12 tahun).

h. Bifonazol

Bifonazol merupakan derivat imidazol yang berkhasiat terhadap beberapa

jenis jamur dan ragi yang patogen terhadap manusia serta terhadap beberapa

kuman Gram positif. Bifonazol bermanfaat pada pengobatan tinea unguium

dalam bentuk losio atau krim yang dikombinasikan bersama urea 40%.

6. Golongan lainnya

a. Siklopiroks

Senyawa hidroksipiridon ini berspektrum luas. Senyawa ini berkhasiat

fungisid terhadap Candida albican dan Trichophyton rubrum, fungistatis

terhadap Malassezia furfur (panu), lagi pula bekerja bakteriostatis lemah.

Walaupun struktur kimianya berbeda dengan zat-zat imidazol, tetapi

mekanisme kerjanya diperkirakan sama, yaitu terhadap membran plasma sel

jamur. Mungkin juga mekanisme kerjanya berdasarkan perintah transpor dari

asam-asam amino dan ion-ion melalui membran sel. Daya kerjanya diperkuat

bila dibuat ester oalmin. Siklopiroks khusus digunakan secara dermal.

Penderita tinea pedis dewasa dan anak-anak (> 10 tahun) dioleskan sebanyak

2 kali sehari dalam bentuk krim 1 %, jika tidak ada perbaikan setelah 4

minggu maka perlu dievaluasi lagi. Hal tersebut juga berlaku pada penderita

tinea kruris dan tinea kapitis. Solusio siklopiroks telah dilaporkan dapat

berpenetrasi melalui semua lapisan kuku pada kasus tinea unguium namun

memiliki efikasi yang rendah sehingga perlu kombinasi dengan obat antijamur

oral.

b. Tolnaftat

18

Tonaftat termasuk golongan tiokarbonat dan merupakan antijamur yang

sangat efektif terhadap dermatofitosis dan infeksi Pityrosporum orbiculare

tetapi tidak terhadap Candida. Mekanisme kerjanya adalah dengan

menghambat epoksidasi skualen pada membran sel jamur. Biasanya

digunakan 2 kali sehari selama 2 4 minggu dan dilanjutkan 2 minggu setelah

gejala klinis hilang. Penderita tinea kruris dewasa dan anak-anak dioleskan

sebanyak 2 kali sehari. Tersedia dalam bentuk krim 1 %, solusio dan bedak.

Tolnaftat dapat diindikasikan pada pengobatan topikal untuk tinea korporis

dan tinea unguium. Contoh nama merk dagang obat tolnaftat adalah tinactin.

c. Haloprogin

Haloprogin berkhasiat fungisid terhadap Epidermophyton, Pityrosporum,

Trichophyton dan Candida. Kadang-kadang terjadi sensitasi dengan timbulnya

gatal-gatal, perasaan terbakar dan iritasi kulit. Penderita tinea kruris dewasa

dan anak-anak dioleskan sebanyak 3 kali sehari. Tersedia dalam bentuk krim 1

% dan solusio. Biasanya digunakan dalam waktu 2 4 minggu.

Pengobatan pada tinea unguium sangat memerlukan kombinasi dengan obat

antijamur oral terutama generasi baru seperti itrakonazol dan terbinafin, karena jika

hanya mengandalkan obat topikal saja maka daya penetrasi terhadap kuku sangat terbatas

sehingga tidak efektif. Pengobatan tinea manus pada prinsipnya sama dengan pengobatan

yang dilakukan pada tinea pedis.

Sistemik

- Griseofulvin 500 mg sehari untuk dewasa, sedangkan anak-anak 10-25 mg/kgBB

sehari. Lama pemberian griseofulvin pada tinea korporis adalah 3-4 minggu,

diberikan bila lesi luas atau bila dengan pengobatan topikal tidak ada perbaikan.

- Pada kasus yang resisten terhadap griseofulvin dapat diberikan derivat azol yang juga

fungistatik seperti ketokonazol 200 mg per hari selama 2-4 minggu pada pagi hari

setelah makan, atauitrakonazol 100-200 mg/hari selama 2-4 minggu atau 200 mg/hari

selama 1 minggu, flukonazol 150 mg 1x/mgg selama 2-4 minggu, terbinafin 250

mg/hari selama 1-2 minggu.

19

- Terbinafin yang bersifat fungisidal juga dapat diberikan sebagai pengganti greosulfin

selama 2-3 minggu dosisnya 62,5 mg – 250 mg sehari bergantung pada berat badan.

- Antibiotika diberikan bila terdapat infeksi sekunder. Dan low-potency kortikosteroid

jangka pendek hanya pada keadaan tertentu (masih dalam penelitian).6

PROGNOSIS

Prognosis penyakit ini baik dengan diagnosis dan terapi yang tepat asalkan

kelembapan dan kebersihan kulit selalu dijaga.2

BAB III

PEMBAHASAN

20

Berdasarkan anamnesis, terdapat bercak kemerahan disertai gatal pada tungkai

bawah kanan sejak 2 pekan yang lalu. Awalnya pasien hanya mengeluhkan gatal, tetapi

tidak ada kelainan didaerah gatal tersebut. Beberapa hari kemudian, pasien mengeluhkan

adanya bercak merah pada daerah gatal tersebut. Gatal tersebut dirasakan semakin gatal

ketika berkeringat dan saat cuaca panas sehingga pasien sering menggaruk daerah

tersebut karena dirasakan sangat menggangu. Setelah itu, pasien mengaku daerah yang

gatal menjadi kering tetapi bagian pinggirnya tetap kemerahan dan terasa gatal. Pasien

merasa daerah yang gatal semakin lama semakin meluas dan kini pasien mengatakan

sudah lebih besar dari ukuran uang koin.

Keterangan berikut mendukung diagnosa adanya infeksi jamur atau dermatofita.

Menurut literature mengatakan pada infeksi jamur dermatofita atau tinea dimana

predileksi dari penyakit ini adalah di daerah leher, ekstremitas, dan badan. kelainan yang

dilihat dalam klinik merupakan lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas terdiri dari eritema,

skuama, kadang dengan vesikel dan papul di bagian tepi. Daerah tengahnya biasanya

lebih tenang. Kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi-lesi pada umumnya

merupakan bercakan terpisah satu dengan yang lain. Kelainan kulit dapat dilihat sebagai

lesi-lesi dengan pinggir yang polisiklik, karena beberapa lesi kulit yang menjadi satu.

Khas lesi pada pasien ini dapat melemahkan diagnosa banding dermatitis

nummular karena dari literature menyatakan pada khas dari dermatitis nummular adalah

terdapatnya lesi yang basah akibat papul-vesikel yang mudah pecah. Pada pasien ini tidak

ditemukan lesi khas tersebut. Khas lesi dari pasien ini bisa kita pikirkan diagnose untuk

Morbus Hansen. Berdasarkan literature bahwa pada Morbus Hansen tipe BL dan tipe BB

mempunyai khas lesi plak dan papul, tetapi jumlahnya multiple dan sensibilitas

berkurang. Pada pasien ini mengeluhkan adanya rasa gatal yang menandakan sensibilitas

yang masih baik, maka dari itu diagnose banding Morbus Hansen dapat dilemahkan.

Pasien juga mengatakan untuk mengurangi rasa gatal, pasien memberikan bedak

pada daerah yang gatal. Pasien mengaku tidak pernah mengolesi salep atau krim lainnya

sebelum atau sesudah muncul keluhan pada daerah yang kemerahan dan gatal tersebut.

Kegiatan pasien dirumah sering mencuci sehingga menyebabkan bagian tungkai sering

terkena air dan basah. Dari keterangan pasien tersebut dapat melemahkan diagnosa

banding dermatitis kontak. Menurut literature, dermatitis kontak timbul jika adanya

21

kontak atau paparan dengan bahan iritan dan allergen sebelum dan sesudah munculnya

keluhan.

Riwayat higienitas pasien berperan sebagai faktor resiko yang mendukung kearah

diagnose infeksi jamur dermatofita yaitu tinea korporis. Riwayat penyakit dahulu dan

penyakit keluarga menyatakan bahwa pada pasien terdapat riwayat dermatitis atopi yang

pada saat ini tidak bereaksi.

Pada pemeriksaan fisik dari inspeksi dan palpasi pada status dermatologikus

didapatkan pada tungkai bawah kanan bagian dalam terdapat papul eritematosa dengan tepi

polisiklik, sirkumskrip (berbatas tegas) disertai skuama ditengahnya dengan daerah tepi lebih

kemerahan dibandingkan daerah tengah, dengan bentuk sirsinar (bulat/lingkaran), berukuran

numular (sebesar uang logam). Lesi ini khas pada penyakit dermatofitosis dan semakin

melemahkan diagnosa banding dermatitis numularis yang mempunyai lesi khas yaitu lesi yang

basah.

Pada pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan KOH 10% dengan cara

mengambil kerokan dari bagian tepi kelainan yang terlihat lebih aktif sampai dengan

sedikit di luar kelainan dan didapatkan hasil positif memperlihatkan elemen jamur berupa

hifa panjang dan artrospora (hifa yang bercabang). Pada pemeriksaan biakan atau kultur

dengan Agar Dekstrose Saboraud yang bertujuan untuk menilai pertumbuhan jamur dan

melihat spesies jamur didapatkan spesies jamur Trycophyton rubrum, dimana spesies

jamur ini adalah jamur yang tersering menjadi penyebab tinea corporis. Pemeriksaan

fluoresensi sinar Wood didapatkan hasil fluoresensi hijau atau biru kehijauan yang

menunjukkan adanya infeksi jamur dermatofita. Dari semua pemeriksaan penunjang ini

membuktikan diagnosa pada pasien ini adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh

infeksi jamur superfisial golongan dermatofita yaitu Trycophyton rubrum dengan gejala

klinis dan tanda yang khas, yang dapat menyingkirkan diagnosa banding.

Pada penatalaksanaan pasien di edukasi mengenai penyakit akibat keluhannya tersebut.

Pasien diberikan obat topikal yaitu mikonazol 2%. Berdasarkan literatur menyatakan obat-obatan

antifungi berkhasiat sebagai fungisidal kuat dengan spectrum kerja yang lebar. Lebih

efektif dan aktif terhadap dermatofit biasa dan kandida daripada fungistatika lain.

Diberikan antibiotic topical untuk menghindari dari infeksi sekunder jika adanya erosi

dan kortikosteroid topical yang dikombinasikan dengan antifungi sebagai antiinflamasi

dari sifat-sifat inflamasi yang muncul pada penyakit ini.

22

DAFTAR PUSTAKA

1. Siregar, RS. 2008. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit Edisi 2. Jakarta: EGC.

2. Budimulja, U. 2007. Mikosis, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Editor: Djuanda

A, Hamzah M, AIsah S. Edisi Kelima. Cetakan ke-2. Jakarta: Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia.

3. Harahap, M. 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates.

4. Rushing, ME. 2012. Tinea Corporis. Tersedia:

http://www.emedicine.com/asp/tineacorporis/article/pagetype=Article.htm.

5. Patel S, Meixner JA, Smith MB, McGinnis MR. 2006. Superficial mycoses and

dermatophytes. In : Tyring SK, Lupi O, Hengge UR, editors. Tropical

dermatology. China: Elsenvier inc.

6. Wolff, K. 2009. Fitzpatrick’s Color Atlas of Atlas & Synopsis of Clinical

Dermatology. 6th ed. United States of America : Mc Graw Hill.

7. Cholis, M. 2001. Penatalaksanaan Tinea Glabrosa dan Perkembangan Obat

Antijamur. Malang: Laboratorium Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas

Kedokteran Universitas Brawijaya.

8. Arndt KA, Bowers KE. Manual of dermatology therapeutics with essential of

diagnostic. 6th ed. Philadelphia: Lippincot Williams & willkins.2002.

9. Arianna, Dewi. 2014. Tingkat Pengetahuan Mahasiswa Akademi Kebidanan

Medan Angkatan 2012 Tentang Penyakit Tinea Korporis. Medan: FK USU.

23