Presentasi Kasus crf 2007
-
Upload
anton-christian -
Category
Documents
-
view
49 -
download
0
description
Transcript of Presentasi Kasus crf 2007
PRESENTASI KASUS
Chronic Renal Failure
Diajukan kepada :
Dr.Aditiawarman, Sp.PD
Disusun oleh :
Rezky Galuh Saputra
G1A212058
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
RSUD PROF. Dr. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO
2012
LEMBAR PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS
Chronic Renal Failure
Disusun Oleh :
Rezky Galuh Saputra
G1A212058
Telah dipresentasikan pada
Tanggal, November 2012
Pembimbing,
Dr.Aditiawarman, Sp.PD
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Sdr. Y
Umur : 23 tahun
Jenis kelamin : Laki-Laki
Pekerjaan : Belum bekerja/Mahasiswa
Agama : Islam
Alamat : Kalimalang, Purbalingga
Tanggal masuk : 05 November 2012
Tanggal periksa : 06 November 2012
Bangsal : Asoka
II. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama : Sesak Nafas
2. Keluhan
Tambahan :
Nyeri dada, Mual, Muntah, Kedua kaki
bengkak.
3. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang dengan keluhan sesak
nafas sejak 6 hari SMRS. Sesak napas
dirasakan bertambah berat ketika sedang
berbaring dan berkurang ketika dalam posisi
setengah duduk. Sesak napas dirasakan pasien
semakin memberat dari hari ke hari dan
sangat mengganggu aktivitas pasien. Pasien
mengeluh sangat lemas dan nafsu makan
tidak ada.
Pasien juga mengeluhkan sering mual
dan terkadang muntah. Mual dirasakan
hampir setiap hari dan biasanya memberat
setelah makan. Pasien juga merasakan
bengkak di kedua kakinya. Bengkak di kedua
kaki dirasakan sejak 2 minggu SMRS.
Keluhan kaki bengkak tanpa disertai rasa
sakit, namun hanya terasa berat.
Selain itu pasien juga mengeluh sering
nyeri dada sebelah kiri dan berdebar-debar.
Keluhan tersebut biasanya timbul setelah
pasien melakukan aktivitas. Keluhan nyeri
dada dan perasaan berdebar-debar dirasakan
sejak 3 bulan yang lalu. Nyeri dada dirasakan
seperti perasaan tertusuk dan pegal di dada
sebelah kiri. Nyeri dirasakan memberat saat
melakukan aktivitas dan berkurang setelah
istirahat.
4. Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat keluhan yang sama disangkal.
Riwayat hipertensi disangkal.
Riwayat sakit ginjal disangkal.
Riwayat penyakit jantung disangkal
Riwayat penyakit kencing manis
disangkal.
Riwayat asma disangkal.
Riwayat Mondok pada awal tahun 2012
karena bengkak pada kedua tangan dan
kaki
5. Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada anggota keluarga yang
menderita penyakit yang sama.
Riwayat sakit ginjal disangkal.
Riwayat penjakit jantung pada keluarga:
Kakek pasien mempunyai riwayat
penyakit jantung.
Riwayat asma pada keluarga : Kakek
pasien mempunyai riwayat asma.
Riwayat hipertensi pada keluarga : Kakek
pasien mempunyai riwayat hipertensi.
Riwayat penyakit kencing manis pada
keluarga disangkal.
6. Riwayat sosial dan exposure
a. Community
Pasien adalah anak kedua dari tiga bersaudara yang tinggal bersama kakak,
adik, ibu dan ayahnya di lingkungan perumahan yang cukup padat
penduduknya. Keluarga pasien berstatus sosial dan ekonomi menengah ke
atas, dan sumber pendanaan kesehatan berasal dari Askes dan pribadi.
b. Home
Pasien tinggal di sebuah rumah dengan empat orang keluarganya. Rumah
yang dihuni pasien dan keluarga terdiri dari 5 kamar dan terdapat 3 kamar
mandi.
c. Occupational
Pasien merupakan seorang mahasiswa tingkat akhir di Universitas Sebelas
Maret. Kebutuhan sehari-harinya tercukupi dari penghasilan ayahnya yang
bekerja sebagai wiraswasta di Purbalingga.
d. Personal habit
Pasien mempunyai kebiasaan jarang minum air putih jika sedang melakukan
aktivitas dan sering makan makanan ringan.
e. Diet
Menu makan pasien terdiri dari nasi dan sayur mayur, daging.
III. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Tampak lemah.
Berat Badan : 55 kg
Tinggi Badan : 170 cm
Kesadaran : Compos mentis
Vital Sign : Tekanan darah : 160/110 mmHg
Nadi : 108 kali / menit
Respirasi : 28 kali/menit, reguler
Suhu : 36,9 oC
Status Umum
Pemeriksaan Kepala
Bentuk kepala : Mesocephal, simetris, VT (-),
Rambut : Distribusi merata, tidak mudah dicabut
Venektasi : Tidak ada
Pemeriksaan Mata
Konjungtiva : Anemis (+/+)
Sklera : Ikterik (-/-)
Pupil : Reflek cahaya (+/+)n , isokor
Palpebra : Oedem (-/-)
Perdarahan : (-/-)
Pemeriksaan Telinga
Discharge : (-/-)
Perdarahan : (-/-)
Pemeriksaan Hidung
Deviasi septum : (-)
Discharge : (-)
Epistaksis : (-)
Pemeriksaan Mulut
Bibir kering : (-)
Lidah kotor : (-)
Pemeriksaan Leher
Trakea : Deviasi trakea (-)
Kelenjar tiroid : Pembesaran (-)
Kelenjar limfonodi : Pembesaran (-)
JVP : Tidak meningkat
Pemeriksaan Thorak
Paru
Inspeksi : Retraksi (-), ketinggalan gerak (-)
Palpasi : Vokal fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor pada ke dua paru, Batas paru hepar pada
SIC V LMCD
Auskultasi : Suara dasar vesikuler
Ronkhi (-), Whezing (-)
Cor
Inspeksi : Iktus cordis tampak SIC VI 2 jari lateral LMCS
Palpasi : Iktus cordis teraba di SIC VI 2 jari lateral LMCS,
kuat angkat (-)
Perkusi : Batas jantung
Batas kanan atas : SIC II LPSD
Batas kanan bawah SIC V LPSD
Batas kiri atas SIC II LPSS
Batas kiri bawah SIC VI 2 jari medial LMC
sinistra
Auskultasi : S1 > S2, Reguler, Gallop (+), Bising (-)
Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Tampak Cembung, venektasi (-)
Auskultasi : Peristaltik usus (+) normal
Palpasi : Nyeri tekan (+) di epigastrium, hepar teraba 3 cm
BACD, permukaan tumpul, tepi lancip, konsistensi
kenyal
Lien tidak teraba. Undulasi (+)
Perkusi : Timpani, Pekak beralih (+), pekak sisi (+)
Pemeriksaan Ekstremitas
Superior : Oedem (-/-)
Inferior : Oedem (+/+)
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tanggal 5-11-2012
Darah lengkap
- Hb : 7,8 g/dl ↓ (nilai normal): 13-16 gr/dl
- Leukosit : 10820 /µl ↑ 5000 – 10.000 /ul
- Hematokrit : 24 % ↓ L 40 – 48, p 37 – 43 %
- Eritrosit : 2,8 juta /ul ↓ L 4,5 – 5,5 , p 4 – 5 juta /ul
- Trombosit : 241000/µl 150.000 – 400.000 /ul
- MCV : 86,5 pg 82 – 92 pg
- MCH : 27,8 % ↓ 31 – 37 %
- MCHC : 32,1 g/dl 32 – 36 gr/dl
Hitung jenis lekosit :
Eosinofil : 3 ↑ 0-1 %
Basofil : 0,2 ↓ 1-3 %
Batang : 0,00 ↓ 2-6 %
Segmen : 82,7 ↑ 50-70 %
Limfosit : 17,5 ↓ 20-40 %
Monosit : 6,9 2-8 %
Kimia Darah
SGOT : 68 ↑ (< 37 UI/l)
SGPT : 696 ↑ (< 41 UI/l)
CK : 185
CKMB : 15
Ureum darah : 91,9 mg/dl ↑ (10-50 mg/dl)
Kreatinin darah : 10,90 mg/dl ↑ (0,7-1,2 mg/dl)
GDS : 114 mg/dl
Natrium : 135 mmol/L ↓
Kalium : 4,5 mmol/L
Klorida : 93 mmol/L
Pemeriksaan EKG
Kesimpulan : sinus tachycardia, ST and T wave abnormality, Consider
anterolateral Ischemia, abnormal ECG.
V. KESIMPULAN PEMERIKSAAN
A. Anamnesis :
- Sesak napas sejak 6 hari SMRS
- Gangguan gastrointestinal (mual, muntah, nafsu makan turun)
- Lemas
- Kaki bengkak
- Nyeri dada
- Dada sering berdebar-debar
B. Pemeriksaan Fisik :
- KU/Kes : Lemah, tampak sesak / CM
- Vital Sign : TD : 160/110 Hipertensi grade II
RR : 28 kali / menit
Nadi : 104 kali / menit
- Mata : Konjungtiva anemis
- Jantung : Gallop (+)
- Abdomen : Nyeri tekan epigastrium (+), ascites (+),
hepatomegali
- Ekstremitas : Edema tungkai
C. Hasil Laboratorium
- Anemia- Leukositosis- Ureum dan Kreatinin darah meningkat- LFG = (140 – umur)x BB
72x Creatinin plasma = (140 – 23)x 55
72x 10,9 = 8,2 ml/mnt
- Hiponatremi- Hipokloremia
VI. DIAGNOSIS KERJA
CRF dan IHD
VII. RENCANA PEMECAHAN MASALAHNYA
Problem I : sesak nafas
KU lemah, sesak nafas, Rr 28 x/menit, tes undulasi (+), pekak alih (+), pekak
sisi (+), udem tungkai
Assesment : DD/ CHF dan CRF
IPDx foto thorax PA, darah rutin, ureum dan kreatinin. SGOT dan SGPT
IPTx O2 4 liter/menit
IVFD NaCl 10 tts/menit
Inj Ceftriaxone 2x1 gram I.V
Inj Furosemide 3x2 ampul I.V
IPMx Keadaan umum, tanda tanda vital
IPEx Penjelasan tentang penyakit, pengelolaan dan prognosis
Problem 2 : sindroma uremia
(mual, muntah, ureum tinggi, kreatinin tinggi)
Hasil laboratorium tanggal 5 November 2012
- Ureum 91,9 mg/dl
- Kreatinin 10,90 mg/dl
Assesmen : CRF
IPTx :
- Non Farmakologis
Diet tinggi kalori untuk menghilangkan gejala anoreksia dan nausea dari
uremia. Jumlah kalori 30 – 35 kkal/kgBB/hari.
- Farmakologis :
Inj Ceftriaxone 2x1 gram I.V
Inj Ranitidin 2x1 ampul I.V
Inj Furosemide 2x2 ampul I.V
IPMx keadaan umum, tanda vital, balance cairan, elektrolit, cek ureum,
kreatinin
IPEx penjelasan tentang penyakit, pengelolaan dan prognosis.
Problem 3 : hipertensi
(tekanan darah 160/110)
Assesment : hipertensi grade II
IPTx : Farmakologis :
Amlodipin 2 x 10 mg per oral
Non farmakologis :
diet rendah garam
IPMx : keadaan umum dan tanda vital
IPEx : penjelasan tentang penyakit, pengelolaan dan prognosis
Problem 4 : Anemia derajat sedang
Hasil laboratorium tanggal 5 November 2012
Hb : 7,8 g/dl
Assesment : DD Anemia defisiensi Fe + asam folat
Anemia karena perdarahan gastrointestinal
IPTx : Transfusi PRC 2 Kolf
IPMx ada tidaknya tanda perdarahan spontan, cek Hb, leukosit dan trombosit
post tranfusi
IPEx penjelasan tentang penyakit, pengelolaan dan prognosis.
Problem 4 : Nyeri dada sebelah kiri dan berdebar-debar
Assesment : IHD
IPDx EKG
IPTx : Digoxin 2 x ½ tablet peroral
ISDN 3 x 5mg tablet peroral
IPMx Keadaan umum, tanda tanda vital
IPEx penjelasan tentang penyakit, pengelolaan dan prognosis.
Problem 5 : Udem tungkai
Assesment : DD CRF
CHF
Sindrom Nefrotik
IPDx EKG, albumin serum, protein urin
IPTx :
- Non Farmakologis
a. Diet rendah protein. Protein diberikan 0,6 – 0,8 g/ kgBB/ hari atau
20 - 40 g/ hari.
b. Pembatasan asupan air. Air yang masuk dianjurkan 500 – 800 ml
ditambah jumlah urin.
c. Mencegah hiperkalemia : menghindari asupan kalium yang besar
(≤ 60 mmol/hari), diuretik hemat kalium, obat- obat yang
berhubungan dengan eksresi kalium (NSAID).
- Farmakologis
Infus NaCl 0,9% + Furosemide 3 x 2 ampul
IPMx: lihat perkembangan berkurangnya udem dan balance cairan.
IPEx : Menjelaskan tentang penyakit, pengelolaanya, dan prognosisnya.
VIII. PROGNOSIS
Ad fungsional : dubia ad malam
Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
1) Batasan Penyakit Ginjal Kronik
Pada tahun 2002, National Kidney Foundation (NKF) Kidney Disease
Outcome Quality Initiative (K/DOQI) telah menyusun pedoman praktis
penatalaksanaan klinik tentang evaluasi, klasifikasi, dan stratifikasi penyakit
ginjal kronik.
Penyakit ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama
lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patalogis atau petanda kerusakan
ginjal seperti proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis
penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang
dari 60ml/menit/1,73m2 , seperti yang terlihat pada tabel 1.
Tabel 1. Batasan penyakit ginjal kronik
1. kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan
atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:
Kelainan patalogik
petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada
pemeriksaan pencitraan
2. laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m2 selama > 3 bulan dengan atau
tanpa kerusakan ginjal
(Chonchol, 2005)
2) Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik
Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium
ditentukan oleh nilai laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi
menunjukkan nilai laju filtrasi glomerulus yang lebih rendah, seperti terlihat
pada tabel 2. klasifikasi tersebut membagi penyakit ginjal kronik dalam lima
stadium.
1. Stadium 1 adalah kerusakan ginjal dengan fungsi ginjal yang masih
normal,
2. Stadium 2 kerusakan ginjal dengan penurunan fungsi ginjal yang ringan,
3. Stadium 3 kerusakan ginjal dengan penurunan sedang fungsi ginjal,
4. Stadium 4 kerusakan ginjal dengan penurunan berat fungsi ginjal, dan
5. Stadium 5 adalah gagal ginjal (Perazella, 2005).
LFG, yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockroft-Gault sebagai
berikut (Hladik, 2009) :
LFG (ml/menit/1,73m2) (140-umur) x berat badan *)
72 x kreatinin plasma (mg/dl)
*) pada perempuan dikalikan 0,85
Tabel 2. Laju filtrasi glomerulus dan stadium penyakit ginjal kronik
Stadium Fungsi ginjal Laju filtrasi glomerulus
(ml/menit/1,73m2 )
Risiko meningkat Normal > 90 (ada faktor risiko)
Stadium 1 Normal/meningkat > 90 (ada kerusakan
ginjal, proteinuria)
Stadium2 Penurunan ringan 60-89
Stadium 3 Penurunan sedang 30-59
Stadium 4 Penurunan berat 15-29
Stadium 5 Gagal ginjal < 15
(Chonchol, 2005).
B. Etiologi
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian
Renal Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi
terbanyak sebagai berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%),
hipertensi (20%) dan ginjal polikistik (10%) (Roesli, 2008).
a. Glomerulonefritis
Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal
yang etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan
gambaran histopatologi tertentu pada glomerulus. Berdasarkan sumber
terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer dan sekunder.
Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal
sendiri sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal
terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus
eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau amiloidosis
(Sudoyo, 2006).
Gambaran klinik glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan dan
ditemukan secara kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau keluhan
ringan atau keadaan darurat medik yang harus memerlukan terapi
pengganti ginjal seperti dialisis (Sukandar, 2006).
b. Diabetes melitus
Menurut American Diabetes Association (2003) dalam Soegondo
(2005) diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi
insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.
Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena
penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan
berbagai macam keluhan. Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus
dapat timbul secara perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari akan
adanya perubahan seperti minum yang menjadi lebih banyak, buang air
kecil lebih sering ataupun berat badan yang menurun. Gejala tersebut
dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan, sampai kemudian orang
tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar glukosa darahnya (Sudoyo,
2006).
c. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan
darah diastolik ≥ 90 mmHg. Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi
menjadi dua golongan yaitu hipertensi esensial atau hipertensi primer
yang tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan hipertensi sekunder
atau disebut juga hipertensi renal (Sudoyo, 2006).
d. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan
atau material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada
keadaan ini dapat ditemukan kista-kista yang tersebar di kedua ginjal,
baik di korteks maupun di medula. Selain oleh karena kelainan genetik,
kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit. Jadi ginjal
polikistik merupakan kelainan genetik yang paling sering didapatkan.
Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit ginjal polikistik
dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena sebagian besar
baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun. Ternyata kelainan ini
dapat ditemukan pada fetus, bayi dan anak kecil, sehingga istilah
dominan autosomal lebih tepat dipakai daripada istilah penyakit ginjal
polikistik dewasa (Sudoyo, 2006).
C. Faktor risiko
Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes
melitus atau hipertensi, obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun,
dan individu dengan riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan
penyakit ginjal dalam keluarga (National Kidney Foundation, 2009).
D. Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada
penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses
yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan
hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving
nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul
vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan
terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan
aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya
diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa.
Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif,
walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan
aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan
kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas
tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron,
sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor
β (TGF-β). Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya
progresifitas penyakiit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi,
hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk
terjadi sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstitial.
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kelhilangan
daya cadang ginjal (renal reserve), ada keadaan mana basal LFG masih
normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan
terjjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar
60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah
terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG
sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan
lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada
LFG dibawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang
nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme
fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga
mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas,
maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air
seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara
lain natrium dan kalium. Pada LFG dibawah 15% akan terjadi gejala dan
komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah sudah memerlukan terapi
pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis atau
transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium
gagal ginjal (Sudoyo, 2006).
E. Gambaran klinik
Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia
sangat kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: saluran
cerna, mata, kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri, kelainan
hemopoeisis dan kelainan kardiovaskular (Sukandar, 2006).
a. Kelainan saluran cerna
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian
pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis
mual dam muntah masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan
dengan dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia. Amonia
inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan
usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau
hilang setelah pembatasan diet protein dan antibiotika.
b. Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian
kecil pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah
beberapa hari mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat,
misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala
nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati)
mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai
pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium
pada conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan
hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa
pasien gagal ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder
atau tersier.
c. Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas
dan diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan
gatal ini akan segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit
biasanya kering dan bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea
pada kulit muka dan dinamakan urea frost
d. Kelainan selaput serosa
Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering
dijumpai pada gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal.
Kelainan selaput serosa merupakan salah satu indikasi mutlak untuk
segera dilakukan dialisis.
e. Kelainan selaput serosa
Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering
dijumpai pada gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal.
Kelainan selaput serosa merupakan salah satu indikasi mutlak untuk
segera dilakukan dialisis.
f. Kelainan neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia,
dan depresi sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan
mental berat
g. Kelainan hemopoeisis
Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU),
sering ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia yang terjadi
sangat bervariasi bila ureum darah lebih dari 100 mg% atau bersihan
kreatinin kurang dari 25 ml per menit.
h. Kelainan kardiovaskular
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik
sangat kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi,
aterosklerosis, kalsifikasi sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien
gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal dan dapat
menyebabkan kegagalan faal jantung.
v
Gambar 1. Patofisiologi CRF menyebabkan gejala
Infeksi
Reaksi antigen antibodi
Vaskuler
Arteriosklerosis
Suplai darah ginjal turun
Zat Toksik
Tertimbun ginjal
Obstruksi Saluran Kemih
Retensi urin Batu besar dan kasar
Menekan saraf perifer
Nyeri Pinggang
Iritasi jaringan
Hematuria
Anemia
GFR turun
GGK
Sekresi protein terganggu
Sindrom Uremia
Perpostemia
Pruritis
Gangguan integritas kulit
Ganguan keseimbangan
asam basa
Prod. Asam
Asam Lambung
Nausea, Vomitus Iritasi Lambung
Infeksi
Gastritis
Mual, Muntah
Resiko ganguan nutrisi
Perdarahan
-Hematemesis
-Melena
Anemia
Urokrom tertimbun dikulit
Perubahan warna kulit
Retensi Na
Total CES
Tek. Kapiler
Vol. Interstisial
Edema
Preload
Beban jantung
Hipertrofi ventrikel kiri
Sekresi eritropoitis
Produksi Hb
Oksihemoglobin
Suplai O2 kasar Intoleransi aktivitas
Gangg. Perfusi jaringan
Payah jantung kiri
Bendungan atrofi kiri
Tek. Vena pulmonalis
Kapiler paru
Edema Paru
Sesak
COP
Aliran darah ginjal
Suplai O2 jaringan
Suplai O2 ke Otak
syncopeMet.
anaerobRAA
As. Laktat
Retensi Na & H2O
Kelebihan vol cairan
Fatique, Nyeri sendi
Intoleransi Aktivitas
F. Diagnosis
Pendekatan diagnosis gagal ginjal kronik (GGK) mempunyai sasaran
berikut:
a. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)
b. Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi
c. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors)
d. Menentukan strategi terapi rasional
e. Meramalkan prognosis
Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila
dilakukan pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis,
pemeriksaan fisik diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan
khusus (Sukandar, 2006).
a) Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan
yang berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia,
etiologi GGK, perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat
memperburuk faal ginjal (LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif dan
objektif termasuk kelainan laboratorium) mempunyai spektrum klinik
luas dan melibatkan banyak organ dan tergantung dari derajat penurunan
faal ginjal.
b) Pemeriksaan laboratorium
Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan
menentukan derajat penurunan faal ginjal (LFG), identifikasi etiologi dan
menentukan perjalanan penyakit termasuk semua faktor pemburuk faal
ginjal.
1) Pemeriksaan faal ginjal (LFG)
Pemeriksaan ureum, kreatinin serum dan asam urat serum sudah
cukup memadai sebagai uji saring untuk faal ginjal (LFG).
2) Etiologi gagal ginjal kronik (GGK)
Analisis urin rutin, mikrobiologi urin, kimia darah, elektrolit dan
imunodiagnosis.
3) Pemeriksaan laboratorium untuk perjalanan penyakit
Progresivitas penurunan faal ginjal, hemopoiesis, elektrolit,
endoktrin, dan pemeriksaan lain berdasarkan indikasi terutama faktor
pemburuk faal ginjal (LFG).
c) Pemeriksaan penunjang diagnosis
Pemeriksaan penunjang diagnosis harus selektif sesuai dengan
tujuannya, yaitu:
1) Diagnosis etiologi GGK
Beberapa pemeriksaan penunjang diagnosis, yaitu foto polos
perut, ultrasonografi (USG), nefrotomogram, pielografi retrograde,
pielografi antegrade dan Micturating Cysto Urography (MCU).
2) Diagnosis pemburuk faal ginjal
Pemeriksaan radiologi dan radionuklida (renogram) dan
pemeriksaan ultrasonografi (USG).
G. Diagnosis Dini Penyakit Ginjal Kronik
Penyakit ginjal kronik dapat dikategorikan menurut etiologi dan
kelainan patalogik seperti terlihat pada tabel 3. untuk memastikan diagnosa
tidak jarang diperlukan biopsi ginjal yang sangat jarang menimbulkan
komplikasi. Biopsi ginjal hanya dilakukan pada pasien tertentu yang
diagnosis pastinya hanya dapat ditegakkan dengan biopsi ginjal yang akan
mengubah pengobatan atau prognosis. Pada sebagian besar pasien,
diagnosis ditegakkan berdasar pengkajian klinik yang lengkap dengan
memperlihatkan faktor etiologi.
Tabel 3. Klasifikasi diagnosis penyakit ginjal kronik
Penyakit Tipe utama
Penyakit ginjal diabetik Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit ginjal non diabetik Penyakit glomeruler
(penyakit otoimun, infeksi sistemik,
neoplasia)
Penyakit tubulointerstisial
(infeksi saluran kemih, batu, obstruksi,
toksisitas obat)
Penyakit vascular
(penyakit pembuluh darah besar,
hipertensi,
mikroangiopati)
Penyakit ginjal transplan Rejeksi kronik, toksisitas obat, penyakit
rekuren, glomerulopati transplan
Perjalanan klinik penyakit penyakit ginjal kronik biasanya perlahan dan
tidak dirasakan oleh pasien. Oleh karena itu, pengkajian klinik sangat bergantung
pada hasil pemeriksaan penunjang, meski anamnesis yang teliti sangat membantu
dalam menegakkan diagnosis yang tepat. Nilai laju filtrasi glomerulus merupakan
parameter terbaik untuk ukuran fungsi ginjal. Pada semua pasien penyakit ginjal
kronik, sebaiknya dilakukan pemeriksaan penunjang seperti yang terlihat pada
tabel 4.
Tabel 4. pemeriksaan penunjang penyakit ginjal kronik
Kadar kreatinin serum untuk menghitung laju filtrasi glomerulus
Rasio protein atau albumin terhadap kreatinin dalam contoh urin pertama pada
pagi hari atau sewaktu
Pemeriksaan sedimen urun atau dipstick untuk melihat adanya sel darah merah
dan sel darah putih
Pemerikasaan pencitraan ginjal, biasanya ultrasonografi
Kadar elektrolit serum (natrium, kalium, klorida, dan bikarbonat)
H. Penatalaksanaan
1) Pencegahan
Upaya pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya
sudah mulai dilakukan pada stadium dini penyakit ginjal kronik. Berbagai
upaya pencegahan yang telah terbukti bermanfaat dalam mencegah
penyakit ginjal dan kardiovaskular, yaitu pengobatan hipertensi (makin
rendah tekanan darah makin kecil risiko penurunan fungsi ginjal),
pengendalian gula darah, lemak darah, anemia, penghentian merokok,
peningkatan aktivitas fisik dan pengendalian berat badan (National Kidney
Foundation, 2009). Pengkajian klinik menentukan jenis penyakit ginjal,
adanya penyakit penyerta, derajat penurunan fungsi ginjal, komplikasi
akibat penurunan fungsi ginjal, faktor risiko untuk penurunan fungsi
ginjal, dan faktor risiko untuk penyakit kardiovaskular. Pengelolaan
meliputi:
a. Terapi penyakit ginjal
b. Pengobatan penyakit penyerta
c. Penghambatan penurunan fungsi ginjal
d. Pencegahan dan pengobatan penyakit kardiovaskular
e. Pencegahan dan pengobatan komplikasi akibat penurunan fungsi ginjal
f. Terapi pengganti ginjal dengan dialisis atau transplantasi jika timbul
gejala dan tanda uremia (Brown et al, 2003).
Stadium dini penyakit ginjal kronik dapat dideteksi dengan
pemeriksaan laboratorium. Pengukuran kadar kreatinin serum dilanjutkan
dengan penghitungan laju filtrasi glomerulus dapat mengidentifikasi
pasien yang mengalami penurunan fungsi ginjal. Pemeriksaan ekskresi
albumin dalam urin dapat mengidentifikasi pada sebagian pasien adanya
kerusakan ginjal. Sebagian besar individu dengan stadium dini penyakit
ginjal kronik terutama di negara berkembang tidak terdiagnosis. Deteksi
dini kerusakan ginjal sangat penting untuk dapat memberikan pengobatan
segera, sebelum terjadi kerusakan dan komplikasi lebih lanjut.
Pemeriksaan skrinning pada individu asimtomatik yang menyandang
faktor risiko dapat membantu deteksi dini penyakit ginjal kronik.
Pemeriksaan skrinning seperti pemeriksaan kadar kreatinin serum
dan ekskresi albumin dalam urin dianjurkan untuk individu yang
menyandang factor risiko penyakit ginjal kronik, yaitu pada:
a. Pasien dengan diebetes melitus atau hioertensi
b. Individu dengan obesitas atau perokok
c. Individu berumur lebih dari 50 tahun
d. Individu dengan riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan
penyakit ginjal dalam keluarga (Iseki K, 2003) .
Upaya pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya
sudah mulai dilakukan pada stadium dini penyakit ginjal kronik. Berbagai
upaya pencegahan yang telah terbukti bermanfaat dalam mencegah
penyakit ginjal dan kardiovaskular adalah:
a. Pengobatan hipertensi yaitu makin rendah tekanan darah makin kecil
risiko penurunan fungsi ginjal
b. Pengendalian gula darah, lemak darah, dan anemia
c. Penghentian merokok
d. Peningkatan aktivitas fisik
e. Pengendalian berat badan
f. Obat penghambat sistem renin angiotensin seperti penghambat ACE
(angiotensin converting enzyme) dan penyekat reseptor angiotensin
telah terbukti dapat mencegah dan menghambat proteinuria dan
penurunan fungsi ginjal (Rossert JA et al, 2002) .
2) Pengelolaan
Tabel 5. Rencana tatalaksana penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya
Derajat LFG (ml/menit/1,73m2) Rencana tatalaksana
1 ≥ 90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid,
evaluasi pemburukan (progression) fungsi
ginjal, memperkecil risiko kardiovaskular.
2 60-89 Menghambat perburukan(progression) fungsi
ginjal
3 30-59 Evauasi dan terapi komplikasi
4 15-30 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5 < 15 Tetapi pengganti ginjal
(Sudoyo, 2006).
a. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal
ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi
toksin azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan
memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006).
1) Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk
mencegah atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama
dapat merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
2) Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus
adekuat dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan
positif nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.
3) Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat
supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.
4) Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual
tergantung dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal
disease).
b. Terapi simtomatik
1) Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum
kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis
metabolik dapatdiberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium
bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum
bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
2) Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan
salah satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian
transfusi darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian
mendadak.
3) Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang
sering dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan
keluhan utama (chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal
yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus.
Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat
dan obat-obatan simtomatik.
4) Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan
kulit.
5) Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi
hemodialisis reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal
paratiroidektomi.
6) Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi, obat antihipertensi
disamping bermanfaat untuk memperkecil risiko kardiovaskular juga
sangat penting untuk memperlambat perburukan kerusakan nefron
dengan mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi
glomerulus. Beberapa studi membuktikan bahwa, pengendalian tekanan
darah mempunyai peran yang sama pentingnya dengan pembatasan
asupan protein, dalam memperkecil hipertensi intraglomerulus dan
hipertrofi glomerulus. Di samping itu, sasaran terapi farmakologis
sangat terkait dengan derajat proteinuria berkaitan dengan proses
perburukan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik.
Beberapa obat antihipertensi, teruatama penghambat enzim
konverting angiotensin (Angitensin Converting Enzyme/ACE inhibitor,
melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses perburukan
fungsi ginjal. Hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya sebagai
antihipertensi dan antiproteinuria (Sudoyo, 2006).
7) Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan
kardiovaskular yang diderita.
a. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik
stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut
dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi
ginjal (Sudoyo, 2006).
1) Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk
mencegah gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi
dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap
akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi
dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang
termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis,
ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan
cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter,
muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg%
dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8
mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat
(Sukandar, 2006).
Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan
sampai sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan.
Umumnya dipergunakan ginjal buatan yang kompartemen darahnya
adalah kapiler-kapiler selaput semipermiabel (hollow fibre kidney).
Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang
tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya
yang mahal (Sudoyo, 2006).
2) Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory
Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di
Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang
tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita
penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan
mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan
pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal
ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien
nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi
non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi
untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari
pusat ginjal (Sukandar, 2006).
3) Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal
(anatomi dan faal). Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
a) Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh
(100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih
70-80% faal ginjal alamiah
b) Kualitas hidup normal kembali
c) Masa hidup (survival rate) lebih lama
d) Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan
dengan obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
e) Biaya lebih murah dan dapat dibatasi
I. Komplikasi
Derajat Penjelasan LFG (ml/menit) Komplikasi
1 Kerusakan ginjal
dengan LFG normal
≥ 90 -
2 Kerusakan ginjal
dengan penurunan
LFG ringan
60-89 Tekanan darah mulai
meningkat
3 Penurunan LFG
sedang
30-59 - Hiperfosfatemia
- Hipokalsemia
- Anemia
- Hiperparatiroid
- Hipertensi
- Hiperhomosistenemia
4 Penurunan LFG berat 15-30 - Malnutrisi
- Asidosis metabolik
- Cenderung
hiperkalemia
- Dislipidemia
5 Gagal ginjal < 15 - Gagal jantung
- Uremia
(Sudoyo, 2006).
J. Prognosis
Pasien dengan penyakit ginjal kronik umumnya berlanjut ke End
Stage Renal Disease (ESRD). Angka progresi bergantung pada diagnosis
dasarnya, pada keberhasilan implementasi untuk pencegahan sekunder, dan
pada individu pasien.
Pasien dengan dialisis yang kronik memiliki angka kejadian lebih
tinggi untuk morbiditas dan mortalitas. Pasien dengan ESRD yang
menjalani transplantasi ginjal bertahan hidup lebih lama dari yang
mendapatkan dialisis kronik (Arora, 2012).
BAB III
KESIMPULAN
1. Penyakit ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari
3 bulan, berdasarkan kelainan patalogis atau petanda kerusakan ginjal
seperti proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit
ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari
60ml/menit/1,73m2.
2. Penting untuk mengetahui batasan, klasifikasi, dan stratifikasi penyakit
ginjal kronik untuk melakukan upaya pengelolaan dan pencegahan secara
cepat dan tepat.
3. Pemeriksaan penunjang penyakit ginjal kronik penting untuk memastikan
diagnosis penyakit ginjal dan derajat penurunan fungsi ginjal, dalam hal ini
nilai laju filtrasi glomerulus yang diukur dengan kadar kreatinin serum
merupakan parameter terbaik ukuran fungsi ginjal.
4. Dalam melakukan pengelolaan dan pencegahan penyakit ginjal kronik
secara cepat dan tepat perlu diperhatikan adanya faktor risiko penyakit
ginjal kronik.
DAFTAR PUSTAKA
Arora P, Bauman V. 2012. Chronic Renal Failure. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/238798-clinical. Diakses pada tanggal 8 November 2012.
Brown WW et al. Identification of Persons at High Risk for Kidney Disease Via Targeted Screening. The NKF Kidney Early Evaluation Program. Kidney Int Suppl 2003.
Chonchol, M., Spiegel, D.M., 2005. The Patient with Chronic Kidney Disease. In: Schrier, R.W., 6th ed. Manual of Nephrology. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins, 177-186.
Hladik GA. 2009. Chronic Kidney Disease. In: Runge MS, Greganti MA. Netter’s Internal Medicine. 2nd ed. Philadelphia: Saunders; P. 975-83.
Iseki K. The Okinawa Screening Program, J Am Soc Nephrol 2003.
National Kidney Foundation, 2009. Chronic Kidney Disease. New york: National Kidney Foundation. Available from: http://www.kidney.org/kidneydisease/ckd/index.cfm#whatis. Diakses pada tanggal 8 November 2012.
Perazella, M.A., 2005. Chronic Kidney Disease. In: Reilly, R.F, Jr., Perazella, M.A., ed. Nephrology In 30 Days. New York: Mc Graw Hill, 251-274.
Roesli, R., 2008. Hipertensi, diabetes, dan gagal ginjal di Indonesia. Dalam: Lubis, H.R., et al (eds). 2008. Hipertensi dan Ginjal. USU Press, Medan: 95-108.
Rossert JA et al. Recommendations for the Screening and Management of Patients with Chronic Kidney Disease. Nephrol Dial Transplant Suppl 2002.
Soegondo, S., 2005. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus Terkini. Dalam: Soegondo, S., Soewondo, P., Subekti, I., Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Edisi kelima. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Sudoyo, A.W., Prodjosudjadi, W., 2006. Glomerulonefritis. Dalam:, Setiyohadi, B., Alwi, I., Marcellus, S.K., Setiati, S., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Sukandar, E., 2006. Neurologi Klinik. Edisi ketiga. Bandung: Pusat Informasi Ilmiah (PII) Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNPAD.