PRAKTIK GADAI BERANTAI DI DUSUN NGULARAN DESA...
Transcript of PRAKTIK GADAI BERANTAI DI DUSUN NGULARAN DESA...
-
PRAKTIK GADAI BERANTAI DI DUSUN NGULARAN DESA
NGABEAN KECAMATAN BOJA KABUPATEN KENDAL
DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum
Oleh:
Ali Ma‟shum
NIM : 21413034
JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARI’AH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2019
-
ii
-
iii
-
iv
-
v
MOTTO
“Gantungkan cita – citamu setinggi langit! Bermimpilah setinggi langit. Jika
engkau jatuh, engkau akan jatuh diantara bintang - bintang”
(Ir. Soekarno)
“Jika kamu takut melangkah, lihatlah bagaimana seorang bayi yang mencoba
berjalan, niscaya akan kau temukan bahwa setiap manusia pasti akan jatuh. Hanya
manusia terbaiklah yang mampu bangkit dari kejatuhannya.”
(Mahatma Gandhi)
-
vi
PERSEMBAHAN
Skripsi ini dipersembahkan untuk :
1. ALLAH SUBHANAHU WATA‟ALA Yang telah memberikan jalan
kemudahan dalam menyelesaikan skripsi ini.
2. Bapak Nur Hamid dan Ibu Tri Wahyuni selaku orang tua kandung saya yang
telah membesarkan dan merawat saya hingga sekarang dengan penuh kasih
sayang.
3. Bapak Wicuntoro dan Ibu Siti Khoiriah yang selalu memberikan motifasi dan
dukungan kepada saya untuk terus berusaha dalam berbagai hal yang saya
jalani.
4. Ibu Heni Satar Nurhaida, S.H., M. Si. selaku Dosen Pembimbing yang selalu
memberikan saran, pengarahan, dan masukan sehingga skripsi dapat selesai
dengan maksimal sesuai dengan yang diharapkan.
5. Sahabat – sahabat seperjuanganku Hukum Ekonomi Syari‟ah angkatan 2013
yang selalu memberikan warna dalam menempuh pendidikan di IAIN
Salatiga.
-
vii
Kata Pengantar
Rasa syukur yang dalam penulis sampaikan kepada kehadirat Allah
Subhanahuwat‟'ala, karena berkat rahmat – Nya penulisan sekripsi ini dapat
penulis selesaikan sesuai dengan yang di harapkan. Penulis juga bersyukur atas
rizki dan kesehatan yang telah diberikan oleh – Nya, sehingga penulis dapat
menyusun penulisan sekripsi ini.
Shalawat dan salam penulis sanjungkan kepada Nabi, kekasih, spirit
perubahan Rasulullah Solaallahuta‟ala beserta segenap keluarga dan para sahabat
– sahabatnya, syafa‟at beliau sangat penulis nantikan di hari pembalasan.
Penulisan Sekripsi ini disusun untuk diajukan sebagai salah satu persyaratan
guana memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H), Fakultas Syari‟ah, Jurusan
Hukum Ekonomi Syari‟ah yang berjudul : “Praktik Gadai Berantai Di Dusun
Ngularan Desa Ngabean Kecamatan Boja Kabupaten Kendal Dalam Perspektif
Hukum Islam”. Penulis mengakui bahwa dalam menyusun penulisan sekripsi ini
tidak dapat diselesaikan tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak. Karena itulah
penulis mengucapkan penghargaan yang setinggi – tingginya, ungkapan terima
kasih kadang tak bisa mewakili kata – kata, namun perlu kiranya penulis
mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M. Pd, selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Ibu Dr. Siti Zumrotun, M. Ag, selaku Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN
Salatiga.
-
viii
3. Ibu Heni Satar Nurhaida, SH., M.Si, selaku Ketua Jurusan Hukum
Ekonomi Syari‟ah IAIN Salatiga.
4. Ibu Heni Satar Nurhaida, S.H., M.Si. Selaku dosen pembimbing yang
selalu memberikan saran pengarahan dan masukan berkaitan dengan
penulisan sekripsi sehingga dapat selesai dengan maksimal sesuai dengan
yang diharapkan.
5. Bapak dan Ibu Dosen selaku staf pengajar dan seluruh staf administrasi
Fakultas Syari‟ah yang tidak bisa penulis sebut satu persatu yang selalu
memeberikan ilmunya sehingga penulis dapat menyelesaikan sekripsi ini
tanpa halangan apapun.
6. Teman-teman jurusan Hukum Ekonomi Syariah angkatan 2013 yang
selalu memberi warna dalam bangku kuliah.
7. Teman-teman seperjuangan terutama Muhamad Koid, Hayik Lana, Iwan
Ulumudin dan Dewi Mustika yang selalu memberi dukungan agar dapat
menyelesaikan sekripsi ini.
8. Semua pihak-pihak yang telah membantu pembuatan skripsi ini yang tidak
dapat saya sebutkan satu persatu
Semoga Allah Subhanahuwata‟ala membalas semua amal kebaikan mereka
dengan balasan yang lebih dari yang mereka berikan kepada penulis, agar pula
senantiasa mendapatkan maghfiroh, dan dilingkupi rahmat dan cita-Nya, Amiin.
Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa penulisan sekripsi ini masih jauh dari
sempurna, baik dari segi metodologi, penggunaan bahasa, isi, maupun analisisnya,
-
ix
sehingga kritik dan saran yang konstruktif, sangat penulis harapkan demi
kesempurnaan penulisan sekripsi ini, sehingga mudah dipahami.
Akhirnya penulis berharap semoga sekripsi ini bermanfaat khususnya bagi
penulis sendiri dan umumnya bagi pembaca.
Salatiga, 15 Februari 2019
Penulis.
-
x
ABSTRAK
Ali Ma‟shum. 2019. Praktik gadai berantai di Dusun Ngularan Desa Ngabean
Kec. Boja Kab. Kendal. Skripsi. Fakultas Syari‟ah. Jurusan Hukum
Ekonomi Syari‟ah. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing:
Heni Satar Nur Haida, S. H., M. Si.
Kata Kunci: Gadai, Perspektif Hukum Islam.
Manusia dalam hidupnya selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhannya,
kebutuhan hidup sangatlah bervariasi sedikit atau banyak itu relatif. Tidak sedikit
masyarakat khususnya yang kurang mampu untuk memenuhi kebutuhannya
menggadaikan barang yang mereka miliki. Pegadaian yang terdapat di Dusun
Ngularan Desa Ngabean Kecamatan Boja Kabupaten Kendal merupakan
pegadaian perorangan yang sudah lama berdiri. Penulis tertarik untuk melakukan
penelitian di tempat tersebut karena system pegadaian yang dilakukan yakni
menggadaikan kembali barang gadai yang telah diterima pegadaian tersebut.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan gadai berantai di desa
tersebut dan untuk mengetahui tinjauan Hukum Islam terhadap gadai berantai.
Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (Field Research) dengan
metode pengumpulan data, observasi, wawancara, dokumentasi. Sifat penelitian
ini adalah deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan yuridis empiris
dilakukan dengan meneliti data primer yang diperoleh secara langsung di
lapangan. dan juga dengan cara meneliti bahan – bahan perpustakaan yang
merupakan data pendukung untuk penelitian ini.
Berdasarkan penelitian yang diperoleh, penulis menyimpulkan bahwa
system yang dilakukan dalam pegadaian tersebut yakni menggadaikan kembali
motor gadaian dapat merugikan salah satu pihak karena pihak rahin tidak
merawat marhun dengan baik melainkan menggadaikan kembali marhun tersebut
untuk mendapat keuntungan berlebih. Menurut hukum Islam system pegadaian
tersebut tidak diperbolehkan karena di dalam Al-Quran, Hadist Nabi dan pendapat
para ulama rahin tidak dapat memanfaatkan marhun tanpa seijin murtahin.
-
xi
DAFTAR ISI
COVER .................................................................................................... i
NOTA PEMBIMBING ............................................................................ ii
PENGESAHAN SKRIPSI ...................................................................... iii
PERNYATAAN KEASLIAN .................................................................. iv
MOTTO ................................................................................................... v
PERSEMBAHAN .................................................................................... vi
KATA PENGANTAR .............................................................................. vii
ABSTRAK ................................................................................................ x
DAFTAR ISI ............................................................................................ xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................... 4
C. Tujuan Penleitian .......................................................................... 5
D. Manfaat Penelitian ....................................................................... 5
E. Penegasan Penelitian ..................................................................... 6
F. Telaah Pustaka .............................................................................. 6
G. Metode Penelitian .......................................................................... 7
H. Sistematika Penulisan ................................................................... 11
BAB II GADAI MENURUT HKUM ISLAM
A. Pengertian Gadai ............................................................................ 13
B. Dasar Hukum ............................................................................... 16
C. Rukun Dan Syarat Gadai ............................................................... 19
-
xii
D. Hak dan Kewajiban Para Pihak ...................................................... 23
E. Pemanfaatan Barang Gadai ........................................................... 24
F. Berakhirnya Akad Gadai ............................................................... 31
BAB III PRAKTK GADAI BERANTAI DI DUSUN NGULARAN DESA
NGABEAN KECAMATAN BOJA KABUPATEN KENDAL
A. Gambaran Umum .......................................................................... 33
B. Profil Tempat Gadai ...................................................................... 35
C. Akad Gadai Berantai ..................................................................... 37
D. Barang Yang Digadaikan ............................................................... 41
E. Berakhirnya Akad Gadai .............................................................. 46
BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP GADAI BERANTAI DI
DUSUN NGULARAN DESA NGABEAN KECAMATAN BOJA
KABUPATEN KENDAL
A. Tinjauan Hukum Islam terhadap Akad Gadai Berantai di Dusun Ngularan
Desa Ngabean Kecamatan Boja Kabupaten Kendal.......................47
B. Tinjauan Hukum Islam tentang Pengambila Manfaat Barang Jamina yang
Digadaikan Kembali oleh Penerima Gadai di Dusun Ngularan Desa
Ngabean Kecamatan Boja Kabupaten Kendal………………....…54
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................... 61
B. Saran ............................................................................................... 62
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 63
LAMPIRAN-LAMPIRAN
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kita sering mendengar kata gadai bahkan pernah melakukanya.
Gadai atau dalam fiqih Islam disebut ar-rahn merupakan suatu jenis
perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai tanggungan hutang (Ali,
2008: 01).
Gadai menurut bahasa merupakan tetap, kekal, dan jaminan.
Sedangkan menurut istilah gadai atau rahn merupakan menyandera harta
yang diserahkan sebagai jaminan secara hak dan dapat diambil kembali
sejumlah harta yang dimaksud sesudah ditebus. Di dalam pasal 1150 kitab
undang undang hukum perdata gadai adalah hak yang diperoleh seseorang
yang mempunyai piutang atas sesuatu barang bergerak, yaitu barang yang
bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh orang
yang mempunyai utang atau orang lain atas nama orang yang mempunyai
utang (Ali, 2008: 02).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa gadai adalah menahan barang
jaminan yang bersifat materi milik si peminjam sebagai jaminan atas
pinjaman yang diterimanya, dan barang yang diterima tersebut memiliki
nilai ekonomis, sehingga pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk
mengambil kembali seluruh atau sebagian utangnya dari barang gadai
-
2
dimaksud, bila pihak yang menggadaikan tidak dapat membayar utang
pada waktu yang telah ditentukan.
Di dalam masyarakat sendiri kata gadai bukanlah hal yang asing
lagi, mereka sering melakukan transaksi tersebut untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Karena mereka tahu gadai diperbolehkan dalam
ajaran Islam. Mereka melakukan transaksi gadai tersebut dengan cara yang
sederhana yang dilakukan kerabat dekat maupun tetangga. Mereka
menyebut bahwa cara tersebut lebih cepat untuk mendapatkan pinjaman
untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dibanding mereka harus
meminjam uang pada bank. Meskipun begitu mereka beranggapan bahwa
barang gadai tersebut untuk mengantisipasi jika hutangnya tidak
terbayarkan maka barang gadai tersebut untuk menutupi hutangnya.
Di Dusun Ngularan Desa Ngabean Kecamatan Boja Kabupeten
Kendal terdapat suatu pegadaian yang melayani transaksi gadai kendaraan
bermotor sebagai barang jaminanya. Pegadaian pada umumnya penggadai
menyerahkan barang yang akan digadaikan kepada si penerima gadai
sebagai barang jaminannya, dan si penerima gadai merawat barang
tersebut sampai si penggadai melunasi hutangnya. Akan tetapi pada
pegadaian tersebut menggadaikan kembali barang yang telah terkumpul di
tempat tersebut kepada orang lain.
Pada dasarnya barang jaminan dari rahn sama sekali tidak boleh
dimanfaatkan oleh pemberi hutang. Sebab manfaat tersebut akan dihukumi
-
3
sebagai riba. Mengapa riba? Karena hutang tidak boleh berkembang dan
diberi penambahan meski nilainya adalah pemanfaatan (Fadilihsan, 2012:
15).
Di dalam Al-Qur‟an Surah Al-Baqarah ayat 283 yang berbunyi,
هَان ًا فَسِ ث اتِ وا َك دُ م تَِج نَ فَس َو هًَ َس ُم َع ت ى إِن كُ َو
ُِمهَ ت َِّرٌ اؤ د ان َُؤ ُ ه ًضا فَ م تَع ُضكُ َِمهَ تَع ِن أ ئ ثُىَضح فَ ق َم
هَا ُم ت ه ََك َم جَ َو هَاَد ىا انشَّ ُُم ت ك َل تَ َّهُ َو ت َ َز تَّقِ ّللاَّ َُ ن تَ هُ َو اوَ ََم أ
ُم هِ هُىنَ َع َم ا تَع َم ِ ُ ت ُهُ َوّللاَّ ث ه َ م ق َّهُ آثِ ِو ئ فَ
Artinya: “Jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak dapat
menemukan seorang penulis, maka hendaklah barang jaminan
yang dipegang. Tetapi, jika sebagian kamu mempercayai
sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menepati
amanat-amanatnya (utangnya) dan hendaklah dia bertakwa
kepada Allah, Tuhanya. Dan janganlah kamu menyembunyikan
kesaksian, karena barang siapa yang menyembunyikanya,
sungguh, hatinya kotor (berdosa). Allah maha mengetahui apa
yang kamu lakukan” (QS. Al-Baqarah: 283).
Pada ayat Al-Quran di atas menjelaskan petunjuk untuk
menerapkan prinsip kehati-hatian bila seseorang hendak melakukan
transaksi utang piutang dengan memakai jangka waktu dengan orang lain,
dengan meminjamkan sebuah barang dengan orang yang berpiutang
(rahn).
Ibnu Qudamah menjelaskan: ”Jika pemilik barang gadai
mengijinkan bagi pemegang gadai (pemberi pinjaman) untuk
-
4
memanfaatkan barang gadai tersebut tanpa ada imbalan, sedang ar rahin
berhutang kepada al murtahin, maka hal ini tidak boleh, karena hutang
yang memberikan manfaat bagi yang memberikan utang, sehingga masuk
dalam katagori riba (Mughni: 4/431).”
Barang gadai pada dasarnya adalah masih menjadi milik penggadai
(orang yang berhutang) dan belum menjadi hak penerima gadai. Sehingga
mayoritas ulama mengembalikan hak pakai barang tersebut kepada
pemilik aslinya asalkan pemakaian tersebut tidak mengurangi nilai jual
barang.
Berdasarkan paparan di atas penulis termotivasi untuk melakukan
penelitian tentang gadai berantai tersebut dalam karya ilmiah yang
berjudul “Praktik Gadai Berantai di Dusun Ngularan Desa Ngabean
Kecamatan Boja Kabupaten Kendal dalam Perspektif Hukum Islam”
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat ditarik perumusan masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana praktik gadai berantai di Dusun Ngularan Desa Ngabean
Kecamatan Boja Kabupaten Kendal.?
2. Bagaimana tinjauan Hukum Islam terhadap praktik gadai berantai di
Dusun Ngularan Desa Ngabean Kecamatan Boja Kabupaten Kendal.?
-
5
C. Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah di atas, tujuan penulis yang hendak dicapai
adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana praktik gadai di Dusun Ngularan Desa
Ngabean Kecamatan Boja Kabupaten Kendal.
2. Untuk mengetahui bagaimana tinjauan Hukum Islam terhadap
praktik gadai berantai di Dusun Ngularan Desa Ngabean Kecamatan
Boja Kabupaten Kendal.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian tersebut diantaranya adalah
1. Secara teoritis yaitu
Mengetahui hukum gadai berantai dalam Islam sehingga masyarakat
lebih berhati-hati dalam bertransaksi hutang piutang.
2. Secara praktis yaitu
a. Untuk menambah wawasan kepada mahasiswa IAIN Salatiga
khususnya Fakultas Syariah dan masyarakat secara umum tentang
gadai berantai.
b. Sebagai bahan rujukan peneliti selanjutnya mengenai gadai
berantai.
c. Menjadi solusi bagi masyarakat dan mahasiswa tentang transaksi
gadai berantai menurut Hukum Islam.
-
6
E. Penegasan Istilah
Untuk menghindari kesalahpahaman di dalam judul skripsi ini,
maka penulis mengemukakanya sebagai berikurt:
1. Gadai menurut Islam disebut rahn, yaitu perjanjian menahan suatu
barang sebagai barang jaminan hutang. Kata rahn menurut bahasa
berarti “tetap”,”berlangsung” dan “menahan”. Sedangkan menurut
istilah berarti menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pandangan
syara‟ sebagai tanggungan hutang. Dengan adanya tanggungan hutang
itu seluruh atau sebagian hutang dapat diterima (Basyir, 1993: 50).
2. Hukum Islam ialah hukum berdasarkan wahyu Allah SWT yang
mencakup hukum syari‟ah baik yang menyangkut akidah, ibadah,
ahlak, maupun muamalah (Mardani, 2010: 14).
3. Gadai berantai ialah menggadaikan kembali barang jaminan yang
diterima penerima gadai (murtahin) kepada pihak ke tiga (murtahin II)
F. Telaah Pustaka
Sebelum melakukan penelitian ini, penulis telah melakukan
beberapa penelusuran sebagai berikut:
Yang pertama yaitu penelitian yang berjudul “TINJAUAN
HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK GADAI PADA
MASYARAKAT KECAMATAN TAPOS KOTA DEPOK” yang
dilakukan oleh Ade Tri Cahyani. Di dalam skripsi ini mengulas tentang
pemanfaatan barang gadai pada umumnya sehingga maknanya lebih luas.
-
7
Sedangkan penelitian yang dilakukan penulis lebih spesifik, yakni tentang
pemanfaatan gadai kendaraan bermotor.
Selanjutnya yaitu penelitian yang berjudul “ PEMANFAATAN
BARANG GADAI SAWAH DITINJAU DARI HUKUM ISLAM (Studi
kasus desa Bancang kecamatan Bandung kabupaten Tulungagung). Yang
diteliti oleh Uswatul Khusna. Di dalam penelitian tersebut meneliti tentang
barang yang tidak bergerak, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh
penulis meneliti tentang pemanfaatan benda bergerak berupa kendaraan
bermotor.
Selanjutnya yaitu penelitian yang berjudul “PRAKTEK GADAI
TANAH SAWAH DITINJAU DARI HUKUM ISLAM (STUDI DI
DESA HARJAWINANGUN KECAMATAN BALAPULANG
KABUPATEN TEGAL)” dilakukan oleh Isti‟anah. Di dalam skripsi
tersebut membahas tentang pemanfaatan barang gadai yang tidak bergerak.
Sedangangkan penelitian kali ini membahas tentang pemanfaatan barang
gadai dengan benda bergerak, yaitu gadai kendaraan bermotor.
G. Metode Penelitian
Dalam penyusunan karya ilmiah dibutuhkan metode penelitian yang
jelas untuk memudahkan dalam penelitian dan penyusunan laporan yang
sistematis. Metode yang akan digunakan dalam penilitian ini adalah
sebagai berikut:
-
8
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah field research yakni
penelitan lapangan yang berlokasi di Dusun Ngularan Desa Ngabean
Kecamatan Boja Kabupaten Kendal dengan metode deskriptif
kualitatif. Penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang bertujuan
untuk membuat deskriptif atau gambaran mengenai fakta-fakta, sifat-
sifat serta hubungan anatara fenomena yang diselidiki (Nasir, 1999:
63). Sedangkan penelitian kualitatif adalah bertujuan untuk
menghasilkan data deskriptif , berupa kata-kata lisan atau dari orang-
orang dan perilaku yang diamati (Moloeng, 2000: 3). Penelitian ini
menggunakan pendekatan normatif sosiologis, pendekatan normatif
dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan perpustakaan yang
merupakan data sekunder yang disebut sebagai penemuan hukum
perpustakaan, sedangkan metode pendekatan hukum sosiologis
dilakukan dengan meneliti data primer yang diperoleh secara langsung
dalam masyarakat. Yang diteliti dalam skripsi ini adalah praktik gadai
berantai menurut Hukum Islam, sedangkan data yang diperoleh dari
pihak yang melakukan transaksi gadai berantai tersebut.
2. Data dan Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari subjek
penelitian dengan menggunakan alat pengambilan data langsung
pada objek sebagai sumber informasi yang dicari (Nata, 2000:
-
9
39). Adapun sumber data primer adalah hasil wawancara dan
observasi tentang pegadaian yang dilakukan kepada para pihak
yang bersangkutan tentang kegiatan gadai berantai yang ada di
Dusun Ngularan Desa Ngabean Kecamatan Boja Kabupaten
Kendal.
b. Data sekunder yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung
dari subjek penelitinya, yaitu diambil dari undang-undang, buku-
buku, artikel, dan sumber lainnya yang memiliki hubungan
dengan permasalahan yang akan dibahas dalam sekripsi ini.
3. Metode Pengumpulan Data
a. Observasi yaitu pengamatan yang dilakukan secara sengaja,
sistematis, mengenai fenomena sosial dengan gejala-gejala psikis
untuk kemudian dilakukan pencatatan (Subagyo, 1991: 231).
dalam hal ini penulis melakukan pengamatan langsung di
pegadaian di Dusun Ngularan Desa Ngabean Kecamatan Boja
Kabupaten Kendal.
b. Interview atau wawancara yaitu percakapan dengan maksud
tertentu (Moloeng, 2000: 148). Sedangkan jenis interview atau
wawancara yang digunakan oleh penulis adalah jenis pedoman
interview yang tidak terstruktur, yakni pedoman wawancara yang
hanya memuat garis-garis besar pertanyaan yang akan diajukan
(Arikunto, 1997: 231). Dalam hal ini penulis bertanya langsung
-
10
kepada orang yang menggadaikan dan juga kepada pemberi
gadai.
c. Dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal – hal atau variabel
yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, agenda,
dan sebagainya (Arikunto, 1997: 206). Dalam hal ini penulis
memperoleh data dari buku-buku dan literatur yang berhubungan
dengan masalah yang akan diteliti.
4. Pengecekan Keabsahan Data
Dalam penelitian ini teknik pemeriksaan keabsahan data yang
digunakan yaitu triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan
keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu
untuk keperluan pengecekan atau sebagai suatu pembanding terhadap
data itu (Moeloeng, 2002: 178).
Berdasarkan pendapat moeloeng di atas, maka penulis
melakukan perbandingan data yang telah diperoleh yaitu data-data
sekunder hasil kajian pustaka akan dibandingan dengan data-data
primer yang diperoleh dari observasi dan wawancara yang sesuai
fakta-fakta ditemui di lapangan. Sehingga kebenaran dari data yang
diperoleh dapat dipercaya dan meyakinkan untuk diambil sebuah
kesimpulan.
-
11
H. Sistematika penulisan
Sistematika penulisan ini terdiri dari lima bab yang akan berkaitan
yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Bagian awal terdiri dari halaman sampul, halaman judul, lembar
pengesahan, halaman motto dan persembahan, kata pengantar, daftar
isi, dan daftar lampiran.
2. Bagian inti terdiri dari :
BAB I : Merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar
belakang masalah, rumusan penelitian, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, kegunaan penelitian,
penegasan istilah, metode penelitian, dan sistematika
penulisan.
BAB II : Landasan teori yang terdiri dari tinjauan umum
tentang gadai, yang berisi pengertian, sumber hukum,
rukun dan syarat, manfaat dan resiko, berakhirnya akad
gadai yang terdapat dalam pegadaian tersebut.
BAB III : Hasil penelitian yang terdiri dari deskripsi tempat
penelitian dan tatacara bergadai di pegadaian tersebut.
BAB IV : Tinjauan hukum Islam terhadap praktik gadai berantai
yang ada di Dusun Ngularan Desa Ngabean Kecamatan
Kendal Kabupaten Boja.
BAB V : Menjelaskan bagian akhir penulisan yang mencakup
kesimpulan dan saran dari penulis.
-
12
3. Bagian akhir terdiri dari daftar pustaka dan lampiran-lampiran.
-
13
BAB II
GADAI MENURUT HUKUM ISLAM
A. Pengertian
Gadai atau rahn atau dalam bahasa Arab di sebut Al-Hasbu berati
menahan (Sohari dan Abdullah, 2011 : 157). Sedangkan menurut istilah
rahn merupakan menahan suatu benda secara hak yang memungkinkan
untuk dieksekusi, maksudnya menjadikan suatu benda atau barang yang
memiliki harga pada pandangan syara‟ sebagai barang jaminan atas hutang
selama hutang belum dapat dilunasi, dengan demikian hutang dapat
diganti baik keseluruhan maupun sebagian (Afandi, 2009: 147).
Adapun pengertian gadai rahn menurut para ahli Hukum Islam,
diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Menurut Ulama Syafi‟iah, rahn adalah menjadikan suatu
barang yang bisa dijual sebagai jaminan hutang dipenuhi dari
harganya, bila yang berhutang tidak sanggup membayar
hutangnya (Adrian, 2011: 21)
2. Menurut Ulama Hanafiah, rahn merupakan suatu barang atau
jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan
sebagai pembayaran hak (piutang) itu baik seluruhnya maupun
sebagianya (Ahmad Al-Dardiri: 209)
3. Menurut Imam Malik mendefinisikan Al-Rahn seperti sesuatu
yang mutamawwal (berbentuk harta yang memiliki nilai) yang
diambil dari pemiliknya untuk menjadikan Watsiiqah hutang
-
14
yang lazim (keberadaanya sudah positif dan mengikat).
Maksudnya suatu akad atau kesepakatan akan mengambil
sesuatu dari harta yang berbentuk al-„Ain (barang yang
berbentuk kongkrit) seperti harta yang tidak bergerak yaitu
tanah, rumah, barang, hewan, barang komoditi, atau dalam
bentuk kemanfaatan (kemanfaatan barang, tenaga, atau
keahlian seseorang). Namun, dengn syarat kemanfaatan
tersebut harus jelas dan ditentukan dengan masa (penggunaan
atau pemanfaatan suatu barang) atau pekerjaan dengan
memanfaatkan tenaga atau keahlianya, juga dengan syarat
kemanfaatan tersebut dihitung masuk ke dalam hutang yang
ada (Ahmad: 207).
4. Menurut Imam Hambali, mendefinisikan rahn dengan harta
yang dijadikan jaminan hutang sebagai pembayar harga (nilai)
hutang ketika yang berhutang berhalangan (tidak mampu)
membayarkan hutangnya kepada pemberi jaminan (Rahman,
1996: 158).
5. Rahn menurut syara adalah manahan salah satu harta milik si
peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya.
Barang yang ditahan tersebut harus memiliki nilai ekonomis,
dengan demikian pihak yang menahan memperoleh jaminan
untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.
-
15
Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn adalah semacam
jaminan hutang atau gadai (Sabbiq, 1987: 169).
Berdasarkan pengertian gadai (rahn) yang dikemukakan oleh para
ahli Hukum Islam diatas, penulis berpendapat bahwa gadai (rahn) adalah
menahan barang jaminan yang bersifat materi milik si peminjam (rahin)
sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, dan barang jaminan
tersebut mempunyai nilai ekonomis, sehingga pihak yang menahan
(murtahin) memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau
sebagian utangnya dari barang gadai dimaksud, bila pihak yang
menggadaikan tidak dapat membayar utang pada waktu yang telah
ditentukan. Karena itu, tampak bahwa gadai syariah perjanjian antara
seseorang untuk menyerahkan harta benda berupa emas/ perhiasan/
kendaraan atau harta benda lainya sebagai jaminan dan/atau agunan
kepada seseorang dan/atau lembaga pegadaian syariah berdasarkan hukum
gadai syari‟ah.
Jika memperhatikan pengertian gadai (rahn) di atas, maka tampak
bahwa fungsi dari akad perjanjian antara pihak peminjan dengan pihak
meminjam uang adalah untuk memberikan ketenangan bagi pemilik uang
dan/atau jaminan keamanan uang yang dipinjam. Karerna itu, rahn pada
prinsipnya merupakan suatu kegiatan utang piutang yang murni berfungsi
sosial, sehingga dalam buku fiqih muamalah akad ini merupakan akad
tabarru‟ atau akad derma yang tidak mewajibkan imbalan (Ali, 2008: 4).
-
16
B. Dasar Hukum
Gadai atau rahn diperbolehkan dalam Islam. Berikut adalah dalil-dalil
yang memperbolehkan akad rahn:
1. Al-Qur‟an
َن ِم َأ ْن ِإ َف ٌة وَض ُب ْق َم ٌن ا رَِه َف ا ًب ِت ا وا َك ُد ََتِ َوَلَْ ٍر َف َس ى َل َع ْم ُت ْن ْن ُك َوِإ
َوََل َربَُّه لََّه ل ا تَِّق َي َوْل ُه َت َ ن ا َم َأ ْؤُُتَِن ا ي لَِّذ ا َؤدِّ ُ ي ْل َ ف ا ًض ْع َ ب ْم ُك ُض ْع َ ب
وَن ُل َم ْع َ ت َا ِِب لَُّه ل َوا ُه ُب ْل َ ق ِِثٌ آ نَُّه ِإ َف ا َه ْم ُت ْك َي ْن َوَم َة َد ا َه شَّ ل ا وا ُم ُت ْك َت
مٌ ي ِل َعArinya: “Jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak dapat
menemukan seorang penulis, maka hendaklah barang
jaminan yang dipegang. Tetapi, jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai
itu menepati amanat-amanatnya (utangnya) dan hendaklah
dia bertakwa kepada Allah, Tuhanya. Dan janganlah kamu
menyembunyikan kesaksian, karena barang siapa yang
menyembunyikanya, sungguh, hatinya kotor (berdosa). Allah
maha mengetahui apa yang kamu lakukan” (QS. Al-
Baqarah: 283).
Syaikh Muhamad „Ali As-Sayis mengungkapkan bahwa rahn
dapat dilakukan ketika dua pihak yang bertransaksi sedang melakukan
perjalanan (musyafir), dan transaksi yang demikian ini harus dicatat
dalam sebuah berita acara (ada orang yang menuliskanya) dan ada
orang yang menjadi saksi terhadapnya. Bahkan „Ali As-Sayis
mengungkapkan bahwa dengan rahn, prinsip kehati hatian sebenarnya
lebih terjamin ketimbang bukti tertulis ditambah dengan persaksian
seseorang. Sekalipun demikian, penerima gadai (murtahin) juga di
-
17
bolehkan tidak menerima barang jaminan (marhun) dari pemberi gadai
(rahin) tidak akan menghindar dari kewajibannya. Sebab, substansi
dalam peristiwa rahn adalah untuk menghindari kemudaratan yang
diakibatkan oleh berkhianatnya salah satu pihak atau kedua belah
pihak ketika keduanya melakukan transaksi utang piutang (Ali, 2008:
05).
Sekalipun ayat tersebut, secara literal mengindikasikan bahwa rahn
dilakukan oleh seseorang ketika dalam keadaan musafir. Hal ini, bukan
berarti dilarang bila dilakukan oleh orang yang menetap dan atau/
bermukim. Sebab, keadaan musafir ataupun menetap bukanlah
merupakan suatu persyaratan keabsahan transaksi rahn. Apalagi,
terdapat sebuah hadist yang mengisahkan bahwa Rasulullah saw.
Menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi, untuk
mendapatkan makanan bagi keluarganya, pada saat beliau tidak
melakukan perjalanan (Ali, 2008: 06).
2. Hadis
Selain ayat Al-Quran di atas terdapat pula Hadis yang membahas
tentang rahin, yaitu Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan
Muslim, yaitu diterangkan bahwa suatu hari Nabi SAW pernah
membeli makanan tidak secara kontan dari seorang Yahudi dengan
menukar baju besinya sebagai jaminan. Berikut adalah penggalan
hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim:
-
18
ٍَّ أَنَّ ُ َصهًَّ انىَّثِ ُ هِ ّللاَّ تََسي َوَسهَّمَ َعهَ ٌ ِمه طََعاًما اش إِنًَ ََهُىِد
ًعا َوَزهَىَهُ أََجم َحِدَد ِمه ِدز
Artinya: “Bahwa Rasulullah SAW membeli makanan dari seorang
Yahudi dan beliau menggadaikan baju besinya
kepadanya” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari hadist di atas dapat dipahami bahwa tiap barang barang yang
dijual dapat pula digadaikan untuk keperluan utang piutang dan Islam
tidak membeda-bedakan antara orang Islam dan non Islam dalam
bidang muamalah. Maka orang Islam tetap wajib membayar hutangnya
sekalipun kepada orang non Islam (Abdullah: 159).
3. Ijtihad
Berkaitan dengan pembolehan akad rahn ini, Jumhur Ulama
menyatakan boleh dan mereka tidak memperselisihkan tentang
masalah ini. Jumhur Ulama berependapat bahwa disyariatkan pada
waktu tidak bepergian maupun di saat bepergian, berargumentasi
kepada perbuatan Rasulullah SAW terhadap riwayat hadist tentang
orang Yahudi tersebut di Madinah. Adapun keadaan dalam perjalan
seperti ditentukan pada QS. Al-Baqarah: 283, karena melihat
kebiasaan dimana pada umumnya rahn dilakukan pada waktu
bepergian (Anshori, 2010: 114).
-
19
4. Fatwa Dewan Syariah Nasional
Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
(DSN-MUI) menjadi salah satu rujukan yang berkenaan gadai syariah,
di antaranya dikemukakan sebagai berikut:
a. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 25/
DSN-MUI/III/2002, tentang rahn;
b. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No:
26/DSN-MUI/III/2002, tentang rahn emas;
c. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No:
09/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan ijarah;
d. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No:
10/DSN-MUI/IV/2000 tentang wakalah;
e. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No:
43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang ganti rugi.
C. Rukun dan Syarat Gadai
Adapun rukun dan syarat dalam pegadaian agar sesuai dengan
Hukum Islam ialah sebagai berikut:
Di dalam fiqih mazhab diungkapkan rukun gadai sebagai berikut:
1. Aqid (orang yang berakad)
Aqid adalah orang yang melakukan akad yang meliputi 2 (dua)
arah, yaitu (a) rahin (orang yang menggadaikan barangnya), dan (b)
Murtahin (orang yang berpiutang dan menerima barang gadai), atau
penerima gadai. Hal ini dimaksud, didasari oleh shighat, yaitu ucapan
-
20
berupa ijab qabul (serah terima antara penggadai dengan penerima
gadai). Untuk melakukan akad rahn yang memenuhi kriteria syari‟at
Islam, sehingga akad yang dibuat oleh dua pihak atau lebih harus
memenuhi beberapa rukun dan syarat. (Ali, 2008: 20).
2. Ma‟qud „alaih (barang yang digadaikan)
Ma‟qud „alaih meliputi 2 (dua) hal, yaitu (a) marhun (barang yang
digadaikan), dan (b) marhun bihi (dain), atau utang yang karenanya
diadakan akad rahn. Namun demikian ulama fiqih berbeda pendapat
mengenai masuknya shigat sebagai rukun dari terjadinya rahn. Ulama
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa shigat tidak termasuk sebagai
rukun rahn, melainkan ijab (pernyataan menyerahkan barang sebagai
agunan bagi pemilik barang) dan qabul ( pernyataan kesediaan dan
memberi uatang, dan menerima barang agunan tersebut). Di samping
itu, menurut Ulama Hanafi, untuk sempurna dan mengikatnya akad
rahn, masih diperlukanya apa yang disebut penguasaan barang oleh
kreditor (al-qabdh), sementara kedua belah yang melakukan akad dan
barang yang dijadikan agunan atau jaminan, dalam pandangan Ulama
Hanafi lebih tepat dimasukan sebagai syarat rahn bukan rukun rahn
(Ali, 2008: 20).
-
21
Selain rukun yang harus dipenuhi dalam transaksi gadai ada pula
syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu sebagai berikut:
1. Adanya rahin dan murtahin
Rahin ialah pihak yang memiliki tanggungan hutangdan
menyerahkan jaminan (marhun) kepada murtahin. Sedangkan
murtahin ialah hak pemilik piutang dan memiliki jaminan dari rahin.
Adapun syarat-syarat rahin dan murtahin tersebut ialah:
a. Telah dewasa
b. Berakal sehat
c. Atas kehendak sendiri
d. Orang yang mampu membelanjakan harta dan persoalan-persoalan
yang berhubunga dengan gadai (Anshori, 2011: 115).
2. Adanya barang yang digadaikan (marhun)
Marhun ialah, barang yang bernilai ekonomis yang dijadikan
sebagai barang jaminan oleh rahin (penggadai) atas hutang yang
diberikan oleh pemberi gadai (murtahin).
Secara umum marhun harus memenuhi beberapa syarat, diantaranya:
a. Harus berupa harta bernilai
b. Harus dimiliki oleh rahin
c. Harus bisa diperjual belikan, marhun itu boleh dijual dan nilainya
seimbang dengan marhun bih
d. Marhun harus bisa dimanfaatkan secara syariah
e. Harus jelas yaitu diketahui keadaan fisiknya
-
22
f. Tidak terkait dengan orang lain
g. Merupakan harta yang utuh, tidak bertebaran dalam beberapa
tempat
h. Bisa diserahkan
i. Dipegang atau dikuasai rahin
j. Harta tetap atau dapat dipindahkan
3. Adanya hutang (marhun bih)
Menurut Imam Syafii bahwa syarat sah gadai adalah harus ada
jaminan yang berkriteria jelas dalam serah terima. Sedangkan Imam
Maliki mesyaratkan bahwa gadai wajib dengan akad dan setelah akad
yang menggadaikan wajib menyerahkan barang jaminan kepada yang
menerima gadai (Hadi, 2003: 53).
Adapun syarat-syarat marhun bih ialah sebagai berikut:
a. Merupakan hak wajib yang diberikan atau diserahkan kepada
pemiliknya;
b. Marhun bih boleh dilunasi dengan marhun itu;
c. Marhun bih itu jelas atau tetap;
d. Memungkinkan pemanfaatan, bila sesuatu menjadi hutang tidak
bisa dimanfaatkan maka tidak sah;
e. Harus dapat dihitung jumlahnya, jika rahn tidak dapat di ukur
maka tidak sah (Sutedi: 39).
-
23
D. Hak Dan Kewajiban Para Pihak
Para pihak pemberi dan penerima gadai masing-masing mempunyai
hak dan kewajiban yang harus di penuhi, diantaranya sebagai berikut:
1. Hak dan kewajiban penerima gadai
a) Penerima gadai berhak menjual marhun apa bila rahin tidak dapat
memenuhi kewajibanya pada saat jatuh tempo. Hasil penjualan
harta benda gadai (marhun) dapat digunakan untuk melunasi
pinjaman (marhun bih) dan sisanya dikembalikan kepada rahin.
b) Penerima gadai berhak mendapatkan penggantian biaya yang telah
dikeluarkan untuk menjaga harta benda gadai (marhun)
c) Selama peminjaman belum dilunasi maka pihak pemegang gadai
berhak menahan harta benda gadai yang diserahkan oleh pemberi
gadai (rahin)
Berdasarkan hak penerima gadai dimaksud, muncul kewajiban
yang harus dilaksanakan, yaitu sebagai berikut:
a) Penerima gadai harus bertanggung jawab atas hilangnya atau
merosotnya harta benda gadai apabila hal itu disebabkan oleh
kelalaianya.
b) Penerima gadai tidak boleh menggunakan barang gadai untuk
kepentingan pribadinya.
c) Penerima gadai berhak memberitahukan kepada pemberi gadai
sebelum diadakan pelelangan harta benda gadai (Ali, 2008: 40).
-
24
2. Hak dan kewajiban pemberi gadai
a) Pemberi gadai (rahin) berhak mendapat pengembalian harta benda
yang digadaikan setelah ia melunasi pinjaman hutangnya
b) Pemberi gadai berhak menuntut ganti rugi atas kerusakan dan/atau
hilangnya harta benda yang digadaikan, bila hal itu disebabkan
oleh kelalaian penerima gadai
c) Pemberi gadai berhak menerima sisa penjualan harta benda gadai
sesudah dikurangi biaya pinjaman dan biaya-biaya lainya
d) Pemberi gadai berhak meminta kembali harta benda gadai apabila
penerima gadai diketahui menyalahgunakan harta benda gadaianya
Berdasarkan hak-hak pemberi gadai di atas maka muncul
kewajiban yang harus dipenuhinya, yaitu:
a) Pemberi gadai berkewajiban melunasi pinjaman yang diterimanya
dalam tenggang waktu yang telah ditentunkan, termasuk biaya-
biaya yang telah ditentukan oleh penerima gadai
b) Pemberi gadai berkewajiban merelakan penjualan harta benda
gadaianya, bila dalam jangka waktu yang telah ditentukan pemberi
gadai tidak dapat melunasi uang pinjamanya (Ali, 2008: 41).
E. Pemanfaatan Barang Gadai
Pada dasarnya barang gada tidak dapat dimanfaatkan baik oleh
rahin maupun murtahin. Hal ini disebabkan karena status barang tersebut
sebagai barang jaminan hutang dan sebagai amanat bagi murtahin, namun
bila mendapat izin dari masing-masing pihak yang barsangkutan maka
-
25
marhun boleh memanfaatkan dengan syarat jika rahin atau murtahin
meminta izin untuk memanfaatkan marhun maka hasilnya menjadi milik
bersama. Ketentuan tersebut bertujuan untuk menghindari marhun tidak
berfungsi atau bubazir (Sutedi : 52).
Para ulama fiqih sepakat mengatakan bahwa, segala biaya yang
dibutuhkan untuk memelihara barang-barang itu menjadi tanggung jawab
pemiliknya, yaitu orang yang berhutang. Para ulama fiqih juga sepakat
mengatakan bahwa barang yang dijadikan barang jaminan itu tidak boleh
dibiarkan begitu saja tanpa menghasilkan sama sekali, akan tetapi apakah
diperbolehkan pihak pemegang jaminan memanfaatkan barang gadaian,
meskipun mendapat izin dari pemilik barang jaminan (Al-fauzan, 2006:
416). hal ini menjadi perbedaan pendapat para ulama, diantaranya yaitu:
1. Menurut Ulama Hanafiah
Menurut Imam Hanafi tidak ada bedanya antara pemanfaatan
barang gadaian yang menyebabkan kurang harganya atau tidak. Imam
Hanafi berpendapat bahwa rahn tidak dapat dimanfaatkan tanpa seizin
murtahin, begitu pula murtahin tidak boleh memanfaatkanya tanpa
seizin rahin. Mereka beralasan bahwa barang gadai harus tetap
dikuasai oleh murtahin selamanya. Oleh karena itu golongan Hanafiah
ada yang memperbolehkanya jika diijinkan oleh rahin. Tetapi sebagian
lainya tidak memperbolehkan sekalipun ada izin bahkan
mengategorikan sebagai riba, jika disyaratkan ketika akad untuk
-
26
memanfaatkanya haram karena termasuk riba (Isnawati dan
Hasanudin, 1994: 49).
Hal tersebut didasari oleh hadis Nabi sebagai berikut:
ثَىَا ُ م أَتُى َحدَّ ثَىَا وَُع َ َسجَ أَتٍِ َعه َعاِمس َعه َشَكِسََّاءُ َحدَّ ٍَ هَُس َزِض
ُ ٍ َعه َعى هُ ّللاَّ ُ َصهًَّ انىَّثِ ُ هِ ّللاَّ ه هُ ََقُىلُ َكانَ أَوَّهُ َوَسهَّمَ َعهَ انسَّ
َكةُ َسبُ تِىَفَقَتِهِ َُس هُىوًامَ َكانَ إَِذا اندَّز نَثَهُ َوَُش س
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim telah menceritakan kepada kami Zakariya' dari 'Amir dari Abu
Hurairah radliyallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda:
"Sesuatu (hewan) yang digadaikan boleh dikendarai untuk
dimanfaatkan, begitu juga susu hewan boleh diminum bila
digadaikan."
2. Menurut Ulama Syafi‟iah
Berbeda dengan ulama Hanafiah, Imam Syafi‟i mempunyai
pendapat lain. Yaitu, rahn boleh dimanfaatkan oleh marhun tanpa
seijin murtahin asalkan tidak menyebabkan marhun itu berkurang,
hilang, atau mengurangi fungsi marhun itu, seperti mengendarai
motor, menempati rumah. Akan tetapi jika menyebabkan marhun itu
berkurang seperti sawah dan kebun maka rahin harus meminta izin
untuk memanfaatkanya.
Imam Syafi‟i mengemukakan pendanganya berdasarkan hadis
sebagai berikut:
-
27
ثََسوَا دُ أَخ َماِعُمَ ت هُ ُمَحمَّ ، أَتٍِ ت هِ إِس َ ك ِذئ ة ، أَتٍِ ات هِ َعهِ فَُد
ِ َزُسىلَ أَنَّ ان ُمَسُ ِة، ت هِ َسِعُدِ َعه ِشهَاب ، ات هِ َعهِ ّللاُ َصهًَّ ّللاَّ
هَقُ َل : »قَالَ َوَسهَّمَ ُ هِ َعهَ ه هُ ََغ نَهُ َزهَىَهُ، انَِّرٌ َصاِحثِهِ ِمه انسَّ
ُ هِ ُغى ُمهُ ُمهُ َوَعهَ ٍ قَالَ « ُغس افِِع ٍَ انشَّ ُ َزِض : ُغى ُمهُ : َعى هُ ّللاَّ
ُمهُ ِشََاَدتُهُ، َووَق ُصهُ هَََلُكهُ : َوُغس
Artinya:“Muhammad bin Ismail bin Abu Fudaik mengabarkan
kepada kami dari Ibnu Abu Dzi'b, dari Ibnu Syihab, dari
Sa'id bin Al Musayyab bahwa Rasulullah pernah
bersabda, “Transaksi gadaian tidak menutup pemilik barang dari barang yang digadaikannya, dialah yang
menebusnya, dan dia pulalah yang menanggung
dendanya. Asy-Syafi'i mengatakan bahwa ghunumuhu
artinya pengembangannya, dan ghurmuhu artinya
penyusutannya”
Dalam penjelasan Hadis di atas bahwa barang gadaian itu tidak
menutup hak atas pemiliknya yaitu orang yang menggadaikan untuk
mengambil manfaatnya. Dengan demikian orang yang menggadaikan
tetap berhak atas hasil yang ditimbulkan dari barang gadaian itu dan
bertanggung jawab atas segala resiko yang menimpa barang
tersebutdan penerima gadai menguasai barang jaminan sebagai
kepercayaan atas uang yang telah dipinjamkan sampai waktu yang
telah ditentukan pada waktu akad (As-Shan‟ani, 1995: 181).
-
28
3. Menurut Imam Maliki
Ulama Malikiyah berpedapat bahwa penerimaan harta benda gadai
(murtahin) hanya dapat memanfatkan harta benda barang gadai atas
seijin dari pemberi gadai dengan persyaratan sebagai berikut:
a. Utang disebabkan dari jual beli, bukan karena mengutangkan. Hal
itu terjadi seperti orang menjual barang dengan harta tangguh,
kemudian orang itu meminta gadai dengan satu barang sesuai
dengan utangnya maka hal ini diperbolehkan.
b. Pihak murtahin mensyaratkan bahwa manfaat dari barang gadai
diperuntukan pada dirinya.
c. Jika waktu mengmbil manfaat yang telah disyaratkan harus
ditentukan, apabila tidak ditentukan batas waktunya maka menjadi
bata (Ali, 2008: 42).
Pendapat diatas berdasrkan Hadis Rasulullah sebagai berikut:
ثَىَا َشَكِسََّاُء َعه َعاِمس ُ م َحدَّ ثَىَا أَتُى وَُع ٍَ َحدَّ َ َسجَ َزِض َعه أَتٍِ هَُس
ُ َعى هُ ّللاَّ
َكُة ه ُه َُس ُ ِه َوَسهََّم أَوَّهُ َكاَن ََقُىُل انسَّ ُ َعهَ ٍ َصهًَّ ّللاَّ َعه انىَّثِ
هُىوًا َسُب نَثَُه اندَّز إَِذا َكاَن َمس تِىَفَقَتِِه َوَُش
artiya: “ Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim telah
menceritakan kepada kami Zakariya' dari 'Amir dari Abu
-
29
Hurairah radliyallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda: "Sesuatu (hewan) yang digadaikan boleh dikendarai untuk
dimanfaatkan, begitu juga susu hewan boleh diminum bila
digadaikan."
Yang selanjutnya yaitu Hadis Nabi Muhmmad yang artinya:
ثَىَا دُ َحدَّ ثََسوَا ُمقَاتِم ت هُ ُمَحمَّ ِ َعث دُ أَخ ثََسوَا ّللاَّ َعه َشَكِسََّاءُ أَخ
ٍ ثِ ع َ َسجَ أَتٍِ َعه انشَّ ٍَ هَُس ُ َزِض قَالَ َعى هُ ّللاَّ
ِ َزُسىلُ قَالَ ُ َصهًَّ ّللاَّ ُ هِ ّللاَّ ه هُ َوَسهَّمَ َعهَ َكةُ انسَّ إَِذا تِىَفَقَتِهِ َُس
هُىوًا َكانَ َسبُ اندَّز َونَثَهُ َمس هُىوًا َكانَ إَِذا تِىَفَقَتِهِ َُش َوَعهًَ َمس
َكةُ انَِّرٌ َسبُ ََس انىَّفَقَحُ َوََش
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Muqatil telah mengabarkan kepada kami 'Abdullah telah
mengabarkan kepada kami Zakariya' dari Asy-Sya'biy dari
Abu Hurairah radliyallahu 'anhu berkata: Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
(Hewan) boleh dikendarai jika digadaikan dengan
pembayaran tertentu, susu hewan juga boleh diminum bila
digadaikan dengan pembayaran tertentu, dan terhadap
orang yang mengendarai dan meminum susunya wajib
membayar."
4. Menurut Ulama Hanabilah
Menurut pendapat Ulama Hanabilah, persyaratan bagi murtahin
untuk mengambil manfaat hata benda yang bukan berupa hewan
adalah adanya ijin dari pemilik barang dan adanya gadai bukan
mengutangkan.
-
30
Apabila harta benda gadai berupa hewan yang tidak dapat diperah
dan tidak dapat ditunggangi, boleh menjadikanya sebagai khadam.
Akan tetapi bila harta benda gadai itu berupa rumah, sawah, kebun dan
semacamnya maka tidak boleh mengambil manfaatnya (Ali, 2008: 43).
Kebolehan murtahin memanfaatkan harta benda gadai atas seizin
pihak rahin, dan nilai pemanfaatanya harus disesuaikan dengan biaya
yang telah dikeluarkan utuk marhun dasarkan oleh hadis Nabi
Muhammad SAW, sebagai berikut:
ثَىَا دُ َحدَّ ثََسوَا ُمقَاتِم ت هُ ُمَحمَّ ِ َعث دُ أَخ ثََسوَا ّللاَّ َعه َشَكِسََّاءُ أَخ
ٍ ثِ ع َ َسجَ أَتٍِ َعه انشَّ ٍَ هَُس ُ َزِض قَالَ َعى هُ ّللاَّ
ِ َزُسىلُ قَالَ ُ َصهًَّ ّللاَّ ُ هِ ّللاَّ ه هُ َوَسهَّمَ َعهَ َكةُ انسَّ إَِذا تِىَفَقَتِهِ َُس
هُىوًا َكانَ َسبُ اندَّز َونَثَهُ َمس هُىوًا َكانَ إَِذا تِىَفَقَتِهِ َُش َوَعهًَ َمس
َكةُ انَِّرٌ َسبُ ََس انىَّفَقَحُ َوََش
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Muqatil telah mengabarkan kepada kami 'Abdullah telah
mengabarkan kepada kami Zakariya' dari Asy-Sya'biy dari
Abu Hurairah radliyallahu 'anhu berkata: Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
(Hewan) boleh dikendarai jika digadaikan dengan
pembayaran tertentu, susu hewan juga boleh diminum bila
digadaikan dengan pembayaran tertentu, dan terhadap
orang yang mengendarai dan meminum susunya wajib
membayar."
-
31
F. Berakhirnya Akad Gadai
Menurut Sayyid Sabiq, jika barang gadai kembali ketangan rahin
atau dengan kata lain, jika barang gadai itu kembali ke dalam kekuasaan
rahin, maka ketika itu akad gadai sudah batal. Dengan demikian perspektif
Sayyid Sabiq agar akad gadai tidak batal harus dalam penguasaan
murtahin (Sabiq, 1987: 190).
Barang gadai batal apabila:
1. Borg (barang gadai diserahkan kepada pemiliknya)
Jumhur ulama selain Syafi‟i menganggap gadai menjadi batal apabila
murtahin menyerahkan borg kepada pemiliknya (rahin) sebab borg
merupakan jaminan hutang. Jika borg diserahkan, maka tidak ada
jaminan. Selain itu dipandang batal pun akad gadai jika murtahin
meminjamkan borg kepada rahin atau orang lain atas seijin rahin.
2. Rahin meninggal
Menurut Imam Malik, rahn batal atau berakhir apabila rahin
meninggal sebelum menyerahkan borg pada murtahin. Juga dipandang
batal apabila murtahin meninggal sebelum mengembalikan borg
kepada rahin.
3. Borg rusak
4. Tasharruf dan borg
Rahn berakhir apabila borg ditasharrufkan seperti dijadikan hadiah,
hibah, sedekah, dan lain-lain atas ijin pemiliknya.
-
32
-
33
BAB III
PRAKTIK GADAI BERANTAI DI DUSUN NGULARAN DESA NGABEAN
KECAMATAN BOJA KABUPATEN KENDAL
A. Gambaran Umum Dusun Ngularan Desa Ngabean Kecamatan Boja
Kabupaten Kendal
Boja adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Kendal, Provinsi
Jawa Tengah, Indonesia. Kecamatan Boja merupakan satu dari 20
kecamatan di Kabupaten Kendal Propinsi Jawa Tengah, dengan wilayah
sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Kaliwungu, sebelah Selatan
berbatasan dengan Kecamatan Limbangan, sebelah barat berbatasan
dengan Kecamatan Singorojo dan sebelah timur berbatasan dengan Kota
Semarang. Kecamatan Boja terletak pada 7 0 02‟ 58” - 7 0 08‟ 53” Lintang
Selatan dan 1090 15‟ 08” - 1100 21‟ 85” Bujur Timur dengan ketinggian
tanah dari ± 350 m sampai dengan 500 m di atas permukaan laut. Di Boja
terdapat patung yang bernama patung kawedanan boja. Patung kawedanan
boja, terletak tepat di depan pasar Boja, patung ini menjadi saksi bisu
berkembanganya pasar boja dari masa ke masa. Patung tersebut,
mencerminkan seorang pahlawan yang mempunyai semagat perjuangan
yang gigih. Hal itu bisa kita lihat dari tangan kiri patung memegang
bendera merah putih dan tangan kanan membawa senjata
api.(https://id.m.wikipedia.org/wiki/Boja,_Kendal,diakses tanggal 12
september 2018, jam 05:52)
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kecamatanhttps://id.m.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Kendalhttps://id.m.wikipedia.org/wiki/Provinsihttps://id.m.wikipedia.org/wiki/Jawa_Tengahhttps://id.m.wikipedia.org/wiki/Indonesiahttps://id.m.wikipedia.org/wiki/Boja,_Kendal
-
34
Jumlah penduduk di Kecamatan Boja mencapai 69.219 jiwa, terdiri
dari 34.894 jiwa (50,41%) laki-laki dan 34 325 jiwa (49,59%) perempuan.
Di kecamatan boja sendiri mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani.
(https://id.m.wikipedia.org/wiki/Boja,_Kendal,diakses tanggal 15 Janiari
2019, jam 11.00 wib)
Di Boja terdapat beberapa pegadaian diantaranya yaitu pegadaian
ups ps.sore Kaliwungu, pegadaian UPS Kendal Permai, pegadaian UPC
Waleri, pegadaian UPC Sukorejo, pegadaian UPC Pekauman dan masih
banyak lagi pegadaian pegadaian milik lembaga pegadaian yang berada di
Boja.
Selain milik lembaga ada juga pegadaian perorangan salah satunya
yaitu milik Mas Sis yang berada di Dusun Ngularan Desa Ngabean
Kecamatan Boja Kabupaten Kendal. Di dalam penelitian ini penulis
meneliti pegadaian yang digeluti oleh Mas Sis yang berada di dusun
tersebut. Pegadaian ini berada di tengah perumahan di Dusun Ngularan
jadi akses menuju rumas Mas Sis sangat mudah.
Pegadaian milik Mas Sis merupakan pegadaian perorangan yang di
tangani langsung oleh Mas Sis sendiri. Sama halnya pegadaian-pegadaian
pada umumnya pegadaian milik Mas Sis ini melayani transaksi pegadaian
dengan syarat yang mudah dan gampang. Jadi banyak konsumen-
konsumen yang datang di tempat Mas Sis untuk menggadaikan motornya.
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Boja,_Kendal
-
35
Pegadaian yang digeluti Mas Sis ini didirikan mulai tahun 2009
dengan modal yang seadanya. Pegadaian ini merupakan satu-satunya
pegadaian yang berada di Dusun Ngularan tersebut sehingga banyak
warga di dusun tersebut merasa terbantu dalam perekonomianya. Didalam
menjalankan usahanya Mas Sis dibantu oleh istrinya saja untuk mencatat
siapa saja orang-orang yang menggadaikan motor di tempatnya.
B. Profil Tempat Gadai
Dizaman modern seperti saat ini masih banyak masyarakat yang
kurang berkecukupan di dalam bidang ekonomi. Untuk makan sehari hari,
pemenuhan dalam pendidikan, dalam kesehatan dan lain-lain masih
kurang dari kata cukup. Sehingga dalam keluarga yang berpenghasilan
menengah kebawah sering kali terpaksa menggadaikan barang berharga
mereka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Meskipun banyak terdapat lembaga-lembaga pegadaian, banyak di
antara mereka yang menggadaikan barangnya di pegadaian perorangan
dengan alasan agar tidak ribet dengan administrasi, pendaftaran dan
syarat-syarat yang dianggap menyulitkan mereka. Dan juga jarak yang
cukup jauh dari tempat tinggal mereka. Hal tersebut yang membuat
masyarakat lebih memilih menggadaikan barangnya ke tetangga maupun
kerabat yang mereka percayai.
Di tempat pegadaian milik Mas Sis ini menjadi solusi bagi
masyarakat di sekitar Dusun Ngularan tersebut bahkan terdapat nasabah
-
36
dari luar desa yang memilih untuk menggadaikan motornya ke tempat
tersebut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.
Pegadaian milik Mas Sis yang didirikan mulai tahun 2009 ini tidak
pernah sepi dari orang-orang yang ingin memanfaatkan jasanya. Awal
mula Mas Sis tidak berniat untuk membuat bisnis gadai ini. Ketika itu ada
seorang yang menggadaikan motor kepada Mas Sis, dan kebetulan salah
seorang temannya yang ingin dicarikan motor gadaian seperti yang digadai
oleh Mas Sis. Kemudian Mas Sis menggadaikan motor yang digadainya
tersebut kepada temanya. Dari situ muncul ide Mas Sis untuk menggeluti
bisnis gadai ini. Seperti yang di jelaskan oleh Mas Sis sendiri:
“pertamane kula dodolan mie ayam, terus tahun 2007 niku pasar
kebakaran mas. Nah, akhire kula alih profesi. Pas niku kula gade motor,
ning di nggo piambak, mergi ameh tumbas mboten saget. Lah, pas niku
kok enten konco sing pengen “la koe entuk motor kui seko endi? Mbuk aku
digolekke”. Pas niku motore kula tak kekne kui tak kon genti duit sing tak
gawe gade kui mau. Terus kula golek uwong sing gadekke meneh ngoten.
Bar kui kok soyo akeh sing pengen, terus lanjut tekan sakniki”
Dalam Bahasa Indonesia:
“Pertama saya jualan mie ayam, terus tahun 2007 pasar kebakaran
mas. Nah, akhirnya saya alih profesi. Pada waktu itu saya menggadai
motor tapi di pakai sendiri karena mau beli tidak bias. Saat itu ada teman
yang pengen, “kamu dapat motor itu dari mana? Mbuk saya juga
dicarikan”. Pada saat itu motor saya kasihkan dan saya suruh ganti uang
-
37
digunakan untuk menggadai motor tersebut. Kemudian saya mencari lagi
seorang yang mau menggadaikan kembali. Setelah itu bertambah banyak
yang pengen. Dan itu berlanjut sampai sekarang”
Mas Sis hanya menerima jaminan berupa sepeda motor saja. Ia
menerima semua jenis merek motor seperti beat, vario, mio, Jupiter, verza
dan lain-lain. Mas Sis hanya memberikan pinjaman 30% dari taksiran
harga motor seperti yang dijelaskan oleh Mas Sis sebagai berikut:
“kalo mau memberi pinjaman enten taksirane mas, sekitas 30%
dari harga motor. Misalke nek beat keluaran sakniki nggih sekitar 4 juta,
nek mio ya 3 juta, ya manut harga motore”
Dalam Bahasa Indonesia:
“Kalau menmberi pinjaman ada taksiranya mas, sekitar 30% dari
harga motor. Misalkan kalau beat keluaran sekarang sekitar 4 juta, kalau
mio 3 juta, ya tergantung harga motornya”
Banyak sekali peminat yang menggadaikan motor di tempat Mas
Sis ini. Terutama di daerah tempat tinggalnya, mulai dari bapak-bapak
sampai ibu-ibu. Ada pula peminat dari luar kota yang datang ke tempat
Mas Sis.
C. Akad Gadai Berantai
Didalam sebuah perjanjian tentu tidak lepas dengan akad, karena
akad merupakan awal dari sebuah perjanjian. Akad menurut bahasa adalah
perikatan, perjanjian dan pemufakatan. Menurut istilah akad merupakan
suatu perikatan antara ijab dan qabul dengan cara yang dibenarkan syara‟
-
38
yang menetapkan adanya akibat-akibat hukum pada objeknya (puengen-
pinter.blogspot.com/2012/04/pengertianakad.html?m=1). Di dalam
pegaadaian milik Mas Sis ini terdapat 2 akad yang di lakukkan yaitu
pihak I dengan Mas Sis dan Mas Sis dengan pihak ke III.
1. Pihak pertama dengan Mas Sis
Akad ini terjadi ketika para penggadai datang sendiri kerumah Mas
Sis dengan membawa motor yang akan digadaikanya. Terkadang Mas
Sis juga mendatangi orang yang akan menggadaikan motornya dan
akad gadaipun terjadi di tempat itu. Kebanyakan orang yang
menggadaikan ditempat Mas Sis karena memerlukan uang yang
sifatnya mendadak dan mereka memilih di tempatnya Mas Sis karena
prosesnya yang cepat dan tidak berbelit-belit. Seperti yang dijelaskan
oleh Mas Sis sebagai berikut:
“ Kebanyakan dari mereka niku tiang sing kepepet butoh mas,
kadang meh bayar anake sekolah ngoten mlayune mriki, terus enten
tiang namine faizin. Tiange niku dodolan sayur, nek misale modale
entek mlayune rene mas. Nitipke motore rong dino opo telung dino
ngono mengko di jipuk meneh. Intine yo kono oleh kene yo oleh ngono
mas”
Dalam Bahasa Indonesia:
“Kebanyakan dari mereka orang yang terdesak oleh kebutukan
mas, terkadang mau membayar anaknya sekolah terus larinya kesini.
Terus ada seseorang yang namanya Faizin, ia jualan sayur, misalkan
-
39
modalnya habis ia lari kesini mas. Menitipkan motornya dua hari atau
tiga hari nanti diambil kembali. Yang penting mereka dapat yang
mereka inginkan dan saya juga sama”
Setelah akad perjanjian tercapai Mas Sis kemudian menetapkan
jatuh tempo pelunasan gadai tersebut. Untuk batas jatuh tempo sendiri
Mas Sis menetapkan maksimal dua bulan setelah kesepakatan dan
penyerahan barang berlangsung. Ketika menyerahkan uang gadaian
kepada pihak pertama, Mas Sis memotong 10% uang tersebut untuk
biaya administrasi. Jika orang yang menggadaikan belum bisa
melunasi hutangnya setelah jatuh tempo, Mas Sis tidak terburu-buru
untuk menjual barang yang digadaikan tersebut. Akan tetapi Mas Sis
akan menunggu dan terus menghubungi orang yang menggadaikan
tersebut. Jika belum dapat melunasi juga maka Mas Sis terpaksa
menjual barang gadaian tersebut dan uang hasil penjualan motor itu
digunakan untuk melunasi hutang si penggadai dan sisanya di
kembalikan kepada si penggadai.
2. Mas Sis dengan pihak ke tiga
Setelah menetapkan akad dan transaksi gadai tersebut
kemudian Mas Sis mencari orang yang akan menggadai motor yang
telah digadai oleh Mas Sis. Biasanya orang yang mau menerima
jaminan itu adalah orang yang tidak mempunyai cukup uang untuk
membeli motor. Ada juga orang yang menggunakan motor-motor dari
Mas Sis dengan alasan agar bisa gonta-ganti motor.
-
40
Selain mencari sendiri orang yang ingin menggadai motornya
ada juga orang yang datang sendiri ke rumah Mas Sis untuk
mengambil motor yang digadai oleh Mas Sis. Dan untuk orang-orang
yang ingin menggadai motor di tempat mas Sis harus memberikan
uang dengan jumlah yang di tentukan oleh mas Sis sendiri.
Akad yang di gunakan mas Sis dalam menggadaikan motor
jaminan ini sama seperti yang dilakukan oleh Mas Sis dengan pihak
pertama, yakni menggunakan akad gadai. Hal ini bisa kita lihat dari
hasil wawancara penulis sebagai berikut:
“kalo biasane niku teko ning omah dewe mas, terus tekon enek
motor gadaian ora mas, nek enek tak gawane. nah, nek pas enek
barang yo di ambil terus bayar podo pertama kali uwong gadekke
mau. Misal, pertama enten tiang gadekke motor 3 juta. Tiang sing meh
jupuk kui mau ya harus mbayar 3 juta. Pas delalah pihak pertama
pingin mendet motore, motor sing di gowo tiang kui mau di balekke
nek omah terus kula ijoli motor sing liyane ngoten”
Dalam Bahasa Indonesia:
“Kalau biasanya itu datang ke rumah sendiri mas, terus tanya
ada motor gadaian gak mas? Kalo ada tak bawa dulu.nah, kalau pas
ada barang ya saya suruh ambil, terus membayar sama seperti orang
yang menggadaiakn pertama kali, misalkan pertama ada orang yang
menggadaikan motornya 3 juta, orang yang mengambil motor ya harus
membayar 3 juta. Kalau kebetulan pihak pertama ingin mengambil
-
41
motornya, motor yang dibawa pihak ke tiga itu tadi dikembalikan di
rumah terus motornya saya ganti dengan motor yang lainya begitu”
Akad gadai yang kedua ini tidak diketahui oleh pihak pertama
(rahin I). ketika akad gadai yang kedua berlangsung pihak kedua yakni
Mas Sis menjadi rahin II. Karena ia telah menggadaikan barang
jaminanya. Sehingga dari situ muncul murtahin II yaitu orang yang
menerima gadai motor di rumah mas Sis. Untuk pengembalian barang
itu sendiri disesuaikan dengan akad gadai yang pertama. Yakni ketika
pihak pertama atau rahin I telah melunasi motornya sebelum jatuh
tempo atau sesudah jatuh tempo otomatis akad yang kedua juga
diakhiri. Kecuali pihak ke-tiga tidak ingin mengakhiri gadainya, maka
Mas Sis mengganti motor tersebut dengan motor gadaian yang lain
yang sesuai dengan keinginan pihak ke-tiga. Sampai kedua pihak
antara Mas Sis dengan pihak ke-tiga mengakhiri perjanjian tersebut.
D. Barang Yang Digadaikan
Di dalam masyarakat jarang kita jumpai pegadaian perorangan
maupun lembaga pegadaian menggadaikan kembali barang yang
digadainya. Akan tetapi biasanya hanya mengambil manfaat yang melekat
terhadap barang yang dijaminkan kepada sipenggadai. Akan tetapi usaha
milik Mas Sis ini memiliki perbedaan dengan pegadaian pada umumnya.
Yakni mengambil manfaat dari barang gadai dengan menggadaikan
kembali barang yang sudah digadainya. Hal tersebut karena dilatar
-
42
belakangi oleh bisnis, sehingga akan semaksimal mungkin untuk
mendapatkan keuntungan.
Alasan mas Sis menggadaikan barang jaminan ialah untuk
dijadikan modal kembali, sehingga perputaran modal tetap berjalan dan
mas Sis tetap mendapat keuntungan. Hal tersebut dijelaskan mas Sis
sebagai berikut:
“kalo angsal bayaran saking pihak ke tiga, uange niku tak puter
meneh mas kanggo modal bayar gadean meneh. Nek mboten ngoten niku
yo mboten saget mlaku”
Dalam Bahasa Indonesia:
“kalau mendapat keuntungan dari pihak ke tiga, uangnya saya
putar kembali masbuat membayar barang gadaian kembali. Kalau tidak
begitu ya tidak bisa berjalan”
Di dalam menggadaikan jaminanya mas Sis mengaku pihak
penggadai ada yang tau dan ada yang tidak tahu tentang hal tersebut.
Biasanya di lingkungan sekitar tempat tinggal mas Sis mengatahui
bahwasanya barang jaminan yang ada di tempat mas Sis akan digadaikan
kembali. Sedangkan di luar tempat tinggal mas Sis tidak mengetahui.
Yang terpenting ketika pihak pertama ingin melunasi dan mengambil
barang jaminanya barang tersebut sudah berada di tempat mas Sis. Seperti
yang dijelaskan oleh mas sis sebagai berikut:
“Ora ngrti mas, sing penting pas jatuh tempo terus pihak pertama
pengen jipuk barange, kui wis enek nek omah. Tapi, nek daerah kene koyo
-
43
tonggo-tonggo wis do ngrti. dadine nek sing do kepepet butoh ngono kae
yo mlayune rene terus kondo mas motorku kae gadenen suk telung dino
ngkas tak jupuk. Nah, nek mung wektu semono kui yo motore ora tak
lempar meneh”
Dalam Bahasa Indonesia:
“Tidak tau mas, yang penting pas jatuh tempo terus pihak pertama
ingin mengambil barangnya, barangnya sudah ada di rumah. Tapi, di
daerah sini seperti tetangga sudah tau. Sehingga kalau terhimpit kebutuhan
larinya kesini terus bilang mas, saya ingin menggadaikan motor saya tiga
hari lagi saya ambil. Nah, kalau Cuma waktu segitu motornya tidak saya
lempar kembali”
Ketika Mas Sis menggadaikan kembali jaminanya maka rawan
terjadi resiko yang tidak diinginkan, seperti rusaknya motor, ditarik oleh
deptcolector hingga yang hilangnya motor jaminan tersebut. Hal tersebut
menjadi tanggung jawab Mas Sis sepenuhnya karena penggadai hanya
tahu bahwa motornya digadaikan kepada mas Sis. Hal tersebut dijelaskan
oleh mas Sis sebagai berikut:
“kalo niku dadi tanggung jawab kula mas, sing pihak pertama
ngrtine motor nek kene. Permasalahan sing sering terjadi niku motor
mpun krtarik collector mas. nek wis motor telat kan akhire ketarik mas,
nah nek wis masuk kantor ya wis ra iso ditututi meneh mas akhire ya
nageh sing nggon gadekke kui mau yo akhire aku sing nyusuki mas”
Dalam bahasa Indonesia:
-
44
“ kalau itu jadi tanggung jawab saya mas, yang pihak pertama tau
motor di sini. Permasalahan yang sering terjadi itu ketika motor sudah
ditarik collector mas. Kalau motor telat kan akhirnya ditarik. Nah kalau
sudak masuk kantor ya sudah gak bisa di buntuti kembalimas, akhirnya ya
nagih di tempat gadaian itu tadi. Akhirnya saya yang membayar”
Contoh yang dapat diambil yaitu ketika mas Faizin menggadaikan
motornya kepada mas Sis untuk menambah modal dagangannya. Mas
Faizin merupakan pedagang sayur berusia 34 tahun. Ia mengaku
menggadaikan motornya untuk tambahan modal berdagang sayuran
keliling. Dan ia tidak mengatahui bahwa motor yang berada di tempat mas
Sis digadaikan kembali. Yang ia tahu ialah mendapatkan uang untuk
tambahan modalnya berdagang sayur dan menggadaikan motornya di
tempat mas Sis. Hal ini dijelaskan mas Faizin sebagai berikut:
“ kula mboten ngertos mas, kula ngertose naming pinjem arto
kangge dagangan kula. Pas kula pendet motore sampun teng tempate mas
Sis”
Dalam bahasa Indonesia:
“ saya gak tau mas, saya hanya tau pinjam uang buat dagangan
saya. Waktu saya ambil motornya sudah berada di tempatnya mas Sis”
Dari pihak yang meminjam motor juga mempunyai alasan
tersendiri yaitu membutuhkan motor, tapi tidak punya cukup uang untuk
membeli akhirnya ia meminjam motor di tempat Mas Sis dengan
-
45
memberikan uang sesuai tarif yang telah ditentukan oleh Mas Sis. Ada
juga yang membutuhkan motor untuk bergonta ganti motor saja.
Contohnya dapat diambil dari orang yang meminjam barang
ditempatnya Mas Sis yaitu bapak Kusnadi. Ia meminjam motor di
tempatnya Mas Sis dengan alasan tidak mempunyai cukup uang untuk
membeli motor karena harga motor yang cukup mahal. Jalan satu-satunya
yaitu meminjam motor di tempat Mas Sis dengan memberikan uang
kepadanya. Bapak Kusnadi juga tidak mengetahui milik siapa motor yang
ia gunakan, dalam pikiranya hanya meminjam motor untuk keperluan
sehari-hari. Untuk pengembalianya sendiri ketika pemilik motor
mengambil kembali motornya kemudian Mas Sis mengembalikan kembali
uang bapak Kusnadi yang telah dibayarkan kepada Mas Sis. Hal tersebut
dijelaskan oleh Bapak Kusnadi sebagai berikut:
“kula mboten ngertos mas, wong kula namung butuh motor kangge
wira wiri. Meh tumbas ning mboten gadah duit akhire yo nyileh motor nek
gone mas Sis terus tak keki duit. Jerene mas Sis nek sing ndue motor iki
mendet motore kula paringke terus duite kula di balekke”
Dalam Bahasa Indonesia:
“Saya tidak tau mas, karna saya butuh motor buat wara wiri. Mau
beli tapi tidak punya uang akhirnya ya pinjam di tempatnya mas Sis terus
saya kasih uang. Katanya Mas Sis kalau yang punya motor ini mengambil
kembali motoenya saya kasihkan terus uang saya dikembalikan”.
-
46
Jangka waktu pengembalian motor antara Mas Sis dengan pihak
pertama dipatok maksimal 2 bulan. Hal ini bertujuan untuk menghindari
kalalaian pihak pertama dalam melunasi hutangnya dan tidak berlama-
lama dalam melunasi hutangnya. Sebab biasanya semakin lama
pengembalian hutang akan semakin lalai pihak pertama dalam melunasi
hutangnya. Walaupun telah dipatok 2 buan dalam melunasi hutangnya,
tidak sedikit penggadai yang telat dalam melunasi hutangnya.
E. Berakhirnya Akad Gadai Berantai
Di dalam pegadaian milik Mas Sis ini terdapat dua akad yakni
antara mas Sis dengan pihak pertama dan Mas Sis dengan pihak ke tiga.
Akad gadai yang pertama berakhir ketika pihak pertama melunasi
hutangnya kepada Mas Sis dan motor yang digadaikan telah dikembalikan
kepada pihak yang pertama. Jika pihak pertama tidak bisa melunasi
hutangnya maka Mas Sis menjual motor yang telah digadainya dan uang
hasil penjualan tersebut dipotong untuk melunasi hutang pihak pertama
dan sisanya dikembalikan kembali oleh pihak pertama.
Sedangkan akad gadai yang kedua berakhir ketika pihak pertama
telah melunasi hutangnya sehingga otomatis akad kedua juga berakhir.
Dan Mas Sis mengembalikan uang yang dibayarkan kepada Mas Sis sesuai
dengan jumlah awal. Akan tetapi ketika pihak ketiga tidak ingin
mengakhiri akadnya, mas Sis mencarikan motor pengganti yang sesuai
dengan uang yang telah dititipkan kepada Mas Sis.
-
47
BAB IV
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP GADAI BERANTAI DI
DUSUN NGULARAN DESA NGABEAN KECAMATAN BOJA
KABUPATEN KENDAL
A. Tinjauan Hukum Islam terhadap Akad Gadai Berantai di Dusun
Ngularan Desa Ngabean Kecamatan Boja Kabupaten Kendal
Berdasarkan penelitian yang saya lakukan terdapat dua akad yang
dilakukan. Yaitu antara pihak pertama dengan Mas Sis dan Mas Sis
dengan pihak ke tiga.
1. Akad Mas Sis dengan pihak pertama
Proses awal terjadinya akad gadai antara pihak pertama
menggadaikan motor kepada Mas Sis sama seperti lembaga-lembaga
pegadaian yang lain. Yakni pihak pertama membawa motor yang akan
digadaikanya kepada Mas Sis dan dicek tahun rakitan motor. Karena
tahun rakitan motorlah yang menjadi patokan Mas Sis untuk
mentaksirkan jumlah pinjaman yang akan diberikannya.
Langkah selanjutnya Mas Sis menentukan jatuh tempo
pelunasan barang jaminan yang akan digadaikan. Di dalam hal ini Mas
Sis hanya memberikan waktu pelunasan maksimal dua bulan. Selama
akad ini berlangsung Mas Sis hanya menerima motor dan identitas
penggadai saja. Seperti yang dilakukan oleh Mas Faizin, ia telah
-
48
menggadaikan motornya dengan merek Supra tahun 2009 kepada Mas
Sis untuk tambahan modal.
Dilihat dari akad yang dilakukan oleh Mas Faizin dan Mas Sis
akad tersebut diperbolehkan karena telah sesuai denga Hukum Islam.
Diantaranya yaitu terdapat shighat, yaitu ucapan ijab qabul (serah
terima antara penggadai dengan penerima gadai) (Ali, 2008: 20) yang
dilakukan oleh Mas Faizin dengan Mas Sis.
Jika dilihat dari rahin dan murtahinya kedua belah pihak sama-
sama telah memenuhi syarat untuk melakukan transaksi gadai yang
berlangsung. Yaitu kedua belah pihak telah sama-sama dewasa, atas
kehendak sendiri dan mampu membelanjakan hartanya dan mampu
memahami persoalan tentang gadai. Hal tersebut harus dipenuhi kedua
belah pihak karena Jumhur Ulama telah menetapkan syarat antara
rahin dan murtahin sebagai berikut:
1) Telah dewasa,
2) Berakal sehat,
3) Atas kehendak sendiri, dan
4) Orang yang mampu membelanjakan harta dan memahami
persoalan yang berkaitan dengan gadai (Suhendi, 2008: 107).
Dilihat dari segi marhun nya sudah memenuhi syarat untuk
melakukan transaksi gadai. Diantaranya yaitu:
-
49
1. Harus berupa harta yang bernilai,
2. Harus dimiliki oleh rahin,
3. Harus bias diperjual belikan (marhun itu boleh dijual dan
nilainya seimbang dengan marhun bih),
4. Marhun harus bias dimanfaatkan secara syariah,
5. Harus jelas yaitu diketahui keadaan fisiknya,
6. Tidak terkait dengan orang lain,
7. Harus berupa barang yang utuh, tidak bertaburan dibeberapa
tempat,
8. Bisa diserahkan,
9. Dipegang atau dikuasai oleh rahin,
10. Harta tetap atau bisa dipindahkan (Syafe‟i, 2001: 164).
Dari ketentuan tersebut sudah terpenuhi syarat-syarat antara
Mas Faizin dengan Mas Sis. Yaitu Mas Faizin menggadaikan
motornya yang bermerek Supra tahun 2009 dan motor tersebut
bernilai, dapat dijual dan jika dijual nilainya seimbang dengan
hutangnya. Dimiliki Mas Faizin sendiri, jelas barangnya dan bisa
diserahkan.
Kemudian dilihat dari mahrun bih nya. Utang yang diberikan
Mas Sis kepada Mas Faizin merupakan hutang yang wajib dilunasi.
Jika Mas Faizin belum bisa melunasi setelah jatuh tempo yang telah
dijanjikan maka melunasinya tidak langsung dengan motor tersebut.
Melainkan dengan memberikan batas waktu kembali untuk
-
50
melunasinya. Jika batas waktu yang ke dua masih belum melunasi
Mas Sis menjual motor tersebut dan untuk melunasi hutang Mas
Faizin tersebut, dan sisanya dikembalikan kepada Mas Faizin. Dari
spesifikasi tersebut telah sesuai dengan syarat-syarat marhun bih,
yakni:
1. Merupakan hak wajib yang harus diberikan atau diserahkan
kepada pemiliknya;
2. Marhun bih itu bisa dilunasi dengan mahrun itu;
3. Marhun bih itu jetas atau tetap;
4. Memungkinkan pemanfaatan. Bila sesuatu menjadi utang tidak
bisa dimanfaatkan maka tidak sah;
5. Harus bisa dikuantifikasi atau dapat dihitung jumlahnya. Jika
tidak dapat di ukur maka tidak sah (Sutedi, 2011: 39).
Selanjutnya yaitu memberikan potongan administrasi
sebesar 10% kepada pihak pertama tidak di perbolehkan. Karena
besarnya pinjaman dan biaya pemeliharaan ditetapkan berdasarkan
taksiran barang yang digadaikan dan biaya penitipan barang
meliputi biaya penjagaan, penggantian kehilangan, asuransi,
gudang penyimpanan dan pengelolaan.
Akan tetapi di tempat Mas Sis potongan administrasi sudah
ditetapkan 10% untuk setiap merek kendaraan bermotor dan
potongan tersebut tidak digunakan untuk merawat barang gadai
-
51
tersebut. Melainkan sebagai keuntungan yang didapat Mas Sis dari
jasa pegadaian miliknya.
Fatwa Keuangan Syariah Dewan Syariah Nasional (DSN)
Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjelaskan, penerima barang
atau peminjam uang disebut murtahin, barang yang diserahkan
disebut marhun, sementara rahin merupakan pihak yang
menyerahkan barangnya atau pengutang. Murtahin memiliki hak
untuk menahan barang sampain rahin melunasi semua hutangnya.
Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin. Marhun
tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seijin rahin
dengan tidak mengurangi nilai marhun. Pemeliharaan dan
penyimpanan marhun pada dasarnya tetap menjadi kewajiban
rahin. Meski demikian, dapat dilakukan murtahin dengan jalan
rahin membayar jasa pemeliharaan dan penyimpanan kepada
murtahin. Hanya, MUI memberi catatan bahwa besar biaya
pemeliharaan dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan
berdasarkan jumlah pinjaman.
Dari paparan di atas dapat di tarik kesimpulan bahwa akad
yang dilakukan oleh Mas Sis dengan pihak pertama tidak di
perbolehkan, karena terdapat potongan administrasi oleh Mas Sis
dengan pihak pertama yang tidak dibenarkan menurut Hukum
Islam.
-
52
2. Akad Mas Sis dengan pihak ke tiga
Yang selanjutnya yaitu akad yang dilakukan oleh Bapak
kusnadi dengan Mas Sis. Diakad yang kedua ini tidak diperbolehkan
dalam Islam karena ada salah satu syarat yang dilanggar. Sama seperti
akad yang dilakukan Mas Faizin dengan Mas Sis yaitu terdapat shighat
yakni ucapan ijab qabul yang dilakukan oleh Bapak Kusnadi yang
dilakukan secara jelas dan dilakukan secara langsung. Selain itu,
didalamnya terdapat maksud perjanjian gadai seperti yang dilakukan
antara Mas Faizin dengan Mas Sis.
Bapak Kusnadi selaku pihak rahin juga telah dewasa, berakal
dan mampu membelanjakan dan paham dengan akad gadai. Akan
tetapi motor yang digadaikan Mas Sis kepada bapak Kusnadi tidak
sepenuhnya milik Mas Sis. Melainkan barang milik murtahin yang di
jadikan jaminan kepada Mas Sis atas hutangnya dan harus di lunasi.
Meskipun motor tersebut bernilai, dapat dijual, dan jika dijual
seimbang dengan hutangnya, jelas barangnya, dapat diserahkan, akan
tetapi barang tersebut tidak sepenuhnya milik Mas Sis. Karena BPKB
yang dijadikan jaminan kepada Mas Sis tersebut masih berada di
tangan murtahin I. Hal ini bertentangan dengan salah satu syarat-syarat
marhun yaitu:
1. Harus berupa harta yang bernilai,
2. Harus dimiliki oleh rahin,
-
53
3. Harus bias diperjual belikan (marhun itu boleh dijual dan nilainya
seimbang dengan marhun bih),
4. Marhun harus bisa dimanfaatkan secara syariah,
5. Harus jelas yaitu diketahui keadaan fisiknya,
6. Tidak terkait dengan orang lain,
7. Harus berupa barang yang utuh, tidak bertaburan dibeberapa
tempat,
8. Bisa diserahkan,
9. Dipegang atau dikuasai oleh rahin,
10. Harta tetap atau bias dipindahkan (Syafe‟i, 2001: 164).
Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa akad
yang dilakukan oleh Mas Sis dengan Mas Faizin menjadi tidak sah
karena terdapat potongan 10% yang dilakukan oleh Mas Sis sebagai
keuntungan yang ia peroleh. Sedangkan akad kedua yang dilakukan
oleh Mas Sis dengan Bapak Kusnadi tidak boleh dilakukan. Walaupun
beberapa syarat telah terpenuhi namun terdapat syarat yang dilanggar
yaitu dari segi marhunya karena marhun yang digadaikan masih terkait
dengan seseorang dan belum menjadi milik murtahin seutuhnya.
-
54
B. Tinjauan Hukum Islam tentang Pengambilan Manfat Barang
Jaminan yang Digadaikan Kembali oleh Penerima Gadai Di Dusun
Ngularan Desa Ngabean Kecamatan Boja Kabupaten Kendal
Seperti yang telah dikemukakan oleh Mas Sis, bahwa ia telah
menggadaikan barang jaminan atas akad gadai yang dilakukan dengan
penggadai sebelumya ialah untuk mengembalikan modal awal. Dengan
modal tersebut Mas Sis memutarkan kembali sehingga ia mendapat
keuntungan yang lebih. Selama masa akad gadai berlangsung Mas Sis
tidak memberikan perawatan terhadap jaminan tersebut. Jika dicermati
lebih teliti, hal yang dilakukan oleh Mas Sis dengan menggadaikan barang
jaminanya termasuk mengambil manfaat atas barang jaminan tersebut.
Dan hal itu tidak diperbolehkan dalam Hukum Islam. Sesuai dengan sabda
Rasulullah yang berbunyi sebagai berikut:
َكةُ انظَّه سُ هُىوًا َكانَ إَِذا تِىَفَقَتِهِ َُس َسبُ اندَّز َونَثَهُ , َمس َُش
هُىوًا َكانَ إَِذا تِىَفَقَتِهِ َكةُ انَِّرٌ َوَعهًَ, َمس َسبُ ََس انىَّفَقَحُ َوََش
Artinya: “Kendaraan dapat digunakan dan hewan ternak boleh juga
diambil manfaatnya apabila digadaikan. Pegadaian wajib
memberikan nafkah dan penerima gadai boleh mendapatkan
manfaatnya. (HR. bukhari)”
Dalam Hdais tersebut penerima gadai boleh mengambil manfaat
dari barang jaminan akan tetapi ditekankan kepada penerima gadai
-
55
berkewajiban merawat jaminan tersebut. Apabila barang jaminan tersebut
berupa hewan maka wajib memberikan makanan.
Dalam kondisi sekarang maka akan lebih tepat apabila marhun
berupa hewan itu di qiyas kan dengan kendaraan karena hewan dan
kendaraan sama-sama memiliki fungsi yang dapat dinaiki, apabila hewan
bisa menghasilkan susu maka kendaraan bisa menghasilkan uang,
sehingga apabila barang yang dimanfaatkan berupa kendaraan maka wajib
memberi bahan bakar atau perawatan yang lainya. (Sutedi, 2008: 42-43)
jadi, yang diperbolehkan disini adalah adanya upaya pemeliharaan
terhadap barang jaminan yang ada pada dirinya. Yang tidak boleh
terlupakan yaitu dalam pemanfaatan itu hanya sekedar untuk mengganti
biaya yang dikeluarkan untuk merawat barang jaminan, apabila biaya yang
dikeluarkan untuk melakukan perawatan telah tergantikan maka hasil dari
pemanfaatan barang jaminan adalah haram hukumnya (Fadilah, 2016: 75).
Menurut hadis tersebut hal yang dilakukan Mas Sis tidak boleh
dilakukan karena dalam hal ini Mas Sis tidak mengeluarkan biaya untuk
merawat barang jaminan tersebut, melainkan memaksimalkan keuntungan
yang ia dapatdengan cara menggadaikan kembali barang jaminan yang di
terimanya. Para ulama telah berpendapat tentang pemanfaatan barang
jaminan tersebut diantaranya adalah:
1. Menurut Ulama Hanafiyah
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rahin selaku pihak
yang mengadakan barang, ia tid