PRAKTIK GADAI BERANTAI DI DUSUN NGULARAN DESA...

80
PRAKTIK GADAI BERANTAI DI DUSUN NGULARAN DESA NGABEAN KECAMATAN BOJA KABUPATEN KENDAL DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Oleh: Ali Ma‟shum NIM : 21413034 JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARI’AH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2019

Transcript of PRAKTIK GADAI BERANTAI DI DUSUN NGULARAN DESA...

  • PRAKTIK GADAI BERANTAI DI DUSUN NGULARAN DESA

    NGABEAN KECAMATAN BOJA KABUPATEN KENDAL

    DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

    SKRIPSI

    Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

    guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum

    Oleh:

    Ali Ma‟shum

    NIM : 21413034

    JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARI’AH

    FAKULTAS SYARI’AH

    INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

    SALATIGA

    2019

  • ii

  • iii

  • iv

  • v

    MOTTO

    “Gantungkan cita – citamu setinggi langit! Bermimpilah setinggi langit. Jika

    engkau jatuh, engkau akan jatuh diantara bintang - bintang”

    (Ir. Soekarno)

    “Jika kamu takut melangkah, lihatlah bagaimana seorang bayi yang mencoba

    berjalan, niscaya akan kau temukan bahwa setiap manusia pasti akan jatuh. Hanya

    manusia terbaiklah yang mampu bangkit dari kejatuhannya.”

    (Mahatma Gandhi)

  • vi

    PERSEMBAHAN

    Skripsi ini dipersembahkan untuk :

    1. ALLAH SUBHANAHU WATA‟ALA Yang telah memberikan jalan

    kemudahan dalam menyelesaikan skripsi ini.

    2. Bapak Nur Hamid dan Ibu Tri Wahyuni selaku orang tua kandung saya yang

    telah membesarkan dan merawat saya hingga sekarang dengan penuh kasih

    sayang.

    3. Bapak Wicuntoro dan Ibu Siti Khoiriah yang selalu memberikan motifasi dan

    dukungan kepada saya untuk terus berusaha dalam berbagai hal yang saya

    jalani.

    4. Ibu Heni Satar Nurhaida, S.H., M. Si. selaku Dosen Pembimbing yang selalu

    memberikan saran, pengarahan, dan masukan sehingga skripsi dapat selesai

    dengan maksimal sesuai dengan yang diharapkan.

    5. Sahabat – sahabat seperjuanganku Hukum Ekonomi Syari‟ah angkatan 2013

    yang selalu memberikan warna dalam menempuh pendidikan di IAIN

    Salatiga.

  • vii

    Kata Pengantar

    Rasa syukur yang dalam penulis sampaikan kepada kehadirat Allah

    Subhanahuwat‟'ala, karena berkat rahmat – Nya penulisan sekripsi ini dapat

    penulis selesaikan sesuai dengan yang di harapkan. Penulis juga bersyukur atas

    rizki dan kesehatan yang telah diberikan oleh – Nya, sehingga penulis dapat

    menyusun penulisan sekripsi ini.

    Shalawat dan salam penulis sanjungkan kepada Nabi, kekasih, spirit

    perubahan Rasulullah Solaallahuta‟ala beserta segenap keluarga dan para sahabat

    – sahabatnya, syafa‟at beliau sangat penulis nantikan di hari pembalasan.

    Penulisan Sekripsi ini disusun untuk diajukan sebagai salah satu persyaratan

    guana memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H), Fakultas Syari‟ah, Jurusan

    Hukum Ekonomi Syari‟ah yang berjudul : “Praktik Gadai Berantai Di Dusun

    Ngularan Desa Ngabean Kecamatan Boja Kabupaten Kendal Dalam Perspektif

    Hukum Islam”. Penulis mengakui bahwa dalam menyusun penulisan sekripsi ini

    tidak dapat diselesaikan tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak. Karena itulah

    penulis mengucapkan penghargaan yang setinggi – tingginya, ungkapan terima

    kasih kadang tak bisa mewakili kata – kata, namun perlu kiranya penulis

    mengucapkan terimakasih kepada:

    1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M. Pd, selaku Rektor IAIN Salatiga.

    2. Ibu Dr. Siti Zumrotun, M. Ag, selaku Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN

    Salatiga.

  • viii

    3. Ibu Heni Satar Nurhaida, SH., M.Si, selaku Ketua Jurusan Hukum

    Ekonomi Syari‟ah IAIN Salatiga.

    4. Ibu Heni Satar Nurhaida, S.H., M.Si. Selaku dosen pembimbing yang

    selalu memberikan saran pengarahan dan masukan berkaitan dengan

    penulisan sekripsi sehingga dapat selesai dengan maksimal sesuai dengan

    yang diharapkan.

    5. Bapak dan Ibu Dosen selaku staf pengajar dan seluruh staf administrasi

    Fakultas Syari‟ah yang tidak bisa penulis sebut satu persatu yang selalu

    memeberikan ilmunya sehingga penulis dapat menyelesaikan sekripsi ini

    tanpa halangan apapun.

    6. Teman-teman jurusan Hukum Ekonomi Syariah angkatan 2013 yang

    selalu memberi warna dalam bangku kuliah.

    7. Teman-teman seperjuangan terutama Muhamad Koid, Hayik Lana, Iwan

    Ulumudin dan Dewi Mustika yang selalu memberi dukungan agar dapat

    menyelesaikan sekripsi ini.

    8. Semua pihak-pihak yang telah membantu pembuatan skripsi ini yang tidak

    dapat saya sebutkan satu persatu

    Semoga Allah Subhanahuwata‟ala membalas semua amal kebaikan mereka

    dengan balasan yang lebih dari yang mereka berikan kepada penulis, agar pula

    senantiasa mendapatkan maghfiroh, dan dilingkupi rahmat dan cita-Nya, Amiin.

    Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa penulisan sekripsi ini masih jauh dari

    sempurna, baik dari segi metodologi, penggunaan bahasa, isi, maupun analisisnya,

  • ix

    sehingga kritik dan saran yang konstruktif, sangat penulis harapkan demi

    kesempurnaan penulisan sekripsi ini, sehingga mudah dipahami.

    Akhirnya penulis berharap semoga sekripsi ini bermanfaat khususnya bagi

    penulis sendiri dan umumnya bagi pembaca.

    Salatiga, 15 Februari 2019

    Penulis.

  • x

    ABSTRAK

    Ali Ma‟shum. 2019. Praktik gadai berantai di Dusun Ngularan Desa Ngabean

    Kec. Boja Kab. Kendal. Skripsi. Fakultas Syari‟ah. Jurusan Hukum

    Ekonomi Syari‟ah. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing:

    Heni Satar Nur Haida, S. H., M. Si.

    Kata Kunci: Gadai, Perspektif Hukum Islam.

    Manusia dalam hidupnya selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhannya,

    kebutuhan hidup sangatlah bervariasi sedikit atau banyak itu relatif. Tidak sedikit

    masyarakat khususnya yang kurang mampu untuk memenuhi kebutuhannya

    menggadaikan barang yang mereka miliki. Pegadaian yang terdapat di Dusun

    Ngularan Desa Ngabean Kecamatan Boja Kabupaten Kendal merupakan

    pegadaian perorangan yang sudah lama berdiri. Penulis tertarik untuk melakukan

    penelitian di tempat tersebut karena system pegadaian yang dilakukan yakni

    menggadaikan kembali barang gadai yang telah diterima pegadaian tersebut.

    Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan gadai berantai di desa

    tersebut dan untuk mengetahui tinjauan Hukum Islam terhadap gadai berantai.

    Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (Field Research) dengan

    metode pengumpulan data, observasi, wawancara, dokumentasi. Sifat penelitian

    ini adalah deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan yuridis empiris

    dilakukan dengan meneliti data primer yang diperoleh secara langsung di

    lapangan. dan juga dengan cara meneliti bahan – bahan perpustakaan yang

    merupakan data pendukung untuk penelitian ini.

    Berdasarkan penelitian yang diperoleh, penulis menyimpulkan bahwa

    system yang dilakukan dalam pegadaian tersebut yakni menggadaikan kembali

    motor gadaian dapat merugikan salah satu pihak karena pihak rahin tidak

    merawat marhun dengan baik melainkan menggadaikan kembali marhun tersebut

    untuk mendapat keuntungan berlebih. Menurut hukum Islam system pegadaian

    tersebut tidak diperbolehkan karena di dalam Al-Quran, Hadist Nabi dan pendapat

    para ulama rahin tidak dapat memanfaatkan marhun tanpa seijin murtahin.

  • xi

    DAFTAR ISI

    COVER .................................................................................................... i

    NOTA PEMBIMBING ............................................................................ ii

    PENGESAHAN SKRIPSI ...................................................................... iii

    PERNYATAAN KEASLIAN .................................................................. iv

    MOTTO ................................................................................................... v

    PERSEMBAHAN .................................................................................... vi

    KATA PENGANTAR .............................................................................. vii

    ABSTRAK ................................................................................................ x

    DAFTAR ISI ............................................................................................ xi

    BAB I PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1

    B. Rumusan Masalah ......................................................................... 4

    C. Tujuan Penleitian .......................................................................... 5

    D. Manfaat Penelitian ....................................................................... 5

    E. Penegasan Penelitian ..................................................................... 6

    F. Telaah Pustaka .............................................................................. 6

    G. Metode Penelitian .......................................................................... 7

    H. Sistematika Penulisan ................................................................... 11

    BAB II GADAI MENURUT HKUM ISLAM

    A. Pengertian Gadai ............................................................................ 13

    B. Dasar Hukum ............................................................................... 16

    C. Rukun Dan Syarat Gadai ............................................................... 19

  • xii

    D. Hak dan Kewajiban Para Pihak ...................................................... 23

    E. Pemanfaatan Barang Gadai ........................................................... 24

    F. Berakhirnya Akad Gadai ............................................................... 31

    BAB III PRAKTK GADAI BERANTAI DI DUSUN NGULARAN DESA

    NGABEAN KECAMATAN BOJA KABUPATEN KENDAL

    A. Gambaran Umum .......................................................................... 33

    B. Profil Tempat Gadai ...................................................................... 35

    C. Akad Gadai Berantai ..................................................................... 37

    D. Barang Yang Digadaikan ............................................................... 41

    E. Berakhirnya Akad Gadai .............................................................. 46

    BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP GADAI BERANTAI DI

    DUSUN NGULARAN DESA NGABEAN KECAMATAN BOJA

    KABUPATEN KENDAL

    A. Tinjauan Hukum Islam terhadap Akad Gadai Berantai di Dusun Ngularan

    Desa Ngabean Kecamatan Boja Kabupaten Kendal.......................47

    B. Tinjauan Hukum Islam tentang Pengambila Manfaat Barang Jamina yang

    Digadaikan Kembali oleh Penerima Gadai di Dusun Ngularan Desa

    Ngabean Kecamatan Boja Kabupaten Kendal………………....…54

    BAB V PENUTUP

    A. Kesimpulan .................................................................................... 61

    B. Saran ............................................................................................... 62

    DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 63

    LAMPIRAN-LAMPIRAN

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Kita sering mendengar kata gadai bahkan pernah melakukanya.

    Gadai atau dalam fiqih Islam disebut ar-rahn merupakan suatu jenis

    perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai tanggungan hutang (Ali,

    2008: 01).

    Gadai menurut bahasa merupakan tetap, kekal, dan jaminan.

    Sedangkan menurut istilah gadai atau rahn merupakan menyandera harta

    yang diserahkan sebagai jaminan secara hak dan dapat diambil kembali

    sejumlah harta yang dimaksud sesudah ditebus. Di dalam pasal 1150 kitab

    undang undang hukum perdata gadai adalah hak yang diperoleh seseorang

    yang mempunyai piutang atas sesuatu barang bergerak, yaitu barang yang

    bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh orang

    yang mempunyai utang atau orang lain atas nama orang yang mempunyai

    utang (Ali, 2008: 02).

    Sehingga dapat disimpulkan bahwa gadai adalah menahan barang

    jaminan yang bersifat materi milik si peminjam sebagai jaminan atas

    pinjaman yang diterimanya, dan barang yang diterima tersebut memiliki

    nilai ekonomis, sehingga pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk

    mengambil kembali seluruh atau sebagian utangnya dari barang gadai

  • 2

    dimaksud, bila pihak yang menggadaikan tidak dapat membayar utang

    pada waktu yang telah ditentukan.

    Di dalam masyarakat sendiri kata gadai bukanlah hal yang asing

    lagi, mereka sering melakukan transaksi tersebut untuk memenuhi

    kebutuhan hidupnya. Karena mereka tahu gadai diperbolehkan dalam

    ajaran Islam. Mereka melakukan transaksi gadai tersebut dengan cara yang

    sederhana yang dilakukan kerabat dekat maupun tetangga. Mereka

    menyebut bahwa cara tersebut lebih cepat untuk mendapatkan pinjaman

    untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dibanding mereka harus

    meminjam uang pada bank. Meskipun begitu mereka beranggapan bahwa

    barang gadai tersebut untuk mengantisipasi jika hutangnya tidak

    terbayarkan maka barang gadai tersebut untuk menutupi hutangnya.

    Di Dusun Ngularan Desa Ngabean Kecamatan Boja Kabupeten

    Kendal terdapat suatu pegadaian yang melayani transaksi gadai kendaraan

    bermotor sebagai barang jaminanya. Pegadaian pada umumnya penggadai

    menyerahkan barang yang akan digadaikan kepada si penerima gadai

    sebagai barang jaminannya, dan si penerima gadai merawat barang

    tersebut sampai si penggadai melunasi hutangnya. Akan tetapi pada

    pegadaian tersebut menggadaikan kembali barang yang telah terkumpul di

    tempat tersebut kepada orang lain.

    Pada dasarnya barang jaminan dari rahn sama sekali tidak boleh

    dimanfaatkan oleh pemberi hutang. Sebab manfaat tersebut akan dihukumi

  • 3

    sebagai riba. Mengapa riba? Karena hutang tidak boleh berkembang dan

    diberi penambahan meski nilainya adalah pemanfaatan (Fadilihsan, 2012:

    15).

    Di dalam Al-Qur‟an Surah Al-Baqarah ayat 283 yang berbunyi,

    هَان ًا فَسِ ث اتِ وا َك دُ م تَِج نَ فَس َو هًَ َس ُم َع ت ى إِن كُ َو

    ُِمهَ ت َِّرٌ اؤ د ان َُؤ ُ ه ًضا فَ م تَع ُضكُ َِمهَ تَع ِن أ ئ ثُىَضح فَ ق َم

    هَا ُم ت ه ََك َم جَ َو هَاَد ىا انشَّ ُُم ت ك َل تَ َّهُ َو ت َ َز تَّقِ ّللاَّ َُ ن تَ هُ َو اوَ ََم أ

    ُم هِ هُىنَ َع َم ا تَع َم ِ ُ ت ُهُ َوّللاَّ ث ه َ م ق َّهُ آثِ ِو ئ فَ

    Artinya: “Jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak dapat

    menemukan seorang penulis, maka hendaklah barang jaminan

    yang dipegang. Tetapi, jika sebagian kamu mempercayai

    sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menepati

    amanat-amanatnya (utangnya) dan hendaklah dia bertakwa

    kepada Allah, Tuhanya. Dan janganlah kamu menyembunyikan

    kesaksian, karena barang siapa yang menyembunyikanya,

    sungguh, hatinya kotor (berdosa). Allah maha mengetahui apa

    yang kamu lakukan” (QS. Al-Baqarah: 283).

    Pada ayat Al-Quran di atas menjelaskan petunjuk untuk

    menerapkan prinsip kehati-hatian bila seseorang hendak melakukan

    transaksi utang piutang dengan memakai jangka waktu dengan orang lain,

    dengan meminjamkan sebuah barang dengan orang yang berpiutang

    (rahn).

    Ibnu Qudamah menjelaskan: ”Jika pemilik barang gadai

    mengijinkan bagi pemegang gadai (pemberi pinjaman) untuk

  • 4

    memanfaatkan barang gadai tersebut tanpa ada imbalan, sedang ar rahin

    berhutang kepada al murtahin, maka hal ini tidak boleh, karena hutang

    yang memberikan manfaat bagi yang memberikan utang, sehingga masuk

    dalam katagori riba (Mughni: 4/431).”

    Barang gadai pada dasarnya adalah masih menjadi milik penggadai

    (orang yang berhutang) dan belum menjadi hak penerima gadai. Sehingga

    mayoritas ulama mengembalikan hak pakai barang tersebut kepada

    pemilik aslinya asalkan pemakaian tersebut tidak mengurangi nilai jual

    barang.

    Berdasarkan paparan di atas penulis termotivasi untuk melakukan

    penelitian tentang gadai berantai tersebut dalam karya ilmiah yang

    berjudul “Praktik Gadai Berantai di Dusun Ngularan Desa Ngabean

    Kecamatan Boja Kabupaten Kendal dalam Perspektif Hukum Islam”

    B. Rumusan Masalah

    Dari latar belakang di atas dapat ditarik perumusan masalah sebagai

    berikut:

    1. Bagaimana praktik gadai berantai di Dusun Ngularan Desa Ngabean

    Kecamatan Boja Kabupaten Kendal.?

    2. Bagaimana tinjauan Hukum Islam terhadap praktik gadai berantai di

    Dusun Ngularan Desa Ngabean Kecamatan Boja Kabupaten Kendal.?

  • 5

    C. Tujuan Penelitian

    Dari rumusan masalah di atas, tujuan penulis yang hendak dicapai

    adalah sebagai berikut:

    1. Untuk mengetahui bagaimana praktik gadai di Dusun Ngularan Desa

    Ngabean Kecamatan Boja Kabupaten Kendal.

    2. Untuk mengetahui bagaimana tinjauan Hukum Islam terhadap

    praktik gadai berantai di Dusun Ngularan Desa Ngabean Kecamatan

    Boja Kabupaten Kendal.

    D. Manfaat Penelitian

    Manfaat dari penelitian tersebut diantaranya adalah

    1. Secara teoritis yaitu

    Mengetahui hukum gadai berantai dalam Islam sehingga masyarakat

    lebih berhati-hati dalam bertransaksi hutang piutang.

    2. Secara praktis yaitu

    a. Untuk menambah wawasan kepada mahasiswa IAIN Salatiga

    khususnya Fakultas Syariah dan masyarakat secara umum tentang

    gadai berantai.

    b. Sebagai bahan rujukan peneliti selanjutnya mengenai gadai

    berantai.

    c. Menjadi solusi bagi masyarakat dan mahasiswa tentang transaksi

    gadai berantai menurut Hukum Islam.

  • 6

    E. Penegasan Istilah

    Untuk menghindari kesalahpahaman di dalam judul skripsi ini,

    maka penulis mengemukakanya sebagai berikurt:

    1. Gadai menurut Islam disebut rahn, yaitu perjanjian menahan suatu

    barang sebagai barang jaminan hutang. Kata rahn menurut bahasa

    berarti “tetap”,”berlangsung” dan “menahan”. Sedangkan menurut

    istilah berarti menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pandangan

    syara‟ sebagai tanggungan hutang. Dengan adanya tanggungan hutang

    itu seluruh atau sebagian hutang dapat diterima (Basyir, 1993: 50).

    2. Hukum Islam ialah hukum berdasarkan wahyu Allah SWT yang

    mencakup hukum syari‟ah baik yang menyangkut akidah, ibadah,

    ahlak, maupun muamalah (Mardani, 2010: 14).

    3. Gadai berantai ialah menggadaikan kembali barang jaminan yang

    diterima penerima gadai (murtahin) kepada pihak ke tiga (murtahin II)

    F. Telaah Pustaka

    Sebelum melakukan penelitian ini, penulis telah melakukan

    beberapa penelusuran sebagai berikut:

    Yang pertama yaitu penelitian yang berjudul “TINJAUAN

    HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK GADAI PADA

    MASYARAKAT KECAMATAN TAPOS KOTA DEPOK” yang

    dilakukan oleh Ade Tri Cahyani. Di dalam skripsi ini mengulas tentang

    pemanfaatan barang gadai pada umumnya sehingga maknanya lebih luas.

  • 7

    Sedangkan penelitian yang dilakukan penulis lebih spesifik, yakni tentang

    pemanfaatan gadai kendaraan bermotor.

    Selanjutnya yaitu penelitian yang berjudul “ PEMANFAATAN

    BARANG GADAI SAWAH DITINJAU DARI HUKUM ISLAM (Studi

    kasus desa Bancang kecamatan Bandung kabupaten Tulungagung). Yang

    diteliti oleh Uswatul Khusna. Di dalam penelitian tersebut meneliti tentang

    barang yang tidak bergerak, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh

    penulis meneliti tentang pemanfaatan benda bergerak berupa kendaraan

    bermotor.

    Selanjutnya yaitu penelitian yang berjudul “PRAKTEK GADAI

    TANAH SAWAH DITINJAU DARI HUKUM ISLAM (STUDI DI

    DESA HARJAWINANGUN KECAMATAN BALAPULANG

    KABUPATEN TEGAL)” dilakukan oleh Isti‟anah. Di dalam skripsi

    tersebut membahas tentang pemanfaatan barang gadai yang tidak bergerak.

    Sedangangkan penelitian kali ini membahas tentang pemanfaatan barang

    gadai dengan benda bergerak, yaitu gadai kendaraan bermotor.

    G. Metode Penelitian

    Dalam penyusunan karya ilmiah dibutuhkan metode penelitian yang

    jelas untuk memudahkan dalam penelitian dan penyusunan laporan yang

    sistematis. Metode yang akan digunakan dalam penilitian ini adalah

    sebagai berikut:

  • 8

    1. Jenis penelitian

    Jenis penelitian yang dilakukan adalah field research yakni

    penelitan lapangan yang berlokasi di Dusun Ngularan Desa Ngabean

    Kecamatan Boja Kabupaten Kendal dengan metode deskriptif

    kualitatif. Penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang bertujuan

    untuk membuat deskriptif atau gambaran mengenai fakta-fakta, sifat-

    sifat serta hubungan anatara fenomena yang diselidiki (Nasir, 1999:

    63). Sedangkan penelitian kualitatif adalah bertujuan untuk

    menghasilkan data deskriptif , berupa kata-kata lisan atau dari orang-

    orang dan perilaku yang diamati (Moloeng, 2000: 3). Penelitian ini

    menggunakan pendekatan normatif sosiologis, pendekatan normatif

    dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan perpustakaan yang

    merupakan data sekunder yang disebut sebagai penemuan hukum

    perpustakaan, sedangkan metode pendekatan hukum sosiologis

    dilakukan dengan meneliti data primer yang diperoleh secara langsung

    dalam masyarakat. Yang diteliti dalam skripsi ini adalah praktik gadai

    berantai menurut Hukum Islam, sedangkan data yang diperoleh dari

    pihak yang melakukan transaksi gadai berantai tersebut.

    2. Data dan Sumber Data

    Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

    a. Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari subjek

    penelitian dengan menggunakan alat pengambilan data langsung

    pada objek sebagai sumber informasi yang dicari (Nata, 2000:

  • 9

    39). Adapun sumber data primer adalah hasil wawancara dan

    observasi tentang pegadaian yang dilakukan kepada para pihak

    yang bersangkutan tentang kegiatan gadai berantai yang ada di

    Dusun Ngularan Desa Ngabean Kecamatan Boja Kabupaten

    Kendal.

    b. Data sekunder yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung

    dari subjek penelitinya, yaitu diambil dari undang-undang, buku-

    buku, artikel, dan sumber lainnya yang memiliki hubungan

    dengan permasalahan yang akan dibahas dalam sekripsi ini.

    3. Metode Pengumpulan Data

    a. Observasi yaitu pengamatan yang dilakukan secara sengaja,

    sistematis, mengenai fenomena sosial dengan gejala-gejala psikis

    untuk kemudian dilakukan pencatatan (Subagyo, 1991: 231).

    dalam hal ini penulis melakukan pengamatan langsung di

    pegadaian di Dusun Ngularan Desa Ngabean Kecamatan Boja

    Kabupaten Kendal.

    b. Interview atau wawancara yaitu percakapan dengan maksud

    tertentu (Moloeng, 2000: 148). Sedangkan jenis interview atau

    wawancara yang digunakan oleh penulis adalah jenis pedoman

    interview yang tidak terstruktur, yakni pedoman wawancara yang

    hanya memuat garis-garis besar pertanyaan yang akan diajukan

    (Arikunto, 1997: 231). Dalam hal ini penulis bertanya langsung

  • 10

    kepada orang yang menggadaikan dan juga kepada pemberi

    gadai.

    c. Dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal – hal atau variabel

    yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, agenda,

    dan sebagainya (Arikunto, 1997: 206). Dalam hal ini penulis

    memperoleh data dari buku-buku dan literatur yang berhubungan

    dengan masalah yang akan diteliti.

    4. Pengecekan Keabsahan Data

    Dalam penelitian ini teknik pemeriksaan keabsahan data yang

    digunakan yaitu triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan

    keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu

    untuk keperluan pengecekan atau sebagai suatu pembanding terhadap

    data itu (Moeloeng, 2002: 178).

    Berdasarkan pendapat moeloeng di atas, maka penulis

    melakukan perbandingan data yang telah diperoleh yaitu data-data

    sekunder hasil kajian pustaka akan dibandingan dengan data-data

    primer yang diperoleh dari observasi dan wawancara yang sesuai

    fakta-fakta ditemui di lapangan. Sehingga kebenaran dari data yang

    diperoleh dapat dipercaya dan meyakinkan untuk diambil sebuah

    kesimpulan.

  • 11

    H. Sistematika penulisan

    Sistematika penulisan ini terdiri dari lima bab yang akan berkaitan

    yang dapat dijelaskan sebagai berikut:

    1. Bagian awal terdiri dari halaman sampul, halaman judul, lembar

    pengesahan, halaman motto dan persembahan, kata pengantar, daftar

    isi, dan daftar lampiran.

    2. Bagian inti terdiri dari :

    BAB I : Merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar

    belakang masalah, rumusan penelitian, tujuan

    penelitian, manfaat penelitian, kegunaan penelitian,

    penegasan istilah, metode penelitian, dan sistematika

    penulisan.

    BAB II : Landasan teori yang terdiri dari tinjauan umum

    tentang gadai, yang berisi pengertian, sumber hukum,

    rukun dan syarat, manfaat dan resiko, berakhirnya akad

    gadai yang terdapat dalam pegadaian tersebut.

    BAB III : Hasil penelitian yang terdiri dari deskripsi tempat

    penelitian dan tatacara bergadai di pegadaian tersebut.

    BAB IV : Tinjauan hukum Islam terhadap praktik gadai berantai

    yang ada di Dusun Ngularan Desa Ngabean Kecamatan

    Kendal Kabupaten Boja.

    BAB V : Menjelaskan bagian akhir penulisan yang mencakup

    kesimpulan dan saran dari penulis.

  • 12

    3. Bagian akhir terdiri dari daftar pustaka dan lampiran-lampiran.

  • 13

    BAB II

    GADAI MENURUT HUKUM ISLAM

    A. Pengertian

    Gadai atau rahn atau dalam bahasa Arab di sebut Al-Hasbu berati

    menahan (Sohari dan Abdullah, 2011 : 157). Sedangkan menurut istilah

    rahn merupakan menahan suatu benda secara hak yang memungkinkan

    untuk dieksekusi, maksudnya menjadikan suatu benda atau barang yang

    memiliki harga pada pandangan syara‟ sebagai barang jaminan atas hutang

    selama hutang belum dapat dilunasi, dengan demikian hutang dapat

    diganti baik keseluruhan maupun sebagian (Afandi, 2009: 147).

    Adapun pengertian gadai rahn menurut para ahli Hukum Islam,

    diantaranya adalah sebagai berikut:

    1. Menurut Ulama Syafi‟iah, rahn adalah menjadikan suatu

    barang yang bisa dijual sebagai jaminan hutang dipenuhi dari

    harganya, bila yang berhutang tidak sanggup membayar

    hutangnya (Adrian, 2011: 21)

    2. Menurut Ulama Hanafiah, rahn merupakan suatu barang atau

    jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan

    sebagai pembayaran hak (piutang) itu baik seluruhnya maupun

    sebagianya (Ahmad Al-Dardiri: 209)

    3. Menurut Imam Malik mendefinisikan Al-Rahn seperti sesuatu

    yang mutamawwal (berbentuk harta yang memiliki nilai) yang

    diambil dari pemiliknya untuk menjadikan Watsiiqah hutang

  • 14

    yang lazim (keberadaanya sudah positif dan mengikat).

    Maksudnya suatu akad atau kesepakatan akan mengambil

    sesuatu dari harta yang berbentuk al-„Ain (barang yang

    berbentuk kongkrit) seperti harta yang tidak bergerak yaitu

    tanah, rumah, barang, hewan, barang komoditi, atau dalam

    bentuk kemanfaatan (kemanfaatan barang, tenaga, atau

    keahlian seseorang). Namun, dengn syarat kemanfaatan

    tersebut harus jelas dan ditentukan dengan masa (penggunaan

    atau pemanfaatan suatu barang) atau pekerjaan dengan

    memanfaatkan tenaga atau keahlianya, juga dengan syarat

    kemanfaatan tersebut dihitung masuk ke dalam hutang yang

    ada (Ahmad: 207).

    4. Menurut Imam Hambali, mendefinisikan rahn dengan harta

    yang dijadikan jaminan hutang sebagai pembayar harga (nilai)

    hutang ketika yang berhutang berhalangan (tidak mampu)

    membayarkan hutangnya kepada pemberi jaminan (Rahman,

    1996: 158).

    5. Rahn menurut syara adalah manahan salah satu harta milik si

    peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya.

    Barang yang ditahan tersebut harus memiliki nilai ekonomis,

    dengan demikian pihak yang menahan memperoleh jaminan

    untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.

  • 15

    Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn adalah semacam

    jaminan hutang atau gadai (Sabbiq, 1987: 169).

    Berdasarkan pengertian gadai (rahn) yang dikemukakan oleh para

    ahli Hukum Islam diatas, penulis berpendapat bahwa gadai (rahn) adalah

    menahan barang jaminan yang bersifat materi milik si peminjam (rahin)

    sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, dan barang jaminan

    tersebut mempunyai nilai ekonomis, sehingga pihak yang menahan

    (murtahin) memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau

    sebagian utangnya dari barang gadai dimaksud, bila pihak yang

    menggadaikan tidak dapat membayar utang pada waktu yang telah

    ditentukan. Karena itu, tampak bahwa gadai syariah perjanjian antara

    seseorang untuk menyerahkan harta benda berupa emas/ perhiasan/

    kendaraan atau harta benda lainya sebagai jaminan dan/atau agunan

    kepada seseorang dan/atau lembaga pegadaian syariah berdasarkan hukum

    gadai syari‟ah.

    Jika memperhatikan pengertian gadai (rahn) di atas, maka tampak

    bahwa fungsi dari akad perjanjian antara pihak peminjan dengan pihak

    meminjam uang adalah untuk memberikan ketenangan bagi pemilik uang

    dan/atau jaminan keamanan uang yang dipinjam. Karerna itu, rahn pada

    prinsipnya merupakan suatu kegiatan utang piutang yang murni berfungsi

    sosial, sehingga dalam buku fiqih muamalah akad ini merupakan akad

    tabarru‟ atau akad derma yang tidak mewajibkan imbalan (Ali, 2008: 4).

  • 16

    B. Dasar Hukum

    Gadai atau rahn diperbolehkan dalam Islam. Berikut adalah dalil-dalil

    yang memperbolehkan akad rahn:

    1. Al-Qur‟an

    َن ِم َأ ْن ِإ َف ٌة وَض ُب ْق َم ٌن ا رَِه َف ا ًب ِت ا وا َك ُد ََتِ َوَلَْ ٍر َف َس ى َل َع ْم ُت ْن ْن ُك َوِإ

    َوََل َربَُّه لََّه ل ا تَِّق َي َوْل ُه َت َ ن ا َم َأ ْؤُُتَِن ا ي لَِّذ ا َؤدِّ ُ ي ْل َ ف ا ًض ْع َ ب ْم ُك ُض ْع َ ب

    وَن ُل َم ْع َ ت َا ِِب لَُّه ل َوا ُه ُب ْل َ ق ِِثٌ آ نَُّه ِإ َف ا َه ْم ُت ْك َي ْن َوَم َة َد ا َه شَّ ل ا وا ُم ُت ْك َت

    مٌ ي ِل َعArinya: “Jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak dapat

    menemukan seorang penulis, maka hendaklah barang

    jaminan yang dipegang. Tetapi, jika sebagian kamu

    mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai

    itu menepati amanat-amanatnya (utangnya) dan hendaklah

    dia bertakwa kepada Allah, Tuhanya. Dan janganlah kamu

    menyembunyikan kesaksian, karena barang siapa yang

    menyembunyikanya, sungguh, hatinya kotor (berdosa). Allah

    maha mengetahui apa yang kamu lakukan” (QS. Al-

    Baqarah: 283).

    Syaikh Muhamad „Ali As-Sayis mengungkapkan bahwa rahn

    dapat dilakukan ketika dua pihak yang bertransaksi sedang melakukan

    perjalanan (musyafir), dan transaksi yang demikian ini harus dicatat

    dalam sebuah berita acara (ada orang yang menuliskanya) dan ada

    orang yang menjadi saksi terhadapnya. Bahkan „Ali As-Sayis

    mengungkapkan bahwa dengan rahn, prinsip kehati hatian sebenarnya

    lebih terjamin ketimbang bukti tertulis ditambah dengan persaksian

    seseorang. Sekalipun demikian, penerima gadai (murtahin) juga di

  • 17

    bolehkan tidak menerima barang jaminan (marhun) dari pemberi gadai

    (rahin) tidak akan menghindar dari kewajibannya. Sebab, substansi

    dalam peristiwa rahn adalah untuk menghindari kemudaratan yang

    diakibatkan oleh berkhianatnya salah satu pihak atau kedua belah

    pihak ketika keduanya melakukan transaksi utang piutang (Ali, 2008:

    05).

    Sekalipun ayat tersebut, secara literal mengindikasikan bahwa rahn

    dilakukan oleh seseorang ketika dalam keadaan musafir. Hal ini, bukan

    berarti dilarang bila dilakukan oleh orang yang menetap dan atau/

    bermukim. Sebab, keadaan musafir ataupun menetap bukanlah

    merupakan suatu persyaratan keabsahan transaksi rahn. Apalagi,

    terdapat sebuah hadist yang mengisahkan bahwa Rasulullah saw.

    Menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi, untuk

    mendapatkan makanan bagi keluarganya, pada saat beliau tidak

    melakukan perjalanan (Ali, 2008: 06).

    2. Hadis

    Selain ayat Al-Quran di atas terdapat pula Hadis yang membahas

    tentang rahin, yaitu Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan

    Muslim, yaitu diterangkan bahwa suatu hari Nabi SAW pernah

    membeli makanan tidak secara kontan dari seorang Yahudi dengan

    menukar baju besinya sebagai jaminan. Berikut adalah penggalan

    hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim:

  • 18

    ٍَّ أَنَّ ُ َصهًَّ انىَّثِ ُ هِ ّللاَّ تََسي َوَسهَّمَ َعهَ ٌ ِمه طََعاًما اش إِنًَ ََهُىِد

    ًعا َوَزهَىَهُ أََجم َحِدَد ِمه ِدز

    Artinya: “Bahwa Rasulullah SAW membeli makanan dari seorang

    Yahudi dan beliau menggadaikan baju besinya

    kepadanya” (HR. Bukhari dan Muslim)

    Dari hadist di atas dapat dipahami bahwa tiap barang barang yang

    dijual dapat pula digadaikan untuk keperluan utang piutang dan Islam

    tidak membeda-bedakan antara orang Islam dan non Islam dalam

    bidang muamalah. Maka orang Islam tetap wajib membayar hutangnya

    sekalipun kepada orang non Islam (Abdullah: 159).

    3. Ijtihad

    Berkaitan dengan pembolehan akad rahn ini, Jumhur Ulama

    menyatakan boleh dan mereka tidak memperselisihkan tentang

    masalah ini. Jumhur Ulama berependapat bahwa disyariatkan pada

    waktu tidak bepergian maupun di saat bepergian, berargumentasi

    kepada perbuatan Rasulullah SAW terhadap riwayat hadist tentang

    orang Yahudi tersebut di Madinah. Adapun keadaan dalam perjalan

    seperti ditentukan pada QS. Al-Baqarah: 283, karena melihat

    kebiasaan dimana pada umumnya rahn dilakukan pada waktu

    bepergian (Anshori, 2010: 114).

  • 19

    4. Fatwa Dewan Syariah Nasional

    Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia

    (DSN-MUI) menjadi salah satu rujukan yang berkenaan gadai syariah,

    di antaranya dikemukakan sebagai berikut:

    a. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 25/

    DSN-MUI/III/2002, tentang rahn;

    b. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No:

    26/DSN-MUI/III/2002, tentang rahn emas;

    c. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No:

    09/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan ijarah;

    d. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No:

    10/DSN-MUI/IV/2000 tentang wakalah;

    e. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No:

    43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang ganti rugi.

    C. Rukun dan Syarat Gadai

    Adapun rukun dan syarat dalam pegadaian agar sesuai dengan

    Hukum Islam ialah sebagai berikut:

    Di dalam fiqih mazhab diungkapkan rukun gadai sebagai berikut:

    1. Aqid (orang yang berakad)

    Aqid adalah orang yang melakukan akad yang meliputi 2 (dua)

    arah, yaitu (a) rahin (orang yang menggadaikan barangnya), dan (b)

    Murtahin (orang yang berpiutang dan menerima barang gadai), atau

    penerima gadai. Hal ini dimaksud, didasari oleh shighat, yaitu ucapan

  • 20

    berupa ijab qabul (serah terima antara penggadai dengan penerima

    gadai). Untuk melakukan akad rahn yang memenuhi kriteria syari‟at

    Islam, sehingga akad yang dibuat oleh dua pihak atau lebih harus

    memenuhi beberapa rukun dan syarat. (Ali, 2008: 20).

    2. Ma‟qud „alaih (barang yang digadaikan)

    Ma‟qud „alaih meliputi 2 (dua) hal, yaitu (a) marhun (barang yang

    digadaikan), dan (b) marhun bihi (dain), atau utang yang karenanya

    diadakan akad rahn. Namun demikian ulama fiqih berbeda pendapat

    mengenai masuknya shigat sebagai rukun dari terjadinya rahn. Ulama

    Mazhab Hanafi berpendapat bahwa shigat tidak termasuk sebagai

    rukun rahn, melainkan ijab (pernyataan menyerahkan barang sebagai

    agunan bagi pemilik barang) dan qabul ( pernyataan kesediaan dan

    memberi uatang, dan menerima barang agunan tersebut). Di samping

    itu, menurut Ulama Hanafi, untuk sempurna dan mengikatnya akad

    rahn, masih diperlukanya apa yang disebut penguasaan barang oleh

    kreditor (al-qabdh), sementara kedua belah yang melakukan akad dan

    barang yang dijadikan agunan atau jaminan, dalam pandangan Ulama

    Hanafi lebih tepat dimasukan sebagai syarat rahn bukan rukun rahn

    (Ali, 2008: 20).

  • 21

    Selain rukun yang harus dipenuhi dalam transaksi gadai ada pula

    syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu sebagai berikut:

    1. Adanya rahin dan murtahin

    Rahin ialah pihak yang memiliki tanggungan hutangdan

    menyerahkan jaminan (marhun) kepada murtahin. Sedangkan

    murtahin ialah hak pemilik piutang dan memiliki jaminan dari rahin.

    Adapun syarat-syarat rahin dan murtahin tersebut ialah:

    a. Telah dewasa

    b. Berakal sehat

    c. Atas kehendak sendiri

    d. Orang yang mampu membelanjakan harta dan persoalan-persoalan

    yang berhubunga dengan gadai (Anshori, 2011: 115).

    2. Adanya barang yang digadaikan (marhun)

    Marhun ialah, barang yang bernilai ekonomis yang dijadikan

    sebagai barang jaminan oleh rahin (penggadai) atas hutang yang

    diberikan oleh pemberi gadai (murtahin).

    Secara umum marhun harus memenuhi beberapa syarat, diantaranya:

    a. Harus berupa harta bernilai

    b. Harus dimiliki oleh rahin

    c. Harus bisa diperjual belikan, marhun itu boleh dijual dan nilainya

    seimbang dengan marhun bih

    d. Marhun harus bisa dimanfaatkan secara syariah

    e. Harus jelas yaitu diketahui keadaan fisiknya

  • 22

    f. Tidak terkait dengan orang lain

    g. Merupakan harta yang utuh, tidak bertebaran dalam beberapa

    tempat

    h. Bisa diserahkan

    i. Dipegang atau dikuasai rahin

    j. Harta tetap atau dapat dipindahkan

    3. Adanya hutang (marhun bih)

    Menurut Imam Syafii bahwa syarat sah gadai adalah harus ada

    jaminan yang berkriteria jelas dalam serah terima. Sedangkan Imam

    Maliki mesyaratkan bahwa gadai wajib dengan akad dan setelah akad

    yang menggadaikan wajib menyerahkan barang jaminan kepada yang

    menerima gadai (Hadi, 2003: 53).

    Adapun syarat-syarat marhun bih ialah sebagai berikut:

    a. Merupakan hak wajib yang diberikan atau diserahkan kepada

    pemiliknya;

    b. Marhun bih boleh dilunasi dengan marhun itu;

    c. Marhun bih itu jelas atau tetap;

    d. Memungkinkan pemanfaatan, bila sesuatu menjadi hutang tidak

    bisa dimanfaatkan maka tidak sah;

    e. Harus dapat dihitung jumlahnya, jika rahn tidak dapat di ukur

    maka tidak sah (Sutedi: 39).

  • 23

    D. Hak Dan Kewajiban Para Pihak

    Para pihak pemberi dan penerima gadai masing-masing mempunyai

    hak dan kewajiban yang harus di penuhi, diantaranya sebagai berikut:

    1. Hak dan kewajiban penerima gadai

    a) Penerima gadai berhak menjual marhun apa bila rahin tidak dapat

    memenuhi kewajibanya pada saat jatuh tempo. Hasil penjualan

    harta benda gadai (marhun) dapat digunakan untuk melunasi

    pinjaman (marhun bih) dan sisanya dikembalikan kepada rahin.

    b) Penerima gadai berhak mendapatkan penggantian biaya yang telah

    dikeluarkan untuk menjaga harta benda gadai (marhun)

    c) Selama peminjaman belum dilunasi maka pihak pemegang gadai

    berhak menahan harta benda gadai yang diserahkan oleh pemberi

    gadai (rahin)

    Berdasarkan hak penerima gadai dimaksud, muncul kewajiban

    yang harus dilaksanakan, yaitu sebagai berikut:

    a) Penerima gadai harus bertanggung jawab atas hilangnya atau

    merosotnya harta benda gadai apabila hal itu disebabkan oleh

    kelalaianya.

    b) Penerima gadai tidak boleh menggunakan barang gadai untuk

    kepentingan pribadinya.

    c) Penerima gadai berhak memberitahukan kepada pemberi gadai

    sebelum diadakan pelelangan harta benda gadai (Ali, 2008: 40).

  • 24

    2. Hak dan kewajiban pemberi gadai

    a) Pemberi gadai (rahin) berhak mendapat pengembalian harta benda

    yang digadaikan setelah ia melunasi pinjaman hutangnya

    b) Pemberi gadai berhak menuntut ganti rugi atas kerusakan dan/atau

    hilangnya harta benda yang digadaikan, bila hal itu disebabkan

    oleh kelalaian penerima gadai

    c) Pemberi gadai berhak menerima sisa penjualan harta benda gadai

    sesudah dikurangi biaya pinjaman dan biaya-biaya lainya

    d) Pemberi gadai berhak meminta kembali harta benda gadai apabila

    penerima gadai diketahui menyalahgunakan harta benda gadaianya

    Berdasarkan hak-hak pemberi gadai di atas maka muncul

    kewajiban yang harus dipenuhinya, yaitu:

    a) Pemberi gadai berkewajiban melunasi pinjaman yang diterimanya

    dalam tenggang waktu yang telah ditentunkan, termasuk biaya-

    biaya yang telah ditentukan oleh penerima gadai

    b) Pemberi gadai berkewajiban merelakan penjualan harta benda

    gadaianya, bila dalam jangka waktu yang telah ditentukan pemberi

    gadai tidak dapat melunasi uang pinjamanya (Ali, 2008: 41).

    E. Pemanfaatan Barang Gadai

    Pada dasarnya barang gada tidak dapat dimanfaatkan baik oleh

    rahin maupun murtahin. Hal ini disebabkan karena status barang tersebut

    sebagai barang jaminan hutang dan sebagai amanat bagi murtahin, namun

    bila mendapat izin dari masing-masing pihak yang barsangkutan maka

  • 25

    marhun boleh memanfaatkan dengan syarat jika rahin atau murtahin

    meminta izin untuk memanfaatkan marhun maka hasilnya menjadi milik

    bersama. Ketentuan tersebut bertujuan untuk menghindari marhun tidak

    berfungsi atau bubazir (Sutedi : 52).

    Para ulama fiqih sepakat mengatakan bahwa, segala biaya yang

    dibutuhkan untuk memelihara barang-barang itu menjadi tanggung jawab

    pemiliknya, yaitu orang yang berhutang. Para ulama fiqih juga sepakat

    mengatakan bahwa barang yang dijadikan barang jaminan itu tidak boleh

    dibiarkan begitu saja tanpa menghasilkan sama sekali, akan tetapi apakah

    diperbolehkan pihak pemegang jaminan memanfaatkan barang gadaian,

    meskipun mendapat izin dari pemilik barang jaminan (Al-fauzan, 2006:

    416). hal ini menjadi perbedaan pendapat para ulama, diantaranya yaitu:

    1. Menurut Ulama Hanafiah

    Menurut Imam Hanafi tidak ada bedanya antara pemanfaatan

    barang gadaian yang menyebabkan kurang harganya atau tidak. Imam

    Hanafi berpendapat bahwa rahn tidak dapat dimanfaatkan tanpa seizin

    murtahin, begitu pula murtahin tidak boleh memanfaatkanya tanpa

    seizin rahin. Mereka beralasan bahwa barang gadai harus tetap

    dikuasai oleh murtahin selamanya. Oleh karena itu golongan Hanafiah

    ada yang memperbolehkanya jika diijinkan oleh rahin. Tetapi sebagian

    lainya tidak memperbolehkan sekalipun ada izin bahkan

    mengategorikan sebagai riba, jika disyaratkan ketika akad untuk

  • 26

    memanfaatkanya haram karena termasuk riba (Isnawati dan

    Hasanudin, 1994: 49).

    Hal tersebut didasari oleh hadis Nabi sebagai berikut:

    ثَىَا ُ م أَتُى َحدَّ ثَىَا وَُع َ َسجَ أَتٍِ َعه َعاِمس َعه َشَكِسََّاءُ َحدَّ ٍَ هَُس َزِض

    ُ ٍ َعه َعى هُ ّللاَّ ُ َصهًَّ انىَّثِ ُ هِ ّللاَّ ه هُ ََقُىلُ َكانَ أَوَّهُ َوَسهَّمَ َعهَ انسَّ

    َكةُ َسبُ تِىَفَقَتِهِ َُس هُىوًامَ َكانَ إَِذا اندَّز نَثَهُ َوَُش س

    Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim telah menceritakan kepada kami Zakariya' dari 'Amir dari Abu

    Hurairah radliyallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi

    wa sallam bersabda:

    "Sesuatu (hewan) yang digadaikan boleh dikendarai untuk

    dimanfaatkan, begitu juga susu hewan boleh diminum bila

    digadaikan."

    2. Menurut Ulama Syafi‟iah

    Berbeda dengan ulama Hanafiah, Imam Syafi‟i mempunyai

    pendapat lain. Yaitu, rahn boleh dimanfaatkan oleh marhun tanpa

    seijin murtahin asalkan tidak menyebabkan marhun itu berkurang,

    hilang, atau mengurangi fungsi marhun itu, seperti mengendarai

    motor, menempati rumah. Akan tetapi jika menyebabkan marhun itu

    berkurang seperti sawah dan kebun maka rahin harus meminta izin

    untuk memanfaatkanya.

    Imam Syafi‟i mengemukakan pendanganya berdasarkan hadis

    sebagai berikut:

  • 27

    ثََسوَا دُ أَخ َماِعُمَ ت هُ ُمَحمَّ ، أَتٍِ ت هِ إِس َ ك ِذئ ة ، أَتٍِ ات هِ َعهِ فَُد

    ِ َزُسىلَ أَنَّ ان ُمَسُ ِة، ت هِ َسِعُدِ َعه ِشهَاب ، ات هِ َعهِ ّللاُ َصهًَّ ّللاَّ

    هَقُ َل : »قَالَ َوَسهَّمَ ُ هِ َعهَ ه هُ ََغ نَهُ َزهَىَهُ، انَِّرٌ َصاِحثِهِ ِمه انسَّ

    ُ هِ ُغى ُمهُ ُمهُ َوَعهَ ٍ قَالَ « ُغس افِِع ٍَ انشَّ ُ َزِض : ُغى ُمهُ : َعى هُ ّللاَّ

    ُمهُ ِشََاَدتُهُ، َووَق ُصهُ هَََلُكهُ : َوُغس

    Artinya:“Muhammad bin Ismail bin Abu Fudaik mengabarkan

    kepada kami dari Ibnu Abu Dzi'b, dari Ibnu Syihab, dari

    Sa'id bin Al Musayyab bahwa Rasulullah pernah

    bersabda, “Transaksi gadaian tidak menutup pemilik barang dari barang yang digadaikannya, dialah yang

    menebusnya, dan dia pulalah yang menanggung

    dendanya. Asy-Syafi'i mengatakan bahwa ghunumuhu

    artinya pengembangannya, dan ghurmuhu artinya

    penyusutannya”

    Dalam penjelasan Hadis di atas bahwa barang gadaian itu tidak

    menutup hak atas pemiliknya yaitu orang yang menggadaikan untuk

    mengambil manfaatnya. Dengan demikian orang yang menggadaikan

    tetap berhak atas hasil yang ditimbulkan dari barang gadaian itu dan

    bertanggung jawab atas segala resiko yang menimpa barang

    tersebutdan penerima gadai menguasai barang jaminan sebagai

    kepercayaan atas uang yang telah dipinjamkan sampai waktu yang

    telah ditentukan pada waktu akad (As-Shan‟ani, 1995: 181).

  • 28

    3. Menurut Imam Maliki

    Ulama Malikiyah berpedapat bahwa penerimaan harta benda gadai

    (murtahin) hanya dapat memanfatkan harta benda barang gadai atas

    seijin dari pemberi gadai dengan persyaratan sebagai berikut:

    a. Utang disebabkan dari jual beli, bukan karena mengutangkan. Hal

    itu terjadi seperti orang menjual barang dengan harta tangguh,

    kemudian orang itu meminta gadai dengan satu barang sesuai

    dengan utangnya maka hal ini diperbolehkan.

    b. Pihak murtahin mensyaratkan bahwa manfaat dari barang gadai

    diperuntukan pada dirinya.

    c. Jika waktu mengmbil manfaat yang telah disyaratkan harus

    ditentukan, apabila tidak ditentukan batas waktunya maka menjadi

    bata (Ali, 2008: 42).

    Pendapat diatas berdasrkan Hadis Rasulullah sebagai berikut:

    ثَىَا َشَكِسََّاُء َعه َعاِمس ُ م َحدَّ ثَىَا أَتُى وَُع ٍَ َحدَّ َ َسجَ َزِض َعه أَتٍِ هَُس

    ُ َعى هُ ّللاَّ

    َكُة ه ُه َُس ُ ِه َوَسهََّم أَوَّهُ َكاَن ََقُىُل انسَّ ُ َعهَ ٍ َصهًَّ ّللاَّ َعه انىَّثِ

    هُىوًا َسُب نَثَُه اندَّز إَِذا َكاَن َمس تِىَفَقَتِِه َوَُش

    artiya: “ Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim telah

    menceritakan kepada kami Zakariya' dari 'Amir dari Abu

  • 29

    Hurairah radliyallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi

    wa sallam bersabda: "Sesuatu (hewan) yang digadaikan boleh dikendarai untuk

    dimanfaatkan, begitu juga susu hewan boleh diminum bila

    digadaikan."

    Yang selanjutnya yaitu Hadis Nabi Muhmmad yang artinya:

    ثَىَا دُ َحدَّ ثََسوَا ُمقَاتِم ت هُ ُمَحمَّ ِ َعث دُ أَخ ثََسوَا ّللاَّ َعه َشَكِسََّاءُ أَخ

    ٍ ثِ ع َ َسجَ أَتٍِ َعه انشَّ ٍَ هَُس ُ َزِض قَالَ َعى هُ ّللاَّ

    ِ َزُسىلُ قَالَ ُ َصهًَّ ّللاَّ ُ هِ ّللاَّ ه هُ َوَسهَّمَ َعهَ َكةُ انسَّ إَِذا تِىَفَقَتِهِ َُس

    هُىوًا َكانَ َسبُ اندَّز َونَثَهُ َمس هُىوًا َكانَ إَِذا تِىَفَقَتِهِ َُش َوَعهًَ َمس

    َكةُ انَِّرٌ َسبُ ََس انىَّفَقَحُ َوََش

    Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Muqatil telah mengabarkan kepada kami 'Abdullah telah

    mengabarkan kepada kami Zakariya' dari Asy-Sya'biy dari

    Abu Hurairah radliyallahu 'anhu berkata: Rasulullah

    shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

    (Hewan) boleh dikendarai jika digadaikan dengan

    pembayaran tertentu, susu hewan juga boleh diminum bila

    digadaikan dengan pembayaran tertentu, dan terhadap

    orang yang mengendarai dan meminum susunya wajib

    membayar."

    4. Menurut Ulama Hanabilah

    Menurut pendapat Ulama Hanabilah, persyaratan bagi murtahin

    untuk mengambil manfaat hata benda yang bukan berupa hewan

    adalah adanya ijin dari pemilik barang dan adanya gadai bukan

    mengutangkan.

  • 30

    Apabila harta benda gadai berupa hewan yang tidak dapat diperah

    dan tidak dapat ditunggangi, boleh menjadikanya sebagai khadam.

    Akan tetapi bila harta benda gadai itu berupa rumah, sawah, kebun dan

    semacamnya maka tidak boleh mengambil manfaatnya (Ali, 2008: 43).

    Kebolehan murtahin memanfaatkan harta benda gadai atas seizin

    pihak rahin, dan nilai pemanfaatanya harus disesuaikan dengan biaya

    yang telah dikeluarkan utuk marhun dasarkan oleh hadis Nabi

    Muhammad SAW, sebagai berikut:

    ثَىَا دُ َحدَّ ثََسوَا ُمقَاتِم ت هُ ُمَحمَّ ِ َعث دُ أَخ ثََسوَا ّللاَّ َعه َشَكِسََّاءُ أَخ

    ٍ ثِ ع َ َسجَ أَتٍِ َعه انشَّ ٍَ هَُس ُ َزِض قَالَ َعى هُ ّللاَّ

    ِ َزُسىلُ قَالَ ُ َصهًَّ ّللاَّ ُ هِ ّللاَّ ه هُ َوَسهَّمَ َعهَ َكةُ انسَّ إَِذا تِىَفَقَتِهِ َُس

    هُىوًا َكانَ َسبُ اندَّز َونَثَهُ َمس هُىوًا َكانَ إَِذا تِىَفَقَتِهِ َُش َوَعهًَ َمس

    َكةُ انَِّرٌ َسبُ ََس انىَّفَقَحُ َوََش

    Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Muqatil telah mengabarkan kepada kami 'Abdullah telah

    mengabarkan kepada kami Zakariya' dari Asy-Sya'biy dari

    Abu Hurairah radliyallahu 'anhu berkata: Rasulullah

    shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

    (Hewan) boleh dikendarai jika digadaikan dengan

    pembayaran tertentu, susu hewan juga boleh diminum bila

    digadaikan dengan pembayaran tertentu, dan terhadap

    orang yang mengendarai dan meminum susunya wajib

    membayar."

  • 31

    F. Berakhirnya Akad Gadai

    Menurut Sayyid Sabiq, jika barang gadai kembali ketangan rahin

    atau dengan kata lain, jika barang gadai itu kembali ke dalam kekuasaan

    rahin, maka ketika itu akad gadai sudah batal. Dengan demikian perspektif

    Sayyid Sabiq agar akad gadai tidak batal harus dalam penguasaan

    murtahin (Sabiq, 1987: 190).

    Barang gadai batal apabila:

    1. Borg (barang gadai diserahkan kepada pemiliknya)

    Jumhur ulama selain Syafi‟i menganggap gadai menjadi batal apabila

    murtahin menyerahkan borg kepada pemiliknya (rahin) sebab borg

    merupakan jaminan hutang. Jika borg diserahkan, maka tidak ada

    jaminan. Selain itu dipandang batal pun akad gadai jika murtahin

    meminjamkan borg kepada rahin atau orang lain atas seijin rahin.

    2. Rahin meninggal

    Menurut Imam Malik, rahn batal atau berakhir apabila rahin

    meninggal sebelum menyerahkan borg pada murtahin. Juga dipandang

    batal apabila murtahin meninggal sebelum mengembalikan borg

    kepada rahin.

    3. Borg rusak

    4. Tasharruf dan borg

    Rahn berakhir apabila borg ditasharrufkan seperti dijadikan hadiah,

    hibah, sedekah, dan lain-lain atas ijin pemiliknya.

  • 32

  • 33

    BAB III

    PRAKTIK GADAI BERANTAI DI DUSUN NGULARAN DESA NGABEAN

    KECAMATAN BOJA KABUPATEN KENDAL

    A. Gambaran Umum Dusun Ngularan Desa Ngabean Kecamatan Boja

    Kabupaten Kendal

    Boja adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Kendal, Provinsi

    Jawa Tengah, Indonesia. Kecamatan Boja merupakan satu dari 20

    kecamatan di Kabupaten Kendal Propinsi Jawa Tengah, dengan wilayah

    sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Kaliwungu, sebelah Selatan

    berbatasan dengan Kecamatan Limbangan, sebelah barat berbatasan

    dengan Kecamatan Singorojo dan sebelah timur berbatasan dengan Kota

    Semarang. Kecamatan Boja terletak pada 7 0 02‟ 58” - 7 0 08‟ 53” Lintang

    Selatan dan 1090 15‟ 08” - 1100 21‟ 85” Bujur Timur dengan ketinggian

    tanah dari ± 350 m sampai dengan 500 m di atas permukaan laut. Di Boja

    terdapat patung yang bernama patung kawedanan boja. Patung kawedanan

    boja, terletak tepat di depan pasar Boja, patung ini menjadi saksi bisu

    berkembanganya pasar boja dari masa ke masa. Patung tersebut,

    mencerminkan seorang pahlawan yang mempunyai semagat perjuangan

    yang gigih. Hal itu bisa kita lihat dari tangan kiri patung memegang

    bendera merah putih dan tangan kanan membawa senjata

    api.(https://id.m.wikipedia.org/wiki/Boja,_Kendal,diakses tanggal 12

    september 2018, jam 05:52)

    https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kecamatanhttps://id.m.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Kendalhttps://id.m.wikipedia.org/wiki/Provinsihttps://id.m.wikipedia.org/wiki/Jawa_Tengahhttps://id.m.wikipedia.org/wiki/Indonesiahttps://id.m.wikipedia.org/wiki/Boja,_Kendal

  • 34

    Jumlah penduduk di Kecamatan Boja mencapai 69.219 jiwa, terdiri

    dari 34.894 jiwa (50,41%) laki-laki dan 34 325 jiwa (49,59%) perempuan.

    Di kecamatan boja sendiri mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani.

    (https://id.m.wikipedia.org/wiki/Boja,_Kendal,diakses tanggal 15 Janiari

    2019, jam 11.00 wib)

    Di Boja terdapat beberapa pegadaian diantaranya yaitu pegadaian

    ups ps.sore Kaliwungu, pegadaian UPS Kendal Permai, pegadaian UPC

    Waleri, pegadaian UPC Sukorejo, pegadaian UPC Pekauman dan masih

    banyak lagi pegadaian pegadaian milik lembaga pegadaian yang berada di

    Boja.

    Selain milik lembaga ada juga pegadaian perorangan salah satunya

    yaitu milik Mas Sis yang berada di Dusun Ngularan Desa Ngabean

    Kecamatan Boja Kabupaten Kendal. Di dalam penelitian ini penulis

    meneliti pegadaian yang digeluti oleh Mas Sis yang berada di dusun

    tersebut. Pegadaian ini berada di tengah perumahan di Dusun Ngularan

    jadi akses menuju rumas Mas Sis sangat mudah.

    Pegadaian milik Mas Sis merupakan pegadaian perorangan yang di

    tangani langsung oleh Mas Sis sendiri. Sama halnya pegadaian-pegadaian

    pada umumnya pegadaian milik Mas Sis ini melayani transaksi pegadaian

    dengan syarat yang mudah dan gampang. Jadi banyak konsumen-

    konsumen yang datang di tempat Mas Sis untuk menggadaikan motornya.

    https://id.m.wikipedia.org/wiki/Boja,_Kendal

  • 35

    Pegadaian yang digeluti Mas Sis ini didirikan mulai tahun 2009

    dengan modal yang seadanya. Pegadaian ini merupakan satu-satunya

    pegadaian yang berada di Dusun Ngularan tersebut sehingga banyak

    warga di dusun tersebut merasa terbantu dalam perekonomianya. Didalam

    menjalankan usahanya Mas Sis dibantu oleh istrinya saja untuk mencatat

    siapa saja orang-orang yang menggadaikan motor di tempatnya.

    B. Profil Tempat Gadai

    Dizaman modern seperti saat ini masih banyak masyarakat yang

    kurang berkecukupan di dalam bidang ekonomi. Untuk makan sehari hari,

    pemenuhan dalam pendidikan, dalam kesehatan dan lain-lain masih

    kurang dari kata cukup. Sehingga dalam keluarga yang berpenghasilan

    menengah kebawah sering kali terpaksa menggadaikan barang berharga

    mereka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

    Meskipun banyak terdapat lembaga-lembaga pegadaian, banyak di

    antara mereka yang menggadaikan barangnya di pegadaian perorangan

    dengan alasan agar tidak ribet dengan administrasi, pendaftaran dan

    syarat-syarat yang dianggap menyulitkan mereka. Dan juga jarak yang

    cukup jauh dari tempat tinggal mereka. Hal tersebut yang membuat

    masyarakat lebih memilih menggadaikan barangnya ke tetangga maupun

    kerabat yang mereka percayai.

    Di tempat pegadaian milik Mas Sis ini menjadi solusi bagi

    masyarakat di sekitar Dusun Ngularan tersebut bahkan terdapat nasabah

  • 36

    dari luar desa yang memilih untuk menggadaikan motornya ke tempat

    tersebut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.

    Pegadaian milik Mas Sis yang didirikan mulai tahun 2009 ini tidak

    pernah sepi dari orang-orang yang ingin memanfaatkan jasanya. Awal

    mula Mas Sis tidak berniat untuk membuat bisnis gadai ini. Ketika itu ada

    seorang yang menggadaikan motor kepada Mas Sis, dan kebetulan salah

    seorang temannya yang ingin dicarikan motor gadaian seperti yang digadai

    oleh Mas Sis. Kemudian Mas Sis menggadaikan motor yang digadainya

    tersebut kepada temanya. Dari situ muncul ide Mas Sis untuk menggeluti

    bisnis gadai ini. Seperti yang di jelaskan oleh Mas Sis sendiri:

    “pertamane kula dodolan mie ayam, terus tahun 2007 niku pasar

    kebakaran mas. Nah, akhire kula alih profesi. Pas niku kula gade motor,

    ning di nggo piambak, mergi ameh tumbas mboten saget. Lah, pas niku

    kok enten konco sing pengen “la koe entuk motor kui seko endi? Mbuk aku

    digolekke”. Pas niku motore kula tak kekne kui tak kon genti duit sing tak

    gawe gade kui mau. Terus kula golek uwong sing gadekke meneh ngoten.

    Bar kui kok soyo akeh sing pengen, terus lanjut tekan sakniki”

    Dalam Bahasa Indonesia:

    “Pertama saya jualan mie ayam, terus tahun 2007 pasar kebakaran

    mas. Nah, akhirnya saya alih profesi. Pada waktu itu saya menggadai

    motor tapi di pakai sendiri karena mau beli tidak bias. Saat itu ada teman

    yang pengen, “kamu dapat motor itu dari mana? Mbuk saya juga

    dicarikan”. Pada saat itu motor saya kasihkan dan saya suruh ganti uang

  • 37

    digunakan untuk menggadai motor tersebut. Kemudian saya mencari lagi

    seorang yang mau menggadaikan kembali. Setelah itu bertambah banyak

    yang pengen. Dan itu berlanjut sampai sekarang”

    Mas Sis hanya menerima jaminan berupa sepeda motor saja. Ia

    menerima semua jenis merek motor seperti beat, vario, mio, Jupiter, verza

    dan lain-lain. Mas Sis hanya memberikan pinjaman 30% dari taksiran

    harga motor seperti yang dijelaskan oleh Mas Sis sebagai berikut:

    “kalo mau memberi pinjaman enten taksirane mas, sekitas 30%

    dari harga motor. Misalke nek beat keluaran sakniki nggih sekitar 4 juta,

    nek mio ya 3 juta, ya manut harga motore”

    Dalam Bahasa Indonesia:

    “Kalau menmberi pinjaman ada taksiranya mas, sekitar 30% dari

    harga motor. Misalkan kalau beat keluaran sekarang sekitar 4 juta, kalau

    mio 3 juta, ya tergantung harga motornya”

    Banyak sekali peminat yang menggadaikan motor di tempat Mas

    Sis ini. Terutama di daerah tempat tinggalnya, mulai dari bapak-bapak

    sampai ibu-ibu. Ada pula peminat dari luar kota yang datang ke tempat

    Mas Sis.

    C. Akad Gadai Berantai

    Didalam sebuah perjanjian tentu tidak lepas dengan akad, karena

    akad merupakan awal dari sebuah perjanjian. Akad menurut bahasa adalah

    perikatan, perjanjian dan pemufakatan. Menurut istilah akad merupakan

    suatu perikatan antara ijab dan qabul dengan cara yang dibenarkan syara‟

  • 38

    yang menetapkan adanya akibat-akibat hukum pada objeknya (puengen-

    pinter.blogspot.com/2012/04/pengertianakad.html?m=1). Di dalam

    pegaadaian milik Mas Sis ini terdapat 2 akad yang di lakukkan yaitu

    pihak I dengan Mas Sis dan Mas Sis dengan pihak ke III.

    1. Pihak pertama dengan Mas Sis

    Akad ini terjadi ketika para penggadai datang sendiri kerumah Mas

    Sis dengan membawa motor yang akan digadaikanya. Terkadang Mas

    Sis juga mendatangi orang yang akan menggadaikan motornya dan

    akad gadaipun terjadi di tempat itu. Kebanyakan orang yang

    menggadaikan ditempat Mas Sis karena memerlukan uang yang

    sifatnya mendadak dan mereka memilih di tempatnya Mas Sis karena

    prosesnya yang cepat dan tidak berbelit-belit. Seperti yang dijelaskan

    oleh Mas Sis sebagai berikut:

    “ Kebanyakan dari mereka niku tiang sing kepepet butoh mas,

    kadang meh bayar anake sekolah ngoten mlayune mriki, terus enten

    tiang namine faizin. Tiange niku dodolan sayur, nek misale modale

    entek mlayune rene mas. Nitipke motore rong dino opo telung dino

    ngono mengko di jipuk meneh. Intine yo kono oleh kene yo oleh ngono

    mas”

    Dalam Bahasa Indonesia:

    “Kebanyakan dari mereka orang yang terdesak oleh kebutukan

    mas, terkadang mau membayar anaknya sekolah terus larinya kesini.

    Terus ada seseorang yang namanya Faizin, ia jualan sayur, misalkan

  • 39

    modalnya habis ia lari kesini mas. Menitipkan motornya dua hari atau

    tiga hari nanti diambil kembali. Yang penting mereka dapat yang

    mereka inginkan dan saya juga sama”

    Setelah akad perjanjian tercapai Mas Sis kemudian menetapkan

    jatuh tempo pelunasan gadai tersebut. Untuk batas jatuh tempo sendiri

    Mas Sis menetapkan maksimal dua bulan setelah kesepakatan dan

    penyerahan barang berlangsung. Ketika menyerahkan uang gadaian

    kepada pihak pertama, Mas Sis memotong 10% uang tersebut untuk

    biaya administrasi. Jika orang yang menggadaikan belum bisa

    melunasi hutangnya setelah jatuh tempo, Mas Sis tidak terburu-buru

    untuk menjual barang yang digadaikan tersebut. Akan tetapi Mas Sis

    akan menunggu dan terus menghubungi orang yang menggadaikan

    tersebut. Jika belum dapat melunasi juga maka Mas Sis terpaksa

    menjual barang gadaian tersebut dan uang hasil penjualan motor itu

    digunakan untuk melunasi hutang si penggadai dan sisanya di

    kembalikan kepada si penggadai.

    2. Mas Sis dengan pihak ke tiga

    Setelah menetapkan akad dan transaksi gadai tersebut

    kemudian Mas Sis mencari orang yang akan menggadai motor yang

    telah digadai oleh Mas Sis. Biasanya orang yang mau menerima

    jaminan itu adalah orang yang tidak mempunyai cukup uang untuk

    membeli motor. Ada juga orang yang menggunakan motor-motor dari

    Mas Sis dengan alasan agar bisa gonta-ganti motor.

  • 40

    Selain mencari sendiri orang yang ingin menggadai motornya

    ada juga orang yang datang sendiri ke rumah Mas Sis untuk

    mengambil motor yang digadai oleh Mas Sis. Dan untuk orang-orang

    yang ingin menggadai motor di tempat mas Sis harus memberikan

    uang dengan jumlah yang di tentukan oleh mas Sis sendiri.

    Akad yang di gunakan mas Sis dalam menggadaikan motor

    jaminan ini sama seperti yang dilakukan oleh Mas Sis dengan pihak

    pertama, yakni menggunakan akad gadai. Hal ini bisa kita lihat dari

    hasil wawancara penulis sebagai berikut:

    “kalo biasane niku teko ning omah dewe mas, terus tekon enek

    motor gadaian ora mas, nek enek tak gawane. nah, nek pas enek

    barang yo di ambil terus bayar podo pertama kali uwong gadekke

    mau. Misal, pertama enten tiang gadekke motor 3 juta. Tiang sing meh

    jupuk kui mau ya harus mbayar 3 juta. Pas delalah pihak pertama

    pingin mendet motore, motor sing di gowo tiang kui mau di balekke

    nek omah terus kula ijoli motor sing liyane ngoten”

    Dalam Bahasa Indonesia:

    “Kalau biasanya itu datang ke rumah sendiri mas, terus tanya

    ada motor gadaian gak mas? Kalo ada tak bawa dulu.nah, kalau pas

    ada barang ya saya suruh ambil, terus membayar sama seperti orang

    yang menggadaiakn pertama kali, misalkan pertama ada orang yang

    menggadaikan motornya 3 juta, orang yang mengambil motor ya harus

    membayar 3 juta. Kalau kebetulan pihak pertama ingin mengambil

  • 41

    motornya, motor yang dibawa pihak ke tiga itu tadi dikembalikan di

    rumah terus motornya saya ganti dengan motor yang lainya begitu”

    Akad gadai yang kedua ini tidak diketahui oleh pihak pertama

    (rahin I). ketika akad gadai yang kedua berlangsung pihak kedua yakni

    Mas Sis menjadi rahin II. Karena ia telah menggadaikan barang

    jaminanya. Sehingga dari situ muncul murtahin II yaitu orang yang

    menerima gadai motor di rumah mas Sis. Untuk pengembalian barang

    itu sendiri disesuaikan dengan akad gadai yang pertama. Yakni ketika

    pihak pertama atau rahin I telah melunasi motornya sebelum jatuh

    tempo atau sesudah jatuh tempo otomatis akad yang kedua juga

    diakhiri. Kecuali pihak ke-tiga tidak ingin mengakhiri gadainya, maka

    Mas Sis mengganti motor tersebut dengan motor gadaian yang lain

    yang sesuai dengan keinginan pihak ke-tiga. Sampai kedua pihak

    antara Mas Sis dengan pihak ke-tiga mengakhiri perjanjian tersebut.

    D. Barang Yang Digadaikan

    Di dalam masyarakat jarang kita jumpai pegadaian perorangan

    maupun lembaga pegadaian menggadaikan kembali barang yang

    digadainya. Akan tetapi biasanya hanya mengambil manfaat yang melekat

    terhadap barang yang dijaminkan kepada sipenggadai. Akan tetapi usaha

    milik Mas Sis ini memiliki perbedaan dengan pegadaian pada umumnya.

    Yakni mengambil manfaat dari barang gadai dengan menggadaikan

    kembali barang yang sudah digadainya. Hal tersebut karena dilatar

  • 42

    belakangi oleh bisnis, sehingga akan semaksimal mungkin untuk

    mendapatkan keuntungan.

    Alasan mas Sis menggadaikan barang jaminan ialah untuk

    dijadikan modal kembali, sehingga perputaran modal tetap berjalan dan

    mas Sis tetap mendapat keuntungan. Hal tersebut dijelaskan mas Sis

    sebagai berikut:

    “kalo angsal bayaran saking pihak ke tiga, uange niku tak puter

    meneh mas kanggo modal bayar gadean meneh. Nek mboten ngoten niku

    yo mboten saget mlaku”

    Dalam Bahasa Indonesia:

    “kalau mendapat keuntungan dari pihak ke tiga, uangnya saya

    putar kembali masbuat membayar barang gadaian kembali. Kalau tidak

    begitu ya tidak bisa berjalan”

    Di dalam menggadaikan jaminanya mas Sis mengaku pihak

    penggadai ada yang tau dan ada yang tidak tahu tentang hal tersebut.

    Biasanya di lingkungan sekitar tempat tinggal mas Sis mengatahui

    bahwasanya barang jaminan yang ada di tempat mas Sis akan digadaikan

    kembali. Sedangkan di luar tempat tinggal mas Sis tidak mengetahui.

    Yang terpenting ketika pihak pertama ingin melunasi dan mengambil

    barang jaminanya barang tersebut sudah berada di tempat mas Sis. Seperti

    yang dijelaskan oleh mas sis sebagai berikut:

    “Ora ngrti mas, sing penting pas jatuh tempo terus pihak pertama

    pengen jipuk barange, kui wis enek nek omah. Tapi, nek daerah kene koyo

  • 43

    tonggo-tonggo wis do ngrti. dadine nek sing do kepepet butoh ngono kae

    yo mlayune rene terus kondo mas motorku kae gadenen suk telung dino

    ngkas tak jupuk. Nah, nek mung wektu semono kui yo motore ora tak

    lempar meneh”

    Dalam Bahasa Indonesia:

    “Tidak tau mas, yang penting pas jatuh tempo terus pihak pertama

    ingin mengambil barangnya, barangnya sudah ada di rumah. Tapi, di

    daerah sini seperti tetangga sudah tau. Sehingga kalau terhimpit kebutuhan

    larinya kesini terus bilang mas, saya ingin menggadaikan motor saya tiga

    hari lagi saya ambil. Nah, kalau Cuma waktu segitu motornya tidak saya

    lempar kembali”

    Ketika Mas Sis menggadaikan kembali jaminanya maka rawan

    terjadi resiko yang tidak diinginkan, seperti rusaknya motor, ditarik oleh

    deptcolector hingga yang hilangnya motor jaminan tersebut. Hal tersebut

    menjadi tanggung jawab Mas Sis sepenuhnya karena penggadai hanya

    tahu bahwa motornya digadaikan kepada mas Sis. Hal tersebut dijelaskan

    oleh mas Sis sebagai berikut:

    “kalo niku dadi tanggung jawab kula mas, sing pihak pertama

    ngrtine motor nek kene. Permasalahan sing sering terjadi niku motor

    mpun krtarik collector mas. nek wis motor telat kan akhire ketarik mas,

    nah nek wis masuk kantor ya wis ra iso ditututi meneh mas akhire ya

    nageh sing nggon gadekke kui mau yo akhire aku sing nyusuki mas”

    Dalam bahasa Indonesia:

  • 44

    “ kalau itu jadi tanggung jawab saya mas, yang pihak pertama tau

    motor di sini. Permasalahan yang sering terjadi itu ketika motor sudah

    ditarik collector mas. Kalau motor telat kan akhirnya ditarik. Nah kalau

    sudak masuk kantor ya sudah gak bisa di buntuti kembalimas, akhirnya ya

    nagih di tempat gadaian itu tadi. Akhirnya saya yang membayar”

    Contoh yang dapat diambil yaitu ketika mas Faizin menggadaikan

    motornya kepada mas Sis untuk menambah modal dagangannya. Mas

    Faizin merupakan pedagang sayur berusia 34 tahun. Ia mengaku

    menggadaikan motornya untuk tambahan modal berdagang sayuran

    keliling. Dan ia tidak mengatahui bahwa motor yang berada di tempat mas

    Sis digadaikan kembali. Yang ia tahu ialah mendapatkan uang untuk

    tambahan modalnya berdagang sayur dan menggadaikan motornya di

    tempat mas Sis. Hal ini dijelaskan mas Faizin sebagai berikut:

    “ kula mboten ngertos mas, kula ngertose naming pinjem arto

    kangge dagangan kula. Pas kula pendet motore sampun teng tempate mas

    Sis”

    Dalam bahasa Indonesia:

    “ saya gak tau mas, saya hanya tau pinjam uang buat dagangan

    saya. Waktu saya ambil motornya sudah berada di tempatnya mas Sis”

    Dari pihak yang meminjam motor juga mempunyai alasan

    tersendiri yaitu membutuhkan motor, tapi tidak punya cukup uang untuk

    membeli akhirnya ia meminjam motor di tempat Mas Sis dengan

  • 45

    memberikan uang sesuai tarif yang telah ditentukan oleh Mas Sis. Ada

    juga yang membutuhkan motor untuk bergonta ganti motor saja.

    Contohnya dapat diambil dari orang yang meminjam barang

    ditempatnya Mas Sis yaitu bapak Kusnadi. Ia meminjam motor di

    tempatnya Mas Sis dengan alasan tidak mempunyai cukup uang untuk

    membeli motor karena harga motor yang cukup mahal. Jalan satu-satunya

    yaitu meminjam motor di tempat Mas Sis dengan memberikan uang

    kepadanya. Bapak Kusnadi juga tidak mengetahui milik siapa motor yang

    ia gunakan, dalam pikiranya hanya meminjam motor untuk keperluan

    sehari-hari. Untuk pengembalianya sendiri ketika pemilik motor

    mengambil kembali motornya kemudian Mas Sis mengembalikan kembali

    uang bapak Kusnadi yang telah dibayarkan kepada Mas Sis. Hal tersebut

    dijelaskan oleh Bapak Kusnadi sebagai berikut:

    “kula mboten ngertos mas, wong kula namung butuh motor kangge

    wira wiri. Meh tumbas ning mboten gadah duit akhire yo nyileh motor nek

    gone mas Sis terus tak keki duit. Jerene mas Sis nek sing ndue motor iki

    mendet motore kula paringke terus duite kula di balekke”

    Dalam Bahasa Indonesia:

    “Saya tidak tau mas, karna saya butuh motor buat wara wiri. Mau

    beli tapi tidak punya uang akhirnya ya pinjam di tempatnya mas Sis terus

    saya kasih uang. Katanya Mas Sis kalau yang punya motor ini mengambil

    kembali motoenya saya kasihkan terus uang saya dikembalikan”.

  • 46

    Jangka waktu pengembalian motor antara Mas Sis dengan pihak

    pertama dipatok maksimal 2 bulan. Hal ini bertujuan untuk menghindari

    kalalaian pihak pertama dalam melunasi hutangnya dan tidak berlama-

    lama dalam melunasi hutangnya. Sebab biasanya semakin lama

    pengembalian hutang akan semakin lalai pihak pertama dalam melunasi

    hutangnya. Walaupun telah dipatok 2 buan dalam melunasi hutangnya,

    tidak sedikit penggadai yang telat dalam melunasi hutangnya.

    E. Berakhirnya Akad Gadai Berantai

    Di dalam pegadaian milik Mas Sis ini terdapat dua akad yakni

    antara mas Sis dengan pihak pertama dan Mas Sis dengan pihak ke tiga.

    Akad gadai yang pertama berakhir ketika pihak pertama melunasi

    hutangnya kepada Mas Sis dan motor yang digadaikan telah dikembalikan

    kepada pihak yang pertama. Jika pihak pertama tidak bisa melunasi

    hutangnya maka Mas Sis menjual motor yang telah digadainya dan uang

    hasil penjualan tersebut dipotong untuk melunasi hutang pihak pertama

    dan sisanya dikembalikan kembali oleh pihak pertama.

    Sedangkan akad gadai yang kedua berakhir ketika pihak pertama

    telah melunasi hutangnya sehingga otomatis akad kedua juga berakhir.

    Dan Mas Sis mengembalikan uang yang dibayarkan kepada Mas Sis sesuai

    dengan jumlah awal. Akan tetapi ketika pihak ketiga tidak ingin

    mengakhiri akadnya, mas Sis mencarikan motor pengganti yang sesuai

    dengan uang yang telah dititipkan kepada Mas Sis.

  • 47

    BAB IV

    TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP GADAI BERANTAI DI

    DUSUN NGULARAN DESA NGABEAN KECAMATAN BOJA

    KABUPATEN KENDAL

    A. Tinjauan Hukum Islam terhadap Akad Gadai Berantai di Dusun

    Ngularan Desa Ngabean Kecamatan Boja Kabupaten Kendal

    Berdasarkan penelitian yang saya lakukan terdapat dua akad yang

    dilakukan. Yaitu antara pihak pertama dengan Mas Sis dan Mas Sis

    dengan pihak ke tiga.

    1. Akad Mas Sis dengan pihak pertama

    Proses awal terjadinya akad gadai antara pihak pertama

    menggadaikan motor kepada Mas Sis sama seperti lembaga-lembaga

    pegadaian yang lain. Yakni pihak pertama membawa motor yang akan

    digadaikanya kepada Mas Sis dan dicek tahun rakitan motor. Karena

    tahun rakitan motorlah yang menjadi patokan Mas Sis untuk

    mentaksirkan jumlah pinjaman yang akan diberikannya.

    Langkah selanjutnya Mas Sis menentukan jatuh tempo

    pelunasan barang jaminan yang akan digadaikan. Di dalam hal ini Mas

    Sis hanya memberikan waktu pelunasan maksimal dua bulan. Selama

    akad ini berlangsung Mas Sis hanya menerima motor dan identitas

    penggadai saja. Seperti yang dilakukan oleh Mas Faizin, ia telah

  • 48

    menggadaikan motornya dengan merek Supra tahun 2009 kepada Mas

    Sis untuk tambahan modal.

    Dilihat dari akad yang dilakukan oleh Mas Faizin dan Mas Sis

    akad tersebut diperbolehkan karena telah sesuai denga Hukum Islam.

    Diantaranya yaitu terdapat shighat, yaitu ucapan ijab qabul (serah

    terima antara penggadai dengan penerima gadai) (Ali, 2008: 20) yang

    dilakukan oleh Mas Faizin dengan Mas Sis.

    Jika dilihat dari rahin dan murtahinya kedua belah pihak sama-

    sama telah memenuhi syarat untuk melakukan transaksi gadai yang

    berlangsung. Yaitu kedua belah pihak telah sama-sama dewasa, atas

    kehendak sendiri dan mampu membelanjakan hartanya dan mampu

    memahami persoalan tentang gadai. Hal tersebut harus dipenuhi kedua

    belah pihak karena Jumhur Ulama telah menetapkan syarat antara

    rahin dan murtahin sebagai berikut:

    1) Telah dewasa,

    2) Berakal sehat,

    3) Atas kehendak sendiri, dan

    4) Orang yang mampu membelanjakan harta dan memahami

    persoalan yang berkaitan dengan gadai (Suhendi, 2008: 107).

    Dilihat dari segi marhun nya sudah memenuhi syarat untuk

    melakukan transaksi gadai. Diantaranya yaitu:

  • 49

    1. Harus berupa harta yang bernilai,

    2. Harus dimiliki oleh rahin,

    3. Harus bias diperjual belikan (marhun itu boleh dijual dan

    nilainya seimbang dengan marhun bih),

    4. Marhun harus bias dimanfaatkan secara syariah,

    5. Harus jelas yaitu diketahui keadaan fisiknya,

    6. Tidak terkait dengan orang lain,

    7. Harus berupa barang yang utuh, tidak bertaburan dibeberapa

    tempat,

    8. Bisa diserahkan,

    9. Dipegang atau dikuasai oleh rahin,

    10. Harta tetap atau bisa dipindahkan (Syafe‟i, 2001: 164).

    Dari ketentuan tersebut sudah terpenuhi syarat-syarat antara

    Mas Faizin dengan Mas Sis. Yaitu Mas Faizin menggadaikan

    motornya yang bermerek Supra tahun 2009 dan motor tersebut

    bernilai, dapat dijual dan jika dijual nilainya seimbang dengan

    hutangnya. Dimiliki Mas Faizin sendiri, jelas barangnya dan bisa

    diserahkan.

    Kemudian dilihat dari mahrun bih nya. Utang yang diberikan

    Mas Sis kepada Mas Faizin merupakan hutang yang wajib dilunasi.

    Jika Mas Faizin belum bisa melunasi setelah jatuh tempo yang telah

    dijanjikan maka melunasinya tidak langsung dengan motor tersebut.

    Melainkan dengan memberikan batas waktu kembali untuk

  • 50

    melunasinya. Jika batas waktu yang ke dua masih belum melunasi

    Mas Sis menjual motor tersebut dan untuk melunasi hutang Mas

    Faizin tersebut, dan sisanya dikembalikan kepada Mas Faizin. Dari

    spesifikasi tersebut telah sesuai dengan syarat-syarat marhun bih,

    yakni:

    1. Merupakan hak wajib yang harus diberikan atau diserahkan

    kepada pemiliknya;

    2. Marhun bih itu bisa dilunasi dengan mahrun itu;

    3. Marhun bih itu jetas atau tetap;

    4. Memungkinkan pemanfaatan. Bila sesuatu menjadi utang tidak

    bisa dimanfaatkan maka tidak sah;

    5. Harus bisa dikuantifikasi atau dapat dihitung jumlahnya. Jika

    tidak dapat di ukur maka tidak sah (Sutedi, 2011: 39).

    Selanjutnya yaitu memberikan potongan administrasi

    sebesar 10% kepada pihak pertama tidak di perbolehkan. Karena

    besarnya pinjaman dan biaya pemeliharaan ditetapkan berdasarkan

    taksiran barang yang digadaikan dan biaya penitipan barang

    meliputi biaya penjagaan, penggantian kehilangan, asuransi,

    gudang penyimpanan dan pengelolaan.

    Akan tetapi di tempat Mas Sis potongan administrasi sudah

    ditetapkan 10% untuk setiap merek kendaraan bermotor dan

    potongan tersebut tidak digunakan untuk merawat barang gadai

  • 51

    tersebut. Melainkan sebagai keuntungan yang didapat Mas Sis dari

    jasa pegadaian miliknya.

    Fatwa Keuangan Syariah Dewan Syariah Nasional (DSN)

    Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjelaskan, penerima barang

    atau peminjam uang disebut murtahin, barang yang diserahkan

    disebut marhun, sementara rahin merupakan pihak yang

    menyerahkan barangnya atau pengutang. Murtahin memiliki hak

    untuk menahan barang sampain rahin melunasi semua hutangnya.

    Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin. Marhun

    tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seijin rahin

    dengan tidak mengurangi nilai marhun. Pemeliharaan dan

    penyimpanan marhun pada dasarnya tetap menjadi kewajiban

    rahin. Meski demikian, dapat dilakukan murtahin dengan jalan

    rahin membayar jasa pemeliharaan dan penyimpanan kepada

    murtahin. Hanya, MUI memberi catatan bahwa besar biaya

    pemeliharaan dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan

    berdasarkan jumlah pinjaman.

    Dari paparan di atas dapat di tarik kesimpulan bahwa akad

    yang dilakukan oleh Mas Sis dengan pihak pertama tidak di

    perbolehkan, karena terdapat potongan administrasi oleh Mas Sis

    dengan pihak pertama yang tidak dibenarkan menurut Hukum

    Islam.

  • 52

    2. Akad Mas Sis dengan pihak ke tiga

    Yang selanjutnya yaitu akad yang dilakukan oleh Bapak

    kusnadi dengan Mas Sis. Diakad yang kedua ini tidak diperbolehkan

    dalam Islam karena ada salah satu syarat yang dilanggar. Sama seperti

    akad yang dilakukan Mas Faizin dengan Mas Sis yaitu terdapat shighat

    yakni ucapan ijab qabul yang dilakukan oleh Bapak Kusnadi yang

    dilakukan secara jelas dan dilakukan secara langsung. Selain itu,

    didalamnya terdapat maksud perjanjian gadai seperti yang dilakukan

    antara Mas Faizin dengan Mas Sis.

    Bapak Kusnadi selaku pihak rahin juga telah dewasa, berakal

    dan mampu membelanjakan dan paham dengan akad gadai. Akan

    tetapi motor yang digadaikan Mas Sis kepada bapak Kusnadi tidak

    sepenuhnya milik Mas Sis. Melainkan barang milik murtahin yang di

    jadikan jaminan kepada Mas Sis atas hutangnya dan harus di lunasi.

    Meskipun motor tersebut bernilai, dapat dijual, dan jika dijual

    seimbang dengan hutangnya, jelas barangnya, dapat diserahkan, akan

    tetapi barang tersebut tidak sepenuhnya milik Mas Sis. Karena BPKB

    yang dijadikan jaminan kepada Mas Sis tersebut masih berada di

    tangan murtahin I. Hal ini bertentangan dengan salah satu syarat-syarat

    marhun yaitu:

    1. Harus berupa harta yang bernilai,

    2. Harus dimiliki oleh rahin,

  • 53

    3. Harus bias diperjual belikan (marhun itu boleh dijual dan nilainya

    seimbang dengan marhun bih),

    4. Marhun harus bisa dimanfaatkan secara syariah,

    5. Harus jelas yaitu diketahui keadaan fisiknya,

    6. Tidak terkait dengan orang lain,

    7. Harus berupa barang yang utuh, tidak bertaburan dibeberapa

    tempat,

    8. Bisa diserahkan,

    9. Dipegang atau dikuasai oleh rahin,

    10. Harta tetap atau bias dipindahkan (Syafe‟i, 2001: 164).

    Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa akad

    yang dilakukan oleh Mas Sis dengan Mas Faizin menjadi tidak sah

    karena terdapat potongan 10% yang dilakukan oleh Mas Sis sebagai

    keuntungan yang ia peroleh. Sedangkan akad kedua yang dilakukan

    oleh Mas Sis dengan Bapak Kusnadi tidak boleh dilakukan. Walaupun

    beberapa syarat telah terpenuhi namun terdapat syarat yang dilanggar

    yaitu dari segi marhunya karena marhun yang digadaikan masih terkait

    dengan seseorang dan belum menjadi milik murtahin seutuhnya.

  • 54

    B. Tinjauan Hukum Islam tentang Pengambilan Manfat Barang

    Jaminan yang Digadaikan Kembali oleh Penerima Gadai Di Dusun

    Ngularan Desa Ngabean Kecamatan Boja Kabupaten Kendal

    Seperti yang telah dikemukakan oleh Mas Sis, bahwa ia telah

    menggadaikan barang jaminan atas akad gadai yang dilakukan dengan

    penggadai sebelumya ialah untuk mengembalikan modal awal. Dengan

    modal tersebut Mas Sis memutarkan kembali sehingga ia mendapat

    keuntungan yang lebih. Selama masa akad gadai berlangsung Mas Sis

    tidak memberikan perawatan terhadap jaminan tersebut. Jika dicermati

    lebih teliti, hal yang dilakukan oleh Mas Sis dengan menggadaikan barang

    jaminanya termasuk mengambil manfaat atas barang jaminan tersebut.

    Dan hal itu tidak diperbolehkan dalam Hukum Islam. Sesuai dengan sabda

    Rasulullah yang berbunyi sebagai berikut:

    َكةُ انظَّه سُ هُىوًا َكانَ إَِذا تِىَفَقَتِهِ َُس َسبُ اندَّز َونَثَهُ , َمس َُش

    هُىوًا َكانَ إَِذا تِىَفَقَتِهِ َكةُ انَِّرٌ َوَعهًَ, َمس َسبُ ََس انىَّفَقَحُ َوََش

    Artinya: “Kendaraan dapat digunakan dan hewan ternak boleh juga

    diambil manfaatnya apabila digadaikan. Pegadaian wajib

    memberikan nafkah dan penerima gadai boleh mendapatkan

    manfaatnya. (HR. bukhari)”

    Dalam Hdais tersebut penerima gadai boleh mengambil manfaat

    dari barang jaminan akan tetapi ditekankan kepada penerima gadai

  • 55

    berkewajiban merawat jaminan tersebut. Apabila barang jaminan tersebut

    berupa hewan maka wajib memberikan makanan.

    Dalam kondisi sekarang maka akan lebih tepat apabila marhun

    berupa hewan itu di qiyas kan dengan kendaraan karena hewan dan

    kendaraan sama-sama memiliki fungsi yang dapat dinaiki, apabila hewan

    bisa menghasilkan susu maka kendaraan bisa menghasilkan uang,

    sehingga apabila barang yang dimanfaatkan berupa kendaraan maka wajib

    memberi bahan bakar atau perawatan yang lainya. (Sutedi, 2008: 42-43)

    jadi, yang diperbolehkan disini adalah adanya upaya pemeliharaan

    terhadap barang jaminan yang ada pada dirinya. Yang tidak boleh

    terlupakan yaitu dalam pemanfaatan itu hanya sekedar untuk mengganti

    biaya yang dikeluarkan untuk merawat barang jaminan, apabila biaya yang

    dikeluarkan untuk melakukan perawatan telah tergantikan maka hasil dari

    pemanfaatan barang jaminan adalah haram hukumnya (Fadilah, 2016: 75).

    Menurut hadis tersebut hal yang dilakukan Mas Sis tidak boleh

    dilakukan karena dalam hal ini Mas Sis tidak mengeluarkan biaya untuk

    merawat barang jaminan tersebut, melainkan memaksimalkan keuntungan

    yang ia dapatdengan cara menggadaikan kembali barang jaminan yang di

    terimanya. Para ulama telah berpendapat tentang pemanfaatan barang

    jaminan tersebut diantaranya adalah:

    1. Menurut Ulama Hanafiyah

    Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rahin selaku pihak

    yang mengadakan barang, ia tid