Prak Thl Jessica Kezia Harel 13.70.0098 c1 Unika Soegijapranata
-
Upload
praktikumhasillaut -
Category
Documents
-
view
227 -
download
0
Transcript of Prak Thl Jessica Kezia Harel 13.70.0098 c1 Unika Soegijapranata
1
1. MATERI METODE
1.1. Alat dan Bahan
1.1.1. Alat
Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah oven, blender, peralatan gelas, kain
saring ukuran 30 x 30 sebanyak 3 potong dan ayakan.
1.1.2. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah limbah udang, larutan HCl
0,75 N; 1 N; dan 1,25 N; serta larutan NaOH 40%, 50% dan 60%
1.2. Metode
Demineralisasi
HCl ditambahkan dengan perbandingan 10:1. Kelompok C1 dan C2 menggunakan
HCl 0,75N, C3 dan C4 HCl 1N, dan C5 HCl 1,25N
Limbah udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan, lalu dicuci dengan air
panas 2 kali, dan dikeringkan kembali.
Limbahudangkemudiandihancurkanhinggamenjadiserbukdandiayakdenganayakan 40-
60 mesh.
Limbah udang kemudian dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan
ayakan 40-60 mesh.
2
Deproteinasi
Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam & secara kontinu dilakukan
pengadukan.
Lalu dicuci sampai pH netral.
Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam
Hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH dengan perbandingan 6:1
3
Deasetilasi
Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam.
Kemudian disaring dan didinginkan
Lalu dicuci sampai pH netral.
Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam
Chitin yang didapat kemudian ditambahkan NaOH 40% untuk kelompok C1 dan C2,
NaOH 50% untuk kelompok C3 dan C4, dan NaOH 60% untuk kelompok C5
4
Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam
Lalu dicuci sampai pH netral.
Kemudian dikeringkan pada suhu 70oC selama 24 jam
5
2. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan pembuatan kitin dan kitosan dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Hasil Rendemen Kitin dan Kitosan
Kelompok Perlakuan Rendemen
Kitin I (%)
Rendemen
Kitin II (%)
Rendemen
Kitosan (%)
C1 HCl 0,75N + NaOH 40% +
NaOH 3,5% 23,45 30,00 27,43
C2 HCl 0,75N + NaOH 40% +
NaOH 3,5% 37,82 44,00 37,38
C3 HCl 1N + NaOH 50% + NaOH
3,5% 41,67 54,55 32,16
C4 HCl 1N + NaOH 50% + NaOH
3,5% 40,00 58,30 24,30
C5 HCl 1,25N + NaOH 60% +
NaOH 3,5% 21,19 40,32 11,25
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa berbagai perlakuan yang diberikan pada setiap proses
akan menghasilkan rendemen yang berbeda-beda juga. Dari hasil pengamatan didapatkan
bahwa nilai rendemen pertama yang tertinggi didapatkan pada kelompok C3 yang diberi
perlakuan penambahan larutan HCl sebanyak 1N + NaOH 50% + NaOH 3,5% yaitu sebesar
41,67%. Kemudian nilai rendemen II untuk kitin yang tertinggi adalah kelompok C4 dengan
nilai sebesar 58,30% yang diberikan penambahan HCl 1N + NaOH 50% + NaOH 3,5%.
Setelah itu nilai rendemen untuk kitosan yang paling tertinggi yaitu pada kelompok C3. Dari
tabel 1 juga dapat dilihat ternyata dari rendemen I mengalami peningkatan pada rendemen
kitin II kemudian setelah itu nilai rendemen III untuk kitosan menurun secara signifikan.
6
3. PEMBAHASAN
Di dalam praktikum ini dilakukan pembuatan kitin dan kitosan yang didapatkan dari limbah
udang hingga didapatkan produk yang memiliki nilai ekonomis lebih tinggi atau yang biasa
disebut sebaia value-added by product. Bahan dasar yang digunakan dalam praktikum kali ini
adalah cangkang dari udang yang menurut Indra (1994) mengatakan bahwa limbah udang
mengandung 30% - 40% protein dari berat kering nya, karbohidrat, mineral dan kadar kitin di
dalamnya mencapai 60-70% sehingga akan didapatkan hasil kitosan sekitar 15-20%. Menurut
Hossain & Iqbal (2014) di dalam jurnalnya berjudul “Production and Characterization of
Chitosan From Shrimp Waste” mengatakan bahwa kulit dan kepala udang memiliki nilai
ekonomis yang rendah. Di dalam industri udang, limbah udang biasa digunakan untuk proses
selanjutnya dan dapat menghasilkan produk yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi seperti
halnya kitosan. Dalam jurnal ini juga dikatakan bahwa kitosan merupakan polimer
karbohidrat yang didapatkan dari kitin yang mudah didapatkan dari golongan crustaceans,
fungi, serangga dan beberapa alga (Tolamite et al., 2000). Adapun Hudson & Smith (1998)
mengatakan bahwa kitin dan kitosan merupakan kelompok dari polisakarida linear yang
terdiri dari β (1,4) yang berikatan dengan N-asetil-2-amino-2-deoksi-D-glukosa dan 2-amino-
2-deoksi-D-glukosa. Kitin memiliki ikatan 2-amino-2-deoksi-D-glukosa dalam jumlah yang
sedikit oleh karena itu polimer kitin ini tidak dapat larut di dalam media asam sedangkan
kitosan yang memiliki ikatan 2-amino-2-deoksi-D-glukosa dalam jumlah cukup banyak maka
kitosan lebih larut di dalam larutan asam.
Berdasarkan jurnal “Structural Characteristics of Chitin and Chitosan Isolated from the
Biomass of Cultivated Rotifer, Brachionus rotundiformis” oleh Rumengan et al. (2013)
dikatakan bahwa struktur molekul dari rotifer adalah C18H26N2O10 dimana gugus hidroksil
pada rantai kedua digantikan oleh asetil amida. Kitosan yang dihasilkan dilihat tidak
memiliki ikatan amida namun hidroksil dan amino dapat dilihat pada spectra hingga 3500
cm-1
. Kitosan yang dihasilkan didapatkan isolasi kitin yang menggunakan biomassa rotifer
dan keduanya menunjukkan gugus fungsional yang berbeda. Kitin tersusun dari 2-asetamida-
2-deoksi-D-glukosa sedangkan kitosan 2-amino-2-deoksi-D-glukosa. Menurut jurnal ini
kitosan lebih banyak digunakan untuk keperluan farmasi.
7
Karakteristik umum dari kitin yaitu berwarna putih, keras, tidak elastis dan merupakan
polisakarida nitrogen yang mudah ditemukan di dalam cangkang invertebrata. Sifat kitin ini
tidak larut di dalam air sehingga penggunaan dari kitin masih terbatas. Karakteristik kimia
yang dimiliki kitin yaitu kitin merupakan poliamin linear, memiliki gugus amino dan gugus
hidroksil yang reaktif serta berguna sebagai chelating agent (Robert, 1992). Sedangkan
karakteristik biologi dari kitosan yaitu merupakan polimer alami yang aman dan tidak
menimbulkan sifat racun bagi manusia, mampu mempercepat pertumbuhan tulang, anti tumor
serta dapat menghilangkan stress dan bersifat fungistatik atau mampu menahan pertumbuhan
fungi (Uragami et al., 2001).
Kitosan memiliki nilai ekonomis yang tinggi sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pengawet
alami dikarenakan polikation yang bermuatan positif di dalamnya mampu menghambat
pertumbuhan bakteri dan kapang. Selain digunakan sebagai pengawet alami, kitin kitosan ini
juga dapat dimanfaatkan untuk industri pangan, gizi, biokimia, farmasi dan kesehatan
sedangkan untuk turunannya digunakan sebagai emulsifier (Marganov, 2003). Adapun
menurut Aranaz et al. (2009) kitin dan kitosan yang diperoleh dari limbah kulit udang dapat
berfungsi sebagi absorben untuk menyerap ion kadmium, tembaga dan timbal. Fungsi kitosan
sebagai bahan antimikroba dikarenakan adanya kandungan enzim lisozim sehingga kitosan
mampu berinteraksi dengan senyawa di permukaan sel bakteri lalu kemudian akan
teradsorbsi dan membentuk lapisan yang akan menghambat saluran transportasi sel sehingga
sel akan berkembang dan pada akhirnya sel bakteri akan mati (Ratna & Sugiyani, 2006).
Younnes & Rinaudo (2015) dalam jurnalnya yang berjudul “Chitin and Chitosan Preparation
from Marine Sources, Structure, Properties and applications” mengatakan bahwa ekstraksi
kitin dari kelompok crustaceans dapat dilakukan dalam beberapa tahap. Tahap pertama yang
dilakukan yaitu penghilangan protein atau yang dinamakan deproteinasi yang dilanjutkan
dengan penghilangan kalsium karbonat dengan proses demineralisasi. Proses isolasi kitin
dimulai dengan pemilihan cangkang dari limbah yang digunakan. Pemilihan ini didasarkan
dari kualitas bahan yang digunakan. Idealnya cangkang yang digunakan harus yang memiliki
ukuran dan dari spesies yang sama.
Dalam praktikum kali ini juga dilakukan proses yang sama seperti yang telah disebutkan di
dalam jurnal tersebut. Pertama dilakukan tahap demineralisasi terlebih dahulu. Dalam tahap
ini limbah udang dicuci terlebih dahulu dengan air yang mengalir kemudian dikeringkan lalu
8
dicuci kembali menggunakan air panas sebanyak 2 kali dan dikeringkan kembali. Setelah itu
dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak menggunakan ayakan ukuran 40 – 60 mesh.
Tujuan pengayakan yang dilakukan adalah untuk dapat memperluas permukaan partikel.
Langkah selanjutnya adalah serbuk yang didapatkan dicampur dengan larutan HCl dengan
perbanding 10 : 1. Untuk kelompok C1 dan C2 ditambahkan HCl dengan konsentrasi 0,75 N,
untuk kelompok C3 dan C4 ditambahan HCl dengan konsentrasi 1 N sedangkan untuk
kelompok C5 ditambahkan HCl 1,25 N. Penambahan senyawa HCl ini dimaksudkan untuk
melarutkan senyawa-senyawa mineral yang ada pada serbuk kulit udang tersebut terutama
kalsium karbonat (Sahidi & Syonowiecki, 1991). Setelah itu campuran serbuk tersebut
diaduk selama 1 jam dan dipanaskan pada suhu 90°C selama 1 jam. Selanjutnya dicuci lagi
hingga pH mencapai netral kemudian dikeringkan pada suhu 80°C selama 24 jam.
Pengadukan ditujukan supaya kitin yang terkandung di dalam udang dapat bereaksi sempurna
dengan pelarut yang digunakan sehingga pemanasan dalam langkah selanjutnya dapat terjadi
secara merata dan efisiensi pemanasan akan meningkat. Adapun pemanasan yang dilakukan
bertujuan untuk mengoptimalkan kerja HCl dalam melarutkan mineral agar ikatan antara
kitin dengan kalsium karbonat serta bahan organik lainnya dapat terlepas. Pemisahan yang
sempurna ini ditandai dengan munculnya gelembung-gelembung gas CO2 ketika larutan HCl
ditambahkan ke dalam sampel (Peniston & Lohnson, 1978). Pencucian yang dilakukan
selanjutnya juga dimaksudkan untuk membantu penghilangan mineral yang masih terdapat
dalam kulit udang serta untuk mencegah terjadinya degradasi produk selama pengeringan
(Suptijah, 2004).
Adapun dalam jurnal “Production of Chitin and Chitosan from Shrimp Shell in Batch Culture
of Lactobacillus plantarum” oleh Khorrami et al. (2012) dikatakan bahwa produksi kitin dan
kitosan yang didapatkan dari bahan dasar udang tidak hanya didapatkan dengan cara batch
culture menggunakan bakteri Lactobacillus plantarum yang diinkubasi pada suhu 30°C.
Penggunaan bakteri ini juga bisa digunakan dalam proses demineralisasi dan deproteinasi
dari kulit udang. Larutan alkali yang dipakai pada penelitian ini juga sama dengan yang
digunakan di dalam praktikum kali ini yaitu larutan NaOH yang menandakan bahwa kitin dan
kitosan memang bisa di konversi menggunakan larutan tersebut.
Berdasarkan hasil pengamatan yang didapatkan dapat dilihat bahwa rendemen kitin I dari
kelompok C1-C5 secara berurutan adalah 23,45% ; 37,82% ; 41,67% ; 40% ; dan 21,19%.
Menurut Truong et al. (2007) dikatakan bahwa konsentrasi perubahan penambahan asam
9
yang sesuai akan mampu melarutkan mineral secara sempurna sehingga apabila semakin
tinggi konsentrasi HCl yang ditambahkan maka akan menghasilkan rendemen kitin I yang
semakin besar pula. Namun, hal tersebut tidak sesuai dengan hasil yang didapatkan. Hal ini
dilihat dari nilai rendemen kitin kelompok C1 yang menggunakan HCl 0,75 N lebih besar
dibandingkan dengan kelompok C5 yang menggunakan HCl 1,25 N. Hal ini dikarenakan
adanya kesalahan saat pemanasan berlangsung yang mengakibatkan jumlah kitin yang
diperoleh lebih sedikit dibandingkan kelompok lain. Hal tersebut terjadi karena kesalahan
praktikan dalam melakukan pemanasan sehingga saat suhu sudah terlalu tinggi terjadi
penyemburan dari dalam gelas beker yang dipanaskan di atas hot plate dan menyebabkan isi
dari gelas beker habis. Hal tersebut berdampak pada percobaan selanjutnya yaitu proses
deproteinasi dan deasetilasi.
Tahap kedua yang dilakukan adalah tahap deproteinasi. Tujuan dari proses ini adalah untuk
memisahkan ikatan antara protein dengan kitin. Tahap ini dilakukan dengan mencampurkan
tepung dari hasil proses demineralisasi sebelumnya dengan NaOH perbandingan 6 : 1 lalu
diaduk selama 1 jam setelah itu disaring dan didinginkan. Kemudian residu yang didapatkan
dicuci hingga pH mencapai netral dan dikeringkan pada suhu 80°C selama 24 jam. Dari hasil
inilah didapatkan produk kering terakhir yaitu kitin. Penambahan NaOH pada tahap
deproteinasi ini ditujukan untuk melarutkan protein yang ada pada kitin dari proses
sebelumnya (Bustos & Healy, 1994). Pengadukan dilakukan untuk meratakan pemanasan
supaya derajat deproteinasi meningkat namun tidak terjadi kegosongan. Tujuan pendinginan
dalam proses ini adalah agar bubuk kitin yang dihasilkan dapat mengendap di bawah
sehingga tidak akan terbuang ketika dilakukan pencucian berulang kali. Kemudian pencucian
berulang kali ini dimaksudkan untuk dapat menetralkan kitin yang bersifat basa juga dapat
berperan dalam mencegah terjadinya degradasi produk selama pengeringan akibat kandungan
beberapa gugus amino bebas. Tujuan dari pengeringan yang dilakukan adalah untuk
menguapkan air yang masih tersisa setelah penyaringan sehingga akan didapatkan produk
yang akhir yang berbentuk kering yaitu kitin (Younes et al., 2012).
Hasil pengamatan yang dilakukan dalam tahap kedua ini dapat dilihat pada tabel 1. Dari hasil
pengamatan didapatkan bahwa nilai rendemen kitin II lebih tinggi dibandingkan dengan nilai
rendemen I. Hal ini bertentangan dengan pendapat Angka & Suhartono (2000) yang
menyatakan bahwa seharusnya dari proses deproteinasi dan pencucian ini didapatkan hasil
yang lebih rendah dari proses demineralisasi. Sedangkan menurut Rao & Stevens (2000)
10
mengatakan bahwa proses demineralisasi seharusnya dilakukan setelah proses deproteinasi
karena dalam proses demineralisasi akan memicu terjadinya kontaminasi protein terhadap
cairan esktrak mineral.
Proses terakhir disebut dengan deasetilasi yang memiliki tujuan untuk memperoleh kitosan
dari kitin dengan melepas gugus asetil pada kitin. Kitin yang dihasilkan dari proses
sebelumnya ditambahkan dengan NaOH 40% untuk kelompok C1 dan C2, 50% untuk
kelompok C3 dan C4 sedangkan pada kelompok C5 ditambahkan NaOH 60%. Penambahan
tersebut dilakukan sambil diaduk selama 1 jam dan kemudian didiamkan selama 30 menit.
Selanjutnya dipanaskan pada suhu 90°C selama 60 menit kemudian disaring dan residu yang
dihasilkan dicuci sampai pH netral. Kemudian residu tersebut di oven pada suhu 70°C selama
24 jam dan didapatkanlah kitosan sebagai produk akhir. Pencucian hingga pH netral
dilakukan untuk menetralkan kitosan yang bersifat basa juga berperan untuk mencegah
terjadinya degradasi produk selama proses pengeringan akibat pembentukan asetil yang tidak
sempurna. Proses pengeringan dilakukan untuk menguapkan air yang masih tersisa selama
penyaringan. Menurut Czechowska-Biskup et al. (2012) mengatakan bahwa kitosan
merupakan biopolimer yang dapat diperoleh dengan cara deasetilasi dari kitin menggunakan
larutan alkali. Kitosan ini dapat dimetabolisme oleh enzim tertentu dalam tubuh manusia
seperti lisozim dan dianggap sebagai biodegradable.
Berdasarkan hasil pengamatan dapat dilihat bahwa nilai rendemen kitosan III lebih kecil
dibandingkan dengan rendemen kitin II. Hasil ini berbeda dengan teori Prasetyo (2006) yang
mengatakan bahwa semakin besar konsentrasi NaOH yang ditambahkan akan menghasilkan
rendemen kitosan yang semakin besar karena proses ekstrak kitosan akan semakin sempurna.
Namun, hasil pengamatan dilihat bahwa konsentrasi NaOH yang besar justru mendapatkan
hasil rendemen yang paling kecil seperti pada kelompok C5 yang menggunakan larutan
NaOH 60% dan mendapatkan nilai rendemen sebesar 11,25% sedangkan pada kelompok C2
yang ditambahkan dengan NaOH 40% dan mendapatkan nilai rendemen sebesar 37,38%.
Ketidaksesuaian ini dapat dikarenakan kesalahan praktikan saat pengadukan sehingga
menyebabkan tidak merata selama pemanasan berlangsung. Kualitas dan penggunaan produk
kitosan terutama ditentukan dari seberapa besar derajat deasetilasinya. Derajat deasetilasi
pada pembuatan kitosan bervariasi tergantung pada bahan dasar dan kondisi proses seperti
konsentrasi larutan alkali, suhu dan waktu (Kurita et al., 1993).
11
Berdasarkan jurnal “Extraction and Characterization of Chitin and Chitosan from F. Solani
CBNR BKRR, Synthesis of Their Bionanocomposites and Study of Their Productive
Application” oleh Krishnaveni & Ragunathan (2015) dikatakan banyak manfaat yang
didapatkan dari kitin dan kitosan. Begitupula dengan pemanfaatan dari kitin dan kitosan.
Kedua produk tersebut dapat digunakan sebagai antibakteri dan desinfektan. Hal ini
didasarkan bahwa kitin dan kitosan telah diketahui mampu menurunkan sistem pertahanan
dari bakteri patogen. Adapun menurut Jiffy et al. (2013) aplikasi lain yang digunakan dari
kitin dan kitosan adalah pembuatan pembungkus makanan. Hal ini dikarenakan kitosan hasil
dari proses deasetilasi ini memiliki sifat biodegradable, memiliki umur simpan yang panjang,
fleksibel, cukup keras dan sangat sulit untuk disobek serta memiliki aktivitas antimikroba.
12
4. KESIMPULAN
Kitin dan kitosan dapat diperoleh dari limbah crustacea seperti udang dan mampu
dimanfaatkan menjadi produk yang memiliki nilai ekonomis lebih tinggi (value added by
product).
Limbah udang mengandung 30 – 40% protein dari berat keringnya.
Karakteristik kitin yaitu berwarna putih, keras, tidak elastis dan tidak larut dalam air.
Kitosan berfungsi sebagai bahan atimikroba
Kitin dan kitosan bisa dimanfaatkan sebagai bahan antimikroba dan desinfektan.
Penambahan larutan HCl berfungsi untuk melarutkan mineral dalam kulit udang
terutama kalsium karbonat.
Penambahan larutan NaOH berfungsi sebagai pelarut protein yang didapatkan dari proses
deproteinasi.
Demineralisasi bertujuan untuk menghilangkan senyawa mineral dari kulit udang
terutama kalsium karbonat.
Deproteinasi bertujuan untuk memisahkan ikatan protein dengan kitin.
Deastilasi bertujuan untuk memperoleh kitin dan kitosan dengan melepas gugus asetil
yang ada pada kitin.
Semarang, 17 Oktober 2015
Praktikan, Asisten Dosen
Jessica Kezia Harel Tjan, Ivana Chandra
13.70.0098
13
5. DAFTAR PUSTAKA
Angka, S. L. dan M. T. Suhartono. 2000. Bioteknologi Hasil Laut. Pusat Kajian Sumberdaya
Pesisir dan Lautan. Bogor.
Aranaz, I.; Mengíbar, M.; Harris, R.; Paños, I.; Miralles, B.; Acosta, N.; Galed, G.; Heras, A.
Functional Characterization of Chitin and Chitosan. Curr. Chem. Biol. 2009, 3, 203–
230.
Bustos, R.O.; Healy, M.G. Microbial deproteinization of waste prawn shell. In Proceedings
of the Second International Symposium on Environmental Biotechnology;
Biotechnology’ 94: Brighton, UK, 1994; pp. 15–25.
Czechowska-Biskup, Renata; Diana Jarosinska; Bozena Rokita; Piotr Ulanski; Janusz M.
Rosiak. (2012). Determination of Degree of Deacetylation of Kitosan - Comparision
of Methods.Progress On Chemistry And Application Of Kitin And Its ..., Volume
XVII, 2012.
Hossain, M. S. and A. Iqbal. (2014). Production and Characterization of Chitosan From
Shrimp Waste. Journal Bangladesh Agricultural University. 12 (1) : 153-160.
Hudson S M & Smith C, Polysaccharide: Chitin and chitosan: Chemistry and technology of
their use as structural material, Structural biopolymers from renewable resources,
edited by D L Kaplan (Springer Verlag, New York) 1998, pp. 96-118.
Indra., Akhlus, S., (1994). Hidrolisis Khitin Menjadi Khitosan serta Aplikasinya Sebagai
Pendukung Padat, Jurusan Kimia FMIPA ITS , Surabaya.
Kurita, K.; Tomita, K.; Ishi, S.; Nishimura, S-I.; Shimoda, K. β-chitin as a convenient starting
material for acetolysis for efficient preparation of N-acetylchitooligosaccharides. J.
Polym. Sci. A Polym. Chem. 1993, 31, 2393–2395.
Khorrami, M., G. D. Najafpour, H. Younesi, and M. N. Hosseinpour. (2012). Production of
Chitin and Chitosan from Shrimp Shell in Batch Culture of Lactobacillus plantarum.
Chem. Biochem. 26 (3) 217-223.
Krishnaveni, B., and R. Ragunathan. (2015). Extraction and Characterization of Chitin and
Chitosan from F. Solani CBNR BKRR, Synthesis of Their Bionanocomposites and
Study of Their Productive Application. Journal of Pharmacy Science. Vol. 7 (4) : 197-
205.
Marganov. (2003). Potensi Limbah Udang sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal,
Kadmium dan Tembaga) di Perairan. Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702),
Program Pasca Sarjana / S3, Institut Pertanian Bogor.
Peniston, Q.P.; Lohnson, E.L. Process for Demineralization of Crustacea Shells. U.S. Patent
4,066,735, 3 January 1978.
14
Prasetyo. (2006). Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Ratna, A.W. & Sugiyani S. (2006).Pembuatan Chitosan Dari Kulit Udang dan Aplikasinya
Untuk Pengawetan Bakso.
Rao, M.S.; Muñoz, J.; Stevens, W.F. Critical factors in chitin production by fermentation of
shrimp biowaste. Appl. Microbiol. Biotechnol. 2000, 54, 808–813.
Robert GAF. , . Preparation of chitin and chitosan. The Macmillan. UK: London Press; 1992.
Uragami T, Kurita K, Fukamizo T, editors. Chitin and chitosan in lifescience. Tokyo:
Kodansha Scientific Ltd; 2001.
Rumengan, I. F. M., E. Suryanto, R. Modaso, S. Wullur, T. E. Tallei and D. Limbong.
(2013). Structural Characteristics of Chitin and Chitosan Isolated from the Biomass of
Cultivated Rotifer, Brachionus rotundiformis. International journal of fisheries and
aquatic sciences. 3 (1) : 12-18.
Sahidi, F.; Synowiecki, J. Isolation and characterization of nutrients and value-added
products from snow crab (Chifroeceles opilio) and shrimp (Panda- 111sb orealis)
processing discards. J. Agric. Food Chem. 1991, 39, 1527–1532.
Supitjah, Pipit. (2004). Tingkatan Kualitas Kitosan Hasil Modifikasi Proses Produksi. Buletin
Teknologi Hasil Perikanan 56Vol VII Nomor 1.
Tolaimate, A., Desbrières, J., Rhazi, M., Alagui, M., Vincendon, M. and Vottero, P. 2000.
The influence of deacetylation process on the physicochemical characteristics of
chitosan from squid chitin. Polymer. 41: 2463-9.
Truong, T.; Hausler, R.; Monette, F.; Niquette, P. Fishery industrial waste valorization for the
transformation of chitosan by hydrothermo-chemical method. Rev. Sci. Eau 2007, 20,
253–262.
Younes, I.; Ghorbel-Bellaaj, O.; Nasri, R.; Chaabouni, M.; Rinaudo, M.; Nasri, M. Chitin and
chitosan preparation from shrimp shells using optimized enzymatic deproteinization.
Process Biochem. 2012, 47, 2032–2039.
Younes, I., and Marguerite Rinaudo. (2015). Chitin and Chitosan Preparation from Marine
Sources. Structure, Properties and Applications. Journal marine drugs. 13, 1133-1174.
15
6. LAMPIRAN
6.1. Perhitungan
Rumus :
Rendemen Chitin I =
Rendemen Chitin II =
Rendemen Chitosan =
Kelompok C1
Rendemen Chitin I =
= 23,45 %
Rendemen Chitin II =
= 30,00 %
Rendemen Chitosan =
= 27,43 %
Kelompok C2
Rendemen Chitin I =
= 37,82 %
Rendemen Chitin II =
= 44 %
Rendemen Chitosan =
= 27,38 %
Kelompok C3
Rendemen Chitin I =
= 41,67 %
Rendemen Chitin II =
= 54,55 %
Rendemen Chitosan =
= 32,16 %
16
Kelompok C4
Rendemen Chitin I =
=40,00 %
Rendemen Chitin II =
= 58,3 %
Rendemen Chitosan =
= 24,30 %
Kelompok C5
Rendemen Chitin I =
= 21,19 %
Rendemen Chitin II =
= 40,32 %
Rendemen Chitosan =
= 11,25 %
6.2. Laporan Sementara
6.3. Diagram Alir
6.4. Abstrak Jurnal