PRAGMATISME PENGADAAN TANAH UNTUK...
Transcript of PRAGMATISME PENGADAAN TANAH UNTUK...
PRAGMATISME PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM
Amicus Curiae Pihak Terkait Yang Berkepentingan Tidak Langsung Pada
Perkara Nomor: 68/G/PU/2021/PTUN.SMG
Gugatan Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (GEMPADEWA) Terhadap Cacat Prosedur dan Substansial Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor
590/20 Tahun 2021 tentang Pembaruan Atas Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo dan
Kabupaten Wonosobo Provinsi Jawa Tengah tertanggal 7 Juni 2021 kepada Ganjar Pranowo selaku Gubernur Jawa Tengah
Disusun Oleh: Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
Tim Penyusun: Dewi Kartika
Roni Septian Maulana Linda Dewi Rahayu
JAKARTA, 17 AGUSTUS 2021
Amicus Curiae Perkara Nomor: 68/G/PU/2021/PTUN.SMG
Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang
Daftar Isi
Sebuah Pengantar ........................................................................................................................... 1 A. Identitas Konsorsium Pembaruan Agraria ..................................................................... 1 B. Kepentingan Konsorsium Pembaruan Agraria Sebagai Amici ................................... 2 C. Jangkauan Pandangan Hukum Hak Atas Tanah Konsorsium Pembaruan Agraria 3
BAB I.Pendahuluan ………………………………………………………………………………………………….4
1.1. Peran Peradilan Tata Usaha Negara dalam Perlindungan Hak Asasi Manusia ....... 4 1.2. Hak Atas Tanah Sebagai Bagian dari Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya ................... 5 1.3. Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum ................................................................ 7
BAB II. Politik Hukum Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum ............................ 9 2.1. Perkembangan Hukum dan Kebijakan Pertanahan dalam Pembangunan .............. 9 2.2. Perlindungan Hukum Pemegang Hak Atas Tanah dalam Pengadaan Tanah untuk
Kepentingan Umum ............................................................................................................ 13 2.3. Pragmatisme Makna Keseimbangan dalam Pengadaan Tanah untuk Kepentingan
Umum .................................................................................................................................... 15 BAB III. Fakta Hukum dan Pendapat Amici ........................................................................... 19
3.1. Fakta Hukum ........................................................................................................................ 19 a. Fakta Hukum di Lapangan .................................................................................................... 19 b. Fakta Hukum di Persidangan .............................................................................................. 22
3.2. Pendapat Amici .................................................................................................................... 27 BAB IV. Penutup .............................................................................................................................. 30
4.1. Kesimpulan ........................................................................................................................... 30 4.2. Rekomendasi ........................................................................................................................ 31
Daftar Pustaka ................................................................................................................................ 32
Amicus Curiae Perkara Nomor: 68/G/PU/2021/PTUN.SMG
Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang Konsorsium Pembaruan Agraria 1
SEBUAH PENGANTAR
A. IDENTITAS KONSORSIUM PEMBARUAN AGRARIA
Konsorsium Pembaruan Agraria (selanjutnya disebut KPA) merupakan organisasi
gerakan petani, nelayan, masyarakat adat dan masyarakat pedesaan lainnya. KPA
berbentuk perkumpulan yang bersifat terbuka dan independen. KPA dideklarasikan pada
tanggal 24 September 1994 di Jakarta, dan disahkan pada tanggal 10 Desember 1995
dalam Musyawarah Nasional I di Bandung untuk waktu yang tidak terbatas.
Organisasi KPA terdaftar berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM
Republik Indonesia Nomor: AHU-0000231.AH.01.08. Tahun 2017 tentang Persetujuan
Perubahan Badan Hukum Perkumpulan atas nama Perkumpulan Konsorsium
Pembaruan Agraria, berdasarkan Akta Notaris Nomor 01 Tanggal 21 April 2017 yang
dibuat oleh Suwindarsih, S.H., M.KN yang berkedudukan di Jakarta Selatan.
Sebagai organisasi gerakan petani, nelayan, masyarakat adat dan masyarakat
pedesaan lainnya, KPA memiliki tujuan organisasi sebagaimana termaktub pada Pasal 7
Anggaran Dasar KPA:
“KPA bertujuan memperjuangkan terciptanya sistem agraria yang adil, dan
menjamin pemerataan pengalokasian sumber-sumber agraria bagi seluruh
rakyat Indonesia, jaminan penguasaan, pemilikan dan pengelolaan sumber-
sumber agraria bagi petani, nelayan, buruh dan masyarakat adat, serta jaminan
kesejahteraan bagi rakyat miskin.”
Terkait fungsi organisasi KPA, diatur pada Pasal 9 Anggaran Dasar KPA, yaitu
sebagai berikut:
1. Sebagai penguat, pemberdaya, pendukung dan pelaku perjuangan pembaruan agraria berdasarkan inisiatif rakyat.
2. Sebagai organisasi yang mendorong lahirnya berbagai kebijakan dan sistem agraria yang berpihak kepada rakyat, serta melawan berbagai kebijakan yang anti pembaruan agraria.
3. Sebagai organisasi yang melahirkan, merumuskan dan menyebarkan gagasan, ide, pengetahuan tentang pembaruan agraria sejati. Bahwa untuk mencapai tujuan-tujuan dan melaksanakan fungsi organisi
sebagaimana tersebut di atas, Pasal 11 Anggaran Dasar KPA menetapkan kegiatan yang
dilakukan oleh KPA meliputi:
1. Memperjuangkan pemenuhan hak-hak rakyat miskin terutama petani, buruh tani, nelayan, masyarakat adat, buruh dan masyarakat miskin kota.
2. Advokasi yang berupa upaya perubahan kesadaran rakyat (publik) melalui penyebaran informasi, pembentukan opini publik, pembelaan kolektif, dan perubahan kebijakan dan strategi pembangunan yang berorientasi pada pemenuhan hak-hak rakyat.
3. Menyelenggarakan pendidikan dan pengkaderan pembaruan agraria. 4. Penguatan dan peningkatan jaringan gerakan dan penggalangan solidaritas untuk
perjuangan pembaruan agraria baik di tingkat daerah, nasional maupun internasional.
5. Pengembangan kerjasama kegiatan, program, dan kelembagaan yang mengabdi pada pemenuhan tujuan-tujuan gerakan pembaruan agraria.
Amicus Curiae Perkara Nomor: 68/G/PU/2021/PTUN.SMG
Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang Konsorsium Pembaruan Agraria 2
6. Secara aktif terlibat dalam perjuangan penggalangan solidaritas, dan front/aliansi perjuangan nasional dan internasional untuk pembaruan agraria. Berasaskan kedaulatan rakyat, KPA dijalankan dengan nilai-nilai hak asasi
manusia, kelestarian lingkungan, kearifan nilai-nilai adat, demokrasi, keadilan sosial,
keadilan dan kesetaraan gender, non-sektarian, non-partisan, perdamaian dan anti
kekerasan, anti diskriminasi pada ras, suku, agama, aliran kepercayaan dan solidaritas.
KPA berfungsi sebagai penguat, pemberdaya, pendukung, dan pelaku perjuangan
pembaruan agraria berdasar inisiatif rakyat. Selain itu KPA mendorong lahirnya berbagai
kebijakan dan sistem agraria yang berpihak kepada rakyat, serta melawan berbagai
kebijakan yang anti-reforma agraria.
Struktur organisasi KPA terdiri dari Musyawarah Nasional, Dewan Nasional,
Sekretaris Jenderal, KPA Wilayah (di tingkat provinsi), Anggota KPA, dan Majelis Pakar.
Anggota KPA terdiri organisasi rakyat (serikat tani, serikat nelayan dan organisasi
masyarakat adat) dan organisasi non-pemerintah (NGO/LSM). Berdasarkan hasil
Musyawarah Nasional VII KPA tanggal 7-10 November 2016 di Makassar, Sulawesi
Selatan, jumlah Anggota KPA yang ditetapkan sebanyak 153 (seratus lima puluh tiga)
organisasi. Saat ini Sekretariat Nasional KPA berada di Jl. Pancoran Indah I, Komplek Liga
Mas Indah, Pancoran, Jakarta Selatan.
B. KEPENTINGAN KONSORSIUM PEMBARUAN AGRARIA SEBAGAI AMICI
Amicus Curiae (friends of court atau sahabat peradilan) adalah opini atau saran
yang berasal dari individu maupun organisasi yang bukan bertindak sebagai pihak dalam
perkara, tetapi menaruh perhatian atau berkepentingan terhadap suatu kasus. Amicus
Curiae awalnya dikenal pada sistem common law, namun belakangan telah diatur pula
oleh negara-negara dengan sistem civil law1.
Pada sistem hukum Indonesia, Amicus Curiae dapat dikaitkan dengan ketentuan
pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, bahwa “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masayarakat”2. Konsep
Amicus Curiae juga terdapat pada Pasal 14 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor
06/PMK/2005, bahwa pihak terkait yang berkepentingan tidak langsung adalah “pihak
yang karena kedudukannya, tugas pokok, dan fungsinya perlu didengar keterangannya”
atau “pihak yang perlu didengar keterangannya sebagai ad informandum, yaitu pihak
yang hak dan/atau kewenangannya tidak secara langsung terpengaruh oleh pokok
permohonan tetapi karena kepeduliannya terhadap permohonan yang dimaksud”3.
Amicus Curiae dapat dijadikan pertimbangan Majelis Hakim dalam menggali nilai-
nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat saat memeriksa,
mempertimbangkan serta memutus perkara. Fungsi lain Amicus Curiae yaitu untuk
memajukan perkembangan hukum. Sebab Amicus Curiae dapat memberikan gambaran
1 Soetanto Soepiadhhy, Undang-Undang Dasar 45 Kekosongan Politik Hukum Makro, Kepel Press, Jakarta, 2004, hlm. 68.
2 Lihat Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 3 Lihat Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005.
Amicus Curiae Perkara Nomor: 68/G/PU/2021/PTUN.SMG
Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang Konsorsium Pembaruan Agraria 3
hukum dan kasusnya khususnya dampaknya terhadap pihak lain di luar para pihak yang
tidak ikut berperkara di pengadilan, juga menilai hukum dan kasusnya secara
independen4.
Kepentingan KPA membuat Amicus Curiae yaitu sebagai salah satu bentuk
partisipasi publik dalam membantu Majelis Hakim di Pengadilan Tata Usaha Negara
Semarang melalui pemberian pendapat hukum pada Perkara Nomor:
68/G/PU/2021/PTUN.SMG, yang berdimensi kepentingan publik khususnya mengenai
konflik agraria struktural. Amicus Curiae ini bertujuan untuk membangun kesepahaman
mengenai konstruksi hukum pertanahan yang berkeadilan sosial dan lingkungan.
C. JANGKAUAN PANDANGAN HUKUM HAK ATAS TANAH KONSORSIUM
PEMBARUAN AGRARIA
Tanah sebagai hak dasar setiap orang yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bersifat multidimensi dan sarat persoalan
keadilan. Hal ini menempatkan untuk memahami hukum pertanahan di Indonesia tidak
dapat dipahami hanya dari satu bagian yang rumpang saja.
Dinamika pembangunan dan perkembangan masyarakat membuat permasalahan
pertanahan selalu mengalami perkembangan. Dalam penyusunan Amicus Curiae untuk
perkara Perkara Nomor: 68/G/PU/2021/PTUN.SMG, KPA sebagai amici hendak
membatasi pandangan hukumnya sebagai berikut:
a. Peran Peradilan Tata Usaha Negara dalam Perlindungan Hak Asasi Manusia; b. Hak Atas Tanah Sebagai Bagian dari Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya; c. Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum; d. Politik Hukum Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum; e. Perlindungan Hukum Pemegang Hak Atas Tanah dalam Pengadaan Tanah untuk
Kepentingan Umum; f. Pragmatisme Makna Keseimbangan dalam Pengadaan Tanah untuk Kepentingan
Umum; g. Fakta hukum; dan h. Pendapat Amici.
Lembaga peradilan di Indonesia, dalam hal ini terkhusus PTUN Semarang, penting
untuk dapat memahami konteks historis dan sosial dari hukum dan kebijakan
pertanahan dalam pembangunan. Hal tersebut dapat membantu Majelis Hakim PTUN
Semarang untuk menganalisis konflik akibat pengadaan tanah untuk kepentingan umum
yang cacat prosedur yang dialami oleh masyarakat Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah.
Sehingga PTUN sebagaimana dasar filosofis pembentukannya, dapat melindungi rakyat
dari tindakan maupun kebijakan pemerintah yang luput menerapkan tindakan maupun
kebijakan yang berkeadilan sosial dan lingkungan, alih-alih sekadar berkutat pada
permukaan permasalahan administratif tanpa melihat konflik agrarian struktural.
4 Siti Aminah, 2014, Menjadi Sahabat Keadilan Panduan Menyusun Amicus Brief, Jakarta, The Indonesia Legal Resources Center (ILRC).
Amicus Curiae Perkara Nomor: 68/G/PU/2021/PTUN.SMG
Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang Konsorsium Pembaruan Agraria 4
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. PERAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA
Indonesia sebagai negara hukum 5 memiliki unsur-unsur penting, yaitu: (a)
pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasarkan hukum
atau peraturan perundang-undangan; (b) adanya jaminan terhadap hak asasi manusia;
(c) adanya pembagian kekuasaan dalam negara; (d) adanya pengawasan dari badan-
badan peradilan6. Dalam negara hukum terdapat pembatasan segala sikap, tingkah laku
dan perbuatan baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun para warga negaranya
berdasarkan hukum positif. Terutama warga negaranya terbebas dari tindakan
sewenang-wenang dari pemerintah7 maupun penegak hukum.
Untuk memberikan perlindungan hukum dan keadilan kepada warga negara yang
telah dirugikan haknya, negara membentuk sistem dan Lembaga peradilan salah satunya
Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Kehadiran PTUN yaitu menjaga keseimbangan
antara kepentingan umum dan kepentingan perseorangan, demi terciptanya keselasaran
dan keadilan masyarakat serta meningkatkan pelayanan publik negara terhadap
masyarakat8.
PTUN adalah bentuk jaminan perlindungan hak asasi manusia kepada warga
negara agar tidak dirugikan oleh keputusan pejabat administrasi negara yang
berwenang. Hal ini sama dengan dasar dibentuknya PTUN di Indonesia, yang dapat
dilacak melalui historis pembentukan PTUN dan konsideran Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana diubah dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Pertama atas Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1986 tentang Perdilan Tata Usaha Negara dan terakhir kali diubah dengan
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, dan berbagai peraturan pelaksana yang
tersebar dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung.
PTUN dimaksudkan untuk menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban, dan
kepastian hukum, sehingga dapat memberikan pengayoman kepada masyarakat,
khususnya dalam hubungan antara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan
masyarakat 9 . Selain memberikan pengayoman atau perlindungan hukum bagi
masyarakat, ditegaskan pula keberadaan PTUN untuk membina, menyempurnakan, dan
menertibkan aparatur di bidang Tata Usaha Negara. Hal tersebut diharapkan agar PTUN
mampu menjadi lembaga peradilan yang efisien, efektif, bersih, serta berwibawa,
berlandaskan hukum dan keadilan untuk masyarakat.
5 Lihat Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 6 Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara, Bandung, Alumni, 1992, hlm. 49. 7 Soehino, 1985, Hukum Tata Negara: Negara Kesatuan Republik Indonesia Berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, Yogyakarta, Liberty, 1985, hlm. 9
SF Marbun, Peradilan Tata Usaha Negara dalam Putera Astomo, Eksistensi Peradilan Administrasi, Jurnal MMH Vol. 1 Nomor 1 Juli 2014, hlm. 369. 9 Lihat Ketentuan Menimbang Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Amicus Curiae Perkara Nomor: 68/G/PU/2021/PTUN.SMG
Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang Konsorsium Pembaruan Agraria 5
Kendati PTUN di Indonesia tidak membentuk pengadilan khusus terkait sengketa
terkait lingkungan hidup10 terlebih perlindungan hak atas tanah. Namun secara lebih luas
kewenangan untuk mengadili sengketa tata usaha negara yang berkaitan dengan
lingkungan hidup dan perlindungan hak atas tanah dimaknai sebagai kewenangan secara
khusus yang dimiliki oleh PTUN. Lebih dari an sich PTUN serta majelis hakim dapat
menjadi bagian dari upaya melindungi hak atas tanah masyarakat serta menjaga
kelestarian lingkungan demi keberlanjutan hidup umat manusia11.
1.2. HAK ATAS TANAH SEBAGAI BAGIAN DARI HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA
Tanah merupakan hak asasi manusia sekaligus kebutuhan dasar manusia. Tanah
sebagai faktor utama dalam menentukan produksi setiap fase peradaban, tidak hanya
memiliki nilai ekonomis tinggi, tetapi juga filosofis, politik, sosial, dan kultural12. Tanah
yang bersifat multidimensional, yaitu sebagai ruang proses berbudaya masyarakat, ruang
hidup masyarakat, dan memiliki fungsi sosial 13 , memegang peranan vital bagi
kesejahteraan dan kemakmuran bangsa Indonesia yang bercorak agraris.
Jika dilihat dari fungsinya, tanah merupakan social asset dan capital asset. Social
asset yaitu sarana pengikat kesatuan sosial di kalangan masyarakat untuk hidup dan
kehidupan, dan sebagai capital asset yaitu faktor modal dalam pembangunan dan tumbuh
sebagai benda ekonomi yang penting sebagai bahan perniagaan dan objek spekulasi14.
Notanogoro menjelaskan relasi tanah dengan kehidupan perorangan dan
masyarakat, yaitu sebagai hubungan yang bersifat kedwitunggalan dan tidak dapat
dipisahkan15. Sebab berdasar pandangan Gunawan Wiradi, seluruh bangunan pandangan
hidup yang memberi arah bagi proses kemasyarakatan, bertolak dari dialektika
kesadaran manusiawi dengan tanahnya16. Hal tersebut kemudian menempakan tanah
sebagai basis bagi teraihnya kuasa-kuasa ekonomi, sosial dan politik17.
Sebagai hak dasar, hak atas tanah memiliki arti yang besar untuk eksistensi,
kebebasan, dan harkat diri seseorang sebagai manusia terutama petani. Terpenuhinya
hak dasar atas tanah merupakan syarat untuk tumbuh dan berkembangnya hak-hak
10 Indonesia tidak memiliki pengadilan lingkungan hidup, namun menurut UNEP Indonesia telah menganut pendekatan alternatif yang didasarkan pada kemandirian putusan melalui pelatihan hakim lingkungan. Lihat George Pring dan Catherine Pring, Environmental Courts and Tribunal Study: A Guide for Policy Makers, UNEP, Kenya, 2016, hlm. 20.
11 Gina Sabrina, Menemukan Peran Peradilan Tata Usaha Negara dalam Pencegahan Kerusakan Lingkungan atas Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Celukan Bawang 2x330 MW Berdasarkan Putusan MA Nomor 67/PK/TUN/LH/2020, Tesis, Magister Ilmu Hukum Kenegaraan, Universitas Indonesia, Jakarta, 2021, hlm. 15.
12 Bernhard Limbong, Politik Pertanahan, Jakarta, Margaretha Pustaka, hlm. 1. 13 Asas atau fungsi sosial pertama kali dkemukakan Leon Duguit pada tahun 1912, dimana Duguit,
sebagaimana dikutip Roscoe Pound, menyatakan “The Law of property is becoming socialized. But, this does not mean that property is becoming collective. It means that we are ceasing to think of property in term of private right and are thinking of it in term of social function”. Dalam Roscoe Pond, 1959 (a), Jurisprudence, Vol. 111, West Publishing Co., St. Paul Minnesota, dalam Rafael Edy Bosko, 1993, Fugsi Sosial: Konsepsi dan Implikasi Pengaturannya Terhadap Hak Milik Atas Tanah, Jurnal Mimbar Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 19
14 Maria S.W. Sumardjono, Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Jakarta, Buku Kompas, 2008, hlm. vii.
15 Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan Implementasi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2007, hlm. 42.
16 Gunawan Wiradi, Seluk Beluk Masalah Agraria, STPN Press dan SAINS Institute, Yogyakarta, hlm.3. 17 Ibid, hlm. 56.
Amicus Curiae Perkara Nomor: 68/G/PU/2021/PTUN.SMG
Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang Konsorsium Pembaruan Agraria 6
politik, sebab demokrasi politik dapat berkembang lebih mudah jika memiliki akses pada
sumber daya tanah18.
Tanah adalah soal hidup dan penghidupan manusia, karena tanah adalah sumber
makanan dan tempat bertahan hidup manusia. Perebutan tanah berarti perebutan
makanan, perebutan pegangan hidup manusia, hingga orang rela menumpahkan darah
mengorbankan segalanya demi mempertahankan hidup selanjutnya19
Begitu pentingnya hak atas tanah bagi masyarakat bahkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) telah memberikan jaminan
bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat20. Untuk mencapai sebesar-
besar kemakmuran rakyat maka hak ekonomi setiap warga negara harus dihormati,
dilindungi dan dipenuhi oleh negara. Hak ekonomi tersebut termasuk di dalamnya yaitu
kebutuhan dasar terhadap papan dan pangan. Konstitusi juga menjamin bahwa setiap
orang berhak untuk mendapat perlindungan terhadap hak-hak atas tanah, dan hak
tersebut tidak boleh diambil secara sewenang-wenang dan harus diimbangi dengan ganti
kerugian21.
Lebih lanjut terkait kebijakan pertanahan di Indonesia termanifestasi dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(UUPA). Sebagai tonggak pembangunan dalam bidang pertanahan di Indonesia, UUPA
memiliki tekad membongkar struktur penguasaan agraria yang bercorak kolonial yang
menyengsarakan rakyat. UUPA merupakan kebijakan pertanahan nasional pertama
Indonesia yang menjamin terwujudnya sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hal tersebut
merupakan pondasi yang terkandung dalam Pancasila selaku rumusan fundamental
filsafat kebangsaan Indonesia, yang kemudian diamanatkan dalam Alinea IV Pembukaan
UUD NRI 1945 dan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945.
Hak-hak atas tanah diatur pada Pasal 4 UUPA dan dijelaskan lebih lanjut pada
Pasal 16 ayat (1) UUPA. Sesuai dengan Pasal 6 UUPA, semua Hak Atas Tanah mempunyai
fungsi sosial, maknanya adalah: (1) hak atas tanah apapun harus digunakan sesuai
dengan tujuan pemberian haknya; (2) hak atas tanah tidak boleh digunakan, atau
sebaliknya tidak digunakan, jika hal itu menimbulkan kerugian bagi pihak lain; (3) untuk
kepentingan umum, hak atas tanah wajib dilepaskan, dengan penghormatan kepada hak
perseorangan; (4) antara kepentingan umum dan kepentingan perseorangan harus
saling mengimbangi sehingga tercapai tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Hak-hak atas tanah dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA harus dipahami dan berkaitan
dengan fungsi sosial atas tanah yang melekat pada semua hak atas tanah22. Oleh karena
itu, pengadaan tanah tidak bisa dilepaskan dari konsep fungsi sosial hak atas tanah,
sebagaimana diatur pada Pasal 6 UUPA. Terbitnya Undang-Undang Nomor 39 Tahun
18 Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan…. Op.cit, hlm. 182. 19 Mohchammad Tauhid, Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia,
Yogyakarta:STPN Pres, 2009, hlm. 3. 20 Lihat Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 21 Lihat Pasal 28 H ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 22 Lihat Pasal 6 Undang-Undang Nomor. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Amicus Curiae Perkara Nomor: 68/G/PU/2021/PTUN.SMG
Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang Konsorsium Pembaruan Agraria 7
1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), menjadi landasan hukum atas jaminan
keseimbangan antara kepentingan perseorangan dan kepentingan umum. Yang mana
berkenaan dengan pengambilalihan hak atas tanah untuk kepentingan umum diatur pada
Pasal 37 ayat (1) dan ayat (2).
Hak atas tanah merupakan bagian dari hak ekonomi, sosial dan budaya, yang
secara yuridis juga diatur dalam UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Perjanjian
Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (selanjutnya disebut UU
Ekosob)23. Pasal 11 UU Ekosob mengatur bahwa pemenuhan hak ekosob adalah hak atas
standar kehidupan yang memadai. Salah satu hak atas standar kehidupan yang dimaksud
yaitu jaminan atas perlindungan atas penggusuran paksa.
Selain diatur oleh UUD NRI 1945 dan UUPA, jaminan terhadap perlindungan,
pengakuan dan pemenuhan hak atas tanah diatur pula di peraturan perundang-
undangan lainnya sebagaimana tersebut di atas. Seluruh peraturan perundang-undangan
tersebut harus menjadi pedoman bagi majelis hakim PTUN, bahwasanya proses
pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilakukan dengan memakai pendekatan hak
asasi manusia yang berkeadilan. Proses pembangunan seharusnya diarahkan pada
musyawarah persetujuan pembangunan, menghindari tindakan kekerasan, intimidasi
dan represifitas, pembangunan juga perlu memperhatikan proses ganti rugi yang layak
dan berkeadilan bagi masyarakat terdampak. Serta harus mampu memperhitungkan
dampak buruk perubahan ekonomi sosial dan budaya ke depan.
1.3. PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM
Pembangunan infrastruktur berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi. Namun
pembangunan infrastruktur juga kerap berdampak buruk seperti; pertama, terjadi
kesenjangan dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber agraria; kedua, realitas
kemiskinan masih terjadi pada bangsa Indonesia; dan ketiga, berkembangnya konflik
struktural yang dipicu kebijakan negara karena kesenjangan sosial ekonomi24.
Tanah sebagai kebutuhan dasar manusia merupakan perwujudan hak ekonomi,
sosial, dan budaya. Pembangunan mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap
tanah, baik dari segi pemilikan, penguasaan maupun penggunaannya. Hal ini terlihat
apabila dilakukan pengamatan terhadap perubahan masyarakat agraris menjadi
masyarakat industri 25 . Semakin maju suatu masyarakat, maka semakin banyak
diperlukan tanah-tanah untuk tujuan bisnis juga kepentingan umum.
23 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya merupakan suatu komitmen pemerintah dalam mengakui, menghormati, dan melindung hak ekonomi, sosial, budaya, sebagai penerjemahan cita-cita dalam konstitusi, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk pemajuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
24 Nurhasan Ismail, Hukum Prismatik: Kebutuhan Masyarakat Majemuk Sebuah Pemikiran Awal, Pidato Pengukuhan Guru Besar Pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pada tanggal 12 Desember 2011 di Yogyakarta, hlm. 3-4.
25 Di dalam masyarakat agraris hubungan antara manusia dan tanah bersifat religio- magis-kosmis, yaitu hubungan antara manusia dan tanah yang menonjolkan penguasaan kolektif. Kemudian di dalam masyarakat yang mulai meninggalkan ketergantungan pada sektor agraris (menuju masyarakat industri), hubungan manusia dengan tanah mengacu kepada hubungan yang bersifat individualis dan berorientasi ekonomis. Dalam Muhammad Bakri, Hak
Amicus Curiae Perkara Nomor: 68/G/PU/2021/PTUN.SMG
Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang Konsorsium Pembaruan Agraria 8
Pengadaan tanah sebagai cara untuk menyediakan tanah bagi pembangunan
merupakan tuntutan yang tidak dapat dielakkan oleh pemerintah mana pun. Pengadaan
tanah di Indonesia diatur melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (UU Pengadaan Tanah).
Pada UU Pengadaan Tanah, pengadaan tanah adalah proses atau kegiatan penyediaan
tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang
berhak26.
Sebagai konsekuensi dari hidup bernegara dan bermasyarakat, jika hak milik
individu (pribadi) berhadapan dengan kepentingan umum maka kepentingan umumlah
yang harus didahulukan27. Fungsi sosial hak atas tanah menjadi salah satu dasar untuk
melaksanakan pembangunan untuk kepentingan umum.
Pada prinsipnya pengadaan tanah dilakukan dengan cara musyawarah antara
pihak yang memerlukan tanah dengan pemegang hak atas tanah yang tanahnya
diperlukan untuk kegiatan pembangunan28. Negara harus tetap menghormati hak-hak
warnanegaranya. Pemenuhan keadilan menjadi tanggung jawab Pemerintah dalam
pelaksanaan pengadaan tanah, karena hal itu bertujuan untuk menjelaskan makna kata
keseimbangan dalam pengadaan tanah yang pada tujuannya sendiri ialah dilakukan
dengan cara menghormati hak asasi manusia.
Pengadaan tanah harus dilakukan melalui proses yang menjamin tidak adanya
pemaksaan kehendak satu pihak dengan pihak lain. Di samping itu mengingat bahwa
masyarakat harus merelakan tanahnya untuk suatu kegiatan pembangunan, maka harus
dijamin bahwa kesejahteraan sosial ekonominya tidak akan lebih buruk dari keadaan
sebelum tanahnya digunakan pihak lain29 . Salah satunya ialah dengan menggunakan
mekanisme ganti kerugian, kemudian proses ganti kerugian ini haruslah dipahami bahwa
mekanisme tidak memiskinkan pemegang hak, atau istilah lainnya pemberian ganti rugi
bisa mensejahterakan pemegang hak30.
UU Pengadaan Tanah telah mengatur jenis dan mekanisme pemberian ganti
kerugian, perlu diperhatikan majelis hakim bahwa ganti kerugian tidak terbatas dalam
bentuk uang. Namun ada bentuk tanah pengganti, relokasi perumahan dan fasilitas
umum-fasilitas sosial, pembagian saham dan bentuk lainnya yang disepakati. Oleh karena
itu pendekatan ganti rugi uang yang dipaksakan atau konsinyasi merupakan pengabaian
atas konstitusi, peraturan perundang-undangan dan hak atas tanah masyarakat.
Menguasai Tanah Oleh Negara (Paradigma Baru Untuk Reformasi Agraria, Citra Media, Ctk.1, Yogyakarta, 2007, hlm. 217.
26 Lihat Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
27 Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3ES, Jakarta, 2006. hlm. 265. 28 Maria S.W Sumardjono, Tanah dalam Perspektif… Op.cit, hlm. 280. 29 Ibid, hlm. 282. 30 Pendapat tersebut disampaiakan oleh Ahmad Sodiki pada saat wawancara pada tanggal 8 Mei 2017 pukul
16.30 WIB. Wawancara dilaksanakan dengan pertimbangan bahwa beliau merupakan mantan Hakim Mahkamah Konsitutisi, yang waktu masih bertugas menjadi pimpinan sidang dalam pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Dalam Harvi Fikri Ramesa, Analisis Makna Kata Keseimbangan dalam Pasal 9 (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, Skripsi, Ilmu Hukum Strata Satu, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 2017, hlm. 4.
Amicus Curiae Perkara Nomor: 68/G/PU/2021/PTUN.SMG
Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang Konsorsium Pembaruan Agraria 9
BAB II. POLITIK HUKUM PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM
Pengadaan tanah tidak dapat dilepaskan dari kewenangan konstitusional negara
yang berasal dari Hak Menguasai Negara Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945, yang
diterjemahkan Pasal 2 UUPA. Sebagai organisasi kekuasaan, Negara memiliki wewenang
untuk membuat kebijakan atau berbagai peraturan dan tindakan di bidang agraria31.
Berdasar Putusan MK Nomor 22/PUU-I/2003, Mahkamah Konstitusi menafsirkan
makna dikuasai negara untuk memberikan mandat kepada negara dalam melakukan
fungsinya sebagai pembuat kebijakan (beleid) dan tindakan (besturdaad),pengaturan
(regelendaad), pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad) oleh
negara 32 . Wewenang membuat kebijakan atau berbagai peraturan dan tindakan di
bidang agrarian, yaitu terdapat berbagai macam hak atas tanah yang dapat diberikan dan
dipunyai secara individu baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta
badan hukum33.
Politik hukum pengadaan tanah, seperti mengutip pendapat Nurus Zaman ialah
arah kebijakan yang dibuat oleh pembentuk undang-undang dalam rangka
menjembatani kepentingan kebutuhan tanah untuk kepentingan umum, kepentingan
investor, dan terhadap perlindungan hak-hak masyarakat pemegang hak atas tanah34.
Proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum adalah proses gesekan politik dalam
aras kekuasaan negara yang harus dijalankan dengan prinsip keseimbangan antar
kepentingan hak atas tanah, yaitu tidak luput dalam melihat dan menyeimbangkan posisi
tawar pemegang hak dan relasi kuasa yang membutuhkan hak.
Daniel S. Lev berpendapat apabila hukum dikaitkan dengan gesekan politik dalam
aras kekuasaan negara, maka yang paling menentukan dalam proses hukum ialah
berkaitan dengan ikhwal konsepsi dan struktur kekuasaan politik 35. Di mana tempat
hukum dalam negara tergantung pada keseimbangan politik, definisi kekuasaan, evolusi
ideologi politik, ekonomi, sosial, dan lain sebagainya yang membuat hukum menjadi
suatu entitas yang kompleks.
2.1. PERKEMBANGAN HUKUM DAN KEBIJAKAN PERTANAHAN DALAM PEMBANGUNAN
Peraturan perundang-undangan mengikuti dinamika politik hukum. Terlebih
khususnya yang berkaitan dengan pembangunan dan pertanahan. Eric Henry Supit,
menyatakan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengadaan tanah
untuk pembangunan bagi kepentingan umum, tentunya dilandaskan pada politik hukum
tertentu dalam pembentukannya.
Dinamika peraturan pengadaan tanah dapat dilacak dari zaman kolonial Belanda,
yaitu sebagaimana diatur terkait pembelian tanah oleh Pemerintah untuk keperluan
31 Sudargo Gautama, Tafisran Undang-Undang Pokok Agraria dan Peraturan Pelaksanaannya, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm. 89.
32 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 022/PUU-I/2003. 33 Lihat Penjelasan Umum Pasal 4 (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria. 34 Nurus Zaman, Politik Hukum Pengadaan Tanah: Antara Kepentingan Umum Dan Perlindungan Hak Asasi
Manusia, Refika Aditama, Bandung, 2016, hlm. 197. 35 Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonsia: Kesinambungan dan Perubahan, LP3S, Jakarta, 1990, hlm. 11.
Amicus Curiae Perkara Nomor: 68/G/PU/2021/PTUN.SMG
Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang Konsorsium Pembaruan Agraria 10
dinas dalam Byblad No. 11372 jo No. 12746 (Gouvernmentsbelsuit No. 7 Tahun 1927 jo
No. 23 Tahun 1932)36. Pasca kemerdekaan aturan pengadaan tanah diatur Peraturan
Menteri Dalam Negeri No. 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata
Cara Pembebasan Tanah. Bahwa perolehan tanah atau pengadaan tanah dalam
Permendagri ini yang mempunyai dua ciri utama, yakni: musyawarah dan ganti kerugian.
Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi
Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, menandai perubahan istilah
“pembebasan tanah” ke “Pengadaan Tanah”. Pengadaan Tanah dalam Kepres 55/1993
adalah “setiap kegiatan mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian
kepada yang berhak atas tanah”.
Pembangunan berjalan semakin massif mengikuti gerak cepat globalisasi. Pada
negara berkembang seperti halnya Indonesia, ketersediaan tanah sangat dibutuhkan
untuk mendukung keterlaksanaan pembangunan. Gencarnya pembangunan berkolerasi
erat pada penggunaan tanah yang semakin tinggi, sehingga terjadi bermacam-macam
corak dan bentuk hubungan antara manusia dan tanah. Hal tersebut kemudian menjadi
hal yang mempengaruhi lahirnya UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Kegiatan pengadaan tanah untuk kepentingan umum dalam UU Pengadaan tanah,
tidak terlepas dari empat (4) tahapan, diantaranya yaitu Perencanaan; Persiapan;
Pelaksanaan; dan Penyerahan hasil37. Keempat hal tersebut dapat dilaksanakan ketika
dasar pengadaan tanah tersebut, yakni musyawarah, dapat dilakukan dengan istilah
Romo Sandyawan Sumardi, yakni “bertemu secara manusia dengan manusia”.
Perencanaan, adalah tahapan dalam suatu bentuk dokumen perencanaan yang
berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah dan prioritas pembangunan yang tercantum
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah, Rencana Strategis, dan Rencana Kerja
Instansi Pemerintah yang bersangkutan38.
Persiapan, secara garis besar dapat dirangkum ke dalam 3 hal yakni
Pemberitahuan rencana pembangunan; Pendataan awal lokasi rencana pembangunan;
dan Konsultasi Publik rencana pembangunan39. Ketiga tahapan dalam persiapan sangat
penting untuk landasan proses pelaksaan pengadaan tanah dapat berlanjut atau tidak.
Khususnya terkait konsultasi publik yang menjadi tempat bertemunya antara
kepentingan masyarakat dan kepentingan pembangunan, untuk mencari kesepakatan
dan kesepahaman dalam pembangunan kepentingan umum.
36 Konsep Byblas adalah pembelian tanah yang dilakukan oleh suatu panitia untuk memperoleh kesepakatan dengan pemegang hak atas tanah. Maksud dari pembelian ini karena memang perlu diketahui bahwa konsepsi hubungan hukum antara negara dengan tanah sebagai hubungan kepemilikan (Domein Verklaring). Dalam Maria SW Sumardjono, Dinamika Pengaturan Pengadaan Tanah di Indonesia: Dari Keputusan Presiden sampai Undang-Undang, UGM Press, Yogyakarta, Cetakan Pertama 2015, hlm. 2.
37 Lihat Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
38 Lihat pasal 14 dan 15 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
39 Lihat pasal 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Amicus Curiae Perkara Nomor: 68/G/PU/2021/PTUN.SMG
Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang Konsorsium Pembaruan Agraria 11
Pelaksanaan, yaitu setelah terbitnya lokasi pembangunan untuk kepentingan
umum oleh Gubernur terhadap tanah yang telah melalui tahapan persiapan. Tahapan
pelaksanaan ini meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. Inventarisasi dan identifikasi pengusaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan
tanah;
b. Penilai Ganti Kerugian;
c. Musyawarah penetapan Ganti Kerugian;
d. Pemberian Ganti Kerugian; dan e. Pelepasan tanah Instansi.
Proses ganti kerugian adalah poin paling penting, karena merupakan tahapan
paling sentral dari semua proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Ganti
Kerugian harus berdasarkan kesepakatan dengan musyawarah yang demokratis, di mana
tidak ada paksaan, ataupun tindakan-tindakan represif dari alat negara. Kesepakatan
dalam ganti kerugian hanya akan dicapai ketika kedua belah pihak mau mendengarkan,
dan saling menghormati, khususnya penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Pelepasan hak, yaitu adalah pintu terakhir sebelum pembangunan untuk
kepentingan umum itu benar-benar dapat dilaksanakan. Pelepasan hak sendiri diartikan
sebagai kegiatan pemutusan hubungan hukum dari pihak yang berhak kepada negara
melalui Lembaga pertanahan40.
Pada keseluruhan tahapan pengadaan tanah tersebut di atas, diperlukan kejelasan
dan batasan makna kepentingan umum. Hal tersebut dikarenakan kepentingan umum
dalam konteks pengadaan tanah merupakan tema sentral dan selalu mengalami
perdebatan41 . Kendati jika melihat dalam rumusan normatif makna dan pembatasan
kepentingan umum, sekilas tidak menimbulkan masalah. Pada praktiknya kepentingan
umum dapat dijadikan alat merampas tanah masyarakat dan mengabaikan hak-hak dari
pemilik tanah dengan tindakan represif aparat. Praktik-prakik tersebut dapat dilihat dari
maraknya konflik agraria terkait pembangunan-pembangunan sekror infrastruktur yang
berkelindan dengan pembangunan untuk kepentingan umum.
Kepentingan umum harus digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat, bahwa penyalahgunaan kepentingan umum untuk merampas tanah atau tidak
menghormati hak atas tanah rakyat untuk kepentingan-kepentingan kapital tentu tidak
sesuai dengan semangat atau dari tujuan pembangunan untuk kepentingan umum itu
sendiri. Perlunya di sini ditegaskan mengenai batasan-batasan kepentingan umum dalam
UU Pengadaan Tanah.
Akibat banyaknya hal yang belum diatur jelas dan tegas, adanya banyak kendala
administratif yang menyulitkan pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan
umum, serta terhambatnya proyek strategis nasional karena belum termasuk jenis
40 Lihat pasal 1 angka 9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
41 Maria SW Sumardjono menjelaskan bahwa pengertian dan pemahaman yang objektif-rasional tentang kepentingan umum dari perspektif hukum sangat diperlukan karena hukum tersebut merupakan sarana utama untuk menjamin kepentingan umum, sekaligus kepentingan individu, dengan tujuan agar keadilan dapat terlaksana. Dalam Maria SW Sumardjono, Dinamika Pengaturan Pengadaan Tanah di Indonesia: Dari Keputusan Presiden sampai ke Undang-Undang, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2015, hlm. 8.
Amicus Curiae Perkara Nomor: 68/G/PU/2021/PTUN.SMG
Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang Konsorsium Pembaruan Agraria 12
kepentingan umum, maka Pemerintah bersama DPR merevisi UU Pengadaan Tanah
dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja).
Terdapat beberapa perubahan UU Pengadaan Tanah melalui UU Cipta Kerja.
Perubahan ketentuan terkait pengadaan tanah untuk kepentingan umum terdapat
dalam bab VIII Pasal 123 UU Cipta Kerja. UU Cipta Kerja menambah dan mengubah
beberapa pasal UU Pengadaan Tanah, sehingga UU Pengadaan Tanah tetap berlaku dan
peraturan perundangan lain yang berkaitan dengan pengadaan tanah untuk kepentingan
umum masih dinyatakan berlaku selama tidak bertentangan dengan UU Cipta Kerja. Hal
yang ditambahkan dan diubah oleh UU Cipta Kerja yaitu berkaitan dengan penambahan
jenis pembangunan untuk kepentingan umum42, penambahan jangka waktu penetapan
lokasi, Penitipan Ganti Kerugian, dan upaya percepatan pengadaan tanah yang berkaitan
dengan proyek startegis nasional seperti penyelesaian status kawasan hutan, percepatan
pengadaan tanah terkait dengan tanah kas desa, tanah wakaf, dan tanah aset. UU Cipta
Kerja mencabut Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan menggantinya
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum sebagai peraturan
pelaksana pengadaan tanah paska berlakunya UU Cipta Kerja.
Sebagai produk hukum yang cacat secara prosedural maupun secara substantif,
terdapat persoalan yang sangat krusial mengenai pengaturan dan mekanisme pengadaan
tanah yang diakibatkan kehadiran UU Cipta Kerja. Pemerintah menambahkan
kepentingan investor tambang, pariwisata dan kawasan ekonomi khusus ke dalam
kategori pembangunan infrastruktur untuk kepentingan umum, dengan tujuan agar
proses pengadaan tanah semakin mudah.
Kemudian terkait ketentuan waktu penyelesaian permohonan penitipan ganti
kerugian di pengadilan negeri (konsinyasi) dalam pengadaan tanah, membuat
pengadaan tanah dapat dilaksanakan lebih pasti dan cepat serta menguntungkan pihak
tertentu, di mana yang jelas pihak itu bukanlah masyarakat. Penambahan ayat terkait
tenggat waktu konsinyanyi menimbulkan adanya unsur keterpaksaan dalam pengadaan
tanah dan perlindungan hukum terhadap pemegang hak atas tanah.
Substansi UU Cipta Kerja menurunkan standar hak asasi manusia pada berbagai
sektor, khususnya dalam hal ini ialah hak untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia
untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya seperti
yang diamanatkan konstitusi dan diatur lebih lanjut melalui Pasal 9 ayat (1) UU HAM.
Pengadaan tanah tidak dapat dilihat hanya sebatas proses penyediaan tanah bagi
pembangunan proyek infrastruktur semata, namun harus mempertimbangkan segala
dampak ekonomi, sosial dan lingkungan pada lokasi dan masyarakat terdampak. Maka
kebijakan berkaitan kepentingan umum khususnya pengadaan tanah, seharusnya
dirumuskan dengan tidak hanya terfokus pada ambisius percepatan proses
42 Terdapat tambahan 6 (enam) sektor yang dikategorikan sebagai pembangunan untuk kepentingan umum antara lain adalah kawasan hulu dan hilir minyak dan gas, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), kawasan industri, kawasan pariwisata, kawasan ketahanan pangan, dan kawasan pengembangan teknologi.
Amicus Curiae Perkara Nomor: 68/G/PU/2021/PTUN.SMG
Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang Konsorsium Pembaruan Agraria 13
pembangunan infrastruktur semata. Melainkan juga harus mempertimbangkan dampak
ekonomi, sosial dan lingkungan masyarakat terdampak secara komprehensif dan
berkeadilan, yaitu mengutamakan perlindungan terhadap masyarakat bukanlah
sebaliknya.
2.2. PERLINDUNGAN HUKUM PEMEGANG HAK ATAS TANAH DALAM PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM
Perlindungan hukum berasal dari bahasa Belanda, yakni rechbescherming yang
memiliki arti bahwa dalam kata perlindungan terdapat suatu usaha untuk memberikan
hak-hak pihak yang dilindungi sesuai dengan kewajiban yang dilakukan. Perlindungan
hukum dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum, secara garis besar dapat
diartikan sebagai penghormatan terhadap hak-hak perorangan atas tanah.
Konsekuensi pengakuan negara terhadap tanah seseorang atau suatu masyarakat
hukum adat, maka negara wajib untuk memberi jaminan kepastian hukum terhadap hak
atas tanah tersebut sehingga lebih mudah bagi seseorang untuk mempertahankan
haknya terhadap gangguan-gangguan dari pihak lain43.
Pasal 28 H ayat (4) UUD NRI 1945 memberi perlindungan terhadap hak-hak atas
tanah. Hak pribadi maupun hak bersama atas tanah diberi jaminan agar masing-masing
dapat dipertahankan demi kelangsungan hidup umat manusia. Eksistensi hak pribadi
diekspresikan dalam keselarasannya dengan hak bersama.
Hak pribadi atas tanah tidak bersifat mutlak, diatur pula adanya fungsi sosial pada
tanah yang diatur pada Pasal 6 UUPA. Berdasar Penjelasan Umum angka II butir 4 UUPA
bahwa “Hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan,
bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk
kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada haknya,
hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya
maupun bermanfaat bagi masyarakat dan negara”, maka tidak berarti bahwa
kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum.
Kepentingan perseorangan dan kepentingan umum harus saling mengimbangi, hingga
dapat tercapai tujuan pokok kemakmuran, keadilan, dan kebahagiaan bagi rakyat
seluruhnya sebagaimana diatur pada Pasal 2 ayat (3) UUPA.
Proses Pengadaan Tanah dalam UU Pengadaan Tanah, haruslah dilaksanakan
dengan prinsip kemanusiaan, demokratis dan adil44. Sehingga konsekuensi dari dasar
filosofis tersebut bahwa pendekatan kemanusiaan menjadi pendekatan yang utama
dalam proses pengadaan tanah. Berarti tindakan-tindakan yang mengingkari prinsip
kemanusiaan dalam pengadaan tanah ini tidak diperkenankan. Lebih jauhnya proses
pengadaan tanah ini harus ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Terkait perlindungan hukum kepada pemilik tanah dalam kegiatan pengadaan
tanah untuk kepentingan umum, menjadi kewajiban untuk memberikan ganti kerugian
43 Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan…. Op.cit, hlm. 159. 44 Lihat dasar menimbang huruf b Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Amicus Curiae Perkara Nomor: 68/G/PU/2021/PTUN.SMG
Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang Konsorsium Pembaruan Agraria 14
yang layak, adil, dan berkelanjutan bagi pemilik tanah. Ketentuan Pasal 33 UU Pengadaan
Tanah, telah menentukan penilaian terhadap besarnya nilai ganti kerugian dilakukan
oleh penilai yang akan menilai bidang per bidang tanah, yang meliputi:
a. Tanah; b. Ruang atas tanah dan bawah tanah; c. Bangunan; d. Tanaman; e. Benda yang berkaitan dengan tanah; dan/atau f. Kerugian lain yang dapat dinilai
UU HAM turut mengatur pula tentang perlindungan hak-hak masyarakat. Pasal 36
dan Pasal 37 UU HAM menjadi salah satu asas atau pedoman dalam melaksanakan
pengadaan tanah yang menghormati hak asasi manusia.
Pasal 36 UU HAM (1) Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama
dengan orang lain demi pengembangan dirinya, keluarga, bangsa, dan masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum.
(2) Tidak seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum.
(3) Hak milik mempunyai fungsi sosial.
Pasal 37 UU HAM (1) Pencabutan hak milik atas suatu benda demi kepentingan umum, hanya
diperbolehkan dengan mengganti kerugian yang wajar dan segera serta pelaksanaanya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Apabila sesuatu benda berdasarkan ketentuan hukum demi kepentingan umum harus dimusnahkan atau tidak diberdayakan baik untuk selamanya maupun untuk sementara waktu maka hal itu dilakukan dengan mengganti kerugian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan kecuali ditentukan lain.
Sebagai dasar dari pengambilan tanah oleh negara sebagai organiasi tertinggi,
untuk kepentingan umum harus didasari dengan prinsip musyawarah sebagai dasar
pengambilan hak atas tanah. Prinsip musyawarah kemudian dijelaskan dengan rinci
dalam tujuan dari pengadaan tanah untuk kegiatan kepentingan umum dan harus
disertai ganti rugi yang layak dan adil.
Pelaksanaan pengadaan tanah harus dilaksanakan dengan mengacu kepada
prinsip-prinsip atau asas-asas pengadaan tanah untuk mencapi cita ideal kemakmuran
rakyat. Kurnia Warman menjelaskan ada 6 (enam) prinsip pengadaan tanah, sebagai
berikut:45
a. Prinsip Musyawarah b. Prinsip Kepentingan Umum c. Prinsip Pelepasan Hak dan Penyerahan hak atas tanah d. Prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah e. Prinsip Ganti Kerugian
45 Kurnia Warman dalam keterangan ahli hukum pemohon di Sidang Mahkamah Konstitusi tentang Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Amicus Curiae Perkara Nomor: 68/G/PU/2021/PTUN.SMG
Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang Konsorsium Pembaruan Agraria 15
f. Prinsip Tata Ruang Bahwa prinsip atau asas pengadaan tanah tersebut di atas bertujuan mewujudkan
pengadaan tanah yang berkeadilan, kelayakan, dan kepantasan. Pengadaaan tanah juga
harus menghormati prinsip hak asasi manusia, serta lebih jauhnya bahwa pengadaan
tanah harus ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat – individu, tidak
berkurang, atau tidak memiskin rakyat yang telah berkorban untuk proyek pengadaan
tanah untuk pembangunan kepentingan umum.
2.3. PRAGMATISME MAKNA KESEIMBANGAN DALAM PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM
Pasca diundangkannya UU Pengadan Tanah, akses memperoleh dan memanfaatkan
tanah untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia untuk hidup, mempertahankan hidup,
dan meningkatkan taraf kehidupannya seperti yang diamanatkan oleh Pasal 9 ayat (1)
UU HAM, belum dapat dinikmati oleh setiap orang.
Permasalahan terkait pengadaan tanah untuk kepentingan umum, berkisar pada
tiga permasalahan pokok yaitu batasan kepentingan umum, mekanisme penaksiran
harga tanah dan anti kerugian, serta tata cara pengadaan tanah46. Permasalahan pada
pengadaan tanah untuk kepentingan umum tersebut, dikarenakan oleh adanya
kesumiran atau ketidakjelasan dan kerumitan hukum dalam merumuskan percepatan
pembangunan dan penegakan hak asasi manusia secara bersamaan. Maka untuk
membedah hambatan diperlukan kajian analisis terhadap penerapan kebijakan
pengadaan tanah untuk kepentingan umum berdasar hak asasi manusia.
Kajian analisis terkait keberlakuan atau bekerjanya fungsi hukum yang dibentuk
di tengah masyarakat, jika menggunakan hubungan pembuatan hukum dan masyarakat
yang dijelaskan oleh Chambliss dan Seidmen 47 ,maka pengadaan tanah untuk
kepentingan umum perlu menciptakan keseimbangan secara objektif. Sehingga terdapat
kesepakatan akan nilai-nilai masyarakat, atau dengan kata lain makna keseimbangan
tidak hanya dari berasal dan ditentukan oleh pemerintah saja, melainkan juga menjadi
hal yang diinginkan dan layak serta adil bagi masyarakat terdampak pembangunan.
Maria SW Sumardjono menjelaskan pengertian dan pemahaman yang objektif-
rasional tentang kepentingan umum dari perspektif hukum sangat diperlukan karena
hukum tersebut merupakan sarana utama untuk menjamin kepentingan umum,
sekaligus kepentingan individu, dengan tujuan agar keadilan dapat terlaksana 48 .
Pengadaan tanah sebagai bentuk dari kebijakan publik harus dijelaskan dalam relasinya
dengan diskursus negara c.q pemerintah, dalam proses pengambilan tanah untuk
kepentingan umum.
Terdapat hal-hal yang bersifat pragmatis pada UU Pengadaan Tanah terkait aspek
keseimbangan pada Pasal 9 ayat (1) UU Pengadaan Tanah, yang menyatakan bahwa
“Penyelenggaraan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum memperhatikan
46 Maria S.W. Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif … Op.cit, hlm. 240 47 Chambliss and Seidmen, Law, Order, and Power, Reading, Massachusetts: Addison-Wesley Publishing
Company, hlm. 17-56, dalam Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Bandung, Penerbit Angkasa, 1986, hlm. 48-51. 48 Maria SW Sumardjono, Dinamika Pengaturan Pengadaan Tanah… Op.cit, hlm. 8.
Amicus Curiae Perkara Nomor: 68/G/PU/2021/PTUN.SMG
Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang Konsorsium Pembaruan Agraria 16
keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat”49. Pasal 9
ayat (1) UU Pengadaan Tanah tidak mendefinisikan dengan jelas pengertian kepentingan
pembangunan dan kepentingan masyarakat sehingga tidak jelas yang akan
diseimbangkan itu apa dan bagaimana.
Pasal 9 ayat (1) UU Pengadaan Tanah gagap dalam menerjemahkan keseimbangan
antara kepentingan umum dan individu, atau antara kepentingan pembangunan dan
masyarakat. Hal tersebut mengakibatkan timbulnya kesenjangan antara asas-asas dalam
UUPA dan UU Pengadaan Tanah yang berakibat fatal. Apabila sudah mengatasnamakan
kepentingan umum, maka kepentingan pembangunan akan menjadi acuan hingga
kepentingan masyarakat dapat tidak lagi diperhatikan.
Aspek keseimbangan adalah aspek paling krusial dalam pengadaan tanah untuk
kepentingan umum. Menurut Maria Sumardjono, keseimbangan harus tercermin antara
keuntungan pembangunan bagi invenstor dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan,
serta sesuai dengan prinsip kebersamaan dan prinsip efisiensi berkeadilan menurut
pasal 33 ayat (4) UUD NRI 194550.
Kebijakan pengadaan tanah untuk pembangunan tidak untuk menurunkan
ekonomi dari masyarakat terdampak yang harus melalui musyawarah yang setara dan
adil, serta penghormatan atas hak rakyat akan tanah. Sehingga adanya keseimbangan,
atau keadaan seimbang, bertujuan agar pembangunan untuk kepentingan umum ini bisa
benar-benar ditujukan untuk kemakmuran rakyat. Namun adalah sebuah keniscayaan
bahwa pembangunan dapat mencerminkan keseimbangan, sehingga titik temu
keseimbangan harus dicari baik dari segi substansial maupun prosedural dalam rumusan
pasal-pasal UU Pengadaan Tanah.
Ketidakberpihakan pemerintah terhadap kepentingan masyarakat, menyebabkan
keseimbangan yang menjadi prinsip dalam pembangunan untuk kepentingan umum
tidak tercapai. Sehingga pembangunan infrastruktur yang dilaksanakan dengan dalil
kepentingan umum, pada tataran implementasi berada di persimpangan jalan. Satu sisi,
pembangunan tersebut diklaim sebagai upaya untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonomi, namun di sisi yang lain justru meninggalkan konflik agraria yang tidak
berkesudahan.
Pada tahun 2013, Pasal 9 ayat (1) UU Pengadaan Tanah menjadi salah satu pasal
yang dimohonkan untuk dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945 oleh MK51 .
Karena “keseimbangan” pada Pasal 9 ayat (1) UU Pengadaan Tanah tidak jelas dalam
wujudnya, sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan rusaknya tatan
negara hukum. Ketidakjelasan atau kesumiran dan ketidakpastian hukum tersebut, dapat
membuat Pemerintah dapat secara sepihak menyatakan pengadaan tanah telah
49 Lihat Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
50 Maria Sumardjono, Pragmatisme UU Pengadaan Tanah, Opini, Kompas, 7 Januari 2013, hlm. 6. 51 Permohonan Judicial Review (uji materiil) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah
bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum ke Mahkamah Konstitusi dilakukan oleh masyarakat bersama Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), ELSAM,, KIARA, dan lembaga non pemerintah lainnya, yang dalam hal ini yang merasa dirugikan atas ketentuan UU Pengadaan Tanah.
Amicus Curiae Perkara Nomor: 68/G/PU/2021/PTUN.SMG
Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang Konsorsium Pembaruan Agraria 17
seimbang antara kepentingan pembangunan dan masyarakat52. Pengadaan tanah untuk
kepentingan umum pun akan memakai pendekatan top-down dan tidak berkeadilan.
Melalui Putusan MK Nomor 50/PUU-1/2013, MK menolak permohonan pemohon
secara seluruhnya, termasuk Pasal 9 ayat (1) UU Pengadaan Tanah. Makna
“keseimbangan” pada Pasal 9 ayat (1) UU Pengadaan Tanah sudah dinilai cukup jelas.
Sejalan dengan hal tersebut sejak tahun 2013, konflik-konflik agraria dalam bidang
infrastruktur yang notabene diawali oleh proyek pengadaan tanah menjadi meningkat.
Catatan Akhir Tahun Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) setiap tahunnya
menunjukkan eskalasi sebaran konflik yang terus meningkat, disertai dengan kasus-
kasus kekerasan. Pada tahun 2013 Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat
terdapat 105 konflik agraria yang disebabkan proyek infrastruktur. Tahun 2014,
angkanya melonjak dua kali lipat yaitu menyentuh 215. Angka tersebut jika
dibandingkan dengan tahun 2015 mengalami penurunan, akan tetapi menjadi
penyumbang konflik nomor 2 (dua) setelah bidang perkebunan.
Letusan konflik agraria struktural akibat praktik perampasan tanah dan
penggusuran di tahun 2016 meningkat 450 konflik, tahun 2017 mencuat hingga 659
konflik, tahun 2018 410 konflik, 2019 menjadi 279 konflik, dan pada tahun 2020
sedikitnya terjadi 241 konflik. Kendati angka konflik menunjukkan penurunan, namun
faktanya kekerasan yang terjadi akibat konflik agrarian struktural pada petani,
masyarakat adat, masyarakat pedesaan, nelayan, dan perempuan tetap tinggi.
Selain itu berdasar temuan Komnas HAM RI, peletakan standar hak asasi manusia
dalam pembangunan infrastruktur dan proyek srategi nasional masih tergolong lemah.
Dalam pembangunan infrastruktur, pengambil kebijakan menggunakan variabel
ekonomi yang dikaitkan dengan investasi dan pertumbuhan ekonomi belaka53, tanpa
memperhitungkan skala pelanggaran hak atas tanah dan hak ekonomi, sosial dan budaya
yang menyertai.
Terdapat perubahan sosial yang memaksa masyarakat terdampak pembangunan
infrastruktur untuk bekerja dan hidup pada suatu tempat yang menawarkan hal baru
dari sebelumnya, sehingga taraf perekonomian pun turut berubah secara signifikan. Hal
ini diakibatkan konfigurasi kompleks berbagai kepentingan ekonomi, politik dan
kultural. Masyarakat yang terkena langsung dampak rusaknya lingkungan (laut, hutan,
lahan pertanian, bahkan daerah pemukiman) lebih diposisikan sebagai instrument untuk
berputarnya roda pembangunan yang cenderung eksploitatif. Maka dibutuhkan suatu
upaya meninjau ulang peraturan pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
Peninjauan ulang peraturan dan tata kelola sebagai upaya menyeimbangkan
keseimbangan antara kepentingan masyarakat dan kepentingan pembangunan dalam
proses pengadaan tanah harus diberi bentuk ganti kerugian, baik segi fisik maupun non
52 Fakta atau Posita dari Pemohon dalam pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-1/2013.
53 Anonim, Telaah HAM dalam Pembangunan Infrastruktur. (Online: https://www.komnasham.go.id/index.php/news/2019/10/18/1214/telaah-ham-dalam-pembangunan-infrastruktur.html).
Amicus Curiae Perkara Nomor: 68/G/PU/2021/PTUN.SMG
Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang Konsorsium Pembaruan Agraria 18
fisik 54 . Sehingga keberlanjutan hidup pemegang hak bisa diteruskan dengan tidak
mengakibatkan kesejahteraan sosialnya menurun akibat adanya proses pengadaan tanah
untuk pembangunan.55
Salah satu upaya mewujudkan keseimbangan dalam pembangunan untuk
kepentingan umum adalah memahami pengadaan tanah untuk pembangunan
kepentingan umum sebagai bagian dari pembaruan agraria. TAP MPR Nomor IX Tahun
2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam diartikan sebagai
suatu proses kesinambungan berkenaan dengan penataan kembali pengusaaan,
kepimilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria, dilaksanakan dalam
rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan kemakmuran bagi
seluruh rakyat Indonesia56 yang bertujuan untuk menampung peran serta masyarakat
dan menyelesaikan konflik.
Kemudian lebih dari an sich, pada dasarnya keseimbangan dalam pengadaan
tanah bisa diwujudkan dengan dilandasi 3 (tiga) hal sebagaimana berikut:
1. Penghormatan terhadap hak asasi manusia, khususnya hak atas tanah masyarakat,
2. Partisipasi masyarakat, dan
3. Ganti rugi yang layak dan adil.
Dalam mewujudkan tiga hal tersebut di atas, harus didukung dalam kontruksi
keseimbangan yang ideal. Dari segi substansial perlu diperkuat aturan hukumnya,
melalui: 1) Penguatan legal substance pengadaan tanah untuk kepentingan umum; 2)
Menjelaskan makna keseimbangan dan membuat tolok ukur keberhasilan keseimbangan
pengadaan tanah; dan 3) Membuat aturan pelaksana tentang keseimbangan pengadaan
tanah. Kemudian dari segi Prosedural, yaitu: 1) Pembenahan aparatur pelaksana
pengadaan tanah; 2) Ganti kerugian yang layak dan adil; 3) Paradigma pendekatan
partisipasi masyarakat dari represif ke persuasif; 4) Masyarakat terkena dampak bebas
untuk menentukan pendapat.
Apabila makna keseimbangan dalam pembangunan untuk kepentingan umum pada
UU Pengadaan Tanah telah menemukan bentuk idealnya, maka pemahaman dan
pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum sebagai bagian
dari pembaruan agraria dapat berjalan secara berkeadilan tanpa menegasi kepentingan
salah satu pihak. Sehingga eskalasi konflik secara horizontal maupun vertikal pun
menurun dan dapat sejalan dengan terpenuhinya ukuran kesejahteraan, yang
berhubungan erat dengan kebutuhan ekonomi secara mendasar dan bersifat
berkelanjutan.
54 Linda Dewi Rahayu, Pragmatisme Makna Keseimbangan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Tidak Diterbitkan, 2020, hlm. 4.
55 Maria S.W. Suwardjono, Op.cit, hlm. 98. 56 Lihat Pasal 2 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan
Agraria dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Amicus Curiae Perkara Nomor: 68/G/PU/2021/PTUN.SMG
Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang Konsorsium Pembaruan Agraria 19
BAB III. FAKTA HUKUM DAN PEN DAPAT AMICI
3.1. FAKTA HUKUM
Selaku amici pada Perkara Nomor: 68/G/PU/2021/PTUN.SMG, Konsorsium
Pembaruan Agraria (KPA) menggali fakta hukum di lapangan dan merangkum fakta
hukum di persidangan. Hal ini bertujuan untuk membantu amici dalam mengkolerasikan
teori, konsep dan peraturan perundang-undangan terkait pengadaan tanah dan
perlindungan terhadap hak atas tanah.
A. FAKTA HUKUM DI LAPANGAN
Fakta hukum di lapangan disusun berdasar pendapat hukum (legal opinion) kuasa
hukum Penggugat (masyarakat Desa Wadas), pemberitaan di media, dan investigasi
KPA dari berbagai sumber lainnya. Berikut adalah uraian fakta hukum di lapangan:
1. Kegiatan tambang batu andesit di Desa Wadas menggunakan skema pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum
Desa Wadas direncanakan sebagai wilayah tambang batu andesit untuk material Bendungan Bener, sebagaimana SK Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/41 Tahun 2018 tentang Persetujuan Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Wonosobo Provinsi Jawa Tengah (SK IPL 590/41 2018), SK Gubernur Jawa Tengah Nomor 539/29 Tahun 2020 tentang Perpanjangan Atas Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Wonosobo Provinsi Jawa Tengah (SK IPL 539/29 2020), dan SK Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/20 Tahun 2021 tentang Pembaruan Atas Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Wonosobo Provinsi Jawa Tengah (SK IPL 590/20 2021).
Seluruh kegiatan atau aktivitas pertambangan dalam perkara a quo seharusnya mengacu pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara serta peraturan turunannya, bukan UU Pengadaan Tanah. Sebab, pengadaan tanah untuk kepentingan umum tidak termasuk di dalamnya adalah pertambangan, sebagaimana diatur pada Pasal 10 UU Cipta Kerja sebagaimana telah diubah dalam Pasal 123 Angka 2 UU Cipta Kerja jo. Pasal 2 PP 19/2021. Kendati pertambangan ini adalah hal yang dianggap mendukung pembangunan Bendungan Bener, Pejabat TUN tidak dapat sewenang-wenang menginterpretasikan sepihak kepentingan umum yang bersifat terbatas.
2. Terdapat cacat prosedural penerbitan SK IPL 590/20 2021 Gubernur Jawa Tengah gagal memahami prosedur penerbitan SK IPL
590/20 2021. KTUN diterbitkan tidak sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP), Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011), UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Bagi Kepentingan Umum (UU Pengadaan Tanah), Undang-Undang Nomor 11
Amicus Curiae Perkara Nomor: 68/G/PU/2021/PTUN.SMG
Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang Konsorsium Pembaruan Agraria 20
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja), dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (PP 19/2021).
Cacat prosedural penerbitan SK IPL 590/20 2021 terkait jangka waktu izin penetapan lokasi pengadaan tanah untuk kepentingan umum, ketiadaan proses ulang terhadap sisa tanah yang belum selesai pengadaannya. Selain itu juga karena absennya partisipasi masyarakat Desa Wadas pada proses penyusunan dokumen perencanaan dan tidak adanya pemberitahuan atau sosialisasi terkait rencana pembangunan.
UU Pengadaan Tanah tidak mengatur mengenai pembaruan izin penetapan lokasi pengadaan tanah untuk kepentingan umum, melainkan mengatur mengenai perpanjangan izin penetapan lokasi pengadaan tanah untuk kepentingan umum. SK IPL sebelumnya yaitu SK IPL 590/41 2018 telah selesai jangka waktunya selama 2 (dua) tahun yaitu pada tanggal 5 Juni 2021, kemudian terbit SK perpanjangan IPL 539/29 2020 untuk jangka waktu 1 (satu) tahun. Hal tersebut sebagaimana diatur pada Pasal 68 ayat (1) UU AP mengatur bahwa keputusan berakhir apabila habis masa berlakunya, dicabut oleh pejabat berwenang, dibatalkan oleh pejabat yang berwenang atau berdasarkan putusan pengadilan, atau diatur dalam ketentuan perundang-undangan, dan Pasal 24 UU Pengadaan Tanah mengatur bahwa penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum diberikan dalam waktu dua tahun dan dapat diperpanjang paling lama satu tahun.
Kendati Pasal 24 ayat (1) UU Pengadaan Tanah sebagaimana telah diubah dalam Pasal 123 angka 6 ayat (1) UU Cipta Kerja jo. Pasal 46 (1) PP 19/2021, bahwa penetapan Lokasi pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 berlaku untuk jangka waktu tiga tahun dan dapat diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun. UU Cipta Kerja tidak dapat mengubah ketentuan terkait waktu penambahan jangka waktu penetapan lokasi. UU Cipta Kerja tidak dapat serta merta mengkoreksi kecacatan penerbitan KTUN. Hal ini dikarenakan SK IPL 590/41 2018 dan SK IPL 539/29 2020 dibuat dengan mengikuti aturan pengadaan tanah di UU Pengadaan Tanah, bukan mengikuti ketentuan pengadaan tanah di UU Cipta Kerja. Selain itu SK IPL 590/20 2021 memiliki pertimbangan yang hanya berdasar pada surat permohonan pihak yang membutuhkan tanah, yaitu Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWSSO), tanpa melihat kesenjangan sosial dan berbagai tindakan paksa yang sarat intimidatif dan represif di lapangan.
Kemudian berdasar Surat dari Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Nomor B-2299/MENKO/MARVES/IS.03.00/VI/2021 perihal Percepatan Pembaruan Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah Pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Wonosobo Provinsi Jawa Tengah tertanggal 5 Juni 2021 yang ditujukan kepada Gubernur Jawa Tengah, disebutkan, “.... saat ini sedang berlangsung proses pengadaan tanah di area konstruksi dan Quarry Bendungan Bener, dengan kemajuan dan capaian sebesar 42,46% (2.234 bidang dari 5.261 bidang)”. Maka dapat diasumsikan 42,46% yang belum selesai proses pengadaan tanahnya ialah Desa Wadas.
Prosedur hukum terhadap jangka waktu IPL yang telah habis masa berlakunya/ daluwarsa, maka sifat keberlakuan sudah tidak berlaku secara hukum. Untuk penerbitan IPL baru untuk menyelesaiakan proses pengadaan
Amicus Curiae Perkara Nomor: 68/G/PU/2021/PTUN.SMG
Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang Konsorsium Pembaruan Agraria 21
tanah, tidak dapat menerapkan kembali aturan perpanjangan izin namun harus melewati proses pengadaan tanah dari awal lagi.
Berdasar Pasal 25 UU Pengadaan Tanah jo. Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) PP 19/2021 sebelum Tergugat menerbitkan izin penetapan lokasi baru, maka pihak yang membutuhkan tanah/ BBWSSO, harus melakukan proses ulang terhadap sisa tanah yang belum selesai pengadaannya. Proses ulang tersebut harus dilakukan dari tahap awal pengadaan tanah, yaitu tahap perencanaan. Namun hingga gugatan ini dilayangkan, tergugat tidak pernah melakukan proses ulang terhadap sisa tanah yang belum selesai pengadaannya.
Penerbitan KTUN yang tidak prosedural juga dapat dilihat dari peran masyarakat Desa Wadas pada proses penyusunan dokumen perencanaan, tidak adanya pemberitahuan atau sosialisasi dan tidak ada konsultasi publik terkait rencana pembangunan. Ketiadaan pengumuman resmi penerbitan KTUN merupakan cacat prosedural dengan melanggar ketentuan Pasal 26 ayat (1) UU Pengadaan Tanah jo. Pasal 48 ayat (1) PP 19/2021 jo. Pasal 61 ayat (1) UU AP jo. Pasal 7, 10, dan 11 UU KIP.
Tidak dipenuhinya prosedur pengadaan tanah sebagaimana diatur pada peraturan perundang-undangan, maka implikasinya adalah KTUN cacat prosedural. Jika secara prosedural penerbitan KTUN adalah cacat, dapat dipastikan secara substansial pun sama dan hal ini melanggar hak asasi masyarakat Desa Wadas sebagaimana diatur pada konstitusi dan UU HAM.
3. Penerbitan surat a quo yang cacat prosedural jelas mengabaikan dan melanggar hak atas tanah masyarakat Desa Wadas
Penerbitan SK IPL 590/20 2021 mengabaikan prinsip-prinsip dan prosedural dalam memperpanjang SK IPL 539/29 2020 yang daluwarsa berdasar UU AP dan UU Pengadaan Tanah. Terlebih tidak adanya keterbukaan informasi terkait pembangunan Bendungan Bener yang berdampak pada masyarakat Wadas, maka hal ini berpotensi besar dalam menghilangkan hak-hak masyarakat Desa Wadas dalam proses perencanaan dan persiapan terbitnya IPL. Bahkan dengan hadirnya UU Cipta Kerja, juga semakin berpeluang hilangnya kesempatan masyarakat Desa Wadas menggugat Pejabat TUN untuk mempertahankan hak atas tanahnya sebagaimana dijamin oleh UUD NRI 1945, UUPA, UU HAM, UU Ekosob, dan UU Pengadaan Tanah.
4. Tidak ada cukup ruang masyarakat untuk bermusyawarah mufakat, serta diabaikannya penolakan masyarakat atas pertambangan quarry
Sebagai salah satu menjadi pertimbangan terbitnya SK Nomor 590/41 2018 adalah berita acara konsultasi public tertanggal 26 Desember 2018. Para penggugat bersama Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (GEMPADEWA) secara tegas menyampaikan secara langsung keberatannya dan memberikan aspirasi penolakan terhadap rencana pengadaan tanah untuk kebutuhan material pembangunan Bendungan Bener. Akan tetapi keberatan dihiraukan, namun tidak dilakukan konsultasi public ulang.
Justru terdapat manipulasi dokumen berita acara konsultasi publik yang dilaksanakan pada 26 April 2018 di Balai Desa Wadas, seakan masyarakat Desa Wadas menyetujui konsultasi publik. Manipulasi dokumen tersebut dapat dilihat pada Dokumen Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) Pembangunan Bendungan Bener, BAB II halaman 191 poin 6 tentang Tanggapan Masyarakat Terhadap Rencana Quarry Area disebutkan bahwa 86,05% masyarakat dianggap bersedia apabila lahannya dijadikan lokasi tambang Batuan Andesit. Sisanya
Amicus Curiae Perkara Nomor: 68/G/PU/2021/PTUN.SMG
Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang Konsorsium Pembaruan Agraria 22
tidak bersedia (0%),tidak menjawab (4,65%), dan belum dapat menjawab (9,30%). Manipulasi dokumen secara langsung meletakkan masyarakat wadas pada posisi yang tidak terhitung dalam dampak pembangunan.
5. Tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah Kabupaten Purworejo
Penetapan wilayah pertambangan melalui skema pengadaan tanah untuk kepentingan umum di Desa Wadas, tidak komplementer/ saling melengkapi dan bersinergi dengan penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah provinsi dan penataan ruang wilayah kabupaten/kota sebagaimana diatur pada Pasal 6 ayat (2) UU Tata Ruang. Hal ini dikarenakan, berdasar Pasal 61 Perda Nomor 27 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Purworejo Tahun 2011-2031, Desa Wadas Kecamatan Bener Kabupaten Purworejo di dalam rencana tata ruang wilayah yang disusun oleh Pemerintah tidak ada rencana untuk pertambangan Batuan Andesit. Hal ini dikarenakan berdasar Pasal 42 huruf c Perda 27/2011, Kecamatan Bener merupakan salah satu kawasan rawan bencana tanah longsor. Maka rencana pertambangan di Desa Wadas adalah suatu tindakan sewenang-wenang Pejabat TUN yang dapat berdampak ekologi yang membahayakan masyarakat Desa Wadas, khususnya perempuan Wadas yang sangat menggantungkan kehidupannya di alam.
B. FAKTA HUKUM DI PERSIDANGAN
Proses persidangan Perkara Nomor: 68/G/PU/2021/PTUN.SMG sejauh ini jelas
menguntungkan pihak Penggugat, kendati proses peradilan lebih dari an sich
menang dan kalah, melainkan pencapaian keadilan bagi masyarakat Desa Wadas.
Pihak Tergugat yaitu Gubernur Jawa Tengah tidak siap menjawab gugatan yang telah
disusun oleh koalisi tim kuasa Penggugat. Hal ini patut dicatat oleh Majelis Hakim
perkara a quo, bahwa ketidaksiapan Tergugat adalah suatu tendensi lemahnya
argumentasi hukum dan keadilan KTUN yang disengketakan.
Adapun fakta hukum di persidangan adalah keterangan saksi ahli Penggugat, sebagaimana berikut: 1. Bibianus Hengky Widhi Antoro, S.H.,M.H, menerangkan dari sisi keahlian hukum
administrasi negara :. - Ketika UU Pengadaan Tanah sudah jelas mengatur tentang prosedural dan
lain-lain, kita harus menggunakan itu. - Jika penerbitan KTUN berdasarkan Perpres Nomor 58 Tahun 2017 yang
notabene tidak ada representasi dari rakyat, maka tidak akan berkesesuaian dengan kepentingan umum yang harus sesuai dengan representasi.
- KTUN sudah diterbitkan dengan tujuan untuk kepentingan umum berdasar Perpres yang berlaku nasional dan tidak diuji ke MA. Terkait apakah masih bisa dijalankan atau tidak, maka perlu mengacu Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945, jika produk hukum tidak berdasarkan pada representasi rakyat berarti sudah menyalahi amanat konstitusi.
- Dalam membuat suatu KTUN harus sesuai pada perundang-undangannya. - Beschikking harus memenuhi syarat ketentuan peraturan dasarnya. Maka
pada IPL pembaruan (KTUN), harus disertai peta lokasi pembangunan, letak dan luas tanah, jangka waktu, dan lain-lain untuk kemudian diumumkan.
- Mekanisme beschikking harus diumumkan, karena itu penting untuk menentukan kapan warga yang merasa dirugikan itu mengajukan gugatan, sesuai prosedur informasi public yang diatur pada UU KIP.
Amicus Curiae Perkara Nomor: 68/G/PU/2021/PTUN.SMG
Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang Konsorsium Pembaruan Agraria 23
- Pejabat TUN tidak dapat sewenang-wenang melakukan peluasan makna dalam penafsiran perundang-undangan. Bahaya jika semuanya menggunakan interperstasi sewenang-wenang, maka perUUngan tidak akan dipakai atau bahkan diabaikan.
- Dibutuhkan proses ulang terhadap sisa tanah yang belum selesai pengadaannya dan harus dimulai kembali dari tahap awal, tidak dapat memakai dokumen yang sama atau dokumen lama.
2. Dianto Bachriadi, Ph.D., menerangkan dari sisi keahlian politik agrarian - Kepentingan umum memiliki batas, yaitu kepentingan bangsa negara dan
masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah. Indikatornya itu kemakmuran rakyat.
- Pejabat TUN boleh menafsirkan kepentingankan umum, asalkan tidak keluar dari substansi perUUan.
- Dalam UU Pengadaan Tanah tidak dijelaskan bahwa untuk penyuplai material masuk dalam kepentingan umum.
- Suatu izin yang memperluas makna kepentingan umum, artinya logika pengadaan tanah untuk kepentingan umjum itu sudah salah dari awal.
- Kata pembaruan dalam konteks agraria yaitu reksrtrukturisasi kekuasaan. Tapi jika konteksnya pengadaan tanah, istilah pembaruan itu tidak ada, adanya yaitu perpanjangan.
- Agar tidak jadi missinterprestasi, kita harus melihat UU Pengadaan Tanah terkait prosedur. Jika waktunya sudah habis akan tetapi pengadaannnya belum tuntas, maka dia harus melalui proses awal. Pembaharuan ini merupakan bentuk yang sama sekali baru dan berbeda dengan izin yang lama. Pembaruan ini tidak bisa langsung ditafsir bahwa izin bisa secara langsung diperbarui tanpa melalui proses ulang.
- Tanah sisa harus dilakukan proses ulang agar tercipta keabsahan hukum. Apabila langsung terbit SK tanpa proses ulang dari awal, maka hak-hak partisipasi masyarakat akan hilang.
- Pada prinsipnya UU Pengadaan Tanah berupaya memperbaiki problema hukum dan prosedural, dengan menggunakan pendekatan demokratis dan partisipatif agar tidak menciptakan kerugian. Apabila tidak sesuai prosedur dan menciptakan kerugian, maka tidak dapat dikatakan sebagai pengadaan tanah untuk kepentingan umum, melainkan kepentingan sepihak.
- Apabila terdapat pertentangan Perpres dengan UU, maka pengadilan adalah tempat untuk memastikan bahwa kesejahteraan dan kemakmuran harus jeli sampai ke bawah, sampai ke masyarakat.
- Harus dibedakan proyek strategis nasional ini, bendungannya atau batuannya. Pertimbangan saya mengatakan batuan bukan kepentingan umum sebagaimana diatur pada UU Pengadaan Tanah, dan penerbitan SK IPL 290/20 2021 tersebut tidak sesuai dengan ketentuan UU Pengadaan Tanah.
- Kegiatan pertambangan, ekplorasi dan eksploitasi tidak melulu menjadi satu rangkaian. Melainkan harus memperhatikan pula kecukupan dan ketersediaan, dan juga masyarakat sekitar.
3. I Gusti Agung Wardana, S.H.,LLM,Ph.D, menerangkan dari sisi keahlian hukum lingkungan: - Izin lingkungan dan dokumen jika sudah selesai maka sudah kadaluarsa dan
harus dilakukan izin ulang, sebagaimana diatur PP 27 tahun 2012.
Amicus Curiae Perkara Nomor: 68/G/PU/2021/PTUN.SMG
Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang Konsorsium Pembaruan Agraria 24
Diperlukan IPL ulang dan pengujian ulang, karena dimungkinkan ada perubahan rona lingkungan.
- Ketika izin lingkungannya bermasalah berarti IPLnya juga itu bermasalah, karena ini merupakan satu runtutan.
- Dalam konteks lingkungan izin lingkungan, menjadi salah satu poin penting dalam melakukan pertambangan. BBWSO adalah entitas negara yang dalam rezim pertambangan tidak boleh diberikan izin untuk melakukan usaha pertambangan.
- Pada proyek untuk kepentingan umum, pertambangan tidak masuk didalamnya.
- Tidak seharusnya Pemerintah mengeluarkan izin usaha untuk Pemerintah, UU Minerba mengatur bahwa Pemerintah sebagai pihak yang mengeluarkan penetapan standar nasional. Pasal 28 UU Minerba hanya diperuntukkan kepada korporasi perseroangan, ketika pemerintah melakukan akan menimbulkan conflict of interest.
- Tambang batuan pertahun harus memiliki AMDAL dan izin lingkungan yang dikeluarkan harus sesuai. Dia menjadi pelaku pertambangan. Negara tidak bisa melakukan hanya pada kegiatan sectoral. Tunduk pada sectoral untuk menjamin sesuai dengan izin. Menyebabkan izin pertambangan dan teknisnya menghilangkan pengawasan.
- Akses keadilan ketika masyarakat terkena dampak tetapi kelibatan mereka tidak dilibatkan, hal ini kemudian bisa menempuh litigasi dan nonlitigasi.
- Amdal ini merupakan hak untuk mempertimbangkan kepentingan, termasuk di dalamnya sosial dan budaya. Dalam penyesuaian amdal yang digunakan studi dalam pembangunan dalam kegiatan yang sama, semestinya tidak menggunakan amdal terpadu. Kegiatan Pertambangan harus menggunakan amdal terpisah.
- Negara ditempatkan sebagai negara korporasi melalui perizinan. Yaitu pemerintah melakukan kepentingan umum pada kegiatan pertambangan. Tidak logis apabila Pemerintah melalui BBWS-SO membebasksan tanah, tapi tidak melakukan penambangan, tapi akan memberikan aktivitas pertambangannya ke yang lain.
- Menjadi pertanyaan kita bersama kalo izinnya tidak ada, maka tidak ada kewajiban izin khusus berbasis izin usaha pertambangan. Maka dapat dianggap tidak ada pula bentuk pengawasan. Hal ini merancukan sistem hukum pertambangan dan kemudian ada conflict of interest.
4. Nandra Eko Nugroho, S.T.,M.T, menerangkan dari sisi keahlian geologi/kebencanaan: - Ketika seseorang membangun bisa menyebabkan ancaman baru dan bisa
menambah kerentanan baru. - Bener masuk dalam perbukitan Menoreh dari gunung api purba. Hampir
semua menorah terdapat resiko longsor. - Menorah yang separuh Kulonprogo dan Purworejo dalam geologi tidak bisa
dilakukan pembangunan yang merubah morfologi. - Pegunungan Menoreh isinya batuan dan kandungan mineral. Ketika
terganggu, volumenya semakin tinggi dan akan erosi. Jenuh dan menumpuk dalam satu lembah bisa terjadi banjir bandang, banjir di kota-kota.
- Wadas bukan batu kapur, pertambangan jelas akan langsung berdampak. Di musim kemarau dan hujan akan langsung mendapatkan efeknya, konteksnya
Amicus Curiae Perkara Nomor: 68/G/PU/2021/PTUN.SMG
Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang Konsorsium Pembaruan Agraria 25
pertambangan ini hulu terganggu hilir itu berantakan. Makhluk lain akan berdampak, ekosistem akan hilang.
- Ketika konteks suatu pembangunan harus berdasar kajian ilmiah, tata ruang dan perUUan. Salah satu yang penting dilibatkan adalah masyarakat. Konteks mitigasi ada dua; mitigasi struktural dan non struktural (keduanya harus adanya pelibatan masyarakat). Jika resiko lebih besar daripada manfaat berarti itu sudah tidak sesuai dengan pembangunan yang berkelanjutan.
- Pada prinsipnya kajian itu dari segi keilmuan. Ketika suatu kajian itu terus digunakan dan hitungan resikonya lebih tinggi daripada kemanfaatannya, maka harus dikaji lebih lanjut atau bahkan mungkin bisa di cari tempat lain.
5. Hotmauli Sidabalok, S.H.,C.N.,M.Hum, menerangkan dari sisi keahlian hak asasi manusia: - Jika hak asasi tidak dipenuhi oleh negara, maka akan ada potensi pelanggaran
hak. Ini dapat dijadikan objek pengaduan oleh warga negara. - HAM material hanya dapat dipenuhi apabila syarat prosedural dipenuhi,
artinya ketika menetapkan suatu kebijakan harus melihat aspek HAMnya. - Pembangunan merupakan turunan dari kesejahteraan, akan tetapi tidak
boleh terlepas dari ketentuan perUUan dan asas-asas yang berlaku terkait ada jaminan terhadap warga negara untuk kesejahteraan.
- Negara wajib menjamin hak setiap warga negaranya sebagaimana dalam Pasal 71 UU HAM. Ketika dalam melakukan pengadaan tanah, pemerintah harus mengikuti segala prosedur yang berlaku sesuai UU HAM dan UU Pengadaan Tanah.
- Pada konteks Wadas, mayoritas warga menolak pembangunan. Bahkan mereka juga mendapatkan diskriminasi dan intimidasi oleh aparat pemerintah.
- Pembangunan selalu diartikan akan memberikan pendapatan terhadap negara dan daaerah, tetapi tidak pernah melihat aspek keterlibatan dan partisipasi warga. Bisa jadi infrastruktur ini hanya menguntungkan satu kelompok yang mementingkan profit semata.
- Prosedur yang dimaksud dalam UU Pengadaan Tanah seperti keterlibatan dan atas izin warga. Jika melihat realitas sekarang ada warga yg mengajukan gugatan ke PTUN berarti ada yang salah dalam proses pengadaan tanah, berarti ada proses yang tidak mewakili suara mereka.
- Kita harus dapat membedakan bendungan bener dengan pertambangan. - PSN bentuk dominasi pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Antara
PSN dan pertambangan itu adalah suatu yang berbeda, proyek ini untuk kepentingan siapa? Sementara warga yang terdampak haknya dan berpotensi haknya di langgar.
6. Andreas Budi Widyanta. S.Sos.,M.A, menerangkan dari sisi keahlian sosiologi: - Ketika pembangunan tidak ada partisipasi, maka itu membuat situasi
kebatinan masyarakat/alam pikir/alam rasa merasa resah karena merasa tidak diakui dan di-wongke (diorangkan, dianggap manusia).
- Bahwa hubungan antara diri sebagai individu dan masyarakat, juga ekologi sebagai naungan mereka itu ada koneksi metafisik, adanya hubungan yang erat antara warga dengan alam.
- Dampak pembangunan yang tidak partisipatif, memiliki implikasi konflik internal (dalam rumah tangga) dan eksternal (lingkungan sekitar). Opsi
Amicus Curiae Perkara Nomor: 68/G/PU/2021/PTUN.SMG
Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang Konsorsium Pembaruan Agraria 26
tentang bagaimana pembangunan itu akan solid sudah dipastikan tidak akan terjadi karena mereka tidak merasa dilibatkan.
- Peran perempuan merawat kehidupan dan ekologi sangat erat kaitannya dengan alam. Hilangnya alam dan ekologi pada rentetan terjauhnya akan membuat kita terputus dari akar pengetahuan (karena perempuan itu sebagai ibu bumi).
- Catatan besar saya bahwa ibu merupakan aktor utama ketika pembangunan nasional pembangunan daerah mereka harus diajak duduk bersama untuk berpartisipasi dan mengeluarkan pendapat terkait proyek-proyek terebut.
- Anak sebagai generasi penerus seharusnya dijaga. Ketakutan yang mempengaruhi mental adalah gejala awal, karena akan ada dampak yang sangat besar ketika pembangunan dan eksploitasi tetap dilakukan.
- Jika hasil alam mereka harus hilang dan harus ahli profesi dari petani jadi pedagang mentalitasnya tidak bertemu, mereka dipaksa untuk melakukan pekerjaan yang tidak mereka sukai/ bahkan memikirkannya saja enggan.
- Kekuatan bangsa ini adalah ketika desa dan kampung lestari dan terus memberikan manfaat kekayaan alamnya. Karena kota sudah kehilangan nilai-nilai kearifan lokalnya.
- Pemerintah harus hadir dan menjelaskan kepada warga masyarakat, dan duduk bersama untuk menemukan kebutuhan masa depan. Hal yang belum ditemukan karena tidak adanya dialog dan diskusi maka kebutuhan itu tidak mengakomodir kebutuhan masyarakat yg lainya.
- Orang-orang seringkali menganggap warga yang tidak mau menyerahkan tanahnya untuk kepentingan negara itu adalah bukti dari tidak nasionalisme. Rasa nasionalsime tidak harus menyerahkan ruang hidupnya pada negara selaku pemangku kewajiban, yang pantas dikatai tidak nasionalisme itu para koruptor.
- Ganti rugi itu tidak berarti apa-apa bagi warga, karena yg mereka buthkan itu adalah tempat tinggal dan lahan untuk bertani.
7. Risma Umar., M.Si, Berdasarkan keterangan saksi ahli Penggugat, menerangkan dari sisi keahlian gender: - Perempuan tidak hanya dilibatkan dalam ranah privat saja, akan tetapi juga
dilibatkan dalam pengambilan kebijakan ketika dalam proses penetapam izin lokasi. Karena adanya kedekatan dengan alam, relasi mereka sangat erat dan tidak dapat di pisahkan.
- Dalam keputusan IPL ini tidak memiliki perspektif gender. - Perempuan Wadas setiap harinya bekerja menganyam besek yang
bahannnya diambil dari alam, lalu apakah bahan tersebut akan selalu ada ketika pertambangan nanti terjadi.
- Perlu adanya analisis gender sehingga kebijakan dapat memperhatikan dampak terhadap perempuan dan anak. Karena ekosistem yang rusak akibat kegiatan yang ada, akan menimbulkan malapetaka bagi perempuan dan anak.
- Setiap kegiatan entah itu dalam pengadaan tanah atau pembangunan lainnya, tidak boleh menimbulkan diskriminasi terhadap perempuan.
Amicus Curiae Perkara Nomor: 68/G/PU/2021/PTUN.SMG
Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang Konsorsium Pembaruan Agraria 27
3.2. PENDAPAT AMICI
KPA sebagai amici menemukan benang merah dari permasalahan pembangunan
proyek strategis nasional Bendungan Bener yang mengabaikan hak atas tanah
masyarakat Desa Wadas. Setelah menganalisa teori, konsep, dan peraturan perundang-
undangan terkait pengadaan tanah dan hak atas tanah masyarakat, serta fakta hukum
baik di lapangan dan di persidangan, amici berpendapat sebagai berikut:
1) Pejabat TUN c.q Gubernur Jawa Tengah gagal untuk menghormati, melindungi
dan memenuhi hak atas tanah masyarakat Desa Wadas
Pejabat TUN c.q Gubernur Jawa Tengah sewenang-wenang dalam
menerbitkan keputusan terkait izin penetapan pengadaan tanah untuk kepentingan
umum. Pejabat TUN bertindak tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan terkait pengadaan tanah, yang mana antaranya adalah pasal-pasal terkaIt
hak asasi manusia pada UUD NRI 1945, UU AP, UUPA, UU HAM, UU Pengadaan Tanah,
UU Ekosob, UU KIP, UU Penataan Ruang, UU Cipta Kerja, PP 19/2021, dan Perda
Nomor 27 Tahun 2011 tentang RTRW-K Purworejo 2011-2031.
Terdapat cacat prosedural dan substansil penerbitan SK IPL 590/20 2021,
diantaranya yaitu; 1) cacat prosedural : ketidaktepatan penggunaan skema
pengadaan tanah pada kegiatan tambang yang minim riset kajian; pemanipulasian
dokumen terkait pelibatan masyarakat dalam ANDAL; ketiadaan proses ulang
terhadap sisa tanah yang belum selesai pengadaannya dari tahapan awal; absennya
partisipasi masyarakat Desa Wadas pada proses penyusunan dokumen
perencanaan; tidak adanya pemberitahuan atau sosialisasi terkait rencana
pembangunan. 2) cacat substansial: mengancam keselamatan masyarakat Desa
Wadas; merampas hak atas tanah masyarakat Desa Wadas; meletakkan masyarakat
pada posisi yang tidak terhitung dalam dampak pembangunan; potensi hilangnya
sosial dan budaya kehidupan perempuan dan anak Wadas.
Pejabat TUN sewenang-wenang menginterpretasikan sepihak makna
kepentingan umum yang bersifat terbatas, terlebih makna keseimbangan secara
sepihak dan merugikan masyarakat Desa Wadas. Pada pengadaan tanah untuk
kepentingan umum, Pejabat TUN seharusnya tidak memihak dan sama-sama
mengakomodir apa yang menjadi kebutuhan dan keinginan masyarakat Desa Wadas
selaku masyarakat yang terdampak.
Perlu suatu pendekatan atau pemahaman dalam kebijakan pengadaan tanah,
bahwa tanah yang mempunyai relasi spesial dengan pemilik atau pun penguasanya,
haruslah dijadikan landasan dalam pendekatan untuk kebijakan pengadaaan tanah.
Pelibatan masyarakat di setiap tahapan pembangunan adalah suatu keharusan yang
tidak dapat ditawar lagi. Sehingga pada era pembangunan yang serba cepat, dalih
perampasan tanah masyarakat tidak dapat memiliki panggung untuk eksis.
2) Terdapat sesat pikir hukum pengadaan tanah untuk pertambangan
Masuknya Desa Wadas dalam rencana wilayah pertambangan Batu Andesit
dalam Izin Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Bendungan
Bener adalah bentuk tindakan sewenang-wenang Tergugat sebagai Pejabat TUN
Amicus Curiae Perkara Nomor: 68/G/PU/2021/PTUN.SMG
Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang Konsorsium Pembaruan Agraria 28
yang sesat pikir hukum pengadaan tanah. Penerbitan izin penetapan pengadaan
tanah tidak didasarkan pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Kendati pertambangan batu andesit di Wadas adalah suatu rangkaian
kegiatan Bendungan Bener, tidak dapat begitu saja menempatkan kegiatan tambang
pada ranah pembangunan untuk kepentingan umum. Pertambangan tidak termasuk
pada daftar pembangunan untuk kepentingan umum, sebagaimana diatur pada UU
Pengadaan Tanah sebagaimana diubah dalam UU Cipta Kerja dan PP 19/2021.
Pertambangan diatur tersendiri pada UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan
Atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. Oleh karena kegiatan
pertambangan dan pembangunan infrastruktur memiliki sumber peraturan
perundang-undangan yang berbeda, maka harus dipahami keduanya adalah jenis
kegiatan yang berbeda pelaksanaan dan berbeda pula fungsinya.
Penggunaan izin penetapan lokasi pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kegiatan pertambangan batu andesit di Wadas, tidak dapat ditelusuri landasan
hukumnya. Sesat pikir pengadaan tanah untuk kepentingan umum ini berasal dari
gagalnya Pemerintah menginterpretasikan kepentingan umum yang bersifat
terbatas.
Pemerintah telah mensimplifikasi dan menginterpretasi secara serampangan
peraturan perundang-undangan yang sudah ada, untuk pembangunan yang tidak
dibutuhkan dan diinginkan masyarakat Desa Wadas yang terancam hak atas
tanahnya beserta budaya dan sosial yang menyertainya. Sehingga makna
keseimbangan dalam pembangunan untuk kepentingan umum yang diatur pada UU
Pengadaan Tanah tidak dapat menemukan bentuk idealnya.
3) Terdapat pelanggaran hak atas ruang hidup
Tanah sebagai basis teraihnya kuasa ekonomi, sosial dan politik
menempatkan relasi tanah dan kehidupan masyarakat Desa Wadas tidak dapat
dipisahkan. Sebagai hak dasar untuk hidup dan penghidupan manusia, hak atas tanah
diatur pada UUD NRI 1945, UUPA, UU HAM, UU Ekosob, dan UU Pengadaan Tanah.
Kesemua peraturan perundang-undangan tersebut menjaminkan bahwa
pembangunan tidak ditujukan untuk mengakibatkan kesejahteraan rakyat menjadi
berkurang, atau tidak memiskinkan rakyat atas nama pembangunan.
Pemerintah berdasar peraturan perundang-undangan a quo memiliki
tanggungjawab menjamin penguasaan sumber agraria oleh masyarakat untuk
kemakmuran. Namun peletakan standar hak asasi manusia dalam pembangunan
infrastruktur dan proyek srategi nasional masih tergolong lemah, termasuk
pembangunan Bendungan Bener yang berdampak pada masyarakat Desa Wadas.
Pejabat TUN c.q Gubernur Jawa Tengah gagal memenuhi tanggungjawabnya
dalam menjamin penguasaan sumber agraria masyarakat Wadas demi mencapai
kemakmurannya. Hal ini menempatkan masyarakat Desa Wadas terlanggar hak atas
ruang hidupnya, yaitu hak atas tanah yang lebih dari an sich bersifat
multidimensional sebagai ruang proses berbudaya, ruang hidup dan
penghidupannya.
Amicus Curiae Perkara Nomor: 68/G/PU/2021/PTUN.SMG
Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang Konsorsium Pembaruan Agraria 29
Sebagai hak dasar, hak atas tanah memiliki arti yang besar untuk eksistensi,
kebebasan, dan harkat diri seseorang sebagai manusia terutama petani. Hilangnya
tanah masyarakat Desa Wadas harus dapat dipahami sebagai potensi terjadinya
fenomenan hilangnya profesi petani atau meminjam istilah Henry Beirnstein dikenal
dengan depeasantization, proses petani kehilangan akses dan untuk reproduksi.
Tanah memiliki fungsi sosial sebagaimana diatur pada Pasal 6 UUPA tidak
lantas menjadi alasan negara dapat merampasnya dengan mengedepankan alasan
pembangunan untuk kepentingan umum. Pengambilalihan tanah untuk kepentingan
umum diatur dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan
perseorangan dan kepentingan umum, sebagaimana diatur pada Pasal 37 UU HAM
dan Pasal 9 ayat (1) UU Pengadaan Tanah. Sehingga apabila seimbang dan
berkeadilan, kemakmuran, keadilan, dan kebahagiaan rakyat seluruhnya dapat
terwujud sebagaimana diatur Pasal 2 ayat (3) UUPA.
4) Pembangunan meletakkan masyarakat Desa Wadas pada posisi yang tidak
terhitung dalam dampak pembangunan
Penetapan lokasi pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan
umum di Desa Wadas tidak partisipastif. Tidak ada ruang yang cukup bagi
masyarakat Desa Wadas untuk didengarkan keberatannya terhadap rencana
pembangunan (pertambangan) di atas tanah penghidupannya. Tidak ada pula pintu
musyawarah mufakat yang bersifat transparan dan terbuka dilakukan oleh
Pemerintah dalam melakukan setiap tahapan pembangunan.
Sejak diterbitkannya SK IPL 590/41 2018 hingga hari ini, Gerakan Masyarakat
Peduli Alam Desa Wadas (GEMPADEWA) aktif menyuarakan penolakan terhadap
pembangunan yang mengancam penghidupan mereka. Bahkan sejak proses
penerbitan SK IPL 590/41 2018, SK IPL 539/29 2020, hingga SK IPL 540/20 2021
Pemerintah mengabaikan prinsip-prinsip prosedural pengadaan tanah dan tidak
melibatkan peran masyarakat Desa Wadas.
Pertimbangan SK Nomor 590/41 2018 adalah berita acara konsultasi publik
pada 26 Desember 2018, namun terdapat manipulasi dalam dokumen berita acara
konsultasi publik yang dilampirkan pada ANDAL Pembangunan Bendungan Bener
terkait tanggapan masyarakat terhadap rencana quarry. Berita acara menunjukkan
seolah masyarakat Desa Wadas tidak keberatan terhadap dilakukannya
pertambangan di sumber penghidupan mereka. Hal ini jelas-jelas merupakan suatu
bentuk kejahatan pembangunan yang meletakkan masyarakat Desa Wadas pada
posisi yang tidak terhitung dalam dampak pembangunan. Padahal yang menjadi
bagian paling penting dalam pembangunan adalah tidak mengakibatkan
kesejahteraan rakyat menjadi berkurang, atau tidak memiskinkan rakyat yang telah
berkorban untuk proyek pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum.
Meminjam istilah Jacques Ranciere, masyarakat Desa Wadas adalah bagian
yang tidak terhitung dalam pembangunan. Masyarakat Desa Wadas ditempatkan
sebagai elemen-elemen yang tidak dianggap keberadaannya, atau menjadi bagian
yang tidak memiliki bagian dalam pembangunan. Di mana keberadaannya tidak
Amicus Curiae Perkara Nomor: 68/G/PU/2021/PTUN.SMG
Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang Konsorsium Pembaruan Agraria 30
diharapkan muncul ke permukaan dan mengganggu tatanan pembangunan
kemudian menuntut agar dapat menjadi bagian dari tatanan.
Padahal menurut Robert A. Dahl, partisipasi merupakan ruang bagi
masyarakat untuk melakukan negosiasi dalam proses perumusan kebijakan yang
berdampak langsung terhadap kehidupannya. Seluruh masyarakat memiliki
kesempatan yang sama untuk turut berperan serta mendiskusikan atau membahas
masalah-masalah dan mengambil keputusan. Hal ini merupakan syarat sistem
demokrasi, yang mana hanya dapat dibangun dengan partisipasi dan terbuka pada
gugatan dari mereka yang tidak terhitung atau tidak menjadi bagian dari kelompok
dominan dan tidak bersepakat atau disebut disensus.
Kebijakan pembangunan sebagai suatu norma hukum publik dibentuk oleh
lembaga negara selaku representasi masyarakat. Pembentukannya harus dilakukan
secara lebih hati-hati, karena harus dapat memenuhi kehendak serta keinginan
rakyat. Dengan kata lain, bentuk materil kebijakan pembangunan adalah cerminan
nilai dan kehendak masyarakat.
Ketentuan partisipasi masyarakat dalam pembentukan kebijakan
pembangunan adalah konsekuensi logis dari konsep hukum negara yang demokratis.
Kedaulatan rakyat sebagai bentuk perwujudan demokrasi, harus dipahami dan
dipraktikkan baik dari aspek prosedural (sistem keterwakilan, kelembagaan
kedaultan, partisipasi politik, partisipasi pembangunan, dan lain sebagainya) maupn
aspek substantif (landasan bagi hak-hak dasar rakyat, jaminan pemenuhan
perlindungan dan pemajuan HAM, kesejahteraan rakyat, keamanan rakyat). Maka
partisipasi masyarakat dalam pembangunan adalah lebih dari an sich merupakan
upaya perwujudan pemenuhan hak atas ruang hidup masyarakat, dalam hal ini
adalah hak atas tanah untuk penghidupan dan pertanian masyarakat Desa Wadas.
BAB IV. PENUTUP
4.1. KESIMPULAN
Penting dipahami bahwa hak milik atas tanah hakekatnya melekat atau dimiliki oleh setiap orang yang telah menguasai, menggarap dan memanfaatkan tanah untuk kebutuhan hidupnya. Tanah adalah faktor utama dalam menentukan produksi setiap fase peradaban.
Pengadaan tanah sebagai cara menyediakan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, adalah tuntutan yang tidak dapat dihindari pemerintah manapun. Fungsi sosial hak atas tanah sebagaimana diatur Pasal 6 UUPA, menjadi salah satu dasar untuk melaksanakan pembangunan untuk kepentingan umum.
Negara dalam pembangunan harus hadir untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak warganegaranya. Sebab penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan umum harus memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat, sebagaimana diatur Pasal 9 ayat (1) UU Pengadaan Tanah.
Agar pengadaan tanah tidak pragmatis dan berkeadilan, maka pengadaan tanah harus dilakukan dengan cara menghormati hak asasi manusia sebagaimana diatur oleh UUD NRI 1945, UUPA, UU HAM, UU Ekosob, dan UU Pengadaan Tanah, serta peraturan perundang-undangan terkait lainnya. Oleh karena itu, Majelis Hakim PTUN Semarang dalam mengadili Perkara Nomor: 68/G/PU/2021/PTUN.SMG harus mampu memahami
Amicus Curiae Perkara Nomor: 68/G/PU/2021/PTUN.SMG
Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang Konsorsium Pembaruan Agraria 31
dan menggali proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum di Desa Wadas dilakukan dengan memakai pendekatan hak asasi manusia yang berkeadilan.
Dikaji dari optik perubahan masyarakat agraris menjadi masyarakat industri, pembangunan mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap tanah, baik dari segi pemilikan, penguasaan maupun penggunaannya. Agar tidak memperparah fenomena hilangnya petani dari sektor pertanian di Indonesia karena hilangnya tanah masyarakat, maka pembangunan di Desa Wadas harus mampu memberikan kemakmuran dan kesejahteraan dengan tetap memperhatikan hak atas tanah para masyarakat terdampak.
Pembangunan tidak ditujukan untuk menempatkan masyarakat terdampak pembangunan menjadi pihak yang tidak terhitung dalam babak yang tidak berkesudahan sebagai korban pembangunan dan situasi konflik. Maka pengadaan tanah untuk kepentingan umum harus dilakukan melalui proses yang dapat menjamin bahwa tidak ada unsur pemaksaan kehendak dan menjamin kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat tidak akan lebih buruk dari keadaan sebelum tanahnya digunakan pihak lain. Proses pembangunan seharusnya diarahkan pada musyawarah persetujuan pembangunan, menghindari tindakan kekerasan, intimidasi dan represifitas, pembangunan juga perlu memperhatikan proses ganti rugi yang layak dan berkeadilan bagi masyarakat terdampak. Serta harus mampu memperhitungkan dampak buruk perubahan ekonomi sosial dan budaya ke depan. 4.2. REKOMENDASI
Kajian analisis terkait teori, konsep dan peraturan perundang-undangan tentang pengadaan tanah dan hak atas tanah, menguatkan fakta hukum pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum di Desa Wadas adalah cacat prosedur dan cacat substansi. Maka berdasarkan ketentuan Pasal 71 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan :
Keputusan dan/atau tindakan dapat dibatalkan apabila : 1. Terdapat kesalahan prosedur; atau 2. Terdapat kesalahan substansi.
Oleh karena itu, KPA memandang Majelis Hakim PTUN Semarang yang mulia dapat memutus secara adil perkara No: Perkara Nomor: 68/G/PU/2021/PTUN.SMG dengan mengabulkan Gugatan Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (GEMPADEWA) Terhadap Cacat Prosedur dan Substansial Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/20 Tahun 2021 tentang Pembaruan Atas Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Wonosobo Provinsi Jawa Tengah tertanggal 7 Juni 2021 kepada Ganjar Pranowo selaku Gubernur Jawa Tengah.
Demikian pendapat dan pandangan KPA sebagai Amici, KPA berkeyakinan bahwa Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang dapat memberikan keadilan pada masyarakat Desa Wadas selaku penggunggat. Sekaligus menjadi bagian dari pembaruan hukum yang menentukan masa depan perlindungan hukum bagi petani serta kelestarian lingkungan hidup di Indonesia.
Jakarta, 17 Agustus 2021
Hormat kami, Konsorsium Pembaruan Agraria
Dewi Kartika Sekretaris Jenderal
Amicus Curiae Perkara Nomor: 68/G/PU/2021/PTUN.SMG
Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang Konsorsium Pembaruan Agraria 32
DAFTAR PUSTAKA
Buku/Jurnal/Tesis: Bernhard Limbong, Politik Pertanahan, Jakarta, Margaretha Pustaka. Daniel S. Lev, 1990, Hukum dan Politik di Indonsia: Kesinambungan dan Perubahan, LP3S,
Jakarta. George Pring dan Catherine Pring, 2016, Environmental Courts and Tribunal Study: A
Guide for Policy Makers, UNEP, Kenya. Gina Sabrina, 2021, Menemukan Peran Peradilan Tata Usaha Negara dalam Pencegahan
Kerusakan Lingkungan atas Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Celukan Bawang 2x330 MW Berdasarkan Putusan MA Nomor 67/PK/TUN/LH/2020, Tesis, Magister Ilmu Hukum Kenegaraan, Universitas Indonesia, Jakarta.
Gunawan Wiradi, Seluk Beluk Masalah Agraria, STPN Press dan SAINS Institute, Yogyakarta.
Harvi Fikri Ramesa, 2017, Analisis Makna Kata Keseimbangan dalam Pasal 9 (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, Skripsi, Ilmu Hukum Strata Satu, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang.
Jimly Asshiddiqie, Gagasan Negara Hukum. Linda Dewi Rahayu, 2020, Pragmatisme Makna Keseimbangan dalam Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Tidak Diterbitkan.
Maria S.W. Sumardjono, 2007, Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan Implementasi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Maria S.W. Sumardjono, 2008, Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Jakarta, Buku Kompas.
Maria Sumardjono, Pragmatisme UU Pengadaan Tanah, Opini, Kompas, 7 Januari 2013. Maria SW Sumardjono, 2015, Dinamika Pengaturan Pengadaan Tanah di Indonesia: Dari
Keputusan Presiden sampai Undang-Undang, UGM Press, Yogyakarta, Cetakan Pertama.
Moh. Mahfud MD, 2006, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3ES, Jakarta.
Mohchammad Tauhid, 2009, Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia, Yogyakarta:STPN Press.
Muhammad Bakri, 2007, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara (Paradigma Baru Untuk Reformasi Agraria, Citra Media, Ctk.1, Yogyakarta.
Nurhasan Ismail, 2011, Hukum Prismatik: Kebutuhan Masyarakat Majemuk Sebuah Pemikiran Awal, Pidato Pengukuhan Guru Besar Pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pada tanggal 12 Desember 2011 di Yogyakarta.
Nurus Zaman, 2016, Politik Hukum Pengadaan Tanah: Antara Kepentingan Umum Dan Perlindungan Hak Asasi Manusia, Refika Aditama, Bandung.
Rafael Edy Bosko, 1993, Fugsi Sosial: Konsepsi dan Implikasi Pengaturannya Terhadap Hak Milik Atas Tanah, Jurnal Mimbar Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Robert A. Dahl, 2001, Perihal Demokrasi: Menjelajahi Teori dan Praktik Demokrasi Secara Singkat, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Bandung, Penerbit Angkasa. SF Marbun, Peradilan Tata Usaha Negara dalam Putera Astomo, Eksistensi Peradilan
Administrasi, Jurnal MMH Vol. 1 Nomor 1 Juli 2014. Siti Aminah, 2014, Menjadi Sahabat Keadilan Panduan Menyusun Amicus Brief, Jakarta,
The Indonesia Legal Resources Center (ILRC).
Amicus Curiae Perkara Nomor: 68/G/PU/2021/PTUN.SMG
Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang Konsorsium Pembaruan Agraria 33
Soehino, 1985, Hukum Tata Negara: Negara Kesatuan Republik Indonesia Berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, Yogyakarta, Liberty.
Soetanto Soepiadhhy, 2004, Undang-Undang Dasar 45 Kekosongan Politik Hukum Makro, Kepel Press, Jakarta.
Sri Indiyastutik, 2019, Disensus: Demokrasi sebagai Perselisihan Menurut Jacques Ranciere, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.
Sri Soemantri, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara, Bandung, Alumni. Sudargo Gautama, 1997, Tafisran Undang-Undang Pokok Agraria dan Peraturan
Pelaksanaannya, Citra Aditya Bakti, Bandung. Peraturan Perundang-Undangan: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan
Agraria dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional
tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Pertama atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Perdilan Tata Usaha Negara dan terakhir kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Perda Kabupaten Purworejo Nomor 27 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten Purworejo Tahun 2011-2031 Putusan Lembaga Peradilan: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-I/2003 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-1/2013 Daring: Anonim, Telaah HAM dalam Pembangunan Infrastruktur. (Online:
https://www.komnasham.go.id/index.php/news/2019/10/18/1214/telaah-ham-dalam-pembangunan-infrastruktur.html)