ppt

31
Tugas refrat POLIP HIDUNG Diajukan untuk memenuhi Sebagian Persyaratan dalam menyelesaikan Pendidikan Profesi Dokter Pada Bagian Ilmu Penyakit Telinga, Hidung, dan Tenggorokan di Rumah Sakit Umum Daerah Sukoharjo Pembimbing : dr. Dony Hartanto, M.Kes, Sp. THT-KL Diajukan Oleh : Arif Rahman Dwi Mulianto J 500 070 011 Putut Himawan J 500 070 014 PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2012

description

refrat

Transcript of ppt

Page 1: ppt

Tugas refrat

POLIP HIDUNG

Diajukan untuk memenuhi Sebagian Persyaratan dalam menyelesaikan Pendidikan Profesi Dokter Pada Bagian Ilmu Penyakit Telinga, Hidung,

dan Tenggorokan di Rumah Sakit Umum Daerah Sukoharjo

Pembimbing : dr. Dony Hartanto, M.Kes, Sp. THT-KL

Diajukan Oleh :

Arif Rahman Dwi Mulianto J 500 070 011Putut Himawan J 500 070 014

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTERFAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA2012

Page 2: ppt

BAB I

PENDAHULUAN

Page 3: ppt

LATAR BELAKANG

Polip hidung sampai saat ini masih merupakan masalah medis,

selain itu juga memberikan masalah sosial karena dapat

mempengaruhi kualitas hidup penderitanya seperti di sekolah, di

tempat kerja, aktifitas harian dan sebagainya (Arfandy RB,

2001). Polip hidung merupakan mukosa hidung yang mengalami

inflamasi dan menimbulkan prolaps mukosa di dalam rongga

hidung. Polip hidung ini dapat dilihat melalui pemeriksaan

rinoskopi dengan atau tanpa bantuan endoskop (Gazali, 2007)

Page 4: ppt

LATAR BELAKANG

Prevalensi penderita polip hidung belum diketahui pasti karena

hanya sedikit laporan dari hasil studi epidemiologi serta

tergantung pada pemilihan populasi penelitian dan metode

diagnostik yang digunakan. Prevalensi polip hidung dilaporkan

1-2% pada orang dewasa di Eropa dan 4,3% di Finlandia. Di

Indonesia studi epidemiologi menunjukkan bahwa perbandingan

pria dan wanita 2-3 : 1 dengan prevalensi 0,2% - 4,3%.

Page 5: ppt

LATAR BELAKANG

Penangan untuk kasus-kasus polip hidung sampai saat ini masih bersandar

pada terapi medik dan terapi bedah. Untuk terapi medik digunakan

kortikosteroid sebagai anti inflamasi dan diberi antibiotik bila sudah terjadi

infeksi sinusitis. Kortikosteroid sebagai anti inflamasi dapat diberikan secara

oral dan topikal. Oleh karena efek tersebut perlu dipikirkan obat anti inflamasi

yang bukan kortikosteroid dengan efek samping minimal. Salah satu obat

yang memenuhi kriteria tersebut adalah inhibitor COX-2 (Lopo C, 2003).

Page 6: ppt

TUJUAN PENULISAN

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah mengulas semua yang

mengenai polip hidung serta manfaat inhibitor COX-2 terhadap

polip hidung.

Page 7: ppt

MANFAAT PENULISAN

1. Untuk memperoleh informasi tentang polip hidung

2. Sebagai bahan pertimbangan untuk penatalaksanaan

terhadap kasus polip hidung.

3. Sebagai bahan untuk pengembangan keilmuan dibidang

ilmu kesehatan dibidang Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,

Tenggorok dan Bedah Kepala Leher.

Page 8: ppt

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Page 9: ppt

DEFINISI

Polip hidung merupakan penyakit inflamasi kronik dengan

etiologi yang belum diketahui. Alergi dan infeksi dianggap

sebagai faktor etiologi paling penting dalam perkembangan polip

hidung (Lopo C, 2003).

Page 10: ppt

JENIS POLIP

1. Polip hidung tunggal. Jumlah polip hanya satu buah, berasal

dari sel-sel permukaan dinding sinus tulang pipi (maxilla).

2. Polip hidung multiple. Jumlah polip lebih dari satu, dapat

timbul di kedua sisi rongga hidung. Pada umumnya berasal

dari permukaan dinding rongga tulang hidung bagian atas

(etmoid) (kapsel, 2001).

Page 11: ppt

STADIUM POLIP

1) Stadium 1

Polip masih terbatas di meatus medius

2) Stadium 2

Polip sudah keluar dari meatus medius tapi belum memenuhi rongga hidung

3) Stadium 3

Polip yang masif

(Naclerio RM, 2000)

Page 12: ppt

ETIOLOGI

1) Peradangan (Peradangan mukosa hidung dan sinus paranasal

yang kronik dan berulang)

2) Vasomotor (Gangguan keseimbangan vasomotor)

3) Edema (Peningkatan tekanan cairan interstitial sehingga

timbul edema mukosa hidung)

(Montgomery W et all, 2007)

Page 13: ppt

PATOFISIOLOGI

Pada tingkat permulaan ditemukan edema mukosa

yang kebanyakan terdapat di daerah meatus medius.

Kemudian stroma akan terisi oleh cairan interseluler,

sehingga mukosa yang sembab menjadi polipoid. Bila proses

terus berlanjut, mukosa yang sembab makin membesar dan

kemudian akan turun ke dalam rongga hidung sambil

membentuk tangkai, sehingga terbentuk polip (Morinaka et

all, 2000).

Page 14: ppt

PATOFISIOLOGI

Polip di kavum nasi terbentuk akibat proses radang

yang lama. Penyebab tersering adalah sinusitis kronik dan

rhinitis alergi. Dalam jangka waktu yang lama, vasodilatasi

lama dari pembuluh darah submukosa menyebabkan edema

mukosa. Mukosa akan menjadi ireguler dan terdorong ke

sinus dan pada akhirnya membentuk suatu struktur bernama

polip (Tos M et all, 2004).

.

Page 15: ppt

GEJALA KLINIS

Gejala utama yang ditimbulkan oleh polip hidung

adalah rasa sumbatan di hidung. Sumbatan ini tidak hilang-

timbul dan makin lama semakin berat keluhannya. Pada

sumbatan yang hebat dapat menyebabkan gejala hiposmia

atau anosmia. Bila polip ini menyumbat sinus paranasal, maka

sebagai komplikasinya akan terjadi sinusitis dengan keluhan

nyeri kepala dan rinore. Penderita anak-anak sering bersuara

sengau dan bernafas melalui mulutnya (Kim SS et all, 2000).

Page 16: ppt

DIAGNOSIS

1) Anamnesis

a. hidung tersumbat (terasa ada massa di dalam hidung)

b. sukar membuang ingus

c. gangguan penciuman (anosmia dan hiposmia)

d. gejala sekunder apabila disertai kelainan jaringan dan organ di sekitarnya seperti post nasal drip, sakit kepala, nyeri muka, suara nasal (bindeng), telinga rasa penuh, mendengkur, gangguan tidur, dan penurunan kualitas hidup

(Mangunkusumo E, 2003).

Page 17: ppt

DIAGNOSIS

2) Pemeriksaan fisik dimulai dengan rinoskopi anterior

3) Foto polos rontgen & CT-scan untuk mendeteksi sinusitis.

4) Biopsi dianjurkan jika terdapat massa unilateral pada pasien

berusia lanjut, menyerupai keganasan pada penampakan

makroskopis dan ada gambaran erosi tulang pada foto polos

rontgen (Mangunkusumo, 2003).

Page 18: ppt

DIAGNOSIS BANDING

Polip didiagnosa-bandingkan dengan konka polipoid, yang ciri –

cirinya sebagai berikut :

1) Tidak bertangkai

2) Sukar digerakkan

3) Nyeri bila ditekan dengan pinset

4) Mudah berdarah

5) Dapat mengecil pada pemakaian vasokonstriktor (kapas

adrenalin)

(Naclerio RM, 2000)

Page 19: ppt

PENATALAKSAAN

Ada 3 macam terapi polip hidung, yaitu :

a)Medikamentosa : kortikosteroid, antibiotik & anti alergi

(Steinbach G et all, 2000)

b)Operasi : polipektomi & etmoidektomi (Naclerio RM, 2000)

c)Kombinasi : medikamentosa & operasi (Mygin, 2009).

Page 20: ppt

PENCEGAHAN

1. Melembabkan rumah

2. Mengatur alergi dan asma

3. Hidup bersih yang baik

4. Hindari iritasi

5. Gunakan bilasan hidung atau nasal lavage

(Drake-lee, 2002)

Page 21: ppt

PROGNOSIS

Polip hidung sering tumbuh kembali, oleh karena itu

pengobatannya juga perlu ditujukan kepada penyebabnya,

misalnya alergi. Terapi yang paling ideal pada rinitis alergi

adalah menghindari kontak dengan alergen penyebab dan

eliminasi (Arfandy RB, 2001).

Page 22: ppt

BAB III

KESIMPULAN

Page 23: ppt

KESIMPULAN

1. Polip nasi merupakan salah satu penyakit THT yang

memberikan keluhan sumbatan pada hidung yang menetap

dan semakin lama semakin berat dirasakan.

2. Etiologi polip di literatur terbanyak merupakan akibat

reaksi hipersensitivitas yaitu pada proses alergi, sehingga

banyak didapatkan bersamaan dengan adanya rinitis alergi.

Page 24: ppt

KESIMPULAN

3. Pada anamnesis pasien, didapatkan keluhan obstruksi

hidung, anosmia, adanya riwayat rinitis alergi, keluhan sakit

kepala daerah frontal atau sekitar mata, adanya sekret hidung.

4. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior ditemukan massa

yang lunak, bertangkai, mudah digerakkan, tidak ada nteri

tekan dan tidak mengecil pada pemberian vasokonstriktor

lokal.

Page 25: ppt

KESIMPULAN

5. Penatalaksanaan untuk polip nasi ini bisa secara konservatif

maupun operatif, yang biasanya dipilih dengan melihat ukuran

polip itu sendiri dan keluhan dari pasien sendiri.

6. Pada pasien dengan riwayat rinitis alergi, polip nasi

mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk rekuren.

Sehingga kemungkinan pasien harus menjalani polipektomi

beberapa kali dalam hidupnya.

•  

Page 26: ppt

DAFTAR PUSTAKA

Arfandy RB. 2001. Pola penanganan polip hidun, dalam : Simposium penanganan alergi dan polip hidung. Makassar : Perhati-KL Cab. Sulsera pp. 1-7

Ballantyne, J. 2003. Nasal polyposis In: Ballantyne J, Groves J eds Scott Brown’s Diseases of the Ear, Nose and Throat 5 ed The Nose and Sinuses. London : Butterswoths pp. 25 – 234.

Drake-Lee. 2002. Nasal Polip In Mackay IS, Bull Tr, eds. Scott Browns Otolaringology Vol 4 Rhinology 5 ed. London: Butterwoths pp. 142 – 153

Fokkens W, Lund V, Mullol J. 2007. European position paper on rhinosinusitis and nasal polyps A summary for otorhinolaryngologists in Rhinology. European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps Group pp. 45 : 97 – 10

Hedman J, Kaprio J, Poussa T, et al. 2002. Prevelance of asthma, aspirin intolerasce, nasal polyposis and chronic obstructive pulmonary disease in a population-based study. Int J Epidemiol pp. 28: 717 – 22

Page 27: ppt

DAFTAR PUSTAKA

Kapita Selekta Kedokteran edisi III jilid I. 2000. Jakarta : Penerbit Media Aesculapius FK-UI pp. 113-114

Kim SS, Kim KS, Lee JG, et al. 2000. Levels of intracellular protein and messenger RNA of mucin and lysozyme in normal human nasal and polyp epithelium. Laryngoscope pp 110: 276 – 280

Lopo C. 2003. Gambaran histologik polip hidung alergik dan non alergik Karya Akhir Dalam Penyelesaian Pendidikan Dokter Spesialis I THT-KL.

Mangunkusumo E, Wardani S. 2003. Polip hidung, Dalam : Soepardi EA, Iskandar N. Ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan edisi 6. Jakarta : Balai penerbit FK-UI pp. 123–124

Page 28: ppt

DAFTAR PUSTAKA

Montgomery W, Singer M, Hamaker R. 2007. Tumor hidung dan sinus paranasal Dalam : Stammberger H. Surgical treatment of nasal polyps : past, present, and future. Allergy pp 54 : 7–11

Morinaka S, Nakamura H. 2000. Inflammatory cells in nasal mucosa and nasal polyps. Auris Nasus Larynx pp. 27 : 59–64

Mygin. 2009. Advances medical treatment of nasal polyps. Allergiy pp. 54 : 12–16

Naclerio RM, MacKay. 2000. Guidelines for the management of nasal polyposis In Nasal Polyposis: An Inflammatory Disease and Its treatment. Edited by Mygind N, lildholdt T. Copenhagen : Munksgaard pp. 177–180

Page 29: ppt

DAFTAR PUSTAKA

Soepardi, Efiaty. Iskandar, Nurbaiti. 2000. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok edisi IV cetakan I. Jakarta : Balai Penerbit FK-UI

Soepardi, Efiaty. Hadjat, Fachri. Iskandar, Nurbaiti. 2000. Penatalaksanaan dan Kelainan Telinga Hidung Tenggorok edisi II, Jakarta : Balai Penerbit FK-UI

Steinbach G et all. 2000. The effect of Celecoxib, a Cyclooxyge

Tos M, Sasaki Y, Ohnishi M, Larsen P, Drake-Lee AB. 2004. Fireside conference 2 . Pathogenesis of nasal polyps 5ed. Rhinol Suppl pp. 14 : 181–5

Vento S. 2001. Pholypoid rhinosinustis-clinical course and etiologicall investigations, academic dissertation on Departement Othorhinolaryngology-Head and Neck Surgery. University of Helsinki Finland pp.1-92 

Page 30: ppt

EFEK PEMBERIAN INHIBITOR CICLO OXYGENASE 2 (COX-2) DIBANDINGKAN DENGAN PEMBERIAN KORTIKOSTREROID PADA

PENURUNAN UKURAN POLIP HIDUNG

Fransina, R. Sedjawidada, Amsyar Akil, Fadjar Perkasa, Abdul Qadar Punagi

Ear Nose Throat Departement, Medical Faculty,

Hasanuddin University, Makassar

Latar belakang masalah : kortikosteroid merupakan antiinflamasi yang biasa diberikan pada pasien polip hidung. Namun, memberikan efek samping yang serius seperti perdarahan usus bila diberikan dalam dosis yang besar dan dalam waktu yang lama. Inhibitor COX-2 juga mempunyai efek anti inflamasi dan dikenal tidak memberikan efek samping pada gastrointestinal. Tujuan : untuk melihat perbedaan antara pemberian kortikosteroid dan pemberian inhibitor COX-2 dalam hal penurunan ukuran polip hidung dan efek samping pengobatan. Metode : penelitian ini melibatkan 21 orang pasien dengan 39 kasus polip hidung. Sepuluh pasien polip hidung diberikan kortikosteroid oral 4mg tapering off mulai dari 60 mg sampai mencapai 570 mg selama 2 minggu.

Page 31: ppt

• Inhibitor COX-2 diberikan pada 11 pasien polip hidung dengan dosis 2x400 mg sehari selama 2 minggu. Polip hidung diperiksa dengan menggunakan endoskop rigid 0º dan direkam dengan handycam kemudian dicetak berwarna. Efek samping selama pengobatan dicatat. Hasil : terdapat penurunan rata-rata ukuran polip hidung selama pemberian obat. Namun, besarnya penurunan tidak bermakna baik pada kelompok kortikosteroid (p=0,13) maupun pada kelompok inhibitor COX-2 (p=54). Namun, jika dilakukan perbandingan antara pemberian kortikosteroid dan inhibitor COX-2 terdapat perbedaan yang bermakna (p=0,043) dalam hal penurunan ukuran polip. Tidak ditemukan efek samping pada pasien yang diterapi dengan inhibitor COX-2. Sebaliknya, keluhan gastrointestinal ditemukan pada 3 pasien dan peningkatan kadar gula darah pada 2 pasien yang menerima kortikosteroid. Simpulan : inhibitor COX-2 dapat digunakan sebagai terapi pengganti kortikosteroid pada pasien dengan poli hidung.