PPRROOSSEEDDIINNGG SSSEEMMIINNAARR · PDF filePenyelesaian Soal-Soal Imo Yang Terkait Dengan...
Transcript of PPRROOSSEEDDIINNGG SSSEEMMIINNAARR · PDF filePenyelesaian Soal-Soal Imo Yang Terkait Dengan...
ISBN : 978 – 979 – 99314 – 3 – 6
Tim Penyunting Artikel Seminar : Dr. Hartono Dr. Heru Kuswanto Dr. Suyanta Dr. Heru Nurcahyo
Tim Editor:
Dr. Endang Widjajanti LFX Agus Purwanto, M.Sc Nur Hadi Waryanto, S.Si Tri Atmanto, M.Si
Artikel dalam prosiding ini telah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Hasil Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA pada 30 Mei 2008 di FMIPA-UNY
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
TAHUN 2008
PPPRRROOOSSSEEEDDDIIINNNGGG SSSEEEMMMIIINNNAAARRR NNNAAASSSIIIOOONNNAAALLL PPPeeennneeellliiitttiiiaaannn,,, PPPeeennndddiiidddiiikkkaaannn dddaaannn P PPeeennneeerrraaapppaaannn MMMIIIPPPAAA
30 Mei 2008, R. Sidang FMIPA UNY, Yogyakarta
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
PROSIDING SEMINAR NASIONAL MIPA 2008 Penelitian, Pendidikan, dan Penerapan MIPA serta Peranannya Dalam Peningkatan Keprofesionalan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UNY, Yogyakarta 30 Mei 2006 Diselenggarakan oleh: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta Diterbitkan oleh Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta Kampus Karangmalang, Sleman, Yogyakarta Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UNY, 2008 Cetakan ke – 1 Terbitan Tahun 2008 Katalog dalam Terbitan (KDT) Seminar Nasional (2008 Mei 30: Yogyakarta) Prosiding/ Penyunting: Endang Widjajanti Laksono Laksono…. [et.al] – Yogyakarta: FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta, 2008 …jil
1. Nasional Seminar I. Judul II. Laksono Universitas Negeri Yogyakarta, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Penyuntingan semua tulisan dalam prosiding ini dilakukan oleh Tim Penyunting Seminar Nasional FMIPA 2008 dari FMIPA UNY
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
KATA PENGANTAR
Puji Syukur ke Hadirat Tuhan Yang Mahaesa atas segala Karunia dan
Rahmatnya proseding ini dapat diselesaikan. Proseding ini merupakan kumpulan dari
makalah dari peneliti, dosen dan guru yang berkecimpung di bidang MIPA dan
Pendidikan MIPA yang berasal berbagai daerah di Indonesia.
Makalah yang dipresentasikan meliputi 2 makalah utama dan 121 makalah
pendamping yang terdiri dari 32 makalah bidang matematika dan pendidikan matematika,
41 makalah bidang fisika dan pendidikan fisika, 21 makalah dari bidang kimia dan
pendidikan kimia serta 27 makalah bidang biologi dan pendidikan biologi.
Pada kesempatan ini panitia mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang
telah membantu dan mendukung penyelenggaraan seminar ini. Dan kepada seluruh peserta
seminar diucapkan terimakasih atas partisipasinya dan selamat berseminar semoga
bermanfaat.
Yogyakarta, 30 Mei 2008
Panitia
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
SAMBUTAN KETUA PANITIA
Assalamuallaikum wr. wb.
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas terlaksanakannya
seminar nasional Penelitian , Pendidikan dan Penerapan MIPA dengan tema “Peningkatan
Keprofesionalan Peneliti, Pendidik dan Praktisi MIPA untuk Mendukung Pengembangan
Kecerdasan Spiritual dan Emosional” .
Seminar ini merupakan agenda rutin tahunan Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta yang biasanya diagendakan sekitar
bular Agustus-September, namun untuk tahun ini kegiatan semnas diadakan dalam rangka
menyambut dan memeriahkan Dies Natalis Universitas Negeri Yogyakarta yang ke- 44.
Panitia mohon maaf karena pembicara utama Bapak Menteri Komunikasi dan Informatika
tidak bisa hadir dikarenakan ada kegiatan yang bersamaan dengan semnas ini dan sebagai
pengantinya beliau Bapak Dr. Ari Santosa
Pelaksanaan semnas ini terbagi dalam dua sesi yakni sesi pertama adalah sidang
pleno yaitu panel dua pembicara utama dan sesi yang kedua adalah siding parallel yang
terbagi dalam 4 bidang yaitu Matematika, Fisika, Kimia dan Biologi dengan total
malakah/artikel yang dipresentasikan sebanyak 118 makalah yang ditulis oleh para dosen
atau peneliti dari berbagai instansi di tanah air.
Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua anggota panitia yang
telah bekerja keras demi kelancaran semnas ini. Namun apabila masih ada kekurangan-
kekurangan dalam pelayanan kami panitia mohon maaf yang sebesarbesarnya. Akhir kata
kami sampaikan ucapan terimakasih yang sebesarbesarnya kepada para peserta seminar
atas partisipasinya dan selamat dating di FMIPA UNY dan selamat berseminar.
Wasalamuallaikum wr. wb.
Yogyakarta, 30 Mei 2008
Ketua Panitia
SAMBUTAN REKTOR
Assalmu’alaikum Wr. Wb.
Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia, rahmat dan nikmatNya yang selalu dilimpahkan kepada kita semua sehingga kita dapat bersama-sama di tempat ini dalam rangka mengikuti seminar nasional MIPA dengan tema:
Peningkatan Keprofesionalan Peneliti, Pendidik, dan Praktisi MIPA untuk mendukung Pengembangan Kecerdasan Spiritual dan Emosional.
Tema ini dipilih dengan semangat kebersamaan untuk meningkatkan kualitas dan profesionalisme peneliti, pendidik dan para praktisi MIPA. Hal ini sesuai dengan kebijakan pemerintah yang telah dituangkan baik dalam Undang-Undang RI No. : 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, Undang-Undang RI No.: 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen maupun Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.: 19 Tahun 2005 tentang standar Nasional Pendidikan. Apalagi dua diantara empat kompetensi yang dituntut dalam keprofesionalan pendidik tersebut sangat kental kaitannya dengan kendali dalam bidang kecedasan emosional dan spiritual.
Selanjutnya, dengan seminar nasional MIPA ini diharapkan para peserta seminar dapat semakin bersemangat dalam berinovasi dan berkarya nyata tentang MIPA atas dasar ibadah yang dilakukan secara tulus dan ikhlas. Dengan kata lain, harus selalu diusahakan terwujudnya pengembangan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni (IPTEKS) yang sinergis dengan peningkatan Iman dan Taqwa (IMTAQ) sehingga terwujud peningkatan ilmu yang amaliah dan amal yang ilmiah.
Akhirnya, saya sampaikan banyak terimakasih kepada segenap panitia penyelenggara seminar nasional MIPA, FMIPA-UNY, atas kesungguhan dan kerjasama dalam mensukseskan penyelenggaraan seminar nasional MIPA kali ini.
Selamat berseminar, dan semoga sukses. Terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Yogyakarta, 23 Mei 2008 REKTOR
Prof. Sugeng Mardiyono, Ph.D. NIP. 130687369
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ii
Sambutan Ketua Panitia iii
Sambutan Rektor iv
Daftar Isi v
Makalah Utama Dr. Chairil Anwar Riset Biomasa Dalam Konteks EQ dan SQ
Makalah Bidang Pendidikan Matematika
Kode Judul Hal
PM – 1 Pengembangan Soal Cerita Matematika dengan Empat Pilar
Belajar (Bambang Sumarno HM)
1
PM – 2 Kemampuan Komunikasi Matematis Mahasiswa Calon Guru
Matematika: Apa dan Bagaimana Mengembangkannya
(Djamilah Bondan Widjajanti)
15
PM – 3 Eksplorasi Program Winplot Untuk Mendukung Pembelajaran
Matematika Di SMA (Mg. Erni Harmiati)
25
PM – 4 Keterampilan Berpikir dalam Pendidikan Matematika Realistik
(Hasratuddin)
37
PM – 5 Mengestimasi Reliabilitas Perangkat Tes Melalui Pendekatan
Analisis Faktor (Heri Retnawati)
51
PM – 6 Konsep-Konsep dan Prinsip-Prinsip Yang Digunakan dalam
Penyelesaian Soal-Soal Imo Yang Terkait Dengan Konstruksi
Geometri (Himmawati Piji Lestari)
61
PM – 7 Analisis Kesiapan Guru Smp Negeri Di Kabupaten Tabalong dalam Menghadapi Sertifikasi Guru Dalam Jabatan (Karim, Rabiyatul Adawiyah, Barkis)
69
PM – 8 Penerapan Model Kooperatif Tipe TAI (Team-Assisted Individualization) dalam Pembelajaran Peluang Pada Siswa Kelas IX SMP Idhata Banjarmasin Tahun Pelajaran 2007/2008 (Karim, Sohrah)
81
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
PM – 9 Kegiatan Penelitian Sebagai Usaha Untuk Meningkatkan
Profesionalisme Guru Matematika (Marsigit)
95
PM – 10 Analisis Pembelajaran Mata Kuliah Semester I Jurusan Tadris
Matematika Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari Banjarmasin
(Muhamad Sabirin)
116
PM – 11 Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Untuk
Pembelajaran Materi Himpunan (Nila Kesumawati )
133
PM – 12 Penggunaan Metakognitif Scaffolding Untuk Meningkatkan
Kecakapan Matematik (Mathematical Proficiency) Siswa
(Risnanosanti)
143
PM – 13 Kesiapan Siswa Sma Menghadapi UAN Matematika (Studi
Kasus Pada Siswa Berkesulitan Belajar Matematika)
(R.Rosnawati)
153
PM – 14 Pembelajaran Matematika Berbasis Teknologi Untuk
Memaksimalkan Kemampuan Pemahaman Konsep,
Pemecahan Masalah dan Afektif Matematik Peserta Didik
(Rudy Kurniawan)
164
PM – 15 Kajian Kritis Keterlaksanaan Kurikulum Matematika Sekolah
(Sumaryanta)
179
PM – 16 Kemampuan Representasi dalam Pembelajaran Matematika
(Syarifah Fadillah)
192
PM – 17 Studi Tentang Model Pembelajaran Matematika Interaktif
Berbantuan Teknologi Multimedia Untuk Meningkatkan
Kemampuan Berpikir Siswa (Yonandi)
200
PM – 18 Penyusunan Peta Konsep dalam Setting Pembelajaran
Kooperatif Model "Stad" Pada Mahasiswa Pend. Mat. FKIP
Untan (Yulis Jamiah)
222
PM – 19 Membantu Siswa SD dalam Memecahkan Soal Aplikasi Matematis Melalui Pembelajaran Tidak Langsung Dengan Strategi ”ARIFIN” (Zaenal Arifin)
234
PM – 20 Information Literacy Kunci Sukses Pembelajaran Di Era Informasi (Sri Andayani)
248
Makalah Bidang Matematika
Kode Judul Hal
M – 1 Sistem Persamaan Linear Max-Plus Interval (M. Andy Rudhito,
Sri Wahyuni, Ari Suparwanto, F. Susilo, S.J.)
255
M – 2 Sistem Persamaan Linear Iteratif Max-Plus Interval (M. Andy
Rudhito, Sri Wahyuni, Ari Suparwanto, F. Susilo, S.J.)
263
M – 3 Teorema Pemetaan Kontraksi dan Penerapannya Pada
Persamaan Integral Fredholm (Herry Pribawanto Suryawan)
273
M – 4 Teori Matematika Dalam Perang (Don Bosco Priyo Edhi,
Antonius Yudhi Anggoro, Ratna Bunga, Christiansen
Pasaribu, Herry Pribawanto S)
285
M – 5 Ideal Fuzzy Semigrup (Karyati, Indah Emilia W, Sri Wahyuni,
Budi Surodjo, Setiadji)
297
M – 6 Perbandingan Model Regresi Poisson dan Model Regresi
Binomial Negatif (Kismiantini)
306
M – 7 Efisiensi Sumber Daya dengan Virtualisasi Server (Kuswari
Hernawati)
315
M – 8 Ruang Assosiat Terhadap Ruang Fungsi Terboboti
[ ]( ), ,X a b v dan Beberapa Permasalahan (Muslim Ansori,
Y.D Sumanto)
327
M – 9 A Henstock Integral For Multifunctions (Y. D. Sumanto,
Muslim Ansori)
341
M – 10 Pemetaan Terbatas Pada Sebuah Modul Hilbert (Dede
Suratman)
347
M – 11 Perluasan Konsep Bilangan Ramsey (Isnaini Rosyida) 354
M - 12 Penyelesaian Sistem Persamaan Non-Linear dengan Metode 364
Pseudo-Newton (Lusia Krismiyati Budiasih)
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
OlehChairil Anwar
Disampaikan pada Seminar Nasional dalam rangka Dies FMIPA UNY
Yogyakarta, 30 Mei 2008
Riset Biomasa Dalam Konteks EQ danSQ
Alur PresentasiAlur Presentasi
• Pendahuluan• Kecerdasan : Tinjauan Neurologi,
Psikologi dan Agama• Teori Penemuan Sains• Energi dan Kelangsungan Hidup• Riset Biomasa• Riset Biomasa dan Kecerdasan• Kesimpulan
PendahuluanPendahuluan• UNY memberikan gelar Dr HC pada Ary Ginanjar, Pencetus
dan yang mempopulerkan pelatihan ESQ• Kemajuan Sains dan Teknologi saat ini diyakini sebagai
produk unggulan manusia yang dihasilkan utamanyamelalui kerja otak (IQ) dalam memahami alam danmemanfaatkannya untuk kesejahteraan manusia.
• Diketahui bahwa kecerdasan manusia tidak hanya tunggalmelainkan majemuk (Multiple Intelligence) yang perlu terusdigali dan diaktualisasikan agar dapat menyelesaikanberbagai persoalan manusia.
• Manusia moderen dan energi tidak dapat dipisahkan. Dampak negatif penggunakan bahan bakar fosil (minyakbumi,gas, batu bara) adalah pemanasan global.
• Harga minyak mentah saat ini telah mencapai lebih dari AS $135 per barel.
• Melalui kecerdasannya manusia mencoba mengatasimasalah energi dan pemanasan global salah satunyamelalui penganekaan pemanfaatan biomasa.
Studi KecerdasanStudi Kecerdasan
• Tinjauan Neurologi- Sains Otak• Psikologi-Agama• Teori Penemuan Ilmiah
Definisi KecerdasanDefinisi Kecerdasan
Howard Gardner
Kecerdasan adalah kemampuanmenyelesaikan masalah, ataumenciptakan produk,yang bernilaimenurut lingkungan satu budayaatau lebih
Gardner mengusulkan 7 kecerdasan : bahasa(1), logika-matematika(2), ruang(3), tubuh-kinestetik(4), musik(5), intra personal(6) dan antarpersonal(7). Dua yang lain : naturalist(8), spiritual, daneksistensial(9)
IntelligenceIntelligence• Intelligence is a summary and multifaceted concept
of general mental capability, reflecting the ability to comprehend, adapt to, and interact with the environment.
• Patterns among components of intelligence, those reflecting "hold" versus "don't hold" skills, provide a strong basis for inferring changes in current intelligence from inferred premorbid intelligence.
• Intelligence is not a specific domain but a composite of several domains.
• It is usually included in neurofunctional assessment, however, as a comprehensive functional index and, because it is multifaceted, may not reflect some forms of brain injury or disorder.
• Otak mempunyai berat sekitar 1.4 kilogram, terdiri dari tiga struktur utama: cerebrum , cerebellum dan brainstem .
• Otak berfungsi sebagai pusat kontrol bagiberbagai fungsi tubuh dan membantu kitamengatasi lingkungan.
• Perkataan, perbuatan, fikiran,dan perasaanberpusat di otak.
• Otak sangat kompleks sehingga sebagianahli percaya bahwa kita tidak akan dapatmemahami otak sepenuhnya .
Kebutuhan Energi OtakKebutuhan Energi Otak
KebutuhanEnergi otak20 % dari total energi tubuh : 2/3 untukdigunakanuntukmenyalakanneuron dan 1/3 untuk menjagakomponen otak(Wei Chen )
Arsitektur OtakArsitektur Otak
cerebellum (1),cerebrum (2),two frontal lobes (3), motor area (4), Broca’s area(5), parietal lobes (6), sensory areas (7), occipital lobes (8), temporal lobes (9)
Emosi dan OtakEmosi dan Otak
Emosi adalah sesuatu yang lebih banyakterjadi pada diri kita daripada sesuatu yang kita putuskan agar terjadi pada kita
Neurokimia Maaf dan MelupakanNeurokimia Maaf dan Melupakan
• Kepercayaan menjadi dasar hubungan yang sehat antarmanusia. Saat ini saintis sedang meneliti bahwakepercayaan ternyata dapat dipicu oleh bahan kimia didalam otak.
• Penelitian terbaru menunjukkan bahwa hormon oxytocindapat menjadikan kita mempercayai teman walaupunmereka telah menunjukkan ketidak setiaanya melaluipenekanan pada daerah otak yang menunjukkan signal takut.
• Penemuan ini dapat membantu memahami masalahterjadinya fobia sosial serta kelainan lainnya.
• Thomas Baumgartner, ahli syaraf di Universitas Zürich, Swiss dan koleganya memantau aktivitas otak 49 pria padasaat mereka bermain game tentang trust dan betrayal
Akar Moral dalam OtakAkar Moral dalam Otak
Studi neuroimaging berhasil menghubungkan beberapa bagian otak denganmoral cognition. Temporoparietal junction kanan (brown), terkait denganpemahaman, atau ventromedial prefrontal cortex (green), yang memprosesemosi, telah diketemukan dapat merubah penilaian moral. Greene dkkkemudian menyarankan bahwa aktivitas di dalam anterior cingulate cortex (pink) menandai konflik diantara emosi, dipantulkan oleh aktivitas dalammedial frontal gyrus (blue) dan area lain (orange, brown), serta "cold" kognisi, dipantulkan oleh aktivitas dalam dorsolateral prefrontal cortex (yellow).
Bagian Percaya di OtakBagian Percaya di Otak
Hormon oxytocindapat menjadikankita percaya padaorang lain walaupun merekatidak loyal padakita, dengan caramenekan aktivitasdalam dorsal striatum (atas, daerah merah) and amygdala (bawah).
Apa : Emotional Intelligence?Apa : Emotional Intelligence?
•Faktor terkait dengan keberhasilanhidup•Membantu kita memahami mengapasebagian orang berhasil dalamhidupnya sedangkan sebagian lainnyagagal•EI berbeda dari IQ (Cognitive Intelligence)
Definisi EI (lainnya)Definisi EI (lainnya)
• Kemampuan untuk mengenalperasaan kita maupun orang lain, untuk memotivasi serta mengelolaemosi diri kita dengan baik danmenjaga hubungan baik dengansesamanya.
•Daniel Goldman
The Hay EQ Competency Framework
The Hay EQ Competency Framework
• Emotional Self-Awareness• Accurate Self-Assessment• Self-Confidence
• Self-Control• Trustworthiness• Conscientiousness• Adaptability• Achievement Orientation• Initiative
• Empathy• Organisational Awareness• Service Orientation
• Developing others• Leadership• Influence• Communication• Change Catalyst• Conflict Management• Building Bonds• Teamwork &Collaboration
Self AwarenessSelf Awareness Social AwarenessSocial Awareness
Self ManagementSelf Management Social SkillsSocial Skills
Teori Penemuan Ilmiah"Cha-Cha-Cha"
Teori Penemuan Ilmiah"Cha-Cha-Cha"
• Setiap penemuan ilmiah terjadi melaluipenataan neuron dalam otak seorangindividu dan karenanya ia idiosyncratic.
• Dengan melihat beberapa abad kebelakang ternyata penemuan ilmiahmenunjukkan pola yang dapatdikelompokkan menjadi tiga katagori yaitu: Charge, Challenge, dan Chance—yang dapat disingkat sebagai Teori PenemuanIlmiah "Cha-Cha-Cha“. (Daniel E. Koshland Jr.)
CATEGORIES OF DISCOVERY
Problem that needed solving Discovery Discoverer Category of discovery
Movement of stars, Earth, and Sun Gravity Newton Charge
Structure of C6H6 Benzene structure Kekulé Challenge
Clear spots on petri dish Penicillin Fleming Chance
Constant speed of light Special relativity Einstein Challenge
Preventing heart attacks Cholesterol metabolism Brown & Goldstein Charge
Crystals of D- and -L tartaric acid Optical activity Pasteur Chance
Atomic spectra that could not be explained Quantum mechanical atom Bohr Challenge
How DNA replicates and passes on coding
Base pairing in double helix Watson & Crick Challenge
Reagent "stuck" in storage cylinder Teflon Plunkett Chance
Why offspring look like their parents Laws of heredity Mendel Charge
Masalah GlobalMasalah Global
Makin banyak Jenis PenyakitTerkait pangan
Permintaan bahan pangan berkualitasTerus meningkat
Masalah Sosial
PemanasanGlobal
Bahan bakudan Energi Terbatas
Penyakit InfeksiKhewan meningkat
Revolusi Abu-abu
Riset BiomasaRiset Biomasa
• Dalam katagori teori 3-Cha risetbiomasa bisa masuk dalam katagorichallenge.
• Sumber energi ada dua macam : tidak terbarukan (energi fosil: minyakbumi, gas alam dan batu bara) danterbarukan (biomasa, air,angin,matahari/solar, nuklir)
Kenapa BiomasaKenapa Biomasa
• Tantangan Pemanasan Global• Terbarukan dan ramah lingkungan
(dapat mengatasi penggundulanhutan dengan memilih jenis tanamanyang produktif dan efisien)
• Harga minyak bumi yang makin tinggi• Sebagai tanggung jawab
kemanusiaan
TantanganTantangan
• Manfaatkan berbagai sumberbiomasa : selulosa, serat, jagung
• Gunakan Bioteknologi danNanoteknologi untukmengembangkan jalur konversi bio-katalitik melalui : yeast, enzim, katalisbed-tetap
Kiprah EU dalam RisetBiomasa
Kiprah EU dalam RisetBiomasa
• Berikut adalah contoh riset terpaduNegara-Negara Uni Eropa (EU) dalam riset biomasa
Kolaboratif Riset EU dalam Pangan, Pertanian-Bioteknologi
Kolaboratif Riset EU dalam Pangan, Pertanian-Bioteknologi
KesimpulanKesimpulan• Menurut pengetahuan neurologi dan psikologi pusat kecerdasan
ada di otak yang kemudian disalurkan ke berbagai aspek diri: kognitif (matematik,ruang); afektif (intra,ekstra,eksistensi) danmotorik (bahasa,fisik).
• Kecerdasan emosi (EI) dan spiritual (SI) terutama terkait denganhubungan antar manusia dan hubungan antara manusia denganYang Maha Kuasa.
• Melalui EI dan SI maupun kecerdasan majemuk (MI) manusiabertanggung jawab atas kelangsungan hidup dan peningkatankualitas hidup yang berkelanjutan.
• Awal abad 21 ditandai dengan masalah besar kemanusiaan yaitu‘isu’Pemanasan Global atau GW.
• Riset biomasa adalah salah satu cara manusia mengatasi GW. Melalui riset ini diharapkan CI,EI dan EI manusia dapat terusterasah sekaligus diharapkan dapat menjamin kelangsungan hidupmanusia maupun bumi (sustainable earth and humankind live)
PM – 1 : Pengembangan Soal Cerita.... Bambang Sumarno HM
Pengembangan Soal Cerita Matematika Dengan Empat Pilar Belajar
Bambang Sumarno HM
Jurdik Matematika FMIPA UNY
Abstrak
Permasalahan pembelajaran Matematika, paradigma kecerdasan dan kualitas kehidupan manusia saling mengait. Matematika tidak terlepaskan dari kehidupan manusia. Tetapi pada kenyataannya, eksistensinya menyempit sebatas ranah kognitif, seperti sebagai alat bantu perhitungan dan angka/batas “kelulusan”. Matematika belum dapat mempertegas perannya di ranah afektif yang banyak diperlukan di dalam kehidupan sehari-hari. Pentingnya pergerakan keberadaan Matematika ke ranah afektif sejalan dengan berkembangnya paradigma kecerdasan emosional yang sangat berperan di dalam peningkatan kualitas kehidupan manusia.
Soal cerita Matematika merupakan salah satu bentuk penyajian permasalahan Matematika yang cukup kental dengan permasalahan kehidupan sehari-hari. Pendekatan kehidupan sehari-hari sebagai upaya agar peserta didik dapat menemukan dan mengkomunikasikan konsep-konsep Matematika dengan kehidupan sehari-hari. Di sisi lain, sebagai upaya menjaga evolusi kehidupan manusia, UNESCO (United Nation Education, Social and Cultural Organization) melalui Task Force-nya menyampaikan refleksi Learning: the Treasure Within yang dikenal dengan “Empat Pilar Belajar”, yaitu learning to know, learning to do, learning to live together and learning to be.
Pengembangan soal cerita matematika yang mengacu pada Empat Pilar Pendidikan tersebut diharapkan Matematika tidak sekedar identik dengan kecerdasan intelektual (IQ/Intelligence Quotient) juga dapat mendukung terbentuknya kecerdasan emosional (EQ/Emotional Quotient). Adanya dukungan peningkatan kecerdasan emosional, peserta didik dapat menyinergikan belajar untuk mengetahui, melakukan/berkarya, hidup bersama dan menjadi individu yang berkembang secara utuh.
Kata Kunci: Soal Cerita Matematika, Empat Pilar Belajar, dan Kecerdasan Emosional
I. Latar Belakang
Ketakutan peserta didik terhadap Matematika merupakan cerminan pembelajaran
Matematika yang kurang berhasil. Hal ini berdampak rendahnya prestasi dan minat
belajar Matematika di sebagian besar sekolah. Kalaupun terbaca keberhasilan,
Matematika masih berkutat di ranah kognitif. Hal ini tersaji dengan besaran-besaran
nominal yang masih sebatas ukuran kelulusan.
Kurang disenanginya Matematika oleh sebagian besar peserta didik dapat
disebabkan pembelajaran Matematika yang kurang menyenangkan dan kurang
bermakna. Penyampaian materi Matematika yang didominasi ranah kognitif kurang
bermakna bagi peserta didik. Abstraksi yang terlalu kental dan kurangnya peluruhan
kembali ke permasalahan kehidupan sehari-hari semakin menjauhkan Matematika dari
peminatnya, yaitu peserta didik.
Lebih luas, keprihatinan akan pembelajaran secara umum memancing badan dunia
UNESCO menyampaikan refleksinya yang dikenal dengan Empat Pilar Belajar yang
terdiri dari learning to know, learning to do, learning to live together and learning to
be. Pernyataan ini sejalan berkembangnya paradigma tentang kecerdasan yang selama
ini memunculkan bias. Kecerdasan yang selama ini identik dengan intelektual
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
1
PM – 1 : Pengembangan Soal Cerita.... Bambang Sumarno HM
(IQ/Intelligence Quetiont) ternyata tidak sepenuhnya dapat menjawab keutuhan tolok
ukuran kesuksesan seseorang. Kecerdasan emosional (EQ/Emotional) menyeruak
sebagai salah satu bentuk kecerdasan yang sangat penting perannya di dalam kehidupan
seseorang, sebagai individu dan masyarakat dunia.
Soal cerita Matematika merupakan salah satu bentuk soal yang sebagian besar
peserta didik kurang menyenangi dan kurang berhasil. Hal ini dapat disebabkan di
dalam soal cerita Matematika tidak hanya sebatas persoalan matematis sederhana, tetapi
juga bersinggungan dengan permasalahan bahasa dan pemodelan dari kehidupan sehari-
hari. Di sisi lain, soal cerita Matematika sangat berpotensi menjadi bentuk pembelajaran
matematika yang dapat masuk ke ranah afektif. Dengan soal cerita Matematika yang di
dalamnya menanamkan nilai-nilai afektif diharapkan dapat mendukung terbentuknya
kecerdasan emosional bagi masing-masing peserta didik.
II. Soal Cerita Matematika dan Kecerdasan Emosional
Pendekatan pemecahan masalah merupakan fokus dalam pembelajaran matematika
yang mencakup masalah tertutup dengan solusi tunggal, masalah terbuka dengan solusi
tidak tunggal, dan masalah dengan berbagai cara penyelesaian. Untuk meningkatkan
kemampuan memecahkan masalah perlu dikembangkan keterampilan memahami
masalah, membuat model matematika, menyelesaikan masalah, dan menafsirkan
solusinya.
Dalam setiap kesempatan, pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan
pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem). Dengan
mengajukan masalah kontekstual, peserta didik secara bertahap dibimbing untuk
menguasai konsep matematika.
Untuk dapat memecahkan masalah dalam situasi nyata secara matematika, maka
masalah tersebut perlu dimodelkan terlebih dahulu. Pembuatan model matematika
merupakan suatu usaha untuk menggambarkan situasi nyata ke dalam istilah
matematika yang bertujuan untuk memudahkan penyelesaian masalah tersebut.
Matematika adalah salah satu ilmu dasar yang cukup berkembang pesat baik
menyangkut materi maupun kegunaannya dalam kehidupan sehari-hari. Menurut
Ruseffendi di dalam Yasin [http://www.siaksoft.net/], kegunaan matematika sangat luas,
baik sebagai ilmu pengetahuan, sebagai alat, maupun sebagai pembentuk sikap yang
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
2
PM – 1 : Pengembangan Soal Cerita.... Bambang Sumarno HM
diharapkan. Matematika memegang peranan penting dalam pendidikan masyarakat baik
sebagai objek langsung (fakta, keterampilan, konsep, prinsipil) maupun objek tak
langsuug (bersikap kritis, logis, tekun, mampu memecahkan masalah, dan lain-lain).
Sesuai dengan fungsinya tersebut maka pelajaran matematika mulai diberikan dari
pendidikan dasar sampai pendidikan menengah yang secara umum bertujuan: (1)
Memper-siapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan keadaan dalam kehidupan
melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran logis, rasional, kritis, cermat, jujur dan
efektif. (2) Memper-siapkan siswa agar dapat menggunakan matematika dan pola pikir
matematika dalam kehidupan sehari-hari dan dalam mempelajari berbagai ilmu
pengetahuan.
A. Soal Cerita Matematika
Soal yang digunakan untuk mengetahui kemampuan siswa dalam bidang studi
matematika dapat berbentuk soal cerita dan soal non cerita. Soal cerita adalah soal
matematika yang disajikan dalam bentuk cerita dan berkaitan dengan keadaan yang
dialami peserta didik atau dekat dengan kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, peserta
didik diajarkan soal-soal yang diambil dari hal-hal yaug sering dialami siswa.
Topilow dalam Yasin [http://www.siaksoft.net/], menyatakan bahwa “Soal cerita
adalah bentuk soal matematika yang dinyatakan dalam bentuk kalimat yang perlu
diterjemahkan menjadi notasi kalimat terbuka.” Haji yang dikutip oleh Winarni,
menyatakan soal cerita adalah soal matematika yang diungkapkan dengan rangkaian
kata-kata (kalimat yang bermakna). Abidin mengemukakan soal cerita adalah soal yang
disajikan dalam bentuk cerita. Manalu mengemukakan soal cerita adalah soal yang
bentuknya bukan dalam kalimat matematika, melainkan disajikan dalam bentuk cerita
baik secara lisan maupun secara tulisan.
Pada umumnya soal ini diangkat dari kegiatan keseharian yang di dalamnya
terkandung berbagai konsep matematika. Untuk dapat menyelesaikan soal cerita dengan
baik diperlukan prasyarat penguasaan konsep yang bersangkutan.
Terdapat beberapa cara yang dapat membantu siswa menghadapi soal cerita dan
menum-buhkan kemampuan analisis adalah sebagai berikut: (a) membaca soal dengan
cermat untuk menangkap makna tiap kalimat, (b) memisahkan dan mengungkapkan:
apa yang diketahui, diminta/ditanyakan, dan dikerjakan, (c) membuat model matematika
dari soal, (d) menyele-saikan model menurut aturan-aturan matematika sehingga
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
3
PM – 1 : Pengembangan Soal Cerita.... Bambang Sumarno HM
mendapat jawaban dari model tersebut, dan (e) mengembalikan jawaban model kepada
jawab soal asal.
B. Kecerdasan Emosional
Goleman di dalam Zainun [http://www.e-psikologi.com/remaja/250402.htm],
mengatakan bahwa koordinasi suasana hati adalah inti dari hubungan sosial yang baik.
Apabila seseorang pandai menyesuaikan diri dengan suasana hati individu yang lain
atau dapat berempati, orang tersebut akan memiliki tingkat emosionalitas yang baik dan
akan lebih mudah menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial serta lingkungannya. Lebih
lanjut Goleman mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih
yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam meghadapi kegagalan,
mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. Dengan
kecerdasan emosionalnya, seseorang dapat menempat-kan emosinya pada porsi yang
tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati.
Sementara Cooper dan Sawaf, mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah
kemam-puan merasakan, memahami, dan secara selektif menerapkan daya dan
kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang manusiawi. Kecerdasan
emosi menuntut penilikan perasaan, untuk belajar mengakui, menghargai perasaan pada
diri dan orang lain serta menanggapinya dengan tepat, menerapkan secara efektif energi
emosi dalam kehidupan sehari-hari.
Selanjutnya, Howes dan Herald mengatakan pada intinya, kecerdasaan emosional
merupakan komponen yang membuat seseorang menjadi pintar menggunakan emosi.
Lebih lanjut dikatakannya bahwa emosi manusia berada diwilayah dari perasaan lubuk
hati, naluri yang tersembunyi, dan sensasi emosi yang apabila diakui dan dihormati,
kecerdasaan emosional menyediakan pemahaman yang lebih mendalam dan lebih utuh
tentang diri sendiri dan orang lain.
Tiga unsur penting kecerdasan emosional terdiri dari: kecakapan pribadi (mengelola
diri sendiri) kecakapan sosial (menangani suatu hubungan) dan keterampilan sosial
(kepandaian menggugah tanggapan yang dikehendaki pada orang lain). Lebih nyata,
Goleman (1995) mengungkapkan 5 (lima) wilayah kecerdasan emosional yang dapat
menjadi pedoman bagi individu untuk mencapai kesuksesan dalam kehidupan sehari-
hari, yaitu:
1. Mengenali emosi diri
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
4
PM – 1 : Pengembangan Soal Cerita.... Bambang Sumarno HM
Kesadaran diri dalam mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi merupakan
dasar kecerdasan emosional. Pada tahap ini diperlukan adanya pemantauan perasaan
dari waktu ke waktu agar timbul wawasan psikologi dan pemahaman tentang diri.
Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan yang sesungguhnya membuat diri berada
dalam kekuasaan perasaan. Hal ini dapat menjadikan seseorang tidak peka akan
perasaan yang sesungguhnya akan berakibat buruk bagi pengambilan keputusan
masalah.
2. Mengelola emosi
Mengelola emosi berarti menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan
tepat. Hal ini merupakan kecakapan yang sangat bergantung pada kesadaran diri. Emosi
dikatakan berhasil dikelola apabila mampu menghibur diri ketika ditimpa kesedihan,
dapat melepas kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan bangkit kembali
dengan cepat dari semua itu. Sebaliknya orang yang buruk kemampuannya dalam
mengelola emosi akan terus menerus bertarung melawan perasaan murung atau
melarikan diri pada hal-hal negatif yang merugikan dirinya sendiri.
3. Memotivasi diri
Kemampuan seseorang memotivasi diri dapat ditelusuri melalui hal-hal sebagai
berikut: (a) cara mengendalikan dorongan hati; (b) derajat kecemasan yang berpengaruh
terhadap unjuk kerja seseorang; (c) kekuatan berfikir positif; (d) optimisme; dan (e)
keadaan mengikuti aliran (flow), yaitu keadaan ketika perhatian seseorang sepenuhnya
tercurah ke dalam apa yang sedang terjadi, pekerjaannya hanya terfokus pada satu
objek. Dengan kemampuan memotivasi diri yang dimilikinya maka seseorang akan
cenderung memiliki pandangan yang positif dalam menilai segala sesuatu yang terjadi
dalam dirinya.
4. Mengenali emosi orang lain
Empati atau mengenal emosi orang lain dibangun berdasarkan pada kesadaran diri.
Jika seseorang terbuka pada emosi sendiri, maka dapat dipastikan bahwa ia akan
terampil membaca perasaan orang lain. Sebaliknya orang yang tidak mampu
menyesuaikan diri dengan emosinya sendiri dapat dipastikan tidak akan mampu
menghormati perasaan orang lain.
5. Membina hubungan dengan orang lain
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
5
PM – 1 : Pengembangan Soal Cerita.... Bambang Sumarno HM
Seni dalam membina hubungan dengan orang lain merupakan keterampilan sosial
yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan dengan orang lain. Tanpa memiliki
keterampilan seseorang akan mengalami kesulitan dalam pergaulan sosial.
Sesungguhnya karena tidak dimilikinya keterampilan-keterampilan semacam inilah
yang menyebabkan seseroang seringkali dianggap angkuh, mengganggu atau tidak
berperasaan.
C. Belajar Holistik dan Empat Pilar Belajar (Learning: the Treasure Within)
Pendidikan holistik merupakan suatu filsafat pendidikan yang berangkat dari
pemikiran bahwa pada dasarnya seorang individu dapat menemukan identitas, makna
dan tujuan hidup melalui hubungannya dengan masyarakat, lingkungan alam, dan nilai-
nilai spiritual.
Para penganut pendidikan holistik mulai memperkenalkan tentang dasar pendidikan
holistik dengan sebutan 3 R’s, akronim dari relationship, responsibility dan reverence.
Berbeda dengan pendidikan pada umumnya, dasar pendidikan 3 R’s ini lebih diartikan
sebagai writing, reading dan arithmetic atau di Indonesia dikenal dengan sebutan
calistung (membaca, menulis dan berhitung).
Basil Bernstein di dalam Akhmad [http://akhmadsudrajat.wordpress.com], tujuan
pendidikan holistik adalah membantu mengembangkan potensi individu dalam suasana
pembelajaran yang lebih menyenangkan dan menggairahkan, demoktaris dan humanis
melalui pengalaman dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Melalui pendidikan
holistik, peserta didik diharapkan dapat menjadi dirinya sendiri (learning to be). Dalam
arti dapat memperoleh kebebasan psikologis, mengambil keputusan yang baik, belajar
melalui cara yang sesuai dengan dirinya, memperoleh kecakapan sosial, serta dapat
mengembangkan karakter dan emosionalnya.
Pendidikan holistik memperhatikan kebutuhan dan potensi yang dimiliki peserta
didik, baik dalam aspek intelektual, emosional, emosional, fisik, artistik, kreatif, dan
spritual. Proses pembelajaran menjadi tanggung jawab personal sekaligus juga menjadi
tanggung jawab kolektif, oleh karena itu strategi pembelajaran lebih diarahkan pada
bagaimana mengajar dan bagaimana orang belajar. Beberapa hal yang harus
dipertimbangkan dalam mengembangkan strategi pembelajaran holistik, diantaranya:
(1) menggunakan pendekatan pembelajaran transformatif; (2) prosedur pembelajaran
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
6
PM – 1 : Pengembangan Soal Cerita.... Bambang Sumarno HM
yang fleksibel; (3) pemecahan masalah melalui lintas disiplin ilmu, (4) pembelajaran
yang bermakna, dan (5) pembelajaran melibatkan komunitas di mana individu berada.
Hamalik di dalam Yasin [http://www.siaksoft.net/], berpendapat bahwa belajar
adalah modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui pengalaman (Learning is definet
as the modification or strengthening of behavior through experiencing). Belajar adalah
penambahan pengetahuan. Pendapat lain, Hilgard mengatakan “Belajar adalah suatu
proses yang melahirkan atau mengubah suatu kegiatan melalui jalan latihan apakah
dalam laboratorium atau dalam lingkungan alamiah yang dibedakan dari perubahan-
perubahan oleh faktor-faktor yang tidak termasuk latihan, misalnya perubahan karena
mabuk atau minuman keras, bukan termasuk hasil belajar.” Dari pendapat di atas dapat
disimpulkan bahwa belajar adalah perubahan sikap yang positif melalui berbagai cara
seperti pengetahuan, pengalaman, latihan dan lain-lain.
Untuk menghadapi dan menyesuaikan diri dengan tuntutan perkembangan dunia
yang sangat cepat, UNESCO merekomendasikan empat pilar belajar yang wajib
diimplementasikan di sekolah negara-negara anggota PBB. Rumusan keempat pilar
belajar, yaitu: belajar mengetahui (learning to know), belajar berkarya (learning to do),
belajar hidup bersama (learning to live together), dan belajar berkembang secara utuh
(learning to be) [http://akhmadsudrajat.wordpress.com].
1. Belajar mengetahui (learning to know)
Belajar mengetahui berkenaan dengan perolehan, penguasaan dan pemanfaatan
informasi. Dewasa ini terdapat ledakan informasi dan pengetahuan. Hal itu sedikit
banyak dipengaruhi perkembangan yang sangat cepat ilmu pengetahuan, teknologi dan
seni (ipteks), khususnya teknologi informasi. Belajar mengetahui merupakan kegiatan
untuk memperoleh, memper-dalam dan memanfaatkan pengetahuan. Pengetahuan
dimanfaatkan untuk mencapai berbagai tujuan: memperluas wawasan, meningkatkan
kemampuan, memecahkan masalah, belajar lebih lanjut, dan lain-lain.
Jacques Delors (1996), sebagai ketua komisi penyusun Learning: the Treasure
Within, menegaskan adanya dua manfaat pengetahuan, yaitu pengetahuan sebagai alat
(mean) dan pengetahuan sebagai hasil (end). Sebagai alat, pengetahuan digunakan untuk
pencapaian berbagai tujuan, seperti: memahami lingkungan, hidup layak sesuai kondisi
lingkungan, pengembangan keterampilan bekerja, berkomunikasi. Sebagai hasil,
pengetahuan sebagai dasar bagi kepuasaan memahami, mengetahui dan menemukan.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
7
PM – 1 : Pengembangan Soal Cerita.... Bambang Sumarno HM
Pengetahuan terus berkembang, setiap saat ditemukan pengetahuan baru. Oleh karena
itu belajar mengetahui harus terus dilakukan, bahkan ditingkatkan menjadi knowing
much (berusaha tahu banyak).
Belajar mengetahui hendaknya mampu mengarahkan para peserta didik untuk
mengetahui sesuatu atau untuk memperoleh pengetahuan. Selain itu pendidikan
hendaknya mampu menciptakan budaya belajar sepanjang masa atau long life
education. Belajar tidak hanya terjadi di sekolah dan pada suatu kurun waktu tertentu,
tapi terjadi di mana saja dan kapan saja, sehingga terjadi perubahan mindset dan
paradigma belajar, dari schooling ke learning.
2. Belajar berkarya (learning to do)
Agar mampu menyesuaikan diri dan beradaptasi dalam masyarakat yang
berkembang sangat cepat, maka individu perlu belajar berkarya. Belajar berkarya
berhubungan erat dengan belajar mengetahui, sebab pengetahuan mendasari perbuatan.
Dalam konsep komisi UNESCO, belajar berkarya ini mempunyai makna khusus, yaitu
dalam kaitan dengan vokasional.
Belajar berkarya adalah belajar atau berlatih menguasai keterampilan dan
kompetensi kerja. Sejalan dengan tuntutan, tidak hanya pada tingkat keterampilan,
kompetensi teknis atau operasional, tetapi sampai dengan kompetensi profesional.
Setiap individu harus mampu doing much (berusaha berkarya banyak); Belajar sambil
berbuat (learning by doing) atau belajar sambil mengetahui (experiential learning) dan
belajar membuat sesuatu dengan memanfaatkan pengetahuan yang sudah ada.
3. Belajar hidup bersama (learning to live together)
Kehidupan dewasa ini, masing-masing individu tidak hanya berinteraksi dengan
beraneka kelompok etnik, daerah, budaya, ras, agama, kepakaran, dan profesi, tetapi
hidup bersama dan bekerja sama. Agar mampu berinteraksi, berkomunikasi, bekerja
sama dan hidup bersama antar kelompok dituntut belajar hidup bersama. Tiap kelompok
memiliki latar belakang pendidikan, kebudayaan, tradisi, dan tahap perkembangan yang
berbeda Untuk mewujudkan kerjasama dan hidup rukun, setiap individu harus banyak
belajar hidup bersama, being sociable (berusaha membina kehidupan bersama).
Di alam pembelajaran, peserta didik dimotivasi dan dibimbing untuk belajar hidup
bersama dalam situasi yang terwujud atas dasar prinsip kebersamaan, kekeluargaan,
kesejajaran, kemitraan dan kerjasama yang dilandasi oleh kasih saying dan kepercayaan
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
8
PM – 1 : Pengembangan Soal Cerita.... Bambang Sumarno HM
satu sama lain. Dengan prinsip ini, setiap lembaga pendidikan/sekolah hendaknya selalu
menciptakan suasana belajar yang menghargai keberagaman dan kesetaraan antara
peserta didik satu dengan yang lain, sehingga ketika mereka terjun dimasyarakat sudah
terbiasa dengan nilai-nilai kesetaraan, keberagaman (pluralisme) dan demokrasi.
4. Belajar berkembang utuh (learning to be)
Tantangan kehidupan yang berkembang cepat dan sangat kompleks, menuntut
pengembangan individu secara utuh. Individu yang seluruh aspek kepribadiannya
berkembang secara optimal dan seimbang, baik aspek intelektual, emosi, sosial, fisik,
maupun moral. Untuk mencapai sasaran demikian individu dituntut banyak belajar
mengembangkan seluruh aspek kepribadiannya. Sebenarnya tuntutan perkembangan
kehidupan global, bukan hanya menuntut berkembangnya individu secara menyeluruh
dan utuh, tetapi juga individu utuh yang unggul. Untuk itu setiap individu harus
berusaha banyak mencapai keunggulan (being excellence). Keunggulan diperkuat
dengan moral yang kuat. Individu-individu global harus berupaya bermoral kuat atau
being morally.
Peserta didik dibimbing untuk tetap menjadi dirinya sendiri dengan segala
karakteristiknya yang berbeda satu sama lain. Proses pembelajaran di sekolah
hendaknya mampu memberikan inspirasi dan stimulasi tentang gambaran masa depan
karier dan pekerjaan yang hendak dijalani oleh masing-masing peserta didik.
III. Studi Kasus: Pengembangan Soal Cerita Matematika
Salah satu buku pelajaran Matematika yang digunakan di salah satu SMP di wilayah
Kabupaten Bantul adalah Cerdas Aktif Matematika: Pelajaran Matematika untuk SMP
Kelas VII tulisan dari Sudirman. Pada buku cerdas aktif ini, materi matematika
disajikan dalam bab-bab: (1) Bilangan, (2) Aljabar dan Aritmetika Sosial, (3)
Persamaan dan Pertidaksamaan Linier Satu Variabel, (4) Perbandingan, (5) Himpunan,
(6) Garis dan Sudut, dan (7) Seigiempat dan Segitiga.
Pada beberapa bab cukup banyak dijumpai penyajian soal matematika dalam bentuk
soal cerita. Dari
Soal cerita Matematika 1: bab tentang Bilangan diawali dengan sebuah cerita
sebagai berikut [Sudirman, 2005:1]:
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
9
PM – 1 : Pengembangan Soal Cerita.... Bambang Sumarno HM
Seorang ayah meninggal dunia. Ia meninggalkan warisan untuk
seorang istri, seorang putra dan seorang putrinya berupa 20 kg emas.
Saat meninggal si Ayah masih mempunyai hutang senilai 4 kg emas.
Setelah hutang dilunasi, sisa harta dibagikan kepada ahli warisnya.
Istrinya mendapatkan 1/8 bagian dari warisan tersebut. Sisanya
dibagikan untuk putra-putrinya dengan ketentuan putranya
mendapatkan dua kali bagian putrinya. Tahukah kamu berapa bagian
yang didapat putranya?
Sepintas keberadaan cerita ini sebagai upaya menghadirkan permasalahan
Matematika dengan wajah realistik, berangkat dari kehidupan sehari-hari. Adanya cerita
ini, harapannya dapat membangkitkan kesadaran peserta didik akan pentingnya
matematika bagi kehidupan manusia. Dengan kata lain, Matematika adalah kehidupan
sehari-hari.
Tetapi pada cerita kurang tepat mengambil sudut pandangnya. Di masyarakat,
kematian seorang ayah kurang tepat langsung berhubungan/membahas pembagian
warisan. Akan lebih tepat jika cerita ditata ulang dengan latar permasalah satu keluarga
yang berusaha mengumpulkan dana keluarga untuk mengobati salah satu anggota
keluarga. Dengan latar demikian dapat ditanamkan belajar berkarya, hidup bersama, dan
berkembang utuh untuk memotivasi diri, mengenali emosi dan membina hubungan
dengan orang lain.
Soal cerita Matematika 2: pada tugas mandiri sebagai pengantar tentang peta
koordinat, disajikan dalam sebuah cerita yang disertai ilustrasi sebuah peta sebagai
berikut [Sudirman, 2005:23]:
Harta karun yang terpendam di Pulau Kelapa ini ditandai dengan T.
Bayangkan saja bahwa beberapa orang baru saja berlabuh atau
mendarat di tempat tersebut. Ke arah manakah mereka harus berjalan
untuk menemukan harta karun tersebut?
Cerita yang sangat menyesakkan. Pada kondisi kehidupan yang menuntut kerja
nyata dari setiap invidu, disajikan soal cerita layaknya kisah sinetron/dongeng pengantar
tidur. Akan lebih bijaksana jika ditata ulang menjadi cerita seorang anak yang dimintai
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
10
PM – 1 : Pengembangan Soal Cerita.... Bambang Sumarno HM
bantuan oleh orang tuanya untuk membelikan bibit tanaman di pusat pertanian yang
lokasinya digambarkan dalam suatu peta. Dengan latar demikian dapat ditanamkan
belajar berkarya dan hidup bersama untuk memotivasi diri, mengenali emosi dan
membina hubungan dengan orang lain.
Soal cerita Matematika 3: pada contoh pengenalan bentuk bilangan pecahan,
diberikan sebuah cerita sebagai berikut [Sudirman, 2005:46]:
Seorang montir sepeda motor akan memasang baut dengan diameter
tidak lebih dari 0,5 inci. Dapatkah montir tadi memasang baut yang
ukurannya 4/7 inci?
Di kehidupan nyata, cerita ini kurang rasional. Pada kenyataannya, baut mempunyai
bentuk dan ukuran tertentu. Sangat sulit menemukan ukuran baut seperti halnya
membeli barang dengan ukuran yang sangat luwes. Akan lebih rasional jika cerita
menyangkut panjang baut, bukan diameternya. Adanya sisa panjang, pertanyaan
memotong panjang sisa baut menjadi rasional. Dengan latar demikian dapat ditanamkan
belajar mengetahui dan untuk memotivasi diri, mengenali emosi dan mengelola emosi.
Soal cerita Matematika 4: pada bab Aljabar dan Aritmetika, juga diawali dengan
sebuah cerita sebagai berikut [Sudirman, 2005:63]:
Rahmat membeli 120 kg jeruk. Kemudian, ia menjual kembali Rp.
11.000,00 per kg. Ia hanya memperoleh Rp. 1.287.000,00 dari hasil
penjual jeruk karena ada jeruk yang busuk. Tahukah kamu berapa
banyak jeruk yang busuk?
Mencermati penggunaan kata “hanya” kurang tepat untuk menanamkan rasa
bersyukur. Cerita ini semakin kurang tepat ketika yang ditanyakan adalah banyaknya
jeruk yang busuk. Akan lebih bijak jika penggunaan kata yang kurang mencerminkan
kepribadian yang baik ditiadakan, dan pertanyaan menyangkut kegiatan/hal yang
positif. Dengan latar demikian dapat ditanamkan belajar mengetahui, berkarya dan
berkembang utuh untuk memotivasi diri, mengenali emosi dan mengelola emosi.
Soal cerita Matematika 5: salah satu soal latihan untuk materi Aritmetika Sosial
dalam Kegiatan Ekonomi diceritakan [Sudirman, 2005:77]:
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
11
PM – 1 : Pengembangan Soal Cerita.... Bambang Sumarno HM
Pak Udin menjual dua buah mobil dengan harga masing-masing Rp.
46.000.000,00. Tentukan harga beli masing-masing mobil terbut jika:
a. ia memperoleh untung sebesar Rp. 2.025.000,00
b. ia menderita rugi sebesar Rp. 1.300.000,00
Ini juga merupakan contoh soal cerita Matematika yang kurang mempunyai latar
yang kuat. Alasan/tujuan pemilik menjual kedua mobilnya tidak muncul, dan pengertian
untung atau rugi tidak jelas pengukurannya. Akan lebih bijak jika dimunculkan
tujuannya, seperti: untuk tambahan modal pengembangan; sedangkan untung rugi lebih
baik diarahkan ke peraihan margin pasar yang lebih besar dengan adanya tambahan
modal tersebut. Dengan latar demikian dapat ditanamkan belajar mengetahui, berkarya,
hidup bersama dan berkembang utuh untuk memotivasi diri, mengenali emosi,
mengelola emosi dan membina hubungan dengan orang lain.
Soal cerita Matematika 6: pada salah satu soal latihan untuk materi Persamaan
Linier Satu Variabel, diceritakan [Sudirman, 2005:104]:
Ibu memberi uang kepada Suci Rp. 6.450,00. Suci membelanjakan
uang tersebut Rp. 500,00 per hari. Sekarang Suci masih mempunyai
Rp. 450,00. Sudah berapa harikah Suci membelanjakan uang tersebut?
Kembali tersaji contoh soal cerita Matematika yang kurang mempunyai latar yang
kuat. Alasan/tujuan pemberian uang dan pembelanjaannya sama sekali tidak dapat
menyentuh ranah afektif. Dengan memunculkan urgensi pemberian uang sebagai
pemenuhan kebutuhan studi dan pembelanjaan yang berhubungan dengan studi
diharapkan dapat menanamkan kepedulian terhadap masalah pendidikan dan hubungan
orangtua dan anak. Dengan latar demikian dapat ditanamkan belajar mengetahui,
berkarya, hidup bersama dan berkembang utuh untuk memotivasi diri, mengenali emosi,
mengelola emosi dan membina hubungan dengan orang lain.
Soal cerita Matematika 7: awal tentang materi Perbandingan Berbalik Harga,
disajikan sebuah cerita [Sudirman, 2005:123]:
Pak Amin membeli sekantong permen. Permen tersebut dibagikan
kepada 5 anak, masing-masing anak menerima 60 biji tanpa sisa.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
12
PM – 1 : Pengembangan Soal Cerita.... Bambang Sumarno HM
Hitunglah jumlah permen yang diterima masing-masing anak apabila
permen tadi dibagikan kepada:
a. 6 anak, b. 10 anak, c. 15 anak, d. 25 anak
Pemilihan contoh permen kurang bijaksana, karena permen identik dengan cemilan
yang kurang menyehatkan. Hubungan antara pemberi (Pak Amin) dengan yang
menerima (anak) juga tidak jelas. Hal ini tentu saja menyebabkan kurang terbentuknya
latar yang kuat, sehingga tujuan membelikan permen juga sulit dimunculkan. Dengan
memunculkan hubungan antar pelaku akan dapat memperkuat urgensi pemberian
tersebut. Ditambah dengan menyesuaikan ke benda yang lebih sesuai dan
kebergunaannya akan memperkuat ranah afektif yang dapat dimasuki. Dengan latar
demikian dapat ditanamkan belajar mengetahui, hidup bersama dan berkembang utuh
untuk memotivasi diri, mengenali emosi, mengelola emosi dan membina hubungan
dengan orang lain.
Soal cerita Matematika 8: Salah satu soal latihan tentang Himpunan dan Diagram
Venn, diceritakan [Sudirman, 2005:158]:
Dari 90 orang ibu PKK yang mengikuti kegiatan, terdapat 35 orang
suka menjahit, 40 orang suka memasak, 45 orang suka merangkai
bunga, 12 orang suka menjahit dan memasak, 17 orang suka
menjahit dan merangkai bunga, 14 orang suka memasak dan
merangkai bunga, serta 7 orang suka ketiganya.
Latar cerita ini cukup baik untuk memperkuat citra perempuan sebagai ibu. Tetapi
gambaran terhenti sebatas kebutuhan memenuhi persoalan matematis yang akan
diselesaikan. Pada contoh ini akan lebih kuat penanaman di ranah afektif ketika
dihadirkan sosok dan peran ibu di tengah-tengah keluarganya dan penyertaan peserta
didik sebagai “anaknya”. Dengan latar demikian dapat ditanamkan belajar mengetahui,
berkarya, hidup bersama dan berkembang utuh untuk memotivasi diri, mengenali emosi,
mengelola emosi, mengenali emosi orang lain dan membina hubungan dengan orang
lain.
V. Penutup
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
13
PM – 1 : Pengembangan Soal Cerita.... Bambang Sumarno HM
Dari paparan di atas, soal cerita Matematika dapat menjadi alat penanaman aspek
afektif di pembelajaran Matematika. Empat pilar belajar (UNESCO) sebagai pedoman
pelaksanaan pembelajaran secara umum dapat menjadi pegangan pengayaan bentuk soal
cerita Matematika yang dapat menyisipkan aspek afektif sebagai upaya pembentukan
kecerdasan emosinal.
Daftar Pustaka Akhmad Sudrajat, Tanggal 19/5/2008, Empat Pilar Belajar,
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/05/08/empat-pilar-belajar/ Akhmad Sudrajat, Tanggal 19/5/2008, Pendidikan Holistik,
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/26/ pendidikan-holistik/ Sudirman, 2005, Cerdas Aktif Matematika: Pelajaran Matematika untuk SMP Kelas VII, Jakarta: Ganeca Exact Yasin Setiawan, Tanggal 19/5/2008, Terobosan Metode Pengajaran Matematika,
http://www.siaksoft.net/ Zainun Mu'tadin, Tanggal 19/5/2008, Mengenal Kecerdasan Emosional Remaja,
http://www.e-psikologi.com/remaja/250402.htm
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
14
PM – 2 : Kemampuan Komunikasi Matematis …….. Djamilah Bondan Widjajanti
Kemampuan Komunikasi Matematis Mahasiswa Calon Guru Matematika : Apa dan Bagaimana Mengembangkannya
Oleh:
Djamilah Bondan Widjajanti Jurusan Pendidikan Matematika, FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta
E-mail: [email protected]
Abstrak
Komunikasi adalah cara untuk berbagi (sharing) gagasan dan mengklarifikasi pemahaman. Bagi seorang guru matematika, mempunyai kemampuan komunikasi matematis yang memadai akan sangat menunjang perannya sebagai fasilitator dan mediator yang membantu agar proses belajar siswa dapat berjalan dengan baik. Dengan kemampuan komunikasi matematis yang memadai, seorang guru matematika akan dapat memberi gambaran yang wajar tentang matematika kepada siswa-siswanya, sedemikian hingga para siswa akan dapat memandang matematika tidak lagi sebagai pelajaran yang sulit dan sangat abstrak.
Untuk mempersiapkan seseorang menjadi guru matematika yang mampu mengkomunikasikan ide-ide matematik secara efektif kepada siswanya, mahasiswa calon guru matematika harus dilatih untuk mampu: (1) menyebutkan dan menuliskan alasan dari setiap langkah penyelesaian masalah matematika yang dikemukakannya dengan masuk akal, benar, lengkap, sistematis, dan jelas, (2) menggunakan istilah, gambar, tabel, diagram, notasi, atau rumus matematika secara tepat, dan (3) menganalisis atau menilai pikiran matematis orang lain. Kemampuan ini dapat ditingkatkan melalui perkuliahan.
Di dalam makalah ini akan dibahas bagaimana meningkatkan kemampuan komunikasi matematis mahasiswa calon guru matematika melalui perkuliahan berbasis masalah. Perkuliahan berbasis masalah dicirikan dengan diberikannya masalah kepada mahasiswa untuk diselesaikan, baik secara individu maupun kelompok. Masalah yang digunakan sebagai basis perkuliahan dipilih sedemikian hingga dapat “memandu” mahasiswa mempelajari konsep tertentu. Selain mengembangkan kemampuan komunikasi matematis, perkuliahan berbasis masalah mempunyai keunggulan lain yaitu dapat membantu mahasiswa mengembangkan penalaran, pemecahan masalah, dan ketrampilan berfikir kritis. Kata kunci: komunikasi matematis, calon guru matematika
Pendahuluan
Ada banyak masalah dalam pendidikan matematika saat ini. Masalah klasik
yang tidak mudah mengatasinya adalah rendahnya prestasi belajar matematika siswa.
Begitu banyak faktor yang diduga sebagai penyebabnya. Salah satu diantaranya adalah
masih banyak siswa yang menganggap matematika sebagai pelajaran yang sulit dan
sangat abstrak, sehingga siswa tidak cukup antusias dan percaya diri dalam belajar
matematika.
Bagaimanapun, guru memegang peranan penting dalam memberikan gambaran
yang wajar tentang matematika kepada siswa. Kunci dari gambaran siswa yang
dibangun melalui interaksinya dengan guru ini terletak pada komunikasi, yaitu pada
bagaimana selama ini guru matematika mengkomunikasikan konsep, struktur, teorema,
atau rumus matematis kepada siswa.
Bisa dibayangkan akibatnya, jika para guru matematika kurang dapat
mengkomunikasikan pikiran matematisnya kepada siswa pada saat melaksanakan
pembelajaran. Misalkan saja guru kurang dapat memberi penjelasan untuk pertanyaan
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
15
PM – 2 : Kemampuan Komunikasi Matematis …….. Djamilah Bondan Widjajanti
siswa “mengapa demikian”, atau guru menulis langkah-langkah pembuktian atau
penyelesaian masalah kurang terurut atau kurang logis bagi pikiran siswa, atau guru
menggunakan notasi matematis tidak konsisten, atau menggambar bangun geometri
kurang tepat, atau guru dapat menyalahkan jawaban siswa tetapi kurang dapat memberi
alasan yang bisa diterima pikiran siswa, dan lain-lain, tentulah semakin mengukuhkan
gambaran matematika yang sulit dan abstrak bagi siswa. Oleh karena itu mempunyai
kemampuan komunikasi matematis yang memadai sangatlah penting bagi seorang guru
matematika.
Kemampuan komunikasi matematis ini bisa dilatihkan, atau dipersiapkan sejak
yang bersangkutan menjadi mahasiswa calon guru. Tentu tidaklah efektif dan efisien,
jika para mahasiswa calon guru matematika hanya mendapatkan teori tentang
komunikasi matematis pada suatu mata kuliah, tanpa mendapatkan cukup banyak
kesempatan untuk mempraktekkannya. Akan lebih baik jika pembekalan kemampuan
komunikasi matematis ini terpadu dalam setiap perkuliahan.
Setiap dosen dapat memilih pendekatan perkuliahan yang memungkinkan
terjadinya peningkatan kemampuan komunikasi matematis. Salah satu pendekatan
perkuliahan yang direkomendasikan adalah perkuliahan berbasis masalah (Problem-
Based Learning/PBL). Berikut ini pembahasan mengenai peran guru, apa yang
dimaksud dengan kemampuan komunikasi matematis, dan bagaimana
meningkatkankannya melalui PBL.
Pembahasan
1. Peran Guru
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional
Pendidikan, pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen
pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan
tujuan pendidikan nasional. Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi kompetensi
pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial.
Di dalam penjelasan atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pendidik sebagai agen pembelajaran (learning
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
16
PM – 2 : Kemampuan Komunikasi Matematis …….. Djamilah Bondan Widjajanti
agent) pada ketentuan ini adalah peran pendidik antara lain sebagai fasilitator,
motivator, pemacu, dan pemberi inspirasi belajar bagi peserta didik.
Lebih dulu ada dari peraturan pemerintah tersebut di atas, pada tahun 2000
National Council of Teachers of Mathemathics (NCTM) sudah menerbitkan Principles
and Standards for School Mathematics, yang antara lain memuat standar-standar proses
untuk matematika sekolah. Salah satu diantaranya adalah standar untuk pengajaran,
yaitu bahwa pengajaran matematika yang efektif mensyaratkan pemahaman pada apa
yang perlu diketahui dan perlu dipelajari siswa, dan kemudian menantang dan
mendukung siswa untuk mempelajarinya dengan baik. Masih menurut standar NCTM,
pengajaran matematika yang efektif mensyaratkan pengetahuan dan pemahaman tentang
matematika, para siswa sebagai si pembelajar, dan strategi-strategi kependidikan.
Memperhatikan peran guru sebagai agen pembelajaran seperti disebut dalam
peraturan pemerintah di atas, dan apa yang dipersyaratkan oleh NCTM untuk
pengajaran matematika yang efektif, maka dapatlah disimpulkan bahwa sangatlah
penting bagi seorang guru matematika untuk memahami matematika yang akan
diajarkannya, trampil memilih strategi untuk mengajarkannya, dan mempunyai
pemahaman yang baik atas siswa-siswanya. Pemahaman atas siswa-siswanya ini,
khususnya tentang bagaimana para siswa berpikir tentang matematika dan bagaimana
mereka belajar matematika, menjadi hal yang sangat penting bagi seorang guru
matematika, terlebih jika dikaitkan dengan paham konstruktivis.
Menurut konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat ditransfer dari seseorang
guru kepada siswa begitu saja, tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing
siswa, sebagaimana dikatakan oleh Bettencourt, yang dikutip Suparno (1996), bahwa
bagi kaum konstruktivis, mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari
guru ke siswa, tetapi suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri
pengetahuannya. Mengajar berarti partisipasi dengan pelajar dalam membentuk
pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan
justifikasi. Oleh karena itu peran guru adalah sebagai fasilitator dan mediator yang
membantu agar proses belajar siswa dalam rangka mengkonstruksi pengetahuannya
dapat berjalan dengan baik.
Sebagai fasilitator dan mediator, seorang guru dituntut untuk dapat berinteraksi
dan berkomunikasi secara efektif, khususnya dengan para siswa di dalam kelasnya.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
17
PM – 2 : Kemampuan Komunikasi Matematis …….. Djamilah Bondan Widjajanti
Menurut Supano (1996) untuk menunjang perannya sebagai fasilitator dan mediator,
seorang guru antara lain harus mampu memonitor, mengevaluasi, dan menunjukkan
apakah pemikiran seorang siswa itu benar ataukah tidak. Dalam peran yang
demikianlah, pentingnya kemampuan komunikasi matematis bagi seorang guru
matematika tidaklah diragukan lagi.
2. Komunikasi Matematis
Ada banyak cara orang berkomunikasi, misalnya melalui percakapan, nyanyian,
tanda suara tertentu, isyarat nonverbal, gambar, bahasa tubuh, sentuhan, kontak mata,
dan juga tulisan. Beberapa ketrampilan dari bentuk komunikasi tersebut, khususnya
percakapan, bahasa tubuh, kontak mata, dan tulisan, sangat diperlukan oleh guru bidang
apapun, terutama agar ia dapat menjalin interaksi yang baik dengan para siswanya,
sehingga dapat menjadi fasilitator dan mediator yang berguna dalam mengembangkan
potensi siswa.
Melalui interaksi guru-siswa yang baik, seorang guru akan dapat mengetahui apa
yang dipikirkan siswa atau apa yang menjadi ketidaktahuan siswa. Dengan cara
menyimak apa yang dikatakan siswa, apa yang ditanyakan siswa, apa yang siswa
tuliskan/gambarkan, dan juga dengan memperhatikan ekspresi siswa, seorang guru akan
dapat mengetahui manakala seorang siswa memerlukan bantuannya.
Dalam matematika, komunikasi memegang peranan yang sangat penting.
Komunikasi menjadi bagian yang esensial dari matematika dan pendidikan matematika.
Komunikasi adalah cara untuk berbagi (sharing) gagasan dan mengklarifikasi
pemahaman. Melalui komunikasi, gagasan-gagasan menjadi objek-objek refleksi,
penghalusan, diskusi, dan perombakan. Proses komunikasi juga membantu membangun
makna dan kelanggengan untuk suatu gagasan-gagasan, serta juga menjadikan gagasan-
gagasan itu diketahui publik (NCTM, 2000).
Bagi siswa, terlibat dalam komunikasi matematis, baik dengan guru maupun
dengan teman-temannya, baik secara lisan maupun tertulis, baik pada saat pembelajaran
berlangsung maupun di luar kelas, akan sangat banyak manfaatnya untuk meningkatkan
pemahaman matematis mereka. Menurut NCTM (2000) saat para siswa ditantang untuk
berfikir dan bernalar tentang matematika, serta untuk mengkomunikasikan hasil-hasil
pemikiran mereka itu pada orang lain secara lisan atau tertulis, maka mereka telah
belajar untuk menjadi jelas dan meyakinkan. Menyimak penjelasan-penjelasan orang
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
18
PM – 2 : Kemampuan Komunikasi Matematis …….. Djamilah Bondan Widjajanti
lain juga memberi para siswa kesempatan untuk membangun pemahaman mereka
sendiri. Percakapan-percakapan di mana gagasan-gagasan matematis dieksplorasi dari
berbagai perspektif membantu mereka yang ikut dalam percakapan itu untuk
mempertajam pemikiran mereka dan membuat hubungan-hubungan.
NCTM (2003) menyebutkan bahwa seorang calon guru matematika haruslah
mampu mengkomunikasikan pikiran matematisnya secara lisan dan tertulis kepada
teman-temannya, para dosen, dan kepada yang lainnya, dengan indikator-indikator,
mampu (1) mengkomunikasikan pikiran matematisnya secara koheren dan jelas kepada
teman-temannya, para dosen, dan kepada yang lainnya, (2) menggunakan bahasa
matematika untuk mengekspresikan ide/gagasannya secara tepat, (3) mengelola pikiran
matematisnya melalui komunikasi, dan (4) menganalisis dan mengevaluasi pikiran
matematis dan strategi-strategi orang lain.
Indikator pertama, yaitu mampu mengkomunikasikan pikiran matematisnya
secara koheren dan jelas kepada teman-temannya, para dosen, dan yang lainnya, dapat
dimaknai bahwa seorang mahasiswa calon guru matematika haruslah mampu
menyebutkan dan menuliskan alasan dari setiap langkah penyelesaian masalah
matematika yang dikemukakannya dengan masuk akal, benar, lengkap, sistematis, dan
jelas. Kemampuan ini sangat penting baginya kelak kalau menjadi guru, sebab ia akan
berperan menjadi fasilitator dan mediator bagi siswa yang belajar matematika.
Indikator kedua, yaitu mampu menggunakan bahasa matematika untuk
mengekspresikan ide/gagasannya secara tepat, bermakna bahwa sangatlah penting bagi
seorang calon guru matematika untuk mampu menyampaikan ide matematisnya dalam
istilah yang formal digunakan dalam matematika, karena ia nanti harus mampu
membimbing siswa beralih dari bahasa sehari-hari ke bahasa matematis, atau dari
informal ke formal. Hal pokok yang penting terkait hal ini adalah seorang calon guru
harus mampu menggunakan istilah, gambar, tabel, diagram, notasi, atau rumus
matematika secara tepat.
Indikator ketiga, yaitu mampu mengelola pikiran matematisnya melalui
komunikasi, bermakna bahwa seorang calon guru matematika harus dapat
menyampaikan ide/gagasannya tentang matematika, melalui komunikasi, baik lisan
maupun tertulis. Berlatih menulis sesuatu tentang matematika atau pendidikan
matematika akan sangat berguna baginya dalam meningkatkan pemahaman akan apa
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
19
PM – 2 : Kemampuan Komunikasi Matematis …….. Djamilah Bondan Widjajanti
yang ditulisnya, sebab ketika seseorang menuliskan gasasannya ia akan dituntut untuk
merefleksi atau mengklarifikasi apa-apa yang ditulisnya.
Indikator keempat, yaitu mampu menganalisis dan mengevaluasi pikiran
matematis dan strategi-strategi orang lain, penting bagi seorang calon guru matematika
agar kalau ia menjadi guru nantinya ia akan mampu: (1) memahami, menerima, dan
menghargai jalan pikiran siswa yang beragam, (2) mengklarifikasi, mengoreksi, atau
meluruskan jalan pikiran siswa yang keliru, (3) membimbing diskusi siswa, dan (4)
merespon pertanyaan dan jawaban siswa dengan cepat dan tepat.
Memperhatikan uraian tersebut di atas, dapatlah disimpulkan bahwa seseorang
dikatakan mempunyai kemampuan komunikasi matematis yang baik apabila ia mampu
mengkomunikasikan ide matematisnya kepada orang lain dengan jelas, tepat, dan
efektif, dengan menggunakan istilah matematis yang sesuai, baik secara lisan maupun
tertulis.
3. Perkuliahan Berbasis Masalah
Perkuliahan atau pembelajaran berbasis masalah (Problem-Based
Learning/PBL), adalah perkuliahan yang menjadikan masalah sebagai dasar atau basis
bagi mahasiswa untuk belajar. Menurut Duch et.al. (2000) prinsip dasar yang
mendukung konsep dari PBL ada sudah lebih dulu dari pendidikan formal itu sendiri,
yaitu bahwa pembelajaran dimulai (diprakasai) dengan mengajukan masalah,
pertanyaan, atau teka-teki, yang menjadikan pembelajar (siswa yang belajar) ingin
menyelesaikannyan. Dalam pendekatan berbasis masalah, masalah yang nyata dan
kompleks memotivasi siswa untuk mengidentifikasi dan meneliti konsep dan prinsip
yang mereka perlu ketahui dalam rangka untuk berkembang melalui masalah tersebut.
Siswa bekerja dalam tim kecil, dan memperoleh, mengkomunikasikan, serta
memadukan informasi dalam proses yang menyerupai/mirip dengan menemukan
(inquiry).
Tan (2004) juga menyebutkan bahwa PBL telah diakui sebagai suatu
pengembangan pembelajaran aktif dan pendekatan yang berpusat pada siswa, dimana
masalah-masalah yang tidak terstruktur (masalah-masalah dunia nyata atau masalah-
masalah simulasi yang kompleks) digunakan sebagai titik awal dan jangkar (sauh) untuk
proses pembelajaran. Sedangkan Roh (2003) mengatakan bahwa pembelajaran berbasis
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
20
PM – 2 : Kemampuan Komunikasi Matematis …….. Djamilah Bondan Widjajanti
masalah adalah strategi pembelajaran di kelas yang mengatur/mengelola pembelajaran
matematika disekitar kegiatan pemecahan masalah dan memberikan kepada para siswa
kesempatan untuk berfikir secara kritis, mengajukan ide kreatif mereka sendiri, dan
menkomunikasikan dengan temannya secara matematis.
Pembelajaran atau perkuliahan berbasis masalah (PBL) menggambarkan suatu
suasana pembelajaran dimana masalah yang memandu, mengemudikan, menggerakkan,
atau mengarahkan pembelajaran. Yaitu, pembelajaran dimulai dengan suatu masalah
yang harus diselesaikan, dan masalah tersebut diajukan dengan cara sedemikian hingga
para siswa (mahasiswa) memerlukan tambahan pengetahuan baru sebelum mereka dapat
menyelesaikan masalah tersebut. Tidak sekedar mencoba atau mencari jawab tunggal
yang benar, para siswa (mahasiswa) akan menafsirkan masalah tersebut, mengumpulkan
informasi yang diperlukan, mengenali penyelesaian yang mungkin, menilai beberapa
pilihan, dan menampilkan kesimpulan (Roh, 2003)
Memperhatikan beberapa pengertian PBL seperti tersebut di atas dapatlah
disimpulkan bahwa PBL adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan
masalah nyata atau masalah simulasi yang kompleks sebagai titik awal pembelajaran,
dengan karakteristik: (1) Pembelajaran dipandu oleh masalah yang menantang, (2) Para
siswa (mahasiswa) bekerja dalam kelompok kecil, (3) Guru (dosen) mengambil peran
sebagai ”fasilitator” dalam pembelajaran.
Dibandingkan pembelajaran konvensional, PBL mempunyai banyak
keunggulan, antara lain lebih menyiapkan mahasiswa untuk menghadapi masalah pada
situasi dunia nyata, memungkinkan mahasiswa menjadi produsen pengetahuan, dan
dapat membantu mahasiswa mengembangkan komunikasi, penalaran, dan ketrampilan
berfikir kritis. Menutut Smith, Ericson, dan Lubienski, yang dikutip oleh Roh (2003)
kebalikan dengan lingkungan atau suasana kelas yang konvensional, lingkungan atau
suasana kelas PBL memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan
kemampuannya untuk menyesuaikan diri dan mengubah suatu metode atau cara
kedalam situasi baru yang cocok. Sementara itu, siswa-siswa yang telah belajar dalam
lingkungan atau suasana pendidikan matematika yang tradisional telah asyik dengan
latihan soal, rumus, dan persamaan-persamaan yang perlu dipelajari, tetapi terbatas
penggunaannya dalam situasi yang tidak biasa seperti dalam tes-tes khusus. Lebih
lanjut, siswa-siswa dalam lingkungan atau suasana kelas PBL secara khusus mempunyai
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
21
PM – 2 : Kemampuan Komunikasi Matematis …….. Djamilah Bondan Widjajanti
kesempatan yang lebih besar untuk belajar proses matematika yang berkaitan dengan
komunikasi, representasi, pemodelan, dan penalaran.
Melalui PBL, mahasiswa dalam kelompok akan berdiskusi secara intensif,
sehingga secara lisan mereka akan saling bertanya, menjawab, mengkritisi, mengoreksi,
dan mengklarifikasi setiap konsep atau argumen matematis yang muncul dalam diskusi.
Dalam diskusi yang demikian akan berkembang juga kemampuan mahasiswa untuk
membuat, memperhalus, dan mengeksplorasi dugaan-dugaan (konjektur), sehingga
memantapkan pemahaman mereka atas konsep matematis yang sedang dipelajari, atau
terhadap masalah matematika yang dipecahkan. Pada akhirnya, para mahasiswa juga
harus mampu mengkomunikasikan ide mereka, baik secara lisan maupun tertulis, dalam
rangka menyelesaikan masalah yang diberikan.
Dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis
mahasiswa calon guru matematika, agar nantinya mampu menjadi fasilitator dan
mediator yang baik, maka PBL yang dimaksud harus dilaksanakan dengan persiapan
yang memadai, baik oleh dosen maupun mahasiswa. Pada awal perkuliahan, dosen
harus menginformasikan pendekatan yang akan digunakan dalam perkuliahan, yaitu
PBL, dan menyampaikan dengan jelas hal-hal apa saja yang harus dipersiapkan dan
dipatuhi oleh mahasiswa. Penting juga untuk disampaikan kepada mahasiswa, bahwa
keaktifan dan keterlibatan mahasiswa dalam menyelesaikan masalah dalam kelompok
akan mendapatkan penilaian.
Dikarenakan perkuliahan mendasarkan pada masalah, maka pemilihan masalah
menjadi hal yang penting. Masalah seharusnya dipilih sedemikian hingga menantang
minat mahasiswa untuk menyelesaikannya, menghubungkan dengan pengalaman dan
belajar sebelumnya, dan membutuhkan kerjasama dan berbagai strategi untuk
menyelesaikannya. Untuk keperluan ini, masalah yang open-ended yang disarankan
untuk dijadikan titik awal pembelajaran.
Sesuai karakteristik PBL, dosen perlu pandai-pandai menempatkan diri sebagai
fasilitator. Dosen disarankan mengintervensi diskusi mahasiswa hanya jika benar-benar
diperlukan. Dalam keadaan diskusi menemui kebuntuan, dosen dapat memancing ide
mahasiswa dengan pertanyaan yang menantang, atau memberi petunjuk kunci tanpa
mematikan kreativitas. Menurut Duch et.al. (2000) peran dosen dalam PBL adalah
membimbing, menggali pemahaman yang lebih dalam, dan mendukung inisiatip
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
22
PM – 2 : Kemampuan Komunikasi Matematis …….. Djamilah Bondan Widjajanti
mahasiswa, tetapi tidak memberi kuliah pada konsep yang berhubungan langsung
dengan masalah esensial yang dipecahkan, dan juga tidak mengarahkan atau
memberikan penyelesaian yang mudah.
Tingkat yang mana suatu perkuliahan PBL akan menjadi ”student-directed”
ataukah ”teacher-directed”, diputuskan oleh dosen berdasarkan pada ukuran kelas,
kedewasaan intelektual mahasiswa, dan tujuan perkuliahan. Sebagai contoh, pada kelas
yang besar dari mahasiswa baru, dosen dapat menginterupsi proses penyelesaian
masalah dalam kelompok setiap selang 10 – 15 menit untuk keseluruhan diskusi kelas,
atau memberi perkuliahan singkat yang membantu mahasiswa memperoleh sedikit
petunjuk/jalan, atau mengijinkan mereka untuk membandingkan catatannya dalam
mendekati masalah tersebut (Duch et.al, 2000).
Penutup
Memperhatikan pentingnya seorang guru matematika mempunyai kemampuan
komunikasi matematis yang memadai, maka sudah seharusnya pengelola dan dosen-
dosen Program Studi Pendidikan Matematika menaruh perhatian yang serius terhadap
upaya untuk membekali calon guru matematika dengan kemampuan komunikasi
matematis yang memadai. Sebanyak mungkin memberi kesempatan mahasiswa
menyampaikan, mengklarifikasi, atau mempertahankan ide/gagasan matematisnya, baik
secara lisan maupun tertulis, baik kepada dosen maupun temannya, akan membantunya
kelak menjadi guru matematika yang efektif.
Manfaat lain dari mempunyai kemampuan komunikasi matematis yang memadai
bagi seorang guru matematika adalah ia akan mampu memberi gambaran yang wajar
tentang matematika kepada siswa, sehingga lambat laun, perlahan-lahan, gambaran
matematika yang sulit dan sangat abstrak bagi siswa akan semakin berkurang. Kalau hal
ini terjadi, yaitu sebagian besar siswa tidak lagi menganggap matematika merupakan
pelajaran yang sulit atau sangat abstrak, maka besar kemungkinan siswa-siswa akan
belajar matematika dengan rasa senang, antusias, dan percaya diri, sehingga dapat
mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.
Daftar Pustaka Duch, Barbara J., Allen, Deborah E., and White, Harold B. (2000). Problem-Based
Learning: Preparing Students to Succeed in the 21st Century.[online]. Tersedia
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
23
PM – 2 : Kemampuan Komunikasi Matematis …….. Djamilah Bondan Widjajanti
http://www.hku.hk/caut/homepage/tdg/5/Teaching%20Matter/Dec.98.pdf. [ 15 Januari 2008].
National Council of Teachers of Mathematics. (2000). Prinsiples and Standards for School Mathematics. Reston: NCTM
National Council of Teachers of Mathematics. (2003). NCTM Program Standards.
Programs for Initial Preparation of Mathematics Teachers. Standards for Secondary Mathematics Teachers. [Online]. Tersedia: http://www.nctm.org/uploadedFiles/Math_Standards/ [ 10 Maret 2008].
Presiden RI .(2005). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005
Tentang Standar Nasional Pendidikan. Roh, Kyeong Ha. (2003). Problem-Based Learning in Mathematics. Dalam ERIC
Digest. ERIC Identifier: EDO-SE-03-07. [Online]. Tersedia: http://www.ericdigest.org/. [4 Desember 2007]
Suparno, Paul. (1996). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Tan, Oon-Seng. (2004). ”Cognition, Metacognition, and Problem-Based Learning”, in
Enhancing Thinking through Problem-based Learning Approaches. Singapore: Thomson Learning.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
24
PM – 3 : Eksplorasi Program Winplot …. MG. Erni Harmiati
Eksplorasi Program Winplot Untuk Mendukung Pembelajaran Matematika di SMA
MG. Erni Harmiati
Guru Matematika SMA K Sang Timur Jl. Batikan No. 7 Yogyakarta
Email: [email protected]
Abstrak
Makalah ini bertujuan untuk mengkaji i) fasilitas apa saja dari program Winplot yang dapat digunakan untuk membantu pembelajaran matematika di SMA, ii) materi apa saja pada pembelajaran matematika di SMA yang dapat dibantu dengan menggunakan program Winplot, dan iii) penyusunan rencana kegiatan pembelajaran matematika di SMA menggunakan program Winplot. Dari hasil pengkajian diperoleh hasil berikut i) fasilitas-fasilitas dari program Winplot antara lain: dapat melukis berbagai grafik fungsi matematika yang cukup lengkap, seperti: grafik fungsi kuadrat, trigonometri, logaritma, dan sebagainya; dapat menampilkan beberapa grafik dalam satu sumbu; dapat menampilkan grafik yang menarik dengan memberi warna, membuat animasi, memberi label, mengatur skala diperbesar atau diperkecil sesuai kebutuhan dan; dapat juga memberi tanda pada titik-titik optimum atau titik potong grafik. ii) materi pada pembelajaran matematika di SMA yang dapat dibantu dengan menggunakan program Winplot antara lain: Fungsi Kuadrat, Fungsi Trgonometri, Persamaan Lingkaran, Fungsi Invers, Limit, Diferensial, Integral, Program Linear, Fungsi Eksponen dan Logaritma. iii) dapat disusun kegiatan pembelajaran yang bertujuan untuk meningkatkan motivasi belajar siswa dan pemahaman konsep Fungsi Kuadrat berbantuan program Winplot. Kata-kata kunci: Pembelajaran Matematika, Program Winplot, Grafik Fungsi
A. PENDAHULUAN
Mata pelajaran matematika pada tingkat SMA cenderung abstrak. Hal ini
menyebabkan matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang dianggap sulit
bagi siswa. Salah satu bagian dari matematika yang bersifat abstrak adalah fungsi.
Beberapa fungsi yang dipelajari di SMA antara lain adalah fungsi kuadrat, fungsi
trigonometri, fungsi invers, dan sebagainya.
Pembelajaran fungsi di SMA selama ini kurang menyoroti grafiknya. Hal ini
dikarenakan guru sendiri kurang menyadari akan pentingnya memahami grafik dalam
kaitannya untuk memahami materi fungsi secara lebih mendalam dan lebih bermakna,
sehingga dalam pembelajaran materi grafik kurang diberi tempat yang semestinya.
Padahal pemahaman siswa terhadap suatu fungsi akan lebih kuat apabila siswa juga
memahami fungsi tersebut melalui grafiknya.
Pembelajaran yang berkaitan dengan materi grafik fungsi tersebut selama ini
diajarkan hanya menggunakan media papan tulis dan kapur sehingga seringkali kurang
efisien karena guru masih harus menggambar grafiknya di papan tulis. Selain itu guru
juga harus menggambar grafik tersebut dengan tingkat ketelitian yang tinggi sehingga
untuk menggambar satu grafik saja kadang-kadang harus membutuhkan waktu yang
lama. Bagi siswa pun tentu juga akan kesulitan dalam menggambar grafik tersebut
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
25
PM – 3 : Eksplorasi Program Winplot …. MG. Erni Harmiati
sehingga siswa cenderung akan merasa malas untuk menggambarnya. Untuk itu
dibutuhkan media lain yang dapat membantu siswa untuk mempelajari grafik dengan
lebih mudah dan menyenangkan.
Salah satu media yang sesuai dengan perkembangan jaman saat ini adalah media
komputer. Program komputer untuk membantu pembelajaran matematika juga telah
banyak tersedia di internet yang dapat diperoleh secara gratis, salah satu di antaranya
adalah program komputer untuk menggambar grafik, yaitu Winplot. Program Winplot
ini memiliki fasilitas dan kemampuan untuk membantu menggambar berbagai macam
grafik.
Mengingat pentingnya grafik dalam pembelajaran matematika, khususnya
fungsi, maka dalam makalah ini akan dibahas fasilitas apa saja dari program Winplot
yang dapat digunakan untuk membantu pembelajaran matematika di SMA, dan materi
apa saja pada pembelajaran matematika di SMA yang dapat dibantu dengan
menggunakan program Winplot serta bagaimana menyusun rencana kegiatan
pembelajaran matematika di SMA menggunakan program Winplot ?
B. LANDASAN TEORI
1. Pembelajaran Matematika Berbantuan Komputer
Komputer telah memainkan peranan penting dalam pembelajaran matematika.
Dari berbagai studi tentang penggunaan komputer dalam pembelajaran matematika
ditemukan bahwa hasil belajar siswa yang belajar matematika dengan komputer lebih
baik daripada yang tidak menggunakan komputer. Hasil penelitian Kulik, Bangert, dan
Williams (1983:19-26 dalam Yohanes, 1995:4) menyebutkan bahwa pembelajaran
berbantuan komputer merupakan strategi yang efektif untuk meningkatkan sikap lebih
tertarik, tidak mudah menyerah, dan aktif menyelesaikan tugas.
Sedangkan menurut Taylor (1987 dalam Suparno, 1998:234), kehebatan
komputer terutama terletak pada:
1) Kemampuannya untuk mengerjakan secara matematis model-model sistem fisis
yang dihadapi.
2) Kemampuannya untuk men-display-kan hasil-hasil model-model itu dengan grafik
yang bagus dan jelas.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
26
PM – 3 : Eksplorasi Program Winplot …. MG. Erni Harmiati
Suparno (1998:236) berpendapat bahwa guru tidak diharapkan untuk tetap
memberikan penjelasan seperti sebelum ada program-program komputer. Guru perlu
mencari dan menemukan peranan yang baru, yang akan lebih memajukan proses belajar
siswa. Beberapa peran guru yang perlu diperhatikan antara lain:
1) Guru lebih sebagai fasilitator yang membantu siswa untuk dapat belajar sendiri
dengan media komputer yang ada.
2) Guru dapat berkeliling untuk bertanya kepada siswa tentang bahan yang ditekuni
dalam komputer.
3) Guru lebih menantang agar siswa sungguh aktif untuk meneliti, mencari sendiri,
dan menemukan apa yang dipelajarinya dalam komputer.
4) Ada baiknya guru sering membuat penelitian apakah siswa memang terbantu
dengan komputer dan bagaimana akan meningkatkannya.
5) Guru diharapkan dapat mengusulkan program-program komputer yang sesuai
dengan bahan yang mau dipelajari siswanya. Syukurlah bila guru mau
bekerjasama dengan para pembuat program agar bahan dan metode yang
dijadikan program sungguh tepat dengan kebutuhan dan situasi siswa.
2. Pembelajaran dengan Menggunakan Komputer Program Grafik
Program grafik merupakan suatu perangkat lunak yang dapat mengambar grafik
secara akurat dan cepat. Menurut Yoong, W.K (1998) kelebihan program grafik inilah
yang akan dipakai untuk mendapatkan beberapa tujuan pembelajaran, diantaranya
adalah:
a. Untuk mengembangkan konsep melalui pemahaman siswa tentang
hubungan simbol, grafis dan numeris. Sebagai contoh identitas fungsi alajabar
trigonometri dapat diilustrasikan dengan mengimpitkan grafik yang satu pada
yang lain. Ilustrasi ini dapat membantu menguatkan pembuktian secara analitis.
Program grafik juga dapat membantu guru maupun siswa untuk bekerja secara
cepat untuk mempelajari contoh dan contoh penyangkal untuk mengembangkan
pemahaman hubungan antara simbol, grafik, dan numeris. Pemahaman ini
merupakan aspek yang penting dalam pemahaman metematis.
b. Untuk menguatkan konsep. Guru terlebih dulu mengawali penjelasan tanpa
meggunakan komputer. Setelah mereka memperoleh gagasan dari konsep,
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
27
PM – 3 : Eksplorasi Program Winplot …. MG. Erni Harmiati
mereka dapat bekerja dengan program gradik untuk mengeksplorasi contoh
selanjutnya tanpa hambatan kekurangterampilan dasar aritmatika, perhitungan
yang membosankan, atau kesalahan dalam menggambar secara manual.
c. Untuk memperbaiki kesalahan yang sering terjadi. Siswa sering
menyamakan bentuk aljabar yang nampak serupa, sebagai contoh (x + 1)2 = x2 +
1 dan sin 2x = 2 sin x. Dengan menggambar grafik yang sesuai, siswa ini dapat
melihat secara visual bagaimana bentuk alajaba tersebut berbeda. Guru dapat
menggunakan hal ini sebagai suatu aktivitas remidial tambahan untuk membantu
siswa memperbaiki kesalahan dan mis konsepsinya. Pendekatan grafis ini harus
dikuatkan dengan penjelasan analitis.
d. Untuk memeriksa penyelesaian secara grafis dan analitis. Siswa dapat
menggunakan program grafis untuk memeriksa jawabannya pada masalah grafis
dan nongrafis. Hal ini mengembangkan kebiasaan yang sangat diperlukan dalam
hal memeriksa sendiri jawaban dalam pemecahan masalah.
e. Untuk menyelesaikan persamaan secara grafis. Dalam dunia nyata ada
banyak masalah yang tidak dapat diselesaikan secara analitis. Dalam kasus ini,
metode pendekatan seperti grafik adalah hanya suatu kemungkinan untuk
menyelesaikan masalah. Program grafis adalah suatu alat yang efisien untuk
mencari pendekatan penyelesaian. Siswa seharusnya berani menggunakan
teknologi grafik ini sehingga mereka akan mengapresiasi bahwa beberapa
masalah matematis tidak dapat diselesaikan dengan menggunakan rumus
tertentu karena memang tidak ada.
f. Untuk mencari jawaban atas dugaan pada suatu masalah. Berilah siswa
kesempatan untuk menemukan pola untuk mengeksplorasi sifat-sifat matematis
dan untuk memeriksa dugaan melalui pengajuan masalah “apa yang terjadi jika”
pada dirinya sendiri. Hal ini adalah proses yang penting dari proses berpikir
matematis. Ketika suatu program grafis digunakan untuk tujuan ini siswa tidak
dihambat oleh kekurangannya dalam perhitungan atau kemampuannya
menggambar secara manual. Bagaimanapun tipe pembelajaran dengan
penemuan akan lebih baik dibawah panduan guru.
g. Menjadi metakognitif. Siswa seharusnya belajar untuk memeriksa jawabannya
sendiri dengan menggunakan hasil dalam layar dan bertanggung jawab untuk
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
28
PM – 3 : Eksplorasi Program Winplot …. MG. Erni Harmiati
pembelajarannya. Diskusi kelompok dapat diadakan untuk meningkatkan
pembelajaran dengan pendekatan konstruktifis dan reflektif.
h. Untuk memperoleh keterampilan teknologi informasi. Hal ini diperoleh
dalam suatu cara yang tidak langsung melalui pembelajaran bagaimana
menggunakan program yang sangat kuat.
i. Untuk meningkatkan motivasi belajar. Siswa secara umum termotivasi untuk
belajar dengan menggunakan komputer. Pogram grafik dapat menambah minat
untuk belajar matematika karena mudah dan menyenangkan. Gambar yang
diahasilkan dapat menjadi sangat hidup dan mengesankan.
Untuk dapat melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan program grafik
secara efektif, guru harus menyediakan panduan pada siswa. Tanpa ada panduan,
eksplorasi yang dilakukan siswa seringkali memakan banyak waktu dan tidak mengarah
pada tujuan pembelajaran. Rangkaian pembelajaran yang disarankan oleh Yoong, W.K.
(1998) yaitu:
menggambar manual menggambar dengan komputer menggambar manual
Penjelasan dari rangkaian pembelajaran tersebut adalah sebagai berikut:
a. Menjelaskan konsep atau keterampilan yang dimaksud tanpa menggunakan
komputer. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan peragaan, ceramah atau
diskusi kelompok. Langkah awal ini membekali siswa dengan latar belakang
matematis yang diperlukan untuk mengikuti aktivitas berbasis komputer.
b. Mengadakan pembelajaran dengan menggunakan program grafik. Hal ini dapat
dilakukan dengan 2 cara, yaitu:
1) Pembelajaran kelas secara menyeluruh. Guru mendemonstrasikan contoh dan
contoh penyangkal dengan menggunakan program grafik dan menjelaskan
hasil yang dimaksud. Hal ini dilakukan dengan cara tanya jawab untuk
medorong pembelajaran aktif. Pembelajaran dilakukan dengan bantuan sebuah
panel LCD untuk memproyeksikan layar komputer sehingga seluruh kelas
dapat melihat.
2) Aktivitas siswa. Dalam cara ini aktivitas akan dilaksanakan di laboratorium
komputer. Siswa bekerja dengan menggunakan lembar kerja, baik secara
individu, berpasangan atau dalam kelompok kecil. Bekerja secara berpasangan
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
29
PM – 3 : Eksplorasi Program Winplot …. MG. Erni Harmiati
adalah pilihan yang disarankan karena diskusi antar pasangan akan
memfasilitasi pembelajaran secara bermakna. Mendorong siswa untuk bekerja
menggunakan kertas, pensil dan kalkulator dan memeriksa hasil dalam layar.
Hal ini mendoong pembelajaran aktif melalui corat-coret dan main-main
(coba-coba). Selama pembelajaran berlangsung sebaiknya guru berkeliling
untuk memeriksa siswa yang sedang mengerjakan dan memberikan bantuan
jika diperlukan. Hentikan pembelajaran secara periodik untuk mendiskusikan
atau membuat ringkasan. Kumpulkan lembar kerja dan tandailah sebagai
pekerjaan kelas atau pekerjaan rumah.
c. Memberikan penguatan setelah aktivitas komputer dilaksanakan untuk penguatan
konsep dan mengembangkan keterampilan untuk penilaian tingkat yang
diperlukan.
C. PEMBAHASAN
1. Fasilitas-fasilitas Program Winplot
Ada beberapa program grafik seperti Mathematica, MathCad, dan MathLab
yang bisa dipakai dalam pembelajaran matematika. Akan tetapi program tersebut tidak
gratis, lebih besar memorynya dan lebih sulit untuk dipelajari. Winplot adalah suatu
program yang diciptakan dan diproduksi oleh Richard Parris. Program ini dapat
diperoleh secara gratis melalui internet yaitu (http://www.exeter.edu/public
/peanut.html). Program ini sangat mudah untuk diinstal atau dicopy dan tidak
menghabiskan banyak tempat karena file program Winplot ini hanya berukuran sekitar
1,359 KB . Semua keterangan tentang cara-cara pengoperasian program Winplot dapat
dilihat pada menu Help di mana diberikan informasi yang lengkap tentang cara kerja
masing-masing menu yang ada pada program ini.
Program Winplot ini dapat digunakan untuk menggambar grafik fungsi yang
lengkap dengan sumbu-sumbu koordinatnya sehingga akan memudahkan siswa untuk
menggambar grafik fungsi dan mengeksplorasi sifat-sifat grafik fungsi. Fasilitas yang
dimiliki dalam program Winplot yaitu mampu untuk:
a. digunakan pada bermcam-macam fungsi matematis seperti sin x, ex, dan
lain-lain.
b. dapat memperlihatkan beberapa grafik dalam sumbu yang sama.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
30
PM – 3 : Eksplorasi Program Winplot …. MG. Erni Harmiati
c. memvariasikan macam-macam warna, gaya dan ketebalan, dari grafik
fungsi.
d. memberi label pada grafik, sumbu, dan titik.
e. menyisipkan teks pada grafik.
f. mengatur kembali skala sumbu koordinat dengan mudah, termasuk
memperbesar dan memperkecil.
g. memberi tanda pada titik-titik tertentu yang perlu diperhatikan seperti titik
maksimum atau titik potong.
h. membut animasi pada grafik.
i. menggambar hasil operasi dua buah fungsi
j. menggambar transformasi (rotasi, refleksi) suatu grafik
k. menggambar luasan hasil perputaran grafik
l. mengarsir daerah dengan batas-batas kurva tertentu
2. Materi Matematika SMA yang Pembelajarannya Dapat Dibantu Winplot
Program Winplot ini dapat dimanfaatkan untuk mendukung pembelajaran grafik
fungsi dimensi dua karena program Winplot ini dapat digunakan untuk menggambar dan
memvisualisasikan materi grafik fungsi dimensi dua dengan mudah dan cepat. Ada
banyak fungsi yang dipelajari di SMA, untuk itu masing-masing fungsi tersebut dan
fasilitas program Winplot yang dapat dimanfaatkan akan ditampilkan dalam suatu tabel
sebagai berikut:
No. Materi Fasilitas Program Winplot yang
Dimanfaatkan
1 Grafik Fungsi Kuadrat a, c, d, e, f, g
2 Grafik Fungsi
Trigonometri
a, b, c, d, e, f, g
3 Persamaan Lingkaran a, b, c, d, e, f, g
4 Fungsi Invers a, b, c, d, e, f, g, i, j
5 Limit Fungsi a, b, c, d, e, f, g
6 Diferensial a, b, c, d, e, f, g
7 Integral a, b, c, d, e, f, g, k
8 Program Linear a, b, c, d, e, f, g, l
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
31
PM – 3 : Eksplorasi Program Winplot …. MG. Erni Harmiati
9 Tranformasi a, b, c, d, e, f, g, j
10 Fungsi Eksponen dan
Logaritma
a, b, c, d, e, f, g
3. Rancangan Kegiatan Pembelajaran Grafik Fungsi Kuadrat Berbantuan
Program Winplot
Dalam makalah ini akan disusun sebuah rancangan kegiatan pembelajaran
berbantuan program Winplot. Kegiatan pembelajaran yang akan disusun sesuai dengan
yang disarankan oleh Yoong, W.K. (1998), yaitu :
menggambar manual menggambar dengan komputer menggambar manual
Rancangan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Guru menjelaskan pengertian grafik fungsi kuadrat kemudian menjelaskan
langkah-langkah meggambar grafik fungsi kuadrat dan memberikan contoh
menggambarnya dengan cara manual di papan tulis.
b. Guru mengelompokkan siswa dua-dua (berpasangan), kemudian diberi
lembar kerja siswa. Siswa mulai melakukan kegiatan pembelajaran sesuai
dengan lembar yang ada, guru berkeliling untuk memeriksa siswa yang
sedang mengerjakan dan memberikan bantuan bila diperlukan. Guru dan
siswa membahas hasil atau kesimpulan yang diperoleh siswa selama
berekplorasi dengan tanya jawab.
c. Guru menguatkan pemahaman yang diperoleh siswa dengan mengadakan
tanya jawab kemudian memberikan soal-soal latihan yang dikerjakan siswa
dengan cara manual.
Di bawah ini akan diberikan contoh lembar kerja siswa yang dipakai dalam
pembelajaran fungsi kuadrat berbantuan program Winplot.
Tujuan pembelajaran (penekanan materi):
a. Mengetahui hubungan akar persamaan kuadrat dan titik potong grafik dengan
sumbu x.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
32
PM – 3 : Eksplorasi Program Winplot …. MG. Erni Harmiati
b. Menentukan penyelesaian dari dua persamaan (kuadrat atau linear) dengan cara
menemukan absis titik potong irisan kedua grafik.
c. Menentukan persamaan grafik fungsi kuadrat jika diketahui akarnya.
Tujuan proses pembelajaran:
a. Untuk menguatkan pemahaman siswa dengan memahami hubungan antara
simbol dengan visual.
b. Untuk mencari jawaban atas dugaan suatu masalah dengan eksplorasi program
Winplot.
Lembar Kerja Siswa
Tujuan: Untuk menyelesaikan persamaan kuadrat dengan menentukan absis titik
potong grafik dengan sumbu x.
1. Lengkapilah tabel berikut dengan menggunakan Winplot.
Persamaan
Kuadrat
Sketsa Grafik Penyelesaian (Akar)
a x2 - 3x + 4 = 0 y = x2 - 3x + 4
x =
b x2 – 4 = 0
x =
c (x + 1)(x – 2) = 0
x =
d (2 – x)(2x + 7) = 0
x =
e 2(x – 3)(x + 4)
x =
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
33
PM – 3 : Eksplorasi Program Winplot …. MG. Erni Harmiati
Cobalah lagi untuk beberapa contoh persamaan kuadrat yang kamu miliki.
2. Persamaan berikut tidak dapat difaktorkan dengan mudah. Gunakan zoom in dengan
cara menekan tombol page down pada keyboard untuk memperoleh hasil yang lebih
akurat.
Persamaan Kuadrat
Sketsa Grafik Penyelesaian (Akar)
a x2 + 3x + 2 = 0 y = x2 + 3x + 2
x =
b 3x2 – 5x + 2 = 0
x =
c 5 – 3x – 2x2 = 0
x =
d x2 – x - 3 = 0
x =
Cobalah lagi untuk beberapa contoh persamaan kuadrat yang kamu miliki.
3. Selesaikan persamaan berikut dengan menggambarkan dua grafik persamaan
tersebut dan menemukan absis titik potongnya. Gunakan zoom in dengan cara
menekan tombol page down pada keyboard untuk memperoleh hasil yang lebih
akurat.
Persamaan Kuadrat
Sketsa Grafik Penyelesaian (Akar)
a x2 – 3x – 1 = x – 3 y = x2 – 3x – 1 dan y = x – 3
x =
b x2 + 2x – 3 = 2x – 1
x =
c 3 – 2x – 2x2 = 3x2 - 5
x =
d x2 – x – 3 = 4 – 2x – x2
x =
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
34
PM – 3 : Eksplorasi Program Winplot …. MG. Erni Harmiati
4. Tuliskan beberapa persamaan kuadrat yang berbeda yang mempunyai akar 2 dan 5.
Periksa jawabanmu menggunakan program Winplot.
D. PENUTUP
1. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas diperoleh hasil sebagai berikut:
a. Fasilitas-fasilitas dari program Winplot yang dapat digunakan dalam
pembelajaran antara lain: dapat melukis berbagai grafik fungsi matematika yang
cukup lengkap, seperti: grafik fungsi kuadrat, trigonometri, logaritma, dan
sebagainya; dapat menampilkan beberapa grafik dalam satu sumbu; dapat
menampilkan grafik yang menarik dengan memberi warna, membuat animasi,
memberi label, mengatur skala diperbesar atau diperkecil sesuai kebutuhan dan;
dapat juga memberi tanda pada titik-titik optimum atau titik potong grafik.
Selain itu juga dapat untuk menggambar hasil operasi dua fungsi, trasformasi
suatu grafik, luasan hasil perputaran grafik dan dapat mengarsir daerah dengan
batas-batas kurva tertentu.
b. Materi pada pembelajaran matematika di SMA yang dapat dibantu dengan
menggunakan program Winplot antara lain: Fungsi Kuadrat, Fungsi
Trigonometri, Persamaan Lingkaran, Fungsi Invers, Limit, Diferensial, Integral,
Program Linear, Transformasi, Fungsi Eksponen dan Logaritma.
c. Sebuah rancangan kegiatan pembelajaran yang bertujuan untuk meningkatkan
motivasi belajar siswa dan pemahaman konsep Fungsi Kuadrat berbantuan
program Winplot.
2. Saran/Rekomendasi
Beberapa hal yang perlu dipikrkan dan dikembangkan lebih lanjut adalah:
a. Rancangan kegiatan pembelajaran pada makalah ini perlu untuk
ditindaklanjuti, misalnya dengan dilaksanakan di kelas dan dievaluasi
hasilnya dalam suatu penelitian tindakan kelas.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
35
PM – 3 : Eksplorasi Program Winplot …. MG. Erni Harmiati
b. Rancangan kegiatan pembelajaran yang di buat pada makalah ini hanya
sebuah topik yaitu Fungsi Kuadrat, masih ada banyak topik yang dapat
dirancang kegiatan pembelajarannya.
E. DAFTAR PUSTAKA
Suparno, P. (1998). Penggunaan Komputer dalam Proses Belajar Mengajar Fisika di Sekolah Menengah. Dalam Pendidikan Matematika dan Sains: tantangan dan harapan. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
Yohanes, R. S. (1995). Pengaruh Pengajaran Berbantuan Komputer Terhadap Tingkat
Kecemasan dan Prestasi Belajar Matematika. Dalam Widya Dharma Edisi Oktober 1995.
Yoong, W. K. (1998). Computers for Mathematics Instruction (CMI) Project Module 2
Graphing Software. Universiti Brunei Darusalam. http://www.exeter.edu/public/peanut.html.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
36
PM – 4 : Keterampilan Berpikir dalam ...... Hasratuddin
Keterampilan Berpikir dalam Pendidikan Matematika Realistik
Hasratuddin Universitas Negeri Medan
Abstrak
Tujuan dari artikel ini adalah untuk memberikan suatu alternatif pembelajaran matematika dalam mengembangkan sikap demokratis dan keterampilan berpikir. Matematika memiliki objek-objek kajian yang bersifat abstrak yang hanya ada dalam pikiran, sedangkan yang dilihat dan dipelajari hanyalah merupakan gambar atau lukisan untuk mempermudah mempelajarinya. Salah satu tujuan pengajaran matematika adalah tujuan formal yaitu penataan nalar dan pengembangan ketrampilan berpikir logis, sistematis, kritis dan kreatif serta sikap jujur dan taat azas. Di dalam matematika, alat-alat dan gaya-gaya tentang bepikir yang merupakan cirikhas matematis harus dipelihara; dipertahankan, dan digunakan untuk memecahkan permasalahan. Pengajaran matematika realistik merupakan pengajaran yang kompeten mengembangkan sikap dan keterampilan berpikir yang bersifat konstruktif, interaktif dan reflektif.
Kata kunci: berpikir, matematika, realistik, konstruktif, interaktif, reflektif.
A. Pendahuluan
Melihat kondisi yang terjadi sekarang ini, terutama penomena-penomena yang
diakibatkan oleh kemajuan teknologi modern yang berubah begitu cepat memfasilitasi
informasi-informasi yang banyak dan mudah ditemukan dari berbagai sumber, maka
tidak berlebihan apabila disektor pendidikan mengharuskan untuk mempersiapkan anak
didik untuk menjadi pemikir-pemikir yang efektif sebagai kelangsungan hidupnya
dikemudian hari. Robinson (1987: 16), mengatakan bahwa mengajar anak menjadi
pemikir-pemikir yang efektif harus menjadi tujuan utama dalam sektor pendidikan.
Dari suatu fakta dan pertanyaan yang perlu dipertimbangkan berkaitan dengan
pembelajaran matematika, antara lain, adalah mengapa kelihatannya ada anak-anak,
tingkat dasar sampai perguruan tinggi, ada yang dengan mudah belajar matematika,
ada anak yang harus bekrja keras untuk memahami matematika, ada anak yang sangat
sulit dengan matematika? Mengapa ada anak dengan mudah dan baik memamahi aljabar
tetapi sulit pada geometri, dan sebaliknya? (Stemberg R.J,Talia BZ, 1996; vii).
Salah satu gagasan yang paling abadi mengenai pengajaran matematika adalah
matematika terdiri dari sperangkat aturan-aturan dan pengetahuan yang tidak terbantah;
memiliki struktur yang sudah tetap dan dapat diperoleh melalui pengulangan dan
penghafalan (Nelissen, 2005). Berkaitan dengan pengajaran matematika yang
berlangsung di sekolah-sekolah kita sekarang ini, maka ada suatu pertanyaan yang
mendasar yang perlu dipertimbangkan, yaitu: bagaimana matematika dapat diajarkan
lebih baik, bagaimana anak-anak didorong untuk tertarik dan berminat dengan
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
37
PM – 4 : Keterampilan Berpikir dalam ...... Hasratuddin
matematika, bagaimana cara sesungguhnya anak-anak belajar matematika, dan apa yang
merupakan nilai dari matematika bagi mereka?
Menurut Goffree, Freudenthal, dan Schoemaker (1981), pokok dari matematika
adalah unsure esensial dalam berpikir itu sendiri melalui pertimbangan-pertimbangan
didaktikal dalam pengajaran matematika. Hal itu menekankan bahwa pengetahuan
adalah hasil dari suatu aktivitas dan usaha-usaha belajar, dan belajar bukan hanya
sebagai penerima yang passif terhadap informasi.
Ada tiga teori pengetahuan menurut Confrey (1981) yaitu teori absolute,
progresif absolute dan perubahan konseptual. Di dalam teori absolut pertumbuhan dari
pengetahuan adalah dipandang sebagai suatu akumulasi objek dan fakta yang ditentukan
secara empiric. Menurut progresif absolute, pengetahuan dipandang sebagai suatu teori
yang baru dan benar, dan bahkan melebihi pengetahuan sebelumnya. Para penganut
perubahan konseptual memandang pengetahuan sebagai asas (paradigmatical)
perubahan-perubahan dan bukan usaha untuk menemukan kebenaran-kebenaran absolut.
Suatu teori dapat memiliki kekuatan lebih besar dan memberikan argumentasi lebih
tangguh dibanding yang lain apabila nilai-nilai teori tersebut tidak dapat disangkal
kevalidannya (Lakatos, 1976). Selama ini matematika dipandang sebagai ilmu
pengetahuan yang mutlak atau pasti. Confrey (1981) mengatakan bahwa matematika
dipandang sebagai ringkasan simbol-simbol dari kepastian, kebenaran-kebenaran yang
abadi dan metoda-metoda yang tidak dapat dibantah. Para ahli matematik lain, sudah
meninggalkan teori penganut kemutlakan dan menjelaskan bahwa matematika adalah
suatu subjek di mana kita tidak pernah mengetahui apa yang kita berbicarakan atau apa
yang kita katakan itu benar. (Whitney, 1985; Russell & Bishop, 1988)
Dewasa ini matematika dipandang sebagai suatu hasil dari aktivitas manusia dan
bukan sebagai jenis dari struktur akhir (Freudenthal, 1983). Pengajaran matematika
perlu mengungkapkan bagaimana sejarah penemuan-penemuan itu dibuat. Itu berarti
pengajaran matematika itu bukan sekedar suatu praktek latihan matematis yang terdiri
dari mencari satu sistem yang berjalan, tetapi lebih tentang menciptakan dan
menemukan hal baru. Jika matematika merupakan pengetahuan yang tidak dapat
dibantah dan prosedur-prosedur sudah jadi, lalu tujuan utama matematika itu tentu saja
adalah anak-anak menguasai prosedur-prosedur. Tetapi, sekarang ini banyak para
peneliti dan matematisian (Fredenthal, 1973, 1983, 1991; Treffers, 1987; Gravemeijer,
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
38
PM – 4 : Keterampilan Berpikir dalam ...... Hasratuddin
1994; de Moor, 1994; de Lange, 1998; Blanchard, Devaney, &Hall, 1998; Borelli &
Coleman, 1998; Kostelich & Armbruster, 1997; Hubbard & West, 1997), mengatakan
bahwa jika matematika dilihat sebagai penyelidikan-penyelidikan dan pencarian,
meneliti dan mengerjakannya sendiri dengan kritis, merumuskan hipotesis, dan tentu
saja manusia dapat berbuat keliru, maka pengajaran matematika ditempatkan dalam
suatu pandangan yang sesungguhnya berbeda dengan pandangan absolutsm. Pengajaran
matematika berarti lebih dari sekedar memperkenalkan anak-anak dengan isi matematis,
tetapi juga mengajar mereka bagaimana pekerjaan para ahli matematik, metoda-metoda
yang mereka gunakan dan bagaimana mereka berpikir. Untuk alasan ini, anak-anak
harus dilibatkan dan diberi kesempatan berpikir untuk diri mereka dan melaksanakan
pekerjaan mereka sendiri tentang penyelidikan, dan diizinkan untuk membuat kesalahan
karena mereka juga dapat belajar melalui kekeliruan-kekeliruan tersebut, diizinkan
untuk mengembangkan pendekatan mereka sendiri, dan belajar bagaimana caranya
mempertahankannya dan juga untuk memperbaikinya kapan pun perlu. Hal ini semua
bermakna bahwa para siswa belajar untuk menggunakan pemikiran matematis mereka
sendiri, strategi mereka sendiri, operasi mental mereka dan solusi mereka sendiri.
Di dalam penelitian Greer (1997), Verschaffel, dkk., (1997), menemukan suatu
kecenderungan yang kuat dari anak-anak untuk berbuat sesuatu terhadap permasalahan
konteks tentang ‘masalah kata' dengan tak mengindahkan situasi-situasi nyata tentang
permasalahan, dari hasil penelitiannya menemukan bahwa hanya 48% dari 332 siswa
yang memberi respon terhadap kasus masalah kata yang diberikan, selebihnya
mempertimbangkan masalah kata yang kompleks dan berliku tidak sesuai dengan anak-
anak. Tujuan pemecahan masalah kata dalam pengajaran di sekolah, setelah mereka
memberi pendapat, adalah “...belajar untuk menemukan jawaban masalah nilai yang
benar untuk setiap masalah dengan operasi-operasi aritmetika formal yang tersembunyi
di dalam masalah” (Verschaffel dkk., 1997, p.357). Ketika para siswa memecahkan
masalah kata, siswa perlu membuat lompatan belajar dan latihan-latihan mekanis untuk
menerapkan pengetahuan mereka ( Wyndhamn &Säljö, 1997). Hasil penelitian mereka
menunjukkan bahwa para siswa usia 10-12 tahun, kebanyakan memberi jawab yang
tidak konsisten secara logika. Siswa menyelesaikan masalah matematika hanya berfokus
kepada sintak atau susunan kata dari masalah dibanding mengartikannya. Itu berarti
bahwa hubungan aturan dasar yang diketahui antara hasil simbol-simbol yang kurang
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
39
PM – 4 : Keterampilan Berpikir dalam ...... Hasratuddin
dimaknai mengakibatkan penyimpangan arti. Reusser dan Stebler (1997) dalam temuan
penelitiannya yang menarik bahwa para murid menyelesaikan masalah yang tak dapat
diselesaikan tanpa reaksi-reaksi realistis. Sebagai contoh: - Ada 125 ekkor kambing dan
5 anjing di suatu lapangan yang diangon seorang pengembala. Berapa umur si
pengembala?' Banyak siswa yang memberikan jawaban, seperti: 125 + 5 = 130......., ini
terlalu besar, dan 125 - 5 = 120, masih terlalu besar,......sekarang 125 : 5 = 25....., ini
baru cocok. Saya kira si pengembala berusia 25 tahun. Sepertinya, opini mereka bahwa
semua masalah dalam matematika mempunyai penyelesaian. Salah satu dari
kesimpulan-kesimpulan penulis adalah bahwa perlu pemahaman tentang semantic,
penyamaan-penyamaan yang disamarkan pada rancangan yang baik akan lebih
menantang proses berpikir. Sedemikian dalam pengajaran matematika diperlukan
masalah-masalah dan konteks-konteks yang baik dalam mengkonstruk pemikiran anak.
Matematika sering dilihat sebagai suatu pelajaran yang sangat terkait eksklusif
dengan pengetahuan abstrak dan formal. Menurut pandangan ini, objek matematis yang
abstrak harus diajarkan dengan membuat lebih konkrit. Pandangan ini ditentang oleh
Freudenthal (1983), dalam pendapatnya, bahwa kita menemukan matematika melalui
pengamatan gejala atau penomena konkrit di sekitar kita. Itulah sebabnya kita perlu
dasar mengajar tentang fenomena konkrit yang dikenal baik dalam dunia anak-anak.
Fenomena ini memerlukan pemakaian teknik-teknik penggolongan tertentu, seperti
gambar-gambar, diagram dan model-model seperti garis bilangan. Oleh karena itu, perlu
menghindari anak-anak berhadapan langsung dengan rumus-rumus matematis formal
yang akan hanya berfungsi untuk menakut-nakuti mereka, tetapi perintahnya lebih
berdasar pada struktur-struktur matematis yang kaya, dan anak akan mampu mengenali
lingkungannya. Dengan cara ini matematika menjadi penuh arti bagi anak-anak dan juga
jelas bahwa anak-anak belajar matematika bukan melalui latihan rumus-rumus tetapi
melalui refleksi pengalaman-pengalaman mereka sendiri.
B. Pembahasan
Salah satu pembelajaran matematika yang mengacu kepada aktivitas siswa
adalah pendidikan matematika realistik berasal dari negeri Belanda yang lazim
disebut Realistics Mathematics Education (RME). Dalam matematika realistik,
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
40
PM – 4 : Keterampilan Berpikir dalam ...... Hasratuddin
matematika dipandang sebagai aktivitas manusia. (Freudenthal,1973; Treffers, 1987;
Gravemeijer, 1994; de Moor, 1994; de Lange, 1998). Sehingga matematika tersebut
harus tidak diberikan kepada siswa dalam bentuk ‘hasil-jadi’, melainkan siswa harus
belajar sendiri menemukan konsep-konsep atau prosedur-prosedur matematika
tersebut melalui penyelesaian masalah-masalah realistik atau kontekstual. De Lange
(1987) mengatakan bahwa proses tersebut merupakan proses “conseptual
mathematizing”, yang dapat berlangsung dari situasi nyata yang dimiliki siswa secara
intuitis. Kemudian mengorganisasikan, menyusun dan mengidentifikasi aspek-aspek
masalah secara matematis, memformalkan dan mengaplikasikannya pada masalah
dan situasi yang berbeda dan akhirnya dikembalikan pada dunia nyata. Dalam hal ini,
pengembangan matematika dapat dibedakan dalam dua komponen yaitu komponen
matematisasi secara horizontal dan komponen matematisasi secara vertikal.
Matematisasi secara horizontal adalah proses perumusan masalah kontekstual ke
dalam masalah secara matematika agar dapat lebih dipahami. Dalam matematisasi
horizontal siswa menggunakan matematika sehingga dapat membantu mereka
mengorganisasikan dan menyelesaikan suatu masalah yang ada pada situasi nyata.
Sebagai contoh matematisasi horizontal adalah; pengidentifikasian, perumusan dan
penvisualisasian masalah dalam cara-cara yang berbeda, pentransformasian masalah
dunia nyata ke masalah-masalah matematika. Sedangkan proses matematisasi secara
vertikal adalah proses transormasi masalah yang sudah diubah ke dalam suatu yang
nyata atau model matematika secara informal yang disuguhkan melalui alat-alat
matematika seperti operasi, konsep atau prosedur matematika. Contoh dalam
matematisasi vertikal adalah perepresentasian hubungan-hubungan dalam rumus, dan
penyesuaian model matematika, penggunaan model-model yang berbeda, perumusan
model matematika dan penggeneralisasian.
Gravemeijer (1994) mengemukakan bahwa ada tiga prinsip kunci dalam
matematika realistik, yaitu:
Guided reinvention / progressive mathematizing (penemuan terbimbing /
matematisasi progressif). Dalam proses ini, untuk membangun dan menemukan
kembali tentang ide-ide dan konsep-konsep matematis, siswa seharusnya diberi
kesempatan untuk mengalaminya melalui dorongan situasi dan jenis masalah
kontekstual. Prinsip ini mengacu pada pernyataan tentang konstruktivisme bahwa
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
41
PM – 4 : Keterampilan Berpikir dalam ...... Hasratuddin
pengetahuan tidak dapat diajarkan atau ditransfer oleh guru, tetapi hanya dapat
dikonstruksi pebelajar sendiri.
Didactical phenomenology (fenomena didaktis). Dalam hal ini fenomena
pembelajaran menekankan pentingnya masalah-masalah kontekstual untuk
memperkenalkan topik-topik matematika kepada siswa. Hal ini dengan
mempertimbangkan aspek kecocokan aplikasi konteks dalam pengajaran dan
kecocokan dampak dalam proses reinvention, bentuk dan model matematika dari
soal kontekstual tersebut.
Self-developed model ( pengembangan model mandiri). Prinsip ini berfungsi
menjembatani jurang antara pengetahuan matematika informal dengan formal dari
siswa. Model matematika dimunculkan dan dikembangkan secara mandiri oleh
siswa. Siswa mengembangkan model tersebut dengan menggunakan model-model
(formal dan informal) yang telah diketahuinya. Dimulai dengan menyelesaikan
masalah kontekstual dari situasi nyata yang sudah dikenal siswa, kemudian
ditemukan “model-dari” (model-of) situasi tersebut (bentuk informal), dan
kemudian diikuti dengan penemuan “model-untuk” (model-for) bentuk tersebut
(bentuk formal matematika), sehingga mendapatkan penyelesaian masalah dalam
bentuk pengetahuan matematika formal. Gravemeijer (1994) menyebutkan siswa
belajar dari tahap situasi nyata, tahap referensi (pemodelan), tahap general
(generalisasi), dan tahap formal.
Model pembelajaran dengan pendekatan realistik menekankan bagaimana siswa
menemukan konsep-konsep atau prosedur-prosedur dalam matematika melalui
dorongan masalah-masalah konstekstual. Dalam menyelesaikan masalah-masalah
kontekstual tersebut siswa diarahkan pada situasi belajar mandiri atau koperatif dalam
kelompok kecil. Dalam RME, Verschaffel (1997) mengatakan bahwa langkah-langkah
untuk menyelesaikan masalah-masalah realistik atau tentang aplikasi matematika
adalah; memahami situasi masalah, membangun model, menyusun model matematika
atau operasi dalam unsur-unsur soal yang diketahui, interpretasi dan evaluasi hasil
pekerjaan komputasi model dan mengkomunikasikan hasil.
Pendekatan realistik tentang belajar dan proses berpikir pada anak-anak
mempunyai konsekuensi-konsekuensi jangkauan yang luas. Matematisasi dipandang
sebagai suatu aktivitas yang bersifat konstruktif, reflektif dan yang interaktif. Berikut ini
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
42
PM – 4 : Keterampilan Berpikir dalam ...... Hasratuddin
akan diberikan contoh keutamaan-keutamaan matematika realistis dalam pengajaran
matematika yang dihubungkan dengan konteks, model-model dan karakteristik proses
matematisasi yang meliputi konstruksi, refleksi dan interaksi.
Belajar matematika adalah suatu aktivitas yang bersifat konstruksi (Bruner,
1986, 1996; Cobb, 1994; Cobb dkk., 1997; Resnick & Klopfer, 1989; Steffe, Cobb,
&Von Glazersfield, 1988). Anak-anak mengkonstruksi secara internal, representasi
mental yang dapat mengkonkritkan gambaran-gambaran, schemata, prosedur-prosedur,
metoda kerja pada level symbol yang abstrak, intuisi-intuisi, konteks-konteks, schemata
penyelesaian, atau melalui percobaan-percobaan. Mengkonstruksi representasi dengan
pengetahuan awal adalah statu langkah yang krusial dalam penyelesaian masalah (Davis
& Maher, 1990, 1997; Kiczek & Maher, 1998). Representasi yang dikonstruksi itu
selalu dicek dan dimodifikasi oleh siswa itu sendiri dalam belajar kolaborasi. Kadang-
kadang, beberapa percobaan yang dikehendaki untuk membangun representasi itu
memuaskan dan bermanfaat dalam penyelesaian masalah. Tugas yang diajukan kepada
siswa seharusnya menjadi tantangan dan memungkinkan mereka dapat membangun
pengetahuan mereka sebelumnya (Francisco & Maher, 2005; Benko, 2006).
Lo, Grayson, Wheatly, dan Smith (1990) mengatakan hubungan erat antara
konstruksi dan interaksi adalah bahwa dari suatu perspektif constructivist belajar terjadi
ketika seorang anak mencoba untuk menyesuaikan fungsi skemanya untuk menetralkan
gangguan-gangguan yang muncul melalui interaksi-interaksi dengan dunia-dunia kita
(Heuvel-Panhuizen, 2003 p. 116). Dua aspek penting, konstruksi dan interaksi, bersifat
penting di dalam statemen tersebut. Meski konstruksi tentang pengetahuan adalah suatu
perbuatan pribadi, namun itu tidak sama sekali satu aktivitas yang terisolasi seperti
penafsiran-penafsiran orang-orang terhadap penerapan constructivism. Konstruksi
tentang representasi mental internal adalah salah satu dari keutamaan proses belajar
matematika. Kita mengerti pengembangan dari represesntasi internal sebagai suatu
proses yang sangat berarti ( Kirshner &Whitson, 1997; Walkerdine, 1997). Jadi kita
tidak membuat suatu pembedaan antara representasi dunia secara eksternal dan secara
internal.
Pengajaran realistik di dalam matematika bukan hanya bersifat mengkonstruk
tetapi juga interaktip. Bishop (1988) memberi alasan untuk menggantikan ‘belajar
impersonal dan ‘belajar teks dengan ‘elkulturasi matematis, dengan demikian
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
43
PM – 4 : Keterampilan Berpikir dalam ...... Hasratuddin
menekankan hubungan antara pendidikan dan kultur. Pimm (1990) menggunakan
istilah ‘percakapan matematis, sedangkan Salomon (1989) mengatakan dengan mitra
kognitif. Granott dan Gardner (1994) mengatakan bahwa membangun suatu kerangka
teoritis tentang interaksi, harus didasarkan pada pandangan pendekatan multipel
inteligensi. Dari pendapat tersebut, pengaruh interaksi bergantung pada dua dimensi.
Dimensi yang pertama adalah keahlian relatif: bukan symmetric (aktivitas paralel)
hingga yang tidak simetris (‘masa magang'). Dimensi yang kedua adalah derajat
kolaborasi. Scafolding adalah kejadian satu contoh kerja sama atau kolaborasi derajat
yang tinggi, sedangkan lainnya adalah suatu kenyataan aktivitas independen
(nokolaborasi). Belajar interaktip disebut belajar kooperatif (Slavin, 1986), ‘kelas
percakapan (Cazden, 1988), ‘instruksi timbal balik' (Glas, 1991) ‘konstruksi yang
dipandu oleh pengetahuan' (Mercer, 1995) dan ‘instruksi yang interaktip' ( Treffers
&Goffree, 1985). Sekarang ini, pandangan tentang pengembangan kognitif dan belajar
adalah digolongkan sebagai social-constructivism, suatu penggolongan yang saling
bertautan dengan pendekatan realistik pada pengajaran matematika. Dalam beberapa
penelitian (Driver, Asoko, Leach, Mortimer, &Scott, 1994; Roazzi &Bryant, 1994)
mengatakan bahwa belajar dan berpikir selalu berlangsung dalam situasi yang sosial.
Belajar adalah situasi belajar ( Kirshuer &Whitson, 1997), pengamatan adalah
pengamatan sosial. Bruner (1986) mengatakan bahwa pengetahuan adalah ‘negosiasi
tentang makna. Tidak hanya kata-kata, konsep-konsep, isyarat-isyarat, dan ritual, tetapi
juga angka-angka, lambang, gambaran-gambaran, visual dan representasi grafik, dll.
memiliki jangkauan menyeluruh tentang arti. Dalam hal anak-anak, maksud atau arti
dari sesuatu konteks sering sangat subjektif. Sebagai jawaban atas pertanyaan “Berapa
umur anda?”, seorang anak yang mendengar menjawab “Aku adalah empat, tetapi jika
aku di dalam bus, aku adalah tiga” (Nelissen, 2005). Dengan kasus yang sama, ada juga
anak lain yakin bahwa ketika dadu digulingkan, mereka berpendapat bahwa angka 6
lebih sering muncul dibanding yang lain. Vygotsky (1977) mengatakan bahwa fungsi
batin yang lebih tinggi seorang anak (seperti bahasa dan berpikir) pertama mengambil
tempat sebagai suatu aktivitas interaksi sosial (yang interaktip) dan kemudian menjadi
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
44
PM – 4 : Keterampilan Berpikir dalam ...... Hasratuddin
aktivitas perorangan. Fungsi bahasa yang pertama sebagai makna dari komunikasi;
setelah itu menjadi internalis dan pelayan individual, fungsi pengatur diri sendiri.
Pengajaran matematika realistik adalah besifat interaktif, bahkan berpikir anak mesti
secara alami diberi tantangan untuk dikerjakan secara independen.
Menurut Hiebert (1992), refleksi atau metacognition dapat didefinisikan sebagai
pertimbangan yang sadar tentang pengalaman sendiri, sering menjadi penghubung
antara ide dengan perbuatan. Refleksi mengingat kebelakang atas pengalamannya
sendiri. dan mengambil pengalaman sebagai object berpikir. Refleksi dimulai ketika
bertanya tentang diri sendiri, bagaimana pendekatan yang paling baik untuk mendekati
masalah: ‘Perlukah aku melakukan itu dengan cara itu?' (planning). Begitu kita mulai
bekerja, pertanyaan-pertanyaan lain muncul: “Apakah kerja?” (self-monitoring),
barangkali bahkan “Dapatkah aku melakukan itu?” (self-evaluation). Pertanyaan-
pertanyaan lain yang nyata adalah “Akankah hal ini berhasil?” (antisipation) dan,
akhirnya, “Adakah aku berbahagia dengan hal ini?” (evaluation). Jika penyelesaian
mendatangkan jalan buntu, lalu didorong untuk bertanya kepada diri sendiri “Tidakkah
aku mencoba hal lain?” (considering; methods switching). Ini adalah unsur-unsur
refleksi yang paling penting selama proses pemecahan masalah.
Refleksi memainkan peran yang penting di dalam belajar untuk memecahkan
permasalahan matematis, dan merupakan tindakan manusia sungguh secara umum.
Melalui refleksi siswa belajar untuk meneliti tindakan-tindakan mereka sendiri dengan
kritis dan juga menjadikan siswa kurang tergantung dengan guru dan pemikiran
mereka menjadi lebih sistematis. Refleksi juga memberi kebebasan kepada siswa untuk
menyelidiki metoda-metoda pemecahan masalah dan prosedur-prosedur untuk
mengaplikasikannya secara umum, dan meningkatkan fleksibilitas pemikiran mereka.
Aspek yang paling penting adalah bahwa refleksi membangun keyakinan diri dengan
membiarkan para murid untuk menemukan apa yang mereka benar-benar pikirkan dan
mengapa mereka berpikir. Tanpa adanya refleksi, setiap hasil akan mungkin
kelihatannya berhasil tetapi kurang membangun keyakinan dan menjadi kurang
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
45
PM – 4 : Keterampilan Berpikir dalam ...... Hasratuddin
beruntung pada kemudiannya. Bahwa refleksi adalah sangat melekat pada proses belajar
matematika dan untuk berpikir matematis.
Starting point pembelajaran bukan belajar aturan-aturan dan rumus-rumus, tetapi
lebih kepada bekerja dengan konteks-konteks. Suatu konteks adalah situasi yang
menuntut kepada anak-anak dan mereka dapat mengenali secara teori. Situasi tersebut
boleh jadi berbentuk yang riil atau khayal, dan mendorong anak-anak untuk
menghadirkan pengetahuan yang mereka sudah miliki melalui pengalaman
sebelumnya. Suatu konteks yang dipilih dengan baik dapat mempengaruhi satu proses
berpikir yang aktif pada anak-anak. Berikut diberikan contoh permasalahan. Andaikan
diberikan masalah yang bukan bentuk konteks kepada anak, katakan 6 : 43 = ...
Dalam menyelesaikan masalah ini, banyak diantara anak-anak mengalami kesulitan
(Streefland, 1991), mereka memanipulasinya secara acak dengan memberikan angka-
angka sebarang, misalnya; 6 : 3 = 2, sehingga 6 : 43 haruslah menjadi
42 . Anak ini
memandang bilangan pecahan sebagai bilangan keseluruhan, demikian juga anak yang
lainnya ( Lesh et al., 1987). Tetapi beberapa siswa akan menghitung bahwa; 6 × 4
=24 dan bahwa 24 dibagi oleh 3 sama dengan 8. Adalah benar bahwa jawaban yang
belakangan benar, tetapi jika anak-anak ini ditanyakan lebih dekat, itu kembali
jawabannya menyimpang keluar, mereka hampir tidak ada memahami sesuatupun
tentang operasi yang mereka sendiri baru saja laksanakan. Mereka hanya ingat aturan
yang mereka hapal melalui perasaan, mereka mengetahui bahwa penyelesaian yang
diberikan benar namun mereka tidak mengetahui mengapa benar.
Sekarang, anak-anak yang sama diberi berikutnya masalah konteks yang disertai
oleh suatu kontsks gambar: suatu halaman panjangnya 6 meter; anda ingin menyususn
batu bata baru dan batu bata yang anda akan gunakan mempunyai ukuran 75 cm (43
meter). Berapa banyak batu bata yang diperlukan untuk panjangnya? Masalah ini sama
seperti yang sebelumnya, tetapi pada kasus ini diperkenalkan dalam suatu konteks,
suatu gambar dari suatu halaman dan batu bata untuk menurunkannya. Kontsks ini
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
46
PM – 4 : Keterampilan Berpikir dalam ...... Hasratuddin
menimbulkan suatu kepunyaan anak, pendekatan yang informal. Pendekatan ini
menyediakan pengertian yang mendalam pada masalah, sesuatu wujud secara simbolis
(6 :43 ) tidak dilakukan. Beberapa siswa memanipulasi dan mengambil ukuran
sebenarnya, ini berarti mereka membagi secara bertahap 75 cm dan setelah meletakkan
8 batu bata mereka mencapai 6 meter. Sehingga mereka menyimpulkan jawaban harus
‘delapan'. Contoh ini menunjukkan bahwa bekerja dengan konteks-konteks - yang jika
dikonstruk secara hati-hati, maka dapat membentuk dasar untuk urutan-urutan abstrak-
abstrak dan untuk konseptualisasi. Anak-anak dilanjutkan dengan bekerja bersama
tentang konteks-konteks, tetapi konteks-konteks ini dibuat terus meningkatkan
pengetahuan formal secara alami. Dalam hal ini anak-anak selalu dihubungkan dengan
konteks-konteks yang asli dan seharuskan menggambarkan suatu perlakuan tertentu
yang menyediakan informasi yang dapat digunakan untuk menentukan suatu strategi
penyelesaian dan atau suatu model berpikir. Proses meningkatkan berpikir matematis
formal secara terus disebut proses mathematisasi progresif. ( van Heuvel-Panhuizen,
1996).
Mencari-cari model-model, sesungguhnya merupakan hal yang perlu dalam
menyelesaiakan konteks yang memiliki objek abstrak-abstrak dengan menggunakan
reduksi dan skematisasi untuk mendorong ke arah bentuk formal yang lebih tinggi.
Matematika realistik berbasis pada aturan model-model yang dapat dirubah dari suatu
model-of dengan aktivitas matematis menjadi model-for dalam pembelajaran persamaan
differensial. (Gravemeijer & Doorman, 1997; Gravemeijer, 1997) mengatakan bahwa
pengembangan model-of ke model-for dijelaskan melalui empat tingkat aktivitas yang
berbeda; situasional, referensional, general, dan formal. Pada tahap situational,
interpretasi dan penyelesaian berdasar pada pengertian bagaimana cara melakukannya.
Situasi ini berarti ketika dia menafsirkan permasalahan dari satu konteks realistis yg
dialaminya, dia telah memahami bagaimana cara melakukannya. Pada level referensial,
models-of didasarkan pada pemahaman siswa yang pragmatis, dan melalui pengalaman
aktual. Pada level formal, aktivitas belajar sering ditandai oleh penggunaan bentuk
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
47
PM – 4 : Keterampilan Berpikir dalam ...... Hasratuddin
formal tentang notasi secara konvensional. Fakta ini adalah suatu cara yang penting dan
bermanfaat untuk membedakan aktivitas pada level general dari aktivitas level formal.
Berdasarkan pembelajaran RME, siswa di dalam menyelesaikan masalah
melakukannya dengan tindakan pertama memahami situasi masalah matematis dalam
cara yang lebih formal di mana konteks matematika dijadikan sebagai suatu model-of,
dan diharapkan berkembang menjadi model-for sehingga mendapatkan penalaran
matematis.
C. Simpulan
Sekarang ini telah ada perubahan-perubahan radikal di dalam pendekatan pada
pengajaran matematika. Perubahan-perubahan ini terjadi akibat suatu kajian penelitian
para ahli matematika yang mulai memandang disiplin mereka sendiri dengan cara yang
berbeda, mendorong ke arah penelitian baru dalam metodologi pengajaran. Penelitian
tersebut didukung oleh pengembangan-pengembangan yang baru di dalam psikologi
bidang pendidikan. Glas (1991) menganalisis adanya kecenderungan untuk
menghubungkan belajar dan berpikir pada daerah-daerah yang spesifik. Pengajaran
matematika sekarang ini sudah saatnya berfokus pada ketrampilan berpikir dan refleksi
belajar ( Stepanov &Semenov, 1985; Zak, 1984), interaksi (Davydov et al., 1982), dan
pengembangan dari konsep-konsep berpikir spesifik (Davydov, 1977), pendidikan dan
pengajaran adalah dipandang sebagai interrelation yang aktif tentang sistem simbolik
dan makna budaya (Leont'ev, 1980; Van Oers, 1987). Belajar berlangsung dalam
konteks sosial (Bruner, 1996; Slavin, 1986). Belajar adalah suatu proses di mana anak
menguasai budaya melalui belajar simbol-simbol. Jika anak-anak mampu menaruh ide-
ide mereka ke dalam kata-kata, maka mereka akan memiliki suatu dasar yang lebih
baik tentang cara berpikir mereka. Di dalam matematika, alat-alat dan gaya-gaya
tentang bepikir yang merupakan cirikhas matematis harus dipelihara; dipertahankan,
dan digunakan untuk memecahkan permasalahan. Untuk menjadi mampu merefleksi,
bagaimanapun, pengetahuan tentang isi adalah perlu; seseorang dapat hanya merefleksi
dalam menggunakan alat-alat, strategi dan konsep-konsep jika mereka telah
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
48
PM – 4 : Keterampilan Berpikir dalam ...... Hasratuddin
mengetahuinya. Dari hasil temuan-temuan penelitian dan ulasan di atas, konstruksi,
interaksi dan refleksi adalah penting dalam belajar matematika, lalu pengajaran
matematika harus diubah secara radikal.
Daftar References Cobb, P. (1994). Where is the mind? Constructivist and sociocultural perspectives on
mathematical development. Educational Researcher Journal, 23, 7, 13-20. Cobb, P., Gravemeijer K., Yackel E., McClain K., & Whitenack J. (1997).
Mathematizing and symbolizing: The emergence of chains of signification in one first-grade classroom. In D. Kirshner & J.A. Whitson (Eds.), Situated cognition Journal CRME (pp. 151-233). Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates.
Confrey, J. (1985). Towards a framework for constructivists instruction. In L. Streefland
(Ed.), Proceedings of the Ninth Conference for the Psychology of Mathematics EducationJournal (Vol. I, pp. 477-483). Noordwijkerhout: PME.
Freudenthal H.1991. Revisiting Mathematics Education. Dordrecht: Reidel Publishing. Gravemeijer K. 1994. Developing Realistik Mathematics Education. Utrecht:
Freudenthal Institute. Hiebert, J. (1992). Reflection and communication: Cognitive considerations in school
mathematics reform. International Journal of Educational Research, 17, 439-456.
Kwon O.N. 2006. Conceptualizing The Realistic Mathematics Education Approach In
The Teaching And Learning Of Ordinary Differential Equations. Eurasia Journal of Mathematics, Science and Technology Education Vol 2, Number 2, July 2006
Lang J. 1987. Mathematics Insight and Meaning. Utrecht: OW & OC. Moor E. 1994. Geometry Instruction in the Netherlands. The Realistik Approach.
Netherlands: Utrecht CD B Press. Nelissen, J.M.C. 2005. Thinking Skill in realistics mathematics. Jmc_nelissen :Journal
PME. Vol 2 p 108-119 2005. Pimm, D. (1990). Certain metonymic aspects of mathematical discourse. In G. Booker,
P. Cobb, & T. de Mendicuti (Eds.) Proceedings of the Fourteenth Conference for the Psychology of Mathematics Education (p129-136) Mexico: PME. Vol iv. 1990.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
49
PM – 4 : Keterampilan Berpikir dalam ...... Hasratuddin
Slavin RE. 1994. Education Psychology Theory and Practice. Boston Allyn and Bacon Publisher.
Treffers, A., & Goffree, F. (1985). Rational analysis of realistic mathematics education.
In L. Streefland (Ed.), Proceedings of the Ninth Conference for the Psychology of Mathematics Education (Vol. 2, pp. 97-123). Noordwijkerhout: PME.
Van den Heuvel-Panhuizen, M. 2003. the Learning Paradox the learning miracle:
Thoughts on Primary School Mathematics Education. Journal fur Mathematics Didaktik, 24(2)-96-121
Verschaffel. 1997. Mathematics Teaching and Learning: New York. MacMillan.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
50
PM – 5 : Mengestimasi Reliabilitas .... Heri Retnawati
Mengestimasi Reliabilitas Perangkat Tes melalui Pendekatan Analisis Faktor
Oleh :
Heri Retnawati ([email protected])
Pendidikan Matematika FMIPA UNY
Abstrak
Dalam mengembangkan suatu instrumen, reliabilitas instrumen merupakan parameter yang menjadi perhatian. Biasanya reliabilitas yang diestimasi oleh suatu pengembang instrumen merupakan reliabilitas yang terkait dengan konsistensi internal. Reliabilitas jenis ini diestimasi dengan koefisien-α dari Cronbach misalnya, hanya dapat mewakili satu faktor dominan yang terukur dalam instrumen tersebut. Jika ada beberapa faktor yang terukur dalam suatu instrumen, maka faktor-faktor selain faktor dominan tentu memberikan sumbangan terhadap varians total, dan sudah tentu mempengaruhi reliabilitas. Pada tulisan ini akan dibahas tentang reliabilitas suatu intrumen yang tidak hanya mengukur satu faktor dominan saja, namun juga mengukur faktor-faktor lain, yang muatan faktornya diketahui dengan analisis faktor. Kata kunci : reliabilitas, faktor, analisis faktor
Pendahuluan
Dalam penelitian maupun evaluasi, intrumen merupakan hal yang menjadi
perhatian. Instrumen ini dapat berupa tes, kuisioner, maupun dalam bentuk lain yang
pada intinya digunakan sebagai alat ukur. Agar sesuai dengan maksud yang dikehendaki
oleh peneliti ataupun evaluator, alat ukur ini harus memiliki karakteristik yang baik.
Baik atau tidaknya suatu instrument yang digunakan, salah satu parameternya yakni
reliabilitas.
Reliabilitas pada teori tes klasik diartikan sebagai keajegan atau kestabilan hasil
pengukuran. Alat ukur yang reliabel adalah alat ukur yang mampu memberikan hasil
pengukuran yang stabil (Lawrence, 1994) dan konsisten (Mehrens dan Lehmann, 1973:
102). Artinya suatu alat ukur dikatakan memiliki reliabilitas tinggi manakala digunakan
untuk mengukur hal yang sama pada waktu berbeda hasilnya sama atau mendekati
sama. Dalam kaitannya dengan dunia pendidikan, prestasi atau kemampuan seorang
siswa dikatakan reliabel jika dilakukan pengukuran, hasil pengukuran akan sama
informasinya, walaupun penguji berbeda, korektornya berbeda atau butir soal yang
berbeda tetapi memiliki karakteristik yang sama.
Pada pendekatan klasik, tes dianggap hanya mengukur satu kemampuan atau
satu faktor yang paling dominan saja, atau sering dinamai dengan unidimensi.
Unidimensi, artinya setiap butir tes hanya mengukur satu kemampuan. Asumsi
unidimensi dapat ditunjukkan hanya jika tes mengandung hanya satu komponen
dominan yang mengukur prestasi suatu subyek. Pada praktiknya, asumsi unidimensi
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
51
PM – 5 : Mengestimasi Reliabilitas .... Heri Retnawati
tidak dapat dipenuhi secara ketat karena adanya faktor-faktor kognitif, kepribadian dan
faktor-faktor administratif dalam tes, seperti kecemasan, motivasi, dan tendensi untuk
menebak. Memperhatikan hal ini, asumsi unidimensi dapat ditunjukkan hanya jika tes
mengandung hanya satu komponen dominan yang mengukur prestasi suatu subyek.
Pada kenyataannya di lapangan, asumsi unidimensi sulit terpenuhi. Hal ini sesuai
dengan pendapat bahwa kebanyakan tes pendidikan dan psikologi pada beberapa
tingkat bersifat multidimensi (Bolt dan Lall, 2003; Ackerman, dkk., 2003). Pada
keadaan ini, analisis dengan pendekatan unidimensi sudah tidak sesuai lagi, dan akan
mengakibatkan adanya kesalahan sistematis dan informasi yang diperoleh akan
menyesatkan.
Terkait dengan hal ini, pada tulisan ini akan dibahas mengestimasi reliabilitas
pada perangkat tes yang mengukur lebih dari satu faktor dan dengan melibatkan muatan
faktor. Analisis reliabilitas pada data dengan multifaktor ini masih jarang menjadi
perhatian pengembang instrumen.
Pembahasan
Teori tes klasik atau disebut teori tes skor murni klasik (Allen dan Yen, 1979:57)
didasarkan pada suatu model aditif, yakni skor amatan merupakan penjumlahan dari
skor sebenarnya dan skor kesalahan pengukuran. Jika dituliskan dengan pernyataan
matematis, maka kalimat tersebut menjadi
X = T + E ……………….……………………………………………….. ( 1)
dengan :
X : skor amatan,
T : skor sebenarnya,
E : skor kesalahan pengukuran (error score).
Asumsi ini digunakan untuk menurunkan rumus untuk mengestimasi reliabilitas.
Reliabilitas disimbulkan dengan ρxx diestimasi dengan :
ρxx = 2
2
X
T
σσ
Dengan merupakan varians skor sebenarnya, merupakan varians skor amatan.
Persamaan reliabilitas ini kemudian dikembangkan menjadi rumus-
2Tσ
2Xσ
α dari Cronbach,
rumus KR20, rumus Flanagan, dan lain-lain.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
52
PM – 5 : Mengestimasi Reliabilitas .... Heri Retnawati
Allen dan Yen (1979: 62) menyatakan bahwa tes dikatakan reliabel jika skor
amatan mempunyai korelasi yang tinggi dengan skor yang sebenarnya. Selanjutnya
dinyatakan bahwa reliabilitas merupakan koefisien korelasi antara dua skor amatan yang
diperoleh dari hasil pengukuran menggunakan tes yang paralel. Dengan demikian,
pengertian yang dapat diperoleh dari pernyatan tersebut adalah suatu tes itu reliabel jika
hasil pengukuran mendekati keadaan peserta tes yang sebenarnya.
Untuk melihat reliabilitas suatu alat ukur, dapat digunakan indeks reliabilitas.
Nilai ini juga dinamakan dengan koefisien reliabilitas (reliability coefficient). Menurut
Nunnally (1978) ada tiga cara mengestimasi reliabilitas, yaitu: (1) konsistensi internal,
(2) tes paralel, dan (3) belah dua. Dalam cara konsistensi internal tes dilakukan hanya
sekali pada sekelompok subjek kemudian dilakukan analisis atau diestimasi besarnya
reliabilitas. Secara umum rumus untuk mengestimasi reliabilitas ini dapat digunakan
rumus alpha dari Cronbach. Namun apabila pilihan jawaban butir-butir
pertanyaan/pernyataan yang ada dalam instrumen/tes itu dikotomi maka dapat
digunakan persamaan KR-20.
Tipe tes lainnya yang sering digunakan untuk mengestimasi reliabilitas adalah
tipe tes paralel. Dalam tipe ini, tes dilakukan dua kali pada subjek yang sama namun
soalnya berbeda meskipun paralel. Seperti yang telah dijelaskan di muka jarak antara ke
dua tes ini sekitar dua minggu. Hasil kedua tes ini dikorelasikan, apabila koefisien
korelasi ini kecil berarti tes itu kurang reliabel.
Selain konsistensi internal dan tes bentuk paralel, ada cara lain untuk
mengestimasi reliabilitas, yaitu belah dua. Cara ini hanya menuntut satu kali tes untuk
subjek yang sama kemudian hasilnya dibelah dua. Idealnya pembelahan ini harus
dilakukan secara random, namun adakalanya yang menggunakan cara skor dari butir-
butir pertanyaan/pernyataan bernomor ganjil dipisahkan dengan skor dari butir-butir
pertanyaan/pernyataan yang ber-nomor genap. Skor dari kelompok ini kemudian
dikorelasikan dan selanjutnya digunakan rumus Spearman-Brown.
Namun sayangnya mengestimasi reliabilitas dengan ketiga pendekatan tersebut,
baik konsistensi internal, paralel, maupun belah dua hanya berlaku untuk data yang
hanya mengukur satu dimensi dominan saja. Estimasi dengan cara ini kurang
memperhatikan keberadaan faktor yang lainnya.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
53
PM – 5 : Mengestimasi Reliabilitas .... Heri Retnawati
Dengan menggunakan analisis faktor, banyaknya faktor yang terukur pada suatu
instrumen dapat diketahui. Ide dasar analisis faktor baik eksploratori maupun
konfirmatori adalah mereduksi banyaknya variabel. Misalkan variabel awalnya adalah
x1, …, xq, yang selanjutnya akan ditemukan himpunan faktor laten ξ1, …, ξn (dengan q
> n). Variabel yang dapat diamati (observable) tergantung pada kombinasi linear faktor
laten ξ1 yang dinyatakan dengan
Xi = λi1 ξ1 + λi2 ξ2 +...+λin ξn+ δi .....................................................................(2)
Dengan δi (kesalahan pengukuran) merupakan bagian unik dari xi yang diasumsikan
tidak berkorelasi dengan ξ1, ξ2, ...., ξn. Untuk i ≠j, maka δi ≠ δj. Faktor laten ξ sering
pula disimbolkan dengan F, sehingga skor suatu butir dapat dinyatakan sebagai
kombinasi linear dari faktor-faktor yang terukur oleh butir tersebut, atau dinyaatakan
dengan
Xi = λi1 F1 + λi2 F2 +...+λin Fn+ δi ..................................................................(3)
Ada dua jenis analisis faktor, yakni eksploratori dan konfirmatori.
Analisis faktor eksploratori merupakan suatu teknik untuk mendeteksi dan
mengases sumber laten dari variasi atau kovariasi dalam suatu pengukuran (Joreskog &
Sorbom, 1993). Analisis faktor eksploratori bersifat mengeksplorasi data empiris untuk
menemukan dan mendeteksi karakteristik dan hubungan antarvariabel tanpa
menentukan model pada data. Pada analisis ini, peneliti tidak memiliki teori a priori
untuk menyusun hipotesis (Stapleton, 1997). Hubungan antara variabel, yang dalam
penelitian ini merupakan butir tes dengan faktor digambarkan pada gambar 6.
Hubungan ini juga disebut dengan full-model. Model ini yang selanjutnya akan
digunakan pada penelitian ini.
Analisis faktor konfirmatori didasarkan pada premis bahwa masing-masing
variabel manifes atau variabel yang dapat diamati secara sendiri tidak dapat
menggambarkan secara sempurna suatu konsep atau suatu variabel laten atau variabel
konstruk. Terkait dengan hal ini, dengan berlandaskan teori, satu konsep atau variabel
laten atau variabel konstruk dapat digambarkan secara bersama oleh beberapa variabel
manifes.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
54
PM – 5 : Mengestimasi Reliabilitas .... Heri Retnawati
Faktor butir
Gambar 1. Hubungan antara butir dan faktor pada analisis faktor eksploratori
Pada model unidimensi, matriks kovarians dari skor observed didekomposikan
sebagai
uΨ+=∑ 'λλ ................................................................................................(4)
Dengan λ(p×1) merupakan vektor muatan faktor dari p butir dan ψu merupakan matriks
kovarians dari kesalahan residu.
Reliabilitas dinyatakan ρ11 (≤ρxx ) dinyatakan sebagai
ρ11 = 2
2
X
T
σσ =
∑1'11''1 λλ ..........................................................................................(5)
Dengan 1 merupakan vektor dengan p anggota yang semuanya 1. Pada instrumen yang
mengukur lebih dari 1 faktor, estimasi uΨ+=∑ 'λλ tidaklah tepat, karena ρ11 hanya
melibatkan faktor tunggal yang paling dominan (Bentler, 2004). Pada instrumen yang
memuat lebih dari 1 faktor, matriks varians kovarians dapat diestimasi dengan
................................................................................................(6) uΨ+ΛΛ=∑ '
Dengan Λ(p×k) merupakan matriks muatan faktor.
Reliabilitas konsistensi internal dari suatu skor dengan model faktor k tetap
didedefinisikan sebagai proporsi menjawab dari varians utama terhadap varians total
atau dinyatakan sebagai
ρkk = 2
2
X
T
σσ =
∑ΛΛ
1'11''1 ............................................................................................(7)
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
55
PM – 5 : Mengestimasi Reliabilitas .... Heri Retnawati
Untuk mengestimasi reliabilitas dari skor total X dengan model k faktor, McDonald
(1989), Kamata, dkk (2003) dan Bentler (2004) mendefinisikan reliabilitas sebagai
proporsi varians ‘common’ terhadap varians total. Selanjutnya mereka membuktikan
persamaan untuk mengesimasi reliabilitas skor total dengan model k-faktor yakni
dengan persamaan :
kkρ̂ = 1ˆ'11'ˆˆ'1
ΣΛΛ =
1ˆ'11'11
ΣΨ
− ...................................................................................(8)
Persamaan (8) merupakan reliabilitas suatu instrumen yang melibatkan faktor.
Selanjutnya muatan faktor dapat diestimasi dengan menggunakan pendekatan analisis
faktor.
Sebagai gambaran, misalnya akan diestimasi reliabilitas pada perangkat Ujian
Akhir (UN) mata pelajaran matematika 2005. Langkah pertama yang dilakukan yakni
analisis faktor. Hasil analisis dengan uji Keiser-Meyer-Oldkin dan uji Barlett diperoleh
hasil sebagai berikut.
Tabel 1
Hasil Uji KMO dan Bartlett
Kaiser-Meyer-Olkin Measure of
Sampling Adequacy. .957
Bartlett's Test of
Sphericity
Approx. Chi-
Square
29739.9
11
Df 435
Sig. .000
Hasil tersebut menunjukkan bahwa nilai KMO > 0,5, yang menunjukkan bahwa ukuran
sampling untuk instrumen ini telah sesuai. Hasil Uji bartlett juga menunjukkan bahwa
nilai-p kurang dari 5%, yang menunjukkan bahwa butir-butir UAN matematika 2005
merupakan butir-butir yang saling independen. Selanjutnya, dengan memperhatikan
nilai eigen yang lebih dari 1, dapat diketahui vatians total yang dapat dijelaskan oleh
perangkat UAN mata pelajaran matematika 2005. Hasil analisis menunjukkan bahwa
ada 5 nilai eigen yang lebih dari 1, yang menunjukkan bahwa perangkat tes UAN
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
56
PM – 5 : Mengestimasi Reliabilitas .... Heri Retnawati
matematika 2005 mengukur 5 faktor kemampuan matematika. Dengan menggunakan
30 butir UAN 2005 yang telah ada, varians total yang dapat dijelaskan hanya 36,023%.
Hasil selengkapnya disajikan pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2
Nilai Eigen dan Varians Total yang Dapat Dijelaskan
Initial Eigenvalues
Extraction Sums of
Squared Loadings
Rotation Sums of
Squared Loadings Com
pone
nt
Total
% of
Varia
nce
Cumulati
ve % Total
% of
Varian
ce
Cumul
ative
% Total
% of
Varian
ce
Cumulati
ve %
1 6.44
5
21.4
84 21.484
6.44
5 21.484 21.484
3.85
3 12.842 12.842
2 1.22
3
4.07
8 25.562
1.22
3 4.078 25.562
2.72
0 9.068 21.911
3 1.12
4
3.74
5 29.307
1.12
4 3.745 29.307
1.96
8 6.559 28.469
4 1.01
4
3.38
1 32.688
1.01
4 3.381 32.688
1.21
6 4.054 32.523
5 1.00
0
3.33
4 36.023
1.00
0 3.334
1.05
0 36.023 3.499 36.023
Nilai-nilai eigen hasil analisis ini dapat disajikan dengan Scree plot pada Gambar 2.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
57
PM – 5 : Mengestimasi Reliabilitas .... Heri Retnawati
Scree Plot
Component Number
2927252321191715131197531
Eige
nval
ue7
6
5
4
3
2
1
0
Gambar 2. Scree Plot Nilai Eigen Hasil Analisis UAN Matematika 2005
Selanjutnya hasil estimasi varians kovarians dan matriks muatan faktor dapat
diketahui. Hasil ini dapat digunakan untuk mengestimasi reliabilitas, dan dapat
dilakukan dengan bantuan software untuk operasi matriks, misalnya MATLAB. Hasil
estimasi dengan hanya melibatkan satu faktor dominan saja, diperoleh sebesar 0,8641.
Nilai ini hampir sama jika diestimasi dengan rumus-α dari Cronbach sebesar 0,8624
(dilakukan dengan bantuan software SPSS). Hasil ini akan menjadi lebih besar jika
diestimasi dengan persamaan (8) yang melibatkan kelima faktor yang terukur dalam
perangkat UN, yakni sebesar 0,8728. Hasil ini menunjukkan bahwa dengan melibatkan
semua faktor yang terukur, varians yang dapat dijelaskan oleh suatu instrumen akan
menjadi lebih besar, sehingga meningkatkan indeks reliabilitas instrumen tersebut.
Kesimpulan dan Diskusi
Instrumen dapat mengukur lebih dari satu faktor dominan. Estimasi reliabilitas
yang hanya melibatkan satu faktor dominan kurang dapat menjelaskan varians. Jika ada
beberapa faktor yang terukur dalam suatu instrumen, maka faktor-faktor selain faktor
dominan tentu memberikan sumbangan terhadap varians total, dan sudah tentu
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
58
PM – 5 : Mengestimasi Reliabilitas .... Heri Retnawati
mempengaruhi besarnya indeks reliabilitas. Estimasi reliabilitas yang melibatkan
muatan faktor dapat dilakukan dengan mengestimasi matriks varans kovarians dan
matriks muatan faktor, dengan pendekatan analisis faktor.
Reliabilitas yang melibatkan faktor-faktor yang terukur selain faktor dominan
masih jarang dilakukan peneliti. Terkait dengan hal ini, perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut tentang estimasi reliabilitas yang melibatkan faktor. Stabilitas estimasi reliabilitas
yang melibatkan banyaknya faktor juga perlu diteliti, misalnya pengaruh panjang
instrumen, banyaknya peserta, banyaknya faktor yang terukur, dan besarnya korelasi
antar faktor yang terukur. Penelitian dengan pendekatan simulasi perlu dilakukan untuk
mengetahui pengaruh variable-variabel tersebut terhadap estimasi reliabilitas yang
memuat faktor.
Referensi Allen, M. J dan Yen, W. M. (1979). Introduction to measurement theory. Monterey, CA
: Brooks/Cole Publishing Company. Ackerman, T.A., dkk. (2003). Using multidimensional item response theory to evaluate
educational and psychological tests. Educational Measurement, 22, 37-53. Bentler,P.M. (2004). Maximal reliability for uni-weighteg composites. UCLA Statistics
Preprint No. 405. Diambil dari http://wwwpreprint.stat.ucla.edu/405/MaximalReliabilityforUnit-weightedComposites.pdf pada tanggal 1 Oktober 2007.
Bolt, D.M. & Lall, V.M. (2003). Estimation of compensatory and noncompensatory
multidimensional item response models using Marcov chain Monte-Carlo. Applied Psychological Measurement, 27, 395-414.
Joreskog, K. & Sorbom, D. (1993). Lisrel 88 : Structural equation modeling with the
SIMPLIS command language. Hillsdale, NJ : Scientific Software International. Kamata, A.,dkk. (2003). Estimating reliability for multidimensional composite scale
scores. Paper presented at annual meeting of American Educational Research Association, Chicago, April 2003. Diambil dari http://www.www.coe.fsu.edu_aera_Kamata2.pdf pada tanggal 1 Oktober 2007.
Lawrence M.R. (1994). Question to ask when evaluating test. Eric digest. Artikel.
Diambil dari: http://www. ericfacility. net/ ericdigest/ ed.385607.html tanggal 6 Januari 2007.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
59
PM – 5 : Mengestimasi Reliabilitas .... Heri Retnawati
McDonald, R.P. (1999). Test theory : A unified treatment. Mahwah, NJ : Lawrence Elrbaum.
Mehrens, W.A. & Lehmann, I.J. (1973). Measurement and evaluation in education and
psychology. New York : Hold, Rinehart and Wiston,Inc.
ndNunally, J. (1978). Psychometric theory (2 ed.) . New York : McGraw Hill. Stapleton. (1997). Basic concepts and procedures of confirmatory factor analysis.
Diambil dari http://ericae.net/ft/Cfa.HTM tanggal 25 September 2006.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
60
PM – 6 : Konsep-Konsep Dan ...... Himmawati Piji Lestari
Konsep-Konsep dan Prinsip-Prinsip Yang Digunakan dalam Penyelesaian Soal-Soal Imo Yang Terkait Dengan Konstruksi Geometri
Oleh : Himmawati Piji Lestari
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY
Abstrak
Soal-soal International Mathematical Olympiad (IMO) merupakan soal-soal tingkat tinggi yang penyelesaiannya melibatkan banyak konsep dan prinsip. Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang digunakan untuk menyelesaikan soal-soal IMO yang terkait dengan konstruksi geometri.
Tulisan ini disusun dengan metode kajian pustaka. Penyelesaian soal-soal IMO yang terkait dengan konstruksi geometri dikaji sehingga akan diperoleh identifikasi konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang diperlukan dalam penyelesaiannya.
Hasil kajian menunjukkan penyelesaian soal-soal IMO yang terkait dengan konstruksi geometri memerlukan banyak konsep dan prinsip. Konsep tersebut antara lain tentang segitiga dan garis-garis istimewanya, unsur-unsur lingkaran, titik dan garis, segi empat tali busur, segiempat garis singgung, kesebangunan dan kekongruenan dua segitiga. Beberapa prinsip yang diperlukan antara lain teorema tentang sudut keliling dalam, sudut pusat, garis sumbu tali busur, garis singgung lingkaran, sifat segiempat tali busur dan segiempat garis singgung, dan teorema tentang kekongruenan dua segitiga.
Kata kunci : konsep, prinsip, IMO, konstruksi lingkaran
1. PENDAHULUAN
Mempelajari matematika tidak akan lepas dari konsep-konsep dan prinsip-
prinsip. Menurut Begle (Herman Hudoyo, 2003), sasaran atau obyek penelaahan
matematika adalah fakta, konsep, operasi, dan prinsip. Menurut Winkel (1991), konsep
adalah suatu sistem satuan arti yang mewakili sejumlah objek yang mempunyai ciri-ciri
yang sama. Konsep matematika dapat juga diartikan sebagai suatu ide abstrak tentang
suatu objek atau kejadian yang dibentuk dengan memandang sifat-sifat yang sama dari
sekumpulan objek sehingga seseorang dapat mengklasifikasikan objek kejadian.
Penyajian konsep matematika yang baru harus didasarkan pada kosep-konsep yang telah
dikenal sebelumnya. Prinsip adalah rangkaian konsep, beserta penjelasan mengenai
hubungan antara konsep-konsep tersebut. Umumnya prinsip berupa pernyataan
(Depdikbud, 1994).
Soal-soal International Mathematical Olympiad (IMO) merupakan soal-soal
tingkat tinggi yang penyelesaiannya biasanya tidak sederhana dan melibatkan banyak
konsep dan prinsip dalam matematika. Bahkan konsep dan prinsip tersebut seringkali
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
61
PM – 6 : Konsep-Konsep Dan ...... Himmawati Piji Lestari
tidak diajarkan dalam pembelajaran matematika di sekolah. Untuk itu perlu ditelaah
konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang dibutuhkan untuk menyelesaikan soal-soal
IMO. Kesalahan dalam mengenal dan memahami suatu konsep atau prinsip dapat
mengakibatkan siswa tidak mampu menyelesaikan suatu masalah matematika. Dalam
tulisan ini akan dikaji konsep dan prinsip yang diperlukan untuk menyelesaikan soal
IMO yang terkait dengan konstruksi geometri. Konstruksi suatu objek merupakan salah
satu keterampilan dalam geometri.
2. HASIL DAN PEMBAHASAN
Berikut ini akan dibahas beberapa soal IMO yang terkait dengan konstruksi
geometri beserta penyelesaiannya. Selanjutnya akan diidentifikasi beberapa konsep dan
prinsip yang diperlukan dalam penyelesaiannya.
1). Given the length |AC|, construct a triangle ABC with ∠ABC = 90o, and the
median BM satisfying BM2 = AB·BC.
Penyelesaian
Area = AB·BC/2 (because ∠ABC = 90o= BM2/2 (required) = AC2/8 (because
BM = AM = MC), so B lies a distance AC/4 from AC. Take B as the intersection of a
circle diameter AC with a line parallel to AC distance AC/4.
Pembahasan
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
62
PM – 6 : Konsep-Konsep Dan ...... Himmawati Piji Lestari
Karena diketahui segitiga ABC siku-siku dengan ∠ABC = 90o, maka segitiga
ABC dapat digambar dalam lingkaran dengan AC merupakan diameternya. Hal ini
memerlukan prinsip besar sudut keliling yang menghadap setengah lingkaran adalah
90o. Selanjutnya, soal di atas memerlukan konsep tentang luas segitiga untuk
menghitung luas segitiga ABC. Proses selanjutnya memerlukan konsep tentang jari-jari
lingkaran, jarak titik ke garis, dan kesejajaran dua garis.
2). Construct a triangle ABC given the lengths of the altitudes from A and B and the
length of the median from A.
Penyelesaian
Let M be the midpoint of BC, AH the altitude from A, and BI the altitude from
B. Start by constructing AHM. Take X on the circle diameter AM with MX = BI/2. Let
the lines AX, HM meet at C and take B so that BM = MC. [This works because CMX
and CBI are similar with MX = BI/2 and hence CM = CB/2.]
Pembahasan
Misal diberikan AH garis tinggi dari titik sudut A dan BI garis tinggi dari B dan
AM garis berat dari titik A. Untuk menyelesaikan soal di atas, terlebih dahulu harus
memahami tentang garis tinggi dan garis berat suatu segitiga. Garis berat segitiga terkait
dengan titik tengah suatu ruas garis (sisi). Proses selanjutnya memerlukan prinsip sudut
keliling dalam lingkaran yang menghadap setengah lingkaran merupakan sudut siku-
siku. Karena AH garis tinggi sehingga AH tegak lurus dengan BC (AH tegak lurus juga
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
63
PM – 6 : Konsep-Konsep Dan ...... Himmawati Piji Lestari
dengan HM dengan M titik tengah BC). Dengan demikian dapat dibentuk lingkaran
dengan AM sebagai diameternya. Selanjutnya dilukis garis MX dengan X pada
lingkaran dan MX=BI/2. Kemudian dilukis garis AX dan HM yang berpotongan di titik
C. Titik B ditentukan dengan melukis segitiga CBI yang sebangun dengan segitiga
CBX. Hal ini memerlukan pemahaman tentang kesebangunan dua segitiga.
3). An arbitrary point M is taken in the interior of the segment AB. Squares AMCD
and MBEF are constructed on the same side of AB. The circles circumscribed about
these squares, with centers P and Q, intersect at M and N.
(a) prove that AF and BC intersect at N;
(b) prove that the lines MN pass through a fixed point S (independent of M);
Penyelesaian
(a) ∠ANM = ∠ACM = 45o. But ∠FNM = ∠FEM = 45o, so A, F, N are collinear.
Similarly, ∠BNM = ∠BEM = 45o and ∠CNM = 180o - ∠CAM = 135o, so B, N, C are
collinear. Pembahasan
Persegi AMCD dan MBEF merupakan segi empat tali busur. Karena ∠ACM dan ANM keduanya merupakan sudut keliling dalam lingkaran yang menghadap busur yang sama yaitu busur AM maka besarnya sama dan karena AC adalah diagonal persegi maka diperoleh ∠ANM = ∠ACM = 45
∠
o. Dengan alasan yang sama, diperoleh
juga hasil yang sama untuk pasangan dua sudut ∠ANM dengan ∠ACM dan ∠BNM
dengan �BEM , yaitu �ANM = �ACM = 45o dan �BNM = �BEM = 45o. Karena
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
64
PM – 6 : Konsep-Konsep Dan ...... Himmawati Piji Lestari
�FNM = �ANM, maka ketiga titik A, F, dan M segaris. Segi empat ACNM adalah segi empat tali busur sehingga pasangan dua sudut yang berhadapan merupakan dua sudut yang saling berpelurus, yaitu �CNM dan �CAM. Karena �BNM = �BEM = 45o dan �CNM = 180o - �CAM = 135o, maka ketiga titik B, N, dan C segaris. (b) Since �ANM = �BNM = 45o, �ANB = 90o, so N lies on the semicircle diameter AB. Let NM meet the circle diameter AB again at S. �ANS = �BNS implies AS = BS and hence S is a fixed point. Pembahasan
Penyelesaian soal ini memerlukan prinsip bahwa sudut keliling dalam lingkaran yang menghadap setengah lingkaran adalah sudut siku-siku, sudut pusat besarnya dua kali sudut keliling dalam jika menghadap busur yang sama. Di samping itu juga harus memahami konsep besar busur, yaitu besar suatu busur adalah besar sudut pusat yang bersesuaian.
Karena ANB siku-siku, maka ∠ ∠ANB adalah sudut keliling dalam lingkaran dan titik N terletak pada setengah lingkaran dengan diameter AB. Selanjutnya, misal titik S adalah titik potong NM dengan lingkaran. Karena ∠ABS=∠BNS maka besar sudut pusat yang bersesuaian juga sama sehingga besar busur di hadapannya, yaitu busur AS dan busur BS juga sama. Jadi titik S tertentu. 4). Given three distinct points A, B, C on a circle K, construct a point D on K, such that a circle can be inscribed in ABCD. Penyelesaian
Let I be the center of the inscribed circle. Consider the quadrilateral ABCI. �BAI = 1/2 �BAD and �BCI = 1/2 �BCD, so �BAI + �BCI = 90o, since ABCD is cyclic. Hence �AIC = 270o - �ABC. So if we draw a circle through A and C such that for X points on the arc AC �AXC = 90o + �ABC, then the intersection of the circle with the angle bisector of �ABC gives the point I.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
65
PM – 6 : Konsep-Konsep Dan ...... Himmawati Piji Lestari
To draw this circle take the diameter AE. Then �CAE = 180o - �ACE - �AEC = 90o - �ABC. So we want AE to be tangent to the circle. Thus the center of the circle is on the perpendicular to AE through A and on the perpendicular bisector of AC.
To prove the construction possible we use the fact that a quadrilateral ABCD has an inscribed circle iff AB + CD = BC + AD. For D near C on the circumcircle of ABC we have AB + CD < BC + AD, whilst for D near A we have AB + CD > BC + AD, so as D moves continuously along the circumcircle there must be a point with equality. [Proof that the condition is sufficient: it is clearly necessary (use fact that tangents from a point are of equal length). So take a circle touching AB, BC and AD and let the other tangent from C (not BC) meet AD in D'. Then CD' - CD = AD' - AD, hence D'= D.]
Pembahasan Soal ini adalah soal tentang bagaimana menentukan suatu titik pada lingkaran jika diberikan tiga titik pada lingkaran sedemikian sehingga keempat titik tersebut membentuk segi empat garis singgung atau segi empat tersebut mempunyai suatu lingkaran dalam.
Misalkan titik I adalah pusat lingkaran dalam tersebut. Garis AB dan AD adalah garis singgung lingkaran dengan pusat I tersebut. Garis AI merupakan garis bagi dari sudut BAD, karena sudut yang dibentuk oleh kedua garis singgung yang ditarik dari suatu titik di luar lingkaran dibagi menjadi dua sama oleh garis yang melalui titik tersebut dan pusat lingkaran.
∠
Langkah-langkah penyelesian selanjutnya memerlukan beberapa prinsip berikut: dua sudut yang berhadapan pada suatu segi empat tali busur saling berpelurus, melalui tiga titik yang tidak segaris dapat dilukis tepat satu lingkaran, jari-jari lingkaran yang tegak lurus suatu tali busur akan membagi dua sama tali buusr tersebut atau garis sumbu suatu tali busur akan melalui pusat lingkaran. Untuk menunjukkan bahwa segi empat ABCD merupakan segi empat garis singgung, harus ditunjukkan berlaku AB + CD = BC + AD, yaitu memenuhi jumlah panjang dua sisi berhadapan pada suatu segi empat garis singgung adalah sama. 5). Two circles in a plane intersect. A is one of the points of intersection. Starting simultaneously from A two points move with constant speed, each traveling along its own circle in the same sense. The two points return to A simultaneously after one revolution. Prove that there is a fixed point P in the plane such that the two points are always equidistant from P.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
66
PM – 6 : Konsep-Konsep Dan ...... Himmawati Piji Lestari
Penyelesaian
Let the circles have centers O, O' and let the moving points by X, X’. Let P be
the reflection of A in the perpendicular bisector of OO'. We show that triangles POX, X'O'P are congruent. We have OX = OA (pts on circle) = O'P (reflection). Also OP = O'A (reflection) = O'X' (pts on circle). Also �AOX = �AO'X' (X and X' circle at same rate), and �AOP = �AO'P (reflection), so �POX = �PO'X'. So the triangles are congruent. Hence PX = PX'. Pembahasan
Untuk menyelesaikan soal di atas, perlu pemahaman tentang garis sumbu, pencerminan, dan kekongruenan dua segitiga. Salah satu teorema yang dapat digunakan untuk menunjukkan dua segitiga kongruen adalah teorema sisi-sudut-sisi, yaitu jika dari dua segitiga diketahui dua pasang sisi yang bersesuaian kongruen dan sudut yang diapit oleh kedua sisi tersebut kongruen maka kedua segitiga tersebut kongruen. 3. PENUTUP
Dari uraian sebelumnya terlihat bahwa untuk menyelesaikan soal-soal geometri dalam IMO diperlukan pemahaman yang luas tentang banyak konsep dan prinsip dalam geometri. Langkah-langkah penyelesaiannya melibatkan konsep-konsep antara lain segitiga siku-siku, luas segitiga, jari-jari lingkaran, diameter, jarak titik ke garis, dan kesejajaran dua garis, garis tinggi segitiga, sudut keliling dalam lingkaran, sudut pusat, garis berat segitiga, kesebangunan dua segitiga, segi empat tali busur, segi empat garis singgung, tiga titik segaris, besar busur, garis sumbu, pencerminan, dan kekongruenan dua segitiga. Adapun beberapa prinsip yang perlu dipahami dinyatakan dalam teorema-teorema beriku : sudut keliling yang menghadap setengah lingkaran adalah sudut siku-siku, sudut pusat besarnya dua kali sudut keliling dalam jika menghadap busur yang sama, dua sudut yang berhadapan pada suatu segi empat tali busur saling berpelurus, melalui tiga titik yang tidak segaris dapat dilukis tepat satu
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
67
PM – 6 : Konsep-Konsep Dan ...... Himmawati Piji Lestari
lingkaran, jari-jari lingkaran yang tegak lurus suatu tali busur akan membagi dua sama tali busur tersebut atau garis sumbu suatu tali busur akan melalui pusat lingkaran, sudut yang dibentuk oleh kedua garis singgung yang ditarik dari suatu titik di luar lingkaran dibagi menjadi dua sama oleh garis yang melalui titik tersebut dan pusat lingkaran, jumlah panjang dua sisi berhadapan pada suatu segi empat garis singgung adalah sama, dan jika dari dua segitiga diketahui dua pasang sisi yang bersesuaian kongruen dan sudut yang diapit oleh kedua sisi tersebut kongruen maka kedua segitiga tersebut kongruen. Secara ringkas konsep yang diperlukan dalam menyelesaikan soal-soal IMO yang terkait dengan konstruksi lingkaran adalah konsep tentang segitiga dan garis-garis istimewanya, unsur-unsur lingkaran, titik dan garis, segi empat tali busur, segiempat garis singgung, kesebangunan dan kekongruenan dua segitiga. Beberapa prinsip yang diperlukan antara lain teorema tentang sudut keliling dalam, sudut pusat, garis sumbu tali busur, garis singgung lingkaran, sifat segiempat tali busur dan segiempat garis singgung, dan teorema tentang kekongruenan dua segitiga. Tulisan ini hanya membahas sedikit tentang penyelesaian soal-soal IMO yang terkait dengan konstruksi geometri. Masih banyak hal yang dapat digali dari soal-soal olimpiade matematika untuk mempersiapkan pembinaan peserta olimpiade matematika ke tingkat internasiaonal.
DAFTAR PUSTAKA Hudoyo, Herman. 2003. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang : IMSTEP JICA UPI ________. 1994. Kurikulum SLTP Petunjuk Pelaksanaan Proses Belajar Mengajar. Jakarta : Depdikbud International Mathematical Olympiad. http://www.kalva.demon.co.uk/imo.html. Diunduh pada 11 Januari 2007.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
68
PM – 7 : Analisis Kesiapan Guru SMP Negeri….. Karim, Rabiyatul Adawiyah, Barkis
Analisis Kesiapan Guru SMP Negeri di Kabupaten Tabalong dalam Menghadapi Sertifikasi Guru Dalam
Jabatan
Oleh : Karim, Rabiyatul Adawiyah, dan Barkis Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, Kalsel
ABSTRAK
Salah satu wujud perhatian pemerintah terhadap profesionalisme dan kesejahteraan guru adalah dengan dilakukannya sertifikasi guru dalam jabatan. Sesuai dengan Permendiknas No. 18 Tahun 2007, maka sertifikasi guru dilakukan dengan menggunakan Portofolio. Berkaitan dengan evaluasi terhadap portofolio guru di Kalimantan Selatan, untuk jatah tahun 2006 yang berjumlah 254 orang hanya 182 orang (71,7%) yang dinyatakan lulus. Selanjutnya untuk jatah tahun 2007 yang berjumlah 3.784 orang, yang dinyatakan lulus hanya sekitar 50% (Banjarmasin Post, Jumat 16 Nopember 2007). Fakta ini menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan guru dalam mengikuti sertifikasi guru dalam jabatan sangat rendah.
Mengingat rendahnya tingkat kelulusan guru dalam mengikuti sertifikasi ini, maka perlu dilakukan pemetaan sejak awal sehingga dapat diketahui komponen apa saja dari sepuluh komponen yang harus dilengkapi guru dalam membuat portofolio itu yang masih kurang. Dengan demikian, kekurangan yang ada dan telah diketahui lebih awal dapat diantisipasi dan diusahakan kelengkapannya sebelum seorang guru membuat portofolio mereka. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat kesiapan guru SMP Negeri di Kabupaten Tabalong dalam menghadapi sertifikasi guru.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Populasi dari penelitian ini adalah seluruh guru-guru SMP Negeri di Kabupaten Tabalong yang berstatus sebagai PNS, yang berjumlah 385 orang. Penelitian ini menggunakan teknik sampling, dimana jumlah sampel yang diambil sebanyak 88 orang guru. Teknik analisis data yang digunakan adalah dengan menggunakan prosentase.
Hasil verifikasi portofolio menunjukkan bahwa hanya 31,8% guru SMP Negeri di Kabupaten Tabalong yang dapat dinyatakan lulus sertifikasi guru. Ada 5 komponen dari 10 komponen dalam portofolio, dimana skor dominan yang diperoleh guru adalah NOL. Kelima komponen tersebut adalah komponen prestasi akademik (55,7%), karya pengembangan profesi (79,5%), keikutsertaan dalam forum ilmiah (55,7%), pengalaman organisasi di bidang pendidikan dan sosial (38,6%), dan penghargaan yang relevan dalam pendidikan (68,2%). Secara keseluruh dapat dinyatakan bahwa guru SMP Negeri di Kabupaten Tabalong belum siap dalam menghadapi sertifikasi guru. Kata Kunci : Sertifikasi guru dalam jabatan dan komponen portofolio
PENDAHULUAN
Pendidik (guru) adalah tenaga profesional sebagaimana diamanatkan dalam Pasal
39 ayat 2, UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 2 ayat
1, UU RI No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan Pasal 28 ayat (1) PP RI No.
19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Mengacu pada landasan yuridis
dan kebijakan tersebut, secara tegas menunjukkan adanya keseriusan dan komitmen
yang tinggi pihak pemerintah dalam upaya meningkatkan profesionalisme dan
penghargaan kepada guru yang muara akhirnya pada peningkatan kualitas pendidikan
nasional.
Sesuai dengan arah kebijakan di atas, Pasal 42 UU RI No. 20 Tahun 2003
mempersyaratkan bahwa pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi
sesuai dengan kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
69
PM – 7 : Analisis Kesiapan Guru SMP Negeri….. Karim, Rabiyatul Adawiyah, Barkis
kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Hal ini ditegaskan kembali
dalam Pasal 28 ayat (1) PP RI No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan;
dan Pasal 8 UU RI No 14, 2005 yang mengamanatkan bahwa guru harus memiliki
kualifikasi akademik minimal D4/S1 dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, yang
meliputi kompetensi kepribadian, pedagogis, profesional, dan sosial. Kompetensi guru
sebagai agen pembelajaran secara formal dibuktikan dengan sertifikat pendidik.
Menurut UU RI Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, sertifikat pendidik
diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan kualifikasi akademik dan
kompetensi sebagai agen pembelajaran. Sertifikat pendidik diberikan kepada seseorang
yang telah menyelesaikan program pendidikan profesi pendidik dan lulus uji sertifikasi
pendidik. Dalam hal ini, ujian sertifikasi pendidik dimaksudkan sebagai kontrol mutu
hasil pendidikan, sehingga seseorang yang dinyatakan lulus dalam ujian sertifikasi
pendidik diyakini mampu melaksanakan tugas mendidik, mengajar, melatih,
membimbing, dan menilai hasil belajar peserta didik. Sesuai dengan
PERMENDIKNAS NO. 18 Tahun 2007, maka sertifikasi guru dilakukan dengan
menggunakan Portofolio.
Berkaitan dengan evaluasi terhadap portofolio guru di Kalimantan Selatan, untuk
jatah tahun 2006 yang berjumlah 254 orang hanya 182 orang (71,7%) yang dinyatakan
lulus. Selanjutnya untuk jatah tahun 2007 yang berjumlah 3.784 orang, yang dinyatakan
lulus hanya sekitar 50% (Banjarmasin Post, Jumat 16 Nopember 2007). Berdasarkan
fakta ini, maka dapat disimpulkan bahwa tingkat keberhasilan guru dalam mengikuti
sertifikasi guru dalam jabatan sangat rendah.
Mengingat rendahnya tingkat kelulusan guru dalam mengikuti sertifikasi ini,
maka perlu dilakukan pemetaan kesiapan guru SMP Negeri di Kabupaten Tabalong
sejak awal sehingga dapat diketahui komponen apa saja dari sepuluh komponen yang
harus dilengkapi guru dalam membuat portofolio itu yang masih kurang. Dengan
demikian, kekurangan yang ada dan telah diketahui lebih awal dapat diantisipasi dan
diusahakan kelengkapannya.
Sesuai dengan latar belakang masalah tersebut di atas, maka masalah dalam
penelitian ini adalah bagaimana kesiapan guru SMP Negeri dalam menghadapi
sertifikasi guru dalam jabatan melalui portofolio di Kabupaten Tabalong ?
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
70
PM – 7 : Analisis Kesiapan Guru SMP Negeri….. Karim, Rabiyatul Adawiyah, Barkis
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui dan
menganalisis kesiapan guru SMP Negeri dalam menghadapi sertifikasi guru dalam
jabatan melalui portofolio di Kabupaten Tabalong.
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah : (i) bagi guru dapat
dijadikan sebagai bahan instrospeksi guna meningkatkan profesional dan kompetensi
sesuai dengan tuntutan masyarakat dan pemerintah. Seorang guru dapat menyiapkan diri
sedini mungkin kelengkapan komponen fortofolio. (ii) bagi sekolah dapat dijadikan
sebagai bahan masukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada para peserta
didik. Sekolah dapat mengambil kebijakan yang bersifat akademik untuk membantu
guru guna melengkapi komponen sertifikasi. (iii) bagi Pemkab Tabalong dapat
dijadikan sebagai bahan masukan atau pertimbangan untuk menyusun kebijakan-
kebijakan atau program-program di daerah, khususnya yang berkaitan dengan upaya
peningkatan kualitas sumber daya manusia dan kesiapan guru dalam mengikuti
sertifikasi.
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Alasan
digunakannya metode ini adalah karena metode ini orientasinya pada meneliti status
kelompok manusia, suatu objek set kondisi, suatu sistem pemikiran atau sesuatu
peristiwa yang terjadi sekarang ini. Fenomena yang ingin dipelajari pada penelitian ini
adalah tentang kesiapan guru SMP dalam menghadapi sertifikasi guru dalam jabatan.
Populasi dari penelitian ini adalah seluruh guru-guru SMP Negeri se Kabupaten
Tanjung yang berstatus sebagai PNS. Jumlah guru SMP Negeri yang berstatus sebagai
PNS sebanyak 385 orang. Mengingat jumlah populasi yang cukup besar, maka dalam
penelitian ini akan dilakukan teknik sampling. Sampel diambil berdasarkan sampel
wilayah dan sampel sekolah. Sampel wilayah dalam hal ini adalah ada sekolah yang
mewakili daerah perkotaan dan ada sekolah yang mewakili daerah pinggirin.
Kemudian pada sekolah yang terambil sebagai sampel akan dilakukan lagi sampel
untuk menentukan guru yang terpilih dengan menggunakan teknik purposive
sampling. Guru yang terpilih sebagai sampel adalah guru yang berstatus sebagai
Pegawai Negeri Sipil (PNS), berlatar belakang pendidikan sarjana S1, dan telah
memiliki masa kerja minimal 2 tahun.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
71
PM – 7 : Analisis Kesiapan Guru SMP Negeri….. Karim, Rabiyatul Adawiyah, Barkis
Data dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Selanjutnya
kedua jenis data tersebut akan dikumpulkan melalui teknik pengumpulan data, yaitu :
1. Penelusuran dokumen dan arsip tentang kualifikasi akademik guru di Dinas
Pendidikan Kabupaten Tabalong akan dikumpulkan melalui teknik dokumentasi.
2. Penelitian lapangan, berupa kunjungan ke sekolah-sekolah SMP Negeri di
Kabupaten Tabalong. Data penelitian lapangan akan dikumpulkan melalui teknik
kuesioner dan wawancara.
Data primer dikumpulkan dengan menggunakan instrumen penelitian berupa
kuesioner dan wawancara. Sedangkan data sekunder dikumpulkan dengan
menggunakan data dokumentasi yang ada di Dinas Pendidikan Kabupaten Tabalong.
Instrumen yang digunakan berupa kuesioner, dan pedoman wawancara .Instrumen
yang digunakan untuk mengukur pelaksanaan pembelajaran dan kompetensi
keperibadian serta social menggunakan instrumen yang digunakan dalam portofolio
sertifikasi guru dalam jabatan. Kompetensi guru dengan menggunakan kedua instrumen
ini diukur oleh kepala sekolah (atasan langsung mereka). Selain dari itu, guru juga
diminta untuk mengisi instrumen yang berisi informasi tentang komponen portofolio.
Data dalam penelitian ini akan dianalisis dengan menggunakan analisis
deskriptif. Variabel yang akan dideskripsikan dalam penelitian ini meliputi 10
komponen portofolio sesuai dengan Permendiknas No. 18 Tahun 2007. Masing-masing
komponen portofolio akan dideskripsikan dengan menggunakan prosentase.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian Sesuai dengan PERMENDIKNAS Nomor 18 Tahun 2007 bahwa sertifikasi guru
dalam jabatan akan dilakukan melalui portofolio. Ada 10 komponen portofolio yang
harus dipenuhi oleh seorang guru dan seorang guru dikatakan lulus sertifikasi jika telah
memiliki nilai fortofolio minimal 850.
Kesepuluh komponen tersebut adalah kualifikasi akademik, pengalaman
mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, pendidikan dan pelatihan,
penilaian dari atasan dan pengawas, prestasi akademik, karya pengambangan profesi,
keikutsertaan dalam forum ilmiah, pengalaman organisasi di bidang pendidikan dan
sosial, serta penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
72
PM – 7 : Analisis Kesiapan Guru SMP Negeri….. Karim, Rabiyatul Adawiyah, Barkis
Gambaran tentang hasil penilaian fortofolio secara umum dapat dilihat pada tabel
1 berikut ini.
Tabel 1
Hasil Penilaian Portofolio
No. Kategori Hasil Portofolio Frekuensi Persentase
1.
2.
Lulus
Tidak Lulus
28
60
31,8
68,2
Jumlah 88 100
Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa 68,2% guru dinyatakan tidak lulus didalam
mengikuti sertifikasi. Hanya ada 31,8% guru yang dinyatakan lulus.
Untuk mengetahui sebaran skor untuk masing-masing komponen dapat dilihat
pada tabel 2 sampai dengan tabel 10 berikut ini.
Tabel 2
Skor Pengalaman Mengajar
No. Skor Pengalaman Mengajar Frekuensi Persentase
1.
2.
3.
40
41 – 100
101 – 160
20
36
32
22,7
40,9
36,4
Jumlah 88 100
Tabel 2 di atas menunjukkan skor pengalaman mengajar guru. Berdasarkan rubrik
penilaian (pada lampiran), guru dengan masa kerja 2 – 4 tahun diberi skor pengalaman
mengajar sebesar 40. Guru yang mengajar dengan masa kerja 14 – 16 tahun diberi skor
100 dan guru dengan pengalaman mengajar lebih dari 25 tahun diberi skor 160.
Berdasarkan tabel di atas skor yang dominan adalah 41 – 100 (40,9%), lalu diikuti oleh
skor 101 – 160 (36,45). Fakta di atas menunjukkan bahwa sebagian terbesar guru telah
memiliki pengalaman mengajar di atas 10 tahun.
Skor komponen rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) dan pelaksanaan
pembelajaran dapat dilihat pada tabel 3 berikut ini. Skor maksimum perencanaan
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
73
PM – 7 : Analisis Kesiapan Guru SMP Negeri….. Karim, Rabiyatul Adawiyah, Barkis
pembelajaran adalah 40 dan skor maksimum pelaksanaan pembelajaran adalah 120.
Hasil perhitungan komponen rencana dan pelaksanaan pembelajaran dapat dilihat pada
tabel 3 berikut ini.
Tabel 3
Skor Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
Dan Pelaksanaan Pembelajaran
No. Skor RPP dan Pelaksanaan Pembelajaran Frekuensi Persentase
1. 2. 3. 4.
< = 120 121 – 130 131 – 140 141 – 160
2 31 28 27
2,3 35,2 31,8 30,7
Jumlah 88 100
Tabel 3 di atas menunjukkan skor rencana dan pelaksanaan pembelajaran yang
dominan (35,2%) berada pada interval 121 – 130. Kemudian diikuti oleh interval 131 –
140 sebanyak 31,8% dan interval 141 – 160 sebanyak 30,7%. Hasil ini menunjukkan
bahwa komponen rencana dan pelaksanaan pembelajaran relatif cukup baik.
Penilaian terhadap komponen pendidikan dan pelatihan dapat dilihat pada tabel 4
berikut ini.
Tabel 4
Skor Pendidikan dan Pelatihan
No. Skor Pendidikan dan Pelatihan Frekuensi Persentase
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Skor 0 1 – 50 51 – 100 101 – 200 201 – 500 Lebih dari 500
1 20 10 19 24 14
1,1 22,7 11,4 21,6 27,3 15,9
Jumlah 88 100
Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui bahwa 35,3% guru yang memiliki skor
pendidikan dan pelatihan 100 atau kurang dari 100. Padahal komponen pendidikan dan
pelatihan ini sangat menentukan apakah seorang guru dapat lulus dalam mengikuti
sertifikasi. Kenapa hal ini terjadi karena 5 komponen lainnya selain kualifikasi
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
74
PM – 7 : Analisis Kesiapan Guru SMP Negeri….. Karim, Rabiyatul Adawiyah, Barkis
akademik, pengalaman mengajar, perencaan dan pelaksanaan pembelajaran, penilaian
dari atasan/pengawas pada umumnya sangat sukar diperoleh. Sehingga dapat dipastikan
bahwa komponen pendidikan dan pelatihan merupakan komponen yang cukup
menentukan kelulusan seorang guru dalam mengikuti sertifikasi.
Skor maksimum penilaian dari atasan/pengawas adalah 50. Penilaian dari
atasan/pengawas ini berisikan kompetensi kepribadian dan sosial seorang guru.
Kompetensi kepribadian dan sosial guru akan dinilai oleh atasan langsung mereka.
Sebaran hasil penilaian dari atasan/pengawas dapat dilihat pada tabel 5 berikut ini.
Tabel 5
Skor Penilaian dari Atasan/Pengawas
No. Skor Penilaian dari Atasan/Pengawas Frekuensi Persentase
1. 2. 3.
< = 35 36 – 40 41 - 50
1 14 73
1,1 15,9 83,0
Jumlah 88 100
Berdasarkan tabel 5 dapat diketahui bahwa secara keseluruhan kompetensi
kepribadian dan sosial guru relatif tinggi. Selanjutnya, berkaitan dengan prestasi
akademik guru dapat dilihat pada tabel 6 berikut ini.
Tabel 6
Skor Prestasi Akademik
No. Skor Prestasi Akademik Frekuensi Persentase 1. 2. 3. 4. 5. 6.
SKOR 0 1 – 10 11 – 25 26 – 50 51 – 100 > 100
49 6 3 10 8 12
55,7 6,8 3,4 11,4 9,1 13,6
Jumlah 88 100
Tabel 6 di atas menunjukkan bahwa sebagian terbesar guru (55,7%) memiliki
prestasi akademik dengan skor NOL. Selanjutnya hanya ada 22,7% guru yang memiliki
skor prestasi akademik 51 atau lebih.
Berkaitan dengan skor pengembangan karya profesi dapat dilihat pada tabel 7
berikut ini.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
75
PM – 7 : Analisis Kesiapan Guru SMP Negeri….. Karim, Rabiyatul Adawiyah, Barkis
Tabel 7
Skor Pengembangan Karya Profesi
No. Skor karya Pengembangan Profesi Frekuensi Persentase
1. 2. 3.
SKOR 0 1 – 10 11 – 20 21 - 50 > 50
70 11 1 3 3
79,5 12,5 1,1 3,4 3,4
Jumlah 88 100
Berdasarkan tabel 7 dapat diketahui bahwa sebagian terbesar guru (79,5%)
memiliki skor pengembangan karya profesi dengan skor NOL. Hasil menunjukkan
betapa minim karya yang dapat dikerjakan oleh guru. Berkaitan dengan skor komponen
keikutsertaan guru dalam mengikuti forum ilmiah dapat dilihat pada table 8 berikut ini.
Tabel 8
Skor Keikutsertaan dalam Forum Ilmiah Skor Keikutsertaan dalam Forum Ilmiah
No.
Skor Keikutsertaan Dalam forum Ilmiah
Frekuensi Persentase
1. 2. 3. 4.
SKOR 0 1 – 10 11 – 20 > 20
49 25 6 8
55,7 28,4 6,8 9,1
Jumlah 88 100
Berdasarkan tabel 8 dapat diketahui bahwa sebagian terbesar guru (55,7%)
memiliki skor keikutsertaan dalam forum ilmiah dengan skor NOL. Selanjutnya, ada
28,4% guru yang memiliki skor berkisar antara 1 – 10, dan 15,9% guru memiliki skor
keikutsertaan dalam forum ilmiah di atas skor 10. Hasil juga menunjukkan betapa
minimnya aktivitas guru dalam mengikuti forum ilmiah. Berkaitan dengan skor
komponen pengalaman organisasi dapat dilihat pada tabel 9 berikut ini.
Tabel 9
Skor Pengalaman Organisasi
di Bidang Pendidikan dan Sosial
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
76
PM – 7 : Analisis Kesiapan Guru SMP Negeri….. Karim, Rabiyatul Adawiyah, Barkis
No. Skor Pengalaman Organisasi Frekuensi Persentase
1. 2. 3. 4.
SKOR 0 1 – 10 11 – 20 > 20
34 42 10 2
38,6 47,7 11,4 2,3
Jumlah 88 100
Tabel 9 menunjukkan pengalaman guru dalam organisasi di bidang pendidikan
dan sosial. Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa ada sebanyak 38,6% guru yang
memiliki pengalaman organisasi di bidang pendidikan dan social dengan skor NOL.
Fakta ini menunjukkan bahwa betapa minimnya aktivitas guru diluar tugas akademik
mereka. Skor penghargaan yang relevan dalam bidang pendidikan dapat dilihat pada
tabel 10 berikut ini.
Tabel 10
Skor Penghargaan yang Relevan
dalam Bidang Pendidikan dalam Bidang Pendidikan
No.
Skor Penghargaan yang Relevan dalam Bidang Pendidikan
Frekuensi Persentase
1. 2. 3. 4.
SKOR 0 1 – 10 11 – 20 > 20
60 8 8 12
68,2 9,1 9,1 13,6
Jumlah 88 100
Tabel 10 menunjukkan bahwa sebagai terbesar guru (68,2%) memiliki skor NOL
terhadap komponen penghargaan yang relevan dalam bidang pendidikan. Hanya ada
13,6% guru yang memiliki skor di atas 20. Sisanya masing-masing sebesar 9,1% untuk
skor antara 1 – 10 dan skor antara 11 – 20.
Pembahasan Hasil Penelitian
Kesiapan guru dalam mengikuti sertifkasi perlu diketahui sedini mungkin
sehingga Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota ataupun Pemkab/Pemkot dimana guru
tersebut bertugas dapat mengetahui dan mengambil langkah-langkah yang akurat agar
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
77
PM – 7 : Analisis Kesiapan Guru SMP Negeri….. Karim, Rabiyatul Adawiyah, Barkis
guru yang akan diikutsertakan untuk mengikuti sertifkasi benar-benar guru yang telah
siap (dari segi pemenuhan nilai, telah memenuhi nilai minimum kelulusan yaitu 850).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 31,8% guru yang dapat dinyatakan lulus
dalam mengikuti sertifikasi. Tingkat kelulusan sebesar 31,8% ini jauh dibawah hasil
verifikasi sertifikasi Kalimantan Selatan untuk jatah tahun 2006 yaitu sebesar 71,7%.
Begitu juga masih di bawah hasil verifikasi untuk Kalimantan Selatan untuk jatah tahun
2007 yaitu sekitar 50% (Banjarmasin Post, 16 Nopember 2007).
Analisis untuk masing-masing komponen portofolio menunjukkan bahwa ada 5
komponen, dimana pencapaian skor yang dominan adalah skor NOL. Kelima
komponen tersebut adalah prestasi akademik (55,7%), karya pengembangan profesi
(79,5%), keikutsertaan dalam forum ilmiah (55,7%), pengalaman organisasi di bidang
pendidikan dan sosial (38,6%), dan penghargaan yang relevan dalam pendidikan
(68,2%).
Berdasarkan buku pedoman penilaian portofolio, dinyatakan bahwa nilai unsur C
yang terdiri dari 3 komponen yaitu keikutsertaan dalam forum ilmiah, pengalaman
organisasi di bidang pendidikan dan sosial, serta piagam yang relevan dalam bidang
pendidikan tidak boleh bernilai NOL. Dengan kata lain, salah satu dari ketiga komponen
ini harus memiliki nilai, minimal dengan skor SATU. Jika dikaitkan dengan 5
komponen diatas, dimana skor dominan yang diperoleh guru adalah nol, maka tentunya
banyak guru yang tidak memenuhi ketentuan nilai unsur C tersebut.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada umumnya guru belum banyak
melakukan kegiatan diluar tugas rutinitas yang bersifat akademik. Berdasarkan hasil ini
dapat disimpulkan bahwa secara umum guru SMP di Kabupaten Tabalong belum siap
untuk mengikuti sertifikasi guru dalam jabatan dalam bentuk portofolio ini.
P E N U T U P
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Hasil verifikasi portofolio menunjukkan bahwa hanya 31,8% guru SMP Negeri di
Kabupaten Tabalong yang dapat dinyatakan lulus sertifikasi guru dalam jabatan.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
78
PM – 7 : Analisis Kesiapan Guru SMP Negeri….. Karim, Rabiyatul Adawiyah, Barkis
2. Ada 5 komponen dari 10 komponen dalam portofolio, dimana skor dominan yang
diperoleh guru adalah NOL. Kelima komponen tersebut adalah komponen prestasi
akademik (55,7%), karya pengembangan profesi (79,5%), keikutsertaan dalam
forum ilmiah (55,7%), pengalaman organisasi di bidang pendidikan dan sosial
(38,6%), dan penghargaan yang relevan dalam pendidikan (68,2%).
3. Secara keseluruh dapat dinyatakan bahwa guru SMP Negeri di Kabupaten Tabalong
belum siap dalam menghadapi sertifikasi guru.
Saran/Rekomendasi
Saran-saran yang dapat direkomendasikan berdasarkan hasil penelitian adalah
sebagai berikut :
1. Perlu sosialisasi kepada para guru SMP di Kabupaten Tabalong, baik oleh Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Tabalong maupun pihak-pihak terkait
lainnya tentang penyusunan portofolio sertifikasi guru.
2. Penentuan guru yang akan diikutkan dalam sertifikasi guru hendaknya berdasarkan
petunjuk yang telah diberikan oleh Konsorsium Sertifkasi Guru, sehingga mereka
yang dikirim diharapkan benar-benar dapat lulus dalam verifikasi.
3. Pihak Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dan Pemerintah Kabupaten Tabalong
hendaknya dapat menyikapi akan ketidaksiapan guru SMP negeri dalam
menghadapi sertifikasi guru. Kebijakan hendaknya dapat diarahkan untuk
mengadakan kegiatan-kegiatan akademik, khususnya terhadap 5 komponen yang
sebagian terbesar guru belum dapat memenuhinya. Kelima komponen tersebut
adalah prestasi akademik, karya pengembangan profesi, keikutsertaan dalam forum
ilmiah, pengalaman organisasi di bidang pendidikan dan sosial, dan penghargaan
yang relevan dalam pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S. (1998). Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktek). Rineka Cipta,
Jakarta. Depdiknas. 2005. Undang-Undang RI No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Depdiknas RI, Jakarta. Depdiknas. 2005. Peraturan Pemerintah RI No. 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan. Depdiknas RI, Jakarta.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
79
PM – 7 : Analisis Kesiapan Guru SMP Negeri….. Karim, Rabiyatul Adawiyah, Barkis
Depdiknas. 2007. Panduan Penyusunan Portofolio (Sertifikasi Guru dalam Jabatan
Tahun 2007).. Depdiknas RI, Jakarta. Fajar, Malik. 2000. Pendidikan Indonesia. Artikel Majalah Gerbang. Lembaga
Penelitian dan Pengenbangan Pendidikan (LP3) Universitas Muhammadiyah, Malang.
Haryoko, Sapto. 1995. Studi Tingkat Profesionalisme Guru Sekolah Teknologi
Menengah Negeri di Provinsi Sulawesi Selatan. Jurnal Ilmu Pendidikan. IKIP, STKIP dan ISPI.
Sahertian, AM. (2001). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. RajaGrafindo
Persada, Jakrta. Usman, M.U. (2002). Menjadi Guru Profesional Edisi ke-2. Remaja Rosdakarya,
Bandung.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
80
PM – 8 : Penerapan Model Kooperatif Tipe TAI Karim, Sohrah
Penerapan Model Kooperatif Tipe TAI (Team-Assisted Individualization) Dalam Pembelajaran Peluang Pada Siswa Kelas IX SMP Idhata
Banjarmasin Tahun Pelajaran 2007/2008
Oleh :
Karim*) dan Sohrah**)
*) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lambung Mangkurat
Banjarmasin, Kalsel **) Guru Mata Pelajaran Matematika SMP Idhata Banjarmasin, Kalsel
ABSTRAK
Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran adalah dengan melakukan berbagai variasi model pembelajaran. Banyak siswa yang menyenangi suatu pelajaran tertentu karena berawal dari rasa senang terhadap cara yang dilakukan guru dalam menyampaikan pelajaran, sehingga merasa termotivasi untuk mengikuti pelajaran tersebut, yang pada akhirnya akan berpengaruh pada hasil belajar. Salah satu model pembelajaran yang dapat diterapkan oleh guru di kelas adalah model pembelajaran kooperatif tipe TAI, dimana dengan model pembelajaran ini diharapkan belajar matematika menjadi menyenangkan dan menjadi lebih bermakna bagi siswa. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan aktivitas dan hasil belajar siswa terhadap penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TAI.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Populasi penelitian adalah seluruh siswa kelas IX SMP IDHATA Banjarmasin yang terbagi dalam 2 kelas, yaitu kelas IXA dan IXB dengan jumlah siswa sebanyak 32 orang. Pengambilan sampel menggunakan teknik sampling bertujuan dengan mengambil siswa kelas IX B yang berjumlah 16 orang. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik dokumentasi, tes, angket dan lembar observasi. Data dianalisis melalui skor perkembangan individu, pengukuran hasil belajar kelompok, tingkat penghargaan kelompok, dan pengukuran hasil belajar individu. Selain dari itu, juga dilakukan observasi terhadap aktivitas siswa.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas siswa dalam pembelajaran matematika menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TAI sesuai aspek-aspek aktivitas dalam pembelajaran kooperatif dan termasuk dalam kualifikasi cukup baik dan hasil belajar siswa setelah pembelajaran matematika menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TAI dalam pembelajaran peluang berada pada kualifikasi cukup. Kata Kunci: model pembelajaran kooperatif tipe TAI dan hasil belajar siswa
PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat mendorong
setiap bangsa untuk terus meningkatkan kualitas pendidikannya. Pendidikan yang
berkualitas memungkinkan semua pihak dapat memperoleh informasi yang melimpah,
cepat dan mudah dari berbagai sumber dan tempat di dunia. Dengan demikian, melalui
bidang pendidikan, siswa diharapkan memiliki kemampuan multidimensional meliputi
kemampuan memperoleh, mengelola dan memanfaatkan informasi untuk bertahan
hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti dan kompetitif.
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang diajarkan pada jenjang
pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Konsep-konsep
matematika yang diajarkan pada setiap jenjang pendidikan diberikan secara bertahap
dan berjenjang sesuai dengan perkembangan mental dan intelektual siswa. Konsep-
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
81
PM – 8 : Penerapan Model Kooperatif Tipe TAI Karim, Sohrah
konsep tersebut tersusun secara hierarkis, terstruktur, logis dan sistematis mulai dari
konsep yang paling sederhana sampai pada konsep yang paling kompleks.
Matematika juga merupakan salah satu mata pelajaran yang lebih menekankan
aktivitas pada dunia rasio (penalaran). Oleh sebab itu, diperlukan suatu sistem
pengajaran yang berkualitas. Dalam hal ini, inovasi pembelajaran merupakan suatu
upaya untuk menemukan sesuatu yang dapat meningkatkan kualitas pembelajaran.
Adapun salah satu bentuk inovasi pembelajaran tersebut adalah dengan menerapkan
berbagai model pembelajaran.
Model pembelajaran dimaksudkan sebagai pola interaksi siswa dengan guru di
kelas yang menyangkut strategi, pendekatan, metode dan teknik pembelajaran yang
diterapkan dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar (Tim MKPBM, 2001). Salah
satu model pembelajaran yang dipertimbangkan adalah pembelajaran kooperatif.
Pembelajaran kooperatif mengacu pada metode pengajaran dimana siswa bekerja
sama dalam kelompok kecil saling membantu dalam belajar (Nur & Wikandari, 2000).
Pembelajaran kooperatif terdiri dari beberapa tipe, yaitu STAD (Student Teams-
Achievement Division), TGT (Teams-Games-Tournaments), TAI (Team-Assisted
Individualization), Jigsaw, LT (Learning Together), GI (Group Investigation), Think-
Pair-Share (Chairani, 2003).
TAI (Team-Assisted Individualization) merupakan model pembelajaran kooperatif
yang disusun dengan berbagai alasan. Pertama, model ini mengkombinasikan
keampuhan kooperatif dan program pengajaran individual. Kedua, model ini
memberikan tekanan pada efek sosial dari belajar kooperatif. Ketiga, TAI disusun untuk
memecahkan masalah dalam program pengajaran, misalnya dalam hal kesulitan belajar
siswa secara individual. Pada pembelajaran kooperatif tipe TAI, pokok bahasan mata
pelajaran dibagi menjadi unit-unit, dimana materi pada unit yang satu berkaitan dengan
unit berikutnya. Hal ini sesuai jika diterapkan pada pokok bahasan mata pelajaran
matematika karena konsep-konsep matematika dipelajari siswa secara bertahap dan
tersusun secara hierarkis (Widdiharto, 2004).
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan yang
akan diteliti sebagai berikut : (1) bagaimana aktivitas siswa dalam pembelajaran
matematika dengan menggunakan model kooperatif tipe TAI di kelas IX SMP IDHATA
Banjarmasin tahun pelajaran 2007/2008; (2) bagaimana hasil belajar siswa pada
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
82
PM – 8 : Penerapan Model Kooperatif Tipe TAI Karim, Sohrah
pembelajaran matematika dengan menggunakan model kooperatif tipe TAI di kelas IX
SMP IDHATA Banjarmasin tahun pelajaran 2007/2008.
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: (1) menggambarkan
aktivitas siswa dalam pembelajaran matematika dengan model kooperatif tipe TAI di
kelas IX SMP IDHATA Banjarmasin; (2) mengetahui hasil belajar siswa pada
pembelajaran matematika dengan model kooperatif tipe TAI di kelas IX SMP IDHATA
Banjarmasin.
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut : (1)
sebagai informasi bagi guru tentang alternatif model pembelajaran yang dapat
digunakan dalam mengajarkan matematika untuk mencapai tujuan yang optimal; (2)
sebagai informasi bagi sekolah dalam rangka perbaikan dan peningkatan mutu
pembelajaran; (3) sebagai masukan bagi peneliti untuk meningkatkan kemampuan dan
pengetahuan dalam bidang pendidikan khususnya pendidikan matematika.
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, yaitu
metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu sistem pemikiran
ataupun suatu peristiwa pada masa sekarang. Fenomena yang akan dideskripsikan
dalam penelitian ini adalah aktivitas siswa dan hasil belajar mereka terhadap
pembelajaran matematika dengan menggunakan model kooperatif tipe TAI.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas IX yang dibagi menjadi 2
kelas yaitu kelas A dan kelas B. Jumlah siswa untuk kedua kelas tersebut berjumlah 32
orang, dimana masing-masing kelas memiliki 16 orang siswa. Penelitian ini dilakukan
pada kelas IXB.
Data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui: (1) Observasi yang digunakan
untuk memperoleh gambaran mengenai aktivitas siswa pada saat pembelajaran
berlangsung. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar observasi
aktivitas siswa dalam pembelajaran kooperatif tipe TAI. (2) Tes yang digunakan untuk
mendapatkan data tentang hasil belajar siswa. Adapun perangkat instrumen dalam
penelitian ini terdiri atas soal tes penempatan (placement test), LKS, soal latihan, soal
tes formatif, soal tes unit dan soal tes akhir.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
83
PM – 8 : Penerapan Model Kooperatif Tipe TAI Karim, Sohrah
Sebelum dilakukan proses pembelajaran matematika dengan model kooperatif
tipe TAI, terlebih dahulu diadakan tes penempatan (placement test) untuk menentukan
pada unit mana masing-masing siswa berada. Kemudian dilakukan pembentukan
kelompok. Formasi anggota kelompok didasarkan pada hasil tes tersebut yang disusun
dari skor tertinggi sampai terendah. Nama anggota ditandai dengan huruf abjad
kemudian disusun dalam tabel. Kelompok yang dibentuk adalah kelompok yang
heterogen. Heterogenitas anggota kelompok dapat ditinjau dari jenis kelamin, etnis,
prestasi akademik maupun status sosial.
Setelah dilakukan proses pembelajaran, maka diperoleh data yang kemudian
dianalisis. Teknik analisis data yang digunakan adalah sebagai berikut:
(1) Skor perkembangan individu
Sesuai dengan karakteristik model pembelajaran kooperatif tipe TAI, maka
dalam penelitian ini baik tanggung jawab individual dan penghargaan kelompok
sangat diperhatikan. Setelah beberapa kali pertemuan, guru menjumlahkan
banyaknya unit yang telah diselesaikan oleh semua anggota tim dan memberikan
sertifikat atau penghargaan lainnya kepada tim yang memenuhi kriteria berdasarkan
jumlah unit yang diselesaikan oleh masing-masing anggota kelompok dan skor
perkembangan individu berdasarkan nilai tes unit. Penghitungan skor perkembangan
individu dilakukan dalam upaya memberikan kesempatan bagi setiap siswa untuk
menunjukkan gambaran pencapaian hasil belajar maksimal yang telah dilakukan
oleh setiap individu. Skor perkembangan siswa ditentukan berdasarkan selisih
perolehan skor tes terdahulu dengan skor tes terkini. Setiap siswa memiliki
kesempatan yang sama untuk menyumbangkan skor maksimal bagi kelompoknya.
Kriteria pemberian nilai perkembangan dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Kriteria Pemberian Nilai Perkembangan Individu
No Skor Siswa Nilai Perkembangan
1. Lebih dari 10 poin di bawah skor dasar 0
2. 10 poin hingga 1 poin di bawah skor dasar 10
3. Skor dasar sampai 10 poin di atasnya 20
4. Lebih dari 10 poin di atas skor dasar 30
5. Pekerjaan sempurna (tidak berdasarkan skor awal) 30
(Ibrahim dkk, 2000)
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
84
PM – 8 : Penerapan Model Kooperatif Tipe TAI Karim, Sohrah
(2) Pengukuran Hasil belajar Kelompok
Setelah kegiatan perhitungan skor perkembangan individu selesai, langkah
selanjutnya adalah pemberian penghargaan (reward) kepada kelompok.
Penghargaan kelompok berdasarkan banyaknya unit yang dapat diselesaikan oleh
masing-masing anggota kelompok dan skor perkembangan yang diperoleh setiap
kelompok. Untuk menentukan skor yang dicapai kelompok digunakan rumus yang
diadaptasi dari Slavin (Chairani, 2003).
N = kelompokanggotaBanyak
kelompokanperkembangskortotaljumlah
keterangan : N = Nilai perkembangan kelompok
(3) Tingkat Penghargaan Kelompok
Berdasarkan banyaknya unit yang telah diselesaikan oleh semua anggota kelompok
dan skor perkembangan yang diperoleh setiap kelompok, terdapat tiga tingkat
penghargaan yang diberikan untuk kelompok seperti pada tabel berikut:
Tabel 2. Kriteria Tingkat Penghargaan Kelompok
Nilai rata-rata kelompok Penghargaan
15 ≤ N < 20 Baik
20 ≤ N < 25 Hebat
N ≥ 25 Super
(Depdiknas, 2004)
(4) Pengukuran Hasil Belajar Individu
Cara penilaian hasil belajar siswa secara individu menggunakan rumus yang
dimodifikasi dari Usman dan Setiawati (2001) yaitu:
100MaksimalSkor PerolehanSkor N ×=
Keterangan : N = Nilai Akhir
Interpretasinya menggunakan kriteria sebagai berikut :
Tabel 3. Interpretasi Hasil Belajar
Nilai *) Kualifikasi
≥ 95,0 Istimewa
80,0 – 94,9 Amat Baik
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
85
PM – 8 : Penerapan Model Kooperatif Tipe TAI Karim, Sohrah
65,0 – 79,9 Baik
55,0 – 64,9 Cukup
40,1 – 54,9 Kurang
≤ 40,0 Amat Kurang
Keterangan : *) = Nilai dalam skala 0 - 100
(Dinas Pendidikan Pemprov Kalsel, 2004)
(5) Pengukuran Aktivitas Siswa dalam Proses Pembelajaran
Aktivitas siswa dan guru dalam pembelajaran matematika dengan
menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TAI disimpulkan dengan
memperhatikan ketentuan penilaian dengan pilihan terbanyak. Adapun kriteria
penilaian terhadap aktivitas siswa dan guru berdasarkan option pada lembar
observasi yakni sangat baik, baik, cukup baik dan kurang baik.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pembelajaran Unit Satu
Berdasarkan hasil tes penempatan pada pertemuan sebelumnya, ternyata seluruh
siswa harus belajar mulai dari unit satu. Pembelajaran unit satu ini dimulai pada
pertemuan kedua. Guru membagikan LKS unit satu kepada seluruh siswa sebagai
panduan untuk memahami materi pada unit satu. Sebelum pembelajaran kooperatif
dilaksanakan, terlebih dahulu guru melaksanakan pengajaran klasikal unit satu. Guru
menjelaskan pengertian ruang sampel dan titik sampel, cara menentukan ruang sampel
dan titik sampel dari suatu percobaan disertai dengan beberapa buah contoh soal.
Penjelasan materi berdasarkan LKS yang dipegang oleh masing-masing siswa. Sesekali,
guru juga memberikan kesempatan kepada siswa untuk menanyakan hal-hal yang
belum/kurang dipahaminya.
Pengajaran klasikal pada unit satu ini memerlukan waktu sekitar satu jam
pelajaran. Pada jam pelajaran berikutnya, dimulai pembelajaran kooperatif. Untuk
mempercepat perpindahan siswa dalam pembentukan kelompok dan mencegah
kekacauan, guru memberikan instruksi tempat yang harus dituju oleh masing-masing
kelompok. Kegiatan ini cukup memakan waktu karena siswa harus memindahkan kursi
dan meja. Setelah semua siswa berada di kelompoknya masing-masing, maka aktivitas
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
86
PM – 8 : Penerapan Model Kooperatif Tipe TAI Karim, Sohrah
kelompok pun dimulai. Semua siswa dalam tiap-tiap kelompok berada pada unit satu,
sehingga aktivitas yang mereka lakukan pun sama.
Langkah-langkah dalam diskusi kelompok diuraikan sebagai berikut: langkah
pertama, masing-masing anggota kelompok mengerjakan latihan sebanyak 4 butir soal
secara berturut-turut dari 16 butir soal yang tersedia secara individual. Kemudian dalam
kelompok masing-masing, mereka secara berpasangan bertukar lembar jawaban untuk
saling memeriksa jawaban kemudian menuliskan hasilnya di lembar penilaian
kelompok. Dalam mengerjakan soal latihan, masing-masing anggota kelompok harus
dapat menjawab benar keempat butir soal tersebut. Jika ada yang salah, siswa tersebut
harus mengerjakan empat butir soal selanjutnya secara berturut-turut sampai mampu
mengerjakan empat butir soal dengan benar. Pada saat mengerjakan latihan ini, siswa
dapat berdiskusi dengan teman sekelompoknya jika mengalami kesulitan. Siswa yang
lebih cepat memahami materi dan mengerjakan soal dapat membantu teman
sekelompoknya yang kesulitan dalam memahami materi atau mengerjakan soal, tetapi
masing-masing anggota kelompok tetap bekerja secara individual.
Anggota kelompok yang telah selesai mengerjakan latihan dan memenuhi
ketentuan dalam mengerjakan latihan, dapat diajukan oleh kelompoknya untuk
mengikuti tes formatif bagian A. Anggota-anggota kelompok mengerjakan tes formatif
secara individual dan tetap berada pada posisi di kelompoknya. Kemudian setelah
selesai mengerjakan tes formatif, siswa dalam masing-masing kelompok kembali
bertukar lembar jawaban seperti pada latihan dan menuliskan hasilnya di lembar
penilaian kelompok. Siswa yang mengerjakan tes formatif bagian A harus dapat
menjawab benar 8 butir soal. Jika siswa belum dapat menjawab benar 8 butir soal, ia
harus mengikuti tes formatif bagian B. Namun sebelumnya, siswa yang harus
mengikuti tes formatif B tersebut dapat meminta bantuan temannya atau guru untuk
memperbaiki kesalahannya pada tes formatif bagian A. Setelah dapat melewati tes
formatif, siswa dapat mengikuti tes unit pada unit satu. Selama mengerjakan tes unit,
siswa tetap berada pada posisi masing-masing di kelompoknya dan bekerja secara
individual. Guru berkeliling diantara kelompok sambil memantau hasil kerja siswa.
Lembar jawaban tes unit setiap siswa akan diperiksa dan dinilai oleh guru. Siswa
yang telah selesai mengerjakan tes unit satu dapat melanjutkan ke unit berikutnya.
Adapun ketentuan untuk dapat melanjutkan ke unit berikutnya adalah siswa tersebut
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
87
PM – 8 : Penerapan Model Kooperatif Tipe TAI Karim, Sohrah
harus dapat meraih minimal nilai 60 pada tes unit tersebut. Jika siswa belum dapat
mencapai nilai 60, siswa tersebut harus kembali mengerjakan soal tersebut. Sebelum
mengerjakan kembali, siswa diberi kesempatan untuk belajar lagi beberapa saat.
Pada pembelajaran unit satu ini, guru tidak melaksanakan pengajaran individual
karena setelah pengajaran klasikal, siswa mulai bekerja di kelompoknya masing-
masing, berdiskusi dan mengerjakan latihan. Pembelajaran unit satu berlangsung dalam
dua kali pertemuan yaitu pertemuan kedua dan pertemuan ketiga. Namun setiap kali
selesai satu pertemuan, guru selalu meminta semua kelompok mengumpulkan semua
lembar jawaban latihan, tes formatif dan tes unit semua anggota kelompok serta lembar
penilaian kelompok. Hal ini dilakukan untuk memantau dan mengecek pemahaman
siswa melalui jawaban mereka. Jika terlihat ada bagian yang belum dipahami siswa,
guru dapat menjadikannya bahan apersepsi untuk pertemuan berikutnya. Sementara itu
pekerjaan siswa yang belum selesai akibat habisnya waktu pada pertemuan kedua dapat
dilanjutkan kembali pada pertemuan ketiga. Dari kedua pertemuan tersebut, tidak ada
siswa yang berhalangan hadir dan pada akhirnya semua siswa dapat menyelesaikan
pembelajaran unit satu secara bersamaan. Selanjutnya mereka akan bersiap-siap untuk
memasuki pembelajaran pada unit dua pada pertemuan berikutnya.
Pembelajaran Unit Dua
Sebelum memulai pembelajaran unit dua pada pertemuan keempat, terlebih dahulu
guru memberikan penghargaan berupa sertifikat kepada masing-masing kelompok
sebagai salah satu upaya untuk menghargai hasil kerja kelompok dan untuk memotivasi
siswa agar bekerja lebih baik. Penghargaan diberikan berdasarkan perolehan skor
perkembangan kelompok setelah melewati unit satu.
Pada pertemuan keempat ini, seluruh siswa secara bersamaan memasuki unit dua.
Oleh karena itu, pengajaran yang harus diberikan adalah pengajaran klasikal seperti
pada unit satu. Pembelajaran dimulai dengan guru membagikan LKS unit dua kepada
seluruh siswa sebagai panduan dalam memahami materi unit dua tersebut yaitu tentang
peluang suatu kejadian.
Berdasarkan penjelasan dan pemberian beberapa contoh soal, siswa pun akhirnya
dapat mulai memahami materi. Setelah itu, guru meminta siswa untuk kembali ke
kelompoknya masing-masing untuk kembali bekerja seperti pada unit satu. Proses
pembelajaran pada unit dua ini pun berlangsung sama seperti pada pembelajaran unit
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
88
PM – 8 : Penerapan Model Kooperatif Tipe TAI Karim, Sohrah
satu. Siswa mengerjakan soal latihan, tes formatif dan tes unit untuk menentukan
apakah mereka dapat melanjutkan ke unit tiga atau tidak. Pada kegiatan kelompok,
siswa ditekankan untuk berdiskusi dengan teman jika mengalami kesulitan memahami
materi. Tetapi pada saat mengerjakan latihan, tes formatif dan tes unit, siswa harus
bekerja secara individual. Proses pembelajaran unit dua berlangsung pada pertemuan
keempat dan pertemuan kelima.
Pembelajaran Unit Tiga
Pembelajaran unit tiga dimulai pada pertemuan keenam yang diawali dengan
pemberian sertifikat kepada masing-masing kelompok berdasarkan perolehan skor
perkembangan kelompok setelah melewati unit dua. Pada pertemuan ini, sebanyak 13
orang siswa secara bersamaan memasuki unit tiga. Guru pun membagikan LKS unit tiga
bagi siswa yang sudah memasuki unit tiga. Pada saat mengenalkan materi pada unit tiga
yaitu tentang kisaran nilai peluang, guru tidak langsung melaksanakan pengajaran
individual tetapi secara klasikal sekitar 20 menit. Setelah itu meminta siswa untuk
kembali ke kelompoknya masing-masing untuk kembali bekerja seperti pada unit satu
dan unit dua.
Proses pembelajaran pada unit tiga juga berlangsung sama seperti pada unit satu
dan unit dua. Siswa mengerjakan soal latihan, tes formatif dan akhirnya tes unit untuk
menentukan apakah mereka dapat melanjutkan ke unit empat atau tidak. Tampak
beberapa siswa saling berdiskusi dengan temannya ketika menemui kesulitan, tetapi
pada saat mengerjakan latihan, tes formatif dan tes unit, siswa harus bekerja secara
individual. Proses pembelajaran pada unit tiga berlangsung pada pertemuan keenam
sampai pertemuan ketujuh. Namun sampai pertemuan ketujuh berakhir, masih terdapat
beberapa siswa yang terlambat menyelesaikan unit tiga ini sehingga harus melanjutkan
kembali pekerjaan mereka pada pertemuan berikutnya.
Pembelajaran Unit Empat
Seperti pada pembelajaran unit-unit sebelumnya, pembelajaran unit empat juga
berlangsung dalam dua kali yaitu pada pertemuan kedelapan dan pertemuan
kesembilan. Pertemuan kedelapan juga diawali dengan pemberian sertifikat kepada
tiap-tiap kelompok setelah berhasil melewati unit tiga. Pada pertemuan ini, sebanyak 10
orang siswa secara bersamaan memasuki unit empat. Guru pun membagikan LKS unit 4
kepada siswa-siswa yang sudah memasuki unit empat, sementara siswa yang terlambat
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
89
PM – 8 : Penerapan Model Kooperatif Tipe TAI Karim, Sohrah
dapat melanjutkan kembali pekerjaannya menyelesaikan unit tiga dan segera menyusul
memasuki unit empat. Untuk mengenalkan materi frekuensi harapan pada unit ini, guru
melaksanakan pengajaran individual bagi mereka yang telah memasuki unit empat ini.
Mereka menerima LKS unit empat untuk dibaca dan dipahami materinya sambil
berdiskusi dengan teman-temannya. Setelah itu, guru meminta siswa untuk kembali ke
kelompoknya masing-masing untuk kembali bekerja seperti pada unit-unit sebelumnya.
Siswa yang terlambat menyelesaikan unit empat segera menyusul siswa-siswa lain yang
telah memasuki unit empat, namun mereka kembali harus menunggu beberapa saat
untuk mengetahui nilai tes unitnya sebelum melanjutkan ke unit empat. Setelah
mengetahui bahwa hasil tes unit tiga mereka telah memenuhi syarat memasuki unit
empat, para siswa ini pun mengikuti pengajaran individual unit empat. Dalam
pengajaran individual ini, sesekali guru juga mengingatkan kembali tentang materi pada
unit-unit sebelumnya. Setelah mengikuti pengajaran individual, siswa pun kembali ke
kelompoknya masing-masing untuk kembali bekerja seperti pada unit-unit sebelumnya.
Dalam pembelajaran ini, guru selalu mengawasi kegiatan kelompok dan memberikan
bantuan jika diperlukan. Pembelajaran unit empat berakhir pada pertemuan kesembilan.
Semua siswa pada akhirnya dapat menyelesaikan tes unit dengan baik sebelum
pertemuan berakhir, sementara untuk penyerahan sertifikat atas kinerja kelompok
diberikan pada pertemuan berikutnya (pertemuan terakhir) yaitu pada saat tes pemberian
tes akhir.
Observasi Terhadap Aktivitas Siswa
Aktivitas siswa pada saat proses pembelajaran peluang dengan model kooperatif
tipe TAI berjalan cukup baik, Hal tersebut dapat dilihat dari lembar obervasi aktivitas
siswa dan guru dalam pembelajaran kooperatif tipe TAI yang dilakukan oleh satu orang
pengamat yaitu guru di SMP tempat penelitian dilaksanakan. Observasi terhadap
aktivitas siswa ini dilakukan untuk memperhatikan apakah aktivitas yang dilakukan
siswa sudah terlaksana dengan baik atau tidak. Khusus untuk aktivitas siswa, perlu
diperhatikan apakah aspek-aspek aktivitas siswa dalam pembelajaran kooperatif tipe
TAI sudah terlaksana dengan baik atau belum.
Berdasarkan lembar observasi aktivitas siswa dalam pembelajaran kooperatif,
dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
(1) aktivitas mempunyai keberanian untuk bertanya termasuk kualifikasi sangat baik,
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
90
PM – 8 : Penerapan Model Kooperatif Tipe TAI Karim, Sohrah
(2) aktivitas mendengarkan dengan aktif dan menanyakan kebenaran/memeriksa
ketepatan termasuk baik,
(3) aktivitas menghargai pendapat orang lain, mengambil giliran dan berbagi tugas,
berada dalam tugas, menunjukkan penghargaan dan simpati dan mengungkapkan
ketidaksetujuan dengan cara yang diterima termasuk cukup baik,
(4) aktivitas memancing orang lain untuk berbicara dan mendorong orang lain untuk
berpartisipasi termasuk kurang baik.
Evaluasi dan Hasil Belajar Siswa
Evaluasi pembelajaran kooperatif tipe TAI terdapat dua macam, yaitu evaluasi
secara kelompok dan evaluasi secara individu. Pelaksanaan evaluasi bertujuan untuk
mengetahui hasil belajar siswa dan juga untuk menentukan tingkat penghargaan
kelompok Evaluasi secara kelompok dilakukan berdasarkan nilai tes unit/final tes
masing-masing unit untuk menentukan tingkat penghargaan kelompok setelah beberapa
kali pertemuan. Setiap siswa dalam kelompoknya diharapkan dapat menyumbangkan
poin yang tinggi bagi kelompoknya sehingga kelompoknya mendapat penghargaan yang
bagus, tetapi dalam hal ini tidak ada istilah peringkat. Masing-masing kelompok akan
mendapatkan penghargaan sesuai dengan skor yang mereka hasilkan.
Sedangkan evaluasi secara individu dilaksanakan pada akhir kegiatan
pembelajaran secara keseluruhan yaitu melalui tes akhir. Tes akhir ini berlangsung
lancar. Selama kegitan berlangsung, siswa dengan serius mengerjakan soal-soal yang
diberikan. Evaluasi yang dilakukan bersifat tertutup dan siswa tidak diperkenankan
bekerjasama dengan siswa yang lain. Guru mengawasi dengan ketat berlangsungnya tes
akhir.
Pemberian poin perkembangan dilakukan dengan menentukan selisih perolehan
nilai tes terdahulu (dasar) dengan nilai tes unit yang telah dilewati siswa. Nilai dasar
yang digunakan adalah nilai tes formatif siswa untuk kompetensi dasar yang telah
diujikan oleh guru mata pelajaran matematika. Nilai dasar dapat dilihat pada lampiran
10. Setelah dilakukan perhitungan poin perkembangan individu, selanjutnya dilakukan
perhitungan poin perkembangan kelompok dengan cara menjumlahkan poin
perkembangan masing-masing anggota kelompok dibagi dengan banyaknya anggota
kelompok sehingga didapatkan rata-rata poin perkembangan kelompok. Berdasarkan
poin rata-rata perkembangan kelompok, masing-masing kelompok mendapatkan
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
91
PM – 8 : Penerapan Model Kooperatif Tipe TAI Karim, Sohrah
penghargaan sesuai dengan kriteria yang ada. Ada tiga jenis penghargaan yang dapat
diberikan yaitu super, hebat dan baik. Selama pembelajaran kooperatif tipe TAI,
penghargaan diberikan sebanyak empat kali, yaitu setelah melewati unit satu, unit dua,
unit tiga dan unit empat.
Evaluasi secara individu dilakukan melalui tes akhir. Berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan pada siswa kelas IX B SMP IDHATA Banjarmasin dengan model
kooperatif tipe TAI dapat diketahui bahwa rata-rata nilai tes akhir siswa kelas IX B
adalah 61,88 yang berada pada kualifikasi cukup.
Berdasarkan hasil tes akhir tersebut, dapat diperoleh prosentase keseluruhan
kualifikasi siswa yang dapat dilihat pada tabel 4 berikut ini.
Tabel 4. Prosentase Kualifikasi Hasil Belajar Siswa
Kualifikasi Interval Nilai Frekuensi Persentase (%)
Istimewa ≥ 95,0 0 0,0
Amat Baik 80,0 – 94,9 2 12,5
Baik 65,0 – 79,9 5 31,3
Cukup 55, 0 – 64,9 4 25,0
Kurang 40,1 – 54,9 4 25,0
Amat Kurang ≤ 40,0 1 6,2
Jumlah 16 100,0
Berdasarkan tabel 4, diperoleh bahwa dari 16 orang siswa yang mengikuti
pembelajaran diperoleh frekuensi banyak siswa pada masing-masing kualifikasi. Tidak
terdapat siswa yang termasuk kualifikasi istimewa. Frekuensi banyak siswa pada
kualifikasi amat baik sebanyak 2 orang atau 12,5% sedangkan untuk kualifikasi baik
sebanyak 5 orang atau 31,3%. Frekuensi banyak siswa pada kualifikasi cukup dan
kualifikasi kurang masing-masing sebanyak 4 orang atau 25,0%, sedangkan banyaknya
siswa yang berada pada kualifikasi amat kurang hanya 1 orang atau 6,2%.
Pembahasan
Pembelajaran kooperatif tipe TAI sangat baik untuk menumbuhkan partisipasi
siswa didalam proses pembelajaran. Sesuai dengan filosofi pembelajaran kooperatif,
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
92
PM – 8 : Penerapan Model Kooperatif Tipe TAI Karim, Sohrah
maka dengan tipe TAI ini semangat kebersamaan dan sosial siswa dapat ditumbuhkan.
Meskipun demikian, dari sisi hasil belajar untuk pokok bahasan peluang ternyata nilai
yang diperoleh siswa tidak terlalu istimewa.
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam penerapan pembelajaran kooperatif tipe
TAI adalah masalah kehadiran siswa. Ternyata kehadiran siswa dalam pembelajaran
kooperatif tipe TAI mempunyai pengaruh tersendiri. Jika dalam satu kali pertemuan ada
siswa yang tidak hadir mengikuti pembelajaran, maka akan menghambat aktivitasnya
secara individu dan aktivitasnya sebagai anggota kelompok. Selama pembelajaran
kooperatif tipe TAI, seluruh siswa kelas IX B dapat mengikuti pembelajaran namun
dalam beberapa pertemuan, ada siswa yang tidak hadir. Hal ini kadang menghambat
aktivitas dalam kelompoknya karena dalam aktivitas kelompok pembelajaran kooperatif
tipe TAI ini sangat memerlukan kerja sama yang baik antar anggota kelompok, baik
dalam kegiatan menuntaskan materi maupun saat mereka saling memeriksa lembar
jawaban.
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian pada siswa kelas IXB SMP IDHATA Banjarmasin
tahun pelajaran 2007/2008 dengan materi Peluang dapat disimpulkan hal-hal sebagai
berikut :
(1) aktivitas siswa dalam pembelajaran kooperatif tipe TAI telah memenuhi aspek-
aspek aktivitas dalam pembelajaran kooperatif dan termasuk dalam kualifikasi
cukup baik,
(2) hasil belajar siswa setelah pembelajaran matematika dengan model kooperatif tipe
TAI berada pada kualifikasi cukup, dimana frekuensi yang dominan (31,3%)
siswa memperoleh nilai antara 65,0 – 79,9.
Saran/Rekomendasi
Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan dan kesimpulan yang telah diuraikan
dapat dikemukakan beberapa saran sebagai berikut :
(1) untuk melaksanakan pembelajaran model kooperatif tipe TAI perlu
dipertimbangkan masalah waktu, karena pembelajaran kooperatif tipe ini relatif
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
93
PM – 8 : Penerapan Model Kooperatif Tipe TAI Karim, Sohrah
memakan waktu yang lebih banyak sehingga guru harus mampu memanejemen
waktu sebaik mungkin.
(2) pembelajaran model kooperatif tipe TAI dapat dijadikan sebagai salah satu
alternatif dalam upaya meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa dengan
memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan yang disebutkan di atas.
DAFTAR PUSTAKA Chairani, Z. 2003. Model Pembelajaran Kooperatif Sebagai Inovasi Pembelajaran.
Balai Penataran Guru, Banjarmasin. Depdiknas. 2003. Kurikulum 2004 Pedoman Khusus Pengembangan Sistem Penilaian
berbasis Kompetensi Mata Pelajaran Matematika. Depdiknas, Jakarta. ________. 2004. Materi Pelatihan Terintegrasi Matematika. Proyek Pengembangan
Sistem Pengendalian Program SLTP, Depdiknas, Jakarta. Dinas Pendidikan Pemprov Kalsel. 2004. Pedoman Penyelenggaraan Ujian Akhir
Sekolah dan Ujian Akhir Nasional bagi Sekolah/Madrasah Tahun Pelajaran 2003/2004 Provinsi Kalimantan Selatan. Banjarmasin.
Djamarah, S. B. & Zain, A. 2002. Strategi Belajar Mengajar. PT Rineka Cipta, Jakarta. Ibrahim, M., Rachmadiarti, F., Nur, M., & Ismono. 2000. Pembelajaran Kooperatif.
University Press, Surabaya. Nur, M. & Wikandari. 2000. Pengajaran Berpusat Kepada Siswa dan Pendekatan
Konstruktivis dalam Pengajaran. Pusat Studi Matematika dan IPA Sekolah, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya.
Widdiharto, R. 2004. Model – Model Pembelajaran Matematika SMP.
http://zainurie.files.wordpress.com/2007/11/modelpembelajaran1.pdf
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
94
PM – 9 : Kegiatan Penelitian Sebagi Usaha.... Marsigit
Kegiatan Penelitian Sebagi Usaha Untuk Meningkatkan Profesionalisme Guru Matematika
Oleh:
Dr. Marsigit Jurusan Pendidikan Matematika, FMIPA Universias Negeri Yogyakarta
Penelitian merupakan kegiatan untuk mendapatkan pengetahuan yang disebut sebagai ilmu, dilakukan dengan prosedur tertentu yang bersifat sistematis dan didukung oleh suatu metodologi yang merupakan suatu pengkajian dari aturan-aturan dalam metodenya. Sebagai seorang guru atau calon guru matematika yang inovatif dituntut untuk selalu melakukan pembahasan mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan tentang pembelajaran matematika yang sesuai dengan trend terkini. Pengetahuan kita tentang aspek pembelajaran matematika dikehendaki sebagi pengetahuan yang bersifat ilmiah yaitu suatu pemahaman tentang cara bekerjanya pikiran individu siswa dalam mempelajari matematika, bagaimana memperoleh pemahaman tentang aspek pembelajaran secara arkitektural serta bagaimana seorang guru memahami adanya analogi-analogi di antara pengetahuan siswa, pengetahuan guru dan pengetahuan praktisi tentang pembelajaran matematika. Usaha tersebut dapat dicapai jika dikembangkan suatu metode ilmiah yang memenuhi sifat koherensi dan sifat korespondensi. Penjelasan mengenai fenomena yang terjadi dalam proses belajar matematika sebagai suatu deskripsi kebenaran, memerlukan langkah-langkah empiris yang bersifat rasional untuk memperoleh teori tentang kebenaran dan idealitas praktek pembelajaran matematika. Pengetahuan demikian pada akhirnya baik secara ontologis maupun secara legal formal dapat meningkatkan profesionalisme guru dalam bidang pendidikan matematika
Key Word: penelitian, pendidikan matematika, profesionalisme guru
I. Pendahuluan
Guru atau calon guru matematika sebagi seorang peneliti dapat dengan sengaja
mengadakan perubahan dalam pembelajaran matematika di sekolah dengan melakukan
berbagai eksperimen; sehingga mencullah metode ilmiah. Pendekatan penelitian
pendidikan matematika dapat dilakukan dengan barbagai cara antara lain penelitian
kuantitatif. Penelitian kuantitatif pembelajaran matematika mengandalkan metode
ilmiah untuk menemukan aturan-aturan, hukum-hukum dan prinsip-prinsip tentang
kenyataan pembelajaran matematika di sekolah. Hukum-hukum ditemukan baik dengan
cara deduksi maupun induksi. Realitas pendidikan matematika dapat dipecah menjadi
bagian-bagian Hukum yang berlaku bagi keseluruhan yang menggambarkan pendidikan
matematika juga berlaku bagi bagian-bagiannya. Penelitian kuantitatif memandang
bahwa belajar matematika bersifat obyektif dan dapat diukur. Eksperimen dapat
dilakukan dengan memanipulasi variabel yang dapat diukur secara kuantitatif agar dapat
dicari hubungan antara berbagai variabel belajar mengajar matematika.
Namun mencari hukum universal dapat dilakukan pada semua kasus
pembelajaran matematika dengan suatu tingkat probabilitas tertentu. Pada penelitian
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
95
PM – 9 : Kegiatan Penelitian Sebagi Usaha.... Marsigit
kuantitatif peneliti bersifat netral dan hanya meneliti gejala-gejala yang dapat diamati
dan diukur dengan instrumen yang valid dan reliabel. Netralitas memugkinkan
penelitian dapat direplikasi. Peneliti kemuadian dapat mengandalkan pendekatan
kuantitatif dalam pengambilan data maupun pengolahannya; sehingga lahirlah
penelitian dengan menggunakan metode kuantitatif. Penelitian kuantitatif menggunakan
metode logiko-hipotetiko-verivikatif dalam kerangka berpikirnya, dengan langkah-
langkah urut sebagai berikut : penentuan masalah-perumusan hipotesis tentang aspek
belajar mengajar matematika; pengumpulan data tentang praktik pembelajaran
matematika; analisis data; pengujian hipotesis; kesimpulan; penulisan laporan; dan
selesai.
Nasution, S (1992) menyadari bahwa pengalaman manusia begitu kompleks
sehingga tidak dapat diikat oleh satu teori tertentu. Teori haruslah bersifat terbuka;
artinya siap untuk direvisi setiap saat. Tidak ada pendidikan yang netral, maka tidak ada
pula penelitian yang netral (Freire, 1973 dalam Nasution, S, 1992). Pengetahuan
dipandang sebagai sangat dipengaruhi oleh faktor sosial, sejarah, dan nilai-nilai.
Penelitian hendaknya dilakukan dalam situasi yang wajar atau dalam konteks yang
natural dan data yang diambil perlu memperhatikan data kualitatif. Sehingga lahirlah
suatu penelitian menggunakan metode atau pendekatan kualitatif. Dengan demikian
pendekatan penelitian kualitatif pada pendidikan matematika pada hakekatnya adalah
pengamatan terhadap proses belajar matematika dalam lingkungan belajar matematika,
berinteraksi dengannya, berusaha memahami bahasa dan tafsirannya tentang belajar
matematika. Untuk itu peneliti perlu terjun kelapangan dan berada di sana untuk kurun
waktu tertentu untuk mengadakan observasi atau mencari data lainnya yang relevan
dengan permasalahan penelitian. Kebenaran yang dicari bukanlah kebenaran mutlak
melainkansuatu kebenaran yang bergantung kepada dunia realitas empirik dan
konsensus dalam pendidikan matematika. Pendekatan kualitatif mengakui adanya
kegiatan belajar matematika yang berada diluar dirinya yang sebagaian tidak dapat
mereka kenal; dan mengakui perbedaan pandangan bagi tentang pembelajaran
matematika yang baik atau yang kurang baik. Setiap peneliti dapat mengamati
pembelajaran matematika dengan pandangan masing-masing dengan kemungkinan
terdapatnya kesesuaian pengamatan.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
96
PM – 9 : Kegiatan Penelitian Sebagi Usaha.... Marsigit
II. Mengembangkan Penelitian Pendidikan Matematika
A. Penelitian Sebagai Kegiatan Hermenitik
Keadaan dan usaha mengungkap fenomena pembelajaran matematika dapat
digambarkan dengan lingkaran hermenitik dalam mana seorang guru atau seorang
peneliti berusaha mengungkap aspek pembelajaran matematika sebagai suatu gejala
atau fenomena baik berupa fakta-fakta yang dapat diamati secara langsung maupun
berupa potensi-potensi yang memerlukan perlakukan bagi pengembangannya.
Lingkaran hermenitik di dalam penelitian pendidikan matematika memberikan
kesadaran penuh kepada peneliti bahwa pembelajaran matematika beserta komponennya
tidak bersifat steril, melainkan bersifat terkait atau terhubung dengan berbagai aspek
dan konteks pembelajaran baik diwaktu yang telah lampau maupun di waktu sekarang
yaitu waktu bagi berlangsungnya pembelajaran. Kesadaran hermenitik mempersiapkan
guru sebagai peneliti untuk menggunakan temuan-temuan pada saat sekarang untuk
dapat digunakan untuk perbaikan atau saran bagi kegiatan pembelajaran di waktu
berikutnya.
Pada garis besarnya terdapat dua macam hermenitik dalam penelitian pendidikan
matematika. Jika peneliti mengarahkan perhatiannya kepada hal-hal spesifik dan
berusaha mengungkapkan fenomena atau gejala pembelajaran matematika sebagai dunia
real yang dapat ditentukan dengan teori-teori atau metode-metode tertentu; kemudian
peneliti mengembangkan metode penelitian maka hermenitiknya bersifat realistik.
Investigating on Teachilng Learning of Mathematics (Ross, 2004)
Pada penelitian dengan hermenitik realistik guru atau peneliti menfokuskan kepada
aspek-aspek tertentu dari pembelajaran matematika dengan keyakinan usahanya akan
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
97
PM – 9 : Kegiatan Penelitian Sebagi Usaha.... Marsigit
dapat mengungkap atau menjelaskan dunia yang sedang dihadapi yaitu dunia
pembelajaran matematika.
Keadaan dan usaha mengungkap fenomena pembelajaran matematika disertai
dengan kesadaran bahwa pembelajaran matematika sebagai suatu dunia menyimpan
banyak misteri. Manusia atau guru bersifat terbatas untuk mengetahuinya, namun guru
perlu berupaya agar memperoleh gambaran tentang dunia pembelajaran matematika
dengan serta merta melakukan dekonstruksi dunia yang dihadap yaitu dunia pendidikan
matematika. Hermenitik demikian bersifat dekonstruktif. Gambaran hermenitik
dekonstruktiftampak seperti diagram berikut:
Investigating on Teachilng Learning of
Mathematics (Ross, 2004)
B. Lingkup Penelitian Pendidikan Matematika
Ruang lingkup penelitian pendidikan matematika dapat berasal dari adanya
dorongan oleh peneliti untuk melakukan pembaharuan pendidikan matematika; di mana
disadari bahwa inovasi pendidikan matematika dapat bersumber kepada faktor-faktor
konseptual, nilai, pragmatis, empirik maupun politis. Dengan menempatkan komponen
pembelajaran matematika, dalam konteks penelitian pendidikan matematika, maka
Grouws, D.A (1992) menggambarkan berbagai variasi hubungan antar komponen pada
level sederhana maupun pada level kompleks. Lingkup dan macam penelitian
pendidikan matematika dapat terjadi pada diagram seperti tampak sebagai berikut:
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
98
PM – 9 : Kegiatan Penelitian Sebagi Usaha.... Marsigit
Content Pedagogy Cognitive Affective Student Learning Pupil Characteristic Teacher Knowledge Achievement Teacher Teacher Pupil Pupil Characteristic Behaviour Behaviour Outcomes Attitudes Teacher
Attitudes Teacher Matematics Believe about Self Teaching Matematics Diagram di atas menunjukkan bahwa lingkup penelitian tergantung dari si
peneliti sendiri yang menentukan. Dalam level sederhana maka guru dapat meneliti
hubungan antara kharakteristik siswa dengan pencapaian hasil belajar; atau hubungan
antara sikap guru dengan kreativitas siswa. Pada level yang lebih tinggi dapat diteliti
misalnya sumbangan pengetahuan guru terhadap keberhasilan belajar siswa. Sedangkan
pada level yang paling tinggi kegiatan penelitian ditentukan oleh banyaknya aspek dan
hubungan yang akan diselidiki.
C. Metode Penelitian
Ditinjau dari praktek pembelajaran matematika maka paling tidak terdapat dua
faktor utama yaitu praktek pembelajaran itu sendiri dan faktor nilai atau value. Jika
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
99
PM – 9 : Kegiatan Penelitian Sebagi Usaha.... Marsigit
peneliti ingin memperbaiki pembelajaran matematika dalam bidang kontent atau materi
pembelajaran maka peneliti dapat melakukan pengamatan terhadap sibelajar ketika
mempelajari matematika. Jika peneliti ingin memperbaiki atau ingin memperoleh
metode pembelajaran matematika yang inovatif maka peneliti perlu memperhatika
konteks belajar matematika, metode yang digunakan guru serta pengelolaan
pembelajaran matematika. Adapun jika peneliti ingin memahami tentang mengapa
subyek didik belajar matematika dengan cara demikian, dan metode pembelajaran
dilakukan dengan demikian pula, dan apa makna yang terkandung di balik pembelajaran
matematika maka mungkin peneliti sedang berhadapan dengan masalah nilai atau value
dari seorang guru matematika dan siswanya, sekolah dan bahkan kurikulumnya.
Jika peneliti ingin mendeteksi sejauh mana variasi-variasi pada suatu faktor
pembelajaran matematika berkaitan dengan variasi-variasi pada satu atau lebih faktor
lain berdasarkan pada koefisien korelasi. Penelitian ini cocok dilakukan bila variabel-
variabel yang diteliti rumit dan atau tak dapat diteliti dengan menggunakan
eksperimental atau tidak dapat dimanipulasi. Variabel yang rekaitan dengan aspek
pembelajaran matematika dan saling hubungannya secara serentak dapat diukur dalam
keadaan realistiknya. Peneliti dapat mengungkap taraf atau tinggi-rendahnya saling
hubungan dan bukan ada atau tidak adanya saling hubungan tersebut. Namun hal
demikian terdapat kelemahan yaitu bahwa kesimpulan tentang pola hubungan sering tak
menentu dan kabur. Jika peneliti hendak menyelidiki kemungkinan hubungan sebab-
akibat dengan berdasar atas pengamatan terhadap akibat yang ada dalam pembelajaran
matematika, kemudian mencari kembali faktor yang mungkin menjadi penyebab
melalui data tertentu, maka peneliti dapat menggunakan penelitian kausal-komparatif.
Misalnya penelitian untuk mencari pola tingkah laku dan prestasi belajar matematika
yang berkaitan dengan perbedaan umur pada waktu masuk sekolah, dengan cara
menggunakan data deskriptif tentang tingkah laku dan nilai prestasi belajar yang
terkumpul sampai anak-anak tersebut duduk di kelas VI SD. Penelitian kausal-
komparatif bersifat ex post facto, artinya data dikumpulkan setelah semua kejadian yang
dipersoalkan berlangsung.
Penelitian pendidikan matematika kontemporer pada hakekatnya merupakan
penelitian pendidikan matematika dalam mana sipeneliti mempunyai kesadaran tentang
perlunya memahami hakekat matematika, hakekat matematika sekolah dan hakekat
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
100
PM – 9 : Kegiatan Penelitian Sebagi Usaha.... Marsigit
pendidikan matematika, metodologi penelitian pendidikan matematika, teori
pembelajaran matematika, teori belajar matematika, profesionalisme guru matematika,
teknologi pembelajaran matematika, teori assessment pembelajaran matematika,
perspective internasional pembelajaran matematika, prediksi pembelajaran matematika,
filsafat dan ideologi pembelajaran matematika. Lebih dari itu, pemahaman demikian
kemudian menjadi landasan sekaligus tujuan yang akan dicapai di dalam penelitian
yang bersifat “grounded-theory” yaitu membangun teori pendidikan dengan teori
pendidikan matematika.
Ditinjau dari prosedurnya penelitian pendidikan matematika dapat laksanakan
dengan berbagai macam penekanan yang berbeda. Penelitian historis bertujuan untuk
merekonstruksi pendidikan pada masa lampau di suatu negara atau area tertentu yang
dilakukan secara sistematis dan obyektif, dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi,
memverivikasi, dan mensntesiskan bukti-bukti untuk menegakkan fakta dan
memperoleh kesimpulan. Penelitian historis sedikit banyak tergantung kepada data yang
diobservasi orang lain daripada yang diobservasi oleh peneliti sendiri. Penelitian historis
perlu dilakukan secara tertib, ketat, sistematis dan tuntas. Penelitian historis
mengandalkan kepada data primer dan data sekunder. Bobot penelitian diukur dengan
kritik eksternal dan kritik internal. Pendekatan penelitian bersifat kualitatif-kuantitatif.
Sedangkan langkah-langkah penelitian historis misal mendefinisikan masalah,
merumuskan tujuan, merumuskan hipotesis, mengumpulkan data, menguji hipotesis-
dan menarik kesimpulan.
Penelitian deskriptif bertujuan untuk mencandra secara sistematis pembelajaran
matematika. Penelitian deskriptif bersifat faktual, akurat tentang fakta-fakta dan sifat-
sifat populasi dan sampelnya. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan situasi-
situasi dan kejadian-kejadian berkaitan dengan praktik pembelajaran matematika.
Penelitian deskriptif merupakan akumulasi data dasar dalam cara deskriptif .
Pendekatan yang digunakan bersifat kualitatif-kuantitafif. Jika peneliti ingin mengetahui
tentang pendapat, sikap, keinginan, dan persepsi dari sejumlah responden maka peneliti
dapat menggunakan penelitian jenis survey. Untuk itu biasanya survey menggunakan
angket dan/atau wawancara. Survey dapat digunakan untuk meneliti permasalahan lebih
lanjut misalnya tentang efektivitas sekolah dalam menyelenggarakan pembelajaran
matematika. Pendekatan penelitian survey dapat bersifat kuantitatif. Adapun langkah-
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
101
PM – 9 : Kegiatan Penelitian Sebagi Usaha.... Marsigit
langkahnya dapat berupa perumusan masalah-perumusan tujuan, perumusan hipotesis,
pengumulan data, pengujian hipotesis, dan penarikan kesimpulan.
Jika peneliti ingin menyelidiki pola dan perurutan pertumbuhan dan /atau
perubahan fungsi waktu yang terjadi pada diri siswa maka peneliti dapat menggunakan
penelitian perkembangan. Dasar dari penelitan ini adalah psikologi perkembangan.
Namun bentuk dari penelitian perkembangan dapat berupa penelitian longitudinal,
penelitian cross-sectional, dan penelitian kecenderungan. Penelitian perkembangan
memusatkan perhatian kepada studi mengenai variabel-variabel pembelajaran
matematika dan perkembangannya selama kurun waktu tertentu. Penelitian ini bertujuan
untuk menjawab pertanyaa tentang pola pertumbuhan pemahaman atau konsep
matematika seorang atau beberapa orang siswa, laju, arah, dan perurutannya, dan
bagaimana berbagai faktor berhubungan satu dengan yang lain dan mempengaruhi sifat-
sifat perkembangan itu. Masalah sampling bersifat kompleks kerena terbatasnya subyek
yang dapat diteliti. Metode longitudinal tidak memungkinkan perbaikkan dalam hal-hal
teknis tanpa kehilangan kontinuitas. Studi longitudinal menuntut kontinuaitas proses
penelitian dengan segala aspeknya. Penelitian perkembangan dapat dilakukan dengan
pendekatan kualitatif maupun pendekatan kuantitatif. Adapun langkah-langkah dapat
dilakukan dengan mendefinisikan masalah dan tujuan, menentukan garis dasar
informasi yang ada, membandingkan metode-metode, alat, dan teknik pengumpulan
data, merancang pendekatan, mengumpulkan data, mengevaluasi data, dan menyusun
laporan.
Jika peneliti ingin mempelajari mempelajari secara intensif tentang latar
belakang proses pembelajaran matematika, variasi interaksi yang mungkin berkembang,
serta faktor-faktor pendukung yang dapat dikembangkan, maka peneliti dapat
menggunakan penelitian studi kasus dan penelitian lapangan. Studi kasus merupakan
penelitian mendalam mengenai proses belajar mengajar matematika di suatu sekolah
tertentu di mana hasil penelitian merupakan gambaran yang lengkap dan terorganisasi
dengan baik mengenai proses belajar mengajar matematika tersebut. Namun berbagai
variasi penelitian studi kasus dapat dilakukan dengan cara melakukan perbedaan fokus,
misalnya bergantung kepada tujuannya, ruang lingkup, serta siklus keseluruhan proses
pembelajaran matematika atau hanya segmen-segmen tertentu saja. Yang diselidiki
dapat berupa faktor-faktor tententu atau keseluruhan faktor beserta kejadian-
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
102
PM – 9 : Kegiatan Penelitian Sebagi Usaha.... Marsigit
kejadianpada proses pembelajaran matematika. Pendekatan studi kasus dapat dilakukan
secara kualitatif atau kuantitatif. Adapun langkah-langkahnya dapat berupa:
merumuskan tujuan, menentukan pendekatan, mengumpulkan data, rekonstruksi studi,
dan membuat laporan.
Pada perkembangan selanjutnya dirasakan bahwa di dalam khasanah pendidikan
matematika, perlu dikembangkan suatu penelitian yang dapat mengembangkan
ketrampilan-ketrampilan baru dalam bidang pembelajaran matematika atau cara
pendekatan baru bagi guru dalam mengelola kelas dan untuk memecahkan masalah
berkaitan dengan proses pembelajaran matematika dan bagaimana penerapan langsung
di lapangan. Penelitian demikian tentunya lebih bersifat praktis dan relevan untuk
situasi aktual, bersifat fleksibel dan adaptif yaitu membolehkan perubahan-perubahan
atau action selama masa penelitian. Baik penelitian tindakan kelas maupun penelitian
lain yang termasuk di dalam Lesson Study, memerlukan rangka-kerja yang teratur untuk
pemecahan masalah pembelajaran matematika dan perkembangan baru dan
menggunakan pendekatan berdasar prinsip-prinsip hermenitik. Dasar filosofis dari
penelitian demikian adalah untuk menggapai masa depan, maka sekarang kita perlu
merefleksikan apa yang telah kita perbuat di masa lampau. Dengan demikian penelitian
dilakukan secara empiris yaitu mendasarkan diri kepada observasi aktual dan data
mengenai tingkah laku guru dan sibelajar matematika.
III. Hakekat Matematika Sekolah dan Implikasinya bagi Penelitian Pendidikan Matematika
Pandangan tentang hakekat dan karakteristik matematika sekolah akan
memberikan karakteristik mata pelajaran matematika secara keseluruhan. Ditengarai
bahwa banyaknya siswa yang belum menyukai pelajaran matematika salh satu sebabnya
adalah jenis matematika yang diajarkan. Karakteristik matematika ada bermacam-
macam tergantung dari jenis matematika apakah matematika murni, matematika terapan
atau matematika sekolah. Matematika murni sering didefinisikan sebagai ilmu
pengetahuan yang disusun secara deduksi yang terdiri dari definisi, aksioma dan
teorema dalam mana di dalamnya tidak boleh ada saling kontradiksi. Sedangkan
matematika terapan adalah bagaimana menerapkan matematika di dalam kehidupan
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
103
PM – 9 : Kegiatan Penelitian Sebagi Usaha.... Marsigit
sehari-hari secara seluas-luasnya. Kiranya dapat dimaklumi bersama bahwa pandangan
tentang matematika murni yang bersifat aksiomatis beserta matematika terapan belum
cukup operasional jika digunakan oleh guru untuk berinteraksi dengan siswa. Oleh
karena itu Ebbutt dan Straker (1995: 10-63) mendefinisikan matematika sekolah yang
selanjutnya disebut sebagai matematika, sebagai berikut.
Matematika sebagai kegiatan penelusuran pola dan hubungan, yang berimplikasi
dari pandangan ini terhadap penelitian pembelajaran matematika adalah guru perlu: (1)
memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan kegiatan penemuan dan
penyelidikan pola-pola untuk menentukan hubungan, (2) memberi kesempatan kepada
siswa untuk melakukan percobaan dengan berbagai cara, (3) mendorong siswa untuk
menemukan adanya urutan, perbedaan, perbandingan, pengelompokan, dsb, (4)
mendorong siswa menarik kesimpulan umum, (5) membantu siswa memahami dan
menemukan hubungan antara pengertian satu dengan yang lainnya. Matematika sebagai
kreativitas yang memerlukan imajinasi, intuisi dan penemuan, yang berimplikasi dari
pandangan ini terhadap penelitian dan pembelajaran matematika adalah guru perlu : (1)
mendorong inisiatif siswa dan memberikan kesempatan berpikir berbeda, (2)
mendorong rasa ingin tahu, keinginan bertanya, kemampuan menyanggah dan
kemampuan memperkirakan, (3) menghargai penemuan yang diluar perkiraan sebagai
hal bermanfaat daripada menganggapnya sebagai kesalahan, (4) mendorong siswa
menemukan struktur dan desain matematika, (5) mendorong siswa menghargai
penemuan siswa yang lainnya, (6) mendorong siswa berfikir refleksif, dan (7) tidak
menyarankan hanya menggunakan satu metode saja.
Matematika sebagai kegiatan pemecahan masalah (problem solving), yang
berimplikasi terhadap penelitian dan pembelajaran matematika adalah guru perlu: (1)
menyediakan lingkungan belajar matematika yang merangsang timbulnya persoalan
matematika, (2) membantu siswa memecahkan persoalan matematika menggunakan
caranya sendiri, (3) membantu siswa mengetahui informasi yang diperlukan untuk
memecahkan persoalan matematika, (4) mendorong siswa untuk berpikir logis,
konsisten, sistematis dan mengembangkan sistem dokumentasi/catatan, (5)
mengembangkan kemampuan dan ketrampilan untuk memecahkan persoalan, (6)
membantu siswa mengetahui bagaimana dan kapan menggunakan berbagai alat
peraga/media pendidikan matematika seperti : jangka, penggaris, kalkulator, dsb.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
104
PM – 9 : Kegiatan Penelitian Sebagi Usaha.... Marsigit
Matematika sebagai alat berkomunikasi, yang berimplikasi terhadap penelitian dan
pembelajaran matematika adalah guru perlu: (1) mendorong siswa mengenal sifat-sifat
matematika, (2) mendorong siswa membuat contoh sifat matematika, (3) mendorong
siswa menjelaskan sifat matematika, (4) mendorong siswa memberikan alasan perlunya
kegiatan matematika, (5) mendorong siswa membicarakan persoalan matematika, (6)
mendorong siswa membaca dan menulis matematika, (7) menghargai bahasa ibu siswa
dalam membicarakan matematika.
IV. Penalaran Matematika di Sekolah dan Implikasinya bagi Penelitian
Menurut Ebbutt dan Straker (1995) untuk semua jenjang pendidikan baik SD,
SMP maupun SMA, kajian materi pembelajaran matematika meliputi : Fakta (facts),
meliputi: informasi, nama, istilah dan konvensi tentang lambang-lambang; Pengertian
(concepts), meliputi: struktur pengertian, peranan struktur pengertian, berbagai macam
pola, urutan, model matematika, operasi dan algoritma; Keterampilan penalaran,
meliputi: memahami pengertian , berfikir logis, memahami contoh negatif, berpikir
deduksi, berpikir induksi, berpikir sistematis dan konsisten, menarik kesimpulan,
menentukan metode dan membuat alasan, dan menentukan strategi; Keterampian
algoritmik, meliputi: keterampilan untuk memahami dan mengikuti langkah yang dibuat
orang lain, merancang dan membuat langkah, menggunakan langkah, mendefinisikan
dan menjelaskan langkah sehingga dapat dipahami orang lain, membandingkan dan
memilih langkah yang efektif dan efisien, serta memperbaiki langkah; Keterampilan
menyelesaikan masalah matematika (problem solving) meliputi: memahami pokok
persoalan, mendiskusikan alternatif pemecahannya, memecah persoalan utama menjadi
bagian-bagian kecil, menyederhanakan persoalan, menggunakan pengalaman masa
lampau dan menggunakan intuisi untuk menemukan alternatif pemecahannya, mencoba
berbagai cara, bekerja secara sistematis, mencatat apa yang terjadi, mengecek hasilnya
dengan mengulang kembali langkah-langkahnya, dan mencoba memahami dan
menyelesaikan persoalan yang lain; serta Keterampilan melakukan penyelidikan
(investigation), meliputi: mengajukan pertanyaan dan mencari bagaimana cara
memperoleh jawabannya, membuat dan menguji hipotesis, mencari dan menentukan
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
105
PM – 9 : Kegiatan Penelitian Sebagi Usaha.... Marsigit
informasi yang cocok dan memberi penjelasan mengapa suatu informasi diperlukan,
mengumpulkan, mengelompokkan, menyusun, mengurutkan dan membandingkan serta
mengolah informasi secara sistematis, mencoba metode alternatif, mengenali pola dan
hubungan, dan menyimpulkan matematika.
Sementara itu Shigeo Katagiri (2004) menguraikan bahwa penalaran matematika
di sekolah dapat meliputi tiga aspek utama yaitu penalaran yang berkaitan dengan sikap
(attitude), penalaran yang berkaitan dengan metode (method), dan penalaran yang
berkaitan dengan isi matematika (content). Daftar berikut adalah macam penalaran
matematika yang diuraikan oleh Shigeo Katagiri:
I. Mathematical Thingking related to Attitudes 1. Attempting to grasp one’s own problems or objectives or substance clearly, by oneself
(1) Attempting to have questions (2) Attempting to maintain a problem consciousness (3) Attempting to discover mathematical problems in phenomena
2. Attempting to take logical actions (1) Attempting to take actions that match the objectives (2) Attempting to establish a perspective (3) Attempting to think based on the data that can be used, previously learned
items, and assumptions 3. Attempting to express matters clearly and succinctly
(1) Attempting to record and communicate problems and results clearly and succinctly (2) Attempting to sort and organize objects when expressing them
4. Attempting to seek better things (1) Attempting to raise thinking from the concrete level to the abstract level (2) Attempting to evaluate thinking both objectively and subjectively, and to
refine thinking (3) Attempting to economize thought and effort
II. Mathematical Thinking Related to Mathematical Methods 1. Inductive thinking 2. Analogical thinking 3. Deductive thinking 4. Integrative thinking (including expansive thinking) 5. Developmental thinking 6. Abstract thinking (thinking that abstracts, concretizes, idealizes, and thinking
that clarifies conditions) 7. Thinking that simplifies 8. Thinking that generalizes 8. Thinking that specializes 9. Thinking that symbolize 10. Thinking that express with numbers, quantifies, and figures
III. Mathematical Thinking Related to Mathematical Contents 1. Clarifying sets of objects for consideration and objects excluded from sets,
and clarifying conditions for inclusion (Idea of sets) 2. Focusing on constituent elements (units) and their sizes and relationships
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
106
PM – 9 : Kegiatan Penelitian Sebagi Usaha.... Marsigit
(Idea of units) 3. Attempting to think based on the fundamental principles of expressions (Idea
of expression) 4. Clarifying and extending the meaning of things and operations, and
attempting to think based on this (Idea of operation) 5. Attempting to formalize operation methods (Idea of algorithm) 6. Attempting to grasp the big picture of objects and operations, and using the
result of this understanding (Idea of approximation) 7. Focusing on basic rules and properties (Idea of fundamental properties) 8. Attempting to focus on what is determined by one’s decisions, finding rules of
relationships between variables, and to use the same (Functional Thinking) 9. Attempting to express propositions and relationships as formulas, and to read
their meaning (Idea of formulas)
V. Hakekat Siswa Belajar Matematika dan Implikasinya bagi Penelitian dan Pembelajaran Ebbutt dan Straker (1995: 60-75), memberikan pandangannya bahwa agar
potensi siswa dapat berkembang dan mempelajari matematika secara optimal, asumsi tentang karakteristik subjek didik dan impikasi terhadap pembelajaran matematika diberikan sebagai berikut: Murid akan mempelajari matematika jika mereka mempunyai motivasi, dengan implikasi bagi penelitian dan pembelajaran bahwa guru perlu : menyediakan kegiatan yang menyenangkan, memperhatikan keinginan siswa, membangun pengertian melalui apa yang diketahui oleh siswa, menciptakan suasana kelas yang mendukung kegiatan belajar, memberikan kegiatan yang sesuai dengan tujuan pembelajaran, memberikan kegiatan yang menantang, memberikan kegiatan yang memberikan harapan keberhasilan, menghargai setiap pencapaian siswa. Murid mempelajari matematika dengan caranya sendiri, yang mengandung makna bahwa: siswa belajar dengan cara yang unik dan kemungkinan berbeda dengan teman yang lain, tiap siswa memerlukan pengalaman tersendiri yang terhubung dengan pengalamannya di waktu lampau, tiap siswa mempunyai latar belakang sosial-ekonomi-budaya yang berbeda. dengan implikasi bagi penelitian dan pembelajaran Oleh karena itu, implikasi terhadap pembelajaran matematika adalah bahwa guru perlu:mengetahui kelebihan dan kekurangan para siswanya, merencanakan kegiatan yang sesuai dengan tingkat kemampuan siswa, membangun pengetahuan dan ketrampilan siswa baik yang dia peroleh di sekolah maupun di rumah, dan menggunakan catatan kemajuan siswa (assessment)
Murid mempelajari matematika baik secara mandiri maupun melalui kerja sama dengan temannya, yang berimplikasi bahwa guru perlu: memberikan kesempatan belajar dalam kelompok untuk melatih kerjasama, memberikan kesempatan belajar
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
107
PM – 9 : Kegiatan Penelitian Sebagi Usaha.... Marsigit
secara klasikal untuk memberi kesempatan saling bertukar gagasan, memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan kegiatannya secara mandiri, melibatkan siswa dalam pengambilan keputusan tentang kegiatan yang akan dilakukannya, dan mengajarkan bagaimana cara mempelajari matematika. Murid memerlukan konteks dan situasi yang berbeda-beda dalam mempelajari matematika, yang berimplikasi bahwa guru perlu: menyediakan dan menggunakan berbagai alat peraga, memberi kesempatan belajar matematika di berbagai tempat dan keadaan, memberikan kesempatan menggunakan matematika untuk berbagai keperluan, mengembangkan sikap menggunakan matematika sebagai alat untuk memecahkan problematika baik di sekolah maupun di rumah, menghargai sumbangan tradisi, budaya dan seni dalam pengembangan matematika, dan membantu siswa menilai sendiri kegiatan matematikanya.
Interaksi sosial diantara para siswa dan guru akan dapat memberikan kegiatan kritisisasi untuk pembetulan konsep-konsep, sehingga siswa akan memperoleh perbaikan konsep. Dengan demikian diharapkan pengetahuan subyektif matematikanya telah sama dengan pengetahuan obyektifnya. Hubungan antara pengetahuan objektif dan pengetahuan subyektif dari matematika, serta langkah-langkah enkulturisasi dapat ditunjukkan melalui diagram yang diadaptasi dari Ernest.P (1991) sebagai berikut:
Public Criticism and
Reformulation
Objective Knowledge of Mathematics
Subjective Knowledge Of Mathematics
Personal
Reformulation
Representation New Knowledge
Publication New Knowledge
SOCIAL NEGOTIATION PROCESSES
Learning Re‐construction (Ernest, P, 1995)
CREATION
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
108
PM – 9 : Kegiatan Penelitian Sebagi Usaha.... Marsigit
Diagram di atas menunjukkan hubungan antara “objective knowledge of algebra”
dan “subjective knowledge of mathematics” . Melalui “social negotiation processes”
maka rekonstruksi pembelajaran matematika dalam enkulturisasinya, menunjukkan
proses yang sangat jelas bahwa pengetahuan baru tentang matematika “new knowledge”
dapat berada pada lingkup sosial atau berada pada lingkup individu. Pengetahuan baru
aljabar pada lingkup sosial, dengan demikian bersifat obyektif dan pengetahuan baru
pada lingkup individu akan bersifat subyektif. Dengan demikian, interaksi sosial dalam
pembelajaran aljabar menjadi sangat penting untuk mendekatkan pengetahuan subyektif
matematika menuju pengetahuan obyektifnya. Hal demikian akan dengan mudah
dipahami dan diimplementasikan jikalau dosen yang bersangkutan juga memahami
asumsi-asumsi yang disebut terdahulu.
VI. Model Pembelajaran Matematika, Penelitian Tindakan Kelas dan
Profesi Guru
Berdasarkan atas penekanan terhadap aspek-aspek tertentu maka dengan
mengadaptasi dari Joyce dan Weill (1986), dapat dikembangkan beberapa model
pembelajaran sebagai konteks dilakukannya kegiatan penelitian pendidikan matematika,
misalnya: Model Pencapaian Konsep; Model Latihan Penelitian; Model Sinektik; Model
Pertemuan Kelas; Model Investigasi Kelompok; Model Penelitian Jurisprudensi; Model
Latihan Laboratorium; Model Penelitian Sosial; Model Kontrol Diri; dan Model
Simulasi. Dalam berbagai model yang dikembangkan maka sesungguhnya seorang guru
akan selalu berada diantara dua kutub paradigma pembelajaran matematika yaitu antara
pendekatan teacher-centered dan student-centered. Secara umum telah dimaklumi
bahwa pendidikan matematika ke depan akan lebih bersifat student-centered dimana
siswa merupakan pusat pembelajaran, siwa lebih bersifat aktif, berinisiatif dan ikut
bertangungjawab terhadap proses pembelajaran. Siswa diharapkan juga lebih bersifat
otonom. Dengan demikian peran guru berlaku sebagai fasilitator dan dinamisator
pembelajaran matematika.
Jika di dalam pembelajarannya guru lebih menekankan kepada penguasaan
konsep matematika, sifat matematika, struktur matematika dengan metode diskusi dan
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
109
PM – 9 : Kegiatan Penelitian Sebagi Usaha.... Marsigit
melibatkan siswa maka ditengarai guru tersebut sedang menerapkan model
pembelajaran pencapaian konsep. Model demikian biasanya berstruktur moderat, guru
berusaha mendorong inisiatif siswa dan keterlibatan siswa. Guru melakukan apersepsi
dengan inti pokok membangkitkan motivasi dan memberi kesiapan psikologis agar
siswa siap dan senang belajar matematika. Model pembelajaran yang lainnya juga dapat
dikembangkan misalnya model kegiatan penelitian. Model ini memberi kesempatan
kepada siswa untuk melakukan penelitian menyelidiki sifat-sifat matematika dengan
dibantu LKS (Lembar kerja Siswa). Terdapat prosedur penelitian dimana guru
mengembangkan skema pembelajaran untuk pencapaian hasil penelitian. Para siswa
mempunyai kesempatan bekerja bersama atau berkolaborasi dan diskusi secara
terbukadan bersama-sama memecahkan masalah matematika. Tahap selanjutnya siswa
secara mandiri atau bersama-sama mengumpulkan data, melakukan percobaan,
menyusun data menganalisis dan menjelaskan kepada teman lain atau kepada guru.
Model-model yang lain dapat dikembangkan guru misalnya model pembelajaran
laboratorium, metode diskusi, metode pemberian tugas, dsb.
Penelitian tindakan kelas (PTK) di satu sisi dapat digunakan oleh guru untuk
mengembangkan dan menyempurnakan model-model pembelajaran dengan cara
memperoleh masukan langsung dari persoalan yang muncul dalam kelas pembelajaran
matematika. PTK lebih bermanfaat untuk meningkatkan profesi guru dan waktu
pelaksanaannya relatif cepat dibanding dengan penelitian konvensional; dan
memanfaatkan teknologi informasi untuk mengenbangkan diri. Penelitian kelas
bertujuan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Penelitian kelas dapat dilakukan
menggunakan studi kasus atau lebih memfokuskan dan merefleksikan siatuasi
pembelajaran oleh guru yang sudah berpengalaman. Dalam penelitian ini, guru sebagai
seorang peneliti, terlibat dalam aktivitas kelas dalam refleksi gaya mengajarnya.
Namun, secara rinci terdapat beberapa penekanan yang berbeda dalam tujuan
peneltitian kelas yang berbeda. Seorang guru peneliti dapat melakukan penelitian kelas
untuk menganalisis dan meningkatkan aspek gaya mengajarnya. Guru lain dapat
melakukannya untuk mempelajari ketrampilan mengajar tertentu untuk siswa dengan
kemampuan tertentu. Guru yang lainnya lagi dapat menyelidiki aspek penggunaan
model-model pembelajaran. Terdapat pandangan bahwa guru yang bersifat terbuka
cenderung lebih mudah menerima pembaharuan; guru yang bersifat terbuka lebih
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
110
PM – 9 : Kegiatan Penelitian Sebagi Usaha.... Marsigit
mudah menerima saran/kritik; guru yang bersifat terbuka lebih mudah melakukan
penelitian; guru yang bersifat terbuka lebih mampu merefleksikan gaya mengajarnya;
guru yang bersifat terbuka lebih toleran terhadap siswa dan koleganya; kegiatan
penelitian melatih guru bersifat terbuka. Dengan demikian apa yang diharapkan oleh
Kemmis dan McTaggart dalam Hopkins, (1993) akan bisa terwujud yaitu bagaimana
guru melaksanakan PTK seperti skema berikut:
Perencanaan Tindakan Revisi Perencanaan Tindakan Refleksi Observasi Refleksi Observasi
Di dalam penelitian tindakan kelas guru dapat melakukan identifikasi masalah;
klarifikasi masalah; identifikasi konteks; penjelasan fakta; menetapkan langkah-
langkah; dan mengembangkan langkah-langkah. Penelitian kelas tidak harus dimulai
dengan merumuskan masalah. Yang diperlukan adalah sikap guru peneliti yang merasa
perlu mengadakan perbaikkan. Pengembangan fokus dapat dilakukan dengan menjawab
pertanyaan-pertanyaan : Apa yang terjadi sekarang di dalam pembelajaran
matematika? Pada aspek mana pada pembelajaran matematika saya merasa terdapat
masalah ? Apa yang dapat saya lakukan terhadapnya permasalahan tersebut ? Secara
lebih khusus, di dalam kegiatan penelitia pendidikan atau secara khusus penelitian kelas
dapat dimulai dari pernyataan-pernyataan berikut : saya ingin memperbaiki tentang ....;
beberapa rekan guru menyoroti tentang ...; apa yang dapat saya lakukan untuk merubah
situasi ?; saya merasa terganngu oleh ...; saya mempunyai gagasan untuk mencobanya
di kelas; bagaimana ketrampilan ini ... diterapkan di.... kepada ...?; dst. Adapun terhadap
subyek belajar matematika, fokus dapat diarahkan dengan menjawab pertanyaan-
pertanyaan : apa yang telah dan sedang dikerjakan siswa ? apa yang telah mereka
palajari ? seberapa manfaatkah yang telah mereka pelajari ? apa yang telah saya lakukan
untuk mereka ? apa yang telah saya pelajari dan saya persiapkan untuk mereka ? apa
yang akan saya lakukan sekarang ?
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
111
PM – 9 : Kegiatan Penelitian Sebagi Usaha.... Marsigit
Profesi mempunyai pengertian seseorang yang menekuni pekerjaan berdasarkan
keahlian, kemampuan, teknik, dan prosedur berlandaskan inteltualitas (Volmer & Mills,
1966, Cully, 1969) di Depdiknas. Profesi sebagai spesialisasi dari jabatan intelektual
yang diperoleh melalui studi dan training, bertujuan menciptakan ketrampilan,
pekerjaan yang bernilai tinggi, sehingga ketrampilan dan pekerjaan itu diminati,
disenangi oleh orang lain, dan dia dapat melakukan pekerjaan itu dengan mendapat
imbalan berupa bayaran, upah, dan gaji (Sagala, 2000). Di dalam kelas guru berperan
sebagai komunikator dan guru sebagai fasilitator memiliki peran memfasilitasi siswa
untuk belajar secara maksimal dengan menggunakan berbagai strategi/metode, media,
dan sumber belajar. Dalam proses pembelajaran siswa sebagai titik sentral belajar, siswa
yang lebih aktif, mencari dan memecahkan permasalahan belajar, dan guru membantu
kesulitam siswa yang mendapat hambatan, kesulitan dalam memahami, dan memcahkan
permasalahan. Kompetensi profesi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi
kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Kompetensi pedagogik
guru meliputi menguasai karakteristik peserta didik dan aspek fisik, moral, spiritual,
sosial, kultural, emosional, dan intelektual; menguasai teori belajar dan priinsip-prinsip
pembelajaran yang mendidik; mengembangkan kurikulum yang terkait dengan mata
pelajaran yang diampu; menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik;
memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan pembelajaran;
memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai
potensi yang dimiliki; berkomunikasi secara efektif, emperik, dan santun dengan peserta
didik; menyelenggarakan penilaian dan evaluasi, proses dan hasil belajar;
memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran; dan
melakukan tindakan reflektif untuk kepentingan kualitas pebelajaran.
Adapun kompetensi kepribadian guru meliputi: bertindak sesuai dengan norma
agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional Indonesia; menampilkan diri sebagai
pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat;
menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa;
menunjukkan etos keja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru, dan
rasa percaya diri; dan menjunjung tingi profesi guru. Sedangkan kompetensi sosial
meliputi aspek: bersikap inklusif, bertindak obyektif, serta tidak diskrimintif, karena
pertimbangan jenis kelamin, agama, ras, kondoisi fisdik, latar belakang keluarga, dan
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
112
PM – 9 : Kegiatan Penelitian Sebagi Usaha.... Marsigit
status ekonomi; bekomunikasi secara efektif empati, dan satun dengan sesama
penddidik, tebnaga kependidikan, orang tua, dan masyarakat; beradaptasi ditempat tugas
di seluruh wilayah Indonesia yang memiliki keragaman sosial budaya; berkomunikasi
dengan komuniats profesi sendiri, dan profesi lain secara lisan dan tulisan atau bentuk
lain. Sedangkan kompetensi profesional meliputi: menguasai materi, struktur, konsep,
dan pola pikir keilmuan, yang mendukung mata pelajaran yang diampu; menguasai
standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran yang diampu;
mengembangkan materi pembelajaran yang diampu secara kreatif; mengembangkan
keprofesionalan secara berkelanjutan dengan melakukan tindakan reflektif, termasuk di
dalamnya melakukan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) untuk peningkatan
keprofesionalan (termasuk guru mata pelajaran).
Secara legal formal profesi guru dewasa ini dikembangkan dengan pemberian
Sertifikasi Bagi Guru Dalam Jabatan (Permendiknas No 18 Tahun 2007) dengan
ketentuan-ketentuan: sertifikasi guru dalam jabatan adalah proses pemberisn sertifikat
pendidik dalam jabatan; sertifikasi dapat diikuti oleh guru dalam jabatan yang telah
memliki kualifikasi akademik sarjana (S1) atau D-IV; sertifikasi bagi guru dalam
jabatan diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang menyelenggarakan program
pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh Menteri
Pendidikan Nasional; sertifikasi guru dalam jabatan dilaksanakan melalui uji
kompetensi untuk memperoleh serrtifikat pendidik; uji kompetensi dilakukan dalam
bentuk penilaian portofolio; penilaian portofolio merupakan pengakuan atas
pengalaman profesional guru dalam bentuk penilaian, terhadap kumpulan dokumen
yang dideskripsikan yang meliputi: kualifikasi akademik; pendidikan dan pelatihan;
pengalaman mengajar; perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran; penilaian dari
atasan dan pengawas; prestasi akademik; karya pengembangan profesi; keikutsertaan
dalam forum ilmiah; pengalaman organisasi dibidang kependidikan dan sosial; dan
penghargaan yang relevandenganh bidang pendidikan.Berdasarkan hal-hal tersebut di
atas maka pengembangan profesionalisme guru diarahkan untuk penguatan kompetensi
guru berdasarkan standar kompetensi guru, (pedagogik, kepribadian, sosial, dan
profesional). Cara pengembangan profesi dapat dilakukan melalui (antara lain): forum
MGMP; semnar/workshop; penerbitan majalah ilmiah; lesson study; pelatihan; studi
lanjut. Keempat kompetensi tersebut (pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional)
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
113
PM – 9 : Kegiatan Penelitian Sebagi Usaha.... Marsigit
perlu dilakukan secara terus-menerus atau berkelanjutan agar profesionelisme guru terus
meningkat.
VII. Kesimpulan dan Saran
Jika kita para guru menghendaki pembaharuan pendidikan matematika maka
penelitian pendidikan matematika akan menjadi suatu kebutuhan. Selain dari aspek
legal formal maka kegiatan penelitian pendidikan matematika baik oleh guru, dosen
maupun oleh calon guru akan memberi banyak manfaat. Dengan penelitian pendidikan
matematika kita dapat mengetahui adanya perbedaan individu atau kelompok di dalam
mempelajarai matematika, kita dapat menentukan kedudukan siswa dalam kelompok,
dapat membandingkan hasil belajar antar kelompok. Kita juga dapat melakukan
pemeriksaan kesesuaian antara tujuan dan hasil hasil belajar; apakah standar kompetensi
atau kompetensi dasar telah dicapai? Hasil-hasil penelitian dapat digunakan untuk
penyempurnaan program, bimbingan, pemberian informasi kepada masyarakat.
Disamping itu kita juga dapat melakukan perbandingan antara performance dan kriteria
untuk setiap dimensi program serta penyempurnaan program dan penyimpulan hasil
pendidikan matematika secara keseluruhan. Selanjutnya kita dapat melakukan studi
tentang pelaksanaan program, pengaruh lingkungan belajar, pengaruh program,
kurikulum atau silabus terhadap hasil belajar; dan pada akhirnya digunakan untuk
penyempurnaan program pendidikan matematika secara keseluruhan.
Dari paparan di muka tidak berlebihan kiranya kepada para guru diberikan suatu
masukkan sebagai saran agar kegiatan penelitian pendidikan selalu melekat dengan
kegiatan pembelajaran matematika. Secara lebih spesifik, sebelum pembelajaran
matematika diselenggarakan maka seyogyanya guru melakukan hal-hal sebagai berikut
sebagai langkah persiapan:
Merencanakan lingkungan belajar matematika
− menentukan sumber ajar yang diperlukan
− merencanakan kegiatan yang bersifat fleksibel
− merencakan lingkungan fisik pembelajaran matematika.
− melibatkan siswa dalam menciptakan lingkungan belajar matematika.
Mengembangkan lingkungan sosial siswa
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
114
PM – 9 : Kegiatan Penelitian Sebagi Usaha.... Marsigit
− merencanakan kegiatan untuk bekerja sama.
− mendorong siswa saling menghargai.
− menelusuri perasaan siswa tentang matematika
− mengembangkan model-model matematika.
Merencanakan kegiatan matematika
− merencanakan kegiatan matematika yang seimbang dalam hal : materi,
waktu, kesulitan, aktivitas, dsb.
− merencanakan kegiatan matematika yang terbuka (open-ended)
− merencanakan kegiatan sesuai kemampuan siswa.
− mengembangkan topik matematika.
− membangun mental matematika.
− kapan dan bilamana membantu siswa ?
− menggunakan berbagai sumbar ajar (buku yang bervariasi).
Daftar Pustaka: Elliot, J., 1991, Action Research for Educational Change, Philadelpia : Open University Press. Grouws, D.A, 1992, Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning, New York : Macmillan Publishing Company. Marsigit, 1996, Investigating Good Practice in Primary Mathematics Education: Case-
Studie and Survey of Indonesian Styles of Primary Mathematics Teaching, London : University of London.
Nasution, S, 1992, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Bandung: Tarsito. Suryabrata, S, 1988, Metodologi Penelitian, Jakarta : CV. Rajawali Weil, M dan Joice B, 1978, Social Models of Teaching, New jersey : Prentice Hall
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
115
PM – 10 : Analisis Pembelajaran Muhamad Sabirin
Analisis Pembelajaran Mata Kuliah Semester I Jurusan Tadris Matematika Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari Banjarmasin
Oleh:
Muhamad Sabirin Email: [email protected]
Abstrak
Pengontrolan kualitas terhadap proses pembelajaran dalam sebuah lembaga pendidikan perlu dilakukan. Tujuan utamanya adalah untuk mengetahui apakah kualitasnya masih sesuai dengan standar yang telah ditetapkan, sehingga apabila masih terdapat kekurangan dapat dilakukan perbaikan. Dalam tulisan ini diberikan sebuah cara yang dapat dilakukan untuk mengontrol proses pembelajaran. Kata Kunci: Pengontrolan kualitas, proses pembelajaran.
A. PENDAHULUAN
Pengontrolan kualitas adalah sebuah hal yang sangat penting dilakukan, jika kita
tidak ingin kalah bersaing dengan orang lain dalam menghasilkan produk yang sejenis
dengan yang kita hasilkan. Kualitas produk ini tidak lain adalah kualitas proses yang
dilakukan dalam rangka menghasilkan produk tersebut. Proses yang dilakukan harus
senantiasa dikontrol, agar kualitas produk tidak berubah dari standar yang telah
ditetapkan.
Dalam dunia akademik juga sangat perlu dilakukan pengontrolan kualitas, agar
output yang dihasilkan benar-benar sesuai standar yang diinginkan dan mampu bersaing
dalam dunia global. Faktor yang paling dominan dan esensial salah satunya adalah
pengontrolan terhadap proses pembelajaran atau perkuliahan.
Beberapa hal yang menjadikan pengontrolan terhadap proses pembelajaran ini
penting adalah:
- untuk mengetahui apakah proses perkuliahan telah berjalan sesuai dengan standar
yang dirancang sebelumnya (kurikulum).
- untuk mengetahui apakah bahan-bahan yang diberikan selama perkuliahan telah
terserap baik sesuai dengan tujuan dan sasarannya.
- Untuk mengetahui bagaimana keterkaitan antar mata kuliah, sehingga dapat
dijadikan bahan pertimbangan dalam pengambilan berbagai kebijakan yang relevan.
- Sebagai bahan acuan bagi pengembangan kurikulum.
Dari uraian di atas dapat kita lihat bagaimana pentingnya pengontrolan terhadap
sebuah proses pembelajaran, agar hasilnya sesuai dengan tujuan yang diinginkan.
Dalam makalah ini disajikan sebuah cara yang dapat dilakukan untuk melakukan
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
116
PM – 10 : Analisis Pembelajaran Muhamad Sabirin
kontrol terhadap proses pembelajaran/perkuliahan. Data yang digunakan di sini adalah
data nilai mahasiswa jurusan Tadris Matematika Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari
Banjarmasin pada semester I tahun 2006.
Data nilai mahasiswa semester I tahun 2006 terdiri dari 8 mata kuliah yang
diberikan secara paket oleh pihak jurusan. Mata kuliah tersebut adalah:
1. Kalkulus A (Kalk A), dinotasikan dengan X1.
2. Pengantar Dasar Matematika (PDM), dinotasikan dengan X2.
3. Teori Bilangan (TBil), dinotasikan dengan X3.
4. Pancasila (Panc), dinotasikan dengan X4.
5. Ulumul Qur’an (Ul-Qur), dinotasikan dengan X5.
6. Ulumul Hadits, dinotasikan dengan X6.
7. Bahasa Arab A (B-Arb A), dinotasikan dengan X7.
8. Bahasa Arab B (B-Arb B), dinotasikan dengan X8.
Jumlah mahasiswa angkatan 2006 seluruhnya sebanyak 34 mahasiswa., tetapi
yang memenuhi syarat (nilai yang lengkap untuk seluruh mata kuliah) hanya sebanyak
26 mahasiswa.
Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui
bagaimana hubungan dan keterkaitan sebuah mata kuliah dengan mata kuliah yang
lainnya yang diambil pada waktu bersamaan oleh mahasiswa. Secara khusus 8 mata
kuliah tersebut akan dibagi dalam 2 kelompok, yakni kelompok matematika (Kalkulus
A, Teori Bilangan, PDM) dan kelompok non matematika (Pancasila, Ulumul Qur’an,
Ulumul Hadits, Bahasa Arab A, dan Bahasa Arab B).
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana hubungan dan
keterkaitan sebuah mata kuliah dengan mata kuliah yang lainnya sehingga dapat
dijadikan sebagai masukan untuk mengontrol proses pembelajaran di perguruan tinggi.
Secara lebih khusus ingin diketahui:
1. Mata kuliah apa yang paling predictable jika ditinjau dari seluruh mata kuliah yang
ada.
2. Mata kuliah apa dalam kelompok matematika yang paling predictable.
3. Mata kuliah apa dalam kelompok non matematika yang paling predictable.
4. Bagaimana persamaan regresi dari mata kuliah tersebut yang layak untuk digunakan
sebagai prediksi.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
117
PM – 10 : Analisis Pembelajaran Muhamad Sabirin
B. METODE ANALISIS DATA Data diperoleh dari arsip akademik Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari
Banjarmasin, melalui kiriman seorang staf jurusan via paket TIKI berupa data mentah (di Fakultas belum ada database). Dengan menggunakan Microsoft Excel selanjutnya data diolah dengan tahapan sebagai berikut.
- Menghitung mean dan variansi dari setiap mata kuliah. - Menghitung matriks varians bersama (S) - Menghitung Determinan dari matriks (S), yakni Det(S) - Menghitung Invers matriks (S), yakni Inv(S) - Menghitung Determinan dari invers matriks (S), yakni Det [Inv(S)] - Menghitung matriks Korelasi bersama (R) - Menghitung Determinan Matriks (R), yakni Det(R). - Menghitung Invers matriks (R), yakni Inv(R) - Menghitung Determinan dari invers matriks (R), yakni Det [Inv(R)]
Langkah selanjutnya adalah melihat hubungan antar setiap mata kuliah dengan mata kuliah lainnya secara keseluruhan. Kemudian juga akan dilihat bagaimana hubungan mata kuliah tersebut dalam kelompok matematika dan non matematika. C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Analisis Seluruh Variabel 1.1 Analisis Matriks Variansi (S)
Matriks variansi dari 8 mata kuliah disajikan dalam tabel 1. Variansi sampel dapat dilihat sepanjang diagonal utama dari matriks (S), sedangkan pada sel lainnya (off diagonal) berisi kovariansi antara variabel. Karena matriks (S) simetris maka yang ditampilkan hanya matriks segitiga bawah saja. Tabel 1. Matriks variansi sampel
Kalk A 90.36PDM 32.90 73.03
Tbil 45.32 49.83 80.88Panc 5.40 6.78 4.61 8.82
Ul-Qur 4.90 5.29 12.08 7.81 13.86Ul-Had 24.76 17.00 16.99 9.20 6.84 33.81
B-Arb A 17.20 -4.24 8.76 -1.93 -4.77 -1.37 49.59B-Arb B 15.34 -1.57 13.54 -2.18 -4.12 -1.54 43.26 45.44Means 64.42 60.95 63.25 79.67 77.54 73.07 78.55 78.08
Kalk A PDM Tbil Panc Ul-Qur Ul-Had B-Arb A B-Arb B
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
118
PM – 10 : Analisis Pembelajaran Muhamad Sabirin
Dari matriks variansi (S) diatas menunjukkan bahwa variansi dari setiap mata
kuliah berbeda. Secara umum, nilai rata-rata tertinggi (79,67) dan variansi terkecil
(8,82) ada pada mata kuliah Pancasila. Pada kelompok mata kuliah matematika
(Kalkulus A, Pengantar Dasar Matematika & Teori Bilangan) nilai rata-rata tertinggi
ada pada mata kuliah Kalkulus A (64,42), tetapi nilai variansi terbesar (90,36), baik
dalam kelompok matematika maupun secara keseluruhan. Meskipun demikian
perbedaan dengan dua mata kuliah lainnya yakni Pengantar Dasar Matematika dan
Teori Bilangan tidak terlalu jauh.
Idealnya melalui proses pembelajaran yang baik diharapkan diperoleh nilai mata
kuliah dengan rata-rata yang tinggi dengan variansi yang kecil. Dengan beracuan pada
kriteria ini, maka secara umum dari data diatas mata kuliah Pancasila memenuhi kriteria
ini.
1.2 Analisis Matriks Korelasi (R)
Matriks korelasi diperoleh dari matriks variansi dengan membuat sedemikian
sehingga seluruh diagonal utamanya sama dengan 1.
Matriks Korelasi dari 8 mata kuliah disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 2. Matriks Korelasi
Kalk A 1PDM 0.41 1
Tbil 0.53 0.65 1Panc 0.19 0.27 0.17 1
Ul-Qur 0.14 0.17 0.36 0.71 1Ul-Had 0.45 0.34 0.32 0.53 0.32 1
B-Arb A 0.26 -0.07 0.14 -0.09 -0.18 -0.03 1B-Arb B 0.24 -0.03 0.22 -0.11 -0.16 -0.04 0.91 1
Kalk A PDM Tbil Panc Ul-Qur Ul-Had B-Arb A B-Arb B Range nilai bervariasi dari yang paling rendah –0,18 antara Bahasa Arab A dengan
Ulumul Qur’an sampai yang paling tinggi 0,91 antara Bahasa Arab A dengan Bahasa
Arab B. Dalam kelompok mata kuliah matematika korelasi yang tertinggi sebesar 0,65
antara mata kuliah Teori Bilangan dengan Pengantar Dasar Matematika, sedangkan
yang terendah sebesar 0,41 antara Kalkulus A dan Pengantar Dasar Matematika. Hal
yang menarik yang dapat dilihat adalah mata kuliah Ulumul Hadits relatif memiliki
korelasi yang cukup tinggi dengan seluruh variabel lainnya, kecuali dengan Bahasa
Arab A dan Bahasa Arab B.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
119
PM – 10 : Analisis Pembelajaran Muhamad Sabirin
1.3 Analisis Invers Matriks Korelasi
Invers Matriks korelasi disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 3. Invers Matriks Korelasi
Kalk A 1.74PDM -0.12 2.28
Tbil -0.70 -1.76 3.22Panc -0.02 -1.01 1.38 3.22
Ul-Qur 0.16 1.06 -1.74 -2.34 3.06Ul-Had -0.56 0.07 -0.34 -1.09 0.44 1.79
B-Arb A -0.66 0.20 0.55 -0.29 0.24 0.11 6.37B-Arb B 0.34 0.36 -1.25 -0.14 0.42 0.13 -5.75 6.51
Kalk A PDM Tbil Panc Ul-Qur Ul-Had B-Arb A B-Arb B Setiap elemen diagonal utama dari invers matriks korelasi berhubungan dengan
proporsi variasi dari suatu variabel yang dapat dijelaskan oleh seluruh variabel sisanya.
Secara lebih eksplisit dapat dinyatakan bahwa setiap elemen diagonal sama dengan
, dimana R adalah koefisien korelasi multiple suatu variabel dengan variabel
sisanya.
)1/(1 2R−
Dari data diatas, dapat kita lihat bahwa proporsi variasi dari mata kuliah
Kalkulus A dapat yang dijelaskan oleh seluruh variabel sisanya adalah
, sedangkan Proporsi variasi dari mata
kuliah Bahasa Arab B dapat yang dijelaskan oleh seluruh variabel sisanya adalah
. Proporsi variasi untuk seluruh variabel
disajikan dalam tabel berikut.
%5.4274.1/)174.1(sisa) ;AKalk (2 =−=R
%6.8451.6/)1.516(sisa) ;B Arab-B(2 =−=R
Tabel 4.Proporsi variasi setiap variabel yang dijelaskan oleh variabel sisanya.
M-Kuliah Kalk A PDM Tbil Panc Ul-Qur Ul-Had B-Arb A B-Arb BR2 0.425 0.562 0.689 0.690 0.673 0.442 0.843 0.846
Dari seluruh data ini dapat kita simpulkan bahwa variabel yang paling
predictable adalah nilai mata kuliah Bahasa Arab B, sedangkan mata kuliah Kalkulus A
yang paling tidak predictable.
Dari sini kita bisa membuat persamaan regresi untuk masing-masing mata kuliah
yang kita inginkan. Sebagai contoh, persamaan regresi untuk nilai mata kuliah Bahasa
Arab B (Y = X8) adalah:
arbABUlHadUlQurPancTBilPDMKalkAY
'85.002.012.005.014.004.004.055.14ˆ
+−−++−−= ……….(1)
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
120
PM – 10 : Analisis Pembelajaran Muhamad Sabirin
Dari persamaan diatas terlihat bahwa variabel yang paling berpengaruh adalah Bahasa
Arab A.
1.4 Analisis Scaled Invers Matriks Korelasi.
Tabel 5. Scaled Invers Matriks Korelasi
Kalk A 1PDM -0.06 1
Tbil -0.30 -0.65 1Panc -0.01 -0.37 0.43 1
Ul-Qur 0.07 0.40 -0.56 -0.74 1Ul-Had -0.32 0.03 -0.14 -0.45 0.19 1
B-Arb A -0.20 0.05 0.12 -0.06 0.06 0.03 1B-Arb B 0.10 0.09 -0.27 -0.03 0.09 0.04 -0.89 1
Kalk A PDM Tbil Panc Ul-Qur Ul-Had B-Arb A B-Arb B Elemen-elemen off diagonal dari Scaled Invers Matriks Korelasi adalah negatif
dari koefisien korelasi parsial antara pasangan variabel terhadap (bersyarat/given)
variabel sisanya.
Dari data diatas, dapat terlihat bahwa Koefisien korelasi parsial terbesar adalah
0,89 yakni antara Bahasa Arab A dengan Bahasa Arab B. Dalam kelompok matematika
korelasi parsial terbesar adalah antara Teori Bilangan dan PDM sebesar 0,65. Hal yang
menarik yang perlu menjadi perhatian adalah rendahnya korelasi parsial antara Kalkulus
A dengan PDM yang hanya sebesar 0,06.
1.5 Analisis Aproksimasi Scaled Invers Matriks Korelasi.
Dari Scaled Invers Matriks Korelasi kita buat aproksimasi matriksnya untuk
memudahkan menginterpretasi hubungan antara variabelnya. Tanda * menunjukkan
entri yang tak nol (non-zero entries) dari matriks tersebut.
Tabel 6. Aproksimasi Scaled Invers Matriks Korelasi
Kalk A *PDM 0 *
Tbil * * *Panc 0 * * *
Ul-Qur 0 * * * *Ul-Had * 0 * * * *
B-Arb A * 0 * 0 0 0 *B-Arb B * 0 * 0 0 0 * *
Kalk A PDM Tbil Panc Ul-Qur Ul-Had B-Arb A B-Arb B
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
121
PM – 10 : Analisis Pembelajaran Muhamad Sabirin
Dari tabel diatas dapat kita bahwa PDM dan Kalkulus A independent
conditional atas variabel sisanya (ditunjukkan oleh entri yang bernilai nol). Indikasi ini
sudah dapat terlihat dari rendahnya nilai korelasi parsial keduanya pada analisis
sebelumnya yakni sebesar 0,06. Demikian pula antara Kalkulus A dan Pancasila,
Kalkulus A dan Ulumul Qur’an, dan seterusnya. Dari sini kita dapat membuat sebuah
graph yang memudahkan untuk menginterpretasikan hubungan-hubungan yang ada.
TBil
PDM
UQ
KalUH
Pan
BaA
BaB
Gambar 1. Graph independent dari nilai mata kuliah keseluruhan
Beberapa kesimpulan yang dapat kita buat berdasarkan informasi graph diatas
antara lain adalah:
- Kita dapat mereduksi objek 8 dimensi diatas menjadi dua kelompok yang lebih
sederhana, yakni kelompok (Ulumul Hadits, Ulumul Qur’an, Pancasila, PDM dan
Teori Bilangan) dan Kelompok (teori Bilangan, Kalkulus, Bahasa Arab A dan
Bahasa Arab B).
- Secara umum Teori Bilangan sangat krusial dalam menganalisis interrelasi antara
mata kuliah yang lainnya.
- Mata kuliah Teori Bilangan, PDM, Ulumul Qur’an dan Ulumul Hadits sudah cukup
untuk memprediksi Pancasila; dan Mata kuliah Teori Bilangan, Kalkulus dan
Bahasa Arab A sudah cukup untuk memprediksi Bahasa Arab B, tetapi seluruh nilai
mata kuliah dibutuhkan untuk memprediksi Teori Bilangan.
Berdasarkan kesimpulan ini kita juga dapat membuat persamaan regresi untuk
masing-masing kelompok tersebut sebagai berikut:
UlHadUlQurTBilPDMPancY 17.055.012.009.043.26)(ˆ ++−+= ……(2)
Nilai R-square dari persamaan regresi tersebut adalah 0,675. Jika kita
bandingkan dengan nilai R-square Pancasila pada tabel 4 sebesar 0,690, maka terlihat
bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan. Sehingga akan lebih efektif jika kita
menggunakan persamaan regresi (2) untuk memprediksi Pancasila, dimana kita hanya
memerlukan empat variabel untuk keperluan tersebut.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
122
PM – 10 : Analisis Pembelajaran Muhamad Sabirin
Persamaan regresi lainnya adalah :
arB'27.0a'52.052.044.009.21)(ˆ BrbABUlHadTBilKalY −+++−= ……...(3)
……………………...(4)
……………..….(5)
UlQurPancTBilPDMY 89.020.168.077.8)(ˆ −++−=
arbBBarbABUlHadUlQurPancPDMKalkATBilY
'52.0'22.016.031.130.157.021.062.18)(ˆ
+−++−++−=
UlHadPancTBilPDMUlQurY 10.099.019.013.079.1)(ˆ −++−= …….......(6)
UlQurPancTBilKalkUlHadY 30.015.109.018.067.12)(ˆ −+++−= ……….(7)
arB'95.009.075.011.5)arA'(ˆ BTBilKalkBY +−+= ………………………..(8)
…………………...(9) ArbABTBilKalkArbBBY _87.010.005.037.6)'(ˆ ++−=
Nilai R-square persamaan regresi tersebut disajikan dalam tabel berikut:
Tabel 7. Nilai R-square persamaan regresi seluruh mata kuliah.
M-Kuliah Kalk A PDM Tbil Panc Ul-Qur Ul-Had B-Arb A B-Arb BR2 0.416 0.511 0.689 0.675 0.626 0.427 0.842 0.843 Jika kita bandingkan dengan nilai R-square pada tabel diatas dengan nilai R-
square pada tabel 4., maka terlihat bahwa juga tidak ada perbedaan yang signifikan.
Sehingga akan lebih efektif jika kita menggunakan persamaan regresi (2) s/d (9),
dimana kita hanya memerlukan lebih sedikit variabel saja untuk memprediksinya.
2. Analisis Kelompok Mata Kuliah Matematika
Sebagaimana yang disebutkan sebelumnya bahwa mata kuliah yang dimasukkan dalam
kelompok ini adalah: Kalkulus A, Pengantar Dasar Matematika dan Teori Bilangan.
2.1 Analisis Matriks Variansi (S)
Matriks variansi dari 3 mata kuliah disajikan dalam tabel 7 berikut.
Tabel 8. Matriks variansi sampel
Kalk A 90.36PDM 32.90 73.03
Tbil 45.32 49.83 80.88Means 64.42 60.95 63.25
Kalk A PDM Tbil Dari matriks variansi (S) diatas menunjukkan bahwa variansi dari setiap mata
kuliah berbeda. Secara umum, nilai rata-rata tertinggi ada pada mata kuliah Kalkulus A
(64,42), tetapi nilai variansi terbesar (90,36),
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
123
PM – 10 : Analisis Pembelajaran Muhamad Sabirin
Idealnya melalui proses pembelajaran yang baik diharapkan diperoleh nilai mata
kuliah dengan rata-rata yang tinggi dengan variansi yang kecil. Dengan beracuan pada
kriteria ini, maka secara umum ketiga mata kuliah diatas performancenya kurang lebih
sama.
2.2 Analisis Matriks Korelasi (R)
Matriks korelasi diperoleh dari matriks variansi dengan membuat sedemikian
sehingga seluruh diagonal utamanya sama dengan 1.
Matriks Korelasi dari 3 mata kuliah matematika disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 9. Matriks Korelasi
Kalk A 1PDM 0.41 1
Tbil 0.53 0.65 1Kalk A PDM Tbil
Korelasi yang tertinggi sebesar 0,65 antara mata kuliah Teori Bilangan dengan
Pengantar Dasar Matematika, sedangkan yang terendah sebesar 0,41 antara Kalkulus A
dan Pengantar Dasar Matematika.
2.3 Analisis Invers Matriks Korelasi
Invers Matriks korelasi disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 10. Invers Matriks Korelasi
Kalk A 1.40PDM -0.15 1.74
Tbil -0.65 -1.05 2.02Kalk A PDM Tbil
Setiap elemen diagonal utama dari invers matriks korelasi berhubungan dengan
proporsi variasi dari suatu variabel yang dapat dijelaskan oleh seluruh variabel sisanya.
Secara lebih eksplisit dapat dinyatakan bahwa setiap elemen diagonal sama dengan
, dimana R adalah koefisien korelasi multiple suatu variabel dengan variabel
sisanya.
)1/(1 2R−
Dari data diatas, dapat kita lihat bahwa proporsi variasi dari mata kuliah
Kalkulus A dapat yang dijelaskan oleh seluruh variabel sisanya adalah
. Proporsi variasi untuk seluruh variabel
disajikan dalam tabel berikut.
%6.2840.1/)140.1(sisa) ;AKalk (2 =−=R
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
124
PM – 10 : Analisis Pembelajaran Muhamad Sabirin
Tabel 11.Proporsi variasi tiap variabel yang dijelaskan oleh variabel sisanya.
M-Kuliah Kalk A PDM TbilR2 0.286 0.425 0.505
Dari data ini dapat kita simpulkan bahwa variabel yang paling predictable
adalah nilai mata kuliah Teori Bilangan, sedangkan mata kuliah Kalkulus A yang paling
tidak predictable.
Persamaan regresi dan nilai untuk ketiga mata kuliah tersebut adalah
PDMKalkATBilY 54.030.047.10)(ˆ ++= ……….(10)
TBilKalkAPDMY 57.008.077.19)(ˆ ++= ……….(11)
TBilPDMKalkAY 49.012.039.26)(ˆ ++= ……….(12)
Dari persamaan diatas terlihat bahwa Teori Bilangan sangat baik diprediksi oleh
Kalkulus A dan PDM, dimana koefisien masing-masingnya cukup besar jika
dibandingkan dengan persamaan lainnya.
2.4 Analisis Scaled Invers Matriks Korelasi.
Tabel 12. Scaled Invers Matriks Korelasi
Kalk A 1PDM -0.095 1
Tbil -0.384 -0.559 1Kalk A PDM Tbil
Elemen-elemen off diagonal dari Scaled Invers Matriks Korelasi adalah negatif
dari koefisien korelasi parsial antara pasangan variabel terhadap (bersyarat/given)
variabel sisanya.
Dari data diatas, dapat terlihat bahwa Koefisien korelasi parsial terbesar adalah
0,559 yakni antara Teori Bilangan dan PDM. Sebaliknya korelasi parsial antara
Kalkulus A dengan PDM hanya sebesar 0,095, sedangkan korelasi parsial antara
Kalkulus A dan Teori Bilangan sebesar 0,384.
2.5 Analisis Aproksimasi Scaled Invers Matriks Korelasi.
Dari Scaled Invers Matriks Korelasi kita buat aproksimasi matriksnya untuk
memudahkan menginterpretasi hubungan antara variabelnya. Tanda * menunjukkan
entri yang tak nol (non-zero entries) dari matriks tersebut.
Tabel 13. Aproksimasi Scaled Invers Matriks Korelasi
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
125
PM – 10 : Analisis Pembelajaran Muhamad Sabirin
Kalk A *PDM 0 *
Tbil * * *Kalk A PDM Tbil
Dari tabel diatas dapat kita bahwa PDM dan Kalkulus A independent
conditional atas variabel sisanya (ditunjukkan oleh entri yang bernilai nol). Indikasi ini
sudah dapat terlihat dari rendahnya nilai korelasi parsial keduanya pada analisis
sebelumnya yakni sebesar 0,095. Dari sini kita dapat membuat sebuah graph
independent yang memudahkan untuk menginterpretasikan hubungan-hubungan yang
ada.
TBil
Kal
PDM
Gambar 2. Graph independent dari kelompok mata kuliah matematika
Beberapa kesimpulan yang dapat kita buat berdasarkan informasi graph diatas antara
lain adalah:
- Kita dapat mereduksi objek 3 dimensi diatas menjadi objek 2 dimensi lebih
sederhana, yakni kelompok (Teori Bilangan, PDM) dan Kelompok (Teori Bilangan,
Kalkulus A).
- Secara umum Teori Bilangan sangat krusial dalam menganalisis interrelasi antara
mata kuliah yang lainnya.
- Mata kuliah Teori Bilangan sudah cukup untuk memprediksi Kalkulus dan dan juga
PDM, tetapi keduanya dibutuhkan untuk memprediksi Teori Bilangan.
Berdasarkan kesimpulan ini kita dapat membuat persamaan regresi untuk
masing-masing kelompok tersebut. Persamaan regresi untuk PDM adalah:
TBilPDMY 62.099.21)(ˆ += ……(13)
Nilai R-square dari persamaan regresi tersebut adalah 0,42. Jika kita bandingkan dengan
nilai R-square Pancasila pada tabel 11 sebesar 0,425, maka terlihat bahwa tidak ada
perbedaan yang signifikan. Sehingga akan lebih efektif jika kita menggunakan
persamaan regresi (13) untuk memprediksi PDM, dimana kita hanya sebuah variabel
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
126
PM – 10 : Analisis Pembelajaran Muhamad Sabirin
untuk keperluan tersebut. Hal ini juga ditunjukkan dari meningkatnya koefisien
persamaan regresi dari 0,57 pada persamaan (11) menjadi 0,62 pada persamaan (13).
Persamaan regresi untuk Kalkulus A adalah :
TBilKalkY 56.099.28)(ˆ += ………..(14)
Nilai R-square dari persamaan regresi tersebut adalah 0,281. Jika kita bandingkan
dengan nilai R-square Kalkulus A pada tabel 11 sebesar 0,287, maka terlihat bahwa
juga tidak ada perbedaan yang signifikan. Sehingga akan lebih efektif jika kita
menggunakan persamaan regresi (14), dimana kita hanya memerlukan satu variabel saja
untuk memprediksinya. Hal ini juga ditunjukkan dari meningkatnya koefisien
persamaan regresi dari 0,49 pada persamaan (12) menjadi 0,56 pada persamaan (14).
3. Analisis Kelompok Mata Kuliah Non Matematika
3.1 Analisis Matriks Variansi (S)
Matriks variansi dari 5 mata kuliah dalam kelompok non matematika disajikan
dalam tabel berikut.
Tabel 14. Matriks variansi sampel
Panc 8.82Ul-Qur 7.81 13.86Ul-Had 9.20 6.84 33.81
B-Arb A -1.93 -4.77 -1.37 49.59B-Arb B -2.18 -4.12 -1.54 43.26 45.44Means 79.67 77.54 73.07 78.55 78.08
Panc Ul-Qur Ul-Had B-Arb A B-Arb B Dari matriks variansi (S) diatas menunjukkan bahwa variansi dari setiap mata
kuliah berbeda. Nilai rata-rata tertinggi (79,67) dan variansi terkecil (8,82) ada pada
mata kuliah Pancasila. Mata kuliah Bahasa Arab A rata-ratanya (78,55) tetapi
variansinya terbesar dikelompoknya yakni (49,59).
3.2 Analisis Matriks Korelasi (R)
Matriks korelasi diperoleh dari matriks variansi dengan membuat sedemikian
sehingga seluruh diagonal utamanya sama dengan 1.
Matriks Korelasi dari 8 mata kuliah disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 15. Matriks Korelasi
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
127
PM – 10 : Analisis Pembelajaran Muhamad Sabirin
Panc 1Ul-Qur 0.71 1Ul-Had 0.53 0.32 1
B-Arb A -0.09 -0.18 -0.03 1B-Arb B -0.11 -0.16 -0.04 0.91 1
Panc Ul-Qur Ul-Had B-Arb A B-Arb B Range nilai bervariasi dari yang paling rendah –0,18 antara Bahasa Arab A
dengan Ulumul Qur’an sampai yang paling tinggi 0,91 antara Bahasa Arab A dengan
Bahasa Arab B. Hal yang menarik yang dapat dilihat adalah mata kuliah Pancasila
relatif memiliki korelasi yang cukup tinggi dengan Ulumul Qur’an dan Ulumul Hadits,
tetapi tidak dengan Bahasa Arab A dan Bahasa Arab B.
3.3 Analisis Invers Matriks Korelasi
Invers Matriks korelasi disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 16. Invers Matriks Korelasi
Panc 2.56Ul-Qur -1.55 2.08Ul-Had -0.87 0.17 1.41
B-Arb A -0.38 0.45 0.05 6.00B-Arb B 0.34 -0.23 -0.05 -5.43 5.94
Panc Ul-Qur Ul-Had B-Arb A B-Arb B Setiap elemen diagonal utama dari invers matriks korelasi berhubungan dengan
proporsi variasi dari suatu variabel yang dapat dijelaskan oleh seluruh variabel sisanya.
Secara lebih eksplisit dapat dinyatakan bahwa setiap elemen diagonal sama dengan
, dimana R adalah koefisien korelasi multiple suatu variabel dengan variabel
sisanya.
)1/(1 2R−
Dari data diatas, dapat kita lihat bahwa proporsi variasi dari mata kuliah
Pancasila dapat yang dijelaskan oleh seluruh variabel sisanya adalah
.Proporsi variasi untuk seluruh variabel
disajikan dalam tabel berikut.
%9.6056.2/)156.2(sisa) ;P(2 =−=ancR
Tabel 17.Proporsi variasi tiap variabel yang dijelaskan oleh variabel sisanya.
M-Kuliah Panc Ul-Qur Ul-Had B-Arb A B-Arb BR2 0.609 0.520 0.291 0.833 0.832
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
128
PM – 10 : Analisis Pembelajaran Muhamad Sabirin
Dari seluruh data ini dapat kita simpulkan bahwa variabel yang paling
predictable adalah nilai mata kuliah Bahasa Arab A dan Bahasa Arab B, sedangkan
mata kuliah Ulumul Hadits yang paling tidak predictable.
Dari sini kita bisa membuat persamaan regresi untuk masing-masing mata kuliah
yang kita inginkan. Sebagai contoh, persamaan regresi untuk nilai mata kuliah Bahasa
Arab A (Y = X7) adalah:
arbBBUlHadUlQurPancarbABY '95.001.014.015.047.4)'(ˆ +−−+= ……(15)
Dari persamaan diatas terlihat bahwa variabel yang paling berpengaruh adalah Bahasa
Arab A, yang mana ditunjukkan oleh koefisien yang besar yakni 0,95.
Persamaan regresi untuk mata kuliah lainnya adalah sebagai berikut:
arBBarbABUlHadUlQurPancY '06.0'06.017.048.015.29)(ˆ −+++= …….(16)
arbBBarbABUlHadPancUlQurY '06.0'12.005.093.048.11)(ˆ +−−+= ……(17)
arbBBarbABUlQurPancUlHadY '03.0'03.019.021.130.9)(ˆ +−−+−= ……(18)
arbABUlHadUlQurPancarBBY '87.001.007.013.039.13)'(ˆ +++−= ……..(19)
3.4 Analisis Scaled Invers Matriks Korelasi.
Tabel 18. Scaled Invers Matriks Korelasi
Panc 1Ul-Qur -0.67 1Ul-Had -0.46 0.10 1
B-Arb A -0.10 0.13 0.02 1B-Arb B 0.09 -0.07 -0.02 -0.91 1
Panc Ul-Qur Ul-Had B-Arb A B-Arb B Elemen-elemen off diagonal dari Scaled Invers Matriks Korelasi adalah negatif
dari koefisien korelasi parsial antara pasangan variabel terhadap (bersyarat/given) variabel sisanya.
Dari data diatas, dapat terlihat bahwa Koefisien korelasi parsial terbesar adalah 0,91 yakni antara Bahasa Arab A dengan Bahasa Arab B.
3.5 Analisis Aproksimasi Scaled Invers Matriks Korelasi.
Dari Scaled Invers Matriks Korelasi kita buat aproksimasi matriksnya untuk
memudahkan menginterpretasi hubungan antara variabelnya. Tanda * menunjukkan
entri yang tak nol (non-zero entries) dari matriks tersebut.
Tabel 19. Aproksimasi Scaled Invers Matriks Korelasi
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
129
PM – 10 : Analisis Pembelajaran Muhamad Sabirin
Panc *Ul-Qur * *Ul-Had * * *
B-Arb A 0 * 0 *B-Arb B 0 0 0 * *
Panc Ul-Qur Ul-Had B-Arb A B-Arb B Dari tabel diatas dapat kita bahwa Bahasa Arab A dan Pancasila independent
conditional atas variabel sisanya (ditunjukkan oleh entri yang bernilai nol). Demikian
pula antara Bahasa Arab B dan Pancasila, dan seterusnya. Seluruhnya ada 5 entri yang
bernilai nol. Dari sini kita dapat membuat sebuah graph yang memudahkan untuk
menginterpretasikan hubungan-hubungan yang ada.
UQ
UH
BaA
Pan
BaB
Gambar 3. Graph independent dari kelompok mata kuliah non-matematika
Beberapa kesimpulan yang dapat kita buat berdasarkan informasi graph diatas
antara lain adalah:
- Kita dapat mereduksi objek 5 dimensi diatas menjadi dua objek 3 dimensi yang
lebih sederhana, yakni kelompok (Pancasila,Ulumul Hadits, Ulumul Qur’an) dan
Kelompok (Ulumul Qur’an, Bahasa Arab A & Bahasa Arab B)
- Secara umum Ulumul Qur’an sangat krusial dalam menganalisis interrelasi antara
mata kuliah yang lainnya.
- Mata kuliah Ulumul Qur’an dan Ulumul Hadits sudah cukup untuk memprediksi
Pancasila, mata kuliah Ulumul Qur’an dan Pancasila sudah cukup untuk
memprediksi Ulumul Hadits, mata kuliah Ulumul Qur’an dan Bahasa Arab B
sudah cukup untuk memprediksi Bahasa Arab A; untuk memprediksi Bahasa Arab
B cukup dengan Bahasa Arab A saja, sedangkan untuk memprediksi Ulumul Qur’an
dibutuhkan Pancasila, Ulumul Hadits dan Bahasa Arab A.
Berdasarkan kesimpulan ini kita dapat membuat persamaan regresi untuk
masing-masing kelompok tersebut. Persamaan regresi untuk Pancasila adalah:
UlHadUlQurPancY 18.048.085.29)(ˆ ++= ……….(20)
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
130
PM – 10 : Analisis Pembelajaran Muhamad Sabirin
UlHadPancUlQurY 05.094.043.6)(ˆ −+= ………...(21)
UlQurPancUlHadY 19.021.171.8)(ˆ −+−= ………..(22)
arbBBUlQurarbABY '94.006.052.9)'(ˆ +−= ………(23)
arbABarbBBY '87.056.9)'(ˆ += …………………….(24)
Nilai R-square dari persamaan-persamaan regresi tersebut disajikan dalam tabel berikut:
Tabel 20.Nilai R-square dari kelompok mata kuliah non matematika.
M-Kuliah Panc Ul-Qur Ul-Had B-Arb A B-Arb BR2 0.606 0.504 0.291 0.831 0.830
Jika kita bandingkan nilai R-square dari persamaan-persamaan regresi pada (15)
s/d (19) dan pada (20) s/d (24), maka terlihat bahwa tidak ada perbedaan yang
signifikan. Sehingga akan lebih efektif jika kita menggunakan persamaan regresi (20)
s/d (24) untuk memprediksinya, dimana kita menggunakan variabel yang jauh lebih
sedikit. Hal ini juga ditunjukkan dari relative konstannya koefisien persamaan regresi
dari variabel yang terlibat dalam persamaan tersebut.
Dari penjelasan yang dapat kita lihat dari menganalisis data dengan
menggunakan statistik multivariat dapatlah memberi gambaran bahwa begitu
pentingnya data. Dimana data dapat dijadikan landasan dalam membuat keputusan
yang tepat di kemudian hari terutama dalam rangka mengontrol dan memperbaiki
proses pembelajaran dalam sebuah sistem pendidikan.
D. KESIMPULAN
1. Secara keseluruhan dari 8 mata kuliah yang ada yang paling predictable adalah mata
kuliah Bahasa Arab B. Persamaan regresinya adalah:
arbABUlHadUlQurPancTBilPDMKalkAarbBBY
'85.002.012.005.014.004.004.055.14)'(ˆ
+−−++−−=
dengan nilai R-square sebesar 0,846.
2. Pada kelompok mata kuliah matematika yang paling predictable adalah nilai mata
kuliah Teori Bilangan Persamaan regresinya adalah:
PDMKalkATBilY 54.030.047.10)(ˆ ++=
dengan nilai R-square sebesar 0,505.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
131
PM – 10 : Analisis Pembelajaran Muhamad Sabirin
3. Pada kelompok mata kuliah non-matematika yang paling predictable adalah nilai
mata kuliah Bahasa Arab A. Persamaan regresinya adalah:
arbBBUlHadUlQurPancarbABY '95.001.014.015.047.4)'(ˆ +−−+=
dengan nilai R-square sebesar 0,833.
4. Beberapa persamaan regresi yang layak digunakan untuk memprediksi adalah:
; R-square sebesar 0,831. arbBBUlQurarbABY '94.006.052.9)'(ˆ +−=
arbABarbBBY '87.056.9)'(ˆ += dengan R-square sebesar 0,830.
PDMKalkATBilY 54.030.047.10)(ˆ ++= dengan R-square sebesar 0,505.
E. REKOMENDASI
1. Analisis lebih luas diperlukan untuk seluruh mata kuliah yang ada dalam kurikulum
jurusan tadris matematika Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari Banjarmasin.
2. Perlunya pengarsipan data baik oleh masing-masing dosen, maupun lingkup
program studi, fakultas dan Universitas, karena data sangat penting untuk melihat
bagaimana kinerja yang telah dilakukan sebagai upaya untuk mengadakan
perbaikan.
3. Bagi dosen maupun pemegang jabatan tertentu sebaiknya selalu berusaha
mengadakan kontrol terhadap kualitas proses pembelajaran dalam ruang lingkup
wewenangnya.
F. DAFTAR PUSTAKA
Whittaker, Joe. 1996. Graphical Models in Applied Multivariate Statistics. New
York: John Wiley & Sons.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
132
PM – 11: Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik... Nila Kesumawati
Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Untuk Pembelajaran Materi Himpunan
Nila Kesumawati
Dosen FKIP Pendidikan Matematika Universitas PGRI Palembang
Abstrak
Prinsip utama dalam pembelajaran matematika saat ini adalah untuk memperbaiki dan menyiapkan aktifitas-aktifitas belajar yang bermanfaat bagi siswa yang bertujuan untuk beralih dari paradigma mengajar matematika ke belajar matematika. Reformasi yang tampaknya perlu dilakukan terutama adalah pada pembuatan materi matematika yang difokuskan kepada aplikasi matematika dalam kehidupan sehari-hari dengan merepresentasikan semua level dari tujuan belajar matematika (level rendah, sedang, dan tinggi) dan penggunaan metode belajar mengajar matematika yang membuat siswa dapat belajar secara aktif tentang matematika. Pendekatan yang berorientasi pada pengalaman siswa sehari-hari yang menekankan pada kebermaknaan siswa dalam belajar adalah Pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) atau pendekatan Pendidikan Matematika Realistik (PMR). Pembelajaran dengan pendekatan realistik dirancang berawal dari pemecahan masalah yang ada di sekitar siswa dan berbasis pada pengetahuan yang telah dimiliki siswa, serta melihat kelebihan pendekatan realistik maka pembelajaran matematika realistik diharapkan dapat membantu siswa tidak hanya belajar dan mengerti konsep himpunan seperti yang diharapkan kurikulum pendidikan matematika tetapi mereka juga dapat belajar matematika dengan menyenangkan. Penerapan PMR memberikan harapan untuk meningkatkan prestasi belajar matematika siswa. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa hasil belajar siswa dengan menggunakan PMR lebih baik daripada hasil belajar siswa dengan menggunakan metode konvensional ( Trisna, 2005; Hasanah, 2005; Fauzan, 2001). Akan tetapi uraian berikut ini akan mengkaji secara teoritis penerapan PMR pada materi Himpunan. Kata Kunci: RME, Himpunan
A. PENDAHULUAN
Salah satu masalah pendidikan di Indonesia adalah lemahnya proses
pembelajaran (Sanjaya, 2007). Dalam proses pembelajaran, anak kurang didorong untuk
mengembangkan kemampuan berpikir. Proses pembelajaran di dalam kelas tempat
mereka belajar diarahkan kepada siswa untuk menghafal informasi, otak anak dipaksa
untuk mengingat dan menimbun berbagai informasi tanpa dituntut untuk memahami
informasi yang diingat untuk menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari.
Menurut Polla (2001: 48) “Pendidikan matematika di Indonesia, nampaknya
perlu reformasi terutama dari segi pembelajarannya. Hal ini disebabkan karena sampai
saat ini begitu banyak siswa mengeluh dan beranggapan bahwa matematika itu sangat
sulit dan merupakan momok, akibatnya mereka tidak menyenangi bahkan benci pada
pelajaran matematika. Jika perlu ada suatu gerakan untuk melakukan perubahan
mendasar dalam pendidikan matematika, terutama dari strategi pembelajaran dan
pendekatannya.” Ini berarti perlu dilakukan reformasi dalam pendekatan
pembelajarannya, dari pendekatan pembelajaran matematika yang terpusat pada guru ke
pendekatan pembelajaran yang terpusat pada siswa. Guru sebagai fasilitator dan
pembimbing sedangkan siswa membangun matematika untuk mereka sendiri, tidak
hanya menyalin dan mengikuti contoh-contoh tanpa mengerti konsep matematikanya.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
133
PM – 11: Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik... Nila Kesumawati
Prinsip utama dalam pembelajaran matematika saat ini adalah untuk
memperbaiki dan menyiapkan aktifitas-aktifitas belajar yang bermanfaat bagi siswa
yang bertujuan untuk beralih dari paradigma mengajar matematika ke belajar
matematika. Reformasi yang tampaknya perlu dilakukan terutama adalah pada
pembuatan materi matematika yang difokuskan kepada aplikasi matematika dalam
kehidupan sehari-hari dengan merepresentasikan semua level dari tujuan belajar
matematika (level rendah, sedang, dan tinggi) dan penggunaan metode belajar mengajar
matematika yang membuat siswa dapat belajar secara aktif tentang matematika.
Pendekatan yang berorientasi pada pengalaman siswa sehari-hari yang menekankan
pada kebermaknaan siswa dalam belajar adalah Pendekatan Realistic Mathematics
Education (RME) atau pendekatan Pendidikan Matematika Realistik (PMR).
Dalam PMR diawali dengan pemberian masalah dalam kehidupan sehari-hari di
lingkungan siswa (kontekstual), siswa aktif membangun konsep, prinsip atau prosedur
yang dibutuhkan, guru sebagai fasilitator, siswa bebas mengeluarkan idenya serta
suasana pembelajaran yang menyenangkan. Pemberian masalah yang berkaitan dengan
kehidupan siswa sehari-hari kurang mendapatkan perhatian dalam pembelajaran
matematika. Salah satu materi matematika yang banyak digunakan dalam kehidupan
sehari-hari adalah himpunan. Selain itu himpunan juga merupakan konsep dasar dari
matematika. Kenyataan yang terjadi dalam pembelajaran materi himpunan selama ini
adalah penyajiannya yang terlalu abstrak. Hal ini berdampak pada kurangnya
pemahaman konsep matematika, sehingga siswa tidak dapat menyelesaikan suatu
permasalahan dalam matematika.
Pembelajaran dengan pendekatan realistik dirancang berawal dari pemecahan
masalah yang ada di sekitar siswa dan berbasis pada pengetahuan yang telah dimiliki
siswa, serta melihat kelebihan pendekatan realistik maka pembelajaran matematika
realistik diharapkan dapat membantu siswa tidak hanya belajar dan mengerti konsep
himpunan seperti yang diharapkan kurikulum pendidikan matematika tetapi mereka
juga dapat belajar matematika dengan menyenangkan.
Berdasarkan uraian di atas, penulis termotivasi untuk mengkaji secara teoritis
pendekatan pendidikan matematika realistik (PMR) pada pokok bahasan himpunan di
kelas VII SMP.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
134
PM – 11: Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik... Nila Kesumawati
B. PEMBAHASAN
PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK (PMR)
PMR tidak dapat dipisahkan dari Institut Freudenthal. Institut ini didirikan pada
tahun 1971, berada di bawah Utrecht University, Belanda. PMR atau RME merupakan
suatu pendekatan dalam pembelajaran matematika yang didasari atas pandangan bahwa
matematika sebagai aktivitas manusia (Gravemeijer, 1994). Matematika diusahakan
dekat dengan kehidupan siswa, harus dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari, dan bila
mungkin harus real bagi siswa. Dalam proses pembelajarannya siswa diberi kesempatan
yang leluasa untuk belajar melakukan aktivitas bekerja matematika, siswa diberi
kesempatan mengembangkan strategi belajarnya dengan berinteraksi serta bernegosiasi
baik dengan sesama siswa maupun dengan guru (Streefland, 1991).
Penerapan PMR memberikan harapan untuk meningkatkan prestasi belajar
matematika siswa. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa hasil belajar siswa
dengan menggunakan PMR lebih baik daripada hasil belajar siswa dengan
menggunakan metode konvensional ( Trisna, 2005; Hasanah, 2005; Fauzan, 2001).
Tiga Prinsip PMR
1. Guided reinvention and didactical phenomology
Karena matematika dalam belajar RME adalah sebagai aktivitas manusia maka
guided reinvention dapat diartikan bahwa siswa hendaknya dalam belajar matematika
harus diberikan kesempatan untuk mengalami sendiri proses yang sama saat matematika
ditemukan. Prinsip ini dapat diinspirasikan dengan menggunakan prosedur secara
informal. Upaya ini akan tercapai jika pengajaran yang dilakukan menggunakan situasi
yang berupa fenomena-fenomena yang mengandung konsep matematika dan nyata
terhadap kehidupan sehari-hari.
2. Progressive mathematization
Situasi yang berisikan fenomena yang dijadikan bahan dan area aplikasi dalam
pengajaran matematika haruslah berangkat dari keadaan yang nyata terhadap siswa
sebelum mencapai tingkatan matematika secara formal. Dalam hal ini dua macam
mathematization haruslah dijadikan dasar untuk berangkat dari tingkat belajar
matematika secara real ke tingkat belajar matematika secara formal.
3. Self-developed models
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
135
PM – 11: Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik... Nila Kesumawati
Peran Self-developed models merupakan jembatan bagi siswa dari situasi real ke
situasi konkrit atau dari informal matematika ke formal matematika. Artinya, siswa
membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah dari suatu situasi yang dekat
dengan alam siswa. Melalui generalisasi dan formalisasi model tersebut akan berubah
menjadi model-of masalah tersebut. Model-of akan bergeser menjadi model-for masalah
sejenis. Pada akhirnya akan menjadi model formal matematika.
Matematisasi Horizontal dan Vertikal
Matematisasi adalah suatu proses untuk mengkontruksi konsep-konsep
matematika dan strategi penyelesaian suatu masalah. Dalam mengkonstruksi itu siswa
harus aktif. Proses matematisasi dapat dibedakan atas matematisasi horizontal dan
matematisasi vertikal. Dalam Matematika horizontal, siswa menggunakan matematika
untuk mengatur dan menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan situasi nyata.
Contoh aktivitas dalam matematisasi horizontal adalah mengidentifikasi atau
menggambarkan matematika yang spesifik dalam suatu konteks umum, memformulasi
dan memvisualisasi suatu masalah dalam berbagai cara, melakukan penyelidikan antar
berbagai hubungan, mengatur aspek-aspek yang sama dalam berbagai masalah berbeda,
melakukan transfer masalah dunia nyata ke dalam masalah matematika, dan transfer
masalah dunia nyata ke dalam masalah matematika yang sudah dikenal. Sedangkan
matematisasi vertikal adalah proses mereorganisasi sistem matematika ke dalam dirinya
sendiri. Contoh aktivitas matematisasi vertikal adalah mengkombinasikan model,
memformulasikan model matematik, merepresentasi suatu relasi ke dalam rumus,
membuktikan, memperbaiki model, menggunakan berbagai model dan
menggeneralisasi.
Menurut de Lange yang dikutip Marpaung (2007) kegiatan matematisasi
horizontal (proses informal) dapat berupa:
1. mengidentifikasi konsep matematika tertentu dalam suatu konteks umum,
2. membuat suatu skema,
3. merumuskan dan memvisualisasi suatu masalah dengan cara yang berbeda,
4. menemukan relasi,
5. menemukan keteraturan,
6. mengenali aspek-aspek yang isomorphis dalam masalah yang berbeda,
7. mentransfer masalah dunia nyata (kontekstual) ke masalah matematika dan
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
136
PM – 11: Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik... Nila Kesumawati
8. mentransfer masalah kontekstual ke model matematika yang sudah ada atau
sudah dikenal.
Kegiatan-kegiatan matematisasi vertikal dapat berupa:
1. merepresentasikan suatu relasi dalam bentuk suatu formula rumus,
2. membuktikan regularitas (keteraturan),
3. menghaluskan dan mengatur model,
4. menggunakan model yang berbada,
5. menggabungkan atau mengintegrasikan model,
6. merumuskan konsep matematika yang baru dan
7. melakukan generalisasi.
Gambar 1 berikut menunjukkan siklus dua proses matematisasi yang
menggunakan ‘real world’ tidak juga hanya sebagai sumber matematisasi tetapi sebagai
area untuk mengaplikasikan kembali matematika.
Real World
Mathematization Mathematization
In Applications and Reflection
Abstraction and
Formalization
Gambar 1. Matematisasi de Lange dikutip Ilma (2007)
Karakteristik PMR
Menurut De Lange, Treffers, Gravemeijer yang dikutip dalam Darhim (2004)
ada lima karakteristik PMR, yaitu:
1. Menggunakan masalah kontekstual. Masalah kontekstual sebagai peluang
bagi aplikasi dan sebagai titik tolak dari mana suatu konep matematika yang
diinginkan muncul.
2. Menggunakan model atau jembatan dengan instrumen vertikal. Perhatian
diarahkan pada pengenalan model, skema, dan simbolisasi daripada
mentransfer rumus atau matematika formal secara langsung.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
137
PM – 11: Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik... Nila Kesumawati
3. Menggunakan kontribusi siswa. Kontribusi yang besar pada proses
pembelajaran diharapkan datang dari murid sendiri dimana mereka ditutut
dari cara-cara informal ke arah yang formal atau standar.
4. Terjadinya interaktivitas dalam proses pembelajaran. Negosiasi secara
eksplisit, intervensi, kooperasi, dan evaluasi sesama murid dan guru adalah
faktor penting dalam proses pembelajaran secara konstruktif dengan
menggunakan strategi informal murid sebagai jantung untuk mencapai yang
formal.
5. Menggunakan berbagai teori belajar yang relevan, saling terkait, dan
terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya. Pendekatan holistik,
menunjukkan bahwa unit-unit belajar tidak akan dapat dicapai secara
terpisah tetapi keterkaitan dan keintegrasian harus diwujudkan dalam
pemecahan masalah.
Sama halnya dengan yang diuraikan di atas, Reewijk dikutip oleh Marpaung
(2007) merumuskan prinsip RME itu dengan singkat dalam 5 pokok, (a) Dunia ‘nyata’,
(b) Produksi bebas dan konstruksi, (c) Matematisasi, (d) Interaksi dan (e) Aspek
pembelajaran secara terintegrasi. Selanjutnya Marpaung (2007) merumuskan
karakteristik Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) sebagai berikut:
1. Murid aktif, guru aktif (matematika sebagai aktivitas manusia).
2. Pembelajaran sedapat mungkin dimulai dengan menyajikan masalah
kontekstual/realistik.
3. Guru memberi kesempatan pada siswa menyelesaikan masalah dengan cara
sendiri.
4. Guru menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan.
5. Siswa dapat menyelesaikan masalah dalam kelompok (kecil atau besar).
6. Pembelajaran tidak selalu di kelas (bisa di luar kelas, duduk di lantai, pergi
ke luar sekolah untuk mengamati atau mengumpulkan data).
7. Guru mendorong terjadinya interaksi dan negosiasi, baik antara siswa dan
siswa, juga antara siswa dan guru.
8. Siswa bebas memilih modus representasi yang sesuai dengan struktur
kognitifnya sewaktu menyelesaikan suatu masalah (menggunakan model).
9. Guru bertindak sebagai fasilitator (Tut Wuri Handayani).
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
138
PM – 11: Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik... Nila Kesumawati
10. Kalau siswa membuat kesalahan dalam menyelesaikan masalah jangan
dimarahi tetapi dibantu melalui pertanyaan-pertanyaan (santun, terbuka,
komunikatif dan menghargai pendapat siswa)
Pada dasarnya ketiga pendapat tentang karakteristik PMR di atas mengarah
pada satu tujuan, yaitu bahwa pelaksanaan pembelajaran dengan pendekatan PMR
digunakan agar kualitas pendidikan matematika di sekolah meningkat dan dapat
bersaing dengan kualitas pendidikan matematika dengan negara-negara lain khususnya
negara-negara maju.
Sintak
Pada pendekatan PMR terdapat enam aktivitas yang sangat penting dilakukan
guru dan siswa. Guru mengawali pelajaran dengan pemberian masalah kontekstual
pada siswa. Siswa secara sendiri atau kelompok mengerjakan masalah dengan strategi-
strategi informal.
Selanjutnya guru merespon secara positif jawaban siswa. Siswa diberikan
kesempatan untuk memikirkan strategi yang paling efektif. Siswa secara sendiri atau
berkelompok menyelesaikan masalah kontekstual yang telah diarahkan oleh guru dan
meminta siswa untuk mengerjakan masalah dengan menggunakan pengalaman mereka.
Melalui diskusi kelas, jawaban siswa dikonfrontasikan. Guru mengenalkan konsep dan
siswa merumuskan bentuk matematika formal. Guru memberikan tugas di rumah, yaitu
membuat masalah cerita serta jawabannya yang sesuai dengan matematika formal.
Siswa mengerjakan tugas rumah dan menyerahkannya kepada guru. Rangkuman
aktivitas tersebut dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.
TABEL 1
Sintak Implementasi Matematika Realistik
Aktivitas Guru Aktivitas Siswa Guru memberikan siswa masalah kontekstual.
Siswa secara sendiri atau kelompok kecil mengerjakan masalah dengan strategi-strategi informal.
Guru merespon secara positif jawaban siswa. Siswa diberikan kesempatan untuk memikirkan strategi siswa yang paling efektif.
Siswa memikirkan strategi yang paling efektif.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
139
PM – 11: Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik... Nila Kesumawati
Guru mengarahkan siswa pada beberapa masalah kontekstual dan selanjutnya meminta siswa mengerjakan masalah dengan menggunakan pengalaman mereka.
Siswa secara sendiri-sendiri atau berkelompok menyelesaikan masalah tersebut.
Guru mengelilingi siswa sambil memberikan bantuan seperlunya.
Beberapa siswa mengerjakan di papan tulis. Melalui diskusi kelas, jawaban siswa dikonfrontasikan.
Guru mengenalkan istilah konsep. Siswa merumuskan bentuk matematika formal.
Guru memberikan tugas di rumah, yaitu mengerjakan soal atau membuat masalah cerita serta jawabannya yang sesuai dengan matematika formal.
Siswa mengerjakan tugas rumah dan menyerahkannya kepada guru.
Suharta dalam Kadir (2006)
Himpunan
Himpunan adalah konsep dasar semua cabang matematika. Secara intuitif,
himpunan adalah kumpulan objek (konkrit atau abstrak) yang mempunyai syarat
tertentu dan jelas. Teori himpunan dikembangkan pertama kali oleh seorang ahli
Matematika bangsa Jerman bernama George Cantor (1845-1918). Teori himpunan dapat
membantu kita dalam membandingkan himpunan-himpunan dan melihat hubungan-
hubungannya. Untuk menyelesaikan persamaan, menggambar grafik mempelajari
peluang, menjelaskan konsep-konsep atau gambar-gambar geometri akan lebih mudah
dan sederhana bila menggunakan konsep dan bahasa himpunan.
Pada umumnya himpunan diberi nama dengan huruf kapital, misalnya A, B, X, ...
Sedangkan anggota suatu himpunan dinyatakan dengan huruf kecil, misalnya a, b, c, ...
Penulisan suatu himpunan dapat dinyatakan dalam tiga (3) cara, yaitu:
a. dengan mendaftar anggota-anggotanya diantara duakurung kurawal.
Misalnya: X = { a, b, c}
b. dengan menyatakan sifat-sifat yang dipenuhi oleh anggota-anggotanya.
Misalnya A = himpunan warna-warna pelangi.
c. Dengan menggunakan notasi pembentuk himpunan. Misalnya: P = {x / x
adalah bilangan cacah}.
Himpunan A dikatakan himpunan bagian dari himpunan B, bila setiap anggota A
juga anggota B, ditulis A B (ada yang menggunakan simbol A B). Dua himpunan A ⊂ ⊆
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
140
PM – 11: Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik... Nila Kesumawati
dan B dikatakan sama jika setiap anggota A juga menjadi anggota B dan sebaliknya,
ditulis A = B.
Untuk menggambarkan himpunan dapat digunakan diagram yang disebut
dengan diagram Venn. Perkataan Venn diambil dari nama John Venn (1834-1923) ahli
logika bangsa Inggris. Suatu himpunan digambarkan dengan daerah yang dibatasi oleh
kurva tertutup, sedangkan untuk himpunan semesta biasanya digambarkan dengan
daerah persegi panjang. Untuk menggambarkan anggota-anggota himpunan dapat
digunakan noktah-noktah. Tetapi seandainya himpunan tersebut mempunyai anggota
yang cukup banyak, anggota-anggota himpunan tersebut tidak usah digambarkan.
Operasi Himpunan
Beberapa operasi himpunan yang sudah dikenal.
(1) Komplemen himpunan A dalam semesta S, adalah himpunan semua anggota S yang
bukan anggota A, ditulis: Ac = {x / x ∈S dan x∉A}
(2) Union (gabungan) dua himpunan A dan B ditulis:
A B = {x / x ∪ ∈A atau x∈B}.
(3) Interseksi (irisan) dua himpunan A dan B ditulis:
A ∩ B = {x / x ∈A dan x∈B}.
(4) Pengurangan dua himpunan A dan B ditulis:
A \ B = {x / x ∈A dan x∉B }
= {x / x ∈A dan x∈ Ac }.
(5) Penjumlahan dua himpunan A dan B ditulis:
A + B = {x / x ∈A \ B dan x∈B \ A} atau
= (A \ B) (B \ A). ∪
(6) Perkalian (Cartesius) dua himpunan A dan B ditulis:
A x B = {(x, y) / x ∈A dan y∈B } dan (x, y) ≠ (y, x).
C. PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang terpusat
pada guru hendaknya diubah menjadi terpusat kepada siswa. Oleh karena itu hendaknya
materi matematika yang disajikan kepada siswa sebaiknya berupa suatu proses bukan
sebagai barang jadi yang siap diberikan kepada siswa. Alternatif pembelajaran yang
dapat diterapkan antara lain adalah Pendekatan Matematika Realistik. Berdasarkan
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
141
PM – 11: Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik... Nila Kesumawati
kajian teoritis yang diuraikan di atas, ternyata materi himpunan dapat diajarkan kepada
siswa menggunakan pendekatan matematika Realistik.
DAFTAR PUSTAKA Darhim. (2004). Pengaruh Pembelajaran Matematika Kontekstual Terhadap Hasil
Belajar dan Sikap Siswa Sekolah Dasar Kelas Awal dalam Matematika. Disertasi Doktor pada PPs UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Fauzan. (2001). “Pengembangan dan Implementasi Prototipe I & II Perangkat
Pembelajaran geometri Untuk Siswa Kelas 4 SD Menggunakan Pendekatan RME,” Makalah disampaikan pada seminar Nasional di FMIPA UNESA tenggal 24 Februari 2001.
Gravemeijer, K.P.E. (1994). Developing Realistic Mathematics Education. Culemborg:
Technipress. Hasanah, Sri Indriati. (2005). Pembelajaran Matematika Realistik untuk Materi Pokok
Aritmatika Sosial di Kelas VII MTsN Pademawu Pamekasan. Mathedu Jurnal Pendidikan Matematika Vol.1, No.2 Juli 2006. PPs UNESA.
Ilma, Ratu. (2007). Pengembangan Model Pembelajaran Pokok Bahasan Statistika
Menggunakan Pendekatan RME di SMAN 17 Palembang. Jurnal Pendidikan Matematika Vol.1, No.1 Januari 2007. PPs UNSRI.
Kadir. (2006). Pendekatan Pembelajaran Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI). Bersama, Volume 5, No.2, Juli 2006. Kendari.
Marpaung, Jansen. Matematisasi Horizontal dan Matematisasi Vertikal. Jurnal
Pendidikan Matematika Vol.1, No.1 Januari 2007. PPs UNSRI.. Sanjaya, Wina. (2007). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan.
Jakarta: Kencana Soedjadi. (1988). Pengantar Logika Matematik (non-aksiomatik). Jakarta: Depdikbud
Dirjen Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan LPTK. Streefland. 1991. Realistic Mathematics Education in Primary school. Freudenthal
Institute. Utrecht. Trisna, Benny N. (2005). Pembelajaran Matematika Realistik untuk Topik Persamaan
Garis Lurus di Kelas VIII.. Mathedu Jurnal Pendidikan Matematika Vol.1, No.2 Juli 2006. PPs UNESA.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
142
PM – 12: Penggunaan Metakognitif Scaffolding…. Risnanosanti
Penggunaan Metakognitif Scaffolding Untuk Meningkatkan Kecakapan Matematik (Mathematical Proficiency) Siswa
Oleh: Risnanosanti
Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Bengkulu
Abstrak
Kebutuhan terhadap penerapan matematika tidak hanya untuk keperluan sehari – hari, tetapi terutama juga untuk kebutuhan dalam dunia kerja, dan untuk mendukung perkembangan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu untuk membantu siswa berpartisipasi secara total di masyarakat, maka siswa harus mempelajari matematika dengan pemahaman, bagaimana menghubungkan ide – ide matematika, dan bagaimana memberikan alasan secara matematika.
Seorang siswa dapat membangun pengetahuannya melalui interaksi dan mengkoneksikan pengalaman yang telah diperolehnya dengan situasi yang dihadapi saat ini. Siswa juga dapat mempunyai strategi belajar yang akan membantu membangun pemahaman dan pengetahuannya. Sehingga kesuksessan dan keefektifan pengajaran matematika dapat dicapai dengan menekankan pada strategi pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk merencanakan, memonitor, mengevaluasi serta membangun pengetahuan dan pemahamannya sendiri.
Sehingga siswa membutuhkan suatu pembelajaran yang efektif agar memungkinkan mereka dapat mengaplikasikan strategi metakognitifnya, melakukan penalaran secara matematik dan pada akhirnya belajar matematika dengan pemahaman. pembelajaran matematika dengan pemahaman memerlukan penguasaan dan transfer kecakapan matematik yang meliputi: pemahaman konseptual (conceptual understanding), kelancaran prosedural (procedural fluency), kompetensi strategi (strategic competence), penalaran adaptif ( adaptive reasoning) dan disposisi produktif (productive disposition) dengan cara yang terintegrasi. Kata Kunci : Metakognitif, Scaffolding, Mathematical Proficiency
A. Pendahuluan
Perkembangan ilmu dan teknologi yang semakin pesat dewasa ini tidak terlepas
dari peran matematika sebagai ilmu dasar. Matematika juga memiliki nilai - nilai
strategis dalam menumbuhkembangkan kemampuan berpikir kritis, logis, sistematis,
dan kreatif. Banyak kesempatan pendidikan dan pekerjaan yang baik memerlukan
kemampuan matematika tingkat tinggi. Topik – topik matematika muncul di surat
kabar, majalah, artikel ilmiah, dunia hiburan dan dalam percakapan sehari – hari.
Matematika juga merupakan sesuatu yang spesifik, hanya diketahui dan dipahami oleh
beberapa orang tertentu saja, serta mempunyai sisi estetika. Selain itu matematika
sangat universal, merupakan subjek yang bermanfaat, sehingga apabila seseorang ingin
berpartisipasi secara total sebagai anggota masyarakat dalam kehidupan modern maka
dia harus menguasai matematika dasar. Jadi kebutuhan terhadap penerapan matematika
tidak hanya untuk keperluan sehari – hari, tetapi terutama juga untuk kebutuhan dalam
dunia kerja, dan untuk mendukung perkembangan ilmu pengetahuan.
Oleh karena itu untuk membantu siswa berpartisipasi secara total di masyarakat,
maka siswa harus mempelajari matematika dengan pemahaman, bagaimana
menghubungkan ide – ide matematika, dan bagaimana memberikan alasan secara
matematika. Menurut Kilpatrick et. al (2001) seorang siswa tanpa pemahaman
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
143
PM – 12: Penggunaan Metakognitif Scaffolding…. Risnanosanti
matematika akan kehilangan tidak hanya kesempatan tetapi juga kompetensi dari tugas
sehari – hari. Sehingga pengajaran matematika haruslah menekankan pada beberapa
variable sebagai hasil belajar dengan pemahaman agar dapat memenuhi permintaan
masyarakat.
Pengajaran matematika telah melewati sederetan fase perkembangan, pergeseran
dari paham behaviourisme ke paham kontruktivisme yang melalui kognitivisme
menggambarkan perubahan pandangan pembelajaran dari pandangan ekternal menuju
ke pandangan internal. Menurut Jonassen (1991) bagi kaum behaviurisme proses
internal sama sekali tidak diminati sedangkan untuk kaum kognitivisme proses internal
hanya penting untuk memperjelas bagaimana kenyataan eksternal dipahami, sebaliknya
kontrukstivisme memandang siswa sebagai pembangun pengetahuannya sendiri.
Pandangan konstruktivist ini menjadikan suatu proses pembelajaran untuk
memperlakukan siswa tidak hanya sebagai penerima pengetahuan tetapi siswa juga
harus diperlakukan sebagai pembangun pengetahuannya sendiri. Seorang siswa dapat
membangun pengetahuannya melalui interaksi dan mengkoneksikan pengalaman yang
telah diperolehnya dengan situasi yang dihadapi saat ini. Siswa juga dapat mempunyai
strategi belajar yang akan membantu membangun pemahaman dan pengetahuannya.
Sehingga kesuksessan dan keefektifan pengajaran matematika dapat dicapai dengan
menekankan pada strategi pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk
merencanakan, memonitor, mengevaluasi serta membangun pengetahuan dan
pemahamannya sendiri.
Pemahaman matematik sebagai suatu subjek akademik merupakan hal yang
sangat penting di sekolah serta memainkan peranan yang besar dalam kehidupan sehari
– hari. Hasil penelitian Sternberg dan Rifkin (1979) serta Thornton dan Toohey (1985)
menunjukkan bahwa siswa mendapatkan manfaat dari penggunaan pengalamannya
sebagai strategi untuk menyelesaikan masalah – masalah matematika.
Tetapi sebagian besar pembelajaran yang terjadi di Indonesia saat ini belum
memanfaatkan kemampuan siswa yang sebenarnya dalam pengajaran matematika.
Banyak hasil penelitian yang menunjukkan bahwa pengajaran yang terjadi masih
didominasi oleh guru dan siswa hanya diminta untuk mengerjakan soal – soal rutin
dibangkunya, diberi pekerjaan rumah, dan kemudian dibahas kembali bersama – sama
secara klasikal. Pembelajaran seperti ini menunjukkan strategi mengajar yang
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
144
PM – 12: Penggunaan Metakognitif Scaffolding…. Risnanosanti
digunakan membuat guru matematika hanya berkonsentrasi pada penguasaan prosedur
yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas – tugas rutin. Guru secara umum mengajar
siswanya secara konvensional, mereka memilih masalah – masalah matematika,
memberikan hal – hal yang diperlukan dalam langkah – langkah penyelesaiannya
kemudian siswa mengikuti langkah – langkah yang sama untuk masalah yang hampir
sama. Pendekatan pedagogik seperti ini mungkin efektif untuk siswa mempunyai
kemampuan tinggi tetapi tidak efektif untuk siswa dengan kemampuan rendah.
Sehingga siswa membutuhkan suatu pembelajaran yang efektif sehingga
memungkinkan mereka dapat mengaplikasikan strategi metakognitifnya, melakukan
penalaran secara matematik dan pada akhirnya belajar matematika dengan pemahaman.
Dengan kata lain siwa harus diberi pembelajaran serta dukungan agar dapat
merencanakan, memformulasi dan menggambarkan masalah matematika, menganalisis
dan mengidentifikasi variabel matematika, mengkoneksikan hubungan antara variabel
matematika, bertanya pada diri sendiri berkenaan dengan situasi matematika,
melakukan penalaran secara matematika, mengevaluasi strategi dan hasil belajarnya
(Kilpatrick et al., 2001 ; King, 1992). Selain itu siswa juga harus bekerja secara
kooperatif untuk belajar dengan pemahaman (Palincsar and Brown, 1984). Jadi siswa
membutuhkan belajar bagaimana belajar yaitu menjadi terlatih secara metakognitif yang
selama ini masih kurang mendapat perhatian dalam proses pembelajaran di Indonesia.
Belajar dengan pemahaman sebagai bagian dari suatu metode yang
komprehensip dapat mengembangkan kecakapan matematik siswa. Menurut Kilpatrick
et al. (2001) pembelajaran matematika dengan pemahaman memerlukan penguasaan
dan transfer kecakapan matematis yang meliputi: pemahaman konsep (conceptual
understanding), kelancaran prosedur (procedural fluency), kompetensi strategi
(strategic competence), penalaran adaptif ( adaptive reasoning) dan disposisi produktif
(productive disposition) dengan cara yang terintegrasi. Mugney dan Doise (1978);
Vygotsky (1978) ; Rogoff (1990) berkonsentrasi pada pembelajaran kooperatif untuk
belajar dengan pemahaman. Sedangkan Flavell et al (1970) dan Brown (1987)
memfokuskan pada strategi metakognitif dalam pembelajaran yang memungkinkan
siswa untuk belajar matematika dengan pemahaman.
B. Kecakapan Matematik (Mathematical Proficiency)
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
145
PM – 12: Penggunaan Metakognitif Scaffolding…. Risnanosanti
Istilah kecapakan matematik dipilih untuk menggabungkan semua aspek dari
keahlian, kemampuan, pengetahuan, dan kecakapan dalam matematika, agar siapapun
dapat mempelajari matematika dengan sukses. Hal yang paling penting dari kecakapan
matematik adalah bagian - bagiannya yang terjalin satu sama lain dan tidak dapat
dipisahkan. Sehingga untuk mengembangkan kecakapan matematik Kilpatrick et. al,
(2001) mengatakan tidak dapat dicapai hanya dengan mengutamakan satu atau dua
bagian saja, seperti yang tergambar dibawah ini
Bagian – bagian dari kecakapan matematik ini menyediakan suatu kerangka agar
dapat mendiskusikan pengetahuan, keterampilan, kemampuan dan kepercayaan dalam
matematika. Kerangka ini mempunyai beberapa kesamaan dengan salah satu penilaian
matematika yang digunakan oleh National Assessment of Educational Progress
(NAEP), yang mencirikan tiga kemampuan matematik yaitu pemahaman konsep
(conceptual understanding), pengetahuan prosedur (procedural knowledge) dan
pemecahan masalah (problem solving), termasuk juga penalaran (reasoning), koneksi
(connection) dan komunikasi (communication).
Azas pokok dari kecakapan matematik ini adalah peranan utama dari
representasi mental. Bagaimana siswa menyajikan dan mengkoneksikan bagian – bagian
pengetahuannya adalah faktor kunci apakah mereka akan memahami materi secara
mendalam dan dapat menggunakannya untuk pemecahan masalah. Jadi belajar dengan
pemahaman lebih bermakna dibandingkan hanya dengan menghafal karena
mengorganisasikan peningkatan ingatan, mempromosikan kelancaran dan
memudahkan siswa mengaitkan materi – materi matematika.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
146
PM – 12: Penggunaan Metakognitif Scaffolding…. Risnanosanti
Secara umum belajar matematika dengan pemahaman melibatkan lebih dari
sekedar kompetensi dalam keterampilan dasar, lebih dari sekedar penguasaan aritmatika
dan geometri, pembelajaran matematika dengan pemahaman berhadapan dengan
pemahaman konsep, kelancaran prosedur dan penalaran. Belajar matematika dengan
pemahaman lebih dari sekedar belajar tentang aturan – aturan dan operasi – operasi, hal
ini berkaitan dengan koneksi, melihat hubungan, dan pegetahuan untuk membangun
kembali segala sesuatu yang dapat dilakukan siswa. Jadi belajar matematika dengan
pemahaman adalah pembelajaran untuk memperoleh dan meningkatkan kecakapan
matematik dan mengaktifkan pengetahuan metakognitif siswa.
Salah satu cara untuk mendukung dan meningkatkan kecakapan matematis dan
pengetahuan metakognitif siswa adalah dengan menyediakan strategi metakognitif,
yang merupakan suatu metode untuk berkonsentrasi pada monitoring tingkat
pemahaman seseorang dan menentukan apakah hal itu cukup atau tidak (Bransford et
al., 2000). Hal ini akan membantu siswa untuk mengatur pemikirannya, mengakui jika
mereka belum mengerti, dan mengatur pemikiran mereka secara tepat. Dengan kata lain
strategi metakognitif memandu siswa untuk berpikir sebelum, selama dan setelah
penyelesaian masalah. Ini diawali dengan menuntun siswa merencanakan untuk
memilih strategi yang tepat dalam menyelesaikan tugas – tugas, dilanjutkan dengan
menyeleksi strategi yang paling efektif , dan akhirnya mengevaluasi proses dan hasil
belajarnya.
Vygotsky (1978) menjelaskan perbedaan antara kemampuan siswa pada saat ini
dan perkembangan potensialnya sebagai suatu jarak antara tingkat ‘actual independent’
siswa dengan tingkat potensialnya yang harus dipandu, didukung atau berkolaborasi
dengan teman – teman yang lebih mampu. Scaffolding menyediakan suatu kesempatan
bagi siswa untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya melebihi tingkat
kemampuan independent nya, dan ini memperkecil jarak antara pengetahuan yang
dimiliki sekarang dengan pengetahuan yang mungkin dicapai oleh siswa. Itu sebabnya
dengan scaffolding mendukung siswa untuk melampaui proses berpikirnya saat ini,
sehingga secara kontinu akan meningkatkan kapasitas pengetahuan yang dimiliki oleh
siswa.
Penelitian – penelitian (Palincsar and Brown, 1984; Wood et al., 1976) telah
menyelidiki peranan dari scaffolding untuk memudahkan pengertian, pemahaman dan
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
147
PM – 12: Penggunaan Metakognitif Scaffolding…. Risnanosanti
refleksi siswa terhadap tugas – tugas yang rumit. Penggunaan Strategi scaffolding
dapat meningkatkan kognisi melalui keaktifan siswa dalam pembelajaran, mempertinggi
proses siswa mendapatkan pengetahuannya kembali, mempertinggi pemahaman dan
metakognisi siswa dengan membuat pemikiran siswa menjadi lebih eksplisit dan
memandu siswa untuk memonitor pemahamannya.
Diantara strategi – strategi yang dapat meningkatkan kecakapan matematik dan
pengetahuan metakognitif NCTM (1989); Kramarski (2001) merekomendasikan untuk
menggunakan pembelajaran kooperatif. Menurut Vygotsky (1978) belajar dengan
pemahaman terjadi dalam konsteks sosial, dimana siswa berinteraksi satu sama lain,
siswa menerima umpan balik, dan mendapat informasi tentang sesuatu yang mungkin
kontradiksi dengan pemahamannya saat ini. Konflik ini akan menyebabkan siswa
mengakui dan membangun kembali pengetahuannya yang sudah ada.
Pembelajaran kooperatif direkomendasikan untuk digunakan dalam
meningkatkan performen kognitif siswa, hubungan social dan pengetahuan
metakognitif. Laporan dari National Governors’ Association (Brown and Goren, 1993)
mengindikasikan bahwa dalam setting pembelajaran kooperatif gabungan siswa dengan
berbagai kemampuan dapat bekerja sama untuk menyelesaikan masalah dan melengkapi
tugas – tugas yang diberikan. Dalam setting ini, siswa dengan kemampuan rendah
mempunyai kesempatan untuk mempelajari model keterampilan dan kebiasaan belajar
siswa pandai. Dalam proses menjelaskan materi pelajaran, siswa dengan kemampuan
tinggi dapat mengembangkan penguasaannya dengan mengembangkan pemahaman
yang mendalam dari tugas – tugas.
C. Penutup
Bagaimanapun masih ada ketidakpastian mekanisme yang dapat meningkatkan
kecakapan matematik dan pengetahuan metakognitif siswa yang terjadi dalam berbagai
variasi lingkungan pembelajaran kooperatif. Apakah hanya pembelajaran kooperatif
yang dapat meningkatkan kecakapan matematik dan pengetahuan metakognitif siswa?
Atau kooperatif membutuhkan suatu struktur lain atau panduan (scaffolding)? Jika
strategi metakognitif menyediakan panduan (scaffolding) untuk siswa bekerjasama,
apakah siswa dapat mengaplikasikan strategi metakognitif pada dirinya sendiri, atau
siswa membutuhkan scaffolding dari luar untuk melakukannya? Apakah siswa dengan
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
148
PM – 12: Penggunaan Metakognitif Scaffolding…. Risnanosanti
kemampuan tinggi mendapatkan manfaat lebih dari siswa berkemampuan rendah dari
strategi scaffolding metakognitif? Elawar (1992) mengobservasi bahwa siswa dengan
kemampuan rendah sering kebingungan pada saat berhadapan dengan masalah
matematika dan mereka tidak dapat menjelaskan strategi yang digunakan untuk
menemukan jawaban yang benar. Costa (1985), Strenberg (1986) dan Elawar (1992)
mengindikasikan bahwa siswa dengan kemampuan rendah secara umum kurang
mengembangkan secara baik keterampilan metakognitifnya.
Walaupun telah banyak penelitian yang dilakukan secara terpisah mengenai
pengaruh dari strategi metakognitif atau pembelajaran kooperatif dalam pencapaian
prestasi matematika, sikap, dan kepercayaan diri, tetapi belum ada penelitian yang
ditujukan untuk melihat pengaruh dari pembelajaran kooperatif dengan metakognitif
scaffolding terhadap kecakapan matematik siswa.
Sehingga tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh dari
pembelajaran kooperatif dengan metakognitif scaffolding dapat memainkan peranan
dalam mengembangkan kecakapan matematik siswa. Secara khusus direncanakan
penelitian ini akan menyelidiki apakah ada perbedaan yang signifikan dalam kecakapan
matematik dan tingkat pengetahuan metakognitif siswa yang dalam pembelajarannya
menggunakan pembelajaran kooperatif dengan metakognitif scaffolding, siswa yang
dalam pembelajarannya menggunakan pembelajaran kooperatif tanpa metakognitif
scaffolding dan siswa yang dalam pembelajarannya menggunakan pembelajaran
konvensional. Penelitian ini juga direncanakan untuk melihat pengaruh dari metode
pembelajaran terhadap siswa berkemampuan tinggi dan siswa berkemampuan rendah
dalam kecakapan matematik dan pengetahuan metakognitifnya.
Daftar Pustaka Ansari, I. B. (2003). Menumbuhkembangkan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi
Matematik Siswa SMU melalui Strategi Think-Talk-Write. Disertasi UPI Bandung: Tidak dipublikasikan
Armanto, D. (2002). Teaching Multiplication and Division Realistically in Indonesian
Primary Schools: A Prototype of Local Instructional Theory. Thesis Doctor Kependidikan Tidak Dipublikasikan, Universitas Twente Enschede, Nedherlands.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
149
PM – 12: Penggunaan Metakognitif Scaffolding…. Risnanosanti
Bransford, J.D., Brown, A.L., and Cocking, R.R. (Eds). (2000). How People Leran: Brain, Mind, Experience, and School. Washington, DC: National Academy Press
Brown, A.L. (1987). Metacognition, Executive Control, Self-Regulation, and Other
Even More Mysterious Mechanisms. In Weinert, F.E and Kluwe, R.H. (Eds). Metacognition, Motivation, and Understanding. Hillsdale, N.J: Lawrence Erlbaum Associates
Brown, P., and Goren, P. (1993). Ability, Grouping and Tracking: Current Issues and
Concern. Washington, DC : National Governors’ Association Costa, A. L. (1985). Developing Minds: A Resource Book of Teaching Thingking.
Reston, VA: Association for Supervision and Curriculum Development Dahlan, J.A. (2004). Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Pemahaman Matematik
Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Melalui Pendekatan Pembelajaran Open-Ended. Disertasi UPI Bandung: Tidak dipublikasikan
Djajuli, A. (1999). Kebijakan Strategi Kantor Wilayah Depatemen Kebudayaan
Propinsi Jawa Barat dalam Upaya Meningkatkan Kualitas Guru Matematika. Makalah disajikan dalam Seminar dan Lokakarya Pembelajaran Matematika, FPMIPA IKIP Bandung, 7 Agustus
Elawar, M. (1992). Effects of teaching metacognitive skills to students with low
mathematical ability. Teaching and Teacher Education, 8(2) 109-121. Hamzah. (2003). Meningkatkan Kemampuan Memecahkan Masalah Matematika Siswa
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri Bandung Melalui Pendekatan Pengajuan Masalah. Disertasi UPI Bandung: Tidak dipublikasikan
Herman, T. (2003). Pengembangan Multimedia Matematika Interaktif untuk
Menumbuhkembangkan Kemampuan Penalaran Matematik (Mathematical Reasoning) Siswa Sekolah Dasar. Laporan Hibah Bersaing Perguruan Tinggi. Tahun Anggaran 2003/2004
Herman, T. (2006). Pengembangan Kemampuan Pemecahan Masalah, Penalaran, dan
Komunikasi Matematik Siswa SLTP melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Disertasi UPI Bandung: Tidak dipublikasikan
Jacob, C. (2003). Mengajar Keterampilan Metakognitif dalam Rangka Upaya
Memperbaiki dan Meningkatkan Kemampuan Belajar Matematika. Jurnal Matematika, Aplikasi, dan Pembelajarannya. Vol. 2, (1), 17-18. Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Jakarta.
Jonassen, D. H. (1991) Objectivism Versus Constructivism: Do We Need a New
Philosophical Paradigm? Educational Technology Research and Development, 39, 3, 5 – 14.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
150
PM – 12: Penggunaan Metakognitif Scaffolding…. Risnanosanti
Kariadinata, R. (2001). Peningkatan Pemahaman dan Kemampuan Analogi Matematika
Siswa SMU Melalui Pembelajaran Kooperatif. Tesis UPI Bandung: Tidak Dipublikasikan
Kariadinata, R. (2006). Pengembangan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SMU
Melalui Pembelajaran dengan Multimedia. Disertasi UPI Bandung: Tidak dipublikasikan
Kilpatrick,.J., Swafford, J., & Findell, B. (2001). Adding It Up: Helping Children Learn
Mathematics. Washington, DC: National Academy Press. King, A. (1992). Facilitacing Elaborative Learning Through Guided Student-generated
Questioning. Educational Psychologist, 27, 1, 111 – 126. Kramarski, B., Mevarech, Z. R., and Lieberman, A. (2001). Effects of Multilevel Versus
Unilevel Metacognitive Training on Mathematical Reasoning. Journal of Educational Research, 94, 292-301
Mohammed, Ibrahim, A.J., (2003) The Effects of Metacognitif Scaffolding and
Cooperative Learning on Mathematics Performance and Mathematics Reasoning Among Fifth-Grade Students in Jordan. [On Line]. Tersedia: http://cleo.murdoch.edu.au/gen/aset/ajet/ajet12/wi96p46.html.
Mullis, I.V.S., Martin, M.O., Gonzales, E.J., Gregory, K.D., Garden, R.A., O’Connor,
K.M., Krotowski, S.J., and Smith, T.A. (2000). TIMSS 1999: International Mathematics Report. Boston: ISC
Mugny, G., and Doise, W. (1978). Socio-cognitive Conflicts and Structure of Individual
and Collective Performances. European Journal of Social Psychology, 8, 1181-1192
NCTM. (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Reston, VA: NCTM. Palincsar, A.S., and Brown, A.L. (1984). Reciprocal Teaching of Comprehension-
Fostering and Comprehension-Monitoring Activities. Cognition and Instruction, 2, 117 – 175.
Rogoff, B. (1990). Apprenticeship in Thinking: Cognitive Development in Social
Context. NY: Oxford University Press Sapa’at, A. (2001) Pembelajaran dengan Pendekatan Keterampilan Metakognitif untuk
mengembangkan Kompetensi Matematik Siswa. [On Line]. Tersedia: http://en.wikipedia.org/wiki/martingale. %28betting.system.
Sharples, J., & Mathews, B. (1989). Learning How To Learn: Investigating Effective
Learning Strategies. Victoria: Office of Schools Administration Ministry of education.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
151
PM – 12: Penggunaan Metakognitif Scaffolding…. Risnanosanti
Soedjadi, R. (1999). Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Surabaya: Vera Sternberg, R.J. (1986). Intelligence Applied. New York: Harcourt Brace Jovanovich,
Publisher Sumarmo, U. (1999). Implementasi Kurikulum Matematika 1994 pada Sekolah Dasar
dan Sekolah Menengah. Lemlit IKIP Bandung: Laporan Penelitian Sumarmo, U, dkk (1998, 1999, 2000). Pengembangan Model Pembelajaran
Matematika untuk Meningkatkan Kemampuan Intelektual Tingkat Tinggi Siswa Sekolah Dasar. Laporan Hibah Bersaing Tahap I, Tahap II, dan Tahap III
Suryadi, D. (2005). Penggunaan Pendekatan Pembelajaran Tidak Langsung serta
Pendekatan Gabungan Langsung dan Tidak Langsung dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLTP. Disertasi UPI Bandung: Tidak Dipublikasikan
Suzana (2004). Pembelajaran dengan Pendekatan Metakognitif Untuk Meningkatkan
Kemampuan Pemahaman Matematik Siswa SMU. Disajikan pada Seminar Nasional Matematika: Matematika dan Kontribusinya terhadap Peningkatan Kualitas SDM dalam Menyongsong Era Industri dan Informasi, 15 Mei 2004, Bandung.
Vygotsky.L.S. (1978). Mind in Society: The Development of Higher Psychological
Processes. Cambridge, MA: Harvard University Press. Yaniawati, R.P. (2001). Pembelajaran dengan Pendekatan Open-Ended dalam Upaya
Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematika Siswa. Tesis UPI Bandung: Tidak Dipublikasikan
Yoong, W. (2002). Helping Your Student to Become Metacognitive in Mathematics: A
Decade Later. [On Line]. Tersedia: http://intranet.moe.edu.sg/maths/ Newsletter/FourthIssue/Vol2No.5.html.
Yuwono, I. (2001). Pembelajaran Matematika Secara Membumi. Malang: Jurusan Matematika FMIPA UM Malang
Wood, D.J., Bruner, J.S., and Ross, G. (1976). The Role of Tutoring in Problem Solving.
Journal of Child Psychology and Psychiatry, 17, 89 – 100.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
152
PM – 13 : Kesiapan Siswa SMA...... R Rosnawati
Kesiapan Siswa SMA Menghadapi UAN Matematika (Studi Kasus Pada Siswa Berkesulitan Belajar Matematika)
R.Rosnawati
Abstrak Diperlukan strategi belajar yang tepat agar siswa berkesulitan belajar matematika dapat menghadapi UAN dengan rasa percaya diri yang tinggi. Pemberian latihan pemecahan soal akan membantu siswa menjadi pengguna strategi yang tepat.
Strategi yang diberikan berkaitan dengan strategi yang spesifik difokuskan pada operasi kognitif yang diperlukan untuk memecahkan jenis soal tertentu, yang mengarahkan siswa tentang apa yang harus dilakukan dalam menghadapi soal tertentu. Diberikan pula strategi umum berkaitan dengan strategi metakognitif, yang akan memberikan kerangka kerja umum bagi siswa untuk menghadapi soal-soal matematika dan memperoleh informasi tentang kemajuan upaya pemecahannya. Kata kunci: Kesiapan, Kesulitan Belajar
I. Pendahuluan
Terlepas dari pro dan kontra tentang pelaksanaan Ujian Akhir Nasional (UAN),
pemerintah tetap melaksanakan UAN 2008 untuk tingkat SMA dan sederajat pada
tanggal 22 – 24 April 2008. Pemerintah tetap berpegang pada Undang-Undang (UU)
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 58 UU yang
menyatakan, evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan pendidik untuk memantau
proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.
Pasal itu juga menghendaki adanya sebuah lembaga independen untuk merumuskan dan
melaksanakan ujian akhir sesuai dengan standar nasional.
Penetapan kenaikan standar kelulusan bagi siswa dianggap memberatkan
terutama pada siswa yang memiliki pestasi matematika yang rendah. Siap atau tidak
siswa ini harus mengikuti ujian akhir yang telah ditetapkan waktunya, dengan kriteria
kelulusan yang telah ditetapkan pula. Banyak cara dilakukan oleh pihak sekolah
maupun orang tua, agar siswa siap untuk menghadapi UAN, misalnya dengan
menggelar doa bersama (aksi ihtiar batin untuk meningkatkan moril). Dorongan
semangat telah diperoleh siswa untuk menghadapi ujian, namun tentunya tidak hanya
dorongan moril yang diperlukan siswa khususnya yang berkesulitan belajar matematika,
diperlukan pula strategi belajar yang tepat agar penguasan strategi penyelesaian soal
matematika meningkat, sehingga dapat menghadapi ujian akhir dengan rasa percaya
diri.
Makalah ini menguraikan tentang usaha yang dilakukan salah satu sekolah
swasta di DIY yang telah melakukan try out pertama kali yang diadakan dinas Propinsi
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
153
PM – 13 : Kesiapan Siswa SMA...... R Rosnawati
DIY tidak satupun siswa lulus dalam mata pelajaran matematika, yang akan dibahas
dari segi strategi belajar. Seluruh siswa XII IPA berjumlah 16 orang siswa yang
memiliki prestasi belajar matematika yang rendah.
II. Kesulitan dalam Belajar Matematika
Pemahaman belajar saat ini tidak lagi dipandang sebagai hasil dari penerimaan
pengetahuan secara pasif oleh siswa, saat ini belajar dipandang sebagai hasil proses
aktif dari sudut pandang siswa. Belajar menurut paham konstruktivisme adalah
membentuk pengetahuan pada pebelajar dalam hal ini siswa. Pengetahuan terbentu
karena adanya ketidakseimbangan (disequibrium), siswa akan terus membentuk
konstruk sehingga terjadi keseimbangan. Paul Suparno (1997) mengemukakan bahwa
belajar merupakan proses aktif siswa mengkostruksi arti baik teks, dialog pengalaman
fisis dan lain-lain.
Beberapa peneliti merepresentasikan tempat pengetahuan sebagai suatu blok-
blok apartemen yang terdiri dari banyak ruangan. Bila siswa memperoleh banyak
pengetahuan, maka kepingan-kepingan pengetahuan atau informasi baru bagi siswa
tersebut akan masuk ke ruangan yang berbeda-beda. Banyaknya pengetahuan yang
dimiliki siswa, dapat diekspresikan sebagai banyaknya ruangan yang telah ditempati
oleh kepingan-kepingan pengetahuan atau informasi yang spesifik.
Antara penghuni apartemen tersebut mungkin terjadi interaksi atau mungkin
pula tidak terjadi. Interaksi antara penghuni blok apartemen tersebut untuk setiap siswa
akan sangat beragam. Indikasi telah terjadi kontak antara berbagai kepingan blok
pengetahuan dapat diamati dari kemampuan siswa dalam menyelesaikan persoalan
dalam hal ini persoalan matematika. Kemampuan siswa menyelesaikan persoalan
matematika pada situasi yang berbeda sangat bergantung pada kualitas interaksi
fungsional antara blok apartemen dalam hal ini adalah blok pengetahuan tersebut. Ini
berarti bahwa telah terjadi kontak antara berbagai kepingan informasi itu.
Situasi lain yang sangat mungkin terjadi adalah kepingan-kepingan informasi
itu memiliki kemampuan dan keinginan untuk bekerjasama, bertukar fungsi dan saling
memberikan tantangan. Bila seorang siswa memiliki tempat penyimpanan pengetahuan
dalam blok-blok aparteman yang tertata dengan baik, dan memiliki fungsi interaksi
dengan baik pula, maka diharapkan siswa tersebut dapat memanfaatkan pengetahuan
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
154
PM – 13 : Kesiapan Siswa SMA...... R Rosnawati
tersebut untuk menyelesaikan beragam situasai yang dihadapi, dan pemahaman
pengetahuan siswa tersebut akan dapat mendorong perkembangan pengetahuan
matematika siswa. Permasalahan yang sering terjadi adalah sangat dimungkinkan siswa
telah menyimpan pengetahuan dalam blok-blok apartemen tetapi apabila siswa
dihadapkan pada situasi yang berbeda, sangat mungkin siswa tidak dapat
menyelesaikannya atau membutuhkan waktu yang sangat lama dalam
menyelesaikannya, padahal ukuran waktu sangat menentukan keberhasilan siswa saat
menghadapi tes.
Keberhasilan atau kegagalan dalam belajar matematika sering kali ditentukan
oleh hasil yang ditunjukkan dalam tes prestasi yang distandarisasi. Tetapi umumnya, tes
yang dikembangkan berbentuk pilihan berganda sehingga tidak memberikan informasi
yang lengkap mengenai proses mental yang mungkin mempengaruhi prestasi siswa.
Umumnya seorang siswa dikatakan berkesulitan belajar matematika apabila perolehan
hasilnya jauh dibawah rata-rata kelompoknya. Dibanding dengan teman sebayanya yang
normal dalam matematika, siswa yang berkesulitan belajar matematika ditandai dengan
penggunaan strategi pemecahan soal yang tidak efisien, membutuhkan waktu yang lebih
lama dalam menyelesaian soal, dan seringnya membuat kesalahan penghitungan dan
kesalahan yang terkait dengan ingatan.
Dalam tulisan ini asumsi yang diberikan adalah siswa sebenarnya telah memiliki
pengetahuan yang tidak berbeda secara signifikan, karena mereka mengikuti
pembelajaran matematika yang diselenggarakan sekolah dengan jumlah waktu yang
sama. Dengan kata lain secara kuantitas mereka memiliki kuantitas pengetahuan
matematika yang sama. Beberapa penelitian terhadap siswa yang berkesulitan dalam
matematika telah difokuskan pada kualitas pengetahuan matematikanya. Secara
spesifik, model jaringan telah juga dipergunakan sebagai dasar untuk menggambarkan
karakteristik pengetahuan spesifik yang dimiliki oleh siswa-siswa ini (Halford 1993).
Beberapa peneliti telah mengindikasikan bahwa kualitas pengetahuan
mencerminkan bagaimana pengetahuan itu direpresentasikan (Ostad 2000). Lebih
spesifik lagi, sebuah tempat penyimpanan pengetahuan matematika akan lebih
fungsional apabila keping-keping informasi itu disusun di dalam otak menjadi suatu
jaringan bagian-bagian yang saling berketergantungan. Oleh karena itu, satu keping
informasi tertentu menjadi bagian dari pengetahuan matematika yang fungsional jika,
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
155
PM – 13 : Kesiapan Siswa SMA...... R Rosnawati
dan hanya jika, siswa mengetahui bagaimana keping informasi spesifik ini dapat
dihubungkan dengan keping-keping informasi lainnya (Hiebert & Lefevre 1986).
Siswa mengalami kesulitan belajar matematika apabila keping-keping informasi
yang dia peroleh masih berdiri sendiri dan belum terbentuk jaringan antar keping-
keping pengetahuan. Dengan asumsi ini diperlukan pembelajaran matematika untuk
siswa yang berkesulitan belajar agar dapat mengembangkan strategi belajarnya sehingga
setiap siswa dapat membentuk jaringan antar keping-keping pengetahuan untuk dapat
memanfaatkan semua keping informasi dalam menyelesaikan seluruh persoalan yang
dihadapi dalam UAN.
III. Definisi Strategi Belajar
Satu definisi umum dari strategi dalam kamus adalah suatu “prosedur untuk
mencapai tujuan”. Dalam beberapa penelitian dan kajian, strategi mengacu pada suatu
prosedur yang dipergunakan untuk menyelesaikan suatu tugas. Dalam definisi yang
paling sederhana dan paling jelas, strategi adalah perilaku pemecahan soal yang
terorganisasi yang diarahkan pada pencapaian sebuah tujuan. Makna lain strategi
meliputi berbagai cara untuk mencapai tujuan, yang meliputi “semua” proses yang
dilibatkan dalam pelaksanaan tugas.
Beberapa peneliti membedakan antara strategi tugas yang spesifik dan strategi
umum. Menurut Goldman, strategi tugas yang spesifik difokuskan pada operasi kognitif
yang diperlukan untuk memecahkan jenis soal tertentu. Strategi ini mengarahkan
seseorang tentang apa yang harus dilakukannya dalam menghadapi soal tertentu
(Goldman et. al. 1988). Strategi tugas yang spesifik dapat terdiri dari bermacam-macam
bentuk dengan tingkat kompleksitas yang berbeda-beda.
Menurut Goldman, strategi jenis ini memberikan kerangka kerja umum bagi
siswa untuk menghadapi tugas-tugas matematika dan memperoleh informasi tentang
kemajuan upaya pemecahannya (Goldman et. al. 1988). Kesimpulannya, terdapat
sekurang-kurangnya dua macam cara fundamental untuk mendefinisikan strategi (1)
sebagai aktivitas yang direncanakan dan berorientasi pada tujuan, atau (2) sebagai
aktivitas yang direncanakan dan berorientasi pada tujuan juga temasuk proses sebelum
pemilihan yang menghasilkan keputusan untuk menggunakan prosedur tertentu guna
memecahkan soal.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
156
PM – 13 : Kesiapan Siswa SMA...... R Rosnawati
Untuk membekali siswa menghadapi UAN diberikan strategi umum dari teori-
teori kognitif dan pemrosesan informasi menjadi strategi-strategi belajar khas. Beberapa
strategi belajar yang dimaksud adalah strategi mengulang, strategi elaborasi, strategi
organisasi.
1. Strategi Mengulang
Strategi ini sangat penting untuk siswa yang berkesulitan belajar matematika,
mengingat kesalahan sering terjadi pada kesalahan mengingat. Untuk penyerapan
pengetahuan yang lebih kompleks diperlukan strategi mengulang kompleks, yaitu perlu
melakukan upaya lebih jauh sekedar mengulang informasi. Menggarisbawahi ide-ide
kunci dan membuat catatan pinggir adalah dua strategi mengulang kompleks yang dapat
diajarkan kepada siswa untuk membantu mereka mengingat bahan ajar yang lebih
kompleks.
a. Menggarisbawahi
Menggarisbawahi membantu siswa belajar lebih banyak dari teks karena
beberapa alasan. Pertama, dengan menggarisbawahi siswa dapat menemukan ide-ide
kunci (dalam bentuk tulisan), oleh karena itu pengulangan dan penghafalan lebih cepat
dan lebih efisien. Kedua, pada saat siswa melakukan pemilihan pada apa yang
digarisbawahi tentunya tidak terlepas dari pengetahuan sebelumnya, dan hal ini akan
membantu dalam menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan yang telah ada.
Kenyataan dilapangan banyak siswa yang tidak memiliki buku matematika dari
kelas XI sampai XII, untuk mengatasi hal tersebut umumnya siswa membeli buku
rangkuman rumus matematika. Sehingga aktivitas menggarisbawahi tidak begitu
tampak pada kondisi ini, mengingat buku rangkuman mengandung ide-ide kunci dalam
bentuk tulisan atapun gambar.
b. Membuat Catatan-catatan Pinggir
Membuat catatan pinggir dan catatan lain membantu melengkapi garis bawah.
Memberi catatan pinggir bertujuan untuk memberikan penjelasan pada kata yang telah
digarisbawahi, mengidentifikasi kalimat yeng membingungkan dan siswa menulis
catatan-catatan dan komentar-komentar untuk diingat. Strategi ini baik digunakan pada
saat siswa membuat catatan. Salah satu cara yang dapat dilakukan guru adalah meminta
siswa untuk menjadi dua kolom dalam buku catatan, seperti tampak pada gambar:
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
157
PM – 13 : Kesiapan Siswa SMA...... R Rosnawati
Catatan Catatan pingir
Siswa
2. Strategi-strategi Elaborasi
Elaborasi merupakan proses penambahan rincian sehingga informasi baru akan
menjadi lebih bermakna. Strategi elaborasi membantu pemindahan informasi baru dari
memori jangka pendek ke memori jangka panjang dengan menciptakan gabungan dan
hubungan antara informasi baru dengan apa yang telah diketahui
a. Pembuatan Catatan
Sejumlah besar informasi diberikan kepada siswa melalui presentasi dan
demonstrasi guru. Pembuatan catatan membantu siswa dalam mempelajari informasi ini
secara singkat dan padat menyimpan informasi untuk ulangan dan dihafal kelak. Bila
dilakukan dengan benar, pembuatan catatan juga membantu mengorganisasikan
informasi sehingga informasi itu dapat diproses dan dikaitkan dengan pengetahuan yang
telah ada secara lebih efektif.
b. Analogi
Analogi adalah pembandingan yang dibuat untuk menunjukan kesamaan antara
ciri-ciri pokok suatu benda atau ide-ide, selain itu seluruh cirinya berbeda, seperti
translansi dengan perpindahan.
c. Preview, Question, Read, Reflect, Recite dan Review (PQ4R)
Metode PQ4R digunakan untuk membantu siswa mengingat apa yang mereka
baca. Melakukan preview dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan sebelum membaca
mengaktifkan pengetahuan awal dan mengawali proses pembuatan hubungan antara
informasi baru dengan apa yang telah diketahui.
3. Strategi Organisasi
Seperti halnya strategi elaborasi, strategi organisasi bertujuan membantu siswa
meningkatkan kebermaknaan bahan-bahan baru, terutama dilakukan dengan
mengenakan struktur-struktur pengorganisasian baru pada bahan-bahan tersebut.
Strategi-strategi organisasi dapat terdiri dari pengelompokan ulang ide-ide atau istilah-
istilah atau membagi ide-ide atau istilah-istilah itu menjadi sub set yang lebih kecil.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
158
PM – 13 : Kesiapan Siswa SMA...... R Rosnawati
Strategi- strategi ini juga terdiri dari pengidentifikasian ide-ide atau fakta-fakta kunci
dari sekumpulan informasi yang lebih besar. Outlining, mapping, dan mnemonics
merupakan strategi organisasi yang umum.
a. Outlining
Dalam outlining atau membuat kerangka garis besar, siswa belajar menghubungkan
berbagai macam topik atau ide dengan beberapa ide utama. Dalam pembuatan
kerangka garis besar tradisional satu-satunya jenis hubungan adalah satu topik
kedudukannya lebih rendah terhadap topik lain. Sama dengan strategi lain, siswa
jarang sebagai pembuat kerangka yang baik pada awalnya, namun mereka dapat
belajar menjadi penulis kerangka yang baik apabila diberikan pengajaran tepat dan
latihan yang cukup.
b. Pemetaan Konsep
Agar supaya belajar jadi bermakna, maka konsep baru harus dikaitkan dengan
konsep-konsep yang ada dalam struktur kognitif siswa. Berkenaan dengan itu
Novak dan Gowin (1985) dalam Dahar (1988:149) mengemukakan bahwa cara
untuk mengetahui konsep-konsep yang telah dimiliki siswa, supaya belajar
bermakna berlangsung dapat dilakukan dengan pertolongan peta konsep.
c. Mnemonics
d. Chunking (potongan)
e. Akronim (singkatan)
4. Strategi Metakognitif
Metakognisi berhubungan dengan pengetahuan siswa tentang cara berpikir
mereka sendiri dan kemampuan mereka menggunakan strategi-strategi belajar tertentu
dengan tepat. Siswa diminta untuk merencanakan strategi (strategi deiberikan sebagai
pengetahuan) yang cocok dengan dirinya, kemudian melakukan managemen diri serta
melakukan evaluasi sebagai atas apa yang telah direncanakan dan dilakukan serta
dihasilkan.
IV. Strategi untuk memecahkan soal-soal matematika
Pada bagian berikut ini akan diuraikan sejumlah strategi yang diterapkan pada
pengerjaan soal matematikatika. Secara keseluruhan, fokus utama kajian ini adalah: (1)
memberikan gambaran tentang kondisi anak berkesulitan belajar matematika dalam
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
159
PM – 13 : Kesiapan Siswa SMA...... R Rosnawati
usaha mempersiapkan UAN (2) menawarkan saran-saran untuk penelitian tentang
strategi di masa mendatang yang melibatkan siswa-siswa yang berkesulitan dalam
matematika.
Pihak sekolah umumnya telah mengadakan try out UAN, baik yang
diselenggarakan oleh dinas Propinsi DIY, maupun oleh pihak sekolah, artinya sekolah
telah menerapkan strategi mengulang. Strategi lain yang diberikan adalah siswa diberi
rangkuman berkaitan dengan fakta dalam matematika dan rumus matematika, termasuk
didalamnya berkaitan dengan peta konsep matematika. Tujuan dari pemberian ini
adalah siswa diminta untuk mengingat sebagai salah satu strategi untuk mereduksi
kesalahan yang dilakukan siswa terkait dengan ingatan, sekaligus memberikan makna
pada pembelajaran matematika.
Mengkomunikasikan sandar kelulusan merupakan strategi lain yang dilakukan
sekolah, hal ini untuk meminta siswa berkesulitan belajar unuk mencapai target minimal
kelulusan yang ditetapkan, yaitu 5,01, sehingga apabila soal matematika dalam UAN
berjumlah 30 soal, maka siswa tersebut harus menargetkan menjawab dengan benar 16
soal yang ada yang dianggap siswa paling mudah. Siswa diminta untuk memilih
minimal 15 soal dari 30 soal-soal ujian akhir nasional tahun 2007 yang ada. Dari 15 soal
yang dipilih, berikut adalah 7 soal yang menurut siswa dianggap mudah. Berikut adalah
soal yang mereka anggap mudah dari 30 soal yang ada.
1. Jika diketahui alog b = m dan blog c = n, tentukan ablog bc
A. m+n C. mnm
++
1)1( E.
mmn++
11
B. m.n D. nmn
++
1)1(
2. Bentuk sederhana dari ( )24332758 −−−
A. 31422 + C. 31422 +− E. 3422 −
B. 3422 −− D. 3422 +−
3. Diketahui x1 dan x2 akar-akar persaaan : 0133
109 =+− xx
A. 2 C. 1 E. -2
B. 23 D. 0
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
160
PM – 13 : Kesiapan Siswa SMA...... R Rosnawati
4. Diketahui matriks A=2Bt (Bt adalah trnspose B), dengan , dan
. Nilai a + b + c = .....
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛=
cba
A324
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛++−
=71232
baabc
B
A. 6 C. 13 E. 16
B. 10 D. 15
5. Diketahui segitiga PQR dengan P (0,1,4); Q (2,-3,2) dan R (-1,0,2). Besar sudut
PRQ adalah ...
A. 120o C. 60o E.30o
B. 90o D. 45o
6. Ali, Budi, dan Dedi pergi ke toko koperasi membeli buku tulis, pena, dan pensil
dengan merk yang sama. Ali membeli 3 buku tulis, 1 pena dan 2 pensil dengan
harga Rp. 11.000,00. Budi membeli 2 buku tulis 3 pena, dan 1 pensil dengan harga
Rp. 14.000,00. Cici membeli 1 buku tulis, 2 pena dan 3 pensil dengan harga Rp.
11.000,00. Dedi membeli 2 buku tulis 1 pena, dan 1 pensil. Berapa rupiah Dedi
harus membayar?
A. Rp. 6.000,00 C. Rp. 8.000,00 E. Rp. 10.000,00
B. Rp. 7.000,00 D. Rp. 9.000,00
7. Diketahui premis-pemis berikut:
Premis 1 : Jika Dodi rajin belajar, maka ia naik kelas
Premis 2 : Jika Dodi naik kelas, maka ia akan dibelikan baju
Kesimpulan yang sah adalah :
A. Dodi tidak rajin belajar tetapi ia akan dibelikan baju
B. Dodi rajin belajar tetapi ia tidak akan dibelikan baju
C. Dodi rajin belajar atau ia akan dibelikan baju
D. Dodi tidak rajin belajar atau ia akan dibelikan baju
E. Dodi rajin belajar atau ia tidak akan dibelikan baju
Berikut adalah pengetahuan serta strategi yang mereka gunakan untuk
menyelesaikan soal tersebut, yang tentunya tidak semua strategi yang digunakan sesuai
dengan yang diharapkan dalam kompetensi dalam matematika :
1. Digunakan log ab = log a + log b, sedangkan bilangan dasar tidak diperhatikan.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
161
PM – 13 : Kesiapan Siswa SMA...... R Rosnawati
Analisa : siswa lupa dengan sifat-sifat logaritma, sehingga tidak dapat
mengembangkan strategi dalam menyelesaikan soal tersebut.
2. Digunakan kalkulator untuk menghitung soal no 2 dan 3
Analisa : Siswa tidak mengetahui keterkaitan soal dengan bentuk kuadratik
3. Digunakan makna kesamaan dua buah matriks, dengan mengabaikan transpose.
Analisa : siswa lupa dengan konsep transpose, serta belum terampil menggabungkan
konsep transpose dan kesamaan dua buah matriks
4. Digambar kemudian diperkirakan nilai sudut
Analisa : Siswa belum terampil memanfaatkan aturan cosinus serta konsep jarak
5. Digunakan tabel untuk memodelkan soal no 6
Analisa : strategi sudah baik, tetapi penentuan solusi masih terjadi kesalahan hitung
6. Digunakan perbandingan untuk menghitung soal no 6.
Analisa : srategi dapat digunakan untuk soal sejenis yang mudah
7. Digunakan logika umum untuk menyelesaikan soal no 7
Analisa : untuk masalah sederhana dapat digunakan strategi tersebut.
Dilihat dari pengerjaan soal siswa masih minim akan strategi penyelesaian,
disamping karena mereka melakukan kesalahan berkaitan dengan ingatan. Asumsi
dasarnya adalah perkembangan yang normal ditandai oleh fakta bahwa bila siswa
bertambah pengetahuan, strategi baru pun terbentuk (baru menjadi asumsi, masih
memerlukan dukungan data). Jadi, jumlah pengetahuan tentang strategi tugas yang
spesifik itu meningkat, dan siswa perlahan-lahan mendapatkan koleksi strategi yang
lebih bervariasi. Kemiskinan akan strategi menandakan bahwa penggunanya belum
matang, (sangat muda), sedangkan kekayaan strategi menandakan bahwa pengguna
strategi itu sudah matang.
Untuk dapat mengaitkan penggunaan strategi dengan berbagai kondisi yang
berubah-ubah, penting bagi siswa untuk memiliki pengetahuan tentang bermacam-
macam strategi. Ini mengisyaratkan bahwa fungsionalitas penggunaan strategi siswa
sebagian dapat merupakan fungsi kuantitas pengetahuan strateginya. Faktor sentral
lainnya dalam perkembangan adalah bahwa tempat penyimpanan strategi siswa itu
berubah terus.
Di dalam alur perkembangan, kualitas dasar pengetahuan strategi berubah ke
arah yang lebih fleksibel dalam hal kemampuan untuk mengadaptasikan pengetahuan
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
162
PM – 13 : Kesiapan Siswa SMA...... R Rosnawati
strategi itu dengan berbagai situasi yang berbeda-beda (Ostad; 2000). Bila seorang
siswa, dalam kurun waktu yang sangat panjang, misalnya dua tahun, selalu
menggunakan strategi yang sama tanpa variasi dari satu situasi ke situasi lainnya, ini
dapat disebabkan oleh kemiskinannya akan strategi. Tetapi mungkin juga pengetahuan
strateginya tidak disimpan dengan tepat.
V. Kesimpulan
Untuk memperhatikan kebutuhan siswa-siswa yang berkesulitan belajar
matematika, metode pengajaran perlu mengubah fokusnya, sejak siswa masuk di tahun
pertama sekolah, dari cara belajar yang memberikan banyak materi matematika menjadi
cara belajar matematika dengan menggunakan strategi yang tepat. Hal ini akan dapat
membantu siswa menjadi pengguna strategi yang baik dan adanya pergeseran dari
sekedar menghafal keterampilan-ketrampilan dasar, menjadi belajar bermakna.
Disamping itu diberikan pengetahuan tentang strategi belajar, seperti antara lain
membuat catatan, teknik mengingat (dengan memberi contoh), serta pentingnya
melakukan evaluasi pada strategi yang telah dipilih. Pengajaran cara pemecahkan soal
akan membantu siswa yang kekurangan strategi pemecahan soal dengan pengajaran
yang eksplisit untuk memudahkan mereka membaca, memahami, mengerjakan dan
mengevaluasi soal.
Daftar Pustaka Goldman, S.R., Pellegrino, J.W., & Mertz, D.L. (1988). Extended practice of basic
addition facts: Strategy changes in learning disabled students. Cognition and Instruction , 5, 223-265.
Halford, G.S. (1993). Children’s understanding. The development of mental models.
Hillsdale, NJ: Erlbaum. Ostad, S.A. (1989). Mathematics trough the fingertips. Hosle-Oslo: The Norwegian
Institute for Special Education. Ostad S.A. (2000). Cognitive subtraction in a developmental perspective: Accuracy,
speed-of-processing and strategy-use differences in normal and mathematically disabled children. FOCUS on learning Problems in Mathematics, 22(2), 18-31.
Paul Suparno.(1997). Filsafat Konstruktivise dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
163
PM – 14 : Pembelajaran Matematika Berbasis Teknologi.... Rudy Kurniawan
Pembelajaran Matematika Berbasis Teknologi untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Konsep, Pemecahan Masalah dan
Afektif Matematik Peserta Didik ( Artikel Kajian Hasil Penelitian Internasional Pendidikan Matematika )
Rudy Kurniawan
(STKIP YASIKA Majalengka)
Abstrak Kajian hasil penelitian internasional pendidikan matematika yang berbasis teknologi ini diarahkan untuk menemukan isu-isu pembelajaran matematika terkini yang dapat dijadikan salah satu sumber utama untuk mendorong para praktisi pendidikan dalam meningkatkan doing math peserta didik, yang mungkin timbul dari praktek pembelajarannya. Hasil kajian menunjukkan bahwa teknologi pembelajaran matematika berupa Kalkulator Grafik, Sistem Multi Media Teknologi Komputer serta Evaluasi pembelajaran matematika berbasis web-komputer dapat meningkatkan kemampuan pemahaman konsep, pemecahan masalah matematik dan sikap peserta didik terhadap matematika, diberbagai level pendidikan. Walaupun demikian, peranan guru, rancangan materi ajar, mathematical task, kondisi dan kemampuan siswa, perkembangan mental, kemampuan prasyarat peserta didik, sarana dan prasarana serta aspek-aspek pedagogis harus dipertimbangkan dalam pelaksanaannya, sehingga aspek kemampuan doing math dan afektif yang diharapkan dapat tercapai. Kata kunci : Pembelajaran berbasis teknologi, kemampuan doing math.
A. Pendahuluan
Pembelajaran matematika yang sering dilakukan pada level sekolah dan
perguruan tinggi pada umumnya menggunakan pembelajaran konvensional, artinya
pembelajaran tersebut dilakukan pendidik beupa penyampaian materi kepada peserta
didik, latihan penyelesaian soal, pemberian tugas-tugas, dan diakhiri dengan ujian tulis
peserta didiknya.
Pembelajaran konvensional yang dilakukan pada level-level tersebut pada
umumnya hanya berjalan satu arah, sehingga aktifitas mental proses pembentukan
konsep matematika (minds on) peserta didik kurang dilibatkan secara maksimum,
pembelajaran berkesan tidak bermakna, bahkan tidak jarang suatu konsep tertentu hanya
dipahami sebagai bentuk hafalan, bukan sebagai pengertian, sehingga konsep-konsep
tersebut akan mudah hilang. Bahkan, yang lebih memprihatinkan, terkadang konsep
matematika dipahamani secara keliru (miskonsepsi), sehingga peserta didik tidak
mampu menerapkan dengan baik konsep-konsep dan teorema-teorema yang telah
dipelajarinya untuk menyelesaikan soal-soal latihan, apalagi dalam menyelesaikan suatu
soal/ permasalahan yang berkaitan dengan konsep-konsep materi yang lainnya
(misalnya untuk level mahasiswa dalam membuktikan suatu teorema), ataupun
menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan kehidupan keseharian.
Pembelajaran berbasis tehnologi adalah salah satu alternatif yang dapat
digunakan untuk mengatasi dampak negatif dari pembelajaran konvensional.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
164
PM – 14 : Pembelajaran Matematika Berbasis Teknologi.... Rudy Kurniawan
Pembelajaran berbasis tehnologi dapat meliputi pembelajaran matematika yang dilihat
dari dua sisi, yaitu pembelajaran matematika sebagai sebuah pembelajaran konsep yang
dipelajari secara formal, deduktif dan pembelajaran matematika sebagai sebuah aktivitas
manusia yang aktif dinamik. Artinya, pembelajaran matematika berbasis tehnologi akan
memperhatikan konstruktivis peserta didik dalam membangun suatu konsep matematika
dan menerapkannya untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang dihadapi peserta
didik secara sistematis, logis dan mudah. Pembelajaran tersebut akan melibatkan siswa
secara aktif dan menyenangkan dalam proses pembelajaran matematikanya, selanjutnya
melalui rasa senang dan ketertarikan peserta didik terhadap pembelajaran matematika
maka akan meningkatkan prestasi belajar khususnya kemampuan pemahaman konsep,
pemecahan masalah matematik maupun kemampuan afektifnya.
B. Kajian Teori Mengenai Pembelajaran Berbasis Tehnologi
Pembelajaran matematika berbasis tehnologi, baik itu menggunakan kalkulator
grafik, komputer, sistem multi media, web-jaringan tinggi serta tehnologi lainnya adalah
salah satu pembelajaran yang dapat disajikan untuk memicu konstruktivis peserta didik
dalam membangun suatu konsep matematika dan menerapkkannya dalam mencari
solusi yang dihadapi peserta didik, hal ini senada dengan pendapat Mayer (Su dan Lee,
2005) yang menyatakan bahwa lingkungan pembelajaran berbasis tehnologi
(multimedia) dapat memunculkan pembelajaran yang bersifat konstruktif dan
memungkinkan siswa untuk menemukan pemecahan suatu masalah dengan mudah.
Menurut Kastberg dan Leatham (2005), kalkulator grafik pertama kali di
gunakan pada tahun 1985 dan beberapa tahun kemudian para pendidik matematika
mulai melakukan studi tentang cara dan pengaruh alat ini pada pengelolaan kegiatan
belajar mengajar. Area penelitian tersebut dikumpulkan menjadi sebuah alat penelitian
pada penampilan dan belajar siswa yang menggunakan kalkulator grafik, yang kini terus
tumbuh dan berkembang sebagai batang tubuh penelitian tentang penggunaan serta
pengaruh pengetahuan kalkulator grafik pada proses pembelajaran matematika. Hal
yang perlu diperhatikan adalah pemanfatan akses kalkulator grafik seharusnya
digunakan sebagai fasilitas untuk memahami suatu konsep matematika bukan sebagai
alat hitung semata.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
165
PM – 14 : Pembelajaran Matematika Berbasis Teknologi.... Rudy Kurniawan
Demana & Waits (Serhan, 2006) menyatakan bahwa kalkulator-kalkulator grafik
memberi penawaran untuk memecahkan suatu masalah yang cakupannya luas, yang
tidak perlu dibatasi lagi oleh ketrampilan-ketrampilan aljabar dan aritmetika siswanya.
Bahkan Dick, Fey (Serhan, 2003) berpendapat bahwa penggunaan peralatan kalkulator
grafik di dalam instruksi pengajaran matematika akan memberi peluang para siswa
untuk mengeskplorasi suatu jangkauan fungsi secara lebih luas. Alat ini menyediakan
para siswa dengan akses yang mudah untuk melakukan multiple representasi. Hal itu
menggeser perhatian siswa dari perhitungan rutin menuju bentuk pengujian dan
eksplorasi secara mathematical, mempromosikan satu pendekatan elementer analytical
secara visual, dan mempromosikan pemakaian grafik-grafik untuk memonitor kemajuan
di dalam pemecahan suatu masalah. Selain itu, penggunaan kalkulator grafik,
memungkinkan juga untuk meminimalkan waktu dalam membuat suatu kemampuan
manipulasi simbolis siswa, sehingga dalam pembelajaran matematika akan
meningkatkan waktu untuk memecahkan masalah dan aplikasi-aplikasi suatu konsep
matematika.
Pemakaian alat teknologi seperti kalkulator grafik yang dirancang sesuai dengan
pembelajaran suatu konsep matematika dan karakteristik sekolah, maka dalam
pembelajaran matematikanya tersebut siswa akan lebih banyak mengambil dan
membutuhkan tanggung jawabnya dalam pembelajaran mereka sendiri, sehingga
dinamika aktivitas kelas lebih aktif, lebih banyak diskusi, konsep ditanamkan secara
inquiri dan pembelajaraan dapat dilakukan secara kooperatif multi dimensi, tidak
monoton satu arah. Dengan demikian melalui suatu perencanaan pembelajaran yang
baik, penggunaan tehnologi selain sebagai alat bantu perhitungan yang digunakan dalam
pembelajaran matematika juga dapat digunakan sebagai alat untuk membangun konsep-
konsep matematika, hal ini sesuai dengan pendapat Thomas dan Sullivan (Arnold dan
Lawson, 2003) menyatakan bahwa pembelajaran dengan menggunakan tehnologi /
komputer dalam kelas-kelas matematika dapat membantu siswa untuk memahami
konsep-konsep abstrak.
Terlebih dengan makin merambahnya tehnologi dalam globalisasi dunia
pendidikan, maka pembelajaran konstruktivisme dengan berbasis teknologi mau tidak
mau harus dilakukan sebagai sebuah alternatif pembelajaran matematika, hal ini sesuai
dengan pendapat Zorn (Arnold dan Lawson,2003) bahwa teknologi komputer membuat
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
166
PM – 14 : Pembelajaran Matematika Berbasis Teknologi.... Rudy Kurniawan
revolusi dalam pembelajaran pendidikan matematika, bahkan Koarndt (Su dan Lee,
2005) menyatakan bahwa pembelajaran berbasis komputer dan multimedia sangatlah
penting, tidak hanya dalam pendidikan formal tetapi dalam konteks pendidikan kejuruan
lainnya.
Pembelajaran sebuah konsep matematika yang menggunakan tehnologi, dapat
meningkatkan rasa ketertarikan siswa, dan sifat enjoyment peserat didik dalam
mempelajari konsep-konsep matematika selanjutnya.. Oleh karena itu, kemampuan
penggunaan tehnik-tehnik yang lebih mahir serta perencanaan dan penerapan
pembelajaran untuk menuju pada penguasaan konsep matematika peserta didik dengan
berbasis tehnologi terus dikembangkan oleh para ahli. Usaha penjembatanan tersebut
adalah logis, karena menurut Nooriafshar (2004) berdasarkan bukti penelitian sejak
tahun 1996 hingga tahun 2000 mengungkapkan bahwa 50% siswa tidak dapat menyerap
materi pelajaran selama kegiatan belajar mengajarnya, bahkan menurut hasil survei di
Toowomba High School Students (THSS) mengungkapkan bahwa 39% siswa tahun ke-
12 tidak merasakan pembelajaran matematika secara menyenangkan. Hasil investigasi
THSS dalam pembelajaran statistika adalah : 51% siswa menyukai melihat grafik,
membayangkan gambar yang sesuai selama pembelajaran berlangsung, 44% siswa
menyukai guru memberikan penjelasan secara lisan, hanya 5% siswa yang mempunyai
kesempatan suka membaca buku atau hand out, dan bertanya pada guru bila mereka tak
memahami suatu konsep.
Sebenarnya Standar National Council Teachers/NCTM (Olkun, Sinoplu,
Deryakulu, 2002) telah mengisyaratkan bahwa pembelajaran matematika (konsep
geometri) untuk tingkat siswa sekolah dasar sekalipun dapat menggunakan alat
tehnologi seperti sofware geometri interaktif, ‘geometers skettchpad’ untuk
meningkatkan pembelajaran siswanya, selain itu dari NCTM Mathematics menuntut
suatu kurikulum matematika, yang "menekankan pemahaman konseptual, multiple
representasi dan koneksi-koneksi, pemodelan matematik, dan pemecahan masalah
matematik.
Walaupun pada umumnya para ahli berpendapat bahwa pembelajaran
matematika berbasis tehnologi, kalkulator grafik dan komputer membawa efek yang
positif terhadap hasil pembelajaran matematika, namun ada juga yang berpendapat
sebaliknya. Clark dkk (Arnold dan Lawson, 2003) menyatakan bahwa penggunaaan
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
167
PM – 14 : Pembelajaran Matematika Berbasis Teknologi.... Rudy Kurniawan
interaktif multi media tidak menemukan efek positif yang konsisten terhadap
pembelajaran matematika, begitu pula Rieber (Su dan Lee, 2005) ia menyimpulkan
bahwa animasi pada sebebuah program komputer tidak dapat membantu dan
memfasilitasi efektifitas proses pembelajaran, bahkan Lin dan Dwyer (Su dan Lee,
2005) menunjukan bahwa animasi tidak efektif dalam hal biaya atau strategi yang
efektif untuk meningkatkan prestasi siswa dalam pencapaian pengetahuan berdasarkan
intruksi web dan objek yang dilakukan.
Kasberg dan Leatham (2005) menemukan bahwa akses kalkulator grafik
membentuk sebuah kritikan bagi guru – guru matematika SMP Amerika, walaupun
demikian hal ini menjadi dasar dimensi bagi partisipasinya guru, tentang keyakinan
penggunaan tekhnologi di ruang kelas.
Seperti halnya pembelajaran matematika yang berbasis tehnologi, evaluasi
pembelajaran matematika mempunyai alternatif asesmen lain yang berbeda seperti pada
umumnya asesmen yang sering dilakukan dengan menggunakan pinsil dan kertas.
Kinzer, Cammak serta Morgan & O’Rielly (Nguyen, 2005) menyatakan bahwa
penilaian berbasis-web melalui pembelajaran jarak jauh, di dalam kelas, atau di lab
komputer memungkinkan guru memonitor kemajuan siswa, memungkinkan siswa
menilai diri sendiri (self-asses) dan mengatur sendiri (self-regulate), serta menjadi
pembelajar yang mengarahkan sendiri (self-directed).
Selanjutnya, menurut Allen (2001), Lin (2002) dan Chung dan Baker (2003),
penilaian berbasis-web memperkenalkan siswa pada cara yang menggairahkan dalam
belajar dan memperkenalkan guru pada alat yang sangat kuat dalam menilai kemajuan
siswa.
Menurut pengkajian dari Middleton dan Spanias, 1999; Beevers, McGuire,
Sterling, dan Wild, 1995 (Nguyen, 2005) praktek evaluasi berbasis-web dapat
menciptakan konteks belajar dan penilaian yang berbeda, dan menghasilkan pendekatan
yang fleksibel dalam pembelajaran dan evaluasi. Pendekatan yang fleksibel ini
memungkinkan siswa menerima informasi tepat waktu mengenai perbaikan dan
penyesuaian mereka. Bahkan Carter (2004) menyatakan bahwa dengan keunggulan
yang unik ini, penilaian berbasis-web membawa misi instruksional bahwa penilaian
kertas-dan-pinsil pada pembelajaran tradisional tidak pernah dapat tersempurnakan.
Disamping itu, agar sukses dalam pembelajaran berbasis web atau e-learning Sumarmo
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
168
PM – 14 : Pembelajaran Matematika Berbasis Teknologi.... Rudy Kurniawan
(2006) merekomendasikan peserta didik seharusnya : a) have a high selft regulated
learning, b) have their own objectives, c) select learning materials and ways of
learning, d) select and solve learning tasks, e) reflect and self-evaluate their learning
progress. Dengan demikian, maka kondisi-kondisi tersebut mengharuskan para pendidik
untuk mengembangkan materi pembelajaran yang beragam dan sesuai dalam memenuhi
kebutuhan belajar matematika peserta didiknya. Melalui pengkondisian ini, tentulah
peningkatan hasil belajar berupa kemampuan pemahaman konsep, pemecahan masalah
matematik dan afektif matematika siswa akan memberi peluang yang baik.
C. Hasil Penelitian
Berikut ini dikemukakan hasil-hasil penelitian tentang pembelajaran matematika
berbasis tehnologi komputer, kalkulator grafik dan penilaian berbasis web dari peneliti-
peneliti, seperti Arnold dan Lawson (2003), Nooriafshar (2004), Su dan Lee (2005),
Kasberg dan Leatham (2005), Nguyen (2005) serta Serhan (2006).
Arnold dan Lawson (2003), meneliti tentang problem solving untuk masalah-
masalah spasial (ruang), yaitu hidden cubes, mapping, rotasi, simetri, dan visualisasi.
Subjek dalam penelitian ini adalah 52 orang siswa kelas 7 di Australia yang terbagi dari
26 siswa-siswa bekerja secara berpasangan menggunakan komputer dengan program
Working Mathematically Space (WMS) dan 26 siswa-siswa menggunakan pembelajaran
dengan alat peraga konvensional. Dari 26 siswa tersebut dibagi kedalam 6 pasang siswa
dibimbing guru, dan 7 pasang siswa tanpa pembimbingan guru, mereka diminta
menyelesaikan suatu instrumen berupa tugas problem solving untuk membentuk suatu
menara simetris dari berbagai bentuk dan ukuran balok yang jumlahnya 44, tingginya 4
tingkat dengan satu balok berada di puncak, serta semua balok harus terpakai.
Hasil penelitian mereka, ternyata menunjukan bahwa kemampuan problem
solving siswa-siswa yang menggunakan program WMS tidak berbeda secara signifikan
hasil pembelajarannya dibandingkan dengan kemampuan siswa yang menggunakan alat
peraga konvensional baik yang dibimbing guru maupun yang tidak dibimbing guru
dalam menyelesaikan masalah-masalah ruang/spasial tersebut.
Berbeda dengan hasil penelitian Arnold dan Lawson, penelitian kualitatif oleh
Nooriafshar (2004) menunjukan bahwa pembelajaran matematika dengan menggunakan
program dinamik melalui metode general porpose dan adopsi general porpose tabel
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
169
PM – 14 : Pembelajaran Matematika Berbasis Teknologi.... Rudy Kurniawan
serta generalised recursive formula (GRF) dengan multimedia ternyata memberikan
respon yang positif. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa-siswa kelas 3 SMA di
Toowomba Australia, sedangkan instrumen yang digunakannnya berupa masalah
kontekstual program dinamik (program linier).
Hasil penelitiannya menunjukan bahwa siswa-siswa belajar matematika secara
menyenangkan, dan hasil pencapaian kemampuan matematika siswa pada topik materi
dinamik programing terus meningkat, lebih dari 95% hasil penilaian siswa sangat
memuaskan, 52% siswa lebih menyukai pembimbingan dalam mencari solusi, 55%
siswa menyukai pengunaan grafik, animasi dan corak secara visual, 95 % siswa
umumnya sukses menggunakan GRF setelah mengerjakan 2 sampai 3 kali contoh
masalah program dinamik. Selain itu terungkap bahwa kegiatan belajar mengajar
melalui pembelajaran berbasis tehnologi ini menghasilkan suatu pemberian kesempatan
bagi para siswa dengan kemampuan matematika yang mulanya ada pada level kedua
berubah menjadi sukses pada level yang lebih tinggi serta siswa belajar menjadi lebih
mudah sekalipun mempelajari topik matematika yang relatif tinggi/sulit.
Su dan Lee (2005), melakukan penelitian eksperimen, mereka meneliti tentang
pemahaman konsep mahasiswa tentang topik limit dengan menggunakan tehnologi
multimedia. Mereka mengunakan subjek penelitian dengan sampel 96 mahasiswa
jurusan bisnis manajemen yang terbagi kedalam 2 kelompok, yaitu 50 mahasiswa
melakukan pembelajaran topik limit dengan menggunakan buku teks dan 46 mahasiswa
kelompok eksperimen menggunakan tehnologi multimedia antara lain flash animations
program, gambar statis matematik, power poin dan software e-plus, termasuk konsep
komputer animasi flash, contoh matematika static, power point dan software
berdasarkan instruksi e-plus. Untuk mengetahui pemahaman mahasiswa tentang
penguasaan limitnya, digunakan instrumen masalah konsep limit yang meliputi 3 jenis
pertanyaan, yaitu: a) Tiga pertanyaan tentang pengetahuan limit, b) Lima pertanyaan
tentang kemampuan berpikir rasional, c) Dua pertanyaan tentang aplikasi limit. Selain
itu, dalam mengumpulkan informasi tentang sikap mahasiswa, yaitu sikap belajar
mahasiswa terhadap pembelajaran dengan menggunakan tehnologi multi media, sikap
guru selama pembelajaran, sikap lingkungan belajar terhadap multimedia, sikap
mahasiswa terhadap evaluasi diri dan hasil belajar, peneliti menggunakan penilaian
skala lima tingkatan dari Likert yang dikembangkan oleh Su.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
170
PM – 14 : Pembelajaran Matematika Berbasis Teknologi.... Rudy Kurniawan
Hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa mahasiswa yang pembelajaran
matematikanya menggunakan tehnologi multimedia lebih baik pemahaman limitnya
dibandingkan mahasiswa yang tidak menggunakan multimedia, selain itu berdasarkan
hasil dari skala sikap mahasiswa kelompok eksperimen memberi hasil respon yang
positif. Artinya pembelajaran matematika pada topik limit dengan menggunakan
tehnologi multimedia, dilihat daris segi hasil belajar mahasiswa maupun sikap pendidik
dan peserta didiknya mendapatkan hasil kemampuan kognitif dan afektif pembelajaran
yang menggembirakan.
Serhan (2006), melakukan penelitian dengan menggunakan metodologi
penelitaian kuantitatif dan kualitatif tentang perbandingan pemahaman dan gambaran
konsep derivatif di suatu titik antara mahasiswa yang menggunakan kalkulator grafik
dengan yang tidak menggunakan kalkulator grafik pada pembelajaran kalkulus. Sampel
yang berrperan dalam penelitian ini, yaitu 71 mahasiswa semester 1 program sarjana di
dua universitas USA yang berbeda, terdiri dari 24 mahasiswa di kelas eksperimen
menggunakan pembelajaran materi kalkulus dengan berbantuan kalkulator grafik dan 47
mahasiswa pada kelas kontrolnya (tradisonal) tidak berbantuan kalkulator grafik. Selain
itu 11 mahasiswa, 5 mahasiswa kelas eksperimen dan 6 mahasiswa di kelas tradisional
melakukan wawancara. Instrumen pretes dan postes sebanyak 11 soal berbentuk uraian
tentang konsep derivatif disuatu titik dilakukan selama 50 menit. Sebagian dari soal-soal
uraian ini meminta siswa untuk menemukan tingkat perubahan rerata, nilai derivative
yang diberikan pada suatu titik, dan apa yang dimaksud dengan konsep derivative pada
suatu titik. Sebagian pertanyaan dari test ini diambil dari riset studi-studi yang
berhubungan dengan derivative, misalnya dari Orton (1983), dan Zandieh (1997),
Serhan (2006). Selain itu, untuk mengetahui sampai sejauh mana tingkat
pengembangan, pemahaman dan gambaran konsep derivatif mahasiswa digunakan
instrumen wawancara yang terdiri dari 8 Probing Question tentang konsep derivatif
yang dilakukan secara terbuka.
Berdasarkan hasil tes setelah pembelajaran, ternyata pemahaman konsep
kalkulus mahasiswa tentang derivatif disuatu titik dengan mengunakan kalkulator grafik
lebih baik hasilnya dibandingkan dengan yang tidak menggunakan kalkulator grafik.
Artinya mahasiswa yang menggunakan kalkultor grafik bisa membentuk koneksi yang
lebih baik dalam merepresentasikan secara berlainan tentang derivative pada suatu titik
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
171
PM – 14 : Pembelajaran Matematika Berbasis Teknologi.... Rudy Kurniawan
dibandingkan dengan para mahasiswa yang tidak menggunakan kalkulator grafik.
Sedangkan berdasarkan hasil wawancara terungkap bahwa, kedua kelompok penelitian
tidak berbeda dalam hal : a)membangun suatu kesan visual tentang derivative pada
suatu titik sebagai kemiringan dari garis singgung pada titik tersebut, b) penguasaan
aturan turunan dan menggunakannya dalam menemukan derivative dari suatu fungsi
pada suatu titik yang spesifik, c) kebanyakan mahasiswa tidak mampu menggunakan
definisi secara simbolis tentang derivative pada suatu titik secara benar. Walaupun
demikian ternyata mahasiswa yang menggunakan kalkulator grafik pada umumnya
mengevaluasi derivative dengan suatu tabel dari nilai fungsinya dan mengunakan titik-
titik magnifikasi yang berbeda dalam membuat grafik, serta pada umumnya mahasiswa
mampu membuat koneksi antara tingkat perubahan rerata dan tingkat perubahan sesaat,
tetapi untuk kelompok tradisional pada umumnya mahasiswa tidak mampu membuat
koneksi antara tingkat perubahan rerata dan tingkat perubahan sesaatnya. Artinya
mahasiswa yang menggunakan kalkulator grafik menekankan secara visual dan
representasi numerik tentang konsep derivative, kalkulator grafik membantu para
mahasiswa mengembangkan suatu gambaran konsep, representasi yang berbeda tentang
derivative, dengan koneksi representasi-representasinya yang lebih baik dari pada
mahasiswa kelas tradisionalnya. Dengan demikian penggunaan kalkulator grafik,
memungkinkan juga untuk meminimalkan waktu dalam membuat suatu kemampuan
manipulasi simbolis siswa, sehingga dalam pembelajaran matematika akan
meningkatkan waktu untuk memecahkan masalah dan aplikasi-aplikasi suatu konsep
matematika.
Kasberg dan Leatham (2005), melakukan penelitian studi literatur tentang aspek
kalkulator grafik, penempatan kalkulator grafik dalam kurikulum matematika dan
koneksi antara kalkulator grafik dengan praktek pedagogik. Penelitian survey ini
ditujukan pada penelitian-penelitian akses kalkulator grafik yang diasosiasikan dengan
peningkatan penilaian siswa dan keluasan dari pendekatan problem solving terhadap
guru-guru dan calon guru serta siswa-siswa dari jenjang SD, SMP hingga perguruan
tinggi di USA.
Hasil penelitian memberi kesan bahwa penilaian siswa memberi efek yang
positif ketika mereka menggunakan kurikulum yang di-disain menggunakan kalkulator
grafik sebagai alat utama dalam pembelajaran matematika, selain itu penelitian pada
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
172
PM – 14 : Pembelajaran Matematika Berbasis Teknologi.... Rudy Kurniawan
guru yang menggunakan kalkulator grafik mengilustrasikan pengaruh yang kuat
terhadap profesionalisme, pengetahuan kemampuan matematika siswa dan penggunaan
kalkulator pada pembelajarannya.
Walaupun penggunaan kalkulator grafik pada pembelajaran matematika sekolah
memberi hasil yang beragam pada performance siswa di USA, namun peneliti
mengusulkan bahwa penggunaan kalkulator grafik bisa ditempatkan pada kurikulum.
Para guru dan calon guru matematika secara pedagogik harus mampu memanfaatkan
kalkulator grafik untuk proses pembelajarannya. Oleh karena itu pembelajaran
matematika dengan menggunakan kalkulator grafik seharusnya hanya digunakan setelah
siswa memahami prosedur matematika dengan aktivitas yang dilakukan siswa.
Penggunaan kalkulator grafik seharusnya digunakan sebagai fasilitas untuk memahami
suatu konsep matematika bukan hanya digunakan sebagai pengecekan atas pekerjaan
siswa semata.
Berkaitan dengan penelitian mengenai penilaian/asesment berbasis tehnologi,
Nguyen (2005) meneliti tentang perbandingan prestasi belajar siswa tentang penguasaan
konsep siswa tentang perhitungan pecahan dan perhitungan dalam bentuk kontekstual.
Subjek penelitian adalah 95 orang siswa-siswa sekolah menengah pertama di Texas
bagian tenggara USA, terdiri dari 50 orang siswa tingkat tujuh (kelas 1 SMP) dan 45
orang tingkat delapan (kelas 2 SMP) dengan 41 orang siswa perempuan dan 54 orang
siswa laki-laki. Komposisi rasialnya adalah 12% Afrika Amerika, 25 % Hispanic, dan
63 % kulit putih. Sembilan siswa (tujuh dari satu sekolah dan dua dari sekolah lain)
dikelompokkan oleh sekolah mereka sebagai yang berhadapan dengan resiko,
berdasarkan pedoman negara. Semua siswa, kecuali satu, pandai berbicara bahasa
inggris. Siswa dari enam kelas matematika secara acak ditetapkan kedalam dua
kelompok perlakuan dalam masing-masing kelas. Setengah siswa dalam setiap kelas
berpartisipasi dalam pembelajaran dan praktek berbantuan basis-web (WALA) dan
menghabiskan waktu prakteknya di lab komputer. Setengah dari sisanya dikelas dan
melakukan praktek pembelajaran tradisional dengan bimbingan guru matematika
(TALA) selama waktu praktek pekerjaan rumah. Sesi praktek ini berakhir 30 menit
setiap hari, tiga kali seminggu selama tiga minggu. Instrumen untuk mengetahui
kemampuan konsep pecahan dan desimal menggunakan tes tentang perhitungan
pecahan dan desimal dalam bentuk kontekstual. Sedangkan untuk mengetahui sikap
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
173
PM – 14 : Pembelajaran Matematika Berbasis Teknologi.... Rudy Kurniawan
siswa terhadap pembelajaran dengan penilaian berbasis tehnologi menggunakan angket
skala lima yang diadaptasi dari Instrument for Assessing Educator Progress in
Technology Integration from the University of North Texas.
Hasil penelitian ternyata prestasi siswa-siswa yang menggunakan pembelajaran
dan praktek penilaian berbasis tehnologi web dan komputer memberikan hasil
kemampuan matematika yang lebih baik dibandingkan dengan siswa yang tidak
menggunakan tehnologi berbasis web dan komputer. Selain itu berdasarkan hasil angket
ternyata 94% siswa (46 dari 49 siswa) lebih menyukai praktek pemebelajaran dan
penilaian berbasis-web daripada praktek pembelajaran dan penilaian berbasis kertas-
dan-pinsil.
D. Diskusi Hasil Penelitian
Dari penelitian Arnold dan Lawson (2005) ditemukan bahwa siswa yang
pembelajaran matematikanya menggunakan komputer pada program WMS ternyata
hasil belajarnya tidak berbeda secara signifikan dibandingkan dengan siswa yang
menggunakan alat peraga konvensional. Mananggapi hal ini penulis menduga bahwa
akses-akses kemampuan siswa dalam menggunakan software komputer bisa jadi belum
dikuasai siswa, selain itu perlu dikaji tingkat kemudahan/kesulitan penggunaan software
WMS-nya. Soal-soal/matehmatical task problem solving serta kedalam materi yang
digunakan harus memiliki validitas dan reliabilitas yang baik agar layak digunakan
sebagai suatu instrumen penelitian yang menggunakan multimedia/pembelajaran
berbasis tehnologi. Dalam memilih tugas matematika/matehmatical task, Sumarmo
(2006) berpendapat bahwa tugas-tugas tersebut dapat merupakan proyek pertanyaan,
soal, konstruksi, penerapan, atau latihan soal. Pemilihan tugas harus dilakukan dengan
pertimbangan ; matematika yang relevan; pemahaman minat dan pengalaman belajar
siswa; cara belajar siswa.
Hasil penelitian Nooriafshar (2004) yang menyoroti tentang pemaksimalan
pembelajaran program dinamik secara lebih mudah dan menyenangkan,
mengindikasikan bahwa pembelajaran matematika dengan berbasis tehnologi tetap
memerlukan kuantitas latihan siswa dalam mengerjakan tugas dan praktek latihan
menyelesaiakan suatu permasalahan/soal. Oleh karenanya, suatu sistem multimedia
tidak harus menjadi pengganti pengajaran tradisional, sistem multimedia yang paling
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
174
PM – 14 : Pembelajaran Matematika Berbasis Teknologi.... Rudy Kurniawan
efektif adalah peranan guru yang nyata didalam kelas, yaitu guru yang menggunakan
bahasa tubuh dan guratan ekspresi, berubah nada suara dan menetapkan kontak mata
dengan siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Selain itu karena penelitian
Nooriafshar (2004) bersifat kualitatif pada sebuah sampel dengan topik dinamik
programing, maka perlu adanya bentuk penelitian dan subjek yang lain, yang
menggabungkan pembelajaran matematika berbasis tehnologi/multimedia dan
pembelajaran berbantuan/bimbingan guru.
Su dan Lee (2005), melakukan penelitian eksperimen, mereka meneliti tentang
pemahaman konsep mahasiswa tentang topik limit dengan menggunakan tehnologi
multimedia, serta melihat kemampuan afektifnya menggunakan skala lima dari likert.
Namun penulis berpendapat bahwa sistem multimedia ataupun pembelajaran berbasis
tehnologi harus bisa meningkatkan keberadaan materi pelajaran, artinya multi media
pendidikan jangan hanya berperan sebagai alat tehnologi untuk mempercepat dan
mempermudah perhitungan semata, tetapi harus juga dapat berperan untuk
memudahkan penanaman konsep matematika, terlebih lagi pada konsep-konsep
matematika yang kompleks. Dengan demikian melalui pendisainan animasi dan
simulasi, serta penggunaan grafik, animasi dan corak visuilnya maka pembelajaran
matematika dapat dilakukan secara interaktif, menyenangkan, sehingga pembelajaran
akan memberikan hasil kemampuan kognitif dan afektif yang lebih baik dan positif dari
peserta didik. Selain itu, untuk melihat kemampuan afektif peserta didik dapat
menggunakan skala Likert yang terdiri dari 4 pilihan, hal ini dimaksudkan untuk
menggiring teste untuk berpihak pada pilihan positif atau negatif dari suatu pernyataan,
dengan demikian opstion pilihan ragu-ragu atau ketakberpihakan siswa terhadap suatu
pernyataan dapat dihilangkan.
Secara pedagogik, Kasberg dan Leatham (2005) mengusulkan adanya pelatihan
bagi para calon guru dan guru matematika tentang personal filosofis dan keyakinan
tentang penggunaan kalkulator grafik agar pembelajaran matematika dapat berjalan
efektif. Artinya para guru membutuhkan pengalaman dalam proses belajar mengajar
dengan menggunakan kalkulator grafik secara konstruktivisme sehingga nantinya dapat
meningkatkan hasil belajar siswa berupa kemampuan pemahaman konsep matematika,
pemecahan maslah dan kemampuan afektifnya. Oleh karena itu guru matematika
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
175
PM – 14 : Pembelajaran Matematika Berbasis Teknologi.... Rudy Kurniawan
seharusnya mempunyai akses pengetahuan dalam mengembangkan ketrampilan
mengajar dan mendidik sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi.
Selain itu menurut hasil penelitian Serhan (2006), kalkulator grafik sebagai salah
satu hasil tehnologi yang dapat digunakan dalam pembelajaran matematika, dapat
berperan untuk memudahkan serta menggiring para siswa dalam mengkonstruksi
konsep matematika (derivatif), seperti fungsi grafik, dan juga menyediakan para siswa
suatu gambaran yang dapat menolong mereka untuk memperjelas suatu grafik di setiap
titiknya. Namun untuk penggeneralisasian pada high order thinking lainnya, seperti
kemampuan komunikasi, penalaran siswa, dan pemecahan masalah, perlu adanya
penelitian pada sampel dan topik materi lainnya. Selain itu untuk melihat peningkatan
kemampuan afektif peserta didik terhadap proses pembelajaran perlu digunakan tatacara
pembuatan suatu pernyataan skala sikap dan perhitungan pengolahan data hasil skala
sikap dengan tehnik yang lebih mahir, misalnya seperti pengolahan data kualitatif yang
dikuantitatifkan, dan instrumen harus memiliki validitas logis dan empirik yang baik.
Berdasarkan hasil wawancara dalam penelitian Serhan (2006), ternyata bahwa
kedua kelompok penelitian tidak mampu menggunakan definisi secara simbolis tentang
derivative pada suatu titik secara benar. Hal ini disebabkan karena pemahaman
awal/prasyarat tentang derivative seperti perbandingan, limit, dan fungsi tidak dikuasai
mahasiwa dengan baik, untuk itu perlu kiranya penelitian pembelajaran matematika
yang menggunakan kalkulator grafik ataupun berbasis tehnologi lainnya memperhatikan
kemampuan awal/prasyarat dari suatu konsep matematika peserta didik sebelumnya.
Nguyen (2005), meneliti meneliti tentang perbandingan prestasi belajar siswa
tentang penguasaan konsep siswa tentang pecahan dan desimal melalui pembelajaran
dan penilaian berbasis web dan komputer. Dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa
kemampuan pemahaman dan sikap siswa yang menggunakan pembelajaran dan penilain
berbasis web dan komputer lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran tradisional,
namun perlu juga diteliti peningkatan kemampuan pemecahan masalah, serta faktor-
faktor lain yang menyebabkan prestasi siswanya menjadi tinggi, sedang atau rendah.
Selain itu, pengawasan, pelaksanaan pembelajaran serta evaluasinya harus
disesesuaikan dengan prinsip-prinsip pedagogis.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
176
PM – 14 : Pembelajaran Matematika Berbasis Teknologi.... Rudy Kurniawan
E. Kesimpulan
Pembelajaran matematika berbasis tehnologi harus dirancang sesuai dengan
materi ajar, mathematical task, kondisi dan kemampuan siswa terhadap akses tehnologi
yang digunakan, tingkat perkembangan mental dan kemampuan awal/materi prasyarat
peserta didik, serta sarana dan prasarana yang tersedia serta aspek-aspek pedagogis,
sehingga penyajian suatu materi konsep dapat diikuti dengan baik.
Gabungan antara peranan guru dan sistem pembelajaran matematika berbasis
tehnologi, nampaknya akan menjadi peluang yang besar untuk meningkatkan kualitas
proses dan kemampuan pemahaman konsep, pemecahan masalah dan kemampuan
afektif/sikap peserta didik.
Pembelajaran matematika berbasisi tehnologi merupakan suatu alat yang efektif
dalam menguatkan proses belajar siswa,. Oleh karena itu, proses kegiatan belajar
mengajarnya akan meminimalkan waktu belajar peserta didik, waktu yang tersedia bisa
dimanfaatkan untuk mempelajari materi/konsep lain atau praktek latihan mathematical
task, sehingga akan memberi peluang peserta didik dalam meningkatkan kemampuan
afektifnya..
Sikap dan minat siswa dalam pembelajaran matematika dengan berbasis
tehnologi pada umumnya positif, sikap dan minat siswa yang baik ini akan menjadi
pemicu pembelajaran yang efektif dan efesien, melalui pembelajaran yang efektif dan
efesien tentu akan meningkatkan kemampuan pemahaman konsep, pemecahan masalah
dan kemampuan afektif matematika peserta didik.
Daftar Pustaka
Arnold, L dan Lawson, M (2003). Spatial Problem-Solving in Year 7 Mathematics: An Examination of the Effects of Use of a Computer-Mediated Sofware Program. Matehematics Education Research Journal th 2003, Vol.15, No2,187-202.
Su dan Lee (2005). Anew Evaluation for Integrating Multimedia Technology with Science S tudent Perpormance in Mathematical Limit Teaching. World Transaction on Engineering and Technology Education Vol. 4 No 2.UICEE.
Kastberg, S., & Leatham, K (2005). Research on Graphing Calculators at the Secondary Level: Implications for mathematics teacher education. Contemporary Issues in Technology and Teacher Education [Online serial], 5(1). Tersedia : http://www.citejournal.org/vol5/iss1/mathematics/article1.cfm (29 November 2007).
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
177
PM – 14 : Pembelajaran Matematika Berbasis Teknologi.... Rudy Kurniawan
Malabar, I dan Pountney, D.C (2002).. Using Technology To Integrate Constructivism and Visualisation In Mathematics Education. Proceeding of th 2nd International Conference on the 2002, Journal Research of Mathematics Education.
Nooriafshar, M (2004). The Use of Inovative Teaching Methods for Maximising The Enjoyment From Learning. International Journal for Mathematics Teaching and Learning. Tersedia : http://www.usq.edu.au/users/mehryar. ( 5 September 2007).
Serhan, D (2006). The Effect of Graphing Calculators Use on Students Understanding of the Derivative at a Point. IJMTL. Tersedia : http://www.cimt.plymouth.ac.uk/journal/serhan.pdf (10 Desember 2007).
Sumarmo, U (2006). High Level Mathematical Thinking: Experiments With High School and Undergraduate Students Using Various Approaches and Strategies. Paper Presented at The First International Confrence on Mathematics and Staistics (IcoMS-1). Bandung, West-Java, Indonesia, June 19-211,2006
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
178
PM – 15 : Kajian Kritis Keterlaksanaan...... Sumaryanta
Kajian Kritis Keterlaksanaan Kurikulum Matematika Sekolah
Oleh :
Sumaryanta Guru SMA Negeri 1 Nglipar
Abstrak
Penelitian ini bertujuan mengkaji keterlaksanaan kurikulum mata pelajaran matematika di sekolah. Kajian difokuskan pada implementasi Permendiknas No. 22, 23, dan 24 Tahun 2006 (KTSP) di SMA Pelaksana Terbatas Kurikulum Berbasis Kompetensi di Kodya Yogyakarta, yaitu SMA Negeri 7 Yogyakarta. Penelitian ini merupakan penelitian evaluasi dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Data penelitian diperoleh melalui wawancara dan pengamatan. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis menurut Miles dan Huberman, yang meliputi: pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan: (1) guru menerima secara positif tugas sebagai pengembang kurikulum, (2) struktur kompetensi pada Permendiknas No 23 tahun 2006 perlu penataan ulang urutan, (3) beban belajar siswa cukup berat karena jumlah KD pada struktur kurikulum cukup banyak dibandingkan jumlah jam tatap muka per minggu, (4), penerapan program pembejaran sistem paket berdampak pada sulitnya pembelajaran tuntas, (5) pembelajaran berorientasi kompetensi relatif sulit dilaksanakan, dan (6) permasalahan yang dihadapi guru antara lain: a) perbedaan pemahaman antar stakeholders tentang standar keberhasilan pendidikan berdampak pada kerancuan fokus/target pencapaian pembelajaran, b) guru kurang berkesempatan mengembangkan KD baru, c) guru kesulitan menerapkan pembelajaran tuntas, d) tata urut KD yang kurang tepat mengakibatkan guru mengalami kendala ketika harus mengajarkan KD yang prasyaratnya justru belum diajarkan. Kata Kunci: Kajian, Kurikulum, Matematika
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Saat ini pemerintah sedang melakukan pembaharuan kurikulum di sekolah,
termasuk pada mata pelajaran Matematika. Mulai tahun 2003 sebagian sekolah mulai
menggunakan kurikulum baru, yaitu Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan
dilanjutkan dengan menggunakan Kurikulum 2004 pada tahun 2004. Pada tahun
pelajaran 2006/2007 kurikulum sekolah diperbaharui lagi setelah diterbitkannya
Permendiknas Nomor 22, 23, dan 24 Tahun 2006 dimana kurikulum sekolah kemudian
dikenal dengan sebutan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan).
Pembaharuan kurikulum tersebut perlu dikaji sejauh mana bisa diterapkan dan
memberikan kemajuan dibandingkan kurikulum sebelumnya. Sebagai sebuah inovasi
baru, implementasi kurikulum baru ini mungkin tidak mudah dan tidak serta merta
menunjukkan hasil seperti yang diharapkan. Berbagai hambatan dan permasalahan pasti
ditemui dalam pelaksanaan di lapangan. Oleh karena itu, ketika sebuah kurikulum
dilaksanakan, perlu dilakukan kajian yang sungguh-sungguh tentang keterlaksanaannya
agar diperoleh kepastian menyangkut kemanfaatan yang diperoleh dari penerapannya.
Informasi empiris yang diperoleh dari kajian ini dapat digunakan sebagai bahan
masukan untuk perbaikan kurikulum selanjutnya.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
179
PM – 15 : Kajian Kritis Keterlaksanaan...... Sumaryanta
KTSP memang baru diterapkan mulai tahun pelajaran 2006/2007 sehingga belum
bisa menunjukkan hasil sepenuhnya. Namun kajian ini tetap relevan agar diperoleh
informasi yang akurat demi penyelenggaraan yang lebih baik di masa mendatang.
Kekeliruan yang sering terjadi adalah pemikiran yang menganggap bahwa evaluasi
belum perlu dilakukan sebelum nampak hasil program tersebut. Hal ini tidak tepat
karena hasil program baru hanya salah satu aspek program. Terdapat komponen lain
yang perlu dicermati dan dievaluasi dalam pelaksanaan program tersebut. Dengan
evaluasi dilakukan sejak awal, jika terdapat hal-hal yang tidak sesuai atau ditemukan
kendala dalam pelaksanaannya dapat segera dilakukan perbaikan dan penyempurnaan.
2. Perumusan Masalah
a. Lingkup dan batasan penelitian
Mengingat keterbatasan peneliti, lingkup penelitian ini dibatasi pada kaijan
terhadap kurikulum mata pelajaran matematika di tingkat SMA. Penelitian ini juga
dibatasi pelaksanaannya di wilayah Kota Yogyakarta, khususnya pada SMA pelaksana
terbatas (piloting) KBK.
Untuk mendapatkan hasil kajian yang mendalam, penelitian ini hanya difokuskan
pada salah satu SMA Pelaksana Terbatas KBK, yaitu: SMA Negeri 7 Yogyakarta.
Kajian keterlaksanaan kurikulum ini tidak dilakukan pada keseluruhan aspek, tetapi
hanya difokuskan pada: 1) guru sebagai pengembang kurikulum, 2) struktur
kompetensi, 3) beban belajar, 4) sistem pembelajaran, 5) pelaksanaan pembelajaran, 6)
penilaian, dan 7) hambatan dan permasalahan.
b. Rumusan masalah
Bagaimanakah keterlaksanaan kurikulum mata pelajaran matematika di sekolah
dilihat pada aspek 1) guru sebagai pengembang kurikulum, 2) struktur kompetensi, 3)
beban belajar, 4) sistem pembelajaran, 5) pelaksanaan pembelajaran, 6) penilaian, dan
7) hambatan serta permasalahan?
3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengkaji keterlaksanaan
kurikulum mata pelajaran matematika di sekolah. Melalui penelitian ini diharapkan
diperoleh informasi empiris keterlaksanaan kurikulum mata pelajaran matematika di
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
180
PM – 15 : Kajian Kritis Keterlaksanaan...... Sumaryanta
sekolah sehingga dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan untuk perbaikan di
masa yang akan datang.
4. Manfaat Penelitian
a. Memberikan refleksi keterlaksanaan kurikulum mata pelajaran Matematika yang
dikembangkan menurut Permendiknas No. 22, 23, dan 24 Tahun 2006.
b. Memberikan masukan pada pemerintah dalam rangka penyempurnaan kurikulum,
terutama kurikulum mata pelajaran matematika
c. Memberikan wawasan dan inspirasi bagi peneliti lain serta pihak-pihak yang
berkompeten untuk melakukan kajian yang lebih mendalam untuk mendukung
perbaikan kurikulum.
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini pada bulan Juli s.d. Oktober 2007. Sesuai dengan fokus penelitian
yang telah dikemukakan di atas, penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian
evaluasi. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif.
Data penelitian ini diperoleh melalui wawancara dan pengamatan. Pengumpulan
data dengan wawancara ditujukan pada guru dan siswa. Pengamatan difokuskan untuk
mengamati keterlaksanaan pembelajaran Matematika di kelas untuk melengkapi data
yang diperoleh dari wawancara.
Dalam penelitian ini, untuk meningkatkan objektivitas dan kredibilitas data
dilakukan beberapa langkah, yaitu : memperpanjang waktu penelitian, pengamatan yang
terus menerus, triangulasi, dan mengadakan member check. Melalui berbagai langkah
ini diharapkan data yang diperoleh lebih objektif dan kredibel.
Teknik analisis kualitatif dalam penelitian ini adalah teknik analisis data kualitatif
menurut Miles dan Hubermen, meliputi: pengumpulan data, reduksi data, penyajian
data, dan penarikan kesimpulan.
C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Guru Sebagai Pengembangan Kurikulum
KTSP jenjang pendidikan dasar dan menengah dikembangkan oleh sekolah dan
komite sekolah berpedoman pada (Permendiknas No. 22, 23, dan 24 Tahun 2006). Pada
pembelajaran Matematika, ketentuan ini berimplikasi pada kewajiban guru Matematika
untuk mengembangkan kurikulum mata pelajaran yang diampunya. Guru tidak lagi
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
181
PM – 15 : Kajian Kritis Keterlaksanaan...... Sumaryanta
hanya sebagai pelaksana kurikulum yang telah ditetapkan pemerintah, tetapi guru
memiliki tugas untuk mengembangkan kurikulum yang akan diterapkan.
Guru-guru Matematika SMA N 7 Yogyakarta menerima secara positif tugas
sebagai pengembang kurikulum tersebut. Ketika guru diberi keleluasaan untuk
mengembangkan kurikulum sendiri, guru memiliki keleluasaan mengembangkannya
sesusai dengan kebutuhan dan keinginannya. Guru bisa menyesuaikan dengan kondisi
siswa, visi, dan misi sekolah. Berbeda ketika kurikulum sudah ditetapkan sepenuhnya
oleh pemerintah, kewenangan mengembangkan kurikulum yang dimiliki guru pada
KTSP dianggap memberi keleluasaan bagi guru untuk mengembangkan kurikulum
sesuai dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, serta kepentingan dan lingkungan
siswa. Guru juga dapat mendisain kurikulum sesuai keragaman karakteristik siswa serta
tuntutan perkembangan IPTEK secara menyeluruh dan berkesinambungan. Hal-hal
tersebut tidak mungkin bisa dilakukan jika kurikulum telah jadi. Jika kurikulum secara
utuh telah disediakan pemerintah, maka guru hanya bisa sebagai pelaksana tanpa
berkesempatan berimprovisasi. Keragaman karakteristik dan kebutuhan siswa serta visi,
misi, dan tujuan sekolah sulit bisa diakomodasi dalam kurikulum jika sepenuhnya telah
dibuatkan pemerintah.
2. Struktur Kompetensi
Berdasarkan hasil wawancara dengan guru, struktur kompetensi yang tertera pada
Permendiknas no 23 tahun 2006 relatif cukup baik, namun masih ada yang perlu
dilakukan perbaikan dan penataan ulang urutan penempatannya. KD yang perlu ditinjau
ulang penempatannya antara lain adalah KD 4.2. ”Menggunakan notasi sigma dalam
deret dan Induksi Matematika dalam pembuktian” diajarkan di kelas XII, tetapi sudah
diperlukan pada KD 1.3. ”Menghitung ukuran pemusatan, ukuran letak, dan ukuran
penyebaran data, serta penafsirannya” di kelas XI. Ketika pembahasan tentang ukuran
pemusatan dan ukuran penyebaran data di kelas XI seharusnya siswa telah mempelajari
terlebih dahulu tentang notasi sigma karena digunakan untuk merumuskan ukuran
pemusatan dan ukuran penyebaran.
Selain masalah tata urut penempatan, terdapat KD yang perlu direvisi, yaitu
KD1.4 pada kelas XI IPA dan IPS. Pada rumusannya KD tersebut tertulis
”Menggunakan aturan perkalian, permutasi, dan kombinasi dalam pemecahan
masalah”, seharusnya ditambah menjadi “Menggunakan aturan perkalian dan
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
182
PM – 15 : Kajian Kritis Keterlaksanaan...... Sumaryanta
penjumlahan, permutasi, dan kombinasi dalam pemecahan masalah”. Kata
“penjumlahan’ perlu ditambahkan secara eksplisit mengingat dalam prakteknya ada
permasalahan yang membutuhkan pemanfaatan aturan campuran “perkalian dan
penjumlahan’ untuk memecahkannya.
Menurut guru, ada KD pada Permendiknas No 23 Tahun 2006 yang sebenarnya
tidak tepat. Hal ini terjadi pada KD 1.5 pada Program IPA dan IPS kelas XI semester 1,
atau KD 2.2 pada program Bahasa kelas XI semester I, yaitu KD “Menentukan ruang
sampel suatu percobaan”. Menurut guru, “Menentukan ruang sampel suatu percobaan”
tidak perlu dijadikan KD sendiri dan sebaiknya cukup menjadi sub kompetensi saja.
Kompetensi ”Menentukan ruang sampel suatu percobaan” dianggap terlalu sederhana
jika diangkat menjadi KD sendiri, mengingat KD tersebut cukup sederhana dan tidak
membutuhkan waktu banyak untuk mengajarkannya pada siswa. “Menentukan ruang
sampel suatu percobaan” dianggap cukup menjadi indikator dari KD lain, misal sub KD
”Menentukan peluang suatu kejadian dan menafsirkannya”.
Penempatan urutan KD pada mata pelajaran Matematika juga perlu disinkronkan
dengan tata urutan KD pada mata pelajaran lain, terutama mata pelajaran Fisika.
Beberapa kemampuan Matematika yang dibutuhkan untuk mempelajari Fisika justru
belum dipelajari pada Matematika karena penempatannya yang lebih akhir dibanding
kebutuhan penerapan di Fisika. Hal tersebut terjadi antara lain pada: (1) kompetensi
tentang vektor dimana pada Matematika baru dipelajari pada kelas XII semester I yaitu:
KD 3.4 ”Menggunakan sifat-sifat dan operasi aljabar vektor dalam pemecahan
masalah” dan KD 3.5 ”Menggunakan sifat-sifat dan operasi perkalian skalar dua
vektor dalam pemecahan masalah”, sementara pada Fisika telah dibutuhkan
pemanfaatannya pada kelas X semester I, yaitu pada KD 1.2. ”Melakukan penjumlahan
vektor”, dan kelas XI semester I KD 1.1 ”Menganalisis gerak lurus, gerak melingkar
dan gerak parabola dengan menggunakan vektor”; (2) kompetensi tentang integral yang
di Matematikabaru dipelajari di kelas XII, yaitu KD 1.1 “Memahami konsep integral tak
tentu dan integral tentu” dan KD 1.2 “Menghitung integral tak tentu dan integral tentu
dari fungsi aljabar dan fungsi trigonometri yang sederhana”, sementara pada Fisika
telah digunakan pada kelas XI, dan kompetensi tentang turunan yang pemanfaatan di
Fisika mendahului pembelajaran yang dilaksanakan pada Matematika.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
183
PM – 15 : Kajian Kritis Keterlaksanaan...... Sumaryanta
Penempatan SK dan KD menurut Permendiknas No 23 Tahun 2006 dalam
prakteknya agak terganggu dengan keberadaan program UNAS, terutama pada kelas
XII. Program sukses UNAS telah berdampak pada kebutuhan untuk melakukan
pemadatan pembelajaran, yaitu SK-KD yang seharusnya dipelajari siswa pada kelas XII
semester genap terpaksa digeser lebih awal pada semester ganjil. Dengan penggeseran
ini dimaksudkan untuk menyediakan waktu yang lebih memadai bagi siswa untuk
mempersiapkan UNAS melalui latihan-latihan soal. Selain UNAS, penggeseran SK-KD
pada semester ganjil juga dikarenakan untuk kebutuhan mempersiapkan siswa lanjut
studi. Kondisi ini tentu berdampak pada meningkatnya beban siswa untuk mencapai
kompetensi yang telah ditetapkan. SK-KD yang telah disusun dengan perhitungan
waktu tertentu terpaksa harus dikuasai siswa dengan waktu yang lebih singkat.
3. Beban Belajar
Beban belajar kegiatan tatap muka per jam pembelajaran pada
SMA/MA/SMALB/ SMK/MAK berlangsung selama 45 menit. Menurut guru, jumlah
kompetensi yang ditetapkan pada struktur kurikulum dianggap cukup banyak
dibandingkan waktu yang tersedia. Kompetensi yang ditetapkan dalam Permendiknas
Nomor 23 Tahun 2006 sebenarnya adalah jumlah minimal yang perlu diajarkan di
sekolah. Setiap sekolah berhak mengembangkan kompetensi sesuai kebutuhan. Namun
sebagai jumlah minimal, kompetensi yang ada dianggap terlalu banyak sehingga kurang
memberi kesempatan guru mengembangkan kompetensi baru.
Dilihat dari tingkat kompleksitas, guru menyatakan bahwa tidak ada KD yang
terlalu sulit dipelajari siswa. Beberapa KD memang perlu diajarkan dengan lebih hati-
hati karena memiliki tingkat kesulitan yang relatif tinggi, akan tetapi secara umum
semua KD yang ada masih terjangkau untuk dipelajari siswa setingkat SMA. Namun
karena keterbatasan waktu mengakibatkan ada KD yang tidak sempat diajarkan. Hal ini
terjadi karena pengurangan beban kurikulum juga disertai dengan pengurangan jumlah
jam pelajaran Matematika, sehingga beban belajar siswa tetap cukup berat.
4. Program Pembelajaran dengan Sistem Paket
Pada Permendiknas No. 22 Tahun 2006, dinyatakan bahwa satuan pendidikan
pada semua jenis dan jenjang pendidikan dapat menyelenggarakan program pendidikan
dengan menggunakan sistem paket atau sistem kredit semester. Kedua sistem tersebut
dapat dipilih berdasarkan jenjang dan kategori satuan pendidikan.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
184
PM – 15 : Kajian Kritis Keterlaksanaan...... Sumaryanta
Selama ini SMA N 7 Yogyakarta masih menerapkan sistem paket. Sistem paket
adalah sistem penyelenggaraan program pendidikan yang peserta didiknya diwajibkan
mengikuti seluruh program pembelajaran dan beban belajar yang sudah ditetapkan
untuk setiap kelas sesuai dengan stuktur kurikulum yang berlaku.
Sistem paket yang diterapkan dalam prakteknya telah memunculkan sejumlah
permasalahan. Sistem kelas berimplikasi masih adanya siswa naik atau tidak naik kelas.
Permasalahan muncul ketika ada siswa tidak naik kelas karena tidak tuntas pada mata
pelajaran tertentu maka siswa tersebut harus mengikuti pembelajaran lain yang
sebenarnya telah tuntas. Permasalahan lain juga terjadi ketika ada siswa yang
dinyatakan naik kelas padahal masih ada sejumlah kompetensi yang belum tuntas maka
siswa tersebut tidak perlu lagi mempelajari ulang kompetensi yang belum tuntas
tersebut karena telah ada di kelas yang berbeda.
Permasalahan lain terkait dengan kebijakan kelulusan. Saat ini masih berlaku
siswa lulus atau tidak lulus. Ketentuan tentang kelulusan telah diatur tersendiri oleh
pemerintah. Namun terlepas dari aturan main tentang kelulusan tersebut, permasalahan
yang muncul adalah ketika ada siswa yang karena belum memenuhi syarat kelulusan
maka siswa tersebut harus mengulang penuh belajar di kelas XII. Siswa tersebut harus
mengulang mempelajari KD yang sebenarnya telah tuntas. Hal ini tentu bertolak
belakang dengan prinsip belajar tuntas dimana kewajiban belajar siswa ditentutan pada
ketuntasan belajarnya.
Pembelajaran yang dilaksanakan secara klasikal juga menghambat perlakuan
terhadap keberagaman kemampuan belajar siswa. Pada pembelajaran berbasis
kompetensi, siswa seharusnya berkesempatan menguasai kompetensi menurut
kecepatan masing-masing secara alami. Mengingat kecepatan tiap siswa dalam
pencapaian KD tidak sama, mungkin sekali terjadi perbedaan kecepatan belajar antara
siswa yang sangat pandai dan pandai dengan yang kurang pandai dalam pencapaian
kompetensi. Sementara itu pembelajaran tuntas mengharuskan pencapaian ketuntasan
dalam menguasai kompetensi dasar secara individual. Implikasi dalam pembelajaran
harus dilaksanakan program remedial, pengayaan dan percepatan. Ketiga program ini
tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan dalam program pembelajaran sistem paket.
Pada pembelajaran di kelas, siswa seharusnya mencapai ketuntasan KD 1 dahulu
sebelum melanjutkan KD 2, dst. Jika terdapat siswa yang belum tuntas maka siswa
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
185
PM – 15 : Kajian Kritis Keterlaksanaan...... Sumaryanta
tersebut harus remidi baru mempelajari KD selanjutnya. Akan tetapi ini sulit dilakukan
sepenuhnya karena pembelajaran kelas tidak dapat selalu menunggu ketuntasan belajar
setiap siswa untuk melanjutkan pembelajaran.
Dalam suatu kelas memungkinkan adanya siswa yang luar biasa cendas dan
mampu menguasai KD jauh lebih cepat. Siswa dengan kecerdasan luar biasa ini
memiliki karaktenistik khusus, yaitu tidak banyak memerlukan bantuan berupa program
remedial maupun pengayaan. Siswa tersebut sebaiknya langsung dipersilahkan untuk
mempelajari KD berikutnya. Dengan cara seperti itu mereka mungkin akan
menyelesaikan belajar lebih cepat. Akan tetapi, dalam program pembelajaran sistem
paket, program percepatan ini sulit dilaksanakan secara alami.
5. Pelaksanaan Pembelajaran
Prinsip pembelajaran dalam KTSP hampir sama dengan pembelajaran pada KBK
dan Kurikulum 2004, yaitu pembelajaran berorientasi pada kompetensi. Dalam
pembelajaran berorientasi pada kompetensi harus lebih ditekankan pada ketercapaian
kompetensi oleh peserta didik. Penguasaan terhadap materi pembelajaran bukan tujuan
akhir dari pembelajaran. Materi hanya merupakan sarana bagi siswa untuk mencapai
kompetensi yang telah ditetapkan.
Pada pelaksanaan di kelas, pembelajaran berorientasi pada kompetensi ini relatif
agak sulit dilaksanakan. Rumusan kompetensi (SK/KD) yang banyak menyuratkan
rumusan berkaitan dengan materi membuat kecenderungan pembelajaran lebih pada
materi ajar. Pengalaman guru dan siswa yang selama ini lebih berkonsentrasi pada
pembelajaran berbasis materi juga tidak mudah untuk diubah begitu saja. Walaupun
guru menyatakan telah memahami bahwa penguasaan kompetensi merupakan sasaran
akhir pembelajaran, akan tetapi tetap saja dalam pembelajaran guru kadang lebih
terpaku pada mengajarkan materi. Begitu juga dengan siswa. Walaupun telah
disampaikan bahwa pembelajaran mereka harus diorientasikan pada penguasaan
kompetensi, tetapi tetap saja siswa lebih cenderung pada materi. Bahkan siswa sering
tidak mengerti tentang KD yang sedang dipelajari, yang mereka perhatikan hanyalah
materi apa yang sedang mereka pelajari. Dalam penilaianpun siswa jarang yang
memperhatikan ketercapaian kompetensi tersebut. Siswa lebih menaruh perhatian pada
penguasan materi yang dipelajari.
6. Penilaian
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
186
PM – 15 : Kajian Kritis Keterlaksanaan...... Sumaryanta
Model penilaian yang menyertai penerapan KTSP adalah ”Penilaian Kelas”.
Secara umum prinsip-prinsip penilaian kelas yang menjadi tuntutan KTSP telah dapat
diterapkan pada pembelajaran matematika di kelas. Di SMA Negeri 7 Yogyakarta,
penilaian pada mata pelajaran Matematika di tidak dilakukan berdasarkan aspek (1)
pemahaman konsep, (2) penalaran dan komunikasi, dan (3) pemecahan masalah, tetapi
berdasarkan aspek kognitif dan afektif. Sebagian guru mengaku hanya tahu pembagian
penilaian aspek koginitif dan afektif, sedangkan pembagian menjadi tiga aspek tersebut
kurang dimengerti.
Secara umum penilaian aspek kognitif dapat dilaksanakan dengan baik.
Permasalahan yang ditemui guru dalam melaksanakan penilaian kognitif adalah
menyangkut tindak lanjut. Setiap penilaian harus dilanjutkan dengan analisis hasil untuk
menetapkan apakah siswa telah tuntas menguasai kompetensi atau belum. Jika siswa
belum tuntas, guru harus melaksanakan remidial dengan siswa tersebut belum boleh
melanjutkan mempelajari KD berikutnya. Akan tetapi karena pembelajaran masih
dilakukan dengan sistem kelas dengan jumlah siswa yang cukup banyak (36 orang)
maka hal tersebut tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan. Ketika jumlah siswa yang
belum tuntas cukup banyak, guru melakukan remidial klasikal. Hal ini tentu
menguntungkan bagi siswa yang belum tuntas tersebut, tetapi tentu merugikan siswa
yang telah tuntas karena masih harus mengikuti pembelajaran ulang tersebut. Hal
sebaliknya, jika jumlah siswa yang belum tuntas relatif sedikit, pembelajaran di kelas
dilanjutkan pada KD selanjutnya dengan siswa yang belum tuntas tersebut tetap
mengikuti walaupun masih harus menyelesaikan tugas remidinya. Hal ini tidak sesuai
dengan konsep awal dimana siswa hanya boleh melanjutkan mempelajari KD
selanjutnya ketika siswa tersebut telah tuntas.
Pada penilaian afektif, kendala yang dihadapi sering disebabkan karena guru
mengajar banyak kelas dengan jumlah siswa per kelas yang jumlahnya cukup banyak.
Hal ini agak menyulitkan karena untuk menilai afektif guru perlu secara jeli memahami
siswa secara individual. Perhatian pada perkembangan siswa secara individual relatif
sulit dilakukan ketika guru dihadapkan pada beban mengajar yang banyak dan jumlah
siswa yang besar. Walaupun instrumen penilaian aspek afektif telah disediakan dari
sekolah, tetapi dalam prakteknya pelaksanaan penilaian afektif masih saja muncul
kendala. Jumlah item penilaian yang cukup banyak cukup merepotkan guru dalam
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
187
PM – 15 : Kajian Kritis Keterlaksanaan...... Sumaryanta
melaksanakan penilaian. Selain itu, masing-masing guru kadang memiliki fokus
penilaian yang tidak selalu sama. Selain itu, beban pembelajaran yang terkait dengan
aspek kognitif telah menyita banyak energi dan perhatian guru. Penilaian untuk aspek
kognitif juga cukup banyak mengingat satu KD penilaian dilakukan dengan beberapa
jenis tagihan. Hal ini semakin bertambah bebannya jika ternyata terdapat sejumlah
siswa yang belum tuntas sehingga harus memberikan remidial.
Namun begitu, walaupun terdapat beberapa kendala dalam pelaksanaannya seperti
tersebut di atas, penilaian aspek afektif ternyata memberikan dampak positif yang cukup
signifikan bagi kinerja belajar siswa. Berdasar pengakuan guru dan siswa, penilaian
aspek afektif telah mendorong siswa menjadi lebih rajin, aktif, dan termotivasi belajar.
Pelaksanaan penilaian terhadap ketujuh aspek di atas selama pembelajaran telah
mendorong siswa meningkatkan belajarnya. Mengingat aspek-aspek penilaian afektif
tersebut sangat erat kaitannya dengan kegiatan belajar siswa, maka pembelajaran siswa
pada aspek kognitif juga menjadi lebih baik.
7. Hambatan dan Permasalahan
Salah satu permasalahan yang muncul diantaranya terkait dengan perbedaan
pemahaman di antara stakeholders dalam hal indikator keberhasilan belajar siswa.
Secara teroritis telah ada kesepahaman bahwa keberhasilan diukur dari ketercapaian
kompetensi oleh siswa. Tetapi dalam prakteknya terdapat perbedaan dalam memandang
ketercapaian kompetensi itu. Sebagian pihak beranggapan bahwa siswa dikatakan
berhasil belajar jika mampu meraih nilai yang tinggi. Sementara sekolah berkeinginan
tidak sekedar nilai yang di kejar, akan tetapi pengembangan kompetensi yang lebih luas
dan utuh dari siswa meliputi penguasaan akademik, perilaku, pengembangan wawasan
dan cara berpikir. Kedua capaian ini kadang tidak selalu selaras satu dengan yang lain.
Pelaksanaan UNAS dengan kebijakan kelulusan yang menyertainya juga
berdampak pada pembelajaran yang dilaksanakan di kelas. Hasil UNAS sering
digunakan sebagai pijakan sementara orang untuk melihat tingkat keberhasilan sekolah
dalam memberikan layanan pendidikan. Padahal hasil UNAS hanya salah satu indikator
saja dari aspek-aspek lain yang seharusnya juga dilihat untuk memahami keberhasilan
siswa belajar. Hal ini telah membuat sekolah (termasuk guru Matematika) melakukan
beberapa penyesuaian program pembelajaran untuk mengejar proyek UNAS ini.
Keterjebakan pada pemenuhan kebutuhan sukses UNAS dirasakan guru kadang
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
188
PM – 15 : Kajian Kritis Keterlaksanaan...... Sumaryanta
mempengaruhi pembelajaran yang dikembangkannya. Target perluasan penguasaan
kompetensi siswa harus disinkronkan dengan kebutuhan mempersiapkan siswa
menghadapi UNAS.
Permasalahan lain yang muncul terkait dengan beban belajar yang telah ditetapkan
pemerintah. Struktur kompetensi yang seharusnya hanya diposisikan sebagai jumlah
minimal ternyata sulit dikembangkan lagi pelaksanaannya di sekolah. Hal ini karena
jumlah kompetensi yang ada dalam Permendiknas No 23 Tahun 2006 telah cukup
banyak, sedangkan jumlah jam belajar Matematika dikurangi berdampak pada
keterbatasan kesempatan pengembangan/penambahan SK/KD baru.
Penerapan program pembejaran sistem paket juga menyebabkan beberapa
permasalahan dalam pembelajaran di kelas. Seperti terurai pada point C di atas, program
paket berdampak pada sulitnya pembelajaran tuntas (mustery learning) diterapkan.
Program pembelajaran sistem paket juga telah menyebabkan kesulitan guru dalam
memberikan perlakuan bagi keberagaman kemampuan siswa. Program remidal dan
program percepatan yang merupakan bagian bentuk layanan pembelajaran bagi siswa
dengan tingkat kecepatan belajar berbeda relatif sulit dilakukan dengan baik dalam
program pembelajaran sistem paket tersebut.
Guru juga mengalami hambatan dalam pembelajaran yang disebabkan tata urut
KD yang kurang tepat. Seperti disebutkan pada point D di atas, terdapat KD yang
seharusnya telah dipelajari untuk bisa mempelari KD lain ternyata justru dalam sturktur
kompetensi ditempatkan di belakang. Hal ini berdampak guru mengalami kendala
ketika harus mengajarkan KD yang prasyaratnya justru belum diajarkan. Oleh karena itu
perlu dilakukan penataan ulang KD agar pembelajaran dapat dilaksanakan dengan lebih
baik.
D. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
a. Guru menerima secara positif tugas sebagai pengembang kurikulum. Keleluasaan
mengembangkan kurikulum membuat guru berkesempatan mengembangkannya
sesusai dengan kebutuhan, kondisi siswa, visi, dan misi sekolah.
b. Struktur kompetensi yang tertera pada Permendiknas no 23 tahun 2006 relatif cukup
baik, namun masih perlu penataan ulang urutan kompetensinya. Urutan KD perlu
disesuaikan dengan hirarkis pembelajaran Matematika dan disinkronkan dengan
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
189
PM – 15 : Kajian Kritis Keterlaksanaan...... Sumaryanta
kebutuhan pembelajaran mata pelajaran lain. Selain masalah tata urut penempatan,
terdapat KD perlu direvisi.
c. Beban belajar siswa cukup berat karena jumlah kompetensi (SK/KD) yang
ditetapkan pada struktur kurikulum cukup banyak dibandingkan jumlah jam tatap
muka per minggu. Dilihat dari tingkat kompleksitas, tidak ada KD yang terlalu sulit
dipelajari siswa.
d. Penerapan program pembejaran sistem paket menyebabkan pembelajaran tuntas
(mastery learning) sulit diterapkan secara utuh. Program pembelajaran sistem paket
juga menyebabkan kesulitan guru dalam memberikan perlakukan bagi keberagaman
kemampuan siswa.
e. Pembelajaran berorientasi kompetensi relatif masih sulit dilaksanakan. Guru dan
siswa sering lebih terpaku pada pembelajaran materi.
f. Hambatan dan permasalahan guru antara lain: 1) perbedaan pemahaman antar
stakeholders tentang standar keberhasilan pendidikan berdampak pada kerancuan
fokus/target pencapaian pembelajaran, 2) beban belajar siswa cukup berat, 3)
penerapan program pembejaran sistem paket menyebabkan sulitnya pembelajaran
tuntas, 4) guru kesulitan menerapkan pembelajaran tuntas, dan 5) tata urut
kompetensi yang kurang pas.
2. Saran
a. Kajian keterlaksanaan kurikulum mata pelajaran Matematika menurut Permendiknas
Nomor 22, 23, dan 24 Tahun 2006 di tingkat SMA perlu perlu dipertajam dan
diperluas ruang lingkupnya pada sekolah-sekolah lain sehingga diperoleh hasil lebih
komprehensif.
b. Perlu dilakukan penelitian serupa untuk mengkaji keterlaksanaan kurikulum mata
pelajaran Matematikadi tingkat SD/MI, SMP/MTs, dan SMK/MA sehingga apabila
ternyata juga ditemukan permasalahan-permasalahan dalam implementasinya segera
dapat ditemukan solusinya.
DAFTAR PUSTAKA Depdiknas. (2002). Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006. Jakarta: Depdiknas
-------------- (2006). Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006. Jakarta: Depdiknas
-------------- (2006). Permendiknas Nomor 24 Tahun 2006. Jakarta: Depdiknas
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
190
PM – 15 : Kajian Kritis Keterlaksanaan...... Sumaryanta
Finch & Crunkilton. (1979). Curriculum development in vocasional and technical education:Planning, content and implementation. Boston: Allyn and Bacon, Inc.
Mardapi, D. (2004). Pengembangan sistem penilaian berbasis kompetensi. Makalah di sajikan dalam seminar nasional rekaya sistem penilaian dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan, 26-27 Mei di Hotel Saphir Yogyakarta.
Nasution, S. (2003). Asas-asas kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara. Sukmadinata. (2004). Pengembangan kurikulum: Teori dan praktek. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
191
PM – 16 : Kemampuan Representasi...... Syarifah Fadillah
Kemampuan Representasi Dalam Pembelajaran Matematika
Oleh : Syarifah Fadillah
STKIP PGRI PONTIANAK
Abstrak
Salah satu keterampilan matematika yang perlu dikuasai siswa menurut NCTM adalah kemampuan representasi. Representasi adalah ungkapan-ungkapan dari ide matematika yang ditampilkan siswa sebagai model atau bentuk pengganti dari suatu situasi masalah yang digunakan untuk menemukan solusi dari masalah yang sedang dihadapinya sebagai hasil dari interpretasi pikirannya. Suatu masalah dapat direpresentasikan melalui gambar, kata-kata (verbal), tabel, benda konkrit, atau simbol matematika. Pencantuman representasi sebagai komponen standar proses dalam Principles and Standards for School Mathematics cukup beralasan karena untuk berpikir matematika dan mengkomunikasikan ide-ide matematika, seseorang perlu merepresentasikannya dalam berbagai cara. Selain itu, tidak dapat dipungkiri bahwa obyek dalam matematika itu semuanya abstrak dan untuk mempelajari dan memahami ide-ide abstrak itu memerlukan representasi.
PENDAHULUAN
Tujuan pembelajaran matematika telah mengalami perubahan, tidak lagi hanya
menekankan pada peningkatan hasil belajar, namun juga diharapkan dapat
meningkatkan kemampuan: (1) komunikasi matematika (mathematical communication);
(2) penalaran matematika (mathematical reasoning); (3) pemecahan masalah
matematika (mathematical problem solving); (4) mengaitkan ide-ide matematika
(mathematical connections); (5) representasi matematika (mathematical representation)
(NCTM, 2000)
Salah satu keterampilan matematika yang perlu dikuasai siswa adalah kemampuan
representasi. Standar representasi pada National Council of Teacher of Mathematics
(NCTM), menetapkan bahwa program pembelajaran dari pra-taman kanak-kanak
sampai kelas 12 harus memungkinkan siswa untuk:
1. menciptakan dan menggunakan representasi untuk mengorganisir, mencatat,
dan mengkomunikasikan ide-ide matematika;
2. memilih, menerapkan, dan menerjemahkan representasi matematika untuk
memecahkan masalah;
3. menggunakan representasi untuk memodelkan dan menginterpretasikan
fenomena fisik, sosial, dan fenomena matematika
(NCTM, 2000).
Ainsworth, Labeke, dan Peevers (2001) mengemukakan bahwa tugas-tugas
kognitif siswa yang berkenaan dengan representasi adalah:
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
192
PM – 16 : Kemampuan Representasi...... Syarifah Fadillah
1. Siswa harus memahami suatu representasi (yaitu: mana yang merupakan
bentuk dan operator dari suatu representasi).
2. Siswa harus memahami hubungan antara representasi dan domainnya.
3. Siswa harus menerjemahkan antar representasi.
4. Jika representasi dirancang mereka sendiri, siswa perlu memilih dan
membangun representasi yang sesuai.
Kemampuan representasi merupakan salah satu komponen proses standar dalam
Principles and Standards for School Mathematics selain kemampuan pemecahan
masalah, penalaran, komunikasi dan koneksi. Hal ini mengandung beberapa alasan.
Menurut Jones (2000), terdapat tiga alasan mengapa representasi merupakan salah satu
dari proses standar, yaitu:
1. kelancaran dalam melakukan translasi di antara berbagai jenis representasi
yang berbeda merupakan kemampuan dasar yang perlu dimiliki siswa untuk
membangun suatu konsep dan berpikir matematika;
2. ide-ide matematika yang disajikan guru melalui berbagai representasi akan
memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap siswa dalam mempelajari
matematika; dan
3. siswa membutuhkan latihan dalam membangun representasinya sendiri
sehingga siswa memiliki kemampuan dan pemahaman konsep yang baik dan
fleksibel yang dapat digunakan dalam pemecahan masalah.
Pencantuman representasi sebagai komponen standar proses dalam Principles and
Standards for School Mathematics cukup beralasan karena untuk berpikir matematika
dan mengkomunikasikan ide-ide matematika, seseorang perlu merepresentasikannya
dalam berbagai cara. Selain itu, tidak dapat dipungkiri bahwa obyek dalam matematika
itu semuanya abstrak dan untuk mempelajari dan memahami ide-ide abstrak itu
memerlukan representasi.
DEFINISI REPRESENTASI
Terdapat beberapa definisi yang dikemukakan para ahli berkenaan tentang
representasi sebagaimana dikemukakan berikut ini.
1. Representasi adalah model atau bentuk pengganti dari suatu situasi masalah atau
aspek dari suatu situasi masalah yang digunakan untuk menemukan solusi, sebagai
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
193
PM – 16 : Kemampuan Representasi...... Syarifah Fadillah
contoh, suatu masalah dapat direpresentasikan dengan obyek, gambar, kata-kata,
atau simbol matematika (Jones & Knuth, 1991).
2. Representasi merupakan cara yang digunakan seseorang untuk mengkomunikasikan
jawaban atau gagasan matematik yang bersangkutan (Cai, Lane, & Jacabcsin, 1996:
243).
3. Representasi yang dimunculkan oleh siswa merupakan ungkapan-ungkapan dari
gagasan-gagasan atau ide-ide matematika yang ditampilkan siswa dalam upayanya
untuk mencari suatu solusi dari masalah yang sedang dihadapinya (NCTM, 2000:
67).
4. Terdapat empat gagasan yang digunakan dalam memahami konsep representasi.
Pertama, representasi dapat dipandang sebagai abstraksi internal dari ide-ide
matematika atau skemata kognitif yang dibangun oleh siswa melalui pengalaman;
kedua, sebagai reproduksi mental dari keadaan mental yang sebelumnya; ketiga,
sebagai sajian secara struktur melalui gambar, simbol ataupun lambang; dan yang
terakhir, sebagai pengetahuan tentang sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain
(Pape & Tchoshanov dalam Luitel, 2001).
5. Representasi didefinisikan sebagai aktivitas atau hubungan dimana satu hal
mewakili hal lain sampai pada suatu level tertentu, untuk tujuan tertentu, dan yang
kedua oleh subjek atau interpretasi pikiran. Representasi menggantikan atau
mengenai penggantian suatu obyek, penginterpretasian pikiran tentang pengetahuan
yang diperoleh dari suatu obyek, yang diperoleh dari pengalaman tentang tanda
representasi (Parmentier dalam Ludlow, 2001:39).
6. Representasi merupakan proses pengembangan mental yang sudah dimiliki
seseorang, yang terungkap dan divisualisasikan dalam berbagai model matematika,
yakni: verbal, gambar, benda konkret, tabel, model-model manipulatif atau
kombinasi dari semuanya (Steffe, Weigel, Schultz, Waters, Joijner, & Reijs dalam
Hudoyo, 2002: 47).
7. Representasi adalah suatu konfigurasi yang dapat menyajikan suatu benda dalam
suatu cara (Goldin, 2002: 209).
8. Representasi adalah suatu konfigurasi dan sejenisnya yang berkorespondensi dengan
sesuatu, mewakili, melambangkan atau menyajikan sesuatu (Palmer dalam Kaput &
Goldin, 2004: 2).
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
194
PM – 16 : Kemampuan Representasi...... Syarifah Fadillah
9. Dalam psikologi umum, representasi berarti proses membuat model konkret dalam
dunia nyata ke dalam konsep abstrak atau simbol. Dalam psikologi matematika,
representasi bermakna deskripsi hubungan antara objek dengan simbol (Hwang,
Chen, Dung, & Yang, 2007).
Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa representasi adalah
ungkapan-ungkapan dari ide matematika yang ditampilkan siswa sebagai model atau
bentuk pengganti dari suatu situasi masalah yang digunakan untuk menemukan solusi
dari masalah yang sedang dihadapinya sebagai hasil dari interpretasi pikirannya. Suatu
masalah dapat direpresentasikan melalui gambar, kata-kata (verbal), tabel, benda
konkrit, atau simbol matematika. Jenis-jenis representasi akan dibicarakan lebih lanjut
di bagian lain dari tulisan ini.
Vergnaud (Goldin, 2002: 207) menyatakan representasi merupakan unsur yang
penting dalam teori belajar mengajar matematika, tidak hanya karena pemakaian sistem
simbol yang juga penting dalam matematik dan kaya akan kalimat dan kata, beragam
dan universal, tetapi juga untuk dua alasan penting yakni: (1) matematika mempunyai
peranan penting dalam mengkonseptualisasi dunia nyata; (2) matematika membuat
homomorphis yang luas yang merupakan penurunan dari struktur hal-hal lain yang
pokok.
Penjelasan kedua alasan di atas yakni matematika merupakan hal yang abstrak,
maka untuk mempermudah dan memperjelas dalam penyelesaian masalah matematika,
representasi sangat berperan, yaitu untuk mengubah ide abstrak menjadi konsep yang
nyata, misalkan dengan gambar, simbol, kata-kata, grafik dan lain-lain. Selain itu
matematika memberikan gambaran yang luas dalam hal analogi konsep dari berbagai
topik yang ada. Dengan demikian diharapkan bahwa bilamana siswa memiliki akses ke
representasi-representasi dan gagasan-gagasan yang mereka tampilkan mereka, maka
mereka memiliki sekumpulan alat yang secara signifikan siap memperluas kapasitas
mereka dalam berpikir secara matematis (NCTM, 2000).
JENIS-JENIS REPRESENTASI
Hiebert dan Carpenter (dalam Hudojo, 2002) mengemukakan bahwa pada
dasarnya representasi dapat dinyatakan sebagai internal dan eksternal. Berpikir tentang
ide matematika yang kemudian dikomunikasikan memerlukan representasi eksternal
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
195
PM – 16 : Kemampuan Representasi...... Syarifah Fadillah
yang wujudnya antara lain: verbal, gambar dan benda konkrit. Berpikir tentang ide
matematika yang memungkinkan pikiran seseorang bekerja atas dasar ide tersebut
merupakan representasi internal.
Representasi internal dari seseorang sulit untuk diamati secara langsung karena
merupakan aktivitas mental dari seseorang dalam pikirannya (minds-on). Tetapi
representasi internal seseorang itu dapat disimpulkan atau diduga berdasarkan
representasi eksternalnya dalam berbagai kondisi; misalnya dari pengungkapannya
melalui kata-kata (lisan), melalui tulisan berupa simbol, gambar, grafik, tabel ataupun
melalui alat peraga (hands-on). Dengan kata lain terjadi hubungan timbal balik antara
representasi internal dan eksternal dari seseorang ketika berhadapan dengan sesuatu
masalah.
Schnotz (dalam Gagatsis, 2004) membagi representasi eksternal dalam dua kelas
yang berbeda yaitu representasi descriptive dan depictive. Representasi descriptive
terdiri atas simbol yang mempunyai struktur sembarang dan dihubungkan dengan isi
yang dinyatakan secara sederhana dengan makna dari suatu konvensi, yakni teks,
sedangkan representasi depictive termasuk tanda-tanda ikonic yang dihubungkan
dengan isi yang dinyatakan melalui fitur struktural yang umum secara konkret atau pada
tingkat yang lebih abstrak, yaitu, display visual.
Lebih lanjut Gagatsis dan Elia (2004) mengatakan bahwa untuk siswa kelas 1, 2
dan 3 sekolah dasar, representasi dapat digolongkan menjadi empat tipe representasi,
yaitu representasi verbal (representasi descriptive), gambar informational, gambar
decorative, dan garis bilangan (representasi depictive).
Cai, Lane, dan Jacabcsin (1996: 243) menyatakan bahwa ragam representasi yang
sering digunakan dalam mengkomunikasikan matematika antara lain: tabel, gambar,
grafik, pernyataan matematika, teks tertulis, ataupun kombinasi semuanya. Sementara
Steffe, Weigel, Schultz, Waters, Joijner, Reijs (Hudoyo, 2002: 47) menggolongkan
representasi menjadi: verbal, gambar, benda konkret, tabel, model-model manipulatif
atau kombinasi dari semuanya.
Shield & Galbraith (dalam Neria & Amit, 2004) menyatakan bahwa siswa dapat
mengkomunikasikan penjelasan-penjelasan mereka tentang strategi matematika atau
solusi dalam bermacam cara, yaitu secara simbolis (numerik dan/atau simbol aljabar),
secara verbal, dalam diagram, grafik, atau dengan tabel data.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
196
PM – 16 : Kemampuan Representasi...... Syarifah Fadillah
Lesh, Post dan Behr (dalam Hwang, Chen, Dung, & Yang, 2007) membagi
representasi yang digunakan dalam pendidikan matematika dalam lima jenis, meliputi
representasi objek dunia nyata, representasi konkret, representasi simbol aritmetika,
representasi bahasa lisan atau verbal dan representasi gambar atau grafik. Di antara
kelima representasi tersebut, tiga yang terakhir lebih abstrak dan merupakan tingkat
representasi yang lebih tinggi dalam memecahkan masalah matematika. Kemampuan
representasi bahasa atau verbal adalah kemampuan menerjemahkan sifat-sifat yang
diselidiki dan hubungannya dalam masalah matematika ke dalam representasi verbal
atau bahasa. Kemampuan representasi gambar atau grafik adalah kemampuan
menerjemahkan masalah matematik ke dalam gambar atau grafik. Sedangkan
kemampuan representasi simbol aritmatika adalah kemampuan menerjemahkan masalah
matematika ke dalam representasi rumus aritmatika.
HUBUNGAN KEMAMPUAN REPRESENTASI DENGAN KEMAMPUAN
PEMECAHAN MASALAH
Representasi yang dimunculkan oleh siswa merupakan ungkapan-ungkapan dari
gagasan-gagasan atau ide matematika yang ditampilkan siswa dalam upayanya untuk
mencari suatu solusi dari masalah yang sedang dihadapinya. Dengan demikian
diharapkan bahwa bilamana siswa memiliki akses ke representasi-representasi dan
gagasan-gagasan yang mereka tampilkan mereka memiliki sekumpulan alat yang siap
secara signifikan akan mempeluas kapasitas mereka dalam berpikir secara matematis
(NCTM, 2000: 67).
Beberapa bentuk representasi, seperti verbal, numerik, aljabar, tabular, diagram,
dan grafik merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari pelajaran matematika.
Namun dalam pembelajaran matematika, representasi dipelajari atau diajarkan hanya
sebagai pelengkap dalam menyelesaikan masalah matematika. Seharusnya sebagai
komponen pembelajaran yang esensial, kemampuan representasi matematika siswa
perlu senantiasa dilatih dalam proses pembelajaran matematika di sekolah.
Kemampuan representasi sangat berhubungan dengan pemecahan masalah. Pemilihan representasi matematika yang tepat akan memudahkan siswa dalam melakukan pemecahan masalah. Suatu masalah yang rumit akan menjadi lebih sederhana jika menggunakan representasi yang sesuai dengan permasalahan tersebut, sebaliknya pemilihan representasi yang keliru membuat masalah menjadi sukar untuk
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
197
PM – 16 : Kemampuan Representasi...... Syarifah Fadillah
dipecahkan. Beberapa penelitian menunjukkan hubungan ini antara lain: Brenner dkk (dalam Neria & Amit, 2004) menyatakan bahwa proses dari kesuksesan pemecahan masalah bergantung pada ketrampilan representasi yang meliputi konstruksi dan menggunakan representasi matematika dalam kata-kata, grafik, tabel dan persamaan, memecahkan dan manipulasi simbol. Gagne dan Mayer (dalam Hwang, Chen, Dung, & Yang, 2007) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa kemampuan representasi siswa yang yang cerdas merupakan kunci memperoleh solusi yang tepat dalam memecahkan masalah. CONTOH SOAL REPRESENTASI Biaya transportasi dengan menggunakan taxi dalam kota diperlihatkan pada diagram di bawah ini. Gunakan informasi dari diagram tersebut untuk menentukan berapa biaya taxi untuk10 km? Untuk menyelesaikan soal tersebut siswa dapat menggunakan berbagai representasi, misalnya menggunakan grafik dengan memperpanjang garisnya, atau menggunakan tabel data dan dapat pula menyatakannya dengan persamaan (simbolik), ataupun dengan menggunakan representasi verbal.
Biay (Rp) a
05000 1 2 3 4 5
9500
8000
6500
3500
Waktu (menit)
DAFTAR PUSTAKA
Ainsworth S, Labeke V.N., & Peevers G. (2001). Learning with Multiple Representations. [on-line]. Available: http://www. psychology.nottingham. ac.uk./ staff/Shaaron,Ainsworth.hmtl [3 Maret 2008].
Cai, Lane, Jacabcsin (1996), “Assesing Students’ mathematical communication”. Official Journal of Science and Mathematics. 96(5)
Elia, Iliada. (2007). Multiple representations in mathematical problem solving:
Exploring sex differences. [on-line]. Available: http://www. prema.iacm. forth.gr docs/ws1/papers/Iliada%20Elia.pdf. [10 November 2007]
Gagatsis, Athanasios A Review of The Research on The Role of External
Representations on Understanding And Learning Mathematics And Problem Solving. [on-line]. Available: http://www ........................[18 Desember 2007].
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
198
PM – 16 : Kemampuan Representasi...... Syarifah Fadillah
Goldin, G. A. (2002). Representation in Mathematical Learning and Problem Solving.
In L.D English (Ed) International Research in Mathematical Education IRME, 197-218. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.
Hudoyo, H (2002). Representasi Belajar Berbasis Masalah. Jurnal Matematika atau
Pembelajarannya. ISSN: 085-7792. Tahun viii, edisi khusus. Hwang, W.-Y., Chen, N.-S., Dung, J.-J., & Yang, Y.-L. (2007). Multiple Representation
Skills and Creativity Effects on Mathematical Problem Solving using a Multimedia Whiteboard System. Educational Technology & Society, Vol 10 No 2, pp. 191-212.
Jones, A.D. (2000). The Fifth Process Standart:An Argument to Include Representation
in Standards 2000. [on-line]. Available: http://www. math.umd.edu/~dac/650/ jonespaper.hmtl [10 Desember 2007].
Jones, B.F., & Knuth, R.A. (1991). What does research ay about mathematics? [on-
line]. Available: http://www. ncrl.org/sdrs/areas/stw_esys/2math.html. [12 Februari 2008].
Kaput, JJ dan Goldin, G. A. (2004). A Join Persepective on the Idea of Representation
in Learning and Doing Mathematics. [on-line]. Available: http://www. simlac.usmassad.edu. [18 Desember 2007].
Ludlow, A.S. (2001). The Object-process Duality of Representation: A peircean Perspective. In H. Hitt (Ed). Working Group on Representation and Mathematics visualization (1998 – 2001). [on-line]. Available: http://www. matedu.cinvestav.mx/Adalira.pdf [10 November 2007].
Luitel, B.C. (2001). Multiple Representations of Mathematical Learning. [on-line].
Available: http://www. matedu.cinvestav.mx/adalira.pdf [18 Desember 2007].
National Council of Teacher of Mathematics. (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Reston. VA: NCTM.
Neria, Dorit & Amit, Miriam. (2004). Students Preference Of Non-Algebraic
Representations In Mathematical Communication. Proceedings of the 28th Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics Education Vol. 3, pp. 409 - 416
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
199
PM – 17 : Studi Tentang Model Pembelajaran...... Yonandi
Studi Tentang Model Pembelajaran Matematika Interaktif Berbantuan Teknologi Multimedia Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Siswa
Oleh: Yonandi
Email: [email protected]
ABSTRAK
Matematika merupakan mata pelajaran yang bersifat abstrak, sehingga dituntut kemampuan guru untuk dapat mengupayakan metode yang tepat sesuai dengan tingkat perkembangan mental siswa. Untuk itu diperlukan model dan media pembelajaran yang dapat membantu siswa untuk mencapai kompetensi dasar dan indikator pembelajaran. Secara keseluruhan, makalah ini menunjukkan bahwa teknologi multimedia bisa digunakan seefisien alat instruksional dalam menciptakan lingkungan belajar berdasarkan pengaturan di dalam kelas yang ada, dimana para siswa bisa belajar untuk menanamkan kemampuan belajar interpersonal dan kolaborasi terhadap komunitas belajar para siswa. Selain itu dipaparkan pula kajian model pembelajaran matematika interaktif berbantuan multimedia. Hasil penelitian secara umum menunjukan bahwa pembelajaran Interaktif Menggunakan Teknologi Multimedia ini dapat (1) meningkatkan kemampuan berpikir siswa, (2) mendorong siswa untuk berani mengemukakan pendapatnya sendiri, (3) membuat pelajaran matematika menjadi lebih menarik, sehingga memotivasi siswa untuk belajar, (4) digunakan oleh guru untuk mengevaluasi proses berpikir siswa serta melihat bila terjadi kesalahan konsep matematika yang dilakukan oleh siswa.
Kata-kata kunci: Pembelajaran interakt i f , Pembelajaran berbantuan
mult imedia , Kemampuan berpikir
1. PENDAHULUAN
Matematika merupakan mata pelajaran yang bersifat abstrak, sehingga
dituntut kemampuan guru untuk dapat mengupayakan metode yang tepat sesuai
dengan tingkat perkembangan mental siswa. Untuk itu diperlukan model dan media
pembelajaran yang dapat membantu siswa untuk mencapai kompetensi dasar dan
indikator pembelajaran. Banyak sekali guru matematika yang menggunakan waktu
pelajaran dengan kegiatan membahas tugas-tugas lalu, memberi pelajaran baru,
memberi tugas kepada siswa. Pembelajaran seperti di atas yang rutin dilakukan
hampir tiap hari dapat dikategorikan sebagai 3M, yaitu membosankan,
membahayakan dan merusak seluruh minat siswa. Selama ini media pembelajaran
yang dipakai adalah alat peraga yang sederhana, misalnya untuk menjelaskan
Teorema Pythagoras dibuat segitiga yang terbuat dari tripleks-tripleks. Tetapi seiring
dengan berkembangnya teknologi, media pembelajaran tersebut kurang menarik
perhatian dan minat siswa. Untuk itu diperlukan suatu media pembelajaran yang
dapat lebih menarik perhatian dan minat siswa tanpa mengurangi fungsi media
pembelajaran secara umum.
Dengan metode pembelajaran konvensional, dimana pembelajaran meliputi:
penyampaian materi kepada siswa, pemberian tugas-tugas, dan diakhiri dengan ujian
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
200
PM – 17 : Studi Tentang Model Pembelajaran...... Yonandi
tulis. Dengan metode seperti ini jelas pembelajaran hanya berjalan satu arah, siswa
kurang aktif, belajarnya kurang bermakna, dan tidak jarang suatu konsep hanya
dipahami sebagai hafalan, bukan sebagai pengertian, sehingga konsep tersebut
mudah dilupakan. Bahkan tidak jarang terjadi suatu matematika dipahamani secara
keliru oleh siswa. Semua ini pada akhirnya menyebabkan siswa tidak dapat
menerapkan dengan baik konsep-konsep dan teorema-teorema yang telah
dipelajarinya dalam menyesesaikan soal-soal latihan.
Berangkat dari kelemahan metode pembelajaran konvensional yang telah
dikemukakan di atas, maka diperlukan suatu pengembangan pendekatan
pembelajaran yang dapat membantu mengatasi kesulitan siswa dalam ”mencerna”
konsep-konsep matematika dan terutama dapat membuat siswa lebih aktif selama
pembelajaran baik secara fisik, secara mental, maupun secara emosional dan
belajarnya menjadi lebih bermakna.
Pada era multi teknologi saat ini, pembelajaran dengan menggunakan
teknologi (bantuan komputer) untuk mata pelajaran Matematika telah banyak
dilakukan, misalnya pembelajaran matematika dengan VCD interaktif, software
khusus matematika seperti Mathematica, Cabry Geometry, Geometry Skatchpad, dll.
Disisi lain, adanya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sekarang,
mendorong pemakaian teknologi terbaru dalam pembelajaran, atau mencoba untuk
menemukan suatu cara dimana guru dapat menyampaikan materi pelajaran dengan
lebih baik.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa teknologi multimedia bisa
digunakan seefisien alat instruksional dalam menciptakan lingkungan belajar
berdasarkan pengaturan di dalam kelas yang ada, dimana para siswa bisa belajar
untuk menanamkan kemampuan belajar interpersonal dan kolaborasi terhadap
komunitas belajar para siswa. Multimedia membantu pengaturan model belajar yang
membantu belajar siswa dan proses belajar dimana para siswa ikut ambil bagian.
Selain itu penggunaan media komputer dapat meningkatkan kemampuan
visualisasi siswa. Namun demikian media komputer bukan alat untuk membantu
siswa menyelesaikan soal-soal matematika seperti halnya penggunaan kalkulator
untuk mempercepat proses perhitungan. Penggunaan komputer hanyalah untuk
membantu siswa dalam memahami konsep matematika, sedangkan penyelesaian soal
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
201
PM – 17 : Studi Tentang Model Pembelajaran...... Yonandi
tetap diserahkan pada kemampuan siswa.
Pembelajaran matematika dengan multimedia akan lebih berhasil apabila media
yang ada tidak dijadikan tumpuan utama dalam pembelajaran melainkan terjadi
kolaborasi (penggabungan) dengan pembelajaran klasikal.
Teknis penggunaan komputer sebagai media pembelajaran ini bisa dilakukan
dengan cara: Pertama, tiap satu atau dua siswa memegang satu komputer yang
software-nya telah disiapkan oleh guru dan proses pembelajarannya dilakukan dalam
laboratorium komputer. Kedua, proses pembelajaran melalui projektor LCD yang
mampu memtugassikan tampilan pada monitor komputer ke media lain (misal
tembok kelas) dengan perbesaran yang bisa diatur. Namun, untuk memilih mana
yang lebih baik dari kedua cara tersebut perlu ada penelitian lebih lanjut.
Pembelajaran Konvensional, guru memberi pengetahuan kepada siswa, dan
siswa cenderung hanya menerima apa yang diberikan guru, Siswa menggantungkan
pelajaran pada guru, Siswa kurang termotivasi untuk belajar, Hampir tidak ada
interaksi antar siswa
. Pembelajaran Interaktif, guru sebagai fasilitator, membantu siswanya untuk
membangun pengetahuannya sendiri, Siswa dapat belajar secara mandiri, Siswa
termotivasi untuk belajar, Terdapat interaksi yang kuat antara siswa yang satu
dengan yang lainnya.
Penulis memilih untuk meneliti tentang model pembelajaran interaktif, dengan
beberapa pertimbangan yaitu.
1. Proses pembelajaran pada model pembelajaran ini benar-benar terpusat pada
siswa, mulai dari awal pembelajaran guru sudah tidak lagi menjelaskan materi,
tetapi siswa langsung belajar/bekerja dengan melakukan aktivitas-aktivitas yang
telah dirancang secara khusus sehingga siswa dapat mengkonstruksi pengetahuan
bagi dirinya sendiri. Peran guru dalam pembelajaran ini hanyalah sebagai
fasilitator dan motivator untuk membantu siswanya dalam belajar.
2. Model pembelajaran ini sangat fleksibel, dalam arti kegiatan pembelajaran bisa
dilakukan secara berkelompok, berpasangan, ataupun individual.
3. Aktivitas-aktivitas yang diberikan guru untuk membantu siswanya belajar, tidak
hanya terbatas pada memecahkan masalah, tetapi tetapi dapat dipilih aktivitas-
aktivitas lainnya, seperti: menginvestigasi, mempelajari secara mandiri suatu
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
202
PM – 17 : Studi Tentang Model Pembelajaran...... Yonandi
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
203
topik pembelajaran, atau mengerjakan tugas (tugas) yang tentunya harus
disesuaikan dengan pokok bahasan yang dipilih.
4. Kegiatan-kegiatan dalam model pembelajaran ini cukup lengkap, mulai dari
siswa melakukan aktivitas-aktivitas, berdiskusi, mengkomunikasikan hasil
pekerjaannya, memeriksa dan memperbaiki hasil pekerjaannya, pengecekan
pemahaman siswa, hingga diakhiri kegiatan menarik kesimpulan dari apa yang
telah dipelajari siswa.
2. Kajian Pustaka
Definisi-definisi multimedia bermacam-macam. Richard Mayer, profesor
psikologi di Universitas California, Santa Barbara, menggambarkan multimedia
sebagai presentasi yang berisi kedua-duanya teks dan grafik. Mao Neo dan Ken T.T.
K.Neo, fakultas Multimedia University di Malaysia, mendefinisikan bahwa
multimedia adalah “kombinasi berbagai media digital, seperti teks, images,sound,
dan video, ke dalam satu aplikasi interaktif multisensory yang terintegrasi atau
presentasi untuk menyampaikan suatu pesan atau informasi kepada satu pendengar.”
Di dalam setiap kombinasi-kombinasi atau permutasi-permutasi bentuk-bentuk
media umum, keseluruhan harus lebih besar dari jumlah partisinya. Multimedia pasti
mempunyai potensi itu untuk meluasnya jumlah dan jenis informasi yang tersedia
bagi pelajar-pelajar. Multimedia dapat menawarkan lapisan-lapisan dari sumber daya
menguntungkan, menyediakan informasi beranekaragam.
Berikut ini dipaparkan hasil penelitian dari beberapa peneliti yang berkaitan
dengan Pembelajaran Interaktif menggunakan Teknologi Multimedia.
PM – 17 : Studi Tentang Model Pembelajaran...... Yonandi
Tabel 1. Penelitian-Penelitian Tentang Pembelajaran Interaktif Menggunakan Teknologi Multimedia
No Sumber Jurnal Subjek Tujuan dan Desain
Doing Math/Kemampuan
keterampilan Matematika yang
diukur
Instrumen Pendekatan Hasil Penelitian
1. King-Dow Su & Ming uery Lee, 2005. “A New Evaluation For Integrating Multimedia Technology With Science:Student Performance In Mathematical Limit Learning”, World Transaction on Engineering and Technology Education Vol 4. No. 2, UICEE.
96 mahasiswa tingka t 1
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pemahaman mahasiswa dengan penggunaan teknologi multimedia dalam pengajaran matematika tentang Limit. Ke-96 mhasiswa dibagi menjadi kelas kontrol (50) dan kelas perlakuan (46). Semua kelas homogen dalam kemampuan akademisnya.
kemampuan merepresentasikan dan menyelesaikan masalah matematika tentang limit. kemampuan memahami idea matematika tentang limit secara lebih mendalam, mengamati data dan menggali idea yang tersirat, menyusun konjektur, analogi, dan generalisasi, menalar secara logik.
Post-tests tentang masalah konsep limit, yang meliputi 3 jenis pertanyaan: 1. Tiga Pertanyaan tentang pengetahuan 2. Lima pertanyaan tentang kemampuan berpikir rasional 3. Dua pertanyaan aplikasi ► Kuesioner tentang sikap dengan skala Likert.
Materi-materi tambahan untuk pembelajaran multimedia telah dikembangkan oleh penulis artikel ini. Gambar animasi komputer menggunakan flash MX (Macromedia) dan gambar statis dihasilkan dengan menggunakan Mathematica 4.2 (Wolfram Research), dan ditampilkan dengan powerpoint dan software e-plus di dalam kelas. Konsep untuk animasi dibuat
Sikap belajar siswa (S1) (F=4.225, p<0.05); Sikap guru (S2) (F=3.563, p<0.05); Sikap terhadap siswa (S4) (F=3.819, p<0.05); Sikap terhadap evaluasi diri (S5( (F=3.995, p<0.05). Metode pembelajaran menggunakan multimedia (animasi, ganbar, dsb) sangat membantu siswa memahami tentang limit yang bersifat abstrak.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
204
PM – 17 : Studi Tentang Model Pembelajaran...... Yonandi
Kelompok kelas Perlakuan mendapatkan pem-belajaran dengan teknologi multimedia, sementara kelompok kelas Kontrol belajar biasa dengan menggunakan teks book.
di program Adobe photoshop 7.01.
Efektivitas pembelajaran akan lebih baik dengan menggunakan kombinasi multimedia
2. Mr. I Malabar dan Dr. D C Pountney, Using Technology To Integrate Constructivism and Visualisation In Mathematics Education, Proceeding of th 2nd International Conference on the 2002 (Journal Research of Mathematics
Siswa berusia antara 16-19 tahun untuk mempelajari metematika pada tingkat lebih lanjut.
Tujuan penelitian ini adalah membuat rekomendasi yang memberi pertimbangan atas pro dan kontra mengenai pengajaran dan penggunaan alat peraga pada kelas matematika dan berusaha untuk menunjukkan bahwa nantinya
Keterampilan berpikir kreatif adalah kemampuan menguraikan secara berhati-hati dan sistematis, membangun pengetahuan yang ada, membuat beragam jawaban dan mengelaborasi yang dapat membangun sifat kepribadian kreatif
Diberikan grafik (misal jawabannya: y=sinx . e-x). Dalam mencari jawaban atas persoalan yang diajukan dapat diproses melalui penggunaan computer. Sebagai contoh, pada setiap pertanyaan di konsentrasikan untuk menemukan
Digunakan Pendekatan Konstruktif yang bertujuan agar siswa dapat memperoleh pengalaman dalam menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Dan dianjurkan agar mereka dapat membentuk suatu representative yang berbeda
Melalui pendekatan konstruktif maka akan mempunyai kemampuan matematika tingkat tinggi seperti yang dijelaskan Pada Taxonomi Math grup Pendekatan secara konstruktif dalam mengajar dan belajar membawa untuk lebih banyak
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
205
PM – 17 : Studi Tentang Model Pembelajaran...... Yonandi
Education. menggunakan metode yang lebih baik dari yang terdahulu mengingat penggunaan teknologi sekarang lebih bagus dalam memvisualisasikan dan lebih efektif. Dengan menggunakan perangkat software, siswa mengeksplorasi secara konstruktif, mengoreksi simbol-simbol dari fungsi polynomial, fungsi trigonometri, eksponen dan sebagainya sebagai bagian dari kombinasi pada fungsi-fungsi dasar.
poin-poin, asimtot dan sebagainya. Selain itu dapat memplot sebuah gambar. Contoh lain dalam mengkontruktif pertanyaan, namun bagaimanapun juga ada pertimbangan dalam beberapa fungsi, f(x) dan juga menentukan kejadian-kejadian ketika keterangan-keterangan pada sebuah symbol atau parameter dapat diubah. Para siswa dianjurkan untuk mencari dan menginvestigasinya. Philosiphi dari kontruktif diatas dapat membuat siswa menemukan jawaban yang dicarinya.
sebagaimana mereka membentuk suatu relasi, misalnya dengan Autograph, Sketchpad, Cabri Geometry atau Computer Algebra System seperti Derive
bereksplorasi dalam melakukan pendekatan mengajar, dimana siswa dapat lebih berinisiatif dan mengontrol cara belajar mereka. Hal ini menjadi satu petunjuk yang empiris dalam pendekatannya secara signifikan untuk menunjukkan bahwa mereka mengerti apa yang telah dikonsepkan/ disusun.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
206
PM – 17 : Studi Tentang Model Pembelajaran...... Yonandi
3. Ken Neo Tse-Kian, 2003. “Using multimedia in a constructivist learning Environment in the Malaysian classroom”, Australian Journal of Educational Technology, 19(3), 293-310.
46 siswa tingkat dua Fakultas Kreatif Multimedia (FCM) Universitas Multimedia Malaysia
Tujuan: membangun paradigm dengan menggunakan multimedia sebagai alat instruksional, dan dimana pelajar adalah pelajar yang aktif, dilibatkan dalam membangun ilmu pengetahuan mereka sendiri di dalam proses belajar dan menentukan bagaimana untuk memperoleh hasil akhirnya. Ke-46 siswa dibagai menjadi beberapa kelompok terdiri dari 4-6 orang. Setiap kelompok harus memutuskan dari setiap anggota
kemampuan mereka dalam pemecahan masalah, dan latihan menganalisis, kritis dan berpikir kreatif dalm tugas mereka.
Satu kelompok, mengembangkan aplikasi interaktif pada permainan tradisional Malaysia. Aplikasi disain diikuti tampilannya yang tradisional, dengan bagian "Background", "Types" (sesuai dengan variasi permainan), "How to Play" (memberikan informasi detail tentang bagaimana memainkan permainan ini) "Play The Game" (bagian interaktif yang menampilkan animasi ketika permainan sedang dimainkan), "The Future" dari permainan, dan "End Credits" yang
Pendekatan yang dilakukan adalah guru disini adalah sebagai fasilitator dan konsultan bagi para siswa. Guru dan murid bertemu dua kali seminggu untuk membahas tugas diskusi kelompok mereka dan untuk mengkonsultasikan bermacam-macam masalah atau mengkonsestrasikan pada masalah yang mereka hadapi. Disini para siswa ditantang untuk lebih memahami bagaimana memilih materi subjek dan untuk membangun kemampuan mereka dalam mengorganisasi, menganalisis dan, mensintesis tugas
Hasil-hasil dari survey dengan jeias menunjukkan bahwa para murid berkelakuan positif (m=4.09, p=91%; lihat Table 3) clan termotivasi (m=3.98, p=76%; lihat Tabel 3) terhadap pengembangan multimedia dan kerjasama tim (m=3.83,p=78°fo; lihat Tabel 2). Rating item tertinggi dalam survey ini, diutamakan pada penggunaan multimedia (m=4.15, p=91%; lihat table 3), kemampuan berkreatifitas (m=4; i S,p=91 %; lihat Tabel 1), dan tantangan dalam
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
207
PM – 17 : Studi Tentang Model Pembelajaran...... Yonandi
kelompoknya, topic tim mereka dan alat authoring multimedianya, macromedia director, sebagai alat untuk membuat tugas akhir dan menyampaikannya dalam bentuk CD. Tugas ini harus selesai dalam waktu 14 minggu ( satu trisemester)
menampilkan para anggota kelompok juga tugas-tugas mereka dalam aplikasi ini.
dalam pengaturan kelompok
tugas mereka (m=4.17, p.91%; lihat Tabel 3). Ini memungkinkan para siswa dalam menunjukkan haknya untuk menyatakan ide mereka dengan kombinasi elemen media dan mengarahkan menuj u ke ide inovatif yang dihasilkan dari diskusi grup Multimedia yang membantu proses belajar, seperti yang digambarkan dalam Figur 2, para siswa bisa menggunakan berbagai macam bentuk media untuk menyajikan informasi, hal ini membantu mereka untuk mengembangkan
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
208
PM – 17 : Studi Tentang Model Pembelajaran...... Yonandi
kemampuan presentasi dan gaya bicara, yang sangat penting di tempat kerja
4. Taner Buyukkoroglu, et. All., The Effect Of Computer On Teaching The Limit Concept, International Journal for Mathematics Teaching and Learning ISSN 1473 – 0111
52 mahasiswa tingkat pertama.
Tujuan dari penelitian ini adalah apakah mahasiswa dapat memahami konsep limit dan mengatasi kesulitannya dengan bantuan komputer. Ke-52 mahasiswa dibagi menjadi: 26 mahasiswa sebagai kelompok kontrol dan sebanayak 26 mahsiswa sebagai kelompok eksperimen. Kelompok eksperimen (kelas B) melakukan pembelajaran konsep limit dengan bantuan
Kemampuan Representasi Multipel. Yakni kemampuan menyajikan suatu obyek matematika (konsep limit) (masalah, ke dalam berbagai notasi yang meliputi: Simbolik/abstrak formal (bentuk aljabar, formula), dalam memanipulasi, menginterpretasi, dan beroperasi dengan simbol. Visual/ikonik, dalam menginterpretasi, membuat, dan beroperasi pada
Sebuah ujian terapan diterapkan pada kedua kelompok setelah dua minggu. Meskipun kedua kelompok telah dimulai dengan 26 mahasiswa, 25 mahasiswa dari kelompok A dan 21 mahasiswa dari kelompok B berperan serta dalam ujian. Jawaban dari mahasiswa dipisah kedalam dua kelompok tertentu, sebagai jawaban – jawaban benar dan salah. Sebuah jawaban diterima sebagai yang benar
Konsep limit diajarkan dengan menggunakan metode klasikal pada kelompok A di ruang kelas. Konsep tersebut diajarkan pada kelompok B di sebuah laboratorium komputer melalui komputer secara individualyang mempunyai suatu program yang disiapkan oleh penelitii dengan menggunakan MATLAB. Setiap mahasiswa pada kelompok ini mengikuti pelajaran dari komputernya secara interaktif.
Rata-rata persentase jawaban benar adalah Ax = 35,4 pada kelompok A dan Bx = 46,4 pada kelompok B. Untuk memeriksa apakah perbedaan yang bermakna antara rata-rata dilakukan uji-t dalam taraf signifikansi 5%, hal ini terlihat dari hasilnya bahwa tidak ada perbedaan yang berarti antara dua- rata-rata ini.
sikap siswa
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
209
PM – 17 : Studi Tentang Model Pembelajaran...... Yonandi
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
210
ikan
T
komputer dan dilakukan di laboratorium komputer. Sedangkan kelompok kontrol (kelas A) melakukan pembelajaran di ruangan kelas
grafik dan/atau gambar. Numerik/tabular, dalam menerapkan prosedur, memahami dan menerapkan proses, dan mengintepretasi tabel.
jika diberikan hasil benar dengan penjelasan yang benar jika tidak diterima sebagai sebuah hasil yang salah. Data diperoleh dari hasil ujian diinterpretasikan dengan menggunakan frekuensi, persentase dan uji t.
secara signiflebih menyukai pada program pengajaran berbasis komputer.
5. Farouq Almeqdadi, The Effect of Using The Geometer’s Sketchpad (GSP) on Jordanian Students’ Understanding Some Geometrical Concepts , Yarmouk University, 2005
52 siswa kelas 9 di Sekolah Model, Yarmouk University, Irbid, Yordan.
Tujuan dari studi ini untuk menyelidiki pengaruh penggunaan Geometer’s Sketchpad) terhadap beberapa pemahaman konsep geometris siswa Kelompok eksperimen dan control masing-
Kemampuan merepresentasikan konsep geometris, kemampuan nalar, dan memecahkan masalah geometri.
Instrumen (tes prestasi belajar) yang digunakan dalam studi ini dirancang oleh peneliti dan divalidasi oleh beberapa pendidik-matematika . Terdiri dari 5 pertanyaan tentang Geometri.
semua siswa baik pada kelompok eksperimen maupun kontrol diberikan test untuk mengukur pemahaman mereka mengenai konsep-konsep dalam geometri
ada perbedaan yang signifikan antara rerata skor prestasi posttes siswa kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Penelitian ini menunjukkan juga bahwa peningkatan rerata skor prestasi siswa dari pretes ke posttest untuk kelompok eksperimen lebih
PM – 17 : Studi Tentang Model Pembelajaran...... Yonandi
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
211
masing terdiri dari 26 siswa. Kedua kelompok tersebut dibimbing oleh guru yang sama. Kelompok eksperimen belajar yang beberapa bagian geometri menggunakan buku dan perangkat lunak Geometry Skatchpad, Sementara itu, kelompok kontrol belajar yang beberapa bagian geometri hanya menggunakan buku.
baik daripada kelompok kontrol.
PM – 17 : Studi Tentang Model Pembelajaran...... Yonandi
Ken Neo Tse-Kian, 2003, penelitiannya berorientasi pada membangun
paradigma dalam menggunakan multimedia sebagai alat instruksional, dan dimana
pelajar adalah pelajar yang aktif, dilibatkan dalam membangun ilmu pengetahuan
mereka sendiri di dalam proses belajar dan menentukan bagaimana untuk
memperoleh hasil akhirnya. Sebuah survei telah dilakukan untuk memastikan
reaksi para siswa yang didaftarkan dalam pelatihan multimedia interaktif di
Universitas Multimedia, Malaysia dengan menggunkan metode pembelajaran ini.
Hasilnya mengindikasikan bahwa setiap siswa bereaksi positif terhadap cara
pembelajaran ini dan meningkatkan skill belajar personal dan kolaboratif mereka.
Dalam penelitian ini dihasilkan model konseptual mewakili gaya belajar yang disusun
oleh penyusun yang dapat dilihat pada gambar 1, yang menggambarkan proses
belajar siswa dan berhubungan dengan proses pengembangan multimedia.
Gambar 1: Multimedia membantu model pembelajaran
Diperoleh kesimpulan dari penelitian ini yaitu:
1. Teknologi multimedia menjadi popular dalam pendidikan sebagai motivator para
siswa dalam pembelajaran dan memberikan peluang dalam cara-cara
mengekspresikan ide-ide dan menampilkan informasi mereka. Hal ini juga
membiarkan guru fleksibel menyajikan kurikulum mereka dalam keadaan yang
inovatif. Dalam perancang model pembelajaran, guru menjadi fasilitator,
konsultan atau pembimbing, membantu para siswa untuk mengakses,
mengatur dan mendapatkan informasi untuk menyiapkan solusi masalah-
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
212
PM – 17 : Studi Tentang Model Pembelajaran...... Yonandi
masalah. Proses belajar ini memungkinkan pengetahuan berdasarkan komunitas
belajar dibangun untuk para siswa, pernbimbing dan guru berbagi pengetahuan
dan membantu satu sama lain dalam kemampuan dan menyampaikan ilmu.
2. Multimedia yang membantu membangun situasi belajar, pembelajaran siswa,
fakta-fakta, proses belajar, menjadi fokus utama, bukan isi, guru atau
penggunaan teknalogi, yang hanya menyajikan tugas-tugas suportif. Dalam
proses belajar, bagaimanapun juga, dapat dilihat bahwa teknologi seperti
komputer, alat-alat multimedia dan World Wide Web mempunyai pengaruh
yang sangat besar dalam proses belajar siswa.
3. Multimedia yang membantu proses belajar, seperti yang digambarkan dalam
gambar 1, para siswa bisa menggunakan berbagai macam bentuk media
untuk menyajikan informasi, hal ini membantu mereka untuk mengembangkan
kemampuan presentasi dan gaya bicara, yang sangat penting di tempat kerja.
Para siswa menjadi pencari yang aktif daripada dengan penerima ilmu dan
informasi yang aktif. Mereka juga menjadi termotivasi dalam belajar dan belajar
untuk menerapkan apa yang telah mereka pelajari sebelumnya dalam
memecahkan masalah-masalah autentik. Belajar sambil mengerjakan
memperdalam pemahaman mereka dalam permasalahan.
4. Model pembelajaran ini juga membuat para siswa untuk bekerja dalam tim
dan memecahkan masalah secara berkolaborasi, yang dengan pasti telah
disampaikan oleh Vygotsky's (1978) aspek social dari belajar dan ZPD konsep,
dimana guru dan para pembimbing yang ahli membantu dan mengusahakan para
siswa dalam pembelajaran juga menyelesaikan tugas-tugas mereka. Para
siswa juga belajar untuk menggunakan kemampuan berpikir kritis mereka
seperi analisis, sintesis, evaluasi, dan refleksi ketika memecahkan masalah-
masalah yang autentik. Pengalaman ini akan mengambangkan kemampuan
memecahkan masalah dan interpersonal mereka. Elemen yang sangat penting
dalam mode belajar ini adalah bahwa para siswa tidak hanya belajar `isi' tapi
juga 'proses belajar' hal ini membuat mereka belajar 'bagaimana cara belajar'
dan menjadi pelajar-pelajar yang abadi.
Patti Shank, 2004, multimedia yang efektif di dalam belajar tidak hanya
terdiri atas penggunaan multimedia bersama-sama, tetapi mengkombinasikan media
dengan penuh perhatian dalam cara-cara yang berperan besar di karakteristik-
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
213
PM – 17 : Studi Tentang Model Pembelajaran...... Yonandi
karakteristik dari tiap medium individu dan meluas serta dapat meningkatkan
pengalaman pembelajaran. Riset menunjukkan bagaimana multimedia dapat meluas
dan meningkatkan pelajaran. Penggunaan-penggunaan dari berbagai jenis
multimedia, mulai dari praktek game-game sampai pelajaran penemuan. Para
perancang pertama harus menentukan hasil-hasil yang mereka mau capai dan lalu
memilih unsur-unsur yang cocok untuk hasil-hasil ini (sebagai contoh, memilih
audio yang membiarkan pelajar mendengar perbedaan-perbedaan di dalam nada).
Lalu mereka perlu memastikan bahwa unsur-unsur multimedia dirancang baik dan
bekerja dengan baik bersama-sama.
Tall,2000,2001, Ativitas konstruktif dengan menggunakan teknologi
memperbolehkan kesempatan untuk mengubah sifat alam dari sebuah materi untuk
menjadi bahan pelajaran dari aktivitas yang telah rutin ke penemuan yang telah
dilaksanakan. Pengetahuan,sebagai bahan diskusi sebelum masuk pada langkah
awal,adalah membangun kembali dari setiap pengalaman individu dan membuat
pengalaman itu menjadi lebih dinamis dengan bantuan pengembangan pada struktur
kognitif.
Siswa-siswa yang berusia antara 16-19 tahun menemukan kesulitan dalam
menjawab soal-soal mengenai konsep yang mempunyai arti yang berbeda dalam
konteks yang terpisah dari pengalaman cara berfikir mereka yang lamban. Melalui
pendekatan Konstruktif dengan dilengkapi oleh komputer menghasilkan tenaga bagi
siswa untuk memberikan semangat baru dalam pengalamnnya untuk mengubah
sesuatu yang konkret kedalam sesuatu yang abstrak agar lebih berhasil
(Dubinsky,1991).
Aktivitas pembentukkan image dianjurkan dengan segera, oleh karena itu
diperlukan pelajaran matematika. Siswa-siswa yang biasanya menggunakan image
dalam pikiran mereka biasanya membuat sebuah novel matematika dalam tugas
mereka walaupun mereka tidak terlalu bagus dalam penggambarannya. Hal ini
sangat diperlukan untuk membangun sebuah pengembangan aktivitas belajar untuk
mempromosikan pengembangan dalam keahlian membuat sebuah image bagi semua
siswa (Habre, 2001).
Guru membantu dalam belajar untuk menyelesaikan aktivitasnya, tapi tidak
mengerjakannya atau memberikan jawaban yang benar, tetapi dengan memberikan
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
214
PM – 17 : Studi Tentang Model Pembelajaran...... Yonandi
petunjuk yang diperlukan untuk memformulasikan sehingga mereka dapat
menyelesaikan tugasnya sendiri (Honebein et al., 1993).
Beberapa penelitian yang mendukung konsep:”Efektivitas pembelajaran
akan lebih baik dengan menggunakan kombinasi media”, seperti:
1. Chang, 2001, .Metode CBL (Computer-based learning) akan membantu
siswa untuk memperoleh kemampuan dasar dalam teknologi dan informasi,
juga akan lebih mendalami bidang matematika, menggabungkan pemikiran
yang bebas dan akan memenuhi program karir dan belajar seumur hidup.
2. Mayer dkk, 1989, 1992, 1995, meningkatkn teori generatif dalam desain
multimedia.Teori ini berpendapat bahwa bahan ajar akan memfasilitasi
integrasi informasi multimedia dalam pemilihannya, pengorganisasian serta
desain instruksinya.
3. Peranan multimedia mampu menstimulasi motivasi belajar dan
meningkatkan efektivitas (Moore, dkk, 1996 dan Rieber, 1996).
Beberapa penelitian yang menyatakan pembelajaran menggunakan
penggabungan antara teknologi multimedia dengan sains tidak berpengaruh terhadap
peningkatan dan efektifitas proses pembelajaran”, seperti:
1. Rieber (1990), membuat penelitian berdasarkan hokum Newton di sekolah
dasar, yang menyimpulkan bahwa animasi tidak dapat membantu
memfasilitasi proses pembelajaran.
2. Lai (1998), mengindikasikan bahwa animasi tidak memfasilitasi daya ingat
didalam analogi pembelajaran bahasa komputer.
3. Lai (2000), Kemajuan terbaru dalam teknologi komputer telah membuat
para pendidik untuk menyertakan teks, sumber visual dan aural kedalam
sebuah program komputer mediasi.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
215
PM – 17 : Studi Tentang Model Pembelajaran...... Yonandi
3. Pembahasan
Dari beberpa penelitian tersebut di atas dapat dikatakan bahwa Pembelajaran
Multimedia adalah suatu kegiatan belajar mengajar di mana dalam penyampaian
bahan pelajaran yang disajikan kepada siswa, guru menggunakan atau menerapkan
berbagai perangkat media pembelajaran. Adapun media pembelajaran itu sangatlah
beraneka macam, baik itu dalam bentuk media cetak, media / alat peraga ataupun
media elektronik.Media cetak sudah sangat lazim bagi guru maupun siswa, media
cetak meliputi buku paket, buku referensi, majalah, tabloid, koran, atlas / peta atau
mediamedia cetak lainnya. Alat peraga meliputi model / bentuk, globe, relief,
gambar bagan, alat musik, dll. Sedang media elektronik meliputi TV, Radio, Tape
Recorder, OHP, Komputer, LCD Tugastor, Slide, dll. Secara khusus penulis
membatasi permasalahan ini dengan pembahasan penggunaan media elektronik /
komputer, berikut dengan pemanfaatan hardware, software dan alat - alat pendukung
lainnya dalam proses pembelajaran di dalam kelas. Komputer merupakan suatu alat
yang canggih dan lengkap, karena dengan satu unit komputer yang baik dapat
difungsikan untuk berbagai keperluan, dan seorang guru yang jeli tentunya dapat
memanfaatkan perangkat canggih tersebut untuk keperluan pembelajaran. Bagi
sekolah-sekolah yang sudah cukup mampu untuk mengadakan alatalat tersebut,
sudah semestinya guru-guru dianjurkan supaya dapat memanfaatkannya dalam
kegiatan pembelajaran. Karena disamping guru memperoleh pengalaman baru dalam
pembelajaran. Pembelajaran multimedia ini juga akan terasa menyenangkan bagi
siswa. Dan yang tak kalah pentingnya adalah metode pembelajaran seperti ini sangat
sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dari beberapa pendapat di atas, siswa dalam memahami konsep dan prinsip
dari suatu materi dimulai dari bekerja dan belajar terhadap situasi atau masalah yang
diberikan, melalui investigasi, inkuiri dan pemecahan masalah siswa membangun
konsep atau prinsip dengan kemampuannya sendiri yang mengintegrasikan
keterampilan dan pengetahuan yang sudah dipahami sebelumnya. Hal ini berbeda
dengan proses belajar-mengajar yang biasa dilakukan pada umumnya yaitu masalah
disajikan setelah pemahaman konsep, prinsip dan keterampilan. Kondisi seperti ini
memungkinkan siswa untuk melakukan investigasi, eksplorasi sebelum sampai pada
pemecahan masalah, hal ini melatih siswa dalam mengembangkan kemampuan
berpikir seperti penalaran, komunikasi, koneksi dan pemecahan masalah.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
216
PM – 17 : Studi Tentang Model Pembelajaran...... Yonandi
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa siswa belajar mengalami dan
mengaitkan pengetahuan sebelumnya ke dalam materi yang sedang dipelajari,
mengkomunikasikan sendiri pemahamannya, tidak hanya sekedar menghapal dan
diberi orang lain (guru). Guru bertindak sebagai pembimbing, motivator, dan
fasilitator yang artinya bahwa guru membantu siswa pada permulaan dan pada saat-
saat diperlukan saja apabila siswa mengalami kesulitan (scaffolding). Hal ini sesuai
dengan pandangan konstruktivisme dengan didukung oleh teori belajar dari Ausubel,
Bruner, dan Vygotsky.
5. Diskusi Penelitian
Hasil penelitian secara umum menunjukan bahwa pembelajaran Interaktif
Menggunakan Teknologi Multimedia ini dapat (1) meningkatkan kemampuan
berpikir siswa, (2) mendorong siswa untuk berani mengemukakan pendapatnya
sendiri, (3) membuat pelajaran matematika menjadi lebih menarik, sehingga
memotivasi siswa untuk belajar, (4) digunakan oleh guru untuk mengevaluasi proses
berpikir siswa serta melihat bila terjadi kesalahan konsep matematika yang
dilakukan oleh siswa.
Selanjutnya Penulis mengkaji kelemahan dan kelebihan dari beberapa
penelitian di atas, sebagai berikut:
No Judul Penelitian Kelemahan Kelebihan 1 King-Dow Su &
Ming uery Lee, 2005. “A New Evaluation For Integrating Multimedia Technology With Science:Student Performance In Mathematical Limit Learning
Instrumennya sedikit, kurang variasi soal yang diberikan terhadap responden, sehingga tidak cukup reliable dalam hasil akhir.
- Menggunakan gabungan media sehingga materi dipresentasikan dengan lebih menarik tanpa menghilangkan maknanya
2 Mr. I Malabar dan Dr. D C Pountney, Using Technology To Integrate Constructivism and Visualisation In Mathematics Education
Disain pembelajaran tertumpu pada penggunaan software, sementara pembelajran klasikal tidak dilakukan. Sehingga hasil akhir tidak merepresentasikan pemahan konsep yang mendalam pada diri siswa.
Instrumennya menarik, sehingga siswa terpacu untuk selalu mencoba dan mencoba apalagi dengan dibantu software yang mudah digunakan seperti Cabry Geometry atau Mathematica.
3 Ken Neo Tse-Kian, Instrumen berupa kasus matematis Disain pembagian kelompok
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
217
PM – 17 : Studi Tentang Model Pembelajaran...... Yonandi
2003. “Using multimedia in a constructivist learning Environment in the Malaysian classroom”,
umum, tidak spesifik membahas suatu kajian/materi matematika. Sehingga tidak dapat merepresentasikan dengan baik dan akurat kaitan penggunaan teknologi multimedia terhadap pemahaman matematika.
dengan jumlah orang yang sedikit meacu siswa mandiri dan bebas berkreasi, berinovasi, sehingga mendapatkan hasil yang optimal
4 Taner Buyukkoroglu, et. All., The Effect Of Computer On Teaching The Limit Concept
Pembelajaran matematika dengan multimedia tidak digabung/dikolaborasi dengan pembelajaran klasikal. Artinya, di kelompok B dalam penelitian di atas, setelah mereka paham dengan visualisasi konsep limit lewat media komputer, semestinya mereka juga diberikan materi tentang konsep limit dengan metode klaiskal seperti di kelompok A, sehingga hasilnya tidak cukup baik.
Program/software yang digunakan cukup rumit dalam penggunaannya, sehingga menyita banyak waktu.
Program dan software yang digunakan sangat teliti dalam dan akurat.
5 Farouq Almeqdadi, The Effect of Using The Geometer’s Sketchpad (GSP) on Jordanian Students’ Understanding Some Geometrical Concepts
• Dikelas expreimen dan kontrol tidak terlihat jelas perbedaan pendekatan pembelajaran yang digunakan,
• Dari sampel hanya siswa laki-laki, maka untuk pengembangan ke depan diupayakan dicampur, Ini perlu kajian lagi apakah masalah gender berpengaruh atau tidak.
- Menggunakan software yang friendly, mudah digunakan dan akurat dalam merepresentasikan masalah geometri.
Secara keseluruhan, tulisan ini menunjukkan bahwa teknologi multimedia bisa
digunakan seefisien alat instruksional dalam menciptakan lingkungan belajar
berdasarkan pengaturan di dalam kelas yang ada, dimana para siswa bisa belajar
untuk menanamkan kemampuan belajar interpersonal dan kolaborasi terhadap
komunitas belajar para siswa. Multimedia membantu pengaturan model belajar,
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
218
PM – 17 : Studi Tentang Model Pembelajaran...... Yonandi
seperti dalam Figur 2, dimungkinkan untuk membantu belajar siswa dan proses
belajar dimana para siswa ikut ambil bagian.
Penggunaan media komputer dapat meningkatkan kemampuan visualisasi
siswa. Namun demikian media komputer bukan alat untuk membantu siswa
menyelesaikan soal-soal matematika seperti halnya penggunaan kalkulator untuk
mempercepat proses perhitungan. Penggunaan komputer hanyalah untuk membantu
siswa dalam memahami konsep matematika, sedangkan penyelesaian soal tetap
diserahkan pada kemampuan siswa.
Usaha-usaha harus dilakukan untuk memastikan bahwa personil pengajaran
dan pengawas sekolah memahami betapa penting kemampuan staf pengajaran untuk
mengedepankan penggunaan teknologi dan untuk menyingkapkan para siswa pada
lingkungan pelajaran yang interaktif dan kreatif . sehinggan mereka semua akan
terus menerus terbiasa menyesuaikan dengan perangkat lunak yang baru.
DAFTAR PUSTAKA Pustaka Utama Farouq Almeqdadi, The Effect of Using The Geometer’s Sketchpad (GSP) on
Jordanian Students’ Understanding Some Geometrical Concepts, Yarmouk University, 2005
Ken Neo Tse-Kian, 2003. “Using multimedia in a constructivist learning Environment in the Malaysian classroom”, Australian Journal of Educational Technology, 19(3), 293-310.
King-Dow Su & Ming Query Lee, 2005. “A New Evaluation For Integrating Multimedia Technology With Science:Student Performance In Mathematical Limit Learning”, World Transaction on Engineering and Technology Education Vol 4. No. 2, UICEE.
Mr. I Malabar dan Dr. D C Pountney, Using Technology To Integrate Constructivism and Visualisation In Mathematics Education, Proceeding of th 2nd International Conference on the 2002 (Journal Research of Mathematics Education.
Taner Buyukkoroglu, et. All., The Effect Of Computer On Teaching The Limit Concept, International Journal for Mathematics Teaching and Learning ISSN 1473 – 0111
Pustaka Tambahan Chang, K.E., Sung, Y.T. and Chen, S.F., Learning through computer-based concept
mapping with scaffolding aids. J. of Computer Assisted Learning, 17, 21-33 (2001).
Dubinsky, E. & Tall, D (1991). “Advanced Mathematical Thinking and The Computer”, dalam Advanced Mathematical Thinking.(1991),London: Kluwer Academic Publiser.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
219
PM – 17 : Studi Tentang Model Pembelajaran...... Yonandi
Habre, S. (2001). “Visualization Enhanced by Technology in the Learning of Multivariate Calculus”, The International Journal of Computer Algebra in Mathematics Education, Vol. 8, No. 2, pp 115-129.
Holmes, Emma. E. (1995). New Directions in Elementary School Mathematics, Interactive Teaching and Learning. New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Honebein, P.C., Duffy, T.M., Fishman, B.J. (1993). “Constructivism and the Design of Learning Environments: Context and Authentic Activities for Learning”, Designing Environments for Constructive Learning, Springer-Verlag Berlin, pp 87-108.
House, J.D., Motivational qualities of instructional strategies and computer use for mathematics teaching in Japan and the United States: Results from the TIMSS 1999 assessment. Inter. J. of Instructional Media, 32, 1, 89-101 (2005).
Lai, S.L., Influence of audio-visual presentations on learning abstract Concepts. Inter. J. of Instructional Media, 27, 2, 199-206 (2000).
Lai, S.L., The effects of visual display on analogies using computer-based learning. Inter. J. of Instructional Media, 25, 2, 151-160 (1998).
Mayer, R.E. and Anderson, R.B., The instructive animations: helping students build connections between words and pictures in multimedia learning. J. of Educational Psychology, 84, 444-452 (1992).
Mayer, R.E., A generative theory of textbook design: using annotated illustrations to foster meaningful learning of science text. Educational Technology Research and Development, 43, 31-43 (1995).
Mayer, R.E., Bove, W., Bryman, A., Mars, R. and Tapangco, L., When less is more: meaningful learning from visual and verbal summaries of science textbook lessons. J. of Educational Psychology, 88, 1, 64-73 (1996).
Mayer, R.E., Multimedia aids to problem-solving transfer. Inter. J. of Educational Research, 31, 611-623(1999).
Mayer, R.E., Systematic thinking fostered by illustrations in scientific text. J. of Educational Psychology, 81, 240-246 (1989).
measurement concepts and methods associated with school science. J. of Science Educ. and Technology, 11, 2, 193-198 (2002).
Moore, R. and Miller, I., How the use of multimedia affects student retention and learning. J. of College Science Teaching, February, 289-293 (1996).
Patti Shank, 2004, “The Value of Multimedia in Learning: How do you create a truly effective multimedia learning experience? Explore the latest research and discover best practices for creating enriching educational experiences”. Journal of Educational Multimedia and Hypermedia, 13(1), 3-21.
Rieber, L., Using computer animated graphics in science instruction with children. J. of Educational Psychology, 82, 135-140 (1990).
Rieber, L.P., Animation as feedback in a computer-based simulation: representation matters. Educational Technology Research and Development, 44, 5-12 (1996).
Tall, D.O. (2000). “Technology and Versatile Thinking in Mathematical Development”, In Michael O.J. Thomas (Ed.), Proceedings of TIME 2000, Auckland, New Zealand, pp 33-50.
Tall, D.O. (2001). “Cognitive Development in Advanced Mathematics Using Technology”, Mathematics Education Research Journal, Vol. 12, No. 3, pp 196-218.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
220
PM – 17 : Studi Tentang Model Pembelajaran...... Yonandi
Thompson, S.V. and Riding, R.J., The effect of animated diagrams on the understanding of a mathematical demonstration facilitates the understanding in 11-14 year old pupils. British J. of Educational Psychology, 60, 1, 93-98 (1990).
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
221
PM – 18 : Penyusunan Peta Konsep..... Yulius Jamiah
Penyusunan Peta Konsep Dalam Setting Pembelajaran Kooperatif Model "STAD" Pada Mahasiswa Pend. Mat. Fkip Untan
Yulis Jamiah
( FKIP Universitas Tanjungpura, Jl. A. Yani Pontianak, Kalimantan Barat )
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mengungkapkan kemampuan nalar mahasiswa dalam mengkaitkan konsep yang satu dengan konsep yang lain melalui peta konsep. Melalui penelitian tindakan yang melibatkan 10 kelompok dari 54 mahasiswa, terungkap bahwa jalinan konsep atau peta konsep 70% dari kelompok yang ada menunjukkan antusias yang tinggi untuk menyusun jalinan konsep. Peta Konsep tersusun yang berkategori baik ada 7 kelompok dan 3 kelompok yang berketegori belum baik.
Kata kunci : Kooperatif tipe STAD, Peta Konsep
Pendahuluan
Matematika merupakan ilmu yang universal. Artinya,sebagian besar disiplin
ilmu yang ada (di luar matematika), secara langsung maupun tak langsung
memanfaatkan konsep matematika. Menurut Hudoyo (1990:4) bahwa matematika
berkenaan dengan ide-ide/konsep-konsep abstrak yang tersusun secara hirarkhis dan
penalarannya deduktif, sehingga belajar matematika itu merupakan kegiatan mental
yang tinggi. Dari pernyataan Hudoyo tersebut, ada tiga unsur yang patut diperhatikan
yaitu konsep yang abstrak, hirarkis dan penalaran deduktif.
Konsep matematika itu tergolong abstrak, hal ini merupakan salah satu
penyebab matematika "dipandang sulit" untuk dipahami. Karena, untuk memahami
yang abstrak, tahap awal biasanya perlu ungkapan yang konkrit (ilustrasi). Namun
kenyataan yang ada, tidak setiap konsep dalam matematika diikuti dengan ilustrasi yang
konkrit. Contoh memang diberikan, namun hanya contoh tentang pembatasan konsep
dimaksud.
Oleh karena itu, apabila dosen mengajar tanpa memperhatikan miskonsepsi
mahasiwa sebelum materi diajarkan, dosen tidak akan berhasil menanamkan konsep
yang benar (Van den Berg, 1991). Konsekwensinya, konsep awal mahasiswa perlu
diidentifikasi dan dipahami oleh dosen, sebagai titik awal dalam perubahan konseptual
(Dreyfus, et al, 1990)
Kemampuan mahasiswa dalam memahami mata kuliah bidang matematika
masih cukup variatif. Dari hasil ujian semester ganjil mahasiswa Pendidikan
Matematika tahun 2007/2008 menunjukkan bahwa untuk mata kuliah Aljabar diperoleh
prosentase kelulusan (nilai C ke atas) adalah 64 % (69 dari 107 orang mahasiswa). Hasil
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
222
PM – 18 : Penyusunan Peta Konsep..... Yulius Jamiah
penelitian Yulis dkk (2006) menunjukkan bahwa dari 33 orang mahasiswa, terdapat 76
% (22 mahasiswa) kurang memahami konsep-konsep pada materi matematika SLTP,
terutama materi : Kelipatan Persekutuan Kecil (FPK) dan Faktor Persekutuan Besar
(FPB); Barisan dan Deret; Persamaan Kuadrat; dan Logaritma. Fakta lain, dari hasil
penelitian Halini menunjukkan bahwa penalaran induktif maupun deduktif mahasiswa
Pendidikan Matematika FKIP Untan, secara umum daya nalarnya masih tergolong
rendah.
Rendahnya daya nalar maupun perolehan nilai mahasiswa tersebut, tentu banyak
faktor yang mempengaruhi, di antaranya : (1) proses pembelajaran kurang bervariasi
atau pembelajarannya berlangsung secara konvensional, yaitu pembelajaran lebih
banyak mentransfer pengetahuan dari dosen, sehingga mahasiswa hanya sebagai
pendengar saja; (2) mahasiswa kurang terampil menggunakan konsep-konsep
matematika, jika dihadapkan dengan soal-soal (hasil diskusi dengan beberapa dosen
matematika pada Jurusan PMIPA FKIP Untan.
Sehubungan dengan kenyataan tersebut, perlu adanya suatu perbaikan model pembelajaran yang dapat meningkatkan kerja sama antar mahasiswa, dan dapat meng- ungkapkan permasalahannya serta antar mereka memungkinkan untuk menemukan cara menanggulanginya. Salah satu model pembelajaran yang dapat ditawarkan berdasarkan kondisi tersebut yakni peenyusuna peta konsep dalam setting pembelajaran kooperatif model STAD (Student Team-Achievement Divition). Di sini, mahasiswa dibagi dalam kelompok kecil dengan kemampuan yang berbeda untuk saling bekerja sama dan diskusi guna mengkaitkan/menghubungkan konsep-konsep yang dipelajari dalam bentuk peta konsep. Permasalahan dalam penelitian ini, dirumuskan sebagai berikut. 1. Bagaimanakah efektifitas penyusunan peta konsep dalam setting pembelajaran
kooperatif model STAD dalam upaya meningkatkan penalaran matematika pada mahasiswa semester 4 Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Untan?
2. Bagaimanakah kemampuan mahasiswa dalam menghubung-hubungkan konsep yang satu dengan konsep yang lain dalam bentuk jalinan konsep (Peta Konsep)?
Hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberi konstrbusi kepada: 1. Para mahasiswa sehingga mereka dapat melatih sikap berkompetisi dalam
matematika secara intektual, dan dapat menumbuhkan motivasi internal terhadap bidang matematika, melalui sikap kompetisi antar sesama teman.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
223
PM – 18 : Penyusunan Peta Konsep..... Yulius Jamiah
2. Para dosen sehingga mereka dapat memahami kemampuan nalar mahasiswa secara kelompok, dan dapat termotivasi untuk mencari alternatif yang efektif dalam pembelajaran matematika.
Pengertian Peta Konsep Menurut Navak & Gowin (1985 : 15) peta konsep merupakan suatu alat (berupa skema) yang digunakan untuk menyatakan hubungan yang bermakna antara konsep-konsep dalam bentuk proposisi- proposisi. Proposisi merupakan gabungan dua konsep atau lebih yang dihubungkan oleh kata-kata penghubung. Dalam bentuknya yang paling sederhana, suatu peta konsep terdiri dari dua konsep yang dihubungkan oleh satu kata penghubung untuk membentuk suatu proposisi. Selanjutnya menurut Orton (1992: 26) " a concept map is simply a linked network of related elements of learning material. It can be used in a variety of ways. It can be used by teachers in course planning, it can be given to pupils as a model for revision, it can be used by a learner in a deliberate way in the learning process. Lebih lanjut menurut Suparno (1997: 56 ) peta konsep merupakan suatu bagan skematik untuk menggambarkan suatu pengertian konseptual seseorang dalam suatu rangkaian pernyataan. Peta konsep bukan hanya menggambarkan konsep-konsep yang penting, melainkan juga menghubungkan antara konsep-konsep itu, seperti contoh tentang Konsep logarima berikut ini.
LOGARIM
mantisa karakteristik
Logarima umum
ln x
Hokum-hukum dari logaritma
log x
Logarima natural
Tersusun dari
Dapat berupa
ditulis ditulis
diselesaikan dengan
seperti
Log AB = log A + log B Log A/B = log A – log B Log M = n log M
Gambar 1 ( John Volmik, Dikutip dari Novak;1985, 179)
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
224
PM – 18 : Penyusunan Peta Konsep..... Yulius Jamiah
Novak dan Gowin (1985: 15) menyatakan bahwa fungsi peta konsep dapat
membuat jelas gagasan pokok bagi guru yang sedang memusatkan perhatian pada
materi pelajaran yang spesifik. Peta konsep dapat menunjukkan secara visual berbagai
jalan yang dapat ditempuh dalam menghubungkan pengertian- pengertian konsep di
dalam permasalahannya. Peta konsep pada akhirnya dapat digunakan sebagai ringkasan
sekematik materi pelajaran yang berisi hubungan konsep-konsep. Selain itu peta konsep
merupakan suatu cara yang baik bagi sesorang untuk memahami dan mengingat
sejumlah informasi baru (Arends, 1997 : 251)
Williams (1998: 414) mengemukakan bahwa peta konsep dapat dijadikan sebagai
alat untuk mengetahui pemahaman konseptual seseorang. Wilcox (1998, 464)
mengemukakan bahwa peta konsep sangat membantu memahami konsep yang sedang
dipelajari. Ini berarti penggunaan peta konsep dalam belajar memudahkan untuk
memahami atau menguasai konsep-konsep yang dipelajari. Selain itu penggunaan peta
konsep dalam belajar mengarah pada belajar bermakna. Belajar bermakna akan
terwujud jika seseorang dapat mengaitkan informasi yang dimiliki dengan informasi
baru. Belajar bermakna akan menguatkan ingatan seseorang dan transfer belajar mudah
tercapai (Hudojo, 1989: 62)
Konsep Dasar Pembelajaran Kooperatif
Menurut Kauchak dan Eggan (1996: 277) pembelajaran kooperatif merupakan
strategi pembelajaran yang melibatkan siswa untuk bekerja secara partisipatif dan
koloboratif dalam mencapai tujuan. Sedangkan Slavin (1994: 287) mengatakan bahwa
dalam pembelajaran kooperatif siswa bekerja sama dalam kelompok kecil saling
membantu untuk mempelajari suatu materi.
Karakteristik pembelajaran kooperatif yakni, (a) anggota bekerja dalam
kelompok kooperatif untuk menguasai materi akademik, (b) anggota kelompok di atur
terdiri dari berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah, (c) jika mungkin, masing-masing
anggota kelompok kooperatif berbeda suku, budaya dan jenis kelamin, dan (d) sistem
penghargaan lebih berorentasi pada kelompok dari pada individu (Arends, 1997: 111)
Dengan memperhatikan beberapa keragaman dalam suatu kelompok diharapkan muncul
sikap partisipatif dan koloboratif dalam menyelesaikan masalah yang diberikan.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
225
PM – 18 : Penyusunan Peta Konsep..... Yulius Jamiah
Pembelajaran kooperatif mempunyai tiga tujuan, yakni prestasi akademik,
penerimaan keanekaragaman,dan pengembangan ketrampilan sosial (Arends, 1997:111)
Diharapkan melalui kelompok yang kooperatif, rata-rata prestasi akademik mahasiswa
dapat terangkat, karena mahasiswa yang berprestasi rendah dan tinggi secara bersama-
sama menangai tugas akademik yang dibebankan melalui tutor teman sebaya.
Pembelajaran kooperatif menyajikan peluang bagi mahasiswa dari berbagai latar
belakang dan kondisi, untuk bekerja dalam kondisi saling ketergantungan yang positif
dalam menangani tugas akademis. Dari aspek keterampilan sosial, pembelajaran
kooperatif mampu membentuk sikap bekerjasama.
Pembelajaran Kooperatif Model "STAD" dan Penyusunan Peta Konsep
Student Team-Achievement Devision (STAD) adalah salah satu tipe
pembelajaran kooperatif yang dikatagorikan sederhana, Ada lima tahap pemebelajaran
kooperatif model "STAD" dalam proses kegiatan pemebalajaran, yakni (1) penyajian
materi, (2) kegiatan kelompok, (3) tes, (4) perhitungan skor perkembangan individu,
dan (5) pemberian penghargaan kelompok (Slavin, 1995:71). Sementara itu, Kauchak
dan Eggan (1996:289) juga mengungkapkan 6 tahap dalam pembelajaran kooperatif
model "STAD", yakni (1) penjelasan materi, (2) pembentukan kelompok, (3) kegiatan
kelompok, (4) disertai monitoring (5) tes, dan (6) penghargaan kelompok.
Tahap-tahap Penyusunan Peta Konsep dalam setting Pembelajaran Kooperatif Model
"STAD" sebagai berikut.
(a) Tahap Persiapan
Dalam tahap ini, dosen mempersiapkan materi yang dirancang sedemikian rupa untuk
pembelajaran kelompok. Untuk setiap kelompok terdiri dari 5 orang mahasiswa, yang
terdiri dari berkemampuan berbeda (tinggi, sedang, dan rendah).
Sebelum memulai kegiatan pembelajaran, pengajar menjelaskan cara menyusun
peta konsep, dan memperkenalkan ketrampilan kooperatif dan menjelaskan tiga aturan
dasar pembelajaran, yakni (1) tetap berada dalam kelompok, (2) mengajukan
pertanyaan kepada kelompok sebelum mengajukan kepada dosen, dan (3) memberikan
umpan balik terhadap ide-ide dan menghindari mengkritik orang.
(b) Tahap Penyajian Materi
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
226
PM – 18 : Penyusunan Peta Konsep..... Yulius Jamiah
Kegiatan penyajian materi dalam pembelajaran kooperatif model STAD
umumnya melalui pembelajaran langsung. Dalam tahap ini, dosen memulai
pembelajaran dengan menyampaikan tujuan pembelajaran khusus dan memotivasi
rasa ingin tahu mahasiswa tentang konsep yang akan dipelajari. Selanjutnya dosen
memberikan apersepsi dengan tujuan mengingatkan siswa terhadap materi prasyarat
yang telah dipelajari, agar mahasiswa dapat menghubungkan ide-ide yang akan
disajikan dengan informasi yang telah dimiliki.
Dalam mengembangkan materi pembelajaran ditekankan hal-hal sebagai berikut: (1)
mengembangkan materi pembelajaran sesuai dengan apa yang akan dipelajari
mahasiswa dalam kelompok, (2) menekankan bahwa belajar adalah memahami
makna, dan bukan hapalan, (3) memberikan umpan balik sesering mungkin untuk
mengontrol pemahaman mahasiswa, (4) memberi penjelasan mengapa jawaban
pertanyaan tersebut benar atau salah, (5) beralih pada konsep yang lain, jika
mahasiswa telah memahami pokok masalahnya.
(c) Tahap Kegiatan Kelompok
Untuk kegiatan kelompok, dosen membagikan materi (bahan bacaan) yang akan
dipelajari oleh mahasiswa. Dalam kegiatan kelompok, tiap kelompok bekerja untuk
menyusun konsep-konsep yang dipelajari sehingga terbentuk dalam peta konsep, dan
selanjutnya saling memberikan informasi hasil pekerjaannya. Jika ada diantara
mahasiswa yang belum memahami, maka teman sekelompoknya bertanggungjawab
untuk menjelaskannya. sedangkan dosen bertindak sebagai fasilator yang
memonitoring kegiatan masing-masing kelompok.
(d) Tahap Tes Hasil Belajar
Tes di laksanakan 2 kali, yakni tes awal dan tes akhir. Tes awal diberikan untuk
mengetahaui sejauhmana pengetahuan awalnya, dan tes akhir diberikan agar
mahasiswa dapat menunjukkan apa yang telah dipelajari secara individu selama
bekerja dalam kelompok. Hasil tes digunakan sebagai nilai perkembangan individu
dan disumbangkan sebagai nilai kelompok.
(e) Tahap Perhitungan Skor Perkembangan Individu
Ide dalam tahap ini adalah memberi kesempatan setiap mahasiswa untuk meraih
prestasi maksimal, dan agar siswa dapat melakukan yang terbaik bagi dirinya
berdasarkan prestasi sebelumnya (skor awal). Berdasarkan skor awal, setiap
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
227
PM – 18 : Penyusunan Peta Konsep..... Yulius Jamiah
mahasiswa memiliki kesempatan yang sama untuk memberi sumbangan skor
maksimal bagi kelompoknya berdasarkan skor tes yang diperolehnya.
Cara perhitungan skor perkembangan individu (sumbangan untuk skor kelompok)
seperti terlihat pada tabel berikut.
Tabel. 1
Skror Perkembangan Individu
Skor Tes Sumbangan Skor untuk
Kelompok
Lebih dari 10 poin skor awal 5
Satu hingga 10 poin di bawah skor awal 10
Skor sampai 10 poin di atas skor awal 20
Lebih dari 10 poin di atas skor awal 30
Ibrahim, dkk (2000, 57)
(f) Tahap Penghargaan Kelompok
Setelah melakukan tes dan melakukan perhitungan skor perkembangan
individu, maka dilakukan perhitungan skor kelompok. Perhitungan skor kelompok
dilakukan dengan cara menjumlahkan masing-masing sumbangan skor individu anggota
dalam kelompok dan hasilnya dibagi dengan jumlah anggota kelompok tersebut,
sehingga didapat skor rata-rata kelompok.
Dalam pemberian penghargaan terhadap prestasi kelompok, terdapat tiga tingkat
penghargaan sebagai berikut.
i. Kelompok dengan skor rata-rata maksimal 15, sebagai kelompok baik
ii. Kelompok dengan skor rata-rata lebih dari 15 sampai 20, sebagai kelompok hebat.
iii. Kelompok dengan skor rata-rata lebih dari 20, sebagai kelompok super.
Pendekatan dan Jenis Peneltian
Penelitian yang dilakukan berupa penelitian pengembangan model pembelajaran
dan tindakan. Penelitian tindakan tampak dalam perencanaan dan pengimplementasian
perangkat pembelajaran yang sedang dikembangkan dengan penerapan pembelajaran
kooperatif model "STAD" .
Teknik analisis yang digunakan adalah analisis diskriptif dengan pendekatan
kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kualitatif dilakukan dengan mendeskripsikan
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
228
PM – 18 : Penyusunan Peta Konsep..... Yulius Jamiah
kegiatan mahasiswa dan dosen selama proses pembelajaran. Sedangkan pendekatan
kuantitatif dilakukan dengan melakukan dengan mengadakan uji awal dan uji akhir
untuk memperoleh data skor tes mahasiswa sebelum dan sesudah pembelajaran.
Setting Penelitian
Dalam penelitian ini, sebagai subyek penelitian adalah mahasiswa semester 4
Program Studi Pendidikan Matematika Jurusan PMIPA FKIP Untan Pontianak.
Sumber & Alat Pengumpul Data
1. Observasi dan catatan lapangan digunakan untuk menjaring data yang berkaitan
dengan kualitas proses kegiatan pembelajaran
2. Tes digunakan untuk menjaring data yang berkaitan dengan prestasi belajar
mahasiswa.
3. Peta Konsep yang dibuat/disusun oleh setiap kelompok mahasiswa digunakan
untuk menjaring penguasaan ketuntasan konsep yang dipelajari pada materi yang
diberikan, dan untuk menjaring kemampuan bernalar mahasiswa dalam kelompok
tersebut
Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil kerjaan mahasiswa berupa Peta Konsep, wawancara, dan catatan lapangan serta lembar hasil pemantauan dianalisis secara bersamaan: yaitu (1) mereduksi data, kegiatan mereduksi data ini berlansung terus menerus untuk mengklasifikasi dan menyederhanakan data tersebut sehingga tersusunnya laporan; (2) menyajikan data dilakukan dengan cara menyusun secara naratif sekumpulan informasi yang telah diperoleh dari hasil reduksi, sehingga dapat memberikan kemungkinan penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan berikutnya; (3) Penarikan kesimpulan dilakukan berdasarkan data yang telah disajikan, dan merupakan pengungkapan akhir dari hasil tindakan.. Tes hasil belajar dianalisis menggunakan statistiks deskriptif dan analisis statistiks inferensial. Analisis statistik deskriptif mencakup rata-rata, standar deviasi,, skor maksimum, skor minimum, proporsi ketuntasan pencapaian tiap-tiap tujuan
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
229
PM – 18 : Penyusunan Peta Konsep..... Yulius Jamiah
pembelajaran, dam prosentase ketuntasan belajar mahasiswa. Sedangkan analisis statistiks inferensial menggunakan analisis Uji-t dan dilanjutkan dengan menentukan effect size, untuk mengetahui tingkat efektifitas pembelajaran kooperatif model :STAD" dan penyusunan peta konsep. Pengorganisasian data berdasarkan konsep-konsep yang diungkapkan dalam bentuk peta konsep, kemudian memasukkan data tersebut dalam kategori yang sesuai, seperti "baik", "belum mantap", dan "kurang mantap". Pelaksanaan Penelitian Untuk mengimplementasikan perangkat pembelajaran berorentasikan pembelajaran kooperatif model "STAD" dan penyusunan peta konsep di kelas digunakan rancangan penelitian tindakan. Penelitian tindakan, pada dasarnya berguna untuk memecahakan masalah-masalah praktis atau memperbaiki kualitas praktek. Penelitian tindakan yang dimaksud melalui 4 tahap yakni: perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi; yang dilakukan dalam dua siklus. Secara skema digambarkan sebagai berikut.
Refleksi Awal
Rencana Siklus 1
Pelaksanaan & Evaluasi
Evaluasi & Refleksi
Berhasil ?
Ya Tidak
Rencana Siklus 2
Pelaksanaan & Observasi
Evaluasi & Refleksi
Tidak Ya
Berhasil ?
Tes Akhir
Penulisan Laporan
Gambar 2. Alur Kegiatan Tindakan
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
230
PM – 18 : Penyusunan Peta Konsep..... Yulius Jamiah
Hasil dan Pembahasan
1. Hasil analisis Data pada Tindakan
Berdasarkan hasil pemantauan/observasi, Peta Konsep diperoleh simpulan sebagai
berikut.
a) Dosen sudah menekankan bahwa kegiatan pembelajaran lebih dipusatkan pada
kegiatan belajar mahasiswa, sehingga bagi mahasiswa yang berkemampuan
kurang terlihat turut bersemangat dalam mengerjakan tugas-tugas yang
dibebankan kepada mereka.
b) Dalam pembelajaran tindakan ini, mahasiswa yang berkemampuan tinggi terlihat
lebih bersemangat dan aktif, sehingga memunculkan kerja sama dalam kelompok
dan bersedia membantu teman menyesaikan tugas.
c) Dilihat dari hasil pekerjaan mahasiswa (Peta Konsep yang tersusun dari kelompok
mahasiswa) pada umumnya dapat diklasifikasikan sudah baik dalam memahami
konsep-konsep pada materi yang dipelajari.
d) Dari hasil pengamatan, sudah 70% dari kelompok yang ada (10 kelompok) sudah
menunjukkan antusias yang tinggi untuk bekerja/penyusunan Peta Konsep. Hal
ini ditunjukkan dengan tersusunnya Peta Konsep yang berkategori baik ada 7
kelompok dan 3 kelompok yang berketegori belum baik.
2. Tes Hasil Belajar Mahasiswa
Hasil analisis deskriptif penguasaan konsep pada materi Vektor diperoleh skor
rata-rata yang dicapai 54 mahasiswa adalah 27,67 dengan skor maksimal 44 yang harus
dicapai. Dari hasil analisis terungkap 30 (56,5%) mahasiswa yang mendapat skor di atas
skor rata-rata tersebut.
Hasil analisis inferensial penguasaan konsep pada materi Vektor diperoleh ES =
3,09, dan berdasarkan kriteria efektifitas, maka nilai tersebut tergolong tinggi. Hal ini
berarti penyusunan Peta Konsep dalam setting pembelajaran kooperatif model STAD
dalam upaya meningkatkan penalaran matematika pada mahasiswa semester 4 Program
Studi Pendidikan Matematika FKIP Untan adalah tinggi.
Ditinjau dari pemahaman mahasiswa yang diukur dengan perolehan skor, dan
dari pencapaian ketuntasan belajar secara individu dari mahasiswa ini, menunjukkan
bahwa pembelajaran yang diterapkan dapat menumbuhkan kerja sama untuk berdiskusi,
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
231
PM – 18 : Penyusunan Peta Konsep..... Yulius Jamiah
mahasiswa yang mempunyai kemampuan lebih baik membantu temannya yang kurang.
Hasil ini sesuai dengan penelitian Slavin dan Madden (Slavin, 1995: 17) yang
menemukan bahwa pembelajaran kooperatif membuat siswa bersemangat belajar dan
aktif untuk saling menampilkan diri/berperan di antara teman sebaya. Selain itu menurut
Arend (1997: 112) yang mengemukakan bahwa belajar kooperatif dapat
menguntungkan antar siswa berkemampuan rendah dan berkemampuan tinggi yang
bekerja sama-sama mengerjakan suatu tugas akademik, siswa yang berkemampuan
lebih tinggi dapat sebagai tutor bagi temannya yang berkemampuan lebih rendah. Selain
itu hasil penelitian yang terkait dengan penyusunan peta konsep oleh Park Found (dalam
Carol, 1998: 415) mengemukan bahwa ada hubungan yang kuat antara skor peta konsep
dan skor postes, serta dapat meningkatkan hasil belajar.
Simpulan
Berdasarkan data, analisis data dan pembahasan tentang upaya yang dilakukan
untuk meningkatkan nalar matematika melalui Penyusunan Peta Konsep dalam setting
Pembelajaran Kooperatif Model "STAD", disimpulkan sebagai berikut.
1). Jika ditinjau berdasarkan pengujian hasil analisis inferensial, diperoleh Efec Size
(ES) = 3,09 Hasil ini memberikan informasi bahwa Penyusunan Peta Konsep dalam
Setting Pembelajaran Kooperatif Model "STAD" ternyata efektif dapat
meningkatkan nalar matematika pada mahasiswa.
2) Dari hasil pengamatan (observasi) dikelas dengan menggunakan alat pemantau,
menunjukkan bahwa mahasiswa yang berkemampuan tinggi terlihat lebih
bersemangat dan aktif, sehingga memunculkan kerja sama dalam kelompok dan
bersedia membantu teman menyesaikan tugas, serta 70% dari kelompok yang ada
(10 kelompok) sudah menunjukkan antusias yang tinggi untuk bekerja/penyusunan
Peta Konsep. terdapat 3 (tiga) kelompok yang berkategori belum baik, dan 7 (tujuh)
kelompok yang berkategori baik. Hal ini menunjukkan terjadi peningkatan
penalaran mahasiswa/kemampuan mahasiswa dalam mengkaitkan atau
menghubung-hubungkan konsep-konsep pada materi yang dipelajari.
Saran
a. Kegiatan ini memberikan manfaat bagi dosen, dan mahasiswa. Oleh karena itu ada
baiknya para dosen yang lainnya menerapkan atau mengembangkan pembelajaran
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
232
PM – 18 : Penyusunan Peta Konsep..... Yulius Jamiah
melalui Penyusunan Peta Konsep dalam setting Pembelajaran Kooperatif, dengan
memperhatikan kesesuaian materinya.
b. Pengembangan perangkat pembelajaran hendaknya disesuaikan dengan tersedianya
waktu yang ada dalam pembelajaran matematika.
Daftar Pustaka Arends, Richard, (1997), Classroom Intruction and Management, New York : Mc
Grow-Hill Companics Inc. Dahar, Ratna Willis, (1989), Teori-Teori Belajar, Jakarta: Erlangga. Ernest. Goetz, Patricia A. Alexander, Michael J. Ash, (1992), Education Psychology A
Classroom Perspective, Sydney : New York Oxford. Hudojo, Herman, (1979), Pengembangan Kurikulum Matematika & Pelaksanaannya
Di Depan Kelas, Surabaya: Usaha Nasional. ___________, (1989), Mengajar Belajar Matematika, Ditjen Dikti Depdikbud, Jakarta
: P2LPTK. Kauchak, Donald P and Eggen, PaulD. 1996, Learning and Teaching, Research-Based
Method, Needham Heihts: Allyu and Bacon Puublisher. Martin, David J, (1994) Concept Mapping As Aid to Lesson Planning: A Longitudinal
Study, Journal of Elementary Science Education, Vol 6 No. 2 , Pp 11-30 , The University of West Florida..
Novak, J.D.,& Gowin, G.B., (1985), Learning How To Learn, London New York New Rochelle Melbourne Sydney: Cambridge Universty Press..
Orton, Anthony, 1992, Learning Mathematics Issues, Theory and Classroom Practice, Second Edition, New York USA
Slavin, Robert E. 1995 Cooperative Learning: Theory, Research and Pratice, Scecond Edition, Massachusetts: Allyu and Bacon Publisher.
Suparno, Paul, (1997), Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, Kanisius. Van den Berg E. 1990, Salah Konsep dan Pembelajaran Data dalam Otak Manusia,
Yogyakarta, UKSW FPMIPA. Williams, Carol G., (1998), Using Concept Maps to Assess Conceptual Knowledge
of Function, Journal for Research in Mathematics Education, Vol. 29, No. 4, Pp 414- 421, Department of Mathematics, Alilene Christian University.
Wilcox, Sandra K., (1998), Another Perspertive on Concept Maps: Empowering Students, Mathematics Teaching in the Middle School, Vol. 3, No. 7, Pp 464-469.
Yulis J., (1998), Penggunaan Peta Konsep Dalam strategi Belajar Mengajar Matematika, Thesis tidak dipublikasikan, PPs IKIP Surabaya.
_________, dkk (2006) Upaya Peningkatan Pemahaman Konsep Dasar Matematika Dalam Menghadapi PPL-1 dan PPL-2 Melalui Pembelajaran Collaborative Teamwork Teaching Pada Mahasiswa Pendidikan Matematika FKIP Untan, Laporan Penelitian FKIP Untan Pontianak
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
233
PM – 19 : Membantu Siswa SD..... Zaenal Arifin
Membantu Siswa SD dalam Memecahkan Soal Aplikasi Matematis melalui Pembelajaran Tidak Langsung dengan Strategi ”ARIFIN”
Oleh: Zaenal Arifin *)
Abstrak: Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa banyak anak kelas atas SD (kelas 4, 5 dan 6), masih belum tuntas dalam menyelesaikan soal-soal aplikasi matematis. Dalam pembahasan ini, pembelajaran tidak langsung dalam dengan stretegi ”ARIFIN” diterapkan untuk memodelkan bagaimana memecahkan soal-soal aplikasi matematis. Dengan pembelajaran tidak langsung melalui strategi ARIFIN diharapkan para siswa dapat menerapkan berpikir reflektif, kritis, kretaif dan heuristic dengan mengerahkan seluruh strategi metakognitive mereka untuk memecahkan soal aplikasi matematis. Implementasi dan keefektivan strategi ARIFIN yang dirancang dapat diuji secara teoritis maupun empiris. Pembelajaran tidak langsung dengan stretegi ”ARIFIN” diharapakan memiliki pengaruh positif terhadap aspek kemampuan siswa dalam memodelkan dan memecahkan soal aplikasi matematis.
Kata Kunci: Pembelajaran tidak langsung, Soal Aplikasi Matematis, Strategi ARIFIN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Apabila kita tengok sejarah masa lalu pendidikan di Indonesia, dapat dikemukakan
dua hal penting terkait dengan proses pembelajaran matematika di sekolah. Pertama,
pada awalnya para ahli di bidang pendidikan matematika masih dalam tahap mencari-
cari bentuk kurikulum pembelajaran matematika yang sesuai dengan kultur dan kondisi
sosial budaya bangsa. Kedua para pemikir pendidikan matematika kita mengharapkan
kurikulum matematika sekolah harus relevan dengan kurikum standar internasional.
Pada awal dekade setelah kemerdekaan, kurikulum matematika yang diterapkan di
Indonesia masih belum bayak berubah dari yang diterapkan pada masa penjajahan. Pada
saat ini, tepatnya pada tahun 1950, di Amerika Serikat sedang gencar-gencarnya
melakukan pembaharuan, hingga dipilihnya matematika modern (New Math) sebagai
kurikulum standar (Ruseffendi, 1991: 65).
Sedangkan di Indonesia sendiri, gagasan tentang pembaharuan kurikulum baru
muncul tahun 1964. Pembaharuan ini baru benar-benar terealisasi pad tahun 1970. Pada
masa ini, pengajaran berhitung di SD berangsur-angsur berubah menjadi pengajaran
matematika (matematika modern). (Ruseffendi, 1991:95). Matematika modern ini
mewarnai kurikulum matematika sekolah di Indonesia hingga memasuki kurikulum
1984. Selama kurun waktu tersebut, tradisi mengajar para guru matematika lebih
dominan berpusat pada guru. Guru lebih senang mengajarkan pengetahuan matematika
secara langsung dan berorientasi pada belajar hafala, yang ditandai oleh diterapkannya
metode drill (latihan soal) pada proses pembelajarannya. Dapat disimpulkan, proses
pembelajaran matematika pada kurun waktu tersebut lebih bersifat mekanistik.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
234
PM – 19 : Membantu Siswa SD..... Zaenal Arifin
Sehingga siswa lebih banyak diperlakukan seperti obyek yang dapat digiring ke arah
manapun sesuai keinginan guru, tanpa diberi kesempatan menggunakan pengalamannya
untuk membangun pengetahuan dan menerapkannya dalam konteks dunia nyata.
Permasalahan yang masih menjadi kendala hingga saat ini adalah fakta bahwa
kebiasaan guru dalam mengajar masih banyak didominasi oleh aktivitas menjelaskan
secara langsung, tanpa memberi kesempatan kepada anak didiknya untuk mencoba
mencari, mengkonstruksi atau menemukan secara mandiri pengetahuan matematikanya.
Upaya merubah paradigma lama pembelajaran matematika ini sungguh amat sulit.
Karena budaya mengajar secara langsung dengan penekanan pada aspek kemampuan
hafalan sudah menjadi tradisi selama puluhan tahun. Tradisi ini sudah menyatu dengan
gaya dan pola mengajar yang mereka praktikkan sehari-sehari. Mereka berpandangan
bahwa, kalau ada cara mengajar yang lebih mudah dan praktis, mengapa harus
mengambil cara mengajar yang sulit, rumit serta menguras pikiran dan tenaga. Sehingga
upaya melakukan perubahan mendasar terhadap kebiasan mengajar dari proses
pembelajaran yang berpusat kepada guru menuju proses pembelajaran yang berpusat
kepada siswa harus diimbangi dengan membuka kesadaran mereka bahwa di balik
kerumitan dan beratnya tugas-tugas yang diemban guru dalam pembelajaran berpusat
pada siswa, ada manfaat yang sangat luar biasa besarnya. Manfaat ini dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu manfaat yang terkait dengan sikap dan motivasi
belajar siswa, serta manfaat yang mengarah kepada kebermaknaan ilmu pengetahuan
yang diperoleh siswa dan proses berpikir selama memproses pengetahuan hingga
menjadi miliknya.
Permasalahan
Berdasarkan latar belakang sebagaimana yang telah diuraikan, dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana merubah budaya mengajar secara langsung menjadi budaya mengajar
secara tidak langsung dengan melibatkan konteks dunia nyata?
2. Bagaimanakah langkah-langkah pengajaran matematika dalam strategi ARIFIN?
3. Bagaimana implementasi Strategi ARIFIN dalam proses pembelajaran matematika
untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal-soal aplikasi
matematis?
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
235
PM – 19 : Membantu Siswa SD..... Zaenal Arifin
Urgensi Masalah
Masalah tersebut penting untuk dibahas dengan alasan sebagai berikut:
1. Budaya mengajar secara langsung sulit menciptakan pribadi-pribadi peserta didik
yang kritis, kreatif, dan memiliki penalaran tinggi.
2. Perlu adanya upaya inovasi pembelajaran yang termasuk dalam kategori
pembelajaran tidak langsung.
3. Perlu adanya upaya menterjemahkan pendekatan kontekstual atau pendekatan
realistik dalam pembelajaran matematika dalam bentuk strategi atau langkah-
langkah pengajaran, termasuk strategi ARIFIN.
PEMBAHASAN
Untuk melakukan pembiasaan pengajaran tidak langsung dapat dilakukan dengan
pendekatan realistik. Salah satu strategi yang relevan dengan pendekatan ini adalah
strategi ARIFIN. Untuk membudayakan strategi ini diperlukan waktu yang tidak sedikit.
Sehingga diperlukan peran serta aktif dari semua pihak yang terkait. Pengembangan
pembelajaran matematika realistik di Indonesia yang dipelopori oleh tim PMRI, perlu
mendapat dukungan yang kuat dari seluruh komponen pendidikan, baik pemerintah,
guru, siswa, dan masyarakat. Untuk memasyarakatkan pendekatan ini, harus dicari akar
permasalahan, mengapa guru-guru matematika pada umumnya lebih senang
mengajarkan matematika dengan pendektan langsung melalui metode ceramah dan
latihan. Pandangan ini lebih banyak dipengaruhi oleh kurang adanya kesadaran akan
pentingnya memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi siswa untuk
menggunakan pengalaman sehari-harinya dalam membangun pengetahuan matematika.
Dua jenis matematisasi dalam pendekatan realistik sebagaimana yang
diformulasikan Treffer (1991) adalah matematisasi horisontal dan matematisasi vertikal.
Sebagai upaya pengembangan matematika realistik terkait dengan dua jenis
matematisasi tersebut, perlu dibiasakan pada diri siswa untuk melakukan
pengidentifikasian sifat-sifat matematis terhadap obyek-obyek nyata, perumusan dan
pemvisualisasian msalah melalui sketsa atau gambar-gambar yang telah dikenalnya,
serta pengalihan masalah dunia nyata (kontekstual) menuju masalah matematika. Di
samping itu perlu pula siswa dibimbing untuk dapat menyatakan hubungan-hubungan
antar konsep matematika dalam bentuk rumus-rumus, proses perbaikan dan penyusunan
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
236
PM – 19 : Membantu Siswa SD..... Zaenal Arifin
model-model matematika, penggunaan model yang bervariasi, serta kemampuan dalam
melakukan penggeneralisasian.
Sebagai contoh, dalam pengajaran sudut pada umumnya guru lebih senang
mengajarkan konsep sudut secara langsung dalam bentuk konsep yang sudah jadi, baik
dalam bentuk gambar maupun dalam bentuk kalimat definisi. Padahal, pengajaran ini
dapat dilakukan dengan memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menggunakan
pengalaman dan menerapkan berbagai strategi informalnya untuk memahami berbagai
pengetahuan tentang sudut.
Dalam dokumen hasil reformasi pendidikan matematika terkini, seperti:
Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics di US, Mathematics
Count di United Kingdom, A National Statement on Mathematics for Australian
Schools, The Dutch Proeve Van Een National Programma voor Het Reken/Wiskindeon
derwijs op de Basisschool (Arifin, 2007), ada suatu kekuatan besar yang menekankan
kepada kemampuan problem solviong dan ketrampilan penalaran dan sikap matematis,
serta ketrampilan mengaplikasikan kemampuan tersebut dalam kehidupan nyata,
sebagai salah satu tujuan pendidikan matematika pada level sekolah dasar.
Tidak sedikit hasil penelitian terkini menunjukkan bahwa banyak siswa kelas
tinggi SD (kelas 5-6), masih belum tuntas atau setidaknya belum cukup mampu
mencapai perubahan tingkah laku (aptitude) yang diharapkan dalam menyelesaikan
problem aplikasi matematis dengan cara efektif dan berhasil (Schoenfeld, 1988).
Pertama, ada kekurangan (kelemahan) siswa kelas tinggi SD yang dapat
diatribusikan dengan berkurangnya domain ketrampilan dan pengetahuan khusus . .
Kekurangan pada domain pengetahuan khusus siswa didasarkan pada hubungan
keluasan ragam sumber hubungan materi (content), yang harus atau dapat mereka
terapkan dalam problem aplikasi matematis (seperti: simbol, formula, konsep,
algoritma). Sebagai ilustrasi dari ketidakcukupan ini adalah, adanya miskonsepsi
”perakalian membuat jadi lebih besar”, atau ” pembagian membuat jadi lebih kecil” (De
Corte, at al. 1988).
Kedua, tidak sedikit siswa SD kelas atas (kelas 5-6) memiliki kelemahan dalam
heuristic, metakognitive, dan aspek-aspek afektif dari kompetensi matematika. Jika
siswa dihadapkan kepada situasi problem yang kompleks dan non-routin, banyak siswa
tidak dapat menerapkan secara spontan strategi heuristic, seperti: membuat sketsa
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
237
PM – 19 : Membantu Siswa SD..... Zaenal Arifin
permasalahan, menggambarkan situasi permasalahan, memilah-milah permasalahan,
atau menebak dan mengecek jawaban (Verschaffel,1999)
Dengan penekanan kepada kemampuan metakognisi, beberapa study
menemukan bahwa sebagian besar upaya solusi siswa berupa aktivitas self-regulatory,
seperti menganalisis problem, memonitor proses penyelesaian, dan mengevaluasi
hasilnya kurang ditunjukkan pada diri siswa. Jenis pendekatan yang digunakan siswa
antara lain: melihat secara sepintas problem, memutuskan dengan cepat kalkulasi apa
yang digunakan untuk memanfaatkan bilangan yang diberikan pada soal, kemudian
meneruskan perhitungan tanpa mempertimbangkan alternatif lainnya, meskipun belum
ada kemajuan yang ditunjukkan pada setiap hasil pekerjaannya (De Corte et al, dalam
Arifin, 2007).
Ketiga, dengan penekanan pada aspek afektif, beberapa penelitian menemukan
bahwa banyak siswa (walaupun terkadang lebih baik dari pada yang lain), memiliki
kekurangan dalam mendukung kemajuan pengajaran dan pembelajaran matematika dan
problem solving. Sikap yang ditunjukkan ini merupakan pengaruh negatif bagi
kesadaran siswa untuk ”mengikatkan ” diri dalam aktivitas problem solving
matematika. Ketika menghadapi problem matematika, pada suatu jenis pengetahuan
yang diujikan untuk mereka manfaatkan dalam upaya penyelesaian soal, dan pada suatu
cara yang dapat mereka evaluasi kegagalan atau keberhasilan mereka dalam
memecahkan problem matematika (Lester et al, dalam Arifin, 2007)
Berbagai macam contoh sikap dan keyakinan kontra produktif tersebut
ditunjukkan dengan adanya: (1) problem matematika yang hanya memiliki satu jawaban
benar; (2) hanya ada satu cara yang benar untuk menyelesaikannya;(3) sebagian siswa
tidak dapat menyelesaikan soal matematika non-routin (un familiar problem) secara
mandiri; (4) dapat menyelesaikan soal cerita yang melibatkan pertanyaan kemujuran
(keberuntungan/nasib); dan (5) ada pembatas antara matematika yang dipelajari dengan
matematika yang diinginkan dalam dunia nyata.
Ketidakcukupan kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal-soal terapan
matematika berbasis kontekstual ini dihubungkan dengan karakteristik budaya
pengajaran terkini terkait dengan pemecahan permasalahan nyata (soal cerita).
1. Keaslian problem digunakan dalam pembelajaran pemecahan soal cerita.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
238
PM – 19 : Membantu Siswa SD..... Zaenal Arifin
2. Cara yang dilakukan guru dengan menekankan problem ini pada siswa dalam
pembelajaran pemecahan soal cerita.
3. Budaya pembelajaran di kelas (classroom culture)
4. Peneliti melihat aspek-aspek yang tak terlihat dalam praktek pengajaran sehari-
hari di kelas yang memberikan kontribusi bagi munculnya hal yang tidak
diinginkan terkait dengan tujuan pengajaran dan perilaku matematis.
Berikut ini adalah contoh-contoh soal yang termasuk dalam katagori soal aplikasi
matematis.
1. Martha sedang membaca buku. Sesaat kemudian dia menemukan bahwa beberapa
halaman bukunya hilang, karena setelah halaman 135 berikutnya adalah halamn
173. Berapa halaman yang hilang tersebut ?
2. Lis memiliki dua mainan rumah-rumahan. Lantai persegi dari rumah-rumahan yang
kecil tersebut memiliki panjang sisi 40 cm dan terdiri dari 16 ubin. Sedangkan lantai
persegi rumah-rumahan yang besar memeiliki tepat dua kali panjang sisi lantai pada
rumah-rumahan yang kecil.
Guru sebagai penanggung jawab utama proses pembelajaran harus mampu
menentukan metode atau model yang tepat untuk diterapkan dalam suatu proses
pembelajaran. Secara khusus guru juga harus menentukan cara yang tepat dalam
mengajarkan pemecahan soal aplikasi matematis sebagaimana yang telah disajikan
tersebut. Melalui proses pengajaran diharapkan tujuan utama agar siswa mampu
memahami konsep matematika, prinsip-prinsip, fakta maupun skill dengan baik, dapat
tercapai. Melalui berbagai kajian terhadap teori-teori belajar yang ada, penulis
menggagas (create) suatu strategi pengajaran (strategy of teaching) yang memiliki
keterkaitan dengan upaya meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan soal
aplikasi matematis. Model tersebut berupa rangkaian 6 tahap dalam proses
pembelajaran matematika. Tahap-tahap tersebut adalah Action (tahap aksi), Reflection
(tahap refleksi), Interaction (tahap interaksi), Formalization (tahap formalisasi),
Interconnection (tahap penjalinan koneksi), dan Narration (tahap narasi). Berdasarkan
huruf awal dari keenam tahap tersebut, strategi ini penulis perkenalkan dengan istilah
strategi ARIFIN.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
239
PM – 19 : Membantu Siswa SD..... Zaenal Arifin
Munculnya gagasan strategi ARIFIN terinspirasi oleh hasil telaah kritis penulis
terhadap beberapa temuan dalam studi terkait pembelajaran matematika di tingkat
internasional. Beberapa pendekatan dalam kajian tersebut ada yang cenderung cocok
diterapkan pada siswa tingkat rendah, seperti pendekatan Realistic Mathematics
Education (RME) yang dirintis di Belanda dan Mathematics in Context (MiC) yang
dikembangkan di United State of America (USA), ada pula kajian hasil studi
pembelajaran matematika yang relevan dengan siswa pada level lebih tinggi, seperti
teori APOS (Action, Process, Object, Schema). Berikut ini akan diuraikan secara
terperinci tahap demi tahap dalam strategi ARIFIN serta beberapa teori belajar dan
hasil-hasil studi yang relevan.
Penerapan Strategi ARIFIN dalam Pembelajaran Matematika
Upaya membantu siswa dalam memecahkan soal aplikasi matematis dapat
dilakukan dengan berbagai pendekatan, metode, model maupun strategi pengajaran.
Salah satu strategi yang relevan dengan maksud tersebut adalah strategi ARIFIN.
Ada empat hal penting yang perlu mendapat perhatian dalam membangun
kemampuan problem solving matematis, yaitu: (1) Tindakan Khusus apa yang dapat
dilakukan guru untuk menciptakan komunitas inquiry dalam proses pembelajaran
matematika di Secondary School; (2) Bagaimana guru memberikan rangsangan awal
(inisiated) siswanya ke dalam menciptakan suatu budaya inquiry; (3) Praktek
pembelajaran jenis apa yang dapat mengkondisikan partisipasi aktif siswa; dan (4)
Tindakan spesifik apa yang dilakukan guru, untuk memunculkan atau meningkatkan
(improve) partisipasi siswa.
Empat hal tersebut dapat didukung oleh suatu model pembelajaran khusus yang
mengkondisikan pembelajaran matematika berjalan secara hidup dan interaktif dalam
bentuk inquiry matematik. Tahap action (tindakan) sebagai jawaban atas pertanyaan
pertama, tahap reflection dan formalization, sebagai jawaban atas pertanyaan kedua,
tahap interaction sebagai jawaban atas pertanyaan ketiga dan keempat. Sedangkan tahap
interconnection dan narration sebagai aktivitas yang menunjang kelengkapan dari
keempat tahap sebelumnya.
1. Aksi (action)
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
240
PM – 19 : Membantu Siswa SD..... Zaenal Arifin
Penyelidikan pada pembelajaran konseptual didasarkan pada tujuan eksplisit dari
pengidentifikasian gagasan yang melengkapi dasar rekonseptualisasi pada aspek
pengajaran matematika. Mekanisme dalam pengembangan konseptual yang dikaji
dalam analisis ini adalah hasil interpretasi, sintesa, dan ekstensi dari literatur yang telah
ada dan studi longiotudinal tentang proses pembelajaran siswa
(Simon&Blume,1994,Tzur, 1999).
Konstruksi teoritis telah dibangun pada interpretasi konstruktivis radikal pada proses
pembelajaran dan pemrosesan pengetahuan. Von Glaservald (dalam Simon, 2005:305)
menegaskan tiga prinsip konstruktivisme radikal yang menjadi asumsi paradigma ini,
yaitu:
1. Matematika dibangun melalui aktivitas manusia. Manusia tidak memiliki akses
kepada sesuatu yang lepas dari cara mereka untuk mengetahuinya.
2. Apa yang seseorang ketahui terkini (konsepsi terkini) dihasilkan oleh apa yang
dapat mereka assimilasi, mengerti atau pahami.
3. Pembelajaran matematika adalah proses transformasi cara seseorang dalam
memahami konsep dan melakukan aksi.
Ketiga kunci utama tersebut, relevan dengan pendapat Freudenthal bahwa, (1)
matematika adalah aktivitas manusia, maka hendaknya pembelajaran lebih
mengutamakan pembimbingan kepada siswa untuk menggunakan kesempatan
menemukan kembali (reinvention) matematika dan membawanya kembali dalam
kehidupan mereka (Gravemeijer,1994; Van den Kooij,1998); (2) jenis matematika apa
yang bermanfaat bagi siswa dan harus dipelajari; (3) fenomena aktual mana yang
mampu menghadirkan peluang bag siswa untuk membangun pengetahuan dan
pemahaman matematika yang dimaksud; (4) bagaimana mengkondisikan agar siswa
dapat berinteraksi dengan fenomena aktual tersebut; dan (5) bagaimana
mengidentifikasi problem dan situasi problem yang dapat memberikan peluang bagi
siswa untuk membangun konsep dan model matematika (Heuvel&Panhui-zen,2003).
Jadi, prinsip-prinsip yang dikemukakan Freudenthal, lebih spesifik dan mendasari
ketiga kunci utama konstruktivisme radikal.
Walaupun obyek-obyek matematika bersifat abstrak, pengajarannya dapat diawali
dengan menghadirkan situasi nyata dari fenomena alam. Salah satu cara yang relevan
uantuk maksud tersebut adalah mengkondisikan siswa melakukan aksi. Aksi ini berupa
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
241
PM – 19 : Membantu Siswa SD..... Zaenal Arifin
rangkaian kegiatan yang di samping melibatkan mental juga melibatkan aktivitas fisik.
Aksi tersebut merupakan respon siswa terhadap intruksi guru, seperti melakukan
peragaan tertentu, mengamati fenomena, dan tindakan lain. Selain melibatkan aktivitas
mental seperti memahami permasalahan dan mencari pemecahannya, aksi dapat berupa
pengamatan terhadap obyek yang akan diidentifikasi sifat matematisnya.
2. Refleksi (Reflection)
Refleksi merupakan aktivitas berpikir sangat penting dalam proses pembelajara
matematika. Gofree dan Dolk (dalam Sabandar, 2001) menyatakan bahwa refleksi
menunjuk kepada suatu situasi yang diamati, dikenali, direnungkan, serta dianalisis
dengan berdasarkan pengalaman serta pengetahuan seseorang. Dalam pembelajaran
matematika, refleksi dapat dimunculkan ketika siswa dihadapkan kepada suatu
fenomena atau peristiwa yang akan diidentifikasi sifat-sifat matematisnya. Proses
pembelajaran yang menekankan pada aktivitas berpikir reflektif mengantarkan siswa
mencapai keberhasilan dalam pembelajaran. Siswa yang berpikir reflektif selalu berpikir
tentang apa yang mereka amati atau mereka lakukan, dengan mengumpulkan informasi
sebanyak-banyaknya dan menganalisisnya sesuai dengan sasaran yang ingin dicapai.
Hampir setiap pembelajaran selalu melibatkan berpikir reflektif. Hal tersebut sesuai
dengan penjelasan Reed (2001) bahwa berpikir reflektif merupakan sentral dalam setiap
proses pembelajaran. Gejala-gejala fisik yang tampak pada siswa yang melakukan
berpikir reflektif antara lain, mencatat tentang hubungan antar informasi yang mereka
amati, berbicara dengan diri mereka dan merekam gagasan mereka dalam pikirannya.
Pada gejala terakhir terse-but, siswa melakukan komunikasi dengan diri sendiri
sebagaimana yang dikemukakan Skemp (1982:27), “Reflecting is communicating within
oneself”. Berpikir reflektif adalah suatu aktivitas komunikasi dengan dirinya sendiri.
3. Interaksi (Interaction)
Tiga alternative interaksi yang mengacu kepada teori ZPD dapat digunakan guru
sebagai alat untuk menciptakan kebiasaan yang tepat untuk mengetahui, berbicara, dan
bertindak, menuju terciptanya budaya inquiry matematik. Pandangan sosiokultural dapat
memberikan suatu rasionalisasi teoritis untuk suatu perubahan dalam upaya
mereformasi pendidikan matematika. Pendekatan sosiokultural dibedakan menurut
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
242
PM – 19 : Membantu Siswa SD..... Zaenal Arifin
frame work (kerangka kerja) teoritis dalam aktivitas berpikir, yang mengklaim bahwa
kegiatan berpikir manusia adalah aktivitas yang terjiwai secara alami.
Teori sosiokultural menawarkan cara memajukan pemahaman mendasar antara
proses pembelajaran dengan hasil pembelajaran. Pendapat ini menun-jukkan tentang
bagaimana pembelajaran matematika dikomunikasikan dalam konteks sosial dan
kehidupan nyata (Kozulin & Presseisen, 1995; Gardener, 1991). Sementara Lave &
Winger (1991) memandang pembelajaran matematika sebagai aktivitas sosial dan
komunikatif yang harus disesuaikan dengan formasi komunitas budaya matematika di
kelas.
4. Formalisasi (Formalization)
Prinsip penting lain yang dapat mempengaruhi kualitas proses pembelajaran
matematika adalah formalisasi. Para siswa seharusnya didorong menemukan kembali
(reinvention) matematika dengan bantuan guru dan materi pembelajaran (Gravemeijer,
1994; Treffer, 1987). Untuk melakukan reinvention ini para siswa seharusnya
memperoleh kesempatan untuk berpindah dari penggunaan model pemecahan informal,
intuitive, dan konkrit melalui berbagai model pre-formal, kepada penggunaan model
pemecahan standar yang lebih formal dan abstrak. Proses ini dikenal dengan istilah
formalisasi progressive (progressive formalization), yang juga sebagai ciri-ciri dari
Realistik Mathematics Education (Freudenthal, 1983; Treffers, 1987).
Pada tahap ini siswa akan diajak untuk menikmati obyek-obyek matematika melalui proses abstraksi, idealisasi atau manipulasi. Pada tahap ini diharapkan transfer pengetahuan formal matematika terjadi pada diri siswa. Kondisi yang diharapkan pada tahap ini adalah: (1). terbentuknya konsep-konsep matematika, (2).dipahaminya fakta-fakta dan simbol-simbol, (3).dikuasainya ketrampilan, prosedur atau skill, dan (4). dipahaminya prinsip-prinsip matematika. Cara paling efektif dan praktis dilakukan guru pada tahap ini adalah teknik pengajaran langsung (dirrect instruction). Pada tahap ini siswa melakukan abstraksi (abstacting), idealisasi (idealizing), simbolisasi (simbolizing), generalisasi (generalizing), dan formulasi (formulating) (Farrell & Farmer,1980).
5. Interkoneksi (Interconnection)
Hal-hal yang harus menjadi perhatian kita dalam pembelajaran matematika adalah:
(1) bagaimana para siswa berpikir ketika gurunya mengharapkan atau mendorong agar
mereka tetap bekerja di kelas.; (2) cara terbaik apa yang telah mereka lakukan untuk
mempelajari dan memahami matematika?’; (3) ’apa yang telah mereka lakukan untuk
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
243
PM – 19 : Membantu Siswa SD..... Zaenal Arifin
belajar matematika di kelas ?’; (4) ’ Bagaimana guru mereka atau teman mereka
membantu mereka untuk belajar’, dan (5) ’model apa yang mereka gunakan untuk
memecahkan permasalahan matematis?’
Setelah siswa dinilai cukup memahami obyek-obyek matematika, guru dapat
melanjutkan aktivitas pembelajaran dengan mengajak siswa menerapkan pengetahuan
yang baru diperoleh dalam menyelesaikan permasalahan teoritis (formal problem) atau
permasalahan realistis (kontekstual problem) melalui kegiatan interkoneksi. Pada tahap
ini siswa diharapkan mampu mengkaitkan pengetahuan barunya dengan permasalahan
teoritis atau realistis dan diharapkan dapat memecahkan masalah secara bermakna dan
dapat memperluas wawasan dan pemahaman matematika secara komprehensif.
6. Narasi (narration) dalam Pembelajaran Matematika
Aktivitas lain yang berperan models dalam meningkatkan kemampuan problem
solving matematis adalah narasi. Ahli psikologi kognitif pada aspek narrative
mengemukakan bahwa, bentuk narrative merupakan cara utama manusia untuk
mengutarakan maksud tentang dunia sekitarnya (Sarmiento, et al, 2003). Hal ini
diperkuat oleh hasil studi Narrative Learning Environment (NLE) yang
mempromosikan tiga aktivitas utama siswa dalam proses pembelajaran, yaitu: (1) ikut
ambil bagian dalam aktivitas naratif; (2) terlibat dalam eksplorasi tugas-tugas,
mengapresiasi narasi dan memahami dan bernalar tentang lingkungan dan obyeknya;
serta (3) menganalisis secara konsekuen apa yang terjadi dalam proses pembelajaran
(Burton, 1986; Burton, 1999).
Dalam tinjauan budaya, aktivitas narasi sudah menjadi bagian dari tradisi
masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia secara historis merasa lebih dekat dengan
kultur bahasa lisan atau bahasa tutur (walaupun disajikan dalam bentuk tertulis) dari
pada bahasa tulis. Kecenderungan ini harus dihargai dengan memberikan kesempatan
seluas-luasnya bagi siswa untuk mengungkapkan pengetahuan barunya dalam
bahasanya sendiri. Di sinilah letak aspek etnomathematics dari aktivitas narasi.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
244
PM – 19 : Membantu Siswa SD..... Zaenal Arifin
PENUTUP
Simpulan
Salah satu upaya untuk merubah budaya mengajar secara langsung menjadi budaya
mengajar secara tidak langsung dengan melibatkan konteks dunia nyata adalah dengan
menerapkan strategi ARIFIN dalam pembelajaran matematika.Strategi “ARIFIN”
dirancang sebagai rangkaian aktivitas yang runtut, melibatkan matematisasi horisontal
maupun matematisasi vertikal secara proporsional. Filsafat pembelajaran
konstruktivisme dan behavioristik secara fleksibel ikut melandasi model ini. Secara
umum dapat penulis kemukakan bahwa aspek-aspek pembelajaran yang mengacu
kepada filsafat konstruktivisme lebih dominan pada tahap aksi, refleksi, interaksi, dan
narasi.. Sedangkan paham behavioristik lebih dominan pada tahap formalisasi dan
interkoneksi. Keenam tahap tersebut diharapkan dapat berperan sebagai konduktor
dalam meningkatkan kemampuan problem solving matematis
Langkah-langkah pengajaran matematika dalam strategi ARIFIN meliputi enam
tahap atau langkah yang terdiri dari melakukan aksi, baik aksi fisik maupun aksi mental,
melakukan refleksi, mengkondisikan siswa untuk berinteraksi, lanjutnya membangun
pengetahuan formal matematika melalui langkah formalisasi, memperkuat pemahaman
dengan mengkaitkan pengetahuan baru dengan konsep-konsep atau prinsip lain dalam
matematika maupun di luar matematika, dan diakhiri dengan mengkondisikan siswa
melakukan narasi pengetahuan yang baru diperolehnya.
Berpikir reflektif sangat multi interpretatif pada berbagai konteks. Dalam model
ARIFIN, penulis batasi pada reflektif atas problem atau pertanyaan guru atau tindakan
(action) yang dilakukan mereka pada awal pembelajaran. Refleksi tersebut dapat
dilakukan terhadap obyek-obyek fisik sasaran aksi (aksi fisik) yang oleh Piaget disebut
”empirical abstraction”. Dan refleksi terhadap obyek mental (mental action) berupa
permasalahan teoritis (matematika formal) yang disebut ”reflective abstraction”.
Budaya berpikir reflektif ini sangat membantu siswa dalam memunculkan ide, teknik,
atau inspirasi dalam memecahkan soal-soal aplikasi matematis.
Saran
Tahap-tahap dalam pembelajaran ARIFIN, tidak selalu berjalan satu rangkaian
dalam sekali tatap muka. Tetapi rangkaian kegiatan ini dapat terjadi lebih dari satu kali
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
245
PM – 19 : Membantu Siswa SD..... Zaenal Arifin
dalam sekali tatap muka sesuai kondisi, tujuan pengajaran, dan pengetahuan
matematika yang ingin dibangun pada diri siswa. Apabila suatu konsep, prinsip, atau
skill yang dibangun sudah melalui rangkaian aktivitas pada model pembelajaran ini,
maka pembelajaran dapat dilanjutkan untuk konsep, prinsip, atau skill berikutnya,
demikian seterusnya. Tetapi ada pula beberapa pengetahuan formal matematika yang
dapat sekaligus dijalankan melalui tahap-tahap dalam model pembelajaran ini.
Rekomendasi
1. Bagi para praktisi pendidikan matematika, disaankan untuk selalu berupaya
mengembangkan berbagai inovasi pembelajaran yang mengacu pada prinsip-prinsip
pembelajaran tidak langsung dengan pendekatan kontekstual atau realistik.
2. Bagi para guru yang ingin menerapkan strategi ARIFIN dalam proses
pembelajarannya, disarankan untuk berupaya mempersiapkan berbagai
perlengkapan yang diperlukan untuk masing-masing tahap atau langkah
pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA Arifin, Zaenal (2007). Minangkatkan Motivasi, Kemampuan Pemecahan Masalah
Matematis, dan hasil Belajar Siswa melalui Pembelajaran Matematika Realistik dalam Seting Kooperatif. Proposal Disertasi SPs UPI, tidak dipublikasikan.
Burton, L.(1986). Mathematics and Its Learning, as Narrative- a Literacy for the twenty-first century. In D. Baker, J. Clay & C. Fox (Eds.), Changing Ways of Knowing: in English, Mathematics and Science. London: Falmer Press.
Burton, L.(1999). The Implications of a Narrative Approach to the Learning of Mathematics, in L. Burton (Ed) Learning Mathematics: From Hierarchies Lti Networks. London: Falmer Press.
De Corte, E., Verschaffel, L., Van Coillie, V. (1988). Influence of Number Size, Problem Structure and Response Mode on Children’s Solution of Multipli-cation Word Problems, Journal of Mathematical Behavior, 7, 197-216.
Farrell, M.A., Farmer, W.A. (1980). Systematic Instruction in Mathematics. for The Middle and High School Years. Reading, Massachusetts, U.S.A., London, England: Addison-Wesley Publishing Company.
Gravemeijer, K. (1994). Developing Realistic Mathematics Education. Utrecht: Freudenthal Institute
Heuvel, Van den, Panhuizen (2003). Guides for Didactical Decicion Making in Primary School Mathematics education: The Focus on The Content Domain of Estimation. Opplaeringen, 1, 139-152. http://www.geocities.com/nikza-fri/pedagogi.html
Reed, Arthea J.S. Bergemann, Verna E. (2001). A Guide to Observation, Participation and Reflection in Classroom. Fourth Edition. Boston. Mc.Graw Hill.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
246
PM – 19 : Membantu Siswa SD..... Zaenal Arifin
Ruseffendi, E.T. (1991). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito Bandung.
Sabandar, Jozua. (2001). Refleksi dalam Pembelajaran Matematika Realistik. Makalah Disajikan pada Workshop Pengembangan Pembelajaran RME untuk SD di PPPG Matematika Yogyakarta Tanggal 4-11 Juli 2001.
Schoenfeld, A. (1988). When Good Teaching Least to Bad Results: The Disasters of “Well-Taught” Mathematicas Courses. Educational Psychologyist. 23, 145-166.
Simon,M. Tzur,R.,Heinz, K.Kinzel, M.(2004). Explicating a Mechanism for Conceptual Learning: Elaborating the Construct of Reflectif Abstraction. Journal for Research in Mathematics Education, Vol. 35, No. 5, 305-329.
Skemp, R. (1982). The Psychology of Learning Mathematics. London: Penguin Book. Treffers, A. (1991). Realistic Mathematics Education in The Netherlands 1980-1990. In
L. Streefland (Ed.). Realistic Mathematics Education in Primary School Utrecht: Freudenthal Institut.
Verschaffel,L., et al.(1999). Learning to Solve Mathematical Application Problems: A Design Experiment with Fifth Graders. Mathematical Thinking and Learning, 1999, 1(3), 195-229
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
247
PM – 20 : Information Literacy...... Sri Andayani
Information Literacy Kunci Sukses Pembelajaran Di Era Informasi
Sri Andayani Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY
Abstrak
Pembelajaran di abad informasi menyebabkan terjadinya pergeseran fokus dari hanya penyampaian sumber
informasi yang spesifik ke arah kemampuan berfikir kritis untuk menggunakan sumber-sumber informasi. Kemampuan untuk mengelola informasi yang digunakan untuk melanjutkan pengembangan profesionalitas dikenal dengan information literacy.
Derasnya arus informasi menjadikan dunia pendidikan harus mampu membekali anak didik dengan kemampuan memilih dan memilah informasi, agar dapat unggul berkompetisi di era informasi. Mengingat pentingnya kemampuan mengelola informasi tersebut, maka sudah selayaknya kebijakan dunia pendidikan mengambil rencana strategis agar kompetensi tersebut diintegrasikan dengan proses pembelajaran atau dalam kurikulum. Kata kunci: information literacy, abad informasi.
Pendahuluan
Tidak diragukan lagi bahwa kesuksesan seseorang sangat ditentukan oleh
keahlian mengelola informasi yang dimilikinya, menjadi pengetahuan dan selanjutnya
menjadi dasar pengambilan keputusan yang mendasari langkahnya. Di abad informasi,
informasi telah memegang peran sedemikian penting dalam setiap aspek kehidupan,
dalam pengambilan kebijakan yang menentukan strategi mengahadapi tantangan masa
depan. Dunia pendidikan sudah seharusnya memberikan perhatian serius terhadap
tantangan dalam abad informasi saat ini. Proses pembelajaran dalam berbagai tingkatan
sebagai bagian inti dalam dunia pendidikan juga harus menyikapi pentingnya peran
informasi yang setiap saat senantiasa terbarukan. Dewasa ini perubahan informasi
sedemikian cepatnya, sehingga bukan lagi dapat dikatakan up to date, tetapi up to
second.
Abad informasi mengharuskan adanya pergeseran fokus dalam proses
pembelajaran. Semula, pembelajaran hanya berfungsi untuk menyampaikan sumber
informasi yang spesifik. Tuntutan era informasi menjadikan pembelajaran bergeser ke
arah kemampuan berfikir kritis untuk menggunakan sumber-sumber informasi.
Di sisi lain, paradigma pembelajaran dewasa ini juga mengalami pergeseran dari
paradigma mengajar menjadi paradigma belajar. Perubahan paradigma ini memberikan
pemahaman baru bahwa proses pembelajaran bukan sebagai proses transfer ilmu dari
guru ke siswa. Kegiatan pembelajaran lebih diartikan sebagai upaya aktif guru untuk
membantu siswa dalam membangun pengetahuannya dengan menggunakan
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
248
PM – 20 : Information Literacy...... Sri Andayani
pengalaman-pengalaman atau pengetahuan-pengetahuan yang telah dimiliki siswa.
Perubahan paradigma ini berpengaruh pada berbagai aspek, tertutama mengenai peran
guru dan siswa dalam kegiatan pembelajaran. Guru tidak lagi diposisikan sebagai
pemegang otoritas yang berusaha mentransfer pengetahuannya kepada siswa, melainkan
lebih berfungsi sebagai fasilitator yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk
membangun pengetahuannya melalui aktivitas pembelajaran yang bermakna.
Ernest Boyer (Rockman, 2004:2) menyatakan bahwa memberdayakan peranan
informasi adalah tujuan terpenting dalam pembelajaran. Jika diorganisasikan dengan
baik, maka informasi selanjutnya akan menjadi pengetahuan. Pembelajaran seharusnya
menjadi dasar penyiapan siswa agar dapat menjadi pembelajar yang mandiri dan
berkelanjutan serta bekerja profesional melalui pengembangan bakat mereka untuk
memformulasikan pertanyaan dan mencari jawabannya. Hal tersebut dapat terwujud jika
siswa mempunyai kemampuan mengelola informasi dengan baik.
Kemampuan mengelola informasi yang dimaksud adalah mengidentifikasi
informasi yang dibutuhkan, mencari informasi yang relevan dan tepat, dan
mengevaluasi informasi tersebut apakah sesuai dengan kebutuhannya, dan
menggunakan informasi tersebut untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah
diidentifikasi. Kemampuan itulah yang disebut dengan information literacy.
Informasi dapat diperoleh dari bermacam sumber, dan dalam berbagai macam
bentuk, cetakan, video, audio, informasi online dsb. Tantangan yang dihadapi dunia
pendidikan untuk meletakkan information literacy sebagai dasar kemampuan
pembelajaran seumur hidup bukanlah dikarenakan sedikitnya informasi yang dapat
diakses. Kesulitan terbesar justru dikarenakan informasi yang ada melimpah, dan belum
dapat dipastikan reliabilitas dan validitasnya.
Information Literacy
Pada dasarnya information literacy dideskripsikan sebagai kemampuan untuk
mencari, mengelola, mengevaluasi secara cerdas, dan menggunakan informasi untuk
memecahkan masalah, melakukan riset, mengambil keputusan dan melanjutkan
pengembangan profesionalitas (Kasowitz-Scheer & Pasqualoni,
http://www.libraryinstruction.com/higher-ed.html)
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
249
PM – 20 : Information Literacy...... Sri Andayani
Lebih rinci, information Literacy dapat didefinisikan sebagai kemampuan
individu untuk: (1) mengenali kebutuhan informasi, (2) mengidentifikasi dan mencari
sumber-sumber informasi yang tepat, (3) mengetahui cara memperoleh informasi yang
terkandung dalam sumber yang ditemukan, (4) mengevaluasi kualitas informasi yang
diperoleh, (5) mengorganisasikan informasi, dan (6) menggunakan informasi yang telah
diperoleh secara efektif. (Hancock, http://www.libraryinstruction.com/information-
literacy.html )
Lebih lanjut, Doyle (http://www.libraryinstruction.com/information-
literacy2.html) menyatakan bahwa seorang disebut information literate jika memiliki
kemampuan: (1) menyadari bahwa informasi yang akurat dan lengkap adalah dasar
dalam pengambilan keputusan yang cerdas, (2) mengenali kebutuhan informasi, (3)
menyusun pertanyaan-pertanyaan berdasarkan kebutuhan informasi, (4)
mengidentifikasi sumber-sumber informasi yang potensial, (5) mengembangkan strategi
pencarian informasi yang berhasil guna, (6) mengakses informasi baik yang bersumber
dari komputer maupun teknologi lain, (7) mengevaluasi informasi, (8)
mengorganisasikan informasi untuk aplikasi-aplikasi praktis, (9) mengintegrasikan
informasi baru ke dalam pengetahuan yang sudah ada, dan (10) menggunakan informasi
dalam pemecahan masalah dan berfikir kritis.
Pembelajaran bercirikan information literacy
Information literacy telah mendorong terjadinya pergeseran peran guru dan
siswa dalam pembelajaran. Perubahan tersebut sangat penting untuk menyiapkan siswa
dalam menghadapi tantangan masa depan dalam abad informasi. Sedemikian
pentingnya kemampuan memilih dan memilah informsi dari berbagai macam sumber
yang belum dapat dipastikan keakuratan dan kebenarannya, menjadikan information
literacy sebagai kunci kesuksesan proses pembelajaran di era informasi.
Information literacy merupakan metode yang sangat potensial dalam
memberdayakan siswa melalui pendekatan resource-based learning. Information
literacy menuntut siswa mampu mengenali kapan suatu informasi dibutuhkan dan
mampu mencari informasi tsb, mengevaluasinya dan menggunakan secara efektif.
Berbagai macam bentuk informasi dapat diakses dari berbagai macam sumber, yang
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
250
PM – 20 : Information Literacy...... Sri Andayani
akan menjadikan siswa terlatih dalam mempelajari sesuatu hal baru atau memperdalam
pengetahuannya yang lama.
Dalam lingkungan information literacy, siswa dituntut lebih aktif, belajar
mandiri, sedangkan guru hanya sebagai fasilitator yang mendorong siswa melalui
pembelajaran yang memungkinkan siswa berpetualang dalam mencari informasi
sebanyak-banyaknya. Siswa akan lebih dituntut aktif untuk: (1) mencari sumber-sumber
informasi yang lebih beragam, (2) mengkomunikasikan isi informasi yang diperoleh,
(3) memunculkan pertanyaan-pertanyaan terkait dengan isi informasi yang seharusnya
dipelajari, (4) memanfaatkan lingkungan, orang-orang dan peralatan pendukung lain di
sekitarnya sebagai sarana untuk belajar, (5) merefleksikan pembelajarannya sendiri, (6)
menilai pembelajarannya sendiri, dan (7) bertanggungjawab atas pembelajarannya
sendiri.
Information literacy dalam pembelajaran matematika
Menghadapi tantangan abad informasi, siswa yang terbiasa dengan pembelajaran
tradisional harus dikondisikan untuk banyak melatih kemampuan mereka dalam hal
berkomunikasi, berfikir kritis dan memecahkan masalah.
Dalam kegiatan pembelajaran, guru perlu memberikan kesempatan cukup kepada
siswa untuk mengembangkan kemampuan matematis yang memungkinkan siswa
menjadi pembelajar yang mandiri (independent learner). NCTM dalam Principle and
Standars for School Mathematics sebagaimana dikutip oleh Wanti Wijaya (2003)
menegaskan bahwa prinsip belajar matematika yaitu adalah: siswa harus mempelajari
matematika dengan pemahaman, secara aktif membangun pengetahuan baru dari
pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya. Dalam pembelajaran yang
menekankan pemahaman ini, kemampuan-kemampuan melakukan eksplorasi, bertanya,
merumuskan masalah, membuat dugaan-dugaan (conjectures), dan memecahkan
masalah memegang peranan yang sangat penting.
“Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics" yang ditetapkan
oleh The National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) memandang
matematika lebih daripada sekumpulan konsep dan keahlian yang harus dikuasai.
Matematika meliputi metode investigasi dan penalaran, berkomunikasi dan
menyampaikan ide-ide. Pembelajaran matematika melibatkan pengembangan
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
251
PM – 20 : Information Literacy...... Sri Andayani
kepercayaan diri seseorang. (Doyle, http://www.libraryinstruction.com/information-
literacy2.html)
Konsep Information literacy dalam pembelajaran matematika tampak dalam
aktivitas-aktivitas yang: (1) melibatkan pemecahan masalah (problem solving), (2)
pemakaian estimasi-estimasi, (3) memikirkan strategi fakta-fakta dasar, (4)
memformulasikan dan menginvestigasi pertanyaan-pertanyaan dari problem situasi, (5)
pemakaian komputer dan kalkulator dan teknologi lain. Penilaian dalam bidang
matematika juga berada dalam kerangka besar information literacy, dikarenakan
evaluasi yang dilakukan adalah pada pemanfaatan informasi dalam cara yang paling
bermakna untuk mendemonstrasikan pemahaman matematika.
Information Literacy di Perguruan Tinggi
Pembelajaran di perguruan tinggi bertujuan menyiapkan lulusannya agar unggul
dalam persaingan di era global. Tidak disangkal lagi, era global saat ini ditandai dengan
dominasi informasi dalam setiap laju perkembangannya. Dengan demikian, keunggulan
berkompetisi di era global juga ditentukan oleh kecakapan lulusan menggunakan
informasi (pengetahuan) yang dimilikinya dan kepiawaian mencari dan memanfaatkan
informasi yang digunakan sebagai pijakan dalam mengambil keputusan. Mengingat
pentingnya kemampuan mengelola informasi tersebut, maka sudah selayaknya
kebijakan di perguruan tinggi mengambil rencana strategis agar kompetensi tersebut
diintegrasikan dengan proses pembelajaran atau dalam kurikulumnya. Bahkan, jika
perlu, perguruan tinggi dapat menetapkan kemampuan mengelola informasi sebagai
salah satu syarat kelulusan.
Pada umumnya proses pembelajaran yang terjadi pada siswa sebelum memasuki
dunia pendidikan tinggi belum dapat membuat siswa dapat mengelola informasi dengan
baik. Hal tersebut dapat diidentifikasi dari kesulitan siswa pada saat diminta untuk
melakukan penelitian, atau mengidentifikasi pertanyaan sekaligus mencari jawaban atas
pertanyaannya sendiri. Idealnya, pada saat siswa baru memasuki jenjang pendidikan di
perguruan tinggi, siswa dikenalkan dengan information literacy melalui materi ”
Ekspositori Menulis dan Meneliti”, ”Pengenalan Dunia Universitas” , ”Teknologi dan
Informasi”, dan ” Dasar-dasar Information Literacy”. (Rockman, 2004: 16).
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
252
PM – 20 : Information Literacy...... Sri Andayani
Penguasaan Information Literacy tidaklah sama dengan penguasaan teknologi
informasi. Teknologi informasi merupakan sebagian teknik untuk menguasai
Information Literacy. Information Literacy mempunyai fokus pada bagaimana mencari
informasi, mengorganisasikannya, meneliti, menganalisis informasi, menilai dan
mengevaluasi informasi. Cara memperoleh informasi yang diolah tersebut diantaranya
dapat dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi.
Pengintegrasian information literacy dalam pembelajaran di perguruan tinggi
dapat dilaksanakan dalam beberapa macam bentuk, di antaranya: stand-alone courses or
classes, online tutorials, workbooks, course-related instruction, atau course-integrated
instruction. (Plotnick, http://www.libraryinstruction.com/ infolit2.html)
Rockman (2004:47) memaparkan beberapa cara yang dapat dilakukan untuk
mengintegrasikan information literacy dalam kurikulum, yaitu: program pelatihan guru,
seminar dan experience program bagi siswa perguruan tinggi tahun pertama, program
menulis yang lintas materi dalam kurikulum, pusat pengembangan fakultas, unit
pelayanan pembelajaran, dan program teknologi informasi yang mendukung kelas
online.
Penutup
Era global yang ditandai dengan pertumbuhan dan perkembangan informasi
yang sangat pesat membuat kemampuan untuk belajar, keahlian mencari dan
memanfaatkan informasi, berfikir kritis dan bertindak profesional dalam memecahkan
masalah menjadi sangat penting. Dunia pendidikan sebagai pusat penyiapan kader
generasi masa depan sudah seharusnya membekali anak didik dengan kemampuan
tersebut, kemampuan information literacy. Tidak diragukan lagi, information literacy
merupakan kunci sukses pembelajaran di era informasi.
DAFTAR PUSTAKA Doyle, Christina S., Information Literacy in an Information Society, . Diakses tgl 25
April 2008 dari http://www.libraryinstruction.com/information-literacy2.html Hancock, Vicki E, Information Literacy for lifelong learning. Diakses tgl 25 April 2008
dari http://www.libraryinstruction.com/information-literacy.html Kasowitz-Scheer,A. & Pasqualoni, M. Information Literacy Instruction in Higher
Education. Diakses tgl 25 April 2008 dari http://www.libraryinstruction.com/higher-ed.html
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
253
PM – 20 : Information Literacy...... Sri Andayani
Plotnick, E. Information Literacy. . Diakses tgl 25 April 2008 dari http://www.libraryinstruction.com/infolit2.html
Rockman, Ilene.F and Associates. 2004. Integrating Information Literacy into the
Higher educatian Curriculum. San Francisco, John Wiley & Sons. Inc. Wanti Wijaya. 2003. Penggunaan Spreadsheet Excel dalam Mendukung Paradigma
Belajar Pada Topik Persamaan Garis Lurus. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika yang diselenggarakan oleh Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, 27 – 28 Maret 2003.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
254
M – 1 : Sistem Persamaan Linear...... M. Andy Rudhito, Sri Wahyuni, Ari S, F. Susilo, S.J.
Sistem Persamaan Linear Max-Plus Interval
M. Andy Rudhito Mahasiswa S3 Matematika FMIPA UGM,
Staff Pengajar Jurusan PMIPA FKIP USD Paingan Maguwoharjo Yogyakarta [email protected]
Sri Wahyuni
Jurusan Matematika FMIPA UGM. Sekip Utara, Yogyakarta [email protected] , [email protected]
Ari Suparwanto
Jurusan Matematika FMIPA UGM. Sekip Utara, Yogyakarta [email protected]
F. Susilo, S.J. Jurusan Matematika FST USD. Paingan Maguwoharjo Yogyakarta
Abstrak Makalah ini membahas penyelesaian sistem persamaan linear max-plus interval yang dapat menjadi dasar pembahasan penyelesaian sistem persamaan linear max-plus bilangan kabur melalui Teorema Dekomposisi.
Dapat ditunjukkan bahwa setiap sistem persamaan linear max-plus interval, dengan matriks interval persegi, di mana unsur-unsur setiap kolomnya tidak semuanya sama dengan interval ε selalu mempunyai subpenyelesaian interval terbesar. Vektor batas bawah vektor subpenyelesaian interval terbesar tersebut adalah vektor subpenyelesaian terbesar sistem persamaan linear max-plus dengan matriks koefisiennya adalah matriks batas bawah dari matriks interval sistem tersebut. Sedangkan vektor batas atas vektor subpenyelesaian interval terbesar tersebut adalah vektor subpenyelesaian terbesar sistem persamaan linear max-plus dengan matriks koefisiennya adalah matriks batas atas dari matriks interval sistem tersebut. Kata-kata kunci: aljabar max-plus, interval, sistem persamaan linear.
1. Pendahuluan
Aljabar max-plus (himpunan R ∪{−∞}, dengan R adalah himpunan semua bi-langan real, yang dilengkapi dengan operasi maximum dan penjumlahan) telah diguna-kan untuk memodelkan dan menganalisis jaringan, seperti penjadwalan proyek , sistem produksi, jaringan antrian, dan sebagainya. Pemodelan dan analisa suatu jaringan den-gan pendekatan ini dapat memberikan hasil analitis dan lebih mudah pada kompu-tasinya, seperti dalam Bacelli, et al. (2001), Rudhito, A. (2004), Krivulin, N.K. (2001). Pemodelan tersebut kebanyakan masih berupa model deterministik, di mana waktu aktifitas pada jaringan berupa bilangan real. Pada kenyataannya, oleh karena beberapa faktor, misalkan operator mesin, kadang waktu aktifitas pada jaringan tidak pasti. Dalam masalah ini, aljabar max-plus telah dikembangkan untuk model stokastik, di mana waktu aktifitasnya berupa peubah acak, seperti dalam Bacelli, et al. (2001) dan B. Heidergott, B., et. al. (2005). Peubah acak dalam model stokastik diasumsikan mengikuti suatu distribusi peluang tertentu. Distribusi ini biasanya disusun berdasarkan data-data yang diperoleh setelah jaringan dioperasikan untuk jangka waktu tertentu.
Dalam masalah pemodelan dan analisa suatu jaringan di mana waktu aktifitasnya belum diketahui, misalkan karena masih pada tahap perancangan, data-data
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
255
M – 1 : Sistem Persamaan Linear...... M. Andy Rudhito, Sri Wahyuni, Ari S, F. Susilo, S.J.
mengenai waktu aktifitas belum diketahui secara pasti maupun distribusinya. Waktu aktifitas ini dapat diperkirakan berdasarkan pengalaman maupun pendapat dari para ahli maupun operator jaringan tersebut. Untuk itu waktu aktifitas jaringan dimodelkan dalam suatu bilangan kabur (fuzzy number). Akhir-akhir ini telah berkembang pemodelan jaringan yang melibatkan bilangan kabur. Untuk masalah penjadwalan yang melibatkan bilangan kabur dapat dilihat pada Chanas, S., Zielinski, P. (2001). Sedangkan untuk masalah model jaringan antrian yang melibatkan bilangan kabur dapat dilihat pada Lüthi, J., Haring, G. (1997).
Pemodelan dan analisa pada masalah-masalah jaringan yang melibatkan bilan-gan kabur, sejauh penulis ketahui, belum ada yang menggunakan pendekatan aljabar max-plus. Dalam pemodelan input-output suatu jaringan dengan pendekatan aljabar max-plus, graf untuk jaringan tersebut dinyatakan dengan menggunakan matriks, den-gan unsur-unsurnya menyatakan waktu aktifitas antar titik pada jaringan tersebut. Selan-jutnya pemodelan terkait dengan sistem persamaan linear max-plus A ⊗ x = b dengan x dan b berturut-turut sebagai vektor input dan vektor output. Pemodelan waktu aktifitas jaringan dengan menggunakan bilangan kabur dengan pendekatan aljabar max-plus akan terkait dengan sistem persamaan linear input-output max-plus bilangan kabur.
Operasi-operasi pada bilangan kabur dapat dilakukan menggunakan Teorema Dekomposisi, yaitu melalui potongan-potongan-α-nya yang berupa interval-interval (Susilo, F. 2006). Untuk menyelesaikan sistem persamaan linear max-plus bilangan ka-bur melalui Teorema Dekomposisi pasti akan memerlukan hasil-hasil penyelesaian sis-tem persamaan linear max-plus interval. Untuk itu dalam makalah ini akan dibahas ten-tang suatu vektor interval yang merupakan penyelesaian sistem persamaan linear max-plus interval. 2. Aljabar Max-Plus dan Sistem Persamaan Linear Max-Plus Dalam bagian ini dibahas konsep dasar aljabar max-plus dan kaitannya dengan teori graf, serta eksistensi dan ketunggalan penyelesai sistem A ⊗ x = b . Pembahasan selengkapnya dapat dilihat pada Baccelli et.al (1992) dan Rudhito A (2003). Diberikan Rε := R ∪{ε } dengan R adalah himpunan semua bilangan real dan ε : =
−∞. Pada Rε didefinisikan operasi berikut: ∀ a, b ∈ Rε , a ⊕ b := max(a, b) dan a ⊗ b
: = a + b. Dapat ditunjukkan bahwa (Rε, ⊕, ⊗) merupakan semiring komutatif
idempoten dengan elemen netral ε = −∞ dan elemen satuan e = 0. Lebih lanjut (Rε, ⊕,
⊗) merupakan semifield, yaitu bahwa (Rε, ⊕, ⊗) merupakan semiring komutatif di
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
256
M – 1 : Sistem Persamaan Linear...... M. Andy Rudhito, Sri Wahyuni, Ari S, F. Susilo, S.J.
mana untuk setiap a ∈ R terdapat −a sehingga berlaku a ⊗ (−a) = 0. Kemudian (Rε, ⊕,
⊗) disebut aljabar max-plus, yang selanjutnya cukup dituliskan dengan Rmax.
Aljabar max-pus Rmax tidak memuat pembagi nol yaitu ∀ x, y ∈ Rε berlaku: jika
x ⊗ y = ε maka x = ε atau y = ε. Relasi “ mp ” yang didefinisikan pada R max dengan x
mp y ⇔ x ⊕ y = y merupakan urutan parsial pada Rmax. Lebih lanjut relasi ini
merupakan urutan total pada Rmax. Dalam Rmax, operasi ⊕ dan ⊗ konsisten terhadap
urutan mp , yaitu ∀a, b, c ∈ R max , jika a mp b , maka a ⊕ c mp b ⊕ c, dan a ⊗ c mp b
⊗ c.
Operasi ⊕ dan ⊗ pada Rmax dapat diperluas untuk operasi-operasi matriks dalam
: = {A = (Anm×maxR ij)⏐Aij ∈ Rmax, untuk i = 1, 2, ..., m dan j = 1, 2, ..., n}. Untuk α ∈ Rmax,
dan A, B ∈ didefinisikan α ⊗ A, dengan (α ⊗ A)nm×maxR ij = α ⊗ Aij dan A ⊕ B, dengan (A
⊕ B)ij = Aij ⊕ BBij untuk i = 1, 2, ..., m dan j = 1, 2, ..., n. Untuk A ∈ , B ∈
didefinisikan A ⊗ B, dengan (A ⊗ B)
pm×maxR np×
maxR
ij = . Didefinisikan matriks E ∈ ,
(E )
kjik
p
kBA ⊗⊕
=1
nn×maxR
ij : = dan matriks ε ∈ , (ε )⎩⎨⎧
≠=
jiεji
jika, jika,0 nm×
maxR ij := ε untuk setiap i dan j . Dapat
ditunjukkan bahwa ( , ⊕, ⊗) merupakan semiring idempoten dengan elemen netral
matriks ε dan elemen satuan matriks E. Sedangkan merupakan semimodul atas
R
nn×maxR
nm×maxR
max.
Relasi “ mp ” yang didefinisikan pada dengan A nm×maxR mp B ⇔ A ⊕ B = B
merupakan urutan parsial pada . Perhatikan bahwa A nm×maxR mp B ⇔ A ⊕ B = B ⇔ Aij ⊕
BBij = BijB ⇔ Aij mp BBij untuk setiap i dan j. Dalam ( , ⊕, ⊗), operasi ⊕ dan ⊗
konsisten terhadap urutan
nm×maxR
mp , yaitu ∀A, B, C ∈ , jika A nn×maxR mp B , maka A ⊕ C mp B
⊕ C, dan A ⊗ C mp B ⊗ C .
Didefinisikan := { x = [ xnmaxR 1, x2, ... , xn]T | xi ∈ R max, i = 1, 2, ... , n}.
Perhatikan bahwa dapat dipandang sebagai , sehingga merupakan
semimodul atas R
nmaxR 1
max×nR n
maxR
max. Unsur-unsur dalam disebur vektor atas RnmaxR max. Karena Rmax
merupakan semifield maka untuk setiap x ≠ ε dalam dapat didefinisikan −x =
[−x
nmaxR
1, −x2, ... , −xn ]T.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
257
M – 1 : Sistem Persamaan Linear...... M. Andy Rudhito, Sri Wahyuni, Ari S, F. Susilo, S.J.
Diberikan A ∈ dan b ∈ . Vektor nn×maxR n
maxR x′ ∈ disebut subpenyele-saian
sistem persamaan linear A ⊗ x = b jika memenuhi A ⊗
nmaxR
x′ mp b. Suatu subpenyelesaian
dari sistem A ⊗ x = b disebut subpenyelesaian terbesar sistem A ⊗ x = b jika x̂
x′ mp x̂ untuk setiap subpenyelesaian x′ dari sistem A ⊗ x = b. Diberikan A ∈
dengan unsur-unsur setiap kolomnya tidak semuanya sama dengan ε dan b ∈ R
nn×maxR
n.
Subpenyelesaian terbesar A ⊗ x = b ada dan diberikan oleh = − (Ax̂ T ⊗ (− b)).
3. Aljabar Max-Plus Interval dan Matriks atas Aljabar Max-Plus Interval
Bagian ini membahas konsep dasar dan teknik pengopersian matriks atas aljabar
max-plus interval. Pembahasan lebih lengkap dapat dilihat pada Rudhito, A. dkk
(2008a, 2008b)
Interval (tertutup) x dalam Rmax adalah suatu himpunan bagian dari Rmax yang
berbentuk x = [ x , x ] = {x ∈ Rmax | x mp x mp x }. Interval x dalam Rmax di atas
disebut interval max-plus, yang selanjutnya akan cukup disebut interval. Suatu bilangan
x ∈ Rmax dapat dinyatakan sebagai interval [x, x ]. Didefinisikan I(R)ε := { x = [ x , x ] |
x , x ∈ R , ε mp x mp x } ∪ { ε }, dengan ε := [ε, ε ].
Pada I(R)ε didefinisikan operasi ⊕ dan ⊗ dengan: x ⊕ y = [ x ⊕ y , x ⊕ y ] dan x ⊗
y = [ x ⊗ y , x ⊗ y ] , ∀ x, y ∈ I(Rε). Dapat ditunjukkan bahwa (I(R)ε, ⊕ , ⊗ )
merupakan semiring idempoten komutatif dengan elemen netral ε = [ε, ε] dan elemen
satuan 0 = [0, 0]. Semiring idempoten komutatif (I(R)ε , ⊕ , ⊗ ) selanjutnya disebut
dengan aljabar max-plus interval yang dilambangkan dengan I(R)max.
Didefinisikan I(R) := {A = (Anm ×max ij)⏐Aij ∈ I(Rmax), untuk i = 1, 2, ..., m dan j =
1, 2, ..., n}. Matriks anggota I(R) disebut matriks interval max-plus. Selanjutnya
matriks interval max-plus cukup disebut dengan matriks interval. Untuk α ∈ I(R)
nm ×max
max,
A, B ∈ I(R) , didefinisikan α nm×max ⊗ A, dengan (α⊗ A)ij = α⊗ Aij dan A⊕ B,
dengan (A ⊕ B)ij = Aij ⊕ Bij untuk i = 1, 2, ..., m dan j = 1, 2, ..., n . Untuk A ∈
I(R) , B ∈ I(R) , didefinisikan A pm×max
np×max ⊗ B dengan (A ⊗ B)ij = kjik
p
k
BA1
⊗⊕=
untuk i = 1, 2, ..., m dan j = 1, 2, ..., n. Dapat ditunjukkan (I(R) , nn×max ⊕ , ⊗ )
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
258
M – 1 : Sistem Persamaan Linear...... M. Andy Rudhito, Sri Wahyuni, Ari S, F. Susilo, S.J.
merupakan semiring idempoten dengan elemen netral matriks ε dengan (ε )ij := ε untuk
setiap i , j dan elemen satuan adalah matriks E, dengan (E )ij : = .
Sedangkan I(R) merupakan semimodul atas I(Ρ)
⎩⎨⎧
≠=
jiji
jika,ε jika,0
nm ×max max,
Untuk A ∈ I(R) didefinisikan matriks nm ×max A = ( A ij) ∈ dan nm ×
maxR A = ( A ij) ∈
yang berturut-turut disebut matriks batas bawah dan matriks batas atas dari
matriks interval A. Diberikan matriks interval A ∈ I(R) , dengan
nm ×maxR
nm×max A dan A berturut-
turut adalah matriks batas bawah dan matriks batas atasnya. Didefinisikan interval
matriks dari A, yaitu [ A , A ] = { A ∈ ⎜nm×maxR A mp A mp A } dan I( )nm×
maxR * = {
[ A , A ] | A ∈ I(R) }. Untuk α ∈ I(Ρ)nm×max max, [ A , A ], [ B , B ]∈ I( )nm×
max*, didefinisikan
α ⊗ [ A , A ] = [α⊗A , α ⊗A ] dan [ A , A ]⊕ [ B , B ] = [ A ⊕B , A ⊕ B ]. Untuk
[ A , A ]∈ I( )pm×max
*, [ B , B ] ∈ I( )np×max
*, didefinisikan [ A , A ] ⊗ [ B , B ]= [ A ⊗B ,
A ⊗ B ]. Dapat ditunjukkan pula bahwa (I( )nxnmaxR *, ⊕ , ⊗ ) merupakan semiring
idempoten dengan elemen netral adalah interval matriks [ε, ε] dan elemen satuan adalah
interval matriks [E, E]. Sedangkan I( )nm×maxR * merupakan semimodul atas I(R)max.
Semiring (I(R) , nn×max ⊕ , ⊗ ) isomorfis dengan semiring (I( )nxn
maxR *, ⊕ , ⊗ ),
dengan pemetaan f : I(R) → I( )nn×max
nxnmaxR *, f (A) = [ A , A ], ∀A ∈ I(Ρ) . Sedangkan
semimodul I(R) atas I(R)
nn×max
nm×max max isomorfis dengan semimodul I( )nm×
maxR * atas I(R)max
Dengan demikan untuk setiap matriks interval A selalu dapat ditentukan interval
matriks [ A , A ] dan sebaliknya untuk setiap interval matriks [ A , A ] ∈ I( )nxnmaxR *, maka
A , A∈ , sehingga dapat ditentukan matriks interval A ∈ I(R) , di mana [nn×max
nn×max A ij ,
A ij ] ∈ I(R)max , ∀i dan j. Dengan demikian matriks interval A ∈ I(Ρ) dapat
dipandang sebagai interval matriks [
nm×max
A , A ] ∈ I( )nm×maxR *. Interval matriks [ A , A ] ∈
I( )nxnmaxR * disebut interval matriks yang bersesuaian dengan matriks interval A ∈
I(R) dan dilambangkan dengan A ≈ [nn×max A , A ]. Akibat isomorfisma di atas, maka
berlaku α ⊗ A ≈ [ α ⊗ A , α ⊗ A ], A ⊕ B ≈ [ A ⊕ B , A ⊕ B ] dan A ⊗ B ≈
]BA,BA[ ⊗⊗ .
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
259
M – 1 : Sistem Persamaan Linear...... M. Andy Rudhito, Sri Wahyuni, Ari S, F. Susilo, S.J.
Didefinisikan I(R) nmax := {x = [x1, x2, ... , xn ]T| xi ∈ I(R)max, i = 1, 2, ... , n }.
Himpunan I(R) dapat dipandang sebagai I(R) . Unsur-unsur dalam I(R)
disebut vektor interval atas I(R)
nmax
1max×n n
max
max. Vektor interval x bersesuaian dengan interval vektor [ x , x ], yaitu x ≈ [ x , x ].
4. Sistem Persamaan Linear Max-Plus Interval A⊗ x = b Bagian ini merupakan hasil utama makalah ini, yaitu penyelesaian sistem persamaan linear max-plus interval yang akan menjadi dasar pembahasan penyelesaian sistem persamaan linear max-plus bilangan kabur melalui Teorema Dekomposisi. Definisi 1
Diberikan A ∈ I(R) dan b ∈ I(R) . Suatu vektor interval xnn×max
nmax
* ∈ I(R) disebut
penyelesaian interval sistem interval A
nmax
⊗ x = b jika berlaku A⊗ x* = b. Definisi 2
Diberikan A ∈ I(R) dan b ∈ I(R) . Suatu vektor interval xnn×max
nmax ′ ∈ I(R) disebut
subpenyelesaian interval sistem A
nmax
⊗ x = b jika berlaku A ⊗ x′ Imp b.
Definisi 3
Diberikan A ∈ I(R) dan b ∈ I(R) . Suatu vektor interval x ∈ I(R) disebut
subpenyelesaian terbesar interval sistem interval A
nn×max
nmax ˆ n
max
⊗ x = b jika x′ Imp x̂ untuk setiap
subpenyelesaian interval dari sistem Ax′ ⊗ x = b. Teorema berikut memberikan eksistensi subpenyelesaian terbesar interval sistem
interval A⊗ x = b. Teorema 1
Diberikan A ∈ I(R) dengan unsur-unsur setiap kolomnya tidak semuanya sama
dengan ε dan b ∈ I(R) , di mana A ≈ [
nn×max
nmax A , A ] dan b ≈ [ b , b ]. Subpenyelesaian
terbesar A ⊗ x = b ada dan diberikan oleh vektor interval x ≈ [− (ˆ TA ⊗ (−b )), −
(T
A ⊗ (−b )) ]. Bukti:
Menurut hasil pada bagian 2, ∀ A ∈ [ A , A ] dan ∀ b ∈ [ b , b ], subpenyelesaian
terbesar sistem A ⊗ x = b ada dan diberikan oleh = −(Ax̂ T ⊗ (− b)). Khususnya untuk
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
260
M – 1 : Sistem Persamaan Linear...... M. Andy Rudhito, Sri Wahyuni, Ari S, F. Susilo, S.J.
sistem A ⊗ x = b subpenyelesaian terbesarnya adalah vektor x̂ = −( TA ⊗ (− b )),
sedangkan subpenyelesaian terbesar sistem A ⊗ x = b adalah vektor x̂ = −(T
A ⊗
(−b )) . Karena operasi ⊕ dan ⊗ pada matriks konsisten terhadap urutan “ mp ”, maka T
A ⊗ (−b ) mp AT ⊗ (−b) mpTA ⊗ (−b ) , sehingga diperoleh −( TA ⊗ (−b )) mp −(AT ⊗
(− b)) mp −( TA ⊗ (−b )). Jadi terbukti [− ( TA ⊗ (−b )), −(T
A ⊗ (− b ))] merupakan
suatu interval matriks. Jadi terbukti vektor interval x ≈ [−(ˆ TA ⊗ (−b )), −(T
A ⊗
(−b )) ] = [ x̂ , x̂ ] merupakan subpenyelesaian terbesar sistem A ⊗ x = b. ■
Contoh 1
Diberikan sistem A ⊗ x = b, dengan A = dan b , maka ⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢
⎣
⎡−−
−−
]10,5[]0,0[],[]2,3[
]1,2[]3,1[εε
⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢
⎣
⎡
]10,5[]5,2[
10,6[
A = ⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢
⎣
⎡−
−
503
21ε A =
⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢
⎣
⎡−
−
1002
13ε , b = dan
⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢
⎣
⎡
526
b = . Dapat ditentukan bahwa ⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢
⎣
⎡
105
10x̂ =
dan ⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡05
x̂ = , sehingga x ≈ , . Jadi x = . Perhatikan bahwa x
merupakan penyelesaian interval sistem A
⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡07
ˆ ⎢⎣
⎡⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡05
⎥⎦
⎤⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡07
ˆ ⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡]0,0[]7,5[
ˆ
⊗ x = b, karena berlaku:
⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢
⎣
⎡−−
−−
]10,5[]0,0[],[]2,3[
]1,2[]3,1[εε ⊗ ⎥
⎦
⎤⎢⎣
⎡]0,0[]7,5[
= . ⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢
⎣
⎡
]10,5[]5,2[
10,6[
Contoh 2
Diberikan sistem A ⊗ x = b, dengan A = dan b = , maka ⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡]6,5[]5,4[]4,3[]3,2[
⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡]10,7[
7,6[x̂ =
dan ⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡23
x̂ = , sehingga x = . Perhatikan bahwa x ini bukan penyelesaian
interval sistem tersebut, karena
⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡34
ˆ ⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡]3,2[]4,3[
ˆ
⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡]6,5[]5,4[]4,3[]3,2[
⊗ ⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡]3,2[]4,3[
= . ⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡]9,7[]7,5[
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
261
M – 1 : Sistem Persamaan Linear...... M. Andy Rudhito, Sri Wahyuni, Ari S, F. Susilo, S.J.
5. Kesimpulan dan Permasalahan Lebih Lanjut
Sistem persamaan linear max-plus interval dengan unsur-unsur setiap kolomnya
tidak semuanya sama dengan ε selalu mempunyai subpenyelesaian terbesar. Vektor in-
terval subpenyelesaian terbesar tersebut bersesuaian dengan vektor interval di mana ba-
tas bawah dan atasnya berturut-turut adalah vektor subpenyelesaian terbesar sistem den-
gan matriks koefisiennya adalah matriks batas bawah dan matriks batas atas dari matriks
interval koefisiennya. Jika subpenyelesaian terbesar interval tersebut memenuhi sistem
interval, maka subpenyelesaian terbesar tersebut merupakan penyelesaian sistem terse-
but.
Permasalahan selanjutnya yang dapat dibahas adalah bagaimana menggunakan
hasil-hasil di atas untuk menyelesaikan sistem persamaan linear max-plus bilangan ka-
bur melalui Teorema Dekomposisi, di mana potongan-potongan-α sistem merupakan
sistem persamaan linear max-plus interval.
Kepustakaan
Bacelli, F., et al. 2001. Synchronization and Linearity. New York: John Wiley & Sons. Boom, T.J.J., et al. 2003. , Identication of stochastic max-plus-linear systems. Proceed-
ings of the 2003 European Control Conference (ECC'03), Cambridge, UK, 6 pp., Sept. 2003. Paper 104.
B. Heidergott, B., et. al. (2005). Max Plus at Work, Princeton: Princeton University
Press. Chanas, S., Zielinski, P. 2001. Critical path analysis in the network with fuzzy activity
times. Fuzzy Sets and Systems. 122 (2001) 195–204. Lüthi, J., Haring, G. 1997. Fuzzy Queueing Network Models of Computing Systems.
Proceedings of the 13th UK Performance Engineering Workshop, Ilkley, UK, Edinburgh University Press, July 1997.
Rudhito, Andy. 2003. Sistem Linear Max-Plus Waktu-Invariant. Tesis: Program
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Rudhito, Andy, dkk. 2008a. “Aljabar Max-Plus Interval”. Prosiding Seminar Nasional
Matematika S3 UGM. Yogyakarta. 31 Mei 2008. (akan terbit). Rudhito, Andy, dkk. 2008b. “Matriks atas Aljabar Max-Plus Interval”. Prosiding
Seminar Nasional Matematika S3 UGM. Yogyakarta. 31 Mei 2008. (akan terbit).
Susilo, F. 2006. Himpunan dan Logika Kabur serta Aplikasinya. Edisi kedua.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
262
M – 2 : Sistem Persamaan Linear Iteratif ..... M. Andy R, Sri Wahyuni, Ari Suparwanto, F. Susilo, S.J.
Sistem Persamaan Linear Iteratif Max-Plus Interval
M. Andy Rudhito Mahasiswa S3 Matematika FMIPA UGM,
Staff Pengajar Jurusan PMIPA FKIP USD Paingan Maguwoharjo Yogyakarta [email protected]
Sri Wahyuni
Jurusan Matematika FMIPA UGM. Sekip Utara, Yogyakarta [email protected] , [email protected]
Ari Suparwanto
Jurusan Matematika FMIPA UGM. Sekip Utara, Yogyakarta [email protected]
F. Susilo, S.J. Jurusan Matematika FST USD. Paingan Maguwoharjo Yogyakarta
Abstrak
Makalah ini membahas penyelesaian sistem persamaan linear iteratif max-plus interval yang akan menjadi dasar pembahasan penyelesaian sistem persamaan linear max-plus bilangan kabur melalui Teorema Dekomposisi. Dapat ditunjukkan bahwa setiap sistem persamaan linear iteratif max-plus interval, dengan matriks interval persegi yang semidefinit, selalu mempunyai penyelesaian interval maksmum. Batas bawah dan batas atas penyelesaian interval maksmum tersebut berturut-turut adalah penyelesaian sistem persamaan linear iteratif max-plus untuk matriks batas bawah dan penyelesaian sistem persamaan linear iteratif max-plus untuk matriks batas atas dari matriks intervalnya. Jika matriks interval persegi dalam sistem definit, maka penyelesaian tersebut tunggal. Kata-kata kunci: aljabar max-plus, interval, sistem persamaan linear iteratif.
1. Pendahuluan
Aljabar max-plus (himpunan R ∪{−∞}, dengan R adalah himpunan semua bi-
langan real, yang dilengkapi dengan operasi maximum dan penjumlahan) telah diguna-
kan untuk memodelkan dan menganalisis jaringan, seperti penjadwalan proyek , sistem
produksi, jaringan antrian, dan sebagainya. Pemodelan dan analisa suatu jaringan den-
gan pendekatan ini dapat memberikan hasil analitis dan lebih mudah pada kompu-
tasinya, seperti dalam Bacelli, et al. (2001), Rudhito, A. (2004), Krivulin, N.K. (2001).
Pemodelan tersebut kebanyakan masih berupa model deterministik, di mana waktu
aktifitas pada jaringan berupa bilangan real. Pada kenyataannya, oleh karena beberapa
faktor, misalkan operator mesin, kadang waktu aktifitas pada jaringan tidak pasti.
Dalam masalah ini, aljabar max-plus telah dikembangkan untuk model stokastik, di
mana waktu aktifitasnya berupa peubah acak, seperti dalam Bacelli, et al. (2001) dan B.
Heidergott, B., et. al. (2005). Peubah acak dalam model stokastik diasumsikan
mengikuti suatu distribusi peluang tertentu. Distribusi ini biasanya disusun berdasarkan
data-data yang diperoleh setelah jaringan dioperasikan untuk jangka waktu tertentu.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
263
M – 2 : Sistem Persamaan Linear Iteratif ..... M. Andy R, Sri Wahyuni, Ari Suparwanto, F. Susilo, S.J.
Dalam masalah pemodelan dan analisa suatu jaringan di mana waktu
aktifitasnya belum diketahui, misalkan karena masih pada tahap perancangan, data-data
mengenai waktu aktifitas belum diketahui secara pasti maupun distribusinya. Waktu
aktifitas ini dapat diperkirakan berdasarkan pengalaman maupun pendapat dari para ahli
maupun operator jaringan tersebut. Untuk itu waktu aktifitas jaringan dimodelkan dalam
suatu bilangan kabur (fuzzy number). Akhir-akhir ini telah berkembang pemodelan
jaringan yang melibatkan bilangan kabur. Untuk masalah penjadwalan yang melibatkan
bilangan kabur dapat dilihat pada Chanas, S., Zielinski, P. (2001). Sedangkan untuk
masalah model jaringan antrian yang melibatkan bilangan kabur dapat dilihat pada
Lüthi, J., Haring, G. (1997).
Pemodelan dan analisa pada masalah-masalah jaringan yang melibatkan bilan-
gan kabur, sejauh penulis ketahui, belum ada yang menggunakan pendekatan aljabar
max-plus. Dalam pemodelan dinamika suatu jaringan dengan pendekatan aljabar max-
plus, graf untuk jaringan tersebut dinyatakan dengan menggunakan matriks, dengan un-
sur-unsurnya menyatakan waktu aktifitas antar titik pada jaringan tersebut. Selanjutnya
pemodelan terkait dengan sistem persamaan linear iteratif max-plus x = A ⊗ x ⊕ b.
Pemodelan waktu aktifitas jaringan dengan menggunakan bilangan kabur dengan
pendekatan aljabar max-plus akan terkait dengan sistem persamaan linear iteratif max-
plus bilangan kabur.
Operasi-operasi pada bilangan kabur dapat dilakukan menggunakan Teorema
Dekomposisi, yaitu melalui potongan-potongan-α-nya yang berupa interval-interval
(Susilo, F. 2006). Untuk menyelesaikan sistem persamaan linear iteratif max-plus bilan-
gan kabur melalui Teorema Dekomposisi pasti memerlukan hasil-hasil penyelesaian
sistem persamaan linear iteratif max-plus interval. Untuk itu dalam makalah ini akan
dibahas tentang suatu vektor interval yang merupakan penyelesaian sistem persamaan
linear iteratif max-plus interval.
2. Aljabar Max-Plus dan Sistem Persamaan Linear Iteratif Max-Plus
Dalam bagian ini dibahas konsep dasar aljabar max-plus dan kaitannya dengan
teori graf, serta eksistensi dan ketunggalan penyelesaian sistem x = A ⊗ x ⊕ b .
Pembahasan selengkapnya dapat dilihat pada Baccelli et.al (1992), Rudhito A (2004)
dan Rudhito A (2007).
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
264
M – 2 : Sistem Persamaan Linear Iteratif ..... M. Andy R, Sri Wahyuni, Ari Suparwanto, F. Susilo, S.J.
Diberikan Rε := R∪{ε } dengan R adalah himpunan semua bilangan real dan ε : =
−∞. Pada R εdidefinisikan operasi berikut: ∀a,b ∈ R ε,
a ⊕ b := max(a, b) dan a ⊗ b : = a + b.
Dapat ditunjukkan bahwa (Rε, ⊕, ⊗) merupakan semiring komutatif idempoten dengan
elemen netral ε = −∞ dan elemen satuan e = 0. Lebih lanjut (Rε, ⊕, ⊗) merupakan
semifield, yaitu bahwa (Rε, ⊕, ⊗) merupakan semiring komutatif di mana untuk setiap a
∈ R terdapat −a sehingga berlaku a ⊗ (−a) = 0. Kemudian (R ε, ⊕, ⊗) disebut
dengan aljabar max-plus, yang selanjutnya cukup dituliskan dengan R max.
Aljabar max-pus Rmax tidak memuat pembagi nol yaitu ∀ x, y ∈ Rε berlaku: jika x
⊗ y = ε maka x = ε atau y = ε. Relasi “ mp ” yang didefinisikan pada Rmax dengan x mp
y ⇔ x ⊕ y = y merupakan urutan parsial pada Rmax. Lebih lanjut relasi ini merupakan
urutan total pada Rmax. Dalam Rmax, operasi ⊕ dan ⊗ konsisten terhadap urutan mp ,
yaitu ∀a, b, c ∈ Rmax , jika a mp b , maka a ⊕ c mp b ⊕ c, dan a ⊗ c mp b ⊗ c. Pangkat
k dari elemen x ∈ R dilambangkan dengan didefinisikan sebagai berikut: := 0
dan := x ⊗ , dan didefinisikan pula : = 0 dan : = ε, untuk k = 1, 2, ... .
kx⊗ 0⊗xkx⊗ 1−⊗kx 0⊗ε
kε⊗
Operasi ⊕ dan ⊗ pada Rmax dapat diperluas untuk operasi-operasi matriks dalam
: = {A = (Anm×maxR ij)⏐Aij ∈ Rmax, untuk i = 1, 2, ..., m dan j = 1, 2, ..., n}. Untuk α ∈ Rmax,
dan A, B ∈ didefinisikan α ⊗ A, dengan (α ⊗ A)nm×maxR ij = α ⊗ Aij dan A ⊕ B, dengan (A
⊕ B)ij = Aij ⊕ BBij untuk i = 1, 2, ..., m dan j = 1, 2, ..., n. Untuk A ∈ , B ∈
didefinisikan A ⊗ B, dengan (A ⊗ B)
pm×maxR np×
maxR
ij = . Didefinisikan matriks E ∈ ,
(E )
kjik
p
kBA ⊗⊕
=1
nn×maxR
ij := dan matriks ε ∈ , (ε )⎩⎨⎧
≠=
jiεji
jika, jika,0 nm×
maxR ij := ε untuk setiap i dan j . Dapat
ditunjukkan bahwa ( , ⊕, ⊗) merupakan semiring idempoten dengan elemen netral
matriks ε dan elemen satuan matriks E. Sedangkan merupakan semimodul atas
R
nn×maxR
nm×maxR
max. Pangkat k dari matriks A ∈ dalam aljabar max-plus didefinisikan dengan:
= E
nxnmaxR
0⊗A n dan = A ⊗ untuk k = 1, 2, ... . Relasi “kA⊗ 1−⊗kA mp ” yang didefinisikan
pada dengan A nm×max mp B ⇔ A ⊕ B = B merupakan urutan parsial pada . nm×
max
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
265
M – 2 : Sistem Persamaan Linear Iteratif ..... M. Andy R, Sri Wahyuni, Ari Suparwanto, F. Susilo, S.J.
Perhatikan bahwa A mp B ⇔ A ⊕ B = B ⇔ Aij ⊕ BijB = BBij ⇔ Aij mp BijB untuk
setiap i dan j. Dalam ( , ⊕, ⊗), operasi ⊕ dan ⊗ konsisten terhadap urutan nm×maxR mp ,
yaitu ∀A, B, C ∈ , jika A nn×maxR mp B , maka A ⊕ C mp B ⊕ C, dan A ⊗ C mp B
⊗ C .
Suatu graf berarah G didefinisikan sebagai suatu pasangan G = (V, A) dengan
V adalah suatu himpunan berhingga tak kosong yang anggotanya disebut titik dan A
adalah suatu himpunan pasangan terurut titik-titik. Anggota A disebut busur. Suatu
lintasan dalam graf berarah G adalah suatu barisan berhingga busur (i1, i2), (i2, i3), ... ,
(il−1, il) dengan (ik, ik+1) ∈ A untuk suatu l ∈ N (= himpunan semua bilangan asli), dan k
= 1, 2, ... , l − 1. Suatu lintasan disebut sirkuit jika titik awal dan titik akhirnya sama.
Diberikan graf berarah G = (V, A) dengan V = {1, 2, ... , p}. Graf berarah G
dikatakan berbobot jika setiap busur (j, i) ∈ A dikawankan dengan suatu bilangan real
Aij. Bilangan real Aij disebut bobot busur (j, i), dilambangkan dengan w(j, i). Graf
preseden dari matriks A ∈ adalah graf berarah berbobot G(A) = (V, A) dengan
V = {1, 2, ... , n}, A = {(j, i)|w(i, j) = A
nn×maxR
ij ≠ ε }.
Suatu matriks A ∈ dikatakan semi-definit jika semua sirkuit dalam G(A)
mempunyai bobot takpositif dan dikatakan definit jika semua sirkuit dalam G(A)
mempunyai bobot negatif. Diberikan A ∈ . Jika A semi-definit, maka ∀p ≥ n,
nn×maxR
nn×maxR
pA⊗mp E ⊕ A ⊕ ... ⊕ . Diberikan matriks semi-definit A ∈ .
Didefinisikan A
1−⊗nA nn×maxR
* : = E ⊕ A ⊕ ... ⊕ ⊕ ⊕ ... . nA⊗ 1+⊗nA
Didefinisikan := { x = [ xnmaxR 1, x2, ... , xn]T | xi ∈ Rmax, i = 1, 2, ... , n}.
Perhatikan bahwa dapat dipandang sebagai . Unsur-unsur dalam disebur
vektor atas R
nmaxR 1×n
maxR nmaxR
max. Diberikan A ∈ dan b ∈ . Jika A semi-definit, maka xnn×maxR n
maxR * = A*
⊗ b merupakan suatu penyelesaian sistem x = A ⊗ x ⊕ b. Lebih lanjut jika A definit,
maka sistem tersebut mempunyai penyelesaian tunggal.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
266
M – 2 : Sistem Persamaan Linear Iteratif ..... M. Andy R, Sri Wahyuni, Ari Suparwanto, F. Susilo, S.J.
3. Aljabar Max-Plus Interval dan Matriks atas Aljabar Max-Plus Interval
Bagian ini membahas konsep dasar dan teknik pengopersian matriks atas aljabar
max-plus interval. Pembahasan lebih lengkap dapat dilihat pada Rudhito, A. dkk
(2008a, 2008b).
Interval (tertutup) x dalam Rmax adalah suatu himpunan bagian dari Rmax yang
berbentuk x = [ x , x ] = {x ∈ Rmax | x mp x mp x }. Interval x dalam Rmax di atas
disebut interval max-plus, yang selanjutnya akan cukup disebut interval. Suatu bilangan
x ∈ Rmax dapat dinyatakan sebagai interval [x, x ]. Didefinisikan I(R)ε := { x = [ x , x ] |
x , x ∈ R , ε mp x mp x } ∪ { ε }, dengan ε := [ε, ε ].
Pada I(R)ε didefinisikan operasi ⊕ dan ⊗ dengan: x ⊕ y = [ x ⊕ y , x ⊕ y ] dan x ⊗
y = [ x ⊗ y , x ⊗ y ] , ∀ x, y ∈ I(Rε). Dapat ditunjukkan bahwa (I(R)ε, ⊕ , ⊗ )
merupakan semiring idempoten komutatif dengan elemen netral ε = [ε, ε] dan elemen
satuan 0 = [0, 0]. Semiring idempoten komutatif (I(R)ε , ⊕ , ⊗ ) selanjutnya disebut
dengan aljabar max-plus interval yang dilambangkan dengan I(R)max.
Didefinisikan I(R) := {A = (Anm ×max ij)⏐Aij ∈ I(Rmax), untuk i = 1, 2, ..., m dan j =
1, 2, ..., n}. Matriks anggota I(R) disebut matriks interval max-plus. Selanjutnya
matriks interval max-plus cukup disebut dengan matriks interval. Untuk α ∈ I(R)
nm ×max
max,
A, B ∈ I(R) , didefinisikan α nm×max ⊗ A, dengan (α⊗ A)ij = α⊗ Aij dan A⊕ B, dengan
(A ⊕ B)ij = Aij ⊕ Bij untuk i = 1, 2, ..., m dan j = 1, 2, ..., n . Untuk A ∈ I(R) , B
∈ I(R) , didefinisikan A
pm×max
np×max ⊗ B dengan (A ⊗ B)ij = kjik
p
k
BA1
⊗⊕=
untuk i = 1, 2, ...,
m dan j = 1, 2, ..., n. (I(R) , nn×max ⊕ , ⊗ ) merupakan semiring idempoten dengan
elemen netral matriks ε dengan (ε )ij := ε untuk setiap i , j dan elemen satuan adalah
matriks E, dengan (E )ij : = . Sedangkan I(R) merupakan semimodul
atas I(�)
⎩⎨⎧
≠=
jiji
jika,ε jika,0 nm ×
max
max,
Untuk A ∈ I(R) didefinisikan matriks nm ×max A = ( A ij) ∈ dan nm ×
maxR A = ( A ij) ∈
yang berturut-turut disebut matriks batas bawah dan matriks batas atas dari
matriks interval A. Diberikan matriks interval A ∈ I(R) , dengan
nm ×maxR
nm×max A dan A berturut-
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
267
M – 2 : Sistem Persamaan Linear Iteratif ..... M. Andy R, Sri Wahyuni, Ari Suparwanto, F. Susilo, S.J.
turut adalah matriks batas bawah dan matriks batas atasnya. Didefinisikan interval
matriks dari A, yaitu [ A , A ] = { A ∈ ⎜nm×maxR A mp A mp A } dan I( )nm×
maxR * = {
[ A , A ] | A ∈ I(R) }. Untuk α ∈ I(�)nm×max max, [ A , A ], [ B , B ]∈ I( )nm×
max*, didefinisikan
α ⊗ [ A , A ] = [α⊗A , α ⊗A ] dan [ A , A ]⊕ [ B , B ] = [ A ⊕B , A ⊕ B ]. Untuk
[ A , A ]∈ I( )pm×max
*, [ B , B ] ∈ I( )np×max
*, didefinisikan [ A , A ] ⊗ [ B , B ]= [ A ⊗B ,
A ⊗ B ]. (I( )nxnmaxR *, ⊕ , ⊗ ) merupakan semiring idempoten dengan elemen netral
adalah interval matriks [ε, ε] dan elemen satuan adalah interval matriks [E, E].
Sedangkan I( )nm×maxR * merupakan semimodul atas I(R)max.
Semiring (I(R) , nn×max ⊕ , ⊗ ) isomorfis dengan semiring (I( )nxn
maxR *, ⊕ , ⊗ ),
dengan pemetaan f : I(R) → I( )nn×max
nxnmaxR *, f (A) = [ A , A ], ∀A ∈ I(�) . Sedangkan
semimodul I(R) atas I(R)
nn×max
nm×max max isomorfis dengan semimodul I( )nm×
maxR * atas I(R)max
Dengan demikan untuk setiap matriks interval A selalu dapat ditentukan interval
matriks [ A , A ] dan sebaliknya untuk setiap interval matriks [ A , A ] ∈ I( )nxnmaxR *, maka
A , A∈ , sehingga dapat ditentukan matriks interval A ∈ I(R) , di mana [nn×max
nn×max A ij ,
A ij ] ∈ I(R)max , ∀i dan j. Dengan demikian matriks interval A ∈ I(�) dapat
dipandang sebagai interval matriks [
nm×max
A , A ] ∈ I( )nm×maxR *. Interval matriks [ A , A ] ∈
I( )nxnmaxR * disebut interval matriks yang bersesuaian dengan matriks interval A ∈
I(R) dan dilambangkan dengan A ≈ [nn×max A , A ]. Akibat isomorfisma di atas, maka
berlaku α ⊗ A ≈ [ α ⊗ A , α ⊗ A ], A ⊕ B ≈ [ A ⊕ B , A ⊕ B ] dan A ⊗ B ≈
]BA,BA[ ⊗⊗ .
Didefinisikan I(R) nmax := {x = [x1, x2, ... , xn ]T| xi ∈ I(R)max, i = 1, 2, ... , n }.
Himpunan I(R) dapat dipandang sebagai I(R) . Unsur-unsur dalam I(R)
disebut vektor interval atas I(R)
nmax
1max×n n
max
max. Vektor interval x bersesuaian dengan interval
vektor [ x , x ], yaitu x ≈ [ x , x ].
Definisi 1
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
268
M – 2 : Sistem Persamaan Linear Iteratif ..... M. Andy R, Sri Wahyuni, Ari Suparwanto, F. Susilo, S.J.
Suatu matriks A ∈ I(R) dikatakan semi-definit jika A ∈ semi-definit ∀A ∈
[
nn×max
nn×maxR
A , A ] dan dikatakan definit jika A ∈ definit ∀ A ∈ [nn×maxR A , A ].
Berikut diberikan Teorema mengenai syarat perlu dan cukup suatu matriks A ∈
I(R) semi-definit. nn×max
Teorema 1.
Diberikan A ∈ I(R) . Matriks interval A semi-definit jika dan hanya jika nn×max A semi-
definit.
Bukti:
(⇒): jelas menurut Definisi 1.
(⇐): Andaikan A ∈ semi-definit, maka semua sirkuit dalam G(nn ×maxR A ) mempunyai
bobot takpositif. Ambil sembarang matriks A ∈ [ A , A ], maka A mp A mp A ,
sehingga berlaku ( A )ij mp (A)ij mp ( A )ij untuk setiap i dan j. Karena semua sirkuit
dalam G( A ) mempunyai bobot takpositif, maka semua sirkuit dalam G(A) juga
mempunyai bobot takpositif, yang berarti A semi-definit. ■
4. Sistem Persamaan Linear Iteratif Max-Plus Interval
Bagian ini membahas penyelesaian sistem persamaan linear iteratif max-plus
interval yang akan menjadi dasar pembahasan penyelesaian sistem persamaan linear
iteratif max-plus bilangan kabur melalui Teorema Dekomposisi.
Definisi 2.
Diberikan A ∈ I(R) dan b ∈ I(R) . Suatu vektor interval xnn×max
nmax
* ∈ I(R) disebut
penyelesaian interval sistem interval x = A
nmax
⊗ x ⊕ b jika x* memenuhi sistem interval
tersebut.
Berikut diberikan Teorema mengenai eksistensi dan ketunggalan penyelesaian
interval sistem interval x = A⊗ x ⊕ b.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
269
M – 2 : Sistem Persamaan Linear Iteratif ..... M. Andy R, Sri Wahyuni, Ari Suparwanto, F. Susilo, S.J.
Teorema 2.
Diberikan A ∈ I(R) dan b ∈ I(R) . Jika A semi-definit, maka vektor interval xnn×max
nmax
* ≈
[ b⊗*A , b⊗*A ], merupakan penyelesaian interval sistem x = A ⊗ x ⊕ b. Lebih
lanjut jika A definit, maka penyelesaian interval tersebut tunggal.
Bukti:
Andaikan A semi-definit, maka A ∈ semi-definit ∀A ∈ [nn×maxR A , A ], sehingga menurut
hasil pada bagian 2, x* = A* ⊗ b merupakan suatu penyelesaian sistem x = A ⊗ x ⊕ b,
∀ b ∈ [b , b ]. Karena operasi ⊕ dan ⊗ pada matriks konsisten terhadap urutan “ mp ”,
maka b⊗*A mp A* ⊗ b mp b⊗*A , ∀A ∈ [ A , A ] dan ∀ b ∈ [ b , b ], sehingga
[ b⊗*A , b⊗*A ] merupakan interval vektor di mana A* ⊗ b ≈ [ b⊗*A , b⊗*A ]. Jadi
vektor interval x* ≈ [ b⊗*A , b⊗*A ] merupakan penyelesaian interval untuk sistem x
= A⊗ x ⊕ b.
Lebih lanjut jika A definit, maka A ∈ definit ∀ A ∈ [nn×maxR A , A ], sehingga menurut
hasil pada bagian 2, x* = A* ⊗ b merupakan suatu penyelesaian sistem x = A ⊗ x ⊕ b,
∀ b ∈ [b , b ]. Dengan cara yang analog dengan pembuktian di atas dapat disimpulkan
bahwa penyelesaian interval sistem interval tersebut tunggal. ■
Contoh 1
Diberikan sistem x = A⊗ x ⊕ b, dengan A = , dan b =
, maka
⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢
⎣
⎡
−−−−−−
−−−−
]1,3[]0,0[],[],[]2,2[]1,1[]1,3[]1,1[]3,4[
εεεε
⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢
⎣
⎡ −
]2,1[]0,0[]1,1[
A = , ⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢
⎣
⎡
−−−
−−−
3021
314
εε A = ,
⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢
⎣
⎡
−−−
−
1021
113
εε b = ,
⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢
⎣
⎡−
101
b = . Dapat ⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢
⎣
⎡
201
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
270
M – 2 : Sistem Persamaan Linear Iteratif ..... M. Andy R, Sri Wahyuni, Ari Suparwanto, F. Susilo, S.J.
diperoleh b⊗*A = dan ⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢
⎣
⎡−−
132
b⊗*A = , sehingga x⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢
⎣
⎡
223
* ≈ . Jadi
penyelesaian interval sistem tersebut adalah vektor interval x
⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢
⎣
⎡
⎢⎢⎢
⎣
⎡
⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢
⎣
⎡−−
223
,132
* = . ⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢
⎣
⎡−−
]2,1[]2,3[]3,2[
4. Kesimpulan dan Permasalahan Lebih Lanjut
Dapat ditunjukkan bahwa setiap sistem persamaan linear iteratif max-plus interval,
dengan matriks interval persegi yang semidefinit, selalu mempunyai penyelesaian inter-
val maksmum. Batas bawah dan batas atas penyelesaian interval maksmum tersebut ber-
turut-turut adalah penyelesaian sistem persamaan linear iteratif max-plus untuk matriks
batas bawah dan penyelesaian sistem persamaan linear iteratif max-plus untuk matriks
batas atas dari matriks intervalnya. Jika matriks interval persegi dalam sistem definit,
maka penyelesaian tersebut tunggal.
Permasalahan selanjutnya yang dapat dibahas adalah bagaimana menggunakan
hasil-hasil di atas untuk menyelesaikan sistem persamaan linear iteratif max-plus
bilangan kabur melalui Teorema Dekomposisi, di mana potongan-potongan-α sistem
merupakan sistem persamaan linear iteratif max-plus interval.
Daftar Pustaka Bacelli, F., et al. 2001. Synchronization and Linearity. New York: John Wiley & Sons. Boom, T.J.J., et al. 2003. , Identification of stochastic max-plus-linear systems. Pro-
ceedings of the 2003 European Control Conference (ECC'03), Cambridge, UK, 6 pp., Sept. 2003. Paper 104.
B. Heidergott, B., et. al. (2005). Max Plus at Work. Princeton: Princeton University
Press. Chanas, S., Zielinski, P. 2001. Critical path analysis in the network with fuzzy activity
times. Fuzzy Sets and Systems. 122 (2001) 195–204. Lüthi, J., Haring, G. 1997. Fuzzy Queueing Network Models of Computing Systems.
Proceedings of the 13th UK Performance Engineering Workshop, Ilkley, UK, Edinburgh University Press, July 1997.
Rudhito, Andy. 2003. Sistem Linear Max-Plus Waktu-Invariant. Tesis: Program
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
271
M – 2 : Sistem Persamaan Linear Iteratif ..... M. Andy R, Sri Wahyuni, Ari Suparwanto, F. Susilo, S.J.
Rudhito, Andy, dkk. 2008a. “Aljabar Max-Plus Interval”. Prosiding Seminar Nasional Matematika S3 UGM. Yogyakarta. 31 Mei 2008. (akan terbit).
Rudhito, Andy, dkk. 2008b. “Matriks atas Aljabar Max-Plus Interval”. Prosiding
Seminar Nasional Matematika S3 UGM. Yogyakarta. 31 Mei 2008. (akan terbit).
Susilo, F. 2006. Himpunan dan Logika Kabur serta Aplikasinya edisi kedua. Graha
Ilmu, Yogyakarta.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
272
M – 3 : Teorema Pemetaan Kontraksi...... . Herry Pribawanto Suryawan
Teorema Pemetaan Kontraksi dan Penerapannya Pada Persamaan Integral Fredholm
Herry Pribawanto Suryawan
Jurusan Matematika Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta E-mail: [email protected]
Abstrak
Di dalam makalah ini akan dibicarakan Teorema Pemetaan Kontraksi yang menjamin eksistensi dan ketunggalan penyelesaian suatu persamaan operator di ruang Banach. Selanjutnya teorema ini akan digunakan untuk mempelajari persamaan integral Fredholm jenis kedua baik yang linear maupun tak linear. Khususnya akan diturunkan suatu metode iteratif untuk menentukan penyelesaian dari persamaan integral tersebut.
Kata kunci: titik tetap, teorema pemetaan kontraksi, persamaan integral Fredholm
Pendahuluan
Persamaan di dalam matematika seringkali dapat dituliskan dalam suatu
persamaan operator berbentuk
xTx = …..(1)
dengan suatu operator di ruang Banach dan T x adalah suatu anggota ruang Banach
yang tak diketahui. Penyelesaian dari (1) disebut titik tetap operator T . Jadi dapat
dikatakan bahwa titik tetap merupakan anggota dari ruang tersebut yang tidak berubah
terhadap aksi dari T . Banyak permasalahan di dalam matematika terkait dengan
eksistensi dan penentuan titik tetap. Sebagai contoh diberikan yaitu ruang fungsi
kontinu bernilai kompleks yang terdefinisi pada interval dan didefinisikan operator
dengan
]1,0[C
]1,0[
]1,0[]1,0[: CCT →
.)()0())(( dttffxTfx
o∫+=
Maka untuk setiap bilangan kompleks c , fungsi ( ) xf x ce= merupakan titik tetap dari
T .
Pada makalah ini akan dibicarakan salah satu teorema yang menjamin eksistensi
titik tetap dari operator di ruang Banach, yang dikenal sebagai Teorema Pemetaan
Kontraksi atau Teorema Titik Tetap Banach. Teorema ini mempunyai banyak sekali
penerapan, khususnya dalam hal menjamin eksistensi penyelesaian suatu persamaan
dalam matematika. Dalam makalah ini dibahas penerapan pemetaan kontraksi untuk
mempelajari penyelesaian persamaan integral Fredholm, yaitu persamaan berbentuk
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
273
M – 3 : Teorema Pemetaan Kontraksi...... . Herry Pribawanto Suryawan
∫=b
a
dttftxKx )(),()(φ
dan
)()(),()( xdttftxKxfb
a
φ+= ∫
dengan fungsi φ dan fungsi kernel K diberikan, sementara adalah fungsi yang tidak
diketahui. Persamaan integral Fredholm seringkali muncul dalam masalah fisis dan
analisis Fourier.
f
Teorema Pemetaan Kontraksi dan Persamaan Integral Fredholm
Pada bagian ini pertama dibicarakan pengertian pemetaan kontraksi. Pemetaan
:f E E→ dimana E suatu subhimpunan dari ruang bernorma disebut pemetaan
kontraksi jika terdapat bilangan positif 1α < sehingga berlaku
( ) ( )f x f y x yα− ≤ − untuk setiap ,x y E∈ . Cukup jelas bahwa setiap pemetaan
kontraksi bersifat kontinu. Contoh pemetaan kontraksi adalah pemetaan :f X X→
dengan 1( )2xf x
x= + dan { }: 1X x R x= ∈ ≥ .
Sekarang diberikan teorema pemetaan kontraksi dan buktinya.
Teorema 1. Jika subhimpunan tertutup dari ruang Banach F E dan :f F F→
pemetaan kontraksi, maka f mempunyai titik tetap yang tunggal, yaitu terdapat tepat
satu sehingga p F∈ ( )f p p= .
Bukti: Misalkan 0 1α< < sehingga ( ) ( )f x f y x yα− ≤ − untuk setiap ,x y F∈ .
Ambil sebarang 0x F∈ dan definisikan 1(n n )x f x −= untuk 1, 2,n = K . Pertama,
perhatikan bahwa untuk setiap bilangan asli berlaku n2
1 1 1 2n
n n n n n n 1 0x x x x x x xα α α+ − − −− ≤ − ≤ − ≤ ≤ −K x .
Jadi untuk setiap sehingga ,m n N∈ m n< berlaku
( )1 1 2 1
1 21 0
1 0 01
n m n n n n m m
n n m
m
x x x x x x x x
x x
x x
α α α
αα
− − − +
− −
− ≤ − + − + + −
≤ + + + −
−≤ →
−
K
K
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
274
M – 3 : Teorema Pemetaan Kontraksi...... . Herry Pribawanto Suryawan
untuk . m→∞
Hal ini menunjukkan bahwa ( )nx merupakan barisan Cauchy. Karena subhimpunan
tertutup dari ruang yang lengkap, maka ada
F
p F∈ sehingga nx p→ untuk n .
Selanjutnya karena
→∞
1
1
( ) ( )
( ) ( )
0
n n
n n
n n
f p p f p x x p
f p f x x p
p x x pα−
−
− ≤ − + −
= − + −
≤ − + − →
untuk , maka diperoleh bahwa n →∞ ( )f p p= . Terakhir diandaikan bahwa ( )f q q=
untuk suatu , maka q F∈
( ) ( )p q f p f q p qα− = − ≤ − .
Jadi haruslah . ■ p q=
Teorema pemetaan kontraksi tidak hanya memberikan jaminan eksistensi dan
ketunggalan, tetapi juga memberikan algoritma untuk mencari penyelesaian dari suatu
persamaan dengan prosedur iteratif.
Sifat selanjutnya merupakan perumuman dari Teorema 1, dan menjadi bagian esensial
dalam bukti eksistensi dan ketunggalan penyelesaian persamaan integral Fredholm.
Teorema 2. Diberikan E ruang Banach. Jika operator kontinu sehingga
merupakan pemetaan kontraksi untuk suatu m
:T E E→mT N∈ , maka T mempunyai titik tetap
tunggal.
Bukti : Menurut Teorema 1, mempunyai titik tetap tunggal mT 0x E∈ , yaitu
persamaan mempunyai penyelesaian tunggal. Jika mT x x= x sebarang titik di E maka
( ) 0limnm
nT x x
→∞= atau ( ) 0lim
nm
nT Tx x
→∞= . Jadi
( ) ( )( )0 0lim limn nm m
n nx T T x T T x Tx
→∞ →∞= = =
0 0 0
.
Misalkan dan , maka 0Tx x= 0Ty y= 0mT x x= dan 0
mT y y0= . Karena pemetaan
kontraksi maka
mT
0 0x y= . Jadi T mempunyai titik tetap yang tunggal. ■
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
275
M – 3 : Teorema Pemetaan Kontraksi...... . Herry Pribawanto Suryawan
Teorema 3. Jika A operator linear terbatas pada ruang Banach E dan sebarang
anggota
g
E , maka operator dengan definisi Tf Af gα= + mempunyai titik tetap
tunggal untuk α yang cukup kecil. Lebih jauh, jika adalah konstanta positif
sehingga
k
Af k f≤ untuk setiap f E∈ dan 1kα < , maka persamaan Tf
mempunyai penyelesaian tunggal.
f=
Bukti : Karena A terbatas maka ada konstanta sehinggak 1 2 1 2Af Af k f f− ≤ − untuk
setiap 1 2,f f E∈ . Jadi
1 2 1 2 1 2Tf Tf Af Af k f fα α− = − ≤ −
yang berarti T merupakan pemetaan kontraksi apabila 1kα < . Dalam hal demikian
maka menurut Teorema 1, T mempunyai titik tetap tunggal. ■
Apabila proses iteratif diterapkan pada teorema di atas, diperoleh barisan hampiran
untuk penyelesaian persamaan operator tersebut yaitu
0f sebarang anggota E
1 0 0 ,f Tf Af gα= = =
( ) 2 22 0 0 ,f T Af g A f Ag gα α α= + = +
M
+
1 1 2 20 ,n n n n
nf A f A g A g Ag gα α α α− −= + + + +K
M
+
Oleh karena itu, penyelesaian f dapat dituliskan sebagai
.....(2) 2 2 n nf g Ag A g A gα α α= + + + + +K K
Secara formal, ekspansi (2) dapat diperoleh langsung dari persamaan f Af gα− =
dengan menjabarkan ( ) 1I Aα −− menjadi deret geometri
( ) 1 2 2I A I A Aα α α−− = + + +K .....(3)
Deret (3) dikenal sebagai deret Neumann.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
276
M – 3 : Teorema Pemetaan Kontraksi...... . Herry Pribawanto Suryawan
Teorema 4. Jika A operator linear terbatas pada suatu ruang Banach E dan A λ< ,
maka ( 1)A A Iλ λ −= − merupakan operator terbatas, 10
n
nn
AAλ λ
∞
+=
= −∑
dan 1AAλ λ
≤−
.
Bukti : Karena 1Aλ
< , maka 0 0
nn
nn n
A Aλ λ
∞ ∞
= =
≤ < ∞∑ ∑ . Oleh karena itu, dengan
mengingat bahwa ruang semua operator linear terbatas dari E ke E merupakan ruang
Banach, maka ada operator linear terbatas B pada E sehingga 0
n
nn
ABλ
∞
=
=∑ .
Lebih jauh,
( ) ( )1 1
10 0 0
n n n n n
n n n nn n n
A A A A AA I B A I Iλλ λ λλ λ λ λ
∞ ∞ ∞+ +
+= = =
⎛ ⎞ ⎛ ⎞−− = − = = − = −⎜ ⎟ ⎜ ⎟
⎝ ⎠⎝ ⎠∑ ∑ ∑ λ .
Dengan cara yang sama diperoleh ( )B A I Iλ λ− = − . Dengan demikian diperoleh
( ) 11
0
n
nn
B AA A Iλ λλ λ
∞−
+=
= − = − = −∑ .
Selanjutnya,
0
1 1 11
n
nAn
AAAλ
λλ λ λ λ
∞
=
≤ = =−−∑ 1 . ■
Akibat 5. Jika A operator linear terbatas pada suatu ruang Banach dan 1Aα < ,
maka persamaan 0x x Axα= + mempunyai penyelesaian tunggal yang diberikan oleh
00
n n
n
x A xα∞
=
=∑ .
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
277
M – 3 : Teorema Pemetaan Kontraksi...... . Herry Pribawanto Suryawan
Teorema selanjutnya dikenal sebagai Alternatif Fredholm untuk operator kompak self-
adjoint. Teorema ini memberikan kriteria untuk eksistensi penyelesaian persamaan
operator linear.
Teorema 6. Diketahui A operator kompak self-adjoint pada ruang Hilbert H . Maka
persamaan operator tak homogen
f Af g= + .....(4)
mempunyai penyelesaian tunggal untuk setiap g H∈ jika dan hanya jika persamaan
homogen
h Ah= .....(5)
hanya mempunyai penyelesaian trivial 0h = .
Lebih jauh, jika persamaan (4) mempunyai penyelesaian maka ,g h = 0 untuk setiap
penyelesaian dari (5). h
Bukti : Menurut teorema spektral untuk operator kompak self-adjoint (misalnya pada
Debnath [2] Th. 4.10.2), H memiliki basis ortonormal ( )nv yang terdiri dari vektor-
vektor karakteristik dari A yang berkorespondensi dengan nilai-nilai karakteristik ( )nλ .
Tuliskan
1
n nn
g c∞
=
= v∑ .....(6)
Akan dicari penyelesaian dari (4) dalam bentuk 1
n nn
f a v∞
=
=∑ . Dari sini diperoleh
1 1 1n n n n n n n
n n n
a v a v c vλ∞ ∞ ∞
= = =
= +∑ ∑ ∑ , yang berarti
1
nn
n
caλ
=−
.....(7)
untuk setiap , asalkan n N∈ 1nλ ≠ . Apabila (5) tidak mempunyai penyelesaian tak nol,
maka 1 bukanlah nilai karakteristik dari A sehingga (7) benar. Oleh karena itu jika (4)
mempunyai penyelesaian, maka penyelesaian tersebut haruslah berbentuk
1
.1
nn
nn
cf vλ
∞
=
=−∑
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
278
M – 3 : Teorema Pemetaan Kontraksi...... . Herry Pribawanto Suryawan
Ini menunjukkan bahwa jika (4) mempunyai penyelesaian, maka penyelesaian tersebut
tunggal. Untuk memperlihatkan eksistensi penyelesaian (4), cukup ditunjukkan bahwa
deret di atas selalu konvergen. Menurut sifat nilai karakteristik operator kompak self-
adjoint, berlaku 0nλ → dan karenanya 11 n
Mλ
≤−
untuk suatu konstanta M dan untuk
setiap n . Akibatnya, N∈
2
22
1 11n
nnn n
c M cλ
∞ ∞
= =
≤ < ∞−∑ ∑ .
Jadi deret di atas konvergen dan jumlahannya adalah penyelesaian dari (4). Sekarang
jika (5) mempunyai penyelesaian tak nol , dan h f adalah penyelesaian dari (4), maka
f ch+ merupakan penyelesaian dari (4) untuk setiap c C∈ . Hal ini berakibat (4)
mempunyai tak hingga banyak penyelesaian. Misalkan f penyelesaian dari (4) dan
penyelesaian dari (5), maka
h
, , , , , , ,f h Af h g h f Ah g h f h g h= + = + = + .
Hal ini berarti ,g h = 0 . Jadi jika (4) mempunyai penyelesaian,maka g ortogonal
terhadap setiap penyelesaian dari (5). ■
Selanjutnya hasil-hasil di atas akan digunakan untuk mempelajari penyelesaian
persamaan integral Fredholm yang berbentuk
( ) ( , , ( )) ( )b
a
f x K x y f y dy xα φ= +∫
dengan fungsi dan fungsi kernel 2[ , ]L a bφ ∈ K .
Pertama dipelajari persamaan integral Fredholm jenis kedua tak homogen. Teorema 7. Persamaan integral
( ) ( , ) ( ) ( )b
a
f x K x y f y dy xα φ= +∫
mempunyai penyelesaian tunggal 2[ , ]f L a b∈ , apabila fungsi kernel K kontinu pada
, , dan [ , ] [ , ]a b a b× 2[ , ]L a bφ ∈ 1kα < , dengan 2( , )b b
a a
k K x y dxdy= ∫ ∫ .
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
279
M – 3 : Teorema Pemetaan Kontraksi...... . Herry Pribawanto Suryawan
Bukti : Diperhatikan operator
. ( )( ) ( , ) ( ) ( )b
a
Tf x K x y f y dy xα φ= +∫Karena , jika 2[ , ]L a bφ ∈ 2[ , ]Tf L a b∈
.....(8) 2( , ) ( ) [ , ]b
a
K x y f y dy L a b∈∫Menggunakan ketaksamaan Cauchy-Schwarz, diperoleh
1 12 2
2 2
( , ) ( ) ( , ) ( )
( , ) ( ) .
b b
a a
b b
a a
K x y f y dy K x y f y dy
K x y dy f y dy
≤
⎛ ⎞ ⎛⎜ ⎟ ⎜≤⎜ ⎟ ⎜⎝ ⎠ ⎝
∫ ∫
∫ ∫⎞⎟⎟⎠
Oleh karena itu,
2
2 2( , ) ( ) ( , ) ( )b b b
a a a
K x y f y dy K x y dy f y dy⎛ ⎞⎛⎜ ⎟⎜≤⎜ ⎟⎜⎝ ⎠⎝
∫ ∫ ∫⎞⎟⎟⎠
dan
2
2 2
2 2
( , ) ( ) ( , ) ( )
( , ) ( ) .
b b b b b
a a a a a
b b b
a a a
K x y f y dy dx K x y dy f y dy dx
K x y dy dx f y dy
⎛ ⎞⎜ ⎟≤⎜ ⎟⎝ ⎠
≤
∫ ∫ ∫ ∫ ∫
∫ ∫ ∫
Karena
2 2( , ) dan ( )b b b
a a a
K x y dydx f y dy< ∞ <∫ ∫ ∫ ∞
maka (8) dipenuhi dan ini berarti T memetakan ke . Selain itu
diperoleh hasil lain yaitu operator
2[ , ]L a b 2[ , ]L a b
A dengan definisi (
terbatas. Dengan demikian menurut Teorema 3, persamaan operator Tf mempunyai
penyelesaian tunggal apabila
)( ) ( , ) ( )b
a
Af x K x y f y dy= ∫f=
1kα < . ■
Sebagai contoh perhatikan persamaan integral
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
280
M – 3 : Teorema Pemetaan Kontraksi...... . Herry Pribawanto Suryawan
2( ) ( ) ( )x y
b
a
f x e f y dy xα−
= ∫ φ+ .....(9)
dengan φ suatu fungsi yang diberikan. Karena ( ) ( )2
22x y
b b b a
a ba a
e ee dxdy
e−
+
−=∫ ∫ , maka
persamaan (9) mempunyai penyelesaian tunggal jika 2
a b
b a
ee e
α+
<−
.
Teorema selanjutnya menjamin eksistensi dan ketunggalan penyelesaian persamaan integral Fredholm tak linear. Teorema 8. Diketahui
(a) ( , , ( ))b
a
K x y f y dy M f≤∫ untuk setiap 2[ , ]f L a b∈
(b) 1 2 1( , , ) ( , , ) ( , )K x y z K x y z N x y z z− ≤ 2− untuk setiap 1 2, , , [ , ]x y z z a b∈
(c) 2 2( , )b b
a a
N x y dxdy k= < ∞∫ ∫ .
Maka persamaan integral Fredholm tak linear
( ) ( , , ( )) ( )b
a
f x K x y f y dyα φ= +∫ x
mempunyai penyelesaian tunggal 2[ , ]f L a b∈ untuk setiap dan untuk setiap 2[ , ]L a bφ ∈
α sehingga 1kα < .
Bukti : Perhatikan persamaan operator Tf Afα φ= + dengan
. Maka berlaku ( )( ) ( , , ( ))b
a
Af x K x y f y dy= ∫
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
281
M – 3 : Teorema Pemetaan Kontraksi...... . Herry Pribawanto Suryawan
12
12
1 2 2 2
2
1 2
2
1 2
1 2
( , , ( )) ( , , ( ))
( , , ( )) ( , , ( ))
( , ) ( ) ( )
.
b
a
b b
a a
b b
a a
Tf Tf K x y f y K x y f y dy
K x y f y K x y f y dy dx
N x y f y f y dy dx
k f f
α
α
α
α
− = −
⎛ ⎞⎛ ⎞⎜ ⎟⎜ ⎟≤ −
⎜ ⎟⎜ ⎟⎝ ⎠⎝ ⎠
⎛ ⎞⎛ ⎞⎜ ⎟⎜ ⎟≤ −
⎜ ⎟⎜ ⎟⎝ ⎠⎝ ⎠≤ −
∫
∫ ∫
∫ ∫
Cukup jelas apabila 1kα < , maka T suatu pemetaan kontraksi dan T mempunyai titik
tetap tunggal yang merupakan penyelesaian dari persamaan integral tersebut. ■ Terakhir akan diturunkan suatu prosedur iteratif untuk menentukan penyelesaian persamaan integral Fredholm berdasarkan hasil-hasil di atas. Perhatikan persamaan operator f Tfφ α= + .....(10)
Jika T merupakan operator integral dengan kernel K ,
, ( ) ( ) ( , ) ( )b
a
Tf x K x t f t dt= ∫maka (10) merupakan persamaan persamaan integral Fredholm jenis kedua
( ) ( ) ( , ) ( )b
a
f x x K x t f tφ α= + ∫ dt .....(11)
Dalam hal tersebut berlaku
2( )( ) ( , ) ( )
( , ) ( , ) ( ) .
( , ) ( , ) ( ) .
b
a
b b
a a
b b
a a
T f x T K x t f t dt
K x z K z t f t dt dz
K x z K z t dz f t dt
⎛ ⎞⎜ ⎟=⎜ ⎟⎝ ⎠
⎛ ⎞⎜ ⎟=⎜ ⎟⎝ ⎠
⎛ ⎞⎜ ⎟=⎜ ⎟⎝ ⎠
∫
∫ ∫
∫ ∫Oleh karena itu merupakan suatu operator integral dengan kernel
. Secara induktif diperoleh secara umum
2T
( , ) ( , )b
a
K x z K z t dz∫
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
282
M – 3 : Teorema Pemetaan Kontraksi...... . Herry Pribawanto Suryawan
( ) ( , ) ( ) untuk 2b
nn
a
T f x K x t f t dt n= ≥∫dengan kernel dari diberikan dengan nK nT
1( , ) ( , ) ( , ) untuk 2.b
n n
a
K x t K x K t d nξ ξ ξ−= >∫Kernel ini juga dapat dituliskan
1 1 2 1 1 2( , ) ( , ) ( , ) ( , ) .b b
n n n n n n
a a
K x t K x K K t d d d 1ξ ξ ξ ξ ξ ξ ξ− − − − −= ∫ ∫K K K
Selanjutnya dengan menerapkan Akibat 5, akan diperoleh hasil di bawah terkait
keterselesaian (10) dan juga persamaan integral (11). Apabila 1Tα < , maka
persamaan (10) mempunyai penyelesaian tunggal yang diberikan oleh deret Neumann
1
n n
n
f Tφ α∞
=
= +∑ φ …..(12)
Jadi persamaan integral (11) mempunyai penyelesaian tunggal f yang diberikan oleh
1
1
( ) ( ) ( , ) ( )b
nn
na
f x x K x t tφ α α φ∞
−
=
⎛ ⎞= + ⎜ ⎟
⎝ ⎠∑∫ dt …..(13)
Tuliskan 1
1
( , , ) ( , )nn
n
x t Kα α∞
−
=
Γ =∑ x t , maka penyelesaian di atas dapat ditulis dalam
bentuk
( ) ( ) ( , , ) ( )b
a
f x x x t tφ α α φ= + Γ∫ dt …..(14)
Fungsi sering disebut kernel resolven. Γ
Terakhir diberikan contoh sederhana terkait pembicaraan di atas. Akan dicari penyelesaian deret Neumann untuk persamaan integral Fredholm
1
1
1( ) ( ) ( )2
f x x t x f t d−
= + −∫ t . Pertama pilih 0 ( )f x x= , maka
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
283
M – 3 : Teorema Pemetaan Kontraksi...... . Herry Pribawanto Suryawan
1
1
1
1( ) ( )2 3
f x x t x t dt x−
= + − = +∫1 , dan dengan menyubstitusikan 1f ke persamaan semula
diperoleh ( )1
2
1
1 1( ) .2 3
13 3
xf x x t x t dt x−
⎛ ⎞= + − + = + −⎜ ⎟⎝ ⎠∫ Dengan melanjutkan proses ini
diperoleh
3 2
1 1( ) ,3 3 3
xf x x= + − −
4 2 2
1 12
1 1
1 1( ) ,3 3 3 3
( ) ( 1) 3 ( 1) 3 .n n
m m m mn
m m
x xf x x
f x x x− − − −
= =
= + − − +
= + − − −∑ ∑M
Dengan mengambil , diperoleh n →∞ 3( )4 4
f x x 1= + . Dapat diperiksa bahwa fungsi ini
benar merupakan penyelesaian persamaan integral di atas. Penutup Teorema pemetaan kontraksi menjamin eksistensi dan ketunggalan penyelesaian dari persamaan operator di ruang Banach. Penyelesaian yang diperoleh merupakan titik tetap dari operator yang terkait. Teorema ini juga memberikan suatu prosedur iteratif untuk mencari penyelesaian persamaan operator tersebut. Selanjutnya, teorema pemetaan kontraksi juga telah digunakan untuk mempelajari keterselesaian persamaan integral Fredholm jenis kedua khususnya dalam penjaminan eksistensi dan ketunggalan penyelesaian persamaan integral Fredholm jenis kedua baik yang linear maupun tak linear. Daftar Pustaka [1] Davis, B. (2002). Integral Transforms and Their Applications, 3rd ed. New York : Springer-Verlag. [2] Debnath, L. & Mikusinski, P. (1999). Introduction to Hilbert Spaces with Applications, 2nd ed. San Diego : Academic Press. [3] Jerry, A. J. (1999). Introduction to Integral Equations with Applications, 2nd ed. New York : John Wiley and Sons. [4] Kress, R. (1989). Linear Integral Equations. New York : Springer-Verlag. [5] Reddy, B. D. (1998). Introductory Functional Analysis with Applications to Boundary Value Problem and Finite Elements. New York : Springer-Verlag. [6] Zeidler, E. (1995). Applied Functional Analysis: Applications to Mathematical Physics. New York : Springer-Verlag.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
284
M – 4 : Teori Matematika Dalam Perang Don Bosco Priyo Edhi, Antonius YA Ratna Bunga, Christiansen Pasaribu, Herry P S
Teori Matematika dalam Perang
Don Bosco Priyo Edhi Antonius Yudhi Anggoro
Ratna Bunga Christiansen Pasaribu Herry Pribawanto S
Program Studi Matematika Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Abstrak
Makalah ini membahas suatu model matematika untuk perang. Pertama dibicarakan teori konflik menurut Richardson dan selanjutnya dikembangkan menjadi teori perang menurut Lanchester. Sebagai contoh kasus akan dibicarakan perang Iwo Jima pada Perang Dunia II. Model matematika untuk perang ini berbentuk sistem persamaan diferensial dan sebagian hanya akan dibicarakan secara kualitatif saja. Kata kunci: teori konflik, teori perang, sistem persamaan diferensial
Pendahuluan
Suatu konflik atau perang dapat dimodelkan secara matematis dalam bentuk sistem
persamaan diferensial. Sistem ini dibentuk berdasarkan faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Dalam kenyataannya, perang dapat terjadi dalam bentuk perang
konvensional atau perang gerilya. Hal ini berdampak pada model perang yang akan
dipelajari. Makalah ini mempelajari tentang bagaimana faktor-faktor yang muncul dan
berpengaruh dalam perang, menentukan seberapa jauh model perang dapat digunakan.
Pertama akan dibicarakan teori konflik Richardson dan teori perang Lanchester, dan
selanjutnya dibahas sebuah contoh kasus yaitu pada perang Iwo Jima.
Teori konflik L. F. Richardson
Terdapat dua pendapat berkaitan dengan faktor yang mempengaruhi peningkatan
potensi perang suatu negara. Potensi perang di sini adalah banyaknya persenjataan,
pasukan, besarnya anggaran perang, serta kemampuan perang suatu negara. Kedua
pendapat tersebut yaitu:
a. Faktor kekuatan perang
Pendapat ini dikemukakan pertama kali oleh Thucydides berdasarkan hasil
pengamatannya pada perang Peloponesia antara Athena dan Lacedaemonian.
Menurutnya, pertumbuhan kekuatan Athena yang cukup mengkhawatirkan bagi
Lacedaemonian justru menciptakan perang di antara mereka. Sir Edward Grey
menambahkan bahwa upaya peningkatan senjata dari suatu negara, yang semula
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
285
M – 4 : Teori Matematika Dalam Perang Don Bosco Priyo Edhi, Antonius YA Ratna Bunga, Christiansen Pasaribu, Herry P S
dimaksudkan untuk menciptakan rasa aman, justru menimbulkan kesadaran akan
kekuatan perang dan rasa takut negara lain.
b. Faktor ambisi
Pendapat ini dikemukakan oleh seorang anggota parlemen Inggris bernama L.S.
Amery. Secara lengkap dia menyatakan bahwa peningkatan potensi perang
suatu negara terjadi karena adanya ambisi dari negara tersebut untuk meraih
suatu kepentingan tertentu.
Dari dua pendapat ini, akan dikonstruksi model matematika untuk suatu konflik
yang melibatkan dua negara. Misalkan Jedesland dan Andersland adalah dua negara
yang sedang berkonflik. Misalkan ( )x t dan berturut-turut melambangkan potensi
perang Jedesland dan Andersland. Laju perubahan
( )y t
( )x t bergantung pada kesiapan
perang Andersland , keluhan terhadap Andersland , serta besar biaya perang
yang dibutuhkan Jedesland
( )ky ( )g
( )xα . Laju perubahan bergantung pada kesiapan
perang Jedesland , keluhan terhadap Andersland ( , serta besar biaya perang yang
dibutuhkan Andersland
( )y t
( )lx )h
( )xβ .
Perhatikan bahwa faktor kesiapan perang dan keluhan mengakibatkan laju perubahan
potensi perang meningkat. Sebaliknya faktor biaya mengakibatkan laju potensi perang
berkurang. Oleh kerena itu, model yang terbentuk dari uraian di atas berbentuk sistem
persamaan diferensial orde satu yaitu
dx ky x gdt
α= − + dy lx y hdt
β= − + (1)
k : konstanta kesiapan perang Andersland
α : konstanta biaya perang Jedesland
l : konstanta kesiapan perang Jedesland
β : konstanta biaya perang Andersland
dengan k, α, g, l, h dan β adalah konstanta-konstanta positif.
Model di atas akan ditinjau dari beberapa kasus khusus yang mungkin terjadi.
1. Kasus 0g h x y= = = =
Dalam kasus ini model (1) tereduksi menjadi
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
286
M – 4 : Teori Matematika Dalam Perang Don Bosco Priyo Edhi, Antonius YA Ratna Bunga, Christiansen Pasaribu, Herry P S
0dxdt
= 0dydt
=
Perhatikan bahwa solusi dari sistem ini adalah 1( )x t c= dan 2( )y t c= . Kondisi
ini diinterpretasikan sebagai kondisi damai yang konstan. Dalam hal ini potensi
perang tiap negara tidak akan pernah naik.
2. Kasus 0x y= =
Dalam kasus ini model (1) tereduksi menjadi
dx gdt
= dy hdt
= .
Keadaan ini diinterpretasikan sebagai saat pelucutan senjata. Masing-masing
negara melucuti senjatanya. Namun demikian, keluhan terhadap negara lain
masing tetap ada. Hal ini nampak dari masih munculnya konstanta g dan
dalam sistem persamaan diferensial di atas. Dengan mudah dapat dihitung
bahwa solusi sistem di atas adalah
h
1( )x t gt c= + 2( )y t ht c= + .
Grafik solusi ( )x t dan adalah garis lurus dengan gradien positif. Hal ini
menunjukkan bahwa untuk nilai t yang semakin besar, potensi perang juga akan
semakin besar. Lebih lanjut, kasus ini menunjukkan bahwa situasi damai yang
muncul karena pelucutan senjata tidaklah permanen bila disertai keluhan
terhadap negara lain.
( )y t
3. Kasus salah satu atau 0x = 0y =
Kasus ini diinterpretasikan sebagai kasus pelucutan senjata sepihak. Dalam
kasus ini model (1) tereduksi menjadi
dx ky gdt
= + dy y hdt
β= − + atau
dx x gdt
α= − + dy lx hdt
= + .
Sebagai contoh, akan diambil kasus 0y = , artinya negara Andersland melucuti
senjatanya. Karena l dan masing-masing adalah konstanta positif, maka laju
perubahan
h
x terhadap t positif. Artinya, potensi perang Andersland akan
meningkat seiring dengan waktu. Jadi, Andersland akan kembali mempersenjatai
diri meskipun pada awalnya melucuti senjatanya.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
287
M – 4 : Teori Matematika Dalam Perang Don Bosco Priyo Edhi, Antonius YA Ratna Bunga, Christiansen Pasaribu, Herry P S
4. Kasus g hα β= = =
Kasus ini diinterpretasikan sebagai kasus perlombaan senjata. Dalam hal ini
model (1) tereduksi menjadi
dx kydt
= dy lxdt
= .
Solusi dari sistem tersebut adalah
( ) kl t kl tx t Ae Be−= + ( )1( ) kl t kl ty t Ae Bek
−= − .
Kasus ini menunjukkan bahwa tiap-tiap negara terus meningkatkan potensi
perangnya. Dengan kata lain terjadi perlombaan senjata. Bila hal ini terus terjadi,
kemungkinan besar perang akan terjadi. Interpretasi seperti ini dilihat dengan
mengambil lim ( )t
x t→∞
dan li . Jadi diperoleh m ( )t
y t→∞
lim ( ) lim kl t
t tx t Ae
→∞ →∞= dan 1lim ( ) lim kl t
t ty t Ae
k→∞ →∞= .
Bila diambil , maka 0A > lim ( )t
x t→∞
= ∞ dan lim ( )t
y t→∞
= ∞ . Keadaan ini
diinterpretasikan sebagai pecahnya perang.
5. Kasus , , , , , 0g h x y α β ≠
Dalam kasus ini model (1) tetap akan berbentuk:
dx ky x gdt
α= − + dy lx y hdt
β= − + .
Solusi ekuilibrium sistem ini adalah 0kh gx x
klβ
αβ+
= =−
dan 0lg hy y
klα
αβ+
= =−
dengan syarat 0klαβ − ≠ . Sekarang tulis persamaan (1) dalam
dengan masing-masing w , dan didefinisikan sebagai berikut:
= +w Aw f&
f A
( )
( )( )
x tt
y t⎛ ⎞
= ⎜ ⎟⎝ ⎠
w , , dan gh
⎛ ⎞= ⎜ ⎟⎝ ⎠
fk
lα
β−⎛ ⎞
= ⎜ ⎟−⎝ ⎠A .
Tulis kembali solusi ekuilibrium dari (1) dengan
0
0
xy
⎛ ⎞= = ⎜ ⎟
⎝ ⎠0w w .
Perhatikan bahwa . Pandang + =0Aw f 0 = − 0z w w maka diperoleh:
( )= = + = + + = + + =0 0z w Aw f A z w f Az Aw f Az& & .
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
288
M – 4 : Teori Matematika Dalam Perang Don Bosco Priyo Edhi, Antonius YA Ratna Bunga, Christiansen Pasaribu, Herry P S
Solusi ekuilibrium dari ( )t = 0w w = +w Aw f& stabil jika dan hanya jika =z 0
adalah solusi yang stabil dari =z Az& . Untuk memeriksa kestabilan dari ,
dicari akar –akar karakteristik dari A yaitu
=z 0
( )
( )
12
12
2
1,2
2
( ) 4( )2
( ) 4 )2
kl
kl
α β α β αβλ
α β α β
⎡ ⎤− + ± + − −⎣ ⎦=
⎡ ⎤− + ± − +⎣ ⎦=
Kedua akar tersebut bernilai real negatif jika αβ – kl > 0, dan salah satu akar
bernilai real positif jika αβ – kl < 0, sebagai konsekuensinya solusi ekuilibrium
x(t) ≡ x0 dan y(t) ≡ y0 stabil jika αβ – kl > 0 dan tidak stabil jika αβ – kl < 0.
Persoalan yang saat ini menarik dipecahkan adalah berapakah perkiraan masing-
masing nilai koefisien α, β, k, l, g dan h. Mendapatkan perkiraan untuk nilai g
dan h tidak mungkin dilakukan. Namun masing-masing koefisien α, β, k, dan l
dapat diduga dengan logika yang masuk akal.
Perhatikan bahwa setiap koefisien ini berkebalikan dengan waktu.
Seorang fisikawan atau mekanik akan menyebut 1α − dan 1β − waktu istirahat
karena jika y dan g sama dengan nol, maka 0( )0( ) ( )t tx t e x tα− −= . Hal ini
mengakibatkan 10 0( ) ( )x t x tα −+ = e . Jadi, 1α − adalah waktu yang dibutuhkan
Jedesland untuk mereduksi peralatan perangnya dengan rasio 2,718 dengan
syarat negara tersebut tidak memiliki keluhan dan negara lain tidak mempunyai
peralatan perang. Richardson menduga 1α − adalah waktu hidup untuk parlemen
Jedesland.
Untuk memperkirakan k dan l ambil kasus khusus g = 0 dan y = y1, sehingga
model (1) tereduksi menjadi
1dx ky xdt
α= − 1dy lx y hdt
β= − + .
Ketika x = 0 diperoleh 11dxdt
yk= . Jadi, 1
k adalah waktu yang dibutuhkan untuk
Jedesland untuk mengejar Andersland dengan ketentuan bahwa (i) peralatan
perang Andersland berjumlah konstan, (ii) tidak ada keluhan-keluhan, dan (iii)
biaya peralatan perang tidak memperlambat langkah Jedesland.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
289
M – 4 : Teori Matematika Dalam Perang Don Bosco Priyo Edhi, Antonius YA Ratna Bunga, Christiansen Pasaribu, Herry P S
Teori Perang Lanchester
Dalam Perang Dunia I, F.W. Lanchester membuat suatu model matematis untuk
melihat sejauh mana hasil yang diharapkan dari suatu pertempuran. Ada dua model
yang akan dijabarkan, yaitu model pertempuran konvensional melawan konvensional
dan model pertempuran gerilya melawan konvensional. Lanchester menyatakan bahwa
kekuatan dari suatu pasukan perang proporsional dengan kuadrat banyaknya pejuang
yang terlibat di dalam pertempuran.
Andaikan ( )x t dan menyatakan banyaknya pasukan dari kedua kubu yang
terlibat dalam suatu pertempuran pada hari ke-t yang dihitung mulai dari awal terjadinya
pertempuran. Maka laju perubahan dari masing-masing kubu sama dengan laju bala
bantuan dikurangi laju kerugian operasional dan laju hilangnya pasukan.
( )y t
Laju hilangnya pasukan menggambarkan banyaknya pasukan dari suatu kubu
yang terbunuh di dalam medan pertempuran. Perhitungan mengenai laju hilangnya
pasukan bergantung pada model peperangan dari masing-masing kubu. Misalnya
pasukan-x adalah kekuatan konvensional yang beroperasi secara terbuka di mana setiap
anggota dari pasukan ini berada dalam cakupan pembunuhan dari pasukan-y. Andaikan
bahwa penyerangan pasukan dikonsentrasikan terhadap pejuang yang masih tersisa.
Maka laju hilangnya pasukan sama dengan , dengan adalah suatu konstanta
positif yang menggambarkan efektifitas pasukan-y untuk membunuh lawan.
( )a y t a
Jika pasukan-x adalah pasukan gerilya maka ketika pasukan-y menyerang,
mereka tidak tahu kapan pembunuhan terjadi. Maka, probabilitas pasukan-y terbunuh
juga lebih besar. Jadi, laju hilangnya pasukan-x proporsional terhadap ( )x t . Sebaliknya,
laju hilangnya pasukan-x juga proporsional terhadap . Karena itu laju hilangnya
pasukan gerilya-x sama dengan , dimana c suatu konstanta positif yang
menyatakan efektifitas pasukan-y membunuh lawan.
( )y t
( ) ( )c x t y t
Laju bala bantuan menggambarkan laju banyaknya pasukan baru dari suatu kubu
yang masuk dalam pertempuran. Laju bala bantuan untuk pasukan-x dan pasukan-y
masing-masing akan dinyatakan dengan ( )f t dan . ( )g t
Akhirnya, laju kerugian operasional dari suatu pasukan menggambarkan laju
hilangnya pasukan yang disebabkan oleh karena sesuatu yang terjadi di luar
pertempuran. Misalnya, penyakit, pemberontakan, dan sebagainya. Meskipun
Lanchester sendiri mengusulkan bahwa laju kerugian operasional sebanding dengan
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
290
M – 4 : Teori Matematika Dalam Perang Don Bosco Priyo Edhi, Antonius YA Ratna Bunga, Christiansen Pasaribu, Herry P S
kekuatan pasukan, namun hal tersebut tidaklah realistik. Sebab hal tersebut sangat sulit
untuk diukur. Misalkan, tingkat pemberontakan dalam suatu pasukan sangat bergantung
pada kondisi psikologis suatu pasukan dan faktor-faktor lainnya yang tentu saja sulit
untuk digambarkan bahkan untuk diukur. Karena itu, untuk memudahkan perhitungan,
laju kerugian operasional diabaikan.
Dari asumsi yang digambarkan di atas, maka dua model perang Lanchesterian
dapat digambarkan sebagai berikut
Kekuatan konvensional-konvensional ( )
( )
dx ay f tdtdy bx g tdt
⎧ = − +⎪⎪⎨⎪ = − +⎪⎩
(2.a)
Kekuatan gerilya-konvensional ( )
( )
dx cxy f tdtdy ex g tdt
⎧ = − +⎪⎪⎨⎪ = − +⎪⎩
(2.b)
( x = gerilya) Perhatikan bahwa persamaan (2.a) adalah sistem linear yang dapat diselesaikan secara eksplisit bila a, b, f(t), dan g(t) diketahui. Persamaan (2.b) berbentuk sistem tak linear dimana solusinya jauh lebih sulit ditentukan daripada solusi persamaan (2.a). Untuk kasus yang terjadi dalam pertempuran pada saat laju bantuan sama dengan nol maka dari persamaan (1.a) dan (1.b) nampak bahwa
aydtdx
−= bxdtdy
−= (3.a)
cxydtdx
−= bydtdy
−= (3.b)
Orbit dari persamaan 3.a adalah kurva solusi dari ay dy = bx dx. Dengan mengintegralkan persamaan ini diperoleh: (4) Kbxaybxay =−=− 2
020
22
gambar 1
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
291
M – 4 : Teori Matematika Dalam Perang Don Bosco Priyo Edhi, Antonius YA Ratna Bunga, Christiansen Pasaribu, Herry P S
Gambar 1 menunjukan kurva dari persamaan (4) dalam bidang-xy. Arah panah
kurva tersebut menunjukan arah perubahan kekuatan kedua kubu seiring dengan waktu.
Dari gambar 1, nampak bahwa pasukan-y akan menang jika K > 0. Hal disebabkan
karena pasukan-x telah musnah pada saat aKty /)( = . Sebaliknya pasukan-x menang
jika K < 0. Perhatikan bahwa kubu-y akan mengusahakan diri sedemikian sehingga K >
0. Hal ini dapat diperoleh dengan menaikkan a, misal dengan menggunakan senjata
yang lebih canggih dan kuat, atau dengan meningkatkan kondisi awal dari kubu-y.
Orbit dari persamaan 3.b adalah kurva solusi dari persamaan cy dy = e dx.
Dengan mengintegralkan kedua ruas persamaan diperoleh:
(5) Mexcyexcy =−=− 020
2 22
gambar 2
Gambar 2 menunjukan kurva dari persamaan (5) dalam bidang-xy. Dari gambar 2,
nampak bahwa pasukan-y menang jika M > 0. Hal disebabkan karena pasukan-x telah
musnah pada saat cMty /)( = . Sebaliknya pasukan-x menang jika M < 0.
Perang Iwo Jima
Pada bagian ini ditunjukan penerapan model Lanchester dalam kasus perang Iwo
Jima, yang disebut sebagai salah satu perang terdahsyat pada Perang Dunia II. Dari data
yang ada diketahui bahwa invasi Amerika ke Iwo Jima, sebuah pulau di selatanTokyo,
dimulai pada 19 Februari 1945 dan pertempuran terjadi selama sebulan penuh. Pulau
Iwo Jima dinyatakan aman oleh pasukan Amerika pada pertempuran hari ke-28 dan
semua aktifitas perang berakhir pada hari ke-36.
Selama konflik berlangsung, Jepang tidak mengirimkan pasukan bantuan dan
pasukan yang ada diminta untuk bertempur habis-habisan. Sementara, Amerika
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
292
M – 4 : Teori Matematika Dalam Perang Don Bosco Priyo Edhi, Antonius YA Ratna Bunga, Christiansen Pasaribu, Herry P S
mendatangkan 54.000 tentara pada hari pertama pertempuran, 6.000 tentara pada hari
ketiga, dan 13.000 tentara pada hari keenam. Tabel 1 menunjukan bahwa ada 21.000
orang tentara Jepang. Namun perhitungan ini masih kasar karena tidak
memperhitungkan orang-orang yang mati dan yang ditemukan di gua-gua pada hari
terakhir perang. Dalam pemodelan ini, misalkan bahwa sebenarnya jumlah pasukan
Jepang yang bertempur di Iwo Jima sebanyak 21.500 orang.
Tabel 1
Sistem persamaan berikut menggambarkan model Perang Iwo Jima,
( )dx ay f tdt
= − + dy bxdt
= − (6)
dengan x(t) dan y(t) berturut-turut menyatakan tentara aktif Amerika dan tentara Jepang
pada hari ke-t setelah perang dimulai, a dan b menyatakan koefisien efektifitas pasukan
Jepang dan Pasukan Amerika. Sistem persamaan (6) dapat dibentuk ke dalam
persamaan matriks ( )0
f t⎛ ⎞= + ⎜
⎝ ⎠x Ax& ⎟
⎟
, dengan kondisi awal dan
. Dari persamaan karakteristik
0
0 021.500y
⎛ ⎞ ⎛ ⎞= =⎜ ⎟ ⎜ ⎟
⎝ ⎠⎝ ⎠0x
00a
b−⎛ ⎞
= ⎜−⎝ ⎠A det( ) 0A Iλ− = , diperoleh nilai-nilai
eigen dari A, yaitu 1 abλ = − dan 2 abλ = , dengan . Vektor- vektor eigen
yang bersesuaian,
0ab >
1
a
ab
⎛ ⎞= ⎜ ⎟⎜ ⎟−⎝ ⎠
v dan 2
a
ab
⎛ ⎞= ⎜ ⎟⎜ ⎟⎝ ⎠
v .
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
293
M – 4 : Teori Matematika Dalam Perang Don Bosco Priyo Edhi, Antonius YA Ratna Bunga, Christiansen Pasaribu, Herry P S
Dari persamaan dan dengan menggunakan metode variasi
parameter, diperoleh solusi umum.
( )0
0
( ) ( )t
t t st e e f s d−= + ∫A Ax x s
( ) ( )( )0
0
( ) cosh cosh ( )t
ax t y ab t ab t s f s dsb
= − + −∫
( ) ( )( )0
0
( ) cosh sinh ( )t
ay t y ab t ab t s f s dsb
= − −∫ .
Koefisien efektifitas pasukan a dan b dapat dihitung dengan mengintegralkan
persamaan (6) bagian kedua antara 0 dan s, diperoleh
0
0
( ) ( )s
y s y b x t d− = − t∫ .
Untuk s = 36, menghasilkan
036 36
0 0
( ) 21.500 .( ) ( )
y y sbx t dt x t dt
−= =
∫ ∫
Bentuk integral pada ruas kanan dapat diperkirakan melalui penjumlahan Riemann 36 36
10
( ) ( )i
x t dt x i=
≅∑∫ .
dengan ( )x i menyatakan banyaknya tentara Amerika pada hari ke-i pertempuran.
Dengan menggunakan data yang tersedia dari Morehouse, seorang pimpinan tentara
Amerika pada perang Iwo Jima, diperoleh nilai
21.500 0,01062.037.000
b = = .
Pengintegralan persamaan pertama dari (6) antara t = 0 dan t = 28 menghasilkan
.
Data yang ada menunjukkan masih terdapat 52.735 tentara Amerika yang efektif pada
hari ke 28. Jadi,
28
0
(28) ( ) 73.000x a y t dt= − +∫
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
294
M – 4 : Teori Matematika Dalam Perang Don Bosco Priyo Edhi, Antonius YA Ratna Bunga, Christiansen Pasaribu, Herry P S
28 28
0 0
73.000 52.735 20.265 .( ) ( )
ay t dt y t dt
−= =
∫ ∫
Dengan cara yang sama, bentuk integral dari ruas kanan persamaan a dengan jumlahan
Riemann 28 28
10
( ) ( )j
y t dt y j=
≅∑∫ dan didekati dengan persamaan ( )y j
010
( ) ( ) 21.500 ( )j j
i
y j y b x t dt b x i=
= − ≅ − ∑∫
dengan ( )x i menyatakan banyaknya tentara Amerika yang efektif pada pertempuran
hari ke-i. Hasil dari perhitungan ini adalah 20.265 0,0544372.500
a = = .
Gambar 3 di bawah ini adalah perbandingan kekuatan nyata pasukan Amerika
dengan nilai yang diprediksi (a = 0,0544 dan b = 0,0106). Tampak bahwa model
Lanchesterian menggambarkan pertempuran yang sesungguhnya
Gambar 3. Perbandingan kekuatan pasukan yang sebenarnya
dengan kekuatan pasukan yang diprediksi
Gambar 3 memperlihatkan banyaknya bantuan Amerika yang meliputi seluruh personil
yang ditempatkan, tentara perang dan juga tentara pendukung. Jadi banyaknya a dan b
dapat diinterpretasikan sebagai rata-rata efektifitas setiap tentara yang ditempatkan.
Penutup
Telah dibicarakan model konflik Richardson dan perang Lanchester.
Pembahasan model konflik Richardson meliputi pembentukan model, interpretasi untuk
beberapa kasus khusus, serta tinjauan kualitatif untuk model secara umum. Pembahasan
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
295
M – 4 : Teori Matematika Dalam Perang Don Bosco Priyo Edhi, Antonius YA Ratna Bunga, Christiansen Pasaribu, Herry P S
model perang Lanchester meliputi pembentukan model dan contoh kesesuaian model
dalam perang Iwo Jima.
Daftar Pustaka [1] Braun, M. (1975). Differential Equations and Their Applications, 4th ed. New York: Springer-Verlag. [2] Engel, J.H. (1954). A Verification of Lanchester Law, Operation Research, 2. [3] Kapur, J.N. (2001). Mathematical Modelling. New Delhi: New Age Int. Lim. [4] Liu, J. H. (2003). A First Course in the Qualitative Theory of Differential Equations. New York: John Wiley and Sons. [5] Perko, L. (1993). Differential Equations and Dynamical Systems. New York: Springer-Verlag.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
296
M – 5 : Ideal Fuzzy Semigrup Karyati, Indah E W, Sri Wahyuni, Budi S, Setiadji
Ideal Fuzzy Semigrup
Karyati Mahasiswa S3 Matemaika, FMIPA
Universitas Gadjah Mada
Jurusan Pendidikan Matematika, FMIPA Uiversitas Negeri Yogyakarta E-mail: [email protected]
Indah Emilia W, Sri Wahyuni, Budi Surodjo, Setiadji
Jurusan Matematika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Gadjah Mada
Abstrak Semigrup merupakan bentuk struktur aljabar yang hanya melibatkan satu operasi biner yang
bersifat asosiatif. Teorema fundamental homomorfisma semigrup dalam versi fuzzy telah berhasil ditunjukkan dengan menggunakan sifat subhimpunan levelnya.
Dalam semigrup, penyelidikan terhadap sifat-sifat idealnya masih sangat terbatas. Dalam tulisan ini akan diselidiki terkait dengan ideal fuzzy semigrupnya. Dengan menggunakan subhimpunan level dan juga peta homomorfis suatu subsemigrup fuzzynya, berhasil diselidiki beberapa sifat ideal fuzzy semigrupnya.
Kata Kunci: subsemigrup fuzzy, ideal fuzzy semigrup, subhimpunan level, peta homomorfis
1. Pendahuluan
Semigrup adalah suatu himpunan yang di dalamnya didefinisikan satu operasi
biner yang bersifat asosiatif. Berikut diberikan contoh semigrup:
Contoh 1.1:
Diberikan suatu himpunan { }cbaS ,,= dengan operasi biner ‘∗ ’ yang disajikan
dalam Tabel Caley berikut:
* a b c
a a b a
b b a b
c a b a
Himpunan ( )∗,S adalah semigrup
Subhimpunan suatu semigrup ( )∗,S disebut subsemigrup jika terhadap operasi yang
sama, bersifat tertutup. Dari Contoh 1.1 jika diambil ='S { }ba, , maka diperoleh contoh
subsemigrup sebagai berikut :
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
297
M – 5 : Ideal Fuzzy Semigrup Karyati, Indah E W, Sri Wahyuni, Budi S, Setiadji
Contoh 1.2:
Bentuk tabel Caley dari himpunan ='S { }ba, dengan operasi ’*’ sebagai berikut:
* a b
a a b
b b a
Berdasarkan tabel Caley tersebut, maka operasi ’∗ ’ tertutup pada .
Dengan demikian, adalah subsemigrup dari
='S { }ba,
='S { ba, } ( )∗,S
Misalkan adalah semigrup dan S I adalah subsemigrup , maka S I disebut ideal kiri
(kanan ) dari jika ( ). Jika S ISI ⊆ IIS ⊆ I merupakan ideal kiri sekaligus ideal
kanan, maka disebut ideal (Howie; 1976 ). Sebagai contoh, subsemigrup adalah
ideal di . Tabel pada Contoh 13 berikut menunjukkan bahwa adalah ideal di .
'S
S 'S S
Contoh 1.3:
Tabel Caley : SS '
* a b c
a a b a
b b a b
Tabel Caley : 'SS
* a b
a a b
b b a
c a b
Berdasarkan tabel Caley tersebut, maka terbukti bahwa dan atau
' adalah ideal di .
SSS ⊆' SSS ⊆'
S S
Beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti terdahulu, dikembangkan
tentang struktur-struktur aljabar dalam versi fuzzy termasuk subsemigrup fuzzy.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
298
M – 5 : Ideal Fuzzy Semigrup Karyati, Indah E W, Sri Wahyuni, Budi S, Setiadji
Menurut Asaad (1991), Kandasamy (2003) dan Mordeson & Malik (1998) didefinisikan
suatu subsemigrup fuzzy sebagai berikut: misalkan adalah semigrup, fungsi S
[ 1,0: →S ]μ disebut subsemigrup fuzzy jika untuk setiap , Syx ∈,
{ )(),(min)( yxxy }μμμ ≥ . Subhimpunan level dari tμ adalah himpunan semua elemen
, Sx∈ tx ≥)(μ dengan . Apabila adalah homomorfisma semigrup
dan
]1,0[∈t ': SSf →
μ adalah subsemigrup pada , maka S )(μf adalah subsemigrup pada . Dalam
hal ini
'S
)(μf { )(sup)(1
xyfx
}μ−∈
= jika dan φ≠− )(1 xf )(μf 0= jika .
Selanjutnya
φ=− )(1 xf
)(μf disebut dengan peta homomorfis ( Ajmal;1994). Berhasil dibuktikan
oleh Karyati, et.al. jika adalah homomorfisma semigrup dengan kernel ': SSf → K
dan μ adalah subsemigrup fuzzy pada , maka pemetaan S ]1,0[/: →KSKμ yang
didefinisikan )}({sup)( xkxKKk
K μμ∈
= membentuk subsemigrup fuzzy pada . Jika
homomorfisma surjektif, maka
KS /
f μμμ ≈)(f .
Dalam penelitian sebelumnya (Karyati, et.al), terkait dengan subsemigrup fuzzy,
telah diselidiki bahwa teorema fundamental homomorfisma semigrup juga berlaku pada
subsemigrup fuzzy. Sekalipun dalam semigrup biasa, belum banyak penyelidikan
terhadap sifat-sifat idealnya, namun dalam penelitian saat ini akan diselidiki sifat-sifat
ideal fuzzy semigrup.
2. Pembahasan
Pada awal pembahasn ini diawali dengan mendefinisikan suatu ideal fuzzy pada
suatu semigrup sebagai berikut:
Definisi 2.1. Subhimpunan fuzzy μ pada semigrup disebut ideal fuzzy semigrup jika
memenuhi:
S
{ })(),()( yxmaksxy μμμ ≥
Contoh 2.1
Dari Contoh 1.1, himpunan { }cbaS ,,= dengan operasi biner ‘∗ ’ membentuk
semigrup. Selanjutnya didefinisikan suatu pemetaan μ sebagai beikut:
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
299
M – 5 : Ideal Fuzzy Semigrup Karyati, Indah E W, Sri Wahyuni, Budi S, Setiadji
⎩⎨⎧
==
=cx
baxx
21
,1)(μ
Dapat dibuktikan bahwa μ adalah ideal fuzzy pada S
Pada semigrup biasa, setiap ideal adalah subsemigrup. Dalam hal ini akan
diselidiki sifat yang analog tersebut pada ideal fuzzy semigrup sebagai berikut:
Proposisi 2.1. Jika μ ideal fuzzy semigrup , maka S μ subsemigrup fuzzy pada S
Bukti:
μ ideal fuzzy semigrup S ⇒ { })(),()( yxmaksxy μμμ ≥ { })(),(min yx μμ≥
⇒ ≥)(xyμ { })(),(min yx μμ
⇒ μ subsemigrup fuzzy pada S
Jelas bahwa jika μ ideal fuzzy semigrup pasti S tμ dan adalah subsemigrup pada
.
>tμ
S
Proposisi tersebut tidak berlaku sebaliknya, sebab: { }SsxxsS tt ∈∈= ,μμ . Ambil
Sy tμ∈ , maka xsy = untuk suatu tx μ∈ dan Ss∈ . Selanjutnya berlaku
)()( xsy μμ = , dan nilai )(xsμ ini belum tentu lebih besar atau sama dengan t .
Misal adalah semigrup, sehingga didefinisikan S
{ }⎩⎨⎧
∪=
identitaselemenmemuattidakSJikaSidentitaselemenmemuatSJikaS
S1
1
Dengan 1 adalah elemen identitas yaitu sss == .11. .
Terkait dengan definisi tersebut, diperoleh proposisis berikut:
Proposisi 2.2. Misalkan μ adalah subhimpunan fuzzy pada yang didefinisikan 1S
11)( Sx =μ , sehingga berlaku: μ subsemigrup fuzzy pada jika dan hanya jika 1S μ
adalah ideal fuzzy semigrup 1S .
Bukti:
(⇐ ) pasti berlaku
( )⇒ { }=≥ )(),(min)( yxxy μμμ { }1,1min 1= { } { })(),(1,1 yxmaksmaks μμ==
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
300
M – 5 : Ideal Fuzzy Semigrup Karyati, Indah E W, Sri Wahyuni, Budi S, Setiadji
Sehingga dipenuhi { })(),()( yxmaksxy μμμ ≥
Selanjutnya juga didefinisikan :
{ }⎩⎨⎧
∪=
nolelemenmemuattidakSJikaSnolelemenmemuatSJikaS
S0
0
Dengan adalah elemen nol, yaitu 0 00..0 == ss
Proposisi 2.3. Misalkan adalah semigrup dengan S Sx 0)( =μ untuk setiap ,
sehingga berlaku:
Sx∈
μ subsemigrup fuzzy pada jika dan hanya jika 0S μ ideal fuzzy
pada 0S
Bukti:
(⇐ ) pasti berlaku
( )⇒ { }=≥ )(),(min)( yxxy μμμ { }0,0min 0= { } { })(),(0,0 yxmaksmaks μμ==
Sehingga dipenuhi { })(),()( yxmaksxy μμμ ≥
Proposisi 2.4. Jika μ adalah subsemigrup fuzzy pada semigrup dan S tx ≥)(μ untuk
setiap dan Sx∈ [ 1,0 ]∈t tertentu, maka tμ adalah ideal di . S
Bukti:
Ambil Sxs tμ∈ dengan tx μ∈ dan Ss∈ , sehingga diperoleh:
{ } { tttsxxs }=≥≥ ,min)(),(min)( μμμ . A kibatnya txs ≥)(μ atau txs μ∈
Jadi tt S μμ ⊆ .
Akibat 2.1. Jika μ adalah ideal fuzzy pada semigrup dan S tx ≥)(μ untuk setiap
dan tertentu, maka Sx∈ [ 1,0∈t ] tμ adalah ideal di . S
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
301
M – 5 : Ideal Fuzzy Semigrup Karyati, Indah E W, Sri Wahyuni, Budi S, Setiadji
Bukti:
Menurut Poposisi 2.1. maka μ adalah subsemigrup fuzzy , menurut Proposisi 2.4
sehingga tμ adalah ideal di . S
Masih terkait dengan homomorfisma semigrup, proposisi berikut menjamin
bilamana suatu pra peta suatu subsemigrup fuzzy pada semigrup sebagai kodomain
homomorfisma semigrup membentuk ideal fuzzy:
'S
Proposisi 2.5. Misalkan ' adalah homomorphisma semigrup dan : SSf → η adalah
subhimpunan fuzzy pada , sehingga berlaku: jika 'S η ideal fuzzy pada semigrup ,
maka ideal fuzzy pada
'S
)(1 η−f S
Bukti:
{ }))'(()),(())'()(())'(()')((1 xfxfmaksxfxfxxfxxf ηηηηη ≥==−
{ })')((),)(( 11 xfxfmaks ηη −−=
Jadi ideal fuzzy pada . )(1 η−f S
Akibat 2.2. Misalkan adalah homomorfisma semigrup. Jika ': SSf → η adalah ideal
fuzzy pada semigrup dengan 'S ty ≥)(η untuk setiap 'Sy∈ dan untuk
tertentu, maka
[ ]1,0∈t
( )tf )(1 η− adalah ideal pada S
Bukti:
Menurut Proposisi 2.6, maka ideal fuzzy pada . Diketahui )(1 η−f S ty ≥)(η untuk
setiap ' dan untuk tertentu, maka untuk setiap
. Sehingga menurut Akibat 2.1 maka terbukti
Sy ∈ [ 1,0∈t ] txfxf ≥=− ))(())((1 ηη
Sx∈ ( )tf )(1 η− adalah ideal pada S
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
302
M – 5 : Ideal Fuzzy Semigrup Karyati, Indah E W, Sri Wahyuni, Budi S, Setiadji
Proposisi 2.6. Misalkan ' adalah homomorphisma semigrup dengan
kernelnya adalah
: SSf →
K dan μ suatu ideal fuzzy pada , sehingga berlaku S
]1,0[/: →KSKμ ideal fuzzy pada KS /
Bukti:
( ))(sup)()( xykxyKxKyKKk
KK μμμ∈
== { }( ))(),(sup ykxkmaksKk
μμ∈
≥
⎭⎬⎫
⎩⎨⎧
≥∈∈ KkKk
ykxkmaks ))(sup()),((sup μμ { })(),( yKxKmaks KK μμ=
Akibat 2.4. Misalkan adalah homomorfisma semigrup yang surjektif
dengan kernel
': SSf →
K . Jika μ adalah subsemigrup fuzzy pada semigrup dengan S tx ≥)(μ
untuk setiap dan untuk tertentu, maka Sx∈ [ 1,0∈t ] ( )tKμ adalah ideal di . KS /
Bukti:
Menurut Proposisi 2.6. jika μ adalah subsemigrup fuzzy pada , maka S Kμ adalah
subsemigrup fuzzy pada . Selanjutnya dipenuhi KS / ( ) { )(sup xkxKKk
K μμ∈
= }. Karena
tx ≥)(μ untuk setiap dan untuk Sx∈ [ ]1,0∈t tertentu, maka txKK ≥)(μ untuk setiap
. Menurut Akibat 2.1 , maka KSxK /∈ ( )tKμ adalah ideal di . KS /
3. Kesimpulan
Berdasarkan penyelidikan pada pembahasan di atas, maka dapat diperoleh
kesimpulan sebagai berikut:
1. Jika μ ideal fuzzy semigrup , maka S μ subsemigrup fuzzy pada S
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
303
M – 5 : Ideal Fuzzy Semigrup Karyati, Indah E W, Sri Wahyuni, Budi S, Setiadji
2. Misalkan μ adalah subsemigrup fuzzy pada yang didefinisikan 1S 11)( Sx =μ ,
sehingga berlaku: μ subsemigrup fuzzy pada jika dan hanya jika 1S μ adalah
ideal fuzzy semigrup 1S
3. Misalkan semigrup dengan S Sx 0)( =μ untuk setiap Sx∈ , sehingga berlaku: μ
subsemigrup fuzzy pada jika dan hanya jika 0S μ ideal fuzzy pada 0S
4. Jika μ adalah subsemigrup fuzzy pada semigrup dan S tx ≥)(μ untuk setiap
dan tertentu, maka
Sx∈
[ 1,0∈t ] tμ adalah ideal di . S
5. Jika μ adalah ideal fuzzy pada semigrup dan S tx ≥)(μ untuk setiap dan
tertentu, maka
Sx∈
[ 1,0∈t ] tμ adalah ideal di . S
6. Misalkan adalah homomorphisma semigrup dan ': SSf → η adalah subhimpunan
fuzzy pada , sehingga berlaku: jika 'S η ideal fuzzy pada semigrup , maka
ideal fuzzy pada
'S
)(1 η−f S
7. Misalkan adalah homomorfisma semigrup. Jika ': SSf → η adalah ideal fuzzy
pada semigrup dengan 'S ty ≥)(η untuk setiap 'Sy∈ dan untuk tertentu,
maka
[ 1,0∈t ]
( )tf )(1 η− adalah ideal pada S
8. Misalkan adalah homomorfisma semigrup yang surjektif dengan kernel ': SSf →
K . Jika μ adalah subsemigrup fuzzy pada semigrup dengan S tx ≥)(μ untuk
setiap dan untuk tertentu, maka Sx∈ [ 1,0∈t ] ( )tKμ adalah ideal di . KS /
DAFTAR PUSTAKA Ajmal, Naseem. 1994.Homomorphism of Fuzzy groups, Corrrespondence Theorm and
Fuzzy Quotient Groups. Fuzzy Sets and Systems 61, p:329-339. North-Holland Asaad, Mohamed.1991. Group and Fuzzy Subgroup. Fuzzy Sets and Systems 39, p:323-
328. North-Holland Howie, J.M, 1976. An Introduction to Semigroup Theory. Academic Press, Ltd, London Kandasamy, W.B.V. 2003. Smarandache Fuzzy Algebra. American Research Press and
W.B. Vasantha Kandasamy Rehoboth. USA
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
304
M – 5 : Ideal Fuzzy Semigrup Karyati, Indah E W, Sri Wahyuni, Budi S, Setiadji
Karyati, et.al. 2008. The Fuzzy Version of the Fundamental Theorem of Semigroup
Homomorphism, Seminar Internasional IcoMS IPB, Bogor. Mordeson, J.N, Malik, D.S. 1998. Fuzzy Commutative Algebra. World Scientifics
Publishing Co. Pte. Ltd. Singapore
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
305
M – 6 : Perbandingan Model Regresi Poisson........ Kismiantini
Perbandingan Model Regresi Poisson Dan Model Regresi Binomial Negatif
Kismiantini Jurusan Pendidikan Matematika
FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta
Abstrak Dalam menganalisis hubungan antara beberapa peubah, terdapat sejumlah fenomena dimana peubah
responnya bukan lagi kontinu melainkan berbentuk diskret. Fenomena peubah respon berbentuk diskret dengan data berupa cacahan biasanya dianalisis dengan regresi Poisson. Permasalahan yang sering muncul dari regresi Poisson adalah overdispersi (ragam melebihi rata-ratanya), untuk menanganinya dapat digunakan teknik regresi binomial negatif. Hipotesis parameter dispersi sama dengan nol atau tidak dapat digunakan untuk mengetahui model yang lebih baik diantara model regresi Poisson dan model regresi binomial negatif.
Kata kunci : Data cacahan, regresi Poisson, regresi binomial negatif
PENDAHULUAN
Seringkali penelitian mengkaji hubungan antara peubah respon (atau peubah tak
bebas) dengan peubah bebas, dengan peubah respon dapat berupa kontinu maupun
diskret. Hubungan fungsional antara peubah respon dengan peubah bebas dapat
dijelaskan oleh teknik analisis regresi (Kutner et al., 2005). Analisis regresi klasik
mengasumsikan bahwa peubah respon merupakan peubah kontinu dan mengikuti
distribusi normal. Apabila peubah respon tidak lagi kontinu melainkan diskret maka
analisis ini tidak dapat digunakan.
Salah satu fenomena dimana peubah responnya diskret adalah fenomena
banyaknya kejadian yang jarang terjadi. Misalnya banyaknya kecelakaan mobil setiap
bulan, banyaknya hujan badai setiap tahun, banyaknya kebakaran hutan setiap tahun,
banyaknya barang yang cacat dalam suatu produksi tertentu. Data yang diperoleh
berupa cacahan. Model regresi yang dapat digunakan untuk menjelaskan hubungan
antara peubah bebas dengan peubah respon berupa cacahan adalah regresi Poisson dan
regresi binomial negatif (Park, 2005). Regresi binomial negatif sering digunakan untuk
mengatasi masalah overdispersi pada regresi Poisson (Berk & MacDonald, 2007).
Overdispersi terjadi ketika ragam melebihi rataan pada kasus Poisson.
PEMBAHASAN
Data cacahan merupakan data yang sering dijumpai pada penelitian kriminologi,
kesehatan maupun biologi. Ketika peubah respon berupa cacahan, sangat umum untuk
menggunakan regresi Poisson (kasus khusus dari model linear terampat). Masalah yang
sering dihadapi dalam regresi Poisson adalah overdispersi, hal ini disebabkan
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
306
M – 6 : Perbandingan Model Regresi Poisson........ Kismiantini
diantaranya peubah bebas yang tidak termuat dalam model, sehingga masih
dimungkinkan adanya keragaman dari peubah respon yang disebabkan oleh peubah lain.
Regresi Poisson
Model regresi untuk data cacahan diantaranya adalah model regresi Poisson.
Pada model regresi ini, peubah respon berupa data cacahan yang mengikuti distribusi
Poisson. Distribusi Poisson sering digunakan untuk kejadian-kejadian yang jarang
terjadi dengan data berupa cacahan yang mempunyai nilai non negatif.
Peubah acak Y dikatakan berdistribusi Poisson dengan parameter μ dengan y = 0,
1, 2, ... bila fungsi peluangnya adalah
( ) 0,!
>=−
μμμ
yeyp
y
(1)
Distribusi Poisson ini mempunyai rata-rata dan ragam berikut
( ) ( ) μ== YVarYE (2)
Karena rata-rata sama dengan ragamnya, maka sembarang faktor akan berpengaruh
terhadap lainnya, sehingga asumsi homogenitas tidak harus dipenuhi pada data Poisson
(Rodriquez, 2001).
Selanjutnya untuk membangun model regresi Poisson, dimisalkan sampel acak
( )ii PoissonY μ~ , dan rata-rata μni ...,,2,1= i bergantung pada vektor peubah bebas
(peubah penjelas) xi dan vektor koefisien regresi β, yaitu
(3) βxTii =μ
Tetapi model ini memiliki kelemahan yaitu prediktor linear ( ) dapat diasumsikan
dengan sebarang nilai, padahal rata-rata Poisson merupakan harapan cacahan yang
nilainya harus non negatif. Untuk mengatasi permasalahan ini digunakan log rata-rata
dengan model linear sebagai berikut
βxTi
( ) βxTii =μlog (4)
Regresi Binomial Negatif
Jika model regresi Poisson tidak fit dengan data cacahan dan ragam peubah
respon melebihi rata-ratanya yang sering disebut sebagai overdispersi (hal ini dapat
dilihat dari plot sisaan dengan prediktor linear dengan titik-titik berpola menyebar)
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
307
M – 6 : Perbandingan Model Regresi Poisson........ Kismiantini
maka model regresi binomial negatif dapat digunakan sebagai alternatif untuk
mengatasi permasalahan tersebut (Cameron & Trivedi, 1999).
Langkah pertama dalam membangun model regresi binomial negatif adalah
dengan mengasumsikan bahwa peubah respon Yi merupakan peubah acak yang saling
bebas dan identik yaitu ( )i
iid
ii PoissonY λλ ~ , dengan fungsi peluang ( )!i
yi
ii ye
yfiiλ
λλ−
= ,
dan K,2,1,0=iy 0>iλ .
Langkah kedua adalah dengan mengasumsikan bahwa ( )βαλ ,~ Gammai dengan rata-
rata αβ, ragam dan fungsi padat peluang berikut 2αβ
( ) ( ) ( )⎪⎩
⎪⎨
⎧ >−Γ=
−
lain yang , 0
0,exp1 1
i
iiiim
λ
λβλλαβλ
αα (5)
Maka diperoleh fungsi bersama adalah
( ) ( ) ( )βλλαβ
λλ α
α
λ
iii
yi
ii ye
yfii
−Γ
= −−
exp1!
, 1 , 0;,1,0 >= iiy λK (6)
Selanjutnya diperoleh fungsi marjinal dapat diperoleh merupakan fungsi peluang dari
distribusi binomial negatif sebagai berikut
( ) ( ) iiii dyfym λλ∫∞
=0
,
( )( )
α
βββ
αα
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛+⎟⎟
⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛+Γ
+Γ=
11
1!
iy
i
i
yy
, K,2,1,0=iy (7)
Distribusi binomial negatif dengan fungsi peluang pada (7) ini mempunyai rata-rata
( ) ( )[ ] ( ) αβλλ === EYEEYE ii
dan ragam
( ) ( )[ ] ( )[ ]
( ) ( )2
αβαβ
λλλλ
+=
+=
+=
EVarYEVarYVarEYVar iii
Selanjutnya dalam membangun model regresi binomial negatif, diasumsikan bahwa
αβμ =i dan ακ 1= , sehingga ( ) iiYE μ= dan ( ) 2iiiYVar κμμ += , ragam ini
merupakan fungsi kuadratik yang mengakomodasi parameter overdispersi κ >0.
Sehingga distribusi Yi menjadi
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
308
M – 6 : Perbandingan Model Regresi Poisson........ Kismiantini
( ) ( )( )
κ
κμκμκμ
κκ
/1
1
1
11
1! ⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛+⎟⎟
⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛+Γ
+Γ= −
−
i
y
i
i
i
ii
i
yy
ym (8)
Jika 0→κ maka distribusi ini mendekati Poisson(μ). Binomial negatif mampu
mengakomodasi overdispersi ( 0>κ ) tetapi tidak underdispersi ( 1<κ ) pada model
Poisson. Secara umum didefinisikan bahwa peubah respon merupakan peubah acak
berdistribusi binomial negatif dengan parameter iμ dan κ berikut
( )κμ ,~ ii BNY (9)
dan fungsi hubung log yaitu
βxTii =μlog (10)
dengan xi vektor peubah bebas (peubah penjelas) dan β vektor koefisien regresi.
Perbandingan Model Regresi Poisson dan Model Regresi Binomial Negatif
Model regresi Poisson dan model regresi binomial negatif termasuk dalam
model linear terampat (Generalized Linear Model). Ada tiga komponen utama dalam
GLM yaitu (McCullagh & Nelder, 1989):
1. Komponen acak, yaitu komponen dari Y yang bebas dan fungsi padat peluang atau
fungsi peluang Y termasuk dalam keluarga sebaran eksponensial dengan ( ) μ=YE .
2. Komponen sistematik, yaitu yang menghasilkan penduga linear pxxx ,,, 21 K η
dimana pp xx βββη +++= ...110 .
3. Fungsi penghubung (link function) g(.), yang menggambarkan hubungan antara
penduga linear η dengan nilai tengah μ. (η = g(μ)).
Berikut adalah tabel yang menjelaskan tiga komponen utama GLM pada model regresi
Poisson dan model regresi binomial negatif.
Tabel 1. Komponen GLM
Model Regresi Komponen acak Komponen Sistematik Fungsi hubung
Poisson ( )i
iid
i PoissonY μ~ βxTi log
Binomial Negatif ( )κμ ,~ i
iid
i BNY βxTi log
Model regresi binomial negatif memuat parameter dispersi κ yang
mengakomodasi overdispersi. Menurut Long (1997), uji likelihood ratio dapat
digunakan untuk memeriksa hipotesis nol tidak ada overdispersi, yaitu hipotesis H0 : κ
= 0 lawan H1 : κ ≠ 0. Statistik uji yang digunakan ( ) 2)1(~lnln2 χPoissonBN LLLR −= . Jika
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
309
M – 6 : Perbandingan Model Regresi Poisson........ Kismiantini
H0 ditolak maka terjadi overdispersi dengan kata lain model regresi binomial negatif
lebih baik digunakan daripada model regresi Poisson.
Tabel 2. Perbandingan Model Regresi Poisson dan Model Regresi Binomial Negatif
Model Regresi Poisson
Model Regresi Binomial Negatif
Peubah respon ( )i
iid
i PoissonY μ~ ( )κμ ,~ i
iid
i BNY Rata-rata dan ragam dari peubah respon Yi
( ) ( ) iii YVarYE μ== ( ) iiYE μ= ,
( ) 2iiiYVar κμμ +=
Parameter dispersi (κ) Tidak ada Ada Hipotesis H0 : κ = 0 H1 : κ ≠ 0
H0 diterima maka model regresi Poisson lebih baik daripada model regresi binomial negatif.
H0 ditolak maka model regresi binomial negatif lebih baik daripada model Poisson.
Tabel 2 menjelaskan secara garis besar perbedaan dari model regresi Poisson dan model
regresi binomial negatif, walaupun kedua model ini sama-sama digunakan untuk
memodelkan data berupa cacahan.
Ilustrasi
Data yang digunakan dalam makalah ini adalah dua data sekunder. Data pertama
diambil dari Gail (1978) dalam Stokes et al. (2000) yaitu tentang penderita melanoma
pada pria berkulit putih dari tahun 1969-1971 di dua wilayah. Data ini berupa
banyaknya penderita melanoma (sebagai peubah respon), wilayah, kelompok usia
(sebagai peubah bebas), dan banyaknya penduduk yang beresiko pada wilayah dan
kelompok usia tertentu. Input data melanoma pada SAS versi 9.1,
data melanoma;
input age $ region $ cases total;
ltotal=log(total);
datalines;
35-44 south 75 220407
45-54 south 68 198119
55-64 south 63 134084
65-74 south 45 70708
75+ south 27 34233
<35 south 64 1074246
35-44 north 76 564535
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
310
M – 6 : Perbandingan Model Regresi Poisson........ Kismiantini
45-54 north 98 592983
55-64 north 104 450740
65-74 north 63 270908
75+ north 80 161850
<35 north 61 2880262
;
proc genmod data=melanoma order=data;
class age region;
model cases = age region
/ dist=poisson link=log offset=ltotal;
run;
Berikut output SAS versi 9.1 dari data melanoma dengan model regresi Poisson.
Criteria For Assessing Goodness Of Fit
Criterion DF Value Value/DF
Deviance 5 6.2149 1.2430
Scaled Deviance 5 6.2149 1.2430
Pearson Chi-Square 5 6.1151 1.2230
Scaled Pearson X2 5 6.1151 1.2230
Log Likelihood 2694.9262
Selanjutnya untuk mendapatkan Likelihood Ratio dari model regresi binomial negatif
pada data melanoma adalah dengan mengganti distribusi pada input data, yaitu semula
dist=poisson menjadi dist=negbin, sehingga diperoleh output berikut :
Criteria For Assessing Goodness Of Fit
Criterion DF Value Value/DF Deviance 5 20.0285 4.0057 Scaled Deviance 5 20.0285 4.0057 Pearson Chi-Square 5 18.4675 3.6935 Scaled Pearson X2 5 18.4675 3.6935 Log Likelihood 2697.4922
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
311
M – 6 : Perbandingan Model Regresi Poisson........ Kismiantini
Berdasarkan kedua output SAS ini diperoleh bahwa LR = 2×(2697.4922 – 2694.9262) =
2.566. Bila dipilih taraf nyata α = 0.05, , maka LR < 3.841 sehingga H841,32)1(05.0 =χ 0
diterima (κ = 0), yang berarti tidak terjadi overdispersi atau dengan kata lain model
regresi Poisson lebih baik digunakan daripada model regresi binomial negatif.
Data kedua diambil dari LaVange et al. (1994) tentang infeksi pernapasan
pendek. Data ini berupa banyaknya penderita pernapasan pendek setiap tahun (sebagai
peubah respon), banyaknya perokok pasif dalam rumahtangga, status sosial ekonomi,
crowding, ras dan kelompok usia (sebagai peubah bebas), dengan jumlah pengamatan
ada sebanyak 284 anak. Dalam kasus ini, sangat masuk akal bahwa anak yang terserang
batuk kebanyakan disebabkan oleh hal lain, sehingga dimungkinkan tambahan
keragaman atau terjadi overdispersi pada data ini. Input data infeksi pernapasan pendek
pada SAS versi 9.1,
data lri;
input id count risk passive crowding ses agegroup race @@;
logrisk =log(risk/52);
datalines;
1 0 42 1 0 2 2 0 96 1 41 1 0 1 2 0 191 0 44 1 0 0 2 0
2 0 43 1 0 0 2 0 97 1 26 1 1 2 2 0 192 0 45 0 0 0 2 1
3 0 41 1 0 1 2 0 98 0 36 0 0 0 2 0 193 0 42 0 0 0 2 0
4 1 36 0 1 0 2 0 99 0 34 0 0 0 2 0 194 1 31 0 0 0 2 1
. . .
92 1 3 1 0 1 3 1 187 0 42 0 0 0 2 0 282 1 32 1 0 2 2 0
93 0 26 1 0 0 2 1 188 0 38 0 0 0 2 0 283 0 22 1 1 2 2 1
94 0 35 1 0 0 2 0 189 0 36 1 0 0 2 0 284 0 35 0 0 0 2 1
95 3 37 1 0 0 2 0 190 0 39 0 1 0 2 0
;
proc genmod data=lri;
class ses id race agegroup;
model count = passive crowding ses race agegroup /
dist=negbin offset=logrisk type3;
run;
Berikut output SAS versi 9.1 dari data infeksi pernapasan pendek dengan model regresi
Poisson.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
312
M – 6 : Perbandingan Model Regresi Poisson........ Kismiantini
Criteria For Assessing Goodness Of Fit
Criterion DF Value Value/DF
Deviance 276 408.1549 1.4788
Scaled Deviance 276 408.1549 1.4788
Pearson Chi-Square 276 495.4493 1.7951
Scaled Pearson X2 276 495.4493 1.7951
Log Likelihood -260.4117
Berdasarkan output ini, diperoleh nilai 1.4788 untuk deviance/df dan 1.7951 untuk
Perason/df, nilai ini mengindikasikan terjadinya overdispersi. Selanjutnya dengan cara
yang sama pada data pertama, untuk mendapatkan Likelihood Ratio dari model regresi
binomial negatif pada data infeksi pernapasan pendek ini adalah dengan mengganti
distribusi pada input data, yaitu semula dist=poisson menjadi dist=negbin, sehingga
diperoleh output berikut :
Criteria For Assessing Goodness Of Fit
Criterion DF Value Value/DF
Deviance 276 256.9688 0.9310
Scaled Deviance 276 256.9688 0.9310
Pearson Chi-Square 276 298.2410 1.0806
Scaled Pearson X2 276 298.2410 1.0806
Log Likelihood -242.2932
Berdasarkan output ini, nilai 0.9310 untuk deviance/df dan 1.0806 untuk Perason/df,
nilai ini mengindikasikan tidak terjadinya overdispersi. Dari kedua output SAS ini
diperoleh bahwa LR = 2×(-242.2932 – (-260.4117) = 18.1185. Bila dipilih taraf nyata α
= 0.05, , maka LR > 3.841 sehingga H841,32)1(05.0 =χ 0 ditolak (κ ≠ 0), yang berarti
terjadi overdispersi atau dengan kata lain model regresi binomial negatif lebih baik
digunakan daripada model regresi Poisson.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
313
M – 6 : Perbandingan Model Regresi Poisson........ Kismiantini
PENUTUP
Model regresi binomial negatif memiliki parameter dispersi κ yang mampu
mengakomodasi permasalahan overdispersi pada model regresi Poisson. Bila hipotesis
nol tidak terjadi overdispersi diterima maka model regresi Poisson lebih baik daripada
model regresi binomial negatif dan sebaliknya bila hipotesis nol tidak terjadi
overdispersi ditolak maka model regresi binomial negatif lebih baik digunakan daripada
model regresi Poisson. Bila nilai deviance/df dan Pearson/df pada goodness of fit
mendekati satu maka tidak mengindikasikan terjadinya overdispersi.
DAFTAR PUSTAKA Berk, D. & MacDonald, J. 2007. Overdispersion and Poisson regression. Department of
Statistics, Department of Criminology, University of Pennsylvania. Cameron, A.C. & Trivedi, P.K. 1999. Essentials of count data regression. A Companion
to Theoretical Econometrics, Blackwell. Gail, M. 1978. The analysis of heterogeneity for indirect standardized mortality ratios.
Journal of the Royal Statistical Society A 141: 224-234. Kutner, M.H., Nachtsheim, C.J., Neter, J. & Li, W. 2005. Applied Linear Statistical
Models. New York: McGraw-Hill. Lavange, L.M., Keyes, L.L., Koch, G.G. & Margolis, P.E. 1994. Application sample
survey methods for modelling ratios to incidence densities. Statistics in Medicine 13: 343-355.
Long, J.S. 1997. Regression models for categorical and limit dependent variables.
Advanced Quantitative Techniques in the Social Sciences. Sage Publications. McCullagh, P. & Nelder, J.A. 1989. Generalized Linear Models. London: Chapman &
Hall. Park, H.M. 2005. Regression models for event count data using SAS, STATA, and
LIMDEP. Indiana: The Trustees of Indiana University. Rodriguez, G. 2001. Poisson models for count data. [terhubung berkala]
http://data.pricenton.edu/wws509/notes/c4.pdf [13 Juni 2006]. Stokes, M.E., Davis, C.S. & Koch, G.G. 2000. Categorical data analysis using the
SAS® system second edition. North Carolina: John Wiley & Sons.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
314
M – 7 : Efisiensi Sumber Daya....... Kuswari Hernawati
Efisiensi Sumber Daya dengan Virtualisasi Server
Kuswari Hernawati
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY
Abstrak
Perkembangan teknologi jaringan komputer yang pesat memungkinkan komunikasi dan pertukaran data
dalam jaringan komputer menjadi semakin mudah, mampu menyajikan suatu dokumentasi informasi secara terpadu,
lebih bersifat dinamis dan dapat dibuat dalam format digital. Komputer-komputer yang dihubungkan ke jaringan
komputer dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yakni komputer penyedia layanan (server) dan komputer
pengguna layanan (client). Contoh dari aplikasi server ini adalah Server DHCP, Server Mail, Server HTTP, Server
FTP, Server DNS dan lain sebagainya. Banyaknya aplikasi server yang diperlukan, memerlukan suatu manajemen
khusus untuk mengelola server-server tersebut. Dari segi finansial banyaknya hardware server akan membuat biaya
operasional melonjak tinggi seperti tenaga listrik, pendingin ruangan, luas ruangan dan mahalnya harga hardware
mesin server.
Virtualisasi merupakan teknik pengelolaan sistem dan sumber daya secara fungsional, dengan
menyembunyikan karakteristik fisik dari sumber daya. Virtual Server adalah teknologi server side tentang sistem
operasi dan software yang memungkinkan sebuah mesin dengan kapasitas besar di bagi ke beberapa virtual mesin.
Tiap virtual mesin ini melayani sistem operasi dan software secara independen dan dengan konfigurasi yang cepat.
Konsep virtualisasi ini memungkinkan beberapa server berjalan di atas satu mesin. Keuntungan utamanya selain
tentang kesinambungan jalannya organisasi/perusahaan juga tentang fleksibilitas, kesederhanaan, konsolidasi server,
recovery yang cepat, dan pengurangan biaya administrasi, seperti yang diharapkan. Virtualisasi memungkinkan
terjadinya isolasi sistem yang lebih baik, sehingga bisa digunakan untuk menambahkan keamanan dan kehandalan
sistem
Kata kunci : Virtualisasi, server, sumber daya
A. Latar Belakang
Perkembangan dunia Teknologi Informasi (IT) saat ini terus meningkat dan terus
mengalami perkembangan baik dari segi bentuk, ukuran, kecepatan, kemampuan untuk
mengakses multimedia dan jaringan komputer. Sejalan dengan perkembangan IT,
perkembangan teknologi jaringan komputer yang pesat memungkinkan komunikasi dan
pertukaran data dalam jaringan komputer menjadi semakin mudah, mampu menyajikan
suatu dokumentasi informasi secara terpadu, lebih bersifat dinamis dan dapat dibuat
dalam format digital, termasuk hadirnya teknologi Internet berupa Web dengan berbagai
macam teknologi pendukungnya yang memungkinkan dilakukannya komunikasi dan
layanan informasi secara mudah dan efisien. Pesatnya perkembangan jaringan komputer
ini juga memaksa suatu organisasi untuk menyediakan peralatan yang memadai untuk
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
315
M – 7 : Efisiensi Sumber Daya....... Kuswari Hernawati
mendukung segala kegiatan yang berhubungan. Komputer-komputer yang dihubungkan
ke jaringan komputer dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yakni komputer penyedia
layanan (server) dan komputer pengguna layanan (client). Server adalah sebuah sistem
komputer yang menyediakan jenis layanan tertentu dalam sebuah jaringan komputer.
Server didukung dengan prosesor yang bersifat scalable dan RAM yang besar, juga
dilengkapi dengan sistem operasi khusus, yang disebut sebagai sistem operasi jaringan
atau network operating system. Server juga menjalankan perangkat lunak administratif
yang mengontrol akses terhadap jaringan dan sumber daya yang terdapat di dalamnya,
seperti halnya berkas atau alat pencetak (printer), dan memberikan akses kepada
workstation anggota jaringan.
Umumnya, di atas sistem operasi server terdapat aplikasi-aplikasi yang menggunakan
arsitektur klien/server. Contoh dari aplikasi ini adalah Server DHCP, Server Mail,
Server HTTP, Server FTP, Server DNS dan lain sebagainya.
Banyaknya aplikasi server yang diperlukan, memerlukan suatu manajemen
khusus untuk mengelola server-server tersebut. Bila terjadi sesuatu gangguan terhadap
sebuah server yang diandalkan sebagai infrastruktur utama seluruh aplikasi dalam suatu
organisasi/perusahaan, maka dapat dipastikan seluruh proses kegiatan dalam
organisasi/perusahaan akan terganggu, atau bahkan berhenti sama sekali. Server
pengganti harus segera disediakan, namun dibutuhkan waktu untuk melakukan proses
instalasi ulang atau konfigurasi ulang. Dapat dibayangkan berapa banyak potensi
pendapatan yang hilang dari selang waktu yang dibutuhkan untuk memperbaiki server
dan mengembalikan sistem ke keadaan semula, untuk itulah diperlukan suatu konsep
virtualisasi server. Konsep virtualisasi memungkinkan beberapa server berjalan di atas
satu mesin. Hal ini menurunkan space yang dibutuhkan oleh server dan memaksimalkan
utilisasi server. Setiap role dapat berjalan di sebuah lingkungan virtual yang terisolasi
sehingga relatif lebih aman dan mudah untuk diatur. Bila salah satu server down, maka
administrator cukup mematikan server tersebut dan menyalakan cadangannya, semudah
melakukan aktivitas copy dan paste. (Robby, 2008)
Dari segi finansial banyaknya hardware server akan membuat biaya operasional
melonjak tinggi seperti tenaga listrik, pendingin ruangan, luas ruangan dan mahalnya
harga hardware mesin server. Dengan virtualisasi server yang hanya memerlukan satu
mesin untuk beberapa server akan mereduksi biaya yang diperlukan, selain itu dengan
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
316
M – 7 : Efisiensi Sumber Daya....... Kuswari Hernawati
teknologi virtualisasi ini maka terjadi penambahan fitur untuk berbagai sistem operasi
sehingga satu perangkat keras dapat digunakan bersama-sama oleh lebih dari satu
sistem operasi. Virtualisasi memungkinkan terjadinya isolasi sistem yang lebih baik,
sehingga bisa digunakan untuk menambahkan keamanan dan kehandalan sistem
B. Server
Server adalah sebuah sistem komputer yang menyediakan jenis layanan tertentu dalam
sebuah jaringan komputer. Server didukung dengan prosesor yang bersifat scalable dan
RAM yang besar, juga dilengkapi dengan sistem operasi khusus, yang disebut sebagai
sistem operasi jaringan atau network operating system. Server juga menjalankan
perangkat lunak administratif yang mengontrol akses terhadap jaringan dan sumber
daya yang terdapat di dalamnya, seperti halnya berkas atau alat pencetak (printer), dan
memberikan akses kepada workstation anggota jaringan.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Server)
Umumnya, di atas sistem operasi server terdapat aplikasi-aplikasi yang menggunakan
arsitektur klien/server. Beberapa aplikasinya antara lain :
1. DHCP Server,
DHCP (Dynamic Host Configuration Protocol) adalah protokol yang berbasis
arsitektur klien/server yang dipakai untuk memudahkan pengalokasian alamat IP
dalam satu jaringan. Sebuah jaringan lokal yang tidak menggunakan DHCP harus
memberikan alamat IP kepada semua komputer secara manual. Jika DHCP dipasang
di jaringan lokal, maka semua komputer yang tersambung di jaringan akan
mendapatkan alamat IP secara otomatis dari server DHCP. Selain alamat IP, banyak
parameter jaringan yang dapat diberikan oleh DHCP, seperti default gateway dan
DNS server. (http://id.wikipedia.org/wiki/Dynamic_host_ configuration_protocol)
2. Mail Server,
Surat elektronik atau nama umumnya disebut email adalah sarana mengirim
surat melalui jalur internet. (http://id.wikipedia.org/wiki/E-mail)
3. HTTP Server,
HTTP (HyperText Transfer Protocol) adalah protokol yang dipergunakan untuk
mentransfer berbagai macam tipe dokumen dalam World Wide Web (WWW).
(http://id.wikipedia.org/wiki/Hypertext_transfer_protocol)
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
317
M – 7 : Efisiensi Sumber Daya....... Kuswari Hernawati
4. FTP Server,
FTP (singkatan dari File Transfer Protocol) adalah sebuah protokol Internet
yang berjalan di dalam lapisan aplikasi yang merupakan standar untuk pentransferan
berkas (file) komputer antar mesin-mesin dalam sebuah internetwork. FTP
merupakan salah satu protokol Internet yang paling awal dikembangkan, dan masih
digunakan hingga saat ini untuk melakukan download dan upload berkas-berkas
komputer antara klien FTP dan server FTP.
(http://id.wikipedia.org/wiki/File_transfer_protocol)
5. DNS Server
DNS (Domain Name System) adalah sebuah sistem yang menyimpan informasi
tentang nama host maupun nama domain dalam bentuk basis data tersebar
(distributed database) di dalam jaringan komputer, misalkan: Internet. DNS
menyediakan alamat IP untuk setiap nama host dan mendata setiap mail exchange
server yang menerima surat elektronik (email) untuk setiap domain. DNS
menyediakan layanan yang cukup penting dalam Internet. Jika perangkat keras
komputer dan jaringan bekerja dengan alamat IP untuk pengalamatan dan routing,
maka user pada umumnya lebih memilih untuk menggunakan nama host dan nama
domain, contohnya adalah URL dan alamat e-mail. DNS dapat menghubungkan
kebutuhan ini. (http://id.wikipedia.org/wiki/Domain_name_system)
C. Virtualisasi
Virtualisasi merupakan teknik pengelolaan sistem dan sumber daya secara
fungsional, dengan mengabaikan letak/lokasi fisiknya. Virtualisasi pada dasarnya adalah
teknik untuk menyembunyikan karakteristik-karakteristik fisik sumber daya komputasi
dimana sistem, aplikasi-aplikasi, atau user lain saling berhubungan dengan sumber daya
tersebut, membuat suatu physical resource (seperti server, sistem operasi, aplikasi, atau
alat penyimpanan) berfungsi sebagai logical resource, membuat multiple physical
resource(seperti device penyimpan atau server-server) terlihat sebagai single logical
resource.
Tipe Virtualisasi :
1. Virtualisasi Sistem Operasi
yaitu metode untuk menjalankan beberapa logical/sistem operasi virtual
di atas sistem operasi host. Metode ini biasanya menggunakan Windows,
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
318
M – 7 : Efisiensi Sumber Daya....... Kuswari Hernawati
Macintosh atau Linux sebagai host, ditambah Virtual mesin manajer untuk
menjalankan Guest OS.
Gambar 1. Virtualisasi Sistem Operasi
2. Virtualisasi Server
Virtualisasi Server berbasis pada virtualisasi hardware, mengijinkan beberapa
guest OS mengakses perangkat keras tanpa memerlukan sistem operasi host yang
lengkap. Virtualisasi perangkat lunak akan berjalan pada hardware dasar dan sistem
operasi tertentu akan di-install ke dalam software virtualisasi tersebut, biasanya
dikenal sebagai virtualisasi server dan biasanya digunakan pada server-server besar.
Gambar 2. Virtualisasi. Server
Virtual Server adalah teknologi server side tentang sistem operasi dan software
yang memungkinkan sebuah mesin dengan kapasitas besar di bagi ke beberapa
virtual mesin. Tiap virtual mesin ini melayani sistem operasi dan software secara
independen dan dengan konfigurasi yang cepat.
Traditional shared hosting yang biasa dikenal memiliki sangat banyak
keterbatasan terhadap aplikasi yang berjalan, karena user hanya mempunyai hak
akses sebagai level user biasa. Apabila user ingin mendapatkan akses terhadap
aplikasi dan resource yang lebih dari sekedar level user biasa maka user harus
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
319
M – 7 : Efisiensi Sumber Daya....... Kuswari Hernawati
menggunakan ke Dedicated Server, hal ini membuat dana melonjak sangat tinggi
seiring dengan mahalnya harga dedicated hardware dan sewa lokasi data center.
Dengan menggunakan teknologi Virtual Server memberikan solusi jembatan
penghubung antara budget financial, resource sistem dan level user.
Penggunaan Virtual Server antara lain adalah untuk web hosting dan backup
Server untuk menjamin layanan selalu berjalan normal adalah sangat penting. Backup
server ini bisa meliputi website, mail, file, dan database. Semua layanan ini berada
dalam kondisi fisik dan logical yang terpisah sehingga meminimalisasi kerusakaan
atau kehilangan data. (http://id.wikipedia.org/wiki/Virtual_private_server)
3. Virtualisasi Aplikasi
Virtualisasi Aplikasi dimana aplikasi disediakan untuk end user, umumnya dari
lokasi jarak jauh(misal server pusat), tanpa perlu menginstall secara lengkap di
sistem lokal user, misalnya aplikasi web, dan aplikasi lain yang ditentukan pada
server untuk dapat diakses dari komputer end user. Tidak seperti operasi klien
server tradisional, aplikasi itu sendiri tidak perlu didesain untuk digunakan beberapa
user di satu waktu, dan tidak seperti dibagi bersama dengan cara yang sama.
Masing-masing user memiliki lingkungan aplikasi yang berfungsi secara penuh,
seolah-olah aplikasi tersebut diinstall di komputer lokal
Gambar 3 Virtualisasi Aplikasi
4. Virtualisasi desktop
Virtualisasi Desktop menyediakan end user suatu lingkungan desktop yang
mengizinkan untuk melakukan akses pada aplikasi yang diautorisasi, dengan
mengabaikan di mana aplikasi yang sebenarnya berada. Hal ini mengizinkan end
user untuk memiliki antar muka tunggal dimana mereka dapat mengakses Web dan
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
320
M – 7 : Efisiensi Sumber Daya....... Kuswari Hernawati
aplikasi lainnya yang ada pada server. Virtual desktop yang menjadi host di server
pusat, memberi hak akses kepada pengguna hanya untuk aplikasi-aplikasi yang
dapat diakses dari jarak jauh, atau juga dapat diakses secara lokal dari komputer
server, sehingga memberi akses pada pengguna lokal, sebagaimana aplikasi-
aplikasi yang diakses dari jarak jauh.
Gambar 4 Contoh virtualisasi desktop Windows pada MAC
5. Streaming Streaming pada dasarnya merupakan subset dari teknologi virtualisasi yang memungkinkan komponen software (termasuk aplikasi, desktop, Sistem operasi yang lengkap) secara dinamis dikirimkan dari lokasi pusat ke end-user pada jaringan. Tidak seperti pengiriman software tradisional, komponen software biasanya dapat digunakan oleh end-user sebelum download lengkap. Tidak ada proses instalasi yang kompleks dan panjang.
Gambar Proses Streaming
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
321
M – 7 : Efisiensi Sumber Daya....... Kuswari Hernawati
6. Virtualisasi Penyimpanan
Virtualisasi penyimpanan mengijinkan beberapa user atau aplikasi untuk
mengakses media penyimpan tanpa memikirkan dimana atau bagaimana
penyimpanan tersebut secara fisik diletakkan atau dikelola. Sebagai contoh satu disk
dengan kapasitas yang besar dapat dipartisi menjadi beberapa partisi yang lebih
kecil, logical disk yang dapat diakses tiap user adalah sebuah drive network tunggal
atau sejumlah disk yang dikumpulkan untuk menyediakan sebuah interface
penyimpanan tunggal kepada end-user dan aplikasi.
Gambar Virtualisasi Penyimpanan
7. Virtualisasi Data Virtualisasi Data mengijinkan user mengkases data sumber dari server (termasuk file, database, dokumen metadata, pesan informasi , dsb) dan menyediakan lapisan untuk mengakses data dengan metode akses data yang berbeda – beda (seperti SQL, XML, JDBC, File access, MQ, JMS, dsb). Lapisan akses data secara umum menginterpretasikan panggilan dari sebarang aplikasi dengan menggunakan protokol tunggal dan menterjemahkan permintaan aplikasi ke protokol yang diperlukan untuk menyimpan dan mengambil data dari metode penyimpanan data yang didukung. Virtualisasi data mengijinkan user/aplikasi untuk mengakses data dengan mengabaikan dimana dan bagaimana data sebenarnya disimpan. (Mann, 2006)
Gambar 5. Virtualisasi Data
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
322
M – 7 : Efisiensi Sumber Daya....... Kuswari Hernawati
Beberapa software yang digunakan untuk virtualisasi antara lain :
• Microsoft Virtual PC 2004, menggunakan software bawaan langsung dari
microsoft
• Microsoft Virtual Server,
• VMWare Workstation ( untuk virtualisasi workstation )
• VMWare ESX Server ( untuk virtualisasi server dengan VMWare OS )
• VMWare GSX Server ( untuk virtualisasi server dengan Platform OS, misalnya
linux, windows )
• Xen
(Raffael, 2006)
Gambar 4 menjelaskan virtualisasi dengan ESX Server
Gambar 4 virtualisasi dengan ESX Server
Sebelum Virtualisasi:
• Single OS image per mesin
• Software and hardware terhubung sangat
erat/menyatu
• Menjalankan beberapa aplikasi pada
mesin yang sama sering menyebabkan
konflik
• Sumber daya yang digunakan tidak
fleksibel/efisien dan mahal
Setelah Virtualisasi:
• Ketidak tergantungan Sistem operasi
dan aplikasi pada hardware.
• Virtual mesin bisa dibagi menjadi
beberapa system
• Bisa mengatur Sistem operasi dan dan
aplikasi sebagai unit tunggal dengan
mengenkapsulasinya ke dalam virtual
mesin.
(VMware,2006)
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
323
M – 7 : Efisiensi Sumber Daya....... Kuswari Hernawati
Berbagai kelebihan virtualisasi :
1. Penghematan biaya.
Investasi hardware dapat ditekan lebih rendah karena virtualisasi hanya
mendayagunakan kapasitas yang sudah ada. Tak perlu ada penambahan
perangkat komputer dan pheriperal secara fisik. Kalaupun ada penambahan
kapasitas harddisk dan memori, itu lebih ditujukan untuk mendukung stabilitas
kerja komputer induk, yang jika dihitung secara finansial, masih jauh lebih
hemat dibandingkan investasi hardware baru. (Muhammad Rifai, 2006)
Sebagai contoh kasus misalnya di sebuah komputer server dijalankan 4 buah
virtual machine sekaligus. 1 buah menjalankan OS Windows sebagai database
server Oracle, satu buah menjalankan OS Solaris 8, satu buah menjalankan OS
Suse Linux Enterprise, dan satu lagi OS Windows 2000 server. Sehingga, tidak
perlu membeli 4 buah server fisik, cukup membeli 1 buah saja, bahkan VMware
server juga bisa diakses dari jarak jauh sehingga tidak perlu lagi membeli
monitor/keyboard/mouse untuk setiap server (server bisa headless), dan diakses
dari jarak jauh.
2. Murah : VMware Server kini sudah disediakan cuma-cuma, tanpa biaya.
Demikian juga dengan berbagai solusi virtualisasi lainnya; VirtualPC, QEMU,
Xen, dan lain-lainnya.
3. Kemudahan maintenance : Biasanya, untuk maintenance sebuah server, perlu
berada di lokasi server, dan ada monitor/keyboard/mouse untuk setiap server.
Kini VMware server sudah bisa diakses jarak jauh sehingga dari komputer
pribadi bisa mengakses puluhan server sekaligus yang berada di belahan dunia
yang lain sekalipun pada saat yang bersamaan.
4. Reliabilitas : Makin banyak server fisik berarti semakin besar kemungkinan
terjadi kerusakan. Jika jumlah server fisik dikurangi, maka infrastruktur akan
menjadi lebih reliable.
5. Kemudahan backup : Umumnya sebuah server tidak bisa dibackup secara
utuh, karena jika suatu saat backup tersebut di restore di komputer yang berbeda
hardwarenya, maka Windows biasanya akan gagal booting. Biasanya backup per
layanan (database, fileserver, dst), membuat proses backup menjadi lebih rumit,
dan proses restorenya juga lebih memakan waktu. Berbeda dengan konsep
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
324
M – 7 : Efisiensi Sumber Daya....... Kuswari Hernawati
virtual machine, dimana semua konfigurasinya sama. Contoh; semua virtual
machine di VMware akan selalu mendapatkan card VGA VMware, network
card PCnet, dst. Karena itu, backupnya jadi sangat mudah. Cukup meng-copy
virtual machine tersebut (biasanya berupa beberapa file) ke tempat backup dan
merestore kembali dengan cara menginstall VMware di komputer yang lain, dan
meng-copy virtual machine tersebut ke komputer tersebut dan semua kembali
berjalan normal.
6. Kemudahan recovery. Server-server yang dijalankan didalam sebuah mesin
virtual dapat disimpan dalam 1 buah image yang berisi seluruh konfigurasi
sistem. Jika satu saat server tersebut crash, kita tidak perlu melakukan instalasi
dan konfigurasi ulang. Cukup mengambil salinan image yang sudah disimpan,
merestore data hasil backup terakhir dan server berjalan seperti sedia kala.
Hemat waktu, tenaga dan sumber daya.(Harry, 2006)
Kesimpulan
Virtualisasi, di dalam semua tipe, adalah suatu teknologi yang sangat
menguntungkan Organisasi/perusahaan menggunakan virtualisasi untuk sejumlah
manfaat-manfaat penting dan riil. Keuntungan utamanya selain tentang kesinambungan
jalannya organisasi/perusahaan juga tentang fleksibilitas, kesederhanaan, konsolidasi
server, recovery yang cepat, dan pengurangan biaya administrasi, seperti yang
diharapkan.
Manajemen lingkungan virtual bagaimanapun juga, lebih sederhana dibanding dengan
yang bersifat “dedicated”/fisik. .
Saran
Hal-hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengeloaan lingkungan virtual,
diantaranya adalah pelatihan dan pengembangan staff yang sesuai dan juga perlu secara
hati-hati merencanakan penggunaannya, mempertimbangkan biaya yang mungkin akan
timbul dan kompatibilitas system
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
325
M – 7 : Efisiensi Sumber Daya....... Kuswari Hernawati
Daftar Pustaka Harry Sufehmi, 2006, Pengenalan Virtualisasi, http://harry.sufehmi.com/archives/2006- 07-29-1222/), diakses tanggal 19 Mei 2008 http://id.wikipedia.org/wiki/E-mail, diakses tanggal 19 Mei 2008 http://id.wikipedia.org/wiki/Dynamic_host_configuration_protocol, diakses tanggal 19 Mei 2008 http://id.wikipedia.org/wiki/Server, diakses tanggal 19 Mei 2008 http://id.wikipedia.org/wiki/Hypertext_transfer_protocol, diakses tanggal 19 Mei 2008
http:// id.wikipedia.org/wiki/Domain_name_system, diakses tanggal 19 Mei 2008 http://id.wikipedia.org/wiki/Virtual_private_server Muhammad Rivai Andargini, 2008, Virtualization on Production Server http://www.vavai.com/blog/index.php?/archives/670-Virtualization-on- Production-Server.html, diakses tanggal 19 Mei 2008 Mann Andi ,2006, Virtualization 101: Technologies, Benefits, and Challenges, EMA Senior Analyst Robby Sugara Silaen, 2008, Melangkah ke Dunia Virtualisasi, (http://sugara.wordpress.com/2008/02/25/technet-flash-newsletter-melangkah- ke-dunia-virtualisasi/), diakses tanggal 19 Mei 2008 Raffaell, 2006, Virtualisasi, http://www.myraffaell.com/blog/?p=344, diakses tanggal 19 Mei 2008 VMware, 2006, Virtualization Overview, VMware Inc., USA
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
326
M – 8 : Ruang Assosiat Terhadap……… Muslim Ansori, Y.D Sumanto
Ruang Assosiat Terhadap Ruang Fungsi Terboboti [ ]( ), ,X a b v Dan Beberapa Permasalahan
Muslim Ansori1 dan Y.D Sumanto2
1)Jurusan Matematika, FMIPA, Universitas Lampung
Jl. Soemantri Brodjonegoro No.1 Bandar Lampung 35145 E-mail: [email protected]
2)Jurusan Matematika, FMIPA, Universitas Diponegoro Jln. Prof. H. Soedarto SH, Tembalang, Semarang
ABSTRACT
This paper discuss a weighted function space [ ]( ), ,X a b v . We construct conjugate and associate space of this space
by generalize the concept of that of a function space [ ]( ),X a b . We give some conditions to make these two spaces
having relationship and some problems are proposed. Keywords : weighted function space, conjugate space, associate space
ABSTRAK
Tulisan ini mengkaji suatu ruang fungsi terboboti [ ]( ), ,X a b v . Selanjutnya, dikonstruksikan ruang konjugat dan
ruang assosiat terhadap ruang ini dengan menggeneralisasikan konsep pada ruang fungsi [ ]( ),X a b . Terakhir
diberikan kaitan antara kedua ruang tersebut. Beberapa permasalahan baru diberikan. Katakunci: Ruang fungsi terboboti, ruang konjugat, ruang assosiat
PENDAHULUAN
Kajian tentang ruang assosiat terhadap ruang barisan X antara lain telah dilakukan oleh
Polly (1982, 1984). Selanjutnya, dengan memperhatikan kesamaan konsep ruang
barisan dan ruang fungsi maka Sunarsini (1998) mengembangkannya pada ruang fungsi
[ ],X a b , [ ],a b ⊂ℜ . Pada kajian ini, akan dikembangkan suatu konsep generalisasi atau
perumuman konsep ruang assosiat terhadap ruang fungsi terboboti [ ]( , ,X a b v) dengan
fungsi bobot . Pada penulisan seterusnya, 0v > [ ]( ), ,vx X a b v∈ cukup ditulis
[ ]( ), ,x X a b v∈ .
PENGERTIAN DASAR
Lambang [ ],m a b dimaksudkan sebagai koleksi semua fungsi terukur bernilai real pada
selang . Jika [ ,a b] ( ) ( )f t g t= hampir di mana-mana (h.d) pada [ ],a b , artinya ada
[ ],E a b⊂ sehingga ( ) 0Eμ = dan ( ) ( )f t g t= untuk semua [ ], \t a b E∈ , maka fungsi
[ ], ,f g m a b∈ dikatakan sama, ditulis singkat f g= . Diberikan [ ] [ ): , 0,v a b → ∞
sebagai fungsi bobot pada [ ],m a b .
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
327
M – 8 : Ruang Assosiat Terhadap……… Muslim Ansori, Y.D Sumanto
Definisi 1.1(norma-B)
Diketahui [ ]( , , )X a b v ruang linear atas ℜ .
Fungsi [ ]( ). : , ,X a b v →ℜ disebut norma-B (B-norm) pada [ ]( ), ,X a b v jika untuk
setiap [ ](, , ),x y X a b v∈ dan skalar α ∈ℜ berlaku:
(i) 0x ≥ ,
(i) 0x = jika dan hanya jika x θ= , θ vektor nol,
(ii) x xα α=
(iii) x y x y+ ≤ +
Jika (i’) diganti dengan (i’’) 0x = jika x θ= , maka . disebut norma-semi (semi-
norm).
Selanjutnya, [ ]( )( , , , .X a b v ) disebut ruang bernorma-B, atau ruang bernorma jika .
suatu norma-B dan disebut ruang bernorma-semi jika . merupakan norma-semi.
Definisi 1.2 (Ruang Fungsi Banach Terboboti)
Suatu ruang linear [ ]( ) [ ], , ,X a b v m a b⊂ dikatakan Ruang Fungsi Banach Terboboti
disingkat RFBT jika kelima aksioma berikut dipenuhi:
(i) Norma [ ]( , ,X a b vf ) weldefined untuk semua [ ],f m a b∈ dan [ ]( ), ,f X a b v∈
jika dan hanya jika [ ]( ), ,X a b vf < ∞ ,
(ii) [ ]( ) [ ](, , , ,X a b v X a b v
f f=)untuk semua [ ],f m a b∈ .
(iii)Jika 0 nf f≤ h.d pada [ ],a b , maka [ ]( ) [ ]( ), , , ,n X a b v X a b vf f ,
(iv) Jika ( ) ( )E
v E v t dt= ∫ < ∞ , maka [ ]( ), ,E X a b vχ ∈ , dengan Eχ menyatakan
fungsi karakteristik pada [ ],E a b⊂ ,
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
328
M – 8 : Ruang Assosiat Terhadap……… Muslim Ansori, Y.D Sumanto
(v) Untuk setiap [ ],E a b⊂ dengan ( )Eμ < ∞ , terdapat suatu konstanta EC
sehingga ( ) ( ) [ ]( , ,E X a b vEf t v t dt C f≤∫ ) untuk semua [ ]( ), ,f X a b v∈ .
Diberikan suatu ruang bernorma-B [ ]( )( ) [ ], , , . ,X a b v m a b⊂ dan [ ]( )0 , ,X a b v
[ ]( , , )X a b v= ruang bernorma terhadap norma ( )0. .= . Untuk setiap bilangan asli ,
dibentuk himpunan
k
[ ]( ) [ ] ( ) ( ) ( ) [ ]( ){ }1, , , : , , ,b
k kaX a b v g m a b f t g t v t dt f X a b v−= ∈ < ∞ ∈∫ .
Mudah dipahami bahwa [ ]( ), ,kX a b v merupakan ruang linear atas field . ℜ
Didefinisikan fungsi ( ) [ ]( ). : , ,k
kX a b v →ℜ dengan rumus
[ ]( ) ( ){ }1
1sup : , , dan 1b k
kag fgv f X a b v f −
−= ∈∫ ≤
untuk setiap [ ]( ), ,kg X a b v∈ .
Karena [ ]( )0 , ,X a b v [ ]( , , )X a b v= , maka untuk menyederhanakan pemakaian setiap
[ ]( 0 , , )X a b v ditulis dengan [ ]( ), ,X a b v .
Selanjutnya, akan diperlihatkan bahwa ( ). k merupakan norma-semi, khususnya untuk
, karena akan dipergunakan untuk pemahasan berikutnya. Dengan demikian
diperoleh
1k =
[ ]( ) [ ] ( ) ( ) ( ) [ ]( ){ }1 , , , : , , ,b
aX a b v g m a b f t g t v t dt f X a b v= ∈ < ∞ ∈∫
dan
( ) [ ]( ){ }1 sup : , , dan 1b
ag fgv f X a b v f= ∈∫ ≤
untuk setiap [ ]( 1 , ,g X a b v∈ ) . Jelas bahwa [ ]( )1 , ,X a b v ruang linear atas ℜ .
Bahwa ( )1. merupakan norma-semi pada [ ]( )1 , ,X a b v dapat diperlihatkan pada teorema
berikut ini:
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
329
M – 8 : Ruang Assosiat Terhadap……… Muslim Ansori, Y.D Sumanto
Teorema 1.3 ( )1. merupakan norma-semi pada [ ]( )1 , ,X a b v .
Bukti:
(i) Jika [ ]( )1 , ,g X a b v∈ maka ( )1 0g ≥ , sebab: ( )1 0b
ag fgv≥ ∫ ≥ untuk setiap
[ ]( ), ,f X a b v∈ .
(i') jika g θ= , maka jelas bahwa ( )1 0g =
(ii) Untuk setiap [ ]( 1 , ,g X a b v∈ ) dan skalar α ∈ℜ , ( ) ( )1 1gα α= g sebab:
( ) ( ) [ ]{ }[ ]{ }[ ]{ }
( )
1
1
sup : , , 1
sup : , , 1
sup : , , 1
b
a
b
a
b
a
g f g v f X a b f
fgv f X a b f
a fgv f X a b f
a g
α α
α
= ∈
= ∈
= ∈
=
∫
∫
∫
≤
≤
≤
(iii)Untuk setiap [ ]( ) ( ) ( ) ( )1 1
1, , , ,g h X a b v g h g h∈ + ≤1
+ sebab :
( ) ( ) [ ]{ }[ ]{ }
[ ]{ }[ ]{ } [ ]{ }
( ) ( )
1
1 1
sup : , , 1
sup : , , 1
sup : , , 1
sup : , , 1 sup : , , 1
b
a
b
a
b b
a a
b b
a a
g h f g h v f X a b f
fg hv f X a b f
fgv fhv f X a b f
fgv f X a b f fhv f X a b f
g h
+ = + ∈ ≤
= + ∈ ≤
≤ + ∈ ≤
≤ ∈ ≤ + ∈
≤ +
∫
∫
∫ ∫
∫ ∫ ≤
Terbukti bahwa ( )1. merupakan norma-semi pada [ ]( )1 , ,X a b v . Jadi
[ ]( ) ( )( )1
1 , , , .X a b v merupakan ruang bernorma-semi dan norma-semi assosiat ke-1
terhadap . .
Definisi 1.3(Fungsi Karakteristik)
Jika [ ],E a b⊂ , maka fungsi [ ]: ,E a bχ →ℜ sehingga
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
330
M – 8 : Ruang Assosiat Terhadap……… Muslim Ansori, Y.D Sumanto
[ ]1,0, , \E
t Et a b E
χ∈⎧
= ⎨ ∈⎩
disebut fungsi karakteristik pada [ ],E a b⊂ .
Selanjutnya, dengan mengasumsikan bahwa [ ]( ), ,Ef X a b vχ= ∈ dengan
1Ef χ= ≤ dan [ ]( )1 , ,X a b v memuat fungsi terukur non negatip, akan dibuktikan
bahwa ( )1. merupakan norma pada [ ]( )1 , ,X a b v , sebagai berikut:
Teorema 1.4
Jika [ ]( ), ,Ef X a b vχ= ∈ dengan 1Ef χ= ≤ , maka ( )1. merupakan norma-B pada
[ ]( )1 , ,X a b v .
Bukti: Diketahui bahwa fungsi [ ]( ), ,Ef X a b vχ= ∈ sehingga 1Ef χ= ≤ , maka
kondisi (i),(ii),(iii) pada Teorema 1.3 sudah terpenuhi. Tinggal menunjukkan kondisi
(i’’) yaitu jika ( )1 0g = , maka g θ= , sebagai berikut:
Berdasarkan definisi ( )1. diperoleh:
Jika
( ) [ ]( ){ }[ ]( ){ }
1 sup : , , , 1
sup : , , , 1 0
b
a
b
E Ea
g fgv f X a b v f
gv f X a b vχ χ
= ∈ ≤
= ∈
∫
∫ ≤ =
maka
[ ]( )0, untuk setiap , , dengan 1b
E Eagv f X a b vχ χ= ∈∫ ≤
atau
[ ]0, untuk setiap , dengan 1b
E Eagv f X a bχ χ= ∈∫ ≤
⇔ 0E
gv =∫ g θ⇔ = ,θ fungsi nol.
Dengan demikian terbukti bahwa ( )1. merupakan norma pada [ ]( )1 , ,X a b v .
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
331
M – 8 : Ruang Assosiat Terhadap……… Muslim Ansori, Y.D Sumanto
Definisi 1.5 (Norma saturated)
Norma . dikatakan saturated pada himpunan terukur E , jika dan hanya jika
[ ]( , , )X a b v memuat semua fungsi terukur [ ], , ,Ef f E a b⊂ dengan
( ) ( )[ ]0 ,E
f t t Ef t
t a b E⎧ ∈⎪= ⎨ ∈⎪⎩ \ .
Telah dibuktikan bahwa [ ]( 1 , , )X a b v merupakan ruang bernorma terhadap norma ( )1. ,
maka pengertian saturated berlaku pula pada [ ]( )1 , ,X a b v . Mudah dipahami bahwa jika
. saturated, maka [ ]( 1 , , )X a b v memuat fungsi karakteristik pada [ ],E a b⊂ dan
fungsi iδ dengan
( ) [ ][ ]
1, , ,0, , ,i
i t i a bt
i t i a bδ
⎧ = ∈⎪= ⎨ ≠ ∈⎪⎩
Teorema 1.6 (Ketidaksamaan Holder)
Untuk setiap [ ]( ), ,f X a b v∈ dan [ ]( )1 , ,g X a b v∈ maka berlaku
( )1
Efgv f g≤∫
Bukti:Diketahui [ ]( )1 , ,g X a b v∈ maka b
afgv < ∞∫ , untuk setiap [ ]( ), ,f X a b v∈ dan
( )1g < ∞ , dengan
( ) [ ]( ){ }1 sup : , , dan 1b
ag fgv f X a b v f= ∈∫ ≤
Dengan demikian telah diperoleh f < ∞ dan ( )1g < ∞ .
Kejadian I:
Jika f θ= atau g θ= , jelas bahwa ( )1
Efgv f g≤∫ .
Kejadian II:
Jika f θ≠ dan g θ≠ , diambil fungsi [ ]( ), ,h X a b v∈ dengan fhf
= sehingga
1f
hf
= = . Berdasarkan definisi ( )1. diperoleh:
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
332
M – 8 : Ruang Assosiat Terhadap……… Muslim Ansori, Y.D Sumanto
( ) [ ]( ){ }1 sup : , , dan 1b
ag hgv h X a b v h= ∈ ≤∫ < ∞
akibatnya: ( )1b
ahgv g≤∫
untuk setiap [ ]( ), ,h X a b v∈ , dengan 1h ≤ dan
( )11b b
a a
f gv fgv gf f
= ≤∫ ∫ .
Jadi terbukti ( )1
Efgv f g≤∫ .
Teorema 1.7.
Jika ( )1. saturated, dan { } [ ],nf X a b⊂ dengan 0,nf n→ →∞ , maka
{ } 0,n Ef nχ → →∞ .
Bukti: Diketahui ( )1. saturated. Menurut definisi jelas bahwa [ ]( )1 , ,X a b v memuat
fungsi Eχ dengan
( ) [ ]1,0, , \E
t Et
t a b Eχ
∈⎧= ⎨ ∈⎩
Diambil fungsi [ ]( ), ,nf X a b v∈ dengan [ ]( )1 , ,E X a b vχ ∈ . Menurut teorema
sebelumnya diperoleh ( )1
E EEf fχ χ≤∫ .
Karena { } 0,n Ef nχ → →∞ , maka ( )1 0, .n Ef nχ → →∞ Akibatnya,
{ } 0,n Ef nχ → →∞ .
PEMBAHASAN DAN DISKUSI
Pada bagian ini, akan diperkenalkan ruang konjugat dan ruang assosiat terhadap
[ ]( , , )X a b v . kemudian akan diselidiki keterkaitan antara keduanya.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
333
M – 8 : Ruang Assosiat Terhadap……… Muslim Ansori, Y.D Sumanto
Definisi 2.1. Diberikan [ ]( ), ,X a b v dan [ ]( ), ,Y a b v masing-masing ruang bernorma.
[ ]( ) [ ](( , , , , ,cL X a b v Y a b v)) dimaksudkan sebagai koleksi semua fungsi linear kontinu
dari [ ]( ), ,X a b v ke [ ]( ), ,Y a b v .
Mudah dipahami bahwa [ ]( ) [ ]( )( , , , , ,cL X a b v Y a b v ) merupakan ruang bernorma-B
terhadap norma:
( ) [ ]( ){ }sup : 1, , ,F F f f f X a b= ≤ ∈ v .
(Bukti lihat Kreyzig,1978, hal 118).
Selanjutnya, jika [ ]( )( ), , , .Y a b v ruang Banach dan [ ]( ), ,Y a b v = ℜ , maka
[ ]( )( , , ,cL X a b v ℜ)
)
, merupakan ruang Banach.
Definisi 2.2
[ ]( )( ) [ ](, , , , ,cL X a b v X a b v∗
ℜ = dimaksudkan sebagai koleksi semua fungsi linear
kontinu dari [ ]( )X , ,a b v ℜ ke atau koleksi semua fungsional linear kontinu pada
[ ]( , , )X a b v , dan disebu ruang konjugat terhadap [ ]( ), ,X a b v .
Berdasarkan definisi di atas diturunkan teorema berikut ini:
Teorema 2.3 Jika [ ]( )1 , ,g X a b v∈ maka [ ]( ): , ,gT X a b v →ℜ dengan rumus
untuk setiap ( )b
g aT f fgv= ∫ [ ]( ), ,f X a b v∈ , maka gT merupakan fungsional linear
terbatas pada [ ]( ), ,X a b v dengan ( )1
gT g= .
Bukti:
(i) gT fungsional linear ,sebab : untuk setiap [ ]( ), , ,f h X a b v∈ dan skalar sebarang
,α β ∈ℜ berlaku:
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
334
M – 8 : Ruang Assosiat Terhadap……… Muslim Ansori, Y.D Sumanto
( ) ( )
( ) ( ).
b
g a
b b
a a
b b
a a
g g
T f h f h gv
fgv hgv
fgv hgv
T f T h
α β α β
α β
α β
α β
+ = +
= +
= +
= +
∫∫ ∫∫ ∫
(ii) Untuk setiap [ ]( )1 , ,g X a b v∈ dan [ ]( ), , ,f h X a b v∈ , diperoleh
( ) ( ) ( )
( )
b b b
g g a a a
g g
T f T h fgv hgv f h gv
T f h T f h ε
− = − = −
= − ≤ − <
∫ ∫ ∫
asalkan 11g
f hT
δ− < =+
Berdasarkan (i) dan (ii) terbukti bahwa gT merupakan fungsional linear terbatas pada
[ ]( ), ,X a b v .
Tinggal menunjukkan bahwa ( )1gT g= , sebagai berikut:
( ) [ ]( ){ }[ ]( ){ }
( )1
sup : , , dengan 1
sup : , , dengan 1
g g
b
a
T T f f X a b v f
fgv f X a b v f
g
= ∈
= ∈
=
∫
≤
≤
Dari teorema di atas, diperoleh bahwa [ ]( ), ,gT X a b v∗
∈ dengan [ ]( ), ,X a b v∗ adalah
ruang konjugat terhadap [ ]( ), ,X a b v dan ( )b
g aT f fgv= ∫ .
Definisi 2.4
Ruang Assosiat terhadap [ ]( , , )X a b v , dinotasikan dengan [ ]( )' , ,X a b v dimaksudkan
sebagai koleksi semua fungsi [ ],g m a b∈ sehingg b
afgv < ∞∫ , untuk setiap
[ ]( ), ,f X a b v∈ . Jadi [ ]( ) [ ] [ ]( ){ }' , , , : , , ,b
aX a b v g m a b fgv f X a b v= ∈ < ∞ ∈∫
Sebelum menyajikan keterkaitan antara ruang konjugat dengan ruang assosiat
terhadap [ ]( , , )X a b v , terlebih dahulu disajikan teorema berikut ini.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
335
M – 8 : Ruang Assosiat Terhadap……… Muslim Ansori, Y.D Sumanto
Teorema 2.5
Diberikan ( )1. saturated dan [ ]( , , )X a b v lengkap, maka [ ]( )1 , ,g X a b v∈ jika dan
hanya jika [ ]( )' , ,g X a b v∈
Bukti: Diketahui ( )⇒ [ ]( )1 , ,g X a b v∈ , maka b
afgv < ∞∫ , untuk setiap
[ ]( , , )f X a b v∈ . Akibatnya, b
afgv < ∞∫ , untuk setiap [ ]( ), ,f X a b v∈ . Dengan kata
lain, [ ]( )' , ,g X a b v∈ .
(⇐)Diketahui [ ]( )' , ,g X a b v∈ , maka b
afgv < ∞∫ , untuk setiap [ ]( ), ,f X a b v∈ . Akan
dibuktikan bahwa [ ]( 1 , ,g X a b v∈ ) . Diambil barisan { } [ ],nx a b⊂ sehingga
. Karena ,nx b n→ →∞ ( )1. saturated, maka [ ]( )1 , ,X a b v memuat semua fungsi nxg ,
dengan
( ) ( ) ,0,n
nx
n
g t t xg t
t x⎧ ≤
= ⎨>⎩
Diambil fungsi [ ]( ), ,f X a b v∈ . Tulis ( ) nx
n aF f f= gv∫ . Menurut teorema sebelumnya
diperoleh ( ) nx
n aF f fgv= < ∞∫ . Jadi { }nF barisan fungsional linear terbatas pada
[ ]( , , )X a b v . Maka menurut teorema keterbatasan seragam diperoleh { }sup nF < ∞ ,
untuk setiap [ ]( ), ,f X a b v∈ dengan 1f ≤ . Akibatnya, terdapat suatu konstanta
sehingga 0K ≥
nF K≤ < ∞
untuk semua 1, 2,...n =
Dalam hal ini khususnya ( )nF f K≤ , untuk semua 1, 2,...n = dan semua
[ ]( ), ,f X a b v∈ dengan 1f ≤ .
Selanjutnya,
( )limb
nn aF f fgv K
→∞= ≤ < ∞∫
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
336
M – 8 : Ruang Assosiat Terhadap……… Muslim Ansori, Y.D Sumanto
untuk setiap [ ]( ), ,f X a b v∈ dengan 1f ≤ . jadi b
afgv < ∞∫ , untuk setiap
[ ]( , , )f X a b v∈ . dengan kata lain, [ ]( )1 , ,g X a b v∈ .
Di bawah ini akan diperkenalkan sifat AK pada ruang fungsi [ ]( ), ,X a b v . Kemudian
akan ditunjukkan bahwa ruang assosiat terhadap [ ]( ), ,X a b v yaitu [ ]( )' , ,X a b v sama
dengan ruang konjugatnya, [ ]( ), ,X a b v∗.
Definisi 2.6
Ruang [ ]( ) [ ], , ,X a b v m a b⊂ dikatakan mempunyai sifat AK jika [ ]( ), ,X a b v memuat
fungsi karakteristik dan untuk setiap [ ]( ), ,x ,f f X a b v∈ berakibat 0,xf f x− → → b ,
dengan
( ) ( ) [ ][ ]
, ; ,0 ;x ,
f t t x x a bf t
t x x a b⎧ ≤ ∈⎪= ⎨ < ∈⎪⎩
Teorema 2.7
Jika ( )1. saturated, [ ]( , , )X a b v lengkap dan mempunyai sifat AK, maka
[ ]( ) [ ]( )' , , , ,X a b v X a b v∗
= .
Bukti: Diambil sebarang [ ]( )' , ,g X a b v∈ . Karena ( )1. saturated, [ ]( ), ,X a b v lengkap,
maka menurut teorema sebelumnya, [ ]( )1 , ,g X a b v∈ . Oleh karena itu,
untuk setiap
( )b
g aT f fgv= ∫
[ ]( , , )f X a b v∈ merupakan fungsional; linear terbatas, dengan norma
( )1
gT g= . Jadi [ ]( ), ,g X a b v∗
∈ . Dengan kata lain,
[ ]( ) [ ]( )' , , , ,X a b v X a b v∗
⊂ ……(i).
Sebaliknya, diambil [ ]( ), ,h X a b v∗
∈ , dan [ ]( ), ,t X a b vδ ∈ dengan
( ) [ ][ ]
1, , ,0, , ,t
i t i a bi
i t i a bδ
⎧ = ∈⎪= ⎨ ≠ ∈⎪⎩.
Diambil [ ]( ), ,f X a b v∈ dan [ ]( ), ,xf X a b v∈ dengan
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
337
M – 8 : Ruang Assosiat Terhadap……… Muslim Ansori, Y.D Sumanto
( ) ( ) [ ][ ]
, , ,0, , ,x
f t t x x a bf t
t x x a b⎧ ≤ ∈⎪= ⎨ > ∈⎪⎩
Diperoleh ( )x
x taf t f vδ= ∫ . Karena [ ]( ), ,X a b v mempunyai sifat AK, maka
0,xf f x− → → b
< ∞
. Selanjunya karena kontinu, maka h
( ) ( ) ( )lim limx
x tx b x b ah f h f fh vδ
→ →= = ∫
Akibatnya, . Jadi fungsi ( )b
tafh vδ < ∞∫ ( ) [ ]( ), ,th X a bδ v
∗∈ . Karena ( )1. saturated dan
[ ]( , , )X a b v lengkap, maka menurut teorema sebelumnya, ( ) [ ]( )1 , ,th X a bδ ∈ v dan
( ) [ ]( ){ } ( ) ( )1sup : , , ,dan 1
b
t tah fh v f X a b v f hδ δ= ∈ ≤ =∫
ini menunjukkan bahwa [ ]( ), ,h X a b v∗
∈ . Jadi [ ]( ) [ ]( )' , , , ,X a b v X a b v∗
⊃ ……….(ii).
Berdasarkan (i) dan (ii), diperoleh [ ]( ) [ ]( )' , , , ,X a b v X a b v∗
= .
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa ruang assosiat terhadap [ ]( ), ,X a b v
yaitu
[ ]( ) [ ] [ ]( ){ }' , , , : , , ,b
aX a b v g m a b fgv f X a b v= ∈ < ∞ ∈∫
dengan
[ ]( ) [ ]( ){ }' , ,sup : , , dengan 1
b
X a b v ag fgv f X a b v= ∈∫ f ≤
memenuhi Definisi 1.2, sebagai salah satu Ruang Fungsi Banach terboboti, RFBT.
KESIMPULAN DAN MASALAH TERBUKA
Telah dikonstruksi transformasi linear dan kontinu pada ruang fungsi [ ]( ), ,X a b v dan
ruang assosiat terhadap ruang fungsi [ ]( ), ,X a b v dapat dilakukan dengan memberikan
syarat bahwa suatu ruang linear [ ]( ) [ ], , ,X a b v m a b⊂ memenuhi kelima aksioma
berikut dipenuhi:
(i) Norma [ ]( , ,X a b vf ) weldefined untuk semua [ ],f m a b∈ dan [ ]( ), ,f X a b v∈ jika
dan hanya jika [ ]( ), ,X a b vf < ∞ ,
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
338
M – 8 : Ruang Assosiat Terhadap……… Muslim Ansori, Y.D Sumanto
(ii) [ ]( ) [ ](, , , ,X a b v X a b v
f f=)untuk semua [ ],f m a b∈ .
(iii)Jika 0 nf f≤ h.d pada [ , maka ],a b [ ]( ) [ ]( ), , , ,n X a b v X a b vf f ,
(iv) Jika ( ) ( )E
v E v t dt= ∫ < ∞ , maka [ ]( ), ,E X a b vχ ∈ , dengan Eχ menyatakan fungsi
karakteristik pada [ ],E a b⊂ ,
(v) Untuk setiap [ ],E a b⊂ dengan ( )Eμ < ∞ , terdapat suatu konstanta EC sehingga
( ) ( ) [ ]( ) untuk semua , ,E X a b vE
f t v t dt C f≤∫ [ ]( ), ,f X a b v∈ .
Beberapa masalah terbuka dapat dikemukakan sebagai berikut : didefinisikan suatu
operator [ ]( ): , , qL X a b v L→ dengan rumus
( ) ( ) ( ),b
aL f l x t f t= ∫ dt
dengan ( ) [ ] [ ]( ), ,l x t m a b a b∈ × , . Didefinisikan [ ]( )' , , ,1qL X a b v q< < ∞ sebagai
koleksi semua ( ) [ ] [ ]( ), ,l x t m a b a b∈ × , sehingga
[ ]( )( )( )
[ ]( )
1
' , ,
' , ,
,q
q
X a b v
q
b
L X a b v a
l x tl
v t
⎛ ⎞⎛ ⎞⎜ ⎟⎜ ⎟= < ∞⎜ ⎟⎜ ⎟⎜ ⎟⎜ ⎟⎝ ⎠⎝ ⎠∫
Patut diselidiki apakah ruang [ ]( )' , , ,1qL X a b v q< < ∞ yang dilengkapi norma . di
atas merupakan ruang Banach. Selanjutnya, jika ruang tersebut merupakan ruang
Banach perlu dicari keterkaitan antara L dan l , khususnya kondisi [ ]( )' , ,qL X a b vL l≤
yang mempunyai dampak lebih luas dalam penelitian lanjut.
DAFTAR PUSTAKA Kreyzig, E., 1979, Introductory Functional Analysis with Application, John Wiley and
Sons, New York. Royden, H.L., 1988, Real Analysis, Macmillan Publ. Company, New York. Sunarsini, 1998, Ruang A-Assosiat terhadap fungsi [ ],X a b , Tesis, UGM. Sy, P.W., 1982, Kothe Dual and Matrix Transformations, Dissertation,University of
The Philippines. Sy, P.W., 1982, A-Associate Spaces and Matrix Transformations, Bull. SEA. Math.
Soc. Vol. 8 No. 1, Hal. 29-35.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
339
M – 9 : A Henstock Integral For Multifunctions Y. D. Sumanto, Muslim Ansori
A Henstock Integral For Multifunctions
Y. D. Sumanto1) and Muslim Ansori 2)
1)Mathematics Departement, Universitas Diponegoro Jln. Prof H. Soedarto, SH, Tembalang, Semarang. Email: [email protected]
2)Mathematics Departement, Universitas Lampung Jln. Sumantri Brodjonegoro No. 1 Bandar Lampung. Email: [email protected]
ABSTRACT In this paper we introduce a “generalized” Henstock integration for Banach-valued multifunctions with weakly compact and convex values. Keywords: Henstock integral, multifunction, Banach spaces, Rådstrom embedding theorem.
I. INTRODUCTION The notion of integral of a multivalued function is very useful in many branches of mathematics like mathematical economics, control theory, differential inclusions, convex analysis, etc. It has been introduced by many authors and in different ways. The first was Aumann in 1965, in order to apply it to general equilibria in economics. This integral was built using selections, but some properties were missing, so Debreu introduced the multivalued Bochner integral. In both cases the definition of measurable multifunction is crucial since it is necessary to ensure that at least a selection exists. Here we introduce a new kind of multivalued integral which does not need a priori the notion of measurability; this fact looks interesting for example in differential inclusions. Here we extend these results in two directions: we consider in fact multifunctions defined in the whole real line and moreover taking values in a Banach space not necessarily separable. We introduce the (∗ )-integral by using Henstock integrable single valued functions. When the Henstock multivalued integral exists, then the(∗ )-integral exists too and it coincides with it, and so all the properties of the single valued Henstock integral are inherited by the multivalued one. For Henstock and McShane Integral with measurable concept we refer to Gordon,1990, Fremlin,1994,Ansori,2007, Ansori and Sumanto,2007.
II. PRELIMINARIES AND KNOWN RESULTS ON THE
GENERALIZED HENSTOCK INTEGRAL.
The generalized Henstock integral (Henstock integral briefly), as a limit of suitable
Riemann sums, was developed in the vector valued. In this section, we assume that S is
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
341
M – 9 : A Henstock Integral For Multifunctions Y. D. Sumanto, Muslim Ansori
a space and T a topology on S making ( S,T,Σ,μ ) a non–empty σ -finite quasi-Radon
measure space which is outer regular, namely such that
( ){ } ∑∈∀Τ⊆⊆= BGBGB ,:inf)(μ
A generalized Perron partition P of S is disjoint sequence ( ) Ν∈iii tE , of measurable
sets of finite measure, with for every Sti ∈ Ν∈i and 0)\( =ii ES Uμ
A gauge on S is a function ∆ : S → T such that ∈s ∆(s) for every Ss∈ . A generalized
Perron partition is ∆-fine if iii tE ),( ⊂∈ ii Et ∆ ( ti ) for every Ν∈i .
From now on the symbol P we denote the class of all generalized Perron partitions of
[a,b], and with P∆ those elements from P that are ∆-fine.
Let X be a Banachh space. We say that:
Definition 1 A function is a Henstock integrable,, with integral w, if for
every
XSf →:
0>ε there exists a gauge ∆ : S→ T such that
( ) εμ ≤− ∑=+∞→
n
iii
ntfEw
1)(suplim
For every generalized P∆ Perron partition . In this case, we write iii tE ),( wfs
=∫II. RESULTS AND DISCUSSION : APPLICATIONS TO MULTIVALUED
INTEGRATION
Throughout this section, let S = [ a,b ], where [ ] baba <+∞∞−∈ ,,, . Moreover, assume
that T, Σ and μ are respectively the families of all open subsets of [ a,b ], the −σ algebra
of all Lebesgue measurable subsets of [ a,b ] and the lebesgue measure on [a,b]
respectively.
Let cwk(X) [ck(X)] denote the family of all convex and weakly compact
[respectively convex and compact] subsets of a Banach space X. We denote with the
symbol the usual distance between a point and a nonempty set , namely ),( Cxd XC ⊂
{ }CyyxCxd ∈−= :inf),( , and by U ( )ε,C the ε-neighborhood of the set C, i.e.
}:{),( εε ≤−∈∃∈= zxwithCxEzCU
Observe that, if C is convex, then ( )( )εε ,),( CUcoCU = .
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
342
M – 9 : A Henstock Integral For Multifunctions Y. D. Sumanto, Muslim Ansori
If C, D are two nonempty subsets of X, we denote with the symbol the excess of
C with respect to D, namely
),( DCe
( ){ }CxDxdDCe ∈= :,sup),( , while the Hausdoff
distance between c and D is ( ){ }),(,,max),( EDeDCeDCh = . We remember that
if and only if , where the symbol denotes the closure of
the considered set with respect to the norm topology.
0),( =Ch }{}{ DclCcl = {.}cl
Definition 2 Let F: [a,b] → 2X \ Ø be a multifunction. We call (∗ )-integral of F over
[a,b] the set Ф(F, [a,b]) given by: Ф(F, [a,b]) = ∃>∀∈ ,0:{ εXx a gauge ∆ : for every
generalized P∆ Perron partition ( ) Niii tE ∈, there holds
where, as usual, ( ) ( ) },suplim1
εμ ≤⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛ ∑=
n
iii
nEtFxd
( ) ( ) ( ) ( ){ }∑∑ ==∈=
n
i iiiiin
i i tFxExEtF11
:: μμ
Observe that, if F is single-valued, then Ф(F, [a,b]) coincides with the Henstock
integral, if it exists. We now show that :
Proposition 1 If F is bounded valyed, then
( )( )
( ) ( )UIIU I∞
=
∞
= => Δ Ρ∈
⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛=Φ ∑
Δ 1 10 ,
,],[m mn
n
iii
tE
EtFUbaFiii
εμε
………….(1)
Proof. Let ; for every ε > 0, there exists a gauge ∆ ( ε / 2 ) such that for
every generalized P
( ],[, baFz Φ∈ )
∆ Perron partition ( )iii tE ,
( ) ( ) ( ) ( ) 2,supinf,suplim111
εμμ ≤⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛=⎟
⎠
⎞⎜⎝
⎛ ∑∑=≥≥
=
n
iii
mnm
n
iii
nEtFzdEtFzd
From this it follows that there exists Nm∈ such that
( ) ( ) εμ ≤⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛ ∑=
n
iii EtFzd
1, for every , mn ≥
and thus
( ) ( )UI∞
=
∞
= =
⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛∈ ∑
1 1,
m mn
n
iii EtFUz εμ
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
343
M – 9 : A Henstock Integral For Multifunctions Y. D. Sumanto, Muslim Ansori
Hence, . ( )
( ) ( )UIIU I∞
=
∞
= => Δ Ρ∈
⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛∈ ∑
Δ 1 10 ,
,m mn
n
iii
tE
EtFUziii
εμε
Conversely, let . Then, for every ε >
0, there exists a gauge ∆ such that, for every generalized P
( )( ) ( )UIIU I
∞
=
∞
= => Δ Ρ∈
⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛∈ ∑
Δ 1 10 ,
,m mn
n
iii
tE
EtFUziii
εμε
∆ Perron partition , ( )iii tE ,
( ) ( )UI∞
=
∞
= =
⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛∈ ∑
1 1,
m mn
n
iii EtFUz εμ ,
which means that for every 0>ε , there exists a gauge ∆ such that, for every
generalized P∆ Perron partition , ( )iii tE ,
( ) ( ) ,,suplim1
εμ ≤⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛ ∑=
n
iii
nEtFzd
namely . ( )],[, baFz Φ∈
Remark 1 (a) Observe that, by definition, the set ( )],[, baFΦ is closed; in fact if
is a sequence in which converges to
( )nnz
( ],[, baFΦ ) Xz ∈ then, for every ε > 0 there
exists an integer k and a gauge kΔ such that for every generalized P∆ Perron
partition ( )iii tE ,
,2ε≤− kzz ( ) ( ) ;2,suplim1
εμ ≤⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛ ∑=
∞→
n
iiikn
EtFzd
then
( ) ( ) ≤⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛ ∑=
∞→
n
iiin
EtFzd1
,suplim μ ( ) ( ) εμ ≤⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛+− ∑
=∞→
n
iiikkn
EtFzdzz1
),(suplim
and therefore, by definition, ( )],[, baFz Φ∈ .
(b) Moreover, if F is closed and convex valued, ( )],[, baFΦ is convex too.
In fact, since
[ ]( )( )
( ) ( )UIIU I∞
=
∞
= => Δ Ρ∈
⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛=Φ ∑
Δ 1 10 ,
,,,m mn
n
iii
tE
EtFUbaFiii
εμε
……….(2)
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
344
M – 9 : A Henstock Integral For Multifunctions Y. D. Sumanto, Muslim Ansori
If then for every ε > 0 there exists ( ],[,, baFyx Φ∈ ) yx ΔΔ , such that
( )( ) ( )UII
∞
=
∞
= =∈
⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛∈ ∑
Δ 1 1,
,m mn
n
iii
PtE
EtFUxxiii
εμ
( )( ) ( )UII
∞
=
∞
= =∈
⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛∈ ∑
Δ 1 1,
,m mn
n
iii
PtE
EtFUyyiii
εμ .
Let yx Δ+Δ=Δ . Then, for every generalized P∆ Perron partition , we
have
( iii tE , )
}
( )( ) ( )UII
∞
=
∞
= =∈
⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛∈ ∑
Δ 1 1,
,,m mn
n
iii
PtE
EtFUyxiii
εμ
and so there are two integers such that 21,mm
( ) ( ) ⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛∈ ∑
=
∞
=
n
iiii
mn
EtFUx1
,1
εμI ,
( ) ( ) ⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛∈ ∑
=
∞
=
n
iiii
mn
EtFUy1
,2
εμI .
If we take { 21,max mmm = then
( ) ( ) ⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛∈ ∑
=
∞
=
n
iiii
mn
EtFUyx1
,, εμI
and so, since this last set is convex, for every [ ]1,0∈a ,
( )( )
( ) ( )UII∞
=
∞
= =∈
⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛∈−+ ∑
Δ 1 1,
,1m mn
n
iii
PtE
EtFUyaaxiii
εμ .
Then the convexity of follows. ( ],[, baFΦ )
(c) If F is integrably bounded, namely there exists [ ]( )baLg ,1∈ such that
a.e., then ( ) { }( ) tgtFh ≤0, ( ) ( )],[, baFΦ is bounded. Indeed for every
and for every ( ],[, baFz Φ∈ ) 0>ε there are a gauge ∆ and a point
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
345
M – 9 : A Henstock Integral For Multifunctions Y. D. Sumanto, Muslim Ansori
( ) ( )iin
i i EtFx μ∑ =∈
1 (where ( )iii tE , is generalized P∆ Perron partition) such
that ε≤− xz and hence
1gxxzz +≤+−≤ ε
By the arbitrariness of , it follows that z ( )],[, baFΦ is bounded.
III. CONCLUDING REMARKS
A kind of multivalued integral which does not need a priori the notion of measurability.
Extention of these results are consider in two directions: we consider in fact
multifunctions defined in the whole real line and moreover taking values in a Banach
space not necessarily separable.
The (∗ )-integral by using Henstock integrable is introduced by single valued functions.
When the Henstock multivalued integral exists, then the(∗ )-integral exists too and it
coincides with it, and so all the properties of the single valued Henstock integral are
inherited by the multivalued one.
REFERENCES Ansori,M., 2007, On the Henstock-Kurzweil integral for values in Riesz spaces defined
on Euclidean spaces, Proceeding of National seminar FMIPA, UNY, Yogyakarta. Ansori,M., and Sumanto,Y,D.,2007, On the convergence of the McShane integral for
Riesz spaces valued function defined on real line, Phytagoras Journal,FMIPA, UNY, 3, 2,15-25
Aumann, R, J., Integral for set-valued functions, J. math. Anal. Appl., 12,1-12 Debrue, B. and Urbina, W., Measurable functions in non separable Banach spaces,
SIAM J. Math anal., 28, 5, 1212-1226. Fremlin, D,H and Mendoza, J., 1994, On the integration ofvector-valued functions,
Illinois J. math., 38,127-147. Gordon, R., 1990, The McShane integral of Banach valued functions, Illinois, J.,
math.,34,3,557-567.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
346
M – 10 : Pemetaan Terbatas Pada Sebuah Modul Hilbert Dede Suratman
Pemetaan Terbatas Pada Sebuah Modul Hilbert
DEDE SURATMAN
ABSTRAK. Misalkan A aljabar-C*. Modul-A Hilbert X adalah sebuah ruang vektor bernorm X yang lengkap terhadap norm yang dibentuk dari hasilkali dalam yang bernilai di A. Secara umum ruang operator linier-A terbatas pada modul-A Hilbert membentuk ruang Banach, tetapi belum tentu membentuk aljabar-C*. Disini ditunjukkan dua fakta penting yaitu terdapat operator linier-A terbatas pada sebuah modul-A Hilbert yang tidak adjointable dan himpunan semua pemetaan adjointable pada modul-A Hilbert X, yang dinotasikan ℒ (X), membentuk aljabar-C*. Pada bagian akhir dibahas bahwa untuk
sembarang aljabar-C* A terdapat isomorfisma dari A ke subaljabar dari ℒ (X).
Pendahuluan
Aljabar-C* adalah sebuah aljabar-* Banach A yang memenuhi ||a*a|| = ||a||2 , ∀ a ∈ A.
Salah satu contoh aljabar-C* yang sangat menarik adalah ruang operator linier terbatas pada
ruang Hilbert H biasa dinotasikan B(H). Untuk setiap aljabar-C* A terdapat homomorfisma
nondegenerate faithful dari A ke ruang operator linier terbatas pada suatu ruang Hilbert H
([RW], Theorem A.11), yang dikenal dengan teorema Gelfand-Naimark.
Bermula dari sebuah aljabar-C* A, dibangun modul-A Hilbert X, yaitu suatu ruang
hasilkali dalam yang bernilai di A yang lengkap terhadap norm yang dibangun dari hasilkali
dalam tersebut, Murphy dalam [Mur] dan Lance dalam [Lan] dituliskan sebagai Hilbert C*-
module. Sebuah ruang Hilbert H dapat dipandang sebagai modul-C Hilbert, juga sebuah
aljabar-C* A dapat dipandang sebagai modul-A Hilbert.
Pada bagian akhir dari tulisan ini dibahas pemetaan adjointable, yaitu sebuah pemetaan
pada modul-A Hilbert X yang mempunyai adjoint. Kemudian pada ([RW], lemma 2.18)
ditunjukkan bahwa setiap pemetaan ad- jointable merupakan operator linier-A terbatas.
Tetapi tidak semua operator linier-A terbatas merupakan pemetaan adjointable. Hal ini
yang mengakibatkan ruang operator linier-A terbatas tidak membentuk aljabar-C*,
namun hanya membentuk ruang Banach. Himpunan semua pemetaan ad- jointable pada
modul-A Hilbert, dinotasikan £(X), membentuk aljabar-C*. Selanjutnya ditunjukkan bahwa
untuk sembarang aljabar-C* A terdapat isomorfisma dari A pada subaljabar dari ℒ (X), dengan
X adalah modul-A Hilbert.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
347
M – 10 : Pemetaan Terbatas Pada Sebuah Modul Hilbert Dede Suratman
Modul Hilbert
Sebelum masuk dalam pembahasan modul Hilbert dibahas lebih dulu aljabarC*. Sebuah
aljabar-* Banach A dikatakan aljabar - C* apabila memenuhi
|| a*a || = || a ||2, ∀ a ∈ A.
Unsur a di aljabar-C* A dikatakan positif, a≥ 0, apabila terdapat unsur b ∈ A
sehingga a = b*b. Contoh aljabar-C* yang paling sederhana adalah himpunan bilangan
kompleks C dengan operasi aljabar biasa, norm
|| z || = | z | , dan z* = z sebagai involusi. Kemudian contoh yang cukup menarik
adalah ruang dari semua operator linier terbatas pada sebuah ruang Hilbert B(H) dengan
operasi jumlah (S + T)h = S(h) + T(h) , operasi kali (ST)h = S ο T(h), norm || T || =
sup{ || Th || : h ∈ H dan || h || ≤ 1}, dan adjoint operator sebagai involusi. Ruang semua
fungsi kontinu bernilai kompleks pada sebuah ruang kompak C(X) juga merupakan
aljabar - C* dengan operasi jumlah (f + g)x = f(x) + g(x) , operasi kali (fg)x = f(x)g(x),
norm || f || = sup{ || f(x) || : x ∈ X }, dan f*(x) = )(xf sebagai involusi. Untuk
selanjutnya dalam tulisan ini A menyatakan aljabar-C*
Definisi 2.1. Ruang vektor X dikatakan sebagai modul-A kanan apabila X dilengkapi
dengan sebuah pemetaan bilinier (x, a) → x ⋅ a dari X × A ke X sehingga untuk setiap x, y
∈ X, a, b ∈ A, dan α ∈ C berlaku:
( i ) ( x + y ) ⋅ a = x ⋅ a + y ⋅ a
( i i ) x ⋅ ( a + b ) = x ⋅ a + x ⋅ b
( i i i ) (x ⋅ a) ⋅ b = x⋅ (ab)
( i v ) (α x) ⋅ a = x⋅ (α a).
Notasi yang sering digunakan adalah XA atau X saja sebagai modul-A kanan.
Definisi 2.2. Misalkan X adalah modul-A kanan. Pemetaan ⟨⋅ , ⋅⟩ : X × X → A
dikatakan hasilkali dalam yang bernilai di A bila untuk setiap x, y, z ∈ X, a ∈ A,
dan α, β ∈ C berlaku:
(i) ⟨x,(α y + β z)⟩ = α ⟨x,y⟩ + β ⟨x,z⟩
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
348
M – 10 : Pemetaan Terbatas Pada Sebuah Modul Hilbert Dede Suratman
(ii) ⟨x,y-a⟩ = ⟨x,y⟩a
(iii) ⟨x,y⟩* = ⟨y,x⟩
(iv) ⟨x,x⟩ ≥ 0
( v ) ⟨x , x ⟩ = 0 ⇔ x = 0 .
Dalam hal ini dapat dibuktikan bahwa || x || := || ⟨x , x⟩ ||1/2 merupakan norm pada A.
Definisi 2.3. Sebuah modul-A kanan X yang dilengkapi hasilkali dalam yang bernilai
di A disebut modul-A Hilbert kanan apabila (X, || ⋅ || ) adalah lengkap.
Untuk selanjutnya modul-A Hilbert kanan disebut sebagai modul-A Hilbert atau modul
Hilbert saja.
Dalam hal ini ruang Hilbert H atas C dapat dipandang sebagai modulC Hilbert
HC dengan bilinier x• λ = x λ, hasilkali dalam ⟨x, y⟩ = ( y | x ), dan norm || x || =
|| ⟨x, x⟩ ||1/2 = || x*x||1/2 = || x||.
Demikianjuga sebuah aljabar-C* A dapat dipandang sebagai modul-A Hilbert AA dengan
bilinier x• y = xy, hasilkali dalam ⟨x, y⟩ = x*y, dan norm || x | | = ||⟨x,x⟩ | |1 /2 = | |
x*x | |1 /2 = ||x| | .
Pemetaan Adjointable pada Modul Hilbert
Pemetaan adjointable pada modul Hilbert didefinisikan seperti pemetaan adjointable
pada ruang Hilbert.
Definisi 3.1. ([RW], Definition 2.17) Misalkan X adalah modul-A Hilbert.
Pemetaan T : X → X dikatakan adjointable apabila terdapat pemetaan T* : X → X
sedemikian sehingga
⟨Tx, y⟩ = ⟨x, T*y⟩ untuk setiap x, y ∈ X.
Selanjutnya pemetaan T* disebut pemetaan adjoint dari T dan himpunan semua
pemetaan adjointable pada modul-A Hilbert X dinotasikan ℒ (X, X). Berikut ini adalah dua
contoh pemetaan adjointable yang sering digunakan. Misalkan A aljabar-C* dan X adalah
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
349
M – 10 : Pemetaan Terbatas Pada Sebuah Modul Hilbert Dede Suratman
modul-A Hilbert. Untuk a ∈ A, definisikan La : X → X dengan La(b) = ab. Maka La
merupakan pemetaan adjointable dengan (La)* = La* untuk semua a ∈ A.
Contoh yang lainya, misalkan X dan Y adalah Hilbert modul-A. Untuk x ∈ X, y ∈ Y,
definisikan pemetaan θy,x : X → Y, dengan θy,x(z) = y⋅⟨x, z⟩. Maka θy,x adalah pemetaan
adjointable dengan (θy,x)* = θy,x .
Berikut diperkenalkan pemetaan linier-A, yaitu sebuah pemetaan yang linier terhadap
koefisien di C juga linier terhadap keofisien di A.
Definisi 3.2. Pemetaan T : X → X dikatakan linier-A apabila
(i) T(αx + βy) = αTx + βTy, untuk setiap x, y ∈ X, α,β ∈ C, dan
(ii) T(x⋅ a) = (Tx)⋅ a, untuk setiap x ∈ X, a ∈ A.
Sebagaimana pemetaan adjointable pada ruang Hilbert, pemetaan adjointable pada modul-A
Hilbert juga merupakan operator terbatas dan linier-A.
Lema 3.3. ([RW], lemma 2.18) Setiap pemetaan adjointable T : X → X
merupakan operator linier-A terbatas.
Bukti.
⟨T (x-a ) , y ⟩ = ⟨x . a ,T* (y ) ⟩
= a* ⟨x ,T* (y ) ⟩ =
a * ⟨T ( x ) , y ⟩
= ⟨T(x )-a ,y ⟩,
yang menunjukkan bahwa T(x · a) = T(x) · a. Sehingga pemetaan T linier-A. Kemudian
untuk melihat T terbatas, gunakan teorema closed graph. Misalkan xn → x di X dan
T(xn) → z di YA. Maka untuk setiap y ∈ X berlaku ⟨T(xn),y⟩ -* ⟨z,y⟩ dan
⟨xn,T*(y) ⟩ → ⟨x,T *(y) ⟩ = ⟨T(x),y⟩, akibatnya ⟨T(x), y⟩ = ⟨z, y⟩ untuk semua x ∈ X dan
y ∈ X dan diperoleh T(x) = z. Jadi T terbatas.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
350
M – 10 : Pemetaan Terbatas Pada Sebuah Modul Hilbert Dede Suratman
Tetapi tidak semua pemetaan linier-A terbatas T : X -* X merupakan pemetaan
adjointable.
Berikut ini adalah sebuah contoh pemetaan linier-A terbatas yang tidak adjointable.
Misalkan A = C([0,1]) dan J = {f ∈ A : f(0) = 0}. Maka dapat ditunjukkan bahwa A
dan J merupakan modul-A Hilbert. Kemudian pandang X = A ⊕ J sebagai modul-A
Hilbert, selanjutnya definisikan pemetaan T : X → X dengan T(f,g) = (g,0). Disini dapat
ditunjukkan bahwa T merupakan operator linier-A dan terbatas dengan || Tk || = 1.
Sekarang andaikan T adjointable, maka terdapat pemataan adjoint T* sehingga ⟨Tx, y⟩ = ⟨x,
T*y⟩. Kemudian jika T*(1, 0) = (h, k), maka untuk semua (f,g) ∈ X berlaku:
g = ⟨ (g, 0), (1,0) ⟩ = ⟨T(f, g), (1,0) ⟩ = ⟨ (f, g), (h, k) ⟩ = f h + g k
Karena berlaku untuk setiap (f, g) E X maka f ≡ 0 dan g ≡ 1, yang kontradiksi dengan
g(0) = 0 (karena g ∈ J). Jadi T tidak adjointable.
Himpunan ℒ (X, X) membentuk ruang vektor dan akan dituliskan secara singkat sebagai
ℒ (X). Sedangkan himpunan semua pemetaan T : X → X linier-A terbatas dituliskan sebagai
ℬ (X). Ruang ℬ (X) membentuk aljabar Banach dengan norm ||T || = sup{ ||Tx || : || x || ≤
1}.
Teorema 3.4. Misalkan A aljabar-C* dan X modul-A Hilbert, maka ruang vektor ℒ (X)
membentuk aljabar-C* dengan komposisi sebagai operasi perkalian TS(x) = T(S(x)), ∗
: T → T* sebagai involusi dan norm
|| T || = sup{|| Tx || : ||x|| ≤ 1}.
Bukti. Perhatikan bahwa himpunan operator terbatas, ℬ(X), merupakan ajabar Banach
terhadap norm operator (|| T || = sup{|| Tx || : ||x|| ≤ 1}).
Kemudian,
| | T | | 2 = sup{ | | (Tx ,Tx ) | | : | | x | | ≤ 1}
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
351
M – 10 : Pemetaan Terbatas Pada Sebuah Modul Hilbert Dede Suratman
= sup{ | | (T*Tx ,x ) | | : | | x | | ≤ 1}
= sup{ | | (T*Tx , z ) | | : x , z ∈ X , | |x | | ≤ 1}
= | | T * T | |
≤ || T * || || T ||.
Sehingga || T || ≤ || T*||. Karena T** = T maka ||T || = ||T* ||, dan diperoleh ||T*T ||
≤ || T * || || T || = | | T | | 2 . Jadi ||T*T || = | |T | | 2 . Akibatnya diperoleh ℒ (X) sebagai
aljabar-C* .
Definisi 3.5. ([RW], Definition 2.24) Subruang linier tutup dari ℒ (X) yang dibangun
oleh{θy,x: y, x ∈ X} dinotasikan K(X). Subruang linier tutup K(X) sering disebut aljabar
operator kompak pada X.
Lema 3.6.([RW], lemma 2.25) Untuk sembarang modul-A Hilbert X, K(X) merupakan
ideal dua sisi tutup di ℒ (X).
Bukti. Misalkan T E ℒ (X). Maka
T θy,x (z) = T(x. ⟨y,z⟩)
= T(x). ⟨y,z ⟩
= θT (x),y(z).
Jadi K(X) adalah ideal kiri. Kemudian karena θy,x = θ*y,x maka K(X) merupakan ideal
kanan. Kemudian karena K(X) tertutup maka merupakan ideal dua sisi tertutup.
Lema berikut mirip dengan teorema Gelfand Naimark untuk ruang operator terbatas pada
ruang Hilbert. Lema ini dibahas juga pada ([RW], example 2.26)
Lema 3.7. Misalkan A = aljabar-C* dan X = AA, maka A ≅ K(X).
Bukti. Pertama, definisikan pemetaan L : a ↦ La kemudian tunjukkan bahwa L adalah *-
homomorphisma . Selanjutnya karena || La || ≤ || a ||, dan || a | | | | a* | | = || aa* | | = ||
La(a*)|| ≤ | | La | | | |a* | |, maka ||La | | = ||a| |, sehingga L satu-satu. Untuk
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
352
M – 10 : Pemetaan Terbatas Pada Sebuah Modul Hilbert Dede Suratman
menunjukkan pemetaan L pada, misalkan a, b, c ∈ A doperoleh
θa,b(c) = a ⟨ b, c⟩
= ab*c
= Lab*(c).
Karena {ab: a, b ∈ A} padat di A ([RW], corollary 2.7), maka La ∈ K(X), untuk setiap
a ∈ A. Akibatnya untuk setiap θ ∈ K(X) terdapat a ∈ A demikian sehingga La = θ.
Daftar Pustaka [Lan] E. C. Lance, Hilbert C*-modules: A toolkit for operator algebraists , Soc. Lecture
Note Series, vol.210, Cambridge Univ. Press, Cambridge, 1994. [Mur] G. J. Murphy, Positive Definite Kernels and Hilbert C*-module, Proc. Edinbergh
Math. Soc. II. Ser.,40, (1997). 367-374. [RW] I. Raeburn and D. P. Williams, Morita equivalence and continuous-trace
C*-algebras, Math. Surveys and Monographs, Amer. Math. Soc., Providence, (1998).
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008
353
M – 11 : Perluasan Konsep Bilangan Ramsey Isnaini R
Perluasan Konsep Bilangan Ramsey
Isnaini Rosyida Jurusan Matematika FMIPA UNNES
Abstrak
Makalah ini akan mengkaji beberapa perluasan konsep bilangan Ramsey. Muncunya konsep bilangan Ramsey diawali dengan bilangan Ramsey klasik oleh oleh Frank Plumpton Ramsey. Konsep Bilangan Ramsey klasik didasarkan pada pewarnaan sisi graf lengkap dengan dua warna. Konsep tersebut kemudian diperluas dengan bilangan Ramsey klasik multiwarna (multicolour Classical Ramsey numbers). Berikutnya muncul konsep bilangan Ramsey untuk obyek tidak hanya graf lengkap saja tetapi telah diperumum untuk jenis graf yang lain. Berdasarkan jenis obyek graf yang digunakan muncul pula konsep bilangan Ramsey bipartite, bilangan Ramsey bipartit multiwarna (multicolour Bipartite Ramsey numbers). Kata Kunci: Bilangan Ramsey klasik, bilangan Ramsey klasik multiwarna ,Bilangan Ramsey bipartit, bilangan Ramsey bipartit multiwarna
A. PENDAHULUAN
Kajian tetang bilangan Ramsey telah berkembang dengan pesat dan banyak
dijadikan sebagai fokus penelitian dalam kelompok matematika kombinatorik. Konsep
bilangan Ramsey ini pertama kali dikenalkan oleh Frank Plumpton Ramsey (Graham,
1980). Konsep awal bilangan Ramsey ini didasarkan pada pewarnaan sisi graf lengkap.
F.P. Ramsey menyatakan bahwa jika diberikan bilangan asli a dan b maka terdapat
bilangan asli R(a,b) sedemikian hingga jika sisi sisi graf lengkap dengan R(a,b) titik
diwarnai dengan 2 warna (katakan merah dan biru) maka senantiasa terdapat subgraf Ka
merah atau Kb biru. Bilangan R(a,b) ini yang kemudian disebut sebagai bilangan
Ramsey klasik. Selanjutnya konsep bilangan Ramsey ini juga telah diperluas melalui
pewarnaan sisi graf lengkap dengan lebih dari dua warna, yang disebut dengan bilangan
Ramsey klasik multiwarna .
Dari konsep bilangan Ramsey klasik tersebut hanya dapat ditentukan bilangan
Ramsey untuk graf lengkap saja. Masalah yang muncul adalah bagaimana menentukan
bilangan Ramsey klasik untuk jenis graf yang lain? . Dengan adanya permasalahan ini
maka perlu dikaji konsep bilangan Ramsey klasik dengan obyek tdak hanya graf
lengkap tetapi diperluas untuk jenis graf yang lain.
Permasalahan berikutnya adalah bagaimana menentukan bilangan Ramsey
klasik R(a,b) untuk nilai-nilai a dan b yang besar?. Hasil-hasil yang terkait dengan
penentuan bilangan Ramsey klasik R(a,b) ini masih terbatas untuk nilai-nilai a dan b
yang kecil (S.P. Radziszowski, 2002). Hal ini dikarenakan konsep bilangan Ramsey
klasik ini masih didasarkan pada pewarnaan sisi graf lengkap, sehingga masih sulit
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA 354 Yogyakarta, 30 Mei 2008
M – 11 : Perluasan Konsep Bilangan Ramsey Isnaini R
menentukan bilangan Ramsey R(a,b) untuk nilai-nilai a dan b yang lebih besar. Dengan
demikian, perlu dikaji konsep bilangan Ramsey yang lain tanpa didasarkan pada konsep
pewarnaan sisi sebuah graf.
Dalam makalah ini penulis akan mengkaji tentang beberapa konsep bilangan
Ramsey yang lain sebagai perluasan dari bilangan Ramsey klasik. Dengan demikian
diharapkan dengan membaca makalah ini akan menambah pengetahuan pembaca bahwa
masih banyak masalah-masalah yang belum diteliti yang terkait dengan masalah
penentuan bilangan Ramsey graf.
Sedangkan berikut ini adalah konsep-konsep dasar yang digunakan
dalam pembahasan tulisan ini dan diambil dari Chartrand (2000). Graf G=G(V,E)
adalah suatu sistem yang terdiri dari himpunan titik )(GVV = yang tak kosong dan
himpunan sisi E=E(G) yang trdiri dari pasangan tak terurut unsur-unsur di V. Semua
graf dalam tulisan ini sederhana dan hingga. Orde dari graf G menyatakan banyaknya
titik dari graf G . Banyaknya titik dari graf G dinotasikan dengan )G(VG = . Jika
e={u,v}=uv∈E(G) dengan u,v ∈V(G) maka titik u disebut bertetangga dengan titik v
atau sebaliknya. Untuk sebarang v∈V(G) dan B ⊆ V(G), definisikan
dan )}G(Evx:Bx{)v(NB ∈∈= [ ] )v(N}v{vN BB ∪= . Derajat dari titik x
didefinisikan sebagai )x(N)x( V=δ , )}G(Vx)x({maks)G( ∈δ=Δ . Komplemen dari
graf G dinotasikan dengan G adalah sebuah graf dengan V( G )=V(G) dan uv∈E( G )
jika dan hanya jika uv≠E(G). Graf H disebut subgraf dari graf G jika V(H)⊆V(G) dan
E(H) ⊆E(G).
Graf G dengan n titik dan setiap dua titiknya bertetangga disebut graf lengkap,
dinotasikan dengan Kn. Graf G dikatakan graf bipartit jika V(G) dapat dipartisi menjadi
dua himpunan bagian V1 dan V2 sedemikian hingga setiap sisi di E(G) menghubungkan
suatu titik di V1 dengan suatu titik di V2. Graf Bipartit G dikatakan lengkap jika setiap
titik di V1 bertetangga dengan setiap titik di V2. Graf bipartit lengkap dengan partisi V1,
V2 dimana mV =1 dan nV =2 dinotasikan dengan Km,n.
Prinsip Pigeon-Hole berbunyi jika k+1 obyek ditempatkan dalam k kotak maka
paling sedikit terdapat satu kotak yang memuat dua obyek atau lebih. Atau secara
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA 355 Yogyakarta, 30 Mei 2008
M – 11 : Perluasan Konsep Bilangan Ramsey Isnaini R
umum, jika N obyek di tempatkan ke dalam k kotak maka paling sedikit terdapat satu
kotak yang memuat sedikitnya ⎡N/k⎤ obyek.
B. PEMBAHASAN
Munculnya konsep bilangan Ramsey diawali dengan bilangan Ramsey klasik
seperti disajikan berikut ini.
1. Konsep Bilangan Ramsey Klasik
Definisi 1. Diberikan s dan t bilangan asli dengan s,t ≥ 2, bilangan Ramsey klasik R(s,t)
adalah bilangan asli terkecil n sedemikian hingga jika sisi-sisi graf lengkap Kn diwarnai
dengan 2 warna (sebut merah dan biru) maka senantiasa terdapat subgraf Ks merah atau
Kt biru.
Contoh 1. Akan ditunjukkan bahwa bilangan Ramsey antara graf K3 dengan K3 atau
R(3,3)=6
Ambil sembarang titik di K6, sebut v. Terdapat 5 sisi yang terkait dengan v, Karena sisi-sisi di graf K6 diwarnai dengan 2 warna (merah dan biru) maka menurut prinsip Pigeon-Hole sedikitnya 3 sisi dari 5 sisi yang terkait dengan v akan berwarna sama, katakan merah. Misalkan 3 sisi yang berwarna merah tersebut adalah vr, vs dan vt. Selanjutnya, salah satu sisi dari rs, rt dan st tidak dapat diwarnai merah, karena jika salah satu sisi dari rs, rt dan st juga diwarnai merah maka akan terdapat K3 merah. Sehingga semua sisi rs, rt dan st harus diwarnai dengan biru.Tetapi akibatnya akan terbentuk K3 biru. Menurut definisi 1: R(3,3)≤6.
Sebaliknya, sisi-sisi graf K5 masih dapat diwarnai dengan dua warna (merah dan biru) tanpa membentuk subgraf K3 merah atau K3 biru. Seperti ditunjukkan pada gambar berikut ini.
Sehingga R(3,3)≥6. Jadi R(3,3)=6
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA 356 Yogyakarta, 30 Mei 2008
M – 11 : Perluasan Konsep Bilangan Ramsey Isnaini R
Hasil-hasil yang terkait dengan penentuan bilangan Ramsey klasik R(a,b) ini
masih terbatas untuk nilai-nilai a dan b yang kecil, seperti ditunjukkan dalam tablel 1
berikut ini. (S.P. Radziszowski, 2002).
n
m
3
4
5
6
7
8
9
3 6 9 14 18 23 28 36
4 18 25
Jadi bilangan Ramsey R(a,b) untuk nilai-nilai a dan b yang lebih besar dari 9
belum ditemukan. Hal ini terkait dengan konsep bilangan Ramsey klasik yang masih
didasarkan pada pewarnaan sisi graf lengkap, sehingga masih sulit menentukan bilangan
Ramsey R(a,b) untuk nilai-nilai a dan b yang lebih besar. Sehingga diperlukan sebuah
konsep bilangan Ramsey tanpa menggunakan pewarnaan sisi.
Selanjutnya konsep bilangan Ramsey klasik tersebut juga telah diperluas untuk
multiwarna seperti didefinisikan berikut ini
2. Bilangan Ramsey klasik multiwarna (multicolour Classical Ramsey numbers)
Definisi 2. Diberikan bilangan asli c dan n1, n2,…, nc. Bilangan Ramsey klasik
multiwarna R(n1,n2,…, nc) adalah bilangan asli terkecil N sedemikian hingga jika sisi-
sisi graf lengkap KN diwarnai dengan c warna berbeda maka senantiasa terdapat subgraf
dengan semua sisinya berwarna i (1≤i≤c). inK
Contoh: Akan ditunjukkan bahwa R(3,3,3)=17
Diberikan graf lengkap Kn dengan sisi-sisinya diwarnai dengan 3 warna, merah, kuning
dan hijau.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA 357 Yogyakarta, 30 Mei 2008
M – 11 : Perluasan Konsep Bilangan Ramsey Isnaini R
Misalkan tidak terdapat subgraf K3 dengan semua sisinya diwarnai sama .
(*)
Akan ditunjukkan bahwa n≤16. Ambil sembarang titik di Kn, sebut v. Misal Nmerah(v) adalah himpunan titik-titik yang bertetangga dengan v dan sisi-sisi yang menghubungkan berwarna merah. Jika ada dua titik di Nmerah(v) yang dihubungkan oleh sisi yang berwarna merah maka akan terbentuk subgraf K3 merah.Hal ini bertentangan dengan pernyataan (*). Sehingga, setiap dua titik di Nmerah(v) tidak dihubungkan oleh sisi yang berwarna merah, Akibatnya setiap dua titik di Nmerah(v) hanya dapat dihubungkan oleh sisi yang diwarnai kuning atau hijau. Agar tidak terbentuk K3 kuning atau K3 hijau pada subgraf Nmerah(v) dan menurut contoh 1 R(3,3)=6 maka banyaknya titik pada Nmerah(v) paling banyak 5. Selanjutnya misalkan Nkuning(v) dan Nhijau(v) adalah himpunan titik-titik yang bertetangga dengan v dan sisi-sisi yang menghubungkan berwarna kuning dan hijau. Dengan cara yang sama, banyaknya titik pada Nkuning(v) dan Nhijau(v) juga paling banyak 5. Setiap titik pada graf lengkap Kn akan termuat pada Nmerah(v), Nkuning(v) atau Nhijau(v) . Sehingga graf lengkap Kn yang tidak memuat subgraf K3 merah, K3 kuning ataupun K3 hijau tersebut akan memuat titik paling banyak 1+5+5+5= 16 (n≤16). Dengan demikian R(3,3,3)≤17. Sebaliknya, sisi-sisi graf K16 masih dapat diwarnai dengan tiga warna merah, kuning dan hijau tanpa membentuk subgraf K3 merah atau K3 kuning ataupun K3 hijau. Seperti ditunjukkan pada gambar berikut ini. Dengan demikian R(3,3,3)≥17. Jadi terbukti bahwa R(3,3,3)=17
Gambar 2. Pewarnaan sisi pada graf K16 dengan 3 warna tanpa memuat K3 merah atau
K3 kuning ataupun K3 hijau
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA 358 Yogyakarta, 30 Mei 2008
M – 11 : Perluasan Konsep Bilangan Ramsey Isnaini R
Hasil-hasil tentang bilangan Ramsey klasik multiwarna belum banyak ditemukan, yang
sudah diketahui adalah R(3,3,3)=17 dan R(3,3,4)=31. (S.P. Radziszowski, 2002:17-18)
Berdasarkan konsep bilangan Ramsey klasik pada definisi 1 dan 2 belum dapat
ditentukan bilangan Ramsey untuk obyek selain graf lengkap. Sehingga konsep
bilangan Ramsey klasik perlu diperluas untuk obyek selain graf lengkap
Berikut ini akan disajikan konsep bilangan Ramsey yang lebih umum (tanpa
menggunakan pewarnaan sisi) serta bilangan Ramsey klasik dengan obyek yang
diperluas.
2. Konsep Bilangan Ramsey yang lebih umum
Berikut ini akan disajikan konsep bilangan Ramsey yang diperumum dengan
obyek tidak hanya graf lengkap, sebagai pengembangan dari konsep bilangan Ramsey
klasik.
Definisi 3. Diberikan dua graf G dan H. Bilangan Ramsey R(G,H) adalah bilangan asli
terkecil n sedemikian hingga untuk setiap graf F dengan n titik akan memuat G atau F
memuat H.
Bilangan Ramsey R(G,H) ini juga dapat ditentukan melaui definisi berikut ini.
Definisi 4. Graf F disebut (G,H)-goodgraph jika F tidak memuat G dan F tidak memuat
H. Sebarang (G,H)-goodgraph dengan n titik dinotasikan dengan (G,H,n)-goodgraph.
Bilangan Ramsey R(G,H) juga dapat didefinisikan sebagai bilangan asli terkecil n
sehingga tidak ada (G,H,n)-goodgraph.
Melaui definisi 2 dan 4 telah banyak hasil-hasil yang diperoleh. (S.P.
Radziszowski, 2002). Salah satu hasil yang sangat penting dalam penentuan bilangan
Ramsey suatu graf adalah ditemukannya batas bawah:
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA 359 Yogyakarta, 30 Mei 2008
M – 11 : Perluasan Konsep Bilangan Ramsey Isnaini R
1)1)H()(1)G(V()H,G(R +−χ−≥ , dengan )H(χ bilangan kromatik dari graf H. (V.
Chavatal and F. Harary, 1972).
Sedangkan penulis telah menemukan bilangan Ramsey untuk kombinasi graf
bintang dan graf bipartit lengkap, sebagai berikut. (Isnaini; 2004, 2005, 2007)
1. untuk n ≥ 4 dan q ≥ 2 4qn2)K,S(R q,2n −+≤
2. Untuk n≥5: q)1n()3n)(1p()K,S(R q,pn +−+−−≤ dengan 3 ≤p≤ n-1 dan q ≥ 2
3. 2),( ,4 ++= nmKSR nm , 2, ≥nm
4. ⎩⎨⎧
≥+≥+
=3,,62,,5
),( ,25 nganjilnnngenapnn
KSR n
5. = n+7, n ≥ 2 ),( ,26 nKSR
3. Bilangan Ramsey Bipartit
Definisi 5. Bilangan Ramsey bipartite b(m,n) adalah bilangan asli terkecil b sedemikian
hingga setiap pewarnaan sisi-sisi graf bipartite lengkap Kb,b dengan dua warna (merah
dan biru) maka senantiasa terdapat subgraf Km,m merah atau Kn,n biru.
Salah satu hasil yang sangat penting terkait dengan penentuan bilangan Ramsey
bipartite adalah ditemukannya batas atas:
(Hattingh dan Henning, 1998) 1),( −⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛ +≤
mnm
nmb
Contoh: Hattingh dan Henning Hattingh dan Henning telah membuktikan b(2,2)=5 ,
artinya h bilangan asli terkecil b sedemikian hingga setiap pewarnaan sisi-sisi graf
bipartite lengkap Kb,b dengan dua warna (merah dan biru) maka senantiasa terdapat
subgraf K2,2 merah atau K2,2 biru adalah b=5
Beberapa hasil yang terkait dengan penentuan Bilangan Ramsey bipartite b(m,n)
sebagai berikut: (Hattingh dan Henning,1998)
1. b(2,2)=5 dan b(3,3)=17
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA 360 Yogyakarta, 30 Mei 2008
M – 11 : Perluasan Konsep Bilangan Ramsey Isnaini R
2. b(2,3)=9 dan b(2,4)=14
3. 16≤b(2,5)≤19 dan b(2,6)≤25
Dengan demikian masih banyak masalah yang terkait dengan penentuan Bilangan
Ramsey bipartite b(m,n) yang belum terpecahkan
Selanjutnya konsep bilangan Ramsey bipartit tersebut juga telah diperluas untuk
multiwarna seperti didefinisikan berikut ini
4. Bilangan Ramsey Bipartit Multiwarna (multicolour Bipartite Ramsey numbers)
Definisi 6. Diberikan bilangan asli c dan n1, n2,…, nc. Bilangan Ramsey bipartite
multiwarna R(n1,n2,…, nc) adalah bilangan asli terkecil N sedemikian hingga jika sisi-
sisi graf lengkap KN,N diwarnai dengan c warna berbeda maka senantiasa terdapat
subgraf dengan semua sisinya berwarna i (1≤i≤c). ii nnK ,
Hasil yang terkait dengan penentuan penentuan Bilangan Ramsey bipartite multiwarna
adalah: b(2,2,2)=11 (Goddard,2004).
Jadi masih banyak Bilangan Ramsey bipartite multiwarna yang belum ditemukan,
sehingga masih banyak peluang meneliti masalah penentuan Bilangan Ramsey bipartite
multiwarna
C.PENUTUP
1. Simpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa konsep bilangan Ramsey
telah mengalami perkembangan yang cukup pesat. Diawali dengan munculnya konsep
bilangan Ramsey klasik, kemudian diperluas menjadi bilangan Ramsey klasik
multiwarna. Berdasarkan obyek graf yang diteliti, konsep tersebut diperluas lagi
sehingga muncul bilangan Ramsey bipartite dan bilangan Ramsey bipartit multiwarna.
Selanjutnya muncul pula konsep bilangan Ramsey yang lebih umum yang tidak
didasarkan pada pewarnaan sisi sebuah graf.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA 361 Yogyakarta, 30 Mei 2008
M – 11 : Perluasan Konsep Bilangan Ramsey Isnaini R
2. Saran
a) Hasil yang telah diperoleh dalam penentuan bilangan Ramsey bipartite dan
bilangan Ramsey bipartit multiwarna, yaitu:
1. (2,2)=5 dan b(3,3)=17 3. 16≤b(2,5)≤19 dan b(2,6)≤25
2. b(2,3)=9 dan b(2,4)=14 4. b(2,2,2)=11
Sehingga masih banyak Bilangan Ramsey bipartite dan bipartit multiwarna
yang belum ditemukan. Jadi masih banyak peluang meneliti masalah penentuan
Bilangan Ramsey bipartite dan bipartit multiwarna
b) Masih ada perluasan konsep bilangan Ramsey lainnya yang belum dikaji pada
makalah ini, seperti bilangan Ramsey multipartit, Bilangan Ramsey Irredundant,
Bilangan Ramsey mixed, Bilangan Zarankiewicz , dll. Pembaca yang tertarik
dapat mengkajinya lebih lanjut.
D. DAFTAR PUSTAKA
1. Chartrand, G and Lesniak, L. 2000.Graphs and Digraphs. New York. Chapman and Hall.
2. Goddard, W , Henning, M.A, Oellermann. 2004. Bipartite Ramsey Numbers and
Zarankiewicz Numbers. University of Natal and the South African Foundationfor Research Development
3. Graham, R.L.1980. Rudiments of Ramsey Theory. Regional Conference Series in
Mathematics, 45.
4. Hattingh, J.H and Henning, M.A. 1998. Bipartite Ramsey theory. Utilitas Math. 53: 217-230.
5. Isnaini Rosyida. 2004. Bilangan Ramsey untuk Graf Bintang dan graf bipartite
lengkap. Makalah dalam Kongres Nasional Matematika XII. Bali: Universitas Udayana
6. Isnaini Rosyida.2005. Batas atas dari bilangan Ramsey untuk graf bintang dan
graf bipartit lengkap. Makalah dalam Seminar Nasional Matematika. Semarang: UNDIP
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA 362 Yogyakarta, 30 Mei 2008
M – 11 : Perluasan Konsep Bilangan Ramsey Isnaini R
7. Isnaini Rosyida. 2007. Penentuan Formula Umum Dari Bilangan Ramsey Graf Bintang dan Bipartit Lengkap. Laporan Hasil Penelitian Dosen Muda. Semarang: UNNES
8. S.P. Radziszowski, 2002. Small Ramsey numbers. The Electronic Journal of
Combinatorics DS1.9
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA 363 Yogyakarta, 30 Mei 2008
M – 12 : Penyelesaian Sistem Persamaan Non-Linea... Lusia Krismiyati Budiasih
Penyelesaian Sistem Persamaan Non-Linear Dengan Metode Pseudo-Newton
Lusia Krismiyati Budiasih
Jurusan Matematika, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta [email protected]
Abstrak
Sistem persamaan non-linear adalah himpunan n persamaan non-linear dengan yang dapat
dinotasikan dengan . Sistem tersebut dapat diselesaikan secara numeris, antara lain dengan metode Newton. Proses iter si yang dibangkitkan dalam metode Newton adalah
1>n( ) ( )( ) 0xxF == if
a( ) ( ) ( )( ) ( )( )1111 −−−− −= kkkk xFxJxx dengan , untuk suatu titik awal 1≥k ( )0x dan J(x) adalah matriks
Jacobian dari sistem. Untuk menghindari penghitungan matriks Jacobian, yang memerlukan penghitungan turunan parsial untuk setiap iterasinya, akan digunakan aproksimasi beda hingga untuk matriks tersebut yang pada umumnya dapat diterapkan untuk sembarang sistem persamaan non-linear. Dengan memodifikasi matriks tersebut maka dapat dibentuk metode pseudo-Newton. Perbedaan antara matriks Jacobian dengan hampirannya tidak akan mempengaruhi konvergensi metode pseudo-Newton untuk masalah sistem persamaan non-linear dengan nilai awal.
2n
Kata kunci: sistem persamaan non-linear, metode Newton, matriks Jacobian, metode pseudo-Newton,
aproksimasi beda hingga.
A. Pendahuluan
Sistem persamaan non-linear adalah himpunan n persamaan non-linear, dengan
. Secara umum sistem persamaan dengan n persamaan dan n variabel dapat
dinyatakan sebagai:
1>n
( )
( ) 0,...,,
0,...,,
21
211
=
=
nn
n
xxxf
xxxfM
(1.1)
di mana setiap fungsi merupakan pemetaan vektor if ( )tnxxx ,...,, 21=x dari nR ke R.
Sistem ini dapat ditulis dalam bentuk lain dengan mendefinisikan fungsi F, yang
memetakan nR ke nR , yakni
F ( ) ( ) ( )( )tnnnn xxxfxxxfxxx ,...,,,...,,...,,,...,, 2121121 = . (1.2)
Dengan menggunakan notasi vektor, sistem (1.2) dapat ditulis dalam bentuk
( ) ( )( ) 0xxF == if . (1.3)
Secara umum, suatu sistem persamaan dapat diselesaikan secara analitis atau
secara numeris. Namun biasanya sistem persamaan non-linear tidak mudah untuk
diselesaikan secara analitis, karena sistem terlalu rumit atau melibatkan banyak
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA 364 Yogyakarta, 30 Mei 2008
M – 12 : Penyelesaian Sistem Persamaan Non-Linea... Lusia Krismiyati Budiasih
persamaan non-linear serta variabel. Salah satu metode iteratif untuk menyelesaikan
sistem persamaan non-linear secara numeris adalah metode Newton. Metode ini
merupakan pengembangan dari iterasi titik-tetap (fixed-point) dan metode Newton-
Raphson untuk menyelesaikan persamaan non-linear.
Langkah awal penyelesaian persamaan non-linear dengan metode Newton-
Raphson adalah mencari turunan fungsinya. Demikian juga dalam metode Newton
untuk sistem persamaan non-linear. Langkah awal dalam metode ini adalah mencari
turunan parsial semua fungsinya terhadap setiap variabel yang ada dalam sistem
tersebut. Semua turunan parsial dalam sistem ini dapat dibentuk menjadi suatu matriks
yang disebut sebagai matriks Jacobian. Namun terkadang tidak mudah untuk
mendapatkan matriks Jacobian ini, yakni apabila persamaan fungsi terlalu rumit. Untuk
itu akan diberikan pendekatan untuk mendapatkan matriks Jacobian ini, yakni dengan
aproksimasi beda hingga. Dan metode Newton yang menggunakan aproksimasi matriks
Jacobian biasa disebut sebagai metode Pseudo-Newton.
B. Metode Newton untuk Fungsi Satu Variabel.
Misalkan diberikan suatu fungsi diferensiabel bernilai real f(x) yang terdefinisi
pada R. Untuk mencari penyelesaian persamaan
( ) 0=xf , (2.1)
dengan metode Newton dimulai dengan penyelesaian awal ( )0x .
Metode Newton untuk satu variabel didasarkan pada perluasan aproksimasi
kuadratik dari fungsi θ pada suatu titik yang diberikan , yakni kx
( )( ) ( )( ) ( )( ) ( )( ) ( )( )2''21')( kkkkk xxxxxxxxf −+−+= θθθ . (2.2)
Titik dipilih sedemikian sehingga 1+kx 0)(' =xf . Dengan demikian, dari persamaan
(2.2) diperoleh ( )( ) ( )( ) ( ) ( )( ) 0''' 1 =−+ + kkkk xxxx θθ , (2.3)
sehingga
( ) ( )( )( )( )( )k
kkk
xxxx
'''1
θθ
−=+ , (2.4)
atau dapat juga dinyatakan dengan
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA 365 Yogyakarta, 30 Mei 2008
M – 12 : Penyelesaian Sistem Persamaan Non-Linea... Lusia Krismiyati Budiasih
( ) ( )( )( )( )( ) 0,
'1 ≥−=+ k
xfxfxx k
kkk .
(2.5)
Secara geometris, rumusan iterasi pada persamaan (2.5) dapat diilustrasikan seperti
dalam gambar berikut (Peressini, 1988).
x
y = f(x) garis singgung
( )( ) ( )( ) ( )( )kkk xxxfxfy −=− '
( ) ( )( )( )kk xfx ,
Gambar 2.1. Ilustrasi metode Newton untuk fungsi satu variabel
Titik )x merupakan x-intersep dari garis singgung fungsi di titik ( 1+k ( )xfy =( ) ( )( )( )kk xfx , . Persamaan garis singgung tersebut adalah
( )( ) ( )( ) ( )( )kkk xxxfxfy −=− ' . (2.6)
Dengan menentukan y = 0 dan menyelesaikan persamaan (2.6) terhadap x maka akan
diperoleh penyelesaian ) seperti rumusan iterasi pada persamaan (2.5).
Iterasi pada persamaan (2.5) akan berhenti bila
( 1+kx( ) ( ) ε<−+ kk xx 1 atau pada saat
( )( ) ε<kxf , di mana ε adalah suatu skalar yang ditentukan. Iterasi pada persamaan
(2.5) hanya bisa digunakan apabila ( )( )kxf ' ada dan akan terdefinisi dengan baik bila ( )( ) 0' ≠kxf untuk setiap k. Selain itu, barisan ( ){ }kx yang dihasilkan dari metode Newton
akan konvergen ke suatu penyelesaian apabila *x
a. Penyelesaian awal tidak terlalu jauh dari ; ( )0x *x
b. Grafik tidak terlalu goyang.
( )1+=x-intersep kx
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA 366 Yogyakarta, 30 Mei 2008
M – 12 : Penyelesaian Sistem Persamaan Non-Linea... Lusia Krismiyati Budiasih
C. Metode Newton untuk Sistem Persamaan Non-Linear.
Konsep penggunaan metode Newton untuk menyelesaikan persamaan (1.3) pada
dasarnya sama dengan pada kasus satu variabel. Garis singgung di titik ( ) ( )( )( )kk xfx ,
pada fungsi satu variabel akan menjadi hyperplane singgung di titik dari grafik
fungsi , , ..., yang merupakan n komponen dari f
( )kx
( )x1f ( )x2f ( )xnf ( )x .
Dalam membangun algoritma Newton ini akan digunakan pendekatan metode
fixed-point untuk kasus satu dimensi, yakni mencoba untuk menemukan suatu fungsi φ
yang memenuhi
( ) ( ) ( )xfxxxg φ−=
yang akan konvergen kuadratik ke titik p dari g. Dari kondisi tersebut, metode Newton
mengembangkannya dengan memilih ( ) ( )xf '/1x =φ . Dengan menggunakan
pendekatan serupa, untuk kasus n-dimensi, algoritma ini memerlukan A(x) sehingga
memenuhi
nyebabkan penyelesaian dari F(x) = 0 akan konvergen kuadratik jika A(x)
onsingular.
h penyelesaian dari G(x) = x untuk suatu fungsi G
nR →
(x)F(x)AxG(x) 1−−= (3.1)
yang akan me
n
Teorema 3.1
Misalkan p adala ( )tggg n,...,, 21=
yang memetakan nR .
Jika ada sebuah 0>δ dengan sifat:
i). j
i
xg∂∂ kontinu pada { }δδ <−= pxxN untuk setiap i, j = 1, 2, ..., n
ii). ( )kj xx ∂∂
ig∂ x2
kontinu dan ( ) Mxx
gkj
i ≤∂∂
∂ x2
untuk suatu konstanta M, jika untuk
etiap i, j, k
iii).
δN∈x
s = 1, 2, ..., n
( ) 0=∂ jx
∂ ig p untuk setiap i, j = 1, 2, ..., n
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA 367 Yogyakarta, 30 Mei 2008
M – 12 : Penyelesaian Sistem Persamaan Non-Linea... Lusia Krismiyati Budiasih
δδ ≤)
maka ada sebuah sedemikian sehingga barisan yang dibangkitkan oleh ( ) ( )( )1−kxG akan konvergen secara kuadratik ke p untuk sebarang ( )0x yang dipilih,
a ( )
=kx
asalkan bahw δ)
<−px 0 (Burden, 1985).
Da atas, misri Teorema 3.1 di alkan A(x) adalah matriks n x n dari fungsi
Misalkan A(x) adalah nonsingular yang dekat dengan penyelesaian p dari
menyatakan elemen dari pada baris ke-i kolom ke-j.
Karena dengan
maka
RRf n →: .
F(x) = 0 dan ( )xijb (x)A 1−
(x)F(x)AxG(x) 1−−= ( ) ( ) ( )xxx j
n
jijii fbxg ∑
=
−=1
( )( ) ( ) ( ) ( )
( ) ( ) ( ) ( )⎪⎪
⎪⎪
⎟⎞
⎜⎛ ∂
+∂
−
⎜⎝ ∂∂
∂
∑
=
nijj
jj
kkij
fbf
b
xxg 1
,xxx
x
x
⎪⎩
⎪
⎨
⎧
≠⎟⎠
⎜⎝ ∂∂
=⎟⎟⎠
⎞⎜⎛ ∂
+∂
−
=∂
∑
=jj
kkij
nijj
k
i
kixx
kifbf
b
x
1. jika
, jika,1 xxx
x
(3.2)
Teorema 3.1 menyatakan bahwa supaya ( ) ( )( )1−= kk xGx konvergen ke p ma a k
( ) 0=∂
∂
k
i
xg p untuk setiap i = 1, 2, …, n dan k = 1, 2, …, n.
Hal ini mengakibatkan
( ) ( )
( ) ( )∑
∑
=
= ∂j ix1
≠=∂∂
==∂
n
j k
jij
nj
ij
kix
fb
kif
b
1. jika0
, jika,1
pp
pp
(3.3)
(3.4)
Didefinisikan matriks Jacobian J(x) dengan
( ) ( ) ( )
( ) ( ) ( )
( ) ( ) ( )⎥
( )
⎥⎢⎢
∂∂∂nnn
xf
xf
xf xxx
L2
⎥⎥
⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢
⎢⎢
⎣
⎡
∂∂∂
∂∂
∂∂
∂∂
n
n
nxf
xf
xf xxx
MOMM
L
1
21
1
2
1
1
1
⎥⎥
⎢⎢
∂∂
∂∂
∂∂
= xf
xf
xf
Jxxx
x L 222.
(3.5)
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA 368 Yogyakarta, 30 Mei 2008
M – 12 : Penyelesaian Sistem Persamaan Non-Linea... Lusia Krismiyati Budiasih
Dari syarat pada persamaan (3.3) dan (3.4) diperoleh bahwa
(p1 (3.6)
sehingga , dan akibatnya pilihan pendekatan untuk A(x) adalah
dapat
IA =− )(p) , J
(p)(p) JA =
(x)(x) JA = . Dengan demikian, fungsi G dapat didefinisikan sebagai
F(x)(x)xG(x) 1−−= J , (3.7)
Jadi, untuk ( )0x yang dipilih, untuk 1≥k dibangkitkan ( ) ( )
( ) ( ) ( ) )F(x)(xx)G(xx 1111 −−−− −== kkkk J . (3.8)
Metode ini sering disebut sebagai metode Newton
1−k
untuk sistem non-linear dan pada
um nya g konvergen, bila diberikan suatu
pendekatan awal yang cukup tepat dan ada. Kelemahan dari metode ini adalah
erlunya menghitung invers dari matriks pada setiap langkah. Pada prakteknya,
men
um diharapkan memberikan iterasi yan1−(p)J
p (p)J
metode Newton dibentuk dalam dua langkah utama:
i. emukan vektor y yang memenuhi ( )( ) ( )( )k , kJ xFyx −=
ii. menentukan ( )1+kx , yakni ( ) ( ) yxx =+k 1 +k .
Algoritma Me m Persamaan Non-Linear
nya persamaan nonlinear dalam sistem
ektor p katan awal
si
Tol : to esalahan
Langkah 1: Set k = 1
F(x) dan J(x),
tode Newton untuk Siste
INPUT n : banyak
( )0x : v ende
N : maksimum banyaknya itera
leransi k
Langkah 2: While )Nk ≤ do ( Langkah 3: Hitung
( )dengan )(
jji x
J∂
x ,if∂
=x
untuk .,1 nji ≤≤
( ) ( )xFyx −=J Langkah 4: Selesaikan sistem linear .
Langkah 5: Set yxx += .
Langkah 6: If Tol<y then OUTPUT(x);
Langkah 7: Set k = k + 1.
STOP.
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA 369 Yogyakarta, 30 Mei 2008
M – 12 : Penyelesaian Sistem Persamaan Non-Linea... Lusia Krismiyati Budiasih
D. Metode Pseudo-Newton untuk Sistem Persamaan Non-Linear
Hambatan dalam menggunakan metode Newton untuk menyelesaikan suatu
sistem persamaan non-linear adalah dibutuhkannya penghitungan matriks Jacobian,
ang memerlukan penghitungan turunan parsial untuk setiap iterasinya. Salah satu
ngatasi hal tersebut adalah dengan penggunaan hampiran beda hingga
Teorema 4.1
Misalkan dan
2ny
cara untuk me
untuk matriks Jacobian.
[ ]baCf ,3∈ ],[,, bahxxhx ∈+− .
aka M
( ) ( ) ( )h
hxfhxfxf2
' −−+=
(4.1).
rema di atas, maka aproksimasi matriks Jacobian untuk kasus n dimensi
pada iterasi ke-k adalah
Dari teo
( )( ) ( )( )( ) ( )( ) ( )( )( )kij
kkij
k xMxMxJxJ =≈= untuk nji ...,,2,1, =
dengan
( )( ) ( )( ) ( ) ( )h
xxhxfxxhxf kn
kkkn
kkkk
2,,,,,, )()(
2)(
11)()(
2)(
111111
LL −−+=≈ xMxJ
M
( )( ) ( )( ) ( ) ( )h
hxxxfhxxxf kn
kkkn
kkk
nk
n 2,,,,,, )()(
2)(
11)()(
2)(
1111
−−+=≈
LLxMxJ
M
( )( ) ( )( ) ( ) ( )h
xxhxfxxhxf kn
kkn
kn
kknk
nk
n 2,,,,,, )()(
2)(
1)()(
2)(
111
LL −−+=≈ xMxJ
M
( )( ) ( )( ) ( ) ( )hnnnn 2
dimana h cukup kecil.
hxxxfhxxxf kn
kkn
kn
kknkk ,,,,,, )()(
2)(
1)()(
2)(
1 −−+=≈
LLxMxJ
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA 370 Yogyakarta, 30 Mei 2008
M – 12 : Penyelesaian Sistem Persamaan Non-Linea... Lusia Krismiyati Budiasih
Pemilihan titik awal ( )0x yang ”baik” amatlah penti untuk keberhasilan
metode pseudo-Newton. Jika ( )0x terlalu jauh dari
ng
, penyelesaian dari ,
aka barisan metode pseudo-Newton
*x ( ) 0xg =
( ){ }kx dengan titik awal ( )0xm mungkin saja tidak
u tidak kon .
ontoh 4.2.
Misalkan diketahui sistem persamaan non-linear
engan menggunakan titik awal (0.1 , 0.7), hasil penghitungan dengan metode Newton
antuan program Matlab adalah sebagai berikut:
3 0.06177039 0.72449052
13 0.72449052
lapsed_time =
-Newton
2 0.06176990 0.72449125
13 0.72449052
lapsed_time =
terdefinisi ata vergen ke *x
C
4441224
44
32
=++
=+−
yyxyxx
D
dan metode pseudo-Newton dengan b
Hasil iterasi dengan metode Newton
iterasi x(1) x(2)
0 0.10000000 0.70000000
1 0.05219367 0.72526257
2 0.06196486 0.72449142
4 0.061770
e
0.01600000000000
Hasil iterasi dengan metode pseudo
iterasi x(1) x(2)
0 0.10000000 0.70000000
1 0.06103863 0.72525881
3 0.061770
e
0.01500000000000
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA 371 Yogyakarta, 30 Mei 2008
M – 12 : Penyelesaian Sistem Persamaan Non-Linea... Lusia Krismiyati Budiasih
Kedua metode akan memberikan penyelesaian yang sama, yakni
x = (0.06177013 , 0724495052).
Namun dapat dilihat bahwa metode pseudo-Newton memiliki proses iterasi yang lebih
dingkan metode Newton.
rbentuk metode pseudo-Newton. Dengan
etode pseudo-Newton ini memungkinkan untuk mendapatkan proses iterasi yang lebih
n ke suatu titik tertentu.
1. nalysis. Boston: PWS Publisher.
tice-Hall.
s of Nonlinear
nger-Verlag.
. http://math.fullerton.edu/mathews/n2003/BroydenMethodMod.html
singkat diban
E. Penutup
Metode Newton merupakan salah satu metode untuk menyelesaikan sistem
persamaan non-linear. Dalam proses iterasinya, metode ini memerlukan penghitungan
matriks Jacobian dari sistem yang terdiri dari turunan parsial pertama dari setiap fungsi
pada setiap iterasi. Untuk menghindari penghitungan turunan parsial yang terkadang
melibatkan fungsi yang rumit, maka matriks Jacobian dapat dihampiri dengan
aproksimasi beda hingga, sehingga dapat te
m
cepat yang konverge
F. Daftar Pustaka
Burden, R.L, and Faires, J.D. (1985). Numerical A
2. Mathews, J.H. (1992). Numerical Methods for Mathematics, Science, and
Engineering, Second Edition. NJ: Pren
3. Peressini, A.L., F.E. Sullivan, and J.J. Uhl, Jr. The Mathematic
Programming. NY: Spri
4
(Diakses 19 Mei 2008)
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA 372 Yogyakarta, 30 Mei 2008