POTENSI JAMUR RHIZOSFER SEBAGAI PLANT GROWTH …repository.ub.ac.id/12684/1/CHICHA YAYAN...
Transcript of POTENSI JAMUR RHIZOSFER SEBAGAI PLANT GROWTH …repository.ub.ac.id/12684/1/CHICHA YAYAN...
POTENSI JAMUR RHIZOSFER SEBAGAI PLANT GROWTH PROMOTING FUNGI (PGPF) TERHADAP PERTUMBUHAN
BIBIT SINGLE BUD SET TANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.)
Oleh : CHICHA YAYAN LOVELYANA
UNIVERSITAS BRAWIJAYA FAKULTAS PERTANIAN
MALANG
2018
POTENSI JAMUR RHIZOSFER SEBAGAI PLANT GROWTH PROMOTING FUNGI (PGPF) TERHADAP PERTUMBUHAN
BIBIT SINGLE BUD SET TANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.)
OLEH
CHICHA YAYAN LOVELYANA
145040200111154
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
MINAT PERLINDUNGAN TANAMAN
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
Gelar Sarjana Pertanian Strata Satu (S-1)
UNIVERSITAS BRAWIJAYA FAKULTAS PERTANIAN
JURUSAN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN MALANG
2018
PERNYATAAN
Saya menyatakan bahwa segala pernyataan dalam skripsi ini merupakan
hasil penelitian saya sendiri, dengan bimbingan komisi pembimbing. Skripsi ini
tidak pernah diajukan untuk memperoleh gelar di suatu perguruan tinggi
manapun, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau
pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang secara
jelas ditunjukkan rujukannya dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Malang, Agustus 2018
Chicha Yayan Lovelyana
“SKRIPSI INI AKU PERSEMBAHKAN TERUNTUK AYAH, IBU DAN ADIKKU, BESERTA
KELUARGAKU TERCINTA”
i
RINGKASAN
Chicha Yayan Lovelyana. 145040200111154. Potensi Jamur Rhizosfer sebagai
Plant Growth Promoting Fungi (PGPF) terhadap Pertumbuhan Bibit Single Bud
Set Tanaman Tebu (Saccharum officinarum L.). Dibawah bimbingan kepada Dr.
Ir. Syamsuddin Djauhari, MS. dan Antok Wahyu Sektiono, SP., MP.,
Tebu Saccharum officinarum L. merupakan tanaman perkebunan yang
memiliki peran penting karena digunakan sebagai bahan baku untuk industri
pangan dan farmasi. Saat ini terdapat teknologi pembibitan tebu yang lebih mudah
dan efisien yakni dengan menggunakan satu mata tunas Single Bud Set.
Pemanfaatan jamur rhizosfer sebagai pemacu pertumbuhan tanaman biasa dikenal
sebagai PGPF pada pembibitan tanaman tebu belum banyak diketahui, sehingga
penelitian mengenai jenis jamur yang berpotensi sebagai PGPF perlu dikaji.
Pengetahuan mengenai jenis jamur rhizosfer sebagai PGPF akan memberikan
informasi dalam pembibitan single bud set tanaman tebu.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Juli di Laboratorium
Penyakit Tumbuhan, Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian,
Universitas Brawijaya, Malang dan Desa Sempalwadak, Kec. Bululawang, Kab.
Malang. Penelitian seleksi jamur rhizosfer menggunakan benih mentimun terdiri
dari 10 perlakuan dan 3 ulangan, dengan metode rancangan acak lengkap (RAL).
Penelitian uji potensi jamur sebagai PGPF pada bibit single bud set tanaman tebu
menggunakan metode Rancangan Acak kelompok (RAK) terdiri dari 8 perlakuan
dan 3 ulangan, meliputi P0 (Perendaman bibit tebu dengan air), PK (Perendaman
bibit tebu secara Konvensional), PR (Perendaman bibit tebu dengan PGPR
Bacillus subtilis), PF1 (Perendaman Bibit tebu dengan isolat jamur Penicillium sp.
isolat 1, PF2 (Perendaman Bibit tebu dengan isolat jamur Penicillium sp. isolat 2),
PF3 (Perendaman Bibit tebu dengan isolat jamur Acremonium sp.), PF4
(Perendaman Bibit tebu dengan isolat jamur Trichoderma sp. isolat 1), dan PF5
(Perendaman Bibit tebu dengan isolat jamur Trichoderma sp. isolat 2). Data hasil
pengamatan dianalisis dengan menggunakan analisis ragam (ANOVA), dan uji
lanjut Duncan dengan taraf kesalahan 5%.
Hasil seleksi jamur rhizosfer pada tanaman mentimun menunjukkan bahwa
Acremonium sp, Penicillium spp. dan Trichoderma spp. berpotensi sebagai PGPF.
Hasil penelitian uji potensi jamur menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang
nyata pada pengamatan yang meliputi presentase tunas tumbuh, jumlah anakan,
serta kejadian penyakit, dan menunjukkan perbedaan yang nyata pada pengamatan
tinggi tanaman, diameter batang dan jumlah daun tanaman tebu. Perendaman bibit
single bud set dengan jamur Penicillium sp. isolat 2 berpotensi untuk memacu
pertumbuhan tanaman tebu khususnya pada waktu tumbuh tunas tebu, tinggi
tanaman, jumlah daun serta diameter batang. Perendaman bibit single bud set
tanaman tebu dengan menggunakan jamur Trichoderma sp. isolat 1 dan isolat 2
berpotensi untuk mengurangi peluang kejadian penyakit.
ii
SUMMARY
Chicha Yayan Lovelyana. 145040200111154. Potential of Rhizospher Fungal as
Plant Growth Promoting Fungi (PGPF) enhance the Growth of Single Bud
Sugarcane Set (Saccharum officinarum L.). Supervised by Dr. Ir. Syamsuddin
Djauhari, MS. and Antok Wahyu Sektiono, SP., MP.,
Sugarcane (Saccharum officinarum L.) is a crop that has an important role
because it is used as raw materials for food and pharmaceutical industries.
Currently, there is more efficient sugarcane breeding technology using single bud
bud set. There is not many reports on the utilization of rhizosphere fungal as
PGPF in sugarcane planting, so research on the types of fungi that has potential as
PGPF needs to be studied. Knowledge of the rhizosphere fungal species as PGPF
will provide information in seeding single bud sugarcane set.
The research was conducted from February to July in Plant Disease
Laboratory, Department of Pest and Plant Disease, Agriculture Faculty,
University of Brawijaya, Malang and Sempalwadak Village, Bululawang,
Malang. Research on rhizosphere fungal selection using cucumber seeds consisted
of ten treatments and three replications, with a Completely Randomized Design
Method. Research on potential of rhizosphere fungal as PGPF on single bud
sugarcane set with a Randomized Block Design consisted of eight treatments and
three replicates, including P0 (Soaking sugarcane seedlings with water), PK
(Soaking sugarcane seeds conventionally), PR (Soaking sugarcane seeds with
PGPR Bacillus subtilis), PF1 (Soaking sugarcane seeds with Penicillium sp.
isolate 1), PF2 (Soaking sugarcane seeds with Penicillium sp. isolate 2), PF3
(Soaking sugarcane seeds with Acremonium sp.), PF 4 (Soaking sugarcane seeds
with Trichoderma sp. isolates 1, and PF5 (Soaking sugarcane seeds with
Trichoderma sp. isolates 2). Observation data were analyzed using variance
analysis (ANOVA), and Duncan's further test with α=5% error level.
The results of the rhizosphere fungal selection using cucumber seeds
showed that Acremonium sp, Penicillium spp. and Trichoderma spp. potential as
PGPF. The results of the potential of rhizosphere fungal as PGPF on single bud
sugarcane set showed that there were no significant differences in observations
which included the percentage of germinating, number of tillers, and incidence of
disease, and showed significant differences in observations of germinating time,
plant height, stem diameter and number of sugarcane leaves. Soaking single bud
sugarcane set with Penicillium sp. isolate 2 has the potential to increase the
growth of sugar cane, especially germinating time, plant height, number of leaves
and stem diameter. Soaking the single bud sugarcane set with Trichoderma sp.
isolate 1 and isolate 2 has the potential to decrease the desease incidence.
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang dengan rahmat
dan hidayah-Nya telah menuntun penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul “Potensi Jamur Rhizosfer Sebagai Plant Growth Promoting Fungi
(PGPF) Terhadap Pertumbuhan Bibit Single Bud Set Tanaman Tebu (Saccharum
officinarum L.)”.
Pada kesempatan kali ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr. Ir.
Syamsuddin Djauhari, MS, selaku dosen pembimbing utama dan Antok Wahyu
Sektiono, SP., MP., selaku dosen pembimbing pendamping atas segala kesabaran,
nasihat, dan bimbingannya kepada penulis. Penulis mengucapkan terimakasih
kepada ketua jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Dr. Ir. Ludji Pantja Astuti,
MS., beserta seluruh dosen atas bimbingan dan arahan yang selama ini diberikan.
Penghargaan yang tulus penulis berikan kepada kedua orangtua dan adik
atas doa, cinta dan kasih sayang, pengertian serta dukungan yang diberikan
kepada penulis. Juga kepada rekan-rekan HPT khususnya angkatan 2014 atas
bantuan, dukungan dan kebersamaan selama ini.
Penulis berharap semoga hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat bagi
banyak pihak dan memberikan sumbangan pemikiran dalam kemajuan ilmu
pengetahuan.
Malang, Agustus 2018
Penulis
iv
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Malang pada tanggal 24 Agustus 1996 sebagai putri
pertama dari Bapak Suyanto Rahmulyono dan Ibu Suyanah. Penulis mempunyai
satu saudari perempuan. Penulis bertempat tinggal di Desa Sumberejo, Kecamatan
Batu, Kota Batu.
Penulis menempuh pendidikan sekolah dasar di SDN Sumberejo 01 pada
tahun 2002 sampai tahun 2008. Kemudian penulis melanjutkan studi di SMP
Negeri 02 Kota Batu pada tahun 2008 sampai dengan tahun 2011. Setelah itu,
penulis melanjutkan studi di SMA Negeri 01 Batu, jurusan Ilmu Pengetahuan
Alam dan lulus pada tahun 2014. Pada tahun 2014 penulis terdaftar sebagai
mahasiswa Strata-1 Program Studi Agroekoteknologi, Jurusan Hama dan Penyakit
Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang, melalui jalur
Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN).
Selama menjadi mahasiswa Fakultas Pertanian, penulis pernah menjadi
asisten praktikum Mata Kuliah Dasar Perlindungan Tanaman dan Manajemen
Agroekosistem pada semester genap tahun ajaran 2016-2017. Asisten praktikum
Mata Kuliah Hama dan Penyakit Penting Tumbuhan, Manajemen Hama dan
Penyakit Tumbuhan serta Pertanian Berlanjut pada semester ganjil tahun ajaran
2017-2018. Asisten praktikum Mata Kuliah Mikologi Pertanian pada semester
genap tahun ajaran 2017-2018. Penulis pernah melakukan kegiatan magang di PG.
Kebon Agung, Kabupaten Malang.
Penulis pernah aktif dalam kepanitiaan Plant Protection Olimpiad (PPO)
sebagai Divisi Acara di Universitas Brawijaya Malang tahun 2017. Penulis men-
jadi delegasi Lomba Cerdas Tepat dalam rangkaian acara Jambore Perlindungan
Tanaman Indonesia (JPTI) di Institut Pertanian Bogor (IPB) tahun 2017. Penulis
mendapatkan penghargaan Juara 3 Lomba Cerdas Cermat dalam rangkaian acara
Plant Protection day (PPD) di Universitas Padjajaran, Bandung tahun 2017.
Penulis menerima beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) yang diberikan
oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) pada tahun anggaran 2014-
2015.
v
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN.......................................................................................................... i
SUMMARY............................................................................................................. ii
KATA PENGANTAR............................................................................................. iii
RIWAYAT HIDUP................................................................................................. iv
DAFTAR ISI.......................................................... ................................. .............. v
DAFTAR TABEL................................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR............................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN............................................................................................ x
1. PENDAHULUAN............................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang........................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penelitian.................................................................................... 3
1.4 Hipotesis................................................................................................. 3
1.5 Manfaat Penelitian.................................................................................. 3
2. TINJAUAN PUSTAKA................................................................................... 4
2.1 Deskripsi Tanaman Tebu (Saccharum officinarum L.) .......................... 4
2.2 Budidaya Tanaman Tebu......................................................................... 5
2.3 Bibit Single Bud Planting........................................................................ 6
2.4 Jamur Rizosfer sebagai Plant Growth Promoting Fungi......................... 8
3. BAHAN DAN METODE................................................................................ 10
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian................................................................. 10
3.2 Alat dan Bahan........................................................................................ 10
3.3 Rancangan Penelitian............................................................................. 10
3.4 Pelaksanaan Penelitian............................................................................ 11
3.4.1 Eksplorasi Jamur Rhizosfer..................................................................... 12
3.4.2 Uji Potensi Jamur Rhizosfer sebagai PGPF........................................... 14
3.5 Pengamatan Percobaan............................................................................ 17
3.6 Analisis Data............................................................................................ 19
4. HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................................ 20
4.1 Kondisi Aktual Lahan Pengambilan Sampel Tanah............................... 20
4.2 Hasil Identifikasi Isolat Jamur Rhizosfer................................................ 22
4.3 Seleksi Jamur Rhizosfer sebagai PGPF................................................... 32
vi
4.4 Hasil Uji Potensi Jamur Rhizosfer........................................................... 34
5. KESIMPULAN DAN SARAN..................................................... ................. 42
5.1 Kesimpulan............................................................................................. 42
5.2 Saran....................................................................................................... 42
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 43
LAMPIRAN............................................................................................................. 48
vii
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
Teks
1. Perlakuan Perendaman Benih Mentimun pada Seleksi Jamur Rhizosfer... 11
2. Perlakuan Perendaman Bibit Single bud set Tanaman Tebu pada Uji
Potensi Jamur Rhizosfer ............................................................................ 11
3. Informasi Kondisi Aktual Lahan Pengambilan Sampel Tanah .................. 20
4. Jenis Jamur Hasil Eksplorasi Rhizosfer Tanaman Tebu ............................ 23
5. Hasil Seleksi Isolat Jamur Rhizosfer .......................................................... 32
6. Pengaruh Perendaman Bibit Single Bud Set pada Presentase Tunas
Tumbuh Tanaman Tebu ............................................................................. 34
7. Pengaruh Perendaman Bibit Single Bud Set pada Waktu Tunas
Tumbuh Tanaman Tebu ............................................................................. 35
8. Pengaruh Perendaman Bibit Single Bud Set pada Tinggi Tanaman Tebu . 36
9. Pengaruh Perendaman Bibit Single Bud Set pada Diameter Batang
Tanaman Tebu ............................................................................................ 38
10. Pengaruh Perendaman Bibit Single Bud Set pada Jumlah Daun
Tanaman Tebu ............................................................................................ 39
11. Pengaruh Perendaman Bibit Single Bud Set pada Jumlah Anakan
Tanaman Tebu saat 9 mst ........................................................................... 40
12. Pengaruh Perendaman Bibit Single Bud Set pada Kejadian Penyakit
Tanaman Tebu saat 9 mst ........................................................................... 41
Lampiran
1. Hasil Analisis Ragam Presentase Perkecambahan Tanaman Mentimun
Untuk Seleksi Jamur Rhizosfer......................................................................... 52
2. Hasil Analisis Ragam Tinggi kecambah Mentimun Untuk Seleksi
Jamur Rhizosfer................................................................................................. 52
3. Hasil Analisis Ragam Presentase Tunas Tumbuh Tanaman Tebu..................... 52
4. Hasil Analisis Ragam Waktu Tumbuh Tunas Tanaman Tebu......................... 52
5. Hasil Analisis Ragam Tinggi Tanaman Tebu saat 3 mst................................... 53
6. Hasil Analisis Ragam Tinggi Tanaman Tebu saat 5 mst.................................. 53
7. Hasil Analisis Ragam Tinggi Tanaman Tebu saat 7 mst................................... 53
8. Hasil Analisis Ragam Tinggi Tanaman Tebu saat 9 mst................................... 53
9. Hasil Analisis Ragam Diameter Batang Tanaman Tebu 3 mst......................... 53
10. Hasil Analisis Ragam Diameter Batang Tanaman Tebu 5 mst......................... 54
11. Hasil Analisis Ragam Diameter Batang Tanaman Tebu 7 mst......................... 54
viii
12. Hasil Analisis Ragam Diameter Batang Tanaman Tebu 9 mst......................... 54
13. Hasil Analisis Ragam Jumlah Daun Tanaman Tebu 3 mst................................ 54
14. Hasil Analisis Ragam Jumlah Daun Tanaman Tebu 5 mst................................ 54
15. Hasil Analisis Ragam Jumlah Daun Tanaman Tebu 7 mst................................ 55
16. Hasil Analisis Ragam Jumlah Daun Tanaman Tebu 9 mst................................ 55
17. Hasil Analisis Ragam Jumlah Anakan Tanaman Tebu 9 mst............................ 55
18. Hasil Analisis Ragam Kejadian Penyakit Tanaman Tebu 9 mst....................... 55
ix
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
Teks
1. Morfologi Tebu............................................................................................... 4
2. Bibit Tanaman Tebu....................................................................................... 7
3. Bagan Pelaksanaan Penelitian....................................................................... 12
4. Acremonium sp. .............................................................................................. 24
5. Aspergillus sp. ............................................................ .................................... 25
6. Gongronella sp. .............................................................................................. 26
7. Penicillium sp. Isolat 1................................................................................... 27
8. Penicillium sp. Isolat 2................................................................................... 28
9. Penicillium sp. Isolat 3................................................................................... 29
10. Trichoderma sp. isolat 1................................................................................ 30
11. Trichoderma sp. isolat 2................................................................................. 31
12. Mortierella sp.................................................................................................. 31
13. Tunas Tanaman Tebu..................................................................................... 36
Lampiran
1. Plot Percobaan Uji Potensi Jamur Rhizosfer sebagai PGPF ..................... 51
2. Seleksi Jamur Rhizosfer pada Benih Mentimun ....................................... 56
3. Benih mentimun 7 hst (Ulangan 1) pada perlakuan perendaman ............ 57
4. Pembibitan Single Bud Set Tanaman Tebu untuk Uji Potensi Jamur
Rhizosfer ................................................................................................... 58
5. Kenampakan Tanaman yang Terserang Penyakit ..................................... 58
6. Kondisi Plot Percobaan pada setiap pengamatan ...................................... 59
x
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
Teks
1. Deskripsi Varietas Tebu Bululawang ........................................................ 49
2. Plot Percobaan Uji Potensi Jamur Rhizosfer............................................. 51
3. Analisis Ragam Seleksi Jamur Rhizosfer sebagai PGPF .......................... 52
4. Analisis Ragam Uji Potensi Jamur Rhizosfer sebagai PGPF .................... 52
5. Hasil Seleksi Jamur Rhizosfer................................................................... 56
6. Dokumentasi Kegiatan Penelitian ............................................................. 58
1
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tebu Saccharum officinarum L. merupakan tanaman perkebunan yang di
dalam batangnya terkandung cairan gula dan biasa dimanfaatkan untuk industri
pangan dan farmasi. Konsumsi gula di Indonesia terus meningkat mengikuti
pertambahan jumlah penduduk, namun peningkatan konsumsi gula belum dapat
diimbangi oleh produksi gula dalam negeri. Pada tahun 2015, kebutuhan gula
Nasional yakni 6 juta ton atau setara dengan 6,38 juta ton gula mentah, namun
produksi dalam negeri hanya sekitar 2,47 juta ton. Untuk memenuhi defisit gula
maka dilakukan impor gula mentah dari negara Thailand, Australia dan Brazil
sekitar 3,53 juta ton (Ditjen Perkebunan, 2016). Salah satu upaya penting yang
dapat memperbaiki produksi gula dalam negeri yakni dengan melakukan
introduksi teknologi baru khususnya dalam sektor on farm.
Kualitas Bibit merupakan faktor terpenting dalam budidaya tanaman tebu,
hal ini dikarenakan asal dan jenis bibit tebu akan mempengaruhi hasil produksi
tebu itu sendiri. Secara konvensional, perbanyakan tebu biasa dilakukan secara
vegetatif dengan menanam bagal tebu yakni bibit tebu yang berasal dari batang
tebu dengan 2-3 mata tunas yang belum tumbuh (Khuluq dan Hamida, 2016). Saat
ini terdapat teknologi pembibitan tebu yang lebih mudah dan efisien yakni dengan
menggunakan bibit tebu yang berasal dari satu mata tunas atau biasa dikenal
dengan Single Bud Planting (SBP). Pemakaian mata tunas tunggal sebagai bahan
tanam dapat meningkatkan produktivitas tebu karena menghasilkan jumlah
anakan per tanaman yang lebih banyak dibandingkan dengan bibit bagal. Bibit
mata tunas tunggal dapat menghasilkan 10 anakan tiap tanaman dibandingkan
dengan bibit bagal hanya 5 anakan tiap tanaman (Rokhman et al., 2014).
Kondisi tanah dan nutrisi tanaman yang kurang, serangan organisme
pengganggu tanaman seperti hama dan penyakit tanaman serta sistem tanam yang
kurang tepat, menjadi faktor pembatas dalam budidaya tanaman tebu (Mawanda,
2014). Beberapa permasalahan budidaya tersebut menjadi salah satu dasar untuk
mengembangkan praktek pertanian berkelanjutan dengan memanfaatkan
organisme bermanfaat semakin gencar dilakukan (Abdelrahman, et al., 2016).
2
Secara umum, daerah perakaran atau rizosfer merupakan tempat yang sangat
penting dalam interaksi antara tanaman, tanah, mikrofauna dan mikroorganisme
(Nihorimbere, et al., 2011). Mikroorganisme baik jamur ataupun bakteri yang
berada pada daerah rhizosfer berperan dalam menguraikan bahan organik,
membantu pertumbuhan tanaman dan beberapa jenis mikroorganisme lainnya
diketahui dapat menekan perkembangan patogen tanaman (Murali et al., 2012).
Plant Growth Promoting Fungi (PGPF) merupakan jamur berfilamen
bersifat non patogen atau tidak menyebabkan sakit pada tanaman, yang ditularkan
melalui tanah dan memberikan manfaat bagi tanaman (Masunaka et al., 2011).
Pemanfaatan beberapa spesies jamur rhizosfer berpotensi sebagai PGPF telah
banyak dilaporkan khususnya dalam genus Trichoderma, Fusarium, Penicillium
dan phoma (Hyakumachi, 1994). Penggunaan PGPF berfungsi untuk merangsang
perkecambahan dan pertumbuhan tanaman, memproduksi hormon, menekan
pertumbuhan patogen rhizosfer dengan mekanisme antagonis, serta menginduksi
resistensi ketahanan tanaman (Masunaka et al., 2011). Jamur rhizosfer juga
memiliki kemampuan untuk mengkolonisasi akar serta dapat menyediakan
mineral hara dalam bentuk yang tersedia sehingga mudah diserap oleh tanaman
(Meera, et al., 1994)
Sejauh ini, informasi mengenai jenis jamur rhizosfer yang berpotensi
sebagai PGPF dalam pembibitan tebu belum banyak dilakukan. Berdasarkan
alasan tersebut maka perlu dilakukan eksplorasi jamur rhizosfer sehingga
diperoleh jenis jamur yang dapat berpotensi sebagai PGPF pada bibit Single Bud
Set tanaman tebu.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang terdapat pada penelitian ini adalah
1. Jenis jamur rhizosfer apa saja yang terdapat pada pertanaman tebu?
2. Apakah terdapat jamur rhizosfer yang berpotensi sebagai PGPF pada
pertumbuhan bibit Single Bud Set tanaman tebu?
3
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jamur hasil eksplorasi
rhizosfer tanaman tebu serta untuk mengetahui potensinya sebagai PGPF pada
pertumbuhan bibit Single Bud Set tanaman tebu.
1.4 Hipotesis
Hipotesis yang diajukan adalah terdapat jamur rhizofer tanaman tebu yang
berpotensi sebagai PGPF pada pertumbuhan bibit Single Bud Set tanaman tebu.
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah dapat memberikan informasi mengenai
jamur rhizosfer yang berpotensi sebagai PGPF pada pertumbuhan bibit Single Bud
Set tebu sehingga dapat digunakan sebagai solusi untuk perlakuan sebelum
ditanam pada media. Aplikasi PGPF pada pembibitan tebu juga dapat digunakan
sebagai agens pengendali hama dan penyakit.
4
2. INJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi Tanaman Tebu (Saccharum officinarum L.)
Tebu adalah tanaman tahunan yang menghasilkan biji pada saat kondisi
lingkungan yang sesuai, namun untuk produksi komersial disebarkan melalui
perbanyakan vegetatif berupa stek batang. Tanaman tebu merupakan tanaman
rerumputan yang menyimpan energinya dalam bentuk gula (sukrosa) didalam
batang (Ridge, 2013). Tanaman tebu termasuk dalam ke dalam kingdom Plantae,
divisi Spermathophyta, kelas Monocotyledone. ordo Glumiflorae, famili
Graminae, genus Saccharum dan Spesies Saccharum officinarum L. (James,
2003). Secara Umum, tanaman tebu terdiri atas organ vegetatif yang meliputi
akar, daun, dan batang dan organ generatif atau reproduktif yang berupa bunga
(Gambar 1).
Tanaman tebu mempunyai batang yang tinggi, tidak bercabang, dan beruas-
ruas yang dibatasi dengan buku-buku. Batang tanaman tebu berasal dari mata
tunas yang ditanam pada media tanah dan tumbuh keluar membentuk anakan atau
rumput. Diameter batang tebu antara 3-5 cm, dengan tinggi batang dapat
mencapai 3-5 meter dan tidak bercabang. Akar tebu terbagi menjadi dua bagian
yaitu akar tunas dan akar stek. Akar tunas adalah akar yang menggantikan fungsi
akar bibit. Akar ini tumbuh dari mata tunas. Sementara itu, akar stek adalah akar
yang tumbuh dari cincin akar batang dan masa hidupnya tidak lama (Wijayanti,
2008).
Gambar 1. Morfologi Tebu (James, 2003): a. Batang; b. Akar; c. Daun; d. Bunga
a c b d
5
Daun tanaman tebu menempel pada dasar buku batang, kedudukannya
berselang-seling dalam dua baris dengan sisi yang berlawanan dari tangkai daun.
Setiap daun terdiri dari dua bagian yakni pelepah daun (sheath) dan lamina.
Pelepah daun berbentuk tabung yang menutupi ruas batang, dan luas permukaan
bagian bawah lebih luas dibandingkan bagian atas. Pelepah juga melekat pada
batang dengan posisi duduk berselang seling pada buku dan melindungi mata
tunas (James, 2003). Bunga tebu merupakan malai berbentuk piramida dengan
panjang 70-90 cm yang mengandung ribuan bunga kecil. Bunga tebu terdiri dari
tenda bunga yakni tiga helai daun kelopak dan satu helai daun tajuk bunga, tiga
benang sari dan satu bakal buah dengan kepala putik yang berbentuk bulu-bulu.
Bunga yang masak, benang sarinya panjang sehingga kepala sari menggantung
keluar dari tajuk bunga (Prabawanti, 2012).
2.2 Budidaya tanaman tebu
Budidaya tebu dimulai dari tahap pembersihan lahan, persiapan lahan,
penanaman, penyulaman, perawatan, pemupukan dan panen. Kegiatan penyiapan
lahan terdiri dari pembajakan pertama, pembajakan kedua, penggaruan dan
pembuatan kairan. Pembajakan pertama bertujuan untuk membalik tanah serta
memotong sisa-sisa kayu dan vegetasi lain yang masih tertinggal. Pembajakan
kedua dilaksanakan tiga minggu setelah pembajakan pertama. Arah bajakan
memotong tegak lurus hasil pembajakan pertama dengan kedalaman olah 25 cm.
Penggaruan bertujuan untuk menghancurkan bongkahan-bongkahan tanah dan
meratakan permukaan tanah. Penggaruan dilakukan menyilang dengan arah
bajakan. Pembuatan kairan adalah pembuatan lubang untuk bibit yang akan
ditanam.
Penanaman bibit tebu dilakukan dengan jarak sekitar 10 mata tumbuh per-
meter pada kairan dengan posisi mata berada di samping. Hal ini dimaksudkan
agar bila salah satu tunas mati maka tunas disebelahnya dapat menggantikan.
Bibit yang telah ditanam kemudian ditutup dengan tanah setebal bibit itu sendiri.
Pada tanaman ratoon, penggarapan tebu keprasan berbeda dengan tebu pertama.
Pengeprasan tebu dimaksudkan untuk menumbuhkan kembali bekas tebu yang
6
telah ditebang dan dilakukan secara berkelompok. Seminggu setelah dikepras,
lahan diairi dan dilakukan penggarapan (jugaran) sebagai bumbun pertama dan
pembersihan rumput-rumputan. Tujuan kegiatan ini adalah untuk memperbarui
akar tua dan akar putus diganti akar muda, sehingga mempercepat pertumbuhan
tunas dan anakan.
Penyulaman dilakukan untuk mengganti bibit tebu yang tidak tumbuh, baik
pada tanaman baru maupun tanaman keprasan, sehingga nantinya diperoleh
populasi tanaman tebu yang optimal. Perawatan meliputi penyiraman,
pembubunan dan pemupukan. Penyiraman tidak boleh berlebihan supaya tidak
merusak struktur Pelaksanaan panen dilakukan pada bulan Mei sampai September
dimana pada musim kering kondisi tebu dalam keadaan optimum dengan tingkat
rendemen tertinggi. Penggiliran panen tebu mempertimbangkan tingkat
kemasakan tebu dan kemudahan transportasi dari areal tebu ke pabrik. Kegiatan
pemanenan meliputi estimasi produksi tebu, analisis tingkat kemasakan dan
tebang angkut. Kegiatan terakhir pada budidaya tebu yakni panen (Indrawanto et
al., 2010).
2.3 Bibit Single Bud Planting
Terdapat berbagai macam jenis bibit tebu yang diperbanyak secara
vegetatif, antara lain bibit bagal yang berasal dari batang tebu dengan 2-3 mata
tunas, serta bibit single bud planting (SBP) yang berasal dari batang tebu yang
berasal dari 1 mata tunas. Terdapat dua jenis bibit SBP yakni bibit bud chip dan
bud set (Gambar 2). Bibit bud set tanaman tebu lebih mudah diperbanyak
dikarenakan dapat dipotong dengan menggunakan parang, berbeda halnya dengan
bibit bud chip yang memerlukan alat pemotong khusus. Selain itu, bentuk bibit
yang berasal dari mata ruas tunggal memiliki cadangan makanan yang lebih utuh
dibandingkan dengan bibit bud chip (Yunita et al., 2017).
Bahan tanaman untuk Single Bud Set yang digunakan adalah bahan tanam
berumur 6 bulan dengan pertimbangan pada umur tersebut jumlah mata tunas
dianggap memadai dan daya tumbuhnya optimal karena masih muda atau
meristematis sehingga masih aktif dalam pembentukan tunas (Yunita et al.,2017).
7
Teknik perbanyakan bibit single bud planting menghasilkan bibit yang berkualitas
tinggi dan tidak memerlukan penyiapan bibit melalui kebun berjenjang. Bibit
yang digunakan berumur 5 sampai 6 bulan, murni (tidak tercampur dengan
varietas lain), bebas dari serangan hama dan penyakit serta tidak mengalami
kerusakan fisik (Putri, et al 2013).
Perbanyakan bibit tebu dengan teknologi bud set, memiliki kelebihan yakni
(Prasad, 2007):
1. Mempermudah pengangkutan bibit
2. Mendapatkan bibit yang sehat karena dilakukan sortasi pada bibit yang
terinfeksi penyakit
3. Dapat meminimalisir serangan hama dan penyakit
4. Hemat biaya dan tenaga kerja
5. Penggunaan teknik ini sangat cocok untuk pemulia tanaman
6. Sebagian besar varietas tebu dapat diperbanyak dengan teknologi bud set
7. Sisa dari pemotongan bud set dapat dimanfaatkan untuk diambil sarinya
Pembibitan Single Bud Set pada plastik polyethilen akan mempercepat
proses perbanyakan bibit tebu dan mengurangi jumlah bibit yang terbuang. Pada
pembibitan tanaman tebu secara konvensional menggunakan bibit bagal 3 mata
tunas, presentase daya kecambah hanya mencapai 35-40%. Sedangkan pada
pembibitan tebu dengan menggunakan bibit Single Bud Set yang ditanam pada
a b c
Gambar 2. Bibit Tanaman Tebu (Lovelyana, 2017): a. Bagal; b. Single Bud chip
c. Single Bud Set
8
plastik polyethilen, presentase daya kecambah mencapai 80% (Singh, et al.,
2011).
2.4 Jamur Rizosfer sebagai Plant Growth Promoting Fungi
Secara keseluruhan habitat hidup mikroorganisme yang banyak berperan di
dalam pengendalian hayati berada di daerah rhizosfer yakni tanah di sekitar
perakaran tumbuhan serta daerah filosfer yakni di atas daun, batang, bunga, dan
buah. Mikroba tanah yang berkumpul di daerah rhizosfer akan menghasilkan
eksudat akar dan serpihan tudung akar sebagai sumber makanan mikroba tanah.
Bila populasi mikroba di sekitar rhizosfer didominasi oleh mikroba yang
menguntungkan tanaman, maka tanaman akan memperoleh manfaat yang besar
dengan hadirnya mikroba tersebut (Lugtenberg & Kravchenko, 1999).
Jamur rhizosfer merupakan salah satu kelompok mikroba yang telah
dilaporkan dapat menginduksi ketahanan tanaman terhadap berbagai penyakit,
baik penyakit terbawa tanah maupun penyakit terbawa udara (Hyakumachi &
Kubota 2003). Jamur rhizosfer membantu pertumbuhan tanaman melalui berbagai
mekanisme seperti peningkatan penyerapan nutrisi, dan menghasilkan hormon
pertumbuhan bagi tanaman (Chanway, 1997). Dilaporkan bahwa 80%
mikroorganisme yang diisolasi dari rhizosfer berbagai tanaman memiliki
kemampuan untuk mensintesis dan melepaskan auksin sebagai metabolit sekunder
(Patten dan Glick, 1996).
Banyak mikroba rhizosfer yang dilaporkan berperan dalam memacu
pertumbuhan dan sekaligus dapat menginduksi ketahanan tanaman terhadap
berbagai penyakit. Jamur merupakan kelompok yang paling banyak diisolasi dari
rhizosfer tanaman budidaya yang dapat memacu pertumbuhan tanaman dan
dikelompokkan sebagai Plant Growth Promoting Fungi (PGPF) (Hyakumachi &
Kubota, 2003). Beberapa isolat PGPF ditemukan di sekitar tanaman sehat yang
ditanam secara budidaya maupun tanaman liar dan dari beberapa hasil penelitian
diketahui bahwa jamur PGPF umumnya banyak ditemukan di daerah rhizosfer
berbagai jenis tanaman (Murali et al, 2012).
9
PGPF dapat memperbaiki pertumbuhan tanaman melalui mekanisme
produksi hormon, membantu mineralisasi dan penekanan mikroorganisme yang
merugikan tanaman (Supriyanto et al., 2011). Penggunaan bahwa kehadiran terus-
menerus dari isolat PGPF di akar dapat memicu tanaman untuk menghasilkan
respon pertahanan sehingga dapat menekan patogen tanaman. PGPF juga dapat
meningkatkan pertumbuhan tanaman secara tidak langsung yaitu melalui
perubahan terhadap struktur rhizosfer tanah yang menguntungkan tanaman
(Murali et al, 2012).
10
3. BAHAN DAN METODE
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian akan dilaksanakan pada bulan Februari sampai Juli 2018.
Pengambilan sampel tanah dan pengamatan pertumbuhan tanaman tebu dilakukan
di lahan tebu milik PG. Kebon Agung, di Desa Sempalwadak, Kecamatan
Bululawang, Kabupaten Malang. Isolasi dan perbanyakan jamur rizosfer
dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan, Jurusan Hama dan Penyakit
Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah mikroskop, cawan Petri (d=9 cm), gelas ukur,
sprayer, erlenmeyer, bunsen, jarum Ose, tabung reaksi, mikropipet, laminar air
flow (LAFC), autoclave, Beaker glass, object glass, cover glass, pinset, kompor
listrik, stick L, tisu, aluminium foil, timbangan, gunting, pisau, kertas label, kapas,
plastik wrap, parang, polybag 0,5 kg, hand counter, kamera.
Bahan yang digunakan adalah rizosfer tanaman tebu, bibit Single Bud Set
varietas Bululawang (BL) yang diperoleh dari PG Kebun Agung, aquades steril,
NaOCl 2%, Alkohol 70%, spirtus, air, PGPR berupa bakteri Bacillus subtilis,
betadine, Cruiser 350 FS, Atonik 6,5 L, Nordox 56 WP, media biakan Potato
Dextrose Agar (PDA) yang terbuat dari 1 liter aquades, 200 gram sari kentang, 20
gram dextrose, 20 gram agar, 1 tablet cloramphenicol 250 mg, serta media tanam
berupa tanah, blotong dan abu ketel.
3.3 Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan dua rancangan percobaan
yang dilakukan di laboratorium dan percobaan lapang. Seleksi jamur rhizosfer
dilakukan dengan merendam benih mentimun pada masing-masing isolat jamur
hasil eksplorasi rhizosfer, diatur menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
dengan 10 perlakuan (Tabel 1). Setiap perlakuan diulang sebanyak tiga kali.
11
Tabel 1. Perlakuan Perendaman Benih Mentimun pada Seleksi Jamur Rhizosfer
Kode Perlakuan Perlakuan Perendaman Benih Mentimun
P0 Perendaman dengan menggunakan aquades
P1 Perendaman dengan jamur Acremonium sp.
P2 Perendaman dengan jamur Aspergillus sp.
P3 Perendaman dengan jamur Gongronella sp.
P4 Perendaman dengan jamur Penicillium sp. isolat 1
P5 Perendaman dengan jamur Penicillium sp. isolat 2
P6 Perendaman dengan jamur Penicillium sp. isolat 3
P7 Perendaman dengan jamur Trichoderma sp. isolat 1
P8 Perendaman dengan jamur Trichoderma sp. isolat 2
P9 Perendaman dengan jamur Jamur Belum Teridentifikasi
Uji potensi jamur rhizosfer hasil seleksi pada bibit single bud set tanaman
tebu, diatur menggunakan rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 8 perlakuan
(Tabel 2). Setiap perlakuan diulang sebanyak tiga kali. Perlakuan yang digunakan
yakni
Tabel 2. Perlakuan Perendaman Bibit Single bud set Tanaman Tebu pada Uji
Potensi Jamur Rhizosfer
Kode Perlakuan Perlakuan Perendaman Benih Mentimun
P0 Kontrol negatif (Perendaman bibit tebu dengan air)
PK Kontrol Positif (Perendaman bibit tebu secara Konvensional)
PR Perendaman bibit tebu dengan PGPR Bacillus subtilis
PF1 Perendaman Bibit tebu dengan jamur Acremonium sp.
PF2 Perendaman Bibit tebu dengan jamur Penicillium sp. isolat 1
PF3 Perendaman Bibit tebu dengan jamur Penicillium sp. isolat 2
PF4 Perendaman Bibit tebu dengan jamur Trichoderma sp. isolat 1
PF5 Perendaman Bibit tebu dengan jamur Trichoderma sp. isolat 2
3.4 Pelaksanaan Penelitian
Pelaksanaan penelitian dibagi menjadi beberapa tahapan yakni survei,
eksplorasi dan Uji potensi jamur yang diilustrasikan pada gambar 3. Pemilihan
lahan dilakukan di lahan tebu milik PG. Kebon Agung. Eksplorasi jamur rhizosfer
dilakukan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas
12
Brawijaya Uji potensi jamur rhizosfer sebagai Plant Growth Promoting Fungi
(PGPF) yang dilakukan di lahan tebu milik PG Kebon Agung, Kabupaten Malang.
3.4.1 Eksplorasi Jamur Rhizosfer
Eksplorasi jamur rhizosfer meliputi pengambilan sampel tanah, isolasi
jamur, purifikasi, identifikasi jamur dan penyimpanan isolat.
a. Pengambilan Sampel Tanah
Pengambilan sampel tanah rhizosfer dilakukan dengan metode purposive
sampling atau secara sengaja dipilih pada kondisi tanah sehat yang diduga
terdapat banyak jamur bermanfaat. Penentuan lokasi lahan dilakukan secara survei
di pertanaman tebu Kecamatan Sukun dengan tanaman tebu varietas Bululawang
(BL). Kriteria tanaman tebu yang digunakan untuk pengambilan sampel yakni
tanaman sehat dan tidak terserang penyakit, memiliki batang besar dan anakan
banyak. Sampel tanah diambil didekat perakaran dengan kedalaman ± 15 cm,
terdapat 5 titik pengambilan sampel dan setiap titik diambil 3 ulangan. Sampel
Survei Lahan Tebu dan Pengambilan Sampel Tanah
Eksplorasi Jamur Rhizosfer
Isolasi, Purifikasi, dan Identifikasi Jamur rhizosfer
Seleksi Jamur Rhizosfer sebagai PGPF menggunakan Benih Mentimun
Perbanyakan Jamur Rhizosfer sebagai PGPF
Pembibitan Single Bud Set Tanaman Tebu
Aplikasi PGPF pada Bibit Single Bud Set Tanaman tebu
Hasil Uji Potensi Jamur Rhizosfer Sebagai PGPF
Gambar 3. Bagan Pelaksanaan Penelitian
13
tanah yang telah didapatkan pada setiap titik kemudian di kompositkan. Setelah
itu, dimasukkan ke dalam kantong plastik dan diberi label sesuai dengan titik yang
telah diambil.
b. Isolasi Jamur
Metode isolasi jamur rizosfer dilakukan dengan teknik pengenceran
bertingkat (seriall dillution). Tanah yang sudah dikompositkan pada masing-
masing ulangan ditimbang sebanyak 10 gram kemudian disuspensikan dalam 100
ml aquades steril. Suspensi lalu digojok hingga campuran homogen. Dari larutan
tersebut diambil 1 ml suspensi dan dimasukkan dalam tabung reaksi yang berisi 9
ml aqudes steril, kemudian digojok sampai homogen untuk mendapatkan pengen-
ceran ke-2 atau 10-2
. Hal tersebut dilakukan kembali hingga mencapai tingkat
pengenceran 10-7
. Hasil pengenceran 10-3
sampai 10-7
diambil 0,5 ml untuk ditu-
angkan ke dalam cawan Petri yang telah berisi media PDA steril menggunakan
pipet. Kemudian suspensi yang terdapat pada cawan petri diratakan dengan
menggunakan stik L. Setelah itu, diinkubasi pada suhu ruang 27-28°C selama 5-7
hari (Purwantisari dan Hastuti, 2009).
c. Purifikasi
Pemurnian dilakukan pada setiap koloni jamur yang dianggap berbeda
berdasarkan morfologi jamur hasil isolasi di cawan petri, meliputi warna dan
bentuk koloni. Masing-masing koloni jamur yang dianggap berbeda, diambil
dengan menggunakan jarum ose. Kemudian ditumbuhkan kembali pada cawan
petri yang berisi media PDA padat steril.
d. Identifikasi Jamur
Untuk kepentingan determinasi dilakukan pembuatan preparat jamur dengan
cara mengambil koloni Jamur dengan menggunakan jarum Ose, kemudian
diletakkan pada object glass yang telah diberi sedikit media PDA dan ditutup
dengan cover glass. Penggunaan media PDA pada object glass adalah sebagai
media pertumbuhan koloni jamur pada preparat. Preparat jamur diinkubasi selama
2-7 hari didalam wadah yang telah dialasi dengan tissue lembab dan ditutup rapat
agar tidak terkontaminasi oleh spora jamur dari udara. Tujuan dari inkubasi adalah
14
untuk menumbuhkan spora jamur pada preparat sehingga akan mempermudah
saat determinasi.
Pengamatan jamur dilakukan dengan mengamati ciri-ciri koloni yang
meliputi warna dasar dan permukaan koloni pada cawan petri, pola persebaran
koloni dalam cawan petri, tekstur koloni dan waktu yang dibutuhkan oleh koloni
untuk memenuhi cawan petri (full plate duration). Pengamatan kenampakan
morfologi koloni jamur dengan menggu-nakan mikroskop, meliputi ada atau
tidaknya septa pada hifa, pertumbuhan hifa, warna hifa, ada atau tidaknya konidia,
warna konidia, bentuk konidia, serta pola persebaran konidia.
Hasil dari pengamatan koloni dan morfologi jamur digunakan untuk
determinasi jamur. Determinasi dilakukan berdasarkan panduan buku Pictorial
Atlas of Soil and Seed Fungi Morphologies of Cultured Fungi and Key to Species
(Second Edition) dan llustrated Genera of Imperfect Fungi (Fourth Edition), serta
tambahan informasi dari buku-buku pendukung lainnya. Jamur yang telah
diidentifikasi selanjutnya digunakan sebagai suspensi yang akan diujikan untuk
seleksi jamur yang berpotensi sebagai PGPF.
e. Penyimpanan Isolat
Isolat hasil eksplorasi jamur rhizosfer disimpan dengan Teknik
penyimpanan dalam minyak mineral. Teknik ini bertujuan untuk mempertahakan
viabilitas mikroba dengan cara mencegah pengeringan media sehingga isolat
dapat disimpan hingga beberapa tahun. Isolat jamur yang akan disimpan,
ditumbuhkan di dalam tabung atau botol berisi media agar miring atau media cair
(broth) yang sesuai. Setelah isolat tumbuh baik, kemudian ditambahkan parafin
cair steril setinggi 10-20 mm diatas permukaan media agar. Botol biakan jamur
disimpan pada suhu ruang atau di kulkas (Machmud, 2001).
3.4.2 Uji Potensi Jamur Rhizosfer sebagai PGPF
Uji potensi jamur rhizosfer sebagai PGPF dilakukan dengan beberapa
tahapan yang meliputi seleksi jamur rhizosfer, perbanyakan jamur rhizosfer
sebagai PGPF, pembibitan dan aplikasi PGPF pada bibit Single Bud Set tanaman
tebu.
15
a. Seleksi Jamur Rhizosfer
Isolat jamur ditumbuhkan di media PDA kemudian diperbanyak dengan
menggunakan media Ekstrak Kentang Gula (EKG). Suspensi jamur yang
digunakan yakni kerapatan 10-5
. Uji perkecambahan benih mentimun meng-
gunakan metode Uji Diatas Kertas (UDK). Benih mentimun direndam dalam
suspensi jamur selama 30 menit, kemudian ditumbuhkan pada cawan petri yang
beralaskan kertas merang lembab selama satu minggu. Setiap cawan petri diisi
dengan 10 benih mentimun dan dilakukan sebanyak 3 kali ulangan. Pada seleksi
isolat yang diamati adalah waktu perkecambahan benih (hari) serta tinggi tanaman
yang tumbuh (cm). Hasil dari seleksi jamur akan digunakan sebagai acuan untuk
menentukan jenis jamur yang digunakan pada perendaman bibit Single bud set
tanaman tebu yang berpotensi sebagai PGPF
b. Perbanyakan Jamur Rhizosfer sebagai PGPF
Inokulum jamur rhizosfer yang digunakan sebagai Plant Growth Promoting
Fungi (PGPF) adalah biakan murni hasil isolasi jamur pada media PDA. Setelah
biakan berumur 7 hari, miselium jamur yang tumbuh pada permukaan medium
PDA dikumpulkan dengan memberikan air steril sebanyak 10 ml dan dimasukkan
ke dalam tabung reaksi. Setelah itu digojok dengan menggunakan shaker dengan
kecepatan 100 rpm selama 5 menit agar spora menyebar dalam suspensi. Untuk
mendapatkan kerapatan konidia 105/ml air dilakukan pengenceran secara
bertahap. Perhitungan kerapatan konidia dilakukan dengan menggunakan
haemositometer (Marnita et al., 2017).
c. Pembibitan
Pada pembibitan tebu, hal yang dilakukan meliputi persiapan media tanam,
persiapan bibit, penanaman dan perawatan. Persiapan media tanam yang
digunakan adalah campuran antara tanah, blotong dan abu ketel dengan
perbandingan 2:1:1. Media tanam yang sudah tercampur secara merata kemudian
dimasukkan kedalam polybag berukuran 0,5 kg.
Persiapan bibit yang digunakan yakni bibit Single Bud Set dan varietas tebu
Bululawang (BL). Syarat untuk sumber bibit bud set yakni varietas unggul, murni,
sehat dan minimal berumur 7 bulan. Sebelum dilakukan pemotongan dengan
16
menggunakan parang, pelepah kering yang masih menempel pada batang
diklentek terlebih dahulu. Kemudian bibit dipotong menjadi 3 bagian yakni pucuk
tengah dan bawah. Bibit yang digunakan pada penelitian ini yakni batang bagian
tengah. Bibit yang telah dipotong harus disortasi, untuk mendapatkan panjang
bibit 9 cm, dengan ukuran diameter batang dan ukuran mata tunas yang kurang
lebih sama.
Penanaman bibit tebu dilakukan pada media tanam dilakukan setelah bibit
diberikan perlakuan. Bibit ditanam pada polibag berukuran 0,5 kg, dan
ditempatkan pada bedeng pembibitan di lahan milik PG. Kebon Agung, Malang.
Polibag bibit disusun sesuai dengan denah yang telah ditetapkan dengan jarak 20
cm antar petak perlakuan dan 30 cm antar petak ulangan. Masing-masing
perlakuan terdapat 20 bibit perlakuan.
Perawatan bibit dilakukan selama masa percobaan berlangsung, yakni mulai
dari 0 hst hingga bibit berumur 63 hst. Perawatan yang dilakukan yakni meliputi
penyiraman dan penyiangan gulma. Intensitas penyiraman dilakukan setiap hari
pada 1 hst hingga 14 hst. Intensitas penyiraman diturunkan menjadi 2 hari sekali
setelah 14 hst. Penyiangan gulma dilakukan secara manual dengan mencabut
gulma yang terdapat pada polibag perlakuan. Hal ini dilakukan untuk menghindari
adanya persaingan nutrisi, sinar matahari dan air.
d. Aplikasi PGPF pada Bibit Single Bud Set
Bibit Single Bud Set tanaman tebu yang telah disortasi dan sesuai dengan
kriteria dicuci dengan menggunakan air mengalir. Pada perlakuan kontrol negatif
(P0), bibit direndam pada air. Pada perlakuan kontrol negatif dengan metode
konvensional (PK) yang dilakukan oleh PG. Kebon Agung, Kabupaten Malang
yakni bibit direndam pada 3 perlakuan larutan yakni larutan betadine, larutan
Cruiser 350 FS, dan campuran larutan Atonik 6,5 L dan Nordox 56 WP.
Perendaman Bibit dengan larutan tersebut dilakukan selama direndam pada
masing-masing perlakuan selama 15 menit. Pada perlakuan perendaman bibit
dengan menggunakan PGPR (PR) dilakukan selama 15 menit dengan volume 500
ml/ 20 bibit bud set. Aplikasi PGPF dilakukan sebelum penanaman pada media
tanam, yakni dengan cara merendam bibit pada suspensi konidia jamur rhizosfer
17
dengan kerapatan konidia 105/ml air selama 30 menit (Istikorini, 2008; Marnita et
al., 2017). Aplikasi PGPF dilakukan kembali setiap 7 hari setelah aplikasi yakni
pada 7 hst, 14 hst dan 21 hst dengan cara menyiramkan 5 ml suspensi konidia
jamur pada setiap perlakuan dengan kerapatan konidia 105
(Muslim et al., 2006).
Sedangkan pada perlakuan kontrol dan konvensional, dilakukan penyiraman
dengan menggunakan air.
3.5 Pengamatan Percobaan
Variabel pengamatan yang dilakukan pada bibit bud set adalah pertum-
buhan tanaman. Parameter pengamatan bibit meliputi presentase tunas tumbuh,
waktu pertumbuhan mata tunas, tinggi tanaman, diameter batang, jumlah daun,
jumlah anakan (Sulistyoningtyas et al., 2017), dan kejadian penyakit.
3.5.1 Presentase Tunas Tumbuh
Pengamatan pertumbuhan tunas dilakukan dengan mengamati semua bibit.
Pengamatan ini dilakukan selama 15 hari berturut-turut pada bibit yang berumur 0
sampai 15 hst. Setelah didapatkan hasil pengamatan, kemudian dilakukan
perhitungan presentase pertumbuhan tunas dengan rumus berikut:
Tunas tumbuh (%) = Jumlah tunas yang tumbuh × 100%
Jumlah tunas total yang ditumbuhkan
3.5.2 Waktu Pertumbuhan Mata Tunas
Pengamatan waktu (hari) awal muncul tunas dilakukan dengan mengamati
bibit tebu yang sudah mulai muncul tunas. Pengamatan saat muncul tunas
dilakukan selama 15 hari berturut-turut pada bibit yang berumur 0 sampai 15 hst.
3.5.3 Tinggi Tanaman
Pengukuran tinggi tanaman (cm) dilakukan dengan menggunakan penggaris
yang dimulai dari pangkal batang hingga bagian titik tumbuh tanaman tebu.
Pengamatan tinggi tanaman dilakukan sebanyak 7 kali pada tanaman tebu yang
berumur 21 hst, 28 hst, 35 hst, 42 hst, 49 hst, 56 hst, dan 63 hst.
18
3.5.4 Diameter Batang
Pengukuran diameter batang (cm) dilakukan dengan menggunakan jangka
sorong. Pengamatan dilakukan pada bagian tengah ruas batang pada tanaman tebu
bagian tengah. Pengamatan diameter batang tanaman dilakukan sebanyak 7 kali
pada tanaman tebu yang berumur 21 hst, 28 hst, 35 hst, 42 hst, 49 hst, 56 hst, dan
63 hst.
3.5.5 Jumlah Daun
Pengamatan jumlah daun (helai) dilakukan dengan menghitung seluruh
daun tanaman tebu yang sudah membuka sempuna. Pengamatan jumlah daun
dilakukan sebanyak 7 kali pada tanaman tebu yang berumur 21 hst, 28 hst, 35 hst,
42 hst, 49 hst, 56 hst, dan 63 hst.
3.5.6 Jumlah Anakan
Pengamatan jumlah anakan dilakukan dengan menghitung jumlah mata
tunas yang telah tumbuh menjadi anakan pada bagian pangkal batang.
Pengamatan jumlah anakan dilakukan sebanyak 7 kali pada tanaman tebu yang
berumur 21 hst, 28 hst, 35 hst, 42 hst, 49 hst, 56 hst, dan 63 hst.
3.5.7 Kejadian Penyakit
Pengamatan kejadian penyakit dilakukan dengan mengamati gejala serangan
penyakit pada pembibitan tebu yang berumur 21 hst, 28 hst, 35 hst, 42 hst, 49 hst,
56 hst, dan 63 hst.Perhitungan kejadian penyakit dilakukan pada 63 hst dengan
rumus:
I = a × 100 %
a + b
I merupakan intensitas serangan (%), a adalah banyaknya tanaman yang rusak
atau menunjukkan gejala serangan, b adalah banyaknya tanaman yang tidak rusak
(tidak menunjukkan gejala serangan) (Roziq et al., 2013).
19
3.6 Analisis Data
Analisa data yang digunakan ialah dengan menggunakan analisis ragam
(ANOVA) dengan taraf kesalahan 5% untuk mengetahui pengaruh perendaman
pada pertumbuhan bibit single bud set tanaman tebu. Apabila hasil analisis ragam
menunjukkan adanya pengaruh nyata, maka dilanjutkan dengan uji DMRT
(Duncan Multiple Range Test) pada taraf kesalahan 5% menggunakan perangkat
lunak Microsoft Office® Excel 2010 dengan program tambahan DSAASTAT
®
versi 1.101.
20
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi Aktual Lahan Pengambilan Sampel Tanah
Pengambilan sampel tanah yang digunakan untuk isolasi rhizosfer dila-
kukan di lahan tebu milik PG. Kebon Agung, Kelurahan kebonsari, Kecamatan
Sukun, Kota Malang. Berdasarkan hasil survei dan wawancara, diperoleh
informasi mengenai kondisi aktual lahan pengambilan sampel tanah (Tabel 3).
Tabel 3. Informasi Kondisi Aktual Lahan Pengambilan Sampel Tanah
No. Teknik Budidaya Keterangan
1. Luas Lahan 6.000 m2
2. Pengolahan tahan Secara mekanik menggunakan traktor bajak piring 1
dan 2, kemudian membuat kairan atau lubang tanam
3. Pembibitan dan
penyulaman
Bibit bagal ditanam dengan sistem end to end (nguntu
walang). Penyulaman dilakukan sebelum dilakukan
pembumbunan
4. Varietas BL (Bululawang)
5. Pemupukan Dilakukan sebanyak 3 kali : (1) biokompos abu ketel
dan blotong saat pengolahan tanah; (2) 4 kw/ha Pupuk
ZA dan 4 kw/ha Phonska saat berumur 1,5 bulan; (3)
4 kw Pupuk ZA saat berumur 3 bulan
6. Pengairan Sumber irigasi didapatkan dari sungai dengan cara
lahan digenangi atau dilep
7. Pembumbunan Pembumbunan dilakukan sebanyak 3 kali, bertujuan
untuk memperkokoh dan memperkuat tanaman tebu
8. Penyiangan gulma Dilakukan dengan cara mencabut dan membuang
gulma menggunakan sabit
9. Perawatan Perogesan dengan cara mengelentek pelepah tebu
kering, dilakukan sebanyak 3 kali saat berumur 5-6
bulan, 8-9 bulan dan 10-11 bulan.
10. Hama yang
menyerang dan cara
mengatasi
Penggerek pucuk, penggerek batang berkilat dan
penggerek batang bergaris. Cara mengatasi
menggunakan agens hayati dengan cara memasang
pias parasitoid Trichogramma sp.
11. Penyakit yang
menyerang dan cara
mengatasi
Pokahbung, luka api, blendok, dan mosaik. Cara
mengatasi dengan memilih varietas unggul dan tahan
serta melakukan eradikasi atau pencabutan tanaman
yang terserang.
12. Panen dan
pemanfaatan sisa
Panen
Dilakukan saat tanaman berumur 7 bulan. Sisa panen
bagian pucuk tebu digunakan sebagai pakan ternak,
dan daduk digunakan sebagai mulsa.
21
Luas area lahan tebu yakni sebesar 6.000 m2 yang hasil panennya
diperuntukkan sebagai bibit. Pengolahan lahan dilakukan secara mekanik dengan
menggunakan traktor. Pengolahan tanah dilakukan 1 bulan sebelum tanam,
dimulai dari kegiatan bajak piring I yang bertujuan untuk menghancurkan tanah
pada guludan sebelumnya dan membalik bongkahan tanah. Selang 1 minggu
dilakukan proses bajak piring II yang bertujuan untuk menghaluskan dan
menggemburkan tanah secara merata. Kemudian dilanjutkan dengan pembuatan
kairan (furrower) atau lubang tanam dengan kedalaman. Bibit tanaman tebu yang
digunakan yakni bibit bagal 2 mata tunas dan merupakan varietas BL
(Bululawang). Penanaman bibit bagal diatur secara end to end atau nguntu walang
dengan posisi mata tunas berada di bagian samping. Apabila terdapat tanaman
yang mati maka harus segera dilakukan penyulaman sebelum kegiatan
pembumbunan.
Pemupukan pada tanaman tebu dilakukan sebanyak 3 kali. Pemupukan
pertama diberikan saat pengolahan lahan dengan menggunakan biokompos yang
terdiri dari blotong dan abu ketel. Pemupukan kedua yakni dengan menambahkan
pupuk ZA sebanyak 4 kwintal/hektar dan pupuk Ponska sebanyak 4
kwintal/hektar saat tebu berusia 1,5-2 bulan. Pemupukan ketiga dilakukan dengan
menambahkan pupuk ZA sebanyak 4 kwintal/hektar untuk menaikkan kadar gula
tebu berusia 3 bulan stelah tanam (BST). Pemupukan dilakukan dengan cara
menaburkan pupuk disebelah tanaman. Jarak pemupukan berkisar 15-20 cm,
setelah itu pupuk ditutup dengan tanah. Pengairan dilakukan dengan cara lahan
digenangi atau dilep. Sumber irigasi didapatkan dari sungai terdekat baik secara
manual maupun dengan bantuan pompa air.
Pembumbunan merupakan kegiatan yang dilakukan bertujuan untuk
memperkokoh dan memperkuat tanaman tebu. Pembumbunan dilakukan sebanyak
3 kali, bumbun I dilakukan setelah pemberian pupuk dengan cara menurunkan
tanah dengan cangkul dari guludan ke dasar juringan. Bumbun II dilakukan pada
saat tanaman berumur 2-3 bulan dengan cara menurunkan tanah dari guludan ke
juringan untuk memperkokoh batang. Bumbun III dilakukan dengan menaikkan
tanah pada juringan hingga batang bagian bawah tertutupi oleh tanah, dilakukan
22
saat tanaman tebu berumur 5 bulan. Penyiangan gulma dilakukan dengan cara
mencabut dan membuang gulma menggunakan sabit. Perawatan lainnya yakni
perogesan merupakan kegiatan untuk melepaskan atau mengelentek pelepah daun
kering pada batang tebu. Perogesan dilakukan sebanyak 3 kali, yaitu pada saat
tanaman berumur 5-6 bulan, kemudian saat tanaman berumur 8-9 bulan dan saat
tanaman berumur 10-11 bulan.
Hama penting yang sering menyerang tanaman tebu yakni penggerek pucuk
Scirpophaga excerptalis Walker (Lepidoptera: Pyralidae), penggerek batang tebu
berkilat Chilo auricillus Dugdeon (Lepidoptera: Pyralidae) dan peng-gerek batang
tebu bergaris Chilo sacchariphagus Bojer (Lepidoptera: Pyralidae). Hama
tersebut menyerang tanaman tebu saat fase larva. Cara mengatasi hama penggerek
dilakukan dengan menggunakan agens hayati dengan memasang pias parasitoid
Trichogramma spp. pada bagian bawah daun tanaman tebu yang berusia 1,5
bulan. Penyakit penting yang biasa menyerang tanaman tebu adalah penyakit
pokahbung yang disebabkan oleh cendawan Fusarium moniliformae, luka api
yang disebabkan oleh cendawan Ustilago scitaminea dan penyakit Mosaik yang
disebabkan oleh virus. Cara mengatasi penyakit ini dilakukan dengan memilih
varietas unggul dan tahan, serta melakukan pencabutan tanaman atau eradikasi
agar tidak menyebar ke tanaman yang lainnya.
Pemanenan tebu yang digunakan sebagai bibit dilakukan saat tanaman tebu
berumur 7 bulan dengan cara memotong bagian bawah batang dengan
menggunakan sabit, pemotongan batang meninggalkan sisa batang asli sebatas
permukaan tanah aslinya (meninggalkan batang sekitar 15-20 cm dibawah
permukaan tanah). Pemanfaatan sisa panen bagian pucuk tebu digunakan sebagai
pakan ternak, sedangkan pelepah keringnya digunakan sebagai mulsa untuk
mengendalikan gulma tanaman tebu.
4.2 Hasil Identifikasi Isolat Jamur Rhizosfer
Berdasarkan hasil isolasi rhizosfer tanaman tebu diperoleh 9 jenis jamur.
Jenis jamur yang teridentifikasi berasal dari 7 genus yaitu Acremonium,
Apergillus, Gongronella, Penicillium, Trichoderma, dan mortierella (Tabel 4).
23
Seluruh isolat diidentifikasi berdasarkan kenampakan koloni serta kenampakan
morfologinya.
Tabel 4. Jenis Jamur Hasil Eksplorasi Rhizosfer Tanaman Tebu
No. Jenis Jamur Filum Deskripsi
1. Acremonium sp. Ascomycota Hifa bersekat dan hialin. Konidiofor
sederhana, tidak bersekat, hialin. Konidia
hialin, berbentuk lonjong dan
bergerombol membentuk seperti kepala
2. Aspergillus sp. Ascomycota Hifa bersekat dan hialin. Konidiofor
bersekat, tidak bercabang. Vesikel
berbentuk semi bulat dan konidia
berwarna hitam
3. Gongronella sp. Zygomycota Hifa tidak bersekat dan hialin.
Sporangiofor sederhana, tidak bersekat.
Sporangium berbentuk globose
4. Penicillium sp.
isolat 1
Ascomycota Hifa bersekat dan hialin. Konidiofor
tidak bersekat, berpelengkap fialid,
bercabang 2-3. Konidia berwarna hialin,
berbentuk bulat dengan sebaran satu
fialid satu rantai.
5. Penicillium sp.
isolat 2
Ascomycota Hifa bersekat dan hialin. Konidiofor
tidak bersekat, berpelengkap fialid,
bercabang 2-3. Konidia berwarna hialin,
berbentuk bulat.
6. Penicillium sp.
isolat 3
Ascomycota Hifa bersekat dan hialin. Konidiofor
tidak bersekat, berpelengkap fialid,
bercabang 2-3. Konidia berwarna hialin,
berbentuk bulat.
7. Trichoderma sp.
isolat 1
Ascomycota Hifa bersekat dan hialin. Konidiofor
hialin, tidak bersekat, ramping dan
bercabang dengan panjang 15 µm.
Konidia hialin, berbentuk oval,
8. Trichoderma sp.
isolat 2
Ascomycota Hifa bersekat dan hialin. Konidiofor
hialin, tidak bersekat, ramping dan
bercabang. Konidia hialin, berbentuk
oval,
9. Mortierella sp. Zygomycota Hifa tidak bersekat dan hialin.
Sporangiofor hialin, tidak bersekat,
Sporangiospora hialin, berbentuk
lonjong.
24
Berikut merupakan hasil identifikasi koloni dan morfologi jamur hasil
isolasi rhizosfer tanaman tebu
4.2.1 Acremonium sp.
Pengamatan koloni jamur menunjukkan saat muda berwarna putih
kecoklatan, bagian tengah berwarna keabuan dan bagian dasar berwarna coklat
(Gambar 4a). Tipe persebaran berbentuk bulat dengan tepi menyebar, dan tidak
memiliki konsentris. Tekstur permukaan koloni kasar, kerapatan rapat, ketebalan
tebal, dan miselium bagian tepi agak tipis. Ukuran diameter 8 cm saat 7 hsp dan
waktu memenuhi cawan petri 9×24 jam. Menurut Ganjar et al., (1999), koloni
Acremonium sp. berwarna putih sampai coklat, dengan ciri miselium bagian
tengah tampak seperti kapas.
Pengamatan morfologi menunjukkan hifa bersekat dan hialin (Gambar 4b).
Konidiofor sederhana, tidak bersekat, hialin dengan panjang 32,89 µm. Konidia
hialin, berbentuk lonjong berukuran 5,3×2 µm, dan bergerombol disekitar konidi-
ofor. Menurut Ganjar et al., (1999), konidia Acremonium sp. berbentuk meman-
jang hingga bulat, berukuran 3,5-5,8×1,5-2,5 µm dan bergerombol disekitar koni-
diofor. Konidia bersel satu tampak agak menggerombol membentuk satu kepala.
4.2.2 Aspergillus sp.
Pengamatan koloni menunjukkan warna koloni hitam, bagian tepi berwarna
putih dan warna dasar keabuan (Gambar 5a). Tipe persebaran berbentuk bulat
Gambar 4. Acremonium sp. : a. Biakan Murni koloni Umur 7 hsp; b. Morfologi jamur (1) Hifa Bersekat, (2) Konidiofor , (3) konidia
a b
1
3
2
25
beraturan, sebaran memusat dan memiliki konsentris. Tekstur permukaan koloni
kasar, kerapatan renggang dan ketebalan sedang dengan miselium dibagian tepi
lebih tipis. Ukuran diameter 8,5 cm saat berumur 7hsp dan waktu memenuhi
cawan petri 8×24 jam. Menurut Dwidjoseputro (2010), pada saat muda miselium
Aspergilus berwarna putih, kemudian akan bersporulasi menjadi warna coklat
kekuning-kuningan, hijau atau kehitam-hitaman tergantung spesiesnya.
Pengamatan morfologi jamur (Gambar 5b) menunjukkan hifa bersekat dan
hialin, dan dinding hifa tebal. Konidiofor bersekat, tidak bercabang dengan
panjang 49,48 µm. Vesikel berbentuk semi bulat berdiameter 17,7 µm. Konidia
berwarna hitam dan berben-tuk bulat. Menurut Ganjar et al., (1999), Aspergillus
memiliki konidiofor yang berwarna hialin hingga coklat, berdinding tebal dan
halus. Kepala konidia berwarna hitam, berbentuk bulat, dan cenderung merekah
menjadi kolom-kolom saat berumur tua. Konidia berbentuk bulat hingga semi
bulat, berwarna hitam atau coklat.
4.2.3 Gongronella sp.
Pengamatan koloni jamur (Gambar 6a) menunjukkan warna koloni putih
kekuningan, bagian tepi berwarna putih dan warna dasar kekuningan. Tipe
persebaran bulat beraturan, dan memiliki konsentris. Tekstur permukaan halus
dengan kerapatan sedang dan ketebalan sedang. Ukuran diameter 6,8 cm saat
berumur 7hsp dan waktu memenuhi cawan petri 10×24 jam. Menurut Babu et al.,
Gambar 5. Aspergillus sp. : a. Biakan Murni Koloni Umur 7 hsp; b. Morfologi
Jamur (1) Hifa Bersekat, (2) Konidiofor bersekat, (3) vesikel
a b
1
2 3
26
(2015), koloni gongronella sp. berwarna putih dengan bagian tengah berwarna
kuning kecoklatan.
Pengamatan morfologi jamur (Gambar 6b) menunjukkan hifa tidak bersekat
dan hialin. Sporangiofor sederhana, tidak bersekat dengan panjang 34, 61 µm.
Sporangium berbentuk globose berdiameter 15,2 µm. Menurut Watanabe (2002),
ciri morfologi Gongronella sp. yakni sporangiofor hialin dan sederhana,
sporangium berbentuk globose berdiameter 15,2-20,7 µm serta sporangiospora
hialin.
4.2.4 Penicillium sp. isolat 1
Pengamatan koloni jamur (Gambar 7a) menunjukkan warna koloni putih,
bagian pusat berwarna coklat, bagian tepi berwarna putih, dan memiliki warna
dasar keku-ningan. Koloni saat tua berwarna abu-abu dan terdapat tetes eksudat
berwarna kemerahan. Tipe persebarannya berbentuk bulat beraturan, sebaran
menyebar dan tidak memiliki konsentris. Tekstur permukaan halus, dengan
kerapatan rapat dan ketebalan tebal. Ukuran diameter 0,9-1,7 cm saat berumur 7
hsp dan waktu memenuhi cawan petri 39×24 jam. Menurut Watanabe (2002),
koloni Penicillium sp. berwarna coklat dan pada 10 hsp akan berukuran 2-3 cm.
Menurut Ganjar et al., (1999), miselia Penicillium sp. berwarna putih, dan konidia
lebat berwarna keabuan hingga hijau tua. Terdapat eksudat yang berwarna jingga
hingga kemerahan.
Gambar 6. Gongronella sp. : a. Biakan Murni Koloni Umur 7 hsp; b. Morfologi Jamur (1) Hifa Tidak Bersekat, (2) Sporangiofor, (2) Sporangium
a b 1
2
3
27
Pengamatan morfologi jamur (Gambar 7b) menunjukkan hifa bersekat dan
hialin. Konidiofor tidak bersekat, berpelengkap fialid, bercabang 2-3 memiliki
panjang 108 µm. Konidia berwarna hialin, berbentuk bulat berdiameter 2,7 µm
dengan sebaran satu fialid satu rantai. Menurut Watanabe (2002), ciri morfologi
Penicillium sp. yakni konidiofor hialin dengan panjang 120-220 µm, konidia
berbentuk bulat berdiameter 2,3-2,7 µm, serta terdapat fialid sebagai tempat rantai
konidia.
4.2.5 Penicillium sp. isolat 2
Pengamatan koloni jamur (Gambar 8a) menunjukkan warna koloni keabuan,
bagian tepi berwarna putih dan warna dasar keabuan. Tipe persebaran beraturan,
dengan sebaran memusat d
an tidak memiliki konsentris. Tekstur permukaan koloni kasar dengan
kerapatan rapat, ketebalan tebal dan elevasi seperti tombol. Ukuran diameter 4,3
cm saat berumur 7 hsp dan waktu memnuhi cawan petri 29×24 jam. Menurut
Ganjar et al., (1999), miselia Penicillium sp. berwarna putih, dan konidia lebat
berwarna keabuan hingga hijau tua.
Pengamatan morfologi jamur (Gambar 8b) menunjukkan hifa bersekat dan
hialin. Konidiofor tidak bersekat, berpelengkap fialid, bercabang 2-3 memiliki
panjang 7,62-13,56 µm. Konidia berwarna hialin, berbentuk bulat berdiameter
Gambar 7. Penicillium sp. Isolat 1; a. Biakan Murni Koloni Umur 7 hsp;
b. Morfologi Jamur (1) Hifa Bersekat, (2) konidiofor, (3) Fialid,
(4) Konidia
a b
1
4
2
3
28
2,26 µm dengan sebaran satu fialid satu rantai. Menurut Watanabe (2002), ciri
morfologi Penicillium sp. yakni konidiofor hialin dengan panjang 120-220 µm,
konidia berbentuk bulat berdiameter 2,3-2,7 µm, serta terdapat fialid sebagai
tempat rantai konidia.
4.2.6 Penicillium sp. isolat 3
Pengamatan koloni jamur (Gambar 9a) menunjukkan warna koloni saat
muda berwarna hijau, bagian tepi berwarna putih dan warna dasar kuning. Tipe
persebaran tidak teratur, terkadang berbentuk bulat menyebar di cawan petri, dan
tidak memiliki konsentris. Tekstur permukaan halus, kerapatan rapat dan
ketebalan sedang. Ukuran diameter 2,6 cm saat berumur 7 hsp dan waktu
memenuhi cawan petri 32×24 jam. Menurut Watanabe (2002), koloni Penicillium
sp. berwarna coklat dan pada 10 hsp akan berukuran 2-3 cm. Menurut Ganjar et
al., (1999), miselia Penicillium sp. berwarna putih, dan konidia lebat berwarna
keabuan hingga hijau tua.
Pengamatan morfologi jamur (Gambar 9b) menunjukkan hifa bersekat dan
hialin. Konidiofor bersekat dengan panjang µm. Konidiofor tidak bersekat,
berpelengkap fialid, dan memiliki panjang 113,8 µm. Konidia berwarna hialin,
berbentuk bulat berdiameter 2,16 µm dengan sebaran satu fialid satu rantai.
Menurut Watanabe (2002), ciri mikroskopis Penicillium sp. yakni konidiofor
Gambar 8. Penicillium sp. Isolat 2: a. Biakan Murni Umur Koloni 7 hsp;
b. Morfologi Jamur (1) Hifa Bersekat, (2) konidiofor, (3) Fialid,
(4) Konidia
a b
1
2 3
4
29
hialin dengan panjang 120-220 µm, konidia berbentuk bulat berdiameter 2,3-2,7
µm, serta terdapat fialid sebagai tempat rantai konidia.
4.2.7 Trichoderma sp. isolat 1
Pengamatan koloni (Gambar 10a) menunjukkan berwarna putih, bagian
tengah berwarna hijau dan bagian dasar berwarna putih. Saat koloni tua berwarna
hijau tua dan bagian dasar berwarna hijau. Tipe persebaran berbentuk bulat
dengan tepi menyebar, dan memiliki konsentris. Tekstur permukaan koloni kasar,
kerapatan rapat, ketebalan tebal, dan miselium bagian tepi agak tipis. Ukuran
diameter 9 cm saat 7 hsp dan waktu memenuhi cawan petri 5×24 jam. Menurut
Sastrahidayat (2014), Isolat Trichoderma yang dibiaakan pada media PDA
berwarna hijau pudar gelap dan memiliki konsentris yang diselimuti oleh rumbai
konidiofor yang lebat. Diameter koloni mencapai 9 cm dalam waktu 5 hari.
Pengamatan morfologi jamur (Gambar 10b) menunjukkan hifa bersekat dan
hialin. Konidiofor hialin, bersekat, ramping dan bercabang dengan panjang 15
µm. Konidia hialin, berbentuk oval, berukuran 4×3,2 µm. Konidia akan
berkumpul pada ujung konidiofor dan berbentuk menyerupai bunga. Menurut
Sastrahidayat (2014), secara mikroskopis, konidiofor Trichoderma hialin, perca-
bangan banyak ke arah samping, tegak dan bersekat. Bentuk konidiofor ramping,
sistem percabangan sederhana dan teratur
Gambar 9. Penicillium sp. Isolat 3; a. Biakan Murni Koloni Umur 7 hsp;
b. Morfologi Jamur (1) konidiofor, (2) Fialid, (3) Konidia
b
1
2
3
a
30
4.2.8 Trichoderma sp. isolat 2
Pengamatan koloni (Gambar 11a) menunjukkan saat muda berwarna putih,
bagian tengah berwarna hijau kekuningan dan bagian dasar berwarna putih. Saat
koloni tua berwarna hijau tua dan bagian dasar berwarna hijau. Tipe persebaran
berbentuk bulat dengan tepi menyebar, dan memiliki konsentris. Tekstur
permukaan koloni kasar, kerapatan sedang, ketebalan agak tebal, dan miselium
bagian tepi agak tipis. Ukuran diameter 9 cm saat 7 hsp dan waktu me-menuhi
cawan petri 4×24 jam. Menurut Ganjar et al., (1999), koloni Trichoderma
mencapai diameter lebih dari 5 cm dalam waktu 5 hari. pada awalnya koloni akan
berwarna putih kehijauan, kemudian akan berubah menjadi hijau redup terutama
pada bagian yang menunjukkan terdapat banyak konidia.
Pengamatan morfologi jamur (Gambar 11b) menunjukkan hifa bersekat dan
hialin. Konidiofor hialin, tidak bersekat, ramping dan bercabang dengan panjang
13,6-22 µm. Konidia hialin, berbentuk semibulat, berdiameter 2,6 µm. Menurut
Watanabe (2002), konidiofor Trichoderma bercabang, kemudian membentuk
fialid sebagai tempat terbentuknya spora. Konidia hialin berukuran 2,4-2,7×2,1-
2,5 µm.
Gambar 10. Trichoderma sp. isolat 1: a. Biakan Murni Koloni Umur 7 hsp;
b. Morfologi Jamur (1) konidiofor, (2) Cabang Konidiofor,
(3) Konidia
a b
1
3
2
31
4.2.9 Mortierella sp.
Pengamatan koloni jamur (Gambar 12a) menunjukkan warna koloni
berwarna putih, bagian tengah berwarna putih kehijauan dan warna dasar putih
kekuningan. Tipe persebaran teratur berbentuk bulat menyebar pada Petri, dan
tidak memiliki konsentris. Tekstur permukaan koloni agak kasar pada bagian tepi
dan halus pada bagian tengah, kerapatan rapat serta ketebalan agak tebal. Ukuran
diameter 2,2 cm saat 7 hsp dan waktu memenuhi cawan petri 36×24 jam.
Pengamatan morfologi jamur (Gambar 12b) menunjukkan hifa tidak
bersekat dan hialin. Sporangiofor hialin, tidak bersekat, ramping pada bagian atas
Gambar 11. Trichoderma sp. isolat 2: a. Biakan Murni Koloni Umur 7 hsp;
b. Morfologi Jamur (1) konidiofor, (2) Cabang Konidiofor;
(3) Fialid, (4) Konidia
a b
1
3 2
4
Gambar 12. Mortierella sp. : a. Biakan Murni Koloni Umur 7 hsp; b. Morfologi
Jamur (1) Hifa tidak bersekat, (2) Sporangiofor, (2) Sporangiospora
a b 1
2 3
32
dengan panjang 68,75 µm. Sporangiospora hialin, berbentuk lonjong berukuran
6,9×2,1µm.. Menurut Watanabe (2002), ciri morfologi Mortierella sp. yakni
sporangiofor hialin dengan percabangan vertikal dari hifa, sporangiospora hialin
berbentuk lonjong atau silindris.
4.3 Seleksi Jamur Rhizosfer sebagai PGPF
Seleksi jamur rhizosfer, bertujuan untuk mengetahui jenis jamur hasil
eksplorasi yang berpotensi sebagai PGPF yang akan diaplikasikan pada bibit
Single Bud Set tanaman tebu (Gambar Lampiran 2). Hasil percobaan menunjuk-
kan bahwa perendaman benih mentimun dengan menggunakan jamur rhizosfer
berpengaruh nyata terhadap presentase perkecambahan dan tidak berpengaruh
nyata terhadap panjang kecambah (Tabel 5).
Tabel 5. Hasil Seleksi Isolat Jamur Rhizosfer
Perlakuan Presentase Perkecambahan
(%)1
Panjang Kecambah
(cm)
Kontrol 83,90 b 8,10
Acremonium sp. 100,00 b 5,90
Aspergillus sp. 83,33 a 6,77
Gongronella sp. 83,33 a 6,20
Penicillium sp. isolat 1 93,33 b 6,90
Penicillium sp. isolat 2 96,67 b 5,47
Penicillium sp. isolat 3 93,33 ab 5,67
Trichoderma sp. isolat 1 100,00 b 4,27
Trichoderma sp. isolat 2 96,67 b 9,50
Mortierella sp. 83,33 a 5,73
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang
tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf kesalahan 5% 1)
Data Ditransformasi dalam bentuk ArcSin untuk kepentingan analisis
Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa presentase perkecambahan
lebih tinggi pada perlakuan Acremonium sp. dan Trichoderma sp. isolat 1 sebesar
100% yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan Trichoderma sp. isolat 2,
Penicillium sp. isolat 2, Penicillium sp. isolat 1, Penicillium sp. isolat 3 dan
kontrol masing-masing sebesar 96,67; 96,67; 93,33; 93,33; dan 83,90%. Presentase
33
perkecambahan terendah yakni pada perlakuan Mortierella sp. sebesar 83,33 %
yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan Aspergillus sp. dan Gongronela sp.
sebesar 83,33%. Berdasarkan hasil tersebut, maka isolat yang digunakan untuk
PGPF pada perendaman bibit Single Bud Set tanaman tebu yakni Acremonium sp.,
Penicillium sp. isolat 1, Penicillium sp. isolat 2, Trichoderma sp. isolat 1 dan
Trichoderma sp. isolat 2.
Berdasarkan Tabel 5 menunjukkan bahwa perendaman benih dengan meng-
gunakan isolat jamur Acremonium sp., Penicillium spp. dan Trichoderma spp.
yang diperoleh dari eksplorasi rhizosfer memiliki kemampuan untuk mening-
katkan perkecambahan benih mentimun. Menurut Nihorimbere et al., (2011),
mikroorganisme yang berada ditanah khususnya disekitar perakaran akan
berinteraksi dengan tanaman saat perkecambahan biji, pertumbuhan bibit hingga
tanaman berkembang menjadi dewasa. Isolat yang telah terseleksi digunakan
sebagai PGPF merupakan isolat yang tidak menunjukkan gejala penyakit pada
saat pengamatan.
Menurut Chandanie et al., (2006), PGPF merupakan mikroorganisme
saprofit yang bersifat non patogen, dikenal sebagai pemacu pertumbuhan tanaman
serta dapat menghambat pertumbuhan jamur maupun bakteri patogen pada
beberapa tanaman. Jamur Acremonium spp. yang diaplikasikan pada tanaman
padi, radish dan prapika mampu meningkatkan presentase perkecambahan (Jung
et al., 2002). Menurut Hossain et al., (2014) bahwa aplikasi isolat jamur
Penicillium spp. GP15-1 pada tanaman mentimun berpengaruh terhadap panjang
tunas, panjang akar dan biomassa. Isolat jamur akan membentuk hubungan
simbiosis dengan tanaman inang. Harman et al., (2004), menyatakan bahwa jamur
Trichoderma spp. bermanfaat bagi tanaman sebagai biofertilisasi (meningkatkan
ketersediaan nutrisi tanaman), fitostimulator (memacu pertumbuhan tanaman de-
ngan memproduksi fitohormon) dan sebagai biokontrol (mengendalikan penyakit
dengan memproduksi metabolit sekunder, enzim litik, serta menginduksi
ketahanan tanaman.
34
4.4 Hasil Uji Potensi Jamur Rhizosfer
Uji potensi jamur rhizosfer dilakukan untuk mengetahui jenis jamur yang
bermanfaat untuk memacu pertumbuhan bibit Single Bud Set tanaman tebu. Hasil
analisis ragam tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada pengamatan yang
meliputi presentase tunas tumbuh, jumlah anakan, dan kejadian penyakit, serta
menunjukkan perbedaan nyata pada pengamatan yang meliputi waktu tumbuh
mata tunas, tinggi tanaman, diameter batang, dan jumlah daun.
4.4.1 Presentase Tunas Tumbuh (%)
Berdasarkan analisis ragam tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada
perlakuan perendaman bibit Single Bud Set terhadap presentase pertumbuhan
tunas (Tabel 6).
Tabel 6. Pengaruh Perendaman Bibit Single Bud Set pada Presentase Tunas
Tumbuh Tanaman Tebu
Perlakuan Presentase Tunas Tumbuh (%)1
P0 (kontrol) 86,11
PK (Konvensional) 52,78
PR (PGPR) 88,89
PF1 (Acremonium sp.) 86,11
PF2 (Penicillium sp. isolat 1) 86,11
PF3 (Penicillium sp. isolat 2) 91,67
PF4 (Trichoderma sp. isolat 1) 86,11
PF5 (Trichoderma sp. isolat 2) 83,33
Keterangan: 1)
Data Ditransformasi dalam bentuk ArcSin untuk kepentingan analisis
Rerata presentase tunas tumbuh pada seluruh perlakuan berkisar diatas
83% kecuali pada perlakuan konvensional yakni 52,78%. Menurut Khuluq dan
Hamidah (2014), pertumbuhan tebu dapat dikatakan berhasil apabila mencapai 60
hingga 90% dari seluruh mata tunas yang ditanam. Faktor terpenting dalam
keberhasilan pertunasan tebu adalah faktor eksternal yaitu pengelolaan kebun,
sedangkan faktor internalnya meliputi kualitas bibit kandungan glukosa, nitrogen
dan air yang terdapat dari bibit tebu. Pertumbuhan tunas juga dipengaruhi oleh
ukuran tunas yang digunakan saat pembibitan. Cock (2003) menyatakan bahwa
35
tunas tebu yang berukuran kecil akan lebih cepat mati karena tidak mampu untuk
menghasilkan fotosintat pada saat pertumbuhannya.
4.4.2 Waktu Pertumbuhan Mata Tunas
Berdasarkan analisis ragam, perendaman bibit Single Bud Set berpengaruh
nyata terhadap waktu tumbuh tunas tanaman tebu (Tabel 7). Tunas tumbuh
(Gambar 13) lebih cepat pada perendaman dengan Penicillium sp. isolat 2 yakni
pada saat 7,00 hst yang tidak berbeda nyata dengan perendaman menggunakan
isolat Penicillium sp. isolat 1, Acremonium sp., Trichoderma sp. isolat 1, serta
PGPR Bacillus subtilis masing-masing berkecambah saat 7,87; 8,13; 9,35; dan
9,03. Tunas tumbuh paling lama pada perlakuan konvensional yakni pada saat
11,67 hst, yang tidak berbeda nyata perlakuan Trichoderma sp. isolat 2 saat 10,57
hst, dan Kontrol 11,47.
Tabel 7. Pengaruh Perendaman Bibit Single Bud Set pada Waktu Tunas Tumbuh
Tanaman Tebu
Perlakuan Waktu Tumbuh Tunas (hst)
P0 (kontrol) 11,47 c
PK (Konvensional) 11,67 c
PR (PGPR Bacillus subtilis) 9,03 abc
PF1 (Acremonium sp.) 8,13 ab
PF2 (Penicillium sp. isolat 1) 7,87 ab
PF3 (Penicillium sp. isolat 2) 7,00 a
PF4 (Trichoderma sp. isolat 1) 9,35 abc
PF5 (Trichoderma sp. isolat 2) 10,57 bc
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata
berdasarkan uji DMRT pada taraf kesalahan 5%
Menurut Zaini et al., (2017), fase pertumbuhan dan perkembangan paling
kritis pada tanaman tebu terjadi saat proses perkecambahan dan pembentukan
tunas. Perkecambahan yang baik akan memberikan fondasi pertumbuhan tanaman
tebu, sedangkan pertunasan yang baik memberikan populasi tanaman dan jumlah
batang yang diiginkan untuk memperoleh hasil rendemen yang optimal. Tahir et
al., (2014), menyatakan bahwa perkecambahan tanaman tebu memberikan efek
langsung terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman tebu.
36
4.4.3 Tinggi Tanaman
Berdasarkan analisis ragam annova, perendaman Single Bud Set
berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman tebu (Tabel 8).
Tabel 8. Pengaruh Perendaman Bibit Single Bud Set pada Tinggi Tanaman Tebu
Perlakuan Tinggi Tanaman (cm)
3 mst 5 mst 7 mst 9 mst
P0 (kontrol) 8,77 a 15,73 a 25,97 ab 39,23 b
PK (Konvensional) 10,73 a 16,43 a 23,83 a 32,50 a
PR (PGPR Bacillus subtilis) 11,27 ab 18,47 ab 26,67 abc 38,03 ab
PF1 (Acremonium sp.) 14,57 b 22,43 b 32,23 c 41,37 b
PF2 (Penicillium sp. isolat 1) 14,77 bc 22,87 b 30,10 bc 42,07 b
PF3 (Penicillium sp. isolat 2) 18,63 c 30,33 c 40,50 d 50,80 c
PF4 (Trichoderma sp. isolat 1) 8,93 a 19,63 ab 29,67 bc 41,17 b
PF5 (Trichoderma sp. isolat 2) 9,83 a 20,83 ab 31,70 c 41,57 b
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang
tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf kesalahan 5%
Pada saat 3 mst, tanaman paling tinggi pada perlakuan Penicillium sp. isolat
2 yaitu 18,63 cm yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan Penicillium sp. isolat
1 yaitu 14,77 cm. Tinggi tanaman paling rendah pada perlakuan kontrol yaitu 8,77
cm. Pada saat 5 mst tanaman tertinggi pada perlakuan Penicillium sp. isolat 2
yaitu 30,33 cm. Tinggi tanaman terendah pada perlakuan kontrol yaitu 15,73 cm.
Gambar 13. Tunas Tanaman Tebu pada Perlakuan Penicillium sp. isolat 2 saat
7 HST
37
Pada saat 7 mst tanaman tertinggi pada perlakuan Penicillium sp. isolat 2 yaitu
40,50 cm. Tinggi tanaman terendah pada perlakuan kontrol yaitu 23,83 cm. Pada
saat 9 mst tanaman tertinggi pada perlakuan Penicillium sp. isolat 2 yaitu 50,80
cm.Tinggi tanaman terendah pada perlakuan konvensional yaitu 39,23 cm yang
tidak berbeda nyata dengan perlakuan PGPR Bacillus subtilis yaitu 38,03 cm.
Perlakuan penanaman bibit Single Bud Set sebelum dilakukan memberikan
pengaruh yang sangat nyata terhadap tinggi tanaman pada umur 21 hst sampai 63
hst. Menurut Getaneh et al., (2015) menyatakan bahwa tinggi tanaman dan
panjang tangkai merupakan komponen penting dari pertumbuhan dan hasil tebu.
Bertambahnya panjang tanaman disebabkan oleh adanya pertumbuhan pucuk dan
pertumbuhan pada dasar ruas. Pada pengamatan terakhir dapat diketahui bahwa
Penicillium spp. mampu meningkatkan tinggi tanaman tebu. Jamur Penicillium
oxalicum yang diinduksi pada tanaman tomat mampu berfungsi sebagai regulator
pertumbuhan dengan mengeluarkan hormon, serta membantu pembagian,
diferensiasi dan pertumbuhan sel (Aloni, 1995; Cal et al., 2000).
4.4.4 Diameter Batang
Berdasarkan analisis ragam annova, perendaman bibit Single Bud Set
berpengaruh nyata terhadap diameter tanaman tebu (Tabel 9). Pada saat 3 mst,
diameter batang terbesar pada perlakuan Penicillium sp. isolat 2 yaitu 0,41 cm
yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan Penicillium sp. isolat 1 dan
Acremonium sp. yaitu 0,36 dan 0,32 cm. Diameter batang terkecil pada perlakuan
kontrol, Trichoderma sp. isolat 1 dan Trichoderma sp. isolat 2 yaitu 0,24 cm.
Pada saat 5 mst, diameter batang terbesar pada perlakuan Penicillium sp. isolat 2
yaitu 0,55 cm yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan Penicillium sp. isolat 1
dan Acremonium sp. yaitu 0,52 dan 0,47 cm. Diameter batang terkecil pada
perlakuan kontrol, yaitu 0,38 cm. Pada saat 7 mst, diameter batang terbesar pada
perlakuan Penicillium sp. isolat 2 yaitu 0,72 cm yang tidak berbeda nyata dengan
Penicillium sp. isolat 1 yaitu 0,69 cm. Diameter batang terkecil pada perlakuan
kontrol, yaitu 0,54 cm. Pada saat 9 mst, diameter batang terbesar pada perlakuan
Penicillium sp. isolat 2 yaitu 0,77 cm yang tidak berbeda nyata dengan
38
Penicillium sp. isolat 1 yaitu 0,75 cm. Diameter batang terkecil pada perlakuan
kontrol, yaitu 0,62 cm.
Tabel 9. Pengaruh Perendaman Bibit Single Bud Set pada Diameter Batang
Tanaman Tebu
Perlakuan Diameter Batang (cm)
3 mst 5 mst 7 mst 9 mst
P0 (kontrol) 0,24 a 0,38 a 0,54 a 0,62 a
PK (Konvensional) 0,27 a 0,42 ab 0,58 a 0,66 ab
PR (PGPR Bacillus subtilis) 0,28 a 0,47 bc 0,64 bc 0,70 b
PF1 (Acremonium sp.) 0,32 ab 0,47 bc 0,63 bc 0,71 bc
PF2 (Penicillium sp. isolat 1) 0,36 b 0,52 cd 0,69 cd 0,75 cd
PF3 (Penicillium sp. isolat 2) 0,41 b 0,55 d 0,72 d 0,77 d
PF4 (Trichoderma sp. isolat 1) 0,24 a 0,39 ab 0,56 a 0,63 a
PF5 (Trichoderma sp. isolat 2) 0,24 a 0,40 ab 0,58 ab 0,67 ab
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang
tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf kesalahan 5%
Penggunaan agensia hayati dalam hal ini adalah mikroorganisme berupa
bakteri dan jamur, memiliki potensi yang sangat besar untuk memacu
pertumbuhan tanaman tebu. Menurut Zhou et al., (2018) PLant Growth Promo-
ting fungi (PGPF) telah menarik minat yang besar sebagai pupuk hayati karena
berpotensi untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas tanaman, serta memiliki
pengaruh positif pada lingkungan ekologis. Menurut Zaini et al., (2017),
Pertumbuhan merupakan proses peningkatan jumlah dan ukuran sel pada
tanaman. Pertumbuhan tanaman dapat di deteksi melalui pengamatan terhadap
parameter tumbuhan.
Selain dipengaruhi oleh isolat jamur, pembibitan tanaman tebu juga
dipengaruhi oleh asal bibit yang digunakan. Menurut Ahmed (2010), biomassa,
diameter dan tinggi tanaman dipengaruhi oleh varietas atau genotip setiap
tanaman. Setiap varietas memiliki keunggulannya masing-masing, baik itu dari
segi tinggi tanaman, diameter ataupun biomassa. Bibit tebu dari batang bagian
atas memiliki pertumbuhan yang baik dikarenakan mata tunas batang bagian atas
memiliki kandungan auksin yang lebih banyak.
39
4.4.5 Jumlah Daun
Berdasarkan analisis ragam annova, perendaman bibit Single Bud Set
berpengaruh nyata terhadap jumlah daun tanaman tebu (Tabel 10).
Tabel 10. Pengaruh Perendaman Bibit Single Bud Set pada Jumlah Daun Tanaman
Tebu
Perlakuan Jumlah Daun (Helai)
3 mst 5 mst 7 mst 9 mst
P0 (kontrol) 1,70 a 2,60 a 3,93 a 4,93 a
PK (Konvensional) 1,63 a 2,60 a 4,07 a 5,13 ab
PR (PGPR Bacillus subtilis) 2,53 abc 3,50 ab 5,03 ab 6,10 abc
PF1 (Acremonium sp.) 3,43 c 4,37 b 5,80 b 6,57 c
PF2 (Penicillium sp. isolat 1) 2,67 bc 3,73 b 5,27 b 6,03 abc
PF3 (Penicillium sp. isolat 2) 2,37 ab 3,37 ab 4,93 ab 5,87 abc
PF4 (Trichoderma sp. isolat 1) 3,27 bc 4,27 b 5,80 b 6,57 c
PF5 (Trichoderma sp. isolat 2) 2,93 bc 4,03 b 5,37 b 6,23 bc
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang
tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf kesalahan 5%
Pada saat 3 mst, jumlah daun paling banyak pada perlakuan Acremonium sp.
yaitu 3,43 helai yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan PGPR Bacillus
subtilis, Penicillium sp. isolat 1, Trichoderma sp. isolat 1 dan Trichoderma sp.
isolat 2. Jumlah daun paling sedikit pada pada perlakuan kontrol yaitu 1,70 helai.
Pada saat 5 mst, jumlah daun paling banyak pada perlakuan Acremonium sp. yaitu
4,37 helai yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan PGPR Bacillus subtilis,
Penicillium sp. isolat 1, Penicillium sp. isolat 2, Trichoderma sp. isolat 1 dan
Trichoderma sp. isolat 2. Jumlah daun paling sedikit pada pada perlakuan kontrol
dan konvensional yaitu 2,60 helai. Pada saat 7 mst, jumlah daun paling banyak
pada perlakuan Acremonium sp. dan Trichoderma sp. isolat 1 yaitu 5,80 helai
yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan PGPR Bacillus subtilis, Penicillium
sp. isolat 1, Penicillium sp. isolat 2, Trichoderma sp. isolat 1 dan Trichoderma sp.
isolat 2. Jumlah daun paling sedikit pada pada perlakuan kontrol yaitu 3,93 helai.
Berdasarkan hasil percobaan dapat diketahui bahwa isolat Penicillium spp.
dan Trichoderma spp. yang diperoleh dari rhizosfer tanaman tebu memiliki
potensi untuk memacu pertumbuhan tanaman. Hasil penelitian Hossain et al.,
(2007), menunjukkan bahwa aplikasi Penicillium sp. GP17-2 pada kacang tanah
mampu meningkatkan jumlah daun, berat basah dan berat kering tanaman.
40
Penelitian lainnya menunjukkan bahwa aplikasi isolat Penicillium sp. GP 1,5-1
membentuk hubungan simbiosis dengan inang sehingga sangat mempengaruhi
pertumbuhan tanaman mentimun. Beberapa penemuan menunjukkan bahwa,
Penicillium spp. mampu memproduksi sejumlah hormon pertumbuhan berupa
giberelin dan auksin yang memiliki keterlibatan dalam peningkatan pertumbuhan
tanaman (Hossein et al., 2014).
4.4.6 Jumlah Anakan
Berdasarkan hasil pengamatan, perlakuan perendaman bibit Single Bud Set
tidak mempengaruhi pertumbuhan anakan dari batang utama hingga pengamatan
ke sembilan minggu setelah tanam (Tabel 11).
Tabel 11. Pengaruh Perendaman Bibit Single Bud Set pada Jumlah Anakan
Tanaman Tebu saat 9 mst
Perlakuan Jumlah Anakan (%)1
P0 (kontrol) 0,00
PK (Konvensional) 0,00
PR (PGPR Bacillus subtilis) 0,10
PF1 (Acremonium sp.) 0,00
PF2 (Penicillium sp. isolat 1) 0,10
PF3 (Penicillium sp. isolat 2) 0,00
PF4 (Trichoderma sp. isolat 1) 0,10
PF5 (Trichoderma sp. isolat 2) 0,00
Keterangan: 1)
Data Ditransformasi dalam bentuk Log(X+1) untuk kepentingan analisis
Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa anakan yang terbentuk
terdapat pada perlakuan perendaman menggunakan PGPR Bacillus subtilis,
penicillium sp. isolat 1 dan Trichoderma sp. isolat 1. Produksi tanaman tebu juga
dipengaruhi oleh kemampuan mata tunas untuk tumbuh dan jumlah anakan yang
terbentuk. Hingga pengamatan 9 mst, anakan atau tunas sekunder belum dapat
terbentuk pada semua perlakuan. Menurut Adinugraha et al., (2016), daya
perkecambahan tanaman tebu dipenga-ruhi oleh asal bibit yang digunakan. Batang
bagian atas memiliki daya perkecambahan yang cepat karena didukung oleh tunas
yang relatif muda, sehingga produksi anakan akan lebih cepat pula.
4.4.7 Kejadian Penyakit
Berdasarkan analisis ragam annova, perendaman bibit Single Bud Set tidak
berpengaruh nyata terhadap kejadian penyakit tanaman tebu (Tabel 12). Rerata
41
kejadian penyakit pada percobaan ini menunjukkan bahwa serangan penyakit pada
tanaman tebu sangat rendah yakni dibawah 3%. Gejala penyakit yang ditunjukkan
pada tanaman tebu yang terserang yakni matinya seluruh sel tanaman sehingga
membuat tanaman menjadi tumbuh abnormal, kemudian mengering dan
menyebabkan kematian. Selain itu juga terdapat gejala serangan pokahbung yang
disebabkan oleh jamur Fusarium moniliforme.
Tabel 12. Pengaruh Perendaman Bibit Single Bud Set pada Kejadian Penyakit
Tanaman Tebu saat 9 mst
Perlakuan Kejadian Penyakit (%)1
P0 (kontrol) 10,00
PK (Konvensional) 4,17
PR (PGPR Bacillus subtilis) 6,94
PF1 (Acremonium sp.) 2,78
PF2 (Penicillium sp. isolat 1) 7,04
PF3 (Penicillium sp. isolat 2) 2,78
PF4 (Trichoderma sp. isolat 1) 0,00
PF5 (Trichoderma sp. isolat 2) 0,00
Keterangan: 1)
Data Ditransformasi dalam bentuk (X+0,5) untuk kepentingan analisis
Berdasarkan hasil tersebut, dapat diketahui bahwa peluang kejadian
penyakit terendah terjadi pada tanaman yang diaplikasikan dengan isolat
Trichoderma sp. isolat 1 dan isolat 2. Menurut Alabouvette et al., (2006) genus
Trichoderma sp. telah banyak diteliti sebagai agens hayati untuk mengendalikan
berbagai penyakit tanaman. T. harzianum dan T. viride telah dikomersialkan
untuk mengendalikan penyakit busuk akar dan penyakit rebah kecambah yang
disebabkan oleh cendawan Fusarium, Rhizoctonia, dan Pythium. Berdasarkan
hasil penelitian Pratiwi, et al., (2013), jamur Trichoderma spp., mampu meng-
hambat pertumbuhan jamur F. moniliforme penyebab penyakit pokahbung dengan
mekanisme berupa prasitik.
Jamur rhizosfer merupakan agensia hayati yang sangat bermanfaat bagi
tanaman inang maupun tanah. Purwitasari dan Hastuti (2009), menyebutkan jamur
rizosfer merupakan salah satu faktor biotik yang dapat menginduksi ketahanan
tanaman terhadap penyakit. Jamur yang ada di rhizosfer dapat melindungi
tanaman terhadap patogen dan meningkatkan kesuburan pertumbuhan tanaman
sehinggga digolongkan sebagai jamur pemacu kesuburan tanaman.
42
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 KESIMPULAN
Kesimpulan dari penelitian ini adalah
1. Dari hasil eksplorasi rhizosfer diperoleh 9 jenis jamur , jenis jamur yang
telah teridentifikasi berasal dari 7 genus yaitu Acremonium, Apergillus,
Gongronella, Penicillium, Trichoderma, dan mortierella
2. Perendaman bibit single bud set tanaman tebu dengan menggunakan jamur
Penicillium sp. isolat 2 berpotensi untuk memacu pertumbuhan tanaman tebu
khususnya pada waktu tumbuh tunas tebu, tinggi tanaman, jumlah daun serta
diameter batang. Perendaman bibit single bud set tanaman tebu dengan
menggunakan jamur Trichoderma sp. isolat 1 dan isolat 2 berpotensi untuk
mengurangi peluang kejadian penyakit.
5.2 SARAN
Berdasarkan hasil penelitian, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
mengenai kerapatan jamur yang sesuai untuk aplikasi perendaman pada bibit
single bud set tanaman tebu. Perlu dilakukan pengamatan secara molekuler, untuk
mengetahui strain dari jamur yang dapat digunakan sebagai PGPF. Perlu dila-
kukan pengamatan pada masa generatif untuk mengetahui tingkat rendemen gula
pada tanaman yang diaplikasi jamur PGPF.
43
DAFTAR PUSTAKA
Abdelrahman, M., Motaal, FA., Sayed, ME., Jogaiah, S., Shigyo, M., Ito, SC., and
Tran, LP. 2016. Dissection of Trichoderma longibrachiatum-Induced
Defense In Onion (Allium cepa L.) Against Fusarium oxysporum F. Sp.
Cepa By Target Metabolite Profiling. J. Plant Science. 246: 128-138.
Adinugraha, I., Nugroho, A., dan Wicaksono, KP. 2016. Pengaruh Asal Bibit Bud
Chip Terhadap Fase Vegetatif Tiga Varietas Tanaman Tebu (Saccharum
officinarum L.). J. Produksi Tanaman. 4(6): 468-477.
Ahmed, OA., Obeid, A. and Dafallah, B. 2010. The Influence of Characters
Association on Behavior of Sugarcane Genotypes (Saccharum Spp.) for
Cane Yield and Juice Quality. World J. of Agricultural Sciences. 6 (2): 207-
211.
Alabouvette C, Olivain C, Steinberg C. 2006. Biological control of plant diseases:
the European situation. Eur J Plant Pathol. 114: 329–341.
Babu, AG., Kim, SW., Adhikari, M., Yadav, DR., Um, YH., Kim, C., Lee, HB.,
Lee, YS. 2015. A New Record of Gongronella butleri Isolated in Korea.
Microbiology. 43(2): 166-169.
Cal, DA., Garcia, LR., dan Melgarejo, P. 2000. Induced Resistance by Penicillium
oxalicum Against Fusarium oxysporum f. sp. lycopersici: Histological
Studies of Infected and Induced Tomato Stems. J. Biological Control. 90(3):
260-268.
Chandanie, WA., Kubota, M., Hyakumachi, M. 2016. Interactions Between Plant
Growth Promoting Fungi and Arbuscular Mycorrhizal Fungus Glomus
mosseae and Induction of Systemic Resistance to Anthracnose Disease in
Cucumber. J. Plant and Soil. 286(2): 209-217.
Chanway, CP. 1997. Inoculation Of Tree Roots With Plant Growth Promoting
Bacteria: An Emerging Technology For Reforestation. Forest Science. 43:
96-112.
Cock, James. 2003. Sugarcane Growth and Development. J. International Sugar.
105(1259): 540-552.
Direktorat Jenderal Perkebunan, 2016. Statistik Perkebunan Indonesia 2015-2017.
Sekretariat Direktorat Jenderal Perkebunan Kementrian Pertanian, Jakarta.
Dwijoseputro. D. 2010. Dasar-dasar mikrobiologi. Jakarta : Djambatan.
44
Gandjar. IRA., Samson, KV., TVeurmeuleun, A., Oetari. dan I., Santosa. 1999.
Pengenalan Kapang Tropik Umum. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Getaneh, A., Ayele, N., Negi, T., and Mekuanent, Y. 2014. Effect Number of
Buds per Sett and Sett Spacing on Yield of Sugarcane at Metahara Sugar
Estate. J. of Agriculture and Natural Resources Sciences. 1(4): 238-244.
Harman, GE., Howell, CR., Viterbo, A.,Chet, I., and Lorito, M. 2004.
Trichoderma species- Opportunistic, Avirulent Plant Symbionts.J. Nat Rev
Microbiol. 2(1): 43-56.
Hossain, MM., Sultana, F., Kubota, M., Koyama, H., and Hyakumachi, M. 2007.
The Plant Growth-Promoting Fungus Penicillium simplicissimum GP17-2
Induces Resistance in Arabidopsis thaliana by Activation of Multiple
Defense Signals. J. Plant Cell Physiol. 48(12): 1724-1736.
Hossain, MM., Sultana, F., Miyazawa, M., and Hyakumachi, M. 2014. The Plant
Growth-promoting Fungus Penicillium spp. GP15-1 Enhances Growth and
Confers Protection Against Damping-off and Anthracnose in the Cucumber.
J. Oleo Science. 63(4): 391-400.
Hyakumachi, M. 1994. Plant Growth Promoting Fungi From Turfgrass
Rhizosphere with Potential for Disease Suppression. J. Soil Microorganisms
44: 53–68.
Hyakumachi, M., and M. Kubota, 2003. Fungi As Plant Growth Promoter And
Disease Suppressor. In: Fungal Biotechnology In Agricultural, Food and
Environmental Application. Arora D. K. (ed) Marcel Dekker. Pp 101- 110.
Indrawanto, C., Purwono, Siswanto, M. Syakir, dan W. Rumini. 2010. Budidaya
dan Pasca Panen Tebu. ESKA Media. Jakarta.
Istikorini, Y. 2008. Potensi Cendawan Endofit untuk Mengendalikan Penyakit
Antraknosa pada Cabai (Capsicum annum L.). (Disertasi). Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
James, G. 2003. Sugarcane. Blackwell Publishing Company. Oxford.
Jung, JH., Shin, DM., Bae, WC., Hong, SK., Suh, JW., Koo, S., dan Jeong, BC.
2002. Identification of FM001 as Plant Growth-Promoting Substance from
Acremonium strictum MJN1 Culture. J. Microbiol. Biotechnol. 12(2): 327-
330.
Kementrian Pertanian. 2014. Deskripsi Varietas BL (Bululawang).
perundangan.pertanian.go.id/admin/file/SK-322-04.pdf. Diakses pada 25
Februari 2018.
45
Khuluq, AD., dan Hamida, R. 2016. Produksi Bibit Tebu (Saccharum officinarum
L.) pada Penanaman Bagal 1, 2, dan 3 Mata. J. Teknologi, Inovasi dan
Sumber-daya. 5(1):1-8.
Lovelyana, CY. 2017. Studi Budidaya dan Pengamatan Hama Penyakit Penting
Tanaman Tebu (Saccharum officinarum L.) di PG. Kebon Agung Kabu-
paten Malang. (Magang Kerja). Universitas Brawijaya. Malang.
Lugtenberg, BJJ., and Kravchenko, LV. 1999. Tomato Seed and Root Exudate
Sugars: Composition, Utilization by Pseudomonas Bio-control Strains and
Role in Rhizosphere Colonization. Enviromental Microbiology. 1 (5): 439-
446.
Machmud, M. 2001. Teknik Penyimpanan dan Pemeliharaan Mikroba. Buletin
AgroBio. 4 (1): 24-32
Marnita, Y., Lisnawita, dan Hasanuddin. 2017. Potensi Jamur Endofit terhadap
Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Cabai (Capsicum annum). J. Pertanian
Tropik. 4(2): 1-12.
Masunaka, A., Hyakumachi, M., and Takenaka, S. 2011. Plant Growth Promoting
Fungus, Trichoderma koningi Suppresses Isoflavonoid Phytoalexin Vestitol
for Colonization on/in the Roots of Lotus japonicus. Enviromental
Microbiology. 26 (2): 128-134
Mawanda, HG. 2014. Pengaruh Pemberian Silikat terhadap Serapan Fosfor,
Pertumbuhan Tanaman, Ketahanan Serangan Penggerek dan Hasil Gula Dua
Varietas Tebu (Saccharum officinarum L.). Tesis. Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Meera, MS., Shivanna, MB., Kageyama, K., and Hyakumachi, M. 1994. Plant
Growth Promoting Fungi from Zoysiagrass Rizosphere as Potential Inducers
of Systemic Resistance in Cucumbers. J. Phytopathology. 84(12): 1399-
1405.
Mehta, CM., Emmanuel, B., Kesarwani, A., Sirari, K., and Sharma, AK. 2016.
Nutrient Management Strategies Based on Microbial Function. Dalam
Singh, DP., Singh, HB., and Prabha, R (Ed.). 2016. Microbial Inoculants in
Sustainable Agricultural Productivity, Vol.2: Functional Aplications.
Springer: New Delhi.
Murali, MKN. Amruthesh, Sudisha, J., Niranjana, SR..,and Shetty, HS. 2012.
Screening for Plant Growth Promoting Fungi and Their Ability for Growth
Promotion and Induction Of Resistance in Pearl Millet Against Downy
Mildew Disease. J. of Phytology. 4(5): 30-36.
46
Muslim, A., Suwandi., dan Hamidson, H. 2006. Evaluasi Cendawan Rizosfer
Lahan Rawa Lebak Sebagai Pemacu Pertumbuhan Tanaman. J. Agria.
2(2): 26-33.
Nihorimbere, V., Ongena, M., Smargiassi, M., and Thonart, P. 2011. Beneficial
Effect of the Rhizosphere Microbial Community for Plant Growth and
Health. J. Biotechnologi. Agro. Soc. Environmen. 15(2): 327-337.
Patten, CL. and. Glick, BR. 1996. Bacterial Biosynthesis Of Indole-3-Acetic
Acid. Canadian Journal Of Microbiology. 42: 207-220.
Prabawanti, YW. 2012. Biostematika Keanekaragaman Tanaman Tebu
(Saccharum officinarum) Melalui Pendekatan Morfologi. Skripsi.
Universitas Airlangga, Surabaya.
Prasad, R. 2007. Sugarcane Bud Chips for Seed Multipication. Sugarcane
Breeding Institute. Indian Council of Agriculture Research. Coimbatore.
Pratiwi, BN., Sulistyowati, L., Muhibuddin, A., dan Kristini, A. 2013. Uji
Pengendalian Penyakit Pokahbung (Fusarium moniliformae) pada Tanaman
Tebu (Saccharum officinarum) menggunakan Trichoderma sp. Indigenous
secara In Vitro dan In Vivo. J. HPT. 1(3): 119-129.
Purwantisari, SRB., dan Hastuti. 2009. Isolasi dan Identifikasi Jamur Indigenous
Rhizosfer Tanaman Kentang dari Lahan Pertanian Kentang Organik di Desa
Pakis, Magelang. J. BIOMA. 11 (2): 45-53.
Purwitasari, S., dan Hastuti, RB. 2009. Isolasi dan Determinasi Jamur Indigenous
Rhizosfer Tanaman Kentang dari Lahan Pertanian Kentang Organik di Desa
Pakis, Magelang. BIOMA. 11(2): 45-53.
Putri, AD., Sudiarso., dan T. Islami. 2013. Pengaruh Komposisi Media Tanam
pada Teknik Bud Chip Tiga Varietas Tebu (Saccharum officinarum L.).
J. Produksi Tanaman. 1(1): 16-23.
Ridge, Ross. 2013. Fertilizing for High Yield and Quality Sugarcane.
International Potash institute, Switzerland.
Rokhman, T., dan Supriyanta. 2014. Jumlah Anakan dan Rendemen Enam Klon
Tebu (Saccharum officinarum L.) Asal Bibit Bagal, Mata Ruas Tunggal,
dan Mata Tunas Tunggal. J. Vegetalika. 3(3): 89-96.
Roziq, F., Sastrahidayat, IR., dan Djauhari, S. 2013. Kejadian Hama dan Penyakit
Tanaman Cabai Kecil yang Dibudidayakan Secara Vertikultur di Sidoarjo.
J HPT. 1(4):30-36.
47
Sastrahidayat, IR. 2014. Peranan Mikroba bagi Kesehatan Tanaman dan
Kelestarian Lingkungan. Malang : UB Press.
Singh, SN., Yadav, RL., Lal, M., Sinh, AK., Singh, GK., Prakash, O., and Singh,
VK. 2011. Assessing Feasibility of Growing Sugarcane by a Polythene Bag
Culture System for Rapid Multiplication of Seed Cane in Sub-Tropical
Climatic Conditions of India. J. Plant Production Science. 14(3): 229-232
Sulistyoning, ME., Roviq, M., dan Wardiyati, T. 2017. Pengaruh Pemberian
PGPR (Plant Growth Promoting Rhizobacteria) Pada Pertumbuhan Bud
Chip Tebu (Saccharum officinarum L.). J. Produksi Tanaman. 5(3): 396:403
Supriyanto, Priyatmojo, A., dan Arwiyanto, T. 2011. Uji Penggabungan PGPF
dan Pseudomonas Putida Strain PF-20 Dalam Pengendalian Hayati
Penyakit Busuk Lunak Lidah Buaya Di Tanah Gambut. J. HPT Topika.
1:11-21.
Tahir, M., Khalil, IH., and Rahman, H. 2014. Evaluation of Important Characters
for Improving Cane Yield in Sugarcane (Saccharum sp.). Sarhad J. of
Agriculture. 30 (3): 319-323.
Tanzil, AI., Muhibuddin, A., dan Djauhari, S. 2015. Eksplorasi Jamur Tanah pada
Rizosfir Tomat di Lahan Endemis dan Non Endemis Fusarium oxysporum f.
Sp. Lycopersici. J. HPT. 3(1): 11-20.
Watanabe, T. 1994. Pictorial Atlas of Soil and Fungi Morphologies of Cultured
Fungi and Key to Spesies edisi kedua. London. CRC Press.Wijayanti, W. A.
2008. Pengelolaan Tanaman Tebu (Saccharum Officinarum L.) di, Pabrik
Gula Tjoekir Ptpn X, Jombang, Jawa Timur. Skripsi. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Yunita, M., Meiriani, dan Barus, A. 2017. Pertumbuhan Berbagai Umur Bahan
Tanam Bud Set Tebu (Saccharum officinarum L.) dengan konsentrasi NAA
yang Berbeda. J. Agroekoteknologi FP USU. 39: 297-306
Zaini, AH., Baskara, M., dan Wicaksono, P. 2017. Uji Pertumbuhan Berbagai
Jumlah Mata Tunas Tebu (Saccharum officinarum L.) Varietas VMC 76-16
dan PSJT 941. J. Produksi Tanaman. 5(2): 182-190
Zhou, LS., Tang, K., and Gou, SX. 2018. The Plant Growth-Promoting Fungus
(PGPF) Alternaria sp. A13 Markedly Enhances Salvia Miltiorrhiza Root
Growth and Active Ingredient Accumulation Under Greenhouse and Field
Conditions. International J. Mol Science. 19(270): 1-14.
48
LAMPIRAN
49
1. Deskripsi Varietas Tebu Bululawang
Varietas Bululawan berasal dari persilangan antara Varietas lokal dari
Bululawang dan Malang Selatan (Kementan, 2014).
Sifat-sifat Morfologis
a. Batang
Bentuk batang : silindris dengan penampang bulat
Warna batang : coklat kemerahan
Lapisan lilin : sedang – kuat
Retakan batang : tidak ada
Cincin tumbuh : melingkar datar diatas pucuk mata
Teras dan lubang : masif
b. Daun
Warna daun : hijau kekuningan
Ukuran daun : panjang melebar
Lengkung daun : kurang dari ½ daun cenderung tegak
Telinga daun :pertumbuhan lemah sampai sedang, kedudukan Serong
Bulu punggung : ada, lebat, condong membentuk jalur lebar
c. Mata
Letak mata : pada bekas pangkal pelepah daun
Bentuk mata : segitiga dengan bagian terlebar dibawah tengah-
tengah mata
Sayap mata : tepi sayap mata rata
Rambut basal : ada
Rambut jambul : ada
Sifat-sifat Agronomis
a. Pertumbuhan
Perkecambahan : lambat
Diameter batang : sedang sampai besar
Pembungaan : berbunga sedikit sampai banyak
Kemasakan : tengah sampai lambat
Kadar sabut : 13 – 14%
50
Koefisien daya tahan : tengah – panjang
2. Potensi Produksi
Hasil tebu (ton/ha) : 94,3
Rendemen (%) : 7,51
Hablur gula (ton/ha) : 6,90
3. Ketahanan Hama dan Penyakit
Penggerek batang : peka
Penggerek pucuk : peka
Blendok : peka
Pokahbung : moderat
Luka api : tahan
Mosaik : tahan
4. Kesesuaian lokasi : Type lahan geluh berpasir, cukup pengairan,
51
2. Plot Percobaan Uji Potensi Jamur Rhizosfer
Gambar 1. Plot Percobaan Uji Potensi Jamur Rhizosfer sebagai PGPF
PF4 PF1 PK
P0 PF2 PR
PF1 PF5 PF4
PR PK P0
PF2 PF4 PF3
PF3 P0 PF1
PK PR PF5
PF5 PF3 PF2
U
Keterangan:
P0 (kontrol)
PK (Konvensional)
PR (PGPR Bacillus subtilis)
PF1 (Acremonium sp.)
PF2 (Penicillium sp. isolat 1)
PF3 (Penicillium sp. isolat 2)
PF4 (Trichoderma sp. isolat 1)
PF5 (Trichoderma sp. isolat 2)
Ukuran Plot 1,2×1,5 m
Jarak Antar Petak Perlakuan 10 cm
Jarak Antar Ulangan 15 cm
52
3. Analisis Ragam Seleksi Jamur Rhizosfer sebagai PGPF
Tabel Lampiran 1. Hasil Analisis Ragam Presentase Perkecambahan Tanaman
Mentimun Unttuk Seleksi Jamur Rhizosfer
Sumber
Keragaman
Jumlah
Kuadrat
Derajat
Bebas
Kuadrat
Tengah
F Hitung F Tabel 5%
Perlakuan 2446,29 9 271,81 3,60 ** 2,39
Galat 1510,46 20 75,52
Total 3956,74 29 136,44
Koefisien Keragaman: 11,01 %
Tabel Lampiran 2. Hasil Analisis Ragam Tinggi kecambah Mentimun Untuk
Seleksi Jamur Rhizosfer
Sumber
Keragaman
Jumlah
Kuadrat
Derajat
Bebas
Kuadrat
Tengah
F Hitung F Tabel 5%
Perlakuan 58,66 9 6,52 2,09 tn 2,39
Galat 62,47 20 3,12
Total 121,14 29 4,18
Koefisien Keragaman: 27,40 %
Lampiran 4. Analisis Ragam Uji Potensi Jamur Rhizosfer sebagai PGPF
Tabel Lampiran 3. Hasil Analisis Ragam Presentase Tunas Tumbuh Tanaman
Tebu
Sumber
Keragaman
Jumlah
Kuadrat
Derajat
Bebas
Kuadrat
Tengah
F Hitung F Tabel 5%
Kelompok 109,54 2 54,77 0,27 3,74
Perlakuan 2035,47 7 290,78 1,41 tn 2,76
Galat 2893,40 14 206,67
Total 5038,42 23 219,06
Koefisien Keragaman: 20,80 %
Tabel Lampiran 4. Hasil Analisis Ragam Waktu Tumbuh Tunas Tanaman Tebu
Sumber
Keragaman
Jumlah
Kuadrat
Derajat
Bebas
Kuadrat
Tengah
F Hitung F Tabel 5%
Kelompok 1,59 2 0,79 0,32 3,74
Perlakuan 61,89 7 8,84 3,59 * 2,76
Galat 34,44 14 2,46
Total 97,91 23 4,26
Koefisien Keragaman: 16,71 %
53
Tabel Lampiran 5. Hasil Analisis Ragam Tinggi Tanaman Tebu saat 3 mst
Sumber
Keragaman
Jumlah
Kuadrat
Derajat
Bebas
Kuadrat
Tengah
F Hitung F Tabel 5%
Kelompok 5,27 2 2,63 0,65 3,74
Perlakuan 253,97 7 36,28 8,97 ** 2,76
Galat 56,61 14 4,04
Total 315,85 23 13,73
Koefisien Keragaman: 16,50 %
Tabel Lampiran 6. Hasil Analisis Ragam Tinggi Tanaman Tebu saat 5 mst
Sumber
Keragaman
Jumlah
Kuadrat
Derajat
Bebas
Kuadrat
Tengah
F Hitung F Tabel 5%
Kelompok 30,96 2 15,48 2,11 3,74
Perlakuan 448,07 7 64,01 8,71 ** 2,76
Galat 102,90 14 7,35
Total 581,92 23 25,30
Koefisien Keragaman: 13,01 %
Tabel Lampiran 7. Hasil Analisis Ragam Tinggi Tanaman Tebu saat 7 mst
Sumber
Keragaman
Jumlah
Kuadrat
Derajat
Bebas
Kuadrat
Tengah
F Hitung F Tabel 5%
Kelompok 41,34 2 20,67 2,41 3,74
Perlakuan 550,80 7 78,69 9,18 ** 2,76
Galat 119,95 14 8,57
Total 712,09 23 30,96
Koefisien Keragaman: 9,73 %
Tabel Lampiran 8. Hasil Analisis Ragam Tinggi Tanaman Tebu saat 9 mst
Sumber
Keragaman
Jumlah
Kuadrat
Derajat
Bebas
Kuadrat
Tengah
F Hitung F Tabel 5%
Kelompok 56,49 2 28,25 2,12 3,74
Perlakuan 544,90 7 77,84 5,85 ** 2,76
Galat 186,37 14 13,31
Total 787,76 23 34,25
Koefisien Keragaman: 8,93 %
Tabel Lampiran 9. Hasil Analisis Ragam Diameter Batang Tanaman Tebu 3 mst
Sumber
Keragaman
Jumlah
Kuadrat
Derajat
Bebas
Kuadrat
Tengah
F Hitung F Tabel 5%
Kelompok 0,0041 2 0,0021 1,02 3,74
Perlakuan 0,0826 7 0,0118 5,84 ** 2,76
Galat 0,0283 14 0,0020
Total 0,1150 23 0,0050
Koefisien Keragaman: 15,19 %
54
Tabel Lampiran 10. Hasil Analisis Ragam Diameter Batang Tanaman Tebu 5 mst
Sumber
Keragaman
Jumlah
Kuadrat
Derajat
Bebas
Kuadrat
Tengah
F Hitung F Tabel 5%
Kelompok 0,0036 2 0,0018 0,97 3,74
Perlakuan 0,0827 7 0,0118 6,40 ** 2,76
Galat 0,0257 14 0,0018
Total 0,1120 23 0,0049
Koefisien Keragaman: 9,48%
Tabel Lampiran 11. Hasil Analisis Ragam Diameter Batang Tanaman Tebu 7 mst
Sumber
Keragaman
Jumlah
Kuadrat
Derajat
Bebas
Kuadrat
Tengah
F Hitung F Tabel 5%
Kelompok 0,0022 2 0,0011 1,07 3,74
Perlakuan 0,0847 7 0,0121 12,01 ** 2,76
Galat 0,0141 14 0,0010
Total 0,1010 23 0,0044
Koefisien Keragaman: 5,13%
Tabel Lampiran 12. Hasil Analisis Ragam Diameter Batang Tanaman Tebu 9 mst
Sumber
Keragaman
Jumlah
Kuadrat
Derajat
Bebas
Kuadrat
Tengah
F Hitung F Tabel 5%
Kelompok 0,0045 2 0,0023 2,71 3,74
Perlakuan 0,0598 7 0,0085 10,28 ** 2,76
Galat 0,0116 14 0,0008
Total 0,0759 23 0,0033
Koefisien Keragaman: 4,17%
Tabel Lampiran 13. Hasil Analisis Ragam Jumlah Daun Tanaman Tebu 3 mst
Sumber
Keragaman
Jumlah
Kuadrat
Derajat
Bebas
Kuadrat
Tengah
F Hitung F Tabel 5%
Kelompok 0,81 2 0,41 1,76 3,74
Perlakuan 9,15 7 1,31 5,69 ** 2,76
Galat 3,22 14 0,23
Total 13,17 23 0,57
Koefisien Keragaman: 18,67%
Tabel Lampiran 14. Hasil Analisis Ragam Jumlah Daun Tanaman Tebu 5 mst
Sumber
Keragaman
Jumlah
Kuadrat
Derajat
Bebas
Kuadrat
Tengah
F Hitung F Tabel 5%
Kelompok 0,95 2 0,48 1,66 3,74
Perlakuan 9,86 7 1,41 4,93 ** 2,76
Galat 4,00 14 0,29
Total 14,82 23 0,64
55 Koefisien Keragaman: 15,03%
Tabel Lampiran 15. Hasil Analisis Ragam Jumlah Daun Tanaman Tebu 7 mst
Sumber
Keragaman
Jumlah
Kuadrat
Derajat
Bebas
Kuadrat
Tengah
F Hitung F Tabel 5%
Kelompok 0,82 2 0,41 1,12 3,74
Perlakuan 10,48 7 1,50 4,09 * 2,76
Galat 5,12 14 0,37
Total 16,43 23 0,71
Koefisien Keragaman: 12,04%
Tabel Lampiran 16.Hasil Analisis Ragam Jumlah Daun Tanaman Tebu 9 mst
Sumber
Keragaman
Jumlah
Kuadrat
Derajat
Bebas
Kuadrat
Tengah
F Hitung F Tabel 5%
Kelompok 0,76 2 0,38 0,97 3,74
Perlakuan 7,72 7 1,10 2,82 * 2,76
Galat 5,47 14 0,39
Total 13,95 23 0,61
Koefisien Keragaman: 10,54%
Tabel Lampiran 17. Hasil Analisis Ragam Jumlah Anakan Tanaman Tebu 9 mst
Sumber
Keragaman
Jumlah
Kuadrat
Derajat
Bebas
Kuadrat
Tengah
F Hitung F Tabel 5%
Kelompok 0,02 2 0,01 1,00 3,74
Perlakuan 0,06 7 0,01 0,71 tn 2,76
Galat 0,16 14 0,01
Total 0,24 23 0,01
Koefisien Keragaman: 282,84%
Tabel Lampiran 18. Hasil Analisis Ragam Kejadian Penyakit Tanaman Tebu 9
mst
Sumber
Keragaman
Jumlah
Kuadrat
Derajat
Bebas
Kuadrat
Tengah
F Hitung F Tabel 5%
Kelompok 7,58 2 3,79 2,45 3,74
Perlakuan 13,33 7 1,90 1,23 tn 2,76
Galat 21,64 14 1,55
Total 42,56 23 1,85
Koefisien Keragaman: 72,52%
56
5. Hasil Seleksi Jamur Rhizosfer
b
a
c
Gambar Lampiran 2. Seleksi Jamur Rhizosfer pada Benih Mentimun: a. Ulangan 1; b.
Ulangan 2; c. Ulangan 3
57
b a
d c
f e
h g
j i
Gambar Lampiran 3. Benih mentimun 7 hst (Ulangan 1) pada perlakuan perendaman: a.
Aquades; b. Acremonium sp.; c. Aspergillus sp.; d. Gongronella sp.;
e. Penicillium sp. isolat 1; f. Penicillium sp. isolat 2; g. Penicillium
sp. isolat 3; h. Trichoderma sp. isolat 1; i. Trichoderma sp. isolat 2;
j. Mortierella sp.
b a
d c
f e
h g
j i
58
Lampiran 6. Dokumentasi Kegiatan Penelitian
Gambar Lampiran 4. Pembibitan Single Bud Set Tanaman Tebu untuk Uji Potensi Jamur
Rhizosfer: a. Pemilihan Batang tebu; b. Pemotongan Batang sesuai
ukuran; c. Perendaman bibit sesuai dengan perlakuan; d. Penana-
man bibit pada media tanam; e. Polybag yang berisi media tanam
dan bibit; f. Plot Percobaan
b a
e d
c
f
Gambar Lampiran 5. Kenampakan Tanaman yang Terserang Penyakit: a. Tanaman
Sehat yang Menunjukkan Gejala Klorosis pada Daun;
b. Tanaman Mati c. Tanaman Mati
b c a
59
a
d
g
b
e
h
c
f
i
Gambar Lampiran 6. Kondisi Plot Percobaan pada setiap pengamatan: a. 1 MST;
b. 2 MST; c. 3 MST; d. 4 MST; e. 5 MST; f. 6 MST; g. 7 MST;
h. 8 MST; i. 9MST