Post traumatic stress disorder

36
BAB I PENDAHULUAN Gangguan stres pasca trauma atau post traumatic stress disorder (PTSD) merupakan reaksi maladaptif yang berkelanjutan terhadap suatu pengalaman traumatis. Pengalaman traumatik ini merupakan pengalaman luar bias mencekam, mengerikan, dan mengancam jiwa seserang, seperti peristiwa per perksaan atau penyerangan secara seksual, serangan yang melukaitubuh, penyiksaan, penganiayaan anak, kecelakaan lalu lintas atau musibah jatuh, peristiwa bencana alam seperti gempa bumi, tanah lngsr, bandang (!aslim, "##$% &ukr et al., "##'). Gejala yang muncul pada PTSD meliputi . *ngatan atau bayangan mencekam tentang trauma atau merasa seperti kejadian terjadi kembali ( flashback ) ". +espn respn fisik seperti dada berdebar, munculnya keringat din lemas tubuh atau sesak nafas saat teringat atau berada dalam situa yang mengingatkan pada kejadian $. -ewaspadaan berlebih, kebutuhan besar untuk menjaga dan melindungi diri . !udah terbangkitkan ingatannya bila ada stimulus atau rangsang yan berassiasi dengan trauma (lkasi, kemiripan fisik atau suasana, dan bau, dan sebagainya) (!aslim, "##$, Slne dan /rris, "# $). Selain itu, pada beberapa rang dapat terjadi mimpi buruk, gangguan t gangguan makan seperti mual dan muntah, kesulitan makan, atau justru kebu sangat meningkat untuk mengknsumsi makanan, ketakutan, merasa kem 1

description

psikiatri

Transcript of Post traumatic stress disorder

BAB I

PENDAHULUAN

Gangguan stres pasca trauma atau post traumatic stress disorder (PTSD) merupakan reaksi maladaptif yang berkelanjutan terhadap suatu pengalaman traumatis. Pengalaman traumatik ini merupakan pengalaman luar biasa yang mencekam, mengerikan, dan mengancam jiwa seseorang, seperti peristiwa perang, perkosaan atau penyerangan secara seksual, serangan yang melukai tubuh, penyiksaan, penganiayaan anak, kecelakaan lalu lintas atau musibah pesawat jatuh, peristiwa bencana alam seperti gempa bumi, tanah longsor, atau banjir bandang (Maslim, 2003; Cukor et al., 2009).Gejala yang muncul pada PTSD meliputi:

1. Ingatan atau bayangan mencekam tentang trauma atau merasa seperti kejadian terjadi kembali (flashback)

2. Respon-respon fisik seperti dada berdebar, munculnya keringat dingin, lemas tubuh atau sesak nafas saat teringat atau berada dalam situasi yang mengingatkan pada kejadian

3. Kewaspadaan berlebih, kebutuhan besar untuk menjaga dan melindungi diri

4. Mudah terbangkitkan ingatannya bila ada stimulus atau rangsang yang berasosiasi dengan trauma (lokasi, kemiripan fisik atau suasana, suara dan bau, dan sebagainya) (Maslim, 2003, Slone dan Norris, 2013).Selain itu, pada beberapa orang dapat terjadi mimpi buruk, gangguan tidur, gangguan makan seperti mual dan muntah, kesulitan makan, atau justru kebutuhan sangat meningkat untuk mengkonsumsi makanan, ketakutan, merasa kembali berada dalam bahaya, kesulitan mengendalikan emosi atau perasaan, misalnya menjadi sensitif, cepat marah, tidak sabar, serta kesulitan untuk berkonsentrasi atau berpikir jernih (David, 2004).Risiko akan mengalami PTSD dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain intensitas beratnya peristiwa yang dialami, sejauh mana seseorang terlibat didalamnya, dan seberapa hebatnya reaksi. Sementara itu, penyebab sebenarnya dari PTSD tidaklah diketahui. Kemungkinan lain adalah dilepaskannya hormon-hormon tertentu oleh otak seperti kortisol dan zat-zat kimia lainnya sebagai respon terhadap rasa takut, hormonhormon dan zat kimia ini akan membangkitkan kenangan-kenangan tersebut (Sherwood, 2002).PTSD ini kemungkinan berlangsung berbulan-bulan, bertahun-tahun atau sampai beberapa dekade dan mungkin baru muncul setelah beberapa bulan atau tahun setelah adanya pemaparan terhadap peristiwa traumatik. Individu akan didiagnosa mengalami PTSD bila setelah periode yang cukup panjang, ia tak mampu kembali ke fungsinya yang semula, dan terus dicekam oleh pengalaman-pengalaman mengganggu (Maslim, 2003).

PTSD sangat penting untuk diketahui, selain karena banyaknya kejadian bencana yang telah menimpa manusia, PTSD juga dapat menyerang siapapun yang telah mengalami kejadian traumatik dengan tidak memandang usia dan jenis kelamin. PTSD mempengaruhi setidaknya 8% orang kadangkala sepanjang hidup mereka, termasuk masa kanak-kanak.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi

PTSD atau Post Traumatic Stress Disorder adalah Gangguan kejiwaan pada seseorang yang dialami dan berkembang setelah pengalaman traumatik, atau menyaksikan suatu kejadian yang mengancam jiwa, mencederai luka, atau ancaman terhadap integritas dari tubuh, biasanya diiringi dengan ketidakmampuan seseorang untuk beradaptasi. Pengertian lain dari PTSD (Post Traumatic Stress Disorder) adalah kecemasan patologis yang umumnya terjadi setelah seseorang mengalami atau menyaksikan trauma berat yang mengancam secara fisik dan jiwa orang tersebut. Pengalaman traumatik ini dapat berupa (Kaplan, 2007 ; Hibbert, 2009) :

1. Trauma yang disebabkan oleh bencana seperti bencana alam (gempa bumi, banjir, topan), kecelakan, kebakaran, menyaksikan kecelakaan atau bunuh diri, kematian anggota keluarga atau sahabat secara mendadak.

2. Trauma yang disebabkan individu menjadi korban dari interperpersonal attack seperti: korban dari penyimpangan atau pelecehan seksual, penyerangan atau penyiksaan fisik, peristiwa kriminal (perampokan dengan kekerasan), penculikan, menyaksikan perisiwa penembakan atau tertembak oleh orang lain.

3. Trauma yang terjadi akibat perang atau konflik bersenjata seperti: tentara yang mengalami kondisi perang, warga sipil yang menjadi korban perang atau yang diserang, korban terorisme atau pengeboman, korban penyiksaan (tawanan perang), sandera, orang yang menyaksikan atau mengalami kekerasan.

4. Trauma yang disebabkan oleh penyakit berat yang diderita individu seperti kanker, rheumatoid arthritis, jantung, diabetes, gagal ginjal, multiple sclerosis, AIDS dan penyakit lain yang mengancam jiwa penderitanya.Banyak orang yang mengalami peristiwa traumatis akan mengalami kesulitan menyesuaikan dan mengatasinya untuk sementara waktu. Tapi dengan seiring berjalannya waktu dan merawat diri, reaksi traumatis seperti yang biasanya dapat menjadi lebih baik. Dalam beberapa kasus, reaksi traumatis dapat menjadi lebih buruk atau berlangsung selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun dan meninmbulkan gejala-gejala kejiwaan (Mayo Foundation for Medical Education and Research, 2012).B. Epidemiologi

PTSD merupakan gangguan yang agak umum di Amerika Serikat. Di Amerika Serikat, 60% pria dan 50% wanita mengalami peristiwa traumatis selama hidup mereka. Diagnosis PTSD dibuat dengan mempelajari para tentara sehabis masa perperangan, awalnya disebut "shell shock syndrome." Kita juga bisa mendapatkan gangguan PTSD jika mengalami trauma atau menyaksikan hal hal yang bersifat traumatis.

PTSD juga dapat disebabkan oleh karena trauma jangka panjang seperti pelecehan seksual terhadap anak-anak atau memiliki penyakit medis yang serius. Gangguan ini dapat mempengaruhi hampir 8 juta orang dewasa di Amerika, menurut Asosiasi Kesehatan Mental Nasional, Pusat Nasional untuk PTSD memberitahu kita jika gangguan PTSD secara umum adalah kalangan warga sipil dan tentara.

Tingkat tertinggi untuk tentara. Pada prajurit yang bertempur dalam perang Irak pada tahun 2008, RAND (Research And Development) Corporation menemukan bahwa prevalensi PTSD saat ini adalah 13,8%.

NCS-R (National Comorbidity Survey Replication) memperkirakan prevalensi PTSD di kalangan orang dewasa Amerika menjadi 6,8%. Prevalensi PTSD antara laki-laki adalah 3,6% dan pada wanita sebesar 9,7%. Wanita (10,4%) dua kali lebih mungkin dari pada laki-laki (5%) untuk memiliki gangguan PTSD di dalam hidup mereka.

Survei Nasional Remaja, yang meneliti dari rumah tangga terhadap probabilitas dari 4.023 remaja berusia antara 12 dan 17 tahun, menemukan bahwa pada mereka terdapat kriteria diagnostik untuk PTSD, diperkirakan 3,7% untuk anak laki-laki dan 6,3% untuk anak perempuan (Kaplan, 2007).C. Faktor Risiko1. Stress

Seseorang dapat mengalami PTSD adalah akibat respon terhadap suatu trauma yang ekstrem atau sebuah kejadian yang mengerikan yang seseorang alami, saksikan, atau dipelajari, terutama yang mengancam hidup atau yang menyebabkan penderitaan fisik. Pengalaman tersebut menyebabkan seseorang merasakan takut yang sangat kuat, atau perasaan tidak berdaya (Edwards, 2010).

a. Stressor

Menurut definisinya, stressor adalah faktor penyebab utama dalam perkembangan gangguan stres pasca traumatik. Tetapi tidak setiap orang mengalami gangguan stres pasca traumatik setelah suatu peristiwa traumatik; walaupun stressor diperlukan, stressor tidak cukup untuk menyebabkan gangguan. Klinisi harus mempertimbangkan juga factor biologis individual yang telah ada sebelumnya, faktor psikososial sebelumnya, dan peristiwa yang terjadi setelah trauma (Kaplan, 2010).Penelitian terakhir pada gangguan stres pasca trauma telah sangat menekankan pada respons subjektif seseorang terhadap trauma ketimbang beratnya stresor itu sendiri. Walaupun gejala gangguan stres pasca traumatik pernah dianggap secara langsung sebanding dengan beratnya stressor, penelitian empiris telah membuktikan sebaliknya. Sebagai akibatnya, consensus yang tumbuh adalah bahwa gangguan memiliki pengaruh pada arti subjektif stresor bagi pasien (Kaplan, 2010).Bahkan jika dihadapkan dengan trauma yang berat, sebagian besar orang tidak mengalami gejala gangguan stres pascatraumatik. Demikian juga peristiwa yang tampaknya biasa atau kurang berbahaya bagi kebanyakan orang mungkin menyebabkan gangguan stress pasca traumatik pada beberapa orang karena arti subjektif dari peristiwa tersebut. Faktor kerentanan yang merupakan predisposisi yang tampaknya memainkan peranan penting dalam menentukan apakah gangguan berkembang adalah:

1. Adanya trauma masa anak-anak.

2. Sifat gangguan kepribadian ambang, paranoid, dependen, atau anti sosial.

3. Sistem pendukung yang tidak adekuat.

4. Kerentanan kontitusional genetika pada penyakit psikiatrik.

5. Perubahan hidup penuh stres yang baru terjadi.

6. Persepsi lokus kontrol eksternal, bukannya internal.

7. Penggunaan alkohol yang baru

(Kaplan, 2010).

Penelitian psikodinamika terhadap orang yang dapat bertahan hidup dari trauma psikis yang parah telah menemukan aleksitimia, yaitu ketidak mampuan untuk mengidentifikasi atau mengungkapkan keadaan perasaan sebagai ciri yang umum. Jika trauma psikis terjadi pada anak-anak, biasanya dihasilkan perhentian perkembangan emosional. Jika trauma terjadi pada masa dewasa, regresi emosional seringkali terjadi. Orang yang selamat dari trauma biasanya tidak dapat menggunakan keadaan emosional internal sebagai tanda dan mungkin mengalami gejala psikosomatik. Mereka juga tidak mampu menenangkan dirinya jika dalam stres (Kaplan, 2010).

b. Faktor Risiko

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahkan ketika mengalami trauma yang hebat, sebagian besar orang tidak mengalami gejala PTSD. National Comorbidity Study menemukan bahwa 60% laki-laki dan 50% perempuan mengalami sejumlah trauma yang signifikan tetapi prevalensi PTSD yang dilaporkan hanya 6,7%. Demikian juga peristiwa yang mungkin tampak biasa atau kurang dianggap sebagai bencana besar bagi sebagian orang dapat menimbulkan PTSD pada sejumlah orang lainnya (Mental Health America, 2007). Adapun faktor risiko yang berperan antara lain :

1) Biologis

a) Kerentanan genetik.

b) Kepribadian borderline, paranoid, dependent atau antisosial.

c) Perempuan

2) Psikososial

a) Kejadian traumatis sebelumnya (terutama saat anak-anak).

b) Perubahan hidup penuh stress yang baru terjadi.

c) Sistem pendukung yang tidak adekuat (Dukungan keluarga atau kelompok yang kurang).

d) Konsumsi alkohol yang berlebihan.

2. Faktor Psikodinamik

Model kognitif dari gangguan stres pascatrauma menyatakan bahwa orang yang terkena adalah tidak mampu untuk memproses atau merasionalisasikan trauma yang mencetuskan gangguan. Mereka terus mengalami stress dan berusaha untuk tidak mengalami stress dengan teknik menghindar. Sesuai dengan kemampuan parsial mereka untuk mengatasi peristiwa secara kognitif, pasien mengalami periode mengakui peristiwa dan menghambatnya secara berganti-ganti (Kaplan, 2010)

Model perilaku dari gangguan stress pascatraumatik menyatakan bahwa gangguan memiliki dua fase dalam perkembangannya. Pertama, trauma (stimulus yang tidak dibiasakan) adalah dipasangkan, malalui pembiasaan klasik, dengan stimulus yang dibiasakan (pengingat fisik atau mental terhadap trauma). Kedua, melalui pelajaran instrumental, pasien mengembangkan pola penghindaran terhadap stimulus yang dibiasakan maupun stimulus yang tidak dibiasakan (Kaplan, 2010)

Model psikoanalitik dari gangguan menghipotesiskan bahwa trauma telah mereaktivasi konflik psikologis yang sebelumnya diam dan belum terpecahkan. Penghidupan kembali trauma masa anak-anak menyebabkan regresi dan mekanisme pertahanan represi, penyangkalan, dan meruntuhkan (undoing). Ego hidup kembali dan dengan demikian berusaha menguasai dan menurunkan kecemasan. Pasien juga mendapatkan tujuan sekunder dari dunia luar, peningkatan perhatian atau simpati, dan pemuasan kebutuhan ketergantungan. Tujuan tersebut mendorong gangguan dan persistensinya. Suatu pandangan kognitif tentang gangguan stress adalah bahwa otak mencoba untuk memproses sejumlah besar informasi yang dicetuskan oleh trauma dengan periode menerima dan menghambat peristiwa secara berganti-ganti (Kaplan, 2010).3. Faktor Perilaku Kognitif

Model kognitif PTSD menyatakan bahwa orang yang mengalaminya tidak mampu memproses dan merasionalisasikan trauma yang mencetuskan gangguan ini. Mereka terus mengalami stress dan berupaya menghindari hal tersebut dengan teknik penghindaran.

Model perilaku PTSD menekankan ada 2 fase, yang pertama adalah trauma yang menimbulkan respon takut dengan stimulus yang dipelajari. Yang kedua adalah melalui pembelajaran instrumental melalui stimulus yang tidak dipelajari (National Institute of Mental Health, 2008).

4. Faktor Biologis

a. Sistem Noradrenergik

Pada PTSD menunjukkan gejala gugup, peingkatan tekanan darah, dan denyut jantung, palpitasi, berkeringat, rona merah diwajah, dan tremor. Gejala-gejala tersebut berkaitan dengan gejala adrenergik. Sejumlah studi menemukan peningkatan konsentrasi epinefrin urin 24 jam pada tentara veteran dengan PTSD dan peningkatan konsentrasi katekolamin urin pada anak perempuan yang mengalami penyiksaan seksual (Kaplan, 2010).

b. Sistem Opioid

Pada PTSD ditemukan adanya abnormalitas sistem opioid yaitu penurunan konsentrasi -endorfin plasma.

c. Faktor Pelepas Kortikotropin dan Aksis Hipotalamus-Hipofisis-Adrenal (HPA) (Mental Health America, 2007).

Sejumlah studi menunjukkan konsentrasi kortisol bebas yang rendah di dalam plasma dan urin pada PTSD. Terdapat peningkatan reseptor glukokortikoid pada limfosit dan faktor pelepas kortikotropin eksogen yang menunjukkan respon hormon adreno-kortikotropin yang tumpul. Selain itu, supresi kortisol meningkat pada PTSD, hal ini menunjukkan hiperregulasi aksis HPA pada PTSD.

Sejumlah studi juga telah menemukan terjadinya hipersupresi kortisol pada pasien yang terpajan trauma dan mengalami PTSD dibandingkan pasien yang terpajan trauma tapi tidak mengalami PTSD sehinggga mungkin hipersupresi ini secara spesifik berkaitan dengan PTSD bukan hanya dengan trauma.5. Faktor Struktural dan Fungsional pada Otak

Pada pemeriksaan MRI bila ditemukan white matter lesion dan penurunan volume hippocampal, abnormalitas ini menunjukkan kerentanan pretrauma untuk berkembang menjadi PTSD bila mendapat pengalaman traumatik, pada PET scan bila terlihat peningkatan aktivitas metabolik hanya di bagian hemisfer kanan saja, yang secara spesifik, pada area emosi yaitu: amygdala, insula, dan lobus temporal medial, selama pemaparan kejadian traumatik terjadi juga penurunan aktivasi area frontal inferior-Broca, yang mempengaruhi motor speech, dapat pula ditemukan aktivasi pada cingulate cortex pada respon trauma related stimuli, pada individu PTSD. Pada proyeksi amygdala ke reticularis pontis caudalis mempengaruhi respon terkejut, rasa takut, bahaya dan ancaman, amygdala diaktivasi dengan respon ekspresi wajah terhadap rasa takut, dibandingkan dengan neutral, gembira, atau ekspresi wajah lain, peranan hippocampus pada PTSD menunjukkan fungsi declarative memory, context dependent memory, terjadi penurunan volume hippocampus pada pasien PTSD dan depresi, diperkirakan karena pengalaman negative, emosi ekstrim dan reaksi biologi yang mengingatkan mereka pada trauma, sehingga individu yang mengalami kerusakan hippocamus, cenderung menunjukkan perubahan perilaku yang tidak sesuai konteks. Pada individu dengan PTSD terjadi penurunan kemampuan aktivasi Anterior Cingulate Cortex sehingga terjadi penurunan kemampuan mengerjakan tugas kognitif dan penguasaan emosi, pada inidividu dengan PTSD dapat terjadi penurunan aliran darah ke otak sehingga terjadi perubahan struktur pada left inferior prefrontal cortex atau Broca area dan dorsolateral prefrontal cortex, juga terjadi penurunan akitvasi thalamus, medial frontal gyrus (Brodmanns area), berbeda pada perempuan dengan child abuse menunjukkan peningkatan aliran darah pada anterior prefrontal cortex, pada pasien dengan PTSD terjadi penurunan aktivasi pada dorsolateral frontal cortex sehingga pasien dengan PTSD kembali mengingat trauma dengan kesadaran yang terbatas, sehingga hanya mengingat sebagian unsur trauma, selain itu ditemukan juga hemispheric lateralization pada pasien dengan PTSD yang terpapar memori negatif, pada bagian hemisfer kanan mengembangkan terlebih dahulu dibandingkan hemisfer kiri, yang melibatkan ekspresi emosi nonverbal yaitu intonasi, ekspresi wajah, komunikasi visual atau spasial, dengan kata lain hemisfer kanan khusus mempengaruhi emosi, yang berlawanan dengan hemisfer kiri yang memediasi komunikasi verbal dan mengorganisasi penyelesaian masalah, pada (gambar 1.) dapat dilihat peranan neurotransmitter pada respon fight or flight pada pengaktifan HPA terjadi peningkatan cortisol, tingginya tingkat cortisol diasosiasikan dengan kerusakan hippocampus dan mengubah fungsi hippocampus yang berperan dalam gejala PTSD. Pada (gambar 2.) dapat dilihat peranan serotonin pada respon fight or flight melalui komunikasi secara langsung dengan limbik dan struktur kortikal terjadi peningkatan cortisol, tingginya tingkat cortisol diasosiasikan dengan kerusakan hippocampus dan mengubah fungsi hippocampus yang berperan dalam gejala PTSD, kejadian trauma dapat menyebabkan otak gagal memproses informasi, memori episodik menetap di sistem limbik, yang menghasilkan gambaran kejadian traumatik ( Kolk, 2004).

Gambar 1. Sirkuit dari noradrenergic pada respon trauma, respon akut: fight or flight, rasa takut, konsolidasi memori, gejala ASD/ PTSD: hypervigilience, arousal, fear, startle, flashback, intrusive recollections.

Gambar 2. Jalur serotonergic pada traumatic stress response. Respon akut: fight or flight, kemarahan, melemahkan rasa takut, ASD/ PTSD; yang berkaitan dengan gejala aggression/violence, anger, impulsivity, anxiety, depression

D. Faktor Pencetus PTSD

William (2002) membagi faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya post traumatic stress disorder menjadi tiga bagian, yaitu:

1. Pre Event Factors Walaupun terdapat beberapa situasi yang dapat membuat trauma menjadi lebih besar, faktor faktor dibawah ini kurang lebih dapat menimbulkan post traumatic stress disorder, diantaranya:

a. Depresi awal atau kecemasan yang bukan sesaat dapat mengakibatkan gangguan otak.b. Ketidakmampuan dalam mengatasi suatu hal.c. Keluarga yang kurang harmonis, adanya riwayat perceraian di masa kecil, kekerasan dalam keluarga ataupun masalah ekonomi.d. Riwayat keluarga yang meiakukan tindakan kriminal.e. Tidak adanya dukungan sosial untuk membantu keluar dari masalah yang buruk.

f. Jenis kelamin. Wanita lebih mudah terkena post taumatic stress disorder dibanding pria.g. Usia muda dibawah 20 tahun lebih mudah mengalami gangguan pos ttraumatic stress disorder. 2. Event Factors Ada beberapa faktor yang berhubungan dengan korban selama peristiwa yang mengkonstribusi untuk memperkuat timbulnya post traumatic stress disorder diantaranya:

a. Kondisi geografis yang berdekatan dengan peristiwa.b. Durasi dari trauma.c. Merasakan adanya ancaman bahwa trauma akan berlanjut.d. Partisipasi dari korban pada saat terjadi peristiwa traumatis.3. Post Event Factors Kategori terakhir dari faktor resiko posttraumatic stress disorder termasuk hal-hal yang tetap ada setelah peristiwa traumatis ini adalah:

a. Ketiadaan dukungan sosial yang baik.b. Menjadi tidak dapat melakukan sesuatu karena terjadi peristiwa tersebut.c. Mengembangkan acute stress disorder. d. Ketidakmampuan dalam menemukan arti dari penderitaan.e. Menjadi lebih pasif dibanding aktif (membiarkan apa yang terjadi pada diri kita).

f. Menuruti kata hati untuk mengasihani diri saat melalaikan diri sendiri.E. PatofisiologiSetiap makhluk hidup pernah mengalami stres dalam hidupnya. Stimulus yang diberikan oleh stres ikut berperan dalam perubahan dan pertumbuhan individu. Manusia merupakan makhluk yang selalu berespon dan beradaptasi terhadap stres. Respon stres bersifat adaptif dan protektif.Peristiwa fisiologis yang terjadi pada individu saat terjadi stres pertama kali dikembangkan oleh Hans Selye. Seyle mengidentifikasikan dua respon fisiologis terhadap stres, yaitu Local Adaptation Syndrome (LAS) dan General Adaptation Syndrome (GAS).

LAS adalah respon dari jaringan, organ, atau bagian tubuh lainnya terhadap stres karena trauma, penyakit, atau perubahan fisiologis lainnya. Sedangkan GAS adalah respon pertahanan dari keseluruhan tubuh terhadap stres. Berikut penjelasan lebih mendetail mengenai LAS dan GAS:a. Local Adaptation Syndrome (LAS)Local Adaptation Syndrome (LAS) memiliki karakter yaitu hanya terjadi setempat,adaptif. Diperlukan stresor untuk menstimulasi, berjangka pendek, serta restoratif/membantu memulihkan homeostasis region. Contoh LAS yang banyak ditemui dalam lingkungan kesehatan yaitu respon refleks nyeri dan respon inflamasi. Respon refleks nyeri adalah respon setempat dari sistem saraf pusat terhadap nyeri. Respon ini bersifat adaptif dan melindungi jaringan dari kerusakan lebih lanjut. Respon ini melibatkan reseptor sensoris, saraf sensoris yang menjalar ke medulla spinalis, neuron penghubung dalam medulla spinalis, saraf motorik yang menjalar dari medulla spinalis, serta otot efektor. Contoh respon refleks nyeri yaitu refleks tangan dari permukaan panas dan kram otot.

Contoh lain dari LAS yaitu respon inflamasi. Respon inflamasi distimulasi oleh trauma dan infeksi dimana respon ini menghambat penyebaran inflamasi dan meningkatkanpenyembuhan dengan tanda-tanda kalor, tumor, rubor, dan dolor. Respon inflamasi terjadi dalam tiga fase yaitu perubahan dalam sel dan sistem sirkulasi, pelepasan eksudat dari luka, dan perbaikan jaringan oleh regenerasi dan pembentukan jaringan parut.b. General Adaptation Syndrome (GAS)

General Adaptation Syndrome (GAS) melibatkan sistem tubuh seperti sistem saraf otonom dan sistem endokrin. GAS dikenal sebagai respon neuroendokrin. GAS terdiri dari tiga tahap yaitu:1) Reaksi alarm/ reaksi peringatanReaksi alarm melibatkan pengerahan mekanisme pertahanan dari tubuh dan pikiran untuk menghadapi stresor. Secara fisiologi, respons stres adalah pola reaksi saraf dan hormon yang bersifat menyeluruh dan tidak spesifik terhadap setiap situasi apapun yang mengancam homeostasis.

Berikut adalah gambar efek stresor pada tubuh

Terjadi peningkatan hormonal yang luas dalam reaksi ini sehingga cenderung pada respon melawan dan menghindar, seperti curah jantung, ambilan oksigen, dan frekuensi pernapasan meningkat; pupil mata berdilatasi untuk menghasilkan bidang visual yang lebih besar; dan frekuensi jantung meningkat untuk menghasilkan energy lebih banyak. Namun, jika stresor terus menetap setelah reaksi alarm maka individu tersebut akan masuk pada tahap resisten.

2) Tahap resisten

Dalam tahap ini tubuh kembali stabil, kadar hormon, frekuensi jantung, tekanan darah, dan curah jantung kembali ke tingkat normal. Individu terus berupaya untuk menghadapi stresor dan memperbaiki kerusakan. Akan tetapi jika stresor terus menetap seperti pada kehilangan darah terus menerus, penyakit melumpuhkan, penyakit mental parah jangka panjang, dan ketidakberhasilan mengadaptasi maka invidu masuk ke tahap kehabisan energi.3) Tahap kehabisan tenaga

Tahap kehabisan tenaga terjadi ketika tubuh tidak dapat lagi melawan stres dan ketika energi yang diperlukan untuk mempertahankan adaptasi sudah habis. Jika tubuh tidak mampu untuk mempertahankan dirinya terhadap dampak stresor, regulasi fisiologis menghilang, dan stres tetap berlanjut, maka akan terjadi kematian.Dalam patofisiologi PTSD, perlu juga dicari faktor penyebab lain seperti faktor biologis yang ikut menunjang terjadinya kejadian PTSD. Gejala-gejala gangguan stress pasca trauma timbul sebagai akibat dari respons biologik dan juga psikologik seseorang individu. Kondisi ini terjadi oleh karena aktivitas dari beberapa sistem di otak yang berkaitan dengan timbulnya perasaan takut pada seseorang. Terpaparnya seseorang oleh peristiwa yang traumatik akan menimbulkan respons takut sehingga otak dengan sendirinya akan menilai kondisi membahayakan dari peristiwa yang dialami, serta mengorganisasi suatu respons perilaku yang sesuai. Dalam hal ini, amigdala merupakan bagian otak yang sangat berperan besar. amigdala akan mengaktivasi beberapa neurotransmitter serta bahan-bahan neurokimiawi di otak jika seseorang menghadapi peristiwa traumatik yang mengancam nyawa sebagai respon tubuh untuk menghadapi peristiwa tersebut. Beberapa penelitian menunjukan bahwa bagian otak amigdala adalah kunci dari PTSD, ditunjukan bahwa pengalaman yang traumatik dapat merangsang bagian tersebut untuk menimbulkan rasa takut yang dalam terhadap kondisi-kondisi yang mungkin menyebabkan kembalinya pengalaman traumatik tersebut. amigdala dan berbagai struktur lainnya seperti hipotalamus, bagian abu-abu otak dan nucleus, mengaktifkan neurotransmitter dan endokrin untuk menghasilkan hormone-hormon yang berperan dari berbagai gejala PTSD. Bagian otak depan (frontal) sebenarnya berfungsi untuk menghambat aktivasi rangkaian ini, walaupun begitu pada penelitian terhadap orang-orang yang mengalami PTSD, bagian ini mengalami kesulitan untuk menghambat aktivasi system amigdala. Aktivasi neurotransmiter otonom dan aktivitas endokrin menghasilkan banyak gejala PTSD. Hippocampus juga mungkin memiliki efek modulasi di amigdala. Korteks orbitoprefrontal sebenarnya dapat menambah efek inhibisi pada aktivasi PTSD. Namun, pada orang yang menderita PTSD, korteks orbitoprefrontal kurang mampu menghambat aktivasi ini, mungkin karena stres akibat atrofi pada daerah hipokampus.Akibat dari perangsangan pada sistem saraf simpatis segera setelah mengalami peristiwa traumatik, maka akan terjadi peningkatan denyut jantung dan tekanan darah. Kondisi ini disebutflight or fight reaction. Reaksi ini juga akan meningkatkan aliran darah dan jumlah glukosa pada otot-otot skletal sehingga membuat seseorang sanggup untuk berhadapan dengan peristiwa tersebut atau jika mungkin memberikan reaksi interaktif terhadap ancaman yang optimal. Reaksi sistem saraf simpatis pada beberapa jaringan tubuh, namun respons ini bekerja secara bebas dan tidak berkaitan dengan respons yang berkaitan oleh sistem saraf simpatis. Aksis HPA juga akan terstimulasi oleh beberapa neuropeptida otak pada waktu orang berhadapan dengan peristiwa traumatik. Hipotalamus akan mengeluarkan Cortico-Releasing Factor (CFR) dan beberapa neuropeptida regulator lainnya, sehingga kelenjar hipofisis akan terangsang dan mensekresi pengeluaran adenocorticotropic hormone (ACTH) yang akhirnya menstimulasi pengeluaran hormon kortisol dari kelenjar adrenal (Elvira et all, 2010)

Jika seseorang mengalami tekanan maka tubuh secara alamiah akan meningkatkan pengeluaran katekolamin dan hormon kortisol; pengeluaran ke dua zat ini tergantung pada derajat tekanan yang dialami oleh individu. Katekolamin berperan dalam menyediakan energi yang cukup dari beberapa organ vital tubuh dalam bereaksi terhadap tekanan tersebut. Hormon kortisol berperan dalam menghentikan aktivasi sistem saraf simpatik dan beberapa sistem tubuh yang bersifat defensif tadi yang timbul akibat dari peristiwa traumatik yang dialami oleh individu tersebut. Dengan kata lain, hormon kortisol berperan dalam proses terminasi dari respons tubuh dalam menghadapi tekanan. Peningkatan hormon kortisol akan menimbulkan efek umpan balik negatif pada aksis HPA tersebut (Elvira et all, 2010).Dalam kasus PTSD, ingatan terus-menerus akan peristiwa traumatik yang terjadi telah mengganggu proses akuisisi informasi baru dan mengingat informasi yang tidak ada kaitannya dengan trauma yang dialami. Yang menjadi persoalan adalah terjadinya stres serius yang terus-menerus ini mendorong diproduksinya hormon kortisol, yang pada akhirnya merusak struktur otak yang penting bagi ingatan, yaitu pada hipokampus dan sistem limbic (Hormon , 2002).Regulasi neuropeptida dan juga katekolamin di otak pada waktu seorang individu menghadapi peristiwa traumatik cenderung mengalami gangguan. Katekolamin yang meningkat ini akan membuat individu tetap berada dalam kondisi siaga terus menerus. Jika hormon kortisol gagal menghentikan proses ini, maka aktivasi katekolamin akan tetap tinggi dan kondisi ini dikaitkan dengan terjadinya konsolidasi berlebihan dari ingatan-ingatan peristiwa traumatik yang dialami (Elvira et all, 2010).

Dari hasil penelitian, abnormalitas dalam penyimpanan, pelepasan, dan eliminasi katekolamin yang memengaruhi fungsi otak di daerah lokus seruleus, amigdala dan hipokampus. Hipersensitivitas pada lokus seruleus dapat menyebabkan seseorang tidak dapat belajar. Amigdala sebagai penyimpan memori. Hipokampus menimbulkan koheren naratif serta lokasi waktu dan ruang. Hiperaktivitas dalam amigdala dapat menghambat otak membuat hubungan perasaan dalam memorinya sehingga menyebabkan memori disimpan dalam bentuk mimpi buruk, kilas balik, dan gejala-gejala fisik lain (Kaplan et al 2007).Perkembangan dari PTSD berhubungan dengan kejadian yang dialami pasien, yang secara konsisten memiliki keterkaitan erat dengan stress yang dialami dan resiko perkembangan PTSD. Keterkaitan ini terdapat pada populasi orang yang mengalami trauma.

Respon kognitif dan afektif juga penting dalam menentukan PTSD yang dikembangkan. Kejadian traumatik didefinisikan dengan kejadian yang melibatkan pengalaman atau menyaksikan kejadian nyata yang mengancam jiwa, cedera berat, atau mengatahui kematian yang mengenaskan yang melibatkan ketakutan yang mendalam, ketidakberdayaan, atau kejadian mengerikan ( Kay and Tasman,2006).F. Tanda dan GejalaAda tiga kelompok dari gejala yang diperlukan untuk mendiagnosis suatu PTSD, yaitu:1. Gejala re-experience misalnya ingatan mengenai masalah, kilas balik yang biasanya disebabkan oleh hal-hal yang mengingatkan pada peristiwa traumatik, mimpi buruk yang sering muncul mengenai trauma atau peristiwa yang berhubungan dengan trauma.2. Gejala avoidance yaitu menghindari tempat-tempat yang, orang-orang, dan pengalaman yang mengingatkan penderita pada trauma, kehilangan ketertarikan pada aktivitas yang disukai, memiliki masalah dengan mengingat peristiwa yang berbahaya.3. Gejala hyperaurosal, termasuk masalah tidur, masalah dalam konsentrasi, iritabilitas, kemarahan,sulit mengingat sesuatu, peningkatan tendensi, reaksi untuk terjaga dan hypervigilance terhadap ancaman.Sedikitnya 1 gejala re-experience, 3 gejala avoidance dan 3 gejala hyperaurosal harus ada selama paling sedikit 1 bulan dan harus disebabkan oelh distress yang signifikan atau kekurangan fungsional untuk mendiagnosis suatu PTSD. PTSD menjadi kronik jika terjadi lebih dari 3 bulan.Gejala lain terkait PTSD:1. Serangan panik : perasaan takut yang intens, yang dapat disertai dengan sesak napas, pusing, berkeringat, mual, dan berdebar - debar.

2. Gejala fisik : nyeri kronis, sakit kepala, sakit perut, diare, sesak atau rasa terbakar di dada, kram otot, atau nyeri pinggang

3. Perasaan ketidakpercayaan: kehilangan kepercayaan orang lain dan berpikir dunia adalah tempat yang berbahaya

4. Permasalahan dalam kehidupan sehari-hari: mengalami masalah dalam pekerjaan, di sekolah, atau dalam situasi sosial

5. Penyalahgunaan zat: menggunakan obat-obatan atau alkohol untuk mengatasi rasa sakit emosional

6. Masalah dalam Hubungan : mengalami masalah dengan keintiman atau dengan keluarga dan teman-teman

7. Depresi: sedih, suasana hati cemas, atau kosong, kehilangan minat dalam melakukan kegiatan, perasaan bersalah dan malu, atau keputusasaan tentang masa depan. Gejala lain dari depresi juga dapat terjadi.

8. Bunuh diri : pikiran tentang mengambil kehidupan sendiri (Rusdi,2003)G. Diagnosis

Berikut adalah kriteria diagnostik untuk Gangguan Stres Pasca-traumatik menurut DSM-IV:1. Orang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatik dimana ada dari kedua bagian berikut ini:

a. Orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu kejadian atau kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian yang sesungguhnya atau cedera yang serius, atau ancaman kepada integritas fisik diri sendiri atau orang lain.b. Respon orang tersebut merasa takut yang kuat, rasa tidak berdaya, atau horor. Catatan: pada anak-anak hal ini dapat diekspresikan dengan perilaku yang kacau atau teragitasi.2. Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali dalam satu (atau lebih) cara berikut:a. Rekuren dan mengganggu akibat terkumpulnya pengalaman pengalaman yang membuatnya trauma, termasuk bayangan, pikiran, atau persepsi. Catatan: pada anak kecil, dapat menunjukkan kejadian berulang dengan tema atau aspek trauma.b. Mimpi menakutkan yang berulang tentang kejadian. Catatan: pada anak-anak, mungkin terdapat mimpi menakutkan tanpa isi yang dapat dikenali.c. Berkelakuan atau merasa seakan-akan kejadian traumatik terjadi kembali (termasuk perasaan penghidupan kembali pengalaman traumatik, ilusi, halusinasi, dan episode kilas balik disosiatif, termasuk yang terjadi selama terbangun atau saat terintoksikasi). Catatan: pada anak kecil, dapat terjadi penghidupan kembali yang spesifik dengan trauma.d. Penderitaan psikologis yang kuat saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik.

e. Reaktivitas psikologis saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik.3. Penghindaran stimulus yang persisten yang berhubungan dengan trauma dan kaku karena responsivitas umum (tidak ditemukan sebelum trauma), seperti yang ditujukan oleh tiga (atau lebih) berikut ini:a. Usaha untuk menghindari pikiran, perasaan, atau percakapan yang berhubungan dengan trauma.

b. Usaha untuk menghndari aktivitas, tempat, atau orang yang menyadarkan rekoleksi dengan trauma.

c. Tidak mampu untuk mengingat aspek penting dari trauma.

d. Hilangnya minat atau peran serta yang jelas dalam aktivitas yang bermakna.

e. Perasaan terlepas atau asing dari orang lain.

f. Rentang afek yang terbatas (misalnya, tidak mampu untuk memiliki perasaan cinta)

g. Perasaan bahwa masa depan menjadi pendek (misalnya, tidak berharap memiliki karir, menikah, anak-anak, atau panjang kehidupan normal)4. Gejala menetap adanya peningkatan kesadaran (tidak ditemukan sebelum trauma), seperti yang ditunjukkan oleh dua (atau lebih) berikut:a. Kesulitan untuk tidur atau tetap tertidur.

b. Iritabilitas atau ledakan kemarahan.

c. Sulit berkonsentrasi.

d. Kewaspadaan berlebihan.

e. Respon kejut yang berlebihan5. Lama gangguan (gejala dalam kriteria A, B, C, dan D) adalah lebih dari satu bulan.

6. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi social, pekerjaan, atau fungsi penting lain.Sementara itu kriteria diagnostik untuk gangguan stres pasca-traumatik menurut PPDGJ III (F 43.1) adalah sebagai berikut:1.Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun waktu 6 bulan setelah kejadian traumatik berat (masa laten yang berkisar antara beberapa minggu sampai beberapa bulan, jarang sampai melampaui 6 bulan).

2.Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu mulai saat kejadian dan onset gangguan melebihi waktu 6 bulan, asal saja manifestasi klinisnya adalah khas dan tidak didapat alternatif kategori gangguan lainnya.

3.Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang-bayang atau mimpi-mimpi dari kejadian traumatik tersebut secara berulang-ulang kembali (flashbacks).

4.Gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah laku semuanya dapat mewarnai diagnosis tetapi tidak khas. Suatu sequelae menahun yang terjadi lambat setelah stres yang luar biasa, misalnya saja beberapa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasikan dalam kategori F62.0 (perubahan kepribadian yang berlangsung lama setelah mengalami katastrofa).H. Tatalaksana

Pendekatan terapi pada PTSD adalah dukungan, dorongan untuk mendiskusikan peristiwa tersebut, dan edukasi mengenai mekanisme koping (contohnya relaksasi). Penggunaan obat hipnotik-sedatif juga dapat membantu. Ketika pasien mengalami peristiwa traumatik masa lalu dan sekarang memiliki PTSD, penekanan harus pada edukasi mengenai gangguan dan terapinya baik farmakologis maupun psikoterapinya.

Berbagai teknik untuk meredakan kecemasan dapat dilakukan seperti relaksasi, teknik-teknik mengatur pernafasan serta mengontrol pikiran-pikiran perlu dilatih dan terbukti bermanfaat untuk individu dengan gangguan stress pascatraumatik. Modifikasi pola hidup seperti diet yang sehat, mengatur konsumsi kafein, alkohol, rokok dan obat-obatan lainnya, perlunya olahraga yang teratur, dll. Medikasi yang terbukti bermanfaat untuk mengatasi kasus ini adalah pemberian antidepresan golongan SSRI (penghambat selektif ambilan serotonin) seperti Fluoxetin 10-60 mg/hr, Sertralin 50-200mg/hr atau Fluvoxamine 50-300mg/hr. Antidepresan lain yang juga dapat digunakan adalah Amiltriptilin 50-300mg/hr dan juga imipramin 50-300mg/hr.Berdasarkan rekomendasi dari The Expert Consensus Panels for PTSD, tatalaksana gangguan stress pascatraumatik sebaiknya mempertimbangkan beberapa aspek di bawah ini:

1. Gangguan stress pascatraumatik merupakan suatu gangguan yang kronik dan berulang serta sering berkormobiditas dengan gangguan-gangguan jiwa serius lainnya.

2. Antidepresan golongan penghambat selektif dari ambilan serotonin/SSRI merupakan obat pilihan pertama untuk kasus ini.

3. Terapi yang efektif harus dilanjutkan paling sedikit 12 bulan.

4. Exposure therapy (terapi pemaparan) merupakan terapi dengan pendekatan psikososial terbaik yang dianjurkan dan sebaiknya dilanjutkan selama 6 bulan.Benzodiazepin (obat penenang) seperti diazepam (valium) dan alprazolam(Xanax) sayangnya telah dikaitkan dengan sejumlah masalah efek samping, termaksud gejala withdrawal dan resiko overdosis, dan belum ditemukan secara signifikan efektif untuk membantu individu dengan PTSD.

Selektif Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI) seperti Sertraline dan Paroxetine dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama untuk PTSD karena efektivitas dan tingkat keamanannya. SSRI mengurangi gejala PTSD dan efektif memperbaiki gejala PTSD yang khas.

Efektivitas Imipramine dan Amitriptilin untuk terapi PTSD secara klinis terkontrol baik. Dosis Imipramine dan Amitriptilin harus sama dengan dosis yang digunakan untuk mengobati gangguan depresif dan lama minum untuk pengobatan adalah 8 minggu. Pasien yang memberikan respon baik, mungkin harus melanjutkan farmakoterapi sedikitnya 1 tahun sebelum dicoba penghentian obat.

Obat lain yang dapat berguna dalam terapi PTSD adalah Monoamine Oksidase Inhibitor (MAOI) contohnya Fenelzine, Trazodon, dan Antikonvulsan contohnya Karbamazepine dan Valproat.

Hampir tidak ada data positif mengenai penggunaan antipsikotik sehingga penggunaan obat ini, contohnya Haloperidol harus dicadangkan untuk mengatasi agresi dan agitasi berat.Penatalaksaan pada psikologi pada pasien dengan PTSD dikategorikan menjadi lima jenis yaitu:

1. Psychodynamic ApproachesPada terapi ini dilakukan melalui pendekatan 3 fase stress bila terjadi kegagalan dalam adaptasi 3 fase ini akan menyebabkan PTSD, sehingga terapi ini bertujuan agar pasien dapat beradaptasi melalui reinterpretasi dari kejadian traumatik, mengubah atribut kerusakan dan mengembangkan intrepretasi yang realistis.

2. Cognitive-behavioral ApproachesTerapi ini diadaptasi dari teknik penatalaksaan untuk gangguan anxiety lain, pada learning theory model mengemukakan incorporate classical dan operant conditioning untuk menjelaskan perkembangan dan menetapnya gejala PTSD. Teori Kognitif diajukan untuk menambahkan learning theory untuk menjelaskan kenapa perceived threat lebih kuat dalam memicu gejala PTSD, sehingga inti dari penatalaksaan ini adalah repetitive exposure to trauma-relevant fear stimuli unuk mengurangi anxiety, terapi ini menekankan pada intensive exposure namun tidak diikuti pengaturan pada fear-antagonistic state, penatalaksaan ini dilakukan pada in vivo kembali ke lokasi kejadian traumatik, atau berimajinasi, sehingga anxiety teratasi dan hilang potensinya.3. Flooding TechniquesPada penatalaksanaan ini dilakukan exposure, desensitization atau teknik exposure terarah, terapi ini dapat mengatasi gejala intrusive dan hyperarousal, kelemahan terapi ini adalah tidak dapat menatalaksana avoidance symptom, dan dapat memperberat gejalanya.4. Training in Coping SkillsPada penatalaksaan ini dilakukan untuk meningkatkan self-control symptom dan meningkatkan adaptive respone pada anxiety, yang terbagi menjadi 2 fase yaitu: fase edukasi dan fase coping skill, fase edukasi, memberikan pemahaman yang rasional untuk menjaga kepercayaan diri, sedangkan pada fase coping skill, diajarkan cara melakukan relaksasi diri, untuk menghambat negative rumination dan mempertahankan rasa percaya diri, penatalaksaan ini efektif mengurangi reexperiencing, intrusive, dan avoidance symptom pada korban pemerkosaan.5. Eye Movement Desensitization Reprocessing (EMDR)Pada terapi ini dilakukan exposure pada kejadian traumatik dengan mata terbuka, selama verbalisasi kognisi dan emosi yang berkaitan dengan trauma, diikuti dengan visual saccadic eye movements agar menghasilkan fear-antagonistic state sehingga menghasilkan relaksasi dan systemic desensitization.I. PrognosisPrognosis yang baik diramalkan oleh onset gejala yang cepat, durasi gejala yang singkat (kurang dari enam bulan), dukungan sosial yang kuat, dan tidak adanya gangguan psikiatrik, medis, atau berhubungan zat lainnya.Pada umumnya, orang yang sangat muda atau sangat tua memiliki lebih banyak kesulitan dengan peristiwa traumatik dibandingkan mereka yang dalam usia paruh baya. Kemungkinan, anak-anak belum memiliki mekanisme mengatasi kerugian fisik dan emosional akibat trauma. Demikian juga dengan orang lanjut usia, jika dibandingkan dengan orang dewasa yang lebih muda, kemungkinan memiliki mekanisme mengatasi yang lebih kaku dan kurang mampu melakukan pendekatan fleksibel untuk mengatasi efek trauma. Kecacatan psikiatrik yang ada sebelumnya, apakah suatu gangguan kepribadian atau suatu kondisi yang lebih serius, juga meningkatkan efek stresor tertentu. Tersedianya dukungan sosial juga mempengaruhi perkembangan, keparahan, dan durasi gangguan stres pascatraumatik. Pada umumnya, pasien yang memiliki jaringan dukungan sosial yang baik, kemungkinan tidak menderita gangguan atau tidak mengalami gangguan dalam bentuk yang parahnya.BAB III

PENUTUP

Gangguan stres pasca trauma atau Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) merupakan reaksi maladaptif yang berkelanjutan setelah mengalami atau menyaksikan suatu ancaman kehidupan atau peristiwa-peristiwa trauma, seperti peristiwa perang, perkosaan atau penyerangan secara seksual, serangan yang melukai tubuh, penyiksaan, penganiayaan anak, kecelakaan lalu lintas atau musibah pesawat jatuh, peristiwa bencana alam seperti gempa bumi, tanah longsor, atau banjir bandang.

Risiko terjadinya PTSD dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain intensitas beratnya peristiwa yang dialami, sejauh mana seseorang terlibat didalamnya, dan seberapa hebatnya reaksi. Adanya PTSD dapat berdampak kepada kapasitas-kapasitas psikologi, konsep diri, perkembangan, dan hubungan seseorang. Jika tidak ditangani, PTSD akan bertambah parah dan memberikan dampak munculnya gangguan aspek fisik, emosi, mental, perilaku, spiritual.Adapun pendekatan terapi pada PTSD adalah melalui dukungan, dorongan untuk mendiskusikan peristiwa tersebut, dan edukasi mengenai mekanisme koping (contohnya relaksasi). Selain itu, penggunaan obat hipnotik-sedatif juga dapat membantu. PTSD memiliki prognosis yang baik pada onset gejala yang cepat, durasi gejala yang singkat (kurang dari enam bulan), dukungan sosial yang kuat, dan tidak adanya gangguan psikiatrik, medis, atau berhubungan zat lainnya.DAFTAR PUSTAKA

Cukor J, Spitalnick J, Difede J, Rizzo A, Rothbaum B. 2009. Emerging treatments for PTSD. Clinical Psychology Review, pp:1-12.

David A. 2004. Buku saku psikiatri PPDGJ III. edisi ke-6. Jakarta: EGC.Ebert MH, Loosen PT, dan Nurcombe B. Post Traumatic Stress Disorder Dalam: Ebert MH, Loosen PT, dan Nurcombe B. Current Diagnosis & Treatment in Psychiatry. New York: McGraw-Hill Companies; 2007 h: Ch.23. Gerald C.Davison, John M. Neale, dan Ann M. Kring, Psikologi Grafindo Persada,2006), 227-228Edwards, R. D., 2010. Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). MedicineNet. Available from: http://www.emedicinehealth.com/post-traumatic_stress_disorder_ptsd/article_em.htmlElvira, Sylvia D, Hadisukanto G. Gangguan Stres Pasca Trauma Dalam: Elvira, Sylvia D, Hadisukanto G. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;2010 h: 254-264Hibbert A, Godwin A, dan Dear F. Rujukan cepat psikiatri. Jakarta: Cendika. EGC; 2009Joseph G, MD. PTSD. Mental health 2012. Diunduh dari: http://www.webmd.com/mental-health/post-traumatic-stress-disorder-ptsdKaplan HI, Sadock BJ dan Grebb J. Sinopsis Psikiatri, Jilid 2. Tangerang: Binarupa Aksara; 2007 h: 68-75.Kay J dan Tasman A. Anxiety Disorders: Traumatic Stress Disorders. Dalam: Kay J dan Tasman A Essentials of Psychiatry. Tottenham: John Wiley & Sons; 2006 h: 627-638.Mansjoer T, Arif, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius; 2008Mental Health America, 2007. Post-traumatic Stress Disorder. Mental Health America. Available from: http://mentalhealthamerica.net/index.cfm?objectid=C7DF91D3-1372-4D20-C8E6CFE1B56A38ABNational Institute of Mental Health. 2008. Post-traumatic Stress Disorder. National Institute of Mental Health. Available from: http://www.nimh.nih.gov/health/publications/post-traumatic-stress-disorder-ptsd/what-is-post-traumatic-stress-disorder-or-ptsd.shtmlSherwood L. Hormon. Edisi 2. Jakarta : Penerbit buku kedokteran EGC.2002

Maslim, Rusdi, 2003. Diagnosis Gangguan Jiwa: Rujukan Ringkas PPDGJ-III. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya, Jakarta: 79Slone LB dan Norris FH. 2013. Understanding Research on the Epidemiology of Trauma and PTSD, Special Double Issue of the PTSD Research Quarterly. PTSD Research Quarterly, 24 (2-3): 1-13.Utama, Hendra, 2010. Buku Ajar Psikiatri. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta: 254-264.Van der Kolk B. Psychobiology of Post Traumatic Stress Disorder. Dalam: Panksepp J ed. Textbook of Biological Psychiatry, Wiley-Liss, Inc. New Jersey; 2004 h: 319-344.

STRESSOR

TUBUH

RESPON SPESIFIK YANG KHAS UNTUK JENIS STRESSOR

RESPON MENYELURUH UNTUK APAPUN JENIS STRESSOR

40