post histerektomi a/i plasenta akreta + KJDK
-
Upload
cyndra-eris -
Category
Documents
-
view
65 -
download
4
description
Transcript of post histerektomi a/i plasenta akreta + KJDK
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Istilah plasenta akreta digunakan untuk menggambarkan tiap jenis
implantasi yang melekat terlalu erat secara abnormal kedinding uterus.
Akibat tidak adanya desidua basalis secara parsial atau total dan gangguan
perkembangan lapisan fibrinoid ( membran Nitabuch ). Pada plasenta akreta
vili korialis menanamkan diri lebih dalam ke dinding rahim. Pada plasenta
normal menanamkan diri sampai ke batas lapisan otot rahim. 1,6,7, 10,11
Selama beberapa dekade terakhir insiden plasenta akreta, inkreta,
dan perkreta telah meningkat. Peningkatan ini terjadi karena bertambahnya
angka pelahiran caesar. American college of obstetricians and gynecologist
memperkirakan bahwa plasenta akreta timbul sebagai komplikasi dalam 1
diantara 2500 kelahiran. Dari ulasan Stafford dan Belfort (2008)
melaporkan insiden sekitar 1 dari 2500 pada tahun 1980an. 1 dalam 535
pada 2002, dan 1:210 pada tahun 2006. selama beberapa waktu, kondisi ini
telah menjadi penyebab utama perdarahan pascapartum yang tidak
terkendali sehingga memerlukan histerektomi peripartum darurat. berbagai
bentuk plasenta akreta merupakan penyebab penting kematian ibu akibat
perdarahan6
Penyebab plasenta akreta adalah kelainan desidua, misalnya
desidua yang terlalu tipis. Terdapat faktor resiko untuk plasenta akreta yang
telah diketahui berkat penapisan MSAFP untuk defek tabung saraf dan
aneuploidi. Hung, dkk, (1999) menganalisis keluaran pada lebih dari 9300
perempuan yang ditapis untuk sindrom down pada 14 hingga 22 minggu
gestasi. Mereka melaporkan peningkatan resiko untuk plasenta akreta
meningkat delapan kali lipat jika kadar MSAFP melebihi 2,5 MoM, risiko
ini meningkat empat kali lipat bila kadar β-HCG bebas ibu melebihi 2,5
MoM, dan meningkat tiga kali lipat jika usia ibu 35 tahun atau lebih6,7,10,11
Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Plasenta Akreta
2.1.1 Definisi
Istilah plasenta akreta digunakan untuk menggambarkan tiap jenis
implantasi yang melekat terlalu erat secara abnormal kedinding uterus. Akibat
tidak adanya desidua basalis secara parsial atau total dan gangguan perkembangan
lapisan fibrinoid ( membran Nitabuch ). Pada plasenta akreta vili korialis
menanamkan diri lebih dalam ke dinding rahim. 1,6,7, 10,11
2.1.2 Epidemiologi
Selama beberapa dekade terakhir insiden plasenta akreta, inkreta, dan
perkreta telah meningkat. Peningkatan ini terjadi karena bertambahnya angka
pelahiran caesar. American college of obstetricians and gynecologist
memperkirakan bahwa plasenta akreta timbul sebagai komplikasi dalam 1 diantara
2500 kelahiran. Dari ulasan Stafford dan Belfort (2008) melaporkan insiden
sekitar 1 dari 2500 pada tahun 1980an. 1 dalam 535 pada 2002, dan 1:210 pada
tahun 2006. selama beberapa waktu, kondisi ini telah menjadi penyebab utama
perdarahan pascapartum yang tidak terkendali sehingga memerlukan histerektomi
peripartum darurat. berbagai bentuk plasenta akreta merupakan penyebab penting
kematian ibu akibat perdarahan.6
2.1.3 Etiologi
Penyebab plasenta akreta adalah kelainan desidua, misalnya desidua yang
terlalu tipis. Perlengketan abnormal ini dapat mengenai semua lobuli ( plasenta
akreta total ), atau hanya melibatkan beberapa bagian lobuli ( plasenta akreta
parsial ) dan semua atau sebagian lobulus tunggal dapat melekat abnormal
( plasenta akreta fokal ). Plasenta akreta dapat menyebabkan retensio
plasenta.6,7,10,11
Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 2
2.1.4 Faktor Resiko
Terdapat faktor resiko untuk plasenta akreta yang telah diketahui berkat
penapisan MSAFP untuk defek tabung saraf dan aneuploidi. Hung, dkk, (1999)
menganalisis keluaran pada lebih dari 9300 perempuan yang ditapis untuk
sindrom down pada 14 hingga 22 minggu gestasi. Mereka melaporkan
peningkatan resiko untuk plasenta akreta meningkat delapan kali lipat jika kadar
MSAFP melebihi 2,5 MoM, risiko ini meningkat empat kali lipat bila kadar β-
HCG bebas ibu melebihi 2,5 MoM, dan meningkat tiga kali lipat jika usia ibu 35
tahun atau lebih.6
2.1.5 Diagnosa
Pada trimester pertama invasi miometrium abnormal dapat bermanifestasi
sebagai kehamilan sikatriks caesar. Perdarahan antepartum dengan plasenta akreta
lazim terjadi dan biasanya terjadi akibat plasenta previa yang terdapat bersamaan.
Pada banyak kasus, plasenta akreta tidak diidentifikasi hingga persalinan kala III.
Berbagai upaya dilakukan untuk mengidentifikasi secara lebih tepat pertumbuhan
plasenta ke arah dalam sebelum terjadi partus. Lam dkk, ( 2004 ) menemukan
bahwa sensitifitas sonografi hanya 33 persen untuk mendeteksi plasenta akreta.
Dengan pemetaan aliran warna menggunakan Doppler sonografik, Twickler dkk
( 2000 ) melaporkan bahwa terdapat dua faktor yang sangat prediktif untuk invasi
miometrium : ( 1 ) jarak kurang dari 1 mm diantara perbatasan tunika serosa uteri
– vesika urinaria dan pembuluh – pembuluh retroplasenta, dan ( 2 ) identifikasi
danau – danau intraplasenta besar. Kedua faktor ini memiliki sensitivitas 100
persen dan nilai prediktif positif 78 persen. Chou dkk., ( 2001 ) juga
menggambarkan keberhasilan penggunaan pencitraan Doppler warna tiga dimensi
untuk diagnosis plasenta akreta. 6
Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 3
MRI digunakan sebagai penunjang sonografi jika terdapat kecurigaan
klinis kuat adanya plasenta akreta. Lax dkkk., ( 2007 ) mengidentifikasi tiga
temuan MRI yang mendukung diagnosis plasenta akreta : ( 1 ) penonjolan uterus,
( 2 ) intensitas sinyal heterogen di dalam plasenta, dan ( 3 ) adanya pita
intraplasenta gelap pada pencitraan MRI T2 weight. Baxi dkk., ( 2004 )
menemukan bahwa peningkatan kadar D-dimer dalam serum dapat memprediksi
kehilangan darah yang hebat dan morbiditas yang bermakna pada perempuan
dengan plasenta akreta. Hal tersebut mungkin mencerminkan invasi trofoblastik
ke dalam miometrium dan jaringan sekitar. 6
2.1.6 Penatalaksanaan
Masalah yang berkaitan dengan pelahiran plasenta dan perkembangan
selanjutnya akan berbeda – beda bergantung pada tempat implantasi, kedalaman
penetrasi ke miometrium, dan jumlah kotiledon yang terlibat. Bagaimanapun,
pada keterlibatan yang ekstensif akan terjadi perdarahan masif saat dilakukan
Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 4
usaha untuk melahirkan plasenta. Pada plasenta akreta parsialis, masih dapat
dilepaskan secara manual, tetapi plasenta akreta kompleta tidak boleh dilepaskan
secara manual karena usaha ini dapat menimbulkan perforasi dinding rahim.
Keberhasilan pengobatan bergantung pada pemberian darah pengganti dengan
segera dan hampir selalu histerektomi dini. 6,7,10,11
2.1.6.1 Histerektomi
a. Definisi 2,4,5,8,9
Histerektomi obstetrik adalah pengangkatan rahim atas indikasi obstetrik.
Histerektomi adalah prosedur bedah mayor yang paling sering dilakukan pada
perempuan usia subur. Histerektomi mungkin merupakan operasi nomor tiga atau
empat yang paling sering dilakukan di Amerika Serikat. Prosedur ini dapat
dilakukan secara abnormal atau vaginal, bergantung pada indikasi spesifik.
Histerektomi vaginal lebih disukai karena tidak dilakukan insisi abdomen, lama
rawat inap lebih singkat, dan pemulihan lebih cepat. Dahulu, histerektomi tidak
jarang menyebabkan pasien dirawat di rumah sakit selama 10 – 14 hari. Saat
ini,pasien biasanya hanya menginap 3 – 4 hari setelah histerektomi abdominal dan
2 – 3 hari setelah histerektomi vaginal.
Sejumlah batasan dilakukan untuk menjelaskan histerektomi dengan lebih
akurat. Istilah histerektomi dan histerektomi total keduanya dapat dipakai
bergantian, yang artinya pengangkatan uterus secara lengkap, termasuk serviks.
Histerektomi subtotal adalah pengangkatan korpus uteri saja. Histerektomi
abdominal adalah pengangkatan korpus uteri dan serviks melalui insisi abdominal.
Histerektomi vaginal adalah pengangkatan serviks dan korpus uteri melalui
vagina. Histerektomi ekstrafasial adalah pengangkatan uterus dan serviks bersama
– sama dengan lapisan fasia luar serviks ( fasia endopelvis ). Histerektomi
intrafasial adalah pengangkatan uterus dan serviks dari dalam fasia endopelvis
serviks. Histerektomi radikal melibatkan diseksi dan isolasi setiap ureter
disamping arteri dan vena uterina, diikuti pengankatan korpus uteri, serviks,
Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 5
bagian atas vagina, jaringan parametrium, dan ligamentum uterosakrum pada saat
bersama.
b. Indikasi dilakukan histerektomi terbagi atas : 2,4,5,9,16
1. Rupture uteri
2. Perdarahan yang tidak dapat dikontrol dengan cara-cara yang ada,
misalnya pada:
- Atonia uteri
- Afibronogemia atau hipofibrinogemia pada solusio plasenta
dan lainnya
- Couvelaire uterus tanpa kontraksi
- aa. Uterinae terputus
- Plasenta inkreta dan perkreta
- Hematoma yang luas pada rahim
3. Infeksi intrapartal berat, untuk ini biasanya dilakukan operasi Porro,
yaitu uterus dengan isinya diangkat sekaligus bulat-bulat
4. Uterus miomatosus yang besar
5. Kematian janin dalam rahim dan missed abortion dengan kelainan
darah
6. Keganasan ginekologi
- Serviks
- Uterus
- Ovarium
- Tuba
7. Penyakit jinak ginekologi ( refrakter terhadap terapi lain )
- Leiomioma uteri
- Adenomiosis bergejala
- Endometriosis bergejala
- Sindrom relaksasi panggul bergejala
- Nyeri panggul pusat sehingga menimbulkan ketidakmampuan
kronis
Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 6
- Penyakit radang pelvis berat atau Abses
- Perdarahan uterus yang sulit diatasi
8. Komplikasi obstetri
- Perdarahan uterus yang tidak dapat dikendalikan
- Kehamilan mola.
c. Teknik Histerektomi 4,5,8,13,
1. Histerektomi abdominal
Pasien diletakkan pada posisi terlentang, dan dipasang
kateter Folley dalam kandung kemih. Abdomen dibersihkan dengan
menggunakan larutan antiseptik ( misalnya povidon – iodin ) dan
pasanglah kain penutup steril. Meskipun insisi kulit tergantung
masalah alamiahnya, untuk kebanyakan keadaan jinak dapat
dilakukan insisi melintang rendah ( pfannenstiel ). Untuk kasus –
kasusu keganasan dengan komplikasi, insisi pada garis tengah
bagian bawah ( simfisis pubis hingga umbilikus ) memberikan
pemaparan dan kemungkinan perluasan yang lebih baik.
Paada insisi melintang, fasia diinsisi melintang, melengkung
kearah lateral superior untuk menghindari daerah inguinal,
muskulus piramidalis dipisahkan bersama dengan muskulus rektus.
Kemudian masuk dengan selubung rektus posterior dan peritoneum
dengan hati – hati. Peritoneum biasanya diinsisi secara vertikal.
Sekum dan apendiks diperlihatkan dan abdomen atas
( ginjal, hati, kandung empedu, lambung dan usus kecil bagian
proksimal, pankreas ) di eksplorasi. Usus digeser hati – hati
kebagian atas abdomen. Dipermudah dengan meletakkan pasien
pada posisi sedikit trendelenburg. Ligamentum rotundum diligasi
dengan benang dan dipotong. Dengan pemisahan secara tajam
dibuat insisi di sepanjang ligamentum latum anterior,
memungkinkan ligamentum latum terpisah dan rongga
retroperitoneal terbuka. Insisi ini tepat diatas lipatan uterovesika.
Dengan diseksi tajam dan kemudian tumpul, kandung kemih
Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 7
dipisahkan dari serviks. Pada saat ini, dengan diseksi tumpul
tambahan secara minimal, pembuluh pelvis dan ureter dapat
dikenali. Diseksi garis tengah diperluas ke vagina sampai labium
anterior serviks teraba. Pada saat ini, diseksi tumpul dilakukan ke
lateral untuk mengangkat ureter dari pembuluh darah uterus.
Jika akan dilakukan ooforektomi, peritoneum posterior
diinsisi secara vertikal tepat tepat 1 cm di lateral ligamentum
infundibulopelvis. Begitu dipastikan ureter sudah bebas,
ligamentum infundibulopelvis diligasi dua kali. Ligamentum latum
posterior diinsisi dengan visualisasi langsung dari ovarium dan tuba
sampai dekat uterus, yaitu inisis diarahkan ke insersi ligamentum
uterosakrum ke dalam uterus. Ovarium dibawa ke medial. Jika
adneksa ingin dipertahankan, setiap ligamentum uteroovarii diklem
dan diligasi pada tempat insersi uterus di bagian pedikel termasuk
tuba fallopi dan peritoneum posterior diinsisi ke arah insersi
ligamentum uterosakrum.
Pembuluh darah pelvis dikenali dn diisolasi pada ketinggian
ostium interna. Arteri dan vena diklem dan diligasi dua kali.
Ligamentum kardinale diklem ( biasanya dengan menyelipkan klem
dari serviks), diinsisi dan diligasi pada beberapa bagian pada setiap
sisi. Jika ditemukan ligamentum uterosakrum, ligamentum tersebut
diklem, diligasi dan diinsisi. Pada saat ini serviks dapat diraba dan
vagina dimasukkan ( biasanya melalui anterior ) dengan diseksi
tajam. Dilakukan insisi melingkar dan spesimen diangkat.
Ligamentum uterosakrum dan kardinale dijahit kesudut vagina
untuk memastikan penopang vagina dan vagina ditutup dengan
jahitan. Penutupan vagina dapat dari mukosa ke mukosa dengan
menjahit vagina secara tertutup ( anterior ke posterior ). Atau lumen
vagina dibiarkan terbuka ( biasanya untuk drainase ) dengan jahitan
sederhana di sekitaar vagina. Pada kedua kasus digunakan benang
yang dapat diserap. Peritoneum pelvis seringkali ditutup, terapi
Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 8
penelitian dewasa ini menunjukan bahwa penutupan ini tidak selalu
diperlukan.
Setelah semua spons, jarum, dan alat – alat dihitung dan
jumlahnya sudah benar, peritoneum parietal ditutup dan fasia
diaproksimasi kembali dengan jahitan. Jaringan subkutan ditutup
dan kulit ditutup dengan jahitan atau klip. Kassa kering dipasang
untuk mengakhiri tindakan.
2. Histerektomi vaginal
Histerektomi vaginal harus dilakukan dengan hati – hati jika
uterus berukuran seperti kehamilan > 10 minggu atau jika terdapat
banyak pelekatan akibat penyakit radang panggul, endometriosis,
dan pembedahan sebelumnya ( terutama seksio caesaaria ).
Tindakan ini dipermudah jika terjadi prolaps uteri.
Pasien diletakkan pada posisi litotomi dorsal dan vagina
serta pudendum dibersihkan dengan larutan antiseptik. Dipasang
kain penutup steril, dan spekulum dimasukkan ke dalam vagina
sebelah posterior. Serviks dijepit dan mobilitas dipastikan lagi.
Dibuat insisi melingkar pada fasia di sambungkan servikovaginal
dan cul – de – sac dimasuki. Begitu dipastikan cul-de-sac sudah
bebas, ligamentum uterosakrum dikenali, diklem, diinsisi dan
diligasi. Pada saat ini, disarankan menjahit mukosa vagina bagian
posterior ke peritoneum untuk menghentikan perdarahan dari daerah
ini.
Jika anatomi memungkinkan, digunakan diseksi tajam dan
tumpul dengan modifikasi untuk membebaskan kandung kemih dari
serviks untuk menginsisi peritoneum anterior. Jika sulit, satu atau
lebih ligamentum kardinale dapat diklem, diinsisi dan diligasi.
Begitu peritoneum anterior dimasuki, lakukan diseksi tumpul ke
lateral untuk memisahkan ureter dari pembuluh darah uterus,
sementara retraktor dibiarkan untuk meninggikan dan
Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 9
mempertahankan kandung kemih. Pembuluh darah uterus dikenali,
diklem, diligasi dan diinsisi secara bilateral. Setelah ligamentum
latum diklem, diligasi, dan dinsisi secara bilateral, ligamentum
uteroovarii, tuba fallopi dan ligamentum rotundum diklem, diinsisi
dan diligasi pada satu pedikel. Ovarium diamati dan diamankan
hemostasis. Peritoneum ditutup dengan benang yang dapat
mengerut sehingga semua pedikel terletak ekstraperitoneal. Segmen
terbawah ligamentum cardinale dan ligamentum uterosakrum dijahit
ke sudut vagina superior dan biasanya ligamentum uterosakrum
dijahit bersama – sama ke garis tengah. Akhirnya ujung vagina
ditutup dengan benang yang dapat diserap.
Histerektomi vaginal dengan bantuan laparoskopi dewasa ini
sudah mulai digunakan secara luas. Pad tindakan ini, ligamentum
infundibulopelvis ( jika ovarium akan diangkat ) atau ligamentum
ovarii dan fallopi ( jika ovarium tidak ingin diangkat ), ligamentum
rotundum dan seringkali pembuluh darah uterus dihubungkan secara
hemostatik melalui laparoskop. Histerektomi dilengkapi dengan
reseksi ligamentum uterosakrum dan bagian bawah ligamentum
cardinale per vaginam. Teknik penutupan vagina serupa dengan
penutupan pada histerektomi vaginal.
Teknik Dilakukannya Histerektomi 4
1. Bebaskan dulu peritoneum kandung kemih, pada subtotal,
seadanya saja, pada total sejauh mungkin ke arah bawah.
2. Klem ligamentum rotundum kanan dan kiri pada 2 tempat,
potong diantaranya kira-kira 1 cm dari uterus, lalu ikat pada
kedua potongannya.
3. Jari telunjuk operator ditekan dari lig. latum dinding
belakang dibawah lig. Ovari proprium sedekat mungkin
kedinding rahim sampai tembus. Diklem pada 2 tempat,
Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 10
dipotong dan diikat.
4. Jaringan lig. Latum yang terbuka dipotong kebawah lateral
supaya kita dapat bekerja jauh dari ureter.
5. Vasa uterina (aa. Dan vv. Uterina) diklem kuat pada dua
tempat, dipotong dan diikat kuat.
6. Selanjutnya tahap demi tahap jaringan kearah bawah, baik
kanan maupun kiri, dilakukan seperti tadi bergantung
apakah akan dilakukan histerektomi supra-vaginal atau total.
7. Perdarahan dikontrol, luka dijahit sebaik-baiknya.
8. Dilakukan repetonialisasi sambil puntung-puntung operasi
dibenamkan seutuhnya. Umumnya pada histerektomi
obstetrik adneksa kanan-kiri didiamkan. Bila kedua adneksa
ikut diangkat, maka disebut bisalfingoooforektomi (BSO)
9. Akhirnya luka dinding perut ditutup dengan jahitan lapis
demi lapis biasanya.
d. Perawatan pasca histerektomi: 8
48 – 72 jam pertama setelah operasi merupakan saat yang paling
kritis. Pemantauan fungsi sistem kardiovaskular, paru, ginjal, serta respons
berbagai sistem tersebut terhadap pembedahan memungkinkan penilaian
kondisi pasien yang tepat. Perawatan pascaoperasi sebenarnya sudah
dimulai sebelum prosedur dilakukan; sebagai contoh, pasien dengan PPOK
harus menjalani terapi paru intensif sebelum pembedahan dilakukan untuk
memperkecil kemungkinan komplikasi pascaoperasi.
e. Komplikasi pasca histerektomi 8
1. Sistem kardiovaskular
Biasanya yang diperlukan hanyalah pemantauan tekanan darah dan
nadi secara cermat. Pada kasus yang jarang, mungkin diperlukan
pemantauan tekanan vena sentral ( CVP ) atau tekanan bagian arteri
pulmonalis dan kapiler pulmonalis menggunakan sentral atau kateter
Swaan-Ganz.
Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 11
Labilitas sistem otonom segera sesudah pembedahan dapat
menyebabkan perubahan tekanan darah yang besar. Biasanya terjadi
pergeseran dalam volume plasma dan dapat terjadi perdarahan
tersembunyi. Vasokonstriksi dan takikardia yang ditimbulkan oleh nyeri
atau eksitasi, ditambah pemberian cairan intravena selama prosedur,
mungkin menutupi gejala – gejala tersebut secara temporer. Pada awalnya,
pemantauan pemberian cairan dan pengeluaran urin harus dilakukan
dengan frekuensi sering; frekuensi tersebut kemudian dapat dikurangi.
Takikardia harus dievaluasi secara teliti. Diperlukan kehilangan 25
– 30% volume intravaskuler untuk menimbulkan potensi. Vasokonstriksi
perifer disertai ekstremita yang dingin, lembab, dan pucat merupakan
tanda-tanda hipovolemia yang lebih lanjut, dapat terjadi perdarahan
tersembunyi dalam rongga intraperitoneum atau retroperitoneum. nyeri
hebat baik diruang pemulihan maupun dibangsal perawatan merupakan
sinyal bahwa perdarahan mungkin terjadi. pemeriksaan hematokrit
berulang seharusnya dapat memastikan kehilangan darah, dan sonografi
dapat mengidentifikasi tempat perdarahan. pada keadaan yang jarang ini,
biasanya diperlukan operasi ulang untuk mencapai hemostatis.
Pasien yang diketahui mengidap penyakit kardiovaskuler biasanya
berada dibawah pengawasan ahli jantung atau ahli penyakit dalam yang
harus dikonsultasikan praoperasi dan harus dibutuhkan pascaoperasi.
Pengobatan yang harus divberikan untuk penyakit kardiovaskuler sebelum
pembedahan biasanya dapat tetap dilanjutkan. pasien yang mengidap
penyakit katup jantung memerlukan profilaksis antimikroba untuk
mencegah endokarditis infektif. Harus dilakukan elektrokardiogram
praoperasi pada perempuan berusia lebih dari 4 tahun dan pada mereka
yang diketahui mengidap penyakit kardiovaskuler.
Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 12
2. Sistem Paru
Hipoventilasi adalah masalah paru pascaoperasi yang paling sering
terjadi. nyeri membatasi gerakan pernapasan merupakan salah satu
penyebabnya. selain itu pasien biasanya tidur “dala” karena anastesia dan
pemberian obat antinyeri prarenteral.
Ventilasi alveolus harus dipertahankan dalam keadaan baik. Pada
diskusi praoperasi bersma pasein, harus ditekankan pentingnya bernapas
panjang yang harus dilatih sebelumnya. Pasien penyakit paru restriktif atau
obstruktif dalam derajat apa pun harus menghindari prosedur elektif,
kecuali jika kondisinya optimal. Pada kasus kasus tertentu mungkin
diperlukan rawat inap yang lebih dini dan tindakan pembersihan paru lebih
intensif. Dokter yang menangani penyakit parunya harus dikonsultasikan
praoperasi dan jika perlu pascaoperasi.
3. Sistem kemih
Pemantauan pengeluaran urin merupakan cara memantau sistem
kardiovaskular dan ginjal, asalkan kita mengetahui cairan apa yang sudah
diberikan dan seberapa banyak cairan kombinasi yang telah keluar.
Pemeriksaan laboratoirum praoperasi biasanya meliputi pengukuran
elektrolit dan kreatinin serum. Pasien gangguan fungsi ginjal memerlukan
terapi cairan yang berbeda intraooperasi dan pascaoperasi. Konsultasi
praoperasi harus dilakukan bagi pasien gangguan fungsi ginjal.
Bagi pasien yang menjalani histerektomi, biasanya dipasangin
kateter folley di kandung kemih paling tidak semalam sebelum prosedur.
Tindakan ini memungkinkan pasien berbaring di tempat tidur segera
setelah operasi dan memungkinkan kita segera mengukur pengeluaran urin
secara akurat selama jam – jam kritis secara akurat selama jam – jam kritis
setelah pembedahan selesai. Seiring dikembangkannya anestesi yang lebih
baru, somnolen pasca operasi semakin berkurang dan kebutuhna untuk
memperbaiki pengeluaran urin involuntar ( inkontinensia urin stres ),
Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 13
kateter kandung kemih biasanya terpasang lebih lama ( sampai 3 hari ).
Sebagian perempuan tidak dapat berkemih spontan saat kateter dilepas
( transuretra ) atau dijepit ( suprapubis ). Jika praoperasi mereka telah
mendapat konseling mengenai hal ini, mereka tidak akan terlalu enggan
untuk pulang dengan kateter kandung kemih dan kantong urin untuk tidur
dan untuk sehari – hari. Pasien tidak perlu dirawat lebih lama hanya untuk
melepas kateter kandung kemih.
4. Saluran cerna
Setiap kali rongga abdomen dibuka, dapat terjadi gangguan fungsi
usus. Semakin ekstensif manipulasi usus halus dan besar kemungkinan
terjadi perlambatan pemulihan fuungsi normal. Setiap pasien yang
menjalani anestesia umum harus menjalani anastesi umum harus menjalani
puasa (nothing by mouth, NIPO) sampai ia sadar penuh dan mampu
menelan. Setelah bedah abdomen, petunjuk terbaik untuk mengetahui
kapan asupan dapat oral dimulai dan jenis makanan apa yang dapat
diberikan diperoleh dari informasi pasien (flatus) dan pemeriksaan fisik
(bising usus). Pasien biasanya tidak merasa lapar selama beberapa hari,
terapi mereka mungkin merasa haus sejak hari praoperasi pertama. Mulut
pasien kering, dan pasien diijinkan untuk menyesap air dengan diet cair
jernih pada hari pertama pasca operasi. Jika bising usus sudah pulih dan
pasien sudah flatus, dapat diberikan diet yang ditingkatkan secara bertahap
menuju diet normal. Kita harus memerhatikan cairan dan elektrolit pasien
jika mereka tidak makan, kadar kalium serum yang rendah (hipokalemia)
dapat menghentikan aktivitas usus (ileus) dan menimbulkan distensi
abdomen.
5. Sistem Vena
Ambulasi dini, stocking penunjang dan/atau pneumatik dan
pemberian heparin profilaktif sangat mengurangi gejala koagulasi
intravaskular. Berbagai penelitian fibrinogen dengan label radioaktif
Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 14
memperlihatkan bahwa memang terbentuk bekuan divena-vena dalam
ekstremitas bawah dimeja operasi. Insiden pembentukan bekuan setelah
histerektomi abdominal (15-50%) adalah sekitar dua kali lipat dari yang
diamati pada histerektomi vaginal. Kategori pasien berisiko tinggi adalah
yang berusia lebih dari 45 tahun, obesitas dan pengidap diabetes, penyakit
paru kronik, varises yang besar, riwayat trombosis vena, dan gagal
jantung.
Stasis vena merupakan penyebab pembentukan pembekuan, dan
harus dilakukan berbagai usaha untuk mengurangi faktor-faktor
pengontribusinya seminimal mungkin. Faktor pengontribusinya utama
adalah tirah baring yang lama pada periode antara pasien dirawat dan
operasi serta keterlambatan ambulansi setelah operasi. Olahraga untuk
meningkatkan aliran balik dari ekstremitas bawah dapat dilakukan saat
pasien berada ditempat tidur, misalnya melaku gerakan plantarfleksi dan
dorsifleksi kaki. Instruksi ini harus diberikan sebelum pembedahan
sehingga pasien dapat berlatih.
Heparin 5000 unit subkutan setiap 8-12 jam yang dimulai beberapa
jam sebelum pembedahan dan dilanjutkan sampai pasien dapat berjalan
sangat mengurangi insiden trombosis vena pascabedah ginekologik mayor.
Pemberian ini dapat memperberat perdarahan sehingga banyak ahli bedah
yang menggunakan perangkat pneumatik pada ekstremitas bawah sampai
pasien dapat berjalan.
f. Persetujuan Untuk Histerektomi 17
1. Langkah pertama yang seharusnya diambil dalam diskusi sebelum
menganjurkan histerektomi adalah penjelasan mengenai kemungkinan
diagnosis dan alasan yang menjadi dasar tindakan. gunakan bahasa yang
sederhana, mudah dimengerti, hindarkan terminologi teknis. gambar-
gambar yang telah dipersiapkan seringkali sangat membantu dalam
mempermudah pengertian. adalah sangat penting bagi dokter untuk
Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 15
meyakinkan bahwa pasiennya (dan pihak lain yang berkepentingan seperti
individu yang berperan aktif dalam mengambil keputusan) mengerti
indikasi untuk operasi dan pembedahan mana yang akan dilakukan.
penjelasan harus termasuk diskusi yang menyeluruh mengenai pendekatan
terapetik alternatif, jika dianggap sesuai untuk mendiskusikannya. jika
tidak sesuai, alasan untuk menjelaskan pilihan tersebut kepada pasien
harus dihindari. pasien harus diberi kesempatan untuk memilih antara
prosedur yang tersedia dan terapi lainnya, termasuk langkah ekspektatif,
bukan hanya antara penerimaan dan penolakan satu rekomendasi yang
tertentu. berikan cukup waktu bagi pasien untuk menanyakan pertanyaan
dan untuk menimbang keputusannya dengan cukup mendalam.
2. sebagai kesatuan bagian proses informed consent adalah penjelasan
mengenai perincian prosedur. diantara prosedur pembedahan lainnya,
histerektomi mungkin merupakan satu yang paling sering disertai dengan
penerimaan yang keliru pada masyarakat awam. terdapat banyak
kebingunan antara perbedaan ekstirpasi uterus total dan subtotal. bila
menurut dokter ahli ginekologis histerektomi subtotal adalah berupa
reseksi supraservikalis dari fundus uterus, seringkali diinterpretasikan oleh
orang yang tidak mengerti sebagai tindakan dimana tuba dan ovarium
ditinggalkan. penyertaan pengangkatan tuba dan ovarium harus
didiskusikan secara khusus, jika ditemukan. pilihan cara pembedahan,
yaitu vaginal atau abdominal, yang sangat dipengaruhi oleh pilihan pribadi
operator dan sifat penyakit, harus diperhitungkan pada keinginan pasien,
jika mungkin. hal ini juga berlaku terhadap pilihan insisi, di garis tengah
vertikal subumbilikal atau insisi transversal rendah. jika terdapat hal-hal
yang memaksa untuk melakukan jenis operasi atau insisi tertentu, pasien
harus dijelaskan dengan sesuai.
3. tidak kurang penting adalah perlunya mendiskusikan aspek sosioekonomi
dari pengambilan keputusan untuk menjalani prosedur pembedahan yang
besar, seperti histerektomi. hal ini termasuk perlunya melakukan pilihan
pembedahan kedua, perkiraan lamanya perawatan di rumah sakit, dan
Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 16
masa pemulihan yang dihadapi, lama penyembuhan sebelum pasien
mampu melakukan aktifitas rutinnya (seperti merawat rumah, berolahraga
dan bekerja), dan perkiraan biaya operasi jika berkaitan. tentukan apakah
pasien telah mengerti mengenai kemungkinan pengaruh pada keadaan
ekonomis dan fisiknya.
4. penjelasan mengenai prosedur tidak harus dibatasi pada aspek teknis
pembedahan. dokter harus mendiskusikan pilihan anstesia, dan yakinkan
bahwa pasien mengerti bahwa keputusan akhir berada ditangan dokter ahli
anastesia setelah pemeriksaan praoperatif yang dilakukannya. juga penting
untuk memberitahukan kepada pasien mengenai apa yang akan dialami
pada masa pemulihan, mulai darei segera setelah operasi sampai proses
operasi sampai proses penyembuhan yang jangka panjang.
5. pasien harus diinformasikan mengenai semua komplikasi serius dan sering
terjadi dengan histerektomi. diskusi harus meluas dengan semua material
yang relevan dengan proses pengambilan keputusan oleh pasien.
sekurangnya, harus termasuk infeksi pascaoperasi, perdarahan yang
luasn(intraoperatif juga pascaoperatif), kemungkinan perlunya transfusi
darah atau produk darah, cedera traumatik kepada saluran kemih dan
gastrointestinal dan kemungkinan akibatnya. jika tindakan ternyata
mengalami komplikasi, pasien harus menjalani perawatan yang lebih lama
dan bahkan mungkin diperlukan pembedahan tambahan.
6. adalah penting bagi dokter untuk menilai pengertian pasien secara terus
menerus mengenai informasi yang diberikan. proses informed consent
harus berupa dialog antara dokter dan pasiennya. mintalah pasien untuk
bertanya dan buatlah ia merasa mudah jika mengerjakan hal tersebut
dengan mengumpulkan respon dan menghindari tindakan tergesa-gesa.
g. Masalah psikosomatik setelah histerektomi 14
Dalam tahun-tahun belakangan ini, frekuensi histerektomi telah
menurun karena telah berkembang metode pengobatan untuk keadaan yang
sebelumnya ditangani dengan histerektomi. Efek psikosomatik pada operasi
Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 17
ini bergantung pada kondisi yang menyebabkan histerektomi, dan
pengetahuan serta sikap pasien terhadap histerektomi. Beberapa wanita dapat
sembuh dengan cepat (setelah 24-48 jam pertama ketika nyerinya mungkin
sedang hebat). Wanita lain mengalami ketidakberdayaan ringan sampai sedang
hingga 3 bulan. sepertiga wanita tersebut memerlukan waktu 3 bulan untuk
sembuh sama sekali dari operasi, dan 20 persen memerlukan waktu yang lebih
lama. lima sampai sepuluh persen wanita merasakan sehat secara umum tetapi
mengalami gejala usus dan kandung kemih, terutama inkontinensia stres
murni, yang dapat berlangsung selama berbulan-bulan.
Beberapa wanita merasakan cacat setelah histerektomi dan timbul ansietas.
Hal ini lebih sering terjadi jika pasien mempunyai keyakinan bahwa image
tubuh, kewanitaan dan daya tarik seksualnya berkurang terjadi karena
kesalahpahaman tentang histerektomi. Hal ini meliputi bahwa:
1. Seorang wanita tidak akan sanggup menikmati hubungan seksual karena
vaginanya menjadi lebih pendek.
2. Ia akan menjadi gemuk
3. Ia akan mengalami depresi berat setelah operasi.
4. 1a akan menjadi seorang postmonopause.
Pasien ini harus diyakinkan tentang dua kesalahpahaman pertama sebelum
operasi dilakukan. kesalahpahaman ketiga tidak benar tidak ada bukti bahwa
histerektomi meningkatkan depresi klinis, jika wanita tidak mempunyai
penyakit psikiatrik sebelum operasi. kesalahpahaman keempat hanya akan
terjadi jika ovarium ikut diangkat sewaktu operasi, atau jika ahli bedah
merusak suplai darah keovarium. Terdapat informasi bahwa kurang dari 20
persen wanita berusia 40-50 tahun mengalami kegagalan ovarium dalam tiga
tahun setelah histerektomi bilateral pada waktu histerektomi. namun, keadaan
ini beserta gejala-gejala monofause setelah ooforektomi bilateral pada waktu
husterektomi dapat dihilangkan jika wanita tersebut diberi terapi penggantian
hormon.
Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 18
Pertanyaan tentang oofektomi bilateral pada ovarium normal pada waktu
histerektomi masih diperdebatkan. Ekstirpasi ovarium biasanya tidak
dilakukan pada wanita berusia kurang dari 45 tahun, tetapi beberapa ahli
penyakit kandungan melakukannya pada wanita yang lebih tua. Alasan
mereka melakukan oofektomi, pertama jika ovarium ditinggalkan 1 dari 1000
wanita akan mengalami kanker ovarium, dan kedua ovarium tidak berfungsi
setelah monopause. Wanita tersebut harus memutuskannya sendiri, setelah
berdiskusi dengan dokternya dan setelah ia mempunyai waktu untuk
mempertimbangkannya dan mencari nasehat jika ia menginginkannya.
Kini histerektomi merupakan prosedur yang aman, tetapi bukan tanpa
mortalitas. Studi epidemiologi histerektomi yang dilakukan secara nasional di
denmark pada tahun 1990 untuk keadaan bukan kanker, yang disertai oleh
bedah mayor lain, menunkukkan bahwa angka mortalitas dalam 30 hari,
walaupun hanya 16 per 10.000 kasus, empat kali lebih tinggi dari kasus
referensi. Temuan ini meberikan kesan bahwa jika ada alternatif lain untuk
histerektomi (seperti pada kasus perdarahan uterus disfungsional), cara
tersebut harus dicoba dahulu.
Untuk mengurangi masalah psikologik dan fisik yang mungkin terjadi
setelah histerektomi, dokter apakah spesialis atau dokter umum, berkewajiban
untuk membicarakan dengan wanita tersebut dengan pasangannya. Alasan
operasi harus dijelaskan, luasnya operasi harus dibicarakan, alternatif
pengobatan dibahas dan masalah yang mungkin timbul disebutkan. Pada
kebanyakan kasus, wanita tersebut harus diberikan waktu untuk
mempertimbangkannya, dan menanyakan lebih lanjut, jika ia
menginginkannya sebelum dilakukan operasi.
2.2 KEMATIAN JANIN DALAM KANDUNGAN
2.2.1 Definisi3,12,15,18,19,20
Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 19
Menurut WHO dan The American College of Obstetricians and
Gynecologist yang disebut kematian janin adalah janin yang mati dalam
rahim dengan berat badan 500 gram atau lebih atau kematian janin dalam
rahim pada kehamilan 20 minggu atau lebih. Kematian janin merupakan hasil
akhir dari gangguan pertumbuhan janin, gawat janin, atau infeksi.
Kematian janin dini (Early Fetal Death) sama dengan abortus, dan
kematian janin menengah (Intermediate Fetal Death) adalah kematian yang
terjadi antara kehamilan minggu ke 22 dan 27 lengkap, dengan berat janin
500-999 gr (juga disebut stillbirth).
Kematian janin lanjut (Late Fetal Death) adalah kematian yang terjadi
pada kehamilan minggu ke 28 lengkap atau lebih. Biasanya berat janin 1000
gr atau lebih (juga disebut stillbirth).
2.2.2 Etiologi 3,12,18
Pada 25 - 60% kasus penyebab kematian janin tidak jelas. Kematian
janin dapat disebabkan oleh faktor maternal, fetal atau kelainan patologik
plasenta. Faktor penyebab dari kematian janin secara umum dapat dikategorikan
sebagai berikut:
a. Faktor Maternal antara lain adalah
Post term (> 42 minggu), diabetes melitus tidak terkontrol, sistemik lupus
eritematosus, infeksi, hipertensi, preeklampsia, eklampsia,
hemoglobinopati, umur ibu tua, penyakit rhesus, ruptura uteri,
antifosfolipid sindrom, hipotensi akut ibu, kematian ibu.
b. Faktor Fetal antara lain adalah
Hamil kembar, hamil tumbuh terhambat, kelainan kongenital, kelainan
genetik, infeksi.
c. Faktor Plasental antara lain adalah
Kelainan tali pusat, lepasnya plasenta, ketuban pecah dini, vasa previa.
d. Sedangkan faktor risiko terjadinya kematian janin intrauterin meningkat
pada usia ibu > 40 tahun, pada ibu infertil, kemokonsentrasi pada ibu,
Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 20
riwayat bayi dengan berat badan lahir rendah, infeksi ibu (ureplasma
urealitikum), kegemukan, ayah berusia lanjut.
2.2.3 Gejala 3,12,18,19,20
1. BJA tidak terdengar lagi
2. Rahim tidak membesar dan fundus uteri bahkan turun
3. Pergerakan anak tidak teraba lagi oleh pemeriksa
4. Palpasi anak menjadi tidak jelas
5. Reaksi biologis menjadi negatif setelah anak mati ±10 hari
6. Pada foto rontgen dapat terlihat
a. Tulang – tulang tengkorak tutup menutupi ( tanda Spalding )
b. Tulang punggung janin sangat melengkung ( tanda Naujokes )
c. Ada gelembung – gelembung gas pada badan janin.
Kalau janin yang mati trtahan 5 minggu atau lebih, kemungkinan
terjadi hipofibrinogemi 25%.
2.2.4 Patologi 12
Pada KJDK, janin mati biasanya mengalami retensi didalam uterus
beberapa hari sebelum janin dikeluarkan. Janin yang mati dalam cairan
amnion yang steril, selanjutnya janin mengalami proses maserasi.
Pada keadaan ini kalau janin mati pada kehamilan yang terus lanjut
terjadi perubahan sebagai berikut :
1. Rigor Mortis (Tegang mati)
Berlangsung 2 jam 30 menit setelah kematian, kemudian lemas kembali.
2. Maserasi
Stadium maserasi 1
Timbul lepuh-lepuh pada kulit, lepuh ini mula-mula berisi cairan
jernih tetapi kemudian menjadi merah, berlangsung sampai 48 jam
setelah anak mati.
Stadium maserasi 2
Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 21
Timbul lepuh-lepuh pecah dan mewarnai air ketuban menjadi merah
coklat. Hal ini terjadi setelah 48 jam setelah anak mati.
Stadium maserasi 3
Terjadi kira-kira 3 minggu setelah anak mati. Badan janin sangat
lemas dan hubungan antara tulang-tulang sangat longgar dan edema
dibawah kulit.
2.2.5 Diagnosis
Riwayat dan pemeriksaan fisik sangat terbatas nilainya dalam membuat
diagnosis kematian janin. Umumnya penderita hanya mengeluh gerakan janin
berkurang. Pada pemeriksaan fisik tidak terdengar denyut jantung janin.
Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan ultrasound, dimana tidak
tampak adanya gerakan jantung janin.3,18
Pada anamnesis gerakan menghilang. Pada pemeriksaan pertumbuhan
janin tidak ada, yang terlihat pada tinggi fundus uteri menurun, berat badan
ibu menurun, dan lingkaran perut ibu mengecil.3,18
Dengan Fetoskopi dan Doppler tidak dapat didengar adanya bunyi
jantung janin. Dengan sarana penunjang diagnostik lain yaitu USG, tampak
gambaran janin tanpa tanda kehidupan. Dengan foto radiologik setelah 5 hari
tampak tulang kepala kolaps, tulang kepala saling tumpang tindih (gejala
‘spalding’) tulang belakang hiperrefleksi, edema sekitar tulang kepala;
tampak gambaran gas pada jantung dan pembuluh darah. Pemeriksaan HCG
urin menjadi negatif setelah beberapa hari kematian janin.3,18
Ultrasonografi real time merupakan sarana penunjang diagnostik yang
baik untuk memastikan kematian janin dengan gambaran janin tanpa adanya
tanda-tanda kehidupan.20
2.2.6 Penatalaksanaan 3,18,20
Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 22
Bila kematian janin lebih dari 3-4 minggu kadar fibrinogen menurun
dengan kecenderungan terjadinya koagulopati. Masalah menjadi rumit bila
kematian janin terjadi pada salah satu dari bayi kembar.
Bila diagnosis kematian janin telah ditegakkan, dilakukan pemeriksaan
tanda vital ibu; dilakukan pemeriksaan darah perifer, fungsi pembekuan, dan
gula darah. Diberikan KIE pada pasien dan keluarga tentang kemungkinan
penyebab kematian janin; rencana tindakan; dukungan mental emosional pada
penderita dan keluarga, yakinkan bahwa kemungkinan lahir pervaginam.
Persalinan pervaginam dapat ditunggu lahir spontan setelah 2 minggu,
umumnya tanpa komplikasi. Persalinan dapat terjadi secara aktif dengan
induksi persalinan dengan oksitosin atau misoprostol. Tindakan
perabdominam bila janin letak lintang, induksi persalinan dapat dikombinasi
oksitosin + misoprostol. Hati-hati pada induksi dengan uterus pasca seksio
sesarea ataupun miomektomi, bahaya terjadinya ruptura uteri.
Pada kematian janin 24-28 minggu dapat digunakan, misoprostol secara
vaginal (50-100 µg tiap 4-6 jam) dan induksi oksitosin. Pada kehamilan diatas
28 minggu dosis misoprostol 25 µg pervaginam / 6 jam.
2.2.8 Komplikasi
Sekitar 20 – 25% dari ibu yang mempertahankan janin yang telah mati
selama lebih dari 3 minggu akan mengalami Koagulopati Intravaskular
Diseminata ( DIC ) akibat adanya konsumsi faktor – faktor pembekuan darah
secara berlebiihan. 19
2.2.9 Pencegahan
Upaya mencegah kematian janin, khususnya yang sudah atau mendekati
aterm adalah bila ibu merasa gerakan janin menurun, tidak bergerak, atau gerakan
jnin terlalu keras perlu dilakukan pemeriksaan ultrasonografi. Perhatikan adanya
solusio plasenta. Pada gemelli dengan T + T ( twin to twin transfuion )
pencegahan dilakukan dengan koagulasi pembuluh anastomosis. 3
Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 23
DAFTAR PUSTAKA
1. Prawirohardjo S. Perlekatan Abnormal Plasenta. Dalam: Ilmu Kebidanan.
Edisi Keempat. Cetakan II; PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; Jakarta.
2009 : 263-4.
2. Prawirohardjo S. Histerektomi. Dalam: Ilmu Kebidanan. Edisi Keempat.
Cetakan III; PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; Jakarta. 2010 : 490.
3. Soewarto S. Kematian Janin. Dalam: Ilmu Kebidanan. Bab 57. Edisi Keempat.
Cetakan III; PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; Jakarta. 2008 : 732-34
4. Mochtar R. Histerektomi Obstetrik dan Histerorafi. Dalam: Sinopsis Obstetri.
Bab 12. Edisi 2. Jilid 2. Cetakan I; EGC. Jakarta. 1998 : 133-40.
5. Cunningham FG, Levono KJ, dkk. Pelahiran Caesar dan Histerektomi
Peripartum. Dalam: Obstetri Williams. Bab 25. Edisi 23. Volume 1; EGC.
Jakarta. 2014 : 568-89.
6. Cunningham FG, Levono KJ, dkk. Plasenta Akreta, Inkreta dan Perkreta.
Dalam: Obstetri Williams. Bab 35. Edisi 23. Volume 2; EGC. Jakarta. 2014 :
815-19.
Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 24
7. Gant NF, Cunningham FG. Prosedur Bedah Mayor. Dalam: Dasar-dasar
Ginekologi & Obstetri. EGC. Jakarta. 2011 : 147-9
8. Gant NF, Cunningham FG. Histerektomi. Dalam: Dasar-dasar Ginekologi &
Obstetri. Bab 17. EGC. Jakarta. 2011 : 147-51.
9. Benson RC,Pernoll LM. Histerektomi. Dalam: Buku Saku Obstetri &
Ginekologi. Edisi 9. Cetakan I; EGC. Jakarta. 2009 : 776-81.
10. Manuaba IBG, Manuaba CAI, dkk. Bentuk-bentuk Plasenta. Dalam:
Pengantar Kuliah Obstetri. Cetakan I; EGC. Jakarta. 2007 : 510-11.
11. Sastrawinata S, Martaadisoebrata D, dkk. Plasenta Akreta. Dalam: Obstetri
Patologi. Edisi 2. Cetakan I; EGC. Jakarta. 2005 : 176.
12. Sastrawinata S, Martaadisoebrata D, dkk. Kematian Janin. Dalam: Obstetri
Patologi. Edisi 2. Cetakan I; EGC. Jakarta. 2005 : 41-2.
13. Rabe T. Histerektomi. Dalam: Buku Saku Ilmu Kandungan. Cetakan I;
Hipokrates. Jakarta. 2003 : 232-3.
14. Llewellyn – Jones D. Masalah Psikosomatik Setelah Histerektomi. Dalam:
Dasar-dasar Obstetri & Ginekologi. Bab 27. Edisi 6. Cetakan I; Hipokrates;
Jakarta. 2002 : 217.
15. Llewellyn – Jones D. Kematian Janin. Dalam: Dasar-dasar Obstetri &
Ginekologi. Bab 27. Edisi 6. Cetakan I; Hipokrates; Jakarta. 2002 : 192-94.
16. Rayburn WF, Carey CJ. Histerektomi Puerperal. Dalam: Obstetri &
Ginekologi. Bab 9. Cetakan I; Widya Medika. Jakarta. 2001 : 193.
17. Borten M. Persetujuan Untuk Histerektomi. Dalam: Seri Skema Diagnosis dan
Penatalaksanaan Ginekologi. Edisi Kedua. Binarupa Aksara. Jakarta. 1998 :
332.
18. Hacker NF, Moore GJ. Kematian Janin Dalam Rahim. Dalam: Esensial
Obstetri dan Ginekologi. Edisi 2. Cetakan I; Hipokrates; Jakarta. 2001 : 314-
16.
19. Norwitz ER, Schorge OJ. Kematian Janin Intrauterin. Dalam: At A Glance;
Obstetri dan Ginekologi. Bab 51. Edisi 2. Erlangga. PT Gelora Aksara
Pratama. 2008 : 108-9.
Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 25
20. Taber BZ. Kematian Janin Intrauterin. Dalam: Kapita Selekta; Kedaruratan
Obstetri dan Ginekologi. Edisi 2. Cetakan I; EGC. Jakarta. 1994 : 209-10.
LAPORAN KASUS
I. ANAMNESA PRIBADI
Nama : Yuli Susanti
Umur : 25 tahun
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Pendidikan : Tamat SMA
Agama : Islam
Suku bangsa : Indonesia
Alamat : Dusun cinta damai aceh tamiang kel :
rantau
Tanggal masuk : 02/11/2015
Jam masuk : 19.36
Status : G2P1A0
No. RM : 97.91.02
Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 26
II. ANAMNESA PENYAKIT
Seorang pasien Ny.Y, 24 tahun, G2P1A0, islam, SMA, IRT i/d Tn.
Z 29 tahun, polri, islam, merupakan pasien rujukan dari RSUD
aceh tamiang dengan diagnosa : riwayat syok hipovolemik ec
perdarahan masif plasenta previa + prev. SC 1x + susp. plasenta
akreta + SG + KDR ( 28 – 30 ) minggu + janin IUFD. Datang
dengan:
Keluhan utama : Keluar darah dari kemaluan
Telaaah : Keluar darah dari kemaluan pertama kali
dialami OS sekitar 4 minggu sebelum
masuk rumah sakit aceh tamiang os
mengaku darah hanya berupa flek-flek saja,
pada tanggal 27 oktober 2015 sekitar 1
minggu sebelum masuk rumah sakit aceh
tamiang keluar darah dari kemaluan sedikit
sedikit, namun menurut pengakuan pada
tanggal 29 oktober 2015 keluar darah dari
kemaluan semakin banyak kemudian OS
masuk ke RSUD aceh tamiang dan
mendapatkan transfusi 8 bag PRC. Os juga
mengaku sudah tidak merasakan gerakan
janin sekitar tanggal 31 oktober 2015. Pada
tanggal 2 oktober os dirujuk ke RSUPM.
Nyeri perut ( -), Riwayat trauma ( - ),
riwayat mules – mules ( - )
RPT : DM ( - ), hipertensi ( - ), asma ( - )
RPO : -
Riwayat Haid :
HPHT : 06/03/2015, teratur, 28 hari
Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 27
TTP : 13/12/2015
ANC : bidan 2x, dokter Sp.OG 4x
Riwayat kehamilan :
1. Perempuan, 3000gram, SC, aterm, dokter, di RS, 5tahun, sehat
2. Hamil ini
III. PEMERIKSAAN FISIK
A. STATUS PRESENS
Sensorium : compos mentis
Tekanan darah : 100/60 mmHg
Pernafasan : 20 x/i
Nadi : 92 x/i
Suhu : 36,8 C
B. STATUS GENERALISATA
Anemia : dijumpai
Ikterus : tidak dijumpai
Sianosis : tidak dijumpai
Dyspnoe : tidak dijumpai
Edema : tidak dijumpai
C. STATUS LOKALIS
Kepala :
Mata : conjuctiva palpebra inferior pucat ( +/+ ),
sklera ikterik ( -/-), RC ( +/+ ), pupil isokor
Telinga / Hidung / Mulut : dalam batas normal
Leher : trakea medial, TVJ R-2cmH2O,
pembesaran KGB ( - )
Thoraks
Inspeksi : simetris fusiformis
Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 28
Palpasi : SF kanan = kiri
Perkusi : sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : SP : vesikuler, ST : -
Jantung : HR : 92 x/i, reguler, desah ( - )
Abdomen : terlampir pada status obstetrikus
Inguinal : pembesaran KGB ( - )
Genitalia : dalam batas normal
Extremitas : dalam batas normal, edema (-/-)
D. STATUS OBSTETRIKUS
Abdomen : membesaar, simetris
TFU : 2 jari diatas pusat
E. STATUS GINEKOLOGIS
VT : tidak dilakukan pemeriksaan
Inspekulo : tampak darah di forniks posterior,
dibersihkan, kesan merembes.
F. USG
- JT, PK, KJDK
- FM ( - ), FHR ( - )
- BPD : Spalding sign ( + )
- PL : 54,2 mm
- AC :
- Plasenta menutupi OUI seluruhnya
Kesan : IUP ( 28-30 minggu ) + IUFD + plasenta previa totalis
IV. LABORATORIUM
Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 29
Hb / Ht/ L/ Tr : 8,4 / 25,6 / 14.290 / 164.000
V. DIAGNOSA
Profuse Bleeding ec plasenta previa totalis + previous SC 1x + SG +
KDR ( 28-30) minggu + KJDK
VI. TERAPI
- Ceftriaxone 1gram / 12 jam i.v
- Asam traneksamat 1 amp/12jam i.v
VII. RENCANA
- Cek lab lengkap
- Pertahankan keadaan umum
- USG kontraksi ( USG doppler )
- Rawat delivery
Follow up : 3 November 2015 (08.00 wib)
Status presens:
S : Lemah
O : Sens: compos mentis anemis : (+)
TD: 90/40 mmhg ikterik : (-)
HR: 100x/i sianosis : (-)
RR: 20x/i dyspnoe : (-)
T : 36,5 oc oedema : (-)
His: 2x20”/10’
Genitalia :
Inspekulo : tampak darah dan stoll sel di introitus vagina, dibersihkan
kesan mengalir aktif di OUE.
Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 30
VT : Serviks terbuka
A : Profuse Bleeding ec plasenta previa totalis + previous SC 1x + SG + KDR
( 28-30) minggu + KJDK+ Inpartu
P: - Pasang CVC
- Konsul ICU
Follow up 3 november 2015 (11.00 wib)
Status presens: S: ibu ingin mengedan
O: sens : compos mentis
TD: 90/60 mmhg
HR: 102 x/i
RR: 20 x/i
T: 36,5 oc
Status obstetrikus: Abdomen : membesar simetris
Ballotement : (+)
Djj : (-)
His : 3x30”/10’
Pemeriksaan Laboratorium
WBC: 14.290
HGB : 8,40 g/dl
HCT : 25,60
PLT : 164.000
Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 31
Follow up 3 November 2015 (Pukul 11.10 WIB)
Lahir bayi peretmpuan per vaginam, dengan berat badan 1300 gram, A/S 0/0,
dengan maserasi grade II
Follow up 3 November 2015 (Pukul 11.40 WIB) : plasenta belum lahir
diputuskan untuk manual plasenta di KBE dengan pertimbangan histerektomi
Th/ Persiapan transfusi WB
R/ Persiapan Manual plasenta di KBE dengan pertimbangan histerektomi. (CITO)
LAPORAN MANUAL PLASENTA
(3 november 2015, 11.40 WIB)
- Pasien dibaringkan di meja operasi dengan infus dan kateter
terpasang baik.
- Dibawah GA TIVA dilakukan tindakan manual plasenta, dengan
tangan kiri memegang fundus dan tangan kanan menyusuri tali pusat
dilakukan pengeluaran plasenta kesan tercabik.
- Evaluasi perdarahan, kesan perdarahan mengalir aktif .
- Diputuskan untuk melakukan histerektomi setelah persetujuan suami.
LAPORAN HISTEREKTOMI a/i PLASENTA AKRETA
( 3 november 2015, 12.00 WIB )
- Pasien dibaringkan di meja operasi dengan infus dan kateter
terpasang baik.s
Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 32
- Dibawah GA ETT dilakukan tindakan aseptik dengan larutan
antiseptik betadine dan alkohol.
- Insisi dilakukan diatas luka operasi yang lama ( pfanesteil )
- Lapisan dinding abdomen dibuka lapis demi lapis sampai peritoneum.
- Peritoneum dijinjing digunting keatas dan kebawah
- Tampak uterus, dilakukan total abdominal histerektomi.
- Lapisan abdomen ditutup lapis demi lapis setelah kontrol perdarahan.
- Luka operasi ditutup supratule, kasa steril, dan hipafix.
- KU ibu post op terpasang ETT
TERAPI POST OP
- IVFD RL 20 gtt/i
- Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam i.v
- Inj. Ketorolac 30mg/8 jam i.v
- Inj. Ranitidin 50mg/12 jam i.v
- Inj. Transamin 500mg/8 jam i.v
RENCANA
- Awasi vital sign, perdarahan pervaginam
- Lanjutkan transfusi sesuai TS anestesi
- Cek Hb 6 jam post transfusi
Follow up 3 November 2015 (Pukul 18.00 WIB)
S : Nyeri luka operasi
O : Status presens
sens : compos mentis
TD: 90/50 mmhg
HR: 150 x/i
RR: 16x/i via ventilator
T : 36,1 oc
Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 33
Status lokalisata :
Abdomen: soepel, peristaltik (+) lemah
L/O : Tertutup verban
Drain (+) ±100 cc dalam ½ jam warna merah
BAB (-), Flatus (?)
BAK , terpasang kateter OUP 200 cc dalam 3 jam
A : Post TAH a/i Plasenta akreta + H1
P : - IVFD Nacl 0,9% sesuai anastesi
- inj. ceftriaxone ganti meropenem 1 gr/8 jam dilarutkan dalam Nacl 100
ml habis dalam 3 jam
- inj. ketorolac 30 mg/8 jam
- inj. ranitidin 50 mg/12 jam
- inj. transamin 500 mg/8 jam
- transfusi 2 bag PRC 2 bag WB
Hasil laboratorium Darah rutin 6 jam post transfusi
Wbc : 11.210
Rbc : 1,79
Hb: 5,2
PLT: 9000
Follow up 4 November 2015 ( Pukul 09.00 wib)
Status presens
S : -
O : Sens : compos mentis
TD: 100/60 mmhg
Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 34
HR: 114x/i
RR : 16 x/i via ventilator
T : 36,5 OC
Status lokalisata
abdomen : soepel, peristaltik (+) Normal
L/O: tertutup verban
Drain : 500 cc ( semenjak post op) warna merah
P/V : (-)
BAK : (+), terpasang kateter, OUP ± 150 cc/jam
BAB : (+) Normal, flatus (+)
A : Post TAH a/i plasenta akreta + H2 + Trombositopeni e.c?
P : - IVFD Nacl 0,9 % sesuai anastesi
- inj. meropenem 1 gr/8 jam
- inj. ketorolac 30 mg/ 8 jam
- inj ranitidin 50 mg/ 12 jam
- inj. transamin 500 mg/8 jam
R/ Cek darah lengkap, KGD adrandom, Elektrolit, RFT, AGDA, D-Dimer,
Fibrinogen, HST
Hasil pemeriksaan laboratorium 4 november 2015
WBC : 21. 820/µl
HGB : 9,60 g/dL
HCT : 26, 30 %
Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 35
PLT : 26.000/µl
OS dikonsulkan ke interna dan direncakan mendapat transfusi 6 bag FFP dan 1
bag PRC
Follow up 4 November 2015 (pukul 18.40 wib)
S : Apnoe
O : Sens : Compos mentis anemis : (+)
TD : 90/60 mmhg ikterik : (-)
HR: 150 x/i dyspnoe: (-)
RR: 10 x/i via ventilator sianosis : (-)
T : 36,5 oc oedema : (+)
Status lokalisata
Thoraks : SP: Bronkial, ST: Ronki basah basal
Abdomen : soepel, peristaltik (+) Normal
L/O: tertutup verban kesan kering
Drain : 700 cc ( semenjak post op) dikosongkan
P/V : (-)
BAK : (+), terpasang kateter, OUP ± 120 cc/jam warna kuning pekat
BAB : (+) Normal, flatus (+)
A : Post TAH a/i plasenta akreta + H2 + Trombositopeni e.c?
P : Resusitasi
Hasil pemeriksaan laboratorium:
Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 36
HGB : 9,6 g/Dl
HCT : 26,3 %
WBC : 21. 820
PLT : 26.000
ureum : 57,00 mg/dl
kreatinin : 2,16 mg/dl
uric acid : 8,70 mg/dl
glukosa adrandom : 124,00 mh/dl
troponin I : Positif
troponin T : 1,14
Follow Up 5 November 2015 ( pukul 09.00 wib)
S : -
O : Sens : Compos mentis anemis : (+)
TD : 90/60 mmhg ikterik : (-)
HR: 150 x/i dyspnoe: (-)
RR: 16 x/i via ventilator sianosis : (-)
T : 36,5 oc oedema : (+)
Status lokalisata
Thorax: SP: bronkial, ST: ronkhi basah basal
Abdomen : soepel, peristaltik (+) Normal
Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 37
Drain : 280 cc /jam
L/O: tertutup verban
P/V : (-)
BAK : (+), terpasang kateter, OUP ± 70 cc/jam warna kuning pekat
BAB : (+) Normal, flatus (+)
A : Post TAH a/i plasenta akreta + H3 + Trombositopeni e.c?
P : - IVFD Nacl 0,9 % sesuai anastesi
- inj. meropenem 1 gr/8 jam
- inj. ketorolac 30 mg/ 8 jam
- inj ranitidin 50 mg/ 12 jam
- inj. transamin 500 mg/12 jam
Hasil pemeriksaan laboratorium 5 november 2015
WBC : 25.390/µL
HGB: 7,9 g/Dl
HCT : 22,7 %
PLT : 32.000/µL
Konsul Interna untuk rawat bersama, konsul kardio karena peningkatan troponin
T
Follow Up 6 November 2015
S : -
O : Sens : Compos mentis anemis : (+)
TD : 140/90 mmhg ikterik : (-)
Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 38
HR: 104 x/i dyspnoe: (-)
RR: 16 x/i via ventilator sianosis : (-)
T : 36,5 oc oedema : (↓)
Status lokalisata
Abdomen : soepel, peristaltik (+) Normal
L/O: tertutup verban
Drain : 60 cc / jam
P/V : (-)
BAK : (+), Via kateter, OUP ± 200 cc/jam
BAB : (+) Normal
A : Post TAH a/i plasenta akreta + H4 + Trombositopeni e.c?
P : - IVFD Nacl 0,9 % sesuai anastesi
- inj. meropenem 1 gr/8 jam
- inj. ketorolac 30 mg/ 8 jam
- inj ranitidin 50 mg/ 8 jam
- inj. transamin 500 mg/8 jam
Hasil pemeriksaan laboratorium 6 november 2015
- WBC : 27.72/µL
- HGB: 8,0 g/Dl
- HCT : 22,9 %
- PLT : 45.000/µL
Follow Up 7 November 2015
S : -
Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 39
O : Sens : Compos mentis anemis : (+)
TD : 130/90 mmhg ikterik : (-)
HR: 103 x/i dyspnoe: (-)
RR: 16 x/i via ventilator sianosis : (-)
T : 36,5 oc oedema : (↓)
Status lokalisata
Thorax: SP: bronkial, ST: ronki basah basal
Abdomen : soepel, peristaltik (+) Normal
L/O: Tertutup verban
Drain : 7 cc /jam
P/V : (-)
BAK : (+), Via kateter, OUP ± 90 cc/jam
BAB : (+) Normal, flatus (+)
A : Post TAH a/i plasenta akreta + H5 + Trombositopeni e.c?
P : - IVFD Nacl 0,9 % sesuai anastesi
- inj. meropenem 1 gr/8 jam
- inj. ketorolac 30 mg/ 8 jam
- inj ranitidin 50 mg/ 8 jam
- inj. transamin 500 mg/8 jam
Hasil pemeriksaan laboratorium 7 november 2015
- ureum : 130,00 mg/dl
- kreatinin : 3,36 mg/dl
- uric acid : 12,80 mg/dl
Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 40
- glukosa adrandom : 124,00 mh/dl
- Konsul paru, Os didiagnosa oedema paru, anjuran foto thorax PA,
Terapi tambahan : inj.furosemide 40mg/8jam
- Konsul interna subunit nefrologi karena peningkatan kadar kreatinin.
Os didiagnosa CKD stage IV dd AKI
Terapi tambahan : diet ginjal 1800kkal, protein 30gr
IVFD nefrosteril 1 fls/hari
Hindari obat – obatan nefrotoksik
Follow up 8 november 2015
S : -
O : Sens : Compos mentis anemis : (+)
TD : 90/60 mmhg ikterik : (-)
HR: 150 x/i dyspnoe: (-)
RR: 16x/i via ventilator sianosis : (-)
T : 36,5 oc oedema : (↓)
Status lokalisata
Abdomen : soepel, peristaltik (+) Normal
L/O: Tertutup verban, Kesan kering
P/V : (-)
BAK : (+), terpasang kateter, OUP ± 100 cc/jam
BAB : (+) Normal
A : Post TAH a/i plasenta akreta + H6 + CKD stg IV dd AKI std failure + oedema
paru
P : - IVFD Nacl 0,9 % sesuai anastesi
Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 41
- inj. meropenem 1 gr/8 jam
- inj. ketorolac 30 mg/ 8 jam
- inj ranitidin 50 mg/ 8 jam
- inj. transamin 500 mg/8 jam
- lain – lain terapi sesuai TS interna, anestesi, dan paru
Hasil pemeriksaan laboratorium 8 november 2015
- WBC : 26.090/µL
- HGB: 8,1 g/dL
- HCT : 24,2 %
- PLT : 87.000/µL
Follow up 9 November 2015
S : -
O : Sens : Compos mentis anemis : (-)
TD : 130/90 mmhg ikterik : (-)
HR: 80 x/i dyspnoe: (-)
RR: 16x/i via ventilator sianosis : (-)
T : 36,3 oc oedema : (↓)
Status lokalisata
abdomen : soepel, peristaltik (+) Normal
L/O: tertutup verban
P/V : (-)
BAK : (+), terpasang kateter, OUP ± 75 cc/jam
Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 42
BAB : (+) Normal
A : Post TAH a/i plasenta akreta + H7 + CKD stg IV dd AKI std failure + oedema
paru
P : - IVFD Nacl 0,9 % sesuai anastesi
- inj. meropenem 1 gr/8 jam
- inj. ketorolac 30 mg/ 8 jam
- inj ranitidin 50 mg/ 8 jam
- inj. transamin 500 mg/8 jam
- lain – lain terapi sesuai TS interna, anestesi, dan paru
Follow up 10 November 2015
S : -
O : Sens : Compos mentis anemis : (+)
TD : 140/90 mmhg ikterik : (+)
HR: 100 x/i dyspnoe: (-)
RR: 20x/i sianosis : (-)
T : 38,1 oc oedema : (↓)
Status lokalisata
abdomen : soepel, peristaltik (+) Normal
L/O: tertutup verban, kesan kering
P/V : (-)
BAK : (+), terpasang kateter, OUP ± 170 cc/jam Jernih
BAB : (+) Normal
Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 43
A : Post TAH a/i plasenta akreta + H8 + CKD stg IV dd AKI std failure + oedema
paru
P : - IVFD Nacl 0,9 % sesuai anastesi
- inj. meropenem 1 gr/8 jam
- inj. ketorolac 30 mg/ 8 jam
- inj ranitidin 50 mg/ 8 jam
- inj. transamin 500 mg/8 jam
- inj. tramadol 1 amp/ 8 jam
- lain – lain terapi sesuai TS interna, anestesi, dan paru
Pada tanggal 10 november 2015 Pasien apnoe pukul 10.45 telah dilakukan RJP,
Ambubag dan juga telah diinjeksikan adrenalin dan SA tetapi os tidak ada respon.
Pasien dinyatakan exit jam 11.30 wib didepan keluarga dan tim medis lainnya.
ANALISA KASUS
Pada pasien ini didiagnosa plasenta akreta dimana terjadi implantasi dari
plasenta yang lebih dalam dari pada plasenta normal. Ini terjadi kemungkinan
karena adanya jaringan parut bekas seksio pada kehamilan sebelumnya. Hal ini
sesuai dengan kepustakaan yang menyatakan bahwa perlekatan plasenta abnormal
paling sering ditemukan pada keadaan ketika pembentukan desidua mungkin
terganggu misalnya, implantasi di segmen bawah uterus atau di atas jaringan parut
bekas seksio atau bekas insisi uterus lainnya atau setelah kuretase uterus.
Histerektomi pada pasien ini dilakukan karena adanya kemungkinan terjadi
plasenta akreta totalis dimana pada keadaan ini menyebabkan perdarahan masif
setelah dilakukan tindakan manual plasenta. Hal ini sesuai dengan kepustakaan
yang menyatakan bahwa pada sebagian besar kasus upaya mengeluarkan plasenta
secara manual (konservatif ) gagal karena bidang pemisahan antara palsenta dan
Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 44
dinding uterus tidak dapat terbentuk. Pada 25% perempuan yang ditatalaksana
secara konservatif meninggal. Jadi penatalaksanaan yang paling baik adalah
dilakukan histerektomi.
Pada pasien ini didiagnosa IUFD kemungkinan diduga terjadi karena adanya
gangguan sirkulasi pada utero plasenta yang terjadi akibat perdarahan masif.
Akibat perdarahan masif ini, suplai darah ke janin melalui sirkulasi utero plasenta
menjadi terganggu sehingga janin kekurangan oksigen yang menyebabkan IUFD.
PERMASALAHAN
1.Bagaimana cara untuk mendeteksi plasenta akreta sejak dini?
2.Apakah pasien yang telah didiagnosa dengan plasenta akreta harus
dilakukan histerektomi?
3.Kenapa bisa terjadi KJDK pada pasien?
Histerektomi a/i Plasenta Akreta dengan KJDK Page 45