Positioning Iklan Televisi Melalui Reproduksi Sosial ... · Wawancara mendalam juga dilakukan...
Transcript of Positioning Iklan Televisi Melalui Reproduksi Sosial ... · Wawancara mendalam juga dilakukan...
POSITIONING IKLAN TELEVISI MELALUI REPRODUKSI
SOSIAL : KASUS IKLAN SAMPOERNA A MILD
MARWAN MAHMUDI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Positioning Iklan Televisi melalui
Reproduksi Sosial : Kasus Iklan Sampoerna A Mild adalah karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, April 2011
Marwan Mahmudi
NIM: I353060181
ABSTRACT
MARWAN MAHMUDI. Positioning of Television Advertising Through Social
Reproduction : Sampoerna A Mild Case of Ad. Under direction of AIDA
VITAYALA S. HUBEIS and MUSA HUBEIS
Television ads contained the social reproduction of the symbol and certain ideas
that typically existed in society. Television advertising of cigarettes Sampoerna A Mild
presented a message by positioning its products through the establishment and
determination of social reproduction were distinct and different from similar products.
The purpose of this study was to find out more in-depth process of social reproduction
made by the Sampoerna A Mild ad creator and process of formation and positioning
determination through social reproduction in television advertising of cigarettes
Sampoerna A Mild. The methodology of this study was a qualitative paradigm using a
case study design. Research location in Jakarta. When the study was conducted from
June 2008 to July 2009. The study's findings at the level of advertisers and creators of
the ad showed the process of formation and positioning determination Sampoerna A
Mild cigarettes through social reproduction in television advertising through four
positioning schemes, namely : first, initial stage positioning scheme lifestyle a
successful modern society and macho. Second, corporate image positioning transition
scheme. Third, new attendance scheme positioned as low tar and nicotine products.
Fourth, the scheme plenary position of trust given product. Formation process of
positioning Sampoerna A Mild cigarettes made through 2 stages, namely : (a) rational
process stage undertaken to bear the big idea concept. This phase included analysis of
product data and characters of target audiences such as psychographics, demographics
and lifestyle, (b) magic process stage carried out as the embodiment big idea into the
idea that various kinds. The study's findings at the level of ad text indicated, the first
version of the Man Waiting Stamp Seal on the ad implied unproductive bureaucracy and
contradictory to the reform era. Second, the ad version of Flea On the Sofa having
meaning seat House of Representatives who were old and fat, not productive, full of
promises and corruption. The study's findings on the individual level showed different
interpretations between the product with the text ad. Products and text ads were funny-
interpreted as a reminder that persiflage and A Mild were the cigarettes that contain
nicotine and low tar. Formation of A Mild cigarettes positioning through television
advertising was the result of social reproduction in the form of socio-political situation
of contemporary nation constructed either by advertisers, ad creator, ad text, and
individuals with over four positioning schemes. However, different interpretations
occured in the individual level.
Keywords: positioning, social reproduction, television advertising, advertiser, creator.
RINGKASAN
MARWAN MAHMUDI. Positioning Iklan Televisi Melalui Reproduksi Sosial: Kasus
Iklan Sampoerna A Mild. Dibimbing oleh AIDA VITAYALA S. HUBEIS dan MUSA
HUBEIS.
Iklan televisi memuat hasil reproduksi sosial dari simbol dan ide tertentu yang
khas ada di masyarakat. Iklan televisi rokok Sampoerna A Mild menyajikan pesan
dengan memposisikan produknya melalui pembentukkan dan penentuan reproduksi
sosial yang khas dan berbeda dari produk sejenis. Tujuan penelitian adalah mengetahui
lebih mendalam proses reproduksi sosial yang dilakukan pencipta iklan pada iklan
Sampoerna A Mild dan proses pembentukkan dan penentuan positioning melalui
reproduksi sosial dalam iklan televisi rokok Sampoerna A Mild.
Desain penelitian studi kasus dengan pendekatan kualitatif digunakan untuk
mengetahui fenomena sosial tertentu, namun tidak hanya terbatas pada pengumpulan
dan penyusunan data, tetapi meliputi analisis dan interpretasi terhadap data. Hal tersebut
dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman menyeluruh dan tuntas. Penelitian
dikonstruksi melalui makna yang tercermin dalam realitas. Penelitian dilakukan melalui
klasifikasi mengenai gejala sosial yang dipermasalahkan. Penyusunan hasil penelitian
tentang realitas sosial yang kompleks dalam bentuk tampilan kalimat bermakna dan
mudah dimengerti. Penelitian dilakukan di Jakarta selama empatbelas (14) bulan, yaitu
Juni 2008 – Juli 2009, dengan pengumpulan data ditekankan pada aspek kontekstual,
yaitu proses pembentukan dan penentuan positioning iklan rokok Sampoerna A Mild.
Data primer dikumpulkan melalui wawancara mendalam dengan informan kunci, yaitu
orang kompeten, terlibat dan mengetahui banyak informasi dalam membentuk dan
menentukan positioning rokok Sampoerna A Mild melalui iklan televisi. Informan kunci
penelitian adalah orang yang pernah terlibat langsung dalam tim perencanaan iklan
televisi rokok Sampoerna A Mild. Wawancara mendalam juga dilakukan terhadap
informan untuk mengetahui proses decoding terhadap teks iklan. Data sekunder
didapatkan dari kumpulan dokumen-dokumen dan artikel yang berkaitan dan
mendukung penelitian. Analisis data dialogik atau dialektikal dilakukan untuk
mengembangkan terjadinya dialog dan dialektika antara peneliti dan sumber data.
Analisis dilakukan secara komprehensif, kontekstual dan multilevel dengan
menempatkan peneliti sebagai aktivis/partisipan dalam proses transformasi sosial.
Hasil penelitian pada tingkatan pengiklan dan pencipta iklan menunjukkan
proses pembentukkan dan penentuan positioning iklan rokok Sampoerna A Mild melalui
reproduksi sosial dalam iklan televisi dengan empat (4) tahap skema positioning.
Pertama, skema tahap awal memposisikan gaya hidup masyarakat moderen yang sukses
dan macho. Rokok Sampoerna A Mild dikomunikasikan sebagai bagian dari gaya hidup
masyarakat modern yang sukses dan macho. Tidak ada gambaran keunggulan produk,
tetapi lebih kepada citra yang disandangnya. Cara ini dilakukan karena keterbatasan-
keterbatasan peraturan periklanan untuk jenis rokok, yang tidak boleh memperlihatkan
orang sedang merokok. Pendekatan rokok Sampoerna A Mild yang demikian ternyata
tidak menciptakan perbedaan karakternya dengan rokok-rokok lainnya.
Kedua adalah skema transisi memposisikan citra korporat. Skema ini dilakukan
berdasarkan evaluasi pada skema pertama, yaitu melakukan perubahan positioning pada
rokok Sampoerna A Mild. Kampanye bergerak kepada citra korporat dengan
menampilkan serangkaian aktivitas kelompok Sampoerna yang sangat populer di mata
masyarakat, yaitu foto kegiatan drum band oleh karyawan buruh pabrik Sampoerna yang
mencapai sukses di Festival of Roses di Pasadena, Amerika Serikat. Terobosan ini
memperlihatkan upaya rokok Sampoerna A Mild untuk keluar dari pakem iklan-iklan
pada umumnya, sehingga produksi dan penjualan rokok Sampoerna A Mild mulai
bergerak naik.
Ketiga, skema kehadiran baru memposisikan rokok Sampoerna A Mild sebagai
produk rendah tar dan nikotin. Skema ini lahir karena adanya kesadaran baru dari
manajemen pengelola bahwa konsumen dapat didekati dengan realitas keunikan dan
keunggulan produk. Keunikan rokok Sampoerna A Mild adalah pada kadar tar dan
nikotin yang sangat rendah. Keunikan inilah yang akhirnya membawa pada slogan
komunikasi cukup panjang usianya, yaitu: "How Low Can You Go." Upaya komunikasi
yang sakti ini, mulanya diragukan sebagian orang bahwa komunikasi semacam itu tidak
akan nyambung. Pasar membuktikan bahwa dengan gebrakan serius dan menyeluruh,
ternyata konsumen dapat terbius dan bahkan mencintai produk tersebut. Akhirnya
terciptalah pasar baru yang tanpa terduga berkembang luar biasa. Kehadiran baru rokok
Sampoerna A Mild bersamaan dengan gerakan hidup sehat, yaitu memilih rokok rendah
kadar tar dan nikotinnya.
Keempat, skema paripurna memposisikan kepercayaan yang diberikan produk.
Posisi baru ini berkembang meyakinkan. Era kepercayaan terhadap nikotin dan tar yang
rendah sudah tertancap di dalam benak khalayak. Rokok Sampoerna A Mild terus
menyegarkan konsep komunikasinya yang tepat. Sejak awal tahun 1996 hadir konsep
kampanye baru yang berusaha menyambung gaya hidup 'How Low Can You Go' lewat
konsep "Bukan Basa Basi.” Dalam hal ini, rokok Sampoerna A Mild bermaksud
menegaskan bahwa kepercayaan yang diberikan adalah bukan basa basi sebagai
gambaran perilaku khalayak sasaran yang selalu berkomentar atau menyuarakan sejujur-
jujur hati nuraninya ketika melihat situasi yang ada di dunia ini, baik terhadap diri
sendiri maupun terhadap lingkungannya.
Proses pembentukkan positioning rokok Sampoerna A Mild dilakukan melalui
dua tahap, yaitu (a) tahap rational process hingga melahirkan konsep big idea. Tahap ini
meliputi analisis data produk dan karakter target audiens seperti psikografis, demografis
dan gaya hidup; (b) tahap magic process dilakukan sebagai pengejawantahan big idea
menjadi ide bermacam-macam.
Analisis pada tingkatan teks iklan menunjukkan, pertama pada iklan versi Man
Waiting Stamp Seal mengandung makna birokrasi tidak produktif dan kontradiktif
dengan era reformasi. Secara keseluruhan, tanda tersebut menghasilkan makna birokrasi
warisan orde baru yang tidak produktif dan kontradiktif dengan era reformasi. Iklan
tersebut memperlihatkan perhatian perusahaan terhadap kondisi sosial yang tengah
terjadi. Pesan disampaikan melalui makna yang memang memiliki sistem tanda yang
telah terbentuk. Sistem tanda yang dimaksud berkaitan dengan tipe pakaian. Dalam
hubungan oposisi, mengenal pakaian yang sama warna, bahan, coraknya antara baju dan
celana/rok yang biasa disebut seragam. Jenis pakaian yang berbeda warna, bahan, dan
coraknya antara baju dan celana/rok, biasa disebut bukan seragam. Jadi secara
oposisional, pakaian seragam memiliki makna ketika berhubungan dengan pakaian
bukan seragam. Pakaian seragam biasa dikenakan oleh suatu kelompok, komunitas, atau
lembaga.
Iklan versi Flea on the Sofa mengandung makna kursi Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) yang tua dan gemuk, tidak produktif, penuh janji dan korupsi. Secara
keseluruhan, tanda tersebut menghasilkan makna anggota DPR yang sudah tua-tua dan
gemuk tidak produktif, penuh janji-janji, dan penyalahgunaan wewenang seperti
korupsi. Iklan tersebut memperlihatkan perhatian perusahaan terhadap kondisi sosial
politik yang tengah terjadi, berkaitan dengan pemilihan umum anggota DPR. Pesan
disampaikan melalui makna yang memang memiliki sistem tanda yang telah terbentuk,
yaitu berkaitan dengan kursi, kutu busuk, bokong, tangan kanan beserta jari-jarinya.
Dalam hubungan oposisi, mengenal kursi yang empuk bila diduduki, dengan sandaran
kepala dan tangan yang juga empuk, serta berharga mahal, sehingga hanya pantas
dimiliki orang-orang tertentu dan terhormat. Kursi jenis ini biasa disebut kursi sofa.
Penelitian pada tingkatan individu menunjukkan interpretasi berbeda terhadap
hubungan antara produk dengan teks iklan. Dari segi produk, rokok Sampoerna A Mild
ditafsirkan bahwa rokok bukanlah barang baru. Rokok sudah ada sejak jaman dahulu
kala. Dari segi teks iklan rokok Sampoerna A Mild di televisi ditafsir sebagai iklan yang
bersifat lucu-lucuan. Iklan ataupun bentuk promosi yang menyertainya hanya bersifat
pengingat saja bahwa ada rokok yang mengandung nikotin dan tar rendah. Namun
positioning yang tertanam dalam benak adalah bahwa rokok Sampoerna A Mild adalah
produk rokok mengandung nikotin dan tar rendah.
Kata kunci : positioning, reproduksi sosial, iklan televisi, pengiklan, pencipta iklan.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2011
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam
bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya
POSITIONING IKLAN TELEVISI MELALUI REPRODUKSI
SOSIAL : KASUS IKLAN SAMPOERNA A MILD
MARWAN MAHMUDI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr.Ir. Amiruddin Saleh, MS
Judul Tesis : Positioning Iklan Televisi melalui Reproduksi Sosial : Kasus
Iklan Sampoerna A Mild
Nama : Marwan Mahmudi
NRP : I353060181
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Aida Vitayala S. Hubeis Prof. Dr. Ir. Musa Hubeis, MS, Dipl.Ing, DEA
(Ketua) (Anggota)
Diketahui
Koordinator Mayor
Komunikasi Pembanguan Pertanian
dan Pedesaan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Djuara P. Lubis
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian : Kamis, 14 April 2011 Tanggal Lulus : 25 Mei 2011
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala karunia dan rahmat-Nya, sehingga
karya ilmiah yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2008 dengan judul Positioning Iklan
Televisi Melalui Reproduksi Sosial: Kasus Iklan Sampoerna A Mild dapat diselesaikan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof.Dr.Ir.Hj. Aida Vitayala S. Hubeis
dan Bapak Prof.Dr.Ir.H. Musa Hubeis, MS, Dipl.Ing, DEA yang telah banyak memberi
bimbingan dan saran. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak
Dr.H. Udi Rusadi dan Alm. Bapak Drs.H. Pudji Utomo, MS, yang selalu mendukung
dan berbagi pengetahuan selama studi. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada
Bapak Drs. Teguh Handoko yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan
terima kasih juga disampaikan kepada alm. Ayah dan Ibu, serta seluruh keluarga, atas
segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, April 2011
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 11 Maret 1967 dari ayah H. Dana
Wulung dan ibu Hj. Oemi Atiyah N.S. Penulis merupakan putra ketiga dari enam
bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Hubungan Masyarakat,
Fakultas Ilmu Komunikasi, Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta (IISIP Jakarta),
lulus pada tahun 1992. Pada tahun 2006, penulis berkesempatan melanjutkan studi
Magister di Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan, Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor
Penulis mengabdi di almamater sebagai Dosen IISIP Jakarta sejak tahun 1992
hingga 2006. Pada tahun 2009 hingga sekarang penulis bekerja sebagai Dosen homebase
di Program Studi Public Relations, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Mercubuana
Jakarta.
Selama berkecimpung di dunia akademik, penulis bertanggungjawab dalam
mengampu matakuliah : Teori Komunikasi, Komunikasi Massa, Metode Penelitian
Komunikasi, Manajemen Public Relations dan Stakeholder Relations.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL…………………………………………………………….. xiv
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………. xv
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………….. xvi
I. PENDAHULUAN…………………………………………………......... 1
1.1 Latar Belakang Masalah…………………………………….............
1.2 Perumusan Masalah Penelitian……………………………...............
1.3 Tujuan Penelitian................................................................................
1
6
7
II. TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………… 8
2.1 Media Massa…………………………………………………….......
2.2 Televisi sebagai Media Komunikasi Massa………………...............
8
9
2.2.1 Format Siaran Televisi..........................................................
2.2.2 Kekuatan dan Kelemahan Televisi.......................................
10
11
2.3 Komunikasi Pemasaran......................................................................
2.4 Periklanan...........................................................................................
12
13
2.4.1 Pengiklan...............................................................................
2.4.2 Produk ..................................................................................
2.4.3 Pencipta Iklan........................................................................
2.4.4 Iklan ......................................................................................
2.4.5 Iklan Televisi.........................................................................
2.4.6 Iklan Rokok di Televisi.........................................................
15
15
18
19
22
25
2.5 Pembentukan Positioning Produk pada Iklan..................................... 26
2.6 Reproduksi Sosial dalam Membentuk Positioning pada Iklan
Televisi...............................................................................................
29
2.6.1 Proses Konstruksi Sosial dalam Pembentukan Positioning
Iklan Televisi.........................................................................
2.6.2 Proses Interaksi Simbolik dalam Pembentukan Positioning
Iklan Televisi.........................................................................
2.6.3 Proses Semiosis dalam Pembentukan Positioning Iklan
Televisi..................................................................................
31
32
35
III. METODOLOGI PENELITIAN............................................................... 38
3.1 Kerangka Pikir Penelitian..................................................................
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian.............................................................
3.3 Pengumpulan Data.............................................................................
3.4 Pengolahan dan Analisis Data...........................................................
38
40
40
44
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................ 46
4.1 Konstruksi Realitas dalam Tingkatan Pengiklan dan Pencipta Iklan. 46
4.1.1 Versi Pengiklan....................................................................... 46
4.1.2 Versi Pencipta Iklan................................................................ 53
4.2 Konstruksi Realitas dalam Tingkatan Teks Iklan Rokok Sampoerna
A Mild di Televisi...............................................................................
60
4.2.1 Positioning Sampoerna A Mild melalui Iklan Televisi............ 61
4.2.2 Tema dan Timing Iklan Televisi Sampoerna A Mild.............. 62
4.2.3 Analisis Teks Iklan Sampoerna A Mild versi Televisi……… 64
4.2.3.1 Iklan Sampoerna A Mild Versi Man Waiting Stamp
Seal………………………………………………..…
4.2.3.2 Iklan Sampoerna A Mild Versi Flea on the Sofa…….
64
67
4.3 Konstruksi Realitas dalam Tingkatan Individu................................... 74
KESIMPULAN DAN SARAN................................................................. 79
1. Kesimpulan ...........................................................................................
2. Saran .....................................................................................................
79
79
DAFTAR PUSTAKA............................................................................... 80
LAMPIRAN............................................................................................. 84
DAFTAR TABEL
No. Halaman
1. Karakteristik informan........................................................................ 43
2. Positioning rokok Sampoerna A Mild melalui iklan televisi..............
61
3. Keterkaitan antara tema dan timing iklan Sampoerna A Mild versi
televisi.................................................................................................
63
4. Tanda-tanda yang ditampilkan dalam iklan televisi Sampoerna A
Mild versi Man Waiting Stamp Seal....................................................
64
5. Tanda-tanda yang ditampilkan dalam iklan televisi Sampoerna A
Mild versi Flea on The Sofa................................................................
67
6. Kegunaan tubuh manusia....................................................................
69
7. Kode-kode pada iklan televisi Sampoerna A Mild versi Man
Waiting Stamp Seal dan Flea on the Sofa...........................................
72
8. Tafsir informan terhadap iklan televisi Sampoerna A Mild...............
76
9. Daftar iklan televisi Sampoerna A Mild dari Agustus 2000 hingga
Maret 2009.......................................................................................
98
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
1. Model proses periklanan ………………………………………….. 14
2. Proses semiosis menurut Peirce yang dikembangkan oleh Budiman... 36
3. Diagram alur proses penentuan dan pembentukan positioning iklan
televisi melalui reproduksi sosial.........................................................
40
4. Skema positioning rokok Sampoerna A Mild tahap awal..................... 47
5. Skema positioning rokok Sampoerna A Mild tahap perubahan……… 48
6. Skema positioning rokok Sampoerna A Mild tahap kehadiran baru… 49
7. Skema positioning rokok Sampoerna A Mild tahap paripurna………. 51
8. Proses perencanaan periklanan suatu produk…………………………
53
9. Scene 1 iklan televisi Sampoerna A Mild versi Man Waiting Stamp
Seal………............................................................................................
65
10. Scene 2 dan 3 iklan televisi Sampoerna A Mild versi Man Waiting
Stamp Seal.............................................................................................
65
11. Scene 4 iklan televisi Sampoerna A Mild versi Man Waiting Stamp
Seal………............................................................................................
66
12. Scene 1 dan 2 iklan televisi Sampoerna A Mild versi Flea on The
Sofa........................................................................................................
68
13. Scene 3 dan 4 iklan televisi Sampoerna A Mild versi Flea on The
Sofa........................................................................................................
68
14. Scene 5 iklan televisi Sampoerna A Mild versi Flea on The
Sofa........................................................................................................
69
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
1. Protokol penelitian…………………...……………………………… 84
2. Data sekunder………………………………………………………. 85
3. Transkrip wawancara dengan Informan Kunci………………..……. 86
4. Transkrip wawancara dengan Informan Kunci ……………..……… 88
5. Transkrip wawancara dengan Informan Kunci …………………….. 94
6. Daftar iklan televisi Sampoerna A Mild……………………………. 98
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kemajuan teknologi informasi berdampak pada perkembangan media massa yang
begitu cepat. Kemajuan tersebut tidak dapat dipungkiri membawa dampak terhadap
berbagai bidang kehidupan masyarakat. Beragamnya media massa yang ada telah
berperan besar dalam membawa masyarakat memasuki era informasi. Dari berbagai
media massa yang ada, televisi masih dianggap sebagai media yang paling berpengaruh
menimbulkan terpaan antar rumah tangga, bahkan antar anggota dalam satu rumah.
Kehadiran televisi dalam kehidupan manusia memperlihatkan suatu peradaban
yang lebih maju, khususnya dalam proses komunikasi dan informasi yang bersifat
massa. Televisi adalah media massa yang muncul belakangan dibanding media cetak
dan radio. Kenyataannya, televisi merupakan media massa yang paling memberikan
nilai yang luar biasa dalam sisi pergaulan hidup manusia hingga saat ini.
Media televisi memiliki daya tarik yang sedemikian besarnya. Daya tarik televisi
mampu merubah pola kehidupan rutinitas manusia. Bahkan televisi tetap tidak dapat
tersaingi oleh kehadiran media interaktif terbarukan, yaitu Internet. Di Indonesia,
populasi pesawat televisi tidak kurang dari 40 juta unit dengan pemirsa lebih dari 200
juta orang, jauh lebih banyak dibandingkan dengan komputer yang hanya sekitar 5,9 juta
unit (Dharmanto, 2007). Media televisi tumbuh dan berkembang menjadi panutan baru
bagi kehidupan manusia. Pada akhirnya, media televisi telah berwujud menjadi alat
ampuh bagi kehidupan manusia dalam pencapaian integrasi, baik untuk kepentingan
politik maupun perdagangan, bahkan untuk melakukan perubahan ideologi dan
kebudayaan pada sebuah sistem sosial tertentu yang sudah ada sejak lama.
Kehebatan televisi sebagai saluran komunikasi massa nyaris tidak dapat
dipungkiri. Media televisi lebih berhasil dalam memikat lebih banyak khalayak
dibandingkan dengan media massa lainnya. Siaran televisi tersaji secara audiovisual dan
moving, sehingga mampu untuk memperlihatkan, mendramatisasi dan mempopulerkan
potongan-potongan kecil, serta fragmen kultural dari informasi. Kemampuan televisi
menguasai jarak secara geografis dan sosiologis memberi peluang kepada khalayak
untuk dapat menikmati gambar dan suara yang nyata atas suatu kejadian di belahan
bumi lain. Selain itu, siaran televisi memiliki kemampuan dalam menguasai ruang dan
waktu, sehingga dapat menjangkau khalayak massa yang cukup besar.
Kelemahan televisi sebagai media massa adalah bersifat persinggahan pesan,
sehingga isi pesannya sulit diingat secara maksimal oleh pemirsanya. Media televisi
terikat oleh waktu tayang program. Untuk mengatasinya, produser televisi biasanya
memberikan penekanan terhadap suatu program tertentu dengan menayang-ulang
beberapa kali pada waktu tayang lainnya. Selain itu, siaran televisi memiliki tingkat
kerumitan tersendiri dibandingkan dengan media cetak dan radio. Hal ini berkaitan
dengan penguasaan teknologi hingga keahlian dalam membuat program-progam
acaranya.
Seperti halnya media massa lainnya, televisi berperan sebagai sarana informasi,
hiburan, kontrol sosial, dan penghubung wilayah secara geografis. Siaran televisi tidak
sekedar memperlancar perubahan, mencegah perubahan atau bahkan tidak menimbulkan
perubahan sama sekali. Dampak siaran televisi terhadap khalayak dapat bersifat kognisi,
yaitu berkenaan dengan pengetahuan dan opini, serta afeksi yang berkaitan dengan sikap
dan perasaan, tindakan atau perubahan perilaku (McQuail, 1991).
Siaran televisi yang tersaji secara audiovisual menjadikan televisi sangat dekat
dengan kehidupan khalayaknya, misalnya sinetron, berita, infotainment, film, iklan, dan
sebagainya. Siaran televisi tersebut hadir di ruang-ruang keluarga sebagai wujud
kontribusi yang besar terhadap kebutuhan informasi, hiburan maupun pendidikan.
Khalayak melakukan penafsiran yang berbeda-beda dan berperilaku yang beraneka
ragam ketika menyaksikan siaran televisi. Hal tersebut terjadi karena kebutuhan
khalayak terhadap isi siaran televisi berkaitan erat dengan status sosial ekonomi, situasi
dan kondisi psikologisnya saat menonton televisi.
Salah satu siaran televisi juga berusaha memikat khalayaknya adalah iklan.
Tayangan iklan memberi kontribusi cukup besar bagi keberlangsungan siaran televisi.
Stasiun televisi berlomba-lomba dalam menyiarkan program yang mampu memikat
khalayak sebanyak-banyaknya. Hal tersebut dilakukan dengan harapan banyaknya
pengiklan yang beriklan di stasiun televisi tersebut.
Perkembangan dalam dunia bisnis saat ini sejalan dengan semakin kompleksnya
kebutuhan masyarakat terhadap barang konsumsi, baik produk maupun jasa. Hal
tersebut membuat produsen berlomba-lomba untuk memproduksikan produk maupun
jasa kepada masyarakat. Produk maupun jasa tersebut diperkenalkan kepada masyarakat
melalui suatu strategi yang dikenal dengan komunikasi pemasaran. Persaingan dalam
dunia komunikasi pemasaran semakin ketat. Salah satunya bagaimana
mengkomunikasikan produk maupun jasa melalui periklanan.
Penayangan iklan di televisi dapat dikatakan sebagai cara cepat dan efektif dalam
membawa perubahan di masyarakat di mana dilakukan melalui penggunaan teknologi
berbasis komunikasi. Dalam hal ini, televisi berperan sebagai agen pembangunan
mampu menciptakan citra baru, mobilitas psikis, dan empati dalam pemaksimalan
penyediaan barang dan jasa bagi masyarakat (Dilla, 2007).
Iklan merupakan bentuk penyampaian pesan dari suatu produk atau merek kepada
khalayak. Secara umum, proses penciptaan iklan berawal dari inisiatif pengiklan.
Pengiklan adalah pemilik atau produsen dari produk atau merek tersebut. Pengiklan
membayar suatu biro iklan untuk menciptakan pesan iklan. Melalui proses perencanaan
periklanan, selain menciptakan iklan, biro iklan juga mengkampanyekan pesan produsen
tersebut kepada khalayak. Biro iklan yang disewa oleh pengiklan disebut sebagai
pencipta iklan.
Iklan disebarkan kepada khalayak melalui berbagai media massa. Salah satunya
adalah melalui media televisi. Pada iklan televisi, gambar yang tersaji bersifat
audiovisual dan moving. Pesan yang terkandung dalam iklan televisi memiliki
kemampuan untuk menarik perhatian khalayak pada simbol atau ide-ide tertentu.
Langsung maupun tidak langsung, iklan televisi harus mampu mempersuasif khalayak
melalui pesan-pesan komunikasinya dalam bentuk simbol dari produk atau jasa yang
dipromosikan. Selain itu, iklan televisi harus memiliki kemampuan daya pikat dan
rangsangan yang kuat agar khalayak sering teringat dan membayangkannya.
Pada dasarnya simbol atau ide tersebut adalah produk sosial yang bersifat khusus
yang sudah ada di masyarakat. Produk sosial tersebut, antara lain kepercayaan, sikap,
nilai, perilaku, maupun hasil karya nyata yang ada di masyarakat. Oleh pencipta iklan,
produk sosial tersebut diinternalisasi secara subyektif dan kemudian dituangkan ke
dalam sebuah iklan. Simbol atau ide tersebut dikonstruksi sedemikian rupa dengan
harapan dapat membentuk citra bagi produk maupun jasa yang diiklankan. Simbol atau
ide tertentu yang tertuang dalam sebuah iklan televisi berbentuk verbal dan nonverbal.
Proses demikian disebut Bungin (2001) sebagai hasil reproduksi sosial pada iklan di
televisi.
Banyaknya iklan produk dan jasa di televisi, terutama iklan sejenis yang
menyebabkan pesan dalam sebuah iklan di televisi harus dapat memberikan daya tarik
dan citra tersendiri bagi khalayaknya. Hal tersebut dimaksudkan agar terjadi kesesuaian
antara isi pesan yang terkandung dalam iklan dengan yang dipersepsikan oleh khalayak,
sehingga pesan tersebut mampu memposisikan merek dari produk atau jasa yang
diiklankan ke dalam benak khalayak. Contoh persaingan iklan yang semakin keras
dalam merebut sepotong kavling dalam benak konsumen adalah iklan rokok di televisi.
Konsumen dalam menghadapi keterdedahan tersebut mengalami pertarungan yang hebat
dalam benaknya. Para produsen rokok melalui pencipta iklannya berusaha
memposisikan merek produknya agar mudah dan selalu diingat, serta diprioritaskan
untuk dibeli setiap kali dibutuhkan konsumen.
Rokok merupakan salah satu produk yang paling banyak dikonsumsi masyarakat,
baik pria dan wanita, termasuk yang berusia remaja bahkan anak-anak. Data pada tahun
2005 menunjukkan produksi rokok nasional mencapai 202,3 milyar batang (Kompas,
2006). Pada tahun 2006 produk rokok dengan kategori mild atau low tar low nicotin,
sebanyak 17,2 persen dikuasai oleh produsen rokok HM Sampoerna (Kompas, 2006).
Meningkatnya jumlah produk rokok sejalan dengan bertambahnya jumlah perokok,
khususnya pemula. Gencarnya promo dan iklan di berbagai media massa disinyalir
memberi dampak terhadap lahirnya perokok pemula (Kompas, 2008).
Menurut riset Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tahun 2006, sebanyak
9.230 iklan rokok terdapat di televisi, 1.780 iklan di media cetak dan 3.239 iklan di
media luar ruang seperti umbul-umbul, papan reklame dan baliho (Kompas, 2007b).
Data tersebut menunjukkan bahwa televisi merupakan media yang menjadi primadona
bagi pengiklan dan pencipta iklan rokok.
Pemprov DKI Jakarta, melalui Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2005, sejak tahun
2006 telah memberlakukan pelarangan merokok di kawasan-kawasan tertentu di wilayah
DKI Jakarta. Untuk kepentingan kampanye periklanan, Pemerintah juga telah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 81/1999 tentang pembatasan iklan rokok
di media massa. Misalnya, karakter produk dalam iklan rokok tidak boleh divisualkan
secara terang-terangan dalam iklan.
Bagi kreator iklan, diduga hal tersebut tentu membatasi gerak kreativitasnya,
namun kenyataannya justru menciptakan karya-karya kreatif bagi iklan rokok tersebut.
Seperti yang disebutkan Majalah Cakram (2002) bahwa dalam perkembangannya, aturan
ketat tersebut tidak membuat gagasan para pembuat iklan rokok menjadi tumpul.
Iklan rokok Sampoerna A Mild di televisi terbilang fenomenal dalam
menampilkan big idea konsepnya. Penampilan konsep iklan tersebut berbeda dengan
iklan rokok pesaingnya. Misalnya, iklan rokok Marlboro dengan menampilkan
kejantanan, iklan rokok Djarum 76 dengan menampilkan cinta dan kasih sayang, iklan
rokok Pall Mall dengan menampilkan gaya hidup, iklan rokok Gudang Garam dengan
menampilkan kejantanan dan keberanian laki-laki.
Majalah Cakram (2002) mengungkapkan bahwa iklan Sampoerna A Mild
mendobrak tradisi lama iklan-iklan rokok yang saat itu di tengah persaingan ketat rokok
rendah tar dan rendah nikotin. Sampoerna A Mild tetap memantapkan posisinya sebagai
pemimpin pasar. Positioning yang ditampilkan Sampoerna A Mild adalah rokok rendah
tar dan nikotin, sehingga perokok dapat tetap merokok tanpa terlalu banyak diracuni
oleh nikotin. Ide atau gagasan dasar dalam iklan rokok tersebut melahirkan berbagai
positioning statement yang khas, seperti How Low Can You Go, Bukan Basa Basi dan
Tanya Kenapa ?
Dalam ilustrasi iklannya, Sampoerna A Mild selalu menampilkan simbol dan ide
realitas sosial yang sedang terjadi di masyarakat. Pada versi awal dengan headline ”How
Low Can You Go?”, pesan dalam iklan Sampoerna A Mild diposisikan sebagai pelopor
rokok pertama di Indonesia yang memiliki kadar tar dan nikotin rendah. Iklan versi ini
muncul di televisi, karena adanya anggapan pada sebagian masyarakat bahwa
masyarakat semakin peduli untuk hidup sehat, namun tetap dapat merokok tanpa terlalu
banyak diracuni oleh nikotin. Pada versi lainnya, yaitu versi kursi dengan headline:
”Kalo Nggak Dibersihin Kutu Busuknya Nggak Bakalan Pergi!”. Iklan tersebut muncul
di televisi pada tahun 2004, ketika bangsa sedang menikmati pesta demokrasi, yaitu
pemilihan umum anggota legislatif.
Adakalanya pula, Sampoerna A Mild menampilkan versi animasi dengan
headline: ”Others Can Only Follow”. Versi tersebut menggambarkan sesosok alien yang
sedang membawa bendera dan bergerak lincah, kemudian alien tersebut diikuti oleh
alien-alien lain yang berbaris di belakang dan bergerak lamban. Tampaknya iklan versi
animasi tersebut muncul dengan maksud untuk memperkuat posisi produk yang sudah
tertanam di benak khalayak.
Layaknya persaingan dalam dunia bisnis, terikat hukum ekonomi dan hukum pasar
yang tidak lepas dari rating dan sebagai market leader bagi produk sejenis. Segala
sesuatu yang terjadi saat ini bersifat sesaat. Hukum pasar terjadi. Ketika muncul produk
lain dengan positioning yang lebih kuat, maka produk akan ditinggalkan konsumennya,
atau setidak-tidaknya jumlah konsumen berkurang. Meskipun hal tersebut adalah wajar
dalam persaingan bisnis, namun bukan yang diharapkan oleh produsen.
Selanjutnya, perlu diketahui lebih mendalam bagaimana pengiklan melalui
pencipta iklan mempertahankan posisi produk Sampoerna A Mild melalui kampanye
periklanan di media massa, khususnya iklan di televisi. Untuk itu perlu dilakukan, suatu
penelitian khusus mengenai bagaimana pencipta iklan melakukan proses reproduksi
sosial ke dalam iklan Sampoerna A Mild dan bagaimana proses pembentukan dan
penentuan positioning iklan televisi melalui reproduksi sosial tersebut pada iklan
Sampoerna A Mild.
1.2 Perumusan Masalah Penelitian
Televisi merupakan salah satu media massa yang paling banyak menarik minat
pengiklan untuk beriklan. Pada iklan televisi, gambar yang tersaji bersifat audiovisual
dan moving, sehingga mampu membangkitkan daya pikat dan rangsangan kuat. Artinya,
khalayak akan sering teringat dan membayangkannya. Iklan televisi memuat hasil
reproduksi sosial dari simbol dan ide tertentu yang bersifat khusus yang ada di
masyarakat. Simbol dan ide tersebut merupakan produk sosial seperti kepercayaan, nilai,
sikap, maupun hasil karya nyata yang ada di masyarakat. Pencipta iklan melakukan
reproduksi dan internalisasi terhadap produk sosial tersebut dalam meramu pesan iklan.
Reproduksi sosial yang tertuang dalam iklan televisi bersifat subyektif pencipta iklan.
Penciptaan iklan dalam hal ini adalah peran besar copywriter dan visualizer yang
mengkonstruksi simbol atau ide khusus tersebut ke dalam sebuah iklan.
Rokok Sampoerna A Mild bukan satu-satunya produk rokok yang menggunakan
televisi untuk beriklan. Hampir kebanyakan iklan rokok seperti iklan rokok Djarum,
iklan rokok Marlboro, iklan rokok Gudang Garam, dan sebagainya, juga beriklan dengan
menggunakan media yang sama. Hal tersebut akan mempengaruhi konsumen dalam
menentukan pilihan-pilihan terhadap suatu produk. Setiap pesan dalam iklan rokok
menyajikan positioning yang khas dan membedakan dengan produk sejenis lainnya.
Tujuannya adalah agar khalayak sasaran dapat membedakan produknya dengan produk
sejenis lainnya. Iklan rokok Sampoerna A Mild harus menyajikan pesan dengan cara
memposisikan produknya melalui pembentukan reproduksi sosial yang khas dan
berbeda pula.
Positioning produk yang sudah tertanam dan tercengkeram kuat dalam benak
konsumen akan membuat konsumen tidak perlu berpikir-pikir lagi dalam menjatuhkan
pilihannya. Dalam hal ini, konsumen akan menganggap keputusan yang dipilihnya
adalah tepat. Kemenangan produk di pasar dapat ditentukan oleh keseringan konsumen
terdedah oleh produk tersebut dan kepercayaan maupun persepsinya terhadap produk
tersebut.
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, maka permasalahan
yang diteliti adalah :
1. Bagaimana proses reproduksi sosial yang dilakukan pencipta iklan pada iklan
Sampoerna A Mild ?
2. Bagaimana proses pembentukan dan penentuan positioning iklan televisi melalui
reproduksi sosial pada iklan Sampoerna A Mild ?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui lebih mendalam :
1. Proses reproduksi sosial yang dilakukan pencipta iklan pada iklan Sampoerna A
Mild.
2. Proses pembentukan positioning iklan televisi melalui reproduksi sosial pada iklan
Sampoerna A Mild.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Media Massa
Media massa merupakan kependekan dari istilah media komunikasi massa, yang
secara sederhana dapat memberikan pengertian sebagai alat yang dapat digunakan untuk
menyampaikan pesan serentak kepada khalayak banyak yang berbeda-beda dan tersebar
di berbagai tempat (Effendy, 1993; Wright, 1988).
Media massa sering dibedakan menjadi media massa tampak (visual), dan media
massa berbentuk dengar (audio), dan media massa berbentuk gabungan tampak dengan
dengar (audio-visual). Media massa berbentuk tampak umumnya dikerjakan dengan
mesin cetak, maka disebut sebagai media massa cetak atau media cetak. Media cetak
meliputi surat kabar, brosur, selebaran, majalah, buletin, tabloid, dan buku. Media massa
berbentuk dengar (audio) meliputi semua alat mekanis yang menghasilkan lambang
suara termasuk musik, seperti radio dan kaset. Media massa berbentuk gabungan tampak
dan dengar (audio-visual) meliputi televisi, kaset musik video dan film. Radio, televisi,
dan film pada dasarnya bekerja dengan elektronik sehingga disebut media elektronik
(Wright, 1988; Effendy, 1993; Straubhaar and LaRose, 2006).
Media massa memiliki karakter berbeda satu sama lain, dengan kelebihan dan
kekurangannya. Misalnya karakter televisi berbeda dengan radio, surat kabar, sebagai
media konvensional. Sementara saat ini dalam era globalisasi lompatan dan kemajuan
teknologi tidak diduga demikian cepatnya. Misalnya komputer menghasilkan medium
internet yang dianggap sebagai medium interaktif dengan sebutan blog (weblog) dan
vlog (videolog) (Straubhaar and LaRose, 2006). Selain itu, teknologi seluler sudah
berkembang tak kalah cepatnya misalnya dengan adanya fasilitas sms dan video
streaming.
Media atau dalam istilah bahasa Inggris disebut Channel adalah alat atau cara di
mana pesan disampaikan dari komunikator ke komunikan (Infante et al. 1993). Masih
menurut Infante et al. (1993) bahwa Berlo dalam model Source, Message, Channel dan
Receiver (SMCR) menempatkan lima panca indera manusia sebagai media (channel).
Bahkan Mcluhan dalam Littlejohn (1989) mengatakan bahwa media adalah pesan itu
sendiri.
Media massa, menurut McQuail (1989) memiliki peran mediasi
(penengah/penghubung) antara realitas sosial yang obyektif dengan pengalaman pribadi.
Sedangkan menurut Littlejohn (1989), media are organizations that distribute culture
products or messages that affect and reflect the culture of society. Media massa juga
memiliki peran mediasi antara realitas sosial yang obyektif dengan pengalaman pribadi
khalayaknya, di mana media massa menyalurkan produk atau pesan budaya sebagai
refleksi budaya masyarakatnya.
Dalam dunia periklanan terkini, Kasali (1992) dan Stout dalam Straubhhar and
LaRose (2006) membedakan media ke dalam tiga (3) kelompok, yaitu :
a. Media lini atas terdiri dari iklan-iklan yang dimuat dalam media cetak, media
elektronik (radio, televisi dan bioskop), serta media luar ruang (papan reklame dan
angkutan).
b. Media lini bawah terdiri dari seluruh media selain media di atas, seperti direct mail,
pameran, point of sale display material, kalender, agenda, gantungan kunci atau
tanda mata.
c. Media interaktif, yaitu internet.
Menurut Stout dalam Straubhaar and LaRose (2006), pengiklan melalui pencipta
iklan dalam memilih media untuk beriklan berdasarkan pada apa yang ingin dicapai,
jenis pesan atau informasi yang ingin dikomunikasikan dan biaya yang dikeluarkan.
Pengiklan berusaha mencapai sejumlah besar khalayak dengan biaya sedikit mungkin.
Biaya untuk penggunaan media bergantung pada beberapa faktor, seperti ukuran
khalayak, komposisi khalayak (umur, penghasilan, pendidikan, dan sebagainya), dan
prestise dari media itu sendiri.
2.2 Televisi sebagai Media Komunikasi Massa
Jenis media yang dipakai dalam berkomunikasi dapat mempengaruhi persepsi
dan daya serap pesan bagi penerima. Misalnya televisi memiliki karakteristik yang sarat
dengan teknologi audio dan visual. Pada saat menonton acara televisi, secara disadari
atau tidak, digunakan kelima panca indera (melihat, mendengar, menyentuh, membaui
dan merasa) secara bersamaan.
Dalam konteks mediasi media massa, McQuail (1989) menganggap televisi
sebagai medium yang mampu menyajikan realitas seolah-olah nyata, padahal semu bagi
pemirsa di ruang-ruang keluarga. Peran televisi seperti ini disebut dengan istilah pseudo
reality. Selain itu, karena kemampuan audiovisual yang menarik perhatian individu,
maka siaran televisi mampu menjangkau khalayak yang lebih banyak dibandingkan
media massa lainnya. Televisi juga berfungsi sebagai pendistribusi bahkan memediasi
realitas sosial dengan pengalaman khalayaknya berupa produk atau pesan-pesan budaya
yang sebenarnya merefleksikan budaya masyarakat itu sendiri. Selain itu, televisi
berfungsi untuk menyebarkan informasi, baik informatif maupun sosial, bahkan sebagai
sumber inspirasi tentang bagaimana memecahkan masalah atau mengambil keputusan.
Hal ini sejalan dengan paradigma media massa yang menyatakan bahwa media
massa berfungsi sebagai agen pembangunan (agent of development), dalam memberikan
informasi, motivasi dan menggerakkan masyarakat, agar tidak hanya mengerti arti
pembangunan, namun juga mendukung dan berpartisipasi dalam proses pembangunan
yang sedang berlangsung. Oleh karena itu, televisi hampir tidak memperoleh tandingan,
antara lain karena efektivitas penyebarannya, pesona gambar dan suaranya serta
kemampuan komunikatif yang sempurna (Wright, 1988; McQuail, 1989; Effendy,
1993).
2.2.1 Format Siaran Televisi
Televisi merupakan media massa yang memadu audio sebagai segi penyiaran
suaranya dan visual sebagai segi gambar bergeraknya (moving images). Luasnya
masyarakat yang dapat dijangkau oleh televisi kadang-kadang dapat menyebabkan
penyiaran bersifat umum dan menjemukan. Oleh karena itu segmentasi pasar sebuah
stasiun terbagi-bagi menurut rubrik yang disiarkan. Pemirsa terbagi-bagi pada berbagai
jenis rubrik yang disukai yang dikaitkan dengan jam siarannya. Misalnya, acara film
anak-anak pada pagi dan petang hari menjangkau khalayak anak-anak. Acara memasak,
keluarga, film drama dan senam menjangkau ibu-ibu rumah tangga. Acara diskusi pasar
modal, siaran berita, serta film-film detektif menjangkau para pria berpendidikan
(Kasali, 1992).
Format siaran televisi telah dibuat sedemikian rupa seperti format siaran radio
yang membedakan pemirsa satu stasiun dengan pemirsa stasiun lainnya. Misalnya, ada
stasiun yang sepanjang hari hanya menyiarkan berita tanpa diselingi oleh film-film
cerita, ada yang siarannya sepanjang hari didominasi bermacam-macam kuis, dan ada
pula yang hanya film cerita saja atau siaran olah raga. Masing-masing format siaran
yang spesifik ini sangat membantu pengiklan dalam melakukan kampanye iklan (Kasali,
1992).
2.2.2 Kekuatan dan Kelemahan Televisi
Kasali (1992) menguraikan kekuatan dan kelemahan televisi sebagai medium
iklan sebagai berikut :
a. Kekuatan Televisi
1) Efisiensi biaya. Banyak pengiklan memandang televisi sebagai media yang
paling efektif untuk menyampaikan pesan-pesan komersialnya. Salah satu
keunggulannya adalah kemampuan menjangkau khalayak sasaran yang sangat
luas. Jutaan orang menonton televisi secara teratur. Televisi menjangkau
khalayak sasaran yang dapat dicapai oleh media lainnya, tetapi juga khalayak
yang tidak terjangkau oleh media cetak. Jangkauan massal ini menimbulkan
efisiensi biaya untuk menjangkau setiap kepala.
2) Dampak kuat. Keunggulan lainnya adalah kemampuannya menimbulkan dampak
yang kuat terhadap konsumen, dengan tekanan pada sekaligus dua indera, seperti
penglihatan dan pendengaran. Televisi juga mampu menciptakan kelenturan bagi
pekerjaan-pekerjaan kreatif dengan mengombinasikan gerakan, kecantikan,
suara, warna, drama dan humor.
3) Pengaruh kuat. Televisi mempunyai kemampuan kuat untuk mempengaruhi
persepsi khalayak sasaran. Kebanyakan masyarakat meluangkan waktunya di
muka televisi, sebagai sumber berita, hiburan dan sarana pendidikan.
Kebanyakan calon pembeli lebih ”percaya” pada perusahaan yang mengiklankan
produknya di televisi daripada yang tidak sama sekali yang merupakan cerminan
bonafiditas pengiklan.
b. Kelemahan Televisi
1) Biaya besar. Kelemahan yang paling serius dalam beriklan di televisi adalah
biaya absolut yang sangat ekstrem untuk memproduksi dan menyiarkan siaran
komersial. Sekalipun biaya untuk menjangkau setiap kepala adalah rendah, biaya
absolut dapat membatasi niat pengiklan. Biaya produksi, termasuk biaya
pembuatan film dan honorarium artis yang terlibat, dapat menghabiskan jutaan
rupiah. Belum lagi penyiarannya yang harus diulang-ulang pada jam-jam siaran
utama.
2) Khalayak tidak selektif. Sekalipun berbagai teknologi telah diperkenalkan untuk
menjangkau sasaran yang lebih selektif, televisi tetap sebuah media yang tidak
selektif, karena segmentasinya tidak setajam surat kabar atau majalah. Jadi,
iklan-iklan yang disiarkan di televisi memiliki kemungkinan menjangkau pasar
tidak tepat.
3) Kesulitan teknis. Media ini juga tidak luwes dalam pengaturan teknis. Iklan-iklan
yang telah dibuat tidak dapat diubah begitu saja jadwalnya, apalagi menjelang
jam-jam siarannya.
2.3 Komunikasi Pemasaran
Untuk memenangkan persaingan bisnis yang semakin ketat, pada tahun 90-an
mulai diperkenalkan konsep yang memadukan strategi komunikasi dan pemasaran,
sehingga memunculkan istilah komunikasi pemasaran. Harris (1991) memunculkan
istilah marketing public relations (MPR). Jefkins (1988) menyebutnya marketing
communication. Kasali (1992) menegaskan bahwa perpaduan konsep tersebut disebut
sebagai bauran komunikasi pemasaran (marketing communication mix). Sedangkan
Temporal (2001) dan Stout dalam Straubhaar and LaRose (2006) sepakat dengan istilah
komunikasi pemasaran terpadu (integrated marketing communication).
Pada dasarnya istilah bagi konsep komunikasi pemasaran berlandaskan pada dua
konsep, yaitu komunikasi dan pemasaran. Strategi komunikasi menekankan pada
pengelolaan komunikasi yang bersifat informatif dan persuasif serta kesan-kesan
konsumen terhadap perusahaan dan produknya (Harris, 1991). Menurut Rachmadi
(1992) komunikasi yang dilakukan adalah komunikasi yang dapat dipercaya untuk
menciptakan kemauan baik. Sementara strategi pemasaran menurut Harris (1991)
menekankan pada upaya merangsang pembelian dan kepuasan konsumen. Jefkins (2004)
menyatakan bahwa kegiatan pemasaran merupakan proses manajemen yang
bertanggung jawab mengenali, mengantisipasi dan memuaskan keinginan atau
kebutuhan konsumen demi meraih laba.
Jefkins (1988) menyebutkan komunikasi pemasaran aims at creating a favorable
marketing situation in advance of selling, distribution, advertising and sales promotion.
Menurut Temporal (2001) untuk pembangunan suatu merek diperlukan komunikasi
yang bersifat strategis dalam mengkomunikasikan nilai-nilai dan kepribadian merek,
yaitu strategi komunikasi pemasaran terpadu. Suatu strategi komunikasi total merupakan
strategi yang sangat penting dalam pembangunan merek, karena strategi ini menentukan
keefektivan penciptaan citra. Komunikasi-komunikasi mengutarakan janji merek
tersebut yang akan dialami oleh para konsumen. Nada dan gaya komunikasi
mencerminkan kepribadian merek dan pemilihan media mempengaruhi penetrasi
segmennya. Menurut Stout dalam Straubhaar and LaRose (2006) integrated marketing
communication assures that the use of all commercial media and messages is clear,
consistent, and achieves impact.
Jadi dapat dikatakan bahwa komunikasi pemasaran merupakan suatu strategi
dalam membangun produk atau merek dengan cara mengkomunikasikan nilai-nilai dan
kepribadian merek melalui upaya penciptaan situasi pemasaran yang menyenangkan
melalui periklanan maupun bentuk promosi penjualan lainnya yang bersifat informatif,
persuasif, jelas dan konsisten. Dalam penelitian ini difokuskan pada komunikasi
pemasaran melalui periklanan.
2.4 Periklanan
Pengertian periklanan adalah bentuk komunikasi yang dibayar dan biasanya
bersifat persuasif. Meskipun tujuan periklanan selalu untuk menginformasikan dan
membujuk, namun periklanan juga mengalami perubahan yang dramatis sebagai suatu
bentuk komunikasi (Stout dalam Straubhar and LaRose, 2006). Sedangkan Kasali
(1992) mengungkapkan pengertian periklanan sebagai keseluruhan proses yang meliputi
penyiapan, perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan penyampaian iklan. Sebagai
suatu tujuan, Jefkins (1996) mengatakan advertising aims to persuade people to buy.
Dalam dunia industri periklanan terdapat tiga pelaku periklanan yang disebut
sebagai hubungan tripartit, yaitu pengiklan, pencipta iklan (biro iklan), dan pihak media.
Proses periklanan berlangsung sejak pengiklan membayar komisi kepada biro iklan
untuk menciptakan iklan, kemudian mengawasi pekerjaannya. Biro iklan membantu
pengiklan dalam menciptakan iklan, mengembangkan kreasi dan membeli ruang dan
atau waktu di media, kemudian menempatkan iklan berdasarkan pada data rating. Pihak
media membantu menyediakan ruang dan atau waktunya untuk digunakan oleh
pengiklan (Kasali, 1992; Stout dalam Straubhaar and LaRose, 2006).
Lembaga pengawas yang terdiri dari pemerintah dan para pesaing berinteraksi
atau bahkan mempengaruhi aktivitas pengambilan keputusan pengiklan dengan berbagai
cara. Pemerintah berkepentingan dalam memberi rambu-rambu dalam bentuk peraturan
pemerintah seperti norma-norma kesusilaan, kesehatan, ataupun keselamatan
penggunaan. Sedangkan para pesaing memegang peranan langsung maupun tidak
langsung dalam mempengaruhi gerakan pengiklan. Apa yang dilakukan pesaing
biasanya tercermin dalam kampanye-kampanye periklanan yang dilakukannya dan akan
dipantau terus-menerus (Kasali 1992; Stout dalam Straubhaar and LaRose, 2006).
Model proses periklanan dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Model Proses Periklanan (diadaptasi dari Kasali, 1992; Stout
dalam Straubhaar and LaRose, 2006)
Stout dalam Straubhaar and LaRose (2006) mengatakan bahwa advertising must
communicate important information about product (such as price, features, channel of
distribution, and the like), but it also requires a creative way of stating these facts that
cuts through the clutter of competing advertisements and gets attention of consumers.
All messages have an informational dimension and an emotional dimension. Because
advertising has to get the attention of audience members who are usually not interested
in the message, how the message is conveyed is just as important as what is said.
Advertising is as a form of communication in terms of both its style and its content, and
the continuity of theme. Advertiser and advertising agency integrate symbols of popular
culture. Ultimately, advertising turns out to be a reflection of social and culture norms
due to a tendency of communicate in the language of the familiar.
Periklanan dapat dikatakan sebagai keseluruhan proses yang meliputi penyiapan,
perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan penyampaian periklanan dari suatu produk
atau merek melalui media massa yang dibayar dengan tujuan menginformasikan dan
membujuk orang untuk membeli. Proses periklanan suatu produk atau merek melibatkan
hubungan tiga (3) pihak, yaitu pengiklan, pencipta iklan, dan pihak media. Pencipta
iklan, berdasarkan informasi produk atau merek dari pengiklan, mengintegrasikan pesan
dalam periklanan berupa simbol budaya popular dalam bahasa yang mudah dipahami
masyarakat. Di sisi lain, pemerintah berfungsi sebagai lembaga pengawas, sedangkan
pesaing berkontribusi dalam mempengaruhi pengiklan dalam pengambilan keputusan.
2.4.1 Pengiklan
Pengiklan Pencipta
Iklan
Media
Khakayak
Komisi Pembelian media
Iklan
Rating
Jalur dari media
Pembelian oleh
konsumen
Review
Pengiklan merupakan penggagas awal dalam suatu proses komunikasi pemasaran
melalui periklanan. Kasali (1992) mengatakan bahwa pengiklan adalah inti dari sistem
manajemen periklanan yang memfokuskan perhatian pada analisa, perencanaan,
pengendalian dan aktivitas pengambilan keputusan. Pengiklan melakukan seluruh
pengarahan manajerial dan dukungan anggaran untuk mengembangkan program
periklanan perusahaan atau lembaga bersangkutan. Sewaktu membuat iklan, pengiklan
harus memperhatikan identitas perusahaan, strategi pemasaran dan produk utama
andalan perusahaan. Atas dasar itu strategi periklanan diharapkan dapat mendukung
program pemasaran tanpa menghilangkan kesan konsumen terhadap kepribadian
perusahaan.
Stout dalam Straubhaar and LaRose (2006) mengatakan bahwa dalam
penciptaan pesan periklanan pada dasarnya tidak dilakukan oleh pengiklan. Pengiklan
mendelegasikan penciptaan pesan periklanannya kepada pencipta iklan (advertising
agency). Pengiklan berfokus untuk menghasilkan suatu produk dan menjualnya,
sedangkan perencanaan dan pelaksanaan kampanye periklanan dilakukan oleh pencipta
iklan yang ditunjuknya. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa pengiklan berfokus untuk
menghasilkan suatu produk dan menjualnya, makanya waktu membuat iklan, pengiklan
harus memperhatikan identitas perusahaan, strategi pemasaran dan produk utama
andalan perusahaan. Atas dasar itu strategi periklanan diharapkan dapat mendukung
program pemasaran tanpa menghilangkan kesan konsumen terhadap kepribadian
perusahaan.
2.4.2 Produk
Produk menurut Stanton dalam Alma (2004) adalah seperangkat atribut baik
berwujud maupun tidak berwujud termasuk di dalamnya masalah warna, harga, nama
baik pabrik, nama baik toko yang menjual (pengecer) dan pelayanan pabrik serta
pelayanan pengecer, yang diterima oleh pembeli guna memuaskan keinginannya. Kotler
and Roberto (1989) mengatakan bahwa produk adalah segala sesuatu yang dapat
ditawarkan di pasar, untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan konsumen. Produk
terdiri atas barang, jasa, pengalaman, events, orang, tempat, kepemilikan, organisasi,
informasi dan ide.
Kategori produk lain disebut Kotler and Roberto (1989) sebagai produk sosial.
Menurutnya produk sosial terdiri dari ide (idea), praktek sosial (practice) dan produk
nyata (tangible object). Tipe ide terdiri dari (a) kepercayaan (belief) merupakan suatu
persepsi mengenai sesuatu hal yang faktual; kepercayaan juga meliputi evaluasi, (b)
sikap (attitude) merupakan evaluasi positif atau negatif mengenai orang, obyek, ide atau
peristiwa, (c) nilai (value) merupakan keseluruhan ide mengenai apa yang benar dan
salah. Produk bertipe praktek sosial, yaitu tindakan (act) dan perilaku (behavior) yang
mungkin saja merupakan peristiwa dari suatu tindakan tunggal, seperti hadir untuk
mendapatkan vaksinasi atau memberikan suara dalam pemilu. Praktek tindakan sosial
dapat berbentuk tindakan pribadi ataupun pembentukan pola perilaku. Sedangkan
produk nyata mengacu kepada produk fisik yang membantu suatu kampanye. Produk
nyata merupakan produk pelengkap atau penyempurnaan dari praktek sosial.
Seluruh dimensi produk, baik bersifat tangible maupun intangible, yang
memberikannya nilai merupakan merek dari produk tersebut. Suatu merek berisi seluruh
dimensi yang mengidentifikasi dan memberi nilai unik bagi suatu produk atau
perusahaan (Stout dalam Straubhaar and LaRose, 2006). Setiap produk memiliki
karakteristik tersendiri. Karakteristik adalah ciri khas yang menunjukkan keistimewaan
yang membedakan sesuatu hal. Karakteristik produk menurut Kasali (1992) adalah
adanya penonjolan salah satu dari sekian unsur produk yang dapat ditonjolkan. Tetapi
ada pula dan dapat pula ditonjolkan dua (2) atau lebih atribut secara bersamaan.
Karakteristik produk tersebut dapat dibagi menjadi tiga (Kasali, 1992), yaitu :
a. Karakteristik fisik. Penonjolan karakter ini meliputi sifat-sifat fisik suatu produk,
seperti suhu, warna, ketebalan, kehalusan, jarak, harga, kekenyalan, kekuatan, berat,
dan sejenisnya.
b. Karakteristik fisik semu. Karakter ini tidak dapat diukur atau dilihat dengan jelas
seperti karakter fisik di atas yang meliputi sifat-sifat yang bertalian dengan rasa,
selera, bau (keharuman), simbol-simbol, dan sebagainya.
c. Keuntungan konsumen. Keuntungan ini mengacu pada keuntungan yang dapat
dinikmati oleh calon pembeli. Misalnya, tidak berbahaya bagi kulit, aman bagi anak-
anak dan wanita hamil, tidak berbau, tidak berlemak, mudah dihidangkan, dan
sebagainya. Hal ini disebut keuntungan ekstra.
Dalam mengatasi ledakan produk yang akan terjadi, banyak produsen yang
menyadari untuk menyusun ataupun menanamkan produknya dalam benak konsumen.
Banyaknya tangga-tangga dalam benak konsumen, memperkeras usaha produsen untuk
menduduki tangga pertama dengan memperkenalkan kategori atau variasi produk baru
yang diharapkan agar konsumen dapat mencengkram produk tersebut di dalam benaknya
apalagi jika produk itu berkaitan dengan produk yang terdahulu.
Setiap kategori produk apapun, berprospek mengetahui manfaat penggunaan
setiap produk. Untuk memanjat tangga produk yang ada pada pikirannya, produsen
harus mengaitkan produk yang akan diluncurkan dengan merk-merk lain yang sudah ada
dalam benaknya (Ries and Trout, 1981). Menurut Arnold (1996), inti dari sebuah merk
merupakan kepribadian merk sekaligus unsur yang harus tampil lain daripada yang lain
dalam pasar. Inilah yang membuat konsumen merasa loyal. Dalam produk dapat dilihat
adanya keuntungan-keuntungan yang nyata yang diberikan merk tersebut setelah melihat
kegunaan merk tersebut dan mendorong untuk berusaha memuaskan, serta memenuhi
kebutuhan dan keinginannya.
Sehubungan dengan hal di atas, Kasali (1992) mengungkapkan bahwa
karakteristik produk dapat menggambarkan hal berikut :
a. Pengelompokkan atau penggolongan produk
b. Mutu implisit produk
c. Pelayanan tambahan
d. Penggolongan produk tradisional
e. Tahap daur hidup
f. Distribusi produk
g. Kepribadian produk (citra dan posisinya)
h. Kemasan dan penampilan
i. Daya jangkau bagi konsumen
Dapat disimpulkan bahwa karakteristik produk secara tidak langsung
mempengaruhi pembelian dari calon konsumen. Karakteristik produk yang mengiringi
dapat mempengaruhi suatu produk dalam memberikan alternatif untuk memberikan
kepuasan tersendiri bagi konsumen. Karakteristik produk dapat dibentuk berdasarkan :
(a) karakteristik fisik, seperti suhu, warna, ketebalan, kehalusan, jarak, harga,
kekenyalan, kekuatan, berat, dan sejenisnya; (b) karakteristik fisik semu meliputi sifat
yang bertalian dengan rasa, selera, keharuman, simbol-simbol, dan sejenisnya; (c)
keuntungan konsumen, seperti tidak berbahaya bagi kulit, aman bagi anak-anak dan
wanita hamil, tidak berbau, tidak berlemak, mudah dihidangkan, dan sebagainya. Agar
kepribadian dari produk itu tetap ada, karakteristik dari produk diusahakan tidak
bertabrakan dengan inti dari merk tersebut malah justru harus menambah nilai plus dari
produk tersebut.
2.4.3 Pencipta Iklan
Dalam periklanan, pencipta iklan merupakan bagian dari biro iklan atau
perusahaan periklanan (advertising agency). Perusahaan periklanan berisi individu-
individu berbakat yang menciptakan dan melakukan perencanaan periklanan.
Perencanaan periklanan merupakan suatu dokumen tertulis yang berisi garis besar tujuan
dan strategi bagi periklanan suatu produk (Stout dalam Straubhaar and LaRose, 2006).
Dalam perencanaan periklanan, menurut Stout dalam Straubhaar and LaRose
(2006) pencipta iklan berpedoman pada beberapa unsur, yaitu :
a. Situation Analysis, yaitu (1) menjelaskan dimana perusahaan saat ini, bagaimana
mencapainya dan ingin berada di masa depan, (2) mengidentifikasi persoalan-
persoalan relevan yang harus ditujukan oleh periklanan dan memberikan gambaran
lengkap tentang konsumen dan produk.
b. Objectives, yaitu (1) segala hal yang berkaitan dengan pencapaian kampanye
periklanan, (2) berdasarkan pada sifat produk, persaingan, permintaan konsumen dan
ketersediaan anggaran.
c. Target Market Profile, yaitu gambaran individu-individu yang paling mungkin
membeli produk, seperti sifat demografik dan psikografiknya.
d. Positioning Statement, yaitu paragraf singkat yang menjelaskan bagaimana
perusahaan menginginkan konsumen mempersepsi produk.
e. Creative Strategy, yaitu bagian dari perencanaan yang menggambarkan tema
spesifik dan pendekatan periklanan tentang apa yang ingin ditampilkan periklanan
secara nyata. Strategi kreatif berisi ”a big idea” atau suatu cara yang menyegarkan
dan menarik untuk menganggap penting suatu produk.
f. Media plan, yaitu perencanaan media yang akan digunakan dalam melancarkan
kampanye periklanan.
Stout dalam Straubhaar and LaRose (2006) mengatakan bahwa a key element in
the advertising plan is the creative strategy, or what the advertising will say in order to
achieve the objectives of the campaign. Using the research data as a foundation,
copywriters and graphic designer begin work on a creative concept or “big idea”.
Concepting is the act of saying something in a unique way but at the same time ensuring
that the message is “on strategy” with what needs to be communicated for the product
to sell.
Peran besar pencipta iklan dalam kampanye periklanan adalah bagaimana
menciptakan konsep kreatif atau “big idea” bagi komunikasi suatu produk. Copywriter
dan visualizer atau desainer grafis membenamkan diri ke dalam berbagai informasi
mengenai produk, pasar dan konsumen sasaran dan kemudian menginkubasinya untuk
menghasilkan positioning tertentu di dalam komunikasi yang kemudian dapat dipakai
untuk merumuskan tujuan iklan (Kasali, 1992; Stout dalam Straubhaar and LaRose,
2006). Dalam hal ini, pencipta iklan melakukan proses pembentukan dan penentuan
positioning bagi produk yang akan diiklankan. Pencipta iklan melandaskan pekerjaannya
berdasarkan pada perencanaan periklanan yang meliputi analisis situasi, tujuan, profil
target market, pernyataan positioning, strategi kreatif dan perencanaan media. Untuk itu
dilakukan reproduksi dengan cara mengkonstruksi informasi-informasi bersifat sosial
tersebut untuk diwujudkan ke dalam pesan sebuah iklan.
2.4.4 Iklan
Definisi iklan menurut Kasali (1992) adalah pesan yang menawarkan suatu
produk yang ditujukan kepada masyarakat lewat suatu media. Menurut Kotler (1994),
iklan merupakan bentuk komunikasi non-personal yang dilaksanakan lewat media dan
dibayar oleh sponsor yang jelas. Iklan menurut Effendy (1989) adalah pesan komunikasi
yang disebarluaskan kepada khalayak untuk menawarkan barang dan jasa dengan
menyewa media. Iklan juga merupakan informasi, baik verbal maupun non verbal yang
berfungsi untuk membujuk konsumen untuk membeli produk yang ditawarkan. Sandage
(1975) menyatakan bahwa iklan berfungsi sebagai pembimbing bagi konsumen yang
memberitahukan adanya suatu produk yang dapat memuaskan suatu kebutuhan, tempat
dimana produk itu dapat diperoleh dan mutu yang ditawarkan barang tersebut.
Rangsangan agar konsumen membeli produk yang ditawarkan, dibutuhkan juga
iklan yang semenarik mungkin dengan visual seekspresif mungkin, sehingga dapat
menggambarkan produk yang dimaksud. Dengan menampilkan iklan baik yang sifatnya
informatif dan persuasif, diharapkan mampu merangsang dan membujuk orang untuk
membeli.
Littlejohn (1989) menyatakan informatif adalah pesan yang mampu mengurangi
ketidakpastian dan untuk membuat peramalan keputusan. Persuasif adalah bagaimana
seorang individu berubah sikap sebagai hasil transaksi dengan pihak lain. Dengan
tersiratnya makna persuasif dalam sebuah iklan diharapkan konsumen dapat merubah
sikap dan loyal terhadap produk yang diiklankan.
Isi pesan iklan menurut Stout dalam Straubhaar and LaRose (2006) bermakna
tersembunyi dan implisit. Pesan tersembunyi dalam iklan adalah pesan yang bersifat
halus dan memanipulasi yang secara tidak disadari merangsang pembelian. Sedangkan
pesan implisit adalah pesan bersifat tegas yang tidak hanya menjual produk, tetapi juga
mempromosikan gaya hidup materialistik dimana kebahagiaan hidup dapat dicapai
dengan mengkonsumsi barang materi.
Banyaknya iklan produk dan jasa di televisi, terutama iklan yang sejenis,
menyebabkan pesan dalam sebuah iklan di televisi harus dapat memberikan daya tarik
dan citra tersendiri bagi khalayaknya. Hal tersebut dimaksudkan agar terjadi kesesuaian
antara isi pesan yang terkandung dalam iklan dengan yang dipersepsikan oleh khalayak,
sehingga pesan tersebut mampu memposisikan merek dari produk atau jasa yang
diiklankan ke dalam benak khalayak.
Nurrahmawati (2002) mengatakan pengingatan nama merek dalam pesan iklan
merupakan respon yang perlu ditanamkan dalam benak calon konsumen untuk bertindak
melakukan pembelian. Menurut Mulyana (1997), iklan televisi bukan bercerita
mengenai sifat produk yang ditawarkan, tetapi sifat para pembelinya, sehingga
konsumen membeli bukan karena produknya, tetapi karena sentuhan emosi dari pesan
iklannya. Iklan televisi mengarahkan konsumen untuk mempercayai realitas yang
ditampilkan dalam bentuk simbol-simbol produk sosial.
Dalam menyampaikan pesannya, iklan-iklan tersebut sangat berpengaruh pada
khalayak, di mana khalayak dipaksa untuk menerima informasi-informasi di luar batas
kemampuan khalayak itu sendiri, karena terlalu banyaknya informasi yang disampaikan
yang khalayak terima, sehingga khalayak merasa jenuh. Informasi-informasi tersebut
tidak lagi dapat diseleksi secara rasional. Untuk itu, informasi-informasi tersebut disusun
menurut tangga-tangga, di mana anak tangga pertama dipersepsikan sebagai yang paling
bagus dan paling bermutu. Sedangkan anak tangga kedua dipersepsikan sebagai kurang
bermutu atau sebagai merk kedua (Kasali, 1992).
Untuk menjadi anak tangga pertama tidaklah mudah, karena kesemuanya itu
menyangkut persepsi dari seseorang, yaitu bagaimana cara untuk menyakinkan calon
pembeli untuk menentukan mereknya pada tangga pertama. Di sini manusia melakukan
proses seleksi di dalam pikirannya dalam menerima pesan-pesan komunikasi yang
merupakan satu bagian dari proses persepsi dalam pikiran manusia pada saat proses
komunikasi berlangsung (Kasali, 1992).
Untuk mencapai tangga pertama diperlukan positioning, karena untuk mencapai
anak tangga pertama seseorang harus memahami dan telah mengingat merek produk
tertentu di antara produk-produk sejenis lainnya. Strategi positioning digunakan sebagai
jalan untuk menempatkan produk di dalam pikiran konsumen dengan menonjolkan salah
satu keunggulan di antara keunggulan-keunggulan yang lain (Kasali, 1992).
Iklan adalah pesan komunikasi verbal maupun non verbal yang disampaikan
kepada komunikan dengan maksud agar membeli dan tetap loyal kepada produknya.
Tanpa harus mengabaikan bagaimana cara agar orang melihat, tertarik, memahami dan
membeli setelah melihat iklan dengan cara membuat iklan semenarik mungkin serta
harus disesuaikan dengan keinginan dan kebutuhan konsumen.
Kebanyakan hanya sedikit khalayak menyimak iklan yang ditayangkan di
televisi. Hal demikian menurut Collet dalam Kasali (1992) dikarenakan :
a. Sifat iklan itu sendiri yang mencerminkan sifat produk yang diiklankan.
b. Sifat khalayak pemirsa itu sendiri. Sebagian dari khalayak sama sekali tidak mau
disuguhi iklan, sedangkan sebagian lainnya lagi memang commercial consumers.
c. Positioning iklan tersebut di dalam keseluruhan program siaran televisi, terutama
saat-saat penyiaran dan acara yang disela.
d. Perhatian pemirsa acap kali sangat ditentukan oleh kehadiran orang lain di dalam
ruang tempat menonton. Semakin banyak orang yang berada di situ, semakin kecil
perhatian pemirsa terhadap iklan.
e. Pemuatan iklan. Jika iklan disela di antara adegan-adegan yang menarik dari suatu
program yang banyak disukai orang, makin banyak waktu yang dihabiskan oleh
pemirsa untuk melihat iklan.
Menurut Bettinghaus (1973), pesan persuasif dibentuk atau dirancang melalui
penggunaan sistem kode secara efektif. Sistem kode tersebut, yaitu sekelompok simbol
dan sekelompok aturan yang tergabung menjadi unit-unit bermakna. Sistem kode
tersebut merupakan unsur dasar dari sistem bahasa, seperti kata-kata yang merupakan
bahasa verbal atau sistem kode verbal. Selain itu sistem kode nonverbal, seperti ekspresi
wajah, kerutan dahi, senyuman, gerak tubuh, isyarat dan lainnya. Meskipun unsur dalam
sistem kode nonverbal berbeda, namun aturan dalam membentuk makna tidak berbeda
karakteristiknya dengan sistem kode verbal. Bahkan fungsi pesan nonverbal
mempertegas makna pesan verbal.
Pesan dalam sebuah iklan dapat disebut teks iklan. Sebagai suatu teks, pesan
dalam iklan menggunakan sistem tanda yang terdiri atas lambang, baik verbal maupun
berupa ikon. Iklan juga menggunakan tiruan indeks, terutama dalam iklan radio, televisi
dan film. Pada dasarnya, lambang yang digunakan dalam iklan terdiri atas dua jenis,
yaitu verbal maupun nonverbal. Lambang verbal adalah bahasa yang dikenal; lambang
nonverbal adalah bentuk dan warna yang disajikan dalam iklan, yang tidak secara
khusus meniru rupa atau bentuk realitas. Ikon adalah bentuk dan warna yang serupa atau
mirip dengan keadaan yang sebenarnya seperti gambar benda, orang, atau binatang. Ikon
di sini digunakan sebagai lambang (Sobur, 2003).
2.4.5 Iklan Televisi
Iklan televisi sangat tergantung pada bentuk siarannya, apakah merupakan
bagian dari suatu kongsi atau sindikat, jaringan, lokal, kabel, atau bentuk lainnya
(Kasali, 1992). Lebih lanjut, Kasali (1992) membagi iklan televisi ke dalam empat (4)
bentuk, yaitu :
a. Pensponsoran. Banyak sekali acara televisi yang penayangan dan pembuatannya
dilakukan atas biaya sponsor atau pengiklan. Pihak sponsor bersedia membiayai
seluruh biaya produksi plus fee untuk televisi.
b. Partisipasi. Iklan disisipkan di antara satu atau beberapa acara (spots). Pengiklan
dapat membeli waktu yang tersedia, baik atas acara yang tetap maupun yang tidak
tetap.
c. Spot Announcement. Iklan ditempatkan pada pergantian acara.
d. Public Service Announcement. Iklan layanan masyarakat yang ditempatkan di
tengah-tengah suatu acara. Iklan ini biasanya dimuat atas permintaan pemerintah
atau suatu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk menggalang solidaritas
masyarakat atas suatu masalah.
Menurut Kasali (1992) di dalam dunia periklanan, kata kreatif banyak dipakai
bersama beberapa kata lain untuk merujuk pada istilah dan pengertian berbeda, antara
lain (1) orang kreatif, (2) strategi kreatif dan (3) pengerjaan kreatif. Strategi kreatif
merupakan berbagai informasi mengenai produk, pasar dan konsumen sasaran, ke dalam
suatu posisi tertentu di dalam komunikasi yang kemudian dapat dipakai untuk
merumuskan tujuan iklan. Pengerjaan kreatif mencakup pelaksanaan dan pengembangan
konsep atau ide yang dapat mengemukakan strategi dasar dalam bentuk komunikasi
efektif. Termasuk pembuatan judul dan atau kepala tulisan (headline), perwajahan dan
naskah, baik dalam bentuk kopi untuk iklan-iklan media cetak, tulisan untuk iklan-iklan
radio, maupun storyboards untuk iklan-iklan televisi. Kreativitas iklan televisi
diciptakan dengan memperhatikan karakter produk untuk memiliki kemampuan
memposisikan (positioning) yang khas di dalam benak khalayak sasaran.
Proses kreatif sebuah iklan televisi memang unik dan memerlukan kepiawaian,
serta kecermatan khusus dalam penggarapannya. Sifat medianya yang sangat khas,
menuntut tampilan yang khas. Mulai dari konsep yang dapat mengoptimalkan kekuatan
media tersebut, hingga mengurangi atau menghilangkan kelemahan-kelemahannya.
Dalam menerjemahkan panduan cerita (story board) iklan ke dalam sinematografik,
banyak dilakukan trik-trik, baik dalam adegan, model, maupun teknik sinematografi
untuk melahirkan hasil yang cemerlang. Televisi adalah medium massa bersifat intrusif.
Orang dapat menonton televisi dengan membaca, mengobrol, makan dan sebagainya,
maka perlu stimuli yang kuat untuk membuat pemirsa mengalihkan perhatiannya ke
layar kaca. Stimuli dalam iklan televisi dapat dilakukan dengan cara memanfaatkan
kekuatan audiovisual, misal (1) menampilkan soundtrack yang menarik, (2) mampu
menciptakan teather of mind dengan menampilkan jingle yang menciptakan irama dalam
tubuh khalayak, (3) menggunakan dialog yang memiliki karakter dan gaya khusus yang
diperkuat dengan efek suara, (4) menggunakan bahasa tubuh dengan menampilkan unsur
metafora dan demonstratif, yang diperkuat pada detil cerita maupun sinematografinya
(Majalah CAKRAM, 1996).
Untuk iklan televisi, ada beberapa teknik visual yang dapat digunakan untuk
membuat naskah iklan dramatis dan mempunyai kemampuan menjual. Menurut Russel
(dalam Kasali, 1992) teknik-teknik tersebut adalah :
a. Spokespearson. Teknik ini menampilkan seseorang dihadapan kamera yang
langsung membawakan iklan kepada pemirsa televisi.
b. Testimonial. Teknik ini mempergunakan seseorang yang dikenal luas yang mampu
memberikan kesaksian atau jaminan tentang suatu produk.
c. Demonstration. Teknik ini cukup populer mengingat televisi adalah media yang
ideal untuk memberikan demonstrasi kepada konsumen tentang manfaat suatu
produk.
d. Closeups. Teknik inipun ideal untuk dipergunakan oleh televisi.
e. Story Line. Teknik ini mirip membuat sebuah film yang sangat pendek.
f. Direct Product Comparison. Gaya ini membandingkan dua buah produk secara
langsung.
g. Humor. Gaya ini termasuk salah satu gaya yang digemari oleh copywriter maupun
konsumen.
h. Slice of Life. Pendekatan ini menggunakan penggalan dari adegan sehari-hari.
i. Customer Interview. Teknik yang menampilkan gaya seseorang yang sedang
melakukan wawancara.
j. Vignettes and Situations. Produk-produk yang sering menggunakan teknik seperti
ini adalah minuman, permen, rokok, dan produk-produk lain yang sering
dikonsumsi. Gambar yang ditampilkan biasanya menunjukkan sejumlah orang
tengah menikmati sesuatu produk seperti menikmati hidup. Sementara itu, musik dan
liriknya memberikan suasana mendukung.
k. Animation. Teknik seperti ini biasanya menggunakan gambar atau tokoh kartun
sebagai ganti suasana atau manusia sebenarnya.
l. Stop Motion. Meskipun mampu menampilkan gambar bergerak, televisi sering juga
menampilkan iklan yang disajikan hanya sebagai stop motion dan mungkin
merupakan suatu rangkaian gambar berseri.
m. Rotoscope. Teknik ini menggabungkan teknik animasi dengan gambaran nyata.
n. Combination. Teknik ini pada dasarnya merupakan penggabungan dari dua atau
beberapa teknik dasar di atas.
Pembuatan sebuah iklan untuk televisi komersial pada dasarnya mirip dengan
pembuatan sebuah film. Diperlukan suatu naskah tertulis yang kemudian dituangkan
dalam bentuk story boards. Story boards mirip dengan suatu komik. Ada gambar yang
menunjukkan bagian dari adegan dan ada tulisan yang menunjukkan dialog atau suatu
suara yang harus terdengar pada saat gambar itu muncul. Demikian pula dengan
adegan-adegan berikutnya (Kasali, 1992).
Menurut Mulyana (1996), filosofis yang melekat dalam diskursus televisi, iklan
di televisi bukan bercerita mengenai sifat produk yang ditawarkan, melainkan mengenai
sifat para pembelinya. Iklan menayangkan para bintang dan atlet tenar, simbol-simbol
prestisius, kejantanan, kasih sayang, romantisme dan lain-lain, semua ini bukanlah
cerita mengenai sifat atau mutu produk. Iklan tersebut menuturkan kecemasan,
kebahagiaan dan impian yang mungkin akan membeli produk tersebut. Apa yang perlu
diketahui bukanlah apa yang terbaik dari produknya, melainkan apa yang tidak dipunyai
oleh calon pembeli. Artinya, yang ditawarkan oleh produsen bukanlah nilai pakai atau
fungsi produk, tetapi lebih pada nilai gengsi dan prestise.
2.4.6 Iklan Rokok di Televisi
Iklan rokok di televisi lebih sering muncul dalam bentuk spot announcement,
yaitu iklan rokok ditempatkan pada pergantian acara atau program televisi. Iklan rokok
yang ditayangkan di stasiun televisi di Indonesia terikat dengan ketentuan dan peraturan
yang sangat ketat. Misalnya, iklan rokok di televisi hanya boleh tayang di atas pukul
21.00.
Dalam Tata Krama dan Tata Cara Periklanan di Indonesia (Kasali, 1992)
menyebutkan penerapan khusus tentang iklan rokok sebagai berikut :
a. Iklan tidak boleh mempengaruhi atau merangsang orang untuk mulai merokok.
b. Iklan tidak boleh menyarankan bahwa tidak merokok adalah hal yang tidak wajar.
c. Iklan tidak boleh menyarankan bahwa merokok adalah sehat atau bebas dari
gangguan kesehatan.
d. Iklan tidak boleh ditujukan terhadap anak di bawah usia 16 tahun dan atau wanita
hamil, atau menampilkan dalam iklan.
PP No. 81/1999 memperkuat tentang pembatasan iklan rokok di media masa
disebutkan bahwa karakter produk dalam iklan rokok tidak boleh ditayangkan secara
terang-terangan dalam iklan. Iklan rokok Sampoerna A Mild di televisi berbentuk spot
announcement dan ditayangkan di atas pukul 21.00, dimana karakter produk tidak
tervisualkan secara terang-terangan.
Berdasarkan ketentuan tersebut, pembuatan iklan rokok di televisi dituntut
kreativitas tinggi agar, karakter produk tetap dapat terposisi dengan baik di dalam benak
khalayak. Pesan dalam iklan rokok harus menyajikan ciri yang membedakan dengan
produk sejenisnya. Agar khalayak sasaran dapat membedakan produknya dengan produk
sejenis lainnya, maka iklan rokok Sampoerna A Mild harus menyajikan pesan dengan
cara memposisikan produk rokok tersebut melalui pembentukan dan penentuan
positioning berbeda.
2.5 Pembentukan Positioning Produk pada Iklan
Darlymple and Parson (1983) mengatakan bahwa product positioning focuses on
buyer’s perception and preference about the place a product (or brand) occupies in
specified focuses market. Menurut Kotler (1991) product positioning is the act of
establishing a viable competitive positioning of the firm and its offer in each target
market. Stout dalam Straubhaar and La Rose (2006) mengatakan positioning adalah a
short paragraph explaining how the company wants to the consumers to perceive the
product. Harris (1991) menyebutkan positioning is how brands are ranked against the
competition in customer’s mind. Dapat diartikan bahwa positioning produk bukanlah
untuk membentuk suatu pikiran atau kreasi baru dalam benak konsumen, tetapi untuk
menggerakkan apa yang sudah ada dalam pikiran manusia dan menghubungkannya
dengan apa yang sudah ada dalam pikiran konsumen.
Menurut Kasali (1992), dalam menentukan positioning suatu produk atau merek
diperlukan langkah-langkah, yaitu :
1. Identifikasi pasar pesaing, yaitu melakukan identifikasi atas sejumlah pesaing yang
ada di pasar tentang produk sejenis, produk pengganti, maupun bentuk usaha
turunannya.
2. Persepsi konsumen, yaitu melakukan penelitian tentang persepsi konsumen terhadap
produk pesaing, sehingga diperoleh sejumlah atribut yang dianggap penting oleh
konsumen, seperti karakteristik produk, manfaat bagi konsumen, dan sebagainya.
3. Menentukan posisi pesaing, yaitu mengetahui posisi yang diduduki pesaing dari
berbagai sudut pandang.
4. Menganalisis preferensi konsumen, yaitu mengetahui posisi yang dikehendaki oleh
konsumen terhadap suatu produk tertentu.
5. Menentukan posisi merek produk sendiri dengan mempertimbangkan hal-hal, yaitu
(a) analisa terhadap luas dan potensi pasar serta kemungkinan untuk memasuki psar
tersebut, (b) komitmen terhadap segmentasi pasar, (c) jangan mengubah kepribadian
atau ciri khas iklan, (d) penggunaan simbol merek atau produk sebagai identitas dan
kepribadian.
6. Ikuti perkembangan posisi
Menurut Kotler (1991), dalam melakukan positioning produk atau merek perlu
diperhatikan dua (2) tahap, yaitu pertama, identify possible positioning concepts for
each target segment; Kedua, select, develop and communicate the choosen positioning
concept. Dalam memposisikan suatu produk harus mengidentifikasi konsep positioning
yang cocok dengan konsumen, kemudian memilih, mengembangkan dan
mengkomunikasikannya kepada konsumen tersebut. Hal tersebut berarti bahwa dalam
usaha untuk menempatkan merek atau ingin mengenalkan produk tertentu kepada
konsumen harus dilihat apa yang dibutuhkan oleh konsumen dengan melihat ke dalam
benaknya apa yang telah ada di dalam benaknya tersebut. Jika telah ada hubungan yang
erat, di antara keduanya, maka produk yang ingin disampaikan kepada konsumen,
dengan mudah diterima dan dingat oleh konsumen.
Positioning menurut Kasali (1992) adalah suatu proses atau upaya untuk
menempatkan suatu produk, merek, perusahaan, individu atau apa saja dalam alam
pikiran yang dianggap sebagai sasaran atau konsumennya. Positioning mempunyai
maksud untuk menyerang dan menerobos alam pikiran manusia, agar produk atau merek
tertanam dalam pikiran konsumen, sehingga produk tersebut mempunyai posisi teratas
dalam benak setiap konsumen. Gilson and Berkman (1980) mengatakan positioning
adalah creating a unique niche, or position, for a product or service in the consumer’s
mind by emphasizing some specific need that it meet. Positioning merupakan sebuah
kreasi unik atau posisi untuk produk atau pelayanan ke dalam pikiran konsumen dengan
menitikberatkan pada kebutuhan-kebutuhan spesifik yang dibutuhkan atau sesuai dengan
yang diperlukan oleh konsumen.
Untuk dapat menembus benak konsumen, positioning produk perlu dirumuskan
dalam bentuk pernyataan positioning (positioning statement). Pernyataan positioning
berhubungan erat dengan strategi komunikasi yang jitu, pilihan media yang pas,
frekuensi optimal dan memerlukan pertimbangan waktu yang baik. Pernyataan
positioning harus mewakili citra yang hendak dicetak dalam benak konsumen. Citra itu
harus berupa suatu hubungan asosiatif yang mencerminkan karakter suatu produk.
Pernyataan yang dihasilkan harus cukup singkat dan mudah diulang-ulang dalam iklan
dan memiliki dampak yang kuat di sasaran pasar. Pernyataan positioning yang baik dan
efektif harus mengandung dua unsur, yaitu klaim unik dan bukti-bukti yang mendukung
(Kasali, 2005).
Di dalam positioning itu sendiri terdapat strategi-strategi yang berguna untuk
menempatkan suatu merk produk tertentu di dalam alam pikirannya. Strategi-strategi
tersebut diuraikan oleh Kasali (1992) sebagai berikut :
a. Penonjolan Karakteristik Produk
Di sini pengiklan harus menonjolkan salah satu keunggulan di antara keunggulan-
keunggulan lainnya.
b. Penonjolan Harga dan Mutu
Pada penonjolan harga dan mutu, harga yang tinggi dianggap sebagai produk
bermutu, sebaliknya harga rendah dianggap sebagai produk tidak bermutu. Harga
tinggi harus berdasarkan riset dan pengembangan mengenai produk tersebut. Tanpa
adanya itu, positioning hanya bersifat sementara dan dengan mudah akan bergeser
dengan produk-produk pesaing.
c. Penonjolan Penggunaan
Menonjolkan mengenai penggunaan dari produk tersebut. Di dalam penyampaiannya
ada yang menggunakan mengkomunikasikan citra dengan mengaitkan dengan
penggunaan dari produk tersebut.
d. Positioning Menurut Pemakaiannya
Pendekatan pada bagian ini, menonjolkan tentang pemakai produk tersebut. Hal ini
merupakan strategi yang baik, karena pemakai produk pada iklan tersebut akan
menarik konsumen dan membuat konsumen ingin mencoba produk yang dimaksud.
e. Positioning Menurut Kelas Produk
Menonjolkan salah satu kelebihan yang dimiliki oleh produk tersebut, tetapi tidak
dimiliki oleh produk yang lain dan ini merupakan strategi, agar konsumen tertarik
terhadap produk yang diiklankan.
f. Positioning dengan Menonjolkan Simbol-simbol Budaya
Pada bagian ini, ditonjolkan mengenai simbol-simbol budaya yang merupakan
keunggulan dari produk tersebut, di mana berfungsi untuk menciptakan citra yang
berbeda dengan produk-produk pesaing.
g. Positioning Langsung pada Pesaing
Di sini, ditonjolkan mengenai keunggulan-keunggulan yang ada, langsung kepada
konsumen dengan tujuan agar para konsumen tertarik karena terkesan jujur dan di
mana dilakukan juga penonjolan kedudukan produsen itu terhadap pesaingnya.
Berkaitan dengan penelitian dapat dikatakan bahwa positioning produk pada
iklan televisi adalah proses menempatkan dan menghubungkan produk atau merek
dengan apa yang sudah ada dalam benak konsumen sesuai dengan kebutuhan
spesifiknya dirumuskan dalam bentuk pernyataan positioning berupa klaim dan bukti-
bukti mendukung yang mewakili citra produk atau merek dan memiliki hubungan
asosiatif yang mencerminkan karakter produk atau merek yang tampil secara
menyeluruh dalam pesan iklan. Proses positioning produk pada iklan tersebut dilakukan
melalui tahapan mengidentifikasi para pesaing, memahami persepsi konsumen,
menentukan posisi pesaing, menganalisis preferensi konsumen, menentukan posisi
merek produk sendiri, mengikuti perkembangan positioning produk sendiri dan
mengkomunikasikannya kepada konsumen.
2.6 Reproduksi Sosial dalam Membentuk Positioning pada Iklan Televisi
Menurut Bungin (2001), iklan adalah sebuah realitas yang dijadikan ide cerita
dalam iklan televisi. Maksudnya, iklan televisi lahir dari realitas sosial masyarakatnya
sebagai bagian dari reproduksi sosial . . . . Reproduksi sosial iklan televisi terjadi, ketika
iklan televisi merefleksikan realitas sosial (nyata) ke dalam realitas iklan televisi,
kemudian direfleksikan kembali ke dalam realitas sosial pemirsanya.
Efek ideologis yang ditampilkan dalam iklan berkaitan dengan bagaimana iklan
dapat memproduksi dan mereproduksi hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antar
kelas sosial, antara kelompok mayoritas dengan minoritas, laki-laki dengan perempuan,
kaya dan miskin. Ketidakberimbangan ini dimunculkan melalui perbedaan yang
disajikan dalam simbol-simbol yang menjelaskan posisi sosial sebagai realitas sosial
yang ditampilkan.
Melalui media massa, dalam hal ini adalah televisi, kandungan ideologi dalam
iklan televisi dapat diketahui ”ideologi” para pembuatnya. Melalui simbol-simbol yang
terkodekan, sesungguhnya para pencipta iklan televisi, seperti copywriter (penulis
naskah) maupun visualizer, menyampaikan kebenaran dan obyektivitasnya atau
sebaliknya memperjuangkan kepentingan-kepentingannya yang bersifat subyektif.
Adakalanya pencipta iklan televisi mendapatkan pengaruh luar, yaitu pengkilan, dengan
menginternalisasi penggunaan kode visual dan tulisan, kode artikulasi dan suara, kode
teknik pengambilan suara atau shot, serta keanekaragaman efek-efek audiovisual pada
iklan televisi yang bersifat khusus dan ideologis.
Dalam proses demikian terjadi tarik menarik kepentingan positif bagi produk
antara pengiklan dan pencipta iklan. Proses interaksi simbolik berlangsung, baik dalam
diri pengiklan dan pencipta iklan maupun di antaranya. Proses interaksi simbolik
berlangsung terus-menerus dalam mereproduksi pesan iklan hingga mencapai
konvergensi yang diinginkan tujuan periklanannya. Masing-masing pihak, baik
pengiklan maupun pencipta iklan, ketika berhadapan dengan lambang komunikasi,
melakukan proses semiosis yang terikat dengan tenggat waktu.
Televisi melalui programnya, salah satunya adalah iklan televisi,
merepresentasikan realitas sosial yang merefleksikan ideologi yang dianut di dalam
penggambaran televisi mengenai tabiat manusia, hubungan sosial dan norma-norma dan
struktur masyarakatnya (Bryant and Zillman, 2002). Namun dalam konteks iklan
televisi, perlu dicermati bahwa ideologi yang direfleksikan dalam iklan televisi adalah
ideologi pencipta iklan dan pengiklan bukan televisi. Televisi dalam hal ini berperan
sebagai medium penyampai pesan dan tidak mempengaruhi bagaimana iklan tersebut
dibuat.
Dalam kehidupan masyarakat dan negara, media massa, termasuk televisi,
cenderung diposisikan sebagai sarana dan alat legitimasi kekuasaan yang bersifat politis.
Dengan demikian, media massa dijadikan sebagai sarana legitimasi ideologinya kepada
masyarakat luas. Althusser dalam McQuail (1989) menyebutnya sebagai Aparat Ideologi
Negara (Ideological State Apparatus atau ISA). Media massa cenderung dijadikan
sebagai alat ideologi kelas dominan. Komunikasi dilihat sebagai produksi dan
pertukaran pesan dengan memperhatikan bagaimana suatu pesan (teks) berinteraksi
dengan masyarakat bertujuan memproduksi makna tertentu (Sobur, 2001).
Iklan televisi diyakini sebagai sarana dalam melakukan representasi realita
berupa simbol-simbol tertentu. Realita yang termakna dalam iklan tersebut bersifat
ideologis. Ini berarti, adanya berbagai kepentingan yang saling tarik menarik dalam
media. Iklan televisi lebih dimiliki oleh kelompok berkuasa dan bermodal yang
digunakan untuk mendominasi kelompok lainnya, seperti produsen dengan
konsumennya, maupun antara produsen sebagai pesaing.
Efek ideologis dalam iklan televisi menciptakan suatu pengaburan realita,
sehingga persepsi spontan yang muncul saat menyaksikan atau mendengar sebuah citra
atau makna, sebenarnya didistorsi. Ini terjadi karena ada struktur dalam yang tidak
tampak dan tidak disadari secara terus menerus membentuk kesadaran penonton. Oleh
karena itu, pesan dalam sebuah iklan sifatnya ideologis.
Isi pesan sebuah iklan disebut sebagai medium ideologis, karena tidak semata-
mata membentuk makna ideologis, namun juga karena makna yang ideologis itu
dibungkus oleh kepentingan akumulasi modal. Ini berarti, makna ideologi yang
diciptakan iklan dipakai oleh kapitalisme untuk kelangsungan hidupnya. Sebaliknya,
perubahan dan perkembangan kapital memungkinkan diproduksinya makna-makna
ideologis yang baru (Purwantari dalam Sobur, 2003).
Dapat disimpulkan bahwa reproduksi sosial pada iklan televisi adalah refleksi
realitas yang didefinisikan melalui makna atau citra yang muncul di dalam pesan iklan
televisi. Citra atau makna tersebut merupakan hasil mengkonstruksi realitas sosial
melalui kegiatan praktek suatu produksi makna yang bersifat sosial atau disebut praktek
pemaknaan. Proses mengkonstruksi positioning iklan bersifat berkelanjutan dan
direproduksi melalui kehidupan sosial. Pembentukan makna dalam iklan berlangsung
melalui proses semiosis dengan melakukan praktek penandaan lewat kode-kode khusus
yang bekerja di dalam iklan seperti kode visual dan tulisan, kode artikulasi dan suara,
kode teknik pengambilan suara atau shot, serta keanekaragaman efek-efek audiovisual
pada iklan televisi yang bersifat khusus dan ideologis.
2.6.1 Proses Konstruksi Sosial dalam Pembentukan Positioning Iklan Televisi
Iklan televisi dapat dikatakan sebagai perwujudan suatu bentuk realitas sosial.
Iklan televisi yang muncul di layar kaca mengalami proses panjang dalam
pembuatannya. Pesan yang bermakna dalam iklan televisi dibentuk tidak sebatas pada
diciptakan namun juga dikonstruksi secara terus menerus oleh pencipta iklan. Crotty
(1998) mengatakan “we do not create the meaning. We construct meaning. We have
something to work with. What we have to work with is the world and objects in the
world.” Sehubungan dengan itu, Bungin (2001) mengatakan bahwa dalam membangun
sebuah realitas, seorang copywriter dan visualizer dipengaruhi oleh lingkungan, budaya,
pandangan terhadap produk, pengetahuan tentang dunia periklanan, kecanggihan
teknologi media elektronika dan bahkan oleh kliennya sendiri.
Pengaruh yang dialami oleh pencipta iklan ketika mengkonstruksi pesan iklan
menurut Berger dan Luckmann (1990) disebabkan oleh realitas kehidupan sehari-hari
yang memiliki dimensi-dimensi subyektif dan obyektif. Menurut Poloma (2000), Berger
menegaskan bahwa manusia merupakan instrumen dalam menciptakan realitas obyektif
melalui proses eksternalisasi, sebagaimana mempengaruhinya melalui proses
internalisasi (mencerminkan realitas subyektif). Dalam mode yang dialektis, terdapat
tesa, anti tesa dan sintesa, di mana Berger melihat masyarakat sebagai produk manusia
dan manusia sebagai produk masyarakat.
Dapat dikatakan bahwa pencipta iklan dalam mengkonstruksi suatu iklan melalui
proses eksternalisasi dan proses internalisasi. Proses tersebut dilakukan melalui
mekanisme dialektis. Ketika proses tersebut berlangsung, pencipta iklan dipengaruhi
oleh faktor luar seperti lingkungan budaya, pandangan terhadap produk, pengetahuan
tentang dunia periklanan, kecanggihan teknologi media elektronika, dan pengiklan.
2.6.2 Proses Interaksi Simbolik dalam Pembentukan Positioning Iklan Televisi
Dalam proses mengkonstruksi realitas sosial, masing-masing pelaku melakukan
interaksi terhadap realitas sosial yang terjadi. Demikian pula ketika melahirkan sebuah
iklan televisi, pencipta iklan melakukan interaksi dengan individu lain di luar dirinya.
Interaksi berarti proses pemindahan diri perilaku individu yang terlibat secara mental ke
dalam posisi orang lain. Mereka mencoba mencari makna yang oleh orang lain diberikan
kepada aksinya memungkinkan terjadinya komunikasi atau interaksi (Effendy, 1993).
Proses interaksi tersebut tidak hanya berlangsung melalui gerak-gerak secara fisik, yang
melibatkan lambang komunikasi nonverbal, namun juga melalui lambang-lambang
verbal yang maknanya perlu dipahami. Apabila proses pemindahan diri perilaku
meningkat ke terciptanya pertemuan yang menghubungkan orang per orang tersebut,
maka interaksi sosial mulai berlangsung pada saat itu.
Soekanto (2002) menyatakan bahwa interaksi sosial merupakan hubungan-
hubungan sosial dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan,
antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan
kelompok manusia. Misalnya, saling menegur, berjabat tangan, saling berbicara, atau
bahkan mungkin berkelahi, atau hanya bertemu muka tanpa berbicara. Artinya, interaksi
sosial termanifes dalam bentuk terjadinya pertukaran lambang komunikasi, baik verbal
maupun nonverbal. Oleh karena masing-masing sadar akan adanya kehadiran pihak lain
yang menyebabkan perubahan-perubahan dalam diri orang bersangkutan. Hal demikian
membangkitkan kesan dalam pikiran seseorang, hingga kemudian akan memutuskan
tindakan apa yang akan dilakukan.
Interaksi sosial mengandung dua (2) proses, yaitu adanya kontak sosial dan
adanya komunikasi. Kedua proses ini saling mengkait satu sama lain. Dalam kontak
sosial dapat dipastikan melibatkan komunikasi, yang disebut oleh Effendy (1993)
sebagai proses pernyataan antar manusia. Kontak sosial berdasarkan komunikasi
tersebut membentuk pola-pola interaksi di antara para pihak yang terlibat (partisipan).
Menurut Soekanto (2002) proses interaksi sosial merupakan proses yang bersifat
asosiatif dan disosiatif. Proses tersebut membentuk pola-pola interaksi berupa kerjasama
(cooperation), persaingan (competition) dan pertentangan/pertikaian (conflict).
Dalam konteks komunikasi, terjadi proses pemaknaan dan penafsiran oleh
masing-masing partisipan terhadap lambang-lambang komunikasi yang dipakainya. Hal
ini menggambarkan bahwa dalam berinteraksi, masing-masing orang tersebut memiliki
kedudukan yang sangat penting dan memiliki fakta subyektif meskipun memiliki
batasan-batasan dengan konsekuensi-konsekuensi riilnya (Poloma, 2000).
Poloma (2000) mengatakan bahwa dalam pandangan interaksionis simbolis
manusia bukan dilihat sebagai produk yang ditentukan oleh struktur atau situasi
obyektif, tetapi paling tidak sebagian, merupakan aktor-aktor yang bebas. Pendekatan
kaum interaksionis simbolis menekankan perlunya sosiologi memperhatikan definisi
atau interpretasi subyektif yang dilakukan aktor terhadap stimulus obyektif, bukannya
melihat aksi sebagai tanggapan langsung terhadap stimulus sosial.
Littlejohn (1989) yang mengutip Blumer mengawali interaksi simbolik dengan
tiga (3) dasar pemikiran berikut :
a. Manusia berperilaku terhadap hal-hal berdasarkan makna yang dimiliki hal-hal
tersebut baginya.
b. Makna hal-hal itu berasal dari, atau muncul dari interaksi sosial yang pernah
dilakukan dengan orang lain.
c. Makna-makna itu dikelola dalam dan diubah melalui proses penafsiran yang
dipergunakan oleh orang yang berkaitan dengan hal-hal yang dijumpainya.
Pendapat Blumer dalam Effendy (1993) tentang interaksi simbolik meliputi lima
(5) konsep dasar berikut :
a. Konsep Diri. Manusia bukan semata-mata organisme yang bergerak di bawah
pengaruh perangsang-perangsang, baik dari dalam maupun dari luar, melainkan
organisme yang sadar akan dirinya (an organism having a self). Oleh karena
seorang diri, maka mampu memandang dirinya, sebagai obyek pikirannya dan
berinteraksi dengan dirinya sendiri, yaitu mengarahkan dirinya ke berbagai obyek,
termasuk dirinya sendiri, berunding dan berwawancara dengan dirinya sendiri;
mempermasalahkan, mempertimbangkan, menguraikan dan menilai hal-hal tertentu
yang telah ditarik ke dalam lapangan kesadarannya, serta akhirnya merencanakan
dan mengorganisasikan perilakunya. Antara perangsang dan perilakunya tersisiplah
proses interaksi dengan diri sendiri tadi. Hal tersebut merupakan kekhasan manusia.
b. Konsep Kegiatan. Oleh karena perilaku manusia dibentuk dengan proses interaksi
dengan diri sendiri, maka kegiatannya berlainan sama sekali dengan kegiatan
makhluk-makhluk lain. Manusia menghadapkan dirinya pada berbagai hal, seperti
tujuan, perasaan, kebutuhan, perbuatan dan harapan, serta bantuan orang lain, citra
dirinya (self image), cita-citanya, dan lain sebagainya. Maka dari itu, perancangan
kegiatannya tidak semata-mata sebagai reaksi biologis terhadap kebutuhannya,
norma kelompoknya, atau situasinya, melainkan merupakan konstruksi. Dalam hal
ini manusia sendiri menjadi konstruktor perilakunya.
c. Konsep Obyek. Manusia hidup ditengah-tengah obyek. Obyek meliputi segala
sesuatu yang menjadi sasaran perhatian manusia. Obyek bersifat konkret seperti
kursi, dapat pula abstrak seperti kebebasan, bersifat pasti seperti golongan darah,
atau agak kabur seperti ajaran filsafat. Inti hakiki obyek tidak ditentukan oleh ciri-
ciri instriknya, melainkan oleh minat seseorang dan makna yang dikenakan kepada
obyek tersebut, maka tidak hanya kegiatan atau perbuatan yang harus dilihat sebagai
konstruksi, tetapi juga obyek.
d. Konsep Interaksi Sosial. Interaksi berarti proses pemindahan diri perilaku yang
terlibat secara mental ke dalam posisi orang lain. Dengan demikian, mencoba
mencari makna yang oleh orang lain diberikan kepada aksinya yang memungkinkan
terjadinya komunikasi atau interaksi. Jadi, interaksi tidak hanya berlangsung melalui
gerak-gerak secara fisik, melainkan melalui lambang-lambang yang maknanya perlu
dipahami. Dalam interaksi simbolik seseorang mengartikan dan menafsirkan gerak-
gerak orang lain dan bertindak sesuai dengan makna yang dikandungnya. Orang-
orang menimba perbuatan masing-masing secara timbal balik, dalam arti tidak hanya
merangkaikan perbuatan orang yang satu dengan perbuatan orang lainnya,
melainkan seolah-olah menganyam perbuatan-perbuatannya menjadi apa yang
barangkali dapat disebut transaksi, dalam arti kata perbuatan-perbuatan yang berasal
dari masing-masing pihak itu diserasikan, sehingga membentuk suatu aksi bersama
yang menjembataninya.
e. Konsep Aksi Bersama. Aksi bersama berarti kegiatan kolektif yang timbul dari
penyesuaian dan penyerasian perbuatan orang-orang satu sama lain. Misalnya,
transaksi dagang, makan bersama keluarga, upacara pernikahan, diskusi, sidang
pengadilan, peperangan, dan sebagainya. Analisis aksi bersama ini menunjukkan
bahwa hakikat masyarakat, kelompok atau organisasi tidak harus dicari dalam
struktur relasi-relasi yang tetap, melainkan dalam proses aksi yang sedang
berlangsung. Tanpa aksi setiap struktur relasional tidak dapat dipahami secara
atomistis, melainkan sebagai aksi bersama, di mana unsur-unsur individual
dicocokkan satu sama lain dan melebur.
Poloma (2000) mengemukakan bahwa dalam interaksi simbolik mengandung
sejumlah ide-ide dasar berikut :
a. Masyarakat terdiri dari manusia yang berinteraksi. Kegiatan tersebut saling
bersesuaian melalui tindakan bersama, yaitu membentuk apa yang dikenal sebagai
organisasi atau struktur sosial.
b. Interaksi terdiri dari berbagai kegiatan manusia yang berhubungan dengan kegiatan
manusia lain. Interaksi-interaksi nonsimbolis mencakup stimulus-respon yang
sederhana, seperti halnya batuk untuk membersihkan tenggorokan seseorang.
Interaksi simbolis mencakup ”penafsiran tindakan”. Bila dalam pembicaraan
seseorang pura-pura batuk ketika tidak setuju dengan pokok-pokok yang diajukan
oleh si pembicara, batuk tersebut menjadi suatu simbol berarti yang dipakai untuk
menyampaikan penolakan. Bahasa tentu saja merupakan simbol berarti yang paling
umum.
c. Obyek-obyek tidak mempunyai makna yang intrinsik; tetapi makna lebih merupakan
produk interaksi simbolis. Obyek-obyek dapat diklasifikasikan ke dalam tiga (3)
kategori yang luas, yaitu (1) obyek fisik, seperti meja, tanaman, atau mobil; (2)
obyek sosial, seperti Ibu, Guru, Menteri, atau Teman; dan (3) obyek abstrak, seperti
nilai-nilai, hak dan peraturan. Obyek dibatasi sebagai ”segala sesuatu yang berkaitan
dengannya”. Dunia obyek ”diciptakan, disetujui, ditransformir dan dikesampingkan”
lewat interaksi simbolis.
d. Manusia tidak hanya mengenai obyek eksternal, karena dapat melihat dirinya
sebagai obyek. Pandangan terhadap diri sendiri ini, sebagaimana dengan semua
obyek, lahir di saat proses interaksi simbolis.
e. Tindakan manusia adalah tindakan interpretatif yang dibuat oleh manusia itu sendiri.
f. Tindakan tersebut saling dikaitkan dan disesuaikan oleh anggota-anggota kelompok.
Hal ini disebut sebagai tindakan bersama yang dibatasi sebagai ”organisasi sosial
dari perilaku tindakan-tindakan berbagai manusia”.
2.6.3 Proses Semiosis dalam Pembentukan Positioning Iklan Televisi
Pencipta iklan ketika berhadapan dengan lambang-lambang verbal maupun
nonverbal melakukan proses penafsiran dan pemaknaan terhadap lambang tersebut.
Proses tersebut berlangsung terus menerus hingga mencapai makna terhadap tanda yang
diinginkan. Pemaknaan yang diharapkan adalah penciptaan citra dari produk yang
diiklankan. Proses demikian disebut sebagai proses semiosis.
Menurut Peirce dalam Budiman (2004) sebuah tanda atau representamen adalah
sesuatu yang bagi seseorang mewakili sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau
kapasitas. Sesuatu yang lain itu dinamakan interpretan dari tanda pertama, yang pada
gilirannya mengacu pada obyek. Sebuah tanda atau representamen memiliki relasi
triadik langsung dengan interpretan dan obyeknya. Apa yang dimaksud dengan proses
semiosis merupakan proses memadukan entitas yang disebut sebagai representamen tadi
dengan entitas lain yang disebut sebagai obyek. Proses semiosis sering disebut sebagai
signifikansi. Bagi pencipta iklan, proses semiosis yang dilakukannya dibatasi oleh
ruang dan waktu. Pencipta iklan bekerja berdasarkan tenggat waktu yang telah
ditetapkan dalam kontrak kerja dengan pengiklan.
Bagaimana proses semiosis berlangsung dijabarkan oleh Budiman (2004) pada
Gambar 2.
Gambar 2. Proses Semiosis menurut Peirce yang dikembangkan oleh
Budiman (2004).
Klasifikasi sebuah tanda atau yang disebut sebagai representamen, menurut
Peirce dalam Budiman (2004) dan Sobur (2003) sebagai berikut :
a. Ikon adalah tanda yang mengandung kemiripan ”rupa” sebagaimana dapat dikenali
oleh pemakainya. Di dalam ikon hubungan antara representamen dan objeknya
terwujud sebagi ”kesamaan dalam beberapa mutu”. Setiap tanda yang mengikuti
sifat obyeknya disebut sebuah ikon. Misalnya, rambu-rambu lalu lintas sebagian
besar adalah ikon.
b. Indeks adalah tanda yang memiliki keterkaitan fenomenal atau eksistensial di antara
representamen dan obyeknya. Di dalam indeks hubungan antara tanda dan obyeknya
bersifat konkret aktual dan biasanya melalui suatu cara sekuensial atau kausal. Setiap
tanda yang menjadi kenyataan dan keberadaannya berkaitan dengan obyek
individual, maka disebut sebuah indeks. Jejak telapak kaki di permukaan tanah,
misalnya, merupakan indeks dari seseorang yang telah lewat di sana.
Representamen
interpretan
…...Representamen obyek
obyek
obyek Representamen
interpretan
Interpretan….dst
c. Simbol merupakan jenis tanda yang bersifat arbitrer dan konvensional. Tanda yang
diinterpretasikan sebagai obyek denotatif sebagai akibat dari suatu konvensi disebut
sebuah simbol. Misalnya rambu lalu lintas ”dilarang masuk” adalah simbol yang
bersifat arbitrer dan secara konvensi diterima masyarakat.
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Kerangka Pikir Penelitian
Iklan rokok Sampoerna A Mild adalah salah satu iklan yang menggunakan
televisi untuk mengkampanyekan produk sosialnya kepada masyarakat. Pesan dalam
iklan rokok harus menyajikan ciri yang membedakan dengan produk sejenisnya. Agar
khalayak sasaran dapat membedakan produknya dengan produk sejenis lainnya, maka
iklan rokok Sampoerna A Mild menyajikan pesan dengan cara memposisikan produk
rokok tersebut melalui penentuan dan pembentukan positioning berbeda.
Positioning yang berbeda dimaksudkan sebagai pencitraan produk yang memiliki
kepribadian yang kuat di antara produk lainnya. Agar kepribadian produk tetap ada,
maka karakteristik produk diusahakan tidak bertabrakan dengan inti dari merk tersebut
dan justru menambah nilai plus dari produk tersebut.
Produk yang ingin diposisikan ke dalam benak konsumen itu harus sesuai
dengan kebutuhan yang diperlukan oleh konsumen, seperti (1) penonjolan karakteristik
produk, (2) penonjolan harga dan mutu, (3) penonjolan penggunaan, (4) positioning
menurut pemakainya, (5) positioning menurut kelas produk, (6) positioning dengan
menonjolkan simbol-simbol budaya dan (7) positioning langsung pada pesaing. Selain
itu, produk tersebut harus dirumuskan dalam bentuk pernyataan positioning yang
mewakili citra produk dan memiliki hubungan asosiatif yang mencerminkan karakter
produk yang tampil secara menyeluruh dalam pesan iklannya. Secara tidak langsung
produk tersebut akan diterima oleh konsumen dan produk tersebut akan tetap tertanam di
dalam benak konsumen.
Pencipta iklan melakukan proses pembentukan dan penentuan positioning bagi
produk yang akan diiklankan. Dalam hal ini dilakukan reproduksi dengan cara
mengkonstruksi informasi-informasi bersifat sosial untuk diwujudkan ke dalam pesan
sebuah iklan. Pesan dalam iklan televisi adalah teks yang menghasilkan tanda. Teks
iklan merupakan hasil reproduksi sosial dari para pembuatnya kemudian dikonsumsi
oleh khalayaknya yang mampu mempengaruhi sistem sosial, politik, budaya dan
ideologi dalam struktur masyarakat sebagai realitas sosial. Iklan bukan saja
merefleksikan realitas, namun juga mendefinisikannya melalui makna atau citra yang
muncul di dalamnya. Citra atau makna tersebut merupakan hasil mengkonstruksi realita
melalui kegiatan praktek suatu produksi makna yang bersifat sosial atau disebut praktek
pemaknaan. Pembentukan makna dalam iklan berlangsung melalui praktek penandaan
lewat kode-kode yang bekerja di dalam iklan seperti kode visual dan tulisan, kode
artikulasi dan suara, kode teknik pengambilan suara atau shot, serta keanekaragaman
efek-efek audiovisual pada iklan televisi. Kode-kode tersebut bersifat khusus dan
ideologis.
Melalui media massa, dalam hal ini adalah televisi, kandungan ideologi dalam
iklan televisi dapat diketahui ”ideologi” para pembuatnya. Melalui simbol-simbol yang
terkodekan, sesungguhnya para pencipta iklan televisi, seperti copywriter (penulis
naskah) maupun visualizer, menyampaikan kebenaran dan obyektivitasnya, atau
sebaliknya memperjuangkan kepentingan-kepentingannya yang bersifat subyektif.
Adakalanya pencipta iklan televisi mendapatkan pengaruh luar, yaitu pengiklan, dengan
menginternalisasi penggunaan kode visual dan tulisan, kode artikulasi dan suara, kode
teknik pengambilan suara atau shot, serta keanekaragaman efek-efek audiovisual pada
iklan televisi yang bersifat khusus dan ideologis tersebut.
Dalam proses demikian terjadi tarik menarik kepentingan positif bagi produk
antara pengiklan dan pencipta iklan. Proses interaksi simbolik berlangsung baik dalam
diri pengiklan dan pencipta iklan maupun antaranya. Proses interaksi simbolik
berlangsung terus-menerus dalam mereproduksi pesan iklan hingga mencapai
konvergensi yang diinginkan tujuan periklanannya. Masing-masing pihak, baik
pengiklan maupun pencipta iklan, ketika berhadapan dengan lambang komunikasi,
melakukan proses semiosis yang terikat dengan tenggat waktu.
Pencipta iklan dalam mengkonstruksi suatu iklan melalui proses eksternalisasi
dan proses internalisasi. Proses tersebut dilakukan melalui mekanisme dialektis. Ketika
proses tersebut berlangsung, pencipta iklan dipengaruhi oleh faktor luar seperti
lingkungan budaya, pandangan terhadap produk, pengetahuan tentang dunia periklanan,
kecanggihan teknologi media elektronika dan pengiklan. Pencipta iklan ketika
berhadapan dengan lambang-lambang verbal maupun nonverbal dapat melakukan
proses penafsiran dan pemaknaan terhadap lambang tersebut. Proses tersebut
berlangsung terus menerus hingga mencapai makna terhadap tanda yang diinginkan.
Pemaknaan yang diharapkan adalah penciptaan citra dari produk yang diiklankan.
Proses demikian disebut sebagai proses semiosis. Sebagai ilustrasi, kerangka pikir dalam
penelitian ini disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Diagram alur proses penentuan dan pembentukan positioning iklan
televisi melalui reproduksi sosial
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Jakarta. Pengumpulan data primer dan sekunder di
lapangan serta pengolahan data dibutuhkan waktu selama empatbelas (14) bulan, yaitu
Juni 2008 – Juli 2009, di mana pengumpulan data lebih ditekankan pada aspek
kontekstual, yaitu proses pembentukan dan penentuan positioning melalui reproduksi
sosial pada iklan rokok Sampoerna A Mild versi televisi.
3.3 Pengumpulan Data
Penelitian ini difokuskan pada dua (2) konsep berdasarkan pada permasalahan
penelitian berikut :
1. Positioning produk pada iklan televisi adalah proses menempatkan dan
menghubungkan produk atau merek dengan apa yang sudah ada dalam benak
PENGIKLAN PENCIPTA
IKLAN
REPRODUKSI SOSIAL
PROSES KONSTRUKSI SOSIAL: Eksternalisasi
Internalisasi
PROSES INTERAKSI SIMBOLIK
PROSES SEMIOSIS
POSITIONING
IKLAN
TELEVISI
MASYARAKAT UMPAN BALIK
Citra terhadap
produk/merek
PROSES MASUKAN KELUARAN
konsumen sesuai dengan kebutuhan spesifiknya dirumuskan dalam bentuk
pernyataan positioning berupa klaim dan bukti-bukti mendukung yang mewakili
citra produk atau merek dan memiliki hubungan asosiatif yang mencerminkan
karakter produk atau merek yang tampil secara menyeluruh dalam pesan iklan.
Proses positioning produk pada iklan tersebut dilakukan melalui tahapan
mengidentifikasi para pesaing, memahami persepsi konsumen, menentukan posisi
pesaing, menganalisis preferensi konsumen, menentukan posisi merek produk
sendiri, mengikuti perkembangan positioning produk sendiri dan
mengkomunikasikannya kepada konsumen.
2. Reproduksi sosial pada iklan televisi adalah refleksi realitas yang didefinisikan
melalui makna atau citra yang muncul di dalam pesan iklannya. Citra atau makna
tersebut merupakan hasil mengkonstruksi realitas sosial melalui kegiatan praktek
suatu produksi makna yang bersifat sosial atau disebut praktek pemaknaan. Proses
mengkonstruksi positioning iklan bersifat berkelanjutan dan direproduksi melalui
kehidupan sosial. Pembentukan makna dalam iklan berlangsung melalui proses
semiosis dengan melakukan praktek penandaan lewat kode-kode khusus yang
bekerja di dalam iklan seperti kode visual dan tulisan, kode artikulasi dan suara,
kode teknik pengambilan suara atau shot, serta keanekaragaman efek-efek
audiovisual pada iklan televisi yang bersifat khusus dan ideologis.
Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif menurut
Strauss and Corbin (2003) adalah penelitian tentang kehidupan, riwayat dan perilaku
seseorang, di samping juga tentang peran organisasi, pergerakan sosial atau hubungan
timbal balik. Desain penelitian yang digunakan adalah studi kasus yang bersifat
deskriptif. Desain tersebut digunakan dengan maksud untuk mengetahui fenomena sosial
tertentu, namun tidak hanya terbatas pada pengumpulan dan penyusunan data, tetapi
meliputi analisis dan interpretasi terhadap data. Hal tersebut dimaksudkan juga untuk
memperoleh pemahaman menyeluruh dan tuntas (Vredenbregt, 1984; Yin, 1989).
Penelitian ini tidak dikonstruksi melalui instrumentasi ketat dan peubah-peubah,
tetapi dikonstruksi melalui makna yang tercermin dalam realitas. Penelitian dilakukan
melalui klasifikasi mengenai gejala sosial yang dipermasalahkan untuk menyusun hasil
penelitian deskriptif tentang realitas sosial yang kompleks dalam bentuk tampilan
kalimat bermakna dan mudah dimengerti. Dalam hal ini, menurut Vredenbregt (1984) di
dalam pengumpulan data, seorang peneliti dibimbing oleh suatu conceptual outline yang
berhubungan dengan masalah penelitian. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini
dibangun dalam bentuk instrumentasi berupa pedoman-pedoman pertanyaan yang
bersifat luwes dan dikembangkan pada saat di lapangan melalui wawancara bebas
(indepth interview) disertai pengamatan langsung terhadap informan, dan dokumentasi
yang relevan tentang positioning dan reproduksi sosial dalam iklan televisi Sampoerna
A Mild.
Sebelum dilakukan wawancara mendalam, peneliti terlebih dahulu mengadakan
pendekatan dengan para informan dan menyampaikan maksud peneliti. Peneliti
mengawali percakapan dengan membicarakan permasalahan umum seperti situasi sosial
politik terkini. Langkah selanjutnya, wawancara disesuaikan dengan kebutuhan data dan
informasi yang diperlukan untuk menjawab permasalahan penelitian. Ketika proses
wawancara berlangsung, peneliti lebih banyak mendengarkan dan memberikan
tanggapan secukupnya. Peneliti melakukannya dengan maksud informan merasa
dihargai dan bersemangat memberikan informasi yang dibutuhkan.
Selama penggalian informasi di lapangan, peneliti menggunakan alat bantu
perekam suara (MP3) untuk merekam apa yang disampaikan informan kunci dan para
informan, lalu memasukkan informasi yang diperoleh ke dalam catatan lapangan dalam
bentuk transkrip hasil wawancara. Peneliti menggunakan MP3 untuk melengkapi catatan
yang peneliti lakukan selama wawancara dengan informan. Penggunaan MP3
sebagaimana dikatakan Moleong (1998) diperlukan agar pencatatan data hasil
wawancara dapat dilakukan dengan cara yang sebaik dan setepat mungkin. Penggunaan
MP3 dalam penelitian ini telah memperoleh persetujuan informan.
Sumber data primer penelitian adalah informasi yang diperoleh dari informan.
Penentuan informan dilakukan dengan prinsip convenience (kemudahan). Ruslan (2003)
menyatakan bahwa penentuan informan dengan cara ini berdasarkan kemudahan dalam
memilih unsur populasi (orang atau peristiwa) yang datanya berlimpah dan mudah
diperoleh oleh peneliti. Artinya, peneliti memiliki kebebasan untuk memilih sumber
informasi yang paling cepat, mudah dan murah. Prinsip kemudahan ini pun penulis
lakukan dalam menentukan teks iklan televisi rokok Sampoerna A Mild yang dijadikan
bahan analisis.
Dari penelusuran di lapangan, peneliti memilih dan menggunakan sumber data
informasi yang dikelompokkan sebagai berikut :
1. Informan kunci, yaitu Teguh Handoko. Beliau adalah orang kompeten dalam bidang
periklanan, terlibat dan mengetahui banyak informasi dalam membentuk dan
menentukan positioning rokok Sampoerna A Mild melalui iklan televisi. Sebelum
mulai memimpin biro iklan Ideasphere Advertising pada tahun 2000, beliau terlibat
langsung selama tiga (3) tahun dalam tim perencanaan periklanan iklan televisi
rokok Sampoerna A Mild di biro iklan Ogilvy & Matter. Menurut pengakuannya
sampai sekarang masih mengikuti perkembangan kampanye iklan Sampoerna A
Mild. Informasi beliau tentang iklan rokok Sampoerna A Mild sangat penting bagi
penelitian ini, karena keterlibatannya sebagai pencipta iklan yang sudah barang tentu
mengetahui segala informasi proses periklanan rokok Sampoerna A Mild. Untuk
otentifikasi dan keabsahan data dalam penelitian ini, beliau mengizinkan penyebutan
identitas aslinya.
2. Informan dari kalangan khalayak digunakan untuk mengetahui proses decoding
terhadap teks iklan. Informan berprofesi sebagai dosen 2 (dua) orang yaitu Arf dan
Isk, pengacara 1 (satu) orang yaitu Arm dan wartawan 1 (satu) orang yaitu Ags.
Secara umum, informan dipilih berdasarkan pendidikan, pengalaman dalam
merokok, profesi dan keterdedahan iklan televisi. Data informan selengkapnya dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik informan
No Nama,
Umur
Jenis
Kelamin
Domisili Pendidikan,
Profesi
Media Interpretasi
1 Ags,
42 tahun
Laki-laki,
Jakarta Utara
S1,
Wartawan
TV,
Radio,
Cetak,
Internet
Bukan perokok
loyal terhadap
satu merek
2 Arf,
42 tahun
Laki-laki,
Cimanggis –
Depok
S2,
Dosen
TV,
Radio,
Cetak,
Internet
Pernah merokok,
suka
menyaksikan
iklan rokok
3 Arm,
38 tahun
Laki-laki,
Jakarta Utara
S1,
Pengacara
TV,
Radio,
Cetak,
Internet
Perokok dan
menyukai
merokok sejenis
cerutu
4 Isk,
42 tahun
Laki-laki,
Jakarta Pusat
S2,
Dosen
TV,
Radio,
Cetak,
Internet
Perokok A Mild
Sumber data sekunder yaitu data didapat dari kumpulan dokumen-dokumen dan
artikel yang berkaitan dan mendukung penelitian. Data sekunder tersebut, yaitu :
a. Profil iklan televisi rokok Sampoerna A Mild sejak Agustus 2000 hingga Maret
2009. Peneliti memperoleh data tersebut melalui penelusuran situs perusahaan jasa
penyediakan data rekam iklan-iklan yang telah beredar di media massa, yaitu
MediaBanc (www.mediabanc.ws, 2009). Informasi tentang situs perusahaan
tersebut, penulis dapatkan dari informan kunci. Data profil tersebut, penulis pelajari
untuk memperoleh gambaran tentang tema dan timing iklan televisi Sampoerna A
Mild. Data profil tersebut penulis tempatkan pada Lampiran 4.
b. Artikel di Majalah Cakram tahun 1996 berisi tentang strategi positioning rokok
Sampoerna A Mild. Artikel tersebut penulis analisis dan pelajari untuk mengetahui
pemikiran pihak pengiklan rokok Sampoerna A Mild dalam menentukan dan
membentuk positioning rokok Sampoerna A Mild melalui reproduksi sosial. Artikel
dalam bentuk kopi selengkapnya penulis tempatkan pada Lampiran 3.
Teks iklan digunakan sebagai bahan analisis untuk melengkapi penelitian ini
adalah iklan televisi Sampoerna A Mild versi ”Man Waiting Stamp Seal” dan ”Flea on
the Sofa”. Analisis semiotik Williamson (2007) digunakan untuk memperoleh makna
mendalam tentang realitas sosial yang direproduksi pengiklan dan pencipta iklan.
Williamson (2007) mengkategorikan konsepnya, yaitu signifier (penanda), signified
(petanda) dan sistem referen. Pengertian signifier adalah aspek tanda bersifat material
dalam wujud yang dapat diindrai (sensible). Signified adalah makna aspek mental tanda
bersifat abstrak di benak penutur. Sedangkan sistem referen merupakan sistem ideologis
dan menarik signifikansinya dari area-area di luar periklanan.
Kedua teks iklan tersebut berdurasi 30 detik. Untuk memudahkan analisis,
penulis memecahnya ke dalam bentuk potongan gambar scene per scene tanpa
menghilangkan makna teks iklan secara keseluruhan.
3.5 Pengolahan dan Analisis Data
Penelitian ini bersifat deskriptif, maka data yang diperoleh dianalisis menurut
kenyataan yang ada dan didasarkan pada teori komunikasi pemasaran yang digunakan
tanpa mengabaikan prinsip-prinsip komunikasi pembangunan dalam arti luas, kemudian
diperbandingkan. Dengan cara itu, dapat dicari saling hubungan antar data, untuk
kemudian disusun kesimpulan yang menjelaskan data.
Prinsip analisis data yang digunakan adalah dialogik atau dialektikal yang
mengembangkan terjadinya dialog dan dialektika antara peneliti dan sumber data.
Analisis dilakukan secara komprehensif, kontekstual dan multilevel, menempatkan
peneliti sebagai aktivis/partisipan dalam proses transformasi sosial (Rusadi, 2002). Ini
berarti model analisis data bersifat interaktif. Miles dan Huberman (1992) menyatakan
bahwa analisis data model interaktif memiliki tiga (3) alur kegiatan yang terjadi secara
bersamaan dan bersifat siklus, yaitu reduksi data, penyajian data dan menarik
kesimpulan/verifikasi.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari penelitian didapat tiga (3) tingkatan analisis dalam proses penentuan dan
pembentukan positioning melalui reproduksi sosial pada iklan televisi rokok Sampoerna
A Mild. Pertama, proses konstruksi realitas dalam tingkatan lembaga. Kedua, proses
konstruksi realitas dalam tingkatan teks. Ketiga, proses konstruksi realitas dalam
tingkatan individu.
Tingkatan pertama, berlangsung proses kreatif bagi suatu iklan, dalam hal ini
iklan televisi rokok Sampoerna A Mild. Proses kreatif ini dilakukan oleh pengiklan dan
pencipta iklan sebagai kelompok kerja (teamworks). Tingkatan kedua, berlangsung
proses interpretasi terhadap teks/pesan iklan rokok Sampoerna A Mild yang tertuang di
televisi. Interpretasi dilakukan untuk menemukan makna yang sebenarnya tentang
positioning rokok Sampoerna A Mild dalam teks iklan televisi sebagai hasil reproduksi
sosial pengiklan dan pencipta iklan. Tingkatan ketiga, interpretasi terhadap pesan iklan
televisi rokok Sampoerna A Mild bagi individu pemirsa televisi.
Tiga (3) tingkatan analisis tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
4.1. Konstruksi Realitas dalam Tingkatan Pengiklan dan Pencipta Iklan
Penentuan dan pembentukan positioning suatu produk dapat diartikan sebagai
titik awal yang sangat menentukan dan bersifat strategik dalam memenangkan
persaingan untuk menerobos dan merebut sebagian dari kotak persepsi di benak
konsumen. Kenyataannya seringkali ketika memposisikan produk harus berhadapan
dalam persaingan yang tajam dan ketat dengan produk lain, terutama produk sejenis.
Dalam perencanaan periklanan suatu produk pengiklan dan pencipta iklan berperan
sebagai penentu strategi positioning dalam memposisikan produknya di benak
konsumen. Peran pengiklan dan pencipta iklan tersebut peneliti uraikan sebagai berikut :
4.1.1. Versi Pengiklan
Handoko, Group Brand Manager PT HM Sampoerna dalam Palupi (1996)
mengatakan bahwa pada awalnya, sebagaimana rokok-rokok lain, rokok Sampoerna A
Mild dikomunikasikan sebagai bagian dari gaya hidup masyarakat modern yang sukses
dan macho. Tidak ada gambaran keunggulan produk, tetapi lebih kepada citra yang
disandangnya. Ini barangkali juga karena keterbatasan-keterbatasan peraturan periklanan
untuk jenis rokok yang tidak boleh memperlihatkan orang sedang merokok. Pendekatan
rokok Sampoerna A Mild yang demikian ternyata tidak menciptakan perbedaan karakter
antara merek rokok Sampoerna A Mild dengan rokok-rokok lainnya. Secara skematis,
deskripsi di atas memperlihatkan konstruksi realitas rokok Sampoerna A Mild dalam
Gambar 4.
Gambar 4. Skema positioning rokok Sampoerna A Mild tahap awal
Gambar 4 di atas memperlihatkan bahwa rokok Sampoerna A Mild adalah
produk rokok kategori mild yang dikomunikasikan tak ubahnya seperti rokok
berkategori sama, misalnya rokok Pall Mall, yaitu sebagai rokok gaya hidup. Cara
komunikasi demikian dalam periklanan disebut paritas. Menurut Kasali (2005),
konsumen dipastikan mengalami kesulitan dalam menentukan pilihan produknya,
dikarenakan tidak adanya karakter berbeda yang mampu menerobos benak konsumen.
Artinya, dalam langkah awal memposisikan rokok Sampoerna A Mild, karakter khas
produk yang membedakannya dengan produk sejenis belum terbentuk. Agar positioning
terbentuk, maka pengiklan perlu melakukan evaluasi.
Hal tersebut diakui Handoko dalam Palup (1996) yang mengatakan bahwa
evaluasi itu mengubah posisi produk. Sementara posisi baru dipikirkan, kampanye
bergerak kepada citra korporat rokok Sampoerna A Mild. Ditampilkanlah serangkaian
aktivitas kelompok Sampoerna yang kala itu sangat populer di mata masyarakat, yaitu
foto kegiatan drumband oleh karyawan para buruh pabrik Sampoerna yang mencapai
sukses di Festival of Roses di Pasadena, Amerika. Suatu terobosan yang menarik, karena
rangkaian iklan-iklan tersebut yang menyerbu media cetak dan televisi memperlihatkan
upayanya keluar dari pakem iklan-iklan pada umumnya. Semenjak iklan-iklan korporat
itu muncul, produksi dan penjualan rokok Sampoerna A Mild mulai bergerak naik.
Peneliti menangkap bahwa ditampilkannya aktivitas karyawan PT HM
Sampoerna dalam iklan menunjukkan pengiklan melakukan evaluasi kampanye
periklanannya dengan menampilkan realitas sosial. Aktivitas-aktivitas nyata karyawan
Rokok Merek
lain Rokok Sampoerna
A Mild
Karakter
produk sama
Gaya
hidup
1. Moderen
2. Sukses
3. Macho
Tidak boleh
memperlihatkan orang
sedang merokok
Batasan peraturan
periklanan untuk
jenis rokok
tersebut adalah produk realitas sosial yang dituangkan dalam iklan. Artinya, produk
realitas sosial tersebut direproduksi ke dalam pesan iklan yang kemudian ditayangkan
televisi untuk dikonsumsi khalayak, sebagaimana yang dikatakan Bungin (2001).
Berdasarkan evaluasi tersebut, pengiklan melakukan perubahan positioning
produk rokok Sampoerna A Mild dengan berusaha menaiki tangga-tangga di dalam
benak konsumen. Kasali (1992) mengganggap penting bagi suatu produk untuk menaiki
tangga dalam benak konsumen sehingga menempatkan produk dalam posisi yang tepat.
Berdasarkan uraian di atas, perubahan positioning rokok Sampoerna A Mild disajikan
pada Gambar 5.
Gambar 5. Skema positioning rokok Sampoerna A Mild tahap perubahan
Semenjak itu, ada kesadaran baru dari manajemen pengelola rokok Sampoerna
A Mild bahwa konsumen dapat didekati dengan realitas keunikan dan keunggulan
produk, maka didapatkan keunikan rokok Sampoerna A Mild adalah pada kadar tar dan
nikotin yang sangat rendah. Keunikan inilah yang akhirnya membawa pada slogan
komunikasi cukup panjang usianya, yaitu "How Low Can You Go." Upaya komunikasi
yang sakti ini, mulanya diragukan sebagian orang, karena komunikasi semacam itu tidak
akan nyambung, tetapi ternyata pasar membuktikan, dengan gebrakan serius dan
menyeluruh, ternyata konsumen terbius dan bahkan mencintai produk tersebut.
Akhirnya terciptalah pasar baru yang tanpa terduga membludag luar biasa (Palupi,
1996).
Gaya hidup
Sukses di Festival of Roses di
Pasadena, Amerika
Kegiatan drumband
buruh pabrik
Karakter
produk beda
Citra
korporat
Batasan peraturan
periklanan untuk jenis
rokok
Rokok Merek
lain
Rokok Sampoerna A
Mild
Tidak boleh memperlihatkan
orang sedang merokok
Keberhasilan rokok Sampoerna A Mild melepaskan diri dari keparitasan,
semakin memperkuat posisinya di benak konsumen. Penyajian pesan iklan yang berisi
realitas sosial mendorong pengiklan mempertajam diferensiasi dengan menampilkan
keunggulan produk, yaitu kadar tar dan nikotin rendah. Rokok Sampoerna A Mild
mengandung tar dan nikotin rendah adalah realitas unik yang diklaimnya. Hal ini
menunjukkan bahwa dalam memposisikan rokok Sampoerna A Mild diasosiatifkan
dengan citra produknya. Secara asosiatif, rokok yang mengandung kadar tar dan nikotin
rendah memberi peluang kepada perokok yang ingin tetap merokok tetapi peduli
kesehatan atau bahkan berhenti merokok. Dalam Gambar 6, peneliti
menyederhanakannya sebagai skema positioning kehadiran baru.
Gambar 6. Skema positioning rokok Sampoerna A Mild tahap kehadiran baru
Dalam penyajian pesan iklannya, produk rokok dibatasi oleh PP dan kode etik
periklanan sebagaimana peneliti uraikan di Bab Tinjauan Pustaka. Namun penyajian
pesan iklan rokok Sampoerna A Mild berisi permainan kata-kata yang dikonotasikan
memiliki hubungan asosiatif dengan keunggulan produk, seperti kalimat ”How Low Can
You Go.”
Menurut peneliti kalimat ”How Low Can You.” mengandung makna ”sesuatu
yang rendah.” Secara oposisional, kata ”rendah” selalu dihadapkan pada kata ”tinggi”.
Gaya hidup
Rokok Merek lain Karakter produk
beda Rokok Sampoerna A
Mild
Batasan peraturan
periklanan untuk jenis
rokok
Tidak boleh
memperlihatkan orang
sedang merokok Keunggulan produk
How Low Can
You Go
Kadar tar yang sangat rendah
(low)
Kadar nikotin
yang sangat
rendah (low)
Citra khalayak
Pecinta kesehatan
Pecinta rokok
Bila makna tersebut dihubungkan dengan produk rokok Sampoerna A Mild, maka rokok
tersebut mengandung tar dan nikotin rendah. Tar dan nikotin dalam produk rokok adalah
kandungan berjenis racun yang didasarkan pada kadarnya. Secara oposisional, rokok
yang mengandung tar dan nikotin rendah berhadapan dengan rokok yang mengandung
tar dan nikotin tinggi. Semakin tinggi kadar tar dan nikotin yang dikandung rokok, maka
semakin berracun rokok tersebut. Jadi dapat dikatakan bahwa produk rokok Sampoerna
A Mild unggul dalam kandungan tar dan nikotin. Artinya, kadar tar dan nikotin rendah
yang dikandung rokok Sampoerna A Mild lebih sedikit racunnya dibanding produk
rokok lain.
Kalimat tersebut adalah bentuk pernyataan positioning yang bersifat asosiatif.
Hal ini sejalan dengan pernyataan Kasali (2005) bahwa positioning harus diungkapan
dalam bentuk suatu pernyataan (positioning statement). Pernyataan ini selain memuat
atribut-atribut yang penting bagi konsumen, harus dinyatakan dengan mudah, enak
didengar, dan harus dapat dipercaya. Secara umum, semakin beralasan klaim yang
diajukan, semakin objektif, maka semakin dapat dipercaya.
Terhadap positioning tersebut, Kertajaya dalam Palupi (1996) mengatakan
bahwa kehadiran rokok Sampoerna A Mild bersamaan dengan gerakan hidup sehat,
karena walaupun sebagai perokok, tetap mendambakan hidup sehat, maka satu-satunya
jalan adalah memilih rokok rendah kadar tar dan nikotinnya. Dalam hal ini, rokok
Sampoerna A Mild menjadi citra khalayak sasaran, yaitu pencinta kesehatan yang juga
mencintai rokok (Gambar 6). Posisi baru inilah yang berkembang meyakinkan. Kini, era
kepercayaan terhadap nikotin dan tar yang rendah sudah tertancap. Rokok Sampoerna A
Mild tentu tak hanya tinggal diam, tetapi terus menyegarkan konsep komunikasinya
yang tepat. Maka, sejak awal tahun 1996 hadir konsep kampanye baru yang berusaha
menyambung gaya hidup 'How Low Can You Go' lewat konsep "Bukan Basa Basi'.
Rokok Sampoerna A Mild bermaksud menegaskan bahwa kepercayaan yang diberikan
adalah bukan basa basi (Palupi, 1996).
Konsep ”Bukan Basa Basi”, menurut informan kunci Teguh Handoko adalah
gambaran perilaku target audiens yang selalu berkomentar atau menyuarakan sejujur-
jujur hati nuraninya ketika melihat situasi yang ada di dunia ini, baik terhadap diri
sendiri maupun terhadap lingkungannya. Konsep ”Bukan basa Basi” didefinisikan
dengan bahasa yang memang brutally honest, yaitu jujurnya berlebihan sekali atau jujur
sekali. Bukan basa basi yang ditujukan untuk suatu kejujuran dalam segala hal. Iklan
tersebut akhirnya selalu muncul dikaitkan dengan konteks sosialnya. Artinya, pesan
yang disajikan dalam iklan Sampoerna A Mild selalu menggambarkan realitas dalam
konteks sosial kekinian. Lebih lanjut, Teguh Handoko mengungkapkan bahwa realitas
dalam konteks sosial yang direproduksi dalam bentuk pesan iklan televisi rokok
Sampoerna A Mild berkaitan dengan situasi pemilihan umum, birokrasi pemerintah di
era reformasi, bulan puasa, lebaran dan semacamnya.
Konsep ”Bukan Basa Basi” pada akhirnya menjadi skema paripurna bagi rokok
Sampoerna A Mild dalam memposisikan dirinya pada benak khalayak. Hal tersebut
termuat dalam Gambar 7
Gambar 7. Skema positioning rokok Sampoerna A Mild tahap paripurna
Di antara tema-tema periklanan yang diberikan, dengan gagah berani dinyatakan
bahwa rokok Sampoerna A Mild juaranya. Itu terlihat di layar kaca sebagai simbolisasi
suara kucing berantem dalam karung. Pertempuran terselubung itu, akhirnya
dimenangkan oleh kucing unggulan yang 'bukan basa basi'. Versi lainnya akan dibahas
pada subbab berikutnya. Konsep cerdik ini yang terkesan unik, menantang, dan bahkan
sulit dicerna sebagai wujud keyakinan Sampoerna A Mild menggulung pasar rokok yang
memang kini ada di tangannya. Suatu pelajaran menarik, korelasi antara konsep
How Low Can You Go :
kepercayaan yang diberikan
Kadar tar yang
sangat rendah (low)
Rokok Sampoerna
A Mild
Gaya
hidup
Kadar nikotin yang
sangat rendah (low)
Tidak boleh
memperlihatkan orang
sedang merokok
Batasan peraturan
periklanan untuk jenis
rokok
Rokok
Merek lain
Karakter
produk beda
Keunggulan
produk
Bukan Basa
Basi
komunikasi dan pemasaran yang menjual. Di tengah ketatnya peraturan iklan rokok,
justru rokok Sampoerna A Mild berhasil meningkatkan penjualannya berkat konsep
komunikasi pemasaran yang dijalankan. Keberhasilan Sampoerna A Mild
menggelontorkan batang-batang rokok ke pasaran memang spektakular. Dalam waktu
enam (6) tahun, sejak muncul tahun 1989, secara berturut-turut pemasaran A Mild
tumbuh dahsyat, hingga di tahun 1996 ini produksi mencapai lebih dari 95 juta batang
per hari (Palupi, 1996).
Menurut Handoko dalam Palupi (1996) produksi rokok Sampoerna A Mild di
tahun 1989 mencapai 10 ribu batang per minggu. Lalu awal tahun 1990 meningkat
menjadi 14 juta batang per minggu. Selanjutnya pernah mengalami penurunan di kuartal
ke-3 tahun 1993 hanya 6 juta batang per minggu dan membumbung tinggi setelah terjadi
revisi-revisi dalam konsep komunikasi. Jadi, pergerakan penjualan rokok Sampoerna A
Mild berkait erat dengan posisi dan strategi komunikasi yang dijalankan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa skema positioning dalam
upaya menerobos benak khalayak bukan hal mudah; di tengah bertaburnya produk
sejenis di pasaran. Sebagai strategi komunikasi di awal kampanye rokok Sampoerna A
Mild, keunggulan produk berkadar tar dan nikotin rendah sudah diposisikan. Namun
penonjolon pesan belum menunjukkan diferensiasi. Pesan rokok Sampoerna A Mild
mengesankan keparitasan dengan produk lain. Dalam strategi komunikasi, diferensiasi
produk adalah penting. Melalui diferensiasi, khalayak lebih mudah mengenal produk
tertentu di bandingkan produk lainnya.
Pada akhirnya, melalui skema perubahan, diferensiasi produk rokok Sampoerna
A Mild ditunjukkan melalui pesan asosiatif antara keunggulan produk rendah tar dan
nikotin dengan realitas sosial. Konsep big idea yang cemerlang, yaitu ”Bukan Basa
Basi” mengandung pesan asosiatif bahwa rokok Sampoerna A Mild adalah jujur dan
bukan basa basi sebagai produk rendah tar dan nikotin. Positioning statement tersebut
diimplikasikan ke dalam pesan setiap iklannya yang mengambil tema-tema realitas
sosial.
4.1.2. Versi Pencipta Iklan
Informasi tentang penciptaan iklan rokok Sampoerna A Mild peneliti mulai
dengan melakukan wawancara terhadap Teguh Handoko. Beliau adalah salah seorang
tim perencanaan periklanan rokok Sampoerna A Mild. Menurutnya, proses terbentuknya
positioning suatu produk atau merek dalam periklanan merupakan bagian proses
perencanaan periklanan secara keseluruhan disajikan pada Gambar 8.
Gambar 8. Proses perencanaan periklanan suatu produk
Berdasarkan Gambar 8, Teguh Handoko mengatakan bahwa ada dua (2) tahapan
proses terbentuknya positioning dalam periklanan : yang pertama lebih rational proses
dan kedua lebih magic proses. Rational proses maksudnya membikin iklan tidak semata-
mata mengandalkan intuisi, tetapi ada juga satu hal yang dilakukan, yaitu harus
mengetahui produknya, harus mengetahui target audiens dan yang lebih jauh lagi adalah
harus mengetahui target audiens tersebut bukan hanya tentang gaya hidup, karakteristik
demografis, psikografis dan segala macamnya. Jadi mengenal karakter target audiens
lebih jauh. Ketika mengenal karakternya lebih jauh mendapatkan, maka diperoleh data
dan informasi tentang target tersebut. Tetapi tidak semua data dan informasi dapat
dipakai.
Dalam hal ini yang dipilih dan digunakan adalah yang benar-benar sebagai
insight dari target audiens. Consumer insight dilakukan untuk mendapatkan data
mendalam tentang sistem distribusi, competitor, target market. Melalui consumer insight
ini pula akan didapat positioning yang tepat. Melalui insight tersebut didapatkan sesuatu
yang benar-benar tidak pernah terpikirkan bahkan oleh target audiens sendiri tentang
realitasnya atau sesuatu yang sudah pernah ada sebelumnya, tetapi dikemas dalam
bentuk baru. Intinya adalah iklan harus memiliki ciri-ciri seperti suatu kado, maka harus
surprise. Jika memberi tahu sesuatu yang khalayak sudah mengetahuinya, maka tidak
akan diperhatikan orang. Jadi memang harus selalu ada yang baru.
Brand Idea /
Positioning
Client and
Agency
Creative Idea
Creative Execution
Bellow the Line Radio Print Billboard, etc Television
Agency
Creative
Brief
Client’s
Brief Marketing Strategy:
- Competitor
- Positioning
- Target Market
- Communication Strategy
Research
Big
Idea
Bagi biro iklan, positioning sangat diperlukan. Tapi saat ini susah membedakan
positioning produk dalam iklan karena kecenderungannya memiliki kesamaan.
Meskipun begitu tetap harus ada differ (perbedaan) yaitu unique, ownable dan
campaign. Sebagai kreator iklan harus selalu menunjukkan hal-hal yang baru, karena
tidak boleh mengulang sesuatu yang sudah pernah dilakukan. Hal tersebut tidak akan
membuatnya menjadi briliant, dan yang penting adalah keunikan. Dalam hal ini selalu
dicari sesuatu yang unik dari target audiens tersebut. Selain itu melakukan hal yang
sama untuk analisis produk dan menemukan sesuatu yang unik.
Dalam positioning ada istilah unique selling proposition yang sebenarnya
sebagai terminologi yang tepat. Namun banyak praktisi iklan melihatnya dari kebaikan-
kebaikan produk dibandingkan dengan yang lain. Bila melihat kebaikan, maka belum
tentu menang. Misalnya, hari ini iklan membicarakan yang paling baik, atau paling
murah, besok sudah berubah lagi, atau hari ini bilang yang paling canggih, maka besok
sudah berubah lagi. Kalau yang dicari keunikan, maka hal itu tidak akan mungkin dapat
ditiru secepat itu oleh pihak lain. Dua (2) keunikan, yaitu target audiens dan produk
kalau digabungkan, maka jadilah hal tersebut sebagai sebuah button atau garis besarnya.
Dua (2) hal yang tidak berhubungan dijadikan satu, atau menghubungkan dua (2) hal
yang tidak berhubungan, maka lahirlah big idea sebagai konsep besar yang belum ada
nilai apapun, atau masih sebuah konsep besar.
Untuk menemukan big idea, dibutuhkan partner kreatif, karena ketika berpikir
hal tersebut akan dimulai dari yang bersifat umum dan mengkerucut sampai sangat
sempit hingga keluar big idea. Ketika tercipta big idea, maka hal tersebut diinginkan
terbang setinggi-tingginya dan hidup dalam dunianya sendiri, maka diperlukan teman-
teman kreatif. Sampai tahap ini, proses yang bersifat rational berakhir. Selanjutnya,
bersama teman-teman kreatif memulai tahap yang disebut dengan proses magic, yaitu
berpikir dari hal sempit menjadi lebih luas, dengan data sebagai patokannya. Jadi,
dengan kunci big idea akan dibuat aplikasinya atau pengejawantahannya. Nantinya ide
dapat bermacam-macam, terserah cara memandang idenya seperti apa, tetapi yang pasti,
idenya sudah sangat jelas, karena ada big idea di belakangnya.
Berkaitan dengan pembentukan big idea rokok Sampoerna A Mild, Teguh
Handoko mengatakan :
Dalam teori iklan, big idea itu tidak boleh lebih dari tiga (3) kata. Jadi semakin
singkat dapat dirumuskan konsep-konsepnya, maka itu lebih baik. Contohnya
seperti A Mild. Saya dulu pernah terlibat hampir tiga tahun. A Mild sejak
pertama kali didefinisikan brand-nya, maka target audiensnya 17-25 tahun
(sudah punya karakter). Hal tersebut sesuai dengan hasil riset bertahun-tahun,
yang namanya ’bukan basa basi’. ’Bukan Basa Basi’ adalah gambaran perilaku
target audiens yang selalu berkomentar atau menyuarakan sejujur-jujurnya hati
nuraninya ketika melihat situasi yang ada di dunia ini, baik terhadap diri sendiri
maupun terhadap lingkungannya. Hal itu didapatkan dari riset, bahwa memang
karakter itu begitu tipe-nya, yaitu tidak mau anak-anak muda sekarang bilang
”sok jaim” (menutupi hal sebenarnya), atau ”itu basa basi”.
Iklan tersebut akhirnya selalu muncul dikaitkan dengan konteksnya. Misalnya,
bila saat musim pemilihan umum, maka akan dimunculkan situasi Pemilihan Umum
dalam kacamata audiens tersebut, yaitu hal yang paling sejujur-jujurnya yang dapat
dilihat tentang pemilu, atau lainnya, seperti lebaran, puasa. Hal yang paling sejujur-
jujurnya tentang suatu realitas dan tentang musik.
Definisi tentang brand dijaga betul sampai bertahun-tahun hingga hari ini masih
melakukan, meskipun dimensi isunya berbeda, karena mengambil realitas sosial
bermacam-macam dan berkembang terus. Namun selalu dilihat dari kacamata anak
muda yang memang brutally honest, yaitu jujur yang sejujur-jujurnya terhadap diri
sendiri dan keadaan sekitarnya.
Core target audiens berusia 17–25 tahun. Yang diluar itu lebih bersifat
aspirasional, misalnya yang berusia di atasnya ingin jadi anak muda atau yang berusia di
bawahnya yang ingin masuk dan menjadi kelompok tersebut. Tetapi memang generasi
tersebut, ada yang baru kerja dan ada yang masih sekolah, yang mana dunianya selalu
menciptakan tema-tema bagi Sampoerna A Mild. Hal tersebut yang membuat
Sampoerna A Mild selalu konsisten.
Bila dilihat apapun bentuk output kreatifnya, maka yang disebut sebagai
reproduksi sosial, Sampoerna A Mild akan selalu diciptakan berdasarkan dimensi
tersebut. Kelompok ini tidak akan terpisah dari dunianya. Nuansa lokalnya akan terlihat
kuat dan menyoroti apapun yang terjadi di dunia sosialnya. Selamanya akan seperti itu
terus. Hal itu dibuktikan hingga sekarang dijalankan terus padahal sudah sepuluh tahun.
Total hingga sekarang mungkin sudah 18 atau 19 tahun, dan Sampoerna A Mild tetap
konsisten dan tetap relevan. Hal itu adalah proses yang dilakukan Sampoerna A Mild,
atau secara umum hampir semua biro iklan melakukannya.
Pengaruh dari klien atau pengiklan, menurut Teguh Handoko hanya bersifat
mandatori, yaitu sesuatu yang tidak diinginkan klien seperti tidak boleh menggunakan
simbol atau warna tertentu. Lebih lanjut dikataknnya bahwa orang punya kemampuan
tersendiri yang tidak dimiliki untuk menghadirkan sosok unik target audiens
disandingkan dengan sosok unik produknya, kemudian menemukan sebuah ide. Ide ini
disebut Big Idea. Ide ini yang akan dibangun untuk brand dan menjaganya. Menjaga
brand sama seperti mengkultuskan sesuatu. Hal itu membutuhkan dedikasi, pemahaman
dan komitmen. Mungkin orientasi bagi produsen (klien) bersifat short-term atau menjual
produk. Padahal produk brand itu bersifat live forever. Bagi pencipta iklan yang
dipikirkan adalah brand. Seperti apa brand di mata target audiens. Image apa yang
tertanam dibenaknya serta mau dibangun dan diisi dengan apa. Pada dasarnya pencipta
iklan mengharapkan komitmen pengiklan, sebagaimana komitmen pengiklan Sampoerna
A Mild.
Ada hal menarik dari wawancara dengan Teguh Handoko bahwa pemiliknya
sangat luar biasa berkomitmen untuk Sampoerna A Mild. Berikut adalah ungkapannya :
Misalnya, mengkoleksi mobil Roll-Royce yang di dunia tidak ada yang punya,
sebagai syarat. Warnanya merah marun yang dipilih dengan syarat orang lain
tidak ada yang punya, meskipun dia harus keluarkan uang yang besar untuk itu.
hal yang dilakukan pemilik adalah demi kepentingan brand, yaitu menjaga
kesakralan brand bahwa dengan merah marunnya ada di mana-mana, sehingga
membuat stakeholders menghargainya. Brand tercipta bukan hanya peranan
agency (pencipta iklan), tetapi pemilik juga harus menjaganya untuk sesuatu
yang lebih long-term. Jadi pemilik merepresentasikan personal experience
supaya brand harus hidup sebagai suatu brand yang selalu diomongin orang. A
Mild merupakan keberhasilan semua, karena komitmen semua pihak.
Pembentukan dan penempatan positioning dalam gambaran di Iklan bersifat
abstrak dan konkrit. Teguh Handoko menyatakan bahwa Positioning sebenarnya adalah
apa dan bagaimana menempatkan sesuatu dibenak konsumen berbentuk respon, atau
tidak harus berbentuk stimulus, atau abstrak, atau konkrit. Yang paling mudah adalah
orang menempatkannya dalam bentuk tagline. Seperti A Mild dengan tagline ”Bukan
Basa Basi”, di mana value yang ditanamkan dua (2) hal tersebut.
Belakangan ini banyak juga iklan yang abstrak, yang tidak menyebut stimulus
sama sekali di mana semua bentuk komponen komunikasinya diarahkan supaya orang
meresponnya. Misalnya, kampanye iklan politik, dari mulai stimulus sama respon
berbeda, yaitu ”lanjutkan”, tetapi sebenarnya buka itu positioning yang dimaui. Ada
sesuatu yang lain yang ada di kepala konsumen adalah positioning yang sebenarnya.
Berkaitan dengan penempatan positioning dalam gambaran iklan Sampoerna A
Mild, Teguh Handoko mengungkapkan selengkapnya :
A Mild dalam hal ini, berupa positioning stimulus yang disampaikan ”Bukan
Basa Basi”, tetapi positioning yang ada dibenak konsumen sebagai brand yang
”paling cool”, dan ”paling mengertinya”. A Mild adalah brand yang paling
mengerti konsumennya. Brand yang paling mengerti kelompok audiens perokok
dengan sifat sejujur-jujurnya. ”Itu memang brand yang ngerti gue”, katanya,
”Yang lain nggak ngerti gue”. Sifat penempatan positioning A Mild adalah
bersifat konkrit maupun abstrak. Sebenarnya A Mild sudah keluar dari kategori
sebuah rokok. A Mild sudah menjadi gaya hidup. A Mild sudah keluar dari area
itu, meskipun tidak boleh menyebutkan kelebihan produk, area yang diambil
adalah gaya hidup target audiens. Misalnya, ketika sesorang mengeluarkan A
Mild, maka akan direspon oleh yang lain “Wih! A Mild loe!”. A Mild selalu
menjadi benchmark atau patokan untuk kelompok kategori tersebut, A Mild yang
terbaik, dan A Mild sudah mendapatkan keuntungannya, meskipun dengan harga
premium dan dengan positioning mendapatkan value.
Peran pengiklan dan pencipta iklan sebenarnya berlangsung ketika proses
pemahaman terhadap target audiens dan produk berdasarkan informasi rasional yang
dikumpulkan. Semua orang terlibat dalam proses ini, termasuk kreatif, media, dan lain-
lain. Jadi sejak awal proses periklanan, semua ikut terlibat. Semua belajar bareng-
bareng, semua mengenali target audiens dan produk bersama-sama sampai sepakat ke
satu big idea.
Meskipun punya spesialisasi sendiri-sendiri, tetapi tidak terpisahkan dalam
proses tersebut. Misalnya satu tentang strategi, satu tentang kreatifnya dan satu lagi
tentang medianya. Ketiga bidang tersebut harus tahu dan terlibat sejak awal untuk
mengetahui masalah apa yang dihadapi klien. Bagi pencipta iklan, tidak akan dapat
bekerja tanpa mengetahui masalah. Tetapi adakalanya ada klien yang tidak dapat
merumuskan apa masalah yang dihadapinya, maka dibantu untuk menemukan masalah
yang sebenarnya dihadapi klien, sampai semua komitmen dengan masalah tersebut, baru
dapat bekerja.
Masa proses mendapatkan big idea bersifat relatif. Kalau yang tough dengan
penelitian kualitatif untuk mendukung asumsi-asumsi, maka diperlukan satu (1) bulan
untuk dapat big idea. Dalam hal ini ada juga yang memakai paket cepat. Meski
demikian, tetap melakukan metode yang sama, tetapi dalam cakupan yang lebih, dengan
istilah ’quick and the fee’, namun dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Misalnya, ngobrol dengan beberapa orang, tetapi secara mendalam hingga merumuskan
hasilnya sebagai insight formula.
Sekali lagi hal tersebut bergantung pada kesepakatan masing-masing. Dalam hal
ini dapat dilakukan degan penelitian melalui prosedur formal atau langsung menjawab
hipotesis. Misalnya, bila sudah tahu masalah apa, hipotesisnya apa, lalu dapat penelitian
langsung untuk menemukan jawabannya, maka tidak perlu melakukan penelitian yang
lebih besar dan luas lagi, dengan persiapan lebih lama dan biaya lebih besar. Bahkan
adakalanya, penelitian yang singkat tersebut tidak hanya menghasilkan big idea, tetapi
juga sudah sampai eksekusi kreatifnya.
Menurut Teguh Handoko ketika bagian kreatif dilibatkan dalam proses
penentuan dan pembetukan positioning, masa proses yang dilakukannya berlangsung
relatif sebagaimana yang dituturkannya :
Masa proses di bagian kreatif malah lebih lucu, bila dikasih waktu tiga (3) hari,
maka dapat diselesaikan sebelum tiga (3) hari. Bila dikasih waktu lima (5) hari,
maka hari ke lima (5) ditemukan. Kasih waktu satu (1) hari, satu (1) jam
pertama, maka ketemu. Jadi sebenarnya tidak ada rumusan waktu yang baku dan
pasti, yaitu selama paham betul big idea tersebut maknanya apa, akan berpikir
sendiri secara langsung dari situ. Yang penting big idea itu harus menginspirasi
orang kreatif, supaya dapat mengembangkan big idea tersebut menjadi sesuatu
lebih real (nyata) yang sudah tidak bersifat konsep lagi.
Masa proses inkubasi di bagian kreatif tergantung apakah big idea tersebut
menginspirasinya. Proses tersebut disebut creative briefing. Ketika menemukan big
idea, bagian kreatif dapat langsung melakukan brief kreatif. Hal ini memperlihatkan
apakah orang-orang kreatif terinspirasi atau tidak. Kalau terinspirasi, berarti big idea
benar, tetapi bila tidak terinspirasi dan tenang-tenang saja tidak ada respon, maka big
idea kurang benar.
Bagian kreatif bekerja untuk mencari key word yang pas, bentuk isi pesannya
baik verbal, non verbal, simbol-simbol, latar, dan lain-lain. Orang-orang kreatif sangat
subyektif, tetapi dalam bekerja landasannya adalah big idea, maka kreatifitasnya harus
dijaga dan memberi kebebasan dalam berkreatif, yang penting patokannya dari big idea.
Dapat dikatakan bahwa orang kreatif sebagai orang yang berbakat, atau terlatih, namun
tetap subyektif. Meskipun subyektif, tetapi dapat dipertanggung- jawabkan secara
obyektif, dengan cara mengumpulkan dulu simbol-simbolnya lalu diuji. Dalam hal ini
bila diterima, berarti dapat dipertanggungjawabkan. Misalnya, merumuskan warna biru
untuk simbol laki-laki, lalu diuji melalui iklan, tetapi orang menangkapnya tidak
demikian (persepsi apa saja), tetapi beauty of advertising berada di situ. Dalam hal ini,
persepsi konsumen yang penting, misalnya suatu simbol berupa gambar gunung, tetapi
konsumen dapat menangkapnya sebagai gambar lain. Yang penting persepsi konsumen
(Perception is reality).
Kasus Sampoerna A Mild sudah berkali-kali dilakukan pretest bahwa tidak
pernah mengkaitkan ekspektasi produk dengan benefit, teapi konsumen dapat
menghubung-hubungkan ekspektasi produk dengan produk benefit. Hal itu dikarenakan
permainan persepsinya konsumen (tidak dapat melarang). Seperti, Sampoerna A Mild
mahal, maka demikian ekspektasinya, tetapi itu tidak masalah.
Penggunaan simbol-simbol dalam iklan bagi orang kreatif datang dari langit,
tidak ada dasarnya, yaitu intuisi, tetapi memang ada juga yang dapat dipelajari dan dapat
dipertanggungjawabkan. Misalnya, ada pretest berdasarkan eksekusi yang dibuat, lalu
melakukan pilihan mana yang dapat dipakai. Hal itu merupakan karunia Tuhan, yaitu
kemampuan yang tidak dimiliki oleh semua orang.
Pemilihan media termasuk proses penting dalam periklanan. Teguh Handoko
mengatakan bahwa ketika melakukan proses pencarian big idea, harus dilakukan media
dan budget netral. Untuk dapat ide yang terbaik, tidak boleh dibatasi oleh hal-hal
tersebut. Biarkan ide tersebut berkembang dahulu sampai dapat dilihat pijakannya ada di
mana, maka target audiens bagaimana dan point of context bagaimana secara detail.
Di awal saat mencari big idea, tidak boleh dipengaruhi oleh penggunaan media
yang diinginkan klien. Ketika ada isu di milis, tidak ada yang menyangka bahwa
asumsi-asumsi untuk media berubah. Jadi penggunaan media dapat dipengaruhi atau
berlandaskan big idea. Kontribusi televisi bagi penempatan iklan, kalau dari data
penelitian atau AcNielson, televisi memang masih teratas. Hingga saat ini televisi masih
dianggap sebagai media paling tepat dan cepat dalam membangun awareness khalayak.
Namun begitu masih bergantung pada produk, sistem distribusi, target market, dan lain-
lain. Tetapi keefektifannya masih unggul di banding media lain.
Penentuan dan efektivitas media berhubungan langsung dengan biaya yang
besar. Fakta bahwa konsumen target audiens terhadap televisi di Indonesia sangat besar
dibanding media lain, tetapi juga untuk jam-jam tertentu bukan televisi. Untuk target
audiens Sampoerna A Mild berusia 17-25 tahun, mungkin yang menonton televisi lebih
sedikit dibandingkan ber-internet, menonton bioskop, menonton pertunjukkan musik.
Secara umum, televisi memang paling efektif dan belum berubah.
4.2. Konstruksi Realitas dalam Tingkatan Teks Iklan Rokok Sampoerna A Mild di
Televisi
Konstruksi realitas dalam tingkatan teks iklan dapat diartikan sebagai hasil
reproduksi sosial dalam proses periklanan. Proses tersebut melibatkan pengiklan dan
pencipta iklan. Pengiklan berfokus untuk menghasilkan suatu produk dan menjualnya.
Sewaktu membuat iklan, pengiklan memperhatikan identitas perusahaan, strategi
pemasaran dan produk utama andalan perusahaan. Atas dasar itu, strategi periklanan
dapat mendukung program pemasaran tanpa menghilangkan kesan konsumen terhadap
kepribadian perusahaan. Sedangkan, pencipta iklan, berdasarkan informasi produk atau
merek dari pengiklan, mengintegrasikannya ke dalam pesan iklan berupa simbol budaya
popular dalam bahasa yang mudah dipahami masyarakat. Dalam hal ini dilakukan
reproduksi dengan cara mengkonstruksi informasi-informasi bersifat sosial untuk
diwujudkan ke dalam pesan sebuah iklan.
Pencipta iklan melakukan proses pembentukan dan penentuan positioning bagi
produk yang akan diiklankan melandaskan pekerjaannya pada perencanaan periklanan
yang meliputi analisis situasi, tujuan, profil target market, pernyataan positioning,
strategi kreatif dan perencanaan media. Positioning yang berbeda dimaksudkan sebagai
pencitraan produk yang memiliki kepribadian yang kuat di antara produk lainnya. Agar
kepribadian produk tetap ada, maka karakteristik produk diusahakan tidak bertabrakan
dengan inti dari merk tersebut, malah justru harus menambah nilai plus dari produk
tersebut.
Produk yang ingin diposisikan ke dalam benak konsumen harus sesuai dengan
kebutuhan yang diperlukan oleh konsumen. Selain itu, produk tersebut harus
dirumuskan dalam bentuk pernyataan positioning yang mewakili citra produk dan
memiliki hubungan asosiatif yang mencerminkan karakter produk yang tampil secara
menyeluruh dalam pesan iklannya. Secara tidak langsung produk tersebut akan diterima
oleh konsumen dan produk tersebut akan tetap tertanam di dalam benak konsumen.
Pihak media, dalam hal ini stasiun televisi, adalah penyedia ruang dan waktu
bagi pengiklan melalui pencipta iklan untuk menempatkan iklannya berdasarkan pada
apa yang ingin dicapai, jenis pesan atau informasi yang ingin dikomunikasikan dan
biaya yang dikeluarkan. Pengiklan berusaha mencapai sejumlah besar khalayak dengan
biaya sedikit mungkin. Biaya untuk penggunaan media bergantung pada beberapa
faktor, seperti ukuran khalayak, komposisi khalayak (umur, penghasilan, pendidikan,
dan sebagainya), dan prestise dari media itu sendiri. Berdasarkan data pada Lampiran 6
diketahui bahwa iklan televisi rokok Sampoerna A Mild ditayangkan di stasiun televisi
Trans TV, Global TV, SCTV, ANTV, RCTI, Trans7.
Kontruksi realitas dalam teks iklan Sampoerna A Mild, peneliti uraikan ke dalam
tiga (3) bagian, yaitu positioning Sampoerna A Mild melalui iklan televisi, tema dan
timing iklan televisi Sampoerna A Mild dan analisis teks iklan televisi Sampoerna A
Mild.
4.2.1. Positioning Sampoerna A Mild melalui Iklan Televisi
Temuan penelitian menunjukkan bahwa penentuan dan pembentukan positioning
produk Sampoerna A Mild melalui iklan televisi dimuat dalam Tabel 2.
Tabel 2. Positioning rokok Sampoerna A Mild melalui televisi
Positioning Big Idea Pernyataan
Positioning Realitas Sosial
Keunggulan
produk, yaitu
Rokok Sampoerna
A Mild
mengandung tar
dan nikotin rendah
Bukan basa basi
yang ditujukan
untuk suatu
kejujuran dalam
segala hal
- How low can you go
- Bukan basa basi
- Tanya Kenapa
- Bencana alam
- Pemilihan umum
- Birokrasi
- Perselingkuhan
- Pendidikan dan
pekerjaan
- Lebaran
- Berani mati
- Penegakan hukum
- Panutan
- Tahun baru wajah
baru
Tabel 2 menunjukkan bahwa Sampoerna A Mild diusung sebagai rokok unggul
yang mengandung kadar tar dan nikotin rendah. Sebagai produk rokok yang diiklankan
menghadapi pembatasan dalam pesan iklannya. Namun hal tersebut tidak menyebabkan
kreativitas yang dituangkan dalam pesan iklan menjadi tidak menarik. Informan kunci
Teguh Handoko mengakui bahwa proses awal penentuan dan pembentukan positioning
rokok Sampoerna A Mild mengalami jalan panjang selama tiga (3) tahun melalui insight
terhadap core target khalayaknya.
Berlandaskan posisi keunggulan produk tersebut, menghasilkan big idea,
sebagaimana yang dikatakan Teguh Handoko :
Akhirnya, kejujurannya boleh didefinisikan dengan bahasa yang memang
brutally honest, yaitu jujurnya berlebihan sekali atau jujur sekali. Itu justru penting,
bagi target audiens berusia 17-25 tahun tersebut, pasti akan seperti itu. Kalau tidak
seperti itu, berarti sudah berada dalam kelompok usia yang lain. Insight ini yang oleh
tim A Mild tersebut dijadikan bahan sebagai big idea, yaitu bukan basa basi yang
ditujukan untuk suatu kejujuran dalam segala hal.
Big idea rokok Sampoerna A Mild dipecah ke dalam sub-sub big idea sebagai
pengejawantahan positioning statement, yaitu How low can you go, Bukan basa basi dan
Tanya Kenapa. Dalam gambaran iklan, penyajiannya dikaitkan dengan situasi terkini
sebagai realitas sosial, seperti bencana alam, pemilihan umum, birokrasi,
perselingkuhan, pendidikan dan pekerjaan, Lebaran, berani mati, penegakan hukum,
panutan dan Tahun Baru wajah baru.
4.2.2. Tema dan Timing Iklan Televisi Sampoerna A Mild
Pesan dalam iklan televisi adalah teks yang menghasilkan tanda. Teks iklan
merupakan hasil reproduksi sosial dari para pembuatnya, lalu dikonsumsi oleh
khalayaknya yang mampu mempengaruhi sistem sosial, politik, budaya dan ideologi
dalam struktur masyarakat sebagai realitas sosial. Iklan bukan saja merefleksikan
realitas, tetapi juga didefinisikan melalui makna atau citra yang muncul di dalamnya.
Citra atau makna tersebut merupakan hasil konstruksi realitas melalui kegiatan praktek
suatu produksi dan makna yang bersifat sosial atau disebut praktek pemaknaan.
Proses penyajian pesan iklan selalu berkaitan antara tema dan timing. Tema dan
timing dalam iklan Sampoerna A Mild selalu merujuk pada produk sosial sebagai
realitas dalam konteksnya. Hal ini sebagaimana dikatakan Handoko dalam Palupi (1996)
dan informan kunci Teguh Handoko bahwa isi pesan iklan yang mengandung realitas
dalam konteksnya mendorong iklan rokok Sampoerna A Mild lepas dari keparitasan dan
meningkatkan penjualan.
Kreatifitas iklan Sampoerna A Mild menawarkan situasi sosial kekinian tidak
menggambarkan rokok tapi dari brand yang sudah terposisi dengan baik dibenak
khalayak. Pesan yang disajikan dalam iklan Sampoerna A Mild adalah kritik sosial yang
dibungkus menjadi suatu kreatif iklan oleh pencipta iklan. Tema-tema yang dihadirkan
dalam pesan iklannya selalu dikaitkan dengan timing realitas sosial yang terjadi.
Dari data profil iklan rokok Sampoerna A Mild (Lampiran 4), peneliti
mensarikannya dengan cara mengambil sebagian data tersebut, kemudian
menuangkannya ke dalam Tabel 3.
Table 3. Keterkaitan antara tema dan timing iklan Sampoerna A Mild versi televisi
Tema Iklan Judul Iklan Timing
Bulan Tahun
Bencana alam Flood Become Tradition
Teenagers Diving
Januari
Februari
2006
2008
Pemilihan Umum Confuse Choosing Taxi
Siapa Muda Dipandang
Sebelah Mata
Flea on the Sofa
Februari
Maret
Maret, April
2009
2008
2004
Birokrasi Man Waiting Stamp Seal Maret 2006
Perselingkuhan Siapa Gonta Ganti Pacar Mei – Juli 2008
Pendidikan dan Pekerjaan Gelar Dulu Kerja Dulu Agustus,
September
2008
Lebaran Gampang Maafin September 2008
Berani mati Indian Riding Horse Oktober 2005
Penegakkan hukum Trafic Sign Oktober 2006
Nopember
Panutan Alien Following the Logo Novemver 2007
Tahun Baru Wajah Baru Paint Spray and Typewriter Desember 2003
Tabel 3 memperlihatkan keterkaitan antara tema dan timing iklan rokok
Sampoerna A Mild. Tema iklan ditampilkan sebagai hasil reproduksi sosial dengan
merujuk pada realitas yang sedang terjadi di masyarakat. Timing penayangan iklan
dikaitkan dengan kapan konteks sosial tersebut terjadi. Iklan Sampoerna A Mild
berjudul Man Waiting Stamp Seal mengambil tema Birokrasi di mana konteks sosial
yang diusung berkaitan dengan gaya birokrasi Orde Baru di Era Reformasi. Iklan
Sampoerna A Mild berjudul Flea on the Sofa mengambil tema Pemilihan Umum
Anggota Legislatif tahun 2004 di mana konteks sosial yang diusung berkaitan dengan
merajalelanya korupsi di lembaga-lembaga negara termasuk lembaga legislatif.
Dalam memperhatikan iklan rokok Sampoerna A Mild, konsep-konsep yang
ditawarkan dalam kreatifnya luar biasa. Hal ini tidak lepas dari aturan-aturan dalam tata
karma dan tata cara periklanan yang membatasi bahwa iklan rokok tidak boleh
menampilkan rokok, orang merokok dan ditujukan kepada anak-anak. Jika
memperhatikan iklan rokok Sampoerna A Mild, lebih mensegmenkan pada siapa
audiens yang dituju. Kekuatan dari suatu iklan adalah bagaimana positioning yang
ditawarkan tergambar dalam iklan. Iklan rokok Sampoerna A Mild lebih menekankan
kepada kritik sosial yang dibangun atau kritik sosial yang ada dibangun menjadi suatu
kreatif iklan. Bagaimanapun pasar yang dituju rokok tersebut tidak terlepas dari
bagaimana mengenal khalayak yang sesuai dengan produk tersebut.
4.2.3. Analisis Teks Iklan Sampoerna A Mild versi Televisi
Pada bagian ini, peneliti melakukan analisis semiotik terhadap dua iklan rokok
Sampoerna A Mild, yaitu versi Man Waiting Stamp Seal dan Flea on the Sofa. Analisis
semiotik digunakan untuk menggali makna yang sebenarnya dari teks kedua iklan
tersebut. Instrumen analisis semiotik yang digunakan mengacu pada konsep semiotika
linguistik Williamson (2007) sebagaimana telah diungkapkan pada Bab Metodologi
Penelitian.
4.2.3.1 Iklan Sampoerna A Mild Versi Man Waiting Stamp Seal
Analisis iklan Sampoerna A Mild versi ”Man Waiting Stamp Seal” dengan
tagline ”Tanya Kenapa” menunjukkan tanda-tanda signifier dan signified yang
ditampilkan dalam iklan tersebut dimuat pada Tabel 4.
Tabel 4. Tanda-tanda yang ditampilkan dalam iklan televisi A Mild versi
Man Waiting Stamp Seal
Tanda-Tanda
Signifier Signified
Baju seragam yang digunakan Pejabat pemerintah
Jarum jam berputar bersamaan dengan
pemberian stempel yang ditunda
Lambannya pekerjaan
Stempel Pengesahan
Suara: Tanyaken apa Logat Jawa yang biasa terdengan waktu
Soeharto Bicara
Kalimat tertulis: ”HARUSNYA
GAMPANG DIBIKIN SUSAH”
Pekerjaan sederhana diselesaikan dalam
waktu yang lama
Tabel 4 menunjukkan bahwa secara keseluruhan, tanda tersebut menghasilkan
makna birokrasi warisan orde baru yang tidak produktif dan kontradiktif dengan era
reformasi. Bagi Sampoerna A Mild sendiri, iklan tersebut memperlihatkan perhatian
perusahaan terhadap kondisi sosial yang tengah terjadi. Melalui perhatian ini,
Sampoerna A Mild menunjukkan bahwa perusahaan mempunyai kepedulian terhadap
masalah sosial, yaitu tata administratif pemerintahan.
Bagaimana sampai pada makna tersebut adalah karena sudah memiliki sistem
tanda yang telah terbentuk. Sistem tanda yang dimaksud berkaitan dengan tipe pakaian.
Dalam hubungan oposisi, dikenal pakaian yang sama warna, bahan dan coraknya antara
baju dan celana/rok, yang biasa disebut seragam. Pakaian jenis ini dimuat pada Gambar
9.
Gambar 9. Scene 1 iklan televisi Sampoerna A Mild versi Man Waiting Stamp Seal
Gambar 9 memperlihatkan jenis pakaian seragam dengan model, corak dan
warna, serta dilengkapi name tag sebagai pelengkap yang biasa dipakai oleh pegawai
administratif pemerintah. Lalu ada jenis pakaian yang berbeda warna, bahan dan
coraknya antara baju dan celana/rok yang biasa disebut bukan seragam sebagaimana
dimuat pada Gambar 10.
Gambar 10. Scene 2 dan 3 iklan televisi Sampoerna A Mild
versi Man Waiting Stamp Seal
Keterkaitan makna yang dapat ditangkap antara Gambar 9 dengan Gambar 10 di
atas memperlihatkan bahwa secara oposisional, pakaian seragam memiliki makna ketika
berhubungan dengan pakaian bukan seragam. Pakaian seragam biasa dikenakan oleh
suatu kelompok, komunitas, atau lembaga. Dalam kaitannya dengan iklan tersebut,
pakaian yang dikenakan itu biasa digunakan oleh pejabat pemerintah. Karena itu, tanda
tersebut menghasilkan makna pejabat pemerintah atau dalam bahasa yang lebih keren
sebagai birokrasi.
Menurut peneliti birokrasi pemerintah di era reformasi ini masih dimaknai
sebagai birokrasi yang lamban dan berbelit-belit. Sementara realitas dalam konteks
sosial yang sesungguhnya bertolak belakang dengan harapan masyarakat ketika
berhubungan dalam urusan administratif di pemerintahan. Pemaknaan demikian
tercermin pada tanda yang dimuat pada Gambar 11.
Gambar 11. Scene 4 iklan televisi Sampoerna A Mild
versi Man Waiting Stamp Seal
Gambar 11 di atas memperlihatkan bagaimana pejabat pemerintah tersebut
memegang stempel dengan mengangkat tangan kanannya, sementara tangan kirinya
sedang menyikat gigi. Jarum jam di dinding menunjukkan angka tiga (3) sebagai tanda
akan berakhirnya jam kantor. Bila dikaitkan dengan realitas sosial, tanda-tanda pada
Gambar 11 tersebut mengandung makna pekerjaan sederhana tapi membutuhkan waktu
penyelesaian yang lama. Pekerjaan sederhana yang digambarkan adalah membubuhkan
stempel di atas selembar kertas.
Secara keseluruhan sistem referen tanda yang ditampilkan pada penggalan dalam
teks iklan Sampoerna A Mild di atas mengindikasikan kritik sosial yang cukup keras.
Sejalan dengan era reformasi sudah seharusnya birokrasi pemerintahan dituntut
profesional dengan menerapkan prinsip good governance. Sementara gambaran realitas
yang ditampilkan adalah birokrasi warisan Orde Baru. Menurut Sihabudin (1997), bila
seseorang mengenakan pakaian seragam tertentu pada dasarnya orang telah
menyerahkan haknya sebagai individu untuk bertindak bebas, dan selanjutnya harus
menyesuaikan dan tunduk pada aturan kelompoknya. Ini artinya, seseorang ketika
mengenakan seragam pegawai pemerintah harus menyesuaikan diri dan tunduk dengan
sumpahnya sebagai aparatur negara.
Menurut peneliti, kritik sosial terhadap birokrasi yang demikian bila tidak
dilakukan perubahan dapat mempertajam anggapan khalayak bahwa pemerintahan di era
reformasi tidak berbeda dengan pemerintahan di era orde baru. Namun untuk menatap
masa depan, Iberamsyah (1997) mengatakan bahwa birokrasi Indonesia harus mampu
mengikis nilai-nilai lama yang tidak rasional dan menggantikannya dengan nilai-nilai
moderen yang rasional. Tanpa usaha ini, Indonesia akan terpuruk di tengah-tengah
persaingan dunia yang kian ketat.
4.2.3.2 Iklan Sampoerna A Mild Versi Flea on the Sofa
Analisis iklan Sampoerna A Mild dalam versi “Flea on the Sofa” menunjukkan
tanda-tanda signifier dan signified yang ditampilkan dalam iklan tersebut dimuat pada
Tabel 5.
Tabel 5. Tanda-tanda yang ditampilkan dalam iklan televisi Sampoerna A Mild versi
Flea on The Sofa
Tanda-Tanda
Signifier Signified
Kursi sofa Kursi mahal milik orang-orang tertentu
Kursi Sofa yang bolong, rusak, dan kotor Kursi yang tidak berharga
Kutu busuk di atas kursi sofa Binatang kecil penggerogot
Lelaki tua gemuk yang hendak duduk Lelaki tua suka duduk di kursi empuk
Celana panjang bermotif kotak-kotak Celana panjang dipakai pria flamboyan
Tangan kanan yang menggaruk bokong Gatal-gatal karena duduk di kursi sofa
Kalimat tertulis: ”KALO NGGAK
DIBERSIHIN KUTU BUSUKNYA
NGGAK BAKALAN PERGI!!
Kursi harus dibersihkan agar tidak
didiami binatang penggerogot/kutu busuk
Tabel 5 secara keseluruhan menunjukkan tanda menghasilkan makna anggota
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang sudah tua-tua dan gemuk yang tidak produktif,
penuh janji-janji, serta penyalahgunaan wewenang seperti korupsi. Bagi Sampoerna A
Mild sendiri, iklan tersebut juga memperlihatkan perhatian perusahaan terhadap kondisi
sosial politik yang tengah terjadi, berkaitan dengan pemilihan umum anggota DPR.
Melalui perhatian ini, Sampoerna A Mild menunjukkan bahwa perusahaan mempunyai
kepedulian terhadap masalah sosial politik.
Bagaimana sampai pada makna tersebut, yaitu karena sudah memiliki sistem
tanda yang telah terbentuk. Sistem tanda yang dimaksud berkaitan dengan kursi, kutu
busuk, bokong, tangan kanan beserta jari-jarinya. Dalam hubungan oposisi, dikenal kursi
yang empuk bila diduduki, dengan sandaran kepala dan tangan yang juga empuk, serta
berharga mahal, sehingga hanya pantas dimiliki orang-orang tertentu dan terhormat,
yang biasa disebut kursi sofa. Kursi jenis ini dimuat pada Gambar 12.
Gambar 12. Scene 1 dan 2 iklan televisi Sampoerna A Mild versi Flea on The Sofa
Gambar 12 di atas pada scene 1 sebelah kiri memperlihatkan sebuah kursi sofa
mewah dan mahal. Namun ketika disandingkan dengan scene memperlihatkan binatang
kecil yang sangat senang dan selalu mendiami kursi tersebut, sehingga membuat kursi
tersebut bolong, rusak dan kotor, yang biasa disebut kutu busuk. Secara oposisional,
kursi sofa yang empuk dan mahal tetapi bolong, rusak dan kotor memiliki makna ketika
berhubungan dengan binatang kutu busuk yang menggerogotinya. Kemudian seorang
lelaki tua dan gemuk bercelana panjang kotak-kotak hendak duduk di kursi tersebut.
Setelah itu terbangun, sambil jari-jari tangan kanannya menggaruk-garuk bokongnya,
sebagaimana dimuat pada Gambar 13.
Gambar 13. Scene 3 dan 4 iklan televisi Sampoerna A Mild versi Flea on The Sofa
Gambar 13 menunjukkan bahwa secara oposisional bagian tubuh manusia untuk
menduduki sesuatu adalah bagian bokong. Bagian tubuh ini termasuk bagian sensitif.
Sedangkan bagian tubuh manusia yang sering digunakan untuk menggaruk, memegang,
mengambil sesuatu dan sebagainya adalah tangan dengan jari-jarinya. Tangan kanan dan
jari-jarinya bagi kalangan tertentu digunakan untuk sesuatu yang bersifat bersih dan
kebaikan, bukan digunakan untuk keperluan kotor dan jorok. Makna kegunaan anggota-
anggota tubuh manusia sebagaimana tertuang pada iklan tersebut, seperti dimuat pada
Tabel 6.
Tabel 6. Kegunaan tubuh manusia
KEGUNAAN TUBUH MANUSIA
Bokong Menduduki sesuatu dan bagian sensitif
Tangan dengan jari-
jarinya
Menggaruk, memegang, mengambil sesuatu, dan
sebagainya
Tangan kanan dengan
jari-jarinya
Bagi kalangan tertentu digunakan untuk keperluan
kebaikan dan bersih, misalnya makan dengan
tangan kanan
Iklan tersebut diakhiri dengan penegasan melalui kalimat: ”KALO NGGAK
DIBERSIHIN KUTU BUSUKNYA NGGAK BAKALAN PERGI” sebagaimana dimuat
pada Gambar 14.
Gambar 14. Scene 5 iklan televisi Sampoerna A Mild versi Flea on The Sofa
Sebagai sistem referen, kutu busuk adalah bintang kecil penggerogot yang biasa
mendiami dan menggerogoti kursi sofa yang empuk, mahal, dan hanya dimiliki orang-
orang tertentu. Dalam kaitannya dengan iklan tersebut, kursi sofa yang dimaksud
berkaitan dengan jatah kursi yang dimiliki kalangan orang terhormat, yaitu Anggota
DPR terpilih. Tanda tersebut menghasilkan makna Kursi DPR.
Kedua versi iklan Sampeorna A Mild, secara keseluruhan menyajikan pesan
iklan yang berbeda dengan iklan-iklan produk sejenis. Pesan dalam iklan Sampoerna A
Mild menampilkan pesan iklan yang berusaha keluar dari keparitasan iklan. Penyajian
iklannya selalu memunculkan permainan kata-kata yang cerdas dan simbol gambar yang
mengundang tanda tanya khalayak. Melalui pesan iklannya, Sampoerna A Mild tetap
mengidentifikasikan produk dan mereknya sesuai dengan karakter keunggulan produk
yang dimilikinya, yaitu produk rokok rendah tar dan nikotin. Artinya, khalayak akan
semakin tertanam dalam benaknya tentang produk rokok Sampoerna A Mild sebagai
rokok yang mengandung tar dan nikotin rendah.
Secara keseluruhan, kedua versi iklan Sampoerna A Mild tersebut menggunakan
bentuk yang sama, yaitu kata-kata yang terrangkai dalam bahasa iklan dan simbol
gambar dominan. Sedangkan dari segi isi, kedua iklan Sampoerna A Mild tersebut
berbeda tampilan berdasarkan versinya masing-masing. Versi birokrasi menonjolkan
pesan realitas sosial tentang lambannya pekerjaan sederhana yang dilakukan pejabat
pemerintah. Isi iklannya menampilkan gambar pejabat pemerintah, ruang kerja instansi
pemerintah, jam dinding di latar belakang dan kalimat ”HARUSNYA GAMPANG
DIBIKIN SUSAH”. Sedangkan versi kutu busuk menonjolkan pesan realitas sosial
tentang kecermatan dalam memilih wakil rakyat di DPR. Isi iklannya menampilkan
gambar kursi sofa, kutu busuk, seorang lelaki tua, ruangan sebuah rumah dan kalimat
”KALO NGGAK DIBERSIHIN KUTU BUSUKNYA NGGAK BAKALAN PERGI”.
Jadi dapat dikatakan bahwa kedua versi iklan Sampoerna A Mild tersebut menyajikan
kata-kata dan simbol sebagai makna penyuarakan realitas sosial apa adanya dan sejujur-
jujurnya yang bersifat bukan basa basi.
Sebagai sistem deskripsi bahasa tentang keadaan tertentu, iklan Sampoerna A
Mild versi birokrasi ditayangkan saat situasi birokrasi pemerintahan yang tidak kunjung
berubah pada Era Reformasi. Persoalan kerumitan yang masih dihadapi masyarakat
ketika berurusan dengan instansi pemerintah. Dalam visualisasi iklannya digunakan
ruang kerja instansi pemerintah, meja kerja, jam dinding, bunyi detak suara jam dinding,
dan pegawai pemerintah berseragam. Sedangkan dari segi latar belakang situasi dan
kodisi realitas sosial kekinian terdapat pada visualisasi stempel yang masih digenggam,
pejabat yang sedang menyikat giginya, seorang anggota masyarakat yang terkantuk-
kantuk menunggu berkasnya distempel dan jarum jam menunjuk pada angka pukul
15.00 sore. Gambaran dalam pesan iklan Sampoerna A Mild tersebut berhubungan
dengan realitas yang terjadi di birokrasi pemerintahan.
Pada versi kutu busuk ditinjau dari sistem deskripsi bahasa ditayangkan saat
masyarakat Indonesia menjelang Pemilihan Umum. Dalam visualisasi iklannya
digunakan kursi sofa yang rusak dan bolong akibat digerogoti kutu busuk. Sedangkan
dari segi latar belakang situasi dan kondisi realitas sosial kekinian terdapat pada
visualisasi seorang lelaki tua yang hendak menduduki kursi tersebut namun berdiri
kembali sambil menggaruk-garuk bagian bokongnya. Tampilan dalam pesan iklan
Sampoerna A Mild tersebut berhubungan dengan realitas bahwa dalam proses
pergantian kepemimpinan, masyarakat Indonesia masih menghadapi permasalahan
kurang maksimalnya pemimpin negara memerangi korupsi.
Penggunaan kalimat pada kedua iklan Sampoerna A Mild tersebut adalah key
word yang mengandung makna tertentu. Menurut Saussure dalam Budiman (2004),
kalimat sebagai bahasa mengandung hubungan yang dibedakan ke dalam dua (2) hal,
yaitu sintagmatik dan paradigmatik. Sintagmatik adalah hubungan secara gramatikal
antara kata dengan kata-kata lain di dalam ujaran. Sedangkan paradigmatik adalah
hubungan asosiatif yang mengaitkan tanda dengan tanda-tanda lain berdasarkan
sinonim, antonim dan semacamnya.
Pada iklan Sampoerna A Mild versi birokrasi memuat kalimat ”HARUSNYA
GAMPANG DIBIKIN SUSAH”. Secara paradigmatik, kalimat tersebut mengandung
hubungan yang bersifat lawan kata, yaitu GAMPANG – SUSAH dan SUSAH –
GAMPANG. Sedangkan secara sintagmatik, kalimat tersebut mengandung hubungan
dalam predikat yang bersifat menerangkan dan diterangkan, yaitu ”HARUSNYA
GAMPANG” sebagai predikat menerangkan dan ”DIBIKIN SUSAH” sebagai predikat
diterangkan. Jadi dapat dikatakan bahwa kalimat tersebut mengandung makna birokrasi
berbelit-belit ala Orde Baru dengan ungkapan rahasia umum seperti semua bisa diatur
dan asal ada uang urusan lancar. Secara oposisional, birokrasi yang seharusnya dibangun
oleh pemerintahan Era Reformasi adalah pelayanan publik yang mempermudah segala
urusan tanpa sogokan atau uang pelicin.
Pada iklan Sampoerna A Mild versi kutu busuk memat kalimat ”KALO NGGAK
DIBERSIHIN KUTU BUSUKNYA NGGAK BAKALAN PERGI”. Secara pradigmatik,
kalimat tersebut mengandung hubungan yang bersifat persamaan kata, yaitu KALO
NGGAK DIBERSIHIN – TETAP DIKOTORIN, KUTU BUSUK – RAYAP, NGGAK
BAKALAN PERGI – TETAP TINGGAL. Sedangakan secara sintagmatik, kalimat
tersebut mengandung hubungan sebagai kalimat bertingkat yang saling terkait, yaitu
”KALO NGGAK DIBERSIHIN” sebagai induk kalimat dan ”KUTU BUSUKNYA
NGGAK BAKALAN PERGI” sebagai anak kalimat. Jadi dapat dikatakan bahwa kursi
DPR harus dibersihkan dari pelaku korupsi dengan cara memiih Aggota DPR yang
bersih, jujur dan anti korupsi.
Pembentukan makna dalam iklan berlangsung melalui praktik penandaan lewat
kode-kode yang bekerja di dalam iklan seperti kode visual dan tulisan, kode artikulasi
dan suara, kode teknik pengambilan suara atau shot, serta keanekaragaman efek-efek
audiovisual pada iklan televisi. Kode-kode tersebut bersifat khusus dan ideologis.
Melalui media massa, dalam hal ini adalah televisi, kandungan ideologi dalam iklan
televisi dapat diketahui ”ideologi” para pembuatnya. Melalui simbol-simbol yang
terkodekan, sesungguhnya para pencipta iklan televisi, seperti copywriter (penulis
naskah) maupun visualizer, menyampaikan kebenaran dan obyektivitasnya atau
sebaliknya memperjuangkan kepentingan-kepentingannya yang bersifat subyektif.
Adakalanya pencipta iklan televisi mendapatkan pengaruh luar, yaitu pengiklan, dengan
menginternalisasi penggunaan kode visual dan tulisan, kode artikulasi dan suara, kode
teknik pengambilan suara atau shot, serta keanekaragaman efek-efek audiovisual pada
iklan televisi yang bersifat khusus dan ideologis tersebut. Tabel 7 memperlihatkan kode-
kode yang disajikan pada kedua iklan tersebut.
Tabel 7. Kode-kode pada iklan televisi Sampoerna A Mild versi Man Waiting Stamp
Seal dan Flea on the Sofa
Kode Versi Man Waiting Stamp Seal Versi Flea on the Sofa
Visual - Empat (4) pria berseragam
pegawai pemerintah
dengan name-tag di dada
kiri duduk di bangku dan
meja kerja
- Seorang pria berseragam
pegawai pemerintah
sedang memegang
stempel dengan tangan
kanan dan menyikat gigi
dengan tangan kiri
- Pria berpakaian biasa
terkantuk-kantuk
- Pria berbatik duduk
bersandar
- Ruang kantor instansi
pemerintah
- Berderet meja dan bangku
- Filling cabinet di latar
belakang
- Kursi sofa membelakangi
dinding berpintu,
berlemari dan berjendela
di ruangan sebuah rumah
- Kutu busuk bergerak ke
sana kemari di atas kursi
sofa bolong dan rusak
- Meja antik di sebelah
kanan kursi sofa
- Lampu meja antik di atas
meja antik
- Dua (2) buah bingkai foto
bersandar dan telepon di
atas lampu meja antik
- Pria bercelana panjang
kotak-kotak hendak duduk
di kursi sofa
- Pria bercelana panjang
kotak-kotak menggaruk
bagian bokongnya
Lanjutan Tabel 7.
Kode Versi Man Waiting Stamp Seal Versi Flea on the Sofa
- Papan tulis putih
- Jam di dinding di latar
belakang
- Seberkas kertas di atas
menja
- Stempel digenggaman
tangan kanan
- Bak stempel di atas meja
- Menyikat gigi di tangan
kiri
Tulisan - HARUSNYA
GAMPANG DIBIKIN
SUSAH
- Logo A Mild
- KALO NGGAK
DIBERSIHIN KUTU
BUSUKNYA NGGAK
BAKALAN PERGI
- Logo A Mild
Artikulasi dan
Suara
- Suara detak jarum jam
- Suara stempel menyentuh
kertas di atas meja
- Suara TANYAKEN APA
oleh orang berlogat gaya
- Instrumen musik selama
15 detik
mantan Presiden Soeharto
Teknik
pengambilan suara
dan shot
- Semua scene diambil
dengan teknik Close up
- Suara detak jarum jam
dengan jelas dan volume
cukup tinggi detak jarum
jam
- Suara stempel menyentuh
kertas di atas meja cukup
keras berkali-kali
- Scene 1 dan scene 5
diambil dengan teknik
medium shot
- Scene 2, 3 dan 4 diambil
dengan teknik close up
Efek audiovisual Gambar berganti antar scene
dalam durasi waktu 30 detik
Gambar berganti antar scene
dalam durasi waktu 15 detik
Permainan kata-kata dan simbol yang ditampilkan dalam iklan Sampoerna A
Mild tersebut tidak memperlihatkan adanya keterkaitan antara pesan yang tersaji dalam
iklan dengan produk yang dipasarkan. Pesan yang disajikan dalam iklannya tidak ada
kelebihan produk, tidak ada informasi tentang rasa dan keuntungan langsung, sehingga
tampak janggal dalam dunia periklanan. Penyajian iklan demikian berupaya
mengasosiasikan produk atau merek dengan referen yang mempunyai arti secara
simbolis. Sifat penyajian iklan demikian disebut oleh Williamson (2007) sebagai
penggunaan ketidakhadiran (absence) dalam iklan yang memiliki fungsi ideologis
penciptaannya. Fiske (2007) mengatakan bahwa dalam ideologi terdapat tiga (3) bentuk,
yaitu (a) ideologi sebagai kesadaran palsu, (b) ideologi sebagai praktik dan (c) ideologi
sebagai perjuangan.
Menurut peneliti, kode-kode yang terkandung dalam kedua iklan tersebut
mengandung makna kritik terhadap kekuasaan dan penyelenggara negara. Efek
ketidakhadiran yang ideologis tersebut menciptakan simbolisasi hubungan patron-client
(penguasa dan yang dikuasai). Secara tersamar, Sampoerna A Mild melalui iklannya,
menyembunyikan atau mengalihkan kenyataan sebenarnya bahwa Sampoerna A Mild
adalah penguasa, sedangkan yang dikuasainya adalah pangsa pasar. Simbolisasi kritik
sosial yag tersajikan dalam pesan iklannya menjadi diferensiasi terhadap produk sejenis.
Sifat diferensiasi tersebut memudahkan ingatan khalayak terhadap produk rokok
Sampoerna A Mild.
Secara praktik terdapat dua kenyataan yang disembunyikan oleh Sampoerna A
Mild. Pertama, kenyataan bahwa rokok adalah produk berbahaya bagi kesehatan
manusia, namun produk ini pula yang paling banyak penggunanya. Fakta bahwa
produksi rokok Sampoerna A Mild bertambah dan penjualan meningkat menjadikannya
sebagai pemimpin pasar produk sejenis dengan kandungan tar dan nikotin rendah. Pesan
yang dibangun dalam iklannya semakin memperkuat posisinya sebagai produk rokok
rendah tar dan nikotin. Kedua, kenyataan bahwa keuntungan berlipat diperoleh
pengiklan dengan memanfaatkan kepiawaian pencipta iklan dalam meramu positioning
yang jitu ke dalam teks iklan. Hal demikian disebut Althusser dalam Fiske (2007)
mengusung ideologi yang bersifat praktik.
Kedua hal tersebut adalah praktik cerdas dalam mengkamuflase kehadapan
publik untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Pada satu sisi, publik
dibuat semakin terlena untuk selalu merokok karena tersedia rokok yang rendah tar dan
nikotin. Meskipun selalu diterjang kampanye anti rokok di berbagai kesempatan
(Kompas, 2007b). Disisi lain, keuntungan besar diperoleh produsen hingga mampu
memiliki kendaraan mewah satu-satunya di dunia sebagaimana diakui informan kunci.
Artinya, teks-teks iklan rokok Sampoerna A Mild mengandung kode-kode ideologi
kapitalistik berbungkus sifat-sifat sosial. Ideologi kapitalistik dibangun dengan
menonjolkan keunggulan produk rokok rendah tar dan nikotin. Sifat sosial ideologi
tersebut digambarkan dalam visualisasi kritik sosial terhadap realitas sosial yang pada
kenyataannya benar-benar dirasakan dan dialami masyarakat. Gramsci dalam Fiske
(2007) menyebutnya sebagai hegemoni. Dalam bahasa vulgar, peneliti menyebutnya
seolah-olah peduli pada masyarakat padahal menyelubungi kapitalisme.
Menurut peneliti, pembentukan simbolisasi dengan cara demikian adalah
menciptakan kode-kode palsu yang bersifat ideologis. Penyajian kode-kode palsu
tersebut dalam ruang iklan televisi dapat disebut sebagai pseudo reality of ad atau
realitas palsu dalam iklan. Williamson (2007) menyatakannya bahwa periklaanan
sebagai aparat ideologis, sebagai sistem pertandaan dalam wilayah simbolik, mampu
mempresentasikan kembali kepada subyek kedudukannya di wilayah imajiner. Artinya,
ketika iklan menawarkan simbol-simbol sebagai obyek kesatuan, pada dasarnya iklan
menjerat khalayak dalam pencarian hal-hal yang tidak mungkin.
Dalam proses demikian, terjadi tarik menarik kepentingan positif bagi produk
antara pengiklan dan pencipta iklan. Proses interaksi simbolik berlangsung baik dalam
diri pengiklan dan pencipta iklan maupun antaranya. Proses interaksi simbolik
berlangsung terus-menerus dalam mereproduksi pesan iklan hingga mencapai
konvergensi yang diinginkan tujuan periklanannya. Masing-masing pihak, baik
pengiklan maupun pencipta iklan, ketika berhadapan dengan lambang komunikasi,
melakukan proses semiosis yang terikat dengan tenggat waktu. Hal ini menunjukkan
proses konstruksi yang dipaksakan oleh karena semata-mata untuk kepentingan kapital.
Pencipta iklan dalam mengkonstruksi suatu iklan melalui proses eksternalisasi
dan proses internalisasi. Proses tersebut dilakukan melalui mekanisme dialektis. Ketika
proses tersebut berlangsung, pencipta iklan dipengaruhi oleh faktor luar seperti
lingkungan budaya, pandangan terhadap produk, pengetahuan tentang dunia periklanan,
kecanggihan teknologi media elektronika dan pengiklan. Pencipta iklan ketika
berhadapan dengan lambang-lambang verbal maupun nonverbal dapat melakukan
proses penafsiran dan pemaknaan terhadap lambang tersebut. Proses tersebut
berlangsung terus menerus hingga mencapai makna terhadap tanda yang diinginkan.
Pemaknaan yang diharapkan adalah penciptaan citra dari produk yang diiklankan.
Proses demikian disebut sebagai proses semiosis.
4.3. Konstruksi Realitas dalam Tingkatan Individu
Penerimaan khalayak terhadap suatu pesan iklan melalui proses yang disebut
decoding symbol. Dalam tahap ini, khalayak sebagai individu melakukan penafsiran
terhadap simbol-simbol yang tertuang dalam iklan. Penafsiran khalayak terhadap iklan
rokok Sampoerna A Mild berdasarkan pada pengetahuan dan pengalamannya. Hasil
wawancara dengan informan, peneliti ungkapkan ke dalam matrik pada Tabel 8.
Tabel 8. Tafsir informan terhadap iklan televisi Sampoerna A Mild
Informan Alasan
Merokok
Tafsir Pesan
Iklan Rokok
A Mild
Tujuan
Merokok
Tahu
Produk
A Mild
Faktor
Iklan/Promo
Ags - Pertama
kali
merokok
karena
pergaulan
- Sekarang
merokok
karena
kebiasaan
dan
kecanduan
- Tidak
nyambung
- Lucu
Merangsang
untuk
berpikir
dalam
pekerjaan
Tahu rokok
A Mild
karena
pernah
mencobanya
Tidak ada
pengaruh
iklan atau
promo dalam
merokok
Arf - Dulu
merokok
karena
pergaulan
- Sekarang
tidak
merokok
-Pesan iklan
tidak
nyambung
-Hanya
sebagai
remember-
ing
Karena
pergaulan
jadi tidak
enak, kalau
tidak
merokok
Terakhir
merokok A
Mild
kemudian
berhenti
merokok
Lebih
mengenal
Produk rokok
di kalangan
teman,
pedagang, dan
arena promosi
lagi sejak
menikah
(pengingat)
-Berkesan
lucu
penjualan
Arm - Merokok
sejak kecil
karena
ikut-
ikutan
teman
- Sekarang
merokok
jadi
kebiasaan
dan
kecanduan
Citra rokok
bukan pada
promo atau
pesan dalam
iklan, tapi
pada
kandungan
tar dan
cengkeh
- Dendam
pada orang
tua
- Bila pusing
dapat
menghabis
-kan dua
bungkus
Pernah
mencoba
merokok A
Mild, tetapi
lebih suka Ji
Sam Su
karena lebih
berat dan
bernuansa
mistis
Orang
merokok
karena budaya
turun
menurun,
tanpa promo
atau iklan pun
orang sudah
pasti merokok
Isk - Merokok
sejak kecil
karena
ikut-ikutan
teman
- Sekarang
jadi
kecanduan
Rokok A
Mild adalah
rokok yang
mengandun
g tar dan
nikotin
rendah, jadi
ringan
ketika
menghisap-
nya
Semula
merokok A
Mild
sebagai
transisi
untuk
berhenti
merokok,
tetapi malah
selalu
merokok A
Mild
Tahu rokok
A Mild
sejak kuliah
tahun 90an
Awalnya
merokok A
Mild karena
iklan dan
promo-
promonya
Tabel 8 menunjukkan bahwa semua informan mulai merokok sejak kecil. Alasan
pertama kali informan merokok adalah karena ikut-ikutan dan pergaulan antar teman.
Dua (2) informan merokok hingga sekarang adalah karena kebiasaan dan kecanduan.
Satu (1) informan berhenti merokok sejak menikah. Sementara satu (1) informan masih
merokok hingga sekarang dikarenakan dendam kepada orang tua. Hal ini
memperlihatkan bahwa orang memulai merokok sejak anak-anak. Kompas (2008)
melansir berita bahwa perokok termuda berusia lima tahun. Jadi dapat dikatakan bahwa
merokok bagi kebanyakan orang adalah hal yang sudah biasa dilakukan sejak usia anak-
anak.
Berkaitan dengan rokok Sampoerna A Mild, semua informan pernah mencoba
rokok tersebut, namun hanya satu (1) informan yang loyal, yaitu Isk. Menurut Isk
merokok Sampoerna A Mild semula bertujuan untuk berhenti merokok, sebagaimana
yang dikatakannya :
Yang saya tahu rokok A Mild adalah rokok yang mengandung tar dan nikotin
rendah, jadi ringan ketika menghisapnya. Jadi saya berniat berhenti merokok.
Semula merokok A Mild sebagai transisi untuk berhenti merokok, tetapi malah
selalu merokok A Mild hingga sekarang keterusan.
Pernyataan Isk menegaskan bahwa orang yang sudah menjadikan rokok sebagai
kebiasaan dan candu, maka apapun alasannya akan sulit untuk berhenti merokok. Ags
pun mengatakan bahwa merokok sudah menjadi kebiasaan dan kecanduan. Ia merokok
untuk merangsang berpikir dalam pekerjaan. Pernyataan informan tersebut diperkuat
oleh pemberitaan Kompas (2007a) bahwa rokok meskipun mengandung kadar tar dan
nikotin rendah tetap dapat menimbulkan kecanduan, sebagaimana yang diberitakannya :
Asap rokok diisap masuk ke paru-paru, dan dari sinilah nikotin masuk ke aliran
darah lewat epitel alveolar paru. Dalam hitungan detik, nikotin disebar ke jutaan
sel saraf di sistem saraf pusat, utamanya di otak tengah nikotin berinteraksi
dengan reseptor-reseptor alfa-4 beta-2 asetilkolin nikotinik. Sinyal ini segera
ditransmisi ke axon di bagian belakang otak, yang menstimuli pelepasan
beberapa jenis transmiter saraf (neurotransmitter), termasuk dopamin. Dopamin
inilah yang menimbulkan rasa enak, mengurangi kelelahan, ketegangan,
kecemasan dan stres. Karena ambang dopamin segera surut dengan cepat, tak
heran jika perokok banyak yang mengalami ketagihan untuk asupan nikotin lagi
(craving).
Pernyataan unik dan menarik perhatian peneliti dapatkan dari Arm bahwa orang
merokok bukan karena dipengaruhi iklan atau bentuk promo produk melainkan karena
budaya merokok yang sudah berurat akar, seperti dikatakannya :
Menurut saya, secara budaya dan tradisi, wanita Indonesia adalah perokok dan
tidak ada masalah. Ciri budaya dan tradisi tersebut adalah adanya kebiasaan dan
ritual menyirih. Menyirih berarti mengunyah sirih dicampur daun tembakau dan
kapur sirih. Menyirih juga mengandung simbol status, dilihat dari mutu
tembakau, tempat sirih yang terbuat dari kayu jati, tembikar, perak, atau pun
emas, dan lain-lain. Jadi saya tidak habis pikir, mengapa wanita Indonesia yang
merokok dianggap tabu atau negatif. Padahal secara budaya dan tradisi sudah ada
turun temurun.
Berkaitan dengan tafsir pada pesan iklan rokok Sampoerna A Mild, semua
informan mengakui bahwa rokok Sampoerna A Mild mengandung kadar tar dan nikotin
rendah. Hal ini menunjukkan rokok Sampoerna A Mild telah terposisi dengan tepat dan
benar di benak konsumen sebagai rokok yang unggul dalam kandungan tar dan nikotin
rendah dibandingkan rokok sejenis lain. Sedangkan dari segi penyajian pesannya, semua
informan menilai bahwa pesan dalam iklan rokok Sampoerna A Mild tidak jelas
hubungan antara produk dengan iklannya, berkesan lucu dan hanya sebagai pengingat
(remembering).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pada tingkatan individu
interpretasi berbeda terhadap hubungan antara produk dengan teks iklan. Dari segi
produk, rokok Sampoerna A Mild ditafsir bahwa rokok bukanlah barang baru. Rokok
sudah ada sejak jaman dahulu kala. Sedangkan dari segi teks iklan Sampoerna A Mild di
televisi ditafsir sebagai iklan yang bersifat lucu-lucuan. Iklan ataupun bentuk promosi
yang menyertainya hanya bersifat pengingat saja bahwa ada rokok yang mengandung
nikotin dan tar rendah. Namun positioning yang tertanam dalam benak adalah bahwa
rokok Sampoerna A Mild adalah produk rokok mengandung nikotin dan tar rendah.
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
1. Reproduksi sosial dalam iklan rokok A Mild dikonstruksi melalui tiga tingkatan,
yaitu (a) Konstruksi realitas dalam tingkatan pengiklan dan pencipta iklan, (b)
Konstruksi realitas dalam tingkatan teks dan (c) Konstruksi realitas dalam
tingkatan individu.
2. Positioining rokok A Mild mengalami empat skema perubahan, yaitu (a) Skema
positioning tahap awal, (b) Skema positioning tahap perubahan, (c) Skema
positioning tahap kehadiran baru dan (d) Skema positioning tahap paripurna.
Proses pembentukan positioning rokok A Mild dilakukan melalui 2 (dua) tahap,
yaitu (a) tahap rational process dilakukan hingga melahirkan konsep big idea.
Tahap ini meliputi analisis data produk dan karakter target audiens seperti
psikografis, demografis dan gaya hidup, (b) tahap magic process dilakukan
sebagai pengejawantahan big idea menjadi ide yang bermacam-macam.
3. Analisis terhadap teks dua (2) versi iklan A Mild adalah (a) Versi ”Man Waiting
Stamp Seal” dengan tagline ”Tanya Kenapa” adalah birokrasi warisan orde baru
yang tidak produktif dan kontradiktif dengan era reformasi; dan (b) Versi
”Flea on the Sofa” adalah anggota DPR yang sudah tua-tua dan gemuk yang
tidak produktif, yang penuh janji-janji, serta penyalahgunaan wewenang seperti
korupsi. Interpretasi Individu terhadap iklan A Mild adalah iklan A Mild tidak
memiliki keterkaitan antara produk dengan pesan yang disajikan dalam iklannya.
Namun positioning yang tertanam dalam benak adalah bahwa rokok A Mild
adalah produk rokok mengandung nikotin dan tar rendah.
2. Saran
1. Perubahan positioning produk melalui iklan dapat digunakan sebagai pilihan
untuk menempatkan posisi produk dalam benak konsumen.
2. Reproduksi sosial yang dikonstruksi dalam iklan televisi dapat diperdalam lebih
lanjut dengan penelitian lebih intensif, atau variatif baik dari segi jenis produk
yang diiklankan maupun jenis media yang digunakan.
DAFTAR PUSTAKA
Alma, B. 2004. Manajemen Pemasaran dan Pemasaran Jasa (edisi revisi). Alfabeta,
Bandung.
Arnold, D. 1996. Pedoman Manajemen Merek. Ketindo Solo, Surabaya.
Berger, P.L. dan T Luckmann. 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan, Risalah tentang
Sosiologi Pengetahuan (Terjemahan). LP3ES, Jakarta.
Bettinghaus, E.P. 1973. Persuasive Communication. Holt, Rinehart and Winston Inc.,
New York
Bryant, J. and D. Zillman. 2002. Media Effect Advances in Theory and Research.
Lawrence Erlbaum Associates Publisher, London.
Budiman, K. 2004. Semiotika Visual. Penerbit Buku Baik dan Yayasan Seni Cemeti,
Yogyakarta.
Bungin, B. 2001. Imaji Media Massa, Konstruksi dan Makna Realitas Sosial Iklan
Televisi dalam Masyarakat Kapitalistik. Jendela, Yogyakarta.
Crotty, M. 1998. The Foundations of Social Research: Meaning and Perspective in the
Research Process. Allen & Unwin Ptv Ltd., St Leonards.
Darlymple, D. and L.J. Parson. 1983. Marketing Management Strategy and Cases.
John Wiley and Sons Inc., New York.
Dharmanto, B.S. 3 Agustus 2007. Telekomunikasi, Perlunya TV Digital di Indonesia.
Kompas : 41 (kolom 3-7).
Dilla, S. 2007. Komunikasi Pembangunan, Pendekatan Terpadu. Simbiosa Rekatama
Media, Bandung.
Effendy, O.U. 1989. Kamus Komunikasi. Mandar Maju, Bandung.
--------------. 1993. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Citra Aditya Bhakti, Bandung.
Fiske, J. 2007. Cultural and Communication Studies, Sebuah Pengantar Paling
Komprehensif. (Terjemahan). Jalasutra, Yogyakarta.
Gilson, C. and H.W. Berkman. 1980. Advertising, Concept and Strategy, Random
Business Division, New York.
Harris, T.L. 1991. The Marketer’s Guide to Public Relations, How Today’s Top
Companies Are Using the New PR to Gain a Competitive Edge. John Wiley &
Sons Inc., New York.
Iberamsyah. 1997. Pengaruh Tradisi dan Usaha Modernisasi Birokrasi di Indonesia.
Jurnal Kampus Tercinta Bidang Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. 6 : 19-27.
Infante, D.A., A.S. Rancer and D.F. Womack. 1993. Building Communication Theory.
Waveland Press Inc., Prospect Heights, Illinois.
Jefkins, F. 1988. Public Relations Techniques. Heinemann Professional Publishing,
London.
--------------. 1996. Periklanan (Terjemahan). Erlangga, Jakarta.
--------------. 2004. Public Relations (Terjemahan). Erlangga, Jakarta.
Kasali, R. 1992. Manajemen Periklanan Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Pustaka
Utama Grafiti, Jakarta.
--------------. 2005. Membidik Pasar Indonesia Segmentasi Targeting Positioning.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Kompas. 2006. Jawa Masih Pasar Terbesar Rokok. September : 22.
-------------. 2007a. Terapi Pengganti Nikotin: Musuh-musuh Baru Industri Rokok.
November : 41.
--------------. 2007b. Remaja, Sasaran Empuk Industri Rokok. November : 46.
--------------. 2008. Lebih dari 43 Juta Anak Hidup dengan Merokok. April : 12.
Kotler, P. 1991. Marketing Management, Analysis, Planning, Implementation and
Control. International Edition. Prentice Hall, New Jersey.
--------------. 1994. Marketing. (Terjemahan). Erlangga, Jakarta.
Kotler, P. and E.L. Roberto. 1989. Social Marketing Strategies for Changing Public
Behavior. The Free Press, New York.
Littlejohn, S.W. 1989. Theories of Human Communication. Wadsworth Publishing
Company a Division of Wadsworth Inc., Belmont, California.
Majalah CAKRAM. 1996. Kreatif: Memindahkan Penggalan Kehidupan ke Layar Kaca.
Mei : 44-47.
---------------. 2002. Laporan Utama : Tetap Kreatif Walau Dijepit. Juli : 19.
McQuail, D. 1989. Teori Komunikasi Massa (Terjemahan). Erlangga. Jakarta.
--------------. 1991. Teori Komunikasi Massa Suatu Pengantar (Terjemahan), Erlangga,
Jakarta.
Miles, MB. dan A.M. Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif, Buku Sumber Tentang
Metode-Metode Baru. (Terjemahan). UI-Press, Jakarta.
Moleong, L.J. 1998. Metode Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Mulyana A. 1996. Fatamorgana Pesan Iklan di Televisi. Jurnal Kampus Tercinta Bidang
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 3 : 47-57.
--------------. 1997. Daya Tarik Pesan Iklan di Televisi. Jurnal Kampus Tercinta Bidang
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 6 : 57-66.
Nurrahmawati. 2002. Pengaruh Jingle Iklan Teh Botol Sosro di RCTI terhadap
Pengingatan Merek. Mediator 1 : 97-108.
Palupi, DH. 1996. Sampoerna A Mild : Menyempurnakan Posisi Rokok Indonesia.
Majalah CAKRAM Mei : 56.
Poloma, M.M. 2000. Sosiologi Kontemporer (Terjemahan). RajaGrafindo Persada,
Jakarta.
Rachmadi, F. 1992. Public Relations dalam Teori dan Praktek. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Ries, A.l. and J. Trout. 1981. Positioning the Battle for Your Mind. McGraw Hill, New
York.
Rusadi, U. 2002. Diskursus Kerusuhan Sosial dalam Media Massa, Studi Kekuasaan
Dibalik Sajian Berita Surat Kabar (Ringkasan Disertasi). Program Pascasarjana,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Jakarta
Ruslan, R. 2003. Metode Penelitian Public Relations dan Komunikasi. RajaGrafindo
Persada, Jakarta.
Sandage, C.H. 1975. Advertising Theory and Practice. Richard D. Irwin Inc., Chicago.
Sihabudin, A. 1997. Komunikasi Artifaktual. Jurnal Kampus Tercinta Bidang Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik. 4 : 55-65.
Sobur, A. 2001. Analisis Teks Media. Remaja Rosdakarya, Bandung.
--------------. 2003. Semiotika Komunikasi. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Soekanto. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Straubhaar, J. and R. LaRose. 2006, Media Now, Understanding Media, Culture, and
Technology. Thomson Wadsworth, Belmont, California.
Strauss, A. dan J. Corbin. 2003. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif. (Terjemahan).
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Temporal, P. 2001. Branding in Asia, Membangun Merek di Asia, Penciptaan,
Pembangunan, dan Manajemen Merek Asia untuk Pasar Global. (Terjemahan).
Interaksara, Batam.
Vredenbregt, J. 1984. Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat. (Terjemahan).
Gramedia, Jakarta.
Williamson, J. 2007. Decoding Advertisements, Membedah Ideologi dan Makna dalam
Periklanan. (Terjemahan). Jalasutra, Yogyakarta.
Wright, C.R. 1988. Sosiologi Komunikasi Massa. (Terjemahan). Remadja Karya,
Bandung.
Yin, R.K. 1989. Case Study Research, Design and Methods. Sage Publications Inc.,
London.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Protokol penelitian
Sumber Data Jenis Informasi Metode Waktu
Informan kunci :
Pencipta iklan
televisi Sampoerna A
Mild
1. Data primer
2. Proses perencanaan
periklanan
Sampoerna A Mild
1. Wawancara mendalam
2. Analisis data
3 bulan
3. Proses reproduksi
social pada iklan
Sampoerna A Mild
4. Proses pembentukan
dan penentuan
positioning pada
iklan televisi
5. Konsep big idea
Sampoerna A Mild
6. Pengaruh pengiklan
dalam perencanaan
periklanan
Sampoerna A Mild
Pengiklan
Sampoerna A Mild
1. Data sekunder
2. Skema positioning
Sampoerna A Mild
Interpretasi terhadap
artikel :
Palupi, DH. 1996.
Sampoerna A Mild :
Menyempurnakan Posisi
Rokok Indonesia.
Majalah CAKRAM. Mei :
56
2 bulan
Informan : 2 orang
Dosen, 1 orang
Pengacara, 1 orang
Wartawan
1. Data primer
2. Alasan merokok
3. Tafsir pesan iklan
rokok A Mild
4. Tujuan merokok
5. Pengetahuan produk
Sampoerna A Mild
6. Faktor iklan atau
promo
1. Wawancara mendalam
2. Analisis data
4 bulan
Teks iklan televisi
Sampoerna A Mild
versi:
1. Man Waiting
Stamp Seal
2. Flea on the Sofa
Data sekunder 1. Obsevasi situs Youtub
2. Analisis semiotika
Williamson (2007)
3 bulan
Profil iklan televisi
Sampoerna A Mild
Agustus 2000 hingga
Maret 2009
Data sekunder 1. Observasi situs
www.mediabanc.ws,
2009.
2. Analisis tema dan
timing iklan televisi
Sampoerna A Mild
2 bulan
Lampiran 3. Transkirp wawancara dengan Informan Kunci
Tanggal/waktu/tempat: 9 Agustus 2008, pukul 12.30 – 13.30 wib, Hotdog Booth –
Lenteng Agung, Jakarta Selatan
Identitas:
Nama/umur/jk : Drs. Teguh Handoko/42/laki-laki
Profesi : Managing Director Advertising IDEASPHERE Advertising
Domisili : Jakarta Pusat
Tanya : Pentingkah positioning bagi suatu iklan?
Jawab : Bagi biro iklan, positioning sangat diperlukan. Tapi saat ini susah
membedakan positioning produk dalam iklan karena kecenderungannya
memiliki kesamaan. Meskipun begitu tetap harus ada differ (perbedaan)
yaitu cari yang unik, ownable dan campaign.
Tanya : Bagaimana sifat positioning itu sendiri?
Jawab : Positioning bisa bersifat tersurat maupun tersirat. Secara umum iklan-
iklan retail, positioning-nya bersifat tersurat karena harus menunjukkan
secara verbal produknya. Sementara ada juga produk yang positioning-
nya bersifat tersirat, seperti iklan Macbook yang memperlihatkan
gambaran aktivitas seorang selebritis, iklan ini sifatnya simbolisasi
tentang kegunaan, kemampuan, dan keunggulan Macbook.
Tanya : Bagaimana proses terbentuknya positioning suatu produk dalam iklan?
Jawab : Diawali melalui proses pra periklanan atau proses pra produksi, seperti:
brand audit, riset pasar termasuk 4P, consumer insight, dan lain-lain.
Consumer insight dilakukan untuk mendapatkan data mendalam tentang
sistem distribusi, competitor, target market. Melalui consumer insight
ini pula akan didapat positioning yang tepat.
Tanya : Bagaimana keterlibatan bagian lain di biro iklan terhadap pembentukan
positioning?
Jawab : Setiap bagian di biro iklan akan terlibat sejak awal dalam proses
periklanan seluruhnya. Mulai dari pra produksi, produksi, dan pasca
produksi. Misalnya bagian kreatif bekerja untuk mencari key word yang
pas, bentuk isi pesannya baik verbal, non verbal, simbol-simbol, latar,
dan lain-lain.
Tanya : Untuk media periklanan mana yang paling jitu dalam beriklan?
Jawab : Hingga saat ini televisi masih dianggap sebagai media paling tepat dan
cepat dalam membangun awareness khalayak. Namun begitu masih
bergantung pada produk, sistem distribusi, target market, dan lain-lain.
Tapi keefektifannya masih unggul di banding media lain.
Tanya : Bagaimana gambaran proses kerja periklanan?
Jawab : Ok, saya akan gambarkan seperti bagan ini.
Lampiran 4. Transkrip wawancara dengan Informan Kunci
Brand Idea /
Positioning
Client and
Agency
Creative Idea
Creative Execution
Bellow the
Line
Radio Print Billboard, etc Television
Agency
Creative
Brief
Client’s
Brief Marketing Strategy:
- Competitor
- Positioning
- Target Market
- Communication Strategy
Research
Big
Idea
Tanggal/waktu/tempat: 30 November 2008, pukul 10.00 – 11.40 wib, IDEASPHERE
Advertising – Kemang Utara 56, Jakarta Selatan
Identitas:
Nama/umur/jk : Drs. Teguh Handoko/42 tahun/laki-laki
Profesi : Managing Director Advertising IDEASPHERE Advertising
Domisili : Jakarta Pusat
Tanya : Bagaimana proses terbentuknya positioning dalam periklanan?
Jawab : Kalo di iklan sebenarnya prosesnya, ada dua tahapan proses, yang
pertama lebih rasional proses, yang kedua lebih magic proses. Rasional
proses maksudnya bahwa kita membikin iklan tidak semata-mata
mengandalkan intuisi saja,namun ada juga satu hal yang kita lakukan,
kita harus tau produknya, kita harus tahu target audiensnya dan yang
lebih jauh lagi adalah kita harus tau target audiensnya tersebut bukan
hanya tentang gaya hidup, karakteristik demografis, psychografis dan
segala macamnya. Jadi mengenal karakter lebih jauh, ketika mengenal
karakter lebih jauh kita akan mendapatkan data dan informasi tentang
target tersebut, tapi tidak semua data dan informasi kita bisa pakai.
Yang kita pilih dan digunakan adalah yang benar-benar sebagai insight
dari target audiens tersebut. Melalui insight tersebut kita akan
mendapatkan sesuatu yang benar-benar tidak pernah terpikirkan bahkan
oleh target kita sendiri tentang realitasnya atau sesuatu yang sudah
pernah ada sebelumnya tapi dikemas dalam bentuk baru. Intinya adalah
iklan itu ciri-cirinya harus punya seperti kado, dia harus surprise. Kalau
kita kasih tahu yang mereka sudah tahu, kita tidak akan diperhatikan
orang. Jadi memang harus selalu ada yang baru. Memang kita sebagai
kreator iklan harus selalu menunjukkan hal-hal yang baru. Karena kita
tidak mau mengulang sesuatu yang sudah pernah kita lakukan. Karena
hal itu tidak akan membuat kita menjadi briliant. Buat kita yang penting
adalah keunikan. Jadi kita akan selalu cari sesuatu yang unik dari si
target audiens tersebut. Selain itu, kita juga melakukan hal sama untuk
analisa produk. Kita juga harus menemukan sesuatu yang unik dari situ.
Ada istilah unique selling proposition yang sebenarnya sebagai
terminologi yang tepat. Namun banyak praktisi iklan melihatnya dari
kebaikan-kebaikan produk dibandingkan dengan yang lain. Tapi kalo
kita melihat kebaikan, belum tentu kita menang. Misalnya, hari ini kita
bilang kita yang paling baik, atau kita bilang kita yang paling murah,
besok sudah berubah lagi, atau hari ini kita bilang kita yang paling
canggih, besok sudah berubah lagi. Kalau yang kita cari keunikan,
maka hal itu tidak akan mungkin dapat di-copy secepat itu oleh pihak
lain. Dua keunikan, yaitu target audiens dan produk kalau digabungkan,
jadilah hal tersebut sebagau sebuah button atau garis besarnya. Kita
ketemukan dua hal yang tidak berhubungan ini dijadikan satu, atau kita
menghubungkan dua hal yang tidak berhubungan, maka lahirlah big
idea. Nah big idea ini adalah baru sebentuk konsep besar yang belum
ada nilai apapun, atau masih sebuah konsep besar. Untuk big idea ini,
kita butuh partner kreatif, karena ketika kita berfikir hal tersebut, kita
berfikir mulai dari yang bersifat umum kemudian mengkerucut sampai
sangat sempit hingga keluar big idea tadi. Ketika tercipta big idea, kita
ingin big idea ini terbang setinggi-tingginya dan hidup dalam dunianya
sendiri. Nah kita perlu teman-teman kreatif. Sampai tahap ini, proses
yang bersifat rasional tadi berakhir. Kemudian, bersama teman-teman
kreatif, akan memulai tahap yang disebut dengan magic proses.
Biasanya mereka berfikirnya, dari hal yang sempit tersebut akan
mereka buka kembali menjadi lebih luas. Tapi mereka berfikirnya dari
data tadi sebagai patokannya. Jadi, dengan kunci big ideanya, mereka
akan buat aplikasinya atau pengejawantahnnya. Nanti idenya bisa
macam-macam, terserah mereka cara memandang idenya seperti apa.
Tapi yang pasti, idenya sudah sangat jelas karena ada big idea di
belakangnya. Dalam teori iklan, big idea itu tidak boleh lebih dari tiga
kata. Jadi semakin singkat kita bisa merumuskan konsep-konsepnya,
maka itu lebih baik. Contohnya seperti A Mild. Saya dulu pernah
terlibat. A Mild sejak pertama kali didefinisikan brand-nya, kita tahu
target audiensnya 17-25 tahun, mereka punya karakter, berdasarkan
hasil riset bertahun-tahun, yang namanya ’bukan basa basi’. ’Bukan
Basa Basi’ adalah gambaran perilaku target audiens yang selalu
berkomentar atau menyuarakan sejujur-jujurnya hati nuraninya ketika
melihat situasi yang ada di dunia ini, baik terhadap diri sendiri maupun
terhadap lingkungannya. Hal itu didapat dari riset, bahwa memang
karakter itu begitu tipenya. Dia tidak mau yang anak-anak muda
sekarang bilang ”sok jaim”, ”menutupi hal sebenarnya”. Kata mereka,
”itu basa basi”. Itu bukan mereka. Mereka justru bukan basa basi. Dia
dibilang dirinya jelek, dia akan bilang dirinya jelek. Dia dibilang
dirinya bodoh, dia akan bilang dirinya bodoh. Dia tidak akan pernah
menggunakan kata-kata ”saya kurang pintar”, dan sebagainya.
Akhirnya kejujurannya boleh didefinisikan dengan bahasa yang
memang brutally honest. Jujurnya berlebihan sekali atau jujur sekali.
Buat mereka hal itu justru, bagi target audiens yang berusia 17-25 tahun
tersebut, pasti akan seperti itu. Kalau tidak seperti itu, berarti sudah
berada dalam kelompok usia yang lain. Insight ini yang oleh tim A Mild
tersebut dijadikan bahan sebagai big idea, yaitu bukan basa basi yang
ditujukan untuk suatu kejujuran dalam segala hal.
Iklan tersebut akhirnya selalu muncul dikaitkan dengan konteksnya.
Misalnya, bila saat musim pemilu, maka akan dimunculkan situasi
pemilu dalam kacamata audiens tersebut, yaitu hal yang paling sejujur-
jujurnya yang bisa dia lihat apa tentang pemilu. Atau lainnya, seperti
lebaran, puasa. Hal yang paling sejujur-jujurnya tentang itu apa.
Demikian pula halnya tentang musik.
Jadi definisi tentang brand ini dijaga betul sampai bertahun-tahun,
sampai hari ini pun mereka masih melakukan itu, meskipun dimensi
isunya berbeda, karena mengambil realitas sosialnya yang bermacam-
macam dan berkembang terus. Namun selalu dilihat dari kacamata anak
muda (target audiens berusia 17 sampai 25 tahun), yang memang
brutally honest, yaitu jujur yang sejujur-jujurnya terhadap diri sendiri
dan keadaan sekitarnya.
Core target audiensnya berusia antara 17 sampai 25 tahun. Yang diluar
itu lebih bersifat aspirasional, misalnya yang berusia di atasnya yang
ingin jadi anak muda atau yang berusia di bawahnya yang ingin masuk
dan menjadi kelompok tersebut. Tapi memang generasi tersebut, ada
yang baru kerja, ada yang masih sekolah, yang mana dunia mereka
yang selalu menciptakan tema-tema bagi A Mild. Hal tersebut yang
membuat A Mild selalu konsisten.
Bila dilihat apapun bentuk output kreatifnya, seperti yang disebut
sebagai reproduksi sosial, A Mild akan selalu diciptakan seperti itu.
Kelompok group ini tidak akan terpisah dari dunianya. Nuansa lokalnya
akan terlihat kuat dan menyoroti apapun yang terjadi di dunia sosialnya.
Selamanya akan seperti itu terus. Hal itu dibuktikan, saya terlibat
hampir tiga tahun, dijalankan terus padahal sudah sepuluh tahun. Total
hingga sekarang mungkin sudah 18 atau 19 tahun. Dan A Mild tetap
konsisten. Terbukti insight tersebut tetap relevan. Hal itu adalah proses
yang dilakukan A Mild, atau secara umum hampir semua biro iklan
melakukannya. Kita selalu kembalikan ke pemahaman kita tentang
target audiensnya dan produknya.
Tanya : Apakah ada pengaruh dari klien atau pengiklan?
Jawab : Sebenarnya kita bekerja berhubungan dengan pengiklan, karena dia
sebagai pemberi pekerjaan. Tapi yang kita ciptakan adalah tanggung
jawab kita, yaitu tanggung jawab terhadap brand. Jadi kita bekerja
tanpa pengaruh dari pengiklan. Mereka yang memiliki produk, mereka
punya teknologinya, dan punya pemasarannya. Tapi satu hal yang
mungkin tidak dapat mereka lihat angle yang pas tentang produknya
adalah target audiensnya. Jadi bila kita bekerja dengan bebas maka
dapat mengetahui lebih mendalam tentang target audiensnya. Kita
punya kemampuan tersendiri yang tidak dimiliki mereka untuk bisa
menghadirkan sosok unik target audiensnya disandingkan dengan sosok
unik produknya, kemudian menemukan sebuah ide. Ide ini disebut Big
Idea. Ide ini yang akan dibangun untuk brand dan menjaganya.
Menjaga brand sama seperti mengkultuskan sesuatu. Hal itu butuh
dedikasi, butuh pemahaman, dan komitmen. Mungkin orientasi bagi
produsen (klien) bersifat short-term atau menjual produk. Padahal
produk brand itu bersifat live forever.
Bagi pencipta iklan yang dipikirkan adalah brand. Seperti apa brand di
mata target audiensnya. Image apa yang tertanam dibenak mereka. Dan
kita mau bangun dengan apa. Kita mau isi dengan apa. Hal tersebut
terserah kita. Pada dasarnya pencipta iklan juga mengharapkan
komitmen pengiklan. A Mild pun demikian. Pemiliknya sangat luar
biasa berkomitmen untuk A Mild. Misalnya, dia mengkoleksi mobil
Roll-Royce yang di dunia tidak ada yang punya, sebagai syarat.
Warnanya merah marun yang dipilih dengan syarat orang lain tidak ada
yang punya, meskipun dia harus spend uang yang besar untuk itu. Tapi
apa yang dilakukan pemilik, sebenarnya adalah demi kepentingan
brand. Dia menjaga kesakralan brand-nya, bahwa dengan merah
marunnya ada dimana-mana. Sehingga membuat stakeholdernya
menghargainya. Jadi brand tercipta bukan hanya peranan agency tetapi
pemilik juga harus menjaganya untuk sesuatu yang lebih long-term.
Jadi pemilik merepresentasikan personal experience-nya supaya
brandnya harus bisa hidup sebagai suatu brand yang selalu diomongin
orang. A Mild merupakan keberhasilan semua karena komitmen semua
pihak.
Tanya : Kaitannya dengan positioning, dalam gambaran di iklan, positioning itu
ditempatkan dimana? Dan bagaimana membentuknya?
Jawab : Positioning sebenarnya adalah apa dan bagaimana menempatkan
sesuatu dibenak konsumen. Sebenarnya bentuknya adalah respon. Tidak
harus berbentuk sebuah stimulus. Bisa abstrak, bisa juga kongkrit. Yang
paling mudah adalah orang menempatkannya dalam bentuk tagline.
Seperti A Mild dengan tagline ”Bukan Basa Basi”, di mana value yang
ditanamkan dua hal tersebut.
Belakangan ini banyak juga iklan yang abstrak, yang tidak menyebut
stimulus sama sekali. Tapi semua bentuk komponen komunikasinya
diarahkan supaya orang meresponnya. Misalnya, kampanye iklan
politik, dari mulai stimulus sama responnya berbeda, yaitu ”lanjutkan”.
Tapi sebenarnya buka itu positioning yang dia mau. Ada sesuatu yang
lain yang ada di kepala konsumen adalah positioning yang sebenarnya.
A Mild dalam hal ini, positioningnya memang stimulus yang
disampaikan ”Bukan Basa Basi”, tapi positioning yang ada dibenak
konsumennya adalah brand yang ”paling cool”, ”paling mengerti dia”.
Jadi A Mild adalah brand yang paling mengerti konsumennya. Brand
yang paling mengerti kelompok audiens perokok dengan sifat sejujur-
jujurnya. ”Itu memang brand yang ngerti gue”, katanya, ”Yang lain
nggak ngerti gue”.
Tanya : Jadi, untuk A Mild bisa ada dua penempatan positioning tersebut, yaitu
dalam tagline yang bersifat kongkrit dan yang abstrak yaitu brand yang
paling cool.
Jawab : Sebenarnya A Mild sudah keluar dari katregori sebuah rokok. A Mild
sudah menjadi gaya hidup. A Mild sudah keluar dari area itu, meskipun
tidak boleh menyebutkan kelebihan produk, area yang diambil adalah
gaya hidup target audens.
Merokok bagi kalangan mereka, misalnya, ketika sesorang
mengeluarkan A Mild maka akan direspon oleh yang lain “Wih! A Mild
loe!”. A Mild selalu menjadi benchmark atau patokan untuk kelompok
kategori tersebut, A Mild yang terbaik. Dan A Mild sudah mendapatkan
keuntungannya meskipun dengan harga premium, dan dengan
positioningnya sudah mendapatkan value-nya.
Tanya : Kalau dibawa ke kreatif, apakah mereka hanya tahu big ideanya saja
atau bagaimana?
Jawab : Sebenarnya ketika proses pemahaman kita terhadap target audiens dan
produk berdasarkan informasi rasional yang kita kumpulkan, kita semua
terlibat, termasuk kreatif, media, dan lain-lain. Jadi sejak awal proses
periklanan, semua ikut terlibat. Semua belajar bareng-bareng, semua
mengenali target audiens dan produk bersama-sama sampai kita sepakat
ke satu big idea. Meskipun mereka punya spesialisasi sendiri-sendiri,
tapi tidak terpisahkan dalam proses tersebut. Misalnya satu tentang
strategi, satu tentang kreatifnya, dan satu lagi tentang medianya. Ketiga
bidang tersebut harus tahu dan terlibat sejak awal untuk mengetahui
problem apa yang dihadapi klien. Bagi pencipta iklan, kita tidak akan
bisa bekerja tanpa mengetahui problemnya.
Lampiran 5. Transkrip wawancara dengan Informan Kunci
Tanggal/waktu/tempat: 15 Mei 2009, pukul 13.00 – 15.00 wib, IDEASPHERE
Advertising – Kemang Utara 56, Jakarta Selatan
Identitas:
Nama/umur/jk : Drs. Teguh Handoko/42 tahun/laki-laki
Profesi : Managing Director Advertising IDEASPHERE Advertising
Domisili : Jakarta Pusat
Tanya : Apakah problem tersebut datang dari pengiklan?
Jawab : Harusnya seperti itu. Tapi adakalanya ada klien yang tidak dapat
merumuskan apa masalah yang dihadapinya. Jadi kita bantu untuk
menemukan masalah yang sebenarnya dihadapi klien. Sampai kita
semua komitmen dengan masalah tersebut, baru bisa bekerja.
Tanya : Perlu proses berapa lama sampai dapat big idea?
Jawab : Kalau yang tough dengan riset kualitatif untuk mendukung asumsi-
asumsi kita, bisa sampai satu bulan untuk dapat big idea. Tapi ada juga
yang pakai paket cepat. Meski demikian, kita tetap melakukan metode
yang sama tapi dalam cakupan yang lebih, dengan istilah ’quick and the
fee’, namun dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Misalnya,
kita ngobrol dengan beberapa orang tetapi secara mendalam hingga kita
merumuskan hasilnya sebagai insight formulanya. Memang bagusnya
kalau dengan grup yang lebih besar. Ada yang berani dengan modal
sekedarnya tersebut sudah ambil keputusan. Sekali lagi hal tersebut
bergantung pada kesepakatan masing-masing. Bisa kita riset dengan
prosedur formal atau riset dengan langsung menjawab hipotesis kita
sendiri. Misalnya. Kita sudah tahu masalah apa, hipotesisnya apa, lalu
kita riset langsung untuk temukan jawabannya, maka kita tidak perlu
melakukan riset yang lebih besar dan luas lagi, dengan persiapan lebih
lama dan biaya lebih besar. Bahkan adakalanya, riset yang singkat
tersebut tidak hanya menghasilkan big idea saja tapi juga sudah sampai
eksekusi kreatifnya.
Tanya : Kalau proses di kreratif bisa berapa lama?
Jawab : Bagian kreatif malah lebih lucu lagi. Kita kasih waktu tiga hari, bisa dia
selesaikan sebelum tiga hari. Kita kasih waktu lima hari, hari ke lima
dia temukan. Kasih waktu satu hari, satu jam pertama dia ketemu. Jadi
sebenarnya tidak ada rumusan waktu yang baku dan pasti buat mereka.
Selama mereka paham betul big idea tersebut maknanya apa, mereka
akan berfikir sendiri secara langsung dari situ. Yang penting big idea itu
harus menginspirasi orang kreatif, supaya dia bisa mengembangkan big
idea tersebut menjadi sesuatu yang lebih real lebih nyata yang sudah
tidak bersifat konsep lagi.
Tanya : Jadi inkubasinya tergantung apa?
Jawab : Inkubasinya tergantung apakah big idea tersebut menginspirasi mereka.
Proses tersebut disebut creative briefing. Ketika kita menemukan big
idea, kita langsung brief kreatif. Dari situ akan kelihatan apakah orang-
orang kreatif akan terinspirasi atau tidak. Kalau terinspirasi berarti,
berarti big ideanya benar. Tapi kalau mereka anteng-anteng saja tidak
ada respon, bisa jadi big ideanya kurang benar. Maka kita harus
memualainya dari proses awal lagi.
Tanya : Apakah ada pengaruh subyektifitas?
Jawab : Kreatif itu sangat subyektif. Kita tidak akan pernah bisa mempengaruhi
kreatifitas seorang kreatif. Tapi tetap landasannya adalah adalah big
idea. Karena kita harus jaga ......... setelah itu mereka mau bebas
berkreatif silakan saja, yang penting patokannya dari big idea.
Tanya : Termasuk penggunaan simbol-simbol?
Jawab : Itu datang dari langit, tidak ada dasarnya. Bisa intuisi, tapi memang ada
juga yang dapat dipelajari dan dapat dipertanggung jawabkan.
Misalnya, ada pretest berdasarkan eksekusi yang dia buat, lalu laklukan
pilihan mana yang bisa dipakai. Itu juga bisa begitu.
Dia bisa begitu karena memang karunia dari Atas. Kemampuan seperti
itu tidak bisa dimiliki oleh semua orang.
Tanya : Apakah orang kreatif memang orang yang berbakat?
Jawab : Betul, bahwa mereka adalah orang yang berbakat.
Tanya : Apakah bisa dilatih?
Jawab : Bisa. Ada juga yang bisa dilatih. Bahkan orang yang berbakat pun perlu
dilatih juga. Tapi hal tersebut tetap subyektif. Sangat subyektif.
Tanya : Subyektif ketika dia menerjemahkan big idea?
Jawab : Betul. Tapi dapat dipertanggung jawabkan secara obyektif, dengan cara
kita kumpulkan dulu simbol-simbol dari mereka lalu kita uji. Kalau
diterima berarti bisa dipertanggung jawabkan. Misalnya, kita
merumuskan warna biru untuk simbol laki-laki, lalu diuji melalui iklan
tapi orang menangkapnya tidak demikian. Persepsi orang bisa apa saja.
Tapi beauty of advertising berada di situ. Karena persepsi konsumen
yang penting. Terserah, seperti menurut kita simbol tersebut gambar
gunung tapi konsumen menangkapnya gambar lain. Yang penting
persepsi konsumen. Perception is reality.
Kasus A Mild pun sudah berkali-kali dilakukan pretest bahwa kita tidak
pernah mengkaitkan ekspektasi produk dengan benefit. Tapi konsumen
bisa menghubung-hubungkan ekspektasi produk dengan produk
benefitnya. Hal itu karena permainan prsepsinya konsumen. Dan kita
tidak bisa melarangnya. Banyak persepsi yang demikian. Seperti, A
Mild mahal, maka demikian ekspektasinya. Tapi itu tidak masalah.
Jadi kreatif ketika mendapatkan simbol-simbolnya, mereka subyektif.
Tanya : Kalau kontribusi media bagaimana? Misalnya, televisi.
Jawab : Ketika kita melakukan proses pencarian big idea, kita harus media
netral dan budget netral. Karena untuk dapat ide yang terbaik, kita tidak
boleh dibatasi oleh hal-hal tersebut. Biarkan ide tersebut berkembang
dahulu sampai kita melihat pijakannya ada di mana, target audiensnya
bagaimana, point of context-nya bagaimana, secara detail.
Tapi di awal saat mencari big idea, kita tidak boleh dipengaruhi oleh
penggunaan media yang diinginkan klien. Contoh kasus Teh Botol.
Ketika ada isu di milis, tidak ada yang menyangka bahwa asumsi-
asumsi untuk media berubah. Jadi penggunaan media bisa dipengaruhi
atau berlandaskan big ideanya.
Tanya : Kalau untuk televisi bagaimana?
Jawab : Kalau dari data riset atau AcNielson, televisi memang masih teratas.
Tetapi penentuan dan efektivitas media berhubungan langsung dengan
biaya yang besar. Kedua, fakta bahwa konsumen target audiens
terhadap televisi di Indonesia sangat besar dibanding media lain. Tapi
bisa juga untuk jam-jam tertentu bukan televisi. Untuk target audiens A
Mild yang berusia 17 sampai 25 tahun, mungkin yang menonton
televisi lebih sedikit dibandingkan yang berinternet, nonton bioskop,
nonton pertunjukkan musik. Secara umum, televisi memang paling
efektif dan belum berubah.
Lampiran 6. Daftar iklan televisi Sampoerna A Mild
Tabel 9. Daftar iklan televisi Sampoerna A Mild dari Agustus 2000 hingga Maret 2009
No JUDUL BULAN MEDIA
1 Makin Banyak Pilihan Confuse Choosing Taxi 05-Feb-09 Trans TV
2 Makin Banyak Pilihan Confuse Choosing
Taxi (Short) 04-Mar-09 Global TV
3 Siapa Muda Dipandang Sebelah Mata (Short) 10 March 2008 Trans TV
4 Siapa Gonta Ganti Pacar 18 May 2008 SCTV
5 Siapa Gonta Ganti Pacar (Short) 05 June 2008 Trans TV
6 Siapa Gonta Ganti Pacar (Bumper) 26 June 2008 Trans TV
7 Siapa Gonta Ganti Pacar (Short) Ver 2 27 June 2008 RCTI
8 Nonton Sambil Mikir 09 July 2008 Trans TV
9 Siapa Gonta Ganti Pacar Poling Result 16 July 2008 Trans 7
10 Siapa Gonta Ganti Pacar Poling Result
(Bumper) 17 July 2008 Trans TV
11 Nonton Sambil Mikir Ver 2 18 July 2008 Trans TV
12 Siapa Gonta Ganti Pacar Poling Result Ver
2 25 July 2008 Trans TV
13 Gelar Dulu Kerja Dulu 04 August 2008 Trans TV
14 Milih Gelar Milih Kerja 05 August 2008 Trans 7
15 Gelar Dulu Kerja Dulu (Short) 07 August 2008 Trans 7
16 Gelar Dulu Kerja Dulu (Short) Text Milih
Gelar Milih Kerja 14 August 2008 Trans TV
17 Habis Gelap Terbitlah Terang 19 August 2008 Trans TV
18 Siapa Muda Dipandang Sebelah Mata 05 February 2008 ANTV
19 Incubus 2008 World Tour Concert 22 February 2008 Trans TV
20 Soundrenaline People Dancing In The
Harbour 30 June 2008 SCTV
21 Soundrenaline People Dancing In The
Harbour (Short) 08 July 2008 Trans TV
22 Soundrenaline People Dancing In The
Harbour (Bumper) 17 July 2008 Trans TV
23 Soundrenaline Free Your Voice Kaka Slank & Maia 21 July 2008 RCTI
24 Soundrenaline Free Your Voice Nidji 23 July 2008 RCTI
25 Soundrenaline Free Your Voice Pekanbaru 23 July 2008 RCTI
26 Soundrenaline People Dancing In The Harbour Ver 2 (Bumper) 24 July 2008 Trans TV
27 Soundrenaline People Dancing In The
Harbour Ver 3 (Bumper) 24 July 2008 Trans TV
28 Soundrenaline Free Your Voice Pekanbaru (Short) 27 July 2008 Trans TV
29 Soundrenaline Free Your Voice Pas Band
Member 27 July 2008 RCTI
30 Soundrenaline Free Your Voice Pekanbaru Thanks Greeting 02 August 2008 RCTI
31 Teenagers Diving 04 February 2008 Trans TV
32 Going To Discount Shopping 10 August 2008 Trans TV
Lanjutan Lampiran 6.
No JUDUL BULAN MEDIA
33 Music Concert Talkless And Do More
(Bumper) 11 May 2008 SCTV
34 Music Concert Talkless And Do More 11 May 2008 SCTV
35 Music Concert Talkless And Do More
(Short) 12 May 2008 ANTV
36 Rugby Match Talkless And Do More 31 July 2008 Trans 7
37 Sponsoring Barbie Movie 17-Sep-08 AN Teve
38 Sponsoring Barbie Movie (Short) 23-Sep-08 RCTI
39 Class Mild News F1 GP Japan 16-Okt-08 Global TV
40 Claser Community 16-Okt-08 Trans7
41 Clas Mild News F1 GP China 26-Okt-08 Global TV
42 Rossa Concert Persembahan Cinta 24-Nop-08 RCTI
43 Julian Cely In Activity 04 February 2008 ANTV
44 Netral Band & Men In The Guitar Battle
(Short) 10 February 2008 Trans TV
45 Enno Netral 03 August 2008 Trans TV
46 Enno Netral (Short) 06-Sep-08 RCTI
47 Enno Netral (Shorter) 18-Des-08 ANTEVE
48 Enno Netral (Bumper) 18-Des-08 Trans TV
49 Gelar Dulu Kerja Dulu People Testymonial 07-Sep-08 RCTI
50 Gelar Dulu Kerja Dulu People Testymonial Ver 2 12-Sep-08 Trans TV
51 Gampang Maafin 30-Sep-08 Trans TV
52 Rich Guy Mending Ga Punya Apa Apa 08-Des-08 Trans7
53 Gelar Dulu Kerja Dulu People Testymonial 07-Sep-08 RCTI
54 Gelar Dulu Kerja Dulu People Testymonial
Ver 2 12-Sep-08 Trans TV
55 Gampang Maafin 30-Sep-08 Trans TV
56 Rich Guy Mending Ga Punya Apa2 08-Des-08 Trans7
57 Boss Change Dress To Employee 13 March 2007 Trans TV
58 Boss Change Dress To Employee (Short) 01 May 2007 Trans 7
59 Logo Emerge From The Cloud 14 May 2007 RCTI
60 Belum Tua Belum Boleh Bicara 20 July 2007 Global TV
61 Belum Tua Belum Boleh Bicara (Short) 24 July 2007 SCTV
62 Logo Flying 31 July 2007 RCTI
63 Alien Following The Logo 07 November 2007 SCTV
64 Boxing - Jalan Pintas Dianggap Pantas July 2006 Tidak ada data
65 Boxing - Jalan Pintas Dianggap Pantas
(Short) August 2006 Tidak ada data
66 Flood Become Tradition January 2006 Tidak ada data
67 Flood Become Tradition (Short) January 2006 Tidak ada data
68 Ghost - Beda Dunia Masih Diganggu
(Bumper) July 2006 Tidak ada data
69 Man Sale TV Remote May 2006 Tidak ada data
70 Man Sale TV Remote (Short) May 2006 Tidak ada data
71 Man Waiting Stamp Seal March 2006 Tidak ada data
72 Man Waiting Stamp Seal (Short) March 2006 Tidak ada data
73 Man Waiting Stamp Seal Ver 2 March 2006 Tidak ada data
Lanjutan Lampiran 6.
No JUDUL BULAN MEDIA
74 Traffic Sign 31 October 2006 Trans TV
75 Traffic Sign (Short) 24 November 2006 TV7
76 Animation Guy Walk While Read Newspaper July 2005 Tidak ada data
77 Guy Bring Many Coin In The Bag (Short) July 2005 Tidak ada data
78 Big Lamp August 2005 Tidak ada data
79 Indian Riding Horse October 2005 Tidak ada data
80 Indian Riding Horse (Short) October 2005 Tidak ada data
81 Broom Dragging Guy January 2005 Tidak ada data
82 Broom Dragging Guy (Short) January 2005 Tidak ada data
83 Broom Dragging Guy (Bumper) February 2005 Tidak ada data
84 Guy Bring Many Coin In The Bag June 2005 Tidak ada data
85 Guy Bring Many Coin In The Bag June 2005 Tidak ada data
86 Cartoon Giraffes Meet A Logo February 2004 Tidak ada data
87 Cartoon Giraffes Meet A Logo (Short) February 2004 Tidak ada data
88 Cartoon Japan Doing Karate (Short) March 2004 Tidak ada data
89 Flea On The Sofa March 2004 Tidak ada data
90 Flea On The Sofa (Bumper) April 2004 Tidak ada data
91 Licking Cady April 2004 Tidak ada data
92 On Bed June 2004 Tidak ada data
93 King Of Diamond Card June 2004 Tidak ada data
94 King Of Diamond Card (Short) July 2004 Tidak ada data
95 Alarm Clock (Short) August 2004 Tidak ada data
96 Many Speakers On The Field September 2004 Tidak ada data
97 Many Speakers On The Field (Short) September 2004 Tidak ada data
98 Alarm Clock August 2004 Tidak ada data
99 King Of Diamond Card (Bumper) August 2004 Tidak ada data
100 A Mild Com Stuff November 2003 Tidak ada data
101 Cartoon Japan Doing Karate December 2003 Tidak ada data
102 Cartoon Paper Greeting Japan September 2003 Tidak ada data
103 Cartoon Screaming In Ice Mountain September 2003 Tidak ada data
104 Cartoon Screaming In Ice Mountain September 2003 Tidak ada data
105 Lamp Fighting March 2003 Tidak ada data
106 Lamp Fighting (Bumper) March 2003 Tidak ada data
107 Paint Spray & Typewriter December 2003 Tidak ada data
108 Lizards On Plants April 2002 Tidak ada data
109 Drinking Together July 2002 Tidak ada data
110 Stopping Bus July 2002 Tidak ada data
111 Barber Shop August 2002 Tidak ada data
112 Fish Try To Eat Bait August 2002 Tidak ada data
113 Barber Shop (Bumper) October 2002 Tidak ada data
114 Billboard November 2002 Tidak ada data
115 Box Walking November 2002 Tidak ada data
116 Sponsor Magical Twilite December 2002 Tidak ada data
117 Cartoon - Animal Following Crab October 2001 Tidak ada data
118 Cartoon - Animal Following Crab (Bumper) October 2001 Tidak ada data
119 Cartoon Birds August 2000 Tidak ada data
120 Red Fish Being Followed November 2000 Tidak ada data
121 Red Fish Being Followed (Short) November 2000 Tidak ada data
Sumber : www.mediabanc.ws, 2009.