Policy Paper: Rekomendasi Penerapan Standar Pelayanan Minimal ...
Transcript of Policy Paper: Rekomendasi Penerapan Standar Pelayanan Minimal ...
1 / 13
POLICY PAPER Rekomendasi Penerapan Standar Pelayanan Minimal
Bidang Kesehatan Tahun 2015 - 2019 (Pembelajaran dari Program USAID-KINERJA)
Latar Belakang
Tulisan ini dimaksudkan untuk mendokumentasikan secara ringkas pembelajaran penting dari
pengalaman pendampingan penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang Kesehatan
Tahun 2010-2015 pada Program USAID KINERJA untuk menjadi bahan pertimbangan dalam
penerapan SPM selanjutnya dan ditujukan untuk memberikan rekomendasi kepada Kementerian
Kesehatan bagi penerapan SPM Bidang Kesehatan Tahun 2015-2019.Tulisan ini memuat sepuluh
butir rekomendasi bagi perbaikan penerapan SPM Bidang Kesehatan Tahun 2015-2019.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (dan juga Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang sebelumnya berlaku) menyatakan
bahwa pelaksanaan pelayanan dasar pada urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan
pelayanan dasar berpedoman pada standar pelayanan minimal (SPM) yang ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pada Pasal 51 mengamanatkan bahwa
upaya kesehatan didasarkan pada standar pelayanan minimal kesehatan yang diatur dengan
Peraturan Pemerintah. SPM bidang Kesehatan yang berlaku adalah sebagaimana diatur dalam
Peraturan Menteri Kesehatan No 741/Menkes/Per/VII/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal
bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota. Dari perspektif penyelenggaraan pelayanan dasar bidang
kesehatan, SPM menjadi acuan pengukuran kinerja pemerintahan daerah dalam bidang kesehatan
dan acuan pengalokasian anggaran yang lebih strategis dan efektif.
Bantuan teknis USAID-KINERJA dalam penerapan SPM bidang kesehatan tidak terlepas dari
mandat yang diterima program ini untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik pada pemerintah
kabupaten/kota mitra melalui tata kelola yang baik dan berbasis standar layanan. Bantuan teknis
2 / 13
dalam penerapan SPM bidang kesehatan ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas pemerintah
daerah, khususnya Dinas Kesehatan dalam menerapkan SPM untuk manajemen pelayanan publik
khususnya pada perencanaan, penganggaran, implementasi, serta monitoring dan evaluasi di
tingkat dinas, daerah, dan unit layanan (Puskesmas) secara lebih partisipatif, transparan, akuntabel,
dan responsif. Oleh karena itu, penguatan kapasitas dimaksud tidak terbatas pada penguatan
aspek teknis, tetapi juga dalam pelibatan partisipasi masyarakat dan media dalam mempromosikan
dan mengawasi isu perbaikan tata kelola pelayanan kesehatan.
Pendekatan USAID-KINERJA pada Pendampingan Penerapan SPM Kesehatan
Pendekatan Program Kinerja dalam meningkatkan tata kelola pelayanan publik berbasis standar
layanan dilakukan melalui tiga pilar penting, yaitu:
1. Insentif – Memperkuat sisi
permintaan (meningkatkan kepedulian
masyarakat terhadap peningkatan
kualitas pelayanan publik yang lebih
baik.
2. Inovasi – Memanfaatkan praktik-
praktik inovatif yang ada dan
mendukung pemerintah daerah untuk
menguji dan menerapkan pendekatan-
pendekatan pelayanan publik yang
menjanjikan; dan
3. Replikasi –Memperkuat keberhasilan
inovasi secara nasional dan mendukung
lembaga-lembaga perantara untuk menyelenggarakan dan menyebarluaskan pelayanan yang lebih
baik kepada pemerintah daerah.
Dalam pendampingan penerapan SPM bidang Kesehatan, pendekatan pelaksanaan bantuan teknis
meliputi (1) Sosialisasi konsep dan pentingnya SPM Kesehatan kepada seluruh stakeholder terkait
baik dari pembuat kebijakan, lintas sektor, dan masyarakat. Tercakup dalam masyarakat sipil antara
3 / 13
lain, organisasi masyarakat sipil, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, tokoh
masyarakat, dan media; (2) Evaluasi diri terhadap penerapan SPM dan kebijakan; (3) Penguatan
multi pihak yang relevan, peduli, dan berkepentingan dalam pengelolaan SPM pada Pemerintah
Daerah dan pengawasan pelaksanaanya; (4) Pengembangan instrument pendampingan bagi
penyedia layanan (pemerintah daerah/dinas/unit layanan) serta referensi dan instrument advokasi
dan pengawasan bagi masyarakat sipil dan media; (5) Pengintegrasian SPM bidang Kesehatan ke
dalam proses perencanaan, penganggaran, pemantauan dan evaluasi; dan (6) Konsolidasi proses
dan hasil menuju kesiapan replikasi dalam rangka keberlanjutan pendekatan Program Kinerja.
Pendampingan tersebut dilakukan melalui delapan tahapan kegiatan sebagai berikut:
1. Lokakarya Peningkatan Pemahaman dan Kesadaran atas SPM Kesehatan; bertujuan untuk
mensosialisasikan konsep dan pentingnya SPM Kesehatan kepada seluruh stakeholder
terkait baik dari pembuat kebijakan, lintas sektor, dan masyarakat.
2. Studi banding praktek baik dalam penerapan SPM bidang kesehatan—khususnya yang
relevan dengan Paket Program USAID KINERJA pada daerah mitra dan non mitra—serta
penyusunan rencana aksi adopsi penerapannya di daerah; bertujuan untuk promosi dan
advokasi melalui bukti nyata dan testimony dari Puskesmas dan Dinas Kesehatan yang
telah melaksanakan praktik baik.
3. Review, pembaharuan (renewal) dan penyusunan kebijakan penerapan SPM pada
Pemerintah Kabupaten/Kota mitra; bertujuan untuk memperkuat dukungan
kebijakan/regulasi dalam upaya pencapaian target SPM berdasarkan ‘gap’ kebijakan hasil
review/kajian.
4. Penyusunan data untuk perhitungan status pencapaian SPM; bertujuan untuk memperkuat
pemahaman dan keterampilan atas definisi operasional setiap indikator SPM, data-data
yang harus tersedia, cara menghitung capaian SPM, dan mengukur status capaian SPM
tingkat kabupaten/kota.
5. Analisis kesenjangan capaian terhadap target SPM, prioritisasi penyebab kesenjangan,
identifikasi program dan kegiatan intervensi, serta strategi Penanganan; bertujuan untuk
menyusun target dan kurun waktu pencapaian SPM kabupaten/ kota dan untuk memperoleh
4 / 13
daftar program dan kegiatan prioritas berdasarkan kesenjangan capaian terhadap target
SPM yang ditetapkan pemerintah.
6. Penghitungan kebutuhan anggaran untuk mengurangi kesenjangan capaian dan
pelaksanaan program/kegiatan; bertujuan untuk memperkirakan kebutuhan anggaran atas
daftar program dan kegiatan prioritas pencapaian target SPM kabupaten/ kota dan
mengindikasikan sumber anggarannya.
7. Integrasi target SPM dan kebutuhan anggaran pencapaian target SPM ke dalam dokumen
perencanaan dan penganggaran daerah; bertujuan untuk memasukkan target capaian,
rencana program dan kegiatan prioritas pencapaian SPM menjadi target kinerja, program,
dan kegiatan yang dimuat dalam dokumen perencanaan dan dokumen anggaran, untuk
membantu memastikan program dan kegiatan pencapaian SPM tersebut
dilaksanakan/direalisasikan.
8. Monitoring dan evaluasi penerapan SPM; bertujuan untuk memantau kemajuan penerapan
dan mengevaluasi pelaksanaan program dan kegiatan pada tahun berkenaan.
Evaluasi capaian SPM dan umpan balik bagi proses perencanaan berikutnya; bertujuan untuk
mengevaluasi kemajuan hasil pencapaian target SPM yang disusun kabupaten/ kota dan kemajuan
kinerja kabupaten/kota terhadap pencapaian target SPM yang ditetapkan secara nasional. Hasil
evaluasi ini selanjutnya digunakan sebagai proses perencanaan dan penganggaran berikutnya.
Potret Penerapan SPM Kesehatan di Kab/Kota
Pendampingan SPM bidang Kesehatan yang dilakukan USAID-KINERJA di kabupaten/ kota
dampingan telah berkontribusi pada tersedianya dokumen perencanaan dan penganggaran
pencapaian SPM (costing SPM), terintegrasinya kegiatan pencapaian SPM dalam dokumen
perencanaan dan penganggaran daerah, dan peningkatan capaian sejumlah indikator SPM
kesehatan. Sebagai contoh adalah Kota Banda Aceh dan Kabupaten Tulung Agung berikut ini.
5 / 13
Pengalaman USAID-KINERJA di daerah dampingan/binaan memberikan sejumlah catatan
penting, khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan data, teknis kebijakan SPM, dan tata
kelola penerapan SPM (keterlibatan dan pengawasan masyarakat sipil). Selengkapnya dapat
dilihat dalam uraian sebagai berikut :
1. Pengelolaan Data SPM
Data dasar untuk pengukuran capaian indikator SPM tidak selalu tersedia, lengkap,dan
akurat, serta belum disepakatinya penanggung jawab untuk data-data tersebut di antara
Puskesmas, layanan kesehatan swasta, dan Dinas Kesehatan;
6 / 13
2. Alur (dan jadwal) pengumpulan dan pelaporan data dari Puskesmas, layanankesehatan,
ke Dinas Kesehatan belum disusun sehingga pelaporan pencapaianSPM seolah-olah
kegiatan baru, belum dipandang sebagai kegiatan rutin;
Dua hal ini sangat berkaitan dengan awareness Dinas Kesehatan dan Puskesmas bahwa efektifitas
kegiatan dan alokasi anggaran pertama kali ditentukan oleh validitas data. Pada kab/kota
mitra/binaan, KINERJA membantu Puskesmas dan Dinas memperbaiki pendataan dan
mendampingi proses pengukuran capaian SPM berdasarkan data yang disepakati sebagai data
terkini dan dapat diverifikasi. Data yang disepakati tersebut selanjutnya menjadi basis data
perencanaan dan penganggaran SPM bidang Kesehatan selama lima tahun ke depan.
A. Kebijakan Teknis Penerapan SPM
Meskipun beberapa daerah telah berhasil dalam meningkatkan capaian indicator SPM, jika dilihat
dari aspek substansi, terdapat beberapa hal yang membuat kebijakan SPM ini kurang optimal
dalam implementasinya. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Kelengkapan jenis pelayanan dimana indikator SPM belum mencakup upayapromotif dan
preventif yang berdampak besar terhadap status kesehatan masyarakat (misalnya
kesehatan lingkungan), juga belum mempertimbangkan fenomena kependudukan. Contoh
fenomena kependudukan dimaksud adalah tingginya jumlah penduduk usia lanjut akibat
meningkatnya usia harapan hidup. Upaya kesehatan bagi penduduk usia lanjut tentunya
menjadi sangat penting mengingat semakin lanjut usia seseorang, semakin rentan kondisi
kesehatannya. Jika kesehatan usia lanjut ini tidak tertangani dengan baik justru akan
menjadi beban pengeluaran negara yang tidak sedikit. Demikian juga penanganan penyakit
tidak menular, dimana sebagai contoh Diabetes Mellitus dan Hypertensi sudah menduduki
lima kunjungan terbesar di berbagai Puskesmas dan rumah sakit.
2. Penetapan target yang belum mempertimbangkan variasi tingkat perkembangan antar
wilayah dan profil geografi yang beraneka ragam, yang mempengaruhi disparitas
kemampuan antara satu daerah dengan daerah lainnya dalam mencapai target nasional
2015.
7 / 13
3. Formula penghitungan pencapaian indikator SPM dalam hal perhitungan . angka
penyebut.
Pengukuran indikator layanan SPM secara umum diformulasikan dalam bentuk angka
nominator (pembilang) dibagi denominator (penyebut) x 100%.
Pembilang Indikator SPM = X 100%
Penyebut
Pada angka denominator (penyebut), masalah yang masih banyak ditemukan adalah
penentuan besaran angka denominator. Angka denominator ditetapkan berdasarkan estimasi
yang seringkali berbeda jauh dengan angka riil. Hal ini menyebabkan pencapaian target pada
beberapa indikator sulit untuk diwujudkan.
Selain persoalan estimasi untuk angka denominator, persoalan juga muncul pada dua
indikator, yaitu cakupan pelayanan kesehatan dasar masyarakat miskin dan cakupan
pelayanan kesehatan rujukan pasien masyarakat miskin. Mengingat denominatornya adalah
jumlah seluruh masyarakat miskin di kabupaten/kota dalam kurun waktu tertentu, maka
tidak mungkin mencapai target yang ditetapkan, yaitu 100%.
Di Kota Makassar, sebagai salah satu daerah dampingan penerapan SPM bidang Kesehatan,
disepakati bahwa perhitungan cakupan pelayanan kesehatan dasar masyarakat miskin dan
cakupan pelayanan kesehatan rujukan pasien masyarakat miskin, selain menggunakan
formulasi yang ditetapkan nasional, juga menggunakan cara lain untuk memberikan data
pembanding, dimana denominator-nya adalah jumlah kunjungan masyarakat miskin di
kabupaten/kota dalam kurun waktu tertentu. Artinya, yang dihitung adalah cakupan layanan
(hanya) bagi masyarakat miskin yang sakit/berkunjung ke layanan kesehatan, bukan seluruh
masyarakat miskin.
4. Indikator positif versus indikator negatif; sebagian besar indikator yang digunakan untuk
memantau pencapain SPM bidang kesehatan adalah indikator positif, dimana semakin tinggi
nilai pencapaian indikator tersebut, menunjukkan kondisi yang semakin baik. Contohnya
indikator cakupan kunjungan ibu hamil K4. Target yang ditetapkan adalah 95%. Semakin
8 / 13
tinggi pencapaiannya menunjukkan bahwa semakin banyak ibu hamil yang memeriksakan
kehamilannya ke tenaga kesehatan sampai kunjungan yang ke 4, dan hal ini berarti sebuah
kondisi yang baik di masyarakat.
Berbeda dengan indikator penemuan dan penanganan penyakit Untuk penyakit pertama,
Acute Flacid Paralysis (AFP) targetnya adalah > 2 per 100.000 penduduk di bawah 15
tahun. Ini termasuk indikator negatif. Jika di suatu daerah kejadian AFP pada penduduk di
bawah 15 tahunnya tinggi, maka daerah tersebut akan mampu memenuhi target. Tetapi jika
sebaliknya, jumlah kasus AFP pada penduduk di bawah 15 tahun rendah (<2), akan daerah
tersebut tidak mampu memenuhi target. Hal inilah yang kurang sesuai dengan paradigma
sehat, karena yang dijadikan ukuran keberhasilan adalah jumlah kasus.
5. Pilihan kegiatan dan rancangan anggaran untuk mencapai target SPM seringkali
didasarkan pada kegiatan yang ‘sudah biasa’ dilakukan, belum didasarkan atas kajian
permasalahan yang dihadapi dan kesenjangan capaian; demikian pula hal dengan
rancangan anggaran, belum berdasarkan kinerja yang ditargetkan, melainkan anggaran
tahun sebelumnya (yang biasanya dinaikkan 6-10%)
6. Pilihan kegiatan tidak selalu sesuai dengan nomenklatur kegiatan dalam Peraturan
Menteri Dalam Negeri No 59 Tahun 2007 tentang Perubahan atas PeraturanMenteri Dalam
Negeri No 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Di kabupaten /kota mitra, KINERJA membantu mengatasi persoalan dalam perencanaan
pencapaian SPM ini melalui kegiatan ‘penghitungan pembiyaaan (costing) SPM Kesehatan’.
Costing SPM Kesehatan adalah proses merancang target tahunan setiap indikator SPM yang
selanjutnya diikuti dengan rancangan kegiatan dan anggaran yang paling sesuai/mendukung
tercapainya target pada setiap tahun dan pada pembiayaan jangka menengah. Begitu daftar
kegiatan diperoleh, selanjutnya dilakukan harmonisasi judul kegiatan (terpilih) dengan judul baku
kegiatan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No 59/2007. Demikian pula halnya terhadap daftar
langkah kegiatan dalam KepmenKes No 317/Menkes/SK/V/2009 tentang Petunjuk Teknis
Perencanaan Pembiayaan SPM bidang Kesehatan di kabupaten/kota diterbitkan,
9 / 13
KINERJA membantu Dinas Kesehatan melalui penyusunan tabel sandingan antara daftar kegiatan
dalam KepmenKes No 317/Menkes/SK/V/2009 dengan kegiatan yang sama/sejalan dengan
kegiatan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No 59/2007. Harmonisasi judul kegiatan ini adalah
untuk mempermudah proses integrasi hasil costing SPM bidang kesehatan ke dalam dokumen
resmi perencanaan dan penganggaran daerah.
B. Tata Kelola Penerapan
1. Isu pemenuhan hak setiap warga atas Standar Pelayanan Minimal, termasuk bidang
kesehatan belum menjadi isu populer di kalangan masyarakat, media, Pemerintah
Daerah, dan DPRD. Belum populernya isu SPM ini juga menjadi tantangan bagi
Dinas dalam ‘memperjuangkan’ anggaran untuk meningkatkan kinerja Pemda dalam bidang
kesehatan berdasarkan indikator dan target SPM.
Kondisi ini memang sangat dipengaruhi atas pengetahuan dan kesadaran warga danmedia untuk
‘meminta’/menciptakan ‘demand’ atas perubahan kualitas pelayanan kesehatan. Bantuan teknis
USAID-KINERJA mendorong upaya pemenuhan SPM dengan model partisipatoris lintas sektoral,
yang menekankan partisipasi semua pihak terkait, yakni pengguna layanan, lembaga pemerintah,
dan masyarakat secara luas. Model ini diterapkan melalui survey pengaduan masyarakat yang
indikatornya disusun mengacu pada indikator dan target SPM, dan tindak lanjut Puskesmas
ataupun Dinas melalui janji perbaikan pelayanan pun juga mengacu pada perubahan capaian SPM
yang disepakati antara pengguna layanan dan lembaga penyedia layanan. Media, melalui
jurnalisme warga, mempromosikan dan mewadahi pengawasan implementasi janji perbaikan
pelayanan tersebut.
Dalam catatan USAID KINERJA, dari seluruh tulisan yang dihasilkan jurnalis warga, sekitar 50% di
antaranya adalah terkait dengan sector kesehatan, termasuk upaya pemenuhan SPM.
Kota Banda Aceh, Kota Makassar, dan Kabupaten Tulung Agung didukung Multistakeholders
Forum (MSF) peduli Kesehatan yang cukup kuat. MSF ini telah mampu menjadi motor edukasi
warga atas pelayanan minimal bidang kesehatan yang menjadi haknya, mitra diskusi Puskesmas
10 / 13
dan Dinas Kesehatan, sumber data/informasi/tulisan bagi media, serta berpotensi sebagai mitra
DPRD dalam pengawasan pelayanan kesehatan. Indikator SPM terkait Kesehatan Ibu dan Anak di
tiga daerah ini juga menunjukkan peningkatan capaian.
2. Upaya pencapaian SPM seakan-akan hanya menjadi ‘wilayah’ Pemerintah Daerah,
masyarakat dan media belum dipandang sebagai ‘asset’ yang dapat digunakan untuk
mendorong dan memperbesar kapasitas kabupaten/kota mencapai SPM.
Pada kab/kota mitra/binaan, KINERJA memfasilitasi interrelasi antara Dinas Kesehatan,
Puskesmas, dengan MSF peduli kesehatan, dan media. Pelibatan dan partisipasi aktif MSF
dan media dalam costing SPM telah mendorong inisiatif masyarakat dan media untuk
berbagi peran di tingkat lokal sehingga kegiatan pendukung pencapaian SPM tidak
sepenuhnya mengandalkan Pemerintah Daerah, tetapi ada yang dikerjakan secara swadaya
oleh kelompok/forum masyarakat. Misalnya promosi isu SPM oleh jurnalis warga atau radio
lokal dan promosi kesehatan ibu dan anak melalui kelompok perias manten di Bondowoso.
3. Masih banyak kabupaten/kota yang belum menjadikan SPM bidang kesehatan sebagai
orientasi kinerja penyelenggaraan urusan kesehatan di kabupaten/kota memperhatikan
proses perencanaan dan penganggaran jangka menengah dan tahunan belum
mengintegrasikan indikator dan target SPM ini, baik pada dokumen daerah, dokumen
Dinas, maupun dokumen rencana dan anggaran Puskesmas.
Kepastian dan keberlanjutan komitmen pencapaian target SPM tetap perlu diwujudkan dalam
kebijakan perencanaan dan penganggaran yang dituangkan dalam dokumen resmi daerah, Dinas
Kesehatan, maupun Puskesmas, bahkan dapat dipayungi oleh regulasi tersendiri, seperti peraturan
bupati/walikota tentang penerapan SPM bidang Kesehatan.
Mengingat RPJMD dan Renstra Dinas Kesehatan yang berlaku belum cukup mengintegrasikan
SPM bidang kesehatan sebagai orientasi kinerja, maka pada 2013, Kota Makassar, berinisiatif
menyusun peraturan walikota tentang penerapan SPM bidang Kesehatan. Hasil costing SPM
digunakan sebagai acuan target tahunan SPM dan dituangkan dalam salah satu pasal yang
11 / 13
mengatur target capaian tahunan. Hasil costing SPM juga menjadi salah satu lampiran peraturan
ini. Peraturan walikota yang disahkan pada akhir 2013 ini selanjutnya menjadi acuan RKPD dan
Renja Dinas Kesehatan dalam menyusun target kinerja tahunan bidang kesehatan.
Rekomendasi
Berdasarkan pengalaman USAID-KINERJA dalam pendampingan penerapan SPM bidang
kesehatan dan kajian internal tim KINERJA, berikut beberapa rekomendasi kepada Kementerian
Kesehatan dalam penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan 2019, yaitu:
1. Alur penyusunan data dasar; Secara garis besar alur penyusunan data dasar adalah
Puskesmas dan sarana kesehatan menghimpun data capaian indikator SPM untuk
disampaikan ke Dinas Kesehatan (unit data dan informasi-Seksi Info Litbang) secara
reguler. Dinas Kesehatan menghitung nilai sasaran. Harus dibentuk SOP di tingkat
Puskesmas dan dinas kesehatan agar memungkinkan adanya kegiatan verifikasi dan
pelacakan kembali jika masih ditemukan data yang kurang meyakinkan.
2. Penetapan beberapa angka proyeksi; Dilakukan pendataan sasaran secara langsung
untuk menghitung angka sasaran yang sebenarnya, dan melakukan advokasi kepada
pemerintah daerah dan biro pusat statistik mengenai temuan hasil pendataan langsung.
3. Pemahaman definisi operasional dan langkah kegiatan pencapaian SPM (Kepmenkes
No. 828/MENKES/SK/IX/2008 dan Permenkes No. 317/MENKES/SK/V/2009); Perlu
dilakukan sosialisasi SPM secara berjenjang, diawali dari tingkat Dinas Kesehatan ke
seluruh Puskesmas dan kelompok peduli kesehatan tingkat kab/kota, selanjutnya dari
Puskesmas ke sarana kesehatan yang dibawahnya, misalnya pustu, puskel, dan posyandu,
dan para bidan. Lokakarya penyusunan rencana penerapan SPM secara intens dilakukan
dengan melibatkan lintas sektor dan forum multi stakeholder. Dalam lokakarya perlu
dilakukan penanaman mindset tentang pentingnya inovasi kegiatan untuk menutup gap
capaian SPM kesehatan.
4. Sinergi peran antara Puskesmas, Sarana Kesehatan dan Dinas Kesehatan; Perlu
dilakukan penyamaan persepsi antara Puskesmas, sarana kesehatan, dan Dinas Kesehatan
tentang target SPM yang menjadi ‘beban’ Dinas Kesehatan dan posisi Dinas untuk integrasi
12 / 13
SPM ke dalam perencanaan dan penganggaran. Masing-masing Puskesmas diberi
penjelasan tentang target SPM yang ‘dibebankan’ Dinas Kesehatan kepada Puskesmas.
5. Sistem informasi terpusat atas data untuk setiap jenis layanan dan indikator SPM
perlu disiapkan serta diterapkan oleh seluruh Puskesmas dan Dinas Kesehatan. Hal ini
untuk mendukung pemantauan dan evaluasi kemajuan pencapaian SPM, baik di tingkat
kecamatan, tingkat kabupaten/kota, provinsi, dan nasional. Sistem informasi terpusat ini juga
akan mendukung setiap tingkatan pemerintahan dalam pengambilan keputusan lokus
program dan anggaran untuk memperkecil kesenjangan layanan antar wilayah.
6. Untuk memudahkan Dinas Kesehatan dalam mengintegrasikan kegiatan pencapaian SPM
ke dalam dokumen APBD agar mengacu dan menggunakan nomenklatur kegiatan
sebagaimana tertuang dalam Permendagri No 13/2006 dan perubahannya, diperlukan Surat
Edaran Bersama antara Kementerian Kesehatan dan Kementerian Dalam Negeri
tentang penyelarasan nomenklatur kegiatan pencapaian SPM.
7. Indikator jenis pelayanan yang termasuk upaya promotif perlu dimuat dalam SPM.
SPM yang berlaku saat ini mencakup 4 jenis pelayanan: (1) pelayanan kesehatan dasar, (2)
pelayanan kesehatan rujukan, (3) penyelidikan epidemiologi dan penanggulangan KLB,
serta (4) promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat. Sejumlah indikator terkait
penyelidikan epidemiologi dan penanggulangan KLB pada SPM yang berlaku saat ini turut
dipengaruhi ada/ tidaknya upaya preventif, seperti akses sumber air minum layak dan
berkelanjutan, akses sanitasi layak dan berkelanjutan, dan penerapan PHBS.
8. Sejumlah kabupaten/kota membuktikan bahwa keterbukaan Dinas Kesehatan untuk
melibatkan masyarakat peduli kesehatan dan media telah membantu upaya peningkatan
capaian indikator SPM. Diperlukan keterbukaan Dinas Kesehatan untuk melibatkan
peran MSF peduli kesehatan dalam proses perencanaan dan penganggaran pencapaian
SPM (costing SPM), dan monitoring dan evaluasi bersama kemajuan penerapan dan
pencapaian SPM.
9. Untuk mendorong keterbukaan Pemerintah Daerah dalam menggalang partisipasi
masyarakat dalam upaya peningkatan capaian indikator SPM, pengukuran kinerja
Pemerintah Daerah dalam memenuhi SPM kesehatan disarankan agar tidak hanya
13 / 13
menggunakan indikator meningkatnya status capaian, melainkan juga dari ada/tidaknya
kegiatan partisipasi sumber daya lokal dalam mendorong pencapaian SPM kesehatan.
10. Untuk mendorong inovasi dalam percepatan pencapaian target SPM, Kementerian
Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Keuangan perlu
mempertimbangkan penerapan mekanisme insentif dan disinsentif/sanksi keuangan bagi
kabupaten/kota terhadap pencapaian SPM. Insentif dapat disalurkan melalui DAK atau
Hibah Insentif SPM, dan disinsentif dapat diterapkan melalui pembatasan DAU, pembatasan
DAK Kesehatan, ataupun mekanisme penggunaan dana tugas pembantuan.
Kesimpulan
Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan perlu segera melakukan penyesuaian SPM bidang
kesehatan. Saat ini merupakan waktu yang tepat mengingat SPM yang saat ini berlaku akan segera
memasuki tahun terakhir (2015). Untuk itu, perlu segera ditetapkan SPM yang akan berlaku untuk
periode 5 tahun ke depan dengan adanya beberapa penyesuaian sebagaimana diusulkan dalam
opsi kebijakan. Regulasi Kementerian Kesehatan atas penerapan SPM Kesehatan juga meliputi
tugas Puskesmas dan Dinas Kesehatan dalam hal penyediaan data dasar, penggunaan definisi
operasional, dan penyepakatan ‘beban’ target pencapaian SPM. Perlu dilakukan penegasan
kembali oleh Kementerian Kesehatan tentang integrasi SPM dalam perencanaan Puskesmas dan
pengalokasian BOK berbasis prestasi pencapaian SPM.
Perlunya dirancang mekanisme pemberian insentif untuk kab/kota yang menunjukkan kemajuan
hasil pencapaian target SPM. Kementerian Kesehatan perlu melakukan fasilitasi untuk Stakeholder
Learning Review untuk implementasi pembelajaran praktek baik/inisiatif baik kab/kota dalam
penerapan SPM. Diluar kajian aspek teknis substansi SPM keterlibatan masyarakat merupakan
unsur penting dalam penuntasan pencapaian SPM. Peran organisasi masyarakat sipil dan media
penting dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan penerapan SPM.