Pola pengembangan kapasitas pembudidayaan ikan kolam · 2015-08-29 · Konsep tentang Kapasitas dan...
Transcript of Pola pengembangan kapasitas pembudidayaan ikan kolam · 2015-08-29 · Konsep tentang Kapasitas dan...
7
TINJAUAN PUSTAKA
Konsep tentang Kapasitas dan Pengembangan Kapasitas
Penelitian tentang perilaku sebagaimana yang banyak dilakukan dalam
penelitian penyuluhan, tidak jarang terdapat kerancuan pemahaman tentang
beberapa konsep yang terkait dengan perilaku subjek penelitian, seperti kapasitas,
kompetensi, dan kemandirian. Oleh karena itu, berikut akan dijelaskan tentang
ketiga konsep tersebut, sehingga dapat diperoleh pemahaman tentang perbedaan
yang mendasar antara ketiga konsep tersebut.
Konsep Kapasitas
Konsep kapasitas pada awalnya mengacu pada konteks objek fisik yang
berarti menunjukkan suatu size atau ukuran suatu daya dukung objek. Sebagai
contoh kapasitas mesin produksi dengan ukuran tertentu menunjukkan
kemampuannya dalam memproduksi pada batasan tertentu sesuai dengan
ukurannya. Selanjutnya, konsep kapasitas ini diintroduksi untuk konsep kapasitas
pada objek orang, baik sebagai individu, kelompok, organisasi, maupun
masyarakat.
Konsep kapasitas mengacu pada tiga makna, yaitu sebagai (a) ABILITY,
power, strength, facility, gift, intelligence, efficiency, genius, faculty, capability,
forte, readiness, aptitude, aptness, competence or competency, (b) SIZE, room,
range, space, volume, extent, dimensions, scope, magnitude, compass, amplitude,
dan (c) FUNCTION, position, role, post, appointment, province, sphere, service,
office (Collins Essential Thesaurus 2006).
Liou (2004) menyatakan bahwa kapasitas mengarah pada konteks kinerja
(performance), kemampuan (ability), kapabilitas (capability) dan potensi kualitatif
suatu objek atau orang. Selaras dengan hal tersebut, Milen (2001) mendefinisikan
kapasitas sebagai kemampuan individu, organisasi atau sistem untuk menjalankan
secara tepat fungsi-fungsinya secara efektif, efesien, dan berkelanjutan. Kapasitas
ini berhubungan dengan kinerja yang ditetapkan, dan ketepatan dalam menjalankan
fungsi dan tugas, misalnya tingkat kontribusi seseorang dalam mencapai tujuan
yang ditetapkan. Govnet (Morgan 2008) menyatakan bahwa kapasitas sebagai “the
ability of people, organization, and society as a whole to manage their affairs
succesfully” atau dengan kata lain kapasitas sebagai kemampuan orang-orang,
8
organisasi, dan masyarakat dalam mengelola segala urusannya secara sukses.
Kaplan (Morgan 2008) mendefinisikan kapasitas sebagai kemampuan mengorga-
nisir sesuai kegiatan, sehingga bersifat ulet, strategis, dan mandiri. Dalam
kaitannya dengan pembangunan masyarakat, menurut Morgan (2008) kapasitas
merupakan aset dan keterampilan yang diperlukan dalam implementasi program
pembangunan, dan diperlukan pengorganisasian infrastruktuktur kolektif dari
keterampilan, kepandaian dan pemecahan masalah dan efeknya bagi kehidupan
masyarakat itu sendiri
United Nation Development Program (UNDP 1998) mendefinisikan
kapasitas sebagai kemampuan individu, lembaga atau masyarakat dalam
menjalankan fungsi-fungsinya, memecahkan masalah, dan dalam menyusun dan
mencapai tujuan yang berkelanjutan, seperti yang dinyatakan bahwa "capacity as
the ability of individuals, institutions and societies to perform functions, solve
problems, and set and achieve objectives in a sustainable manner.”
Kapasitas yang ditunjukkan dalam suatu performa mengacu pada adanya
tiga ranah yang mendasarinya, yaitu ranah pengetahuan, sikap dan keterampilan
atau tindakan (konatif). Menurut Kenneth dan Stanley (McKenzie 1991),
pengetahuan (knowladge) merujuk pada konteks segala sesuatu yang diketahui,
dengan demikian cakupannya sangat luas terhadap segala sesuatu yang diketahui
manusia.
Thurstone, Likert, dan Osgood (Azwar 1997) menyatakan bahwa sikap
diartikan sebagai bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap juga diartikan sebagai
kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu, seperti
yang dinyatakan oleh Chave, Borgadus, LaPiere, Mead, Allport (Azwar 1997).
Pengertian sikap yang lain adalah sikap sebagai konstelasi komponen-konponen
kognitif, afektif, dan konatif yang saling berinteraksi dalam memahami, merasakan,
dan berperilaku terhadap suatu objek, seperti yang dinyatakan oleh Secord &
Backman (Azwar 1997).
Spencer dan Spencer (1993) mendefinisikan keterampilan sebagai
kemampuan untuk mengerjakan tugas secara fisik dan mental. Adapun kategori
keterampilan oleh Yukl (1998) dibagi menjadi tiga jenis, yaitu keterampilan teknis,
keterampilan antar pribadi, dan keterampilan konseptual.
9
Kapasitas yang dimiliki oleh seseorang tidak serta merta diperoleh dengan
sendirinya, melainkan berkembang sesuai dengan perkembangan dirinya sebagai
manusia yang meliputi perkembangan biologi, psikologi, dan tingkah laku. Teori
maturity model yang dikemukakan oleh Gessel (Salkind 1985) menyatakan bahwa
kematangan manusia melalui tahapan secara biologis dan mengikuti sejarah evolusi
suatu spesies. Tingkatan kemajuan pertumbuhan anak manusia melalui urutan dan
bersifat individualistik yang ditentukan genotip dari anak itu sendiri, dengan
demikian tingkat pertumbuhan tidak dapat dirubah secara mendasar. Penganut teori
ini mempercayai, kemampuan seseorang hanya dapat dicapai pada tahap-tahap
tertentu sesuai sebatas pada kemampuan biologis yang diperoleh secara genetis.
Pengaruh lingkungan sosial terhadap perkembangan psikologis dinyatakan
dalam teori psikososial Erik Erikson. Erikson (Salkind 1985) menyatakan bahwa
perkembangan psikologikal merupakan hasil dari sebuah interaksi antara proses
menuju kedewasaan atau kebutuhan biologis dengan permintaan sosial, serta
kekuatan-kekuatan sosial yang dialami dalam setiap kehidupan sehari-hari. Erikson
tidak mengabaikan kenyataan, secara biologi seseorang memiliki beberapa unsur-
unsur dasar dalam konsepsi, tetapi seiring waktu unsur-unsur tersebut bergabung
membentuk struktur yang baru. Dengan cara yang sama, bagian-bagian
psikologikal yang berbeda-beda secara bersama-sama menjadi bentuk yang baru
dan secara kualitatif menjadi kesatuan yang unik. Tahapan dalam menuju bentuk
sebagai fungsi yang menyeluruh tersebut, sebagai pengontrol proses pendewasaan,
yang merupakan prinsip epigenetik.
Erikson (Salkind 1985) menggambarkan delapan tahapan perkembangan
yang diatur oleh kekuatan kematangan yang mendasarinya. Pada setiap tahapan
terjadi konflik sebagai akibat secara tidak langsung dari perjuangan antara
pendewasaan seseorang anak (kebutuhan biologi/insting) dan suatu permintaan
sosial yang berlangsung pada seseorang. Ego menjadi kekuatan penengah utama
dalam proses perkembangan tersebut.
Sigmund Freud (Salkind 1985) dalam model psikoanalitik menyatakan
bahwa perkembangan manusia terjadi secara dinamis, bersifat struktural, dan
sequential. Komponen dinamis didasarkan pada asumsi bahwa manusia sebagai
suatu sistem energi, energi tersebut tidak akan berubah apabila sistem tersebut
10
tertutup, dan distribusi energi dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti kebutuhan
biologis tubuh, tingkatan perkembangan individu, pengalaman hidup, dan
lingkungan. Insting merupakan sesuatu hal yang menggerakkan psikologikal yang
tidak dipelajari, dan merupakan sifat yang asli di dalam kebutuhan biologis dan
merupakan proses metabolisme pada setiap organisme/manusia. Tujuan insting
adalah mencapai kepuasan. Menurut Freud (Salkind 1985), sebagian besar energi
psikis pada kondisi di bawah sadar akan mempengaruhi tingkah laku, namun tidak
pada tingkatan organisme tersebut sadar atau berfikir tentang sesuatu hal.
Lebih lanjut Freud menguraikan bahwa dalam diri setiap manusia ada tiga
tingkatan struktural, yaitu id, ego, dan superego. Pada tingkatan id, energi psikis
sebagai energi yang bertujuan untuk mencapai kepuasan memenuhi kebutuhan
dasar banyak dituangkan, maka organisme tersebut berada pada tahap proses
berfikir tahap awal. Tahap selanjutnya adalah ego, merupakan hasil interaksi antara
organisme dengan lingkungan. Ego dibangun akibat tidak sanggupnya id
memenuhi kebutuhan sendiri mencapai kepuasan, sehingga organisme
membutuhkan bantuan lingkungan. Proses ini disebut identifikasi. Mulainya
identifikasi ditandai oleh adanya kesadaran, sehingga organisme dapat
membedakan antara kenyataan dan khayalan. Proses ego difasilitasi adanya
perencanaan dengan menggunakan pemikiran, yang dinyatakan sebagai proses
berfikir tahap kedua. Tahap ketiga, superego sebagai psikis energi aktivitas
sebagai kekuatan yang menentang hal-hal yang yang diikatkan tentang kepuasan id.
Pada komponen sequential, Freud membagi lima tingkatan, yaitu tingkatan
oral, anal, phallic, latency, dan genetalis. Setiap tingkatan dihubungkan dengan
kebutuhan biologis dan psikologis.
Model perkembangan manusia pada model psikoanalitik Freud, model
psikososial Erikson, dan model maturational Gesell menekankan perkembangan
manusia merupakan hasil interaksi yang kompleks antara faktor biologi dan
sejumlah faktor lain. Ketiga model itu menempatkan faktor lingkungan sebagai
faktor yang penting.
Perkembangan kapasitas manusia tidak semata dipengaruhi oleh faktor
biologis, melainkan justru lebih banyak faktor lingkungan, seperti yang
dikemukanan oleh para penganut paham perilaku (behaviorisme). Asumsi dasar
11
dalam teori perilaku antara lain (a) perkembangan adalah suatu fungsi dari belajar,
(b) perkembangan adalah hasil dari tipe-tipe belajar yang berbeda, (c) perbedaan-
perbedaan individu dalam perkembangan mencerminkan perbedaan pengalaman
sebelumnya, (d) perkembangan adalah hasil pengorganisasian perilaku-perilaku
yang ada, (e) faktor biologis membentuk batasan umum pada jenis perilaku yang
dikembangkan tetapi lingkungan yang menentukan perilaku organisme, dan (f)
perkembangan individu tidak secara langsung berhubungan dengan tingkat
ketekunan secara biologis.
Ivan Pavlov merupakan ilmuwan pertama yang mempelajari hubungan
langsung antara perilaku dan kejadian-kejadian di lingkungannya. Teori classical
conditioning dari Pavlov memperlihatkan proses belajar terjadi ketika kejadian
berbeda terjadi secara simultan, seperti yang ditunjukkan ketika seekor anjing lapar
diberi makanan, keluar air liurnya. Faktor yang mempengaruhi kekuatan reflek
yang dikondisikan yaitu penguatan (reinforcement) dan yang melemahkan
(extinction). Paham perilaku analisis eksperimental dari BF Skinner menyatakan
bahwa melalui pasangan berulang, stimuli netral terdahulu menjadi stimuli dan
respon kebiasaan, dan konsep penguatan (reinforcement) dan melemahkan
(extinction) berhubungan dengan kekuatan respon. Analisis perilaku fungsional
dari Bijou dan Baer (Salkind 1985) sebagai konsep yang berangkat dari gagasan
gabungan stimulus-respon merupakan pembentuk perkembangan. Dalam konsep
ini stimulus memperhitungkan hubungan fungsional antara sebuah stimulus dan
sebuah respon sedemikian rupa sehingga untuk sebuah stimulus tertentu, sebuah
respon diarahkan untuk melayani stimulus khusus tersebut.
Konsep Kompetensi
Konsep kompetensi berkembang dari bidang pendidikan, yaitu dengan
konsep awal behavioral objective yang bersumber dari pemikiran para pendidik
seperti Benjamin Bloom pada tahun 1950 di Amerika (Susanto, 2006). Konsep
behavioral objective ini menjelaskan bahwa spesifikasi tujuan sebagai perilaku
yang dapat diobservasi secara langsung dan dapat dicatat. Pada hakikatnya konsep
ini menggunakan pendekatan melakukan observasi dan menarik kesimpulan yang
dapat dipercaya dengan prinsip operasional, observasi yang dapat dipercaya, dan
tidak ada tenggang waktu interpretasi. Menurut Bowden dan Masters (Bhardwaj
12
2008), pada awal penerapannya dilakukan pada program pendidikan guru dengan
melihat perilaku guru. Selanjutnya dikembangkan dalam bidang manajemen yang
dikembangkan oleh Boyatzis. Pada perkembangan selanjutnya istilah kompetensi
digunakan pada segala bidang profesi. Menurut Burgoyne (Bhardwaj 2008), arti
istilah ini bergantung pada tujuan masing-masing bidang.
Menurut Stenberg dan Kolligian (Bhardwaj 2008), bidang psikologi
memberikan perhatian pada konsep kemampuan terukur (a measure ability) yang
diukur dari performa seseorang dari sifat (traits) dan kapasitasnya, sedangkan pada
teori manajemen menekankan pada pencapaian tujuan organisasi melalui
peningkatan performa individu. Pandangan dari seorang manajer sumberdaya
manusia adalah konsep ini sebagai alat teknis untuk mengimplementasikan strategi
melalui rekrutmen, penempatan, pelatihan, assesment, promosi, reward system, dan
perencanaan personalia, seperti yang dinyatakan oleh Burgoyne (Bhardwaj 2008).
Menurut Bowden dan Masters (Bhardwaj 2008), dalam pada ahli pendidikan
konsep ini dikaitkan dengan rencana kerja dengan pengakuan profesionalisme
dalam cakupan pendidikan yang luas.
Kompetensi didefinisikan oleh beberapa ahli, diantaranya adalah (1) The
American Compensation Association (Bhardwaj 2008) menyatakan bahwa
kompetensi sebagai perilaku kinerja individu yang dapat diobservasi (diamati),
diukur, dan kritis menilai kesuksesan individu atau performa perusahaan; (2)
Spencer & Spencer mengartikan kompetensi sebagai karakteristik dasar seseorang
yang mempengaruhi cara berpikir dan bertindak, membuat generalisasi terhadap
segala situasi yang dihadapi, serta bertahan cukup lama dalam diri manusia; (3) The
Jakarta Consulting Group (Susanto, 2006) menyatakan bahwa kompetensi adalah
segala bentuk perwujudan, ekspresi, dan representasi dari motif, pengetahuan,
sikap, perilaku utama agar mampu melaksanakan pekerjaan dengan sangat baik
atau yang membedakan antara kinerja rata-rata dengan kinerja superior. Pendekatan
ini dilihat dari sudut pandang individual; dan (4) Menurut Wyatt (Ruky 2004),
kompetensi merupakan kombinasi dari keterampilan (skill), pengetahuan
(knowledge), dan perilaku (attitude) yang dapat diamati dan diterapkan secara kritis
untuk suksesnya sebuah organisasi dan prestasi kerja serta kontribusi pribadi
karyawan terhadap organisasinya.
13
Spencer & Spencer (1993) menyatakan bahwa kompetensi meliputi lima
komponen (Gambar 1), yaitu:
(1) Motives, tingkah laku seperti mengendalikan, mengarahkan, membimbing,
memilih untuk menghadapi kejadian atau tujuan tertentu.
(2) Traits, yaitu karakteristik fisik dan tanggapan yang konsisten terhadap
informasi atau situasi tertentu.
(3) Self Concept, yaitu sikap, nilai, atau imajinasi seseorang.
(4) Knowledge, informasi seseorang dalam lingkup tertentu. Komponen
kompetensi ini sangat kompleks. Nilai dari knowledge test, sering gagal untuk
memprediksi kinerja karena terjadi kegagalan dalam mengukur pengetahuan
dan kemampuan sesungguhnya yang diperlakukan dalam pekerjaan.
(5) Skills, yaitu kemampuan untuk mengerjakan tugas-tugas fisik atau mental
tertentu.
Gambar 1. Komponen Kompetensi (Spencer & Spencer 1993)
Komponen kompetensi motives dan traits disebut hidden competency,
karena sulit untuk dikembangkan dan sulit mengukurnya. Komponen kompetensi
knowledge dan skills disebut visible competency yang cenderung terlihat, mudah
dikembangkan dan mudah mengukurnya. Komponen kompetensi self concept
berada di antara kedua kriteria kompetensi tersebut.
Menurut Stone (Ruky 2003), model kompetensi memiliki tiga elemen kunci:
(1) Underlying Characteristics, kompetensi merupakan bagian integral dari
kepribadian seseorang.
(2) Causality, kompetensi dapat memprediksi perilaku dan kinerja.
Skills Knowladge
Self Concept Traits Motives
Visible
Hidden
The Iceberg Model
14
(3) Performance, kompetensi memprediksi secara nyata dan efektif.
Berhasil tidaknya kinerja seseorang tergantung dari kompetensi yang
dimilikinya, apakah sesuai atau matching dengan kompetensi yang menjadi
persyaratan minimal dari jabatan yang dipangkunya.
Konsep Kemandirian
Tanggungjawab agen penyuluhan di berbagai negara di dunia beragam.
Penyuluh di Amerika Serikat berperan sebagai pendidik, dan penyuluhan menjadi
bagian dari pendidikan orang dewasa. Tanggung jawab penyuluh di negara-negara
Eropa lebih kepada membantu petani atau klien dalam memecahkan masalahnya.
Peran penyuluh di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia lebih
ditekankan pada penggunaan teknologi modern seperti pupuk dan obat-obatan
kimia, sehingga ukuran keberhasilan penyuluhan dilihat dari tingkat produktivitas
hasil pertanian (van den Ban dan Hawkins 1999, dan Pretty 1995).
Model yang ketiga ini berhasil meningkatkan produksi pertanian pangan di
negara-negara berkembang, namun menimbulkan dampak kebergantungan petani
pada pihak di luar diri petani (Sumardjo 1999). Menurut van den Ban dan Hawkins
(1999), mendidik petani untuk meningkatkan efesiensi usaha dan meningkatkan
produksi memang penting, tetapi lebih penting lagi menolong petani memecahkan
masalahnya sendiri, meskipun diperlukan waktu dan dana yang lebih banyak.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan mandiri sebagai
keadaan dapat berdiri sendiri; tidak bergantung pada orang lain, dan kemandirian
berarti hal atau keadaan dapat berdiri sendiri tanpa bergantung pada orang lain.
Kemandirian dalam Bahasa Inggris banyak diterjemahkan sebagai self-reliance
(personal independence), self-direction, self-sufficiency, autonomy, independence,
independency - freedom from control or influence of another or others. (The
American Heritage® Dictionary of the English Language 2000).
Pemahaman tentang kemandirian tidak berarti bahwa tidak memerlukan
orang atau pihak lain, seperti yang dinyatakan oleh Slamet (2008), orang yang
mandiri adalah orang yang bisa bekerja sama dengan orang lain. Sumardjo (1999)
mengemukakan bahwa konsep tingkat kemandirian petani (farmer auotonomy)
sebagai petani yang secara utuh mampu memilih dan mengarahkan kesiapan
usahataninya sesuai dengannya kehendaknya sendiri, yang paling tinggi
15
manfaatnya, tetapi bukan berarti sikap menutup diri melainkan dengan rendah hati
menerima situasi masyarakat dan aturan-aturan yang ada di dalamnya. Berdasarkan
penjelasan ketiga konsep di atas, dibuat perbedaan ketiga konsep tersebut
berdasarkan unsur-unsurnya (Tabel 1).
Tabel 1. Perbedaan Konsep Kapasitas, Kompetensi, dan Kemandirian Unsur Kapasitas Kompetensi Kemandirian
Terminologi Kemampuan dalam menjalankan fungsi-fungsinya, memecahkan masalah dan membuat perencanaan
Segala bentuk perwujudan, ekspresi, dan representasi dari motif, pengetahuan, sikap, perilaku utama untuk melaksanakan pekerjaan sesuaidengan standar kinerja yang ditetapkan.
Kemampuan dalam mengambil keputusan secara otonom tanpa mengabaikan kerjasama dengan orang lain
Level Individu, kelompok, organisasi, sampai masyarakat
Cenderung pada tingkat individu yang nantinya mempengaruhi organisasi tempat individu tersebut bekerja
Individu, kelompok, organisasi, sampai masyarakat
Tujuan Mengidentifikasi kemampuan individu, kelompok, maupun organisasi dalam menjalankan fungsi-fungsinya.
Mengidentifikasi kinerja individu dalam organisasi apakah sesuai standar yang ditetapkan secara formal
Mengidentifikasi kemampuan individu, kelompok, atau organisasi dalam mengambil keputusan maupun bekerjasama dengan pihak lain.
Ruang lingkup Cenderung pada organisasi kemasyarakatan formal dan informal, maupun organisasi pemerintah
Organisasi formal swasta maupun pemerintah
Cenderung pada organisasi kemasyarakatan formal dan informal, maupun organisasi pemerintah
Target studi Anggota masyarakat di berbagai bidang/sektor
Individu dari semua tingkatan dalam struktur organisasi
Anggota masyarakat di berbagai bidang/sektor
Substansi Pada level masyarakat, mencakup kepemimpinan, partisipasi, pemberdayaan, jaringan sosial, nilai sosial, dan kemampuankolektif . Pada level organisasi terkait dengan aspek yang terkait dengan kepemimpinan, misi dan strategi, administrasi (termasuk sumber daya manusia, manajemen keuangan, dan hukum peraturan, kerjasama dan kolaborasi, evaluasi . Pada level individu mencakup aspek personal dan profesi, seperti kepemimpinan, keterampilan advokasi, kemampuan berbicara, keterampilan teknik, keterampilan mengorganisir, kesadaran, keterampilan, pengetahuan, motivasi, komitmen, dan kepercayaan diri.
Cenderung pada konteks profesi individu dalam organisasi, dengan komponen motif, trait, self concept, pengetahuan, dan keterampilanyang diwujudkaan dalam kinerja
Pemberdayaan, interaksi kerjasama.
16
Pengembangan Kapasitas
Pengembangan kapasitas menjadi isu utama dalam mekanisme kerjasama
internasional bagi pembangunan di negara-negara sedang berkembang. Dengan
menekankan pada kebutuhan negara berkembang dan prioritas pembangunan yang
berkelanjutan melalui proses partisipasi, dengan memperkuat sumberdaya manusia
dan kapasitas kelembagaan. Bagi negara sedang berkembang pengembangan
kapasitas berperan untuk meningkatkan perannya di dunia internasional.
UNDP (1998) mendefinisikan pengembangan kapasitas (capacity building)
atau pembangunan kapasitas (capacity development) sebagai mengembangkan
tingkatan kapasitas manusia dan lembaga.
Istilah capacity building muncul sejak tahun 1990 dari hasil perkembangan
istilah institutional building. Istilah institutional building sendiri terlahir pada awal
tahun 1970-an yang tercantum dalam buku petunjuk untuk staf UNDP (PBB) dan
agen pemerintah dalam penyelenggaraan kegiatan program pembangunan oleh
UNDP di negara-negara berkembang. UNDP mendefinisikan pengembangan
kapasitas sebagai penciptakan suatu kondisi yang sesuai melalui ketepatan
mekanisme kebijakan dan peraturan, pengembangan kelembagaan, partisipasi
masyarakat, pengembangan sumberdaya manusia, dan penguatan sistem manajerial,
seperti yang dinyatakan bahwa “capacity building as the creation of an enabling
environment with appropriate policy and legal frameworks, institutional
development, including community participation (of women in particular), human
resources development and strengthening of managerial systems.”
Morgan (2008) dan Linell (2003) menyatakan bahwa pengembangan
kapasitas memiliki arti yang lebih luas dari hanya sekedar sebagai pelatihan
(training), melainkan juga terkait dengan upaya pengembangan SDM dan
pengembangan organisasi. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
(a) Pengembangan sumberdaya manusia (SDM), yaitu proses melengkapi individu
dengan pemahaman, keterampilan, dan akses terhadap informasi, pengetahuan
dan pelatihan.
(b) Pengembangan organisasi, meliputi perluasan struktur manajemen, proses dan
prosedur, hubungan internal dan eksternal dengan organisasi dan sektor lain
(publik, swasta, dan komunitas).
17
Dilihat dari sisi level objek pengembangan kapasitas, Syahyuti (2006)
membagi menjadi tiga, yaitu (1) individu dan grup, (2) institusi dan organisasi, dan
(3) institusi secara keseluruhan mencakup institusi hukum, politik, serta kerangka
pikir ekonomi dan administratif.
Pengembangan kapasitas dapat dilakukan oleh pemerintah maupun oleh
masyarakat. Program-program pengembangan kapasitas oleh pemerintah umumnya
yang mengarah pada sektor publik, seperti pengurangan tingkat kemiskinan,
peningkatan kesehatan dan sektor publik lainnya. Pengembangan kapasitas
pemerintahan sangat ditentukan oleh pengembangan sumberdaya manusia, karena
dengan sumberdaya yang berkualitas maka akan menjadikan tata kelola
pemerintahan yang baik. Program-program pengembangan kapasitas oleh
masyarakat akan dapat tercapai jika dilandasi oleh asas transparansi dan
keberlanjutan (Linell 2003). Pelaksanan program pengembangan masyarakat juga
dapat dilaksanakan oleh organisasi berbasis masyarakat maupun oleh Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM). Strateginya dengan pelatihan pada tenaga-tenaga
sukarela dalam manajemen organisasi, menggunakan jaringan peer group,
membangun kerjasama,dan meningkatkan keterampilan mengakses donor.
Pada dasarnya pengembangan kapasitas harus mengedepankan peran
masyarakat bukan pihak di luar masyarakat, artinya bahwa pihak di luar masyarakat
hanya sebagai pihak yang memfasilitasi proses terbangunnya kapasitas masyarakat.
Menurut Morgan (2008), pengembangan kapasitas mencakup hal-hal berikut:
(1) Pengembangan kapasitas bukan pendidikan dan pelatihan atau transfer
teknologi, meskipun hal-hal tersebut sebagai alat untuk meningkatkan kapasitas.
(2) Pengembangan kapasitas bukan transfer pengetahuan dari tenaga ahli, tetapi
didasarkan pada konsep belajar bersama (co-learning), dan pengetahuan bisa
berasal dari masyarakat yang memiliki pengetahuan lebih.
(3) Proses pencapaian hasil dalam pengembangan kapasitas tidak ditentukan oleh
organisasi eksternal masyarakat.
Menurut Linnell (2003) dalam organisasi, pengembangan kapasitas terkait
dengan beberapa aspek yang terkait dengan bidang kerjanya, seperti peningkatan
tata pemerintahan, kepemimpinan, misi dan strategi, administrasi (termasuk sumber
daya manusia, manajemen keuangan, dan hukum peraturan), program
18
pembangunan dan implementasinya, peningkatan sumber pendanaan dan sumber-
sumber keuangan, penganekaragaman, kerjasama dan kolaborasi, evaluasi,
advokasi dan perubahan kebijakan, pemasaran, positioning, perencanaan dan
sebagainya. Untuk individu pengembangan kapasitas berhubungan dengan
pembangunan kepemimpinan, keterampilan advokasi, kemampuan berbicara,
keterampilan teknik, keterampilan mengorganisir yang terkait dengan aspek
personal maupun profesi.
Terkait dengan pembangunan yang berkelanjutan, Morgan (2008)
menyatakan bahwa aspek-aspek kapasitas masyarakat yang perlu dikembangkan
antara lain adalah kesadaran, keterampilan, pengetahuan, motivasi, komitmen, dan
kepercayaan diri.
Pengembangan kapasitas, menurut Syahyuti (2006), merupakan sebuah
bentuk respon menuju proses yang multi dimensi, tidak semata-mata hanya sekedar
teknik. Demikian juga menurut Linnell (1993), berbagai kapasitas yang harus
dibangun untuk ini adalah pembangunan intelektual, organisasional, sosial, politik,
kultural, material, maupun finansial.
Menurut Morgan (2008), keterampilan, aset, dan kekuatan yang dimiliki
oleh masyarakat harus dipersiapkan untuk mencapai tujuan masyarakat itu sendiri.
Terdapat 10 faktor yang memberikan sumbangan dalam meningkatkan kemampuan
masyarakat, yaitu: (1) kepemimpinan, (2) partisipasi masyarakat, (3) keterampilan;
(4) sumberdaya, (5) jaringan sosial dan organisasi, (6) sense of community, (7)
pemahaman sejarah komunitas, (8) kekuasaan komunitas, (9) nilai komunitas, dan
(10) critical reflection
Perspektif pengembangan kapasitas menurut Morgan (2008), bukan sebagai
suatu bentuk intervensi, dengan diukur dari sejauhmana sasaran objek dapat
menjalankan sesuai dengan guideline, tetapi lebih kepada bagaimana praktisi lebih
memahami kapasitas, memetakannya, menaksir, membantu membangun,
memonitor dan mengevaluasinya, serta lebih mencari jawaban atas mengapa dan
bagaimana bukan pada apa.
Dalam kaitannya dengan pembangunan masyarakat, konsep kapasitas harus
dipahami sebagai suatu nilai yang harus dipegang. Menurut Morgan (2008),
terdapat lima aspek utama konsep kapasitas, yaitu:
19
(1) Kapasitas terkait dengan pemberdayaan (empowerment) dan identitas
(identity), yang diperlukan agar organisasi atau sistem tetap bertahan, tumbuh
dan berkembang lebih kompleks. Itu semua membutuhkan kekuatan, kontrol,
dan ruang. Kapasitas dikembangkan bersama-sama dengan masyarakat dalam
mengontrol kehidupannya sendiri dalam berbagai bentuk.
(2) Kapasitas harus dikerjakan dengan kemampuan kolektif (collective ability),
seperti pengkombinasian atribut dalam sistem, pertukaran nilai, dan
membangun relasi yang kuat.
(3) Kapasitas sebagai suatu fenomena sistem yang bersifat tetap atau kondisional.
Kapasitas adalah sifat yang muncul sebagai efek interaksi. Sebagai hasil
yang dinamis seperti kombinasi kompleks antara perilaku, sumberdaya,
strategi, dan keterampilan.
(4) Kapasitas sebagai keadaan yang potensial. Kapasitas bersifat laten bertolak
belakang dengan energi kinetik. Berbeda dengan kinerja yang memiliki arti
implementasi atau hasil dari aplikasi/penggunaan kapasitas. Sebagai kualitas
laten kapasitas sulit dinyatakan secara jelas, sehingga sulit untuk ditetapkan,
dikelola, dan diukur. Dengan demikian diperlukan pendekatan yang berbeda
untuk pengembangan, pengelolaan, perkiraan, dan monitoring.
(5) Kapasitas sebagai kreasi nilai masyarakat (creation of public value).
Kapasitas yang bernilai kekuatan, kontrol, dan sumberdaya dinyatakan
sebagai kemampuan suatu kelompok atau sistem yang memberikan kontribusi
yang positif bagi kehidupan masyarakat.
Lebih lanjut Morgan (2008) menyatakan bahwa secara alami kapasitas
memiliki empat aspek, yaitu sebagai berikut:
(1) Memiliki komponen atau elemen dasar, berupa: sumberdaya keuangan, struktur,
informasi, budaya, lokasi, nilai dan sebagainya.
(2) Mengarah pada kompetensi yang fokus pada energi, keterampilan, perilaku,
motivasi, pengaruh, dan kemampuan individu.
(3) Istilah kemampuan (capabilities) yang mencakup bidang yang luas tentang
keterampilan yang kolektif, baik secara teknis dan logistik ”lebih keras”
(analisis kebijakan, perkiraan sumberdaya perikanan, manajemen keuangan)
20
dan generatif ”lebih lunak” (kemampuan memperoleh legitimasi, adaptasi,
menciptakan arti dan identitas).
(4) Kapasitas memiliki arti seluruh kemampuan (ability) suatu sistem untuk
menciptakan nilai.
Berdasarkan berbagai konsep pengembangan kapasitas di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa pengembangan masyarakat memiliki arti sebagai berikut:
(1) Pengembangan kapasitas merupakan suatu proses.
(2) Pengembangan kapasitas sebagai suatu peningkatan kemampuan individu,
kelompok maupun organisasi.
(3) Asas-asas yang dianut dalam pengembangan masyarakat adalah penghargaan
pada potensi diri seseorang, keterbukaan, kerjasama, dan keberlanjutan .
(4) Pengembangan kapasitas memiliki konteks yang terkait dengan perubahan
yang harus dihadapi oleh individu, kelompok maupun organisasi.
(5) Sumberdaya manusia menjadi fokus utama dalam pengembangan kapasitas.
(6) Aktor pelaksana kegiatan pengembangan kapasitas bisa pemerintah atau
organisasi masyarakat.
Faktor-Faktor Karakteristik Internal yang Mempengaruhi Kapasitas
Tingkat kapasitas yang ada pada diri seorang pembudidaya ikan dipengaruhi
oleh faktor yang berasal dari dalam dirinya maupun dari lingkungan di luar dirinya,
terutama dari lingkungan kelompok tempat dirinya hidup.
Karateristik personal sebagai faktor internal akan mempengaruhi
kemampuan seseorang dalam menjalankan pekerjaannya. Dalam hal ini termasuk
petani, nelayan, maupun pembudidaya ikan yang melakukan usahanya. Beberapa
penelitian menunjukkan hal ini, diantaranya yang dilakukan oleh Chianu dan Tjujii
(2005) di Nigeria, usia muda dan pendidikan lebih tinggi cenderung memiliki
kemampuan untuk menerapkan inovasi yang diperkenalkan. Demikian pula
penelitian Kposowa (1996) di Maryland, Amerika Serikat menunjukkan bahwa luas
lahan, pengetahuan, pengalaman usaha, persepsi tentang praktek pemupukan tanah,
dan keterampilan teknis mempengaruhi kemampuannya dalam menerapkan pupuk
organik dalam usahanya.
21
Faktor-faktor karakteristik internal yang diduga akan mempengaruhi
kapasitas diri pembudidaya ikan dalam mengelola usahanya adalah umur,
pendidikan formal, pendidikan non formal, pengalaman kerja, tanggungan keluarga,
pendapatan, dan luas skala usaha.
Umur
Secara demografi pembagian umur seseorang didasarkan atas umur
produktif dan umur tidak produktif. Umur produktif berkisar antara 15 sampai 65
tahun, dan sebaliknya di bawah 15 tahun dan di atas 65 tahun digolongkan sebagai
tidak produktif. Pengertian produktif sendiri terkait dengan kemampuannya bekerja
untuk memperoleh pendapatan atas pekerjaannya tersebut.
Umur juga berpengaruh terhadap kemampuan seseorang belajar. Umur 15-
45 tahun sebagai puncak seseorang menyerap pelajaran dengan baik. Lepas dari
umur 45 tahun retensi belajar sesorang mulai mengalami penurunan
(Padmowihardjo 1994). Oleh karenanya, proses pembelajaran dalam penyuluhan
akan lebih efektif jika peserta belajar berada pada selang umur puncak tersebut,
walaupun tidak berarti pada umur yang lebih tua seseorang tidak bisa belajar.
Beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan, umur
memberikan pengaruh terhadap kemampuan seseorang dalam menjalankan suatu
hal. Penelitian Abdullah dan Jahi (2006) memperlihatkan bahwa umur petani
sayuran berhubungan dengan pengetahuannya tentang pengelolaan usahatani
sayuran di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Penelitian Batoa et al. (2008) juga
memperlihatkan bahwa umur berhubungan dengan kompetensi petani rumput di
Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Umur juga berhubungan positif dengan
keberdayaan petani sayuran di Sulawesi Selatan (Hakim dan Sugihen 2006).
Pendidikan
Pendidikan merupakan usaha sadar dan sistematis untuk mencapai taraf
hidup atau kemajuan yang lebih baik. Pada akhirnya pendidikan bertujuan untuk
menjadikan seseorang menjadi anggota masyarakat tempat dia tinggal,
sebagaimana yang dinyatakan UNESCO dengan Empat Empat Pilar Pendidikan,
yaitu sebagai berikut: (a) learning to know: belajar untuk mengetahui; (b) learning
to do: belajar untuk berbuat; (c) learning to be: belajar untuk menjadi dirinya
22
sendiri; dan (d) learning to live together: belajar untuk hidup bersama dengan orang
lain.
Tujuan pendidikan menurut United Nations for Development Programme
(UNDP) dalam “Human Development Report 1999” yang dikenal dengan istilah
The Seven Freedoms adalah sebagai berikut:
(1) Freedom from discrimination: bebas dari perlakuan yang diskriminatif.
(2) Freedom from fear: bebas dari ketakutan.
(3) Freedom of thought, speech and participate: bebas untuk berpikir, berbicara
dan berpartisipasi.
(4) Freedom from want: bebas dari berbagai keinginan.
(5) Freedom to develop and realize: bebas untuk mengembangkan dan merealisasi
(idea).
(6) Freedom from injustice and violations: bebas dari ketidakadilan dan kekerasan.
(7) Freedom from undecent work: bebas dari pekerjaan yang tidak patut.
Undang-undang Dasar tahun 1945, pasal 31 ayat (3) secara eksplisit
menyebutkan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak
mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-
undang. Tujuan pendidikan menurut UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)
Nomor 20 Tahun 2003 pasal 3, adalah untuk mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, serta untuk mengembangkan potensi peserta
didik supaya menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab
Konsep pendidikan terbagi menjadi tiga jenis, yaitu pendidikan formal,
pendidikan non formal, dan pendidikan informal. Pendidikan formal mengacu pada
makna pendidikan bangku sekolah, artinya pendidikan yang diselenggarakan di
sekolah formal, sedangkan pendidikan non formal diperoleh di luar sekolah, dan
pendidikan informal sebagai pendidikan sosialisasi dalam keluarga.
Penyuluhan merupakan pendidikan non formal (Wiriaatmadja 1983).
Adapun konsep pendidikan non formal yang disarikan dari tulisan Tarigan (Harian
23
Analisa, Senin 5 Januari 2009) adalah sebagai berikut: (a) Pendidikan non formal
atau pendidikan luar sekolah (PLS) yang didalamnya ada life skill merupakan usaha
sadar untuk menyiapkan, meningkatkan, dan mengembangkan sumberdaya manusia
agar memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap, dan daya saing; (b) Pendidikan
non formal bertugas untuk menyiapkan SDM yang memiliki kebiasaan siap
menghadapi perubahan sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang berkembang pesat; (c) Ciri-ciri pendidikan non formal berkaitan dengan misi
yang mendesak dan praktis, tempatnya di luar kelas, bukti memiliki pengetahuan
adalah keterampilan, tidak terkait dengan ketentuan yang ketat, peserta bersifat
sukarela, merupakan aktivitas sampingan, biaya pendidikan lebih murah,
persyaratan penerimaan peserta lebih mudah; dan (d) Tujuan pendidikan non
formal adalah peserta didik dapat memiliki yang diperlukan oleh masyarakat.
Pendidikan berpengaruh pada kemampuan seseorang dalam menjalankan
suatu pekerjaan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh
ataupun hubungan antara pendidikan formal dengan kompetensi petani dan
peternak mengelola usahanya (Muatip et al. 2008, Batoa et. al 2008, Domihartini
dan Jahi 2005, Abdullah dan Jahi 2006). Demikian pula pendidikan non formal
berhubungan dengan kemampuan petani dalam mengelola usahataninya (Kustiari et
al. 2006)
Pengalaman Usaha
Pengalaman usaha secara umum diartikan sebagai pengalaman seseorang
yang diperoleh selama menjalankan suatu kegiatan usaha. Pengalaman terkait
dengan dimensi waktu dan proses belajar yang didapatkan dalam selang waktu
tersebut. Artinya bahwa semakin sering seseorang mengalami proses belajar,
maka secara gradual akan semakin banyak memperoleh pengalaman. Havelock
(1969) menyatakan bahwa pengalaman masa lalu yang dimiliki oleh seseorang akan
mempengaruhi kecenderungannya untuk merasa memerlukan dan siap menerima
pengetahuan baru
Berdasarkan teori-teori perkembangan, pengalaman hidup seseorang
diperoleh selama proses kehidupannya. Pada teori biologis yang dipengaruhi oleh
pemikiran Charles Darwin dinyatakan bahwa faktor perkembangan manusia
dipengaruhi oleh faktor naturitas. Arnold Gessel menyatakan bahwa perkembangan
24
diarahkan oleh faktor dari dalam-maturasi biologis (berjalan, berbicara, kontrol
diri). Teori psikoanalisa dari Segmund Freud menyatakan bahwa perilaku dan
proses mental manusia dimotivasi oleh kekuatan-kekuatan dan konflik dari dalam,
dan manusia memiliki sedikit kesadaran dan kontrol atas kekuatan tersebut. Dalam
hal ini pengalaman awal mempengaruhi perkembangan kepribadian berikutnya.
Erikson dengan teori psikososial-nya menyatakan bahwa perkembangan
kepribadian manusia terjadi sepanjang rentang kehidupan, dan dipengaruhi oleh
interaksi sosial.
Tingkat pengalaman petani dalam mengelola usahatani berhubungan dengan
kemampuannya dalam menjalankan usahataninya tersebut, seperti yang ditunjukkan
dari penelitian Batoa et al. (2008), Domihartini dan Jahi (2005), Abdullah dan Jahi
(2006), Kustiari et al. (2006), serta Putra et al. (2006).
Pendapatan
Secara umum pendapatan diartikan sebagai penghasilan yang diperoleh
seseorang atau rumah tangga dalam satuan waktu, bisa harian, mingguan, bulanan,
maupun tahunan. Pendapatan merupakan salah satu indikator kesejahteraan rumah
tangga. Artinya bahwa semakin tinggi pendapatan, maka semakin tinggi
kesejahteraan rumah tangga tersebut. Sebaliknya, semakin rendah pendapatan,
maka semakin rendah pula kesejahteraannya. Pendapatan juga menjadi salah satu
komponen pengukur Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human
Development Index (HDI), dengan ukuran pengeluaran per kapita real. Dengan
demikian dengan mengetahui pendapatan akan diketahui tingkat kualitas SDM dari
suatu daerah atau negara.
Ada dua pendekatan yang digunakan untuk mengukur pendapatan, yaitu
dari sisi penerimaan dan sisi lain dari pengeluaran. PBB menggunakan sisi
penerimaan, yaitu dengan penerimaan sebesar 2 dollar US per hari, yang berarti jika
pendapatan seseorang dalam satu rumah tangga kurang dari nilai tersebut, maka dia
dapat dikatakan miskin. Pengukuran pendapatan dari sisi pengeluaran, salah
satunya diukur dengan garis kemiskinan Sajogyo yaitu dengan mengukur jumlah
pengeluaran setara harga beras di wilayah perkotaan dan pedesaan.
Pendapatan rumah tangga pembudidaya ikan diperoleh dari usaha
akuakultur yang digelutinya. Pendapatan ini bisa bersifat pendapatan utama,
25
artinya sebagian besar pendapatan diperoleh dari hasil usaha akuakultur, maupun
sebagai pendapatan sampingan apabila hanya sebagian kecil pendapatannya
diperoleh dari luar kegiatan akuakultur.
Pendapatan yang tinggi memberi peluang seorang pembudidaya untuk
meningkatkan kapasitasnya menjalankan kegiatan akuakultur yang dilakukannya.
Asumsinya adalah semakin tinggi pendapatan, maka semakin tinggi pula
kemungkinan mengakses berbagai sumberdaya yang berguna untuk meningkatkan
kapasitasnya. Di Tanzania pembudiaya ikan yang dinilai berhasil jika memperoleh
pendapatan yang tinggi dari usaha budidaya ikan (Edwards dan Demaine 1998).
Hasil kajian empiris menunjukkan, pendapatan memiliki pengaruh yang
positif terhadap kapasitas seseorang. Penelitian Abdullah dan Jahi (2005)
memperlihatkan, pendapatan petani sayuran berhubungan dengan pengetahuannya
tentang pengelolaan usahatani.
Skala Usaha
Skala usaha menunjukkan luas usaha yang dikelola oleh seeorang, baik
milik sendiri maupun milik orang lain. Pada masyarakat pedesaan pemilikan usaha
diindikasikan dari luas lahan yang dimilikinya, untuk usaha akuakultur dengan luas
kolam yang dimilikinya, sedangkan pada usaha ikan hias selain dari kolam juga
dari jumlah akuarium.
Secara sosiologis, luas lahan yang dimiliki seseorang menunjukkan
tingkatan struktur sosial seseorang dalam masyarakatnya. Menurut Sajogyo (Tony
et al. 2000), pemilikan lahan sebagi sumber kekuasaan pada masyarakat pedesaan.
Dengan demikian pada masyarakat pembudidaya ikan, seseorang yang memiliki
skala usaha yang luas akan menduduki peringkat sosial ekonomi yang lebih tinggi
dalam komunitasnya. Skala usaha juga bisa menunjukkan keberhasilan seseorang
dalam mengelola usahanya, karena mereka yang berhasil dalam usahanya akan
menginvestasikan keuntungannya untuk memperluas skala usahanya. Di Tanzania
pembudidaya ikan dianggap berhasil selain dari nilai pendapatannya yang
meningkat, juga adanya peningkatan jumlah kolam ikan dan mampu menyediakan
benih ikan untuk pembudidaya ikan yang lain.
Hubungan antara skala usaha dengan kapasitas pembudidaya ikan dalam
mengelola usahanya dapat dijelaskan bahwa pembudidaya ikan yang memiliki
26
skala usaha yang luas cenderung akan memiliki peluang lebih besar untuk
meningkatkan kapasitasnya dengan berbagai macam cara. Dalam sektor pertanian
terbukti bahwa terdapat hubungan yang positif antara skala usaha dengan
kompetensi atau kemampuannya dalam pengelolaan usaha (Batoa et. al 2008,
Domihartini dan Jahi 2005, Abdullah dan Jahi 2006).
Penyuluhan dan Pengembangan Kapasitas
Sejarah Penyuluhan
Istilah penyuluhan dimulai dari univesitas, yaitu dengan adanya istilah
“extension university” atau “extension of the university” yang dipergunakan di
Inggris pada tahun 1840-an. Sekitar tahun 1867-1868 James Stuart dari Trinity
College (Cambridge) untuk pertamakalinya memberikan ceramah kepada
perkumpulan wanita dan perkumpulan pekerja pria di Inggris Utara. Stuart
kemudian dianggap sebagai bapak penyuluhan. Stuart mengusulkan pada
Universitas Cambridge agar penyuluhan dijadikan mata kuliah. Tahun 1873
Universitas Cambridge secara resmi menerapkan sistem penyuluhan, yang
kemudian diikuti oleh Universitas London (1876) dan Universitas Oxford (1878).
Menjelang tahun 1880 kegiatan ini telah menjadi gerakan penyuluhan tempat
perguruan tinggi melebarkan sayapnya ke luar kampus.
Sejak awal abad 20 istilah penyuluhan pertanian mulai digunakan secara
umum di Amerika Serikat untuk menunjukkan bahwa sasaran pengajaran di
universitas tidak hanya terbatas di lingkungan kampus tetapi diperluas sampai ke
semua kelompok masyarakat. Penyuluhan dapat dikatakan sebagai bentuk
pendidikan untuk orang dewasa yang menempatkan pengajar dari universitas.
Bertahun-tahun hal ini menjadi kegiatan akademik fakultas pertanian yang
menempatkan tenaga penyuluh di setiap negara bagian. Seiring dengan
menurunnya jumlah petani, dinas penyuluhan kemudian berupaya melayani semua
warga negara dengan memberikan informasi yang tersedia dari beragai sumber di
universitas.
Saat ini sebagian negara berbahasa Inggris menggunakan istilah-istilah
Amerika untuk kata “penyuluhan,” tetapi sebagian kehilangan makna
pendidikannya. Tujuan penyuluhan bagi mereka adalah menjamin agar
27
peningkatan produksi pertanian dicapai dengan cara merangsang petani untuk
memanfaatkan teknologi produksi modern dan ilmiah yang dikembangkan melalui
penelitian (van den Ban dan Hawkins, 1999).
Sejarah penyuluhan di Indonesia tidak lepas dari dimulainya pembangunan
pertanian di masa penjajahan Belanda, yaitu dengan didirikannya Kebun Raya di
Bogor oleh C.G.L. Reinwardt pada tanggal 17 Mei 1817. Pada saat itu
diperkenalkan banyak jenis tanaman baru yang diintroduksikan ke masyarakat
petani yang berupa, kelapa sawit, ketela pohon, dll sekitar 50 jenis (Wiriaatmadja,
1983).
Pada tahun 1905 Departemen Pertanian, Kerajinan dan Perdagangan
didirikan atas usul Treub. Tugasnya antara lain melaksanakan kegiatan
penyuluhan. Akan tetapi tugas tersebut dilaksanakan melalui Pangreh Praja yang
mendasarkan kegiatan atas perintah-perintah kepada petani. Namun, pada tahun
1921 Dinas Penyuluhan Pertanian (Landbouw Voorlichtings Dients: LVD)
dilepaskan dari Pangreh Praja, dan berdiri sendiri bertanggung jawab pada
Departemen Pertanian. Dinas ini tidak hanya menangani penyuluhan dalam bidang
tanaman pangan saja melainkan juga tanaman perkebunan dan bahkan perkreditan.
Masa pendudukan Jepang, penyuluhan pertanian dapat dikatakan tidak ada,
karena para petani praktis dipaksa menanam bahan pangan dan bahan strategis
lainnya dalam ekonomi peperangan. Selanjutnya pada masa sistem negara
terpimpin (1959-1968) penyuluhan pertanian didasarkan pada penggerakan masa,
dengan menggunakan metode yang bersifat massal bukan perorangan, sistem
tetesan minyak diganti dengan tumpahan air sehingga semua kecipratan.
Masa orde baru (1968-1979), pembangunan pertanian maju pesat termasuk
dalam hal penyuluhan. Organisasi-organisasi penyuluhan dibentuk untuk
membantu masyarakat petani mengembangkan usahanya, seperti BPP (Balai
Penyuluhan Pertanian) beserta perangkatnya, seperti PPL (Penyuluh Pertanian
Lapang), PPM (Penyuluh Pertanian Madya), Penyuluh Pertanian Spesialis (PPS),
dll. Peningkatan produksi pangan yang cukup signifikan juga tidak lepas dari peran
penyuluhan, dengan penyuluhan teknologi-teknologi pertanian yang bersifat
intensif menyebabkan meningkatnya produktivitas tanaman pangan, seperti panca
28
usaha tani yang diperkenalkan kepada para petani. Intoduksi panca usaha tani ini
dikenal sebagai program Bimas (Bimbingan Massal).
Penyuluhan perikanan pada awalnya tergabung dalam penyuluhan
pertanian, karena memang perikanan sebagai sub sektor pertanian. Namun, sejak
tahun 2000 perikanan dan kelautan menjadi sektor tersendiri lepas dari pertanian
seiring dengan dibentuknya Departemen Kelautan dan Perikanan sesuai dengan
Keputusan Presiden Nomor 165 Tahun 2000 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Wewenang, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Departemen, dan
penyempurnaannya Keputusan Presiden Nomor 177 Tahun 2000 tentang Susunan
Organisasi dan Tugas Departemen.
Perkembangan Paradigma Penyuluhan
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) memberikan arti paradigma sebagai
model dalam teori ilmu pengetahuan dan kerangka berpikir. Dengan demikian
dapat dinyatakan bahwa dalam makna paradigma terdapat unsur-unsur: ilmu
pengetahuan dan pola berpikir. Terkait dengan konsep penyuluhan, maka
paradigma penyuluhan dapat dimaknai sebagai cara memandang suatu konsep
penyuluhan yang didasarkan atas alur berpikir yang rasional.
Cara pandang seseorang atau sekelompok orang terhadap penyuluhan dari
masa ke masa mengalami perubahan, seiring dengan perubahan jaman. Cara
pandang ini dibagi menjadi paradigma lama dan paradigma baru. Hal yang
mendasar yang membedakan kedua paradigma ini antara lain dalam hal memaknai
filosofi penyuluhan itu sendiri, sehingga rentetannya adalah dalam mengaplikasikan
konsep penyuluhan dalam masyarakat. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006
tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan meneguhkan
kedudukan petani, pembudidaya ikan, dan masyarakat sekitar hutan yang setara,
seperti adanya asas demokrasi, manfaat, kesetaraan, keterpaduan, keseimbangan,
keterbukaan, kerjasama, partisipatif, kemitraan keberlanjutan, berkeadilan,
pemerataan, dan bertanggung gugat.
Paradigma Lama Penyuluhan
Paradigma lama penyuluhan antara lain dicirikan oleh peran pemerintah
yang lebih besar dalam proses kegiatan penyuluhan, dengan pengabaian terhadap
29
partisipasi masyarakat (van den Ban dan Hawkins 1999). Metode yang
dikembangkan cenderung top down, dengan bentuk komunikasi bersifat linier, dan
menempatkan petani lebih sebagai komunikan dan aparat sebagai komunikator
(Soemardjo 1999).
Pandangan lama penyuluhan pada awalnya dimunculkan dari model vertikal
(top-down) yang menunjukkan adanya arah penyuluhan secara linier dari atas ke bawah
(Gambar 2). Model ini berimplikasi pada masalah yang dihadapi petani-pembudidaya ikan
diputuskan oleh peneliti yang dibuat di laboratorium atau kebun percobaan. Selanjutnya,
dari hasil percobaan tersebut ditransferkan ke petani melalui penyuluh (Rhoades 1990).
Pendekatan berorientasi produksi, komoditas, dan proyek yang dinyatakan oleh
Axinn (1988) juga dapat dikatakan sebagai pendekatan penyuluhan yang menggunakan
paradigma lama. Menurut Axinn (1988), pendekatan produksi memiliki ciri-ciri: (a)
tujuan penyuluhan adalah meningkatkan produksi, (b) perencanaan dibuat secara
terpusat oleh pemerintah “yang lebih tahu dibandingkan petani,” (c) bersifat top
down planning, (d) jumlah penyuluh lapang sangat banyak dan dibiayai dari
pemerintah, (e) keberhasilan penyuluhan diukur dari tingkat adopsi inovasi yang
dianjurkan dan peningkatan produksi secara nasional, (f) umumnya penyuluhan
pertanian berada di bawah wewenang Menteri Pertanian, dan penyuluh lapang
berada di hierarki paling bawah, (g) informasi bersifat satu arah dan pesan yang
Penelitian – Penyuluhan
Pengetahuan
Transfer
Adopsi
Difusi
Gambar 2. Model Penyuluhan Linier (Rhoades 1990)
30
disampaikan tidak bersifat lokalit, (h) hanya sedikit petani yang memperoleh
manfaat, yaitu mereka yang memiliki skala usaha yang luas, dan (i) petani hanya
menerima informasi dari satu sumber.
Pendekatan komoditas pada penyuluhan menitikberatkan seluruh fungsi
pada suatu komoditas tertentu, termasuk di antaranya penyuluhan, riset, suplai
input, pasar, dan harga (Axinn 1988), dengan ciri-ciri sebagai berikut: (a)
perencanaan dibuat oleh suatu organisasi yang berkecimpung dalam komoditas
tertentu dan bertujuan untuk meningkatkan produksi komoditas tertentu, (b)
adanya pelatihan personal secara intensif dan memperkerjakan banyak tenaga
lapang yang terlatih, (c) teknik-teknik produksi diperkenalkan kepada petani yang
ditujukan untuk meningkatkan keuntungan finansial, dan didemonstrasikan pada
lahan milik petani sendiri, (d) disediakan skim kredit dan input-input produksi, (e)
memperhitungkan rasio antara input produksi dengan nilai jual yang diterima
petani, (f) teknologi disampaikan tepat waktu, karena rentang waktu teknologi
terbatas, serta (g) perhatian pemerintah diprioritaskan pada “organisasi komoditas”
(commodity organization) bukan pada petani.
Pendekatan proyek yang dinyatakan oleh Axinn (1988) memiliki ciri-ciri:
(a) membutuhkan campur tangan dari pihak luar masyarakat yang lebih banyak
dalam memperkenalkan teknologi baru, (b) kontrol proyek dilakukan oleh
pemerintah pusat, dan seringkali input dana dan teknik berasal dari lembaga donor
internasional, dan (c) keberhasilan program diukur dari adanya perubahan jangka
pendek (short-term).
Model penyuluhan yang masih mengarah pada paradigma lama penyuluhan
lain adalah model horisontal (Gambar 3). Pada model ini peran peneliti dan
penyuluh masih sangat kuat, masyarakat petani hanya bersifat pasif menerima
informasi (Rhoades 1990).
Gambar 3. Model Penyuluhan Horisontal (Rhoades 1990)
Penerapan model horisontal dikembangkan di negara-negara sedang
berkembang di dunia melalui program-program peningkatan pangan yang
Peneliti Penyuluh Petani-Pembudidaya ikan
31
disponsori oleh Bank Dunia pada tahun 1970-an, yang dikenal dengan metode LA-
KU (Latihan dan Kunjungan) atau T&V (Training and Visit). Menurut Ejembi et.al
(2006) metode LAKU merupakan kombinasi beberapa faktor, yaitu teknologi yang
tepat, penyampaian pesan yang tepat waktu dan efesien, kontak petani dan
penyuluh yang intensif, dan pelatihan berkala.
Axinn (1988) menguraikan tentang karakteristik pendekatan LAKU, yaitu:
(1) tujuan pendekatan LAKU adalah membujuk petani untuk meningkatkan
produksi tanaman tertentu; (2) perencaaan dibuat oleh pemerintah pusat, dan
penyuluh lapang berasal dari pusat;(3) pelatihan diberikan kepada penyuluh lapang
dan penyuluh lapang melakukan kunjungan lapang secara intensif; (4) keberhasilan
program diukur dari peningkatan produksi tanaman yang diprogramkan; (5)
diperlukan pelayanan terpadu dan penyuluh lapang yang terjun langsung menemui
petani, sehingga diperlukan biaya besar untuk supervisi teknik dan dukungan
logistik; dan (6) komunikasi dua arah sangat terbatas dan cenderung kurang
fleksibel.
Kritik terhadap metode LAKU adalah hanya berfokus pada tanaman pangan
saja, tidak memperhatikan kebutuhan petani miskin, pendekatan yang sangat top
down, memerlukan biaya yang sangat besar, dan kurang memperhatikan aspek
ekonomi dan pemasaran (Ilevbaoje 2004).
Pendekatan penyuluhan lain yang tergolong pada paradigma lama
penyuluhan dan cenderung bersifat horisontal adalah pendekatan pembangunan
sistem pertanian (the farming system development approach). Menurut Axinn
(1988), asumsi yang digunakan dalam pendekatan FSDA adalah teknologi yang
tersedia tidak sesuai dengan kebutuhan petani, khususnya untuk petani skala kecil,
sehingga perencanaan harus dibuat secara perlahan-lahan dan disesuaikan dengan
kondisi masing-masing agroklimat ekosistem pertaniannya. Pendekatan ini
diimplementasikan melalui kerjasama antara peneliti dan penyuluh. Analisis dan
percobaan lapang dilakukan di lahan milik petani. Ukuran keberhasilan dilihat dari
tingkat pengadopsian petani terhadap teknologi yang diperkenalkan dan
keberlanjutan pengadopsiannya. Kontrol program dilakukan secara bersama antara
petani, penyuluh, dan peneliti. Lebih lanjut Axinn (1988) menyatakan bahwa
kelebihan pendekatan ini adalah adanya hubungan yang erat (strong linkages)
32
antara penyuluh dan peneliti, dan komiten yang tinggi dari petani untuk
menerapkan teknologi yang diperkenalkan. Kelemahannya adalah membutuhkan
biaya tinggi dan waktu yang lama untuk dapat melihat hasilnya.
Penerapan berbagai model penyuluhan yang cenderung top down tersebut,
sedikit banyak memunculkan persepsi penyuluhan yang kurang tepat, yang pada
akhirnya dapat menjadi cara memandang (paradigma) penyuluhan yang juga
kurang tepat. Menurut Sumardjo (2007), beberapa persepsi penyuluhan yang
kurang tepat yang perlu diluruskan antara lain: (1) Penyuluhan diidentikkan
dengan penerangan, sehingga sudah dirasa cukup jika penyuluhan dilakukan
dengan ceramah, pidato, dan penjelasan yang sifat komunikasinya searah, yang
bersifat merubah ranah kognitif; (2) Penyuluhan diidentikkan dengan komunikasi
yang non dialogis, dengan sifat interaksi cenderung anjuran dan instruktif untuk
mengikuti anjuran-anjuran pemerintah dalam rangka pencapaian target-target
pemerintah; (3) Penyuluhan diidentikkan dengan proses perencanaan yang bersifat
top down, dengan diwarnai oleh kepentingan-kepentingan tertentu yang bukan
kepentingan petani; (4) Penyuluhan diidentikkan dengan proses indoktrinasi,
dengan adanya kewajiban petani untuk menggunakan teknologi yang telah
ditetapkan pemerintah; (5) Penyuluhan diidentikkan dengan proses dogmatis, yang
memandang sesuatu yang dari luar lebih baik, sehingga indigenous knowledge
terabaikan dan tergantikan oleh transfer of knowledge atau transfer of technology;
(6) Penyuluhan diidentikkan dengan proses menggurui, dengan menggunakan
asumsi bahwa petani harus dirubah sesuai dengan target-target yang telah
ditetapkan; (7) Penyuluhan diidentikkan dengan proses rekayasa sosial oleh pihak
luar, muncul dari pemahaman bahwa sasaran penyuluhan sebagai objek dan bukan
subjek perencanaan; dan (8) Penyuluhan diidentikkan dengan proses yang
berorientasi target pemerintah.
Paradigma Baru Penyuluhan
Paradigma baru penyuluhan memandang bahwa petani atau pembudidaya
ikan merupakan aktor penting dalam mencapai pembangunan yang berkelanjutan,
sehingga pendekatan penyuluhan yang digunakan bersifat partisipatori. Pendekatan
partisipatif memberikan peran yang tinggi pada petani atau pembudidaya untuk
bersama-sama dengan penyuluh ataupun peneliti untuk mengembangkan program
33
pembangunan mulai dari tahap mengidentifikasi masalah, merencanakan,
melaksanakan hingga tahap mengevaluasinya. Rhoades mengembangkan model
partisipatif yang menjadikan program relevan dengan kondisi masyarakat lokal
(Gambar 4).
4. Evaluasi hasil penelitian dan adaptasioleh petani
1. Diagnosa masyarakat lokal dengan peneliti
3 Adaptasi di stasiun penelitian/lapangan
2. Penyelesaian masalah secara terpadu
Gambar 4. Model dari Petani untuk Petani (Rhoades 1990)
Partisipasi petani dalam program pembangunan juga terkait dengan
keikutsertaannya dalam pembiayaan. Axinn (1988) menyebutkan adanya
pendekatan pembagian biaya (the cost sharing approach). Pada pendekatan ini
masyarakat lokal ambil bagian dalam membiayai program penyuluhan.
Pengawasan dan perencanaan dilakukan bersama dan bersifat responsif terhadap
keinginan masyarakat setempat. Kesuksesan program yang diterapkan diukur dari
kemauan petani dan kemampuan petani untuk menyediakan sebagian biaya
program. Masalah yang dihadapi dengan pendekatan ini adalah jika petani lokal
dipaksa untuk berinvestasi pada perusahaan yang tidak terbukti hasilnya.
Menurut Rajashree (2005), model penyuluhan lama yang berbasis pada
intervensi pemerintah yaitu pemerintah yang mengorganisasi, membiayai
penyuluhan, dan menyediakan tenaga penyuluh berakibat pada biaya tinggi dengan
dampak program penyuluhan yang kecil, dan bisa terjadi konflik kepentingan
antara tujuan pemerintah dengan kebutuhan petani. Bagi penyuluh yang dirasakan
Pengetahuan lokal dan masalah
Pendefinisian masalah secara umum
Penyelesaian dengan adaptasi
Penyelesaian masalah
34
adalah rasa ketidakpuasan atas insentif yang diberikan, karena tidak jelas sistem
reward yang diterapkan dengan kinerjanya.
Pola-pola komunikasi yang dikembangkan pada pendekatan partisipatif
bersifat setara, egaliter, dan konvergen dengan adanya pemahaman masing-masing
tanpa ada unsur pemaksaan. Sumber informasi tidak harus bersumber dari luar diri
petani, melainkan justru dikembangkan dari potensi yang dimiliki petani yang
selanjutnya disebarluaskan di antara sesama mereka.
Menurut Axinn (1988), asumsi yang digunakan dalam pendekatan
partisipatif adalah petani telah terampil dalam mengelola lahannya, tetapi
kesejahteraan hidupnya masih rendah yang bisa ditingkatkan dengan penambahan
pengetahuan. Partisipasi aktif dari diri petani sangat dipentingkan yang nantinya
akan memberikan efek pada penguatan kelompok. Sebagian besar pekerjaan
dilakukan melalui pertemuan kelompok, demonstrasi, kunjungan individu dan
kelompok, dan pertukaran teknologi lokal. Kesuksesan diukur dari jumlah petani
yang berpartisipasi dan kontinuitas program. Terdapat kombinasi antara
pengetahuan setempat (indigenous knowladge) dengan ilmu pengetahuan (science).
Penekanan pada kebutuhan petani sasaran.
Sistem ini membutuhkan penyuluh yang juga sebagai animator dan
katalisator, dan menstimulasi petani mengukuhkan kelompok. Masyarakat lokal
yang mengevaluasi programnya sendiri dan berperan dalam penelitian. Pendekatan
penyuluhan partisipatori membutuhkan biaya lebih rendah, sesuai dengan
kebutuhan, dan lebih efesien. Namun demikian, membutuhkan usaha lebih banyak
dari penyuluh untuk mengorganisir dan memotivasi petani. Oleh karenanya,
diperlukan penyuluh yang tinggal di wilayah kerjanya dan bersosialisasi dengan
petani. Penyuluh sebagai sahabat petani.
Kinerja Penyuluh
Menurut Rue dan Byars (Keban 2000), konsep kinerja (performance) dapat
didefinisikan sebagai sebuah pencapaian hasil atau degree of accomplishtment.
Dengan demikian kinerja suatu organisasi, termasuk organisasi penyuluhan dapat
dilihat dari pencapaian tujuan organisasi penyuluhan yang telah ditetapkan
sebelumnya. Untuk menilai kinerja organisasi ini diperlukan indikator-indikator
atau kriteria-kriteria untuk mengukurnya secara jelas. Indikator dan kriteria yang
35
jelas dapat digunakan untuk menentukan mana yang relatif lebih efektif
diantaranya: alternatif alokasi sumber daya yang berbeda; alternatif desain-desain
organisasi yang berbeda; dan diantara pilihan-pilihan pendistribusian tugas dan
wewenang yang berbeda, seperti yang dinyatakan Bryson (Keban, 2000).
Tujuan suatu organisasi menjadi pedoman dasar dalam menilai suatu
kinerja. Oleh karenanya, penilaian organisasi penyuluhan diukur dari kemampuan
organisasi penyuluhan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui kegiatan-
kegiatan pendidikan non formal yang dilakukan dan berasaskan pada filosofi atau
prinsip-prinsip penyuluhan. Asngari (2001) menggambarkan bahwa dalam
pencapaian tujuan penyuluhan jangka panjang yaitu kesejahteraan masyarakat
memerlukan tahapan-tahapan tertentu. Hal tersebut digambarkan dalam bidang
pertanian tanaman pangan.
Tujuan penyuluhan jangka pendek adalah mengubah perilaku individu pada
ranah pengetahuan, sikap, dan tindakannya, sehingga individu tersebut berubah
perilakunya dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mau menjadi mau dan dari tidak
bisa menjadi bisa. Melalui perubahan perilaku ini, menjadikan klien melakukan
usahanya lebih baik dan dari aspek bisnis atau usahataninya juga lebih baik, dengan
syarat tersedia sarana usaha yang memadai dan iklim usaha yang kondusif.
Selanjutnya, dengan teknik usaha dan bisnis yang lebih baik menjadikan
pendapatan petani atau pembudidaya ikan akan meningkat, sehingga kehidupannya
menjadi lebih baik dan lebih sejahtera. Apabila setiap individu mengalami
peningkatan kondisi hidup yang lebih sejahtera ini, maka secara keseluruhan
masyarakat juga akan menjadi lebih sejahtera (Gambar 5).
Terkait dengan upaya membangun profesionalisme penyuluhan pertanian,
Departemen Pertanian menetapkan sembilan indikator kinerja penyuluhan, yaitu (1)
tersusunnya programa penyuluhan pertanian di tingkat BPP/kecamatan sesuai
dengan kebutuhan petani, (2) tersusunnya kinerja penyuluh pertanian di wilayah
kerjanya masing-masing, (3) tersusunnya peta wilayah komoditas unggulan spesifik
lokasi, (4) terdisimenasinya informasi teknologi pertanian secara merata dan sesuai
dengan kebutuhan petani, (5) tumbuh kembangnya keberdayaan dan kemandirian
petani, kelompok tani, usaha/asosiasi petani dan usaha formal (koperasi dan
kelembagaan lainnya), (6) terwujudnya kemitraan usaha antara petani dengan
36
pengusaha yang saling menguntungkan, (7) terwujudnya akses petani ke lembaga
keuangan, informasi, sarana produk pertanian dan pemasaran, (8) meningkatnya
produktivitas agribisnis komoditi unggulan di masing-masing wilayah kerja, dan (9)
meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan petani di masing-masing wilayah
kerja.
Gambar 5. Tujuan Penyuluhan Pembangunan (Asngari, 2001)
Berdasarkan pelaksanaan bidang kinerja, hasil penelitian Suhanda (2008)
menunjukkan adanya urutan kinerja terbaik yang dilakukan oleh penyuluh
pertanian, berturut-turut sebagai berikut (1) pelibatan tokoh masyarakat, (2)
penumbuhan kelompok tani, (3) penyusunan rencana kerja penyuluhan, (4)
penerapan metode penyuluhan, (5) penyusunan programa, (6) penyusunan materi,
(7) penumbuhan keswadayaan dan keswakarsaan petani, (8) tata laksana kantor, (9)
penumbuhan kelembagaan ekonomi pedesaan, dan (10) analisis potensi dan
kebutuhan petani. Bidang kerja yang paling rendah pelaksanaannya berturut-turut
adalah (1) pengembangan profesionalisme, (2) pengembangan jejaring dan
kemitraan, dan (3) evaluasi dan pelaporan.
Kinerja penyuluh lapang di Malaysia dinilai dari kemampuannya
melaksanakan tujuh aspek kompetensi utama seorang penyuluh, yaitu dalam aspek
organisasi dan administrasi penyuluhan, perencanaan program dan pembangunan,
Penyuluhan pembangunan
Menjadi: tahu mau bisa
Better Farming Better Business
Peningkatan pendapatan
Hidup lebih sejahtera
Masyarakat lebih makmur
Hidup lebih baik Tujuan jangka panjang
Sarana usaha yang memadai (agro support) dan iklim usaha yang kondusif (agroclimate)
Perubahan perilaku:
- pengetahuan - sikap - keterampilan
Tujuan jangka pendek SDM klien SDM klien Ditunjang
37
komunikasi dan metode mengajar, pengajaran (extension teaching), evaluasi
program dan kegiatan, struktur dan nilai sosial, dan pengembangan diri (Awang
1992). Menurut Long (1995), kompetensi yang diperlukan penyuluh adalah:
administrasi, perencanaan program, pelaksanaan program, pengajaran, komunikasi,
pemahaman perilaku manusia, pemeliharaan profesionalisme, dan evaluasi.
Hasil penelitian Dube (1993) di Iowa, Amerika Serikat menunjukkan,
penyuluh memandang penting tujuan program penyuluhan, yaitu menolong petani
meningkatkan kualitas produksi, mengajarkan konservasi tanah, dan mendorong
petani membuat perencanaan. Prinsip-prinsip program penyuluhan dinilai tinggi,
seperti mendorong kerjasama tim para staf penyuluhan, menggunakan metode
penyuluhan yang tepat, membangun keterampilan memecahkan masalah, dan
menggunakan kebutuhan petani sebagai basis program. Demonstrasi cara,
demonstrasi hasil dan kunjungan lapang memperoleh rating tinggi sebagai metode
mengajar. Masalah utama yang dihadapi adalah luasnya areal kerja, keterbatasan
transportasi, dan keengganan petani untuk ikut pertemuan.
Kinerja organisasi merupakan hasil interaksi yang kompleks dan agregasi
kinerja sejumlah individu dalam organisasi. Menurut Gibson dan Brown (2003),
ada tiga kelompok peubah yang mempengaruhi perilaku kerja dan kinerja individu,
yaitu: peubah individu, peubah organisasi dan peubah psikologis.
Kelompok peubah individu terdiri dari peubah kemampuan dan
keterampilan, latar belakang pribadi dan demografis. Peubah kemampuan dan
keterampilan merupakan faktor utama yang mempengaruhi perilaku kerja dan
kinerja individu, sedangkan peubah demografis mempunyai pengaruh yang tidak
langsung. Kelompok peubah psikologis terdiri dari peubah persepsi, sikap,
kepribadian, belajar dan motivasi. Peubah ini banyak dipengaruhi oleh keluarga,
tingkat sosial, pengalaman kerja sebelumnya dan peubah demografis. Kelompok
peubah organisasi terdiri atas peubah sumber daya, kepemimpinan, imbalan,
struktur dan desain pekerjaan.
Menurut Suhanda (2008) yang melakukan penelitian tentang kinerja
penyuluh di Jawa Barat, faktor internal yang mempengaruhi kinerja penyuluh
pertanian adalah usia, masa kerja, jenis kelamin, jabatan penyuluh, pendidikan
fomal dan pelatihan. Faktor di luar diri individu yang mempengaruhi kinerja
38
penyuluh adalah gaji dan honor, administrasi dan kebijakan, pembinaan dan
supervisi, dan kondisi kerja.
Peran Penyuluhan dalam Pengembangan Kapasitas
Gabriel (1991) menyatakan bahwa penyuluhan merupakan proses yang
kompleks yang meliputi perspektif pemecahan masalah, proses pendidikan non-
formal yang ditujukan pada masyarakat pedesaan, dan menyediakan saran dan
informasi untuk mengatasi masalah, dan tujuannya adalah meningkatkan produksi,
meningkatkan standar kehidupan, dan efesiensi usaha keluarga. Penyuluhan juga
berusaha untuk merubah sikap petani agar dapat memecahkan masalahnya sendiri
melalui diskusi dan pengambilan keputusan, sehingga penyuluhan sebagai proses
yang membutuhkan waktu yang lama, mengandung pendidikan, dan bekerja saling
mendukung dengan masyarakat pedesaan guna mengatasi kesulitan yang dihadapi.
Gabriel (1991) menguraikan ada empat komponen yang diperlukan dalam
penyuluhan kontemporer, yaitu: (1) saran dan informasi, dengan menyediakan
saran teknik dan informasi yang bermanfaat untuk kehidupannya, seperti informasi
harga, kredit, informasi pasar, dan saran penggunaan input seperti pupuk yang
tepat. Informasi tidak harus berasal dari penyuluh, tetapi dikembangkan dari
pengetahuan lokal (indigenous knowladge); (2) keterampilan dan pengetahuan,
dengan menambahkan pengetahuan dan keterampilan sistem usaha pertanian dan
lingkungan baik kepada petani yang “maju” maupun petani yang memiliki
keterbatasan akses; (3) lembaga petani (farmer institutions), petani yang efesien
dan produktif tidak hanya dikembangkan dengan pengetahuan dan keterampilan
saja, melainkan juga ditunjukkan dari interes petani, kesempatan untuk aksi
bersama, dan jaringan komunikasi antar petani yang semuanya dapat dikembangkan
melalui organisasi petani yang efektif. Dalam hal ini penyuluhan berperan untuk
memperkuat lembaga-lembaga usaha petani dalam rangka mencapai tujuannya; dan
(4) membangun kepercayaan diri (confidence building), isolasi dan perasaan tidak
mampu menjadikan masalah dalam diri petani untuk meningkatkan kehidupan yang
lebih baik. Oleh karenanya, penyuluh berperan untuk meyakinkan petani bahwa
mereka memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu sendiri, dan mengatasi
kemiskinannya.
39
Menurut Boone (1989), penyuluhan bertujuan: (1) sebagai pembelajaran
pada masyarakat sesuai dengan konteks dan situasi masyarakat itu sendiri, agar
masyarakat mampu secara mandiri mengidentifikasi kebutuhan dan masalah yang
dihadapinya; (2) menolong mereka menyediakan pengetahuan dan keterampilan
yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dan masalahnya; dan (3)
Menginspirasi untuk bertindak. Selanjutnya dinyatakan bahwa penyuluhan harus
difokuskan pada upaya untuk peningkatan kemanusiaan (human condition). Upaya
tersebut ditujukan untuk menolong masyarakat “yakin pada dirinya sendiri” dalam
hal informasi potensi dan keuntungan suatu teknologi, teknologi baru, peningkatan
keterampilan, dan mengelola usaha. Penyuluhan juga bertindak sebagai
penghubung masyarakat dalam penelitian, teknologi, dan prosedur. Misi
penyuluhan adalah menolong masyarakat dalam konteks sosial budaya mereka
sendiri, sehingga kapasitasnya menjadi meningkat untuk mengatasi
permasalahannya sendiri.
Menurut van den Ban dan Hawkins (1999), peran utama penyuluhan adalah
menolong petani untuk mengatasi masalahnya sendiri, dengan cara: (1) membantu
petani menganalisis situasi yang sedang dihadapi dan melakukan perkiraan ke
depan; (2) membantu petani menyadarkan terhadap kemungkinan-kemungkinan
timbulnya masalah dari analisis tersebut; (3) meningkatkan pengetahuan dan
mengembangkan wawasan terhadap suatu masalah, serta membantu menyusun
kerangka berdasarkan pengetahuan yang dimiliki petani; (4) membantu
memperoleh pengetahuan yang khusus berkaitan dengan cara pemecahan masalah
yang dihadapi serta akibat yang ditimbulkannya, sehingga mereka mempunyai
berbagai alternatif tindakan; (5) membantu petani memutuskan pilihan yang tepat
yang menurut pendapat mereka sudah optimal; (6) meningkatkan motivasi petani
untuk dapat menerapkan pilihannya; dan (7) membantu petani untuk mengevaluasi
dan meningkatkan keterampilan mereka dalam membentuk pendapat dan
mengambil keputusan.
Peran penyuluh dalam pengembangan kapasitas tidak bisa dilepaskan dari
filosofi penyuluhan itu sendiri, yaitu membantu pembudidaya ikan agar mereka
mampu menolong dirinya sendiri dalam menyelesaikan masalahnya. Asngari
(2007) menyebutkan tujuh prinsip atau filosofi yang harus dipegang dalam
40
menerapkan kegiatan penyuluhan yaitu: (1) Falsafah mendidik, bahwa dalam proses
mendidik klien tidak bisa dengan paksaan yang justru akan menyebabkan klien
merasa terpaksa menjalankan apa yang diinginkan penyuluh, tetapi dengan dengan
sabar mendidiknya sehingga klien menjadi terbiasa; (2) Falsafah pentingnya
individu, karena potensi pribadi setiap individu sangat besar untuk berkembang dan
dikembangkan; (3) Falsafah demokrasi, seperti yang dikutip dari Comb, Avila dan
Purkey (1971), bahwa demokrasi sebagai dasar martabat seseorang, melalui
kebebasan dan keterbukaan informasi seseorang dapat menemukan sendiri jalan
yang terbaik, dan dengan demokrasi seseorang akan mencapai tingkat intelektual,
kebebasan, dan tanggungjawab; (4) Falsafah bekerja bersama, seperti ajaran Ki
Hadjar Dewantoro “hing madya mangun karsa” yang mengandung makna adanya
kerjasama antara penyuluh dengan klien. Penyuluh bekerjasama dengan klien agar
klien aktif berprakarsa dalam proses belajar untuk mengembangkan usaha bagi
dirinya; (5) Falsafah “membantu klien membantu dirinya sendiri”, seperti yang
dikuti dari Thompson Repley Bryant (Vines dan Anderson 1976) bahwa: “The
whole extension philosophy is built on the idea of helping people help themselves,
and getting them to realize that it is their interest to help themselves. It is essential
that they will not get real help until they do it themselves;” (6) Falsafah
berkelanjutan, semua hal di dunia berkembang, sehingga penyuluhan harus
mengikuti perkembangan tersebut, baik dalam hal materi yang disajikan, cara
penyajian, maupun alat bantu penyajian; dan (7) Falsafah “membakar sampah,”
penyuluhan dianalogikan dengan membakar sampah yang dimulai dengan sampah
disiram minyak tanah lalu dibakar sampai ada yang kering dan merambat
mempengaruhi kekeringan yang lain. Maknanya adalah dalam penyuluhan perlu
kesabaran; pada pendekatan individu perlu kesabaran menunggu perkembangan
individu, dan pada pendekatan kelompok dimaknai bahwa antar anggota kelompok
akan saling pengaruh mempengaruhi.
Terdapat berbagai pendekatan untuk merubah perilaku, seperti yang
dinyatakan oleh van den Ban dan Hawkins (1999) yaitu berupa: (a) kewajiban atau
pemaksaan, (b) pertukaran, (c) pemberian saran, (d) mempengaruhi pengetahuan
dan sikap klien (petani), (e) manipulasi, (f) penyediaan sarana, (g) pemberian jasa,
dan (h) merubah struktur sosial ekonomi klien (petani). Dari berbagai pendekatan
41
tersebut yang lebih tepat untuk diterapkan dalam aktivitas penyuluhan sesuai
dengan filosofinya adalah pendekatan “mempengaruhi pengetahuan dan sikap klien
(petani),” Pendekatan ini paling tepat untuk penyuluhan, karena menyiratkan unsur
“menolong seseorang untuk menolong dirinya sendiri,” artinya peran penyuluh
hanya sebatas memberikan motivasi ataupun memfasilitasi dengan informasi,
wawasan, pengetahuan dan lain sebagainya sedangkan klien (petani, pembudidaya
ikan, nelayan) menggunakannya untuk membantu memecahkan masalahnya
sendiri.
Lippitt (1969) menyatakan adanya sembilan situasi yang menyebabkan
masyarakat resisten terhadap perubahan, yaitu (1) ketika tujuan perubahan tidak
jelas, (2) ketika masyarakat tidak dilibatkan dalam perencanaan, (3) ketika seruan
tidak didasarkan pada alasan personal, (4) ketika norma dan kebiasaan masyarakat
tidak diindahkan, (5) ketika komunikasi untuk berubah sangat jelek; (6) ketika ada
rasa takut gagal, (7) ketika biaya terlalu mahal atau tidak sebanding dengan
manfaatnya, dan (8) ketika situasi yang ada sudah cukup memuaskan, maka
seorang penyuluh atau agen pembaharuan perlu melakukan pendekatan yang lebih
intensif pada masyarakat ini, agar bisa tergali dengan jelas “kondisi psikologis”
yang dirasakan oleh mereka yang nantinya bisa dijadikan untuk melakukan
perubahan perilaku dari seorang pembudidaya tradisional menjadi pengusaha
budidaya ikan.
Secara garis besar metode penyuluhan terdiri dari tiga macam, yaitu
perorangan, kelompok, dan massal. Menurut van den Ban dan Hawkins (1999),
masing-masing metode tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan (Tabel 2).
Tabel 2. Tingkat Kesesuaian Berbagai Macam Metode Penyuluhan Media yang sesuai atau memiliki ciri khas
Media massa
Ceramah Demonstrasi Media rakyat Kelompok diskusi
Dialog
Menciptakan kesadaran inovasi XXX X XX XX O O
Menciptakan kesadaran akan masalahsendiri
O X XX XXX XXX XXX
Alih pengetahuan XXX XX XX XX X XXPerubahan perilaku O O XX X XXX XXMenggunakan pengetahuan sesama petani
O O X XX XXX X
Membangkitkan proses belajar O O X X XXX XX Menyesuaikan pada masalah petani O O X Xx XX XXX Tingkat abstraksi *) XXX XX O O X X Biaya/petani yang dicapai *) O X X XX XX XXX Keterangan: o=tidak cocok. Jumlah tanda silang menunjukkan kecocokan, kecuali bila ditandai dengan tanda (*)
42
Menurut Wiriaatmadja (1983) pemilihan metode penyuluhan harus tepat
sasaran, tepat waktu, dan murah. Crouch dan Chamala (1981) menyatakan bahwa
metode demonstrasi (cara dan hasil) sebagai metode yang tepat diterapkan di
negara-negara sedang berkembang, karena dapat memfasilitasi komunikasi bagi
masyarakat yang buta huruf.
van den Ban dan Hawkins (1999) menghubungkan antara sifat tujuan
belajar dengan strategi dan metode yang tepat. Pada belajar yang bertujuan untuk
merubah pengetahuan dengan menggunakan strategi alih informasi dan metode
media massa, ceramah, dan dialog yang diarahkan, sedangkan pada ranah
perubahan sikap strateginya belajar dari pengalaman dengan metode diskusi
kelompok, dialog yang tidak diarahkan, simulasi, dan film. Selanjutnya, tujuan
belajar yang berupa perubahan keterampilan menggunakan strategi latihan dengan
metode yang mendorong tindakan, seperti latihan dan demontrasi (Tabel 3).
Tabel 3. Strategi dan Metode untuk Mencapai Tujuan Belajar Sifat Tujuan Belajar Strategi Metode yang tepat
Pengetahuan (kognitif) Alih informasi (dari luar) Publikasi dan rekomendasi dari media massa, ceramah, selebaran, dialog yang diarahkan
Sikap (afektif) Belajar dari pengalaman (informasi dari dalam)
Diskusi kelompok, dialog yang tidak diarahkan, simulasi, dan film
Keterampilan (psikomotorik) Latihan keterampilan Metode yang mendorong tindakan: latihan, demonstrasi
Kelompok
Secara naluriah manusia senantiasa ingin selalu berhubungan dengan orang
lain atau dengan kata manusia dapat dikatakan sebagai makhluk sosial yang
memerlukan orang lain dalam seluruh hidupnya guna memenuhi kebutuhan
hidupnya. Menurut Soekanto (1990), sejak manusia dilahirkan memiliki dua
keinginan pokok, yaitu keinginan menjadi satu dengan manusia lain di sekitarnya
(masyarakat) dan keinginan untuk menjadi satu dengan suasana alam di
sekelilingnya. Untuk memenuhi kebutuhan ini manusia harus berkelompok.
Secara harafiah kelompok diartikan sebagai kumpulan dari dua orang atau
lebih yang memiliki kebutuhan bersama. Soekanto (1990) menyatakan bahwa
himpunan orang-orang dapat dikatakan sebagai kelompok apabila memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut: (1) adanya kesadaran setiap anggota kelompok
43
sebagai bagian dari kelompoknya, (2) ada hubungan timbal balik antar anggota
kelompok, (3) adanya faktor yang dimiliki bersama, misalnya nasib, kepentingan,
tujuan, idiologi yang sama dan sebagainya, (4) berstruktur, berkaidah, dan
mempunyai pola tertentu, dan (5) bersistem dan berproses.
Pandangan psikologi sosial terhadap kelompok memperlihatkan, kelompok
terdiri dari sekumpulan individu-individu yang memiliki daya, kemauan, potensi
dan karakteristik lain yang berbeda satu sama lain. Lebih lanjut pandangan ini
digunakan untuk menganalisis dinamika kelompok. Sejarah dinamika kelompok
sudah ada sejak zaman Yunani dengan ajaran Plato yang menyatakan bahwa“daya
pikir individu tercermin di dalam golongan pemerintahahan, daya kemauan
tercermin di dalam golongan ketentaraan, dan daya perasaan tercermin di dalam
golongan pedagang.” Masing-masing golongan memiliki norma dan sistem yang
berbeda, namun saling berinteraksi membentuk satu kesatuan yang lebih besar.
Pada zaman liberalisme, ada gagasan untuk membentuk negara sebagai bentuk
pengelompokan yang memiliki norma, struktur, dan pimpinan. Gagasan ini muncul
sebagai akibat dari kebutuhan individu akan pedoman dalam kehidupan dan
kebutuhan akan kepastian kehidupan, yang semuanya muncul dari pengaruh cara
berfikir bebas bahwa setiap individu bebas menentukan nasibnya sendiri dan tidak
bisa menentukan kehidupan individu lain.
Lazarus dan Hall (Santosa 2006) menyatakan bahwa pengaruh adat dan
bahasa rakyat menimbulkan homogenitas pada masyarakat, sehingga setiap sikap
dan tingkah laku setiap anggota masyarakat tidak berbeda satu sama lain. Pada
perkembangan berikutnya teori ini berkembang menjadi teori sosial yang
menyatakan bahwa setiap kelompok masyarakat memiliki kesatuan psikologi
menjadi suku bangsa tertentu, lengkap dengan kepribadian masing-masing.
Ruang lingkup kajian tentang dinamika kelompok seperti yang dinyatakan
oleh Jetkins (Mardikanto 1992) adalah kajian terhadap kekuatan-kekuatan yang
terdapat di dalam maupun di lingkungan kelompok yang akan menentukan perilaku
anggota-anggota kelompok dan perilaku kelompok yang bersangkutan, untuk
bertindak atau melaksanakan kegiatan-kegiatan demi tercapainya tujuan bersama
yang merupakan tujuan kelompok. Perilaku kelompok yang ditunjukkan dari
keaktifan maupun kedinamisan kelompok dipengaruhi oleh faktor-faktor penyebab
44
timbulnya dinamika yang ada di dalamnya. Menurut Slamet (1990) yang disarikan
dari Cartwrigt dan Zander (1964), faktor-faktor yang sangat penting untuk
mendinamisasikan kelompok ada sembilan, dengan uraian sebagai berikut:
(1) Tujuan kelompok, yaitu sesuatu yang ingin dicapai oleh kelompok, sehingga
semua aktivitas kelompok ditujukan untuk pencapaian tersebut. Tujuan dapat
mempengaruhi dinamika kelompok dalam hal menunjang tercapainya tujuan-
tujuan pribadi para anggotanya
(2) Struktur kelompok, diartikan sebagai bentuk hubungan antara individu-individu
dalam kelompok dan pengaturan peranan yang ditentukan oleh tujuan kelompok
yang ingin dicapai. Beberapa unsur yang mempengaruhinya, yaitu besar
kecilnya kelompok, aspek-aspek kualitatif, kesempurnaan dalam mencapai
tujuan, sarana interaksi yang tersedia dan solidaritas.
(3) Fungsi tugas, yaitu segala sesuatu yang harus dilakukan sehingga tujuan
kelompok dapat tercapai. Indikator bahwa fungsi tugas telah dijalankan dengan
baik jika ada kepuasan dalam kelompok, ketersediaan informasi bagi seluruh
anggota, koordinasi yang baik, adanya prakarsa, dan penyebaran informasi, dan
adanya penjelasan kepada anggota.
(4) Pengembangan dan pemeliharaan kelompok, merupakan fungsi yang
berorientasi pada keberlangsungan kehidupan kelompok, karena jika fungsi ini
tidak ada maka kelompok akan mati. Beberapa unsur yang diperlukan agar
kelompok tetap eksis adalah adanya partisipasi dari seluruh anggota kelompok,
tersedia fasilitas yang memadai, ada aktivitas, ada koordinasi untuk mencegah
konflik, komunikasi yang baik antar individu dalam kelompok, adanya standar
perilaku, dilakukan sosialisasi, dan mencari anggota baru.
(5) Kekompakan kelompok, yaitu kesatuan kelompok yang dicirikan oleh
keterikatan yang kuat antar anggota kelompok. Kekompakan dapat terjadi jika
ada komitmen yang kuat dari seluruh anggota dan tulus menjalankan keputusan
kelompok. Faktor-faktor yang mempengaruhi kekompakan kelompok adalah
kepemimpinan yang kuat, rasa kepemilikan anggota terhadap kelompok, nilai
dari tujuan kelompok, homogenitas anggota kelompok, integrasi, kerjasama,
dan besarnya kelompok
45
(6) Suasana kelompok, diterjemahkan sebagai perasaan-perasaan yang ada pada
diri anggota. Semakin menyenangkan suasana kelompok maka semakin tinggi
dinamika kelompok. Faktor-faktor yang mempengaruhi suasana kelompok
adalah: ketegangan, suasana lingkungan fisik, kelonggaran (permissiveness),
dan hubungan antar anggota.
(7) Tekanan kelompok, merupakan semacam tegangan yang disebabkan oleh
tekanan di dalam kelompok yang menimbulkan tegangan. Tegangan dapat
dikatakan sebagai stimuli yang dapat mendinamisasikan kelompok. Sumber
tegangan bisa berasal dari dalam ataupun luar kelompok.
(8) Keberhasilan kelompok, pada kelompok yang berhasil dalam mencapai tujuan-
tujuannya akan menimbulkan dinamika kelompok yang lebih tinggi.
(9) Maksud-maksud tersembunyi, yaitu sesuatu yang ada di bawah permukaan,
yang artinya orang yang bersangkutan tidak sadar atau tidak pernah mampu
mengemukakan secara terbuka. Sumbernya bisa berasal dari anggota maupun
pemimpin kelompok. Maksud-maksud tersembunyi mempunyai pengaruh
terhadap dinamika kelompok.
Kelompok atau yang diistilahkan oganisasi masyarakat oleh Ismawan dan
Budi (2005) memiliki peran sebagai wahana bagi para anggotanya dalam
meningkatkan kemandiriannya. Kelompok merupakan:
(1) Wahana belajar mengajar, yaitu wahana saling asah, asih, dan asuh, sehingga
akan terjadi saling pembelajaran dan peneguhan antara anggota organisasi
(learning organization).
(2) Wahana identifikasi masalah dan pengambilan keputusan bersama, yaitu
menjadi sarana pemecahan keputusan untuk pencapaian kebaikan bersama
(common goods)
(3) Wahana pooling of resources, yaitu tempat untuk memobilisasi sumberdaya
individu (tenaga, pikiran, material) individu yang memiliki keunikan dan
kelebihan masing-masing, serta bisa menghasilkan sinergi.
(4) Wahana berinteraksi pihak ketiga (representasi), merupakan sarana yang
representatif untuk memperjuangkan aspirasi para anggota kepada pihak-pihak
lain (pemerintah, lembaga keuangan, pasar dan lainnya) dengan posisi tawar
yang lebih baik.
46
Peran kelompok pembudidaya ikan cukup penting dalam aspek pemasaran.
Fox (1979) menyatakan bahwa kelompok sebagai cara untuk meningkatkan kondisi
ekonomi petani kecil yang lebih baik, yaitu dengan peningkatan skala ekonomi,
memperkuat posisi tawar dan menciptakan integrasi vertikal. Diuraikan lebih lanjut,
pemerintah perlu memotivasi petani kecil membentuk kelompok pemasaran
sehingga sumberdaya para petani miskin dapat tersalurkan.
Menurut Pretty (1995), peran kelembagaan lokal dan kelompok dalam
keberhasilan pembangunan masyarakat desa cukup signifikan, seperti keberhasilan
pembangunan pertanian yang berkelanjutan di beberapa negara berkembang
(China, India, Indonesia, Nepal dll) terjadi karena adanya perhatian pada sistem
kelembagaan lokal. Motivasi, keterampilan, dan pengetahuan individu petani
bukan menjadi penyebab kesuksesan pembangunan tersebut, melainkan justru
dipengaruhi aksi dalam kelompok atau komunitas secara menyeluruh. Konsepsi
“lokal” mengarah pada karakteristik yang khas dalam hal mengorganisir kegiatan,
membangun konsensus, mengkoordinir berbagi tugas dan tanggung jawab,
mengumpulkan, menganalisis dan mengevaluasi suatu informasi, dan lain-lain.
Fungsi kelembagaan atau organisasi lokal cukup penting, yaitu:
(1) Mengorganisir sumberdaya tenaga kerja agar memiliki nilai lebih
(2) Mengorganisir sumberdaya material untuk menghasilkan sesuatu yang
bernilai, seperti kredit, tabungan, pemasaran.
(3) Membantu kelompok-kelompok untuk mengakses sumberdaya
(4) Mengamankan sumberdaya alam yang berkelanjutan
(5) Sebagai penghubung antara petani, peneliti, dan jasa penyuluhan
(6) Sebagai penghubung informasi dengan pemerintah dan LSM
(7) Menciptakan kerangka kerjasama
(8) Meningkatkan kohesi sosial, dan sebagainya
Pemimpin Kelompok
Peran pemimpin kelompok penting dalam mewujudkan tujuan kelompok
itu sendiri. Secara umum pemimpin diartikan sebagai orang yang memiliki
pengaruh terhadap orang lain untuk melakukan suatu tujuan yang diinginkan oleh
seseorang atau kelompok. Dalam menjalankan kepemimpinannya, seorang
pemimpin memiliki gaya tertentu, yaitu cenderung otoriter, partisipatif atau tidak
47
peduli (laissez faire), serta tipe tertentu, yaitu kharismatis, situasional, tradisional,
formal ataupun informal.
Kelompok yang terbentuk dalam masyarakat petani/nelayan di pedesaan,
misalnya Kelompok Tani dan Nelayan Andalan (KTNA), Kelompok Tani,
Kelompok Pembudidaya Ikan, Kelompok Nelayan dan sebagainya digolongkan
sebagai kelompok informal dan berorientasi tugas. Menurut Slamet (1990), hal-hal
yang terkait dengan kepemimpinan pada kelompok informal adalah:
(1) Kepemimpinan
Kepemimpinan pada kelompok tani atau nelayan di pedesaan umumnya bersifat
informal, kekuasaan status (position power) sangat lemah, sehingga
menghukum anggota tidak dilakukan dan biasanya pemimpin adalah orang
yang disegani, dihormati dan diharapkan memberi petunjuk.
(2) Hubungan antara pemimpin dan anggota sangat penting. Mengingat umumnya
pemimpin kelompok informal adalah orang yang sangat dihormati maka
pemimpin harus mampu memanipulasi tujuan individu sama dengan tujuan
kelompok, dan mampu memotivasi anggota secara maksimal.
(3) Kematangan anggota sangat diperlukan, untuk menyelesaikan tugas-tugas
kelompok menuju pencapaian tujuan.
(4) Keterlibatan anggota pada tujuan harus kuat, dalam hal ini pemimpin harus
memelihara komitmen anggota terhadap tujuan kelompok.
(5) Spesifikasi peranan harus dihindarkan
(6) Kegiatan kelompok seharusnya dijaga tetap informal
(7) Kelompok harus tetap kecil
(8) Kesukarelaan harus tetap dipertahankan.
Pemimpin informal di wilayah pedesaan, termasuk pada masyarakat
pembudidaya ikan seringkali dijadikan sebagai kontak tani, yang berperan sebagai
penghubung antara masyarakat setempat dengan pihak luar, khususnya pemerintah.
Program-program pemerintah akan menjadi lebih efesien tersebar di masyarakat
melalui peran kontak tani.
Umumnya kontak tani memiliki tingkat sosial ekonomi yang tinggi di
masyarakat sekitarnya. Di Arunadhapura, Srilanka pada umumnya kontak tani
berusia lebih tua, aktif dalam kegiatan sosial, memiliki lebih banyak pengalaman
48
dalam pertanian sawah, memiliki usaha lebih besar, dan memiliki pendapatan yang
lebih tinggi dibandingkan dengan non kontak tani. Pada petani non kontak tani
sumber informasi utama dari penyuluh lapang, selanjutnya dari petani lain, radio,
dan tetangga. Hubungan antara kontak tani dengan non kontak tani melalui
kelompok lebih efektif dibandingkan jika bertemu secara individu (Sivayoganathan
1982).
Konsep Akuakultur
Menurut Edwards dan Demaine (1998), budididaya pada wilayah perairan
ekuivalen dengan budidaya pada lahan darat. Pertanian secara umum termasuk di
dalamnya budidaya ternak dan budidaya tanaman (perkebunan, hortikultur maupun
hutan), dalam hal ini akuakultur masuk ke dalam budidaya ternak (udang, ikan, dan
moluska). Pertanian dominan menggunakan air tawar, tetapi pada akuakultur
selain menggunakan air tawar pada lahan daratan juga menggunakan air payau dan
air laut pada area pesisir.
Perbedaan utama antara perikanan budidaya (akuakultur) dengan perikanan
tangkap adalah pada tujuan, proses produksi, dan sistem pemilikan usahanya.
Akuakultur bertujuan untuk meningkatkan jumlah produksi dari organisme air yang
berupa ikan, udang, moluska, dan tanaman air melalui intervensi serangkaian
proses produksi mulai dari penyediaan benih, pemberian pakan, proteksi hama
penyakit dan sebagainya. Pola pemilikan akuakultur bersifat perorangan maupun
perusahaan, yang melakukan proses produksi tersebut. Namun demikian, juga ada
yang dimiliki secara umum pada sumberdaya publik (common property resources)
tanpa atau dengan izin. Sebagaimana yang dinyatakan oleh FAO (1988):
“Aquaculture is the farming of aquatic organisms, including fish, molluscs, crustaceans and aquatic plants. Farming implies some form of intervention in the rearing process to enhance production, such as regular stocking, feeding, protection from predators, etc. Farming also implies individual or corporate ownership of the stock being cultivated. For statistical purposes, aquatic organisms which are harvested by an individual or corporate body which has owned them throughout their rearing period contribute to aquaculture, while aquatic organisms which are exploitable by the public as a common property resources, with or without appropriate licences, are the harvest of fisheries.”
49
Akuakultur memiliki ciri-ciri khusus yang membedakan dengan sistem
pertanian, seperti yang dinyatakan oleh Effendi (2004), yaitu:
(1) Usaha dilakukan di lokasi perairan, baik di laut, sungai, waduk ataupun danau.
(2) Organisme akuatik yang diproduksi mencakup banyak jenis, yaitu mencakup
ikan (finfish), udang (crustacea), hewan bercangkang (moluska), ekinodermata,
dan alga.
(3) Produk akuakultur bisa dalam beragam bentuk yaitu dalam bentuk hidup dan
segar atau olahan dengan beragam jenis olahan, seperti sosis, burger, dan nuget
ikan.
(4) Terdapat banyak sistem akuakultur, paling tidak ada 13 jenis, yaitu kolam air
tenang, kolam air deras, tambak, jaring apung, jaring tancap, karamba,
kombongan, penculture, enclosure, longline, bak-tangki-akuarium, dan
ranching (melalui restocking).
(5) Ruang lingkup akuakultur sangat luas, dilihat dari aspek kegiatan, spasial,
sumber air, zonasi darat laut, dan posisi wadah produksi.
Akuakultur merupakan suatu sistem produksi yang mencakup input
produksi (sarana dan prasara produksi), produksi (mulai dari persiapan sampai
panen), dan out put produksi (penanganan pascapanen dan pemasaran). Orientasi
akuakultur adalah memperoleh keuntungan, sehingga akuakultur merupakan
kegiatan bisnis akuakultur atau akuabisnis sebagai padanan agribisnis pada bidang
pertanian (Effendi dan Oktariza 2006).
Menurut Den Ouden et al. (Edwards dan Demaine 1998), karakteristik pasar
dan proses produksi sektor perikanan adalah sebagai berikut:
(a) Mudah rusak (perishable) dan tidak tahan lama (shel-live)
(b) Kualitas dan kuantitas bersifat variatif, bergantung pada perbedaan turunan
(genetic differences), musim, iklim, pencemaran lingkungan, penanganan,
pemeliharaan produk dan sebagainya.
(c) Kecepatan proses produksi bervariasi bergantung pada industri pengolahan dan
produksi akuakultur.
(d) Terdapat perbedaan skala pada rantai pemasaran, sehingga dimungkinkan
integrasi vertikal.
50
(e) Input produksi bersifat komplementer, sehingga menyulitkan untuk merubah
sejumlah penawaran (amounts supplied)
(f) Permintaan dan konsumsi produk relatif konstan (peningkatan konsumsi ikan
dunia meningkat pelan)
(g) Peningkatan kesadaran konsumen akan pengaruh produk dan metode
berproduksi pada kesehatan, keamanan, dan lingkungan
(h) Kualitas produk bergantung pada ketepatan waktu panen.
(i) Diperlukan investasi modal dan pengetahuan untuk menghasilkan kemandirian.
Tipe dan skala akuakultur mengikuti perkembangan evolusi pertanian,
karena keduanya merupakan suatu sitem yang terintegrasi, seperti halnya yang ada
pada sebagian besar usaha akuakultur skala kecil di dunia.
Menurut Lazard et al. (Edwards dan Demaine 1998) dalam studinya di Sub-
Sahara Afrika, terdapat empat tipe akuakultur berdasarkan tingkat
komersialisasinya, yaitu:
(1) Akuakultur yang bersifat subsisten (subsistence aquaculture), pada level
keluarga.
(2) Akuakultur dengan tenaga manual yang terampil (artisanal aquaculture), yang
tujuan produksi untuk dipasarkan, tetapi dengan skala yang kecil.
(3) Akuakultur terspesialisasi (specialised aquaculture), dicirikan pada setiap
tahapan rangkaian produksi dikerjakan oleh pembudidaya ikan yang berbeda.
(4) Akuakultur skala industri (industrial-scale aquaculture).
Martinez-Espinosa (1995) memperkenalkan dua tipe pengembangan
akuakultur pedesaan, yaitu:
(1) Tipe 1 akuakultur bagi “termiskin dari yang miskin” (aquaculture for the
“poorest of the poor”) yang dicirikan dari biaya dan hasil yang sangat rendah,
bersifat dasar subsisten alamiah atau barter dengan menjual sebagian kecil
produksinya ke tetangga atau pasar lokal. Tipe ini ekuivalen dengan tipe l
the family-level dari Lazard et al. (1991).
(2) Tipe 2 akuakultur yang dikerjakan oleh mereka yang “kurang miskin”(“less
poor”) dengan kondisi kehidupan pembudidaya ikan yang lebih baik, yang
menjual sebagian besar produknya dengan memperhitungkan keuntungan
ekonomi. Tipe ini sama dengan tipe arsanal dari Lazard et al. (1991).
51
Pengklasifikasian skala usaha berdasarkan teknologi produksi, khususnya
pada jenis pakan, oleh Edwards dan Demaine (1998) dibagi menjadi tiga jenis,
yaitu:
(a) Sistem budidaya ekstensif, yang mengandalkan pada pakan alami yang dibawa
arus air ataupun dari perubahan pasang surut.
(b) Sistem budidaya semi-intensif, yang masih mengandalkan pakan alami, tetapi
ada upaya untuk meningkatkan jumlahnya melalui pemupukan dan atau dengan
pakan tambahan.
(c) Sistem budidaya intensif, yang menggunakan nutrisi pakan tambahan yang
lengkap, berupa ikan tawar atau ikan laut ataupun pakan formula yang biasanya
dalam bentuk pelet kering.
Klasifikasi tersebut didasarkan pada penyediaan pakan, namun intensitasnya
akan mempengaruhi input yang lain, seperti benih, tenaga kerja, modal, dan
manajemen. Sistem ini kurang relevan untuk jenis moluska karena moluska selalu
dibudidayakan dengan menggunakan pakan alami.
Hubungan antara beberapa skema klasifikasi skala sistem pertanian
dikaitkan dengan sistem yang ada di sistem akuakultur diperlihatkan pada Tabel 4.
Tabel 4. Hubungan antara Beberapa Skema Klasifikasi Skala Sistem Pertanian Sistem Penulis
Pertanian menetap fase (dominasi tanaman)
Pertanian menetap fase 2 (integrasi tanaman/ternak)*
Pertanian menetap fase 3 monokultur industri)*
Edwards et al., (1988)
Pertanian miskin sumberdaya (Resource-poor agriculture)
Revolusi hijauPertanian industri
WCED (1987)
Subsisten (Subsistence)* Artisanal Lazard et al.,(1991)
Spesialisasi (Specialized)*
Industri*
Tipe 1 akuakultur* Martinez-Espinosa (1995)
Tipe 2 akuakultur*
Balanced model* Edwards et al., (1996)
*Termasuk di dalamnya akuakultur, sebagian maupun seluruhnya. Sumber: Edwards dan Demaine (1998)
52
Kementerian Kelautan dan Perikanan tidak secara eksplisit membagi
pembudidaya dalam strata tertentu, tetapi menyebutkan istilah pembudidaya kecil
untuk menunjukkan adanya golongan pembudidaya sebagai sasaran bantuan
berbagai program pembangunan akuakultur. Dalam Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2004 tentang Perikanan, dinyatakan pembudidaya ikan kecil adalah “orang
yang mata pencahariannya melakukan pembudidayaan untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari.”
Pelaku usaha akuakultur (akuabisnis) dibagi berdasarkan beberapa hal
bergantung pada ruang lingkup kegiatan usahanya. Menurut Effendi dan Oktariza
(2006) secara garis besar pelaku akuabisnis budidaya terbagi lima, yaitu:
(1) Pembudidaya ikan, yakni mereka yang memiliki usaha produksi ikan dengan
kegiatan mulai persiapan sampai pasca panen. Pembudidaya ikan terbagi lagi
menjadi beberapa kategori biasanya bergantung pada: jenis ikan yang
diusahakan (ikan hias atau ikan konsumsi), lokasi usaha (petambak yang
mengusahakan tambak di air payau, pembudidaya air laut/mariculture,
pembudidaya air tawar), tahapan produksi (pembudaya pembenihan,
pendederan, atau pembesaran).
(2) Penyedia input produksi, yaitu mereka yang berada di subsistem hilir, seperti
pengusaha pupuk, obat-obatan, pengusaha hatchery, dan pengusaha peralatan
produksi.
(3) Pengolah ikan, yaitu pelaku akuabisnis yang bergerak di usaha pengolahan
produk dasar ikan, misalnya pengolah bakso, abon, nuget, sosis ikan dan
sebagainya.
(4) Pedagang atau distributor, yang berusaha dalam bisnis menjual produk
akuakultur maupun hasil olahannya. Dalam rantai pemasaran, pelaku ini mulai
dari pedagang pengumpul, pedagang besar, sampai eksportir maupun pengecer.
(5) Pihak-pihak yang mendukung kegiatan akuakultur yang berperan sebagai faktor
penunjang akuabisnis, seperti lembaga keuangan (perbankan, koperasi, simpan
pinjam dll), lembaga penyedia bibit dari pemerintah seperti dari Balai
Pengembangan Budidaya Ikan dan Balai Benih Ikan (BBI), raiser dan lain-lain.
Kegiatan produksi akuakultur yang dilakukan pembudidaya ikan sebagai
pelaku on farm, terdiri atas pembenihan, pendedaran dan pembesaran (Gambar 6).
53
Pembenihan adalah kegiatan pemeliharaan yang bertujuan untuk
menghasilkan benih dan selanjutnya benih menjadi komponen input bagi kegiatan
pembesaran. Pembesaran ikan adalah kegiatan pemeliharaan yang bertujuan untuk
menghasilkan ikan konsumsi. Adapun pendederan adalah kegiatan pemeliharaan
untuk menghasilkan benih yang siap ditebarkan di unit produksi pembesaran atau
benih yang siap dijual. Kegiatan pendedaran ini muncul karena adakalanya benih
yang dihasilkan oleh unit produksi pembenihan masih kecil sehingga belum siap
ditebarkan dan dipelihara dalam unit pembesaran.
Secara lebih rinci kegiatan produksi akuakultur on farm oleh Effendi (2004)
dijelaskan sebagai berikut:
(1) Pembenihan
Pembenihan merupakan salah satu tahap kegiatan on farm yang sangat
menentukan tahap kegiatan selanjutnya, yaitu pembesaran. Oleh karena itu,
tahapan ini harus dilakukan secara cermat agar diperoleh hasil produksi yang
memuaskan. Kegiatan pembenihan yang harus dikuasai oleh seorang
pembudidaya pembenihan adalah sebagai berikut:
(a) Pemeliharaan induk atau pematangan gonad.
Pemeliharaan induk bertujuan untuk menumbuhkan dan mematangkan
gonad (sel telur dan sperma ikan). Hal-hal yang perlu dikuasai oleh
pembudidaya ikan dalam tahap ini ini antara lain: menciptakan
lingkungan dan media hidup yang sesuai untuk ikan, pemberian pakan
yang tepat dan teratur, penyiapan wadah induk, pencegahan dan
penanggulangan hama penyakit, dan pemeriksaan kematangan gonad
secara teratur.
Produksi akuakultur
Pembenihan Pendederan Pembesaran
Gambar 6. Kegiatan Produksi Akuakultur on Farm (Effendi 2004)
54
(b) Pemijahan induk, yaitu proses pembuahan telur oleh sperma. Beberapa hal
yang perlu dikuasai pembudidaya ikan dalam kegiatan ini adalah:
menciptakan lingkungan yang mendorong ikan melakukan pemijahan, dan
menyiapkan substrat pemijahan.
(c) Penetasan telur, yang bertujuan untuk mendapatkan larva. Kemampuan
yang harus dimiliki oleh pembudidaya ikan dalam tahap ini adalah: dapat
melakukan penetasan telur dengan memindahkan ke wadah pemijahan
sesuai sifat telur yang menempel pada substrat atau mengapung dan
mampu menciptakan lingkungan media hidup telur.
(d) Pemeliharaan larva dan benih. Pembudidaya ikan harus dengan cermat
melakukan hal-hal sebagai berikut: mempersiapkan wadah pemeliharaan
larva agar larva berkembang optimal, penebaran secara tepat, pemberian
pakan sesuai dengan umur larva, pengelolaan air, penanggulangan hama
penyakit, dan melakukan pemanenan secara tepat.
(2) Pembesaran
Pembesaran ikan merupakan kegiatan untuk menghasilkan ikan dalam ukuran
konsumsi atau ukuran yang dikehendaki oleh pasar (marketable size). Pasar
umumnya menghendaki ketepatan jumlah, ukuran, mutu, dan harga tertentu.
Pertumbuhan didorong secara maksimal dengan cara menyediakan lingkungan
hidup yang optimal, pemberian pakan yang tepat mutu, jumlah, cara, dan
waktu serta dengan pengendalian hama penyakit. Kegiatan-kegiatan yang
dalam unit produksi pembesaran adalah:
(a) Persiapan wadah
Persiapan wadah bertujuan untuk menyiapkan wadah pemeliharaan, untuk
mendapatkan lingkungan yang optimal sehingga ikan dapat hidup dan
tumbuh maksimal. Pada sistem akuakultur yang berbasis daratan, kegiatan
yang dilakukan oleh pembudidaya ikan adalah: (a) pengeringan dan
penjemuran dasar kolam atau tambak, (b) pengangkatan lumpur, (c)
perbaikan pematang dan pintu air, (d) pengapuran, (e) pemupukan, (f)
pengisian air, (g) pengendalian hama penyakit, dan (h) pengisian air
lanjutan.
55
(b) Penebaran benih
Penebaran benih bertujuan untuk menempatkan ikan dalam wadah kultur
dengan padat penebaran tertentu. Dalam tahap ini hal-hal yang perlu
dikuasai oleh pembudidaya ikan antara lain: (1) dapat memilih kualitas
benih yang akan ditebarkan; (2) menebar benih sesuai dengan padat
penebaran benih yang tepat; dan (3) melakukan aklimatisasi suhu sebelum
benih ditebarkan
(c) Pemberian pakan
Pakan merupakan faktor penting dalam pembesaran ikan. Oleh karena itu,
pembudidaya harus mampu memberikan pakan yang tepat jumlah, jenis,
ukuran, frekwensi, dan waktu pemberian pakan.
(d) Pengelolaan air
Pengelolaan air dalam akuakultur bertujuan menyediakan lingkungan yang
optimal bagi ikan agar tetap hidup dan tumbuh maksimal. Prinsip
pengelolaan air adalah memasukkan bahan yang bermanfaat seperti
oksigen dan mengeluarkan bahan yang tidak bermanfaat (feses
CO2,NH3,NO2) ke luar sistem produksi. Hal-hal yang perlu dilakukan oleh
pembudidaya dalam kegiatan ini antara lain: pengaturan suhu, cahaya,
salinitas, dan sebagainya dalam wadah produksi.
(e) Pemberantasan hama penyakit
Hama penyakit merupakan organisme dan mikroorganisme yang
keberadaannya tidak dikehendaki karena bersifat kompetitor dan predator
terhadap ikan kultur. Beberapa jenis hama penyakit antara lain: ikan, ular,
burung, musang, bakteri cendawan dan virus. Kemampuan yang harus
dimiliki oleh pembudidaya ikan dalam kegiatan ini adalah dapat
melakukan cara pemberantasan, pencegahan, dan pengobatan hama
penyakit pada ikan kultur secara tepat, sesuai dengan sifat masing-masing
jenis hama penyakit yang menyerang.
(f) Pemantauan populasi dan pertumbuhan.
Pemantauan ini dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang jumlah
dan bobot rata-rata ikan kultur, kesehatan, dan nafsu makan ikan.
Informasi ini dapat digunakan untuk menganalisis kondisi lingkungan dan
56
mengantisipasi perbaikan lingkungan. Sampling merupakan salah satu
cara untuk mengetahui informasi ini.
(g) Pemanenan
Pemanenan merupakan kegiatan akhir dalam rantai produksi budidaya
ikan. Ukuran panen beragam bergantung pada jenis komoditas yang
dibudidayakan, tujuan akuakultur, lokasi, dan tujuan pemasaran. Ukuran
panen untuk tujuan konsumsi akan berbeda untuk kolam pemancingan
ataupun bahan baku fillet. Demikian juga ukuran di lokasi Jawa akan
berbeda dengan luar Jawa yang umumnya selera konsumen di Jawa
menghendaki ukuran yang lebih kecil, dan ukuran untuk tujuan pasar
ekspor umumnya juga menginginkan ukuran yang lebih besar di
bandingkan pasar domestik. Pembudidaya ikan perlu mengetahui
informasi ukuran ikan yang dikehendaki oleh konsumen, sehingga ikan
yang diproduksi dapat terserap pasar. Informasi preferensi konsumen ini
juga bermanfaat bagi pembudidaya ikan dalam merencanakan produksi.
(3) Pendederan
Pendederan adalah kegiatan pemeliharaan untuk menghasilkan benih yang siap
ditebarkan di unit produksi pembesaran atau benih yang siap dijual. Tahapan
kegiatan pendederan hampir mirip dengan kegiatan pembesaran seperti telah
diuraikan di atas. Adapun berdasarkan ukuran ikan yang diproduksi,
pendederan ikan seringkali terdiri dari beberapa stadia, yaitu pendederan I,
pendederan II dan selanjutnya. Ikan kultur yang didederkan berada pada
pertumbuhan yang cepat secara eksponensial. Oleh karenanya, pembudidaya
ikan perlu melakukan upaya penjarangan dan pemindahan ikan dari tempat
semula yang terasa sempit karena tercapainya carrying capacity.
Pembangunan Akuakultur
Orientasi pembangunan pada masa orde lama dan orde baru lebih mengarah
wilayah daratan, sedangkan wilayah laut ataupun perairan belum mendapatkan
perhatian yang cukup. Padahal jika dilihat dari sumberdaya yang dimiliki wilayah
laut dan perairan cukup potensial dan beragam. Potensi sumberdaya tersebut terdiri
dari sumberdaya yang dapat diperbaharui, seperti sumberdaya perikanan, baik
57
perikanan tangkap maupun budidaya laut dan pantai, energi non konvensional dan
energi serta sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui seperti sumberdaya minyak
dan gas bumi dan berbagai jenis mineral. Selain dua jenis sumberdaya tersebut,
juga terdapat berbagai macam jasa lingkungan lautan yang dapat dikembangkan
untuk pembangunan kelautan dan perikanan seperti pariwisata bahari, industri
maritim, jasa angkutan dan sebagainya.
Menyadari arti pentingnya sektor perikanan dan kelautan ini, dibentuklan
Departemen Kelautan dan Perikanan, yang perintisannya sejak pemerintahan
Presiden Abdurrahman Wahid dengan dibentuknya Departemen Eksplorasi Laut
(DEL) melalui Keppres 136 Tahun 1999 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Departemen. Selanjutnya melalui Keputusan
Presiden Nomor 147 Tahun 1999 nama DEL dirubah menjadi Departemen
Eksplorasi Laut dan Perikanan (DELP). Pada tahun 2000 terjadi perubahan
nomenklatur DELP menjadi Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) sesuai
Keputusan Presiden Nomor 165 Tahun 2000 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Wewenang, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Departemen.
Visi DKP sebagai lembaga yang bertanggungungjawab atas pembangunan
kelautan dan perikanan adalah: ”pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan
yang lestari dan bertanggungjawab bagi kesatuan dan kesejahteraan anak bangsa”.
Adapun misinya adalah: (1) meningkatkan kesejahteraan nelayan, pembudidaya
ikan, dan pelaku usaha kelautan dan perikanan lainnya, (2) meningkatkan peran
sektor kelautan dan perikanan sebagai sumber ekonomi, (3) memelihara daya
dukung dan meningkatkan kualitas lingkungan dan sumberdaya kelautan dan
perikanan, (4) meningkatkan kecerdasan dan kesehatan bangsa melalui peningkatan
konsumsi ikan, (5) meningkatkan peran laut sebagai pemersatu bangsa dan
memperkuat budaya bahari bangsa.
Program-program yang dikembangkan oleh DKP sesuai dengan visi, misi,
dan tujuannya antara lain: (1) program pemberdayaan nelayan, pembudidaya ikan,
dan pelaku usaha perikanan lainnya. Bentuk programnya antara lain penyediaan
kredit untuk usaha skala kecil, mikro, dan menengah, peningkatan usaha kecil
mulai produki, pengolahan, dan pemasaran, serta pemberian bantuan langsung, (2)
program pengelolaan dan pengembangan sumberdaya kelautan dan perikanan,
58
dalam bentuk kegitan revitalisasi kegiatan usaha, pengembangan sarana pelabuhan,
dan sarana budidaya, dan peningkatan partisipasi Indonesia dalam perikanan global,
(3) program konservasi dan pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan,
dengan bentuk kegiatan yang mencegah Illegal, Unreported, and Unregulated
(IUU) Fishing, illegal sea-sand mining, dan pelanggaran hukum lainnya.
Pembangunan perikanan di Indonesia ditujukan untuk memanfaatkan
sumberdaya perikanan yang ada dalam rangka meningkatkan kesejahteraan bangsa,
khususnya masyarakat perikanan. Potensi perikanan Indonesia, baik yang berasal
dari hasil tangkapan maupun budidaya (akuakultur) cukup tinggi, dan pertumbuhan
tingkat produksinya meningkat setiap tahunnya. Produksi perikanan mengalami
pertumbuhan produksi yang cukup signifikan yaitu rata-rata sebesar 9,5 persen,
yang disumbangkan dari budidaya sebesar 28,1 persen dan dari penangkapan yang
hanya sebesar 1 persen pada 2004 sampai 2007 (Tabel 5).
Pada sektor perikanan budidaya, pemerintah mencoba mengembangkan
industri yang menyerap tenaga kerja, perikanan berskala mikro, pengembangan
kawasan budidaya, produksi induk dan benih unggul dan lainnya. Di perikanan
tangkap, pemerintah menerapkan kegiatan pemacuan stock ikan, memaksimalkan
rumpon, perbaikan ekositem laut dan pemberantasan illegal fishing.
Tabel 5. Jumlah Produksi Perikanan Indonesia Tahun 2004-2007 Produksi (ton) 2004 2005 2006 2007
Budidaya 1.468.610 2.163.674 2.682.596 3.088.800 Penangkapan 4.651.121 4.705.868 4.769.160 4.940.000 Total Produksi 6.119.731 6.869.542 7.451.756 8.028.800
Sumber: DKP (2008)
Beberapa program yang terkait dengan akuakultur yang telah dikembangkan
oleh DKP diantaranya adalah:
(1) Pencanangan program peningkatan produksi perikanan budidaya untuk
konsumsi ikan masyarakat (PROKSIMAS), peningkatan produksi perikanan
budidaya untuk ekspor (PROPEKAN), serta program perlindungan dan
rehabilitasi sumberdaya perikanan budidaya (PROLINDA), yang realisasinya
dilaksanakan dalam program-program tertentu. Salah satunya dengan bantuan
benih
(2) Program yang bersifat pemberian bantuan, seperti bantuan penguatan modal dan
Bantuan Sosial Pengembangan Usaha Kecil Perikanan Budidaya (Bansos
59
PUKPB). Bansos PUKPB adalah bantuan berupa uang yang dialokasikan oleh
Direktorat Jenderal Perikanan Budaya yang dialokasikan kepada pembudidaya
ikan pemula melalui Unit Pengembangan sebagai modal usaha di bidang
perikanan budidaya. Pemanfaatan dana ini untuk kegiatan usaha budidaya
pembenihan dan pembesaran ikan.
(3) Pengadaan dan penyaluran benih ikan yang diberikan kepada pembudidaya ikan
kecil berupa bantuan selisih harga benih ikan. Tujuannya adalah membantu
pembudidaya ikan kecil agar mampu membeli benih ikan budidaya yang
berkualitas dengan harga yang terjangkau, sehingga dapat meningkatkan
kualitas dan kuantitas produktivitas ikan hasil budidaya yang berbasis ekonomi
rakyat.
(4) Prasasti Mina ( Program Rintisan Akselerasi dan Sosialisasi Teknologi Inovasi
Kelautan dan Perikanan) sebagai suatu rangkaian atau proses kegiatan
percepatan diseminasi teknologi (biofisik, sosial ekonomi dan kelembagaan)
kepada para pelaku utama (nelayan, pembudidaya ikan dan pengolah ikan) dan
pelaku usaha di bidang kelautan dan perikanan. Dalam kegiatan Prasasti Mina
ini proses alih teknologi yang dilakukan didasari kepada kebutuhan para pelaku
utama dan pelaku usaha untuk pemecahan masalah yang dihadapi dalam
meningkatkan kapasitas kemampuan berusaha yang berorientasi kepada bisnis
perikanan, kesesuaian dengan potensi wilayah serta penyediaan sarana dan
fasilitas yang mendukung diterapkannya teknologi secara berkelanjutan.
Rancang bangun Prasasti Mina pada intinya adalah membangun model
percontohan sistem dan usaha bisnis perikanan progresif berbasis teknologi
inovatif yang memadukan sistem inovasi dan sistem bisnis perikanan. Dalam
model ini, DKP tidak lagi hanya berfungsi sebagai produsen teknologi
sumber/dasar, tetapi juga terlibat aktif dalam memfasilitasi penggandaan,
penyaluran dan penerapan teknologi inovatif yang dihasilkannya melalui jajaran
unit kerjanya. Prasasti Mina dapat dikatakan sebagai model untuk memadukan
dan menyatukan berbagai fungsi dan peran institusi penyuluhan - penelitian-
bisnis perikanan –pelayanan Pendukung (Extension-Research–Business of
Fisheries–Supporting Service Linkages). Pembentukan jejaring kerja terpadu
60
Penyuluhan–Penelitian–bisnis perikanan–Pelayanan merupakan salah satu
terobosan kelembagaan dalam Prasasti Mina.
(5) Kampanye “Gerakan Makan Ikan” yang ditujukan di tingkat konsumen. Secara
tidak langsung program ini akan meningkatkan motivasi pembudidaya ikan
untuk meningkatkan produksinya, seiring dengan meningkatkanya permintaan.
(6) Kredit Ketahanan Pangan yang juga ditujukan untuk pembudidaya ikan kecil,
diperuntukkan sebagai modal kerja dengan jangka waktu pengembalian sesuai
siklus usaha . Suku bunganya lebih rendah dari kredit umum, karena disubsidi
pemerintah.
(7) Program Mina Padi yang telah dilakukan sejak sektor perikanan di bawah
Departemen Pertanian. Program ini bertujuan untuk meningkatkan
produktivitas lahan, yang menggabungkan pemeliharaan ikan dengan padi. Ikan
dipelihara 30 hari dan benih ikan mencapai ukuran 30-40 ekor/kg dari waktu
tanam hingga penyiangan padi pertama atau kedua.
Menilik dari berbagai program tersebut, dapat dinyatakan bahwa target
program diarahkan pada pembudidaya ikan skala kecil, karena memang mayoritas
pengelola usaha akuakultur di Indonesia adalah pada skala kecil. Seperti halnya di
negara-negara Asia lainnya (FAO, 1988).
Penyuluhan Akuakultur
Penyuluhan akuakultur sebagai penyuluhan yang dilakukan pada sub sektor
budidaya perikanan, dengan pelaku utama masyarakat pembudidaya ikan. Merujuk
pada Undang-undang nomor 16 Tahun 2006, maka konsep penyuluhan perikanan
termasuk di dalamnya penyuluhan akuakultur sebagai proses pembelajaran bagi
pelaku utama dan pelaku usaha, dalam hal ini pembudidaya ikan agar mereka mau
dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi
pasar, teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk
meningkatkan produktivitas, efesiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya,
serta meningkatkan kesadaran dalam kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Sama halnya dengan penyuluhan pada sektor pertanian, kehutanan, maupun
sektor yang lain, pada dasarnya penyuluhan akuakultur memiliki prinsip dasar yang
sama. Perbedaannya pada pelaku utama dan pelaku usahanya, yaitu pada pertanian
61
masyarakat tani, pada kehutanan masyarakat sekitar hutan, dan pada perikanan
akuakultur masyarakat pembudidaya ikan. Selain itu, perbedaannya pada jenis
materi penyuluhan, karena jenis usaha yang berbeda tersebut. Untuk penyuluhan
akuakultur materinya terkait dengan usaha budidaya ikan, baik pada aspek yang
sifatnya teknis maupun manajerial.
Mengacu pada fungsi pembudidaya ikan sebagai pengelola usaha, maka
materi-materi penyuluhan yang efektif jika terkait dengan aspek pengambilan
keputusan, perencanaan, dan pemasaran. Slamet (2008) menjelaskan beberapa hal
yang diperlukan petani termasuk pembudidaya ikan agar dapat merencanakan
usahanya dengan baik, antara lain pengetahuan dan keterampilan cara menghitung
biaya dan pendapatan (cost and return) yang benar, berbagai data tentang harga
input yang diperlukan dan ketersediaannya, data dan informasi pasar. Demikian
pula diperlukan materi-materi yang bersifat untuk menumbuhkan kemampuan
software pembudidaya ikan juga diperlukan guna meningkatkan posisi tawarnya,
misalnya kemampuan berkomunikasi dan berinteraksi dengan pihak non
pembudidaya ikan, melakukan tawar menawar, membangun strategi pasar.
Perkembangan penyuluhan akuakultur di Indonesia tidak terlepas dari
program-program pembangunan perikanan yang sebelumnya masih menyatu
dengan program pertanian. Beberapa yang pernah dikenal secara umum adalah
mina padi, yaitu memelihara ikan di sawah bersamaan dengan penanaman bibit
padi, “longyam” (balong ayam) yang mengintegrasikan usaha ternak ayam dan
ikan, dan introduksi varietas ikan yang produktivitasnya tinggi, seperti nila gift,
patin, lele sangkuriang, udang galah dan sebagainya.
Menurut Pillay (1979), pembangunan akuakultur di negara-negara dunia
ketiga relatif belum lama baru sekitar 20-50 tahun belakangan, bahkan di Amerika
Serikat industri perikanan mulai berkembang pada tahun 1950-an. Perkembangan
akuakultur di negara-negara berkembang banyak diinisiasi dari proyek-proyek
bantuan internasional, khususnya dari FAO. Seiring dengan hal tersebut,
penyuluhan perikanan sebagai pendukung pembangunan program-program
pembangunan akuakultur juga berkembang. Peran penyuluhan dalam
pembangunan akuakultur masih mengarah pada strategi transfer teknologi, yaitu
dengan memperkenalkan masyarakat pembudidaya ikan akan teknologi akuakultur.
62
Beberapa kasus penyuluhan akuakultur yang ada di beberapa negara diuraikan
sebagai berikut:
(1) Rwanda
Program penyuluhan akuakultur pernah dilakukan di Rwanda pada tahun
1982, tetapi mengalami kegagalan. Beberapa faktor penyebabnya adalah
keterbatasan input pemupukan kolam, rendahnya suhu udara, tidak tersedia
benih, keterbatasan pengetahuan teknik di tingkat pembudidaya ikan, dan
lemahnya seleksi dan pelatihan para penyuluh. Selanjutnya pada tahun 1985
dimulai lagi program penyuluhan akuakultur dengan menyertakan komponen
penelitian, dengan terlebih dahulu dilakukan pelatihan kepada para penyuluh.
Materi pelatihan yang diberikan berupa teknik standar budidaya nila (tilapia)
dan pengelolaan kolam secara efesien dengan sedikit menggunakan input.
Guna mencapai keberhasilan transfer teknologi dari penyuluh kepada
pembudidaya, maka dikembangkan hubungan yang intens antara kedua pihak.
Radius kerja penyuluh seluas 15 km, yang ditempuh dengan sepeda. Dalam
luasan tersebut penyuluh dapat mengunjungi 10-15 tempat, dengan setiap lima
tempat dibuat 1 poros yang ditengahnya tempat tinggal penyuluh. Satu hari
dalam seminggu penyuluh mengunjungi satu lokasi poros, dan jadwalnya
terulang. Setiap 2 atau 3 tempat ditempatkan kolam ikan.
Kunci keberhasilan proyek adalah kualitas personal dalam
menyampaikan pengetahuan teknologi yang tepat kepada pembudidaya ikan
guna perbaikan produksi. Pelatihan secara tetap ditujukan kepada agen
penyuluh (“moniteurs”) dan supervisor regional sebagai “agronomes”. Pusat
pelatihan telah dibangun selama proyek ini di Pusat Budidaya Ikan Nasional di
Kigembe.
Pelatihan dilakukan secara terus menerus. “Moniteurs” dilatih selama 3
bulan, nantinya menjadi tenaga di lembaga penyuluhan di tingkat kabupaten.
Mereka dipilih dari tingkat kecamatan dengan cara seleksi. Kriteria seleksi
antara lain: tinggal di lokasi tempat kerja baik sebelum maupun sesudah
pelatihan, selesai sekolah paling tidak tiga tahun dari pendidikan dasar, dan
lulus tes dengan materi dasar membaca, menulis dan berhitung. Peserta
63
pelatihan dibekali sepeda sebagai sarana transportasi, ransel, dan peralatan
lapang, seperti termometer, sepatu karet, senter, dip net dan sebagainya.
Workshop dilakukan untuk mengatasi keterbatasan petugas lapang.
Disediakan petunjuk teknis dan kesempatan untuk berinteraksi dengan petugas
administrasi, guna menumbuhkan jiwa korp “esprit de corps”. Moniteurs
diberi kesempatan mengikuti dua kali workshop per tahun.
Lulusan universitas (agronomi) direkrut di lembaga penyuluhan, yang
beberapa diantaranya mengikuti pelatihan di tempat lain, seperti di Pusat
Pelatihan FAO. Mereka diberi kesempatan mengembangkan ide-idenya dan
mencari informasi teknik-teknik baru, Kursus-kursus singkat juga diberikan
kepada manajer proyek stasiun guna meningkatkan standar kompetensinya, dan
juga kepada penyuluh lapang. Seminar ditujukan ke pegawai pemerintah,
administratur, dan petugas teknik dengan materi prinsip-prinsip akuakultur.
(2) Zaire
Proyek perikanan di Zaire dimulai tahun 1975 dengan nama the Peace
Corps Fisheries Project, yang awalnya didanai dari OXFAM. Tujuan
utamanya adalah membangun kemandirian dan memajukan pembudidaya ikan
dengan meningkatkan pendapatannya dari usaha budidaya ikan.
Pada tahapan selanjutnya dibentuk Peace Corp Volunteers untuk
menciptakan kemandirian pembudidaya ikan. Tujuannya agar program
teroganisir, efesien, dan menciptakan kohesivitas kelompok pembudidaya ikan
yang saling bekerjasama dalam mengatasi masalah-masalah dan isu yang
timbul. Pada awal-awal tahun proyek diberikan insentif kepada pembudidaya
ikan, berupa gerobak kecil dan skop, yang kemudian dihentikan. Selanjutnya
lokasi proyek dipindahkan ke tempat lain tanpa menimbulkan ketergantungan
pembudidaya ikan.
Kiriteria sosial pemilihan lokasi program adalah interes masyarakat lokal
dan kepadatan penduduk di area tersebut. Kriteria tekniknya lahan kolam milik
pribadi, suplai air selalu ada tiap tahun, tanah berlempung sesuai untuk kolam
ikan, dan irigasi yang baik, serta lokasi mudah diakses.
Hal yang penting dalam program ini adalah mengidentifikasi individu
dinamis yang memiliki potensi sukses dibandingkan orang-orang desa yang
64
lain. Mereka ini bisa menjadi pemimpin pembudidaya ikan dan menjadi
pendukung volunteers (penyuluh) pada basis informal dan kesukarelaan.
Tahap kerja yang dilakukan oleh voluntir adalah pada tahap pertama,
menjalin kontak sebanyak mungkin, mengidentifikasi lokasi, membangun dan
mencadangkan kolam-kolam ikan, memperkenalkan teknik manajemen, dan
menetapkan sejumlah pembudidaya ikan. Jadwal harian kerja voluntir adalah
6-8 jam mengunjungi 2-3 orang pembudidaya ikan. Tahap kedua, volunter
menjalin kontak-kontak baru dan tetap melanjutkan pekerjaan yang telah
dilakukan pada tahap pertama, dengan fokus pada pengelolaan kolam-kolam
yang telah dibuat. Selama periode ini perlu diperhatikan mempertahankan
keberhasilan teknik intensif, oleh karenanya metode yang dirancang harus
sesederhana mungkin, mengingat bahwa banyak pembudidaya ikan memiliki
tingkat pendidikan yang rendah.
Peningkatan hasil panen diiringi dengan pemahaman tentang perhitungan
finansial yang terkait dengan penghitungan laba dan efesiensi biaya dari usaha
budidaya ikan. Pengembangan kelompok ditekankan yang nantinya
berkembang menjadi bentuk asosiasi bersama dengan kelompok pembudidaya
ikan yang lain. Melalui asosiasi ini bisa terjalin bentuk kerjasama dalam
penyediaan benih ikan dan konsultasi teknik antar sesama pembudidaya ikan.
Pembentukan kelompok pembudidaya ikan tidak serta merta dibentuk,
terlebih dahulu mengajak pembudidaya ikan sebagai model atau guru untuk
diikutsertakan dalam kegiatan seminar, rapat dan kunjungan lapang. Melalui
cara ini pembudidaya ikan model tersebut menjadi saling kenal dan saling
belajar di antara mereka. Asosiasi pembudidaya ikan diperkuat agar menjadi
mandiri dalam menyediakan input produksi dan saran, serta dapat melanjutkan
program pembangunan setelah Peace Corp sebagai penyelenggaran program
pergi. Zaire merupakan negara pertama di Afrika yang menghasilkan
pembudidaya ikan pada level ahli dari program ini.
Asosiasi berbeda dengan lembaga kerjasama yang lain, yaitu tidak ada
uang yang diinvestasikan, yang bisa menimbulkan kecemburuan. Asosiasi
dibentuk sebagai tempat mempertemukan kebutuhan akan ikan,
65
mengembangkan keberanian, nasehat, dan proteksi melawan pencurian dan
eksploitasi.
Pelatihan formal kepada pembudidaya ikan dilakukan setelah terbentuk
asosiasi. Hasil pelatihan ini adalah munculnya kepercayaan diri dan motivasi
untuk maju dari diri pembudidaya ikan. Pelatihan dilakukan secara singkat
diorganisir di tingkat desa, bertempat di gereja atau sekolah dan dilakukan
kunjungan lapang ke desa terdekat yang dibangun kolam percobaan.
Tahap ketiga, voluntir memperhatikan secara intensif keberlangsungan
asosiasi. Banyak kesempatan diberikan kepada pembudidaya ikan kunjungan
riset dan demonstrasi di stasiun ikan, dan pelatihan kepada beberapa orang
pembudidaya ikan yang nantinya sebagai ahli. Pada tahap akhir ini peran
voluntir hanya sebagai kontributor. Adapun pengelolaan fungsi asosiasi dan
arahan diserahkan kepada pembudidaya ikan itu sendiri.
Peace Corps/Zaïre dibiayai dari USAID. Dibangun lima pusat pelatihan
sebagai model. Pelatihan dengan menggunakan bahasa setempat. Sebagai
tambahan dibentuk tim penyuluhan yang bergerak (mobile extension
team:Equipe Mobil) yang mengunjungi asosiasi pembudidaya ikan dua
bulannan.
Faktor-faktor keberhasilan proyek Peace Corps/Zaïre adalah: (1) motivasi
diri, akses lahan, perlatan dan tenaga kerja oleh pembudidaya ikan, (2) ketatnya
voluntir pada aspek teknis dan bukan pada layanan materi, (3) kesederhanaan
dan biaya yang rendah pada peralatan yang dibuat dan dapat diakses semua
orang.
Proyek di Zaire menunjukkan bahwa birokrasi yang besar tidak
diperlukan, lebih difokuskan kepada individu, sistem yang dikembangkan
adalah pelayanan sektor publik oleh pembudidaya ikan dan asosiasinya. Benih
ikan diproduksi dan didistibusikan secara lokal, pembudidaya ikan yang lebih
ahli memberikan nasehatnya kepada pembudidaya ikan yang baru, dan
pembudidaya ikan bertemu secara teratur dalam kelompok dan berdiskusi
tentang masalah yang ada.
66
(3) Liberia
Penyuluhan perikanan di Liberia diselenggarakan oleh pemerintah di
bawah Departemen Pertanian, Divisi Perikanan. Sejak tahun 1952 penelitian
dan penyuluhan akuakultur sudah ada. Pendekatan yang digunakan adalah
dengan cara masal, dengan membangun kolam percobaan dengan tujuan
memperkenalkan budidaya ikan kepada sasaran sebanyak mungkin.
Pendekatan ini dinilai kurang berhasil, banyak proyek yang terbengkalai.
Pendekatan penyuluhan yang baru dilakukan pada tahun 1979 bersama
the Nimba County Rural Development Project (NCRDP). Proyek ini
bekerjasama dengan pemerintah Jerman Barat. Tujuannnya adalah
meningkatkan suplai ikan dan pendapatan masyarakat pedesaan. Output proyek
termasuk pelatihan pembudidaya ikan dan penyuluh, menyediakan layanan
penyuluhan, dan hatchery di tingkat kabupaten. Penyuluhan diselenggarakan
oleh NCRPD dan the Peace Corps/Liberia.
Voluntekan (penyuluh) bekerja dengan sedikit pembudidaya ikan kurang
dari 10 orang. Tugasnya adalah menjadikan pembudidaya ikan skala kecil
meningkatkan luas kolamnya. Tujuan utamanya adalah menjadikan
pembudidaya mandiri mengembangkan usahanya, yang nantinya tumbuh
menjadi industri. Program penyuluhan didisain dalam bentuk kelompok
(cluster). Pada setiap kluster masing-masing anggota saling mendukung secara
formal, membantu ketersediaan benih ikan, nasehat, dan bantuan fisik untuk
membangun kolam dan pemanenan, serta manajemen yang lebih baik.
Proyek menekankan pada sistem produksi multipel kolam (multiple-pond
production) yang memperhitungkan nilai ekonomi unit produksi. Petani
menjadikan budidaya ikan sebagai suatu usaha yang produktif (productive
farming enterprise), kolam ikan menjadi “bank hidup”. Kelebihan proyek ini
adalah adanya pembudidaya yang lebih ahli mengkomunikasikan teknologi dan
informasi pada pembudidaya lain dengan bahasa setempat.
(4) Panama
Sistem akuakultur yang dikembangkan di Panama adalah sistem
polikultur. Pada lahan kolam (150-300 m2) dikembangkan polikultur tanaman
dan ternak dengan variasi jenisnya sesuai dengan yang diinginkan petani dan
67
karakateristik lokasi. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan asupan
protein hewani masyarakat pedesaan. Sedangkan pada kolam yang berukuran
lebih luas (lebih dari 300 m2) diintegrasikan ikan dengan ternak, seperti sapi,
ayam, dan bebek yang kotorannya menjadi pupuk kolam. Berbagai jenis
tanaman, seperti pisang, yucca, ote dan tanaman tradisional lainnya diairi dari
kolam ikan.
Pada tahun awal proyek penyuluh melakukan inisiasi dengan petani yang
memiliki sumberdaya. Mereka menjelaskan tentang akuakultur kepada
pembudidaya ikan yang telah terseleksi, termasuk manfaatnya. Setiap putusan
proyek ditetapkan bersama antara pembudidaya ikan dengan penyuluh.
Pembudidaya ikan berpartisipasi dalam membuat konstruksi kolam, memilih
ternak, pakan, dan pupuk. Pembudidaya ikan bertanggungjawab penuh atas
pengorganisasian kelompok, dan waktu panen.
Strategi penyuluhan utama di Panama adalah dengan pelatihan personel
di tingkat menengah guna memperkuat kekuatan penyuluhan atau transfer
teknologi. On-the-job-training dilakukan untuk meningkatkan keahlian
penyuluh muda. Sebagian besar penyuluh akuakultur di Panama memperoleh
pengetahuan melalui pengalaman kerja lapang. Pelatihan demikian dinilai
tidak efesien, karena membutuhkan waktu yang lama. Pelatihan kelas
menengah diselenggarakan oleh universitas dengan sistem perkuliahan selama
2,5 tahun. Kurikulum diarahkan dari Kementerian Akuakultur. Lulusannya
menjadi petugas penyuluh akuakultur
Pendekatan di Panama telah menggunakan personel penyuluh untuk
menghubungkan pembudidaya ikan pada sistem riset budidaya. Kedua pihak
meningkatkan pengetahuan dan pengalamannya secara bersama-sama, seperti
juga dalam hal meningkatkan produk yang laku di pasar.
(5) Bangladesh
Penyuluhan akuakultur di Bangladesh berada di bawah lembaga The
Department of Fisheries (DOF) yang pada level daerah ditangani oleh District
Fishery Officer (DFO). Metode penyuluhan yang digunakan dengan
pendekatan individu, kelompok, maupun secara masal. Pada pendekatan
individu pembudidaya ikan menghubungi penyuluh guna meminta saran,
68
penyuluh melakukan kunjungan lapang ataupun dengan korespondensi melalui
surat. Sedangkan pada pendekatan kelompok dilakukan dengan beberapa cara,
seperti: pelatihan dan workshop, pertemuan informal, serta demonstrasi dan
kunjungan. Penyuluhan secara massal dilakukan melalui media massa, seperti
televisi, radio, surat kabar, poster, serta dengan beberapa jenis publikasi
tercetak seperti buklet, pamflet, buletin dan sebagainya yang diberikan kepada
pembudidaya ikan.
Pusat-pusat pelatihan akuakultur didirikan di beberapa wilayah. Dalam
lembaga ini penyuluh akuakultur juga dilatih untuk menguasai teknologi
tertentu, terutama tentang pembenihan (hatchery ikan dan udang), yang
nantinya disebarluaskan ke masyarakat pembudidaya ikan
Lembaga Pendukung Agribisnis Akuakultur
Paradigma agribisnis memandang bahwa pengoperasian usaha pertanian
tidak hanya melihat dari aspek peningkatan produksi saja melainkan juga perlu
memperhatikan aspek-aspek lain pendukung produksi, seperti pabrik dan distribusi
input produksi, pengolahan, dan distribusi komoditas hasil produksi, seperti yang
dinyatakan oleh Downey dan Erickson (1987) sebagai berikut “The sum total of all
operations involved in the manufacture and distribution of farm supplies,
production operations on the farm, processing and distribution of farm
commocities and items made from them.” Terkait dengan hal tersebut Saragih
(1995) menyatakan bahwa terdapat keterkaitan vertikal antar subsistem agribisnis
dan keterkaitan horisontal dengan sistem atau subsistem lain di luar, seperti jasa-
jasa (finansial dan perbankan, transportasi, perdagangan, pendidikan dan lain-lain).
Keterkaitan sistem produksi dan pendukung perlu dijaga dan diseimbangkan,
seperti: (a) penyediaan input produksi (benih, pupuk, pestisida, tenaga kerja), (b)
kredit perbankan, (c) unit-unit industri pengolahan, (d) lembaga pemasaran, dan (e)
lembaga penelitian dan pengembangan untuk menciptakan dan mengembangkan
teknologi usaha tani yang mutakhir. Demikian pula dukungan sistem informasi
serta tersedianya data yang akurat dan mudah didapat setiap waktu mengenai
produksi, permintaan, dan harga perlu diusahakan. Pengembangan agribisnis pada
akuakultur mencakup sektor hulu hingga sektor hilir (Gambar 7).
69
Akuabisnis sebagai suatu manajemen, khususnya pada kegiatan on farm
meliputi subsistem-subsistem yang saling terkait, sehingga tujuan akuakultur untuk
memperoleh keuntungan akan dapat tercapai (Gambar 8).
Gambar 7. Lingkup Pembangunan Sistem Agribisnis Akuakultur (diadopsi dari Sistem Agribisnis Pertanian oleh Saragih 2005)
Beberapa cakupan kegiatan bisnis yang ada pada masing-masing sub sistem
adalah sebagai berikut:
(1) Subsistem pengadaan sarana dan prasarana produksi. Mencakup kegiatan
pemilihan lokasi, pengadaan bahan, dan pembangunan fasilitas produksi.
Dalam pengadaan sarana produksi terdiri dari kegiatan pengadaan induk, benih,
pakan, pupuk, obat-obatan, peralatan akuakultur, tenaga kerja dan sebagainya.
(2) Subsistem proses produksi, mencakup kegiatan sejak persiapan wadah kultur,
penebaran (stocking), pemberian pakan, pengelolaan lingkungan, pengelolaan
kesehatan ikan, pemantauan ikan, hingga pemanenan.
(3) Subsistem penanganan pasca panen dan pemasaran, mencakup kegiatan
meningkatkan mutu produk sehingga bisa lebih diterima oleh konsumen,
distribusi produk, dan pelayanan (service) kepada konsumen.
(4) Subsistem pendukung, antara lain mencakup aspek hukum (perundangan-
undangan dan kebijakan, aspek keuangan (pembiayaan atau kredit, pembayaran
Subsistem Agribisnis Hulu Industri perbenihan
ikan Industri agrokimia
(pupuk, obat-obatan)
Industri perkapalan
Industri otomotif
Subsistem Usahatani Usaha
penangkapan Usaha
pengolahan Usaha
budidaya
Subsistem Pengolahan Industri makanan Industri minuman Industri kosmetik Industri biofarma Industri agrowisata
dan estetika
Subsistem Pemasaran Distribusi Promosi Informasi pasar Kebijakan
perdagangan Struktur pasar
Subsistem Jasa dan Penunjang Perkreditan dan asuransi Penelitian dan pengembangan Pendidikan dan penyuluhan Transportasi, pergudangan, dan pelabuhan
70
dan sebagainya), aspek kelembagaan (organisasi perusahaan, asosiasi, koperasi
perbankan, lembaga birokrasi, lembaga riset pengembangan dan sebagainya).
Berdasarkan keterkaitan berbagai subsistem dalam sistem manajemen
agribisnis akuakultur (akuabisnis), maka dapat dicatat bahwa lembaga-lembaga
yang terkait dalam subsistem-subsistem sangat dibutuhkan perannya dalam
mendukung keberlanjutan usaha milik pembudidaya ikan, baik yang mencakup
lembaga pengadaan sarana dan prasarana produksi, terutama lembaga penyedia
input produksi, lembaga pemasaran, lembaga keuangan, dan lembaga penyedia
informasi dan teknologi.
Pada era sekarang ini informasi menjadi kebutuhan yang sangat penting
bagi kehidupan manusia di seluruh dunia, termasuk bagi pembudidaya ikan guna
keberlanjutan usahanya. Seperti halnya yang dinyatakan oleh Nakazawa dan John
(1993), informasi yang relevan dan tepat waktu penting untuk keberhasilan usaha.
Informasi usaha dapat berupa informasi peluang-peluang usaha, informasi pasar,
dan informasi hasil-hasil penelitian. Terkait dengan informasi pasar yang sangat
diperlukan oleh pembudidaya ikan skala kecil adalah informasi tentang jumlah
permintaan, jumlah penawaran, pola konsumsi (consumption patterns), pasar, dan
harga.
Pentingnya informasi bagi pengembangan masyarakat desa, khususnya para
petani mendorong pemerintahan di negara-negara membentuk lembaga-lembaga
yang menyediakan informasi ini. Pemerintah Amerika Serikat membentuk lembaga
Pusat Informasi Pedesaan atau Rural Information Center (RIC) yang berfungsi
menyediakan informasi dan referensi pelayanan bagi pegawai pemerintah daerah
setempat, organisasi masyarakat, pengusaha, warga desa dan pihak lain yang terkait
di desa, guna membantu revitalisasi dan perencanaan projek, pengembangan wisata
Proses produksi Penanganan pasca panen
dan pemasaran
Pendukung
Gambar 8. Sistem Manajemen Akuabisnis
Pengadaan sarana dan prasaran
71
desa, kesehatan desa, sumber-sumber pembiayaan, pendidikan, penelitian dan isu
lain yang terkait. Selain itu, melalui lembaga Economist-Management Group of
the Texas Agricultural Extension Service petani dan peternak diperkenalkan
program pengelolaan pertanian dan peternak dengan berbasis teknologi komputer.
Hasil penelitian oleh Breazeale (1989) menunjukkan, petani dan peternak memiliki
tingkat kepuasan yang cukup tinggi atas TAEX software yang diperkenalkan.
Pemerintah Australia juga mengembangkan sistem informasi Target-specific
Expert System (ES). Pendekatan dengan target-specific ES telah terbukti membantu
proses pengambilan keputusan usaha para peternak sapi perah di Australia (Miah et
al. 2009).
Beberapa jenis media dapat digunakan dalam masyarakat pedesaan yang
sesuai dengan kondisi sosio struktural masyarakat setempat. Penggunaan media
informasi yang bersifat pendidikan-hiburan (entertainment-education) seperti
sandiwara radio telah terbukti merubah perilaku petani (Heong et al. 2008).
Demikian pula penggunaan ICT telah memudahkan tujuan arah penyuluhan
pertanian yang modern (Feng et al. 2005). Bentuk kegiatan pengamatan yang
dilakukan sendiri oleh petani juga menjadi sumber informasi yang utama, karena
mampu meningkatkan keyakinan (belief) tentang efek pestisida, kualitas air, dan isu
lingkungan (Lichtenberg dan. Zimmerman 1999).
Lembaga penyedia input produksi pada masyarakat pedesaan juga penting
peranannya dalam mendukung keberhasilan usaha masyarakat desa, termasuk di
antaranya pembudidaya ikan. Lembaga penyedia input bisa berasal dari
pemerintah, swasta, maupun masyarakat pembudidaya ikan yang lain. Jenis input
yang diperlukan dalam usaha akuakultur yang utama adalah benih ikan dan pakan.
Penyediaan benih ikan pada usaha akuakultur di negara-negara berkembang
sebagian besar dilakukan oleh pemerintah (Edwards dan Demaine 1998). Lembaga
pemerintah yang berfungsi menyediakan benih ikan bagi pembudidaya ikan di
Indonesia adalah Balai Benih Ikan (BBI) yang umumnya ada di setiap kabupaten
yang memiliki potensi perikanan darat. Penyediaan pakan buatan seperti pelet
umumnya diperoleh dari lembaga swasta melalui agen-agen penjualan, dan untuk
pakan alami pembudidaya ikan mengandalkan pada planton yang hidup di kolam
atau pakan dari daun-daunan seperti daun sente.
72
Dukungan lembaga pemasaran berperan sangat penting guna memasarkan
hasil produksi pembudidaya ikan secara efesien dan efektif. Dalam rantai
pemasaran ikan, posisi pembudidaya sebagai produsen seringkali memiliki posisi
tawar yang paling lemah, sehingga harga yang diterima juga menjadi rendah.
Menurut FAO (2008) guna meningkatkan posisi tawar dan memendekkan rantai
pemasaran diperlukan kerjasama dalam bentuk asosiasi (kelompok) pembudidaya
ikan skala kecil, untuk itu diperlukan dukungan dari institusi. Survai pasar,
pertemuan bisnis antara penjual dan pembeli, dan seminar dapat dilakukan secara
berkala sebagai bentuk promosi produk, meningkatkan kontak bisnis, serta
meingkatkan arus informasi.
Pemasaran produk ikan memerlukan berbagai jenis fasilitas yang baik,
sehingga produk tersebut sampai ke tangan konsumen secara cepat dan terjaga
kualitasnya. Mengingat ikan konsumsi yang diinginkan oleh konsumen dalam
keadaan hidup, maka kecepatan waktu dan penanganan yang baik sangat
diperlukan. Pada umumnya ketersediaan fasilitas pemasaran menjadi masalah yang
dihadapi pembudidaya ikan skala kecil, terutama dalam hal sarana transportasi
(FAO 2008).
Perikanan sebagai Suatu Sistem Pembangunan Berkelanjutan
Paradigma pembangunan yang berkelanjutan dimunculkan oleh negara-
negara di Barat pada awal abad 19 yang tergabung dalam International Institute for
Sustainable Development (IISD). Selanjutnya, pada tahun 1990-an organisasi dunia
yang beranggota 170 perusahaan multinasional Eropa yaitu The World Business
Council for Sustainability Development (WBCSD) berkomitmen untuk
mengaplikasikan pembangunan berkelanjutan telah menyusun konsep eko-efesiensi
yang menjelaskan adanya korelasi antara pembangunan sektor ekonomi dengan
sektor lingkungan hidup. Sejak diterbitkannya dalam dokumen Bruntland Report
oleh World Commission on Environtment and Development (WCED), tahun 1987
maka banyak perhatian pada paradigma pembangunan berkelanjutan. Pendekatan
keberlanjutan umum digunakan dalam hal-hal yang terkait dengan kebijakan
lingkungan atau etika bisnis. Pada laporan tersebut pembangunan berkelanjutan
didefinisikan sebagai “pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi
73
sekarang tanpa mengorbankan generasi akan datang untuk dapat memenuhi
kebutuhannya.”
Pengakuan akan pentingnya pembangunan perikanan berkelanjutan sudah
nyata di Indonesia, dengan adanya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan. Dinyatakan bahwa pengelolaan perikanan ditujukan untuk membuka
peluang kerja, kesejahteraan pembudidaya ikan dan nelayan, serta menjaga
keberlanjutan sumberdaya perikanan dan lingkungan. Oleh karena itu, seluruh
aspek kegiatan pembangunan perikanan, termasuk akuakultur sudah seharusnya
berasas pada pandangan pembangunan berkelanjutan.
Pembangunan akuakultur berkelanjutan mengacu pada pendekatan
ekosistem pada akuakultur atau Ecosystem Approach to Aquaculture (EAA) yang
didefinsikan sebagai berikut:
“An ecosystem approach to aquaculture (EAA) strives to balance diverse societal objectives, by taking account of the knowledge and uncertainties of biotic, abiotic and human components of ecosystems including their interactions, flows and processes and applying an integrated approach within ecologically and operationally meaningful boundaries.”
Penerapan EAA pada level usaha akuakultur (farm), zonasi geografi
akuakultur, industri dan komoditi, serta pada tingkat makro (kebijakan). Melalui
EAA akan memperbaiki perputaran nutrient sehingga meminimalisir dampak
negatif pada berbagai tingkatan intensitas, seperti dengan polikultur atau akuakultur
terintegrasi (misalnya ikan dengan remis, ikan dengan rumput laut), serta dengan
memperluas penggunaan ekosistem perikanan melalui penggabungan atau
peningkatan aktifitas dengan sektor lain (pertanian), seperti mina padi (FAO 2007).
Edward dan Demaine (1998) menyatakan bahwa sistem berkelanjutan pada
akuakultur meliputi tiga aspek, yaitu teknologi produksi, sosial-ekonomi, dan
lingkungan. Teknologi produksi mencakup: spesies ikan yang dibudidayakan,
fasilitas budidaya, dan jenis usaha (husbandry), seperti pembenihan, pendederan,
dan pembesaran. Aspek sosial ekonomi terdiri dari tingkat mikro atau komunitas
dan rumah tangga, dan tingkat makro atau internasional, nasional, dan regional.
Aspek lingkungan mencakup dampak positif maupun negatif .
Frankic dan Hershner (2003) mengemukakan bahwa dalam konsep
akuakultur berkelanjutan terkandung tiga dimensi, yaitu lingkungan, ekonomi, dan
74
sosial. Dinyatakan lebih lanjut, bahwa praktek usaha akuakultur yang
berkelanjutan tidak hanya dengan memaksimalkan keuntungan, melainkan juga
meminimalisir kerusakan, seperti halnya dampak negatif pada lingkungan alam dan
lingkungan sosial. Terkait dengan aspek sosial, Pretty (1995) mengemukakan
perlunya mengembangkan perhatian terhadap keterampilan dan pengetahuan lokal
masyarakat setempat, perlunya menciptakan kreativitas teknologi pertanian
alternatif, dan perjuangan untuk menghadapi rintangan yang besar.
Strategi pembangunan berkelanjutan pada industri akuakultur tidak hanya
ditujukan untuk peningkatan produksi saja. Di negara-negara Uni-Eropa industri
akuakultur ditujukan untuk membuka lapangan kerja, menyediakan konsumsi
pangan yang sehat, aman, dan berkualitas yang dihasilkan dari ikan yang sehat dan
dari produksi yang ramah lingkungan (Focardi dan Franci 2005).
Menurut Sukadi (2008), pembangunan berkelanjutan tidak semata-mata
berorientasi pada peningkatan produksi saja, melainkan juga pada dampak usaha
budidaya pada keberlanjutan lingkungan di sekitarnya, serta tuntutan kualitas dan
keamanan produk oleh konsumen dan aturan yang berlaku. Untuk itu, diperlukan
perbaikan teknologi dan sistem manajemen yang mengarah pada proses produksi
yang ramah lingkungan dan memperhatikan keamanan pangan. Macgregor dan
Warren (2006) menyatakan bahwa pengembangan akuakultur yang berkelanjutan
memerlukan praktek-praktek pengelolaan lahan dan perairan yang tepat, sehingga
menekan terjadinya degradasi lingkungan, terutama akibat polusi perairan (aquatiq
pollution).
Faktor-faktor yang penting untuk meningkatkan keberlanjutan sektor
akuakultur di Indonesia menurut Sukadi (2008) adalah benih yang berkualitas,
teknik produksi yang tepat, lingkungan akuakultur, pengelolaan kesehatan ikan,
kualitas produk, dan pemasaran.
Paradigma pembangunan perikanan berkelanjutan diawali dengan
munculnya paradigma konservasi (conservation paradigm) yang dipengaruhi oleh
pandangan biologi. Dalam paradigma ini, keberlanjutan perikanan diartikan sebagai
konservasi jangka panjang (long-term conservation) sehingga sebuah kegiatan
perikanan akan disebut “berkelanjutan” apabila mampu melindungi sumberdaya
perikanan dari kepunahan. Konsep ini memberikan sedikit perhatian pada tujuan
m
k
p
i
(
p
p
k
y
d
r
p
p
p
s
k
k
k
k
t
manusia da
konservasi
paradigma r
ini memfok
(economical
pencapaian k
Char
perikanan k
keberlanjuta
yield) dan k
dan OSY (op
representasi
paradigma
perikanan.
paradigma s
Menu
semata-mata
keuntungan
keberlanjuta
keberlanjuta
keberlanjuta
tercapainya
Gam
alam melaku
ini mendap
rasionalitas (
kuskan pada
lly rational
keuntungan
rles (2001)
konvensiona
an secara bio
eberlanjutan
optimum sust
dari parad
rasionalitas
Charles
osial dan ko
urut Kusum
a ditujukan u
ekonomi
an komunita
an institusi
an dari peran
keberlanjuta
mbar 9. Segit
ukan kegiat
pat tantanga
(rationalizat
a keberlanju
l or efficie
maksimal su
mengkriti
al yang se
ologi-ekolog
n ekonomi d
tainable yiel
digma kons
yang tela
(2001) men
omunitas (co
mastanto (2
untuk kepen
semata (as
as perikanan
(institution
ngkat regula
an ekologi, e
tiga Keberlan
an perikana
an dari para
tion paradig
utan perikan
ent fishery)
umberdaya p
isi secara
elama ini
gi dengan k
dengan konse
ld). Konsep
ervasi dan
ah lama m
ngemukakan
mmunity par
2003), perik
ntingan keles
s rents) ta
n (sustainabl
nal sustaina
asi, kebijaka
ekonomi dan
njutan Sistem
an tersebut.
adigma lain
gm) pada tah
nan yang ra
dan mend
perikanan ba
sistematik
hanya ber
konsep MSY
ep MEY (ma
p pertama pa
dua konsep
mendominasi
n wacana b
radigm).
kanan yang
starian ikan
api lebih d
le communit
ability) yan
an dan organ
n komunitas p
m Perikanan
Dominasi
n yang dise
hun 1950-an
asional seca
dasarkan p
agi pemilik s
konsep k
rgantung pa
Y (maximum
aximum econ
ada dasarnya
p berikutny
konsep k
baru tentan
g berkelanj
itu sendiri (
dari itu ad
ty) yang dit
ng mencak
nisasi untuk
perikanan (G
n (Charles, 2
75
i paradigma
ebut sebagai
n. Paradigma
ara ekonomi
ada konsep
sumberdaya.
keberlanjutan
ada konsep
sustainable
nomic yield)
a merupakan
ya mewakili
keberlanjutan
ng perlunya
utan bukan
(as fish) atau
dalah untuk
tunjang oleh
kup kualitas
mendukung
Gambar 9).
001)
5
a
i
a
i
p
n
p
e
)
n
i
n
a
n
u
k
h
s
g