PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI - core.ac.uk · tahap proses pelaksanaan ritual Wiwitan...
Transcript of PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI - core.ac.uk · tahap proses pelaksanaan ritual Wiwitan...
i
TRADISI WIWITAN MASYARAKAT JAWA
DI DUSUN MUNDU, CATURTUNGGAL, DEPOK, SLEMAN,
YOGYAKARTA: KAJIAN MITOS, RITUS, MAKNA DAN FUNGSI
Tugas Akhir
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Utami Apriani
NIM 09 4114 014
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2014
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
MOTTO
Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi
kekuatan kepadaku (Filipi 4:13)
Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan
bertekunlah dalam doa (Roma 12:12)
Barangsiapa yang tidak pernah melakukan kesalahan,
maka dia tidak pernah mencoba sesuatu yang baru (Albert Einstein)
Belajarlah dari masa lalu, hiduplah untuk masa depan.
Yang terpenting adalah tidak berhenti bertanya (Albert Einstein)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
PERSEMBAHAN
Tanda terima kasih kupersembahkan untuk:
orang tuaku, kakak dan adikku,
serta teman-teman seperjuangan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang
telah melimpahkan kasihnya untuk menuntun penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini. Skripsi yang berjudul “Tradisi Wiwitan Masyarakat Jawa di Dusun
Mundu, Caturtunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta: Kajian Mitos, Ritus, Makna
dan Fungsi” ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana
sastra pada Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta.
Penulis sadar dalam penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan
dan dukungan dari berbagai pihak, karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan
terima kasih kepada:
1. Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum., selaku pembimbing I penulis dalam
menyusun skripsi ini yang telah memberikan bimbingan, motivasi, dan
nasihat kepada penulis.
2. Prof. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum. selaku pembimbing II, atas
bimbingan dan nasihat yang telah diberikan kepada penulis.
3. Bapak dan Ibu dosen Sastra Indonesia, Fr. Tjandrasih Adji, M.Hum., Drs.
Hery Antono, M.Hum., Drs. B. Rahmanto, M.Hum., Dr. Paulus Ari
Subagyo, M.Hum., S.E. Peni Adji, S.S, M.Hum., dan Drs. F.X. Santosa,
M.S., serta dosen-dosen pengampu mata kuliah tertentu yang tidak dapat
penulis sebutkan satu per satu, atas bimbingan yang diberikan kepada
penulis untuk menimba ilmu di Program Studi Sastra Indonesia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
4. Staf Sekretariat Fakultas Sastra yang membantu penulis untuk
memperoleh informasi akademik selama menjalani studi.
5. Staf Perpustakaan Universitas Sanata Dharmayang membantu penulis
dalam menyediakan buku-buku yang berguna bagi pengerjaan skripsi ini.
6. Kedua orang tuaku (Bapak Sihono dan Ibu Rajiyem), kedua kakakku (andi
Haryanto dan Edi Hermantaka) dan adikku Andang Indarto terima kasih
atas kasih sayang, doa, dan dukungan yang tak ada habisnya diberikan
kepada penulis.
7. Teman-teman Sastra Indonesia angkatan 2009, terima kasih atas
kebersamaannya dari awal perkuliahan sampai sekarang ini.
8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.
Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kata sempurna yang
merupakan tanggung jawab penulis. Masih ada beberapa hal yang perlu diteliti
lebih lanjut pada penelitian selanjutnya. Semoga karya sederhana ini bermanfaat
bagi pembaca.
Yogyakarta, 17 Juli 2014
Utami Apriani
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
ABSTRAK
Apriani, Utami. 2014, “Tradisi Wiwitan Masyarakat Jawa di Dusun Mundu,
Caturtunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta: Kajian Mitos, Ritus, Makna
dan Fungsi”. Skripsi Srata 1 (S1). Program Studi Sastra Indonesia,
Fakultas Sastra. Universitas Sanata Dharma.
Skripsi ini membahas tradisi Wiwitan dari segi kajian mitos, ritus, makna
dan fungsi bagi masyarakat di Dusun Mundu, Caturtunggal, Depok, Sleman,
Yogyakarta. Studi ini memiliki tiga tujuan, yakni (1) menjelaskan dan
mengungkap kajian struktural mitos Dewi Sri yang melatarbelakangi upacara
Wiwitan dalam masyarakat Jawa di Dusun Mundu, Caturtunggal, Depok, Sleman,
Yogyakarta, (2) mendeskripsikan proses dan makna upacara Wiwitan di Dusun
Mundu, Caturtunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta, (3) mendeskripsikan fungsi
yang terkandung dalam upacara Wiwitan bagi masyarakat di Dusun Mundu,
Caturtunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta.
Pendekatan yang digunakan dalam studi ini adalah pendekatan folklor.
Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini sebagai landasan referensi
adalah kajian mitos, ritus, makna dan fungsi. Penelitian ini menggunakan metode
etnografi dengan empat teknik pengumpulan data yaitu pengamatan (observasi),
wawancara, kepustakaan, dan dokumentasi. Teknik dokumentasi digunakan untuk
mendokumentasikan hasil wawancara yang kemudian disajikan dalam
pembahasan.
Hasil penelitian upacara Wiwitan di Dusun Mundu ini menunjukan
beberapa hal berikut. (1) Kajian struktural mitos Dewi Sri yang melatarbelakangi
upacara Wiwitan. Di dalam masyarakat Dusun Mundu ada dua versi mitos Dewi
Sri yang dipercaya. Teks pertama diambil dari buku yang berjudul Falsafah
Hidup Jawa (Endraswara, 2010: 203-204), sedangkan teks kedua diambil dari
hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan narasumber Bapak Sihono pada
tanggal 3 Desember 2013. Dari kajian struktural kedua mitos tersebut, dapat
disimpulkan bahwa mitos Dewi Sri yang dipercaya sebagai dewi tanah, dewi padi
dan dewi sawah memiliki pola aktansial yang sama. Hal ini membuktikan bahwa
struktur mitos Dewi Sri dapat bertahan terhadap perubahan zaman. (2) Ada tiga
tahap proses pelaksanaan ritual Wiwitan yang dipimpin Mbah Kaum, yaitu
pertama, tahap persiapan. Dalam tahap ini pemilik sawah memilih dan
menentukan hari pelaksanaan upacara Wiwitan dan mempersiapkan sesaji serta
peralatan yang akan digunakan. Dalam tahap ini terdapat makna kegiatan yaitu
dalam pemilihan hari yang menghindari tanggal 1 Sura dan hari geblak orang tua,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
anak, dan pasangan hidup memiliki maksud bahwa jika melakukan kegiatan pada
hari tersebut dipercaya hasil panen akan gagal, karena hari-hari tersebut
seharusnya digunakan untuk berdoa. Kedua, tahap pelaksanaan inti ritual. Pada
tahap ini pemilik sawah mengundang pemimpin adat yang disebut Mbah Kaum
untuk memimpin upacara dan membacakan doa yang ditujukan kepada Tuhan
Yang Maha Esa dan Dewi Sri. Kemudian ia memetik sedikit padi yang nantinya
akan dibawa pulang pemilik sawah yang disebut mantenan atau mboyong mbok
Sri. Ketiga, Tahap Pascaritual, pada tahap ini pemilik sawah membagikan nasi
wiwitan kepada tetangga yang ikut hadir di sawah. Kemudian pemilik sawah
membuang kotosan di tepi atau sudut-sudut sawah atau disebut ngguwaki di
sawah. Namun, jika nasi wiwitan masih tersisa, nasi wiwitan bisa juga dibagikan
kepada orang yang ditemui ketika perjalanan pulang atau dibagikan kepada
tetangga di dekat rumah pemilik sawah. (3) Ada empat fungsi upacara Wiwitan
bagi masyarakat di Dusun Mundu yang mencakup tentang (i) fungsi magis
sebagai sarana masyarakat menghargai roh leluhur dan percaya dengan roh halus
(ii) fungsi religius sebagai sarana masyarakat Jawa memuja Tuhan, (iii) fungsi
faktitif sebagai sarana masyarakat Jawa menghargai sesama, dan (iv) fungsi
intensifikasi sebagai sarana masyarakat Jawa menghargai alam.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
ABSTRACT
Apriani, Utami. 2014, "Javanese Wiwitan Tradition in Mundu Hamlet,
Caturtunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta: A Study of Its Myths, Rites,
Significances and Functions". Undergraduate Thesis (Bachelor Degree).
Indonesian Literature Study Program, Faculty of Letters. Sanata Dharma
University
This thesis discusses Wiwitan tradition in terms of the study of its myths,
rites, significances, and functions for people in the hamlet of Mundu,
Caturtunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta. This study has three objectives,
namely (1) to explain and unravel the structural studies of the myths of Dewi
(Goddess) Sri behind Wiwitan ceremony in Javanese community in Mundu,
Caturtunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta, (2) to describe the process and
significance of Wiwitan ceremony in Mundu, Caturtunggal, Depok, Sleman,
Yogyakarta, (3) to describe the functions contained in Wiwitan ceremony for
people in Mundu, Caturtunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta.
The approach used in this study is folklore approach. The foundation of
the theory used in this study as a reference foundation is the study of myths, rites,
significances and functions. This study uses ethnographic methods with four data
collection techniques, namely observation, interviews, literature, and
documentation. Documentation techniques are used to document the results of the
interviews, which are presented in the discussion.
The results of Wiwitan ceremony study shows the followings; (1) The
structural study of Dewi Sri myth underlies Wiwitan ceremony. In Mundu society,
there are two believed versions of Dewi Sri myth. The first version is taken from a
book entitled Falsafah Hidup Jawa (The Philosophy of Javanese Life)
(Endraswara, 2010: 203-204), while the second version is taken from the
interviews conducted by the writer of the thesis on December 3, 2013, with Mr.
Sihono as the informant. From the structural study of the both myths, it can be
concluded that Dewi Sri is believed to be the goddess of the land, the goddess of
rice field and paddy, which has the same actantial pattern. This proves that the
myth of Dewi Sri structure can withstand the changing times. (2) There are three
stages of the implementation process of Wiwitan rituals led by Mbah Kaum (the
indigenous leader). The first stage is the preparation stage. In this stage, the owner
of the rice field selects and specifies the day of the Wiwitan ceremony and
prepares the offerings and equipments to be used. In this stage, there is
significance in selecting the activities, which is avoiding the first Sura day and the
geblak day (the death date) of their parents, children, and spouses. If they still
conduct the activities on those days, it is believed the crops will fail because those
days are supposed to be used for sending prayers. The second stage is the
implementation stage of the ritual core. In this stage, the rice field owner invites
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiii
the indigenous leader called Mbah Kaum to lead the ceremonies and prayers
addressed to Almighty God and Dewi Sri. Then he plucks a bit of paddy that will
be taken home by the rice field owner, which is called mantenan or mboyong
mbok Sri. The last stage is the post-ritual stage. In this stage, the owner of the rice
field distributes wiwitan rice to the neighbors who are present in the rice field.
Then the owner of the rice field throws kotosan (a type of leaf) away in the
corners or edges of the fields, which is called ngguwaki in the fields. However, if
the wiwitan rice still remains, it can also be given to people encountered on the
way home or to the neighbors living near the rice field owner's house. (3) There
are four functions of Wiwitan ceremony for people in the hamlet of Mundu which
includes (i) magical function as a means of public respect and trust with the
ancestral spirits, (ii) religious function as a means of worshiping God for Javanese
society, (iii) factitive function as a means of respecting others for Javanese
society, and (iv) intensification function as a means of appreciating nature for
Javanese society.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiv
DAFTAR ISTILAH
Ani-ani : alat tradisional dengan ukuran genggaman tangan dan
berfungsi untuk mengetam padi yang terbuat dari pisau
yang dijepit kayu dan bambu
Cabe : bukan cabai tetapi semacam rempah yang rasanya pedas.
Duit seketheng : dua uang logam untuk sesaji.
Empon-empon : sesaji yang berupa sirih, tembakau, kapur sirih, dan
gambir.
Galengan : jalur pembatas petak sawah.
Geblak : hari kematian
Gereh pethek : ikan asin semacam teri tetapi bentuknya lebih besar dari
teri dan pipih.
Kotosan : daun turi dan daun dadap yang direbus.
Mantenan : pernikahan.
Pasaran : berkaitan dengan penanggalan Jawa.
Sego liwet : nasi yang diliwet (dimasak secara tradisional) sampai
menimbulkan kerak nasi (intip).
Umborampe : sesaji.
Wiwitan : upacara sebelum memulai panen padi, diambil dari kata
wiwit dalam bahasa Jawa yang artinya mulai.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xv
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING .......................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ................................................... iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ..................................................... iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ....................................... v
MOTTO ..................................................................................................... vi
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................ vii
KATA PENGANTAR ................................................................................ viii
ABSTRAK .................................................................................................. x
ABSTRACT ................................................................................................ xi
DAFTAR ISTILAH .................................................................................... xii
DAFTAR ISI ............................................................................................... xiii
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR ........................................................... xvii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................... 5
1.3 Tujuan Penelitian ....................................................................... 5
1.4 Manfaat Hasil Penelitian ........................................................... 6
1.5 Tinjauan Pustaka ...................................................................... 7
1.6 Landasan Teori .......................................................................... 9
1.6.1 Pengertian Folklor .......................................................... 9
1.6.2 Kepercayaan Rakyat ....................................................... 11
1.6.3 Mitos................................................................................ 12
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvi
1.6.4 Kajian Sruktural Mitos .................................................... 13
1.6.5 Proses dan Makna Ritual ................................................. 15
1.6.6 Fungsi Ritual ................................................................... 18
1.7 Metode Penelitian ...................................................................... 19
1.7.1 Pendekatan ...................................................................... 19
1.7.2 Metode ............................................................................. 20
1.7.3 Teknik Pengumpulan Data .............................................. 20
1.7.4 Analisis Data ................................................................... 23
1.7.5 Sumber Data .................................................................... 24
1.8 Sistematika Penyajian ............................................................... 24
BAB II TRADISI WIWITAN DALAM KONTEKS MASYARAKAT JAWA
DI DUSUN MUNDU .................................................................................. 27
2.1 Pengantar ................................................................................... 27
2.2 Sekilas tentang Masyarakat Jawa di Dusun Mundu .................. 28
2.2.1 Letak Geografis Dusun Mundu ...................................... 28
2.2.2 Data Statistik Dusun Mundu .......................................... 30
2.3 Sistem Kepercayaan Masyarakat Dusun Mundu ...................... 33
2.3.1 Percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai Kekuatan
Tertinggi ................................................................................... 34
2.3.2 Animisme ....................................................................... 34
2.3.3 Percaya pada Roh Halus .................................................. 35
2.3.4 Percaya pada Leluhur ...................................................... 37
2.3.5 Percaya Mitos .................................................................. 39
2.3.6 Kejawen ........................................................................... 40
2.4 Sistem Kesenian ........................................................................ 41
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvii
2.4.1 Karawitan ........................................................................ 42
2.4.2 Campursari ...................................................................... 42
2.4.3 Wayang Kulit .................................................................. 43
2.4.4 Jathilan ............................................................................ 45
2.4.5 Kethoprak ........................................................................ 46
2.5 Tradisi Wiwitan dalam Konteks Masyarakat Jawa di Dusun
Mundu ...................................................................................... 47
2.6 Rangkuman ................................................................................ 48
BAB III KAJIAN STRUKTUR MITOS DEWI SRI .................................. 50
3.1 Pengantar ................................................................................... 50
3.2 Mitos Dewi Sri Teks A .............................................................. 51
3.3 Mitos Dewi Sri Teks B .............................................................. 53
3.4 Analisis Struktural Mitos Dewi Sri Menurut Teori A.J Greimas 53
3.4.1 Mitos Dewi Sri Teks A.................................................... 53
3.4.1.1 Skema Aktansial ................................................. 53
3.4.1.2 Struktur Fungsional ............................................ 58
3.4.2 Mitos Dewi Sri Teks B .................................................... 61
3.4.2.1 Skema Aktansial ................................................. 61
3.4.2.2 Struktur Fungsional ............................................ 64
3.5 Rangkuman ................................................................................ 66
BAB IV PROSES DAN MAKNA RITUAL UPACARA WIWITAN ........ 67
4.1 Pengantar ................................................................................... 67
4.2 Pengertian Upacara Secara Umum ............................................ 67
4.2.1 Pengertian Upacara Wiwitan ........................................... 68
4.3 Tujuan Upacara Wiwitan ........................................................... 69
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xviii
4.4 Proses dan Makna Upacara Wiwitan ......................................... 69
4.4.1 Tahap Persiapan dan Maknanya ...................................... 70
4.4.2 Tahap Pelaksanaan Inti Ritual dan Maknanya ................ 72
4.4.3 Tahap Pascaritual dan Maknanya .................................... 73
4.5 Rangkuman ................................................................................ 74
BAB V FUNGSI UPACARA WIWITAN ................................................... 77
5.1 Pengantar ................................................................................... 77
5.2 Fungsi Upacara Wiwitan Bagi Masyarakat di Dusun Mundu ... 77
5.2.1 Sebagai Sarana Masyarakat Jawa Memuja Tuhan .......... 78
5.2.2 Sebagai Sarana Masyarakat Jawa Menghargai Sesama .. 80
5.2.3 Sebagai Sarana Masyarakat Jawa Menghargai Alam ..... 81
5.3 Rangkuman ................................................................................ 82
BAB VI PENUTUP .................................................................................... 84
6.1 Kesimpulan ................................................................................ 84
6.2 Saran .......................................................................................... 87
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 88
SUMBER ONLINE .................................................................................... 90
LAMPIRAN ................................................................................................ 91
1. Daftar Narasumber .................................................................... 92
2. Foto-foto .................................................................................... 93
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xix
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR
Tabel 1. Data Jumlah Penduduk di Dusun Mundu ..................................... 31
Tabel 2. Data Penduduk Dusun Mundu Berdasarkan Tingkat Pendidikannya 31
Tabel 3. Data Penduduk Dusun Mundu Berdasarkan Mata Pencahariannya 33
Tabel 4. Data Penduduk Dusun Mundu Berdasarkan Kepercayaannya ..... 34
Gambar 1. Pola Aktansial Mitos Teks A .................................................... 56
Tabel 5. Struktur Fungsional Mitos Teks A ................................................ 60
Gambar 2. Pola Aktansial Mitos Teks B ..................................................... 63
Tabel 6. Struktur Fungsional Mitos Teks B ................................................ 65
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari berbagai suku dan
budaya di dalamnya. Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan
dimiliki bersama oleh sebuah kelompok dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan
politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni
(Kurniawan, 2012:1). Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat.
Segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang
dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Adanya suatu perubahan kebudayaan sangat
bergantung pada manusia sebagai pendukungnya. Perubahan tersebut tergantung
dengan sikap masyarakat terhadap kebudayaan itu. Semakin cinta dan merasa
kebudayaan itu menjadi miliknya sendiri, maka masyarakat akan semakin
bertanggung jawab dan peduli terhadap kebudayaan itu, sehingga kebudayaan
dapat hidup dan berkembang di dalam masyarakat pendukungnya. Adanya
perubahan dan perkembangan zaman ternyata telah mempengaruhi keberadaan
budaya itu sendiri.
Sementara dunia terus bergerak menuju suatu perubahan yang terus
menerus tanpa kenal waktu. Dalam konteks perubahan itu, kebudayaan suatu suku
bangsa yang berada dalam dunia juga ikut berkembang sesuai kehendak manusia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
sebagai subjek kebudayaan. Tetapi selain sebagai objek bentukan manusia,
kebudayaan juga merupakan suatu subjek yang memberikan ciri khas dan
eksistensi dari bangsa pemilik kebudayaan tersebut. Kebudayaan memberikan
dirinya sebagai ciri yang melekat pada suatu suku bangsa dari masa ke masa.
Dalam bahasa Indonesia terdapat istilah yang tepat untuk menyebut wujud ideal
dari kebudayaan ini, yaitu adat atau adat istiadat untuk bentuk jamaknya
(Koentjaraningrat, 1986: 187).
Adat-istiadat dalam masyarakat Jawa dapat diwujudkan dalam bentuk tata
upacara. Tiap-tiap daerah memiliki adat-istiadat sendiri sesuai dengan letak
geografis. Berbagai macam upacara yang terdapat di dalam masyarakat pada
umumnya dan masyarakat Jawa khususnya merupakan pencerminan bahwa semua
perencanaan, tindakan dan perbuatan telah diatur oleh tata nilai luhur. Tata nilai
luhur tersebut diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi
berikutnya sebagai sebuah tradisi (Bratawidjaja, 1988:9). Menurut Sugono
(2008:1483), tradisi adalah adat kebiasaan turun-temurun dari nenek moyang yang
masih dijalankan dalam masyarakat. Yang jelas adalah tata nilai yang dipancarkan
melalui tata upacara adat merupakan manifestasi tata kehidupan masyarakat Jawa
yang serba hati-hati agar dalam melaksanakan pekerjaan mendapatkan
keselamatan baik lahir maupun batin (Bratawidjaja, 1998:9)
Menurut Mulder (1984:28), suku Jawa merupakan suku bangsa yang
kehidupannya bersifat seremonial. Manusia selalu melakukan berbagai upacara
dengan menggunakan perlengkapan simbolik. Berbagai macam tata upacara adat
terdapat dalam masyarakat Jawa, sejak sebelum manusia lahir sampai meninggal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
dunia. Misalnya upacara adat pada waktu wanita hamil, upacara tedak siten,
upacara ruwatan, dan lain-lain. Setiap upacara adat tersebut mempunyai makna
sendiri-sendiri dan sampai saat ini masih dilaksanakan oleh masyarakat Jawa,
terutama di desa-desa. Upacara mempunyai banyak unsur, yaitu: bersaji,
berkorban, berdoa, makan makanan bersama yang telah disucikan dengan doa,
menari tarian suci, menyanyi nyanyian suci, berprosesi atau berpawai, memainkan
seni drama suci, berpuasa, intoksikasi atau mengaburkan pikiran dengan makan
obat bius untuk mencapai keadaan trance atau mabuk, bertapa, dan bersemadi
(Koentjaraningrat, 1986: 378).
Upacara Wiwitan merupakan sebuah upacara tradisional yang masih
dilakukan oleh masyarakat Jawa. Kata “wiwitan” berasal dari kata dasar “wiwit”
yang berarti mulai dari atau yang paling dahulu. (Mangunsuwito, 2013:311).
Upacara Wiwitan adalah upacara yang dilakukan sebelum panen padi dan sebagai
alat untuk menghormati Dewi Sri dan sebagai wujud rasa terima kasih dan rasa
syukur terhadap Tuhan atas anugerah yang diberikan berupa hasil panen yang
melimpah (Wawancara, Bapak Sihono tanggal 10 April 2013).
Dalam pelaksanaan upacara Wiwitan di Dusun Mundu, Caturtunggal,
Depok, Sleman, Yogyakarta akan disesuaikan dengan keadaan lingkungan
setempat dan kemampuan masyarakat. Di samping tata upacaranya, tersaji
pendidikan budi pekerti dan aturan-aturannya. Semua itu merupakan warisan
nenek moyang yang perlu kita lestarikan (Bratawidjaja, 1988:10). Hal ini
mengingat salah satu fungsi upacara adalah sebagai pengokoh norma-norma atau
nilai-nilai budaya yang berlaku dalam masyarakat (Maharkesti dkk. 1988/1989:2).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
Kebudayaan di Indonesia tersebar di hampir semua aspek kehidupan,
mulai dari tari-tarian, alat musik tradisional, adat istiadat, pakaian adat hingga
bangunan arsitektural yang berupa rumah adat di tiap-tiap propinsi yang ada di
Indonesia. Upacara Wiwitan di Dusun Mundu sebagai salah satu contoh
kebudayaan adat istiadat yang berupa upacara tradisional.
Sejak dahulu Daerah Istimewa Yogyakarta terkenal dengan budaya dan
tradisinya. Salah satu tradisi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah upacara Wiwitan
yang merupakan upacara tradisi Jawa yang saat ini masih dilakukan khususnya
oleh masyarakat Dusun Mundu, Caturtunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta dan
masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta pada umumnya. Upacara yang
dilakukan menjelang panen padi ini keberadaannya mulai tersisih seiring
berkembangnya kota Yogyakarta yang sedikit banyak juga mempengaruhi pola
hidup masyarakat Dusun Mundu yang letaknya tidak jauh dari batas Kota
Yogyakarta. Lahan tanah yang dulunya membentang sawah hijau yang luas kini
telah berubah menjadi mall, café, maupun perumahan. Karena adanya
pembangunan tersebut, lahan yang berupa sawah tempat dilakukannya upacara
Wiwitan semakin sedikit sehingga tradisi upacara Wiwitan juga semakin jarang
ditemui. Begitu banyak budaya Jawa yang ada dan hidup di lingkungan
masyarakat. Adanya perkembangan dan perubahan zaman, ternyata telah
mempengaruhi keberadaan budaya Jawa itu sendiri. Bila kita kembali mengingat
masa kecil, tentu kita akan ingat ketika bapak tani akan menanam padi sampai
saat akan memanen padi. Kita akan diundang untuk mengikuti upacara Wiwitan..
Oleh karena itu penulis ingin mengungkapkan kembali upacara Wiwitan di Dusun
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
Mundu sebagai ucapan syukur kepada Dewi Sri dan kepada Tuhan Yang Maha
Esa.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini akan membahas masalah-
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kajian struktural mitos Dewi Sri yang melatarbelakangi
upacara Wiwitan dalam masyarakat Jawa di Dusun Mundu,
Caturtunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta?
2. Bagaimana proses dan makna upacara Wiwitan di Dusun Mundu,
Caturtunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta?
3. Apa fungsi upacara Wiwitan bagi masyarakat di Dusun Mundu,
Caturtunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini dalah sebagai berikut:
1. Menjelaskan dan mengungkap kajian struktural mitos Dewi Sri yang
melatarbelakangi upacara Wiwitan dalam masyarakat Jawa di Dusun
Mundu, Caturtunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta. Hal ini akan
dijelaskan di dalam Bab III.
2. Mendeskripsikan proses dan makna upacara Wiwitan di Dusun Mundu,
Caturtunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta. Hal ini akan dijelaskan di
dalam Bab IV.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
3. Mendeskripsikan fungsi yang terkandung dalam upacara Wiwitan bagi
masyarakat di Dusun Mundu, Caturtunggal, Depok, Sleman,
Yogyakarta. Hai ini akan dijelaskan di dalam Bab V.
1.4 Manfaat Hasil Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis dari hasil penelitian ini adalah:
Untuk studi folklore, hasil studi ini dapat menjadi dokumen dan bacaan
bagi masyarakat umum. Setiap daerah mempunyai ciri khas tersendiri sehingga
antara satu daerah dengan daerah lain berbeda. Upacara Wiwitan yang ada di
Dusun Mundu pasti berbeda dengan yang ada di Bantul dan Kulon Progo. Begitu
juga dengan folklor, setiap daerah memiliki cerita rakyat tersendiri. Keberadaan
folklor dijadikan bahan bacaan sebagai pemahaman akan cinta kearifan lokal.
Juga untuk studi religi budaya.
Penelitian ini bermanfaat untuk bahan kajian dan salah satu sumber bagi
para peneliti lain ataupun peneliti selanjutnya yang mengambil topik yang sama
tetapi dari aspek dan sudut pandang yang berbeda misalnya meneliti upacara
Wiwitan yang ada di daerah lain,meneliti doa atau mantra yang ada dalam upacara
Wiwitan.
1.4.2 Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini bermanfaat untuk menambah wawasan
tentang budaya lokal khususnya mengenai upacara Wiwitan diantaranya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
penjelasan tata cara dalam upacara Wiwitan dan penjelaskan proses dan makna
serta fungsi upacara Wiwitan di Dusun Mundu, Caturtunggal, Depok, Sleman,
Yogyakarta.
Penelitian ini diharapkan menghasilkan manfaat khususnya bagi
perkembangan budaya masyarakat Dusun Mundu dan menambah pengetahuan
tentang budaya upacara Wiwitan sehingga tidak ada kesalahpahaman dalam
memahami budaya. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi salah satu
dokumentasi budaya bagi masyarakat Dusun Mundu, Caturtunggal, Depok,
Sleman, Yogyakarta. Upacara Wiwitan memiliki daya tarik tersendiri bagi
masyarakat lokal maupun turis manca negara sehingga memiliki potensi untuk
dikembangkan sebagai pariwisata budaya sekaligus sebagai usaha pelestarian
budaya.
1.5 Tinjauan Pustaka
Penelitian ini berisi pembahasan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
upacara Wiwitan pada masyarakat Jawa pada umumnya dan khususnya pada
masyarakat Dusun Mundu. Dari penelusuran pustaka dan website yang penulis
lakukan belum ada karya tulis atau karya lainnya yang secara spesifik membahas
proses upacara Wiwitan di Dusun Mundu. Karya tulis atau buku yang ada hamya
membahas upacara Wiwitan secara umum dan tidak membahasnya secara spesifik
lagi. Saksono (2012) dalam buku yang berjudul Faham Keselamatan dalam
Budaya Jawa membahas mengenai upacara adat masyarakat (Jawa) dan slametan.
Dalam buku tersebut disebutkan beberapa upacara yang sampai saat ini masih
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
dilakukan oleh masyarakat Jawa yang bertujuan untuk memohon keselamatan
kepada Tuhan. Diantaranya adalah upacara bersih Dusun Tuksono di Sentolo,
Kulon Progo. Dalam rangkaian upacara bersih dusun tersebut terdapat
pelaksanaan upacara mboyong Mbok Sri yang merupakan tahap pelaksanaan
upacara bersih dusun. Upacara mboyong Mbok Sri disebut juga upacara Wiwitan.
Upacara Wiwitan di Sentolo merupakan upacara Wiwitan dalam skala besar yang
melibatkan seluruh masyarakat desa. Dalam buku tersebut dijelaskan secara
singkat proses upacara Wiwitan yang ada di Dusun Tuksono, Sentolo, Kulon
Progo.
Endraswara (2010) dalam bukunya yang berjudul Falsafah Hidup Jawa
terdapat sub-bab yang membahas mitologi Jawa. Karena penelitian ini juga
berkaitan dengan mitos masyarakat Jawa maka tulisan mengenai mitologi Jawa
tersebut menjelaskan berbagai mitos yang dipercaya oleh masyarakat Jawa
termasuk di dalamnya mitos Dewi Sri yang dipercaya oleh masyarakat Dusun
Mundu dalam pelaksanaan upacara Wiwitan di Dusun Mundu. Saksono (2012)
dalam buku yang berjudul Faham Keselamatan dalam Budaya Jawa juga
membahas tentang mitos Dewi Sri dan berbagai mitos yang dipercaya oleh
masyarakat Jawa. Dewi Sri yang telah dianggap sebagai dewi kesuburan oleh
petani Jawa bukan hanya berhenti sebagai mitos, melainkan mitos itu
dipertahankan dan diwujudkan dalam berbagai upacara tradisi oleh para petani di
Jawa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
Dari penelusuran website, ada beberapa situs website yang membahas
upacara Wiwitan, misalnya dalam website “kurakurakikuk.blogspot.com”. dalam
website tersebut diulas mengenai upacara wiwitan sebagai berikut:
“Wiwitan adalah sebuah tradisi petani, ritual yang hampir punah dan
jarang dilakukan lagi di masa-masa sekarang, dan biasanya dilakukan
sebelum panen raya untuk menghormati dewi kesuburan, Dewi Sri”
Dalam website tersebut juga dijelaskan mengenai proses upacara Wiwitan
secara garis besar namun tidak dijelaskan secara mendalam.
1.6 Landasan Teori
1.6.1 Pengertian Folklor
Menurut Danandjaja (2002 : 1-2) folklore berasal dari dua kata dasar folk
dan lore. Folk artinya sekelompok orang memiliki ciri pengenal fisik, sosial,
budaya, sehingga dapat dibedakan dari kelompok lain. Sedangkan lore adalah
tradisi folk, yaitu sebagian dari kebudayaan yang diwariskan secara turun-temurun
secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat
pembantu pengingat. Jadi folklor adalah suatu kebudayaan kolektif yang tersebar
dan diwariskan turun-temurun secara lisan baik disertai dengan gerak isyarat atau
alat pembantu pengingat. Menurut Endraswara (2004:11) folklor berasal dari kata
folklore (bahasa Inggris). Bila dieja menjadi folk-lore, folk artinya „rakyat‟ dan
lore artinya „tradisi‟. Folk adalah kelompok atau kolektif yang memiliki ciri-ciri
pengenal kebudayaan yang membedakan dengan kelompok lain. Lore merupakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
wujud tradisi dari folk, tradisi tersebut dituturkan secara oral (lisan) dan turun-
temurun. Folklor berarti tradisi rakyat yang sebagian disampaikan secara lisan,
yaitu kelisanan menjadi pijakan folklor.
Menurut Jan Harold Brunvand (dalam Danandjaja 2002:21-22), folkor
dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya: (1) folklor
lisan (verbal folklore), (2) folklor sebagai lisan (partly verbal folklore), dan
folklor bukan lisan (non verbal folklore). Folklor lisan adalah folklor yang
bentuknya memang murni lisan, bentuk-bentuk folklor yang termasuk ke dalam
kelompok besar ini antara lain: (a) bahasa rakyat (folk speech) seperti julukan,
logat, pangkat tradisional, gelar kebangsawanan, (b) ungkapan tradisional seperti
peribahasa, pepatah, pemeo, (c) pertanyaan tradisional seperti teka-teki, (d) puisi
rakyat seperti pantun, gurindam, dan syair, (e) cerita prosa rakyat, seperti mite,
dongeng, legenda, dan (f) nyanyian rakyat. Folklor lisan juga mempunyai fungsi
sebagai penghibur atau sebagai penyalur perasaan yang terpendam.
Folklor lisan adalah folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur
lisan dan unsur bukan lisan. Kepercayaan rakyat, misalnya takhayul dan
pernyataan yang bersifat lisan ditambah dengan gerak isyarat yang dianggap
mempunyai makna gaib. Bentuk-bentuk folklor yang tergolong dalam kelompok
besar ini, selain kepercayaan rakyat adapula permainan rakyat, teater rakyat, tari-
tarian rakyat, adat-istiadat, upacara, pesta rakyat, dan lain-lain.
Folklor bukan lisan adalah foklor yang bentuknya bukan lisan walaupun
cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Kelompok besar ini dapat dibagi
menjadi yang material dan yang bukan material. Bentuk yang tergolong material
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
antara lain arsitektur rakyat (bentuk asli rumah daerah, lumbung padi, dan
sebagainya) dan kerajinan tangan (pakaian dan perhiasan tubuh adat, makanan dan
minuman rakyat, dan obat-obatan tradisional). Sedangkan yang termasuk bukan
material antara lain gerak isyarat tradisional (gesture), bunyi isyarat untuk
komunikasi rakyat (kentongan), dan musik rakyat.
Menurut Budiaman (1979:14) folklor sebagai bagian dari kebudayaan
mempunyai tanda-tanda pengenal yaitu (1) penyebarannya secara lisan atau
perbuatan, yaitu dengan melalui tutur kata dari mulut ke mulut atau dengan
menirukan perbuatan orang lainyang telah menjadi tradisi dalam masyarakat, dan
berlangsung secara turun-temurun, (2) bersifat tradisional, artinya disebarkan
dalam bentuk yang secara relatif tetap, atau dalam bentuk yang standar, dan
tersebar di antara kelompok tertentu, dalam waktu yang cukup lama, (3) folklor
tersebar dalam versi yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena cara
penyebarannya pada dasarnya adalah dari mulut ke mulut, bukan melalui tulisan
atau rekaman, sehingga mudah mengalami perubahan. Walaupun demikian
perbedaannya hanya terletak pada yang kecil-kecil saja, sedangkan bentuk garis
besarnya masih identik, (4) nama pencipta suatu folklor biasanya sudah tidak
diketahui lahi, (5) folklore biasanya mempunyai bentuk klise berupa ungkapan-
ungkapan tradisional yang stereotip, pemilihan kata atau kalimat yang membantu
1.6.2 Kepercayaan Rakyat
Kepercayaan rakyat atau sering kali disebut “takhayul”. Takhayul adalah
kepercayaan yang dianggap sederhana bahkan pandir dan tidak didasarkan pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
logika oleh orang berpendidikan barat sehingga secara ilmiah tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Berhubungan dengan kata “takhayul” yang mengandung
arti menghina atau merendahkan, maka ahli folklor modern memilih
menggunakan istilah kepercayaan rakyat, atau folkbelife atau keyakinan rakyat
dari pada “takhayul”, karena takhayul berarti hanya khayalan belaka atau sesuatu
yang hanya di angan-angan saja (Danandjaja, 2002:153).
Kepercayaan masyarakat Jawa yaitu hidupnya diatur oleh semesta dan
yakin akan adanya roh-roh halus, kekuatan sakti, roh leluhur dan sebagainya.
Kekuatan-kekuatan sakti dan roh halus melebihi kekuatan manusia yaitu kesakten,
arwah leluhur, atau makhluk halus (lelembut, memedi, dan lain-lain).
Konsekuensinya apabila orang ingin hidup tanpa gangguan, mereka harus berbuat
sesuatu untuk mempengaruhi alam semesta, misalnya dengan melakukan puasa,
sesaji atau melakukan selamatan (Endraswara, 2004:128).
1.6.3 Mitos
Sebuah ritual selalu dikaitkan dengan mitos karena, perilaku-perilaku
ritual umumnya dapat dijelaskan dengan istilah-istilah mitis. Mitos memberikan
pembenaran untuk berbagai upacara. Oleh J. van Baal dalam Daeng (2000: 81),
mitos dikatakan sebagai cerita di dalam kerangka sistem suatu religi yang di masa
lalu atau kini telah berlaku sebagai kebenaran keagamaan. Ilmu pengetahuan
tentang mitos atau mitologi adalah suatu cara untuk mengungkapkan,
menghadirkan Yang Kudus melalui konsep serta bahasa simbolik melalui mitologi
diperoleh suatu kerangka acuan yang memungkinkan manusia memberi tempat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
kepada bermacam-macam kesan dan pengalaman yang telah diperolehnya selama
hidup. Berkat kerangka acuan yang disediakan mitos, manusia memiliki orientasi
dalam kehidupan ini. Dengan demikian, mitos adalah sebuah cerita pemberi
pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang.
Kata mitos berasal dari bahasa Yunani muthos, yang secara harafiah
diartikan sebagai cerita atau sesuatu yang dikatakan seseorang; dalam pemgertian
yang lebih luas bisa berarti suatu pernyataan, sebuah cerita, ataupun alur suatu
drama. Kata mythology dalam bahasa Inggris menunjuk pengertian, baik sebagai
studi atas mitos atau isi mitos, maupun bagian tertentu dari sebuah mitos
(Dhavamony, 1995: 147).
Menurut B. Malinowski (dalam Dhavamony 1995: 147) membedakan
pengertian mitos dari legenda dan dongeng. Legenda lebih sebagai cerita yang
diyakini seolah-olah merupakan kenyataan sejarah, meskipun sang pencerita
menggunakannya untuk mendukung kepercayaan-kepercayaan dari komunitasnya.
Sebaliknya, dongeng mengisahkan peristiwa-peristiwa ajaib tanpa dikaitkan
dengan ritus. Dongeng juga tidak diyakini sebagai sesuatu yang sungguh-sungguh
terjadi. Dongeng lebih menjadi bagian dari dunia hiburan. Sedangkan mitos
merupakan pernyataan atas suatu kebenaran lebih tinggi dan lebih penting tentang
realitas asali, yang masih dimengerti sebagai pola dan fondasi dari kehidupan
primitif.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
1.6.4 Kajian Struktural Mitos
Kajian mitos Dewi Sri yang dilakukan oleh A.J Greimas menggunakan
teori struktural yang meliputi skema aktansial dan struktur fungsional. Taum
(2011:144-147) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan aktan adalah satuan
naratif terkecil, berupa unsur sintaksis yang mempunyai fungsi tertentu. Aktan
tidak identik dengan aktor. Aktan merupakan peran-peran abstrak yang dimainkan
oleh seorang atau sejumlah pelaku, sedangkan aktor merupakan manifestasi
konkret dari aktan.
Fungsi dan kedudukan aktan:
1. Pengirim (sender) adalah aktan (seseorang atau sesuatu) yang menjadi
sumber ide dan fungsi sebagai penggerak cerita. Pengirim memberikan
karsa atau keinginan kepada subjek untuk mencapai atau mendapatkan
objek.
2. Objek (object) adalah aktan (sesuatu atau seseorang) yang dituju, dicari,
diburu, atau diinginkan oleh subjek atas ide dari pengirim.
3. Subjek (subject) adalah aktan pahlawan (sesuatu atau seseorang) yang
ditugasi pengirim untuk mencari dan mendapatkan objek.
4. Penolong (helper) adalah aktan (sesuatu atau seseorang) yang membantu
atau mempermudah usaha subjek atau pahlawan untuk mendapatkan
objek.
5. Penentang (opponent) adalah aktan (seseorang atau sesuatu) yang
menghalangi usaha subjek atau pahlawan dalam mencapai objek.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
PENGIRIM
(sender)
OBJEK
(object)
PENERIMA
(receiver)
SUBJEK
(subject)
PENENTANG
(opponent)
PEMBANTU
(helper)
6. Penerima (receiver) adalah aktan (sesuatu atau seseorang) yang menerima
objek yang diusahakan atau dicari oleh subjek.
Gambar 1. Pola Aktansial
Model fungsional berfungsi untuk menguraikan peran subjek dalam
melaksanakan tugas dari pengirim yang terdapat dalam fungsi aktan. Model
fungsional dibagi menjadi tiga yaitu:
1. Situasi awal adalah situasi awal cerita yang menggambarkan keadaan
sebelum ada suatu peristiwa yang menganggu keseimbangan (harmoni).
2. Transformasi meliputi tiga tahap cobaan. Ketiga tahap cobaan ini
menunjukan usaha subjek untuk mendapatkan objek.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
3. Situasi akhir berarti keseimbangan, situasi telah kembali ke keadaan
semula. Konflik telah berakhir. Di sinilah cerita berakhir dengan subjek
yang berhasil atau gagal mencapai objek. (Taum, 2011:146-147)
Tabel 1. Struktur Fungsional
I II III
Situasi
Awal
Transformasi
Situasi
Akhir
Tahap uji
kecakapan
Tahap
utama
Tahap
kegemilangan
1.6.5 Proses dan Makna Ritual
Ritual adalah pola-pola pikiran yang dihubungkan dengan gejala yang
mempunyai ciri-ciri mistis. Ritual dapat dibedakan atas empat macam (1)
Tindakan magi, yang dikaitkan dengan penggunaan bahan-bahan yang bekerja
karena daya-daya mistis; (2) Tindakan religius, kultus para leluhur, juga bekerja
dengan cara ini; (3) Ritual konstitutif yang mengungkapkan atau mengubah
hubungan sosial dengan merujuk pada pengertian-pengertian mistis, dengan cara
ini upacara-upacara kehidupan menjadi khas; dan (4) Ritual faktitif, yang
meningkatkan produktivitas atau kekuatan, atau pemurnian dan perlindungan, atau
dengan cara lain meningkatkan kesejahteraan materi suatu kelompok
(Dhavamony, 1995: 175-176).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
Dalam ritual upacara Wiwitan terdiri atas tiga tahap upacara inti, yaitu:
tahap persiapan, tahap pelaksanaan inti ritual, dan tahap pascaritual. Proses ritual
ini akan dibahas pada Bab VI.
Ritus dalam kepercayaan masyarakat memiliki makna dan nilai bagi
kehidupan manusia. Oleh karena itu, apabila manusia dapat menghayati dengan
benar makna dan nilai-nilai ritus tersebut, maka akan terwujud sifat-sifat budi
luhur seperti akan muncul sebuah kearifan yang menjadikan manusia selalu dekat
dengan Tuhan dan dapat mewujudkan kedamaian, kesejahteraan dan keindahan
dunia beserta isinya (Suyami, 2008:4). Penyelenggaraan upacara ritual pada
umumnya dimaksudkan agar mendapatkan keselamatan. Upacara ritual yang
bersifat komunal dimaksudkan agar mendapatkan keselamatan bagi orang banyak.
Sedangkan upacara ritual yang bersifat individual dimaksudkan agar mendapatkan
keselamatan bagi seseorang yang diselamati atau dirayakan dengan upacara
tersebut (Suyami, 2008:7).
Ritual merupakan bagian dari kebudayaan dan kebudayaan itu sendiri erat
hubungannya dengan sistem simbol. Menurut Geertz dalam Endraswara (2013:85)
kebudayaan adalah suatu pola makna yang terkandung dalam simbol yang
ditransmisikan, suatu sistem konsepsi yang diwariskan, yang diekspresikan dalam
bentuk simbolis, dan melalui bentuk-bentuk simbolis itu manusia
mengomunikasikan, memelihara, dan mengembangkan pengetahuan mereka
mengenai kehidupan dan sikap mereka terhadap kehidupan. Konsep kebudayaan
setidaknya mengandung pengertian bahwa kebudayaan adalah suatu sistem
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
simbol, sehingga dengan demikian proses kebudayaan harus dipahami,
diterjemahkan, dan diinterpretasi.
Menurut Herusatoto (1984:10) makna simbolis berasal dari Bahasa Yunani
yaitu syimbolos yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan hal kepada
seseorang. Menurut Spradley dalam Tinarbuko (2009: 19) semua makna budaya
diciptakan menggunakan simbol-simbol. Simbol adalah objek atau peristiwa
apapun yang menunjuk kepada sesuatu. Semua simbol melibatkan tiga unsur:
simbol itu sendiri, satu rujukan atau lebih, dan hubungan antara simbol dengan
rujukan. Semua itu merupakan dasar bagi keseluruhan makna simbolik. Makna
simbolik yang terdapat dalam ritual jika dapat dipahami dan diamalkan maka akan
membawa manusia ke dalam keselamatan yang dinginkan. Makna simbolik dalam
ritual menuntun manusia untuk selalu berbuat baik supaya mendapatkan
keselamatan dalam kehidupannya.
Menuruit Sugono (2008:864) makna adalah arti atau maksud pembicara
atau penulis. Makna yang dimaksud dalam penelitian ini adalah arti di balik
pelaksanaan upacara Wiwitan di Dusun Mundu yang meliputi tindakan dan
sesajinya.
1.6.6 Fungsi Ritual
Selanjutnya Hutomo dalam bukunya Endraswara (2009: 125) memberikan
konsep fungsi ialah kaitan saling ketergantungan, secara utuh dan berstuktur,
antara unsur-unsur sastra, tulis atau lisan, baik di dalam sastra itu sendiri (intern),
maupun dengan lingkungannya (ekstern), tanpa membedakan apakah unsur-unsur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
tersebut dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan naluri manusia, ataupun
memelihara keutuhan dan sistem struktur sosial.
Taum (2004) menyebutkan secara umum terdapat empat jenis fungsi sastra
lisan, yaitu fungsi magis, fungsi religius, fungsi faktif, dan fungsi intensifikasi.
1. Fungsi Magis
Fungsi magi dikaitkan dengan penggunaan bahan-bahan dalam
upacara ritual yang bekerja karena daya-daya mistis.
2. Fungsi Religius
Fungsi religius berkaitan dengan pelaksanaan rangkaian kegiatan
dalam suatu upacara.
3. Fungsi Faktitif
Fungsi faktitif berkaitan dengan meningkatkan produktivitas atau
kekuatan, atau pemurnian dan perlidungan yang bertujuan meningkatkan
kesejahteraan materi suatu kelompok.
4. Fungsi Intensifikasi
Fungsi intensifikasi berkaitan dengan ritus kelompok yang mengarah
kepada pembaharuan dan mengintensifkan kesuburan, ketersediaan buruan
dan panenan.
1.7 Metode Penelitian
1.7.1 Pendekatan
Dalam penelitian ini digunakan pendekatan folklor dalam mengkaji proses
pelaksanaan dan makna serta fungsi di balik pelaksanaan upacara Wiwitan dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
tradisi selamatan masyarakat Dusun Mundu, Caturtunggal, Depok, Sleman,
Yogyakarta. Danandjaja (2002:17-19) mengatakan bahwa dalam penelitian folklor
Indonesia perlu kiranya peneliti untuk mengetahui lebih dulu sebab-sebab
mengapa pelu meneliti folklor. Sebab utamanya bahwa folklor mengungkap
kepada kita secara sadar atau tidak sadar, bagaimana folknya berpikir. Selain itu,
folklor juga mengabadikan apa yang dirasa penting (dalam suatu masa) salah
satunya adalah folk pendukungnya. Folk lisan dan sebagian lisan masih
mempunyai banyak sekali fungsi yang menjadikan sangat menarik dan penting
untuk diselidiki.
1.7.2 Metode
Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode etnografi.
Etnografi secara harafiah, berarti tulisan atau laporan tentang suatu suku bangsa
yang ditulis oleh seorang antropolog atau hasil penelitian lapangan (field work)
selama sekian bulan atau sekian tahun (Spradley, 2006:vii). Etnografi merupakan
pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan. Tujuan utama aktivitas ini adalah
untuk memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli.
Dalam penelitian ini metode ini digunakan untuk mengetahui sistem
kepercayaan, mitos, proses upacara Wiwitan, makna dan fungsi tentang upacara
Wiwitan bagi masyarakat Dusun Mundu yang masih dilakukan sampai saat ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
1.7.3 Teknik Pengumpulan Data
Dalam proses pengumpulan data lapangan, teknik-teknik pengamatan,
wawancara, perekaman, pencatatan, diperlukan untuk mendapatkan data dari
tempat penelitian (Taum, 2011:239-240). Selain itu teknik kepustakaan dan
dokumentasi juga diperlukan dalam penelitian ini.
1.7.3.1 Teknik Pengamatan (Observasi)
Pengamatan adalah melihat dan mengamati suatu kejadian (tari,
permainan, tingkah laku, nyanyian, dll) dari gejala luarnya sampai kedalamnya
dan menggambarkan atau mendeskripsikan secara tepat hasil pengamatannya
(Taum, 2011:239).
Observasi adalah metode dengan mengamati gejala atau peristiwa yang
terjadi dalam suatu masyarakat dan berkaitan dengan topik penelitian yang
melibatkan peneliti dalam proses peristiwa itu. Dengan teknik ini peneliti harus
berusaha dapat diterima sebagai warga atau orang dalam responden karena teknik
ini memerlukan hilangnya kecurigaan para subjek penelitian terhadap kehadiran
peneliti (Hamidi, 2004:72). Namun dalam kenyataan di lapangan, peneliti
mencoba menjelaskan maksud kedatangannya agar diterima dengan baik oleh para
subjek penelitian. Hal ini dijelaskan oleh Hamidi (2004:78) yang memberikan
alternatif “permisi masuk” dengan cara menjelaskan maksud dan tujuan
kedatangan peneliti. Strategi pengumpulan data ini perlu mendapatkan perhatian
peneliti karena melalui langkah ini peneliti mengawali masuk lapangan sekaligus
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
melakukan upaya agar peneliti dapat diterima secara baik oleh masyarakat atau
komunitas subjek penelitian.
Nasution (1982:131-133) menjelaskan bahwa hubungan atau keadaan
sosial seperti itu sangat penting diciptakan agar mereka dengan senang hati dan
terbuka dalam memberikan informasi dari wawancara. Peneliti dapat memperoleh
gambaran yang lebih objektif tentang masalah yang diselidikinya. Observasi
dimaksudkan untuk mengamati masyarakat Dusun Mundu seperti kehidupan
beragama, bermasyarakat dan mengamati serta mengikuti upacara Wiwitan di
Dusun Mundu. Peneliti secara langsung mengamati dan mengikuti, bahkan
terlibat langsung dalam upacara Wiwitan supaya mendapatkan gambaran secara
jelas tentang upacara Wiwitan di Dusun Mundu.
1.7.3.2 Teknik Wawancara
Wawancara merupakan proses pencarian yang mendalam tentang diri
subjek. Wawancara dapat dilakukan dalam bentuk yang bervariasi. Yang paling
umum dilakukan adalah wawancara individual yang dilakukan berhadap-hadapan
antara pewawancara dan yang diwawancarai. Tetapi wawancara juga bisa
dilakukan dalam kelompok, dalam bentuk angket atau lewat telepon. Wawancara
dapat dilaksanakan secara terstruktur, semi tersetruktur, dan tidak tersetruktur
(Kuntjara, 2006:67).
Wawancara ini dilakukan dengan para informan yang dianggap mampu
memberikan penjelasan tentang upacara Wiwitan di Dusun Mundu. Dalam
penelitian ini, wawancara dilakukan dengan wawancara individual yaitu dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
mewawancarai narasumber secara langsung yang dianggap mampu memberikan
penjelasan upacara Wiwitan tentang proses upacara, makna dan fungsi upacara
Wiwitan. Dalam penelitian ini, peneliti mewawancarai petani pemilik sawah,
kaum atau pemimpin upacara Wiwitan, para petani, dan tokoh masyarakat.
1.7.3.3 Teknik Kepustakaan
Guna melengkapi data yang diperoleh dari lapangan maka perlu diadakan
penelitian kepustakaan. Penelitian kepustakaan ini dimaksudkan untuk lebih
memperkaya data yang mungkin tidak sempat diperoleh dalam penelitian
lapangan. Dengan demikian data-data yang diperoleh akan lebih dapat
dipertanggungjawabkan (Maharkesti 1988/1989:6).
Metode kepustakaan adalah mencari data mengenai hal-hal yang berupa
catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, dan sebagainya (Arikunto,
1993:234). Pelaksanaan teknik ini yaitu menelaah pustaka yang ada kaitannya
dengan objek penelitian. Teknik kepustakaan digunakan untuk mendapatkan data
yang konkret. Metode kepustakaan diperoleh dengan teknik catat yaitu mencatat
data yang berasal dari buku-buku, artikel di situs internet yang membahas tentang
upacara Wiwitan.
1.7.3.4 Teknik Dokumentasi
Dokumen adalah surat yang tertulis atau tercetak yang dapat dipakai
sebagai bukti keterangan atau rekaman suara, gambar dalam film dan sebagainya
yang dapat dijadikan bukti keterangan. Dokumentasi adalah pemberian atau
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
pengumpulan bukti dan keterangan seperti gambar, kutipan, guntingan koran, dan
bahan referensi lain. Mendokumentasikan adalah mengatur dan menyimpan
sebagai dokumen (Sugono, 2008:338).
Dalam penelitian ini penulis menggunakan kamera untuk mengambil
gambar objek dalam bentuk foto selama berlangsungnya proses upacara wiwitan.
1.7.4 Analisis Data
Penulis menggunakan metode deskriptif analisis dalam penelitian ini.
Metode deskriptif analisis berfungsi sebagai pemecah masalah yang diselidiki
dengan menggambarkan atau melukiskan objek penelitian pada saat sekarang
berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya untuk memberikan
bobot lebih tinggi pada metode ini (Namawi dan Martini, 1994: 73).
1.7.5 Sumber Data
Sumber data untuk penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu data primer dan
data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari subjek
penelitian dengan mengenakan alat pengukuran atau alat pengambilan data
langsung pada subjek sebagai sumber informasi yang dicari (Endraswara,
2006:91). Sumber data primer dalam penelitian ini adalah orang-orang tua
terutama petani, kaum, dan tokoh masyarakat yang memiliki pengetahuan lebih
dan masih berperan aktif dalam upacara Wiwitan.
Data sekunder adalah data yang diperoleh lewat pihak lain, tidak langsung
diperoleh peneliti dari subjek peneliti. Data ini berwujud data dokumentasi atau
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
data laporan yang telah tersedia (Endraswara, 2006:91). Sumber data sekunder
dalam penelitian ini adalah website, buku-buku budaya, dan dokumentasi Dusun
Mundu.
1.8 Sistematika Penyajian
Laporan hasil penelitian ini disusun dalam enam bab. Bab pertama, adalah
pendahuluan, pendahuluan berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, teknik penelitian,
dan sistematika penyajiaan. Latar belakang menjelaskan alasan penulis
mengangkat judul penelitian. Pada penelitian ini, masalah yang di angkat adalah
“Tradisi Upacara Wiwitan Di Dusun Mundu, Caturtunggal, Depok, Sleman,
Yogyakarta: Deskripsi Proses Ritual, Kajian Makna dan Fungsi”. Rumusan
masalah dibuat untuk membatasi penulis dalam menganalisis masalah dalam
penelitian yang akan dilakukan. Tujuan penelitian yaitu menguraikan maksud dan
hasil yang ingin didapat oleh penulis dari penelitian yang dilakukan. Manfaat
penelitian yaitu untuk mengukur sejauh mana kepentingan yang didapat dari
penelitian yang berupa manfaat dalam bidang akademis. Tinjauan pustaka
mengemukakan pustaka yang pernah menjelaskan tentang upacara wiwitan dan
pengertiannya masing-masing. Landasan teori menyampaikan teori- teori yang
digunakan sebagai landasan penelitian. Teknik penelitian merincikan teknik
pengumpulan data yang berupa teknik observasi, teknik wawancara, teknik
kepustakaan dan teknik dokumentasi dalam penelitian ini. Sistematika
menguraikan urutan hasil penelitian. Bab II, membahas tentang tradisi wiwitan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
dalam konteks masyarakat Jawa di Dusun Mundu, yang meliputi sekilas tentang
masyarakat Jawa Dusun Mundu, sitem kepercayaan yang berkembang pada
masyarakat di Dusun Mundu, sistem kesenian daerah Dusun Mundu, dan tadisi
Wiwitan dalam konteks masyarakat Jawa di Dusun Mundu. Bab III membahas
mengenai kajian sruktural mitos Dewi Sri yang melatar belakangi upacara
Wiwitan, yang meliputi beberapa versi mitos Dewi Sri dan analisis structural
mitos Dewi Sri. Bab IV membahas mengenai proses dan makna upacara Wiwitan,
proses ritual upacara Wiwitan menjelaskan tentang tahap-tahap upacara Wiwitan,
yakni tahap persiapan, pelaksanaan inti ritual, dan pasca ritual. Makna
menjelaskan arti dibalik proses tersebut, yaitu makna kegiatan dan makna
perlengkapan. Bab V membahas tentang fungsi upacara Wiwitan bagi masyarakat
di Dusun Mundu. Bab VI berisi kesimpulan dan saran dari keseluruhan hasil
analisis dalam penelitian ini yang kemudian diakhiri dengan daftar pustaka dan
lampiran.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
BAB II
TRADISI WIWITAN DALAM KONTEKS MASYARAKAT JAWA
DI DUSUN MUNDU
2.1 Pengantar
Wiwitan adalah satu upacara ritual yang berkaitan dengan pertanian
tradisional pada masyarakat Yogyakarta pada umumnya dan khususnya
masyarakat Dusun Mundu. Budaya Wiwitan merupakan tradisi yang bersumber
pada Dewi Sri yang telah dianggap sebagai dewi kesuburan oleh masyarakat
Jawa. Tradisi yang selalu memuliakan Dewi Sri adalah selamatan memanen padi
yang disebut wiwit. Tradisi Wiwit ada juga yang menyebut methuk Dewi Sri atau
upacara methik (Suyami dalam Endraswara, 2010:202)
Wiwitan adalah satu upacara ritual yang berkaitan dengan pertanian
tradisional pada masyarakat Yogyakarta pada umumnya dan khususnya
masyarakat Dusun Mundu. Budaya Wiwitan merupakan tradisi yang bersumber
pada Dewi Sri yang telah dianggap sebagai dewi kesuburan oleh masyarakat
Jawa. Tradisi yang selalu memuliakan Dewi Sri adalah selamatan memanen padi
yang disebut wiwit. Tradisi Wiwit ada juga yang menyebut methuk Dewi Sri atau
upacara methik (Suyami dalam Endraswara, 2010:202).
Sesuai dengan judul penelitian ini yaitu “Tradisi Wiwitan Masyarakat Jawa
di Dusun Mundu, Caturtunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta: Kajian Mitos, Ritus,
Makna dan Fungsi” maka perlu kita ketahui terlebih dahulu seluk-beluk dan
gambaran Dusun Mundu. Hal ini dianggap penting mengingat penelitian ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
berada di Dusun Mundu. Oleh karena itu, identifikasi daerah Dusun Mundu
dipaparkan untuk menjelaskan dan menggambarkan Dusun Mundu yang menjadi
fokus lokasi dari penelitian ini.
Pada bab ini akan dipaparkan mengenai tradisi Wiwitan dalam konteks
masyarakat Jawa di Dusun Mundu, yang meliputi sekilas tentang masyarakat Jawa
Dusun Mundu, sistem kepercayaan yang berkembang pada masyarakat di Dusun
Mundu, sistem kesenian daerah Dusun Mundu, dan tadisi Wiwitan dalam konteks
masyarakat Jawa di Dusun Mundu.
2.2 Sekilas tentang Masyarakat Jawa di Dusun Mundu
2.2.1 Letak Geografis Dusun Mundu
Dusun Mundu merupakan salah satu dari sekian banyak dusun yang ada di
Kelurahan Caturtunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta. Sedangkan Kelurahan Caturtunggal secara geografis
terletak pada koordinat 7º46‟48” Lintang Selatan, dan 110º23‟45” Bujur Timur.
Adapun batas-batas wilayah Kelurahan Caturtunggal adalah sebagai berikut:
Sebelah utara :Desa Condong Catur
Sebelah timur :Desa Maguwoharjo
Sebelah selatan :Kelurahan Demangan, Kecamatan
Gondokusuman, Kecamatan Banguntapan, Bantul
Sebelah barat :Desa Sinduadi, Kecamatan Mlati.
Sumber: (http://id.m.wikipedia.org/wiki/Caturtunggal,_Depok,_Sleman, diunduh
pada tanggal 12 Oktober 2013)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
Sementara Dusun Mundu memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:
Sebelah utara : Dusun Seturan
Sebelah timur : Dusun Kledokan
Sebelah selatan : Dusun Tempel
Sebelah barat : Dusun Nologaten.
Wilayah Kelurahan Caturtunggal terletak di daerah perkotaan yang
berbatasan langsung dengan Kota Yogyakarta dan terdapat banyak jalan protokol,
sehingga lalulintas ramai dan padat. Jalan yang menghubungkan antara daerah
dari Kelurahan Caturtunggal bisa dikatakan sudah cukup baik dan ditunjang
dengan adanya sarana transportasi yang memadai sehingga hal ini berguna bagi
kelancaran arus lalulintas, juga perhubungan dan komunikasi yang mendukung
perkembangan, serta dinamika pemerintahan desa. Dengan demikian warga
masyarakat tidak mengalami kesulitan dalam melakukan aktivitas sosial ekonomi.
Sumber (http://kiprahcaturtunggal.org/, diunduh pada tanggal 12 Oktober 2013)
Berdasarkan karakteristik sumber daya wilayah, Dusun Mundu termasuk
kawasan tengah yaitu wilayah aglomersi Perkotaan Yogyakarta yang meliputi
Kecamatan Mlati, Sleman, Ngaglik, Ngemplak, Depok, dan Gamping. Wilayah ini
cepat berkembang, merupakan pusat pendidikan, industri, perdagangan, dan jasa.
Berdasarkan pusat pertumbuhannya, Dusun Mundu termasuk ke dalam wilayah
agromenasi perkotaan Yogyakarta yang meliputi Kecamatan Depok, Gamping,
serta sebagian wilayah Kecamatan Ngaglik, Ngemplak, Kalasan Berbah, Sleman,
dan Mlati. Sumber (www.slemankab.go.id, diunduh tanggal 12 Oktober 2013).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
Meskipun letaknya yang sangat strategis di dekat batas Kota Yogyakarta,
Dusun Mundu masih memiliki beberapa petak sawah, walau sudah tidak banyak
lagi seperti dulu. Sawah-sawah yang masih tersisa ini digunakan untuk bercocok
tanam dan untuk melaksanakan tradisi Wiwitan.
2.2.2 Data Statistik Dusun Mundu
Masyarakat adalah kesatuan hidup dari makhluk-makhluk manusia yang
terikat oleh suatu sistem adat-istiadat tertentu (Koentjaraningrat, 1974:103).
Berdasarkan definisi tersebut dapat dilihat keadaan masyarakat di Dusun Mundu.
Masyarakat di Dusun Mundu sebenarnya didominasi oleh suku Jawa, tapi karena
letaknya yang berada dalam wilayah pusat pendidikan, industri, perdagangan, dan
jasa maka masyarakat Dusun Mundu saat ini sudah berbaur dengan para
pendatang yang berasal dari luar provinsi maupun dari luar pulau Jawa.
Bapak Tugiman selaku ketua RT 04 menjelaskan Dusun Mundu memiliki
luas kurang lebih 92.928 m² dan termasuk dalam Padukuhan Tempel yang
meliputi Dusun Tempel, Mundu, dan Saren. Dusun Mundu termasuk dalam
lingkup RW 02 dan memiliki empat RT yaitu RT 04, RT 05, RT 06, dan RT 07.
Berikut adalah data/tabel jumlah penduduk Dusun Mundu:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
Tabel 1. Data jumlah penduduk Dusun Mundu
No. RT Jumlah
1. 04 115 orang
2. 05 92 orang
3. 06 109 orang
4. 07 103 orang
Total 419 orang
Sumber : Data RT Tahun 2012.
Dalam hal pendidikan, penduduk asli Dusun Mundu yang sudah sepuh
(usia diatas 50 tahun) memiliki tingkat pendidikan sebatas tingkat SD sampai
tingkat SMA dan berprofesi sebagai petani. Namun, pada dasarnya pendidikan
masyarakat Dusun Mundu sudah cukup maju dan hampir semua penduduk pernah
mengenyam bangku pendidikan, meskipun tidak semuanya sampai pada jenjang
perguruan tinggi. Berikut adalah data/tabel penduduk Dusun Mundu berdasarkan
tingkat pendidikannya dan berdasarkan mata pencahariannya:
Tabel 2. Data penduduk Dusun Mundu berdasarkan tingkat pendidikannya
No. Jenjang Pendidikan Jumlah
1. Belum sekolah 23 orang
2. Tidak sekolah 29 orang
3. Tidak tamat SD 21 orang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
4. SD/Sederajat 19 orang
5. SMP/Sederajat 59 orang
6. SMA/Sederajat 150 orang
7. Lulusan DI 7 orang
8. Lulusan DII 11 orang
9. Lulusan DIII 19 orang
10. Lulusan SI 77 orang
11. Lulusan SII 3 orang
12. Lulusan SIII 1 orang
Sumber: Data RT Tingkat Pendidikan Penduduk Tahun 2012.
Mata pencaharian masyarakat Dusun Mundu mayoritas sebagai buruh
swasta yang meliputi karyawan swasta dan wiraswasta. Untuk masyarakat asli
yang berusia di atas 50 tahun dan hanya mengenyam pendidikan terbatas memiliki
mata pencaharian sebagai petani dan buruh tani. Selain itu, adapula yang bekerja
sebagai pegawai negeri dan pedagang. Pada umumnya, masyarakat yang bertani
mengembangkan tanaman padi dan palawija (jagung, kacang, ubi, dan singkong).
Banyaknya pendatang di Dusun Mundu juga sangat mempengaruhi jumlah
sawah yang ada di Dusun Mundu. Karena berada dalam wilayah pusat pendidikan
dan terdapat beberapa perguruan tinggi yang letanya tidak jauh dari Dusun
Mundu, maka banyak masyarakat yang dulunya bekerja sebagai petani kini
meninggalkan profesi tersebut. Banyak petani yang mengubah lahan sawahnya
menjadi rumah kontrakan ataupun kos-kosan. Ada juga yang menjual sawahnya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
dan sekarang berubah menjadi perumahan, ruko dan bahkan hotel. Berikut
data/tabel penduduk Dusun Mundu berdasarkan mata pencahariannya:
Tabel 3. Data penduduk Dusun Mundu berdasarkan mata pencahariannya
No. Pekerjaan Jumlah
1. Petani 10 orang
2. Buruh tani 7 orang
3. Buruh swasta 159 orang
4. PNS 25 orang
5. Pedagang 19 orang
6. Pensiunan 17 orang
7. Lain-lain 126 orang
Sumber: Data RT tahun 2012.
2.3 Sistem Kepercayaan Masyarakat Dusun Mundu
Masyarakat Dusun Mundu adalah masyarakat yang beragama dan
mayoritas memeluk agama Islam. Di samping kehidupan beragama, masyarakat
Dusun Mundu merupakan masyarakat yang masih mempertahankan adat istiadat
yang tidak jauh berbeda dengan masyarakat Jawa pada umumnya, di mana
kehidupannya masih mengandung unsur-unsur mistik. Menurut Mulder (1983:1)
hal ini disebut Muslim nominal, yaitu mengaku diri Islam namun tindakan dan
pikiran mereka lebih dekat kepada tradisi Jawa kuno dan Jawa Hindu. Berikut
akan dipaparkan kepercayaan masyarakat Dusun Mundu:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
2.3.1 Percaya Kepada Tuhan Yang Maha Esa Sebagai Kekuatan Tertinggi
Masyarakat Dusun Mundu saat ini mayoritas sudah memeluk agama dan
memiliki kepercayaannya masing-masing. Sesuai dengan agama yang dianut,
masyarakat Dusun Mundu percaya dengan adanya kekuatan tertinggi yaitu Tuhan
Yang Maha Esa. Bagi masyarakat Dusun Mundu kepercayaan terhadap agama
merupakan suatu yang tidak ditinggalkan. (Wawancara Bapak Tugiman, 12 April
2013). Dari data yang diperoleh, masyarakat Dusun Mundu mayoritas memeluk
agama Islam dan sebagian memeluk agama Kristen dan Katholik. Berikut
data/tabel penduduk Dusun Mundu berdasarkan kepercayaannya:
Tabel 4. Data penduduk Dusun Mundu berdasarkan kepercayaannya
No. Agama Jumlah
1. Islam 373 orang
2. Kristen 22 orang
3. Katolik 24 orang
4. Hindu -
5. Budha -
Sumber: Data RT tahun 2012
2.3.2 Animisme
Dahulu kala masyarakat Jawa menganut paham animisme yaitu suatu
paham kepercayaan akan roh-roh halus yang berdiri lepas dari manusia dan yang
bercampur tangan dalam urusan manusia. Animisme berkaitan dengan dewa-dewi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
dan roh perantara. Begitu juga dengan masyarakat di Dusun Mundu yang sampai
sekarang masih mempercayai adanya roh-roh nenek moyang dan adanya dewa-
dewi. E.B Tylor via Dhavamony (1995:66) menjelaskan bahwa animisme
mempunyai dua arti. Pertama, dia dapat dipahami sebagai suatu sistem
kepercayaan di mana manusia religious, khususnya orang-orang primitive,
membubuhkan jiwa pada manusia dan juga pada makhluk hidup dan benda mati.
Arti kedua, animisme dapat dianggap sebagai teori yang dipertahankan oleh Tylor
dan pengikut-pengikutnya, bahwa ide tentang jiwa manusia merupakan akibat dari
pemikiran mengenai beberapa pengalaman psikis, terutama mimpi, dan ide
tentang makhluk-makhluk berjiwa diturunkan dari ide tentang jiwa manusia ini,
oleh karena itu merupakan bagian dari tahap berikutnya dalam perkembangan
kebudayaan.
Sebagai fenomena religius, animisme tampaknya bersifat universal,
terdapat dalam semua agama, bukan pada orang-orang primitif saja, meskipun
penggunaan popular dari istilah itu sering dikaitkan dengan agama-agama
“primitif” atau masyarakat kesukuan. Animisme dapat kita definisikan sebagai
kepercayaan pada makhluk-makhluk adikodrati yang dipersonalisasikan
(Dhavamony, 1995:67).
2.3.3 Percaya pada Roh Halus
Endraswara (2010:9) menjelaskan bahwa sebagian orang Jawa boleh
dikatakan masih percaya adanya setan atau hantu yang menganggu manusia.
Begitu pula masyarakat Dusun Mundu percaya akan adanya makhluk halus atau
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
roh yang mendiami waktu dan ruang tertentu. Itulah sebabnya pada saat
melakukan perjalanan ke mana pun orang Jawa selalu berhati-hati, apalagi
melewati hutan yang dianggap wingit atau angker. Karena tempat yang sepi, kayu
besar, batu besar, dan seterusnya sering dihuni oleh makhluk halus. Makhluk
halus sering disebut juga makhluk gaib, artinya tidak tampak oleh mata orang
biasa. Makhluk tersebut berada pada wilayah keraton tersendiri yang disebut
siluman. Keratin siluman selalu menjadi misteri dan ditakuti oleh orang Jawa.
Untuk mengurangi ketakutan dan atau menjinakkan makhluk halus termaksud,
orang Jawa sering melakukan pujian atau pujaan dengan berbagai cara.
Dalam kitab Jitapsara (Endraswara, 2010:9) dijelaskan bahwa keraton
siluman identik dengan wilayah yang serba dingin (kutub utara). Di wilayah itu
keadaan selalu gelap, karena jarang menerima sinar matahari, dan di tempat itu
pula menjadi sumber Tirtamarta Kamandhalu. Artinya, air yang keluar dari inti
sari awan mendung, sehingga amat dingin. Orang yang mampu ke tempat itu dan
mendapatkan air tersebut, berarti akan mendapat kemurahan Tuhan. Yang pernah
berhasil sampai di tempat itu adalah Sanghyang Nurcahya (Sayyid Anwar). Dia
mendapat anugerah berupa Cupu Manik Asthagina, yaitu sebuah wadah
kemuliaan Tuhan. Wadah ini berasal dari Nabi Adam dan Ibu Hawa yang dapat
diisi dengan air penghidupan. Jika wadah tersebut berisi air penuh, maka
selamanya tak akan habis diminum. Orang yang mampu minum air ini, akan
mampu memahami hal-hal gaib. Hal ini terbukti bahwa melalui pengembaraan
sukma, Nurcahya dapat mendengar suara gaib setelah meminum air penghidupan.
Pada waktu itu, Tuhan segera menciptakan sebuah sesotya (mutiara berharga yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
bersinar). Nurcahya diminta masuk ke dalam sesotya itu, agar melihat
perumpamaan keindahan surge dan betapa dahsyatnya neraka.
Dunia makhluk halus juga dapat berupa roh leluhur. Roh tersebut dapat
berhubungan dengan manusia. Bahkan roh raja yang telah meninggal dapat
dimintai berkah. Dalam hubungannya dengan makhluk halus berupa setan, agar
tidak menganggu, harus diberi sesaji. Hal yang demikian sampai sekarang masih
sering dilestarikan, jika membangun rumah atau gedung. Biasanya, di tengah-
tengah empat tiang besar (saka guru) diberi sesaji berupa benih kelapa dan
sejumlah sajian lain. Hal ini dimaksudkan sebagai tolak bala, agar makhluk halus
tak menganggu.
Kepercayaan kepada makhluk halus merupakan perpaduan animisme dan
dinamisme yang lekat di hati orang Jawa. Di benak orang Jawa selalu terlintas
bahwa makhluk halus juga ada tradisi makan seperti halnya manusia. Itu
sebabnya, orang Jawa selalu berupaya melakukan caos dhahar (member makanan
spesial) kepada makhluk halus (Endraswara, 2010:11-12).
2.3.4 Percaya Pada Leluhur
Dalam upacara Wiwitan ada banyak rangkaian upacara yang diawali
dengan mengundang Sang Pencipta. Dalam memulai suatu upacara, arwah leluhur
atau nenek moyang menjadi mediator untuk menghantar permohonan keselamatan
atau keberhasilan kepada Tuhan. Keberhasilan segala usaha dianggap tergantung
pada kekuatan supranatural sehingga setiap usaha yang dianggap penting disertai
dengan upacara, khususnya ditujukan untuk memperoleh restu dari nenek moyang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
terhadap perjalanan hidup manusia dan masyarakat (Soejono,1984). Kepercayaan
kepada leluhur ini diwujudkan dalam tradisi ziarah makam leluhur. Bagi
masyarakat Jawa, ziarah secara umum dilakukan pada pertengahan sampai akhir
bulan ruwah. Pada saat itu biasanya masyarakat secara bersama-sama, satu dusun
atau satu desa maupun perorangan dengan keluarga terdekat melakukan tradisi
ziarah ke makam leluhur. Di tempat kuburan leluhur atau sanak keluarganya,
mereka melakukan suatu aktivitas doa dan tabur bunga yang disebut nyekar. Ada
sebagian orang yang melakukan nyekar masih disertai dengan membakar
kemenyan. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan wangi-wangian kepada roh
leluhur. Sementara kalau dilaksanakan oleh seluruh warga desa atau dusun disebut
nyadran. Kata nyadran bisa berarti slametan atau member sesaji di tempat yang
angker atau keramat, bisa juga berarti selamatan (selametan) di bulan ruwah untuk
menghormati para leluhur, biasanya di makam atau tempat yang keramat,
sekaligus membersihkan dan mengirim bunga (Poerwadarminta dalam Saksono,
2012:84). Nyadran di Dusun Mundu diikuti oleh bapak-bapak dan dilaksanakan di
depan makam yang ada di wilayah RT 05. Mereka melakukan kenduri dan
mengirimkan doa bersama-sama untuk para leluhur.
Masyarakat Jawa mempunyai anggapan bahwa keberadaan makam leluhur
harus dihormati dengan alas an makam adalah tempat peristirahatan terakhir bagi
manusia, khususnya leluhur yang telah meninggal. Leluhur itu diyakini dapat
memberikan kekuatan dan berkat tertentu. Oleh karena itu, masyarakat
mengungkapkannya dengan perlakuan khusus terhadap makam tadi. Hal ini akan
semakin tampak nyata pada makam para tokoh yang dianggap mempunyai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
kekuatan lebih pada masa hidupnya. Kisah tokoh yang diziarahi member motivasi
para peziarah untuk bertirakat mengharapkan keberuntungan. Dengan demikian,
mereka beranggapan makam dapat memberikan berkah atau keselamatan bagi
pengunjungnya atau peziarahnya yang melaksanakan tirakat dengan khusuk dan
ikhlas (Ibid dalam Saksono 2012:84-85)
2.3.5 Percaya Mitos
Masyarakat Jawa memang sarat dengan mitos legenda yang bernuansa
mistis. Begitu pula dengan masyarakat Dusun Mundu yang merupakan bagian
dari masyarakat Jawa. Salah satu mitos yang masih sangat dipercaya oleh
masyarakat Dusun Mundu adalah mitos Dewi Sri. Tradisi penghormatan Dewi Sri
masih berlangsung sampai sekarang. Simbolisme penghormatan terhadap Dewi
Sri tampak dalam ritus-ritus pernikahan (midodareni) dan ritus-ritus pertanian.
Figur Dewi Sri menjadi simbol dan kerangka acuan berpikir bagi orang Jawa
khususnya petani Jawa di dalam prosesi siklus hidup pernikahan dan tanah
pertaniannya.
Masyarakat Jawa percaya bahwa asal-usul benih berasal dari dunia atas
(dewa) yang diberikan kepada dunia bawah (manusia). Supaya benih kehidupan
tetap terjaga keberlangsungannya maka harus dijaga hubungan dunia atas dengan
dunia bawah dengan melalui ritus-ritus. Meskipun ritus-ritus tersebut sekarang ini
semakin berkurang tetapi petani sebagai penghormatan terhadap Dewi Sri masih
dilakukan dengan membuat sesaji secara sederhana. Seperti yang masih dilakukan
oleh masyarakat Dusun Mundu yaitu dengan melaksanakan tradisi Wiwitan secara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
sederhana sebagai simbol penghormatan kepada Dewi Sri sebagai dewi kesuburan
dan dewi sawah.
2.3.6 Kejawen
Kebanyakan masyarakat Dusun Mundu menganut tradisi Jawa. Hal ini
terlihat pada tradisi Suran yang awal mulanya dipopulerkan dalam Kalender
Sultan Agungan atau disebut dengan kalender Jawa, yang meletakkan bulan Sura
sebagai waktu sakral. Jika pada tanggal 1 Sura masyarakat Mundu melakukan
tirakatan dengan membaca tahlil, kenduri, nyekar, dan sebagainya.
Berkaitan dengan paham animisme, sistem kepercayaan masyarakat dusun
Mundu selalu berhubungan dengan agenda tindakannya. Semua hajatan penting
harus dicarikan hari pasaran yang baik atau disebut petungan (petangan) atau
perhitungan. Tidak sembarang hari digunakan untuk perhelatan. Petungan adalah
cara menghitung saat-saat (waktu) serta tanggal-tanggal yang baik, dengan
memperhatikan kelima hari pasar (legi, pahing, pon, wage, dan kliwon), tanggal-
tanggal penting yang ditentukan pada sistem penanggalan yang ada, yang memang
dimanfaatkan oleh orang Jawa untuk berbagai tujuan. Kelima hari pasar
mempunyai tempatnya sendiri di dalam kelima kategori yang yang ditentukan
oleh sistem klasifikasi prelogik orang Jawa, dan karena itu merupakan perantara
antara tanggal-tanggal pada berbagai penanggalan dan alam semesta manusia
(koentjaraningrat dalam Saksono, 2012:160). Hari pasar ini sering disandingkan
dengan nama hari yang umum sehingga menjadi Senin legi, Selasa kliwon, dan
seterusnya. Penggunaan hari pasar ini salah satunya untuk menentukan suatu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
ritual, acara, adat, dan semacamnya. Misalnya, upacara pernikahan anak Mbok
Karno harus dilangsungkan pada hari Senin legi supaya pernikahannya langgeng.
Begitu juga dengan upacara Wiwitan yang harus dicarikan hari baik ketika
pelaksanaanya.
Dalam memilih hari pelaksanaan upacara Wiwitan maupun acara lain,
masyarakat Dusun Mundu menghindari tanggal 1 Sura dan bulan Sura karena
masyarakat Jawa pada umumnya juga mensakralkan bulan Sura. Masyarakat
Dusun Mundu juga menghindari hari geblak (hari meninggal) sanak
keluarganya(orangtua, anak, dan pasangan hidup). Misalnya, hari Selasa pon
bertepatan dengan geblak pasaangan hidup (suami atau istri), maka upacara
Wiwitan tidak dilaksanakan pada hari itu tetapi mencari hari lain. (Wawancara,
Bapak Sihono tanggal 10 April 2013). Dengan demikian upacara Wiwitan ini
merupakan upacara tradisional yang berhubungan dengan sistem kepercayaan
yang diwariskan dari generasi ke generasi.
2.4 Sistem Kesenian
Masyarakat Dusun Mundu memiliki sistem kesenian yang masih
dilestarikan hingga saat ini. Kesenian-kesenian tersebut antara lain: karawitan,
campursari, wayang kulit, jathilan, dan ketoprak. Kesenian-kesenian tersebut
dihadirkan pada waktu tertentu. Biasanya jika seseorang yang punya hajat besar
seperti mantu atau khitan jika mampu makan akan menggundang grup ketoprak,
wayang kulit, atau jathilan dari luar Dusun Mundu karena Dusun Mundu sendiri
belum memiliki pelatihan-pelatihan kesenian tersebut. Namun, sekarang siswa SD
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
Caturtunggal IV yang berada di dekat Dusun Nologaten yang mayoritas siswanya
berasal dari Dusun Mundu, Tempel, dan Saren sudah diajarkan kesenian
karawitan bahkan sempat tampil di stasiun tv daerah. Para siswa SD tersebut
berlatih karawitan di sebuah pendopo yang tidak jauh dari SD Caturtunggal IV.
(Wawancara Bapak Tugiman, 12 April 2013).
2.4.1 Karawitan
Karawitan adalah seni musik tradisional Jawa dengan peralatan yang
lengkap dan telah berkembang secara turun-temurun sesuai dengan perkembangan
zaman dan tidak meninggalkan keasliannya. Perangkat peralatan musik
tradisional itu disebut gamelan, yang terdiri dari bermacam-macam alat atau
ricikan. Sumber (http://cakdurasim.blogspot.com, diunduh tanggal 15 Oktober
2013).
Kesenian karawitan biasanya dihadirkan ketika tirakatan malam
kemerdekaan Republik Indonesia yang bertempat di balai desa. Yang terlibat
dalam kesenian ini adalah bapak-bapak dan ibu-ibu. Para bapak yang memainkan
alat musik gamelan dan para ibu nyinden. Biasanya mereka latihan beberapa hari
menjelang malam kemerdekaan Republik Indonesia, artinya tidak ada pelatihan
khusus yang dilakukan secara rutin setiap minggunya.
2.4.2 Campursari
Campursari dalam dunia musik nasional Indonesia mengacu pada
campuran beberapa genre musik kontemporer Indonesia. Nama campursari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
diambil dari bahasa Jawa yang sebenarnya bersifat umum. Musik campursari
terkait dengan modifikasi alat-alat musik gamelan sehingga dapat dikombinasi
dengan instrument musik barat, atau sebaliknya. Sumber
(http://id.m.wikipedia.org/wiki/Campursari, diunduh tanggal 16 Oktober 2013).
Campursari adalah musik asli Indonesia dengan langgam Jawa sebagai
dasarnya. Di Dusun Mundu, campursari juga ditampilkan pada waktu tertentu.
Campursari menggunakan alat musik gamelan yang dikombinasikan dengan alat
musik modern seperti keyboard. Seperti halnya karawitan, kesenian campursari
sampai saat ini juga belum ada pelatihan khusus.
2.4.3 Wayang Kulit
Wayang kulit adalah seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang
di Jawa. Wayang berasal dari kata Ma Hyang yang artinya menuju kepada roh
spiritual, dewa, atau Tuhan Yang Maha Esa. Ada juga yang mengartikan wayang
adalah istilah bahasa Jawa yang bermakna bayangan. Hal ini disebabkan karena
penonton juga bisa menonton wayang dari belakang kelir atau hanya bayangannya
saja. Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang juga menjadi narator
dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi musik gamelan yang dimainkan
sekelompok nayaga (sekumpulan orang yang mempunyai keahlian khusus
menabuh gamelan) dan tembang yang dinyanyikan oleh para pesinden. Dalang
memainkan wayang kulit di balik kelir, yaitu layar yang terbuat dari kain putih,
sementara di belakangnya disorotkan lampu listrik atau lampu minyak, sehingga
para penonton yang berada di sisi lain dari layar dapat melihat bayangan wayang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
yang jatuh ke kelir. Untuk dapat memahami cerita wayang, penonton harus
memiliki pengetahuan akan tokoh-tokoh wayang yang bayangannya tampil di
layar. Sumber (http://id.m.wikipedia.org/wiki/Wayang_Kulit, diunduh tanggal 16
Oktober 2013).
Pertunjukan atau pagelaran wayang kulit di Jawa, biasanya dilaksanakan
oleh orang yang mempunyai niat atau maksud tertentu, misalnya memenuhi ujar
atau kaul yaitu memenuhi janji terhadap dirinya sendiri yang pernah diucapkan
atau pernyataan kegembiraan atas berhasilnya sesuatu yang diidamkan, atau untuk
meramaikan hajat lain seperti khitanan, perkawinan dan peringatan-peringatan
hari-hari bahagia atau hari besar lainnya. Atau bahkan untuk meruwat seseorang
agar terbebas dari mangsa Bathara Kala. Penanggap wayang menyerahkan purba
lan wasesa, kekuasaan dan kebebasannya, kepada dalang yang dimintanya untuk
mempergelarkan wayang, dengan lakon, ceritera yang telah dipilihnya,yang
biasanya telah disesuaikan dengan maksud dari hajat yang diselenggarakannya.
Sebelum pergelaran wayang dilaksanakan si empunya hajat berkewajiban
melaksanakan persiapan-persiapan pertunjukkan wayang, misalnya mengadakan
selamatan atau kenduri, menyiapkan sesaji, menyiapkan tempat pagelaran dengan
segala ubarampenya maupun yang berhubungan dengan pertunjukkan
wayangnya. (Herusatoto, 1984:113)
Pertunjukan kesenian Wayang Kulit di Dusun Mundu Biasanya ditanggap
dari luar Dusun Mundu atau menurut Sugono (2008: 1397) artinya memanggil ke
suatu tempat dan menyuruhnya untuk menggelarkan suatu pertunjukan serta
membayar semua biaya yang diperlukan. Pertunjukan wayang kulit berlangsung
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
selama semalam suntuk yang secara umum mengambil cerita dari naskah
Mahabharata dan Ramayana.
2.4.4 Jathilan
Jathilan yang juga sering disebut kuda lumping atau jaran kepang
merupakan tarian tradisional Jawa yang menampilkan sekelompok prajurit tengah
menunggang kuda. Tarian ini menggunakan kuda yang terbuat dari bamboo yang
dianyam dan dipotong menyerupai bentuk kuda. Anyaman bentuk kuda ini dihias
dengan cat dan kain beraneka warna. Tarian jathilan biasanya hanya menampilkan
adegan prajurit berkuda, akan tetapi beberapa penampilan jathilan juga
menyuguhkan atraksi kesurupan, kekebalan, dan kekuatan magis seperti memakan
beling dan kekebalan tubuh terhadap deraan pecut atau cambuk.
Tarian jathilan ini merefleksikan semangat heroisme dan aspek kemiliteran
sebuah pasukan berkuda atau kalvaleri. Hal ini terlihat dari gerakan-gerakan
ritmis, dinamis, dan agresif, melalui kibasan anyaman bamboo, menirukan
gerakan layaknya seekor kuda di tengah peperangan. Seringkali dalam
pertunjukan jathilan, juga menampilkan kekuatan supranatural berbau magis,
seperti atraksi mengunyah kaca, menyayat lengan dengan golok, membakar diri,
berjalan di atas pecahan kaca, dan lain-lain. Mungkin atraksi ini merefleksikan
kekuatan supranatural yang pada zaman dahulu berkembang di lingkungan
kerajaan Jawa dan merupakan aspek non militer yang dipergunakan untuk
melawan pasukan Belanda. Sumber (http://id.m.wikipedia.org/wiki/Kuda_kepang,
diunduh tanggal 16 Oktober 2013).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
2.4.5 Kethoprak
Kethoprak tergolong seni rakyat Jawa untuk hiburan, sekaligus
menyampaikan ajaran. Pemanfaatan ketoprak pun dapat ke berbagai aspek
kehidupan. Pada saat orang Jawa mempunyai hajat manten, supitan,
khaul(nadzar), peringatan hari besar, dan sebagainya sering diadakan
pertunjukkan ketoprak. Pertunjukan digunakan untuk menghibur para tamu.
(Endraswara: 2005:353) adalah sejenis pentas seni yang berasal dari Jawa. Dalam
sebuah pentasan kethoprak, disajikan sandiwara yang diselingi dengan lagu-lagu
Jawa, yang diiringi dengan gamelan. Tema cerita dalam sebuah pertunjukan
kethoprak biasanya diambil dari cerita legenda atau sejarah Jawa. Tema cerita
tidak pernah diambil dari cerita Ramayana dan Mahabharata. Sebab nanti
pertunjukan bukan kethoprak lagi melainkan menjadi pertunjukan wayang orang.
Sumber (http://id.m.wikipedia.org/wiki/Ketoprak, diunduh tanggal 16 Oktober
2013).
Baik wayang kulit, jathilan dan kethoprak dilaksanakan pada waktu
tertentu. seperti acara khitanan atau pernikahan salah satu warga. Kemudian
sebagai pemilik acara nanggap wayang kulit, jathilan atau kethoprak untuk
memeriahkan acaranya. Tentu saja acara nanggap ini tidak diharuskan dan
disesuaikan dengan kemampuan warga. Bila sekiranya tidak mampu untuk
nanggap kesenian tersebut maka tidak diharuskan untuk nanggap. Karena untuk
nanggap kesenian wayang kulit, jathilan atau ketoprak yang dilakukan oleh
sekelompok orang ini membutuhkan uang yang tidak sedikit.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
2.5 Tradisi Wiwitan dalam Konteks Masyarakat Jawa di Dusun Mundu
Penduduk Dusun Mundu mayoritas memeluk agama Islam. Namun dalam
kenyataannya adat istiadat leluhurnya masih tetap dipertahankan. Banyak warga
yang mempertahankan warisan leluhurnya. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa ada yang menjalankan ajaran agama Islam dengan setia dan murni namun
ada juga yang menjalankan ajaran agama Islam diselingi dengan melakukan adat
istiadat dan upacara tradisional.
Setiap daerah pasti mempunyai adat istiadat yang cenderung bertahan,
terutama yang menyangkut aspek kepercayaan. Adat istiadat yang masih
dilakukan oleh masyarakat Dusun Mundu antara lain selamatan yang berkaitan
dengan peristiwa-peristiwa lingkaran hidup seperti kelahiran, pernikahan, dan
kelahiran serta selamatan yang berkaitan dengan kegiatan pertanian seperti
upacara Wiwitan. Menurut keyakinan masyarakat Dusun Mundu bila selamatan
tersebut ditinggalkan maka mereka akan mendapatkan musibah dalam hidupnya.
Tradisi yang masih dilakukan oleh masyarakat Dusun Mundu salah
satunya adalah selamatan yang berkaitan dengan pertanian yaitu Wiwitan. Tradisi
Wiwitan yang merupakan upacara selamatan ini oleh masyarakat Dusun Mundu
dipercaya akan memberikan keselamatan dan berkah. Namun apabila tradisi
Wiwitan diabaikan maka mereka percaya akan mendapatkan musibah berupa
gagal panen. Tradisi Wiwitan yang masih dilakukan masyarakat Dusun Mundu
merupakan sebuah tradisi yang dilakukan secara turun-temurun.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
2.6 Rangkuman
Dusun Mundu merupakan salah satu dari sekian banyak dusun yang ada di
Kelurahan Caturtunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan karakteristik sumber daya wilayah, Dusun
Mundu termasuk kawasan tengah yaitu wilayah aglomersi Perkotaan Yogyakarta
yang meliputi Kecamatan Mlati, Sleman, Ngaglik, Ngemplak, Depok, dan
Gamping. Wilayah ini cepat berkembang, merupakan pusat pendidikan, industri,
perdagangan, dan jasa. Berdasarkan pusat pertumbuhannya, Dusun Mundu
termasuk ke dalam wilayah agromenasi perkotaan Yogyakarta yang meliputi
Kecamatan Depok, Gamping, serta sebagian wilayah Kecamatan Ngaglik,
Ngemplak, Kalasan Berbah, Sleman, dan Mlati. Dalam hal pendidikan, penduduk
asli Dusun Mundu yang sudah sepuh (usia diatas 50 tahun) memiliki tingkat
pendidikan sebatas tingkat SD sampai tingkat SMA dan berprofesi sebagai petani.
Namun, pada dasarnya pendidikan masyarakat Dusun Mundu sudah cukup maju
dan hampir semua penduduk pernah mengenyam bangku pendidikan, meskipun
tidak semuanya sampai pada jenjang perguruan tinggi.
Masyarakat Dusun Mundu adalah masyarakat yang beragama dan
mayoritas memeluk agama Islam. Di samping kehidupan beragama, masyarakat
Dusun Mundu merupakan masyarakat yang masih mempertahankan adat istiadat
yang tidak jauh berbeda dengan masyarakat Jawa pada umumnya, dimana
kehidupannya masih mengandung unsur-unsur mistik. kepercayaan masyarakat
Dusun Mundu meliputi: percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai kekuatan
tertinggi, animisme, percaya pada roh halus, percaya pada leluhur, percaya mitos
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
dan kejawen. Masyarakat Dusun Mundu memiliki sistem kesenian yang masih
dilestarikan hingga saat ini. Kesenian-kesenian tersebut antara lain: karawitan,
campursari, wayang kulit, jathilan, dan ketoprak.
Penduduk Dusun Mundu mayoritas memeluk agama Islam. Namun dalam
kenyataannya adat istiadat leluhurnya masih tetap dipertahankan. Banyak warga
yang mempertahankan warisan leluhurnya. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa ada yang menjalankan ajaran agama Islam dengan setia dan murni namun
ada juga yang menjalankan ajaran agama Islam diselingi dengan melakukan adat
istiadat dan upacara tradisional. Tradisi yang masih dilakukan oleh masyarakat
Dusun Mundu salah satunya adalah selamatan yang berkaitan dengan pertanian
yaitu Wiwitan. Tradisi Wiwitan yang merupakan upacara selamatan ini oleh
masyarakat Dusun Mundu dipercaya akan memberikan keselamatan dan berkah.
Namun apabila tradisi Wiwitan diabaikan maka mereka percaya akan
mendapatkan musibah berupa gagal panen. Tradisi Wiwitan yang masih dilakukan
masyarakat Dusun Mundu merupakan sebuah tradisi yang dilakukan secara turun-
temurun.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
BAB III
KAJIAN STRUKTUR MITOS DEWI SRI
3.1 Pengantar
Tindakan religius masyarakat Jawa pada umumnya, termasuk juga
masyarakat Dusun Mundu sangat dipengaruhi oleh budaya Hindu. Pemujaan
dewa-dewi Hindu adanya asimilasi (pembauran) paham animisme dengan agama
Hindhu. Dari sini lahirlah tokoh simbolik Dewi Sri atau mbok Sri Tokoh simbolik
Dewi Sri yang dipercaya sebagai dewi pertanian, dewi tanah, dewi sawah, dewi
kesuburan atau dewi padi. Di Pulau Jawa mitos asal tumbuh-tumbuhan yang
sangat penting dalam kehidupan sehari-hari adalah padi, karena awalnya
masyarakat Jawa bekerja sebagai masyarakat agraris. Begitu juga di Dusun
Mundu yang dulu juga mayoritas masyarakatnya berprofesi sebagai petani.
Sampai sekarang masyarakat Dusun Mundu masih mempercayai Dewi Sri sebagai
dewi kesuburan.
Mitos Dewi Sri sangat terkenal di masyarakat Jawa, oleh sebab itu mitos
Dewi Sri memiliki beberapa versi atau varian. Menurut Sugono (2008:1546) versi
adalah anggapan pelukisan, penggambaran, dan sebagainya tentang sesuatu dari
seseorang atau suatu sudut pandang. Varian adalah bentuk yang berbeda atau
menyimpang dari yang asli atau dari yang baku dan sebagainya (2008:1544).
Pada bab ini dikenal dua teks mitos Dewi Sri, yaitu teks A dan teks B.
mitos Dewi Sri teks A diperoleh dari buku Falsafah Hidup Jawa: Menggali
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
Mutiara Kebijakan dari Intisari Filsafat Kejawen (Endraswara, 2010:203-204).
Mitos Dewi Sri teks B diperoleh dari rekaman hasil wawancara yang dilakukan
oleh penulis sendiri. Kedua teks mitos Dewi Sri tersebut akan dikaji strukturnya
menurut teori struktural A.J Greimas.
3.2 Mitos Dewi Sri Teks A
Dalam mitos Dewi Sri selalu didampingi Dewa Wisnu. Dalam kisah Dewi
Sri, diceritakan bahwa Dewi Sri adalah penjelmaan Wiji Widayat. Wiji Widayat
akan dianugerahkan kepada titah marcapada oleh Batara Guru. Batara Guru
berposisi superior, sehingga berhak membuat keputusan, mutlak, otoriter, dan
harus dianut oleh strata sosial di bawahnya. Dia bersikap memerintah dan
memutuskan secara sepihak dalam penganugrahan wahyu. Pada waktu wahyu
akan dianugrahkan, ternyata tidak sesuai dengan kehendak Batara Guru sehingga
meluncur sendiri ke marcapada. Akibatnya, wahyu harus menerima kutuk Batara
Guru. Tiba-tiba wahyu Wiji Widayat meluncur sampai ke dasar laut dan masuk ke
perut Nagaraja. Tentu saja hal ini membuat perut Nagaraja merasa sakit dan tidak
enak badan. Dia segera dibawa ke hadapan Batara Guru. Akhirnya perut Nagaraja
dipegang oleh Batara Guru dan muntahlah dia, mengeluarkan dua makhluk.
Makhluk itulah yang kelak dinamai Sri dan Sadana. Hanya saja Sadana dan Sri
ingin menikah setelah besar, sehingga membuat Batara Guru marah. Karena,
keduanya dianggap sebagai saudara sepupu. Sri dan Sadana pun meninggal dunia
karena kutukan Batara Guru, dan diperintahkan agar dibuang ke hutan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
Dua dewa bernama Wangkas dan Wangkeng yang diutus membuang
jenazah Sri dan Sadana, ternyata sangat penasaran. Keduanya sempat membuka
jenazah yang ada dalam peti tersebut. Bersamaan itu pula jenazah Sadana hilang
dari peti. Karena itu tiba-tiba dari dalam peti keluar walang sangit yang tak
terhingga banyaknya. Walang sangit inilah yang kelak akan menjadi musuh petani
padi. Untuk itu peti segera ditutup dan segera dibawa ke hutan Krendawahana
untuk dikuburkan.
Pada waktu Dewi Sri dikuburkan, tak ada tanda-tanda aneh. Karenanya
kedua dewa itu hanya menitipkan pesan kepada petani desa agar memelihara
kuburan tersebut. Petani yang tak jauh dari kuburan segera menyiram kuburan
tersebut dengan air setaman (air bunga). Ternyata, genap 7 hari dari kuburan
tersebut tumbuh padi yang hijau. Karenanya, petani sering memberikan saji-sajian
di kuburan tersebut setelah memanen padi. Petani di desa itu semakin kaya raya
berkat memanen padi tersebut. Sejak itu pula, Dewi Sri menjadi pujaan petani
padi.
Namun demikian, suatu saat padi tersebut juga diserang hama berwujud
walang sangit. Ternyata, walang sangit itu berasal dari roh Raden Sadana, yang
tak lain sebagai penitisan Dewa Wisnu. Jadi, walang sangit yang menganggu padi
sebenarnya sebagai upaya pertemuan mistis antara Dewi Sri dengan Wisnu.
Keduanya dapat menyatu setelah melalui pengembaraan sukma. (Endraswara,
2010:203-204).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
3.3 Mitos Dewi Sri Teks B
Dahulu kala terdapat seorang Ratu yang memiliki bawahan yaitu Patih
Kertaga dan Dewi Sri yang saling mencintai. Karena hal itu Patih Kertaga dan
Dewi Sri dipisahkan oleh sang Ratu. Patih Kertaga ditugaskan ke segara dalam
wujud gereh pethek dan Dewi Sri diutus di darat dalam wujud tanaman padi.
Besok kalau sudah masanya keduanya akan bertemu kembali. Masyarakat Jawa
dan khuhusnya masyarakat Dusun Mundu percaya bahwa Dewi Sri adalah dewi
kesuburan dan dewi pertanian. Oleh sebab itu, para petani percaya melalui
upacara wiwitan dapat mempertemukan Patih Kertaga dan Dewi Sri. Patih
Kertaga diwujudkan dalam sajian berupa gereh pethek. Masyarakat percaya
dengan melakukan upacara wiwitan akan terhindar dari gagal panen. (Wawancara
Bapak Sihono, 3 Desember 2013)
3.4 Analisis Struktural Mitos Dewi Sri Menurut Teori A.J Greimas
3.4.1 Mitos Dewi Sri Teks A
3.4.1.1 Skema Aktansial
3.4.1.1.1 Pengirim (sender)
Pengirim (sender) adalah aktan (seseorang atau sesuatu) yang
menjadi sumber ide dan fungsi sebagai penggerak cerita. Pengirim
memberikan karsa atau keinginan kepada subjek untuk mencapai atau
mendapatkan objek.
Batara Guru adalah pengirim. Dia bersikap memerintah dan
memutuskan secara sepihak dalam penganugrahan wahyu. Dia mengutuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
wahyu yang tidak sesuai dengan kehendaknya. Dia mengutuk wahyu Wiji
Widayat yang mengeluarkan dua makhluk, Sri dan Sadana yang kelak akan
meninggal dunia karena kutukan Batara Guru lantaran keduanya yang
merupakan saudara sepupu hendak menikah.
3.4.1.1.2 Objek (object)
Objek (object) adalah aktan (sesuatu atau seseorang) yang dituju,
dicari, diburu, atau diinginkan oleh subjek atas ide dari pengirim. Dewi Sri
adalah objek. Dia akan menjadi tujuan Raden Sadana atau Dewa Wisnu
ketika dikutuk oleh Batara Guru yang akhirnya meninggal dunia dan
menjelma menjadi walang sangit.
3.4.1.1.3 Subjek (subject)
Subjek (subject) adalah aktan pahlawan (sesuatu atau seseorang)
yang ditugasi pengirim untuk mencari dan mendapatkan objek. Raden Sadana
atau Dewa Wisnu adalah subjek. Raden Sadana atau Dewa Wisnu dikutuk
oleh Batara Guru karena hendak menikah dengan Dewi Sri yang merupakan
saudara sepupu. Karena hal itu Batara Guru marah dan mengutuk Raden
Sadana dan Sri.
3.4.1.1.4 Penolong (helper)
Penolong (helper) adalah aktan (sesuatu atau seseorang) yang
membantu atau mempermudah usaha subjek atau pahlawan untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
mendapatkan objek. Dewa Wangkas dan Wangkeng adalah penolong. Kedua
dewa yang diutus Batara Guru tersebut menolong menguburkan jenazah Sri
dan Sadana. Meskipun jenazah Sadana hilang dan benjelma menjadi walang
sangit, namun berkat dewa Wangkas dan Wangkeng tersebut Dewi Sri dan
Dewa Wisnu dapat bertemu kembali meski dengan wujud yang berbeda dari
sebelumnya.
Petani padi juga sebagai penolong, karena dengan mejaga dan
merawat kuburan Dewi Sri, maka tumbuhlah tanaman padi di kuburan Dewi
Sri tersebut. Tanaman padi yang merupakan jelmaan Dewi Sri kelak akan
bertemu dengan walang sangit yang merupakan jelmaan dari Dewa Wisnu.
3.4.1.1.5 Penentang (opponent)
Penentang (opponent) adalah aktan (seseorang atau sesuatu) yang
menghalangi usaha subjek atau pahlawan dalam mencapai objek. Batara Guru
adalah penentang. Dia menghalangi dan menghancurkan kebahagiaan Raden
Sadana dan Sri yang saling mencintai dan hendak menikah. Batara Guru
mengutuk Sadana dan Sri hingga akhirnya mereka meninggal dunia dan
menjelma menjadi padi dan walang sangit. Setelah menjelma menjadi walang
sangit, Dewa Wisnu masih mencari Dewi Sri yang telah berubah menjadi
padi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
Raden Sadana
atau Dewa Wisnu
(penerima)
Dewi Sri
(objek)
Batara Guru
(pengirim)
Raden Sadana
atau Dewa Wisnu
(subjek)
3.4.1.1.6 Penerima (receiver)
Penerima (receiver) adalah aktan (sesuatu atau seseorang) yang
menerima objek yang diusahakan atau dicari oleh subjek. Raden Sadana
adalah penerima. Raden Sadana adalah subjek yang mengusahakan
kebahagiaan, yaitu untuk bersatu dengan Dewi Sri, sepupu yang dicintainya.
Dia hendak menikah dengan Dewi Sri tapi ditentang oleh Batara Guru hingga
akhirnya raden Sadana dan Dewi Sri dikutuk oleh Batara Guru.
Gambar 1. Pola Aktansial Mitos Teks A
Dari pola aktansial, diketahui bahwa Raden Sadana atau Dewa
Wisnu adalah subjek sekaligus penerima. Dia menjadi subjek karena dia
berusaha untuk tetap bersama dengan Dewi Sri yang adalah objek. Sebagai
Dewa Wangkas,
Dewa Wangkeng,
Petani
(pembantu)
Batara Guru
(penentang)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
subjek dia berusaha mencari, mendapatkan dan bertemu dengan Dewi Sri dan
sebagai penerima dia menerima objek yang telah dia usahakan sendiri sebagai
subjek.
Batara guru merupakan pengirim sekaligus penentang. Dia sebagai
pengirim karena dia yang menganugrahkan wahyu. Kemudian Batara Guru
mengutuk wahyu tersebut karena tidak sesuai dengan kehendaknya dan
keluarlah dua makhluk, Sri dan Sadana. Sebagai pengirim dia secara tidak
langsung memberikan keinginan kepada subjek (Raden Sadana atau Dewa
Wisnu) untuk mendapatkan objek (Dewi Sri). Sebagai penentang dia
berusaha memisahkan Raden Sadana dan Dewi Sri dengan cara mengutuk
mereka hingga akhirnya Raden Sadana dan Dewi Sri meninggal dunia.
Setelah Raden Sadana dan Dewi Sri meninggal dunia, Dewa
Wangkas dan Wengkeng sebagai penolong membantu menguburkan jenazah
Dewi Sri dan Raden Sadana. Melalui kedua dewa tersebut jasad mereka tetap
bertemu. Petani sebagai penolong, merawat dan menjaga kuburan Dewi Sri.
Karena dijaga dan dirawat dengan memberikan air bunga pada kuburan
tersebut oleh petani, maka setelah genap tujuh hari tumbuhlah tanaman padi.
Kemudian tanaman padi akan bertemu dengan walang sangit. Berkat
kehadiran para penolong ini, Dewi Sri dan Raden Sadana dapat bertemu
kembali meski dengan wujud yang berbeda dari sebelumnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
3.4.1.2 Struktur Fungsional
3.4.1.2.1 Situasi Awal
Situasi awal adalah situasi awal cerita yang menggambarkan
keadaan sebelum ada suatu peristiwa yang menganggu keseimbangan
(harmoni). Cerita diawali dengan sikap Batara Guru yang akan
menganugerahkan Wiji Widayat akan kepada titah marcapada. Batara Guru
berposisi superior, sehingga berhak membuat keputusan, muthlak, otoriter,
dan harus dianut oleh strata sosial dibawahnya. Dia bersikap memerintah dan
memutuskan secara sepihak dalam penganugrahan wahyu. Karena wahyu
tidak sesuai dengan kehendaknya, Batara Guru mengutuk wahyu tersebut.
Kemudian wahyu yang dikutuk tadi mengeluarkan dua makhluk, yaitu Sri dan
Sadana.
3.4.1.2.2 Transformasi
Transformasi meliputi tiga tahap cobaan. Ketiga tahap cobaan ini
menunjukan usaha subjek untuk mendapatkan objek.
3.4.1.2.2.1 Tahap Uji Kecakapan
Setelah wahyu yang dikutuk oleh Batara Guru mengeluarkan dua
makhluk, Sri dan Sadana. Kemudian Sadana dan Sri ingin menikah setelah
besar. Hal itu membuat Batara Guru marah karena keduanya dianggap
sebagai saudara sepupu. Pada tahap ini Raden Sadana berusaha untuk hidup
bersama Dewi Sri namun terhalang oleh kehendak Batara Guru.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
3.4.1.2.2.2 Tahap Utama
Batara Guru marah mendengar keinginan Sadana dan Sri yang
ingin menikah sedangkan keduanya merupakan saudara sepupu kemudian
mengutuk Sri dan Sadana. Karena Batara Guru berposisi superior, sehingga
berhak membuat keputusan, muthlak, otoriter, dan harus dianut oleh strata
sosial dibawahnya sampai pada akhirnya Sri dan Sadana meninggal dunia
terkena kutukan Batara Guru. Kemudian jenazah keduanya dikuburkan oleh
Dewa Wangkas dan Wengkeng. Pada tahap ini Sadana yang tidak mungkin
melawan Batara Guru akhirnya tetap bersama dengan Dewi Sri dalam wujud
jasad.
3.4.1.2.2.3 Tahap Kegemilangan
Ketika jenazah Sri dan Sadana hendak dikuburkan oleh Dewa
Wangkas dan Wengkeng, jenazah Sadana hilang dan menjelma menjadi
walang sangit. Kemudian Dewi Sri dikuburkan. Dari kuburan Dewi Sri
tersebut tumbuh tanaman padi. Tanaman padi yang tumbuh subur di kuburan
Dewi Sri diserang hama walang sangit. Pada tahap ini Dewi Sri dan Raden
Sadana dapat bertemu kembali.
3.4.1.2.3 Situasi Akhir
Situasi akhir berarti keseimbangan, situasi telah kembali ke
keadaan semula. Konflik telah berakhir. Di sinilah cerita berakhir dengan
subjek yang berhasil atau gagal mencapai objek.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
Sri dan Sadana meninggal dunia dan tidak dapat bersatu dalam
wujud yang sebelumnya. Jasad Dewi Sri dikuburkan dan jasad Sadana hilang
menjelma menjadi walang sangit. Dari kuburan Dewi Sri tumbuh tanaman
padi setelah dirawat dan dijaga oleh petani. Padi tersebut juga diserang hama
berwujud walang sangit. Ternyata, walang sangit itu berasal dari roh Raden
Sadana, yang tak lain sebagai penitisan Dewa Wisnu. Jadi, walang sangit
yang menganggu padi sebenarnya sebagai upaya pertemuan mistis antara
Dewi Sri dengan Wisnu. Keduanya dapat menyatu setelah melalui
pengembaraan sukma.
Tabel 5. Struktur Fungsional Mitos Teks A
I II III
Batara Guru
menganugerahk
an Wiji Widayat
akan kepada
titah
marcapada.
Karena wahyu
tidak sesuai
dengan
kehendaknya,
Batara Guru
mengutuk
wahyu tersebut.
Kemudian
wahyu yang
dikutuk tadi
mengeluarkan
dua makhluk,
yaitu Sri dan
Sadana.
Transformasi Sri dan Sadana
meninggal
dunia dan
tidak dapat
bersatu dalam
wujud yang
sebelumnya.
Walang sangit
yang
menganggu
padi sebagai
upaya
pertemuan
mistis Dewi
Sri dan Dewa
Wisnu.
Keduanya
dapat bersatu
setelah melalui
pengembaraan
sukma.
Sadana dan Sri
ingin menikah
setelah besar.
Batara Guru
marah karena
keduanya
dianggap
sebagai saudara
sepupu. Raden
Sadana berusaha
untuk hidup
bersama Dewi
Sri namun
terhalang oleh
kehendak Batara
Guru.
Sri dan
Sadana
meninggal
dunia
terkena
kutukan
Batara
Guru.
Sadana yang
tidak
mungkin
melawan
Batara Guru
akhirnya
tetap
bersama
dengan
Dewi Sri
dalam
wujud jasad.
Jenazah
Sadana
menjelma
menjadi
walang
sangit. Dewi
Sri
dikuburkan
menjelma
menjadi
tanaman padi.
Tanaman
padi
kemudian
diserang
hama walang
sangit.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
3.4.2 Mitos Dewi Sri Teks B
3.4.2.1 Skema Aktansial
3.4.2.1.1 Pengirim (sender)
Pengirim (sender) adalah aktan (seseorang atau sesuatu) yang
menjadi sumber ide dan fungsi sebagai penggerak cerita. Pengirim
memberikan karsa atau keinginan kepada subjek untuk mencapai atau
mendapatkan objek. Ratu adalah pengirim. Ratu memisahkan Patih Kertaga
dan Dewi Sri yang saling mencintai. Keduanya ditempatkan di laut dan di
darat yang tidak memungkinkan untuk Dewi Sri dan Patih Kertaga bertemu.
3.4.2.1.2 Objek (object)
Objek (object) adalah aktan (sesuatu atau seseorang) yang dituju,
dicari, diburu, atau diinginkan oleh subjek atas ide dari pengirim. Dewi Sri
adalah objek. Dia akan menjadi tujuan Patih Kertaga ketika Patih Kertaga
diutus oleh Ratu di laut.
3.4.2.1.3 Subjek (subject)
Subjek (subject) adalah aktan pahlawan (sesuatu atau seseorang)
yang ditugasi pengirim untuk mencari dan mendapatkan objek. Patih Kertaga
adalah subjek. Patih Kertaga diutus oleh Ratu di laut yang jauh dari Dewi Sri
yg diutus di darat. Oleh karena itu Patih Kertaga mencari Dewi Sri.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
3.4.2.1.4 Penolong (helper)
Penolong (helper) adalah aktan (sesuatu atau seseorang) yang
membantu atau mempermudah usaha subjek atau pahlawan untuk
mendapatkan objek. Petani adalah penolong, karena dengan melakukan
upacara wiwitan akan mempertemukan Patih Kertaga yang berwujud gereh
pethek dan Dewi Sri yang berwujud padi.
3.4.2.1.5 Penentang (opponent)
Penentang (opponent) adalah aktan (seseorang atau sesuatu) yang
menghalangi usaha subjek atau pahlawan dalam mencapai objek. Ratu adalah
penentang. Dia menghalangi dan memisahkan Patih Kertaga dan Dewi Sri
yang saling mencintai. Ratu mengutus Patih Kertaga di laut dan Dewi Sri di
darat sehingga mereka tidak akan pernah bertemu.
3.4.2.1.6 Penerima (receiver)
Penerima (receiver) adalah aktan (sesuatu atau seseorang) yang
menerima objek yang diusahakan atau dicari oleh subjek. Patih Kertaga
adalah penerima. Patih Kertaga adalah subjek yang mengusahakan
kebahagiaan, yaitu untuk bersatu dengan Dewi Sri.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
Patih Kertaga
(penerima)
Dewi Sri
(objek)
Ratu
(pengirim)
Gambar 2. Pola Aktansial Mitos Teks B
Dari pola aktansial, diketahui bahwa Patih Kertaga adalah subjek
sekaligus penerima. Dia menjadi subjek karena dia berusaha untuk tetap
bersama dengan Dewi Sri yang adalah objek. Sebagai subjek dia berusaha
mencari, mendapatkan dan bertemu dengan Dewi Sri dan sebagai penerima
dia menerima objek yang telah dia usahakan sendiri sebagai subjek.
Ratu merupakan pengirim sekaligus penentang. Dia sebagai
pengirim karena dia yang memiliki kuasa. Ratu mengutus Dewi Sri Dan Patih
Kertaga di tempat yang berbeda dalam usahanya memisahkan Dewi Sri dan
Patih Kertaga.. Sebagai pengirim dia secara tidak langsung memberikan
keinginan kepada subjek (Patih Kertaga) untuk mendapatkan objek (Dewi
Sri). Sebagai penentang dia berusaha memisahkan Patih Kertaga dan Dewi
Patih Kertaga
(subjek)
Ratu
(penentang)
Petani
(pembantu)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
Sri dengan cara mengutus mereka di tempat yang berbeda yaitu di darat dan
di laut yang tidak memungkinkan keduanya untuk bertemu.
3.4.2.2 Struktur Fungsional
3.4.2.2.1 Situasi Awal
Situasi awal adalah situasi awal cerita yang menggambarkan
keadaan sebelum ada suatu peristiwa yang menganggu keseimbangan
(harmoni). Cerita diawali dengan sikap Ratu yang mengetahui bawahannya
saling mencintai dan kemudian mengutus Patih kertaga bertugas di laut dan
Dewi Sri bertugas di darat.
3.4.2.2.2 Transformasi
Transformasi meliputi tiga tahap cobaan. Ketiga tahap cobaan ini
menunjukan usaha subjek untuk mendapatkan objek.
3.4.2.2.2.1 Tahap Uji Kecakapan
Dewi Sri dan Patih Kertaga diutus di tempat yang berbeda oleh
Ratu kemudian Patih Kertaga berusaha untuk hidup bersama Dewi Sri namun
terhalang oleh kehendak Ratu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
3.4.2.2.2.2 Tahap Utama
Ratu marah mengetahui kenyataan bahwa Patih Kertaga dan Dewi
Sri saling mencintai. Kemudian sebagai usaha memisahkan keduannya Ratu
mengutus Patih Kertaga bertugas di laut dan Dewi Sri di darat.
3.4.2.2.2.3 Tahap Kegemilangan
Para petani yang mempercayai Dewi Sri sebagai dewi kesuburan
dan dewi padi melakukan upacara untuk mempertemukan Dewi Sri dan Patih
Kertaga. Pada tahap ini Dewi Sri dan Patih Kertaga dapat bertemu kembali.
3.4.2.2.3 Situasi Akhir
Situasi akhir berarti keseimbangan, situasi telah kembali ke
keadaan semula. Konflik telah berakhir. Di sinilah cerita berakhir dengan
subjek yang berhasil atau gagal mencapai objek. Dewi Sri dan Patih Kertaga
dapat bertemu kembali dalam wujud padi dan gereh pethek setelah
dipertemukan oleh petani melalui upacara wiwitan.
Tabel 6. Struktur Fungsional Mitos Teks B
I II III
Ratu yang
mengetahui
bawahannya
saling mencintai
dan kemudian
mengutus Patih
kertaga bertugas
di laut dan Dewi
Transformasi Dewi Sri dan
Patih Kertaga
dapat
bertemu
kembali
dalam wujud
padi dan
gereh
Dewi Sri dan
Patih Kertaga
diutus di
tempat yang
berbeda oleh
Ratu
kemudian
Ratu marah
mengetahui
kenyataan
bahwa Patih
Kertaga dan
Dewi Sri saling
mencintai.
Para petani
yang
mempercayai
Dewi Sri
sebagai dewi
kesuburan dan
dewi padi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
Sri bertugas di
darat.
Patih Kertaga
berusaha
untuk hidup
bersama
Dewi Sri
namun
terhalang
oleh
kehendak
Ratu.
Kemudian
sebagai usaha
memisahkan
keduannya
Ratu mengutus
Patih Kertaga
bertugas di laut
dan Dewi Sri
di darat
melakukan
upacara untuk
mempertemuk
an Dewi Sri
dan Patih
Kertaga. Pada
tahap ini Dewi
Sri dan Patih
Kertaga dapat
bertemu
kembali
setelah
dipertemukan
oleh petani
melalui
upacara
wiwitan
3.5 Rangkuman
Mitos Dewi Sri melatarbelakangi tradisi upacara Wiwitan. Terdapat
banyak sekali versi mengenai mitos Dewi Sri yang beredar di pulau Jawa, namun
dalam masyarakat Dusun Mundu ada dua versi mitos Dewi Sri yang dipercaya.
Melalui kajian teori struktural A.J Greimas yang meliputi skema aktansial dan
struktur fungsional memberikan kontribusi dalam memahami mitos Dewi Sri
sebagai sastra lisan yang menyeluruh.
Dari kajian struktural kedua mitos Dewi Sri tersebut, dapat disimpulkan
bahwa mitos Dewi Sri memiliki pola aktansial yang sama. Hal ini membuktikan
bahwa struktur mitos Dewi Sri dapat bertahan terhadap perubahan zaman.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
BAB IV
PROSES DAN MAKNA RITUAL UPACARA WIWITAN
4.1 Pengantar
Menurut Sugono (2008:1106) proses adalah rangkaian tindakan,
perbuatan, atau pengolahan yang menghasilkan produk. Ritual adalah hal-hal yang
berkenaan dengan ritus. Sedangkan pengertian ritus adalah tata cara dalam
upacara keagaamaan (2008:1178). Jadi yang dimaksud dengan proses ritual dalam
penelitian ini adalah rangkaian tindakan yang berkenaan dengan ritual upacara
Wiwitan bagi masyarakat Dusun Mundu. Pada bab ini akan dijelaskan proses dan
makna ritual upacara Wiwitan di Dusun Mundu.
4.2 Pengertian Upacara Secara Umum
Upacara berasal dari Bahasa Sansekerta “Upa” dan “Cara”. Kata upa
berarti dekat, sedangkan kata cara berarti berjalan. Jadi pengertian upacara secara
utuh adalah berjalan dekat atau berjalan selangkah demi selangkah (Notosudirjo,
1977:109), dari sudut filsafat upacara adalah suatu cara untuk melakukan
hubungan antara jiwa dan raga, antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa,
degan jalan melakukan adanya niat untuk mencapai suatu kesucian jiwa.
Sebagian besar masyarakat Dusun Mundu masih mempercayai akan
adanya makhluk halus. Makhluk halus menurut pandangan mereka ada yang
menguntungkan dan ada pula yang merugikan. Oleh karena itu penduduk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
berusaha untuk mengambil hatinya, yaitu dengan melakukan berbagai ritus atau
upacara. Pelaksanaan upacara atau sering disebut slametan merupakan suatu
perjamuan dalam kerukunan sosial religius yang dihadiri oleh para tetangga, serta
dengan beberapa sanak saudara dan sahabat. Kegiatan itu ditunjukan untuk
mencari keselamatan, sebagai ucapan syukur, sebagai penolak bala, serta
memohon pengampunan dosa (Koentjaraningrat, 1990: 147).
Hal ini berarti sistem upacara dalam suatu religi berwujud tindakan
manusia dalam melaksanakan kebaktian kepada Tuhan, roh nenek moyang, atau
makhluk halus lain. Sistem upacara ini biasanya terdiri dengan rangkaian kegiatan
atau beberapa tindakan, seperti berdoa, bersujud, bersesaji, makan bersama,
menari dan bernyanyi dalam usahanya untuk berkomunikasi dengan Tuhan
penghuni alam gaib (Koentjaraningrat, 1990: 147).
4.2.1 Pengertian Upacara Wiwitan
Pada umumnya secara sederhana manusia menganggap bahwa hidup itu
bergerak. Manusia bergerak berarti manusia itu hidup, binatang itu bergerak
berarti binatang itu hidup. Sebaliknya, sesuatu yang tidak bergerak maka dianggap
tidak hidup. Manusia mempunyai hasrat untuk hidup. Manusia menghadapi dunia
gaib dengan berbagai perasaan, misalnya percaya, cinta, hasrat, takut, dan
sebagainya.
Upacara Wiwitan merupakan sebuah upacara tradisional yang masih
dilakukan oleh masyarakat Jawa. Kata “wiwitan” berasal dari kata dasar “wiwit”
yang berarti mulai mengerjakan (Mangunsuwito, 2013:311). Wiwitan yang dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
bahasa Indonesia berarti memulai panen. Upacara Wiwitan adalah upacara yang
dilakukan sebelum panen padi dan sebagai alat untuk menghormati Dewi Sri dan
sebagai wujud rasa terima kasih dan rasa syukur terhadap Tuhan atas anugerah
yang diberikan berupa hasil panen yang melimpah (Wawancara, Bapak Sihono
tanggal 10 April 2013).
4.3 Tujuan Upacara Wiwitan
Berdasarkan kepercayaan masyarakat Jawa, Dewi Sri telah dianggap
sebagai dewi kesuburan. Bukan hanya berhenti sebagai mitos, melainkan mitos itu
dipertahankan dan diwujudkan dalam upacara Wiwitan oleh petani Jawa. Tradisi
wiwitan merupakan ajaran leluhur yang dinilai positif untuk terus dilestarikan,
mengingat mensyukuri hasil panen merupakan bagian dari ungkapan syukur
kepada sang Pencipta
Dari penjelasan beberapa warga Mundu tujuan upacara Wiwitan ini supaya
sawah terus diberi kesuburan, panen padi selalu melimpah, hasil panen lebih baik,
tanaman tidak diganggu hama, tanah selalu subur, dan untuk menghormati dewi
kesuburan, Dewi Sri.
4.4 Proses dan Makna Upacara Wiwitan
Upacara Wiwitan dilakukan para petani di Dusun Mundu 2 atau 3 hari
(dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi) sebelum dilakukan panen padi.
Padi yang siap dipanen kira-kira berusia 95 hari dan diadakan tiga kali dalam satu
tahun. Upacara wiwitan dipimpin oleh seorang tokoh adat setempat, yang disebut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
Mbah Kaum. Dalam pelaksanaan proses upacara Wiwitan dibagi menjadi tiga
tahap sebagai berikut:
4.4.1 Tahap Persiapan dan Maknanya
Pada tahap ini pemilik sawah memilih dan menentukan hari pelaksanaan
upacara Wiwitan. Pemilihan dan penentuan hari tidak boleh dilakukan dengan
sembarangan. Hal ini berkaitan dengan sistem kepercayaan masyarakat Dusun
Mundu yang mempercayai bahwa semua hajatan penting harus dicarikan hari
yang baik. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Sihono tanggal 10 April
2013, dalam memilih hari untuk pelaksanaan upacara Wiwitan masyarakat Dusun
Mundu menghindari tanggal 1 Sura dan hari geblak orang tua, anak, dan pasangan
hidup. Makna kegiatan dari hal ini adalah bahwa jika melakukan kegiatan pada
hari tersebut dipercaya hasil panen akan gagal, karena hari-hari tersebut
seharusnya digunakan untuk berdoa.
Tabel 7. Perhitungan hari dan pasaran.
Hari
Pasaran
Legi (5) Pahing (9) Pon (7) Wage (4) Kliwon (8)
Minggu (5) 10 14 12 9 13
Senin (4) 9 13 11 8 12
Selasa (3) 8 12 10 7 11
Rabu (7) 12 16 14 11 15
Kamis (8) 13 17 13 12 16
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
Jumat (6) 11 15 13 10 14
Sabtu (9) 14 18 16 13 17
Sumber: wawancara Bapak Sihono, 10 April 2013.
Setelah hari sudah ditentukan kira-kira 2 atau 3 hari sebelum panen,
pemilik sawah mempersiapkan sesaji dan peralatan yang akan digunakan meliputi:
kemenyan, kembang setaman, duit seketheng, sisir, cermin, bedak dingin, parem,
empon-empon, ani-ani, membuat sego liwet, gudangan, dan jajan pasar.
Dalam upacara Wiwitan diperlukan adanya perlengkapan sebagai sarana
untuk mencapai tujuan dari upacara Wiwitan. Berbagai sarana penunjang atau
perlengkapan upacara adalah berupa sesaji. Sesaji memegang peranan penting
karena merupakan sarana penghantar doa-doa manusia kepada Tuhan. Sesaji
berasal dari kata saji yang artinya hidangan (makanan dan lauk-pauk yang telah
disediakan pada suatu tempat untuk dimakan) (Sugono, 2008:1203). Bersesaji
adalah mempersembahkan sajian dalam upacara keagamaan yang dilakukan
secara simbolis dengan tujuan untuk berkomunikasi dengan kekuatan gaib,
dengan jalan mempersembahkan makanan dan benda-benda lain yang
melambangkan maksud dari komunikasi tersebut. Tahap persiapan ini dilakukan
di rumah.
4.4.2 Tahap Pelaksanaan Inti Ritual dan Maknanya
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Sihono dan Mbah Gimo
tanggal 16 April 2013, pada tahap ini Mbah Gimo selaku Mbah Kaum memulai
dengan meletakkan sesaji berupa kemenyan yang dibakar di dekat padi dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
galengan. Pembakaran ini untuk mengikrarkan atau semacam penanda dimulainya
upacara. Kemudian umborampe yang berupa kembang setaman yang ditindih duit
seketheng diletakkan di dekat kemenyan yang dibakar yang disebut wajib tindih.
Wajib tindih dimaksudkan sebagai ucapan terima kasih kepada “penunggu” di
mana upacara digelar. Kemudian sesaji yang lainnya adalah sisir dan cermin yang
biasanya dibarengkan dengan bedak dingin dan parem. Umborampe ini
diperuntukkan bagi Dewi Sri penguasa pertanian agar senantiasa ayu, cantik,
wangi, dan menarik sehingga hasil panen pertanian mereka menjadi ayu, cantik,
dan menarik pula.
Ada juga umborampe yang disebut empon-empon berupa sirih, tembakau,
kapur sirih, dan gambir yang diletakkan di sawah. Makna perlengkapan dari
empon-empon tersebut adalah agar tanaman padi bersinar sehat. Sesaji empon-
empon juga diperuntukkan kepada Dewi Sri.
Selain itu juga meletakkan ani-ani di antara sesaji yang lainnya. Ani-ani
tersebut digunakan untuk memetik padi yang akan digunakan dalam proses
mantenan atau mboyong mbok Sri.
Setelah sesaji sudah lengkap kemudian pemimpin upacara membacakan
doa yang ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Dewi Sri. Setelah doa,
mbah kaum memetik sedikit padi yang nantinya akan dibawa pulang pemilik
sawah. Pemetikan padi ini disebut mantenan atau mboyong mbok Sri. Hal ini
sebagai tanda wujud Dewi Sri yang sudah dipertemukan dengan patihnya. Dalam
proses ini, padi yang dipetik sesuai dengan perhitungan hari dan pasarannya (lihat
tabel 7). Misalnya, pemilik sawah memilih hari Rabu pahing maka padi yang akan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
dipetik sejumlah 16 pasang. Tahap ini dilakukan di sawah. (wawancara Bapak
Sihono, 10 April 2013.)
4.4.3 Tahap Pascaritual dan Maknanya
Setelah ritual Wiwitan selesai pemilik sawah membagikan nasi wiwitan
yang dibungkus daun pisang kepada yang hadir di sawah, biasanya anak-anak
kecil. Hal ini dimaksudkan sebagai ucap syukur dan sedekah.
Nasi wiwitan itu terdiri dari sego liwet yang dicampur sambel gepeng yang
dibuat dari kacang tholo atau kedelai hitam, cabe, garam yang diuleg bersama
gereh pethek. Selain itu nasi wiwitan juga dilengkapi dengan kotosan (daun turi
dan daun dadap yang direbus), telur ayam rebus yang diiris menjadi beberapa
bagian, buah, dan jajanan pasar. Dalam nasi wiwitan menggunakan sego liwet
karena selain mudah proses pembuatannya juga sebagai wujud kesederhanaan
seorang petani. Gereh pethek yang terdapat dalam sambel gepeng melambangkan
wujud patih Dewi Sri. (wawancara Bapak Sihono dan Ibu Iplis tanggal 16 April
2013)
Kemudian kotosan tadi dibuang di tepi atau sudut-sudut sawah atau
disebut ngguwaki. Menurut Bapak Sihono hal ini dimaksudkan untuk memberi
upah kepada “penunggu” sawah. Tahap ini dilakukan di sawah. Namun, jika nasi
wiwitan masih tersisa, nasi wiwitan bisa juga dibagikan kepada orang yang
ditemui ketika perjalanan pulang atau dibagikan kepada tetangga di dekat rumah
pemilik sawah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
4.5.3 Rangkuman
Proses pelaksanaan upacara Wiwitan ini mempunyai tiga tahapan besar
yaitu:
1. Tahap Persiapan, dalam tahap ini pemilik sawah memilih dan
menentukan hari pelaksanaan upacara Wiwitan dan mempersiapkan
sesaji serta peralatan yang akan digunakan. Dalam tahap ini terdapat
makna kegiatan yaitu dalam pemilihan hari yang menghindari tanggal
1 Sura dan hari geblak orang tua, anak, dan pasangan hidup memiliki
maksud bahwa jika melakukan kegiatan pada hari tersebut dipercaya
hasil panen akan gagal, karena hari-hari tersebut seharusnya digunakan
untuk berdoa.
2. Tahap Pelaksanaan Inti Ritual, pada tahap ini pemilik sawah
mengundang pemimpin adat yang disebut Mbah Kaum untuk
memimpin upacara dan membacakan doa yang ditujukan kepada
Tuhan Yang Maha Esa dan Dewi Sri. Kemudian ia memetik sedikit
padi yang nantinya akan dibawa pulang pemilik sawah yang disebut
mantenan atau mboyong mbok Sri. Pada tahap ini terdapat dua makna
kegiatan yaitu: (a) Dalam pembakaran kemenyan untuk mengikrarkan
atau semacam penanda dimulainya upacara, (b) Pemetikan padi yang
disebut mantenan atau mboyong mbok Sri sebagai tanda wujud Dewi
Sri yang sudah dipertemukan dengan patihnya. Sedangkan untuk
makna perlengkapannya adalah sebagai berikut:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
a. Wajib tindih (kembang setaman yang ditindih duit seketheng)
dimaksudkan sebagai ucapan terima kasih kepada “penunggu”
tempat di mana upacara digelar.
b. Umborampe yang berupa sisir dan cermin yang biasanya
dibarengkan dengan bedak dingin dan parem diperuntukkan bagi
Dewi Sri, penguasa pertanian agar senantiasa ayu, cantik, wangi,
dan menarik sehingga hasil panen pertanian mereka menjadi ayu,
cantik, dan menarik pula.
c. Sesaji empon-empon yang berupa sirih, tembakau, kapur sirih, dan
gambir yang diletakkan di sawah dan diperuntukkan kepada Dewi
Sri agar tanaman padi bersinar sehat.
d. Ani-ani sebagai alat untuk memetik padi yang akan digunakan
dalam proses mantenan atau mboyong mbok Sri.
3. Tahap Pascaritual, pada tahap ini pemilik sawah membagikan nasi
wiwitan kepada tetangga yang ikut hadir di sawah. Kemudian pemilik
sawah membuang kotosan di tepi atau sudut-sudut sawah atau disebut
ngguwaki di sawah. Namun, jika nasi wiwitan masih tersisa, nasi
wiwitan bisa juga dibagikan kepada orang yang ditemui ketika
perjalanan pulang atau dibagikan kepada tetangga di dekat rumah
pemilik sawah. Pada tahap ini terdapat dua makna kegiatan, yaitu: (a)
pemilik sawah membagikan nasi wiwitan dimaksudkan sebagai ucap
syukur dan sedekah. (b) proses ngguwaki (membuang kotosan di tepi
atau sudut-sudut sawah) dimaksudkan untuk memberi upah kepada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
“penunggu” sawah. Sedangkan untuk makna perlengkapannya adalah
sebagai berikut:
a. Nasi wiwitan menggunakan sego liwet sebagai wujud
kesederhanaan seorang petani,
b. Gereh pethek yang terdapat dalam sambel gepeng melambangkan
wujud patih Dewi Sri.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
BAB V
FUNGSI UPACARA WIWITAN
BAGI MASYARAKAT DI DUSUN MUNDU
5. 1 Pengantar
Dalam bab V ini akan dijelaskan fungsi upacara Wiwitan bagi masyarakat
di Dusun Mundu. Penjelasan fungsi upacara Wiwitan didasarkan pada kebiasaan
yang dilakukan oleh masyarakat di Dusun Mundu yang masih menyelenggarakan
upacara Wiwitan dan dari deskripsi mengenai proses ritual upacara Wiwitan itu
sendiri. Penjelasan dalam bab ini diawali dengan fungsi yang terdapat dalam
upacara Wiwitan, dan diakhiri dengan sebuah rangkuman mengenai fungsi
upacara Wiwitan.
5. 2 Fungsi Upacara Wiwitan Bagi Masyarakat di Dusun Mundu
Upacara Wiwitan sebenarnya memiliki fungsi yang tinggi dalam
masyarakat di Dusun Mundu. Menurut Taum (2004:96-97) terdapat empat fungsi
upacara adat. Empat fungsi tersebut adalah sebagai berikut:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
5.2.1 Fungsi Magis
Fungsi Magis yang terdapat dalam upacara Wiwitan dikaitkan sebagai
sarana masyarakat menghargai roh leluhur dan percaya dengan roh halus. Hal ini
berkaitan dengan kepercayaan masyarakat yang masih percaya pada roh leluhur
dan roh halus. Masyarakat percaya bahwa dalam memulai upacara Wiwitan arwah
leluhur menjadi mediator untuk menghantar permohonan keselamatan atau
keberhasilan kepada Tuhan. Dalam proses ngguwaki (membuang kotosan di tepi
atau sudut-sudut sawah) yang dimaksudkan untuk memberi upah kepada
“penunggu” sawah membuktikan bahwa masyarakat percaya dengan adanya roh
halus penunggu sawah.
5.2.2 Fungsi Religius
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Sihono dan Bapak Tugiman,
fungsi religius yang terdapat dalam upacara Wiwitan adalah sebagai sarana
masyarakat Jawa memuja Tuhan.
Menurut Mulder (1983:39-41), dalam etika Jawa bila manusia berjuang
memperbaiki diri, maka sebagai akibatnya kondisi-kondisi duniawi mereka pun
akan meningkat, namun tujuan kebatinan tetaplah hubungan perseorangan yang
selaras dengan “Tuhan”, terlepas dari ada tidaknya konsekuensi-konsekuensi
duniawi itu. Oleh karena itu, manusia dengan setia menjalankan kewajiban di
tempat tugasnya masing-masing –apakah sebagai petani atau sebagai pelayan,
sebagai pejabatatau sebagai raja– bukan karena prakarsa atau tanggung jawab
pribadi melainkan karena pasrah menerima tugas dan kewajiban itu,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
menjalankannya dalam tempat hidupnya di mana orang itu lahir dan bertindak
menurut hukum karma, hukum Tuhan dan hukum manusia. Manusia baik adalah
manusia yang sejalan dengan Tuhan dan dengan tatanan masyarakat yang
ditentukan oleh Tuhan sehingga manusia menggaris bawahi ungkapan “saya tidak
bisa apa-apa; saya tidak punya apa-apa” dalam semangat menyerahkan segala-
galanya kepada Tuhan.
Menurut Endraswara (2010:62) orang Jawa percaya bahwa segala sesuatu
yang terjadi pada manusia itu merupakan kepastian Tuhan dengan
mempertimbangkan ikhtiyar manusia. Karena merupakan takdir Tuhan maka
segala yang telah terjadi harus diterima dengan hati ikhlas. Tentang kepercayaan
orang Jawa terhadap takdir, siapapun tak bisa menghalangi. Takdir ini tidak bisa
diubah, maka manusia hanya sumarah, mendasarkan diri pada kehendak (takdir)
Tuhan. Namun demikian manusia berhak berikhtiar (wiradat). Kehadiran takdir
tak membuat pribadi Jawa menjadi fatalistik, tak mau berusaha dan bekerja.
Orang Jawa berpendapat bahwa manusia wajib berikhtiar. Maksudnya, dalam
segala hal harus berusaha sakadarira (semampunya). Manusia wajib berusaha,
ketentuan di tangan Tuhan. Ikhtiar dalam istilah Jawa dinamakan kupiya (usaha)
secara lahir dan batin. Kupiya tersebut mengimplikasikan bahwa hidup perlu
dijalani sewajarnya.
Dari pandangan tersebut, upacara Wiwitan merupakan sarana manusia
memuja Tuhan. Dalam hal ini terjadi interaksi vertikal antara manusia dengan
sang pencipta. Interaksi vertikal dalam prosesi upacara Wiwitan terlihat dalam
ritual doa. Di sinilah terjadi interaksi vertikal antara manusia dengan Tuhan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
bahwa prosesi ini adalah sebagai alat untuk rasa bersyukur terhadap sang pencipta
atas hasil panen yang melimpah. Rasa syukur ini diwujudkan dengan membagi-
bagikan makanan yang sekaligus sebagai sesaji kepada masyarakat di
sekelilingnya.
Upacara Wiwitan juga sebagai salah satu ikhtiar atau usaha manusia dalam
kepercayaannya terhadap gagal panen. Meskipun segala sesuatu yang terjadi pada
manusia itu merupakan kepastian Tuhan dan manusia hanya wajib berusaha serta
tetap pada keyakinan bahwa segala ketentuannya berada di tangan Tuhan, upacara
Wiwitan sebagai wujud nyata usaha manusia dalam mencari keselamatan dan
mencegah terjadinya gagal panen.
5.2.3 Fungsi Faktitif
Menurut Bapak Sihono dan Bapak Tugiman, fungsi faktitif upacara
Wiwitan sebagai sarana masyarakat Jawa menghargai sesama. Dengan adanya
sikap menghargai sesama dapat meningkatkan produktivitas atau kekuatan, atau
pemurnian dan perlindungan yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan
kelompok masyarakat.
Menurut Mulder (1983:41-46) bagi orang Jawa, kemanunggalan berarti
keteraturan –yaitu ketenteraman, keseimbangan, hal dapat diramalkan, kesopanan
dan keharmonisan diantara bagian-bagian– baik secara perseorangan maupun
secara sosial. Itu berarti, upacara-upacara harus dilakukan secara ketat pada saat
yang cocok, tingkah laku harus diatur bentuk-bentuk harmonis harus dijaga, dan
semua konflik terbuka harus dihindari. Usaha menjaga tatanan sosial dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
menghindari konflik-konflik serta kecenderungan-kecenderungan yang bersifat
memecah belah juga akan membawa pribadi ke arah hidup yang tenang tenteram.
Ketertiban itu adalah ketertiban formal seperti terwujud dalam upacara dan ritual,
praktek birokrasi, pelaksanaan tatakrama dan kekuasaan kelompok atas para
anggotanya.
Di dalam upacara Wiwitan di Dusun Mundu terjadi interaksi horizontal
antara manusia dengan manusia. Hal ini dapat dilihat ketika pemilik sawah
membagikan nasi wiwitan kepada masyarakat di sekelilingnya. Dari interaksi
horizontal antara manusia dengan manusia tersebut diharapkan akan terjalin
sebuah kerukunan dalam masyarakat. Melalui upacara Wiwitan, keharmonisan
dalam bermasyarakat (masyarakat desa) akan tetap terjaga. Dalam hal ini terjadi
interaksi sosial antara individu satu dengan yang lain dan kita diajarkan untuk
saling berbagi kepada sesama sebagai ucapan syukur kita atas segala rezeki yang
telah diberikan Tuhan kepada kita.
5.2.4 Fungsi Intensifikasi
Fungsi intensifikasi yang terdapat dalam upacara Wiwitan berdasarkan
hasil wawancara yaitu sebagai sarana masyarakat Jawa menghargai alam. Hal
tersebut mengarah kepada mengintensifkan kesuburan dan panenan.
Menurut Magnis Suseno (1985:85), hubungan antara masyarakat dengan
alam saling berkaitan. Melalui masyarakat manusia berhubungan dengan alam.
Irama-irama alamiah seperti siang dan malam, musim hujan dan musim kering
menentukan kehidupannya sehari-hari dan seluruh perencanaannya. Dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
lingkungan sosial manusia belajar bahwa alam bisa mengancam, tetapi juga
memberikan berkat dan ketenangan, bahwa seluruh eksistensinya tergantung dari
alam. Tahap-tahap penanaman dan penuaian padi masing-masing, begitu pula
tugas-tugas lainnya sebagai petani, dipelajarinya dari masyarakat. Dengan
demikian hidupnya memperoleh keteraturan. Melalui lingkungannya manusia
belajar untuk berhubungan dengan alam, irama alam menjadi iramanya sendiri,
manusia belajar apa yang harus dikerjakannya pada saat-saat yang sesuai.
Dengan demikian petani Jawa di satu pihak menemukan identitasnya
dalam kelompoknya, di lain pihak melalui kelompoknya ia terus menerus
berhadapan dengan alam sebagai kekuasaan yang menentukan kehidupannya
seluruhnya. Hal itu paling jelas dalam pertanian di mana segala kerajinan petani
hanya merupakan prasyarat bagi keberhasilan panenan.
Di dalam upacara Wiwitan di Dusun Mundu terjadi interaksi horizontal
antara manusia dengan alam. Letak interaksi horizontal antara manusia dan alam
ditunjukan dalam prosesi “ngguwaki” (membuang). Prosesi ini dilakukan dengan
membuang sesaji kotosan di pojok-pojok sawah. Disinilah telah terjadi interaksi
antara manusia dengan alam di mana interaksi tersebut saling menguntungkan
yaitu ketika kotosan dibuang di pojok-pojok sawah akan menjadi makanan bagi
cacing-cacing tanah dan mikroorganisme lain, sehingga cacing dan
mikroorganisme dalam tanah berkembang lebih baik dan tanah akan menjadi
subur. Bila tanah subur diharapkan hasil panen pun akan melimpah. Dari interaksi
horizontal anatara manusia dengan alam tersebut diharapkan supaya manusia tetap
menghormati dan menjaga alam serta tidak merusak alam.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
5. 3 Rangkuman
Ada empat fungsi upacara Wiwitan bagi masyarakat di Dusun Mundu,
yaitu:
1. Fungsi magis sebagai sarana masyarakat menghargai roh leluhur dan
percaya dengan roh halus. Masyarakat percaya bahwa dalam memulai
upacara Wiwitan arwah leluhur menjadi mediator untuk menghantar
permohonan keselamatan atau keberhasilan kepada Tuhan dan percaya
adanya roh penunggu sawah.
2. Fungsi religius sebagai sarana masyarakat Jawa memuja Tuhan.
Upacara Wiwitan merupakan sarana manusia memuja Tuhan. Dalam hal
ini terjadi interaksi vertikal antara manusia dengan sang pencipta.
Interaksi vertikal dalam prosesi upacara Wiwitan terlihat dalam ritual
doa. Di sinilah terjadi interaksi vertikal antara manusia dengan Tuhan
bahwa prosesi ini adalah sebagai alat untuk rasa bersyukur terhadap
sang pencipta atas hasil panen yang melimpah.
3. Fungsi faktitif sebagai sarana masyarakat Jawa menghargai sesama.
Dalam upacara Wiwitan di Dusun Mundu terjadi interaksi horizontal
antara manusia dengan manusia. Dari interaksi horizontal antara
manusia dengan manusia tersebut diharapkan akan terjalin sebuah
kerukunan dalam masyarakat. Melalui upacara Wiwitan, keharmonisan
dalam bermasyarakat (masyarakat desa) akan tetap terjaga.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
4. Fungsi intensifikasi sebagai sarana masyarakat Jawa menghargai alam.
Hubungan antara masyarakat dengan alam saling berkaitan. Melalui
masyarakat manusia berhubungan dengan alam. Dalam upacara
Wiwitan di Dusun Mundu terjadi interaksi horizontal antara manusia
dengan alam. Letak interaksi horizontal antara manusia dan alam
ditunjukan dalam prosesi “ngguwaki” (membuang). Prosesi ini
dilakukan dengan membuang sesaji kotosan di pojok-pojok sawah.
Disinilah telah terjadi interaksi antara manusia dengan alam. Dari
interaksi horizontal antara manusia dengan alam tersebut diharapkan
supaya manusia tetap menghormati dan menjaga alam serta tidak
merusak alam.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
BAB VI
PENUTUP
6. 1 Kesimpulan
Penelitian yang berjudul “Tradisi Wiwitan Masyarakat Jawa di Dusun
Mundu, Caturtunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta: Kajian Mitos, Ritus, Makna
dan Fungsi” ini memaparkan tiga permasalahan utama yaitu: (1) menjelaskan dan
mengungkap kajian struktural mitos Dewi Sri yang melatarbelakangi upacara
Wiwitan dalam masyarakat Jawa di Dusun Mundu, Caturtunggal, Depok, Sleman,
Yogyakarta; (2) deskripsi proses dan makna upacara Wiwitan di Dusun Mundu,
Caturtunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta; (3) deskripsi fungsi yang terkandung
dalam upacara Wiwitan bagi masyarakat di Dusun Mundu, Caturtunggal, Depok,
Sleman, Yogyakarta.
Dari tiga permasalahan utama tersebut, dapat disimpulkan bahwa mitos
Dewi Sri melatarbelakangi tradisi upacara Wiwitan. Terdapat banyak sekali versi
mengenai mitos Dewi Sri yang beredar di pulau Jawa, namun dalam masyarakat
Dusun Mundu ada dua versi mitos Dewi Sri yang dipercaya. Melalui kajian teori
struktural A.J Greimas yang meliputi skema aktansial dan struktur fungsional
memberikan kontribusi dalam memahami mitos Dewi Sri sebagai sastra lisan
yang menyeluruh. Dari kajian struktural kedua mitos Dewi Sri tersebut, dapat
disimpulkan bahwa mitos Dewi Sri memiliki pola aktansial yang sama. Hal ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
membuktikan bahwa struktur mitos Dewi Sri dapat bertahan terhadap perubahan
zaman.
Proses pelaksanaan upacara Wiwitan ini mempunyai tiga tahapan besar
yaitu: (1) Tahap Persiapan, dalam tahap ini pemilik sawah memilih dan
menentukan hari pelaksanaan upacara Wiwitan dan mempersiapkan sesaji serta
peralatan yang akan digunakan. Dalam tahap ini terdapat makna kegiatan yaitu
dalam pemilihan hari yang menghindari tanggal 1 Sura dan hari geblak orang tua,
anak, dan pasangan hidup memiliki maksud bahwa jika melakukan kegiatan pada
hari tersebut dipercaya hasil panen akan gagal, karena hari-hari tersebut
seharusnya digunakan untuk berdoa, (2) Tahap Pelaksanaan Inti Ritual, pada
tahap ini pemilik sawah mengundang pemimpin adat yang disebut Mbah Kaum
untuk memimpin upacara dan membacakan doa yang ditujukan kepada Tuhan
Yang Maha Esa dan Dewi Sri. Kemudian ia memetik sedikit padi yang nantinya
akan dibawa pulang pemilik sawah yang disebut mantenan atau mboyong mbok
Sri. Pada tahap ini terdapat dua makna kegiatan yaitu: (a) Dalam pembakaran
kemenyan untuk mengikrarkan atau semacam penanda dimulainya upacara, (b)
Pemetikan padi yang disebut mantenan atau mboyong mbok Sri sebagai tanda
wujud Dewi Sri yang sudah dipertemukan dengan patihnya. Sedangkan untuk
makna perlengkapannya adalah sebagai berikut: (a) Wajib tindih (kembang
setaman yang ditindih duit seketheng) dimaksudkan sebagai ucapan terima kasih
kepada “penunggu” tempat di mana upacara digelar, (b) Umborampe yang berupa
sisir dan cermin yang biasanya dibarengkan dengan bedak dingin dan parem
diperuntukkan bagi Dewi Sri, penguasa pertanian agar senantiasa ayu, cantik,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
wangi, dan menarik sehingga hasil panen pertanian mereka menjadi ayu, cantik,
dan menarik pula. (c) Sesaji empon-empon yang berupa sirih, tembakau, kapur
sirih, dan gambir yang diletakkan di sawah dan diperuntukkan kepada Dewi Sri
agar tanaman padi bersinar sehat. (d) Ani-ani sebagai alat untuk memetik padi
yang akan digunakan dalam proses mantenan atau mboyong mbok Sri, terakhir (3)
Tahap Pascaritual, pada tahap ini pemilik sawah membagikan nasi wiwitan kepada
tetangga yang ikut hadir di sawah. Kemudian pemilik sawah membuang kotosan
di tepi atau sudut-sudut sawah atau disebut ngguwaki di sawah. Namun, jika nasi
wiwitan masih tersisa, nasi wiwitan bisa juga dibagikan kepada orang yang
ditemui ketika perjalanan pulang atau dibagikan kepada tetangga di dekat rumah
pemilik sawah. Pada tahap ini terdapat dua makna kegiatan, yaitu: (a) pemilik
sawah membagikan nasi wiwitan dimaksudkan sebagai ucap syukur dan sedekah.
(b) proses ngguwaki (membuang kotosan di tepi atau sudut-sudut sawah)
dimaksudkan untuk memberi upah kepada “penunggu” sawah. Sedangkan untuk
makna perlengkapannya adalah sebagai berikut: (a) Nasi wiwitan menggunakan
sego liwet sebagai wujud kesederhanaan seorang petani, (b) Gereh pethek yang
terdapat dalam sambel gepeng melambangkan wujud patih Dewi Sri.
Ada empat fungsi upacara Wiwitan bagi masyarakat di Dusun Mundu,
yaitu: (a) fungsi magis sebagai sarana masyarakat menghargai roh leluhur dan
percaya dengan roh halus, (b) fungsi religius sebagai sarana masyarakat Jawa
memuja Tuhan. Upacara Wiwitan merupakan sarana manusia memuja Tuhan.
Dalam hal ini terjadi interaksi vertikal antara manusia dengan sang pencipta.
Interaksi vertikal dalam prosesi upacara Wiwitan terlihat dalam ritual doa. Di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
sinilah terjadi interaksi vertikal antara manusia dengan Tuhan bahwa prosesi ini
adalah sebagai alat untuk rasa bersyukur terhadap sang pencipta atas hasil panen
yang melimpah, (c) fungsi faktitif sebagai sarana masyarakat Jawa menghargai
sesama. Dalam upacara Wiwitan di Dusun Mundu terjadi interaksi horizontal
antara manusia dengan manusia. Dari interaksi horizontal antara manusia dengan
manusia tersebut diharapkan akan terjalin sebuah kerukunan dalam masyarakat.
Melalui upacara Wiwitan, keharmonisan dalam bermasyarakat (masyarakat desa)
akan tetap terjaga, (d) fungsi intensifikasi sebagai sarana masyarakat Jawa
menghargai alam. Hubungan antara masyarakat dengan alam saling berkaitan.
Melalui masyarakat manusia berhubungan dengan alam. Dalam upacara Wiwitan
di Dusun Mundu terjadi interaksi horizontal antara manusia dengan alam. Letak
interaksi horizontal antara manusia dan alam ditunjukan dalam prosesi
“ngguwaki” (membuang). Prosesi ini dilakukan dengan membuang sesaji kotosan
di pojok-pojok sawah. Disinilah telah terjadi interaksi antara manusia dengan
alam. Dari interaksi horizontal antara manusia dengan alam tersebut diharapkan
supaya manusia tetap menghormati dan menjaga alam serta tidak merusak alam.
6. 2 Saran
Penelitian tentang upacara Wiwitan masyarakat Dusun Mundu yang
mencakup kajian mitos, ritus, makna, dan fungsi ini diharapkan dapat
dikembangkan lebih luas lagi oleh peneliti selanjutnya menggunakan sudut
pandang yang berbeda misalnya meneliti upacara Wiwitan yang ada di daerah
lain, meneliti doa atau mantra yang ada dalam upacara Wiwitan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 1993. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek.
Jakarta: Rineka Cipta
Budiaman. 1979. Folklor Betawi. Jakarta: Pustaka Jaya.
Bratawidjaja, Thomas Wiyasa. 1988. Upacara Tradisional Masyarakat Jawa.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Danandjaja, James. 2002. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain.
Jakarta: Grafiti Press.
Dhavamony, Mariasusai. 1995. Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Kanisius.
Endraswara, Suwardi. 2004. Dunia Hantu Orang Jawa: Alam Misteri, Magis, dan
Fantasi Kejawen. Yogyakarta: Narasi.
__________. 2005. Buku Pinter Budaya Jawa: Mutiara Adiluhung Orang Jawa.
Yogyakarta: Gelombang Pasang.
__________. 2009. Metodologi Penelitian Folklor: Konsep, Teori, dan Aplikasi.
Yogyakarta: Medpress.
__________. 2010. Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta: Cakrawala.
Koentjaraningrat. 1986. Pengantar Antropologi. Jakarta: Aksara Baru
Kuntjara, Esther. 2006. Penelitian Kebudayaan: Sebuah Paduan Praktis.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Kurniawan, Benny. 2012. Ilmu Budaya Dasar. Tangerang: Jelajah Nusa
Maharkesti dkk. 1988/1989. Upacara Tradisional Siraman Pustaka Kraton
Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Mangunsuwito, S.A. 2013. Kamus Bahasa Jawa. Bandung: Yrama Widya.
Misnawati. 2013. “Hiyang Wadian dalam Miya Paju sapuluh di Kabupaten Barito
Timur (Kajian Ekopuitika dan Interpretatif Simbolik)” dalam Suwardi
Endraswara dkk. Folklor dan Folklife dalam Kehidupan Dunia Modern:
Kesatuan dan Keberagaman. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
Namawi, H. Hadari dan H Mimi Martini. 1994. Penelitian Terapan. Yogyakarta:
Gajam Mada University Press.
Hamidi. 2004. Metode Penelitian Kualitatif: Aplikasi Praktis, Pembuatan
Proposal, dan Laporan Penelitian. Malang: Universitas Muhamadiyah
Malang.
Hardjowirogo, Marbangun. 1983. Manusia Jawa. Jakarta: Yayasan Idayu.
Herusatoto, Budiono. 1984. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: PT.
Hanindita
Mulder, Niels. 1983. Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa:
Kelangsungan dan Perubahan Kulturil. Jakarta: PT. Gramedia.
___________. 1984. Kepribadian Jawa Dan Pembangunan Nasional.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
___________. 1985. Pribadi dan Masyarakat di Jawa. Jakarta: Sinar Harapan.
Nasution, S. 1982. Metode Research (Penelitian Ilmiah). Bandung: Jemmars.
Notosudirjo, Suwardi. 1977. Pengetahuan Bahasa Indonesia: Etimologi. Jakarta:
Mutiara.
Saksono, Ign. Gatut dkk. 2012. Faham Keselamatan dalam Budaya Jawa.
Yogyakarta: Ampera Utama.
Spradley, James P. 2006. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Sugono, Dendy. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama
Suseno, Franz Magnis. 1985. Etik Jawa: Sebuah Analisa Falsafi Tentang
Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Penerbit PT Gramedia.
Suseno, Franz Magnis dkk. 1983. Etika Jawa dalam Sebuah Tantangan: Sebuah
Bunga Rampai. Yogyakarta: Penerbit Yayasan Kanisius.
Suyami. 2008. Upacara Ritual di Kraton Yogyakarta: refleksi mithologi dalam
Budaya Jawa. Yogyakarta: Kepel Press.
Taum, Yoseph Yapi. 2004. “Tradisi Fua Pah: Ritus dan Mitos agraris Masyarakat
Dawan di Timor”. Bahasa Merajut Sastra Merunut Budaya. Yogyakarta:
Universitas Sanata Dharma.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
__________. 2011. Studi Sastra Lisan: Sejarah, Teori, Metode dan Pendekatan
Disertai Contoh Penerapannya. Yogyakarta: Lamalera.
Tinarbuko, Sumbo. 2009. Semiotika Komunikasi Visual. Yogyakarta: Jalasutra
Sumber Online
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Caturtunggal,_Depok,_Sleman, diunduh pada
tanggal 12 Oktober 2013
http://kiprahcaturtunggal.org/, diunduh pada tanggal 12 Oktober 2013
http://cakdurasim.blogspot.com, diunduh pada tanggal 15 Oktober 2013
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Campursari, diunduh pada tanggal 16 Oktober
2013
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Wayang_Kulit, diunduh pada tanggal 16 Oktober
2013
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Kuda_Kepang , diunduh pada tanggal 16 Oktober
2013
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Ketoprak, diunduh pada tanggal 16 Oktober 2013
www.slemankab.go.id , diunduh pada tanggal 12 Oktober 2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
LAMPIRAN
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
DAFTAR NARASUMBER
1. Nama : Karyo Utomo (Mbah Gimo)
Usia : 83 tahun
Alamat : Kledokan RT 02 RW 01 CT XIX B.6 Caturtunggal Depok
Sleman Yogyakarta
Pekerjaan : Petani, sebagai pemimpin upacara Wiwitan
2. Nama : Ibu Iplis
Usia : 50 tahun
Alamat : Mundu RT 06 RW 02 jalan nangka Caturtunggal Depok
Sleman Yogyakarta
Pekerjaan : Petani, pemilik sawah
3. Nama : Bapak Tugiman
Usia : 44 tahun
Alamat : Mundu jalan perumnas RT 04 RW 02 Caturtunggal Depok
Sleman Yogyakarta
Pekerjaan : PNS, ketua RT 04
4. Nama : Bapak Sihono
Usia : 70 tahun
Alamat : Mundu jalan manggis RT 04 RW 02 Caturtunggal Depok
Sleman Yogyakarta
Pekerjaan : Wiraswasta
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI