PKMRS Gatritis
-
Upload
a-fajar-apriani -
Category
Documents
-
view
82 -
download
2
description
Transcript of PKMRS Gatritis
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK PKMRSFAKULTAS KEDOKTERAN MEI 2013UNIVERSITAS HASANUDDIN
GASTRITIS
Oleh:ANDI FAJAR APRIANI
110 209 0106
Pembimbing :dr. Ichsan Said
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIKPADA BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDINMAKASSAR
2013
1
LEMBAR PENGESAHAN
Dengan ini, saya yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa :
Nama : Andi Fajar Apriani
Stambuk : 110 209 0106
Judul PKMRS : Gastritis
Telah menyelesaikan dan mempresentasikan tugas PKMRS dalam rangka tugas
kepaniteraan klinik pada Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran,
Universitas Hasanuddin.
Makassar, Mei 2013
Pembimbing,
(dr. Ichsan Said)
Coass,
(Andi Fajar Apriani)
Supervisor,
Dr. Setia Budi Salekede, Sp. A (K)
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN............................................................................ ii
DAFTAR ISI.................................................................................................. iii
I. PENDAHULUAN................................................................................ 1
II. EPIDEMIOLOGI................................................................................. 2
III. ANATOMI.......................................................................................... 3
IV. ETIOPATOGENESIS.......................................................................... 5
V. MANIFESTASI KLINIS..................................................................... 9
VI. DIAGNOSIS........................................................................................ 12
VII. TERAPI ............................................................................................... 15
VIII. PENCEGAHAN................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 20
LAMPIRAN
3
GASTRITIS
(Andi Fajar Apriani)
I. PENDAHULUAN
Gastritis adalah suatu keadaan inflamasi mukosa lambung yang dapat meluas
sampai di bawah epitel. Gastritis dapat terjadi bila terdapat ulkus maupun erosi.
Disebut ulkus bila terdapat defek yang lebih dalam yang dapat sampai di
muscularis mukosa, sedangkan erosi bila defek terdapat di mukosa superficial.(1)
Ulkus dapat terjadi pada golongan usia berapa saja tetapi paling sering menyerang
anak pada rentang usia 12-18 tahun. Anak laki-laki dilaporkan lebih banyak
dibandingkan dengan anak perempuan.(2) Ulkus perlu diklasifikasikan sebagai
ulkus primer (peptik) atau sekunder, yaitu yang disebabkan oleh faktor-faktor
yang merusak keutuhan mukosa).(3) Kebanyakan anak-anak mendapat penyakit
gastritis secara sekunder dari penyakit yang mendasarinya, racun, atau obat-
obatan yang menyebabkan kerusakan dalam pertahanan normal mukosa.
Penyebabnya meliputi mekanisme berkurangnya pelindung mukosa (aspirin,
nonsteroidal anti-inflammatory drugs, hipoksia dan hipoperfusi), berkurangnya
aktivitas metabolisme dari sel mukosa, yang memungkinkan untuk difusi ion
hidrogen ke dalam mukosa (hipoksia, hipotensi); meningkatnya sekresi asam atau
pepsin (peningkatan massa sel parietal, peningkatan sekresi postprandial gastrin,
peningkatan tonus vagal), refluks empedu dari duodenum ke gaster, dan
menurunnya aktivitas untuk menetralisir sekresi duodenum.(2)
II. EPIDEMIOLOGI
4
Gastritis dapat terjadi pada golongan usia berapa saja tetapi paling sering
menyerang anak pada rentang usia 12-18 tahun. Anak laki-laki dilaporkan lebih
banyak dibandingkan dengan anak perempuan.(2) Infeksi H.pylori sebagian besar
terjadi pada masa anak-anak, kemudian infeksi berjalan lambat dan asimptomatik
sampai akhirnya menimbulkan penyakit gastroduodenal, misalnya ulkus
peptikum, dispepsia non ulkus, keganasan lambung, dan sebagainya.(4)
Transmisi H.pylori masih belum jelas. Kontak erat dengan individu yang
terinfeksi H.pylori baik secara oral-oral, gastro-oral, atau tinja-oral dianggap
sebagai bentuk transmisi H.pylori. Lingkungan yang padat dan lingkungan dengan
sosial ekonomi rendah dianggap sebagai faktor risiko terjadinya infeksi H.pylori
pada anak. Orangtua yang terinfeksi terutama ibu mungkin memegang peranan
dalam transmisi H.pylori di dalam keluarga. Lalat dan kecoa diduga sebagai
vektor dari H. pylori. Muntah dan refluks gastroesofagus juga dapat merupakan
kontaminasi oral-oral. Air sebagai salah satu sumber kontaminasi masih dalam
penelaahan.(5)
Hasil survei dari seluruh dunia menunjukkan bahwa pada umumnya infeksi
H.pylori ini lebih banyak terjadi di negara berkembang dibandingkan dengan
negara maju. Di Barat, infeksi H.pylori jarang mengenai anak dibawah umur 5
tahun, tetapi 50 % penduduk diatas 50 tahun secara serologik positif terinfeksi.(4)
Tidak ada bukti bahwa infeksi H.pylori menyebabkan nyeri perut rekuren pada
anak-anak atau dispepsia tanpa gastritis. Antara 10 hingga 20 % anak-anak di
Amerika utara memiliki antibodi H.pylori yang positif. Prevalensi ini meningkat
sesuai umur, lingkungan dengan sanitasi yang buruk dan pada anak yang anggota
5
keluarganya positif terinfeksi. (2)
Penelitian Prieto dkk di Spanyol menemukan 9 (10%) dari 91 kasus infeksi
H.pylori terjadi pada anak dibawah 5 tahun. Di Perancis ditemukan 3,5 % infeksi
H.pylori pada tahun pertama kehidupan, sedangkan di Gambia 45 % anak
berumur kurang dari 10 tahun terkena infeksi H.pylori. Survei epidemiologik oleh
Suparyatmo dkk di RSU Dr. Mawardi Surakarta mendapatkan kelompok umur 0-
14 tahun menunjukkan angka 7,2 % anti-Hp positif, dan meningkat sesuai dengan
peningkatan umur. Menurut penelitian Kandera W. berdasarkan metode ingket
dan pemeriksaan anti-Hp pada murid SD 17 Dauh Puri Kodya Denpasar,
didapatkan proporsi anti-Hp 35,3 % dan sumber air minum tidak menimbulkan
proporsi infeksi.(4)
III. ANATOMI LAMBUNG
Lambung terletak oblik dari kiri ke kanan menyilang di abdomen atas tepat
dibawah diafragma. Dalam keadaan kosong, lambung menyerupai tabung bentuk
J dan bila penuh, berbentuk seperti buah pir raksasa. Secara anatomis, lambung
terbagi atas fundus, corpus, dan antrum pyloricum atau pilorus. Sebelah atas
lambung terdapat cekungan curvatura minor, dan sebelah kiri bawah lambung
terdapat curvatura mayor. Sfingter pada kedua ujung lambung mengatur
pengeluaran dan pemasukan yang terjadi.(6)
Lambung tersusun atas 4 lapisan. Tunica serosa atau lapisan luar merupakan
bagian dari peritoneum viseralis. Tidak seperti organ saluran cerna lain, bagian
muskularis tersusun atas 3 lapisan otot polos, yaitu lapisan longitudinal dibagian
6
luar, lapisan sirkular di tengah, dan lapisan oblik dibagian dalam. Susunan serabut
otot yang unik ini memungkinkan berbagai macam kombinasi kontraksi yang
diperlukan untuk memecah makanan menjadi lebih kecil, mengaduk dan
mencampur makanan tersebut dengan cairan lambung, dan mendorongnya ke arah
duodenum. Sedangkan bagian submukosa tersusun atas jaringan areolar longgar
yang menghubungkan lapisan mukosa dan lapisan muskularis. Lapisan ini juga
mengandung pleksus saraf, pembuluh darah, dan saluran limfe. Mukosa, lapisan
dalam lambung, tersusun atas lipatan-lipatan longitudinal disebut rugae, yang
memungkinkan terjadinya distensi lambung sewaktu diisi makanan.(6)
Persarafan lambung sepenuhnya berasal dari sistem saraf otonom. Suplai
saraf parasimpatis untuk lambung dan duodenum dihantarkan ke dan dari
abdomen melalui saraf Vagus. Persarafan simpatis melalui saraf Splanchnicus
mayor dan ganglia seliaka. Serabut-serabut aferen menghantarkan impuls nyeri
yang dirangsang oleh peregangan, kontraksi otot, peradangan, dan dirasakan
didaerah epigastrium. Serabut-serabut eferen simpatis menghambat motilitas dan
sekresi lambung. Pleksus saraf mienterikus (Auerbach) dan submukosa
(Meissner) membentuk persarafan intrinsik dinding lambung dan mengkoordinasi
aktivitas motorik dan sekresi mukosa lambung.(6)
7
Gambar 1 : Anatomi lambung (dikutip dari kepustakaan 7)
IV. ETIOPATOGENESIS
Sejumlah faktor penting pada perkembangan penyakit ulkus primer,
termasuk asiditas lambung, golongan darah O, dan kadar pepsinogen I yang
tinggi dalam serum. Faktor-faktor lain yang tampaknya penting adalah merokok,
keadaan iklim, kebiasaan makan, mengonsumsi alkohol, dan ketegangan emosi.
Anak dengan ulkus duodenum mengalami kenaikan sekresi asam, tetapi beberapa
penelitian tidak mengkorelasi sekresi asam dengan ukuran ulkus dan lamanya
gejala. Asiditas lambung sering normal atau rendah pada ulkus lambung.
Ketahanan jaringan, yang sebagian disebkan oleh perubahan sel, produksi mukus,
dan sekresi bikarbonat, merupakan suatu variabel penting yang diatur dan
ditingkatkan oleh sintesis prostaglandid lokal. Faktor-faktor yang merendahkan
terhadap ketahanan terhadap jejas akibat asam adalah anoksia, perfusi jelek,
empedu, dan obat-obatan, terutama obat anti-radang nonsteroid yang menghambat
sintesis prostaglandin.(3)
Helicobacter pylori merupakan suatu faktor penting dalam penyakit
gastristis dan ulkus peptikum masa anak-anak, terutama penyakit yang berulang.(3)
8
Infeksi kuman Helicobacter pylori merupakan kausa gastritis yang amat penting.
Di negara berkembang, prevalensi infeksi H.pylori pada orang dewasa mendekati
90 %, sedangkan pada anak-anak, prevalensi infeksi H.pylori lebih tinggi lagi. Hal
ini menunjukkan pentingnya infeksi pada masa balita. Di negara maju, prevalensi
infeksi H.pylori pada anak sangat rendah. Diantara orang dewaa, prevalensi
infeksi H.pylori lebih tinggi daripada anak-anak tetapi lebih rendah dibandingkan
di negara-negara berkembang, yakni sekitar 30 %.(8)
Mukosa gaster sebenarnya sangat terlindungi dari invasi bakteri, tetapi
H.pylori sangat pandai melakukan adaptasi terhadap hal ini, dengan caranya yang
unik dapat masuk ke lapisan mukus, kemudian melakukan perlekatan dengan sel
epitel, evasi respon imun dan akhirnya terjadi kolonisasi dan transmisi persisten. (9)
H.pylori dapat mengalami adaptasi yang besar untuk dapat hidup didalam
lambung, antara lain dengan menghasilkan enzim urease yang sangat kuat, yang
akan mengubah urea dalam mukus lambung menjadi amoniak sehingga tubuh
H.pylori selalu diliputi “awan” amoniak yang dapat melindungi H.pylori dari
asam lambung yang kuat.(4) Setelah melekat, sebagian besar strain H.pylori dapat
memproduksi vacuolating cytotoxin (VacA), yang masuk ke membran epitel dan
menyebabkan keluarnya bikarbonat dan anion organik yang diperlukan untuk
nutrisi bakteri. Selain itu, VacA ini jiga mempunyai target pada membran
mitokondria yang menyebabkan terjadinya apoptosis. Sebagian besar strain
H.pylori mempunyai cag pathogenicity island (cag PAI), suatu fragmen genomic,
yang memiliki 29 gen. Setelah melekat pada epitel, cytotoxic-associated gene A
(CagA) ini terfosforilasi dan menyebabkan terjadinya respon seluler dan produksi
9
sitokin oleh sel epitel gaster. H.pylori menyebabkan continous gastric
inflammation pada setiap individu yang terinfeksi. Respon inflamatori ini terdiri
dari rekrutmen neutrofil yang kemudian diikuti oleh sel Limfosit B dan T, sel
plasma, makrofag, dan kemudian terjadi kerusakan pada epitel. Sel epitel yang
terinfeksi terdapat peningkatan sitokin interleukin-1β (IL-1β), IL-1, IL-6, IL-8,
dan tumor necroting factor (TNF). IL-8 merupakan kemokin yang poten untuk
aktivasi neutrofil. Infeksi H.pylori dapat menyebabkan pula menyebabkan
terjadinya respon humoral sistemik dan mukosa. Produksi antibodi ini tidak
mengakibatkan eradikasi bakteri tetapi menyebabkan kerusakan jaringan.(9) Toksin
yang dihasilkan oleh H.pylori ini mempunyai kemampuan menarik sel PMN ke
tempat kolonisasi, meningkatkan permeabilitas mikrokapiler, agregasi platelet,
dan degranulasi sel mast. Pada infeksi H.pylori, gastritis yang terjadi merupakan
suatu respon peradangan terhadap bakteri ini beserta produk-produknya, oleh
karena pada dasarnya bakteri ini tidak invasif. Setelah terjadi peradangan pada
mukosa lambung, ion H+ akan mudah masuk dan memperberat kerusakan mukosa
dan akhirnya dapat terjadi ulkus.(4) Sebagian penderita dengan H.pylori
mempunyai autoantibodi terhadap H+/K+-ATP-ase sehingga menyebabkan atrofi
corpus gaster. Pada saat terjadi inflamasi ini apabila respon Th-1 yang lebih
dominan akan menyebabkan peningkatan produksi IL-18, dan ditambah dengan
apoptosis akan mengakibatkan infeksi persisten H.pylori.(9)
Berbeda dengan kuman patogen lain, infeksi H.pylori berjalan sangat lambat
tetapi dapat bertahan bertahun-tahun sampai beberapa dasawarsa bahkan selama
hidup penderita. Hampir semua penderita yang tertular H.pylori menderita
10
gastritis kronik superfisialis aktif pada antrum dan fundus. Pada sebagian
penderita, proses inflamasi tadi berlanjut hingga terjadi kelainan struktur dan
fungsi kelenjar epitel, yang disebut gastritis atropik. Adanya infeksi H.pylori
dapat menimbulkan gangguan fungsi sekretorik mukosa, misalnya
hipergastrinemia. Hiperasiditas dalam duodenum dianggap merupakan salah satu
penyebab adanya metaplasia gastrik dalam duodenum. Pulau-pulau sel mukosa
lambung dalam duodenum kemudian menimbulkan duodenitis dan akhirnya dapat
terjadi ulkus. Terjadinya hipergastrenemia ini diakibatkan oleh penekanan
produksi somatostatin dari sel D mukosa lambung yang rusak, dimana
somatostatin ini berfungsi untuk menekan produksi gastrin. Karena produksi
gastrin tidak ada yang menekan, terjadilah hipergastrenemia dan pengeluaran
asam lambung berlebihan.(4)
Umumnya, faktor-faktor yang berhubungan dengan asam lebih penting pada
ulkus duodenum, sedangkan ketahanan jaringan jauh lebih penting pada ulkus
lambung. Ulkus peptikum primer biasanya kronis, duodenal, dan berhubungan
dengan H.pylori, sedangkan ulkus sekunder adalah akut dan di lambung. Ulkus
bisa superfisial, mengikis lebih dalam ke mukosa dan submukosa, menembus
suatu pembuluh darah dan menyebabkan pendarahan, atau menyebabkan
perforasi. Ulkus yang sangat dangkal dianggap abrasi, biasanya berdiameter 1 cm
atau kurang, lapisan fibrinosa leukosit dan eritrosit menutupi daerah nekrosis
fibrinoid yang dikelilingi oleh infiltrasi sel-sel radang akut dan kronis. Jika radang
dan edema meluas, dapat terjadi obstruksi lambung akut atau kronis. Kebanyakan
ulkus duodenum terjadi pada bagian posterior bulbus, dan kebanyakan ulkus
11
lambung terjadi pada kurvatura minor atau daerah antrum. Terutama pada ulkus
peptikum berulang, H.pylori mungkin ditemukan pada jaringan yang berbatasan
ditambah dengan gastritis antrum limfonoduler. Ulkus sekunder sering multipel
dan disertai dengan gastritis difus.(3)
V. MANIFESTASI KLINIS
Penelitian tentang hubungan manifestasi klinis dan infeksi H. pylori pada
anak belum sebanyak yang dilakukan pada orang dewasa. Dari beberapa data
yang dilaporkan menunjukkan bahwa infeksi H. pylori pada anak sebagian besar
asimtomatis atau memperlihatkan gejala saluran cerna yang tidak spesifik. (5)
Gambaran klinis infeksi H.pylori sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala,
dispepsia ringan, berat, sampai gambaran klinis yang timbul karena gejala ulkus. (4)
Infeksi H.pylori pada anak lebih sering berhubungan dengan gastritis dibanding
ulkus peptikum. Secara klinis, sulit membedakan gastritis yang terinfeksi H.pylori
dengan yang tidak terinfeksi H.pylori. Gastritis sering memperlihatkan keluhan
sakit perut berulang pada anak. Oleh karena itu, sakit perut berulang pada anak
oleh beberapa peneliti dianggap sebagai gejala klinis yang berhubungan dengan
infeksi H.pylori. Sakit perut berulang pada anak dianalogikan dengan dispepsia
non-ulkus pada orang dewasa. Data dari beberapa peneliti memperlihatkan 22-
37% anak dengan sakit perut berulang terbukti menderita infeksi H.pylori secara
serologis. Laporan dari peneliti lain menunjukkan 30% anak dengan sakit perut
berulang ditemukan bakteri H. pylori di dalam antrumnya, sedangkan hanya 10%
anak yang ditemukan bakteri H.pylori di dalam korpusnya. Kejadian ulkus pada
12
anak jarang ditemukan, tetapi bila ditemukan perlu dipikirkan kemungkinan
adanya infeksi H.pylori. Helicobacter pylori ditemukan pada 25% anak dengan
ulkus lambung dan 86% pada ulkus duodenum.(5)
1. Ulkus (peptikum) primer (3)
Manifestasi ulkus peptikum adalah muntah, pendarahan saluran pencernaan
akut atau kronis, nyeri, dan riwayat keuarga yang jelas. Pada umur 1 bulan,
dua tnda utama adalah pendarahan saluran cerna dan perforasi. Antara
neonatus dan umur 2 tahun, muntah berulang, pertumbuhan lambat, dan
pendarahan saluran cerna merupakan gejala pokok. Pada anak prasekolah,
nyeri periumbilikus sesudah makan sering menyerang, sedangkan muntah
dan pendarahan tetap sering terjadi. Setelah usia 6 tahun, gambaran klinik
ulkus ini sama dengan orang dewasa dan sering berupa nyeri epigastrium,
pendarahan saluran cerna akut atau kronis (hematemesis, hematokezia, atau
melena) menyebabkan anemia defisiensi besi. Nyeri sering digambarkan
bersifat tumpul atau atau pegal, bukannya nyeri tajam atau panas, seperti
pada orang dewasa, dapat berlangsung antara beberapa menit sampai
beberapa jam, dan sering terjadi eksaserbasi dan remisi yang berlangsung
beberapa minggu hingga berbulan-bulan. Riwayat nyeri khas ulkus yang
segera sembuh setelah minum antasida ditemukan pada kurang dari 33 %
penderita. Pada penderita akut atau kronis, jarang terjadi ulkus menembus
hingga rongga perut atau organ sekitarnya sehingga menyebabkan syok,
anemia, peritonitis, atau pankreatitis.
2. Ulkus sekunder (3)
13
a. Ulkus stress
Pada bayi, ulkus karena stress disebabkan oleh sepsis, insufisiensi
pernapasan atau jantung, atau dehidrasi. Pada anak yang lebih tua,
ulkus ini terkait dengan trauma atau keadaan-keadaan yang
mengancam kehidupan. Ulkus stress sering multipel, disertai dengan
gastritis dan erosimpendarahan, sering merupakan kejadian terminal.
Perforasi, dan yang lebih sering, pedarahan masif, sering merupakan
gejala awal.
b. Ulkus akibat obat
Aspirin dan obat-obat anti-radang nonsteroid lainnya semakin banyak
menjadi penyebab ulkus pada masa anak-anak. Dari penderita yang
memakai obat anti-radang nonsteroid dalam jangka waktu lama ini,
sekitar 25 % akan mengalami ulkus lambung dan lebih banyak lagi
yang mengalami erosi.
VI. DIAGNOSIS
Kebanyakan gastritis tanpa gejala. Mereka yang mempunyai keluhan
biasanya berupa keluhan yang tidak jelas. Pemeriksaan fisis juga tidak dapat
memberikan informasi yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis, sehingga
diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan, antara lain dengan endoskopi dan
histopatologi. Gambaran endoskopi yang dijumpai adalah eritema, eksudatif, flat-
erosion, raised erosion, perdarahan, edematous rugae. Perubahan-perubahan
histopatologi selain menggambarkan perubahan morfologi sering juga dapat
14
menggambarkan proses yang mendasari, misalnya autoimun ataupun respon
adaptif mukosa lambung. Perubahan-perubahan yang terjadi berupa degradasi
epitel, hyperplasia foveolar, infiltrasi netrofii, inflamasi sel mononuclear, folikel
limfoid, atropi, intestinal metaplasia, hiperplasia sel endokrin, kerusakan sel
parietal.(8)
Pemeriksaan foto rontgen saluran cerna atas adalah uji yang selalu tersedia
dan paling berguna jika gejala tidak akut.foto ini dapat mendeteksi sekitar 75 %
ulkus duodenum pada anak pada pemeriksaan pertama. Bulbus duodenum sulit
diperiksa pada bayi karena posisinya posterior tinggi. Lubang ulkus akan terlihat
pada beberapa foto, terutama jika bulbusnya kembung. Gastroduodenoskopi
terindikasi jika temuan foto rontgen dipertanyakan atau tidak menunjukkan apa-
apa pada penderita yang bergejala, jika gejala menetap walaupun ada bukti
penyembuhan secara radiografi, atau jika luka ulkus berlangsung lama.(3)
Selain itu, diperlukan juga pemeriksaan kuman Helicobacter pylori.
Diagnosis pasti H.pylori hanya dapat ditegakkan dengan kultur dari jaringan
lambung, yang diambil dengan endoskopi. Diagnosis infeksi H.pylori dibagi
menjadi 2 macam, yaitu yang tergolong invasif bila memerlukan endoskopi untuk
pengambilan bahan biopsi, dan noninvasif.(4)
1. Tes Noninvasif (4)
a. Pemeriksaan serologis
Yang diperiksa adalah kadar IgG anti-Hp dalam darah karena sebagian
besar penderita yang mengidap infeksi H.pylori menunjukkan adanya
IgG anti-Hp dalam darahnya. Beberapa yang dapat dipakai antara lain
15
ELISA dan agglutinasi (hemaglutinasi atau aglutinasi partikel/tes lateks)
b. Urea Breath Test (UBT)
Urea yang mengandung C radioaktif (C13 atau C14)diberikan kepada
penderita dalam bentuk makanan cair. Urease yang dihasilkan oleh
kuman H.pylori memecah urea menjadi C13O2 atau C14O2 yang diserap
masuk ke sirkulasi, kemudian dikeluarkan melalui napas dan dapat
diukur dengan alat spektrometer. Tes ini sangat berguna dalam
menentukan keberhasilan eradikasi kuman. Bila tes positif sebelum
pengobatan dan 4-6 minggu setelah pengobatan, maka berati eradikasi
gagal.
c. Stool antigen test (9)
Stool antigen test merupakan pemeriksaan enzimati (ELISA) yang dapat
mengidentifikasi antigen H.pylori pada feses. Stool antigen test terdiri
dari metode poliklonal dan monoclonal untuk mendeteksi infeksi juga
untuk monitoring pasca terapi H.pylori. Keuntungan Stool antigen test
membedakan infeksi aktif H.pylori dengan paparan, pemeriksaan non-
invasif, penderita lebih nyaman dan murah disbanding metode lain.
2. Tes Invasif (4)
a. Rapid urease test atau Delta West atau tes CLO (Campilobacter like
Organism)
Tes ini terdiri dari sediaan gel agar yang mengandung urea dan fenol red
sebagai indicator pH dalam suatu slide plastic. Bahan biopsy mukosa
ditanam di dalam agar tadi dan dilihat perubahan warna yang terjadi.
16
Kalau terdapat H.pulori, maka terbentuk urease yang akan memecah
urea menjadi ammonia dan CO2. Amonia meningkatkan pH media dan
mengubah wama kuning menjadi merah jingga.
b. Sediaan hapus
Dengan membuat hapusan langsung dari jaringan biosi diatas gelas
objek dan setelah kering diberikan pewarnaan dengan Giemsa 1%
selama 1-3 menit. Dengan mikroskop dapat dilihat bakteri H.pylori yang
berbentuk batang bengkok atau spiral.3
c. Biakan
Tes yang paling spesifik adalah kultur dari bahan biopsy mukosa
lambung (gold standard). Walau demikian, biakan masih dianggap
sebagai jenis pemeriksaan yang tidak praktis. Teknik biakan sulit,
karena memerlukan suasana media yang mokroaerofilik (5% oksigen
dengan 5-10% C02) dan memerlukan waktu yang cukup lama. Biakan
memiliki 2 keuntungan yakni untuk menentukan jenis antibiotik yang
akan digunakan serta mengisolasi bahan dengan menggunakan kultur.
Pemeriksaan ini tidak diperlukan pada saat awai terapi, tetapi mungkin
diperlukan bila terdapat kegagalan eradikasi sebanyak 2 kali.
VII. TERAPI
Terapi pada gastritis dapat berupa medikainentosa dan non-medikamentosa.
Terapi non- medikamentosa dapat berupa terapi diet. Diet pada penderita gastritis
adalah diet lambung. Prinsip diet diantaranya pasien dianjurkan untuk makan
secara teratur, tidak terlalu kenyang dan tidak boleh berpuasa. Makanan yang
17
dikonsumsi harus mengandung cukup kalori dan protein (TKTP) namun
kandungan lemak/minyak, khususnya yang jenuh harus dikurangi. Makanan pada
diet lambung harus mudah dicernakan dan mengandung serat makanan yang halus
(soluble dietary fiber). Makanan tidak boleh mengandung bahan yang
merangsang, menimbulkan gas, bersifat asam, mengandung minyak/ lemak secara
berlebihan, dan yang bersifat melekat Selain itu, makanan tidak boleh terlalu
panas atau dingin.(10)
Terapi gastritis memiliki dua tujuan utama, yaitu penyembuhan gastritis dan
mengurangi penyebab utama. Tujuan lainnya yaitu mengurangi gejala dan
mencegah timbulnya komplikasi.(4) Sampai sejauh ini belum terpapar kesepakatan
dari para ahli gastroenterologi tentang pengobatan infeksi H.pylori pada anak.
Beberapa kelompok ahli merekomendasi pengobatan eradikasi H. pylori pada
anak dengan dispepsia fungsional dengan uji tapis positif, sedangkan kelompok
lain merekomendasi hanya pada anak dengan ulkus. Berbagai jenis obat yang
pernah digunakan adalah bismut, ranitidin bismut sitrat, H2 antagonis, PPI, dan
beberapa antibiotik.(5)
Helycobacter pylori merupakan organisme yang sulit diobati sehingga untuk
memperoleh hasil eradikasi yang optimal diperlukan kombinasi dua atau lebih
antibiotika.(11) Obat pilihan utama untuk pengobatan gastritis pada anak yaitu
antagonis reseptor H2 dan proton pump inhibitor. Antagonis reseptor H2
(cimetidine, ranitidine, famotidine, nizatidine) secara kompetitif menghambat
pengikatan histamin dengan reseptor pada sel parietal gaster. Proton pump
inhibitor menghambat kerja pompa ATPase H+/K+ sel parietal gaster yang
18
mengurangi sifat basa dan menginduksi sekresi asam lambung. Ada 5 proton
pump inhibitor yang dikenal di Amerika Serikat, yaitu omeprazole, lansoprazole,
pantoprazole, esomeprazole, and rabeprazole. Meskipun tidak semua obat tersebut
cocok digunakan untuk anak-anak, proton pump inhibitor tersebut dapat
ditoleransi dengan baik dengan efek samping yang kecil seperti diare (1-4%),
nyeri kepala (1-3%) dan nausea (1%). Kerja proton pump inhibitor paling baik
jika diberikan sebelum makan. Untuk infeksi Helicobacter pylori, pengobatan
kombinasi antara proton pump inhibitor dengan larithromycin dan amoxicillin
atau metronidazole selama 2 minggu merupakan terapi yang dapat ditoleransi
dengan baik.(1,2,6)
Antisekretorik diberikan untuk menghilangkan gejala dan merangsang
penyembuhan. Kombinasi dua antibiotika dan satu antisekretorik selama 7 hari
sering digunakan pada anak. Obat tersebut adalah metronidazol, klaritromisin, dan
omeprazol. Kombinasi tersebut mempunyai tingkat eradikasi yang tinggi, yaitu
95%. Dosis yang dianjurkan adalah omeprazol 2 mg/kg/hari, klaritromisin 15
mg/kg/hari, dan metronidazol 20-30 mg/kg/hari.(1,2,6) Dilaporkan tingkat eradikasi
yang dicapai dengan menggunakan kombinasi 3 jenis obat (PPI, klaritromisin dan
amoksisilin) sebesar 87-92%, sedangkan bila hanya menggunakan 2 jenis obat
(PPI dan amoksisilin) sebesar 70%. Kombinasi amoksisilin, bismut, dan
metronidazol juga memberikan tingkat eradikasi yang tinggi, yaitu sebesar 96%.
Oleh karena itu, kombinasi 3 jenis obat yang menggunakan PPI atau bismut
direkomendasikan sebagai obat pilihan pertama. Akan tetapi dalam
penggunaannya , PPI lebih mudah diteloransi oleh anak dibanding dengan bismut.
19
Bismut-salisilat tidak dianjurkan penggunaannya pada anak berumur dibawah 16
tahun karena ditakutkan terjadinya sindrom Reye. Kombinasi obat yang
menggunakan PPI ternyata memperlihatkan penyembuhan ulkus yang lebih cepat.
Konsensus para Ahli Gastroenterologi di Amerika dan Eropa merekomendasi
penggunaan 3 jenis obat yang terdiri dari PPI, dan kombinasi 2 antibiotik selama 7
hari. Kombinasi obat yang direkomendasikan adalah (1) PPI, metronidazol, dan
klaritromisin, atau (2) PPI, amoksisilin (bila diduga ada resistensi terhadap
metronidazol), atau (3) PPI, amoksisilin, dan metronidazol (bila ada resistensi
terhadap klaritromisin). Di Belanda dan Belgia digunakan kombinasi omeprazole
0.6 mg/kg dua kali sehari, amoksisilin 30 mg/kg dua kali sehari, dan klaritromisin
15 mg/kg dua kali sehari, selama 7 hari.(5)
Kejadian resistensi terhadap amoksisilin rendah, sedangkan kejadian
resistensi terhadap golongan makrolid (klaritromisin) dan metronidazol cenderung
meningkat sejalan dengan meningkatnya penggunaan obat-obat tersebut. Pada
daerah yang memiliki angka kejadian resistensi terhadap metronidazol lebih dari
30%, dianjurkan untuk langsung memberikan amoksisilin. Data terakhir
memperlihatkan penggunaan lanzoprazol sebagai PPI. Kombinasi lanzoprazol,
amoksisilin/metronidazol, dan klaritromisin memberikan tingkat eradikasi yang
cukup baik (87%), tetapi penggunaannya pada anak belum dilaporkan secara luas.
(5)
Terapi yang diberikan sebaiknya sederhana, dapat ditoleransi dengan baik,
dan memiliki tingkat eradikasi lebih dari 80%. Selain untuk mencegah terjadinya
resistensi, penggunaan berbagai jenis obat akan memberikan hasil yang lebih
20
efektif, karena terdapat mekanisme sinergis dari obat-obat tersebut. Eradikasi
dikatakan berhasil apabila ditemukan gambaran histologi yang normal, atau hasil
biakan jaringan biopsi dan uji urea napas negatif. Uji diagnostik yang bersifat non
invasif lebih dianjurkan. Sebagai uji baku digunakan uji urea napas. (C13 urea
napas). Evaluasi hasil eradikasi sebaiknya tidak dilakukan sebelum 4 minggu
karena dapat memberikan hasil negatif palsu. Pemeriksaan serologi yang
memperlihatkan penurunan kadar antibodi sebesar 50% sebagai petanda
keberhasilan eliminasi bakteri harus dilakukan pada 6 bulan setelah eradikasi.
Apabila eradikasi yang diberikan tidak memberikan hasil optimal, biakan dan uji
resistensi diperlukan untuk menentukan jenis antibiotik selanjutnya. Apabila
terjadi kegagalan terapi, maka obat yang dipilih selanjutnya harus memperhatikan
jenis dan atau sensitivitas obat sebelumnya. Pada kasus yang resisten terhadap
metronidazol dapat diberikan kombinasi omeprazol, klaritromisin dan amoksisilin
30-50 mg/kg/hari selama 7 hari atau omeprazol, amoksisilin, dan metronidazol
bila resisten terhadap klaritromisin.(5)
VIII. PENCEGAHAN
Hanya sekitar 1% penderita yang mengalami infeksi H.pylori akan
berkembang menjadi kanker lambung. Untuk itu tidak dapat dibenarkan untuk
melakukan penyaringan dan pengobatan secara luas untuk individu yang
menderita infeksi H.pylori.(11)
Strategi lain untuk mencegah terjadinya infeksi H.pylori adalah pemberian
vaksinasi. Vaksinasi yang potensial untuk mencegah infeksi H.pylori masih dalam
21
taraf penyelidikan. Namun belum terbukti vaksinasi dapat mencegah infeksi pada
manusia. Di samping itu, mengingat kecilnya prevalensi kanker lambung pada
individu yang terinfeksi dapat mengakibatkan tingginya harga vaksin.
Pencegahan lebih ditujukan untuk menurunkan risiko terjadinya infeksi H.pylori.
Perbaikan status sosioekonomi, gizi dan lingkungan seperti penyediaan air bersih
terbukti mampu menurunkan prevalensi infeksi H.pylori pada anak. Monitoring
kecenderungan kolonisasi dan penyakit gastrointerstinal bagian atas pada berbagai
populasi dapat memberikan gambaran kecenderungan terjadinya infeksi H.pylori.
(11)
DAFTAR PUSTAKA
1. Blanchard SS, Czinn SJ. Peptic Ulcer Disease in Children. In: Kliegman
RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF(editor). Nelson Textbook of
Pediatrics. Philadelphia; Saunders Elsevier. 2007
22
2. Sondhieimer, Judith M. Gastrointestinal Tract. In Hay, Levin, Sondheimer,
Deterding, editors. Current Pediatric Diagnosis & Treatment . 18th Ed.
USA : The McGraw-Hill Companies ; 2003;20.
3. Herbst, J.J. Penyakit Ulkus. dalam Behrman, Kliegman, Jenson, editors.
Nelson Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15. USA : Elsevier Science ; 2003.
P.1325-28
4. Surtawan IP, Aryasa IKN, Sudaryat S. Helicobacter Pylori. In: Suraatmaja
S (editor). Kapita Selekta Gastroenterologi. Jakarta: CV. Sagung Seto. 2007.
p.271-83
5. Hegar, Badru. Infeksi Helicobacter Pylori pada Anak. Sari Pediatri 2000; 2:
82-89.
6. Lindseth GN. Gangguan Lambung dan Duodenum. In: Price SA, Wilson
LM (editors). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Ed.6
Vol.l. Jakarta: Penerbit ECG. 2002. p.417-35.
7. Putz HvR, Pabst R. Sobotta Anatomie des Menschen. 2007. Germany:
Urban & Fischer; p. 400.
8. Hirlan. Gastritis : Sudoyo A W, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
Setiati (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Ed.4 Jilid.I. Jakarta: Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKU1. 2006. p.335-7.
9. Fardah, Alpha., et al. Infeksi Helicobacter Pylori Pada Anak. Divisi
Gastroenterologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR- RSU Dr.
Soetomo Surabaya 2006.p.1-17
23
10. Aimatsier S (editor). Diet penyakit lambung. In: Penuntun diet edisi baru.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2007. p. 108-16.
11. Tehuteru, Edi S. Penatalaksanaan infeksi Helicobacter pylori pada Anak.
Kedokteran Trisakti 2004; 2 :110-114.
12. Tarigan P. Tukak Gaster. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Ed.4
Jilid.I. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006. p.338-
48.
13. Sylevester, Fransisco A. Peptic Ulcer Disease. In Behrman, Kliegman,
Jenson, editors. Nelson Textbook of Pediatric. 19 th Ed. USA : Elsevier
Science ; 2003. P.1425-48
24