Perubahan Pekerjaan Dalam Kontrak Pekerjaan Konstruksi
-
Upload
lindon-tampubolon -
Category
Documents
-
view
64 -
download
13
Transcript of Perubahan Pekerjaan Dalam Kontrak Pekerjaan Konstruksi
PERUBUAHAN PEKERJAAN DALAMKONTRAK PEKERJAAN KONSTRUKSI
Abstrak
Pasal 51 ayat (1) Peraturan Presiden nomot 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah berbinyi:
Kontrak Lump sum merupakan Kontrak Pengadaan Barang/Jasa atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas waktu tertentu sebagaimana ditetapkan dalam kontrak, dengan
ketentuan sebagai berikut:a.
jumlah harga pasti dan tetap serta tidak dimungkinkan penyesuaian harga;
b.
semua risiko sepenuhnya ditanggung oleh Penyedia Barang/Jasa;
c.pembayaran didasarkan pada tahapan produk/keluaran
yang dihasilkan sesuai dengan
isi Kontrak;
d. sifat pekerjaan berorientasi kepada keluaran (output based); e. total harga penawaran bersifat mengikat; dan
f. tidak diperbolehkan adanya pekerjaan tambah/kurang.
Dalam pelaksanaan kontrak pekerjaan konstruksi seperti pembangunan gedung kantor dan/atau rumah dinas, tidak jarang ditemukan adanya kesalahan perencanaan bangunan yang menyebabkan perlunya penambahan/pengurangan pekerjaan. Penambahan/pengurangan pekerjaan tersebut tidak dibolehkan jika kesepakatan tentang penyelesaian pekerjaan tersebut dituangkan dalam kontrak lump sum. Padahal dalam keadaan tertentu akibat dari tidak dibolehkan penambahan/pengurangan pekerjaan tersebut dapat menimbulkan kerugian negara. Karena itu terdapat perdebatan apakah penambahan/pengurangan pekerjaan demikian boleh dilakukan. Tulisan ini mencoba mencari jawaban atas perdebatan tersebut.
Kata Kunci : Kontrak lump sum, kontrak harga satuan, perubahan kontrak, penambahan pekerjaan, dan pengurangan pekerjaan.
A. Jenis Kontrak Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Di lihat dari cara pembayaran kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah, menurut pasal 50 ayat (3) Peraturan Presiden R.I nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, kontrak pengadaan barang/jasa dibedakan menjadi:a. Kontrak Lump Sum;
b. Kontrak Harga Satuan; c. Kontrak gabungan Lump Sum dan Harga Satuan;
d. Kontrak Persentase; dan
e. Kontrak Terima Jadi (Turnkey Contract).
(1) Kontrak Lump Sum merupakan kontrak yang jumlah harga (nilai kontrak) sudah pasti dan tetap bersifat mengikat, serta tidak dimungkinkan adanya penyesuaian harga.
Kontrak
jenis ini diperuntukkan untuk pekerjaan yang
volume
atau kuantitas
pekerjaannya sudah dapat diperkirakan dengan pasti pada
saat
penandatanganan
kontrak.
Contohnya kontrak untuk pekerjaan pembangunan
gedung kantor
pada
umumnya berisi kesepakatan tentang pembangunan satu unit
gedung
kantor
dengan
harga yang sudah pasti misalnya Rp5.000.000.000,- (lima milyar rupiah). Meskipun perhitungan biaya pembangunan gedung tersebut terdiri dari penjumlahan banyak komponen pekerjaan seperti pekerjaan pondasi, lantai, dinding, atap, dsb namun volume atau kuantitas pekerjaan pondasi, lantai, dinding, atap, dsb sudah dapat diperkirakan pada saat penandatanganan kontrak. Karena itu nilai kontrak yang nantinya dibayarkan bersifat tetap dan mengikat.
(2) Kontrak harga satuan merupakan kontrak yang jumlah harga satuan untuk setiap satuan atau unsur pekerjaan dengan spesifikasi teknis tertentu sudah tetap, namun volume atau kuantitas pekerjaannya masih bersifat perkiraan. Pembayaran kontrak didasarkan pada
hasil pengukuran bersama atas volume pekerjaan yang benar-benar telah dilaksanakan. Karena itu dimungkinkan adanya pekerjaan tambah/kurang berdasarkan hasil pengukuran bersama atas pekerjaan yang diperlukan. Kontrak jenis ini diperuntukkan untuk pekerjaan yang volume atau kuantitas pekerjaannya belum dapat
diperkirakan dengan pasti pada saat penandatanganan kontrak. Contohnya kontrak untuk pekerjaan pengadaan bahan makanan narapidana berisi kesepakatan tentang pengadaan bahan makanan untuk nara pidana selama waktu tertentu misalnya satu tahun dengan harga yang sudah pasti untuk setiap spesifikasi teknis tertentu seperti harga telur per butir, harga beras per kg, harga daging per kg, harga sayur per ikat dsb. Penyedia barang/jasa melaksanakan pemasokan barang sesuai kesepakatan dalam kontrak, misalnya PPK menyampaikan surat pesanan per hari/minggu/bulan berdasarkan jumlah narapidana. Pembayaran kontrak didasarkan pada hasil pengukuran bersama terhadap pekerjaan yang benar-benar telah dilaksanakan.
(3) Kontrak gabungan lump sum dan harga satuan adalah adalah Kontrak yang merupakan gabungan Lump Sum dan Harga Satuan dalam 1 (satu) pekerjaan yang diperjanjikan. Kontrak ini diperuntukkan untuk pekerjaan yang sebagian volumenya sudah dapat pastikan dan sebagian lainnya masih bersifat perkiraan. Contoh pekerjaan yang sebagian volumenya sudah pasti dan sebagian pekerjaan volumenya masih bersifat perkiraan adalah pekerjaan pembangunan gedung dengan pondasi tiang pancang di atas tanah yang labil. Kontrak untuk pekerjaan tersebut dapat diatur sebagai berikut:
a. Untuk porsi pekerjaan pembangunan gedung menggunakan cara pembayaran kontrak lump sum, dan
b. Untuk porsi pekerjaan pondasi tiang pancang menggunakan cara pembayaran kontrak harga satuan.
(4) Kontrak Persentase merupakan kontrak pengadaan jasa konsultansi/jasa lainnya, dengan
ketentuan imbalan yang diterima didasarkan pada persentase dari nilai pekerjaan tertentu. Contoh kontrak ini adalah kontrak untuk pekerjaan konsultan pengawasan pekerjaan pembangunan gedung. Dalam kontrak ini cara penyedia jasa konsultansi menerima imbalan berdasarkan persentasi hasil pekerjaan pembangunan gedung yang diawasinya.
(5) Kontrak Terima Jadi (Turnkey) merupakan Kontrak Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas waktu tertentu dengan ketentuan sebagai berikut: a. jumlah harga pasti dan tetap sampai seluruh selesai dilaksanakan; dan b. pembayaran dilakukan berdasarkan hasil penilaian bersama yang menunjukkan bahwa pekerjaan telah dilaksanakan sesuai dengan kriteria kinerja yang telah ditetapkan.
B. Landasan Pemilihan Jenis KontrakMengapa perlu jenis kontrak lump sum dan jenis kontrak harga satuan?
Perlunya ada kontrak lump sum dan ada kontrak harga satuan bukan dikarenakan ada kontrak yang membolehkan ada kontrak yang tidak membolehkan penambahan/pengurangan
pekerjaan.
Karena
kalau hanya untuk membolehkan dan tidak
membolehkan
penambahan/pengurangan pekerjaan tidak
perlu adanya jenis kontrak lump sum.
Bukankah
dengan dibolehkannya penambahan/pengurangan pekerjaan pada kontrak
harga satuan,
berarti kontrak harga satuan dapat pula
digunakan untuk pekerjaan yang tidak
memerlukan
penambahan/pengurangan
pekerjaan.
Perlunya ada kontrak lump sum dan ada kontrak harga satuan, sesungguhnya dikarenakan memang ada jenis pekerjaan yang volume atau kuantitasnya sudah dapat dipastikan pada saat perencaan dan ada jenis pekerjaan yang volume atau kuantitasnya tidak dapat dipastikan pada saat perencanaan pekerjaan (masih bersifat perkiraan). Untuk pekerjaan yang volume atau kuantitasnya sudah dapat dipastikan pada saat perencanaan harus menggunakan kontrak lump sum, untuk pekerjaan yang volume atau kuantitasnya masih bersifat perkiraan harus menggunakan kontrak harga satuan.
Contoh volume pekerjaan yang sudah harus dipastikan pada saat perencanaan adalah volume pekerjaan konstruksi. Yang dimaksudkan dengan volume dalam hal ini adalah luas
gedung, rentang jembatan, panjang dan lebar jalan. Semua itu dapat dipastikan pada saat perencanaan pekerjaan. Contoh volume pekerjaan yang belum dapat dipastikan pada saat perencanaan pekerjaan adalah volume pekerjaan pengadaan bahan makanan untuk narapidana. Pada saat penandatanganan kontrak jumlah narapidana yang harus diberi makan belum diketahui.
Dalam dokumen anggaran volume
pekerjaan
konstruksi dapat dijumpai
seperti
“pembangunan gedung kantor 300
m2”
atau
“pembangunan rumah dinas 2 unit”. Jika
pembangunan gedung direncanakan
300 m2
maka
tidak mungkin dalam pelaksanaannya
terpaksa dirubah menjadi 350 m2.
Pembangunan rumah dinas yang semula direncanakan 2
unit tidak mungkin terpaksa dirubah
menjadi 3 unit. Pembangunan jalan yang dikontrak
awal sepanjang 2 km tidak mungkin terpaksa harus dirubah menjadi 3 km. Jika dalam pelaksanaan kontrak dijumpai perubahan seperti itu dapat dipastikan bahwa perubahan itu bukan disebabkan oleh kebutuhan (need) melainkan karena ada keinginan (want).
Dalam pekerjaan konstruksi seperti pembangunan gedung kantor memang terdapat komponen pekerjaan seperti penggalian pondasi, pengurugan tanah, pemasangan pintu, jendela, atap dll yang dijadikan dasar untuk menghitung biaya.
Komponen pekerjaan tersebut sudah harus diperhitungkan secara tepat sejak awal dan dan digambarkan dalam disain bangunan. Apabila ada bagian pekerjajan yang memang belum dapat diperhitungkan maka hanya untuk bagian pekerjaan tersebut saja dapat menggunakan kontrak harga satuan.
Yang dimaksud volume atau kuantitas pekerjaan dalam pengadaan bahan makanan untuk narapidana adalah jumlah bahan makanan yang serahkan, atau makanan yang disajikan. Jika penyedia hanya memasok bahan makanan maka volume pekerjaan dihitung berdasarkan jumlah bahan makanan yang diserahkan oleh penyedia seperti beras, sayuran segar, telur
ayam, ikan asin dsb. Jika pemberian makan diberikan dalam bentuk makanan seperti nasi
kotak/bungkus valumenya adalah jumlah nasi
kotak/bungkus yang
disediakan.
Jika
pemberian makanan disajikan dalam bentuk
prasmanan volumenya adalah
jumlah
narapidana.
C. Larangan Penambahan/Pengurangan Pekerjaan Konstruksi
Larangan adanya penambahan/pengurangan pekerjaan tercantum dalam pasal 51 ayat (1) huruf f Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010. Pasal tersebut mengatur tentang ketentuan pelaksanaan kontrak lump sum. Karena itu muncul pendapat agar dapat dilakukan penambahan dan/atau pengurangan pekerjaan jangan gunakan kontrak lump sum (gunakansaja
kontrak harga
satuan).
Pendapat demikian antara lain dikemukakan oleh Khalik Nst
yang mengatakan:
Untuk pengadaan Pekerjaan Konstruksi, sebaiknya digunakan kontrakharga satuan, walaupun perencanaan telah dilaksanakan dengansebaik-baiknya dan sesempurna mungkin, karena yang
namanyapekerjaan konstruksi ada hal – hal tertentu yang memaksa akanterjadinya pekerjaan tambah/kurang yang tidak kita kehendaki, agarpekerjaan tersebut terlaksana sesuai dengan harapan dan tidakmerugikan uang negara, yang kita takutkan bila menggunakan kontraklumpsum pada pekerjaan konstruksi karena tidak diperbolehkanadanya pekerjaan tambah/kurang, pekerjaan konstruksi yang berupabangunan, jembatan, jalan, bendungan, irigasi dan lain-lainnya tidakberfungsi dengan baik.(https://khaliknst.wordpress.com/2012/07/05/kontrak -harga-satuan-atau-kontrak-lumpsum/ diakses Kamis 9 Desember 2015 pukul 06. 48 WIB).
Seperti diuraikan
di
atas bahwa pekerjaan konstrusi seharusnnya menggunakan kontrak
lump
sum atau
jika
memang
ada sebagian dari pekerjaan konstruksi tersebut yang masih
bersifat perkiraan dapat menggunakan kontrak gabungan (lump sum dan harga satuan). Penggunaan kontrak harga satuan pada pekerjaan konstruksi tidak dibolehkan karena tidak sesuai dengan maksud Pasal 51 ayat (2) Perpres nomor 54 tahun 2010. Antisipasi terhadap kemungkinan perlunya
pekerjaan tambah/kurang bukan merupakan alasan yang tepat untuk memilih kontrak harga satuan.
Mengizinkan penggunaan kotrak harga satuan untuk pekerjaan konstruksi akan mengurangi arti pentingnya disain perencanaan konstruksi. Padahal dalam pekerjaan konstruksi disain detail bangunan merupakan gambaran dari sebuah bangunan yang diinginkan. Ketika menyusun disain perencanaan sebuah gedung, konsultan perencana sudah membayangkan bagaimana bentuk, model, dan ukuran dari bangunan tersebut. Gambaran sebuah gedung yang sudah ada di dalam kepala konsultan perencana itulah yang dituangkannya secara detail ke dalam disain perencanaan bangunan. Inilah yang disebut “start from the end” olehSteven R Copy dalam bukunya The Seven Habits of Highly Efective People.
Dalam pekerjaan konstruksi kemungkinan perlunya perubahan-perubahan pekerjaan setelah kontrak ditandatangani bisa disebabkan oleh adanya sisa anggaran yang belum terserap atau karena adanya perubahan selera pemilik pekerjaan. Kasusnya bisa terjadi ketika penawaran dari penyedia jauh dibawah HPS sehingga terdapat sebagian anggaran yang tersisa. Pemanfaatan sisa anggaran dengan cara menambah pekerjaan baru inilah yang sebenarnya tidak dibolehkan.
D. Permasalahan pekerjaan konstruksi
Permasalahan sebenarnya dalam penyelesaian pekerjaan konstruksi bukan karena volume pekerjaan atau bagian pekerjaan yang belum dapat dipatikan pada saat penambahan kontrak, melainka karena perlunya penambahan/pengurangan pekerjaan yang disebabkan kesalahan dalam perencanaan. Contohnya dalam perencanaan tertulis penimbunan tanah 30 m3 seharusnya 300 m3 atau sebaliknya jumlah timbunan yang seharusnya 300 m3 tertulis 30 m3. Kesalahan tersebut jika tidak dilakukan penambahan/pengurangan pekerjaan akan menyebabkan bangunan tidak sempurna bahkan bisa jadi tidak berfungsi.
Kesalahan perencanaan seperti tersebut di atas seharusnya tidak boleh dibiarkan meskipun jenis kontrak yang digunakan adalah kontrak lump sum. Alasan mengapa penambahan/pengurangan pekerjaan tersebut harus dilakukan, setidaknya dapat dikaitkan dengan upaya menghindari kerugian negara dan untuk melaksanakan serah terima hasil pekerjaan.
a. Upaya untuk menghindari kerugian negara jauh lebih penting dari pada sekedar melaksanakan secara kaku pasal 51 ayat (1) huruf f. Menurut hemat penulis jika benar-benar dibutuhkan tambahan pekerjaan yang kalau tidak dilaksanakan akan
menyebabkan kerugian negara karena hasil pekerjaan tidak berfungsi, maka tambahan pekerjaan dapat dilakukan. Demikian juga jika diketahui bahwa terdapat bagian pekerjaan dalam kontrak yang sebenarnya tidak
perlu dilaksanakan karena tidak bermanfaat sama sekali, maka pekerjaan tersebut tidak perlu dilaksanakan.
b. Untuk pelaksanaan serah terima hasil pekerjaan, Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP) harus memeriksa seluruh hasil pekerjaan dan memastikan bahwa seluruh komponen pekerjaan yang terdapat dalam kontrak telah diselesaikan. Dalam hal terdapat bagian pekerjaan yang tidak dikerjakan, baik yang disebabkan karena
memang tidak bisa dikerjakan maupun yang disebabkan karena tidak diperlukan, maka untuk dapat dilakukan serah terima hasil pekerjaan bagian pekerjaan yang tidak dikerjakan tersebut harus dikeluarkan dulu dari dalam kontrak. Untuk itu perlu dilakukan perubahan kontrak. Tanpa merubah kontrak maka PPHP tidak dapat melakukan serah terima karena terdapat bagian pekerjaan yang belum dikerjakan.
E. Contoh Kasus
Kasus 1.
Dalam kontrak lump sum pekerjaan pembangunan gedung pertemuan yang dibiayai dari dana APBD nilai kontrak Rp7.000.000.000,- terdapat bagian pekerjaan penimbunan lahan halaman gedung pertemuan seluas 1000 m2. Biaya penimbunan tersebut dalam surat penawaran tercantum Rp600.000.000,-. Pada tahapan pelaksanaan pekerjaan ternyata sebagian lahan halaman gedung pertemuan tersebut
(seluas 300 m2) diklaim oleh masyarakatpemilik lahan.
Dalam menghadapi kenyataan tersebut PPK
harus
mengambil suatu
keputusan. Alternatif putusan yang dapat dipilih oleh PPK adalah:1) Pembangunan
gedung pertemuan dikerjakan sesuai kontrak
awal
tanpa perubahan
berupa pengurangan pekerjaan. Di atas lahan seluas 300 m2 yang diklaim oleh masyarakat tetap dilakukan penimbunan meskipun pada akhirnya lahan tersebut tidak dapat digunakan sebagai halaman gedung pertemuan karena dipasang pagar pembatas oleh masyarakat pemilik lahan. Serah terima pekerjaan dapat dilaksanakan karena seluruh pekerjaan yang ada dalam kontrak telah dilaksanakan dan kepada penyedia pekerjaan dibayar penuh sebesar Rp7.000.000.000,-.
Keputusan tersebut akan menyebabkan kerugian negara karena PPK melakukan penimbunan di atas lahan yang bukan milik pemerintah yang seharusnya tidak perlu dilakukan penimbunan.
2)Pembangunan gedung pertemuan dikerjakan sesuai kontrak tanpa perubahan berupa pengurangan pekerjaan. Secara formal pekerjaan seluruh pekerjaan dilakukan sesuai kontrak. Namun pada kenyataannya pekerjaan penimbunan halaman gedung pertemuan
hanya dilakukan di atas lahan milik pemerintah
seluas
700 m2. Sedangkan di atas lahan
seluas 300 m2 yang diklaim oleh masyarakat
tidak
dilakukan penimbunan. Pada saat
serah terima hasil pekerjaan dinyatakan bahwa pekerjaan telah selesai dikerjakan 100%. Berdasarkan Berita acara tersebut dilakukan pembayaran penuh Rp7.000.000.000,-.
Keputusan tersebut bukan saja menyebabkan kerugian negara tetapi juga menyeret PPK dan PPHP ke dalam kasus korupsi karena melakukan pembayaran atas pekerjaan
yang tidak dilaksanakan (piktif).3) PPK membuat keputusan yang isinya merubah jenis kontrak
yang semula kontrak lump
sum menjadi kontrak harga satuan. Perubahan
tersebut hanya perubahan nama jenis
kontrak saja dengan tujuan supaya dapat
dilakukan
pekerjaan tambah/kurang.
Selanjutnya setelah jenis kontrak dirubah menjadi kontrak harga satuan PPK dan Penyedia pekerjaan sepakat melakukan perubahan isi kontrak dengan mengurangi pekerjaan penimbunan halaman semula 1000 m2 menjadi 700 m2.
Keputusan tersebut tidak sinkron dengan proses pelelangan yang telah dilakukan oleh Pokja ULP karena pada saat
melaksanakan proses pelelangan Pokja ULP telah melaksanakan seluruh proses dengan cara yang ditentukan untuk kontrak lump sum. Penetapan pemenang lelang dan nilai kontrak telah ditetapkan oleh Pokja ULP berdasarkan hasil koreksi aritmatik yang telah dilaksanakan menurut cara koreksi untuk kontrak lump sum. Seandainya sejak awal dilakukan pelelangan dengan cara yang ditentukan untuk kontrak harga satuan bisa jadi pemenang lelang tersebut adalah penyedia yang lain.
4)PPK membentuk tim pengendali pelaksanaan kontrak dan melakukan pengkajian terhadapi kondisi yang dihadapi. Selanjutnya PPK dan penyedia sepakat melakukan
perubahan kontrak dengan mengurangi pekerjaan penimbunan halaman seluas 300 m2. Pelaksanaan pekerjaan disesuaikan dengan perubahan kontrak dan pembayaran atas hasil pelaksanaan pekerjaan didasarkan pada pekerjaan yang benar-benar telah dilaksanakan. Alternatif ini tidak sesuai dengan pasal 51 ayat (1) huruf f Perpres nomor 54 tahun 2010. Namun inilah salah satu pilihan yang risikonya paling kecil dan alasannya dapat diterima dalam rangka menghindari kerugian negara.
Kasus 2.
Dalam kontrak lump sum pekerjaan pembangunan rumah dinas yang dibiayai dari dana APBD nilai kontrak Rp3.000.000.000,- terdapat bagian pekerjaan penimbunan
lahan sebanyak 55 m3. Izin mendirikan bangunan (IMB) yang diajukan kepada Pemerintah Daerah baru terbit setelah kontrak ditandatangani. Berdasarkan IMB pembangunan rumah dinas harus bergeser 5 m ke arah belakang menjauhi jalan raya. Akibat dari pergeseran lokasi tersebut posisi rumah dinas tersebut berada di atas lahan yang agak rendah dan selalu digenangi air hujan. Berdasarkan perhitungan bersama antara PPK, tim teknis, dan penyedia pekerjaan untuk menghindari ancaman banjir diperlukan tambahan pekerjaan penimbunan tanah sebanyak 200 m3. Jika tidak dilaksanakan penimbunan akan menyebabkan lantai bangunan rumah tersebut akan terendam air setiap turun hujan. Biaya penimbunan tersebut dapat diambil dari bagian pekerjaan pembuatan garasi. Penyedia mengusulkan agar pembuatan garasi ditiadakan diganti dengan penambahan penimbunan.
Menghadapi situasi ini PPK harus mengambil keputusan. Alternatif putusan yang dapat ditempuh antara lain:
1)Tetap memerintahkan penyedia membangun di atas lahan yang direncanakan tanpa memperdulikan lokasi yang diizinkan dalam IMB. Pilihan tersebut tidak memerlukan
pekerjaan tambah/kurang. Risiko putusan tersebut adalah sewaktu-waktu proses pembangunannya dapat dihentikan oleh pihak Pemerintah Daerah karena tidak sesuai
IMB. Jika terjadi pelebaran jalan yang mengharuskan rumah dinas tersebut dibongkar, maka pembongkaran rumah tersebut tidak dapat mengajukan klaim ganti rugi kepada Pemerintah Daerah.
2)Tetap memerintahkan penyedia membangun di atas lahan yang diizinkan dalam IMB tetapi tidak melakukan perubahan pekerjaan. Pilihan tersebut memang tidak memerlukan pekerjaan tambah/kurang. Namun setiap kali turun hujan rumah dinas yang telah dibangun tersebut akan selalu direndami air karena letaknya lebih rendah dari permukaan tanah di sekelilingnya.
3)Melakukan perubahan kontrak dengan mengurangi pekerjaan pembuatan garasi dan menambahkan pekerjaan penimbunan sesuai hasil perhitungan bersama tim teknis dan penyedia. Alternatif ini tidak sesuai dengan pasal 51 ayat (1) huruf f Perpres nomor 54 tahun 2010. Namun perlu dilakukan dalam rangka menghindari kerugian negara.
Kasus 3.
Dalam DIPA kantor X dialokasikan dana pembangunan gedung kantor dan 3 unit rumah dinas sebesar Rp7.000.000.000,- Berdasarkan gambar disain dan engeener’s estimation (EE) yang dibuat oleh konsultan perencana telah ditetapkan Harga Perkiraan Sendiri HPS sebesar Rp6.900.000.000,-. Agar leluasa melakukan perubahan kontrak, PPK menetapkan jenis kontrak yang akan digunakan adalah kontrak harga satuan. Dalam
proses pelelangan Pokja ULP telah menetapkan pemenang lelang PT. A dengan total penawaran Rp6.250.000.000,- dan berdasarkan hasil lelang tersebut PPK dan PT. A telah menandatangani kontrak pembangunan gedung dan 3 unit rumah dinas dengan nilai Rp.6.250.000.000,-
Atas kontrak yang sudah ditandatangani tersebut, dengan alasan pemanfaatan sisa anggaran maka PPK melakukan perubahan kontrak dengan cara:
1) Bersama-sama dengan PT. A menambah pekerjaan baru dalam kontrak yang telah
disepakati dengan PT.A
berupa
pembangunan sebuah rumah dinas senilai
Rp600.000.000,- sehingga rumah dinas
yang harus dibangun oleh PT. A menjadi 4 unit
dan nilai kontrak seluruhnya menjadi Rp6.850.000.000,- atau
2)Bersama-sama dengan PT. A merubah disain, model, dan ukuran rumah dinas yang telah dikontrakkan serta merubah nilai kontrak menjadi lebih besar dengan tujuan untuk memanfaatkan sisa anggaran.
Jika jenis kontrak yang digunakan adalah kontrak harga satuan, maka perubahan kontrak berupa penambahan pekerjaan seperti di atas seakan-akan dibolehkan. Akan tetapi mengingat penetapan jenis kontrak harga satuan oleh PPK
ditujukan untuk memungkinkan dilakukan penambahan pekerjaan, maka perubahan seperti ini sebenarnya tidak dibolehkan karena tidak sesuai dengan prinsip efisien dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Prinsip efisiensi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah menghendaki agar pencapaian sasaran yang telah ditetapkan dapat menggunakan sumber dana seminim mungkin.
Dalam pembangunan gedung dan rumah dinas yang dicontohkan di atas, ternyata cukup dengan dana Rp6.250.000.000,-. Karena itu tidak perlu dilakukan penambahan pekerjaan dengan merubah kontrak.
F. Kesimpulan
1)Karena volume pekerjaan konstruksi sudah dapat
dihitung
sebelum penandatanganan
kontrak, maka pengadaan pekerjaan konstruksi tidak dibolehkan menggunakan kontrakharga satuan.
2)Dalam hal terdapat bagian pekerjaan konstruksi
yang
volumenya
masih
bersifat
perkiraan, maka hanya untuk bagian pekerjaan tersebut dapat menggunakan kontrakharga satuan. Sedangkan bagian pekerjaan lainnya
harus
menggunakan
kontrak lump
sum. Karena itu kondisi demikian kontrak yang
dapat
digunakan
adalah
kontrak
gabungan.
3)Jika memang terdapat kebutuhan untuk melakukan
penambahan
dan/atau pengurangan
pekerjaan sepanjang hal tersebut memang urgen
dan
untuk
menghindari
kerugian
negara
dapat dipertimbangkan untuk melakukan pekerjaan
tambah/kurang
sekalipun
jenis kontrak yang digunakan adalah kontrak lumpsum.
Daftar Pustaka:
Peraturan perundang-undangan:
1. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;
2.Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;
3.Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 Tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Karya ilmiah:
1.Sopian Abu, Pentingnya Memahami Jenis Kontrak Pengadaan Barang/Jasa, http://www.bppk.depkeu.go.id/bdk/pelembang/attachment/
2.Yudiyatna Heldi, Pasal 51 Penjelasan Tentang Jenis Kontrak Pengadaan, https://www.google.com/search?q=google&ie=utf-8&oe=utf-8#q=kontrak+lump+sum+atau+harga+satuan
3.Khalid Nst, Kontrak Harga Satuan atau Kontrak Lumpsum,
(https://khaliknst.wordpress.com/2012/07/05/kontrak -harga-satuan-atau-kontrak-lumpsum/