PERS DAN KEBEBASANYA DI INDONESIA -...
Transcript of PERS DAN KEBEBASANYA DI INDONESIA -...
PERS, KASUS UDIN DAN WACANA KEBEBASAN PERS DI INDONESIA
Oleh:
SATRIA LOKA WIDJAYA
NIM 109051100073
KONSENTRASI JURNALISTIK
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H/ 2016 M
i
Nama : Satria Loka Widjaya Pembimbing: Rubiyanah M.A.
NIM : 109051100073
ABSTRAK
Pers, Kasus Udin, Dan Wacana Kebebasan Pers di Indonesia
Kasus kematian Fuad Muhammad Syafrudin atau Udin, Wartawan Berita
Nasional, belum menemukan titik terang. Kasus yang terjadi delapan belas tahun
silam akan memasuki masa daluwarsa bila tidak selesai. Hal ini merujuk pada
Pasal 78, ayat 1, angka 4, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Melihat
fenomena itu Majalah Tempo membuat laporan khusus bertajuk Bukti Baru
Pembunuhan Udin “Bernas”.
Uraian tersebut dapat menimbulkan beberapa petanyaan. Pertama Bagaimana
Majalah Tempo mewacanakan kebebasan pers pada pemberitaan kasus Udin?
Selanjutnya, Bagaimana Kognisi Sosial yang melatarbelakangi Majalah Tempo
sehingga mewacanakan kebebasan pers dalam pemberitaan kasus Udin?
Kemudian, Bagaimana Konteks Sosial Majalah Tempo pada pemberitaan kasus
Udin?
Dalam pemberitaannya, Majalah Tempo menilai bila kasus Udin tidak selesai
maka akan menjadi ancaman terhadap kebebasan pers di Indonesia. Mereka
berkilah pemberitaan yang mereka buat sebagai ikhtiar melawan lupa dan upaya
menegakan keadilan serta kebebasan pers di Indonesia.
Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis dengan pendekatan
kualitatif. Paradigma konstruktivis menilai bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai
alat untuk memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai
penyampai pernyataan. Peneliti memertajam daya analisis menggunakan metode
analisis wacana Teun A. Van Dijk. Analisis ini mengaitkan tiga dimensi: analisis
teks, kognisi sosial, dan konteks sosial.
Peneliti menganalisis pemberitaan mengenai Laporan Khusus, Bukti Baru
Pembunuhan Udin “Bernas” Majalah Tempo edisi 10-16 November 2014.
Kemudian menyimpulkan hasil temuan dari analisis pemberitaan tersebut. Hasil
dari penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu memberikan gambaran tentang
bagaimana Majalah Tempo mewacanakan kebebasan pers terkait kasus Udin.
Berdasarkan hasil penelitian, pada tataran teks Majalah Tempo
menggambarkan upaya mereka dalam membongkar kasus Udin. Mereka
menemukan sebuah memo bertanda tangan Sri Roso Soedarmo, Bupati Bantul
saat Udin tewas. Majalah Tempo secara tegas menyatakan berpihak pada Udin.
Mereka menilai apa yang mereka lakukan sebagai wujud aspirasi suara wartawan
dan masyarakat umum yang menolak segala bentuk kekerasan di Indonesia.
Pada akhirnya peneliti mendapatkan adanya keberpihakan media pada suatu
fenomena. Keberpihakan tersebut membuat media menggiring opini masyarakat
melalui wacana yang mereka buat dalam rapat redaksi. Pada pemberitaan kasus
Udin Majalah Tempo mewacanakan kebebasan pers di Indonesia dengan tetap
menghadirkan fakta dan keseimbangan berita dalam pemberitaan mereka.
Kata Kunci: Kebebasan Pers, Majalah Tempo, Wacana Teun A. Van Dijk
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur peneliti panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas berkat
rahmat dan kuasa-Nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam
semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, serta
keluarga, sahabat dan para pengikutnya.
Alhamdulillah, akhirnya peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Pers dan Kebebasannya di Indonesia, Analisis Terhadap Laporan Khusus Bukti
Baru Pembunuhan Udin “Bernas” di Majalah Tempo Edisi 10-16 November
2014”. Penelitian ini merupakan persyaratan dalam memperoleh gelar Strata 1 (S1),
di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Peneliti secara khusus ingin mengucapkan terima kasih kepada kedua orang
tua peneliti, Amin dan Budiyarti, yang selama ini selalu percaya bahwa anaknya
pasti akan menyelesaikan pendidikan S1, meskipun terkadang cemas menanyakan
kapan akan lulus. Selain itu mereka selalu mengajarkan agar peneliti menjadi
manusia yang lebih baik, bermanfaat, dan bisa membanggakan. Terima kasih juga
karena telah memberikan semangat dan kasih sayang yang tidak pernah ada
hentinya. Semoga mereka selalu dalam lindungan Allah SWT dan selalu diberikan
kesehatan oleh-Nya.
Setelah berjuang beberapa bulan mengerjakan penelitian ini, Peneliti
menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan dan
kelemahan. Peneliti yakin skripsi ini tidak akan berjalan baik dan lancar tanpa
adanya bantuan dan motivasi dari pelbagai pihak. Oleh karena itu peneliti
mengucapkan terima kasih kepada
iii
1. Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Dr. H. Arief Subhan, M.A. Wakil Dekan I Bidang Akademik, Dr.
Suparto, M. Ed, Ph.D. Wakil Dekan II Bidang Administrasi Umum, Drs.
Jumroni, M.Si, serta Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan, H. Sunandar,
M.A.
2. Ketua Konsentrasi Jurnalistik, Kholis Ridho, M.Si. serta Sekretaris
Konsentrasi Jurnalistik Dra. Hj. Musfirah Nurlaily, M.A. yang selalu berkenan
membantu peneliti dalam hal perkuliahan.
3. Dosen Pembimbing, Rubiyanah M.A. Terimakasih peneliti ucapkan karena
telah sabar dan meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, ilmu,
dan motivasi hingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga selalu
menjadi dosen yang membanggakan dan istimewa di hati mahasiswa.
4. Segenap Dosen Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah banyak memberikan ilmu serta pengalaman
kepada peneliti selama menuntut ilmu di Jurusan Jurnalistik
5. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah membantu peneliti dalam urusan administrasi
selama perkuliahan dan penelitian skripsi.
6. Redaksi Majalah Tempo yang dengan senang hati menjadi subjek peneliti.
Terlebih kepada Jajang Jamaludin, Redaktur Utama Majalah Tempo, yang
telah meluangkan waktunya dan memberikan informasi kepada peneliti untuk
menyelesaikan penelitian ini.
7. Kakak Peneliti, Aliem Widjaya yang menjadi teman bertengkar peneliti.
8. Arip Spd. Teman peneliti dalam berdiskusi dan mengutarakan pendapat
iv
9. Forum Alumni PMR 169 Jakarta (FAPSES) tempat peneliti berorganisasi dan
berkembang, terlebih kepada Elon Ruslan yang selalu menjadi penasihat
peneliti dalam berdiskusi dan bertukar pikiran
10. Korps Suka Relawan (KSR) Unit Markas PMI Kota Jakarta Barat wadah
menyalurkan hobi dan melaksankaan tugas kemanusiaan.
11. Abdurachman dan Nurmawa Zibali yang selalu mendukung peneliti dengan
cara yang tidak biasa
12. Keluarga besar Korps Suka Relawan PMI Unit Perguruan Tinggi UIN
Jakarta.
13. Rekan-rekan Unit Transfusi Darah Pusat (UTDP) PMI, tempat peneliti
bekerja saat ini. Terlebih kepada dr Sri Hartaty M. Biomed Dahlia, Endang
Dwi Astuti, Elia Rahmania, Nurodin, Enjang Kurniawan, dan Mas Dimyati
rekan di Bidang Rekruitmen dan Pembinaan Donor.
14. Kepada Redaksi Majalah Muzakki, tempat peneliti mengaplikasikan Ilmu
yang peneliti dapatkan di bangku kuliah. Terlebih Bapak Dedy dan Ibu Tinto
15. Biro Humas Markas Pusat PMI yang mendukung peneliti menyelesaikan
penelitian ini. Khususnya Aulia Arriani, Indra Yogasara, Anggun Pemana
Sidiq, Khaerul Shaleh yang memberikan akses, ilmu, dan tempat peneliti
mempraktikan ilmu jurnalistik di lingkungan Markas Pusat PMI.
16. Rekan-rekan Posko Bencana Markas Pusat PMI yang memberikan peneliti
akses menginap dan menggunakan sarana dan prasarana yang ada.
17. Teman-teman diskusi, bercanda, dan segalanya di Konsentrasi Jurnalistik B
2009 (Ilham Adiansyah, Hilman Fauzi, Ali Mansur, Khaerunuzulla, Sigit
Lincah Hadmadi, Dewi Febrianti, M Fikri Halim, Bobby Alexander, Angga
v
Bima, Yusuf Gandang P, Abdul Aziz, Putri Nurazizah, Mekar Ayu L, Putri
Buana T D, Devit Rubianto, Samsul Arifin, Arintika, Fauziah Mursid, Adjri
Septiani, Hilda Savitri, Ima Rahmawati, Dewi Rifqina, Turi Miasih, Andini
Apriliana, Marisha Arianti A, Devi Cahyo P, Nur Fitriyani, Hafsa Tia A,
Lindawati, Puti Hasanatu S), juga yang sudah gugur (Rian, Opang, Riski
“cimeng”, Lulu, Akmal, Degam), dan seluruh teman sekelas termasuk
Jurnalistik A.
18. Terakhir kepada Siti Yulianti Wanita yang akan peneliti jadikan istri dan
pendamping hidup. Ia manusia yang sangat berjasa terhadap penyelesaian
penelitian ini.
Akhirnya peneliti hanya mampu mengucapkan terimakasih dan semoga Allah
SWT membalas kebaikan mereka. Peneliti menyadari skripsi ini masih belum
mencapai kesempurnaan namun peneliti telah berusaha semaksimal mungkin untuk
dapat menyelesaikannya dengan baik. Peneliti memohon maaf apabila masih ada
kesalahan dan kekurangan dalam penelitian ini. Peneliti berharap semoga skripsi
ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Aamiin.
Jakarta, 16 Juni 2016
Satria Loka Widjaya
Nim: 10905110007
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... ............................................................................................. i
KATA PENGANTAR ... ............................................................................ ii
DAFTAR ISI... ........................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR .. .............................................................................. viii
DAFTAR TABEL ... .................................................................................. ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 6
D. Tinjauan Pustaka 8
E. Metodologi Penelitian 9
F. Sistematika Penulisan 16
BAB II KAJIAN TEORITIS DAN KERANGKA KONSEPTUAL
A. Kajian Teoritis 17
1. Konstruksi Sosial Atas Realitas 18
a. Sejarah Teori Konstruksi 18
b. Teori Konstruksi Sosial 19
2. Konstruksi Realitas di Media Massa 21
B. Kerangka Konseptual 24
1. Analisis Wacana 24
a. Teks 26
b. Kognisi Sosial 28
c. Konteks Sosial 29
C. Kebebasan Pers 31
1. Pengertian Kebebasan Pers 31
2. Kasus Kebebasan Pers di Indonesia 34
vii
D. Pers 46
1. Definisi Pers dan Jurnalistik 46
2. Perkembangan Pers di Indonesia 49
3. Fungsi dan Peran Pers di Indonesia 54
BAB III GAMBARAN UMUM MAJALAH TEMPO
A. Sejarah dan Perkembangan Majalah Tempo 57
B. Visi dan Misi Tempo Inti Media 59
C. Struktur Redaksi Majalah Tempo 60
BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS DATA
A. Wacana Kebebasan Pers di Majalah Tempo 70
1. Analisis Teks “Memo Sebelum Malam Jahanam” 71
2. Analisis Teks “Tamu-tamu Misterius di Patalan” 87
B. Analisis Kognisi Sosial 100
C. Analisis Konteks Sosial 109
D. Interpretasi Penelitian 112
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 130
B. Saran 133
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Struktur Wacana Model Teun A. Van Dijk 15
Gambar 2.1 Proses Terjadinya Konstruksi Media Massa 22
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Struktur Teks Menurut Teun A. Van Dijk 28
Tabel 4.1 Kerangka Analisis Data “Memo Sebelum Malam Jahanam” 84
Tabel 4.2 Kerangka Analisis Data “Tamu-tamu Misterius di Patalan” 98
x
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kasus Kematian Fuad Muhammad Syafruddin pada tahun 1996 kembali
dirilis Majalah Tempo edisi 10-16 November 2014. Pada rubrik tersebut Majalah
Tempo mengulas secara mendalam kejanggalan kasus penganiyaan berujung maut,
Fuad Muhammad Syafruddin, wartawan harian Bernas. Majalah yang terpuruk
akibat arogansi rezim Orde Baru ini membuat 12 sub topik pada laporan khusus
bertajuk, Bukti Baru Pembunuhan Udin. Menggunakan gaya bahasa lugas dan
kritis, khas Tempo Media Group, Majalah ini juga memuat ilustrasi rangkaian
pembunuhan ayah dua anak tersebut.
Kasus pembunuhan Udin berbeda dengan kasus pembunuhan lainnya. Bila
kasus pembunuhan lain karena beberapa faktor seperti pemerkosaan, perampokan,
sakit hati, hutang-piutang, perselingkuhan, dan kekerasan, namun Udin dibunuh
karena berita.
Udin gugur dan menjadi tumbal rezim Orde Baru karena tulisannya mengusik
Bupati Bantul, Kolonel Art Sri Roso Sudarmo. Jauh hari sebelum pembunuhannya,
lima tahun sebelum Udin dianiaya hingga tewas, Ia kerap didatangi orang yang
memintanya dengan halus agar ia tidak menulis suatu berita terlalu keras.1
Udin dianiaya orang tidak dikenal di rumahnya, Dusun Gelangan Samaro,
Jalan Parangtritis Km 13, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Selasa,
13 Agustus 1996, pukul 23.30 WIB. Ia menghembuskan nafas terakhirnya, Jumat,
16 Agustus 1996, pukul 16.50 WIB, setelah koma selama tiga hari dan
menjalankan operasi otak di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta. Udin meninggal
1 Noorca M. Massardi, dkk, Udin Darah Wartawan: Liputan Menjelang Kematian, (Bandung:
Penerbit Mizan, 1997), h. 153.
2
akibat luka di kepala karena hantaman sebatang besi.
Sejumlah pihak menduga kematian Udin memiliki keterkaitan dengan
pemberitaan yang sering ia buat. Ia kerap menulis berita kritis tentang kebijakan
pemerintah Orde Baru dan militer. Beberapa tulisan Udin yang fenomenal adalah
“3 kolonel yang maju dalam bursa pencalonan Bupati Bantul”, “Soal Pencalonan
Bupati Bantul: Banyak ‘Invisible Hand’ Pengaruhi Pencalonan”, ”Di Desa
Karangtengah, Imogiri, Bantul, Dana IDT Hanya Diberikan Separo”, dan “Isak
Tangis Warnai Pengosongan Parangtritis”. Sebelum dihabisi, ia berhasil
membongkar kasus penyuapan Sri Roso Sudarmo kepada yayasan Dharmais yang
dikelola oleh Keluarga Cendana, agar terpilih lagi menjadi Bupati Bantul.
Kasus Pembunuhan Udin menambah perbendaharaan dosa rezim Orde Baru
pada Pers di Indonesia. Bila kita melihat sejarah perjalanan Pers di Indonesia,
sepak terjang rezim yang dipimpin oleh Soeharto secara nyata membelenggu pers.
Pemerintah secara ketat mengawasi Pers melalui Departemen Penerangan.
Agar tetap hidup, pers harus taat dan memberitakan hal-hal baik tentang
pemerintahan orde baru. Bila ada media massa yang kritis dan berani menerbitkan
berita-berita miring tentang pemerintah, peringatan keras dan ancaman
pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) menjadi hadiahnya. Hal
tersebut membuat Pers di Indonesia seperti dibawah ketiak pemerintah, tidak
memiliki kemerdekaan dalam berpendapat.
Angin segar perkembangan pers di Indonesia mulai terasa saat Presiden
Abdurrahman Wahid membubarkan Departemen Penerangan pada masa
kepemimpinannya. Dalam era reformasi, kemerdekaan pers benar-benar dijamin
3
dan senantiasa diperjuangkan untuk diwujudkan.2 Sejak saat itu Pers di Indonesia
mulai berkembang, begitu pula dengan kebebasan Pers. Meskipun demikian, tetap
saja kasus pembunuhan Udin masih menyisakan misteri. Drama pembunuhan
delapan belas tahun silam masih tak terungkap, wayang serta dalangnya pun tak
tertangkap.
Secara konsisten Majalah Tempo mengawal kasus pembunuhan Udin hingga
penghujung akhir tahun 2014, tahun dimana kasus tersebut akan kedaluwarsa.
Merujuk pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), pasal 78, ayat 1,
angka 4, tentang penghapusan tuntutan pidana karena daluwarsa terhadap
kejahatan dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, sesudah delapan belas
tahun. Selain konsisten, pemilihan gaya bahasa yang mereka sajikan pun kritis
dan tajam, sesuai jargon majalah tersebut “enak dibaca dan perlu”.
Meskipun demikian, peneliti merasa perlu mengkaji, mengapa Majalah
Tempo secara konsisten memberitakan kasus ini. Terlebih majalah itu pernah
tersandung isu kebebasan pers. Selanjutnya, apakah seluruh laporan yang
disajikan Majalah Tempo merupakan realitas di lapangan atau awak majalah
tersebut melakukan konstruksi terhadap realitas dalam membingkai laporan
tersebut.
Eriyanto dalam bukunya mengatakan media adalah agen konstruksi, dimana
media sengaja mengontruksi pesan yang ingin disampaikan kepada masyarakat.
Eriyanto juga menjelaskan bahwa media adalah subjek yang mengkonstruksi
realitas, lengkap dengan pandangan bias dan pemihakannya. 3 Berdasarkan
2 Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis
Jurnalis Profesional, (Bandung: Sibiosa Rekatama Media, 2005), h. 26. 3 Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, (Yogyakarta: LKIS
2008), h. 22.
4
pandangan Eriyanto dapat kita katakan bahwa berita bukan refleksi dari realitas
namun hasil konstruksi dari realitas. Meskipun demikian, realitas yang sama akan
berbeda cara pemberitaannya, tergantung bagaimana media membingkai realitas
tersebut.
Pemilihan bahasa merupakan salah satu hal yang sangat krusial pada
pemberitaan sebuah media massa. Bahasa adalah aspek sentral dari penggambaran
sebuah subjek dan melalui bahasa sebuah ideologi terdapat di dalamnya.4 Dalam
memahami penggunaan bahasa tersebut, terdapat tiga pandangan besar yang dapat
kita jadikan sebuah landasan. Terlebih saat kita menganalisa pemberitaan media
massa.
Pertama Kaum Positivis Empiris yang melihat bahasa sebagai penghubung
antara manusia dengan objek diluar dirinya. Mereka menganggap manusia dapat
mengekspresikan secara langsung pengalamanya melalui penggunaan bahasa
tanpa adanya hambatan atau bias. Penggunaan bahasa tersebut harus logis,
sintaksis, dan memiliki keterkaitan dengan pengalaman empiris. Salah satu ciri
Pemikiran Kaum Positivis adalah terjadinya pemisahan antara penalaran dan
realitas.
Sementara itu yang kedua adalah kaum konstruksivis dengan paradigma
konstruktivisme. Mereka menilai bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat
untuk memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai
penyampai pernyataan.5 Kaum Konstruktivis berpendapat setiap manusia dapat
menciptakan makna-makna tertentu dari setiap pernyataan atau tindakannya.
Penciptaan makna tersebut berawal dari penggunaan bahasa yang dipilih.
4 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: LKIS 2009), h. 3. 5 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 5.
5
Selanjutnya adalah Pandangan Kritis yang memahami bahasa sebagai
representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana
tertentu, maupun strategi didalamnya. 6 Kaum Kritis menilai bahasa sebagai
medium yang tidak netral. Mereka juga melihat bahasa selalu terlibat dalam
hubungan kekuasaan dan berbagai tindakan yang terdapat dalam masyarakat.
Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti tertarik untuk mempelajari dan
meneliti Majalah Tempo yang mengangkat Pembunuhan Udin delapan belas tahun
silam. Oleh karena itu, Peneliti mengambil judul “Pers Kasus Udin, Dan
Wacana Kebebasan Pers Di Indonesia”.
Peneliti mengangkat judul tersebut karena Kebebasan Pers di Indonesia
bagaikan oase di tengah gurun pasir. Berdasarkan data Reporters Sans Frontieres,
organisasi pemantau kebebasan pers seluruh dunia yang bermarkas di Perancis,
melalui website www.rsf.org, menjelaskan Indeks kebebasan Pers di Indonesia
berada pada urutan 138 dari 180 negara tahun 2015 dengan indeks kebebasan pers
40.75, peringkat Indonesia turun enam peringkat .
Kebebasan Pers di Indonesia masih dalam zona merah dan berada dalam
situasi yang sulit meskipun kemerdekaan pers sudah dijamin dan diperjuangkan
untuk diwujudkan. Belum terkuaknya kasus pembunuhan Udin hingga saat ini,
menjadi salah satu penyebab organisasi tersebut mengategorikan indeks
Kebebasan Pers di Indonesia masih rendah.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Peneliti membatasi penelitian ini pada rubrik laporan khusus Udin “Bernas”
edisi 10-16 November 2014 bertajuk bukti baru pembunuhan Udin, pada dua
6 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 6.
6
artikel yaitu “Memo Sebelum Malam Jahanam” dan ”Tamu-Tamu Misterius di
Patalan”. Hal tersebut peneliti kaitkan dengan wacana kebebasan pers di
Indonesia.
2. Rumusan Masalah
Dari batasan masalah yang telah peneliti buat di atas maka peneliti
memfokuskan perumusan masalah penelitian pada:
a. Bagaimana Majalah Tempo mewacanakan kebebasan pers di
Indonesia pada pemberitaan rubrik laporan khusus Udin “Bernas”
bertajuk Bukti Baru Pembunuhan Udin, edisi 10-16 November
2014?
b. Bagaimana konteks Majalah Tempo saat mewacanakan kebebasan
pers di Indonesia pada pemberitaan rubrik laporan khusus Udin
“Bernas” bertajuk Bukti Baru Pembunuhan Udin, edisi 10-16
November 2014?
c. Bagaimana kognisi sosial yang melatarbelakangi wacana yang
dibentuk pada pemberitaan rubrik laporan khusus Udin “Bernas”
bertajuk Bukti Baru Pembunuhan Udin, edisi 10-16 November
2014?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pokok permasalahan yang sudah peneliti jelaskan di atas
maka penelitian ini memiliki beberapa tujuan yaitu:
a. Untuk mengetahui bagaimana wacana Kebebasan Pers diangkat oleh
Majalah Tempo pada pemberitaan rubrik laporan khusus Udin
“Bernas” bertajuk Bukti Baru Pembunuhan Udin, edisi 10-16
7
November 2014
b. Untuk mengetahui bagaimana konteks sosial Majalah Tempo yang
digambarkan mengenai kekerasan terhadap pekerja media dalam
kaitannya dengan kebebasan pers.
c. Untuk mengetahui bagaimana kognisi sosial yang menjadi latar
belakang wacana kebebasan pers pada pemberitaan rubrik laporan
khusus Udin “Bernas” di Majalah Tempo
2. Manfaat Penelitian
Peneliti berharap penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca
berupa:
a. Manfaat Akademis
Penelitian ini diharapkan memiliki fungsi dan manfaat secara akademis.
Manfaat ini ditujukan pada pengembangan ilmu komunikasi dan mempelajari
bagaimana media mengonstruksi sebuah berita untuk disampaikan kepada
masyarakat. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sebuah informasi awal
bagi siapa saja yang akan melakukan penelitian serupa di masa yang akan
datang.
b. Manfaat Praktis
Adapun dari segi praktis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan
sebagai bahan informasi. Data yang tersedia dalam penelitian ini dapat
digunakan oleh mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atau perguruan
tinggi lainnya untuk menunjang pengetahuan ilmu komunikasi. Dari
penelitian ini diharapkan juga agar Majalah Tempo dapat lebih bermanfaat,
menjadi bahan masukan dalam bidang informasi dan media penghubung
antara masyarakat dan pemerintah.
Selain itu Pembaca dapat mengetahui cara sebuah media massa
8
mewacanakan maksudnya dalam memberitakan sebuah peristiwa, khususnya
Majalah Tempo. Pembaca dapat melihat hubungan antara media massa
dengan ideologi, pemberitaan, komitmen media massa untuk menegakkan
kebebasan pers di Indonesia, dan komitmen media massa dalam melindungi
wartawannya.
D. Tinjauan Pustaka
Dalam menentukan judul penelitian ini, peneliti melaksanakan tinjauan
pustaka di Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Perpustakaan Utama Universitas Indonesia, Perpustakaan Alisansi Jurnalis
Independen (AJI) Jakarta, Perpustakaan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI),
dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
Setelah mendapatkan bahan bacaan berupa buku penelitian komunikasi,
penelitian kualitatif, buku tentang pembunuhan Udin, karya ilmiah Mahasiswa
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, karya ilmiah Mahasiswa Universitas Indonesia,
dan buku teori analisis wacana, peneliti menetapkan diri untuk mengambil judul
yang berkaitan antara kebebasan pers dengan pemberitaan sebuah media. Peneliti
juga mendapatkan bahan pembelajaran dari media massa mengenai kasus
pembunuhan Udin, khususnya Majalah Tempo edisi 10-16 November 2014, rubrik
Laporan Khusus Udin Bernas.
Peneliti menjadikan dua skripsi karya mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta sebagai acuan dan pembanding. Peneliti mengacu pada Karya ilmiah
bertajuk “Wacana Kekerasan Oknum Aparat Terhadap Wartawan Pada
Harian Republika Edisi 17 Oktober 2012” milik Ana Aryati, mahasiswa UIN
9
Syarif Hidayatullah Jakarta jurusan ilmu jurnalistik tahun 2009.
Dalam penelitian tersebut Ana Aryati menjelaskan bagaimana Redaksi Harian
Republika mewacanakan kekerasan yang dilakukan oleh oknum aparat terhadap
wartawan, melalui pemberitaan pada edisi 17 Oktober 2012. Hasil penelitian
tersebut bersifat deskriptif, dimana Ana memberikan gambaran tentang wacana
kekerasan terhadap wartawan saat melaksanakan tugas jurnalistik. Kemudian
menyimpulkan bahwa wacana kekerasan itu nampak dalam pemberitaan media
cetak harian tersebut.
Selain itu Peneliti juga mempelajari Skripsi milik Rahmaidah, mahasiswa Uin
Syarif Hidayatullah Jakarta jurusan Ilmu Jurnalistik tahun 2011. Skripsi milik
Rahma berjudul “Wacana Keterlibatan Anak-anak Dalam Kampanye Partai
Keadilan Sejahtera Jelang Pemilu 2014 di Merdeka.com”. Skripsi itu berisi
tentang situs berita online Merdeka.com yang gencar memberitakan tentang
keterlibatan anak-anak dalam kampanye Partai Keadilan Sejahtera (PKS) jelang
pemilu 2014.
Dalam penelitiannya Rahma menyimpulkan bahwa Merdeka.com
mewacanakan bahwa PKS melakukan pelanggaran dengan melibatkan anak-anak
dalam kampanye mereka. Sementara itu selain PKS ada partai politik lain yang
melakukan pelanggaran yang sama, membawa anak-anak dalam kampanye. Tetapi
Merdeka.com hanya mengambil angle mengenai PKS dan memberikan porsi lebih
pada pemberitaannya.
E. Metodologi Penelitian
1. Paradigma Penelitian
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan paradigma adalah
10
sebuah kerangka berpikir. Sementara itu Deddy Mulyana berpendapat
paradigma adalah cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata.
Ia juga mengutip pernyataan Anderson, paradigma merupakan ideologi dan
praktik suatu komunitas ilmuwan yang menganut suatu pandangan yang sama
atas realitas, memiliki seperangkat kriteria yang sama untuk menilai aktivitas
penelitian, dan menggunakan metode serupa.7
Segala hal yang kita lakukan sangat dipengaruhi oleh tata dan cara
pandang kita terhadap sesuatu. Hal tersebut menjadi acuan setiap manusia
dalam memahami segala sesuatu yang terjadi. Peneliti menggunakan
paradigma yang peneliti pahami dalam meneliti pemberitaan media massa.
Peneliti menggunakan paradigma konstruktivisme karena peneliti
menilai Majalah Tempo membentuk sebuah realitas melalui pemberitaan
mereka. Alasan lainnya adalah paradigma Konstruktivisme memiliki posisi
dan cara pandang tersendiri terhadap media dan teks berita yang dihasilkan.8
Paradigma Konstruktivisme juga digunakan untuk menjelaskan sebuah
teori yang dapat mengubah pandangan seseorang terhadap sebuah realitas.
Kajian paradigma ini menempatkan posisi peneliti setara dengan subjeknya,
berusaha memahami dan mengkonstruksikan sesuatu yang menjadi
pemahaman subjek yang akan diteliti.
Penelitian ini menggunakan pendekatan Penelitian Kualitatif karena
pada penelitian kualitatif peneliti menjadi instrumen kunci. Terlebih jika
peneliti menggunakan teknik pengumpulan data observasi patisipasi,
peneliti terlibat sepenuhnya dalam kegiatan informan kunci yang menjadi
7 Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan
Ilmu Sosial Lainnya, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), h. 9. 8 Burhan Bungin, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2004), h. 204.
11
subjek penelitian dan sumber informasi penelitian.9
Peneliti mengumpulkan bahan penelitian dengan mencari data dari
perpustakaan, media massa, berdiskusi dengan sejumlah wartawan Majalah
Tempo dan Aliansi Jurnalis Independen terkait pembunuhan Udin.
Penelitian Kualitatif merupakan perilaku artistik. Pendekatan filosofis dan
aplikasi metode dalam kerangka penelitian kualitatif untuk memproduksi
ilmu-ilmu “lunak”, seperti sosiologi, antropologi, dan komunikasi.10
Lexy J. Moleong menyimpulkan penelitian kualitatif adalah penelitian
yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh
subjek penelitian secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk
kata-kata, bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan
memanfaatkan berbagai metode ilmiah.11
2. Metode Penelitian
Peneliti menggunakan metode analisis wacana model Teun A. Van Dijk
dalam penelitian ini. Peneliti meneliti dan menyimpulkan hasil temuan dari
analisis pemberitaan Majalah Tempo rubrik laporan khusus Udin “Bernas”
edisi 10-16 November 2014 bertajuk bukti baru pembunuhan Udin. Hasil
penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu memberikan bayangan tentang
bagaimana Majalah Tempo mewacanakan kebebasan pers di Indonesia dalam
kaitannya dengan Penganiayan Berujung Maut Udin Bernas.
3. Subjek dan Objek Penelitian
9 Elvinaro Ardianto, Metodologi Penelitian untuk Public Relation kuantitatif dan kualitatif,
(Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2011), h. 58. 10 Elvinaro Ardianto, Metodologi Penelitian untuk Public Relation kuantitatif dan kualitatif, h.
59. 11 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif: Edisi Revisi (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya 2010), h. 6.
12
Peneliti menjadikan Wartawan di Majalah Tempo menjadi subjek pada
penelitian ini. Sedangkan Objek penelitian ini adalah pemberitaan rubrik
laporan khusus Udin “Bernas” edisi 10-16 November 2014 bertajuk bukti
baru pembunuhan Udin. Peneliti tertarik untuk meneliti majalah tersebut
karena peneliti mencurigai terdapat maksud, pesan dan wacana tertentu yang
ingin disampaikan Majalah Tempo melalui pemberitaan tersebut.
4. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian kualitatif lebih menekankan pada persepsi peneliti dan
partisipan dalam menyikapi suatu fenomena. Sehingga keterlibatan peneliti
sangat penting dalam pengumpulan data. Berdasarkan hal tersebut, peneliti
harus terlibat langsung dalam pengumpulan data.12
a. Observasi
Dalam pengertian psikologik, observasi atau disebut dengan
pengamatan meliputi kegiatan pemuatan perhatian terhadap sesuatu objek
dengan menggunakan seluruh alat indera.13 Observasi dapat juga kita
katakan sebagai kegiatan mengamati sebuah fenomena yang terjadi.
Observasi pada penelitian ini adalah kegiatan mengamati subjek
penelitian, Wartawan Majalah Tempo, sedangkan objek penelitian,
Majalah Tempo terkait rubrik laporan khusus Udin “Bernas” edisi 10-16
November 2014.
b. Wawancara
Menurut Kahn & Kannel, wawancara adalah diskusi antara dua
orang atau lebih dengan tujuan tertentu. Wawancara merupakan cara atau
12 Samiaji Sarosa, Penelitian Kualitatif :Dasar-Dasar, (Jakarta, Indeks: 2012), h. 43. 13 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 2002), h. 133.
13
teknik yang paling banyak digunakan untuk mengumpulkan data
penelitian kualitatif. Dengan wawancara peneliti dapat memperoleh
banyak data yang berguna bagi penelitiannya.14
Pada penelitian ini peneliti melakukan wawancara dengan Jajang
Jamaludin, Redaktur Utama Majalah Tempo terkait pemberitaan rubrik
laporan khusus Udin “Bernas” edisi 10-16 November 2014.
c. Dokumentasi
Esterberg mendefinisikan dokumen adalah segala sesuatu materi
dalam bentuk tertulis yang dibuat oleh manusia. Dokumen dapat
berbentuk catatan dalam kertas (hardcopy) maupun elektronik
(softcopy).15
Dalam penelitian ini, Peneliti mengumpulkan dan mempelajari data
melalui literatur dan sumber bacaan. Data tersebut meliputi pemberitaan
tentang pembunuhan Udin, opini sejumlah wartawan di internet terkait
kasus udin. selain itu sejumlah data dan dokumen yang relevan dengan
masalah yang dibahas untuk mendukung penelitian.
5. Teknik Analisis Data
Sebelum menganalisis data, peneliti terlebih dahulu menyusun data-data
agar lebih sistematis, kemudian peneliti memilah data tersebut.
Selanjutnya peneliti menganalisa sesuai dengan rumusan masalah dan
tujuan penelitian. Setelah itu peneliti menyajikan data tersebut dalam bentuk
laporan ilmiah.
Untuk menganalisia pemberitaan rubrik laporan khusus Udin “Bernas”
14 Samiaji Sarosa, Penelitian Kualitatif:Dasar-Dasar, h. 45. 15 Samiaji Sarosa, Penelitian Kualitatif:Dasar-Dasar, h. 61.
14
bertajuk Bukti Baru Pembunuhan Udin, di Majalah Tempo. Maka peneliti
menggunakan metode kualitatif, yakni dengan menganalisa data berdasarkan
informasi-informasi yang diperoleh dan studi dokumentasi.
Peneliti menilai Majalah Tempo mewacanakan kebebasan pers pada
pemberitaan rubrik laporan khusus Udin “Bernas” edisi 10-16 November
2014, terkait penganiayaan berujung maut Udin. Kemudian Peneliti
menggunakan metode analisis wacana model Teun A. Van Dijk untuk meneliti
dan menganalisa pemberitaan majalah tersebut.
Pada dasarnya, Analisis Wacana merupakan salah satu metode untuk
membongkar kuasa yang ada disetiap proses bahasa seperti batasan apa yang
diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang harus digunakan, dan topik
yang dibicarakan. Dalam arti yang sempit peneliti mendefinisikan analisis
wacana adalah cara untuk mengungkapkan maksud tersembunyi pada sebuah
pemberitaan media massa. Melalui analisis wacana kita bukan hanya
mengetahui bagaimana isi teks berita, tetapi bagaimana juga pesan itu
disampaikan. Lewat kata, frase, kalimat, metafora macam apa suatu berita
disampaikan.16
Analisis wacana Teun A. Van Dijk merupakan salah satu model analisis
wacana yang paling digemari dalam kajian media. Hal tersebut beralasan
karena Van Dijk mengkolaborasi elemen-elemen wacana sehingga pengkaji
media dapat menggunakan model ini secara praktis. Mereka sering menyebut
model analisis ini sebagai pendekatan kognisi sosial.
Kognisi Sosial adalah sebuah istilah yang mengadopsi pendekatan
16 Alex Sobur, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis
Semiotik, dan Analisis Framing (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2006), h. 68.
15
psikologi sosial. Pendekatan ini membantu memetakan bagaimana produksi
teks yang melibatkan proses yang rumit dapat dipelajari dan dijelaskan.
Model wacana yang dikemukakan oleh Van Dijk ini memiliki tiga
dimensi/bangunan: teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Pusat dari analisis
Van Dijk adalah menggabungkan ketiga dimensi wacana tersebut ke dalam
satu kesatuan analisis. Struktur wacana model Van Dijk dapat digambarkan
sebagai berikut.17
GAMBAR 1.1
Struktur Wacana Model Teun A. Van Dijk
Saat berada dalam bangunan teks, hal yang dapat diteliti adalah bagaimana
struktur teks dan strategi wacana yang digunakan untuk menegaskan suatu tema
tertentu. Kemudian pada bangunan kognisi sosial dapat dipahami bahwa proses
produksi suatu teks berita melibatkan kognisi individu dari wartawan. Selanjutnya
pada level konteks hal yang dapat dipelajari adalah bangunan wacana yang
berkembang dalam suatu masyarakat akan suatu masalah.
6. Pedoman Penelitian
Peneliti mengacu pada buku Pedoman Penelitian Karya Ilmiah (Skripsi,
Tesis, dan Desertasi) karya Hamid Nasuhi dkk yang diterbitkan oleh CeQDA
17 Alex Sobur, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis
Semiotik, dan Analisis Framing , h. 74
Konteks
Kognisi Sosial
Teks
16
(Center for Quality Development and Assurance) Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007 dalam melaksanakan
penelitian.
F. Sistematika Penelitian
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini memaparkan mengenai latar belakang masalah, pembatasan dan
rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian,
tinjauan pustaka, dan sistematika penelitian.
BAB II KAJIAN TEORI
Bab ini menguraikan kajian teoritis mengenai, Sejarah Pers di Indonesia,
Kebebasan Pers, Pelbagai kasus yang menimpa kebebasan pers di Indonesia
teori kontruksi sosial, dan analisis wacana model Teun A. Van Dijk.
BAB III GAMBARAN UMUM
Bab ini memaparkan mengenai sejarah singkat, visi dan misi Majalah Tempo,
struktur dewan redaksi Majalah Tempo.
BAB IV TEMUAN DAN ANALISA DATA
Bab ini berisikan tentang temuan dan analisis wacana pemberitaan rubrik
laporan khusus Udin “Bernas” edisi 10-16 November 2014, Majalah Tempo.
BAB V PENUTUP
Bab ini berisi mengenai kesimpulan dan saran peneliti terkait hal yang telah
dibahas pada penelitian ini.
17
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN KERANGKA KONSEPTUAL
A. Kajian Teoritis
Media massa merupakan solusi yang cukup efektif untuk menyampaikan
pesan secara masif, Terlebih pada era globalisasi seperti masa kini. Pelbagai karya
Jurnalistik di media massa seperti audio, cetak, audio visual, dan siber, semakin
banyak dijadikan sebagai objek studi. Khususnya pada studi bidang sosial dan
komunikasi.
Secara umum penelitian komunikasi di Indonesia menggunakan tiga
paradigma besar yakni Positivis, Konstruksi, dan Kritis. Dani Vardiansah dalam
bukunya mengutarakan paradigma adalah cara pandang orang terhadap diri dan
lingkungan keilmuan yang akan mempengaruhi dalam berpikir, bersikap, dan
bertingkah laku dalam upaya mencari dan menemukan pengetahuan ilmu dan
kebenaran. 18 Peneliti menyimpulkan bahwa penelitian komunikasi sangat
dipengaruhi oleh paradigma yang digunakan.
Paradigma Positivis merupakan cara pandang yang menilai bahwa
komunikan bersifat pasif pada sebuah pemberitaan media massa. Paradigma ini
melihat bahwa media hanya sebagai alat penyampai pesan. Sehingga pesan yang
disampaikan melalui perantara media akan sama dengan pesan yang diterima.
Dalam pandangan kaum positivis pemberitaan media massa adalah informasi
yang diwartakan kepada masyarakat sebagai representasi kenyataan.
Berbeda dengan paradigma positivis yang menilai komunikan bersifat pasif,
paradigma konstruksi melihat komunikan bersifat aktif. Kaum konstruksionis
18 Dani Vardiansyah, Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, (Jakarta: Indeks, 2008), h.
50.
18
menilai media adalah agen konstruksi. Sehingga pesan yang disampaikan
media melalui pemberitaannya merupakan realitas yang dibuat oleh media itu
sendiri. Dalam pandangan kaum konstruksionis berita bukan refleksi dari realitas
namun hasil konstruksi dari realitas.
Paradigma kritis menilai sebuah wacana di masyarakat adalah hasil dari
budaya dominan. Budaya tersebut seolah-olah menjadi pembenaran dari tindakan
dan realitas di masyarakat. Paradigma kritis digunakan untuk membongkar
dominasi yang ada dalam setiap proses pembuatan berita di media massa. Kaum
kritis menilai ada pihak yang memiliki kuasa penuh atas sebuah pemberitaan di
media massa. Pengusaha sebagai pemegang modal, pemerintah atau dewan
redaksi.
1. Konstruksi Sosial atas Realitas
a. Sejarah Teori Konstruksi
Penggunaan istilah konstruksi mulai berkembang sejak Peter L. Berger dan
Thomas Luckmann melihat bahwa proses sosial dimulai melalui interaksi dan
tindakan.19 Peter L. Berger dan Thomas Luckmann kali pertama memperkenalkan
istilah konstruksi realitas pada tahun 1966 melalui bukunya The Social
Construction of Reality: A Treatise in the Sociological of Knowledge. Mereka
menjelaskan bagaimana individu secara intens menciptakan suatu realitas yang
dimiliki dan dialami bersama secara subjektif.20
Jika menelisik jauh kebelakang serbenarnya teori konstruksi berakar pada
seorang epistomolog berkebangsaan Italia, Giambatissta Vico. Gagasan-gagasan
19 Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa: Kekuatan Pengaruh Media Massa, Iklan
Televisi, dan Keputusan Konsimen serta Kritik Terhadap Peter L. Berger dan Thomas Luckmann,
(Jakarta: Kencana, 2008), h. 13. 20 Yearry, “Komunikasi dan Konstruksi Sosial Atas Realitas,” artikel diakses pada 14 Mei 2015
dari https://yearrypanji.wordpress.com/2008/06/04/komunikasi-dan-konstruksi-sosial-atas-realitas/
19
pokok konstruktivisme dan pemikiran alumni University of Naples Federico II
inilah yang menjadi cikal bakal teori konstruksi.
Burhan Bungin dalam bukunya, Konstruksi Sosial Media Massa: Kekuatan
Pengaruh Media Massa, Iklan Televisi, dan Keputusan Konsimen serta Kritik
Terhadap Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, menjelaskan gagasan
konstruktivisme yang memiliki keterkaitan dengan Filsafat hadir sejak Socrates
menemukan konsep jiwa dalam tubuh manusia. Pemikiran Socrates itu diperkuat
oleh Plato yang menemukan konsep akal budi dan ide.
Socrates mengatakan bahwa, manusia adalah makhluk sosial, setiap
pernyataan harus dibuktikan kebenarannya, bahwa kunci pengetahuan adalah
logika dan dasar pengetahuan adalah fakta.21 Ia juga mengenalkan kata yang
fenomenal, “Cogoto, ergo sum” atau “saya berfikir karena itu saya ada”, kata
fenomenal tersebut merupakan pondasi yang kuat bagi perkembangan pokok
pemilikiran konstruktivisme hingga sekarang.
b. Teori Konstruksi Sosial
Teori konstruksi sosial memiliki benang merah dengan dengan teori fakta
sosial dan teori definisi sosial. Dalam struktur kajian komunikasi teori konstruksi
sosial berada di antara teori fakta sosial dan teori definisi sosial.
Dalam pandangan teori fakta sosial manusia adalah produk dari masyarakat.
Tindakan dan persepsi manusia sangat dipengaruhi oleh aturan yang ada dalam
masyarakat. Sedangkan menurut teori definisi sosial manusia melakukan
pemaknaan dan membentuk masyarakat. Manusia yang membentuk realitas,
menyusun institusi dan norma yang ada. Teori konstruksi sosial berada di antara
21 Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa: Kekuatan Pengaruh Media Massa, Iklan
Televisi, dan Keputusan Konsimen serta Kritik Terhadap Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, h.
13.
20
keduanya.22
Pokok pikiran teori konstruksi sosial adalah anggapan bahwa manusia dan
lingkungan saling memengaruhi. Ada masa ketika manusia memengaruhi
lingkungan, begitu pula sebaliknya, ada kalanya manusia dipengaruhi oleh
lingkungannya. Dari bayangan tersebut dapat kita katakan terdapat benang merah
antara teori konstruksi sosial, teori fakta sosial, dan teori definisi sosial. Bahkan
teori konstruksi sosial memersatukan kedua teori tersebut.
Peter L. Berger dan Thomas Luckmann dalam teorinya mengungkapkan
proses konstruksi sosial atas realitas terbagi dalam tiga tahap. Ketiga tahapan yang
terjadi secara simultan tersebut adalah eksternalisasi, objektivasi, dan
Internalisasi.
Eksternalisasi adalah rangkaian upaya yang dilakukan oleh manusia untuk
beradaptasi dengan lingkungan tempat tinggalnya. Upaya adaptasi itu berbentuk
pemikiran (mental) maupun tenaga (fisik). Pada fase ini manusia berperan sebagai
pembentuk di lingkungannya.
Selanjutnya adalah objektivasi yang merupakan hasil yang dicapai baik
mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut.23 Hasil dari
ekternalisasi tersebut meliputi kegiatan saling memengaruhi antara manusia
dengan lingkungannya.
Sementara itu Internalisasi adalah keadaan dimana manusia terpengaruh oleh
lingkungannya. Baik lingkungan yang masih alami maupun yang sudah
terpengaruh oleh manusia. Dalam hal ini Berger mengungkapkan internalisasi
sebagai proses penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian
22 Eriyanto, Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 13. 23 Eriyanto, Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 14.
21
rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial.24
Dalam kehidupan masyarakat hubungan tersebut dapat peneliti lihat dari
proses lahirnya sebuah norma atau aturan. Awalnya norma adalah hasil pemikiran
manusia. Kemudian manusia merealisasikan norma tersebut dalam kehidupan
sosial. Selanjutnya norma yang sudah direalisasikan itu menjadi sebuah sistem,
mengatur tata cara dan menjadi aturan. Pada akhirnya setiap manusia akan
mematuhi dan beradaptasi dengan norma tersebut.
Berkaca dari proses lahirnya sebuah norma, benar adanya bila manusia dan
lingkungannya saling memengaruhi. Pada awalnya manusia memengaruhi
lingkungannya kemudian manusia juga terpengaruh oleh lingkungan yang
dibuatnya. Ada kalanya manusia mempengaruhi lingkungannya dan dipengaruhi
oleh lingkungannya. Hal tersebut terus berlangsung hingga sekarang.
Fenomena tersebut yang menguatkan Berger yang berpendapat tentang
manusia dan lingkungannya yang saling memengaruhi. Hal itu pun yang
mendasari teori konstruksi sosial atas realitas Peter L. Berger dan Thomas
Luchmann
2. Konstruksi Realitas di Media Massa
Pada dasarnya hasil liputan sebuah peristiwa di media massa adalah konstruksi
realitas. Media menyusun realitas dari sebuah peristiwa secara sistematis hingga
menjadi sebuah cerita yang memiliki makna. Berdasarkan sifat dan fakta di
lapangan pekerjaan media massa adalah menceritakan peristiwa, maka kesibukan
utama media massa adalah mengkonstruksi berbagai realitas. Sehingga isi media
merupakan realitas yang telah dikonstruksikan dalam bentuk wacana yang
24 Eriyanto, Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 15.
22
bermakna.25
Burhan Bungin dalam bukunya, Konstruksi Sosial Media Massa: Kekuatan
Pengaruh Media Massa, Iklan Televisi, dan Keputusan Konsimen serta Kritik
Terhadap Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, menjelaskan bagaimana proses
terjadinya konstruksi di media massa. Ia menggambarkan proses tersebut dalam
sebuah skema.
GAMBAR 2.1
Proses Terjadinya Konstruksi Media Massa
Peneliti melihat bahwa proses komunikasi di media memerlukan beberapa
tahapan berdasarkan skema tersebut. Agar komunikasi tersebut berjalan sempurna
ada lima tahapan yang terjadi dalam proses komunikasi di media massa. Bungin
menganalisa dan mengelompokan tahapan itu menjadi beberapa bagian seperti
sumber penyampai pesan (source), pesan atau informasi (message), media yang
digunakan (channel), penerima pesan (receiver) dan berakhir pada efek yang
dihasilkan (effects).
Pada gambar tersebut terlihat bahwa sumber penyampai pesan dipengaruhi
oleh beberapa faktor yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Dalam
kaitannya dengan media massa sumber penyampai pesan tersebut adalah jurnalis.
Sebagai orang pertama yang bersentuhan dengan peristiwa, pola pandang dan
25 Ibnu Hamad, Konstruksi realitas politik dalam media massa:sebuah studi critical discourse
analysis terhadap berita-berita politik, (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2004), h. 11-12.
23
pengalaman jurnalis sangat memengaruhi cara ia memaknai dan meliput peristiwa
tersebut.
Proses selanjutnya adalah jurnalis memberikan pesan atau hasil liputannya
kepada dewan redaksi. Pada fase ini dewan redaksi juga memiliki peran dalam
mengontruksi realitas, salah satu contohnya adalah saat rapat redaksi penentuan
berita mana yang diangkat atau tidak. Dalam mengolah sebuah pemberitaan
jurnalis tidak bekerja sebagai individu melainkan bekerja dalam sebuah tim dan
institusi media. Kepentingan dan keberpihakan dewan redaksi dan intitusi media
sangat memengaruhi hasil akhir produk jurnalistik yakni sebuah pemberitaan.
Fase Selanjutnya adalah media memainkan fungsi dan perannya dengan
menyebarluaskan sebuah peristiwa melalui pemberitaannya, lengkap dengan
pesan yang telah mereka konstruksi sebelumnya. Berita yang merupakan hasil
konstruksi menyebar dengan cepat dan masif di masyarakat. Sesuai dengan sifat
media massa yang dapat menyebarkan pesan secara cepat, masif, dan spontan.
Sehingga hasil konstruksi tersebut dengan mudah dapat menyebar di
tengah-tengah masyarakat.
Meskipun berita hasil konstruksi media massa sudah berada di masyarakat,
belum tentu masyarakat menerima informasi yang terkonstruksi begitu saja. Hal
itu bisa terjadi karena setiap individu memiliki penerimaan yang berbeda terhadap
informasi. Beberapa faktor seperti latar belakang budaya, ekonomi, pendidikan,
dan politik, memengaruhi penerimaan itu. Masyarakat secara individu yang
menentukan konstruksi itu berhasil atau tidak.
Jika masyarakat menerima hasil konstruksi tersebut maka konstruksi realitas
oleh media berhasil. Masyarakat akan terkonstruksi oleh realitas imajiner yang
24
ditampilkan media. Selanjutnya masyarakat akan memberikan umpan balik
terhadap realitas yang telah dikonstruksi oleh media massa.
B. Kerangka Konseptual
1. Analisis Wacana
Analisis Wacana merupakan salah satu metode untuk membongkar kuasa yang
ada disetiap proses bahasa seperti batasan apa yang diperkenankan menjadi
wacana, perspektif yang harus digunakan, dan topik yang dibicarakan. Dalam arti
yang sempit kita dapat mendefinisikan analisis wacana adalah cara untuk
mengungkapkan maksud tersembunyi pada sebuah pemberitaan media massa.
Teun A. Van Dijk menyatakan penelitian atas wacana tidak cukup hanya
didasarkan pada analisis atas teks semata. Ia berpendapat teks hanyalah hasil dari
suatu praktik produksi yang harus diamati. Kita meski melihat bagaimana suatu
teks diproduksi, sehingga kita memperoleh suatu pengetahuan kenapa teks bisa
seperti itu.
Bagi Van Dijk teks bukan sesuatu yang turun dari langit, bukan juga suatu
ruang hampa yang mandiri. Akan tetapi teks dibuat dalam suatu praktik diskursus,
sebuah praktik pembentukan wacana. Teks hadir dan bagian dari representasi yang
menggambarkan kondisi masyarakat yang dominan.
Pada dasarnya setiap teks memiliki dua bagian yaitu elemen mikro dan elemen
makro. Setiap bagian memiliki fungsi dan perannya masing-masing dalam
masyarakat. Jika elemen mikro berperan sebagai pembentuk wacana dalam
sebuah berita maka elemen makro adalah struktur sosial dalam masyarakat. Van
Dijk menghubungkan kedua elemen tersebut sehingga menghasilkan sebuah
dimensi, kemudian Ia menyebutnya dengan nama Kognisi Sosial.
25
Kognisi sosial yang dikenalkan oleh Van Dijk bagaikan koin yang memiliki
dua mata sisi. Pada sisi pertama model ini menunjukan bagaimana wartawan
membuat sebuah teks. Sedangkan sisi kedua merefleksikan bagaimana nilai-nilai
masyarakat yang dominan itu menyebar, kemudian diserap oleh daya pikir
wartawan. Selanjutnya wartawan menggunakan hasil penyerapan itu menjadi teks
berita.
Van Dijk melalui kognisi sosial ini lebih memfokuskan perhatiannya pada studi
tentang rasialisme. Hal tersebut tergambar dari banyak karyanya tentang studi
analisis pemberitaan yang mengarah pada bentuk rasialisme. Salah satunya adalah
saat Van Dijk dan rekannya menganalisis bagaimana wacana media menguatkan
rasialisme yang ada dalam masyarakat, di Universitas Amsterdam. Mereka
menemukan banyak rasialisme yang tercipta dan digambarkan melalui teks berita.
Masyarakat Barat pada umumnya tidak sadar bahwa pikiran mereka diliputi
oleh pikiran-pikiran yang rasis, memandang rendah, dan memandang berbeda
kelompok minoritas, dalam kehidpuan sehari-hari. Kondisi yang berulang dan
terakumulasi ini menghasilkan pikiran dan kognisi yang memandang rendah
kelompok minoritas. Selanjutnya rasialisme itu diperkuat dan dimapankan dalam
teks berita. Hal itu yang membuat bahwa rasialisme terlihat sebagai sebuah
kewajaran.
Bentuk rasialisme itu menurut Van Dijk bisa saja berasal dari percakapan
sehari-hari, wawancara kerja, rapat pengurus, debat di parlemen, propaganda
politik, periklanan, artikel ilmiah, editorial, berita, foto, film, dan sebagainya.
Melalui berbagai teks tersebut, kelompok bawah dan minoritas digambarkan
secara buruk dan tidak sebagaimana mestinya, yang dinyatakan dengan cara yang
26
meyakinkan, tampak sebagai kewajaran, masuk akal, alamiah, dan terlihat/tampak
sah.26
Van Dijk tidak hanya berpatokan pada analisis teks semata terhadap model
wacana yang ia buat. Ia juga melihat bagaimana struktur sosial, dominasi, dan
kelompok kekuasaan yang ada dalam masyarakat berpengaruh terhadap teks
tertentu. Selain itu ia juga melihat bagaimana kognisi, pikiran, dan kesadaran yang
Membentuk dan memengaruhi pada sebuah teks pilihan.
Van Dijk menggambarkan model wacananya dalam tiga struktur bangunan:
teks, koginisi sosial, dan konteks sosial. Kemudian ia menggabungkan ketiga
bangunan tersebut dalam kesatuan analisis.
Analisis model Van Dijk menghubungkan analisis tekstual – yang memusatkan
perhatian hanya pada teks – ke arah analisis yang komprehensif bagaimana teks
berita itu diproduksi, baik dalam hubungannya dengan individu wartawan maupun
dari masyarakat.27
a. Teks
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan teks adalah naskah
yang berupa kata-kata asli dari pengarang, kutipan dari kitab suci untuk pangkal
ajaran atau alasan, bahan tertulis untuk dasar memberikan pelajaran, berpidato,
dsb. Selain itu KBBI juga mengartikan teks sebagai wacana tertulis.
Secara teori bahasa teks adalah himpunan huruf yang membentuk kata dan
kalimat yang dirangkai dengan sistem tanda yang disepakati oleh masyarakat.28
Sehingga masyarakat dapat memahami dan mengungkapkan makna yang
26 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 223 27 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 224 28 Alex Subour, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis
Semiotik, dan Analisis Framing, h. 54
27
terkandung dalam teks itu ketika membacanya.
Menurut Teun A. Van Dijk teks adalah refleksi dari kognisi sosial, dimana
kesadaran mental wartawan memiliki kuasa penuh atas berita yang dibuat.
Kemudian Van Dijk menilai suatu teks terdiri atas beberapa struktur atau tingkatan
yang masing-masing bagian saling mendukung.29
Dalam melaksanakan penelitian terhadap teks Van Dijk membaginya dalam
tiga tingkatan. Pertama, struktur makro, yang merupakan makna global/umum
dari suatu teks yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema yang
dikedepankan dalam suatu berita. Kedua, superstruktur, yang merupakan struktur
wacana yang berhubungan dengan kerangka suatu teks, bagaimana bagian-bagian
teks tersusun ke dalam berita secara utuh. Ketiga, struktur mikro, yang merupakan
makna wacana yang dapat diamati dari bagian kecil dari suatu teks yakni kata,
kalimat, proposisi, anak kalimat, parafrase, dan gambar.30
Meskipun terdiri atas berbagai elemen, seluruh elemen tersebut merupakan satu
kesatuan yang utuh. Mereka saling berhubungan dan mendukung satu sama
lainnya. Makna global dari suatu teks (tema) didukung oleh kerangka teks dan
pada akhirnya pilihan kata dan kalimat yang digunakan.
Struktur wacana adalah cara yang efektif untuk melihat proses retorika dan
persuasi yang dijalankan ketika seseorang menyampaikan pesan. Kata-kata
tertentu mungkin dipilih untuk mempertegas pilihan dan sikap, membentuk
kesadaran politik, dan sebagainya. Berikut adalah elemen-elemen wacana Van
Dijk
29 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 225 30 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h 226
28
TABEL 2.1
Struktur Wacana Teun A. Van Dijk
Struktur Wacana Hal yang Diamati Elemen
Struktur Makro Tematik (apa yang dikatakan) Topik
Superstruktur
Skematik (bagaimana
pendapat disusun dan
dirangkai)
Skema
Struktur Mikro Semantik (makna yang ingin
ditekankan dalam teks berita)
Latar, detail, maksud,
pra anggapan,
nominalisasi
Struktur Mikro Sintaksis (bagaimana pendapat
disampaikan)
Bentuk kalimat,
koherensi, kata ganti
Struktur Mikro Stilistik (pilihan kata apa yang
dipakai) Leksikon
Struktur Mikro
Retoris (bagaimana dan
dengan cara apa penekanan
dilakukan)
Grafis, Metafora
Ekspresi
Van Dijk memahami pemakaian kata, kalimat, retorika tertentu oleh media
sebagai sebuah strategi wartawan. Hal tersebut tidak hanya dipandang sebagai
cara berkomunikasi saja namun sebagai politik berkomunikasi. Suatu cara untuk
mempengaruhi pendapat umum, menciptakan dukungan, memperkuat legitimasi,
dan menyingkirkan lawan atau penentang.
Setiap elemen-elemen dalam analisis teks tersebut akan menunjukkan hal-hal
yang ditonjolkan dalam pemberitaan. Penggiringan opini publik akan terlihat
karena setiap elemen-elemen tersebut merupakan satu kesatuan yang saling
mendukung dan berkaitan. Pada dasarnya struktur wacana adalah cara yang efektif
untuk melihat proses retorika dan persuasi yang dijalankan ketika seseorang
menyampaikan pesan.
b. Kognisi Sosial
Elemen kedua pada model analisis wacana Teun A. Van Dijk adalah kognisi
29
sosial. Pada elemen ini Van Dijk mengutarakan dalam kajian media massa
diperlukan sebuah teknik untuk membongkar cara kerja dan pola pikir wartawan
ketika memproduksi sebuah teks berita. Van Dijk mengenalkan kognisi sosial
sebagai kesadaran mental wartawan dalam membentuk teks berita.
Misalnya wacana kebebasan pers pada pemberitaan kasus pembunuhan Udin
“Bernas”. Kita memerlukan penelitian mengenai kesadaran mental wartawan
Majalah Tempo dalam memandang kasus itu. Van Dijk mengatakan untuk
membongkar makna tersembunyi dari teks, kita membutuhkan suatu analisis
kognisi dan konteks sosial. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu penelitian atas
representasi kognisi dan strategi wartawan dalam memproduksi suatu berita.31
Pendekatan kognitif didasarkan pada asumsi bahwa teks tidak mempunyai
makna, tetapi makna itu diberikan oleh pemakai bahasa, atau lebih tepatnya
proses kesadaran mental dari pemakai bahasa. Pada dasarnya setiap teks berita
dihasilkan melalui kesadaran, pengetahuan, prasangka tertentu atas sebuah
peristiwa. Wartawan sebagai individu yang netral, tetapi individu yang
mempunyai bermacam nilai, pengalaman, dan pengaruh ideologi yang didapatkan
dari kehidupannya dalam menyusun teks berita.
Melalui kognisi sosial ini kita dapat mengetahui makna yang disembunyikan
oleh wartawan Majalah Tempo dalam membuat laporan khusus tentang
terbunuhnya Udin “Bernas” delapan belas tahun silam.
c. Konteks Sosial
Sebagai salah satu dimensi penting dari analisis wacana model Van Dijk
banyak pihak yang menyebutkan konteks sosial adalah analisis sosial. Pada
31 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 260
30
dimensi ini Van Dijk mengatakan bahwa untuk menganalisa wacana yang
berkembang dalam masyarakat kita harus melakukan analisis intertekstual.
Bentuk analisis itu dengan meneliti bagaimana wacana tentang suatu hal
diproduksi dan dikonstruksi dalam kehidupan masyarakat. Analisis semacam ini
memerlukan pemahaman tentang praktik kekuasaan dan akses.
Van Dijk mendefinisikan praktik kekuasaan sebagai kekuatan atau pengaruh
yang dimiliki oleh suatu kelompok untuk mengontrol dan memengaruhi kelompok
lain. Pada umumnya kekuasaan ini bersandar pada kepemilikan atas sumber daya
yang bernilai seperti uang, status, dan pengetahuan. Selain itu Van Dijk juga
memahami kekuasaan sebagai bentuk persuasif, yaitu tindakan seseorang untuk
secara tidak langsung mengontrol dengan jalan mempengaruhi kondisi mental,
seperti kepercayaan, sikap, dan pengetahuan.32
Dominasi yang ada di masyarakat turut memberikan sumbangsih besar pada
praktik-praktik kekuasaan tersebut. Dominasi pada akhirnya bermuara pada
bentuk-bentuk diskriminasi dari kelompok kuat terhadap kelompok lemah. Salah
satu contohnya adalah pembantaian simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI)
oleh masyarakat, tentara, dan pesantren pada masa Orde Baru berkuasa.
Diskriminasi terjadi karena akses yang dimiliki oleh kelompok kuat dalam
pelbagai hal, termasuk media massa.
Sementara itu simpatisan PKI sebagai kelompok lemah tidak memiliki akses,
layaknya kelompok kuat. Hal itu berdampak pada kehidupan kelompok lemah
tersebut. Mereka mendapatkan perlakuan dan stigma buruk dari masyarakat akibat
wacana tentang komunisme dari pemerintah.
32 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 272
31
Pada kasus tersebut Pemerintah memiliki akses yang luas dalam menjangkau
masyarakat dibandingkan simpatisan atau keturunan pengikut PKI. Pemerintah
dapat menentukan wacana mengenai komunisme melalui lembaga maupun
institusi pemerintahan seperti sekolah dan birokrasi. Pada akhirnya masyarakat
yang tidak memiliki akses akan menjadi konsumen wacana yang telah ditentukan.
Kemudian mereka menyebarkanya melalui percakapan dengan keluarga, teman,
kerabat, teman sebaya, dan sebagainya.33
Oleh karena itu, mereka yang lebih berkuasa mempunyai kesempatan lebih
besar untuk mempunyai akses pada media dan kesempatan lebih besar untuk
mempengaruhi kesadaran khalayak.
C. Kebebasan Pers
1. Pengertian Kebebasan Pers
Jakob Oetama dalam bukunya, Pers Indonesia: Berkomunikasi Dalam
Masyarakat Tidak Tulus, mengatakan kebebasan pers berkaitan dengan paham
politik dan konstitusi, yakni jaminan atas hak untuk bebas menyatakan
pendapatnya secara lisan dan tertulis. Kebebasan pers sekaligus juga fungsional,
melekat pada lembaga pers. 34 Maestro Pers Indonesia itu secara gamblang
menyebutkan bahwa pers dan kebebasannya merupakan suatu kesatuan yang utuh.
John C. Merril, wartawan asal Amerika, menyebutkan, kebebasan pers
sebagai kondisi yang memungkinkan para pekerja pers memilih, menentukan dan
mengerjakan tugas mereka sesuai keinginan mereka. Sementara itu, Nurudin
mendefinisikan kebebasan pers sebagai kebebasan yang dimiliki pers untuk
menyiarkan kebijakan redaksinya tanpa ada pihak lain yang memaksa untuk
33 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 274 34 Jakob Oetama, Pers Indonesia: berkomunikasi dalam masyarakat tidak tulus, (Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, 2001), hlm. 21.
32
berbuat di luar keinginan pers.35
Kebebasan pers memerlukan sebuah otonomi khusus yang dimiliki oleh pers
dalam mengambil langkah-langkah konkret agar bebas dari pengawasan pihak
lain di luar pers. Ketika pers telah memiliki otonominya sendiri maka kebebasan
pers bisa dilaksankan.
Kebebasan pers memberikan ruang kepada masyarakat untuk mengontrol dan
menyuarakan pendapatnya kepada Pemerintah. Selain itu roda pembangunan dan
pemerintahan akan berjalan secara transparan. Hal tersebut bisa memberikan
manfaat yang luas bagi masyarakat bukan mengorbankan kehidupan mereka.
Indonesia sebagai negara berhaluan demokrasi turut mengakui adanya
kebebasan pers. Hal itu sejalan dengan konstitusi kita yang mengakui kebebasan
pers sebagai hak asasi manusia. Secara tegas perubahan (kedua) UUD 1945 Bab
XA tentang “Hak Asasi Manusia” Pasal 28 F menyebutkan:
“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyapaikan informasi
dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
Jelas terlihat dari pasal tersebut jika konstitusi kita menghargai kebebasan
pers bahkan mengakuinya sebagai hak asasi manusia. Hal itu terbukti dengan
penempatan kalimat “hak untuk berkomunikasi” serta “dengan segala jenis
saluran yang tersedia” (dalam hal ini pers) sebagai sebuah pengakuan.36
Negara membuat iklim kebebasan pers di Indonesia semakin kondusif dengan
35 Nurudin, Jurnalisme Masa Kini, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hlm. 296
36 Sedia Wiling Barus, Jurnalistik; petunjuk teknis menulis berita, (Jakarta: Erlangga, 2010), h.
225
33
pengesahan UU Pers No. 40 tahun 1999. Kebebasan Pers menurut UU Pers No.
40 tahun 1999 terdapat dalam pasal 4 yang berbunyi:
1. Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga Negara.
2. Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau
pelarangan penyiaran.
3. Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari,
memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
4. Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan
mempunyai hak tolak.
Pemerintah juga memuat ketentuan pidana pada pasal 18 yang berhubungan
dengan ketentuan pada pasal 4 yakni “Setiap orang yang secara melawan hukum
dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau
menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp.
500.000.000 (Lima ratus juta rupiah)” untuk menjamin kebebasan pers.37
Melalui aturan tersebut negara hadir dalam menjamin kebebasan pers di
Indoensia. Hal itu merupakan komitmen pemerintah dalam mewujudkan
kedaulatan rakyat. Kebebasan pers menjadi unsur yang sangat penting untuk
menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam lingkup
negara demokratis.
Meskipun demikian kebebasan pers di Indonesia bukannya tanpa aturan.
Negara kita memiliki sistem dan aturan yang berlaku terhadap pers di seluruh
penjuru nusantara. Indonesia menganut sistem kebebasan pers berlandaskan
37 Rine Araro, “Kebebasan Pers Perspektif Hukum,” artikel diakses pada 17 Agustus
2015 dari http://manado.tribunnews.com/2013/04/28/kebebasan-pers-perspektif-hukum?page=2/
34
pancasila, sesuai ideologi negara kepualauan ini.
Sistem kebebasan pers dengan asas Pancasila mengharuskan pers memiliki
tanggung jawab atas segala karya jurnalistik yang dihasilkan. Pada sistem ini
kebebasan tidak diartikan sebagai kebebasan yang mutlak, namun kebebasan yang
bersyarat. Pers Pancasila digambarkan sebagai pers yang menjalankan hak
kebebasannya tetap memerhatikan tata nilai yang hidup dalam masyarakat, antara
lain kehidupan gotong royong dan bukan mencita-citakan kehidupan masyarakat
yang individualis.38
Pemakaian istilah kebebasan pers diganti menjadi kemerdekaan pers mulai
disepakati pada saat proses pembahasan Rancangan Undang-Undang No. 40
Tahun 1999 tentang Pers di DPR. Istilah “kemerdekaan pers yang profesional”
diperkenalkan oleh Fraksi Persatuan Pembangunan di Komisi I. Paradigma
“kemerdekaan pers yang profesional” dipakai untuk menggantikan paradigma
“kebebasan pers yang bertanggung jawab”. Kedua paradigma ini dinilai memiliki
makna yang sangat berbeda. Dari aspek konstitusi, kata “kemerdekaan pers”
dinilai lebih sesuai dengan Undang-Undang Dasar, khususnya pasal 28 yang
menjamin “kemerdekaan” setiap orang untuk menyampaikan pikiran dan
pendapatnya, baik lisan maupun tulisan.39
2. Kasus-kasus Kebebasan Pers di Indonesia
Meskipun negara sudah menjamin kemerdekaan pers di Indonesia namun
tetap saja upaya pembelengguan terhadap pers kerap terjadi. Salah satu bentuknya
adalah pelarangan terbit atau pemberedelan terhadap pers. Pembredelan tersebut
38 Sedia Wiling Barus, Jurnalistik; petunjuk teknis menulis berita, h. 237. 39 Naungan Harahap, Bisnis Media vs Kemerdekaan Pers; Dalam Kajian Hukum Praktik
Monopoli & Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Panitia Hari Pers Nasional 2014 dan
Persatuan Wartawan Indonesia Pusat, 2014) h. 25.
35
pun beragam, ada yang bersifat sementara dan ada yang selamanya.
Selain pemberedelan bentuk pembelengguan lainnya adalah ancaman, teror,
pengerusakan kantor atau alat, pelarangan liputan, sensor, gugatan perdata
maupun pidana, pengerahan massa, kekerasan fisik, bahkan pembunuhan. Hal
tersebut terjadi pada seluruh perangkat pers seperti Pemimpin Redaksi, Sekretaris
Redaksi, Redaktur, Editor, hingga Reporter.
Sejarah mencatat kebebasan pers di Indonesia sudah mengalami kendala saat
negara ini sejak berusia muda. Bahkan pada era pendudukan Belanda upaya
penggembosan terhadap pers sudah ada. Koran pertama di Indonesia, Bataviasche
Nowvelles, menemukan ajalnya pada tahun kedua koran itu terbit. Tanggal 20 Juni
1746 surat kabar itu resmi dibubarkan setelah Pemimpin tertinggi VOC, De
Heeren XVII, mengeluarkan surat keputusan larangan terbit terhadap Bataviasche
Nowvelles, 20 November 1744 di Negeri Belanda. Alasan yang mendasari
pelarangan tersebut adalah De Heeren XVII tidak suka dengan koran yang terbit
sejak 7 Agustus 1744 itu.
Kemudian pemerintahan kolonialisme terus mengeluarkan aturan ketat yang
membuat pers semakin tercekik. Bahkan Koran milik pemerintahan, Bataviasche
Koloniale Courant, tidak menerima perlakuan khusus. Surat Kabar plat merah itu
tetap disensor. Koran yang pertama kali terbit pada 5 Januari 1810 itu beredar
setiap hari Jumat. Penyensoran terjadi sehari sebelumnya, saat pemerintah melihat
seluruh isi surat kabar itu.
Memasuki era 1900 pemerintahan kolonialisme masih melakukan
penyensoran dan pemberangusan terhadap pers. Terlebih sejak 1910 pers di
Indonesia yang merupakan pers perjuangan mulai menjamur. Surat kabar di
36
Indonesia kala itu mengalami pasang surut; hidup dan mati surat kabar menjadi
hal yang biasa. Ketika pemerintah Belanda melarang pers di suatu wilayah,
muncul pers di wilayah lain.
Melihat hal tersebut “kegilaan” pemerintah Belanda semakin menjadi-jadi.
Demi memertahankan daerah jajahannya pemerintahan kolonialisme tidak hanya
melarang pers untuk terbit. Mereka juga membuang pemilik atau pemimpin
redaksi pers yang kritis dan menyuarakan pesan perjuangan. Salah satunya adalah
Haji M. Misbach, pengasuh media berkala Medan Muslimin. Pemerintah
membuang Haji Misbach di Kabupaten Boven Digoel, Papua.
Kemudian Kompeni juga membuang Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau
Ki Hadjar Dewantara, seseorang yang kritis menentang kolonialisme. Ia dibuang
ke Belanda akibat tulisannya di surat kabar De Exprees, Bandung berjudul Als ik
eens Nenderlander. Isi tulisannya menyentil kerajaan Belanda yang akan
merayakan 100 tahun kemerdekannya di daerah jajahanan. Tulisan itu berbuah
pada pemberedelan surat kabar De Express. Sedikitnya, tidak kurang dari 27 surat
kabar nasionalis dibredel dalam kurun waktu 1931 hingga pertengahan tahun 1936
saat Belanda menjajah Indonesia.
Lepas dari masa kolonialisme secercah harapan bagi pers perjuangan muncul
ketika Jepang memukul mundur dan mengusir Belanda dari Indonesia. Negeri
Matahari Terbit itu seolah-olah mendukung perjuangan melalui pers. Hal itu
tercermin dari sikap radio Jepang yang mengumandangkan lagu Indonesia Raya
setiap malam, sebelum melakukan siaran berbahasa Indonesia. Sikap itu tentu saja
menarik simpati bangsa Indonesia terhadap Jepang termasuk kalangan pers.
Setelah mendapatkan simpati, tujuan asli Jepang masuk Indonesia terlihat.
37
Mereka menguras dan menjadikan bumi pertiwi ini menjadi darerah Jajahan.
Negeri Samurai itu juga menutup seluruh surat kabar Belanda dan Cina sejak 9
Maret 1942. Jepang memonopoli dan mengambil alih semua usaha penerbitan.
Dalam segi publikasi mereka membuat aturan yang menyatakan setiap jenis
barang cetakan harus memiliki izin terbit. Selain itu, aturan tersebut juga
melarang semua penerbitan yang memusuhi Jepang.
Kemudian Jepang membuat ketentuan mengenai sensor preventif untuk
meredam pers perjuangan yang semakin gencar menyuarakan kemerdekaan
Indonesia. Bentuk penyensoran itu serupa dengan era kolonialisme Belanda,
semua barang cetakan harus melewati bagian sensor tentara Jepang sebelum terbit.
Kantor-kantor sensor itu berada di Jakarta, Bandung, Solo, Yogyakarta, dan
Surabaya.
Tindakan lain Tentara Dai Nippon terhadap pers dengan menempatkan
seorang penasehat yang bertugas melakukan kontrol langsung terhadap pers.
Selain itu, tidak jarang pula “para penasehat” Jepang menulis sendiri
artikel-artikelnya, dengan menggunakan nama para anggota redaksi.40 Mereka
juga melakukan penyegelan terhadap radio yang digunakan untuk alat propaganda.
Pada masa itu pers hanya digunakan sebagai alat pemerintah Jepang.
Kemerdekaan yang diraih 70 tahun silam tidak serta-merta membuat pers kala
itu benar-benar bebas. Pasalnya pemberedelan terhadap pers tetap terjadi,
terutama paska pemberlakuan keadaan darurat atau SOB (Staat van Oorlog en
Deleg), warisan penjajah Belanda. Pada saat itu sistem pemerintahan Indonesia
menganut sistem demokrasi terpimpin dan masih bertindak “kejam” terhadap pers.
40 Nurudin, Jurnalisme Masa Kini, h. 41.
38
Banyak surat kabar yang dibredel oleh pemerintah sedangkan para wartawan
banyak yang ditangkap dan ditahan tanpa proses hukum.
Duka bagi kebebasan pers di Indonesia dimulai sejak 1 Oktober 1958, pada
tanggal tersebut Penguasa Perang Daerah (Peperda) Djakarta Raya Jaya
memberlakukan Surat Izin Terbit (SIT) terhadap pers. Artinya pimpinan surat
kabar atau majalah wajib mengajukan permohonan izin agar medianya bisa
beredar di masyarakat. Sebelumnya Peperda megeluarkan surat keputusan terkait
penerbitan pers. Isi surat tersebut mewajibkan seluruh penerbitan surat kabar dan
majalah mendaftarkan diri sebelum 1 Oktober 1957. Matinya kebebasan pers pada
masa pemerintahan Orde Lama dimulai sejak saat itu.
Surat kabar yang masih terbit setelah tanggal itu harus mengikuti kehendak
penguasa. Jika ada pers yang berani bertindak “nakal” versi penguasa maka
pencabutan SIT bisa terjadi kapan saja. Hal itu membuat wartawan selalu
dibayangi ketakutan pencabutan SIT saat menjalankan tugasnya. Saat itu, tak ada
lagi pers yang kritis. Selama tahun 1958 tercatat 42 peristiwa yang dialami pers
seperti pembredelan, penahanan, bahkan penganiayaan wartawan.41
Sebelum kasus pembredelan terhadap pers terjadi, pada dasawarsa 1950 –
1059 Presiden Soekarno menggunakan sistem demokrasi Liberal untuk memimpin
bangsa ini. Sistem demokrasi itu membuat pers memanfaatkan kebebasannya
secara leluasa namun cenderung kebablasan.
Munculnya pers di bawah kendali partai politik membuat pers tidak kritis.
Pers lebih berfungsi sebagai kendaraan partai politik dan petinggi partai. Isi
pemberitaan Pers lebih banyak saling mencaci, memfitnah lawan politik, tidak
41 Nurudin, Jurnalisme Masa Kini, h. 46.
39
jarang pula pers hanya mengejar tiras dengan berita sensasi dan megarah pada
pornografi. Pada akhirnya masyarakat pembaca kehilangan kepercayaan terhadap
surat kabar. Padahal letak kekuatan suatu surat kabar adalah pada kepercayaan
masyarakat terhadapnya sebagai sumber informasi.
Kondisi politik yang panas serta tidak menentu menyebabkan rezim orde
lama yang dinahkodai oleh sang proklamator, Soekarno, karam dan tenggelam.
Kemudian Tampuk kepemimpinan bangsa ini berganti pada orde Baru dibawah
nanungan Soeharto. Perubahan pimpinan bangsa ini juga membuat sistem pers
ikut berubah. Meskipun pada awal kepemimpinan Soeharto pers mendapat
perlakuan istimewa, tetap saja pembredelan terhadap pers yang kritis tetap terjadi.
Dalih menjaga keamanan dan ketertiban pencabutan SIT bisa terjadi kapan dan
dimana saja.
Sejarah mencatat rezim Orde Baru merupakan pemimpin dengan tingkat
pengekangan pers paling banyak. Selama 32 tahun menjadi penguasa rezim
bentukan Soeharto ini membatalkan izin terbit sebanyak 237 perusahaan pers.
Penguasa berdalih perusahaan pers tersebut mengganggu stabilitas nasional
sehingga pembatalan bahkan hingga pencabutan izin terbit menjadi “hadiah” yang
setimpal. Salah satu yang fenomenal adalah dibongkarnya kasus korupsi
Pertamina oleh surat kabar Indonesia Raya pimpinan Mochtar Lubis.42
Sikap surat kabar Indonesia Raya yang mengedepankan independensi dan
memancarkan sifat partisan tanpa kompromi terhadap “hal-hal yang merugikan
kepentingan umum” membuat media ini menjadi incaran rezim Orde Baru.
Kesabaran penguasa terhadap surat kabar ini mencapai tapal batasnya setelah
42 Naungan Harahap, Bisnis Media vs Kemerdekaan Pers; Dalam
Kajian Hukum Praktik Monopoli & Persaingan Usaha di Indonesia.,
h. 146.
40
peristiwa Malapetaka 15 Januari (Malari).
Lima hari setelah peristiwa Malari, 20 Januari 1974, Surat kabar Indonesia
Raya mendapat hadiah berupa pencabutan surat izin cetak dan surat izin terbit.
Sejak saat itu Indonesia Raya Tamat sedangkan Mochtar Lubis ditahan oleh rezim
Orde Baru selama 2,5 Bulan. Setelah itu rezim Orde Baru mulai melakukan
pembatasan terhadap kebebasan pers, dalam bentuk pemberedelan terhadap
beberapa surat kabar di Jakarta dan beberapa daerah.
Orde Baru memiliki banyak cara yang efektif dalam membungkap sikap pers
yang kritis. Salah satu cara pembungkaman itu dengan melakukan kerja sama
antara pemerintah dengan lembaga Pers. Dalam kerja sama itu Pemerintah
memberikan dukungan dalam bentuk bantuan dan fasilitas. Meskipun demikian
pemberian bantuan dan fasilitas itu dibarengi dengan beberapa persyaratan yang
harus dipatuhi lembaga pers. Bentuk persyaratan itu meliputi pemberitaan buruk
tentang keluarga Cendana; media tidak menyinggung Dwifungsi ABRI; media
tidak boleh menulis hal-hal yang berkaitan dengan masalah SARA.
Pembatasan kebebasan pers pada era itu juga dilakukan dengan “cara-cara
lain” seperti “imbauan pejabat pemerintah” untuk tidak memuat suatu fakta yang
menurut pemerintah menimbulkan dampak terhadap keamanan, walaupun
menurut kaidah jurnalistik mempunyai nilai berita yang tinggi. Imbauan dilakukan
antara lain melalui chief editors meeting, atau melalui telepon oleh pejabat ke
dewan redaksi. 43 Salah satu media yang merasakan “dibredel” melalui
sambungan telepon adalah Harian Kompas.
Surat Kabar bentukan Jakoeb Oetama dan Petrus Kanisius Ojong itu berhenti
43 Naungan Harahap, Bisnis Media vs Kemerdekaan Pers; Dalam Kajian Hukum Praktik
Monopoli & Persaingan Usaha di Indonesia., h.149.
41
terbit untuk kedua kalinya, Sabtu, 21 Januari 1978. Pelarangan terbit itu
berdasarkan sambungan telepon Kepala Dinas Penerangan Laksuda Jaya kepada
dewan redaksi Kompas, Jumat, 20 Januari 1978, sekira 20.25 WIB. Pembredelan
itu memiliki benang merah dengan Tajuk Rencana Kompas, 16 Januari 1978,
berjudul “Aspirasi Mahasiswa” ditulis Jakob Oetama. Pada intinya isi tajuk
rencana itu berpendapat bahwa aksi-aksi unjuk rasa para mahasiswa pada tahun
1977 hingga 1978 perlu mendapat perhatian dan diakomodir.44 Selain kompas
terdapat 11 koran dan majalah lain yang merasakan hal serupa, dibredel melalui
telepon.
Berbagai tekanan terhadap kebebasan pers mengakibatkan media menjadi
lebih pragmatis, konten media menjadi mandul, dan lebih eufimistis dalam
melakukan kritik terhadap penguasa. Selain itu tindakan represif pemerintah
terhadap pers juga berdampak pada kondisi psikologis penggiat media massa. Saat
melaksanakan tugas jurnalisme wartawan mendapatkan kesulitan dalam
menentukan berita yang boleh dan terlarang. Sumber berita pun merasa tidak pasti,
karena takut memberikan informasi. 45 Hal itu menyebabkan timbulnya rasa
ketidakpastian dalam profesi wartawan.
Selama rezim Orde Baru berkuasa, kebebasan mengemukakan pendapat
sebagai manifestasi dari social control function, tidak diperoleh sama sekali.46
Kebebasan pers pada masa kepemimpinan monolitik Orde Baru hanya lebih
banyak memunculkan kisah sedih. Bahkan hingga penghujung masa
44 Daniel, “Hari Bersejarah yang Menentukan "Kompas" Bisa Eksis Sampai Sekarang”, artikel
diakses 25 Agustus 2015 dari
http://www.kompasiana.com/danielht/hari-bersejarah-yang-menentukan-kompas-bisa-eksis-sampai
-sekarang_5590aec87a937325048b4567 45 Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KTD), Beberapa Segi Perkembangan
Sejarah Pers di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas) h. 202. 46 Naungan Harahap Bisnis Media vs Kemerdekaan Pers; Dalam Kajian Hukum Praktik
Monopoli & Persaingan Usaha di Indonesia., h.149.
42
kekuasaannya Pembatasan hingga pembredelan terhadap pers terus berlangsung.
Akibatnya Pers di Indonesia menjadi Pers Tiarap dan menggunakan Jurnalisme
Kepiting.
Lepas dari cengkraman Orde Baru pers Indonesia menatap harapan baru
ketika Orde Reformasi memegang kendali penuh atas negeri ini. Pembubaran
Departemen Penerangan, malaikat pencabut nyawa pers Indonesia, oleh Presiden
Abdurrahman Wahid menjadi tonggak baru pers Indonesia yang lebih merdeka
dan kritis. Kelonggaran yang diberikan oleh pemerintah membuat pers memiliki
euforia dalam pemberitaannya bahkan cenderung kebablasan. Bila pada masa
Orde Baru pers tidak bebas dan bertanggung jawab, pers Orde Reformasi adalah
pers yang bebas tetapi tidak bertanggung jawab.47
Oleh karena itu, menegakkan kebebasan pers di Indonesia bukan perkara
yang mudah. Kendatipun secara politik pers sudah memperoleh kebebasannya,
dalam arti hilangnya pengawasan pemerintah, tetapi hambatan nonpolitik berupa
tekanan publik/oknum pemerintah masih dialami oleh pers Indonesia.48 Selain itu
tekanan dan ancaman terhadap jurnalis berupa intimidasi dan kekerasan fisik
masih kerap terjadi.
Fenomena lain yang perlu mendapat perhatian kalangan pers adalah
munculnya tuntutan publik melalui jalur hukum, yang selama era Orde Lama
maupun Orde Baru jarang terjadi.49 Pada era ini banyak kasus pidana terkait pers
tidak menggunakan UU Pers sebagai Lex Specialis, namun menggunakan KUHP.
47 Hanif Suranto, Pers Indonesia Pasca Suharto, (Jakarta: Lembaga Studi Pers dan
Pembangunan, Aliansi Jurnalis Indonesia, Jakarta, 1999), h. 2. 48 Naungan Harahap, Bisnis Media vs Kemerdekaan Pers; Dalam Kajian Hukum Praktik
Monopoli & Persaingan Usaha di Indonesia., h. 152. 49 Naungan Harahap, Bisnis Media vs Kemerdekaan Pers; Dalam Kajian Hukum Praktik
Monopoli & Persaingan Usaha di Indonesia., h. 153
43
Salah satunya adalah kasus Tomy Winata melawan majalah Tempo. Akibat
pemberitaan Majalah Tempo edisi 3-9 Maret 2013 di halaman 31 memuat tulisan
berjudul “Ada Tomy di Tenabang?”
Tomy menuduh Majalah Tempo melanggar KUHP dengan mengajukan
tuntutan 100 miliar sebagai kerugian material dan 100 miliar pula sebagai
kerugian imaterial. Tidak itu saja, sebelumnya ratusan massa menyerbu kantor
redaksi majalah Tempo di Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat, Sabtu, 8 Maret 2003.
Selain menyerbu ratusan preman tersebut juga menganiaya wartawan Tempo,
Ahmat taufik, Karaniya, dan pemimpin redaksi Bambang Haryumukti, ironisnya
penganiayayan terjadi hingga di kantor Polres Jakarta Pusat.
Selain itu Saudara kandung Majalah Tempo, Koran Tempo, juga merasakan
hal yang sama, dilaporkan oleh Tomy Winata yang merasa nama baiknya
dicemarkan. Tomy melaporkan Koran Tempo menggunakan KUH Perdata yakni
pelanggaran Pasal 1365 KUHP dan 1372 KUH perdata.50
Selain itu, Harian Rakyat Merdeka juga pernah diancam oleh para supir taksi,
karena beritanya merugikan mereka. Termasuk Harian Jawa Pos yang pernah
diduduki oleh banser NU, karena kasus dugaan korupsi yang dilakukan Presiden
Abdurrahman Wahid. Saat menjelang pemilu presiden 2014 penyerangan juga
melanda kantor redaksi Tv One di Pulo Gadung, oleh segerombolan orang, karena
pemberitaannya yang menyudutkan salah satu pasangan calon presiden.
Kriminalisasi terhadap awak media pun kerap terjadi salah satunya menimpa
pemimpin Redaksi The Jakarta Post Meidyatama Suryodiningrat. Kasus ini
bermula ketika The Jakarta Post edisi 3 Juli 2014 memublikasikan karikatur
50 Nurudin, Jurnalisme Masa Kini, h. 302.
44
bertulisan Arab yang mereka kutip dari sebuah media internasional, Alquds.
Karikatur tersebut membuat Majelis Tabligh dan Dakwah Korps Mubaligh Jakarta
(KMJ) tersinggung dan melaporkan Meidyatama ke polisi, 15 Juli 2014.
Kemudian Pemimpin Redaksi harian berbahasa Inggris itu dijerat Pasal 156 ayat
(a) KUHP tentang penistaan agama.
Meskipun negara sudah menjamin kebebasan pers melalui aturan
perundang-undangan, pers di Indonesia belum sepenuhnya bebas berekspresi.
Hingga saat ini, masih terdapat berbagai bentuk intimidasi dan kekerasan fisik
terhadap pekerja pers. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat
terjadinya 565 kasus kekerasan terhadap pekerja pers yang terjadi selama 17 tahun
Era Reformasi bergulir. Jumlah tersebut belum termasuk tindak kekerasan yang
tidak dilaporkan.
Kekerasan terhadap pers disebabkan masih kurangnya pemahaman penegak
hukum, pejabat, masyarakat dan pihak lainnya terhadap kebebasan pers.
Berdasarkan Data AJI Kekerasan terhadap jurnalis dilakukan oleh beragam
kelompok, mulai dari polisi, tentara, pejabat publik seperti gubernur atau kepala
dinas, anggota legislatif, maupun aparat penegak hukum lain seperti jaksa dan
hakim. Bentuk-bentuk kekerasan tersebut meliputi kriminalisasi, penculikan,
penganiayaan, pembunuhan, ancaman, telepon gelap, teror, pelecehan, pemukulan,
pengusiran, pelarangan liputan, perusakan kantor, dan perampasan kamera.51
Pasca kebebasan pers tahun 1999, jumlah kekerasan termasuk pembunuhan
terhadap wartawan di Indonesia terus meningkat. Bahkan sejak 1996 sedikitnya
sudah terjadi 13 kasus pembunuhan wartawan, tiga di antaranya terjadi di masa
51 Aliansi Jurnalis Independen, “Data Kekerasan”, Data diakses pada 26 Agustus 2015 dari
http://advokasi.aji.or.id/index/data-kekerasan/1/10.html
45
Orde Baru. Praktik impunitas nyata-nyata dijalankan aparat penegak hukum
dengan pembiaran bahkan perusakan barang bukti kasus pembunuhan wartawan,
demi melindungi para pelaku. Hingga kini tercatat, sedikitnya ada delapan jurnalis
dibunuh yang kasusnya terbengkalai dan para pelakunya belum diadili.
Delapan kasus pembunuhan jurnalis itu adalah kasus pembunuhan Fuad
Muhammad Syarifuddin alias Udin (Harian Bernas di Yogyakarta, 16 Agustus
1996), Naimullah (Harian Sinar Pagi di Kalimantan Barat, ditemukan tewas pada
25 Juli 1997), Agus Mulyawan (Asia Press di Timor Timur, 25 September 1999),
Muhammad Jamaluddin (TVRI di Aceh, ditemukan tewas pada 17 Juni 2003), Ersa
Siregar (RCTI di Nangroe Aceh Darussalam, 29 Desember 2003), Herliyanto
(Tabloid Delta Pos Sidoarjo di Jawa Timur, ditemukan tewas pada 29 April 2006),
Adriansyah Matra’is Wibisono (TV lokal di Merauke, Papua, ditemukan pada 29
Juli 2010), dan Alfred Mirulewan (Tabloid Pelangi, Maluku, ditemukan tewas pada
18 Desember 2010).52
Sejak pembredelan pers tidak berlaku lagi, kini masih ada cara untuk
membungkam pers yaitu membunuh wartawan atau membangkrutkan perusahaan
medianya. Perilaku aparatur negara yang abai terhadap perlindungan jurnalis juga
mengakibatkan semakin banyaknya masyarakat umum yang melakukan kekerasan
terhadap jurnalis yang bekerja.
Pergeseran zaman Orde Baru ke reformasi mengakibatkan ancaman yang besar
bagi jurnalis. Betapa tidak, di era reformasi kekerasan terhadap pers justru semakin
meningkat. Penyebabnya pemerintah dan aparat keamanan belum sepenuhnya
memberikan perhatian dan rasa aman terhadap pers. Undang-undang sudah ada tapi
52 Iman D. Nugroho, “Jurnalis Diintai Maut” Artikel diakses pada 26 Agustus 2015 dari
http://aji.or.id/read/berita/271/Hari-Kebebasan-Pers-Internasional-3-Mei-2014.html
46
belum dijalankan dengan baik. Akibatnya, muncul tindakan anarkis yang dilakukan
pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan media massa.
Pada masa kini upaya penggerusan terhadap kebebasan pers tidak hanya dari
segi kekerasan. Terlebih industri pers yang berkembang menjadi konglomerasi
pers menjadi ancaman dari dalam tubuh pers itu sendiri, terkait Independensi dan
idealisme pers sebagai “anjing penjaga”.
Keadaan media yang cenderung berubah ke arah liberalisasi memberikan
keleluasaan dalam pemilikan media. Para pemilik modal memanfaatkan
kesempatan tersebut untuk menanamkan investasi secara maksimal sebagai bagian
dari kegiatan bisnis yang strategis dan menguntungkan. Akibatnya, tidak semua
media penyiaran melaksanakan tugas jurnalistik. Bahkan kegiatan jurnalistik atau
unsur jurnalisme hanya sebagian kecil saja dari aneka ragam program media
penyiaran.
D. Pers
1. Definisi Pers dan Jurnalistik
Dalam pandangan masyarakat awam pers dan jurnalistik itu sama.
Sesungguhnya keduanya itu berbeda namun tidak dapat dipisahkan. Berita, salah
satu produk jurnalistik, dicetak pada kertas dengan mesin cetak press, maka istilah
“pers” juga digunakan untuk menyebut kegiatan yang sama dengan jurnalistik.53
Pers dan Jurnalistik bagaikan dua sisi mata koin yang berbeda tapi menyatu.
Pers tidak hanya karya jurnalistik yang tertuang dalam media cetak saja,
namun termasuk segala jenis media elektronik seperti radio, televisi, bahkan
internet. Kata pers berasal dari bahasa Belanda “persen” atau press dalam bahasa
38 Ahmad Y. Samantho, Jurnalistik Islami; Panduan Praktis bagi Para Aktivis Muslim,
(Bandung: Mizan, 2002), h. 44.
47
Inggris. Kedua kata tersebut memiliki arti menekan atau mengepres.54 Secara
harfiah kata pers atau press menstimulasi orang pada mesin cetak kuno yang harus
ditekan sehingga menghasilkan karya cetak. Saat ini banyak orang menganggap
kedua kata tersebut sebagai kegiatan jurnalistik, seperti mencari, mengumpulkan
dan membuat berita, baik oleh wartawan media elektronik maupun media cetak.
Sementara itu Frank Jeffkins, pakar dan praktisi kehumasan di Inggris dan
Amerika, mengatakan pers adalah upaya untuk mempublikasikan suatu pesan atau
informasi yang maksimum untuk menciptakan pengetahuan dan pemahaman bagi
khalayak yang dilakukan oleh organisasi atau perusahaan.55
Secara yuridis formal yang berlaku di Indonesia dalam Pasal 1 ayat (1) UU
Pokok Pers No. 40/1999, pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi
massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam
bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun
dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan
segala jenis saluran yang tersedia.56
Dari beberapa penjelasan tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa Pers
adalah media massa tempat karya jurnalistik disebarluaskan kepada masyarakat.
Layaknya Pers, Jurnalistik juga memiliki beberapa pengertian dan pandangan
para ahli. Secara epistomologi jurnalistik berasal dari bahasa Inggris
“Journalistic”. Kata itu memiliki makna kewartawanan atau hal-hal terkait
39 Hikmat Kusumaningrat & Purnama Kusumaningrat, Jurnalistik: Teori dan Praktik, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2005), h. 17. 40 Suf Kasman, Pers dan Pencitraan Umat Islam di Indonesia; Analisis Isi Pemberitaan Harian
Kompas dan republika, (Jakarta: Balai Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2010), h. 54. 56 Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis
Jurnalis Profesional, h. 31.
48
pemberitaan. Jurnalisitik memiliki kata dasar berbahasa Perancis “Journ” yang
bermakna catatan atau laporan harian. Kata dasar Jurnalistik sendiri merupakan
serapan dari bahasa Latin “diurnal” yang berarti harian atau setiap hari.
Dalam kamus, Jurnalistik diartikan sebagai kegiatan untuk menyiapkan,
mengedit, dan menulis surat kabar, majalah, dan media massa lainnya. Sementara
itu menurut beberapa pakar seperti Mac Dougall, Onong Uchjana Efendi, F.
Fraser Bond, dan Djen Amar memiliki sudut pandang yang hampir sama dalam
mendefinisikan Jurnalistik.
Mac Dougall menyebutkan Jurnalistik adalah kegiatan menghimpun berita,
mencari fakta, dan melaporkan peristiwa. Selanjutnya Onong Uchjana Efendi
mengatakan jurnalistik merupakan teknik mengelola berita mulai dari
mendapatkan bahan hingga tahap menyebarluaskannya kepada masyarakat.
Fraser Bond dalam bukunya An Introduction to Journalism menyatakan
“Journalism ambrace all the forms in which and trough wich the news and
moment on the news reach the public.” Jurnalistik adalah segala bentuk yang
membuat berita dan ulasan mengenai berita sampai pada kelompok pemerhati.
Sementara itu Djen Amar mengungkapkan, jurnalistik merupakan kegiatan
mengumpulkan, mengolah, dan menyebarkan berita kepada khalayak
seluas-luasnya dan secepat-cepatnya.
Dari beberapa literasi tersebut dapat kita menyimpulkan bahwa Jurnalistik
adalah kegiatan proses mencari, menggali, mengumpulkan, mengolah, memuat,
dan menyebarkan berita melalui media berkala kepada masyarakat dengan waktu
yang singkat. Sedangkan pers adalah media massa tempat berita itu
dipublikasikan. Jadi dapat kita pahami bahwa jurnalistik bukan pers. Jurnalistik
49
lebih merujuk pada proses kegiatan sedangkan pers berhubungan dengan media
atau media itu sendiri.
2. Perkembangan Pers di Indonesia
Masa kolonialisme Belanda di Indonesia ternyata memiliki peran terhadap
dunia pers di tanah air. Berdasarkan sejumlah literasi, surat kabar sudah ada di
Indonesia tahun 1744 saat Gubernur Jenderal Van Imhoff memimpin Jakarta. Pada
era itu orang-orang Belanda mengelola surat kabar di Jakarta dengan nama
Bataviasche Nowvelles. Surat kabar tersebut hanya mampu bertahan selama dua
tahun. Kemudian pada 1776, penguasa Belanda menerbitkan Vendu Niews di
Batavia yang menjadi ibukota VOC pada masa itu. Koran kedua di Indonesia yang
terbit hingga tahun 1809 itu lebih fokus pada berita pelelangan. Penduduk Betawi
menyebut koran itu sebagai surat lelang hingga tahun 1860.
Memasuki abad 19 surat kabar milik Belanda masih menjadi surat kabar
utama di Indonesia. Surat kabar berbentuk koran tersebut sudah jelas
membawakan suara pemerintahan kolonial Belanda. Para pembaca koran-koran
tersebut adalah orang Belanda dan beberapa kelompok kecil bangsa pribumi yang
mengerti bahasa Belanda.57
Sementara itu surat kabar milik kaum pribumi mulai terbit pada 1854 melalui
majalah Bianglala di Weltevreden-Batavia). Selanjutnya di kota Surakarta
Bromartani mulai beredar pada tahun 1885. Kemudian pada tahun 1856 Soerat
Kabar Bahasa Melajoe terbit di Kota Pahlawan, Surabaya.
Surat Kabar pertama milik bangsa Indonesia adalah Medan Prijaji yang terbit
tahun 1907 di Kota Bandung. Awalnya surat kabar bentukan R.M. Tirtoadisuryo
57 Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis
Jurnalis Profesional, h. 19.
50
ini berbentuk mingguan, kemudian berubah menjadi harian sejak 1910. Medan
Prijaji hanya mampu bertahan selama lima tahun, 1907 hingga 1912. Pada masa
jayanya, ketika sudah terbit harian, surat kabar yang menjadi pelopor pers
nasional ini dapat mencapai tiras hingga 2.000 eksemplar. Pendirinya,
Tirtoadisuryo, dianggap sebagai orang pertama yang meletakkan dasar-dasar
jurnalistik modern di Indonesia. 58
Pers nasional makin berkembang setelah lahir organisasi massa serta gerakan
kebangsaan dan keagamaan. Setiap organisasi dan gerakan tersebut turut
menerbitkan media yang menjadi alat perjuangan mereka. Hal itu juga membuat
para pemimpin bangsa ini pernah berkecimpung dalam dunia pers. Salah satunya
adalah Abdoel Rivai. Tulisannya sangat terkenal tajam mengkritik penjajahan
Belanda, dan oleh Adinegoro, Rivai diberi gelar sebagai “Bapak Jurnalistik
Indonesia”.59
Media massa pada masa sebelum kemerdekaan memang menjadi alat
perjuangan bangsa Indonesia. Hal itu yang menyebabkan pers di masa penjajahan
mendapat tekanan dari pemerintah kolonial Belanda.
Proklamasi kemerdekaan Indonesia, Jumat, 17 Agustus 1945, menjadi babak
baru perkembangan pers di Tanah Air. Pada awal kemerdekaan Indonesia pers
nasional semakin jelas menunjukan jati dirinya sebagai pers perjuangan. Bagi pers
saat itu, tak ada tugas paling mulia kecuali mengibarkan merah putih
setinggi-tingginya.60
Pers nasional menikmati kemerdekaan dengan bebas dari berbagai tekanan
58 Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis
Jurnalis Profesional, h. 20. 59 Sudirman Tebba, Jurnalistik Baru, (Ciputat: Kalam Indonesia, 2005) h. 18. 60 Haris Sumardiria, Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis
Jurnalis Profesional, h. 20.
51
pada awal kemerdekaan. Hal itu menstimulasi munculnya surat kabar baru di
beberapa kota besar di Indonesia seperti Merdeka, terbit di Jakarta pada 1 oktober
1945. Selain itu di Kota Pelajar, Yogyakarta, Kedaulatan Rakyat tahun 1945.
Selanjutnya di Kota Surabaya terbit Jawa Pos tahun 1949 dan Surabaya Post tahun
1953. Kemudian di Semarang terbit Suara Merdeka tahun 1950. Sedangkan di
Kota Bandung terbit Pikiran Rakyat tahun 1956, dan sebagainya.61
Suasana bebas kehidupan pers pada era itu membuat partai politik
berlomba-lomba menerbitkan media. Sejak 1950 muncul media Harian Abadi
yang berkiblat pada Masjumi, selain itu ada Suluh Indonesia milik PNI.
Kemudian Duta Masyarakat milik Partai Nahdlatul Ulama, Pedoman milik PSI,
dan Harian Rakjat milik Partai Komunis Indonesia.
Hal itu membuat pers Indonesia lebih banyak memerankan diri sebagai
corong kepentingan partai politik. Masa itu adalah masa dimana pers Indonesia
dengan sadar menjadi juru bicara dan berperilaku seperti partai politik. Dalam era
tersebut, pers terjebak dalam pola sektarian. Secara filosofis pers tidak mengabdi
kepada kebenaran untuk rakyat, melainkan kepada kemenangan untuk para
pejabat partai.
Suasana bebas kehidupan pers tersebut hanya berlangsung selama 14 tahun,
selama masa demokrasi liberal (1945-1959). Pada masa itu pers Indonesia disebut
juga pers merdeka. Pergolakan politik Indonesia tahun 1959 hingga 1965 juga
berpengaruh pada pers Indonesia. Kala itu sistem Demokrasi Indonesia berhaluan
pada sistem Demokrasi Terpimpin sehingga terjadi pembatasan terhadap
kehidupan pers. Masa kemerdekaan pers yang bebas berubah menjadi sistem pers
61 Sudirman Tebba, Jurnalistik Batu, h. 19.
52
otoriter.
Setelah Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 pemerintah secara berkala membuat
peraturan yang lebih mengetatkan pengawasan terhadap pers. Terlebih saat pihak
penguasa mewajibkan seluruh surat kabar dan majalah di Indonesia memiliki surat
ijin terbit (SIT). Akibatnya sejumlah surat kabar menghentikan penerbitannya,
seperti Harian Abadi, Harian Pedoman, Nusantara, Kengpo, Pos Indonesia, dan
lain-lain.
Kondisi pengekangan terhadap pers mengendur ketika Orde Baru lahir tahun
1966. Angin kebebasan pers bisa dirasakan karena Pemerintah sangat bersahabat
dengan pers. Meskipun demikian masa indah yang dirasakan pers saat itu hanya
bersifat sementara. Sejarah tidak pernah alpa, terlebih saat mencatat peristiwa
pembredelan mingguan Mahasiswa Indonesia dan 11 penerbitan pers umum,
paska peristiwa malapetaka lima belas Januari (Malari) tahun 1974.
Pembredelan dilakukan dengan cara mencabut surat izin cetak (SIC) oleh
Komando pemulihan keamanan dan ketertiban (Kopkamtib) dan surat izin terbit
(SIT) oleh Kementerian Penerangan, terjadi setelah peristiwa itu: Harian
Nusantara pada 16 Januari; Harian Suluh Berita di Surabaya 19 Januari;
Mingguan dari Bandung, Mahasiswa Indonesia, 20 Januari; Harian KAMI,
Indonesia Raya, Abadi, The Jakarta Times, serta Mingguan Wenang dan Pemuda
Indonesia 21 Januari; Harian Pedoman serta Mingguan Ekspres 24 Januari; dan
Harian Indonesia Pos di Makassar pada 2 Februari.62
Pers Pancasila merupakan sebutan bagi pers Indonesia saat Orde Baru
berkuasa selama 32 tahun. Pers Pancasila meupakan gabungan antara teori pers
62 Tim Tempo, “Usai Malari, Banyak Media Dibredel,” artikel diakses pada 27 Juli 2015 dari
http://nasional.tempo.co/read/news/2014/01/15/078544903/usai-malari-banyak-media-dibredel/
53
bebas dan teori pers tanggung jawab sosial. Hal itu diperkuat dengan pengesahan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966. Selanjutnya pers yang bebas dan
bertanggung jawab ditetapkan dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN) Tap
MPR Nomor IV Tahun 1973 dan TAP MPR Nomor III 1983.
Tumbangnya pemerintahan Orde Baru, Kamis, 21 Mei 1998, pukul 12.00
WIB, menjadi akhir cerita era pers tiarap Orde Baru. Penyerahan jabatan presiden
oleh Soeharto kepada wakilnya, Baharudin Jusuf Habibie, disamput sukacita oleh
seluruh rakyat Indonesia, begitu pula pers Indonesia. Sejak Orde Reformasi
bergulir kebebasan pers berubah menjadi kemerdekaan pers. Departemen
Penerangan sebagai malaikat pencabut nyawa pers, dengan serta-merta
dibubarkan.63
Dalam era reformasi, kemerdekaan pers benar-benar dijamin dan senantiasa
diperjuangkan untuk diwujudkan. Semua komponen bangsa memiliki komitmen
yang sama: pers harus hidup dan merdeka. Secara kuantitatif dalam lima tahun
pertama era reformasi 1998 hingga 2003, jumlah perusahaan penerbitan pers
mengalami pertumbuhan sangat pesat. Dalam kurun waktu tersebut tercatat 600
perusahaan penerbitan pers baru.
Kecenderungan maraknya penerbitan pers sebagai dampak langsung
reformasi ternyata tidak berlangsung lama. Mereka hanya dapat bertahan selama
dua tahun, saat memasuki tahun ketiga sebanyak 70 persen perusahaan tersebut
gulung tikar. Selanjutnya pada tahun keempat sebanyak 20 persen tutup layar.
Hanya 10 persen saja yang mampu bertahan melewati tahun kelima.64
63 Haris Sumardiria, Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis
Jurnalis Profesional, h. 25. 64 Haris Sumardiria, Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis
Jurnalis Profesional, h. 26
54
Kenyataan tersebut menunjukan, kemerdekaan yang diraih secara ideologis
dan politis dalam era reformasi sejak 1998 di Indonesia, tidak serta merta
mengantarkan pers nasional pada zaman keemasan. Bila dianalisis, mereka belum
memiliki tiang penyangga utama yang kokoh sebagai syarat mutlak pendirian
bangunan pers: idealisme, komersialisme, profesionalisme.65
3. Fungsi dan Peran Pers di Indonesia
Secara gamblang peneliti telah menjelaskan sejarah perkembangan pers di
Indonesia sejak masa kolonialisme Belanda hingga era reformasi saat ini. Saat
pergantian rezim sistem yang berlaku terhadap pers di Indonesia pun turut
berganti.
Pers memiliki beberapa peran dan fungsi melalui medianya baik cetak, audio,
audio visual, maupun portal berita berbasis internet. Fungsi tersebut meliputi lima
elemen yakni informasi, edukasi, koreksi, rekreasi, dan mediasi. Kelima fungsi
tersebut dapat kita temukan pada negara yang menganut paham demokrasi.
Fungsi pertama pers adalah menyampaikan informasi secara cepat kepada
masyarakat. Meskipun demikian informasi yang dipublikasikan harus memenuhi
kriteria seperti benar, akurat, aktual, faktual, penting atau menarik, lengkap, jelas,
jujur, relevan, etis, bermanfaat dan wajib berimbang (cover both side). Fungsi
kedua adalah sebagai sarana pembelajaran sehinga pelbagai informasi yang
disebrluaskan pers hendaknya dalam kerangka mendidik.
Sebagai pilar keempat demokrasi kehadiran pers memiliki fungsi sebagai
pengawas atau mengontrol keekuasan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sebagai
penganut paham demokrasi pers di Indonesia mengemban tugas sebagai pengawas
65 Haris Sumardiria, Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis
Jurnalis Profesional, h. 27
55
pemerintah dan masyarakat (watchdog function). Pers senantiasa menyalak ketika
melihat berbagai penyimpangan dan ketidakadilan dalam suatu masyarakat atau
negara.
Meskipun demikian pers bukan hakim yang berhak memvonis atau jaksa
yang berhak melakukan tuntutan dan dakwaan. Dalam menjalankan fungsi kontrol
sosial pers harus tunduk pada aturan yang berlaku. Pers tidak kebal hukum dan
bukan sebagai hukum itu sendiri.66
Fungsi keempat pers adalah menghibur. Pers di Indonesia harus memerankan
dirinya sebagai wahana rekreasi bagi seluruh lapisan masyarakat. Hal tersebut
memiliki makna apa pun pesan rekreatif yang disajikan tidak boleh bersifat
negatif. Pers harus jadi sahabat setia pembaca yang menyenangkan.
Fungsi terakhir pers di Indonesia sesusai literatur komunikasi dan jurnalistik
yang berlaku secara universal adalah mediasi atau penghubung. Pers mampu
menghubungkan berbagai peristiwa yang terjadi di berbagai belahan bumi lain
dengan kita. Karena pers kita dapat mengetahui aneka peristiwa yang terjadi
dalam waktu yang singkat, bahkan bersamaan.67
Sementara itu kita telah mengetahui pers di Indonesia terbagi dalam beberapa
periode seperti masa sebelum kemerdekaan, masa orde lama, orde baru, dan orde
reformasi. Pada masa sebelum kemerdekaan pers di Indonesia kental dengan nafas
perjuangan, ketika itu pers menjadi alat perjuangan bangsa Indonesia. Hal itu
terus terjadi pada awal kemerdekaan Indonesia.
Memasuki tahun 1950 euforia kebebasan pers berujung pada terjebaknya pers
66 Haris Sumardiria, Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis
Jurnalis Profesional, h.. 34 67 Haris Sumardiria, Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis
Jurnalis Profesional, h.35
56
dalam pergulatan politik. Pada era itu Pers di Indonesia berperan sebagai juru
bicara partai politik dalam menjalankan kepentingannya. Hal tersebut merupakan
buntut pemberitaan pers yang terlalu tajam mengkritik kebijakan pemerintah.
57
BAB III
GAMBARAN UMUM MAJALAH TEMPO
A. Sejarah dan Perkembangan Majalah Tempo
Majalah Tempo merupakan majalah mingguan yang terbit setiap selasa.
Awalnya pendiri majalah Tempo, Goenawan Muhammad beserta beberapa
rekannya mendirikan Majalah Ekspres tahun 1969. Perbedaan prinsip dan
idealisme antara pemilik modal utama dan dewan redaksi membuat perpecahan di
tubuh Majalah Ekspress. Alhasil Goenawan CS keluar dari Ekspres satu tahun
setelah majalah itu terbit.
Paska keluar dari Majalah Ekspres Goenawan Mohamad, Fikri Jufri,
Christanto Wibisono, Bur Rayuanto, Yusril Djanilus, dan Putu Wijaya, dan
Ciputra secara mufakat membentuk Majalah bernama Tempo di Jalan Senen Raya
Nomor 83, Jakarta Pusat. Sementara itu Majalah Tempo, dibawah Bendera PT.
Grafiti Pers, terbit untuk pertama kalinya, Sabtu, 6 Maret 1971.
Saat pertama kali hadir, banyak orang menilai Tempo mengikuti majalah
ternama di Amerika bernama Time. Selain pengertiannya yang sama bentuk
logonya pun serupa. Oleh karena itu pihak Time pernah menggugat Tempo karena
masalah ini. Akan tetapi masalah dapat terselesaikan dengan cara yang damai.
Goenawan Mohamad juga menjelaskan pemberian nama Tempo karena Majalah
yang terbit berkala setiap pekan ini akan lebih mudah diucapkan, terlebih oleh
para pengecer.68
Majalah Tempo tampil dengan bahasa yang lugas lengkap dengan prosa yang
menarik dan jenaka. Masyarakat menerima dengan tangan terbuka majalah yang
berani tampil beda pada masa awal kepemimpinan orde baru. Ketika itu pengelola
68 https://korporat.tempo.co/tentang/sejarah artikel diakses pada 27 Juli 2015
58
tempo yang merupakan aktivis mahasiswa tahun 1965/1966 yang ikut
menggulingkan Soekarno, hal itu membuat idealisme menjadi faktor utama
jalannya media ini. Mereka mengedepankan peliputan berita yang jujur dan
berimbang dalam menjalankan Majalah Tempo.
Dalam perjalanannya Majalah Tempo kerap berjumpa dengan pelbagai
hambatan. Tajamnya daya krtitik Tempo kepada rezim Orde Baru dan kendaraan
politiknya, Golkar, berbuah pada pembredelan untuk pertama kalinya pada tahun
1982. Isi pemberitaan Tempo Edisi, Sabtu, 13 Maret 1982 yang
mengidentifikasikan kecurangan pemilu tahun 1981 menjadi biangnya.
Pemerintah melarang Tempo terbit selama dua bulan. Pelarangan itu dicabut
ketika Pemimpin Redaksi Tempo, Goenawan Mohamad, menandatangani
semacam "janji" di atas kertas segel dengan Ali Moertopo, Menteri Penerangan
saat itu.
Pembredelan kedua pada masa kepemimpinan Soeharto kembali terjadi
melalui Menteri Penerangan Harmoko. Lagi-lagi Tempo dibredel karena daya
kritiknya yang terlalu tajam terhadap pemerintah. Tempo dinilai terlalu keras
mengkritik Habibie dan Soeharto ihwal pembelian kapal kapal bekas dari Jerman
Timur. Pencabutan ijin terbit selama empat tahun itu terkait sebuah artikel pada
edisi Sabtu, 11 Juni 1994.
Selepas Soeharto turun dari singasananya, Mei 1988, sejumlah wartawan yang
pernah bekerja di Tempo dan tercerai berai akibat pemberedelan bertemu kembali.
Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan mengenai keharusan Majalah Tempo
terbit kembali. Masa paceklik dan mati suri itu sirna, seirama dengan munculnya
kembali Majalah Tempo, Senin, 12 Oktober 1998, mewarnai khazanah dunia
59
jurnalisme di Indonesia, lengkap dengan jargon mereka “enak dibaca dan perlu”.
Perkembangan Tempo mulai bergeliat paska rezim Soeharto tumbang.
Selanjutnya untuk meningkatkan skala dan kemampuan penetrasi dalam bidang
bisnis media, maka tahun 2001, Perseroan Terbatas (PT) Arsa Raya Perdanago
public menjual sahamnya ke publik kemudian lahirlah PT. Tempo Inti Media Tbk.
(PT.TIM) sebagai penerbit majalah Tempo yang baru. Kemudian, Senin, 2 April
2001 Koran Tempo dengan sirkulasi 100.000 mulai terbit.
Sayap bisnis PT TIM Tbk, terus berkembang dengan munculnya
produk-produk baru seperti majalah Tempo Edisi Bahasa Inggris, Travelounge
(2009) dan Tempo Interaktif, kemudian menjadi tempo.co serta Tempo News
Room (TNR), kantor berita yang berfungsi sebagai pusat berita media Group
Tempo. Tempo juga mencoba menembus bisnis televisi dengan mendirikan
Tempo TV, kerja sama dengan kantor berita radio KBR68H.
Kemudiaan Kelompok Tempo Media adalah juga melakukan ekspansi bisnis
pada dunia percetakan dengan PT Temprint. Percetakan ini mencetak
produk-produk Kelompok Tempo dan produk dari luar.
B. Visi dan Misi Tempo Inti Media
Visi:
Menjadi acuan dalam usaha meningkatkan kebebasan publik untuk berpikir
dan berpendapat serta membangun peradaban yang menghargai kecerdasan
dan perbedaan.
Misi:
1. Menghasilkan produk multimedia yang independen dan bebas dari segala
tekanan dengan menampung dan menyalurkan secara adil suara yang
berbeda-beda.
60
2. Menghasilkan produk multimedia bermutu tinggi dan berpegang pada kode
etik.
3. Menjadi tempat kerja yang sehat dan menyejahterakan serta mencerminkan
keragaman Indonesia.
4. Memiliki proses kerja yang menghargai dan memberi nilai tambah kepada
semua pemangku kepentingan.
5. Menjadi lahan kegiatan yang memperkaya khazanah artistik, intelektual,
dan dunia bisnis melalui pengingkatan ide-ide baru, bahasa, dan tampilan
visual yang baik.
6. Menjadi pemimpin pasar dalam bisnis multem
C. Struktur Redaksi Koran Tempo
Majalah Tempo merupakan majalah minguan yang diterbitkan oleh PT.
Tempo Inti Media Tbk. (PT.TIM). Kantor Redaksi Majalah Tempo terletak di
Kebayoran Center Blok A11-A15 Jalan Kebayoran Baru Mayestik, Jakarta 12240.
Nomor telepon (021) 755625, faksimili (021) 7255645 atau (021) 7255650, dan
email [email protected]. Sementara itu alamat perusahaan, proses produksi, dan
Percetakan oleh PT Temprint berada di Jalan Palmerah Barat No. 8, Jakarta
12210, Nomor telepon (021) 5360409.
Dewan Redaksi Kelompok Tempo Media
PEMIMPIN REDAKSI/PENANGGUNG JAWAB:
Arif Zulkifli
REDAKTUR EKSEKUTIF:
Budi Setyarso
61
DEWAN EKSEKUTIF
Arif Zulkifli (Ketua), Daru Priyambodo, Gendur Sudarsono, Yuli Ismartono,
Hermien Y. Kleden, Wahyu Muryadi, Budi Setyarso, Burhan Sholikin,
Lestantya.R. Baskoro, M. Taufiqurohman
N A S I O N A L D A N H U K U M
REDAKTUR PELAKSANA
Setri Yasra
REDAKTUR UTAMA
Bagja Hidayat, Jajang Jamaludin, S. Qaris Tajudin
REDAKTUR
Agoeng Wijaya, Anton Aprianto, Jobpie Sugiharto, Purwanto
STAF REDAKSI
Ahmad Nurhasim, Anton Septian, Anton William, Febriyan, Rusman
Paraqbueq, Yuliawati
REPORTER
Ananda Wardhiati Theresia, Aryani Kristanti (nonaktif), Francisco Rosarians
Enga Geken, I Wayan Agus Purnomo, Indra Wijaya, Ira Guslina Sufa, Istman
Musaharun Pramadiba, Linda Novi Trianita, Mitra Tarigan, Muhammad
Muhyiddin, Muhamad Rizki, Prihandoko, Reza Aditya Ramadhan, Riky Ferdianto,
Singgih Soares, Syailendra Persada, Tika Primandari
E K O N O M I D A N M E D I A
REDAKTUR UTAMA
Y. Tomi Aryanto
62
REDAKTUR
Agus Supriyanto, Efri Nirwan Ritonga, Retno Sulistyowati
STAF REDAKSI
Abdul Malik, Akbar Tri Kurniawan, Fery Firmansyah, Rachma Tri Widuri, RR
Ariyani Yakti Widyastuti, Setiawan Adiwijaya
REPORTER
Ali Ahmad Noor Hidayat, Amandra Megarani (non aktif), Amirullah, Angga
Sukma Wijaya, Ayu Prima Sandi, Bernadette Christina, Faiz Nasrillah, Gustidha
Budiartie, Martha Ruth Thertina, Jayadi Supriadin, Khairul Anam, Pingit Aria
Mutiara Fajrin, Tri Artining Putri
I N T E R N A S I O N A L D A N N U S A
REDAKTUR PELAKSANA
Purwanto Setiadi
REDAKTUR UTAMA
Yudono Yanuar
REDAKTUR
Abdul Manan, Dwi Arjanto, Eni Saeni, Mustafa Ismail, Raju Febrian
STAF REDAKSI
Eko Ari Wibowo, Harun Mahbub, Hayati Maulana Nur (nonaktif), Istiqomatul
Hayati, Natalia Santi, Sita Planasari
REPORTER
Baiq Atmi Sani Pertiwi, Rosalina
JAWA TIMUR, BALI
Zacharias Wuragil (Koordinator Liputan), Endri Kurniawati, Jalil Hakim, Zed
63
Abidin
JAWA TENGAH
Ali Nur Yasin (Koordinator Liputan), L.N. Idayanie, R. Fadjri
JAWA BARAT, BANTEN
Rina Cahyani (Koordinator Liputan).
SULAWESI SELATAN
Sapto Yunus (Koordinator Liputan)
S E N I & I N T E R M E Z O
REDAKTUR PELAKSANA
Seno Joko Suyono
REDAKTUR
Dody Hidayat, Nurdin Kalim, Nunuy Nurhayati
STAF REDAKSI
Dian Yuliastuti
REPORTER
Ananda Wardhana Badudu, Ratnaning Asih
S A I N S , S P O R T & K O L O M
REDAKTUR PELAKSANA
Yos Rizal Suriaji
REDAKTUR UTAMA
Idrus F. Shahab
REDAKTUR
Clara Maria Tjandra Dewi H., Hari Prasetyo, Irfan Budiman
64
STAF REDAKSI
Agus Baharudin, Angelus Tito Sianipar (nonaktif), Dwi Riyanto Agustiar,
Kelik M. Nugroho, Mahardika Satria Hadi, Martha Warta Silaban, Untung
Widyanto
REPORTER
Aditya Budiman, Agita, Amri Mahbub, Erwin Prima Putra Z., Gabriel Titiyoga,
Gadi Kurniawan Makitan, Rina Widiastuti, Satwika Gemala Movementi, Tri
Suharman
M E T R O D A N P R E L U D E
REDAKTUR PELAKSANA
Bina Bektiati
REDAKTUR
Juli Hantoro, Rini Kustiani
STAF REDAKSI
Ali Anwar, Aliya Fathiyah, M.C., Suseno
REPORTER
Aditya Budiman, Afrilia Suryanis, Amirullah, Arie Firdaus, Choirul Aminudin,
Dimas Indra Buana Siregar, Erwan Hermawan, Linda Hairani, Maya
Nawangwulan R., Mohammad Andi Perdana, Ninis Chairunnisa, Nur Alfiyah
BT Tarkhadi, Praga Utama
G A Y A H I D U P & K O R A N T E M P O M I N G G U
REDAKTUR PELAKSANA
Tulus Wijanarko
65
REDAKTUR
Ahmad Taufik (nonaktif), Dwi Wiyana, M. Reza Maulana, TB. Firman D.
Atmakusumah
STAF REDAKSI
Cheta Nilawati Prasetyaningrum, Heru Triyono
REPORTER
Isma Savitri, Ismi Wahid Rohmataniah Maulid (nonaktif), Kartika Candra Dwi
Susanti, Mitra Tarigan, Retno Endah Dianing Sari, Subkhan
I N V E S T I G A S I
REDAKTUR PELAKSANA
I G Wahyu Dhyatmika
REDAKTUR UTAMA
Philipus Parera
REDAKTUR
Stefanus Teguh Edi Pramono, Sukma Loppies, Yandhrie Arvian
STAF REDAKSI
Agung Sedayu, Mustafa Silalahi
P U S A T P E L I P U T A N
KEPALA
Elik Susanto
REDAKTUR
Agustina Widiarsi, Bobby Chandra, Grace Samantha Gandhi, Kodrat Setiawan,
Kurniawan, Maria Rita Ida Hasugian, Nurdin Saleh, Sunudyantoro
66
STAF REDAKSI
Budi Riza, Hadriani Pudjiarti, Muhammad Iqbal Muhtarom, Nieke Indrietta
Baiduri, Nur Haryanto
P E N G E M B A N G A N P R O D U K D I G I T A L
KEPALA
Yosep Suprayogi
REDAKTUR
Ngarto Februana
REPORTER
Dwi Oktaviane, Ferdinand Akbar, Ryan Maulana
M O B I L E & W E B D E V E L O P E R
KEPALA
Handy Dharmawan
PROGRAMER
Radja Komkom Siregar (Koordinator), Anugerah Trihatmojo, Muhammad
Khoirul Fatah Zain, Abdul Ghani Hikmawan (Indonesiana) DESAIN Unay
Sunardi (Infografer tempo.co)
T E M P O E N G L I S H S E C T I O N
EDITOR SENIOR
Richard Bennet
EDITOR
Lucas Edward (Tempo English Weekly)
EDITOR KOORDINATOR
Purwani Dyah Prabandari
67
EDITOR
Mahinda Arkiyasa, Petir Garda Bhwana (en.tempo.co)
STAF REDAKSI
Sadika Hamid
REPORTER
Syari Fani, Amanda T. Siddharta
KOORDINATOR PRODUKSI
Dewi Pusfitasari
T E M P O T V
MANAJER PEMBERITAAN
Nur Hidayat
PRODUSER EKSEKUTIF
Diah Ayu Candra Ningrum
K R E A T I F & F O T O
REDAKTUR KREATIF
Gilang Rahadian
REDAKTUR DESAIN
Eko Punto Pambudi, Fitra Moerat Ramadhan Sitompul, Yuyun
Nurrachman
DESAINER SENIOR
Ehwan Kurniawan, Imam Yunianto, Kendra H. Paramita
DESAINER
Aji Yuliarto, Ary Setiawan Harahap, Deisy Rikayanti Sastroadmodjo,
Djunaedi, Edward Ricardo Sianturi, Fransisca Hana, Gatot Pandego, Munzir
68
Fadly, Rizal Zulfadli
PENATA LETAK
Achmad Budy, Agus Darmawan Setiadi, Agus Kurnianto, Ahmad Fatoni,
Arief Mudi Handoko, Imam Riyadi Untung, Kuswoyo, Mistono, Rudy Asrori, Tri
Watno Widodo, Wahyu Risyanto
REDAKTUR FOTO
Rully Kesuma (Koordinator), Ijar Karim, Mahanizar Djohan
PERISET FOTO
Fardi Bestari, Gunawan Wicaksono, Jati Mahatmaji, Nita Dian Afianti, Ratih
Purnama Ningsih, Wahyu Setiawan
FOTOGRAFER
Aditia Noviansyah, Amston Probel, Subekti
B A H A S A
REDAKTUR BAHASA
Uu Suhardi (Koordinator), Hasto Pratikto, Sapto Nugroho
STAFF SENIOR
Iyan Bastian
STAF BAHASA
Aeni Nur Syamsiah, Edy Sembodo, Fadjriah Nurdiarsih, Hadi Prayuda,
Hardian Putra Pratama, Heru Yulistiyan, Michael Timur Kharisma,
Mochamad Murdwinanto, Rasdi Darma, Sekar Septiandari, Suhud Sudarjo
P U S A T D A T A D A N A N A L I S A T E M P O
KOORDINATOR
Priatna
69
RISET
M. Azhar, Megel Jeckson, Indra Mutiara
PUSAT DATA
Dina Andriani, Ismail
REDAKTUR SENIOR
Amarzan Loebis, Bambang Harymurti, Edi Rustiadi M., Fikri Jufri,
Goenawan Mohamad, Leila S. Chudori, Putu Setia, Toriq Hadad
KEPALA PEMBERITAAN KORPORAT
Toriq Hadad
KEPALA BIRO EKSEKUTIF DAN PENDIDIKAN
M. Taufiqurohman (Kepala), Yos Rizal Suriaji
70
BAB IV
TEMUAN DAN ANALISA DATA
A. Analisis Struktur Teks Rubrik Laporan Khusus Bukti Baru
Pembunuhan Udin ”Bernas” di Majalah Tempo Edisi 10-16 November
2014
Analisis wacana model Teun A. Van Dijk memiliki karakter khusus, yakni
mempunyai tiga dimensi, yakni; teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Hal yang
mendasari analisis model ini adalah penggabungan ketiga dimensi wacana
menjadi kesatuan analisis. Eriyanto menjelaskan dalam bukunya, Analisis
Wacana : Pengantar Analisis Teks Media, hal yang dapat kita teliti dalam dimensi
adalah bagaimana struktur teks dan strategi wacana yang dipakai untuk
menegaskan suatu tema tertentu.69
Majalah Tempo dalam produk jurnalismenya, laporan khusus Udin ”Bernas”,
menjelaskan secara gamblang bagaimana ikhtiar pasukan mereka melawan lupa
terhadap kasus itu. Meskipun berlangsung 18 tahun silam, perkara pembunuhan
keji itu tidak boleh didiamkan begitu saja. Terlebih dua organisasi wartawan dunia,
International Federation of Journalists dan Committe to Protect Journalist,
menuntut pengungkapan kasus pembunuhan terhadap wartawan di seluruh dunia.
Kasus Udin salah satu yang disorot oleh organisasi tersebut.
Tempo menggambarkan pemberitaan itu dengan bahasa khas mereka yang
menggigit, renyah, langsung, dan menjelaskan secara detil.
Secara-terang-terangan mereka menggunakan bahasa yang mengarah pada bentuk
konstruksi sebuah realita. Sebagai media yang berharap pada kemerdekaan Pers
Tempo merasa memiliki tanggung jawab moril terhadap independensi pers di
Indonesia, terlebih pada keamanan wartawan yang bertugas tanpa harus dibayangi
69 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 224.
71
pembelengguan.
Bentuk penggambaran realita itu secara jelas terlihat pada pemilihan
narasumber, hingga pembentukan tim pencari fakta yang berhasil menemuan
sebuah memo Sri Roso kepada bawahannya untuk “menyelesaikan” Udin. Selain
itu, pada akhir artikel Tempo juga mengajak pembaca untuk tidak melupakan
sebuah kejahatan karena bagi mereka melupakan kejahatan adalah kejahatan itu
sendiri.
Pada bab ini peneliti akan menjelaskan analisa wacana kebebasan pers pada
pemberitaan Majalah Tempo pada Rubrik Laporan Khusus Udin “Bernas” Bukti
Baru Pembunuhan Udin. Peneliti menggunakan analisa wacana model Teun A.
Van Dijk yang melihat suatu teks terdiri dari beberapa stuktur atau tingkatan yang
bagian-bagiannya saling mendukung satu sama lain.
1. Analisis Artikel “Memo Sebelum Malam Jahanam”
a. Tematik
Dalam Analisis Wacana Van Dijk Tema yang merupakan makna global dari
suatu teks berada dalam tingkatan pertama. Van Dijk menyebut tingkatan ini
sebagai struktur makro. Pada struktur ini tema didukung oleh kerangka teks yang
pada akhirnya terjadi pemilihan kata dan kalimat yang akan digunakan dan
ditonjolkan dalam suatu berita. Sedangkan menurut Eriyanto, tema menunjukan
konsep dominan, sentral, dan paling penting dari isi suatu berita.70
Tema yang terkandung dalam artikel “Memo Sebelum Malam Jahanam”
adalah:
“Sri Roso juga memerintahkan anak buahnya menyiapkan
tuntutan ke redaksi Bernas atau sumber berita. Ia meminta
70 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media h. 229.
72
semua hal disiapkan seceara rapi dan mewanti-wanti ihwal
ini selesai sebelum 17 Agustus 1996. Menurut Asril, tulisan
tangan dalam memo itu cocok dengan tulisan tangan Sri
Roso.” (Paragraf 13).
Peneliti mengangkat tema itu berdasarkan salinan dokumen yang merupakan
memo tulisan tangan Bupati Sri Roso Sudarmo tertanggal 27 Juli 1996. Inti dari
memo diatas sebuah surat dari Camat Imogiri Hardi Purnomo adalah perintah Sri
Roso untuk menuntaskan kasus Udin sebelum 17 Agustus 1996. Bupati Bantul itu
geram atas pemberitaan Udin di Bernas tanggal 26 Juli 1996 yang berjudul “Di
Desa Karangtengah, Imogiri, Bantul, Dana IDT Hanya Diberikan Separo”
Sementara itu berdasarkan bukti-bukti, dana yang diberkan hanya Rp 1 Juta dari
yang seharusnya Rp 2 Juta.
Berdasarkan tema ini, peneliti ingin menyampaikan kepada pembaca tentang
reka ulang yang dilakukan oleh Tempo. Mereka mendapatkan fakta penting:
memo Sri Roso kepada bawahannya untuk “menyelesaian” Udin. Selain itu, isi
pesan dan alasan pembuatan memo itu juga menjadi alasan pengambilan tema
tersebut.
b. Skematik
Skematik atau superstuktur dalam wacana model Van Dijk berperan untuk
menjelaskan alur atau kronologis dari sebuah berita. Pada umumnya sebuah teks
wacana memiliki sebuah skema yang tersusun rapih, mulai dari pendahuluan, isi,
hingga akhir teks wacana tersebut. Pada akhirnya skema itu akan menunjukan
bagaimana teks disusun sehingga menyimpan sebuah makna yang tersirat maupun
tersurat.
Umumnya sebuah pemberitaan di media massa memiliki dua bentuk skema
besar, yakni Summary dan story. Summary pada umumnya terbagi menjadi elemen
73
judul (headline) dan teras (lead). Pada kedua elemen inilah, wartawan
menyampaikan ide dasar atau tema artikelnya kepada masyarakat. Eriyanto
memandang elemen ini menjadi hal terpenting dari sebuah artikel atau berita.
Sementara itu elemen story adalah isi berita atau artikel secara keseluruhan.
Skema Summary pada salah satu artikel Laporan Khusus Udin “Bernas” ini
mengangkat judul “Memo Sebelum Malam Jahanam” kemudian berlanjut pada
teras artikel “Bupati Sri Roso Sudarmo menggelar rapat muspida membahas berita
yang ditulis Udin. Ia minta soal berita Udin selesai sebelum 17 Agustus.” Skema
selanjutnya, Story, adalah uraian situasi kejadian yang muncul setelah teras
artikel.
Wartawan Tempo menceritakan bagaimana sepak terjang Pemerintah
Kabupaten Bantul yang dinahkodai Bupati Sri Roso Sudarmo menanggapi
pemberitaan Bernas tentang dana Inpres Desa tertinggal (IDT) di Desa
Karangtengah, Kecamatan Imogiri dan Desa Bawuran, Kecamatan Pleret.
Selanjutnya, pada artikel itu tertulis jelas bahwa Pemerintah Kabupaten Bantul
saat itu berencana memperkarakan berita yang Udin tulis secara hukum.
Berdasarkan dokumen otentik yang diperlihatkan oleh Siti Asfijah, mantan Kepala
Bagian Hukum dan Pemerintahan Kabupaten Bantul, kepada wartawan Tempo,
terdapat disposisi agar ada pengusutan terhadap wartawan yang menulis atau ke
kantor Bernas.
Pada bagian akhir artikel wartawan Tempo memasukan hasil wawancara
dengan Sri Roso Sudarmo, orang yang dituduh sebagai dalang atas kematian Udin.
Mantan Bupati Bantul itu berpeluh kesah terhadap pemberitaan media massa yang
kerap menyudutkan dirinya. Ia berdalih kematian Udin tidak ada kaitannya
74
dengan dirinya, bisa saja ia meninggal karena masalah asmara, hutang-piutang
atau masalah lainnya.
“Sri Roso Sudarmo menampik tudingan terlibat dalam
pembunuhan Udin. Kepada Tempo yang menemuinya di
rumahnya di Sleman, Yogyakarta, September lalu, Sri Roso
menyatakan selama ini telah menjadi korban pemberitaan
media massa. Ia menyebutkan polisi belum bisa
membuktikan pembunuhan itu. Maka, kata dia, tak
selayaknya tudingan mengarah padanya. “Dia (Udin) itu
punya persoalan di luar kewartawanannya”, Ujar Sri Roso.”
(Paragraf 16).
Tempo memuat hasil wawancaranya dengan Sri Roso Sudarmo demi menjaga
keseimbangan berita dan prinsip cover both side. Meskipun demikian hanya
sebagian kecil ruang yang tersedia untuk artikel pembelaan Sri Roso atas
kematian Udin.
c. Latar
Van Dijk mengemukakan bahwa setiap wartawan biasanya menjabarkan latar
belakang dari sebuah peristiwa yang ia tulis. Latar yang dipilih oleh wartawan
pada akhirnya akan menggiring sudut pandang khalayak yang membacanya. Hal
itu dapat terjadi karena setiap berita memiliki bagian yang dapat memengaruhi arti
dan makna yang ditampilkan. Van Dijk meletakan bagian tersebut, latar, pada
tingkat analisis struktur mikro yaitu semantik.
Latar pada salah satu artikel Laporan Khusus Udin “Bernas” bertajuk “Memo
Sebelum Malam Jahanam” terdapat pada paragraf kedua artikel tersebut. Inti
paragraf itu adalah sebuah gedung di Jalan Gajah Mada 10, tempat koordinasi
Pemerintah Kabupaten Bantul membahas berita yang ditulis Udin, sebelum ia
dibunuh.
“Bendera merah putih berkibar di pucuk tiang. Pipa besi
bercat putih menopang bendera di halaman gedung tua yang
75
sepi dan muram itu, Rabu petang pekan ketiga September
lalu. Gedung berwarna kuning memudar ini berada di Jalan
Gajah Mada 10, tak jauh dari alun-alun Kabupaten Bantul.
Di sinilah, dulu, dilakukan rapat koordinasi Pemerintah
Kabupaten Bantul untuk membahas berita-berita yang ditulis
wartawan Bernas, Fuad Muhammad Syafruddin atau Udin,
sebelum ia dibunuh”. (Paragraf 2).
Wartawan yang menuliskan artikel tersebut menampilkan latar dan
mengarahkan pembaca untuk mengetahui bentuk fisik sebuah bangunan dekat
alun-alun Kabupaten Bantul, tempat yang digunakan oleh Pemerintah Kabupaten
Bantul untuk membahas berita yang ditulis Udin, sebelum ia dibunuh.
Wartawan Majalah Tempo mendeskripsikan secara rinci kondisi bangunan,
berawal dari bendera merah putih yang berkibar dan ditopang oleh pipa besi
bercat putih di halaman gedung tua yang sepi serta muram, Rabu petang pekan
ketiga September lalu. Keberadaan bendera yang berkibar di depan halaman
gedung menandakan bahwa bangunan itu milik pemerintahan atau pernah
digunakan untuk kegiatan pemerintahan.
d. Detil
Elemen wacana selanjutnya yang peneliti bahas adalah detil. Elemen detil
merupakan strategi bagaimana wartawan mengekspresikan sikapnya dengan cara
yang implisit.71 Van Dijk menyebutkan detil memiliki hubungan erat dengan
fungsi kontrol informasi yang diberikan oleh komunikator. Pada dasarnya
komunikator akan menjelaskan secara rinci, lengkap, dan memberikan informasi
lebih terhadap sesuatu yang ia tonjolkan. Hal tersebut sengaja dilakukan untuk
menciptakan citra tertentu terhadap khalayak.
71 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks, h. 238.
76
Wartawan Majalah Tempo secara implisit ingin mengekspresikan sikapnya
dalam artikel Laporan Khusus Udin “Bernas” bertajuk “Memo Sebelum Malam
Jahanam” dengan menampilkan secara mendetail rentetan waktu terkait kematian
Udin. Rentetan waktu itu meliputi Rapat koordinasi Pemerintah Kabupaten Bantul,
penganiayaan Udin hingga sekarat, dan berakhir pada kematian Wartawan Bernas
itu.
“Rapat koordinasi itu berlangsung pada 5 Agustus 1996.
Udin dianiaya hingga sekarat pada 13 Agustus malam dan
meninggal pada 16 Agustus 1996. Dulu Gedung ini
merupakan Kantor bagian hukum Pemerintah Kabupaten
Bantul. Sekarang kantor bagian hukum itu sudah menjadi
satu dengan kantor Bupati Bantul. “Kami menempati gedung
itu karena kantor bupati sedang dalam renovasi,” kata
mantan Kepala Bagian Hukum Pemerintah Kabupaten
Bantul Siti Asfijah di rumahnya di Badegan, Bantul, 7
September lalu. Siti Asfijah sudah pensiun dan membuka
toko kelontong di sebelah rumahnya.” (Paragraf 3).
Pada bagian itu Wartawan Majalah Tempo juga menjelaskan pernyataan Siti
Asfijah terkait penggunaan gedung karena kantor bupati sedang dalam renovasi.
Gedung tersebut digunakan oleh Pemerintah Kabupaten Bantul untuk membahas
berita yang ditulis Udin, sebelum penganiayaan berujung maut itu terjadi.
e. Maksud
Elemen Maksud menurut Van Dijk memiliki kesamaan dengan elemen detil.
Meskipun demikian terdapat perbedaan yang mendasar antara dua elemen
komunikator terurai secara eksplisit dan jelas. Sedangkan informasi yang
merugikan komunikator akan diuraikan secara tersembunyi, tersamar, dan
implisit.
Dalam penulisan artikel Laporan Khusus Udin “Bernas” bertajuk “Memo
Sebelum Malam Jahanam” elemen maksud terdapat pada rangkaian kalimat yang
77
menjelaskan gedung yang menjadi tempat koordinasi Pemerintah Kabupaten
Bantul membahas berita yang ditulis Udin, saat ini menjadi kantor organisasi yang
memiliki benang merah dengan TNI dan Polri.
“Kini gedung itu menjadi kantor empat organisasi yang
berhubungan dengan keluarga Tentara Nasional Indonesia
dan Polisi. Organisasi itu adalah Forum Komunikasi
Putra-Putri purnawirawan dan Putra-Putri TNI-Polri atau
FKPPI, Persatuan Purnawirawan dan Warakawuri Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia atau Pebabri, Persatuan
Istri Purnawirawan YNI-Polri atau Perip, serta Persatuan
Istri Veteran Republik Indonesia atau Piveri” (Paragraf 4).
Dalam paragraf tersebut wartawan Majalah Tempo memaparkan secara jelas
bahwa gedung, tempat rapat koordinasi Pemerintah Kabupaten Bantul untuk
membahas berita Udin, saat ini telah digunakan oleh Organisasi FKPPI,
PEBABRI, PERIP, dan PIVERI. Organisasi tersebut merupakan organisasi yang
terkait dengan TNI dan Polri. Sementara itu Sri Roso Sudarmo, Bupati Bantul saat
Udin dibunuh, seorang purnawirawan TNI berpangkat Kolonel.
f. Pra-Anggapan
Salah satu elemen yang penting dalam Analisis Wacana Model Teun Van Dijk
adalah Pra-Anggapan. Wartawan media massa sering menggunakan elemen
wacana ini sebagai upaya untuk mendukung makna dalam suatu teks. Upaya
tersebut dengan memasukan pernyataan dalam teks yang mereka buat. Elemen ini
memiliki kesamaan dengan elemen latar. Meskipun demikian terdapat perbedaan
yang mendasar antar kedua elemen tersebut.
Jika elemen latar adalah upaya mendukung sebuah pendapat dengan cara
memberi latar belakang pada teks, maka pra-anggapan adalah upaya mendukung
78
pendapat dengan memberikan premis yang dipercaya kebenarannya.72
Bagian pra-anggapan pada artikel Laporan Khusus Udin “Bernas” bertajuk
Memo Sebelum Malam Jahanam” terdapat pada paragraf sembilan, yang
menjelaskan:
“Rapat koordinasi juga menugasi Kepala Bagian Hubungan
Masyarakat Pemerintah Kabupaten Bantul Sumantri Widodo
melayangkan surat resmi ke Persatuan Wartawan Indonesia
tentang berita yang dibikin Udin. Surat resmi itu akan
dikirim ke PWI jika ternyata Inspektorat tak menemukan
penyelewengan dalam penyaluran dana IDT dan duit
pembangunan desa “Dalam rapat, kami tidak pernah
membicarakan rencana memukul atau bahkan membunuh
Udin,” Kata Siti.” (Paragraf 9).
Dari paragraf itu terlihat secara jelas bahwa rapat koordinasi itu hanya
membahas langkah-langkah yang akan ditempuh oleh Pemerintah Kabupaten
Bantul dalam mengklarifikasi hasil karya jurnalisme Udin. Pemerintah Kabupaten
juga telah menyiapkan surat resmi untuk PWI jika Inpektorat tidak menemukan
adanya penyelewengan anggaran dana. Siti juga menjelaskan secara gamblang
bahwa rapat tersebut murni hanya untuk mengklarifikasi berita, bukan untuk
menghabisi bahkan membunuh wartawannya.
g. Koherensi
Van Dijk dalam teorinya wacananya mengatakan dua buah peristiwa yang
terjadi dapat dihubungkan sehingga terlihat memiliki benang merah, meskipun
kedua peristiwa itu sebenarnya tidak berhubungan atau berbeda. Van Dijk
menyebutnya sebagai elemen wacana Koherensi. Ia juga menyebutkan Koherensi
sebagai elemen yang menggambarkan bagaimana sebuah peristiwa dihubungkan
72 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks, h. 256.
79
dan dipandang saling terpisah oleh wartawan.73
Melalui koherensi peneliti melihat bagaimana seseorang secara strategis
menggunakan wacana untuk menjelaskan suatu fakta atau peristiwa. Bentuk
koherensi pada artikel Laporan Khusus Udin “Bernas” bertajuk Memo Sebelum
Malam Jahanam” terdapat pada paragraf enam.
“Berdasarkan dokumen asli itu, Pemerintah Kabupaten Bantul
Menyatakan berkeberatan terhadap pemberitaan tentang penyunatan
dana IDT yang dimuat Bernas pada 16 Juli.” (Paragraf 6).
Pada kalimat diatas wartawan Majalah Tempo menggunakan kata
hubung (konjungsi) yang menyatakan hubungan sebab-akibat yakni
“terhadap”. Kedua kalimat tersebut berasal dari dua fakta yang berbeda
yaitu “Pemerintah Kabupaten Bantul menyatakan keberatan” dan
“Pemberitaan tentang tentang penyunatan dana IDT yang dimuat Bernas
pada 16 Juli.” Penggunaan konjungsi “terhadap” membuat kedua kalimat
yang berbeda serta tidak berkaitan itu menjadi terhubung dan koheren.
h. Bentuk Kalimat
Dalam wacana Van Dijk terdapat elemen yang membahas tentang cara
wartawan menyusun dan membentuk sebuah struktur kalimat pada rangkaian teks.
Struktur atau bentuk kalimat dapat dibuat secara aktif maupun pasif, namun inti
dari sebuah kalimat biasanya berada pada awal kalimat tersebut.
Pada dasarnya bentuk kalimat yang tertulis dalam sebuah teks menentukan
apakah subjek diekspresikan secara eksplisit maupun implisit pada teks tersebut.
Hal itu sesuai dengan pendapat Van Dijk yang mengatakan bahwa bentuk kalimat
adalah segi sintaksis yang berhubungan dengan cara berpikir logis, yaitu prinsip
73 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks, h. 243.
80
kausalitas.74
“Bupati Sri Roso Sudarmo menggelar rapat muspida
membahas berita yang ditulis Udin. Ia minta soal berita
Udin selesai sebelum 17 Agustus.” (Paragraf 1).
Kumpulan kata pada artikel merupakan bentuk kalimat aktif. Hal itu dapat
dibuktikan dengan adanya kata predikat, menggelar, yang menunjukan kata kerja
aktif. Bupati Sri Roso di tampuk menjadi subjek dalam teks artikel ini.
Pada tahap ini wartawan Majalah Mingguan Tempo ingin menunjukan pada
tingkatan mana inti kalimat mendapat perhatian khusus. Bagian yang difokuskan
adalah Bupati Sri Roso menggelar rapat muspida membahas berita yang ditulis
Udin. Kalimat tersebut merupakan bentuk sikap Bupati Sri Roso Sudarmo yang
gerah terhadap karya jurnalistik Udin di Harian Bernas, sebelum Ia dihabisi
hingga gugur.
i. Kata Ganti
Elemen kata ganti merupakan bagian pada wacana Van Dijk yang berguna
untuk memanipulasi bahasa dengan menciptakan sebuah komunitas imajinatif.
Wartawan menggunakan elemen ini untuk menunjukan dimana posisi seseorang
dalam wacana.
Elemen wacana Kata ganti pada artikel Laporan Khusus Udin “Bernas”
bertajuk Memo Sebelum Malam Jahanam”
“Dalam rapat, kami tidak pernah membicarakan rencana
memukul atau bahkan membunuh Udin,” Kata Siti.
Penggunaan kata ganti “kami” dalam penggalan kalimat itu terkesan
menciptakan jarak antara wartawan dan khalayak yang tidak sependapat dengan
wartawan. Hal tersebut menurut Van Dijk cukup beralasan bila merujuk pada
74 Eriyanto, Analisis Wacana : Pengantar Analisis Teks, h. 251
81
artikel Laporan Khusus Udin “Bernas” bertajuk Memo Sebelum Malam Jahanam”,
karena wartawan Tempo memposisikan diri tidak sependapat dengan Pemerintah
Kabupaten Bantul yang menggelar rapat terkait karya jurnalistik Udin.
Van Dik juga menjelaskan dalam mengungkapkan sikapnya wartawan
menggunakan kata ganti “saya” atau “kami” yang menggambarkan bahwa sikap
itu merupakan sikap resmi komunikator semata-mata.75 Hal tersebut senada
dengan sikap wartawan Tempo yang menolak dengan keras segala bentuk
kekerasan terhadap wartawan.
j. Leksikon
Elemen Wacana selanjutnya menjelaskan tentang bagaimana seseorang
memilih dan menggunakan sebuah kata meskipun terdapat padanan kata yang
lainnya. Ketika seseorang memilih sebuah kata dari padanan kata yang tersedia,
maka pemilihan kata tersebut bukan sebuah kebetulan semata. Pilihan kata-kata
yang digunakan menunjukan sebuah sikap dan ideologi tertentu. 76 Secara
ideologis pemilihan kata tersebut menunjukan bagaimana pemaknaan seseorang
terhadap fakta. Van Dijk menyebut elemen wacana ini dengan nama Leksikon.
Pemilihan kata atau leksikon pada artikel Laporan Khusus Udin “Bernas”
bertajuk Memo Sebelum Malam Jahanam” terdapat pada:
1. Kata Jahanam pada kalimat: Memo sebelum malam jahanam. Kata
jahanam memiliki persamaan kata terkutuk.
2. Kata menyodorkan dan didisposisikan pada kalimat: Kepada Tempo, Siti
menyodorkan dokumen otentik surat disposisi dari Bupati Sri Roso
kepada sekretaris wilayah daerah, yang kemudian didisposisikan lagi
75 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 253 76 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 255
82
kepada bagian hukum. Kata menyodorkan memiliki padanan kata
memberikan, kata didisposisikan memiliki arti lain diteruskan.
3. Kata mempersilakan dan sekilas dalam kalimat: Ia juga hanya
mempersilakan Tempo membaca sekilas. Kata mempersilakan memiliki
arti mengizinkan sedangkan sekilas memiliki padanan kata sesaat.
4. Kata berkeberatan dan penyunatan pada kalimat: Berdasarkan dokumen
asli itu, Pemerintah Kabupaten Bantul menyatakan berkeberatan
terhadap pemberitaan tentang penyunatan dana IDT yang dimuat Bernas
pada 16 Juli. Kata berkeberatan memiliki sinonim kata menolak,
sedangkan penyunatan memiliki arti pengurangan.
5. Kata duit pada kalimat: Adapula berita perihal duit administrasi
pembangunan desa. Kata duit memiliki padanan kata uang.
6. Kata melayangkan dan dibikin pada kalimat: Rapat koordinasi juga
menugasi kepala bagian Hubungan Masyarakat Pemerintah Kabupaten
Bantul Sumantri Widodo melayangkan surat resmi ke Persatuan
Wartawan Indonesia tentang berita yang dibikin Udin. Pada kalimat
tersebut kata melayangkan memiliki persamaan makna dengan
mengirimkan sedangkan dibikin memiliki padanan kata dibuat.
7. Kata berkawan pada kalimat: Sahlan berkawan dekat dengan Udin
karena sering mengobrol berdua. Kata berkawan memiliki padanan kata
bersahabat.
8. Kata Ihwal, dokumen, jurnalis, dan investigasi pada kalimat: Ihwal rapat
muspida membahas berita Udin ini cocok dengan dokumen yang
disodorkan jurnalis yang menginsvestigasi kasus Udin, Berchman
83
Heroe. Kata ihwal memiliki persamaan kata perihal, sedangkan dokumen
adalah arsip, selanjutnya jurnalis memiliki padanan kata wartawan.
Sementara menginvestigasi adalah menyelidiki.
9. Kata cocok dalam kalimat; Menurut Asril, tulisan tangan dalam memo itu
cocok dengan tulisan tangan Sri Roso. Kata cocok memiliki padanan kata
sesuai.
10. Kata Tudingan pada kalimat: Sro Roso menampik tudingan terlibat
dalam pembunuhan Udin. Kata tudingan memiliki padanan kata tuduhan.
k. Grafis
Van Dijk menyebut elemen grafis dalam analisis wacananya sebagai bagian
yang digunakan untuk memeriksa sebuah hal yang diberi penekanan atau
ditonjolkan oleh seseorang ketika mengamati sebuah teks. Penekanan itu dapat
terjadi karena terdapat hal yang dianggap penting pada bagian tersebut.
Grafis dalam wacana berita, biasanya muncul melalui bagian tulisan yang
dibuat lain. Pemakaian huruf tebal, huruf miring, pemakaiaan garis bawah, huruf
yang dibuat besar. Termasuk di dalamnya adalah pemakaiaan caption, raster,
grafik, gambar, table, dan pemakaian angka untuk mendukung arti sebuah pesan.77
Elemen grafis itu juga muncul dalam bentuk foto, gambar, atau tabel yang
digunakan untuk mendukung sebuah gagasan atau untuk bagian lain yang tidak
ingin ditonjolkan. Melalui citra, foto, tabel, penempatan teks, tipe huruf atau
elemen grafis lain, pendapat ideologis yang muncul dapat di manipulasi oleh
wartawan atau komunikator.
Dalam artikel Laporan Khusus Udin “Bernas” bertajuk Memo Sebelum
Malam Jahanam” unsur grafis yang muncul terlihat dengan jelas pada penempatan
77 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 257-258
84
dua buah foto pada artikel tersebut. Foto pertama yang muncul adalah sebuah
memo bertuliskan tangan Bupati Bantul, Sri Roso Sudarmo, di atas surat Camat
Imogiri, Hardi Purnomo. Surat bertanggal 26 Juli 1996 itu berisi penjelasan dana
IDT Desa Karangtengah 2, sedangkan memo bertuliskan tangan Sri Roso
bertanggal 27 Juli 1996.
Foto kedua yang termuat dalam artikel adalah frame yang menggambarkan
suasana saat Kepala Bagian Hubungan Masyrakat Pemerintah Kabupaten Bantul,
Sumantri Widodo, memberikan keterangan pers, membantah keterlibatan Sri Roso
pada kasus Udin.
Tabel 4. 1
Kerangka Analisis Data Artikel Laporan Khusus Udin “Bernas” Memo
Sebelum Malam Jahanam”
Struktur
Wacana
Elemen
Keterangan
Makro
Topik atau
Tema
Sri Roso juga memerintahkan anak buahnya
menyiapkan tuntutan ke redaksi Bernas atau sumber
berita. Ia meminta semua hal disiapkan seceara rapi dan
mewanti-wanti ihwal ini selesai sebelum 17 Agustus
1996. Menurut Asril, tulisan tangan dalam memo itu
cocok dengan tulisan tangan Sri Roso.
Superstruktur Skema Berawal dari judul artikel
Teras artikel
Story:
1. Sepak terjang Bupati Bantul, Sri Roso
Sudarmo, dalam merespon pemberitaan Udin
di harian Bernas tentang tentang dana Inpres
Desa tertinggal (IDT) di Desa Karangtengah,
Kecamatan Imogiri dan Desa Bawuran,
85
Kecamatan Pleret.
2. Pemerintah Kabupaten Bantul saat itu
berencana memperkarakan berita yang Udin
tulis secara hukum, terdapat disposisi dari
Bupati agar ada pengusutan terhadap
wartawan yang menulis atau ke kantor Bernas
3. Pada bagian akhir artikel wartawan Tempo
memasukan hasil wawancara dengan Sri Roso
Sudarmo. Ia berpeluh kesah terhadap
pemberitaan media massa yang kerap
menyudutkan dirinya.
Struktur
Mikro
Latar
Paragraf 2
“Bendera merah putih berkibar di pucuk tiang. Pipa
besi bercat putih menopang bendera di halaman gedung
tua yang sepi dan muram itu, Rabu petang pekan ketiga
September lalu. Gedung berwarna kuning memudar ini
berada di Jalan Gajah Mada 10, tak jauh dari alun-alun
Kabupaten Bantul. Di sinilah, dulu, dilakukan rapat
koordinasi Pemerintah Kabupaten Bantul untuk
membahas berita-berita yang ditulis wartawan Bernas,
Fuad Muhammad Syafruddin atau Udin, sebelum ia
dibunuh”..
Detil
Paragraf 3
“Rapat koordinasi itu berlangsung pada 5 Agustus
1996. Udin dianiaya hingga sekarat pada 13 Agustus
malam dan meninggal pada 16 Agustus 1996. Dulu
Gedung ini merupakan Kantor bagian hukum
Pemerintah Kabupaten Bantul. Sekarang kantor bagian
hukum itu sudah menjadi satu dengan kantor Bupati
Bantul. “Kami menempati gedung itu karena kantor
bupati sedang dalam renovasi,” kata mantan Kepala
Bagian Hukum Pemerintah Kabupaten Bantul Siti
Asfijah di rumahnya di Badegan, Bantul, 7 September
lalu. Siti Asfijah sudah pensiun dan membuka toko
kelontong di sebelah rumahnya.”
86
Maksud
Paragraf 4
“Kini gedung itu menjadi kantor empat organisasi yang
berhubungan dengan keluarga Tentara Nasional
Indonesia dan Polisi. Organisasi itu adalah Forum
Komunikasi Putra-Putri purnawirawan dan Putra-Putri
TNI-Polri atau FKPPI, Persatuan Purnawirawan dan
Warakawuri Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
atau Pebabri, Persatuan Istri Purnawirawan YNI-Polri
atau Perip, serta Persatuan Istri Veteran Republik
Indonesia atau Piveri”
Pra-Angg
apan
Paragraf 9
“Rapat koordinasi juga menugasi Kepala Bagian
Hubungan Masyarakat Pemerintah Kabupaten Bantul
Sumantri Widodo melayangkan surat resmi ke
Persatuan Wartawan Indonesia tentang berita yang
dibikin Udin. Surat resmi itu akan dikirim ke PWI jika
ternyata Inspektorat tak menemukan penyelewengan
dalam penyaluran dana IDT dan duit pembangunan
desa “Dalam rapat, kami tidak pernah membicarakan
rencana memukul atau bahkan membunuh Udin,” Kata
Siti.”
Koherensi
Paragraf 6
“Berdasarkan dokumen asli itu, Pemerintah Kabupaten
Bantul Menyatakan berkeberatan terhadap pemberitaan
tentang penyunatan dana IDT yang dimuat Bernas pada
16 Juli.”
Bentuk
Kalimat
Paragraf 1
“Bupati Sri Roso Sudarmo menggelar rapat muspida
membahas berita yang ditulis Udin. Ia minta soal berita
Udin selesai sebelum 17 Agustus.”
Bagian yang difokuskan adalah “menggelar”, kata
tersebut merupakan bentuk sikap Bupati Sri Roso
Sudarmo yang gerah terhadap karya jurnalistik Udin
di Harian Bernas, sebelum Ia dihabisi hingga gugur.
Kata
Ganti
Paragraf 9
“Dalam rapat, kami tidak pernah membicarakan
rencana memukul atau bahkan membunuh Udin,” Kata
Siti.
87
Leksikon
1. Kata jahanam pada judul artikel
2. Kata menyodorkan pada paragraf 6
3. Kata didisposisikan pada paragraf 6
4. Kata mempersilakan pada paragraf 6
5. Kata sekilas pada paragraf 6
6. Kata berkeberatan pada paragraf 7
7. Kata penyunatan pada paragraf 7
8. Kata duit pada paragraf 7
9. Kata melayangkan pada paragraf 9
10. Kata dibikin pada paragraf 9
11. Kata berkawan pada paragraf 10
12. Kata dokumen pada paragraf 12
13. Kata jurnalis pada paragraf 12
14. Kata investigasi pada paragraf 12
15. Kata cocok pada paragraf 12
16. Kata Tudingan pada paragraf 17
Grafis
Terdapat dua buah foto yang terletak dibawah judul dan
teras artikel, foto itu berada pada bagian kiri bawah pada
halaman pertama artikel dan foto kedua berada pada
bagian kanan atas halaman kedua artikel “Memo
Sebelum Malam Jahanam”
Foto pertama merupakan sebuah memo bertuliskan
tangan Bupati Bantul, Sri Roso Sudarmo, di atas surat
Camat Imogiri, Hardi Purnomo. Surat bertanggal 26 Juli
1996 itu berisi penjelasan dana IDT Desa Karangtengah
2, sedangkan memo bertuliskan tangan Sri Roso
bertanggal 27 Juli 1996.
Foto Kedua menggambarkan suasana saat Kepala
Bagian Hubungan Masyrakat Pemerintah Kabupaten
Bantul, Sumantri Widodo, memberikan keterangan pers,
membantah keterlibatan Sri Roso pada kasus Udin.
2. Analisis Artikel “Tamu-tamu Misterius di Patalan”
a. Tematik
Struktur makro dapat diamati dengan melihat tema atau topik pemberitaan
yang dikedepankan dalam berita. Tema didukung oleh kerangka teks melalui
pemilihan kata dan kalimat untuk digunakan dan ditonjolkan dalam suatu berita.
88
Pada artikel “Tamu-tamu Misterius di Patalan” Wartawan Tempo mengangkat
tema tentang peristiwa-peristiwa tidak biasa sebelum malam pembantaian Fuad
Muhammad Syafruddin.
Pada artikel ini secara tersurat dan tersirat Wartawan Majalah Tempo
menyampaikan tema melalui keseluruhan isi artikel adalah betapa janggal dan
tidak wajar hari-hari yang dirasakan oleh orang-orang yang berada di sekitar Udin
sebelum malam jahanam itu. Kejanggalan itu meliputi, dua orang berbadan tegap
yang mencari Udin setiap malam sebelum Udin gugur, munculnya penjual jagung
di perempatan Bakulan sebelum Udin dianiaya, Terpakirnya sebuah sedan Honda
Civic Excellent biru tua saat malam pembantaian, dan peristiwa mencurigakan
lainnya.
Hal lain yang ingin disampaikan adalah meskipun kejadian itu sudah 18
tahun berlalu Majalah Tempo tetap menyuarakan kebenaran fakta tersebut dengan
harapan perkara ini tidak menguap begitu saja. Mereka berharap ikhtiar menguak
kebenaran mereka selama ini dapat menjadi dorongan Presiden Joko Widodo
untuk memprioritaskan masalah ini. Kemudian masyarakat sebagai pemegang
kekuasaan tertinggi di negeri ini ikut menyuarakan kebebasan pers di Indonesia.
Terlebih Kasus Udin menjadi sorotan dua organisasi wartawan dunia,
International Federation of Journalists dan Committe to Protect Journalist.
b. Skematik
Skematik umumnya menjelaskan alur atau kronologis dari sebuah berita.
Sebuah teks wacana memiliki sebuah skema yang tersusun rapih, mulai dari
pendahuluan, isi, hingga akhir teks wacana tersebut. Pada akhirnya skema itu akan
menunjukan bagaimana teks disusun sehingga menyimpan sebuah makna yang
89
tersirat maupun tersurat. Pada sebuah skema terdapat penekanan untuk
memunculkan bagian mana yang terlebih dahulu kemudian bagian lainnya. Hal
tersebut merupakan strategi wartawan mendahulukan atau menyembunyikan
informasi penting
Skema yang terlihat pada artikel “Tamu-tamu Misterius di Patalan” berawal
pada teras artikel atau paragraf pertama artikel tersebut:
“Kejadian Janggal beruntun menjelang Udin dianiaya.
Beberapa orang memiliki ciri yang sama”
Skema selanjutnya ada Story, uraian situasi kejadian yang muncul setelah
teras artikel. Wartawan majalah Tempo menceritakan suasana dan runtutan
kejanggalan saat malam penganiayaan Udin, pada awal artikel. Kemudian mereka
mengisahkan penuturan Nur Sulaiman, wanita paruh baya, tetangga Udin, yang
merasakan kejanggalan di sekitar rumah Udin sebelum 13 Agustus 1996.
“Tak berhenti di situ kejadian-kejadian aneh yang diamati
Sujarah. Bertepatan dengan hari Udin dianiaya, Jalan
parangtritis, tepatnya di kilometer 13,5, ketika itu terlihat
lengang. Padahal baru memasuki isya. Sebuah sedan Honda
Civic Excellent biru tua terparkir tak jauh dari rumah Udin.
“kehadiran mobil ini juga tidak lazim,” Sujarah
menduga-duga.” (Paragraf 21).
Kemudian pada pertengahan artikel, hari-hari yang janggal masih menghiasi
isi artikel. Kali ini wartawan mengemas isi berita dengan penuturan sejumlah
orang-orang dekat Udin mengenai peristiwa yang mencurigakan menjelang
malam pembantaian Udin. Selain itu kejanggalan juga terjadi di kantor harian
Bernas. Beberapa rekan Udin melihat peristiwa yang tidak biasa sebelum Ia
dihajar.
“Rupanya, bukan hanya lelaki yang kini menjadi Ketua RT
90
16 Dusun Samalo itu yang merasakan berbagai keganjilan
sebelum peristiwa tragis itu terjadi. Di kantor Udin, haran
Benas, teman-temannya mengalami hak serupa. Mereka
melihat gelagat mencurigakan sebelum Udin dianiaya.
Beberapa ancaman secara langsung sudah diterima Udin”
(Paragraf 22).
Selanjutnya pada bagian penutup artikel “Tamu-tamu Misterius di Patalan”
berisi tentang pandangan wartawan Majalah Tempo tentang kasus Udin ini.
Mereka juga mengutip perkataan mantan Ketua Mahamah Agung, Bagir Manan,
pada pertengahan Oktober yang meminta Presiden Jokowi memprioritaskan
masalah Udin. Kemudian mereka memasukan penuturan Nur Sulaiman yang
menyatakan senang bila pelaku pembunuhan Udin ditangkap. Pada akhir artikel
ini Wartawan majalah Tempo menginformasikan kepada pembaca dan masyarakat
bila kasus 18 tahun lalu ini sangat penting untuk diselesaikan.
c. Latar
Elemen latar biasanya menjabarkan latar belakang dari sebuah peristiwa yang
ditulis oleh wartawan. Latar belakang tersebut akan menggiring sudut pandang
khalayak yang membacanya. Hal itu dapat terjadi karena setiap berita memiliki
bagian yang dapat memengaruhi arti dan makna.
Latar yang muncul dalam artikel “Tamu-tamu misterius di Patalan” terdapat
pada paragraf empat dan lima. Isi paragraf tersebut adalah penuturan Ponikem,
tetangga Udin, yang mengisahkan peristiwa secara rinci sebelum Udin diserang
oleh orang tidak dikenal.
“Dalam bahasa Jawa, lelaki yang terlihat kekar dan tinggi
besar itu bertanya apakah Udin sudah pulang. Udin yang
dimaksudnya adalah Fuad Muhammad Syafruddin, yang
rumah kontrakannya berada di seberang jalan warung bakmi
Nur Sulaiman.” (Paragraf 4).
91
“Ponikem menjawab bahwa Udin belum pulang. Pria itu
lantas pergi. Ia menghampiri seorang lelaki yang
menunggunya di sebelah selatan warung. Berboncengan,
mereka tancap gas. “Kendelan le nunggang motor (berani
naik motor dengan laju cepat). Mereka pergi ke utara,” kata
Nur ketika ditemui Tempo, awal September lalu. Kisah
perempuan 65 tahun itu adalah peristiwa sebelum Udin
dianiaya pada Selasa malam, 13 Agustus 1996” (Paragraf 5).
Wartawan majalah Tempo berusaha menyampaikan latar pada artikel tersebut
agar pembaca dapat memahami keganjilan yang terjadi menjelang Udin dianiaya
pada Selasa, 13 Agustus 1996. Mereka berhasil melakukan wawancara dengan
para narasumber yang merasakan langsung hari-hari yang janggal menjelang
malam jahanam itu. Penuturan para saksi sejarah ada dalam artikel sehingga
pembaca merasakan bahwa terdapat peristiwa yang mencurigakan menjelang
penyeragan terhadap Fuad Muhammad Syafruddin.
d. Detil
Elemen detil memiliki hubungan erat dengan fungsi kontrol informasi yang
diberikan oleh komunikator. Pada dasarnya komunikator akan menjelaskan secara
rinci, lengkap, dan memberikan informasi lebih terhadap sesuatu yang ia
tonjolkan. Detil merupakan strategi bagaimana wartawan mengekspresikan
sikapnya.
Detil yang disampaikan oleh Wartawan Majalah Tempo melalui artikel
“Tamu-tamu Misterius di Patalan” berada pada paragraf tujuh dan delapan. Inti
dari paragraf itu adalah ketika penulis artikel menjelaskan secara rinci bentuk fisik
tamu di rumah Udin. Morfologi pria yang ditemui oleh Marsiyem, istri mendiang
Udin, mengarah pada profesi orang dengan bentuk otot yang kekar. Selain itu pria
itu sempat menunjukan sebatang besi kepada Marsiyem. Udin meninggal akibat
92
hantaman benda tumpul.
“Seorang lelaki dengan ikat kepala merah berdiri di ambang
pintu. Ia mengaku teman suaminya dan hendak minta tolong
memperbaiki sepeda motor. Sebatang besi sebesar jempol
dengan panjang sekitar 50 sentimeter diperlihatkan “ Ini lho,
Mbak, mau dimasukkan ke knalpot tapi tidak bisa”
Katanya.” (Paragraf 7).
“Ketika mata mereka bersirobok, Marsiyem serasa pernah
berjumpa dengan tamu berbadan kekar dan tinggi tersebut.
Namun dia tidak ingat dimana. Marsiyem masuk lagi ke
dalam rumah dan memberi tahu suaminya.” (Paragraf 8).
Pada bagian tersebut penulis artikel menguraikan cir-ciri pria yang dijumpai
oleh Marsiyem di rumahnya pada hari kejadian penganiayaan. Sosok tubuh kekar
dan tinggi dengan membawa sebilah besi berukuran 50 sentimeter. Besi tersebut
diduga sebagai senjata untuk menghajar Udin. Kehadiran pria dengan tubuh tegap,
tinggi, dan kekar dinilai memiliki keterkaitan dengan posisi Bupati Bantul saat itu,
Sri Roso Sudarmo, tentara berpangkat kolonel. Sebelum dihajar, karya jurnalistik
Udin sempat membuat Bupati Bantul meradang.
e. Maksud
Pada Elemen maksud informasi yang menguntungkan komunikator terurai
secara eksplisit dan jelas. Sedangkan informasi yang merugikan komunikator
akan diuraikan secara tersembunyi, tersamar, dan implisit. Tujuan akhirnya adalah
publik hanya mengetahui informasi yang menguntungkan komunikator78
Elemen maksud yang pada artikel “Tamu-tamu Misterius di Patalan” terdapat
pada teks yang menjelaskan paska kejadiaan naas tersebut sejumlah pemuda
datang dengan mengendarai kendaraan roda empat dan roda dua. Kehadiran para
pemuda itu untuk mengevakuasi Udin yang telah tergeletak di pinggir jalan.
78 Eriyanto, Analisis Wacana : Pengantar Analisis Teks Media, h. 240
93
“Tak berselang lama, satu rombongan pemuda Bakulan
datang dari arah utara. Empat orang, yakni Yuniari, Sigit
Bambang Suryanto, Yanadi, dan Akung Prastowo,
mengendarai Jip Hardtop. Dua orang lainnya, Sigit Prasetyo
Wibowo dan Sri Kuncoro alias Kuncung, naik sepeda motor.
Oleh warga disana, Kuncung biasa dipanggil Pak Aman
karena Kepala Urusan Keamanan Desa Patalan. Kuncoro
adalah keponakan Bupati Bantul ketika itu, Sri Roso
Sudarmo.” (Paragraf 12).
Dalam teks tersebut wartawan Tempo menggambarkan bagaimana keganjilan
paska penyerangan terjadi. Pasalnya tidak lama setelah Udin diserang sejumlah
pemuda datang dari arah utara, arah yang sama dengan penyerang Udin.
Selanjutnya hadirnya Kuncoro sebagai Kepala Urusan Keamanan Desa Patalan
bersama sejumlah pemuda. Ia gagal menjaga rasa aman warga akibat penyerangan
kepada salah satu warga desa Patalan tersebut.
Wartawan Tempo juga menulis bahwa Kuncoro adalah keponakan Sri Roso
Sudarmo dalam artikel itu. Sebelum penyerangan itu terjadi Udin sempat
membuat paman Kuncoro kebakaran jenggot akibat karya jurnalismenya yang
menyinggung Pemerintah Kabupaten Bantul.
f. Pra-Anggapan
Elemen pra-anggapan adalah elemen yang digunakan untuk mendukung
pendapat dengan memberikan premis yang dipercaya kebenarannya. Pada artikel
“Tamu-tamu Misterius di Patalan” elemen ini terdapat pada pertengahan artikel.
“Tak berhenti di situ kejadian-kejadian aneh yang diamati
Sujarah. Bertepatan dengan hari Udin dianiaya, Jalan
parangtritis, tepatnya di kilometer 13,5, ketika itu terlihat
lengang. Padahal baru memasuki isya. Sebuah sedan Honda
Civic Excellent biru tua terparkir tak jauh dari rumah Udin.
“kehadiran mobil ini juga tidak lazim,” Sujarah
menduga-duga.” (Paragraf 21).
94
Berdasarkan teks tersebut bagian pra-anggapan mengarahkan pembaca pada
kejadian janggal saat malam penganiayaan Udin. Peneliti membuat pra-anggapan
tersebut untuk mendukung penuturan Sujarah sehingga pembaca tidak perlu
mempertanyakan lagi bagaimana dan seperti apa kondisi saat penyerangan Udin
oleh orang tidak dikenal pada malam itu.
g. Koherensi Kondisional
Elemen koherensi kondisional memiliki ciri dengan pemakaian anak kalimat
sebagai penjelas. Anak kalimat tersebut menjadi cermin kepentingan komunikator
karena ia dapat meberikan keterangan yang baik atau buruk terhadap suatu
pernyataa.79 Sebagai penjelas, ada atau tidaknya anak kalimat tidak memengaruhi
arti kalimat. Bentuk koherensi kondisional artikel “Tamu-tamu Misterius di
Patalan” terdapat pada kalimat di paragraf ke-17:
“Marjo pula yang pada malam kejadian menutup ceceran
darah Udin dengan tanah, padahal polisi belum melakukan
olah tempat kejadian perkara.” (Paragraf 17).
Pada paragraf tersebut wartawan Majalah Tempo menggunakan anak kalimat
“padahal polisi belum melakukan olah tempat kejadian perkara” sebagai penjelas
dari induk kalimatnya. Kalimat tersebut seolah-oleh menjelaskan kepada pembaca
bahwa Marjo melakukan hal yang salah karena menutup ceceran darah Udin,
sebagai barang bukti, sebelum polisi menggelar olah kejadian perkara. Perbuatan
Marjo ditengarai sebagai upaya untuk menghilangkan barang bukti. Penyertaan
anak kalimat tersebut dalam artikel merupakan koherensi kondisional.
h. Bentuk Kalimat
Bentuk kalimat merupakan segi sintaksis yang berhubungan dengan cara
berpikir logis, yaitu prinsip kausalitas. Pada dasarnya bentuk kalimat yang tertulis
79 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. h. 244
95
dalam sebuah teks menentukan apakah subjek diekspresikan secara eksplisit
maupun implisit pada teks tersebut. Meskipun demikian
bentuk kalimat dapat dibuat secara aktif maupun pasif, namun inti dari sebuah
kalimat biasanya berada pada awal kalimat tersebut.
“Bagi Sujarah, keterangan Marsiyem tentang dua tamu pada
malam itu mengingatkannya pada peristiwa-peristiwa
mencurigakan beberapa hari sebelumnya.” (Paragraf 14).
Deretan kata yang tersusun pada artikel tersebut merupakan bentuk kalimat
aktif. Hal itu dapat kita lihat dengan adanya kata predikat, mengingatkannya,
yang menunjukan kata kerja aktif. Sujarah menjadi subjek dalam teks artikel ini.
Pada tahap ini bagian yang mendapat perhatian khusus adalah “mengingatkannya”,
kata tersebut merupakan bentuk sikap Sujarah, kerabat Udin, yang merasakan
sejumlah kejadian janggal sebelum malam kelabu itu.
i. Kata Ganti
Elemen kata ganti merupakan media yang digunakan oleh Komunikator
untuk memanipulasi bahasa dan menunjukan dimana posisi seseorang dalam teks
wacana. Kata ganti pada artikel “Tamu-tamu Misterius di Patalan” terdapat pada
paragraf ke 16, yang menjelaskan:
“Mereka berdiri di sebelah utara rumah kakek itu, 50 meter
dari kontrakan Udin. “Dua orang itu berbadan tegap tinggi,
dan memakai celana Jins” Kata Sujarah kepada Tempo,
akhir Agustus lalu.” (Paragraf 16)
Penggunaan kata “mereka” pada kalimat itu seolah-olah menciptakan jarak
antara Sujarah, kerabat Udin, dengan dua orang berbadan tegap dan tinggi. Dua
orang tersebut disangka sebagai pelaku pemukulan terhadap Udin. Wartawan
Tempo dengan sengaja menciptakan sebuah batasan antara pembaca dengan dua
orag tersebut. Batasan itu sebagai bentuk penolakan kekerasan kepada wartawan.
96
j. Leksikon
Leksikon adalah elemen wacana yang membahas bagaimana seseorang
memilih dan menggunakan sebuah kata walaupun masih ada padanan kata lainnya.
Ketika seseorang memilih sebuah kata dari berbagai kemungkinan kata yang
tersedia, maka pemilihan kata tersebut bukan sebuah kebetulan semata. Pilihan
kata-kata yang digunakan menunjukan sebuah sikap dan ideologi tertentu.
Elemen Leksikon atau upaya pemilihan kata pada artikel “Tamu-tamu
Misterius di Patalan” terdapat pada:
1. Kata janggal dalam kalimat: Kejadian Janggal beruntun menjelang Udin
dianiaya. Kata janggal memiliki padanan kata aneh. Kedua kata tersebut
bermakna peristiwa yang tidak biasa.
2. Kata kekar dalam kalimat: Dalam bahasa jawa, lelaki yang terlihat kekar
dan tinggi besar itu bertanya apakah Udin sudah pulang. Kata kekar
memiliki arti lain tegap kuat.
3. Kata bersirobok dalam kalimat: Ketika mata mereka bersirobok,
Marsiyem serasa pernah berjumpa dengan tamu berbadan kekar dan
tinggi tersebut. Kata bersirobok memiliki sinonim saling berpapasan.
4. Kata sekelebat pada kalimat: Sekelebat ia melihat orang yang
ditemuinya lari ke utara. Kata Sekelebat memiliki padanan kata sesaat.
5. Kata keponakan dalam kalimat: Kuncoro adalah keponakan Bupati
Bantul ketika itu, Sri Roso Sudarmo. Kata keponakan memiliki padanan
kata kemenakan.
6. Kata angkat tangang dalam kalimat: Di Rumah Sakit Bantul itu, dokter
angkat tangan lantaran peralatan medisnya tak memadai. Kata angkat
97
tangan memiliki kata lain menyerah.
7. Kata Ahad pada kalimat: Misalnya, pada Ahad malam, 11 Agustus 1996,
dia melihat dua orang mengendarai sepeda motor GL Pro mendatangi
warung bakmi milik Nursulaiman. Kata Ahad memiliki persamaan kata
Minggu.
8. Kata ngobrol pada kalimat: Pada malam harinya, dia kembali melihat
seseorang yang mirip dengan lelaki yang ngobrol dengan Mbah Marjo.
Kata ngobrol memiliki persamaan kata berbincang.
9. Kata gelagat dalam kalimat: Mereka melihat gelagat mencurigakan
sebelum Udin dianaya. Kata gelagat memiliki persamaan kata
gerak-gerik.
10. Kata tudingan dalam kalimat: Namun, karena belum ada tersangka
setelah Dwi Sumaji alias Iwik dibebaskan pengadilan dari tudingan
pembunuhan Udin, pengusutan kasus itu bisa diteruskan. Kata tudingan
memiliki persamaan kata tuduhan.
Tabel 4.2
Kerangka Analisis Data Artikel Tamu-tamu Misterius di Patalan
98
Struktur
Wacana
Elemen
Keterangan
Makro Topik atau Tema
Kejanggalan yang dirasakan oleh orang-orang di sekitar
Udin sebelum malam jahanam itu. Kejanggalan itu
meliputi, dua orang berbadan tegap yang mencari Udin
setiap malam sebelum Udin gugur, munculnya penjual
jagung di perempatan Bakulan sebelum Udin dianiaya,
Terpakirnya sebuah sedan Honda Civic Excellent biru
tua saat malam pembantaian, dan peristiwa
mencurigakan lainnya.
Superstruktur Skema Berawal dari judul artikel
Teras artikel
Story:
1. Suasana dan runtutan kejanggalan saat malam
penganiayaan Udin dan Penuturan Nur
Sulaiman, wanita paruh baya, tetangga Udin,
yang merasakan kejanggalan di sekitar rumah
Udin sebelum 13 Agustus 1996.
2. Penuturan sejumlah orang-orang dekat Udin
mengenai peristiwa yang mencurigakan
menjelang malam pembantaian Udin. Selain
itu kejanggalan juga terjadi di kantor harian
Bernas. Beberapa rekan Udin melihat
peristiwa yang tidak biasa sebelum Ia dihajar
3. Pada bagian akhir artikel berisi tentang
pandangan wartawan Majalah Tempo tentang
kasus Udin.
Struktur
Mikro
Latar
Paragraf 4
“Dalam bahasa Jawa, lelaki yang terlihat kekar dan
tinggi besar itu bertanya apakah Udin sudah pulang.
Udin yang dimaksudnya adalah Fuad Muhammad
Syafruddin, yang rumah kontrakannya berada di
seberang jalan warung bakmi Nur Sulaiman.”
Paragraf 5
99
“Ponikem menjawab bahwa Udin belum pulang. Pria
itu lantas pergi. Ia menghampiri seorang lelaki yang
menunggunya di sebelah selatan warung.
Berboncengan, mereka tancap gas. “Kendelan le
nunggang motor (berani naik motor dengan laju cepat).
Mereka pergi ke utara,” kata Nur ketika ditemui Tempo,
awal September lalu. Kisah perempuan 65 tahun itu
adalah peristiwa sebelum Udin dianiaya pada Selasa
malam, 13 Agustus 1996”
Detil
Paragraf 7
“Seorang lelaki dengan ikat kepala merah berdiri di
ambang pintu. Ia mengaku teman suaminya dan hendak
minta tolong memperbaiki sepeda motor. Sebatang besi
sebesar jempol dengan panjang sekitar 50 sentimeter
diperlihatkan “ Ini lho, Mbak, mau dimasukkan ke
knalpot tapi tidak bisa” Katanya.”
Paragraf 8
“Ketika mata mereka bersirobok, Marsiyem serasa
pernah berjumpa dengan tamu berbadan kekar dan
tinggi tersebut. Namun dia tidak ingat dimana.
Marsiyem masuk lagi ke dalam rumah dan memberi
tahu suaminya
Maksud
Paragraf 12
“Tak berselang lama, satu rombongan pemuda Bakulan
datang dari arah utara. Empat orang, yakni Yuniari,
Sigit Bambang Suryanto, Yanadi, dan Akung Prastowo,
mengendarai Jip Hardtop. Dua orang lainnya, Sigit
Prasetyo Wibowo dan Sri Kuncoro alias Kuncung, naik
sepeda motor. Oleh warga disana, Kuncung biasa
dipanggil Pak Aman karena Kepala Urusan Keamanan
Desa Patalan. Kuncoro adalah keponakan Bupati
Bantul ketika itu, Sri Roso Sudarmo.”
Pra-Anggapan
Paragraf 21
“Tak berhenti di situ kejadian-kejadian aneh yang
diamati Sujarah. Bertepatan dengan hari Udin dianiaya,
Jalan parangtritis, tepatnya di kilometer 13,5, ketika itu
terlihat lengang. Padahal baru memasuki isya. Sebuah
100
sedan Honda Civic Excellent biru tua terparkir tak jauh
dari rumah Udin. “kehadiran mobil ini juga tidak
lazim,” Sujarah menduga-duga.
Koherensi
Kondisional
Paragraf 17
“Marjo pula yang pada malam kejadian menutup
ceceran darah Udin dengan tanah, padahal polisi
belum melakukan olah tempat kejadian perkara.”
Bentuk Kalimat
Paragraf 14
“Bagi Sujarah, keterangan Marsiyem tentang dua tamu
pada malam itu mengingatkannya pada
peristiwa-peristiwa mencurigakan beberapa hari
sebelumnya.”
Kata Ganti
Paragraf 16
“Mereka berdiri di sebelah utara rumah kakek itu,
50 meter dari kontrakan Udin. “Dua orang itu
berbadan tegap tinggi, dan memakai celana Jins”
Kata Sujarah kepada Tempo, akhir Agustus lalu.”
Leksikon
1. Kata janggal pada paragraf 1
2. Kata kekar pada paragraf 4
3. Kata bersirobok pada paragraf 8
4. Kata sekelebat pada paragraf 10
5. Kata keponakan pada paragraf 12
6. Kata angkat tangan pada paragraf 13
7. Kata ahad pada paragraf 14
8. Kata ngobrol pada paragraf 18
9. Kata gelagat pada paragraf 23
10. Kata tudingan pada paragraf 27
11. Kata Tudingan pada paragraf 17
B. Analisis Kognisi Sosial Rubrik Laporan Khusus Bukti Baru
Pembunuhan Udin ”Bernas” di Majalah Tempo Edisi 10-16 November
2014
Dimensi kedua dalam analisis wacana model Teun A. Van Dijk adalah kognisi
sosial. Dimensi ini biasa digunakan oleh peneliti untuk menganalisa bagaimana
dan sejauh mana pengetahuan wartawan dalam memahami fenomena yang akan
disebarluaskan kepada masyarakat. Van Dijk mengenalkan kognisi sosial sebagai
101
kesadaran mental wartawan dalam membentuk teks berita.
Menurut Van Dijk, analisis wacana tidak terbatas pada struktur teks, karena
struktur wacana memiliki sejumlah makna, pendapat, dan ideologi. Oleh karena itu,
untuk membongkar makna tersembunyi dari teks tersebut kita membutuhkan
suatu analisis kognisi dan konteks sosial. Sebuah teks memiliki makna
terselubung karena diberikan oleh pemakai bahasa. Sehingga sebuah teks tidak
terbentuk dengan sendiri namun ada yang membuatnya.
Setiap teks pada dasarnya dihasilkan lewat kesadaran, pengetahuan, prasangka,
atau pengetahuan tertentu atas suatu peristiwa, maka disini wartawan tidak
dianggap sebagai individu yang netral, tetapi individu yang mempunyai bermacam
nilai, pengalaman, dan pengaruh ideologi yang didapatkan dari kehidupannya.
Hal yang sama juga terlihat pada teks, karya jurnalistik Majalah Tempo,
laporan khusus Bukti Baru Pembunuhan Udin “Bernas”. Laporan khusus tersebut
berisi tentang wacana kebebasan pers terkait penghilangan nyawa Udin karena
berita yang ia tulis. Dalam pembuatan setiap teks laporan khusus tersebut,
wartawan memiliki peran yang sangat penting dalam memberitakannya.
Peneliti ini lebih memfokuskan karya ilmiah ini pada bagaimana proses
penentuan isu dan pemilihan teks yang digunakan sebagai karya jurnalistik Majalah
Tempo. Peneliti melaksanakan wawancara dengan Jajang Jamaludin, Redaktur
Utama Majalah Tempo, beliau juga menulis pemberitaan pada rubrik laporan
khusus bukti baru pembunuhan Udin “Bernas”.
Selama 18 tahun Majalah Tempo konsisten mengawal kasus pembunuhan
Wartawan Bernas, Fuad Muhammad Syafruddin. Jajang Jamaludin mengatakan
Majalah Tempo memiliki alasan dan latar belakang yang membuat mereka
102
mewartakan kasus tersebut. Menurut Jajang mendiamkan sebuah kejahatan adalah
kejahatan itu sendiri. Secara gamblang Redaktur Utama Majalah Tempo itu
mengatakan
“Bagi Majalah Tempo Kasus Udin tidak boleh dilupakan begitu
saja. kasus Udin tidak boleh stagnan tanpa penyelesaian. Hal
itu yang membuat kami menulis kasus Udin setiap tahunnya.
Khusus tahun 2014, perkara kasus tersebut sudah berusia 18
tahun. Banyak pihak yang mewacanakan kasus itu akan
kadaluwarsa, merujuk pada Pasal 78, ayat 1, angka 4 KUHP.
Meskipun demikian bagi kami kasus Udin tidak akan
kadaluwarsa. Kasus pembunuhan yang kadaluwarsa bila
tersangka sudah jelas ada namun karena sesuatu hal dia tidak
tersentuh hukum atau kabur maka setelah 18 tahun akan
kadaluwarsa. Aparat tidak dapat menemukan siapa pembunuh
Udin. Iwik sendiri pada akhirnya terbukti tidak bersalah. Maka
menurut kami kasus Udin tidak bisa kadaluwarsa. Kami
berdiskusi dengan Komnas Ham dan Dewan Pers terkait kasus
ini. Selanjutnya kami membuat kontra opini kepada masyarakat
bahwa kasus Udin tidak akan kadaluwarsa. Kemudian hal lain
yang membuat kami menulis kasus Udin adalah ketika dua
organisasi jurnalis dunia, International Federation of
Journalists dan Committe to Protect Journalist, menggelar
bulan kebebasan pers Internasional. Mereka memfokuskan pada
kasus kekerasan terhadap jurnalis dalam kampanye mereka.
Kemudian Mereka juga menyoroti kasus kematian Udin agar
segera diselesaikan.80
Berdasarkan penjelasan Jajang tersebut, Majalah Tempo membuat
pemberitaan khusus kasus Udin karena terdapat kejanggalan yang mereka rasakan.
Selanjutnya mereka ingin menyampaikan kepada Pemerintah dan khalayak luas
bahwa kasus kematian Udin tidak akan kadaluwarsa meskipun KUHP Pasal 78,
ayat 1, angka 4 mengatur tentang jangka waktu sebuah kasus pembunuhan
kadaluwarsa. Pada kasus Udin, Jajang menyatakan bahwa sampai saat ini aparat
belum dapat menemukan pembunuh Udin. Oleh karena itu kasus pembunuhan
Udin tidak kadaluwarsa secara hukum yang berlaku di Indonesia.
80 Wawancara Langsung dengan Jajang Jamaludin, Redaktur Utama Majalah Tempo, Jakarta, 2
Juni 2016
103
Wartawan Majalah Tempo terlihat sangat menguasai duduk persoalan dan
kasus tersebut, merujuk pada hasil wawancara dengan Jajang Jamaludin. Pada
ranah analisis wacana, Van Dijk mengatakan sebuah peristiwa dipahami
berdasarkan sebuah skema. Ia juga menyebutkan skema itu sebagai sebuah model.
Menurut Van Dijk model menunjukan pengetahuan dan pandangan individunya
ketika melihat dan menilai sebuah persoalan. Model itu sendiri adalah sesuatu
yang unik dan bersifat subjektif. Model juga menampilkan pengetahuan serta
pendapat ketika wartawan memandang sebuah persoalan.81
Pemberitaan mengenai keganjilan kasus Udin tidak terlepas dari presdisposisi
terhadap suatu pihak, sehingga pada akhirnya muncul keberpihakan. Pada
pemberitaan kasus Udin Majala Tempo seolah-oleh ingin menyampaikan pesan,
pandangan, dan nilai-nilai kepada para pembacanya. Redaktur Utama Majalah
Tempo, Jajang Jamaludin, menyampaikan nilai-nilai yang ingin Majalah Tempo
sampaikan pada pemberitaan tersebut adalah:
“Nilai yang ingin kami sampaikan adalah bagaimana ikhtiar
kami melawan lupa terhadap kasus Udin. Jangan sampai kasus
yang terjadi pada tahun 1996 menguap begitu saja. Karena jika
didiamkan maka sampai kapan pun kebebasan pers di Indonesia
akan terus dibungkam. Selain itu Tempo tidak hanya sekadar
meliput tentang pembunuhan, melainkan bagaimana sosok
seorang Udin di mata kerabat, tetangga, dan istrinya. Hal
tersebut merupakan nilai yang bersifat abadi dan harus di
praktikan oleh wartawan sampai kapan pun. Jurnalis harus
mampu memertahankan nilai Independensinya apapun yang
terjadi. Udin pada situasi yang represif saja mau dan berani
apalagi kita yang hidup dalam era yang bebas. Hal itulah pesan
impisit yang ingin Majalah Tempo sampaikan. Selanjutanya
pesan kepada pihak yang tidak menginginkan kebebasan pers di
Indonesia, sampai kapan pun anda melakukan pembungkaman
terhadap wartawan yang independen dan profesional maka
akan mendapat perlawanan dari masyarakat bukan hanya dari
wartawan. Bentuk perlawanannya adalah dengan membawa
81 Eriyanto, Analisis Wacana; Pengantar Analisis Teks Media, h.261.
104
pada ranah hukum.”82
Melalui penjelasan tersebut semakin menegaskan bahwa seandainya kasus
Udin kadaluwarsa maka bahasa besar akan mengintai pers di Indonesia. Pasalnya
menurut Jajang jika kasus Udin menguap begitu saja, maka pembungkaman
terhadap kebebasan pers di Indonesia akan terus terjadi. Kemudian ia
menganalogikan independensi dan keberanian wartawan ketika masa orde baru
berkuasa dan masa demokrasi sekarang. Saat Orde baru berkuasa Udin teguh dan
bersikeras menjaga independensinya sebagai wartawan, meskipun pemerintah
bersikap represif. Sementara pada masa demokrasi seperti ini Ia berharap
independensi wartawan tetap terjaga sehingga pers dapat menjalankan fungsinya
dengan kebebasan pers yang menaunginya.
Majalah Tempo memiliki tujuan dalam rangka membuat pemberitaan laporan
khusus bertajuk Bukti Baru Pembunuhan Udin. Pada saat penulis melaksanakan
wawancara dengan Jajang Jamaludin, secara jelas Ia mengatakan:
“Tujuan kami memberitakan kasus Udin, untuk mengingatkan
Pemerintah dan Aparat bahwa mereka masih memiliki hutang
kepada Kerabat Udin bahkan masyarakat untuk menuntaskan
kasus tersebut. Wartawan Udin gugur ketika Orde Baru
berkuasa, masa dimana aktor-aktor demokrasi, media,
kebebasan berpendapat di bungkam oleh pemerintah. Sering
kali ketika mereka menjadi korban, tidak banyak yang berani
menyuarakan. Saat ini sudah lima kali ganti presiden namun
kasus ini belum terungkap. Kejadian ini pun masih menjadi
misteri karena belum ada pelaku maupun otak serangan
terhadap udin yang tertangkap dan bertanggung jawab atas
perilakunya.”83
Kasus pembunuhan wartawan Udin sarat hubungannya dengan beragam
berita yang Ia tulis. Ada indikasi Udin dibunuh karena ada pejabat yang marah
82 Wawancara Langsung dengan Jajang Jamaludin, Redaktur Utama Majalah Tempo, Jakarta, 2
Juni 2016 83 Wawancara Langsung dengan Jajang Jamaludin, Redaktur Utama Majalah Tempo, Jakarta, 2
Juni 2016
105
ihwal pemberitaan yang Ia tulis. Kini kasus pembunuhan wartawan Bernas
tersebut masih menjadi misteri yang terpendam rapat-rapat. Meskipun rezim Orde
baru sudah tidak berkuasa namun kasus ini masih gelap. Majalah Tempo menilai
pemerintah dan aparat penegak hukum memiliki hutang kepada masyarakat untuk
menuntaskan kasus Udin.
Pemimpin negeri ini sudah mengalami pergantian selama lima kali,
seharusnya kasus ini menjadi prioritas utama. Karena menyangkut dengan rasa
keadilan bagi keluarga Udin dan terwujudnya independensi wartawan ketika
kebebasan pers sudah benar-benar bebas. Hal yang menjadi sorotan utama
Majalah Tempo mewartakan kasus ini karena timbulnya wacana
mengkadaluwarsakan kasus ini. Pelbagai pihak merujuk pada KUHP Pasal 78,
ayat 1, angka 4 untuk melupakan kasus pembunuhan keji tersebut.
Menurut Majalah Tempo Kasus Udin merupakan kejahatan kemanusiaan.
Hal tersebut berdasarkan pada kecurigaan pelbagai pihak yang menduga
pembunuhan Udin terstruktur dan rapih. Tujuan pembunuan itu untuk mengancam
kebebasan pers di Indonesia. Menurut mereka kasus Udin tidak akan kadaluwarsa.
Kasus kekerasan terhadap insan pers di Indonesia setelah orde reformasi
kerap teradi di pelbagai wilayah di Indonesia. Organisasi Aliansi Jurnalis
Indepenen (AJI) mencatat terjadinya 565 kasus kekerasan terhadap pekerja pers
yang terjadi selama 17 tahun Era Reformasi bergulir. Jumlah tersebut belum
termasuk tindak kekerasan yang tidak dilaporkan. Melihat data dan fakta tersebut,
Majalah Tempo menilai meskipun Pemerintah tidak bersikap represif terhadap pers
namun kekerasan kerap terjadi.
Dari maraknya kasus yang menimpa pekerja pers dan dikaitkan dengan rubrik
106
pemuatan berita kasus Udin dalam rubrik Laporan Khusus Majalah Tempo. Jajang
mengatakan Majalah Tempo tidak hanya terfokus pada pembunuan terhadap Udin.
Tempo juga mewartakan sejumlah kekerasan terhadap pekerja media. Jajang
menjelaskan:
“Tidak hanya Udin, ada beberapa kasus kekerasan terhadap
jurnalis kami tulis, salah satunya kasus yang menimpa reporter
Sun TV, Ridwan Salamun. Tempo juga menulis tentang
kekerasan dan pembunuhan terhadap jurnalis di Indonesia.
Meskipun demikian, Udin sudah menjadi ikon dalam
memperjuangkan anti kekerasan terhadap jurnalis dan
perjuangan untuk kebebasan pers di Indonesia. Selain itu
Organisasi seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI) juga
melaksanakan Udin Award, penghargaan kepada individu
jurnalis/ kelompok jurnalis yang menjadi korban kekerasan
dalam menjalankan tugas jurnalistiknya secara profesional.
Selain itu, untuk menghormati jurnalis/kelompok jurnalis yang
menjadi korban kekerasan, Udin Award juga diselenggarakan
untuk mengingatkan masyarakat bahwa masih ada ancaman
bagi kebebasan pers.” 84
Peneliti menilai pemberitaan Majalah Tempo pada Rubrik Laporan Khusus
Udin Bernas terkesan lebih membela mendiang wartawan Udin. Saat peneliti
melakukan klarifikasi dengan Jajang terkait pembelaan tersebut. Ia tidak
menampik bahwa Majalah Tempo membela Udin. Jajang menuturkan ihwal
pembelaan Majalah Tempo kepada Udin.
“Udin layak untuk dibela, sebagai Jurnalis kami pun membela
sesuai dengan fakta bukan pembelaan yang semata-mata tanpa
alasan. Pada akhirnya kewajiban sebagai jurnalis untuk
menyuarakan yang tidak tersuarakan harus dijalankan oleh
jurnalis itu sendiri atau oleh media. Dalam konteks ini, suara
Udin, keluarga, dan kerabatnya tidak tersalurkan. Maka kami
menulis kasus Udin agar suara mereka tersampaikan. Oleh
karena itu Udin layak dan harus kita bela.”85
Berdasarkan penjelasan tersebut kita dapat memahami bahwa Pembelaan
84 Wawancara Langsung dengan Jajang Jamaludin, Redaktur Utama Majalah Tempo, Jakarta, 2
Juni 2016 85 Wawancara Langsung dengan Jajang Jamaludin, Redaktur Utama Majalah Tempo, Jakarta, 2
Juni 2016
107
Majalah Tempo terhadap Udin berdasarkan fakta yang mereka temukan dan
konstruksikan. Sebagai Jurnalis mereka perlu mewartakan suara yang tidak
tersalurkan, dalam hal ini keluarga Udin yang meminta kasus itu diselesaikan
demi keadilan. Bagi mereka membela Udin sebagai sebuah keharusan terlebih
kapasitas mereka sebagai jurnalis, bentuk pembelaan mereka dengan mereka
ulang setiap jengkal dan menit kejanggalan kasus Udin menjadi sebuah
pemberitaan.
Pada pemberitaan rubrik laporan khusus tersebut Majalah Tempo secara
terang-terangan membela wartawan Udin namun mereka tidak abai pada prinsip
dan etika jurnalistik, cover both side. Sebagai media yang sudah malang
melintang dalam dunia jurnalistik di Indonesia Majalah Tempo tetap seimbang
dalam setiap pemberitaan, termasuk pada kasus Udin.
“Awak Majalah Tempo senantiasa menggunakan disiplin
verifikasi dan menjunjung tinggi prinsip cover both side dalam
setiap pemberitaannya. Jadi kami selalu mencari sumber berita
dari pelbagai sumber, seperti pada pemberitaan Udin. Kami
mencari rumah Sri Roso dan menunggu kesempatan wawancara
dengan beliau hingga beberapa pekan. Kami mencari alamat
rumah beliau, ketika sudah dapat kami menunggu dan bertanya
kepada tetangga tentang Sri Roso. Setelah menunggu beberapa
waktu kami bertemu dengan sosok pria paruh baya yang sedang
menyirami bunga. Kami dapat memastikan bahwa pria tersebut
adalah Sri Roso Soedarmo, lalu kami meminta waktu untuk
melaksanakan wawancara. Awalnya beliau menolak namun
setelah awak Tempo menjelaskan pentingnya keberimbangan
berita akhirnya beliau memberikan kesempatan dan waktu untuk
wawancara. Sri Roso mengakhiri puasa berbicara kepada
media selama 18 tahun terkait pemberitaan tentang Udin.”86
Jajang Jamaludin mengisahkan bagaimana perjuangan Majalah Tempo untuk
melaksankan wawancara dengan Sri Roso Soedarmo, Bupati Bantul saat Udin
dibunuh. Mereka mencari alamat rumah Sri Roso dan menunggu hingga beberapa
86 Wawancara Langsung dengan Jajang Jamaludin, Redaktur Utama Majalah Tempo, Jakarta, 2
Juni 2016
108
pekan demi keseimbangan nilai berita. Hal itus sesuai dengan prinsip Majalah
Tempo dan independensi wartawannya, Mereka menjunjung tinggi prinsip cover
both side dalam setiap pemberitaan yang mereka buat. Media massa harus tetap
adil dan berimbang dalam mewartakan informasi kepada masyarakat, apapun isi
pemberitaannya.
Majalah Tempo juga selektif dalam memilih narasumber untuk setiap
pemberitaan mereka. Hal itu mereka lakukan demi menjaga independensi dan
kelayakan pemberitaan. Majalah Tempo membagi tiga lapis narasumber yang
akan mereka pilih sebagai sumber berita yang akan mereka verifikasi. Lebih jauh
Jajang menjelaskan kepada peneliti:
“Majalah Tempo sangat selektif dalam memilih narasumber,
kami menyebutnya dengan gradasi narasumber. Ketika
seseorang kita pilih menjadi seorang narasumber maka
otomatis narasumber tersebut adalah orang mengalami
langsung peristiwa yang akan diberitakan, bisa saja
narasumber tersebut adalah korban dan pelaku. Orang yang
mengalami peristiwa tersebut berada pada lapis pertama. Jika
reporter tidak mendapatkan narasumber yang sesuai pada lapis
pertama (karena sakit atau telah meninggal) maka akan
mencari narasumber lapis kedua. Pada level ini narasumber
adalah orang terdekat (suami, istri, anak, tetangga, kerabat
terdekat, saksi mata) yang mengalami peristiwa tersebut.
Selanjutnya pada lapis ketiga adalah aparat yang menangani
peristiwa tersebut, pemerintah yang menangani peristiwa
tersebut.
Penjelasan tersebut semakin menegaskan bahwa Majalah Tempo
mengerahkan daya dan upaya untuk membuat pemberitaan yang jujur,
berdasarkan fakta yang ada di lapangan. Sebagai Majalah ternama di jagat industri
media massa di Indonesia, Majalah Tempo senantiasa bersikap netral terhadap
fenomena yang terjadi. Terlebih pada kasus Udin, meskipun mereka menyatakan
dukungan dan keberpihakan terhadap Udin mereka tetap menjaga kenetralan.
109
Bagi Majalah Tempo, hal tersebut mereka lakukan demi menjaga kebenaran dan
keadilan. Ikhitiar mereka untuk melawan lupa dan menjaga kebebasan pers
dengan membuat pemberitaan berdasarkan fakta dan realita di lapangan.
Menyuarakan suara yang tidak tersampaikan merupakan salah satu fungsi
media massa, hal itu yang kami lakukan di Tempo. Wartawan Majalah Tempo
senantiasa menggunakan disiplin verifikasi dan menjunjung tinggi prinsip cover
both side dalam setiap pemberitaannya, tutup Jajang Jamaludin, Redaktur Utama
Majalah Tempo. Hal tersebut Ia sampaikan saat peneliti melaksanakan wawancara
di kantor redaksi Tempo Inti Media (TIM) group, Jalan Palmerah Barat, No. 8,
Palmerah, Jakarta Barat, 2 Juni 2016.
C. Analisis Konteks Sosial Rubrik Laporan Khusus Bukti Baru
Pembunuhan Udin ”Bernas” di Majalah Tempo Edisi 10-16 November
2014
Dimensi ketiga dalam wacana model Van Dijk adalah analisis sosial. Selain
itu banyak pihak yang menyebutkan dimensi ini sebagai konteks sosial. Pada
dimensi ini Van Dijk mengatakan bahwa untuk menganalisa wacana yang
berkembang dalam masyarakat kita harus melakukan analisis intertekstual.
Bentuk analisis itu dengan meneliti bagaimana sebuah wacana diproduksi dan
dikonstruksi dalam kehidupan masyarakat. Van Dijk juga mengungkapkan bahwa
analisis sosial memerlukan pemahaman tentang praktik kekuasaan (power) dan
akses (acces).
Dalam pemberitaan kasus pembunuhan Fuad Muhammad Syafruddin,
Majalah Tempo berusaha menguak misteri yang selama ini masih terpendam.
Dalang dan Aktor perbuatan keji 19 tahun silam hingga kini belum terungkap. Hal
itu membuat dukungan terhadap kebebasan pers di Indonesia semakin mengalir
110
dari dunia Internasional. Bahkan menurut anggota Dewan Pers, Imam Wahyudi,
Kasus pembunuhan wartawan Bernas Udin 19 tahun silam akan dibawa ke forum
internasional oleh dewan pers.87
Dukungan masyarakat terhadap penuntasan kasus Udin terus bergulir hingga
saat ini. Setiap tahunnya pelbagai organisasi pers di Indonesia turut menyuarakan
tuntutan mereka melalui aksi simpatik untuk mendukung pengungkapan kasus
Udin Bernas. Salah satunya adalah serangkaian kegiatan peringatan sembilan
belas tahun terbunuhnya Udin oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta,
Pers Mahasiswa (Persma) Se-Yogyakarta, komunitas Street Art Yogyakarta dan
Koalisi Masyarakat untuk Udin (K@MU) pada Ahad, 16 Agustus 2015.88
Bentuk dukungan lain terhadap pengungkapan kasus Udin juga datang dari
media massa. Seperti Majalah Tempo berbagai media massa cetak maupun
elektronik memberitakan kasus Udin. Tujuan mereka agar pemerintah terus
berupaya mengungkap kejahatan terhadap pekerja media dan menjaga stabilitas
kebebasan pers di Indonesia. Meskipun pemerintah hadir melalui lembaga dewan
pers namun upaya pengkerdilan kebebasan pers kerap terjadi.
Pemerintah melalui Pasal 15 UU No.40/1999 membentuk Dewan Pers yang
independen. Pembentukan lembaga pemerintah yang menaungi pers itu sebagai
upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers
nasional. Hal tersebut merupakan bentuk nyata bahwa pemerintah hadir dalam
kehidupan pers nasional.
87 Switzy Sabandar, “Pembunuhan Wartawan Udin Kasus Udin Dibawa Ke Forum
Internasional,” artikel ini diakses pada 21 April 2016 dari
http://www.harianjogja.com/baca/2015/08/22/pembunuhan-wartawan-udin-kasus-udin-dibawa-ke-
forum-internasional-635227 88 Sunudyantoro, “AJI Yogyakarta Desak Jokowi Dorong Penuntasan Kasus Udin ,” artikel
ini diakses pada 21 April 2016 dari
https://m.tempo.co/read/news/2015/08/16/078692437/aji-yogyakarta-desak-jokowi-dorong-penunt
asan-kasus-udin
111
Kekerasan terhadap wartawan kerap terjadi meskipun negara telah menjamin
kebebasan pers dalam pasal 4 UU No.40/1999, Kemerdekaan Pers dijamin seagai
hak asasi warga negara. Selanjutnya, pasal 8 UU No.40/1999, Dalam
melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum. Negara juga
menguatkan bentuk perlindungan terhadap kebebasan pers di Indonesia melalui
pasal 18 UU No.40/1999 ayat (1) yang berbunyi:
“Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan
tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan
Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)
tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah)”.
Berdasarkan uraian Undang-Undang No. 40 tahun 1999 itu, sudah jelas
bahwa upaya pengkerdilan kebebasan pers merupakan bentuk pelanggaran hukum
dan sudah ada sanksi tegas berupa hukuman kurungan badan serta denda. Terlebih
pada kasus Udin, pelaku pembunuhan Udin tidak saja melanggar UU No. 40
tahun 1999 melainkan pelanggaran KUHP tentang pembunuhan berencana dengan
sanksi terberat adalah hukuman mati.
Majalah Tempo secara konsisten mengawal kasus pembunuhan wartawan ini
sebagai sikap mereka untuk menentang segala bentuk pembelengguan terhadap
kebebasan pers. Sementara itu Aliansi Jurnalis Independen mencatat dalam satu
dekade ini, Januari 2005 hingga Desember 2015, telah terjadi 502 kasus kekerasan
terhadap insan pers nasional. Kerumunan massa merupakan pelaku terbanyak
yang melakukan kekerasan terhadap jurnalis.
Ketika pers mendapat tekanan sebenarnya bukan hanya pers secara lembaga
yang tertekan, namun kedaulatan rakyat juga ikut tertindas. Pada dasarnya
112
kebebasan pers merupakan unsur yang sangat penting dalam menciptakan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam lingkup negara
demokratis. Dalam konteks ini ketika pers mendapatkan intimidasi maka dapat
dipastikan bahwa pers tidak bisa berjalan secara sehat.
Kebebasan pers memberikan ruang kepada masyarakat untuk mengontrol dan
menyuarakan pendapatnya kepada Pemerintah. Selain itu roda pembangunan dan
pemerintahan akan berjalan secara transparan. Hal tersebut bisa memberikan
manfaat yang luas bagi masyarakat. Seperti yang tertuang dalam pasal 2 UU No.
40 Tahun 1999 tentang pers yang berbunyi “Kemerdekaan pers adalah salah satu
wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan
supremasi hukum”. Ketika pers sehat maka rakyat akan berdaulat.
D. Interpretasi Penelitian
Paska melaksanakan analisa terhadap Rubrik Laporan Khusus Bukti Baru
Pembunuhan Udin ”Bernas” di Majalah Tempo Edisi 10-16 November 2014,
peneliti menangkap sebuah kesan bahwa Majalah Tempo berusaha menjelaskan
adanya upaya intimidasi terhadap kebebasan pers dalam kaitannya dengan
tewasnya Fuad Muhammad Syafruddin, wartawan Harian Bernas. Selain itu,
peneliti menangkap pesan bahwa Majalah Tempo menghawatirkan wacana
penghentian kasus Udin oleh pelbagai pihak.
Kesan tersebut peneliti dapatkan setelah melaksanakan wawancara dengan
narasumber, Jajang Jamaludin, Redaktur Utama Majalah Tempo. Narasumber
merupakan inisiator dan wartawan yang terjun langsung di lapangan dalam
pembuatan rubrik Laporan Khusus Udin Bernas di Majalah Tempo.
Berdasarkan hasil wawancara tersebut, Majalah Tempo memiliki sejumlah
113
alasan dan landasan dalam mewartakan kasus Udin sebagai rubrik laporan khusus.
Jajang Jamaludin mengungkapkan, hal yang Majalah Tempo lakukan adalah
sebuah ikhtiar untuk melawan lupa terhadap pembunuhan keji tersebut. Meskipun
sudah berlangsung cukup lama kejadian itu tidak boleh didiamkan begitu saja.
Terlebih dua organisasi wartawan dunia, International Federation of Journalist
dan Committee to Protect Journalist menuntut pengungkapan kasus pembunuhan
terhadap wartawan di seluruh dunia, termasuk kasus Udin.
“Bagi Majalah Tempo Kasus Udin tidak boleh dilupakan begitu
saja. kasus Udin tidak boleh stagnan tanpa penyelesaian. Hal itu
yang membuat kami menulis kasus Udin setiap tahunnya. Khusus
tahun 2014, perkara kasus tersebut sudah berusia 18 tahun.
Banyak pihak yang mewacanakan kasus itu akan kadaluwarsa,
merujuk pada Pasal 78, ayat 1, angka 4 KUHP. Meskipun
demikian bagi kami kasus Udin tidak akan kadaluwarsa”.89
Majalah Tempo secara konsisten memberitakan kasus penganiayaan berujung
maut Fuad Muhammad Syafruddin meskipun peristiwa itu sudah terjadi sembilan
belas tahun silam. Majalah Tempo menyusuri kembali pembunuhan dan
pengadilan kasus itu dalam menulis laporan khusus ini. Selain itu Majalah Tempo
juga mengejar sejumlah narasumber seperti Iwik, Marsiyem, jaksa pengusut kasus
Udin, hingga sejumlah pegiat “dunia hitam” Yogya yang selama ini memiliki
informasi tetang kasus itu. Sri Roso, sumber sangat penting, yang selama ini
diduga memiliki keterkaitan erat dengan pembunuhan Udin juga mereka
wawancarai.
Pada pemberitaan Rubrik Laporan khusus Udin Bernas, Majalah Tempo
menempatkan kejanggalan kasus pembunuhan tersebut sebagai sebuah objek
pembahasan. Melalui penelitian ini, Peneliti ingin melihat bagaimana Majalah
89 Wawancara Langsung dengan Jajang Jamaludin, Redaktur Utama Majalah Tempo, Jakarta,
2 Juni 2016
114
Tempo membangun wacana kebebasan pers dalam pemberitaan Rubrik Laporan
khusus Udin Bernas Edisi 10-16 November 2014. Peneliti menyatukan teknik
pembelajaran teks (study text) dengan kajian fenomenologi dalam menyelesaikan
penelitian ini. Kajian fenomenologi merupakan sebuah metode analisis yang
mengamati gejala-gejala yang terjadi pada masyarakat ketika sebuah fenomena
dihadirkan dalam masyarakat itu.
Pada liputan yang bersifat reguler, Majalah Tempo memiliki rapat yang
dinamakan rapat perencanaan mingguan, setiap Jumat petang. Pada rapat tersebut
isu-isu yang beredar di masyarakat ditentukan, kemudian pada rapat tersebut
pemberitaan untuk pekan berikutnya ditentukan. Bahkan saat ini tempo
menargetkan dua pekan yang sudah direncanakan. Pada masa rapat itulah
penyeleksian tema ditentukan.
Sedangkan urutan proses produksi sebuah berita hingga naik cetak di Majalah
Tempo berawal dari rapat kompartemen pada masing-masing desk atau bidang,
setiap Jumat sekira 13.30 WIB. Pada tingkat ini rapat mencari usulan awak
Majalah Tempo atau peserta rapat. Setiap peserta boleh menyampaikan usulan
pada rapat tersebut. Meskipun demikian setiap usulan harus memiliki kelayakan
untuk diangkat menjadi berita, data awal yang kuat, data pendukung yang lengkap,
argumen yang kuat, dan cukup penting untuk diwartakan. Kemudian usulan
tersebut akan diuji pada rapat kompartemen.
Setelah lulus pada rapat kompartemen usulan tersebut diuji kembali pada rapat
pleno sekira 16.00 WIB. Rapat pleno dihadiri oleh seluruh redaksi Majalah Tempo,
Pemimpin Redaksi, Redaktur, Reporter, dan Fotografer. Jika ada seseorang yang
mengusulkan sebuah usulan namun tidak memiliki data awal yang kuat, argumen
115
yang jelas, maka isu tersebut akan gugur pada rapat pleno, siapapun yang
mengusulkan termasuk pimpinan redaksi.
Jika pada rapat pleno mendapat persetujuan dari seluruh peserta rapat maka
selanjutnya adalah pembagian tugas untuk menggarap usulan tersebut. Setelah
pembagian tugas maka setiap wartawan menjalankan perannya sesuai tugas yang
telah dibagikan. Reporter mencari sumber berita, menghubungi narasumber, dan
menulis artikel pemberitaan tersebut. Fotografer mencari gambar dan lainnya.
Ketika penugasan mengharuskan ke daerah atau keluar dari Jakarta, maka seluruh
perencanaan disusun secara matang. Sehingga menjadi sebuah pemberitaan yang
siap diwartakan.
Sebelum naik cetak, redaksi menggelar rapat pengecekan (checking) pada hari
Rabu. Pada rapat ini seluruh data dan bahan yang terkumpul diperiksa. Jika terdapat
bahan yang belum lengkap maka dalam waktu dua hari harus diselesaikan. Jika
dalam waktu dua hari tidak dapat terselesaikan maka usulan tersebut akan
dibatalkan atau disimpan untuk edisi selanjutnya.
Ketika dalam rapat checking bahan dan data sudah terkumpul maka redaktur
dan reporter akan memverivikasi ulang kepada sumber berita dan melihat kondisi
di lapangan. Jika sesuai maka usulan tersebut dapat naik cetak dan diproduksi. Jadi
seluruh pemberitaan yang ada di Majalah Tempo telah melewati tahap seleksi yang
ketat dari tingkat kompartemen, rapat pleno, hingga rapat checking.
Pada proses penentuan isu semua dapat terlibat mulai dari Reporter, Fotografer,
Redaktur, Hingga Pimpinan Redaksi. Siapa saja dapat menentukan arah dan
kebijakan Pemberitaan di Majalah Tempo, selama arah dan pemberitaannya
memiliki argumen yang kuat. Majalah Tempo mengedepankan proses demokrasi
116
termasuk dalam rapat redaksi sehingga siapa saja boleh mengusulkan pendapat dan
menentukan arah pemberitaan.
Sementara itu proses produksi rubrik laporan khusus pada dasarnya sama
namun yang berbeda adalah waktu rapat penyusuna rencana rubrik tersebut. Salah
satunya adalah Pemberitaan kasus Udin yang merupakan laporan khusus. Rapat
perencanaan untuk rubrik laporan khusus dilaksanakan pada akhir tahun, sekira
bulan Desember. Pada rapat itu redaksi Majalah Tempo merencanakan pembuatan
laporan khusus dalam satu tahun kedepan.
Termasuk kasus Udin karena timbulnya wacana dari pelbagai pihak untuk
membuat kasus Udin kadaluwarsa. Jika kasus Udin tidak ditulis (mengingatkan)
maka Majalah Tempo khawatir kasus ini akan benar-benar kadaluwarsa. Sehingga
mulai saat itu kasus Udin masuk dalam rubrik laporan khusus tahunan Majalah
Tempo pada tahun 2014.
Setiap redaksi Majalah Tempo mulai merencanakan apa saja yang akan
mereka investigasikan. Kemudian setiap awak Majalah Tempo diberikan
kesempatan untuk berbicara namun harus disertai argumen yang kuat. Sama
halnya pada pemberitaan kasus Udin, setelah mereka megumpulkan data awal,
melaksanakan rapat kompartemen, rapat pleno, dan rapat checking, laporan
khusus bertajuk Bukti Baru Pembunuhan Udin dapat naik cetak dan mereka
publikasikan kepada masyarakat.
Pada tahap kognisi sosial terkait pemberitaan rubrik laporan khusus, Bukti
Baru Pembunuhan Udin, Majalah Tempo mengatakan dengan lugas pembelaannya
kepada mendiang wartawan Udin. Pembelaan itu berdasarkan fakta yang mereka
temukan dan konstruksikan. Sebagai Jurnalis mereka perlu mewartakan suara
117
yang tidak tersalurkan, dalam hal ini keluarga Udin yang meminta kasus itu
diselesaikan demi keadilan.
Bagi mereka membela Udin adalah sebuah keharusan terlebih kapasitas
mereka sebagai jurnalis. Bentuk pembelaan mereka dengan mereka ulang setiap
jengkal dan menit kejanggalan kasus Udin menjadi sebuah pemberitaan.
Meskipun demikian Mereka tidak melupakan prinsip cover both side sebagai
syarat mutlak sebuah berita dan untuk memenuhi etika jurnalistik.
Memasuki fase Konteks Sosial, pemberitaan ini mendapatkan kecaman keras
dari insan pers, masyarakat, media massa, mahasiswa, Aliansi Jurnalis Independen
(AJI) Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), bahkan dua organisasi wartawan
dunia, International Federation of Journalist dan Committee to Protect Journalist.
Kasus pembunuhan Udin dapat menimbulkan perspektif negatif dalam upaya
penegakan kebebasan pers di Indoensia. Bentuk penghancuran kebebasan pers di
Indonesia tetap terjadi meskipun sanksi tegas, pembayaran denda hingga
kurungan badan, telah diatur dalam UU No. 40 tahun 1999 tentang pers.
Kebebasan pers bukan hanya milik media semata melainkan milik
masyarakat juga, ketika pers sehat maka rakyat berdaulat. Oleh karena itu,
tanggung jawab untuk menjaga kebebasan pers tidak hanya berlaku pada lembaga
media dan pemerintah saja, namun kewajiban masyarakat juga.
Ketika masyarakat bersatu dan menjaga kebebasan pers, maka kasus Udin
dapat tertungkap. Sehingga dalang dan aktor pembunuhan keji tersebut tertangkap.
Selain itu, ketika masyarakat menyadari pentingnya kebebasan pers bagi mereka,
maka aksi kekerasan terhadap pekerja media seharusnya tidak terjadi lagi.
Meskipun demikian, kebebasan pers bukan sesuatu yang tanpa batas.
118
Wartawan sebagai profesi yang berharap akan terwujudnya kebebasan pers di
Indonesia harus menjaga kepercayaan masyarakat. Pasalnya, saat ini tidak sedikit
oknum wartawan yang memergunakan kebebasan pers sebagai kedok bahkan alat
untuk memeras sejumlah instansi pemerintahan maupun swasta.
Kebebasan pers yang seharusnya digunakan oleh wartawan sebagai
perlindungan, nyatanya banyak yang menyalahgunakan. Hasilnya banyak
masyarakat yang menjadi skeptis bahkan menilai buruk profesi wartawan. Jika hal
itu terus terjadi maka aksi kekerasan terhadap pekerja media akan terus terjadi.
Kebebasan pers dapat terwujud jika semua elemen bersatu dan wartawan
dapat memanfaatkannya untuk menjalankan tugas jurnalistik. Bukan sebagai alat
untuk melakukan tindak pidana. Karena bisnis media merupakan bisnis
kepercayaan. Wartawan sebagai pekerja media wajib menjaga kepercayaan itu.
Sementara itu, melihat fenomena dunia jurnalisme di Indonesia dewasa ini,
Peneliti berdiskusi dengan sejumlah wartawan yang masih aktif bekerja di media
massa. Selain itu peneliti juga bertukar pikiran dengan sejumlah dosen Fakultas
Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang memiliki latar belakang wartawan.
Peneliti berdiskusi dengan Iman D. Nugroho, video editor CNN Indonesia,
mengenai perkembangan dan kondisi jurnalisme di Indonesia saat ini. Iman
menjelaskan, dewasa ini perkembangan pers di Indonesia sangat signifikan.
Ketika orde baru tumbang, banyak media baru bermunculan. Kebebasan media
dalam bersuara lebih terasa dibandingkan saat orde baru berkuasa. Terlebih saat
Menteri Penerangan teakhir, Yunus Yosfiah, menandatangani Undang-undang No.
40 tahun 1999 tentang pers.
Meskipun demikian kebebasan pers memiliki persfektif tersendiri. Kebebasan
119
pers yang ada hanya bersifat partly free atau sebagian. Kebebasan pers tidak
hanya sebatas karya jurnalistik bisa terbit, namun bagaimana proses penerbitan,
bagaimana proses wartawan mencari informasi. Contohnya banyak wartawan
asing yang kesulitan melaksanakan liputan di Indonesia, salah satunya di Papua.
Banyak wartawan dari luar negeri yang harus menandatangani sejumlah dokumen
dan persyaratan dalam membuat karya jurnalistik.
Selain itu, masih ada media yang tidak boleh menerbitkan karya jurnalistik
dengan konten tertentu karena terafiliasi kelompok politik tertentu. Selain itu
terdapat juga media yang membatasi diri atau melakukan self censorhip pada
konten berita karena terafiliasi kelompok ekonomi tertentu. Bahkan media yang
menjadi corong politik, ada partai yang menggunakan televisi untuk sosialisasi
dengan memutarkan hymne partai meskipun belum memasuki masa kampanye.
Selain itu hal yang terpenting saat ini adalah saat terjadi kasus kekerasan yang
menimpa pekerja media, hanya sebagian kecil yang selesai.
Ketua Bidang Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) ini menjelaskan
pada hakikatnya kehidupan jurnalisme di Indonesia diatur pada dua hal, yakni
Undang-undang Pers No 40, tahun 1999 dan kode etik jurnalistik. Ketika jurnalis
tidak taat pada dua hal tersebut maka ia tidak paham dengan pekerjaanya. Bahkan
jurnalis yang cenderung melanggar kode etik jurnalistik seperti menerima amplop,
menjadikan narasumber sebagai majikan, tidak melakukan disiplin verifikasi
dalam melakukan liputan, memasukan opini pribadi, memihak, dan lainnya.
Iman menyoroti banyak pemilik modal yang terafiliasi dalam kelompok
politik. Hal itu berdampak pada keberpihakan media massa yang mereka pimpin.
Tidak sedikit para pemilik modal yang menggunakan media massa untuk
120
kepentingan politik mereka, hal itu sangat bertentangan dengan kaidah media
massa sebagai ruang publik.
Tahun 2014 Aji mengeluarkan pernyataan sikap dengan merilis musuh
bersama kebebasan pers. Dalam rilisnya AJI mengklasifikasikan musuh
kebebasan pers adalah pengelola, pemimpin editorial, bahkan pemimpin redaksi
yang menggunakan media sebagai partisan. Pada masa itu media massa sendiri
yang menjadi musuh kebebasan pers, karena melanggar Kode Etik Jurnalistik dan
UU Pers.
Dampak fenomena itu adalah tingkat kepercayaan masyarakat kepada media
massa. Banyak masyarakat yang berburuk sangka pada media massa karena
dianggap terlalu memihak. Kemudian ada segelintir kelompok yang sengaja
memprovokasi masyarakat sehingga membahayakan media itu sendiri. “Ketika
Pemilu Presiden, terjadi pengerusakan kantor TV ONE karena kelompok yang
tidak setuju dengan arah pemberitaan mereka”.90
Pemahaman dan penilain publik yang tidak merata terhadap konten
pemberitaan mengakibatkan publik mudah diprovokasi. Masyarakat digiring
untuk menyalahkan media massa. Hal itu menjadi pelanggaran serius karena
membahayakan wartawan di lapangan. Fenomena itu adalah akibat media yang
tertumpangi kepentingan politik tertentu. Pelanggaran berat lainnya adalah ketika
jurnalis menjadi juru kampanye, seharusnya mereka wajib berhenti dan tidak lagi
berativitas. Karena hal tersebut sangat bertentangan dengan kode etik jurnalistik
Iman menyetujui ungkapan jurnalis adalah pekerjaan yang suci. Alasannya
adalah karena wartawan wajib mewartakan dan memihak pada kebenaran yang
90 Wawancara langsung dengan Iman D. Nugroho, Video Editor CNN Indonesia, Jakarta, 25 April
2017
121
sesuai fakta. Jurnalis harus benar dan jujur dalam membuat karya jurnalisme.
Jurnalis tidak boleh kehilangan integritas dan idelisme mereka dalam menjalankan
fungsinya sebagai watch dog. Bagi Iman tingkah laku dan kehidupan pribadi
jurnalis tidak berpengaruh pada karya jurnalisme mereka. Karena jurnalistik
memiliki karateristik sendiri. Selama jurnalis berpegang teguh pada kode etik dan
UU Pers dia dikatakan baik secara jurnalisme. Jurnalis yang tidak memihak,
melakuakan disiplin verivikasi, tidak memasukan opini pribadi, merupakan
jurnalis yang baik dalam jurnalistik. Karena tingkah laku dan karya jurnalistik
berbeda dan memiliki ukuran tersendiri.
Terkait Udin, Iman mengatakan bahwa kasus Udin merupakan pekerjaan
rumah paling besar dari dunia pers di Indonesia. Penyebabnya adalah kasus yang
terjadi puluhan tahun lalu namun hingga saat ini belum tuntas. Seandainya Aparat
penegak hukum dan pemerintah mau menyelesaikan kasus ini, seharusnya sudah
tuntas. Pasalnya, sejumlah orang yang seharusnya bertanggung jawab dan terlibat
pada saat itu, masih ada hingga sekarang, termasuk Bupati Sri Roso Soedarmo.
Kasus Udin seperti dilupakan oleh waktu.
Kemudian Peneliti bertukar pikiran dengan Isfari Hikmat, Jurnalis yang
bekerja sebagai Redaktur di media Detik TV. Isfari menilai kehidupan jurnalisme
dewasa ini di Indonesia menunjukan kebebasan sebuah kemajuan. Saat ini media
lebih kritis dan lebih mendapat kebebasan dalam berekspresi.
Meskipun demikian, kebebasan yang didapat oleh pers dewasa kini bukanlah
kebebasan yang tanpa batas. Pers perlu bertanggung jawab atas pemberitaan yang
mereka hasilkan. Terlebih saat ini tidak sedikit media massa yang dimiliki oleh
122
aktor politik. Menurut mantan jurnalis Sindo ini, saat ini masyarakat semakin
cerdas dan ktitis terhadap pemberitaan media massa. Terlebih ketika media
pemberitaan massa bersinggungan dengan kegiatan politik praktis.
Media seharusnya menjaga integritas mereka dalam setiap pemberitaan
meskipun aktor politik memiliki saham terbesar mereka. Selain itu, hal lain yang
harus diperhatikan oleh media adalah jika jurnalis mereka menjadi tim sukses.
Jika itu terjadi maka akan sangat berbahaya karena jurnalis tersebut dapat
membentuk opini publik melalui pemberitaan mereka. Meskipun demikian, Isfari
menegaskan hingga saat ini tidak ada jurnalis yang masih aktif bekerja sekaligus
menjadi tim sukses.
Sepengetahuan saya tidak ada jurnalis yang masih aktif bekerja dan menjadi
tim sukses pasangan calon kepala daerah. Jika ada, mungkin ia sudah tidak aktif
menjadi jurnalis atau sudah pensiun. 91 Ia juga menambahkan jika peneliti
mengetahui atau menemukan jurnalis aktif yang menjadi juru kampanye atau tim
sukses, maka peneliti harap memberitahukan kepada isfari.
Isfari juga mengkritisi sejumlah pemilik media yang kerap mementingkan
profit dan syahwat politik semata. Mereka kerap mengorbankan idealisme dan
kredibilitas media demi kepentingan pribadi. Jika hal itu terus terjad maka jurnalis
di lapangan yang mendapat imbasnya. Banyak aksi kekerasan terhadap pekerja
media kerap terjadi akibat pemberitaan yang sesuai dengan kaidah jurnalistik.
Selain itu, resistensi dan kepercayaan publik yang menurun terhadap media massa
menjadi dampak yang nyata.
Isfari menganalogikan profesi jurnalis layaknya guru di sekolah dan
91 Wawancara langsung dengan Isfari Ikmat, Redaktur Detik TV, Jakarta, 28 Oktober 2016
123
masyarakat luas adalah muridnya. Seorang guru memiliki tanggung jawab untuk
mencerdaskan peserta didik mereka. Terkadang siswa di sekolah tidak mengetahui
problematika yang dihadapi oleh pengajar mereka. Guru harus memberi pelajaran
secara terbuka, jujur, dan apa adanya.
Hal yang sama dengan jurnalis, terdapat tanggung jawab moral dalam benak
jurnalis untuk mencerdaskan masyarakat melalui karya jurnalisme yang dihasilkan.
Jurnalis harus tetap memberikan berita yang jujur, faktual, dan memenuhi kaidah
jurnalistik, meskipun kehidupan mereka sebagai manusia tidak lepas dari
permasalahan. Masyarakat tidak memerdulikan hal tersebut, jurnalis harus tetap
mempulikasikan berita yang benar.
Kemudian peneliti berbincang dengan Bernard Wahyu Wiyanta, mantan
Jurnalis Tempo dan pendiri Majalah Flona. Menurut Bernard Kasus Udin
merupakan masalah kebijakan pemerintah saja. Ia menilai Pemerintah memiliki
keinginan untuk menyelesaikan atau tidak. Jika kebijakan pemerintah mau
menyelesaikan maka dengan kemampuan Kepolisian, kasus tersebut tidak akan
memakan waktu berbulan-bulan. Namun karena banyak “orang penting” yang
terlibat maka kasus tersebut berlarut hingga saat ini.
Kemudian menurut Bernard semasa orde baru, kebebasan pers di Indonesia
diatur dan digiring untuk mengikuti kebijakan dan arah pemerintah. Namun, ada
sisi positifnya, yaitu pers menjalankan kode etik pers dengan baik. Kala itu Pers
sangat berhati-hati dalam menurunkan berita dan foto. Filter diberlakukan, dan
selalu melaksankan cross check terhadap laporan jurnalistik yang akan
dipublikasikan.
Memasuki era reformasi kebebasan pers mulai terasa nyata bagi media di
124
Indonesia. Penggiringan opini pemerintah pada masa orde baru tidak terjadi lagi.
Meskipun demikian ia mengkritisi kehidupan pers masa kini yang ia nilai sudah
kebablasan. Celakanya, saat ini, setelah diberlakukan kebijakan kebebasan pers
yang kemudian didukung dengan perkembangan teknologi kebebasan pers
diterjemahkan dengan sangat salah.92
Ia menambahkan, semua orang dengan device di genggaman tangannya
sekarang bisa menjadi seorang jurnalis dan mengirimkan berita ke seluruh penjuru
dunia. Kemudian bisa dilihat oleh siapapun hanya dalam hitungan detik. Disini,
baik jurnalis resmi maupun citizen journalis akhirnya sama-sama sudah tidak
patuh dengan kode etik jurnalistik.
Hal yang sering terjadi adalah tidak adanya cross check terhadap berita baik
tulisan maupun foto yang akan diturunkan ke medianya. Saat ini, berita, kabar
burung, dan gosip susah dibedakan dan tidak jelas kebenarannya. Bahkan sekelas
jurnalis surat kabar nasional pun, baik cetak, elektronik maupun online bisa
menulis berita dengan sekejap berdasarkan gosip.
Pada akhirnya Kondisi jurnalisme di Indonesia saat ini sudah dinodai dengan
berita online yang yang mengaburkan jurnalisme sesungguhnya. Sekarang
masyarakat sulit membedakan antara berita, gosip, hoax. Semua bisa membuat
berita dan tidak ada tindakan nyata dari dewan pers dan pemerintah. Selain itu
Framing pemberitaan media terutama dunia politik saat ini sudah tidak sehat
dalam mendidik masyarkat. Banyak wartawan yang menulis berita berdasarkan
pesanan, terlebih pemilik media yang berafiliasi dengan partai politik.
Bernard juga menyoroti pemilik modal media massa yang berafiliasi dengan
92 Wawancara langsung dengan Bernard Wahyu, Pendiri Majalah Flora, Jakarta, 30 Oktober
2016
125
dunia politik. Baginya hal semacam ini sudah lumrah karena sejak Indonesia
belum merdeka hal ini sudah ada. Penjajah Belanda dan Jepang, ketika itu
mempunyai surat kabar untuk propaganda masing-masing. Juga partai politik
yang baru tumbuh di Indonesia. Sebagai contoh, pada awal pergerakan, dulu
Syariat Islam mempunyai media sebagai corongnya yang ikut dibidani oleh Tirto
Adhi Soeryo.
Saat ini, dengan semakin mudah dan murahnya teknologi, maka semua orang
dan organisasi mempunyai medianya masing-masing. Bahkan beberapa media
besar, termasuk televisi pun banyak yang menjadi corong dari partai politik.
Media semacam ini tentu saja tidak akan berimbang dalam menurunkan berita.
Tapi, jika dana dari partai kemudian berkurang, maka media semacam ini akan
tumbang karena tidak mendapat kepercayaan dari masyarakat.93
Melihat fenomena tersebut ia mengatakan, Jurnalis seharusnya terikat dengan
kode etik jurnalistik. Menjadi juru kampanye jelas-jelas sudah melanggar kode
etik jurnalistik. Seorang jurnalis harus netral. Jika sudah tidak netral, atau menjadi
juru kampanye maka itu bisa disebut sebagai pelecehan terhadap profesi
jurnalistik, seharusnya dewan pers atau organisasi yang mewadahi jurnalis
tersebut memberi sanksi. Hal tersebut beralasan karena tingkah laku dan
kehidupan jurnlis tentu saja berpengaruh pada karya jurnalisme yang dihasilkan.
Hal itu berlaku sebaliknya, karya jurnalisme yang dihasilkan seorang jurnalis juga
bisa berpengaruh atau merubah tingkah laku dan kehidupan jurnalis.
Selanjutnya Bernard juga mengamini ungkapan pekerjaan jurnalis merupakan
pekerjaan yang suci. Bagi mantan Jurnalis Majalah Tempo ini, harusnya memang
93 Wawancara langsung dengan Bernard Wahyu, Pendiri Majalah Flora, Jakarta, 30 Oktober
2016
126
seperti itu. Meskipun demikian kesucian jurnalis di abad sekarang sudah mulai
luntur. Dulu orang tua saya seorang jurnalis yang jujur dan tetap miskin.
Masyarkat menghormati, pejabat korup takut dan menjadi tidak korup, penjahat
minggir dan beritanya selalu membuat perubahan untuk masyarkat. Jurnalis jaman
dulu, miskin tetapi ditempatkan di strata atas di kalangan masyarkat. Jurnalis
sekarang, kesuciannya sudah luntur dengan tuntuan ekonomi. Bahkan sekelas
media besar yang tirasnya merajai Indonesia dengan group medianya yang
merajalela, sekelas pemimpin redaksinya pernah menerima suap untuk tidak
menaikkan headline tentang Lapindo misalnya.94
Selanjutnya peneliti berdiskusi dengan Anastasia Eugenia Ika Wulandari
mengenai kasus yang melanda Udin Bernas. Bagi mantan Jurnalis Indonesia
Investor Daily ini, dalam kasus Udin, persoalannya tak cuma menyangkut
penguasa. Lebih dari itu, Udin adalah manusia. Dan menghilangkan nyawa
manusia, dari segi manapun, adalah kejahatan. Ia juga mengungkapkan Fuad
Muhammad Syafruddin meninggal akibat luka-luka aniaya, lembaga peradilan
Indonesia tak kunjung menjadikan kasus ini gamblang. Padahal, masa-masa Orde
Baru, era terjadinya kasus ini, telah lama lewat. Jika mengingat keterbukaan yang
dijanjikan pemerintah kini, kasus Udin sudah semestinya dituntaskan.
Ika juga membandingkan ketika masih akif bekerja sebagai jurnalis
pembungkaman terjadi dimana-mana, dan kebebasan yang dirasakan oleh pers
sangat terbatas. Berbeda dengan kebebasan pers dewasa ini, Ika merasa saat ini
pers lebih fleksibel dalam mengutarakan peristiwa dan dapat mengeklporasi
sebuah fenomena dari sudut pandang yang lebih luas.
94 Wawancara langsung dengan Bernard Wahyu, Pendiri Majalah Flora, Jakarta, 30 Oktober
2016
127
Selanjutnya, Ika juga berpendapat saat maraknya media massa yang berafiliasi
dengan salah satu aktor politik. Baginya, Afiliasi tak bisa dihindari, bagaimanapun,
media massa tak bisa lepas dari kecenderungan-kecenderungan.95 Mungkin bukan
sehat atau tidak sehat, melainkan “seberapa objektif” media-media massa
sekarang. Untuk memahami seberapa objektif, mesti dikembalikan ke masyarakat
umum.
Kemudian Ika juga merisaukan framing pemberitaan di media massa yang
berafiliasi dengan aktor politik atau partai politik. Arah dan framing pemberitaan
media-media tersebut cenderung subjektif, tidak objektif. Hal itu bergantung
terhadap kecenderungan-kecenderugan memihak media yang bersangkutan. Pada
akhirnya kecenderungan itu akan membahayakan kinerja jurnalistk. Karena
konflik kepentingan dapat memengaruhi kerja jurnalistik.
Peneliti berbincang dengan Fauzan Lutsa, mantan Jurnalis Rajawali TV, RCTI,
Pos Metro, dan Global TV. Bagi Fauzan Perkembangan secara kualitas pers
dewasa ini sangat menggembirakan. Perumpamaan yang pas untuk kehidupan
pers dewasa ini adalah pers dari masa kegelapan menjadi masa yang terang
benderang seperti saat ini. Saat ini masyarakat bisa mendapatkan hak informasi
secara utuh. Masyarakat bisa memiliki pilihan-pilihan pemberitaan yang disajikan
oleh media. Kondisi saat ini memang menggembirakan namun pada sisi lainnya
kebebasan itu cenderung menakutkan. Kebebasan yang berlebihan menghasilan
penyalahgunaan jurnalistik seperti munculnya media yang kurang akurat
melakukan verifikasi berita.
Fauzan mendukung langkah Dewan Pers melaksankan uji kompetensi
95 Wawancara langsung dengan Anastasia Eugenia Ika Wulandari, Mantan Jurnalis Indonesia
Investor Daily, Tangerang, 13 November 2016
128
wartawan dan verifikasi media sebagai alat guna membendung munculnya
media-media yang tidak jelas. Selain itu langkah Dewan Pers merupakan cara
yang cukup ampuh untuk menjaga kebebasan pers di Indonesia. Pada akhirnya
hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang bermutu tetap terjaga.
Munculnya media-media yang terafiliasi dengan kelompok politik memang
Keith Rupert Murdoch tidak dapat terhindarkan. Pasalnya fenomena tersebut juga
terjadi di luar negeri, seperti Keith Rupert Murdoch yang memiliki banyak koran
melalui News Corporation. Meskipun demikian seharusnya media yang terafiliasi
kelompok politik hanya pada media cetak saja, bukan media elektronik seperti
radio dan televisi. Mereka tidak layak berafiliasi dengan kelompok politik karena
mendapatkan hak frekuensi publik secara gratis. Mereka memiliki tanggung jawab
moral memberitakan hal yang berimbang karena memanfaatkan fasilitas tersebut.
Dalam hal tertentu karya jurnalistik media yang terafiliasi dengan kelompok
politik menjadi tidak sehat. Contohnya media yang tergabung dalam MNC Group,
I News TV, Okezone pastinya tidak akan berbicara negatif tentang PERINDO.
Meskipun framing pemberitaan pada karya jurnalistik menjadi hak mutlak
sebuah media massa. Seharusnya mereka tidak membuat framing berita yang
mengamankan pemilik modal karena pada akhirnya masyarakat yang akan
dirugikan. Ketika hal ini terjadi seharusnya Komisi Penyiaran Indonesia
memainkan perannya secara tegas.
“Hal yang menjadi persoalan fundamental hingga saat ini adalah kesejahteraan
dan jurnalis yang meninggalkan mazhab tanda tanya”.96 Mazhab tanda tanya
adalah sebuah terminologi Fauzan mengenai fenomena jurnalis yang mengerjakan
96 Wawancara langsung dengan Fauzan Lutsa, mantan jurnalis RCTI, 25 April 2017.
129
sebuah isu pemberitaan tanpa menyeluruh, tanpa melihat latar belakang,
pembaruan selanjutnya mengenai pemberitaan tersebut tidak ada. Hasilnya banyak
masyarakat yang mendapatkan informasi kurang menyeluruh dan bermutu.
Fauzan menyetujui ungkapan jurnalis adalah pekerjaan yang suci. Baginya
Jurnalis merupakan sebuah jembatan penghubung antara sumber informasi dan
masyarakat. Ketika jurnalis melaksanakan tugasnya secara jujur dan mematuhi
kode etik jurnalisme maka kualitas jembatan itu akan meningkatkan.
Saat masih bekerja di RCTI, Fauzan melihat bagaimana dahsyatnya pola pikir
seorang produser dalam membingkai sebuah pemberitaan. Pengetahuan dan
keyakinan mereka akan tercermin dari berita yang mereka hasilan. Sehingga
baginya tingkah laku dan pola pikir berpengaruh pada produk jurnalistik.
Jurnalis yang menjadi juru kampanye masih menjadi perdebatan yang sangat
sengit bagi para praktisi media. Pada fenomena itu terdapat hal yang multi
dimensi seperti kesejahteraan, idealisme, dan lainnya. Seharusnya jurnalis yang
menjadi juru kampanye mengambil cuti dan terbebas dari aktivitas jurnalistik
karena produk yang mereka hasilkan akan bias. Pemberitaan yang bias akan
membuat masyarakat menjadi korban.
130
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Majalah Tempo mewacanakan kebebasan pers melalui karya jurnalisme
mereka, rubrik laporan khusus bukti baru pembunuhan Udin “Bernas”,
berdasarkan rapat redaksi (rapat kompartemen, rapat pleno, dan rapat checking)
majalah mingguan tersebut. Pada rapat itu seluruh penerbitan isu, usulan, rencana
pemberitaan diuji dan disusun oleh seluruh wartawan Majalah Tempo. Selain itu,
mereka juga memetakan perkembangan isu di masyarakat dan menilai kondisi di
lapangan.
Kemudian mereka juga menampilkan isi pemberitaan di Koran Tempo dan
media daring, Tempo.co untuk memberitakan pembunuhan Udin. Meskipun
demikian terdapat perbedaan porsi pemberitaan yang diwartakan. Pemberitaan
pada koran dan media daring hanya berupa peristiwa terbaru mengenai kasus
Udin seperti aksi tabur bunga rekan-rekan jurnalis di Yogya, napak tilas
pembunuhan kasus Udin dan kegiatan lainnya. Sedangkan Pemberitaan yang lebih
rinci dan mendalam mereka wartakan melalui Majalah Tempo.
Hal tersebut mereka lakukan agar masyarakat luas lebih memahami
kejanggalan pembunuhan Udin dan mendukung upaya penuntasan kasus tersebut.
Bagi mereka rubrik laporan khusus bertajuk Bukti Baru Pembunuhan Udin adalah
karya jurnaslime yang mereka gunakan untuk melawan lupa.
Majalah Tempo mengangkat kasus pembunuhan Udin pada November 2014,
setelah dua organisasi wartawan dunia, International Federation of Journalist dan
Commite to Protect Journalists mencanangkan bulan itu sebagai bulan kampanye
131
menuntut pengungkapan pembunuhan wartawan di seluruh dunia, termasuk
kasus Udin. Terlebih kasus pembunuhan tersebut telah memasuki masa 18 tahun,
sehingga jika kasus ini tidak terungkap maka akan kadaluwarsa.
Mereka menganggap pembunuhan keji tersebut tidak bisa didiamkan begitu
saja. Bagi mereka melupakan kejahatan merupakan kejahatan itu sendiri. Terlebih
banyak yang menduga kasus pembunuhan Udin memiliki benang merah terhadap
karya jurnalistik yang ia hasilkan. Tindakan itu secara nyata mengancam
kebebasan pers di Indonesia.
Wartawan Majalah Tempo mengurai kembali pembunuhan dan peradilan
kasus Udin. Usaha melawan lupa yang mereka lakukan berbuah manis ketika
bekas Bupati Bantul, Sri Roso Sudarmo, berhasil mereka wawancarai. Sri Roso
menjadi sumber penting dalam pemberitaan ini. Selama 18 tahun Ia memilih
bungkam seribu bahasa terhadap media, setelah kasus pembunuhan wartawan
Bernas itu menjadi sorotan publik Majalah Tempo tetap menjaga keseimbangan
berita dengan melakukan wawancara dengan Sri Roso Soedarmo. Selain itu
mereka juga mendatangi sejumlah narasumber yang terkait dengan kekerasan
terhadap Udin.
Dalam penulisan artikel tersebut kognisi sosial wartawan Majalah Tempo
memiliki pengaruh yang besar. Mereka memberikan data dan fakta melalui karya
jurnalistik yang mereka hasilkan dalam rubrik Laporan Khusus Bukti Baru
Pembunuhan Udin Bernas. Seluruh personil Majalah Tempo dengan tegas
menolak segala bentuk dan upaya kekerasan terhadap wartawan, terlebih pada
pembunuhan Udin. Mereka juga secara terang-terangan menyatakan pembelannya
kepada Udin. Hal tersebut menyebabkan pengaruh yang besar pada bentuk dan isi
132
artikel rubrik Laporan Khusus Bukti Baru Pembunuhan Udin Bernas.
Pemberitaan pada rubrik tersebut digunakan oleh wartawan Majalah Tempo
untuk memberitahu masyarakat tentang kejanggalan pada kematian wartawan
Udin. Mereka menilai kematian Udin memiliki benang merah dengan karya
jurnalistik sebelum ia gugur. Alasan tersebut membuat Majalah Tempo
mengkonstruksi teks berita yang menggambarkan kejanggalan bahkan setelah
Udin meninggal. Mereka membuka tabir yang selama ini tersimpan rapat kepada
publik melalui pemberitaan tersebut.
Pada tahap konteks sosial secara tersirat apa yang dilakukan oleh Majalah
Tempo merupakan wujud aspirasi suara wartawan dan masyarakat umum yang
menolak segala bentuk kekerasan di Indonesia. Hal itu tercermin dari isi berita
yang mengangkat beberapa pendapat kerabat Udin, akademisi, wartawan,
Pemerintah Kabupaten Bantul, dan Mantan Bupati Bantul, Sri Roso Soedarmo.
Intinya, mereka meminta kasus pembunuhan wartwaan Udin dapat terungkap.
Ketika kasus pembunuhan Udin tidak terungkap maka akan muncul persepsi
buruk masyarakat terhadap sistem peradilan di Indonesia. Selain itu jika kasus itu
tidak terungkap maka akan timbul kekhawatiran terhadap aksi serupa terhadap
wartawan, pada akhirnya kebebasan pers di Indonesia terbelenggu. Mereka juga
khawatir pada wacana untuk melupakan kasus Udin oleh beberapa pihak yang
tidak menghendaki adanya kebebasan pers.
Menurut Majalah Tempo Kasus Udin merupakan kejahatan kemanusiaan.
Hal tersebut berdasarkan pada kecurigaan pelbagai pihak yang menduga
pembunuhan Udin terstruktur dan rapih. Tujuan pembunuan itu untuk mengancam
kebebasan pers di Indonesia.
133
B. Saran
1. Saran Akademis:
a. Adanya peneletian sejenis yang lebih rinci dan mendalam terhadap
kasus kekerasan terhadap Jurnalis dan kebebasan pers di Indonesia.
b. Pembuatan Jurnal mengenai kekerasan terhadap jurnalis dan
kebebasan pers oleh para akademisi dan praktisi.
c. Adanya seminar, loka karya, maupun pemuatan di media massa
mengenai aksi kekerasan terhadap jurnalis dan kebebasan pers di
sejumlah universitas, sekolah maupun lembaga pers
2. Saran Praktis:
a. Majalah Tempo tetaplah menulis karya Jurnalistik dengan lugas dan
tegas
b. Kasus Udin harus tetap dikawal sampai ada pengungkapan kasus
tersebut.
c. Para pemerhati pers di Indonesia lebih menyuarakan kebebasan pers
di Indonesia.
d. Ikhtiar melawan lupa yang digagas oleh Majalah Tempo hendaknya
terus dilakukan oleh masyarakat terlebih para jurnalis.
e. Jurnalis dapat berperan seperti Udin yang mampu menyuaraan hal
yang tidak tersuarakan
f. Sudah selayaknya jurnalis masa kini yang hidup pada era yang lebih
bebas dapat menjaga independensinya. Berpikir skepstis karena
itulah jiwa seorang jurnalis.
g. Berkurangnya kasus Kekerasan terhadap jurnalis
134
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku:
Ardianto, Elvinaro. Metodologi Penelitian untuk Public Relation kuantitatif dan
kualitatif. Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2011.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:
Rineka Cipta, 2002.
Barus, Sedia Wiling, Jurnalistik; petunjuk teknis menulis berita. Jakarta: Erlangga,
2010
Bungin, Burhan. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Raja Grafindo, 2004.
Bungin, Burhan. Konstruksi Sosial Media Massa: Kekuatan Pengaruh Media
Massa, Iklak Televisi, dan Keputusan Konsimen serta Kritik Terhadap
Peter L. Berger dan Thomas Luckman. Jakarta: Kencana, 2008.
Eriyanto. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta:
LKIS, 2008.
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKIS,
2009.
Hamad, Ibnu. Konstruksi realitas politik dalam media massa:sebuah studi critical
discourse analysis terhadap berita-berita politik. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2004.
Hanif Suranto, Pers Indonesia Pasca Suharto, Jakarta: Lembaga Studi Pers dan
Pembangunan, Aliansi Jurnalis Indonesia. Jakarta, 1999
Harahap, Naungan. Bisnis Media vs Kemerdekaan Pers; Dalam Kajian Hukum
Praktik Monopoli & Persaingan Usaha di Indonesia. Jakarta: Panitia Hari
Pers Nasional 2014 dan Persatuan Wartawan Indonesia Pusat, 2014
135
Kasman, Suf. Pers dan Pencitraan Umat Islam di Indonesia; Analisis Isi
Pemberitaan Harian Kompas dan republika. Jakarta: Balai Litbang dan
Diklat Kementrian Agama RI, 2010
Kusumaningrat, Hikmat & Purnama Kusumaningrat, Jurnalistik: Teori dan
Praktik, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005
Massardi, Noorca M. dkk. Udin Darah Wartawan: Liputan Menjelang Kematian.
Bandung: Penerbit Mizan, 1997.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif: Edisi Revisi. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2010.
Mulyana, Deddy. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu
Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2001.
Nurudin, Jurnalisme Masa Kini. Jakarta: Rajawali Pers, 2009
Oetama, Jakob. Pers Indonesia: berkomunikasi dalam masyarakat tidak tulus.
Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KTD), Beberapa Segi
Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Samantho, Ahmad Y. Jurnalistik Islami; Panduan Praktis bagi Para Aktivis
Muslim, Bandung: Mizan, 2002.
Sarosa, Samiaji. Penelitian Kualitatif: Dasar-Dasar. Jakarta: Indeks, 2012.
Sumadiria, Haris. Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature Panduan
Praktis Jurnalis Profesional. Bandung: Sibiosa Rekatama Media, 2005.
136
Sobur, Alex. Analisis Teks Media (Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana,
Analisis Semiotik, dan Analisis Framing). Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2006.
Tebba, Sudirman. Jurnalistik Baru. Ciputat: Kalam Indonesia, 2005
Vardiansyah, Dani. Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Jakarta: Indeks,
2008.
Sumber Internet
Aliansi Jurnalis Independen, “Data Kekerasan”,
http://advokasi.aji.or.id/index/data-kekerasan/1/10.html. 26 Agustus 2015
Daniel, “Hari Bersejarah yang Menentukan "Kompas" Bisa Eksis Sampai
Sekarang”,
http://www.kompasiana.com/danielht/hari-bersejarah-yang-menentukan-k
ompas-bisa-eksis-sampai-sekarang5590aec87a937325048b4567. 25
Agustus 2015
Iman D. Nugroho, “Jurnalis Diintai Maut”
http://aji.or.id/read/berita/271/Hari-Kebebasan-Pers-Internasional-3-Mei-2
014.html. 26 Agustus 2015
https://korporat.tempo.co/tentang/sejarah. 27 Juli 2015
Rine Araro, “Kebebasan Pers Perspektif Hukum
http://manado.tribunnews.com/2013/04/28/kebebasan-pers-perspektif-huk
um?page=2/. 17 Agustus 2015
Sunudyantoro, “AJI Yogyakarta Desak Jokowi Dorong Penuntasan Kasus Udin,”
https://m.tempo.co/read/news/2015/08/16/078692437/aji-yogyakarta-desak
-jokowi-dorong-penuntasan-kasus-udin. 21 April 2016
137
Switzy Sabandar, “Pembunuhan Wartawan Udin Kasus Udin Dibawa Ke Forum
Internasional,”http://www.harianjogja.com/baca/2015/08/22/pembunuhan-
wartawan-udin-kasus-udin-dibawa-ke-forum-internasional-635227. 21
April 2016
Tim Tempo, “Usai Malari, Banyak Media Dibredel
http://nasional.tempo.co/read/news/2014/01/15/078544903/usai-malari-ba
nyak-media-dibredel/. 27 Juli 2015
Yearry, “Komunikasi dan Konstruksi Sosial Atas Realitas,”
https://yearrypanji.wordpress.com/2008/06/04/komunikasi-dan-konstruksi-
sosial-atas-realitas/. 14 Mei 2015
Skripsi
Ana Aryati “Wacana Kekerasan Oknum Aparat Terhadap Wartawan Pada Harian
Republika Edisi 17 Oktober 2012” Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan
Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2013.
Rahmaidah “Wacana Keterlibatan Anak-anak Dalam Kampanye Partai Keadilan
Sejahtera Jelang Pemilu 2014 di Merdeka.com”. Skripsi S1 Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta 2014.
Wawancara
Wawancara langsung dengan Jajang Jamaludin, Redaktur Utama, MajalahTempo,
Jakarta, 2 Juni 2016
138
Lampiran Hasil Wawancara
Narasumber : Jajang Jamaludin
Jabatan : Redaktur Utama Majalah Tempo
Hari / Tanggal : Kamis / 2 Juni 2016
Waktu : 20.00 - 21.30 WIB
Tempat : Kantor Redaksi Majalah Tempo, Palmerah, Jakarta Barat
1. Apa yang melatarbelakangi Majalah Tempo tertarik mengangkat isu
Pembunuhan Udin pada tahun 1996?
Jawab: Ikhtiar awak Majalah Tempo untuk melawan lupa, bagi Majalah
Tempo Kasus Udin tidak boleh dilupakan begitu saja. Selain itu bukan hanya
karena Sebagai sesama jurnalis namun rekan-rekan pegiat hak asasi juga
memiliki pendapat yang sama, kasus Udin tidak boleh stagnan tanpa
penyelesaian. Hal itu yang membuat kami menulis kasus Udin setiap tahunnya.
Khusus tahun 2014, perkara kasus tersebut sudah berusia 18 tahun.
Banyak pihak yang mewacanakan kasus itu akan kedaluwarsa, merujuk
pada Pasal 78, ayat 1, angka 4 KUHP. Meskipun demikian bagi kami kasus
Udin tidak akan kedaluwarsa. Kasus pembunuhan yang kedaluarsa bila
tersangka sudah jelas ada namun karena sesuatu hal dia tidak tersentuh hukum
atau kabur maka setelah 18 tahun akan kedaluarsa.
Aparat tidak dapat menemukan siapa pembunuh Udin. Iwik sendiri pada
akhirnya terbukti tidak bersalah. Maka menurut kami kasus Udin tidak bisa
kedaluwarsa. Maka dari itu kami berdiskusi dengan Komnas Ham dan Dewan
139
Pers terkait kasus ini. Selanjutnya kontra opini bahwa kasus Udin tidak
akan kedaluwarsa
Kemudian ada dua organisasi jurnalis dunia, International Federation of
Journalists dan Committe to Protect Journalist, menggelar bulan kebebasan
pers Internasional. Mereka memfokuskan pada kasus kekerasan terhadap
jurnalis dalam kampanye mereka. Kemudian Mereka juga menyoroti kasus
kematian Udin agar segera diselesaikan.
2. Dari sekian banyak Kasus kekerasan terhadap pers di Indonesia. Apakah
pemberitaan Majalah Tempo hanya memfokuskan pada Udin saja?
Jawab: Tidak hanya Udin, ada beberapa kasus kekerasan terhadap jurnalis kami
tulis, salah satunya kasus yang menimpa reporter Sun TV, Ridwan Salamun. Majalah
Tempo juga menulis tentang kekerasan dan pembunuhan terhadap jurnalis di
Indonesia. Meskipun demikian, Udin sudah menjadi ikon dalam memperjuangkan anti
kekerasan terhadap jurnalis dan perjuangan untuk kebebasan pers di Indonesia.
Selain itu Organisasi seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI) juga
melaksanakan Udin Award, penghargaan kepada individu jurnalis/ kelompok jurnalis
yang menjadi korban kekerasan dalam menjalankan tugas jurnalistiknya secara
profesional. Selain itu, untuk menghormati jurnalis/kelompok jurnalis yang menjadi
korban kekerasan, Udin Award juga diselenggarakan untuk mengingatkan masyarakat
bahwa masih ada ancaman bagi kebebasan pers.
3. Apa pertimbangannya sehingga kasus Udin mendapat tempat lebih di
Majalah Tempo?
Jawab: Pada masanya Kasus Udin mendapat perhatian yang luas dari
masyarakat. Hal itu dapat terjadi karena terbunuhnya Udin merupakan kasus
yang besar. Selain itu hingga saat ini banyak organisasi dari berbagai pihak
140
meminta aparat dan pemerintah untuk membuka serta menuntaskan kasus
Udin.
4. Apa tujuan Majalah Tempo memberitaan kasus Udin?
Jawab: Untuk mengingatkan Pemerintah dan Aparat bahwa mereka masih
memiliki hutang kepada Kerabat Udin bahkan masyarakat untuk menuntaskan
kembali kasus Udin. Wartawan Udin gugur ketika Orde Baru berkuasa, masa
dimana aktor-aktor demokrasi, media, kebebasan berpendapat di bungkam
oleh pemerintah. Sering kali ketika mereka menjadi korban, tidak banyak yang
berani menyuarakan.
Saat ini sudah lima kali ganti presiden namun kasus ini belum terungkap.
Kejadian ini pun masih menjadi misteri karena belum ada pelaku maupun otak
serangan terhadap udin yang tertangkap dan bertanggung jawab atas
perilakunya.
5. Bagaimana proses penentuan atau penyeleksian suatu tema di Majalah
Tempo sehingga dapat diangkat menjadi pemberitaan?
Jawab: Liputan yang bersifat reguler, Majalah Tempo memiliki rapat yang
dinamakan rapat perencanaan mingguan, setiap Jumat petang. Pada rapat
tersebut isu-isu yang beredar di masyarakat di tentukan, kemudian pada rapat
tersebut pemberitaan untuk pekan berikutnya ditentukan. Bahkan saat ini
tempo menargetkan 2 pekan yang sudah direncanakan. Pada masa rapat itulah
penyeleksian tema ditentukan.
6. Siapa sajakah yang terlibat dalam rapat redaksi, dan siapa yang dapat
menentukan arah serta kebijakan dalam pemberitaan?
141
Jawab: Semua dapat terlibat mulai dari Reporter, Fotografer, Redaktur,
Hingga Pimpinan Redaksi. Siapa saja dapat menentukan arah dan kebijakan
Pemberitaan di Majalah Tempo, selama arah dan pemberitaannya memiliki
argumen yang kuat. Awalnya orang yang mengajukan ide menyuarakan
pendapatnya pada rapat tingkat kompartemen (bagian atau job desk). Pada
tingkat itu rapat untuk mencari usulan dari awak Majalah Tempo. Isu yang
sudah di data dan di kumpulkan pada tingkat kompartemen diujikan kembali
pada rapat pleno. Rapat tersebut dihadiri seluruh awak redaksi Majalah Tempo
(Reporter, Fotografer, Redaktur, dan Pimpinan Redaksi).
Tempo mengedepankan proses demokrasi termasuk dalam rapat redaksi
sehingga siapa saja boleh mengusulkan pendapat dan menentukan arah
pemberitaan.
7. Apakah terdapat kriteria-kriteria narasumber ketika akan
diwawancarai?
Jawab: Majalah Tempo sangat selektif dalam memilih narasumber, kami
menyebutnya dengan gradasi narasumber. Ketika seseorang kita pilih menjadi
seorang narasumber maka otomatis narasumber tersebut adalah orang
mengalami langsung peristiwa yang akan diberitakan, bisa saja narasumber
tersebut adalah korban dan pelaku. Orang yang mengalami peristiwa tersebut
berada pada lapis pertama.
Jika reporter tidak mendapatkan narasumber yang sesuai pada lapis
pertama (karena sakit atau telah meninggal) maka akan mencari narasumber
lapis kedua. Pada level ini narasumber adalah orang terdekat (suami, istri,
anak, tetangga, kerabat terdekat, saksi mata) yang mengalami peristiwa
142
tersebut. Selanjutnya pada lapis ketiga adalah aparat yang menangani peristiwa
tersebut, pemerintah yang menangani peristiwa tersebut.
8. Nilai- nilai apa yang Majalah Tempo ingin disampaikan kepada pembaca
melalui Laporan Khusus Udin “Bernas”?
Jawab: Nilai yang ingin kami sampaikan adalah bagaimana ikhtiar kami
melawan lupa terhadap kasus Udin. Jangan sampai kasus yang terjadi pada
tahun 1996 menguap begitu saja. Karena jika didiamkan maka sampai kapan
pun kebebasan pers di Indonesia akan terus dibungkam.
9. Isu apakah yang ingin difokuskan oleh Majalah Tempo terkait Laporan
Khusus Udin “Bernas”?
Jawab: Isu yang ingin Majalah Tempo sampaikan melalui laporan khusus
tersebut adalah kebebasan pers. Selain itu, secara jelas pesan implisit yang
ingin kami sampaikan adalah bekerja sebagai jurnalis tidak bebas resiko.
Kemudian Udin adalah contoh bagi kita, dia adalah wartawan dari daerah yang
hanya lulus SMA namun mampu bekerja sebagai jurnalis.
Awalnya beliau belajar dan mencoba-coba menjadi fotografer hingga
membuka studio foto di rumahnya, kemudian menjadi wartawan. Dengan
keterbatasan yang ia miliki namun ia mampu menjadi penyambung lidah
rakyat. Karya jurnalisme Udin lebih menyuarakan suara hati masyarakat
bawah seperti isu IDT, penyimpangan dana bantuan, dan lainnya.
Meskipun ia hanya wartawan lokal yang kurang dikenal namun ia berani
dan tidak gentar terhadap ancaman terhadapnya. Ia hidup di zaman Orde Baru
dimana kekuasaan sangat mutlak pada saat itu. Keberanian Udin dalam
143
mengungkapkan penyimpangan yang harus di contoh oleh jurnalis sampai
kapan pun.Ketegasan beliau dapat kita jadikan sebagai suri tauladan.
Tempo tidak hanya sekadar meliput tentang pembunuhan, melainkan
bagaimana sosok seorang Udin di mata kerabat, tetangga, dan istrinya. Hal
tersebut merupakan nilai yang bersifat abadi dan harus di praktikan oleh
wartawan sampai kapan pun.
Jurnalis harus mampu memertahankan nilai Independensinya apapun
yang terjadi. Udin pada situasi yang represif saja mau dan berani apalagi kita
yang hidup dalam era yang bebas. Hal itulah pesan impisit yang ingin Majalah
Tempo sampaikan.
Selanjutanya pesan kepada pihak yang tidak menginginkan kebebasan
pers di Indonesia, sampai kapan pun anda melakukan pembungkaman terhadap
wartawan yang independen dan profesional maka akan mendapat perlawanan
dari masyarakat bukan hanya dari wartawan. Bentuk perlawanannya adalah
dengan membawa pada ranah hukum.
10. Bagaimana cara Majalah Tempo agar tetap seimbang terhadap pelbagai
pemberitaan yang akan disampaikan kepada pembaca?
Jawab: Awak Majalah Tempo senantiasa menggunakan disiplin verifikasi
dan menjunjung tinggi prinsip cover both side dalam setiap pemberitaannya.
Jadi kami selalu mencari sumber berita dari pelbagai sumber, seperti pada
pemberitaan Udin. Kami mencari rumah Sri Roso dan menunggu kesempatan
wawancara dengan beliau hingga beberapa pekan.
Kami mencari alamat rumah beliau, ketika sudah dapat kami menunggu
dan bertanya kepada tetangga tentang Sri Roso. Setelah menunggu beberapa
144
waktu kami bertemu dengan sosok pria paruh baya yang sedang menyirami
bunga. Kami dapat memastikan bahwa pria tersebut adalah Sri Roso
Soedarmo, lalu kami meminta waktu untuk melaksanakan wawancara.
Awalnya beliau menolak namun setelah awak Tempo menjelaskan
pentingnya keberimbangan berita akhirnya beliau memberikan kesempatan
dan waktu untuk wawancara. Sri Roso mengakhiri puasa berbicara kepada
media selama 18 tahun terkait pemberitaan tentang Udin.
11. Bagaimana proses produksi sebuah berita sehingga bisa naik cetak di
Majalah Tempo?
Jawab: Usulan yang cukup penting memiliki kelayakan untuk diangkat
menjadi berita, data awal, dan data pendukung yang dimiliki, seluruhnya akan
di uji pada rapat kompartenen. Setelah lulus pada rapat kompartemen usulan
tersebut di uji pada rapat pleno. Jika ada seseorang yang mengusulkan sebuah
isu namun tidak memiliki data awal yang kuat, argumen yang jelas, maka isu
tersebut akan gugur pada rapat pleno tersebut, siapapun yang mengusulkan,
termasuk pimpinan redaksi.
Jika pada rapat pleno mendapat persetujuan maka selanjutnya pembagian
tugas untuk menggarap usulan tersebut. Setelah pembagian tugas maka setiap
awak menjalankan perannya sesuai tugas yang telah dibagikan. Reporter
mencari sumber berita dan narasumber. Terlebih jika penugasan yang
mengahruskan ke daerah, maka seluruh perencanaan disusun secara matang.
Sehingga menjadi sebuah pemberitaan yang siap diwartakan.
Kemudian sebelum naik cetak, redaksi menggelar rapat pengecekan
(checking) pada hari Rabu. Pada rapat ini seluruh data dan bahan yang
145
terkumpul di periksa. Jika terdapat bahan yang belum lengkap maka dalam
waktu dua hari harus diselesaikan. Jika dalam waktu dua hari tidak dapat
terselesaikan maka usulan tersebut akan dibatalkan atau disimpan untuk edisi
selanjutnya.
Jika dalam rapat checking bahan dan data sudah terkumpul maka redaktur
dan reporter akan memverivikasi ulang kepada sumber berita dan melihat
kondisi di lapangan jika sesuai maka usulan tersebut dapat naik cetak dan di
produksi. Jadi seluruh pemberitaan yang ada di Majalah Tempo telah melewati
tahap seleksi dari tingkat kompartemen, rapat pleno, hingga rapat checking.
12. Apakah ada kaitan berita Laporan Khusus Udin Bernas antara Majalah
Tempo, Tempo.co dan Koran Tempo?
Jawab: Ada keterkaitan, namun jika pemberitaan pada koran dan media
daring hanya berupa peristiwa terbaru mengenai kasus Udin seperti aksi tabur
bunga rekan-rekan jurnalis di Yogya, napak tilas pembunuhan kasus Udin dan
kegiatan lainnya. Jika pemberitaan lebih mendalam dan rinci akan diwartakan
melalui Majalah Tempo.
13. Kenapa Majalah Tempo terkesan lebih membela mendiang Udin?
Jawab: Karena Udin layak untuk di bela, sebagai Jurnalis kami pun
membela sesuai dengan fakta bukan pembelaan yang semata-mata tanpa
alasan. Pada akhirnya kewajiban sebagai jurnalis untuk menyuarakan yang
tidak tersuarakan harus dijalankan oleh jurnalis itu sendiri atau oleh media.
Dalam konteks ini, suara Udin, keluarga, dan kerabatnya tidak tersalurkan.
Oleh karena itu Udin layak dan harus kita bela.
146
14. Apa peran redaksi dalam Laporan Khusus Udin Bernas?
Jawab: Pemberitaan kasus Udin merupakan laporan khusus, rapat
perencanaan untuk rubrik laporan khusus dilaksanakan pada akhir tahun, sekira
bulan Desember. Pada rapat itu redaksi Majalah Tempo merencanakan
pembuatan laporan khusus dalam satu tahun kedepan.
Termasuk kasus Udin karena timbulnya wacana dari pelbagai pihak untuk
membuat kasus Udin kedaluwarsa. Jika kasus Udin tidak ditulis
(mengingatkan) maka kami mengkhawatirkan kasus ini akan benar-benar
kedaluwarsa. Sehingga mulai saat itu kasus Udin masuk dalam rubrik laporan
khusus tahunan Majalah Tempo pada tahun 2014.
Kami merencanakan apa saja yang akan kami investigasikan. Kemudian
setiap awak Majalah Tempo diberikan kesempatan untuk berbicara namun
harus disertai argumen yang kuat. Sama halnya pada pemberitaan kasus Udin,
ketika kami telah megumpulkan data awal, melaksanakan rapat kompartemen,
rapat pleno, dan rapat checking sehingga laporan khusus Udin bisa naik cetak
dan kami publikasikan.
15. Apakah Majalah Tempo akan memberitakan Kasus Pembunuhan Udin
kembali, mengingat kasus tersebut sudah bergulir 18 tahun silam?
Jawab: Jika suatu hari kami menemukan hal dan fakta terbaru maka kami
akan menulis kembali kasus Udin. Tapi tidak menjadi rutinitas bahwa setiap
tahun Majalah Tempo akan menulis kasus Udin. Jika hanya berupa
peristiwa-peristiwa maka penulisan tentang Udin menggunakan media daring
(tempo.co) dan koran tempo.
147
Lampiran Artikel “Memo Sebelum Malam Jahanam”
148
149
Lampiran Artikel “Tamu-tamu Misterius di Patalan”
150
151
Lampiran Foto Dengan Jajang Jamaludin, Redaktur Utama
Majalah Tempo
152
Lampiran Foto Wawancara dengan Fauzan Lutsa, Mantan Jurnalis
Rajawali TV, Global TV, dan RCTI
153
Lampiran Foto Wawancara dengan Isfari Hikmat, Redaktur Detik TV
154
Lampiran Foto Wawancara dengan Iman D. Nugro, CNN Indonesia dan
Ketua Bidang Advokasi Aliansi Jurnalis Independen
155
Lampiran Foto Wawancara dengan Bernard Wahyu Wiyanta, Mantan
Jurnalis Tempo, Pendiri Majalah Flona
156
Lampiran Foto Wawancara dengan Anastasia Eugenia Ika Wulandari,
Jurnalis Indonesia Investor Daily