Perpustakaan Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata...
Transcript of Perpustakaan Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata...
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu penyakit metabolis kronis
dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi di dunia, pada tahun 2014
angka prevalensi DM di dunia pada penderita dewasa diperkirakan sekitar 9% dan
lebih dari 80% mortalitas akibat DM terjadi di negara dengan ekonomi menengah
kebawah.1 Berbagai penelitian epidemiologis di Indonesia sekitar tahun 1980
menunjukkan angka prevalensi DM pada penduduk dengan usia lebih dari 15
tahun adalah sebesar 1,5-2,3% dan prevalensi di daerah pedesaan lebih rendah
dibandingkan perkotaan. Survei kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 2001
mendapatkan prevalensi DM pada penduduk kelompok usia 25-64 tahun di Jawa
dan Bali sebesar 7,5%. Proporsi DM di Indonesia pada tahun 2013 adalah sebesar
6,9%. WHO (World Health Organization) membuat estimasi bahwa pada tahun
2025 Indonesia akan menempati urutan keempat di dunia dalam jumlah penderita
DM. Hasil RAAB (Rapid Assessment of Avoidable Blindness) tahun 2014 di Jawa
Barat menunjukkan katarak yang tidak diobati adalah penyebab utama kebutaan
bilateral dengan angka 71,7%, diikuti dengan penyakit segmen posterior lainnya,
sebesar 10,9%.2
Retinopati Diabetika merupakan penyebab utama kebutaan pada pasien
dengan rentang usia 20 hingga 64 tahun di Amerika Serikat. Angka prevalensi
retinopati diabetika pada populasi penderita DM akan meningkat seiring dengan
1
durasi DM dan usia.3 Retinopati Diabetika merupakan komplikasi mikrovaskular
dari DM tipe 1 dan 2, lebih dari 60% dari penderita DM tipe 2 dan lebih dari 90%
penderita DM tipe 1 menderita retinopati diabetika 20 tahun setelah terdiagnosis
DM. Proses iskemia yang terus berlanjut meningkatkan risiko terbentuknya
neovaskularisasi yang cenderung akan menimbulkan komplikasi mengarah ke
kebutaan.4,5,6
Proliferative diabetic retinopathy (PDR) adalah suatu bentuk retinopati
diabetika yang ditandai dengan adanya suatu proliferasi fibrovaskular di daerah
vitreoretina dan merupakan salah satu penyebab terjadinya kebutaan. Angka
kejadian PDR pada penderita DM usia dewasa adalah 1.5%. Studi retinopati
diabetika menunjukkan bahwa sekitar 50% mata dengan PDR yang tidak
ditangani akan mengalami gangguan penglihatan berat dalam rentang waktu 4
bulan.7,8 PDR ditandai dengan adanya neovaskularisasi retina, kebocoran serum,
perdarahan dan proliferasi fibrovaskular pada permukaan antara retina dan vitreus
sehingga dapat mengakibatkan terjadinya perdarahan vitreus dan tarikan retina
(ablasio retina traksional/ART).9
Vascular endothelial growth factor (VEGF) merupakan faktor utama yang
menyebabkan terbentuknya neovaskularisasi pada PDR. Patofisiologi terjadinya
PDR berkaitan erat dengan terjadinya angiogenesis. Tingkat VEGF pada vitreus
dan jaringan fibrovaskular mata dengan PDR dilaporkan mengalami peningkatan
dan akan mengaktifkan proses angiogenesis baik fisiologis maupun patologis.
VEGF dapat mengaktifkan VEGFR-1 dan VEGFR-2. VEGFR-2 diekspresikan di
2
sel endotel pembuluh darah dan apabila teraktifasi dapat menyebabkan proliferasi,
migrasi dari sel endotel pembuluh darah.8,10
Saat ini penatalaksanaan PDR dilakukan dengan laser fotokoagulasi retina
dan tindakan operatif vitrektomi pars plana (VPP). Tindakan laser pan retinal
photocoagulation (PRP) bertujuan untuk menghancurkan retina yang mengalami
iskemia dan meningkatkan tekanan oksigen di retina serta menghambat terjadinya
neovaskularisasi. PRP dapat mengurangi resiko gangguan penglihatan berat
sekitar 50-60% dengan regresi neovaskularisasi dalam waktu 3 bulan. 3,11
Tindakan operatif VPP pada PDR diindikasikan pada perdarahan vitreus
yang padat dan tidak membaik dalam waktu 3 minggu, ART yang mengancam
makula, makula edema yang berhubungan dengan traksi hyaloid posterior dan
perdarahan vitreus rekuren meskipun sudah dilakukan PRP maksimal.3,11
Perdarahan vitreus merupakan komplikasi dari PDR. Media yang keruh akibat
perdarahan vitreus dapat menyebabkan kesulitan untuk melihat progresifitas
penyakit serta keterlambatan penanganan kemungkinan ablasio retina atau
perlunya pemberian laser tambahan. Pemberian injeksi anti-VEGF memberikan
hasil yang positif dalam menghambat neovaskularisasi, namun memiliki
keterbatasan durasi waktu kerja yang singkat serta memiliki komplikasi
pembentukan fibrosis.
Michaelson menyatakan bahwa iskemi retina dapat menyebabkan
terbentuknya neovaskularisasi pada mata dan pada tahun 1944 Aiello
menunjukkan bahwa VEGF merupakan mediator utama pada PDR. Konsentrasi
VEGF di vitreus berhubungan dengan neovaskularisasi dan penghambatan VEGF
3
dapat mengurangi neovaskularisasi. Pemberian anti-VEGF/bevacizumab sebelum
dilakukan vitrektomi bertujuan untuk mengurangi neovaskularisasi yang ada serta
kemungkinan perdarahan vitreus intraoperatif sehingga mempermudah proses
operasi VPP. Bevacizumab dapat mengurangi terjadinya perdarahan intraoperatif
dan pascaoperatif.8,12,13 Penelitian yang dilakukan oleh Yeh et al yang
membandingkan pemberian bevacizumab dan plasebo 1 minggu sebelum
vitrektomi menunjukkan perdarahan intraoperatif terjadi lebih signifikan pada
kelompok plasebo. Penelitian lain yang mendukung dilaporkan oleh Rizzo et al
dan Ahmadieh et al yang menunjukkan bahwa komplikasi intraoperatif yang lebih
minimal sehingga dapat mempersingkat durasi operasi vitrektomi.13-15 Penyuntikan
anti-VEGF dapat menyebabkan ART, salah satu mekanisme yang diperkirakan
adalah akibat berkurangnya rasio perbandingan antara VEGF dan connective
tissue growth factor (CTGF), penyuntikan anti-VEGF intravitreus dapat
mengurangi kadar VEGF aktif dan meningkatkan kadar CTGF sehingga
mengakibatkan terbentuknya fibrosis. Penelitian arevalo et al menunjukkan ART
dapat terjadi 5 hari setelah injeksi anti-VEGF intravitreus. Faktor resiko terjadinya
ART adalah interval panjang antara injeksi anti-VEGF dengan vitrektomi.
Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa pemberian anti-VEGF sebelum
vitrektomi menurunkan kadar VEGF pada vitreus sehingga dapat menyebabkan
regresi neovaskularisasi dan penyusutan membran proliferatif fibrovaskular
sehingga memudahkan operator untuk diseksi dan meningkatkan visualisasi saat
operasi. Penelitian Spaide menunjukkan bahwa 3-5 hari setelah injeksi anti-VEGF
akan terjadi efek anti angiogenik dan regresi komponen neovaskularisasi dapat
4
mengurangi perlekatan antara membran fibrovaskular dengan retina sehingga
memudahkan segmentasi dan delaminasi membran. 16,17
Belum adanya penelitian mengenai perbandingan durasi operasi vitrektomi
pars plana pada pemberian injeksi anti-VEGF 3 hari dan 7 hari pra bedah pada
retinopati diabetika proliferatif membuat peneliti tertarik untuk meneliti lebih
lanjut.
Berdasarkan uraian di atas,disusun tema sentral penelitian ini sebagai
berikut :
Retinopati diabetika proliferatif (Proliferative diabetic retinopathy/PDR) adalah suatu bentuk retinopati diabetika yang ditandai dengan adanya suatu proliferasi fibrovaskular di daerah vitreoretina dan merupakan salah satu penyebab terjadinya kebutaan. Tindakan operatif vitrektomi pars plana (VPP) merupakan pilihan terapi pada kasus PDR dengan komplikasi lanjut. Kadar VEGF pada PDR mengalami peningkatan dan berperan penting dalam proses angiogenesis. Berbagai penelitian mencoba efektifitas injeksi anti-VEGF intravitreus sebelum operasi untuk mengurangi terjadinya komplikasi intraoperatif. Waktu pemberian anti-VEGF intravitreus yang tepat masih diperdebatkan karena apabila durasi antara injeksi anti-VEGF dengan tindakan operatif VPP terlalu lama maka justru dapat mengakibatkan terjadinya fibrosis yang akan mempersulit tindakan operasi. Pada studi ini, peneliti ingin membandingkan durasi operasi vitrektomi pars plana pada pemberian injeksi anti-VEGF 3 hari dan 7 hari pra bedah pada retinopati diabetika proliferatif.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah pemberian injeksi anti-VEGF (bevacizumab) intravitreus 3 hari
pra bedah dapat mempersingkat durasi operasi dibandingkan dengan injeksi 7 hari
sebelum vitrektomi pars plana ?
5
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui perbandingan durasi operasi vitrektomi pars plana
antara pemberian anti-VEGF (Bevacizumab) 3 hari dan 7 hari pra bedah pada
retinopati diabetika proliferatif.
1.4 Kegunaan Penelitian
1.4.1 Kegunaan Ilmiah
Memberikan kontribusi terhadap ilmu pengetahuan di bidang kesehatan
mata khususnya dalam pengembangan teknik vitrektomi pars plana pada kasus
retinopati diabetika proliferatif.
1.4.2 Kegunaan Praktis
Apabila pemberian anti-VEGF 3 hari pra bedah dapat menyebabkan durasi
operasi vitrektomi pars plana (VPP) lebih singkat maka dapat digunakan dalam
prosedur penanganan operatif kasus retinopati diabetika proliferatif.
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Retinopati Diabetika/Diabetic Retinopathy (DR)
Retinopati diabetika merupakan salah satu penyebab utama kebutaan di
Amerika Serikat pada kelompok usia 20-64 tahun. Angka prevalensi dari semua
jenis retinopati diabetika meningkat seiring dengan usia dan durasi dari diabetes
mellitus (DM). Dalam durasi 20 tahun DM, sekitar 99% pasien dengan tipe 1 DM
dan 60% tipe 2 DM akan mengalami retinopati diabetika. Penyebab utama
terjadinya DM belum diketahui, namun paparan terhadap keadaan hiperglikemia
dalam waktu lama dapat menyebabkan perubahan biokimia dan perubahan
fisiologis yang dapat merusak endotel pembuluh darah.3,7
Klasifikasi retinopati diabetika dibagi menjadi stadium awal,
nonproliferative diabetic retinopathy (NPDR) dan stadium yang lebih lanjut,
proliferative diabetic retinopathy (PDR). Stadium NPDR secara umum dibagi
menjadi derajat ringan, sedang, berat atau sangat berat Stadium PDR ditandai
dengan adanya neovaskularisasi yang diinduksi oleh iskemia. Progresivitas
penyakit dari ringan ke stadium lanjut timbul dalam pola perubahan yang dapat
diprediksi. Percepatan progresivitasnya berbeda pada setiap individu.3,18
NPDR derajat berat (didefinisikan oleh ETDRS sebagai aturan 4:2:1)
ditandai dengan salah satu dari keadaan klinis berikut ini. Perdarahan intraretinal
difus dan mikroaneurisma pada 4 kuadran, beading vena pada 2 kuadran atau
ditemukannya intraretinal microvascular abnormalities (IRMAs) pada 1 kuadran.
7
Penelitian ETDRS menyimpulkan bahwa NPDR derajat berat mempunyai
kemungkinan berubah menjadi PDR risiko tinggi sebesar 15% dalam 1 tahun.
Stadium NPDR derajat sangat berat, yang didefinisikan secara klinis dengan
ditemukannya dua keadaan klinis di atas, mempunyai 45% kemungkinan berubah
menjadi PDR risiko tinggi dalam 1 tahun .3,19
PDR memiliki proses fundamental dalam perjalanan penyakitnya, yaitu
siklus proliferasi dan regresi dari neovaskularisasi, proliferasi jaringan fibrosis di
sekitar neovaskularisasi, pembentukan adhesi antara jaringan fibrovaskular
dengan permukaan posterior vitreus dan terjadinya tarikan antara jaringan
proliferasi dengan permukaan posterior vitreus.3,19
Retina yang mengalami iskemia akan menghasilkan suatu faktor yang
dapat menstimulasi terbentuknya pembuluh darah baru yang memiliki efek lokal
dan dapat menyebar melalui vitreus menuju bagian lain dari retina, diskus optikus
dan bilik mata depan. Faktor angiogenesis ini disebut dengan vascular endothelial
growth factor (VEGF). Pembuluh darah baru dapat terbentuk pada seluruh bagian
retina, namun paling terlihat di bagian posterior, sekitar 45 derajat dari diskus
optikus. Penelitian Davis dan Taylor menunjukkan bahwa 69% dan 73%
pembuluh darah baru terdapat di diskus optikus.19
Prinsip tatalaksana medis retinopati diabetika adalah mencegah
komplikasi. Tindakan PRP disarankan pada kasus PDR dengan karakteristik risiko
tinggi dan NPDR derajat berat yang dianggap memiliki ketaatan buruk,
tertundanya tindakan ekstraksi katarak, dengan kehamilan, pertimbangan keadaan
mata sebelahnya dan pada pasien dengan diabetes tipe 1 atau 2 yang tidak
8
terkontrol baik . Studi AAO memberikan rekomendasi waktu kontrol antara 6-12
bulan pada kasus NPDR ringan dan sedang serta kontrol 2-4 bulan pada kasus
NPDR berat dan PDR.20 Pilihan utama untuk PDR adalah laser fotokoagulasi PRP
dengan tujuan untuk menginduksi regresi neovaskularisasi, menghancurkan retina
yang mengalami iskemia serta meningkatkan tekanan oksigen .3 Tatalaksana lain
untuk PDR adalah dengan injeksi anti-VEGF yang dapat mengurangi kebocoran
pembuluh darah dan menyebabkan regresi dari kompleks neovaskularisasi secara
sementara.
2.2 Angiogenesis pada PDR
Angiogenesis merupakan suatu proses fisiologis yang ditandai dengan
adanya pembentukan pembuluh darah baru yang berasal dari pembuluh darah
lama. Proses angiogenesis diawali dengan aktivasi reseptor pada sel endotel oleh
faktor pertumbuhan, setelah teraktivasi makan sel endotel akan mulai melepaskan
enzim spesifik yang disebut sebagai protease yang dapat merusak basement
membrane sehingga menyebabkan sel endotel dapat meninggalkan pembuluh
darah asalnya. Fase ini ditandai dengan proliferasi sel endotel ke matriks di
sekitarnya. Pada mata, proses angiogenesis merupakan suatu proses yang
patologis dan VEGF dapat menyebabkan proses angiogenesis di retina dan
koroid.11
Stimulasi berupa hipoxia dapat menyebabkan terbentuknya VEGF yang
merupakan suatu mitogen yang spesifik terhadap endotel dan faktor yang
mempengaruhi permeabilitas vaskular. VEGF diidentifikasi sebagai mediator pro
9
inflamasi karena dapat meningkatkan ekspresi ICAM-1 sebagai faktor kemotaktik
untuk makrofag dan menyebabkan leukostasis, kebocoran vaskular dan
peningkatan jumlah leukosit di retina.11,21 Penelitian grant et al menunjukkan
bahwa iskemia dan hiperglikemia kronis pada DR dapat meningkatkan ekspresi
VEGF, IGF-1 (insulin like growth factor), angiopoetin 1 dan 2, FGF-2 (fibroblast
growth factor) dan TNF (Tumor necrosis factor). Faktor-faktor ini bekerja secara
sinergis dalam proses angiogenesis termasuk produksi protease, proliferasi sel
endotel serta migrasi. Faktor anti angiogenik intraokular pada PDR akan
mengalami penurunan ekspresi, seperti PEDF (pigment epithelium derived factor),
TSP (thrombospondin),TGF-B (transforming growth factor) dan somatostatin.22
Timbulnya neovaskularisasi pada PDR lanjut dapat menyebabkan terjadinya
perdarahan pre-retina dan subhyaloid yang dapat menjadi membran pada
permukaan posterior dari hyaloid. Terlepasnya permukaan posterior vitreus
(posterior vitreus detachment/PVD) dari retina yang memiliki membran
fibrovaskular dapat menyebabkan tarikan pada retina. Proses PVD dimulai dari
polus posterior dan menyebar ke perifer retina dalam hitungan jam – minggu.
Tarikan yang terjadi pada retina yang memiliki neovaskularisasi dapat
menyebabkan perdarahan vitreus berulang. Tarikan pada retina dapat
menyebabkan ART dan robekan baru di sekitar traksi.19
2.3 Vascular Endothelial Growth Factor/VEGF
Keluarga VEGF terdiri atas 5 ligand yang berhubungan yaitu VEGF-A,
VEGF-B, VEGF-C, VEGF-D dan PIGF (placenta growth factor). Ligand ini akan
10
berikatan dengan 3 reseptor tirosin kinase (VEGFR-1,VEGFR-2,VEGFR-3).
VEGF-A yang dikenal sebagai VEGF merupakan mitogen yang baik untuk sel
endotel pembuluh darah kecil arteri,vena dan limfa. VEGF diperlukan untuk
perkembangan normal pembuluh darah. VEGF merupakan faktor survival dan
memiliki peran penting dalam menjaga integritas sel endotel melalui sinyal anti
apoptosis. Perisit pun memiliki kaitan erat dengan ekspresi VEGF.23,24
Gen VEGF memiliki organisasi 8 ekson dipisahkan oleh 7 intron dan
terletak pada kromosom 6p21.3. VEGF memiliki 4 isoform yaitu VEGF121,
VEGF165, VEGF189, VEGF206. Bentuk yang variasi VEGF yang paling dominan
adalah VEGF165 yang secara spesifik berikatan dengan neuropillin-1 dan dapat
meningkatkan ekspresi VEGFR-2. VEGF-A dan VEGF B memiliki mekanisme
aksi dengan berikatan dengan reseptor tirosin kinase VEGFR-1 dan VEGFR-2
yang banyak terekspresi di permukaan sel endotel pembuluh darah, sedangkan
VEGFR-3 berikatan dengan VEGF-C dan VEGF-D. PIGF dan VEGF-B berikatan
dengan VEGFR-1. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa VEGFR-2
merupakan mediator utama untuk mitogenesis sel, survival dan permeabilitas
mikrovaskular. Ekspresi VEGFR-1 merupakan reseptor dominan pada
mikrovaskular retina normal, sedangkan ekspresi VEGF-2 mengalami
peningkatan pada PDR. VEGFR-1 memiliki efek regulasi negatif terhadap
VEGFR-2,sedangkan VEGFR-3 merupakan regulator penting dalam
perkembangan vaskulogenesis dan limfangiogenesis pada usia dewasa.23-25
Gambar 2.1 menunjukkan skema mekanisme kerja VEGF yang dimulai
dari berikatannya VEGF dengan VEGFR-2 yang menginduksi aktivasi domain
11
kinase dan fosforilasi. Transmisi sinyal meliputi aktivasi extracellular regulated
kinase (Erk) yang berperan dalam proliferasi. Jalur PKC yang terdiri atas jalur
konvensional (cPKC) dan atipikal (aPKC) teraktivasi dan berperan dalam
permeabilitas vaskular dan edema makula. Aktivasi fosfatidilinositol 3 kinase (PI-
3K) dan aktivasi akt berperan dalam survival sel endotel.23-25
12
Gambar 2.1 Proses Sinyal VEGFSumber : Simo R,Sundstrom JM,Antonetti DA. Ocular Anti-VEGF Therapy for Diabetic Retinopathy: The Role of VEGF in the Pathogenesis of Diabetic Retinopathy
2.4 Mekanisme Regulasi VEGF
Beberapa mekanisme regulasi ekspresi VEGF ditunjukkan pada gambar
2.2. Hipoksia merupakan salah faktor yang menyebabkan ekspresi gen VEGF.
Aktivasi transkripsi yang menyebabkan peningkatan ekspresi gen VEGF
memerlukan HIF-1 (hypoxia inducible factor). Perubahan kadar glukosa
merupakan faktor lain yang terlibat dalam ekspresi gen VEGF, konsentrasi gula
darah yang tinggi dalam durasi panjang serta keadaan deprivasi glukosa akut
dapat meningkatkan ekspresi VEGF pada sel pigment retina (RPE). Keadaan
PROLIFERASIPERMEABILITASSURVIVAL
13
hiperglikemia kronis dapat menstimulasi ekspresi mRNA VEGF dengan
memproduksi AGEs (advance glycation end products).23-25
Faktor pertumbuhan seperti insulin, IGF-1(insulin growth factor), FGF
(fibroblast growth factor) dan PDGF (platelet derived growth factor) berserta
sitokin pro inflamasi ( interleukin 1 dan 6), hormon (ACTH dan gonadotropin)
dan onkogen dapat meningkatkan ekspresi VEGF. Terdapat hubungan yang erat
antara insulin dengan ekspresi VEGF. Penelitian Lu et al menunjukkan bahwa
insulin meningkatkan mRNA VEGF dan menyebabkan sekresi protein di RPE.23-25
Gambar 2.2 Mekanisme peningkatan regulasi VGEF Dikutip dari : Simo R.23
2.5 Anti-VEGF
VEGF merupakan suatu mitogen yang secara spesifik terdapat pada sel
endotel yang diperlukan dalam proses angiogenesis. Bentuk terapi untuk PDR
selain dengan dengan laser PRP (Pan retinal photocoagulation) dapat juga dengan
PDR
AngiogenesisGangguan Sawar Darah- Retina
Faktor pertumbuhan :- Insulin- IGF-1- FGF- PDGF
HiperglikemiaAGEsSitokin proinflamasi
Regulasi VEGF
HIF-1
Hipoksia
14
pemberian injeksi anti-VEGF. Anti VEGF dapat berupa bevacizumab,
ranibizumab, pegaptanib dan aflibercept. 26
Bevacizumab terdiri atas 214 asam amino dengan massa molekul 149 kDa.
Beberapa studi menyebutkan bahwa massa molekul yang melebihi 100 kDa tidak
dapat melintasi lapisan retina, namun penelitian lain menyatakan bahwa berdifusi
secara efisien melewati lapisan retina menuju rongga koroid dan dapat
menghambar neovaskularisasi. Penyuntikan bevacizumab intravitreus terbukti
memiliki manfaat pada edema makula yang diakibatkan oleh AMD (age related
macular degeneration), retinopati diabetika, oklusi vena retina. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Sinapis et al pada kelinci menunjukkan bahwa
konsentrasi puncak bevacizumab setelah penyuntikan 1.25mg/0.05 ml terjadi 1
hari setelah penyuntikan dengan konsentrasi 406μg/mL. Waktu paruh di dalam
vitreus didapatkan 6.61 hari. Konsentrasi bevacizumab berkurang seiring dengan
waktu dan dapat bertahan di dalam vitreus selama 29 hari setelah penyuntikan.
Penelitian Zhu et al pada manusia menunjukkan bahwa konsentrasi puncak
bevacizumab 1.25mg di vitreus setelah penyuntikan adalah 2 hari setelah
penyuntikan dengan konsentrasi 165 μg/mL. 26,27
Penyuntikan anti-VEGF dapat memiliki efek sistemik, yaitu hipertensi,
proteinuria, sumbatan tromboemboli pada arteri, cardiomyopati, perdarahan dan
gangguan gastrointestinal. Bevacizumab dikeluarkan dari dalam tubuh dalam
waktu yang relatif lama dan dapat terakumulasi seiring dengan penyuntikan yang
berulang. Bevacizumab menurunkan kadar VEGF plasma secara signifikan, sesuai
dengan penelitian Carneiro et al dan Zehetner et al. Pergerakan molekul
15
bevacizumab ke dalam aliran darah sistemik mengakibatkan penurunan VEGF
pada plasma terjadi dalam waktu yang singkat, yaitu sekitar 3 jam.28-30
2.6 Anti-VEGF pada Proliferative Diabetic Retinopathy (PDR)
Neovaskularisasi pada retina merupakan faktor resiko utama dalam
gangguan penglihatan berat pada penderita DM. Faktor resiko lainnya yaitu
genetik, faktor lingkungan, imunologi, keadaan hiperglikemia dalam waktu lama,
stres oksidatif dan hipoksia retina. Konsentrasi VEGF pada vitreus berhubungan
erat dengan neovaskularisasi. Penghambatan kerja VEGF dihubungkan dengan
inhibisineovaskularisasi pada iris dan retina.28,31.32
Penelitian oleh Avery et al menunjukkan bahwa molekul bevacizumab
yang lebih besar memberikan keuntungan dibandingkan dengan ranibizumab
untuk penetrasi retina karena pada PDR lokasi neovaskularisasi terdapat di pre
retina dan bevacizumab memiliki waktu paruh 2 kali lebih lama di dalam vitreus.
Regresi fibrosis dari neovaskularisasi retina dapat menyebabkan durasi operasi
lebih singkat. Tanda lain dari regresi neovaskularisasi adalah berkurangnya
perdarahan intraoperatif dan frekuensi penggunaan endodiatermi untuk
mengontrol perdarahan. Penyuntikan anti-VEGF dapat mengurangi ketebalan
retina, sumbatan dan kobocoran pembuluh darah sehingga dapat menyebabkan
jaringan lebih tahan terhadap traksi dan meminimalisir robekan retina pada saat
operasi vitrektomi. Penelitian Rodrigo menunjukkan penyuntikan anti-VEGF
dapat mengurangi kebocoran pembuluh darah yang dibuktikan dengan
pemeriksaan fundus fluorescein angiography (FFA). Penelitian Rizzo et al dan
16
Maya menunjukkan tidak ditemukan tanda ART pada durasi penyuntikan anti
VEGF 5-7 hari dan angka kejadian ART sekitar 4.7% dengan rentang waktu
sekitar 13.2 hari.28,31 Penelitian lain yang mendukung penyuntikan bevacizumab
adalah Chen dan Ahmadieh yang menunjukkan perdarahan vitreus dapat
berkurang secara signifikan dan meningkatkan visualisasi serta memudahkan
manuver intraoperatif sehingga durasi operasi menjadi lebih singkat. Regresi
komponen neovaskularisasi mengurangi perlekatan antara membran fibrovaskular
dengan retina sehingga memudahkan segmentasi dan delaminasi membran.
Perubahan hemodinamik pada sirkulasi di retina seperti vasokonstriksi dan
pengurangan aliran darah menurunkan kejadian perdarahan intraoperatif . Studi
lain menunjukkan bahwa vitrektomi pada PDR yang tidak diberikan suntikan anti-
VEGF sebelum operasi lebih dapat menyebabkan robekan retina iatrogenik.
Penelitian meta analisis menunjukkan angka perdarahan vitreus berulang yang
lebih kecil pada tindakan vitrektomi yang didahului oleh suntikan anti-VEGF.
Studi oleh Spaide menunjukkan bahwa efek pemberian bevacizumab
intravitreus terhadap regresi neovaskularisasi dapat berlangsung dalam 24 jam.
Pemberian bevacizumab 3-5 hari cukup untuk memberikan efek anti angiogenik
dan dosis yang umum digunakan adalah 1.25 mg. Penelitian lain yang mendukung
menyebutkan bahwa pemberian dosis bevacizumab intravitreus 1.25 mg hingga
2.5 mg memberikan hasil klinis yang sama. Penelitian oleh Di Lauro
menunjukkan bahwa pemberian suntikan bevacizumab 7 hari sebelum operasi
memberikan hasil yang lebih optimal dibandingkan dengan pemberian 20 hari
sebelum operasi. Penyuntikan bevacizumab pre operasi vitrektomi merupakan
17
strategi baru untuk membuat vitrektomi lebih aman dan efektif pada kasus PDR
berat.32-33
2.7 Vitrektomi Pars Plana pada PDR
Vitrektomi pada PDR diindikasikan apabila perdarahan vitreus yang padat
dan tidak berkurang lebih dari 3 bulan, ART yang mengancam dan mengenai
makula, kombinasi ART dan ARR, edema makula difus yang dihubungkan
dengan traksi permukaan posterior hyaloid, perdarahan vitreus berulang meskipun
dengan jumlah laser PRP maksimal, jaringan proliferasi fibrovaskular, ghost cell
glaucoma, neovaskularisasi segmen anterior dengan kekeruhan media yang
menghalangi laser fotokoagulasi dan perdarahan padat subhyaloid di depan
makula. Studi DRVS (The Diabetic Retinopathy Vitrectomy Study) menunjukkan
bahwa vitrektomi apabila dilakukan awal dengan rentang waktu 1-6 bulan setelah
perdarahan vitreus memberikan hasil klinis yang lebih baik dibandingkan dengan
rentang waktu lebih dari 1 tahun. Pasien dengan perdarahan vitreus dengan PRP
lengkap dapat diobservasi lebih lama dibandingkan dengan pasien yang belum
dilakukan PRP.3,34
VPP mulai diperkenalkan pada tahun 1970 dan digunakan pada kasus PDR
dengan hasil klinis yang baik. Peningkatan tajam penglihatan pasca operasi
berkisar sekitar 75%. VPP dapat membersihkan perdarahan vitreus, melepaskan
membran epiretina, mengeluarkan growth factors dan menempelkan kembali
retina. VPP mengurangi traksi pada retina akibat membran fibrovaskular serta
18
meningkatkan tekanan oksigen yang mengakibatkan vasokonstriksi serta
kebocoran pembuluh darah. 34,35
2.8 Kerangka Pemikiran
Retinopati diabetika merupakan salah satu penyebab utama gangguan
penglihatan berat pada penderita DM, komplikasi yang dapat terjadi diantaranya
adalah pembentukan neovaskularisasi, edema makula, perdarahan vitreus serta
ablasio retina traksi (ART). Komplikasi yang terjadi diakibatkan adanya
peningkatan VEGF yang menyebabkan terbentuk neovaskularisasi pada retina.
Tatalaksana pada PDR adalah laser fotokoagulasi dan vitrektomi.
Vitrektomi merupakan suatu tindakan terapi pada kasus PDR berat karena dapat
membersihkan perdarahan vitreus, melepaskan membran epiretina, mengeluarkan
VEGF yang ada dan menempelkan kembali retina. Angka keberhasilan
peningkatan tajam penglihatan pasca operasi berkisar 70%, namun bergantung
kepada tingkat keparahan penyakit dan kesulitan intraoperatif.
Penyuntikan anti-VEGF ke dalam vitreus beberapa hari sebelum tindakan
operasi vitrektomi dapat menyebabkan regresi neovaskularisasi yang ada,
mengurangi ketebalan retina, sumbatan serta kobocoran pembuluh darah,
meningkatkan ketahanan jaringan terhadap traksi dan meminimalisir robekan
retina pada saat operasi vitrektomi sehingga dapat mengurangi tingkat kesulitan
intraoperatif, meningkatkan efektivitas dan keberhasilan operasi. Beberapa studi
membandingkan efektifitas antara pemberian anti-VEGF dan plasebo sebelum
VPP dengan rentang waktu yang bervariasi antara 4-20 hari dan dengan hasil
terjadi peningkatan efektifitas dan keberhasilan operasi VPP pada pasien dengan
19
pemberian anti-VEGF sebelum operasi. Apabila waktu antara pemberian anti-
VEGF dan operasi VPP terlalu lama maka justru dapat menyebabkan fibrosis dan
meningkatkan kesulitan saat operasi.
Konsentrasi anti-VEGF pada vitreus di beberapa penelitian akan mencapai
puncaknya dalam waktu 1-3 hari setelah injeksi intravitreus, maka peneliti ingin
mengetahui perbandingan durasi operasi vitrektomi pars plana pada pemberian
anti-VEGF 3 hari dan 7 hari pra bedah pada retinopati diabetika proliferatif.
2.9 Kerangka Alur Pemikiran
PDR
Peningkatan VEGF di vitreus
Neovaskularisasi Edemamakula
Ablasio Retina Traksi
Penatalaksanaan
Perdarahan Vitreus
20
2.10 Premis dan Hipotesis
2.10.1 Premis
Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka pemikiran di atas, maka dapat
ditarik premis sebagai berikut :
Premis 1 : Paparan hiperglikemia dalam jangka waktu lama dapat
menyebabkan kerusakan sel endotel pada pembuluh darah retina.3,7
Premis 2 : Gangguan pembuluh darah pada retinopati diabetika dapat berupa
penyempitan serta gangguan permeabilitas pembuluh darah retina yang
menyebabkan keadaan iskemia retina.11,21
Premis 3 : Iskemi retina dapat menyebabkan peningkatan produksi VEGF
intravitreus oleh sel epitel pigmen retina, perisit dan sel endotel pembuluh
darah.23-25
Premis 4 : Peningkatan kadar VEGF di retina dapat menyebabkan terjadinya
edema retina, neovaskularisasi, perdarahan vitreus dan ablasio retina traksi.19,23-25
Premis 5 : Inhibisi aktivitas VEGF oleh injeksi anti-VEGF dan laser
fotokoagulasi pan retina dapat menurunkan kadar VEGF dan menghambat
neovaskularisasi retina. Bevacizumab dapat meregresi neovaskularisasi retina
pada penderita DM. 28,31,35
21
Premis 6 : Pemberian anti-VEGF di vitreus dapat mencapai konsentrasi
puncak 1 hari pasca injeksi.26,27
Premis 7 : Efek anti angiogenik pada vitreus pasca injeksi bevacizumab
dapat terjadi kurang dari 3-5 hari32-33
Premis 8 : Tindakan vitrektomi merupakan pilihan utama tatalaksana untuk
PDR berat dengan komplikasi perdarahan vitreus dan ablasio retina traksi.34-353
Premis 9 : Pemberian injeksi anti-VEGF intravitreus beberapa hari sebelum
tindakan vitrektomi dapat menyebabkan regresi neovaskularisasi dan
meningkatkan efektifitas intraoperatif.28,31-33
Premis 10 : Injeksi anti-VEGF intravitreus 1 minggu sebelum tindakan
vitrektomi dapat menyebabkan terjadinya fibrosis vitreus hebat yang dapat
mempersulit operasi.31-33
2.10.2 Hipotesis
Pemberian injeksi anti-VEGF (Bevacizumab) 3 hari dibandingkan dengan
pemberian 7 hari sebelum tindakan vitrektomi dapat mempersingkat durasi
operasi.(premis 1-10)
22
BAB III
SUBJEK DAN METODE PENELITIAN
3.1 Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah pasien retinopati diabetik dalam stadium
proliferatif (proliferative diabetic retinopathy/PDR) yang datang ke RS Mata
Cicendo Bandung
3.1.1 Populasi Penelitian
Populasi target pada penelitian ini adalah pasien retinopati diabetik dalam
stadium proliferatif (proliferative diabetic retinopathy/PDR) di masyarakat.
Populasi terjangkau adalah pasien retinopati diabetik dalam stadium proliferatif
(PDR) yang datang ke RS Mata Cicendo Bandung.
3.1.2 Kriteria Inklusi
Berusia di atas 18 tahun
Pasien retinopati diabetik stadium proliferatif (proliferative diabetic
retinopathy/PDR) yang sesuai dengan skor kerumitan yang direncakan
untuk tindakan vitrektomi pars plana
3.1.3 Kriteria Ekslusi
Pernah dilakukan tindakan operasi vitrektomi sebelumnya
Riwayat gangguan tromboemboli sebelumnya (contoh : infark
myokard,gangguan vaskular serebral)
Tindakan operasi dalam waktu 3 bulan sebelum tindakan vitrektomi
23
Hipertensi yang tidak terkontrol
Kelainan pembekuan darah atau penggunaan obat-obatan antikoagulasi
3.1.4 Pemilihan dan Penentuan Sampel
Pemilihan sampel dilakukan dengan cara konsekutif dan penentuan besar
sampel dalam penelitian ini sesuai dengan tujuan penelitian dan tipe data yaitu
untuk perbandingan maka rumus penentuan sampel untuk menguji perbedaan dua
rata- rata yaitu :
n = 2Sgab2 (Zα+Zβ)
d2
Keterangan : n : ukuran sampel per kelompokZα,Zβ : nilai deviat Z yang diperoleh dari table distribusi normal standar untuk taraf signifikan α dan power test 1-β yang ditulisSgab : standar deviasi gabungand : besarnya perbedaan rata-rata dari durasi operasi pada kedua
kelompok
Pada penelitian ini diperoleh α =5% (Zα=1.96), power test (1- β) sebesar
80% (Zβ = 0.84). Karena Sgab dan d belum diketahui, maka ditentukan
berdasarkan standardized range d
sd
Jadi berdasarkan rumus diperoleh n = (1.96+0.84)2 x 2 = 16 sampel per kelompok.
Angka kemungkinan drop out pada penelitian ini kurang dari 10%.
= 1
24
3.2 Metode Penelitian
3.2.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan suatu uji klinis acak terkontrol, tersamar ganda,
untuk membandingkan durasi operasi vitrektomi pars plana pada kasus PDR yang
diberikan injeksi anti-VEGF 3 hari dan 7 hari pra bedah. Kasus PDR dinilai
derajat kerumitannya intraoperatif dengan menggunakan skor yang dikembangkan
oleh Raffaelo di Lauro. Pasien ditentukan dahulu waktu operasi vitrektomi
kemudian diberikan jadwal pemberian bevacizumab 3 dan 7 hari pra bedah.
Skor kerumitan dinilai dengan 3 parameter intraoperatif dengan skor 0-3
agar didapat 2 kelompok homogen, yaitu perdarahan vitreus, riwayat laser
fotokoagulasi dan bentuk morfologi dari ablasio retina traksi. Perdarahan vitreus
dinilai ringan(+1), sedang (+2) dan berat (+3). Perdarahan ringan apabila diskus
optikus dan pembuluh darah retina masih terlihat; perdarahan sedang apabila
diskus optikus dan pembuluh darah retina dapat dinilai dengan sulit dan
perdarahan berat apabila diskus optikus dan pembuluh darah retina tidak dapat
dinilai. Laser fotokoagulasi dinilai dengan sesinya : lengkap (0), tidak
lengkap(+1), fokal (+2) dan tidak ada riwayat laser (+3). Morfologi ART dinilai
dengan bentuk hammock (+1), central diffuse (+2) dan table top (+3).
Parameter yang dinilai saat operasi adalah durasi operasi dengan data
tambahan : perdarahan intraoperatif, frekuensi penggunaan endodiatermi, robekan
(break) intraoperatif.
25
3.2.2 Identifikasi Variabel
3.2.2.1 Definisi Konsepsional Variabel
Variabel bebas :
Waktu injeksi bevacizumab sebelum operasi vitrektomi pars plana ( 3 hari
dan 7 hari )
Variabel Tergantung :
Durasi operasi
3.2.2.2 Definisi Operasional
Retinopati diabetik stadium proliferatif adalah diagnosis retinopati
diabetik dengan tanda klinis ditemukannya neovaskularisasi atau
proliferasi jaringan fibrosa, NVD ≥ 1⁄3 daerah diskus optikus, NVD
dengan perdarahan vitreous atau perdarahan preretina, NVE ≥ 1⁄2 luas
ukuran diskus optikus yang berhubungan dengan perdarahan vitreous atau
perdarahan preretina. Perdarahan retina yang terjadi luasnya kurang dari
ukuran diskus optikus.
Penilaian durasi operasi dimulai dari inisiasi pengelupasan membran
(membrane peeling) sampai dengan penutupan luka saat operasi
vitrektomi. Tindakan pembiusan tidak dimasukkan ke dalam perhitungan
durasi operasi. Pengukuran waktu dilakukan dengan menggunakan
stopwatch.
Injeksi anti-VEGF intravitreus : penyuntikan bevacizumab ke dalam
rongga vitreus melalui pars plana 3 – 3.5mm posterior dari limbus
26
Perdarahan intraoperatif adalah perdarahan pada retina yang ditemukan
pada saat operasi, dibagi menjadi ringan dan berat. Perdarahan
intraoperatif ringan apabila perdarahan berhenti dengan meningkatnya
tekanan infus atau dengan tekanan instrumen tumpul. Perdarahan berat
apabila perdarahan hanya dapat berhenti dengan endodiatermi.
3.2.3 Cara Kerja dan Teknik Pengumpulan Data
3.2.3.1 Bahan/Alat penelitian
Pemeriksa an sebelum tindakan
o Lampu celah biomikroskop
o Tonometer aplanasi
o Funduskopi indirek dan lensa 20 Dioptri
o Foto Fundus dan USG
o Laboratorium lengkap
Alat dan bahan untuk tindakan injeksi anti-VEGF intravitreus
o Bevacizumab 1.25mg / 0.05 ml
o Spekulum
o Povidone iodine
o Jarum 30 gauge
o Spuit 1 cc
Alat dan bahan untuk operasi vitrektomi pars plana
o Vitrektomi set
27
Pemantauan pasien
o Lampu celah biomikroskop
o Funduskopi indirek dan lensa 20 Dioptri
o Foto Fundus dan USG
3.2.3.2 Persiapan pra injeksi bevacizumab
- Pasien dipastikan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, telah menyetujui
dan menandatangani lembar informed consent
- Pencatatan data umum pasien meliputi nama, umur, jenis kelamin,
pekerjaan, suku dan alamat
- Penilaian mata menggunakan lampu celah biomikroskop untuk menilai
segmen anterior bola mata, menggunakan funduskopi indirek dan lensa 20
dioptri untuk menilai segmen posterior bola mata serta menentukan
stadium retinopati diabetik, dilakukan oleh dokter spesialis mata konsultan
vitreoretina
- Pemeriksaan persiapan operasi dengan pengukuran laboratorium lengkap
dan pemeriksaan dokter anestesi serta penyakit dalam
- Pemeriksaan foto fundus / USG sebelum injeksi anti-VEGF
- Operator tindakan vitrektomi pars plana adalah seorang konsulen
vitreoretina RS Mata Cicendo
- Sampel dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok 1 : diberikan perlakuan
berupa injeksi anti-VEGF 1 minggu sebelum tindakan operasi VPP.
Kelompok 2 : diberikan perlakuan berupa injeksi anti-VEGF 3 hari
sebelum tindakan operasi VPP
28
- Dokumentasi ketika tindakan operatif
3.2.3.3 Prosedur tindakan injeksi bevacizumab
- Pemberian anestesi topikal menggunakan tetrakain 2%
- Tindakan aseptik dengan povidon iodine
- Dilakukan penyuntikan bevacizumab sebanyak 1.25 mg
- Dilakukan penutupan luka dengan kassa steril
3.2.3.3 Terapi pasca tindakan injeksi
Diberikan antibiotik topikal yaitu ofloxacin 6 kali sehari selama 3-7 hari
3.2.3.4 Prosedur tindakan vitrektomi pars plana
- Pemasangan Gauge 20 pada 3 lokasi
- Pengambilan membran fibrovaskular di sekitar retina
- Endolaser pan retina fotokoagulasi
- Tamponade silikon/gas
3.2.3.5 Terapi pasca tindakan vitrektomi
Diberikan antibiotik topikal (ofloxacin) dan sistemik (ciprofloxacin), anti
inflamasi topikal (prednisolone asetat) dan sistemik (parasetamol) serta agen
kolinerjik topikal (siklopentolat)
3.2.4 Rencana Pengolahan dan Analisis Data
Dari data yang terkumpul akan diolah dan dianalisis secara deskriptif dan
analitik, untuk deksriptif dengan menyajikan ukuran statistik, jumlah dan
persentase untuk data kategorik, rerata, standar deviasi, median dan rentang untuk
data numeric, sedangkan untuk analitik akan menggunakan uji statistik.
29
Untuk membandingkan perbedaan rata – rata 2 kelompok, akan digunakan
uji t test tidak berpasangan atau uji Mann Whitney jika data terdistribusi tidak
normal. Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan menggunakan SPSS.
3.2.5 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Bagian Ilmu Kesehatan mata FK Unpad/ RS Mata
Cicendo Bandung. Waktu penelitian dimulai setelah adanya persetujuan dari
Bagian Ilmu Kesehatan Mata FK Unpad dan Komite Etik Penelitian Kesehatan
FK Unpad.
3.3 Implikasi/Aspek Etik Penelitian
Penderita proliferative diabetic retinopathy (PDR) yang berobat ke poli
vitreoretina PMN RSMC yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi akan
diperiksa pada penelitian ini.
Suntikan anti-VEGF yang dilakukan adalah bevacizumab yang akan
dilakukan pada 3 hari ataupun 1 minggu sebelum tindakan operasi vitrektomi.
Suntikan ini dapat memberikan keuntungan dan kerugian bagi pasien. Keuntungan
dari suntikan ini adalah dapat memudahkan manuver saat dilakukan operasi
vitrektomi, sedangkan kerugiannya adalah dapat menyebabkan terjadinya fibrosis
apabila durasi antara suntikan anti-VEGF dan operasi terlalu lama sehingga dapat
menyulitkan manuver saat operasi. Sehubungan dengan hal tersebut, pasien akan
diberikan penjelasan dan diberikan kebebasan untuk ikut serta dalam penelitian
ini.
30
Penelitian ini berpedoman pada 3 prinsip dasar penelitian terhadap
manusia dengan memperhatikan hal-hal yang diantaranya sebagai berikut :
A. Prinsip menghormati harkat dan martabat manusia (respect for person)
- Pasien memiliki hak untuk bertanya dan berkonsultasi mengenai berbagai
hal yang berkaitan dengan penelitian secara jelas.
- Keikutsertaan dalam penelitian dilakukan secara sukarela dan sadar.
Sewaktu- waktu pasien dapat mempergunakan haknya untuk
menghentikan keikutsertaan dalam penelitian tanpa paksaan.
B. Prinsip bermanfaat dan tidak merugikan (beneficience and non-maleficience)
- Penelitian yang dilakukan akan memberikan manfaat pada pengembangan
teknik fotokoagulasi panretina yang lebih efektif dan lebih ringan efek
sampingnya.
- Penelitian ini diharapkan mampu memberikan keuntungan bagi pasien.
- Penelitian akan diberhentikan apabila terdapat efek samping pada pasien.
C. Prinsip keadilan
- Penelitian ini dilakukan pada 2 kelompok. Kelompok 1 diberikan suntikan
anti-VEGF 3 hari sebelum tindakan vitrektomi seperti selama ini sudah
dilakukan di PMN RSMC. Kelompok 2 diberikan suntikan anti-VEGF
dengan durasi 7 hari sebelum tindakan operatif. Berbagai penelitian
melaporkan bahwa komplikasi intraoperatif akan lebih minimal dan durasi
operasi lebih singkat apabila disuntikan anti-VEGF sebelumnya.
- Pemeriksaan dan tindakan injeksi anti-VEGF dan vitrektomi pada pasien
di penelitian ini dilakukan dan merupakan tanggung jawab peneliti dengan
31
supervisor dokter spesialis mata subdivisi vitreoretina. Pencatatan hasil
penelitian akan tersimpan dalam bentuk digital di komputer yang dijaga
kerahasiaannya. Jika terjadi komplikasi pada penelitian ini akan dicatat
dan dilaporkan ke komite etik dalam waktu kurang dari 1x24 jam.
3.4 Skema Alur Penelitian
Analisis Data
Penilaian intraoperatif saat VPP
Pemeriksaan LabFoto Fundus/USG
Injeksi bevacizumab 7 hari pre VPPInjeksi bevacizumab 3 hari pre VPP
Randomisasi
Kriteria inklusi + eksklusiInform consent
Penilaian Skor Kompleksitas
PDR
PasienDM
32
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penelitian mengenai perbandingan durasi operasi vitrektomi pars plana
antara pemberian anti vegf 3 hari dan 7 hari pra bedah pada retinopati diabetika
proliferatif di Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo telah dilakukan
antara bulan Agustus hingga September 2016. Subjek penelitian diambil dari
pasien yang datang ke poli vitreoretina yang memenuhi inklusi serta tidak
memenuhi kriteria eksklusi, sesuai urutan kedatangan sample untuk dapat
dilakukan analisis statistik.
4.1 Hasil Penelitian
Populasi target pada penelitian ini adalah pasien retinopati diabetik dalam
stadium proliferatif di masyarakat. Populasi terjangkau adalah pasien retinopati
diabetik dalam stadium proliferatif (PDR) yang datang ke RS Mata Cicendo
Bandung. Hasil analisis statistika dapat diuraikan dalam tabel berikut ini:
33
Tabel 4.1 Karakteristik Subjek Penelitian Kedua Kelompok
VariabelKelompok
Nilai pKelompok 1 Kelompok 2n= 16 n= 16
Usia 0.181Mean±STD 49.63±7.89 53.50±8.09Range (min-maks) 38.00-65.00 34.00-6.00
Jenis Kelamin 0.465Laki-laki 5 (31.3%) 7 (43.8%)Perempuan 11 (68.8%) 9 (56.3%)
Skor Keparahan PDR 1.000Mean±STD 6.56±1.31 6.69±1.01Range (min-maks) 4.00-8.00 5.00-8.00
Sistemik 1.000HT 4 (25.0%) 4 (25.0%)ACS 1 (6.3%) 0 (0,0%)CKD 0 (0,0%) 1 (6.3%)Tidak 11 (68.8%) 10 (62.5%0Dislipidemia 0 (0,0%) 1 (6.3%)
Keterangan : Untuk data numerik Nilai p dihitung berdasarkan uji T tidak berpasangan apabila data berdistribusi normal serta alternatif uji Mann Whitney apabila data tidak berdistribusi normal..danuntuk data kategorik nilai p dihitung berdasarkan uji Chi-Square. Dengan alternatif uji Fisher Exact apabila syarat dari Chi-Square tidak terpenuhi Nilai kemaknaan berdasarkan nilai p<0,05 .Tanda* menunjukkan nilai p<0,05 artinya signifkan atau bermakna secara statistik
Pada tabel 4.1 menjelaskan perbandingan usia, jenis kelamin, kadar
HBA1C, keadaan sistemik antara kelompok 1 dan 2. Untuk usia pada kelompok 1
didapatkan rata-rata sebesar 49.63±7.89 Jenis kelamin laki-laki sebanyak 5 atau
sebesar 31.3%, dan jenis kelamin perempuan sebanyak 11 atau sebesar 68.8%.
Untuk skor kompleksitas didapatkan rata-rata sebesar 6.56±1.31. Kelainan
sistemik hipertensi didapatkan sebanyak 4 kasus atau sebesar 25.0%, kelainan
jantung berupa kelainan jantung koroner hanya 1 kasus atau sebesar 6.3%,
kelainan gangguan ginjal kronis dan dislipidemia tidak ada atau sebesar 0,0%, dan
yang tidak memiliki kelainan sistemik sebanyak 11 atau sebesar 68,8%. Pada
kelompok 2 pada usia didapatkan rata-rata sebesar 53.50±8.09. Jenis Kelamin
34
laki-laki didapatkan sebanyak 7 atau sebesar 43.8%, dan jenis kelamin perempuan
sebanyak 9 atau sebesar 56.3%. Untuk skor kompleksitas didapatkan rata-rata
sebesar 6.68±1.01. Kelainan sistemik berupa hipertensi sebanyak 4 atau sebesar
25.0%, tidak didapatkan kelainan jantung koroner atau sebesar 0,0%, namun
didapatkan gangguan ginjal kronis dan dislipidemia masing-masing hanya 1 atau
sebesar 6.3%, dan yang tidak memiliki kelainan sistemik sebanyak 10 atau sebesar
62.5%.
Untuk data Numerik ini diuji dengan menggunakan uji T tidak
berpasangan apabila data berdistribusi normal yaitu usia, serta alternatif uji Mann
Whitney apabila data tidak berdistribusi normal yaitu skor kompleksitas. Hasil uji
statistika pada kelompok penelitian diatas diperoleh informasi nilai P pada
variabel Usia dan skor kompleksitas lebih besar dari 0,05 (nilai P> 0,05) yang
berarti tidak signifikan atau tidak bermakna secara statistik dengan demikian
dapat dijelaskan bahwa tidak terdapat perbedaan rerata yang signifikan secara
statistik antara variabel yaitu Usia dan skor kompleksitas antara kelompok 1 dan
2.
Untuk analisis pada data kategorik yaitu jenis Kelamin dan kelainan
sistemik pada tabel diatas diuji dengan menggunakan uji statistika Chi-Square
yaitu Jenis Kelamin alternatif uji Kolmogorov Smirnov apabila asumsi Chi Square
tidak terpenuhi yaitu Sistemik. uji statistika pada seluruh variabel diperoleh
informasi dimana nilai P lebih besar dari 0,05 (nilai p>0,05) yang berarti tidak
signifikan atau tidak bermakna secara statistik. Dengan demikian dapat dijelaskan
bahwa tidak terdapat perbedaan proporsi yang signifikan atau bermakna secara
35
statistik antara variable jenis Kelamin, dan kelainan sistemik antara kelompok 1
dan 2.
Dari hasil analisis perbandingan karakteristik kedua kelompok diatas,
maka dapat disimpulkan kedua kelompok sama atau tidak ada perbedaan
karakteristik pada saat awal pemeriksaan. Hal ini menunjukkan kedua kelompok
homogeny artinya layak untuk dibandingkan dan dilakukan uji hipotesis statistika
lebih lanjut.
Tabel 4.2 Perbandingan Durasi Pengelupasan Membran (MP) Kedua Kelompok
VariabelKelompok
Nilai pKelompok 1 Kelompok 2n= 16 n= 16
Durasi MP (menit)Mean±STD 20,75±13,85 23,1 ±13,65 0,590Median 20,91 20,68Range (min-maks) 4,56-61,71 1,6-55,45
Keterangan : Untuk data numerik Nilai p dihitung berdasarkan uji T tidak berpasangan apabila data berdistribusi normal serta alternatif uji Mann Whitney apabila data tidak berdistribusi normal.. Nilai kemaknaan berdasarkan nilai p<0,05 .Tanda* menunjukkan nilai p<0,05 artinya signifkan atau bermakna secara statistik
Pada tabel 4.2 menjelaskan perbandingan durasi pengelupasan membran
(MP) antara kelompok 1 dan 2. Durasi MP pada kelompok 1 didapatkan rata-rata
sebesar 20,75±13,85 menit. Untuk kelompok 2 didapatkan durasi MP dengan rata-
rata 23,1±13,65 menit.
Untuk data Numerik ini diuji dengan menggunakan uji T tidak
berpasangan apabila data berdistribusi normal serta alternatif uji Mann Whitney
apabila data tidak berdistribusi normal yaitu durasi MP . Hasil uji statistik pada
kelompok penelitian diatas diperoleh informasi nilai P pada variable Durasi MP
36
seluruhnya lebih besar dari 0,05 (nilai P> 0,05) yang berarti tidak signifikan atau
tidak bermakna secara statistik dengan demikian dapat dijelaskan bahwa tidak
terdapat perbedaan rerata yang signifikan secara statistik antara variabel yaitu
durasi MP antara kelompok 1 dan 2.
Tabel 4.3 Perbandingan Total Durasi Operasi Vitrektomi Kedua Kelompok
VariabelKelompok
Nilai pKelompok 1 Kelompok 2n= 16 n= 16
Durasi Operasi (menit)
0,897Mean±STD 43±16,65 43,7±16,35Median 39,91 42,73Range (min-maks)
15,26-86,11 22,25-93,48
Keterangan : Untuk data numerik Nilai p dihitung berdasarkan uji T tidak berpasangan apabila data berdistribusi normal serta alternatif uji Mann Whitney apabila data tidak berdistribusi normal.. Nilai kemaknaan berdasarkan nilai p<0,05 .Tanda* menunjukkan nilai p<0,05 artinya signifkan atau bermakna secara statistik
Pada tabel 4.3 diatas menjelaskan perbandingan durasi operasi dengan
kelompok 1 dan 2 Untuk lama durasi operasi pada kelompok 1 rata-rata sebesar
43±16,65 menit. Untuk kelompok 2 pada durasi operasi rata-rata sebesar 43,7±16,35
menit.
Untuk data Numerik ini diuji dengan menggunakan uji T tidak
berpasangan apabila data berdistribusi normal yaitu usia, serta alternatif uji Mann
Whitney apabila data tidak berdistribusi normal yaitu durasi operasi. Hasil uji
statistik pada kelompok penelitian diatas diperoleh informasi nilai P pada variabel
durasi operasi lebih besar dari 0,05 (nilai P> 0,05) yang berarti tidak signifikan
atau tidak bermakna secara statistik dengan demikian dapat dijelaskan bahwa
37
tidak terdapat perbedaan rerata yang signifikan secara statistik antara variabel
durasi operasi antara kelompok 1 dan 2.
Tabel 4.5 Perbandingan Frekuensi Endodiatermi Kedua Kelompok
VariabelKelompok
Nilai pKelompok 1 Kelompok 2n= 16 n= 16
Frekuensi Endodiatermi
0,897Median 1.00 0.00Range (min-max) 0.00-4.00 0.00-3.00
Keterangan : Untuk data numerik Nilai p dihitung berdasarkan uji T tidak berpasangan apabila data berdistribusi normal serta alternatif uji Mann Whitney apabila data tidak berdistribusi normal.. Nilai kemaknaan berdasarkan nilai p<0,05 .Tanda* menunjukkan nilai p<0,05 artinya signifkan atau bermakna secara statistik
Pada tabel 4.5 diatas menjelaskan perbandingan frekuensi endodiatermi
dengan kelompok 1 dan 2. Hasil penelitian frekuensi endodiatermi pada kelompok
1 didapatkan rata-rata sebesar 0,94±1.24. Untuk kelompok 2 pada frekuensi
penggunaan endodiatermii rata-rata sebesar 0.63±0.96. Untuk data Numerik ini
diuji dengan menggunakan uji T tidak berpasangan apabila data berdistribusi
normal yaitu serta alternatif uji Mann Whitney apabila data tidak berdistribusi
normal yaitu Frekuensi Endodiatermi. Hasil uji statistika pada kelompok
penelitian diatas diperoleh informasi nilai P pada variabel frekuensi Endodiatermi
lebih besar dari 0,05 (nilai P> 0,05) yang berarti tidak signifikan atau tidak
bermakna secara statistik dengan demikian dapat dijelaskan bahwa tidak terdapat
perbedaan rerata yang signifikan secara statistik antara variabel yaitu Frekuensi
Endodiatermi dengan kelompok 1 dan 2.
Tabel 4.4 Perbandingan Robekan Iatrogenik Intraoperatif
38
VariabelKelompok
Nilai pKelompok 1 Kelompok 2n= 16 n= 16
Robekan Retina 1.000Jumlah Robekan 1 (6.3%) 1 (6.3%)Tidak ada robekan 15 (93.8%) 15 (93.8%)
Keterangan : untuk data kategorik nilai p dihitung berdasarkan uji Chi-Square. Dengan alternativeuji Fisher Exact apabila syarat dari Chi-Square tidak terpenuhi Nilai kemaknaan berdasarkan nilai p<0,05 .Tanda* menunjukkan nilai p<0,05 artinya signifkan atau bermakna secara statistik
Pada tabel 4.4 menjelaskan perbandingan jumlah robekan iatrogenik
dengan kelompok 1 dan 2. Untuk kelompok 1 dan kelompok 2 pada pasien
dengan 1 robekan hanya 1 atau sebesar 6,3%, sedangkan yang tidak memiliki
robekan masing-masing sebanyak 15 atau sebesar 93,8%.
Untuk analisis pada data kategorik yaitu robekan iatrogenik pada tabel
diatas diuji dengan menggunakan uji statistika Chi-Square yaitu robekan
alternatif uji Kolmogorov Smirnov apabila asumsi Chi Square tidak terpenuhi. uji
statistika pada seluruh variabel diperoleh informasi dimana nilai P lebih besar
dari 0,05 (nilai p>0,05) yang berarti tidak signifikan atau tidak bermakna secara
statistik. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa tidak terdapat perbedaan
proporsi yang signifikan atau bermakna secara statistik antara variable robekan
iatrogenik antara kelompok 1 dan 2.
4.2 Uji Hipotesis
Hipotesis pada penelitian ini adalah pemberian injeksi anti-VEGF
(Bevacizumab) 3 hari dibandingkan dengan pemberian 7 hari sebelum tindakan
vitrektomi dapat mempersingkat durasi operasi.
39
Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa tidak terdapat
perbedaan yang signifikan pada durasi operasi di antara kedua kelompok. Hasil uji
statistik dengan menggunakan uji T tidak berpasangan pada derajat kepercayaan
95% menunjukkan tidak terdapat durasi operasi yang bermakna antara kedua
kelompok tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis penelitian teruji tetapi tidak
diterima.
4.3 Pembahasan
Penelitian ini diikuti oleh 32 pasien retinopati diabetika proliferatif yang
diberikan suntikan bevacizumab pra bedah vitrektomi. Parameter yang akan
dibahas meliputi data demografi dan parameter intraoperatif yang meliputi durasi
waktu pengelupasan membran (membrane peeling), frekuensi endodiatermi dan
jumlah robekan iatrogenik.
Data demografis menunjukkan bahwa jenis kelamin perempuan
mendominasi jumlah sampel pada penelitian ini sebanyak 20 orang (62,5%) dan
laki-laki sebanyak 12 orang (37,5%). Hal ini berbeda dengan hasil penelitian
Farahvash et al memiliki perbandingan laki-laki dengan perempuan sebesar 51,4%
dan 48,6%.36 Hasil penelitian lain yang serupa dilakukan oleh Vaezi et al
menunjukkan bahwa sampel didominasi oleh perempuan sebesar 58.6%. 37 Usia
sample pada penelitian ini berkisar dari 34 hingga 66 tahun dengan rerata 51,5
tahun. Penelitian Farahvash dan Vaezi menunjukkan rerata 52,2 tahun dan 58,5
40
tahun yang tidak berbeda jauh dengan rerata usia pasien sample di penelitian
ini.36,37
Faktor risiko untuk perkembangan retinopati diabetika adalah profil gula
darah, profil lipid serta kelainan sistemik lainnya seperti hipertensi.38 Faktor –
faktor tersebut dinilai pada penelitian ini untuk menentukan keseragaman derajat
retinopati diabetika. Tidak didapatkan perbedaan yang bermakna diantara kedua
kelompok dalam hal kontrol gula darah yang dinilai dengan kadar HBA1C, profil
lipid serta riwayat hipertensi. Derajat keparahan dari retinopati diabetika
proliferatif ditentukan dengan menggunakan skor kompleksitas dengan parameter
perdarahan vitreus, riwayat laser pan retinal photocoagulation (PRP) serta
morfologi traksi dari retinopati diabetika proliferatif. Hasil dari penilaian skor
kompleksitas adalah tidak didapatkan perbedaan yang bermakna dari kedua
kelompok dengan rerata skor 6,5 pada kelompok dengan penyuntikan
bevacizumab 3 hari pra bedah (kelompok 1) dan skor 6,6 pada kelompok dengan
penyuntikan bevacizumab 7 hari pra bedah (kelompok 2). Kemiripan karakteristik
baik data demografis, kelainan sistemik serta skor kompleksitas pada kedua
kelompok diharapkan dapat meminimalisir bias pada penelitian ini.
Parameter pertama yang akan dibahas adalah durasi pengelupasan
membran. Vitrektomi pars plana merupakan teknik operasi yang digunakan untuk
tatalaksana retinopati diabetika. Pemberian bevacizumab pra bedah bertujuan
untuk menghambat proliferasi pembuluh darah sehingga dapat mengurangi
perdarahan intraoperatif serta memiliki efek yang bermakna secara statistik.
Penelitian ini membandingkan durasi pengelupasan membran (membrane
41
peeling) intraoperatif pada pemberian bevacizumab 3 hari dan 7 hari pra bedah.
Hasil perbandingan didapatkan durasi waktu yang lebih singkat pada kelompok
pemberian bevacizumab 3 hari pra bedah, namun perhitungan secara statistik tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan di antara kedua kelompok.
Tindakan operasi vitrektomi idealnya dilakukan pada kasus ablasio retina
traksi yang baru terjadi dalam waktu 6 bulan, pada keadaan traksi yang kronik
biasanya disertai dengan keadaan retina yang sudah tipis dan mengalami atropi
namun memiliki membran fibrovaskular yang tebal, luas dan mengalami
perlengketan kepada retina. Keadaan ini yang dapat meningkatkan tingkat
kesulitan operasi serta mempengaruhi durasi waktu operasi.39 Hasil penelitian ini
menunjukkan rerata durasi operasi yang dinilai pada saat pengelupasan membran
pada vitrektomi adalah 20,75 menit pada kelompok 1 sedangkan pada kelompok 2
memiliki rerata sebesar 23,1 menit. Rerata total durasi operasi pada kelompok 1
adalah 43 menit dan kelompok 2 adalah 43,7 menit.
Pemberian suntikan bevacizumab pada penelitian oleh Rizzo et al yang
dilakukan 5-7 hari pra bedah menunjukkan regresi neovaskularisasi yang dapat
terjadi dalam 1-2 hari pasca penyuntikan dan pada saat dilakukan tindakan
vitrektomi durasi waktu operasi menjadi lebih singkat dengan rerata 57 menit.13
Penelitian oleh Vaezi et al yang melakukan penyuntikan 7 hari pra bedah
menunjukkan rerata durasi operasi 47,4 menit. Modares et al melakukan injeksi
bevacizumab 3 hari pra bedah dan menunjukkan rerata durasi operasi sebesar 62
menit.41
42
Faktor lain yang menentukan durasi operasi vitrektomi dan proses
pengelupasan membran adalah tingkat kompleksitas dari retinopati diabetika
proliferatif. Tingkat kompleksitas yang dinilai dari perdarahan vitreus, riwayat
laser PRP dan morfologi dari traksi menunjukkan rerata skor kompleksitas 6,5-
6,6. Semakin tinggi skor kompleksitas maka semakin tinggi tingkat kesulitan
operasi serta diperlukan durasi operasi yang lebih lama untuk melepaskan traksi
pada retina. Sebagian besar karakteristik retinopati diabetika proliferatif pada
penelitian ini memiliki morfologi central diffuse yang diikuti dengan perdarahan
vitreus sedang dan tanpa disertai riwayat laser PRP. Pada kedua kelompok
penelitian ini tidak didapatkan perburukan traksi setelah penyuntikan
bevacizumab pra bedah sehingga tidak didapatkan perbedaan yang bermakna pada
saat pengelupasan membran dalam operasi vitrektomi . Pemberian bevacizumab
pra bedah dapat menyebabkan pengerutan jaringan fibrovaskular dan
memperburuk traksi pada retina dengan rata-rata waktu 3-13 hari.41 Pemberian
bevacizumab pra bedah diharapkan dapat memudahkan dalam proses
pengelupasan membran yang meliputi proses segmentasi serta delaminasi dari
membran fibrovaskular. Rizzo et al menyatakan pada operasi vitrektomi dengan
pemberian bevacizumab pra bedah dapat memudahkan untuk melakukan diseksi
tumpul dan pengelupasan membran langsung serta meminimalisir pergantian
instrumen sehingga durasi operasi menjadi lebih cepat. Tidak adanya perbedaan
yang signifikan dalam durasi pengelupasan membran dan waktu operasi diantara
kedua kelompok menunjukkan bahwa tidak adanya proses progresifitas traksi
pada retina akibat injeksi bevacizumab 7 hari sebelum vitrektomi sehingga baik
43
pemberian bevacizumab 3 hari dan 7 hari prabedah memberikan efek positif yang
tidak berbeda secara signifikan.
Parameter selanjutnya adalah kontrol perdarahan intraoperatif. Profil
perdarahan pada retinopati diabetika proliferatif dapat dinilai dengan melihat
frekuensi penggunaan endodiatermi untuk menghentikan perdarahan. Perdarahan
yang kecil dapat dihentikan dengan pemberian tekanan positif intraoperatif,
namun perdaharan yang besar dapat dihentikan dengan tindakan endodiatermi.
Faktor yang mempengaruhi perdarahan intraoperatif diantaranya perlekatan
membran fibrovaskular, jumlah neovaskularisasi serta kelainan pembuluh darah.
Pemberian bevacizumab diharapkan dapat mengurangi perlengketan
membran fibrovaskular, regresi neovaskularisasi serta menyebabkan perubahan
hemodinamik pembuluh darah retina berupa vasokonstriksi pembuluh darah dan
berkurangnya aliran darah pada neovaskularisasi sehingga dapat mengurangi
kemungkinan perdarahan intraoperatif.31-33,36 Penelitian ini menunjukkan tidak
adanya perbedaan yang signifikan dalam profil perdarahan pada kedua kelompok.
Penelitian Arevalo et al menunjukkan bahwa terdapat kemungkinan progresifitas
traksi sebesar 5,2% pada pasien yang diberikan bevacizumab pra bedah dengan
interval lebih dari 7 hari, namun pada penelitian ini tidak ditemukan progresifitas
traksi serta perdarahan pada kedua kelompok.16 Penelitian Di lauro menunjukkan
bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dalam profil perdarahan antara
kelompok pemberian bevacizumab 7 hari dan 20 hari pra bedah.40 Faktor utama
yang menentukan perdarahan intraoperatif adalah morfologi neovaskularisasi,
pada penelitian ini terdapat beberapa kasus dengan traksi yang berat namun tanpa
44
disertai neovaskularisasi yang banyak, begitu juga sebaliknya ditemukan kasus
dengan traksi ringan namun dengan profil neovaskularisasi yang kompleks
sehingga dapat mempengaruhi profil perdarahan serta durasi pengelupasan
membran. Profil kompleks neovaskularisasi sulit dinilai pada beberapa kasus
diakibatkan oleh perdarahan vitreus sehingga detail pra bedah menjadi sulit
dinilai.
Parameter selanjutnya adalah robekan iatrogenik intraoperatif. Robekan
retina intraoperatif dapat terjadi akibat perlengketan membran fibrovaskular
sehingga saat proses diseksi dapat terjadi kemungkinan robekan retina, retina yang
mengalami atropi dan tipis ataupun dapat terjadi dikarenakan faktor operator.
Teknik operasi pengelupasan membran meliputi segmentasi dan delaminasi
membran. Meskipun terdapat kemungkinan perburukan traksi sebesar 5,2%
setelah pemberian bevacizumab namun pada kedua kelompok dalam penelitian ini
tidak didapatkan perbedaan signifikan robekan retina intraoperatif. Penelitian ini
didapatkan masing – masing 1 kejadian robekan retina iatrogenik pada kedua
kelompok yang diakibatkan oleh perlengketan membran terhadap retina, namun
robekan dapat ditangani dengan laser fotokoagulasi di sekitar robekan. Penelitian
di lauro yang memberikan bevacizumab 7 hari pra bedah hanya mendapatkan
temuan robekan retina intraoperatif sebesar 4,1%. Tidak didapatkan perbedaan
progresifitas traksi pada kedua kelompok mengakibatkan jumlah robekan
intraoperatif tidak berbeda signifikan. Penelitian oleh rizzo et al, di Lauro et al
yang memberikan bevacizumab 7 hari pra bedah tidak mendapatkan robekan
45
retina intraoperatif, namun pada penelitian ahmadieh et al didapatkan robekan
sebesar 5,7% dari total sampelnya.
46
BAB VKESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Pemberian bevacizumab 3 hari pra bedah tidak menyebabkan perbedaan
durasi operasi yang bermakna jika dibandingkan dengan pemberian 7 hari pra
bedah.
5.2 Saran
Pemberian bevacizumab dapat dipertimbangkan untuk tindakan vitrektomi
pada kasus retinopati diabetika proliferatif dengan interval 3 atau 7 hari
pra bedah
Perlu penelitian lebih lanjut dengan judul kesesuaian efek pemberian
bevacizumab pra bedah 3 hari dan 7 hari pada kasus retinopati diabetika
proliferatif yang akan dilakukan vitrektomi
47
DAFTAR PUSTAKA
1. WHO Diabetes factsheet. Tersedia dari :
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs312/en/
2. Riset Kesehatan Dasar 2013. Sumber :
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas
%202013.pdf
3. Cantor LB, Rapuano CJ, Cioffi GA. Basic and Clinical Science Course
Section 12 : Retina and Vitreus. American Academy of Ophthalmology :
2014-2015 : 89-105
4. Dhoot DS, Pieramici D. The Anti VEGF Arsenal in the fight against diabetic retinopathy. Retina Today. 2015; 42-48
5. RAAB6. Ghanci F et al. Diabetic Retinopathy Guidelines. The Royal College of
Ophthalmologists. 2012 ; 13-237. Zhang X et al. Prevalence of diabetic retinopathy in the United States in
2005-2008.JAMA 2010; 304:649-656
8. P Osaadon, XJ Fagan, T Lifshitz, J Levy. A Review of Anti VEGF agents
for Proliferative Diabetic Retinopathy.Eye.2014; 28:510-520
9. Fong DS,Aiello LP,Ferris FL, Klein R. Diabetic retinopathy. Diabetes
Care.2004; 27:2540-2553.
10. Shibuya M. Differential roles of vascular endothelial growth factor
receptor-1 and receptor-2 in angiogenesis. J Biochem Mol
Biol.2006;39:469-478
11. Tremolada G et al. The Role of Angiogenesis in the Development of
Proliferative Diabetic Retinopathy: Impact of Intravitreal Anti-VEGF
Treatment. Experimental Diabetes Research, 2012;1-8
12. Moradian S,Ahmadieh H,Malihi M,Soheilian M, Dehghan MH, Azarmina
M. Intravitreal bevacizumab in active progressive proliferative diabetic
retinopathy. Graefes Arch Clin Exp Ophthalmol.2008; 246:1699–1705
13. Rizzo S, Genovesi-Ebert F, Bartolo E, Vento A, Miniaci S, Williams G.
Injection of intravitreal bevacizumab (Avastin) as a preoperative adjunct
48
before vitrectomy surgery in the treatment of severe proliferative diabetic
retinopathy. Graefes Arch Clin Exp Ophthalmol 2008; 246: 837–842.
14. Yeh PT, Yang CM, Lin YC, Chen MS, Yang CH. Bevacizumab
pretreatment in vitrectomy with silicone oil for severe diabetic
retinopathy. Retina. 2009; 29: 768–774.
15. Ahmadieh H, Shoeibi N, Entezari M, Monshizadeh R. Intravitreal
bevacizumab for prevention of early postvitrectomy hemorrhage in
diabetic patients:a randomized clinical trial. Ophthalmology 2009; 116:
1943–1948.
16. Arevalo JF, Maia M, Flynn Jr HW, Saravia M, Avery RL, Wu L, Eid
Farah M et al. Tractional retinal detachment following intravitreal
bevacizumab (Avastin) in patients with severe proliferative diabetic
retinopathy. Br J Ophthalmol 2008; 92: 213–216.
17. Kuiper EJ, Van Nieuwenhoven FA, de Smet MD, van Meurs JC, Tanck
MW, Oliver N et al. The angio-fibrotic switch of VEGF and CTGF in
proliferative diabetic retinopathy. PLoS One 2008; 3: 2675.
18. Chew EY, Ferris FL. Nonproliferative Diabetic Retinopathy dalam Ryan
SJ. Retina.Vol 1 : 67.Hal 2171-84
19. Davis MD, Blodi BA. Proliverative Diabetic Retinopathy dalam Ryan SJ.
Retina.Vol 1 : 68.Hal 1285-1322
20. Chakrabarti R,Harper CA,Keeffe JE. Diabetic retinopathy management
guidelines. Expert Rev Ophthalmol.2012;7(5):417-439
21. Ishida S,Usui T, Yamashiro K et al. VEGF164 is proinflamatory in the
diabetic retina. Investigate Ophthalmology and Visual
Science.2003;44(5):2155-62
22. Qazi Y, Maddula S, Ambati BK. Mediator of ocular angiogenesis. J
Genet.2009;88(4).495-515
23. Simo R,Sundstrom JM, Antonetti DA. Ocular Anti-VEGF Therapy for
Diabetic Retinopathy: The Role of VEGF in the Pathogenesis of Diabetic
Retinopathy. Diabetes Care.2014;37:893–899
49
24. Ferrara N. Vascular endothelial growth factor : basic science and clinical
progress. Endocr Rev.2004;25.581-611
25. Shih SC, Ju M, Liu N, Mo JR, Ney JJ, Smith LE. Transforming growth
factor beta1 induction of vascular endothelial growth factor receptor 1:
mechanism of pericyte-induced vascular survival in vivo. Proc Natl Acad
Sci USA.2003;100:15859–15864
26. Sinapsis et al. Pharmacokinetics of intravitreal bevacizumab (Avastin) in
rabbits . Clinical Ophthalmology.2011;5:697-704
27. Zhu Q,Ziemssen F,Fahle SH, et al . Vitreous levels of bevacizumab and
vascular endothelial growth factor-A in patients with choroidal
neovascularization. Ophthalmology. 2008;115: 1750–1755.
28. Avery RL, et al. Systemic pharmacokinetics following intravitreal
injections of ranibizumab, bevacizumab or aflibercept in patients with
neovascular AMD. Br J Ophthalmol.2014;1-6
29. Carneiro AM et al. Vascular endothelial growth factor plasma levels
before and after treatment of neovascular age-related macular
degeneration with bevacizumab or ranibizumab. Acta Ophthalmol
2012;90:25–30.
30. Zehetner C, Kirchmair R, Huber S, et al. Plasma levels of vascular
endothelial growth factor before and after intravitreal injection of
bevacizumab, ranibizumab and pegaptanib in patients with age-related
macular degeneration, and in patients with diabetic macular oedema. Br J
Ophthalmol 2013;97:454–9
31. Rizzo S et al. Injection of intravitreal bevacizumab (Avastin)as a
preoperative adjunct before vitrectomy surgery in the treatment of severe
proliferative diabetic retinopathy (PDR).Graefes Arch Clin Exp
Ophthalmol.2008;246:837–842
32. Spaide RF,Fisher YL. Intravitreal bevacizumab treatment of proliferative
diabetic retinopathy complicated by vitreous hemorrhage. Retina
2006;26:275-8.
50
33. Zhao LQ,Zhu H,Zhao PQ, Hu YQ. A systematic review and meta-analysis
of clinical outcomes of vitrectomy with or without intravitreal
bevacizumab pretreatment for severediabetic retinopathy .Br J
Ophthalmol.2011;95:1216-22
34. Luan J, Ando F,Hirose H,Yasui O.Vitrectomy results in proliferative
diabetic retinopathy. Int J Ophthalmol.2008;1(4):356-8
35. Cantor LB, Rapuano CJ, Cioffi GA. Basic and Clinical Science Course
Section 12 : Retina and Vitreus. American Academy of Ophthalmology :
2014-2015.17.89-105
36. Farahvash MS,Majidi AR, Roohipoor R,Ghassemi . Preoperative Injection
of Intravitreal Bevacizumab in Dense Diabetic Vitreus
Hemorrhage.Retina.2011.31:1254-60.
37. Vaezi KP et al. A Randomized Study Comparing the Efficacy of
Bevacizumab and Ranibizumab as Pre-treatment for Pars Plana
Vitrectomy in Proliferative Diabetic Retinopathy.Ophthalmic Surg Lasers
Imaging Retina.2014.45:521-4
38. Kempen JH, O'Colmain BJ, Leske MC. The prevalence of diabetic
retinopathy among adults in the United States. Arch ophtalmol.
2004;122:552-63
39. Abunajma AM et al. The outcomes and prognostic factors of vitrectomy in
chronic diabetic traction macular detachment. Clinical Ophthalmology
2016:10 1653–61
40. Lauro R et al. Intravitreal bevacizumab for surgical treatment of severe
proliferative diabetic retinopathy. Graefes Arch Clin Exp
Ophthalmol .2010.248:785–791
41. Modarres M et al. Intravitreal injection of bevacizumab before vitrectomy
for proliferative diabetic retinopathy. European Journal of
Ophthalmology.2009.19:5.848-52.
51