Pernikahan Dan Pernikahan Campuran Dalam Islam
description
Transcript of Pernikahan Dan Pernikahan Campuran Dalam Islam
-
PERNIKAHAN DAN PERNIKAHAN CAMPURAN DALAM ISLAM
Disusun untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah Pendidikan Agama Islam
MAKALAH
Disusun oleh:
M. Tajul Arifin 115090700111008
Windy Dwi Ariyanto 115090700111009
Musthofa Nuh 115090700111010
Afifah Nurul Maulina 115090700111011
PROGRAM STUDI GEOFISIKA
JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2014
-
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Apabila kita berbicara tentang pernikahan maka dapatlah kita memandangnya dari
dua buah sisi. Dimana pernikahan merupakan sebuah perintah agama. Sedangkan di sisi
lain adalah satu-satunya jalan penyaluran sexs yang disah kan oleh agama. Agama islam
telah menetapkan bahwa satu-satunya jalan untuk memenuhi kebutuhan biologis manusia
adalah hanya dengan pernikahan. Di dalam al-Quran telah dijelaskan bahwa pernikahan
ternyata juga dapat membawa kedamaian dalam hidup seseorang (litaskunu ilaiha). Ini
berarti pernikahan sesungguhnya bukan hanya sekedar sebagai sarana penyaluran
kebutuhan sex namun lebih dari itu pernikahan juga menjanjikan perdamaian hidup bagi
manusia dimana setiap manusia dapat membangun surge dunia di dalam nya. Semua hal
itu akan terjadi apabila pernikahan tersebut benar-benar di jalani dengan cara yang sesuai
dengan jalur yang sudah ditetapkan islam.
Pada zaman modern banyak orang yang berpendapat bahwa kebahagiaan suatu
perkawinan terletak pada hubungan biologis antara pria dan wanita yang menitik beratkan
pada faktor cinta, tanpa ikatan pernikahan. Kenyataan yang ada di masyarakat barat kini
melanda indonesia, yang mencoba gaya hidup baru (New Life Style) untuk mencari
kebahagiaan yang sesuai dengan modernisasi. Mereka tidak menginginkan
pernikahan/perkawinan yang terikat dengan tradisi dan agama, tetapi kebebasan yang
mengklaim sebagai kebahagiaan sebagai individu. Mereka menempuh free-love dan free-
sex. Akibatnya, norma-norma Agama dan kesusilaan tidak lagi di perdulikan. Menikah
dengan pasangan yang berbeda agama merebak, perselingkuhan meningkat, angka
perceraian meninggi. Muncul pula kebiasaan kumpul kebo dan aborus(pengguguran
kandungan), menstrual regulatioan (MR) atau pembunuhan janin secara terselubung, dan
sterilisasi (pemandulan) di kalangan remaja.
1.2. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui pernikahan dalam Islam termasuk pengertian pernikahan, anjuran
menikah, tujuan pernikahan, hukum pernikahan, rukun pernikahan, syarat-syarat
dalam pernikahan, dan proses sebuah pernikahan yang berlandasakan Al-Quran dan
As-Sunnah.
2. Untuk mengetahui hukum pernikahan campuran dalam Islam.
1.3. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pandangan Islam mengenai pernikahan?
2. Bagaimanakah hukum pernikahan campuran dalam Islam?
-
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pernikahan dalam Islam
2.1.1. Pengertian Pernikahan
Pernikahan adalah terjemahan yang diambil dari bahasa Arab yaitu nakaha
dan zawaja. Kedua kata inilah yang menjadi istilah pokok yang digunakan al-
Quran untuk menunjuk perkawinan (pernikahan). Istilah atau kata zawaja berarti
pasangan, dan istilah nakaha berarti berhimpun. Dengan demikian, dari sisi
bahasa perkawinan berarti berkumpulnya dua insan yang semula terpisah dan
berdiri sendiri, menjadi satu kesatuan yang utuh dan bermitra.
Nikah menurut syara adalah akad serah terima antara laki-laki dan
perempuan dengan tujuan untuk saling memuaskan satu sama lainnya serta
membentuk sebuah rumah tangga yang sakinah.
2.1.2. Anjuran untuk Menikah
Islam telah menjadikan ikatan perkawinan yang sah berdasarkan Al-Qur'an
dan As-Sunnah sebagai satu-satunya sarana untuk memenuhi tuntutan naluri
manusia yang sangat asasi, dan sarana untuk membina keluarga yang Islami.
Adapun beberapa dasar hukum tentang pernikahan adalah sebagai berikut:
Al-Quran:
Dan segala sesuatu kami jadikan berpasang-pasangan, supaya kamu
mengingat kebesaran Allah. (QS. Adz Dzariyaat (51) : 49).
Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-
orang yang layak (menikah) dari hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba
sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan mengkayakan mereka
dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberianNya) dan Maha
Mengetahui. (QS. An Nuur (24) : 32).
As-Sunnah
Rasulullah SAW bersabda: Nikah itu sunnahku, barangsiapa yang tidak
suka, bukan golonganku !(HR. Ibnu Majah, dari Aisyah r.a.).
Dari Aisyah, Nikahilah olehmu kaum wanita itu, maka sesungguhnya
mereka akan mendatangkan harta (rezeki) bagi kamu (HR. Hakim dan Abu
Dawud).
2.1.3. Tujuan Pernikahan
Ittiba(mengikuti) Sunnah Rasul
Empat macam diantara sunnah-sunnah para Rasul yaitu : berkasih sayang,
memakai wewangian, bersiwak dan menikah (HR. Tirmidzi).
Melaksanakan ibadah
Menurut konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk beribadah kepada Allah dan
berbuat baik kepada sesama manusia. Dari sudut pandang ini, rumah tangga
adalah salah satu lahan subur bagi peribadatan dan amal shalih di samping
-
ibadat dan amal-amal shalih yang lain, sampai-sampai menyetubuhi istri-pun
termasuk ibadah (sedekah).
Untuk preventif terhadap zina
Janganlah kalian mendekati zina, karena zina itu perbuatan keji dan suatu
jalan yang buruk (Al-Isra 32)
Melestarikan keturunan
Kawinlah dengan wanita yang mencintaimu dan yang mampu beranak
Sesungguhnya aku akan membanggakan kamu sebagai umat yang
terbanyak (HR. Abu Dawud).
2.1.4. Hukum Pernikahan
Pernikahan Yang Wajib Hukumnya
Menikah itu wajib hukumnya bagi seorang yang sudah mampu secara
finansial dan juga sangat beresiko jatuh ke dalam perzinaan. Hal itu disebabkan
bahwa menjaga diri dari zina adalah wajib. Maka bila jalan keluarnya hanyalah
dengan cara menikah, tentu saja menikah bagi seseorang yang hampir jatuh ke
dalam jurang zina wajib hukumnya.
Pernikahan Yang Sunnah Hukumnya
Sedangkan yang tidak sampai diwajibkan untuk menikah adalah mereka
yang sudah mampu namun masih tidak merasa takut jatuh kepada zina. Barangkali
karena memang usianya yang masih muda atau pun lingkungannya yang cukup
baik dan kondusif.
Orang yang punya kondisi seperti ini hanyalah disunnahkan untuk menikah,
namun tidak sampai wajib. Sebab masih ada jarak tertentu yang menghalanginya
untuk bisa jatuh ke dalam zina yang diharamkan Allah SWT.
Pernikahan Yang Haram Hukumnya
Secara normal, ada dua hal utama yang membuat seseorang menjadi haram
untuk menikah. Pertama, tidak mampu memberi nafkah. Kedua, tidak mampu
melakukan hubungan seksual. Kecuali bila dia telah berterus terang sebelumnya
dan calon istrinya itu mengetahui dan menerima keadaannya.
Selain itu juga bila dalam dirinya ada cacat pisik lainnya yang secara umum
tidak akan diterima oleh pasangannya. Maka untuk bisa menjadi halal dan
dibolehkan menikah, haruslah sejak awal dia berterus terang atas kondisinya itu dan
harus ada persetujuan dari calon pasangannya.
Seperti orang yang terkena penyakit menular yang bila dia menikah dengan
seseorang akan beresiko menulari pasangannya itu dengan penyakit. Maka
hukumnya haram baginya untuk menikah kecuali pasangannya itu tahu kondisinya
dan siap menerima resikonya.
Selain dua hal di atas, masih ada lagi sebab-sebab tertentu yang
mengharamkan untuk menikah. Misalnya wanita muslimah yang menikah dengan
laki-laki yang berlainan agama atau atheis. Juga menikahi wanita pezina dan
pelacur. Termasuk menikahi wanita yang haram dinikahi (mahram), wanita yang
punya suami, wanita yang berada dalam masa iddah.
-
Ada juga pernikahan yang haram dari sisi lain lagi seperti pernikahan yang
tidak memenuhi syarat dan rukun. Seperti menikah tanpa wali atau tanpa saksi.
Atau menikah dengan niat untuk mentalak, sehingga menjadi nikah untuk
sementara waktu yang kita kenal dengan nikah kontrak.
Pernikahan Yang Makruh Hukumnya
Orang yang tidak punya penghasilan sama sekali dan tidak sempurna
kemampuan untuk berhubungan seksual, hukumnya makruh bila menikah. Namun
bila calon istrinya rela dan punya harta yang bisa mencukupi hidup mereka, maka
masih dibolehkan bagi mereka untuk menikah meski dengan karahiyah.
Sebab idealnya bukan wanita yang menanggung beban dan nafkah suami,
melainkan menjadi tanggung jawab pihak suami.
Maka pernikahan itu makruh hukumnya sebab berdampak dharar bagi pihak
wanita. Apalagi bila kondisi demikian berpengaruh kepada ketaatan dan
ketundukan istri kepada suami, maka tingkat kemakruhannya menjadi jauh lebih
besar.
Pernikahan Yang Mubah Hukumnya
Orang yang berada pada posisi tengah-tengah antara hal-hal yang
mendorong keharusannya untuk menikah dengan hal-hal yang mencegahnya untuk
menikah, maka bagi hukum menikah itu menjadi mubah atau boleh. Tidak
dianjurkan untuk segera menikah namun juga tidak ada larangan atau anjuran untuk
mengakhirkannya.
2.1.5. Rukun Pernikahan
Rukun dalam pernikahan antara lain:
1. Calon mempelai pria dan wanita, calon pengantin harus terbebas dari
penghalang-penghalang sahnya nikah.
2. Wali dari calon mempelai wanita
3. Dua orang saksi laki-laki
4. Mahar
5. Ijab dan Qabul, ijab merupakan ucapan penyerahan calon mempelai wanita
dari walinya atau wakilnya kepada calon mempelai pria untuk dinikahi,
sedangkan qabul merupakan ucapan penerimaan pernikahan dari calon
mempelai pria atau walinya.
2.1.6. Syarat-syarat Pernikahan
a. Syarat calon suami
1. Islam
2. Bukan lelaki muhrim dengan calon istri
3. Mengetahui wali yang sebenarnya bagi akad nikah tersebut
4. Bukan dalam ihram haji atau umroh
5. Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan
6. Tidak mempunyai empat orang istri yang sah dalam suatu waktu
7. Mengetahui bahwa perempuan yang hendak dinikahi adalah sah dijadikan
istri
-
b. Syarat calon istri
1. Islam
2. Bukan perempuan muhrim dengan calon suami
3. Akil Baligh
4. Bukan dalam ihram haji atau umroh
5. Tidak dalam iddah
6. Bukan istri orang
c. Syarat wali nikah
1. Islam
2. Lelaki
3. Akil baligh
4. Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan
5. Bukan dalam ihram haji atau umroh
6. Tidak cacat akal pikiran/ gila
7. Merdeka
d. Syarat saksi pernikahan
1. Sekurang-kurangya dua orang
2. Islam
3. Berakal
4. Akil baligh
5. Laki-laki
6. Memahami isi lafal ijab dan qobul
7. Dapat mendengar, melihat dan berbicara
8. Adil
9. Merdeka
e. Syarat ijab
1. Tidak boleh menggunakan perkataan sindiran
2. Diucapkan oleh wali atau wakilnya
3. Tidak diikatkan dengan tempo waktu seperti nikah kontrak
4. Tidak secara taklik(tidak ada sebutan prasyarat sewaktu ijab dilafalkan)
f. Syarat qabul
1. Ucapan mestilah sesuai dengan ucapan ijab
2. Tidak ada perkataan sindiran
3. Dilafalkan oleh calon suami atau wakilnya (atas sebab-sebab tertentu)
4. Tidak diikatkan dengan tempo waktu (seperti nikah kontrak)
5. Tidak secara taklik(tidak ada sebutan prasyarat sewaktu qobul dilafalkan)
6. Menyebut nama calon istri
7. Tidak ditambahkan dengan perkataan lain
2.1.7. Proses Sebuah Pernikahan yang Berlandasakan Al-Quran dan As-Sunnah
1. Mengenal calon pasangan hidup
Adapun mengenali calon pasangan hidup di sini maksudnya adalah
mengetahui siapa namanya, asalnya, keturunannya, keluarganya, akhlaknya,
agamanya dan informasi lain yang memang dibutuhkan. Ini bisa ditempuh
dengan mencari informasi dari pihak ketiga, baik dari kerabat si lelaki atau si
wanita ataupun dari orang lain yang mengenali si lelaki atau si wanita.
-
2. Nazhar (melihat calon pasangan hidup)
Seorang lelaki ingin menikahi seorang wanita maka disunnahkan baginya
untuk terlebih dahulu melihat calonnya tersebut dan mengamatinya.
3. Khithbah (peminangan)
Seorang lelaki yang telah berketetapan hati untuk menikahi seorang
wanita, hendaknya meminang wanita tersebut kepada walinya.
4. Akad nikah
Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang
melangsungkan pernikahan dalam bentuk ijab dan qabul.
5. Walimatul urs
Melangsungkan walimah urs hukumnya sunnah menurut sebagian besar
ahlul ilmi.
6. Setelah akad
Pertama: Berkumur terlebih dahulu untuk membersihkan mulutnya karena
dikhawatirkan tercium aroma yang tidak sedap dari mulutnya. Demikian
pula si istri, hendaknya melakukan yang sama.
Kedua: Disenangi baginya untuk menyerahkan mahar bagi istrinya .
Ketiga: Berlaku lemah lembut kepada istrinya, dengan semisal
memberinya segelas minuman.
Keempat: Meletakkan tangannya di atas bagian depan kepala istrinya
(ubun-ubunnya) sembari mendoakannya.
Kelima: Ahlul ilmi ada yang memandang setelah dia bertemu dan
mendoakan istrinya disenangi baginya untuk shalat dua rakaat
bersamanya.
2.2. Pernikahan Campuran
2.2.1. Pengertian Pernikahan Campuran
Akhir-akhir ini pelaksanaan perkawinan mengalami perubahan seiring
dengan berubahnya zaman kearah modernitas karena situasi yang bebas memilih,
namun tidak berarti bebas sebebas-bebasnya, tapi tetap ada batasan yang dipahami
oleh setiap individu bangsa Indonesia. Batasan tersebut adalah pengaruh
ideologi/agama.
Pada umumnya yang terjadi, bila seorang laki-laki dan seorang perempuan
masing-masing memeluk agama berlainan ingin melangsungkan perkawinan, maka
biasanya salah seorang dari mereka mengalah dan beralih kepada agama salah satu
pihak. Bila demikian maka tentu tidak ada kesulitan dalam melaksanakan
perkawinannya. Dalam praktek kerapkali terjadi perbedaan yang demikian, masing-
masing pihak tetap teguh memeluk agamanya masing-masing, sehingga
menimbulkan kesulitan untuk melaksanakan kemauannya untuk melangsungkan
perkawinan.
Dengan demikian perkawinan campuran dapat didefinisikan sebagai
pernikahan yang dilangsungkan antar pasangan yang berbeda agama satu sama lain.
-
2.2.2. Dasar Hukum Pernikahan Campuran
Dalam keadan yang disebutkan seperti diatas, di Indonesia tempo dulu ada
peraturan yang memberi jalan keluar untuk mengatasi kesulitan tersebut, yaitu
dilaksanakan melalui peraturan perkawinan campuran (Regeling op de Gemengde
Huwelijken yang lazim disingkat GHR) yang dimuat dalam S.1898 Nomor 158.
Pasal 1 dari peraturan tersebut menyatakan bahwa Perkawinan di Indonesia
antara dua orang yang masing-masing takluk pada hukum yang berlainan satu
sama lain, dinamakan perkawinan campuran. Ayat 2 dari pasal tersebut
menjelaskan bahwa Perbedaan agama, kebangsaan atau asal usul tidak
merupakan penghalang bagi suatu perkawinan. Dalam melaksanakan kehidupan
bagi suami isteri yang kawin atas perbedaan agama atau kebangsaan tersebut
ditetapkan sama hukumnya, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 GHR itu yaitu
Dalam suatu perkawinan campuran itu si isteri perihal hukum perdata dan hukum
publik, selama perkawinan berlangsung, turut pada hukum yang berlaku bagi
suami.
Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
di Indonesia telah ada 3 badan Legislatif mengenai perkawinan campuran. Ketiga
ketentuan perundang-perundangan itu adalah sebagai berikut:
1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BurgelijkWetboek)
2) Ordonasi perkawinan Indonesia Kristen (HOCI) S.1933 Nomor 74
3) Peraturan perkawinan campuran (Regeling og de gemengde Huwelijke S.1898
Nomor 158)
Sejak berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
solusi yang diberikan oleh peraturan tersebut di atas telah dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku lagi. Di dalam undang-undang yang disebutkan belakangan ini solusi
yang diberikan hanyalah bagian kecil dari perbedaan calon suami isteri yaitu bila
berbeda kebangsaan saja atau kewarganegaraan saja. Hal ini diatur dalam Pasal 57
UUP yang berbunyi Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang-
undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada
hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan
campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami atausterinya dan dapat
pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan
dalam undang-undang kewarganegaraan Republik Indonesia (Pasal 58 UUP).
Jadi, jalan keluar yang diberikan atas perbedaan agama bagi calon suami
isteri itu berdasarkan Pasal 57 UUP tidak ada, karena ketentuan pasal ini hanya
mengatasi perbedaan kewarganegaraan saja. Hal ini dapat dimengerti karena
keabsahan dari suatu perkawinan (termasuk perkawinan campuran) akan ditentukan
berdasakan Pasal 2 ayat 1 UUP tersebut yang menyatakan Perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu.
Namun demikian, kelihatannya ketentuan Pasal 56 (1) UUP dapat mengatasi
kesulitan warga negara Indonesia yang melaksanakan perkawinan beda agama.
Bunyi Pasal tersebut adalah Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia
antara dua orang warga negara Indonesia atau seorang warga negara Indonesia dan
-
warga negara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di
negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warga negara Indonesia
tidak melanggar ketentuan undang-undang ini.
2.2.3. Problematika dalam Pernikahan Campuran
1) Masalah kesahan pernikahan
Di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 telah ditentukan bahwa
sahnya perkawinan di Indonesia adalah berdasarkan masing-masing agama dan
kepercayaannya (Pasal 2 ayat 1). Oleh karena itu mengenai perkawinan
campuran yang dilangsungkan di Indonesia harus dilakukan berdasarkan
hokum perkawinan Indonesia jadi kesahan perkawinan tersebut harus
berdasarkan hukum agama dan harus dicatat apabila kedua belah pihak, calon
suami-isteri ini menganut agama yang sama tidak akan menimbulkan masalah,
namun apabila berbeda agama, maka akan timbul masalah hukum antar agama.
2) Masalah pencatatan
Mengenai perkawinan campuran dalam Undang-Undang No. 1 tahun
1974 tidak ada ketentuan yang mengatur secara khusus tentang pencatatan
perkawinan campuran.
3) Masalah harta benda perkawinan
Apabila pihak suami warga negara Indonesia, maka ketentuan hukum
material berkaitan dengan harta kekayaan diatur berdasarkan hukum suami,
yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Namun harta benda perkawinan
campuran ini apabila tidak dilakukan perjanjian perkawinan yang menyangkut
harta perkawinan maka berkenaan dengan harta perkawinan ini akan tunduk
pada pasal 35, dimana ditentukan, bahwa: Harta benda yang diperoleh selama
perkawinan menjadi harta bersama; Harta bawaan dari masing-masing suami
dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau
warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak
tidak menentukan lain. Selanjutnya mengenai harta bersama ini dapat dikelola
bersama-sama suami dan isteri, namun dalam setiap perbuatan hukum yang
menyangkut harta bersama harus ada persetujuan kedua belah pihak (Pasal 36
ayat (1))
Sedangkan dalam hal harta bawaan masing-masing suami dan isteri
mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai
harta bendanya (Pasal 36 ayat (2)).
4) Masalah perceraian
5) Status anak
Indonesia menganut asas keturunan (asas ius sanguinis) yaitu
kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh keturunan daripada orang yang
bersangkutan (si suami).
6) Masalah warisan
-
2.3 Pandangan Islam terhadap Pernikahan Campuran
Dewasa ini,di dalam kehidupan kehidupan kita pernikahan antara duaorang yang se-agama
merupakan hal yang biasa dan memang itu yangdianjurkan di dalam agama Islam.Tetapi pada
saat sekarang masyarakat seringmengatasnamakan kepentingan lainnya agar dapat melakukan
pernikahan beda agma atau nikah campur karena mereka kebanyakan mengatasnamakan
cintauntuk mengusahakan apa yang mereka inginkan.Hal ini sebenarnya sudahdiatur dengan
secara baik di dalam agam Islam.
2.3.1 Pengertian Non-Muslim di dalam Islam
Sebelum kita membahas tentang pernikahan BedaAgama,sebaiknya kita perlu
mengetahui tentang perngertian non-muslim didalam agama Islam.Golongan non-muslim
sendiri dapat dibagi menjadi 2, yaitu:
a. Golongan Orang Musyrik Menurut Kitab Rowaaiul Bayyan tafsir Ayyah Arkam juz 1halaman 282 karya As Syech Muhammad Ali S Shobuni,orangmusrik ialah orang orang yang telah berani menyekutukan
ALLAHSWT dengan makhlukNYA (penyembahan patung ,berhala dsb)
b. Golongan Ahli Kitab Menurut Kitab Rowaaiul Bayyan tafsir Ayyah Arkam juz 1halaman As Syech Muhammad Ali As Shobuni, Ahli Kitab adalah mereka yang berpegang teguh pada Kitab Taurat yaitu
agama Nabi Musa As,atau mereka yang berpegang teguh pada Kitab Injil agama Nabi Isa as.
atau banyak pula yang menyebut sebagai agama samawi atau agama yang diturunkan
langsung dari langit yaitu Yahudi dan Nasrani. Mengenai istilah Ahli Kitab ini, terdapat
perbedaan pendapat diantara kalangan Ulama berpendapat bahwa mereka semua kaum Nasrani termasuk yang tinggal di Indonesia ialah termasuk Ahli Kitab. Namun ada juga yang
berpendapat bahwa Ahli Kitab ialah mereka yang nasabnya (menurut silsilah sejak nenek
moyangnya terdahulu) ketika diturunkan sudah memeluk agama nasrani di Indonesia
berdasarkan pendapat sebagian ulamatidak termasuk Ahli Kitab.
2.3.2 Pembagian perkawinan Beda Agama dalam Hukum Islam Secara umum pernikahan lintas agama atau beda agamadalam Islam dapat dibagi
menjadi dua bagian yaitu:
A. Perkawinan antar pria Muslim dengan wanita Non-Muslim Dalam Islam, pernikahan antara pria muslim dengan wanita non-muslim Ahli Kitab itu,
menurut pendapat sebagai Ulama diperbolehkan. Hal ini didasarkan pada firman AllahSWT
dalam Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 5 yang artinya
(Dan dihalalkan menikahi) perempuan perempuan yang menjaga kehormatan dan dari kalangan ahli kitab sebelum kamu)
Namun ada beberapa syarat yang diajukan apabila akan melaksanakan hal tersebut yaitu :
1. Jelas Nasabnya Menurut silsilah atau menurut garis keturunannya
sejak nenek moyang adalah ahli kitab. Jadi dapat dikatakan bahwa sebagian besar
kaum nasrani di Indonesia bukan merupakan golongan ahli kitab.
2. Wanita Ahli Kitab tersebut nantinya mampu menjaga anaknya kelak dari bahaya fitnah.
-
Ada beberapa Hadits Riwayat Umar bin Khatabb, Usman bin Affan pernah berkata
priaMuslim diperbolehkan menikah dengan wanita ahli Kitab dan tidak diperbolehkan pria Ahli Kitab menikah dengan wanita Muslimah Bahkan Sahabat Hudzaifah pernah menikah dengan wanita Ahli Kitab tetapi pada akhirnya wanita
tersebut masuk Islam. Dengan demikian ,keputusan untuk memperbolehkan menikah
dengan wanita Ahli Kitab sudah merupakan Ijma(artinya kesepakatan yakni kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum dalam agama berdasarkan
Al-Quran dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi)para sahabat. Tetapi dalam
Kitab Al-Mughni juz 9halaman 545 karya Imam Ibnu Qudamah, Ibnu Abbas pernah
menyatakan, hukum pernikahan dalam Qs.Al Baqarah ayat 221 dan Qs.Al
Mumtahanah ayat 10 diatas telah dihapus (mansukh) oleh Qs.Al-Maidahayat 5
.Karena yang berlaku adalah hukum dibolehkannya pernikahan pria muslim dengan
wanita Ahli Kitab. Sedangkan
diharamkan pernikahan antara pria muslim dengan wanita musrik,menurut
kesepakatan para ulama tetap diharamkan, apapun alasannya karena dikhawatirkan dapat menimbulkan fitnah.
B. Pernikahan Antara Pria Non-Muslim Dengan Wanita Muslimah Pernikahan antara wanita muslimah dengan pria non muslim, menurut kalangan
Ulama tetap diharamkan, baik menikah dengan pria Ahli Kitab maupun dengan seorang pria musrik. Hal ini dikhawatirkan wanita yang telah menikah dengan pria non-
muslim tidak dapat menahan godaan yang akan datang kepadanya. Seperti halnya wanita
tersebut tidak dapat menolak permintaan sang suami yang mungkin bertentangan dengan
syariat Islam, atau wanita itu tidak dapat menahan godaan yang datang dari lingkungan
suami yang tidak seiman yang mungkin cenderung lebih dominan. Dalil naqli pernyataan
tentang haramnya pernikahan seorang wanita muslimah dengan pria non-muslim adalah
Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 5 yang menyatakan bahwa Allah SWT hanya
memperbolehkan pernikahan seorang pria muslim dengan wanita Ahli Kitab tidak
sebaliknya. Seandainya pernikahan ini diperbolehkan, maka Allah SWT pasti akan
menegaskannya di dalam Al-Quran. Karenanya, berdasarkan mahfum al-mukhalafah,
secara implicit Allah SWT melarang pernikahan tersebut.
-
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Nikah menurut syara adalah akad serah terima antara laki-laki dan perempuan dengan
tujuan untuk saling memuaskan satu sama lainnya serta membentuk sebuah rumah tangga
yang sakinah. Menikah sangat dianjurkan karena bertujuan untuk Ittiba, melaksanakan
ibadah, preventif terhadap zina, dan melestarikan keturunan.
Pada umumnya yang terjadi, bila seorang laki-laki dan seorang perempuan masing-
masing memeluk agama berlainan ingin melangsungkan perkawinan, maka biasanya salah
seorang dari mereka mengalah dan beralih kepada agama salah satu pihak. Namun, dalam
kenyataannya seringkali terjadi perbedaan yang demikian, masing-masing pihak tetap teguh
memeluk agamanya masing-masing sehingga menimbulkan kesulitan untuk melaksanakan
kemauannya untuk melangsungkan perkawinan. Apabila tetap dilangsungkan akan terjadi
perkawinan campuran, yaitu yang dilangsungkan antar pasangan yang berbeda agama satu
sama lain.
-
DAFTAR PUSTAKA
Haryadi, R. 2013. Pernikahan Menurut Ajaran Islam. Diakses pada 12 Mei 2014, diunduh
dari http://10213009.blog.unikom.ac.id/bab-pernikahan.6tp
Lauren, DI. 2012. Konsep Pernikahan dalam Islam. Diakses pada 12 Mei 2014, diunduh dari
http://dilbk.blogspot.com/2013/02/makalah-agama-konsep-pernikahan-dalam.html
Ulya, Ghofur. 2012. Dasar-dasar Hukum Pernikahan. Diakses tanggal 12 Mei 2014, diunduh
dari http://ghofur-ulya.blogspot.com/2012/07/dasar-dasar-hukum-pernikahan.html