Pernikahan Dan Pernikahan Campuran Dalam Islam

13
PERNIKAHAN DAN PERNIKAHAN CAMPURAN DALAM ISLAM Disusun untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah Pendidikan Agama Islam MAKALAH Disusun oleh: M. Tajul Arifin 115090700111008 Windy Dwi Ariyanto 115090700111009 Musthofa Nuh 115090700111010 Afifah Nurul Maulina 115090700111011 PROGRAM STUDI GEOFISIKA JURUSAN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014

description

Pernikahan Dan Pernikahan Campuran Dalam Islam

Transcript of Pernikahan Dan Pernikahan Campuran Dalam Islam

  • PERNIKAHAN DAN PERNIKAHAN CAMPURAN DALAM ISLAM

    Disusun untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah Pendidikan Agama Islam

    MAKALAH

    Disusun oleh:

    M. Tajul Arifin 115090700111008

    Windy Dwi Ariyanto 115090700111009

    Musthofa Nuh 115090700111010

    Afifah Nurul Maulina 115090700111011

    PROGRAM STUDI GEOFISIKA

    JURUSAN FISIKA

    FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

    UNIVERSITAS BRAWIJAYA

    MALANG

    2014

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang

    Apabila kita berbicara tentang pernikahan maka dapatlah kita memandangnya dari

    dua buah sisi. Dimana pernikahan merupakan sebuah perintah agama. Sedangkan di sisi

    lain adalah satu-satunya jalan penyaluran sexs yang disah kan oleh agama. Agama islam

    telah menetapkan bahwa satu-satunya jalan untuk memenuhi kebutuhan biologis manusia

    adalah hanya dengan pernikahan. Di dalam al-Quran telah dijelaskan bahwa pernikahan

    ternyata juga dapat membawa kedamaian dalam hidup seseorang (litaskunu ilaiha). Ini

    berarti pernikahan sesungguhnya bukan hanya sekedar sebagai sarana penyaluran

    kebutuhan sex namun lebih dari itu pernikahan juga menjanjikan perdamaian hidup bagi

    manusia dimana setiap manusia dapat membangun surge dunia di dalam nya. Semua hal

    itu akan terjadi apabila pernikahan tersebut benar-benar di jalani dengan cara yang sesuai

    dengan jalur yang sudah ditetapkan islam.

    Pada zaman modern banyak orang yang berpendapat bahwa kebahagiaan suatu

    perkawinan terletak pada hubungan biologis antara pria dan wanita yang menitik beratkan

    pada faktor cinta, tanpa ikatan pernikahan. Kenyataan yang ada di masyarakat barat kini

    melanda indonesia, yang mencoba gaya hidup baru (New Life Style) untuk mencari

    kebahagiaan yang sesuai dengan modernisasi. Mereka tidak menginginkan

    pernikahan/perkawinan yang terikat dengan tradisi dan agama, tetapi kebebasan yang

    mengklaim sebagai kebahagiaan sebagai individu. Mereka menempuh free-love dan free-

    sex. Akibatnya, norma-norma Agama dan kesusilaan tidak lagi di perdulikan. Menikah

    dengan pasangan yang berbeda agama merebak, perselingkuhan meningkat, angka

    perceraian meninggi. Muncul pula kebiasaan kumpul kebo dan aborus(pengguguran

    kandungan), menstrual regulatioan (MR) atau pembunuhan janin secara terselubung, dan

    sterilisasi (pemandulan) di kalangan remaja.

    1.2. Tujuan Penulisan

    Tujuan penulisan makalah ini adalah:

    1. Untuk mengetahui pernikahan dalam Islam termasuk pengertian pernikahan, anjuran

    menikah, tujuan pernikahan, hukum pernikahan, rukun pernikahan, syarat-syarat

    dalam pernikahan, dan proses sebuah pernikahan yang berlandasakan Al-Quran dan

    As-Sunnah.

    2. Untuk mengetahui hukum pernikahan campuran dalam Islam.

    1.3. Rumusan Masalah

    1. Bagaimanakah pandangan Islam mengenai pernikahan?

    2. Bagaimanakah hukum pernikahan campuran dalam Islam?

  • BAB II

    PEMBAHASAN

    2.1. Pernikahan dalam Islam

    2.1.1. Pengertian Pernikahan

    Pernikahan adalah terjemahan yang diambil dari bahasa Arab yaitu nakaha

    dan zawaja. Kedua kata inilah yang menjadi istilah pokok yang digunakan al-

    Quran untuk menunjuk perkawinan (pernikahan). Istilah atau kata zawaja berarti

    pasangan, dan istilah nakaha berarti berhimpun. Dengan demikian, dari sisi

    bahasa perkawinan berarti berkumpulnya dua insan yang semula terpisah dan

    berdiri sendiri, menjadi satu kesatuan yang utuh dan bermitra.

    Nikah menurut syara adalah akad serah terima antara laki-laki dan

    perempuan dengan tujuan untuk saling memuaskan satu sama lainnya serta

    membentuk sebuah rumah tangga yang sakinah.

    2.1.2. Anjuran untuk Menikah

    Islam telah menjadikan ikatan perkawinan yang sah berdasarkan Al-Qur'an

    dan As-Sunnah sebagai satu-satunya sarana untuk memenuhi tuntutan naluri

    manusia yang sangat asasi, dan sarana untuk membina keluarga yang Islami.

    Adapun beberapa dasar hukum tentang pernikahan adalah sebagai berikut:

    Al-Quran:

    Dan segala sesuatu kami jadikan berpasang-pasangan, supaya kamu

    mengingat kebesaran Allah. (QS. Adz Dzariyaat (51) : 49).

    Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-

    orang yang layak (menikah) dari hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba

    sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan mengkayakan mereka

    dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberianNya) dan Maha

    Mengetahui. (QS. An Nuur (24) : 32).

    As-Sunnah

    Rasulullah SAW bersabda: Nikah itu sunnahku, barangsiapa yang tidak

    suka, bukan golonganku !(HR. Ibnu Majah, dari Aisyah r.a.).

    Dari Aisyah, Nikahilah olehmu kaum wanita itu, maka sesungguhnya

    mereka akan mendatangkan harta (rezeki) bagi kamu (HR. Hakim dan Abu

    Dawud).

    2.1.3. Tujuan Pernikahan

    Ittiba(mengikuti) Sunnah Rasul

    Empat macam diantara sunnah-sunnah para Rasul yaitu : berkasih sayang,

    memakai wewangian, bersiwak dan menikah (HR. Tirmidzi).

    Melaksanakan ibadah

    Menurut konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk beribadah kepada Allah dan

    berbuat baik kepada sesama manusia. Dari sudut pandang ini, rumah tangga

    adalah salah satu lahan subur bagi peribadatan dan amal shalih di samping

  • ibadat dan amal-amal shalih yang lain, sampai-sampai menyetubuhi istri-pun

    termasuk ibadah (sedekah).

    Untuk preventif terhadap zina

    Janganlah kalian mendekati zina, karena zina itu perbuatan keji dan suatu

    jalan yang buruk (Al-Isra 32)

    Melestarikan keturunan

    Kawinlah dengan wanita yang mencintaimu dan yang mampu beranak

    Sesungguhnya aku akan membanggakan kamu sebagai umat yang

    terbanyak (HR. Abu Dawud).

    2.1.4. Hukum Pernikahan

    Pernikahan Yang Wajib Hukumnya

    Menikah itu wajib hukumnya bagi seorang yang sudah mampu secara

    finansial dan juga sangat beresiko jatuh ke dalam perzinaan. Hal itu disebabkan

    bahwa menjaga diri dari zina adalah wajib. Maka bila jalan keluarnya hanyalah

    dengan cara menikah, tentu saja menikah bagi seseorang yang hampir jatuh ke

    dalam jurang zina wajib hukumnya.

    Pernikahan Yang Sunnah Hukumnya

    Sedangkan yang tidak sampai diwajibkan untuk menikah adalah mereka

    yang sudah mampu namun masih tidak merasa takut jatuh kepada zina. Barangkali

    karena memang usianya yang masih muda atau pun lingkungannya yang cukup

    baik dan kondusif.

    Orang yang punya kondisi seperti ini hanyalah disunnahkan untuk menikah,

    namun tidak sampai wajib. Sebab masih ada jarak tertentu yang menghalanginya

    untuk bisa jatuh ke dalam zina yang diharamkan Allah SWT.

    Pernikahan Yang Haram Hukumnya

    Secara normal, ada dua hal utama yang membuat seseorang menjadi haram

    untuk menikah. Pertama, tidak mampu memberi nafkah. Kedua, tidak mampu

    melakukan hubungan seksual. Kecuali bila dia telah berterus terang sebelumnya

    dan calon istrinya itu mengetahui dan menerima keadaannya.

    Selain itu juga bila dalam dirinya ada cacat pisik lainnya yang secara umum

    tidak akan diterima oleh pasangannya. Maka untuk bisa menjadi halal dan

    dibolehkan menikah, haruslah sejak awal dia berterus terang atas kondisinya itu dan

    harus ada persetujuan dari calon pasangannya.

    Seperti orang yang terkena penyakit menular yang bila dia menikah dengan

    seseorang akan beresiko menulari pasangannya itu dengan penyakit. Maka

    hukumnya haram baginya untuk menikah kecuali pasangannya itu tahu kondisinya

    dan siap menerima resikonya.

    Selain dua hal di atas, masih ada lagi sebab-sebab tertentu yang

    mengharamkan untuk menikah. Misalnya wanita muslimah yang menikah dengan

    laki-laki yang berlainan agama atau atheis. Juga menikahi wanita pezina dan

    pelacur. Termasuk menikahi wanita yang haram dinikahi (mahram), wanita yang

    punya suami, wanita yang berada dalam masa iddah.

  • Ada juga pernikahan yang haram dari sisi lain lagi seperti pernikahan yang

    tidak memenuhi syarat dan rukun. Seperti menikah tanpa wali atau tanpa saksi.

    Atau menikah dengan niat untuk mentalak, sehingga menjadi nikah untuk

    sementara waktu yang kita kenal dengan nikah kontrak.

    Pernikahan Yang Makruh Hukumnya

    Orang yang tidak punya penghasilan sama sekali dan tidak sempurna

    kemampuan untuk berhubungan seksual, hukumnya makruh bila menikah. Namun

    bila calon istrinya rela dan punya harta yang bisa mencukupi hidup mereka, maka

    masih dibolehkan bagi mereka untuk menikah meski dengan karahiyah.

    Sebab idealnya bukan wanita yang menanggung beban dan nafkah suami,

    melainkan menjadi tanggung jawab pihak suami.

    Maka pernikahan itu makruh hukumnya sebab berdampak dharar bagi pihak

    wanita. Apalagi bila kondisi demikian berpengaruh kepada ketaatan dan

    ketundukan istri kepada suami, maka tingkat kemakruhannya menjadi jauh lebih

    besar.

    Pernikahan Yang Mubah Hukumnya

    Orang yang berada pada posisi tengah-tengah antara hal-hal yang

    mendorong keharusannya untuk menikah dengan hal-hal yang mencegahnya untuk

    menikah, maka bagi hukum menikah itu menjadi mubah atau boleh. Tidak

    dianjurkan untuk segera menikah namun juga tidak ada larangan atau anjuran untuk

    mengakhirkannya.

    2.1.5. Rukun Pernikahan

    Rukun dalam pernikahan antara lain:

    1. Calon mempelai pria dan wanita, calon pengantin harus terbebas dari

    penghalang-penghalang sahnya nikah.

    2. Wali dari calon mempelai wanita

    3. Dua orang saksi laki-laki

    4. Mahar

    5. Ijab dan Qabul, ijab merupakan ucapan penyerahan calon mempelai wanita

    dari walinya atau wakilnya kepada calon mempelai pria untuk dinikahi,

    sedangkan qabul merupakan ucapan penerimaan pernikahan dari calon

    mempelai pria atau walinya.

    2.1.6. Syarat-syarat Pernikahan

    a. Syarat calon suami

    1. Islam

    2. Bukan lelaki muhrim dengan calon istri

    3. Mengetahui wali yang sebenarnya bagi akad nikah tersebut

    4. Bukan dalam ihram haji atau umroh

    5. Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan

    6. Tidak mempunyai empat orang istri yang sah dalam suatu waktu

    7. Mengetahui bahwa perempuan yang hendak dinikahi adalah sah dijadikan

    istri

  • b. Syarat calon istri

    1. Islam

    2. Bukan perempuan muhrim dengan calon suami

    3. Akil Baligh

    4. Bukan dalam ihram haji atau umroh

    5. Tidak dalam iddah

    6. Bukan istri orang

    c. Syarat wali nikah

    1. Islam

    2. Lelaki

    3. Akil baligh

    4. Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan

    5. Bukan dalam ihram haji atau umroh

    6. Tidak cacat akal pikiran/ gila

    7. Merdeka

    d. Syarat saksi pernikahan

    1. Sekurang-kurangya dua orang

    2. Islam

    3. Berakal

    4. Akil baligh

    5. Laki-laki

    6. Memahami isi lafal ijab dan qobul

    7. Dapat mendengar, melihat dan berbicara

    8. Adil

    9. Merdeka

    e. Syarat ijab

    1. Tidak boleh menggunakan perkataan sindiran

    2. Diucapkan oleh wali atau wakilnya

    3. Tidak diikatkan dengan tempo waktu seperti nikah kontrak

    4. Tidak secara taklik(tidak ada sebutan prasyarat sewaktu ijab dilafalkan)

    f. Syarat qabul

    1. Ucapan mestilah sesuai dengan ucapan ijab

    2. Tidak ada perkataan sindiran

    3. Dilafalkan oleh calon suami atau wakilnya (atas sebab-sebab tertentu)

    4. Tidak diikatkan dengan tempo waktu (seperti nikah kontrak)

    5. Tidak secara taklik(tidak ada sebutan prasyarat sewaktu qobul dilafalkan)

    6. Menyebut nama calon istri

    7. Tidak ditambahkan dengan perkataan lain

    2.1.7. Proses Sebuah Pernikahan yang Berlandasakan Al-Quran dan As-Sunnah

    1. Mengenal calon pasangan hidup

    Adapun mengenali calon pasangan hidup di sini maksudnya adalah

    mengetahui siapa namanya, asalnya, keturunannya, keluarganya, akhlaknya,

    agamanya dan informasi lain yang memang dibutuhkan. Ini bisa ditempuh

    dengan mencari informasi dari pihak ketiga, baik dari kerabat si lelaki atau si

    wanita ataupun dari orang lain yang mengenali si lelaki atau si wanita.

  • 2. Nazhar (melihat calon pasangan hidup)

    Seorang lelaki ingin menikahi seorang wanita maka disunnahkan baginya

    untuk terlebih dahulu melihat calonnya tersebut dan mengamatinya.

    3. Khithbah (peminangan)

    Seorang lelaki yang telah berketetapan hati untuk menikahi seorang

    wanita, hendaknya meminang wanita tersebut kepada walinya.

    4. Akad nikah

    Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang

    melangsungkan pernikahan dalam bentuk ijab dan qabul.

    5. Walimatul urs

    Melangsungkan walimah urs hukumnya sunnah menurut sebagian besar

    ahlul ilmi.

    6. Setelah akad

    Pertama: Berkumur terlebih dahulu untuk membersihkan mulutnya karena

    dikhawatirkan tercium aroma yang tidak sedap dari mulutnya. Demikian

    pula si istri, hendaknya melakukan yang sama.

    Kedua: Disenangi baginya untuk menyerahkan mahar bagi istrinya .

    Ketiga: Berlaku lemah lembut kepada istrinya, dengan semisal

    memberinya segelas minuman.

    Keempat: Meletakkan tangannya di atas bagian depan kepala istrinya

    (ubun-ubunnya) sembari mendoakannya.

    Kelima: Ahlul ilmi ada yang memandang setelah dia bertemu dan

    mendoakan istrinya disenangi baginya untuk shalat dua rakaat

    bersamanya.

    2.2. Pernikahan Campuran

    2.2.1. Pengertian Pernikahan Campuran

    Akhir-akhir ini pelaksanaan perkawinan mengalami perubahan seiring

    dengan berubahnya zaman kearah modernitas karena situasi yang bebas memilih,

    namun tidak berarti bebas sebebas-bebasnya, tapi tetap ada batasan yang dipahami

    oleh setiap individu bangsa Indonesia. Batasan tersebut adalah pengaruh

    ideologi/agama.

    Pada umumnya yang terjadi, bila seorang laki-laki dan seorang perempuan

    masing-masing memeluk agama berlainan ingin melangsungkan perkawinan, maka

    biasanya salah seorang dari mereka mengalah dan beralih kepada agama salah satu

    pihak. Bila demikian maka tentu tidak ada kesulitan dalam melaksanakan

    perkawinannya. Dalam praktek kerapkali terjadi perbedaan yang demikian, masing-

    masing pihak tetap teguh memeluk agamanya masing-masing, sehingga

    menimbulkan kesulitan untuk melaksanakan kemauannya untuk melangsungkan

    perkawinan.

    Dengan demikian perkawinan campuran dapat didefinisikan sebagai

    pernikahan yang dilangsungkan antar pasangan yang berbeda agama satu sama lain.

  • 2.2.2. Dasar Hukum Pernikahan Campuran

    Dalam keadan yang disebutkan seperti diatas, di Indonesia tempo dulu ada

    peraturan yang memberi jalan keluar untuk mengatasi kesulitan tersebut, yaitu

    dilaksanakan melalui peraturan perkawinan campuran (Regeling op de Gemengde

    Huwelijken yang lazim disingkat GHR) yang dimuat dalam S.1898 Nomor 158.

    Pasal 1 dari peraturan tersebut menyatakan bahwa Perkawinan di Indonesia

    antara dua orang yang masing-masing takluk pada hukum yang berlainan satu

    sama lain, dinamakan perkawinan campuran. Ayat 2 dari pasal tersebut

    menjelaskan bahwa Perbedaan agama, kebangsaan atau asal usul tidak

    merupakan penghalang bagi suatu perkawinan. Dalam melaksanakan kehidupan

    bagi suami isteri yang kawin atas perbedaan agama atau kebangsaan tersebut

    ditetapkan sama hukumnya, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 GHR itu yaitu

    Dalam suatu perkawinan campuran itu si isteri perihal hukum perdata dan hukum

    publik, selama perkawinan berlangsung, turut pada hukum yang berlaku bagi

    suami.

    Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974

    di Indonesia telah ada 3 badan Legislatif mengenai perkawinan campuran. Ketiga

    ketentuan perundang-perundangan itu adalah sebagai berikut:

    1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BurgelijkWetboek)

    2) Ordonasi perkawinan Indonesia Kristen (HOCI) S.1933 Nomor 74

    3) Peraturan perkawinan campuran (Regeling og de gemengde Huwelijke S.1898

    Nomor 158)

    Sejak berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

    solusi yang diberikan oleh peraturan tersebut di atas telah dicabut dan dinyatakan

    tidak berlaku lagi. Di dalam undang-undang yang disebutkan belakangan ini solusi

    yang diberikan hanyalah bagian kecil dari perbedaan calon suami isteri yaitu bila

    berbeda kebangsaan saja atau kewarganegaraan saja. Hal ini diatur dalam Pasal 57

    UUP yang berbunyi Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang-

    undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada

    hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak

    berkewarganegaraan asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

    Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan

    campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami atausterinya dan dapat

    pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan

    dalam undang-undang kewarganegaraan Republik Indonesia (Pasal 58 UUP).

    Jadi, jalan keluar yang diberikan atas perbedaan agama bagi calon suami

    isteri itu berdasarkan Pasal 57 UUP tidak ada, karena ketentuan pasal ini hanya

    mengatasi perbedaan kewarganegaraan saja. Hal ini dapat dimengerti karena

    keabsahan dari suatu perkawinan (termasuk perkawinan campuran) akan ditentukan

    berdasakan Pasal 2 ayat 1 UUP tersebut yang menyatakan Perkawinan adalah sah,

    apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya

    itu.

    Namun demikian, kelihatannya ketentuan Pasal 56 (1) UUP dapat mengatasi

    kesulitan warga negara Indonesia yang melaksanakan perkawinan beda agama.

    Bunyi Pasal tersebut adalah Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia

    antara dua orang warga negara Indonesia atau seorang warga negara Indonesia dan

  • warga negara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di

    negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warga negara Indonesia

    tidak melanggar ketentuan undang-undang ini.

    2.2.3. Problematika dalam Pernikahan Campuran

    1) Masalah kesahan pernikahan

    Di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 telah ditentukan bahwa

    sahnya perkawinan di Indonesia adalah berdasarkan masing-masing agama dan

    kepercayaannya (Pasal 2 ayat 1). Oleh karena itu mengenai perkawinan

    campuran yang dilangsungkan di Indonesia harus dilakukan berdasarkan

    hokum perkawinan Indonesia jadi kesahan perkawinan tersebut harus

    berdasarkan hukum agama dan harus dicatat apabila kedua belah pihak, calon

    suami-isteri ini menganut agama yang sama tidak akan menimbulkan masalah,

    namun apabila berbeda agama, maka akan timbul masalah hukum antar agama.

    2) Masalah pencatatan

    Mengenai perkawinan campuran dalam Undang-Undang No. 1 tahun

    1974 tidak ada ketentuan yang mengatur secara khusus tentang pencatatan

    perkawinan campuran.

    3) Masalah harta benda perkawinan

    Apabila pihak suami warga negara Indonesia, maka ketentuan hukum

    material berkaitan dengan harta kekayaan diatur berdasarkan hukum suami,

    yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Namun harta benda perkawinan

    campuran ini apabila tidak dilakukan perjanjian perkawinan yang menyangkut

    harta perkawinan maka berkenaan dengan harta perkawinan ini akan tunduk

    pada pasal 35, dimana ditentukan, bahwa: Harta benda yang diperoleh selama

    perkawinan menjadi harta bersama; Harta bawaan dari masing-masing suami

    dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau

    warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak

    tidak menentukan lain. Selanjutnya mengenai harta bersama ini dapat dikelola

    bersama-sama suami dan isteri, namun dalam setiap perbuatan hukum yang

    menyangkut harta bersama harus ada persetujuan kedua belah pihak (Pasal 36

    ayat (1))

    Sedangkan dalam hal harta bawaan masing-masing suami dan isteri

    mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai

    harta bendanya (Pasal 36 ayat (2)).

    4) Masalah perceraian

    5) Status anak

    Indonesia menganut asas keturunan (asas ius sanguinis) yaitu

    kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh keturunan daripada orang yang

    bersangkutan (si suami).

    6) Masalah warisan

  • 2.3 Pandangan Islam terhadap Pernikahan Campuran

    Dewasa ini,di dalam kehidupan kehidupan kita pernikahan antara duaorang yang se-agama

    merupakan hal yang biasa dan memang itu yangdianjurkan di dalam agama Islam.Tetapi pada

    saat sekarang masyarakat seringmengatasnamakan kepentingan lainnya agar dapat melakukan

    pernikahan beda agma atau nikah campur karena mereka kebanyakan mengatasnamakan

    cintauntuk mengusahakan apa yang mereka inginkan.Hal ini sebenarnya sudahdiatur dengan

    secara baik di dalam agam Islam.

    2.3.1 Pengertian Non-Muslim di dalam Islam

    Sebelum kita membahas tentang pernikahan BedaAgama,sebaiknya kita perlu

    mengetahui tentang perngertian non-muslim didalam agama Islam.Golongan non-muslim

    sendiri dapat dibagi menjadi 2, yaitu:

    a. Golongan Orang Musyrik Menurut Kitab Rowaaiul Bayyan tafsir Ayyah Arkam juz 1halaman 282 karya As Syech Muhammad Ali S Shobuni,orangmusrik ialah orang orang yang telah berani menyekutukan

    ALLAHSWT dengan makhlukNYA (penyembahan patung ,berhala dsb)

    b. Golongan Ahli Kitab Menurut Kitab Rowaaiul Bayyan tafsir Ayyah Arkam juz 1halaman As Syech Muhammad Ali As Shobuni, Ahli Kitab adalah mereka yang berpegang teguh pada Kitab Taurat yaitu

    agama Nabi Musa As,atau mereka yang berpegang teguh pada Kitab Injil agama Nabi Isa as.

    atau banyak pula yang menyebut sebagai agama samawi atau agama yang diturunkan

    langsung dari langit yaitu Yahudi dan Nasrani. Mengenai istilah Ahli Kitab ini, terdapat

    perbedaan pendapat diantara kalangan Ulama berpendapat bahwa mereka semua kaum Nasrani termasuk yang tinggal di Indonesia ialah termasuk Ahli Kitab. Namun ada juga yang

    berpendapat bahwa Ahli Kitab ialah mereka yang nasabnya (menurut silsilah sejak nenek

    moyangnya terdahulu) ketika diturunkan sudah memeluk agama nasrani di Indonesia

    berdasarkan pendapat sebagian ulamatidak termasuk Ahli Kitab.

    2.3.2 Pembagian perkawinan Beda Agama dalam Hukum Islam Secara umum pernikahan lintas agama atau beda agamadalam Islam dapat dibagi

    menjadi dua bagian yaitu:

    A. Perkawinan antar pria Muslim dengan wanita Non-Muslim Dalam Islam, pernikahan antara pria muslim dengan wanita non-muslim Ahli Kitab itu,

    menurut pendapat sebagai Ulama diperbolehkan. Hal ini didasarkan pada firman AllahSWT

    dalam Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 5 yang artinya

    (Dan dihalalkan menikahi) perempuan perempuan yang menjaga kehormatan dan dari kalangan ahli kitab sebelum kamu)

    Namun ada beberapa syarat yang diajukan apabila akan melaksanakan hal tersebut yaitu :

    1. Jelas Nasabnya Menurut silsilah atau menurut garis keturunannya

    sejak nenek moyang adalah ahli kitab. Jadi dapat dikatakan bahwa sebagian besar

    kaum nasrani di Indonesia bukan merupakan golongan ahli kitab.

    2. Wanita Ahli Kitab tersebut nantinya mampu menjaga anaknya kelak dari bahaya fitnah.

  • Ada beberapa Hadits Riwayat Umar bin Khatabb, Usman bin Affan pernah berkata

    priaMuslim diperbolehkan menikah dengan wanita ahli Kitab dan tidak diperbolehkan pria Ahli Kitab menikah dengan wanita Muslimah Bahkan Sahabat Hudzaifah pernah menikah dengan wanita Ahli Kitab tetapi pada akhirnya wanita

    tersebut masuk Islam. Dengan demikian ,keputusan untuk memperbolehkan menikah

    dengan wanita Ahli Kitab sudah merupakan Ijma(artinya kesepakatan yakni kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum dalam agama berdasarkan

    Al-Quran dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi)para sahabat. Tetapi dalam

    Kitab Al-Mughni juz 9halaman 545 karya Imam Ibnu Qudamah, Ibnu Abbas pernah

    menyatakan, hukum pernikahan dalam Qs.Al Baqarah ayat 221 dan Qs.Al

    Mumtahanah ayat 10 diatas telah dihapus (mansukh) oleh Qs.Al-Maidahayat 5

    .Karena yang berlaku adalah hukum dibolehkannya pernikahan pria muslim dengan

    wanita Ahli Kitab. Sedangkan

    diharamkan pernikahan antara pria muslim dengan wanita musrik,menurut

    kesepakatan para ulama tetap diharamkan, apapun alasannya karena dikhawatirkan dapat menimbulkan fitnah.

    B. Pernikahan Antara Pria Non-Muslim Dengan Wanita Muslimah Pernikahan antara wanita muslimah dengan pria non muslim, menurut kalangan

    Ulama tetap diharamkan, baik menikah dengan pria Ahli Kitab maupun dengan seorang pria musrik. Hal ini dikhawatirkan wanita yang telah menikah dengan pria non-

    muslim tidak dapat menahan godaan yang akan datang kepadanya. Seperti halnya wanita

    tersebut tidak dapat menolak permintaan sang suami yang mungkin bertentangan dengan

    syariat Islam, atau wanita itu tidak dapat menahan godaan yang datang dari lingkungan

    suami yang tidak seiman yang mungkin cenderung lebih dominan. Dalil naqli pernyataan

    tentang haramnya pernikahan seorang wanita muslimah dengan pria non-muslim adalah

    Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 5 yang menyatakan bahwa Allah SWT hanya

    memperbolehkan pernikahan seorang pria muslim dengan wanita Ahli Kitab tidak

    sebaliknya. Seandainya pernikahan ini diperbolehkan, maka Allah SWT pasti akan

    menegaskannya di dalam Al-Quran. Karenanya, berdasarkan mahfum al-mukhalafah,

    secara implicit Allah SWT melarang pernikahan tersebut.

  • BAB III

    PENUTUP

    3.1 Kesimpulan

    Nikah menurut syara adalah akad serah terima antara laki-laki dan perempuan dengan

    tujuan untuk saling memuaskan satu sama lainnya serta membentuk sebuah rumah tangga

    yang sakinah. Menikah sangat dianjurkan karena bertujuan untuk Ittiba, melaksanakan

    ibadah, preventif terhadap zina, dan melestarikan keturunan.

    Pada umumnya yang terjadi, bila seorang laki-laki dan seorang perempuan masing-

    masing memeluk agama berlainan ingin melangsungkan perkawinan, maka biasanya salah

    seorang dari mereka mengalah dan beralih kepada agama salah satu pihak. Namun, dalam

    kenyataannya seringkali terjadi perbedaan yang demikian, masing-masing pihak tetap teguh

    memeluk agamanya masing-masing sehingga menimbulkan kesulitan untuk melaksanakan

    kemauannya untuk melangsungkan perkawinan. Apabila tetap dilangsungkan akan terjadi

    perkawinan campuran, yaitu yang dilangsungkan antar pasangan yang berbeda agama satu

    sama lain.

  • DAFTAR PUSTAKA

    Haryadi, R. 2013. Pernikahan Menurut Ajaran Islam. Diakses pada 12 Mei 2014, diunduh

    dari http://10213009.blog.unikom.ac.id/bab-pernikahan.6tp

    Lauren, DI. 2012. Konsep Pernikahan dalam Islam. Diakses pada 12 Mei 2014, diunduh dari

    http://dilbk.blogspot.com/2013/02/makalah-agama-konsep-pernikahan-dalam.html

    Ulya, Ghofur. 2012. Dasar-dasar Hukum Pernikahan. Diakses tanggal 12 Mei 2014, diunduh

    dari http://ghofur-ulya.blogspot.com/2012/07/dasar-dasar-hukum-pernikahan.html