PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PERJANJIAN BAKU ...
Transcript of PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PERJANJIAN BAKU ...
i
PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PERJANJIAN BAKU JUAL BELI PERUMAHAN
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
TIARA AGUSTAVIA NIM : 1112048000040
K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1437H/2016M
ii
iii
iv
v
ABSTRAK Tiara Agustavia. NIM 1112048000040. PERLINDUNGAN KONSUMEN
TERHADAP PERJANJIAN BAKU PADA JUAL BELI PERUMAHAN.
Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1437 H/2016M. Isi
: ix+84 halaman + lampiran, 27 daftar pustaka (1980-2013)
Permasalahan utama dalam skripsi ini adalah perjanjian yang mengandung
klausula merugikan yang terdapat pada transaksi jual beli perumahan yang
berakibat pada hangusnya uang konsumen. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui akibat hukum atas perjanjian jual beli perumahan dengan klausula
baku.
Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kepustakaan bersifat yuridis
normatif. Yuridis normatif artinya penelitian yang digunakan mengacu pada
norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan dan norma-
norma yang berlaku di masyarakat atau juga yang menyangkut kebiasaan yang
berlaku di masyarakat.
Kesimpulan dari analisis yang dilakukan adalah klausul yang menyebabkan uang
muka hangus pada jual beli perumahan adalah klausul baku yang dilarang pada
pasal 18 ayat (1) karena klausula baku yang terdapat pada jual beli perumahan
menjadikan konsumen tidak memiliki bargaining power/ daya tawar pada saat
proses jual beli tersebut.
Kata Kunci : Perlindungan Konsumen, Klausula Baku
Pembimbing I : Dr. M. Ali Hanafiah, S.H, M.H
Pembimbing II : Dr. H. Nahrowi, S.H, M.H
Sumber Rujukan dari tahun 1980 sampai 2013.
vi
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb
Alhamdulilahirrabil ‘alamin, segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam
yang dengan rahmat dan karunia-Nya memberikan kesempatan bagi kita semua
untuk mengenyam pendidikan. Shalawat serta salam penulis tujukan kepada Nabi
SAW, yang telah membawa zaman kebodohan menuju zaman yang penuh dengan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
Banyak ujian dan cobaan yang penulis hadapi dalam menyelesaikan
skripsi ini, namun atas izin Allah SWT penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul Perlindungan Konsumen Terhadap Perjanjian Baku Jual Beli Perumahan
dengan baik. Selesainya skripsi ini tidak terlepas dari keilmuan yang penulis
dapatkan dari jenjang pendidikan yang komprehensif, serta dukungan banyak
pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan
terimakasih kepada :
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Drs. Asep Saefudin Hidayat, S.H, M.H, dan Drs. Abu Tamrin, S.H, M.Hum,
Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
vii
3. Dr. M. Ali Hanafiah, S.H,M.H, dan Dr. H. Nahrowi, S.H,M.H, Dosen
Pembimbing I dan Dosen Pembimbing II dalam penulisan skripsi yang telah
dengan sabar telah memberikan ilmu dan arahan kepada penulis.
4. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmu
yang bermanfaat selama kuliah kepada penulis, dan tidak lupa kepada seluruh
staf dan karyawan Fakultas Syariah dan Hukum.
5. Iklaswan dan Neneng Mujaenah selaku Ayahanda dan Ibunda yang penulis
sangat cintai, yang telah mencurahkan segala cinta dan kasih sayangnya
kepada penulis, memberikan nasehat dan do’a, semangat serta dukungan
sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.
6. Nenek dan Kakek penulis yang dari kejauhan selalu merindukan, tetap
mendoakan dan memberikan semangatnya kepada penulis.
7. Rizki Ichlaswan, S.Kom, Winda Putria, S.S, Syifa Kamila, dan Septya Riani,
S.Si selaku Kakak dan Adik dari Penulis yang selalu mencintai penulis dan
memberikan semangat kepada penulis dalam keadaan apapun.
8. Sahar Afra Fauziyyah, Juwita Daningtyas, Tiffani Ratna Suri, selaku sahabat
penulis yang memberikan keceriaan dan semangat di setiap perjalanan kuliah
penulis. Bersama mereka penulis berproses bersama menjadi keluarga.
Terimakasih atas bantuan, pengalaman, dan kenangan yang indah selama
masa kuliah.
9. Mochammad Indriansyah, selaku teman dekat penulis yang memberikan
banyak motivasi, bantuan dan semangat yang sangat berarti dalam penyusunan
skripsi penulis.
viii
viii
10. Teman-teman Ilmu Hukum Angkatan 2012 UIN Jakarta, baik konsentrasi
Hukum Bisnis maupun konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara.
11. Teman-teman Saman Ilmu Hukum, Tabloid Justitia, dan Angkatan Muda
Peduli Hukum (AMPUH) yang telah memberikan banyak warna dan
kenangan indah selama masa kuliah.
12. Teman-teman KKN Melodi 2015, yang telah memberikan pengalaman dan
arti solidaritas dan kerjasama yang sesungguhnya.
13. Serta semua pihak yang membantu proses penulisan yang tidak bisa penulis
sebutkan satu persatu.
Tidak ada yang penulis bisa berikan kecuali do’a dan ucapan terima kasih
kepada kalian, semoga Allah membalas segala kebaikan kalian semua. Akhir kata
penulis berharap semoga skripsi yang penulis buat ini dapat bermanfaat bagi
penulis dan semua pembacanya.
Wassalamu’alaikum, Wr.Wb
ix
DAFTAR ISI
Judul Skripsi… ................................................................................................................. i Lembar Pengesahan Pembimbing .................................................................................... ii Lembar Pengesahan Panitia ............................................................................................. ii Lembar Pernyataan ......................................................................................................... iii Abstrak…….. .................................................................................................................. v Kata Pengantar ............................................................................................................... vi Daftar Isi ……. .............................................................................................................. ix BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1 B. Identifikasi Masalah ........................................................................... 5 C. Pembatasan dan Rumusan Masalah .................................................... 5 D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................... 6 E. Kerangka Konseptual ......................................................................... 7 F. Kajian (Review) Terdahulu ................................................................. 8 G. Metode Penelitian ............................................................................... 9 H. Sistematika Penulisan ....................................................................... 12
BAB II TINJAUAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN ....................... 14 A. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen ..................................... 14 B. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen ........................................ 16 C. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha ............................ 18 D. Penyelesaian Sengketa ...................................................................... 22
a. Penyelesaian Sengketa di Pengadilan ............................................ 23 b. Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan ................................... 27
E. Sanksi-Sanksi ................................................................................... 30 BAB III TINJAUAN PERJANJIAN BAKU DAN UANG MUKA ...................... 34
A. Perjanjian pada Umumnya ................................................................ 34 B. Perjanjian Baku pada Umumnya ....................................................... 35 C. Definisi Perjanjian Baku ................................................................... 37 D. Ciri-Ciri Perjanjian Baku .................................................................. 39 E. Jenis Perjanjian dengan Klausula Baku ............................................. 42 F. Perjanjian yang Dilarang .................................................................. 43 G. Uang Muka....................................................................................... 47
BAB IV ANALISIS AKIBAT HUKUM PERJANJIAN JUAL BELI PERUMAHAN DENGAN KLAUSULA BAKU ............................................................ 49 A. Kasus Perjanjian Jual Beli Perumahan dengan Klausula Perjanjian
Baku .................................................................................................. 49
x
B. Upaya Hukum yang dapat Dilakukan Konsumen Terhadap
Pelanggaran yang Dilakukan Oleh Pelaku Usaha .............................. 51 C. Analisis Akibat Hukum Perjanjian Jual Beli Perumahan dengan
Klausula Baku .................................................................................. 54 BAB V PENUTUP ............................................................................................. 62
A. Kesimpulan ...................................................................................... 62 B. Saran ................................................................................................ 63
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................... 65 LAMPIRAN…………………………………………………...……………………...… 68
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
alinea ke-empat memiliki cita-cita luhur yakni melindungi segenap bangsa
Indonesia serta memajukan kesejahteraan umum. Menjabarkan arti dan makna
melindungi segenap bangsa Indonesia serta memajukan kesejahteraan umum
tersebut dituangkanlah dalam pasal-pasal melalui ketentuan yang
berhubungan dengan hak asasi manusia dalam Bab X huruf A Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen yang Ke-
4, yang terdiri dari Pasal 28 huruf A sampai Pasal 28 huruf J.
Pada Pasal 28 huruf H mengamanatkan bahwa ;
“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”
Indonesia, kesejahteraan umum biasanya dikaitkan dengan tiga hal
yakni, pangan, sandang, papan. Sebagian besar masyarakat, selain sandang,
pangan, dan papan atau rumah sudah menjadi kebutuhan dasar yang tidak
dapat ditunda dalam menjalankan kehidupan sehari-hari1. Salah satu
kebutuhan pokok atau primer adalah kebutuhan akan papan atau rumah.
Perumahan merupakan representasi untuk memenuhi kebutuhan dasar
manusia. Setiap warga negara berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
1 Sudaryatmo, Kiat Menghindari Perumahan Bermasalah, (Jakarta: Piramedia, 2004), h.1
2
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat,
yang merupakan kebutuhan dasar manusia, dan yang mempunyai peran yang
sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa sebagai
salah satu upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri,
mandiri, dan produktif.
Berbagai kota besar di Indonesia, pesatnya peningkatan populasi manusia
mengharuskan pemerintah untuk berperan serta meningkatkan kualitas
perumahan bagi warga yang layak untuk dihuni. Sisi lain permasalahan
pemerintah yakni dalam pembangunan perumahan mengalami berbagai
kendala salah satunya adalah keterbatasan lahan perumahan.
Pesatnya pembangunan perumahan menimbulkan permasalahan lain
yang sering muncul dalam pemenuhan kebutuhan akan perumahan yakni hak-
hak konsumen yang dirugikan. Meningkatnya pembangunan perumahan,
seringkali tidak diselaraskan dengan pemenuhan kewajiban oleh pelaku usaha.
Permasalahan dalam bisnis perumahan yang sering muncul adalah
ketentuan mengenai pernyataan dan persetujuan untuk menerima segala
persyaratan dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan secara sepihak dan
ketentuan-ketentuan penandatanganan atas dokumen-dokumen yang telah
dipersiapkan lebih awal oleh pelaku usaha, tercantum dalam surat pemesanan
yang sering disebut perjanjian baku atau klausula baku.
Perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausul-
klausulanya dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya
3
tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan2.
Perjanjian baku yang selanjutnya disebut sebagai klausula baku, diadakan
dengan maksud untuk mencapai tujuan efisiensi, kepastian dan lebih bersifat
praktis meskipun kadang-kadang mengandung faktor negatif, karena dapat
merugikan pihak lain yaitu pihak konsumen yang lemah. Pada klausula baku,
konsumen dalam hal ini, hanya mempunyai dua pilihan yaitu menerima atau
menolak perjanjian yang disodorkan kepadanya.
Praktik perjanjian baku sering dibuat dalam kondisi yang tidak berimbang.
Produsen (Pelaku Usaha) memanipulasi perjanjian yang dibuat dalam
ketentuan klausula baku. Biasanya perjanjian tersebut lebih menguntungkan
salah satu pihak yaitu pelaku usaha3.
Selain itu, pihak pengembang properti juga tidak jarang mencantumkan
klausula baku dalam perjanjian jual beli perumahan. Klausula baku dalam
bidang perumahan misalnya terdapat dalam perjanjian jual beli perumahan
dalam klausula down payment (dp) atau booking fee yang menyebutkan bahwa
“…..seluruh uang yang telah dibayarkan oleh pihak kedua kepada pihak
kesatu menjadi hangus dan tidak dapat dituntut kembali….”
Rendahnya kesadaran dan pengetahuan konsumen, tidak mustahil
dijadikan lahan bagi pelaku usaha dalam transaksi yang tidak mempunyai
itikad baik dalam menjalankan usaha, yaitu berprinsip untuk mencari
2 Sutan Remy Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit di Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1994), h.66
3 Abdul Hakim Barkatullah, Hak-Hak Konsumen, (Bandung: Nusa Media,2010), h.53
4
keuntungan yang sebesar-besarnya dengan memanfaatkan minimnya
pengetahuan konsumen.
Konsumen memiliki risiko yang lebih besar daripada pelaku usaha,
dengan kata lain hak-hak konsumen sangat rentan4. Disebabkan posisi tawar
konsumen yang lemah, maka hak-hak konsumen sangat riskan untuk
dilanggar5.
Posisi konsumen tersebut, ia harus dilindungi oleh hukum, karena
salah satu sifat sekaligus tujuan hukum adalah memberikan perlindungan
(pengayoman) kepada masyarakat6. Perlindungan kepada masyarakat tersebut
harus diwujudkan dalam bentuk kepastian hukum menjadi hak konsumen7.
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut penulis tertarik
untuk melakukan penelitian dalam skripsi yang hasilnya akan dituangkan
dalam judul : Perlindungan Konsumen Terhadap Perjanjian Baku Jual
Beli Perumahan
4 Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2003), h.242
5 Edmon Makarim, Kompilasi Hukum.………, h.243 6 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Edisi Revisi (Jakarta:
Grasindo,2004), h.112 7 Edmon Makarim, Kompilasi Hukum………., h.316
5
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka identifikasi masalah dari
penelitian ini adalah:
1. Apa sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap pelaku usaha perumahan yang
mencantumkan klausula baku yang merugikan konsumen dalam perjanjian
jual beli.
2. Apa kriteria suatu perjanjian disebut sebagai perjanjian baku
3. Apa sajakah jenis perjanjian yang menggunakan klausula baku
4. Bagaimana penyelesaian sengketa dalam bidang hukum perlindungan
konsumen.
5. Apakah perbedaan antara perjanjian pada umumnya dengan perjanjian
baku.
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Sesuai dengan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka
pembahasan penelitian ini mengalami pembatasan masalah,
pembahasannya akan dibatasi pada perlindungan konsumen terhadap
perjanjian baku jual beli perumahan.
2. Rumusan Masalah
Untuk lebih mengerucutkan pokok permasalahan yang akan diteliti,
maka perlu untuk dibuat perumusan masalah terlebih dahulu. Berdasarkan
uraian latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan permasalahan
dalam penelitian ini meliputi :
6
a. Bagaimanakah akibat hukum atas perjanjian jual beli perumahan yang
mengandung klausula baku yang merugikan konsumen?
b. Upaya-upaya apa yang dapat dilakukan konsumen terhadap pelaku
usaha yang merugikan dalam ketentuan Undang-undang Perlindungan
Konsumen?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui akibat hukum atas perjanjian jual beli
perumahan dengan klausula baku.
b. Untuk mengkaji dan menganalisa perlindungan konsumen terhadap
perjanjian dengan klausula baku.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Akademis
1) Dengan dilakukannya penelitian ini penulis berharap dapat
memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu
pengetahuan.
2) Dengan dilakukan penelitian ini penulis berharap dapat
menambah wawasan dan memberikan ilmu pengetahuan
khususnya hukum perlindungan konsumen.
b. Manfaat Praktis
1) Diharapkan dapat memberikan masukan tentang bagaimana
perlindungan terhadap konsumen terhadap perjanjian baku
jual beli perumahan yang mengandung klausula baku.
7
2) Diharapkan dapat ikut membantu untuk lebih
mengembangkan dan menginpirasi masyarakat dan mahasiswa
lainnya.
E. Kerangka Konseptual
Kerangka Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan
antara konsep-konsep khusus yang ingin diteliti atau akan diteliti8. Istilah-
istilah yang penulis perlu jelaskan adalah:
1. Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen (Lihat
Pasal 1 Angka 1 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen).
2. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,
orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan
(Lihat Pasal 1 Angka 2 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen).
3. Jual Beli adalah suatu perjanjian yang mana pihak yang satu
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu benda dan pihak lain
membayarkan harga yang telah dijanjikan. (Lihat Pasal 1457 KUH
Perdata)
4. Perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman,
baik perkotaan maupun perdesaan, yang dilengkapi dengan prasarana,
8 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta:UI Press, 1986), h.133
8
sarana, dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang
layak huni. (Lihat Pasal 1 Ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 2011 Tentang
Perumahan dan Kawasan Pemukiman)
F. Kajian (Review) Terdahulu
No Nama Penulis/ Judul
Skripsi/Tahun
Substansi Perbedaan
dengan Penulis
1. Marwan/ Perlindungan
Konsumen dalam
Kontrak Jual Beli
Rumah di Perumahan
Harapan Indah Bekasi/
Skripsi, UIN Jakarta,
2015.
Skripsi tersebut
membahas mengenai
perlindungan konsumen
terhadap tidak
dipenuhinya janji-janji
dalam kontrak jual beli
pada Perumahan
Harapan Indah Bekasi.
Penulis
membahas
mengenai
perlindungan
konsumen
terhadap
perjanjian baku
yang
menyebabkan
hangusnya uang
konsumen pada
praktik jual beli
perumahan.
2. Diana Sarawati
Purnamasari/
Perjanjian Baku dalam
kredit pemilikan rumah
Tesis tersebut
membahas tentang
klausula yang tidak
boleh dimuat dalam
Penulis
memfokuskan
penulisan
terhadap salah
9
(KPR) : Studi kasus
analisis perjanjian
antara PT. Bank Panin
tbk dengan X/ Tesis,
Universitas Indonesia,
2011.
perjanjian KPR serta
bagaimanakah proses
penyelesaian sengketa
yang dilakukan salah
satu pihak dalam
perjanjian baku KPR
bank Panin.
satu klausula baku
yang
menyebabkan
hangusnya uang
konsumen ditinjau
dari hukum
perlindungan
konsumen.
G. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan metode pendekatan yuridis normatif (law in book).
Penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang dilakukan mengacu
pada norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan dan
keputusan pengadilan serta norma-norma yang berlaku di masyarakat atau
juga yang menyangkut kebiasaan yang berlaku di masyarakat.9
2. Pendekatan Masalah
Berkaitan dengan tipe penelitian penulis menggunakan penelitian
yuridis normatif, maka pendekatannya menggunakan pendekatan
9 Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Peranan dan Penggunaan Kepustakaan
di dalam Penelitian Hukum, (Jakarta:Pusat Dokumen Universitas Indonesia, 1979), h.18
10
perundang-undangan (Statute Approach)10 khususnya pada Undang-
Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
a. Sumber Data
Berkaitan dengan data yang digunakan, bahan hukum yang
digunakan dalam penelitian ini meliputi bahan hukum primer,
sekunder, dan tersier.
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai
kekuatan mengikat berupa peraturan perundang-undangan.
Selain peraturan perundang-undangan, yang termasuk dalam
hukum primer yaitu catatan-catatan resmi atau risalah dalam
pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.11
Dalam penelitian peraturan perundang-undangan yang
digunakan yaitu;
1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen Lembaran Negara Republik
Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia No. 3821 .
3) Putusan Mahkamah Agung Nomor 937 K/Pdt.Sus/2010
10 Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, cet. III,
(Jawa Timur : Bayumedia Pubishing, 2007), h.302.
11 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cet.IV (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2010), h.141
11
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang erat kaitannya
dengan bahan hukum primer dan dapat membantu
menganalisa, memahami, dan menjelaskan bahan hukum
primer. Bahan hukum yang paling banyak digunakan dalam
penelitian ini adalah teori atau pendapat sarjana hukum, hasil
karya dari kalangan ahli hukum, skripsi, tesis, disertasi, artikel
ilmiah, jurnal, majalah, surat kabar, makalah, penelusuran
internet dan sebagainya.
3. Bahan non-hukum (tersier), yaitu bahan hukum yang
memberikan petunjuk maupun penjelasan atau bahan hukum
primer dan sekunder, misalnya Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), ensiklopedia, dan lain-lain.
b. Teknik Pengumpulan data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan
data secara library research (studi kepustakaan) dalam hal ini penulis
menggunakan buku-buku berkaitan dengan perlindungan konsumen.
c. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Dari bahan hukum yang telah terkumpul tersebut baik bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier
di klasifikasikan sesuai dengan masalah hukum yang dibahas. Setelah
itu bahan hukum tersebut diuraikan dan diteliti secara sistematis. Dan
pengelolaan data dapat dilakukan dengan cara deduktif, yakni
12
menarik kesimpulan dari pembahasan masalah yang ada. Sehingga
pertanyaan atas masalah dapat teruraikan dan terjawab.
H. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun berdasarkan buku “Petunjuk Penulisan Skripsi
Fakutas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012
yang telah direvisi pada tahun 2014 dengan sistematika yang terdiri dari
lima bab”. Masing-masing bab terdiri atas beberapa sub bab sesuai
pembahasan dan materi yang diteliti. Adapun perinciannya sebagai
berikut:
BAB I: Bab ini merupakan bagian pendahuluan penulisan yang
memuat latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, tinjauan kajian terdahulu, kerangka
konseptual, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II: Bab ini memuat tentang hukum perlindungan konsumen
yang terbagi ke dalam beberapa sub bab. Di dalamnya
dibahas tentang Pengertian Hukum Perlindungan
Konsumen, dilanjutkan dengan Asas-Asas serta Tujuan
hukum Perlindungan Konsumen, Hak serta Kewajiban bagi
Pelaku Usaha dan Konsumen, Penyelesaian Sengketa, serta
Sanksi-Sanksinya.
BAB III: Bab ini memuat tentang tinjauan perjanjian baku yang
terbagi ke dalam beberapa sub bab. Di dalamnya dibahas
tentang Perjanjian Pada Umumnya, Perjanjian Baku Pada
13
Umumnya, Definisi Perjanjian Baku, Ciri-ciri Perjanjian
Baku, Jenis Perjanjian dengan Klausula Baku, dan
Perjanjian Yang Dilarang, Uang Muka.
BAB IV: Bab ini memuat tentang Analisis Perlindungan Konsumen
Terhadap Perjanjian Jual Beli Perumahan dengan Klausula
Baku. Pembahasan dalam bab ini dimulai dengan uraian
tentang Kasus Perjanjian Jual Beli Perumahan yang
Mengandung Klausula Baku, Upaya Hukum yang dapat
Dilakukan oleh Konsumen terhadap Pelanggaran yang
Dilakukan oleh Pelaku Usaha, dan Analisis Akibat Hukum
terhadap Perjanjian Jual Beli Perumahan dengan Klausula
Baku.
BAB V: Bab ini merupakan bab penutup dari skripsi ini. Untuk itu
penulis menarik beberapa kesimpulan dari hasil penelitian,
disamping itu penulis memberikan pendapat dan saran yang
dianggap perlu.
14
BAB II
TINJAUAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen
Hukum Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen
merupakan dua bidang hukum yang sulit di pisahkan dan ditarik
batasannya. Pada intinya hukum perlindungan konsumen merupakan
bagian dari hukum konsumen dan tidak dapat dipisahkan1. Dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Pasal 1 ayat (1) tentang
Perlindungan Konsumen, menyebutkan bahwa “Perlindungan konsumen
adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk
memberi perlindungan kepada konsumen”.
Menurut Az. Nasution Hukum Konsumen adalah sebagai
keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan
masalah penyediaan penggunaan produk (barang dan/jasa) antara
penyedia dan penggunanya dalam kehidupan bermasyarakat. Sedangkan
hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-
kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungannya
dengan masalah penyediaan dan pengunaan produk (barang dan/jasa)
antara penyedia dan penggunaanya dalam kehidupan bermasyarakat2.
1 Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit Media, 2007), h.20-21
2 Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen………., h.22
15
Menurut N.H.T Siahaan sesungguhnya baik istilah hukum
konsumen dan hukum perlindungan konsumen tidak perlu dibedakan,
dengan dua alasan/pertimbangan yaitu3:
1. Jika membicarakan hukum dalam hubungannya dengan konsumen atau
hukum dalam hubungannnya dengan perlindungan konsumen, maka
keduanya tentu tidak luput dari pembahasan mengenai hak-hak
konsumen, kepentingannya, upaya-upaya pemberdayaannya, atau
kesetaraannya dalam hukum dengan pelaku usaha.
2. Seluruh kaidah hukum di negeri ini dapat hadir dan tunduk dibawah
sebuah payung hukum dasar yang bersumber dari Pancasila dan
Undang-undang Dasar 1945. Pancasila dan Undang-undang Dasar
1945 merupakan segala sumber hukum nasional, yang secara filosofis
memberikan perlindungan keadilan bagi semua bangsa dan golongan
di negeri ini termasuk dalam hukum konsumen. Jadi pada hakikatnya
hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen tidak perlu
dibedakan.
Perlindungan hukum kepada konsumen ini dapat berasal dari
lingkup berbagai disiplin hukum, diantaranya Hukum Privat (Hukum
Perdata), maupun dari Hukum Publik (Hukum Pidana dan Hukum
Administrasi Negara). Keterlibatan berbagai disiplin hukum ini
mempertegas kedudukan hukum perlindungan konsumen berada dalam
kajian hukum ekonomi. Hal ini sesuai dengan sifat hukum ekonomi, yang
3 N.H.T. Siahaan, Hukum Konsumen : Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, (Jakarta: Panta Rei, 2005) , h.33
16
tidak hanya melibatkan aspek hukum perdata namun pada saat yang
bersamaan juga melibatkan aspek hukum publik4.
B. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Sudikno Mertokusumo mendefinisikan asas hukum bukan sebagai
hukum konkrit merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak atau
merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terdapat dalam dan
dibelakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-
undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif5 dan dapat
ditemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam
peraturan konkrit tersebut6.
Pada penjelasan pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen
dijelaskan tentang asas-asas dalam perlindungan Konsumen. Perlindungan
Konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 asas yang
relevan dalam pembangunan nasional yaitu:
1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya
dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan
manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha
secara keseluruhan.
4 Ahmadi Miru, Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo, 2000), h.2-3
5 Ius constitutum adalah hukum positif. Ius constitutum merupakan hukum yang dibentuk dan berlaku dalam suatu masyarakat negara pada suatu saat. Soerjono Soekanto, Purnadi Purbacaraka, Aneka Cara Pembedaan Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1994), h.5
6 Yusuf Shofie, Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Pidana Korporasi, cet.1 (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 2002), h.25
17
2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan
kewajibannya secara adil.
3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara
kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil
ataupun spiritual.
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk
memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen
dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas kepastian hukum7 dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun
konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian
hukum.
Selain merumuskan asas dalam Perlindungan Konsumen, Undang-undang
Perlindungan Konsumen juga merumuskan tujuan Perlindungan Konsumen
yang terdapat pada pasal 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen, yaitu;
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri;
7 Perjanjian sebagai figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai undang-undang bagi yang membuatnya. Salim H.S, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak (Jakarta:Sinar Grafika,2013), h.14
18
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan
menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan
informasi;
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan
konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam
berusaha;
6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan
usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan,
dan keselamatan konsumen:
C. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha
1. Hak dan Kewajiban Konsumen
Menurut ketentuan pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen memiliki hak sebagai berikut:
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. Hak untuk memilih barang dan/jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan;
19
c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau
jasa yang dipergunakan;
e. Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan konsumen secara
patut;
f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
h. Hak untuk mendapatkan konpensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya.
Selain memperoleh hak tersebut, sebagai balance, konsumen juga
mempunyai diwajibkan untuk;
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian
atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan
keselamatan;
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau
jasa;
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang telah disepakati;
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut.
20
2. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Undang-undang dalam Perlindungan Konsumen juga mengatur
mengenai hak dan kewajiban pelaku usaha. Hal ini karena pada dasarnya
hubungan antara konsumen dengan pelaku usaha memiliki saling
ketergantungan satu sama lain dan saling membutuhkan, sehingga sudah
seharusnya kedudukan konsumen dan pelaku usaha berada pada posisi
yang seimbang.
Namun pada kenyataannya, kedudukan konsumen seringkali berada
pada posisi yang lemah bila dibandingkan dengan pelaku usaha8. Dalam
undang-undang Perlindungan Konsumen hak-hak pelaku usaha diatur
dalam Pasal 6 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yaitu;
a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen
yang beritikad tidak baik;
c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian
hukum sengketa konsumen;
d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
8 Zumrotin K. Susilo, Penyambung Lidah Konsumen, cet.1, (Jakarta: Puspa Suara, 1996), h.11
21
e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Sedangkan kewajiban-kewajiban bagi pelaku usaha diatur dalam Pasal
7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yakni;
a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan
penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau
jasa yang berlaku;
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau
mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan
dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang
diperdagangkan;
f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian
akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa
yang diperdagangkan;
g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.
22
D. Penyelesaian Sengketa
Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 45 ayat
1, setiap konsumen yang dirugikan bisa menggugat pelaku usaha melalui
lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan
pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada dilingkungan peradilan
umum.
Ada empat kelompok penggugat yang bisa menggugat atas
pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha sebagai berikut;
1. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan.
2. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama.
3. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang
memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang
dalam anggaran dasar menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan
didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan
perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai
dengan aggaran dasarnya.
4. Pemerintah dan atau instansi terkait yang jika barang dan/atau jasa
yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi
yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.
Hal ini hanya merupakan aturan umum. Karena itu, dalam
ketentuan pasal 46 ayat (2) ditentukan lebih lanjut bahwa gugatan yang
diajukan sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen
23
swadaya masyarakat, atau pemerintah, sebagaimana dimaksud pada huruf
b, c, dan huruf d diatas, hanya dapat diajukan ke peradilan umum9.
Menurut Undang-Undang Perlindugan Konsumen Pasal 45 ayat 2
“Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau
diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang
bersengketa”. Berdasarkan ketentuan ini, bisa dikatakan bahwa ada dua
bentuk penyelesaian sengketa konsumen yaitu melalui jalur pengadilan
ataupun diluar jalur pengadilan10.
a. Penyelesaian Sengketa di Pengadilan
Beberapa kasus sengketa di bidang perumahan, seperti tidak
direalisasinya fasos dan fasum, konsumen sebagai korban bersifat
massal. Apabila diselesaikan melalui pengadilan dengan prosedur
konvensional, menjadi tidak praktis. Jalan keluarnya adalah dengan
mekanisme gugatan perwakilan. Di mana gugatan secara formal
cukup diwakili beberapa korban sebagai wakil kelas. Namun apabila
gugatan dikabulkan dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap,
korban lain yang secara formal tidak ikut menggugat dapat langsung
menuntut ganti rugi berdasarkan putusan pengadilan tersebut11.
9 Gunawan Widjaja&Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta:Gramedia,2000), h.75
10 Abdul Halim Barkatullah, Hak-hak Perlindungan………., h.85
11 Sudaryatmo, Kiat Menghindari Perumahan Bermasalah, (Jakarta: Piramedia, 2004), h.40
24
Dari peraturan perundang-undangan yang ada, untuk pertama kali
secara eksplisit kata class action terdapat dalam Undang-Undang
Perlindungan Konsumen. Dalam penjelasan pasal 46 ayat (1) huruf b
disebutkan, undang-undang ini mengakui gugatan kelompok atau
class action. Gugatan kelompok atau class action harus diajukan oleh
konsumen yang benar-benar merasa dirugikan dan dapat dibuktikan
secara hukum, salah satunya adalah bukti transaksi.
Selain Undang-Undang Perlindungan Konsumen, gugatan class
action juga diatur dalam Undang-Undang Jasa Konstruksi. Dalam
pasal 38 ayat (1) huruf c disebutkan, masyarakat yang dirugikan
akibat penyelenggaraan pekerjaan konstruksi berhak mengajukan
gugatan ke Pengadilan secara kelompok orang tidak dengan kuasa
melalui gugatan perwakilan12.
Selain itu ketentuan mengenai pembuktian berdasarkan diatur
dalam pasal 163 HIR dan pasal 1865 KUH Perdata dapat dikatakan
bahwa setiap pihak mendalilkan suatu hak, (yang dalam hal ini,
konsumen sebagai pihak yang dirugikan), maka pihak konsumen
harus dapat membuktikan bahwa13:
1. Konsumen secara aktual telah mengalami kerugian;
12 Sudaryatmo, Kiat Menghindari Perumahan,………., h.41
13Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta:Gramedia,2000), h.68-69
25
2. Konsumen juga harus membuktikan bahwa kerugian tersebut
sebagai akibat dari penggunaan, pemanfaatan, atau pemakaian
barang dan/atau jasa tertentu yang tidak layak;
3. Bahwa ketidaklayakan dari penggunaan, pemanfaatan, atau
pemakaian dari barang dan/atau jasa tersebut merupakan tanggung
jawab dari pelaku usaha tertentu;
4. Konsumen tidak berkontribusi, baik secara langsung maupun tidak
langsung atas kerugian yang dideritanya tersebut.
Dua pasal yang mengatur beban pembuktian pidana dan perdata
atas kesalahan pelaku usaha dalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen, yaitu dalam pasal 22 dan pasal 28, kewajiban pembuktian
tersebut “dibalikan” menjadi beban dan tanggung jawab dari pelaku
usaha sepenuhnya. Dalam hal demikian selama pelaku usaha dapat
membuktikan bahwa kesalahan tersebut bukan merupakan kesalahan
yang terletak pada pihaknya, maka demi hukum pelaku usaha
bertanggung jawab dan wajib mengganti kerugian yang diderita
tersebut14.
Usaha-usaha penyelesaian sengketa secara cepat terhadap tuntutan
ganti kerugian oleh konsumen terhadap produsen telah dilakukan di
Indonesia. Hal ini dapat dilihat dalam Undang-undang Perlindungan
Konsumen yang memberikan kemungkinan konsumen untuk
mengajukan penyelesaiannya sengketanya diluar pengadilan, yaitu
14 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan………., h.69
26
melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, yang putusannya
dinyatakan final dan mengikat (Pasal 54 Ayat 3 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen), sehingga tidak dikenal lagi upaya hukum
banding maupun kasasi dalam Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen15.
Penyelesaian sengketa dalam dunia bisnis diharapkan sedapat
mungkin tidak merusak hubungan bisnis selanjutnya dengan siapa ia
pernah terlibat suatu sengketa. Hal ini tentu sulir ditemukan apabila
para pihak yang bersangkutan membawa sengketanya ke pengadilan,
karena proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan (litigasi),
akan berakhir dengan kekalahan salah satu pihak dan kemenangan
dipihak lainnya. Disamping itu secara umum dapat dikemukakan
berbagai kritikan terhadap penyelesaian sengketa melalu pengadilan,
yaitu karena16:
1. Penyelesaian Sengketa Melalui Peradilan Sangat Lambat;
2. Biaya Perkara yang Mahal;
3. Pengadilan Pada Umumnya Tidak Responsif;
4. Putusan Pengadilan Tidak Menyelesaikan Masalah;
5. Kemampuan Para Hakim yang Bersifat Generalis.
15 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan………., h.239
16 Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), h.239-247
27
Diantara sekian banyak kelemahan dalam penyelesaian sengketa
melalui pengadilan tersebut, yang termasuk banyak dikeluhkan oleh
pencari keadilan adalah lamanya penyelesaian perkara, karena pada
umumnya para pihak yang mengajukan perkaranya ke pengadilan
mengharapkan penyelesaian yang cepat, lebih-lebih kalau yang
terlibat dalam perkara tersebut adalah dari kalangan dunia usaha17.
b. Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) adalah lembaga
yang memeriksa dan memutus sengketa konsumen, yang bekerja
seolah-olah sebagai suatu pengadilan. Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen dibentuk oleh pemerintah di Daerah Tingkat II dengan
susunan yang terdiri dari satu orang ketua merangkap anggota, satu
wakil ketua merangkap anggota, serta sembilan sampai lima belas
anggota. Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen terdiri
dari unsur pemerintah, konsumen dan pelaku usaha yang masing-
masing diwakili setidaknya tiga orang dan sebanyak-banyaknya lima
orang yang ditetapkan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan.
Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen merupakan bukti
permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan,
dan dapat dimintakan eksekusinya ke Pengadilan Negeri di wilayah
tempat konsumen yang bersangkutan18.
17 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan ………., h.237
18 Az Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen………., h.236
28
Uraian mengenai kelembagaan dan keanggotaan, tugas dan
wewenang serta penyelesaian sengketa oleh Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen dapat ditemukan secara khusus dalam Bab XI
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang dimuat dari pasal 49
sampai pasal 5819 dan diatur lebih lanjut pada Keputusan Menteri
Nomor 350/MPP/KEP/2001 tentang pelaksanaan tugas dan
wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
Pada dasarnya penyelesaian sengketa yang dilakukan di luar
pengadilan dapat dilakukan secara damai atau melalui Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Yang dimaksud
penyelesaian sengketa secara damai yaitu penyelesaian yang
dilakukan oleh kedua belah pihak baik dengan ataupun tanpa bantuan
pihak ketiga, untuk mencapai suatu kesepakatan yang menguntungkan
dan tanpa yang merasa dirugikan atas kesepakatan tersebut. Biasanya
perundingan perdamaian dapat dibantu oleh pihak ketiga lainnya,
yang dapat berfungsi sebagai mediator, misalnya Yayasan Lembaga
Konsumen Indonesia (YLKI). Cara penyelesaian sengketa damai ini
maka diharapkan adanya suatu penyelesaian sengketa secara mudah,
murah dan cepat. Dasar hukum dari penyelesaian sengketa secara
damai diatur dalam Buku III, Bab 18, pasal 1851-1854 KUHPerdata
19 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan………., h.76
29
mengenai perdamaian/dading20 dan pasal 45 ayat (2)jo. Pasal 47
Undang-Undang Perlindungan Konsumen21.
Mekanisme penyelesaian sengketa di Badan Penyelesaian
Sengkera Kosumen, baik secara konsiliasi, mediasi atau arbitrase
dilakukan melalui majelis, dengan tahapan/tata cara penyelesaian
sengketa sebagai berikut22:
1. Sidang pertama dilaksanakan pada hari kerja ke 7 (tujuh) terhitung
sejak diterimanya permohonan pengaduan secara benar dan
lengkap.
2. Bilamana dalam sidang I (pertama), konsumen dan pelaku usaha,
bukti-bukti yang ada dianggap cukup, dan tidak memerlukan
keterangan tambahan saksi dan saksi ahli, maka majelis wajib
memproses dan memberi putusan, selambat-lambatnya dalam
waktu 21 (dua puluh satu) hari, terhitung sejak diterimanya.
3. Tetapi jika konsumen dan pelaku usaha tidak hadir pada sidang ke
I (pertama), maka majelis memanggil dan bila perlu dengan
bantuan penyidik agar hadir pada sidang ke II (kedua), yang
dilaksanakan selambat-lambatnya pada hari kerja ke 5 (lima)
setelah sidang ke I (pertama).
20 Perdamaian/Dading adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau pun mencegah timbulnya suatu perkara. (Lihat Pasal 1851 KUH Perdata)
21 Az Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen……….,h.233-234
22 BPSK DKI Jakarta, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, (Jakarta : BPSK DKI Jakarta, 2010), h.19
30
4. Sidang ke II (kedua), jika konsumen tidak hadir, maka gugatannya
gugur demi hukum, sebaliknya, jika pelaku usaha tidak hadir,
maka gugatan konsumen dikabulkan tanpa hadirnya pelaku usaha.
5. Bilamana dalam sidang berikutnya, yaitu sidang untuk mendengar
putusan, konsumen dan pelaku usaha, tidak hadir maka putusan
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen wajib disampaikan
selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung
sejak putusan dibacakan.
6. Pelaku usaha yang menerima isi putusan Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen wajib melaksanakan, dalam waktu 7 (tujuh)
hari kerja terhitung sejak menyatakan menerima putusan Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen, jika menolak wajib
mengajukan keberatan dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja,
terhitung sejak menerima putusan Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen.
E. Sanksi-Sanksi
Setiap perselisihan mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku
usaha atas pelaksanaan Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen
yang menerbitkan kerugian bagi konsumen, harus diselesaikan secara perdata.
Dalam Bab IX telah dijelaskan bahwa putusan Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen yang tidak dilaksanakan oleh pelaku usaha dapat dijadikan bukti
permulaan bagi penyidik. Ini berarti bahwa selain hubungan keperdataan
antara pelaku usaha dan konsumen, Undang-Undang Perlindungan Konsumen
31
juga mengenakan sanksi pidana bagi pelanggar Undang-Undang Perlindungan
Konsumen tersebut23.
Sanksi yang dapat dikenakan pada pelaku usaha yang melanggar ketentuan
dapat ditemukan dalam bab XIII Undang-Undang Perlindungan Konsumen,
yang dimulai dari pasal 60 samapai dengan pasal 63.
Sanksi yang dapat dikenakan terdiri dari:
1) Sanksi administratif;
Sanksi administratif merupakan suatu “hak khusus” yang diberikan
oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen kepada Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen atas tugas dan/atau kewenangan yang
dibeikan oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen kepada Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen untuk menyelesaikan persengketaan
konsumen diluar pengadilan24.
Menurut kententuan pasal 60 ayat (2) jo. Pasal 60 ayat (1) Undang-
Undang Perlindungan Konsumen sanksi administratif yang dapat
dijatuhkan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah berupa
penetapan ganti rugi sampai setinggi-tingginya Rp.200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah) terhadap para pelaku usaha yang melakukan pelanggaran
terhadap/dalam rangka;
23 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta:PT.Gramedia Pustaka Utama,2000), h.82
24 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan………,h.83
32
a) Tidak dilaksanakannya pemberian ganti rugi oleh pelaku usaha kepada
konsumen, dalam bentuk pengembalian uang atau penggantian barang
dan/atau jasa yang sejenis, maupun perawatan kesehatan atau
pemberian santunan atas kerugian yang diderita oleh konsumen;
b) Terjadinya kerugian sebagai akibat kegiatan produksi iklan yang
dilakukan oleh pelaku usaha periklanan;
c) Pelaku usaha yang tidak dapat menyediakan fasilitas jaminan
purnajual, baik dalam bentuk suku cadang maupun pemeliharaannya,
serta pemberian jaminan atau garansi yang telah ditetapkan
sebelumnya; baik berlaku terhadap pelaku usaha yang
memperdagangkan barang dan/atau jasa.
2) Sanksi Pidana Pokok
Sanksi pidana pokok adalah sanksi yang dapat dikenakan dan
dijatuhkan oleh pengadilan atas tuntutan jaksa penuntut umum terhadap
pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha. Undang-Undang
Perlindungan Konsu memungkinkan dilakukannya tuntutan pidana
terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya. Ketentuan ini jelas
memperlihatkan suatu bentuk pertanggungjawaban pidana yang tidak saja
dapat dikenakan kepada pengurus tetapi juga kepada perusahaan25.
Rumusan Pasal 62 Undang-Undang Perlindungan Konsumen
menentukan bahwa pelaku usaha dan/atau pengurusnya yang melakukan
pelanggaran terhadap:
25 Ahmadi Miru, Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan………, h.276
33
1. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam;
a) Pasal 8, mengenai barang dan/jasa yang tidak memenuhi standar
yang telah ditetapkan;
b) Pasal 9 dan pasal 10, mengenai informasi yang tidak benar;
c) Pasal 13 ayat (2), mengenai penawaran obat-obatan dan hal-hal yang
berhubungan dengan kesehatan;
d) Pasal 15, mengenai penawaran barang secara paksaan (fisik);
e) Pasal 17 ayat (1) huruf a, b,c, dan e mengenai iklan yang memuat
informasi yang tidak sesuai dengan kenyataan atau menyesatkan;
f) Pasal 17 ayat (2), mengenai peredaran iklan yang dilarang; dan
g) Pasal 18, mengenai pencantuman klausula baku;
Dapat dikenakan sanksi pidana dengan penjara paling lama 5
(lima) tahun atau pidana denda sebanyak Rp.2000.000.000,00 (dua
milyar rupiah)
2. Ketentuan sebagaimana dimaksudkan dalam:
a) Pasal 11, mengenai penjualan secara obral atau lelang;
b) Pasal 12, mengenai penawaran dengan tarif khusus;
c) Pasal 13 ayat (1) mengenai pemberian hadiah secara cuma-cuma;
d) Pasal 14, mengenai penawaran dengan memberikan hadiah melalui
undian;
e) Pasal 16, mengenai penawaran melalui pesanan;
34
f) Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f, mengenai produksi iklan
yang bertentangan dengan etika, kesusilaan dan ketentuan hukum
yang berlaku;
Dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun
atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
3. Pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat
tetap, atau kematian, maka akan diberlakukan ketentuan pidana
yang berlaku secara umum.
3) Sanksi pidana tambahan
Ketentuan pasal 63 Undang-Undang Perlindungan Konsumen
memungkinkan diberikannya sanksi pidana tambahan diluar sanksi
pidana pokok yang dapat dijatuhkan berdasarkan ketentuan pasal 62
Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Sanksi-sanksi pidana tambahan yang dapat dijatuhkan berupa:
a) Perampasan barang tertentu;
b) Pengumuman keputusan hakim;
c) Pembayaran ganti kerugian;
d) Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan
timbulnya kerugian konsumen;
e) Kewajiban penarikan barang dari peredaran;
f) Pencabutan izin usaha.
34
BAB III
TINJAUAN PERJANJIAN BAKU
A. Perjanjian pada Umumnya
Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua
pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak
yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.
Sedangkan suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang
berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, munculah suatu hubungan antara
dua orang tersebut yang dinamakan perikatan1.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak memberikan rumusan,
definisi, maupun istilah “perikatan”. Diawali dengan ketentuan Pasal 1233,
yang menyatakan bahwa “Tiap-tiap Perikatan dilahirkan baik karena
persetujuan, baik karena undang-undang”, ditegaskan bahwa setiap kewajiban
perdata dapat terjadi karena dikehendaki oleh pihak-pihak terkait dalam
perikatan yang secara sengaja dibuat oleh mereka, ataupun karena ditentukan
oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, berarti
perikatan adalah hubungan hukum antara dua orang atau lebih orang (pihak
dalam bidang/lapangan harta kekayaan, yang melahirkan kewajiban pada
salah satu pihak dalam hubungan hukum tersebut.
1 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa,2010), h.1
35
Perjanjian berdasarkan definisi yang diberikan dalam pasal 1313 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata adalah suatu perbuatan yang mengikatkan
dirinya antara satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih.
Sedangkan menurut Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani pengikatan, seperti
telah diuraikan dalam Bab IV buku III KUH Perdata oleh pasal 1320 KUH
Perdata dirumuskan dalam bentuk2:
1. Kesepakatan yang bebas;
2. Dilakukan oleh pihak yang demi hukum dianggap cakap untuk bertindak;
3. Untuk melakukan suatu prestasi tertentu;
4. Prestasi tersebut haruslah suatu prestasi yang diperkenankan oleh hukum,
kepatuhan, kesusilaan, ketertiban umum dan kebiasaan yang berlaku dalam
masyarakat luas (atau biasa disebut dengan suatu klausa yang halal).
Undang-undang memberikan hak kepada setiap orang untuk secara bebas
membuat dan melaksanakan perjanjian, selama keempat unsur di atas
terpenuhi. Pihak-pihak dalam perjanjian adalah bebas menentukan aturan
main yang mereka kehendaki dalam perjanjian tersebut, dan selanjutnya untuk
melaksanakannya sesuai dengan kesepakatan yang telah tercapai diantara
mereka.
B. Perjanjian Baku pada Umumnya
Perjanjian baku telah dikenal sejak zaman Yunani Kuno. Plato (423-
347SM) pernah memaparkan praktik penjualan makanan yang harganya
ditentukan secara sepihak. Dalam perkembangannya, penentuan secara
2 Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan………,h.52
36
sepihak oleh produsen/penyalur produk (penjual), tidak sekadar masalah harga
tetapi sudah mencakup syarat-syarat yang lebih detail3.
Setelah terjadi revolusi industri di Eropa Barat pada abad ke-19,
kebutuhan perjanjian baku makin berkembang. Jumlah transaksi perdagangan
makin meningkat, konsentrasi modal makin besar, sehingga penggunaan
kontrak-kontrak baku makin mendesak. Pada abad ke-20 pembakuan syarat-
syarat perjanjian makin meluas. Terjadilah penumpukan modal besar pada
kelompok golongan ekonomi kuat yang disebut kapitalis4.
Penggunaan perjanjian baku sudah dikenal secara umum oleh masyarakat
dalam kehidupan sehari, hari baik untuk pemasangan instalasi listrik, telepon,
air maupun pembukaan rekening di bank. Walaupun tidak diatur secara
khusus dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, perjanjian baku telah
menjadi salah satu dari jenis-jenis perjanjian yang dikenal dalam sistem
hukum Indonesia.
Perjanjian baku sebagai perjanjian sepihak di mana satu pihak hanya
menuntut haknya saja dan membebaskan diri dari tanggungjawabnya dan
pihak lain harus melaksanakan kewajibannya saja sementara hak-haknya
dihilangkan. Pada perjanjian yang sepihak selalu timbul kewajiban-kewajiban
hanya bagi satu dari para pihak.
3 Adrian Sutendi, Tanggung Jawab Produk dan Tinjauan Hukum Publik dan Perdata, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2008),h.46
4 Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku dalam Praktek Perusahaan Perdagangan,
(Bandung: PT.Citra Aditya Bakti,1992),h.2
37
Meskipun sifatnya sepihak namun Perjanjian baku sudah diterima dalam
hubungan hukum antar subyek hukum terutama sangat dibutuhkan dalam
hubungan hukum antara produsen dalam menjual produksinya dan atau
jasanya memerlukan transaksi yang cepat, efektif, dan efisien sehingga
nampak jelas bahwa yang diutamakan adalah prinsip ekonomi.
C. Definisi Perjanjian Baku
Perjanjian Baku berasal dari dua kata yaitu kata “Perjanjian” dan kata
“Baku” yang menurut KBBI masing-masing berarti;
Perjanjian adalah persetujuan (tertulis atau dengan lisan) yang dibuat
oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat dalam menaati apa
yang disebut dalam persetujuan itu5.
Baku adalah tolak ukur yang berlakku untuk kuantitas atau kualitas yang
ditetapkan berdasarkan kesepakatan;standar6;
Menurut Prof.Sutan Remi Sjahdeni, S.H mengemukakan Perjanjian
baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya sudah
dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak
mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan7.
Menurut Prof. Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku artinya
perjanjian yang menjadi tolak ukur yang dipakai sebagai patokan atau
pedoman bagi setiap konsumen yang mengadakan hubungan hukum dengan
5 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta:Balai Pustaka, 2002), h.458
6 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia………., h.94
7Sutan Remy Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan………., h.66
38
pengusaha. Yang dibukukan dalam perjanjian baku ialah meliputi model,
rumusan dan ukuran8.
Menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo, Perjanjian baku tetap
merupakan perjanjian yang mengikat para pihak yang menandatanganinya,
walaupun harus diakui bahwa klausula yang terdapat dalam perjanjian baku
banyak mengalihkan beban tanggung gugat dari pihak perancang perjanjian
baku kepada pihak lawannya, namun setiap kerugian yang timbul di kemudian
hari akan tetap ditanggung oleh para pihak yang bertanggung jawab
berdasarkan kalusula perjanjian tersebut, kecuali jika klausula tersebut
merupakan klausula yang dilarang berdasarkan pasal 18 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen9.
Menurut Boyke A Sidharta, S.H, Perjanjian baku adalah perjanjian yang
menjadi standar bagi setiap transaksi yang dibuat oleh dan diantara pihak yang
dominan dengan pihak lain yang seluruh atau sebagian besar substansinya
telah ditentukan sebelumnya secara sepihak demi meletakkan kepastian
hukum, keamanan dan kontrol dipihak yang dominan10.
Menurut Munir Fuadi, Kontrak Baku adalah sutu kontrak tertulis yang
dibuat hanya oleh salah satu pihak dalam kontrak tersebut bahkan seringkali
kontrak tersebut sudah tercetak (boilerplate) dalam bentuk formulir-formulir
8 Departemen Perindustrian dan Perdagangan RI, Pemberdayaan Hak-Hak Konsumen di Indonesia, (Jakarta:Direktorat Perlindungan Konsumen,2001), h.183
9Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo, Hukum Perlindungan………., h.118
10 Departemen Perindustrian dan Perdagangan RI, Pemberdayaan Hak-Hak ……….h.183
39
tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut di
tandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan data-data informatif
tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam klausula-klausulanya,
dimana pihak lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai kesempatan atau
hanya sedikit kesempatan untuk menegosiasi atau mengubah klausula-
klausula yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut, sehingga biasanya
kontrak baku sangat berat sebelah11.
D. Ciri-Ciri Perjanjian Baku
Sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, maka ciri-ciri
perjanjian baku mengikuti dan menyesuaikan dengan perkembangan tuntutan
masyaratkat. Ciri-ciri tersebut yakni12;
1. Bentuk Perjanjian Tertulis
Yang dimaksud dengan perjanjian ialah naskah perjanjian keseluruhan
dan dokumen bukti perjanjian yang memuat syarat-syarat baku. Kata-kata
atau kalimat pernyataan kehendak yang termuat dalam syarat-syarat baku
dibuat secara tertulis berupa akta otientik atau akta di bawah tangan.
Karena dibuat secara tertulis maka, perjanjian yang memuat syarat-syarat
baku itu menggunakan kata-kata atau susunan kalimat yang teratur dan
rapi. Jika huruf yang dipakai kecil-kecil kelihatan isinya sangat padat dan
sulit dibaca dalam waktu singkat. Contoh perjanjian baku ialah perjanjian
jual beli, perjanjian polis asuransi, charter party, kredit dengan jaminan
11 Munir Fuadi, Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Buku Kedua (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2003), h.76
12Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku………., h.6-9
40
sedangkan contoh dokumen bukti perjanjian ialah konosemen, nota
pesanan, nota pembelian, tiket pengangkutan.
2. Format Perjanjian Dibakukan
Format perjanjian meliputi model, rumusan dan ukuran. Format ini
dibakukan artinya sudah ditentukan model, rumusan, dan ukurannya,
sehingga tidak dapat diganti, diubah atau dibuat dengan cara lain karena
sudah dicetak. Model perjanjian dapat berupa blanko, naskah perjanjian
lengkap, atau blanko formulir yang dilampiri dengan naskah syarat-syarat
perjanjian yang memuat syarat-syarat baku. Contoh format perjanjian baku
ialah polis asuransi, akta pejabat pembuat akta tanah, perjanjian sewa beli,
penggunaan kartu kredit dan sertifikat obligasi.
3. Syarat-Syarat Perjanjian Ditentukan oleh Pengusaha
Syarat-syarat perjanjian yang merupakan pernyataan kehendak
ditentukan sendiri oleh pengusaha atau organisasi pengusaha. Karena
syarat-syarat perjanjian itu dimonopoli oleh pengusaha, maka sifatnya
cenderung lebih menguntungkan pengusaha daripada konsumen. Hal ini
tergambar dari klausula eksonerasi berupa pembebasan tanggung jawab
pengusaha, tanggung jawab tersebut menjadi beban konsumen. Penentuan
secara sepihak oleh pengusaha dapat diketahui melalui format perjanjian
yang sudah siap pakai, jika konsumen setuju, maka di tanda tanganilah
perjanjian tersebut.
41
4. Konsumen Hanya Menerima atau Menolak
Jika konsumen bersedia menerima syarat-syarat perjanjian yang
disodorkan kepadanya, maka ditandatanganilah perjanjian tersebut.
Penandatanganan itu menunjukan bahwa konsumen bersedia memikul
beban tanggung jawab walaupun mungkin ia tidak bersalah. Jika
konsumen tidak setuju dengan syarat-syarat perjanjian yang disodorkan
itu, ia tidak boleh menawar syarat yang sudah dibakukan itu. Menawar
syarat-syarat baku berarti menolak perjanjian.
5. Penyelesaian Sengketa Melalui Musyawarah/Peradilan
Syarat-syarat perjanjian terdapat standar baku mengenai penyelesaian
sengketa. Jika terjadi sengketa dalam pelaksanaan perjanjian, maka
penyelesaiannya dilakukan melalui arbitrase. Tetapi jika ada pihak yang
menghendaki, tidak tertutup kemungkinan penyelesaian sengketa melalui
Pengadilan Negeri.
6. Perjanjian Baku Menguntungkan Pengusaha
Kenyataan menunjukkan bahwa kencenderungan perkembangan
perjanjian ialah dari lisan ke bentuk tulisan, dari perjanjian tertulis biasa ke
perjanjian tertulis yang dibakukan, syarat-syarat baku dimuat lengkap
dalam naskah perjanjian atau ditulis sebagai lampiran yang tidak terpisah
dengan formulir perjanjian, atau ditulis dalam dokumen bukti perjanjian.
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa perjanjian baku yang dirancang
secara sepihak oleh pengusaha menguntungkan pengusaha berupa;
42
a. Efisiensi biaya,waktu dan tenaga;
b. Praktis karena sudah tersedia naskah yang dicetak berupa formulir atau
blanko yang siap diisi dan ditandatangani;
c. Penyelesaian cepat karena konsumen hanya menyetujui dan atau
menandatangani perjanjian yang disodorkan kepadanya;
d. Homogenitas perjanjian yang dibuat dalam jumlah yang banyak.
E. Jenis Perjanjian dengan Klausula Baku
Pada prakteknya perjanjian baku yang terdapat di masyarakat dibedakan
dalam beberapa jenis, sebagai berikut13;
a. Perjanjian baku sepihak, adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh
pihak yang kedudukannya kuat dalam perjanjian tersebut. Pihak yang kuat
dalam hal ini ialah pihak pelaku usaha, yang lazimnya memiliki posisi
kuat dibandingkan pihak konsumen.
b. Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah adalah perjanjian baku
yang isinya ditentukan oleh pemerintah terhadap perbuatan hukum
tertentu. Dalam bidang agraria misalnya, dapat dilihat formulir-formulir
perjanjian sebagaimana yang diatur dalam SK Menteri Dalam Negeri
tanggal 6 Agustus 1977 mengenai akta jual-beli model 1156727 dan akta
hipotik model 1945055.
c. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat adalah
perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk
memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang meminta bantuan
13 Mariam Darus, Perlindungan Terhadap Konsumen Dilihat dari Sudut Perjanjian Baku (Standar), (Bandung: Bina Cipta, 1986), h.63
43
notaris atau advokat yang bersangkutan, yang dalam kepustakaan Belanda
disebut dengan “contract model”.
F. Perjanjian yang Dilarang
Jenis-jenis perjanjian yang dilarang oleh Undang-undang Anti monopoli
diatur dalam pasal 4 sampai dengan Pasal 16. Dilarangnya jenis-jenis
perjanjian sebagaimana diuraikan dibawah ini karena dapat mengakibatkan
terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. adapun
perjanjian tersebut adalah;
1. Perjanjian yang bersifat oligopoli, dari rumusan Pasal 4 dari Undang-
undang Anti Monopoli terlihat bahwa suatu perjanjian yang menimbulkan
oligopoli dilarang jika terpenuhi unsur-unsur sebagai berikut14:
a. Adanya suatu perjanjian
b. Perjanjian tersebut dibuat antara pelaku usaha
c. Tujuan dibuatnya perjanjian tersebut adalah untuk secara bersama-
sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang
atau jasa
d. Perjanjian tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan curang.
e. Praktek monopoli atau persaingan curang patut diduga telah terjadi
jika dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha
menguasai lebih dari 75% pangsa pasar dari satu jenis barang atau
jasa.
14 Munir Fuady, Hukum Anti Monopoli Menyongsong Era Persaingan Sehat, (Bandung:PT. Citra Aditya Bakti, 1999), h.53
44
Jadi dapat dikatakan bahwa pasar oligopoli adalah pasar yang dikuasai
oleh beberapa produsen saja (untuk produksi satu jenis barang). Bagi pihak
yang melakukan bisnis secara oligopolis berlaku rumusan bahwa aksi-aksi
yang bersifat interdepedensi jauh lebih baik dari tindakan yang bersifat
“indepedensi”.
2. Perjanjian penetapan Harga tertentu atas suatu barang dan atau jasa yang harus
dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama
(pasal 5 ayat (1)), dengan pengecualian:
a. Perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau
b. Perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku (pasal 5 ayat (2))
3. Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan
harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk
barang dan atau jasa yang sama (pasal 6)
4. Menetapkan harga dibawah pasar, yang dapat mengakibatkan terjadinya
persaingan usaha tidak sehat (pasal 7);
5. Perjanjian yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa
tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang telah
diterimanya tersebut, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang
telah diperjanjikan sehingga dapat menimbulkan terjadinya persaingan usaha
tidak sehat (pasal 8);
6. Penjelasan atas pasal 9 Undang-undang Anti Monopoli, maka yang dimaksud
dengan pembagian wilayah pemasaran atau alokasi pasar disini adalah:
45
a. Membagi wilayah untuk memperoleh atau memasok barang dan/jasa;
atau
b.Menetapkan dari siapa saja dapat memperoleh atau memasok barang
dan/atau jasa.
Adapun yang menjadi tujuan dilarangnya perjanjian membagi wilayah
pemasaran atau alokasi pasar adalah karena perjanjian yang demikian,
sebagaimana juga perjanjian yang dilarang lainnya, dapat meniadakan atau
membatasi persaingan pasar, sehingga pihak konsumen maupun pihak
persaing usaha akan sangat dirugikan karenanya15.
7. Perjanjian pemboikotan, terdapat dua macam perjanjian yang dilarang oleh
Pasal 10 dari Undang-undang Anti Monopoli sehubungan perjanjian
pemboikotan tersebut, yaitu sebagai berikut;
a. Perjanjian yang dapat menghalangi pelaku usaha lain (pihak ketiga)
untuk melakukan usaha yang sama; dan
b. Perjanjian yang menolak menjual setiap barang dan/atau jasa dari
pelaku usaha lain (pihak ketiga) , jika:
1) Merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain
tersebut; atau
2) Membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap
barang dan/atau jasa dari pasar yang bersangkutan.
15 Munir Fuady, Hukum Anti Monopoli Menyongsong Era Persaingan Sehat, (Bandung:PT. Citra Aditya Bakti, 1999), h.53
46
8. Perjanjian yang bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur produksi
dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat (pasal 11);
9. Perjanjian untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan
perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan
mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau
perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau
pemasaran atas barang dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya
praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat (pasal 12)
10. Persaingan yang bertujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian
atau penerimaan pasokan barang dan atau jasa tertentu agar dapat
mengendalikan harga atas barang dan atau jasa tertentu tersebut dalam pasar
bersangkutan, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan
atau pesaingan usaha tidak sehat (pasal 13 ayat (1));
11. Perjanjian yang bertujuan menguasai sejumlah produk. Yang dimaksud
dengan menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian
produksi atau yang lazim disebut dengan integrasi vertical adalah penguasaan
serangkaian proses produksi atas barang tertentu mulai dari hulu sampai hilir
atau proses yang berlanjut atas suatu layanan jasa tertentu oleh pelaku usaha
tertentu16.
12. Perjanjian yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang
dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan
16 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Anti Monopoli, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h.26
47
atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada suatu tempat tertentu
(pasal 15 ayat (1));
13. Perjanjian yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang
dan atau jasa tertentu harus bersedia untuk membeli barang dan atau jasa lain
dari pelaku usaha pemasok (Pasal 15 ayat (2));
14. Perjanjian mengenai pemberian harga atau potongan harga tertentu atas
barang dan atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang
menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok:
a. Harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha
pemasok;atau
b. Tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari
pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok
(Pasal 15 ayat (3)).
15. Perjanjian dengan pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan yang
dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli atau persaingan usaha tidak
sehat (pasal 16).
G. Uang Muka
Banyaknya istilah-istilah menyerupai uang muka seperti down payment,
booking fee dan uang panjar seringkali membuat keliru konsumen utamanya
dalam hal jual beli perumahan. Dalam beberapa bahan bacaan, di Indonesia
lebih sering menggunakan istilah uang muka. Beberapa istilah uang muka
tersebut dalam beberapa literatur memiliki perbedaan meskipun inti artinya
adalah sama. Berikut beberapa pengertian mengenai uang muka;
48
1. Down payment, uang muka adalah Pembayaran sebagian sebagai
pendahuluan atau tanda jadi atas suatu transaksi; panjar17.
2. Uang muka menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yakni uang yang
dibayarkan terlebih dahulu sebagai tanda jadi pembelian dan sebagainya;
panjar; persekot:18
3. Menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/10/PBI/2015 Uang Muka
adalah pembayaran di muka sebesar persentase tertentu dari harga
pembelian Properti atau kendaraan bermotor yang sumber dananya berasal
dari debitur atau nasabah.
Perturan mengenai uang muka untuk kredit properti diatur dalam peraturan
Bank Indonesia Nomor 17/10/PBI/2015 tentang Rasio Loan to Value atau
Rasio Financing to Value untuk Kredit atau Pembiayaan Properti dan Uang
Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor. Dengan PBI yang
baru ini, nasabah bank dapat mendaptkan fasilitas kredit kepemilikan rumah
hanya dengan uang muka atau Down Payment (DP) sebesar 20 persen19.
17 Elips, Kamus Hukum Ekonomi Elips, (Jakarta: Proyek Elips, 1997), h.53
18 http://kbbi.web.id/uang diakses pada tanggal 15 Mei 2016 jam 20:56 WIB
19 http://bisnis.liputan6.com/read/2258724/tak-semua-bank-bisa-berikan-fasilitas-uang-muka-kpr-20 diakses pada tanggal 15 Mei 2016 jam 22.12 WIB
49
BAB IV
ANALISIS PERJANJIAN JUAL BELI PERUMAHAN DENGAN
KLAUSULA BAKU
A. Kasus Perjanjian Jual Beli Perumahan dengan Klausul Perjanjian Baku1
Kasus perjanjian jual beli perumahan dengan klausula baku marak terjadi,
salah satu penyebabnya adalah kurangnya kewaspadaan konsumen ketika akan
membeli rumah. Salah satu kasus klausula baku pada perjanjian jual beli
perumahan terjadi di Kota Surabaya pada tahun 2007 yang dialami oleh
Martinus Teddy Arus Bahterawan yang memesan rumah pada Perumahan
Palm Residence, Jambangan Surabaya dari Pengembang Perumahan yakni PT.
Solid Gold.
Pada saat itu, Martinus menggunakan angsuran Kredit Perumahan Rakyat
(KPR) seharga Rp. 180.000.000,- dan telah memberikan uang muka sebesar
Rp.54.000.000,- dan telah menandatangani Perjanjian Pengikatan Jual Beli.
Setelah menandatangani Perjanjian Pengikatan Jual Beli, Martinus
menginginkan perubahan desain rumahnya dan dikenakan biaya sebesar Rp.
24.625.000,- dan telah dibayar lunas oleh Martinus kepada PT. Solid Gold.
Selanjutnya, realisasi akad KPR dengan Bank Mandiri setelah Bank
Mandiri mengeluarkan Surat Penawaran Putusan Kredit (SPPK) pada tanggal
8 Agustus 2008. Tetapi Martinus tidak dapat hadir ketika akad kredit tersebut
dikarenakan sedang bekerja di Kalimantan. Secara sepihak, PT. Solid Gold,
1 Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 937/K/Pdt.Sus/2010
50
menyurati Martinus pada tanggal 29 Oktober 2009, jika Martinus
membatalkan pembelian rumah maka Martinus harus membayar denda kepada
PT. Solid Gold sebesar Rp. 84.700.936.000,- dan jika Martinus berniat
meneruskan pembelian rumah maka harus membayar sebesar Rp. 48.888.000,-
dengan alasan bahwa ketentuan mengenai denda telah diatur pada Surat
Pemesanan Rumah dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Rumah.
Surat jual beli tenyata mengandung beberapa klausula baku yang tidak di
sadari oleh Martinus akan merugikan haknya sebagai konsumen. Pada Surat
Pemesanan Rumah contohnya, menyatakan bahwa “….maka seluruh uang
yang telah dibayarkan menjadi hak milik PT. Solid Gold dan tidak dapat
dituntut kembali….” Selain itu pada surat perjanjian Pengikatan Jual Beli juga
terdapat klausula baku yang menyatakan “….seluruh uang yang telah
dibayarkan oleh Pihak Kedua kepada Pihak Kesatu menjadi hangus dan tidak
dapat dituntut kembali….”
Total uang Martinus yang telah diserahkan kepada PT. Solid Gold adalah
sejumlah Rp.87.167.900,- dan pihak pengembang perumahan menolak
mengembalikan uang tersebut dengan alasan bahwa tidak dikembalikannya
uang tersebut merupakan denda bagi konsumen dan telah dicantumkan pada
surat pemesanan rumah dan surat perjanjian pengikatan jual beli.
Penyelesaian atas kasus ini adalah PT.Solid Gold dinyatakan bersalah
telah melakukan perbuatan melawan hukum yaitu melakukan pencantuman
klausula baku, dan menyatakan bahwa Surat Pemesanan Rumah tertanggal 17
Juli 2007 dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli tertanggal 16 Mei 2008
51
B. Upaya Hukum yang dapat Dilakukan Konsumen terhadap Pelanggaran
yang Dilakukan oleh Pelaku Usaha
Pada dasarnya penyelesaian ganti rugi dapat dilakukan secara damai antara
konsumen dengan pelaku usaha. Namun, apabila upaya damai tersebut gagal
ditempuh maka upaya yang dilakukan konsumen adalah penyelesaian
sengketa sesuai yang diatur oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Pasal 45 ayat (1) disebutkan bahwa konsumen dapat menggugat pelaku
usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara
konsumen dan pelaku usaha atau melalui lingkungan peradilan umum.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberikan hak untuk menggugat
pelaku usaha, dan menyelesaikan perselisihan yang timbul melalui Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen, atau dengan cara mengajukan gugatan
kepada peradilan di tempat kedudukan konsumen.
Penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana di maksud pada pasal 45
ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen, ini tidak menutup
kemungkinan dilakukannya penyelesaian secara damai oleh para pihak yang
bersengketa. Pada umumnya dalam setiap tahap proses penyelesaian sengketa,
selalu diupayakan untuk menyelesaikannya secara damai di antara kedua
belah pihak yang bersengketa.
Penyelesaian secara damai adalah penyelesaian yang dilakukan oleh
kedua belah pihak yang bersengketa (pelaku usaha dan konsumen) tanpa
52
melalui pengadilan atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan tidak
bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen2.
Saat menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen membentuk majelis, dengan jumlah
anggota yang harus berjumlah ganjil, yaitu terdiri dari sedikitnya 3 orang yang
mewakili semua unsur, dan dibantu oleh seorang panitera. Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen diwajibkan untuk menyelesaikan sengketa konsumen
yang diserahkan kepadanya dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari terhitung
sejak gugatan diterima Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
Selain itu pasal 54 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen
dikatakan bahwa putusan yang dijatuhkan majelis Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen bersifat final dan mengikat. Walaupun demikian, para
pihak yang tidak setuju atas putusan tersebut dapat mengajukan keberatan
kepada Pengadilan Negeri untuk diputus. Terhadap putusan Pengadilan Negeri
ini, meskipun dikatakan bahwa Undang-Undang Perlindungan Konsumen
hanya memberikan hak kepada pihak yang tidak merasa puas atas putusan
tersebut untuk mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Selain itu, Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga telah
memberikan jangka waktu yang pasti bagi peyelesaian perselisihan konsumen
yang timbul, yakni 21 (dua puluh satu) hari untuk proses pada tingkat
Pengadilan Negeri, dan 30 (tiga puluh) hari untuk diselesaikan oleh
Mahkamah Agung, dengan “jeda” masing-masing 14 (empat belas) hari untuk
2 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan ………., h.63
53
mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri maupun kasasi ke Mahkamah
Agung3.
Mengenai ketentuan sanksi dalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen mencantumkan tiga sanksi yakni sanksi administratif, sanksi
pidana dan sanksi tambahan. Sanksi pidana pokok bagi pelaku usaha yang
melanggar ketentuan pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen
tentang klausula baku, terdapat pada pasal 62 Undang-undang Perlindungan
Konsumen yakni dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
Selain itu sanksi tambahan bagi pelanggar ketentuan mengenai klausula baku
yakni dapat berupa sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62,
dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa:
a. Perampasan barang tertentu;
b. Pengumuman keputusan hakim;
c. Pembayaran ganti rugi;
d. Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya
kerugian konsumen;
e. Kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
f. Pencabutan izin usaha.
3 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan………., h.78-79
54
C. Analisis Akibat Hukum Perjanjian Jual Beli Perumahan dengan
Klausula Baku
Hadirnya klausula baku dalam perjanjian jual beli perumahan
dalam bentuk “…..seluruh uang yang telah dibayarkan oleh pihak kedua
kepada pihak kesatu menjadi hangus dan tidak dapat dituntut kembali….”
Ditinjau dari hukum perlindungan konsumen klausula pada perjanjian
baku tersebut melanggar ketentuan pasal 18 ayat (1) Undang-Undang
Perlindungan Konsumen.
Ketentuan pasal 18 ayat (1) dikatakan bahwa para pelaku usaha
dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangakan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku
pada setiap dokumen dan/atau perjanjian dimana klausla tersebut akan
mengakibatkan:
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali barang yang dibeli konsumen;
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang
dibeli oleh konsumen;
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha
baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan
segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli
oleh konsumen secara angsuran;
55
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa
atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek
jual beli jasa;
g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa
aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang
dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen
memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha
untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan
terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
Pasal 1320 KUH Perdata menentukan bahwa syarat sahnya
perjanjian diperlakukan empat syarat:
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
c. Suatu hal tertentu
d. Suatu sebab yang halal
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya adalah asas esensial
dalam hukum perjanjian, asas ini dinamakan asas konsensualisme. Arti
asas konsensualisme ialah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang
timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan.
Dengan perkataan lain, perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat
56
mengenai hal-hal yang pokok dan tidaklah diperlukan sesuatu formalitas4.
Asas konsensualisme yang terdapat dalam pasal 1320 KUH Perdata
mengandung arti kemauan (will) para pihak untuk saling berprestasi, ada
kemauan untuk saling mengikat diri5.
Pada klausula yang terdapat pada perjanjian jual beli perumahan
terdapat perbedaan posisi para pihak ketika perjanjian baku tersebut
diadakan karena tidak memberikan kesempatan pada debitur untuk
mengadakan real bargaining dengan pelaku usaha. Konsumen tidak
mempunyai kekuatan untuk mengutarakan kehendak dan kebebasannya
dalam menentukan isi perjanjian baku.
Hukum perjanjian dikenal adanya asas kebebasan berkontrak yang
terdapat pada pasal 1338 KUH Perdata ayat (1) yang berbunyi: “semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya”.
Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan
kebebasan kepada para pihak untuk6:
a. Membuat atau tidak membuat perjanjian.
b. Mengadakan perjanjian dengan siapapun,
c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya dan
d. Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
4 Subekti, Hukum Perjanjian, ………., h.15
5 Mariam Darus Badrulzaman, Perlindungan Terhadap Konsumen ………., h.66
6 Salim H.S, Hukum Kontrak Teori&Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta:Sinar Grafika, 2013), h.9
57
Allah SWT menganjurkan bentuk perjanjian adalah tertulis
sebagaimana firman Allah SWT pada Surah Al-Baqarah ayat 282 yakni;
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu).
Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua
orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan)
58
keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”(QS. Al- Baqarah:282)
Selain itu, pada pasal 1337 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu
sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila
berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Hal tersebut
merupakan penegasan kembali akan sifat kebebasan berkontrak yang
diatur pada pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata.
Kebebasan berkontrak pada pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata
harus memperhatikan pasal 1337 KUH Perdata yang berisi bahwa suatu
sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh Undang-undang, atau apabila
berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.
Selain itu, dari pasal 1320 KUH Perdata dapat ditarik kesimpulan
bahwa klausula baku pada perjanjian seperti halnya suatu perjanjian pada
umumnya harus memenuhi baik syarat-syarat obyektif maupun syarat-
syarat subyektif dari sahnya suatu perjanjian serta memenuhi asas
kebebasan berkontrak, asas konsensualisme serta kedudukan yang
seimbang dari para pihak yang membuat perjanjian. Jika salah satu syarat
obyektif dari sahnya perjanjian tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut
adalah batal demi hukum, yang berarti bahwa perjanjian tersebut dianggap
tidak pernah ada sejak semula.
59
Sedangkan jika syarat subyektif yang tidak terpenuhi maka
perjanjian tersebut terancam dengan kebatalan, dengan pengertian bahwa
setiap salah satu pihak perjanjian tersebut dapat memohon agar perjanjian
tersebut dibatalkan7. Artinya, menurut pasal 1320 KUH Perdata perjanjian
antara para pihak dalam jual beli perumahan yang mengandung klausula
baku tidak memenuhi syarat objektif karena di dalam perjanjian jual beli
yang mengandung klausula baku tersebut tidak mengandung syarat sahnya
perjanjian yakni suatu sebab yang halal. Suatu sebab halal yang dimaksud
adalah melingkupi segala ketentuan pada pasal 1337 KUH Perdata.
Ketentuan pasal 18 ayat (1) dikatakan bahwa para pelaku usaha
dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangakan dilarang membuat atau mencantumkan klausula
baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian dimana klausla tersebut
akan mengakibatkan:
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali barang yang dibeli konsumen;
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang
dibeli oleh konsumen;
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha
baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan
7 David M.L. Tobing, Parkir & Perlidungan Hukum Konsumen, (Jakarta: PT. Timpani Agung, 2007), h.41
60
segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli
oleh konsumen secara angsuran;
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa
atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek
jual beli jasa;
g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa
aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang
dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen
memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha
untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan
terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
Selanjutnya, dalam pasal 18 ayat (2) dijelaskan bahwa pelaku
usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya
sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang
pengungkapannya sulit dimengerti.
Akibat atas pelanggaran terhadap pasal 18 ayat (1) dan ayat (2),
pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan
setiap perjanjian atau klausula baku yang memenuhi ketentuan pasal 18
ayat (1) dan pasal 18 ayat (2) dinyatakan batal demi hukum dan pelaku
61
usaha harus menyesuaikan dengan Undang-Undang Perlindungan
Konsumen.
Artinya, perjanjian jual beli perumahan dengan klausula baku yang
memuat isi sebagaimana di larang dalam pasal 18 ayat (1) dan 18 ayat (2)
dianggap tidak pernah ada dan tidak mengikat para pihak. Para pihak
tersebut yakni, pelaku usaha dan konsumen yang melaksanakan transaksi
jual beli perumahan tersebut.
Atas kebatalan demi hukum dari klausula sebagaimana disebutkan
dalam pasal 18 ayat (3), pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Perlindungan
Konsumen selanjutnya mewajibkan para pelaku usaha untuk
menyesuaikan dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini8.
8 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan………., h.57
62
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan maka diperoleh kesimpulan
sebagai berikut:
1. Bahwa klausula pada perjanjian jual beli perumahan melanggar ketentuan
Undang-undang Perlindungan Konsumen. Adapun klausula baku yang
melanggar kententuan Undang-undang Perlindungan Konsumen adalah
“…seluruh uang yang telah dibayarkan oleh pihak kedua kepada pihak
kesatu menjadi hangus dan tidak dapat dituntut kembali…” klausula
tersebut sangat merugikan konsumen, dan melanggar ketentuan pasal 18
ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen huruf c. Akibat hukum
atas pencantuman klausula baku pada perjanjian jual beli perumahan,
sebagaimana pasal 18 ayat (3) maka perjanjian tersebut dinyatakan batal
demi hukum (nietigheid van rechtswege)
2. Konsumen menderita kerugian akibat pencantuman klausula baku, sesuai
dengan pasal 45 Undang-Undang Perlindungan Konsumen konsumen
yang merasa dirugikan dapat menggugat ganti rugi baik melalui lembaga
pengadilan maupun lembaga di luar pengadilan yaitu melalui Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen.
63
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan, dapat disimpulkan beberapa
saran yang diharapkan dapat berguna bagi upaya perlindungan konsumen,
khususnya dalam hal perlindungan konsumen terhadap klausula baku yang
merugikan. Adapun saran tersebut adalah sebagai berikut:
1. Bahwa diperlukan adanya keseragaman kosa kata mengenai penyebutan
dan pengertian “uang muka” sehingga kata tersebut tidak disalah artikan
dan dimanfaatkan oleh berbagai pihak serta tidak merugikan konsumen.
2. Bahwa pelaku usaha dalam hal ini adalah pihak pengembang perumahan
dalam menjalankan usahanya dengan cara-cara yang baik dan
professional, serta memiliki pemahaman yang baik tentang hukum,
utamanya tentang hukum perlindungan konsumen. Pengetahuan
mengenai hukum perlindungan konsumen yang baik, menjadikan pelaku
usaha paham akan kewajiban dan hak pelaku usaha dan konsumen.
Pelaku usaha dalam menjalankan usahanya diharapkan tidak hanya
melindungi kepentingannya sendiri tetapi juga secara bersamaan
menjamin kepentingan konsumen.
3. Bahwa seluruh lapisan masyarakat, baik pemerintah, lembaga swadaya
konsumen serta konsumen harus lebih aktif melakukan penelitian dan
pengawasan terhadap klausula baku yang merugikan konsumen.
4. Bahwa advokasi dan edukasi perlindungan konsumen harus lebih
disosialisaikan dan ditingkatkan. Hal ini bertujuan agar masyarakat
paham akan hak dan kewajibannya sebagai konsumen maupun sebagai
64
pelaku usaha. Selain itu, konsumen juga dapat mengetahui upaya-upaya
apa sajakah yang bisa dilakukan ketika terjadi pelanggaran hukum yang
dilakukan oleh pelaku usaha.
65
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Badrulzaman, Mariam Darus. Perlindungan Terhadap Konsumen dilihat
Dari Sudut Perjanjian Baku (Standar). Jakarta:BPHN,1980
Barkatullah,Abdul Hakim. Hak-Hak Konsumen. Bandung: Nusa
Media,2010
Fuady, Munir. Hukum Anti Monopoli Menyongsong Era Persaingan
Sehat. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999
---------------- Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Buku
Kedua. Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2003
Harahap, Yahya. Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan
Penyelesaian Sengketa. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997
H.S, Salim. Hukum Kontrak Teori&Teknik Penyusunan Kontrak.
Jakarta:Sinar Grafika, 2013
Johnny Ibrahim. Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, cet. III,
Jawa Timur : Bayumedia Pubishing, 2007
K. Susilo, Zumrotin. Penyambung Lidah Konsumen, cet.1. Jakarta: Puspa
Suara, 1996
Makarim.Edmon, Kompilasi Hukum Telematika. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2003.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta : Kencana Prenada
Group, 2010
Muhammad, Abdulkadir. Perjanjian Baku dalam Praktek Perusahaan
Perdagangan, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti,1992
M.L. Tobing, David. Parkir & Perlidungan Hukum Konsumen.
Jakarta:PT. Timpani Agung,2007
Nasution, Az. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar. Jakarta:
Diadit Media, 2007
Remy Sjahdeni, Sutan. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang
Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit di Indonesia,.
(akarta: Institut Bankir Indonesia,1994
66
Shidarta. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Edisi Revisi.
Jakarta: Grasindo, 2004
Shofie, Yusuf. Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Pidana Korporasi,
cet.1 Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002
Siahaan, N.H.T. Hukum Konsumen : Perlindungan Konsumen dan
Tanggung Jawab Produk. Jakarta: Panta Rei, 2005
Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta:Intermasa,2010
Sudaryatmo. Kiat Menghindari Perumahan Bermasalah. Jakarta:
Piramedia, 2004
Sutendi, Adrian. Tanggung Jawab Produk dan Tinjauan Hukum Publik
dan Perdata, Bogor: Ghalia Indonesia, 2008
Soekanto, Soejono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 1986
Yani, Ahmad & Gunawan Widjaja. Anti Monopoli. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2002
----------------------------------------.Hukum tentang Perlindungan
Konsumen. Jakarta: Gramedia,2000
Yodo, Sutarman dan Ahmadi Miru. Hukum Perlindungan Konsumen.
Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2000
Zulham. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Kencana Prenada
Media, 2013
Perundang-Undangan:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 setelah
amandemen ke-4
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3821 .
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Lembaran Negara Republik
Indonesia tahun 1999 No. 33 Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia No. 3817
67
Internet:
http://kbbi.web.id/uang
http://bisnis.liputan6.com/read/2258724/tak-semua-bank-bisa-berikan-
fasilitas-uang-muka-kpr-20
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
P U T U S A N
Nomor 937 K/Pdt.Sus/2010
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
M A H K A M A H A G U N G
memeriksa perkara perdata khusus sengketa konsumen pada tingkat kasasi telah
memutuskan sebagai berikut dalam perkara antara:
MARTINUS TEDDY ARUS BAHTERAWAN, bertempat tinggal di Jalan
Tenggumung Karya Lor No. 73 Surabaya, dalam hal ini memberi kuasa
kepada Achmad Fauzan, SH.,LLM., Advokat, berkantor di Jalan Wonorejo
Asri XII/23 Rungkut Surabaya, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 6
April 2010,
Pemohon Kasasi dahulu Pemohon Keberatan/Penggugat ;
m e l a w a n
PT. SOLID GOLD, berkedudukan di Jalan Kertajaya VF-331 Surabaya,
dalam hal ini memberi kuasa kepada Soetardjo, SH., Advokat, berkantor di
Jalan Nginden Baru III No. 19 Surabaya, berdasarkan Surat Kuasa Khusus
tanggal 15 April 2010;
Termohon Kasasi dahulu Termohon Keberatan/Tergugat ;
Mahkamah Agung tersebut;
Membaca surat-surat yang bersangkutan;
Menimbang, bahwa dari surat-surat tersebut ternyata bahwa sekarang Pemohon
Kasasi dahulu sebagai Pemohon Keberatan/Penggugat telah mengajukan keberatan
terhadap putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Nomor 35/BPSK/III/2010.
tanggal 31 Maret 2010 yang amarnya sebagai berikut:
• Tidak ada kesepakatan karena pihak PT. Solid Gold selaku pihak usaha
(Tergugat) tidak dapat memenuhi pengaduan konsumen (Sdr. Martinus
Teddy Arus B);
Bahwa, terhadap amar putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen tersebut,
Pemohon Keberatan/Penggugat telah mengajukan keberatan di muka persidangan
Pengadilan Negeri Surabaya yang pada pokoknya sebagai berikut:
Bahwa Pemohon keberatan menerima putusan Badan Penyelesaian Sengketa No.
35/BPSK/III/2010 pada tanggal 31 Maret 2010 (vide bukti P-1);
Bahwa atas putusan tersebut Pemohon Keberatan telah menyatakan gagal dengan
Surat pernyataan tertanggal 6 April 2010 (vide bukti P-2);
Hal. 1 dari 17 hal Put. Nomor 937 K/Pdt.Sus/2010
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Bahwa Pemohon Keberatan mengajukan keberatan ini pada tanggal 7 April 2010,
atau dalam tenggang waktu sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
Bahwa dengan demikian adalah beralasan jika Pemohon Keberatan mohon agar
keberatan Pemohon Keberatan dinyatakan diterima;
Bahwa lebih lanjut alasan Pemohon Keberatan atas putusan badan Penyelesaian
sengketa tersebut adalah sebagaimana terurai berikut;
Bahwa pada tanggal 17 Juli 2007 di Surabaya Pemohon Keberatan membeli atau
memesan satu unit rumah dengan luas bangunan 39 m² dan luas tanah 84 m² yang
terletak di Kav. B No. 23 Perumahan Palm Residence, Jambangan Surabaya dari
Termohon Keberatan dengan melalui angsuran Kredit Perumahan Rakyat (KPR)
seharga Rp180.000.000,- dengan uang muka Rp54.000.000,- sebagaimana tercantum
dalam Surat pemesanan Ruko/Rumah No. 01/VII/2007 (vide bukti P-3) dan selanjutnya
pada tanggal 16 Mei 2008 Pemohon Keberatan dan Termohon Keberatan
menandatangani Perjanjian Pengikatan Jual beli (vide bukti P-4);
Bahwa Pemohon Keberatan telah membayar lunas uang muka sebesar Rp
54.000.000,- kepada Termohon Keberatan (vide bukti P-5);
Bahwa Pemohon Keberatan menghendaki perubahan desain rumah tersebut yang
disetujui Termohon dengan biaya Rp24.625.000,- dan Pemohon Keberatan telah
membayar lunas biaya perubahan desain tersebut kepada Termohon Keberatan (vide
bukti P-6 s/d P-11);
Bahwa dengan demikian Pemohon Keberatan telah melaksanakan kewajibannya
kepada Termohon Keberatan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 Undang-Undang
No. 8 Tahun 1999 tentang V, Perlindungan Konsumen dan Termohon Keberatan telah
menerima haknya dari Pemohon Keberatan seperti ditentukan dalam Pasal 6 undang-
undang tersebut;
Bahwa karena Pemohon Keberatan telah memenuhi semua kewajiban membayar
uang muka dan biaya perubahan desain, maka tahap selanjutnya adalah realisasi akad
KPR dengan Bank Mandiri setelah Bank Mandiri mengeluarkan Surat penawaran
Putusan Kredit (SPPK);
Bahwa Bank Mandiri telah mengeluarkan SPPK No. 8.CLBC/SPPK.GRM/ 2917/
VIII/2008 pada tanggal 8 Agustus 2008 dan No. 8.CLBC/SPPK.GRM/ 2550/IX/2009
tanggal 9 September 2009, adapun Termohon Keberatan telah memberitahu Pemohon
Keberatan secara tertulis melalui surat tanggal 24 Agustus 2008 No. 42/SGP/EKS/
VIII/2009 dan 20 Oktober 2009 No. 45/SGP/ EKS/X/2009, tapi oleh karena Pemohon
Hal. 2 dari 17 hal Put. Nomor ..... K/Pdt.Sus/.....
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Keberatan saat itu sedang bekerja di Kalimantan, maka Pemohon Keberatan tidak dapat
melakukan akad kredit dimaksud;
Bahwa Termohon Keberatan menyatakan kepada Pemohon Keberatan melalui
suratnya tanggal 29 Oktober 2009 No. 46/SGP/EKS/2009 bahwa jika Pemohon
Keberatan membatalkan pembelian rumah dimaksud maka Pemohon Keberatan harus
membayar denda kepada Termohon Keberatan sebesar Rp 84.700.936.000,-
dan jika Pemohon Keberatan berniat meneruskan pembelian rumah dimaksud maka
Pemohon Keberatan harus membayar denda kepada Termohon Keberatan sebesar
Rp48.888.000,- (vide bukti P-12);
Bahwa Termohon keberatan dalam suratnya sebagaimana dimaksud bukti P-12
menyatakan bahwa Termohon Keberatan tidak pernah memaksakan adanya denda
dengan berdalih bahwa ketentuan denda sudah diatur dalam Surat Pemesanan Rumah
dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Rumah (sebagaimana dimaksud bukti P-3 dan P-4);
Bahwa Pemohon Keberatan sangat tidak setuju dan karena itu menolak keras dalil
Termohon Keberatan tersebut di atas karena Surat Pemesanan Rumah dan Perjanjian
Pengikatan Jual Beli Rumah (vide Bukti P-3 dan P-4) adalah sangat merugikan
Pemohon Keberatan karena posisi Pemohon keberatan selalu lemah berdasarkan hasil
penelitian Badan dan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) seperti dikutip N.H.T.
Siahaan (Happy Susanto (2008:30) dan Pemohon Keberatan sebagai konsumen tidak
memiliki posisi tawar yang setara dan sederajat dengan Termohon Keberatan sebagai
pelaku usaha sehingga mau tidak mau Pemohon Keberatan menandatangani Surat
Pemesanan Rumah dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli tersebut yang format dan
sebagian besar isinya telah disiapkan dan ditentukan sendiri oleh Termohon Keberatan,
atau yang lebih dikenal dengan perjanjian standar atau ketentuan klausula baku;
Bahwa Surat pemesanan Rumah dimaksud (vide bukti P-3) Pasal III menyatakan:
“....maka seluruh uang yang telah dibayarkan menjadi hak milik PT.Solid Gold dan
tidak dapat dituntut kembali;
Bahwa uang yang telah dibayarkan adalah uang Pemohon Keberatan sebesar
Rp54.000.000,- (lima puluh empat juta rupiah);
Bahwa Perjanjian Pengikatan Jual Beli dimaksud (vide bukti P-4) Pasal 2
menyatakan: “....seluruh uang yang telah dibayarkan oleh Pihak Kedua kepada Pihak
Kesatu menjadi hangus dan tidak dapat dituntut kembali....”;
Bahwa Pihak Kesatu dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli tersebut adalah
Termohon Keberatan dan Pihak Kedua adalah Pemohon Keberatan sedangkan seluruh
uang yang telah dibayar Pemohon Keberatan kepada Termohon Keberatan berdasarkan
Hal. 3 dari 17 hal Put. Nomor 937 K/Pdt.Sus/2010
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
bukti P-5 s/d P11 adalah Rp54.000.000,- + Rp24.625.000,- + biaya Notaris
Rp3.000.000,- + BPHTB Rp5.542.900,- = Rp87.167.900,- (delapan puluh tujuh
juta seratus enam puluh tujuh ribu sembilan ratus rupiah);
Bahwa Pasal V surat tersebut dan pasal 2 Perjanjian dimaksud juga
mencantumkan adanya benda masing-masing sebesar 2 dan 3%;
Bahwa ini berarti bahwa Termohon Keberatan dalam Surat Pemesanan Rumah
dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (vide bukti P-3 dan P-4) telah menyatakan menolak
menyerahkan kembali uang, yang telah dibayar pemohon keberatan serta penerapan
sanksi Benda bagi Pemohon keberatan, atau dengan kata lain Termohon Keberatan telah
mencantumkan klausula baku dalam Surat pemesanan Rumah dan Perjanjian
Pengikatan Jual Beli tersebut;
Padahal pencantuman klausula baku merupakan suatu larangan bagi Termohon
Keberatan yang harus ditaati oleh Termohon Keberatan karena sudah ditentukan oleh
hukum yaitu Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal
18 ayat (1) huruf c yang berbunyi: “Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau
jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan membuat atau mencantumkan klausula baku
pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila menyatakan bahwa pelaku usaha
berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa
yang dibeli oleh konsumen;
Bahwa dengan demikian adalah jelas bahwa Termohon Keberatan telah
melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen yang ditentukan dalam
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999;
Bahwa oleh karena itu adalah beralasan jika Pemohon Keberatan mohon agar
Termohon Keberatan dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan atau melanggar
hukum yaitu terhadap Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen dan adalah beralasan pula jika Pemohon Keberatan mohon agar Surat
Pemesanan Rumah No. 01/VI/2007 tertanggal 17 Juli 2007 dan Perjanjian Pengikatan
Jual Beli tertanggal 16 Mei 2008 dinyatakan batal demi hukum sepanjang mengenai
klausula baku dan proses transaksi pembelian rumah dimaksud antara Pemohon
Keberatan dan Termohon Keberatan tetap dilanjutkan tanpa ada sanksi denda dan/atau
bunga apapun;
Bahwa oleh karena Termohon Keberatan telah melakukan pelanggaran terhadap
Undang-Undang atau hukum yaitu Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, maka berarti Termohon Keberatan melakukan perbuatan
melanggar atau melawan hukum atas diri Pemohon Keberatan;
Hal. 4 dari 17 hal Put. Nomor ..... K/Pdt.Sus/.....
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Bahwa akibat perbuatan melanggar atau melawan hukum yang dilakukan
Termohon Keberatan atas diri Pemohon Keberatan, maka Termohon Keberatan
mengalami kerugian baik material maupun immaterial;
a Kerugian material berupa uang yang sudah diserahkan Pemohon Keberatan
kepada Termohon Keberatan tersebut di atas sebesar Rp87.167.900,-
(delapan puluh tujuh juta seratus enam puluh tujuh ribu sembilan ratus rupiah);
b Kerugian immateriel berupa Pemohon Keberatan harus pindah kerja dari
Kalimantan ke Surabaya dengan segala efek atau dampak psikis setara dengan
Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah);
Bahwa oleh karena itu adalah beralasan jika Pemohon Keberatan mohon agar
Termohon Keberatan dihukum untuk membayar ganti rugi kepada Pemohon Keberatan
untuk kerugian material sebesar Rp87.167.900,- (delapan puluh tujuh juta seratus enam
puluh tujuh ribu sembilan ratus rupiah) dan kerugian immateriel Rp500.000.000,- (lima
ratus juta rupiah);
Bahwa, berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, Pemohon Keberatan/
Penggugat mohon kepada Pengadilan Negeri Surabaya agar memberi putusan sebagai
berikut:
1 Menerima dan mengabulkan seluruh keberatan Pemohon Keberatan untuk
seluruhnya;
2 Menyatakan Termohon Keberatan telah melakukan perbuatan melawan atau
melanggar hukum;
3 Menyatakan Surat Pemesanan Rumah No. 01/VII/2007 tertanggal 17 Juli 2007
dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli tertanggal 16 Mei 2008 sepanjang mengenai
pencantuman klausul baku mengenai tidak dapatnya Pemohon Keberatan untuk
menuntut atau meminta kembali uang yang telah dibayar Pemohon Keberatan
kepada Termohon Keberatan dan penerapan denda adalah batal demi hukum;
4 Menghukum Termohon Keberatan untuk terus memproses transaksi pembelian
rumah sebagaimana dimaksud Surat Pemesanan Rumah No. 01/ VII/2007
tertanggal 17 Juli 2007 dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli tertanggal 16 Mei
2008 tanpa denda dan/atau bunga apapun;
5 Menghukum Termohon Keberatan untuk membayar ganti rugi kepada Pemohon
Keberatan untuk kerugian materiel sebesar Rp 87.167.900,- (delapan puluh tujuh
juta seratus enam puluh tujuh ribu sembilan ratus rupiah) dan kerugian
immateriel Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dalam waktu 7 hari sejak
putusan perkara ini dibacakan;
Hal. 5 dari 17 hal Put. Nomor 937 K/Pdt.Sus/2010
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 5
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
ATAU setidak-tidaknya Pemohon Keberatan mohon putusan yang seadil-adilnya (Ex
aequo et bono);
Bahwa, terhadap keberatan tersebut di atas, Termohon Keberatan/ Penggugat
mengajukan eksepsi yang pada pokoknya sebagai berikut:
Bahwa UU No. 8/th 1999 adalah UU Lex Spesialis yang menjadi kewenangan
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) untuk memutus. Dan atas putusan
BPSK tersebut tidak ada banding, sehingga apabila sengketa antara Konsumen dengan
Pelaku Usaha yang telah diputus oleh BPSK, maka tidak benar apabila keberatan-
keberatan atas putusan BPSK diajukan pada Pengadilan Negeri sebagai Pemohon
Keberatan dan Termohon Keberatan, yang materi perkaranya dibawa ke Pengadilan
Negeri masih memakai “Baju” (menyandang) Pemohon Keberatan dan Termohon
Keberatan, yang sama dengan upaya banding, padahal Pengadilan Negeri bukan
peradilan banding;
Bahwa seharusnya calon user atau konsumen, yang merasa dirugikan quod non
oleh Pengembang, kalau perkaranya ini mau diajukan sebagai gugatan pada Pengadilan
Negeri harus menyebut sebagai Penggugat dan Tergugat;
Bahwa tidak ada RIB (HIR) yang mengatur tata cara berperkara perdata di
Pengadilan yang berwenang, menyebut dirinya sebagai Pemohon Keberatan melawan
Termohon Keberatan, sebab tata cara berperkara di Pengadilan yang berwenang, sudah
diatur dalam RIB (HIR) yang sama sekali tidak diatur dalam UU Lex Spesialis yang
khusus untuk Sengketa Konsumen dengan Pelaku Usaha saja, yang tempat pengaduan
tersebut diajukan di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sebagaimana yang diatur
dalam UU No. 8 Th 1999;
Bahwa karena salah dalam menyebut pihak Penggugat sebagai Pemohon
Keberatan, dan Tergugat sebagai Termohon Keberatan yang tidak diatur sama sekali
dalam RIB (HIR) sebagai hukum acara pada Pengadilan Negeri, maka selanjutnya
mohon gugatan Martinus Teddy Arus Bahterawan yang salah dalam format/tata cara,
mohon untuk ditolak atau setidak-tidaknya gugatan tidak bisa diterima;
Bahwa gugatan/permohonan keberatan atas suatu putusan BPSK (Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen) No. 5/BPSK/III/2010 ;
Bahwa Pengadilan Negeri adalah bukan lembaga lain (BPSK) yang memutus
berdasar UU Lex Spesialis;
Bahwa karena itu apabila hendak mengajukan gugatan perkara sengketa perdata
ke PN yang awalnya berdasar dari putusan lembaga peradilan ad hoc, khusus seperti
BPSK, pihak yang merasa dirugikan quod non atas putusan tersebut harus mengajukan
Hal. 6 dari 17 hal Put. Nomor ..... K/Pdt.Sus/.....
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
gugatan biasa sebagaimana yang diatur dalam hukum acara dalam RIB/HIR, yaitu
sebagai Penggugat dan Tergugat saja;
Bahwa sedang atas putusan BPSK tersebut dapat dipakai sebagai bukti alasan
yang mendukung dalil-dalil gugatannya tersebut. Dan sama sekali pihak yang
mengajukan gugatan tidak boleh menyebut sebagai Pemohon Keberatan melawan
Termohon Keberatan, karena Pengadilan Negeri bukan lembaga peradilan banding;
Karena itu permohonan dari Pemohon Keberatan seharusnya ditolak atau mohon dapat
dinyatakan niet ontvankelijk verklaard;
Bahwa yang benar adalah pihak Pemohon Keberatan, haruslah mengikuti tata cara
sesuai RIB/HIR, yaitu sebagai Penggugat melawan Tergugat (Pelaku Usaha PT. Solid
Gold) dan pihak BPSK harus ditarik sebagai salah satu Tergugat yang telah memutus
tidak sesuai dengan keinginan Pengadu;
Bahwa hal tersebut itu baru betul karena Pengadilan Negeri bukan Pengadilan
banding yang meneruskan memeriksa atas putusan peradilan yang lebih bawah yang
diminta bandingnya, sebab BPSK bukan peradilan yang berada di bawah yurisdiksi
Pengadilan Negeri, BPSK adalah Lembaga Penyelesaian Perselisihan antara pihak
Konsumen dengan pihak Pelaku Usaha yang undang-undangnya diatur khusus sebagai
peraturan perundangan lex spesialis;
Bahwa PT. Solid Gold merasa bingung atas model gugatan yang memaksa
Pengadilan Negeri untuk memeriksa perkara atas putusan dari lembaga yang tunduk
pada perundangan Lex Spesialis, sehingga seolah-olah Pengadilan Negeri “dipaksa”
untuk “memeriksa banding” dengan Undang-Undang No. 8 Th 1999 yang “miliknya”
BPSK, sehingga si Penggugat menyebut pihaknya sebagai Pemohon Keberatan “quod
non” yang seolah-olah telah meminta bandingnya, dengan menyalahkan putusan BPSK;
Hal itu salah besar;
Bahwa oleh sebab itu Termohon Keberatan (yang semestinya Tergugat) mohon
agar gugatan Martinus Teddy Bahterawan ditolak atau setidak-tidaknya gugatan
dinyatakan tidak bisa diterima;
a Bahwa pengajuan permohonan keberatan terdaftar dalam No. 274. Ternyata
Kantor Kepaniteraan Pengadilan Negeri Surabaya rupanya bingung juga dari
kolom No. …./Pdt.G.P/…. mana yang harus dicoret G atau P, ternyata yang
dicoret P, sehingga lengkapnya menjadi 274/Pdt.G/2010/PN.Sby, padahal
pengajuan tentang permohonan dari Pemohon, semestinya pengajuan
permohonan dari Pemohon harus tanpa pihak, tetapi dalam pengajuan Pemohon
Hal. 7 dari 17 hal Put. Nomor 937 K/Pdt.Sus/2010
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 7
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
oleh Pemohon ternyata ada pihak/lawan, jadi nomor perkara menjadi perkara
gugatan atau G bukan P atau permohonan;
Dan apabila pengajuan perkara gugatan, maka yang mengajukan perkara
tersebut sebagai Penggugat, sedangkan pihak yang digugat sebagai Tergugat;
b Konstelasi permohonan oleh Pemohon harus diajukan tanpa pihak. Sedang
gugatan perkara No. 274/Pdt.G/2010 yang diajukan sebagai Pemohon Keberatan
atau sebagai Pemohon terdapat pihak dalam permohonannya tersebut. Maka
yang terjadi “Kebingungan” dalam hukum acara;
I Satu sisi, Pemohon Keberatan sebagai Pemohon ada. Pihak;
II Sisi lain, permohonan Pemohon sebagai Pemohon Keberatan atas
putusan BPSK, diajukan acara “mentah-mentah” untuk “dimintakan
banding” pada Pengadilan Negeri Surabaya. Padahal Pengadilan
Negeri bukan peradilan banding. Dengan demikian bubarlah sudah
Hukum Acara Perdata (RIB/HIR) ini;
Bahwa karena gugatan salah yang dicampur dalam permohonan oleh Pemohon
atas suatu permohonan yang semestinya tanpa pihak, maka atas gugatan yang salah
dalam aturan/tatacara sebagaimana yang diatur dalam Hukum Acara, seharusnya ditolak
atau setidak-tidaknya gugatan tidak bisa diterima;
Bahwa dalam pengajuan berperkara pada Pengadilan, hanya ada 2 (dua) yaitu
perkara gugatan jadi ada pihak di dalamnya dan permohonan yang tidak ada pihak di
dalamnya;
Bahwa jadi apabila dalam suatu permohonan ternyata ada pihak lawan di
dalamnya, maka permohonan itu salah, yang untuk itu seyogyanya ditolak atau
pengajuan permohonan tidak bisa diterima;
Menimbang, bahwa terhadap gugatan tersebut Tergugat telah menyangkal dalil-
dalil gugatan tersebut dan sebaliknya mengajukan gugatan balik (rekonvensi) yang pada
pokoknya atas dalil-dalil sebagai berikut :
Bahwa apa yang tertuang dalam Eksepsi maupun dalam Konvensi merupakan
bagian utuh dan diulang dalam rekonvensi ini;
Penggugat Rekonvensi atau Pemohon Keberatan Rekonvensi hanya mohon agar
apabila Penggugat Konvensi atau Tergugat Rekonvensi atau Termohon Keberatan
Rekonvensi, hendak melaksanakan Akad Nikah baru mulai lagi kepada Pengembang
Palm Residence, harus memenuhi denda keterlambatan selama 2½ tahun (mulai Juli
2007 s/d April 2010) sebesar Rp106.092.000,- (seratus enam juta sembilan
Hal. 8 dari 17 hal Put. Nomor ..... K/Pdt.Sus/.....
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 8
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
puluh dua ribu rupiah) yang harus dibayar kontan (tunai) sekaligus, bertepatan Akad
Kredit BPR (Bank Graha Mandiri) merealisasinya;
bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas Penggugat dalam Rekonvensi
menuntut kepada Pengadilan Negeri Surabaya supaya memberikan putusan sebagai
berikut:
I Menolak seluruh gugatan Pemohon Keberatan untuk seluruhnya;
II Menghukum Termohon Keberatan Rekonvensi untuk membayar denda
keterlambatan sebesar Rp106.092.000,- (seratus enam juta sembilan puluh
dua ribu rupiah) yang harus sekaligus dengan pelaksanaan Akad Kredit BPR
direalisir bertepatan dengan pembayaran denda keterlambatan sebesar
Rp106.092.000,-;
III Menghukum Termohon Keberatan Rek. Untuk membatalkan Pemesanan
Rumah Blok B-3, Karah, Jambangan, Surabaya dengan menerima
pengembalian 50% Uang muka (50% x Rp54.000.000,-) = Rp27.000.000,-
(dua puluh tujuh juta rupiah);
Bahwa, terhadap keberatan tersebut, Pengadilan Negeri Surabaya telah memberi
putusan Nomor 274/Pdt.G/2010/PN.Sby tanggal 25 Mei 2009 yang amarnya sebagai
berikut:
• Menyatakan putusan BPSK Kota Surabaya No. 35/BPSK/III/2010 tertanggal 31
Maret 2010 tidak berkekuatan hukum;
MENGADILI SENDIRI:
DALAM EKSEPSI:
• Menolak Eksepsi dari Termohon Keberatan atau Tergugat ;
DALAM KONVENSI:
• Menolak gugatan Pemohon Keberatan atau Penggugat/Tergugat Rekonvensi;
DALAM REKONVENSI:
• Mengabulkan gugatan dari Tergugat/Penggugat Rekonvensi sebagian;
DALAM KONVENSI DAN REKONVENSI:
• Menghukum Penggugat/Tergugat Rekonvensi untuk membayar biaya-biaya
yang timbul dalam perkara ini;
MENGADILI:
- Menyatakan putusan BPSK Kota Surabaya No. 35/BPSK/III/2010 pada tanggal 31
Maret 2010 tidak berkekuatan hukum;
Menimbang, bahwa putusan Pengadilan Negeri Surabaya tersebut telah diucapkan
dengan hadirnya Pemohon Keberatan/Penggugat pada tanggal 25 Mei 2009 terhadap
Hal. 9 dari 17 hal Put. Nomor 937 K/Pdt.Sus/2010
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 9
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
putusan tersebut, Pemohon Keberatan/Penggugat dengan perantaraan kuasanya
berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 6 April 2010 mengajukan permohonan kasasi
pada tanggal 8 Juni 2010, sebagaimana ternyata dari Akta Permohonan Kasasi Nomor
274/Pdt.G/2010/PN.Sby yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Negeri Surabaya,
permohonan mana diikuti dengan memori kasasi yang diterima di Kepaniteraan
Pengadilan Negeri tersebut pada tanggal 22 Juni 2010;
Bahwa, setelah itu, oleh Termohon Keberatan/Tergugat yang pada tanggal 15 Juli
2010 telah disampaikan salinan memori kasasi dari Pemohon Kasasi (Pemohon
Keberatan/Penggugat), diajukan jawaban memori kasasi yang diterima di Kepaniteraan
Pengadilan Negeri Surabaya pada tanggal 23 Juli 2010;
Menimbang, bahwa permohonan kasasi a quo beserta alasan-alasannya telah
diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan dalam tenggang waktu
dan dengan cara yang ditentukan dalam undang-undang, maka oleh karena itu
permohonan kasasi tersebut formal dapat diterima;
Menimbang, bahwa alasan-alasan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi/
(Pemohon Keberatan/Penggugat) pada pokoknya sebagai berikut:
DALAM KONVENSI.
1 Bahwa Judex Facti telah salah menerapkan atau keliru dalam
menerapkan hukum dan memberikan pertimbangan hukum, terutama
dalam mempertimbangkan ada tidaknya klausul baku sebagai berikut:
2 Bahwa Pemohon Kasasi mengajukan keberatan kepada Pengadilan
Negeri Surabaya dengan Nomor Register perkara No. 274/Pdt.G/2010/
PN.Sby atas putusan badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Surabaya
tersebut pada tanggal 7 April 2010 (Mohon Periksa Keberatan Pemohon
Kasasi) akan tetapi Judex Facti baru memberikan putusan atas keberatan
dimaksud pada tanggal 25 Mei 2010 (vide Putusan Pengadilan Negeri
Surabaya No. 274/ Pdt.G/2010/PN.Sby halaman 34);
3 Bahwa berarti Judex Facti memberikan putusan dimaksud dalam waktu
46 (empat puluh enam) hari sejak diterimanya keberatan, padahal
undang-undang No. Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal
58 ayat (1) menyatakan: “Pengadilan Negeri wajib mengeluarkan
putusan atas keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2)
dalam waktu paling lambat 21 (dua puluh satu) hari sejak diterimanya
keberatan”;
Hal. 10 dari 17 hal Put. Nomor ..... K/Pdt.Sus/.....
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 10
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
4 Bahwa dengan demikian Judex Facti telah salah menerapkan hukum atau
tidak menerapkan hukum sebagaimana mestinya;
5 Bahwa sidang pertama perkara a quo adalah tanggal 20 April 2010
(mohon periksa relaas dalam perkara a quo) akan tetapi Judex Facti baru
memberikan putusan atas keberatan dimaksud pada tanggal 25 Mei 2010
(vide Putusan Pengadilan Negeri Surabaya No. 274/Pdt.G/2010/PN.Sby
halaman 34);
6 Bahwa berarti Judex Facti memberikan putusan dimaksud dalam waktu
35 (tiga puluh lima) hari sejak sidang pertama. Hal ini bertentangan
dengan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
2006 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen Pasal 6 ayat 7 menyatakan: “Majelis
hakim harus memberikan putusan dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari
sejak sidang pertama dilakukan;
7 Bahwa dengan demikian Judex Facti telah salah menerapkan dalam
menerapkan hukum atau tidak menerapkan hukum sebagaimana
mestinya.
8 Bahwa alasan lebih lanjut Pemohon Kasasi adalah sebagai berikut:
dalam perkara a quo Pemohon Kasasi mempersoalkan adanya klausul
baku yang tercantum dalam Surat Pemesanan Rumah – (vide bukti P-3)
Pasal III – yang menyatakan: “….maka seluruh uang yang telah
dibayarkan menjadi hak milik PT. SOLID Gold dan tidak dapat dituntut
kembali.” Dan berdasarkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli – (vide bukti
P-4) Pasal 2 – yang menyatakan: “….seluruh uang yang telah dibayarkan
oleh pihak kedua kepada pihak kesatu menjadi hangus dan tidak dapat
dituntut kembali…”;
9 Bahwa pihak kesatu dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli tersebut
adalah Termohon Keberatan/Termohon Kasasi dan Pihak Kedua adalah
Pemohon Keberatan/Pemohon Keberatan sedangkan seluruh uang yang
telah dibayar Pemohon Keberatan/Pemohon Kasasi kepada Termohon
Keberatan/ Termohon Kasasi berdasarkan bukti P-5 s/d P-11 adalah
Rp54.000.000,- + Rp24.625.000,- + biaya Notaris Rp3.000.000,- +
BPHTB Rp5.542.900,- = Rp87.167.900,- (delapan puluh tujuh juta
seratus enam puluh tujuh ribu sembilan ratus rupiah) yang merupakan
kerugian materiel yang diderita Pemohon Kasasi. Kerugian immateriel
Hal. 11 dari 17 hal Put. Nomor 937 K/Pdt.Sus/2010
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 11
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
juga diderita Pemohon Kasasi sebesar Rp500.000.000,- (lima ratus juta
rupiah);
10 Bahwa Pasal V Surat Pemesanan Rumah tersebut dan Pasal 2 perjanjian
dimaksud juga mencantumkan adanya denda masing-masing sebesar 2
dan 3%;
11 Bahwa ini berarti bahwa Termohon Kasasi dalam Surat Pemesanan
Rumah dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (vide bukti P-3 dan P-4)
telah menyatakan menolak menyerahkan kembali uang yang telah
dibayar Pemohon Kasasi, serta penerapan sanksi denda bagi Pemohon
Kasasi atau dengan kata lain Termohon Kasasi telah mencantumkan
klausula baku dengan Surat Pemesanan Rumah dan Perjanjian
Pengikatan Jual Beli tersebut;
12 Bahwa pencantuman klausula baku merupakan suatu larangan bagi
Termohon Kasasi yang harus ditaati oleh Termohon Kasasi karena sudah
ditentukan oleh hukum yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen Pasal 18 ayat (1) yang menyatakan:
“Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan
untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula
baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali barang yang dibeli konsumen;
b Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang
dibeli oleh konsumen;
c Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara
langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang
berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
d Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau
mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa.
e Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang bertugas aturan baru,
tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh
pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya”;
1 Bahwa dengan demikian adalah jelas bahwa Termohon Kasasi telah
memenuhi ketentuan Pasal 18 ayat 1 UU dimaksud sehingga melakukan
Hal. 12 dari 17 hal Put. Nomor ..... K/Pdt.Sus/.....
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 12
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
pelanggaran terhadap perlindungan konsumen yang ditentukan dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999;
2 Bahwa pencantuman klausul baku yang dilarang tersebut berakibat
bahwa klausul baku menjadi batal demi hukum berdasarkan UU No.
8/1999 Pasal 18 ayat 3 yang menyatakan: “Setiap klausula baku yang
telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dinyatakan batal demi hukum”;
3 Bahwa selain dari pada itu Judex Facti telah salah atau keliru dalam
menerapkan hukum karena Judex Facti di satu sisi telah mengakui dan
menerapkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen ketika memberikan pertimbangan hukum
menyangkut hal yang bersifat formil mengenai hukum acara dalam
perkara a quo (vide putusan Judex Facti halaman 26 dan 28), dengan
merujuk pada UU tersebut Pasal 56 angka 2, Pasal 54 dan 50 (vide
putusan Judex Facti halaman 27), Akan tetapi di sisi lain Judex Facti
tidak menerapkan UU yang sama ketika memberikan pertimbangan
tentang substansi atau materi perkara (vide putusan Judex Facti halaman
28, 29 dan 30);
4 Bahwa begitu pula Judex Facti salah atau keliru dalam menerapkan
hukum atau tidak menerapkan hukum sebagaimana mestinya karena
Judex Facti dalam memberikan pertimbangan hukum tentang perjanjian
sebagaimana dimaksud dalam bukti P-4 tidak memperhatikan atau
menerapkan syarat sahnya suatu perjanjian yaitu unsur “adanya sebab
atau klausul yang halal” dalam hal ini tidak bertentangan dengan hukum
atau peraturan perundangan yang ada yaitu UU No. 8 tahun 1999 yang
melarang adanya klausul baku dalam semua dokumen dan/atau
perjanjian. Sedangkan dalam Perjanjian dan Surat pemesanan Rumah
sebagaimana dimaksud bukti P-3 dan P-4 terdapat klausul baku yang
dilarang dan memenuhi ketentuan dilarangnya klausul baku oleh UU
tersebut, Apalagi Judex Facti sendiri menyatakan: “….kebebasan
berkontrak adalah kebebasan seluas-luasnya yang oleh undang-undang
diberikan kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian tentang apa
saja asal tidak bertentangan dengan perundang-undangan, kepatutan dan
ketertiban umum” (vide putusan Judex Facti halaman 29);
Hal. 13 dari 17 hal Put. Nomor 937 K/Pdt.Sus/2010
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 13
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
5 Bahwa oleh karena itu adalah beralasan jika Pemohon Kasasi mohon
agar Termohon Kasasi dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan
atau melanggar hukum yaitu terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen dan adalah beralasan jika
Pemohon Kasasi mohon agar Surat Pemesanan Rumah No. 01/VII/2007
tertanggal 17 Juli 2007 dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli tertanggal 16
Mei 2008 dinyatakan batal demi hukum sepanjang mengenai klausul
baku, dan proses transaksi pembelian rumah dimaksud antara Pemohon
Kasasi dan Termohon Kasasi tetap dilanjutkan tanpa ada sanksi denda
dan/atau bunga apa pun;
6 Bahwa oleh karena Termohon Kasasi telah melakukan pelanggaran
terhadap undang-undang atau hukum yaitu Undang-Undang Nomor 8
tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka berarti Termohon
Kasasi melakukan perbuatan melanggar atau melawan hukum atas diri
Pemohon Kasasi. Oleh karena itu adalah beralasan pula jika Pemohon
Kasasi mohon agar Termohon Kasasi dihukum untuk membayar ganti
rugi kepada Pemohon Kasasi untuk kerugian materiel sebesar Rp
87.167.900,- (delapan puluh tujuh juta seratus enam puluh tujuh ribu
sembilan ratus rupiah) dan kerugian immateriel Rp500.000.00,- (lima
ratus juta rupiah);
DALAM REKONVENSI.
7 Bahwa Pemohon Kasasi menolak keras dalil Termohon Kasasi kecuali
apa yang secara tegas diakui Pemohon Kasasi;
8 Bahwa alasan Termohon Kasasi mengajukan gugatan rekonvensi adalah
mengada-ada dan tanpa dasar hukum yang kuat dan bahkan tanpa
disertai bukti sama sekali (mohon periksa putusan Judex Facti halaman
10 sampai dengan 22);
9 Bahwa dengan demikian adalah beralasan jika Pemohon Kasasi mohon
agar gugatan rekonvensi Termohon Kasasi ditolak atau dikesampingkan
atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima;
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan kasasi tersebut, Mahkamah Agung
berpendapat:
mengenai alasan ke 1 s/d 21:
Bahwa, alasan-alasan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti
secara saksama memori kasasi tanggal 22 Juni 2010 dan kontra memori kasasi tanggal
Hal. 14 dari 17 hal Put. Nomor ..... K/Pdt.Sus/.....
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 14
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
23 Juli 2010 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan
Negeri Surabaya telah salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
• Bahwa Pengadilan Negeri/Judex Facti salah menerapkan hukum karena
telah mengenyampingkan ketentuan Pasal 18 ayat (1) c UU No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen yang melarang dibuat atau
dicantumkan klausula baku, terutama tentang larangan pelaku usaha
berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang
dan jasa, padahal klausula yang demikian sudah dicantumkan dalam
Perjanjian Pengikatan Jual Beli dan Pemesanan Rumah, sehingga
perjanjian tersebut seharusnya dinyatakan batal demi hukum dan
Termohon Keberatan terbukti melakukan perbuatan melawan hukum;
• Bahwa Pemohon Keberatan masih tetap berkehendak melanjutkan
transaksi pembelian rumah/perjanjian jual beli sehingga petitum ini dapat
dikabulkan;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah Agung
berpendapat, terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari
Pemohon Kasasi: MARTINUS TEDDY ARUS BAHTERAWAN tersebut dan
membatalkan putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 274/Pdt.G/2010/PN.Sby
tanggal 25 Mei 2009 yang membatalkan putusan Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen Nomor 35/BPSK/III/2010 tanggal 31 Maret 2010 serta Mahkamah Agung
akan mengadili sendiri perkara a quo dengan amar sebagaimana yang akan disebutkan
di bawah ini;
Menimbang, bahwa karena permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Penggugat
dikabulkan, maka Termohon Kasasi/Tergugat harus dihukum untuk membayar biaya
perkara pada semua tingkat peradilan;
Memperhatikan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua
dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 serta peraturan perundang-undangan lain
yang bersangkutan;
M E N G A D I L I
Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: MARTINUS TEDDY
ARUS BAHTERAWAN tersebut;
Hal. 15 dari 17 hal Put. Nomor 937 K/Pdt.Sus/2010
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 15
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 274/Pdt.G/ 2010/
PN.Sby tanggal 25 Mei 2009;
MENGADILI SENDIRI
1 Mengabulkan keberatan Pemohon Keberatan untuk sebagian;
2 Menyatakan Termohon Keberatan telah melakukan perbuatan melawan
hukum yaitu telah melakukan pencantuman klausula baku;
3 Menyatakan Surat Pemesanan dan Pengikatan Jual Beli batal demi
hukum;
4 Menyatakan Surat Pemesanan Rumah No. 01/VII/2007 tertanggal 17 Juli
2007 dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli tertanggal 16 Mei 2008 sepanjang
mengenai pencantuman klausula baku mengenai tidak dapatnya Pemohon
Keberatan untuk menuntut atau meminta kembali uang yang telah dibayar
Pemohon Keberatan kepada Termohon Keberatan dan penerapan denda adalah
batal demi hukum;
5 Menghukum Termohon Keberatan untuk terus memproses transaksi
pembelian rumah sebagaimana dimaksud Surat Pemesanan Rumah No. 01/
VII/2007 tertanggal 17 Juli 2007 dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli tertanggal
16 Mei 2008 tanpa denda dan/atau bunga apapun;
6 Menolak keberatan Pemohon Keberatan untuk selain dan selebihnya;
Menghukum Termohon Kasasi/Tergugat untuk membayar biaya perkara pada
semua tingkat peradilan, yang dalam tingkat kasasi ditetapkan sebesar Rp500.000,00
(lima ratus ribu rupiah);
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada
hari Kamis tanggal 30 Mei 2013 oleh Dr.H. Abdurrahman, SH.,MH. Hakim Agung
yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, H. Mahdi
Soroinda Nasution, SH.,M.Hum. dan Prof. Dr. Takdir Rahmadi, SH.,LL.M.
Hakim Agung masing-masing sebagai Hakim Anggota, putusan tersebut diucapkan
dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua dengan dihadiri oleh
Anggota-Anggota tersebut dan dibantu oleh Ferry Agustina Budi Utami, SH.,MH.
Panitera Pengganti, dengan tidak dihadiri oleh para pihak;
Anggota-anggota K e t u a
Ttd./H. Mahdi Soroinda Nasution, SH.,M.Hum. Ttd./
Ttd./Prof. Dr. Takdir Rahmadi, SH.,LL.M. Dr.H. Abdurrahman, SH.,MH.
Hal. 16 dari 17 hal Put. Nomor ..... K/Pdt.Sus/.....
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 16
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Panitera Pengganti
Ttd./
Ferry Agustina Budi Utami, SH.,MH.
Biaya-biaya: 1. Meterai : Rp 6.000,002. Redaksi : Rp 5.000,00 3. Administrasi Kasasi : Rp489.000,00 +
Jumlah : Rp500.000,00
Untuk Salinan
MAHKAMAH AGUNG R.I.
An. Panitera
Panitera Muda Perdata Khusus
( RAHMI MULYATI, SH.MH. )
NIP : 19591207 1985 12 2 002
Hal. 17 dari 17 hal Put. Nomor 937 K/Pdt.Sus/2010
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 17