PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP JASA PENERBANGAN...
Transcript of PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP JASA PENERBANGAN...
PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP JASA PENERBANGAN
ATAS KETERLAMBATAN DAN PERUBAHAN JADWAL MASKAPAI
PENERBANGAN
(Studi Putusan No. 309/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Pst)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
TARY RAHMA PRATAMA
NIM: 1113048000005
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1440 H/2019 M
PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP JASA PENERBANGAN
ATAS KETERLAMBATAN DAN PERUBAHAN JADWAL MASKAPAI
PENERBANGAN
(Studi Putusan No. 3 09lPd t,G t2007 tPN.Jkt.Pst)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
Tary Rahma Pratama
NIM: 1113048000005
Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H.
NrP.19670203 201411 1 001
Pembimbing II
Dra;
NIP. 19590819 199403 2 001
Pembimbing I
4q t
PRO GRAM S TUD IILMUHUKUMFAKULTAS SYAzuAH DAN HUKUM
I.'NIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA1440H/20t9}'{
I
I
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul "PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP JASA
PENERBANGAN ATAS KETERLAMBATAN DAN PERUBAHAN JADWAL
MASKAPAI PENERBANGAN (Studi Putusan No. 3 09/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Pst)"
telah diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program
Studi Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 7
Mei 2019. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Ilmu Hukum.
Jakarta, Mei 2019
Mengesahkan
Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.II., M.A.
NrP. 19760807 200312 1001
tr. Ketua
2. Sekretaris
3. Pembirnbing I
4. Pembimbing II
5. Penguji I
6. Penguji II
Dr. Ahmad Thq{abi Kharlie. S.H.. M.H.. M.A.
NIP. 19760807 200312 1001
Indra Rahmatullah. S.H.I.. M.H.
NrDN.2021088601
Dr. M. Ali Hanafiah Selian. S.H.. M.H.
NIP. 19670203 201,4n 1001
DraJpah Farihah" M.H.
NrP. 19s90819 199403 200r
Indra Rahmatullah. S.H.L. M.H.
NIDN.2021088601
Mustolih. S.H.I.. M.H.
NIP.
Dekan
ll
I
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
skripsi yang berjudul "PERLINDI-TNGAN KONSUMEN TERHADAP JASA
PENERBANGAN ATAS KETERLAMBATAN DAN PERUBAHAN JADWAL
MASKAPAI PENERBANGAN (Studi Putusan No. 3 09,? dt.c/2007/PN.Jkr.Pst)"
telah diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program
Studi Itmu Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 7
Mei 2Ci9. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar,Sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Ilmu Hukum.
Jakarta, Mei2019
Mengesahkan
i. Ketua
2. Sekretaris
3. Pembimbing I
Pembimbing II
Penguji I
Penguji II
4.
Dr. Ahmad Tholabi Kharlie. S.H.. M.H.. M.A.-.-.---.---u-NrP. 197608A7 200312 1001
Indra Rahmatulldh. S.H.I.. M.H.
NrDN.2021088601
Dr. M. Ali Hanafiah Selian. S.H.. M.H.
NIP. 19670203 201411 1001
Dra. Ipah Farihah. M.H.
NIP. 19590819 199403 2o0l
Indra Rahmatullah. S.H.I.. M.H.
NIDN.2021088601
Mustolih. S.H.I.. M.H.
NIP.
5.
6.
II
labi Kharlie, S.H., M.H., M.A.
200312 1001
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
l. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya, yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu (Sl) di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
' cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syyarif
Hidayatullah Jakarta.
t
Tary Rahma Pratama
lll
iv
ABSTRAK
Tary Rahma Pratama, NIM 1113048000005, “PERLINDUNGAN KONSUMEN
TERHADAP JASA PENERBANGAN ATAS KETERLAMBATAN DAN
PERUBAHAN JADWAL MASKAPAI PENERBANGAN (Studi Putusan No.
309/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Pst)”, Konsentrasi Hukum Bisnis,Program StudiIlmu
Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1439 H/2019 M, 69 halaman + lampiran.
Studi ini bertujuan untuk menjelaskan bentuk implementasi sanksi ketika
maskapai penerbangan melakukan kesalahan yang mengakibatkan kerugian
kepada penumpang selaku penerima jasa dan pertimbangan hakim dalam putusan
Nomor 309/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Pst. Dalam ketentuan umum pasal 7 huruf b
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
menjelaskan bahwa kewajiban pelaku usaha adalah memberikan informasi yang
benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta
member penjelsan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian LibraryResearch dan
FieldResearch yang mengkaji berbagai data dokumen terkait penelitian dan
menggabungkan dengan data wawancara yang dilakukan secara langsung dengan
subjek penelitian. Metode yang diggunakan adalah metode penelitian hukum
normatif-empiris dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan
pendekatan kasus. Sumber data dalam penelitian ini berasal dari bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder dan bahan non-hukum. Metode pengumpulan data
dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan dan wawancara.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa bentuk implementasi dan
bentuk ganti rugi yang diterapkan oleh maskapai Lion Air tidak selaras dengan
ketentuan dalam perundang-undangan. Pertimbangan hakim yang dilihat dalam
putusan perkara No. 309/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Pst sudah sesuai dengan Pasal 1365
KUHPerdata dan Pasal 43 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 15 Tahun
1992 tentang Penerbangan. Bahwa hakim dalam putusan perkara No.
309/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Pst menyatakan bahwa tergugat atau pihak maskapai
melawan hukum dan harus mengganti kerugian.
Kata Kunci: Perlindungan Konsumen, Penumpang, Maskapai, Keterlambatan
Penerbangan
Pembimbing : 1. Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H.
2. Dra. Ipah Farihah, M.H.
Daftar Pustaka : 1961- 2016
v
KATA PENGANTAR
Segala Puji dan syukur kehadirat Allah Subhana Wa Ta‟alla atas segala
rahmat dan karunia-Nya, tiada kata yang terucap dengan tulus dan ikhlas yakni
Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin tiada henti karena dapat terselesaikannya skripsi
ini. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah limpahkan atas insan pilihan
Tuhan khatamul anbiya‟i walmursalin Muhammad SAW. Dengan setulus hati
penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari kata sempurna.
Banyak hal yang tidak dapat dihadirkan di dalam skripsi ini oleh penulis karena
keterbatasan pengetahuan dan waktu.
Dalam penulisan skripsi ini peneliti menyadari tanpa adanya dorongan dan
bimbingan dari semua pihak yang mendukung penelitian ini tidak akan
terselesaikan. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada, yang terhormat:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah
Dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat SH., M.H. Ketua Program Studi Ilmu
Hukum dan Drs. Abu Tamrin S.H, M.Hum. Sekertaris Program Studi
Ilmu Hukum Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. M Ali Hanafiah Selian SH., M.H. Pembimbing Skripsi I yang telah
bersedia menjadi pembimbing dalam penulisan skripsi ini dengan
penuh kesabaran, perhatian, dan ketelitian memberikan masukan serta
meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan kepada peneliti
sehingga skripsi ini selesai.
4. Dra. Ipah Farihah, M.H. Pembimbing Skripsi II yang telah bersedia
menjadi pembimbing dalam penulisan skripsi ini dengan penuh
kesabaran, perhatian, dan ketelitian memberikan masukan serta
meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan kepada peneliti
sehingga skripsi ini selesai.
vi
5. Bapak Rio Permana selaku Inspektur Angkutan Udara yang senang
hati mempersilahkan penulis melakukan wawancara.
6. Pihak-pihak lain yang telah memberi kontribusi kepada peneliti dalam
menyelesaikan karya tulisnya.
Akhirnya, atas bantuan serta jasa dari semua pihak berupa materiil dan
moril hingga detik ini penulis panjatkan doa, semoga Allah memberikan balasan
yang berlipat. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi peneliti
khususnya dan para pembaca .
Jakarta, Mei 2019
Tary Rahma Pratama
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. i
LEMBAR PENEGSAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ................................ ii
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................. iii
ABSTRAK ....................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ..................................................................................... v
DAFTAR ISI .................................................................................................... vii
BAB 1 PENDAHULUAN ......................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah ................... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................. 7
E. Metode Penelitian................................................................... 8
F. Sistematika Penulisan ............................................................ 11
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN
UDARA DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN ....................... 12
A. Kerangka Konseptual ............................................................. 12
B. Kerangka Teori ....................................................................... 14
C. Pengangkutan Udara .............................................................. 16
1. Pengertian Pengangkutan Udara ..................................... 16
2. Asas-Asas Hukum tentang Pengangkutan Udara ........... 18
D. Angkutan Udara ..................................................................... 19
E. Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab Pengangkut Udara ............. 21
1. Prinsip Presumption of Liability ..................................... 21
2. Prinsip Limitiationof Liability ......................................... 22
3. Prinsip Presumption of Non Liability ............................. 23
4. Prinsip Absolute Liability atau Strict Liability ............... 23
F. Perlindungan Konsumen ........................................................ 23
1. Pengertian Perlindungan Konsumen ............................... 23
2. Prinsip-Prinsip Perlindungan Konsumen ........................ 25
viii
G. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ....................................... 26
BAB III PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENUMPANG DAN
PERUSAHAAN MASKAPAI PENERBANGAN ....................... 28
A. Penerbangan ........................................................................... 28
1. Pengertian Penerbangan .................................................. 28
2. Asas-Asas dan Tujuan Penerbangan ............................... 28
3. Ketentuan Peraturan tentang Penerbangan di
Indonesia ......................................................................... 33
B. Hak dan Kewajiban Para Pihak .............................................. 35
1. Hak dan Kewajiban Penumpang Maskapai
Penerbangan .................................................................... 35
2. Hak dan Kewajiban Perusahaan Maskapai
Penerbangan .................................................................... 36
C. Tata Cara Pendirian Maskapai Penerbangan.......................... 37
D. Macam-Macam Pelanggaran dan Sanksi Maskapai
Penerbangan ........................................................................... 40
E. Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan Menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 ................................. 41
BAB IV ANALISIS PENERAPAN HUKUMAN DALAM
PENERBANGAN PUTUSAN No.
309/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Pst ............................................................ 43
A. Kronologi Kasus dan Pertimbangan Hakim ........................... 43
B. Analisis Putusan Perkara No. 309/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Pst ..... 47
C. Implementasi Sanksi Yang Diberikan Kepada Pihak
Maskapai Penerbangan........................................................... 54
BAB V PENUTUP ..................................................................................... 59
A. Kesimpulan ............................................................................ 59
B. Rekomendasi .......................................................................... 60
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 62
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara Republik Indonesia adalah Negara kepulauan yang terdiri
dari beribu-ribu pulau yang terhampar luas dengan 1.904.569 km² luas
daratan dan 3.288.683 km² lautan1, yang terdiri atas beberapa gugusan
pulau-pulau yang terbentang dari Sabang sampai Merauke yang memiliki
wilayah dan penyebaran penduduknya yang sangat luas, peranan dan
fungsi pengangkutan di Indonesia mempunyai pengaruh yang sangat
penting baik ditinjau dari segi persatuan dan kesatuan nasional
kehidupan sosial budaya, ekonomi, roda administrasi pemerintahan
maupun pertahanan dan keamanan. Perkembangan peradaban manusia
khususnya dalam bidang teknologi telah membawa peradaban manusia ke
dalam suatu sistem tranportasi yang lebih maju dibandingkan dengan era
sebelumnya.2
Bidang transportasi ini sendiri ada hubungannya dengan
produktivitas, hal ini dikarenakan dampak dari kemajuan tranportasi
tersebut berpengaruh terhadap peningkatan mobilitas manusia. Tingginya
tingkat mobilitas itu menandakan produktivitas yang positif.3
Perkembangan tersebut di samping membawa dampak positif yang
memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi pengguna jasa
perhubungan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain.
perkembangan perekonomian yang pesat telah menghasilkan beragam
jenis dan variasi barang dan/atau jasa. Dengan dukungan teknologi dan
informasi, perluasan ruang, gerak dan arus transaksi barang dan/atau jasa
telah melintasi batas-batas wilayah Negara, konsumen pada akhirnya
1 Iwan Gayo, Buku Pintar Seni Senior, (Jakarta: Upaya Warga Negara, Ctk. XX, 1995), h.9.
2 Sution Usman Adji, dkk, Hukum Pengangkutan di Indonesia, (Jakarta: PT Rineka Cipta,
1990), h.1.
3 M.N. Nasution, Manajemen Tranportasi, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2007), h.2.
2
dihadapkan pada berbagai pilihan jenis barang dan/atau jasa yang
ditawarkan secara variatif.
Kondisi seperti ini pada satu sisi menguntungkan konsumen,
karena kebutuhan terhadap barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat
terpenuhi dengan beragam pilihan. Namun pada sisi lain, fenomena
tersebut menempatkan kedudukan konsumen terhadap produsen menjadi
tidak seimbang, di mana konsumen berada pada posisi lemah, karena
konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang
besarnya melalui kiat promosi dan cara penjualan yang merugikan
konsumen.4Salah satu kemajuan perkembangan yang dimaksud adalah
keberadaan dari sistem angkutan udara, dimana tidak dapat dipungkiri
bahwa angkutan udara sangatlah mendukung mobilitas masyarakat
Indonesia.
Pada dasarnya pengangkutan adalah perpindahan tempat baik
mengenai benda maupun orang, karena perpindahan itu mutlak
diperlukan untuk mencapai dan meninggikan efisiensi dan ekonomis bagi
pengangkutan antar pulau dan antar daerah terutama antar daerah
terpencil dan pulau-pulau besar.5 Guna memenuhi kebutuhan transportasi
udara di Indonesia terdapat berbagai macam maskapai-maskapai
penerbangan baik maskapai yang dikelola oleh pihak swasta maupun
pihak pemerintah yang biasa disebut Badan Usaha Milik Negara. Adapun
perusahaan maskapai penerbangan yang melayani jasa penerbangan
diantaranya Garuda Indonesia, Citilink, Lion Air, Wings Air, Air Asia,
Batik Air dan lain-lain.
Penerbangan merupakan bagian dari sistem pengangkutan yang
mempunyai karakteristik mampu bergerak dalam waktu cepat,
menggunakan teknologi tinggi, padat modal, manajemen yang handal,
4 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta:
Gramedia, 2003), h. 12.
5 Wradipraja Saifullah, Tanggung Jawab Pengangkutan Dalam Hukum Pengangkutan
Udara Internasional dan Nasional, (Jogjakarta: Liberty, 1989), h.1.
3
serta memerlukan jaminan keselamatan dan keamanan yang optimal.
Salah satu tujuan diselenggarakannya penerbangan adalah mewujudkan
penyelenggaraan penerbangan yang aman (safety), tertib dan teratur
(regularity), nyaman (comfortable), dan ekonomis
(economyforcompany).6
Salah satu aspek yang menjadi perhatian adalah belum
terpenuhinya atau kurangnya peraturan dalam rangka perlindungan
hukum bagi pengguna pihak lain yang mengalami kerugian sebagai
akibat dari kegiatan pengangkutan udara atas kerugian-kerugian yang
terjadi. Bagaimanapun suatu kegiatan pasti tidak luput dari risiko.
Demikian juga halnya dengan pengangkutan udara kemungkinan akan
terjadinya keterlambatan dan perubahan jadwal penerbangan itu selalu
ada baik dalam penerbangan domestik maupun penerbangan internasional.
Persoalan lainnya adalah mengenai batasan teknis dalam Pasal 43
ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang
Penerbangan yang dapat menyebabkan pelaku atau maskapai
penerbangan menang dan tidak diwajibkan bertanggung jawab atas
keterlambatan yang terjadi. Kewajiban pengangkut dalam Pasal 43 ayat
(1) huruf c yang berbunyi “keterlambatan angkutan penumpng dan/atau
barang yang diangkut apabila terbukti hal tersebut merupakan kesalahan
pengangkut”. Seperti kasus David Tobing dengan Lion Air dalam
putusan perkara nomor 309/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Pst yang mana pihak Lion
Air atau maskapai penerbangan melakukan keterlambatan kurang lebih
90 menit dan pihak maskapai juga tidak memberikan informasi lanjut
mengenai kejelasan jadwal penerbangan tersebut, serta tidak juga
memberikan kompensasi dan pengalihan jadwal penerbangan bagi
penumpang yang mengalami keterlambatan. Tentu saja hal ini tidak
sesuai sebagaimana Pasal 19 ayat 1 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen yang berbunyi “Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan
6 M.N. Nasution, Manajemen Transportasi, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2007), h. 202-204.
4
ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, atau kerugian yang diderita
konsumen akibat mempergunakan barang/jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan”. Perlindungan konsumen adalah istilah yang dipakai
untuk menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada
konsumen dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal
yang merugikan konsumen itu sendiri.7 Hal ini juga tidak sesuai dengan
beberapa aturan-aturan yang ada seperti Pasal 1365 KUHPerdata yang
mewajibkan segala perbuatan yang melanggar hukum untuk membayar
kerugian dan Pasal 7 huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen yang mewajibkan pelaku usaha untuk
memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa serta member penjelasan penggunaan,
perbaikan dan pemeliharaan, serta dalam Pasal 7 huruf f Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 yang berbunyi “memberikan kompensasi, ganti
rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaiandan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan” ,
sedangkan pada kenyataannya David pada saat itu tidak mendapatkan
bentuk kompensasi apapun baik pemberian konsumsi, informasi yang
jelas maupun penggantian jadwal penerbangan.
Dari gambaran di atas maka terlihat jelas bahwa masih banyak yang
harus digali dari penyelenggaraan pengangkutan udara ini, bagaimana
sebenarnya tanggung jawab itu diatur oleh perusahaan pengangkutan udara.
Dari masalah tersebut pihak maskapai penerbangan melanggar hak-hak yang
seharusnya didapat oleh konsumen sesuai yang telah dijelaskan pada Pasal 4
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,
bahwa hak konsumen adalah:
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa
7 Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Kencana, 2013), h.21.
5
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
deskriminatif
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, peneliti ingin
mengetahui dan mengamati lebih mendalam bagaimana bentuk ganti kerugian
yang diberikan oleh pihak maskapai terhadap keterlambatan dan perubahan
jadwal penerbangan serta penerapan ganti kerugian tersebut berdasarkan
Undang-Undang yang mengaturnya. Peneliti tertarik untuk mengadakan
penelitian dan hasilnya akan dituangkan dalam bentuk skripsi atau sebuah
karya ilmiah dengan mengambil judul “Perlindungan Konsumen Terhadap Jasa
Penerbanngan Atas Keterlambatan Dan Perubahan Jadwal Maskapai
Penerbangan (Studi Putusan No. 309/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Pst)”
B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan Latar Belakang Masalah maka dapat diidentifikasi
beberapa permasalahan terkait keterlambatan penerbangan, yaitu:
a. Apa yang dimaksud dengan angkutan udara?
6
b. Apa faktor-faktor yang menyebabkan keterlambatan pesawat?
c. Apa bentuk tanggung jawab maskapai penerbangan apabila terjadi
keterlambatan jadwal penerbangan?
d. Bagaimana bentuk ganti rugi yang diberikan oleh pihak maskapai
penerbangan kepada penumpang?
e. Apa upaya hukum yang dapat ditempuh oleh pengguna jasa
penerbangan yang telah dirugikan akibat terjadinya keterlambatan
jadwal penerbangan?
2. Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya cakupan masalah perlindungan hukum di
Indonesia, peneliti membatasi masalah yang akan dibahas sehingga lebih
jelas dan terarah sesuai dengan yang diharapkan peneliti. Di sini peneliti
hanya akan membahas masalah implementasi sanksi kepada maskapai yang
melakukan kesalahan di jasa penerbangan dan pertimbangan hakim dalam
putusan nomor 309/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Pst.
3. Rumusan Masalah
Permasalahan yang peneliti bahas tentang bagaimana bentuk
pertimbangan hakim di dalam putusan perkara nnomor
309/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Pst antara David M.L Tobing deng PT Lion Mentari
Airlines dan bentuk implementasi yang diberikan ketika pihak maskapai
penerbangan yang melakukan kesalahan.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas peneliti merumuskan
masalah secara rinci sebagai berikut:
a. Bagaimana implementasi sanksi yang diberikan ketika Lion Air
melakukan kesalahan ?
b. Bagaimana pertimbangan hakim dalam putusan No.
309/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Pst?
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan utama dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui bagaimana implementasi sanksi yang diberikan
ketika Lion Air melakukan kesalahan
b. Untuk mengetahui bagaimana pertimbangan hakim dalam putusan No.
309/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Pst
2. Manfaat Penelitian
Adapun hasil peneliatan ini diharapkan dapat memberikan manfaat tidak
hanya untuk peneliti, tetpi juga untuk akademik dan masyarakat umum
a. Manfaat Teoritis
1) Dapat dijadikan acuan untuk studi berikutnya yang lebih mendalam
terkait masalah yang sama.
2) Menjadi bahan pustaka untuk penelitian selanjutnya yang berkaitan
dengan pemberian implementasi dalam sistem Penerbangan
Maskapai
b. Manfaat Praktis
1) Bagi peneliti, penelitian ini adalah untuk dapat menambah
pengetahuan serta wawasan yang lebih luas di bidang hukum pada
umumnya dan untuk mendapatkan bahan informasi dalam
menganalisa serta sebagai suatu pemecahan masalah-masalah
terhadap permasalahan yang ada, khususnya tentang perlindungan
konsumen terhadap keterlambatan dan perubahan jadwal
penerbangan.
2) Bagi pembaca, untuk memberikan masukan dan informasi bagi
masyarakat luas tentang perlindungan konsumen terhadap
keterlambatan dan perubahan jadwal penerbangan.
3) Bagi pembuat kebijakan hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan
sebagai bahan dalam mengambil dan membuat kebijakan yang
8
akan dilaksanakan dalam upaya peningkatan pelayanan dan
kenyamanan oleh pihak maskapai penerbangan.sen
diri selanjutnya
D. Metode Penelitian
Dalam metode penelitian ini peneliti akan menjelaskan tentang beberapa
metode yang akan digunakan, diantaranya adalah
1. Pendekatan Penelitian
Menurut Soerjono Soekanto yang dimaksud dengan kegiatan ilmiah
yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang
bertujuan untuk mempelajari satu atau segala hukum tertentu dengan jalan
menganalisanya.8
Penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode pendekatan
penelitian hukum normatif-empiris,9 dalam penelitian empiris dilakukan
untuk memperoleh data primer, yaitu dengan melakukan wawancara pihak
Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, sedangkan penelitian normatif
dilakukan melalui kajian terhadap peraturan perundang-undangan dan
bahan-bahan hukum yang berkaitan dengan skripsi.
Tujuan dari penelitian hukum normatif mencakup penelitian asas-asas
hukum, penelitian terhadap sistematik hukum, penelitian terhadap taraf
sinkronisasi hukum, penelitian sejarah hukum dan penelitian perbandingan
hukum dan pendekatan penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian
ini adalah metode penelitian kepustakaan (libraryresearch).10
2. Data Penelitian
8 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), h. 43.
9 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), h. 52.
10 Sri Mamudji, et al, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit
FHUI, 2015),, h.51.
9
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kepustakaan atau hukum sekunder. Di dalam penelitian kepustakaan ini
mencakup:
1) Bahan Hukum Primer, adalah bahan hukum yang mencakup
ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan
mempunyai kekuasaan hukum yang mengikat.11
Bahan hukum primer
dalam penelitian ini adalah:
a) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan
b) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
c) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1995
tentang Angkutan Udara
d) KUHPerdata
2) Bahan Hukum Sekunder, adalah data yang sebelumnya telah diolah
oleh orang lain. Data sekunder antara lain dokumen-dokumen resmi,
buku-buku, hasil penelitian yang berbentuk laporan, buku harian dan
lain-lain.12
3) Bahan Hukum Non-Hukum (tersier), adalah yang merupakan bahan-
bahan hukum primer dan sekunder, seperti: Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Kamus Inggris-Indonesia dan Kamus Hukum Belanda-
Indonesia.
3. Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode pengumpulan
data terutama data sekunder dan sebagai penunjang adalah data primer,
yaitu:
a. Studi kepustakaan (library research), yaitu bentuk pengumpulan
data yang dilakukan dengan membaca buku literature,
mengumpulkan, membaca dokumen yang berhubungan dengan
obyek penelitian, dan mengutip dari data-data sekunder yang
11
Soerjono Soekaanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia, 1986), h.52.
12 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), h. 12.
10
meliputi peraturan perundang-undangan, dokumen dan bahan
kepustakaan lain dari beberapa buku referensi, artikel-artikel dari
beberapa jurnal, arsip, hasil penelitian ilmiah, peraturan perundang-
undangan, laporan, teori-teori, media masa seperti koran, internet
dan bahan kepustakaan lainnya yang relevan dengan masalah yang
akan diteliti.
b. Wawancara, yaitu percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan
tersebut dilakukan dengan dua orang pihak, yaitu pewawancara
(interviewer) yang mnegajukan pertanyaan dan yang diwawancarai
(interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyan itu.
4. Subjek Penelitian
Dalam penelitian ini, subjek penelitian yang menjadi fokus peneliti
adalah putusan perkara Nomor 309/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Pst antara David
M.L Tobing (penggugat) yang berkedudukan di Jalan Penegak No. 6
RT.10 RW.02, Kel. Palmerah, Kec. Matraman, Jakarta Timur melawan
PT. Lion Mentari Airlines yang berkedudukan di Lion Air Tower, Jalan
Gajah Mada No.7, Jakarta Pusat.
5. Teknik Pengolahan dan Analisa Data
Metode yang digunakan untuk menganalisis dan mengolah data-data
yang terkumpul adalah analisis kualitatif.13
Analisis data kualitatif yaitu
yaitu memaparkan kenyataan-kenyataan yang didasarkan atas hasil
penelitian. Memahami kebenaran yang diperoleh dari hasil pengamatan
dan pertanyaan kepada pihak yang terkait selama dalam melakukan
penelitian, analisis data secara jelas serta diuraikan dalam bentuk kalimat
sehingga diperoleh gambaran yang jelas yang berhubungan dengan
skripsi ini dalam hal ini hasil wawancara terhadap pihak Direktorat
Jenderal Perhubungan Udara.
13
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), h. 104.
11
4) Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun berdasarkan buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017” dengan
sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab terdiri atas
beberapa subbab sesuai pembahasan dan materi yang diteliti. Adapun
gambaran garis besar mengenai tiap-tiap bab sebagai berikut:
BAB I : Bab ini berisikan tentang latar belakang masalah, identifikasi
masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II : Bab ini berisikan tentang kerangka konseptual, kerangka teori,
tinjauan umum mengenai pengertian pengangkutan udara, asas-
asas hukum tentang penerbangan, prinsip-prinsip tanggung
jawab pengangkut udara, perlindungan konsumen dan tinjauan
(review) kajian terdahulu.
BAB III :Bab ini berisikan mengenai pengertian penerbangan, asas-asas
hukum tentang penerbangan, ketentuan peraturan tentang
penerbangan di Indonesia, hak dan kewajiban para pihak,
macam-macam pelanggaran dan sanksi maskapai penerbangan,
dan tanggung jawab maskapai penerbangan menurut Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2009.
BAB IV :Bab ini berisikan tentang analisis kronologi kasus dan
pertimbangan hakim, analisis berdasarkan teori-teori hukum
yang ada, dan bentuk implementasi sanksi yang diberikan
kepada maskapai.
BAB V : Bab ini berisikan tentang kesimpulan dan saran.
12
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN UDARA DAN
PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Kerangka Konseptual
Kerangka Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan
hubungan antara konsep-konsep khusus yang ingin diteliti.14
Kerangka
Konseptual ini gunanya untuk menghubungkan dan menjelaskan tentang
suatu topik yang akan dibahas. Berikut ini akan digambarkan kerangka
konseptual yang digunakan dalam penelitian ini:
a. Perlindungan Konsumen
Pasal 1 angka 1 menurut Undang-Undang tentang Perlindungan
Konsumen menyebutkan bahwa perlindungan konsumen adalah segala
upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi
perlindungan kepada konsumen.
b. Penerbangan
Pasal 1 angka 1 menurut Undang-Undang tentang Penerbangan
menyebutkan bahwa penerbangan adalah satu kesatuan sistem yang
terdiri atas pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, bandar udara,
angkutan udara, navigasi penerbangan, keselamatan dan
keamanan,lingkungan hidup, serta fasilitas penunjang dan fasilitas
umum lainnya.
c. Angkutan Udara
Pasal 1 angka 13 menurut Undang-Undang tentang Penerbangan
menyebutkan bahwa angkutan udara adalah setiap kegiatan dengan
menggunakan pesawat udara untuk mngangkut penumpang, kargo,
dan/atau pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu Bandar udara ke
Bandar udara yang lain atau beberapa Bandar udara.
d. Badan Usaha Angkutan Udara
14
Soerjono Soekanto, Pengantar penelitian hukum, (Jakarta;UI Press,1986), h.133.
13
Pasal 1 angka 5 menurut Peraturan Menteri Perhubungan tentang
Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara menyebutkan bahwa
badan usaha angkutan udara adalah badan usaha milik Negara, badan
usaha milik daerah, atau badan hukum Indonesia berbentuk perseroan
terbatas atau koperasi, yang kegiatan utamanya mengoperasikan
pesawat udara untuk digunakan mengangkut penumpang, kargo,
dan/atau pos dengan memungut pembayaran.
e. Tanggung Jawab Pengangkut
Pasal 1 angka 3 menurut Peraturan Menteri Perhubungan tentang
Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara menyebutkan bahwa
tanggung jawab pengangkut adalah kewajiban perusahaan angkutan
udara untuk mengganti kerugian yang diderita oleh penumpang
dan/atau pengirim barang serta pihak ketiga.
f. Keterlambatan
Pasal 1 angka 13 menurut Peraturan Menteri Perhubungan tentang
Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara menyebutkan bahwa
keterlambatan adalah terjadinya perbedaan waktu antara waktu
keberangkatan atau kedatangan yang dijadwalkan dengan realisasi
waktu keberangkatan atau kedatangan.
g. Tiket
Pasal 1 angka 7 menurut Peraturan Menteri Perhubungan tentang
Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara menyebutkan bahwa
tiket adalah dokumen berbentuk cetak, melalui proses elektronik, atau
bentuk lainnya, yang merupakan salah satu bukti adanya perjanjian
angkutan udara antara penumpang dan pengangkut, dan hak penumpang
untuk menggunkan pesawat udara atau diangkut dengan pesawat udara.
h. Penumpang
Pasal 1 angka 5 menurut Peraturan Menteri Perhubungan tentang
Penanganan Keterlambatan Penerbangan (DelayManagement) Pada
Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal Di Indonesia
menyebutkan bahwa penumpang adalah orang yang menggunakan jasa
14
angkutan udara dan namanya tercantum dalam tiket yang dibuktikan
dengan dokumen identitas diri dan yang memiliki pas masuk pesawat
(boardingpass).
B. Kerangka Teori
Dalam sebuah tulisan ilmiah kerangka teori adalah hal yang sangat
penting, karena dalam kerangka teori tersebut akan dimuat teori-teori yang
relevan dalam menjelaskan masalah yang sedang diteliti. Kemudian
kerangka teori ini digunakan sebagai landasan teori atau dasar pemikiran
dalam penelitian yang dilakukan. Karena itu adalah sangat penting bagi
seorang peneliti untuk menyusun kerangka teori yang memuat pokok-
pokok pemikiran yang akan menggambarkan dari sudut mana suatu
masalah akan disorot.15
Adapun sebagai berikut ini:
a. Teori Keadilan
Keadilan adalah perekat tatanan kehidupan bermasyarakat yang
beradab. Hukum diciptakan agar setiap individu anggota masyarakat
dan penyelenggara negara melakukan sesuatu tindakan yang
diperlukan untuk menjaga ikatan sosial dan mencapai tujuan
kehidupan bersama atau sebaliknya agar tidak melakukan suatu
tindakan yang dapat merusak tatanan keadilan. Jika tindakan yang
diperintahkan tidak dilakukan atau suatu larangan dilanggar, tatanan
sosial akan terganggu karena terciderainya keadilan. Untuk
mengembalikan tertib kehidupan bermasyarakat, keadilan harus
ditegakkan. Setiap pelanggaran akan mendapatkan sanksi sesuai
dengan tingkat pelanggaran itu sendiri.
Teori keadilan ini tujuan hukum hanya ditempatkan pada
perwujudan keadilan16
yang semaksimal mungkin dalam tata tertib
15
H. Nawawi, Metode Penelitian bidang sosial, (Yogyakarta;Gadjah Mada University
Press,1995), h.39-40.
16 Mujar Ibnu Syarif dan Kamarusdiana. Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Jakarta cet-1, 2009), h. 11.
15
masyarakat, dalam Rhetorica. Menurut Hans Kelsen bahwa semua
peraturan umum adalah “adil” jika benar-benar diterapkan kepada
semua kasus yang menurut isinya, peraturan ini harus ditetapkan.
Suatu peraturan umum adalah “tidak adil” jika diterapkan kepada suatu
kasus dan tidak diterapkan kepada kasus lain yang sama.17
Keadilan
telah diuraikan oleh Aristoteles dalam “Rhetorica”. Bangsa Romawi
menterjemahkannya dengan: ius suum cuique tribuere keadilan tidak
boleh dipandang sama arti dengan persamarataan. Keadilan bukan
berarti bahwa tiap-tiap orang memperoleh bagian yang sama.18
Aristoteles membedakan dua macam keadilan, yaitu keadilan
„distributif‟ dan keadilan „kumulatif‟19
. Keadilan distributif, yakni
keadilan yang memberikan kepada setiap orang jatah menurut jasanya.
Artinya keadilan ini tidak menuntut supaya setiap orang mendapat
bagian yang sama banyaknya atau bukan persamaanya, melainkan
kesebandingan berdasarkan prestasi dan jasa seseorang. Sedangkan
keadilan kumulatif, yakni keadilan yang memberikan kepada setiap
orang sama banyaknya, tanpa mengingat jasa-jasa perseorangan.
Artinya, hukum menuntut adanya suatu persamaan dalam memperoleh
prestasi atau suatu hal tanpa memperhitungkan jasa peseorangan.20
Keadilan adalah sesuatu yang sukar didefinisikan , tetapi bisa
dirasakan dan merupakan unsur yang tidak harus ada dan dapat
Perngertian keadilan menurut Aristoteles yaitu, keadilan mesti
dipahami dalam pengertian kesamaan. Namun Aristoteles membuaat
pembedaan penting antara kesamaan numerik dan kesamaan
proporsional. Kesamaan numerik mempersamakan setiap manusia
sebagai satu unit. Inilah yang biasa kita pahami tentang kesamaan dan
17
Ishaq. Dasar-dasar Ilmu Hukum. (Jakarta: Sinar Grafika cet-2 2009), h. 8.
18 Van Apeldoorn. Pengantar Ilmu Hukum. (Jakarta: Pradnya Paramita, cet-26 1996), h. 11.
19 C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil. Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, (Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2011), h. 38.
20 Marwan Mas. Pengantar Ilmu Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, cet-2 2011), h. 81.
16
yang kita maksudkan ketika kita mengatakan bahwa semua warga
adalah sama di mata hukum. Kesamaan proporsional memberi tiap
orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuannya,
prestasinya, dan sebagainya.
b. Teori Kepastian Hukum
Kepastian Hukum sebagai salah satu tujuan hukum dapat dikatakan
sebagai bagian dari upaya mewujudkan keadilan. Bentuk nyata dari
kepastian hukum adalah pelaksanaan atau penegakan hukum terhadap
suatu tindakan tanpa memandang siapa yang melakukan. Dengan
adanya kepastian hukum setiap orang dapat memperkirakan apa yang
akan dialami jika melakukan tindakan hukum tertentu. Kepastian
diperlukan untuk mewujudkan prinsip persamaan dihadapan hukum
tanpa diskriminasi.
Menurut Sudikno Mertokusumo, kepastian hukum adalah jaminan
bahwa hukum dijalankan, bahwa yang berhak menurut hukum dapat
memperoleh haknya dan bahwa putusan dapat dilaksanakan.
C. Pengangkutan Udara
1. Pengertian Pengangkutan Udara
Pengangkutan adalah berasal dari kata “angkut” yang berarti
mengangkut dan membawa, sedangkan istilah pengangkutan dapat
diartikan sebagai pembawa barang-barang atau orang–orang
(penumpang).21
Pengangkutan didefinisikan sebagai perpindahan tempat,
baik mengenai benda-benda maupun orang, karena perpindahan itu mutlak
dibutuhkan dalam rangka mencapai dan meninggikan manfaat serta
efisien.22
21
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Departemen P dan K,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1976), h.97.
22 Sinta Ulli, Pengangkutan Suatu Tijauan Hukum Multimoda Transport Angkutan Laut,
Angkutan Darat dan Angkutan Udara, (Medan: USU Press, 2006), h.20.
17
HMN Purwosutjipto mendefenisikan, pengangkutan adalah perjanjian
timbal balik antara pengangkut sebagai pengirim, dimana pengangkut
mengikatkan diri untuk menyelengarakan pengangkutan barang atau orang
dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat.23
Pengertian angkutan udara menurut Pasal 1 angka 13 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan adalah setiap kegiatan dengan
menggunakan pesawat udara mengangkut penumpang, kargo dan/atau pos
untuk satu perjalanan atau lebih dari satu bandar udara ke bandar udara
yang lain atau beberapa Bandar udara.
Maka dari itu hukum pengangkutan merupakan ketentuan yang
mengatur tentang segala aktivitas pengangkutan yang wajib ditaati bagi
semua yang terlibat di dalam aktivitas tersebut. Menurut Sution Usman
Adji, dkk, hukum pengangkutan adalah sebuah perjanjian timbal-balik,
yang mana pihak pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan
pengangkutan barang dan/atau orang ke tempat tujuan yang dituju,
sementara pihak lainnya (penumpang) mempunyai kewajiban untuk
melakukan pembayaran biaya tertentu dalam rangka pengangkutan
tersebut.24
Pengangkutan ataupun transportasi memegang peran penting untuk
tujuan pengembangan ekonomi. Tujuan-tujuan yang ingin diwujudkan
dalam rangka pengembangan ekonomi yaitu:
a. Meningkatkan pendapatan nasional, disertai dengan distribusi yang
merata antara penduduk, bidang-bidang usaha dan daerah-daerah.25
b. Meningkatkan jenis dan jumlah barang jadi dan jasa yang dapat
dihasilkan para konsumen, industri dan pemerintah.
c. Mengembangkan industri nasional yang dapat menghasilkan devisa
serta men-supply pasaran dalam negeri.
23
HMN. Purwosucipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 3, Hukum
Pengangkutan, (Jakarta: Djambatan, 1991), h.2.
24 Hasim Purba, Hukum Pengangkutan di Laut, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2005), h.7.
25 H.A. Abbas Salim, Manajemen Transportasi, (Jakarta: Rajawali Pers, 1993), h.1.
18
d. Menciptakan dan memelihara tingkatan kesempatan kerja bagi
masyarakat.
Terdapat pula tujuan-tujuan yang sifatnya non ekonomis, contohnya
untuk menaikkan integritas bangsa serta memperkuat ketahanan nasional.
Subjek dalam proses kegiatan angkutan udara ini adalah pihak-pihak
yang terlibat dalam rangka penyelenggaraan angkutan udara. Sementara
yang menjadi objek dalam kegiatan angkutan udara ini adalah proses
penyelenggaraan pengangkutan udara itu sendiri.
2. Asas-Asas Hukum tentang Pengangkutan Udara
Asas-asas hukum pengangkutan merupakan landasan filosofis yang
diklarifikasikan menjadi dua yaitu:
a. Yang bersifat perdata:
1) Asas Konsensual
Asas konsensual tidak mensyaratkan bentuk perjanjian
angkutan secara tertulis, cukup ada persetujuan kehendak antara
pihak-pihak. Pada kenyataannya, hampir semua perjanjian
pengangkutan darat, laut, dan udara dibuat secara tidak tertulis,
tetapi selalu didukung dokumen pengangkutan.
2) Asas Koordinatif
Asas koordinatif mensyaratkan kedudukan yang sejajar antara
pihak-pihak dalam perjanjian pengangkutan.
3) Asas Campuran
Perjanjian pengangkutan merupakan campuran dari 3 (tiga)
jenis perjanjian, yaitu pemberian kuasa dari pengirim kepada
pengangkut, penyimpan barang dari pengirim kepada pengangkut,
dan melakukan pekerjaan pengangkutan yang diberikan pengirim
kepada pengangkut.
4) Asas tidak ada hak retensi
Dalam hal ini penggunaan hak retensi bertentangan denngan
fungsi dan tujuan pengangkutan. Penggunaan hak retensi akan
19
menyulitkan pengangkut sendiri dalam hal ini pengangkut hanya
mempunyai kewajiban menyimpan barang atas biaya pemiliknya.
5) Pembuktian dengan dokumen
Setiap pengangkutan selalu dibuktikan dengan dokumen
angkutan, tidak adanya dokumen angkutan berarti tidak ada
perjanjian pengangkutan, kecuali jika kebiasaan yang sudah
berlaku umum, misalnya pengangkutan dengan angkutan kota
(angkot) tanpa karcis/tiket penumpang.
b. Yang bersifat Publik:
1) Asas manfaat;
2) Asas usaha bersama;
3) Asas adil dan merata;
4) Asas keseimbangan;
5) Asas kepentingan umum;
6) Asas keterpaduan;
7) Asas kesadaran;
8) Asas percaya pada diri sendiri; dan
9) Asas keselamatan penumpang.
D. Angkutan Udara
Indonesia yang telah menjadi anggota Organisasi Penerbangan Sipil
Internasional sejak 27 April 1950 telah menyempurnakan Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 1992 dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 disusun dengan mengacu pada
Konvensi Chicago 1944 yaitu konvensi yang mengatur tentang penerbangan
sipil internasional dan memerhatikan kebutuhan pertumbuhan transportasi
udara di Indonesia. Oleh karena itu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009
mengatur tentang kedaulatan atas wilayah udara Indonesia, pelanggaran
wilayah kedaulatan, produksi pesawat udara, pendaftaran, dan kebangsaan
pesawat udara, kelaikudaraan dan pengoperasian pesawat udara, keselamatan
dan keamanan di dalam pesawat udara, pengadaan pesawat udara, asuransi
20
pesawat udara, independensi investigasi kecelakaan pesawat udara,
pembentukan majelis profesi penerbangan, lembaga penyelenggaraan
pelayanan umum, berbagai jenis angkutan baik niaga berjadwal maupun niaga
tidak berjadwal, baik angkutan udara niaga maupun angkutan udara bukan
niaga dan dalam negeri maupun luar negeri, modal badan hukum Indonesia,
persyaratan minimum mendirikan perusahaan baru harus mempunyai 10
pesawat udara, 5 dimiliki dan 5 dikuasai, perhitungan tarif transportasi udara
berdasarkan komponen tarif jarak, pajak, iuran wajib asuransi dan biaya
tambahan, pelayanan bagi penyandang cacat, orang lanjut usia, anak di bawah
umur, pengangkutan bahan dan/atau barang berbahaya (dangerous goods),
ekspedisi dan keagenan, tanggung jawab pengangkut, tanggung jawab
pengangkut terhadap pihak ketiga (third parties liability), tatanan
kebandarudaraan baik lokasi maupun persyaratannya, perubahan iklim yang
menimbukan panas bumi, sumber daya manusia baik di bidang operasi
penerbangan, teknisi Bandar udara maupun navigasi penerbangan, fasilitas
navigasi penerbangan, otoritas Bandar udara, pelayanan Bandar udara,
keamanan penerbangan, lembaga penyelenggaraan, pelayanan navigasi
penerbangan (single air service provider), penegakkan hukum, penerapan
sanksi administratif yang selama ini tidak diatur, budaya keselamatan
penerbangan, penanggulangan tindakan melawan hukum, dan berbagai
ketentuan baru yang sebelumnya tidak diatur, guna mendukung keselamatan
transportasi udara nasional maupun internasional.26
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 mengandung pembahasan
angkutan udara niaga dan bukan niaga, kedaulatan Negara di udara,
pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara, dokumen penerbangan, peran
Organisasi Penerbangan Sipil Internasional terhadap Indonesia sebagai
berikut:
1. Angkutan Udara Dalam Negeri
2. Angkutan Udara Luar Negeri
26
H. K. Martono dan Amad Sudiro, Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik
(Public Internationl and National Air Law), (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2016), h. 233-234.
21
3. Angkutan Udara Tidak Berjadwal
4. Pelayanan Angkutan Udara Niaga Berjadwal
5. Angkutan Udara Bukan Niaga
6. Angkutan Udara Perintis
7. Izin Usaha Angkutan Udara Niaga
E. Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab Pengangkut Udara
Prinsip-prinsip tanggung jawab khususnya untuk penumpang yang
dapat disimpulkan dari ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Warsawa 1929
yang merupakan konvensi internasional yang mengatur mengenai tanggung
jawab untuk pengangkutan internasional untuk orang, bagasi atau barang yang
dilakukan oleh pesawat untuk bayaran dan dalam Ordonasi Pengangkutan
Udara 1939. Konvensi Warsawa 1929 merupakan sumber hukum mengenai
tanggung jawab yang digunakan bagi angkutan dalam negeri seperti yang
terdapat dalam Ordonansi Pengangkutan Udara 1939 sebelum adanya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan.
Dalam Ordonansi Pengangkutan Udara 1939 dan Konvensi Warsawa
1929 prinsip-prinsip yang dipergunakan adalah:
1. Prinsip Presumption of Liability
Bahwa seorang pengangkut barang adalah pihak yang dianggap
perlu bertanggung jawab untuk segala kerugian yang ditimbulkan
penumpang, barang atau bagasi dan pengangkut udara. Tetapi apabila
pengangkut tidak melakukan kelalaian dan telah berupaya melakukan
tindakan yang perlu untuk menghindari terjadinya kerugian tersebut atau
dapat membuktikan bahwa peristiwa yang menimbulkan kerugian tersebut
tidak dapat dihindari, maka pengangkut dapat dibebaskan dari tanggung
jawab membayar ganti kerugian. Prinsip ini terdapat dalam Pasal 29 ayat
(1) Ordonansi Pengangkutan Udara 1939 yang berbunyi:
“Pengangkut tidak bertanggung jawab untuk kerugian, bila ia
membuktikan, bahwa ia dan semua orang yang diperkerjakan
olehnya berhubung dengan pengangkutan itu, telah mengambil
22
semua tindakan yang perlu untuk menghindarkan kerugian atau
bahwa tak mungkin bagi mereka untuk mengambil tindakan-
tindakan tersebut. Bila pengangkut membuktikan, bahwa kerugian
itu disebabkan oleh kesalahan dari yang menderita kerugian itu
atau kesalahan tersebut membantunya kerugian itu, hakim dapat
mengesampingkan atau mengurangi tanggung jawab pengangkut.”
Adanya pembebasan dari tanggung jawab ini tentu saja
menguntungkan bagi pengangkut dan merugikan konsumen, dan dalam hal
ini menjadi tidak seimbang.27
2. Prinsip Limitiation of Liability
Bahwa setiap pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab,
namun bertanggung jawab itu terbatas sampai jumlah tertentu sesuai
dengan ketentuan yang telah diatur dalam Ordonansi Pengangkutan Udara
maupun Konvensi Warsawa 1929. Pembatasan tanggung jawab
pengangkut udara dalam ordonansi dimaksudkan pembatasan dalam
jumlah ganti rugi yang akan dibayarkan. Ordonansi Pengangkutan Udara
1929 mengatur pembatasan tanggung jawab untuk penumpang dalam
Pasal 30 ayat (1), yaitu:
“Pada pengangkutan penumpang tanggung jawab pengangkut
terhadap tiap-tiap penumpang atau terhadap keluarganya
seluruhnya yang disebut dalam Pasal 24 ayat (2), dibatasi sampai
jumlah 12.500 gulden. Bila ganti rugi ditetapkan sebagai bunga,
maka jumlah uang pokok yang dibungakan itu tidak boleh melebihi
jumlah tersebut di atas. Akan tetapi penumpang dapat mengadakan
perjanjian khusus denngan pengangkut untuk meninggikan batas
tanggung jawab itu.”
Dari beberapa penjelasan mengenai prinsip tanggung jawab
pengangkutan secara umum bisa diketahui bahwa tanggung jawab
27
E. Suherman, Tanggung Jawab Pengangkut dalam Hukum Udara Indonesia, (Bandung:
N.V Eresco, 1961), h. 78.
23
ditimbulkan dari akibat suatu keadaan yang menyebabkan kerugian
ataupun kehilangan terhadap pihak lain yang merupakan akibat dari
penyelenggaraan suatu perjanjian pengangkutan. Dalam pasal 1365 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menyatakan “bahwa
barang siapa saja yang menimbulkan kerugian pada pihak lain karena
perbuatannya yang melawan hukum wajib mengganti kerugian tersebut”.
3. Prinsip Presumption of Non Liability
Prinsip ini berlaku untuk bagasi tangan, pengangkut dianggap
selalu tidak bertanggung jawab untuk kerugian yang timbul pada bagasi
tangan yaitu barang-barang yang dibawa sendiri oleh penumpang bagasi
tidak tercatat.
4. Prinsip Absolute Liability atau Strict Liability
Pada prinsip ini dijelaskan bahwa pengangkut atau operator
pesawat udara tidak lagi dianggap selalu bertanggung jawab akan tetapi
harus bertanggung jawab untuk kerugian yang timbul pada pihak
penumpang, pengirim atau penerima barang dan pada pihak ketiga.
24
F. Perlindungan Konsumen
1. Pengertian Perlindungan Konsumen
Perlindungan konsumen adalah istilah yang dipakai untuk
menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen
dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang
merugikan konsumen itu sendiri. Undang-Undang Perlindungan
Konsumen menyatakan bahwa, perlindungan konsumen adalah segala
upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi
perlindungan kepada konsumen. Perlindungan konsumen mempunyai
cakupan yang luas, meliputi perlindungan konsumen terhadap barang
dan/atau jasa, yang berawal dari tahap kegiatan untuk mendapatkan barang
dan/atau jasa hingga sampai akibat-akibat dari pemakaian barang dan/atau
jasa tersebut.28
Cakupan perlindungan konsumen itu dapat dibedakan dalam dua aspek,
yaitu:29
a. Perlindungan terhadap kemungkinan barang yang diserahkan kepada
konsumen tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati.
b. Perlindungan terhadap diberlakukannya syarat-syarat yang tidak adil
kepada konsumen.
Pengaturan perlindungan konsumen dilakukan dengan:30
a. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
keterbukaan akses informasi, serta menjamin kepastian hukum.
b. Melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan kepentingan
seluruh pelaku usaha.
c. Meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa.
d. Memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktik usaha yang
menipu dan menyesatkan.
28
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Kencana, 2013), h.22.
29 Adrianus Meliala, Praktik Bisnis Curang, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993), h.152.
30 Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung:
Mandar Maju, 2000), h.7.
25
e. Memadukan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan
perlindungan konsumen dengan bidang-bbidang perlindungan pada
bidang-bidang lainnya.
Tujuan hukum adalah untuk mewujudkan keadilan, kemanfaatan dan
kepastian hukum.31
suatu ketentuan hukum dapat dinilai baik jika akibat-
akibat yang dihasilkan dari penerapannya adalah kebaikan, kebahagiaan
yang sebesar-besarnya dan berkurangnya penderitaan.32
Demikian dapat disimpulkan bahwa, hukum perlindungan konsumen
adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan
mellindungi konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan dan
penggunanya, dalam kehidupan bermasyarakat.
2. Prinsip-Prinsip Perlindungan Konsumen
a. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Kelalaian/Kesalahan
(Negligence)
Tanggung Jawab berdasarkan kelalaian (negligence) adalah prinsip
tanggung jawab yang bersifat subjektif, yaitu suatu tanggung jawab
yang ditentukan oleh perilaku produsen.33
Berdasarkan teori ini,
kelalaian produsen yang berakibat pada munculnya kerugian
konsumen merupakan faktor penentu adanya hak konsumen untuk
mengajukan gugatan ganti rugi kepada produsen. Kelalaian dapat
dijadikan dasar gugatan, apabila memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:34
1) Suatu tingkah laku yang menimbulkan kerugian, tidak sesuai
dengan sikap hati-hati yang normal.
31
Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta:
Gunung Agung, 2002), h.85.
32 Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1993), h.79.
33 Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab
Mutlak, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2004), h.46.
34 Ahmadi Miru, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2004), h.148.
26
2) Harus dibuktikan bahwa tergugat lalai dalam kewajiban berhati-
hati terhadap penggugat.
3) Kelakuan tersebut merupakan penyebab nyata dari kerugian yang
timbul.
b. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Wanprestasi
(BreachofWarranty)
Tanggung jawab produsen berdasarkan wanprestasi juga
merupakan bagian dari tanggung jawab berdasarkan kontrak
(contractualliability). Dengan demikian suatu produk yang rusak dan
mengakibatkan kerugian, maka konsumen melihat isi kontrak, baik
tertulis maupun tidak tertulis.
Keuntungan konsumen berdasarkan teori ini adalah penerapan
kewajiban yang sifatnya mutlak (strict obligation), yaitu kewajiban
yang tidak didasarkan pada upaya yang telah dilakukakn produsen
untuk memenuhi janjinya. Artinya, walaupun produsen telah berupaya
memenuhi janjinya, tetapi konsumen tetap mengalami kerugian, maka
produsen tetap dibebani tanggung jawab untuk mengganti kerugian.
Namun terdapat beberapa kelemahan dalam teori ini mengenai
perlindungan hukum bagi konsumen, yaitu pembatasan waktu gugatan,
persyaratan pemberitahuan, kemungkinan adanya bantahan
(disclaimer), dan persyaratan hubungan kontrak.
Kewajiban membayar ganti rugi dalam tanggung jawab
berdasarkan wanprestasi merupakan akibat dari penerapan klausula
dalam perjanjian, yang merupakan ketentuan hukum bagi para pihak,
yang secara sukarela mengikatkan diri dalam perjanjian tersebut.
c. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (Strict Product Liability)
Prinsip tanggung jawab mutlak merupakan sistem tanggung jawab
yang tidak berdasarkan kesalahan produsen.
27
G. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Pada kajian studi kasus ini penulis membahas tentang Implementasi
Sanksi bagi Maskapai yang Melakukan Keterlambatan Jadwal Penerbangan
(Studi di Direktorat Jenderal Perhubungan Udara), adapun skripsi terdahulu
yang ditemukan peneliti dan terkait dengan judul skripsi yang ditulis oleh
peneliti, antara lain:
1. Skripsi Husnul Azmi Ritonga Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, Tahun 2015, Tinjauan Hukum Terhadap Penerapan Harga Tiket
Pesawat Udara pada Maskapai Garuda Indonesia untuk Penerbangan
Domestik (Analisis Peraturan Menteri Penerbangan No. 26 Tahun 2010),
dalam skripsi ini lebih membahas penerapan harga tiket pesawat udara pada
maskapai garuda Indonesia, sedangkan dalam skripsi yang peneliti tulis
sangatlah jauh berbeda karena disini penulis hanya fokus terhadap
implementasi sanksi yang diberikan bagi maskapai penerbangan yang
melakukan keterlambatan penerbangan.
2. Skripsi Indirawati Putri Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, Tahun 2013, Perlindungan Hukum bagi Konsumen Terhadap
Pembatalan Penerbangan (Analisis Putusan PN Tangerang Perkara Nomor
305/Pdt.G/2009/PN.TNG), dalam skripsi ini lebih membahas mengenai
perlindungan hukum bagi konsumen apabila terjadi pembatalan
penerbangan, sedangkan dalam skripsi yang peneliti tulis sangatlah jauh
berbeda karena disini peneliti hanya fokus terhadap implementasi sanksi
yang diberikan bagi maskapai penerbangan yang melakukan keterlambatan
penerbangan.
3. Buku Chappy Hakim, Tahun 2010, Berdaulat di Udara: Membangun Citra
Penerbangan Nasional, dalam buku ini banyak membahas mengenai hal-hal
yang berkaitan dengan penerbangan beserta kasus-kasus yang pernah
terjadi dalam dunia penerbangan dan buku ini sangat membantu peneliti
dalam menulis skripsi ini.
28
BAB III
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENUMPANG DAN PERUSAHAAN
MASKAPAI PENERBANGAN
A. Penerbangan
1. Pengertian Penerbangan
Penerbangan adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas pemanfaatan
wilayah udara, pesawat udara, bandara udara, angkutan udara. Navigasi
penerbangan, keselamatan dana keamanan, lingkungan hidup, serta
fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya. Penerbangan merupakan
bagian dari sistem pengangkutan yang mempunyai karakteristik mampu
bergerak dalam waktu cepat, menggunakan teknologi tinggi, padat modal,
manajemen yang handal, serta memerlukan jaminan keselamatan dan
keamanan yang optimal.
2. Asas-Asas dan Tujuan Penerbangan
Diselenggarakannya penerbangan dibangun berdasarkan beberapa asas dan
tujuan, seperti yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009
tentang Penerbangan Pasal 2 dan 3, sebagai berikut:
Penerbangan diselenggarakan berdasarkan asas:
a. Manfaat;
b. Usaha bersama dan kekeluargaan;
c. Adil dan merata;
d. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan;
e. Kepentingan umum;
f. Keterpaduan;
g. Tegaknya hukum;
h. Kemandirian;
i. Keterbukaan dan anti monopoli;
j. Berwawasan lingkungan hidup;
k. Kedaulatan Negara;
l. Kebangsaan; dan
m. Kenusantaraan.
29
Menurut kamus hukum, asas adalah suatu pemikiran yang dirumuskan
secara luas dan mendasarkan adanya norma hukum.35
Prinsip adalah asas
kebenaran yang menjadi pokok dasar berfikir. Prinsip hukum menurut
Sudikno Mertokusumo bukanlah sebagai aturan hukum kongkrit
melainkan pikiran dasar umum sifatnya atau merupakan latar belakang
dari perumusan antara hukum kongkrit.36
a. Prinsip Manfaat
Prinsip manfaat dalam penyelenggaraan penerbangan adalah prinsip
yang mengharuskan penyelenggaraan penerbangan dapat memberikan
manfaat yang sebesar-besarnya bagi manusia, peningkatan
kesejahteraan rakyat dan pengembangan bagi warga Negara, serta
upaya peningkatan pertahanan dan keamanan Negara. Asas manfaat
mengharuskan segala upaya dalam penyelenggaraan penerbangan
harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan
keselamatan para penumpang angkutan udara secara keseluruhan
Prinsip manfaat melandasi segala kegiatan berdasarkan sejauh mana
tindakan itu meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan kelompok itu
atau denngan kata lain meningkatkan atau melawan kebahagiaan itu
sendiri. Sehingga tujuan hukum untuk mencapai kesejahteraan akan
tercapai.37
Kualitas etis suatu perbuatan diperoleh dengan dicapainnya tujuan
kesejahteraan bersama. Perbuatan yang baik diukur dari hasil yang
bermanfaat, jika hasil tersebut tidak bermanfaat, maka hal tersebut
tidak dapat disebut baik.38
Tolak ukur asas manfaat berorientasi pada
hasil perbuatan.39
35
M. Marwan dan Jimmy P, Kamus Hukum, (Surabaya: Reality Publisher, 2009), h.57.
36 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2005),
h.34.
37 Ian Saphiro, Asas Moral Dalam Poitik,(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia yang
berkerjasama dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat Jakarta dan Freedom Institusi, 2006), h.16.
38 K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta: Kanisus, 2000), h.67.
39 Erni R. Ernawan, Business Ethics: Etika Bisnis, (Bandung: CV. Alfabeta, 2007), h.93.
30
b. Usaha bersama dan kekeluargaan
Prinsip usaha bersama dan kekeluargaan adalah penyelenggaraan
usaha dibidang penerbangan dilaksanakan untuk mencapai tujuan
nasional yang dalam kegiatannya dapat dilakukan oleh seluruh lapisan
masyarakat dan dijiwai oleh semangat kekeluargaan.
Prinsip ini memiliki kemiripan dengan prinsip kepentingan umum
yaitu prinsip penyelenggaraan penerbangan yang mengutamakan
kepentingan masyarakat luas. Sehingga melalui prinsip ini
penyelenggaraan penerbangan akan lebih mengutamakan keselamatan
semua hal yang bersangkutan dengan penerbangan seperti penumpang,
awak pesawat dan barang-barang, daripada mengejar kepentingan
bisnis pribadi.
c. Prinsip adil dan merata
Prinsip adil dan merata dalam penyelenggaraan penerbangan adalah
prinsip yang mengharuskan penyelenggaraan penerbangan harus dapat
memberikan pelayanan yang adil dan merata tanpa diskriminasi
kepada seluruh lapisan masyarakat, dengan biaya yang terjangkau oleh
masyarakat tanpa membedakan suku, agama, keturunan dan tingkat
ekonomi mereka. Prinsip keadilan dalam hukum perlindungan
konsumen dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
konsumen dan pelaku usaha atau produsen untuk memperoleh haknya
dan melaksanakan kewajibannya secara adil. Prinsip keadilan ini
mengharuskan pengeluaran dan penegakan hukum perlindungan
konsumen, diharapkan perlakuan yang adil antara konsumen dan
produsen secara seimbang.
d. Prinsip keseimbangan, keserasian, dan keselarasan
Prinsip keseimbangan, keserasian, dan keselarasan dalam hukum
penerbangan berupaya mengakomodasi antara kepentingan
31
Penerbangan diselenggarakan dengan tujuan:
a. Mewujudkan penyelenggaraan penerbangan yang tertib, teratur,
selamat, aman, nyaman, dengan harga yang wajar, dan menghindari
praktek persaingan usaha yang tidak sehat;
b. Memperlancar arus perpindahan orang dan/atau barang melalui udara
dengan mengutamakan dan melindungi angkutan udara dalam rangka
memperlancar kegiatan perekonomian nasional;
c. Membina jiwa kedirgantaraan;
d. Menjunjung kedaulatan Negara;
e. Menciptakan daya saing dengan mengembangkan teknologi dan
industri angkutan udara nasional;
f. Menunjang, menggerakkan, dan mendorong pencapaian tujuan
pembangunan nasional;
g. Memperkukuh kesatuan dan persatuan bangsa dalam rangka
perwujudan Wawasan Nusantara;
h. Meningkatkan ketahanan nasional; dan
i. Mempererat hubungan antarbangsa.
Salah satu tujuan diselenggarakannya penerbangan adalah mewujudkan
penerbangan yang aman (safety), tertib dan teratur (regularity), nyaman
(comfortable), dan ekonomis (economy for company).
a. Melaksanakan penerbangan yang aman
Faktor keselamatan merupakan hal faktor yang sangat penting di atas
segala-galanya, yang mana dalam hal ini perusahaan penerbangan
harus mengutamakan hal tersebut dalam rangka pengoperasian
pesawat dari satu rute ke rute lainnya. Semua yang terlibat dalam
penerbangan seperti penumpang, awak pesawat, dan barang-barang
harus benar-benar diperhatikan keselamatannya. Maka, kepercayaan
akan didapat oleh perusahaan penerbangan dari masyarakat sebagai
pengguna jasa. Tindakan-tindakan yang dilakukan perusahaan
32
penerbangan sebagai penunjang keselamatan pesawat yang aka
dioperasikan yaitu:
1) Pesawat tersebut harus memenuhi syarat, seperti laik terbang, yang
dibuktikan dengan certificate of airworthinessdari pihak yang
berwenang.
2) Release sheet oleh dinas teknis perusahaan tersebut (crew
qualified).
3) Membuat rencana penerbangan, yang mencakup arah penerbangan,
bahan bakar yang dibawa, ketinggian terbang, dan lainnya.
4) Air traffic control yang baik pada stasiun bandar udara tertentu.
5) Adanya peta dan navigation bag yang lengkap.
b. Melaksanakan penerbangan yang tertib dan teratur (regularity)
Jadwal penerbangan menjadi salah satu hal yang penting dalam
pengoperaian pesawat udara karena hal tersebut harus dilaksanakan
sesuai yang telah ditentukan secara tepat dan teratur serta sesuai
dengan waktu yang para penumpang inginkan, itu sangat dibutuhkan
demi menjamin kepuasan penumpang dan citra perusahaan
penerbangan sehingga kelangsungan bisnis perusahaan penerbangan
dapat tetap terjaga dan dipertahankan.
c. Melaksanakan penerbangan yang nyaman (comfortability)
Comfortability dalam hal ini dimaksudkan agar penumpang
mendapatkan kenyamanan selama penerbangan, tentunya ini menjadi
tugas perusahaan penerbangan untuk mewujudkannya. Maka dalam hal
ini, pelayanan terbaik haruslah didapat oleh penumpang. Apabila hal
itu terus dipertahankan, secara otomatis maka penumpang akan merasa
puas terhadap pelayanan dari perusahaan penerbangan tersebut dan
akan menggunakan jasa perusahaan penerbangan tersebut dikemudian
hari.
d. Melaksanakan penerbangan yang ekonomis (economy for company)
Apabila keamanan dan kenyamanan penumpang telah terpenuhi serta
berjalan dengan baik, selanjutnya bagi perusahaan penerbangan untuk
33
menikmati hasil dari pengoperasian pesawat yang telah dijalankan.
Sesudah melakukan penghematan-penghematan biaya di berbagai
aspek dan bidang serta hasil penjualan yang tinggi, maka perbandingan
di antara hasil dan biaya akan lebih terlihat. Semaksimal mungkin
keuntungan akan dicapai dan efisiensi perusahaan akan terus
meningkat sehingga asas kontiunitas dapat dipertahankan. Maka,
perusahaan penerbangan dapat melakukan ekspansi atau perluasan,
pembaruan armada dan memaksimalkan frekuensi penerbangan baik di
dalam negeri maupun luar negeri.
3. Ketentuan Peraturan tentang Penerbangan di Indonesia
a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
yang disahkan pada tanggal 17 Desember 2008 dan mulai berlaku
tangal 1 Januari 2009, sangat menjanjikan terhadap pertumbuhan
pengangkutan udara di Indonesia, karena Undang-Undang tersebut
secara komprehensif berlaku secara extra-teritorial, mengatur
kedaulatan atas wilayah udara Indonesia, pelanggaran wilayah
kedaulatan, produksi pesawat udara, pendaftaran dan kebangsaan
pesawat udara, kelaikudaraan dan pengoperasian pesawat udara,
keselamatan dan keamanan di dalam pesawat udara, pengadaan
pesawat udara, asuransi pesawat udara, indepedensi investigasi
kecelakaan pesawat udara, pembentukan majelis profesi penerbangan,
lembaga penyelenggara pelayanan umum, berbagai jenis angkutan
udara baik niaga berjadwal, tidak berjadwal maupun bukan niaga
dalam negeri maupun luar negeri.
b. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 89 Tahun 2015
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 89 Tahun 2015
mengatur mengenai penangan keterlambatan penerbangan (delay
management) pada badan usaha angkutan udara niaga berjadwal di
Indonesia.
34
c. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011
mengatur mengenai ganti rugi terhadap penumpang, ganti rugi bagasi
tercacat, ganti rugi kargo, ganti rugi keterlambatan, ganti rugi terhadap
pihak ketiga, wajib asuransi tanggung jawab hukum, batas tanggung
jawab, pengajuan gugatan, penyelesaian sengketa, evaluasi, pelaporan
dan pengawasan, sanksi dan ketentuan peralihan.40
d. Luchtverveor ordonnantie(S. 1939 – 100)
Ordonansi Pengangkutan Udara, mengatur mengenai pengangkutan
penumpang, bagasi penumpang dan pengangkutan barang serta
pertanggung jawaban pengangkutan udara. 41
e. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 Tentang Angkutan Udara
Beberapa sumber hukum angkutan udara yang bersifat internasional,
yaitu:
a. Konvensi Warsawa (Warsawa Convention) 1929 tentang unifikasi
ketentuan-ketentuan tertentu sehubungan dengan pengangkutan
udara internasional;
b. Konvensi Geneva;
c. Konvensi Roma 1952 tentang tanggung jawab operator pesawat
terbang asing kepada pihak ketiga di darat;
d. Protokol Hague 1955 tentang amandemen konvensi wasawa 1929;
e. Konvensi Guadalajara 1961 tentang tambahan konvensi warsawa
1929 untuk unifikasi aturan tertentu berkaitan dengan
pengangkutan udara internasional yang dilakukan oleh pihak selain
contracting carrier;
f. Protokol Guatemala City 1971.
40
H.K. Martono & Agus Pramono, Hukum Udara Udara Internasional & Nasional,
(Jakarta: PT. RajaGrasindo, 2013), h. 203. 41
Sinta Uli, Pengangkutan Suatu Tinjauan Hukum Multimoda Transport Angkutan Laut,
Angkutan Darat dan Angkutan Udara, (Medan: USU Press, 2006), h.87.
35
B. Hak dan Kewajiban Para Pihak
Hukum tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat (ubi socitas ibi ius),
sebab antara keduannya mempunyai hubungan timbal balik. Oleh karena itu
hukum sifatnya universal dan hukum mengatur semua aspek kehidupan
masyarakat dengan tidak ada satupun segi kehidupan manusia dalam
masyarakat yang luput dari sentuhan hukum.42
Hukum pada dasarnya
ditujukan untuk mengatur hubungan antar anggota masyarakat yang
menimbulkan ikatan-ikatan antara individu dengan individu dan antara
individu dengan masyarakat. Ikatan ini menimbulkan hak dan kewajiban,
dalam hal ini yang memperoleh hak dan kewajiban dari hukum adalah
manusia. Manusia mempunyai hak dan kewajiban untuk melakukan suatu
tindakan ataupun peristiwa hukum, contohnya mengadakan perjanjian. Begitu
pula dalam hal pengangkutan udara, yaitu pihak pengangkut atau perusahaan
maskapai penerbangan sebagai penyedia jasa dan pihak penumpang sebagai
pengguna jasa, masing-masing memiliki hak dan kewajiban.43
1. Hak dan Kewajiban Penumpang Maskapai Penerbangan
a. Hak dari penumpang maskapai penerbangan pada umumnya yaitu:
1) Penumpang atau pemakai jasa angkutan dapat naik pesawat
terbang atau udara sampai ke tujuan yang dikehendaki.
2) Penumpang atau ahli waris dapat menuntut ganti rugi apabila
mendapat kerugian yang diakibatkan kecelakaan pesawat terbang
dalam penerbangan dan kelalaian pengangkutan.
Sedangkan kewajiban penumpang maskapai penerbangan pada
umumnya yaitu:
1) Penumpang wajib membayar biaya angkutan udara (Pasal 126
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentng Penerbangan).
2) Penumpang wajib memberitahu kepada pengangkut mengenai
barang-barang yang dibawanya.
42
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cet IV, (Bandung: PT Citra Aditya, 1996), h. 8.
43 Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), h.21.
36
3) Penumpang berkewajiban mentaati peraturan-peraturan
pengangkutan udara serta syarat-syarat perjanjian pengangkutan.
2. Hak dan Kewajiban Perusahaan Maskapai Penerbangan
a. Hak pengangkut atau perusahaan maskapai penerbangan terdapat
dalam Ordonansi Pengangkutan Udara yaitu:
1) Di dalam Pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa pengangkut berhak
untuk meminta kepada pengirim barang atau untuk membuat surat
muatan udara.
2) Di dalam Pasal 9 disebutkan bahwa pengangkut berhak meminta
kepada pengirim barang untuk membuat surat muatan udara, jika
ada beberapa barang.
3) Pengangkut juga berhak menolak pengangkutan penumpang jika
ternyata identitas penumpang tidak jelas.
4) Hak pengangkut yang dicantumkan dalam tiket penumpang yaitu
hak untuk menyelenggarakan angkutan kepada perusahaan
pengangkut lain, serta pengubah tempat-tempat pemberhentian
yang telah disetujui, semuanya tetap ada ditangan pengangkut
udara.
5) Hak untuk pembayaran kepada penumpang atau pengiriman barang
atas barang yang telah diangkutnya serta mengadakan peraturan
yang perlu untuk pengangkutan dalam batas-batas yang
dicantumkan Undang-Undang
b. Kewajiban pengangkut atau perusahaan maskapai penerbangan dalam
Ordonansi Pengangkutan Udara yaitu:
1) Mengangkut penumpang atau barang-barang ketempat tujuan yang
telah ditentukan.
2) Menjaga keselamatan, keamanan penumpang, bagasi barang
dengan sebaik-baiknya.
3) Memberi tiket untuk pengangkutan penumpanng dan tiket bagasi.
4) Menjamin pengangkutan tepat pada waktunya.
5) Mentaati ketentuan-ketentuan penerbangan yang berlaku.
37
6) Wajib memiliki sertifikat atas pesawat udara, mesin pesawat udara,
atau baling-baling pesawat terbang yang digunakan sesuai dengan
rancang bangun (Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009
tentang Penerbangan).
C. Tata Cara Pendirian Maskapai Penerbangan
Izin usaha perusahaan angkutan udara niaga berjadwal dan tidak berjadwal
a. Dasar Hukum:
1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbanngan
2) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2009 Tentang Jenis dan Tarif
Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada
Dapartemen Perhubungan
3) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 25 Tahun 2008
Tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara
b. Persyaratan:
1) Memiliki pendirian badan usaha Indonesia yang usahanya bergerak
di bidang angkutan udara niaga berjadwal atau angkutan udara
niaga tidak berjadwal dan disahkan oleh Menteri yang berwenang;
2) Menyampaikan surat persetujuan dari Badan Koordinasi
Penanaman Modal atau Badan Koordinasi Penanaman Modal
Daerah apabila yang bersangkutan menggunakan fasilitas
penanaman modal;
3) Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
4) Surat keterangan domisili yang diterbitkan oleh instansi yang
berwenang;
5) Menyampaikan tanda bukti modal yang disetor;
6) Menyampaikan garansi/jaminan bank;
7) Menyampaikan rencana bisnis (businessplan) untuk kurun waktu
minimal 5 (lima) tahun yang sekurang-kurangnya memuat:
a) Jenis dan jumlah pesawat udara yang akan dioperasikan:
38
1) Angkuan udara niaga berjadwal memiliki paling sedikit 5
(lima) unit pesawat udara dan menguasai 5 (lima) unit
pesawat udara dengan jenis yang mendukung kelangsungan
usaha sesuai dengan rute yang dilayani;
2) Angkutan udara niaga tidak berjadwal memiliki 1 (satu)
unit pesawat udara dan menguasai 2 (dua) unit pesawat
udara dengan jenis yang mendukung kelangsungan usaha
sesuai dengan rute yang dilayani;
3) Angkutan udara niaga khusus menngangkut kargo
memilliki paling sedikit 1 (satu) unit pesawat udara dan
menguasai 2 (dua) unit pesawat udara dengan jenis yang
mendukung kelangsungan usaha sesuai dengan rute atau
daerah operasi yang dilayani.
b) Rencana pusat kegiatan operasi penerbangan (operationbase)
dan rute penerbangan bagi perusahaan angkutan udara niaga
berjadwal sekurang-kurangnya menggambarkan:
1) Rencana pusat kegiatan operasi penerbangan
(operationbase);
2) Keseimbangan rute penerbangan;
3) Peta jaringan rute penerbangan;
4) Rute frekuensi rotasi diagram penerbangan dan utilisasi
pesawat udara yang akan dilayani secara berrtahap selama 5
(lima) tahun.
c) Aspek pemasaran dalam bentuk potensi permintaan pasar
angkutan udara (demand&supply) sekurang-kurangnya
memuat:
1) Peluang pasar angkutan udara secara umum maupun secara
khusus pada rute penerbangan atau daerah operasi yang
akan dilayani, meliputi:
- Perkembangan jumlah permintaan penumpang atau
kargo per tahun untuk jangka waktu sekurang-
39
kurangnya 5 (lima) tahun terakhir pada rute
penerbangan atau daerah operasi yang akan dilayani;
- Potensi jumlah permintaan penumpang atau kargo per
tahun untuk jangka waktu sekurang-kurangnya 5 (lima)
tahun ke depan pada rute penerbangan atau daerah
operasi yang akan dilayani;
- Rencana utilisasi pesawat udara secara bertahap selama
5 (lima) tahun ke depan bagi perusahaan angkutan
udara niaga tidak berjadwal; dan
- Kondisi pesaing yang ada saat ini pada rute
penerbangan atau daerah operasi yang akan dilayani.
2) Target dan pangsa pasar yang akan diraih, meliputi:
- Segmen pasar yang akan dilayani sesuai dengan bidang
usahanya; dan
- Pangsa pasar (marketshare) per tahun yang akan diraih
pada masing-masing rute penerbangan atau daerah
operasi sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun ke depan.
d) Sumber daya manusia termasuk teknisi dan awak pesawat
udara, sekurang-kurangnya memuat tahapan kebutuhan sumber
daya manusia langsung maupun tidak langsung menyangkut
kualifikasi dan jumlah per tahunn untuk jangka waktu
sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun ke depan
e) Kesiapan dan kelayakan operasi sekurang-kurangnya memuat:
1) Rencana pengadaan, pemeliharaan dan perawatan pesawat
udara;
2) Rencana pengadaan fasilitas pendukung operasional
pesawat udara;
3) Rencana pengadaan fasilitas pelayanan penumpang pesawat
udara; dan
4) Rencana pemasaran jasa angkutan udara.
40
5) Analisis dan evaluasi dari aspek ekonomi dan keungan
sekurang-kurangnya memuat:
- Rencana investasi untuk jangka waktu sekurang-kurangnya
5 (lima) tahun ke depan;
- Proyeksi aliran kas (cashflow), rugi – laba dan neraca untuk
jangka waktu sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun ke depan;
- Hasil perhitungan yang meliputi periode pengembalian
(payback period), nilai bersih saat ini (net present value),
tingkat kemampulabaan (profitable index),tingkat
pengembalin hasil intern ( internal rate of return)
c. Prosedur Pengajuan PermohonanPermohonan izin usaha diajukan
secara tertulis kepada Direktur Jenderal Perhubungan Udara, dengan
tembusan Menteri Perhubungan
d. Penyelesaian Permohonan
Pemberian atau penolakan atas izin diberikan oleh Direktur Jenderal
Perhubungan Udara secara tertulis dalam jangka waktu paling lama 60
(enam puluh) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap.
e. Masa Berlaku
Izin usaha angkutan udara berlaku selama pemegang masih
menjalankan kegiatan angkutan udara secara nyata dengan terus
menerus mengoperasikan pesawat udara sesuai dengan izin yang
diberikan dan di evaluasi setiap tahun.44
D. Macam-Macam Pelanggaran dan Sanksi Maskapai Penerbangan
Sanksi yang diberikan bagi maskapai penerbangan penerbangan
terdapat dalam Pasal 26 Peraturan Menteri Nomor 77 Tahun 2011, yang
berbunyi:
Pasal 26
44
http://hubud.dephub.go.id/?id/izin/detail/1, diakses pada 1 Oktober 2017.
41
(1) Direktur Jenderal dapat memberikan sanksi administrative kepada
pengangkut yang tidak mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2.
(2) Sanksi administrative sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. Peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan
tenggang waktu masing-masing 1 (satu) bulan;
b. Apabila peringatan sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak ditaati
dilanjutkan dengan pembekuan izin usaha angkutan udara niaga untuk
jangka waktu 14 (empat belas) hari kalender.
(3) Apabila pembekuan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
b habis jangka waktu dan tidak ada usaha perbaikan, dilakukan pencabutan
izin usaha.
(4) Pengenaan sanksi administrative sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak menghapus tanggung jawab pengangkut terhadap penumpang,
dan/atau pengirim barang serta pihak ketiga.
E. Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan Menurut Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2009
Tanggung jawab pengangkut adalah kewajiban perusahaan angkutan
udara unutk mengganti kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau
pengirim barang serta pihak ketiga. Tanggung jawab dapat diketahui dari
kewajiban yang telah ditetapkan dalam perjanjian atau undang-undang.
Kewajiban pengangkut adalah menyelenggarakan pengangkutan. Kewajiban
ini mengikat sejak penumpang atau pengirim melunasi biaya angkutan.45
Tanggung jawab pengangkut terhadap penumpang menurut pasal 141
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan adalah
pengangkut bertanggung jawab atas kerugian penumpang yang meninggal
dunia, cacat tetap, luka-luka, yang diakibatkan kejadian angkutan udara di
dalam pesawat dan/atau naik turun pesawat udara, tetapi dalam Undang-
45
Komar Kanta A, Tanggung Jawab Profesional, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994), h. 3.
42
Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan terdapat batasan-batasan
tanggung jawab dari pengangkut terhadap penumpang, yaitu:
1. Pengangkut tidak bertanggung jawab dan dapat menolak untuk
mengangkut calon penumpang yang sakit, kecuali dapat menyerahkan
surat keterangan dokter kepada pengangkut yang menyatakan bahwa orang
tersebut diizinkan dapat diangkut dengan pesawat udara dan wajib
didampingi oleh seorang dokter atau perawat yang bertanggung jawab dan
dapat membantunya selama penerbangan berlangsung.
2. Pengangkut tidak bertanggung jawab untuk kerugian karena hilang atau
rusaknya bagasi kabin, kecuali apabila penumpang dapat membuktikan
bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh tindakan pengangkut atau orang
yang dipekerjakannya.
3. Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh
penumpang karena bagasi tercatat hilang, musnah, atau rusak yang
diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama bagasi tercatat berada
dalam pengawasan pengangkut.
4. Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita karena
keterlambatan pada angkutan penumpang, bagasi, atau kargo, kecuali
apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa keterlambatan tersebut
disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional.
43
BAB IV
ANALISIS PENERAPAN HUKUMAN DALAM PENERBANGAN
PUTUSAN No. 309/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Pst
A. Kronologi Kasus dan Pertimbangan Hakim
Dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
309/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Pst dijelaskan bahwa pihak yang berperkara antara
David M.L. Tobing selaku penumpang atau penggugat dengan PT. Lion
Mentari Airlines selaku perusahaan angkutan udara atau tergugat. Kasus ini
bermula pada tanggal 14 Agustus 2007 ketika David membeli tiket pesawat
melalui PT. Bintang Jaya Pesona Wisata Biro Perjalanan Wisata untuk
keberangkatan Jakarta ke Surabaya hari kamis tanggal 16 Agustus 2007 pukul
08.35 WIB dengan pesawat Wings Air IW 8972 karena mempunyai jadwal
sidang di Pengadilan Negeri Surabaya dan untuk penerbangan pulang
Surabaya ke Jakarta pada hari dan tanggal yang sama pukul 16.15 WIB
dengan pesawat Wings Air IW 8985.
Pada awalnya David melakukan gugatan terhadap PT. Lion Mentari
Airlines dilatarbelakangi karena adanya keterlambatan yang terjadi pada hari
kamis tanggal 16 agustus 2007 David atau penggugat sampai di Terminal 1A
Bandara Soekarno Hatta pada pukul 06.50 WIB dan langsung mengurus Pas
Naik (Boarding Pas) serta membayar airport tax sebesar Rp. 30.000,- dan
menanyakan apakah pesawat on schedule atau tidak yang dijawab oleh
pegawai tergugat tetap on schedule. Pada pukul 07.10 David pergi untuk
sarapan di JW Lounge yang tidak jauh dari pintu masuk keberangkatan sampai
pukul 07.50 David pun keluar menuju pintu A 4 Keberangkatan dengan
maksud akan naik ke pesawat, namun ketika tiba di pintu A 4 David diberikan
informasi oleh pegawai tergugat bahwa pesawat ditunda keberangkatan
selama 90 menit karena pesawat beum berangkat dari Yogya.
David kemudian menanyakan keterlambatan tersebut apakah sudah pasti
90 menit atau lebih dan pegawai tergugat pun menjawab mereka tidak
mengetahui lebih lanjut mengenai hal tersebut dan mempersilahkan David
44
untuk menanyakan hal tersebut ke kantor tergugat di lantai bawah terminal 1
A. Sesampainya di kantor tergugat, David menemui pegawai tergugat Asty
Widyapuri dan menanyakan perihal keterlambatan tersebut yang mana
jawaban yang diberikan sama dengan petugas di pintu keberagkatan A4 bahwa
pesawat terlambat kurang lebih 90 menit dikarenakan masih berada di Yogya
dan pegawai tergugat menyampaikan permohonan maafnya.
David kemudian meminta pertanggungjawaban atas hal ini terlebih karena
keteerlambatan yang diperkirakan kurang lebih selama 90 menit namun pihak
pegawai tergugat tetap memberikan penyataan yang sama dan tidak
memberikan pelayanan yang layak baik itu berupa solusi keberangkatan David
dengan maskapai penerbangan lain serta pihak pegawai tergugat menganggap
bahwa keterlambatan merupakan hal yang biasa terjadi dan harus bisa diterima
oleh penumpang. Oleh karenanya David mengajukan gugatan pada Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat yang mana dalam gugatan tersebut David
mengemukakan bahwa pihak PT. Lion Mentari Airlines selaku tergugat telah
melakukan perbuatan melawan hukum sebagaimana yang tertera dalam Pasal
1365 KUHPerdata yang berbunyi “Tiap perbuatan yang melanggar hukum,
yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena
salahnya menerbitkan kerugian itu, menggantikan kerugian tersebut”
Tergugat dalam jawabannya atas gugatan tersebut menyatakan beberapa
poin yang mana menyatakan bahwa keterlambatan tersebut terjadi karena
alasan teknis (Technical Reason) sehingga pesawat tersebut tidak dapat
diterbangkan dan menyatakan bahwa pegawai tergugat dalam hal ini tidak bisa
memastikan waktu ketrlambatan dikarenakan ketrlambatan atau kedatangan
dipengaruhi oleh banyak faktor seperti cuaca, kondisi bandara dan kendala
teknis. Tergugat juga menolak poin yang disebutkan penggugat yang
menyatakan bahwa keterlambatan merupakan hal yang biasa , karena jika
pihak tergugat melakukan keterlambatan maka akan mempengaruhi jam
operasional mereka dan akan mengeluarkan tambahan biaya operasional untuk
semua rute yang dimiliki tergugat.
45
Dalam kasus ini tergugat menolak bahwa mereka melakukan perbuatan
melawan hukum karena hal tersebut terjadi diluar kemampuan mereka serta
pihak tergugat tidak melakukan pembatalan keberangkatan sebagaimana yang
dimaksud oleh pihak pengugat karena dalam hal ini penggugat sendiri yang
melakukan pembatalan dengan cara membeli tiket penerbangan yang lain,
serta pihak tergugat mengatakan bahwa informs yang diberikan kepada
penggugat sudah jelas dan pemberian konsumsi bukan merupakan suatu
keharusan yang harus dilakukan oleh tergugat. Dalam hal ini tergugat
memohon kepada majelis hakim untuk menolak gugatan seluruhnya.
Pertimbangan hakim dalam kasus ini menimbang dari dalil gugatan
maupun bantahan dari kedua belah pihak yang berperkara dan dihubungkan
dengan bukti-bukti surat yaitu benar bahwa pihak tergugat tidak memberikan
informasi akan kepastian waktu keberangkan dan berdasarkan bukti yang ada
bahwa pesawat yang akan dipakai pada tangga 16 agustus 2007 sedang
diperbaiki tanggal 15 agustus 2007 atau sehari sebelum jadwal penerbangan
tersebut yang mana seharusnyapihak tergugat sudah dapat memastikan apakah
pesawat tersebut sudah dapat digunakan untuk tanggal 16 agustus 2007 atau
belum, sehingga apabila belum dapat untuk diterbangkan pihak tergugat sudah
menyiapkan pesawat pengganti tetapi dalam hal ini tergugat tidak
melakukannya.
Benar adanya bahwa keterlambatan yang terjadi merupkan kesalahan
tergugat selaku pengangkut sehingga berdasarkan Pasal 43 ayat (1) huruf c
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan dan Pasal 42
huruf c Peraturan Pemerintah RI Nomor 40 Tahun 1995 tentang Angkutan
Udara yang mana tergugat harus bertanggung jawab karena keterlambatan
angkutan penumpang terlihat dan terbukti merupakan kesalahan dari pihak
pengangkut atau dalam hal ini adalah pihak tergugat. Pertimbangan hakim
selanjutnya mengenai pemberian informasi, kepastian yang diterima oleh
penggugat dan pemberian pelayanan yang layak kepada penggugat berupa
alternatif penerbangan lain yang mengakibatkan penggugat akhirnya mencari
46
alternatif sendiri agar secepatnya dan tepat waktu untuk menyelesaikan
masalah penggugat di Surabaya.
Rangkaian perbuatan tergugat berupa keterlambatan keberangkatan
pesawat, ketidaksediaan pesawat pengganti, tidak adanya informasi sejak
awal, serta tidak adanya pelayanan yang layak, serta keharusan penggugat tiba
di tempat tujuan guna menyelesaikan urusan penggugat, maka telah dapat
memenuhi unsur perbuatan melawan hukum, yang mana tergugat tidak
melaksanakan kewajiban hukumnya dan melanggar hak penggugat selaku
penumpang, sehingga mengakibatkan kerugian pada penggugat karena
penggugat harus mengeluarkan biaya tambahan untuk membeli tiket pesawat
maskapai penerbangan lain karena terpenuhinya semua unsur perbuatan
melawan hukum maka menurut ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata bahwa
tergugat haruslah bertanggung jawab atas akibatnya yaitu kewajibannya untuk
membayar ganti kerugian kepada penggugat.
Dalam putusan perkara Nomor 309/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Pst hakim
mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya dan putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat dalam kasus ini antara lain:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum;
3. Menyatakan klausula baku pengalihan tanggung jawab atas kerugian
apapun juga yang ditimbulkan oleh pembatalan dan/atau keterlambatan
pengangkutan ini, termasuk segala keterlambatan datang penumpang
dan/atau atas keterlambatan penyerahan bagasi adalah batal demi hukum
dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat;
4. Menghukum Tergugat untuk membayar kerugian kepada Penggugat
sebesar Rp. 718.500 (tujuh ratus delapan belas ribu lima ratus rupiah);
5. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.234.000
(dua ratus tiga puluh empat ribu rupiah)
47
B. Analisis Putusan Perkara No. 309/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Pst
1. Analisis putusan hakim dalam putusan perkara no.
309/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Pst dengan peraturan perundang-undang
Dalam menjalankan usaha pengangkut udara mungkin
menimbulkan kerugian-kerugian baik itu sengaja maupun tidak dan
kerugian-kerugian itu dapat timbul karena suatu kejadian yang
menyebabkan seorang tewas atau luka-luka, atau benda-benda mengalami
kerusakan atau muatan pesawat rusak, hilang atau pesawat udara
terlambat tiba.46
Penggantian kerugian oleh pengangkut atau pihak
maskapai penerbangan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992
tentang Penerbangan terdapat pada Pasal 43 ayat (1) huruf c yang
berbunyi “(1) perusahaan angkutan udara yang melakukan kegitan
angkutan udara niaga bertanggung jawab atas:….., c. keterlambatan
angkutan penumpang dan/atau barang yang diangkut apabila terbukti hal
tersebut merupakan kesalahan pengangkut.”
Ketentuan ganti kerugian yang sama juga dijelaskan dalam
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1995 tentang
Angkutan Udara pada Pasal 42 huruf c. Penundaan penerbangan yang
dilakukan PT. Lion Air dengan alasan teknis menyebabkan penggugat
menderita kerugian, oleh karena itu penggugat meminta kejelasan dan
pertanggung jawaban yang layak dari pihak maskapai.
Namun pihak maskapai dalam kasus ini tidak memberikan
penjelasan yang pasti dan tidak memberikan pelayanan yang layak sebab
pegawai maskapai tersebut menganggap bahwa keterlambatan merupakan
hal yang biasa dan harus diterima oleh calon penumpang. Pihak tergugat
dalam hal ini bisa saja memenangkan kasus mengingat adanya batasan
dalam Pasal 43 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992
tentang Penerbangan yang menjelaskan bahwa pihak maskapai
penerbangan atau tergugat bisa saja tidak dibebankan untuk membayarkan
46
E. Suherman, Aneka Masalah Kedirgantaraan, (Bandung; Mandar Maju, 2000), h. 186.
48
kerugian apabila pihak penggugat tidak dapat membuktikan bahwa
keterlambatan tersebut memang kesalahan pengangkut atau tergugat.
Hal ini selaras dengan prinsip tanggung jawab pengangkut udara
yaitu prinsip Presumption of Liability yang menjelaskan bahwa seorang
pengangkut barang adalah pihak yang dianggap perlu bertanggung jawab
untuk segala kerugian yang ditimbulkan penumpang, barang atau bagasi
dan pengangkut udara, tetapi apabila pengangkut tidak melakukan
kelalaian dan telah berupaya melakukan tindakan yang perlu untuk
menghindari terjadinya kerugian tersebut atau dapat membuktikan bahwa
peristiwa yang menimbulkan kerugian tersebut tidak dapat dihindari,
maka pengangkut dapat dibebaskan dari tanggung jawab membayar
kerugian.
Prinsip ini terdapat pula dalam Pasal 29 ayat (1) Ordonnsi
Pengangkutan Udara yang berbunyi “Pengangkut tidak bertanggung
jawab untuk kerugian, bila ia membuktikan, bahwa ia dan semua orang
yang diperkerjakan olehnya berhubung dengan pengangkut itu, telah
mengambil semua tindakan yang perlu untuk menghindarkan kerugian
atau bahwa tak mungkin bagi mereka untuk mengambil tindakan-tindakan
tersebut. Bila pengangkut membuktikan, bahwa kerugian itu disebabkan
oleh kesalahan dari yang menderita kerugian itu atau kesalahan tersebut
membantunya kerugian itu, hakim dapat mengesampingkan atau
mengurangi tanggung jawab pengangkut”. Adanya pembebasan dari
tanggung jawab ini tentu saja menguntungkan bagi pengangkut dan tentu
merugikan konsumen yang tentunya tidak ada keseimbangan diantara
kedua belah pihak.
Bila dilihat dari penjelasan mengenai prinsip tanggung jawab
tersebut bisa diketahui bahwa tanggung jawab ditimbulkan dari akibat
suatu keadaan yang menyebabkan kerugian ataupun kehilangan terhadap
pihak lain yang merupakan akibat dari penyelenggaraan suatu perjanjian
pengangkutan. Namun dalam kasus ini pihak maskapai udara selaku
pengangkut melakukan suatu kelalaian dan tidak berupaya dengan
49
mengambil suatu tindakan untuk mencegah terjadinya kerugian yaitu
dengan tidak menyiapkan pesawat pengganti untuk hari esok. Peneliti
dalam hal ini setuju dengan pertimbangan dan keputusan hakim bahwa
seharusnya pihak maskapai penerbangan selaku pengangkut atau tergugat
sudah dapat memprediksi apakah pesawat yang diperbaiki sudah dapat
digunakan atau belum, apabila belum bisa untuk digunakan maka pihak
tergugat seharusnya sudah menyiapkan pesawat pengganti untuk jadwal
penerbangan tersebut dan pihak tergugat dalam kasus ini tidak
memberikan kompensasi kepada pihak penggugat yang mana hal ini juga
tidak sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen juga telah diatur dalam BAB III
Pasal 4 huruf h yang berbunyi “h. hak untuk mendapatkan kompensasi,
ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang
diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya”.
Berdasarkan putusan hakim no. 309/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Pst hakim
mendasarkan perbuatan PT Lion Air atau tergugat sebagai perbuatan
melawan hukum sehingga penggantian kerugian didasarkan pada Pasal
1365 KUHPerdata. Perbuatan melawan hukum adalah suatu perbuatan
atau tidak berbuat sesuatu yang mengakibatkan timbulnya kerugian bagi
orang lain tanpa sebelumnya ada suatu hubungan hukum, kewajiban mana
ditujukan terhadap setiap orang pada umumnya dan dengan tidak
memenuhi kewajibannya tersebut dapat dimintai suatu ganti rugi.47
Suatu perbuatan dapat diketahui melakukan perbuatan melawan
hukum apabila perbuatannya mengandung unsur-unsur yaitu ada
perbuatan baik aktif maupun pasif, ada kelalaian baik sengaja maupun
tidak, ada kerugian dan ada hubungan antara perbuatan dengan kerugian
yang dimaksud. Dalam kasus ini peneliti menilai bahwa hakim memilih
menjatuhi hukuman kepada tergugat menggunakan Pasal 1365
KUHPerdata dikarenakan isi dalam Pasal 1365 KUHPerdata itu sendiri
47
Rachmat Setiawan, Tinjauan Elementer Perbuatan Melanggar Hukum, (Bandung: Alumni, 1982), h.7.
50
yang mana ketika seseorang melakukan kesalahan maka harus mengganti
sejumlah kerugian, berbeda denngan batasan yang terdapat dalam Pasal
43 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang
Penerbangan yang mana pihak penggugat harus membuktikan bahwa
pihak tergugat memang benar bersalah yang tentunya sangat merugikan
pihak penggugat. Peneliti dalam hal ini setuju dengan putusan hakim yang
mana menyatakan bahwa tergugat telah melakukan perbuatan melawan
hukum dan menghukum tergugat untuk membayar biaya penggantian tiket
serta membayar biaya perkara seluruhnya.
Seiring berkembangnya beragam hal di era modern ini terutama dalam
sistem transportasi maka peraturan yang dibuat semakin banyak dan lebih
mengatur secara rinci agar terciptanya keseimbangan diantara pelaku
usaha dan konsumen, yang diharapkan supaya pelaku usaha dapat
menjalankan usahanya dan tidak mengabaikan hak-hak konsumen dengan
batasan-batasan yang ada.
Adanya Undang-Undang baru seperti perubahan dari Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan menjadi Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan yang mana di dalamnya diatur
lebih rinci mengenai ketentuan-ketentuan dalam penerbanga, Peraturan
Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab
Pengangkut udara yang mana di dalamnya mengatur mengenai besaran
ganti rugi dan sanksi yang diterima, Peraturan Menteri Perhubungan
Republik Indonesia Nomor 89 Tahun 2015 tentang Penanganan
Keterlambatan Penerbangan (Delay Management) Pada Badan Usaha
Angkutan Udara Niaga Berjadwal di Indonesia yang di dalamnya
mengatur mengenai kategori-kategori keterlambatan beserta besaran
kompensasi yang didapat dan faktor-faktor yang menyebabkan
keterlambatan, dan Peraturan Menteri Perhubungan Udara Nomor 78
Tahun 2017 tentang Pengenaan Sanksi Administratif Terhadap
pelanggaran Peraturan PerUndang-Undangan di Bidang Penerbangan yang
lebih rinci membahas tentang sanksi kepada pihak maskapai yang
51
melakukan kesalahan. Dengan dibentuknya peraturan perUndang-
Undangan diharapkan permasalahan yang ada dalam masalah transportasi
khususnya dalam transportasi udara semakin berkurang serta pelaku usaha
dalam menjalankan bisnisnya tetap mengedepankan hak-hak konsumen.
2. Kesesuaian putusan hakim dalam perkara putusan no.
309/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Pst dengan teori kepastian dan keadilan
hukum
Undang-Undang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi
pedoman bagi individu dalam bertingkah laku dalam bermasyarakat baik
dalam hubungan dengan sesama individu maupun dalam hubungan
bermasyarakat. Aturan-aturan ini yang menjadi batasan-batasan bagi
masyarakat dalam melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan
dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian
hukum.48
Kepastian hukum menurut Utrecht mengandung dua pengertian
yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu
mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan dan
kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan
pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu
dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh
Negara terhadap individu.49
Kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum dapat dikatakan
sebagai bagian dari upaya mewujudkan keadilan, bentuk nyata dari
kepastian hukum adalah pelaksanaan atau penegakan hukum terhadap
suatu tindakan tanpa memandang siap yang melakukan. Menurut Sudikno
Mertokusumo, kepastian hukum adalah jaminan bahwa hukum dijalankan,
bahwa yang berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya dan bahwa
putusan dapat dilaksanakan. Sedangkan dalam putusan perkara no.
48
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta; Kencana, 2008), h. 158.
49 Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
1999), h. 23.
52
309/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Pst bahwa adanya peraturan yang mengatur
tentang kompensasi dan hak-hak yang diperoleh penumpang apabila
terjadi keterlambatan tidak diterapkan dan dijalankan sebagaimana
mestinya seperti yang tertera dalam Undang-Undang yang ada.
Teori kepastian hukum mengkehendaki adanya upaya pengaturan
hukum dalam per-Undang-Undangan yang dibuat oleh pihak berwenang
dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang
dapat menjamin adanya kepastian hukum berfungsi sebagai suatu
peraturan yang harus ditaati.
Pada kasus ini pihak maskapai atau tergugat tidak memberikan
kepastian mengenai jadwal penerbangan kepada penggugat dan para
penumpang, sebagaimana yang seharusnya dilakukan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
dalam Pasal 7 huruf b yang berbunyi “b. memberikan informasi yang
benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau serta
member penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan”. Tetapi
pada kasus ini pihak tergugat tidak memberikan kepastian mengenai
keterlambatan yang terjadi dan berapa lama keterlambatan maskapai
tersebut akan berlangsung, pihak tergugat hanya mengatakan bahwa
pesawat belum tiba di bandara dikarenakan masih berada di Yogya tanpa
ada keterangan lebih lanjut.
Keadilan adalah perekat tatanan kehidupan bermasyarakat yang
beradab. Hukum diciptakan agar setiap individu anggota masyarakat dan
penyelenggara Negara melakukan sesuatu tindakan yang diperlukan untuk
menjaga ikatan sosial dan mencapai tujuan kehidupan bersama ataupun
sebaliknya agar tidak melakukan suatu tindakan yang dapat merusak
tatanan keadilan. Jika tindakan yang diperintahkan tidak dilakukan atau
suatu larangan dilanggar, tatanan sosial akan terganggu karena
terciderainya keadilan. Untuk mengembalikan tertib kehidupan
bermasyarakat, keadilan harus ditegakkan. Setiap pelanggaran akan
mendapatkan sanksi sesuai dengan tingkatan pelanggaran itu sendiri.
53
Teori keadilan menurut Hans Kelsen bahwa semua peraturan umum
adalah “adil” jika benar-benar diterapkan kepada semua kasus yang
menurut isinya peraturan ini harus ditetapkan. Suatu peraturan umum
adalah “tidak adil” jika diterapkan kepada suatu kasus lain yang sama.50
Asas keseimbangan yang dikelompokkan ke dalam teori keadilan
mengingat hakikat keseimbangan yang dimaksudkan adalah keadilan bagi
kepentingan masing-masing pihak yaitu konsumen, pelaku usaha dan
pemerintah.
Dapat disimpulkan bahwa dalam kasus ini maskapai penerbangan
Lion Air bertolak belakang dengan teori kepastian hukum dan teori
keadilan karena ketika penumpang sudah membeli tiket pesawat sesuai
dengan jadwal yang sudah ditentukan maka penumpang tersebut harus
diberangkatkan sesuai dengan jadwal tersebut, apabila terjadi
keterlambatan dan masalah lainnya sudah menjadi kewajiban pihak
maskapai untuk memberikan penjelasan yang lebih karena telah
melakukan keterlambatan yang mana dalam hal ini adil yang dimaksud
ialah ketika maskapai menerima sejumlah uang dari penumpang dan
maskapai itu harus mengantarkan penumpang ke tempat tujuanya.
Bahwa menurut peneliti putusan dan pertimbangan hakim dalam
mengadili kasus keterlambatan penerbangan antara pihak David M.L
Tobing dengan Lion Air sudah sesuai dengan ketetapan yang terdapat di
dalam Undang-Undang. Dalam kasus peneliti menemukan beberapa
kewajiban dari pihak maskapai tetapi tidak dilakukan oleh pihak maskapai
dan hal tersebut membuat pihak penggugat atau penumpang mengalami
kerugian, antara lain:
a. .Tidak memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur
Menurut peneliti berdasarkan pertimbangan hakim dalam kasus ini
sudah sesuai dengan Pasal 7 huruf b Undang-Undang Perlindungan
Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,
menyatakan:
50
Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika cet-2, 2009), h. 8.
54
“b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan
penggunaan, perbaikan dan pemeliharan”
Berdasarkan Pasal 7 huruf b di atas peneliti dapat menyimpulkan
bahwa pihak maskapai penerbangan dalam hal ini sudah lalai dalam
menjalankan kewajibannya sebagai pelaku usaha.
b. Tidak adanya kepastian dan pelayan yang layak kepada penumpang
Menurut peneliti kewajiban maskapai dalam hal ini ketika pihak
pelaku usaha sudah mendapatkan hak nya yaitu mendapatkan sejumlah
uang dari konsumen sudah seharusnya pula pihak konsumen
diberangkatkan ke tempat yang mereka tuju sesuai dengan yang
tercantum di tiket.
Namun pada kenyataannya pihak maskapai dalam hal ini seolah
melepaskan kewajibannya untuk bertanggung jawab dan ganti rugi atas
keterlambatan penerbangan yang terjadi. Bahwa hakim Pengadilan
Negeri dalam hal ini sudah mengikuti ketentuan yang terdapat dalam
Undang-Undang sebagai aturan yang menjadi landasan untuk hakim
ketika memutuskan perkara, bahwa hakim dalam memutuskan perkara
harus bersifat objektif dan tidak memihak, karena dengan adanya
aturan hukum maka akan tercipta masyarakat yang adil, tertib dan
sejahtera.
C. Implementasi Sanksi Yang Diberikan Kepada Pihak Maskapai
Penerbangan
Implementasi atau penerapan sanksi kepada pihak maskapai
penerbangan apabila dilihat berdasarkan peraturan Undang-Undang Nomor 15
Tahun 1992 tentang Penerbangan dan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara masih belum diatur
secara rinci, maka pengenaan sanksi dan ganti rugi jika dilihat berdasarkan
putusan perkara Nomor 309/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Pst berdasarkan Pasal 1365
55
KUHPerdata yaitu perbuatan melawan hukum, jika perbuatan tersebut
melawan hukum maka pelaku harus membayar ganti rugi. Namun jika dilihat
mengenai pengenaan sanksi dan penerapannya sampai sejauh ini sudah
dilakukan semaksimal mungkin dan berjalan dengan baik, menurut Rio
Permana51
selaku Inspektur Angkutan Udara dalam hal penerapan sanksi yang
diberikan apabila maskapai penerbangan melakukan kesalahan atau
keterlambatan beerkepanjangan maka pihak Dirjen Perhubungan Udara dan
memberikan sanksi terguran yang berupa surat atau tulisan kepada pihak
maskapai penerbangan yang melakukan kesalahan tersebut.
Dalam surat teguran tersebut juga terdapat jangka waktu untuk
mengevaluasi pihak maskapainya dan keterangan untuk tidak melakukan
kesalahannya lagi dan harus mempunyai rencana backup apabila kesalahan
tersebut terulang kembali, serta untuk cepat menyelesaikan masalah-masalah
yang ada dalam maskapai tersebut. Apabila sampai waktu yang ditentukan
pihak maskapai belum mengevaluasi dan melakukan kesalahan yang sama.
Implementasi atau penerapan sanksi oleh Direktur Jenderal Perhubungan juga
melihat dari kondisi dan situasi pada saat terjadinya keterlambatan atau
kesalahan pihak maskapai.
Terdapat beberapa faktor yang memang dikecualikan seperti yang
terdapat dalam PM Nomor 89 Tahun 2015 Tentang Penanganan
Keterlambatan Penerbangan (Delay Management) pada Badan Usaha
Angkutan Udara Niaga Berjadwal di Indonesia dalam BAB III Faktor
Penyebab Keterlambatan Pasal 5 ayat (1) yang berbunyi “(1) Faktor yang
menyebabkan keterlambatan penerbangan meliputi: a. faktor manajemen
airline; b. faktor teknis operasional; c. faktor cuaca; dan d. faktor-faktor
lainnya”. Berdasarkan hasil wawancara faktor manajemen airlines bukan
merupakan ruang lingkup Direktur Jenderal Perhubungan, apabila pihak
manajemen maskapai membuat keterlambatan ataupun kesalahan lain maka
harus memberikan kompensasi kepada penumpang.
51
Rio Permana, Inspektur Angkutan Udara, wawancara pada tanggal 8 Desember 2017 di
Kantor Kementerian Perhubungan
56
Menurut Rio Permana mengenai Peraturan Menteri Perhubungan
Republik Indonesia Nomor PM 78 Tahun 2017 Tentang Pengenaan Sanksi
Admministratif Terhadap Pelaksanaan Pelanggaran Peraturan PerUndang-
Undangan di Bidang Penerbangan dibuat karena banyaknya kasus yang terjadi
sebelumnya dan dikarenakan masih terbilang baru maka untuk
memberlakukan implementasi di bidang sanksi hukum masih belum terjadi
akhir-akhir ini karena Peraturan ini masih terbilang baru.
Bahwa menurut peneliti apabila dillihat dari kasus-kasus lain yang
pernah terjadi sebelumnya penerapan sanksi yang diberikan baik oleh hakim
melalui persidangan di pengadilan maupun oleh Dirjen Perhubungan Udara
melalui evaluasi yang dilakukan sudah dilakukan dengan baik dan sudah
diberikan sanksi-sanksi yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam
Undang-Undang yang mengatur. Dengan adanya Undang-Undang baru yang
lebih khusus dalam mengatur sanksi administratif ini menurut peneliti dirasa
sangatlah berguna untuk lebih mengatur perihal sanksi-sanksi ini dengan
lebih detail dan terperinci.
Bentuk-bentuk sanksi dalam hal ini sudah diatur dalam Peraturan Menteri
Perhubungan Udara Nomor 78 Tahun 2017 Tentang Pengenaan Sanksi
Administratif Terhadap Pelanggaran Peraturan PerUndang-Undangan di
Bidang Penerbangan dalam Pasal 11 yang menyatakan:
“(1) Sanksi Administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 berupa:
a. Peringatan;
b. Pembekuan;
c. Pencabutan; dan/atau
d. Sanksi Administratif.”
Pihak maskapai penerbangan yang melakukan keterlambatan
penerbangan hingga menyebabkan kerugian yang sangat besar kepada
konsumen akan diberi surat peringatan atau surat terguran oleh Dirjen
Perhubungan Udara. Apabila sampai jangka waktu yang ditentukan pihak
maskapai belum mengevaluasi dan melakukan kesalahan yang sama maka
Dirjen Perhubungan Udara akan melakukan pembekuan beberapa rute atau
57
mengurangi jumlah rute yang seharusnya diterima oleh pihak maskapai.
Namun jika sampai jangka waktu yang belum ditentukan juga pihak maskapai
masih mengulangi kesalahannya, maka pihak Dirjen Perhubungan Udara akan
melakukan pencabutan beberapa rute.
Sanksi yang dikeluarkan oleh pihak Dirjen Perhubungan Udara tidak
dapat dicabut kembali. Pihak maskapai penerbangan dapat mengajukan ijin
rute baru kepada Dirjen Perhubungan Udara apabila sudah mengevaluasi dan
memperbaiki kinerja maskapai penerbangannya.
Ketentuan mengenai sanksi juga diatur dalam Peraturan Menteri
Perhubungan Nomor PM 77 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab
Pengangkut Angkutan Udara dalam Pasal 26, yaitu:
“(1)Direktur Jenderal dapat memberikan sanksi administratif kepada
pengangkut yang tidak dapat mengasuransikan tanggung jawabnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
(2)Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. Peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan
tenggang waktu masing-masing 1 (satu) bulan;
b. Apabila peringatan sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak ditaati
dilanjutkan dengan pembekuan ijin usaha angkutan udara niaga untuk
jangka waktu 14 (empat belas) hari kalender.
(3) Apabila pembekuan ijin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
b habis jangka waktunya dan tidak ada usaha perbaikan, dilakukan pencabutan
ijin usaha.
(4) Pengenaan sanksi administrative sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak menghapus tanggung jawab pengangkut terhadap penumpang, dan/atau
pengirim barang serta pihak ketiga.”
Dalam Pasal 12 Peraturan Menteri Perhubungan RI Nomor 78 Tahun 2017
Tentang Pengenaan Sanksi Administratif Terhadap Pelanggaran Peraturan
PerUndang-Undangan menyatakan:
“Parameter pertimbangan evaluasi dan analisis terkait penegakan hukum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), dilakukan berdasarkan:
58
a. Ancaman terhadap keamanan penerbangan;
b. Resiko keselamatan penerbangan;
c. Kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan;
d. Pengulangan terjadinya pelanggaran yang sama; dan/atau
e. Pelanggaran lebih dari satu.”
Dalam kasus keterlambatan maskapai sanksi yang diberikan oleh pihak
Direktur Jenderal Perhubungan Udara adalah pemeberian surat teguran dengan
tenggang waktu 1 (satu) bulan dan pemberian surat teguran ini dilakukan
sebanyak 3 (tiga) kali. Jika sampai waktu yang ditentukan belum dipenuhi
surat teguran tersebut maka dilanjutkan dengan pembekuan ijin usaha
angkutan udara niaga selama jangka waktu 14 (empat belas) hari.
59
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Untuk menjawab rumusan masalah dan berdasarkan pembahasan pada bab-
bab sebelumnya, maka peneliti mengemukakan beberapa kesimpulan sebagai
berikut:
1. Bentuk sanksi yang diberikan kepada pihak maskapai dalam putusan
perkara Nomor 309/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Pst berdasarkan pada ketentuan
Pasal 1365 KUHPerdata yang mana orang yang menimbulkan kerugian
harus mengganti kerugian yang ditimbulkan dan belum diatur secara rinci,
tetapi pada saat ini aturan mengenai sanksi berlandaskan pada Peraturan
Menteri Perhubungan Nomor PM 77 Tahun 2011 Tentang Tanggung
Jawab Pengangkut Angkutan Udara dalam Pasal 26 dan dalam Peraturan
Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2017 Tentang
Pengenaan Sanksi Administratif Terhadap Pelanggaran Peraturan
PerUndang-Undangan di Bidang Penerbangan pada pasal 11.
2. Pertimbangan hakim dalam putusan perkara Nomor
309/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Pst sesuai dengan Undang-Undang dan Peraturan-
Peraturan yang ada yang berkaitan masalah keterlambatan penerbangan.
3. Undang-Undang perlindungan konsumen dalam pasal 7 huruf b
menjelaskan bahwa kewajiban pelaku usaha adalah memberikan informasi
yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau
jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
Namun pada kenyataan yang terjadi banyak maskapai penerbangan yang
tidak memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur sehingga
menimbulkan ketidaknyamanan kepada penumpang yang memilih
maskapai tersebut.
60
Berdasarkan teori keadilan dapat peneliti simpulkan bahwa pihak
maskapai Lion Air tidak berlaku adil kepada penggugat dan para
penumpangnya, dikarenakan apabila pihak maskapai melakukan
keterlambatan seharusnya pihak maskapai memberikan kompensasi
kepada penggugat dan para penumpang lain.
Berdasarkan teori kepastian hukum dapat disimpulkan bahwa pada
saat terjadi keterlambatan dalam kasus ini pihak maskapai tidak dapat
memberikan informasi yang benar dan jujur kepada penggugat dan
penumpang lainnya sehingga menimbulkan kebingungan akan jadwal
keberngkatan yang pasti dari maskapai tersebut, dalam hal ini juga telah
tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen.
B. Rekomendasi
Dalam pembahasan di atas peneliti memiliki rekomendasi sebagai berikut:
1. Sanksi yang diberikan kepada pihak maskapai pada saat putusan perkara
ini terjadi belum terlalu dijelaskan lebih rinci dan menyeluruh yang mana
seharusnya aturan-aturan mengenai sanksi sudah dijelaskan pula dalam
aturan-aturan terdahulu agar pengenaan sanksi lebih tegas, karena jika
terus menerus tidak diberikan sanksi akan membuat pihak maskapai lebih
bebas dan tidak mengindahkan peraturan-peraturan yang ada. Apabila
pihak maskapai terus menuerus hanya diberikan surat teguran dan hanya
evaluasi selama beberapa data saja tidak memungkiri bisa saja terjadi
keterlambatan dan hal-hal lainnya secara berulang-ulang.
2. Melihat dari kasus Lion Air diatas seharusnya dengan harga yang
terjangkau daripada maskapai lain tetapi kualitas dan pelayanan harus
disesuaikan dengan peraturan dan ketentuan yang berlaku, tidak hanya
mengedepankan untuk keuntungan bisnis semata. Maskapai penerbangan
seharusnya lebih mengutamakan keamanan dan kenyamanan dalam
menjalankan bisnis penerbangan ini, sehingga para penumpang akan
61
merasa nyaman, serta pihak maskapai seharusnya memberikan informasi
secara jelas dan jujur apabila mengalami masalah-masalah yang
menyebabkan pesawat delay ataupun dibatalkan, dan memberikan
pelayanan dan ganti kerugian sebagaimana yang sesuai dalam Undang-
Undang.
3. Berdasarkan dari pembahasan di atas bahwa kendala-kendala yang
mungkin terjadi tidak hanya dilihat dari pemberian sanksi teguran selama
ini, tetapi berdasarkan pada kenyataan yang mana masih banyak terjadi
keterlambatan dan pihak Dirjen Perhubungan Udara perlu adanya evaluasi
mengenai kondisi di lapangan bukan hanya berdasarkan informasi yang
dilaporkan oleh beberapa pihak dan bukan karena masalah tersebut sudah
menimbulkan kerugian yang besar baru dilakukan evaluasi.
62
DAFTAR PUSTAKA
Referensi Buku
Abbas Salim, H.A, Manajemen Transportasi, Jakarta: Rajawali Pers, 1993
Adji, Usman, Sution, Hukum Pengangkutan di Indonesia, Jakarta: PT Rineka
Cipta, 2005
Ali, Ahmad, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis),
Jakarta: Gunung Agung, 2002
Apeldoorn, Van, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, Ctk. 26,
1996
Arrasjid, Chainur, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2000
Ashshofa, Burhan, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 2004
Bertens, K, Pengantar Etika Bisnis, Yogyakarta: Kanisus, 2000
Ernawan, Erni R, Business Ethics: Etika Bisnis, Bandung: CV. Alfabeta, 2007
Gayo, Iwan, Buku Pintar Seni Senior, Jakarta: Upaya Warga Negara, Ctk. XX,
1995
Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, Ctk. 2, 2009
Kansil, C.S.T & Christine S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, Jakarta:
PT Rineka Cipta, 2011
Kanta A, Komar, Tanggung Jawab Profesional, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994
Mamudji, Sri, et al, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Jakarta: Badan
Penerbit FHUI, 2015
Martono, H.K dan Amad Sudiro, Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik
(Public Internationl and National Air Law), Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2016
Martono, H.Kdan Agus Pramono, Hukum Udara Udara Internasional & Nasional,
Jakarta: PT. RajaGrasindo, 2013
Marwan, M dan Jimmy P, Kamus Hukum, Surabaya: Reality Publisher, 2009
Marzuki, Peter Mahmud, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta; Kencana, 2008
Mas, Marwan, Pengantar Ilmu Hukum, Bogor: Ghalia Indonesia, Ctk. 2, 2011
63
Meliala, Adrianus, Praktik Bisnis Curang, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty,
2005
Miru, Ahmadi, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2004
Nasution, M.N, Manajemen Tranportasi, Bogor: Ghalia Indonesia, 2007
Nawawi, H, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogykarta: Gadjah Mada
University Press, 1995
Poerwadarminta,W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Departemen P dan K,
Jakarta: Balai Pustaka, 1976
Purba, Hasim, Hukum Pengangkutan di Laut, Medan: Pustaka Bangsa Press,
2005
Purwosucipto, HMN, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 3, Hukum
Pengangkutan, Jakarta: Djambatan, 1991
Rasjidi, Lili dan I.B. Wyasa Putra, Hukum sebagai Suatu Sistem, Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1993
Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Cet IV, Bandung: PT Citra Aditya, 1996
Saifullah, Wradipraja, Tanggung Jawab Pengangkutan Dalam Hukum
Pengangkutan Udara Internasional dan Nasional, Jogjakarta:
Liberty, 1989
Samsul, Inosentius, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggung
Jawab Mutlak, Jakarta: Universitas Indonesia, 2004
Saphiro, Ian, Asas Moral Dalam Poitik, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia yang
berkerjasama dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat Jakarta dan
Freedom Institusi, 2006
Setiawan, Rachmat, Tinjauan Elementer Perbuatan Melanggar Hukum, Bandung:
Alumni, 1982
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI, 1968
Soekanto, Soerjono & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat), Jakarta: Rajawali Pers, 2001
Suherman, E, Aneka Masalah Kedirgantaraan, Bandung; Mandar Maju, 2000
64
Suherman, E, Tanggung Jawab Pengangkut dalam Hukum Udara Indonesia,
Bandung: N.V Eresco, 1961
Syahrani, Riduan, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti,
1999
Syarif, Mujar Ibnu & Kamarusdiana, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Jakarta, Ctk. 1, 2009
Syawali, Husni dan Neni Sri Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen,
Bandung: Mandar Maju, 2000
Uli, Sinta, Pengangkutan Suatu Tinjauan Hukum Multimoda Transport Angkutan
Laut, Angkutan Darat dan Angkutan Udara, Medan: USU Press,
2006
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Kencana, 2013
Referensi Peraturan
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab
Pengangkutan Angkutan Udara
Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 89 Tahun 2015
Tentang Penanganan Keterlambatan Penerbangan (Delay
Management) Pada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga
Berjadwal di Indonesia
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan