PERLINDUNGAN HUKUM
-
Upload
yendi-anestesi -
Category
Documents
-
view
941 -
download
5
Transcript of PERLINDUNGAN HUKUM
PERLINDUNGAN HUKUM
BAGI PENDERITA HIV/AIDS DAN TENAGA KESEHATAN
Yendi,dr
Magister Hukum Kesehatan Universitas Soegijapranata Semarang
1. Pendahuluan
Perkembangan AIDS di Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan
perkembangan AIDS di dunia. Pada tahun 1982 ditemukan bahwa telah
terjadi sistem menurunnya kekebalan tubuh pada manusia yang
disebabkan oleh virus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa virus tersebut
dikenal dengan Human Immunodefiency Virus (HIV) dan sindromnya
disebut Aquired Immunne Deficiency Syndrome (AIDS).
Kasus HIV dan AIDS pertama kali ditemukan di Indonesia pada
tahun 1987 di Bali. Jumlah kasus AIDS di Indonesia selama 2 tahun
terakhir menunjukkan kenaikan yang cukup signifikan dengan peningkatan
69% selama dua tahun. Apabila hal ini dibiarkan tanpa tindakan yang
nyata baik dari pihak lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif maupun
masyarakat, maka akan menurunkan angka harapan hidup, menciptakan
banyak yatim piatu, memerlukan alokasi biaya kesehatan yang tinggi
sehingga anggaran publik bisa teralihkan dan menghambat pertumbuhan
ekonomi serta dapat kehilangan generasi (lost generation).
Berdasarkan laporan Triwulan Ditjen Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan (P2PL) Departemen Kesehatan per 31 Desember
2008 rasio kasus AIDS antara laki-laki dan perempuan adalah 3,04 : 1.
Apabila dilihat dari cara penularannya bahwa 48% melalui heteroseksual,
42,2% melalui jarum suntik, dan 3,8% melalui homoseksual.
Proporsi kumulatif kasus AIDS adalah pada kelompok umur 20-29
tahun (50,62%), disusul dengan kelompok umur 30-39 tahun (29,36%)
1
dan sisanya adalah kelompok umur di atas 40 tahun (8,5%). Kasus
terbanyak dilaporkan dari Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Timur, Papua,
Bali, Kalimantan Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Riau dan
Kepulauan Riau.
Pemerintah Indonesia bertekad untuk mencegah dan menanggulangi
HIV dan AIDS secara komprehensif melalui peraturan perundang-
undangan. Peraturan perundangan itu diperlukan untuk melindungi hak
asasi manusia, menanggulangi atau mencegah dan untuk melindungi
orang yang terinfeksi HIV dan AIDS yaitu orang dengan HIV/AIDS (ODHA)
dari sikap diskriminatif masyarakat juga mengatur dan melindungi hak-hak
masyarakat umum.
B. HIV/AIDS dan Hak Asasi Manusia
Terus bertambahnya jumlah orang yang hidup dengan HIV/AIDS di
dunia telah membuat Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan
masalah ini sebagai suatu “global emergency”. Bahkan, Mary Robinson,
mantan United Nations High Commissioner for Human Rights,
menyatakan bahwa masalah HIV/AIDS adalah masalah perlindungan hak-
hak asasi manusia.
Paling kurang terdapat dua hak asasi fundamental yang
berhubungan dengan masalah epidemi global HIV/AIDS. Yang pertama
adalah hak terhadap kesehatan (right to health). Terhadap hak ini, hukum
internasional hak-hak asasi manusia menyatakan bahwa setiap negara di
dunia berkewajiban untuk mengambil langkah-langkah di bidang legislatif,
budgeter maupun administratif untuk memenuhi hak setiap warganya
terhadap kesehatan. Termasuk ke dalam kewajiban ini adalah
mengupayakan cara pengobatan dan perawatan yang memenuhi standar
bagi para penderita, di samping mengupayakan agar obat-obat yang
mereka perlukan dapat diperoleh dengan mudah dan dengan harga yang
terjangkau oleh setiap lapisan masyarakat.
2
Hak kedua yang berhubungan dengan masalah ini adalah hak untuk
bebas dari diskriminasi. Hak untuk bebas dari diskriminasi adalah hak
asasi fundamental yang dibangun di atas prinsip natural justice yang
bersifat universal dan harus selalu terpenuhi. Dengan kata lain, hak untuk
bebas dari diskriminasi termasuk ke dalam rumpun non-derogable rights –
yakni hak-hak yang melekat pada setiap manusia dan tidak pernah boleh
dilanggar di dalam keadaan apapun. Namun demikian, diskriminasi adalah
hal yang selalu dialami oleh orang yang hidup dengan HIV/AIDS.
Penting untuk diingat bahwa perilaku manusia selalu bersentuhan
dengan hukum dan hak azasi manusia (HAM). Sebagai kontrol sosial,
hukum membatasi perilaku tertentu dalam masyarakat agar tidak
merugikan diri sendiri dan anggota masyarakat lainnya. Sebagai social
engineering, hukum menjadi alat yang dapat merekayasa sebuah
perubahan perilaku masyarakat sesuai keinginan dan cita-cita hukum.
Sumber hukum yang mendasari perlindungan Ham HIV/AIDS dapat
dirujuk pada Deklarasi Universal Hak Azasi Manusia (Universal
Declaration of Human Rights), merupakan sebuah deklarasi atau
pernyataan bangsa-bangsa (semesta) mengenai hal-hal universal
menyangkut Hak-Hak Azasi Manusia, serta berbagai Kovenan
Internasional Ham, seperti Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil
dan Politik, Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya,
Kovenan Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskrikminasi
terhadap Perempuan, Kovenan Internasional Menentang Penyiksaan,
Kovenan Internasional Hak-Hak Anak, Kovenan Internasional Menentang
Diskriminasi Rasial, serta hukum nasional Indonesia seperti, UUD 1945,
UU Ham, UU Pengadilan Ham, dan berbagai UU sektoral yang
menyentuh hak-hak masyarakat.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) dari berbagai
negara didesak untuk mengambil peran aktif dalam menangani kasus-
kasus pelangaran ham ODHA. Dalam pertemuan internasional Komnas-
Komnas HAM dari berbagai negara di Jenewa tahun 2001, Direktur
3
Eksekutif UNAID mengidentifikasi lima wilayah praktis di mana Komnas-
Komnas HAM dapat memperkuat kerja mereka berkenaan dengan
HIV/AIDS, sebagai berikut:
1. Melakukan penyelidikan atas kasus-kasus pelanggaran Ham yang
terjadi dalam konteks HIV/AIDS;
2. Melakukan penyelidikan umum yang dipusatkan pada pelanggaran
Ham yang berkaitan dengan HIV/AIDS;
3. Menerima dan di mana memadai menanggapi pengaduan pelanggaran
Ham yang berkaitan dengan HIV/AIDS;
4. Menyediakan nasihat dan bantuan kepada pemerintah berkenaan
dengan masalah Ham dan HIV/AIDS;
5. Melakukan pendidikan Ham dalam konteks HIV/AIDS.
KOMNAS-HAM Indonesia berdasarkan UU No. 39 Tahun l999
tentang HAM, mempunyai kompetensi untuk menjalankan fungsi-fungsi
pemantauan, mediasi, penyuluhan dan pengkajian di bidang Ham. Lima
wilayah yang didentifikasi tersebut tentu dapat dilakukan oleh Komnas-
Ham Indonesia, dalam hal ini Sub-Komisi Perlindungan Kelompok
Masyarakat khusus, termasuk namun tidak terbatas masyarakat ODHA.
Prinsip-prinsip HAM :
1. Tidak dapat dipisah-pisahkan dan saling tergantung antar satu hak
dengan hak yang lainnya. Kita tidak dapat hanya menerima satu atau
beberapa bagian dari hak tersebut saja, kita harus mengakui dan
memenuhi hak-hak yang lainnya.
2. HAM universal berlaku bagi semua manusia, tanpa diskriminasi,
mengesampingkan gender, status HIV, ras, agama, seksualitas, umur,
kemampuan, dan kelas.
3. Pertanggungjawaban, negara dan masyarakat semuanya
bertanggung jawab untuk menghormati HAM. Kita memiliki tanggung
jawab dalam menghormati HAM sesama masyarakat sementara
negara memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa semua hak
warga negaranya telah terpenuhi.
4
4. Partisipasi, untuk memenuhi hak, kita perlu untuk mengetahui
tanggung jawab dan peran yang harus kita mainkan untuk
memenuhinya.
5. Diakui secara internasional dan dilindungi secara hukum, terdapat
badan-badan dunia dan nasional yang memang bertugas untuk
mengawasi apakah telah terjadi pelanggaran HAM dalam sebuah
negara atau konteks-konteks tertentu.
6. Melampaui kedaulatan negara, tak ada satu negara pun yang boleh
menolak untuk bekerja sama dalam penguatan warga negara
memenuhi HAM-nya. Negara yang melakukannya berisiko untuk
menghadapi sanksi internasional.
Melindungi hak asasi manusia berarti:
Mendukung dan membela orang yang haknya terancam
Memperbaiki dan mengimbangi pelanggaran apabila terjadi
Mengupayakan mengubah kondisi kemiskinan, ketidakberdayaan dan
ketergantungan yang membuat orang rentan terhadap pelanggaran
hak mereka
Memajukan hak asasi manusia dalam konteks HIV dan AIDS berarti:
Mendorong orang agar menghormati hak masing-masing, dan
memperlakukan orang lain dengan cara mereka ingin diperlakukan
sendiri
Menjamin bahwa penyuluhan dan akses terhadap layanan kesehatan
tersedia untuk semua
Membimbing orang untuk membantu mereka mengatasi rasa takut,
ketidaktahuan dan prasangka yang akan mendorong mereka
menginjak hak orang lain
Sementara itu Hak Azasi Manusia dalam konteks HIV/AIDS adalah :
1. Sebelum mengetahui terinfeksi atau tidak
Informasi dan keterampilan untuk melindungi diri dari penularan
Konseling sebelum menjalani tes HIV
Memberikan persetujuan atau tidak sebelum menjalani tes HIV
5
Tes dan hasilnya dirahasiakan
2. Hidup dengan HIV / AIDS
Hak untuk tidak dibedakan, serta persamaan di hadapan hukum.
Hukum HAM internasional menjamin perlindungan yang sama di
hadapan hukum dari diskriminasi atas dasar apapun, seperti ras,
warna kulit, bahasa, agama, politik atau pendapat, asal-usul, dan
status yang lainnya termasuk status HIV.
Hak untuk hidup
Hak untuk mendapatkan standar kesehatan fisik dan mental
tertinggi yang bisa dicapai
Hak atas privasi
Hak untuk bekerja
Hak untuk bergerak atau berpindah tempat
Hak untuk menikah dan membangun keluarga
Hak untuk mengakses pendidikan
Hak untuk berkumpul
Hak untuk mengikuti program asuransi
3. Saat dan setelah meninggal
Hak untuk jenazahnya diperlakukan dengan bermartabat
Hak untuk mendapatkan pelayanan dan penguburan yang layak
Hak untuk tidak dibocorkan identitasnya
Hak bagi keluarganya untuk tidak diganggu
Hak untuk mendapatkan santunan dan pensiun yang menjadi
haknya
Hak asasi manusia yang tercantum di bawah ini diikuti oleh
pelanggaran yang umumnya terjadi berkaitan dengan HIV/AIDS atau
kelompok rentan:
Kebebasan, keamanan dan kebebasan gerak
o tes HIV yang dipaksakan
6
o karantina, pengasingan/isolasi dan pemisahan
Kebebasan dari perlakuan yang tidak manusiawi atau penghinaan
o isolasi, misalnya pada narapidana yang HIV-positif
o keterlibatan dalam uji coba klinis tanpa persetujuan berdasarkan
informasi yang lengkap
Perlindungan oleh hukum yang sama
o tidak diberikan nasihat atau layanan hukum
Hak pribadi
o hasil tes tidak dirahasiakan atau diumumkan tanpa persetujuan
o nama Odha wajib dilaporkan ke instansi kesehatan yang
berwenang (yang membuat HIV penyakit yang wajib dilaporkan)
Penentuan nasib sendiri
o orang yang rentan terhadap atau terpengaruh oleh HIV dilarang
berkumpul
Hak untuk menikah, mempunyai keluarga dan menjalin hubungan
o aborsi atau sterilisasi yang dipaksakan
o tes HIV yang diwajibkan sebelum menikah
o diskriminasi terhadap hubungan sesama jenis
Ketersediaan yang sama terhadap layanan kesehatan
o kekurangan obat yang sesuai, kondom dll.
o penolakan untuk merawat atau mengobati Odha
Pendidikan
o tidak tersedianya informasi yang memungkinkan orang membuat
pilihan yang berdasarkan informasi lengkap
o penolakan untuk memberikan pendidikan karena status HIV
Kesejateraan sosial dan perumahan
o penolakan ketersediaan perumahan atau layanan sosial
Pekerjaan
o pemecatan dari, atau diskriminasi di tempat kerja
7
o asuransi atau tunjangan lain yang terbatas atau tidak tersedia sama
sekali
o tes HIV sebagai prasyarat untuk pekerjaan
Pengintegrasian Prinsip pokok HAM dalam Peraturan perundang-
undangan merupakan perwujudan negara untuk menghormati, melindungi
dan memenuhi hak asasi manusia. Ketentuan hukum hak asasi manusia
memberi penegasan sebagai berikut:
1. Menempatkan negara sebagai pemangku tanggung jawab (duty
holder), yang harus memenuhi kewajiban-kewajibannya dalam
pelaksanaan hak asasi manusia, baik secara internasional maupun
internasional; sedangkan individu dan kelompok-kelompok masyarakat
adalah pihak pemegang hak (right holder).
2. Negara dalam ketentuan hak asasi manusia tidak memiliki hak. Negara
hanya memikul kewajiban dan tanggung jawab (obligation and
responsibility) untuk memenuhi hak warga negaranya (baik individu
maupun kelompok) yang dijamin dalam instrumen-instrumen hak asasi
manusia internasional.
3. Apabila negara tidak mau (unwilling) atau tidak punya keinginan untuk
memenuhi kewajiban dan tanggungjawabnya, pada saat itulah negara
bisa dikatakan telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia atau
hukum internasional. Apabila pelanggaran tersebut tidak mau
dipertanggung jawabkan oleh negara, maka tanggung jawab itu akan
diambil alih oleh masyarakat internasional. Pengakuan terhadap
prinsip-prinsip pokok HAM akan sangat membantu negara dan
masyarakat dalam memantau pelaksanaan HAM khususnya pada
pelaksanaan pencegahan dan penanganan HIV dan AIDS. Karena
permasalahan HIV dan AIDS berhubungan marginalized people
sehingga perlu dimunculkan (mainstreaming).
Prinsip pokok HAM yang harus dipahami, yaitu bahwa HAM, tidak
bisa dibagi (indivisibility), saling bergantung dan berkaitan (interdepence
and interrelation), partisipasi dan kontribusi (participation and
8
contribution), kesetaraan dan nondiskriminasi (equality and non-
discrimination), dan tanggung jawab negara dan penegakan hukum (state
responsibility).
1. Tidak bisa dibagi (indivisibility). Hak-hak sipil, politik, sosial, budaya
dan ekonomi melekat (inherent), menyatu sebagai bagian dari
harkat martabat manusia yang tidak terpisahkan. Hak setiap
manusia untuk memperoleh penghidupan yang layak merupakan
hak yang tidak dapat ditawar lagi.
2. Saling bergantung dan berkaitan (interdependence and
interrelation). Pemenuhan terhadap suatu hak akan sangat
tergantung pada pemenuhan hakhak lainnya. Sebagai contoh,
dalam hal tertentu hak untuk memperoleh derajat kesehatan yang
tinggi serta hak untuk memperoleh informasi merupakan hak yang
saling bergantung dan berkaitan satu sama lain.
3. Partisipasi dan Kontribusi (Participation and contribution). Setiap
manusia dan seluruh masyarakat (termasuk ODHA) berhak untuk
turut serta berperan aktif secara bebas dan berarti berpartispasi
untuk menikmati kehidupan pembangunan di bidang politik, sipil,
ekonomi, sosial, dan budaya.
4. Kesetaraan dan Non-diskriminasi (Equality and non-discrimination).
Setiap individu adalah sederajat sebagai umat manusia serta
memiliki kebaikan yang melekat (inherent) di dalam harkat dan
martabatnya masing-masing. Setiap manusia berhak sepenuhnya
atas haknya tanpa ada perbedaan yang didasarkan atas ras, warna
kulit, jenis kelamin, etnis, usia, bahasa, agama, pandangan politik
dan pandangan lainnya, kewarganegaraan dan latar belakang
sosial, cacat (fisik maupun mental), tingkat kesejahteraan, kelahiran,
atau status lainnya.
C. Perlindungan Hukum Penderita HIV/AIDS dalam UU Kesehatan
9
Dalam pasal 4 UU Kesehatan No. 36/2009 dinyatakan bahwa setiap
orang berhak atas kesehatan. Permasalahan HIV dan AIDS sangat terkait
dengan hak atas kesehatan. Hak atas kesehatan adalah aset utama
keberadaan umat manusia karena terkait dengan kepastian akan adanya
pemenuhan hak yang lain, seperti pendidikan dan pekerjaan.
Secara garis besar, didalam UU kesehatan perlindungan hukum
terhadap penderita HIV/AIDS diatur mengenai:
Hak atas pelayanan kesehatan
Hak atas informasi
Hak atas kerahasiaan
Hak atas persetujuan tindakan medis
Hak atas Pelayanan Kesehatan
UU Kesehatan mewajibkan perawatan kesehatan diberlakukan
kepada seluruh masyarakat tanpa kecuali, termasuk penderita HIV/AIDS.
Dalam Pasal 5 UU Kesehatan dinyatakan bahwa terdapat kesamaan hak
tiap orang dalam mendapatkan akses atas sumber daya kesehatan,
memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau.
Tugas pemerintah dalam hal ini untuk menyediakan tenaga medis,
paramedik dan tenaga kesehatan lainnya yang cukup dalam memberikan
pelayanan kesehatan bagi penderita HIV/AIDS dan menjamin
ketersediaan segala bentuk upaya kesehatan sehingga tercapai derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya.
Penyediaan obat dan perbekalan kesehatan serta jaminan
ketersediaan obat dan alat kesehatan diatur dalam UU Kesehatan dan
berlaku juga bagi penderita HIV/AIDS.
Hak atas Informasi
Pasal 7 UU Kesehatan secara tegas mengatakan bahwa setiap
orang berhak mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan
10
serta informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan
pengobatan atas dirinya pada pasal 8.
Peningkatan pendidikan untuk menangani HIV dan AIDS termasuk
metode pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS serta
peningkatan pemahaman masyarakat mengenai pentingnya pencegahan
dan penyebaran HIV dan AIDS, misalnya melalui penyuluhan dan
sosialisasi merupakan upaya dalam memberikan informasi mengenai
HIV/AIDS.
Hak atas Kerahasiaan
Hak atas kerahasiaan dalam UU Kesehatan diatur dalam Pasal 57
dimana setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatannya. Selain itu
UUPK No. 29/2004 juga mengatur mengenai rahasia medis dan rekam
medis ini pada paragraph 3 dan 4 tentang rekam medis dan rahasia
kedokteran.
Rahasia Medis itu bersifat pribadi, hubungannya hanya antara dokter
- pasien. Ini berarti seorang dokter tidak boleh mengungkapkan tentang
rahasia penyakit pasien yang dipercayakannya kepada orang lain, tanpa
seizin si pasien.
Masalah HIV / AIDS banyak sangkut pautnya dengan Rahasia Medis
sehingga kita harus berhati hati dalam menanganinya. Dalam
mengadakan peraturan hukum, selalu terdapat dilema antara kepentingan
masyarakat dan kepentingan perseorangan. Seringkali harus
dipertimbangkan kepentingan mana yang dirasakan lebih berat. Dalam
sistim Demokrasi, Hak Asasi seseorang harus diindahkan, namun Hak
Asasi ini tidaklah berarti bersifat mutlak. Pembatasan dari Hak Asasi
seseorang adalah Hak Asasi orang lain didalam masyarakat itu. Dalam hal
ada pertentangan kepentingan, maka hak perorangan harus mengalah
terhadap kepentingan masyarakat banyak. Kebebasan atas kepentingan
individu tidak dipertahankan sedemikian rupa sehingga sampai
membahayakan kepentingan orang lain atau masyarakatnya. Namun kita
11
melihat ada pengecualian bersifat rahasia mutlak yang berkaitan dengan
HIV / AIDS.
Selain didalam Sumpah Hippocrates, kewajiban menyimpan Rahasia
Medis juga terdapat pada:
1. Declaration of Geneve Ini adalah suatu versi Sumpah Hippocrates yang
di modernisasi dan di introduksikan oleh World Medical Association.
Khusus yang Menyangkut Rahasia Medis berbunyi: "I will respect the
secrets which are confided in me, even after the patient has died."
2. International Code of Medical Ethics Pada tahun 1968 di Sidney
diadakan perubahan pada Declaration of Geneve yang kemudian
menjadi pedoman dasar untuk International Code of Medical Ethics.
Yang menyangkut Rahasia Medis berbunyi: " A doctor shall preserve
absolute secrecy on all he knows about his patient because the
confident entrusted in him."
3. Declaration of Lisbon, 1981 Deklarasi ini menetapkan pula bahwa
pasien berhak untuk meminta kepada dokternya agar mengindahkan
sifat rahasia dari segala data medis dan data pribadinya. "The patient
has the right to expect that his physician will respect the confidential
nature of all his medical and personal details."
4. Kode Etik Kedokteran Indonesia ( KODEKI ), tahun 2002 Pasal 12: "
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya
tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal
dunia."
5. Peraturan Pemerintah No.26 Tahun 1966 Peraturan ini juga memuat
Lafal Sumpah Kedokteran.
6.Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1966 Didalam Peraturan
Pemerintah tersebut diperluas berlakunya wajib simpan Rahasia Medis
ini juga bagi tenaga kesehatan lainnya, seperti perawat, bidan,
mahasiswa kedokteran, ahli farmasi, laboratorium, radiologi dan lain
lainnya.
12
Pengungkapan Rahasia Medis harus dengan persetujuan dan izin
pasien, misalnya kepada pihak Asuransi yang memerlukan data data
medis pasien yang telah menutup asuransi kesehatan. Untuk memeriksa
benar tidaknya suatu klaim, maka diperlukan data data medis pasien,
yang harus diajukan ke rumah sakit melalui dokternya. Untuk itu pasien
harus membuat pernyataan tertulis bahwa ia telah memberi kuasa untuk
meminta data data medis dari dokter / rumah sakitnya. Tanpa Surat
Persetujuan dari pasien tersebut, rumah sakit / dokternya tidak boleh
memberikan data data medis pasien tersebut kepada pihak ketiga, dalam
hal ini pihak Asuransi. Bahkan jika memberikan, pihak rumah sakit / dokter
bisa dituntut secara hukum.
Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa data data medis itu adalah
MILIK PASIEN, bukan milik dokternya. Disamping itu rumah sakit dibebani
kewajiban untuk menyimpan data data medis yang tercantum dalam
Rekam Medis selama paling sedikit 5 tahun.
Hak atas Persetujuan Tindakan Medis / Informed Consent
Dalam pasal 56 UU Kesehatan diatur tentang persetujuan tindakan
medis atau informed consent. Masalah AIDS juga ada kaitan erat dengan
Informed Consent. Merupakan tugas dan kewajiban seorang dokter untuk
memberikan informasi tentang penyakit-penyakit yang diderita pasien dan
tindakan apa yang hendak dilakukan, disamping wajib merahasiakannya.
Pada pihak lain kepentingan masyarakat juga harus dilindungi.
Menurut PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan UU no 29 th
2004 Pasal 45 serta Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran KKI tahun
2008 maka Informed Consent adalah persetujuan tindakan kedokteran
yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah
mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran
yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Menurut Lampiran SKB IDI
No. 319/P/BA./88 dan Permenkes no 585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang
Persetujuan Tindakan Medis Pasal 4 ayat 2 menyebutkan dalam
13
memberikan informasi kepada pasien / keluarganya, kehadiran seorang
perawat / paramedik lainnya sebagai saksi adalah penting.
Persetujuan yang ditanda tangani oleh pasien atau keluarga
terdekatnya tersebut tidak membebaskan dokter dari tuntutan jika dokter
melakukan kelalaian. Tindakan medis yang dilakukan tanpa persetujuan
pasien atau keluarga terdekatnya, dapat digolongkan sebagai tindakan
melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351.
Tujuan Informed Consent:
a. Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap tindakan dokter
yang sebenarnya tidak diperlukan dan secara medik tidak ada dasar
pembenarannya yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasiennya.
b. Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan
dan bersifat negatif, karena prosedur medik modern bukan tanpa
resiko, dan pada setiap tindakan medik ada melekat suatu resiko
(Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 3 ).
Tindakan medis yang dilakukan tanpa izin pasien, dapat
digolongkan sebagai tindakan melakukan penganiayaan berdasarkan
KUHP Pasal 351 ( trespass, battery, bodily assault ). Menurut Pasal 5
Permenkes No 290 / Menkes / PER / III / 2008, persetujuan tindakan
kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik kembali oleh yang memberi
persetujuan, sebelum dimulainya tindakan ( Ayat 1 ). Pembatalan
persetujuan tindakan kedokteran harus dilakukan secara tertulis oleh yang
memberi persetujuan (Ayat 2 ).
Semua tes HIV harus mendapatkan informed consent dari pasien
setelah pasien diberikan informasi yang cukup tentang tes, tujuan tes,
implikasi hasil tes positif ataupun negatif yang berupa konseling prates.
Sehingga dapat dipastikan bahwa informed consent telah meliputi tiga
aspek penting :
a. Persetujuan harus diberikan secara sukarela
14
b. Persetujuan harus diberikan oleh individu yang mempunyai
kapasitas dan kemampuan untuk memahami.
c. Persetujuan harus diberikan setelah diberikan informasi
yang cukup sebagai pertimbangan untuk membuat
keputusan.
Persetujuan pada hasil HIV harus bersifat jelas dan khusus,
maksusnya persetujuan harus diberikan terpisah dari persetujuan tindakan
medis atau tindakan perawatan lain. Persetujuan baiknya juga dalam
bentuk tertulis karena persetujuan secara verbal memungkinkan pasien
untuk menyangkal persetujuan yang telah diberikannya dikemudian hari.
D. Perlindungan Hukum Tenaga Kesehatan
Perlindungan hukum terhadap tenaga kesehatan dalam UU
Kesehatan diatur dalam Pasal 27, dimana tenaga kesehatan berhak
mendapatkan imbalan dan perlindungan hukum dalam melaksanakan
tugas sesuai dengan profesinya.
Pada prinsipnya, semua jajaran tenaga kesehatan didukung tenaga
non kesehatan dalam prakteknya memperhatikan beragam aturan sbb :
1. Status tenaga kesehatan dalam profil standar
2. Menerapkan standar pelayanan medis sesuai dengan disiplin ilmu.
3. Operasional standar pelayanan medis sesuai dengan indikasi,
sistematika ditindaklanjuti dengan protap atau SOP
4. Dalam semua tindakan medis sangat memperhatikan saling
memahami dan menyetujui serta menghormati akan hak pasien yang
tertuang dalam Informed Consent (IC)
5. Rekaman tindakan medis yang dibantu / bersama / oleh dengan
tenaga kesehatan dan non kesehatan yang lain, sebaiknya cukup
lengkap dan benar. Rekaman kesehatan terpaku (RM, asupan
keperawatan, kefarmasian, gizi, Lab dan Administrasi )
6. Penjaringan/selektif mengenai kerahasiaan pelayanan medis,
diagnosa dan prognosa atau efek samping harus diwaspadai, perlu
dicermati.
15
7. Indikasi penggunaan sarana medis khususnya alat canggih betul
selektif dan tepat guna.
8. Administrasi standar termasuk tarif normatif saja
9. Semua tindakan medis dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah
medis ada transparasi.
10. Adanya kemungkinan aspek hukum, rambu-rambu antisipasi atau
kenetralan perlu mendapat kewaspadaan.
Semua tindakan atau perilaku tersebut untuk suatu upaya
pengamanan timbal balik antara tenaga kesehatan dan pasien/keluarga
dan berhasil.
Berkaitan dengan masalah kerahasiaan yang sangat erat
hubungannya dengan HAM penderita HIV/AIDS tenaga kesehatan
diwajibkan menjaga kerahasiaan penderita seperti yang diwajibkan dalam
peraturan perundang-undangan. Khusus untuk kasus HIV/AIDS diatur
tentang pelaporan HIV/AIDS dalam:
1. Instruksi Menteri Kesehatan RI No 72 / Menkes / Instll / 1988
tentang kewajiban melaporkan penderita dengan gejala AIDS. Ketentuan
tersebut hanya ditujukan kepada petugas kesehatan dan sarana
pelayanan kesehatan saja. Tindakan yang diambil hanyalah pelaporan
kepada Dirjen P2MPLP saja dengan memperhatikan kerahasiaan pribadi.
2. Surat Keputusan Menko Kesra No 9 Tahun 1994 tentang Strategi
Nasional Penanggulangan HIV / AIDS " Setiap pemeriksaan untuk
mendiagnosis HIV / AIDS harus didahului dengan penjelasan yang benar
dan mendapat persetujuan yang bersangkutan ( Informed Consent ).
Sebelum dan sesudahnya harus diberikan konseling yang memadai dan
hasil pemeriksaan wajib dirahasiakan."
Pasal 12 kode etik kedokteran Indonesia yang memuat tentang
kewajiban menjaga kerahasiaan penderita, mengandung sanksi hukum :
1. Pasal 322 Kitab UU Hukum Pidana ( KUHP )
2. Pasal 1365 Kitab UU Hukum Perdata
16
3. Sanksi Administratif dari MenKes ( berdasar PP no 10
tahun1966 tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran )
Kejadian ini dapat dihindarkan karena adanya hak undur diri dimana
tenaga kesehatan mendapat perlindungan hukum berdasarkan Menurut
Pasal 170 KUHP
1. Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya
diwajibkan menyimpan rahasia, dapat dibebaskan dan kewajiban
untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang
dipercayakan kepada mereka.
2. Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk
permintaan tersebut, maka pengadilan negeri memutuskan apakah
alasan yang dikemukakan oleh saksi atau saksi ahli untuk tidak
berbicara itu, layak dan dapat ditenima atau tidak.
Penegakan hak undur diri dapat dianggap sebagai pengakuan para
ahli hukum, bahwa kedudukan jabatan itu harus dijamin sebaik-baiknya.
Hal tersebut membebaskan seorang dokter untuk menjadi saksi ahli dan
kewajibannya untuk membuka rahasia jabatan, namun pembebasan itu
tidak selalu datang dengan sendirinya.
Pasal 57 (2) UU Kesehatan mengatur tentang hilangnya hak pribadi
dalam rahasia medis dalam kondisi: perintah undang-undang, perintah
pengadilan, izin yang bersangkutan, kepentingan masyarakat dan
kepentingan orang tersebut.
Ketentuan mengenai informed consent pun merupakan payung
hukum bagi tenaga kesehatan karena sesuai dengan tujuan informed
consent memberi perlindungan hukum kepada dokter dan tenaga
kesehatan lainnya terhadap suatu kegagalan dan bersifat negatif, karena
prosedur medik modern bukan tanpa resiko, dan pada setiap tindakan
medik ada melekat suatu resiko (Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008
Pasal 3 ) sehingga terhindar dari resiko tuntutan melakukan penganiayaan
berdasarkan KUHP Pasal 351 ( trespass, battery, bodily assault )
17
Daftar Pustaka
Nursalam M. Asuhan keperawatan pada pasien terinfeksi HIV/AIDS, edisi
ke-1. Jakarta: Salemba Medika; 2007.
Moeloek FA, Purwadianto A, Suharto A. Kesehatan dan hak asasi
manusia: Prosiding seminar dan lokakarya. Jakarta: Ikatan Dokter
Indonesia; 2005.
Yayasan Spirita, website: http://spiritia.or.id
Kongres Internasional ke 6 tentang AIDS di Asia dan Pasifik, HIV/ AIDS
dan Hak Asasi Manusia : Peranan Komnas-Komnas HAM di Asia
Pasifik.
Siyaranamual JR. Etika, hak asasi dan pewabahan aids. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan; 1997
Sucipto Y. menelusuri kebijakan hiv & aids. Jakarta: Tumbuh Dihati; 2009.
Kebijakan depkes dalam penanggulangan hiv/aids ditempat kerja.
Komnas HAM, Pembangunan berbasis hak asasi manusia: sebuah
panduan, Komnas HAM-Australian Government, Jakarta.
18
Asa S. Ham dan hokum dalam aids. Diunduh dari website
www.batukar.info; 2010.
Gambit. Penderita hiv/aids alami diskriminasi pelayanan kesehatan.
Okezone.com; 2008.
Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Himpunan Peraturan Perundang-Undangan. Bandung: Fokus Media;
2004.
19