Perkembangan Kebijakan Otonomi Rumahsakit dan ......Perkembangan Kebijakan Otonomi Rumahsakit dan...
Transcript of Perkembangan Kebijakan Otonomi Rumahsakit dan ......Perkembangan Kebijakan Otonomi Rumahsakit dan...
Perkembangan Kebijakan Otonomi Rumahsakit
dan Pengawasan Rumahsakit di Era Jaminan Kesehatan
Nasional
Laksono Trisnantoro
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK-UGM/ Magister Manajemen Rumahsakit UGM/
Magister Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan UGM
1
Isi:
Sesi 1. Proses menuju otonomi RS dalam 15 tahun terakhir
Sesi 2: Pengawasan RS
• Bagaimana peran sistem pengawasan mutu pelayanan dan hukum?
• Bagaimanakah peran Dinas Kesehatan dalam pengawasan?
• Bagaimanakah Prospek Pengembangan DitJen BUK agar lebih fokus pada fungsi regulator?
2
Sesi 1
Proses menuju otonomi RS dalam 15 tahun terakhir
3
Evolusi perubahan otonomi keuangan di RS pemerintah, selama 15 tahun
4
Kutub Kutub
Lembaga Birokrasi Lembaga Usaha
Dinas
Kesehatan
RS non
swadana
RS Swadana RS BLU PT Askes
Indonesia
PNBP UU BUMD dan UU BUMN Perum (Persero)
Swadana
UU dan
PP BLU
Perjan
Perkembangan Kebijakan Otonomi RS
• Perubahan menjadi BLU merupakan Korporatisasi, bukan privatisasi;
• Menjadi lembaga pelayanan/usaha tidak mencari untung (non-profit);
• Bukan BUMN/BUMD; • Tetap mempunyai misi
sosial.
• Perkembangan ini merupakan hal yang jelas maknanya
5
Catatan:
• RS sebagai BLU sebenarnya bukan Full-Autonomy
6
BLU dan Tingkat Otonomi
Fungsi
Manajemen
dan
Kebijakan
Sentralisasi
Penuh
dengan
Otonomi
Rendah
Otonomi Sebagian Desentralisasi Penuh
Otonomi Tinggi
A B C
Manajemen
Stratejik Sudah ada otonomi
tinggi
Administrasi Sudah ada otonomi
tinggi
Pembelian Sudah ada
otonomi
Manajemen
Keuangan Otonomi
sebagian
Manajemen
Sumber Daya Otonomi
sebagian
Tingkat Otonomi
Makna Perubahan:
Merupakan perubahan yang sarat filosofi RSD mendapatkan pegangan yang dapat dipakai sebagai
pedoman sistem manajemen agar mampu memberikan pelayanan yang bermutu, safe, dan efisien
8
RS sebagai
Unit Birokrasi
di dekade
1980an
RS sebagai
Lembaga
Pelayanan
Pemerintah
yang berfungsi
sosial dan
menggunakan
BLU
PP 38 dan 41/2007, UU Rumahsakit, UU Kesehatan
• Menegaskan bahwa RSD bukan lembaga birokrasi
• RSD menjadi sama dengan RS swasta dalam hal perijinan
• RSD dikelola dengan model business yang mempunyai misi sosial
9
Konsekuensi untuk Rumahsakit Pemerintah
• Memperkuat kemampuan sebagai operator dengan perbaikan mutu pelayanan dan keselamatan pasien serta sistem manajemen RS yang efisien;
• Menggunakan prinsip-prinsip lembaga usaha yang mempunyai misi sosial;
• Diharapkan menjadi operator yang baik, dan patuh terhadap regulasi/aturan yang ada.
10
Siapa Regulator dan Pengawas RS
• Seharusnya Kementerian Kesehatan yang didesentralisasikan sebagian wewenangnya ke Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten
• Dinas Kesehatan menjadi pengawas.
11
Perkembangan terakhir:
• Mempertanyakan manfaat otonomi RS
• Berpijak dari pemahaman adanya fenomena “matahari kembar” di sistem kesehatan kabupaten
• RS Daerah diusahakan menjadi UPT Dinas Kesehatan kembali
• RSD akan menjadi lembaga birokrasi
• Ada kemungkinan Dinas Kesehatan sebagai regulator merangkap sebagai operator
12
Penafsiran Situasi saat ini: Ada pendapat yang
ingin mengembalikan situasi ke dekade 1980an
13
RS sebagai
Unit Birokrasi
di dekade
1980an
RS sebagai
Lembaga
Pelayanan yang
berfungsi sosial
Sesi 2:
Pengawasan RS
14
Apa yang sebenarnya terjadi?
2a.
Peran Dinas Kesehatan
2b.
Peran Kementerian
Kesehatan
15
Sesi 2a: Peran Dinas Kesehatan
• Pasca Desentralisasi (dengan dilikuidasinya KanWil dan KanDep Kesehatan)
• Belum mantap sebagai regulator dan penetap kebijakan serta sebagai pengawas untuk RS
16
Apa yang terjadi saat ini?
• Terjadi proses Revisi PP No.38/2007 dan PP No. 41/2007
• Permenkes mengenai fungsi kelembagaan terkait PP 41/2007 juga sedang disusun
• Isu Penting Saat ini:
– Peran dan kewenangan dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota
– Adanya Jaminan Kesehatan Nasional di dalam sistem kesehatan nasional dan daerah
Peran Dinas Kesehatan
• apakah dinas kesehatan akan fokus sebagai regulator, atau
• akan memiliki fungsi rangkap sebagai regulator sistem kesehatan sekaligus sebagai operator pelayanan kesehatan
Peran Dinas Kesehatan
• Fungsi rangkap ini menjadi semakin kuat apabila RSD kembali menjadi UPT Dinas Kesehatan.
Di sisi lain
• Adanya BPJS di sistem kesehatan , peran pengawasan seharusnya diperkuat
• Dinas Kesehatan harus lebih kuat mengawasi RS yang memberikan pelayanan JKN
Catatan mengenai BPJS dan Peran Dinas Kesehatan dalam JKN
Berdasarkan UU:
BPJS bukan merupakan lembaga kesehatan,.
BPJS merupakan lembaga keuangan.
• Status hukum: sebagai lembaga keuangan non-bank. Diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), bukan oleh Kementerian Kesehatan ataupun Dinas Kesehatan.
• Berbeda dengan RS yang perijinannya diberikan oleh Kementerian Kesehatan/Dinas Kesehatan
• Dengan demikian Dinas Kesehatan tidak mengawasi BPJS tetapi mengawasi RS yang memberikan pelayanan JKN yang dibayar oleh BPJS (UU RS dan UU desentralisasi)
Pertanyaan Kritis
• (1) bagaimana seharusnya peran dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota dalam sistem kesehatan?
• (2) mengapa peran rangkap dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota sebagai regulator/penyusun kebijakan sekaligus operator pelayanan kesehatan harus dihindari?
Dasar Pemikiran Kebijakan
1. Aspek Filosofi dan Sosiologis
2. Aspek Konsep Universal
3. Aspek Hukum
1. Aspek Filosofi dan Sosiologis
Filosofi:
Sektor kesehatan membutuhkan penetap kebijakan/regulator yang kuat
Mengapa?
• karena adanya kemungkinan lembaga pelayanan kesehatan (operator) tidak baik mutunya dan tidak safe.
• Masyarakat harus dilindungi oleh sistem regulasi yang kuat
Aspek Filosofi dan Sosiologis
• Secara sosiologis: sektor kesehatan mirip dengan sektor penerbangan.
• Jika sektor kesehatan tidak diawasi dengan baik, akan banyak pelanggaran yang membahayakan kehidupan manusia.
Kesalahan dalam penanganan kesehatan akan dapat menimbulkan
- kematian ataupun
- kecacatan permanen
yang tidak dapat dikembalikan seperti semula.
Aspek Filosofi dan Sosiologis
• Secara sosiologis: sektor kesehatan mirip dengan sektor penerbangan.
• Jika sektor kesehatan tidak diawasi dengan baik, akan banyak pelanggaran yang membahayakan kehidupan manusia.
Kesalahan dalam penanganan kesehatan akan dapat menimbulkan
- kematian ataupun
- kecacatan permanen
yang tidak dapat dikembalikan seperti semula.
Sektor Penerbangan Sektor Kesehatan
Sektor Pendidikan
Sektor Seni suara, seni lukis, seni lawak
Fungsi melindungi masyarakat di sektor kesehatan:
Dari apa? • Lembaga pelayanan kesehatan yang bermutu
rendah; • Tenaga Kedokteran dan Kesehatan yang tidak
kompeten; • Pelayanan kesehatan tradisional dan alternatif
yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan; • Pelayanan Jaminan kesehatan yang tidak
bermutu. membahayakan pasien, dan ada fraud; • Bisnis obat yang buruk; • Salon kecantikan dan pelangsingan tubuh yang
tidak jelas manfaatnya • Penjualan makanan dan minuman yang buruk; • …
Fungsi melindungi masyarakat di sektor kesehatan:
Dari apa?
Di sebuah Kabupaten padat di Jawa bisa jumlahya 1.3 juta manusia
• Lembaga pelayanan kesehatan yang bermutu rendah;
• Tenaga Kedokteran dan Kesehatan yang tidak kompeten;
• Pelayanan kesehatan tradisional dan alternatif yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan;
• Pelayanan Jaminan kesehatan yang tidak bermutu. membahayakan pasien, dan ada fraud;
• Bisnis obat yang buruk; • Salon kecantikan dan pelangsingan tubuh yang
tidak jelas manfaatnya • Penjualan makanan dan minuman yang buruk; • …
Fungsi Perlindungan ini secara sosiologis:
• Sangat strategis
• Sangat mulia
namun juga
• Sangat sulit
sehingga harus fokus
• Fungsi ini harus ada di pemerintah dan berada di Dinas Kesehatan.
2. Aspek Konsep Universal
• DASAR: konsep Sistem Kesehatan dari WHO 2000, dan 2007
• Pengorganisasian pelaksanaan urusan kesehatan harus sesuai dengan konsep WHO
• agar sistem kesehatan berfungsi dengan baik dibutuhkan lembaga yang kuat untuk menjalankan fungsi stewardship/governance/leadership.
(2007)
Aspek Konsep Universal (2)
• pelayanan kesehatan terutama di rumah sakit, bersifat high risk (seperti sektor perhubungan) harus ada lembaga yang mengatur dan mengawasi termasuk dalam hal perizinannya dengan ketat demi terjaminnya keselamatan pasien.
• Situasi ini sangat berbeda dengan sektor pendidikan sehingga penataannya tidak bisa dijadikan rujukan atau dianalogikan.
Aspek Konsep Universal (3)
Prinsip Good Governance:
• perlu ada transparansi, akuntabilitas, dan efektifitas dalam sistem kesehatan yang dapat terjaga kalau ada pemisahan fungsi di dalam unit-unit pemerintah.
• Dalam situasi saat ini harus ada unit pemerintah yang berada dalam posisi “steering”, bukan “rowing.”
Implikasi Aspek Konsep Universal (4)
Di sebuah sektor, kalau pemerintah tetap melaksanakan kedua peran tersebut, harus jelas mana lembaga yang berperan sebagai pengarah, dan mana lembaga yang berperan sebagai pelaksana atau sebagai pembayar
• Tidak hanya pemisahan, tetapi juga jangan sampai ada 2 lembaga yang berperan sebagai regulator.
3. Aspek Hukum
Dalam 10 tahun terakhir ini, fungsi regulator dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota telah dinyatakan tegas dalam:
• UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 37 ayat (1) (terkait Surat Izin Praktik);
• UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 182 ayat (3) (terkait Pengawasan);
• UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit Pasal 26 ayat (1), (3), dan (4) (terkait Perizinan Rumah Sakit).
• Lampiran PP No. 38 Tahun 2007 khususnya Bidang Kesehatan pada sub bidang 1, 3, 4, dan 6.
• Dalam perubahan PP 38 dan PP 41 serta Permenkes, keberadaan UU tersebut tidak dapat diabaikan
UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 37 ayat (1)
• Pasal 36 – Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan
praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki surat izin praktik.
• Pasal 37 – (1) Surat izin praktik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 36 dikeluarkan oleh pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota tempat praktik kedokteran atau kedokteran gigi dilaksanakan.
UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 182 ayat (3)
Pasal 182 • (1) Menteri melakukan pengawasan terhadap masyarakat
dan setiap penyelenggara kegiatan yang berhubungan dengan sumber daya di bidang kesehatan dan upaya kesehatan.
• (2) Menteri dalam melakukan pengawasan dapat memberikan izin terhadap setiap penyelengaraan upaya kesehatan.
• (3) Menteri dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat mendelegasikan kepada lembaga pemerintah non kementerian, kepala dinas di provinsi, dan kabupaten/kota yang tugas pokok dan fungsinya di bidang kesehatan.
UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit Pasal 26 ayat (1), (3), dan (4)
Pasal 26
• (1) Izin Rumah Sakit kelas A dan Rumah Sakit penanaman modal asing atau penanaman modal dalam negeri diberikan oleh Menteri setelah mendapatkan rekomendasi dari pejabat yang berwenang di bidang kesehatan pada Pemerintah Daerah Provinsi.
• (3) Izin Rumah Sakit kelas B diberikan oleh Pemerintah Daerah Provinsi setelah mendapatkan rekomendasi dari pejabat yang berwenang di bidang kesehatan pada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
• (4) Izin Rumah Sakit kelas C dan kelas D diberikan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota setelah mendapat rekomendasi dari pejabat yang berwenang di bidang kesehatan pada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Lampiran PP No. 38 Tahun 2007 khususnya Bidang Kesehatan pada sub bidang 1, 3, 4, dan 6
• Registrasi, akreditasi, sertifikasi sarana kesehatan
• Pemberian rekomendasi izin sarana kesehatan tertentu
• Registrasi, akreditasi, sertifikasi tenaga kesehatan tertentu
• Pemberian izin praktik tenaga kesehatan tertentu
• Sertifikasi sarana produksi dan distribusi alat kesehatan, Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT)
Lampiran PP No. 38 Tahun 2007 khususnya Bidang Kesehatan pada sub bidang 1, 3, 4, dan 6
• Pemberian rekomendasi izin industri komoditi kesehatan, PBF dan Pedagang Besar Alat Kesehatan (PBAK).
• Pemberian izin apotik, toko obat
• Pembinaan, monitoring, evaluasi dan pengawasan
Catatan khusus mengenai aturan hukum SJSN dan BPJS, serta peran Dinas Kesehatan:
• Dalam peraturan perundang-undangan terkait dengan SJSN dan BPJS (UU No. 40/2004; UU No. 24/2011; Perpres No. 12/2013; Perpres No. 111/2013), kewenangan dinas kesehatan tidak tidak ada.
• Pengawas independen BPJS adalah Otoritas Jasa Keuangan (UU BPJS, 2011)
• Dalam konteksUU BPJS, hasil pengamatan dan diskusi UGM, ada kemungkinan Dinas Kesehatan tidak berperan banyak dalam pelaksanaan JKN.
• Peran Dinas Kesehatan melalui UU RS dan UU desentralisasi
Rekomendasi: Di masa mendatang diharapkan
1. Pengorganisasian pelaksanaan urusan kesehatan dalam revisi PP 38 dan PP 41 menempatkan dinas kesehatan sebagai regulator/penyusun kebijakan di daerah. 2. Pengorganisasian pelaksanaan urusan kesehatan perlu memisahkan fungsi regulator (steering) dengan fungsi operator (rowing).
Rekomendasi
3. RSD diharapkan mempunyai otonomi pengelolaan, namun bertanggung jawab dalam aspek kesehatan ke dinas kesehatan. RSD merupakan obyek perijinan dalam hal ijin lembaga dan ijin praktek tenaga kesehatannya. Jadi RSD bukan sebagai UPT Dinas Kesehatan.
Rekomendasi
4. Pengorganisasian pelaksanaan urusan kesehatan harus memberikan kewenangan bagi dinas kesehatan untuk dapat mengawasi pelaksanaan JKN oleh BPJS Kesehatan di wilayahnya masing-masing, melalui pengawasan RS dan Puskesmas/Layanan Primer pemerintah dan swasta.
Rekomendasi
5. Mengingat fungsi strategis Dinas Kesehatan: Pengorganisasian pelaksanaan urusan kesehatan yang menempatkan dinas kesehatan sebagai regulator/penetap kebijakan, harus didukung dengan remunerasi pimpinan dan staf DinKes yang lebih baik, dan peningkatan kapasitas DinKes agar mampu menjalankan fungsi secara maksimal. Saat ini fungsi ini belum berjalan.
Sesi 2b:
Bagaimana Peran Pemerintah Pusat sebagai regulator/penyusun kebijakan dan pengawas RS?
45
Fokus pada Direktorat Jendral Bina Upaya Kesehatan
• DitJen Bina Upaya Kesehatan melakukan fungsi penetapan kebijakan dan pengawasan RS di Indonesia
• Mengelola 34 RS Vertikal termasuk RS-RS Pendidikan besar
Di dalam Ditjen BUK terjadi pencampuran urusan pemerintah sebagai regulator/pengawas dan operator pelayanan kesehatan
46
Apa implikasinya?
• Secara manajerial kedua fungsi yang berbeda di dalam satu DitJen merupakan hal yang sulit
• Fungsi Regulasi dan pengawasan berbeda filosofi dan cara bertindaknya dengan fungsi operator
• DitJen BUK menjadi tidak fokus dan sulit melakukan pengembangan sebagai regulator dan sekaligus sebagai operator
• Masalah beban kerja, detail kegiatan, dan risiko kegagalan kinerja menjadi besar.
47
Perlu pemisahan
Dasar Filosofi pemisahan
• Sama dengan di Kabupaten/Kota: Perlu ada pemisahan fungsi regulator/penetap kebijakan RS dengan fungsi operator RS
• Mempunyai dampak lebih besar karena menyangkut 250 juta rakyat yang mendapat pelayanan rumahsakit
• Mempunyai dampak pada kemampuan persaingan internasional di RS Vertikal.
48
Kemenkes perlu melindungi masyarakat di sektor kesehatan:
Dari apa? • Lembaga pelayanan kesehatan yang bermutu
rendah; • Tenaga Kedokteran dan Kesehatan yang tidak
kompeten; • Pelayanan kesehatan tradisional dan alternatif
yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan; • Pelayanan Jaminan kesehatan yang tidak
bermutu. membahayakan pasien, dan ada fraud; • Bisnis obat yang buruk; • Salon kecantikan dan pelangsingan tubuh yang
tidak jelas manfaatnya • Penjualan makanan dan minuman yang buruk; • …
Plus
Kemenkes menjadi pendorong utama
• RS-RS di Indonesia agar mampu bersaing dengan RS-RS di luar negeri
• RS-RS Vertikal perlu dikelola dengan sistem manajemen mirip Holding yang mempunyai detail kegiatan.
50
DI Kemenkes saat ini
• Ada tim yang menyusun perubahan struktur organisasi Kementerian Kesehatan;
• Isu pemecahan DitJen BUK tidak ada pada agenda;
• Indonesia mengalami pergantian anggota DPR dan Kabinet dalam waktu dekat ini.
• Perlu membahas isu pemecahan DitJen BUK.
51
Rekomendasi Kebijakan
• Memisahkan urusan operator 34 RS Vertikal dengan urusan penetapan kebijakan dan pengawasan lebih dari 2000 rumahsakit di seluruh Indonesia;
• Untuk mengelola 34 RS vertikal yang mempunyai sistem manajemen keuangan dibutuhkan model manajemen yang mirip dengan sebuah Holding Company di bawah Menteri Kesehatan;
• Di beberapa negara sudah terjadi pemisahan seperti di Singapura.
52
Catatan tambahan: Dalam era JKN
Sistem pembayaran claim serta sistem rujukan dapat memberikan efek negatif, antara lain berupa: • Pelayanan di bawah
standard; • Fraud/penipuan dalam
pemberian pelayanan; • Ketidak adilan geografis.
• Sistem JKN membutuhkan pengawasan RS secara lebih baik dan ketat
• Sistem pengawasan sekarang tidak cukup kuat untuk menjaga mutu, kendali biaya, dan mencegah fraud
• Perlu Ditjen BUK yang lebih fokus pada pembinaan, regulator. Bukan sebagai operator.
53
Penutup: Bagaimana masa depan Kebijakan
Otonomi RS?
• RS Daerah:
• RS Vertikal: • Tergantung pada hasil
perdebatan cara pandang;
• Kekuatan pihak-pihak yang mempunyai pendapat berbeda;
• Keberpihakan pada bukti ilmiah di berbagai negara.
54
55
Perdebatan tentang otonomi RSDaerah sudah terlihat
Ada perbedaan cara pandang
Penganjur Otonomi RSD
Kelompok Penentang (kembali ke birokrasi)
56
VS
Pemetaan Pihak-pihak terkait
Pengajur keras kebijakan otonomi RSD
Penganjur kebijakan otonomi RSD
Tidak berpendapat
Penentang kebijakan otonomi RSD
Penentang Keras Kebijakan otonomi RSD
57
• Perubahan mindset seluruh jajaran dinas kesehatan kesehatan tentang fungsi regulasi belum terjadi.
• RSD yang BLU belum masuk secara kultural ke sistem pemerintahan
• Belum ada pemahaman yang benar tentang desentralisasi pengawasan RS dari Kementerian Kesehatan, dan
• Tidak ada Peningkatan capacity building untuk SDM pengawas RS di Dinas Kesehatan. Belum ada staf fungsional yang dibentuk.
• Ada keengganan RSD untuk diawasi; • Sikap pribadi;
Catatan: • Masih ada Kepala
Dinas Kesehatan yang merasakan bahwa misi sebagai regulator (termasuk ke rumahsakit) yang diamanatkan oleh PP 38/2007 bukanlah urusannya.
• Ada yang menyatakan hanya menambah beban, dan dinas kesehatan tidak mempunyai kemampuan untuk melakukannya.
58
Mengapa terjadi perdebatan?
Akibatnya, ada keluhan antara lain:
• Matahari Kembar:
• Persaingan antara Kepala Dinas Kesehatan dan Direktur RSD
Sebenarnya hal ini tidak perlu kalau:
• Ada pemahaman mengenai peran Kepala Dinas Kesehatan sebagai regulator/pengawas, bukan operator.
• Kesediaan RSD untuk diawasi
59
Apa yang gagal dilakukan antara tahun 2004 – 2013 di daerah:
• Kegagalan penguatan Dinas Kesehatan termasuk tidak adanya pelatihan-pelatihan dan penyusunan peraturan di level daerah
• Kegagalan pengembangan kepala dinas kesehatan agar mampu memimpin lembaganya memasuki era baru desentralisasi pasca PP 38 dan PP 41/2007;
• Kegagalan usaha mendorong dinas kesehatan provinsi, kabupaten & kota untuk menyusun Sistem Kesehatan Daerah dan melaksanakannya fungsi sebagai penetap kebijakan dan pengawas.
60
Masa Depan Otonomi RSD tergantung pada pihak-pihak yang bertentangan:
Pengajur keras kebijakan otonomi RSD
Penganjur kebijakan otonomi RSD
Tidak berpendapat
Penentang kebijakan otonomi RSD
Penentang Keras Kebijakan otonomi RSD
61
1. Apakah akan ada dialog ilmiah? Apakah akan ada bukti ilmiah sebagai dasar penetapan kebijakan?
2. Ataukah hanya sebuah power-game?
Perdebatan tentang otonomi
RS dan Pemecahan DitJen BUK
Belum terlihat
62
Perdebatan kebijakan di Pemerintah pusat tentang otonomi RS dan Pemecahan BUK
• Persiapan struktur baru Kemenkes masih dalam proses;
• Saat ini belum ada perdebatan terbuka mengenai konsep struktur organisasi Kemenkes secara terbuka;
Saat ini waktu yang tepat untuk membahas isu “Pemecahan DitJen BUK”
63
What next?
• Seminar ini secara terbuka mengemukakan mengapa perlu pemecahan BUK dan mengapa fungsi pengawasan RS semakin dibutuhkan dalam era Jaminan Kesehatan.
Seminar ini perlu dilanjutkan dengan diskusi kelompok yang mendalam mengenai “pemecahan DitJen BUK” menjadi dua fungsi:
•Operator
•Regulator
64
Terimakasih
65