Perkembangan Dan Organisasi Lsm
-
Upload
anisrahmanti -
Category
Documents
-
view
31 -
download
2
description
Transcript of Perkembangan Dan Organisasi Lsm
PERKEMBANGAN DAN ORGANISASI LSM
PAPER
diajukan guna melengkapi dan memenuhi tugas Matakuliah Akuntansi Sektor Publik
Oleh:
Kelompok 5
Annisa Aulia Rahmanti (130810301054)NurulFitriyah (130810301061)NindyaTyasHasanah (130810301083)
PROGRAM STUDI STRATA 1 AKUNTANSIJURUSAN AKUNTANSIFAKULTAS EKONOMIUNIVERSITAS JEMBER
2015
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL.............................................................................i DAFTAR ISI.............................................................................................ii BAB 1. PENDAHULUAN......................................................................1
BAB 2. PEMBAHASAN.........................................................................2
2.1 Paradigma Pembangunan dan Pertumbuhan Organisasi
di Masyarakat.............................................................................2
2.2 Filosofi Lahirnya Konsep Civil Society....................................4
2.3 Kategori Civil Society Organization.........................................6
2.3.1 Popular Organization (Organisasi Massa/Rakyat).........6
2.3.2 Organisasi Profesi...........................................................6
2.3.3 NGO/LSM......................................................................7
2.3.4 Organisasi Akar Rumput (Grass Root)..........................8
2.4 NGO Are The Heart of Civil Society.......................................8
2.5 Perbedaan CSO dan NGO/LSM.............................................9
2.6 Pelayanan Publik: Antara Birokrasi, Mekanisme Pasar,
dan LSM...............................................................................10
2.7 Ciri-ciri LSM.........................................................................10
2.8 Bentuk-Bentuk LSM.............................................................10
2.9 Kilas Balik Sejarah LSM.......................................................12
2.10 Peran-Peran LSM.................................................................12
2.11 Faktor-Faktor Penunjang Peran LSM..................................13
2.12 Kategori LSM......................................................................13
2.13 Pengelolaan Organisasi LSM...............................................14
2.14 Sifat dan Karakteristik Akuntansi Lembaga Swadaya
Masyarakat...........................................................................17
2.15 Akuntansi LSM: Sebuah Jawaban Atas Tuntutan
Reformasi.............................................................................18
2.16 Sistem Akuntansi Keuangan dan Akuntansi Biaya
LSM.....................................................................................19
2.17 Penerapan Sistem Akuntansi Biaya LSM..............................20
2.17.1 Definisi Akuntansi Biaya LSM.................................20
2.17.2 Siklus Akuntansi Biaya LSM...................................21
2.17.3 Klasifikasi biaya LSM...............................................21
2.17.4 Analsis Biaya LSM....................................................22
2.17.5 Laporan Biaya LSM..................................................23
BAB 3. KESIMPULAN........................................................................24
DAFTAR PUSTAKA............................................................................25
BAB 1. PENDAHULUAN
Permasalahan utama yang sangat mendasar dalam hal pemberdayaan masyarakat oleh LSM/NGO adalah stigma LSM/NGO yang tumbuh disebagian dibenak masyarakat yang masih menaruh curiga terhadap kehadiran dan aktivitas dari LSM/NGO. Pada satu sisi LSM/NGO dipersepsikan alat bagi neo liberalisme atau agen Negara Asing, hal ini dikarenakan sebagian besar dana kegiatan-kegiatan yang dilakukan LSM/NGO di Indonesia di danai oleh negara asing dan tentunya ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh NGO untuk memperoleh dana tersebut. Disisi lain, sampai saat ini tidak ada mekanisme pertanggungjawaban LSM/NGO terhadap masyarakat.
Apa yang kita lihat selama ini adalah banyak sekali LSM yang sangat lemah dalam mengadopsi sistem manajemen moderen, ketergantungannya pada pola-pola hubungan patron-client, dan dalam sumber daya manusia. LSM di Indonesia dalam praktiknya juga masih terkungkung dalam wacana pembangunanisme (developmentalisme) yang tidak kritis terhadap masalah-masalah ketimpangan struktural, kelangkaan partisipasi, dan ketergantungan terhadap kekuatan diluar.
Yang disebut belakangan ini berbentuk ketergantungan pada negara maupun founding agencies baik dalam bentuk dana, keahlian, dan kemampuan. Sehingga LSM-LSM yang seharusnya bersinergi dan menampilkan diri sebagai aktor-aktor dalam gerakan-gerakan sosial baru (New Social Movement) ternyata lebih sering menampakkan diri sebagai agen-agen subkontraktor pembangunan dari lembaga-lembaga milik pemerintah maupun swasta asing.
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1 Paradigma Pembangunan dan Pertumbuhan Organisasi di Masyarakat
Pengalaman masa lalu telah memberikan pelajaran berharga bagi bangsa
Indonesia. Pembangunan dimasa Orde Baru yang dilaksanakan dengan
pendekatan top-down dan sistem sentralitis terbukti tidak berhasil baik di bidang
sosial maupun politik meskipun dibidang ekonomi cukup menggembirakan.
Implementasi pendekatan dan sistem pembangunan tersebut lebih memobilisasi
masyarakat dalam pembangunan, bukan partisipasi. Oleh karena itu, masyarakat
semakin bergantung pada input pemerintah sehingga membuat masyarakat
menjadi kurang percaya diri, tidak kreatif, dan tidak inovatif.
Secara politik, dengan pendekatan top-down dan sistem sentralisasi tersebut,
hak-hak masyarakat terserap kepentingan pemerintah. Pemikiran kritis dari
masyatrakat sebagai pengendali, kebijakan pemerintah diharapkan tidak muncul.
Dampak negatif kebijakan tersebut adalah memudarnya sejumlah lembaga
tradisional dan intrevensi pemerintah yang terlalu jauh pada berbagai aspek
kehidupan masyarakat.
Reaksi terhadap pendekatan pembangunan tersebut adalah munculnya diskusi
tentang Civil Society di kalangan perguruang tinggi maupun organisasi non
pemerintah (LSM). Wacana Civil Society ini tampaknya mendorong para
penyelenggara negara untuk menerapkan pendekatan baru, yaitu kebijakan
pembangunan yang berpihak pada kebutuhan rakyat, terutama demokratisasi dan
hak asasi manusia. Berbagai seminar, semiloka, dan Workshoop dilaksanakan oleh
berbagai pihak untuk memutuskan model pembangunan yang berbasis konsep
Civil Society tersebut.
Terkait dengan wacana Civil Society, pemikiran bangsa yang demokratis
dimulai dari bawah atau dari masyarakat Akar Rumput. Berdasarkan pengalaman
masa lalu, masyarakat Akar Rumput tersebut telah melaksanakan praktek-praktek
demokrasi yang benar. Dengan demikian, apabila bangsa Indonesia menghendaki
terwujutnya pembangunan demokrasi, maka pembelajaran kembali tentang
kearifan lokal yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat Akar Rumput perlu
dilakukan.
Secara teoritis, konsep “pembangunan” memiliki banyak definisi,
pendekatan, dan pergeseran makna. Pendekatan “Economic Well Being”,
pendekatan “Minimum Acceptable Standard of Living”, serta pendekatan yang
disesuaikan dengan nilai yang dianut oleh para politisi dan cendikiawan suatu
negara pada waktu tertentu merupakan ragam pendekataan yang ada (Efendi,
1989). Namun semua pendeekatan tersebut gagal menghasilkan kondisi yang
dicita-citakan. Penyebabnya adalah orientasi pencapaian hasil, dalam waktu
sesingkat-singkatnya, kurang mengutamakan pada proses, serta orientasi
kepemimpinan publik dan manajemen pelayanan publik yang tidak beerorientasi
kepada rakyat.
Dari sekian banyak kelemahan paraadigma pertumbuhan, pengabaian
aspirasi rakyat merupakan kelemahan dasar. Pertumbuhan ekonomi yang akan
dicapai diharapkan menetes perlahan-lahan kebawah. Namun hasil nyatanya
adalah ketimpangan (Efendi, 1989). Sejak awal tahun 1970-an, daftar kelemahan
paradigma pertumbuhan telah dirinci oleh para ahli politik ekonomi, dengan
menunjukkan bahwa pertumbuhan hanyalah bagian dari pembangunan.
Pembangunan harus berarti pemenuhan kebutuhan pokok, seperti kesempatan
kerja dan berusaha, pemberantasannkelaparan dan kekurangan gizi, pemeliharaan
kesehatan, serta penyediaan air bersih dan perumahan. Oleh karena itu, negara-
negara berkembang merekonendasikan untuk mengeser paradigma
pembangunannya ke “Paradigma Basic Needs”. Paradigma pembangunan model
ini, memang lebih berorientasi pada kebutuhan pokok, padat karya, bersekala
kecil, bertumpu pada sumber regional, berpusat pada desa dan teknologi tepat
guna.
Pertumbuhan baru dinilai berhasil apabila hubungan antara manusia dengan
sumber-sumber tersebut menciptakan keharmonisan dalam kehidupan manusia itu
sendiri. Peran pemerintah tidak boleh lagi dominan. Pemerintah tidak boleh lagi
berperan sebagai pemborong yang aktif memupuk modal, sehingga semua
perencanaan dan kebijakan berasal dari bawah ke atas.
Sebaliknya, pemerintah haarus berperan sebagai enabler atau fasilitator
dalam mengajak masyarakat untuk bersama-sama hidup, bekerja dan belajar, serta
mendorong masyarakat kearah kemajuan dengan memberi contoh. Perencanaan
dan pembuatan kebijakan tidak lagi bersifat top-down atau Bottom-up, tetapi
bersifat Transactive planning, yaitu perencanaan pembangunan dilakukan melalui
kebijakan yang demokratis, dimana birokrasi melaksanaakan perencanaan itu
bersama-sama rakyat dan manajemen dipraktikkan dengan cara partisipatif.
Pada kenyataannya, Indonesia masih dalam tahap menuju transactive
planing, di mana di era otonomi ini partisipasi masyarakat mulai mendapatkan
tempat dalam arti yang sebenarnya. Ketika masih menggunakan pendekatan top-
down, masyarakat sulit untuk mengespresikan pedapatnya sehingga pertumbuhan
organisasi masyarakat tidak berkembang. Sedangkan pada pendekatan bottom-up,
partisipasi menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam pengambilan kebijakan,
sehingga pertumbuhan organisasi dalam masyarakat semakin meningkat seiring
dengan pertumbuhan kesadaraan politik masyarakat tentang kontribusi terhadap
pembangunan.
2.2 Filosofi Lahirnya Konsep Civil Society
“Civil Society” merupakan sebuah konsep yang luar biasa yang mempunyai
karakter ambiguitas atau elastisitas, sehingga aplikasinya harus didahukui dengan
pendefinisian konsep tersebut. Sering kali dengan cara yang mudah, “Civil
Society” di anggap sebagai “sektor ketiga” yang berbeda dengan pemerintah atau
perusahaan. Menurut pandanggan ini, “Civil Society” menunjuk pada sifat dasar
“intermediary institutions” atau lembaga perantara seperti asosiasi profesi,
kelompok religius, kelompok buruh, serta organisasi advokasi masyarakat dimana
beragamnya masyarakat akan meningkatkan partisipasi publik dalam kehidupan
demokratis.
Namun, definisi tersebut belum memecahkan definisi ideal dari “Civil
Society”. Pers yang independen, merupakan elemen dasar dalam “Civil Society”.
Namun, terikat dengan hal tersebut, kebanyakan surat kabar dan stasiun TV
berjalan sebagai bisnis dan mencari keuntungan. Jadi pemilihan bagian “Civil
Society” atau “Sektor Ketiga” dengan bagian dunia komersial perlu ditampakkan.
Permasalahan kedua terkait dengan konsep “Civil Society” adalah apakah
tujuan dan deskripsi yang tepat tentang “sektor ketiga organisasi masyarakat”.
Apakah konsep “Civil Society” terkait dengan nilai komitmen pada demokrasi dan
nilai kesetaraan bagi seluruh masyarakat di mata hukum atau, pertanyaan yang
lebih sulit dari pada nilai: Apakah idealitas “Civil Society” akan konsisten dengan
subtansi subsidi negara dalam jumlah yang besar keorganisasi tersebut, apakah
ada tipe dari “Civil Society” antara Amerika dan Eropa (atau Prancis, Swedia, dan
Jerman).
Konsep Civil Society di Negara Barat
Di Dunia Barat, pendefinisian “Civil Society” sangat beragam. David Held,
pakar sosiologi mendefinisikan “Civil Society” sebagai kumpulan karakter yang
berada dalam bidang kehidupan sosial di dunia domestik, lingkunagan ekonomi,
aktivitas budaya, dan interaksi politik yang di atur oleh pihak swasta atau sukarela
antara individu dan kelompok di luar kendali negara. Beberapa ahli menyatakan
bahwa sejumlah “Civil Society” yang terkait dengan interaksi secara politis tidak
bisa terbagi, bahkan bersifat khusus. Jurgen Habermas menyebut sebagai
“lingkungan publik”. Kedua, definisi politis yang secara normatif overlapping
dalam kerangka sosiologis, menyatakan bahwa lingkungan publik harus diperkuat
pembiayaannya. Pandangan ini secara konservatif, mempunyai penekanan pada
aspek legalitas, kepemilikan privat, pasar, dan kelompok kepentingan. Dengan
pemberdayaan kelompok, dugaan atau keegoisan elit atas dasar dapat dicegah.
Definisi ketiga adalah definisi klasik, St. Augustine menggambarkan “Civil
Society” sebagai kkumpulan orang yang mempunyai pengakuan umum tentang
hak dan kepentinagan suatu komunitas.
Di negara demokratis, yang modern, sebuah budaya politik atau ciri
kepribadian yang jelas sangat dibutuhkan keberadaannya. Terkait dengan hal ini,
orientasi atau kondisi lain, yang secara hipotesis akan dibutuhkan untuk
menghasilkan “Civility” telah dikembangkan. Masyarakat modern membutuhkan:
1. Pertimbangan homogenitas budaya.
2. Hubungan yang ramah dan terpercaya antar anggota masyarakat.
3. Kesadaran politik.
4. Asumsi realisasi nilai moral suci yang tergantung sebagian pada kinerja moral
politik.
5. Politik yang tidak dapat hanya berputar pada kisah masa lalu terikat kejayaan,
penderitaan, perjuangan, dan cita-cita saat ini.
6. Sudah terjalin prinsip pada gagasan akuntabilitas, yaitu sebuah gagasan umum
tentang “Civility”.
7. Akuntabilitas telah dijalankan dengan dasar legalitas Quentin Skinner yang
memperlihatkan kebagkitan Dunia Barat lima abad yang lalu.
8. Civility memerlukan apa yang Sunil Khilnani sebut dengan legitimasi politik,
“a terrain upon which competing claims may be advanced and justtified ”
Apabila konsep civility Barat berstandar pada pendekatan bottom-up,maka
konsep ini akan cenderung praktis. Gagasan ini dapat dikenali dari struktur
masyarakat zaman sekarang, yang disebut Hegel, sebagai kehidupan sosial yang
mundur dan perlu dibangun. Namun pada sisi lain struktur sosial ini tidak
sempurna secara moral.
2.3 Kategori Civil Society Organization
Inti dari penafsiran definisi “Civil Society” adalah organisasi masyarakat yang
independen, tidak menjadi bagian formal, serta state apparatus sebagai
perwujudan dan atau pewadahan budaya dan hak masyarakat. Jadi masyarakat
sipil dapat diklasifikasikan sebagai popular organization (organisasi
massa/rakyat), organisasi profesi (pers dan lain-lain), NGO/LSM, dan organisasi
akar rumput yang berbasis pada ruang tertentu (spasial seperti RT, Desa, dan
sebagainya). Secara umum komunitas diatas dapat dikategorikan menjadi dua,
yaitukomunitas fungsional dan komunitas spasial. Komunitas fungsional ditandai
dengan hubungan-hubungan sosial tanpa dibatasi oleh ruang, sementara
komunitas spasial memiliki batas ruang yang jelas dan teradministrasi dengan
ketat.
2.3.1 Popular Organization (Organisasi Massa/Rakyat)
Di Indonesia berbagai organisasi masyarakat atau organisasi rakyat lahir
disepanjang dekade, di mana yang terbesar adalah Muhamadiyah dan Nahdatul
Ulama. Menurut UU No.8/1985 mengenai Organisasi Kemasyarakatan (Ormas),
semua organisasi Kemasyarakatan harus melapor dan mendaftar pada DDN serta
harus berazaskan Pancasila, karena dasar negara ini telah diputuskan sebagai satu-
satunya azaz bagi organisasi kemasyarakatan dan organisasi sosial dan politik.
2.3.2 Organisasi Profesi
Organisasi profesi merupakan sekumpulan individu yang bergabung
berdasarkan persamaan profesi. Keberadaan organisasi ini sangat banyak di
Indonesia, seperti organisasi advokat, Persatuan Guru Republik Indonesia, Ikatan
Akuntan Indonesia, dan Ikatan Dokter Indonesia.
2.3.3 NGO/LSM
Pengertian umum dari istilah NGO atau LSM pada dasarnya sama dengan
pengertian umum lembaga sukarela, PVOs (Private Voluntary Organizations) atau
ORNOP (Organisasi Non Pemerintah) yang berasal dari triminologo PBB, yaitu
NGO (Non Govermental Organization). Bank Dunia mendefinisikan NGO atau
LSM sebagai organisasi swasta yang kegiatannya ditujukan untuk membebaskan
penderitaan, memajukan kepentingan kaum miskin, melindungi lingkungan,
menyediakan pelayanan dasar masyarakat, atau mengenai pengembangan
masyarakat (Operational Directive 14.70). dalam arti luas LSM dapat diterapkan
pada organisasi nonprofit yang bebas dari pemerintah. LSM merupakan organisasi
yang berbasis nilai yang secara keseluruhan atau sebagian tergantung pada
lembaga donor dan pelayanan sukarela. Jadi, prinsip alturisme dan voluntarisme
diterapkan sebagai definisi karakter kuncinya. Karakteristik khusus LSM dalam
pengembangan visi dan misinya (Clark, 1995: 59-67) yaitu:
1. Memfokuskan pada kebutuhan masyarakat bawah dan berimplikasi terhadap
kebutuhan organisasi dalam penyaluran informasi (bottom up) dan
pemberdayaan masyarakat (empowering).
2. Membuka peluang bagi partisipasi kelompok sasaran dalam proses pencapaian
tujuan program, yaitu kemajuan dan pemberdayaan.
3. Memperkenalkan informasi yang bermanfaat dan memecahkan masalah
kelompok sasaran dengan biaya ringan dan mudah untuk diadaptasi, sesuai
kondisi masyarakat kelompok sasaran tersebut.
4. Skala program yang dilakukan LSM adalah skala kecil; hal ini dimaksudkan
untuk mempermudah pemantauan, pencapaian, dan ketepatan sasaran.
5. Tingkat komitmen pada pimpinan maupun staf LSM untuk merealisasikan apa
yang terjadi idealisme, baik visi maupun misi untuk memberdayakan dan
membantu kelompok sasaran yang miskin sangatlah tinggi. Komitmen dan
mitivasi inilah yang menjadi kekuatan pelaksanaan program.
6. Skala operasinya kecil sehingga semua biaya operasinya transparan, efektif
dan bebas dari kemungkinan tindakan korupsi.
2.3.4 Organisasi Akar Rumput (Grass Root)
Akar rumput diciptakan untuk mengalih bahasakan grass roots ke dalam kosa
kata indonesia. Selain membuat kalimat tidak menjadi lebih jelas, pengertian
grass roots itu sudah aktual di dalam ungkapan yang telah dikenal: lapisan bawah
rakyat jelata. Jika ”orang biasa berada dalam organisasi” dirujuk maka
penggunaan ungkapan lapisan bawah atau kader lapisan bawah dilakukan. Jika
“rakyat biasa” dirujuk, maka kata rakyat, rakyat jelata, atau rakyat kecil dapat
digunakan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001), kata rakyat berarti “penduduk
suatu negara”. Ungkapan rakyat jelata berarti “ rakyat biasa bukan bangsawan
atau hartawan, yaitu orang kebanyakan” dan ungkapan rakyat kecil berarti “orang
yang tingkat sosial ekonominya sangat rendah”. Organisasi akar rumput meliputi
organisasi di masyarakat pedesaan atau masyarkaat pinggiran, termasuk organisasi
berbasis sepasial seperti RT, RW, dan kelompok petani.
2.4 NGO Are The Heart of Civil Society
Dalam pengertian yang luas, istilah non goverment organization atau LSM
menunjuk pada organisasi yang :
1. Tidak berbasis pemerintah.
2. Tidak diciptakan untuk mencari keuntungan.
Definisi luas LSM menjelaskan cakupan dan lebarnya jaringan organisasi
tersebut secara struktural dan fungsional. Istilah luas ini menunjuk pada “apakah
sebuah organisasi atau bukan” dari pada “untuk apakah ini”.
Antusiasme masyarakat sipil merupakan sebuah daya, tarik tersendiri bagi
LSM, di mana kelompok advokasi tersebut mencurahkan perhatiannya demi
kepentingan publik, seperti dampak lingkungan, HAM, isu-isu perempuan,
memonitor pemilu, dan anti korupsi. Namun demikian, merupakan sebuah
kesalahan apabila menyamakan masyarakat dengan NGO atau LSM. Masyarakat
sipil merupakan konsep yang luas, yang mencakup seluruh organisasi dan asosiasi
yang berada di “luar” pemerintahan (termasuk partai politik) dan pasar. Berbagai
kelompok kepentingan dapat disebut sebagai LSM advokasi, serikat buruh,
asosiasi profesional, kamar dagang dan asosiasi etnis. Keragaman organisasi
masyarakat ini menunjukkan bahwa banyak asosiasi yang tidak bertujuan
memajukan agenda sosial dan politik secara khusus, seperti organisasi keagamaan,
kelompok siswa, organisasi budaya, klub olahraga,dan kelompok informal
masyarakat.
2.5 Perbedaan CSO dan NGO/LSM
Istilah “Civil Society Organization” (CSO) menggambarkan organisasi
pembangunan masyarakat yang bukan merupakan bagian dari pemerintah atau
sektor bisnis. Di beberapa negara, CSO diartikan sebagai “amal”, “organisasi
sukarela swasta”, “organisasi sukarela” dan (biasanya) “NGO” atau LSM.
Ketiga model sektor itu, dapat di interpresentasikan sebagai gabungan
pemerintah, pasar, dan warga negara. Pada prespektif ini, “Civil Society”
merupakan sektor ketiga, disamping negara dan perusahaan pencari untung. “Civil
Society” adalah organisasi suka rela yang didirikan oleh asosiasi individu formal
dalam mengejar tujuan nonprofit, seperti gerakan sosial, badan keagamaan,
organisasi perempuan dan pemuda, organisasi orang-orang pribumi, asosiasi
profesional, dan persekutuan.
Banyak CSO telah berada pada garis depan prinsip-prinsip advokasi keadilan
sosial dan kesetaraan. Namun, ada pula organisasi dengan agenda dan nilai yang
tidak sesuai dengan sistem internasional, dalam hal ini PBB (Perserikatan Bangsa-
Bangsa). Dalam prakteknya, “Civil Society” merupakan sebuah arena kolaborasi
dan pendirian konfigurasi sesuai dengan sejarah pengaturan nasional.
PBB mempunyai pandangan yang tuas tentang CSO, di mana NGO atau LSM
merupakan bagian pentingnya. LSM telah lama berasosiasi dengan pelayanan
yang dijanjikan dalam pengembangan barang atau jasa publik, dimana pemerintah
dan pasar enggan atau tidak mampu menyediakannya. Beberapa fungsi CSO dapat
dilakukan melalui aktivitas LSM seperti penelitian, analisis dan evaluasi proyek
ppembangunan, program-program, dan tujuan. Dengan artikulasi secara proaktif
pada kepentingan publik dan penciptaan kondisi yang kondusif, pembuatan
kebijakan pembangunan dan promosi perubahan kebijakan ditujukan untuk
pembangunan manusia berkelanjutan.
2.6 Pelayanan Publik: Antara Birokrasi, Mekanisme Pasar, dan LSM
Dalam mekanisme birokrasi, setiap kelompok menyumbagkan tenaga untuk
membentuk badan hukum yang akan menjembatani hubungan dengan
memberikan kompensasi secara adil sesuai dengan kontribusi yang diberikannya.
Sumber kelemahan birokrasi adalah tren untuk menghasilkan ketimpangan
kekuasaan dan memberi priveleges kepada kelompok tertentu dalam masyarakat.
2.7 Ciri-ciri LSM
Menurut Salamon dan Anheier definisi LSM adalah sbb:
1. Formal, yaitu secara organisasi bersifat permanen serta mempunyai kantor
dengan seperangkat aturan dan prosedur.
2. Swasta, yaitu kelembagaan yang berada di luar atau terpisah dari pemerintah.
3. Tidak mencari keuntungan, yaitu tidak memberikan keuntungan kepada
direktur dan pengurusnya.
4. Menjalankan organisasinya sendiri, yaitu tidak dikontrol oleh pihak luar.
5. Sukarela, yaitu menjalankan derajat kesukarelaan tertentu.
6. Nonreligius, yaitu tidak mempromosikan ajaran agama.
7. Nonpolitik, yaitu tidak ikut dalam pencalonan di pemilu.
2.8 Bentuk-Bentuk LSM
1. Hubungan Konsultatif: Sebuah lembaga yang didirikan untuk tujuan
konsultatif pada struktur PBB
2. Hubungan Konsultansi: sebuah badan konsultan non pemerintah yang
dilibatkan dalam sekretariat PBB
3. Program Informasi Publik: lembaga non pemerintah yang menyebarkan pesan
kepada publik
4. Partisipasi Konferensi: lembaga non pemerintah yang diundang dalam
konferensi
5. Perusahaan Transnasional: karena kemampuannya dalam menyediakan barang
dan jasa.
6. Pers dan Media: Media adalah LSM yang efektif
7. Pertemuan Konsultatif tentang Peran LSM: beberapa LSM yang melakukan
konsultasi
8. Dasar LSM Gerakan Masyarakat: gerakan masyarakat merupakan dasar
pembentukan LSM
9. LSM Kemanusiaan: biasanya menyediakan bantuan yang independen dari
system pemerintah
10. LSM Tingkat Bawah: dapat langsung berhadapan dengan kelompok
masyarakat yang didampinginya.
11. Organisasi Semiotonom: LSM yang menyediakan kantor dan mendapat
subsidi dari pemerintah
12. Staf Asosiasi Lembaga Intergovernmental: bentuk LSM yang mempunyai
bentuk khusus dan menjadi subjek resolusi
13. Asosiasi Sukarelawan Sektor ketiga: LSM yang berupa asosiasi sukarelawan.
14. Koperasi: LSM sebagai bantuan bersama masyarakat
15. Yayasan Filantropi: banyak diakui sebagai konsultasi atau pengaturan lain.
16. Asosiasi Perdagangan dan Kartel: LSM yang bertujuan mencari perlindungan
dan kepentingan sektor ekonomi lebih jauh
17. Lobi: LSM yag menjadi penggerak utama konsultasi bagi masyarakat luas
18. Partai Politik: sebuah LSM meskipun para perwakilannya ada yang duduk
dalam pemerintahan
19. Klub Elit: dapat terbentuk pada saat beberapa orang kunci mundur dari
jabatannya atau kehilangan posisi formalnya untuk kemudian bergabung dan
mempengaruhi kebijakan.
20. Masyarakat Khusus: masyarakat tertentu yang bersatu dalam sebuah wadah
dapat disebut juga sebagai LSM.
21. Kelompok Keagamaan dan Kepercayaan: agama dan kepercayaan dapat
bersatu atau berkelompok menjadi LSM
22. Lingkaran Kejahatan Internasional: Sekelompok penjahat yang berkelompok
dapat disebut sebagai LSM.
23. Kelompok Teroris dan Pergerakan Kebebasan: beberapa kelompok teroris dan
gerakan pembebasan telah didanai oleh LSM dan IGO
24. LSM Internasional: beberapa Negara di Eropa menyediakan status legal pada
pendirian LSM
25. Jaringan Organisasi Informal: dapat berfungsi baik dengan energy yang besar,
efektif, maupun berkelanjutan daripada kebanyaka organisasi lainnya.
26. Internet: sangat terlibat dalam pengoordinasian tanggapan atas bencana secara
internasional
27. Pergerakan Sosial Antarnegara: dapat melebihi focus organisasi konvensional.
28. Masyarakat internasional: biasanya terdiri dari orang-orang yang terlibat
dalam komunitas diplomatic, organisasi iinternasional, dan kegiatan budaya
internasional.
29. Organisasi Hibrid: kombinasi dari beberapa karakteristik yang bertentangan
dalam bentuk dimensi pemerintah dan badan non pemerintah.
30. Organisasi Berperingkat: dapat disebut dengan uni, federasi, komite, atau
istilah khusus lainnya.
2.9 Kilas Balik Sejarah LSM
Pembagian generasi LSM menurut Zaim Saidi, Generasi pertama, sebagai
generasi relief and welfare. Generasi kedua, sebagai generasi small scale, self
reliance local development. Generasi ketiga, sebagai generasi sustainable system
development. Generasi keempat, sebagai generasi people movement.
2.10 Peran-Peran LSM
Dalam melaksanakan programnya, LSM mempunyai peran sbb:
1. Motivator
LSM bertugas memberikan motivasi, menggali potensi, menumbuhkan
dan mengembangkan kesadaran anggota masyarakat akan masalah-
masalah yang dihadapi dirinya maupun lingkungannya.
2. Komunikator
Sebagai komunikator, tugas LSM:
a. Mengamati, merekam, serta menyalurkan aspirasi dan kebutuhan
masyarakat agar dijadikan bahan rumusan kebijakan dan perencanaan
program pembangunan.
b. Memonitor/mengawasi pelaksanaan program pembangunan
masyarakat.
c. Memberikan penyuluhan dan menjelaskan program-program
pembangunan dengan bahasa yang akrab dan kerangka berpikir yang
mudah dipahami masyarakat sasaran.
d. Membantu melancarkan hubungan dan kerjasama antarLSM yang
mempunyai kepentingan dan tujuan yang sama dalam masyarakat.
3. Dinamisator
LSM bertugas merintis strategi, mengembangkan metode program, dan
memperkenalkan inovasi di bidang teknologi serta pengelolaan orgaisasi
yang belum dikenal ke lingkungan masyarakat setempat untuk
pengembangan dan kemajuan masyarakat lokal.
4. Fasilitator
LSM bertugas memberikan batuan teknis dalam pelaksanaan program.
2.11 Faktor-Faktor Penunjang Peran LSM
1. Sumber daya manusia (SDM)
SDM yang dimiliki oleh sebuah LSM tidak lain adalah staf atau relawan.
Factor SDM sangat penting karena SDM merupakan unsur inti dari suatu
organisasi.
2. Material/bahan
Material sangat krusial bagi terselenggaranya implementasi program LSM.
3. Dana
Suatu organisasi tidak mungkin mencapai tujuannya jika tidak mempunyai
sumber daya berupa dana yang sangat diperlukan untuk membelanjai operasi-
operasinya.
4. Peralatan/teknologi
Teknologi yang semakin canggih ditandai dengan konsumsi energy yang besar
dan merusak ekologi.
2.12 Kategori LSM
1. LSM Operasional
Diklasifikasikan LSM operasional ke dalam 3 kelompok utama:
a. CBOs, yang melayani masyarakat khusus di dalam area geografis yang
sempit.
b. National organization, yang beroperasi di individu negara berkembang
c. International organization, yang mempunyai kantor pusat di Negara maju
dan melaksanakan operasinya di lebih dari satu negara berkembang.
2. Tipologi LSM
Kekuatan LSM:
1. Kuatnya jalinan dengan grassroots
2. Keahlian pengembangan berdasarkan bidang
3. Kemampuan berinovasi dan beradaptasi
4. Pendekatannya berorientasi proses pengembangan
5. Metodoligi partisipasi dan peralatan
6. Komitmen jangka panjang dan menekankan keberlanjutan
7. Efektifitas biaya.
Kelemahan LSM:
1. Keterbatasan biaya dan keahlian pengelola organisasi
2. Keterbatasan kapasitas kelembagaan
3. Keberlanjutan diri rendah
4. Kurangnya komunikasi antarorganisasi/koordinasi
5. Intervensi dalam skala kecil
6. Kurangnya pemahaman konteks social ekonomi secara luas.
Sebuah organisasi yang memiliki cakupan yang luas dapat disimpulkan
sebagai LSM pembangunan. Kelompok ini bias berubah signifikan terkait
dengan filosofi tujuan, keahlian, pendekatan program, dan lingkup kegiatan.
Perbedaan pentingnya dapat digambarkan sebagai
1. LSM Operasional dan LSM Advokasi
2. Tingkat Operasi
3. Orientasi Kegiatan
2.13 Pengelolaan Organisasi LSM
1. Pemecahan Masalah dan Pengembalian Keputusan
a. Mendefinisikan Masalah
i. Apa yang dapat dilihat yang menyebabkan berpikir di saa ada masalah?
ii. Di mana hal itu terjadi?
iii.Bagaimana hal itu terjadi?
iv.Kapan hal itu terjadi?
v. Mengapa hal itu terjadi?
vi.Tuliskan lima kalimat yang menggambarkan masalah tersebut.
b. Lihatlah pada potensi yang menyebabkan masalah
c. Mengidentifikasi pendekatan alternative dalam memecahkan masalah
d. Menyeleksi pendekatan untuk memecahkan masalah
e. Merencanakan penerapan alternative yang terbaik
f. Memantau penerapan rencana
g. Menguji apakah masalah telah terpecahkan atau belum
2. Proses Perencanaan Organisasi
Alasan-alasan perlunya perencanaan
Manfaat perencanaan:
1. Membantu pengelola organisasi untuk menyesuaikan diri dengan
perubahan-perubahan lingkungan
2. Membantu kristalisasi penyesuaian pada masalah-masalah utama
3. Memungkinkan pengelola organisasi memahami keseluruhan gambaran
operasi secara lebih jelas
4. Membantu penempatan tanggung jawab lebih tepat
5. Menyediakan cara pemberian perintah untuk beroperasi
6. Memudahkan dalam melakukan koordinasi di antara berbagai bagian
organisasi
7. Membuat tujuan lebih khusus, terperinci dan lebih mudah dipahami
8. Meminimumkanpekerjaan yang tidak pasti
9. Menghemat waktu, usaha dan dana.
Kelemahan perencanaan:
1. Pekerjaan yang tercakup dalam perencanaan mungkin berlebihan pada
kontribusi nyata
2. Perencanaan cenderung menunda kegiatan
3. Perencanaan mungkin terlalu membatasi pengelola organisasi untuk
berinisiatif dan berinovasi
4. Kadang-kadang hasil yang paling baik didapatkan oleh penyelesaian
situasi individual dan penanganan atas setiap masalah pada saat terjadinya
5. Ada rencana-rencana yang diikuti dengan tidak konsisten
Persiapan Perencanaan
1. Mengembangkan suatu rencana kerja dalam sketsa siapa yang
bertanggungjawab atas setiap hasil dan kerangka waktu.
2. Mempertimbangkan tingkat sumber daya yang memadai dan diperlukan
untuk melakukan suatu proses perencanaan yang tepat.
Dokumen Perencanaan Organisasi LSM
1. Dokumen perencanaan program
2. Dokumen perencanaan keuangan
Bentuk Rancangan Anggaran Organisasi LSM
1. Tentukan workplan yang berisi jenis kegiatan yang akan dilaksanakan
2. Tentukan jenis-jenis biaya tetap dan variable yang terdapat dalam
proyek.
3. Tentukan standar biaya untuk tiap komponen biaya.
4. Buatlah table rancangan anggaran biaya secara sistematis
5. Isilah masing-masing kolom dalam tabel rencana anggaran denga poin
yang telah ditentukan sebelumnya.
3. Pendelegasian Wewenang
Langkah-langkah umum untuk menyelesaikan pendelegasian:
1. Delegasikan keseluruhan tugas kepada seseorang
2. Menyeleksi orang yang tepat
3. Secara jelas menetapkan hasil yang lebih disukai
4. Delegasikan tanggungjawab dan kewenangan-menetapkan tugas, bukan
metode untuk menyelesaikan hal itu.
5. Mintalah kepada staf untuk meringkas apa yang telah dilakukannya
6. Dapatkan umpan balik nonintrusive secara terus menerus mengenai
peningkatan proyek tersebut.
7. Mempertahankan komunikasi yang terbuka
8. Jika tidak puas dengan kemajuan tersebut, jangan mengambil alih proyek
9. Mengevaluasi dan menghargai kinerja
4. Dasar-dasar Komunikasi Internal
Hal yang paling dasar untuk memastikan komunikasi internal yang kuat dan
terus-menerus:
1. Sudahkah semua staf memberikan laporan tentang keadaan secara tertulis
tiap minggu kepada supervisor.
2. Usahakan rapat bulanan dengan seluruh staff secara bersama-sama
3. Usahakan rapat mingguan atau dwi-mingguan dengan seluruh staf secara
bersama-sama jika organisasi tersebut berukuran kecil, dan juga dengan
seluruh pengelola organisasi
4. Sudahkah supervisor memeriksa laporan-laporan secara langsungdari para
staf pada rapat yang dilakukan tiap bulannya.
5. Pengelola Organisasi Rapat
1. Menyeleksi para peserta
2. Pengembangan agenda
3. Membuka rapat
4. Menetapkan aturan dasar rapat
5. Pengelola organisasi waktu
6. Evaluasi proses rapat
7. Evaluasi keseluruhan rapat
8. Menutup rapat
6. Pengembangan Program dan Evaluasi
1. Evaluasi program
2. Merencanaka evaluasi program
3. Pertimbangan pokok
4. Beberapa jenis evaluasi utama
2.14 Sifat dan Karakteristik Akuntansi Lembaga Swadaya Masyarakat
Akuntansi merupakan suatu kegiatan yang akan mengarah pada pencapaian
hasil dalam tingkat tertentu dan bermanfaat bagi kehidupan LSM tersebut. Di
antara lembaga publik lainnya seperti lembaga pendidikan, lembaga kesehatan,
dan lain-lain, penerapan akuntansi dalam LSM sedikit berbeda. Perbedaan
tersebut muncul karena lingkungan yang mempengaruhi LSM berbeda.
Perbedaan sifat dan karakteristikorganisasi LSM yang tergolong kedalam
organisasi nirlaba serta organisasi lainnya yang profit oriented dapat dilihat
dengan membandingkan tujuan organisasi, sumber pendanaan, pola
pertanggungjawaban, struktur keorganisasian, dan anggarannya.
Setiap organisasi memiliki tujuan spesifik yang hendaak dicapai. Terlepas
dari konsep idealita dan realitany, organisasi LSM tidak bertujuan memperoleh
laba tetapi memberikan pelayanan dan menyelenggarakan seluruh aktivitas yang
terkait dengan pemberian dana oleh sebuah lembaga donor, yang dibutuhkan
maupun yang telah menjadi kegiatan rutin dalam LSM bersangkutan. Meskipun
tujuan utama LSM adalah pemberdayaaan masyarakat, namun tidak berarti bahwa
LSM sama sekali tidak memiliki tujuan keuangan. Hal ini tergantung pada kondisi
organisasi bersangkutan. Misalnya, apabila organisasi tidak mempunyai sumber
dana yang jelas dan pasti, maka kebutuhan akan daya dukung untuk melakukan
pemberdayaan berkembang selarasdengan target keuangan. Secara kebetulan,
keuangan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pemberdayaan
organisasi. Tujuan keuangan organisasi LSM ini berbeda secara filosofis,
konseptual, dan operasionalnya dengan organisasi profit swasta.
Secara kelembagaan, organisasi LSM juga berbeda dengan organisasi lainnya,
walaupun sama-sama organisasi publik. Struktur organisasi ini tidak terlalu
formal, namun biasanya ada seseorang atau aktivis senior yang memimpin. Pihak
yang berpengaruh ini biasanya berpeluang sangat besar dalam mengarahkan
kebijakan dan pengelolaan organisasi. Tipologi pemimpin atau tokoh termasuk
pilihan dan orientasi kebijakannya, akan sangat berpengaruh dalam memilih
struktur organisasi.
2.15 Akuntansi LSM: Sebuah Jawaban Atas Tuntutan Reformasi
Prinsip good governance atau tata pemerintah yang baik pada umumnya
diterapkan dalam organisasi sektor publik, khususnya pemerintahan. Prisip ini
sangat baik diterapkan karena cocok dengan tuntutan zaman dan agenda reformasi
yang sedang berjalan di Indonesia. Pengertian governance yang dimaksud di sini
adalah sebagai cara mengelola urusan-urusan publik. Dalam konteks LSM, kata
“publik” mengacu kepada masyarakat sebagai sasaran program LSM.
Pelaksanaaan good governance memiliki beberapa prinsip, yaitu:
1. Akuntabilitas.
2. Transparasi.
3. Partisipasi.
4. Penegakan hukum.
5. Responsivitas/daya tanggap.
6. Kesetaraan.
7. Efisiensi.
8. Efektivitas.
9. Profesionalisme.
10. Pengawasan.
Dari kesepuluh prisip tersebut, kesemuanya dapat diperankan oleh akuntansi
LSM.
Seperti dalam kehidupan sehari-hari, timbul sebuah fenomena mengenai
semakin menguatnya tuntutan pelaksanaan akuntabilitas oleh organisasi secara
keseluruhan, termasuk organisasi LSM. Tuntutan akuntabilitas pada LSM ini
terkait dengan perlunya dilakukan transparasi dan pemberian informasi dalam
rangka pemenuhan hak-hak masyarakat.
Untuk menciptakan good public (masyarakaat) maupun good corporate
governance di LSM diperlukan perubahan pada organisasi penyelenggaranya.
Bentuk perubahan ini bukan hanya identik dengan format organisasi, tetapi lebih
pada alat-alat yang digunakan dalam mendukung berjalannya organisasi secara
efisien, efektif, transparan, dan akuntabel.
2.16 Sistem Akuntansi Keuangan dan Akuntansi Biaya LSM
Pendanaan LSM dapat diperoleh dari sumber lembaga donor baik nasional
maupun internasional, fundraising lembag, atau masyarakat. Penerimaan dan
penggunaan dana yang diperoleh dari pihak luar negeri diatur sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sementara itu, usaha untuk
meningkatkan penerimaan dana dari masyarakat harus didasarkan atas pola
prinsip tidak mencari keuntungan.
Hubungan antara sistem akuntansi keuangan dan akuntansi biaya terletak
pada pengaruh siklus kegiatan lembaga yang bersangkutan. Siklus akuntansi biaya
dalam suatu lembag, sangat dipengaruhi oleh siklus kegiatan lembaga tersebut
atau transaksi-transaksi yang dilakukannya. Siklus kegiatan LSM dimulai dengan
pembelian barang sesuai kebutuhan program dan tanpa melalui pengolahan lebih
lanjut dan diahiri dengan penyediaan layanan bagi masyarakat sasarannya.
Transaksi-transaksi LSM tidak akan terlepas dari transaksi pembiayaan.
Proses pencatatan, penggolongan, peringkasan, dan penyajian, serta
penafsiran informasi biaya tergantung pada siapa proses tersebut diajukan. Proses
akuntansi biaya LSM dapat ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pemakai di luar
organisasi. Dalam hal ini, proses akuntansi biaya harus memperhatikan
karakteristik akuntansi keuangan. Dengan demikian, akuntansi biaya berkaitan
erat dengan akuntansi keuangan.
2.17 Penerapan Sistem Akuntansi Biaya LSM
2.17.1 Definisi Akuntansi Biaya LSM
Akuntansi mendefinidikan biaya sebagai sumber daya yang dikorbankan
untuk mencapai tujuan tertentu. Proses akuntansi biaya di tunjukan untuk
memenuhi kebutuhan pemakai dalam organisasi LSM.
Proses akuntansi biaya harus memperhatikan karakteristik akuntansi
keuangan dan manajemen organisasi. Proses akuntansi biaya meliputi :
1. Pihak luar (Eksternal), yaitu memenuhi karakteristik akuntansi keuangan yang
merupakan bagian dari akuntansi keuangan.
2. Pihak dalam (Internal), yaitu memenuhi karakteristik akuntansi keuangan
yang merupakan bagian dari akuntansi keuangan.
Tujuan pembahasan sistem akuntansi biaya LSM ini adalah untuk :
1. Mengefektifkan dan mengefesienkan penggunaan dana LSM,
2. Mengetahui penyebab utama biaya yang terjadi di LSM,
3. Memberikan informasi berupa laporan biaya yang akurat,
4. Memberikan jaminan akuntabilitas dan transparansi atas penggunaan dana dan
pelaporannya
5. Menghasilkan laporana biaya terkini (up to date) sebagai bahan pertimbangan
yang sangat penting terhadap keputusan pengelola LSM, terutama pada aspek
keuangan.
Komponen biaya LSM adalah :
1. Gaji dan honorarium
2. Telekomunikasi
3. Pemakain bahan habis pakai
4. Depresiasi perlengkapan dari berbagai aset yang ada
5. Depresiasi perlengkapan kantor
6. Sewa komputer
7. Asuransi
8. Biaya lainya
2.17.2 Siklus Akuntansi Biaya LSM
Siklus akuntansi biaya LSM sangat dipengaruhi oleh siklus kegiatan LSM
tersebut. Siklus kegiatan LSM dimulai dengan pemberian barang atau peralatan
dan jasa berdasarkan kegiatan program yang telah ditentukan. Tujuan akuntansi
biaya adalah untuk menyajikan informasikan biaya yang telah digunakan untuk
memberi barang atau peralatan serta pelaksanaan program LSM tersebut.
2.17.3 Klasifikasi biaya LSM
Proses dan sistematika Akuntansi biaya dapat dipecahkan melalui rincian
tahap sebagai berikut :
1. Pemahaman mengenai pengertian biaya ;
2. Klasifikasi dan identifikasi biaya yang terjadi di LSM ke dalam kategori
tertentu dengan pendekatan ABC system
3. Pembuatan konsep perhitungan biaya baru yang akurat dan informatif
4. Pensimulasian aplikasi model perhitungan biaya
Biaya diklasifikasikan ke dalam dua kategori:
1. Biaya tetap : biaya yang jumlah totalnya tidak dipengaruhi oleh perubahan
kegiatan organsasi. Biaya tetap terbagi menjadi dua:
a. Biaya yang tidak dipengaruhi oleh kebijakan manajemen
b. Biaya yang dipengaruhi oleh kebijakan manajemen.
2. Biaya variabel : biaya yang jumlah totalnya dipengaruhi oleh perubahan
kegiatan.
Biaya semi variabel : biaya yang eilik unsur tetap dan variabel di dalamnya.
Biaya langsung : biaya yang dipengaruhi secara langsung oleh adanya program
atau kegiatan yang direncanakan.
Biaya tidak langsung : biaya yang tidak dipengaruhi secara langsung oleh adanya
program atau kegiatan.
2.17.4 Analsis Biaya LSM
A. Anggaran LSM
Anggaran berfungsi sebagai berikut:
1. Anggaran merupakan hasil akhir dari proses penyusunan rencana kerja
2. Anggaran merupakan cetak biru aktivitas yang akan dilaksanakan di masa
mendatang
3. Anggaran sebagai alat komunikasi internal yang menghubungkan berbagai
unit kerja lembaga dan mekanisme kerja antarmanajemen dan pelaksana
program
4. Anggaran sebagai alat pengendalian unit kerja lembaga
5. Anggaran sebagai alat motivasi serta persuasi tindakan efktif dan efisien
dalam pencapaian visi organisasi
B. Prosedur rencana anggaran biaya
1. Buatlah daftar rincian biaya dengan akurat
2. Pisah-pisahkan menjadi
3. Harus da perhitungan yang detail.
C. Biaya standar
Biaya standar adalah biaya yang ditentukan di muka, yaitu jumlah biaya yang
seharusnya dikeluarkan untuk membiayai kegitan tertentu dengan aumsi kondisi
ekonomi, efisiensi, dan faktor-faktor lainnya dipenuhi.
Manfaat biaya standar
Biaya standar dapat digolongkan atas dasar tingkat ketaatan atau kelonggaran
sbb:
1. Standar teoretis : standar ideal yang dalam pelaksanaannya sulit dicapai.
2. Rata-rata biaya waktu yang lalu : ditentukan dengan menghitung rata-rata
biaya periode yang telah lampau.
3. Standar normal : di dasarkan pada rata-rata biaya di masa lalu dan
disesuaikan engan taksiran biaya di masa yang akan datang, dengan asumsi
keadaan ekonomi sedang normal.
4. Pelaksanaan terbaik yang dapat dicapai : didasarkan pada tingkat
pelaksanaan terbaik dengan memeperhitungkan ketidakefisienan kegiatan
yang tidak dapat dihindari terjadinya.
D. Analisis biaya-volume-laba pada LSM
Analisis biaya-volume-laba pada LSM digunakan untuk membantu LSM agar
tidak mengalami masalah biaya dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan program.
1. BEP
Adalah jumlah output di mana totalpendapatan sama dengan total biaya, atau
laba operasinya adalah nol.
2. Analisis sensitivitas dan ketidaktentuan
a. Teknik what if yang digunakan pengelola dalam menguji bagaimana
sebuah hasil akan berubah; jika data perkiraan asli tidak diraih, atau jika
sebuah asumsi dasarnya berubah.
b. Analisis sensitivitas adalah suatu pendekatan untuk mengenalkan
ketidaktentuan yang memungkinkan jumlah aktual akan menyimpang dari
jumlah yang diperkirakan.
2.17.5 Laporan Biaya LSM
Bagian dari penetapan sistem pengendalian keuangan adalah untuk
memastikan bahwa dana telah dibelanjakan sesuai alokasinya. Laporan biaya
LSM dirancang untuk melaporkan “apa yang sedang terjadi” dengan biaya
pelaksanaan kegiatan LSM. Informasi ini berisi laporan yang berasal dari catatan
akuntansi berupa penerimaan dan pembiayaan.
BAB 3. KESIMPULAN
Pembahasan mengenai “civil society” atau “masyarakat sipil” bukan
merupakan hal yang baru karena isu ini telah dibahas dalam filosofi politik,
sosiologi, dan teori sosial dalam satu tahun. Di Indonesia, sampai dengan tahun
2002 menurut Departemen Dalam Negeri (Depdagri), jumlah NGO atau LSM
adalah 13.500 organisasi dengan beragam misi, komitmen, dan bentuk kegiatan.
Akuntansi yang diterapkan pada LSM memiliki kaitan erat dengan penerapan dan
diperlakukan akuntansi pada domain publik. Domain publik yang dimaksud
adalah masyarakat yang didampingi oleh LSM terkait. Seperti halnya dengan
akuntansi organisasi publik lainnya, akuntansi LSM terkait dengan tiga hal pokok,
yakni penyediaan informasi, pengendalian pengelolaan, dan
akuntabilitas.Pendanaan LSM dapat diperoleh dari sumber lembaga donor baik
nasional maupun internasional, fundraising lembaga, atau masyarakat.
Penerimaan dan penggunaan dana yang diperoleh dari pihak luar negeri diatur
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA
Bastian, Indra.2007. Akuntansi LSM dan Politik. Jakarta: Erlangga.