PERKAWINAN CAMPUR ANTAR ETNIK TIONGHOA DAN PRIBUMI …1].pdf · PERKAWINAN CAMPUR ANTAR ETNIK...
Transcript of PERKAWINAN CAMPUR ANTAR ETNIK TIONGHOA DAN PRIBUMI …1].pdf · PERKAWINAN CAMPUR ANTAR ETNIK...
i
PERKAWINAN CAMPUR ANTAR ETNIK TIONGHOA
DAN PRIBUMI PASCA 1965
(Studi Kasus Orang Tionghoa dan Jawa di Cilacap)
Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Sastra Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra
Universitas Sanata Dharma
Skripsi
Oleh
LINA WIDIATI
014314006
PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2007
ii
ii
iii
iii
iv
HALAMAN MOTTO
Kebahagiaan
Adalah untuk mereka yang menangis
Mereka yang tersakiti
Mereka yang lebih mencari
Dan mereka yang telah mencoba
Karena merekalah yang bisa menghargai
Betapa pentingnya orang
Yang telah menyentuh kehidupan mereka
(
penulis)
Hargailah cita-cita dan impianmu, karena
kedua hal ini adalah anak jiwamu
dan cetak biru prestasi puncakmu
(Napoleon Hill)
”Kalian masih muda. Jangan sia-siakan usia itu.
Terus bekerja dan bekerja. Kalau sudah tua, kalian
Tidak bisa apa-apa lagi selain hanya menanti panggilan
Kubur”
(Pramoedya Ananta Toer)
iv
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Terimakasih Tuhan Yesus atas segala kebaikanmu
dan keajaibanmu sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan
Sebuah persembahan untuk :
Perjalanan hidupku...................
papa, mama tercinta di Cilacap yang selalu memberikan aku cinta, kasih
sayang, doa dan dukungan.
For my lovely ”Pupus” (mas X-na) yang selalu ada dalam setiap hari -hariku,
setia menemaniku yang selalu memberikan masukan, diskusi, serta
motivasi, doa, cinta, ketulusan dan pengorbanan.
Untuk kedua kakakku dan kakak ipar, kedua adikku, dan kedua
keponakanku, serta Uwa dan Eyang putri.
Dan semua keluargaku di Cilacap, serta untuk semua teman baikku,
sahabat sejatiku, dan orang -orang tersayang yang telah memberikan
dorongan dan semangat dan menjadi kekuatanku, yang telah membuatku
tertawa ataupun sedih, kehadiran kalian sangat berarti bagiku dalam
menentukan sikap dan membantuku lebih dewasa, aku percaya kalian
memang diberikan Tuhan Yesus u ntukku.
v
vi
vi
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur dan terima kasih yang tak terhingga kepada Tuhan Yang Maha Besar
karena atas berkat, rahmat dan kuasanya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana
sastra pada Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini belum tentu berhasil jika tanpa
bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan
banyak terima kasih kepada:
1. Bapak Drs. H. Hery Santosa M. Hum., selaku Ketua Prodi Jurusan Ilmu Sejarah,
yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menulis materi skripsi
ini. Terima kasih atas masukan -masukan, nasihat serta bimbingan yang Bapak
berikan kepada penulis selama penyu sunan skripsi ini.
2. Bapak Drs. Silverio, R. L. A. Sampurno M. Hum., selaku pembimbing skripsi
yang dengan penuh kesabaran memberikan dorongan, bimbingan, koreksi kepada
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini hingga selesai.
3. Bapak Drs. Ign. Sandiwan Suharso, Dr. Baskara T. Wardaya, Drs. G. Moedjanto,
Drs. H. Purwanta, MA., serta seluruh staf pengajar Program Studi Ilmu Sejarah
yang telah memberikan ilmu selama penulis merampungkan studi di Sanata
Dharma ini.
vii
viii
4. Seluruh staf kesekretariatan Sastra khususnya Mas Tri, yang telah memberikan
kemudahan dalam membuatkan surat izin penelitian sehingga dapat membantu
penulis dalam penyusunan skripsi ini.
5. Seluruh staf Perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, staf
Perpustakaan Daerah di Cilacap, staf Badan Pusat Statistik di Cilacap, yang telah
memberikan pelayanan peminjaman dan izin menggunakan buku -buku yang
telah dibutuhkan penulis dalam menyusun skripsi ini.
6. Semua pihak yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk menjadi
responden dalam penyu sunan skripsi ini.
7. Kedua orang tuaku papa dan mama tercinta, terima kasih atas segala usaha, kerja
keras, dan air mata serta doa yang kalian berikan. Tidak akan pernah aku lupakan
jerih payah kalian sampai sepanjang hayat.
8. Kekasih sekaligus kakak yang terbaik untukku Mas Krisna ”pupus” terima kasih
atas segala perhatian, dorongan, dan semangatnya, serta atas pengorbanan,
kesetiaan, kasih sayang, cinta dan ketulusan yang menjadikan sebuah kekuatanku
untuk selalu terus maju da lam belajar dan berkarya.
9. Devid terima kasih telah mengajariku arti dari sebuah hidup, kedewasaan dan
cinta. Percayalah Tuhan pasti akan memberikan segala sesuatunya yang indah
kepada kita tepat pada waktunya.
10. Semua keluargaku di Cilacap, Eyang putri, Uwa, Mbak Ria + Mas Hendro,
Mbak Wiwik + Mas Dhani, Dek Andre, Dek Enno, si kecil Agung n Ayu, terima
viii
ix
kasih karena kalian yang selama ini telah menjadi inspirasiku dan kekuatanku
sampai skripsi ini selesai.
11. Sahabatku Dwi Anita Septiani di Psikologi ”02 UGM, dweek.....terima kasih atas
segala kebaikkanmu, perhatianmu dan diskusinya, serta kesediaanmu
menemaniku di saat aku takut, mendengarkanku di saat aku curhat, membantuku
di saat aku sedang terpuruk, terima kasih dweek semoga kamu selalu sukses
dalam meraih impianmu. Amien.
12. Sahabatku Yuli, Diach, Mei (di Cilacap), serta teman-temanku eks kost lampar
38 especially to: Martina, k. Dian, k. Wuyi, Y. Erna Sari, Lucy, Nita, Iin. Dan
teman-temanku Villa n Gagak, Nanang n Retno, I never forget you all and thanks
for everythings.
13. Teman-teman semua yang di Ilmu Sejarah angkatan 2001, Erna, Ajeng, Riska,
Tholo, Thaji, Hendrik, Tatto, Enno, Lazarus, Krisna ”gedhe”, Krisna ”Pupus”,
Bertha, Eka ”gundhul”, Edi, pak Eko, dan Gus Adhit, terima kasih untuk
semuanya, kalian adalah teman -temanku yang selama ini telah menjadikan suatu
kenangan tersendiri dalam hidupku selama di kota Jogjakarta ini.
14. Waah, temen-temen baruku nech, yang telah memberikan aku semangat dan
warna baru dalam kehidupanku, yang bisa memberi aku pengertian tentang arti
dari sebuah persahabatan yang sesungguhnya ( Dewi, Anis, Purna, Suprex, Arex,
Enthong, Susi, Andre, Wisnu, Heri, Nur, Edi, Ipul, Catur, Eka, Rahayu) I will
always remember you. Terimakasih atas semuanya muaaaahhhhh……
ix
x
15. Jogjakarta yang sudah membuat aku dewasa dan menemukan kesederhanaan,
ketulusan, kesetiaan, kebahagiaan yang hakiki……terus dan tetaplah menjadi
Jogja yang indah dan berhati nyaman.
Penulis menyadari se penuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu penulis dengan senang hati bersedia menerima sumbangan
baik pikiran, kritik, maupun saran yang membangun guna penyempurnaan. Semoga
skripsi ini berguna bagi siapa pun khususnya bagi masya rakat yang mencintai sejarah
dan kebudayaan. Amien.
Yogjakarta, 08 Maret 2006
PENULIS
x
xi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL................................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. i
HALAMAN MOTTO .............................................................................................. iv
HALAMAN PERSEMBAHAN .............................................................................. v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA.................................................................. vi
KATA PENGANTAR.............................................................................................. vii
DAFTAR ISI ..... ....................................................................................................... xi
ABSTRAK................................................................................................................ xiv
ABSTRACT ...... ....................................................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1
1.2. Rumusan Permasalahan ........................................................................ 4
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................ 4
1.4. Tinjauan Pustaka ................................................................................... 5
1.5. Landasan Teori ...................................................................................... 7
1.6. Metodologi Peneli tian........................................................................... 12
1.7. Sistematika Penulisan ........................................................................... 13
BAB II ETNIK TIONGHOA DAN ETNIK JAWA DI CILACAP PASCA
1965 ... ....................................................................................................... 15
2.1. Latar Belakang Masuknya Etnik Tionghoa di Cilacap .................... 15
2.2. Sekitar Pasca 1965.............................................................................. 19
2.3. Penduduk dan Lingkungan Sosio Kultural ....................................... 21
xi
xii
2.2.1. Data Demografis....................................................................... 21
2.2.2. Pendidikan................................................................................. 22
2.2.3. Bahasa........................................................................................ 24
2.2.4. Agama dan adat istiadat............................................................ 27
2.2.5. Mata Pencaharian...................................................................... 29
2.4. Interaksi Etnik Tionghoa dan Etnik Jawa di Cilacap ....................... 31
BAB III TRADISI PERKAWINAN CAMPUR ETNIK TIONGHOA DAN
ETNIK ETNIK JAWA DI CILACAP................................................... 36
3.1. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan................................................ 36
3.1.1. Praktik upacara perkawinan di Cilacap periode
1965-1971-an............................................................................ 36
3.1.2. Tujuan perkawinan menurut undang-undang
No. I Tahun 1974..................................................................... 36
3.1.3. Syarat sahnya perkawinan menurut undang-undang
No. I Tahun 1974.................................................................... 41
3.1.4. Perkawinan campur antara kewarganegaraan menurut
Undang-undang No. I Tahun 1974 ........................................ 43
3.1.5. Sangsi bagi yang melanggar peraturan perkawinan
Campuran menurut UU No. 1 Tahun 1974 ............................ 44
3.2. Perkawinan campur etnik Tionghoa dan Jawa di Cilacap ................ 45
3.2.1. Tujuan perkawinan menurut adat............................................ 45
3.2.3. Perkawinan ideal dan pembatasan jodoh
etnik Tionghoa dan etnik Jawa ................................................ 45
3.2.4. Syarat sahnya suatu perkawinan campur antara etnik
Tionghoa dan Jawa .................................................................. 51
3.2.5. Tata cara perkawinan bagi perkawinan etnik Tionghoa
Dan Jawa di Cilacap ............................................................... 53
BAB IV DAMPAK PERKAWINAN CAMPUR SETELAH MENIKAH........ 58
4.1. Adat menetap sesudah kawin ......................................................... 58
4.2. Hubungan suami dan istri serta suami istri dan kerabat............... 62
4.3. Adat perceraian................................................................................ 72
4.4. Hukum waris.................................................................................... 76
4.5. Hal mengenai pendidikan anak...................................................... 77
xii
xiii
BAB V PENUTUP............................................................................................... 80
5.1. Simpulan.......................................................................................... 80
5.2. Saran................................................................................................. 82
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xiii
xiv
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul Perkawinan Campur Antara Etnik Tionghoa Dan Pribumi
Pasca 1965, Studi Kasus Orang Tionghoa dan Jawa di Cilacap. Dalam skripsi ini
menampilkan tiga permasalahan; Pertama, mengu raikan dan mendeskripsikan tentang
etnik Tionghoa dan etnik Jawa di Cilacap pasca 1965 . Kedua, untuk mengetahui tradisi
perkawinan campur antara etnik Tionghoa dan Jawa di Cilacap. Ketiga, menguraikan
dampak dari perkawinan campur setelah menikah.
Skripsi ini menggunakan pendekatan sosiologi antropologi. Hal ini dimaksudkan
untuk menganalisa permasalahan dengan melihat perubahan yang terjadi dalam
kehidupan sosial masyarakat terutama pada etnik Tionghoa dan Jawa di Cilacap. Metode
penelitian yang digunakan adalah metode studi literatur dan metode wawancara. Dalam
skripsi ini pula menggunakan metodologi penelitian kepustakaan. Dan dari penelitian ini
diketahui bahwa terjadinya perkawinan campur an tara etnik Tionghoa dan pribumi yang
ada di Cilacap dikarenakan adanya suatu pembauran dan hubungan interaksi yang cukup
erat diantara kedua etnik tersebut sehingga menimbulkan adanya suatu ketergantungan
atau adanya saling membutuhkan satu sama lain. Maka hal seperti itulah yang
menimbulkan terjadinya suatu perkawinan campur diantara kedua etnik tersebut. Selain
itu perkawinan campur terjadi juga karena adanya keinginan dari etnik Tionghoa untuk
mendapatkan pengakuan dan status yang jelas tentang identitas nya sebagai Warga
Negara Indonesia agar dapat diterima menjadi bagian dari masyarakat Indonesia
khususnya di wilayah Cilacap.
Perkawinan campur sudah ada sejak pada masa pemerintahan Belanda di
Cilacap, namun pada saat itu perkawinan campur yang di lakukan oleh para pelaku
perkawinan campur mendapat pertentangan dari pihak Belanda, karena pemerintah
Belanda tidak menyetujui kalau etnik Tionghoa menikah dengan pribumi, akhirnya
mereka yang akan melakukan perkawinan campur, menikah tanpa ada peresmian dari
pemerintah maupun agama, sehingga perkawinannya tidak di akui oleh masyarakat
karena tidak sah menurut hukum agama dan undang -undang. Tetapi sejak terhapusnya
pemerintahan Belanda di Indonesia, walaupun etnik Tionghoa selalu mendapat berbagai
macam kecaman dari pihak Indonesia, namun masalah perkawinan campur tidak
menjadi hambatan bagi mereka. Bahkan pemerintah Cilacap telah membuat kebijakan
yang adil terhadap pelaku perkawinan campur, dan keberadaan perkawinan campur pun
sudah di akui oleh hukum, agama, dan masyarakat.
xiv
xv
ABSTRACT
This mini -thesis entitled Cross Marriage Between Tionghoa Ethnic and
Indigenous Ethnic Post 1965, Case Study of Tionghoa and Javanese People in Cilacap.
In this mini -thesis it revealed three cases: First, analysis about the Tionghoa ethnic and
Javanese ethnic in Cilacap post 1965. Second is to know about the tradition of cross
marriage between Tionghoa ethnic with Javanese ethnic in Cilacap. Third, analysis the
post-marriage impact of cross marriage.
This mini -thesis used the anthropology sociological approach. It means to
analyse the problems by considering the changes that happened in the social life of
society especially to the Tionghoa and Javanese ethnic in Cilacap. Research method
used literary study method and intervi ew method. This mini -thesis also used
methodology of literary research. In this research it known that the existence of cross
marriage between Tionghoa ethnic with Javanese ethnic in Cilacap was caused by an
assimilation and the closely relations of mutual interaction between those two ethnics.
Thus, it emerged the existence of interdependence of mutual needs. Such conditions
emerged the existence of cross marriage between those two ethnics. Besides, cross
marriage is happened because by the willingness of Tionghoa ethnic to get the
confession and clear status about their identity as Indonesia inhabitants in order could be
received as the part of Indonesian community, especially in Cilacap regions.
Cross marriage has been held since Nederland government was in Cilacap.
However in that time, the cross marriage has been conducted by the doers of cross
marriage got contradicted from the part of Nederland government, because Nederland
government did not agree if Tionghoa ethnic marry with indigenous. Finally thos e would
hold cross marriage, married without any legalization of either from the government and
religion. Thus their marriage was not confessed by the community because it perceived
illegal from the perception of religions and laws. However, after the elimination of
Nederland government from Indonesia, although Tionghoa ethnic always get various
lampooning from Indonesian government, however the problems of cross marriage were
barriers to them. Even tough, the Cilacap government has established fair policie s
toward the doer of cross marriage, and the existence of cross marriage has been
confessed by laws, religions and society.
xv
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah sebagai ilmu telah mengalami perkembangan yang cukup pes at,
terutama setelah ilmu-ilmu lain banyak berkembang . Penulisan sejarah tidak lagi
didominasi oleh masalah politik, tetapi juga menjangkau berbagai aspek kehidupan
manusia .
1
Tentu saja aspek kehidupan manusia yang dibicarakan dalam kajian sejarah
sangat luas. Salah satu dari aspek kehidupan itu adalah perkawinan campur, yaitu
perkawinan campur antara dua etnik yang berbeda atau yang berbeda agama atau
kepercayaan.
Dalam penelitian tentang perkawinan campur a ntara etnik Tionghoa dan
Jawa di Cilacap ini penulis bermaksud untuk menggambarkan bagian dari masyarakat
Indonesia yaitu masyarakat Tionghoa sebagai pendatang yang hidup dan menetap di
Cilacap. Masyarakat Tionghoa di Cilacap ini, mempunyai beragam kebudayaan yang
sangat khas serta kecerdikannya di dalam bidang perekonomian khususnya perdagangan
yang perkembangannya sangat maju pesat, yang sampai saat ini menjadi panutan bagi
masyarakat Cilacap. Kehidupan etnik Tionghoa sebagai etnik minoritas di Cilacap
walaupun banyak mendapat pertentangan dan perlawanan khususnya dalam bidang
kebudayaan yang terjadi sekitar tahun 1965-an, tetapi keberadaanya sebagai etnik
1
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, Gramedia: Jakarta,
1993. hlm. 37.
2
minoritas masih terus dipertahan kan dan kebudayaannya juga masih terus dikembangkan
sampai saat ini. Yang paling menarik perhatian untuk penulis kembangkan dalam
penulisan mengenai etnik Tionghoa ini, yaitu kehidupan perkawinan campurnya yang
mereka lakukan dengan pribumi yang sampai saa t ini masih terus dilakukan oleh kedua
etnik tersebut. Perkawinan campur ini menghasilkan etnik Tionghoa peranakan. Hal ini
membuktikan bahwa komunitas Tionghoa di Cilacap kebanyakan adalah hasil dari
perkawinan campur dari pada pendatang aslinya. Ini dibu ktikan dengan adanya jumlah
Tionghoa peranakan yang jumlahnya lebih besar dibanding dengan Tionghoa totok di
Cilacap. Dan adanya perkawinan campur ini juga yang menyebabkan lunturnya
kebudayaan leluhur asli etnik Tionghoa. Dalam hal ini penulis juga akan m engambil
latar belakang waktu pasca 1965 sampai pada kira-kira kurun waktu sepuluh tahun
kedepan atau sampai pembatasan tahun 1974.
Perkawinan campur terjadi karena adanya suatu hubungan interaksi yang
cukup erat di antara etnik Tionghoa dan Jawa di Cilacap. Keeratan itu terjadi karena di
antara kedua pihak sama-sama saling membutuhkan untuk menghasilkan keuntungan
bagi masing -masing pihak. Dalam hal ini, etnik Jawa di Cilacap membutuhkan etnik
Tionghoa untuk membantu perkembangan perekonomiannya atau ber guru dalam bidang
perdagangan karena pribumi menganggap bahwa etnik Tionghoa sangat cerdik dan
pandai di dalam bisnis perdagangannya. Sedangkan etnik Tionghoa membutuhkan
pribumi untuk melindungi keberadaannya di Cilacap agar mereka dapat diakui secara
layak dan pantas sebagai masyarakat minoritas di Cilacap. Maka dari itu, terjadilah
3
adanya suatu simbiosis mutualisme bagi kedua etnik tersebut yang akhirnya
menyebabkan adanya suatu perkawinan campur di antara kedua etnik itu.
Perkawinan campur yang terjadi di Cilacap, pelaksanaannya sudah tidak lagi
didominasi oleh faktor -faktor perbedaan suku, ras, etnik, agama, politik, kebudayaan,
dan lain sebagainya, karena pemerintah di Cilacap sudah membuat suatu kebijakan yang
adil terhadap pelaku perkawinan campur, d an keberadaan perkawinan campur pun sudah
di akui oleh hukum, agama, dan masyarakat luas.
Pada umumnya para pelaku perkawinan campur ini setelah menikah mereka
akan membuat suatu kebudayaan baru dalam kehidupan sehari -hari mereka, baik dalam
hal mendidik a nak maupun di dalam berbagai hal. Hasil dari perkawinan campur yang
biasa di sebut dengan Tionghoa Peranakan biasanya mereka lebih terbuka dalam
menerima kebudayaan baru, dan mereka juga lebih pandai berbaur dengan orang -orang
pribumi bila di banding denga n orang Tionghoa Totok yang sulit untuk berinteraksi atau
bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya.
Beranjak dari uraian di atas, maka penelitian ini akan mencoba
mendeskripsikan Perkawinan Campur Antara Etnik Tio nghoa dan Jawa Pasca 1965
dengan mengambil studi kasus etnik Tionghoa dan Jawa di Cilacap. Cilacap merupakan
sebuah kota kecil yang berada di selatan samudera Indonesia, sebelah utara berbatasan
dengan kabupaten Banyumas, sebelah Timur berbatasan dengan kabupaten Kebumen
dan sebelah barat berbatasan dengan propinsi Jawa Barat. Tepatnya di kabupaten
Cilacap propinsi Jawa Tengah. Kota Cilacap selain sebagai salah satu kota industri yang
perkembangannya sangat pesat di Indonesia juga merupakan sebagai salah satu tempat
4
berbaurnya berbagai macam etn ik yang terdiri dari etnik Menado, Sunda, Arab,
Tionghoa, dan lain -lain. Dari sekian banyak etnik tersebut , ternyata etnik Tionghoa
adalah etnik yang mempunyai jumlah dan perkembangan yang sangat pesat bila
dibanding dengan etnik -etnik lain dan umumnya mereka telah banyak berbaur dengan
pribumi .
B. Rumusan Masalah
1. Apa latar belakang terjadinya perkawinan campur di Cilacap?
2. Bagaimana proses terjadinya perkawinan campur antara etnik Tionghoa dan Jawa di
kota Cilacap?
3. Bagaimana dampak dari perkawinan campur setelah menikah bagi kedua pihak?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tujuan dari penulisan ini adalah:
Mengetahui tentang kehidupan dari orang -orang etnik Tionghoa dari segi sosial
budaya, ekonomi, dan politik terutama mengenai perkawinan campuran yang terjadi di
dalam masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Cilacap pada khususnya.
Manfaat dari penulisan ini adalah:
1. Secara teoretis penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbanga n terhadap
perkembangan dan pendalaman studi tentang sejarah pada umumnya.
5
2. Secara praktis hasil dari penulisan ini diharapkan dapat memberikan gambaran
kepada semua lapisan masyarakat dalam hidup bermasyarakat di Indonesia y ang
berasal dari beragam etnis.
D. Tinjauan Pustaka
Buku-buku yang membahas tulisan khusus tentang kebudayaan
perkawinan campur antara etnik sudah cukup banyak. Buku itu antara lain Kultur Cina
dan Jawa Pemahaman Menuju Asimilas i kultural yang ditulis oleh P. Hariyono yang
berisi tentang stereotipe-stereotipe yang melekat kuat di antara etnik Tionghoa dan
Jawa di Yogyakarta. Masalah asimilasi atau pembauran antara kelompok pribumi
(suku Jawa) yang mayoritas, Suku Jawa memiliki pengaruh luas dalam percaturan
pembauran ini, dengan minoritas Tionghoa lebih menonjol dibandingkan dengan
kelompok minoritas lainnya seperti Arab, India bahkan Belanda dan Jepang yang
pernah menjajah Indonesia secara langsung. Dalam buku ini juga membahas tentang
perkawinan campuran etnik Tionghoa dan pribumi studi kasus etnik Tionghoa di
Yogyakarta.
Selain itu buku yang berjudul Negara dan Etnis Tionghoa Kasus Indonesia
yang ditulis oleh Leo Suryadinata, membahas tentang peranan etnis Tionghoa di Asia
Tenggara umumnya dan di Indonesia khususnya dari jaman kolonial sampai masa kini.
Dan juga memuat tentang kebijakan -kebijakan pemerintah tentang minoritas Tionghoa
di Indonesia dari jaman kolonial sampai masa kini. Keadaan etnis Tionghoa di negara -
negara Asia Tenggara terkait dengan konsep bangsa dan kebijakan pemerintah tempat
6
mereka berada. Tak terkecuali di Indonesia. Dinamika keadaan mereka di negeri ini,
secara tidak langsung, merefleksikan watak penguasa pada masanya, setidaknya sejak
masa demokrasi liberal hingga masa pasca Orde Baru ini. Dan juga buku yang
berjudul Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Hukum Adat Hukum
Agama karangan Hilman Hadikusuma yang berisi tentang aturan tata tertib
perkawinan yang tidak saja menyangkut warga negara Indonesia tetapi juga
menyangkut warga negara asing, karena bertambah luasnya pergaulan bangsa
Indonesia. Selain itu juga membahas tentang budaya perkawinan dan aturan yang
berlaku pada suatu masyarakat atau pada suatu bangsa yang dipengaruhi oleh
pengetahuan, pengalaman , kepercayaan dan keagamaan yang dianut oleh masyarakat
yang bersangkutan. Seperti halnya aturan perkawinan bangsa Indonesia bukan saja
dipengaruhi adat budaya masyarakat setempat, tetapi juga dipengaruhi ajaran agama
Hindhu, Buddha, Islam dan Kristen, bah kan dipengaruhi budaya perkawinan barat.
Jadi walaupun bangsa Indonesia kini telah memiliki hukum perkawinan nasional
sebagai aturan pokok, namun adalah kenyataan bahwa di kalangan masyarakat
Indonesia masih tetap berlaku adat dan tata-upacara perkawinan yang berbeda-beda.
Bertolak dari kepustakaan atau sumber-sumber di atas, dari beberapa
sumber yang akan digunakan sebagai referensi pada penulisan ini, tidak dijumpai
sumber yang mendeskripsikan seluk beluk perkawinan campur antara etnik T ionghoa
dan Jawa secara lebih lengkap, yakni mulai dari latar belakang terjadinya perkawinan
campur sampai pada dampak pasca perkawinan campur dalam kehidupan sehari -hari
mereka.
7
E. Landasan Teori dan Batasan Permasalahan
1. Landasan Teori
Skripsi atau penelitian ini berjudul “ Perkawinan Campuran Antara Etnik
Tionghoa dan Pribumi Pasca 1965 (studi kasus etnik Jawa dan Tionghoa di Cilacap)”.
Untuk dapat memberikan penjelasan yang mendalam tentang pembahasan tersebut
maka dibutuhkan beberapa konsep yang dianggap mampu untuk membantu
menjelas kan tentang pembahasan tersebut.
Perkawinan campur antara etnik Tionghoa dan pribumi di Cilacap terjadi
karena antara etnik Tionghoa dan pribumi sama-sama mau berinteraksi dan mau
berbaur satu sama lain sehingga hal i ni menimbulkan suatu hubungan yang cukup baik
di antara keduanya. Mereka sama-sama saling membutuhkan baik dalam hubungan
perekonomian maupun dalam pergaulan sehari -hari. Dengan keeratan yang mereka
jalin tidak jarang menimbulkan terjadinya perkawinan camp ur di antara kedua etnik
tersebut, buktinya di Cilacap banyak sekali yang telah melakukan perkawinan campur
antar etnik terutama etnik Tionghoa dengan pribumi.
Interaksi di dalam suatu masyarakat sangat perlu dan harus dilakukan karena
tanpa interaksi akan sulit untuk melakukan suatu hubungan di antara satu dengan yang
lainnya. Selain itu juga pasti akan sulit untuk masuk ke dalam suatu budaya yang
sudah melekat di masyarakat.
Ada sebuah teori yang membahas masalah ini yaitu teori integrasi yang
dikemukakan oleh Parsons. Parsons mengatakan bahwa unsur -unsur kebudayaan asing
dapat diterima oleh masyarakat setempat apabila kebudayaan asing tersebut dapat
8
menyesuaikan diri dengan b entuk kebudayaan setempat dan sesuai dengan kepribadian
masyarakat setempat
2
. Dari teori ini dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa sebuah
kebudayaan asing agar dapat diterima oleh masyarakat setempat maka harus dapat
bekerjasama dengan kebudayaan asli, sehingga terjadi apa yang disebut asimilasi yaitu
percampuran dua buah kebudayaan. Menurut Koentjaraningrat proses asimilasi terjadi
apabila ada : (i) golongan-golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan yang
berbeda-beda, (ii) saling bergaul langsung secara intensif untuk waktu yang lama, dan
yang terakhir (iii) kebudayaan golongan -golongan tadi masing -masing berubah
sifatnya yang khas, dan juga unsu r-unsurnya masing -masing berubah wujudnya
menjadi unsur -unsur kebudayaan campuran
3
.
Perkawinan campur antara etnik Tionghoa dan etnik Jawa di Cilacap
merupakan sebagai salah satu bukti adanya suatu integrasi yang terjadi di dalam
masyarakat Cilacap. Para pelaku perkawinan campur agar mereka dapat diterima
dengan baik oleh masyarakat Cilacap, maka mereka harus dapat menyesuaikan diri
dengan budaya asli dan l ingkungan masyarakat Cilacap. Teori inilah yang akhirnya
menjawab suatu permasalahan tentang terjadinya perkawinan campur beda etnik yaitu
etnik Tionghoa dan pribumi yang ada di Cilacap.
2
Parsons, Mitla Town Of The Souls, Chicago: University of Chicago Press, 1963. hlm. 536
3
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi , Jakarta : Rineke Cipta, 1990. hlm. 255
9
3. Batasan Permasalahan
Perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 adalah suatu
peristiwa yang sakral bagi seorang pria dan wanita karena perkawinan merupakan
tanda penyatuan hati antara mereka atas dasar cinta. Meskipun sebenarnya cinta tidak
cukup sebagai dasar seseorang untuk melakukan pernikahan, karena berh asil tidaknya
suatu perkawinan tidak hanya ditentukan atas dasar cinta tapi masih ada dasar yang
lain yaitu kesiapan dari kedua pihak yang akan menikah, baik itu secara fisik maupun
secara mental
4
.
Perkawinan campuran dapat diartikan sebagai peristiwa bertemunya
sepasang (calon) suami istri yang berlainan etnis yang sama-sama bermaksud untuk
membentuk suatu rumah tangga (keluarga) yang berdasarkan kasih sayang, yang
disahkan secara resmi dengan upacara tertentu.
5
Dalam hal ini maka perlu adanya
suatu pembahasan mengenai etnis. Untuk itu ada baiknya dipahami terlebih dahulu
tentang etnis.
Etnis berasal dari bahasa Yunani, “ethnos” yang berarti rakyat atau bangsa
yang menunjukkan suatu kelompok dengan perasaan etnisitas bersama sebagai etnik.
Dalam buku Ensiklopedia Indonesia dikatakan bahwa etnik berkaitan dengan suatu
4
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Hukum Adat
Hukum Agama, Mandar Maju: Bandung, 2003. hlm. 7
5
P. Hariyono, Kultur Cina Jawa Pemahaman Menuju Asimilasi Kultural, Pustaka Sinar Harapan
: Jakarta, 1993. hlm 102
10
kelompok sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu
karena adat, agama, bahasa, dan sebagainya.
6
Kelompok etnik adalah “ suatu bentuk kelompok baik kelompok ras maupun
yang bukan kelompok ras, yang secara sosial dianggap berada dan telah
mengembangkan strukturalnya sendiri”.
Kelompok etnik: sejumlah orang yang memiliki persamaan ras dan warisan
budaya yang membedakan mereka dengan kelompok lainnya. Dengan kata lain, suatu
kelompok etnik adalah kelompok yang diakui oleh masyarakat dan oleh kelompok
etnik itu sendiri sebagai suatu kelompok yang tersendiri. Walaupun perbedaan
kelompok dikaitkan dengan nenek moyang tertentu, namu n ciri-ciri pengenalnya dapat
berupa bahasa, agama, wilayah, kediaman, bentuk fisik, atau gabungan dari beberapa
ciri tersebut.
7
Perkawinan menurut etnik Tionghoa adalah suatu bentuk untuk melanjutkan
hidup klan, sehingga pemilihan jodoh lebih banyak melibatkan keluarga besarnya.
Dalam memilih pasangan hidupnya biasanya baik, laki -laki maupun perempuan
membuat suatu persyaratan yang tidak sama bagi semua bangsa di dunia. Secara
umum biasanya masing -masing pihak akan menelusuri latar belakang hidup pihak
yang bersangkutan dengan cara melihat Shio, She atau Marga si calon atau dengan
cara meramal calon pasangannya ala orang Tionghoa, jika mereka tid ak mempunyai
6
Hasan Shadily, Ensiklopedia Indonesia, Ichtiar Baru: Jakarta, 1980. hlm. 301.
7
Horton, Paul. B. & Hunt, Cester, Sosiologi, Erlangga: Jakarta, 1992. hlm 61.
11
Shio, She, atau Marga yang sama, maka dilakukan pertukaran Men Hu Die, artinya
kesepakatan persyaratan dari kedua belah pihak.
Sedangkan perkawinan menurut etnik Jawa dimaksudkan untuk membentuk
suatu rumah tangga yang berdiri sendiri. Pemilih an calon pasangan merupakan urusan
pribadi, keluarga besar memang memegang peranan penting dalam pemilihan calon
pasangan. Hanya saja keluarga besar menyarankan agar pemilihan pasangan harus
benar-benar memperhatikan prinsip bibit yang berarti asal -usul si calon, bebet yang
berarti kelakuan/baik tidaknya watak dan sikap si calon, dan bobot yang berarti
kekayaan dan pekerjaannya. Hal itu dilakukan karena keluarga hanya ingin
mengetahui asal -usul dan status sosial si calon
Dari pengertian-pengertian di atas maka dapat diambil kesimpulan tentang
terjadinya suatu perkawinan campur antar etnik yang ada di Cilacap. Terjadinya
perkawinan campur antara etnik Tionghoa dan etnik Jawa harus membutuhkan adanya
suatu interaksi dan hubungan yang erat di antara kedua etnik tersebut di dalam suatu
masyarakat, sehingga dapat memudahkan mereka untuk dapat memilih si calon
pasangan mengenai status dan asal -usulnya. Maka dalam penulisan mengenai
perkawinan campuran ini tidak akan lepas j uga menceritakan pembauran yang
dilakukan oleh orang Tionghoa dengan masyarakat sekitar. Oleh karena itu dalam
penelitian ini masyarakat adalah sangat penting, karena dipakai sebagai suatu tokoh
atau sebagai pelengkap sumber. Maka penulisan ini menggunakan pendekatan dari
ilmu sosial khususnya sos iologi dan juga akan menggunakan pendekatan antropologi.
12
F. Metodologi Penelitian.
a. Metode pengumpulan data
Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data tertulis dan data
lisan, maka pengumpulan data yang digunakan dalam penel itian ini adalah metode studi
literatur, yakni metode pengumpulan data dengan cara memanfaatkan sumber -sumber
tertulis yang ada.
Karena periode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah periode
kontemporer, maka mau tidak mau, penggunaan metode wawancara harus dipergunakan
dalam penelitian ini.
b. Analisis Data
Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan ke dalam
pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat
dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data
8
. Dari pengertian di atas
dapat dinyatakan bahwa sebuah analisis merupakan bagian dari suatu penelitian dan
proses ini merupakan proses yang penting. Di dalam proses analisis juga terdapat
proses verivikasi, dimana data yang sudah diperoleh di lapangan dipil ah-pilah kembali
atau dengan kata lain dilakukan pengorganisasian untuk menentukan mana data yang
sekiranya relevan dengan tujuan penulisan dan mana yang tidak. Hal ini dilakukan
agar tujuan penulisan dapat tercapai dengan baik dan tulisan yang disajikan t idak
keluar dari jalur.
8
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Karya CV, 1989.
hlm.112
13
Data-data yang diperoleh dari penelitian kepustakaa n dan lapangan diolah
dan dianalisis secara kualitatif, artinya semua data yang diperoleh akan dianalisis
berdasarkan pada apa yang telah dinyatakan oleh responden dan nara sumbe r secara
tertulis dan nyata serta mempelajari gejala dan masalah yang timbul dalam praktek
sebagai suatu yang utuh. Setelah data dianalisis, selanjutnya akan ditarik kesimpulan
dengan menggunakan metode berpikir deduktif yaitu suatu pola pikir yang
berdasarkan pada hal-hal yang bersifat umum, kemudian ditarik suatu kesimpulan
yang bersifat khusus.
c. Historiografi atau penulisan
Historiografi adalah proses mengkisahkan kembali peristiwa yang sudah
ada berdasarkan data-data yang ada. Dalam proses historiografi dilakukan interpretasi.
Interpretasi adalah penafsiran terhadap sumber -sumber yang ada yang telah diyakini
kebenarannya untuk memperoleh hasil yang maksimal dan mendekati kebenaran dari
suatu peristiwa. Proses ini dilakukan untuk menghindari unsur subye ktivitas. Bentuk
penulisan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis. Di mana dalam penulisan ini
peristiwa-peristiwa yang ada tidak hanya diceritakan secara kronologis tetapi juga
mengandung analisis.
G. Sistematika Penulisan
Secara keseluruhan penulisan skri psi ini dibagi menjadi enam bab sebagai
berikut:
14
Bab 1 merupakan pendahuluan yang berisi lata r belakang dan
permasalahan, tujuan penulisan dan manfaat penulisan, tinjauan pustaka, kerangka
teori dan pendekatan, metode penelitian dan penggu naan sumber serta sistematika
penulis.
Bab II mendeskripsikan latar belakang terjadinya perkawinan campur
antara etnik Tionghoa dan etnik Jawa di Cilacap.
Bab III berisi tentang proses perkawinan campur antara etnik Tionghoa
dan pribumi pasca 1965. Bagian ini merupakan bagian yang s ecara rinci
mengemukakan tentang praktik perkawinan pasca 1965, pengertian dan tujuan
perkawinan, syarat syahnya perkawinan, dan tata cara perkawinan menurut adat
yang dipakai dalam prosesi pernikahan yang dilaksanakan.
Bab IV berisi tentang bagaimana proses setelah be rlangsungnya
perkawinan, yang menyangkut tentang adat menetap sesudah perkawinan, hubungan
antara suami dan istri dan antara suami istri dengan kerabatnya, hal perceraian,
hukum waris, dan hal pendidikan anak -anaknya.
Bab V merupakan kesimpulan yang menjawab permasalahan yang
diajukan.
15
BAB II
ETNIK TIONGHOA DAN ETNIK JAWA DI CILACAP
PASCA 1965
A. Latar belakang masuknya etnik Tionghoa di Cilacap
Berdiamnya etnik Tionghoa di Cilacap adalah akibat migrasi, karena adanya
suatu perdagangan yang mereka lakukan dengan berbagai pedagang -pedagang lain di
Nusantara kurang lebih sejak tahun 413 M, perdagangan yang dilakukan dengan
perlahan meninggalkan beberapa kelompok etnik Tionghoa di pelabuhan -pelabuhan
Nusantara. Jumlah ini tentu makin meningkat, mengingat kekayaan Nusantara yang luar
biasa itu. Walaupun agak perlahan dan bertahap, kemudian terjadilah perkawinan
campur antara etnik Tionghoa Totok dengan pribumi. Hubungan tersebut melahirkan
kelompok Tionghoa Peranakan . Pada tahap ini menurut Hans J. Daeng, para generasi-
generasi awal Tionghoa Peranakan itu pasti ditarik ke dalam lingkungan pergaulan
dengan golongan Tionghoa Totok, mereka dididik menjadi Tionghoa Totok
9
.
Sejak abad ke-17 hingga 20, posisi etnik Tionghoa di Cilacap makin diperkuat
lantaran mereka dibutuhkan Belanda sebagai pedagang -antara. Mereka diharapkan
menjadi penghubung dalam bidang perdagangan antara pribumi dengan Belanda yang
memiliki jaringan perdagangan yang jauh lebih luas. Kasarnya, Tionghoa menguasai
9
Hans. J. Daeng, Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan , Pustaka Pelajar: Yogyakarta,
2002. hlm. 275.
16
pasar-pasar desa sampai ke pelabuhan -pelabuhan besar. Semuanya terpelihara dalam
sistem jaringan pekerjaan yang saling m enguntungkan.
Etnik Tionghoa yang ada di Cilacap, sebenarnya berasal dari beberapa
kelompok dari berbagai daerah dan beberapa propinsi di negara Cina, di antaranya yaitu
Fukien dan Kwangtung, yang sangat terpencar daerah-daerahnya. Setiap imigran yang
datang ke Cilacap menggunakan bahasa Hokkien, Toechiu, Hakka, dan Kanton yang
demikian besar perbedaannya, sehingga pembicaraan dari bahasa yang satu tak dapat
dimengerti pembicara dari yang lain
10
. Walaupun etnik Tionghoa perantau itu, terdiri
dari paling sedikit empat suku -bangsa, namun dalam pandangan masyarakat Cilacap
pada umumnya hanya terbagi ke dalam dua golongan yaitu Peranakan dan Totok
11
.
Masyarakat Tionghoa di Cilacap bukan merupakan masyarakat minoritas
homogen. Dari sudut kebudayaan, etnik Tionghoa terbagi menjadi dua golongan yaitu
golongan Peranakan dan golongan Totok. Golongan Peranakan adalah etnik Tionghoa
yang sudah lama tinggal di Cilacap atau hasil dari perkawinan campur dengan pribumi
dan umumnya sudah berbaur. Mereka berbahasa Indonesia sebagai bahasa sehari -hari
dan bertingkah laku seperti pribumi. Golongan Totok adalah etnik Tionghoa yang sulit
beradaptasi dan tidak pernah berbaur dengan masyarakat pribumi, umumnya mereka
membuat komunitas sendiri yang mereka lakukan bersama dengan sesama orang
Tionghoa Totok. Namun dengan berhentinya migrasi dari Tiongkok, jumlah Totok sudah
10
Kontjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia , Djambatan: Jakarta, 2002. hlm.
351
11
Ibid, hlm. 352.
17
menurun dan keturunan Totok pun telah mengalami pembauran. Karena itu, generasi
muda Tionghoa di Cilacap sebetulnya sudah mengalami Peranakan
12
.
Penggolongan tersebut bukan hanya berdasarkan kelahiran saja, artinya:
golongan Peranakan itu, bukan hanya etnik Tionghoa yang lahir di Cilacap atau hasil
perkawinan campuran antara etnik Tionghoa dengan pribumi, sedangkan golongan
Totok bukan hanya etnik Tionghoa yang lahir di negara Tionghoa. Penggolongan
tersebut juga menyangkut soal derajat penyesuaian atau akulturasi dari para perantau
Tionghoa itu terhadap kebudayaan Indonesia yang berada di sekita rnya, sedangkan
derajat akulturasi itu tergantung kepada jumlah generasi para perantau itu yang telah
berada di Cilacap dan kepada intensitas perkawinan campuran yang telah terjadi diantara
para perantau itu dengan etnik Jawa di Cilacap.
Salah satu hal yang perlu diterangkan mengenai soal identifikasi etnik
Tionghoa, ialah soal kewarganegaraan yang merupakan suatu hal yang rumit. Dalam
zaman kolonial semua etnik Tionghoa yang ada di Indonesia, secara yuridis diperlukan
sebagai satu golongan yang dikenakan s istem hukum perdata yang berbeda dengan
orang pribumi, ialah hukum untuk orang Timur Asing. Dalam negara Cina, yang
menetapkan ke-dwinegaraan bagi etnik Tionghoa di Indonesia, agar mereka dapat
dikenakan aturan-aturan hukum Hindia-Belanda. Keadaan ini diwa risi oleh negara kita,
waktu Belanda menyerahkan kedaulatannya kepada kita, pada tahun 1949. pada waktu
itu semua etnik Tionghoa di Indonesia mempunyai ke -dwinegaraan, yaitu menjadi warga
negara Cina sekaligus merangkap menjadi warga negara Indonesia.
12
Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa Kasus Indonesia , Pustaka LP3ES Indonesia:
Jakarta, 2002. hlm. 17.
18
Sistem kekerabatan etnik Tionghoa di Cilacap sangat kuat. Seperti yang
terlihat dalam hubungan yang terjalin antara lapisan buruh dan lapisan majikan, mereka
hidup bersama tanpa ada suatu perbedaan yang mencolok. Hal ini disebabkan karena
ikatan kekeluargaan yang terjalin diantara mereka sangat harmonis, sehingga perbedaan
diantara lapisan buruh dan lapisan majikan pun hampir tidak kentara.
Pada umumnya etnik Tionghoa di Cilacap mempunyai mata pencaharian
sebagai pedagang. Mereka umumnya para pedagang yang dapat membina hubungan
baik dengan para penguasa pribumi. Mula-mula di Banten, tetapi kemudian di Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Para usahawan Tionghoa ini berfungsi sebagai penghubung
antara Indonesia dengan dunia luar, terutama antara Indonesia dengan Tiongkok.
Mengenai agama, di Cilacap umumnya orang menganggap bahwa etnik
Tionghoa itu memeluk agama Buddha. Memang di negara Cina sebagian besar
rakyatnya memeluk agama Buddha, tetapi di Cilacap etnik Tionghoa adalah pemeluk
agama Buddha, Kungfu-tse, Tao, Protestan, Katholik, atau Islam. Mengenai agama
Buddha, Kungfu-tse, dan Tao ketiga-tiganya dipuja bersama-sama oleh suatu unit
perkumpulan yang bernama perkumpulan Sam Kauw Hwee atau yang lebih terkenal
dengan sebutan perkumpulan tiga agama.
Pada masa Orde Lama di Indonesia dikenal ada enam agama yang diakui oleh
pemerintah, hal ini tercantum dalam UU No. 1/PNPS/1965 yang menyatakan bahwa
pemerintah mengakui agama Islam, Protestan, Katholik Roma, Buddha, Hindhu dan
Konghucu. Tapi dalam perkembangannya agama Konghuc u sejak zaman Orde Baru
tidak lagi diakui sebagai agama di Indonesia, melainkan sebagai ajaran etika atau bentuk
19
filsafat yang mengajarkan kebijakan tertentu. Pernyataan ini tertuang dalam surat
Menteri Agama kepada Menteri Dalam Negeri pada tanggal 28 Desember 1979.
B. Sekitar Pasca 1965
Pasca 1965 merupakan suatu peralihan dari demokrasi terpimpin menuju ke
pemerintah Orde Baru. Pada zaman demokrasi terpimpin (1959 -1965), kebijakan
integrasi dan asimilasi mulai dilaksanakan secara bertahap. Mula -mula warga negara
Indonesia keturunan Tionghoa tidak diperbolehkan mendirikan sekolah -sekolah
Tionghoa, aktivitas etnik Tionghoa asing pun mulai dibatasi. Namun, kebijakan
asimilasi secara total baru dib erlakukan sejak lahirnya Orde Baru (1965-1998). Seluruh
peraturan yang ada pada masa demokrasi terpimpin dan masa-masa sebelumnya telah
dihapus secara total. Peraturan ganti nama mulai di umumkan pada pemerintahan Orde
Baru. Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa dihimbau mengganti nama
Tionghoanya menjadi nama yang berbau ”Indonesia”
13
.
Dalam bidang budaya, pemerintah Orde Baru rupanya ingin mengikis habis
kebudayaan Tionghoa. Pada pemerintah ini mu ncul peraturan pemerintah No. 14 Tahun
1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat istiadat Tionghoa yang menyatakan
pelarangan tradisi dan adat istiadat Tionghoa mulai diberlakukan. Peraturan -peraturan
pelarangan itu misalnya tidak boleh merayakan tahun baru Imlek dan Cap gomeh, tidak
boleh main barongsai, semua kelenteng harus diubah menjadi Vihara, agama Konghucu
tidak diakui, belajar ketionghoaan tidak diperbolehkan, koran dan publikasi bahasa
13
Leo Suryadinata, op. cit, hlm. 15.
20
Tinghoa tidak diizinkan, hanya sebuah koran setengah tionghoa y ang diasuh oleh militer
yang boleh terbit, dan koran ini dikenal dikalangan masyarakat Tionghoa sebagai koran
iklan
14
.
Akan tetapi tidak semua kebijakan bersifat asimilasi, peratura n diskriminasi
terus dijalankan sehingga minoritas Tionghoa merasa dirinya berbeda dengan kelompok
pribumi. Misalnya Kartu Tanda Penduduk (KTP) etnis Tionghoa dibedakan.
Perbedaannya terletak pada penulisan agama dan kewarganegaraannya, misalnya bagi
etnik Tionghoa yang beragama Konghucu di dalam KTP tidak dapat ditulis dan harus
menuliskan agama lainnya dan perbedaan tulisan WNI/WNA. Dan perubahan
pemakaian nama Tionghoa harus diubah menjadi nama yang berbau Indonesia, jika
mereka menginginkan pembuatan KT P yang sah untuk menjadi Warga Negara
Indonesia (WNI). Sejak saat itu, makin lama makin banyak orang Tionghoa WNI yang
terpelajar memberikan nama Jawa atau nama Indonesia lainnya kepada anak -anak
mereka yang baru dilahirkan, sebagian besar dari mereka meng harapkan bahwa
keberadaan akan status mereka sebagai warga minoritas harus benar-benar diterima
sebagai warga setanah air yang sungguh-sungguh oleh warga negara lainnya
15
.
C. Penduduk dan Lingkungan Sosio Kultural
1. Data Demografis
Jumlah penduduk Kabupaten Cilacap setiap tahun terus bertambah, menurut
hasil registrasi penduduk pada akhir tahun 1974 mencapai 1.187. 495 jiwa yang terdiri
14
Ibid
15
Mely G. Tan, Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia Suatu Masalah Pem binaan Kesatuan
Bangsa , Gramedia: Jakarta, 1981. hlm.25
21
dari laki-laki 591.088 jiwa dan perempuan 596.407 jiwa. Selama 5 tahun terakhir rata -
rata penduduk per tahun sebesar 0,87 persen. Komposisi penduduk berdasarkan jenis
kelamin menunjukkan penduduk laki -laki lebih sedikit dari perempuan , yang
diindikasikan pula oleh angka sex ratio sebesar 999 persen. Sementara itu dari distribusi
penduduk menurut kecamatan, memperlihatkan kecamatan Kawunganten adalah yang
paling banyak penduduknya yaitu sebesar 106.149 jiwa diikuti kecamatan Sidareja
sebesar 96.843 jiwa kemudian kecamatan Kedungreja sebesar 95.429 jiwa. Sedangkan
yang berpenduduk paling kecil adalah kecamatan Dayeuhluhur, yaitu sebesar 35.076
jiwa. Sementara itu bila dilihat dari latar belakang etnis dari suku, mayoritas
penduduknya bere tnis Jawa. Sedangkan para imigran yang berasal dari etnis lain adalah
Tionghoa, Arab, Sunda, dan lain sebagainya, dan etnis Tionghoa menempati jumlah
terbanyak diantara etnis pendatang lainnya di wilayah Cilacap.
Etnik Tionghoa mulai tinggal dan menetap di Cilacap kira-kira pada abad ke –
20, imigran Tionghoa yang masuk ke Cilacap menjadi semakin beragam. Mereka tidak
lagi didominasi oleh pedagang kelas menengah atau saudagar kaya, namun dari berbagai
lapisan sosial, seperti tukang -tukang, pedagang kecil, dan buruh. Perubahan ini tentu
saja ada pengaruhnya terhadap proses penyesuaian mereka dalam membentuk sistem
dan struktur sosial komunitas Tionghoa di lingkungan yang mereka tempati. Jumlah
etnik Tionghoa pada saat mereka datang dan menetap di Cilacap menc apai kira-kira
kurang dari 67.884 jiwa, tetapi pada akhir tahun 1974 jumlahnya meningkat drastis kira -
kira mencapai lebih dari 67.884 jiwa. Mereka hidup dengan tidak mengelompok tetapi
terpisah-pisah dan menyebar di setiap sudut kota cilacap.
22
Para imigran dari negeri Tiongkok ini bukan berasal dari satu kelompok suku
bangsa, melainkan terdiri dari berbagai suku bangsa dan daerah yang saling terpisah.
Setiap imigran Tionghoa yang masuk membawa muatan unsur -unsur kebudayaan.
Tetapi tidak semua beban kebudayaa n negeri leluhur, mereka terapkan di tempat baru.
Unsur-unsur kebudayaan yang dirasakan menghambat kelangsungan hidup mereka di
tempat baru, sudah tentu mereka lepaskan.
Secara kuantitas etnik Tionghoa tergolong minoritas, namun dalam waktu
yang relatif singkat mereka berhasil menduduki posisi dominan pada sektor ekonomi di
wilayah Cilacap. Maka tidaklah heran jika dalam waktu yang singkat mereka berhasil
mengubah nasib dan menaikkan tingkat kehidupan sosial mereka. Faktor sistem sosial
dan kultural dari etnik Tionghoa sangat berperan penting dalam membantu sesama
Tionghoa, yaitu dengan cara bekerja sama dalam sebuah kongsi dagang yang mereka
dirikan sendiri untuk membantu keberhasilan usaha mereka. Dengan cara ini akumulasi
modal akan terjaga dan hanya berputar di lingkungan mereka.
2. Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam upaya me ningkatkan
kualitas hidup masyarakat. Pemerintah Cilacap dalam memperhatikan upaya tersebut
antara lain dengan mewujudkan penyediaan sarana/prasarana pendidikan dan
peningkatan kualitas tenaga pengajar. Perhatian pemerintah tersebut sesungguhnya
tidaklah cukup tanpa disertai partisipasi aktif masyarakat.
Berdasarkan data dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dan kantor
Departemen Agama Kabupaten Cilacap, jumlah murid SD dan MI tahun 1974 sebanyak
23
131.092 anak atau menurun sebesar 3 persen dibandingkan tahun1 970 yang tercatat
138.283 murid.
Hal yang sama juga terjadi pada murid SLTP/sederajat, yang mengalami
penurunan dari 84.973 murid pada tahun 1970 menjadi 82.865 murid pada tahun1974.
sedangkan jumlah murid SLTA/sederajat mengalami peningkatan dari 38.501 m urid
pada tahun 1970 menjadi 39.181 murid pada tahun 1974.
Sistem pendidikan di Cilacap umumnya mempunyai kualitas yang baik. Tidak
ada pendidikan yang membeda -bedakan suku, ras, dan kebudayaan. Para migran
Tiongkok ini pun telah menyekolahkan anak -anak mereka bukan ditempatkan pada
sekolah khusus pendidikan Tionghoa saja, melainkan mereka membebaskan anak -anak
mereka dalam memilih sekolah dan membebaskan mereka berbaur bersama orang -orang
pribumi. Hal tersebut biasanya dilakukan oleh para imigran keluarga Tionghoa
peranakan. Tetapi berbeda pula bagi keluarga Tionghoa totok yang sangat
memperhatikan pendidikan budaya leluhur, sehingga mereka lebih suka memasukkan
sekolah anak-anak mereka ke sekolah khusus Tionghoa. Karena, mereka mengharapkan
anak-anak mereka tidak akan terpengaruh oleh kebudayaan luar dan tetap
mengembangkan kebudayaan asli leluhur mereka. Menurutnya, jika hal tersebut terjadi
maka akan mempengaruhi perkembangan keturunannya, terutama dalam
mempertahankan budaya dan sifat -sifat keaslian mereka. Selain itu, Tionghoa totok yang
kolot sangat mengutamakan kedekatan dengan sesama golongan puritan, sebab mereka
merasa aman jika tetap berada dalam kelompok yang sama
16
.
16
Wawancara dengan Bapak Wahyudi, 17 Juni 2006, di Cilacap.
24
Ada pandangan bahwa pendidikan dapat mengangkat status sosial seseorang
atau keluarga. Pandangan ini dapat berakibat bagi seseorang yang tidak berpendidikan,
mereka akan merasa minder atau rendah terhadap teman-temannya yang berpendidikan.
Di lain hal kesadaran dari pihak-pihak yang mempunyai pendidikan tinggi untuk
membangun masyarakat, khususnya Cilacap dapat di lihat dari terbentuknya berbagai
organisasi keremajaan seperti remaja masjid, perkumpulan kelompok pemuda,
karangtaruna dan kelompok remaja lainnya. Melalui organisasi ini mereka berbaur
bersama untuk mewujudkan pembangunan di daerahnya. Hal ini dicapai dengan
peningkatan potensi yang dimiliki oleh masyarakat Cilacap tersebut. Berbeda dari
Tionghoa totok yang sulit berbaur atau beradaptasi dengan pribumi, kehidupan kaum
peranakan yang sifatnya lebih terbuka dan lebih mudah beradaptasi atau berbaur dengan
pribumi, selalu memperhatikan keaktifan dalam setiap kegiatan organisasi ataupun
lainnya. Oleh karena itu, tidak sedikit dari etnik Tionghoa golon gan peranakan mau
mengikuti setiap perkumpulan yang diadakan di wilayahnya.
3. Bahasa
Bahasa adalah bagian dari kebudayaan. Tiap masyarakat yang ada di Indonesia
mempunyai suatu kepribadian dan bahasa. Kepribadian dan bahasa ini tercermin dalam
kebudayaannya. Dengan kata lain, tiap-tiap masyarakat mempunyai kebudayaan sendiri,
begitu pula dalam hal bahasa, di tiap masyarakat pasti juga mempunyai suatu bahasa
sendiri yang perbedaannya sangat khas
17
.
17
Drs. Mahjunir, Mengenal Pokok-Pokok Antropologi dan Kebudayaan , Bhratara: Jakarta,
1976. hlm 74
25
Bahasa sebagai sistem simbol untuk berkomunikasi akan benar -benar
berfungsi apabila pikiran, gagasan, dan konsep yang diacu atau diungkapkan lewat
kesatuan dan hubungan yang bervariasi dari sistem simbol itu dimiliki bersama oleh
penutur dan penanggap tutur
18
.
Bahasa Jawa dalam arti sebenarnya dijumpai di daerah Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Disebut orang Jawa apabila yang bersangkutan memiliki bahasa ibu bahasa Jawa
yang sebenarnya. Jadi orang Jawa adalah penduduk asli bagian tengah dan timur pulau
Jawa yang berbahasa Jawa
19
. Sarana utama untuk berkomunikasi dengan orang lain agar
tidak terjadi konflik atau pertentangan adalah ”tata krama” dan ”unggah-ungguh”, yaitu
suatu bentuk interaksi langsung yang menyangkut perilaku dan tutur kata. Bahasa Jawa
mempunyai tingkatan yaitu bahasa ” ngoko” , ”kromo”, dan ”kromo inggil”
20
.
Dalam pergaulan hidup sehari -hari maupun hubungan sosial hidup sehari -hari,
mereka berbahasa Jawa dan berbahasa Indonesia. Bahasa Jawa ditinjau dari kriteria
tingkatannya, ada tiga macam, yaitu bahasa Jawa ngoko, bahasa Jawa kromo, dan bahasa
Jawa
kromo inggil
. Bahasa Jawa
ngoko
dipakai untuk orang yang sudah dikenal akrab,
dan terhadap orang yang lebih muda usianya, serta lebih rendah derajat dan status
perekonomiannya atau kelas menengah ke bawah. Bahasa Jawa kromo dipergunakan
untuk berbicara dengan yang belum d ikenal akrab, tetapi yang sebaya dalam umur
maupun derajatnya, dan juga terhadap orang yang lebih tinggi derajat perekonomiannya
18
Chaedar Alwasilah, Sosiologi Bahasa , Angkasa: Bandung, 1985. hlm. 81
19
Franz Magnis Suseno, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup
Jawa, Gramedia: Jakarta, 1984. hlm.11.
20
Suwaji Bastomi, Seni dan Budaya Jawa, IKIP Semarang: Semarang, hlm.45.
26
atau kelas menengah ke atas
21
. Bahasa Jawa Kromo inggil merupakan bahasa yang halus
sekali, bahasa untuk menghormat orang yang mereka hormati. Sedangkan bahasa
Indonesia merupakan bahasa sehari -hari yang dipergunakan di sekolah -sekolah,
perusahaan-perusahaan, dan kantor-kantor sipil maupun non sipil dan juga bagi
keluarga-keluarga yang status perekonomiannya lebih tinggi.
Warga Cilacap pada umumnya dalam pergaulan sehari -hari mempergunakan
bahasa Jawa dan juga bahasa Indonesia. Bahasa Jawa pada jaman dahulu sering
dipergunakan bagi mereka yang status perekonomiannya rendah atau menengah ke
bawah, namun sekarang pengguanaann ya sudah menyeluruh, sedangkan bahasa
Indonesia dipergunakan oleh mereka yang status perekonomiannya menengah ke atas.
Keragaman suku bangsa di Cilacap ini memunculkan beberapa bahasa yang
berlainan. Maka dalam interaksi sosialnya, sukar bagi mereka untuk dapat saling
berkomunikasi satu sama lain. Tetapi dengan berjalannya waktu mereka dituntut harus
bisa menggunakan bahasa yang dipergunakan pribumi demi untuk melaksanakan
fungsinya sebagai pedagang, mempertahankan mata pencaharian, dan memperoleh
perlindun gan keamanan dari masyarakat setempat demi kelangsungan hidup sebagai
warga Cilacap. Satu hal yang lazim pada semua masyarakat minoritas untuk melakukan
hal seperti itu. Selain itu, dalam interaksi sosial ekonomi mereka menggunakan bahasa
Melayu Tionghoa untuk berkomunikasi. Dialek Tionghoa sendiri dipertahankan oleh
keluarga-keluarga Tionghoa totok yang menghendaki kemurnian adat dan tradisi mereka
sebagai bahasa komunikasi dalam keluarga dan diantara mereka yang satu suku bangsa.
21
Koentjaraningrat, Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia , Djambatan: Yogyakarta, 1971.
hlm.327
27
Faktor lain yang ikut mendorong hilangnya bahasa asli adalah proses
perkawinan campur yang dilakukan dengan orang -orang setempat yang selanjutnya akan
melahirkan generasi peranakan. Hal itu semakin diperkuat ketika generasi Tionghoa
peranakan mendapat pendidikan Barat, yang membua t mereka cenderung menggunakan
bahasa Belanda atau Melayu untuk berkomunikasi dan mulai melupakan bahasa asli
leluhur mereka. Sedangkan untuk menjalin hubungan dengan masyarakat pribumi,
mereka menggunakan bahasa setempat karena tuntutan untuk dapat berkomunikasi
dengan masyarakat setempat
22
.
4. Agama dan Adat Istiadat
Pada masa koloni Belanda di Cilacap, keberadaan etnik Tionghoa tetap
mempertahankan orientasinya sebagai orang Indonesia yang tetap mempertahankan
kebudayaan Tionghoa. Pada hakekatnya etnik Tionghoa yang tinggal dan menetap di
Cilacap mampu beradaptasi dengan budaya Cilacap. Apalagi etnik Tionghoa yang sudah
lama tinggal di Cilacap dan sudah merasa menjadi bagian dari masyarakat Cilacap
meskipun secara etnik (ras) mereka berbeda. Etnik Tionghoa yang mempunyai
pemikiran seperti tersebut di atas dinamakan inklusif yaitu mampu menyesuaikan dan
menerima budaya khususnya budaya di mana ia ting gal. Tetapi masih banyak juga dari
etnik Tionghoa yang mempunyai pemikiran sebaliknya, yaitu etnik Tionghoa yang
masih condong pada pola pemikiran dan budaya Tionghoa. Hal ini sering dilakukan oleh
anggota kelompok Tionghoa yang masih kolot dan hanya mempe rhatikan kebudayaan
22
Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa , Pustaka LP3ES Indonesia: Jakarta, 2002.
hlm.34.
28
leluhurnya saja atau yang sering disebut dengan Tionghoa kongkoan . Mereka selalu
tampil eksklusif dalam berkelompok namun tetap berorientasi pada budaya Tionghoa.
Golongan Tionghoa terutama Tionghoa peranakan yang lebih terbuka dalam
hal menerima pengaruh kebudayaan, agama, dan kepercayaan setempat mendapat
simpati positif dari kalangan pribumi dibandingkan kelompok Tionghoa totok yang
kehidupannya lebih cenderung tertutup. Hal tersebut terjadi karena kelompok Tionghoa
peranakan tidak terlalu fanatik memegang ajaran leluhur. Akibatnya lambat laun dan
secara tidak disadari, mereka telah melahirkan sebuah kebudayaan baru yang
memadukan unsur kebudayaan Tionghoa dengan pribumi maupun unsur kebudayaan
asing lain yang pada akhirnya membuat ide ntitas mereka berbeda sendiri, suatu identitas
sebagai orang peranakan pribumi, tetapi juga tidak asing. Meskipun demikian, golongan
peranakan sebenarnya bukan merupakan golongan ras, seperti orang Tionghoa totok.
Bahkan di Jawa yang menganut sistem patria kal, peranakan Tionghoa dari ayah pribumi
digolongkan sebagai pribumi. Maka jelas bahwa golongan Tionghoa peranakan
merupakan golongan tersendiri yang didasarkan atas penggunaan nama keluarga,
kebudayaan khas yang mereka wujudkan, dan atas dasar identitas diri
23
.
Kebudayaan dan acara-acara keagamaan Tionghoa juga sering dilaksanakan di
Cilacap, seperti misalnya dalam upacara tahun baru Imlek dan cap gomeh. Dalam
pelaksanaan upacara tersebut biasanya mereka mengadakan atraksi barongsai dengan
berjalan mengelilingi kota Cilacap. Warga yang melihat pun sangat antusias dan
23
Noordjanah, Andjarwati, Komunitas Tionghoa di Surabaya 1900 -1946, Mesiass: Semarang,
2004. hlm. 44-45
29
menghormati jalannya upacara -upacara yang biasa di lakukan oleh masy arakat Tionghoa
di Cilacap. Kebudayaan Tionghoa yang ada di Cilacap sampai sekarang masih terus
dikembangkan dan masih tetap dipertahankan walau pada masa pasca Orde Baru banyak
mendapat pertentangan dan pelarangan.
5. Mata Pencaharian
Masyarakat Cilacap khususnya yang bermukim di perkotaan memiliki tingkat
pendidikan yang berbeda, sehingga dalam hal mata pencahariannya pun dapat dikatakan
heterogen. Sebagian besar penduduk kota Cilacap memiliki mata pencaharian sebagai
nelayan dan pedagang, sehingga sebagi an besar dari mereka mempunyai tingkat
pendidikan hanya sampai tingkat atas (SMU) saja. Bagi mereka yang mempunyai
tingkat pendidikan tinggi umumnya mereka bekerja sebagai pegawai negeri sipil,
perangkat desa, guru, POLRI
24
.
Sejak awal golongan Tionghoa sudah dikenal sebagai pedagang, baik
pedagang hasil bumi maupun pedagang barang -barang dari negeri mereka sendiri.
Dalam hal pekerjaan khususnya dalam hal berdagang, etnik Tionghoa te rkenal sangat
ulet dan teliti sehingga tidak heran bila perdagangan yang dilakukan oleh etnik Tion
ghoa cepat berhasil dan bisa maju pesat perkembangannya. Namun pada akhirnya
mereka lebih dikenal sebagai pedagang perantara. Pada masa -masa selanjutnya akti vitas
ekonomi mereka tidak bisa lepas dari situasi politik yang diperankan oleh penguasa
Belanda yang akhirnya lebih banyak membatasi gerak mereka. Namun memasuki abad
24
Wawancara dengan Sdr. Irwan, 14 Juni 2006, di Cilacap
30
ke-20, terjadi perkembangan yang sangat pesat terhadap aktivitas perekonomian etnik
Tionghoa ini
25
.
Kedudukan ekonomi etnik Tionghoa pada masa sekarang adalah warisan
sejarah kolonial. Karena politik Belanda, etnik Tionghoa menjadi orang tengah
(middlemen) antara Belanda dan pribumi. Di pulau Jawa mereka dibatasi pada
perdagangan. Hal ini bisa terlihat p ada etnik Tionghoa yang berada di Cilacap bahwa
derajat sosial etnik Tionghoa ditinjau dari sudut ekonomi dalam masyarakat lebih tinggi
atau menempati strata atas dilihat dari pola hidup mereka yang sudah sangat baik.
Masyarakat Tionghoa di Cilacap sebagia n besar mempunyai mata pencaharian
sebagai pedagang. Diantara mereka yang sukses sebagai pedagang besar mereka lebih
banyak menempati perkampungan pecinan di sepanjang jl. A. Yani atau sebelah selatan
alun-alun Cilacap. Selain itu juga di daerah sepanjang jl. LE. Martadinata atau di depan
Pasar Gede Cilacap. Pada umumnya mereka berdagang sembako, elektronik, sepatu dan
tas, fashion, dan lain sebagainya. Selain sebagai pedagang, banyak dari etnik Tionghoa
juga berprofesi sebagai nelayan. Pada umumnya mereka adalah nelayan yang kaya raya
karena sebagian besar dari mereka mempunyai perlengkapan -perlengkapan alat-alat
nelayan yang sangat komplit seperti perahu bahkan tak jarang yang mempunyai kapal,
jaring, mesin perahu, dan yang lainnya. Mereka umumnya menyebar dan bermukim di
sepanjang pantai Teluk Penyu Cilacap.
Dengan keadaan etnik Tionghoa yang dianggap sebagai etnik pendatang yang
sukses di wilayah Cilacap, maka tak sedikit warga Cilacap yang berguru atau meniru
25
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia , Djambatan: Jakarta, 2002.
hlm.367
31
kesuksesan etnik Tionghoa tersebut seperti misalnya kepandaian dan keuletan dalam
berdagang.
D. Interaksi Etnik Tionghoa dan Etnik Jawa di Cilacap
Masyarakat Tionghoa di Cilacap merupakan kaum minoritas homogen (berasal
dari beberapa ras dan kebudayaan. Dilihat dari pola interaks i etnik Tionghoa dengan
orang pribumi, interaksi etnik Tionghoa dengan pribumi sangat erat. Ditinjau dari
kedudukan sosial (social position) orang etnik Tionghoa berada sejajar dengan pribumi
di Cilacap, bila ditinjau dari faktor ekonomi etnik Tionghoa mem ang lebih makmur di
bandingkan orang pribumi
26
. Dengan adanya faktor tersebut, etnik Tionghoa cenderung
berada di atas orang pribumi dalam pola interaksinya. Orang pribumi di Cilacap l ebih
banyak bekerja mengadu nasib kepada etnik Tionghoa yang tergolong sangat mampu
ekonominya sebagai kuli angkut, penjaga gudang, tukang pukul dan pembantu rumah
tangga. Selain itu hubungan interaksi etnik Tionghoa dengan pribumi dalam kehidupan
sehari-hari juga sangat harmonis dan penuh dengan kekeluargaan.
Pada hakekatnya etnik Tionghoa yang tinggal dan menetap di Cilacap mampu
beradaptasi dengan budaya setempat. Apalagi orang Tionghoa yang sudah lama menetap
dan tinggal di Cilacap dan sudah merasa menj adi bagian dari masyarakat Cilacap
meskipun secara etnik (ras) mereka berbeda. Biasanya etnik Tionghoa yang mampu
melakukan adaptasi dengan budaya setempat atau melakukan suatu pembauran adalah
kelompok Tionghoa peranakan karena mereka lebih bisa terbuka d alam hal menerima
26
Wawancara dengan Bapak Edi, 17 Juni 2006, di Cilacap.
32
pengaruh dari kebudayaan luar. Sedangkan kelompok Tionghoa totok adalah mereka
yang sulit untuk beradaptasi dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Kelompok ini cenderung lebih tertutup dan tidak pandai berbaur dengan masy arakat
sekitar
27
.
Orang Tionghoa yang ada di Cilacap merupakan orang Tionghoa yang berasal
dari beragam asal-usul. Ada Tionghoa Hokian yang pandai berdagang, Tionghoa Hong
Fu yang ahli pertukangan dan mebel, Tionghoa Heng Hua yang ahli mesin dan Tionghoa
Hu Pei yang ahli gigi. Meski mereka beragam suku atau fam-nya, namun dimanapun
berada mereka tetap mengedepankan sikap persaudaraan. Termasuk di Cilacap, meski
terdapat perbedaan adat-istiadat yang berlaku, dalam posisi di perantauan mereka selalu
mengutamakan rasa kekeluargaan. Dalam berdagangpun mereka jarang memandang
pedagang Tionghoa lainnya sebagai pesaing. Dari semangat bersatu dan bersaudara
inilah mereka jadi besar dan eksis.
Selain semangat kekeluargaan tersebut, masyarakat etnik Tionghoa di Cilacap
juga memiliki sikap toleransi yang cukup tinggi bahkan sikap yang dimiliki oleh orang
Tionghoa inilah yang banyak menguntungkan mereka karena dalam bidang
perdagangannya mereka bi sa menjangkau masyarakat luas
28
.
Interaksi atau pembauran yang terjadi antara etnik Tionghoa dan Jawa di
Cilacap adalah sangat erat, dan memiliki rasa persaudaraan yang begitu tinggi. Mereka
juga sama-sama mempunyai sikap sali ng menghormati dan bekerjasama dengan baik,
27
Wawancara dengan Bpk. Wahyudi, 17 Juni 2006, di Cilacap
28
Ibid
33
karena mereka sama-sama saling membutuhkan satu sama lain. Sehingga tidak heran
banyak di antara mereka telah melakukan perkawinan campur
29
.
Perkawinan campur antara etnik Tionghoa dengan Jawa di Cilacap umumnya
dilakukan oleh etnik Tionghoa peranakan. Karena Tionghoa peranakan yang lebih
terbuka dalam hal menerima pengaruh kebudayaan setempat yang kemudian juga bisa
menerima adan ya suatu perkawinan campur. Terjadinya perkawinan campur karena
masing-masing pihak saling membutuhkan. Karena di satu sisi orang pribumi sangat
tergantung dengan kesuksesan etnik Tionghoa dalam hal perekonomiannya, sedangkan
disisi lain etnik Tionghoa jug a sangat membutuhkan pribumi untuk melindungi sebagai
masyarakat minoritas dan juga untuk mendapatkan pengakuan yang sah tentang
keberadaan status kewarganegaraannya agar dapat diakui oleh masyarakat sekitar
dimana mereka tinggal
30
.
Selain itu, perkawinan campur antara etnik Tionghoa dan Jawa terjadi karena,
ada alasan dari orang Tionghoa yaitu bahwa mereka mau melakukan perkawinan campur
dengan etnik Jawa karena pada umumnya orang Tionghoa yang ada di Cilacap tidak
mau bahkan malu dipanggil dengan sebutan ”Cina” karena menurutnya ada suatu
pendiskriditan komunitas yang menjadikan masyarakat Tionghoa enggan disebut Cina.
Maka dari itu, orang Tionghoa mau melakukan perkawinan campur dengan pribumi agar
mendapat keturunan dari pribumi dan mendapat status pengakuan sebagai warga
29
Wawancara dengan Ibu Bhe Lian Fang, 16 Juni 2006, di Cilacap.
30
Ibid
34
Indonesia. Karena menurutnya jika orang Tionghoa memiliki status sebagai keturunan
orang Indonesia maka lama-kelamaan status sebagai orang Cina nya akan berkurang
31
.
Perkawinan campur antara etnik Tionghoa dan Jawa di Cilacap umumnya
sudah dapat diterima oleh masyarakat sekitar karena perkawinan yang mereka lakukan
sudah sah menurut hukum dan agama. Setelah menikah, masing -masing pelaku
perkawinan campur juga lebih bisa terbuka dalam hal me nerima pengaruh kebudayaan.
Mereka biasanya membuat suatu kebudayaan baru di dalam kehidupan sehari -hari
mereka terutama dalam hal mendidik anak dan dalam kehidupan sehari -hari mereka.
Membuat suatu kebudayaan baru di dalam mendidik anak biasanya, cara mer eka
mendidik anak sifatnya lebih terbuka dan bebas dalam hal apapun. Dalam penggunaan
bahasa untuk berkomunikasi sehari -hari mereka di rumah, biasanya mereka mendidik
anak-anak mereka dengan memakai bahasa Indonesia dan bahasa Cina hanya sebagai
formalitas saja atau bahkan mereka membebaskan anak -anaknya untuk memilih bahasa
apapun yang akan mereka pergunakan dalam berkomunikasi. Sedangkan, pada saat hari -
hari besar keagamaan maupun hari -hari besar lainnya mereka merayakan bersama -sama
tanpa saling membedak an, namun ada juga di antara mereka yang tidak pernah
merayakan kedua-duanya. Tetapi walaupun demikian, mereka dapat saling menghormati
dan hidup rukun di dalam suatu lingkungan masyarakat dan rumah tangga yang
harmonis
32
.
31
Ibid
32
Ibid
35
BAB III
TRADISI PERKAWINAN CAMPUR ETNIK TIONGHOA DAN
ETNIK JAWA DI CILACAP
A. Tinjauan umum tentang perkawinan di Cilacap
1. Praktik upacara perkawinan pasca 1965 - 1974-an
Perkawinan merupakan sumbu tempat berputarnya seluruh hidup
kemasyarakatan, dan merupakan saat peralihan dari masa remaja ke masa dewasa dan
sampai pada masa berkeluarga. Oleh sebab itu perkawinan merupakan masalah yang
sangat penting dalam hidup setiap manusia di kalangan masyarakat Jawa di daerah
Cilacap. Biasanya upacara perkawinan i ni merupakan upacara yang terbesar dan paling
meriah bila dibandingkan dengan upacara inisiasi yang lain. Dalam pelaksanaan upacara
perkawinan menurut adat Jawa, berbagai unsur adat Jawa saling bertemu, diantaranya
unsur religi. Perkawinan ini merupakan fa se penting pada proses pengintegrasian
manusia di dalam tata alam yang sakral. Dikatakan orang, bahwa perkawinan adalah
menutupi taraf hidup lama dan membuka taraf hidup baru.
Praktik upacara perkawinan di wilayah Cilacap pada periode tahun 1965 -1999
itu diadakan sesuai dengan tradisi dan adat yang berlaku di wilayah tersebut.
Perkembangan praktik upacara selamatan khususnya upacara selamatan perkawinan juga
sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari pola perilaku masyarakat Cilacap itu sendiri. Pola
kelakuan suatu masyarakat lebih banyak bersumber kepada adat dan agama. Kedua
sumber itu dapat dijadikan pedoman dalam berperilaku baik secara individu maupun
36
kelompok sosial. Adat adalah kebiasaan yang normatif, adat juga berasal dari laku
perbuatan dan kebiasaan masyarakat. Adat tidak boleh diubah oleh siapapun, hanya
interpertasinya saja yang boleh disesuaikan dengan perkembangan jaman.
Sebagai orang Jawa, masyarakat Cilacap yang masih mengikuti tradisi yang
serba perlambang, sebagai bentuk ungkapan iman dan tauhid nya yang mengikuti ajaran
Islam. Tradisi Jawa yang banyak mengandung lambang, tidak harus dianggap sebagai
menyekutukan Tuhan. Lambang -lambang dan tradisi itu merupakan ciri khas orang
Jawa. Penggunaan lambang-lambang dan tradisi ini diikuti oleh sebagian masyarakat
Jawa yang masih mempercayainya, baik itu yang berasal dari agama Islam maupun
Kristen.
Pada periode ini upacara selamatan perkawinan banyak mengalami perubahan.
Perubahan ini terjadi lebih ditunjang oleh keadaan ekonomi masyarakat di Cilacap pad a
masa itu. Kehidupan ekonomi masyarakat di Cilacap yang rendah berdampak pula
dalam pelaksanaan upacara selamatan perkawinan. Sebelum tahun 1965, upacara
selamatan perkawinan menurut tradisi Jawa tidak terlepas dengan berbagai menu
makanan yang disediakan , baik itu menu makanan untuk prosesi adat bagi pengantin
maupun untuk para tamu undangan. Dalam upacara midodareni sampai pada upacara
panggih (ketemunya pengantin) di pelaminan. Apabila kedua pengantin telah duduk di
pelaminan dengan baik, maka dimulaila h acara-acara berikutnya, yaitu acara makan nasi
walimahan (nasi dengan lauk pauk pindang antep ). Pengantin pria mengepalkan nasi
untuk disuapkan kepada pengantin wanita. Sedangkan di daerah Banyumas, pada waktu
acara dulang-dulangan masih ada upacara lain yaitu upacara panggang. Kedua
37
pengantin masing -masing memegang paha ayam yang sudah di panggang kiri dan
kanan, kemudian kedua pengantin tersebut sama -sama menarik sampai ayam tersebut
terbelah menjadi dua dan kemudian pengantin saling menyuapkan ayam yan g sudah
terbelah menjadi dua itu. Setelah selesai, para tamu yang menghadiri upacara
perkawinan itu kemudian makan bersama dengan menu makanan yang sederhana dan
pulang dengan dibawakan sebungkus ” jajanan pasaran ” seperti jenang, wajik,
lemper,dan lain -lain. Sebagai ciri khas masyarakat Jawa di Cilacap. Selain disuguhkan
berbagai macam menu makanan, pada waktu itu juga disuguhkan makanan nasi rames
yang dianggap dapat menambah tingginya ”prestise” keluarga
33
.
Setelah tahun 1965 sudah mengalami perubahan. Menu makanan pada upacara
selamatan perkawinan, baik itu untuk acara dulangan pengantin maupun untuk para
tamu undangan. Setelah tahun 1965, menu makanan untuk acara dulangan pengantin
sudah lebih modern, biasanya mereka menggunakan nasi kuning dengan lauk pauknya
yang istimewa, bahkan tidak jarang mereka menggunakan roti pengantin yang sangat
mewah. Sedangkan acara penarikan ayam panggang sudah mulai dihilangkan seiring
dengan perubahan jaman yang lebih modern dewasa ini. Dan untuk para tamu undangan,
menu makanan lebih diistimewakan, tak jarang bagi mereka menjamu tamunya dengan
berbagai lauk pauk seperti daging, ayam, buah-buahan, roti, berbagai kue lapis, dan lain -
lain.
Praktik upacara perkawinan yang dilaksanakan oleh masyarakat Cilacap juga
dilaksanakan oleh para pelaku perkawinan campur antara etnik Tionghoa dan pribumi di
33
DEPDIKBUD, Tradisi dan Kebiasaan Makan Pada Masyarakat Tradisional di Jawa Tengah ,
Jakarta, 1997. hlm. 65-66
38
Cilacap, walaupun pada pasca 1965 sampai pada tahun 1974 yang melaksanakan
perkawinan campur jumlahnya tidak sebanyak perkawinan biasa pada umumnya seperti
perkawinan (Jawa dengan Jawa, Cina dengan Cina,dll) tetapi, praktik upacara
perkawinan campur antara etnik Tionghoa dan pribumi pasca 19 65 pelaksanaannya lebih
meriah dan lebih mendapat simpati positif dari kalangan masyarakat Cilacap bila di
banding dengan perkawinan biasa pada umumnya, karena pelaksanaan praktik
perkawinan campur dilakukan dengan sangat unik yaitu melibatkan dua adat dan
kebudayaan masing -masing pihak dalam proses pelaksanaan upacara perkawinannya
34
.
Jumlah perkawinan campur etnik Tionghoa dan pribumi di Cilacap dari tahun
1964 sampai dengan tahun 1974 menurut data yang diperoleh dari Kantor
Kependudukan Catatan Sipil Cilacap menerangkan bahwa jumlah perkawinan campur
antara etnik Tionghoa dan pribumi sekian diantara jumlah perkawinan Tionghoa dengan
Tionghoa. Berikut ini adalah data perkawinan Tionghoa dengan pribumi dan Tionghoa
dengan Tionghoa beserta prosentasenya
35
.
34
Wawancara dengan Bapak Wahyudi, 17 Juni 2006, di Cilacap.
35
Data diperoleh dari Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Cilacap
39
TAHUN CINA-PRIBUMI CINA-CINA PROSENTASE
1964 5 11 45,45%
1965 8 15 53,33%
1966 6 20 30%
1967 10 25 40%
1968 11 28 39,29%
1969 6 20 30%
1970 7 32 21,88%
1971 8 24 33,33%
1972 6 25 24%
1973 5 15 33,33%
1974 10 16 62,5%
Dari data di atas dapat kita lihat bahwa pada tahun 1967, 1968 dan tahun 1974
mengalami peningkatan perkawinan campur. Tetapi jika kita lihat dan bandingkan dari
besarnya prosentase perkawinan orang Cina dengan orang Cina maka pada tahun 1974
lah yang mempunyai prosentase yang paling tinggi.
Kesimpulan dengan melihat data tersebut adalah bahwa setiap tahun selalu
terjadi pratik perkawinan campur antara orang pribumi dengan orang Tionghoa.
Eksistensi penganut perkawinan campur memang memiliki banyak persyaratan yang
rumit tetapi hal itu tidak membuat halangan bagi orang yang akan melakukan
40
perkawinan campur. Apalagi setelah tahun 1974 sudah ada Undang -undang yang
mengatur tentang perkawinan campur.
2. Tujuan Perkawinan Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974
Tujuan perkawinan menurut Undang -undang No. 1 Tahun 1974 adalah untuk
membentuk keluarga (rumah-tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar
masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya, membantu dan mencapai
kesejahteraan spiritual dan material. Pembentukan keluarga yang bahagia itu erat
hubungannya dengan keturunan, di mana pe meliharaan dan pendidikan anak -anak
menjadi hak dan kewajiban orang tua. Dengan demikian yang menjadi tujuan
perkawinan menurut perundangan adalah untuk kebahagiaan suami istri, untuk
mendapatkan keturunan dan menegakkan keagamaan, dalam kesatuan keluarga yang
bersifat parental (keorangtuaan).
36
3. Syarat sahnya perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974
Di Indonesia perkawinan akan dianggap sah apabila telah memenuhi ketentuan
dalam pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa:
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hu kum masing-
masing agama dan kepercayaannya itu”.
36
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Hukum Adat
Hukum Agama , Mandar Maju: Bandung, 2003. hlm. 22.
41
Jadi perkawinan yang sah menurut hu kum perkawinan nasional adalah perkawinan yang
dilaksanakan menu rut tata tertib aturan-aturan hukum yang berlaku dalam agama Islam,
Kristen/Katolik, Hindhu/Budha. Kata “hukum masing-masing agama” berarti hukum
dari salah satu agama itu masing-masing, bukan berarti “hukum agamanya masing-
masing” yaitu hu kum agama yang dianut oleh kedua mempelai atau keluarganya.
Perkawinan yang sah jika terjadi perkawinan yang dilaksanakan menurut tata
tertib aturan salah satu agama, agama calon suami atau agama calon istri, bukan
perkawinan yang dilaksanakan oleh setiap agama yang dianut kedua calon mempelai dan
atau keluarganya. Jadi perkawinan telah dilaksanakan menurut hu kum Islam, kemudian
dilakukan lagi perkawinan menurut hukum Kristen dan atau hukum Hindhu/Budha,
maka perkawinan itu menjadi tidak sah, demikian sebaliknya.
37
4. Perkawinan campur antar kewarganegaraan menurut Undang-undang No. 1
Tahun 1974
Perkawinan campuran yang biasanya dilaksanakan di Indonesia dilakukan
menurut Undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 59(2). Perkawinan
campuran itu tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat -syarat
perkawinan yang ditentukan oleh hu kum yang berlaku bagi pihak masing -masing telah
dipenuhi (pas 60 UU no. 1-1974 ayat [1] ). Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat
tersebut telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan
perkawinan campur antar kewarganegaraan, maka oleh mereka yang menurut hukum
37
Ibid, hlm, 26 dan 27.
42
yang berlaku bagi pihak masing -masing berwenang mencatat perkawinan, diberi surat
keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi (UU no. 1-1974 [2]).
38
Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang.
Barangsiapa melangsungkan perkawinan campuran tanpa memperlihatkan lebih dahulu
kepada pegawai pencatat yang berwenang surat keterangan atau keputusan pengganti
keterangan yang disebut dalam pas. 60 [4] UU no. 1-1974 dimaksud dihukum dengan
hukuman kurungan selama -lamanya satu bulan.
39
Menurut pasal 58 UU no.1-1974 menyatakan bahwa ‘bagi orang-orang yang
berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh
kewarganegaraan dari suami/istrinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraan,
menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam UU Kewarganegaraan RI yang berlaku’.
5. Sangsi bagi yang melanggar peraturan perkawinan campur menurut UU
No. 1 Tahun 1974
Menurut perundangan yang berlaku di Indonesia apabila terjadi pelanggaran
terhadap pasal-pasal tertentu dari peraturan perundangan yang mengatur tentang
perkawinan, maka bagi mereka yang melarangnya dapat dikenakan hukuman kurungan,
hukuman denda dan atau khusus bagi pegawai negeri dan anggota ABRI dapat
dikenakan hukuman administratif. Ketentuan-ketentuan yang memuat ancaman
hukuman tersebut terdapat dalam UU no. 1-1974 pasal 61 (2-3), UU No. 22-1946 pasal
38
Ibid, hlm 15.
39
Ibid, hlm. 16.
43
16-17, Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de Gemengde Huwelijken) S.
1898-158, pasal 45 (1); PP no. 10-1983 pasal 16-17; Peraturan Menteri Agama no. 3-
1975 pasal 54 dan keputusan Menhamkan ABRI no. Kep/B/12/III/1972 pasal 24
40
.
Pada umumnya di dalam masyarakat, bagi mereka yang telah melakukan
pelanggaran di dalam perkawinannya maka hukuman bagi mereka adalah mereka a kan
dikucilkan oleh masyarakat sekitar tempat mereka tinggal dan pasti mereka juga tidak
akan pernah diakui lagi oleh masyarakat sekitar sebagai warga masyarakat tempat
tinggal di mana mereka tinggal.
B. Perkawinan campur etnik Tionghoa dan Jawa di Cilacap
1. Tujuan perkawinan menurut adat
Tujuan perkawinan menurut etnik Tionghoa adalah selain untuk membentuk
keluarga yang berbahagia, juga untuk memperoleh keturunan. Karena keturunan bagi
orang etnik Tionghoa sangatlah penting, terutama anak laki-laki yang nantinya akan
meneruskan garis keluarganya. Sedangkan menurut masyarakat Jawa tujuan perkawinan
adalah untuk bebrayan urip , artinya hidup bersama -sama dan bekerjasama serta
mengadakan hubungan seksual dan mendapat keturunan keseluruhannya secara sah ,
artinya mendapat pengesahan hukum dan pengakuan masyarakat. O leh karena itu suatu
perkawinan bukan hanya kepentingan dua orang anggota pasangan saja tetapi juga
melibatkan dua keluarga asal dan masyarakat.
41
40
Ibid, hlm. 196
41
DEPDIKBUD, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Jawa Tengah , Jakarta, 1978/1979. Hlm.
45.
44
Beranjak dari uraian diatas, maka dapatlah ditarik kesimpulan bahwa tujuan
perkawinan menurut adat adalah membentuk unit keluarga secara sah, yang anggota-
anggotanya saling bekerjasama untuk menyusun suatu rumah tangga yang otonom dan
yang mempunyai hak untuk melakukan hubungan seksual dengan sah dan berusaha
untuk mempunyai keturunan se cara sah pula.
2. Perkawinan ideal dan pembatasan jodoh menurut etnik Tionghoa dan
Jawa
Semua masyarakat di dunia mempunyai larangan -larangan terhadap
pemilihan jodoh bagi anggota -anggota keluarganya, termasuk juga bagi masyarakat di
Jawa khususnya di Cil acap. Di dalam masyarakat orang jawa yang berasal dari lapisan
berpendidikan di kota -kota misalnya, hampir tidak ada pembatasan asal saja mereka
ingat bahwa mereka tidak boleh memilih jodohnya yang mempunyai ikatan darah atau
saudara kandung, karena menurut sebagian besar kepercayaan orang Jawa bahwa
menikah dengan saudara kandung atau yang masih mempunyai ikatan darah sangat
diharamkan, selain itu dalam perundangan juga di larang.
Untuk melaksanakan tujuan perkawinan seperti tersebut di atas, mereka
khususnya yang akan melakukan perkawinan campur (etnik Tionghoa dengan pribumi)
mempunyai bermacam -macam penilaian terhadap penentuan pasangannya dalam
perkawinan. Mereka mengetahui bahwa perkawinan mana yang tidak disukai, yang
diperbolehkan dan perkawinan yang diharapkan. Faktor-faktor yang biasanya dipakai
untuk penilaian adalah hubungan kerabat, latar belakang sosial ekonomi, dan usia.
45
Dahulu faktor agama juga diperhitungkan. Mereka mengharap, kawin dengan orang
yang mempunyai persamaan agama sangatlah lebih baik dari pada yang beda agama.
Tetapi, unsur ini sudah mulai sedikit peminatnya .
Pada umumnya seseorang yang telah melakukan perkawinan campur beda
etnik khususnya etnik Tionghoa dan Jawa, mereka mengatakan perkawinan itu ideal atau
perkawinan itu adalah kurang baik, adalah adat dan hukum agama. Tetapi dari hasil
pengamatan dan wawancara menunjukkan bahwa , pertimbangan itu tidak terletak pada
adat dan hukum agama, melainkan pada logika. Apa yang dikatakan adat bahkan tidak
berlaku sama sekali dalam pasanga n perkawinan campur beda etnik dan beda
kebudayaan ini . Di bawah ini akan di uraikan mengenai fak tor-faktor penghambat dan
pendorong yang biasanya dipakai sebagai bahan pertimbangan, untuk pembatasan jodoh
perkawinan campur beda etnik.
Umur anak dianggap masak untuk kawin . Karena periode yang
dipergunakan dalam penelitian ini pada kurun waktu 1971 -an maka orang-orang yang
diwawancaraipun adalah orang-orang yang telah melakukan perkawinan campur kira-
kira pada tahun tersebut. Maka mengenai umur dalam suatu perkawinan, rata-rata
mereka menikah pada usia 15 tahun bagi seorang perempuan dan 16/17 tahun bagi
seorang laki-laki. Hal ini biasa terjadi pada masyarakat Jawa jaman dahulu karena pada
umumnya mereka masih bersifat k olot.
42
Menurut etnik Tionghoa faktor usia juga tidak
dipermasalahkan . Bagi mereka, jika mereka mempunyai anak perempuan asalkan sudah
dinilai dewasa dan mereka sudah menstruasi mereka diperboleh kan menikah dengan
42
Wawancara dengan Bapak Wahyudi, 17 Juni 2006, di Cilacap.
46
syarat seorang laki-laki yang akan menikahinya harus sudah mapan dan siap secara
lahir-batin. Hal ini dilakukan demi untuk kebahagiaan sang putrinya. Dan begitu juga
sebaliknya bagi orang etnik Tionghoa yang mempunyai anak laki -laki biasanya anak
laki-laki tersebut harus sudah mempunyai pekerjaan tetap dahulu baru bisa menikah.
43
Faktor agama dan adat sebagai penentu suatu perkawinan . Masyarakat
Indonesia yang bersifat majemuk khususnya dalam perspektif agama. Sebagian besar
memeluk agama Islam, dan kira-kira tiga persen dari rakyat Indonesia memeluk agama
Kristen katolik. Hubungan antara orang-orang Islam dan orang-orang Katolik tidaklah
selalu mulus, walaupun c ukup jarang terjadi konfrontasi langsung antara para pemeluk
kedua agama besar tersebut. Salah satu penyebab dari keadaan itu kiranya adalah
kurangnya pengetahuan yang benar tentang pandangan agama lain. Oleh karenanya,
hubungan antara mereka sering kali l ebih didasari oleh berbagai prasangka atau bahkan
salah sangka. Begitu juga dengan adat istiadat yang berbeda-beda di negara kita yang
harus kita patuhi dan kita hormati.
Dalam suatu perkawinan campur antara etnik Tionghoa dan Jawa yang harus
dilaksanakan dengan perbedaan agama dan adat mereka (suami/istri) mengaku bahwa
perbedaan agama dan adat tidak merupakan sebagai penghalang atau kendala yang besar
untuk melangsungkan suatu pernikahan. Yang terpenting bagi mereka adalah cinta dan
kebersamaan yang terjalin untuk bisa sukses dalam mengarungi bahtera rumah
tangganya. Mereka adalah sepasang suami/istri yang beragama Islam dan Katolik.
Dalam upacara perkawinannya mereka melangsungkan pemberkatan perkawinan di
43
Wawancara dengan Ibu Purwani, 17 Juni 2006, di Cilacap.
47
Gereja dengan cara Katolik. Tetapi setelah 14 tahun usia perkawinan sang suami yang
orang etnik Jawa dan beragama Islam memutuskan untuk di baptis dan menjadi Katolik.
Begitu juga dengan pasangan yang lainnya, mereka juga mengakui hal yang sam a bahwa
perbedaan agama dan adat tidak pernah menjadi suatu kendala bagi mereka untuk
melangsungkan suatu perkawinan. Tetapi kebanyakan dari mereka yang sudah resmi
menjadi suami/istri telah pada akhirnya memeluk agama Kristen/Katolik.
Dalam pandangan keluarga kedua belah pihak, sebenarnya mereka sangat
menentang keras perkawinan beda agama dan beda adat. Menurut salah seorang dari
keluarga etnik Tionghoa, mereka memang tidak pernah merestui keturunannya menikah
dengan Orang Jawa apalagi bagi keluarga Tionghoa yang mempunyai anak perempuan
tidak akan pernah diperbolehkan menikah dengan orang Jawa dengan alasan bahwa
Orang Jawa sering melakukan poligami dan tidak tekun dalam mencari nafkah dan pasti
hidupny a akan miskin. Selain itu etnik Tionghoa juga mengan ggap jika didalam satu
keluarga ada yang menikah campur antara kewarganegaraan maka keturunan didalam
lingkungan keluarga
She/marga
tidak akan jelas.
44
Begitu juga sebaliknya bagi sebagian
orang Jawa yang masih memperhitungkan bibit, bebet, bobot
45
. Mereka tidak akan
pernah setuju untuk merestui anaknya melakukan perkawinan dengan beda adat dan
agama dengan alasan itu semua demi untuk kebahagiaan anak -anaknya.
46
44
Wawancara dengan Ibu Elisabet Ragawati (Bhe Lian Fang), 19 Juni 2006, di Cilacap.
45
Bibit adalah asal-usul si calon, bisa di lihat dari sifat, latar belakang pendidikan, dan penyakit
yang ada pada si calon harus benar-benar di teliti dengan baik. Bebet adalah asal-usul keluarga atau
ketuunannya, apakah si calon berasal dari keluarga baik-baik, terhormat, atau sebaliknya. Sedangkan
Bobot adalah yang berarti kekayaan, dan pekerjaannya.
46
Wawancara dengan bapak Wahyudi, 19 Juni 2006, di Cilacap.
48
Tetapi hal seperti itu tidak mempengaruhi atau menjadi suatu halangan bagi
laki-laki dan perempuan yang akan melakukan perkawinan campur, karena menurut
mereka cinta dan janji setia sehidup semati adalah hal yang paling penting dibandingkan
yang lainnya dalam melangsungkan suatu perkawinan.
Latar belakang ekonomi dan sosial. Pada umumnya orang lebih suka
memilih pasangan perkawinan dengan orang yang mempunyai tingkat derajat sosial
yang setingkat. Mereka pada umumnya mengatakan bahwa perbedaan latar belakang
sosial ekonomi seringkali dapat menjadikan sumber ketegangan. Keteganga n akibat
perbedaan latar belakang ekonomi dan sosial ini dapat dihilangkan karena salah satu dari
pasangan yang keadaan ekonominya lemah dapat menutupnya dengan kelebihan di
dalam bidang yang lain, misalnya karena menunjukkan kerja yang rajin dan tekun.
Kejadian ini umum terjadi di kalangan petani. Bagi sebagian masyarakat Jawa yang
masih mempunyai keturunan dari keluarga bangsawan yang masih berusaha memelihara
gelar kebangsawanannya, membatasi pekawinan anaknya dengan orang -orang yang
tidak mempunyai gela r kebangsawanan. Dan bagi orang Jawa golongan biasa dan bukan
merupakan keturunan keluarga bangsawan pada umumnya mereka juga mempunyai
prinsip yang sama hanya perbedaannya bukan gelar keba ngsawanan yang dipertahankan
tetapi adalah derajat kepandaiaian atau keberhasilan si pemuda di dalam bidang usaha.
47
Dalam hal ini orang Jawa baik yang berasal dari keluarga keturunan bangsawan sampai
keturunan orang biasa sekalipun , mereka pada umumnya masih mempertahankan prinsip
bibit, bebet, bobot bahwa mereka mengharapkan anaknya menikah dengan orang yang
47
DEPDIKBUD, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Jawa Tengah , Jakarta, 1978/1979. hlm.
50-51.
49
berasal dari keluarga baik-baik (misalnya b ukan dari keluarga pencuri dan pembunuh,
dan lain -lain.), selain itu mereka juga meng harapkan anaknya menikah dengan orang
yang sudah mempunyai pekerjaan tetap dan sudah mempunyai tempat tinggal pribadi.
Hal ini terjadi karena pada jaman dahulu pada umumny a istri tidak bekerja. Supaya
kebutuhan rumah tangga tercukupi, maka suami harus mempunyai pangkat yang tinggi
atau pandai mencari nafkah.
Bagi etnik Tionghoa mengenai latar belakang ekonomi dan sosial dalam
pemilihan calon pasangan anaknya, mereka juga pa da umumnya hampir mempunyai
prinsip yang sama dengan orang Jawa yaitu ingin memberikan sesuatu yang terbaik
untuk anaknya. Hanya saja dalam hal ini orang etnik Tionghoa sangat memperhatikan
keturunan dari She/Marga bahwa kelak dikemudian hari mereka mengha rapkaan
anaknya menikah dengan orang yang masih mempunyai keturunan she/marga yang
sama agar semakin terjalin erat antara She/Marga yang satu dengan yang lainnya. Selain
itu, orang etnik Tionghoa juga mengharapkan anaknya menikah dengan orang yang
lebih kaya dan mempunyai status sosial yang lebih tinggi dibandingkan dirinya. Ini
dikarenakan orang Tionghoa tidak ingin setelah anaknya menikah hidupnya akan
sengsara dan selalu bergantung dengan usaha kedua orang tuanya.
Tetapi hal demikian bukan merupakan sua tu ukuran bagi pasangan yang
telah melakukan perkawinan campur. Hal yang terpenting bagi mereka adalah apabila
sudah siap untuk menikah berarti bagi seorang suami harus dapat menjadi pelindung
bagi keluarganya. Bahwa ia harus dapat melindungi keluarga terh adap rintangan atau
kesukaran apapun baik moril maupun material. Dia adalah tempat berlindung dan
50
bergantung dari seluruh anggota keluarganya dan selalu membuat keluarga tenang dan
tenteram. Selain itu juga harus sudah siap secara lahir batin menafkahi ist ri dan anggota
keluarga yang lain. Jadi suami harus dapat memenuhi ekonomi rumah tangganya.
3. Syarat sahnya suatu perkawinan campur antara etnik Tionghoa dan Jawa
Orang melakukan perkawinan dengan tujuan untuk hidup bersama dan juga
untuk mempunyai keturunan yang s ah menurut hukum dan agama yang berlaku , artinya
mendapat pengesahan hukum dan pengakuan masyarakat. O leh karena itu suatu
perkawinan bukan hanya kepentingan dua orang anggota pasangan saja , tetapi juga
melibatkan dua keluarga asal dan masyarakat. Karena itu orang yang akan melakukan
perkawinan dikenakan kepadanya syarat -syarat itu antara lain adalah.
Umur. Bagi seorang perempuan diharapkan sesudah menstruasi dan si pria
sesudah mencapai umur dewasa dan sudah pandai di dalam bekerja. Dan sudah
mempunyai pekerjaan sendiri, karena sesudah perkawinan diharapkan kepada pasangan
itu untuk hidup berumah tangga sendiri artinya mampu mencukupi kebutuhan hidup
sendiri. Tetapi kadang-kadang syarat tersebut tidak di pandang terlalu penting bagi
mereka yang mempunyai keluarga yang kaya raya, karena jika salah seorang dari
pasangan tersebut berasal dari keluarga orang kaya maka setelah menikah mereka akan
tinggal serumah dengan keluarga tersebut dan kehidupan rumah tangga mereka pun
sudah terjamin.
Mas kawin. Mas kawin adalah sejumlah harta kekayaan yang diberikan oleh
pihak laki -laki kepada pihak perempuan sebelum upacara perkawinan berlangsung.
51
Wujudnya kadang-kadang berupa sejumlah uang atau barang, binatang atau bahan
makanan
48
. Sekarang orang lebih suka menempuh jalan yang mudah, ialah
keseluruhannya diwujudkan dalam bentuk uang. Begitu juga yang telah dilakukan oleh
sebagian besar pasangan yang melakukan perkawinan campur ini. Mereka lebih suka
mas kawinnya berbentuk uang karena menurut mereka uang tidak terlalu banyak
merepotkan mereka.
Besar kecilnya mas kawin (bride-price) itu tentu berbeda-beda pada berbagai
suku bangsa di duni a. Kadang-kadang besar kecilnya mas kawin harus ditetapkan secara
bermusyawarah antara kedua pihak yang bersangkutan, dan sesuai dengan kedudukan,
kepandaian, kecantikan, umur, dan sebagainya.
Mengenai siapakah yang sebenarnya harus membayar mas kawin itu , dan
kepada siapakah mas kawin harus diberikan biasanya ada tiga kemungkinan, berikut
penjelasannya:
a) Mas kawin diberikan kepada kaum kerabat gadis dengan atau
tidak dengan diterangkan lebih lanjut siapakah diantara kaum
keluarga si gadis yang menjadi o rang penerima mas kawinnya.
b) Mas kawin diberikan kepada si gadis sendiri
c) Mas kawin untuk sebagian diberikan kepada gadis, dan sebagian
kepada kaum kerabat si gadis. Fungsinya yaitu tentu u ntuk
memperkuat hubungan baik antara kedua kelompok kerabat.
Disini menjadi lebih jelas bahwa dalam suatu perkawinan itu
bukan hanya terjadi pada dua orang individu saja melainkan
semata-mata soal dari seluruh kedua kelompok kekerabatan
49
.
48
Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, P.T. Dian Rakyat:Jakarta, 1974. hlm.
99.
49
Ibid, hlm. 100
52
4. Tata cara perkawinan bagi perkawinan campur etnik Tionghoa dan Jawa
di Cilacap
Perkawinan campur antara etnik Tionghoa dan Jawa khususnya di Cilacap
yang terjadi pada periode kira-kira tahun 1971-an merupakan perkawinan yang sangat
langka karena pada tahun tersebut hanya sedikit orang yang melakukan perkawinan
campur. Hal ini terjadi karena faktor adat dan kebudayaan yang dipegang oleh
masyarakat Jawa di Cilacap pada jaman dahulu masih sangat kuat. Maka, bagi sebagian
besar orang Jawa yang masih mementingkan kebudayaan adat mengharuskan mereka
yang akan melakukan perkawinan campur beda etnik, proses pelaksanaan upacara
pernikahan harus menggunakan adat Jawa
50
. Kebijakan ini juga sama pula dengan
sebagian besar etnik Tionghoa yang sangat mementingkan kebudayaan leluhurnya,
mereka juga mengharapkan perkawinan tersebut harus menggunakan adat Tionghoa.
Oleh karena itu, maka biasanya pelaksanaan perkawinan dil aksanakan dengan
menggunakan dua adat di tempat yang terpisah, yaitu di rumah pihak etnik Jawa dan di
rumah pihak etnik Tionghoa. Tetapi pelaksanaannya bergantian. Biasanya yang pertama
kali mendapat giliran yaitu di rumah pihak mempelai putri barulah kemu dian di rumah
pihak laki -laki
51
.
Upacara perkawinan mempunyai maksud dan tujuan untuk menyatukan dua
insan dalam satu keluarga yang disahkan oleh lembaga perkawinan secara sah. Upacara
perkawinan merupakan pengumuman kepada khalayak masyarakat, sekaligus menjalani
50
Wawancara dengan Ibu Purwani, 17 Juni 2006, di Cilacap.
51
Ibid.
53
upacara pasangan tersebut menapak ke jenjang kedewasaan berumah tangga. Sehingga
dengan demikian pasangan tersebut telah layak memasuki gerbang rumah tangga
sekaligus memasuki komunitas masyarakat dengan status telah berkel uarga
52
.
Untuk menuju ke proses upacara perkawinan, terlebih dahulu diadakan
upacara pertunangan dan lamaran. Upacara pertunangan dimaksudkan sebagai tanda
pengikat sementara sebelum diresmikan dalam suatu perkawinan antara seorang pria dan
wanita yang ditandai den gan melakukan tukar cincin sebagai tanda pengikat. Sedangkan
upacara lamaran dimaksudkan untuk menanyakan apakah si gadis tersebut sudah di
lamar orang lain atau belum, bila belum, keluarga laki -laki mengajukan permohonan
supaya gadis yang telah menjadi pi lihan anaknya diijinkan oleh pihak perempuan untuk
dilamar. Setelah pihak perempuan mengijinkan anaknya untuk dilamar oleh laki -laki
pilihannya, barulah pihak laki -laki melakukan kunjungan ke rumah perempuan untuk
melamar. Setelah itu barulah kemudian memb uat suatu kesepakatan mengenai hari
pernikahan.
Sesudah adanya kesepakatan bersama mengenai hari pernikahan, maka
diadakan peresmian hubungan antara pemuda dan si gadis dengan diadakannya upacara
perkawinan. Dalam penggunaan adat atau agama tergantung dari apa agama yang dianut
oleh kedua mempelai dan menurut tata cara adat setempat. Upacara perkawinan
diadakan dengan memakai kedua adat menurut tata cara Tionghoa dan Jawa atau bahkan
hanya memakai salah satu di antara kedua adat tersebut. Karena masing-masing di antara
mereka ada yang tidak mempermasalahkan tentang adat mana yang mau dipakai dalam
52
H. Ramli Nawawi, Budaya Masyarakat Suku Bangsa Jawa di Kabupaten Wonosobo
Propinsi Jawa Tengah, Balai Kajian Sejarah:Yogyakarta, 2002. hlm. 73.
54
tata cara proses perkawinan campur. Menurut mereka adat manapun yang akan dipakai
semua sama saja yang terpenting dalam hal ini adalah maknanya dan nilainya. Biasa nya
mereka melakukan akad nikah atau ijab kabul di depan penghulu atau pemberkatan
perkawinan di Gereja, dan kemudian pencatatan perkawinan di lakukan di Catatan Sipil
karena secara hukum agama, negara maupun adat hubungan keduanya telah sah
53
.
Demikianlah proses tata cara perkawinan menurut adat Jawa dan adat
Tionghoa, bahwa dalam hal pelaksanaan upacara perkawinan campur beda adat dan
suku bangsa ini, tidak begitu sulit menentukan adat mana yang akan dipakai dalam tata
upacara perkawinan yang akan berlangsung. Karena dengan kebijakan kedua pihak,
mereka sama-sama melaksanakan dua adat tanpa ada paksaan dan hambatan dari luar.
Dan semuanya tidak ada permasalahan dan perbedaan.
Proses perkawinan campur yang berlangsung dengan menggunakan adat
yang berbeda inipun umumnya berjalan dengan sukses dan sempurna. Para kerabat
kedua pihak yang berlainan etnis ini dalam merayakan pernikahan kerabatnya itu,
umumnya membaur akrab dan hubungan persaudaraan pun terjalin dengan sangat
harmonis.
Pada umumnya kedua mempelai pelaku perkawinan campur beda etnik yang
sudah resmi menjadi suami istri, mereka akan membuat sebuah kebudayaan baru dalam
menjalani kehidupan rumah tangganya. Dan sifatnya menjadi lebih terbuka dalam hal
menerima kebudayaan. Membuat sebuah keb udayaan baru, karena setelah menikah
mereka sudah mulai meninggalkan tata cara adat yang berasal dari kedua pihak (Jawa
53
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Hukum Adat
Hukum Agama, Mandar Maju: Bandung, 2003. hlm. 97-99
55
dan Tionghoa), tetapi mereka menggabungkan kedua unsur kebudayaan tersebut
menjadi satu tanpa ada suatu perbedaaan. Biasanya ini dilakuk an dalam hal mendidik
anak dan dalam merayakan hari-hari besar keagamaan atau yang lainnya.
Selain itu suami dan istri mempunyai kedudukan yang sama dalam
perkawinan, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam kehidupan
bermasyarakat. Kedudukan yang seimbang ini dibarengi dengan adanya hak dan
kewajiban yang sama pula untuk membina dan menegakkan rumah tangga dengan dasar
saling mencintai, menghormati, setia, dan memberi bantuan lahir batin.
Setelah berlakunya UU No. 1 Tahun 1974, akibat hukum dari perkawinan
campur beda etnik dan kebudayaan terhadap kedudukan suami istri adalah sama rata dan
tidak ada perbedaan, karena perkawinan yang mereka lakukan menurut negara telah
dianggap sah karena telah memenuhi syarat sahnya perkawinan menurut Pasal 2 ayat (2)
UU No. 1 Tahun 1974. dan perkawinan mereka juga telah mendapatkan akta perkawinan
yang sah dari Kantor Catatan Sipil. Walaupun mereka telah menikah dengan latar
belakang etnik yang berbeda, tetapi mereka tetap hidup berdampingan secara rukun dan
damai di dalam lingkungan masyarakat sekitar. Dan oleh masyarakat sekitar, keberadaan
perkawinan mereka umumnya juga telah diakui secara sah. Jadi, tidak ada suatu
permasalahan yang rumit bagi para pelaku perkawinan campur dimata negara dan
masyarakat sekitar.
56
BAB IV
DAMPAK PERKAWINAN CAMPUR SETELAH MENIKAH
A. Adat Menetap Sesudah Kawin
Pada umumnya orang Jawa tidak mempersoalkan tempat menetap seseorang
sesudah ia kawin. Seseorang bebas menentukan apakah ia menetap di sekitar tempat
kediaman kerabat sendiri atau kerabat istrinya atau tempat tinggal yang baru yang
terpisah dari kerabat kedua belah pihak.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pemilihan tempat tinggal sesudah
perkawinan. Di antaranya adalah umur pasangan, keadaan ekonomi orang tua, tempat
bekerja suami/istri. Dan pengharapan dari orang tua kedua belah pihak
54
.
Apabila keadaan ekonomi pasangan itu belum kuat, sedang keadaan ekonomi
orang tua salah satu anggota pasangan lebih kuat daripada yang lain, serta mereka tidak
bekerja pada suatu tempat yang mengharuskan mereka berpisah dengan tempat asal
mereka sendiri atau tempat asal pasangannya, maka biasanya mereka akan tinggal
bersama atau berdekatan dengan orang tua salah satu pihak yang keadaan ekonominya
lebih kuat.
Menurut beberapa informan mengatakan bahwa pasangan suami istri di daerah
Cilacap yang baru menikah selalu memilih tempat tinggalnya di rumah orang tua istri.
Hal ini disebabkan kemungkinan orang tua gadis mengharapkan anak menantu laki -
54
DEPDIKBUD, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Jawa Tengah , Jakarta, 1978/1979. hlm.
86.
57
lakinya tinggal bersama atau berdekatan dengan dia, sehingga banyak waktu yang dapat
diberikan untuk membantu pekerjaa nnya atau bebas biaya hidupnya. Kemungkinan yang
lain adalah permintaan si istri. Si istri dengan bertempat tinggal bersama atau berdekatan
dengan orang tuanya sendiri, akan merasa lebih banyak mendapat perlindungan yang
lebih mudah atau bebas di dalam men gatur rumah tangga atau bekerja untuk
kepentingan rumah tangga. Bila dibandingkan dengan mereka tinggal bersama atau
berdekatan dengan mertua perempuan. Ia akan terus menerus diawasi dan senantiasa
hidupnya selalu terus diatur dan tidak bebas
55
.
Pada kalangan bangsawan keraton, pola menetap sesudah kawin mula -mula
adalah patrilokal, ialah mendiami satu rumah keluarga pihak l aki-laki, sampai
mempunyai anak satu atau dua, dan selanjutnya pindah untuk bertempat tinggal sendiri
atau neolokal
56
. Hal seperti ini juga biasa terjadi bagi kalangan orang-orang yang
mengerti akan tanggungjawabnya sebagai lelaki. Pada umumnya sesudah
perkawinannya, pihak lelaki menginginkan istrinya untuk sementara memilih tempat
tinggal bersama atau berdekatan dengan orang tua pihak lelaki. Menurutnya, ini
disebabkan karena pihal lelaki menyadari bahwa sudah seharusnyalah pihak lelaki yang
bertanggung jawab akan kesejahteraan keluarganya.
Pasangan suami istri sesudah perkawinanya, sebagian besar memilih tempat
tinggalnya untuk beberapa tahun sebelum bisa memiliki rumah sendiri, tinggal
dilingkungan dekat kelu arga pihak istri. Ini mengakibatkan keluarga pihak istri lebih
55
Wawancara dengan sdr. Diah, Pada tanggal 28 Agustus 2006, di Cilacap.
56
DEPDIKBUD, Op.cit, hlm.87.
58
banyak mengawasi, mengatur dan juga memberi andil dalam pertumbuhan yang baru itu.
Akibatnya walaupun suami yang menjadi kepala keluarga tetapi si istri mempunyai
pengaruh yang lebih besar.
Menurut para antropolog, ada beberapa paling sedikit tujuh kemungkinan adat
menetap sesudah nikah, yaitu:
1. Adat utrolokal, yang memberi kemerdekaan kepada tiap pengantin baru untuk
menetap sekitar pusat kediaman kaum kerabat suami atau di sekitar pusat
kediaman kaum kerabat istri;
2.
Adat virilokal, yang menentukan bahwa pengantin baru menetap sekitar pusat
kediaman kaum kerabat suami;
3. Adat uxorilokal, yang menentukan bahwa pengantin baru menetap sekitar
pusat kediaman kaum kerabat istri;
4. Adat bilokal, yang menentukan bahwa pengantin baru harus tinggal berganti -
ganti, pada suatu masa tertentu sekitar pusat kediaman kerabat suami, pada lain
masa tertentu sekitar pusat kediaman kaum kerabat istri;
5. Adat neolokal, yang menentukan bahwa pengantin baru tin ggal sendiri di
tempat kediaman yang baru, tidak mengelompok sekitar tempat kediaman
kaum kerabat suami maupun istri;
6. Adat avunkulokal , yang menentukan bahwa pengantin baru tinggal menetap
sekitar tempat kediaman saudara laki-laki ibu dari suami;
7. Adat natolokal, yang menentukan bahwa pengantin baru tinggal terpisah,
suami tinggal sekitar pusat kediaman kaum kerabatnya sendiri, dan si istri
tinggal di sekitar pusat kediaman kaum kerabatnya sendiri pula
57
.
Adat menetap sesudah nikah antara lain mempengaruhi pergaulan kekerabatan
dalam suatu masyarakat. Kalau misalnya dalam suatu masyarakat ada adat virilokal,
dengan sendirinya di tempat -tempat, desa-desa, atau daerah-daerah lokal akan
mengelompok menjadi suatu keluarga yang terikat oleh suatu hubungan kekerabatan
yang dapat diperhitungkan melalui garis orang laki -laki. Dalam tiap keluarga batih
dalam suatu masyarakat serupa itu anak-anak akan terutama bergaul dengan kaum
kerabat dari pihak ayahnya, sedangkan kaum kerabat dari pihak ibu yang semuanya
57
Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, P.T. Dian Rakyat, 1974, hlm.102-103
59
tinggal di tempat-tempat, desa-desa, atau daerah-daerah lain, kurang mereka kenal.
Demikian tiap adat menetap sesudah nikah menentukan dengan kaum kera bat manakah
orang akan banyak bergaul
58
.
Bagi etnik Tionghoa dalam hal mem ilih tempat tinggal setelah kawin, pada
umumnya tidak berbeda jauh seperti yang telah terjadi pada masyarakat Jawa di daerah
Cilacap. Hanya saja bagi sebagian etnik Tionghoa yang masih memperhatikan adat dan
kebudayaan leluhurnya, biasanya mereka mengingin kan anaknya yang telah menikah
campur dengan orang Jawa, mengharuskan mereka untuk memilih tempat tinggal
berdekatan dengan anggota lingkungan keluarga Tionghoa. Hal ini disebabkan karena
kekhawatiran pihak keluarga etnik Tionghoa akan hilangnya status ana knya sebagai
orang keturunan Tionghoa dan kekhawatiran akan pudarnya budaya dan tradisi
ketionghoaannya. Maka bagi sebagian besar pasangan yang telah melakukan perkawinan
campur yang belum memiliki tempat tinggal pribadi, mereka lebih memilih untuk
tinggal bersama salah satu pihak dari keluarga Tionghoa.
Tetapi, para pelaku kawin campur beda etnik yang ada di Cilacap, umumnya
setelah kawin mereka memilih tempat tinggal sementara yaitu mengikuti pihak suami
dan tinggal menetap bersama suami dalam lingkungan kerabat suami, entah itu yang
laki-laki (Jawa maupun Tionghoa). Karena menurutnya, sudah sewajarnyalah pihak istri
(Jawa maupun Tionghoa) harus mengikuti jejak langkah sang suami. Bagi yang sudah
mempunyai tempat tinggal pribadi, mereka umumnya lebih memil ih lokasi jauh dengan
58
Ibid, hlm. 103-104
60
lingkungan dari keluarga pihak istri maupun suami, tetapi masih di dalam kota yang
sama
59
.
B. Hubungan Suami dan Istri Serta Suami Istri dan Kerabat
a. Hubungan suami dan istri
Dengan terjadinya suatu perkawinan, maka masing -masing pihak akan
mengenalkan semua anggota kerabatnya dan mau tidak mau masing -masing pihak juga
harus masuk dan membaur menjadi satu dalam suatu ikatan kerabatnya itu. Mema ng
benar, bahwa dengan terjadinya suatu ikatan perkawinan, jumlah anggota kerabat dari
masing-masing asal pasangan menjadi bertambah besar, namun masing -masing kerabat
asal satu sama lain tidak saling mempunyai ikatan kekerabatan.
Secara ideal, si suami mengembangkan sumber mata pencaharian hidupnya
dan biasanya sering berada di luar rumah bahkan tak jarang mereka merantau ke negeri
orang, dan meninggalkan istri sendiri di rumah. Sedangkan si istri mengatur rumah
tangga, menyediakan makan untuk suami dan anak-anaknya, merawat anak-anaknya,
dan bila perlu ikut membantu pekerjaan suami. Di -harapkan si istri dan suami
mengurangi hubungan dengan teman -temannya, walaupun dengan anggota kerabatnya
sendiri. Suami istri diharapkan menggunakan seluruh waktunya untuk keperluan rumah
tangga
60
.
59
Wawancara dengan Ibu Purwani, 17 Juni 2006, di Cilacap.
60
Arif Budiman, Pembagian Kerja Secara Seksual Sebuah Pembahasan Sosiologis Tentang
peran Wanita di Dalam Masyarakat, P.T. Gramedia: Jakarta, 1981. hlm. 17.
61
Sikap dan tingkah laku satu terhadap yang lain adala h saling menghormat, dan
memandang sederajat. Walaupun si suami di dalam urusan -urusan keluarga diletakkan di
depan, tetapi keputusan-keputusan yang diambil biasanya adalah hasil konsultasi dengan
istrinya. Apabila si suami menentukan sesuatu maksud tetapi si istri tidak menyetujuinya
maka biasanya si suami menggagalkan maksud tersebut. Di dalam urusan keuangan
rumah tangga, biasanya istrinyalah yang mengaturnya. Begitu pula di dalam pendidikan
anak-anak si istrilah yang mempunyai peranan lebih besar daripa da suami.
Di bawah ini dijelaskan tentang beberapa hal masalah yang sering timbul
dalam kehidupan di dalam rumah tangga atau akibat dari hukum perkawinan, yaitu:
Menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 akibat hukum dari perkawinan ada
tiga yaitu:
1. Masalah suami istri
Masalah suami istri diatur dalam pasal 30 sampai dengan pasal 34, yang
intinya:
1) Pasal 30 suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah
tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
2) Pasal 31 suami istri mempuny ai kedudukan dan hak yang seimbang baik dalam
rumah tangga maupun dalam masyarakat dan masing -masing pihak berhak untuk
melakukan perbuatan hukum.
3) Pasal 32 suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap yang
ditentukan oleh suami istri bersama.
4) Pasal 33 suami istri saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan
memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
5) Pasal 34 kewajiban suami untuk melindungi istrinya dan memenuhi segala
kebutuhannya semampunya dan sebaliknya istri men gatur urusan rumah tangga
sebaik-baiknya.
Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam pasal 30 sampai dengan pasl 34 seperti
yang diuraikan di atas, dapat diketahui: antara suami-istri diberikan hak dan
62
kedudukan yang seimbang baik dalam kehidupan rumah tan gga maupun pergaulan
hidup bersama dalam masyarakat
61
.
Adanya hak dan kedudukan yang seimbang ini dibarengi d engan suatu
kewajiban yang sama pula untuk membina dan menegakkan rumah tangga yang
diharapkan akan menjadi dasar dari susunan masyarakat. Dalam membina rumah tangga
itu, diperlukan saling cinta mencintai, hormat -menghormati, setia, dan memberi bantuan
lahir batin. Suatu rumah tangga yang dibina, haruslah mempunyai tempat kediaman
yang tetap, yang untuk itu haruslah ditentukan secara bersama.
Persamaan yang lain adalah dalam hal melakukan perbuatan hukum. Suami
istri sama-sama berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Umpamanya seorang istri
dapat saja mengadakan perjanjian, jual -beli dan lain -lain perbuatan hukum sendiri tanpa
memerlukan bantuan atau pendampingan dari suaminya, bahkan diberi kesempatan yang
sama untuk mengajukan gugatan kepada pengadilan apab ila salah satu pihak melalaikan
kewajibannya.
Berdasarkan kodrat dan untuk pembagian kerja, antara suami dan istri
diberikan perbedaan. Suami diberi kewajiban untuk melindungi istrinya dan
memberikan segala sesuatu keperluan hidup rumah tangga sesuai denga n
kemampuannya. Dinyatakan dengan tegas, bahwa suami adalah ”kepala keluarga”
sedangkan istri adalah ”ibu rumah tangga” istri sebagai ibu rumah tangga tentulah harus
mengatur urusan rumah tangga itu dengan sebaik -baiknya.
61
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Hukum Adat
Hukum Agama , Mandar Maju: Bandung, 2003. hlm. 119-120
63
Mewajibkan istri untuk mengurus ru mah tangga menjadi kendala bagi istri
untuk bekerja di luar rumah. Bekerjanya istri di luar rumah di satu sisi mengurangi
waktu istri untuk melaksanakan kewajibannya sebagaimana diwajibkan oleh undang -
undang perkawinan. Di sisi lain bekerjanya sang istri a dalah merupakan hak asasi
baginya sebagai manusia untuk juga mengaktualisasikan dirinya, untuk menjamin
kesejahteraan bagi dirinya sendiri dan keluarganya. Oleh karena suami seharusnya dapat
memahami adanya persamaan antara pria dan wanita untuk memperoleh pendapatan
atau penghasilan sendiri tersebut.
Urusan rumah tangga sebenarnya dapat dilakukan bersama-sama auami dan
istri bila suami dapat menyadarai bahwa ketentuan yang mendudukkan istri sebagai
pengurus rumah tangga (pasal 34 ayat[2] UU No.1 Tahun 1974) telah menyebabkan istri
yang ingin bekerja untuk menghasilkan uang di luar rumah menjadi terhambat.
2. Masalah orang tua dan anak
Masalah orang tua dan anak diatur dalam pasal 42 sampai dengan pasal 44,
sedangkan masalah hak dan kewajiban orang tua diatu r dalam pasal 45 sampai pasal 49
yang intinya:
1) Pasal 42 anak yang sah adalah anak yang lahir dalam ikatan perkawinan
2) Pasal 43 anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya.
3) Pasal 44 suami dapat menyangkal sah tidaknya seorang anak apabila dapat
membuktikan istrinya berzinah dan anak tersebut itu akibat dari perzinahan
tersebut.
4) Pasal 45 orang tua wajib memelihara dan mendidik anaknya dengan sebaik -
baiknya sampai anak itu kawin atau dapat berdidri sendiri. Hal ini tetap berlaku
meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
5) Pasal 46 anak wajib menghormati dan mentaati kehendak orang tua dan wajib
memelihara orang tua semampunya dan saudara lurus ke atas, bila mereka
memerlukan bantuan.
64
6) Pasal 47 anak yang mencapai usia 18 tahun dan belum pernah menikah ada di
bawah kekuasaan orang tuanya dalam hal melakukan perbuatan hukum.
7) Pasal 48 orang tua dilarang memindahkan hak atau menggadaikan barang-
barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum
menikah, kecuali kepentingan anak itu mendesak.
8) Pasal 49 orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak apabila ia
telah melalaikan kewajibannya dan berkelakuan buruk, meskipun begitu mereka
tetap wajib untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.
Ketentuan dalam pasal 42 sampai dengan pasal 49 yang telah diuraikan di atas
dapat diketahui bahwa:
Masalah sahnya seorang anak yang terpenting adalah pernyataan bahwa yang
dianggap anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawianan yang sah.
Tentang hak dan kewajiban antara orang tua dan anak ditentukan bahwa orang
tua wajib memelihara dan mendidik anak mereka sebaik -baiknya, sampai anak itu kawin
atau dapat berdiri sendiri dan terus walaupun perkawinan antara orang tua itu putus. Di
samping kewajiban itu, orang tua menguasai pula anaknya sampai anak usia 18 tahun
atau belum pernah kawin. Kekuasaan itu juga meliputi untuk mewakili anak tersebut.
Mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.
Kekuasaan tersebut dapat diminta atas permintaan orang tua yang lain,
keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau
pejabat yang berwenang, dengan alasan kalau orang tua tersebut sangat melalaikan
kewajibannya atau berkelakuan buruk sekali.
Pembatasan lain terhadap kekuasaan orang tua, adalah larangan terhadap orang
tua untuk memindahkan atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya.
Kecuali kalau kepentingan anak itu menghendaki.
65
Kewajiban anak terhadap orang tua pertama sekali adalah untuk menghormati
dan mentaati kehendak orang tua yang baik. Dan apabila anak telah dewasa, maka
berdasarkan kemampuannya, anak tersebut wajib memelihara orang tuanya.
3. Masalah harta benda
Masalah harta benda diatur dalam pasal 35 sampai dengan pasal 37 yang
intinya:
1) Pasal 35, harta benda yang diperoleh selama perkawinan merupakan ha rta
bersama, sedangkan harta yang diperoleh masing -masing sebagai hadiah atau
warisan di bawah penguasaan masing -masing sepanjang tidak ditentukan lain
oleh para pihak.
2) Pasal 36, terhadap harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas
persetujuan bersama, dan terhadap harta bawaan suami istri mempunyai hak
penuh untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
3) Pasal 37, bila perkawinan putus karena perceraian harta bersama diatur menurut
hukum masing -masing.
Ketentuan dalam pasal 35 sampai dengan pasal 37 yang telah di uraikan di atas
dapat di ketahui bahwa:
Tentang harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta
bersama. Kalau suami istri masing -masing membawa harta ke dalam perkawinannya
atau dalam perkawinannya itu masing -masing mempunyai harta karena hadiah atau
warisan, maka harta tersebut tetap dikuasai oleh masing-masing pihak, kecuali kalau
ditentukan untuk menjadi harta bersama.
Tentang harta bersama, baik suami atau istri dapat menggunakan dengan
persetujuan salah satu pihak. Sedang mengenai harta bawaan, suami atau istri
mempunyai hak sepenuhnya masing -masing atas harta bendanya. Selanjutnya
ditentukan, apabila perkawinan putus, maka tentang harta bersama, dinyatakan diatur
66
menurut hukumnya masing -masing. Adapun yang dimaksud dengan ”hukumnya” itu
adalah hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya
62
.
b. Hubungan suami istri dengan kerabatnya
Pada masyarakat Jawa, sebuah perkawinan tidak hanya menandakan
bersatunya laki-laki dan wanita sebagai suami istri, tetapi juga terjadinya penggabungan
dua keluarga menjadi suatu jaringan hubungan keluarga yang luas. Intensitas hubungan
dalam sebuah jaringan keluarga tergantung dari hubungan sedarah, ataukah hubungan
karena perkawinan. Implikasi dari asal-usul hubungan ini juga berpengaruh dalam
penggunaan istilah kekerabatan.
Erat atau kurang eratnya hubungan dengan kerabat asal, banyak dipengaruhi
oleh pengaruh tempat tinggal pasangan itu. Hubungannya dengan sibli ng dari masing-
masing pasangan ada semacam oblisetion untuk saling membantu. Ini akan lebih
tampak apabila ayah atau mertua laki-laki sudah meninggal dunia. Pasangan itu
berkewajiban untuk membantu biaya sekolah adiknya, mengawinkan adik
perempuannya dan menjadi wali dalam perkawinan adik perempuannnya. Hubungan
pasangan itu dengan sibling dari masing -masing pasangan adalah sangat erat. Yang
muda memberi hormat kepada ipenya yang lebih tua. Sering terjadi kerjasama ekonomi
antara pasangan itu dengan siblin g dari salah satu pihak.
Hubungan dengan keluarga besar yang terpenting adalah dengan mertua.
Secara ideal, anak menantu, mertua, dan sesama saudara ipe diperlakukan seperti anak
sendiri, orang tua sendiri, dan saudara sendiri. Anak mantu diharapkan bersikap lebih
62
Ibid, hlm. 122.
67
hormat, memakai bahasa halus di dalam komunikasi dengan mertua. Begitu pula
sebaliknya. Hubungan ibu mertua dengan menantu laki -laki, lebih bersikap keibuan,
lebih hangat dibandingkan dengan hubungannya dengan menantu perempuan, konflik
sering terjadi apabila mereka tinggal bersama dalam satu rumah
63
.
Dalam masyarakat Jawa hubungan kekerabatan juga amat dijunjung tinggi,
apalagi mereka yang hidup dan tinggal di desa. Karena di desa-desa hubungan antara
sesama keluarga dekat maupun lingkungan desa dan kerabat lainnya sangat diutamakan.
Bahkan, hubungan mereka akan terjalin lebih erat dan harmonis bila dibandingkan
dengan mereka yang hidup dan tinggal di kota. Maka dari itu di dalam setiap hubungan
kekerabatan, baik pada pergaulan atau individu, sering terjadi perbedaan dalam setiap
hubungan kekerabatannya.
Batas dari pergaulan-pergaulan kekerabatan seringkali mempunyai banyak
perbedaan. Perbedaan tersebut muncul pada golongan priyayi dan golongan menengah
pada masyarakat Jawa. Orang Jawa yang berasal dari golongan priyayi adalah lapisan
dari pegawai negeri, terutama dari keluarga-keluarga pamong praja, yang biasanya
mempunyai pengetahuan yang amat luas tentang kaum kerabatnya. Perhatian yang besar
terhadap kaum kerabatnya itu disebabkan karena orang priyayi biasanya mempunyai
kesempatan lebih luas untuk berhubungan dengan kaum kerabatnya, karena kemampuan
kaum priyayi yang tergolong pandai dalam berkomu nikasi dengan kerabatnya.
Sedangkan pada golongan menengah ke bawah adalah mereka yang berasal dari
golongan buruh, pegawai biasa, bahkan masyarakat awam sekalipun, mereka adalah
63
Depdikbud, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Jawa Tengah , Jakarta, 1978/1979. hlm. 89.
68
orang-orang yang mempunyai pandangan lebih sempit akan pengetahuan tentang
kekerabatan. Mereka biasanya lebih senang bergaul dengan orang -orang yang berada di
lingkungan terdekatnya saja atau di dalam desanya saja, daripada dengan kaum
kerabatnya yang tinggal di desa lain, kota lain, atau daerah lain yang jauh. Hal ini
disebabkan karena faktor pendidikan yang umumnya lebih rendah daripada kaum
priyayi sehingga golongan kaum menengah ke bawah kurang bisa berkomunikasi secara
luas.
Batas hubungan kekerabatan seringkali juga amat berbeda dengan batas
pengetahuan tentang kerabat dan den gan batas pergaulan kekerabatan. Hubungan
kekerabatan menghubungkan sejumlah kerabat yang bersama -sama memegang suatu
kompleks dari hak-hak, kewajiban-kewajiban yang tertentu. Hak-hak itu adalah
misalnya hak untuk mewarisi harta, gelar, benda -benda pusaka, lambang-lambang, hak
untuk menempati suatu kedudukandan lain -lain; sedangkan kewajiban -kewajiban adalah
misalnya untuk melakukan aktivitas -aktivitas kooperatif dan kewajiban untuk
melakukan aktivitas produktif bersama
64
.
Batas-batas dari hubungan kekerabatan ditentukan oleh prinsip -prinsip
keturunan atau principle of descent. Prinsip-prinsip itu mempunyai suatu akibat yang
sifatnya selektif, karena prinsip itu menentukan siapakah diantara kaum kerabat biologis
yang tak terbatas jumlahnya itu akan jatuh di dalam batas hubungan kekerabata, dan
siapakah akan jatuh di luar batas itu. Dengan demikian prinsip keturunan itu juga
mempunyai fungsi sebagai prinsip untuk menentukan keanggotaan dalam kelompok -
64
Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Jakarta, 1974. Hlm. 129
69
kelompok kekerabatan yang bersifat lineal atau ancestor-oriented. Prinsip keturunan
tersebut mempunyai empat macam prinsip, yaitu:
1. Prinsip patrilineal atau patrilineal descent, yang menghitungkan hubungan
kekerabatan melalui pria saja, dan karena itu mengakibatkan bahwa bagi tiap
individu dalam masyarakat semua kaum kerabat ayahnya masuk di dalam batas
hubungan kekerabatannya, seda ngkan semua kaum kerabat ibunya jatuh di luar batas
itu.
2. Prinsip matrilineal atau matrilineal descent , yang menghitungkan hubungan
kekerabatan melalui pria saja, dan karena itu mengakibatkan bahwa bagi tiap
individu dalam masyarakat semua kerabat ibunya masuk dalam batas hubungan
kekerabatnnya, sedangkan semua kaum kerabat ayahnya jatuh di luar batas itu.
3.
Prinsip bilineal atau bilineal descent , yang menghitungkan hubungan kekerabatan
melalui pria saja untuk sejumlah hak dan kewajiban tertentu, dan mel alui wanita saja
untuk sejumlah hak dan kewajiban yang lain, dan karena itu mengakibatkan bahwa
bagi tiap individu dalam masyarakat kadang -kadang semua kaum kerabat ayahnya
masuk dalam batas hubungan kekerabatannya, sedangkan kaum kerabat ibunya jatuh
di luar batas itu, dan kadang-kadang sebaliknya.
4. Prinsip bilateral atau bilateral descent , yang menghitungkan hubungan kekerabatan
melalui pria maupun wanita
65
.
Sedangkan kekerabatan yang dikutip oleh Koentjaraningrat dapat
dikategorikan menjadi 3 kelompok, yang sebenarnya menyangkut fungsi -fungsi sosial
dari kelompok-kelompok kekerabatan itu, ialah:
1.
Kelompok kekerabatan berkorporasi, atau dengan istilah Murdock, corparate
kingroups. Kelompok-kelompok semacam ini bia sanya bersifat exklusif.
Biasanya kelompok ini jumlahnya kecil, artinya jumlah warganya tidak banyak.
Dalam kelompok ini biasanya yang dibahas menyangkut sistem hak dan
kewajiban para individunya terhadap jumlah harta produktif, harta konsumptif,
atau harta pusaka yang menentu.
2. Kelompok kekerabatan kadang kala (occasional kingroups) , kelompok-kelompok
ini biasanya besar, mempunyai banyak anggota. Kelompok semacam ini hanya
berkumpul dan bergaul secara kadang -kala, atau secara occasional saja.
3. Kelompok kekerabatan menurut adat (circumscriptive kingroups ), kelompok-
kelompok ini jumlahnya sangat besar sehingga para warganya tidak lagi saling
mengenal, apalagi berada dalam suatu hubungan pergaulan terus -menerus dan
intensif. Para anggota bisa mengenal satu sama lain hanya melalui tanda -tanda
65
Ibid, hlm. 129-130
70
yang ditentukan oleh adat. Rasa kepribadian kelompok biasanya juga hanya
ditentukan oleh tanda -tanda adat itu saja
66
.
Hubungan kekerabatan yang terjalin antara dua keluarga pelaku perkawinan
campur, khususnya di Cilacap umumnya terjalin sangat erat, mereka sudah tidak lagi
didominasi oleh faktor perbedaan suku, adat, dan kebudayaan. Tetapi, hubungan mereka
lebih erat terjalin karena faktor kekeluargaan yang besar, terlebih jik a pasangan suami
istri telah memberikan keturunan pada kedua pihak, maka hubungan kekerabatannya pun
akan terjalin dengan lebih erat lagi.
Pada umumnya, hasil dari perkawinan campur, yaitu Tionghoa peranakan yang
mempunyai sifat terbuka dalam menerima peng aruh dari kebudayaan manapun, dalam
memilih pergaulan dengan siapa mereka harus bergaul tidak begitu dipermasalahkan.
Biasanya, eratnya suatu jalinan kekerabatan dipengaruhi oleh faktor tempat tinggal di
mana mereka tinggal.
C. Adat Perceraian
Pada umumnya aturan tentang perkawinan dan perceraian di dalam hukum
adat dipengaruhi oleh agama yang dianut masyarakat adat yang bersangkutan. Jadi
anggota-anggota masyarakat adat yang menganut agama Islam dipengaruhi oleh hukum
perkawinan dan perceraian Islam, yang menganut agama Kristen/Katolik dipengaruhi
oleh hukum Kristen/Katolik, yang menganut agama Hindhu/Buddha dipengaruhi hukum
Hindhu/Buddha. Sejauh mana pengaruh hukum agama itu terhadap anggota -anggota
66
Ibid, hlm. 109-110.
71
masyarakat adat tidak sama, dikarenakan sendi adat dan lingkungan masyarakat yang
berbeda-beda, walaupun dalam satu daerah lingkungan adat yang sama.
Bagi masyarakat Indonesia, yang sebagian besar mayoritas penduduknya
beragama Islam, pengaturan persoalan perceraian banyak dipengaruhi oleh hukum
Islam. Walaupun demikian di dalam pelaksanaannya hukum adat setempat masih banyak
berpengaruh. Misalnya pada masyarakat Jawa Tengah yang sistim keke rabatannya
bilateral, nampak ada kecenderungan, bahwa perceraian berdasarkan kata sepakat dari
suami dan istri. Sedangkan menurut hukum Islam adalah tidak demikian. Alasan untuk
putusnya hubungan perkawinan atau perceraian menurut hukum Islam yang untuk
sebagian besar diikuti oleh sebagian masyarakat Jawa Tengah, adalah: karena
meninggalnya salah seorang dari pasangan, yang disebut cerai mati dan ada karena cerai
hidup
67
.
Perceraian yang disebabkan karena matinya salah seorang anggota pasangan,
tidak banyak menimbulkan suatu persoalan yang mengakibatkan retaknya hubungan,
justru masing -masing anggota asal pasangan tersebut turut bersimpati dan ikut
membantu meringankan beban penderitaan akibat matinya salah satu pasangan.
Persoalan yang menyangkut perceraian mati ini baru timbul, jika pasangan tersebut tidak
mempunyai keturunan, sedangkan karena sesuatu hal perlu diadakan pembagian
warisan. Dan mengenai cerai hidup, ini bisa terjadi karena adanya beberapa sebab yaitu
67
DEPDIKBUD, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Jawa Tengah , Jakarta, 1978/1978.
hlm. 92
72
talaq-taklid, riddah atau murtad, syiqoq, Li’an, Chulk, fasch, yang kesemuanya diatur
dalam hukum perceraian menurut agama Islam
68
.
Selain itu faktor-faktor penyebab adanya perceraian yang lainnya adalah,
akibat perselingkuhan yang dilakukan oleh pihak suami maupun istri, padahal mereka
masih terikat hubungan perkawinan yang sah. Dan penyebab lainnya adalah faktor -
faktor kebutuhan ekonomi yang seringkali menyebabkan ketegangan dan sikap yang
kaku dan permusuhan yang tak kunjung padam.
Di dalam agama Katolik putusnya perkawinan dikarenakan perceraian (cerai
hidup) pada dasarnya tidak boleh terjadi. Agama Katolik adalah satu-satunya agama
yang menolak perceraian
69
. Hal ini dikarenakan bahwa perceraian di kalangan ummat
Katolik tidak bisa terjadi, ada kemungkinan orang Katolik melakukan percer aian di
Kantor Catatan Sipil dan tidak ada halangan dari pihak agama. Tetapi jika hal itu terjadi
berarti yang bersangkutan melakukan perceraian sipil dan belum memperoleh perceraian
Gerejani, sehingga ia tidak boleh melakukan perkawinan keagamaan Katolik
70
.
Sesungguhnya dalam agama Katolik ada perkawinan yang tak terceraikan dan
ada yng boleh diceraikan. Hal mana dapat dilihat dari sifat sakramental perkawinan itu.
Perkawinan yang disebut Ratum et consummatum (perkawinannya sah dan kedua suami
istri sudah bersetubuh) tidak dapat diputuskan oleh kuasa manusiawi manapun juga dan
68
Ibid, hlm. 92.
69
J. Konigsmann, Pedomam Hukum Perkawinan Geredja Katolik, Nusa Indah Ende Flores,
1989. hlm. 99.
70
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Hukum Adat
Hukum Agama, Mandar Maju: Bandung, 2003. hlm.166.
73
atas alasan apapun selain oleh kemati an
71
. Sedangkan perkawinan Ratum (perkawinan
yang sah tetapi kedua suami istri belum bersetubuh) atau perkawinan antara orang yang
telah dibaptis atau antara orang yang dibaptis dan tidak dibaptis, dapat diputusk an oleh
Sri Paus atas alasan yang wajar berdasarkan permintaan keduanya atau salah seorang
dari mereka, meskipun pihak yang lain tidak menyetujuinya
72
.
Menurut UU no. 1-1974 pasal 38 mengatakan bahwa perkawinan dapat putus
karena kematian, perceraian dan atas keputusan pengadilan. Perceraian hanya dapat
dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha
dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Untuk melakukan perceraian har us
ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai
suami istri. Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan
perundangan tersendiri (pasal 29 [1 -3] ) gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan .
Tata cara mengajukan gugatan tersebut diatur dalam peraturan perundangan tersendiri
(pasal 40 [1-2] )
73
.
Menurut pasal 19 PP no. 9-1974 dikatakan bahwa perceraian dapat terjadi
karena alasan-alasan sebagai berikut:
a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan.
b) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut -turut tanpa
izin pihak lain dan tanpa ada alasan yang s ah atau karena hal lain di luar
kemampuannya.
71
Kitab Hukum Kanonik 1141
72
Kitab Hukum Kanonik 1142
73
Hilman Hadikusuma, Loc.cit, hlm. 162.
74
c) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih
berat setelah perkawinan berlangsung.
d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
e) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.
f) Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga
74
.
Di dalam kasus perkawinan campur beda etnik yang terjadi khususnya di
daerah Cilacap, setelah peneliti melakukan penelitian, peneliti tidak menemukan adanya
perceraian di dalam rumah tangga mereka. Mereka umumnya hidup rukun dan damai.
Karena, selain mereka hidup rukun dan damai, mereka juga penganut agama Katolik
yang pantang bagi mereka untuk melakukan perceraian.
D. Hukum Waris
Masalah harta benda dan pembagian warisan ini terhadap seorang pria dan
wanita berbeda. Bagi seorang wanita dia tidak berhak lagi mewaris dari orang tuanya
apabila ia telah menikah. Sehingga apabila ada orang tua yang sangat sayang terhadap
anak perempuannya, maka ia memberikan sejumlah harta kepada anak perempuannya
sebelum dia menikah, karena apabila seorang wanita telah menikah maka ia dianggap
telah keluar dri keanggotaannya dalam keluarga orang tuanya dan masuk ke dalam
keluarga suaminya, sehingga harta yang diberikan orang tuanya tadi menjadi harta
bersama dalam perkawinan tersebut. Sedangkan seorang anak laki -laki berhak mewaris
seluruh harta benda dari orang tuanya, yang nantinya juga akan menjadi harta bersama
dalam perkawinan tersebut. Tapi apabila salah satu atau kedua suami istri itu meninggal
74
Ibid, hlm. 171-172.
75
dunia maka harta tersebut akan jatuh pada anaknya, dan bila mereka tidak mempunyai
anak maka harta tersebut jatuh pada keluarga suaminya. Sedangkan apabila terjadi
perceraian maka seorang istri akan dipulangkan ke rumah orang tuanya bersama dengan
semua harta yang dibawanya sebelum menikah.
Menurut UU No. 1 Tahun 1974 akibat hukum terhadap harta benda berbeda
dengan pelaku perkawinan campur. Menurut UU No. 1 Tahun 1974 harta benda dalam
perkawinan dibedakan antara harta benda bawaan yaitu harta yang dibawa suami atau
istri sebelum menikah. Sedangkan menurut perkawinan campur beda etn ik tidak ada
perbedaan antara harta bawaan dan harta bersama. Karena harta yang dibawa istri
sebelum menikah secara otomatis menjadi harta bersama setelah menikah, begitu juga
dengan harta yang diperoleh selama perkawinan. Dan terhadap harta masing -masing
pihak mempunyai hak yang sama.
E. Hal mengenai pendidikan anak
Pada umumnya suami istri pasangan perkawinan campur setelah menikah dan
mempunyai anak, wajib memelihara dan mendidik anaknya sampai anak itu kawin.
Mereka umumnya memberikan kebebasan bagi an ak-anaknya dalam memilih agama dan
melaksanakan kebudayaannya. Dalam hal ini peran orang tua hanya mengarahkan
anaknya ke hal-hal yang positif dan pemilihan itu tergantung pada anaknya.
Sistim pendidikan bagi kedua orang tua beda adat dan kebudayaan yang
diterapkan kepada anak-anaknya lebih bersifat terbuka, para orang tua sudah tidak lagi
didominasi oleh faktor pengaruh adat dan kebudayaan yang berbeda, tetapi mereka
76
justru menerapkan pendidikan kepada anaknya bagaimana cara menghargai dan
menerima perbeda an kebudayaan itu untuk dipadu menjadi suatu persamaan di dalam
lingkungan keluarga, agar di dalam lingkungan keluarga tersebut tidak ada suatu
perbedaan lagi. Para orang tua juga tidak mengharuskan bahwa anaknya harus dididik
secara Tionghoa atau bahkan dididik secara Jawa. Semuanya itu mereka serahkan
seutuhnya kepada kebijakan si anak sendiri di dalam menjalani hidup.
Dalam melaksanakan upacara-upacara kebesaran seperti tahun baru Imlek,
upacara sekatennan , dan hari-hari besar lainnya yang menyangkut keb udayaan Jawa dan
Tionghoa, umumnya para orang tua membebaskan anaknya untuk mengikuti semua
perayaan tersebut baik dari sisi adat Jawa maupun Tionghoa. Para orang tua wajib
memperkenalkan kedua kebudayaan tersebut bukan menjadi ssuatu perbedaan
melainkan s uatu persamaan yang harus mereka jalani dalam kehidupan sehari -hari.
Dalam hal memilih tempat sekolah, para orang tua juga membebaskan anaknya
bersekolah di tempat sekolah yang mereka inginkan. Tidak ada sekolah khusus untuk
anak-anak mereka. Di dalam pergaulan dengan keluarga maupun sesamanya, orang tua
juga tidak membatasi harus dengan siapa anaknya bergaul. Justru bagi sebagian besar
Tionghoa peranakan yang sifatnya lebih terbuka dalam menerima kebudayaan, mereka
umumnya lebih pandai bersosialisasi dan p andai bergaul dalam lingkungan keluarga
maupun lingkungan sekitarnya.
77
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Perkawinan campuran antara etnik Tionghoa dan pribumi yang terjadi pasca
1965 umumnya sudah tidak sepert i yang terjadi pada masa kolonial. Perkawinan campur
yang terjadi pada masa kolonial itu pelaksanaannya tidak sah. Dikatakan tidak sah
karena proses perkawinan biasanya tidak diakui oleh pemerintah, hukum, dan agama .
Karena pada waktu itu, pemerintah Belanda tidak setuju kalau etnik Tionghoa menikah
dengan pribumi. Padahal, segala macam aturan dan hukum pada waktu itu masih berada
di bawah kekuasaan Belanda. Sedangkan perkawinan campuran antara etnik Tionghoa
dan pribumi pasca 1965 pelaksanannya sah dan sudah diakui oleh pemerintah, hukum,
dan agama, karena sudah tidak ada campur tangan lagi dari pihak kolonial, dan dengan
diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1974 yang mengatur tentang hukum adat dan hukum
agama semakin membuka kesempatan luas bagi mereka yang aka n melakukan
perkawinan campur beda etnik dan kebudayaan, terutama etnik Tionghoa dan pribumi.
Setelah berlakunya UU No. 1 Tahun 1974, akibat hukum dari perkawinan
menurut pandangan masyarakat sekitar pada umumnya dan masyarakat Cilacap pada
khususnya terhadap perkawinan campur, mendapat pengaruh yang positif dan
keberadaan mereka sangat di terima dalam masyarakat karena telah memenuhi syarat
sahnya perkawinan yang ada dalam UU No. 1 Tahun 1974 yang mengatur tentang
78
perkawinan. Dan perkawinan mereka juga telah mendapatkan akta perkawinan yang sah
dari Kantor Catatan Sipil.
Pada umumnya hambatan terbesar yang sering terjadi bagi sepasang calon suami
istri yang akan melakukan perkawinan campur adalah faktor dari keluarga kedua pihak.
Hal ini disebabkan karena masing -masing keluarga kedua pihak sangat menentang keras
jika anak-anak mereka melakukan perkawinan campur beda etnik. Alasan etnik
Tionghoa menentang adanya perkawinan campur bagi anak -anaknya karena, mereka
menganggap bahwa orang-orang Jawa biasanya hidupnya malas dan tidak mau bekerja
keras. Selain itu juga mereka menganggap bahwa orang Jawa identik dengan poligami
dan hanya memanfaatkan harta kekayaannya saja. Sedangkan alasan bagi orang Jawa
menentang perkawinan campur, karena orang Jawa yang hidupnya masih
mempertahankan prinsip bibit, bebet, dan bobot merasa takut kalau anaknya melakukan
perkawinan campur maka status sosialnya menjadi tidak jelas.
Tetapi, bagi sebagian besar mereka yang akan melakukan perkawinan campur,
hambatan tersebut bukan merupakan sebagai penghalang untuk mereka melangkah ke
jenjang pernikahan. Karena bagi mereka faktor pendorong yang terpenting untuk
melaksanakan perkawinanannya yaitu untuk hidup bersama dan mempunyai keturunan
yang sah. Selain itu juga karena rasa saling mencintai sudah cukup bagi mereka untuk
melangsungkan perkawinannya.
Proses berlangsungnya perkawinan campur bagi etnik Tionghoa dan pribumi
khususnya di Cilacap pada umumnya dalam memilih adat mana yang akan dipakai untuk
pelaksanaan upacara adat tidak terlalu sulit, karena masing-masing pihak mempunyai
79
kebijakan sendiri dalam menentukan adat mana yang akan dipakai. Bagi sebagian besar
etnik Tionghoa dan Jawa yang masih mementingkan adat leluhurnya maka, mereka akan
melangsungkan prosesi adat asal dari masing-masing pihak yang bersangkutan. Tetapi,
bagi mereka yang tidak terlalu mementingkan adat leluhurnya maka, biasanya mereka
hanya menggunakan adat dari salah satu pihak, bahkan tak jarang bagi mereka ada yang
sama sekali tidak menggunakan adat manapun atau mereka melangsungkan
pernikahannya hanya dengan upacara pemberkatan di gereja saja.
Hasil dari perkawinan campur yang sering disebut dengan Tionghoa peranakan
mempunyai karakter berbeda dengan Tionghoa totok dan pribumi. Mereka umumnya
mempunyai sikap yang lebih terbuka dan fleksibel dalam hal menerima pengaruh
kebudayaan, agama, dan adat setempat. Pada umumnya Tionghoa peranakan hidupnya
mendapat simpati yang positif bagi kalangan pribumi dibandingkan kelompok Tionghoa
totok.
Kehidupan sehari -hari mereka yang telah melangsungkan perkawinan campur
antara etnik Tionghoa dan pribumi khususnya di Cilacap, pada umumnya sudah tidak
lagi didominasi oleh adat masing -masing pihak, melainkan mereka dapat dikatakan
sebagai hasil dari sebu ah sintesa (akulturasi) dari dua budaya yang berbeda menjadi satu
budaya yang baru.
B. Saran.
Sebuah penelitian sangat penting untuk menjaga agar sumber -sumber sejarah
tidak hilang. Untuk itu saya berharap agar pihak yang terkait seperti Pemerintah Daerah
80
Cilacap dapat membantu para peneliti yang berminat melakukan penelitian guna
mengumpulkan bukti -bukti sejarah Cilacap. Hal ini agar para peneliti merasa mendapat
dukungan.
Di Cilacap masih terdapat tempat-tempat bersejarah dan berbagai bentuk
kebudayaan yang belum terungkap dan diteliti. Hal ini sudah sepantasnya menjadi
perhatian semua pihak karena tempat-tempat bersejarah tersebut merupakan peninggalan
masa lalu yang berharga. Semua itu dapat memperkaya khasanah sejarah lokal dan
sejarah Nasional. Jika dibiarkan maka hal ini akan sangat disayangkan karena seiring
dengan berjalannya waktu tidak mungkin semua itu dapat hilang. Mengingat pentingnya
semua itu maka penulis menyarankan kepada masyarakat luas pada umumnya dan
masyarakat Cilacap pada khususnya:
Saran kepada seluruh lapisan masyarakat pribumi pada umumnya dan
masyarakat Cilacap pada khususnya agar tidak ada lagi diskriminasi terhadap kaum
minoritas seperti etnik Tionghoa. Semoga dengan adanya perkawinan campur dapat
mempererat hubungan dan hidup berdampingan dengan damai antar berbagai etnik
khususnya etnik Tionghoa dan pribumi di Cilacap.
81
DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, Chaedar. 1985, Sosiologi Bahasa , Angkasa: Bandung.
Andjarwati, Noordjanah. 2004, Komunitas Tionghoa di Surabaya 1900 -1946, Mesiass:
Semarang.
Bastomi, Suwaji. Seni dan Budaya Jawa , IKIP Semarang: Semarang.
Budiman, Arif. 1981, Pembagian Kerja Secara Seksual Sebuah Pembahasan Sosiologis
Tentang Peran Wanita di Dalam Masyarakat , P.T. Gramedia: Jakarta.
Daeng, Hans. J., 2000, Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan , Pustaka Pelajar:
Rosdakarya Bandung
DEPDIKBUD. 1997, Tradisi dan Kebiasaan Makan Pada Masyarakat Tradisional di
Jawa Tengah, Jakarta.
____________. 1978/1979,
Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Jawa Tengah,
Jakarta.
_____________. 1984, Kamus Besar Bahasa Indonesia , Balai Pustaka: Jakarta.
Hadikusuma, Hilman. 2003, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan
Hukum Adat dan Hukum Agama, Mandar Maju: Bandung.
Hadiwardoyo, Purwa, A.L., 2004, Persiapan dan Penghayatan Perkawinan Katholik,
Kanisius: Yogyakarta.
_______________________., 1990, Perkawinan Menurut Islam dan Katholik
Implikasinya Dalam Kawin Campur , Kanisius: Yogyakarta.
Hariyono, P., 1993, Kultur Cina dan Jawa Pemahaman Menuju Asimilasi Kultural,
Pustaka Sinar Harapan: Jakarta.
Horton, Paul. B. & Hunt, Cester, 1992, Sosiologi, Erlangga: Jakarta.
Kartodirdjo, Sartono. 1993, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah ,
Gramedia: Jakarta.
Koentjaraningrat, 2002, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Djambatan: Jakarta.
82
_____________, 1990, Sejarah Teori Antropologi II, UI Press: Jakarta.
_____________, 1974, Beberapa Pokok Antropologi Sosial , P.T. Dian Rakyat: Jakarta.
_____________, 1990, Pengantar Ilmu Antropologi , Rineke Cipta: Jakarta.
Konigsmann, J., 1989, Pedoman Hukum Perkawinan Geredja Katholik , Nusa Indah
Ende Flores.
Lawang, Roberts M.Z., 1986, Pengantar Sosiologi , Karunika: Jakarta.
Mahjunir, 1976, Mengenal Pokok-Pokok Antropologi dan Kebudayaan , Bhratara:
Jakarta.
Moedjanto, G., 1998, Indonesia Abad ke-20 Jilid II, Kanisius: Yogyakarta.
Mulyana, Dedy. 2000, Komunikasi Antar Budaya , Remaja Rosdakarya: Jakarta.
Nawawi, Ramli. H., 2002, Budaya Masyarakat Suku Bangsa Jawa di Kabupaten
Wonosobo Propinsi Jawa Tengah, Balai Kajian Sejarah: Yogyakarta.
Nasikun, 2001, Sistem Sosial Indonesia , Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Parsons, 1963, Mitla Town Of The Souls, Chicago: University Of Chicago Press.
Shadily, Hasan. 1980, Ensiklopedia Indonesia, Ichtiar Baru: Jakarta.
Soekanto, Soerono. 1990,
Sosiologi Suatu Pengantar,
Rajawali Pers: Jakarta.
Suryadinata, Leo. 2002, Negara Dan Etnis Tionghoa Kasus Indonesia , Pustaka LP3ES
Indonesia: Jakarta.
Suseno, Frans Magnis. 1984, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi Tentang
Kebijaksanaan Hidup Jawa, Gramedia: Jakarta.
ARTIKEL
Kedaulatan Rakyat, 4 Februari 2007.
Cilacap Dalam Angka 1971
Kerjasama Badan Perencanaan Pemban gunan Daerah Kabupaten Cilacap dengan Badan
Pusat Statistik Kabupaten Cilacap.
83
84
DAFTAR RESPONDEN
1. NAMA :Bpk. Wahyudi
UMUR :54 th
PEKERJAAN :Guru SMU
ALAMAT :Jl. MT. Hariyono Donan Cilacap
2. NAMA :Ibu Purwani
UMUR :48 th
PEKERJAAN :Guru SMU
ALAMAT :Jl. MT. Hariyono Donan Cilacap
3. NAMA :Bpk. Edi
UMUR :55th
PEKERJAAN :Wiraswasta
ALAMAT :Jl. Katamso Cilacap
4. NAMA :Ibu Elisabeth Ragawati (Bhe Lian Fang)
UMUR :49th
PEKERJAAN :Wiraswasta
ALAMAT :Jl. Katamso Cilacap
5. NAMA :Bpk. Toto
UMUR :56th
PEKERJAAN :Pedagang
ALAMAT :Jl. Layur Kebon Jati Cilacap
6. NAMA :Ibu Monika
UMUR :57th
PEKERJAAN :Wiraswasta
ALAMAT :Jl. Rambutan Tegalreja Cilacap
7. NAMA :Sdr. Irwan
UMUR :26th
PEKERJAAN :PNS
ALAMAT :Karangpucung Cilacap
8. NAMA :Sdr. Diach
UMUR :25th
PEKERJAAN :Ibu rumah tangga
ALAMAT :Karangpucung Cilacap
85
9. NAMA :Bpk. Yohanes
UMUR :56th
PEKERJAAN :Wiraswasta
ALAMAT :Jl. Perkutut Donan Cilacap
10. NAMA :Bpk. Awan Irawan
UMUR :55th
PEKERJAAN :Pedagang
ALAMAT :Gumilir Indah Cilacap
11. NAMA :Bpk. Asyong
UMUR :55th
PEKERJAAN :Pedagang
ALAMAT :Jl. A. Yani Cilacap
86
87
88
89
90
91