PERISTIWA 2 MARET 1969 DI YOGYAKARTA (KONFLIK …... · iii peristiwa 2 maret 1969 di yogyakarta...
-
Upload
vuongduong -
Category
Documents
-
view
222 -
download
1
Transcript of PERISTIWA 2 MARET 1969 DI YOGYAKARTA (KONFLIK …... · iii peristiwa 2 maret 1969 di yogyakarta...
PERISTIWA 2 MARET 1969 DI YOGYAKARTA (KONFLIK ANTARA TARUNA ANGKATAN UDARA DAN MAHASISWA UNIVERSITAS GADJAH MADA)
SKRIPSI
Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan guna Mencapai Gelar Sarjana Sastra Jurusan Ilmu Sejarah
Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Disusun Oleh: PRAKOSO PRIYO SEJATI
C0505040
FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA 2010
ii
PERISTIWA 2 MARET 1969 DI YOGYAKARTA (KONFLIK ANTARA TARUNA ANGKATAN UDARA DAN MAHASISWA UNIVERSITAS GADJAH MADA)
Disusun oleh
PRAKOSO PRIYO SEJATI C0505040
Telah disetujui oleh pembimbing
Pembimbing,
Drs. Tundjung W Sutirto, M.Si NIP. 196112251987031003
Mengetahui, Ketua Jurusan Ilmu Sejarah
Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum NIP. 195402231986012001
iii
PERISTIWA 2 MARET 1969 DI YOGYAKARTA (KONFLIK ANTARA TARUNA ANGKATAN UDARA DAN MAHASISWA UNIVERSITAS GADJAH MADA)
Disusun Oleh
PRAKOSO PRIYO SEJATI C0505040
Telah disetujui oleh Tim Penguji Skripsi Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Surakarta Pada Tanggal…………………
Jabatan Nama Tanda Tangan
Ketua Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum NIP. 195402231986012001
………………
Sekretaris Tiwuk Kusuma,S.S, M.Hum NIP.197306132000032002
………………
Penguji I Drs. Tundjung W Sutirto, M.Si NIP. 196112251987031003
………………
Penguji II Drs. Suparyadi, M.Hum NIP. 196207141988031002
………………
Dekan, Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Drs. Sudarno, M.A NIP. 195303141985061001
iv
PERNYATAAN
Nama : Prakoso Priyo Sejati NIM : CO505040
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul Peristiwa 2 Maret 1969 Di Yogyakarta (Konflik Antara Taruna Angkatan Udara Dan Mahasiswa Universitas Gadjah Mada) adalah betul-betul karya sendiri, bukan plagiat dan tidak dibuatkan oleh orang lain. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam skripsi ini diberi tanda citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh dari skripsi tersebut.
Surakarta, Februari 2010
Yang membuat pernyataan,
Prakoso Priyo Sejati
v
MOTTO:
Tidak selamanya diam adalah emas, kerena emas tidak pernah didapatkan tanpa melakukan sesuatu.
(Prakoso, 2009)
Jangan mengeluh menjalani hidup ini, mengeluh menambah beban hidup. Satu hal perlu dimengerti, hidup hendaklah untuk disyukuri.
(Khalil Ghibran)
Memiliki sedikit pengetahuan dipergunakan untuk berkarya jauh lebih berarti daripada memiliki pengetahuan luas, mati tak berfungsi.
(Khalil Ghibran)
Untuk menggapai masa depan cerah kita tak dapat melupakan setonggak masa lalu
(Bob Marley, Penyanyi Musik Regge, Jamaika)
vi
PERSEMBAHAN
Karya ini kupersembahkan untuk:
1. Bapak dan Ibu Tercinta
2. Kakak dan Adikku.
3. Almamaterku
vii
KATA PENGANTAR
Syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
selalu melimpahkan rahmat dan hidayahnya, penulis dapat menyelesaikan skripsi
dengan baik.
Terselesainya skripsi tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, baik
dorongan, bimbingan, serta pengarahan. Untuk itu penulis rasa terima kasih
kepada:
1. Drs. Sudarno, M.A selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa beserta
jajarannya telah memperlancar dan mempermudah studi penulis sampai
terselesainya skripsi ini.
2. Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum selaku Ketua jurusan Ilmu Sejarah Fakultas
Sastra dan Seni Rupa mencurahkan segenap pengetahuan dimilikinya kepada
penulis.
3. Drs. Tundjung W Sutirto, M.Si selaku Pembimbing Skripsi membimbing
penulis dengan penuh perhatian, hingga selesai skripsi ini.
4. M. Bagus Sekar Alam, SS, M.Si selaku Pembimbing Akademi senantiasa
memberi dorongan moril dan pengetahuan kepada penulis.
5. Kepala beserta Staff Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret
Surakarta, Perpustakaan Monument Pers Surakarta, Perpustakaan dan Arsip
Daerah Yogyakarta, Pusat Arsip UGM, Balai Penerbitan Pers Mahasiswa
UGM memberikan pelayanan dalam proses pengumpulan data.
6. Bapak, Ibu, Kakak dan Adikku tercinta telah memberikan semangat dan do’a,
hingga penulis menyandang gelar Sarjana.
viii
7. Teman-teman sebangku kuliah di Jurusan Sejarah angk. 2005, Khanifan,
Andi, TP, Sinta, Bayu Cs, Ari Cs, Syafi’I, Deni dan lain-lain tidak dapat
penulis sebut satu persatu.
8. Kawan-Kawan di Forum Mahasiswa Sejarah (FMS) FSSR, Mas Taufik
Effendi, Mas Hari Priyatmoko (2003), Doni Tri W, Mira, Ulwa (2006),
Langgeng Tri Budi (2007) telah meluangkan waktunya untuk belajar
bersama.
9. Kawan-kawan SKI FSSR UNS 2005 ikut membentuk kepribadian ku.
10. Rekan-Rekan kerja di INDIE DESAIN dalam memotivasi penyelesaian
skripsi.
11. Keluarga Besar Sudiro Suwito memberi beragam solusi untuk segera
menyelesaikan studi.
12. Semua pihak telah membantu, hingga selesainya skripsi ini.
Penulis menyadari, penulisan skripsi ini tidak lepas dari kekurangan dan
kekeliruan. Oleh karena itu, penulis menghargai adanya saran maupun kritik
membangun, guna menyempurnakan penulisan-penulisan serupa di masa datang.
Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi kita semua.
Surakarta, Februari 2010
Penulis
ix
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL............................................................................... i HALAMAN PENGESAHAN................................................................. ii HALAMAN PERSETUJUAN ................................................................ iii LEMBAR PERNYATAAN ................................................................... iv HALAMAN MOTTO ............................................................................. v HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................. vi KATA PENGANTAR ............................................................................ vii DAFTAR ISI ........................................................................................... ix DAFTAR ISTILAH ............................................................................... x DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... xi DAFTAR GAMBAR ............................................................................. xii ABSTRAK ............................................................................................. xiii Bab I PENDAHULUAN ....................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................ 1 B. Perumusan Masalah .................................................................... 12 C. Tujuan Penelitian ....................................................................... 12 D. Manfaat Penelitian ...................................................................... 13 E. Tinjauan Pustaka ......................................................................... 13 F. Metodologi Penelitian ................................................................. 15
1. Metode .................................................................................. 15 2. Teknik Analisis Data ............................................................. 18
G. Sistematika Penulisan ................................................................. 18 BAB II KONDISI KEHIDUPAN KAMPUS DI YOGYAKARTA 1966-69 20
A. Kehidupan Awal Mahasiswa Yogyakarta .................................. 20 B. Kehidupan Sosial Ekonomi di era Orde Baru ............................. 29 C. Arah Perpolitikan Organisasi Intra Kampus ............................... 31 D. Kondisi Perkuliahan Mahasiswa ................................................. 42
BAB III AKSI PERISTIWA 2 MARET 1969 DAN AKIBAT YANG DI TIMBULKAN .......................................................................... 45
A. Munculnya Peristiwa 2 Maret 1969 di Yogyakarta .................... 45 B. Aksi Demonstrasi Mahasiswa dan Tuntutan ............................... 55 C. Suasana Pasca Aksi Solidaritas ................................................... 65
BAB IV RESOLUSI KONFLIK PERISTIWA 2 MARET 1969 DI
YOGYAKARTA ...................................................................... 69 A. Upaya dari Resolusi Peristiwa 2 Maret 1969 di Yogyakarta . .... 69 B. Akhir Konflik .............................................................................. 72
BAB V KESIMPULAN ......................................................................... 76 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 78 DAFTAR INFORMAN ......................................................................... 82 LAMPIRAN ........................................................................................... 83
x
DAFTAR ISTILAH
AKABRI : Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia AU : Angkatan Udara BAKERMASA : Badan Kerjasama Antar Senat Mahasiswa CGMI : Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia DANJEN : Komandan Jendral DEMA : Dewan Mahasiswa GERMASOS : Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia Germindo : Gerakan Mahasiswa Indonesia GMKI : Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia GMNI : Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia GMSOS : Gerakan Mahasiswa Sosialis HMI: Himpunan Mahasiswa Islam HIS : Holland Indies Scholl HSEP : Hukum, Sosial, Ekonomi, Politik IAIN : Institut Agama Islam Negeri IKIP : Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan IMM : Ikatan Mahasiswa Muslim KAMI : Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia KOMBESPOL : Komsariat Besar Polisi Korem : Komando Resort Militer MPRS : Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara PANGDAM : Panglima Daerah Militer PKI : Partai Komunis Indonesia PMKRI : Perhimpunan Mahasiswa Kristen Indonesia PMII : Perhimpunan Mahasiswa Islam Indonesia PNI : Partai Nasional Indonesia PPMI : Perhimpunan Pemuda Muslim Indonesia PSI : Partai Sosialis Indonesia SOB : Staat Onder Blaad
xi
UGM : Universitas Gadjah Mada
xii
DAFTAR LAMPIRAN
1. Mertju Suar. 8 Mei 1969 .................................................................. 83
2. Kedaulatan Rakyat, 12 mei 1969 ...................................................... 84
3. Mertju Suar, 12 Mei 1969. ............................................................... 85
4. Kompas,14 Mei 1969 <Tadjuk Rencana> ....................................... 86
5. Kompas,14 Mei 1969. ...................................................................... 87
6. Kompas,15 Mei 1969. ...................................................................... 88
7. Kompas, 19 Mei 1969. ...................................................................... 89
8. Mertju Suar, 26 Mei 1969. ............................................................... 90
9. Mertju Suar, 2 Juni 1969................................................................... 91
10. Mertju Suar, 2 Juni 1969 <Tajuk Rencana> ................................... 92
11. Mertju Suar, 3 Juni 1969................................................................... 93
xiii
DAFTAR GAMBAR
hal Gambar 1.1. Koleksi arsip UGM; Photo bersama Dewan Mahasiswa
UGM tahun 1969, Tepat berdiri di tengah Sutomo Parastho dengan kawan-kawan. 38
Gambar 1.2 Koleksi arsip UGM; Upacara Penerimaan Mahasiswa Baru tahun 1969, tepat Pak Soeroso memimpin Upacara Pembukaan. 41
Gambar 3.1 Pangkalan Udara Gading di Wonosari Gunung Kidul 47
Gambar 3.2 Lapangan Terbang Gading dengan Panjang R/W 1200 M 47
Gambar 4.1 Logo AAU 50
Gambar 5.1 Photo Diri Komodor Roesman. 53
Gambar 5.2 Kompas, Selasa 13 Mei 1969. Aksi Mahasiswa Saat Menuju Ke Kampus Bulak Sumur. 60
Gambar 6.1 Koleksi arsip UGM; Aksi Demonstrasi di Bunderan UGM. 60
Gambar 6.2 Koleksi arsip UGM; Aksi Mahasiswa di Gedung Utama UGM. 61
Gambar 7.1 Koleksi arsip UGM; Pamflet Aksi Mahasiswa pada Peristiwa 2 Maret 1969 di Kampus UGM. 62 Gambar 7.2 Kedaulatan Rakyat, Senin 12 Mei 1969. Mahasiswa mendengarkan orasi dari Pak Soeroso (Rektor UGM). 63 Gambar 7.3 Mertju Suar, Selasa 13 Mei 1969. Mahasiswa berkumpul di depan Gedung Utama UGM 64 Gambar 8.1 Kedaulatan Rakyat, Senin 19 Mei 1969. Karikatur DELEGASI DEMA UGM KE DJAKARTA. 67 Gambar 9.1 Mertju Suar, Sabtu 7 Juni 1969. Suasana Malam keakraban UGM - AKABRI BAG. UDARA 73 Gambar 9.2 Kedaulatan Rakyat, Senin 9 Juni 1969. “KARIKATUR” MALAM KEAKRABAN UGM-AKABRI. 74
xiv
ABSTRAK
Prakoso Priyo Sejati. C0505040. 2010. Peristiwa 2 Maret 1969 Di Yogyakarta (Konflik Antara Taruna Angkatan Udara Dan Mahasiswa Universitas Gadjah Mada). Skripsi: Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penelitian tentang konflik mahasiswa era awal orde baru di Yogyakarta
bertujuan: 1) Menjelaskan latar belakang Peristiwa 2 Maret 1969 di Yogyakarta, 2) Menjelaskan dampak dan pengaruhnya terkait Peristiwa 2 Maret 1969 di Yogyakarta, 3) Menjelaskan resolusi konflik dari mahasiswa dan Taruna AU pada Peristiwa 2 Maret 1969 di Yogyakarta.
Penelitian ini merupakan Penelitian Sejarah, Metode Penelitian yang dipergunakan adalah metode sejarah. Metode sejarah meliputi Heuristik, Kritik Sumber: Ekstern dan Intern, Intepretasi dan Historiografi.
Analisa data digunakan dalam penelitian adalah analisa kualitatif deskriptif, yaitu analisa yang didasarkan pada hubungan sebab akibat dari suatu fenomena historis dalam situasi tertentu. Analisa data diperoleh dari dokumen/ surat kabar dan studi pustaka.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Peristiwa 2 Maret 1969 sebagai cerminan dari berbagai aspek ketimpangan-ketimpangan dialami oleh mahasiswa Yogyakarta khususnya mahasiswa UGM. Peristiwa dimulai dari pemukulan yang dilakukan Taruna Akabri kepada 2 mahasiswa fakultas teknik UGM mengakibatkan timbulnya protes-protes dari mahasiswa hingga melakukan aksi demonstrasi. Mahasiswa melakukan demonstrasi dengan berjalan kaki adapula bersepeda. Kejadian pemukulan tersebut terjadi akibat pengejekan mahasiswa kepada Taruna Angkatan Udara di Yogyakarta. Ketimpangan sosial yang ada turut mempengaruhi peristiwa tersebut. Meletusnya aksi demontrasi pada bulan Mei 1969 merupakan klimaks dari persoalan ketimpangan sosial antara mahasiswa dan pihak Taruna Angkatan Udara. Dipihak mahasiswa mencari penyelesaian kasus hingga sampai ke pemerintah pusat dengan diwakili oleh DEMA di tingkat fakultas maupun universitas. Penjelasan dari pemerintah pusat mengharapkan kejadian pemukulan diselesaikan di tingkat daerah.
Pada kurun waktu tersebut merupakan masa awal pemerintahan orde baru sedang mencari format politik. Peristiwa 2 Maret 1969 termuat dalam surat-surat kabar di Yogyakarta. Pemerintah melakukan tindakan represif terhadap mahasiswa untuk mengakhiri konflik melalui cara dialog. Pertemuan yang dihadiri para petinggi militer dan pihak universitas di Gedung Agung terselesaikan peristiwa 2 Maret 1969 secara kekeluargaan. Kehidupan kampus diharapkan untuk ikut andil dalam misi pembangunan orde baru, dari kasus ini berdampak pada persoalan internal dari DEMA akan ketidakberlangsungan peran organisasi DEMA di kampus UGM. Pihak rektorat tidak memperbolehkan keberadaan organisasi kampus diakibatkan selain dari peristiwa ini telah pula kepengurusan DEMA dipengaruhi masuknya organisasi-organisasi partai politik berada dalam ekstra kampus bercampur dalam kelembagaan DEMA. Untuk itu penyelesaian kasus 2 Maret 1969 sebagaimana diharapkan dapat mempersatukan kelembagaan DEMA dalam kegiatan optimalisasi kampus dengan beriringan pemerintah tidak dapat berjalan optimal.
xv
ABSTRAK
Prakoso Priyo Sejati. C0505040. 2010. Peristiwa 2 Maret 1969 di Yogyakarta (Konflik antara Taruna Angkatan Udara dan MahasiswaUniversitas Gadjah Mada). Thesis. History Department, Faculty of Letters and Fine Arts, Sebelas Maret University, Surakarta. The purpose of the research of college students in early orde baru age in Yogyakarta is; 1) to explain the background of the incident of March 2nd 1969 in Yogyakarta; 2) to explain the effect of the incident of March 2nd 1969 in Yogyakarta; 3) to explain the resultion of the conflict between the college students and AU Taruna on the incident of March 2nd 1969 in Yogyakarta. The research is a history research which applies research methodology of history method. History method includes Heuristic, source criticism: Extern and Intern, Interpretation and Historiography. The analysis of the research is qualitative descriptive analysis which is grounded on the causal relationship of historical phenomenon in a particular situation. The data of the research is taken from documents study and newspaper. The result of the research shows that the incident of March 2nd 1969 as a reflection of various imbalance aspects faced by college students of Yogyakarta, particularly UGM students. The incident began with the assaults executed by the Akabri Taruna towards 2 students of engineering faculty of UGM caused by the taunt of the student for the Taruna. Besides, social imbalance contributed as well to the incident. The assault resulted in the protest of the students which reached its climax on May. The students sought the solution to the state government represented by DEMA both of faculty and of university. The governments stated that the incidents should be solved in the district level. At the time, it was the early reign of orde baru inquiring for political format. The incident of March 2nd 1969 published in newspaper in Yogyakarta. The government conducted a repressive action towards the students to end the conflict by dialogues in Gedung Agung where the military and university official were present. The case resulted in the inactivating of DEMA both of faculty and of university of UGM. The office of the university head prohibited DEMA not only for the incident but also for the reason of the merging of political party organization and DEMA.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gejolak muncul peristiwa radikalisasi, kritik sosial dan aksi demontrasi
tidak lepas dari adanya gejolak perubahan sosial, jenis perubahan sosial penting
untuk mengetahui pelopor perubahan baik di tingkat daerah maupun di tingkat
nasional. Pelopor perubahan dimaksud seseorang atau sekelompok orang
dipercaya masyarakat sebagai pemimpin dalam salah satu atau beberapa lembaga
sosial yang sering pula disebut dengan mahasiswa.1 Untuk konteks Indonesia,
kemunculan peranan kelompok mahasiswa dalam sosial politik bangsa Indonesia
merupakan fenomena khas abad ke-20.2 Disebabkan oleh beberapa kualitasnya
spesifik, mahasiswa tampil sebagai lapisan masyarakat vokal berorientasi kedepan
serta menjadi idealis dan konsekuensinya mahasiswa memiliki posisi sosial
tertentu, menentukkan didalamnya sejumlah privelese menjadi hak dikuasai secara
independent.
Para mahasiswa merupakan golongan baru di Indonesia tetapi sejarah
perkembangan yang masih singkat, telah banyak terjadi sebagai akibat kegiatan-
kegiatan atau tindakan-tindakan mereka. Pada tahun 1968, para mahasiswa
terdaftar di universitas-universitas dan institut-institut pendidikan tinggi negeri di
Indonesia mencapai jumlah 117.946 pemuda. Disamping mahasiswa-mahasiswa
1 Arief Budiman, ”Peran Mahasiswa Sebagai Inteligensia,” dalam Prisma, No.11.
November 1976, hal 55-56. 2 Fahry Ali dan Bachtiar Effendy, Politik Dan Gerakan Mahasiswa, Suatu Tinjauan Sejarah
(Jakarta: Inti Sarana Aksara, Cetakan I,1985), hal 3.
2
di Perguruan Tinggi Negeri masih banyak mahasiswa-mahasiswa belajar di
Perguruan Tinggi Swasta.
Jumlah mahasiswa baru Universitas Gadjah Mada mencapai puncaknya
pada tahun ajaran 1965/1966 menerima 4106 orang mahasiswa. Selain
meningkatnya lulusan sekolah menengah, kenaikan jumlah mahasiswa baru
berkaitan digunakannya pendidikan sebagai slogan politik. Pemerintah
memerintahkan perguruan tinggi menerima mahasiswa baru. Akibatnya berbagai
kelompok politik di Universitas Gadjah Mada memasukkan kader-kader di dalam
penerimaan mahasiswa. Pada tahun-tahun berikutnya, pertambahan mahasiswa
Universitas Gadjah Mada sekitar 2500 orang per tahun.
Sebagai konsekuensi dari kedudukan Universitas Gadjah Mada berada di
pulau jawa, sebagian besar mahasiswa Universitas Gadjah Mada berasal dari
pulau jawa, persentase mahasiswa berasal dari luar pulau jawa relatif kecil, secara
perlahan jumlah terus bertambah. Kebijakan pimpinan universitas, menginginkan
Universitas Gadjah Mada menjadi pusat intelektual nasional. Tujuan itu dicapai
dengan cara menerima lulusan sekolah menengah atas dari pulau-pulau lain di
Indonesia menjadi mahasiswa Universitas Gadjah Mada.3
Mahasiswa Indonesia era tahun 1960-an menjadi juru bicara rakyat.4
Mahasiswa merupakan generasi muda terdidik, golongan terlatih dalam akademi-
akademi dan perguruan tinggi-perguruan tinggi mendapatkan kesempatan lebih
3 Sahid Susanto dan Bambang Purwanto, Universitas Gadjah Mada Dari Masa Ke Masa
Menuju Otonomi Perguruan Tinggi, (Yogyakarta: UGM Press, 2001), hal 66. 4 Adi Suryadi Culla, Patah Tumbuh Hilang Berganti, Sketsa Pergolakan Mahasiswa,
Dalam Politik Dan Sejarah Indonesia (1908-1998), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), hal 46.
3
dari rakyat pada umumnya dan memiliki kemampuan untuk menghadapi keadaan,
mempunyai tugas moril dan historis untuk tampil kedepan.5
Golongan pada pertengahan tahun 1960-an ikut menjalankan peranan
besar dalam meruntuhkan Orde Lama dipimpin oleh Presiden Soekarno dan
membangun Orde Baru dalam masyarakat dipimpin oleh Presiden Soeharto. Tidak
banyak diketahui mengenai kehidupan gerakan mahasiswa di Indonesia. Pada
waktu tertentu tersebar berita-berita mengenai kegiatan-kegiatan politik, seperti
demonstrasi ataupun pernyataan pengecaman tindakan penguasa, dan oleh sebab
itu mendapat perhatian dari surat-surat kabar, majalah, radio dan sebagainya
diketahui oleh masyarakat.6
Faktor institusional ikut pula berperan dalam aksi protes mahasiswa adalah
pemberitaan media massa terus menerus perihal aksi protes mahasiswa. Nama dan
kegiatan-kegiatan dimuat media massa menimbulkan glorifikasi (kebanggaan)
bagi diri bersangkutan menyebabkan mahasiswa terdorong untuk menggiatkan
aktivitas protesnya. Selain itu, peran penting diberikan kepada organisasi
mahasiswa intra universitas (DEMA) memberikan andil besar dalam setiap aksi
protes mahasiswa. Sekalipun namanya organisasi intra universitas, fungsinya
semakin tidak berbeda dari organisasi ekstra universitas. Pada awal organisasi
intra universitas (DEMA) tumbuh untuk menjalankan fungsi pemenuhan
kebutuhan mahasiswa (program intern). Tujuannya adalah menjamin keberhasilan
serta meningkatkan kesejahteraan hidup para mahasiswa yang sedang menempuh
pendidikan.
5 Kusumo Hadi, Intelegensia Menyongsong Hari Depan, (Jakarta: DPP Gmsos, 1958), hal
59. 6 Sok Hok Gie, Catatatan Seorang Demonstran, (Jakarta: LP3ES, 2005), hal 43.
4
Gerakan mahasiswa mulai terbentuk dengan ditandai terbentuknya DEMA
pada pertengahan tahun 1950-an, peran organisasi ekstra kampus dikurangi oleh
kehadiran lembaga-lembaga internal kampus seperti Dewan Mahasiswa di UGM.
DEMA seringkali menjadi kontrol secara langsung kebijakan pemerintah.
Membahas terkait gerakan mahasiswa, secara teoritis gerakan mahasiswa
menurut Philip G. Altbach7 dengan melihat dari aspek organisasi dan sifat politik
didefinisikan asosiasi dari mahasiswa diilhami oleh tujuan yang dinyatakan dalam
doktrin, ideologi spesifik, walaupun tidak ekslusif pada dasar politik. Pendapat
hampir sama dikemukakan oleh Lewis Feuer8 dengan melihat dari sisi respon
emosional dan keyakinan intelektual mahasiswa, gerakan mahasiswa didefinisikan
sebagai gerakan perasaan emosional bercampur dengan konflik antar generasi
yang dimotivasi oleh tujuan nyata, serta mempunyai misi historis untuk
memperbaiki ketidak sempurnaan dari lingkungan.
Hakekat munculnya gerakan mahasiswa9 adalah perubahan, tumbuh
karena adanya dorongan mengubah kondisi kehidupan yang ada digantikan
dengan situasi yang dianggap memenuhi harapan. Artinya gerakan mahasiswa itu
lahir sesuai dengan lingkungan mereka berada, serta melakukan pembebasan
terhadap lingkungannya baik lingkungan pendidikan, sosial, politik, ekonomi dan
lain sebagainya menuju perubahan lebih baik.
Untuk menyatakan sebuah gagasan tersebut lebih dikenal; dengan
beberapa urgensi gerakan mahasiswa freedom (kebebasan), Purity (kemurnian),
7 Philip G Altbach, dalam I Ketut Putra Erawan, Perjalanan Gerakan Mahasiswa Indonesia 1966-1978, (UGM: Yogyakarta, 1989), hal 42.
8 Lewis Feuer, Pattren In The History Of Student Movement, Mimeographed, Berkeley,
University Of California, 1965, hal 4. 9 Ibid.
5
vanguard (kepeloporan), ideal (ideal), intelectual tradition (tradisi intektual),
some location (lokasi sama), good communication (komunikasi baik), sense of
solidarity (rasa solidaritas), alienated (keterasingan), ideological (ideologi) dan
sensitivity (sensitifitas).10
Fenomena gerakan mahasiswa berpolitik secara kritis dan otonom.
Dikemukakan oleh Philip G. Altbach, dalam bukunya politik dan mahasiswa,
bahwa
“Berbagai faktor yang mempengaruhi gejolak-gejolak timbulnya gerakan mahasiswa adalah: situasi sosial-ekonomi yang memprihatinkan kehidupan umum serta mahasiswa itu sendiri. Ketidakadilan sosial, kebijaksanaan luar negeri pemerintah, politik yang tidak demokratis, telah dipandang sebagai akar dari kegiatan politik mahasiswa di Indonesia. Albach membagi gerakan mahasiswa menjadi dua yaitu perubahan sosial dan menumbuhkan perubahan politik. Menumbuhkan perubahan sosial didalam gerakan mahasiswa adalah mensejajarkan antara kondisi yang dialami masyarakat di luar kampus harus sama dengan di dalam kampus atau yang dialami oleh mahasiswa. Sedangkan menumbuhkan perubahan politik berarti kemampuan untuk merubah lembaga politik masyarakat dengan memperhatikan aspirasi dan kepentingan mahasiswa dengan melalui kehidupan kampus, perubahan itu nantinya akan diambil alih oleh institusi masyarakat. (Philip G Altbach, 1988: xii).
Karateristik gerakan mahasiswa dikemukan oleh Philip G Altbach,
gerakan mahasiswa merupakan contoh dari gerakan sosial paling baik karena sifat
free value (bebas nilai). Mahasiswa sebagai kelompok akan memasuki lapisan atas
dalam susunan kekuasaan, struktur perekonomian dan prestise didalam
masyarakat, dengan sendirinya mahasiswa merupakan elit dikalangan angkatan
muda dan terlebih meningkatnya kepemimpinan mahasiswa dikalangan angkatan
muda tidak lepas dari kecenderungan orientasi universitas.11
10 Philip G Altbach, op.cit., hal 48. 11 Arbi Sanit (Editor), Sistem Politik Indonesia, Kestabilan Dan Peta Politik, (Jakarta: Pusat
Studi Politik Indonesia, 1978), hal 73-78.
6
Dilatarbelakangi kelompok masyarakat berpendidikan terbaik, mahasiswa
mempunyai jaringan horizon begitu luas secara keseluruhan untuk mampu
bergerak diantara lapisan sosial (mobilitas) dan universitas sebagai sarana
mobilitas sosial. Bahkan mahasiswa sebagai kelompok masyarakat paling lama
menduduki bangku sekolah sampai universitas, mengalami proses sosialisasi
politik terpanjang diantara angkatan muda. Mahasiswa relatif mempunyai
pengetahuan politik dari lapisan sosial kemasyarakatan lainnya. Kehidupan
kampus membentuk gaya hidup unik dikalangan mahasiswa sebagai pembentuk
akulturasi sosial dan budaya dalam angkatan muda mengakibatkan tercipta
jembatan primordial mahasiswa sebagai kelompok.
Mahasiswa merupakan golongan sedang mengalami pertumbuhan dan
mempersiapkan diri untuk menerima tanggung jawab sebagai orang-orang dewasa
sepenuhnya. Dalam masa mahasiswa masing-masing mengalami perkembangan
dalam berbagai aspek kehidupan. Dengan sendirinya perkembangan dialami
mahasiswa bukan tanpa masalah, mahasiswa senantiasa berhadapan dengan
masalah baik kecil maupun besar. 12
Tahapan pembentukan gerakan mahasiswa sebagaimana dikemukan oleh
Neil J Smelser13. Structural Condusiveness menunjuk pada kemungkinan tumbuh
gerakan sosial, baik stratifikasi maupun differensiasi struktur sosial yang memusat
disatu tangan, atau masalah primordial lainnya dapat menyebabkan timbul
gerakan sosial dan Structural Strain terjadi karena adanya beberapa atau satu
12 Harsya Bahtiar Pengantar xvi-xvii. Sok Hok Gie: Catatatan Seorang Demonstran
(Jakarta: LP3ES, 2005), hal xii. 13 Neil J Smelser, Theory Of Collective Behavior, Routledge And Kegan Paul Ltd, London,
1976.
7
macam perubahan. Seperti pandangan hidup berubah, berubah posisi sosial, posisi
ekonomi dan lain sebagainya.
Dalam konteks gerakan mahasiswa di Indonesia, gerakan mahasiswa
menjadi gerakan bersifat collective actions, awal dari gerakan ini berimbas pada
adanya solidarity mobilization gerakan bukan hanya dilakukan oleh elemen
gerakan mahasiswa melainkan juga masyarakat luas.
Merujuk gerakan demonstrasi mahasiswa meluas, merupakan gambaran
dari pemberontakan terhadap kepengapan dan keciutan gerak mahasiswa (public
sphere dan public space) akibat tidak mendapat saluran aspirasi yang tidak
mampu merangkul disemua pihak. Pada tingkat bawah, keabsahan perlawanan
lebih konkrit ialah terbentuknya pelampiasan rasa kesal terpendam melalui
umpatan-umpatan atau penolakan terhadap simbol-simbol otoritas kekuasaan.
Insiden-insiden lahir di lapangan antara kelompok demonstrasi dengan simbol-
simbol yang mewakili pemerintahan.14 Memicu banyak kemungkinan, menjurus
kearah dorongan tindakan agresif dan melahirkan kerusuhan sosial manakala
bersifat massal. Aparat kemiliteran diwakili oleh Taruna AKABRI bagian Udara
bagi masyarakat bawah bukan saja dianggap mewakili otoritas kekuasaan dinilai
tidak demokratis, juga mewakili lembaganya sendiri telah dianggap antagonis
bagi rakyat.
Bagi mahasiswa di Yogyakarta, perhatian dan wacana dari kelompok-
kelompok kampus umumnya memang cenderung berpusat dikonsep-konsep
tersebut. Secara umum merupakan bentuk ekses dari ketidakmerataan antara
tingkat kesejahteraan mahasiswa militer dengan mahasiswa sipil. Wacana politik
14 Yudi Latif dan Idi Subandy (eds), Bahasa dan Kekuasaan:Politik Wacana Di Panggung Orde Baru, (Bandung: Mizan,1996), hal 40.
8
komunitas kampus, persoalannya bukanlah sekedar mendukung atau menentang
ketidakmerataan, melainkan berpusat pada persoalan tentang tingkat dan besarnya
ketidakmerataan. Tingkat pemerataan yang diperlukan untuk mencapai tujuan-
tujuan hidup bernegara seperti keadilan sosial, dan dihadapi mahasiswa tahun
1969 ialah efisiensi ekonomi. Oleh mahasiswa beratnya biaya kenaikan harga
buku, transportasi, tarif pengobatan, sewa tempat tinggal, mahalnya uang kuliah,
uang ujian dan makin meningkatnya ongkos hidup secara umum membawa
pengaruh tidak kecil bagi mahasiswa.15 Terkadang mahasiswa di Yogyakarta
untuk kepentingan ekonomipun beberapa mahasiswa terlibat pemalsuan obat-
obatan untuk membiayai studinya.16
Latar belakang permasalahan ekonomi, seringkali umpatan muncul dari
mahasiswa untuk memberikan kritik kepada para institusi pemerintah. Akibatnya
dari sikap tersebut meletuslah peristiwa yang sering disebut dengan “Peristiwa 2
Maret 1969” di Yogyakarta. Peristiwa didahului dengan sikap para Taruna
AKABRI bag. Udara17 yang menanggapi persoalan problem sosial dialami oleh
mahasiswa UGM dengan melakukan pemukulan terhadap mahasiswa. Pada saat
peristiwa berlangsung pemukulan selalu dimulai dari ejekan/ umpatan-umpatan
dari mahasiswa berujung pada pemukulan balasan yang tidak hanya terjadi sekali.
Bahkan bisa dikatakan beberapa kali dilakukan oleh pihak AKABRI terhadap
mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM).
15 Raillon, Francois, Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia: Pembentukan dan
Konsolidasi Orde Baru 1966-1974, (Jakarta: LP3ES, 1989), hal 65. 16 Mertju Suar, 14 Mei 1969 17 Sejak 1966 nama AAU diubah menjadi AKABRI Udara, masa pendidikan 4-5 tahun.
Pada masa itu, sistem rekrutmen perwira militer sukarela melalui satu jalur komando, (Mako AKABRI), dipimpin oleh Danjen AKABRI. http://dewangga-stan.com/2009/04/Akademi-Angkatan-Udara-Yogyakarta diakses pada 15 Maret 2010 pada 13.00 WIB.
9
Pada awal orde baru, hubungan partnership antara mahasiswa bersama
militer berjalan dengan baik. 18 Terjadi kerenggangan seketika akibat ketimpangan
sosial timbul di tengah-tengah berlangsungnya aksi-aksi menuntut terselesainya
kasus-kasus yang terjadi di daerah terlebih akibat ketidakpastian hukum. Aksi
menuntut terselesainya kasus Peristiwa 2 Maret 1969 di Yogyakarta, peristiwa
tersebut merupakan ekses timbul dan “kawin” dengan munculnya faktor struktural
baru dalam dinamika pergolakan mahasiswa. Keterlambatan menjawab yang
diperlihatkan melalui lamanya penanganan dan ketidak jelasan dalam
penyelesaian mengakibatkan reaksi keras terhadap penuntutan penyelesaian
peristiwa mengakibatkan aksi-aksi demonstrasi mahasiswa UGM di Yogyakarta.
Dari kejadian tersebut menimbulkan ekses yang berakibat memancing
mahasiswa pada aksi demonstrasi mahasiswa UGM dari beberapa elemen
mahasiswa, dipelopori oleh Ct.DEMA UGM. Sebagaimana diketahui UGM cukup
berpengaruh di tingkat nasional serta merupakan universitas yang telah didirikan
pada 1949 sebagai Universitas Negeri dan Universitas Nasional pertama di
Indonesia.19 Sejak berdirinya UGM berperan sebagai tempat belajar bagi para
pemuda di Indonesia.20 Universitas Gadjah Mada terdiri dari beberapa fakultas di
18 Akbar Tanjung,”Gerakan Mahasiswa Dalam Mengontrol Kebijakan Pemerintah”,
Makalah di sampaikan pada Kongres I Ikatan Lembaga Mahasiswa Ilmu Sosial Politik Se-Indonesia (ILMISPI), Bandar Lampung, 17 April 2000, hal 4-5.
19 Pada Pendirian sebelum bergabungnya antara Perguruan Tinggi Negeri di Yogyakarta,
Pendirian Balai Perguruan Tinggi Negeri diumumkan di Gedung KNI Malioboro pada tanggal 3 Maret 1946 oleh Mr. Boediarto, Ir. Marsito, Prof. Dr. Prijono, Mr. Soenario, Dr. Soleiman, Dr. Buntaran dan Dr. Soeharto. www. wikipedia.com diakses tanggal 20 Februari 2010, pukul 19.47 WIB.
20 Djoko Suryo, “Penduduk Dan Perkembangan Kota Yogyakarta 1900-1990”, Kota Lama
Kota Baru Sejarah: Kota-Kota Di Indonesia Sebelum Dan Sesudah Kemerdekaan. Freek Colombijn , dkk (ed). (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2005), hal 38-39.
10
perguruan tinggi UGM.21 Peran UGM menjadi sangat penting dalam
pembangunan kesatuan bangsa, UGM ikut berperan sebagai “Melting Pot” bagi
pemuda yang berasal dari segala golongan etnis dan penjuru tanah air yang belajar
dan tinggal bersama di Kota Yogyakarta.
Dilatarbelakangi oleh Peristiwa 2 Maret 1969, timbulnya reaksi dari
sejumlah civitas akademi dengan menuntut diselesaikannya persoalan. Aksi
penuntutan berawal dari mahasiswa dilakukan pada Sabtu, 10 Mei 1969. Akibat
tidak cepatnya kejelasan dari pihak AKABRI dan lambat penanganannya tidak
memberikan kepastian hukum serta kurang adanya kejelasan akibat masih
renggangnya hubungan universitas dengan pihak militer. Perselisihan di wakili
oleh AKABRI bagian Udara dengan Universitas Gadjah Mada di tahun 196922
yang keduanya semestinya dapat berhubungan dengan baik. Dengan prinsip
partnership yang dilakukan pada perpolitikan Jenderal Soeharto memulai
kepemimpinan nasional.
Berdasarkan hal itu, para mahasiswa yang dikoordinator oleh Ct. DEMA
UGM hingga dosen UGM yang mengajar di AKABRI Bag.Udara bahkan
melibatkan Rektor kampus UGM ikut berperan dalam aksi demonstrasi. Insiden
tersebut mahasiswa melakukan aksi demonstrasi yang dimotori oleh Kadema
(Ketua Dewan Mahasiswa) Fakultas Teknik UGM bersama Ct. DEMA UGM,
21 Fakultas Kesusasteraan dan Hukum adalah fakultas pertama yang didirikan oleh Balai
Perguruan Tinggi Gadjah Mada pada 17 Februari 1946 (disahkan melalui Akte Notaries dengan tanggal 28 Februari 1946). Pada tanggal 19 Desember 1949 terjadi penggabungan Perguruan Tinggi menjadi Universitas Negeri Gadjah Mada (ulang tahun UGM terhitung sejak tanggal ini) berdasarkan PP No. 23 tahun 1949. Fakultas Sastra Paedagogik dan Filsafat menempati kampus Wijilan, Fakultas Teknik di Jetis, Fakultas Kedokteran bersama Fakultas Kedokteran Gigi dan Farmasi, Fakultas Pertanian, dan Fakultas Kedokteran Hewan berada di Ngasem, dan Fakultas HESP (Hukum, Ekonomi, Sosial, Politik) bertempat di Pagelaran. Sahid Susanto dan Bambang Purwanto,Universitas Gadjah Mada dari masa ke masa menuju otonomi perguruan tinggi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2001), hal 16-19.
22 Suara Merdeka, 12 Mei 1969.
11
mengecam aksi pemukulan dengan pernyataan bersama mengenai “Solidaritas
Mahasiswa Gadjah Mada”. Untuk kalangan dosen, para dosen UGM yang
mengajar di AKABRI bagian udara mulai 10 Mei tidak akan mengajar lagi di
tempat tersebut sampai ada penyelesaian dan penjelasan terkait dengan insiden
tersebut. Bahkan di tingkat petinggi kampus termasuk rektorpun turun untuk
menyelesaikan perkara ini yang pada awal perkara menimbulkan renggangnya
hubungan antara Universitas Gadjah Mada dengan AKABRI. Kondisi seperti itu
maka rektor pun bersama dengan Gubernur AKABRI menyelesaikan persoalan
“Peristiwa 2 maret 1969” di Yogyakarta.
Aksi-aksi mahasiswa bukannya tanpa hambatan berarti. Di lapangan
mereka menghadapi sikap progresif aparat keamanan, dipihak lain ada upaya-
upaya dari pemerintah untuk menjinakkan aksi-aksi mahasiswa terus dilakukan.
Salah satu diantaranya adalah lewat tawaran dialog. Dengan cara ini berhasil
diselesaikan secara represif dari gerakan mahasiswa yang ada di daerah khususnya
di Yogyakarta. Memang tidak dipungkiri bahwa kesemuanya mempunyai arti
penting bagi dinamika perjalanan sejarah bangsa Indonesia khususnya dalam
dinamika pergolakan aksi mahasiswa.
Merekonstruksi peristiwa sejarah pada dasarnya adalah menghadirkan dan
menempatkan kembali kelampauan pada proporsi sebenarnya.23 Oleh karena itu,
penulis dituntut memberikan keterangan sejarah yang sewajarnya. Terkait dengan
pemikiran tersebut studi ini berusaha menghadirkan kembali proses sejarah
perihal aksi protes mahasiswa di Yogyakarta pada peristiwa 2 maret 1969.
23 Taufik Abdullah, “Pengalaman Yang Berlaku, Tantangan Nasional Mendatang:Ilmu
Sejarah Di Tahun 1970-An Dan 1980-An”, Makalah Seminar Sejarah IV(Yogyakarta: 1985), hal 3.
12
Disamping itu, menganalisa isu-isu sosial-politik pada saat itu berusaha
dimanifestasikan dalam beberapa tuntutan. Untuk mengetahui runtutan dan
eksesnya terhadap “Peristiwa 2 Maret 1969” di Yogyakarta ini terjadi. Penelitian
ini mencoba mengemukakan terkait dengan peristiwa tersebut.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah telah diuraikan diatas, dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut.
1. Bagaimana latar belakang terjadinya Peristiwa 2 Maret 1969 di
Yogyakarta ?
2. Bagaimana akibat yang ditimbulkan dari Peristiwa 2 Maret 1969 di
Yogyakarta terhadap pihak civitas akademi UGM dan AKABRI
bagian Udara?
3. Bagaimana bentuk Resolusi konflik terhadap Peristiwa 2 Maret 1969
di Yogyakarta dari civitas akademi UGM dan AKABRI bagian Udara?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan dari rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini
untuk:
1. Untuk mengetahui latar belakang terjadinya Peristiwa 2 Maret 1969 di
Yogyakarta.
2. Untuk mengetahui akibat yang ditimbulkan dari Peristiwa 2 Maret 1969
di Yogyakarta terhadap pihak civitas akademi UGM dan AKABRI
bagian Udara.
13
3. Untuk mengetahui bentuk resolusi konflik terhadap Peristiwa 2 Maret
1969 di Yogyakarta dari civitas akademi UGM dan AKABRI bagian
Udara.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah untuk:
1. Mengaplikasikan teori dan materi yang diperoleh dari proses perkuliahan
di Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa dalam penelitian
yang berhubungan dengan militer dalam peran sosial terutama mengenai
Peristiwa 2 Maret 1969 di Yogyakarta mengakibatkan renggangnya
hubungan antara UGM dengan AKABRI.
2. Sebagai bahan tinjauan tentang penelitian yang sejenis dengan penelitian
tentang sejarah pergolakan mahasiswa era awal orde baru di Indonesia.
3. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi masukan yang berguna bagi
para mahasiswa, terlebih para aktivis mahasiswa serta tokoh-tokoh
masyarakat yang berkepentingan di dalam masalah hubungan mahasiswa
dan militer .
E. Tinjauan Pustaka
Kaum Intelektual pekerjaannya berkecimpung dalam produksi gagasan,
mempunyai kedudukan terhormat dalam masyarakat. Anggapan umum, kaum
intelektual “berumah diatas angan” dan karenanya terkadang anti kemapanan,
selalu bertindak sebagai agen perubahan. Bahkan seringkali dipandang sebagai
pelopor gerakan revolusioner.
14
Untuk mendukung serta melengkapi sumber-sumber data yang tersedia
sebagai bahan penulisan terkait dengan gerakan mahasiswa, maka dilengkapi
dengan pustaka yang mendukung. Beberapa pustaka yang digunakan dalam
penulisan ini yaitu sebuah buku yang disusun dalam;
Buku dari Sahid Susanto dan Bambang Purwanto, Universitas Gadjah
Mada Dari Masa Ke Masa Menuju Otonomi Perguruan Tinggi. Buku secara
detail mengulas terkait Universitas Gadjah Mada dari berdiri hingga
perkembangannya. Buku ini mendeskripsikan awal perkembangan sosial
masyarakat Yogyakarta, kondisi pendidikan pasca kemerdekaan, perkuliahan
UGM, pembelajaran dari masa ke masa. Buku ini memiliki keterlibatan penting
untuk menganalisa awal Peristiwa 2 Maret 1969 Yogyakarta ini terjadi.
“Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia: Pembentukan dan
Konsolidasi Orde Baru 1966-1974”. Ditulis oleh Francois Raillon, buku
mengulas tentang perjuangan mahasiswa di era tahun 1966-1974 yang
menerangkan terkait konsolidasi menuju tatanan orde baru dengan strategi awal
mahasiswa tahun 1966 bersama dengan militer untuk memulai konsolidasi. Buku
ini mengulas lebih detail era-era dari aktivitas mahasiswa yang melakukan aksi-
aksi demonstrasi di tanah air.
Robert Brym, dalam bukunya “Intelektual dan Politik” menyanggah
kesimpulan-kesimpulan yang merupakan hasil generalisasi berlebihan terkait
radikalisasi. Bagi Brym, kaum intelektual bukanlah kelompok masyarakat yang
tidak berakar dan pasti terkait pada suatu kelas atau kelompok tertentu dalam
masyarakat seperti anggapan banyak orang. Robert Brym menganalisis pada
mobilitas intelektual, yaitu pergeseran keterkaitan pada berbagai kelas atau
15
kelompok sosial yang lain dan menilai adanya pertalian antara lokasi sosial kaum
intelektual dan orientasi politik: moderat atau radikal, demokrasi atau elitis, kiri
atau kanan.
Sebuah perspektif menentukkan dari mana menarik sebuah garis, tetapi
tidak menentukkan kearah mana dan sampai sejauh mana garis tersebut
dihubungkan. Berarti bahwa perspektif dan penawaran gagasan tentang
mahasiswa sebenarnya merupakan titik awal untuk adanya kerja intelektual besar,
karena juga seperti halnya pengertian yang dikandung dalam nama kekuasaan dan
bangsa.
Skripsi ini berbeda dengan tulisan dalam buku-buku diatas, skripsi ini
membahas masalah mahasiswa dan aktivitasnya yang sesuai dengan lingkup
pembahasannya, hanya saja permasalahan lebih terfokus pada sebuah kasus
pergolakan mahasiswa Yogyakarta dalam Peristiwa 2 Maret 1969. Penulis
berusaha menyajikan fakta-fakta baru yang ditemukan selama melakukan
penelitian.
F. Metodologi Penelitian
1. Metode
Metode Sejarah dalam studi sejarah adalah suatu proses menguji dan
menganalisis secara kritis rekaman peninggalan masa lampau.24 Penelitian yang
dilakukan adalah dengan menggunakan metode sejarah kritis. Langkah-langkah
itu dibagi dalam beberapa tahapan. Pertama dengan heuristik, yaitu pengumpulan
data-data yang diperlukan dalam penelitian. Data-data yang digunakan berupa
24 Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah (Jakarta : UI Press, 1975), hal 62.
16
sumber primer dan sekunder. Adapun sumber primer berupa arsip. Studi
Dokumen diperoleh dari Perpustakaan dan Arsip Universitas Gadjah Mada dan
Perpustakaan Yogyakarta. Dokumen ataupun arsip yang diperoleh dari kedua
tempat tersebut adalah beberapa berupa dokumentasi foto digital yang berkaitan
dengan peristiwa 2 Maret 1969, sedangkan dari Perpustakaan Yogyakarta
diperoleh beberapa dokumen dari surat kabar yang berisi tentang berita-berita
maupun pernyataan-pernyataan tentang peristiwa 2 Maret 1969. Dalam penelitian
sejarah, dokumen atau arsip dari suatu kronologi peristiwa sangat penting artinya
sebab dokumen atau arsip adalah saksi dari sebuah peristiwa penting atau kejadian
masa lampau dengan tingkat kepercayaan paling tinggi.
Studi Pustaka dilakukan dengan mengumpulkan buku-buku atau literatur
untuk dijadikan referensi dalam pembuatan skripsi ini. Studi Pustaka dilakukan di
Perpustakaan Pusat UNS, Perpustakaan FSSR UNS, Monumen Pers Surakarta,
Perpustakaan Yogyakarta, Perpustakaan Pusat Universitas Gadjah Mada, Balai
Penerbitan Pers Mahasiswa UGM, Perpustakaan Museum Dirgantara Mandala
dan dari situs-situs internet yang berkaitan.
Sumber lainnya, penulis dapatkan dari wawancara dengan pelaku sejarah
yang mengetahui peristiwa pada masa itu, yaitu Purn. Kolonel Mujono,
Mahasiswa AKABRI bagian Udara angkatan 68. Penulis juga melakukan
wawancara dengan Marsekal Muda TNI Purn Lambert F Silooy pihak yang
mengetahui Peristiwa 2 Maret 1969 yang juga sebagai Mahasiswa AKABRI
bagian Udara dan beberapa pelaku yang mengetahuinya. Cara mendapatkan
narasumber adalah dengan melakukan survey lembaga-lembaga yang terkait
kemudian mencari dan melakukan wawancara dengan orang yang mengetahui
17
maupun terlibat dalam peristiwa tersebut. Dalam penelitian ini digunakan pula
riset literatur untuk melengkapi data-data yang belum lengkap dari sumber primer.
Buku-buku, artikel atau referensi lain menjadi data sekunder yang menunjang
penelitian ini. Referensi ini digunakan untuk mendukung data utama berupa
dokumen atau arsip. Untuk keperluan itu dikumpulkan buku-buku, majalah-
majalah, surat kabar (Kompas, Mertju Suar, Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka)
dan tulisan lain yang mempunyai kaitan dengan penelitian ini. Tahapan kedua
adalah tahap kritik sumber yaitu tahapan pengolahan data yang telah berhasil
dikumpulkan, baik dengan kritik intern maupun kritik ekstern. Kritik Intern
dilakukan untuk mencari keaslian isi data, sedangkan kritik ekstern bertujuan
untuk mencari keaslian sumber. Kritik sumber ini dimaksudkan untuk mencari
keotentikan sumber sehingga akan diperoleh data yang benar-benar valid.25
Proses selanjutnya adalah tahap interpretasi atau tahapan penafsiran
terhadap data yang telah dianalisis dalam tahap kritik. Dalam tahap ini dilakukan
penafsiran-penafsiran terhadap data-data yang sudah terseleksi dengan
disesuaikan pada tema yang dibahas. Hal ini dimaksudkan untuk berusaha
menguraikan setiap kejadian dan mendeskripsikannya dalam jalinan kausalitas
atau sebab akibat peristiwa itu secara kronologis. Data-data yang tersedia akan
menjadi valid dan hidup apabila analisis terhadap sumber yang ada sangat kritis.
Sumber tersebut akan menentukan seberapa bermutunya tulisan yang dihasilkan
Tahapan yang terakhir adalah tahap yang disebut dengan historiografi,
yaitu penulisan sejarah berdasarkan pada data-data yang telah melewati tiga tahap.
Dalam penelitian ini historiografi diwujudkan di dalam bentuk penulisan skripsi.
25 Ibid., hal. 95.
18
2. Teknik Analisis Data
Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah deskriptif
analisis. Deskriptif artinya memaparkan ataupun menggambarkan suatu fenomena
tentang ciri-ciri khusus yang terdapat dalam suatu peristiwa. Analisis adalah usaha
untuk menganalisa ataupun mengintepretasikan data-data yang berhubungan
dengan kajian permasalahan, dengan demikian studi ini bukan hanya
mempersoalkan masalah apa, dimana, dan kapan peristiwa tersebut dapat terjadi,
namun lebih dari itu mencoba untuk mengupas bagaimana dan mengapa peristiwa
tersebut terjadi, sehingga studi ini pada dasarnya tidak akan mengabaikan prinsip
kausalitas ataupun hubungan sebab akibat serta aspek ruang dan waktu.
G. Sistematika Penulisan
Untuk memberi gambaran terperinci berkarakteristik sejarah yaitu adanya
kontinuitas perkembangan kejadian berurutan, skripsi ini disusun per bab.
Penelitian ini berjudul PERISTIWA 2 MARET 1969 DI YOGYAKARTA
(Konflik Antara Taruna Angkatan Udara dan Mahasiswa Universitas Gadjah
Mada). Meliputi lima bab, untuk lebih detailnya akan dijelaskan dibawah ini.
Dimulai bab I, diberi judul Pendahuluan. bab ini diuraikan tentang latar belakang
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi
penelitian dan sistematika penulisan.
Pada Bab II, berisi tentang kehidupan politik kampus di Yogyakarta 1966-1969.
Dimulai dengan kehidupan awal mahasiswa Yogyakarta, kehidupan sosial
ekonomi di era orde baru, arah perpolitikan organisasi intra, kondisi
19
perkuliahan mahasiswa. Pembahasan penting dalam melihat berbagai
aktivitas dan kondisi sosial kehidupan di Kampus.
Pada Bab III, mengenai peristiwa 2 maret 1969 di Yogyakarta dan akibat yang
ditimbulkan. Membahas tentang munculnya peristiwa 2 maret 1969, aksi
demontrasi mahasiswa dan tuntutannya serta suasana pasca aksi solidaritas
tersebut.
Pada Bab IV, terkait resolusi konflik dari peristiwa 2 maret 1969 di Yogyakarta
menyajikan tentang: upaya dari resolusi peristiwa 2 maret 1969, hingga
akhir konflik.
Pada Bab V, penutup berisi kesimpulan dan saran. Bagian akhir dari skripsi
merupakan bagian pertanggungjawaban sumber dan penelitian skripsi,
menyertakan daftar pustaka.
20
BAB II
KEHIDUPAN POLITIK KAMPUS
Di YOGYAKARTA TAHUN 1966-1969
A.
Kehid
upan Awal Mahasiswa Yogyakarta
Penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia telah mulai
diselenggarakan pada masa kolonial Belanda terhenti sesaat Jepang berhasil
menduduki Indonesia pada awal tahun 1942. Pada bulan April 1943, pendidikan
kedokteran, farmasi, dan kedokteran gigi mulai dibuka kembali di Jakarta dan
Surabaya. Lembaga pendidikan tinggi ini merupakan bagian dari Djakarta Ika Dai
Gaku atau lembaga Pendidikan Tinggi Jakarta, memiliki bagian ilmu kedokteran
(Igaku-Bu) dan bagian ilmu obat-obatan (Yukugaku-Bu) serta bagian ilmu
kedokteran gigi (Sika-Igaku-Bu) di Surabaya. Setahun kemudian, pendidikan
tinggi teknik di Bandung.26
Perubahan penting lain mulai berlangsung sejak kemerdekaan Indonesia
diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Pada bulan Agustus 1945, para
mahasiswa Indonesia di Bandung mengambil alih Sekolah Tinggi Teknik dari
orang Jepang dan menyerahkan kepemimpinannya kepada orang Indonesia,
seperti Roosseno, Goenarso, Soewandi Notokoesoemo, Soenarjo dan Sutan
Mocthar Abidin. Tindakan serupa dilakukan di Perguruan Tinggi Kedokteran di
Jakarta dan Surabaya serta Pendidikan Kedokteran Hewan dan Pertanian di
26 Sahid Susanto dan Bambang Purwanto. Universitas Gadjah Mada Dari Masa Ke Masa
Menuju Otonomi Perguruan Tinggi, (Yogyakarta: UGM Press, 2001), hal 5-6
21
Bogor. Djakarta Ikadai Gaku diubah menjadi Balai Pengajaran Tinggi Jakarta,
terdiri dari Perguran Tinggi Kedokteran (PTK) dan Perguruan Tinggi Ahli Obat
(PTAO) berkedudukan di Jakarta serta Perguruan Tinggi Kedokteran Gigi di
Surabaya.
Kegiatan pendidikan dilakukan oleh orang Indonesia tidak berlangsung
lama. Pada bulan November 1945, penyelenggaraan Pendidikan Tinggi di
Badung, Jakarta, dan Surabaya dihentikan menyusul kedatangan tentara sekutu
dan NICA. Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi Kedokteran dan rencana
penyelenggaraan Pendidikan Kedokteran Gigi di Surabaya dihentikan akibat
pertempuran di Surabaya pada tanggal 10 November 1945. Sebagian besar
peralatan dipindahkan oleh para pendukung RI ke Malang. Di Jakarta
penyelenggaraan perkuliahan di Sekolah Tinggi Teknik Bandung juga dihentikan.
Di Jakarta, Sekolah Tingggi Kedokteran di Salemba diambilalih oleh pihak
Belanda, untuk itu kementrian kesehatan RI memutuskan memindahkan
Pendidikan Tinggi Kedokteran ke daerah pedalaman.27
Sejak ibukota negara dipindahkan ke kota Yogyakarta, kota ini
memainkan peranan penting dalam perjalanan sejarah perjuangan bangsa
Indonesia. Yogyakarta melanjutkan peranan penting pernah dilakukan dalam
perjuangan pergerakan kebangsaan pada masa kolonial, khususnya kepeloporan di
bidang pendidikan. Keberadaan sekolah-sekolah Muhamadiyah dan Taman Siswa
serta sekolah-sekolah modern lainnya di Yogyakarta, telah menjadikan
Yogyakarta sebagai sebuah kosmopolitan yang menarik orang dari berbagai etnik
dan daerah yang berbeda di nusantara, bertemu di kota ini untuk melanjutkan
27 Ibid.
22
pendidikan. Adanya sekolah-sekolah itu memungkinkan terjadinya kontak antar-
etnik secara intensif dan terbentuknya kota Yogyakarta sebagai salah satu pusat
jaringan pergerakan nasional Indonesia. Disamping itu, selain tercatat sebagai
penyelenggara kongres pertama Budi Utomo, kota Yogyakarta menjadi tempat
penyelenggaraan kongres perempuan Indonesia pertama.
Sejak awal setelah bangsa Indonesia memperoleh kemerdekaannya, mulai
terlihat perubahan dalam beberapa segi kehidupan masyarakat. Tidak berarti
terjadi perubahan yang radikal, terutama dalam struktur sosial dan ekonomi.
Secara umum keadaan Indonesia tetap merupakan kelanjutan masa-masa
sebelumnya, dengan ciri feudal dan kolonial masih tetap kuat. Warisan kolonial
Belanda maupun pendudukan Jepang masih terasa diberbagai kegiatan masyarakat
dan kenegaraan masih dipengaruhi oleh unsur-unsur kolonial.
Posisi penting Yogyakarta pada masa kolonial didukung oleh keberadaan
perkebunan, pabrik gula, dan terutama adanya kelompok pengusaha dan pedagang
bumi putera yang kuat.28 Sementara itu, keberadaan Yogyakarta sebagai salah satu
pusat kerajaan dan kebudayaan jawa terus berlangsung. Kasultanan Yogyakarta
dan Kadipaten Pakualaman merupakan produk dari perpecahan kerajaan jawa
pada abad XVIII dan XIX, kedekatan secara geografis Yogyakarta dengan simbol-
simbol awal kerajaan Mataram Kuno dan Mataram Islam memberi legitimasi
kultural tersendiri, khususnya identitas Yogyakarta sebagai Mataram.29
Bertolak belakang pada dunia pendidikan di Yogyakarta setelah
penghapusan berbagai batasan didalam masyarakat kolonial, memberi kesempatan
28 Edward Shills, “ Modernisasi Dan Pendidikan Tinggi”, dalam Myron Weiner,
Modernisasi: Dinamika Pertumbuhan, (Yogyakarta: UGM Pers,1977), hal 29.
29 Williang K. Cumming, “ Pendidikan Tinggi Dan Masyarakat Indonesia”, dalam Prisma (2), Februari 1981, hal 4.
23
kepada seseorang untuk mencapai status sosial yang tidak dapat dicapai pada
masa sebelumnya. Mobilitas vertikal menjadi terbuka, kelompok di Yogyakarta
pada masa kolonial menempati status lebih rendah setelah kemerdekaan dapat
muncul ke lapisan sosial yang lebih tinggi. Status sosial sebelumnya lebih
berorientasi pada penguasa tradisional, telah mulai bergeser. Kebangsawanan
tidak lagi dipandang sebagai satu-satunya status sosial yang terhormat didalam
masyarakat. Sebagai kelanjutan dari perubahan yang telah terjadi sejak awal abad
XX, status kebangsawanan mulai digeser oleh status baru dari kelompok
intelektual, terutama kelompok yang mendapat pendidikan tinggi barat.30
Yogyakarta memainkan peranan penting dalam dunia pendidikan, berdiri
lembaga pendidikan tinggi ditandai dengan kuliah tentang “Pemandangan
sociologisch tentang perubahan dalam masyarakat“ pada tanggal 13 Maret 1946
oleh Prof. Soenarjo Kolopaking dilaksanakan perkuliahan awal di SMT Kotabaru.
Jumlah mahasiswa terlalu banyak tidak dapat diselenggarakan di Kotabaru,
perkuliahan dipindahkan di Pagelaran kota Yogyakarta. Kegiatan perkuliahan
menggunakan fasilitas yang terbatas. Atas usaha dilakukan oleh K.R.T Notojoedo
kursi untuk perkuliahan diambil dari kursi milik pribadi Sultan Hamengkubuwono
IX, sedangkan bangku serta peralatan diambil dari fasilitas yang dimiliki wiyata
praja.
Mobilitas sosial dan pelapisan sosial ada di Yogyakarta mulai bergeser
ditentukan oleh tingkat pendidikan setelah munculnya Universitas Gadjah Mada.
Pendidikan, terutama pendidikan tinggi mempunyai prestise didalam masyarakat,
baik bagi penduduk di pedesaan dan perkotaan maupun dikalangan petani,
30 Ibid. hal 5.
24
pedagang, priyayi dan bangsawan. Kualifikasi pendidikan, terutama generasi
muda menentukan pandangan sosial masyarakat terhadap lingkungan. Beberapa
kelompok masyarakat secara tradisional lebih berorientasi pada perdagangan atau
wirausaha, memberi kesempatan kepada anak untuk mendapatkan pendidikan
lebih tinggi. Pendidikan keagamaan ditempuh oleh penduduk bumiputera
sebelumnya, secara perlahan-lahan telah diganti pendidikan sekolah berorientasi
barat.
Untuk itu mahasiswa merupakan salah satu kekuatan pelopor bagi
perubahan sosial politik di Indonesia.31 Dalam setiap perubahan mengambil posisi
signifikan. Mahasiswa mempunyai kesempatan istimewa belajar di universitas,
tempat mendapat pengetahuan lebih tinggi dan nilai-nilai baru diterapkan didalam
kehidupan.32 Berada dalam posisi memungkinkan untuk terlibat dalam proses
politik, memberikan sumbangan dalam proses perubahan.33
Mahasiswa tindakan perpolitikan dilatarbelakangi memiliki dua bentuk
sumber daya mendorong bagi mahasiswa untuk mengekspresikan perlawanan
terhadap ketimpangan-ketimpangan. Pertama, ialah mendapat pengetahuan lebih
lama dalam jenjang pendidikan. Timbul kombinasi diantara watak ilmiah yang
kritis-obyektif dengan pengetahuan sistematik tentang masalah yang menjadi
bidang spesialisasinya, mendorong untuk mengadakan penilaian dan menentukan
sikap tentang kehidupan politik yang mengelilingi. Kedua, sikap idealisme lazim
31 Anas Urbaningrum, Mahasiswa Menggugat; Pengantar. (Bandung: Pustaka Hidayah,1999
), hal 17.
32 Francois Railon, op.cit., hal 192.
33Arbit Sanit. Mahasiswa, Kekuasaan dan Bangsa;Refleksi dan Gagasan Alternatif, (Jakarta: Lingkaran Studi Indonesia dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia,1989), hal 7.
25
menjadi ciri khas mahasiswa. Sebagai unsur masyarakat bebas dari ikatan sruktur
kekuasaan, terlepas dari kepentingan-kepentingan di masyarakat. Kombinasi
diantara kebebasan struktural dengan pengetahuan dan pemahaman cita-cita, ide
ataupun pemikiran tentang politik dan kemasyarakatan tertuang dalam ideologi,
memungkinkan mahasiswa untuk memiliki idealisme.34 Disinilah ideologi
merupakan perangkat mendasar dan merupakan unsur dari keseluruhan faktor
mewarnai aktivitas politik mahasiswa.
Kota Yogyakarta, di tengah-tengah berbagai persoalan politik dan militer
antara Indonesia dan Belanda keterbatasan fasilitas dialami mahasiswa,
keterbatasan keuangan serta kesulitan lainnya. Bagi republik Indonesia memiliki
perguruan tinggi merupakan hal penting, merupakan salah satu bukti keberadaan
negara dan bangsa Indonesia yang tidak berbeda dengan negara lain. Pemerintah
berusaha untuk membuka kesempatan luas dalam bidang pendidikan tinggi seperti
ucapan dilontarkan John Fitzergerld Kennedy, pendidikan merupakan pintu
gerbang keberhasilan pembangunan bangsa.35
Gerakan mahasiswa pasca kemerdekaan36 atau gerakan mahasiswa pada
masa orde lama terbagi-bagi mengikuti perkembangan ideologi politik yang
mendominasi, gerakan mahasiswa menjadi kaki tangan gerakan ideologi politik
atau partai. Sifat sistem Demokrasi Parlementer, kehidupan parlemen didominasi
34 Arbit Sanit, Pergolakan Melawan Kekuasaan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1999), hal
36-37. 35 Yozar Anwar, Pergulatan Mahasiswa Abad Ke-20: Perjuangan Anak-Anak Muda
Pemberani, (Jakarta: Sinar Harapan, 1981), hal 32. 36 Bantarto Bandoro,et. al, ed. Refleksi Setelah Abad Kemerdekaan Indonesia. (Jakarta:
CSIS, 1995), hal 45.
26
oleh partai-partai politik mengakibatkan kabinet sering jatuh.37 Berlanjut era 60-
an (Demokrasi Terpimpin), mahasiswa selain tergabung dalam organisasi kampus
juga menjadi anggota kelompok atau partai di luar kampus. Sebenarnya telah
terjadi “Radikalisasi Kampus”, tahun itu ledakan jumlah mahasiswa sampai
ratusan ribu.
Perspektif bertambah jumlah mahasiswa erat kaitan dengan prospek
adanya Pemilihan Umum menyebabkan partai politik tertarik pada dunia
Universitas. Berdiri organisasi mahasiswa berafiliasi ke partai, seperti Gerakan
Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) berafilsi dibawah PNI, Gerakan
Mahasiswa Sosialis Indonesia (GMS/ GERMASOS) dengan PSI, Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) dengan Masyumi, Concentrasi Gerakan Mahasiawa
Indonesia (CGMI) dengan PKI. Organisasi mahasiswa terbentuk dari luar
lingkungan kampus menekankan akan pergerakan. Pergerakan tersebut adalah
organisasi mengadakan perubahan lembaga-lembaga politik atau terhadap tatanan
masyarakat.38 Semangat progresif revolusioner menjadi ciri khas masa tahun 60-
an, pada kampus-kampus di Yogyakarta.
Peta kekuatan progresif intelektual dan mahasiswa terbesar terdapat di
UGM,
IKIP Yogyakarta dan IAIN Sunan Kalijaga. Di UGM, selain HMI dicap sebagai
kontra revolusioner, ada HIS, Germindo dan GMKI, secara keseluruhan
kelompok CGMI mendominasi. Selain HMI, semua bergabung dalam PPMI. Di
37 Empat partai besarnya antara lain; Masyumi, Partai Nasional Indonesia (PNI), Nahdlatul
Ulama (NU) serta PKI. Lihat Sularto, Dialog dengan Sejarah: Soekarno Seratus Tahun. (Jakarta: Kompas, 2002), hal 55.
38 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik. (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2005),
hal 162.
27
IKIP peta kekuatan serupa di UGM.39 Fungsi perguruan tinggi menghadapi
benturan-benturan dihadapkan dengan struktur politik kekuasaan. Terdapat tarik-
menarik kepentingan cukup transparan antara sifat pendidikan dinamis dan sifat
politik kekuasaan. Ada beberapa sebab munculnya gerakan revolusioner di
Yogyakarta, Yogyakarta berlatar belakang untuk menjadi kota pelajar. Kondisi
mengakibatkan tradisi intelektual tumbuh subur di kota Yogyakarta.
Sebagai lembaga bergerak dalam bidang pendidikan dan pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, perguruan tinggi tidak akan terlepas dari
berbagai perubahan terjadi didalam masyarakat. Begitu juga, terjadi di Universitas
Gadjah Mada. Beberapa persoalan di dalam masyarakat secara nasional
berdampak terhadap berbagai kehidupan Universitas Gadjah Mada. Suhu politik
meningkat secara nasional sejak awal tahun 1960-an, mempengaruhi aktivitas
politik oleh organisasi politik, mulai dari organisasi para sarjana berafiliasi dengan
kekuatan politik sampai organisasi mahasiswa beridiologi tertentu.
Sampai pertengahan tahun 1965, secara politis Universitas Gadjah Mada
didominasi oleh Partai Nasional Indonesia (PNI) para staff pengajar berafiliasi
dengan PNI, tergabung dalam Organisasi Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia (ISRI),
tenaga para pegawai tergabung dalam Kesatuan Buruh Marhaen (KBM). Selain
PNI, Partai Komunis Indonesia (PKI) berpengaruh di Universitas Gadjah Mada.
Di lingkungan staf universitas berlatar belakang sarjana, tergabung didalam
Himpunan Sarjana Indonesia (HSI). Sementara itu, para pegawai berada dibawah
Serikat Sekerja Pendidikan (SS-Pendidikan). Selain dua kelompok diatas,
39Mobilitas Mahasiswa Progresif Revolusioner di IKIP, lihat Harian Pagi
Nasional, 28 Agustus 1965.
28
kelompok islam merupakan kekuatan lain berpengaruh di Universitas Gadjah
Mada.
Usaha perebutan kekuasaan oleh kelompok Gerakan 30 September pada
tahun 1965, berpengaruh ke dalam Universitas Gadjah Mada. Sejak muncul
tuntutan masyarakat terhadap pertanggungjawaban kelompok komunis dalam
tragedi nasional. Di Universitas Gadjah Mada mulai terjadi aksi menyingkirkan
kekuatan yang mendominasi berbagai posisi dan kegiatan. Akibatnya beberapa
dosen, pegawai, dan mahasiswa diskors atau bahkan diberhentikan.40
Universitas merupakan kelompok sosial sedikit sekali terpolitisir dan
ditugaskan untuk mencetak elite indonesia, maka sejak saat itu universitas
berubah menjadi satu ajang pertempuran politik.41 Akibatnya menimbulkan
masalah bagi universitas, sebab percaturan politik baik nasional maupun daerah
mulai mempengaruhi kehidupan kampus.42
Pengaruh tersebut tumbuh pengkotakan mahasiswa didasarkan kepada
ideologi mempertajamkan ikatan-ikatan kesukuan, agama, daerah, dan
sebagainya. Secara sistematis partai politik memiliki kedekatan intens dengan
organisasi-organisasi kemahasiswaan yang berafiliasi guna mendukung langkah-
langkah perpolitikan yang diinginkan atau dapat dikatakan sebagai
underbouwnya. Dengan demikian mulai memasukkan element-element pertama
dalam debat politik di kalangan mahasiswa. Nuansa perpolitikan cukup meluas
40 Sahid Susanto dan Bambang Purwanto, op.cit., hal 48-49. 41 Francois Railon. op.cit., hal 9. 42 Arbit Sanit, Sistem Politik Indonesia: Kestabilan, Peta Kekuatan Politik Dan
Pembangunan (Jakarta: Rajawali Pers,1984), hal 92.
29
dengan bertambahnya jumlah mahasiswa menimbulkan sikap perpolitikan
mahasiswa semakin dinamis.43
B.
Kehid
upan Sosial Ekonomi di era Orde Baru
Tahun 1965 timbul periode baru membawa perubahan-perubahan sosial
dalam masyarakat Indonesia. Sumber utama dari perubahan-perubahan terletak
pada pergantian pemerintahan. Kegoncangan politik yang terjadi menyusul
peristiwa gerakan 30 September tahun 1965, telah mempengaruhi berbagai
aktivitas di UGM, peristiwa tersebut menjadi titik balik bagi munculnya sikap
bermusuhan dan saling mencurigai dalam bentuk lain. Para aktivis politik dan
organisasi dianggap mempunyai hubungan dengan kelompok komunis pada masa
sebelum peristiwa itu, menjadi sasaran berbagai gerakan anti komunis yang
muncul setelah tragedi nasional.
Gejolak politik di lingkungan senat universitas, staf pengajar dan
mahasiswa Universitas Gadjah Mada mempengaruhi aktivitas kerektoran. Sikap
saling curiga dan pertentangan muncul ketidakpercayaan berbagai kelompok
terhadap setiap kebijakan ditetapkan oleh rektor baru. Situasi menyulitkan drg.
Nazir alwi menempatkan dirinya, baik sebagai pribadi maupun rektor. Setiap
kebijakan dilakukan, selalu dicurigai menguntungkan salah satu kelompok.
43 Ibid.
30
Di masa orde baru, pergolakan-pergolakan ideologis politik orde lama
menciptakan ketidakstabilan politik nasional, diusahakan orde baru tidak terulang
kembali. Untuk itu, pembangunan dan modernisasi menjadi isu penting selama
orde baru menggantikan kepemimpinan nasional.44 Suharto menjadi pemimpin
orde Baru dihadapkan persoalan penting tentang format politik yang seharusnya
atau sebaliknya tumbuh dan kembangkan menjadi mekanisme diandalkan untuk
keperluan membangun Indonesia kembali. Disatu pihak, format politik baru
memberikan semacam keputusan kepada pendukung-pendukung pemerintahan
orde baru yang beraneka ragam, dipihak lain mampu menghindarkan dirinya dari
kesulitan-kesulitan politik berjangkit dalam masyarakat di masa orde lama.45
Menunjukkan keperluan untuk menciptakan format politik yang menghasilkan
ketenangan dan kestabilan di dalam masyarakat.
Jatuhnya orde lama digantikan dengan orde baru sebagian besar
komponennya merupakan partner berjuang mahasiswa. Dalam situasi ini, gerakan
mahasiswa Yogyakarta awalnya mengalami proses ketergagapan, proses
penyesuaian-penyesuaian dilakukan mahasiswa terhadap format pergerakannya
dalam menghadapi situasi sosial dan politik. Terkadang mengalami hambatan-
hambatan perselisihan dalam gerakan mahasiswa terutama kesulitan menentukan
posisi terhadap rezim baru.
44 Akhmad Zaini Akbar, ed. Beberapa Aspek Pembangunan Orde Baru. (Solo: Ramadhani,
1990), hal 20-21. 45 Alfian, Pemikiran Dan Perubahan Politik Indonesia. (Jakarta : PT.Gramedia, 1983), hal
34.
31
Di masa awal orde baru, tiga kekuatan dominan yaitu golongan islam,
militer dan mahasiswa.46 Orde baru bertahap berusaha menjadikan tiga pihak
kekuatan menjadi kekuatan melanggengkan kekuasaan. Orde baru meletakkan
kebijakan bidang ekonomi sebagai landasan dari pemerintah di bidang-bidang lain
termasuk pendidikan.
Gerakan mahasiswa Yogyakarta era pasca tahun 1966 tidak banyak
dikenal masyarakat. Bukan berarti gerakan mahasiswa milik mahasiswa Jakarta
dan Bandung, secara geografis dekat dengan pusat pemerintahan menjadi sasaran
kritik dari kaum muda ini. Gerakan mahasiswa Universitas Gadjah Mada
berlanjut, Indonesia berada di bawah kekuasaan Suharto terus melangsungkan
pembangunan. Gerakan mahasiswa merupakan protes atas keadaan yang tidak
seimbang, seperti dialami mahasiswa di Yogyakarta khususnya UGM.
Tahun 1969 surat kabar di Yogyakarta memberitakan terkait perubahan
sosial mahasiswa. Keluhan dan kecemburuan dengan otoritas kekuasaan,
mendorong mahasiswa tertarik pada masalah kesempatan kerja, kebebasan
berbicara dan berkumpul, terjadi kepincangan ekonomi dan sosial diantara lapisan
masyarakat dan diantara daerah. Mahasiswa merasa langsung terlibat kedalam
masalah-masalah diatas, sebab kesemuanya dihadapi secara nyata dan
mempengaruhi hari depan mahasiswa.
Struktur penduduk kota Yogyakarta, mengakibatkan mahasiswa
Yogyakarta semakin dinamis dan penundaan penyelesaian problem penyediaan
lapangan kerja dan pendidikan, memberikan bahan bakar untuk munculnya
46 Al Ghozie Usman. Mahasiswa, Militer, dan Politik, (Yogyakarta: Kelompok Studi Batas
Kota,1981), hal 35.
32
gerakan protes mahasiswa. Gerakan mahasiswa menjadi bentuk oposisi efektif
dalam masyarakat.
C. Arah Perpolitikan Organisasi Intra Kampus
Sebelumnya awal tahun 1960-an, terjadi ledakan lulusan sekolah
menengah atas berharap dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
Pendidikan tinggi sebelumnya dimasuki kelompok masyarakat dari status sosial
tertentu mengalami perubahan sejak terjadi perubahan orientasi didalam
masyarakat dan adanya kemajuan dalam pendidikan ditingkat sekolah menengah
secara nasional. Kelompok sosial sebelumnya tidak mendapat kesempatan atau
kurang menaruh perhatian terhadap pendidikan tinggi, memungkinkan memasuki
jenjang ke perguruan tinggi.
Universitas Gadjah Mada sejak selesainya pembangunan gedung kantor
pusat tata usaha dan beberapa gedung lainnya di Bulaksumur dan Sekip pada
akhir tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an, secara berangsur-angsur kegiatan
belajar mengajar dan administratif Universitas Gadjah Mada mulai berpusat di
wilayah utara kota Yogyakarta. Kegiatan administratif mulai pindah ke
Bulaksumur pada tahun 1958, sebelum itu beberapa fakultas telah memindahkan
pusat kegiatan di sekitar Bulaksumur dan Sekip. Secara cepat pula, Universitas
Gadjah Mada identik dengan Bulaksumur, sebagian kegiatan masih berlangsung
di luar Bulaksumur termasuk di sekitar tembok kraton. Sebagai perguruan tinggi
negeri, Universitas Gajah Mada dikenal masyarakat dengan sebutan GAMA
menjadi salah satu tujuan utama para lulusan sekolah menengah atas. Tidak hanya
33
datang dari daerah sekitar Yogyakarta atau daerah lain di pulau Jawa, melainkan
para calon mahasiswa berasal dari berbagai pulau lainnya.
Memang tidak seluruh pemuda Indonesia dapat mengenyam pendidikan
hingga perguruan tinggi, terlebih kondisi ekonomi cukup sulit seperti tahun 60-an.
Memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan tinggi, oleh sebab itu
mahasiswa melibatkan diri dalam pergerakan menentang pemerintah. Para
mahasiswa ingin menunjukkan dapat melakukan perbaikan-perbaikan dari
keadaan yang ada.
Terbukanya kesempatan memperoleh pendidikan bagi seluruh warga
negara memunculkan persoalan baru yaitu pengangguran. Terjadi akibat semakin
meningkatnya jumlah sekolah dan perguruan tinggi menjanjikan masa depan lebih
baik. Yogyakarta sebagai kota pelajar menimbulkan keinginan untuk menuntut
ilmu di daerah ini. Masyarakat menganggap seseorang berhasil belajar di
Yogyakarta akan memperoleh pekerjaan yang baik. Persoalan ada tidak
sesederhana yang dibayangkan. Meningkatnya jumlah lulusan sekolah menengah
dan perguruan tinggi di Yogyakarta selain menghasilkan tenaga terampil dan ahli,
juga menghasilkan pengangguran cukup besar. Selain itu kondisi para mahasiswa
pun makin mirip dengan kondisi rakyat umumnya. Para mahasiswa kehilangan
posisi sebagai elite masa depannya sudah terjamin.
Pengangguran di Yogyakarta tiap tahun meningkat dengan rata-rata
kenaikan mencapai 5000 orang pertahun. Pada tahun 1969, jumlah pengangguran
4.010 orang. Sesuai data, nampak adanya ketimpangan antara kebutuhan kerja
34
dengan jumlah pencari kerja. Pengangguran di Yogyakarta membawa dampak
masalah sosial cukup serius. 47
Pertumbuhan penduduk Yogyakarta cenderung meningkat setiap tahun,
ada kecenderungan pasti pertumbuhan penduduk selain disebabkan oleh kelahiran
didalam masyarakat sendiri ditambah para pelajar dan mahasiswa dari luar
Yogyakarta. Gerakan mahasiswa dipelopori oleh Dewan Mahasiswa UGM
membentuk sebuah format untuk memperhatikan aspek-aspek tersebut.
Mahasiswa merupakan komponen penting dalam kehidupan universitas,
tidak terkecuali di Universitas Gadjah Mada. Keberadaan organisasi
kemahasiswaan dan organisasi ekstrauniversitas dengan berbagai kegiatannya
memberi ciri tersendiri dalam kampus. Perkembangan sosial dan psikologis para
mahasiswa yang khas pada suatu periode tertentu, membangun identitas sesuai
dengan lingkungannya. Para mahasiswa dengan berbagai ide diwujudkan dalam
berbagai kegiatan, di dalam maupun di luar kampus seperti kesenian, olahraga,
pengabdian masyarakat dan keilmuan.
Kelembagaan dan berbagai aturan penyelenggaraan pendidikan dan
pengajaran di Universitas Gadjah Mada. Perubahan di dalam maupun di luar
universitas, dikeluarkannya berbagai peraturan baru oleh pemerintah, dan tuntutan
akibat perubahan dalam masyarakat.
Sesuai dengan Undang-Undang No. 22 tahun 1961 tentang perguruan
tinggi, berbagai aturan yang berlaku di Universitas Gadjah Mada mulai
mengalami perubahan. Salah satu perubahan penting itu menyangkut
kelembagaan universitas. Senat universitas tidak menjadi lembaga tertinggi.
47 Propinsi DIY dalam angka tahun 1969 Bag I (Yogyakarta, Biro Pusat Stastistik DI Yogyakarta), hal 113.
35
Istilah presiden sebagai pimpinan universitas diganti dengan rektor, didamping
oleh senat universitas. Lembaga dewan kurator diganti dewan penyantun. Dewan
kurator berfungsi sebagai pengawas universitas, dewan penyantun bertugas
membantu pimpinan universitas menjaga dan memilihara hubungan universitas
dengan masyarakat dan instansi-instansi pemerintah serta membantu universitas
mengatasi kesulitan. Sebagai penyesuaian dengan peraturan baru, Universitas
Gadjah Mada membentuk dewan penyantun diketuai oleh Soedarisman
Poerwokoesoemo pada 1 April 1962.
Dalam organisasi kemahasiswaan Universitas Gadjah Mada termasuk
struktur formal universitas dibedakan menjadi dua, yaitu Majelis
Permusyawaratan Mahasiswa dan Dewan Mahasiswa.48 Majelis Mahasiswa
Universitas Gadjah Mada beranggotakan 45 orang, dan Dewan Mahasiswa
beranggotakan 15 orang. Disamping itu terdapat organisasi kemahasiswaan
berafiliasi dengan kekuatan ideologis berada diluar struktur formal universitas.
Dalam kenyataannya, sejak awal kehidupan organisasi kemahasiswaan didalam
universitas diwarnai oleh organisasi ekstrauniversiter. Di kota Yogyakarta
merupakan tempat kelahiran beberapa lembaga mahasiswa sebagai basis
mahasiswa. Lembaga ini menjadi pemersatu mahasiswa dalam melakukan
aktivitas gerakannya.
Dewan mahasiswa Universitas Gadjah Mada menjadi pelopor
pembentukan Badan Kesejahteraan Mahasiswa Yogyakarta, aktif dalam
pengadaan beras bagi mahasiswa mengalami kesulitan ekonomi. Para mahasiswa
48 Dewan Mahasiswa (DEMA) yang awalnya lahir di Universitas Gadjah Mada pada 11
Januari 1950, sebagai organisasi yang melingkupi keseluruhan mahasiswa yang ada di kampus. Pembentukan pada awal Dewan Mahasiswa ini pula kemudian di ikuti oleh Perguruan Tinggi lain di tanah air. Skripsi: Julianto, Peran Organisasi Mahasiswa UGM Dalam Aktivitas Kampus. Yogyakarta: Jurusan Sosiologi Fakultas Sosial Dan Ilmu Politik UGM, 1996, hal 32-34.
36
membantu masyarakat dalam berbagai kegiatan, seperti pembuatan Bendungan
dan sarana pengairan di Kalijoro Pakis dan Beji, pembuatan jembatan di Turgo,
operasi kesehatan di daerah Transmigrasi Sumatera Selatan, pengadaan dana
untuk korban bencana alam Gunung Kidul, Gunung Agung, dan kebakaran di
Tukangan. Selain itu, para mahasiswa mengadakan operasi penertiban terhadap
gelandangan dan pelacur di Jawa Tengah dan Yogyakarta.49
Dewan
mahasiswa Universitas Gadjah Mada aktif kampanye pengembalian Irian Barat.
Para mahasiswa mengadakan latihan militer untuk para sukarelawan, sebagai
persiapan tenaga tempur di garis depan Operasi Trikora. Dewan Mahasiswa
Universitas Gadjah Mada melakukan pertemuan dengan mahasiswa dari Irian
Barat kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berkaitan aktivitas latihan
kemiliteran, dewan mahasiswa UGM ikut berperan pembentukan Resimen
Mahasiswa Mahakarta beranggotakan mahasiswa dari Perguruan Tinggi di
Yogyakarta pada tanggal 20 Januari 1963. Sementara itu, kebijakan konfrontasi
dengan Malaysia mulai dicanangkan, Dewan Mahasiswa Universitas Gadjah
Mada ikut serta dalam pertemuan dengan organisasi mahasiswa internasional
untuk mendapat dukungan bagi Indonesia.
Berbag
ai organisasi kemahasiswaan didasarkan ideologi politik secara resmi tidak
termasuk didalam struktur organisasi universitas. Dalam kenyataannya, muncul
organisasi mahasiswa berafiliasi pada partai politik tertentu melakukan
49 Wawancara dengan Sumarto bag. Arsip UGM pada Senin Pukul 10.00 WIB Tgl 13 Oktober 2009.
37
kegiatannya di dalam kampus. Dua organisasi yaitu CGMI berafiliasi kepada PKI
dan GMNI berkiblat kepada PNI, merupakan organisasi mahasiswa ekstra
universitas berpengaruh di Universitas Gadjah Mada awal tahun 1960-an.
Disamping dua organisasi itu, hanya dua organisasi Islam, yaitu HMI dan PMII
memiliki pendukung cukup berarti di UGM.50
Pada tahun 1966, drg. Nazir alwi diangkat sebagai rektor baru, pejabat
sementara atau Ct. Dewan Mahasiswa/ Komisaris Dewan Mahasiswa (Ct. DEMA/
Kodema) UGM, dibentuk dilantik di Sitihinggil Pagelaran. Ct. DEMA/ Kodema
membentuk presidium, anggota tetap diwarnai oleh wakil organisasi ekstra
universitas. Beberapa organisasi tidak bergabung didalam KAMI, termasuk
GMNI memiliki massa pendukung di Universitas Gadjah Mada, tidak
diikutsertakan dalam kepengurusan baru. Pengurus Dewan Mahasiswa Universitas
Gadjah Mada yang dilantik terdiri dari 2 orang mewakili PMII dan IMM.51
Dalam upaya membersihkan Universitas Gadjah Mada dari unsur
komunis, Dewan Mahasiswa UGM ikut serta dalam tim penjaringan yang
dibentuk oleh universitas dan berpartisipasi aktif dalam kepanitiaan penerimaan
mahasiswa baru. Tim universitas memutuskan untuk menskor dan mencatat 3569
orang mahasiswa.
Pembe
ntukan Dewan Mahasiswa tidak mendapat dukungan dari para mahasiswa GMNI.
Ketegangan memuncak ditengah-tengah mahasiswa Universitas Gadjah Mada,
50 Wawancara dengan Prasojo bag. Arsip UGM pada Senin Pukul 11.00 WIB Tgl 13
Oktober 2009. 51 Sahid Susanto dan Bambang Purwanto, op.cit., hal 76.
38
beberapa orang mahasiswa berusaha mendirikan organisasi kemahasiswaan lain
sebagai tandingan Dewan Mahasiswa baru dilantik. Di tahun-tahun itu pula
kampus sastra UGM, aliran politik tumbuh. Nama-nama seperti Sunardi (tokoh
Lekra), Soesono Wiwoho (Ketua Himpunan Sarjana Indonesia), Beni Oetoyo,
Narantoko (Jurusan Sastra Indonesia), Soeri Soeroto (Jurusan Sejarah) adalah
dikategorikan sebagai “kelompok kiri”. Dalam kehidupan kampus melalui
kegiatan-kegiatan kesenian dan kebudayaan mampu umumnya mempengaruhi
perpolitikan mahasiswa.52
Pertentangan antar mahasiswa menjadikan pihak luar ikut campur tangan
pada urusan internal kampus Universitas Gadjah Mada. Berdasarkan intruksi
Korem 027 Pamungkas bulan September 1966, para mahasiswa dilarang
membentuk Badan Kegiatan Kemahasiswaan Intrauniversitas sebagai tandingan
dari Dema/ Kodema/ Senat Mahasiswa. Instruksi diikuti dengan intruksi sejenis
oleh Rektor Universitas Gadjah Mada menyebutkan, pembentukan organisasi
kemahasiswaan didalam universitas dianjurkan untuk mengikutsertakan seluruh
organisasi mahasiswa ekstrauniversitas dengan prinsip gotong royong.
Keadaan di kampus mulai tenang, Ct. DEMA Universitas Gadjah Mada
mulai mengarahkan kegiatan ke luar kampus. Perwujudan dari kegiatan
mahasiswa antar kampus, Ct. DEMA Universitas Gadjah Mada menerima
kunjungan para mahasiswa Institut Teknologi Bandung dan Universitas
Padjajaran pada Oktober 1967. Program antar kampus berusaha meningkatkan
kerja sama antar mahasiswa, terutama berhubungan aktivitas sesuai dengan
perkembangan politik. Pada awal tahun 1968, Ct. DEMA Universitas Gadjah
52 Ahmad Nashih Luthfi, Manusia Ulang-Alik; Biografi Umar Kayam. (Yogyakarta:
Penerbit Eja, 2007), hal 44..
39
Mada berpartisipasi dalam pertemuan Dewan Mahasiswa seluruh Indonesia
dilaksanakan di Jakarta. Pertemuan merupakan persiapan untuk mengadakan
diskusi antar seluruh Dewan Mahasiswa seluruh perguruan tinggi di Indonesia.
Gambar 1.1
Photo bersama Dewan Mahasiswa UGM tahun 1969, Tepat Berdiri di tengah Sutomo Parastho dengan kawan-kawan.
Sumber ; Koleksi arsip UGM
Didalam diskusi besar Dewan Mahasiswa di Jakarta tahun 1968, para
mahasiswa berpendapat yang dimaksud dengan organisasi mahasiswa intra
universitas adalah:
„Badan pelengkap universitas atau institute yang mewakili mahasiswa dalam hubungannya dengan badan-badan pelengkap civitas akademica lainnya bersifat horizontal. Badan ini berdaulat penuh dan secara organisatoris tidak berada di bawah pimpinan universitas/ institut“.53
53 Azrul Azwar, “Organisasi Intra Universitas Dan Peranannya Dalam Kehidupan
Kemahasiswaan”, dalam Mahasiswa, No.1.th.Sumber 1976, hal 8.
40
Dilain pihak, pimpinan Universitas (Pemerintah) berdasarkan konferensi di
rektorat perguruan tinggi di Darmaga tahun 1968, dimaksudkan dengan organisasi
mahasiswa intra universitas ialah:
„Kelengkapan organisasi universitas yang turut membantu pimpinan universitas/ institute melaksanakan program perguruan tinggi dalam bidang kemahasiswaan dan badan ini merupakan keluarga mahasiswa dalam universitas/institut“ 54
Dewan Mahasiswa Universitas Gadjah Mada berhasil pula mempersatukan
berbagai organisasi kemahasiswanan yang berbeda, keberhasilan tidak
berlangsung lama. Ketenangan organisasi tertinggi mahasiswa mengalami pasang
surut pada pertengahan tahun 1968. Perbedaan para pengurus tentang beberapa isu
penting, seperti keanggotaan Ct. DEMA Universitas Gadjah Mada dalam Badan
Kerjasama Antar Senat Mahasiswa (BAKERMASA). Pertentangan terfokus pada
adanya pendapat dikalangan para pengurus yang tidak menyetujui keanggotaan
Ct. DEMA Universitas Gadjah Mada dalam BEKERMASA karena kepengurusan
BAKERMAS tidak didasarkan pada Perguruan Tinggi, melainkan berdasarkan
keormasan. Pertentangan ini merupakan kelanjutan dari konflik antar kelompok
yang berlangsung sebelumnya, termasuk kericuhan terjadi didalam KAMI dibawa
ke kampus.
Gejolak politik di lingkungan senat universitas, staf pengajar dan
mahasiswa Univesitas Gadjah Mada mempengaruhi aktivitas kerektorannya.
Sikap saling curiga dan pertentangan selalu munculnya ketidakpercayaan berbagai
kelompok terhadap setiap kebijakan yang ditetapkan oleh rektor baru. Situasi
menyulitkan drg. Nazir alwi menempatkan dirinya, baik sebagai pribadi maupun
54 Ibid, hal 16.
41
sebagai rektor. Setiap kebijakan di lakukannya, selalu dicurigai menguntungkan
salah satu kelompok.
Rektor Universitas Gadjah Mada ketiga menghadapi tantangan secara
terus menerus, baik dari para mahasiswa, dosen, termasuk beberapa orang guru
besar, dan beberapa pejabat sipil dan militer di Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Berbagai surat, ancaman, selebaran gelap, pamflet muncul di dalam dan di luar
universitas berisi kecaman terhadap kepemimpinannya.
Drg. Nazir alwi diharapkan dapat berbuat banyak menggantikan rector
sebelumnya. Kenyataannya, masa kerektorannya lebih banyak dihabiskan untuk
menetralisasi berbagai pertentangan terjadi di dalam Universitas Gadjah Mada.
Berakhrinya masa kerektoran dan waktu singkat, menimbulkan krisis
kepemimpinan di Universitas Gadjah Mada sebagai alternatif dari kesulitan untuk
mengangkat seorang rektor, Universitas Gadjah Mada membentuk sebuah
kepemimpinan kolektif terdiri dari lima orang untuk menjalankan kegiatan harian
universitas.
Pada tanggal 30 September 1968 dalam suatu rapat terbuka senat
Universitas Gadjah Mada Soepojo Padmodipoetro mewakili presidium
menyerahkan jabatan pimpinan Universitas Gadjah Mada kepada Drs. Soeroso,
M.A. Pergantian rektor baru, tetap menimbulkan pertentangan diantara para
pengurus Ct. DEMA. Beberapa pengurus Ct. DEMA kecewa dengan penggantian
drg. Nazir Alwi oleh presidium. Pembentukan presidium dianggap para pengurus
mahasiswa tidak sesuai peraturan tentang perguruan tinggi yang berlaku. Konflik
antar pengurus mengakibatkan pemecatan terhadap pengurus Ct. DEMA
Universitas Gadjah Mada.
42
Berbagai pamflet, poster, dan slogan menentang pengangkatan Dekan
Fakultas Sosial dan Politik tahun 1966, ditempelkan dan disebarkan di berbagai
tempat, baik didalam maupun diluar lingkungan kampus Universitas Gadjah
Mada. Para mahasiswa mengadakan demonstrasi saat upacara pelantikan
dilakukan di Bulaksumur. Para mahasiswa mengadakan aksi demonstrasi di
Gedung Agung, tempat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menginap. Aksi-aksi
itu menimbulkan pertentangan langsung berbagai organisasi mahasiswa. Para
mahasiswa mengeluarkan pernyataan antara mendukung dan menolak
pengangkatan Soeroso sebagai rektor UGM.
Gambar 1.2 Upacara penerimaan mahasiswa baru tahun 1969, tepat
Pak Soeroso memimpin upacara pembukaan.
Sumber: Koleksi arsip UGM
D. Kondisi Perkuliahan Mahasiswa
Kedudukan Yogyakarta sebagai ibukota Republik Indonesia disamping
mendorong terbentuknya lembaga tinggi milik pemerintah, melainkan lembaga
43
sejenis diselenggarakan swasta. Salah satu usaha swasta adalah pendidikan tinggi
diselenggarakan oleh Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada.
Para mahasiswa membayar uang kuliah sebesar Rp.120 per tahun, dibayar
setiap tiga bulan. Uang kuliah dibayar selama empat tahun. Para mahasiswa
diharuskan mambayar uang pangkal sebesar Rp.25 dan uang ujian sebesar Rp.20.
Para mahasiswa golongan miskin dibebani pembayaran setiap bulan sebesar Rp.5
per mata kuliah, atau Rp.15 untuk tiga mata kuliah.55
Rutinitas penyelengaraan perkuliahan menghadapi kendala lain. Sebagian
besar pengajar memiliki jabatan di pemerintahan atau lembaga pendidikan
lainnya. Setiap hari menempuh jarak jauh antara rumah, tempat kerja, dan menuju
tempat mengajar perkuliahan. Transportasi sangat terbatas, sepeda merupakan alat
transportasi paling mewah dan mudah dimiliki baik oleh mahasiswa maupun
dosen.56
Kegiatan perkuliahan dan kehidupan dosen serta mahasiswa tidak
menentu. Kondisi perkuliahan ada sebagian melaju antara Yogyakarta, Klaten dan
Surakarta. Para mahasiswa dan dosen berangkat pagi hari, menggunakan kereta
api dan pulang malam hari. Kondisi memprihatinkan terjadi pada tempat kuliah.
Di Fakultas Teknik, mahasiswa terpaksa membangun ruang kuliah berdinding
anyaman bambu di Teras samping Gedung Sekolah di Jetis.
Kegiatan belajar mengajar di Universitas Gadjah Mada pada masa awal
dilakukan ditempat terpisah-pisah, salah satunya kelompok Ngasem/ kelompok
fakultas teknik menampung mahasiswa dari fakultas teknik. Di kompleks
55 Sahid Susanto dan Bambang Purwanto. op.cit., hal 11-12. 56 Ibid, hal 67.
44
Mangkubumen untuk fakultas seperti MAMACANGA, merupakan akronim dari
Masyarakat Mahasiswa Complex Ngasem. Memiliki simbol-simbol tersendiri,
seperti pin digunakan untuk membedakan kelompoknya dan kelompok lain.
Dalam pertandingan olahraga, pertunjukan kesenian, dan kegiatan lain, termasuk
dalam soal pacaran menunjukkan identitas kelompok tersebut.
Sementara para mahasiswa di fakultas-fakultas lain menggunakan ruang di
Pagelaran Keraton Yogyakarta proses pembelajaran hanya dipisahkan oleh
dinding sederhana. Suara di ruang satu terdengar dengan jelas di ruang lain,
suasana perkuliahan menjadi tidak tenang. Para mahasiswa mendengar dua
perkuliahan akibat perkuliahan berlangsung secara bersama-sama di ruang
bersebelahan. Kericuhan bertambah, letak beberapa ruangan kuliah dekat dengan
jalur lalu lintas utama. Ada ruang kuliah terletak di sebelah kandang ayam.
Sebelum kuliah, para mahasiswa membersihkan kotoran ayam yang terdapat di
lantai, meja, kursi. Di tempat lain, ruang kuliah terletak bersebelahan dengan WC
sering menebarkan bau kotoran mengganggu ke dalam ruangan saat kuliah
berlangsung.
Pertambahan jumlah mahasiswa dari tahun ke tahun menyebabkan ruang
kuliah tidak memadai, mahasiswa telah datang dua jam sebelum perkuliahan
dimulai untuk mendapatkan kursi duduk. Mahasiswa yang lain, terpaksa harus
mendengarkan perkuliahan sambil berdiri dan duduk di lantai. Keadaan sama
terjadi pada kegiatan praktikum. Para mahasiswa bergilir dalam sepuluh
kelompok, kegiatan praktikum baru berakhir pada pukul sebelas malam.
Kekurangan ruangan, kegiatan perkuliahan dilakukan di rumah dosen, atau di
ruangan terbuka lain.
45
Keterbatasan sarana menyebabkan kegiatan perkuliahan, praktikum atau
kegiatan administratif satu fakultas dilakukan secara terpisah dibeberapa tempat
atau berpindah-pindah. Di fakultas teknik kegiatan dilakukan memanfaatkan
fasilitas Sekolah Menengah Teknologi Jetis dan di Laboratorium Hidraulik milik
kementrian pekerjaan umum di Pingit. Di jurusan farmasi, kuliah kimia analitik
diselenggarakan di Jetis, seksi reseptur menempati sebuah ruangan di kawasan
Ngasem. Seksi kimia farmasi melakukan kegiatan di Sekip menggunakan ruang
fakultas pertanian, dan seksi farmakologi meminjam ruang fakultas kedokteran
hewan.
Tempat kuliah dan praktikum terpisah-pisah menimbulkan kesulitan baik
bagi siswa maupun dosen, dalam satu hari kuliah mengajar di dua tempat terpisah
jauh. Para mahasiswa hilir mudik sepanjang Malioboro secara tergesa-gesa akibat
mengikuti kuliah atau praktikum jauh di tempat lain. Sebagian besar mahasiswa
berjalan kaki atau naik sepeda, dan mahasiswa kaya yang memiliki kendaraan
bermotor. Becak dan andong digunakan masyarakat sehari-hari, belum ada
angkutan umum lain khusus menghubungkan beberapa kampus terpisah. Oleh
sebab itu, mahasiswa mengikuti kuliah dalam keadaan nafas tersengal. Hal serupa
terjadi pada dosen, terutama pada dosen muda dan asisten dosen.
46
BAB III
PERISTIWA 2 MARET 1969 DAN AKIBAT
YANG DITIMBULKAN
A.Munculnya Peristiwa 2 Maret 1969 Di Yogyakarta
Didalam negara berkembang, perguruan tinggi mempunyai kedudukan
penting untuk membantu pembangunan nasional. Berkaitan dengan kenyataan
tidak ada satu bangsa dapat mencapai dan mempertahankan tingkat kemajuan
pembangunan tanpa memiliki komponen kesarjanaan. Oleh sebab itu, perguruan
tinggi di negara berkembang menyerap pengetahuan dari luar dan
mengembangkan pengetahuan setempat untuk digunakan sebagai dasar
kemampuan pembangunan. Perguruan tinggi merupakan lembaga sentral
mengakumulasi dan menciptakan pengetahuan sebagai pusat kegiatan intelektual,
penyebarluas pengetahuan mahasiswa dan masyarakat. Gerakan mahasiswa
khususnya Dewan Mahasiswa UGM cenderung mengarah langsung pada
kekuasaan, militer mulai dipandang sebagai lawan. Kelompok mahasiswa
umumnya mempunyai kesempatan politik lebih tinggi dari pada masyarakat
umum. Kesempatan ini menjadi modal mendorong kekuatan-kekuatan dalam
masalah melibatkan perpolitikan.57
Militer muncul sebagai pimpinan politik modern di negara-negara timur,
kelompok sosial paling kuat memonopoli kekuasaan di masyarakat. Militer
57 Hariman Siregar, Hati Nurani Seorang Demonstran. (Jakarta : Mustika Utama, 1994), hal
158.
47
menjadi golongan saingan, dan makin lama menjadi tantangan bagi kaum
inteligensia sipil.58
Latarbelakang kondisi perkuliahan dan pengajaran kurang memadai serta
munculnya tangsi-tangsi militer di kota Yogyakarta berdampak sosiologis
menyimpan potensi konflik kesatuan militer dengan masyarakat maupun kesatuan
militer dengan kesatuan lain termasuk dengan mahasiswa. Berdirinya pusat AAU
di Maguwo59 menyimpan potensi konflik. Pada tanggal 9 April 1960 di Lanuma
Adisutjipto diadakan upacara peletakan batu pertama pendirian gedung Akademi
Angkatan Udara. Lanuma Adisutjipto60 menjadi tempat pendidikan para calon
perwira Angkatan Udara. Pada tahun 1965 tempat pendidikan diresmikan menjadi
Akademi Angkatan Udara (AAU) dengan semboyan “Vidya Karma Vira
58 Harry J. Benda,”Kaum Inteligensia Timur Sebagai Golongan Elite Politik”, dalam
Sartono Kartodirdjo (eds). Elite Dalam Perspektif Sejarah. (Jakarta: LP3ES, 1981), hal 154. 59 Maguwo merupakan Operational Base/ Operasi Pemboman pertama dilancarkan serangan
terhadap sasaran kedudukan Belanda pada pagi hari tanggal 29 Juli 1947.www.tni/au.co.id diakses tanggal 20 Maret 2010, pukul 19.50 WIB.
60 Sekolah penerbangan Indonesia dimulai sebelum perang. Pada 1 Agustus 1921
pemerintah Belanda dibuka sekolah penerbangan pertama di Indonesia di Kalijati Subang, Jawa Barat: Sekolah Penerbangan Kalijati. Pada 1 Januari 1940, institusi menjadi Penerbangan Militer (Militaire Luchvaart). Terdapat seorang warga pribumi, lulusan Militaire Academy Breda (Belanda), Letnan R. Suryadi Suryadarma. Penerbang pengintai ditugaskan menjadi instruktur di Sekolah Penerbang Kalijati.
Pada 1939 Sekolah Penerbang digabungkan dengan Sekolah Pengintai di Lapangan Andir Bandung. Direkrut 10 siswa –5 orang berhasil mencapai Kleine Militaire Brevet (KMB), antara lain Husein Sastranegara, Sulistio, dan H. Sujono; 2 orang mencapai Groote Militaire Brevet (GMB), Adisutjipto dan Sambudjo Hurip, dan 3 orang kena grounded. Penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Pemerintah RI, Pangkalan Udara Andir membuka Sekolah Penerbang Lanjutan (SPL) pada 1950, menghasilkan 3 angkatan. Angkatan pertama,1950: 10 penerbang militer dan 11 penerbang sipil. Diantara ada Rusman Nurjadin (Gubernur AAU tahun 1969). Angkatan kedua, 1952, meluluskan 16 penerbang antara lain, Ashadi Tjahjadi, Sompil Basuki, dan Suwoto Sukendar. Angkatan ketiga 8 orang, antara lain, Nurtanio dan Supadio. Akademi Angkatan Udara dimulai sejak didirikan Lembaga Pendidikan Perwira TNI AU di Maguwo, Yogyakarta, di tahun kemerdekaan RI. Akhir Desember 1945, Komodor Udara Suryadi Suryadarma merencanakan pembentukan personil AU, diserahkan Agustinus Adisutjipto. Hasibuan, Imran. & Abriyanto, M., & Djunaedi, Purwadi, Elang dan pejuang tanah air : biografi Marsekal (Purn.) Roesman Nurjadin, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004), hal 22.
48
Pakca”.61 Untuk panggilan para Taruna Akademi Angkatan Udara diubah menjadi
“Karbol”.62 Tanggal 5 Oktober 1966, Lembaga-lembaga pendidikan militer yaitu:
Akademi Militer Nasional (AMN), Akademi Angkatan laut (AAL), Akademi
Angkatan Udara (AAU), Akademi Angkatan Kepolisian (AAK) diintegrasikan
menjadi Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI).63 Dengan
demikian sebutan Akademi Angkatan Udara menjadi AKABRI Bagian Udara.
AKABRI pada tahun awal berdiri memiliki rencana menambah fasilitas
Pangkalan Udara Gading di Wonosari Gunung Kidul.
Disamping itu pihak AKABRI berhasil mendirikan museum Pimpinan
Angkatan Udara V (Pangkowilu), tanggal 4 April 1969 diresmikan berdirinya
61 Wawancara dengan Kapten Sus Hamdi Londong pada 1 Maret 2010. 62 Wawancara dengan Marsekal Muda TNI Purn Lambert F Silooy pada 1 Maret 2010. 63 http://tni-au.mil.id:8080/kotama/riwayatmu-doeloe-halaman-2 diakses tanggal 20
Februari 2010, pukul 20.35 WIB.
Sumber. Http/ tni-au/co.id
Sumber. Http/ tni-au/co.id
Gambar.3.1 Pangkalan Udara Gading di Wonosari Gunung Kidul
Gambar.3.2 Lapangan Terbang Gading dengan panjang R/W 1200 M
49
Museum Pusat Angkatan Udara Roesman Nuryadin.64 Museum ini menjadi cikal
bakal museum Dirgantara Mandala.65
Gerakan mahasiswa di Indonesia tidak berbeda dengan gerakan
mahasiswa pada umumnya dibeberapa belahan dunia. Gerakan mahasiswa
didominasi para pemuda yang memiliki watak perubahan. Lahirnya gerakan
mahasiswa tidak dengan perencanaan matang, melainkan momentum politik di
Indonesia. Pembuktian gerakan mahasiswa Indonesia sesuai dengan konteks
zaman, memberikan kesimpulan gerakan dalam orientasi dan tindakan politik.
Mengarah dan bersandar pada problem-problem dan kebutuhan struktural rakyat
Indonesia. Orientasi dan tindakan politik cermin dari mahasiswa Indonesia
memahami masyarakat, menentukan pemihakan dan kecakapan merealisasi nilai-
nilai tujuan atau ideologi.
Perubahan cepat penguasa orde baru berhasil memanfaatkan potensi
ekonomi dan penerapan pendekatan kekuasaan. Bidang politik, menjalankan
kebijakan pembangunan nasional, menjadi tantangan tersendiri bagi
perkembangan Universitas Gadjah Mada menjelang tahun 1970-an. Kebijakan
pembangunan dilakukan masa orde baru meninggalkan kemampuan ekonomi
sebagian penduduk dan pemerintah untuk membiayai pendidikan. Pengaruhnya,
64 Sejak dikeluarkannya Instruksi Menteri / Panglima Angkatan Udara No. 2 tahun 1967 tanggal 30 Juli 1967 tentang peningkatan kegiatan bidang sejarah, budaya dan Museum Angkatan Udara, Atas dasar pertimbangan tersebut, maka Kepala Staf TNI Angkatan Udara mengeluarkan keputusan No. Kep / 11 / IV / 1978 tanggal 17 April 1978 menetapkan bahwa Museum Pusat AURI yang semula berkedudukan di Jakarta dipindahkan di Yogyakarta, diintegrasikan dengan Museum Pendidikan/ Karbol menjadi Museum Pusat TNI Angkatan Udara dengan memanfaatkan gedung Link Trainer di kawasan kesatrian AKABRI Bagian Udara.
Operasi boyong perpindahan benda-benda koleksi museum dari Museum Pusat AURI di Jakarta (AKABRI Bagian Udara) November 1977. Dalam langkah penyempurnaan pemindahan berdasarkan Keputusan Kasau No. Skep/04/IV/1978 tanggal 17 April 1978, dilengkapi dengan nama Museum Pusat TNI AU “Dirgantara Mandala”. www.tni/au.co.id diakses tanggal 20 Maret 2010, Pukul 19.50 WIB.
65 Wawancara dengan Lektol Sus Djoko Purnomo pada 20 Januari 2010.
50
animo memasuki perguruan tinggi semakin besar dan operasionalisasi kegiatan
pendidikan di perguruan tinggi dibandingkan pada masa sebelumnya belum
mengalami perbaikan secara optimal.
Perkembangan kekuasaan negara mulai memperlihatkan konsentrasi
presiden Soeharto, Golkar, Militer.66 Timbul konsentrasi kekayaan dan modal
pada kelompok tertentu, serta ketimpangan masyarakat ditengah-tengah
pertumbuhan ekonomi menyebabkan letupan-letupan perlawanan dari dalam
kampus. Sebagian besar mahasiswa Universitas Gadjah Mada berasal dari daerah
perkotaan, adanya sekitar 30% mahasiswa berasal dari daerah pedesaan
menunjukkan Universitas Gadjah Mada menjadi tujuan utama sebagaian besar
lulusan sekolah menengah atas berasal dari keluarga kelas bawah yang ingin
melanjutkan ke perguran tinggi karena rendahnya biaya hidup di Yogyakarta dan
biaya kuliah di Universitas Gadjah Mada dibandingkan dengan kota-kota lain.67
Universitas Gadjah Mada telah berkembang sebagai perguruan tinggi yang
memiliki 13 fakultas dengan hampir sepuluh ribu orang mahasiswa.
Perkembangan mencapai puncak pada tahun 1969, pendidikan tinggi di Univesitas
Gadjah Mada diselenggarakan di 18 fakultas. Kecemburuan sosial memuncak
pada bulan Maret 1969 di Yogyakarta.
Sekian persoalan timbul pada tahun 1969 di Kota Yogyakarta, peristiwa
yang terjadi tanggal 2 Maret 1969 Jam 18.30 di Yogyakarta atau disebut dengan
“Tragedi Peristiwa 2 Maret 1969 Yogyakarta” peristiwa diawali dengan kejadian
bentrok antara 2 orang mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada
66 Harold Crouch, Militer dan politik di Indonesia, (Jakarta: Sinar Harapan, 1999), hal 56. 67 Sahid Susanto dan Bambang Purwanto. Universitas Gadjah Mada Dari Masa Ke Masa
Menuju Otonomi Perguruan Tinggi, (Yogyakarta: UGM Press, 2001), hal 8.
51
dengan Karbol AKABRI bagian Udara.68 Dimulai dengan umpatan mencela dari
mahasiswa Fakultas Teknik69 Universitas Gadjah Mada oleh I. Suparjana dan
Sajono secara spontanitas menimbulkan kemarahan dari karbol AKABRI bagian
Udara.70 Umpatan-umpatan para mahasiswa merupakan sikap mencela terhadap
simbol pemerintah.
Gambar.4.1 Logo AAU
Sumber. Http/ tni-au/co.id
Orientasi diambil untuk memihak atau melawan pemerintahan tergantung
dari para intelektual memiliki kesempatan untuk masuk kedalam kehidupan
professional. Sebab, semenjak tahun 1960-an hingga 1968 pengangguran
intelektual tinggi, dan membesar seiring berkembang pendidikan di Indonesia.
68 Akademi Angkatan Udara dimulai sejak didirikannya Lembaga Pendidikan Perwira TNI
AU di Maguwo, Yogyakarta, di tahun kemerdekaan RI. Akhir Desember 1945, Komodor Udara Suryadi Suryadarma merencanakan pembentukan personil AU, kemudian diserahkan kepada Agustinus Adisutjipto. Ksatrian AAU meliputi area seluas 69 hektar terletak ± 315 kaki diatas permukaan laut, dan berada 10,3 km sebelah timur Kota Yogyakarta. Suasana lingkungan Ksatrian dengan pepohonan dan taman yang ditata menjadikan Komplek Ksatrian AAU sebagai tempat yang nyaman dan asri. www.tni/au.co.id diakses tanggal 20 Maret 2010, pukul 19.50 WIB.
69 Fakultas Teknik merupakan salah satu fakultas pertama dimiliki UGM. Fakultas ini pada
mulanya memiliki 3 jurusan yang pada waktu itu di kenal dengan bagian, yaitu Jurusan Teknik Sipil, Teknik Kimia serta Teknik Mesin dan Listrik. Pada tahun 1950, Jurusan Teknik Mesin dan Listrik pada fakultas ini dibekukan. Sahid Susanto dan Bambang Purwanto.op.cit,.hal.45.
70 Suara Merdeka, 12 Maret 1969.
52
Terjadi ketidakseimbangan antara lowongan kerja dengan jumlah universitas.
Besarnya pengangguran intelektual, kalangan intelektual jauh dari kekuasaan dan
semakin cenderung mengkritik pemerintahan.
Anggota AKABRI bagian Udara memiliki postur kekar, lebih leluasa
untuk melakukan pemukulan terhadap 2 orang mahasiswa Universitas Gadjah
Mada. Mahasiswa UGM terluka cukup parah. Pemukulan mahasiswa terjadi tepat
di depan Gedung Senisono Yogyakarta.71
Para karbol AKABRI bagian Udara melakukan pemukulan terhadap
mahasiswa, meminta kartu identitas diri para mahasiswa. Mahasiswa memberikan
kartu identitas diri, para karbol balik ke kamp. Pemukulan tidak berakhir, 2 karbol
melakukan pemukulan mengajak karbol lain dalam jumlah banyak untuk
mendatangi rumah dan mengambil 2 mahasiwa, I. Suparjana dan Sajono. Kedua
mahasiswa naik bus bersama dengan karbol-karbol dalam rombongan dan
mendapat perlakuan pemukulan kembali.72
Pasca kejadian pemukulan, mahasiswa datang ke Lanuma Adi Sucipto,
Yogyakarta dan mendapat nasehat. Pemberitaan tadi para mahasiswa ditingkat
organisasi kampus menyesalkan peristiwa itu terjadi. Para mahasiswa dari
organisasi kampus UGM mendapat informasi langsung dari I. Suparjana dan
Sajono. Pengurus dari DEMA (Dewan Mahasiswa) Fakultas Teknik menilai
keduanya mendapat perlakuan tidak tepat. Dewan mahasiswa merupakan lembaga
kemahasiswaan berperan dalam menggalang komunikasi antar universitas
diberbagai kota besar dalam berbagai demonstrasi di Indonesia.
71 Wawancara dengan Marimin pada 20 September 2009. 72 Suara Merdeka, 12 Mei 1969.
53
Para mahasiswa organisasi ditingkat fakultas berkoordinasi dengan tingkat
universitas dikoordinator didalam DEMA yang dipimpin oleh Sutomo Parastho.
Terjadi koordinasi baik dengan pihak organisasi universitas Ketua Dewan
Mahasiswa beserta anggota dari pengurus DEMA Fakultas Teknik UGM
meminta nasehat dosen-dosen dan menghadap kepada rektorat dipimpin oleh
Soeroso H. Prawirohardjo memiliki masa jabatan sebagai petinggi kampus hingga
masa periode 1968-1973.73
Pihak universitas diwakili Soeroso H Prawirohadjo merasa ikut prihatin
akan insiden dialami oleh kedua mahasiswa. Kadema Fakultas Teknik secara
langsung menegaskan diri untuk menghadap gubernur AKABRI bagian Udara
tepat pada tanggal 14 April 1969. Pada kesempatan tersebut menyampaikan
maksud tujuan kedatangan menuntut keadilan hukum atas tindakan 2 karbol dari
AKABRI bagian Udara. Oleh Gubernur AKABRI tindakan perlu klarifikasi lebih
detail untuk menyelesaikan masalah dengan mengumpulkan data-data otentik
terlebih dahulu sebelum menanggapi peristiwa pada 2 Maret 1969 dilakukakan
karbol AKABRI bagian Udara tersebut.
Diangg
73 Soeroso H Prawirohardjo atau sering di panggil dengan Pak Soeroso lahir di Semarang
pada tanggal 16 Maret 1935. Rektor UGM yang beristerikan Wahyuningdyah dengan tiga orang anak ini menyelesaikan pemdidikan SD tahun 1948, SMP tamat tahun 1952 dan SMA selesai pada tahun 1955 selesai menyelesaikan pendidikan di SMA, Soeroso kemudian memasuki Perguruan Tinggi di UGM dan memperoleh gelar sarjana dalam bidang Hukum Internasional pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik pada tahun 1960. Pendidikannya di teruskan di University Of Pittssburg USA dan memperoleh Gelar Master of Art pada tahun 1962. Riwayat pekerjaannya adalah menjabat sebagai asisten di Fakultas Sosial dan Politik UGM tahun 1959-1963. Pada tahun 1963 diangkat sebagai Lektor muda dan selanjutnya sebagai Lektor mulai akhir tahun 1966. Kariernya mulai meningkat ketika diangkat menjadi Dekan Fakultas Sosial dan Politik UGM di tahun 1966-1968. Pada tanggal 28 September 1968. Soeroso di angkat menjadi Rektor UGM. Lihat Sahid Susanto dan Bambang Purwanto, Rektor-Rektor Universitas Gadjah Mada : Biografi Pendidikan, (Yogyakarta; UGM Pers, 2002), hal 76.
54
ap oleh Dewan Mahasiswa sebagai kelambanan dalam merespon situasi, Dewan
Mahasiswa Fakultas Teknik UGM tidak hanya berusaha lewat cara tersebut.
Dengan cara lain diharapkan mendapat respon pun para mahasiswa lakukan.
Dengan cara pernyataan pers berhasil dimuat di surat-surat kabar Yogyakarta.
Berita penyebarluasan itu mengakibatkan seluruh masyarakat Yogyakarta
mengetahui peristiwa tersebut.
Para orang tua mahasiswa menyatakan ikut keprihatinan terhadap masalah
di hadapi pemuda-pemuda. Kondisi secara tidak langsung beban mahasiswa
terlalu berat disamping faktor ekonomi juga dipukuli oleh karbol AKABRI bagian
Udara. Tuntutan dari mahasiswa untuk mengklarifikasi. Pihak AKABRI
mengundang para wartawan surat kabar yang berada di Yogyakarta. Siaran pers
diwakili oleh Gubernur AKABRI bagian udara Komodor Rusman.74 Komodor
Rusmanpun akhirnya menyampaikan pernyataan.75
Gambar 5.1 Photo Diri Komodor Roesman.
74 Laksamana Udara Roesman Noerjadin menjabat mulai 31 Maret 1966 sampai 10
November 1969. http://tni-au.mil.id:8080/kotama/riwayatmu-doeloe-halaman-2 diakses tanggal 20 Februari 2010, pukul 20.15 WIB.
75 Mertju Suar, 7 Mei 1969.
55
Sumber : Http://Tni-Au/Riwayatmu-Doeloe
Pernyataan terkait dengan Peristiwa 2 Maret bersamaan dengan
pemberitaan terkait penjelasan tentang peristiwa kecelakaan dialami oleh pesawat
terbang milik Angkatan Udara saat melakukan latihan. Peristiwa terjadi tanggal 11
April 1969, tiga hari sebelum kedatangan mahasiswa ke Lanuma untuk
menanyakan penyelesaian 2 Maret 1969 di Yogyakarta. Terjadi pada jam 23.15
WIB mengakibatkan kerugian-kerugian dipihak AKABRI dan masyarakat berupa
2 orang AKABRI bagian Udara tewas dan sebuah pesawat T-34 hancur, 4 orang
penduduk dari masyarakat tewas, 1 orang luka berat dan sebuah rumah hancur.
Mengenai Peristiwa 2 Maret 1969 , menurut Komodor Rusman
“Kenakalan anak-anak dan merupakan peristiwa perdata. Inisiden yang dialami mahasiswa semacam ini hanyalah perkelahian antara orang-orang muda dan apapun alasannya seringkali terjadi”76
Penjela
san tersebut dinilai tidak memuaskan oleh mahasiswa Universitas Gadjah Mada,
mahasiswa menilai tindakan Taruna AKABRI bagian Udara adalah main hakim
sendiri dan perselisihan tidak diselesaikan dengan main hakim sendiri melainkan
dengan cara damai atau dibawa Pengadilan. Pemberitaan simpang siur itu
menimbulkan kemarahan mahasiswa.77
Rasa tidak puas tidak selalu menimbulkan keinginan akan perubahan
dalam bentuk aksi, sumber daya politik diperlukan untuk menerjemahkan
76 Mertju Suar, 8 Mei 1969. 77 Wawancara dengan Kolonel Mujono pada 20 September 2009.
56
ketidakpuasan atau kemarahan menjadi aksi.78 Dipihak mahasiswa mendengar
pernyatan Komodor Rusman, pimpinan mahasiswa dimotori oleh Dewan
Mahasiswa melakukan koordinasi bersama dengan Kadema ditingkat fakultas
beserta organisasi ekstra kampus, HMI dan GMNI.
Keadaan berlangsung terus tanpa adanya penilaian tepat, aktivitas gerakan
mahasiswa menjawab krisis kepercayaan. Pasca pengklarifikasian peristiwa 2
Maret 1969 di Yogyakarta adalah gejala mengarah pada pembentukkan format
gerakan mahasiswa lebih tajam dan radikal.
B. Aksi
Demonstrasi Mahasiswa dan Tuntutannya
Perjalanan bangsa Indonesia, gerakan mahasiswa memberikan kontribusi
besar dalam semua aspek kehidupan, resiko ditimbulkan tidak ternilai secara
materi. Berbeda pola umum menyalurkan dinamika sosial melalui lembaga politik
mapan, gerakan mahasiswa cenderung melakukan melalui protes. Baik berbentuk
kritik sosial secara umum, seperti mimbar bebas dan puisi protes, maupun sikap,
ditandai aksi-aksi jalanan dan penyampaian sikap terhadap lembaga politik dan
kekuasaan. Perilaku tersebut oleh komunitas mahasiswa disebut demokrasi atau
demo, oleh penguasa disebut unjuk rasa.79
Unjuk rasa dikenal sebagai satu bentuk partisipasi politik. Gabriel
A.Almond mengkatagorikan unjuk rasa sebagai bentuk partisipasi politik non
78 Eric Hoffer, Gerakan Massa ( Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993), hal 25. 79 M.T.Arifin, “Arah Gerakan Aksi Protes Mahasiswa: Perspektif Sosiopolitik Pasca 1980-
an”, dalam Anyar Stone (ed.), Mendayung Diantara HAM dan Demokrasi (Solo: Ramdhani, 1995), hal 95.
57
konvensional,80 dan membedakannya dengan partisipasi politik konvensional,
seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, diskusi politik, kampanye,
membentuk dan bergabung dengan kelompok kepentingan serta berkomunikasi
secara individual dengan pejabat politik dan administratif. Bentuk partisipasi
politik berwujud demonstrasi, protes, dan tindak kekerasan dipergunakan oleh
orang untuk mempengaruhi kehidupan politik dan kebijakan pemerintah, apabila
bentuk-bentuk aktivitas lain tidak dapat dilakukan atau nampak tidak efektif.
Memahami unjuk merupakan bentuk aktualisasi politik dilakukan dalam
praktek politik di negara demokratis.81 Unjuk rasa, satu bentuk ekspresi politik
masyarakat semestinya diterima dan diakomodasi dalam proses politik dan
pemerintahan. Dapat dipandang sebagai prematur dari aktualisasi lain, yaitu
gerakan massa.82
Demonstrasi bukan soal baru di Indonesia dan fenomena aktivitas politik
modern bersifat non parlementer. Demonstrasi berbentuk aksi di pabrik-pabrik, di
halaman atau lobbi gedung Dewan Perwakilan Rakyat dan institusi-institusi
pemerintah, dan berbentuk aksi turun ke jalan. Diantaranya ada di Yogyakarta
melibatkan mahasiswa khususnya UGM pada peristiwa 2 Maret 1969 di
Yogyakarta. Pada bulan Mei 1969, pecahlah gelombang demonstrasi besar-
besaran dilakukan oleh mahasiswa, menuntut agar meminta pertanggung jawaban
dari pihak AKABRI.
80 Gabriel A. Almond, “Sosialisasi, Kebudayaan dan Partisipasi Politik”, dalam Mohtar
Mas’oed dan Colin Mc Andrews, Perbandingan Sistem Politik (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1990), hal 46-47.
81 Eep Saefulloh Fatah,” Unjuk Rasa, Gerakan Mahasiswa Dan Demokrasi: Potret
Pergeseran Politik Orde Baru,”dalam Prisma, No.4, April 1994, hal 3-6. 82 Ibid, hal 4.
58
Perjuangan politik para mahasiswa menentang ketidakadilan hukum dan
mengoreksi ketidakmerataan ekonomi. Berbagai cara dapat dilakukan mahasiswa
dan digunakan untuk mendukung atau melawan kekuasaan. Cara-cara itu antara
lain ialah petisi, demonstrasi, pemogokan bahkan aksi massa. Para mahasiswa
dibandingkan dengan intelektual lebih mempunyai keahlian sebab dekat dengan
rakyat. Kekuatan mahasiswa sanggup bergerak cepat, berkat jaringan komunikasi
aktif.
Dewan Mahasiswa Universitas Gadjah Mada, aktif dan merespon cepat
terkait dengan perubahan ataupun gejolak dari masyarakat. Adanya permasalahan
sosial dari pengangguran, ketidakmerataan kesejahteraan, bahkan ketidakpastian
hukum, Dewan Mahasiswa memulai sikap profokatif bersamaan dengan muncul
kesadaran sosial.
Mahasiswa diorganisir oleh organisasi mahasiswa Dewan Mahasiswa dan
Majelis Mahasiswa sebagai lembaga mempersatukan berbagai potensi dan
kekuatan mahasiswa untuk menentang kebijakan pemerintah.83 Pada umumnya
mahasiswa melakukan aksi demonstrasi bila ketidakpuasan mahasiswa terjalin
dengan keresahan masyarakat. Jalinan ketidakpuasan disusun berdasarkan
ideologi yang menajamkan ketidakpuasan.84
Tindakan kekecewaan dan penyesalan menimbulkan sikap protes terhadap
peristiwa dan cara penyelesaiannya, maka para mahasiswa Universitas Gadjah
Mada protes dengan melakukan demonstrasi dilakukan oleh sekitar 3000
83 Muchtar E. Harahap dan Andris Basril, Gerakan Mahasiswa Dalam Politik Indonesia
(Jakarta: Network For South East Asian Studies, NSEAS, 1999), hal 228. 84 Philip G. Albath (ed), Politik Dan Mahasiswa: Perspektif Dan Kecenderungan Masa
Kini, (Jakarta: Gramedia, 1988), hal xii.
59
mahasiswa dari beberapa fakultas di UGM dan element organisasi
kemahasiswaan. Bahkan dapat dikatakan kondisi sebelumnya Universitas besar di
Indonesia telah menjadi semacam Universitas Massa.85 Pada tahun 1969, jumlah
mahasiswa di Universitas Gadjah Mada mencapai lebih dari 15.000 orang. Hari
Sabtu 10 Mei 1969 awal aksi demonstrasi dari markas DEMA Universitas UGM
dipimpin oleh Sutomo Parastho dari kampus UGM fakultas HSEP (Hukum,
Sosial, Ekonomi, Politik) bertepat di Pagelaran, demonstrasi dimulai jam 09.30
ribuan mahasiswa berkumpul di tanah lapang Alun-Alun, akan aksi demonstrasi
tersebut mengakibatkan tak seorang pun karbol AKABRI bagian udara berada di
tengah kota Yogyakarta. Gerakan massa mahasiswa turun ke jalan merupakan
cara untuk mendorong tuntutan. Keprihatinan mahasiswa akan keadaan sosial
ekonomi yang sedang dialami serta kekhawatiran akan masa depan
membangkitkan mahasiswa untuk menentukan penilaian, sikap dan gerakan
korektif-kolektif.
Para karbol AKABRI bagian Udara Yogyakarta tidak boleh masuk ke kota
Yogyakarta akibat peristiwa Pemukulan 2 Maret 1969 di Yogyakarta,
menimbulkan tindakan demonstrasi mahasiswa UGM di sepanjang Malioboro86
masih twice traffic. Di tempat-tempat sering dikunjungi karbol berderet-deret
pemuda dan mahasiswa, umumnya adalah mahasiswa dari Universitas Gadjah
Mada.87
85 Robert Brym, Intelektual dan Politik, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993), hal 25. 86 Jalan Malioboro merupakan jalan yang membujur dari Utara ke Selatan menghubungkan
antara Tugu dan Kraton Yogyakarta. www.wikipedia.com. 87 Kompas, 13 Mei 1969.
60
Meningkatnya jumlah mahasiswa dalam aksi demonstrasi, mendapat
tantangan dari ABRI Angkatan Darat, dari Komando Resort Militer (Korem) 072
Yogyakarta. Dengan dasar masih berlakunya SOB (Negara Dalam Keadaan
Bahaya) di Jawa Tengah dan Yogyakarta maka dari pihak ABRI Angkatan Darat
melakukan patroli, melarang segala aksi demonstrasi. Larangan berdemonstrasi
dan corat-coret serta pemasangan spanduk tanpa ijin yang berlaku disingkirkan.
Mahasiswa terpaksa membubarkan diri bersamaan iring-iringan patroli
ABRI, pemimpin mahasiswa memerintahkan para demonstran kembali ke fakultas
masing-masing yang tersebar di beberapa daerah Yogyakarta. Perintah dilakukan
guna mahasiswa tidak terlibat bentrok terhadap ABRI Angkatan Darat. Dari segi
mahasiswa berjumlah ribuan, mahasiswa sama sekali tidak membawa senjata atau
pelengkap diri dalam menghadapi tantangan dari pihak keamanan. Pada saat
membubarkan diri tersebut terdengar pemuntahan peluru oleh alat-alat negara di
Alun-Alun. Mahasiswa berbalik ke kompleks pusat UGM di Bulak Sumur,
Kampus Bulaksumur menjadi pusat kegiatan dan simbol Universitas Gadjah
Mada serta tempat kerja para pimpinan universitas. Para mahasiswa berharap
bertemu dengan Rektor UGM untuk mendengarkan tuntutan mahasiswa beserta
penyelesainnya.
Pada saat aksi demonstrasi, mahasiswa menuju kampus pusat UGM.
Mahasiswa dengan berjalan kaki dan ada pula bersepeda dilakukan oleh hampir
seluruh mahasiswa Universitas Gadjah Mada dari segala organisasi
kemahasiswaan. Kota Yogyakarta saat itu sering kali mendapat julukan kota
sepeda, para pelajar dan mahasiswa umumnya naik sepeda pulang-pergi sekolah
61
dan kuliah.88 3000 mahasiswa membanjiri jalan-jalan sepanjang Malioboro
menuju Bulaksumur. Di tengah perjalanan, tepat di Panti rapih para mahasiswa
dihadang oleh barisan ABRI. Penghadangan dari pihak aparat keamanan, tidak
dapat meredam aksi demonstrasi.
Gambar 5.2 Aksi Mahasiswa Saat Menuju Ke Kampus Bulak Sumur
Sumber ; Kompas, Selasa 13 Mei 1969.
Gambar 6.1 Aksi Demonstrasi di Bunderan UGM
88 Djoko Suryo, “Penduduk Dan Perkembangan Kota Yogyakarta 1900-1990”, dalam Kota
Lama Kota Baru Sejarah: Kota-Kota Di Indonesia Sebelum Dan Sesudah Kemerdekaan. Freek Colombijn, dkk (ed). (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2005) hal 38-39.
62
Sumber ; Koleksi arsip UGM
Setibanya para mahasiswa di kampus. Mahasiswa memasang spanduk-
spanduk, dan diantara spanduk terpasang ada berbunyi …..
DOSEN DAN MAHASISWA KOMPAK.”
… TAGAKKAN HUKUM DAN KEADILAN”,…..
GATUTKACA-GATUTKACA INDONESIA…..?.89
Gambar 6.2 Aksi Mahasiswa di Gedung Utama UGM
89 Kompas, 13 Mei 1969.
63
Sumber ; Koleksi arsip UGM
Aksi pamplet serta selebaran-selebaran kecil berisikan ketidakpuasan
terhadap sikap pimpinan Akabri bertebaran di kampus.
Gambar 7.1 Pamflet Aksi Mahasiswa pada
Peristiwa 2 Maret 1969 di Kampus UGM.
64
Sumber ; Koleksi arsip UGM, 13 Oktober 2009
Mahasiswa berkumpul di bunderan kampus UGM Bulaksumur sementara
pimpinan mahasiswa diminta untuk mengadakan koordinasi dengan pihak
Universitas. Pimpinan mahasiswa mengadakan koordinasi bersama dengan Rektor
UGM, Soeroso H. Prawirohardjo didampingi oleh para dosen UGM. Sementara
massa mahasiswa pada umumnya berada di luar gedung. Para mahasiswa
memanjangkan spanduk di pagar-pagar ruang senat. Spanduk berisikan kecaman
dan penyesalan berkenaan dengan terjadinya Peristiwa 2 Maret 1969 di
Yogyakarta.
Selesai berkoordinasi dengan mahasiswa, Soeroso H. Prawirohardjo
menyambut massa mahasiswa dengan ucapan:
“Saya Gembira Menerima Kedatangan Saudara-Saudara Yang Telah Menjunjung Persaudaraan”90 Dari ucapan Rektor, mahasiswa mendapat antusias tinggi. Mahasiswa-
mahasiswa ikut berdemonstrasi menyampaikan resolusi diwakili oleh
pimpinannya, resolusi dibacakan oleh Sutomo Parastho. Resolusi ditandatangani
oleh Umar T.A (Kadema Fakultas Teknik) dan Sutomo Parastho (Ketua Dewan
Mahasiswa), Johar Noor (Sekretaris DEMA). Iringan tepuk tangan menutup
pembacaan resolusi setelah rektor Soeroso membubuhkan tanda tangannya.
Gambar 7.2 Mahasiswa Mendengarkan Orasi dari Pak Soeroso (Rektor UGM)
90 Kompas, 13 Mei 1969.
65
Sumber ; Kedaulatan Rakyat, Senin 12 Mei 1969
Gambar 7.3 Mahasiswa berkumpul di depan Gedung Utama UGM
66
Sumber; Mertju Suar, Selasa 13 Mei 1969
Pernyataan “Solidaritas Mahasiswa Gadjah Mada” memiliki makna bahwa
keprihatinan dari mahasiswa, resolusi secara pokok terdiri dari dua hal: Pertama,
menuntut terselesainya segera Peristiwa 2 Maret 1969, Kedua, menganggap
bahwa peristiwa 2 Maret 1969 dialami oleh mahasiswa UGM adalah pelanggaran
dan penginjakan atas Hak-Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Dasar 1945.91
adanya soliditas dan solidaritas diantara semua elemen gerakan. Gerakan
disebabkan oleh perbedaan visi dan misi ideologis tidak tampak walaupun tiap-
tiap elemen gerakan membawa warna bendera organisasi berbeda-beda.
Pada pokoknya Dewan Mahasiswa Universitas Gadjah Mada
memperingatkan seluruh mahasiswa Universitas Gadjah Mada akan mogok
kuliah, apabila persoalan tidak segera diselesaikan selama kurun waktu 30 hari
setelah aksi demonstrasi yang dilakukan tanggal 10 Mei 1969. Sementara dipihak
ABRI Angkatan Darat berada di luar kampus dan berbaris di luar pagar kampus
UGM.92 Menurut Sutomo Parastho aksi ribuan mahasiswa UGM dilakukan tanpa
sponsor dan merupakan gerakan hati nurani.
Gerakan penuntutan terselesainya Peristiwa 2 Maret 1969 di Yogyakarta,
memperoleh massa cukup banyak atas isu utama. Faktor soliditas dan solidaritas
91 Kompas, 13 Mei 1969. 92 Kedaulatan Rakyat, 12 Mei 1969.
67
antara semua elemen gerakan sebagai pendorong utama dalam keberhasilan
gerakan mahasiswa.
Berdasarkan resolusi, penanganannya diperlukan untuk segera menuntut
pelaku-pelaku pemukulan secepatnya menurut ketentuan hukum berlaku “Role of
law”. Dari pihak universitas, Pernyataan “Solidaritas Mahasiswa Gadjah Mada”
dibacakan oleh Rektor Soeroso, rektor menghimbau hendaknya persoalan
diserahkan kepada pimpinan Universitas agar segera selesai. Disamping itu rektor
menyatakan penghormatan kepada mahasiswa telah menunjukkan solidaritas dan
kecintaan mahasiswa terhadap almamaternya.
C.
Suasan
a Pasca Aksi Demonstrasi
Peristiwa tersebut berimbas ke hari berikutnya. Sehari setelah
berdemonstrasi, pada hari Minggu 11 Mei 1969 para karbol jam 13.00 wib tidak
diperbolehkan bermain di daerah perkotaan hingga minggu malam, tidak boleh
berada di Jalanan kota Yogyakarta. Dikhawatirkan akan memicu konflik terhadap
mahasiswa.93
Para Karbol AKABRI bagian Udara ditarik dari kota dan diharapkan
berada di Lanuma Adisucipto tempat markas AKABRI bagian Udara. Intruksi dari
petinggi AKABRI bagian Udara mengakibatkan tidak ada Karbol AKABRI
muncul di tengah kota. Padahal seringkali para Taruna AKABRI bagian Udara
93 Kedaulatan Rakyat, 12 Mei 1969.
68
berakhir pekan ke kota bersama pacar atau berjalan-jalan.94 Di pihak lain, patroli
dari angkatan bersenjata Angkatan Darat berkeliling di Kota. Para mahasiswa
mengincar dari Karbol AKABRI bagian Udara maka tidak terjadi insiden
perkelahian. Para mahasiswa dengan tenang tetap duduk-duduk di jalan-jalan
perkotaan Yogyakarta.
Aspirasi dan demonstrasi mahasiswa UGM di Yogyakarta, dapat
dikatakan merupakan aksi cukup militan. Terlebih aksi para mahasiswa setelah
menyampaikan aspirasi kepada rektor, mahasiswa mengirimkan delegasi ke
Jakarta untuk meminta pernyataan dari penyelesaian pemerintah pusat.95 Dewan
mahasiswa diwakili oleh 3 anggota Dewan Mahasiswa UGM beserta 4 lainnya
dari Dewan Mahasiswa di tingkat Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada
Selasa, 13 Mei 1969 menuju Jakarta.
Gambar 8.1
Karikatur DELEGASI DEMA UGM KE DJAKARTA.
94 Kedaulatan Rakyat, 12 Mei 69. 95 Kompas, 15 Mei 1969.
69
Sumber; Kedaulatan Rakyat, Senin 19 Mei 1969
Di Jakarta, para mahasiswa didampingi asisten khusus Danjen untuk
Urusan Taruna, Kombespol Muljono Santoso. Danjen meminta masalah
diselesaikan di tingkat daerah.96 Bertemu dengan perwakilan dari pemerintah, para
tokoh mahasiswa tidak memiliki pengaruh untuk mengakomodasikan tuntutan-
tuntutan secara substansial. Akomodasi hanya pada persoalan bersifat parsial, dan
dianggap tidak memiliki pengaruh terhadap proses penyelesaian kasus 2 Maret
1969.
Danjen pada saat bertemu dengan para delegasi mahasiswa menyatakan:
“Sama sekali tak dapat di benarkan, karenanya para pelakunya harus di tindak sesuai dengan norma-norma dan kaidah-kaidah militer“ 97 Menurut laporan Danjen para pelaku sudah ditindak sesuai gradasi hukum
militer. Secara institusi militer telah menjalankan prosedur hukum yang berlaku.
Gradasi hukum militer Peristiwa 2 Maret 1969 di Yogyakarta adalah
peristiwa pidana bukan peristiwa pelanggaran disiplin. Di samping itu, keterangan
dari pihak mahasiswa mengungkapkan pemukulan terhadap mahasiswa UGM,
seringkali terjadi bahkan sampai lima kali terjadi pada mahasiswa dilakukan pihak
AKABRI bagian Udara, diharapkan tidak terulang. Mahasiswa berada di Jakarta
kurang lebih satu minggu. Para delegasi selama berada di Jakarta pula menghadap
96 Kompas, 19 Mei 1969. 97 Kedaulatan Rakyat, 19 Mei 1969.
70
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan serta Jaksa Agung. Tuntutan terhadap
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan terkait dengan kesejahteraan secara total
terhadap pembiayaan dengan meningkatnya berbagai harga buku, kos serta biaya
hidup di Yogyakarta.
Menyampaikan tuntutan, delegasi mahasiswa untuk tuntasnya
penyelesaian Peristiwa 2 Maret 1969 kembali ke Yogyakarta, mempersiapkan
mengadakan koordinasi tentang kejelasan diperoleh dari pemerintah pusat.