PERIODE INKUBASI, SUKSES MENETAS, DAN TINGKAT ......TESIS PERIODE INKUBASI, SUKSES MENETAS, DAN...
Transcript of PERIODE INKUBASI, SUKSES MENETAS, DAN TINGKAT ......TESIS PERIODE INKUBASI, SUKSES MENETAS, DAN...
TESIS
PERIODE INKUBASI, SUKSES MENETAS, DAN
TINGKAT KEBUGARAN TUKIK PENYU HIJAU
(Chelonia mydas) DI PANTAI SUKAMADE,
JAWA TIMUR
I WAYAN YUSTISIA SEMARARIANA
NIM 1192361007
PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2017
i
TESIS
PERIODE INKUBASI, SUKSES MENETAS, DAN
TINGKAT KEBUGARAN TUKIK PENYU HIJAU
(Chelonia mydas) DI PANTAI SUKAMADE,
JAWA TIMUR
I WAYAN YUSTISIA SEMARARIANA
NIM 1192361007
PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2017
ii
PERIODE INKUBASI, SUKSES MENETAS, DAN
TINGKAT KEBUGARAN TUKIK PENYU HIJAU
(Chelonia mydas) DI PANTAI SUKAMADE,
JAWA TIMUR
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister
Pada Program Magister Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan,
Universitas Udayana
I WAYAN YUSTISIA SEMARARIANA
NIM 1192361007
PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2017
iii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
TANGGAL 21 DESEMBER 2016
Mengetahui
Pembimbing I,
Drh. Ida Bagus Windia Adnyana, Ph.D
NIP. 19640401 199003 1 002
Pembimbing II,
Dr. drh. I.G.N.B. Trilaksana, M.Kes
NIP. 19690228 199703 1 003
Ketua Program Studi Kedokteran Hewan
Program Pascasarjana
Universitas Udayana,
Prof. Dr. drh. I Ketut Puja, M.Kes
NIP. 19621231 198903 1 315
Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Udayana,
Dr. Drh. Nyoman Adi Suratma, MP
NIP. 196003051987031001
iv
Tesis Ini Telah Diuji
pada Tanggal 21 DESEMBER 2016
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor
Universitas Udayana, No : 58/UN14.2.9/PD/2017
Panitia Penguji Tesis ini adalah :
Ketua : Drh. Ida Bagus Windia Adnyana, Ph.D
Anggota :
1. Dr. drh. I Gusti Ngurah Bagus Trilaksana, M.Kes
2. Dr. drh. Tjok Gde Oka Pemayun, MS
3. Dr. drh. I Ketut Suatha, M.Si
4. Dr. drh. Hapsari Mahatmi, M.P
v
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : I Wayan Yustisia Semarariana
NIM : 1192361007
Program Studi : Kedokteran Hewan
Judul Tesis : Periode Inkubasi, Sukses Menetas, dan Tingkat
Kebugaran Tukik Penyu Hijau (Chelonia mydas) di
Pantai Sukamade, Jawa Timur
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas plagiat.
Apabila dikemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya
bersedia menerima sanksi sesuai Peraturan Mendiknas RI No. 17 Tahun 2010 dan
Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 3 Januari 2017
Yang membuat pernyataan,
I Wayan Yustisia Semarariana
vi
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kabupaten Badung, Provinsi Bali, pada
tanggal 7 Agustus 1989 merupakan anak pertama dari tiga
bersaudara dari pasangan suami istri, Bapak I Ketut Madra
S.H, M.M. dan Ibu Ni Made Mustari, penulis
berkewarganegaraan Indonesia. Penulis menyelesaikan
pendidikan Sekolah Dasar pada tahun 2001, di Sekolah Dasar
Negeri (SDN) 1 Tuban. Pada tahun 2004, menyelesaikan pendidikan Sekolah
Menengah Pertama Negeri (SMPN) 1 Kuta. Pada tahun 2007, menyelesaikan
pendidikan Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 3 Denpasar. Penulis diterima
sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana pada tahun
2007 melalui jalur UMPTN. Menyelesaikan pendidikan Sarjana Kedokteran
Hewan (SKH) pada tahun 2011 dan pendidikan Profesi Dokter Hewan pada tahun
2012. Selanjutnya pada tahun 2011 penulis menempuh Pendidikan Program
Magister Program Studi Kedokteran Hewan Program Pascasarjana Universitas
Udayana.
Penulis melakukan penelitian dengan judul “Periode Inkubasi, Sukses
Menetas, dan Tingkat Kebugaran Tukik Penyu Hijau (Chelonia mydas) di Pantai
Sukamade, Jawa Timur” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Kedokteran Hewan pada Program Magister Program Studi Kedokteran
Hewan, Program Pascasarjana, Universitas Udayana.
vii
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis memanjatkan puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa,
karena hanya atas asung kertawara nugraha-Nya, tesis ini dapat diselesaikan. Pada
kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar
besarnya kepada
1. Prof. Dr. Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD selaku Rektor
Universitas Udayana atas kesempatan dan fasilitas selama mengikuti program
magister.
2. Dr. Drh. Nyoman Adi Suratma, MP selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Hewan Universitas Udayana atas kesempatan yang diberikan untuk mengikuti
pendidikan pada program magister.
3. Ketua Program Magister Ilmu Kedokteran Hewan Prof. Dr.Drh. I Ketut Puja,
MS, seluruh dosen dan staff yang selalu memberikan pendidikan dan diskusi
– diskusi selama kegiatan perkuliahan.
4. Prof. Dr. Drh. I Ketut Beratha, MS selaku pembimbing akademik penulis
yang selalu memberikan arahan – arahan selama mengikuti perkuliahan.
5. Drh. Ida Bagus Windia Adnyana, Ph.D, pembimbing I yang penuh kesabaran
memberikan motivasi dan dorongan selama penulis mengikuti program
magister. 2. Dr. Drh. I Gusti Ngurah Bagus Trilaksana,M.Kes yang dengan
motivasi tanpa henti mendorong dan membimbing penulis.
6. Dr. Drh. Tjokorda Gede Oka Pemayun, MS, Dr. Drh. I Ketut Suatha,M.Si Dr.
Drh. Hapsari Mahatmi, MP selaku tim penguji atas kesempatan dan waktunya
dan segala masukan dan saran untuk kemajuan diri saya.
viii
7. Tim TCEC Serangan atas kesempatan mempergunakan tempat penelitian, tim
UPKP Sukamade, Taman Nasional Meru Betiri atas pengalaman dan
kesempatan yang tidak akan saya lupakan. Kepada teman – teman sesama
mahasiswa magister yang senantiasa mendukung untuk kemajuan dirisaya.
8. Tim Usadha Buron Indonesia atas motivasi dan dukungannya Jiex Pujawan,
Gegz Titin, Juzt Satya, Jiex Dwina, dan Nona Pristy
9. Orang Tua I Ketut Madra dan Ni Made Mustari dan adik – adik Ni Made
Devi Jayanthi dan Ni Luh Komang Ayu Mitri Jayanthi yang senantiasa
memotivasi.
10. Istri saya Ni Nyoman Pramika Utami dan I Wayan Wregsa Ning Prabawa
putra yang lahir di sela pengerjaan tulisan ini atas inspirasi dan dukungan
semangatnya
11. Tukik – tukik yang sudah dilepasliarkan setelah uji kebugaran atas bantuannya
Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa selalu melimpahkan rahmat-Nya
kepada semua pihak yang telah membantu pelaksaan dan penyelesaian tesis ini.
ix
ABSTRAK
PERIODE INKUBASI, SUKSES MENETAS, DAN TINGKAT
KEBUGARAN TUKIK PENYU HIJAU (Chelonia mydas)
DI PANTAI SUKAMADE, JAWA TIMUR
Penelitian ini mengevaluasi metode Pra-UPKP dan Pasca-UPKP dalam
mencapai target sukses penetasan optimal, dengan rasio jenis kelamin seimbang,
dan tingkat kebugaran optimal. Penelitian ini dilakukan di UPKP Sukamade
Taman Nasional Meru Betiri, Kabupaten Jember, Provinsi Jawa Timur dan
Penangkaran Penyu TCEC (Turtle Conservation and Education Center) Serangan,
Bali. Penelitian ini dilakukan pada Bulan April sampai Juni 2013. Sampel yang
digunakan untuk sukses penetasan dan masa inkubasi sebanyak 4.363 data
penetasan di pantai Sukamade yang dikumpulkan antara tahun 2008 hingga 2012.
Sedangkan tingkat kebugaran menggunakan data sebesar 14 ekor tukik penyu
hijau. Penelitian dilakukan dengan membandingkan statistik data sukses menetas
dan periode inkubasi dari metode Pra-UPKP dan Pasca-UPKP, kemudian
dilanjutkan dengan menguji kebugaran tukik setelah menetas selama masa
penangkaran dengan menghitung power rate untuk mendapatkan waktu terbaik
dalam pelepasliaran. Proporsi angka penetasan berkategori “baik” lebih tinggi
pada metode Pasca – UPKP (69,25%) dibandingkan dengan proporsi pada metode
pengelolaan Pra – UPKP (64,80%) dan statistik menunjukkan perbedaan ini
signifikan. Partisi kedua metode pengelolaan menunjukkan kategori baik
dihasilkan pada metode pasca-UPKP lebih baik daripada Pra-UPKP. Periode
inkubasi metode Pra-UPKP menghasilkan jenis kelamin yang dominan bias ke
betina, sedangkan metode Pasca-UPKP jenis kelamin yang dihasilkan berimbang
antara bias jantan dan bias betina. Pada periode inkubasi diketahui periode
inkubasi pada metode Pasca-UPKP menghasilkan jenis kelamin yang seimbang
lebih baik daripada Pra-UPKP. Oleh karena itu, metode penetasan Pasca-UPKP
yang diterapkan di Pantai Sukamade dinilai lebih efektif daripada metode Pra-
UPKP, namun memerlukan evaluasi dan perbaikan dalam mencapai sukses
penetesan yang optimal secara konsisten. Kebugaran Tukik Penyu Hijau yang
dihasilkan Pantai Sukamade mengalami penurunan tiap-tiap minggunya selama
masa penangkaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode Pasca-UPKP
lebih efektif daripada metode Pra-UPKP dalam pengelolaan konservasi penyu di
pantai Sukamade.
Kata kunci: Penyu Hijau, Penetasan, Inkubasi, Kebugaran
x
ABSTRACT
INCUBATION PERIOD, HATCH SUCCESS, AND FITNESS LEVEL OF
GREEN SEA TURTLE (Chelonia mydas) HATCHLINGS ON THE
SUKAMADE BEACH OF EAST JAVA
The research evaluated the method of Pre-and Post-UPKP in achieving
optimal hatching success, with a balanced sex ratio, and optimal fitness level. This
research was conducted in UPKP of Sukamade of Meru Betiri National Park,
Jember, East Java Province, and at the TCEC (Turtle Conservation and
Education Center) of Serangan, Bali. This research was conducted in April and
June 2013. The sample used for the successful hatching and incubation period
was as many as 4,363 hatching data on the Sukamade Beach that was collected
between 2008 and 2012, while the fitness level was carried out by using the data
of 14 green sea turtle hatchlings. The research was conducted by comparing the
data statistics of successful hatching and the incubation period of the method of
Pre-and Post-UPKP, followed by a fitness test of hatchlings after hatching during
the period of captivity by calculating the power rate to get the best time of the
release to the natural habitat. The proportion of hatchery numbers was qualified as
"good" higher on the Post method of UPKP (69.25%) compared to the proportion
in the management methods of Pre -UPKP (64.80%) and these statistics showed
significant differences. The second partition of management method showed good
category resulting in the post-UPKP method was better than the Pre-UPKP. The
incubation period of UPKP method produced the dominant gender bias to the
female, while the method of post-UPKP produced a balanced gender bias between
male and female bias. The incubation period in the post-UPKP method produced a
balanced gender which was better than the Pre-UPKP. The fitness level of Green
Sea Turtle Hatchlings produced on the Sukamade Beach declined each week
during the breeding period. The results showed that the method of post-UPKP was
more effective than Pre-UPKP in the management of turtle conservation on the
Sukamade Beach.
Keywords: Green Turtle, Hatching, Incubation, Fitness
xi
RINGKASAN
PERIODE INKUBASI, SUKSES MENETAS, DAN TINGKAT
KEBUGARAN TUKIK PENYU HIJAU (Chelonia mydas) DI PANTAI
SUKAMADE, JAWA TIMUR
Penyu Hijau (Chelonia mydas) adalah satu dari tujuh jenis penyu laut
yang masih ada di dunia. Seperti halnya jenis lainnya, penyu Hijau juga masuk
dalam daftar Apendiks I Convention on International Trade of Endangered
Species (CITES). Salah satu fokus konservasi penyu Hijau di Indonesia adalah
Pantai Sukamade di Taman Nasional Meru Betiri (TNMB), Jawa Timur. Indikator
keberhasilan management effectiveness suatu pengelolaan konservasi penyu di
habitat peneluran setidaknya harus meliputi tiga hal yaitu, angka penetasan,
temperatur inkubasi, serta power rate yang merefleksikan tingkat kebugaran tukik
(Adnyana 2012). Penelitian ini mengevaluasi dua metode pengelolaan konservasi
penyu di pantai Sukamade yaitu metode Pra-UPKP dan Pasca-UPKP. Penelitian
ini dilakukan di UPKP Sukamade Taman Nasional Meru Betiri, Kabupaten
Jember, Provinsi Jawa Timur dan Penangkaran Penyu TCEC (Turtle Conservation
and Education Center) Serangan, Bali. Penelitian ini dilakukan pada Bulan April
sampai Juni 2013. Sampel yang digunakan untuk sukses penetasan dan masa
inkubasi sebanyak 4.363 data penetasan di pantai Sukamade yang dikumpulkan
antara tahun 2008 hingga 2012. Sedangkan tingkat kebugaran menggunakan data
sebesar 14 ekor tukik penyu hijau. Evaluasi dilakukan dalam hal capaian target
sukses penetasan optimal, dengan rasio jenis kelamin seimbang, dan tingkat
kebugaran optimal. Penelitian dilakukan dengan membandingkan data sukses
menetas dan periode inkubasi dari metode Pra-UPKP dan Pasca-UPKP, kemudian
dilanjutkan dengan menguji kebugaran tukik setelah menetas selama masa
penangkaran untuk mendapatkan waktu terbaik dalam pelepasliaran. Proporsi
angka penetasan berkategori “baik” lebih tinggi pada metode Pasca – UPKP
(69,25%) dibandingkan dengan proporsi pada metode pengelolaan Pra – UPKP
(64,80%) dan statistik menunjukkan perbedaan ini signifikan. Periode inkubasi
metode Pra-UPKP menghasilkan jenis kelamin yang dominan bias ke betina,
sedangkan metode Pasca-UPKP jenis kelamin yang dihasilkan berimbang antara
bias jantan dan bias betina. Kebugaran Tukik Penyu Hijau yang dihasilkan Pantai
Sukamade mengalami penurunan tiap-tiap minggunya selama masa penangkaran.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode Pasca-UPKP lebih efektif daripada
metode Pra-UPKP dalam pengelolaan konservasi penyu di pantai Sukamade.
Periode pengelolaan Pasca-UPKP sebaiknya dilanjutkan dan dilakukan
optimalisasi sehingga tujuan utama untuk menghasilkan angka penetasan optimal,
jenis kelamin seimbang, dan waktu pelepasliaran tukik terbaik dapat tercapai
seperti pada kondisi alami melalui peningkatan kompetensi pengelola,
peningkatan fasilitas serta penelitian lanjutan untuk mengetahui faktor utama
untuk optimalisasi UPKP Sukamade perlu dilakukan.
xii
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ......................................................................................... i
PRASYARAT GELAR ................................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. iii
LEMBAR PERSETUJUAN............................................................................. iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT................................................. v
RIWAYAT HIDUP .......................................................................................... vi
UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................ vii
ABSTRAK ....................................................................................................... ix
ABSTRACT ..................................................................................................... x
RINGKASAN .................................................................................................. xi
DAFTAR ISI .................................................................................................... xii
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xiv
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xv
DAFTAR ARTI LAMBANG, SINGKATAN DAN ISTILAH ...................... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xvii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang ........................................................................ 1
1.2. Rumusan Masalah .................................................................. 4
1.3. Tujuan Penelitian ................................................................... 4
1.4. Manfaat Penelitian ................................................................. 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penyu Hijau ........................................................................... 6
2.2. Reproduksi Penyu Hijau ...................................................... 8
2.3. Telur Penyu Hijau ................................................................. 9
2.4. Sukses Penetasan ................................................................... 10
2.5. Periode Inkubasi .................................................................... 16
2.6. Rasio Jenis Kelamin ............................................................... 17
2.7. Kebugaran Tukik Setelah Penetasan ..................................... 18
2.8. Penyu Hijau Di Pantai Sukamade ......................................... 18
2.9. Sistem Penetasan Penyu Pra-UPKP dan UPKP Sukamade ... 20
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTHESIS
PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir ................................................................. 24
3.2 Konsep .................................................................................. 26
3.3 Hipotesis ................................................................................ 26
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1. Rancangan Penelitian ........................................................ .... 27
4.1.1. Rancangan Pertama ................................................... 27
4.1.2. Rancangan Kedua ...................................................... 28
xiii
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................. 29
4.3. Penentuan Sumber Data ......................................................... 29
4.4. Besar Sampel ......................................................................... 29
4.5. Variabel Penelitian ................................................................ 29
4.6. Definisi Operasional Variabel ............................................... 30
4.7. Bahan Penelitian .................................................................... 31
4.8. Alat Penelitian ....................................................................... 31
4.9. Prosedur Penelitian ................................................................ 32
4.9.1. Tahap Pertama ........................................................... 32
4.9.2. Tahap Kedua ............................................................. 32
4.10. Analisis Data ......................................................................... 33
BAB V HASIL PENELITIAN
5.1. Sukses Penetasan Telur Penyu Hijau (Chelonia mydas) di
Pantai Sukamade, Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur
pada Pra-UPKP dan UPKP .................................................... 34
5.2. Periode Inkubasi Telur Penyu Hijau (Chelonia mydas) di
Pantai Sukamade, Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur
Pra-UPKP dan UPKP ............................................................. 38
5.3. Kebugaran Tukik Penyu Hijau yang Dihasilkan Pantai
Sukamade ............................................................................... 40
BAB VI PEMBAHASAN
6.1. Sukses Penetasan Telur Penyu Hijau (Chelonia mydas) di
Pantai Sukamade, Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur
pada Pra-UPKP dan UPKP .................................................... 44
6.2. Periode Inkubasi Telur Penyu Hijau (Chelonia mydas) di
Pantai Sukamade, Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur
Pra-UPKP dan UPKP ............................................................. 46
6.3. Kebugaran Tukik Penyu Hijau yang Dihasilkan Pantai
Sukamade ............................................................................... 48
6.4. Efektifitas Metode Pengelolaan UPKP TNMB
Dibandingkan Dengan Metode Pengelolaan Pra-UPKP ........ 50
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan ............................................................................... 52
7.2 Saran ...................................................................................... 52
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 53
LAMPIRAN-LAMPIRAN .............................................................................. 58
xiv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Rerata Sukses Penetasan Sarang – Sarang Telur Penyu Hijau
(Chelonia mydas) Pertahun di Pantai Sukamade dari tahun 2008 –
2012 ................................................................................................... 35
Tabel 2. Perbedaan Rerata Sukses Penetasan Telur Penyu Hijau (Chelonia
mydas) pada Tahun yang Berbeda .................................................... 36
Tabel 3. Jumlah dan Proporsi Sarang Telur Penyu yang Menetas dengan
Kategori “Baik” dan “Buruk” di Pantai Sukamade Selama Kurun
2008 – 2012 ....................................................................................... 37
Tabel 4. Jumlah Sarang Telur Penyu yang Menetas Dalam Periode Inkubasi 40
Tabel 5. Statistik Power Rate Tukik Penyu Hijau (Chelonia mydas) yang
Diukur pada Waktu (Minggu) yang Berbeda. Satuan Power Rate
adalah Kali (X) .................................................................................. 42
Tabel 6. Perbedaan Nilai Power Rate Tukik Penyu Hijau (Chelonia mydas)
yang Diukur pada Waktu (Minggu) yang Berbeda ........................... 42
xv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Gambaran Morfologi Penyu Hijau dengan keterangan tanda
panah ........................................................................................... 7
Gambar 2. Lokasi Pantai Sukamade ............................................................ 20
Gambar 3. Ember penetasan ......................................................................... 23
Gambar 4. Ruangan Penetasan Sukamade .................................................... 23
Gambar 5. Grafik Kecenderungan Sukses Menetas (%) Sarang – Sarang
Telur Penyu Hijau (Chelonia mydas) di Pantai Sukamade dari
Tahun 2008 – 2009. Bar merepresentasikan Selang
Kepercayaan 95% ....................................................................... 35
Gambar 6. Grafik Proporsi Jumlah Sarang Telur Penyu yang Menetas
Pada Metode Pra-UPKP dan Pasca-UPKP ................................. 40
Gambar 7. Grafik Penurunan Nilai Power Rate Tukik Penyu Hijau
(Chelonia mydas) yang Diukur Sesaat Setelah Menetas
(Minggu I) hingga Minggu IV Pasca Menetas. Bar Adalah
Nilai Selang Kepercayaan (Confidential Interval/CI) pada
Taraf 95%. .................................................................................. 43
xvi
DAFTAR SINGKATAN
CITES : Convention on International Trade of Endangered Species
TNMB : Taman Nasional Meru Betiri
UPKP : Unit Pengelolaan Konservasi Penyu
TSD : Temperature dependent sex determination
WWF : World Wide Fund for Nature
TCEC : Turtle Conservation and Education Center
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
1. Tukik Penyu Hijau yang Menetas untuk Uji Kebugaran .......................... 58
2. Pengukuran Tukik Pasca Menetas ............................................................ 58
3. Tukik yang Mati dalam Telur (Gagal Menetas)........................................ 59
4. Tukik Penyu Hijau yang Menetas untuk Uji Kebugaran .......................... 59
5. Data Sukses Penetasan Setiap Metode Pengelolaan ................................. 60
6. Data Sukses Penetasan Setiap Tahun ........................................................ 60
7. Perbedaan penetasan metode Pra-UPKP dan UPKP................................. 60
8. Histogram Data Sukses Penetasan ............................................................ 61
9. Rangking Penetasan Setiap Tahun ............................................................ 62
10. Data Sukses Penetasan Setiap Periode Pengelolaan ................................. 62
11. Gambaran Umum Periode Inkubasi di Pantai Sukamade ......................... 63
12. Histogram Periode Inkubasi ...................................................................... 63
13 Data Periode Inkubasi Tahunan ................................................................ 63
14. Kelompok Periode Inkubasi tiap Periode Pengelolaan ............................. 64
15. Hubungan Sukses Penetasan dan Periode Inkubasi .................................. 64
16. Kebugaran Tukik Penyu Hijau setiap Minggu .......................................... 64
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Penyu Hijau (Chelonia mydas) adalah satu dari tujuh jenis penyu laut
yang masih ada di dunia. Seperti halnya jenis lainnya, penyu Hijau juga masuk
dalam daftar Apendiks I Convention on International Trade of Endangered
Species (CITES), yang berarti bahwa seluruh produknya tidak boleh
diperdagangkan antar negara. Secara domestik, legalitas perlindungannya
dilakukan melalui penerapan Undang – Undang Nomor 5 tahun 1990 (tentang
Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya) serta Peraturan
Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis – Jenis Tumbuhan
dan Satwa yang Dilindungi.
Salah satu fokus konservasi penyu Hijau di Indonesia adalah Pantai
Sukamade di Taman Nasional Meru Betiri (TNMB), Jawa Timur. Pantai ini
merupakan salah satu dari sedikit pantai peneluran penyu dengan populasi relatif
viable yang tersisa di kawasan Jawa hingga Nusa Tenggara (Adnyana, 2012).
Ruaya bertelur dengan bentang pantai 3 km ini dikunjungi oleh 1 - 12 ekor
penyu per malam (Purwanasari et al., 2006). Penyu Hijau (Chelonia mydas)
adalah jenis yang paling dominan bertelur di lokasi ini. Jenis lainnya adalah penyu
Belimbing (Dermochelys coriacea), Sisik (Eretmochelys imbricata), dan penyu
Lekang (Lepidochelys olivacea) bertelur dalam frekuensi relatif rendah dan tidak
sepanjang tahun (Adnyana, 2012).
1
2
Upaya konservasi penyu di pantai Sukamade telah dilakukan sejak tahun
1970. Awalnya, kegiatan hanya terbatas pada pendataan jumlah induk yang
bertelur. Pada tahun 1982 TNMB resmi dibentuk dan pantai Sukamade menjadi
salah satu wilayahnya. Pengukuhan status tersebut juga berimplikasi pada
pengelolaan konservasi penyu di lokasi tersebut. Mulai saat itu dilakukan upaya
penyelamatan telur penyu dengan memindahkannya ke lokasi buatan (semi-alami)
yang dianggap lebih aman. Pemindahan dilakukan karena banyaknya bahaya di
sarang alaminya baik oleh manusia maupun non – manusia (Jayaratha, 2006).
Berbagai metode atau cara pengelolaan telah dilakukan dalam upaya
penyelamatan telur penyu di pantai ini, yang tujuan utamanya adalah
menghasilkan tukik bugar dalam jumlah optimal dan rasio jenis kelamin seimbang
(Adnyana, 2012). Apakah metode atau cara – cara pengelolaan dimaksud sudah
efektif atau belum dalam konteks menghasilkan tukik bugar dalam jumlah optimal
dan rasio jenis kelamin seimbang? Hingga saat ini, pertanyaan ini belum pernah
dijawab. Inilah dasar utama dilakukannya penelitian ini. Idealnya, pemantauan
dan evaluasi adalah bagian yang tidak terpisahkan dari pengelolaan konservasi
penyu laut. Evaluasi terhadap management effectiveness sangat dibutuhkan untuk
melakukan adaptive management (dalam rangka meningkatkan keberhasilan
kegiatan konservasi), menjaga akuntabilitas publik, serta merumuskan
perencanaan yang lebih baik bagi periode selanjutnya.
Indikator keberhasilan management effectiveness suatu pengelolaan
konservasi penyu di habitat peneluran setidaknya harus meliputi tiga hal yaitu,
angka penetasan, temperatur inkubasi, serta power rate yang merefleksikan
3
tingkat kebugaran tukik (Adnyana 2012). Angka/sukses penetasan adalah refleksi
apakah jumlah tukik yang dihasilkan sudah optimal atau belum. Angka penetasan
telur penyu idealnya harus lebih dari 70%, karena secara alami ketahanan hidup
tukik hingga menjadi penyu dewasa sangat rendah. Hal ini disebabkan oleh
banyaknya ancaman mulai dari saat menetas hingga periode hidup di lautan.
Ancaman besar dihadapi tukik pada 30 - 60 menit setelah mereka mencapai
permukaan pasir pesisir (Booth et al., 2004). Untuk itu, kebugaran tukik yang
dihasilkan sangat penting untuk mencapai tingkat ketahanan hidup yang optimal
pada fase ini. Selain itu, kebugaran yang optimal juga diperlukan untuk
meningkatkan kemampuan tukik untuk mencapai titik terjauh yang dapat
dijangkau seekor tukik di laut lepas sebelum mencapai fase hidup mengapung di
lautan. Dalam siklus hidupnya saat mencapai dewasa kelamin, penyu akan
melakukan reproduksi, reproduksi yang optimal terjadi apabila rasio kelamin
jantan dan betina seimbang. Rasio kelamin yang seimbang adalah 1 : 1, namun
masih dianggap baik meskipun terjadi dominasi salah satu jenis kelamin tanpa
menghilangkan jenis kelamin lainnya (Adnyana, 2012, Rees dan Margalitoulis,
2004). Fenomena ini adalah fungsi dari temperatur/masa inkubasi. Temperatur
inkubasi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pertukaran gas, komposisi
substrat pada pasir, adanya naungan sinar matahari, curah hujan, temperatur
udara, dan panas akibat aktivitas metabolisme (Zbinden et al., 2005; Carr, 1968).
Temperatur inkubasi dapat diukur/diduga baik secara langsung (dengan
instrumen) ataupun tidak langsung dengan memprediksi dari data periode/masa
inkubasi (Carr, 1968 dan Mrosovsky dan Yntema. 1980). Melalui pengukuran dan
4
pendataan masa inkubasi, sukses penetasan, dan kebugaran tukik di pantai
peneluran Sukamade, akan dapat diketahui pengaruh dari manajemen pengelolaan
yang ada terhadap keberhasilan konservasi penyu.
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah angka (sukses) penetasan telur penyu Hijau (Chelonia
mydas) di Pantai Sukamade, Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur
sebelum dan sesudah dibentuknya Unit Pengelola Konservasi Penyu di
habitat peneluran ini?
2. Bagaimanakah masa atau periode inkubasi telur penyu Hijau (Chelonia
mydas) di Pantai Sukamade, Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur
sebelum dan sesudah dibentuknya Unit Pengelola Konservasi Penyu di
habitat peneluran ini?
3. Bagaimanakah kebugaran tukik penyu Hijau (Chelonia mydas) yang
dihasilkan dari pantai Sukamade ?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui angka sukses penetasan telur penyu Hijau (Chelonia mydas) di
Pantai Sukamade, Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur sebelum dan
sesudah dibentuknya Unit Pengelola Konservasi Penyu di habitat peneluran
ini?.
5
2. Mengetahui periode inkubasi telur penyu Hijau (Chelonia mydas) di Pantai
Sukamade, Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur sebelum dan sesudah
dibentuknya Unit Pengelola Konservasi Penyu di habitat peneluran ini?.
3. Mengetahui kebugaran tukik penyu Hijau (Chelonia mydas) yang dihasilkan
dari pantai Sukamade.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah diperolehnya informasi mengenai :
1. Angka sukses penetasan telur penyu Hijau (Chelonia mydas) di Pantai
Peneluran Sukamade, Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur secara umum,
maupun sebelum dan sesudah dibentuknya Unit Pengelola Konservasi Penyu
di habitat peneluran ini?
2. Periode inkubasi telur penyu Hijau (Chelonia mydas) di Pantai Peneluran
Sukamade, Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur secara umum maupun
sebelum dan sesudah dibentuknya Unit Pengelola Konservasi Penyu di habitat
peneluran ini?
3. Kebugaran tukik penyu Hijau (Chelonia mydas) yang dihasilkan dari pantai
Sukamade.
Atas dasar informasi ini dapat disarankan kepada pihak Unit Pengelola
Konservasi Penyu untuk mempertahankan (kalau sudah baik) atau meningkatkan
(kalau belum baik) strategi pengelolaan produksi tukik penyu Hijau di pantai
peneluran Sukamade Taman Nasional Meru Betiri, demi tercapainya tujuan utama
konservasi penyu laut di habitat peneluran ini.
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Penyu Hijau
Perairan Indonesia memiliki enam dari tujuh jenis penyu laut di dunia,
yang berasal dari dua famili yaitu Cheloniidae dan Dermochelyidae. Salah satu
spesies dari famili Cheloniidae yang tersebar luas dan jumlah terbanyak di
perairan Indonesia adalah Penyu Hijau (Adnyana dan Hipiteuw, 2012). Penyu
Hijau memiliki nama ilmiah lengkap Chelonia mydas Linnaeus,1758. Nama
ilmiah penyu Hijau ditulis Chelonia mydas. Taksonomi penyu Hijau menurut
Hirth (1971) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Sub Kingdom : Metazoa
Phyllum : Chordata
Class : Reptilia
Ordo : Testudinata
Family : Chelonidae
Genus : Chelonia
Spesies : Chelonia mydas
Penyu Hijau memiliki tempurung punggung yang terdiri dari sisik – sisik
yang tidak tumpang tindih. Warna karapaks pada tukik adalah hitam, remaja
berwarna coklat dengan bercak kekuningan menyebar (radiating streak)
kemudian warnanya akan bervariasi saat dewasa mulai dari warna coklat muda,
6
7
coklat kemerahan, kadang terdapat bitik yang lebih gelap dari warna dasarnya
(Purwanasari dan Adnyana, 2009,; Pritchard dan Mortimer, 1999). Warna
plastronnya adalah putih pada tukik dan kekuningan saat dewasa. Pada bagian
kepala penyu Hijau memiliki satu pasang sisik prefrontal dan empat pasang sisik
postorbital. Pada masing – masing flipper terdapat satu kuku dan flipper bagian
depan lebih panjang dari pada bagian belakang. Penyu Hijau mudah dikenali
dengan melihat adanya empat sisik costal dan lima sisik vertebral pada karapaks
dengan sisik yang tersusun tidak saling tumpang tindih. Berikut adalah gambar
singkat identifikasi penyu Hijau.
Gambar 1. Gambaran Morfologi Penyu Hijau dengan keterangan tanda panah
(Sumber : Pritchard dan Mortimer, 1999)
5 sisik vertebral
4 pasang sisik
kostal
Sepasang
sisik
prefrontal
4 pasang sisik
inframarginal
4 pasang sisik
post ocular
8
2.2. Reproduksi Penyu Hijau
Jenis kelamin pada Penyu Hijau tidak dapat diidentifikasi secara
morfologi sebelum mencapai dewasa kelamin. Setelah berusia 20-50 tahun, jenis
kelamin pada penyu dapat diamati dari perbedaan panjang ekor, yang biasanya
penyu jantan memiliki ekor yang lebih panjang. Ketika penyu siap untuk
bereproduksi, penyu jantan dan penyu betina akan bermigrasi dari ruaya pakan
ke ruaya kawin. Setelah kawin, penyu jantan akan kembali ke ruaya pakan dan
penyu betina menuju ke area peneluran dimana dulunya penyu tersebut menetas
(nest side fidelity) (Limpus et al, 1984). Selama periode peneluran, Penyu Hijau
betina akan berada di sekitar pantai peneluran (interesting area) selama 10 sampai
17 hari dengan rata-rata 12 hari, dan dalam kurun waktu tersebut penyu betina
akan bertelur sebanyak 3-5 kali. Setelah periode peneluran tersebut habis, penyu
betina akan kembali ke ruaya pakan dan mengulangi siklus reproduksi tersebut.
Siklus ini terjadi beberapa kali sampai masa reproduktifnya di musim tersebut
habis. (Hirth, 1980; Clarine, 2005). Setelah masa reproduktif yang hanya
beberapa bulan, penyu betina akan kembali ke ruaya pakan dan memulai
persiapan untuk aktivitas reproduksinya untuk 2 sampai 3 tahun mendatang
(Limpus dan Miller, 1993; Miller, 1985; Clarine, 2005).
Perilaku reproduksi antara ketujuh spesies penyu laut hampir sama
sebagai akibat dari kemiripan dalam morfologi dan batasan ekologi (bentuk tubuh
yang hampir sama dan persyaratan ketika bertelur di darat). Tempat dan kondisi
yang dibutuhkan untuk bersarang juga hampir sangat mirip seperti akses yang
mudah dari laut dalam menuju pantai peneluran, pasir dengan tekstur yang
9
longgar dan berada cukup tinggi dari air pasang (Ackerman, 1997). Penyu betina
akan memilih tempat bertelur setelah dibuahi. Penyu bertelur di dalam pasir
pantai. Penyu biasanya bertelur 5-7 kali tiap musim peneluran. Setelah telur
menetas dan menjadi tukik, tukik akan menuju lautan. Masa – masa antara tukik
hingga menjadi penyu dewasa sering tidak diketahui perjalanannya, sehingga
disebut “masa – masa yang hilang”.(Miller, 1999).
2.3. Telur Penyu Hijau
Penyu Hijau sebagaimana jenis penyu lainnya menelurkan dua jenis telur,
yaitu telur yang normal dan telur yang tidak normal. Telur yang normal
berbentuk bulat, dengan kulit yang lembek, mengandung kapsul albumin, dan
kuning telur.Terdapat membrane vitelin yang melindungi embrio pada kuning
telur. Diameter dari setiap telur berbeda-beda tergantung spesies penyu
(Miller,1985). Sedangkan telur yang tidak normal dapat memiliki ukuran yang
sangat besar atau sangat kecil dibandingkan dengan telur lainnya dan kuning telur
lebih dari satu, telur dengan diameter sangat besar biasanya lebih besar satu per
empat kali atau lebih diameternya dibandingkan dengan telur lainnya.Telur
dengan ukuran sangat besar biasanya mengandung dua kuning telur yang
dikelilingi oleh selaput albumin tunggal. Kondisi ini jarang menghasilkan
penetesan meskipun satu dari dua embrio berhasil berkembang. Kuning telur
ganda ini dibentuk dari unit kuning telur yang sama dan mengandung albumin dan
selaput yang tersambung. Beberapa bahkan terhubung dengan saluran kecil.
Kondisi ini memiliki peluang menetas yang lebih besar apabila kedua kuning telur
ini dapat terpisah denga sempurna. Telur yang berukuran sangat kecil berukuran
10
lebih kecil dari setengah diameter telur yang normal. Telur ini mengandung
sebagian besar albumin dan begranula. Kuning telur pada telur yang sangat kecil
tidak dilingkupi oleh membrane vitelin.Biasanya tidak terdapat embrio sehingga
telur tidak dapat berkembang dan tidak dapat menetas (Miller 1985, 1997, 1999,;
Van Buskirk dan Crowder, 1994). Penyu Hijau biasa menghasilkan telur sebanyak
100-115 butir telur (Clarine, 2005) dengan ukuran telur berdiameter ± 44,9 mm
dengan berat ± 46,1 gram (Hirth, 1980).
2.4. Sukses Penetasan
Penentuan sukses menetas (hatching success) sangatlah penting bagi
konservasi penyu laut karena dapat menjadi tolak ukur kesesuaian pantai
peneluran sebagai sistem inkubasi dan kesehatan dari penyu yang bertelur. Sukses
menetas (hatching success) adalah total jumlah tukik dalam satu sarang yang
berhasil lepas dari cangkangnya yang dapat juga ditentukan dengan menghitung
jumlah cangkang yang berukuran >50% ukuran awal (Miller, 1999). Hatching
success Penyu Hijau berkisar antara 87,7% - 96,7% (Silalahi, 1989), sedangkan
presentase penetasan telur hijau pada sarang semi alami berkisar antara 80% -
100%, dengan nilai rata – rata 96,2% (Alfiah, 1989). Tingkat kesuksesan
penetasan telur penyu dipengaruhi oleh beberapa faktor, pertama adalah
keberhasilan perkembangan embrio. Perkembangan embrio mulai terjadi dua jam
setelah telur dikeluarkan dari tubuh induk. Pada proses ini terjadi pertukaran
panas, H2O, O2, dan CO2 dengan telur lain dalam sarang dan dengan lingkungan
pantai tempat sarang berada. Embrio yang sedang berkembang membutuhkan
pertukaran ini, karena proses ini menghasilkan panas dan CO2 dan menghirup O2.
11
Embrio juga dapat memproduksi atau memerlukan H2O. Pengaruh osmosis dari
lingkungan terhadp telur dipengaruhi oleh pertukaran udara dan H2O yang terjadi
antara telur dan lingkungan sekitar. Oleh karena bagian ekstraembrionik terdapat
diantara embrio dan lingkungan, bagian ini dapat menjadi penyangga dalam
proses interaksi antara embrio dan lingkungan hingga embrio menjadi organisme
yang siap untuk menetas. Perkembangan embrio adalah proses metabolisme.
Bahan bakarnya terdapat pada kuning telur yang kemudian didistribusikan menuju
sel – sel yang kemudian diubah menjadi energi untuk berdiferensiasi dan tumbuh
(Ackerman,1997).
Kedua adalah suhu, suhu sangat mempengaruhi kesuksesan penetasan telur
penyu (Ackerman, 1997, Herrera, 2010). Suhu ideal masing – masing jenis penyu
dalam menentukan keberhasilan penetasan telur berbeda – beda (Runemark,
2006). Both et al., 2004, menyatakan bahwa suhu mempengaruhi jenis kelamin,
ukuran setelah lahir, massa kuning telur, dan kemampuan untuk berenang. Pada
Penyu Hijau suhu 26°C hingga 28°C menghasilkan penyu jantan, sedangkan suhu
28°C hingga 30°C menghasilkan penyu betina. Suhu yang lebih rendah juga
menunjukkan penambahan periode inkubasi. Fuentes, 2010 menunjukkan bahwa
suhu diatas 33°C dan dibawah 24°C menyebakan kematian telur penyu. Suhu juga
berpengaruh terhadap lamanya periode inkubasi dan diferensiasi jenis kelamin
(Herrera, 2010). Zbinden et al. pada tahun 2005 menyatakan perkembangan
embrio tukik juga dipengaruhi oleh temperatur metabolik pada tahap akhir
inkubasi. Temperatur pasir yang dipengaruhi oleh curah hujan dan paparan sinar
matahari dapat mempengaruhi pembentukan otot dari tukik, disisi lain temperatur
12
pasir yang terlalu tinggi juga dapat menurunkan kadar O2 dalam sarang, sehingga
dapat menurunkan angka penetasan (Segura dan Cajade, 2010). Ketiga komposisi
substrat. Komposisi substrat pasir memegang peranan besar dalam menentukan
hatching success., hal ini dikarenakan pertukaran gas dan kelembaban yang baik
dipengaruhi oleh pasir dengan partikel yang kecil (Fuhler, 2005). Pengendapan
substrat di permukaan pasir yang terbawa oleh air laut dapat mempengaruhi
proses embryogenesis dan juga menentukan tingkat sukses menetas (Ackerman,
1997 ;Rattermen dan Ackerman, 1989). Penumpukan endapan di atas pasir akan
menghalangi proses penguapan dan pertukaran oksigen pada telur dan sekitarnya.
Hal ini dapat menyebabkan embryo mengalami insufisiensi oksigen dan
akumulasi karbondioksida pada darah atau jaringan (asphyxiation) dan
meningkatkan angka hatching mortality (Tracy et al. 1978; Kam, 1994; Tucker et
al, 1998; Foley et al., 2006). Peningkatan endapan di permukaan sarang juga
dapat memperpanjang periode inkubasi dan menurunkan temperatur sarang
sehingga nantinya akan lebih banyak tukik jantan yang akan dihasilkan (Houghton
et al. 2007).
Keempat air dalam telur dan dalam pasir. Telur penyu Hijau mengandung
air saat ditelurkan. Air tersimpan pada albumen pada awal inkubasi dan
ditambahkan dengan air yang didapat dari tranformasi kuning telur.Penyu
membutuhkan asupan air dalam usahanya untuk menetas. Pada pasir yang kurang
mengandung air, angka penetasan dari telur penyu Hijau mengalami penurunan.
Namun hanya sedikit data yang diketahui tentang banyaknya pertukaran air yang
terjadi selama proses inkubasi (Ackerman, 1997). Faktor kelima adalah pertukaran
13
gas, pertukaran gas sangat penting untuk tingkat kesuksesan telur penyu,
pertukaran O2 dan CO2 yang baik diperlukan dalam proses perkembangan
embrionik. Diperlukan luasan area dan jarak antarsarang yang ideal untuk
menghasilkan pertukaran gas yang baik. Penelitian tentang kepadatan lokasi
sarang berpengaruh pada sirkulasi O2 dan CO2 yang kemudian berpengaruh pada
tingkat kesuksesan penetasan telur penyu (Honarvar et al., 2008). Pertukaran gas
juga dipengaruhi oleh kondisi pasir tempat telur penyu ditanam, pasir dengan
partikel yang kecil memungkinkan pertukaran gas yang baik (Fuhler, 2005).
Keenam kepadatan telur. Kepadatan telur dalam sarang dapat mempengaruhi
keberhasilan penetasan. Persentase keberhasilan penetasan pada kepadatan 50
butir persarang ternyata lebih besar daripada kepadatan 75 dan 100 butir per
sarang (Silalahi, 1989), dimana faktor perbedaan kedalaman sarang antara 40 cm
dengan 70 cm tidak mempengaruhi hasil penetasan (Natih, 1989; Nuitja, 1982).
Faktor ketujuh yaitu naungan sinar matahari. Posisi sarang yang berada pada
naungan menunjukan keberhasilan tingkat penetasan yang lebih baik daripada
penanaman telur pada sarang tanpa naungan. Sarang yang tidak mendapatkan
naungan lebih banyak mendapat pengaruh – pengaruh ekstrim dari luar seperti
panas matahari dan hujan (Sukada, 2009). Terdapat perbedaan temperatur dan
kadar air di dalam sarang tanpa naungan dengan sarang yang berada di bawah
naungan. Hal ini disebabkan karena perbedaan frekuensi paparan langsung dari
hujan dan sinar matahari yang nantinya dapat mempengaruhi suhu pasir dalam
sarang. Suhu pasir selama periode inkubasi yang bervariasi nantinya akan
mempengaruhi kelangsungan hidup embrio, menentukan Hatching seks dan durasi
14
inkubasi. Presentase kematian tukik dalam telur lebih tinggi terjadi pada
lingkungan yang terlalu kering, karena telur penyu sangat sensitif terhadap
kekeringan. Selama periode inkubasi telur-telur penyu mengalami penyerapan dan
pertukaran air, sehingga volumenya menjadi lebih besar (Miller, 1997; 1999).
Faktor Kedelapan adalah aktivitas relokasi. Pada saat melakukan relokasi sarang
dari pantai peneluran, terdapat faktor yang dapat menentukan tingkat hatching
success. Menurut Soedhono (1985) sesaat setelah telur dikeluarkan oleh induk,
terjadi berbagai proses biologi. Proses tersebut sangat rentan terhadap faktor yang
dialami selama masa transplantasi, terutama 2 jam setelah oviposisi. Menurut
Harless dan Morlock (1979) telur penyu yang mengalami perubahan posisi maka
embrionya akan mengalami kematian atau terjadi gangguan yang dapat
mengancam kelangsungan perkembangan embrio. Hal ini disebabkan karena telur
penyu tidak mempunyai kemampuan kembali ke posisi semula setelah rotasi.
Perubahan posisi telur penyu pada tahap awal perkembangan embrio akan
menyebabkan embrio berada di bawah kuning telur dan dapat mengakibatkan
kematian embrio, kondisi yang sensitif terutama pada 2 hingga 72 jam setelah
oviposisi. Faktor kesembilan yaitu predator, predator merupakan salah satu faktor
ekologi yang mempengaruhi penetasan telur penyu hijau, dalam laporan di
Tortuguero, Costa Rica (Fowler, 1979) ditemukan bahwa predator menurunkan
tingkat penetasan telur penyu akibat perusakan sarang dan konsumsi telur penyu,
predator yang berperan adalah anjing (dengan akibat kerusakan terbesar), burung
pemakan bangkai, dan kalkun. Anjing menemukan sarang dalam berbagai tahap
perkembangan. Tingkat kerusakan yang ditimbukan oleh predator diketahui
15
dipengaruhi oleh posisi sarang dan bukan oleh jumlah sarang. Predator merusak
sarang lebih banyak pada periode akhir dari musim peneluran, dibandingkan
dengan awal musim peneluran. Kesepuluh adanya bahan organik dan vegetasi
yang menutupi sarang, pada sarang dengan kandungan organik yang semakin
meningkat terjadi penurunan persentase penetasan telur penyu sisik, sedangkan
adanya vegetasi yang menutupi sarangjuga menurunkan angka penetasan, sarang
yang berada di pasir yang terbuka memiliki persentase penetasan yang lebih besar
(Ditmer dan Stapleton, 2012). Ksebelas yaitu posisi sarang, pemilihan posisi
sarang oleh Penyu (Sisik dan Belimbing) mempengaruhi kesuksesan penetasan
telur, posisi sarang yang baik, sedikit vegetasi, dan predator memberikan tingkat
penetasan yang lebih baik. Posisi sarang yang tepat memberikan suhu yang
optimal untuk tumbuh dan sirkulasi udara yang baik untuk perkembangan embrio
(Serafini et al., 2008). Posisi yang jauh dari ombak jjuga memberikan dampak
yang baik bagi kesuksesan penetasan (Runemark, 2006).
Faktor keduabelas adalah masalah pemanasan global. Pemanasan global
dapat mengakibatkan erosi pantai, peningkatan tinggi air dipantai, dan terjadinya
banjir yang dapat merusak telur penyu. Angin topan yang sering terjadi
mengakibatkan pengangkatan pasir penutup sarang penyu, sehingga telur tidak
lagi terkubur pasir.Peningkatan suhu yang terjadi juga mengakibatkan
ketidakseimbangan jenis kelamin yang menetas (Fuentes, 2010). Faktor
kesembilan salinitas dan kelembapan sarang. Salinitas sarang yang meningkat
ditambah dengan adanya massa air dalam sarang dapat menurunkan tingkat
penetasan (Foley et al, 2006). Pada penyu Hijau yang diamati di Cyprus,
16
penetasan telur juga dipengaruhi oleh kelembapan yang juga dipengaruhi oleh
kedalaman sarang (Ozdemir dan Turkozan, 2005). Faktor ketigabelas yaitu
penyakit. Penyakit merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
keberhasilan penetasan telur penyu. Faktor penyakit dapat muncul melalui
pengaruh faktor lain seperti kelembapan yang memicu tumbuhnya jamur pada
cangkang telur (Solomon dan Baird, 1980). Beberapa jenis potensial pathogen
seperti Eschericia coli, Klebsiella sp., Enterobacter sp., Citrobacter sp.,
Pseudomonas sp., Proteus sp., Streptococcus sp., Staphylococcus sp., Bacillus sp.,
dan Clostridium sp., diisolasi dari sarang penyu Hijau dan dari tukik yang gagal
menetas di pantai Sukamade. Diketahui bahwa bakteri-bakteri tersebut dapat
mempengaruhi daya tetas telur (Jayaratha, 2006).
2.5. Periode Inkubasi
Periode inkubasi adalah periode perkembangan embrio sejak telur
diletakan di dalam pasir sampai tukik keluar dari dalam sarang (Ewert, 1979).
Faktor – faktor yang mempengaruhi periode inkubasi selain kadar air dan
temperatur adalah kadar oksigen, komposisi dan tekstur pasir, dan cuaca. Periode
inkubasi pada musim hujan akan lebih lama dibandingkan pada saat musim panas
(Mrosovsky dan Yntema, 1980).
Kisaran periode inkubasi dari masing-masing spesies penyu laut berbeda-
beda dan dipengaruhi juga oleh temperatur. Hal ini juga terjadi pada telur Penyu
Hijau yaitu pada suhu 23°C-25°C telur Penyu Hijau akan mengalami periode
inkubasi selama ±75 hari dan pada suhu 32°C periode inkubasinya selama ± 45
hari. Perbedaan suhu 1°C akan menambah lama periode inkubasi selama lima hari
17
(Adnyana, 2012; Purwanasari, 2006). Panas yang berasal dari metabolisme telur
akan menurunkan periode inkubasi, karena laju inkubasi sangat dipengaruhi oleh
temperatur. Temperatur yang rendah akan memperpanjang periode inkubasi dan
sebaliknya temperatur yang tinggi akan mempersingkat periode inkubasi
(Carr, 1968).
2.6. Rasio Jenis Kelamin
Jenis kelamin pada penyu juga dipengaruhi oleh suhu sarang, suhu antara
29°C-32°C akan menghasilkan penyu betina dan suhu antara 23°C-29°C akan
menghasilkan penyu jantan (Fuentes, 2010, Herrera, 2010). Fenomena ini disebut
TSD (Temperature dependent sex determination). TSD adalah saat sarang
terpapar oleh suhu saat fase perkembangan perbedaan jenis kelamin. Semua jenis
penyu termasuk TSD (Herrera, 2010; Adnyana, 2013; Mrosovsky dan Yntema,
1980,) dengan periode sensitive saat fase pertengahan dari inkubasi (Herrera,
2010). Pada penyu Hijau terdapat suhu yang konstan yang dapat menghasilkan
jenis kelamin dengan perbandingan 1:1. Suhu ini disebut dengan suhu Pivotal,
suhu Pivotal dapat berbeda-beda tergantung spesies penyu (Fuentes, 2010;
Herrera, 2010; Yntema dan Mrosovsky, 1982). Penyu Hijau memiliki pivotal
temperatur pada suhu 28,26°C (Lutz dan Musick, 1997). Untuk penyu, inkubasi
dibawah suhu pivotal akan menghasilkan dominasi jenis kelamin jantan dan diatas
suhu pivotal akan menghasilkan dominasi jenis kelamin betina (Fuentes, 2010,
Adnyana, 2013).
18
2.7. Kebugaran Tukik setelah Penetasan
Dalam siklus hidupnya, tukik secara alami akan menuju pantai setelah
menetas. Kemudian terus berenang menuju lautan, selama proses tersebut
diketahui bahwa potensi bahaya predator yang muncul adalah saat-saat awal dari
pantai hingga menuju lautan (Booth dkk, 2004). Tingkat kebugaran yang baik
akan membantu tukik untuk bertahan hidup selama fase awal menuju lautan.
Kemudian tukik akan terus berenang menjauhi pantai hingga cadangan
makanannya habis dan mengapung di lautan hingga mampu mencari ruaya pakan
(Lutz dan Musick, 1997). Oleh karena itu, tingkat kebugaran tukik menjadi tolak
ukur harapan hidup bagi tukik yang baru lahir untuk mengarungi lautan. Tingkat
kebugaran tukik dapat dilihat dari kemampuan tukik dalam mengayuhkan siripnya
untuk berenang di lautan. Kemampuan ini disebut power stroke (Adnyana, 2013,
Booth dkk, 2004). Power stroke ditentukan oleh berbagai macam faktor. Pada
tahun 2004 dilakukan penelitian oleh Booth dkk, ternyata faktor masa inkubasi
dan suhu inkubasi berpengaruh terhadap power stroke tukik. Dalam pelaksaan
konservasi penyu, seringkali tukik tidak dilepas langsung ke laut setelah menetas,
namun ditangkarkan dahulu. Sehingga, diprediksi terjadi perubahan terhadap
power stroke tukik selama masa penangkaran sebelum dilepas ke laut (Adnyana,
2013).
2.8. Penyu Hijau di Pantai Sukamade
Pantai Sukamade (8°33’-8°38’ LS dan 113°50’-113°58’BT) yang terletak
di kawasan Taman Nasional Meru Betiri adalah salah satu pantai peneluran
penting di Jawa Timur. Empat jenis penyu dilaporkan bertelur disepanjang 3 (tiga)
19
km pantai peneluran ini. Mereka adalah penyu Hijau, Belimbing, Sisik, dan
Lekang. Namun demikian, data yang dikumpulkan sejak periode 1980-an
menunjukkan hanya penyu Hijau yang masih dominan ditemukan bertelur,
sedangkan jenis lainnya sangat jarang. Jumlah sarang per tahun yang ditemukan di
Sukamade berkisar antara 177-2072 sarang. Suatu kajian yang dilakukan oleh tim
gabungan dari Universitas Udayana, WWF (World Wide Fund for Nature)
Indonesia, dan pengelola Taman Nasional Meru Betiri di Tahun 2004-2005
memperkiran bahwa jumlah penyu Hijau yang bertelur di lokasi ini tidak kurang
dari 500 ekor per tahun (Adnyana, 2012). Musim peneluran terjadi sepanjang
tahun dengan musim puncak sekitar Bulan November-Desember. Cakupan
wilayah peneluran yang relatif pendek (3(tiga) km) memungkinkan dilakukannya
pemantauan yang intensif. Pemantauan populasi yang dilakukan di wilayah ini
sejak awal 1970-an menunjukkan terjadinya kecenderungan populasi yang
semakin menurun. Secara genetik, penyu-penyu di Sukamade memiliki populasi
yang unik dan berbeda dengan populasi penyu lainya disekitar Australasia,
sehingga apabila penyu di lokasi ini punah, maka tidak akan dapat direkolonisasi.
Populasi penyu di Sukamade tidak terpengaruh oleh populasi penyu di tempat
lain, kepunahan populasi penyu yang terjadi di pantai Sukamade akan menjadi
permanen. Untuk itu perlu dilakukan usaha yang tepat dalam melindungi dan
meningkatkan populasi penyu di Pantai Sukamade. Untuk itu, pada tahun 2010
dibentuk Unit Pengelolaan Konservasi Penyu (UPKP) Sukamade untuk
mengoptimalkan usaha konservasi yang dilakukan di Pantai Sukamade sejak dulu.
UPKP ini memiliki misi yaitu meningkatkan produksi tukik dan masa inkubasi
ideal untuk menghasilkan perbandingan jenis kelamin yang ideal (Adnyana,
2012).
20
Gambar 2 Lokasi Pantai Sukamade
(Sumber : www.googleearth.com, akses : 5 April 2013)
2.9. Sistem Penetasan Penyu Pra-UPKP dan Pasca-UPKP Sukamade
Sejarah pembentukan Unit Pengelolaan Konservasi Penyu (UPKP)
Sukamade dimulai dari upaya jangka panjang konservasi penyu di pantai
Sukamade. Upaya konservasi penyu di pantai Sukamade telah dilakukan sejak
tahun 1970. Ketika itu kegiatannya hanya terbatas pada pendataan jumlah induk
21
yang bertelur. Pada tahun 1982 Taman Nasional Meru Betiri resmi dibentuk dan
pantai Sukamade menjadi salah satu wilayahnya. Pengukuhan status tersebut juga
berimplikasi pada pengelolaan konservasi penyu di lokasi tersebut. Kegiatan
sebelumnya yang hanya terbatas pada pendataan jumlah induk yang bertelur
ditambah dengan kegiatan penyelamatan sarang - sarang telur penyu, yang
dipindah dari pantai peneluran ke suatu “bunker” yang dibangun ± 50 meter
disebelah utara batas akhir vegetasi pantai. Karena alasan teknis dan operasional,
pada periode tahun 2000-an, penetasan telur dilakukan di suatu areal yang
menjadi satu dengan pos pengamanan; yang berjarak ± 800 meter dari pantai
peneluran. Saat itu, metode inkubasi telur penyu dilakukan dengan cara
menanamnya pada pasir yang ditampung dalam ember-ember (Gambar 3) plastik
berukuran sedang (30-50 cm). Metode ini disebut metode Pra-UPKP yang
dilakukan sebelum 2010 (Adnyana, 2013).
Pada tahun 2011 metode penetasan telur penyu ini diubah dengan cara
menanamnya pada pasir dalam ruangan (Gambar 4) karena metode pra-UPKP
diduga hanya menghasilkan tukik jantan saja (Suprapti dkk, 2006). Ruangan ini
merupakan bangunan dengan atap dan tembok setengah tinggi bangunan, sisa
tingginya ditutupi dengan jalinan kawat berlubang. Di dalam bangunan terdapat
empat blok dengan luas masing-masing blok adalah 1m x 3m x 6m. Blok tersebut
berisi pasir sedalam 1 meter dengan bantalan tanah. Mulai tahun 2010 pasir
diganti dua kali dalam satu tahun dan pada tahun 2013 akan dilakukan pergantian
pasir sebanyak tiga kali dalam satu tahun. Dilakukan penyiraman saat tidak ada
telur penyu yang diinkubasikan yang biasanya dilakukan tiga kali dalam sebulan.
22
Pada malam hari seringkali lampu dihidupkan untuk penerangan, kalau ada telur
yang akan menetas maka lampu dimatikan. Sarang semi-alami yang dibuat untuk
satu telur penyu memiliki kedalaman 70-80 cm, dengan Jarak antar sarang adalah
30-50 cm. Apabila telur telah menetas maka akan ditunggu hingga 5-7 hari sampai
semua tukik keluar dari sarang tersebut untuk kemudian dilepaskan ke laut
(Dahnu, 2013). Metode inilah yang kemudian disempurnakan menjadi Unit
Pengelolaan Konservasi Penyu (UPKP) Sukamade.
Unit Pengelolaan Konservasi Penyu Sukamade adalah unit pengelolaan
konservasi penyu yang dibentuk oleh Taman Nasional Meru Betiri Tahun 2010.
UPKP Sukamade menerapkan desain pengelolaan konservasi penyu yang
dirancang oleh Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana (Adnyana,
2013). Teknis pengelolaan yang dilakukan adalah dimulai dengan melakukan
pengamatan atau patroli malam hari yang dapat berlangsung hingga subuh. Patroli
bertujuan untuk mengamati ada tidaknya penyu yang naik untuk bertelur,
kemudian apabila terdapat penyu yang bertelur dilakukan relokasi sarang,
sebelumnya dilakukan pendataan jenis penyu, ukuran, dan penandaan dengan
penanda (Tag). Relokasi sarang dilakukan menggunakan karung atau ember (satu
karung untuk satu sarang) setelah jumlahnya dihitung. Telur-telur tersebut
kemudian ditempatkan/diinkubasikan kembali secara semi-alami (Dahnu, 2013).
23
Gambar 3. Ember penetasan (Pra-UPKP)
(sumber : www.iddaily.net, akses 7 April 2013)
Gambar 4. Ruangan Penetasan Sukamade (UPKP)
(sumber : www.zonaikan.wordpress.com akses 7 April 2013)
24
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1. Kerangka Berpikir
Pantai Sukamade memiliki peranan yang penting dalam upaya konservasi
penyu. Untuk itu di Pantai Sukamade dilakukan upaya konservasi penyu sejak
tahun 1970-an hingga saat ini. Dalam periode tersebut, telah dilakukan berbagai
metode pengelolaan konservasi yang memiliki tujuan yaitu untuk melindungi
induk yang bertelur dan menghasilkan produksi tukik yang optimal. Upaya yang
dilakukan adalah dengan patroli pengamanan induk yang bertelur dan merelokasi
tukik ke tempat yang aman. Dimulai dari menginkubasikan telur ke dalam
“bunker” yang dekat dengan pantai kemudian merubah metode dengan
menginkubasikan ke dalam ember plastik (Pra-UPKP), dan mulai tahun 2011
dipindahkan ke ruangan inkubasi (UPKP) (Adnyana, 2012; Puwanasari et al,
2006). Setiap metode yang dilakukan semuanya memiliki tujuan untuk
menghasilkan tukik yang bugar dengan jumlah yang optimal dan memiliki rasio
kelamin yang seimbang. Luaran tersebut seharusnya dapat menyamai atau lebih
tinggi daripada kesuksesan di alam. Untuk mencapai hasil tersebut harus
diperhatikan temperatur inkubasi yang merupakan faktor penting untuk
memperoleh angka penetasan tukik dan tingkat kebugaran yang optimal.
Temperatur inkubasi dapat diukur dengan menggunakan alat/instrumen atau
dengan menduga dari lamanya periode inkubasi (Booth et al., 2004). Dengan data
periode inkubasi juga dapat diprediksi rasio jenis kelamin yang dihasilkan.
24
25
Selama periode inkubasi, temperatur inkubasi dipengaruhi oleh banyak faktor
antara lain curah hujan, komposisi substrat, naungan sinar, pertukaran gas dan
temperatur udara. Pada akhir periode inkubasi, telur juga akan menghasilkan
panas metabolik yang dapat mempengaruhi temperatur inkubasi (Honarvar et al.,
2008; Ackerman, 1997).
Penelitian ini dilakukan dalam dua tahapan. Pertama adalah evaluasi
metode pengelolaan yang dilakukan di pantai Sukamade dengan melihat masa
inkubasi yang ideal untuk menghasilkan jumlah tukik yang optimal dengan rasio
jenis kelamin yang seimbang. Desain penelitiannya adalah seperti yang dijelaskan
pada konsep. Tahap selanjutnya adalah melakukan eksperimen tingkat kebugaran
tukik yang dilakukan dengan menguji kebugaran tukik tiap–tiap minggu setelah
tukik menetas. Tingkat kebugaran dilihat dari kemampuan mengayuh sirip (power
stroke).
26
3.2. Konsep
Menunjukkan faktor – faktor yang berpengaruh dalam sukses penetasan
tukik dan tingkat kebugaran tukik.
3.3. Hipotesis
Hipotesis Penelitian
1. Metode pengelolaan yang dilakukan pasca operasionalnya UPKP
menghasilkan angka/sukses penetasan yang lebih baik dibanding metode
pengelolaan pra-UPKP.
2. Metode pengelolaan yang dilakukan pasca operasionalnya UPKP
memberikan periode inkubasi penetasan yang lebih ideal dibanding metode
pengelolaan pra-UPKP.
3. Periode penangkaran yang pendek memberikan tingkat kebugaran yang lebih
baik daripada periode penangkaran yang lebih lama.
Metode
Pra- UPKP
Metode
Pasca-
UPKP Lama
Penangkaran
Periode
Inkubasi
Temperatur
Inkubasi
Kebugaran Tukik
Optimal
Rasio Jenis Kelamin
Seimbang
Sukses Penetasan
Optimal
27
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1. Rancangan Penelitian
4.1.1. Rancangan 1
Menunjukkan pola penelitian dan target penelitian
Dalam meneliti sukses penetasan dan periode inkubasi peneliti
menggunakan penelitian berdesain survai berkategori Ex post facto design
(pengukuran sesudah kejadian). Modelnya adalah: “ …….(X)……. O”, yang pada
hakekatnya tidak mengenal perlakuan. Simbol “……(X)……” menunjuk pada
adanya “semacam perlakuan” tetapi tidak dilaksanakan oleh peneliti sendiri.
Peneliti hanya melihat adanya hasil/efek (symbol O) yang kemudian dihubungkan
atau diperkirakan merupakan akibat/efek dari suatu perlakuan/kondisi, walaupun
Kondisi Penerapan
Metode Lama (Pra
Perlakuan)
Produksi Tukik :
Angka Penetasan
Periode Inkubasi
(Prediktor jenis
kelamin)
Inisiatif Metode Baru
(Perlakuan) :
Metode yang
menjamin telur
penyu diinkubasi
dalam temperatur dan
pertukaran gas yang
optimal, serta beas
ancaman predator
Kondisi pasca
penerapan metode
baru (pasca –
perlakuan)
Produksi Tukik :
Angka
Penetasan
Periode
Inkubasi
(Prediktor jenis
kelamin)
27
28
perlakuan/kondisi tersebut tidak tahu kapan terjadinya dan oleh siapa. Simbol
“……(X)…….” tidak menunjuk pada banyaknya variabel perlakuan (satu macam,
dua macam, tiga macam, dst), namun hanya menunjukkan bahwa “ada semacam
perlakuan” terjadi sebelum pengukuran terhadap efek terjadi/dilakukan. Peneliti
hanya mencoba mengidentifikasi jenis perlakuan yang diperkirakan terjadi, serta
mengidentifikasi akibat dari “perlakuan” dimaksud terhadap sukses penetasandan
periode inkubasi telur penyu (Adnyana, 2013; Fuhler, 2005).
4.1.2. Rancangan 2.
Menunjukkan pola penelitian kebugaran tukik tiap – tiap minggunya
Dalam meneliti tingkat kebugaran tukik, peneliti menggunakan sampel
telur pnyu Hijau dari pantai Sukamade, kemudian diinkubasikan. Setelah menetas,
tukik kemudian diuji kebugarannya dengan menghitung power stroke masing –
masing tukik. Selanjutmya tukik ditangkarkan. Penghitungan kemudian diulangi
pada minggu pertama, kedua, dan ketiga di penangkaran. Dari perhitungan power
stroke tiap – tiap minggu akan didapatkan tingkat kebugaran tukik. Telur penyu
Hijau yang diinkubasikan sebanyak 55 butir (Adnyana, 2013). Jumlah ini didapat
dari proses koleksi telur yang mewajibkan pembatasan karena status Penyu
sebagai hewan dilindungi. Telur-telur ini diambil secara acak saat dilakukan
patroli di pantai Sukamade.
Tukik Menetas
kemudian
ditangkarkan
Perlakuan
dengan lama
penangkaran
Power stroke
tiap – tiap
minggu selama
penangkaran
29
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di UPKP Sukamade Taman Nasional Meru Betiri,
Kabupaten Jember, Provinsi Jawa Timur dan Penangkaran Penyu TCEC (Turtle
Conservation and Education Center) Serangan, Bali. Penelitian ini dilakukan
pada Bulan April sampai Juni 2013.
4.3. Penentuan Sumber Data
Data yang digunakan adalah data sekunder pada masa inkubasi dan sukses
penetasan. Data ini didaptkan dari pengelola pantai peneluran Sukamade.
Sedangkan untuk tingkat kebugaran, peneliti menggunakan data primer yang
didapatkan dari eksperimen yang dilakukan di TCEC Serangan.
4.4. Besar Sampel
Sampel yang digunakan untuk sukses penetasan dan masa inkubasi
sebanyak 4.363 data penetasan di pantai Sukamade yang dikumpulkan antara
tahun 2008 hingga 2012. Sedangkan tingkat kebugaran menggunakan data sebesar
jumlah tukik yang menetas dari 55 telur yang diinkubasikan.
4.5. Variabel Penelitian
Tahap pertama
Variabel bebas: Metode Pra-UPKP dan UPKP
Variabel terikat: Sukses penetasan dan Periode inkubasi
Tahap kedua
Variabel bebas : jumlah tukik dan minggu perlakuan
Variabel terikat : power stroke tiap – tiap minggu
30
4.6. Definisi Operasional Variabel
Metode Pra-UPKP adalah metode yang diterapkan dalam pengelolaan
konservasi penyu yang dilakukan tahun 200an hingga 2010 dengan pemindahan
telur dari sarang alami ke sarang buatan yang berupa penampungan untuk
ditetaskan. Telur ditetaskan di suatu areal yang menjadi satu dengan pos
pengamanan; yang berjarak ± 800 meter dari pantai peneluran. Saat itu, metode
inkubasi telur penyu dilakukan dengan cara menanamnya pada pasir yang
ditampung dalam ember-ember plastik berukuran sedang (30-50 cm).
Metode UPKP adalah diterapkan dalam pengelolaan konservasi penyu
yang dilakukan setelah tahun 2010 dengan pemindahan telur dari sarang alami ke
sarang buatan yang berupa ruangan penetasan. Ruangan ini merupakan bangunan
dengan atap dan tembok setengah tinggi bangunan, sisa tingginya ditutupi dengan
jalinan kawat berlubang. Di dalam bangunan terdapat empat blok dengan luas
masing-masing blok adalah 1m x 3m x 6m. Blok tersebut berisi pasir sedalam 1
meter dengan bantalan tanah. Mulai tahun 2010 pasir diganti dua kali dalam satu
tahun dan pada tahun 2013 akan dilakukan pergantian pasir sebanyak tiga kali
dalam satu tahun. Dilakukan penyiraman saat tidak ada telur penyu yang
diinkubasikan yang biasanya dilakukan tiga kali dalam sebulan. Pada malam hari
seringkali lampu dihidupkan untuk penerangan, kalau ada telur yang akan menetas
maka lampu dimatikan. Sarang semi-alami yang dibuat untuk satu telur penyu
memiliki kedalaman 70-80 cm, dengan Jarak antar sarang adalah 30-50 cm.
Apabila telur telah menetas maka akan ditunggu hingga 5-7 hari sampai semua
tukik keluar dari sarang tersebut untuk kemudian dilepaskan ke laut. Metode
UPKP juga melakukan penambahan jumlah personel yang lebih terlatih daripada
metode Pra-UPKP.
31
Penerapan metode UPKP dalam penetasan sarang telur penyu dilakukan
untuk mencapai tujuan konservasi penyu. Metode ini diterapkan bersamaan
dengan dibentuknya Unit Pengelolaan Konservasi Penyu (UPKP) Sukamade pada
tahun 2010. Metode ini diharapkan dapat memeberikan sirkulasi udara yang baik,
paparan sinar yang cukup, dan aman dari predator (Adnyana, 2013).
Sukses penetasan adalah angka yang didapat dari jumlah telur yang
menetas dari seluruh telur yang diinkubasikan dalam satu sarang. Sedangkan
periode inkubasi adalah, lamanya hari yang dibutuhkan telur – telur tersebut untuk
menetas hingga keluar dari pasir (Adnyana, 2013).
Power Stroke adalah ukuran kebugaran seekor tukik yang diukur dari
jumlah kepakan sirip tukik dalam waktu tertentu (Booth et al., 2004).
Jumlah tukik adalah banyaknya tukik yang menetas dari sampel 55 butir
telur yang didapatkan dari patrol petugas di pantai Sukamade yang diambil secara
acak, kemudian digunakan dalam pengujian power stroke. Sedangkan minggu
perlakuan adalah jumlah pengulangan perlakuan tiap – tiap minggu.
4.7. Bahan Penelitian
Bahan penelitian ini adalah data periode inkubasi dan tingkat penetasan
telur penyu Hijau di pantai Sukamade dan 55 telur penyu Hijau yang didapatkan
ijinnya untuk diinkubasikan di Bali.
4.8. Alat Penelitian
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat pencatat, alat ukur
jangka sorong, timbangan gram, bak berenang, dan kamera video.
32
4.9. Prosedur Penelitian
4.9.1 Tahap pertama
Data sekunder sukses menetas (hatching success) dan periode inkubasi
selama tahun 2008 – 2012, yang masih berupa data laporan tertulis, akan
dikomputerisasi ke dalam “Microsoft Office excel”. Selanjutnya data diproses
menggunakan rumus proporsi populasi tunggal (Wayne, 1991). Tabulasi data
sekunder sukses menetas akan membandingkan antara tingkat angka menetas
yang sebelumnya telah dikalkulasikan, dengan nilai / presentase acuan yang telah
ditetapkan. Selanjutnya data sekunder periode inkubasi akan diproses dengan cara
yang sama. Rasio kelamin dari daya penetasan akan dapat ditentukan dari
penghitungan periode inkubasi.
4.9.2 Tahap kedua
Penelitian tahap kedua dilakukan dengan patroli di pantai peneluran
Sukamade untuk mendapatkan telur penyu Hijau yang baru ditelurkan. Telur ini
didapatkan secara acak oleh petugas patroli di pantai Sukamade, adapun jumlah
telur terkait dengan ijin yang didapatkan dari UPKP TNMB. Telur – telur yang
didapatkan kemudian diinkubasikan. Setelah telur menetas, dilakukan pencatatan
masa inkubasi, pengukuran panjang dan lebar karapaks, berat badan, dan
dilakukan pengujian terhadap kemampuan berenang (power stroke). Pengujian
dilakukan dengan menempatkan tukik dalam bak berukuran diameter (1 x 0,5)
meter, kemudian direkam kemampuan berenangnya selama satu jam, kemudian
diamati kemampuan mengayuhnya per menit (Booth et al., 2004). Pengujian
diulang tiap – tiap minggu selama 4 minggu. Pengujian ini dilakukan kepada
semua tukik yang menetas.
33
4.10. Analisis data
Tahap Pertama
Data dianalisis dengan menghitung proporsi populasi tunggal, dengan
rumus :
Keterangan :
Z = Angka sukses menetas (hatching success)
= Jumlah tukik yang menetas
ρo = Jumlah tukik yang diharapkan
= Periode waktu penetasan
n = jumlah total telur yang diinkubasikan
Tahap Kedua
Menggunakan rancangan acak kelompok dengan analisa One Way
ANOVA menggunakan Analyze stroke rate data dilanjutkan dengan uji Duncan
(Booth et al, 2004).
34
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Sukses/Angka Penetasan Telur Penyu Hijau (Chelonia mydas) di Pantai
Sukamade pada metode Pra-UPKP dan Pasca-UPKP
Secara umum, sukses penetasan sarang telur penyu hijau di pantai
Sukamade dari tahun 2008 hingga tahun 2012 relatif baik, berkisar antara 0 - 100
% dengan rerata 73,83 % ± 22,004 %. Pemilahan data berdasarkan tahun
menunjukkan bahwa rerata angka penetasan sangat fluktuatif dari tahun ke tahun
(Grafik 1), dengan nilai tertinggi (78,54 % ± 18,804 %) terjadi pada tahun 2009
dan nilai terendah (68,89 % ± 20,674 %) terjadi pada tahun 2010 (Tabel 1). Uji
Analisis Varian Satu Arah (One-Way ANOVA) menunjukkan bahwa perbedaan
rerata angka penetasan per-tahun adalah sangat signifikan (DB = 4 ; F = 31,369 ;
P = 0,0001). Uji beda dua nila rerata dengan metode Least Significant Difference
(LSD) menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang berarti antara rerata angka
penetasan pada tahun 2012 (73,69 % 20,282 %) dan 2011 (73.12 % 23.797 %),
namun sangat berbeda (signifikan) dibandingkan dengan tahun – tahun
sebelumnya (2010, 2009, dan 2008). Sementara itu, perbedaan antara rerata angka
penetasan yang diperoleh pada tahun 2008 dan 2010 adalah tidak signifikan,
namun sangat signifikan jika keduanya dibandingkan dengan rerata angka
penetasan yang terjadi pada tahun 2009 (Tabel 2). Tabel 2 menunjukkan beda
rerata adalah signifikan pada taraf ()0,05. Uji dua nilai rerata dilakukan dengan
metode Least Significant Difference (LSD).
34
35
Gambar 5. Grafik Kecenderungan Sukses Menetas (%) Sarang – Sarang Telur
Penyu Hijau (Chelonia mydas) di Pantai Sukamade dari Tahun 2008 –
2009. Bar merepresentasikan Selang Kepercayaan 95%.
Tabel 1. Rerata Sukses Penetasan Sarang – Sarang Telur Penyu Hijau (Chelonia
mydas) Pertahun di Pantai Sukamade dari tahun 2008 – 2012.
Tahun N Rerata Standar
Deviasi
95% Selang Kepercayaan
untuk Rerata Minimum Maksimum
Batas Bawah Batas Atas
2008 463 69,5345 28,21674 66,9576 72,1114 00 100,00
2009 1404 78,5350 18,80368 77,5506 79,5194 00 100,00
2010 778 68,8922 20,67382 67,4372 70,3471 00 100,00
2011 975 73,1150 23,79652 71,6194 74,6105 00 100,00
2012 743 73,6938 20,28240 72,2330 75,1546 00 100,00
Total 4363 73,8247 22,00360 73,1717 74,4778 00 100,00
36
Tabel 2. Perbedaan Rerata Sukses Penetasan Telur Penyu Hijau (Chelonia
mydas) pada Tahun yang Berbeda.
Tahun
(I)
Tahun
(J)
Beda Rerata
(I-J)
Kesalahan
Baku Signifikansi
Selang Kepercayaan 95%
Batas Bawah Batas Atas
2008
2009 -9,00050* 1,16313 ,000 -11,2808 -6,7202
2010 ,64236 1,27390 ,614 -1,8551 3,1398
2011 -3,58047* 1,22494 ,003 -5,9820 -1,1790
2012 -4,15929* 1,28504 ,001 -6,6786 -1,6399
2009
2008 9,00050* 1,16313 ,000 6,7202 11,2808
2010 9,64286* ,97003 ,000 7,7411 11,5446
2011 5,42004* ,90477 ,000 3,6462 7,1939
2012 4,84122* ,98462 ,000 2,9109 6,7716
2010
2008 -,64236 1,27390 ,614 -3,1398 1,8551
2009 -9,64286* ,97003 ,000 -11,5446 -7,7411
2011 -4,22282* 1,04335 ,000 -6,2683 -2,1773
2012 -4,80164* 1,11329 ,000 -6,9843 -2,6190
2011
2008 3,58047* 1,22494 ,003 1,1790 5,9820
2009 -5,42004* ,90477 ,000 -7,1939 -3,6462
2010 4,22282* 1,04335 ,000 2,1773 6,2683
2012 -,57882 1,05692 ,584 -2,6509 1,4933
2012
2008 4,15929* 1,28504 ,001 1,6399 6,6786
2009 -4,84122* ,98462 ,000 -6,7716 -2,9109
2010 4,80164* 1,11329 ,000 2,6190 6,9843
2011 ,57882 1,05692 ,584 -1,4933 2,6509
Apabila data dikelompokkan berdasarkan periode pengelolaan (Pra -
UPKP: 2008 – 2010 dan Pasca – UPKP: 2011 – 2012), maka rerata angka
penetasan ditemukan relatif lebih tinggi pada periode pengelolaan pra – UPKP
(74,12 % 21,777 %) dibandingkan dengan angka yang diperoleh pasca
diberlakukannya UPKP (73,37 % 22,347 %). Namun demikian, secara statistik,
perbedaan tersebut tidak signifikan (DB = 4361 ; t = 1,110 ; P = 0,270). Perlakuan
pada kedua periode pengelolaan memberikan rerata angka penetasan yang baik (>
70%).
37
Partisi data berdasarkan proporsi angka menetas dengan kategori “baik”
dan “buruk” ditampilkan pada Tabel 3. Tabel 3 menunjukkan kategori “baik”
meliputi semua sarang telur penyu dengan angka penetasan > 70%, dan kategori
“Buruk” jika angka penetasannya < 70%. Periode Pra – UPKP berlangsung dari
tahun 2008 – 2010, sedangkan Pasca – UPKP dari tahun 2011 – 2012. Secara
umum, dengan tidak memperhitungkan periode pengelolaan, proporsi angka
penetasan telur penyu di pantai Sukamade dengan kategori “baik” adalah
66,49%% dibandingkan dengan yang berkategori “buruk” (33, 51%). Jika kedua
periode pengelolaan diperhitungkan, maka proporsi angka penetasan berkategori
“baik” ternyata lebih tinggi pada periode pengelolaan pasca – UPKP (69,25%)
dibandingkan dengan proporsi pada periode pengelolaan pra – UPKP (64,80%).
Secara statistik perbedaan ini signifikan (z = 3,41; p < 0,05), yang
mengindikasikan bahwa dalam konteks ini, pengelolaan penetasan telur penyu di
Pantai Sukamade sedikit lebih baik pada periode pasca dibentuknya Unit
Pengelola Konservasi Penyu di lokasi tersebut.
Tabel 3. Jumlah dan Proporsi Sarang Telur Penyu yang Menetas dengan
Kategori “Baik” dan “Buruk” di Pantai Sukamade Selama Kurun 2008
– 2012.
Periode Pengelolaan
Kategori Proporsi (%) Angka
Penetasan Total Sarang
Baik Buruk
Pra - UPKP 1712 (64,80%) 934 (35,30%) 2646 (100%)
Pasca - UPKP 1189 (69,25%) 528 (30,75%) 1717 (100%)
Total periode pengelolaan 2901 (66,49%) 1462 (33,51%) 4363 (100%)
38
5.2. Periode/Masa Inkubasi Telur Penyu Hijau (Chelonia mydas) di Pantai
Sukamade, Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur Pra-UPKP dan
Pasca-UPKP
Periode atau masa inkubasi yang diinginkan adalah periode inkubasi yang
diperkirakan dapat memberikan jenis kelamin seimbang (antara 59 – 65 hari).
Dominasi salah satu jenis kelamin masih dapat diterima asalkan tidak
menghilangkan keberadaan jenis kelamin lainnya. Pada penelitian ini jumlah data
penetasan yang dipergunakan adalah 4.363 sarang. Analisis terhadap keseluruhan
data, tanpa mempertimbangkan perbedaan periode pengelolaan, ditemukan bahwa
masa inkubasi berkisar antara 49 - 93 hari, dengan rerata 60,75 hari ± 6,454 hari.
Selang kepercayaan dalam level 95% berada diantara 60,56 – 60,94 hari
(DB = 4362 ; t = 621,787 ; P = 0,0001). Ini mengindikasikan bahwa rasio kelamin
tukik (jantan : betina) yang dihasilkan di lokasi ini relatif seimbang selama kurun
tahun 2008 - 2012. Demikian pula halnya ketika periode pengelolaan
diperhitungkan. Dalam konteks ini, rerata periode inkubasi pada metode
pengelolaan pra-UPKP ditemukan 58,82 ± 3,903 hari (berkisar antara 49 – 91
hari), sedangkan rerata periode inkubasi pada metode pengelolaan pasca – UPKP
adalah 63,72 ± 8,238 hari (berkisar antara 51 – 93 hari). Berdasarkan fakta ini,
kedua periode pengelolaan tampak memberikan tukik dengan rasio kelamin relatif
seimbang. Namun, ketika data dipartisi menjadi tiga kategori (Gambar 6), yaitu
kisaran masa inkubasi yang diketahui memberikan rasio jenis kelamin bias ke
betina / kategori I (49 – 58 hari), kisaran masa inkubasi yang memberikan rasio
jenis kelamin seimbang / kategori II (59 – 65 hari), serta kisaran masa inkubasi
39
yang diketahui bisa memberikan rasio jenis kelamin bias ke jantan / kategori III
(66 – 94 hari), diketahui bahwa, secara umum (dengan tidak mempertimbangkan
periode pengelolaan), proporsi jumlah sarang telur penyu yang menetas dalam
kurun waktu periode inkubasi katagori I (yang cenderung memberikan jenis
kelamin betina) adalah tertinggi (45%), diikuti dengan proporsi jumlah sarang
telur yang menetas dalam kurun masa inkubasi kategori II (39%) dan III (16%).
Ini mengindikasikan bahwa secara proporsional, rasio jenis kelamin tukik yang
dihasilkan cenderung bias ke-betina. Ketika periode pengelolaan
dipertimbangkan, maka kecenderungan serupa juga terjadi pada periode
pengelolaan pra-UPKP, namun tidak demikian halnya dengan periode pengelolaan
pasca – UPKP. Dalam periode pengelolaan yang disebut terakhir ini, proporsi
jumlah sarang telur penyu yang menetas pada masa inkubasi kategori I, II, dan III
relatif berimbang (Grafik 2), sehingga diharapkan akan memberikan rasio jenis
kelamin seimbang pada tukik-tukik yang telah dihasilkan. Angka absolut total
sarang telur penyu yang ditetaskan pada periode inkubasi dengan kategori I, II,
dan kategori III ditampilkan pada Tabel 4. Tabel 4 menunjukkan kategori I
(cenderung menghasilkan tukik dengan rasio kelamin bias ke-betina), kategori II
(cenderung menghasilkan tukik dengan rasio kelamin seimbang), dan periode
inkubasi kategori III (cenderung menghasilkan tukik dengan rasio kelamin bias
ke-jantan).
40
Gambar 6. Grafik Proporsi Jumlah Sarang Telur Penyu yang Menetas Pada
Metode Pra-UPKP dan Pasca-UPKP
Tabel 4. Jumlah Sarang Telur Penyu yang Menetas Dalam Periode Inkubasi.
Periode Pengelolaan
Kategori Periode Inkubasi
Total Sarang
I
(49-58 hari)
II
(59-65 hari)
III
(66-93 hari)
Pra UPKP 1401 1116 128 2645
Pasca UPKP 573 564 581 1718
Keseluruhan Periode
Pengelolaan 1974 1680 709 4363
5.3. Tingkat Kebugaran Tukik Penyu Hijau yang di Pantai Sukamade
Dalam penelitian ini digunakan 14 ekor tukik dari sejumlah 24 ekor yang
dihasilkan dari penetasan 55 butir telur penyu Hijau asal pantai Sukamade. Masa
atau periode inkubasi sarang telur ini adalah 51 hari, yang mengindikasikan
bahwa jenis kelaminnya kebanyakan (jika tidak semua) adalah betina. Rerata berat
tukik adalah 28,36 ± 3,608 gram, dan panjang lurus karapasnya (SCL) adalah 5,33
± 0,364 sentimeter. Rerata panjang lengkung karapas dan lebar lengkung
karapasnya, secara berurutan adalah 5,74 ± 0,339 sentimeter dan 5,28 ± 0,291
41
sentimeter. Pengukuran power rate dilakukan 3 kali pada masing-masing tukik
per periode (minggu) pengamatan. Data yang dipergunakan adalah rerata dari
ketiga pengukuran tersebut.
Analisis data menunjukkan bahwa rerata stroke rate atau frekuensi
kepakan per 30 detik yang diukur sesaat setelah menetas (Minggu I) adalah 58
7,606 kali, dengan kisaran antara 44 – 68 kali. Rerata frekuensinya menurun
secara signifikan pada minggu – minggu selanjutnya. Penurunan yang tidak
bermakna (P = 0,161) terjadi pada Minggu II (rerata = 55,00 5,643 kali, kisaran
antara 44 – 61 kali). Penurunan rerata nilai power rate yang sangat tajam (P =
0,0001) terjadi pada Minggu III (rerata = 42,43 4,879 kali, kisaran antara 33 –
53 kali) dan Minggu IV (rerata = 34,64 3,342 kali, kisaran antara 30 - 43). Ini
mengindikasikan bahwa memperlambat pelepasan tukik dari saat menetas akan
mempengaruhi kecepatannya untuk bergerak/berenang menjauh menuju laut
lepas, yang akan berimplikasi pada kemampuan meloloskan dirinya dari predator
yang ada di pesisir pantai. Ringkasan statistik nilai power stroke serta perbedaan
nilai yang diukur pada Minggu pertama hingga keempat ditampilkan pada Tabel 5
dan 6. Tabel 6 menunjukkan beda rerata adalah signifikan pada taraf () 0,05. Uji
dua nilai rerata dilakukan dengan metode Least Significant Difference (LSD).
Tampilan grafik kecenderungan penurunan nilai power rate dari Minggu I hingga
Minggu IV ditunjukkan pada Gambar 7.
42
Tabel 5. Statistik Power Rate Tukik Penyu Hijau (Chelonia mydas) yang Diukur
pada Waktu (Minggu) yang Berbeda. Satuan Power Rate adalah Kali
(X).
Minggu N Rerata Standar
Deviasi
Standar
Error
Selang Kepercayaan
95% Untuk Rerata Kisaran
Batas
Bawah
Batas
Atas Minimum Maximum
I 14 58.00 7.606 2.033 53.61 62.39 44 68
II 14 55.00 5.643 1.508 51.74 58.26 44 61
III 14 42.43 4.879 1.304 39.61 45.25 33 53
IV 14 34.64 3.342 .893 32.71 36.57 30 43
Total 56 47.52 10.976 1.467 44.58 50.46 30 68
Tabel 6. Perbedaan Nilai Power Rate Tukik Penyu Hijau (Chelonia mydas) yang
Diukur pada Waktu (Minggu) yang Berbeda.
Minggu
(I)
Minggu
(J)
Perbedaan
Rerata (I-J)
Standar
Error Signifikansi
Selang Kepercayaan 95%
Batas Bawah Batas Atas
I
II 3.000 2.110 .161 -1.23 7.23
III 15.571* 2.110 .000 11.34 19.81
IV 23.357* 2.110 .000 19.12 27.59
II
I -3.000 2.110 .161 -7.23 1.23
III 12.571* 2.110 .000 8.34 16.81
IV 20.357* 2.110 .000 16.12 24.59
III
I -15.571* 2.110 .000 -19.81 -11.34
II -12.571* 2.110 .000 -16.81 -8.34
IV 7.786* 2.110 .001 3.55 12.02
IV
I -23.357* 2.110 .000 -27.59 -19.12
II -20.357* 2.110 .000 -24.59 -16.12
III -7.786* 2.110 .001 -12.02 -3.55
43
Gambar 7. Grafik Penurunan Nilai Power Rate Tukik Penyu Hijau (Chelonia
mydas) yang Diukur Sesaat Setelah Menetas (Minggu I) hingga
Minggu IV Pasca Menetas. Bar Adalah Nilai Selang Kepercayaan
(Confidential Interval/CI) pada Taraf 95%.
44
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1. Sukses/Angka Penetasan Telur Penyu Hijau (Chelonia mydas) di Pantai
Sukamade pada metode Pra-UPKP dan Pasca-UPKP
Sukses/Angka Penetasan merupakan salah satu indikator kesuksesan
pengelolaan konservasi Penyu. Miller (1999) menyatakan bahwa sukses menetas
telur penyu ditentukan dengan menghitung jumlah tukik yang keluar dari
cangkangnya. Di area dimana ancaman terhadap kelangsungan hidup penyu laut
sangat tinggi, diharapkan sukses/angka penetasan telur pada kondisi alami
hendaknya > 80% (Limpus et al., 1993). Pada penelitian ini, keberhasilan
penetasan telur penyu hijau di Pantai Sukamade, baik secara keseluruhan, maupun
setelah dipartisi berdasarkan kurun periode pengelolaannya (pra – dan pasca –
UPKP) masih lebih rendah dari 80%. Hal ini menunjukkan bahwa manajemen
konservasi penyu hijau di Pantai Sukamade belum mampu memenuhi target agar
dapat mencapai sukses menetas yang sesuai dengan kondisi alami. Melihat pada
kondisi keamanan dan tantangan yang dihadapi di perairan Indonesia angka >80%
memang sulit dicapai secara ideal, maka pada kondisi ini angka penetasan >70%
masih dapat dikatakan baik.
Namun, apabila dikelompokkan tiap tahunnya, maka pada tahun 2009 dan
2011 sukses menetas yang terjadi sudah >80%, sedangkan tahun-tahun lainnya
masih dibawah 80%. Pada hasil telah diterangkan bahwa periode pengelolaan
pasca-UPKP memberikan hasil penetasan yang signifikan lebih baik apabila
44
45
dibandingkan antara kategori baik. Hasil ini menunjukkan bahwa sebetulnya pola
pengelolaan yang diterapkan sudah optimal karena berhasil mencapai angka yang
diinginkan. Hasil tersebut juga mengindikasikan adanya inkonsistensi sukses
menetas yang terjadi. Pada tiap-tiap periode pengelolaan hasil yang didapatkan
relatif sama yaitu >70%. Hasil ini didapat dari akumulasi masing-masing tahun
periode pengelolaan. Sukses menetas pada sarang buatan memang dipengaruhi
beberapa faktor antara lain suhu sarang, paparan sinar matahari keberhasilan
perkembangan embrio, suhu, air, pertukaran gas, salinitas, kelembapan sarang
dan penyakit (Ackerman,1997; Segura dan Cajade, 2010; Zbinden et al,. 2006;
Fuentes,2010; Herrera, 2010; Honarvar; 2008; Fuhler, 2005; Foley et al, 2006;
Ozdemir dan Turkozan, 2005 ; Jayaratha, 2006). Melihat dari data yang ada pola
pengelolaan yang ada di Pantai Sukamade memang belum memenuhi target
kesuksesan yang ada di alam, namun hasil penetasan yang dicapai ini
kemungkinan tidak dapat dicapai di alam pantai Sukamade tanpa adanya upaya
apapun. Artinya, apabila tidak dilakukan upaya perlindungan sarang maka sukses
menetas yang didapatkan dapat lebih rendah. Adanya ancaman predator, penyakit,
abrasi, dan ulah manusia dapat menurunkan angka penetasan tersebut apabila
hanya dibiarkan di alam (Fowler, 1979; Ditmer dan Stapleton, 2012;
Runemark,2006; Fuentes, 2010; Jayaratha, 2006). Melihat dari ancaman tersebut
pola konservasi ini harus diteruskan dengan tetap mengupayakan target sukses
menetas yang optimal.
46
6.2. Periode/Masa Inkubasi Telur Penyu Hijau (Chelonia mydas) di Pantai
Sukamade, Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur Pra-UPKP dan
Pasca-UPKP
Periode inkubasi adalah lamanya waktu perkembangan embrio sejak telur
diletakkan di dalam pasir hingga menetas dan keluar dari cangkang (Ewert, 1979).
Dalam upaya konservasi penyu, target yang ingin dicapai adalah terjadinya
periode inkubasi yang ideal, artinya diprediksi menghasilkan rasio jenis kelamin
jantan dan betina yang seimbang. Periode inkubasi yang ideal dapat menghasilkan
jenis kelamin yang diprediksi seimbang. Kondisi ini terkait dengan adanya
pengaruh suhu dan lamanya periode inkubasi. Suhu merupakan faktor penentu
jenis kelamin pada sebagian besar reptilia termasuk penyu (Zbinden et al., 2006;
Yntema dan Mrosovsky, 1982). Menurut Hirth, 1971 Periode inkubasi yang dapat
menghasilkan tukik dengan jenis kelamin yang seimbang berkisar antara 59-65
hari, yang merupakan target dari upaya konservasi penyu. Pada penelitian ini, pola
konservasi penyu metode lama dan baru menghasilkan periode inkubasi rata-rata
60,76 hari (SD±6,449). Dari data ini diketahui bahwa jenis kelamin yang
dihasilkan di pantai Sukamade adalah jenis kelamin yang diprediksi seimbang.
Apabila dikelompokkan berdasarkan tahun, nampak hanya pada tahun 2008 jenis
kelamin yang dihasilkan diprediksi relatif seimbang, namun pada tahun lainnya
masih terjadi bias salah satu jenis kelamin. Ketika dilakukan pengelompokan pada
dua metode pengelolaan yang berbeda dilakukan didapatkan hasil Pada metode
Pra-UPKP rata-rata periode inkubasi adalah 58,82 ± 3,903 hari dan pada metode
Pasca-UPKP rata-rata periode inkubasi adalah 63,72 ± 8,238 hari. Kemudian
47
apabila dikelompokkan dalam kelompok hasil jenis kelamin, nampak metode Pra-
UPKP menghasilkan tukik dengan jenis kelamin yang bias ke betina sehingga
tidak terjadi keseimbangan rasio jenis kelamin. Kondisi ini akbat dari jumlah
sarang yang menghasilkan bias betina lebih banyak daripada sarang yang
menghasilkan bias jantan, meskipun didapatkan pula sarang yang menghasilkan
jenis kelamin yang dipredikasi seimbang dalam jumlah yang tinggi. Pada metode
Pasca-UPKP menghasilkan jenis kelamin yang diprediksi seimbang 1(satu) :
1(satu). Kondisi ini akibat berimbangnya jumlah sarang yang menghasilkan bias
tukik jantan dan bias tukik betina, disaat bersamaan jumlah yang menghasilkan
jenis kelamin diprediksi seimbang memiliki proporsi yang sama. Adanya
perbedaan jenis periode inkubasi disebabkan oleh perbedaan suhu inkubasi.
Adanya perbedaan suhu inkubasi ini disebabkan oleh faktor suhu lingkungan,
termasuk suhu sarang inkubasi dan faktor suhu yang timbul dari dalam telur
selama periode inkubasi. Suhu antara 29°C-32°C akan menghasilkan penyu betina
dan suhu antara 23°C-29°C akan menghasilkan penyu jantan (Fuentes, 2012,;
Herrera, 2012). Perbedaan suhu 1°C juga akan menambah lamanya periode
inkubasi selama lima hari (Adnyana, 2012; Miller, 1997). Perbedaan yang terjadi
pada pola pengelolaan Pra-UPKP dan pola pengelolaan Pasca-UPKP adalah
tempat menginkubasikan telur. Pada pola yang Pra-UPKP telur diinkubasikan
pada ember-ember plastik. Situasi ini kemungkinan menyebabkan suhu yang
muncul lebih panas sehingga banyak hasil penetasan yang bias ke betina. Pada
metode Pasca-UPKP dilakukan inkubasi pada ruangan inkubasi yang menjamin
48
sirkulasi udara yang lebih baik, sirkulasi udara yang baik akan memberikan suhu
yang ideal pada sarang dalam proses inkubasi telur penyu (Honarvar et al., 2008).
Pada penelitian ini sukses menetas yang dihasilkan memiliki korelasi
dengan periode inkubasi. Periode inkubasi yang pendek cenderung menghasilkan
sukses menetas yang tinggi. Periode inkubasi yang pendek mengindikasikan suhu
yang lebih panas, suhu yang panas mengahasilkan sukses menetas yang lebih
baik, sedangkan suhu yang lebih dingin menghasilkan sukses menetas yang
kurang baik. Fuentes, 2010 menunjukkan telur penyu masih bisa hidup hingga
suhu 34°C, sedangkan pada suhu rendah telur dapat bertahan hingga suhu 20°C.
Suhu yang tinggi akan mempercepat periode inkubasi, sehingga telur yang
diinkubasikan dapat segera menetas dan tidak mengalami paparan-paparan
kontaminan dari luar yang lebih lama. Pada inkubasi dengan jangka waktu
panjang, kesempatan telur mengalami paparan kontaminan dari luar semakin
besar, sehingga resiko kegagalan menetas akan lebih tinggi. Meskipun periode
inkubasi pendek menghasilkan sukses menetas yang lebih baik, tetapi periode
inkubasi pendek akan menghasilkan jenis kelamin bias ke betina. Oleh karena itu,
pengelolaan konservasi penyu yang baik memiliki target mendapatkan masa
inkubasi yang ideal dengan sukses menetas yang tetap optimal.
6.3. Kebugaran Tukik Penyu Hijau yang Dihasilkan Pantai Sukamade
Kebugaran tukik merupakan salah satu faktor penting dalam keberhasilan
konservasi penyu. Kebugaran tukik dibutuhkan saat tukik dilepas ke laut untuk
melanjutkan kehidupannya secara alami. Dalam upaya konservasi, biasanya tukik
yang menetas tidak langsung dilepas ke laut, namun ditempatkan sementara di bak
49
– bak penampungan. Penampungan ini dapat berlangsung beberapa hari, bahkan
minggu. Pada penelitian ini didapatkan hasil kebugaran tukik mengalami
penurunan dari minggu pertama (sesaat setelah menetas) hingga minggu keempat.
Perbedaan kebugaran nampak nyata tiap – tiap minggunya kecuali pada minggu
ke 2(dua). Di alam tukik yang baru menetas langsung menuju lautan, dalam awal
perjalanannya tukik menggukan cadangan yolk (kuning telur) yang ada.
Ketersediaan kuning telur sangat berpengaruh pada kebugaran tukik yang
ditunjukkan oleh Booth, et al., 2004. Booth menunjukkan tukik dengan cadangan
yolk yang lebih besar memiliki kemampuan berenang yang lebih baik
dibandingkan tukik yang memiliki yolk lebih sedikit. Kandungan yolk
dipengaruhi oleh lamanya periode inkubasi, semakin singkat periode inkubasi
maka jumlah cadangan yolk akan makin besar pula (Booth, et al., 2004; Adnyana
2013). Tingkat kebugaran yang baik akan membantu tukik untuk bertahan hidup
selama fase awal menuju lautan. Kemudian tukik akan terus berenang menjauhi
pantai hingga cadangan makanannya habis dan mengapung di lautan hingga
mampu mencari ruaya pakan (Lutz dan Musick, 1997). Pada penelitian ini
kemungkinan kandungan yolk pada tukik berkurang tiap – tiap minggunya. Oleh
karena itu, tukik sebaiknya diperlakukan sama seperti di alam yakni dilepaskan
segera setelah menetas, untuk meningkatkan kesempatan menghidari predaotr dan
mencapai lautan lepas. Adanya kepentingan edukasi dalam upaya konservasi
penyu menyebabkan beberapa tukik harus ditempatkan sementara di bak – bak
penampungan (Adnyana, 2013).
50
6.4. Efektifitas Metode Pengelolaan Pasca-UPKP Dibandingkan Dengan
Metode Pengelolaan Pra-UPKP
Menilai efektifitas dari suatu upaya konservasi adalah sebuah penilaian
yang bersifat kompleks. Penilaianan efektifitas upaya konservasi harus
memperhatikan beberapa faktor yaitu konteks, perencanaan, input (informasi dan
sumber daya), proses, kegiatan – kegiatan yang dilakukan dan hasil dari kegiatan
– kegiatan tersebut. Dalam pelaksanaan upaya konservasi suatu upaya konservasi
haruslah dievaluasi berdasarkan faktor-faktor tersebut. Pelaksanaan manajemen
konservasi yang efektif harus dapat menjaga konteks utama dari konservasi,
bantuan-bantuan yang ada, menyesuaikan dengan peraturan yang berlaku, dan
dukungan masyarakat sekitar, serta dukungan penegakan peraturan dari pihak
berwenang. Manajemen konservasi harus memiliki perencanaan yang jelas terkait
seluruh program dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Manajemen
konservasi harus mampu menyediakan tenaga sumber daya manusia yang
kompeten, tunjangan dana yang berkesinambungan, sistem kerja yang baik,
kegiatan-kegiatan yang tepat, dan terevaluasi. Apabila kondisi ini terpenuhi maka
manajemen konservasi akan mampu efektif menghasilkan hasil yang diinginkan
dalam upaya konservasi tersebut (Leverington et al., 2010). Manajemen
konservasi ini juga dilakukan di Taman Nasional Meru Betiri, khususnya untuk
Penyu di pantai Sukamade hal tersebut telah dilakukan sebelum dibentuknya
UPKP dan kemudian dibentuk UPKP. Secara detail , upaya konservasi penyu
dilakukan dengan metode-metode tertentu, setiap metode yang dilakukan
semuanya memiliki tujuan untuk menghasilkan tukik yang bugar dengan jumlah
51
yang optimal dan memiliki rasio kelamin yang seimbang. Luaran tersebut
seharusnya dapat menyamai atau lebih tinggi daripada kesuksesan di alam. Untuk
mencapai hasil tersebut harus diperhatikan temperatur inkubasi yang merupakan
faktor penting untuk memperoleh angka penetasan tukik dan tingkat kebugaran
yang optimal (Fuhler, 2005; Adnyana, 2013). Untuk mencapai tujuan tersebut,
Taman Nasional Meru Betiri melakukan perubahan metode untuk pantai
Sukamade yang efektif dilaksanakan pada 2011. Melalui penelitian ini diketahui
metode Pra-UPKP menghasilkan sukses penetesan yang tidak berbeda nyata
dengan sukses penetasan yang dihasilkan metode UPKP. Hasil yang menunjukkan
rata – rata sukses penetasan yang dibawah 80% tidak dapat menunjukkan bahwa
kedua metode ini tidak efektif, karena pada tahun 2009 (metode Pra-UPKP) dan
tahun 2011 (metode UPKP) dapat mencapai sukses diatas 80%. Adapun toleransi
kategori baik yaitu >70% dapat dijadikan indikator bahwa sisem pengelolaan yang
dilakukan berjalan baik. Partisi kedua metode pengelolaan menunjukkan kategori
baik dihasilkan pada mettode pasca-UPKP. Pada periode inkubasi diketahui
periode inkubasi pada metode Pasca-UPKP menghasilkan jenis kelamin yang
seimbang lebih baik daripada Pra-UPKP. Oleh karena itu, metode penetasan
Pasca-UPKP yang diterapkan di Pantai Sukamade dinilai lebih efektif daripada
metode Pra-UPKP, namun memerlukan evaluasi dan perbaikan dalam mencapai
sukses penetesan yang optimal secara konsisten.
52
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1. Simpulan
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa,
1. Angka sukses menetas di Taman Nasional Meru Betiri periode Pasca-UPKP
lebih baik daripada periode Pra-UPKP
2. Periode inkubasi ideal yang diprediksi menghasilkan jenis kelamin seimbang
dihasilkan lebih baik pada periode pengelolaan Pasca-UPKP.
3. Kebugaran tukik yang paling optimal adalah kebugaran tukik setelah menetas.
4. Periode Pasca-UPKP menunjukkan efektifitas yang lebih baik daripada
periode Pra-UPKP.
7.2. Saran
Periode pengelolaan Pasca-UPKP sebaiknya dilanjutkan dan dilakukan
optimalisasi sehingga tujuan utama untuk menghasilkan angka penetasan optimal,
jenis kelamin seimbang, dan waktu pelepasliaran tukik terbaik dapat tercapai
seperti pada kondisi alami melalui peningkatan kompetensi pengelola,
peningkatan fasiltas serta penelitian lanjutan untuk mengetahui faktor utama untuk
optimalisasi UPKP Sukamade perlu dilakukan.
52
53
DAFTAR PUSTAKA
Ackerman, R.A. 1997. The Nest Environment and The Embryonic Development of
Sea Turtles, In: Lutz, P.L dan Musick, J.A (eds). The Biology of Sea
Turtle. CRC Press, Boca Raton. Pp. 83 – 106.
Adnyana, I.B.W. 2012. Unit Pengelolaan Konservasi Penyu Sukamade – Taman
nasional Meru Betiri
Adnyana, I.B.W dan Hipiteuw, C. 2012. Panduan melakukan Pemantauan
Populasi Penyu di Pantai Peneluran di Indonesia.WWF-Indonesia
Marine Program.
Adnyana, I.B.W. 2013. Komunikasi Personal.
Alfiah, H. 1989. Pengaruh Waktu Pemindahan Telur Penyu Hijau (Chelonia
mydas.L) terhadap tingklat Keberhasilan Penetasan Semi Alami di
Pantai Pangumbahan. (p. 39). Bogor: Jurusan Management Sumberdaya
Perairan, Fakultas Perikanan.
Booth.D.T, Elizabeth Burgess, Julia McCosker, Janet M. Lanyon. 2004. The
influence of incubation temperature on post-hatching fitness
characteristics of turtles. Department of Zoology and Entomology,
School
Carr, A. 1968. The Turtle: A Natural History. Cassel and Company Ltd. 248 hal.
Clarine, A.Thomas. 2005. Determining Correlation Sea Surface Temperature
Chlorophyll Consentration, Quick SCAT Wind Data and The Presence
Of Caretta-caretta and Chelonia mydas Mid-Atlantic. Undergraduate
Research Experience in Ocean Marine and Space Science South
Carolina State University Orangeburg, Sc 29115, USA
Dahnu, A.A. 2013. Komunikasi Personal
Ditmer, M.A. dan Stapleton, S.P. 2012. Factors affecting hatch success of
hawksbill sea turtles on Long Island, Antigua, West Indies. PLoS ONE 7:
e38472.
Earnst, C.H. and R.W. Barbour. (1989). Turtles of the World.Smithsonian
Institution Press. USA
53
54
Ewert, M.A. 1979. The Embryo and Its Eggs : Development and Natural History
in Marion Harless ang Henry Morlock (Eds). Title, Perspectives and
research Vol. 17 pp 333 – 416. Jhon Willey and Sons, Inc.New York
Foley AM, SA Peck, GR Harmann. 2006. Effect of sand characteristics and
inundation on the hatching success of loggerhead sea turtle (Caretta
caretta) clutches on low relief mangrove island, southwest Florida.
Chelonian Conserv. Biol. 5: 32-41.
Fowler, L.E.1979. Hatching Success and Nest Predation in the Green Sea Turtle,
Chelonia mydas, at Tortuguero, Costa Rica. Ecology 60:946–955.
http://dx.doi.org/10.2307/1936863
Fuentes, M.2010. Vulnerability of sea turtles to climate change.Coral Reef
Studies. ARC Center of Excellence
Fuhler, S.2005. Hatching success of the Leatherback Sea Turtle, Dermochelys
coriacea in Natural and Relocated Nests on Gandoca Beach, Costa
Rica.University of Bassel.Switzerland
Harless, M. and H..Morlock. 1979. Turtle Perspectives and Research. John Wiley
& Sons. New York
Herrera, A.E.2010.The effects of nest management methods on sex ratio and
hatching success of leatherback turtles (Dermochelys coriacea).
University of Exeter in Cornwall.Penryn.
Hirth, H. F.1971. Synopsis of Biological Data on Green Turtle (Chelonia mydas).
FAO Fisheries Synopsis, no.58. Rome. 81
Hirth, H. F., Some aspects of the nesting behavior and reproductive biology of sea
turtles, Am. Zool., 20,507, 1980.
Honarvar, S.O’Connor, M.P.Spotila J.R.2008. Density-dependent effects on
hatching success of the olive ridley turtle, Lepidochelys olivacea.
Oecologia (2008) 157:221–230
Houghton JDR, AE Myers, C Lloyd, RS King, C Isaacs, GC Hays. 2007.
Protracted rainfall decreases temperature within leatherback turtle
(Dermochelys coriacea) clutches in Grenada, West Indies: ecological
implications for a species displaying temperature sex determination. J.
Exp. Mar. Biol. Ecol. 345: 71-77.
55
Jayaratha, I.M. 2006. Isolasi Dan Identifikasi Beberapa Bakteri Potensial
Patogen Pada Penyu Hijau (Chelonia mydas) Di Loksi Penetasan Telur
Penyu Sukamade, Taman Nasional Meru Betiri-Jawa Timur
(skripsi).Universitas Udayana
Kam YC. 1994. Effect of simulated flooding on metabolism and water balance of
turtle eggs and embryos. J. Herpetol. 26: 173-178.
Leverington, F., Costa, K.L., Courrau J., Pavese, H., Nolte, C., Marr, M., Coad,
L., Burgess, N., Bomhard B., Hockings, M.2010. Management
Effectiveness Evaluation in Protected Areas.The University Of
Queensland.Brisbane
Limpus, C.J., Fleay, A., and Baker, V.1984. The Flatback turtle, Chelonia
depressa, in Quensland: reproductive periodicity, philopatry and
recruitment, aust. Wildl. Res., 11, 579.
Limpus, C. J. and Miller, J. D., Family Cheloniidae, in Fauna of Australia, Vol.
2A, Amphibia and Reptilia, Glasby, C. J., Ross, G. J. B., and Beesley, P.
L., Eds., Australian Government Publishing Service, Canderra,
Australia, 1993, 113.
Lutz, P.L dan Musick, J.A (eds). 1997. The Biology of Sea Turtle. CRC Press,
Boca Raton. Pp. 8 – 106.
Miller, J. D., Embryology of marine turtles, in Biology of the Reptilia, Vol. 14 A,
Gans, C., Billet, F. and Maderson, P.F. A., Eds., Wiley-Interscience,
New York, 1985, 269.
Miller, J.D. 1997. Reproduction In Sea Turtles. In: Lutz, P.L dan Musick, J.A
(eds). The Biology of Sea Turtle. CRC Press, Boca Raton.
Miller, J.D. 1999. Determining clutch size and hatching success. In: Research and
Management Techniques for the Conservation of Sea Turtles (eds. K.L.
Eckert, K.A. Bjorndal, F.A. Abreu-Grobois and M. Donelly), IUCN/SSC
Marine Turtle Specialist Group.
Mrosovsky, N. and C.L. Yntema. 1980. Temperature Dependence of Sexual
Diferentiation in Sea Turtles : Implications for Concervations Practices.
Biological Conservations. Applied Science Publisher Ltd. England. P
271 – 280.
Natih, N. (1989). Tingkah Laku Penyu Hijau (Chelonia mydas,L), Melakukan
Penelitian Peneluran di Pantai Pengumbahan. (p. 31). Bogor: Jurusan
Management Sumber Daya Perairan, Fakultas Perikanan, IPB.
56
Nuitja, I. (1982). Inkubasi dan Keberhasilan Penetasan dalam Inkubasi Buatan
terhadap penyu Daging, Chelonia mydas. (p. 31). Bogor: Fakultas
Perikanan IPB.
Ozdemir, B. Turkozan, O.2005. Hatching Success of Original and Hatchery Nests
of the Green Turtle, Chelonia mydas, in Northern Cyprus.Turk J Zool 30
(2006) 377-381.
Pritchard, P.C.H. dan Mortimer, A.J.1999.Taxonomy, Morphology, and Species
Identification.IUCN/SSN Marine Turtle Specialist Group Publication
no.4.1999
Prinanta, w. (2007). Problematika Kegiatan Konservasi Penyu di Taman Nasional
Meru Betiri. Universitas Muhammadiyah Malang.
Purwanasari, H.N., Adnyana,W. Dalem, A.A.G.R. 2006. Beberapa Karakteristik
Reproduksi Penyu Hijau (Chelonia myda L.) di Pantai Peneluran
Sukamade, Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur (skripsi).
Universitas Udayana. Denpasar.
Purwanasari H.N. dan I.B.W. Adnyana.2009. Identifikasi komposisi genetik penyu
hijau (Chelonia mydas) di pantai peneluran sukamade, Taman Nasional
Meru Betiri, Jawa Timur. Manuscript, 9 hal.
Ratterman RJ, R.A. Ackermann. 1989. The water exchange and hydric
microclimate of painted turtle (Chrysemys picta) eggs incubating in field
nests. Physiol. Zool. 215: 1059-1079.
Rees, A.F. dan Margaritoulis, D.2004.Beach Temperatures, Incubation Duration
and Estimated Hatchling Sex Ratio for Loggerhead Sea Turtle Nest in
Southern Kyparissia Bay, Greece. B.C.G. Testudo Vol. 6, No. 1
Runemark, A.2006.Spatial distribution and temperature effects on hatching
success of the leatherback turtle Dermochelys coriacea : impilcation of
conservation.Uppsala University.Sweden.
Segura, L.N. dan Cajade, R..2010. The Effects of Sand Temperature on Pre-
emergent Green Sea Turtle Hatchlings. Herpetological Conservation and
Biology 5(2):196-206.
Serafini,T.Z.Lopez, G.G. Rocha, P.L.B.2009.Nest site selection and hatching
success of hawksbill and loggerhead sea turtles (Testudines,
Cheloniidae) at Arembepe Beach, northeastern Brazil.Phyllomedusa
8(1):3-17.
57
Silalahi, B. (1989). Pengaruh Jumlah Telur terhadap Keberhasilan Penetasan
Telur Penyu Hijau (Chelonia mydas.L). ). (p. 44). Bogor: Jurusan
manajement Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan.
Soedhono, R.V.J. 1985. Pedoman Pelaksanaan Praktek Penangkaran Telur
Penyu Hijau, Chelonia mydas. Proyek Pembinaan Latihan Kehutanan di
Ciawi. Ciawi. 43 Hlm.
Solomon, S.E. & Baird, T. 1980. Tha Effect of Fungal Penetration of the Eggshell
of the Green Turtle. Electron Microscopy volume II.
Sukada, I.K. (2009). Pengaruh Letak Sarang Dan Kerapatan Telur Terhadap
Laju Tetas Telur Penyu Hijau (Chelonia mydas). (pp. 54-60). Denpasar:
Jurusan Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana.
Tracy CR, GC Packard, MJ Packard. 1978. Water relations of chelonian eggs.
Physiol. Zool. 57: 378-387.
Tucker JK, NI Floramo, GL Paukstis, FJ Jazen. 1998. Response of red-eared
slider, Trachemys scripta elegans, eggs to slightly differing water
potentials. J. Herpetol. 32: 124-128.
Van Buskirk, J dan Crowder, L.B.1994.Life-History Variation in Marine Turtles.
Copeia 1994: 66-81
Wayne W. Daniel. 1991. Biostatistics : a foundation for analysis in the health
sciences. Georgia state university : canada
www.iddaily.net, akses 7 April 2013
www.zonaikan.wordpress.com akses 7 April 2013
www.googleearth.com , akses : 5 April 2013
Yntema CL, N Mrosovsky. 1982. Critical periods and pivotal temperatures for
sexual differentiation in loggerhead sea turtles. Can. J. Zool. 62: 1012-
1016
Zbinden, J.A., Margaritoulis, D. Arlettaz, R.2006.Metabolic heating in
Mediterranean loggerhead sea turtle clutches. Journal of Experimental
Marine Biology and Ecology 334 (2006) 151–157.
58
LAMPIRAN
1. Tukik Penyu Hijau yang Menetas untuk Uji Kebugaran
( sumber : dokumentasi penulis )
2. Pengukuran Tukik Pasca Menetas
(sumber : dokumentasi penulis)
2 cm
5 cm
59
3. Tukik yang Mati dalam Telur (Gagal Menetas)
( sumber : dokumentasi penulis )
4. Telur yang Berhasil Menetas dan Telur yang Gagal Menetas
( sumber : dokumentasi penulis )
2 cm
6 cm
60
LAMPIRAN
5. Data Sukses Penetasan Setiap Metode Pengelolaan
Report
sukses menetas
periode
pengelolaan Mean N Std. Deviation
2008-2010 74.1490 2645 21.80375
2011-2012 73.4078 1718 22.40870
Total 73.8571 4363 22.04436
6.Data Sukses Penetasan Setiap Tahun
Report
sukses menetas
kode
tahun Mean N Std. Deviation
2008 69.5345 463 28.21674
2009 78.5350 1404 18.80368
2010 68.9801 778 20.77657
2011 73.1150 975 23.79652
2012 73.7920 743 20.45464
Total 73.8571 4363 22.04436
7. Perbedaan penetasan metode Pra-UPKP dan UPKP
One-Sample Statistics
N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Ranking > 80% 2 28.2000 .00000a .00000
Ranking > 80% 2 24.9300 4.56791 3.23000
a. t cannot be computed because the standard deviation is 0.
61
N Minimum Maximum Rata – rata
Simpangan
Baku
sukses menetas 4363 ,00 100,00 73,75 22,01
8. Histogram Data Sukses Penetasan
62
Tahun
Total 2008 2009 2010 2011 2012
kelompok kode
penetasan
I 135 503 108 254 119 1119
II 93 271 156 250 234 1004
III 65 229 146 172 161 773
IV 44 166 133 92 99 534
V 126 235 235 207 130 933
Total 463 1404 778 975 743 4363
9. Rangking Penetasan Setiap Tahun
Periode Pengelolaan
Total 2008-2010 2011-2012
kelompok kode
penetasan
I 746 373 1119
II 520 484 1004
III 440 333 773
IV 343 191 534
V 596 337 933
Total 2645 1718 4363
10. Data Sukses Penetasan Setiap Periode Pengelolaan
N Minimum Maximum Rata - rata
Simpangan
Baku
periode inkubasi 4363 49 93 60,76 6,45
63
11. Gambaran Umum Periode Inkubasi di Pantai Sukamade
12. Histogram Periode Inkubasi
Tahun
Total 2008 2009 2010 2011 2012
kelompok kode
inkubasi
I 60 996 345 530 43 1974
II 317 380 419 226 338 1680
III 86 28 14 219 362 709
Total 463 1404 778 975 743 4363
13. Data Periode Inkubasi Tahunan
Periode Pengelolaan
Total 2008-2010 2011-2012
kelompok kode
inkubasi
I 1401 573 1974
II 1116 564 1680
III 128 581 709
Total 2645 1718 4363
64
14. Kelompok Periode Inkubasi tiap Periode Pengelolaan
sukses menetas
periode
inkubasi
sukses menetas Pearson Correlation 1 -,057**
Sig. (2-tailed) ,000
N 4363 4363
periode inkubasi Pearson Correlation -,057** 1
Sig. (2-tailed) ,000
N 4363 4363
**. Hubungan signifikan pada level 0.01.
15. Hubungan Sukses Penetasan dan Periode Inkubasi
Duncana,b,c
Minggu N
Subset
1 2 3
Minggu 4 14 34,64
Minggu 3 14 42,21
Minggu 2 14 55,00
Minggu 1 14 58,00
Sig. 1,000 1,000 ,161
16. Kebugaran Tukik Penyu Hijau setiap Minggu