PERINGATAN - elibrary.unisba.ac.idelibrary.unisba.ac.id/files/Nisa Dian...
Transcript of PERINGATAN - elibrary.unisba.ac.idelibrary.unisba.ac.id/files/Nisa Dian...
PERINGATAN !!! Bismillaahirrahmaanirraahiim
Assalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh
1. Skripsi digital ini hanya digunakan sebagai bahan referensi
2. Cantumkanlah sumber referensi secara lengkap bila Anda mengutip dari Dokumen ini
3. Plagiarisme dalam bentuk apapun merupakan pelanggaran keras terhadap etika moral penyusunan karya ilmiah
4. Patuhilah etika penulisan karya ilmiah
Selamat membaca !!!
Wassalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh
UPT PERPUSTAKAAN UNISBA
FORMULASI KRIM EKSTRAK BATANG NANGKA
(Artocarpus heterophyllus Lamk.)
SKRIPSI
Oleh:
NISA DIAN HANIFAH
NPM: 10060308021
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
1434 H / 2013 M
FORMULASI KRIM EKSTRAK BATANG NANGKA
(Artocarpus heterophyllus Lamk.)
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu persyaratan untuk
menyelesaikan pendidikan dan memperoleh gelar Sarjana Farmasi
pada Program Studi Farmasi FMIPA Unisba
Oleh:
NISA DIAN HANIFAH NPM: 10060308021
Februari 1434 H / 2013 M
BANDUNG
JUDUL : FORMULASI KRIM EKSTRAK BATANG NANGKA
(Artocarpus heterophllus Lamk.)
NAMA : NISA DIAN HANIFAH
NPM : 10060308021
Setelah membaca Skripsi ini dengan seksama, menurut pertimbangan kami
telah memenuhi persyaratan ilmiah sebagai Skripsi
Menyetujui
Pembimbing Utama Pembimbing Serta
Dina Mulyanti, M.Si., Apt. Ernita, M.Si., Apt.
NIK. D. 08. 0477 NIDN. 0030016701
Mengetahui
Dekan FMIPA Unisba Ketua Program Studi Farmasi
M. Yusuf Fajar, Drs., M.Si. H. Embit Kartadarma, DR., M.App.Sc., Apt.
NIP. 195610216986031002 NIK. D. 06.0.437
“Yaitu yang telah menciptakan aku, maka Dia yang memberi
petunjuk kepadaku. Dan yang memberi makan dan minum
kepadaku. Dan apabila aku sakit, dialah yang menyembuhkan
aku, dan yang akan mematikan aku, kemudian akan
menghidupkan aku (kembali), dan yang sangat kuinginkan akan
mengampuni kesalahanku pada hari kiamat.”
(Q.S. Asy- Syu’ara: 78-82)
Skripsi ini saya persembahkan untuk
Orang tua tercinta,,
Adik-adik,,
Serta keluarga besar,,
Kutipan atau saduran baik sebagian
ataupun seluruh naskah, harus
menyebutkan nama pengarang dan
sumber aslinya, yaitu Program Studi
Farmasi, Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
Islam Bandung.
RIWAYAT PENULIS
BIODATA
Nama : NISA DIAN HANIFAH
Tempat/Tgl. Lahir : SEMARANG, 07/12/1990
Jenis Kelamin : PEREMPUAN
Agama : ISLAM
Pekerjaan : MAHASISWA
Alamat : JL. CINGISED KOMPLEK GRIYA CARAKA BLOK
D NO. 7
RT/RW : 04/05
Desa/Kelurahan : CISARANTEN ENDAH
Kecamatan : ARCAMANIK
Telepon : 022-70794878/ 085295892527
Nama Ibu Kandung : TRI MURTI
Nama Ayah Kandung : AGUS SUPRIADI ST., MM
Alamat Orang Tua : JL. CINGISED KOMPLEK GRIYA CARAKA BLOK
D NO. 7
RT/RW : 04/05
Desa/Kelurahan : CISARANTEN ENDAH
Kecamatan : ARCAMANIK
Telepon : 022-70794878
PENDIDIKAN
1. TK Aisyiyah Makassar, Sulawesi Selatan (1995-1996)
2. SDN Solokan Jeruk III Bandung, Jawa Barat (1996-2002)
3. SMP PLUS At-Tajdid Singaparna, Jawa Barat (2002-2005)
4. SMA PLUS Muthahhari Bandung,Jawa Barat (2005-2008)
5. Program Studi Farmasi, Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Islam Bandung (2008-2013)
FORMULASI KRIM EKSTRAK BATANG NANGKA
(Artocarpus heterophyllus Lamk.)
ABSTRAK
Nisa Dian Hanifah
Email: [email protected]
Telah dilakukan penelitian formulasi krim dari ekstrak batang nangka dengan
memvariasikan konsentrasi dan kombinasi emulgator, peningkat viskositas serta
fase minyak. Formula dibuat dalam bentuk sediaan krim dengan menggunakan
gliseril monostearat serta trietanolamin sebagai emulgator, setil alkohol sebagai
peningkat viskositas, dan parafin cair sebagai fase minyak. Evaluasi yang telah
dilakukan terhadap krim meliputi evaluasi tipe emulsi, organoleptis, homogenitas,
pH, pengamatan dan pengukuran creaming. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa
krim dengan penggunaan setil alkohol 3%, parafin cair 15% serta kombinasi
emulgator gliseril monostearat 7,5% dan trietanolamin 1,5% merupakan sediaan
paling stabil yang memiliki pH yang stabil 6,8, tidak mengalami creaming,
homogen dan secara organoleptik memiliki warna putih-kekuningan dan bau yang
khas.
Kata kunci: Ekstrak batang nangka, krim, gliseril monostearat, trietanolamin,
setil alkohol, parafin cair
Formulation Cream Of Jackfruit Stem Extract
(Artocarpus heterophyllus Lamk.)
ABSTRACT
Nisa Dian Hanifah
Email: [email protected]
Cream formulation has been studied from a jackfruit stem extracts with variated
emulsifier concentration and combinations, viscosity enhancers, and oil phase.
These formula was made in cream using glyceryl monostearate and
triethanolamine as emulsifier, cetyl alcohol as a viscosity enhancer, and paraffin
liquid as the oil phase. The evaluation was done include an evaluation of the type
of emulsion cream, organoleptic, homogeneity, pH, observation and measurement
of creaming. The result showed that the use of a cream with 3% cetyl alcohol,
paraffin liquid 15% and a combination emulsifier of glyceryl monostearate 7.5%
and 1.5% triethanolamine is the most stable cream that have stable pH 6.8, had no
creaming, homogeneous and organoleptically has yellowish-white color and
characteristic odor.
Keywords: Jackfruit stem extract, cream, gliceryl monostearate, triethanolamine,
cetyl alcohol, paraffin liquid
i
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Syukur alhamdulillah Penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat serta nikmat-Nya yang tidak pernah putus sehingga skripsi ini
dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi ini yang berjudul FORMULASI KRIM
EKSTRAK BATANG NANGKA (Artocarpus heterophyllus L.) merupakan
salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Matematika Dan
Ilmu Pengetahuan Alam Program Studi Farmasi Universitas Islam Bandung.
Sebagai ungkapan kebahagiaan, Penulis menyampaikan rasa terima kasih
dan penghargaan yang tak terhingga bagi ibunda tercinta Tri Murti dan ayahanda
tercinta Agus Supriadi ST., MM yang tidak pernah lelah memberikan motivasi,
dukungan serta doa sehingga tugas akhir ini dapat terselesaikan dengan baik.
Penulis pun menyampaikan rasa terima kasih kepada kedua adikku tersayang Nisa
Evi Fauziah dan Nisa Nia Jamilatushshalihah yang senantiasa memberikan
motivasi dan semangat.
Penyelesaian skripsi ini tidak lepas pula dari bantuan dan dukungan dari
segenap pihak sehingga sebagai ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya
penulis sampaikan kepada :
1. Bapak M. Yusuf Fajar, Drs., M.Si selaku Dekan Fakultas MIPA
Universitas Islam Bandung.
2. Bapak H. Embit Kartadarma, DR., M.App.Sc., Apt. selaku Ketua Program
Studi Farmasi.
3. Ibu Dina Mulyanti, M.Si., Apt. selaku pembimbing utama dan Ibu Ernita,
M.Si., Apt. selaku pembimbing serta atas keikhlasannya meluangkan
waktu dan pikirannya dalam membimbing penulis selama penelitian
sampai proses penyusunan skripsi ini.
4. Bapak dan Ibu Dosen Farmasi Universitas Islam Bandung yang telah
memberikan ilmu yang bermanfaat.
ii
5. Bapak dan Ibu Staf Karyawan dan penanggungjawab Laboratorium
Universitas Islam Bandung.
6. Sahabatku farmasi angkatan 2008 Rini Nuralipah, Heny Tresnaningsih,
Aidea Apriyani Kusumadewi. Serta sahabat-sahabat seperjuangan lainnya
yang tidak sempat Penulis sebutkan satu persatu.
7. Serta kepada seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang
telah membantu penyelesaian skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan namun
Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan khususnya di bidang farmasi.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Bandung, 3 Rabi’ul Akhir 1434 H
14 Februari 2013 M
Penulis
iii
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK
ABSTRACT
KATA PENGANTAR .................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... vi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. vii
PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
BAB
I TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 3
1.1 Sistematika Tanaman Nangka .......................................................... 3
1.2 Kandungan Kimia .............................................................................. 4
1.3 Khasiat Tanaman Nangka ................................................................. 5
1.4 Anatomi Kulit ..................................................................................... 6
1.5 Fungsi Kulit ........................................................................................ 9
1.6 Warna Kulit ........................................................................................ 11
1.7 Jenis Kulit ........................................................................................... 12
1.8 Pigmentasi ........................................................................................... 13
1.9 Flavonoid ............................................................................................. 19
1.10 Krim .................................................................................................... 19
1.11 Preformulasi Zat ................................................................................ 23
1.11.1 Setil alkohol ......................................................................................... 23
1.11.2 Metil paraben ....................................................................................... 24
1.11.3 Propil paraben ...................................................................................... 24
1.11.4 Propilen glikol ...................................................................................... 25
1.11.5 Gliseril monostearat ............................................................................. 26
1.11.6 Asam askorbat ...................................................................................... 26
1.11.7 Parafin cair ........................................................................................... 27
1.11.8 Trietanolamin ....................................................................................... 27
II METODOLOGI PENELITIAN ....................................................... 29
III BAHAN DAN ALAT ......................................................................... 30
3.1 Bahan ................................................................................................... 30
3.2 Alat ...................................................................................................... 30
IV PROSEDUR PENELITIAN .............................................................. 31
4.1 Penyiapan Simplisia ........................................................................... 31
4.2 Perlakuan Terhadap Tanaman ......................................................... 31
4.2.1 Penetapan kadar air .............................................................................. 31
4.2.2 Penetapan kadar abu ............................................................................. 32
4.2.3 Penetapan kadar abu tidak larut asam .................................................. 33
iv
4.2.4 Penetapan kadar sari larut dalam air .................................................... 33
4.2.5 Penetapan kadar sari larut dalam etanol ............................................... 33
4.2.6 Penapisan fitokimia .............................................................................. 34
4.2.7 Ekstraksi ............................................................................................... 37
4.3 Pembuatan Krim ................................................................................ 37
4.4 Evaluasi Sediaan Krim ...................................................................... 37
4.4.1 Pengamatan organoleptik ..................................................................... 38
4.4.2 Homogenitas sediaan ........................................................................... 38
4.4.3 Penentuan tipe emulsi .......................................................................... 38
4.4.4 Pengukuran ph sediaan ......................................................................... 38
4.4.5 Pengamatan dan pengukuran creaming ............................................... 38
V HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................... 40
VI KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 51
6.1 Kesimpulan ......................................................................................... 51
6.2 Saran ................................................................................................... 51
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 52
LAMPIRAN .................................................................................................... 54
v
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
I.1 Kandungan senyawa buah nangka ....................................................... 4
V.1 Hasil penetapan parameter standar simplisia batang nangka ............... 42
V.2 Hasil penapisan fitokimia simplisia dan ekstrak batang nangka .......... 43
V.3 Formula sediaan krimekstrak batang nangka ....................................... 44
V.4 Formula sediaan krim dengan kombinasi emulgator ........................... 45
V.5 Hasil pengamatan organoleptik krim ekstrak batang nangka .............. 49
V.6 Hasil pengamatan organoleptik krim dengan kombinasi emulgator .... 49
L.3 Hasil penapisan fitokimia ..................................................................... 58
L.5.1 Hasil pengukuran pH sediaan krim ...................................................... 61
L.5.2 Hasil pengukuran pH sediaan krim dengan kombinasi emulgator ...... 61
L.6 Hasil pengamatan creaming ................................................................ . 62
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
I.1 Pohon nangka .................................................................................... 3
I.2 Struktur kulit ..................................................................................... 6
I.3 Biosintesis melanin ........................................................................... 15
V.1 Hasil pengukuran pH krim ekstrak batang nangka ........................... 46
V.2 Hasil pengukuran pH krim dengan kombinasi emulgator................. 47
V.3 Hasil pengamatan creaming krim ekstrak batang nangka................. 48
L.4 Formula krimekstrak batang nangka ................................................. 60
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1 Hasil determinasi ............................................................................. 54
2 Perhitungan parameter standar ........................................................ 56
3 Hasil penapisan fitokimia ................................................................ 58
4 Formula sediaan krimekstrak batang nangka .................................. 60
5 Hasil pengukuran pH sediaan krim ................................................. 61
6 Hasil pengamatan creaming ............................................................ 62
1
PENDAHULUAN
Kosmetika adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada
bagian luar tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir, dan organ genital
bagian luar), atau gigi dan membran mukosa mulut, terutama untuk
membersihkan, mewangikan, mengubah penampilan, dan/atau memperbaiki bau
badan atau melindungi atau memelihara tubuh pada kondisi baik (BPOM, 2010).
Dewasa ini krim pemutih (antibrowning) menjadi salah satu produk
kosmetik yang populer di kalangan wanita. Banyak wanita yang menggunakan
produk ini agar wajah kulit terlihat putih cemerlang. Namun banyak krim pemutih
(antibrowning) yang beredar mengandung zat-zat kimia berbahaya dan apabila
digunakan secara berlebihan dapat membahayakan tubuh sehingga kebanyakan
masyarakat beralih menggunakan bahan alami yang tidak memicu kerusakan kulit
dan tidak berbahaya bagi tubuh.
Idealnya krim pemutih digunakan dalam jangka waktu tertentu. Zat-zat
kimia yang terkandung pada kosmetik yang beredar saat ini yaitu merkuri,
hidrokuinon, asam retinoat, bahan pewarna merah K.3 (CI 15585), merah K.10
(rodamin B), dan jingga K.1 (CI 12075). Dampak dari penggunaan jangka
panjang produk kosmetik yang mengandung bahan-bahan kimia tersebut antara
lain menyebabkan bintik-bintik hitam pada kulit, alergi, iritasi kulit, serta pada
pemakaian dengan dosis tinggi dapat menyebabkan kerusakan permanen pada
otak, ginjal, dan gangguan perkembangan janin. Sedangkan paparan jangka
pendek dalam dosis tinggi dapat menyebabkan muntah-muntah, diare, dan
2
kerusakan paru-paru serta merupakan zat karsinogenik pada manusia yang
menyebabkan kulit kering, rasa terbakar, teratogenik, kanker darah (leukemia),
dan kanker sel hati (BPOM, 2007:1).
Nangka termasuk suku Moraceae berasal dari Asia Selatan-India,
Bangladesh, Nepal, dan Sri Lanka. Nangka telah menjadi tanaman nasional bagi
Bangladesh dan Indonesia yang tumbuh dengan baik di daerah ekuatorial dan
subtropis (Lim, 2012:319). Kandungan kimia dalam batang nangka adalah
artokarpfuranol, dihidromorin, steppogenin, norartokarpetin, artokarpanon,
artokarpesin, artokarpin, brosimon I, kudraflavon B, karpakromen,
isoartokarpesin, dan sianomaklurin. Senyawa-senyawa tersebut diketahui
berpotensi sebagai inhibitor tirosinase dan antioksidan (Zheng et al., 2008:1).
Berdasarkan uraian di atas maka dilakukan formulasi ekstrak batang
nangka dalam bentuk sediaan krim dengan memvariasikan konsentrasi emulgator
serta kombinasinya, fase minyak, dan peningkat viskositas.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dalam
perkembangan ilmu pengetahuan bidang farmasi dan dapat meningkatkan
pemanfaatan tanaman berkhasiat di indonesia. Selain itu diharapkan juga dapat
menjadi solusi bagi masyarakat khususnya wanita untuk menggunakan kosmetik
dengan bahan aktif alamiah yang aman bagi kesehatan kulit.
3
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1.1. Sistematika Tanaman Nangka (Artocarpus heterophyllus Lamk.)
Divisi : Magnoliophyta
Sub Divisi : Angiospermae
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Urticales
Famili : Moraceae
Genus : Artocarpus
Spesies : Artocarpus heterophyllus Lamk.
(Cronquist, 1981:195-198)
Gambar I.1 Pohon Nangka (Lim, 2012:322)
4
1.2. Kandungan Kimia
Pada batang nangka mengandung artokarpin, norartokarpin, kuwanon C,
albanin A, kudraflavon B, kudraflavon C, artokarpesin, 6-prenilapigenin,
brosimon I, dan 3-prenil luteolin, furanolflavon, artokarpfuranol, dihidromorin,
steppogenin, norartokarpetin, artokarpanon, sikloartokarpin, sikloartokarpesin,
artokarpetin, karpakromen, isoartokarpesin, dan sianomaklurin (Lim, 2012:324).
Kandungan Pada buah nangka yang sudah matang (per 100 mg)
ditunjukkan pada tabel 1.1.
Tabel I.1 Kandungan senyawa buah nangka (Lim, 2012:322)
Senyawa Konsentrasi
Air 73,23 g
Energi 94 kkal
Protein 1,47 g
Lipid Total 0,30 g
Abu 1,00 g
Karbohidrat 24,01 g
Diet Serat Total 1,60 g
Kalsium 34 mg
Zat Besi 0,60 mg
Magnesium 37 mg
Fosfor 36 mg
Kalium 303 mg
Natrium 3 mg
Zinc 0,42 mg
Cu 0,187 mg
Mangan 0,197 mg
Selenium 0,6 mcg
Vitamin C 607 mg
Tiamin 0,030 mg
Riboflavin 0,110 mg
Niasin 0,400 mg
Vitamin B6 0,108 mg
Folat Total 14 mg
Vitamin A 297 IU
Asam Lemak Jenuh Total 0,063 g
Asam Lemak Tak Jenuh Total 0,044 g
Total Poliasam Lemak Tak Jenuh 0,086 g
5
Pada biji buah nangka kaya akanmineral dan lemak. Kandungan protein
pada biji buah nangka lebih tinggi daripada sumber protein dari hewan seperti sapi
dan ikan laut. Selain itu, biji buah nangka mengandung karbohidrat tinggi sebagai
sumber energi untuk hewan jika dimasukkan ke dalam asupan diet hewan (Lim,
2012:323).
Pada kulit akar mengandung beberapa senyawa flavonoid yaitu 5,2-
dihidroksi-7,4-dimetoksiflavanon, 2,4,6-trioksigenasi flavanon, heteroflavon A
dan B, sikloartenon, artonin X, β-sitosterol, artonin D, 5-hidroksi-7,2,4,6-
tetrametoksiflavanon, artonin C, asam ursolat, 8-(γ,γ-dimetilalil)-5,2,4-trihidroksi-
7-metoksiflavon, heteroflavanon C, sikloartokarpin A, 9-hidroksitridesil
dokosanoat, heteropilol, betulin, dan asam betulinat (Lim, 2012:324).
1.3. Khasiat Tanaman Nangka
Kayu dapat digunakan untuk bangunan rumah, mebel, dan sebagai
pewarna makanan seperti sele agar dan juga pewarna tekstil. Kayu memiliki efek
antikanker, memiliki aktivitas memutihkan kulit, dan antimalaria. Kulit dipakai
sebagai bahan pewarna dan juga seperti lain-lain jenis suku tumbuh-tumbuhan ini
digunakan untuk tambang dan pakaian. Kulit akar dan buah berkhasiat sebagai
antimikroba. Getah dapat digunakan untuk pulut burung (Heyne, 1987:678 dan
Lim, 2012:327-329).
Daun digemari sebagai makanan ternak kecil maupun besar. Ada yang
mengemukakan bahwa kambing atau ternak lain yang diberi makanan daun ini
menjadi sangat gemuk. Daun yang muda setelah dimasak dimakan oleh wanita
6
yang menyusui. Daunnya pun memiliki efek antioksidan dan ekstrak daunnya
memiliki aktivitas hipoglikemik dan hipolipidemik. Buah dengan umur kira-kira
tiga bulan setelah berbunga, sangat digemari untuk sayur. Buahnya memiliki efek
antiinflamasi. Biji dapat dijadikan tepung. Bijinya pun berkhasiat sebagai
Immunomodulatori dan aktivitas agutinasi (Lim, 2012:325-327 dan Heyne,
1987:678-679).
1.4. Anatomi Kulit
Kulit terdiri dari dua lapisan yaitu, epidermis dan dermis. Epidermis, yang
merupakan lapisan terluar dan aksesorisnya (rambut, kuku, kelenjar sebasea, dan
kelenjar keringat) berasal dari lapisan ektoderm embrio. Dermis berasal dari
mesoderm (Brown dan Burns, 2002:1).
Gambar I.2 Struktur kulit (Brown dan Burns, 2002:4)
1) Epidermis
Epidermis merupakan epitel gepeng (skuamosa) berlapis, dengan beberapa
lapisan terlihat jelas.Jenis sel yang utama yaitu keratinosit. Keratinosit yang
7
merupakan hasil pembelahan sel pada lapisan epidermis yang paling dalam
(stratum basal) tumbuh terus ke arah permukaan kulit, dan sewaktu bergerak ke
atas keratinosit mengalami proses yang disebut diferensiasi terminal untuk
membentuk sel-sel lapisan permukaan (stratum korneum) (Brown dan Burns,
2002:1).
Stratum basal terdiri dari sel-sel kolumnar yang melekat pada membran
basal-suatu struktur berlapis-lapis yang dari struktur inilah serabut-serabut yang
melekat menyebar ke dalam lapisan dermis superfisial. Berselang-seling diantara
sel-sel basal terdapat melanosit-melanosit-sel-sel dendrit besar yang berasal dari
krista neuralis yang berperan dalam produksi pigmen melanin. Melanosit
mengandung organel-organel sitoplasma yang disebut melanosom, tempat
pembentukan melanin dan tirosin. Melanosom bermigrasi sepanjang dendrit dari
melanosit dan ditransfer ke dalam keratinosit pada stratum spinosum (Brown dan
Burns, 2002:2).
Stratum spinosum atau lapisan sel prikel berasal dari gambaran seperti
paku yang dihasilkan oleh desmosom yang menghubungkan sel-sel yang
berdekatan. Sel-sel Langerhans tersebar diantara stratum spinosum. Sel-sel
dendritik ini kemungkinan merupakan modifikasi dari makrofag yang berasal dari
sumsum tulang dan bermigrasi ke epidermis. Sel-sel ini merupakan pertahanan
imunologis garis terdepan dalam melawan antigen dari luar dan berperan dalam
penangkapan dan penyajian antigen tersebut kepada limfosit-limfosit yang
imunokompeten, sehingga respon imun dapat ditingkatkan (Brown dan Burns,
2002:1).
8
Stratum granulosum terdiri dari sel-sel pipih dan mengandung banyak
partikel berwana gelap yang disebut granula keratohialin. Dalam sitoplasma sel
pada stratum granulosum juga terdapat organel yang disebut granula lamelar.
Organel ini mengandung lemak dan enzim yang kemudian dilepaskan ke dalam
ruang interselular di antara sel-sel stratum granulosum dan stratum korneum
menjadi semacam campuran semen di antara batu bata dan berfungsi sebagai
pertahanan bagi epidermis (Brown dan Burns, 2002:2).
Sel-sel pada stratum korneum merupakan sel-sel gepeng yang mengalami
keratinisasi, tanpa inti sel dan organel-organel sitoplasma. Sel-sel yang berdekatan
saling tumpang-tindih pada bagian tepi, saling mengunci, dan bersama-sama
dengan lemak interseluler membentuk pertahanan yang sangat efektif. Ketebalan
stratum korneum bervariasi tergantung letaknya pada tubuh. Yang paling tebal
adalah pada telapak tangan dan telapak kaki (Brown dan Burns,2002:3).
2) Dermis
Dermis adalah lapisan ikat yang terletak di bawah epidermis, dan
merupakan bagian terbesar dari kulit. Dermis dan epidermis saling mengikat
melalui penonjolan-penonjolan epidermis ke bawah (rete ridge) dan penonjolan-
penonjolan dermis ke atas (dermal papilae). Elemen utama dermis adalah
fibroblas, sel mast, dan makrofag. Fibroblas membentuk matriks jaringan ikat
pada dermis, dan biasanya ditemukan berdekatan sekali dengan serat-serat
kolagen dan elastin. Sel mast merupakan sel penghasil sekret yang khusus dan
terdapat di seluruh dermis, tetapi lebih banyak terdapat di sekitar pembuluh darah
dan aksesori dermis. Sel mast berisi granula yang kandungannya mencakup
9
mediator-mediator seperti histamin, prostaglandin, leukotrien dan faktor-faktor
kemotaksis eosinofil dan neutrofil. Makrofag merupakan sel fagositik yang
berasal dari sumsum tulang, dan berperan sebagai pengumpul debris sel kotoran
dan bahan ekstraselular. Dermis juga banyak mengandung pembuluh darah, limfe,
saraf, dan reseptor sensoris. Di bawah dermis terdapat sebuah lapisan lemak
subkutan yang memisahkan kulit dengan faskia dan otot yang ada di bawahnya.
Lapisan ini terdiri dari banyak serat kolagen dan elastin yang menunjang
kekenyalan kulit. Diantaranya banyak terdapat kelenjar keringat, kelenjar lemak,
akar rambut, ujung-ujung saraf perasa, dan pembuluh darah kapiler (Brown dan
Burns, 2002:6 dan Dwikarya, 2003:8).
1.5. Fungsi Kulit
1) Fungsi proteksi
Kulit merupakan bagian luar tubuh yang menutupi organ-organ tubuh
manusia. Berdasarkan lokasinya, ketebalan kulit berbeda-beda sesuai dengan
fungsinya. Telapak kaki berfungsi menahan berat tubuh. Karenanya harus
memiliki lapisan selaput tanduk yang tebal. Kulit bagian punggung lebih tebal
dibandingkan dengan kulit dada. Kulit tangan yang sering terpapar sabun, minyak,
dan sebagainya juga mengalami penebalan. Bagian kulit yang sering tertekan atau
digaruk akan menebal setempat. Hal ini terjadi akibat sifat atau fungsi proteksi
kulit. Fungsi proteksi terjadi karena beberapa hal (Dwikarya, 2003:1-2):
a. Kehadiran selaput tanduk yang bersifat waterproof atau kedap air,
sehingga manusia tidak menggelembung ketika berenang.
10
b. Keasaman (pH) kulit akibat keringat dan lemak kulit (sebum) menahan
dan menekan bakteri dan jamur yang ada disekitar kulit.
c. Jaringan kolagen dan jaringan lemak menahan atau melindungi organ
tubuh dari benturan.
2) Fungsi absorpsi
Kulit bayi dan anak lebih tipis dibandingkan dengan kulit orang dewasa.
Kulit orang dewasa, sesuai dengan fungsi proteksi, berkembang menjadi
pelindung yang sempurna. Setelah menjadi tua, kulit kembali menipis. Kulit orang
dewasa yang menipis diikuti oleh menipisnya lapisan epidermis dan dermis. Oleh
karena itu, kulit menjadi kering dan keriput. Sedangkan kulit bayi dan anak,
tipisnya kedua jaringan tersebut karena belum tumbuh secara optimal. Akibat
terjadinya penyerapan oleh kulit, pengobatan yang dioleskan pada kulit dapat
diteruskan oleh pori-pori ke tempat yang sakit, walaupun daya serap obat melalui
kulit lebih kecil dibandingkan secara oral dan parenteral (Dwikarya, 2003:2).
3) Fungsi ekskresi
Fungsi ekskresi terjadi karena adanya kelenjar keringat. Racun dan sisa
metabolisme di dalam tubuh bisa dibuang, seperti melalui urin, feses, empedu,
dan keringat. Jika seseorang mengalami gangguan saluran kemih, keringat
akanmengandung banyak racun dan sisa metabolisme yang tidak terpakai.
Akibatnya bau keringat menjadi tidak sedap (Dwikarya, 2003:3).
4) Fungsi pengatur tubuh
Disebut memiliki fungsi pengatur tubuh karena adanya kelenjar keringat
dan pembuluh darah kapiler di dalam dermis. Jika udara sedang panas, keringat
11
akan keluar dan menguap. Akibatnya, panas tubuh terserap sehingga udara terasa
lebih sejuk. Sebaliknya, jika udara sangat dingin, pembuluh darah menciut agar
panas tubuh tidak banyak keluar atau tertahan, sehingga tubuh secara otomatis
dapat mengatasi kondisi dingin (Dwikarya, 2003:4).
1.6. Warna Kulit
Warna kulit sangat tergantung dari ras atau keturunannya. Misalnya, orang
negro memiliki kulit yang hitam legam, bangsa eropa memiliki kulit putih, bangsa
polynesia berkulit kemerahan, Cina (oriental) berkulit kuning langsat, dan orang
asia umumnya berkulit sawo matang. Warna kulit ini ditentukan oleh pigmen
yang terdiri dari eumelanin dan feomelanin. Eumelanin adalah pigmen hasil
oksidasi yang berwarna cokelat tua dan feomelanin adalah pigmen hasil reduksi
yang berwarna kuning krem. Orang negro hanya memiliki eumelanin, ras
kaukasoid (eropa) hanya memiliki feomelanin, sedangkan bangsa Cina dan Jepang
sama dengan bangsa Melayu, memiliki kedua jenis pigmen tersebut. Hanya pada
ras oriental (Cina dan Jepang), feomelanin lebih besar dibandingkan dengan
eumelanin sehingga berwarna kuning lansat. Sebaliknya, pada orang Melayu
feomelanin lebih kecil jika dibandingkan dengan eumelanin, sehingga berwarna
sawo matang (Dwikarya, 2003:4).
Pengaruh sinar matahari memperbanyak pembentukan eumelanin sehingga
menghitamkan kulit. Kondisi ini banyak terjadi di negara yang beriklim tropis,
seperti Asia, Amerika Latin, dan Afrika. Eumelanin ini sangat berguna untuk
12
menangkal pengaruh sinar matahari yang berupa ultraviolet yang berbahaya bagi
kesehatan kulit karena bisa menyebabkan kanker kulit (Dwikarya, 2003:5).
Pada orang-orang kulit putih melanosom mengelompok bersama
membentuk ‘kompleks melanosom’ yang terikat membran dan secara bertahap
berdegenerasi ketika keratinosit bergerak menuju permukaan kulit. Pada orang-
orang kulit hitam, jumlah melanositnya sama dengan jumlah melanosit pada orang
kulit putih, tetapi melanosomnya lebih besar, tetap terpisah, dan secara persisten
memenuhi seluruh ketebalan epidermis. Stimulus utama bagi pembentukan
melanin adalah radiasi UV. Melanin melindungi inti sel pada epidermis terhadap
pengaruh buruk dari radiasi UV (Brown dan Burns, 2005:2).
Warna kecokelatan karena kulit terkena sinar matahari merupakan suatu
mekanisme perlindungan yang alami, bukan untuk keindahan. Neoplasma kulit
sangat jarang terjadi pada orang-orang berkulit gelap karena kulit mereka
terlindungi dari pengaruh buruk UV berkat banyaknya kandungan melanin pada
kulit mereka. Hal ini tidak terjadi pada orang-orang berkulit terang yang
kandungan melanin pada kulitnya kurang (Brown dan Burns, 2005:2).
1.7. Jenis Kulit
Kulit terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu :
1) Kulit Kering
Biasanya jenis kulit ini dimiliki oleh orang yang memiliki bakat alergi,
kurang gizi, terlalu banyak menggunakan sabun antiseptik, dan usia lanjut.
13
Gejalanya yaitu kulit kusam, bersisik, cepat keriput, belang putih-cokelat, dan
mengalami dehidrasi (Dwikarya, 2003:5).
2) Kulit Berminyak
Kulit berminyak biasanya dimiliki oleh orang-orang yang berpori-pori
besar, para remaja, dan penderita jerawat. Gejala dari kulit berminyak antara lain
memiliki komedo atau jerawat di wajah, noda kecoklatan yang terletak di dalam
kulit akibat timbunan pigmen di kulit jangat, dan jerawat bernanah akibat
pecahnya pembuluh darah kapiler karena sering memijit jerawat (Dwikarya,
2003:6).
3) Kulit Kombinasi
Biasanya kulit tampak lembut dan tidak berkeriput tetapi terkadang
mengalami jerawat di zona T (hidung, dahi, dan dagu) saja (Dwikarya, 2003:7).
4) Kulit Normal
Kulit normal tampak kenyal, lembut, dan indah dipandang mata
(Dwikarya, 2003:7).
1.8. Pigmentasi
Pigmentasi diatur oleh proses-proses rumit yang dihasilkan dari sintesis
dan distribusi dari melanin. Pigmen ini memainkan peran penting dalam
penyerapan radikal bebas yang dihasilkan di dalam sitoplasma dan perisai radiasi
pengion, termasuk sinar UV. Pigmentasi kulit melibatkan kerjasama dari
melanosit dan keratinosit untuk menghasilkan melanin dan kemudian
mentransfernya ke keratinosit, yang kemudian mendistribusikannya diberbagai
14
rute menuju permukaan kulit. Baru-baru ini, fibroblas juga telah ditunjukkan
untuk berpartisipasi dalam regulasi pertumbuhan dan diferensiasi melanosit. Oleh
karena itu, warna kulit antar ras dan bahkan diberbagai daerah satu individu
mencerminkan banyak interaksi epidermis dan dermal komponen. Namun yang
paling penting dari warna kulit adalah aktivitas melanosit: kuantitas dan kualitas
produksi pigmen, bukan kepadatan melanosit. Kunci dari sistem pigmentasi
adalah sebagai berikut (Donsing dan Viyoch, 2008:10) :
1) Melanosit Biologi
Melanosit adalah sel yang sangat dendritik yang bermigrasi dari puncak
saraf selama pengembangan sampai mencapai lapisan basal epidermis dan tetap.
Meskipun melanosit terdiri hanya sebagian kecil dari sel yang ada dalam
epidermis mamalia, melanosit bertanggung jawab dalam produksi pigmen melanin
yang menyumbang hampir semua dari pigmentasi di rambut, kulit, dan mata.
Melanosit berisi melanosom yang merupakan situs dari biosintesis melanin.
Dendrit melanosit adalah penyedia saluran untuk kanal melanosom dan transfer ke
kerationosit. Asosiasi dari melanosit dan keratinosit sekitarnya sering
didefinisikan sebagai unit epidermal melanin, dimana satu melanosit biasanya
dikaitkan dengan 36 keratinosit. Per 1 mm2
kulit ada 1,100-1,500 melanosit dan
jumlah yang hampir sama terlepas dari jenis kulit. Hal ini logis untuk
mengasumsikan bahwa dendrit adalah komponen penting dari transfer melanosom
karena melanosit merupakan minoritas di dalam epidermis dan karena itu harus
berhubungan dengan keratinosit-keratinosit (Donsing dan Viyoch, 2008:11).
15
2) Biosintesis Melanin
Melanin adalah pigmen warna kulit yang disintesis dalam melanosom dari
melanosit. Sintesis melanin diatur oleh enzim melanogenik seperti tirosinase,
tirosinase yang berhubungan dengan protein 1 (TRP-1), dan tirosinase yang
berhubungan dengan protein 2 (TRP-2). Bahan yang memulai untuk produksi
melanin, baik eumelanin coklat-hitam dan kuning-merah feomelanin, adalah
tirosin asam amino. Tingkat dan jenis produksi melanin berhubungan dengan
aktivitas berbagai enzim serta MSH (α-melanosit stimulating hormone),
agoutiprotein signaling, faktor pertumbuhan fibroblas dasar (bFGF), endotelin-1
dan sinar ultraviolet. Jalur biosintesis melanin ditunjukkan pada Gambar 1.3
(Donsing dan Viyoch, 2008:11).
Gambar I.3 Biosintesis Melanin (Donsing dan Viyoch, 2008:11)
Melanogenesis dimulai dengan langkah pertama oksidasi tirosin untuk
katalis dopakuinon oleh tirosinase. Langkah pertama adalah tingkat membatasi
tahap dalam sintesis melanin karena sisa dari urutan reaksi dapat dilanjutkan
16
secara spontan pada nilai pH fisiologis (Chang, 2009:2440). Langkah awal dalam
sintesis eumelanin dan feomelanin dikendalikan oleh enzim tirosinase yang
mengoksidasi tirosin asam amino untuk 3,4-dihydroxyphenyl-alanin(Dopa).
Dopakuinon selanjutnya diubah menjadi dopa dan dopakrom melalui auto-
oksidasi. Dopa juga merupakan substrat tirosinase dan teroksidasi menjadi
dopakuinon lagi oleh enzim. Dopakuinon merupakan senyawa yang sangat reaktif
tanpa keberadaan tiol dalam media reaksi, mengalami siklisasi intramolekul yang
menyebabkan leukodopakrom dan kemudian ke dopakrom. Dopakrom spontan
terdekarboksilasi menjadi dihidroksiindole (DHI). Dengan keberadaan kation
divalen dan enzim dopakrometautomerase, yang disebut juga dengan
proteinterkait tirosinase 2 (TRP-2), 5,6-dihidroksiindol-2-asam karboksilat
(DHICA) akan terjadi. DHI dioksidasi menjadi indol-5,6-kuinon sementara
DHICA dioksidasi menjadi asam indole-5,6-kuinon-karboksilat. Hal ini
berspekulasi bahwa oksidasi DHICA dikatalisis oleh enzim yang disebut DHICA
oksidase sinonim dengan tirosinase terkait protein 1 (TRP-1) dan oksidasi DHI
oleh tirosinase. Kuinon-kuinon diperkirakan membuat melanin dengan
polimerisasi oksidatif (Donsing dan Viyoch, 2008:12).
3) Kontrol enzimatik dari Pigmentasi
Enzim melanogenik terdiri dari tirosinase, TRP-1 dan TRP-2 yang
glikoproteinnya tertanam dalam membran melanosom yang berbagi urutan
nukleotida 70-80% homolog dengan identitas asam amino 30-40%, dan berbagi
motif fungsional umum seperti reseptor faktor pertumbuhan epidermal dan situs
tembaga pengikat. Di antara enzim-enzim tersebut, tirosinase dianggap sebagai
17
pembatas laju enzim dan merupakan pengatur tahap utama dalam melanogenesis.
Tirosinase adalah glikoprotein tembaga yang mengandung multifungsi dengan
molekul berat molekul sekitar 65 kDa dan 75 kDa saat glikosilasi. Enzim ini dapat
mengkatalisis tiga reaksi yang berbeda dalam jalur biosintesis melanin, yaitu
hidroksilasi dari tirosin menjadi dopa (aktivitas monophenolase), oksidasi dopa
untuk dopakuinon (aktivitas difenolase), dan oksidasi 5,6-dihydroksiindole (DHI)
untuk indolkuinon (Donsing dan Viyoch, 2008:13).
Tirosinase merupakan protein yang sangat stabil yang sangat tahan
terhadap panasatau protease. Tirosinase juga memiliki waktu paruh biologis yang
luar biasa. Tirosinase dapat dibagi menjadi tiga domain: domain yang berada
dalam melanosom, transmembran melanosom dan sitoplasmatik. Bagian terbesar
dari enzim berada di dalam melanosom dan hanya 10% atau 30 asam amino
merupakan domain sitotoplasmatik. Dua enzim, TRP-1 dan TRP-2, yang juga
memiliki fungsi katalitik yang dapat memodifikasi jenis melanin yang diproduksi.
Dengan keberadaan TRP-2 yang berfungsi sebagai dopakrom tautomerase (DCT),
kelompok asam karboksilat dopakrom, yang akan spontan hilang, tetap
dipertahankan, dan derivatif terkarboksilasi (DHICA) dihasilkan daripada DHI.
Hal ini menyebabkan melanin berwarna lebih terang dan lebih larut yang dikenal
sebagai DHICA melanin. Pada bagian dari TRP-1, fungsi tetap tidak jelas.
Modulasi langkah-langkah dalam melanogenesis termasuk yang melibatkan
kofaktor dari tirosinase, aktivitas tirosinase hidroksilase, aktivitas like-catalase,
aktivitas DCT, aktivitas DHI oksidase, dan aktivitas oksidase DHICA (Donsing
dan Viyoch, 2008:13).
18
4) Transfer Melanosom dan Distribusi
Melanosoma dalah unit khusus dari organel turunan lisosomal.
Melanosom berasal dari retikulum endoplasma halus sebagai vesikel sitoplasma
dengan bentuk amorf. Sebagai melanosom matang sampai pada akhir melanosit
dendrit, melanosom disekresikan di daerah dimana melanosit interkalat dengan
keratinosit (Donsing dan Viyoch, 2008:13).
Pengalihan melanosom sebenarnya ke keratinosit-keratinosit dan interaksi
melanosit selama transfer tidak dikarakterisasi dengan baik. Sinar awal dan studi
mikroskop elektron menyarankan mekanisme yang mungkin untuk transfer
berbagai melanosom. Hal ini termasuk pelepasan melanosom ke dalam ruang
ekstra seluler diikuti oleh endositosis, inokulasi langsung (injeksi), membran fusi
keratinosit-melanosit dan fagositosis. Studi terbaru menunjukkan bahwa PAR-2,
dan reseptor keratinosit PAR-2 berperan penting dalam transfer melanosom.
Melanosom ditransfer ke keratinosit, keratinosit naik ke permukaan epidermis dari
lapisan basal dan suprabasal dimana transfer melanosom berlangsung, melanosom
juga naik dan dipertahankan di lapisan sel Horny sekitar dua minggu. Proses
fagositosis dari melanosom meningkat dengan paparan keratinosit untuk radiasi
UV atau α-MSH. Distribusi melanosom pada manusia tergantung pada fototipe
kulit. Hal tersebut terjadi secara tunggal dikulit yang lebih gelap (fototipe V dan
VI) dan cluster di kulit yang lebih bercahaya (fototipe I dan II). Melanosom yang
lebih kecil dari kulit berpigmen terang ini terkelompok dalam kelompok di dalam
lisosom sekunder pada keratinosit dan terdegradasi pada pertengahan stratum
spinosum. Pada kulit berpigmen gelap, melanosom yang lebih besar dan secara
19
tunggal tersebar dalam lisosom dari keratinosit, terdegradasi lebih lambat, seperti
melanin yang butirannya masih dapat ditemukan dalam stratum korneum
(Donsing dan Viyoch, 2008:14).
1.9. Flavonoid
Flavonoid mencakup banyak pigmen yang paling umum dan terdapat pada
seluruh dunia tumbuhan mulai dari fungus sampai angiospermae. Pada tumbuhan
tinggi, flavonoid terdapat baik dalam bagian vegetatif maupun dalam bunga.
Beberapa fungsi flavonoid untuk tumbuhan ialah pengaturan tumbuh, pengaturan
fotosintesis, aktivitas antimikroba dan antivirus, dan aktivitas terhadap serangga
(Robinson, 1995:191).
Golongan flavonoid dapat digambarkan sebagai deretan senyawa C6-C3-
C6. Golongan flavonoid yang umum adalah flavonol, flavon, flavanon, antosianin,
dan isoflavon. Flavonoid bertindak sebagai penampung yang baik radikal hidroksi
dan superoksida dan dengan demikian melindungi lipid membran terhadap reaksi
yang dapat merusaknya (Grotewold, 2006:1).
1.10. Krim
Krim adalah bentuk sediaan setengah padat yang mengandung satu atau
lebih bahan terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai. Krim
didefinisikan sebagai cairan kental atau emulsi setengah padat baik bertipe air
dalam minyak atau minyak dalam air. Krim biasanya digunakan sebagai emolien
atau pemakaian obat pada kulit. Istilah krim secara luas digunakan dalam farmasi
20
dan industri kosmetik, dan banyak produk dalam perdagangan disebut sebagai
krim tetapi tidak sesuai dengan bunyi definisi di atas. Banyak hasil produksi yang
nampaknya seperti krim tetapi tidak mempunyai dasar dengan jenis emulsi,
biasanya disebut krim. Konsistensi dan sifat rheologisnya tergantung pada jenis
emulsinya apakah jenis air dalam minyak atau minyak dalam air, dan juga pada
sifat zat padat dalam fase internal (Depkes, RI., 1995:6, Ansel, 1989:513, dan
Lachman, Lieberman, dan Kanig, 1986:1092).
Metode pembuatan secara umum meliputi proses peleburan dan proses
emulsifikasi. Biasanya komponen yang tidak bercampur dengan air seperti
minyak dan lilin dicairkan bersama di penangas air pada temperatur sekitar 70
sampai 75⁰C. Sementara itu, semua larutan berair yang tahan panas, komponen
yang larut dalam air, yang dibuat dalam sejumlah air yang dimurnikan, khususnya
dalam formula dan dipanaskan pada temperatur yang sama dengan komponen
berlemak. Kemudian larutan berair secara perlahan–lahan ditambahkan, dengan
pengadukan yang konstan (biasanya dengan pengaduk mekanik) ke dalam
campuran berlemak yang cair, temperatur dipertahankan selama 5 sampai 10
menit, untuk menjaga kristalisasi dari lilin dan kemudian campuran perlahan-
lahan didinginkan dengan pengadukan yang terus-menerus sampai campuran
membeku/mengental. Apabila larutan berair tidak sama temperaturnya dengan
leburan lemak, maka beberapa lilin akan menjadi padat tergatung pada
penambahan dari larutan berair yang lebih dingin pada campuran yang mencair
(Ansel, 1989:510).
21
Sediaan krim yang stabil secara farmasetika terdiri dari berbagai macam
bahan tambahan antara lain zat pengemulsi, pengawet, antioksidan, zat peningkat
konsistensi, dan humektan.
1) Zat pengemulsi
Umumnya dibedakan tiga golongan besar zat pengemulsi yaitu surfaktan,
koloid hidrofilik, dan zat padat yang terbagi halus. Walaupun koloid hidrofilik
dan zat padat yang terbagi halus dapat digunakan sebagai pengemulsi satu-
satunya, penggunaannya yang terbesar adalah dalam bentuk pengemulsi
pembantu. Golongan pengemulsi tertentu dipilih terutama berdasarkan stabilitas
shelf-life yang dikehendaki, tipe emulsi yang diinginkan, dan biaya pengemulsi
(Lachman, Lieberman, dan Kanig, 1986:1051).
2) Bahan pengawet
Semua emulsi memerlukan bahan antimikroba karena fase air
mempermudah pertumbuhan mikroorganisme. Adanya pengawet sangat penting
dalam emulsi minyak dalam air karena kontaminasi fase eksternal mudah terjadi.
Karena jamur dan ragi lebih sering ditemukan daripada bakteri, lebih diperlukan
yang bersifat fungistatik dan bakteriostatik. Bakteri ternyata dapat menguraikan
bahan pengemulsi nonionik dan anionik, gliserin, dan sejumlah bahan penstabil
alam seperti tragakan dan gom guar. Pengawet yang biasa digunakan dalam
emulsi adalah metil-, etil-, propil-, dan butil-paraben, asam benzoat, dan senyawa
amonium kuaterner (Depkes, RI., 1995:7).
22
3) Antioksidan
Antioksidan ditambahkan pada sediaan semipadat jika akan terjadi
kerusakan akibat oksidasi. Sistem antioksidan ditentukan oleh komponen-
komponen formulasi dan pemilihan antioksidan tergantung pada beberapa faktor
seperti toksisitas, iritansi, potensi, tercampurkan, bau, perubahan warna, kelarutan,
dan kestabilan. Seringkali dua antioksidan digunakan karena kombinasi tersebut
sering memberikan efek sinergistik. Antioksidan biasa digunakan pada
konsentrasi yang berkisar dari 0,001 sampai 0,1%. Beberapa zat antioksidan yang
biasa digunakan adalah asam galat, propil galat, asam askorbat, askorbil palmitat,
sulfit, tokoferol, hidroksitoluen terbutilasi, kidroksianisol terbutilasi, dan 4-
hidroksimetil-2,6-di-ter-butilfenol (Lachman, Lieberman, dan Kanig,
1986:1068,1134).
4) Zat peningkat konsistensi
Zat ini dugunakan untuk meningkatkan konsistensi emulsi topikal (krim).
Bahan peningkat viskositas atau bahan peningkat konsistensi yang biasa
digunakan antara lain setil alkohol, emulgid, stearil alkohol, trietanolamin stearat,
dan golongan sorbitan, polisorbat, polietilenglikol, dan sabun (Swarbrick,
1995:1554).
5) Humektan
Humektan digunakan dalam sediaan krim dengan tujuan menjaga
kelembaban kulit dengan mencegah penguapan air dari permukaan kulit. Contoh
humektan antara lain gliserol, sorbitol (5%), dan propilen glikol (Swarbrick,
1995:1554).
23
1.11. Preformulasi Zat
Pada penelitian ini bahan-bahan yang akan digunakan adalah :
1) Bahan Berkhasiat
Bahan berkhasiat yang akan digunakan adalah ekstrak batang nangka.
2) Bahan Tambahan
Bahan tambahan yang akan digunakan yaitu setil alkohol sebagai
peningkat viskositas, parafin cair sebagai emolient, gliseril monostearat serta
trietanolamin sebagai emulgator, propilen glikol sebagai humektan. Sedangkan
metil paraben dan propil paraben sebagai pengawet, asam askorbat sebagai
antioksidan dan aquadest sebagai pelarut.
1.11.1. Setil alkohol
Setil alkohol digunakan sercara luas pada kosmetik dan formulasi sediaan
farmasetikal lainnya seperti supositoria, sediaan lepas termodifikasi, emulsi, lotio,
krim, dan salep. Pada lotio, krim, dan salep setil alkohol digunakan sebagai
emolien, pengabsorpsi air, dan zat pengemulsi. Setil alkohol dapat mempertinggi
stabilitas, memperbaiki tekstur sediaan, dan meningkatkan konsistensi. Setil
alkohol juga digunakan untuk zat pengabsorbsi air pada emulsi air dalam
minyak.pada emulsi minyak dalam air, setil alkohol dapat memperbaiki stabilitas
dengan kombinasi zat pengemulsi larut air (Rowe, Sheskey, dan Weller,
2003:130).
24
Setil alkohol berupa wax, serpihan putih, granul, kubus atau tuangan.
Sedikit beraroma dan memiliki rasa yang lemah. Setil alkohol memiliki titik didih
316-344ºC dan titik leleh 45-52ºC (Rowe, Sheskey, dan Weller, 2003:130).
Setil alkohol larut dengan bebas dalam etanol (95%) dan eter, kelarutan
akan meningkat dengan meningkatnya suhu. Praktis tdak larut dalam air.dapat
bercampur saat dilelehkan dengan lemak, parafin padat dan cair, dan isopropil
miristat (Rowe, Sheskey, dan Weller, 2003:131).
1.11.2. Metil paraben
Metil paraben digunakan secara luas sebagai pengawet dalam kosmetik,
produk makanan, dan formulasi farmasetikal lainnya. Dapat digunakan secara
kombinasi dengan senyawa paraben lainnya atau dengan zat antimikroba lainnya.
Metil paraben berupa kristal tidak berwarna atau serbuk kristal putih, tidak berbau
atau hampir tidak berbau dan memiliki rasa seperti terbakar (Rowe, Sheskey, dan
Weller, 2003:390).
Metil paraben memiliki titik didih 125-128⁰C. Metil paraben praktis tidak
larut dalam minyak mineral, larut dalam etanol, eter, gliserin, propilen glikol,
minyak kacang, dan air (Rowe, Sheskey, dan Weller, 2003:391).
1.11.3. Propil paraben
Propil paraben digunakan secara luas sebagai antimikroba dalam kosmetik,
produk makanan, dan formulasi farmasetikal lainnya. Penggunaannya dapat
dikombinasikan dengan ester paraben lainnya atau dengan zat antimikroba
lainnya. Propil paraben merupakan zat antimikroba yang sering digunakan dalam
kosmetik. Penggunaan propil paraben (0.02%) dengan metil paraben (0.18%)
25
digunakan sebagai pengawet pada berbagai sediaan parenteral. Propil paraben
berbentuk kristal, berwarna putih, tidak berbau, dan serbuk yang tidak berasa
(Rowe, Sheskey, dan Weller, 2003:526).
Propil paraben memiliki titik didih 295ºC dan pka 8,4 pada 22ºC. Propil
paraben larut dengan bebas dalam aseton dan eter. Larut dalam etanol, gliserin,
minyak mineral, propilen glikol, dan air (Rowe, Sheskey, dan Weller, 2003:527).
1.11.4. Propilen glikol
Propilen glikol digunakan secara luas sebagai pelarut, ekstaktan, dan
pengawet dalam berbagai formulasi sediaan parenteral dan nonparenteral.
Propilen glikol adalah pelarut umum yang lebih baik dari gliserin dan larut dalam
berbagai senyawa seperti kortikosteroid, fenol, barbiturat, vitamin (A dan D),
alkaloid, dan anestetik lokal. Propilen glikol bekerja sebagai antiseptik seperti
etanol. Propilen glikol juga digunakan pada kosmetik dan industri makanan
sebagai pembawa untuk zat pengemulsi. Propil paraben digunakan sebagai
pengawet pada konsentrasi 15-3-% (Rowe, Sheskey, dan Weller, 2003:521).
Propilen glikol cair jernih, tidak berwarna, kental, praktis tidak berbau
dengan rasa manis seperti gliserin. Propilen glikol memiliki titik didih 180ºC
(Rowe, Sheskey, dan Weller, 2003:521).
Propilen glikol dapat bercampur dengan aseton, kloroform, etanol (95%),
gliserin, dan air.Larut pada 1:6 bagian eter. Propilen glikol tidak bercampur
dengan minyak mineral tetapi dapat melarutkan beberapa minyak esensial (Rowe,
Sheskey, dan Weller, 2003:522).
26
1.11.5. Gliseril monostearat
Gliseril monostearat digunakan sebagai pengemulsi nonionik, zat
penstabil, emolien, dan biasa digunakan pada sediaan kosmetik. Gliseril
monostearat berupa serbuk, flake, dan wax berwarna putih hingga krem, berbau
dan berasa seperti lemak. Gliseril monostearat larut dalam etanol panas, eter,
kloform, aseton panas, minyak mineral dan minyak. Gliseril monostearat praktis
tidak larut dalam air, tetapi dapat terdispersi dalam air dengan adanya surfaktan
atau sabun (Rowe, Sheskey, dan Weller, 2003:264).
Gliseril monostearat memiliki titik leleh 55-60ºC dan nilai HLB 3,8.
Gliseril monostearat harus ditambahkan antioksidan seperti butilat hidroksitoluen
dan propil galat. Gliseril monostearat sebaiknya disimpan dalam wadah kedap
udara ditempat yang dingin, kering, dan terlindung dari cahaya (Rowe, Sheskey,
dan Weller, 2003:265).
1.11.6. Asam askorbat
Asam askorbat digunakan sebagai antioksidan dalam sediaan cair pada
konsentrasi 0.01-0.1% b/v. Asam askorbat juga digunakan secara luas dalam
produk makanan sebagai antioksidan. Asam askorbat berupa serbuk kristal putih
hingga kuning muda atau kristal tidak berwarna, tidak berbau dan memiliki rasa
asam. Asam askorbat akan berubah warna menjadi gelap ketika terpapar cahaya
(Rowe, Sheskey, dan Weller, 2003:32).
Asam askorbat memiliki titik leleh 190ºC. Asam askorbat larut dalam
etanol, gliserin, propilen glikol, dan air. Asam askorbat praktis tidak larut dalam
kloroform dan eter. Dalam bentuk serbuk, asam askorbat relatif stabil terhadap
27
udara. Ketiadaan oksigen dan zat pengoksidasi lain, asam askorbat stabil terhadap
pemanasan. Asam askorbat tidak stabil dalam larutan terutama larutan bersifat
basa. Stabilitas maksimum asam askorbat cair pada pH 5,4. Asam askorbat
sebaiknya disimpan didalam wadah nonlogam yang tertutup baik, terlindung dari
cahaya di tempat yang dingin dan kering (Rowe, Sheskey, dan Weller, 2003:33).
1.11.7. Parafin cair
Parafin cair digunakan pada emulsi tipe minyak dalam air sebagai pelarut,
untuk supositoria cocoa butter, dan lubrikan pada formulasi kapsul dan tablet.
Parafin cair berupa cairan kental berminyak, transparan, tidak berwarna, tidak
berfluoresen terhadap cahaya. Praktis tidak berasa dan tidak berbau saat dingin
dan memiliki baru petroleum saat dipanaskan (Rowe, Sheskey, dan Weller,
2003:395).
Parafin cair praktis tidak larut dalam etanol (95%), gliserin, dan air.
Parafin cair larut dalam aseton, benzen, kloroform, karbon disulfida, eter, dan
petroleum eter. Parafin cair dapat bercampur dengan minyak atsiri. Parafin cair
akan teroksidasi jika terpapar cahaya dan panas. Parafin cair sebaiknya disimpan
di dalam wadah kedap udara, terlindung dari cahaya, di tempat yang dingin dan
kering (Rowe, Sheskey, dan Weller, 2003:396).
1.11.8. Trietanolamin
Trietanolamin berupa cairan kental jernih, tidak berwarna hingga berwarna
kuning pucat dan memiliki bau seperti amoniak. Titik didih trietanolamin adalah
335ºC, titik leleh 20-21ºC dan sangat higroskopis. Tritetanolamin dapat
28
bercampur dengan aseton, karbon tetraklorida, metanol, dan air (Rowe, Sheskey,
dan Weller, 2003:663).
Trietanolamin dapat berubah warna menjadi coklat akibat terpapar cahaya
dan udara. Trietanolamin sebaiknya disimpan dalam wadah kedap udara,
terlindung dari cahaya, di tempat yang sejuk dan kering. Trietanolamin
mengandung gugus hidroksi yang dapat menyebabkan reaksi dengan amina dan
alkohol. Trietanolamin dapat bereaksi dengan asam mineral membentuk kristal
garam yang larut dalam air dan memiliki karakteristik dari sabun. Trietanolamin
juga dapat bereaksi dengan tembaga membentuk garam kompleks. Perubahan
warna dan pengendapan dapat terjadi akibat adanya garam logam berat.
Trietanolamin dapat bereaksi dengan pereaksi seperti tionilklorida dengan
mengganti gugus hidroksi dengan halogen yang bersifat sangat toksik (Rowe,
Sheskey, dan Weller, 2003:664).
29
BAB II
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian yang dilakukan melalui beberapa tahap yaitu penyiapan
simplisia batang nangka, pembuatan ekstrak batang nangka, pembuatan sediaan
krim, dan evaluasi sediaan krim ekstrak batang nangka. Pada tahap awal
penelitian yaitu penyiapan simplisia batang nangka, dilakukan pengumpulan
bahan baku, determinasi, penetepan parameter standar simplisia, dan penapisan
fitokimia.
Pada tahap penyiapan ekstrak batang nangka dilakukan ekstraksi dengan
metode refluks dengan menggunakan pelarut etanol 95%. Kemudian dilakukan
pembuatan sediaan krim dengan memvariasikan konsentrasi emulgator serta
kombinasinya, fase minyak, dan zat peningkat viskositas. Metode pembuatan krim
yang dilakukan adalah metode peleburan.
Pada tahap akhir dilakukan evaluasi sediaan krim pada masing-masing
formula meliputi pengamatan organoleptik, pengamatan homogenitas sediaan,
pengukuran pH sediaan, dan pengamatan terjadinya creaming.
30
BAB III
BAHAN DAN ALAT
3.1. Bahan
Bahan yang akan digunakan pada penelitian ini antara lain ekstrak batang
nangka, gliseril monostearat (Brataco), trietanolamin (Brataco), setil alkohol
(Brataco), parafin cair (Brataco), propilen glikol (Brataco), metil paraben
(Brataco), propil paraben (Brataco), asam askorbat (Brataco), aquadest (Brataco),
larutan dapar fosfat, toluen (Brataco), asam sulfat encer P (Brataco), air-kloroform
LP, etanol 95% (Brataco), serbuk magnesium (Brataco), asam klorida (Brataco),
amil alkohol (Brataco), pereaksi Bouchardat LP, pereaksi mayer LP, FeCl3,
larutan gelatin, larutan steasny, NaOH, eter, pereaksi Liebermann Burchard, dan
pereaksi vanilin 10% dalam asam sulfat pekat.
3.2. Alat
Alat-alat yang akan digunakan pada penelitian ini antara lain timbangan
analitik (Mettler Toledo), rotary evaporator RV 10 (Ika), ultra turrax T25 (Ika),
pH meter (Mettler Toledo), oven (Memmert), tabung reaksi, gelas kimia (Pyrex),
batang pengaduk, spatel, sendok tanduk, gelas ukur (Pyrex), kaca arloji,
termometer (Pyrex), destilator, krus silikat, dan penangas air (Memmert).
31
BAB IV
PROSEDUR KERJA
4.1. Penyiapan Simplisia
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah batang nangka
(Artocarphus heterophyllus Lamk.) yang diperoleh dari perkebunan di Ciparay.
Determinasi batang nangka dilakukan di Herbarium Bandungense Sekolah Ilmu
dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung.
4.2. Perlakuan Terhadap Tanaman
Perlakuan terhadap tanaman meliputi penebangan pohon, sortasi,
perajangan, pengeringan, dan penyerbukan. Kemudian dilakukan penentuan
parameter standar yang meliputi penetapan kadar air, kadar abu, kadar abu tidak
larut dalam asam, kadar sari larut dalam air, dan kadar sari larut dalam etanol.
Setelah itu dilakukan penapisan fitokimia meliputi penapisan flavonoid, alkaloid,
polifenolat, tanin, kuinon, saponin, triterpenoid, steroid, monoterpen, dan
seskuiterpen. Setelah itu dilakukan ekstraksi dengan metode refluks.
4.2.1. Penetapan kadar air
Penetapan kadar air simplisia dilakukan dengan metode destilasi. Tabung
penerima dan pendingin dibersihkan dengan asam pencuci dan dibilasi dengan air
lalu dikeringkan dalam lemari pengering. Ke dalam labu kering dimasukkan
sejumlah zat yang ditimbang seksama yang diperkirakan mengandung 2 ml
sampai 4 ml air. Jika zat berupa pasta, timbang dalam sehelai lembaran logam
32
dengan ukuran yang sesuai dengan leher labu. Untuk zat yang dapat menyebabkan
gejolak mendadak, tambahkan pasir kering yang telah dicuci secukupnya hingga
mencukupi dasar labu atau sejumlah tabung kapiler, panjang lebih kurang 100 mm
yang salah satu ujungnya tertutup. Dimasukkan lebih kurang 200 ml toluen ke
dalam labu, hubungkan alat. Kemudian tuang toluen ke dalam tabung penerima
(R) melalui alat pendingin. Panaskan labu hati-hati selama 15 menit.
Setelah toluen mulai mendidih, suling dengan kecepatan lebih kurang 2
tetes tiap detik, hingga sebagian air tersuling, kemudian naikkan kecepatan
penyulingan hingga 4 tetes tiap detik. Setelah semua air tersuling, cuci bagian
dalam pendingin dengan toluen, sambil dibersihkan dengan sikat tabung yang
disambungkan pada sebuah kawat tembaga dan lebih dibasahi dengan toluen.
Lanjutkan penyulingan selama 5 menit. Biarkan tabung penerima pendingin
hingga suhu kamar. Jika ada tetes air yang melekat pada pendingin tabung
penerima, gosok dengan karet yang diikatkan pada sebuah kawat tembaga dan
dibasahi dengan toluen hingga tetesan air turun. Setelah air dan toluen memisah
sempurna, baca volume air. Hitung kadar air dalam persen (Dirjen POM,
2000:16).
4.2.2. Penetapan kadar abu
Lebih kurang 2 gram ekstrak yang telah digerus dan ditimbang seksama,
dimasukkan ke dalam krus silikat yang telah dipijarkan dan ditara, kemudian
ratakan. Pijarkan perlahan-lahan hingga arang habis, lalu dinginkan dan timbang.
Jika cara ini arang tidak dapat dihilangkan, tambahkan air panas, saring melalui
kertas saring bebas abu. Pijarkan sisa kertas dan kertas saring dalam krus yang
33
sama. Masukkan filtrat ke dalam krus, lalu uapkan, pijarkan hingga bobot tetap
lalu timbang. Hitung kadar abu terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara
(Depkes, RI., 2000:17).
4.2.3. Kadar abu tidak larut asam
Abu yang diperoleh pada penetapan kadar abu, didihkan dengan 25 ml
asam sulfat encer P selama 5 menit, lalu kumpulkan bagian yang tidak larut asam,
saring melalui krus kaca masir atau kertas saring bebas abu, cuci dengan air panas,
pijarkan hingga bobot tetap, lalu timbang. Hitung kadar abu yang tidak larut
dalam asam terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Depkes, RI.,
2000:17).
4.2.4. Penetapan kadar sari larut dalam air
Maserasi sejumlah 5 gram ekstrak selama 24 jam dengan 100 ml air-
kloroform LP menggunakan labu bersumbat sambil berkali-kali dikocok selama 6
jam pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam. Kemudian saring dan
uapkan 20 ml filtrat hingga kering dalam cawan dangkal berdasar rata yang telah
ditara, lalu panaskan residu pada suhu 105ºC hingga bobot tetap. Hitung kadar
dalam persen senyawa yang larut dalam air, dihitung terhadap ekstrak awal
(Depkes, RI., 2000:31).
4.2.5. Penetapan kadar sari larut dalam etanol
Maserasi sejumlah 5 garm ekstrak selama 24 jam dengan 100 etanol (95%)
menggunakan labu bersumbat sambil berkali-kali dikocok selama 6 jam pertama
dan kemudian dibiarkan selama 18 jam. Kemudian saring cepat dengan
menghindarkan penguapan etanol, lalu uapkan 20 ml filtrat hingga kering dalam
34
cawan dangkal berdasar rata yang telah ditara, panaskan residu pada suhu 105ºC
hingga bobot tetap. Hitung kadar dalam persen senyawa yang larut dalam etanol
(95%), dihitung terhadap ekstrak awal (Depkes, RI., 2000:31)
4.2.6. Penapisan fitokimia
Penapisan fitokimia yang dilakukan yaitu penapisan senyawa flavonoid,
alkaloid, polifenolat, tanin, kuinon, saponin, triterpenoid, steroid, monoterpen, dan
seskuiterpen.
1) Penapisan Senyawa Flavonoid
Dimasukkan simplisia sebanyak 2 spatel ke dalam tabung reaksi lalu
ditambahkan air secukupnya, kemudian dicampur dengan 0.1 gram serbuk
magnesium dan 10 tetes asam klorida 2 N dan dipanaskan di atas penangas air dan
disaring. Filtrat yang diperoleh ditambahkan amil alkohol lalu dikocok dengan
kuat. Jika terjadi warna kuning, jingga atau merah pada lapisan amil alkohol
menunjukkan adanya flavonoid. Warna kuning jingga menunjukkan adanya
flavon, kalkon, dan auron (Depkes, RI., 1989:553).
2) Penapisan Senyawa Alkaloid
Timbang 500 mg serbuk simplisia, tambahkan 1 ml asam klorida 2 N dan
9 ml, lalu panaskan di atas tangas air selama 2 menit, dinginkan dan saring.
Pindahkan 3 tetes filtrat pada kaca arloji, tambahkan 2 tetes Bouchardat LP. Jika
pada kedua percobaan tidak terjadi endapan, maka serbuk tidak mengandung
alkaloid. Jika dengan Mayer LP terbentuk endapan menggumpal berwarna putih
atau kuning yang larut dalam metanol P dan dengan Bouchardat LP terbentuk
35
endapan berwarna coklat sampai hitam maka ada kemungkinan terdapat alkaloid
(Depkes, RI., 1989:549).
3) Penapisan Senyawa Polifenolat
Simplisia ditempatkan pada pada tabung reaksi lalu ditambahkan air
secukupnya, lalu dipanaskan diatas penangas air dan disaring. Kepada filtrat
ditambahkan larutan pereaksi FeCl3 dan timbulnya warna hijau atau biru-
hijau,merah ungu, biru–hitam hingga hitam menandakan positif fenolat atau
timbul endapan coklat menandakan adanya polifenol (Farnsworth, 1966:243-265).
4) Penapisan Senyawa Tanin
Simplisia sebanyak 1 gram ditambahkan 100 ml air panas, kemudian
dididihkan selama 15 menit. Campuran didinginkan kemudian disaring dan filtrat
dibagi menjadi 3 bagian dalam tabung reaksi. Filtrat pertama sebanyak 5 ml
ditambah 2 tetes FeCl3 1% reaksi positif jika terbentuk warna biru tua atau hitam
kehijauan. Filtrat kedua sebanyak 5 ml pada tabung reaksi lain ditambahkan
larutan gelatin, jika terbetuk endapan putih maka menunjukkan adanya tanin.
Untuk dapat mengetahui jenis tanin yang terkandung, maka sebanyak 5 ml filtrat
ketiga dalam tabung reaksi lainnya ditambahkan beberapa tetes pereaksi Steasny
(Formaldehid:HCl = 1:1 ) lalu dipanaskan dalam tangas air, jika terbentuk
endapan merah muda, artinya terdapat tanin katekat. Hasil tersebut disaring lalu
filtrat ditambah natrium asetat sampai jenuh lalu ditambah 2 tetes FeCl3 1% jika
terbentuk warna biru tinta atau biru hitam menunjukan reaksi positif untuk tanin
galat (Farnsworth, 1966:243-265).
36
5) Penapisan Senyawa Kuinon
Simplisia sebanyak 1 gram ditambahkan 100 ml air panas kemudian
dididihkan selama 10 menit. Campuran disaring, kemudian filtrat sebanyak 10 ml
dalam tabung reaksi ditambahkan beberapa tetes NaOH 1 N. Adanya kuinon
ditunjukan dengan terbentuknya warna merah (Farnsworth, 1966:243-265).
6) Penapisan Senyawa Saponin
Masukkan 0.5 gram serbuk yang diperiksa ke dalam tabung reaksi,
tambahkan 10 ml air panas, dinginkan dan kemudian kocok kuat-kuat selama 10
detik. Jika zat yang diperiksa berupa sediaan cair encerkan 1 ml sediaan yang
diperiksa dengan 10 ml air dan kocok kuat-kuat selama 10 menit, terbentuk buih
yang mantap selama tidak kurang dari 10 menit setinggi 1 cm sampai 10 cm. Pada
penambahan 1 tetes asam klorida 2 N, buih tidak hilang (Depkes, RI., 1989:552).
7) Penapisan Senyawa Triterpenoid Dan Steroid
Simplisia digerus dengan eter lalu disaring. Filtrat ditempatkan dalam
cawan penguap dan dibiarkan menguap sampai kering, lalu ditambahkan larutan
pereaksi Liebermann Burchard dan timbulnya warna merah-ungu menandakan
positif senyawa triterpenoid sedangkan bila warna hijau biru menunjukan positif
steroid (Farnsworth, 1966:243-265).
8) Penapisan Senyawa Monoterpen Dan Seskuiterpen
Simplisia digerus dengan eter lalu disaring. Filtrat ditempatkan dalam
cawan penguap dan dibiarkan menguap sampai kering, lalu ditambahkan larutan
Vanilin 10% dalam asam sulfat pekat dan timbulnya warna–warna menandakan
positif senyawa mono dan seskuiterpen (Farnsworth, 1966:243-265).
37
4.2.7. Ekstraksi
Kayu pohon nangka diekstraksi dengan metode refluks menggunakan
etanol 95%. Kemudian dievaporasi dengan menggunakan rotary evaporator lalu
diuapkan menggunakan waterbath sampai didapat ekstrak kental.
4.3. Pembuatan Krim
Sediaan krim dibuat dengan cara memanaskan masing-masing fase minyak
dan fase air di atas penangas air pada suhu 60ºC-70ºC. Fase minyak terdiri dari
setil alkohol, parafin cair, dan gliseril monostearat. Fase air terdiri dari
trietanolamin, propilen glikol, asam askorbat, metil paraben, propil paraben, air
suling, dan larutan dapar fosfat. Setelah masing-masing fase telah mencapai suhu
65ºC, kedua fase tersebut dicampur dan diaduk dalam keadaan panas dengan
menggunakan ultra turrax dengan kecepatan 15000 rpm selama 15 menit.
Kemudian ditambahkan ekstrak etanol kayu pohon nangka lalu diaduk kembali
sampai terbentuk krim.
4.4. Evaluasi Sediaan Krim
Evaluasi yang dilakukan terhadap sediaan krim yang dibuat meliputi
pengamatan organoleptik, penentuan tipe emulsi, pengamatan homogenitas
sediaan, pengukuran pH sediaan, dan pengamatan ketidakstabilan emulsi berupa
terbentuknya creaming.
38
4.4.1. Pengamatan organoleptik
Pengamatan organoleptik terhadap sediaan krim yang dibuat dilakukan
dengan mengamati stabilitas dari sediaan seperti perubahan warna, bau, dan
penampilan.
4.4.2. Homogenitas sediaan
Homogenitas sediaan krim dievaluasi dengan mengoleskan sediaan pada
permukaan kaca objek kemudian disebarkan dengan bantuan kaca objek yang lain
untuk mendapatkan permukaan yang homogen.
4.4.3. Penentuan tipe emulsi
Penentuan jenis emulsi terdapat sejumlah cara pengujian yang berguna
yaitu metode pengenceran. Sedikit air diberikan ke dalam sebuah contoh kecil
emulsi dan setelah pengocokan atau pengadukan diperoleh kembali suatu emulsi
homogen, maka tedapat jenis M/A. Metode pengenceran juga dapat dilakukan
sebagai berikut : 1 tetes emulsi diberikan ke dalam air dan secara cepat akan
terdistribusi (kadang-kadang wadah dikocok perlahan), maka terdapat emulsi
M/A, 1 tetes suatu emulsi A/M tertinggal pada permukaan air (Voight, 1994:442).
4.4.4. Pengukuran pH sediaan
Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter. Pengukuran
pH dilakukan selama hari penyimpanan.
4.4.5. Pengamatan dan pengukuran creaming
Pengamatan creaming dilakukan dengan memasukkan sediaan ke dalam
suatu tabung dan diamati stabilitas fisiknya antara nilai Hv dan Ho. Hv adalah
tinggi akhir bagian yang terpisah pada sediaan dan Ho adalah tinggi awal sediaan
39
sebelum terjadi pemisahan. Krim yang stabil adalah sediaan dengan nilai Hv/Ho
mendekati 1 (Lachman, 1994:1011).
40
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada penelitian ini dimulai dari tahap pengumpulan bahan baku,
determinasi tumbuhan, pengolahan bahan baku, penetapan parameter standar dan
skrining simplisia. Dilanjutkan tahap pembuatan ekstrak, penapisan fitokimia
ekstrak, dan formulasi sediaan krim.
Pada penelitian ini digunakan simplisia dari batang nangka (Artocarpus
heterophyllus L.) yang diperoleh dari daerah Ciparay. Kayu pohon nangka
kemudian dideterminasi di Herbarium Bandungense Sekolah Ilmu Dan Teknologi
Hayati, Institut Teknologi Bandung. Hasil determinasi menunjukkan bahwa
tumbuhan yang digunakan untuk penelitian adalah benar batang nangka
(Artocarpus heterophyllus L.). Hasil determinasi dapat dilihat pada Lampiran 1.
Batang nangka yang telah diperoleh kemudian dibersihkan dengan cara
sortasi basah yaitu dicuci. Pencucian dimaksudkan untuk menghilangkan kotoran
agar tidak menimbulkan kontaminasi dan mengganggu proses penelitian. Setelah
itu batang nangka dirajang dengan ukuran yang sesuai. Hal ini dimaksudkan untuk
mendapatkan luas permukaan yang lebih besar sehingga dapat mempercepat
proses pengeringan. Pengeringan dilakukan dengan cara diangin-anginkan dan
tidak terkena cahaya matahari langsung. Proses pengeringan ini dilakukan untuk
mengurangi kadar air agar simplisia dapat bertahan lebih lama.
Setelah diperoleh simplisia kering selanjutnya dilakukan penggilingan
untuk mendapatkan serbuk kering simplisia batang nangka. Penggilingan
41
dilakukan untuk memperkecil ukuran sel pada simplisia sehingga dapat
memudahkan proses ekstraksi dimana pelarut akan menembus ke dalam sel
simplisia sehingga pelarut dapat menarik semua senyawa-senyawa yang
terkandung di dalam simplisia.
Setelah diperoleh serbuk kering simplisia selanjutnya dilakukan penentuan
parameter standar terhadap simplisia yang meliputi kadar air, kadar abu total,
kadar abu tidak larut dalam asam, kadar sari larut dalam air, dan kadar sari larut
dalam etanol. Penetapan standar dilakukan agar dapat menjamin bahwa simplisia
yang digunakan memiliki nilai parameter tertentu yang konstan (Depkes, RI.,
2000:2).
Kadar air dilakukan untuk memberikan batasan minimal atau rentang
kandungan air di dalam simplisia. Metode yang digunakan pada penentuan
parameter kadar air adalah metode destilasi. Hasil kadar air yang didapatkan
adalah 8% sesuai dengan standar simplisia batang nangka yaitu ≤ 10% (Depkes,
RI., 1985:6).
Tujuan dilakukan penentuan paramater kadar abu adalah untuk
memberikan gambaran kandungan mineral internal dan eksternal yang berasal dari
proses awal sampai terbentuknya ekstrak. Prinsip kerja penentuan parameter kadar
abu adalah bahan dipanaskan pada temperatur dimana senyawa organik dan
turunannya terdestruksi dan menguap, sehingga tinggal unsur mineral dan
anorganik. Hasil kadar abu yang didapatkan adalah 3% sesuai dengan standar
simplisia batang nangka di MMI yaitu <3.5% (Depkes, RI., 2000:17 dan Depkes,
RI., 1986:66).
42
Kemudian dilakukan penentuan parameter kadar abu tidak larut dalam
asam untuk memberikan gambaran kandungan mineral non fisiologis yang
merupakan pengotor dari lingkungan. Hasil kadar abu yang tidak larut dalam
asam yang didapatkan adalah 0.87% sesuai dengan standar simplisia batang
nangka di MMI yaitu <1.5% (Depkes, RI.,2000:17 dan Depkes, RI., 1986:66).
Selanjutnya dilakukan penentuan parameter kadar sari larut dalam air dan
larut dalam etanol. Parameter ini bertujuan untuk memberikan gambaran awal
jumlah senyawa kandungan. Prinsip penentuan ini adalah dengan melarutkan
ekstrak dengan pelarut (alkohol atau air) untuk ditentukan jumlah solut yang
identik dengan jumlah senyawa kandungan secara gravimeteri. Dalam hal tertentu
diukur senyawa terlarut dalam pelarut lain misalnya heksana, diklorometan, dan
metanol. Hasil kadar sari larut dalam air yang didapatkan adalah 25% sesuai
dengan standar simplisia batang nangka di MMI yaitu tidak kurang dari 5.5%.
Sedangkan hasil kadar sari larut dalam etanol yang didapatkan adalah 9% sesuai
dengan standar simplisia di MMI yaitu tidak kurang dari 2.5% (Depkes, RI.,
1986:66 dan Depkes, RI., 1986:66). Hasil penetapan parameter standar simplisia
batang nangka dapat dilihat pada Tabel V.1.
Tabel V.1 Hasil penetapan parameter standar simplisia batang nangka
Parameter Standar Hasil (%) Standar Menurut Pustaka (%)
Kadar air 8 ≤ 10
Kadar abu total 3 < 3.5
Kadar abu tidak larut dalam asam 0.87 < 1.5
Kadar sari larut dalam air 25 > 5.5
Kadar sari larut dalam etanol 9 > 2.5
43
Penapisan fitokimia kemudian dilakukan terhadap simplisia dan ekstrak
batang nangka. Penapisan fitokimia dilakukan untuk mengidentifikasi golongan
senyawa yang terkandung pada batang nangka. Adapun gambar hasil penapisan
fitokimia dapat dilihat pada tabel 1 lampiran 3 dan hasil identifikasi terdapat pada
Tabel V.2.
Tabel V.2 Hasil penapisan fitokimia simplisia dan ekstrak batang nangka
Keterangan : (+) = terdeteksi (-) = tidak terdeteksi
Berdasarkan hasil tersebut golongan senyawa aktif yang diinginkan yaitu
flavonoid dapat teridentifikasi. Golongan senyawa lainnya yang teridentifikasi di
dalam batang nangka adalah golongan polifenolat dan kuinon.
Formulasi sediaan dimulai dari persiapan bahan-bahan dan alat-alat yang
akan digunakan. Bahan-bahan yang digunakan untuk formulasi terdiri dari ekstrak
batang nangka, setil alkohol, parafin cair, gliseril monostearat, trietanolamin,
propilen glikol, metil paraben, propil paraben, asam askorbat, aquadest, dan
larutan dapar fosfat.
Ekstrak batang nangka yang digunakan dalam formulasi berperan sebagai
bahan aktif, setil alkohol sebagai peningkat viskositas, parafin cair sebagai fase
44
minyak. Sedangkan gliseril monostearat digunakan sebagai emulgator karena
tidak bersifat mengiritasi dan tidak toksik (Rowe, Sheskey, dan Weller,
2003:265). Tritanolamin yang digunakan berfungsi sebagai emulgator yang
dikombinasikan dengan gliseril monostearat dan propilen glikol digunakan
sebagai humektan. Metil paraben dan propil paraben yang digunakan berperan
sebagai pengawet karena pada krim mengandung air yang tinggi sehingga
merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroba. Asam askorbat
digunakan sebagai antioksidan untuk mencegah ketengikan. Aquadest digunakan
sebagai fase air dan larutan dapar digunakan pula sebagai fase air untuk
mempertahan pH sediaan. Larutan dapar yang digunakan adalah larutan dapar
fosfat dengan pH 6,4.
Pada formulasi ekstrak etanol kayu pohon nangka ini dimulai dari variasi
konsentrasi ekstrak berdasarkan penelitian menurut Zheng, Cheng, To, Li, dan
Wang (2008:1) yang memiliki efek antibrowning yaitu konsentrasi 0,03% hingga
0,05% dengan penggunaan antioksidan asam askorbat 0,5%. Formula yang
digunakan dalam formulasi tersebut dapat dilihat pada Tabel V.3danTabel V.4.
Tabel V.3 Formula sediaan krim ekstrak batang nangka
F 1 F 2 F 3 F 4 F 5 F 6 F 7
Ekstrak batang nangka 0,3 0,3 0,3 0,3 0,3 0,3 0,3
Setil alkohol 3 3 - 3 3 3 3
Gliseril monostearat 20 20 20 10 7,5 12,5 7,5
Parafin cair 2 2 2 15 15 15 30
Propilen glikol 10 10 10 10 10 10 10
Asam askorbat 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5
Metil paraben 0,18 0,18 0,18 0,18 0,18 0,18 0,18
Propil paraben 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02
Larutan dapar fosfat pH 6,4 ad. - 100 100 100 100 100 100
Aquadest ad. 100 - - - - - -
BahanKonsentrasi (%)
45
Tabel V.4 Formula sediaan krim dengan kombinasi emulgator
Krim ekstrak batang nangka dibuat dengan cara memanaskan masing-
masing fase minyak dan fase air di atas penangas air hingga suhu 60-70ºC.
Pemanasan dilakukan agar kedua fase memiliki viskositas yang sama sehingga
dapat memudahkan saat pencampuran dan pembentukan krim. Kemudian kedua
fase tersebut dicampur dan diaduk dalam keadaan panas dengan menggunakan
ultra turrax dengan kecepatan 15000 rpm selama 15 menit. Metil paraben dan
propil paraben dilarutkan terlebih dahulu ke dalam propilen glikol karena metil
paraben dan propil paraben memiliki kelarutan kurang baik dalam air namun lebih
mudah larut dalam propilen glikol. Sehingga dapat mempermudah saat
pencampuran dengan bahan lain untuk membentuk massa krim. Kemudian
ditambahkan ekstrak batang nangka lalu diaduk kembali hingga membentuk
massa krim.
Pada pengamatan organoleptik, formula 1 dan 2 memiliki bau yang khas,
warna gading, dan penampilan yang homogen namun memiliki konsistensi terlalu
padat. Hal tersebut disebabkan oleh penggunaan gliseril monostearat yang tinggi
F 8 F 9 F 10
Ekstrak batang nangka 0,3 0,3 0,3
Setil alkohol 3 3 3
Gliseril monostearat 7,5 10 12,5
Trietanolamin 1,5 2 2,5
Parafin cair 15 15 15
Propilen glikol 10 10 10
Asam askorbat 0,5 0,5 0,5
Metil paraben 0,18 0,18 0,18
Propil paraben 0,02 0,02 0,02
Larutan dapar fosfat pH 6,4 ad. 100 100 100
BahanKonsentrasi (%)
46
sebanyak 20% karena dapat berfungsi pula sebagai zat penstabil dengan cara
meningkatkan viskositas sediaan (Gerbino, 2006:330).
Pada pengukuran pH, formula 1 memiliki pH 3. pH tersebut tidak sesuai
dengan pH kulit normal yaitu 4,5-6,5 karena dapat mengiritasi kulit. Pada formula
selanjutnya digunakan larutan dapar fosfat pH 6,4 untuk mempertahankan pH
sediaan agar sesuai dalam rentang pH kulit normal untuk mengurangi risiko
iritasi. Sediaan krim formula 2 setelah digunakan larutan dapar memiliki pH 6,2.
Begitu pula dengan formula lainnya yaitu formula 3 sampai 7 memiliki pH
berkisar 5 sampai 6. Hasil pengukuran dapat dilihat pada tabel 1 lampiran 5 dan
grafik hasil pengukuran pH dapat dilihat pada Gambar V.1.
Gambar V.1 Hasil pengukuran pH krim ekstrak batang nangka
Berdasarkan gambar tersebut, pada formula 3, 4, 5, 6, dan 7 merupakan
sediaan yang stabil selama 7 harikarena tidak terjadi perubahan pH yang
signifikan selama penyimpanan. Sedangkan pada formula dengan kombinasi
emulgator yaitu formula 8 sampai 10 memiliki pH berkisar 6 sampai 7. Hasil
pengukuran pH formula 8 sampai 10 dapat dilihat pada tabel 2 lampiran 5 dan
grafik hasil pengukuran pH dapat dilihat pada Gambar V.2.
0
2
4
6
8
10
12
14
0 1 3 5 7
pH
Hari ke-
F 3
F 4
F 5
F 6
F 7
47
Gambar V.2 Hasil pengukuran pH krim dengan kombinasi emulgator
Jika dibandingkan dengan formula sebelumnya yaitu formula 1 sampai 7,
formula 8, 9, dan 10 memiliki pH yang lebih tinggi. Hal tersebut dapat disebabkan
oleh penggunaan trietanolamin yang memiliki pH 10,5 sehingga dapat menaikkan
pH sediaan. Berdasarkan gambar tersebut, pada formula 8, 9, dan 10 merupakan
sediaan yang stabil karena tidak terjadi perubahan pH yang signifikan selama
penyimpanan.
Pada pengamatan homogenitas sediaan dilakukan dengan menggunakan
kaca objek untuk melihat partikel-partikel kasar atau ketidakhomogenan. Pada
pengamatan ini seluruh formula merupakan formula yang homogen karena tidak
terlihat adanya partikel-partikel kasar saat penggeseran menggunakan kaca objek.
Penentuan tipe emulsi pada sediaan krim dilakukan dengan menggunakan metode
pengenceran. Hasil penentuan tipe emulsi pada formula 3, 7, 9, dan 10 merupakan
tipe emulsi air dalam minyak (A/M) karena tidak dapat terdistribusi homogen
dalam air. Sedangkan formula 4, 5, 6, dan 8 merupakan tipe emulsi minyak dalam
air (M/A) karena dapat terdistribusi homogen dalam air. Pada penelitian ini tidak
0
2
4
6
8
10
12
14
0 1 3
pH
Hari ke-
F 8
F 9
F 10
48
dilakukan evaluasi viskositas terhadap sediaan krim ekstrak etanol kayu pohon
nangka karena prasarana yang belum memadai.
Pengujian creaming dilakukan dengan mengamati tinggi sedimentasi
untuk mengetahui kestabilan dari sediaan krim dengan melihat terjadinya
pemisahan dua fase antara fase air dan fase minyak. Stabilitas fisik ini ditentukan
dengan perbandingan Hv dan Ho selama waktu penyimpanan. Hv adalah tinggi
akhir sediaan setelah terjadi pemisahan dan Ho adalah tinggi sediaan sebelum
terjadi pemisahan. Berdasarkan hasil pengamatan yang didapatkan, formula 3, 5,
6, 8, 9, dan 10 tidak terjadi creaming. Sedangkan pada formula 4 dan 7 terjadi
creaming. Hasil pengamatan creaming dapat dilihat pada tabel 1 lampiran 6, dan
hasil pengamatan tinggi sedimentasi sediaan selama penyimpanan dapat dilihat
pada Gambar V.3.
Gambar V.3. Hasil pengamatan creaming krim ekstrak batang nangka
Pengamatan organoleptik meliputi perubahan bau, warna, dan penampilan.
Hasil pengamatan organoleptik formula 3 sampai 7 dapat dilihat pada Tabel
V.5danformula dengan kombinasi emulgator yaitu formula 8 sampai 9 dapat
dilihat pada Tabel V.6.
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
0 1 3 5 7
Tin
gg
i C
rea
min
g
Hari ke-
F 4
F 7
49
Tabel V.5 Hasil pengamatan organoleptik krim ekstrak batang nangka
Keterangan :TH = tidak homogen PA = putih keabuan
Tabel V.6 Hasil pengamatan organoleptik krim dengan kombinasi emulgator
Keterangan : PK = putih kekuningan
Berdasarkan hasil pengamatan organoleptik pada tabel V.4 tersebut,
seluruh formula memiliki bau khas krim, dan berwarna gading yang stabil
ditandai dengan tidak berubahnya warna selama penyimpanan. Namun, pada
formula 5 memiliki warna putih-keabuan. Hal tersebut kemungkinan terjadi
karena pengaruh lingkungan seperti tertinggalnya partikel asing di dalam wadah
pembuatan,alat pencampur maupun pada peralatan lainnya saat dibersihkan.
Sedangkan untuk penampilan sediaan krim dilihat dari terbentuknya pemisahan
menjadi dua fase dan tidak terbentuknya creaming. Pada formula 3, 5, dan 6
memiliki penampilan yang homogen. Sedangkan pada formula 4 dan 7 pada hari
ke-1 menjadi tidak homogen yang ditandai dengan terbentuknya pemisahan
sediaan menjadi dua fase dan terbentuknya creaming. Penampilan sediaan dilihat
Bau Warna Penampilan Bau Warna Penampilan Bau Warna Penampilan Bau Warna Penampilan Bau Warna Penampilan
0 Khas Gading Homogen Khas Gading Homogen Khas PA Homogen Khas Gading Homogen Khas Gading Homogen
1 Khas Gading Homogen Khas Gading TH Khas PA Homogen Khas Gading Homogen Khas Gading TH
3 Khas Gading Homogen Khas Gading TH Khas PA Homogen Khas Gading Homogen Khas Gading TH
5 Khas Gading Homogen Khas Gading TH Khas PA Homogen Khas Gading Homogen Khas Gading TH
7 Khas Gading Homogen Khas Gading TH Khas PA Homogen Khas Gading Homogen Khas Gading TH
F 6
Hasil
F 7Hari ke- F 3 F 4 F 5
Bau Warna Penampilan Bau Warna Penampilan Bau Warna Penampilan
0 Khas PK Homogen Khas PK Homogen Khas PK Homogen
1 Khas PK Homogen Khas PK Homogen Khas PK Homogen
3 Khas PK Homogen Khas PK Homogen Khas PK Homogen
F 8 F 9 F 10
Hasil
Hari ke-
50
pula konsistensi sediaan secara visual. Konsistensi formula 3 terlalu padat
sehingga sulit untuk diaplikasikan pada kulit dibandingkan formula lainnya. Hal
ini disebabkan oleh penggunaan gliseril monostearat yang tinggi sebanyak 20%
karena dapat berfungsi pula sebagai zat penstabil dengan cara meningkatkan
viskositas sediaan.Sehingga dapat disimpulkan bahwa sediaan yang stabil secara
organoleptik adalah sediaan formula 6 karena selama penyimpanan tidak
mengalami perubahan warna, bau, dan penampilan.
Hasil pengamatan organoleptik formula kombinasi emulgator yaitu
formula 8, 9, dan 10 memiliki warna putih-kekuningan. Untuk penampilan
sediaan dilihat dari terjadinya creaming dan konsistensi sediaan. Pada formula 8,
9, dan 10 memiliki penampilan yang homogen karena tidak mengalami creaming.
Konsistensi sediaan 8, 9, dan 10 tidak terlalu padat dibandingkan dengan formula
3 sehingga lebih mudah saat diaplikasikan pada kulit.
51
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa
sediaan formula 8 dengan penggunaan kombinasi emulgator yaitu gliseril
monostearat 7,5% dengan trietanolamin 1,5%, setilalkohol 3%, dan parafin cair
15% merupakan sediaan krim yang paling stabil secara:
1) Organoleptik yaitu warna putih-kekuningan, homogen, mudah
diaplikasikan pada kulit dan memiliki bau yang khas.
2) Memiliki tingkat keasaman (pH) yang stabil yaitu 6,8
3) Pada pengamatan dan pengukuran creaming, sediaan tidak membentuk
creaming.
6.2. Saran
Pada penelitian selanjutnya dapat dilakukan evaluasi dengan jangka waktu
yang lebih panjang dan lebih terperinci mengenai viskositas sediaan krim ekstrak
batang nangka ini. Serta dapat dilakukan pula uji iritasi dan uji stabilitas selama
penyimpanan dan uji aktivitas sebagai antibrowning dari sediaan krim ekstrak
batang nangka terhadap kulit.
52
DAFTAR PUSTAKA
Ansel, H.C. (1989). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Edisi IV, terjemahan
Ibrahim dan Farida,Universitas Indonesia Press, Jakarta. Badan Pengawas Obat dan Makanan.(2007). Tentang Kosmetik Mengandung
Bahan Berbahaya Dan Zat Warna Yang Dilarang.
Badan Pengawas Obat dan Makanan, (2010). Undang-undang tentang Kosmetika
dan Alat Kesehatan.
Brown, G.R, Burns, T. (2002). Lecture Notes On: Dermatology, 8th
Edition,
Blackwell Publishing, India.
Chang,T.S. (2009). An Updated Review of Tyrosinase Inhibitors. 26 May 2009,
Int. J. Mol. Sci. 2009, 10, 2440-2475.
Cronquist, A. (1981). An Integrated System Of Classification Of Flowering
Plants, Columbia University Press, New York.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1985). Cara Pembuatan Simplisia,
Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1995). Farmakope Indonesia, Edisi
IV, Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1986). Materia Medika Indonesia,
Jilid IV, Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta.
Donsing, P. and Viyoch, J. (2008). Thai Breadfruitûs Heartwood Extract: A New
Approach to Skin Whitening, Journal of SWU Sciences, Vol. 24, No. 1.
Dwikarya, Maria. (2003). Merawat Kulit Dan Wajah, Kawan Pustaka, Jakarta.
Farnsworth, N.R. (1966). Biological and Phytochemical Screening of Plants,
Journal of Pharmacy Sciences.
Gerbino, P.P. (2005). Remington: The Science And Practice Of Pharmacy, 21st
edition, Lippincott Williams &Wilkins, Philadelphia.
Grotewold, Erich, (2006). The Science of Flavonoids, Springer, Ohio.
Heyne, K. (1987). Tumbuhan Berguna Indonesia, Jilid II, Badan Litbang
Kehutanan, Jakarta.
Jellinek, J.S. (1970). Formulation And Function Of Cosmetics,Wiley-interscience,
New York.
Lachman, L, Lieberman, H.A., Kanig, J.L. (2008). Teori Dan Praktek Farmasi
Industri II, Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Lim, T.K. (2012). Edible Medicinal and Non-Medicinal Plants, Springer,
NewYork.
Robinson, T., 1995, Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi, Edisi 6, terjemahan
K. Padmawinata, Institut Teknologi Bandung, Bandung
Rowe, R.C. , Sheskey, P.J. , Weller, P.J. (2003). Handbook of Pharmaceutical
Excipients, 4th
Edition, APhA Publications, London.
Swarbrick, J. (1995). Encyclopedia Of Pharmaceutical Technology Third Edition
Volume 1, Informa, New York.
Voight, R. (1994). Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. GadjahMada University
Press.Yogyakarta.
Yount, L. (2008). Animal Rights, Revised Edition, Infobase Publishing, NewYork.
53
Zheng, Z.P, et, al. (2008). Isolation of tyrosinase inhibitors from Artocarpus
heterophyllus and use of its extract as antibrowning agent [abstract]. Mol
Nutr Food Res, 52(12):1530–1538.
LAMPIRAN
54
Lampiran 1
SURAT DETERMINASI SIMPLISIA
55
Lampiran 1
(LANJUTAN)
56
Lampiran 2
PERHITUNGAN PARAMETER STANDAR
a. Kadar air
Volume awal : 1.8 ml
Beratsimplisia : 5 gram
Volume akhir : 2.2 ml
( )
= ( )
= 8%
b. Kadar Abu Total
Beratsampel : 2.0107 gram
Beratawal : 31.9371 gram
Beratakhir : 31.9977 gram
= 3.0%
c. Kadar abutidaklarutdalamasam
Beratawal : 29.1526 gram
Beratsimplisia : 2.0579 gram
Beratakhir : 29.1345 gram
= 0.87%
d. Kadar sari larutdalam air
Beratawal : 90.28 gram
Beratsimplisia : 5 gram
Beratakhir : 90.53 gram
(
)
(
)
= 25%
57
e. Kadar sari larutdalametanol
Beratawal : 51.63 gram
Beratsimplisia : 5 gram
Beratakhir : 51.72 gram
(
)
(
)
= 9%
58
Lampiran 3
HASIL PENAPISAN FITOKIMIA
PENGUJIAN
HASIL
SIMPLISIA EKSTRAK
Flavonoid
(positif: kuning, jingga,
atau merah pada lapisan
amil alkohol)
Alkaloid
(positif: + bouchardat=
endapan,
+ mayer= endapan putih
atau kuning)
Polifenolat
(positif: hijau atau biru-
hijau, merah-ungu, biru-
hitam)
Tanin
(positif: tanin= biru tua
atau hitam kehijauan,
Tanin katekat= endapan
merah muda,
tanin galat= biru atau biru-
hitam)
59
Lampiran 3
(LANJUTAN)
PENGUJIAN
HASIL
SIMPLISIA EKSTRAK
Saponin
(positif: terbentuk buih
mantap selama tidak
kurang 10 menit setinggi 1-
10 cm)
Kuinon
(positif: warna merah)
Monoterpen dan
Seskuiterpen
(positif: timbulnyawarna-
warna)
Triterpenoid dan Steroid
(positif: triterpenoid=
merah-ungu,
steroid= hijau-biru)
60
Lampiran 4
FORMULA SEDIAAN KRIM EKSTRAK BATANG NANGKA
61
Lampiran 5
HASIL PENGUKURAN pH SEDIAAN KRIM
Tabel 1 Hasil pengukuran pH sediaan krim
Tabel 2Hasil pengukuran pH sediaan krim dengan kombinasi emulgator
F 3 F 4 F 5 F 6 F 7
0 5,7 5,3 6,0 6,0 5,7
1 5,8 5,7 5,7 6,0 5,7
3 5,8 5,7 5,8 6,1 5,7
5 5,9 5,8 5,8 6,1 5,9
7 5,9 5,8 5,8 6.1 5,9
Hari keHasil
F 8 F 9 F 10
0 6,8 7,1 7,0
1 6,8 7,0 7,1
3 6,8 7,0 7,2
Hari ke-Hasil
62
Lampiran 6
HASIL PENGAMATAN CREAMING
Keterangan :(-) = tidak terbentuk creaming
F 3 F 4 F 5 F 6 F 7 F 8 F 9 F 10
0 - 1 - - 1 - - -
1 - 0.97 - - 0.9 - - -
3 - 0.97 - - 0.9 - - -
5 - 0.97 - - 0.87 - - -
7 - 0.95 - - 0.87 - - -
Hari keHasil (Hv/Ho)