Perdarahan Sitemik,Infeksi Dan Trauma Pada Rongga Mulut
-
Upload
ika-nuriani -
Category
Documents
-
view
291 -
download
13
Transcript of Perdarahan Sitemik,Infeksi Dan Trauma Pada Rongga Mulut
Perdarahan Akibat Kelaianan Sistemik
Perdarahan sistemik terjadi karena adanya kelaian secara sistemik terhadap faktor-
faktor pembekuan darah sehingga masa perdarahan menjadi panjang. Beberapa
penyakit sistemik yang mempengaruhi terjadinya perdarahan yaitu :
1. Penyakit kardiovaskuler
Pada penyakit kardiovaskuler, denyut nadi pasien meningkat, tekanan darah
pasien naik menyebabkan bekuan darah yang sudah terbentuk terdorong sehingga
terjadi perdarahan.
2. Hipertensi
Bila anestesi lokal yang kita gunakan mengandung vasokonstriktor, pembuluh
darah akan menyempit menyebabkan tekanan darah meningkat, pembuluh darah
kecil akan pecah, sehingga terjadi perdarahan. Apabila kita menggunakan anestesi
lokal yang tidak mengandung vasokonstriktor, darah dapat tetap mengalir
sehingga terjadi perdarahan pasca ekstraksi. Penting juga ditanyakan kepada
pasien apakah dia mengkonsumsi obat-obat tertentu seperti obat antihipertensi,
obat-obat pengencer darah, dan obat-obatan lain karena juga dapat menyebabkan
perdarahan.
3. Hemofilli
Pada pasien hemofilli A (hemofilli klasik) ditemukan defisiensi factor VIII. Pada
hemofilli B (penyakit Christmas) terdapat defisiensi faktor IX. Sedangkan pada
von Willebrand’s disease terjadi kegagalan pembentukan platelet, tetapi penyakit
ini jarang ditemukan
4. Diabetes Mellitus
Bila DM tidak terkontrol, akan terjadi gangguan sirkulasi perifer, sehingga
penyembuhan luka akan berjalan lambat, fagositosis terganggu, PMN akan
menurun, diapedesis dan kemotaksis juga terganggu karena hiperglikemia
sehingga terjadi infeksi yang memudahkan terjadinya perdarahan.
5. Malfungsi Adrenal
Ditandai dengan pembentukan glukokortikoid berlebihan (Sindroma Cushing)
sehingga menyebabkan diabetes dan hipertensi.
6. Pemakaian obat antikoagulan
Pada pasien yang mengkonsumsi antikoagulan (heparin dan walfarin)
menyebabkan PT dan APTT memanjang. Perlu dilakukan konsultasi terlebih
dahulu dengan internist untuk mengatur penghentian obat-obatan sebelum
pencabutan gigi.
Pencegahan kemungkinan komplikasi perdarahan karena faktor-faktor sistemik
Anamnesis yang baik dan riwayat penyakit yang lengkap
Kita harus mampu menggali informasi riwayat penyakit pasien yang memiliki
tendensi perdarahan yang meliputi :
1. bila telah diketahui sebelumnya memiliki tendensi perdarahan
2. mempunyai kelainan-kelainan sistemik yang berkaitan dengan gangguan
hemostasis (pembekuan darah)
3. pernah dirawat di RS karena perdarahan
4. spontaneous bleeding, misalnya haemarthrosis atau menorrhagia dari
penyebab kecil
5. riwayat keluarga yang menderita salah satu hal yang telah disebutkan di
atas, dihubungkan dengan riwayat penyakit dari pasien itu sendiri
6. mengkonsumsi obat-obatan tertentu seperti antikoagulan atau aspirin
7. Penyebab sistemik seperti defisiensi faktor pembekuan herediter,misalnya
von Willebrand’s syndrome dan hemophilia
Infeksi
Infeksi terjadi jika mikroorganisme tumbuh mengalahkan system pertahanan
tubuh. Infeksi pasca bedah maupun pasca operasi merupakan penyebab
utama terhambatnya penyembuhan luka. Infeksi merupakan komplikasi
yang jarang terjadi pada ekstraksi gigi namun biasanya ditemukan pada
pengambilan tulang. Sebagai upaya kontrol infeksi pasca bedah, teknik
asepsis dan debridement luka pasca operasi harus dilakukan sebaik
mungkin dengan cara memberikan irigasi larutan saline pada daerah operasi
dan seluruh debris harus dihilangkan denga menggunakan kuret. Antibiotik
dapat diberikan sebagai profilaksis pada pasien. Jalan masuk infeksi
diantaranya yaitu :
1. Kontak, misalnya tangan, peralatan, pakaian yang terkontaminasi.
2. Aerosol, misalnya inhalasi debu, kulit yang terkelupas diudara, droplet air
dan alat nebulizer atau pelembab udara.
3. Darah, misalnya inokulasi secara tidak sengaja dari ibu ke bayi
(prenatal)aktivitas seksual.
4. Makanan/air, misalnya tertelannya virus dan bakteri atau toksinnya dari
makanan atau air.
5. Serangga, misalnya kecoa pembawa pathogen dapat mengkontaminasi
barang yang steril atau makanan.
Patofisiologi Infeksi Bakteri
Terjadinya infeksi bakteri membutuhkan :
1. Inokulum bakteri (biasanya 100.000 organisme per mil eksudat , atau per
gram jaringan atau per mm2 daerah permukaan).
2. Lingkungan yang rentan terhadap bakteri (air, elektrolit, karbohidrat, hasil
pencernaan, protein darah).
3. Hilangnya resistensi pejamu terhadap infeksi( sawar fisik yang terganggu/
respon biokimiawi/ humoral yang menurun , respon seluler menurun.
Sekresi bakteri
Bakteri menimbulkan beberapa efek sakitnya dengan melepaskan senyawa
berikut :
1. Enzim misalnya , hemolisin, streptokinase, hialuronidase
2. Eksotoksin ( dilepaskan oleh bakteri intak terutama gram positif misalnya
tetanus dan difteri)
3. Endotoksi (lipopolisakarida) dilepaskan dari dinding sel saat kematian
bakteri.
Perjalan alamiah infeksi
1. Respon inflamasi timbul (rubor/kemerahan, tumor/ pembengkakan,
dolor/nyeri , kalor/panas).
2. Resolusi, reaksi inflamasi menetap dan infeksi menghilang.
3. Penyebaran infeksi : langsung ke jaringan sekitar, sepanjang daerah
jaringan, melalui system limfatik, melalui aliran darah.
4. Pembentukan abses terkumpulnya pus pada suatu tempat.
5. Organisasi, jaringan bergranulasi, fibrosis, jaringan parut.
6. Infeksi kronis, menetapnya organism pada jaringan menimbulkan respon
inflamasi kronis.
Penatalaksanaan Infeksi Akibat Pembedahan
Usaha Pencegahan :
1. Operasi singkat
2. Pembersihan kulit menggunakan zat kimia anti bakteri dan detergen (untuk
kulit pasien, dokter bedah, dan perawat).
3. filtrasi udara pada daerah operasi, masker dan jubah bedah yang menutup
seluruh tubuh (oklusif).
4. Antibiotik profilaktik sebaiknya diberikan untuk pasien dengan bahan
prostetik yang diimplantasi misalnya katup jantung, cangkok vascular
prostesik sendi.
5. Satu dosis antibiotic praoperasi yang di berikan satu jam sebelum
pembedahan harus mencukupi, kecuali bila operasi terkontaminasi berat
atau kotor atau pasien mengalami gangguan system imun.
Trauma dalam Rongga Mulut
Dalam rongga mulut dapat timbul lesi yang salah satunya disebabkan
karena adanya trauma. Biasanya trauma tersebut diakibatkan oleh kerusakan
mekanik seperti kontak dengan makanan yang tajam, tergigit ketika makan,
bicara, bahkan tidur. Lesi ini juga bisa terjadi akibat luka bakar benda panas,
listrik atau kimia. Lokasi lesi traumatik bisa terjadi pada mukosa pipi,
mukosa bibir, palatum dan tepi perifer dari lidah (Bricker dkk., 1994).
Tanda dan gejala klinik yaitu tampak membran fibrin kekuningan dengan
tepi eritema disertai rasa nyeri (Regezi dkk., 2003). Pada beberapa kasus
tepi ulkus berwarna putih dikarenakan adanya hiperkeratosis (Neville dkk.,
2009). Ulkus traumatik dapat sembuh dalam beberapa hari atau minggu
setelah etiologi terjadinya ulkus dihilangkan. Rasa nyeri hilang dalam waktu
3-4 hari dan sembuh dalam waktu 10-14 hari (Wood dan Goaz, 1997).
Ulkus traumatik dapat disebabkan oleh berbagai macam trauma, yaitu
trauma fisik, trauma termal, trauma elektrik, trauma kimiawi, dan trauma
radiasi (Bricker dkk., 1994).
A. TRAUMA FISIK
Luka akibat trauma fisik pada kulit atau mukosa secara umum dapat
diklasifikasikan menjadi 4, yaitu:
a. Abrasion (luka lecet)
Merupakan luka di permukaan yang disebabkan karena kulit atau mukosa
berkontak dengan benda tajam maupun permukaan kasar seperti jalan raya/beton
(saat terjatuh) yang akan meninggalkan luka dangkal yang kasar dan berdarah.
Luka ini dapat menyebabkan terlepasnya jaringan epitelium dan benda asing
menempel sehingga sering terjadi infeksi. Luka seperti ini sering mengakibatkan
rasa sakit, hal tersebut dikarenakan ujung saraf yang terbuka akibat luka.
Perawatan yang dilakukan adalah membersihkan luka dengan sabun desinfektan
pada kulit, sedangkan untuk gingiva dan mukosa oral dengan irigasi larutan
saline. Antibiotik terkadang perlu diberikan untuk mencegah terjadinya infeksi.
b. Contusion (luka memar)
Merupakan luka yang terjadi akibat pukulan atau tertimpa benda tumpul. Luka ini
tidak merusak mukosa, namun hanya akan membuat darah berekstravasasi ke
jaringan subkutan yang menyebabkan area membiru (ecchymosis) dan memar.
Bentuk luka ini adalah perdarahan dari jaringan subkutan tanpa adanya kerusakan
jaringan lunak di sekitarnya.
Perawatan yang dilakukan adalah aplikasi kompres dingin pada area luka. Apabila
gingiva yang mengalami luka seperti ini, dapat dilakukan perawatan dengan
observasi, pembersihan lokal, dan pemberian antibiotik. Luka seperti ini yang
terisolasi pada jaringan lunak dalam jangka waktu yang lama mungkin
mengindikasikan adanya fraktur tulang.
c. Laceration (luka gores)
Merupakan luka dangkal maupun dalam pada jaringan lunak yang disebabkan
tergores baik oleh benda tajam dan tumpul, tepi luka biasanya disertai memar.
Luka ini mungkin akan mengganggu pembuluh darah, saraf, otot, dan kelenjar
saliva. Area yang sering terlibat adalah bibir, mukosa oral, gingiva, dan lidah.
Luka ini sering terjadi karena terobeknya mukosa atau kulit pada kecelakaan
kendaraan bermotor. Perawatan yang dilakukan adalah pembersihan luka,
pemberian antibiotik, dan terkadang perlu dilakukan penjahitan (suturing).
Lacerations menurut bentuk lukanya dapat diklasifikasikan menjadi:
Crescent shaped (bulan sabit): disebabkan oleh benda tumpul yang mempunyai
tepi permukaan yang tajam (misalnya palu).
Linear with ’Y’ shaped ends (garis dengan ujung huruf Y): disebabkan oleh
benda sempit memanjang (batang besi, batang logam, pipa).
Stellate (bintang): disebabkan oleh benda yang mempunyai permukaan tajam
dengan ujung tumpul membulat.
Triangular (segitiga): disebabkan oleh pointed bayonet, seperti paku.
d. Soft tissue avulsion
Luka avulsi (hilangnya jaringan) merupakan luka yang terjadi karena gigitan
hewan yang menimbulkan luka lecet yang sangat dalam dan lebar.
e. Puncture wounds (luka tusuk)
Merupakan luka tusukan yang disebabkan oleh penetrasi benda tajam langsung ke
dalam kulit, seperti pisau dan tembakan senjata. Perawatan yang dilakukan adalah
pembersihan luka dengan desinfektan, pemberian antibiotik untuk mencegah
infeksi, dan mungkin juga dilakukan penjahitan pada luka yang lebar. (Miloro,
2004 ; Balaji, 2007 ; Karmakar, 2007 ; Andreasen, 2011)
Macam-macam Lesi Trauma Fisik dalam Rongga Mulut:
Penyebab lain terjadinya lesi dalam rongga mulut akibat trauma fisik di antaranya:
malposisi gigi, menyikat gigi terlalu keras, tergigit, kebiasaan menggigit-gigit
bibir atau pipi, pembuatan protesa gigi yang salah (bagianflange yang terlalu
menekan gingiva tau bagian baseplate terlalu menekan palatum), restorasi gigi
yang tajam, penggunaan instrumen kedokteran gigi (cotton roll, saliva
ejector, bur).
1. Linea Alba
Linea alba (white line) adalah kondisi yang paling sering muncul di sepanjang
mukosa bukal setinggi dataran oklusal gigi rahang atas dan rahang bawah yang
disebabkan adanya tekanan, iritasi gesekan, dan trauma dari permukaan gigi
(Neville dkk., 2009). Linea alba berbentuk garis putih keabuan memanjang di
mukosa bukal, biasanya bilateral di kanan dan kiri, berawal dari sudut mulut
hingga gigi posterior. Penampakan klinis berupa warna putih keabuan disebabkan
hiperkeratosis epitel. Lesi ini tidak berbahaya dan tidak memerlukan perawatan
berarti (Neville dkk., 2009).
2. Morsicatio Buccarum
Lesi putih pada rongga mulut ini disebabkan adanya iritasi kronis akibat
mengisap-isap atau menggigit-gigit pipi. Hal tersebut akan menyebabkan area
trauma menjadi lebih tebal, luka, dan lebih pucat daripada jaringan di sekitarnya.
Lesi ini seringkali muncul pada orang yang sedang mengalami stress tinggi atau
orang yang mempunyai kebiasaan menggigit-gigit pipi, bibir maupun lidah
(Greenberg dan Glick, 2003).
Penampakan klinis dari lesi ini sering ditemukan bilateral pada mukosa bukal,
namun ada juga yang unilateral dikombinasikan dengan adanya lesi pada bibir,
lidah, atau keduanya. Area putih menebal seperti bekas cabikan didominasi
dengan area eritematous dan permukaan yang kasar. Pemeriksaan histopatologis
hasil biopsi menyatakan adanya hiperkeratosis yang menyebar dengan jumlah
keratin yang banyak. Tidak ada perawatan yang perlu dilakukan selama lesi dirasa
tidak mengganggu pasien. Apabila pasien memerlukan perawatan dapat dilakukan
dengan membuat cetakan akrilik yang menutupi permukaan fasial gigi untuk
menghindari akses mukosa bukal (Neville dkk., 2009).
3. Frictional (Traumatic) Keratosis
Traumatic keratosis didefinisikan sebagai plak putih dengan permukaan kasar dan
terluka yang disebabkan iritasi mekanis dari gigi tiruan yang kasar atau tepi gigi
yang tajam. Pemeriksaan histologis menyatakan lesi dengan hiperkeratosis dan
akantosis. Lesi ini tidak mengacu pada keganasan. Lokasi lesi biasanya pada
mukosa bukal, bibir, dan lidah (Greenberg dan Glick, 2003).
4. Toothbrush Injury
Trauma dari sikat gigi disebabkan iritasi mekanis dari bulu sikat gigi pada margin
gingiva dan gingiva cekat. Lokasi lesi ini dapat ditemukan pada seluruh
permukaan gingiva, namun yang paling sering terjadi pada gingiva rahang atas di
antara gigi kaninus dan premolar (karena pada lokasi ini biasanya menggunakan
tekanan maksimal selama menyikat gigi). Penampakan klinis lesi berupa erosi
tunggal dengan area eritematous, berwarna putih atau merah, dan beberapa
menyebabkan rasa sakit. Lesi ini tidak memerlukan perawatan, namun
mengurangi faktor lokal dengan memperbaiki cara menyikat gigi (Purkait, 2003).
5. Traumatic Hematoma
Traumatic hematoma pada mukosa oral terjadi karena adanya tekanan mekanis
yang menyebabkan perdarahan pada jaringan di rongga mulut. Penampakan klinis
berupa lesi irreguler berwarna kemerahan. Lokasi yang paling sering terjadi lesi
ini adalah lidah dan bibir, penyebab utamanya adalah tergigitnya mukosa oral dan
penggunaan yang tidak benar dari instrumen kedokteran gigi. Tidak ada
perawatan yang perlu dilakukan, lesi akan sembuh dalam waktu 4-6 hari
(Laskaris, 2003).
6. Cotton Roll Stomatitis
Cotton roll sangat biasa diaplikasikan pada praktek kedokteran gigi untuk
menjaga permukaan gigi tetap kering. Kekeringan yang berlebihan pada
permukaan mukosa akan tampak setelah gulungan kapas dilepas. Penampakan
klinis lesi adalah erosi yang tertutupi pseudomembran putih, yang akan sembuh
dalam 4-6 hari dan tidak memerlukan perawatan yang berarti (Laskaris, 2003).
7. Denture Stomatitis
Denture stomatitis atau denture sore mouth sering terjadi pada pasien yang
menggunakan gigi tiruan dalam waktu lama. Lesi ini biasanya ditemukan pada
palatum. Penampakan klinis berupa mukosa yang tertutup plat gigi tiruan edema
berwarna merah dengan titik-titik putih yang merupakan akumulasi Candida
albicans atau sisa makanan. Beberapa kasus tidak menimbulkan gejala pada
pasien, namun ada beberapa yang mengeluhkan sensasi rasa terbakar dan nyeri.
Penyebab yang biasa terjadi karena iritasi gigi tiruan, sisa-sisa makanan yang
menumpuk di bawah permukaan plat gigi tiruan, dan infeksi C. albicans.
Perawatan yang perlu dilakukan adalah memperbaiki gigi tiruan dan menjaga
kebersihan mulut dengan baik (Laskaris, 2003).
8. Submucosal Hemorrhage (Petechiae, Ecchymosis, Hematoma)
Hemoragi intraoral disebabkan karena rupturnya pembuluh darah yang terjadi
akibat trauma fisik (ekstraksi gigi, tergigit, fellatio, batuk kronis, muntah), trauma
sekunder pasca pembedahan, dan kelainan perdarahan seperti hemofilia, leukemia,
trombositopenia, dan terapi antikoagulan. Petechiae adalah area perdarahan kecil
yang tidak meninggi, purpura adalah area hemoragi yang lebih besar dan tidak
meninggi, ecchymosis adalah area hemoragi dengan diameter lebih dari 2
mm. Hematoma adalah sekumpulan darah yang berekstravasasi dari pembuluh
darah lokal ke jaringan dan secara klinis menyebabkan pembengkakan. Hemoragi
submukosal biasanya berwarna merah-keunguan, ungu, atau biru-kehitaman.
Hemoragi biasanya terbentuk bersama jaringan granulasi dan sembuh dengan
sendirinya tanpa perawatan. Hematoma yang ukurannya sangat besar dapat
diinsisi dan dilakukan drainase (Neville dkk., 2009).
9. Traumatic Atrophic Glossitis
Traumatic atrophic glossitis berupa area eritematous pada lidah yang disebabkan
adanya iritasi atau trauma fisik, di antaranya restorasi gigi yang tidak tepat, gigi
tiruan yang patah atau rusak, tepi insisal gigi yang tajam, kalkulus yang
berlebihan pada gigi-gigi anterior rahang bawah, dan gigi yang crowded. Lokasi
lesi pada ujung dan lateral lidah dengan area yang terlibat trauma akan menipis
dan berwarna merah, papilla filliformis menghilang, papilla fungiformis
membesar dan memerah. Pemeriksaan histopatologis menyatakan adanya
penipisan papilla lidah, vasodilatasi jaringan ikat di bawahnya dengan infiltrasi sel
inflamasi kronis yaitu limfosit dan sel plasma. Perawatan yang dilakukan adalah
mengurangi faktor iritasi dan meminimalisasi pergerakan lidah (Purkait, 2003).
10. Traumatic Ulcerations
Ulkus traumatik paling sering terjadi di pipi, bibir, dan lidah. Tergigitnya lidah
merupakan ulkus tunggal yang seringkali terjadi pada tepi lateral lidah (Bricker
dkk., 1994). Tanda dan gejala klinik yaitu tampak membran fibrin kekuningan
dengan tepi eritema disertai rasa nyeri (Regezi dan Sciubba, 2003). Lokasinya
bisa bersebelahan dengan gigi yang karies atau patah, tepi plat gigi tiruan atau
ortodontik. Ulkus traumatik biasanya tunggal, ukurannya bervariasi, bentuknya
bulat atau oval. Dasar lesi kekuningan, tepinya merah dan tidak ada indurasi.
Ulkus traumatik sembuh dalam beberapa hari, setelah penyebabnya dihilangkan
(Birnbaum dan Dunne, 2009). Ulkus traumatik yang ditemukan pada area anterior
lidah bayi disebabkan oleh natal teethdisebut Riga-Fede disease (Regezi dan
Sciubba, 2003).
Pemeriksaan histopatologis ulkus traumatik akut menunjukkan hilangnya
permukaan epitelium yang digantikan oleh jaringan fibrin dengan neutrofil. Dasar
ulkus terdiri dari kapiler yang melebar dan jaringan granulasi. Regenerasi
epitelium dimulai dari tepi ulkus, dengan sel-sel proliferatif pindah dari dasar
jaringan granulasi dan di bawah gumpalan darah (Regezi dan Sciubba, 2003).
Beberapa langkah sederhana yang dapat dilakukan untuk mengurangi rasa sakit
dari ulserasi yang terjadi ialah:
Hindari makanan yang dapat menyakitkan ulserasi.
Hindari makanan yang pedas dan asam yang dapat menyebabkan iritasi lebih
lanjut. Lebih baik mengkonsusmsi makanan yang lebih lembut dalam potongan
yang kecil-kecil sebagai gantinya. Sebaiknya hindari mengkonsumsi makanan
panas atau dingin karena dapat membuat rasa sakit ketika dimakan.
Gunakan sedotan ketika minum.
Penggunaan sedotan ketika minum akan membuat area luka aman terhadap cairan
minuman. Minuman yang mengandung alkohol yang diminum tanpa
menggunakan sedotan akan dapat menyebabkan luka teriritasi.
Menjaga dan meningkatkan kebersihan mulut.
Walaupun terdapat luka, tetapi kebersihan mulut harus tetap dijaga dan
ditingkatkan seperti menyikat gigi dengan lebih hati-hati agar tidak memperparah
ulserasi, berkumur beberapa kali sehari (Anonim, 2009).
B. TRAUMA KIMIAWI
Trauma kimiawi di dalam rongga mulut biasanya akibat bahan-bahan kedokteran
gigi yang digunakan dalam praktek, misalnya aspirin, hidrogen peroksida, silver
nitrat, fenol, larutan anestesi, dan bahan perawatan saluran akar. Trauma kimiawi
dapat disebabkan karena pemakaian obat-obatan yang bersifat kaustik, seperti
obat kumur yang tinggi kandungan alcohol, hydrogen peroksida, atau fenol, dan
penggunaan obat aspirin baik tablet maupun topikal pada mukosa sebagai obat
sakit gigi.
Lesi biasanya terletak pada forniks atau lipatan mukobukal dan gingiva. Area
yang terluka berbentuk ireguler, berwarna putih, dilapisi pseudomembran, dan
sangat sakit. Area yang terlibat sangat mungkin meluas. Jika kontak dengan agen
kimia terjadi cukup singkat, maka lesi yang terbentuk berupa kerut-kerut berwarna
putih tanpa nekrosis jaringan. Kontak dalam waktu lama (biasanya dengan aspirin,
sodium hipoklorid, dan fenol) dapat menyebabkan kerusakan yang lebih berat dan
pengelupasan jaringan yang nekrosis. Mukosa non-keratinisasi yang tidak cekat
lebih sering mengalami luka bakar dibandingkan mukosa cekat (Greenberg dan
Glick, 2003).
1. Aspirin
Acetylsalicylic acid (aspirin) merupakan agen yang biasa menyebabkan trauma
kimiawi dalam rongga mulut. Jaringan rongga mulut rusak ketika aspirin diisap
pada area lipatan mukobukal dalam jangka waktu yang cukup lama untuk
melegakan nyeri gigi.
2. Silver Nitrat
Silver nitrat biasa digunakan oleh dokter gigi sebagai agen kauterisasi untuk
merawat kasus stomatitis aptosa. Bahan ini mampu meredakan gejala secara
instan dengan membakar akhiran saraf pada ulkus. Namun, silver nitrat sering
merusak jaringan di sekitarnya dan menghambat penyembuhan atau bahkan dapat
menyebabkan nekrosis di lokasi aplikasinya (jarang terjadi). Oleh sebab itu,
penggunaan silver nitrat sebaiknya dikurangi.
3. Sodium Hipoklorid
Sodium hipoklorid atau bahan pemutihan gigi, sering digunakan untuk irigasi
saluran akar dan dapat menyebabkan ulkus yang cukup parah akibat kontak
dengan jaringan lunak di dalam rongga mulut.
4. Hidrogen Peroksida
Hidrogen peroksida sering digunakan sebagai bahan irigasi intraoral untuk
pencegahan penyakit periodontal. Pada konsentrasi ≥3%, hidrogen peroksida
dapat menyebabkan jaringan nekrosis.
5. Pasta Gigi dan Obat Kumur
Beberapa kasus ulserasi dan luka jaringan di dalam mulut telah dilaporkan
disebabkan karena salah penggunaan obat kumur dan pasta gigi komersial. Reaksi
hipersensitivitas, ulserasi, dan pengelupasan epitel yang tidak biasa terjadi pernah
dilaporkan terjadi pada penggunaan pasta gigi yang mengandung kayu manis
(cinnamons). Bahan yang menyebabkan reaksi hipersensitivitas diduga adalah
kandungan aldehid. Reaksi ini tampak mirip dengan reaksi yang disebabkan oleh
bahan kimia lain seperti aspirin dan hidrogen peroksida. Selain itu, ditemukan
pula kasus luka bakar di bibir, mulut, dan lidah pada pasien yang menggunakan
obat kumur yang mengandung alkohol dan klorheksidin (Greenberg dan Glick,
2003).
6. Smoker’s Melanosis
Individu yang merokok mungkin akan timbul area hiperpigmentasi melanin pada
mukosanya tergantung pada jumlah batang rokok sehari-hari. Smoker’s melanosis
paling sering ditemukan di area gingiva anterior pada maksila maupun mandibula.
Pigmentasi bervariasi dari warna coklat terang hingga gelap dan tampak difus.
Perawatan yang dilakukan adalah biopsi, terutama pada area palatum. Smoker’s
melanosis akan menghilang sedikit demi sedikit selama 3 tahun setelah berhenti
merokok (Neville dkk., 2009).
7. Anesthetic Necrosis
Kasus yang jarang terjadi, nekrosis fokal jaringan dapat timbul pada lokasi injeksi
anestesi lokal. Predileksi terjadinya lesi pada palatum durum, yang jaringan
mukosanya berikatan cekat dengan tulang di bawahnya. Biasanya lesi ini timbul
sebagai lesi ulser yang bertepi reguler yang timbul beberapa hari setelah injeksi.
Ulser terjadi akibat nekrosis iskemia yang kemungkinan disebabkan karena
trauma langsung dari larutan anestesi, vasokonstriksi epinefrin, atau keduanya.
Penyembuhan ulser memerlukan waktu beberapa minggu dan terkadang dapat
menjadi kronis. Stimulus lokal, misalnya usapan sitologi, cukup untuk
merangsang penyembuhan ulser (Neville dkk., 2009).
8. Soft Tissue Emphysema
Kasus ini merupakan fenomena yang jarang terjadi dimana udara atau gas masuk
ke dalam jaringan lunak. Pada regio orofasial, soft-tissue emphysema sering
terkait dengan penggunaan syringe udara atau handpiecedimana udara ditiupkan
pada lokasi pembedahan, laserasi, atau duktus kelenjar saliva. Kemungkinan
penyebab lainnya adalah trauma, batuk keras, dan memainkan instrumen musik
tiup. Udara dapat memasuki jaringan dan menyebabkan pembengkakan
mendadak. Tanda klinis yaitu ditemukan krepitasi pada palpasi. Emfisema pada
leher dapat menyebar ke bawah dan menyebabkan pneumomediastinum. Pasien
dengan soft-tissue emphysema sebaiknya dirawat dengan antibiotik untuk
pencegahan infeksi sekunder. Kebanyakan kasus sembuh dalam 1–2 minggu
(Neville dkk., 2009).