Perbedaan Perilaku Asertif Ditinjau Dari Tingkat ...
Transcript of Perbedaan Perilaku Asertif Ditinjau Dari Tingkat ...
PERBEDAAN PERILAKU ASERTIF DITINJAU DARI TINGKAT
PENDIDIKAN, USIA, DAN JENIS KELAMIN PADA SISWA
SMA NEGERI 3 SALATIGA DAN MAHASISWA
FAKULTAS PSIKOLOGI UKSW SALATIGA
OLEH
MARGARETA M. VANTIKA W.
80 2011 045
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk
Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
PERBEDAAN PERILAKU ASERTIF DITINJAU DARI TINGKAT
PENDIDIKAN, USIA, DAN JENIS KELAMIN PADA SISWA SMA NEGERI 3
SALATIGA DAN MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UKSW SALATIGA
Margareta M. Vantika W.
Chr. Hari Soetjiningsih
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
i
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan perilaku asertif ditinjau dari
tingkat pendidikan, usia, dan jenis kelamin pada siswa SMA Negeri 3 Salatiga dan
mahasiswa Fakultas Psikologi UKSW Salatiga. Partisipan penelitian ini adalah 286
siswa SMA Negeri 3 Salatiga dan mahasiswa Fakultas Psikologi UKSW Salatiga.
Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik proportionate stratified random
sampling. Alat ukur yang digunakan adalah Rathus Assertiveness Schedule (RAS).
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif komparatif dengan Mann-Whitney U-
Test (uji-u). Terdapat tiga hasil dari penelitian ini yaitu ada perbedaan signifikan
perilaku asertif ditinjau dari tingkat pendidikan dengan signifikansi 0,000 (p < 0,05),
ada perbedaan signifikan perilaku asertif ditinjau dari usia dengan signifikansi 0,004 (p
< 0,05), dan tidak ada perbedaan signifikan perilaku asertif ditinjau dari jenis kelamin
dengan signifikansi 0,485 (p > 0,05).
Kata Kunci : Perilaku asertif, tingkat pendidikan, usia, jenis kelamin.
ii
Abstact
The purpose of this study to difference of assertive behavior from education levels, age,
and gender at SMA Negeri 3 Salatiga and Fakultas Psikologi UKSW Salatiga.
Participant of this research are 286 of SMA Negeri 3 Salatiga and Fakultas Psikologi
UKSW Salatiga. Intake technique of sample use sampling random stratified
proportionate technique. Instrument measure using Rathus Assertiveness Schedule
(RAS). This research use quantitative comparative method with Mann-Whitney U-Test
(uji-u). There are three result from this research that is there is a significant difference of
assertive behavior evaluated from education levels with significancy 0,000 (p < 0,05),
there is a significant difference of assertive behavior evaluated from age with
significancy 0,004 (p < 0,05), and there is no significant difference of assertive behavior
evaluated from gender with significancy 0,485 (p > 0,05).
Keywords : Assertive behavior, education levels, age, gender.
1
PENDAHULUAN
Sekolah merupakan bagian dari pendidikan yang turut berperan dalam
mempersiapkan generasi muda untuk menghadapi tantangan ke depan agar mampu
membangun dirinya dalam berinteraksi dengan orang lain. Tak hanya memperoleh ilmu
pengetahuan, namun siswa juga memperoleh pendidikan karakter, pengalaman, dan
ketrampilan sehingga diharapkan agar siswa dapat mengembangkan seluruh kecakapan
dan kemampuannya. Sekolah merupakan rumah kedua bagi siswa karena mereka
menghabiskan sebagian besar waktunya di sekolah dengan berinteraksi dan
bersosialisasi dengan teman sebayanya.
Setiap siswa akan mengalami kenaikan dalam tingkat pendidikannya dari
pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Dengan begitu, semakin bertambahnya atau
naiknya tingkat pendidikan maka diharapkan siswa dapat lebih banyak mempelajari hal
baru dan mempersiapkan dirinya agar mampu menjadi pribadi yang berkembang
sehingga nantinya dapat mencapai apa yang diinginkannya. Khususnya bagi siswa pada
usia remaja yang akan mempersiapkan diri memasuki usia dewasa di mana ia akan
dihadapkan pada tantangan baru yang mengharuskan untuk hidup mandiri dan
bereksplorasi dengan dunia barunya. Menurut Hurlock (1999), batasan usia remaja yaitu
13-17 tahun, di mana masa remaja awal berusia 13-15 tahun dan masa remaja akhir dari
usia 15-17 tahun, sedangkan masa dewasa dini pada usia antara 18-25 tahun.
Salah satu perilaku yang harus dimiliki remaja yaitu perilaku asertif. Asertif
merupakan kemampuan yang sangat penting untuk remaja dalam mengembangkan
hubungan yang sehat dengan teman sebaya, orang tua, pengajar, dan semua relasi sosial.
Ketika remaja menggunakan kemampuan asertifnya dalam lingkup sosial, pendidikan,
2
dan hidup personal maka mereka mempertinggi kemungkinan dalam meraih hasil
kesuksesan (Mahmoud & Hamid, 2013). Elliot dan Gramling (dalam Eskin, 2003)
menyatakan bahwa jika siswa memiliki perilaku lebih asertif maka ia lebih mampu
dalam hubungan sosial dan jarang memiliki gejala depresi ketika mengalami stres
daripada remaja yang kurang asertif. Poyrazli, Arbona, dan Nora (dalam Larijani,
Aghajani, Baheiraei, & Neiestanak, 2010) mengatakan bahwa ketidakasertivan pada
siswa menjadi rintangan dalam hubungan dengan pengajar, penasehat, dan teman
sekelasnya. Begitu juga dengan penelitian Goldsmith dan Mc Fall (dalam Larijani et
al.), pada 40% kasus asertivitas rendah pada siswa dapat menunjukkan
ketidakmampuan pembelajaran dan menurunnya ketangkasan, di mana siswa dengan
tingkat asertif tinggi lebih mampu mengatasi masalah dan tidak merasa kesepian. Oleh
karena itu, penting bagi siswa dapat berperilaku asertif untuk mempersiapkan diri
sebagai generasi mendatang agar kelak dapat lebih efektif dalam karirnya.
Rathus dan Nevid (dalam Anindyajati & Karima, 2004) mengemukakan bahwa
semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin luas wawasan berpikirnya
sehingga kemampuan untuk mengembangkan diri lebih terbuka. Perilaku asertif
diharapkan dapat berkembang dengan naiknya tingkat pendidikan siswa. Dari hasil
penelitian Lee, Hallberg, dan Slemon (1985) pada siswa sekolah dasar dan sekolah
menengah didapatkan hasil bahwa asertivitas meningkat dari kelas 6 ke kelas 8, dari
kelas 8 ke kelas 10, dan dari kelas 10 ke kelas 12. Dengan kata lain, semakin
bertambahnya tingkat kelas maka asertivitas semakin tinggi. Di sisi lain didapatkan pula
hasil bahwa mahasiswa tingkat 5 cenderung lebih asertif dibandingkan tingkat
perkuliahan yang lain (Rosita, 2007). Hal ini disebabkan karena mahasiswa tingkat 5
sudah tahu banyak hal dan memiliki wawasan mengenai cara-cara bagaimana bersikap
3
ketika berinteraksi dengan pihak lain supaya tujuan yang dikehendaki tercapai, sehingga
mahasiswa tingkat 5 cenderung memilih berperilaku asertif. Berbeda dengan hasil
penelitian Erbay dan Akcay (2013) yang menemukan bahwa siswa kelas 4 memiliki
tingkat asertivitas yang kurang dibandingkan siswa kelas 1.
Kenaikan tingkat pendidikan akan selalu diikuti dengan bertambahnya usia
seseorang. Dalam penelitian sebelumnya ditemukan bahwa usia berhubungan dengan
perilaku asertif seseorang. Siswa yang lebih tua mendeskripsikan dirinya lebih mampu
merespon. Dengan bertambahnya usia, individu belajar kemampuan interpersonal
beriringan dengan meningkatnya perasaan percaya diri dalam situasi interpersonal.
Dengan keyakinan diri yang dimiliki individu maka akan membuatnya berespon lebih
asertif dalam berinteraksi dengan orang lain (Eskin, 2003). Berdasarkan penelitian
Eskin pada siswa sekolah menengah atas didapatkan hasil bahwa siswa yang lebih tua
lebih asertif daripada siswa yang lebih muda. Penelitian lain oleh Kimble, Marsh, dan
Kiska (dalam Eskin) pada mahasiswa ditemukan bahwa mahasiswa yang lebih tua lebih
asertif daripada mahasiswa yang lebih muda. Selain itu Larijani, et al. (2010)
melakukan penelitian pada mahasiswa keperawatan dan ditemukan bahwa asertivitas
berhubungan dengan usia. Ini terlihat bahwa dengan bertambahnya usia, siswa belajar
kemampuan berinteraksi dan mampu bertindak lebih asertif. Begitu juga dengan
Pardeck, Anderson, Gianino, Miller, Mothershead, dan Smith (dalam Larijani, et al.)
bahwa asertivitas berhubungan dengan usia. Selain itu, penelitian Kilkus (1993)
didapatkan hasil bahwa perawat yang lebih tua kurang asertif daripada kelompok
perawat yang lebih muda. Namun berbeda dengan hasil penelitian Erbay dan Akcay
(2013) di mana tidak adanya hubungan antara usia dengan asertivitas pada mahasiswa.
4
Selain usia, perilaku asertif juga dapat dipengaruhi oleh jenis kelamin. Costa,
Terracciano, dan McCrae (2001) menjelaskan bahwa pembedaan jenis kelamin secara
universal dipelajari dari peran gender. Misalnya, laki-laki dalam setiap budaya nampak
lebih kuat fisiknya daripada perempuan. Laki-laki secara umum berperan sebagai
pemimpin dan dari perannya tersebut memungkinkan laki-laki dapat belajar lebih asertif
daripada perempuan. Dalam penelitian Erbay dan Akcay (2013) pada mahasiswa di
Turki ditemukan bahwa laki-laki lebih asertif daripada perempuan. Demikian juga
penelitian Rosita (2007), Bourke (2002), Costa, et al., Mueen, Khurshid, dan Hassan
(2006), Adejumo (1981), dan Feingold (dalam Costa, et al.) dari hasil penelitian
menunjukkan laki-laki lebih asertif daripada perempuan. Selain itu, Thompson dan
Klopf; Hollandsworth dan Wall (dalam Amat, Mahmud, & Salleh, 2012), Chandler,
Cook, dan Dugovics; Kimble et al.; Nesbitt (dalam Eskin, 2003), serta Arslan, Akca,
dan Baser (2013) juga menemukan bahwa siswa laki-laki lebih asertif daripada
perempuan. Berbeda dengan hasil penelitian Amat, et al. yang menemukan bahwa siswa
perempuan lebih asertif daripada laki-laki. Hal ini dapat terjadi karena saat ini
perempuan mempunyai pendidikan dan kesempatan yang sama dalam berbagai aspek
layaknya laki-laki. Demikian juga penelitian Stebbins, Kelly, Tolor, dan Power (1977)
pada mahasiswa ditemukan hasil laki-laki kurang asertif dibandingkan dengan
perempuan. Bertentangan dengan penelitian Fukuyama dan Greenfield (dalam Amat, et
al.), Kilkus (1993), Zane, Sue, Hu, dan Kwon (1991), Arigbabu, Oladipo, dan Gabriel
(2011), serta Connor, Dann, dan Twentyman (1982) bahwa tidak ada perbedaan
perilaku asertif berdasarkan jenis kelamin. Begitu juga dalam penelitian Eskin (2003)
ditemukan bahwa tidak ada perbedaan perilaku asertif antara remaja laki-laki dan
perempuan di mana penelitian ini dilakukan di Swedia.
5
Peneliti akan melakukan penelitian pada siswa sekolah menengah atas yang
sedang dalam masa remaja dan pada mahasiswa perguruan tinggi yang sedang dalam
masa peralihan ke masa dewasa dini. Menurut Hurlock (1999), masa remaja merupakan
masa persiapan untuk menghadapi masa dewasa, sedangkan masa dewasa merupakan
periode penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial
baru. Remaja dalam hal ini siswa yang sedang menempuh pendidikan di bangku sekolah
menengah atas akan memasuki masa dewasa dengan melanjutkan ke perguruan tinggi
atau pilihan karier lainnya. Mereka akan menghadapi situasi baru, relasi baru,
lingkungan baru, dan tentunya perlu untuk menyesuaikan diri. Oleh karena itu, penting
bagi remaja sudah dapat berperilaku asertif. Begitu juga pada mahasiswa yang sedang
dalam peralihan ke masa dewasa diharapkan sudah dapat berperilaku asertif untuk
persiapan kariernya dan bekerja kelak.
Namun pada kenyataannya tidak semua siswa dan mahasiswa dapat berperilaku
asertif. Mereka belum dapat mengutarakan apa yang ada dalam dirinya, belum berani
dalam menyampaikan pendapat, juga kurang terbuka dan berterus terang. Faktor yang
dapat menghambat di antaranya yaitu relasi sosial, kepribadian, dan lingkungan.
Misalnya, transisi dari sekolah menengah atas dan perguruan tinggi, dari sebagai senior
di sekolah menengah atas menjadi anak baru di kampus mengulang fenomena top-dog
di mana individu yang tadinya termasuk dalam kelompok siswa yang paling tua dan
berkuasa menjadi kelompok siswa yang paling muda dan lemah yang sudah terjadi
sebelumnya (Santrock, 2012). Selain itu, dari penelitian-penelitian terdahulu ditemukan
berbagai hasil yang sangat menarik di mana terdapat hasil yang kontradiksi antara
perilaku asertif dengan variabel lain yang akan diteliti yaitu tingkat pendidikan, usia,
6
dan jenis kelamin. Dengan kata lain, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
perbedaan perilaku asertif ditinjau dari tingkat pendidikan, usia, dan jenis kelamin.
Perilaku Asertif
Rathus (2012) mendefinisikan perilaku asertif yaitu “Assertive behavior
involves the expression of one’s genuine feelings, standing up for one’s legitimate
rights, and refusing unreasonable requests. It means resisting undue social influences,
disobeying arbitrary authority figures, and resisting conformity to arbitrary group
standards” (h. 608). Dari pengertian tersebut dapat diartikan perilaku asertif melibatkan
ekspresi perasaan tulus seseorang, mempertahankan hak-hak pribadi, dan menolak
permintaan yang tidak masuk akal. Ini berarti menolak pengaruh sosial yang tidak
semestinya, tidak mematuhi figur otoritas yang sewenang-wenang, dan menolak
kesamaan dengan standar kelompok.
Aspek-aspek Perilaku Asertif
Rathus dan Nevid (dalam Anindyajati & Karima, 2004) mengungkapkan 10
aspek dari asertivitas yaitu :
a. Bicara asertif
Tingkah laku ini dibagi 2 macam, yaitu rectifying statement
(mengemukakan hak-hak dan berusaha mencapai tujuan tertentu dalam
suatu situasi) dan commendatory statement (memberikan pujian untuk
menghargai orang lain dan memberi umpan balik positif).
b. Kemampuan mengungkapkan perasaan
Mengungkapkan perasaan kepada orang lain dan pengungkapan perasaan
ini dengan suatu tingkat spontanitas yang tidak berlebihan.
7
c. Menyapa atau memberi salam kepada orang lain
Menyapa atau memberi salam kepada orang-orang yang ingin ditemui,
termasuk orang yang baru dikenal dan membuat suatu pembicaraan.
d. Ketidaksepakatan
Menampilkan cara yang efektif dan jujur untuk menyatakan rasa tidak
setuju.
e. Menanyakan alasan
Menanyakan alasannya bila diminta untuk melakukan sesuatu, tetapi tidak
langsung menyanggupi atau menolak begitu saja.
f. Berbicara mengenai diri sendiri
Membicarakan diri sendiri mengenai pengalaman-pengalaman dengan cara
yang menarik, dan merasa yakin bahwa orang akan lebih berespon
terhadap perilakunya daripada menunjukkan perilaku menjauh atau
menarik diri.
g. Menghargai pujian dari orang lain
Menghargai pujian dari orang lain dengan cara yang sesuai.
h. Menolak untuk menerima begitu saja pendapat orang yang suka berdebat
Mengakhiri percakapan yang bertele-tele dengan orang yang memaksakan
pendapatnya.
i. Menatap lawan bicara
Ketika berbicara atau diajak bicara, menatap lawan bicaranya.
j. Respon melawan rasa takut
Menampilkan perilaku yang biasanya melawan rasa cemas, biasanya
kecemasan sosial.
8
Perbedaan Perilaku Asertif dan Non Asertif
Alberti dan Emmons (dalam Anindyajati & Karima, 2004) mengemukakan
bahwa seseorang yang bertingkah laku asertif dapat melakukan perbaikan/peningkatan
diri, ekspresif, bisa meraih tujuan yang diinginkannya, pilihan untuk diri sendiri, dan
merasa nyaman dengan dirinya. Sedangkan seseorang dengan tingkah laku non asertif
yaitu melakukan penyangkalan diri, kecenderungan menahan, tidak meraih tujuan-
tujuan yang diinginkannya, pilihan dari orang lain, tidak tegas, cemas, dan memandang
rendah diri sendiri.
Faktor-faktor yang Memengaruhi Perkembangan Perilaku Asertif
Menurut Rathus dan Nevid (dalam Anindyajati & Karima, 2004), faktor-faktor
yang memengaruhi perkembangan perilaku asertif antara lain :
a. Jenis kelamin
Wanita pada umumnya lebih sulit bertingkah laku asertif seperti
mengungkapkan perasaan dan pikiran dibandingkan dengan laki-laki.
Wanita diharapkan lebih banyak menurut dan tidak boleh mengungkapkan
perasaannya bila dibandingkan dengan laki-laki, artinya pengkondisian
budaya untuk wanita cenderung membuat wanita menjadi lebih sulit
mengembangkan asertivitasnya.
b. Harga diri
Harga diri seseorang turut memengaruhi kemampuan seseorang untuk
melakukan penyesuaian diri terhadap lingkungan. Orang yang memiliki
harga diri yang tinggi, memiliki kekhawatiran sosial yang rendah sehingga
9
ia mampu mengungkapkan pendapat dan perasaannya tanpa merugikan
dirinya maupun orang lain.
c. Kebudayaan
Tuntutan lingkungan menentukan batasan-batasan perilaku masing-masing
anggota masyarakat sesuai dengan umur, jenis kelamin, dan status sosial
seseorang.
d. Tingkat pendidikan
Semakin tinggi tingkat pendidikan individu maka semakin luas wawasan
berpikirnya sehingga kemampuan untuk mengembangkan diri lebih
terbuka.
e. Situasi-situasi tertentu di sekitarnya
Kondisi dan situasi dalam arti luas, misalnya posisi kerja antara bawahan
terhadap atasannya, ketakutan yang tidak perlu (takut dinilai kurang
mampu), situasi-situasi seperti kekhawatiran mengganggu dalam keadaan
konflik.
Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan
tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang
dikembangkan (Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, 2003).
Dalam penelitian ini menggunakan tingkat pendidikan SMA di SMA Negeri 3
Salatiga dan tingkat pendidikan perguruan tinggi di Fakultas Psikologi UKSW Salatiga.
10
Perbedaan Perilaku Asertif Ditinjau dari Tingkat Pendidikan, Usia, dan Jenis
Kelamin
a. Tingkat Pendidikan
Dalam konteks pendidikan, Althen (dalam Amat, et al., 2012) menyatakan
bahwa siswa yang asertif lebih bisa membangun hubungan positif dengan
pengajar dan teman sebayanya dan dengan demikian dapat menghasilkan
penyesuaian diri yang baik. Poyrazli et al. (dalam Amat, et al.) menyatakan
bahwa siswa yang lebih asertif lebih berpartisipasi dalam diskusi dan mencari
pertolongan ketika menghadapi kesulitan akademik. Selain itu Nelson dan
Nelson (2003) menemukan bahwa perilaku asertif meningkatkan prestasi
akademik dalam institusi pendidikan yang lebih tinggi. Dari pernyataan-
pernyataan tersebut dapat terlihat bahwa perilaku asertif penting dimiliki setiap
siswa dalam konteks pendidikan dan hubungan dengan orang lain. Khususnya
bagi siswa sekolah menengah atas dan perguruan tinggi di mana mereka berada
pada masa remaja dan dalam persiapan memasuki masa dewasa. Mereka harus
mempersiapkan diri untuk tantangan selanjutnya sebagai orang dewasa sehingga
penting untuk berperilaku asertif. Perilaku asertif ini sangat penting untuk
menghadapi tantangan global yang semakin maju dan berkembang.
b. Usia
Naiknya tingkat pendidikan seseorang dapat menambah pengetahuan dan
wawasan yang semakin luas. Dalam penelitian sebelumnya disebutkan tingkat
pendidikan berhubungan dengan perilaku asertif seseorang karena adanya
pertambahan usia dan wawasan seseorang. Dengan bertambahnya usia siswa
akan menambah kemampuan untuk menunjukkan apa yang ingin diekspresikan,
11
apa yang dirasakan, menghormati perasaan dan hak orang lain merupakan inti
dari perilaku interpersonal dan kunci dari berhubungan dengan orang lain
(Mahmoud & Hamid, 2013).
c. Jenis Kelamin
Perilaku asertif ini tidak memandang dari jenis kelamin seseorang. Bukan hanya
laki-laki saja yang dapat berperilaku asertif dikarenakan tuntutan peran gender
yang dimilikinya, namun perempuan juga harus dapat bersikap asertif. Remaja
yang asertif akan mempunyai lebih banyak teman dan diperhatikan oleh teman-
teman dan keluarganya seperti dukungan daripada mereka yang tidak asertif
(Eskin, 2003). Oleh karena itu, perilaku asertif ini sangat penting dimiliki setiap
individu. Perilaku ini tidak muncul begitu saja dan bukan bawaan dari lahir
sehingga butuh proses belajar dan latihan. Dengan dapat berperilaku asertif
maka individu akan mampu menghadapi tantangan ke depan, berkomunikasi
dengan orang lain, menjalin hubungan interpersonal, dan terlebih untuk dirinya
sendiri agar dapat terbuka dan jujur dengan apa yang dirasakan atau dipikirkan.
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah dan landasan teori yang telah dikemukakan
di atas, maka dalam penelitian ini diajukan hipotesis sebagai jawaban sementara
terhadap permasalahan yang telah dikemukakan. Dikarenakan peneliti belum dapat
menyimpulkan atau menentukan arah dari hasil penelitian, oleh karena itu hipotesis
yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
a. Ada perbedaan signifikan perilaku asertif ditinjau dari tingkat pendidikan pada
siswa SMA Negeri 3 Salatiga dan mahasiswa Fakultas Psikologi UKSW
Salatiga.
12
b. Ada perbedaan signifikan perilaku asertif ditinjau dari usia pada siswa SMA
Negeri 3 Salatiga dan mahasiswa Fakultas Psikologi UKSW Salatiga.
c. Ada perbedaan signifikan perilaku asertif ditinjau dari jenis kelamin pada siswa
SMA Negeri 3 Salatiga dan mahasiswa Fakultas Psikologi UKSW Salatiga.
METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kuantitatif. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif komparatif yang bersifat
membandingkan keberadaan satu variabel atau lebih pada dua atau lebih sampel yang
berbeda (Sugiyono, 2013). Model komparasinya yaitu sampel yang tidak berkorelasi
atau disebut dengan sampel independen. Dalam penelitian ini variabel yang ingin
diketahui adalah perbedaan perilaku asertif ditinjau dari tingkat pendidikan, usia, dan
jenis kelamin pada siswa SMA Negeri 3 Salatiga dan mahasiswa Fakultas Psikologi
UKSW Salatiga.
Partisipan
Partisipan dalam penelitian ini adalah siswa SMA Negeri 3 Salatiga kelas X, XI,
XII berjumlah 1.029 siswa dan mahasiswa Fakultas Psikologi UKSW Salatiga angkatan
2014, 2013, 2012, 2011 berjumlah 586 mahasiswa, sehingga total keseluruhan yaitu
1.615 siswa dan mahasiswa. Partisipan meliputi siswa dan mahasiswa laki-laki maupun
perempuan dengan rentang usia 14-24 tahun.
13
Prosedur Sampling
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik
proportionate stratified random sampling yaitu di mana populasinya mempunyai
anggota/unsur yang tidak homogen dan berstrata secara proporsional (Sugiyono, 2013).
Alasan menggunakan teknik ini karena sampel yang diambil meliputi strata pendidikan
yaitu dari SMA Negeri 3 Salatiga kelas X, XI, XII dan mahasiswa Fakultas Psikologi
UKSW Salatiga angkatan 2014, 2013, 2012, 2011.
Tabel 1.
Jumlah Populasi
SMA Negeri 3 Salatiga Fakultas Psikologi UKSW Salatiga
Total Kelas
X
Kelas
XI
Kelas
XII
Angkatan
2014
Angkatan
2013
Angkatan
2012
Angkatan
2011
334 344 351 203 159 119 105 1.615
Penentuan ukuran sampel yang diambil dari populasi berstrata dengan tingkat
kesalahan 5% menggunakan rumus perhitungan dari Isaac dan Michael (Sugiyono,
2013), yaitu :
a. SMA Negeri 3 Salatiga
Kelas X : 334/1.615 x 286 = 59,2 = 59
Kelas XI : 344/1.615 x 286 = 60,9 = 61
Kelas XII : 351/1.615 x 286 = 62,2 = 62
b. Fakultas Psikologi UKSW Salatiga
Angkatan 2014 : 203/1.615 x 286 = 18,6 = 36
Angkatan 2013 : 159/1.615 x 286 = 21,1 = 28
Angkatan 2013 : 119/1.615 x 286 = 28,2 = 21
Angkatan 2011 : 105/1.615 x 286 = 35,9 = 19
14
Jadi, jumlah sampelnya yaitu 59 + 61 + 62 + 36 + 28 + 21 + 19 = 286.
Alat Ukur Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa skala psikologi. Alat ukur
yang digunakan yaitu Rathus Assertiveness Schedule (RAS) oleh Rathus (1973). Skala
ini menggunakan aspek-aspek asertivitas menurut Rathus dan Nevid (dalam Anindyajati
& Karima, 2004) yaitu bicara asertif, kemampuan mengungkapkan perasaan, menyapa
atau memberi salam kepada orang lain, ketidaksepakatan, menanyakan alasan, berbicara
mengenai diri sendiri, menghargai pujian dari orang lain, menolak untuk menerima
begitu saja pendapat orang yang suka berdebat, menatap lawan bicara, dan respon
melawan rasa takut.
Skala ini menggunakan model Likert yang terdiri dari 5 pilihan jawaban yaitu
Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Dapat Menentukan dengan Pasti (TP), Tidak
Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Skala ini berjumlah 30 aitem di mana
terdapat 13 aitem favorable dan 17 aitem unfavorable. Pemberian skor pada aitem
favorable yaitu Sangat Sesuai (SS) diberi skor 4, Sesuai (S) diberi skor 3, Tidak Dapat
Menentukan dengan Pasti (TP) diberi skor 2, Tidak Sesuai (TS) diberi skor 1, dan
Sangat Tidak Sesuai (STS) diberi skor 0. Sebaliknya, pemberian skor pada aitem
unfavorable yaitu Sangat Sesuai (SS) diberi skor 0, Sesuai (S) diberi skor 1, Tidak
Dapat Menentukan dengan Pasti (TP) diberi skor 2, Tidak Sesuai (TS) diberi skor 3, dan
Sangat Tidak Sesuai (STS) diberi skor 4.
Dilakukan uji daya diskriminasi aitem pada skala perilaku asertif. Kriteria
pemilihan aitem menggunakan batasan 0,30 namun apabila jumlah aitem yang lolos
tidak mencukupi jumlah yang diinginkan, maka dapat dipertimbangkan untuk
15
menurunkan sedikit batas kriterianya yaitu menjadi 0,25 (Azwar, 2012). Peneliti
menggunakan batasan 0,25 dikarenakan banyaknya aitem dan adanya indikator yang
gugur jika menggunakan batasan 0,30. Dari hasil dua kali uji daya diskriminasi aitem
pada 30 aitem skala perilaku asertif, terdapat 5 aitem gugur sehingga 25 aitem yang
layak digunakan. Dari uji reliabilitas Alpha Cronbach didapatkan hasil 0,861. Menurut
Azwar (2012), koefisien reliabilitas semakin tinggi jika mendekati angka 1,00 yang
berarti pengukuran semakin reliabel. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa skala
perilaku asertif ini tergolong reliabel.
Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam pengolahan data penelitian ini
menggunakan sampel independen uji-t untuk melihat perbedaan perilaku asertif ditinjau
dari tingkat pendidikan, usia, dan jenis kelamin pada siswa SMA Negeri 3 Salatiga dan
mahasiswa Fakultas Psikologi UKSW Salatiga. Syarat uji-t yaitu sebaran data
berdistribusi normal dan varians data homogen, namun apabila syarat tersebut tidak
terpenuhi maka dapat digunakan Mann-Whitney U-Test (uji-u). Pengujian dilakukan
dengan menggunakan bantuan program SPSS 16.0 for windows.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Deskriptif
Variabel perilaku asertif mempunyai 25 aitem valid dengan pemberian skor
antara 0 sampai 4. Pembagian skor tertinggi dan terendah yaitu :
Skor tertinggi 4 x 25 = 100
Skor terendah 0 x 25 = 0
16
Dalam penelitian ini akan dibuat sebanyak 5 kategori yaitu sangat tinggi, tinggi,
sedang, rendah, dan sangat rendah. Rumus untuk mencari interval yang digunakan
untuk menentukan kategori tersebut yaitu :
Berdasarkan hasil tersebut dapat ditentukan kategori sebagai berikut :
Sangat Tinggi 80 ≤ x ≤ 100
Tinggi 60 ≤ x < 80
Sedang 40 ≤ x < 60
Rendah 20 ≤ x < 40
Sangat Rendah 0 ≤ x < 20
a. Tingkat Pendidikan
Tabel 2.
Kriteria Perilaku Asertif SMA Negeri 3 Salatiga
No. Interval Kategori Mean SD Frekuensi %
1. 80 ≤ x ≤ 100 Sangat Tinggi 2 1,1
2. 60 ≤ x < 80 Tinggi 38 20,9
3. 40 ≤ x < 60 Sedang 49,33 13,825 109 59,9
4. 20 ≤ x < 40 Rendah 24 13,2
5. 0 ≤ x < 20 Sangat Rendah 9 4,9
Jumlah 182 100
Min = 0 Max = 81
17
Berdasarkan perhitungan data keseluruhan perilaku asertif pada siswa SMA
Negeri 3 Salatiga diperoleh skor minimum 0 dan skor maksimum 81. Dari tabel di atas
diketahui bahwa kategori sangat tinggi sebesar 1,1% dengan frekuensi 2, tinggi 20,9%
dengan frekuensi 38, sedang 59,9% dengan frekuensi 109, rendah 13,2% dengan
frekuensi 24, dan sangat rendah 4,9% dengan frekuensi 9. Mean (rata-rata) sebesar
49,33 dengan standar deviasi (SD) sebesar 13,825 yang terletak pada kategori sedang.
Hal ini menunjukkan sebagian besar siswa SMA Negeri 3 Salatiga memiliki perilaku
asertif yang sedang.
Tabel 3.
Kriteria Perilaku Asertif Fakultas Psikologi UKSW Salatiga
No. Interval Kategori Mean SD Frekuensi %
1. 80 ≤ x ≤ 100 Sangat Tinggi - -
2. 60 ≤ x < 80 Tinggi 36 34,6
3. 40 ≤ x < 60 Sedang 55,34 8,863 65 62,5
4. 20 ≤ x < 40 Rendah 3 2,9
5. 0 ≤ x < 20 Sangat Rendah - -
Jumlah 104 100
Min = 32 Max = 73
Berdasarkan perhitungan data keseluruhan perilaku asertif pada mahasiswa
Fakultas Psikologi UKSW Salatiga diperoleh skor minimum 32 dan skor maksimum 73.
Dari tabel di atas diketahui bahwa kategori sangat tinggi sebesar 0% dengan frekuensi 0,
tinggi 34,6% dengan frekuensi 36, sedang 62,5% dengan frekuensi 65, rendah 2,9%
dengan frekuensi 3, dan sangat rendah 0% dengan frekuensi 0. Mean (rata-rata) sebesar
55,34 dengan standar deviasi (SD) sebesar 8,863 yang terletak pada kategori sedang.
Hal ini menunjukkan sebagian besar mahasiswa Fakultas Psikologi UKSW Salatiga
memiliki perilaku asertif yang sedang.
18
b. Usia
Tabel 4.
Kriteria Perilaku Asertif Remaja
No. Interval Kategori Mean SD Frekuensi %
1. 80 ≤ x ≤ 100 Sangat Tinggi 2 1,3
2. 60 ≤ x < 80 Tinggi 33 20,9
3. 40 ≤ x < 60 Sedang 49,56 14,244 95 60,1
4. 20 ≤ x < 40 Rendah 20 12,7
5. 0 ≤ x < 20 Sangat Rendah 8 5,1
Jumlah 158 100
Min = 0 Max = 81
Berdasarkan perhitungan data keseluruhan perilaku asertif pada remaja diperoleh
skor minimum 0 dan skor maksimum 81. Dari tabel di atas diketahui bahwa kategori
sangat tinggi sebesar 1,3% dengan frekuensi 2, tinggi 20,9% dengan frekuensi 33,
sedang 60,1% dengan frekuensi 95, rendah 12,7% dengan frekuensi 20, dan sangat
rendah 5,1% dengan frekuensi 8. Mean (rata-rata) sebesar 49,56 dengan standar deviasi
(SD) sebesar 14,244 yang terletak pada kategori sedang. Hal ini menunjukkan sebagian
besar remaja memiliki perilaku asertif yang sedang.
Tabel 5.
Kriteria Perilaku Asertif Dewasa Dini
No. Interval Kategori Mean SD Frekuensi %
1. 80 ≤ x ≤ 100 Sangat Tinggi - -
2. 60 ≤ x < 80 Tinggi 44 34,4
3. 40 ≤ x < 60 Sedang 54,34 10,612 74 57,8
4. 20 ≤ x < 40 Rendah 9 7,0
5. 0 ≤ x < 20 Sangat Rendah 1 0,8
Jumlah 128 100
Min = 10 Max = 73
19
Berdasarkan perhitungan data keseluruhan perilaku asertif pada dewasa dini
diperoleh skor minimum 10 dan skor maksimum 73. Dari tabel di atas diketahui bahwa
kategori sangat tinggi sebesar 0% dengan frekuensi 0, tinggi 34,4% dengan frekuensi
44, sedang 57,8% dengan frekuensi 74, rendah 7,0% dengan frekuensi 9, dan sangat
rendah 0,8% dengan frekuensi 1. Mean (rata-rata) sebesar 54,34 dengan standar deviasi
(SD) sebesar 10,612 yang terletak pada kategori sedang. Hal ini menunjukkan sebagian
besar dewasa dini memiliki perilaku asertif yang sedang.
c. Jenis Kelamin
Tabel 6.
Kriteria Perilaku Asertif Perempuan
No. Interval Kategori Mean SD Frekuensi %
1. 80 ≤ x ≤ 100 Sangat Tinggi 2 1,4
2. 60 ≤ x < 80 Tinggi 39 27,3
3. 40 ≤ x < 60 Sedang 51,80 13,374 82 57,3
4. 20 ≤ x < 40 Rendah 13 9,1
5. 0 ≤ x < 20 Sangat Rendah 7 4,9
Jumlah 143 100
Min = 8 Max = 81
Berdasarkan perhitungan data keseluruhan perilaku asertif pada perempuan
diperoleh skor minimum 8 dan skor maksimum 81. Dari tabel di atas diketahui bahwa
kategori sangat tinggi sebesar 1,4% dengan frekuensi 2, tinggi 27,3% dengan frekuensi
39, sedang 57,3% dengan frekuensi 82, rendah 9,1% dengan frekuensi 13, dan sangat
20
rendah 4,9% dengan frekuensi 7. Mean (rata-rata) sebesar 51,80 dengan standar deviasi
(SD) sebesar 13,374 yang terletak pada kategori sedang. Hal ini menunjukkan sebagian
besar perempuan memiliki perilaku asertif yang sedang.
Tabel 7.
Kriteria Perilaku Asertif Laki-laki
No. Interval Kategori Mean SD Frekuensi %
1. 80 ≤ x ≤ 100 Sangat Tinggi - -
2. 60 ≤ x < 80 Tinggi 35 24,5
3. 40 ≤ x < 60 Sedang 51,22 11,763 92 64,3
4. 20 ≤ x < 40 Rendah 14 9,8
5. 0 ≤ x < 20 Sangat Rendah 2 1,4
Jumlah 143 100
Min = 0 Max = 74
Berdasarkan perhitungan data keseluruhan perilaku asertif pada laki-laki diperoleh
skor minimum 0 dan skor maksimum 74. Dari tabel di atas diketahui bahwa kategori
sangat tinggi sebesar 0% dengan frekuensi 0, tinggi 24,5% dengan frekuensi 35, sedang
64,3% dengan frekuensi 92, rendah 9,8% dengan frekuensi 14, dan sangat rendah 1,4%
dengan frekuensi 2. Mean (rata-rata) sebesar 51,22 dengan standar deviasi (SD) sebesar
11,763 yang terletak pada kategori sedang. Hal ini menunjukkan sebagian besar laki-
laki memiliki perilaku asertif yang sedang.
Uji Normalitas
a. Tingkat Pendidikan
Dari hasil uji normalitas perilaku asertif siswa SMA Negeri 3 Salatiga melalui
Kolmogorov-Smirnov diperoleh nilai K-S-Z sebesar 1,855 dengan probabilitas (p) atau
signifikansi sebesar p = 0,02 (p < 0,05), dapat dikatakan bahwa sebaran data tidak
21
berdistribusi normal. Sedangkan uji normalitas perilaku asertif mahasiswa Fakultas
Psikologi UKSW Salatiga diperoleh nilai K-S-Z sebesar 0,766 dengan probabilitas (p)
atau signifikansi sebesar p = 0,600 (p > 0,05), dapat dikatakan bahwa sebaran data
berdistribusi normal.
b. Usia
Dari hasil uji normalitas perilaku asertif remaja melalui Kolmogorov-Smirnov
diperoleh nilai K-S-Z sebesar 1,758 dengan probabilitas (p) atau signifikansi sebesar p =
0,04 (p < 0,05), dapat dikatakan bahwa sebaran data tidak berdistribusi normal.
Sedangkan uji normalitas perilaku asertif dewasa dini diperoleh nilai K-S-Z sebesar
0,644 dengan probabilitas (p) atau signifikansi sebesar p = 0,801 (p > 0,05), dapat
dikatakan bahwa sebaran data berdistribusi normal.
c. Jenis Kelamin
Dari hasil uji normalitas perilaku asertif perempuan melalui Kolmogorov-
Smirnov diperoleh nilai K-S-Z sebesar 1,380 dengan probabilitas (p) atau signifikansi
sebesar p = 0,044 (p < 0,05), dapat dikatakan bahwa sebaran data tidak berdistribusi
normal. Sedangkan uji normalitas perilaku asertif laki-laki diperoleh nilai K-S-Z sebesar
1,427 dengan probabilitas (p) atau signifikansi sebesar p = 0,034 (p < 0,05), dapat
dikatakan bahwa sebaran data tidak berdistribusi normal.
Uji Homogenitas
a. Tingkat Pendidikan
Hasil uji homogenitas melalui Levene statistic diperoleh nilai pada baris based
on mean, yaitu 7,242 dengan nilai p (signifikansi) sebesar 0,008 di mana p < 0,05 yang
berarti varians data tersebut dapat dikatakan tidak homogen.
22
b. Usia
Hasil uji homogenitas melalui Levene statistic diperoleh nilai pada baris based
on mean, yaitu 3,835 dengan nilai p (signifikansi) sebesar 0,051 di mana p > 0,05 yang
berarti varians data tersebut dapat dikatakan homogen.
c. Jenis Kelamin
Hasil uji homogenitas melalui Levene statistic diperoleh nilai pada baris based
on mean, yaitu 1,488 dengan nilai p (signifikansi) sebesar 0,223 di mana p > 0,05 yang
berarti varians data tersebut dapat dikatakan homogen.
Uji Hipotesis
Dari hasil uji asumsi menunjukkan bahwa adanya sebaran data tidak
berdistribusi normal dan varians data tidak homogen, sehingga untuk pengujian
komparasi menggunakan Mann-Whitney U-Test (uji-u) di mana uji dapat digunakan bila
asumsi uji-t tidak dipenuhi yaitu sebaran data berdistribusi normal dan varians data
homogen (Sugiyono, 2010).
a. Tingkat Pendidikan
Dari hasil olah data diketahui mean 130,30 untuk SMA Negeri 3 Salatiga dengan
jumlah responden 182, sedangkan pada mahasiswa Fakultas Psikologi UKSW Salatiga
didapatkan mean 166,60 dengan jumlah responden 104. Signifikansi 2 arah (2 tailed)
diperoleh hasil 0,000 (p value < 0,05), maka H0 ditolak H1 diterima. Hal ini berarti
bahwa ada perbedaan signifikan perilaku asertif ditinjau dari tingkat pendidikan pada
siswa SMA Negeri 3 Salatiga dan mahasiswa Fakultas Psikologi UKSW Salatiga.
23
Terlihat dari mean yang dihasilkan bahwa perilaku asertif mahasiswa Fakultas Psikologi
UKSW lebih tinggi daripada siswa SMA Negeri 3 Salatiga.
b. Usia
Dari hasil olah data diketahui mean 130,92 untuk remaja dengan jumlah
responden 158, sedangkan dewasa dini didapatkan mean 159,02 dengan jumlah
responden 128. Signifikansi 2 arah (2 tailed) diperoleh hasil 0,004 (p value < 0,05),
maka H0 ditolak H1 diterima. Hal ini berarti bahwa ada perbedaan signifikan perilaku
asertif ditinjau dari usia pada siswa SMA Negeri 3 Salatiga dan mahasiswa Fakultas
Psikologi UKSW Salatiga. Terlihat dari mean yang dihasilkan bahwa perilaku asertif
dewasa dini lebih tinggi daripada remaja.
c. Jenis Kelamin
Dari hasil olah data diketahui mean 146,92 untuk perempuan dengan jumlah
responden 143, sedangkan laki-laki didapatkan mean 140,08 dengan jumlah responden
143. Signifikansi 2 arah (2 tailed) diperoleh hasil 0,485 (p value > 0,05), maka H0
diterima H1 ditolak. Hal ini berarti bahwa tidak ada perbedaan signifikan perilaku asertif
ditinjau dari jenis kelamin pada siswa SMA Negeri 3 Salatiga dan mahasiswa Fakultas
Psikologi UKSW Salatiga.
Pembahasan
a. Tingkat Pendidikan
Dari hasil penelitian didapatkan adanya perbedaan perilaku asertif ditinjau dari
tingkat pendidikan, di mana mahasiswa lebih tinggi daripada siswa sekolah menegah
atas. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Lee, et al. (1985) di mana asertivitas
meningkat dengan bertambahnya tingkat kelas seseorang. Selain itu, Rosita (2007) juga
24
mendapatkan hasil bahwa mahasiswa yang tinggi jenjangnya lebih asertif daripada
mahasiswa di bawahnya. Hal ini disebabkan karena mahasiswa tingkat atas sudah tahu
banyak hal dan memiliki wawasan mengenai cara-cara bagaimana bersikap ketika
berinteraksi dengan pihak lain supaya tujuan yang dikehendaki tercapai, sehingga
mereka memilih berperilaku asertif.
Rathus dan Nevid (dalam Anindyajati & Karima, 2004) mengemukakan bahwa
semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin luas wawasan berpikirnya
sehingga kemampuan untuk mengembangkan diri lebih terbuka. Dalam pembelajaran,
siswa mendapatkan materi dan pengetahuan yang bertambah sesuai dengan hal yang
dipelajari di tingkat pendidikan yang sedang ia tempuh. Selain itu, siswa yang lebih atas
akan mampu memproses dan memilah informasi atau hal lainnya sesuai dengan
kebutuhan dirinya. Oleh karena itu, dianggap bahwa siswa yang lebih tinggi tingkat
pendidikannya akan lebih mampu bersikap asertif jika ia dihadapkan pada suatu situasi
tertentu.
b. Usia
Dari hasil penelitian didapatkan adanya perbedaan perilaku asertif ditinjau dari
usia, di mana dewasa dini lebih tinggi daripada remaja. Hasil penelitian ini sesuai
dengan hasil penelitian Larijani, et al. (2010), dan Pardeck, et al. (dalam Larijani, et al.)
yang menyebutkan bahwa semakin bertambahnya usia maka seseorang mampu
bertindak lebih asertif dikarenakan pengaturan dirinya yang lebih stabil. Kimble, Marsh,
dan Kiska (dalam Eskin, 2003) menyebutkan bahwa seseorang yang menuju masa
dewasa akan berpengaruh pada perubahan interaksi sosial dengan keluarga maupun
25
teman sebayanya di mana mereka akan lebih mampu menguasai situasi di sekitarnya.
Hasil ini juga sesuai dengan penelitian Eskin yang menyatakan siswa yang lebih tua
lebih asertif daripada siswa yang lebih muda.
Subjek dalam penelitian ini berada pada masa remaja dan dewasa dini.
Dikatakan bahwa masa remaja adalah masa peralihan di mana harus mempelajari pola
perilaku dan sikap baru untuk menggantikan perilaku dan sikap ketika ia meninggalkan
masa anak-anak (Hurlock, 1999). Itulah sebabnya remaja harus melakukan penyesuaian
kembali. Begitu pula dengan dewasa dini yang berada dalam masa penyesuaian. Akan
tetapi, sebagai orang dewasa diharapkan mengadakan penyesuaian diri secara mandiri
(Hurlock). Oleh karena itu, masa dewasa merupakan masa di mana seseorang harus
mampu mengatur dirinya untuk mempersiapkan diri agar mampu bersaing dan
berinteraksi dengan orang lain. Dengan bertambahnya usia, individu belajar
kemampuan interpersonal beriringan dengan meningkatnya perasaan percaya diri dalam
situasi interpersonal. Dengan keyakinan diri yang dimiliki individu akan membuatnya
berespon lebih asertif dalam berinteraksi dengan orang lain (Eskin, 2003).
c. Jenis Kelamin
Dari hasil penelitian didapatkan tidak adanya perbedaan perilaku asertif ditinjau
dari jenis kelamin. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Fukuyama dan
Greenfield (dalam Amat, et al., 2012), Kilkus (1993), Zane, et al. (1991), Arigbabu, et
al. (2011), Connor, et al. (1982), serta Eskin (2003) bahwa tidak ada perbedaan perilaku
asertif berdasarkan jenis kelamin. Hal ini bisa disebabkan karena budaya yang sudah
tidak menitikberatkan pada prasangka gender, di mana bukan hal yang tabu lagi bagi
26
perempuan dapat melakukan hal yang sama layaknya laki-laki, seperti bekerja,
memimpin, dan lain sebagainya (Arigbabu, et al.).
Costa, et al. (2001) menjelaskan bahwa pembedaan jenis kelamin secara
universal dipelajari dari peran gender. Misalnya, laki-laki dalam setiap budaya nampak
lebih kuat fisiknya daripada perempuan. Laki-laki secara umum berperan sebagai
pemimpin dan dari perannya tersebut memungkinkan laki-laki dapat belajar lebih asertif
daripada perempuan. Namun, tidak hanya laki-laki saja yang mampu berperilaku asertif.
Perempuan juga dapat berperilaku asertif lebih tinggi dikarenakan di zaman sekarang
baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kedudukan dan peluang yang sama.
Perempuan dapat bekerja dan juga tidak lagi dipandang sebelah mata, oleh karena itu
perempuan juga dapat berperilaku asertif layaknya laki-laki. Maka, bisa saja terjadi
tidak adanya perbedaan antara perempuan dan laki-laki dalam berperilaku asertif seperti
hasil dalam penelitian ini.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya,
maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
a. Terdapat perbedaan signifikan perilaku asertif ditinjau dari tingkat pendidikan
pada siswa SMA Negeri 3 Salatiga dan mahasiswa Fakultas Psikologi UKSW
Salatiga. Perilaku asertif mahasiswa Fakultas Psikologi UKSW Salatiga lebih
27
tinggi dengan mean 166,60 daripada siswa SMA Negeri 3 Salatiga dengan mean
130,30.
b. Terdapat perbedaan signifikan perilaku asertif ditinjau dari usia pada siswa
SMA Negeri 3 Salatiga dan mahasiswa Fakultas Psikologi UKSW Salatiga.
Perilaku asertif dewasa dini lebih tinggi dengan mean 159,02 daripada remaja
dengan mean 130,92.
c. Tidak ada perbedaan signifikan perilaku asertif ditinjau dari jenis kelamin pada
siswa SMA Negeri 3 Salatiga dan mahasiswa Fakultas Psikologi UKSW
Salatiga. Perilaku asertif perempuan dengan mean 146,92 dan laki-laki dengan
mean 140,08.
d. Perilaku asertif yang dimiliki sebagian besar (59,9%) siswa SMA Negeri 3
Salatiga termasuk dalam kategori sedang, demikian pula perilaku asertif yang
dimiliki sebagian besar (62,5%) mahasiswa Fakultas Psikologi UKSW Salatiga
termasuk dalam kategori sedang.
e. Perilaku asertif yang dimiliki sebagian besar (60,1%) remaja termasuk dalam
kategori sedang, demikian pula perilaku asertif yang dimiliki sebagian besar
(57,8%) dewasa dini termasuk dalam kategori sedang.
f. Perilaku asertif yang dimiliki sebagian besar (57,3%) perempuan termasuk
dalam kategori sedang, demikian pula perilaku asertif yang dimiliki sebagian
besar (64,3%) laki-laki termasuk dalam kategori sedang.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dicapai dan peneliti menyadari masih
banyaknya keterbatasan dalam penelitian ini, untuk itu peneliti memberikan beberapa
saran sebagai berikut :
28
a. Institusi pendidikan memberikan pelatihan agar peserta didik dapat lebih
mampu untuk berperilaku asertif, baik di lingkup pendidikan maupun di
luar lingkup pendidikan.
b. Setiap individu agar dapat meningkatkan perilaku asertifnya dan
menyadari bahwa penting bagi dirinya untuk dapat berperilaku asertif
dalam menghadapi hubungan atau relasi interpersonal yang lebih efektif.
c. Peneliti selanjutnya disarankan melakukan penelitian dengan
menggunakan faktor yang memengaruhi lainnya seperti harga diri,
kebudayaan, dan situasi-situasi tertentu di sekitarnya. Dikarenakan adanya
hasil yang kontra pada variabel jenis kelamin, maka variabel tersebut
dapat diteliti kembali.
29
DAFTAR PUSTAKA
Adejumo, D. (1981). Sex differences in assertiveness among university students in
Nigeria. The Journal of Social Psychology, 113, 139-140.
Amat, S., Mahmud, Z., & Salleh, A. (2012). An investigation of assertiveness and
satisfaction with life among Malaysian secondary school students. The
International Journal of Knowledge, Culture and Change Management,
11(6), 1-10.
Anindyajati, M., & Karima, C. M. (2004). Peran harga diri terhadap asertivitas remaja
penyalahguna narkoba (Penelitian pada remaja penyalahguna narkoba di
tempat-tempat rehabilitasi penyalahguna narkoba). Jurnal Psikologi, 2(1), 49-
73.
Arigbabu, A. A., Oladipo, S. E., & Gabriel, M. A. O. (2011). Gender, marital status and
religious affiliation as factors of assertiveness among Nigerian education
majors. International Journal of Psychology and Counselling, 3(2), 20-23.
Arslan E., Akca, N. K., & Baser, M. B. (2013). Levels of assertiveness and peer
pressure of nursing students. International Journal of Caring Sciences, 6(1),
78-86.
Azwar, S. 2012. Penyusunan skala psikologi edisi 2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bourke, R. (2002). Gender differences in personality among adolescents. Psychology,
Evolution & Gender, 4, 31-41.
Connor, J. M., Dann, L. N., & Twentyman, C. T. (1982). A self-report measure of
assertiveness in young adolescents. Journal of Clinical Psychology, 38(1),
101-106.
Costa, P. T. Jr., Terracciano, A., & McCrae, R. R. (2001). Gender differences in
personality traits across cultures: Robust and surprising findings. Journal of
Personality and Social Psychology, 81(2), 322-331.
Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. (2003). Undang-undang
Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional.
Jakarta: Biro Hukum dan Organisasi.
Erbay, E., & Akcay, S. (2013). Assertivenesss skill of social work students: A case of
Turkey. Academic Research International, 4(2), 316-323.
Eskin, M. (2003). Self-reported assertiveness in Swedish and Turkish adolescents: A
cross-cultural comparison. Scandinavian Journal of Psychology, 44, 7-12.
Hurlock, E. B. (1999). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang
kehidupan edisi 6. Jakarta: Erlangga.
30
Kilkus, S. P. (1993). Assertiveness among professional nurses. Journal of Advanced
Nursing, 18, 1324-1330.
Larijani, T. T., Aghajani, M., Baheiraei, A., & Neiestanak, N. S. (2010). Relation of
assertiveness and anxiety among Iranian university students. Journal of
Psychiatric and Mental Health Nursing, 17, 893-899.
Lee, D. Y., Hallberg, E. T., & Slemon, A. G. (1985). An assertiveness scale for
adolescents. Journal of Clinical Psychology, 41(1), 51-57.
Mahmoud, S., & Hamid, R. A. (2013). Effectiveness of assertiveness training
programme on self esteem & academic achievement in adolescents girls at
secondary school at Abba city. Journal of American Sciences, 9(8), 262-269.
Mueen, B., Khurshid, M., & Hassan, I. (2006). Relationship of depression and
assertiveness in normal population and depressed individuals. Internet
Journal of Medical Update 2006, 1(2), 10-17.
Nelson, D. B., & Nelson, K. W. (2003). Emotional intelligence skills: Significant
factors in freshmen achievement and retetion. ERIC (ED 476121).
Rathus, S. A. (1973). A 30-item schedule for assesing assertive behavior. Behavior
Therapy, 4, 398-406.
___________ (2012). Psychology: Concepts and connections 10th
edition. USA:
Wadsworth.
Rosita, H. (2007). Hubungan antara perilaku asertif dengan kepercayaan diri pada
mahasiswa. Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma.
Santrock, J. W. (2012). Life-span development: Perkembangan masa-hidup edisi 13.
Jakarta: Erlangga.
Stebbins, C. A., Kelly, B. R., Tolor, A., & Power, M. (1977). Sex differences in
assertiveness in college students. The Journal of Psychology, 95, 309-315.
Sugiyono. (2011). Statistika untuk penelitian. Bandung: Alfabeta.
________ (2013). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif dan r&d. Bandung: Alfabeta.
Zane, N. W. S., Sue, S., Hu, L., & Kwon, J. (1991). Asian-American assertion: A social
learning analysis of cultural differences. Journal of Counseling Psychology,
38(1), 63-70.