PERATURAN PERASURANSIAN KONVENSIONAL DAN … · lembaga keuangan non bank yang sedang berkembang...
Transcript of PERATURAN PERASURANSIAN KONVENSIONAL DAN … · lembaga keuangan non bank yang sedang berkembang...
PERATURAN PERASURANSIAN
KONVENSIONAL DAN SYARIAH DI INDONESIA
Nurul Ichsan
abstraksi
Tulisan ini berkenaan dengan salah satu permasalahan ekonomi modern yaitu masalah
lembaga keuangan non bank yang sedang berkembang pada saat ini yaitu asuransi, tepatnya
kajian mengenai peraturan dan dasar hukum perasuransian di Indonesia yang bertujuan
untuk mengeksplorasi dan menjelaskan secara luas serta mendalam tentang bagaimanakah
peraturan-peraturan dan dasar hukum perasuransian di negara kita yang kini eksis, seperti
juga sistem lembaga keuangan perbankan, telah ada dua sistem asuransi yaitu asuransi
konvensional dan asuransi syariah, yang mana keduanya memiliki persamaan dalam
beberapa peraturan dan untuk asuransi syariah mempunyai ketentuan dasar hukum
tambahan yang berbeda yang lebih banyak karena bersumber kepada hukum fiqh Islam dan
fatwa MUI.
A. Pendahuluan
Asuransi bagi dunia bisnis saat ini sangatlah berkembang pesat karena mempunyai
banyak kepentingan dan manfaat, beberapa manfaatnya yaitu antara lain membantu
masyarakat mengatasi segala masalah risiko yang dihadapinya, sarana pengumpulan dana
yang cukup besar yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi masyarakat dan
pembangunan ekonomi secara luas serta sebagai sarana untuk mengatasi risiko-risiko yang
dihadapi dalam melaksanakan pembangunan bagi sebuah negara.
Tetapi di dalam pembangunan negara ini janganlah diabaikan bagaimana
pembangunan masyarakat yang religius, agamis, karena tanpa pembangunan pribadi
masyarakat yang baik maka pembangunan ini akan menuju kepada jurang pemisah yang
dalam antara yang kaya dengan si miskin sehingga tidak tercipta keadilan ekonomi dan
kesejahteraan sosial yang didambakan dan dicita-citakan oleh seluruh komponen bangsa
Indonesia. Oleh karena itu pembangunan ekonomi juga haruslah melihat bagaimana
keterlibatan agama di dalam unsur ekonomi dan pembangunan, sehingga tidak terpisah antara
peraturan negara dengan hukum Islam yang dianut oleh sebagian besar rakyat Indonesia.
Islam adalah agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam, sehingga sifat
hukumnya yang lengkap dan universal itu dapat dipakai secara menyeluruh bagi kepentingan
umat manusia di muka bumi tak terkecuali di Indonesia. Oleh karena itu dalam agama Islam
sudah terdapat aturan-aturan bagi manusia baik yang berhubungan langsung kepada Allah
maupun yang berhubungan dengan antara sesama manusia yang biasa disebut muamalah.
Apabila dilihat dari sejarah hukum pada awalnya, dasar hukum yang mutlak kebenarannya
adalah Al-Quran sebagai sumber hukum utama dan hadist sebagai penjelas dari Al-Quran.
Namun seiring dengan berkembangnya zaman yang dari waktu ke waktu selanjutnya karena
terdapat masalah-masalah baru dan disertai dengan situasi dan kondisi yang berubah-ubah
setiap saat timbulah kemudian fiqh sebagai penafsiran manusia terhadap hukum Islam dan
permaslahan hukum yang dihadapi. Salah satu aspek hukum yang banyak sekali timbul
permasalahan baru dan bersifat ijtihadiyah adalah aspek ekonomi yang termasuk dalam
lingkup fiqh muamalah.
Salah satu masalah ekonomi yang menjadi perbincangan ulama dan cendekiawan
muslim pada saat ini adalah asuransi. Perbedaan pendapat mengenai asuransi ini tentu
didasari dengan alasan dan sudut pandang yang berbeda-beda ditinjau dari segi sejarah,
tujuan, mafsadah, dan maslahah yang terdapat dalam asuransi itu sendiri. Akan tetapi sejalan
dengan kemajuan zaman dan ijtihad kaum muslimin maka asuransi syariah lahir untuk
memberikan solusi dengan sistem baru dan berbeda yang ditawarkan untuk memenuhi
kepentingan pembagunan ekonomi masyarakat yang religius. Oleh karena itu selain undang
undang negara maka asuransi syariah juga bedasarkan kepada fatwa ulama sebagai sandaran
hukum beragama, bernegara dan berbangsa.
B. Pengertian dan Ruang Lingkup Asuransi
1. Definisi dan Unsur Asuransi
Menurut bahasa, kata “asuransi” itu diambil dari bahasa Belanda, “assurantie”, yang
artinya meyakinkan orang. Dalam hukum Belanda, asuransi ini disebut dengan Verzekering,
yang berarti pertanggungan. Istilah tersebut kemudian berkembang menjadi “assuradeur”
yang berarti penanggung dan tertanggung disebut “geassureerde”.1
Menurut Ketentuan Pasal 246 KUHD (Kitab Undang Undang Dagang), asuransi atau
pertanggungan adalah perjanjian dengan mana penanggung mengikatkan diri kepada
tertanggung dengan menerima premi untuk memberikan penggantian kepadanya karena
kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin dideritanya
akibat dari suatu evenemen (peristiwa tidak pasti).
Sedangkan menurut Undang–undang No. 2 Tahun 1992 tertanggal 11 Februari 1992
tentang Usaha Perasuransian, asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak
atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan
menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena
kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab
hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu
peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas
meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. Dengan demikian menurut UU
RI No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian ini, asuransi atau pertanggungan itu
adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dimana pihak penanggung mengikatkan diri
kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi yang bertujuan untuk memberikan :
1. Penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan
keuntungan yang diharapkan.
2. Tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita
tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti.
3. Pembayaran uang yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang
dipertanggungkan.
Sedangkan Menurut KUH Perdata asuransi merupakan suatu bentuk perjanjian yang
harus dipenuhi syarat sebagaimana dalam Pasal 1320 KUH Perdata, dengan karakteristik
bahwa asuransi adalah persetujuan yang bersifat untung-untungan sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 1774 KUH Perdata. 2 Menurut Pasal 1774 KUH Perdata, “Suatu persetujuan
1 Abdullah Amrin, Asuransi Syariah (Keberadaan dan Kelebihannya di Tengah Asuransi Konvensional),Jakarta , PT Gramedia, 2006, hlm: 1
2 Wirdyaningsih, Dkk, Bank Dan Asuransi Islam Di Indonesia, Jakarta, Kencana, 2005, h, 202-203
untung–untungan (kans-overeenkomst) adalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai
untung ruginya, baik bagi semua pihak maupun bagi sementara pihak, bergantung kepada
suatu kejadian yang belum tentu”. Beberapa hal penting mengenai asuransi menurut KUH
Perdata yaitu bahwa asuransi itu:
1. Merupakan suatu perjanjian yang harus memenuhi Pasal 1320 KUH Perdata.
2. Perjanjian tersebut bersifat adhesif artinya isi perjanjian tersebut sudah ditentukan
oleh Perusahaan Asuransi (kontrak standar). Namun demikian, hal ini tidak sejalan
dengan ketentuan dalam Undang-undang No.8 tahun 1999 tertanggal 20 April 1999
tentang Perlindungan Konsumen.
3. Terdapat 2 (dua) pihak di dalamnya yaitu Penanggung dan Tertanggung, namun
dapat juga diperjanjikan bahwa Tertanggung berbeda pihak dengan yang akan
menerima tanggungan.
4. Adanya premi sebagai yang merupakan bukti bahwa Tertanggung setuju untuk
diadakan perjanjian asuransi.
5. Adanya perjanjian asuransi mengakibatkan kedua belah pihak terikat untuk
melaksanakan kewajibannya.
Berdasarkan definisi-definisi tersebut di atas maka dapat disimpulkan unsur-unsur
yang harus ada pada asuransi adalah:
1. Subyek hukum (penanggung dan tertanggung);
2. Persetujuan bebas antara penanggung dan tertanggung;
3. Benda asuransi dan kepentingan tertanggung;
4. Tujuan yang ingin dicapai;
5. Resiko dan premi;
6. Evenemen (peristiwa yang tidak pasti) dan ganti kerugian;
7. Syarat-syarat yang berlaku;
8. Polis asuransi.
Adapun menurut Fatwa DSN No. 21 / DSN-MUI / III / 2002 tentang Asuransi Syariah,
asuransi syariah didefiniskan yaitu usaha saling melindungi dan tolong-menolong diantara
sejumlah orang / pihak melalui investasi dalam bentuk asset/ tabarru/ yang memberikan pola
pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan
syariah.3 Berdasarkan pengertian diatas, maka dapat dipahami bahwa asuransi syariah adalah
usaha saling tolong-menolong, dan saling melindungi satu sama lainnya antara sejumlah
pihak melalui investasi dalam bentuk tabarru’ sesuai yang telah disepakati sesuai dengan
syariah, serta berhak mendapatkan ganti rugi terhadap hartanya jika mengalami kehilangan,
kerusakan, atau mengalami peristiwa yang tidak pasti.4
2. Jenis Badan Hukum Asuransi
Berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Undang–Undang no 2 tahun 1992 pasal
7 ayat 1, yang menyatakan bahwa badan hukum yang diperbolehkan menyediakan jasa
asuransi adalah :
koperasi
usaha bersama (mutual)
perseroan terbatas (PT)
Perusahaan Perseroan (Persero)
3. Perizinan Pendirian Perusahaan Asuransi
Pemberian izin oleh Menteri Keuangan bagi perusahaan perasuransian menurut PP
no. 73 tahun 1992 dalam dua tahap yaitu:
1. Persetujuan prinsip
Adalah persetujuan yang diberikan untuk melakukan persiapan pendirian suatu
perusahaan yang bergerak dibidang perasuransian, dengan batas waktu persetujuan
prinsip dibatasi selama-lamanya satu tahun.
2. Izin usaha
Adalah izin yang diberikan untuk melakukan usaha setelah persiapan pendirian
selesai, dengan izin usaha diberikan setelah persyaratan izin usaha dipenuhi dan
Ketentuan modal disetor perusahaan perasuransian.
4. Kepemilikan Perusahaan dan Izin Usaha
Berdasarkan Undang–Undang no 2 tahun 1992 pasal 8 ayat 1, warga yang boleh
mendirikan adalah WNI dan atau badan hukum yang sepenuhnya dimiliki oleh WNI atau
3 Muhammad Firdaus, Sofiniyah Ghufron, Muhammad Aziz Hakim, Mukhtar Alshodiq,Sistem Operasional Asuransi Syariah, Jakarta, Renaisan, hlm. 18
4 Nurul Ichsan, Takaful Konsep Asuransi Dalam Islam, Jakarta, Kalam Mulia, 2011, h.23
badan hukum Indonesia, sedangkan perizinan usaha perasuransian telah diatur dalam
Undang–Undang No. 2 Tahun 1992 pasal 9, yang menyatakan :
setiap pihak yang akan memberikan layanan jasa asuransi harus mendapatkan izin
usaha yang diterbitkan oleh Menteri, kecuali jika jasa asuransi yang diberikan
adalah program asuransi sosial. Karena asuransi sosial diselenggarakan oleh
pemerintah, apabila ada kerugian akan ditanggung oleh pemerintah dan bila ada
keuntungan akan dikembalikan kepada masyarakat.
untuk mendapatkan perizinan usaha, sebuah perusahaan harus melengkapi
persyaratan berupa :
anggaran dasar
susuna organisasi
permodalan
kepemilikan
keahlian di bidang perasuransian
kelayakan rencana kerja
hal- hal lain yang diperlukan untuk mendukung pertumbuhan usaha
peasuransian secara sehat bisa berupa dokumen atau lainnya untuk
mendukung berjalannya usaha perasuransian.
Untuk mendapat izin usaha perasuransian, pemilik perusahaan harus memiliki
kecakapan atau pegawai dengan kecakapan yang berkaitan dengan asuransi, seperti :
aktuaria
underwriting
manajemen resiko
penilai kerugian asuransi
dan kecakapan lainnya
Jika semua yang dibutuhkan untuk mendapatka izin usaha perasuransian telah
terpenuhi, maka pemilik bisa mendapatkan izin usaha. Selain itu, persyaratan untuk
memperoleh izin usaha reasuransi nasional terdapat dalam pasal 2 keputusan Menteri
Keuangan RI nomor 1249/KMK.013/1988 di antaranya:
a) memiliki akta pendirian yang telah disahkan menurut ketentuan perundang-
undangan yang berlaku
b) memiliki modal disetor bagi perseroan terbatas atau jumlah simpanan pokok dan
simpanan wajib bagi koperasi Rp. 10.000.000.000.000 (sepuluh milyar rupiah)
c) menetapkan dana jaminan sebesar 20% dari modal disetor atau simpanan pokok
dan simpanan wajib
d) memiliki nomor pokok wajib pajak
e) komisaris dan direksi perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas seluruhnya
warga Negara Indonesia
f) direksi bagi perseroan terbatas atau koperasi tidak boleh merangkap jabatan
eksekutif pada perusahaan lain
g) memiliki neraca pembukuan.
Disamping kemungkinan terdapat perusahaan reasuransi nasional juga dapat dibentuk
perusahaan reasuransi patungan seperti diatur dalampasal 4 Keputusan Menteri Keuangan
nomor 1249/MKM.013/1988 yang menyebutkan bahwa hanya dapat didirikan dalam bentuk
perseroan terbatas dan wajib memperoleh Izin Usaha dari Menteri Keuangan.
Adapun izin usaha bagi perusahaan pialang atau broker asuransi kita memperhatikan
ketentuan pasal 2 ayat 2 Keptusan Menteri Keuangan Nomor 1249/MKM.013/1988. Di atur
dalam pasal 5 Undang- Undang Nomor 2 tahun 1992 yaitu sebagai berikut:
a) perusahaan asuransi dapat menyelenggarakan usaha dengan bertindak mewakili
tertanggung dalam rangka transaksi yang berkaitan dengan kontrak asuransi
b) perusahaan pialang reasuransi hanya dapat menyelenggarakan usaha dengan
bertindak mewakili perusahaan asuransi dalam rangka transaksi yang berkaitan
dengan kontrak reasuransi
c) perusahaan penilai kerugian asuransi hanya dapat menyelenggarakan usaha jasa
penilaian kerugian atau kehilangan dan kerusakan yang terjadi pada objek
asuransi kerugian.
5. Polis Asuransi
Menurut ketentuan pasal 225 KUHD perjanjian asuransi harus dibuat secara tertulis
dalam bentuk akta yang disebut polis yang memuat kesepakatan, syarat-syarat khusus dan
janji-janji khusus yang menjadi dasar pemenuhan hak dan kewajiban para pihak (penanggung
dan tertanggung) dalam mencapai tujuan asuransi. Dengan demikian, polis merupakan alat
bukti tertulis tentang telah terjadinya perjanjian asuransi antara tertanggung dan penanggung.
Mengingat fungsinya sebagai alat bukti tertulis maka para pihak (khususnya
Tertanggung) wajib memperhatikan kejelasan isi polis dimana sebaiknya tidak mengandung
kata-kata atau kalimat yang memungkinkan perbedaan interpretasi sehingga dapat
menimbulkan perselisihan (dispute). Menurut ketentuan pasal 256 KUHD, setiap polis
kecuali mengenai asuransi jiwa harus memuat syarat-syarat khusus berikut ini :
Hari dan tanggal pembuatan perjanjian asuransi
Nama tertanggung, untuk diri sendiri atau pihak ketiga
Uraian yang jelas mengenai benda yang diasuransikan
Jumlah yang diasuransikan (nilai pertanggungan)
Bahaya-bahaya/ evenemen yang ditanggung oleh penanggung
Saat bahaya mulai berjalan dan berakhir yang menjadi tanggungan penanggung
Premi asuransi.
Umumnya semua keadaan yang perlu diketahui oleh penanggung dan segala janji-
janji khusus yang diadakan antara para pihak, antara lain mencantumkan “Banker’s Clause”,
jika terjadi peristiwa (evenemen) yang menimbulkan kerugian penanggung dapat berhadapan
dengan siapa pemilik atau pemegang hak.
Untuk jenis asuransi kebakaran Pasal 287 KUHD menentukan bahwa di dalam
polisnya harus pula menyebutkan:
Letak barang tetap serta batas-batasnya.
Pemakaiannya.
Sifat dan pemakaian gedung-gedung yang berbatasan, sepanjang berpengaruh
terhadap obyek pertanggungan.
Harga barang-barang yang dipertanggungkan.
Letak dan pembatasan gedung-gedung dan tempat-tempat dimana barang-
barang bergerak yang dipertanggungkan itu berada.
Untuk mengetahui perlindungan yang diberikan oleh suatu polis asuransi, perlu
diperhatikan aspek penutupannya, yaitu:
Bencana yang ditutup
Kerugian yang ditutup
Orang-orang yang ditutup
Lokasi-lokasi yang ditutup
Jangka waktu yang ditutup
Bahaya-bahaya yang dikecualikan.
6. Jenis Klausula Asuransi
Dalam perjanjian asuransi sering dimuat janji-janji khusus yang dirumuskan secara
tegas dalam polis, yang lazim disebut klausula asuransi yang maksudnya untuk mengetahui
batas tanggung jawab penanggung dalam pembayaran ganti kerugian apabila terjadi peristiwa
yang menimbulkan kerugian. Jenis-jenis asuransi tersebut ditentukan oleh sifat objek asuransi
itu, bahaya yang mengancam dalam setiap asuransi. Klausula-klausula yang dimaksud antara
lain:
1) Klausula Premier Risque
Klausula ini menyatakan bahwa apabila pada asuransi dibawah nilai benda terjadi
kerugian, penanggung akan membayar ganti kerugian seluruhnya sampai maksimum jumlah
yang diasuransikan (Pasal 253 ayat 3 KUHD). Klausula ini biasa digunakan pada asuransi
pembongkaran dan pencurian, asuransi tanggung jawab.
2) Klausula All Risk
Klausula ini menentukan bahwa penanggung memikul segala resiko atau benda yang
diasuransikan. ini berarti penanggung akan mengganti semua kerugian yang timbul akibat
peristiwa apapun, kecuali kerugian yang timbul karena kesalahan tertanggung sendiri (Pasal
276 KUHD) dan karena cacat sendiri bendanya (Pasal 249 KUHD).
3) Klausula Total Loss Only (TLO)
Klausula ini menentukan bahwa penanggung hanya menanggung kerugian yang
merupakan kerugian keseluruhan/total atas benda yang diasuransikan.
4) Klausula Sudah Diketahui (All Seen)
Klausula ini digunakan pada asuransi kebakaran. Klausula ini menentukan bahwa
penanggung sudah mengetahui keadaan, konstruksi, letak dan cara pemakaian bangunan yang
diasuransikan.
5) Klausula Renunsiasi (Renunciation)
Menurut Klausula renunsiasi, penanggung tidak akan menggugat tertanggung, dengan
alasan pasal 251 KUHD, kecuali jika hakim menetapkan bahwa pasal tersebut harus
diberlakukan secara jujur atau itikad baik dan sesuai dengan kebiasaan. Berarti apabila timbul
kerugian akibat evenemen tertanggung tidak memberitahukan keadaan benda objek asuransi
kepada penanggung, maka penanggung tidak akan mengajukan pasal 251 KUHD dan
penanggung akan membayar klaim ganti kerugian kepada tertanggung.
6) Klausula Free Particular Average (FPA)
Bahwa penaggung dibebaskan dari kewajiban membayar ganti kerugian yang timbul
akibat peristiwa khusus di laut (Particular Average) seperti ditentukan dalam pasal 709
KUHD dengan kata lain penanggung menolak pembayaran ganti kerugian yang diklaim oleh
tertanggung yang sebenarnya timbul dari akibat peristiwa khusus yang sudah
dibebaskanklausula FPA.
7) Klausula Riot, Strike & Civil Commotion (RSCC)
Riot (kerusuhan) adalah tindakan suatu kelompok orang, minimal sebanyak 12 orang,
yang dalam melaksanakan suatu tujuan bersama menimbulkan suasana gangguan ketertiban
umum dengan kegaduhan dan menggunakan kekerasan serta pengrusakan harta benda orang
lain, yang belum dianggap sebagai huru-hara.
Strike (pemogokan) adalah tindakan pengrusakan yang disengaja oleh sekelompok
pekerja, minimal 12 orang pekerja atau separuh dari jumlah pekerja (dalam hal jumlah
seluruh pekerja kurang dari 24 orang), yang menolak bekerja sebagaimana biasanya dalam
usaha untuk memaksa majikan memenuhi tuntutan dari pekerja atau dalam melakukan protes
terhadap peraturan atau persyaratan kerja yang diberlakukan oleh majikan.
Civil Commotion (huru-hara) adalah keadaan di suatu kota dimana sejumlah besar
massa secara bersama-sama atau dalam kelompok-kelompok kecil menimbulkan suasana
gangguan ketertiban dan keamanan masyarakat dengan kegaduhan dan menggunakan
kekerasan serta rentetan pengrusakan sejumlah besar harta benda, sedemikian rupa sehingga
timbul ketakutan umum, yang ditandai dengan terhentinya lebih dari separuh kegiatan normal
pusat perdagangan/pertokoan atau perkantoran atau sekolah atau transportasi umum di kota
tersebut selama minimal 24 jam secara terus menerus yang dimulai sebelum, selama atau
setelah kejadian tersebut.
Hal yang harus diperhatikan : Banker’s Clause atau Klausula Bank adalah suatu
klausula yang tercantum dalam Polis yang hanya dicantumkan atas permintaan pihak Bank
dimana dalam polis secara tegas dinyatakan bahwa Pihak Bank adalah sebagai penerima ganti
rugi atas peristiwa yang terjadi atas obyek pertanggungan sebagaimana disebutkan dalam
perjanjian asuransi (polis). Klausula ini muncul sebagai akibat adanya hubungan hutang
piutang antara Debitur dan Kreditur dimana obyek pertanggungan adalah menjadi jaminan
Bank, sehingga klausula ini bukan merupakan standar yang pada umumnya tercantum dalam
Polis.
7. Sanksi Pelanggaran
Terhadap pelanggaran ketentuan yang dilakukan Penanggung dan Tertanggung dapat
dikenakan sanksi berupa :
Sanksi Administratif, (berlaku hanya untuk perusahaan perasuransian, bukan
pada tertanggung).
Sanksi Pidana.
1. Sanksi Administratif yaitu setiap perusahaan perasuransian yang tidak memenuhi
ketentuan dalam Peraturan Pemerintah No.73 tahun 1992 tertanggal 30 Oktober 1992
tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (“PP No.73/1992”) serta peraturan
pelaksanaannya yang berkenaan dengan:
Perizinan usaha
Kesehatan keuangan
Penyelenggaraan usaha
Penyampaian laporan
Pengumuman neraca dan perhitungan laba rugi atau tentang pemeriksaan
langsung. dikenakan sanksi peringatan, sanksi pembatasan kegiatan usaha
dan sanksi pencabutan izin usaha (Pasal 37 PP No.73/1992).
Tanpa mengurangi ketentuan Pasal 37, maka terhadap :
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang tidak menyampaikan
laporan keuangan tahunan dan laporan operasional tahunan dan atau tidak
mengumumkan neraca dan perhitungan laba rugi, sesuai dengan jangka
waktu yang ditetapkan, dikenakan denda administratif Rp. 1.000.000.00 (satu
juta Rupiah) untuk setiap hari keterlambatan;
Perusahaan Pialang Asuransi atau Perusahaan Pialang Reasuransi yang tidak
menyampaikan laporan operasional tahunan sesuai dengan jangka waktu
yang ditetapkan dikenakan denda administratif Rp. 500.000.00 (lima ratus
ribu Rupiah) untuk setiap hari keterlambatan (Pasal 38 PP No.73/1992).
2. Sanksi Pidana, yaitu sanksi pidana dikenakan pada kejahatan perasuransian yang diatur
dalam Pasal 21 UU Asuransi, berikut ini:
Terhadap Pelaku Utama
Orang yang menjalankan atau menyuruh menjalankan usaha perasuransian tanpa izin
usaha, menggelapkan premi asuransi, menggelapkan dengan cara mengalihkan,
menjaminkan, dan atau mengagunkan tanpa hak kekayaan Perusahaan Asuransi Kerugian
atau Perusahaan Asuransi Jiwa atau perusahaan Reasuransi, diancam dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.500.000.000 (dua milyar
lima ratus juta Rupiah).
Terhadap Pelaku Pembantu
Orang yang menerima, menadah, membeli, atau mengagunkan atau menjal kembali
kekayaan perusahaan hasil penggelapan dengan cara tersebut yang diketahuinya atau patut
diketahuinya bahwa barang–barang tersebut adalah kekayaan Perusahaan Asuransi Kerugian
atau Perusahaan Asuransi Jiwa atau Perusahaan Reasuransi, dianjam dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta
Rupiah).
Terhadap Pemalsu Dokumen
Orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama melakukan pemalsuan atas
dokumen Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Asuransi Jiwa atau Perusahaan
Reasuransi, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp.
250.000.000 (dua ratus lima puluh juta Rupiah).
8. Solvabilitas
Perusahaan asuransi kerugian dan perusahaan reasuransi yang melakukan kegiatan
usahanya di Indonesia, menurut ketentuan, wajib memelihara tingkat solvabilitas, yaitu
selisih antara kekayaan yang diperkenankan (admitted assets) dengan jumlah kewajiban dan
modal disetor perusahaan yang bersangkutan. Dalam pemenuhan ketentuan tingkat
solvabilitas atau solvency margin ini, menurut Keputusan Menteri Keuangan No.
224/KMK.017/1993 tanggal 26 Februari 1993, dapat dibedakan sebagai berikut:
a. Perusahaan asuransi kerugian dan perusahaan reasuransi minimal 10% dari
premi bruto.
b. Perusahaan asuransi jiwa minimal 1% dari cadangan premi, untuk bidang
usaha asuransi jiwa, ditambah dengan 10% dari premi neto untuk bidang usaha
asuransi kesehatan dan asuransi kecelakaan.
9. Kekayaan yang diperkenankan (Admitted Assets)
Yang dimaksud dengan kekayaan yang diperkenankan atau admitted assets bagi
perusahaan asuranssi terdiri atas:
a. Kas dan Bank
b. Investasi
c. Tagihan premi langsung atau premi murni bagi asuransi jiwa
d. Tagihan reasuransi yang meliputi tagihan:
a) Premi reasuransi
b) Komisi reasuransi
c) Klaim reasuransi
e. Tagihan hasil investasi
f. Perangkat keras computer
g. Tanah dan bangunan, ketentuan pemilikan tanah dan bangun ditetapkan
sebagai berikut:
1) Perusahaan asuransi kerugian dan perusahaan reasuransi maksimum
20% dari modal sendiri
2) Perusahaan asuransi jiwa 40% dari modal sendiri
10. Investasi
Kegiatan investasi perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi sebagai mana
disebutkan dalam komponen admitted assets terdiri atas:
a. Deposito Berjangka dan Sertifikat Deposito
b. Saham, Obligasi, dan surat berharga lain yang dicatat di bursa efek di
Indonesia
c. Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
d. Surat Berharga Pasar Uang (SBPU)
e. Surat pengakuan utang berjangka waktu leebih dari satu tahun
f. Penyertaan langsung
g. Bangunan atau tanah dan bangunan untuk tujuan investasi
h. Pinjaman hipotek
i. Pinjaman pois (khusus bagi perusahaan asuransi jiwa) dengan jaminan
nilai tunai polis mereka
11. Cadangan Teknis
a. Cadangan Premi, Ketentuan pembentukan cadangan premi adalah sebagai berikut:
1) Pembentukan cadangan atas premi yang belum merupakan pendapatan bagi
asuransi kerugian dihitung dengan cara harian dikurangi bagian yang
direasuransikan untuk setiap polis.
2) Pembentukan cadangan premi asuransi jiwa harus dihitung dari selisih antara
nilai sekarang dari manfaat yang akan datang dengan nilai sekarang dari
premi murni yang akan diterima di masa yang akan datang. Penggunaan
Tabel Mortalitas dengan penghitungan cadangan premi tersebut harus
konsisten untuk masing-masing program asuransi jiwa. Di samping itu,
amortisasi terhadap cadangan premi yang telah dibentuk tidak diperbolehkan.
b. Cadangan Klaim
1). Perhitungan cadangan klaim asuransi kerugian ditetapkan sebagai berikut:
- Jumlah klaim yang disepakati tetapi belum dibayar, berikut biaya jasa
penilai kerugian, dikurangi dengan beban klaim yang menjadi bagian dari
penanggung ulang.
- Klaim dalam proses penyelesaian, berikut biaya jasa penilai kerugian,
dikurangi dengan beban klaim yang akan menjadi bagian dari penanggung
ulang.
- Klaim yang sudah terjadi tetapi belum dilaporkan, berikut biaya jasa
penilai kerugian, dikurangi dengan beban klaim yang akan menjadi bagian
dari penanggung ulang.
2). Perhitungan cadangan klaim asuransi jiwa didasaran pada selisih lebih antara
perkiraan jumlah klaim kematian berdasarkan Tabel Mortalitas dengan klaim
yang telah dilaporkan.
12. Retensi Sendiri
Retensi sendiri, atau own retention, adalah bagian dari jumlah uang pertanggungan
setiap risiko yang menjadi tanggungan sendiri tanpa dukungan reasuransi. Perusahaan
asuransi dan perusahaan reasuransi menurut ketentuan harus memiliki retensi untuk setiap
risiko. Ketentuan mengenai retensi sendiri tersebut adalah sebagai berikut:
a. Besarnya retensi sendiri maksimum 10% dari modal sendiri
b. Penetapan retensi sendiri harus didasarkan pada profil risiko yang dibuat
secara tertib, relevan, dan akurat
c. Jumlah seluruh premi neto yang ditahan minimal 30% dari jumlah premi bruto
d. Perusahaan asuransi kerugian dan perusahaan reasuransi hanya dapat menahan
premi bruto maksimal 300% dari modal sendiri
e. Perusahaan asuransi jiwa hanya dapat menahan jumlah premi neto untuk
asuransi kecelakaan diri dan asuransi kesehatan paling banyak 150% dari
modal sendiri
f. Perusahaan asuransi tidak diperbolehkan menerima premi penutupan tidak
langsung melebihi 2/3 dari jumlah premi penutupan langsung. Penutupan tidak
langsung adalah penutupan risiko dalam rangka reasuransi
13. Premi Bruto dan Premi Neto
Premi bruto adalah premi penutupan langsung ditambah premi penutupan tidak
langsung setelah masing-masing dikurangi komisi. Sedangkan premi neto adalah premi bruto
dikurangi premi reasuransi dibayar, setelah premi reasuransi dibayar tersebut dikurangi
komisinya.5
5 Siamat, Dahlan. Manajemen Lembaga Keuangan, Kebijakan Moneter dan Perbankan. Jakarta,Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2005, Edisi V, hlm. 697-700
D. Perkembangan Asuransi di Indonesia
Bisnis asuransi masuk ke Indonesia pada waktu penjajahan Belanda dan negara kita
pada waktu itu disebut Nederlands Indie. Keberadaan asuransi di negeri kita ini sebagai
akibat berhasilnya Bangsa Belanda dalam sektor perkebunan dan perdagangan di negeri
jajahannya. Untuk menjamin kelangsungan usahanya, maka adanya asuransi mutlak
diperlukan. Dengan demikian usaha perasuransian di Indonesia dapat dibagi dalam dua kurun
waktu, yakni zaman penjajahan sampai tahun 1942 dan zaman sesudah Perang Dunia II atau
zaman kemerdekaan. Pada waktu pendudukan bala tentara Jepang selama kurang lebih tiga
setengah tahun, hampir tidak mencatat sejarah perkembangan.
Perusahaan-perusahaan asuransi yang ada di Hindia Belanda pada zaman penjajahan
itu adalah :
Perusahaan-perusahaan yang didirikan oleh orang Belanda.
Perusahaan-perusahaan yang merupakan Kantor Cabang dari Perusahaan
Asuransi yang berkantor pusat di Belanda, Inggris dan di negeri lainnya.
Dengan sistem monopoli yang dijalankan di Hindia Belanda, perkembangan asuransi
kerugian di Hindia Belanda terbatas pada kegiatan dagang dan kepentingan bangsa Belanda,
Inggris, dan bangsa Eropa lainnya. Manfaat dan peranan asuransi belum dikenal oleh
masyarakat, lebih-lebih oleh masyarakat pribumi. Jenis asuransi yang telah diperkenalkan di
Hindia Belanda pada waktu itu masih sangat terbatas dan sebagian besar terdiri dari asuransi
kebakaran dan pengangkutan. Asuransi kendaraan bermotor masih belum memegang peran,
karena jumlah kendaraan bermotor masih sangat sedikit dan hanya dimiliki oleh Bangsa
Belanda dan Bangsa Asing lainnya. Pada zaman penjajahan tidak tercatat adanya perusahaan
asuransi kerugian satupun. Selama terjadinya Perang Dunia II kegiatan perasuransian di
Indonesia praktis terhenti, terutama karena ditutupnya pemsahaan- perusahaan asuransi milik
Belanda dan Inggris.
Setelah Perang Dunia usai, perusahaan-perusahaan Belanda dan Inggris kembali beroperasi di
negara yang sudah merdeka ini. Sampai tahun 1964 pasar industri asuransi di Indonesia
masih dikuasai oleh Perusahaan Asing, terutama Belanda dan Inggris. Pada awal mulanya
beroperasi di Indonesia mereka mendirikan sebuah badan yang disebut “Bataviasche
Verzekerings Unie” (BVU) pada tahun 1946, yang melakukan kegiatan asuransi secara
kolektif. Dengan demikian dari setiap penutupan, masing-masing anggota BVU memperoleh
share tertentu. Cara ini dilakukan mengingat keadaan pada waktu itu belum teratur dan tenaga
asuransi masih kurang sekali.
Pada tahun 1950 berdiri sebuah perusahaan asuransi kerugian yang pertama, yakni
NV. Maskapai Asuransi Indonesia yang kemudian pada awal 2004 sudah menjadi PT MAI
PARK. Pada saat itu, sebagai perintis perusahaan asuransi kerugian nasional yang pertama,
maka perusahaan ini harus bersaing dengan perusahaan asuransi asing yang unggul baik
dalam faktor permodalan maupun pengetahuan teknis. Dengan berdirinya perusahaan
asuransi kerugian nasional tersebut, keberanian pengusaha nasional dipacu untuk mendirikan
perusahaan-perusahaan asuransi kerugian. Keberanian ini didukung pula oleh Peraturan
Pemerintah bahwa semua barang impor harus diasuransikan di Indonesia. Pengaturan ini
dimaksudkan untuk menanggulangi pemakaian devisa untuk membayar premi asuransi di luar
negeri.
Pada tahun 1953 berdiri pula perusahaan swasta nasional yang bergerak dalam bidang
reasuransi Belanda dan Inggris di Indonesia, pemakaian devisa untuk membayar premi
reasuransi ke luar negeri juga masih tetap besar. Untuk menanggulangi hal ini, didirikanlah
pada tahun 1954 sebuah perusahaan reasuransi profesional, yakni “PT. REASURANSI
UMUM INDONESIA” yang mendapat dukungan dari bank-bank pemerintah.
Lembaga yang tersebut terakhir ini mengeluarkan peraturan-peraturan yang mengikat
untuk perusahaan-perusahaan asuransi asing untuk menggunakanjasa perusahaan reasuransi
nasional. Langkah-langkah yang diambil pemerintah dalam hal ini memberikan hasil yang
diharapkan. Kegiatan PT. Reasuransi Umum Indonesia pada tahun 1963 diperluas dengan
kegiatan reasuransi jiwa. Pada saat PT. Reasuransi Umum Indonesia didirikan, banyak
perusahaan-perusahaan asuransi kerugian nasional bermunculan, tetapi perkembangannya
masih terhambat oleh persaingan yang berat dari perusahaan-perusahaan asuransi swasta
asing. Pada waktu perjuangan mengembalikan Irian Barat ke pangkuan Republik Indonesia,
pemerintah melakukan nasionalisasi perusahaan milik Belanda. Perusahaan-perusahaan
Inggris dinasionalisasi dalam peristiwa konfrontasi.
E. Asuransi Syariah di Indonesia
Seiring waktu lahirlah kemudian berbagai perusahaan asuransi yang menjalankan
usaha perasuransian berlandaskan prinsip syariah. Perusahaan yang mewujudkan asuransi
syariah ini bukan saja perusahaan yang dimiliki orang Islam, namun juga berbagai
perusahaan milik non-muslim serta ada yang secara induk perusahaan berbasis konvensional
ikut terjun usaha memberikan layanan asuransi syariah dengan membuka kantor cabang dan
divisi syariah. Seiring dengan bergulirnya waktu dan ijtihad para pemerhati ekonomi Islam
secara kontinyu, akhirnya mereka sampai kepada sebuah konsep yang dapat disepakati
bersama serta menjadi acuan perasuransian syariah di dunia. Konsep tersebut populer dengan
nama asuransi mutual, kerja sama (ta’awuni), atau takmin ta’awuni.
Konsep Asuransi Ta’awuni merupakan rekomendasi fatwa Muktamar Ekonomi Islam
yang bersidang kali pertama tahun 1976 M di Mekah.Peserta hampir 200 orang dari kalangan
ulama. Kemudian dikuatkan lagi dalam sidang Majma’ Fiqh Islami ‘Alami (Lembaga Fiqih
Dunia) pada 21 Desember 1985 di Jeddah yang memutuskan pengharaman Asuransi Jenis
Perniagaan (Komersial). Majma’ Fiqih juga secara ijma’ mengharuskan dioperasikannya
usaha perasuransian jenis kerja sama (ta’awuni) sebagai alternatif menggantikan jenis
asuransi konvensional serta menyerukan umat Islam dunia menggunakan asuransi ta’awuni.
Dalam rangka menindaklanjuti fatwa tersebut dan kebutuhan umat terhadap asuransi
berdasarkan hukum Islam, Pada dekade 70-an di beberapa negara Islam atau di negara-negara
yang mayoritas penduduknya muslim bermunculan asuransi yang prinsip operasionalnya
mengacu kepada nilai-nilai Islam dan terhindar dari ketiga unsur yang diharamkan Islam.
Pada tahun 1979 Faisal Islamic Bank of Sudan memprakarsai berdirinya perusahaan
asuransi syariah Islamic Insurance Co. Ltd. di Sudan dan Islamic Insurance Co. Ltd. di Arab
Saudi. Keberhasilan asuransi syariah ini kemudian diikuti oleh berdirinya Dar al-Mal al-
Islami di Geneva, Swiss dan Takaful Islami di Luxemburg, Takaful Islam Bahamas di
Bahamas dan al-Takaful al-Islami di Bahrain pada tahun 1983. Di Malaysia, Syarikat Takaful
Sendirian Berhad berdiri pada tahun 1984. Selanjutnya diikuti oleh negara-negara lain seperti
Bahrain, UAE, Brunei, Singapura, dan Indonesia.6
Di negara Republik Indonesia yang penduduknya mayoritas muslim, berdirinya Bank
Muamalat Indonesia pada tahun 1992 (tepatnya Bulan Juli) memunculkan pemikiran baru di
kalangan ulama dan praktisi ekonomi syariah ketika itu untuk membuat asuransi Islam. Hal
ini dikarenakan operasional bank Islam tidak bisa lepas dari praktik asuransi yang sesuai
yang sudah barang tentu harus sesuai pula dengan prinsip-prinsip syariah pula.
Maka pada tanggal 27 Juli 1993 dibentuk tim TEPATI (Tim Pembentukan Takaful
Indonesia) yang disponsori oleh Yayasan Abadi Bangsa (ICMI), Bank Muamalat, Asuransi
Tugu Mandiri dan Departemen Keuangan (yang pada saat itu diwakili oleh Pejabat Depkeu
6 Nurul Ichsan, Takaful Konsep Asuransi Dalam Islam, h. 6-7
Firdaus Djaelani dan Karnaen A Perwataadmaja). Selanjunya beberapa orang anggota tim
Tepati berangkat ke Malaysia untuk mempelajari operasional asuransi Islam yang sejak tahun
1984 telah beroperasi dan telah didukung penuh oleh Kerajaan Malaysia. Tim TEPATI ini
kemudian memulai kerja mereka di bidang perekenomian syariah dengan modal 30 juta
(masing-masing 10 juta dari ICMI, BMI dan Tugu Mandiri). Modal inilah yang digunakan
untuk membiayai tim ke Malaysia untuk mengadakan Seminar dan persiapan-persiapan lain
yang bersifat asuransi ke Depkeu.
Setelah melakukan beberapa persiapan, akhirnya pada tanggal 24 Februari 1994
berdirilah PT Syarikat Takaful Indonesia sebagai holding company dengan Direktur Utama
Rahmat Husen yang selanjutnya mendirikan dua anak perusahaan yatu PT Asuransi Takaful
Keluarga (berdiri tanggal 25 Agustus 1994, dan diresmikan oleh Menteri Keuangan Mar`ie
Muhammad) dan PT Asuransi Takaful Umum (berdiri pada tanggal 2 Juni 1995, dan
diresmikan oleh Menristek/Ketua BPPT BJ Habibie di Hotel Shangri La).
Cukup panjang juga perjalanan takaful, yang hanya bermodal 2,5 milyar sebagaimana
persyaratan minimal dalam undang-undang asuransi. Suka-duka dan tantangan sebagai
pionir, telah dilalui dengan perangkat peraturan yang sangat minim, modal yang kecil, SDM
yang sangat terbatas, dan pemahaman masyarakat akan asuransi syariah masih sangat kecil.
Bahkan untuk menyebut kata takaful pun begitu susah, ada yang menyebut, taiful, takafur,
takabur, tapakul, dan sebagainya.
Memasuki tahun ke-8 (delapan) pada 2001, barulah muncul asuransi syariah lainnya
yaitu Mubarokah syariah, Tripakarta Cabang Syariah, Great Estern Cabang Syariah, Jasindo
Cabang Syariah, BSAM Cabang syariah, Bringin Cabang syariah dan sebagainya.
Perkembangan asuransi syariah dalam decade 2001 ke sini sungguh sangat mengembirakan,
terutama karena bersamaan dengan tumbuh dan berkembangnya bank-bank syariah serta
lembaga keuangan syariah lainnya seperti reksadana syariah, leasing syariah, obligasi
syariah, penggadaian syariah, pasar modal syariah, koperasi syariah, selain BMT dan BPRS
yang jauh sebelumnya sudah berkembang ke daerah-daerah. Dan, semakin lengkap dengan
munculnya KMK baru dari Menteri Keuangan, yang secara resmi mengatur keberadaan
asuransi yang dijalankan dengan prinsip-prinsip syariah.
Perusahaan asuransi Takaful sampai dengan tahun 2001 awal merupakan pemain
tunggal dalam asuransi syariah di Indonesia, namun peluang terbuka untuk usaha asuransi
syariah dengan adanya kebijakan pemerintah melalui SK. Menkeu No. 268/KMK.06/2002
tanggal 7 November 2002, yang memberi peluang bagi perusahaan asuransi konvensional
untuk menjalankan usahanya berbasis syariah melalui 3 (tiga) alternatif pendirian yaitu:
konversi langsung secara penuh dari asuransi konvensional ke asuransi syariah
dengan mengubah akad dan menghilangkan unsur maisir, gharar, dan riba.
Membentuk langsung lembaga asuransi syariah.
Membuka kantor cabang asuransi syariah atau devisi asuransi syariah.
Adapun perusahaan asuransi syariah dengan sistem dan prinsip Islami dari tahun 1994
sampai tahun 2002 antara lain :
1. Asuransi takaful keluarga berdiri tahun 1994
2. Asuransi takaful umum berdiri tahun 1995
3. Asuransi syariah mubarakah berdiri tahun 2001
4. MAA asuransi jiwa berdiri tahun 2001
5. Asih Grent Eastern berdiri tahun 2001
6. Tri pakarta berdiri tahun 2002
7. AJB Bumiputera sejahtera berdiri tahun 2002
8. BRIngin jiwa sejahtera berdiri tahun 2002
Sedangkan pada tahun 2012 kurang lebih terdapat 37 perusahaan yang berbasis
syariah Beriringan dengan perkembangan tersebut, perusahaan asuransi syariah yang telah
ada pada tanggal 14 agustus 2003 kemudian membentuk suatu wadah perkumpulan atau
asosiasi yaitu Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI). AASI dibentuk selain wadah
media komunikasi sesama anggota, juga secara eksternal sebagai wadah resmi untuk
mewakili asuransi syariah, baik kepada pemerintah, legislative, maupun ke luar negeri.
Terutama dalam rangka membangun kerja sama dengan lembaga–lembaga serupa diluar
negeri yang menggunakan prinsip-prinsip syariah.
AASI sebagai wadah tunggal asuransi syariah telah menyiapkan sertifikasi ahli
asuransi syariah sebagaimana telah diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK),
bekerja sama dengan BPPK DepKeu, LPKG Yayasan Artha Bhakti Depkeu, menyiapkan
edukasi program yaitu Certified Islamic Insurance Specialist (CIIS). Saat itu AASI telah
memberikan Sertifkasi Ahli Asuransi Syariah kepada tujuh orang dengan gelar professional
FIIS (Fellow Islamic Insurance Society), dan sekitar 20 Ajun Ahli Asuransi Syariah dengan
gelar professional AIIS ( Ajunt Islamic Asurance Society).
F. Peraturan Perasuransian di Indonesia
Di Indonesia hukum perasuransian tertulis di dalam KUH Perdata, KUHD (Kitab
Undang Undang Hukum Dagang), undang-undang, peraturan pemerintah dan keputusan
menteri. Peraturan perundangan perasuransian tersebut digunakan sebagai dasar acuan
pembinaan dan pengawasan atas usaha perasuransian di Indonesia sejak kolonial Belanda
sampai kini, baik itu asuransi yang konvensional maupun asuransi syariah. Karena usaha
perasuransian menyangkut kepentingan masyarakat banyak, khususnya berhubungan dengan
dana yang dikumpulkan oleh mereka yang cukup besar dan kadang-kadang berlangsung
untuk jangka waktu yang cukup lama maka peraturan mengenai asuransi ini jelas selalu
diperlukan up to date dan memenuhi perkembangan perekonomian masyarakat, terutama kini
masalah dengan asuransi syariah, maka RUU asuransi syariah yang kini usaha
pengasuransiannya mulai bertambah banyak sangatlah diperlukan adanya.
Tugas DPR dan pemerintah untuk menciptakan peraturan perasuransian bagi
masyarakat dan mengenalkan asuransi itu kepada masyarakat luas agar tercipta usaha bisnis
asuransi yang sehat dan halal, sehingga masyarakat yang menggunakan asuransi dapat
memperoleh perlindungan dan kepastian hukum. Selain itu dengan adanya bisnis asuransi
yang sehat maka perusahaan asuransi dapat menikmati hasil usahanya sebagaimana yang
mereka harapkan yang pada akhirnya tercipta pembangunan ekonomi yang baik di
masyarakat.
Sebagaimana alasan diatas maka sangat tepat apabila negara berusaha untuk
menciptakan kepastian dan payung hukum dengan mengeluarkan undang- undang usaha
perasuransian seperti yang tercantum dalam Undang-Undang RI No. 2 Tahun 1992 yang
dinyatakan berlaku pada tanggal 11 Pebruari 1992 sebagai pengganti peraturan yang dibuat
oleh kolonial Belanda. Selain itu, usaha pemerintah untuk mengembangkan bidang usaha
asuransi ini juga bisa dilihat dengan mengeluarkan berbagai peraturan tentang perizinan
usaha perusahaan asuransi dan keputusan menteri mengenai berbagai hal yang berkenaan
dengan keperluan asuransi.
Sebelum UU RI No. 2 Tahun 1992 ini berlaku usaha asuransi berdasarkan undang
undang penjajah Belanda merupakan bagian dari perjanjian kemungkinan
(Kansoverieenkomst), menurut KUH Perdata yang merupakan salah satu sumber hukum
asuransi, perjanjian asuransi ini dimasukkan ke dalam perjanjian kemungkinan
(Kansoverieenkomst pasal 1774 ayat 2 KUH Perdata) disebabkan karena dalam perjanjian
kemungkinan para pihak secara sengaja atau sadar menjalani suatu kesempatan untung-
untungan dimana prestasi timbal balik tidak seimbang.
Dapat dikatakan bahwa hukum asuransi atau pertanggungan di Indonesia dalam
bentuk dan pengertian yang terlihat pada waktu itu secara menyeluruh adalah berasal dari
hukum barat, hukum Belanda. Penguasa negeri Belanda lah yang mengimport asuransi selaku
bentuk hukum di Indonesia dengan mengundangkan Burgerlijke Wetboek dan Wetboek Van
Koophandle dengan suatu pengumuman pada tanggal 30 April 1847, termuat dalam Stateblad
18 nomor 23. Asuransi dalam pasal 1774 BW disebutkan sebagai contoh dari persetujuan
untung-untungan dan dalam Kitab Undang Undang Dagang (WVK) diatur secara umum
(Buku 1 Tittle 9) dan secara khusus mengenai asuransi kebakaran, asuransi pertanian,
asuransi jiwa (Buku 1 Tittle 10), asuransi laut (Buku 11 Tittle 9) dan asuransi pengangkutan
(Buku 11 Tittle 10). 7
Sekarang di negara merdeka Indonesia usaha perasuransian telah banyak di keluarkan
peraturan baik yang berupa undang-undang, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri
Keuangan maupun peraturan lainnya. Peraturan yang dibuat sebelum Undang undang No. 2
Tahun 1992 tentang perasuransian ini tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan undang
undang seperti Keputusan Presiden atau keputusan Menteri Keuangan.
Adapun peraturan perasuransian yang dimaksud antara lain adalah Keputusan
Presiden RI nomor 40 tahun 1988 tentang pengawasan dan pembinaan terhadap perusahaan
asuransi kerugian, Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor
1249/KMK.013/1988 tentang tata cara pelaksanaan usaha dibidang asuransi kerugian dan
Keputusan Menteri Keuangan nomor 1250/KMK.031/1988 tentang usaha asuransi jiwa .
Ketentuan yang disebutkan di atas dengan adanya undang- undang nomor 2 tahun
1992 tentang usaha perasuransian masih tetap berlaku. Hal itu sesuai dengan ketentuan pasal
26 undang- undang nomor 2 tahun 1992 yang berbunyi” peraturan perundang- undangan
mengenai usaha perasuransian yang mengenai yang telah ada pada saat undang- undang
mulai berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang- undang ini dinyatakan tetap
7 Projodikoro, Wirjono, Hukum Asuransi Di Indonesia, Jakarta, Pembimbing, 1954, Hal. 6
berlaku sampai peraturan perundang- undangan yang menggantikannya berdasarkan
undang- undang ini ditetapkan”. Adapun yang secara tegas dinyatakan tidak berlaku menurut
pasal 27 Undang- Undang Nomor 2 Tahun 1992 adalah Ordonanti Op Het Levensverzekering
Bedrijf ( Staatsblad Tahun 1941 Nomor 101).
Menurut peraturan lama, perjanjian asuransi tidak termasuk jenis perjanjian yang
secara khusus diatur dalam KUH Perdata, tetapi pengaturannya terdapat dalam KUHD (Kitab
Undang Undang Hukum Dagang). Walaupun demikian berdasakan pasal 1 KUHD, ketentuan
umum perjanjian dalam KUHP itu dapat berlaku pula bagi perjanjian asuransi. Di dalam
perkembangannya sendiri asuransi yang terdapat di dalam KUHD yang dapat dikatakan
sebagai asuransi komersial, tidak dapat sepenuhnya menampung risiko sosial dalam
masyarakat. Oleh karena itu kemudian muncul golongan asuransi sosial sebagai
pengembangan dari asuransi komersial yang terdapat dalam pasal 1 sub 3 Undang- Undang
Nomor 2 Tahun 1992 mengenai program asuransi sosial yaitu program asuransi yang
diselenggarakan secara wajib berdasarkan UU, dengan tujuan memberikan perlindungan
dasar bagi kesejahteraan masyarakat.
Di Indonesia sendiri sebagai negara kesejahteraan telah menyelenggarakan berbagai
jenis asuransi sosial yaitu diantaranya:
a) Asuransi Sosial Pegawai Negeri Sipil yang di atur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 25 dan 26 tahun 1981 (dulu dengan sebutan TASPEN yang di atur dalam PP
nomor 10 tahun 1963).
b) Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang (UU Nomor 33 Tahun 1964 Jo
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965).
c) Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (UU Nomor 34 Tahun 1964 Jo Peraturan
Pemerintah Nomor 18 Tahun 1965).
d) Pemeliharaan Kesehatan Pegawai Negeri Sipil Dan Penerima Pensiun beserta anggota
keluarganya yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1984. Jenis
asuransi ini dikenal dengan asuransi kesehatan.
e) Asuransi Sosial ABRI (diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1971 dan
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1971)
f) Asuransi Sosial Tenaga Kerja (ASTEK) yang diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 33 Tahun 1977 dan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1977. 8
Dengan demikian peraturan perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar acuan
pembinaan dan pengawasan atas usaha perasuransian di Indonesia yang dipergunakan hingga
sampai saat ini adalah:
1. UU RI No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian
2. PP No.73 tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian
3. PP No. 63 Tahun 1999 tentang perubahan PP No. 73 tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian
4. PP No 39 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas PP No. 73 Tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian
5. PP No. 81 Tahun 2008 tentang perubahan terakhir atas PP No. 73 Tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian
6. Keputusan Menteri Keuangan, antara lain:
No.223/KMK.017/1993 tanggal 26 Februari 1993 tentang perizinan
perusahaan asuransi dan reasuransi.
No.224/KNE.017/1993 tanggal 26 Februari 1993 tentang kesehatan keuangan
perusahaan asuransi atau reasuransi.
No.225/KMK.017/1993 tanggal 26 Februari 1993 tentang penyelenggaraan
usaha perusahaan asuransi atau reasuransi.
No.226/CMK.017/1993 tanggal 26 Februari 1993 tentang perizinan dan
penyelenggaran kegiatan usaha perusahaan penunjang usaha asuransi. 9
Adapun secara lebih teknis operasional perusahaan asuransi/perusahaan reasuransi
berdasarkan prinsip syariah mengacu kepada SK Dirjen Lembaga Keuangan No.
4499/LK/2000 tentang Jenis, Penilaian, dan pembatasan Investasi Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi dengan Sistem Syariah dan beberapa Keputusan Menteri Keuangan
(KMK) serta PMK dan juga di dalam beberapa fatwa DSN-MUI.10 Oleh karena asuransi
syariah masih terbatas dan belum diatur secara khusus dalam undang-undang inilah yang
8 Sastrawidjaja, Man Suparman. Hukum Asuransi, Bandung, Alumni. 1997. Hal.121
9 Sri Susilo,Y, dkk. Bank & Lembaga Keuangan Lain, Salemba Empat, Jakarta, 2000, hal. 21310 Wirdyaningsih, Dkk, Bank Dan Asuransi Islam Di Indonesia, Jakarta, Kencana, 2005, h, 204-205
menjadi kendala sampai saat ini walaupun rancangan undang undang (RUU) asuransi syariah
telah lama diajukan.
Dengan demikian perusahaan asuransi/perusahaan reasuransi berdasarkan prinsip
syariah mengacu kepada :
1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian
2. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha
Perasuransian
3. PP No. 63 Tahun 1999 tentang perubahan PP No. 73 tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian
4. PP No 39 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas PP No. 73 Tahun 1992
tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian
5. PP No. 81 Tahun 2008 tentang perubahan terakhir atas PP No. 73 Tahun 1992
tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian
6. SK Dirjen Lembaga Keuangan No. 4499/LK/2000 tentang Jenis, Penilaian,
dan pembatasan Investasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi
dengan Sistem Syariah
7. Keputusan Menteri Keuangan (KMK), yaitu
KMK No. 422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaraan Usaha
Perusahaan Asuransi;
KMK No. 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi; dan
KMK No. 426/KMK.06/2003 tentang Perizinan Usaha dan
Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.
8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.010/2010 tentang Penerapan
Prinsip Dasar Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi Dengan
Prinsip Syariah
9. Peraturan Menteri Keuangan nomor 11/PMK.010/2011 tentang Kesehatan
keuangan usaha asuransi dan usaha reasuransi dengan prinsip syariah
Di samping itu, perasuransian syariah di Indonesia juga diatur di dalam beberapa
fatwa DSN-MUI (Dewan Syariah Nasional Majlis Ulama Indonesia), antara lain :
1. Fatwa DSN-MUI No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum
Asuransi Syariah
2. Fatwa DSN-MUI No. 51/DSN-MUI/III/2006 tentang akad Mudharabah
Musyarakah pada Asuransi Syariah
3. Fatwa DSN-MUI No. 52/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Wakalah Bil Ujrah
Pada Asuransi dan Reasuransi Syariah
4. Fatwa DSN-MUI No. 58/DSN-MUI/III/2006 tentang akad Tabarru’ pada
Asuransi dan Reasuransi Syariah.
Fatwa Dewan Syariah Nasional (Dsn) No. 21 /Dsn-Mui/X/2001 Tentang pedoman
umum asuransi syariah berbunyi:
Pertama : Ketentuan Umum
1. Asuransi Syariah (Ta’min, Takaful atau Tadhamun) adalah usaha saling melindungi
dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk
aset dan atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko
tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.
2. Akad yang sesuai dengan syariah yang dimaksud pada point (1) adalah yang tidak
mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, zhulm (penganiayaan),
risywah (suap), barang haram dan maksiat.
3. Akad tijarah adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersial.
4. Akad tabarru’ adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikan
dan tolong-menolong, bukan semata untuk tujuan komersial.
5. Premi adalah kewajiban peserta Asuransi untuk memberikan sejumlah dana kepada
perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
6. Klaim adalah hak peserta Asuransi yang wajib diberikan oleh perusahaan asuransi
sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
Kedua: Akad dalam Asuransi
1. Akad yang dilakukan antara peserta dengan perusahaan terdiri atas akad tijarah dan
atau akad tabarru‘.
2. Akad tijarah yang dimaksud dalam ayat (1) adalah mudharabah. Sedangkan akad
tabarru’ adalah hibah.
3. Dalam akad, sekurang-kurangnya harus disebutkan :
a. hak & kewajiban peserta dan perusahaan;
b. cara dan waktu pembayaran premi;
c. jenis akad tijarah dan atau akad tabarru’ serta syarat-syarat yang disepakati,
sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan.
Ketiga: Kedudukan Para Pihak dalam Akad Tijarah & Tabarru’
1. Dalam akad tijarah (mudharabah), perusahaan bertindak sebagai mudharib
(pengelola) dan peserta bertindak sebagai shahibul mal (pemegang polis).
2. Dalam akad tabarru’ (hibah), peserta memberikan hibah yang akan digunakan untuk
menolong peserta lain yang terkena musibah. Sedangkan perusahaan bertindak
sebagai pengelola dana hibah.
Keempat : Ketentuan dalam Akad Tijarah & Tabarru’
1. Jenis akad tijarah dapat diubah menjadi jenis akad tabarru’ bila pihak yang tertahan
haknya, dengan rela melepaskan haknya sehingga menggugurkan kewajiban pihak
yang belum menunaikan kewajibannya.
2. Jenis akad tabarru’ tidak dapat diubah menjadi jenis akad tijarah.
Kelima : Jenis Asuransi dan Akadnya
1. Dipandang dari segi jenis asuransi itu terdiri atas asuransi kerugian dan asuransi jiwa.
2. Sedangkan akad bagi kedua jenis asuransi tersebut adalah mudharabah dan hibah.
Keenam : Premi
1. Pembayaran premi didasarkan atas jenis akad tijarah dan jenis akad tabarru‘.
2. Untuk menentukan besarnya premi perusahaan asuransi syariah dapat menggunakan
rujukan, misalnya tabel mortalita untuk asuransi jiwa dan tabel morbidita untuk
asuransi kesehatan, dengan syarat tidak memasukkan unsur riba dalam
penghitungannya.
3. Premi yang berasal dari jenis akad mudharabah dapat diinvestasikan dan hasil
investasinya dibagi-hasilkan kepada peserta.
4. Premi yang berasal dari jenis akad tabarru‘ dapat diinvestasikan.
Ketujuh : Klaim
1. Klaim dibayarkan berdasarkan akad yang disepakati pada awal perjanjian.
2. Klaim dapat berbeda dalam jumlah, sesuai dengan premi yang dibayarkan.
3. Klaim atas akad tijarah sepenuhnya merupakan hak peserta, dan merupakan
kewajiban perusahaan untuk memenuhinya.
4. Klaim atas akad tabarru‘, merupakan hak peserta dan merupakan kewajiban
perusahaan, sebatas yang disepakati dalam akad.
Kedelapan : Investasi
1. Perusahaan selaku pemegang amanah wajib melakukan investasi dari dana yang
terkumpul.
2. Investasi wajib dilakukan sesuai dengan syariah.
Kesembilan:Reasuransi
Asuransi syariah hanya dapat melakukan reasuransi kepada perusahaan reasuransi yang
berlandaskan prinsip syari’ah.
Kesepuluh : Pengelolaan
1. Pengelolaan asuransi syariah hanya boleh dilakukan oleh suatu lembaga yang
berfungsi sebagai pemegang amanah.
2. Perusahaan Asuransi Syariah memperoleh bagi hasil dari pengelolaan dana yang
terkumpul atas dasar akad tijarah (mudharabah).
3. Perusahaan Asuransi Syariah memperoleh ujrah (fee) dari pengelolaan dana akad
tabarru’ (hibah).
Kesebelas : Ketentuan Tambahan
1. Implementasi dari fatwa ini harus selalu dikonsultasikan dan diawasi oleh DPS.
2. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di
antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah
setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
3. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari
ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
G. Kesimpulan
Usaha perasuransian dapat diartikan sebagai salah satu bentuk lembaga keuangan
bukan bank yang menjanjikan perlindungan kepada pihak tertanggung (pihak yang
mengasuransikan sesuatu) agar apabila terjadi sesuatu dengan yang diasuransikan tersebut di
masa mendatang, pihak tertanggung akan memperoleh uang untuk mengganti (mengurangi)
kerugian yang terjadi dari pihak penanggung (lembaga asuransi).
Dalam Undang Nomor 2 Tahun 1992, dirumuskan definisi asuransi yang lebih
lengkap jika dibandingkan dengan rumusan yang terdapat dalam Pasal 246 KUHD. Menurut
ketentuan Pasal 1 angka (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992: Asuransi atau
pertanggungan adalah perjanjian antara 2 (dua) pihak atau lebih, dengan mana pihak
penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi, untuk
memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian kerusakan atau kehilangan
keuntungan yang diharapkan atau taggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin
akan diderita tertanggung, yang timbul dan suatu peristiwa tidak pasti atau untuk memberikan
suatu pembayaran yang didasarkan atas rneninggal atau hidupnya seseorang yang
dipertanggungkan.
Peraturan perundang-undangan tentang perasuransian di Indonesia diatur dalam
beberapa tempat, antara lain dalam kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), UU No.
2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, PP No. 63 tahun 1999 tentang perubahan atas PP
No. 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian serta aturan-aturan lain
yang mengatur Asuransi Sosial yang diselenggarakan oleh BUMN Jasa Raharja (Asuransi
Sosial Kecelakaan Penumpang), Astek (Asuransi Sosial Tenaga Kerja), dan Askes (Asuransi
Sosial Pemeliharaan Kesehatan).
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Nasih Ulwan, Hukm Al Islam Fi Alta’min, Beirut:Dar Al Salam, 1980.
Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999
Abdullah, Daud Vicary Dan Keon Chee, Buku Pintar Keuangan Syaria, Jakarta: Zaman,2012
Hasanuddin Rahman, Aspek–Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan di Indonesia,Bandung : Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, , 1995.
Mashudi, dan Moch. Chidir Ali, Hukum Asuransi, Jakarta: CV. Mandar Maju, 1995
Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah Konsep dan Sistem Operasional, Jakarta: GemaInsani Pers, 2004.
Nurul Ichsan, Takaful Konsep Asuransi Dalam Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2011.
Sastrawidjaja, Man Suparman. Hukum Asuransi. Bandung: Alumni. 1997.
Sri Susilo,Y, dkk, Bank & Lembaga Keuangan Lain, Jakarta: Salemba Empat, 2000.
Undang – Undang Usaha Perasuransian Jaminan Sosial Tenaga Kerja Perbankan 1992,Penerbit CV. Eko Jaya, Jakarta, 1992
Wirdyaningsih, Dkk. Bank Dan Asuransi Islam Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005.
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Asuransi di Indonesia, Jakarta: PT Intermasa, 1986
Zainuddin Ali, Hukum Asuransi Syariah, Jakarta: Sinar Grafika. 2008.