Perang Demi Menjaga Hak Asasi Manusia_Khoirul Anwar.pdf
-
Upload
khoirul-anwar -
Category
Documents
-
view
28 -
download
5
Transcript of Perang Demi Menjaga Hak Asasi Manusia_Khoirul Anwar.pdf
1 | Perang Demi Menjaga Hak Asasi Manusia_______________________________________Khoirul Anwar
PERANG DEMI MENJAGA HAK ASASI MANUSIA
Kajian Perang Dalam Perspektif Kitab Kuning*
Oleh: Khoirul Anwar**
Prolog
Islam sangat memuliakan manusia dan Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan. Inilah pesan yang terkandung dalam al-Quran maupun Hadis. Dalam QS. Al-
Isrâ` [17]:70 Allah menyatakan bahwa diri-Nya telah memuliakan manusia ketimbang
makhluk-Nya yang lain. Untuk menjaga stabilitas kehidupan di dunia dan nilai-nilai
kemanusiaan Allah mengutus para nabi yang bertugas untuk menebar kasih sayang (QS. al-
Anbiyâ` [21]:107), karena dengan kasih sayang kehidupan akan menjadi aman dan tentram.
Dalam beberapa sabdanya nabi Muhammad Saw. selalu menganjurkan umatnya untuk
menebar kasih sayang kepada penduduk bumi. Beliau bersabda:
الراحمون يرحمهم الرحمن ارحموا أىل األرض يرحمكم من في السماء“Orang yang menebar kasih sayang maka akan disayangi oleh Allah Yang Maha Pengasih
lagi Maha Penyayang, sayangilah penduduk bumi niscaya penduduk langit akan
menyayangimu.”1
Ketika sebagian sahabat berkata kepada nabi Saw. “Wahai rasul, aku selalu menebar
kasih sayang kepada istri dan anak-anakku.” Rasulullah bersabda, “Menebar kasih sayang
yang aku hendaki bukan hanya kepada keluarga, tetapi kepada semua umat manusia di muka
bumi.” Demikianlah nabi Muhammad Saw. selalu mengajarkan umatnya untuk selalu
menebar kasih sayang kepada siapapun. Namun, menebar kasih sayang tidak selamanya
dilakukan dengan berbuat ramah terhadap sesama, tapi dalam satu waktu menebar kasih
sayang dapat dilakukan dengan cara berperang. Yaitu ketika terdapat sekelompok manusia
yang merampas hak asasi manusia lainnya, maka demi menjaga hak asasi tersebut tindakan
zalim mereka harus dihentikan walapun dengan cara berperang.
Oleh karena itu dalam rentang sejarah para ulama dengan beragam bidang kajiannya
banyak yang mengkonsentrasikan diri dalam membahas perang, mulai dari sejarah perang
Rasulullah Saw., sahabatnya, para tabi‟in hingga generasi umat Islam sekarang. Sejarah
perang umat Islam generasi pertama dalam kitab-kitab klasik seringkali dibahas bersamaan
dengan kejadian sejarah lainnya. Oleh karena itu kitab-kitab tersebut seringkali oleh
mu‟allifnya diberi titel al-siyar wa al-maghâzî, seperti Kitâb al-Siyar wa al-Maghâzî atau
biasa dikenal dengan Sîrah Ibn Ishâq karya Muhammad bin Ishâq,2 al-Siyar karangan Abû
Ishâq Ibrahîm al-Fazârî,3 al-Maghâzî karya Muhammad bin Umar al-Wâqidî,
4 al-Maghâzî al-
Nabawiyyah karya Ibn Syihâb al-Zuhrî,5 al-Sîrah al-Nabawiyyah karya Ibnu Hisyâm,
6 al-
Syamâ`il al-Muhammadiyyah karya Muhammad bin Isâ al-Turmudzî,7 al-Sîrah al-
Nabawiyyah wa Akhbâr al-Khulafâ` karangan Muhammad bin Hibbân,8 Akhlâq al-Nabiy wa
Âdâbuh karya Abû Muhammad al-Ashbihânî,9 Kitâb al-Ghazawât karya Ibn Hubaisy,
10
1 Abû Dâwud al-Sijistânî, Sunan Abî Dâwud, Beirut: al-Maktabah al-„Ashriyyah, tt. vol. IV, hal. 285. 2 Muhammad bin Ishâq, Sîrah Ibn Ishâq, Beirut: Dâr al-Fikr, cet. I, 1978. 3 Abû Ishâq al-Fazârî, al-Siyar, Beirut: Mu`assasah al-Risâlah, cet. I, 1987. 4 Muhammad bin Umar al-Wâqidî, al-Maghâzî, Beirut: Dâr al-`A‟lamî, cet. III, 1989. 5 Ibn Syihâb al-Zuhrî, al-Maghâzî al-Nabawiyyah, Damaskus: Dâr al-Fikr, 1981. 6 Ibnu Hisyâm, al-Sîrah al-Nabawiyyah, Mesir: Syirkah Maktabah wa Mathba‟ah Mushthafâ al-Bâbî al-Halbî, cet. II, 1955. 7 Muhammad bin Isâ al-Turmudzî, al-Syamâ il al-Muhammadiyyah, Beirut: Dâr Ihyâ` al-Turâts al-„Arabî, tt. 8 Muhammad bin Hibbân, al-Sîrah al-Nabawiyyah wa Akhbâr al-Khulafâ , Beirut: al-Kutub al-Tsaqâfiyah, cet.
III, 1417. 9 Abû Muhammad al-Ashbihânî, Akhlâq al-Nabiy wa Âdâbuh, Dâr al-Muslim, cet. I, 1998. 10 Ibn Hubaisy, Kitâb al-Ghazawât, Kairo: Dâr al-„Ulûm, cet. I, 1983.
2 | Perang Demi Menjaga Hak Asasi Manusia_______________________________________Khoirul Anwar
Syaraf al-Mushthafâ karya Abdul Malik bin Ibrahîm al-Naisâbûrî,11
al-Bidâyah wa al-
Nihâyah buah karya Abû al-Fidâ` Isma‟îl bin Katsîr,12
al-Fhusûl fî al-Sîrah yang juga ditulis
oleh Abû al-Fidâ` Isma‟îl bin Katsîr,13
al-Sîrah al-Halbiyah karya Ali bin Ibrâhîm al-Halbî,14
Khâtam al-Nabiyyîn karya Abû Zahrah,15
Inârah al-Dujâ fî Maghâzî Khair al-Warâ Shallallah
„Alaih wa Âlih wa Sallam karangan Hasan bin Muhammad al-Mâlikî,16
dan yang lainnya.
Kitab-kitab itu di samping menjelaskan praktik perang yang dilakukan Nabi Muhammad
Saw. dan sahabatnya juga menjelaskan teori-teorinya yang dikemudian hari dibakukan oleh
para ulama dengan beragam pandangannya sebagai “teori perang dalam Islam (nadzariyah
al-harb fî al-Islâm),” dan pembahasan ini dalam karya-karya ulama abad pertengahan
khususnya oleh para fuqaha` dijadikan salah satu bab tersendiri di bawah judul Kitâb al-Jihâd
wa al-Jizyah, Kitâb Qitâl Ahl al-Baghy wa Ahl al-Riddah, Kitâb al-Qatl, dan Kitâb al-Siyar.17
Belakangan pembahasan perang dalam Islam dibahas dalam satu kitab tersendiri,
yakni dengan tetap berpegang pada pemikiran ulama masa lampau namun dengan bahasa
yang lebih mudah dipahami, lebih sistematis, dan terkadang disertai upaya
kontekstualisasinya di masa kekinian, yaitu untuk menyikapi peperangan-peperangan yang
terjadi pada masa sekarang dan mendatang. Kitab-kitab yang masuk dalam kategori ini antara
lain Nadzariyah al-Harb fî al-Islâm karya Abû Zahrah,18
al-Harb Tharîq al-Salâm anggitan
Hamdî al-Kanîsî,19
al-Hizb al-Hâsyimî wa Ta`sîs al-Daulah al-Islâmiyyah karangan Sayyid
al-Qumnî,20
al-Islâm wa al-Qitâl karya Ahmad „Abdurrahman,21
al-Qitâl fî al-Islâm karangan
Muhammad bin Nâshir al-Ja‟wân,22
al-Siyâsah al-Islâmiyyah fî „Ahd al-Khulafâ` al-Râsyidîn
karya Abdul Muta‟âl al-Sha‟îdî,23
al-Saby fî Shadr al-Islâm karya Syâdî Ibrâhîm Abdul
Qâdir,24
al-Sarâyâ al-Harbiyyah fî al-„Ahd al-Nabawiy anggitan Muhammad Sayyid
Thanthâwî,25
Fa‟âliyah al-Qiyâdah fî al-Islâm karya Husain bin Muhammad Mûsâ,26
Falsafah
11 Abdul Malik bin Ibrâhîm al-Naisâbûrî, Syaraf al-Mushthafâ, Makkah: Dâr al-Basyâ`ir al-Islâmiyyah, cet. I,
1424. 12 Abû al-Fidâ` Isma‟îl bin Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Libanon: Dâr al-Ma‟rifah, 1976. 13 Abû al-Fidâ` Isma‟îl bin Katsîr, al-Fhusûl fî al-Sîrah, Mu`assasah „Ulûm al-Qur`ân, cet. III, 1403. 14 Ali bin Ibrâhîm al-Halbî, al-Sîrah al-Halbiyah; Insân al-„Uyûn fî Sîrah al-Amîn al-Ma`mûn, Beirut: Dâr al-
Kutub al-„Ilmiyyah, cet. II, 1427. 15 Abû Zahrah, Khâtam al-Nabiyyîn, Kairo: Dâr al-Fikr al-„Arabî, 1425. 16 Hasan bin Muhammad al-Mâlikî, Inârah al-Dujâ fî Maghâzî Khair al-Warâ Shallallah „Alaih wa Âlih wa
Sallam, Jeddah: Dâr al-Minhâj, cet. II, 1426. 17 Lihat misalnya al-Syâfi‟î dalam al-Umm, Beirut: Dâr al-Ma‟rifah, 1990. Al-Muzanî dalam Mukhtashar al-
Muzanî, Beirut: Dâr al-Ma‟rifah, 1990. Al-Mâwardi dalam al-Hâwî al-Kabîr, Beirut-Libanon: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, cet. I, 1999. Mâlik bin Anas dalam al-Mudawwanah, Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, cet. I, 1994. Ibn
Rusyd al-Hafîdz dalam Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid, Kairo: Dâr al-Hadîts, 2004. Abû Dâwud
al-Sijistânî dalam Masâ`il al-Imâm Ahmad, Mesir: Maktabah Ibn Taimiyyah, cet. I, 1999. „Alâ` al-Dîn al-
Kâsânî al-Hanafî dalam Badâ`i‟ al-Shanâ`i‟ fî Tartîb al-Syarâ`i‟, Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, cet. II, 1986. Dan
yang lainnya. 18 Abû Zahrah, Nadzariyah al-Harb fî al-Islâm, Kairo: Dirâsât Islâmiyyah, cet II, 2008. 19 Hamdî al-Kanîsî, al-Harb Tharîq al-Salâm, Kairo: Majallah al-Nahâr, 2005. 20 Sayyid al-Qumnî, al-Hizb al-Hâsyimî wa Ta`sîs al-Daulah al-Islâmiyyah, Maktabah Dâr al-Nadwah, tt. 21 Ahmad „Abdurrahman, al-Islâm wa al-Qitâl, Dâr al-Syarq al-Ausath, tt. 22 Muhammad bin Nâshir al-Ja‟wân, al-Qitâl fî al-Islâm; Ahkâmuh wa Tasyrî‟âtuh Dirâsah Muqâranah, tp. cet.
II, 1983. 23 Abdul Muta‟âl al-Sha‟îdî, al-Siyâsah al-Islâmiyyah fî „Ahd al-Khulafâ al-Râsyidîn, Kairo: Dâr al-Fikr al-„Arabî, tt. 24 Syâdî Ibrâhîm Abdul Qâdir, al-Saby fî Shadr al-Islâm, Palestina: Jâmi‟ah al-Najjâh, 2010. 25 Muhammad Sayyid Thanthâwî, al-Sarâyâ al-Harbiyyah fî al-„Ahd al-Nabawiy, Kairo: al-Zuhrâ` li al-I‟lâm al-
„Arabî, 1990. 26 Husain bin Muhammad Mûsâ, Fa‟âliyah al-Qiyâdah fî al-Islâm; al-Ghazawât wa al-Rasâ il wa Fann al-
Ta‟âmul, tp. 1432.
3 | Perang Demi Menjaga Hak Asasi Manusia_______________________________________Khoirul Anwar
al-Harb fî al-Islâm karya Nâdiyah Husnî Shaqr,27
al-„Alâqât al-Dauliyyah fî al-Islâm Waqt al-
Harb karya Abdul Wanîs Syatâ dkk,28
Hushûn Khaibar fî al-Jâhiliyyah wa „Ashr al-Rasûl
karya Salâm Syâfi‟î Mahmûd Salâm,29
al-Islâm al-Siyâsî wa al-Ma‟rakah al-Qadîmah
karangan Mushthafâ Mahmûd,30
Qishshah al-Hurûb al-Shalîbiyyah karya Râghib al-Sarjânî,31
Riwâyah al-Syâmiyyîn li al-Maghâzî wa al-Siyar karangan Husain „Athwân,32
Hurûb al-Quds
fî al-Târîkh al-Islâmî wa al-„Arabî karya Bâsîn Suwaid,33
Ahkâm al-Usrâ wa al-Sabâyâ fî al-
Hurûb al-Islâmiyyah karangan Abdul Lathîf „Âmir,34
al-Jihâd wa al-Qitâl fî al-Siyâsah al-
Syar‟iyyah karya Muhammad Khair Haikal,35
al-Harb wa al-Silm karangan Tolstoj,36
al-Qitâl
Huwa al-Tharîq karya Kamâl „Adwân,37
Shuwar min Hayâh al-Harb wa al-Jihâd fî al-
Andalus karya Ahmad Mukhtar,38
dan lain-lain.
Konsep perang yang dirumuskan oleh para ulama tersebut baik yang klasik (salaf)
maupun yang kontemporer (khalaf) dibangun di atas sumber-sumber keislaman sebagaimana
kajian-kajian keislaman lainnya, yakni berpijak pada al-Quran, Hadis, dan atsâr Sahabat.
Dengan demikian pembahasan perang dalam perspektif para sarjana masa lalu yang kini
terekam dalam karya-karyanya atau biasa disebut dengan kitab kuning sangat menarik untuk
diungkap. Hal ini tidak hanya bertujuan untuk mengetahui bagaimana konsep perang dalam
pandangan mereka, tapi juga untuk “menimbang” pernyataan arogansi sebagian umat Islam
yang menyatakan bahwa kitab kuning sudah usang dan tidak relevan dengan kondisi
kekinian. Benarkah demikian?
A. Istilah Perang Dalam Kitab Kuning
Perang dalam kitab kuning memiliki beberapa istilah, antara lain harb, qitâl, jihâd,
ghazw, ma‟rakah, dan yang lainnya. Semua istilah ini dalam kitab kuning digunakan dengan
makna yang sama (murâdif), yakni perang. Namun dalam literatur fiqh istilah jihâd lebih
sering diidentikkan dengan peperangan yang dilakukan umat Islam dengan non muslim
(kuffâr), sedangkan qitâl digunakan untuk menyebut peperangan umat Islam melawan
pembangkang (ahl al-baghy), orang yang keluar dari agama Islam (ahl al-riddah), pembegal
jalan (qâthi‟ al-tharîq), dan lainnya, baik yang diperangi beragama Islam maupun tidak.39
27 Nâdiyah Husnî Shaqr, Falsafah al-Harb fî al-Islâm, Kairo: Wuzârah al-Auqâf al-Majlis al-A‟lâ li al-Syu`ûn
al-Islâmiyyah, 1990. 28 Abdul Wanîs Syatâ dkk, al-„Alâqât al-Dauliyyah fî al-Islâm Waqt al-Harb; Dirâsah li al-Qawâ‟id al-
Munadzdzamah li Sair al-Qitâl, Kairo: al-Ma‟had al-„Âlimî li al-Fikr Islâmî, 1981. 29 Salâm Syâfi‟î Mahmûd Salâm, Hushûn Khaibar fî al-Jâhiliyyah wa „Ashr al-Rasûl; Dirâsah Târîkhiyyah li
Ahamm al-Hushûn wa „Aqîdah al-Harb wa al-Qitâl „ind al-Yahûd fî Khaibar, Mesir: al-Ma‟ârif al-Iskandariyyah, tt. 30
Mushthafâ Mahmûd, al-Islâm al-Siyâsî wa al-Ma‟rakah al-Qadîmah, Mesir: al-Syirkah al-Mishriyyah, tt. 31 Râghib al-Sarjânî, Qishshah al-Hurûb al-Shalîbiyyah, Kairo: Mu`assasah Iqra` li al-Nasyr wa al-Tauzî‟ wa al-
Tarjamah, cet. II, 2009. 32 Husain „Athwân, Riwâyah al-Syâmiyyîn li al-Maghâzî wa al-Siyar fî al-Qarnain al-Awwal wa al-Tsânî al-
Hijrain, ttp. Dâr al-Jîl, tt. 33 Bâsîn Suwaid, Hurûb al-Quds fî al-Târîkh al-Islâmî wa al-„Arabî, Beirut-Libanon: Dâr al-Multaqâ, cet. I,
1997. 34 Abdul Lathîf „Âmir, Ahkâm al-Usrâ wa al-Sabâyâ fî al-Hurûb al-Islâmiyyah, Beirut: Dâr al-Kutub al-
Libnânî, cet. I, 1986. 35 Muhammad Khair Haikal, al-Jihâd wa al-Qitâl fî al-Siyâsah al-Syar‟iyyah, Dâr Ibn Hazm, tt. 36 Tolstoj, al-Harb wa al-Silm, al-Maktabah al-„Arabiyyah al-Syarqiyyah Orientâliyâ, cet. I, 1996. 37 Kamâl „Adwân, al-Qitâl Huwa al-Tharîq, tp. tt. 38 Ahmad Mukhtar, Shuwar min Hayâh al-Harb wa al-Jihâd fî al-Andalus, Mansya`ah al-Ma‟ârif, cet. I, 2000. 39 Lihat misalnya dalam kitab fiqh karya Muhammad bin Qâsim al-Ghazî, Fath al-Qarîb, Semarang: Thaha
Putra, tt. hal. 57-59. Zainuddîn al-Malîbârî, Fath al-Mu‟în, dalam Abî Bakr „Utsmân al-Bakrî, Hâsyiyah I‟ânah
al-Thâlibîn, Beirut-Libanon: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, cet. III, 2003, vol. IV, hal. 213-340. Zakariyâ al-
Anshârî, Fath al-Wahhâb, Dâr al-Fikr, 1994, vol. II, hal. 185-217.
4 | Perang Demi Menjaga Hak Asasi Manusia_______________________________________Khoirul Anwar
Sedangkan dalam al-Quran istilah yang digunakan untuk menyebut peperangan yang
dilakukan umat Islam ada 3, yaitu harb, qitâl, dan jihâd.
1. Harb
Kata harb dalam al-Quran dengan berbagai derivasinya disebut sebanyak 11 kali.40
Secara bahasa harb memiliki arti membunuh atau melarikan. Jamaknya adalah hurûb.41
Menurut Al-Râghib al-Ashfihânî, harb artinya merampok atau merampas dengan cara
berperang (al-salb), harîb memiliki arti orang yang dirampok, sedangkan al-harbah artinya
alat yang digunakan untuk merampok. Konon, bagian depan masjid dinamakan dengan
mihrâb karena menjadi tempat bagi umat Islam untuk memerangi syaitan dan hawa nafsu.42
Penggunaan kata harb dalam al-Quran dengan arti perang yang dilakukan umat Islam
sangat sedikit sekali dibandingkan dua kata lainnya, yakni jihâd dan qitâl. Menurut
Muhammad bin Nâshir al-Ja‟wân dalam kitabnya, al-Qitâl fî al-Islâm, alasan yang mendasari
penggunaan kata harb dengan jumlah sedikit ini karena pada masa pra Islam kata tersebut
digunakan untuk menyebut peperangan antar suku atau bangsa yang bertujuan untuk
menguasai dan demi kepentingan pribadi, bukan kepentingan umum umat manusia.
Sementara tujuan perang dalam Islam sebagaimana yang akan diungkap di bawah adalah
demi kepentingan bersama, bukan kepentingan suku atau agama tertentu.43
2. Qitâl
Kata qitâl dengan beragam bentuknya dalam al-Quran disebut sebanyak 170 kali.44
Kata qitâl adalah perpindahan dari kata qatl (قتل) yang terdiri dari tiga huruf asli (tsulâtsî
40 Yaitu dalam QS. Al-Taubah [9]:107, QS. Al-Mâidah [5]:33, QS. Al-Baqarah [2]:279, QS. Al-Mâidah [5]:64,
QS. Al-Anfâl [8]:57, QS. Muhammad [48]:4, QS. Ali Imrân [3]:37, QS. Ali Imrân [3]:39, QS. Maryam [19]:11,
QS. Shâd [38]:21, QS. Saba` [34]:13. Muhammad Fu`âd Abdul Bâqî, Al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâdz al-
Qur`ân al-Karîm, Kairo: Dâr al-Hadîts, 1364 H. hal. 196. 41 Ibn Mandzûr al-Anshârî, Lisân al-„Arab, Beirut: Dâr Shâdir, 1414 H. vol. I, hal. 303. 42 Al-Râghib al-Ashfihânî, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur`ân, Damaskus: Dâr al-Qalam, cet. I, 1412 H. vol. I, hal. 225. 43 Muhammad bin Nâshir al-Ja‟wân, Al-Qitâl fî al-Islâm, tp. cet. II, 1983, hal. 12. 44 Yaitu QS. Al-Baqarah [2]:251, QS. Al-Nisâ` [4]: 92, QS. Al-Mâidah [5]:32, QS. Al-Mâidah [5]:32, QS. Al-
Mâidah [5]:95, QS. Al-Kahfi [18]:74, QS. Thâhâ [20]:40, QS. Al-Qashash [28]:19, QS. Al-Qashash [28]:33,
QS. Al-Baqarah [2]:72, QS. Ali Imrân [3]:183, QS. Al-Nisâ` [4]:157, QS. Al-Mâidah [5]:30, QS. Al-Mâidah
[5]:95, QS. Al-Kahfi [18]:74, QS. Al-Anfâl [8]:17, QS. Al-An‟am [6]:140, QS. Al-Nisa [4]:157, QS. Al-Nisa
[4]:157, QS. Ghafir [40]:26, QS. Al-Maidah [5]:28, QS. Al-Maidah [5]:28, QS. Al-Maidah [5]:28, QS. Al-
Qashash [28]:19, QS. Al-Nisa [4]:29, QS. Al-Maidah [5]:95, QS. Al-An‟am [6]:151, QS. Al-An‟am [6]:151,
QS. Yusuf [12]:10, QS. Al-Isra‟ [17]:31, QS. Al-Isra‟ [17]:33, QS. Al-Baqarah [2]:85, QS. Al-Baqarah [2]:87,
QS. Al-Baqarah [2]:91, QS. Al-Ahzab [33]:26, QS. Ghafir [40]:28, QS. Al-Qashash [28]:9, QS. Al-Anfâl
[8]:17, QS. Al-Nisâ [4]:92, QS. Al-Nisa [4]:93, QS. Al-Mumtahanah [60]:12, QS. Al-Anfal [8]:30, QS. Al-Qashash [28]:20, QS. Al-Baqarah [2]:61, QS. Ali Imran [3]:21, QS. Ali Imran [3]:21, QS. Ali Imran [3]:112,
QS. Al-Maidah [5]:70, QS. Al-Taubah [9]:111, QS. Al-Furqan [25]:68, QS. Al-Syu‟ara‟ [26]:14, QS. Al-
Qashash [28]:33, QS. Al-A‟raf [7]:150, QS. Al-Baqarah [2]:54, QS. Al-Nisa [4]:66, QS. Al-Taubah [9]:5, QS.
Yusuf [12]:9, QS. Ghafir [40]:25, QS. Al-Ankabut [29]:24, QS. Al-Baqarah [2]:191, QS. Al-Baqarah [2]:191,
QS. Al-Nisâ` [4]:89, QS. Al-Nisâ` [4]:91, QS. Ali Imran [3]:144, QS. Al-Isrâ` [17]:33, QS. Al-Dzariyat [51]:10,
QS. Al-Muddatsir [74]:19, QS. Al-Muddatsir [74]:20, QS. „Abasa [80]:17, QS. Al-Burûj [85]:4, QS. Al-Takwîr
[81]:9, QS. Ali Imran [3]:157, QS. Ali Imran [3]:158, QS. Ali Imran [3]:154, QS. Ali Imran [3]:156, QS. Ali
Imran [3]:168, QS. Ali Imran [3]:169, QS. Ali Imran [3]:195, QS. Al-Hajj [22]:58, QS. Muhammad [47]:4, QS.
Al-Baqarah [2]:154, QS. Al-Nisâ [4]:74, QS. Al-Taubah [9]:111, QS. Al-A‟raf 7:127, QS. Al-A‟raf [7]:141, QS.
Al-Ahzab [33]:61, QS. Al-Maidah [5]:33, QS. Ali Imran [3]:146, QS. Al-Hadîd [57]:10, QS. Al-Fath [48]:22,
QS. Al-Taubah [9]:30, QS. Al-Munâfiqûn [63]:4, QS. Ali Imrân [3]:195, QS. Al-Ahzab [33]:20, QS. Al-Hadîd
[57]:10, QS. Al-Baqarah [2]:191, QS. Al-Nisâ` [4]:90, QS. Al-Mumtahanah [60]:9, QS. Ali Imran [3]:13, QS. Al-Baqarah [2]:246, QS. Al-Taubah [9]:83, QS. Al-Nisa [4]:75, QS. Al-Taubah [9]:13, QS. Al-Fath [48]:16,
QS. Al-Baqarah [2]:191, QS. Al-Baqarah [2]:246, QS. Al-Baqarah [2]:246, QS. Al-Nisa [4]:74, QS. Al-Nisa
[4]:74, QS. Al-Nisâ` [4]:90, QS. Al-Baqarah [2]:191, QS. Ali Imran [3]:111, QS. Al-Nisâ` [4]:90, QS. Al-Nisa
[4]:90, QS. Al-Mumtahanah [60]:8, QS. Al-Nisa [4]:76, QS. Al-Nisa [4]:76, QS. Al-Taubah [9]:111, QS. Al-
Shaff [61]:4, QS. Al-Muzammil [73]:20, QS. Al-Baqarah [2]:190, QS. Al-Baqarah [2]:217, QS. Al-Taubah
[9]:36, QS. Al-Hasyr [59]:14, QS. Al-Nisa [4]:84, QS. Al-Mâ`idah [5]:24, QS. Al-Baqarah [2]:190, QS. Al-
5 | Perang Demi Menjaga Hak Asasi Manusia_______________________________________Khoirul Anwar
mujarrad) ke wazan fi‟âl (فعال) dengan menambahkan huruf alif setelah huruf qâf (fâ` fi‟il)
menjadi qitâl (قتال) bertujuan supaya kata tersebut mengandung arti persekutuan diantara dua
orang (li al-musyârakah bain itsnain).45
Menurut al-Râghib al-Ashfihânî kata qatl memiliki arti menghilangkan ruh dari jasad
(izâlah al-rûh „an al-jasad) seperti halnya kata maut (mati). Namun dalam percakapan sehari-
hari ketika seseorang meninggal dunia disebabkan tindak pembunuhan maka diungkapkan
dengan kata qatl (terbunuh), sedangkan apabila disebabkan dengan hilangnya ruh (bi faut al-
hayâh) maka disebut dengan maut (mati).46
Dalam al-Quran keduanya juga dibedakan,
seperti dalam QS. Ali Imran 144.
أأفأ إنن ماتأ أأ ن ق إلأ اانن أ أ ن قمن أ ل أأ ن ااإكقمن
“Apakah jika dia wafat (maut) atau dibunuh (qatl) kamu berbalik ke belakang.”
Perpindahan kata qatl menjadi qitâl berpengaruh terhadap arti, yaitu pembunuhan
yang dilakukan oleh seseorang yang juga dilakukan oleh orang lain (saling membunuh).
Kemudian kata ini digunakan untuk menyebut perang karena dalam peperangan terjadi dua
orang atau kelompok yang saling menyerang untuk membunuh. Sehingga perang yang
diistilahkan dengan qitâl memberikan kesan bahwa tujuan berperang adalah untuk membunuh
lawan. Kendati demikian, namun dalam Islam tujuan perang bukan untuk membunuh, tapi
sebatas melumpuhkan lawan (daf‟ al-i‟tidâ`). Oleh karena itu apabila lawan tidak lagi
menyerang (menyerah) maka perang harus dihentikan.
3. Jihad
Kata jihâd dengan beragam derivasinya dalam al-Quran disebutkan sebanyak 41
kali.47
Asal kata jihâd adalah al-jahd dan al-juhd yang berarti kekuatan atau kesungguhan (al-
thâqah wa al-masyaqqah). Menurut satu pendapat, al-jahd (dengan dibaca fathah jimnya)
memiliki arti berat (al-masyaqqah), sedangkan al-juhd (dengan dibaca dlammah jimnya)
bermakna lapang (al-wus‟). Kata juhd dalam al-Quran terdapat dalam QS. al-Taubah 79,
sedangkan kata jahd ada dalam QS. Al-Nur 53. Dari dua kata ini kemudian muncul kata
ijtihâd yang memiliki makna menjadikan diri dengan mengerahkan segala kemampuan
Baqarah [2]:244, QS. Ali Imran [3]:167, QS. Al-Nisa [4]:76, QS. Al-Taubah [9]:12, QS. Al-Taubah [9]:29, QS.
Al-Taubah [9]:36, QS. Al-Taubah [9]:123, QS. Al-Hujurât [49]:9, QS. Al-Baqarah [2]:193, QS. Al-Anfâl
[8]:39, QS. Al-Taubah [9]:14, QS. Al-Hasyr [59]:11, QS. Al-Hasyr [59]:12, QS. Al-Hajj [22]:39, QS. Al-
Baqarah [2]:253, QS. Al-Baqarah [2]:253, QS. Al-Hujurât [49]:9, QS. Al-Qashash [28]:15, QS. Al-Baqarah
[2]:191, QS. Al-Baqarah [2]:217, QS. Ali Imran [3]:154, QS. Al-Mâ`idah [5]:30, QS. Al-An‟âm [6]:137, QS.
Al-Isrâ` [17]:33, QS. Al-Ahzâb [33]:16, QS. Ali Imran [3]:181, QS. Al-Nisâ` [4]:155, QS. Al-Isrâ` [17]:31, QS. Al-Ahzâb [33]:61, QS. Al-Baqarah [2]:216, QS. Al-Baqarah [2]:217, QS. Al-Baqarah [2]:217, QS. Al-Baqarah
[2]:246, QS. Al-Baqarah [2]:246, QS. Ali Imran [3]:121, QS. Al-Nisa [4]:77, QS. Al-Nisa [4]:77, QS. Al-Anfal
[8]:16, QS. Al-Anfal [8]:65, QS. Al-Ahzab [33]:25, QS. Muhammad [47]:20, Ali Imran [3]:167, QS. Al-
Baqarah 2:178. Muhammad Fu`âd Abdul Bâqî, Al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâdz al-Qur`ân al-Karîm, hal. 533-
536. 45 Muhammad Ma‟shûm bin „Alî, al-Amtsilah al-Tashrîfiyyah, Surabaya: Maktabah wa Mathba‟ah Sâlim
Nabhân, tt. hal. 14-15. 46 Al-Râghib al-Ashfihânî, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur`ân, hal. 393. 47 Yaitu QS. Al-Taubah [9]:19, QS. Al-Ankabut [29]:6, QS. Al-Ankabut [29]:8, QS. Luqman [31]:15, QS. Al-
Baqarah [2]:218, QS. Ali Imran [3]:142, QS. Al-Anfal [8]:72, QS. Al-Anfal [8]:74, QS. Al-Anfal [8]:75, QS.
Al-Taubah [9]:16, QS. Al-Taubah [9]:20, QS. Al-Taubah [9]:88, QS. Al-Nahl [16]:110, QS. Al-Ankabut
[29]:69, QS. Al-Hujurat [49]:15, QS. Al-Shâff [61]:11, QS. Al-Ankabût [29]:6, QS. Al-Taubah [9]:44, QS. Al-Taubah [9]:81, QS. Al-Maidah [5]:54, QS. Al-Taubah [9]:73, QS. Al-Tahrîm [66]:9, QS. Al-Furqân [25]:52,
QS. Al-Mâidah [5]:35, QS. Al-Taubah [9]:41, QS. Al-Taubah [9]:86, QS. Al-Hâjj [22]:78, QS. Al-Mâidah
[5]:53, QS. Al-An‟âm [6]:109, QS. Al-Nahl [16]:38, QS. Al-Nûr [24]:53, QS. Fâthir [35]:42, QS. Al-Taubah
[9]:79, QS. Al-Taubah [9]:24, QS. Al-Furqân [25]:52, QS. Al-Mumtahanah [60]:1, QS. Al-Hâjj [22]:78, QS. Al-
Nisâ` [4]:95, QS. Al-Nisâ‟ [4]:95, QS. Al-Nisâ` [4]:95, QS. Muhammad [47]:31. Muhammad Fu`âd Abdul
Bâqî, Al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâdz al-Qur`ân al-Karîm, hal. 182-183.
6 | Perang Demi Menjaga Hak Asasi Manusia_______________________________________Khoirul Anwar
sembari menanggung beban berat (akhdz al-nafs bi badzl al-thâqah wa tahammul al-
masyaqqah). Sedangkan jihâd dan mujâhadah artinya mencurahkan segenap upaya untuk
menolak musuh. Menurut al-Raghib al-Ashfihânî, jihâd ada tiga macam, yaitu; 1).
memerangi musuh yang nyata (mujâhadah al-„aduww al-dzâhir), 2). memerangi syaitan
(mujâhadah al-syaithân), 3). memerangi diri/ hawa nafsu (mujâhadah al-nafs). Ketiga makna
jihad ini digunakan al-Quran dalam QS. Al-Hâjj 78, al-Taubah 41, dan Al-Anfal 72.
Dalam hadis Nabi Muhammad Saw. kata jihad juga digunakan untuk menyebut salah
satu dari ketiga makna di atas. Jihad dalam arti memerangi hawa nafsu dan syaitan terungkap
dalam hadis:
جاىد ا أىواءكم كما تجاىد ن أ داءكم“Perangilah hawa nafsu kalian sebagaimana kalian memerangi musuh kalian.”
Jihad dalam arti perang melawan musuh yang nyata (manusia), terdapat dalam hadis:
جاىد ا الكفار اأيديكم ألسن كم“Perangilah orang-orang kafir dengan menggunakan tangan dan lisan kalian.”
48
Dengan demikian makna jihad dalam al-Quran dan Hadis sangat beragam sesuai
dengan arti jihad secara bahasa (lughawî), yakni mencurahkan segala kemampuan, baik
kaitannya dengan memerangi diri sendiri maupun orang lain. Hanya saja jihad dalam al-
Quran dan Hadis semata-mata dikerjakan untuk mencari ridla Allah (fî sabîlillah). Oleh
karena itu haji yang mabrur juga dinamakan dengan jihad, bahkan yang paling utama.49
Demikian juga dengan aktifitas ibadah lainnya.50
Kendati demikian, namun dalam literatur fiqh kata ini seringkali diidentikkan dengan
peperangan. Al-Kâsânî, salah seorang ulama madzhab Hanafî dalam kitabnya, Badâ`i‟ al-
Shanâ`i‟, menyatakan bahwa kata jihad dalam bahasa yang biasa digunakan agama („urf
syara‟) digunakan untuk menyebut pencurahan tenaga dan kemampuan untuk berperang di
jalan Allah, baik dengan tenaga (fisik), harta benda, perkataan, maupun yang lainnya.51
Penyebutan tiga istilah di atas (harb, qitâl, dan jihâd) dalam al-Quran seringkali
disandingkan dengan lafadz fî sabîlillah, seperti dalam QS. Al-Baqarah 154, 190, 244, QS.
Al-Nisâ` 74, 76, QS. Al-Shaff 4, dan yang lainnya. Menurut Nawawî al-Bantanî, al-Suyûthî,
al-Thabarî, dan mufassir lainnya, arti fî sabîlillah dalam ayat-ayat tersebut adalah fî
thâ‟atillah (karena taat kepada Allah),52
namun terkadang Nawawî menafsirkannya dengan li
i‟lâ`i dînillah (karena memuliyakan agama Allah).53
Kedua penafsiran dari Nawawî ini
sesungguhnya tidak berbeda, karena patuh terhadap Allah sama dengan memuliakan agama-
Nya. Sehingga kandungan artinya adalah peperangan yang dilakukan umat Islam dalam
48 Al-Râghib al-Ashfihânî, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur`ân, vol. I, hal. 208. 49 Diceritakan bahwa „Âisyah bertanya kepada rasulullah Saw. “wahai rasul, saya berpandangan jihad itu
perbuatan yang paling utama, apakah saya tidak boleh ikut berjihad?” Rasulullah Saw. menjawab, “tidak, paling
utama-utamanya jihad adalah haji yang diterima Allah (mabrûr).” Lihat Muhammad bin Ismâ‟îl al-Bukhârî,
Shahîh al-Bukhârî, Dâr Thûq al-Najâh, cet. I, 1422 H. vol. II, hal. 133. 50 Al-Nawawî dalam kitabnya, Riyâdl al-Shâlihîn, menafsirkan kata jihad dalam QS. Al-Hajj 78 “wa jâhidû
fîllah haqqa jihâdih” dengan perintah untuk bersungguh-sungguh dalam mengerjakan ibadah dan beraktifitas.
Abû Zakariyyâ al-Nawawî, Riyâdl al-Shâlihîn, Mesir: Thab‟ah al-Yûsufiyyah, 1960, hal. 57. 51 „Alâ`uddîn al-Kâsânî, Badâ i‟ al-Shanâ i‟ fî Tartîb al-Syarâ i‟, Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, cet. II, 1986, vol.
VII, hal. 97. 52 Muhammad bin Umar Nawawî al-Jâwî al-Bantanî, Mirâh Labîd li Kasyf Ma‟nâ al-Qur`ân al-Majîd, Beirut:
Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, cet. I, 1417 H, vol. I, hal. 87. Jalâluddîn al-Mahallî dan Jalâluddîn al-Suyûthî, Tafsîr
al-Jalâlain, Kairo: Dâr al-Hadîts, cet. I, tt. hal. 53. Muhammad bin Jarîr al-Thabarî, Jâmi‟ al-Bayân fî Ta`wîl al-
Qur`ân, Mu`assasah al-Risâlah, cet. I, 2000, vol. VIII, hal. 546-547. 53 Muhammad bin Umar Nawawî al-Jâwî al-Bantanî, Mirâh Labîd li Kasyf Ma‟nâ al-Qur`ân al-Majîd, vol. I,
hal. 210.
7 | Perang Demi Menjaga Hak Asasi Manusia_______________________________________Khoirul Anwar
melawan musuh-musuhnya harus didasarkan atas kepatuhan kepada Allah (fî sabîlillah),
bukan atas dorongan hawa nafsunya sendiri, mengharapkan pangkat atau jabatan, benci, iri,
pamer kekuatan (riya`), dan tujuan duniawi lainnya atau dalam bahasa al-Quran disebut
dengan fî sabîl al-thâghût (QS. Al-Nisâ 76).
B. Perang Demi Menjaga Hak Asasi Manusia
Setiap agama pasti memiliki kewajiban untuk menjaga hak hidup, yaitu hak asasi
yang dimiliki oleh setiap manusia. Dalam Islam hak hidup merupakan hak asasi yang tidak
boleh dicabut oleh siapapun termasuk oleh dirinya sendiri. Secara jelas QS. Al-Mâ`idah
[5]:32 menyatakan bahwa orang yang membunuh seorang manusia bukan karena ada faktor
yang memperbolehkannya atau membuat kerusakan di muka bumi seolah-olah ia telah
membunuh manusia secara keseluruhan, dan orang yang memelihara kehidupan seorang
manusia maka seakan-akan ia telah memelihara kehidupan seluruh manusia. Dengan
demikian dapat diketahui bahwa hukum asal berperang dalam Islam tidak diperbolehkan
kecuali ada faktor-faktor tertentu yang memperbolehkannya.
Faktor tersebut adalah apabila hak asasi yang dimiliki manusia telah diinjak-injak,
terutama hak hidup karena hak ini adalah hak yang paling asasi yang dimiliki setiap manusia.
Dengan kehidupan manusia dapat menikmati hak-hak lainnya. Sehingga perang yang
dilakukan pun bertujuan demi menjaga hak paling asasi tersebut. Pada saat Nabi Muhammad
Saw. dan sahabatnya berada di Makkah mereka selalu dicaci maki oleh paganisme Quraisy,
bahkan Nabi Muhammad Saw. selaku penerima risalah ketuhanan berkali-kali hendak
dibunuh oleh mereka, hal ini merupakan penodaan HAM yang menjadi misi diturunkannya
syari‟at Islam. Namun nabi dan sahabatnya tidak melakukan perlawanan karena saat itu umat
Islam diperintahkan untuk bersabar. Baru kemudian setelah nabi Saw. dan sahabatnya hijrah
ke kota Yatsrib turunlah QS. Al-Hajj [22]:39 yang mengizinkan nabi Saw. dan sahabatnya
melakukan perlawanan fisik demi mempertahankan kehormatan manusia.
Ibn „Abbâs, Mujâhid, „Urwah bin al-Zubair, Zaid bin Aslam, Muqâtil bin Hayyân,
Qatâdah, dan mufassir lainnya menyatakan bahwa QS. Al-Hajj [22]:39 ini adalah ayat yang
pertama kali turun sebagai rekomendasi kepada umat Islam untuk melakukan perlawanan
fisik dalam menghadapi serangan yang dilancarkan oleh orang-orang musyrik Quraisy.54
Al-
Thabarî menyatakan ayat tersebut sebagai “rekomendasi langit” kepada umat Islam untuk
berperang melawan orang-orang musyrik Quraisy yang telah terlebih dahulu
memeranginya.55
Ibn „Abbâs menginformasikan bahwa kondisi sosial yang melatari turunnya
ayat tersebut adalah pada saat nabi Muhammad Saw. dan sahabatnya diusir dari Makkah.
Abû Bakar mengatakan, “musyrik Quraisy telah mengusir nabinya, sesungguhnya kita milik
Allah, dan hanya kepada Allah kita kembali. Sungguh Allah akan membinasakan mereka.”
Lalu Abu Bakar mengatakan, “saya sudah tahu bahwa nanti akan terjadi peperangan.”56
Sementara menurut Mujâhid latar historis turunnya ayat tersebut adalah pada saat umat Islam
hendak hijrah dari Makkah ke Madinah dihalang-halangi kuffar Quraisy.57
Terlepas dari perbedaan latar historis yang diinformasikan Ibn „Abbâs dan Mujâhid
yang jelas kedua riwayat tersebut dan fakta historis lainnya menginformasikan bahwa pada
saat nabi Muhammad Saw. dan sahabatnya masih berdomisili di Makkah hak asasinya selalu
diinjak-injak oleh paganisme Quraisy. Nabi Muhammad Saw. berdomisili di Makkah selama
tiga belas tahun, beliau berdakwah kepada manusia untuk mengesakan Tuhan, semua
manusia adalah hamba Tuhan, bukan hamba atas manusia lainnya. Sehingga dengan ajaran
54 Abû al-Fidâ` Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur`ân al-„Adzîm, Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, cet. I, hal. 1419, vol.
V, hal. 380. Muhammad bin Jarîr al-Thabarî, Jâmi‟ al-Bayân fî Ta`wîl al-Qur`ân, vol. XVIII, hal. 642-644. 55 Muhammad bin Jarîr al-Thabarî, Jâmi‟ al-Bayân fî Ta`wîl al-Qur`ân, vol. XVIII, hal. 642. 56 Abû al-Fidâ` Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur`ân al-„Adzîm, vol. V, hal. 380-381. 57 Muhammad bin Jarîr al-Thabarî, Jâmi‟ al-Bayân fî Ta`wîl al-Qur`ân, vol. XVIII, hal. 645.
8 | Perang Demi Menjaga Hak Asasi Manusia_______________________________________Khoirul Anwar
tauhid ini sesungguhnya nabi Saw. sedang mengajak umat manusia untuk menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan yang saat itu ternodai oleh kerakusan manusia. Dakwah itu nabi Saw.
sampaikan dengan bijak dan baik (bi al-mau‟idzah al-hasanah) sebagaimana yang
diperintahkan oleh Allah dalam QS. Al-Naml [27]:125, namun kafir Quraisy mencaci maki
dan menyakiti nabi Saw. beserta sahabatnya. Saat itu Nabi Saw. dan sahabatnya
diperintahkan untuk bersabar dalam menghadapi cercaan dan intimidasi tersebut. Allah
berfirman: “Bersabarlah terhadap apa yang kafir Quraisy ucapkan, dan jauhilah mereka
dengan cara yang baik.” (QS. Al-Muzammil [73]:10). Bahkan saat itu kafir Quraisy
mengumpulkan seluruh pemuda dan kabilah di Makkah untuk membunuh nabi Saw, mereka
mengepung rumah nabi Muhammad Saw. untuk membunuhnya, namun oleh Allah nabi Saw.
diselamatkan dari kepungan tersebut, beliau dapat keluar dari rumah (hijrah) menuju kota
Yatsrib dengan selamat, lalu disusul para sahabatnya.58
Kendati Nabi Muhammad Saw. dan
sahabatnya sudah hijrah di Madinah, namun kafir Quraisy terus mengancam nyawa umat
Islam, baik yang masih berada di Makkah maupun yang sudah hijrah di Madinah. Pada saat
mengalami kegetiran inilah demi mempertahankan diri dari serangan-serangan tersebut (daf‟
al-i‟tidâ`) nabi Saw. dan sahabatnya melakukan perlawanan peperangan dengan
diturunkannya QS. Al-Hajj [22]:39.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa peperangan yang dilakukan nabi
Muhammad Saw. dan sahabatnya hanya untuk mempertahankan diri dari serangan kafir
Quraisy. Oleh karena itu dalam perang Badar dan Uhud nabi Saw. beserta sahabatnya hanya
berhadapan dengan kafir Quraisy, tidak dengan kafir Arab lainnya. Baru kemudian pada saat
kafir Quraisy membuat fitnah besar-besaran terhadap umat Islam supaya orang-orang kafir
suku lainnya ikut serta memusuhi nabi Muhammad Saw. dan sahabatnya, pada perang Ahzâb
nabi Saw. dan sahabatnya berhadapan dengan semua orang musyrik Arab, karena saat itu
kafir Quraisy telah berhasil mengajak musyrik suku lainnya memusuhi nabi Saw. dan
sahabatnya sehingga musyrik Quraisy membentuk koalisi dengan musyrik suku lainnya di
tanah Arab untuk bersatu padu memerangi umat Islam.59
Sejak itulah kemudian musuh umat Islam tidak hanya musyrik Quraisy, melainkan
semua orang musyrik. Oleh karena itu turunlah QS. Al-Taubah [9]:36 yang memerintahkan
supaya semua orang musyrik diperangi sebagaimana mereka memerangi umat Islam, “Dan
perangilah kaum musyrikin semuanya sebagaimana mereka memerangi kalian semua. Dan
ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa. ( وقاتلوا المشركني كافة QS. Al-Taubah [9]:36. Menurut al-Thabarî tafsir dari “Dan ”(كما ي اتلوو كافة واالموا الل المت ني
ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa” adalah
peperangan dilakukan semata-mata atas dasar takwa kepada Allah, sehingga harus tetap patuh
terhadap perintah-perintah-Nya dan menjahui larangan-larangan-Nya.60
Karena saat itu
kondisi sangat akut, semua orang musyrik di Arab bersatu padu berusaha membunuh Nabi
Saw. dan sahabatnya hingga Allah menurunkan QS. Al-Taubah 5: “Maka bunuhlah orang-
orang musyrikin di mana saja kalian menjumpai mereka, dan tangkaplah mereka, kepunglah
mereka dan intailah mereka di tempat pengintaian.” ( فاقيتيلوا المشركني حيث وجدتوه وخذوه واحصروه واقيعدوا ”.( كل ر دد
Peperangan dalam Islam sesungguhnya dilakukan sebagai langkah defensiasi atas
tindakan orang-orang yang merampas hak asasi manusia. Oleh karena itu apabila dalam
menghadapi musuh masih dimungkinkan dengan cara-cara damai selain perang maka perang
hukumnya dilarang (QS. Al-Nahl 16:126-127).
58 Abû Zahrah, Nadzariyah al-Harb fî al-Islâm, Kairo: Dirâsât Islâmiyyah, 2008, hal. 38. 59 Abû Zahrah, Nadzariyah al-Harb fî al-Islâm, hal. 40. 60 Muhammad bin Jarîr al-Thabarî, Jâmi‟ al-Bayân fî Ta`wîl al-Qur`ân, vol. XIV, hal. 242.
9 | Perang Demi Menjaga Hak Asasi Manusia_______________________________________Khoirul Anwar
Perang tidak berkaitan dengan upaya penyebaran Islam, karena dalam Islam memaksa
seseorang untuk menganut agama hukumnya haram (QS. Al-Baqarah [2]:256). Ibn „Abbâs
menginformasikan bahwa latar historis yang mendorong turunnya ayat ini adalah ketika salah
seorang sahabat Anshâr keturunan Banî Sâlim bin „Auf yang bernama al-Hushain hendak
memaksa kedua anaknya yang beragama Kristen supaya masuk Islam. Al-Hushain bertanya
kepada Nabi Saw. “apakah saya boleh memaksa kedua anakku supaya masuk ke dalam
agama Islam sementara mereka berdua tetap menginginkan memeluk Kristen?” Lalu turunlah
QS. Al-Baqarah [2]:256 sebagai jawaban atas pertanyaan al-Hushain tersebut.61
Dalam berdakwah Nabi Muhammad Saw. tidak memaksa orang yang didakwahi
harus menerima ajaran Islam atau memeluknya. Diinformasikan ketika Nabi Saw. mengajak
umat Kristen Najran untuk masuk ke dalam agama Islam, umat Kristen tersebut menolaknya.
Oleh Nabi Saw. mereka tidak dipaksa untuk memeluk agama Islam dan Nabi Saw. tetap
menghormatinya. Begitu juga setiap kali nabi Saw. mengajak pemimpin kekuasaan untuk
masuk ke dalam agama Islam beliau tidak melakukannya dengan mengamang-amangi
pedang, tapi disampaikannya dengan penuh penghormatan dan kasih sayang. Dalam suratnya
yang dikirim kepada raja Romawi, nabi Muhammad Saw. mengatakan:
من محمد د اهلل رسولو إلل ىر ل ظيم الر م، سالم ل من ات ع الهدى، أما اعد، ف اي أد وك اد اية اإلسالم : اسم اهلل الرحمن الرحيمأس م تس م يؤتك اهلل أجرك مرتين، ف ن توليت ف ن يك إثم األريسيين يا أىل الك اب تعالوا إلل ك مة سواء ايننا اينكم أال اع د إال اهلل
. ال اشرك او شيئا، ال ي خذ اعضنا اعضا أراااا من د ن اهلل، ف ن تولوا ف ولوا اشهد ا اأاا مس مون“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang: Dari
Muhammad hamba Allah dan utusan-Nya untuk Hiraql Raja Romawi. Kesejahteraan bagi
orang yang mengikuti petunjuk. Sesungguhnya saya mengajakmu dengan ajakan Islam,
masuklah Islam maka engkau akan selamat. Allah akan memberimu dua pahala. Apabila
engkau berpaling dari ajakan ini maka engkau menanggung dosa rakyat yang engkau
pimpin. Wahai Ahli Kitab, mendekatlah pada kalimat yang sama di antara kami dan kalian,
kita tidak menyembah kecuali kepada Allah, dan kita tidak menyekutukan-Nya sedikitpun.
Dan janganlah sebagian kita menjadikan yang lainnya sebagai sesembahan selain Allah.
Apabila kalian berpaling maka katakanlah, saksikanlah bahwa kami orang-orang muslim.”62
Dalam surat tersebut nabi Saw. sama sekali tidak memaksa non muslim untuk
memeluk Islam atau mengancam kekerasan apabila menolaknya, melainkan nabi Saw. hanya
mengajak mereka untuk bersama-sama memeluk Islam dengan cara hormat dan santun.
Namun di kemudian hari peperangan dengan Romawi tidak terelakkan, hal ini lantaran
mereka melakukan perampasan terhadap hak asasi seseorang yang memeluk agama Islam.
Ketika penduduk Syâm banyak yang masuk Islam para pemimpin Romawi mengerahkan
tentaranya untuk menyerang dan memaksa mereka supaya keluar dari Islam dan kembali
menganut Kristen. Tindakan orang-orang Romawi ini jelas memaksa nabi Muhammad Saw.
untuk mengambil sikap, karena walaupun yang disiksa penduduk Syâm lantaran memeluk
agama Islam, tapi nabi Muhammad Saw. sebagai da‟i yang mengajak umat manusia untuk
memeluk agama tersebut bertanggungjawab untuk ikut serta menghadapinya. Sehingga
terjadilah peperangan antara umat Islam melawan tentara Romawi. Begitu juga dengan Kisrâ
pemimpin Persi, nabi Muhammad Saw. memeranginya bertujuan bukan supaya penduduk
Persi beragama Islam, melainkan sebagai upaya pertahanan diri dari serangan (daf‟ al-i‟tidâ)
yang dilakukan Kisrâ terhadap umat Islam. Saat nabi Muhammad Saw. mengirimkan surat
61 Muhammad bin Jarîr al-Thabarî, Jâmi‟ al-Bayân fî Ta`wîl al-Qur`ân, vol. V, hal. 409. 62 Abû al-Fidâ` Ibn Katsîr, al-Sîrah al-Nabawiyyah, Beirut-Libanon: Dâr al-Ma‟rifah, 1976, vol. III, hal. 501.
10 | Perang Demi Menjaga Hak Asasi Manusia_______________________________________Khoirul Anwar
kepadanya, sahabat yang membawa surat hendak dibunuh oleh Kisrâ. Kejadian inilah yang
menjadi penyebab utama pertengkaran nabi Muhammad Saw. dengan tentara Persi.63
Mayoritas ulama berpendapat bahwa dalam Islam faktor yang memperbolehkan
peperangan adalah menolak musuh (radd al-i‟tidâ‟). Non muslim diperangi bukan karena
kekufurannya, tapi karena tindakannya yang memusuhi umat Islam. Hal ini dibuktikan oleh
peperangan yang dilakukan nabi Muhammad Saw., beliau hanya memerangi orang-orang
musyrik Quraisy dan yang berkoalisi dengannya. Sedangkan orang-orang kafir lainnya yang
tidak ikut serta melakukan penindasan terhadap umat Islam seperti orang-orang kafir di
Madinah, baik yang beragama Yahudi, Nashrani, paganisme, maupun yang lainnya, nabi
tidak memeranginya.64
Sedangkan menurut pendapat minoritas dalam madzhab Syâfi‟î, non muslim
diperangi karena kekufurannya.65
Pendapat ini dianggap lemah karena nash al-Quran yang
menyatakan bahwa orang kafir diperengi karena tindakannya yang merampas hak asasi
manusia, bukan kekafirannya sangat jelas dan kuat, yakni QS. Al-Baqarah [2]:190-193:
نأةق . أ اتإ قوا فإي سأ إيلإ ال لوإ اللذإينأ يق اتإ قواأكقمن أال تنأعن أدق ا إإنل ال لوأ ال يقحإ ب النمقعن أدإينأ رأجقوكقمن أالنفإ نن رإجقوىقمن مإنن حأينثق أأخن أا نن نق قوىقمن حأينثق ثأ إفن قمقوىقمن أأأخندإ النحأرامإ حأ لل يق اتإ قوكقمن فإيوإ فأ إنن اتنأ قوكقمن فأا نن نق قوىقمن كأذلإكأ جأ اءق النكافإرإينأ فأ إنإ اانن نأهأونا فأ إنل ال لوأ غأفقور . أأشأدب مإنأ الن أ نلإ أال تق اتإ قوىقمن إنندأ النمأسنجإ
يم نأة أيأكقونأ الددينق لإ لوإ فأ إنإ اانن نأهأونا فأال قدن انأ إإالل أ أل الظلالإمإينأ . رأحإ . أ اتإ قوىقمن حأ لل ال تأكقونأ فإ نن
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu
melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui
batas. Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari
tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah) dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari
pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjid al-haram, kecuali jika
mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka
bunuhlah mereka. Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir. Kemudian jika mereka
berhenti (dari memusuhi kamu), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga)
ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu),
maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.”
Secara jelas QS. Al-Baqarah [2]:190-193 di atas menyatakan bahwa orang-orang kafir
boleh diperangi karena mereka melakukan permusuhan, mereka membuat fitnah, sehingga
apabila mereka tidak lagi memusuhi maka mereka tidak boleh diperangi, atau apabila dalam
peperangan mereka menyerah maka peperangan harus segera dihentikan karena faktor yang
mendorong peperangan adalah permusuhan yang disebabkan fitnah (al-bâ‟its al-i‟tidâ‟ bi al-
fitnah) sehingga peperangan harus segera dihentikan seiring dengan berhentinya fitnah (wa
al-intihâ‟ bintihâ‟i al-fitnah).
Menurut Abû Zahrah ayat tersebut juga menunjukkan kaidah perang dalam Islam,
yakni memperlakukan musuh dengan sepadan. Musuh menyerang maka umat Islam juga
boleh menyerang, namun kesepadanan ini harus tetap memperhatikan nilai-nilai
kemanusiaan, yakni apabila musuh melakukan tindakan yang sudah keluar dari nilai-nilai
kemanusiaan seperti musuh melakukan pemotongan terhadap anggota tubuh tentara Islam
yang sudah di bunuh atau memperlakukan tahanan tentara muslim dengan kejam maka umat
63 Abû Zahrah, Nazhâriyah al-Harb fî al-Islâm, hal. 27-28. 64 Bahkan dalam sebagian peperangan yang dilakukan nabi Muhammad Saw. beliau sering mendapat bantuan
dari orang-orang kafir di Madinah, sebagaimana dalam perang Uhud beliau dibantu oleh orang-orang Yahudi.
Lihat Ibn Hisyâm, al-Sîrah al-Nabawiyyah, Beirut-Libanon: Dâr Ihyâ al-Turats al-„Arabî, 1997, vol. I, hal. 382. 65 Abû Zahrah, Nazhâriyah al-Harb fî al-Islâm, hal. 32.
11 | Perang Demi Menjaga Hak Asasi Manusia_______________________________________Khoirul Anwar
Islam dilarang melakukan hal serupa. Perang demikianlah yang membedakan perang yang
dibimbing wahyu dengan yang lainnya.66
Kendati QS. Al-Baqarah [2]:190-193 ini kandungan artinya sangat jelas (muhkam),
tidak dapat diinterpretasikan ke makna lain, namun menurut pendapat minoritas dalam
madzhab Syâfi‟î ayat ini telah dihapus (mansûkh) atau ditakhsis (mukhashshash) dengan ayat
lainnya.
Dalam pandangan Abû Zahrah ayat tersebut tidak mungkin dapat dihapus ataupun
ditakhshis karena dalam naskh dan takhshîsh harus ada dalil atau indikasi yang menunjukkan
bahwa ayat tersebut dihapus, sementara dalam QS. Al-Baqarah [2]:190-193 tidak ada indikasi
yang menunjukkan hal tersebut.67
Juga seperti yang sudah maklum dalam ilmu ushûl al-fiqh,
bahwa teori abrogasi dalil (naskh) dan takhshîs merupakan teori untuk menyikapi dua dalil
yang saling bertolak (ta‟ârudl). Dalam teori naskh dua dalil yang kandungan artinya bertolak
diselesaikan dengan mengabrogasi kandungan makna dalil yang turun terlebih dahulu,
sedangkan dalam takhshîsh dua dalil yang maknanya bertabrakan, satu dalil kandungan
artinya khusus (khâsh) dan yang lainnya umum („âmm), maka keduanya diselesaikan dengan
mengkompromikannya, yakni kandungan arti dalil yang khusus (khâsh) dikecualikan dari
dalil yang kandungannya umum („âmm). Sebagai sampel, misalnya QS. Al-Taubah [9]:5
yang menyatakan bahwa orang-orang musyrik di manapun ia berada harus diperangi.
Sementara dalam QS. Al-Taubah [9]:4 menyatakan bahwa musyrikin yang mengadakan
perjanjian damai dilarang diperangi. Maka dalam hal ini QS. Al-Taubah [9]:4 mentakhshish
QS. Al-Taubah [9]:5, yakni orang-orang musyrik yang boleh diperangi adalah musyrik yang
memusuhi dan tidak mengadakan perjanjian damai (belum menyerah).68
Demikian pula tidak dapat dilupakan bahwa dalam Islam hukum asal peperangan
adalah haram, karena memerangi tanpa ada faktor yang memperbolehkannya adalah tindakan
zalim, sehingga apabila QS. Al-Baqarah [2]:190-193 yang mengandung arti larangan
bertindak zalim tersebut dihapus maka akan memberikan pengertian bahwa Islam
memperbolehkan manusia berbuat zalim, dan ini sangat muhal. Juga andai orang kafir boleh
diperangi karena kekafirannya dan ayat yang mengandung arti larangan menyerang atau
memusuhi mereka telah dihapus niscaya pemaksaan dalam beragama juga diperbolehkan, dan
hal ini sangat tidak benar karena di samping QS. Al-Baqarah [2]:256 secara tegas
menyatakan bahwa dalam beragama dilarang ada pemaksaan, juga fakta historis
menginformasikan bahwa dalam menyikapi tawanan perang orang-orang musyrik nabi
Muhammad Saw. sama sekali tidak memaksa salah seorang di antara mereka untuk masuk ke
dalam agama Islam. Andai nabi Muhammad Saw. memerangi orang-orang musyrik karena
kesyirikannya niscaya tawanan-tawanan tersebut dibunuh secara massal. Namun nyatanya
tawanan-tawanan tersebut diperlakukan dengan baik, sebagian ada yang dibebaskan dengan
tanpa mengganti apa-apa, dan sebagian ada yang dibebaskan dengan ganti pembebasan
tentara muslim yang ditahan, materi, dan yang lainnya.69
Sebagaimana yang terungkap di muka, bahwa peperangan dalam Islam dilakukan
semata-mata karena ada dua faktor, yakni untuk mempertahankan diri dari serangan orang-
orang yang memusuhinya dan menghentikan orang-orang yang berbuat kerusakan di bumi
(fitnah fi al-`ardl). Berkaitan dengan yang terakhir, yakni memerangi orang-orang yang
berbuat kerusakan di bumi para fuqahâ` menyebutnya dengan hurûb al-mashâlih (perang
demi menjaga stabilitas kepentingan umum).70
Perang demi menjaga stabilitas kepentingan
66 Abû Zahrah, Nazhâriyah al-Harb fî al-Islâm, hal. 33. 67 Abû Zahrah, Nazhâriyah al-Harb fî al-Islâm, hal. 34. 68 Ahmad bin Abdul Lathîf al-Khathîb, al-Nufahât „alâ Syarh al-Waraqât, Indonesia: al-Haramain, tt. hal. 76-
77. 69 Muhammad bin Jarîr al-Thabarî, Jâmi‟ al-Bayân fî Ta`wîl al-Qur`ân, vol. XXII, hal. 156-157. 70 Abû al-Hasan Alî al-Mâwardî, Al-Ahkâm al-Sulthâniyyah, Kairo: Dâr al-Hadîts, tt. hal. 52.
12 | Perang Demi Menjaga Hak Asasi Manusia_______________________________________Khoirul Anwar
umum ini dalam kitab kuning diklasifikasi menjadi tiga pembahasan, yaitu qitâl al-muhâribîn
(memerangi orang-orang yang berbuat kerusakan di bumi), qitâl al-bughâh (memerangi
orang-orang yang membangkang terhadap pemimpin kekuasaan yang adil), dan qitâl al-
murtaddîn (memerangi orang-orang murtad).
1. Qitâl al-Muhâribîn
Qitâl al-muhâribîn adalah memerangi orang-orang yang berbuat zalim, yakni orang-
orang yang melakukan pembunuhan terhadap orang-orang yang tidak bersalah dan menjarah
hartanya (al-shiyâl), dan orang-orang yang merampok atau membegal orang yang sedang
lewat di jalan (qath‟ al-tharîq).71
Terhadap orang-orang yang melakukan perbuatan lalim
tersebut QS. Al-Maidah [5]:32 menyatakan bahwa mereka harus diperangi hingga tidak lagi
melakukan kezaliman.
2. Qitâl al-Bughâh
Qitâl al-Bughâh adalah memerangi sekelompok muslim yang melakukan
pembangkangan terhadap pemimpin yang adil. Orang-orang seperti ini boleh diperangi
dengan syarat; 1). terdiri dari banyak orang, 2). keluar dari kekuasaan pemimpin yang adil,
yakni meninggalkan kepatuhan terhadapnya, 3). memiliki dasar interpretasi atas laku
pembangkangan yang dilakukan, sebagaimana penduduk Shiffîn menuntut Ali bin Abî Thâlib
dengan melakukan pembangkangan karena mereka meyakini bahwa sahabat Ali telah
mengetahui orang yang membunuh Utsmân bin „Affân. Pemahaman penduduk Shiffîn ini
merupakan interpretasi yang dapat dimungkinkan kebenarannya (muhtamil). Oleh karena itu
apabila pembangkangan yang dilakukannya tidak berdasarkan interpretasi atau berdasarkan
interpretasi namun tidak dapat dimungkinkan kebenarannya maka bukan dinamakan bughâh,
melainkan mu‟ânid (orang yang ingkar terhadap pemimpin).72
Terhadap kelompok
pembangkang ini QS. Al-Hujurât [49]:9 menyatakan bahwa mereka diperangi hingga
kembali patuh terhadap pemimpin yang adil.
3. Qitâl al-Murtaddîn.
Qitâl al-Murtaddîn adalah memerangi orang-orang murtad. Dalam literatur fiqh,
murtad adalah orang yang keluar dari agama Islam, baik sebab berkata kufur, melakukan
tindakan kufur, maupun punya niat kufur.73
Namun persoalan ini apabila dikembalikan pada
dalil-dalil yang dijadikan kaki pijak dalam merumuskan hukum memerangi orang-orang
murtad sesungguhnya persoalannya tidak sesederhana ini. Orang murtad diperangi bukan
karena mereka keluar dari Islam, tapi karena melakukan kerusakan di bumi (fasâd fi al-`ardl)
atau pembangkangan terhadap pemimpin yang adil.
Salah satu hadis yang biasa dijadikan landasan dalam pembahasan murtad antara lain
adalah hadis:
أخ راا ىشيم، ن د الع ي ان صهي ، : حدثنا يحيل ان يحيل ال ميمي، أاو اكر ان أاي شي ة، كالىما ن ىشيم، ال فظ ليحيل، ال حميد، ن أاس ان مالك، أن ااسا من رينة دموا ل رسول اهلل ص ل اهلل يو س م المدينة، فاج و ىا، ف ال لهم رسول اهلل ص ل اهلل
إن شئ م أن تخرجوا إلل إال الصد ة، ف شراوا من أل ااها أاوالها، ففع وا، فصحوا، ثم مالوا ل الر اء، ف وىم ارتد ا ن : يو س ماإلسالم، سا وا ذ د رسول اهلل ص ل اهلل يو س م، ف غ ذلك الن ي ص ل اهلل يو س م، ف عث في أثرىم فأتي اهم، ف طع أيديهم،
. أرج هم، سمل أ ينهم، تركهم في الحرة، ح ل ماتوا“Telah bercerita kepadaku Yahyâ bin Yahyâ al-Tamîmî dan Abû Bakar bin Abî Syaibah,
keduanya dari Hasyîm dan lafadznya dari Yahyâ. Yahyâ berkata, telah bercerita kepadaku
Hasyîm, dari Abdil „Azîz bin Shuhaib dan Humaid, dari Anas bin Mâlik, bahwa
71 Muhammad bin Qâsim al-Ghazî, Fath al-Qarîb, hal. 57-58. Zainuddîn al-Malîbârî, Fath al-Mu‟în, dalam Abî
Bakr „Utsmân al-Bakrî, Hâsyiyah I‟ânah al-Thâlibîn, hal. 277-292. 72 Muhammad bin Qâsim al-Ghazî, Fath al-Qarîb, hal. 58. 73 Muhammad bin Qâsim al-Ghazî, Fath al-Qarîb, hal. 58.
13 | Perang Demi Menjaga Hak Asasi Manusia_______________________________________Khoirul Anwar
sesungguhnya sekelompok orang dari tanah „Uraiynah datang kepada Rasulullah Saw. di
Madinah, lalu mereka tidak cocok dengan udara di tempat tersebut. Kemudian nabi Saw.
bersabda kepada mereka: “Jika kalian berkenan keluarlah bersama (pengembala) unta
zakat, lalu minumlah air susu unta dan air kencingnya.” Kemudian mereka melakukan hal
itu dan mereka kembali sehat. Mereka mendekati para pengembala dan kemudian
membunuhnya, mereka kemudian keluar dari Islam dan membawa beberapa unta milik
rasulullah Saw. Setelah kejadian itu sampai pada rasulullah Saw., rasulullah mengutus para
sahabatnya untuk mencari jejak mereka. Setelah mereka di bawa di hadapan rasulullah
Saw., rasulullah memotong tangan dan kaki mereka serta mencukil matanya. Kemudian nabi
Saw. meninggalkannya di tanah lapang hingga mati.”74
Sebagaimana terlihat secara jelas bahwa nabi Muhammad Saw. memerangi orang
murtad bukan karena ia keluar dari Islam, tapi karena melakukan kerusakan di bumi, yaitu
membunuh pengembala unta dan membawa lari unta-untanya. Hal ini masuk dalam bagian
qitâl al-muhâribîn.
Sedangkan hadis lainnya yang sering dipakai oleh fuqahâ dalam pembahasan murtad
adalah hadis:
. من ادل دينو فا وه: ال رسول اهلل ص ل اهلل يو س م: حدثنا إان يينة ن أيوب ن كرمة ن اان اس ال“Telah bercerita kepadaku Ibn „Uyainah dari Ayyûb, dari „Ikrimah dari Ibn „Abbâs, Ibn
„Abbâs berkata: Rasulullah Saw. telah bersabda: Barang siapa mengganti agamanya maka
bunuhlah.”
Menurut Jammâl al-Bannâ, hadis ini tidak dapat dijadikan kaki pijak referensial dalam
penggalian hukum karena hadis ini memiliki kecacatan ganda, yaitu cacat dari sisi sanad dan
matan. Dari sisi sanad hadis ini dengan beragam riwayatnya semuanya kembali kepada
„Ikrimah, padahal „Ikrimah sendiri sebagaimana yang dikatakan Imam Muslim (penulis kitab
Shahîh Muslim) tidak pernah meriwayatkan hadis satupun kecuali satu hadis tentang haji, dan
itupun riwayatnya ditopang oleh Sa‟îd bin Jabîr. Bahkan menurut penulis kitab al-Hadîts wa
al-Muhadditsûn, Muhammad Abû Zahw (pakar fikih yang dikenal sangat wira‟i), hadis
riwayat „Ikrimah tidak boleh dijadikan sumber hukum karena „Ikrimah dikenal tukang
berbohong, berpikiran seperti Khawârij dan sering menerima pemberian dari pemimpin yang
korup. Sedangkan dari sisi kandungan matan hadis ini menyimpan beberapa keganjilan,
antara lain kandungan arti “ sangat umum, yakni tidak terkhusus bagi orang yang ”من ادل دينو
awalnya beragama Islam kemudian berpindah ke agama lain, tapi mencakup orang yang
asalnya beragama Kristen, Yahudi, dan yang lainnya berpindah ke Islam, sehingga makna
yang dikandungnya tidak jelas. Karena bagaimana mungkin agama Islam melarang orang
Yahudi atau Nashrani berpindah ke agama Islam, jelas muhal.75
Al-hasil bahwa sesungguhnya peperangan dalam Islam, baik perang dalam rangka
mempertahankan diri dari serangan orang-orang kafir yang memusuhi maupun perang dalam
rangka menghadapi orang-orang yang berbuat kerusakan di bumi, tidak lain adalah demi
menjaga hak asasi manusia.
C. Etika Perang Dalam Islam
Sebagaimana diungkapkan di muka bahwa perang dalam Islam dilakukan semata-
mata untuk menjaga hak asasi manusia, yaitu untuk memberangus orang-orang yang
74 Muslim bin al-Hajjâj Abû al-Hasan al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Shahîh Muslim, Dâr Ihyâ` al-Turâts al-„Arabî,
ttp. tt. vol. III, hal. 1296. 75 Lihat Jammâl al-Bannâ, Hurriyah al-Fikr wa al-I‟tiqâd fî al-Islâm, Kairo: Dâr al-Fikr al-Islâmî, tt. hal. 25-28.
14 | Perang Demi Menjaga Hak Asasi Manusia_______________________________________Khoirul Anwar
melakukan kerusakan di atas bumi. Oleh karena itu dalam peperangan juga harus
memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan, tidak serta merta bebas melakukan tindakan yang
merendahkan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini sebagaimana yang diteladankan oleh nabi
Muhammad Saw., ketika para sahabat sudah tidak sabar ingin menumpas orang-orang yang
menganiaya umat Islam, nabi Muhammad Saw. berpesan:
ال ت منوا ل اء العد ، إذا ل ي موىم فاص ر ا“Janganlah kalian berharap bertemu musuh, apabila kalian bertemu dengannya maka
bersabarlah.”76
Namun, apabila terpaksa harus melakukan peperangan sebelum berangkat nabi
Muhammad Saw. berdoa:
ال هم رانا راهم احن ادك ىم ادك اواصينا اواصيهم ايدك اى مهم ااصراا يهم“Ya Allah, Tuhan kami dan Tuhan mereka (para musuh), kami adalah hamba-Mu dan
mereka juga hamba-Mu, kemenangan kami dan kemenangan mereka ada di tangan-Mu.
Kalahkanlah mereka dan berilah kami pertolongan untuk mengalahkan mereka.”77
Dalam do‟a ini sangat tercermin bahwa nabi Muhammad Saw. sangat menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Penyebutan bahwa para musuh juga hamba Allah merupakan
pengakuan lapang dari diri nabi Saw. atas kemanusiaan mereka, mereka tetap dianggap
sebagai hamba Allah seperti dirinya, nabi Saw. tidak menyebut mereka dengan nama yang
merendahkan, tapi disejajarkan dengan dirinya, yakni hamba Allah.
Ketika nabi Muhammad Saw. mengutus para sahabatnya ke Yaman yang dipimpin
oleh Mu‟âdz bin Jabal, beliau berpesan:
: ال ت وىم ح ل تد وىم، ف ن أاوا فال ت ات وىم، ح ل ي دأ كم، ف ن ادأ كم، فال ت ات وىم ح ل ي وا منكم يال ثم أر ىم ذلك، ولوا لهم ىل إلل خير من ىذا س يل، فألن يهدى اهلل ل يديك رجال احدا خير مما ط عت يو الشمس غرات
“Janganlah kalian memerangi mereka (penduduk Yaman) hingga kalian berdakwah
kepadanya. Apabila mereka menolak maka janganlah kalian perangi hingga mereka
mengawali memerangi kalian. Apabila mereka telah mengawali memerangi kalian maka
janganlah kalian memeranginya hingga mereka membunuh salah seorang di antara kalian,
perlihatkanlah jasad orang yang terbunuh kepada mereka, dan katakanlah kepadanya,
„apakah ini jalan yang terbaik, sungguh Allah kelak akan menunjukkanmu bahwa nyawa satu
orang lebih baik dari pada tempat di mana matahari terbit dan terbenam.‟”78
Melalui pesan ini dapat diketahui bahwa sesungguhnya nabi Saw. tidak menginginkan
peperangan, peperangan dilakukan semata-mata sebagai alternatif terakhir dalam menjaga
hak asasi manusia. Setiap kali bala tentara perang nabi Saw. hendak berangkat memerangi
orang-orang yang menganiaya beliau dan sahabatnya, nabi berpesan untuk selalu menebar
kasih sayang kepada umat manusia, termasuk lawan-lawan yang akan dihadapinya. Bagi nabi
Saw. menaklukkan para musuh dengan menghentikan tindakan zalimnya lebih baik
ketimbang menaklukkannya dengan memboyong anak-anak dan istri-istrinya.79
76 Abû Zahrah, Khâtam al-Nabiyyîn Shallallah „Alaih wa Sallam, Kairo: Dâr al-Fikr al-„Arabî, 1425 H. vol. II, hal. 515. 77 Abû al-Qâsim al-Thabrânî, al-Du‟â` li al-Thabrânî, Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, cet. I, 1413 H. hal.
327. 78 Abû Zahrah, Khâtam al-Nabiyyîn Shallallah „Alaih wa Sallam, vol. II, hal. 516. 79 Abû Zahrah, Khâtam al-Nabiyyîn Shallallah „Alaih wa Sallam, vol. II, hal. 516. Lihat juga dalam Muhammad
bin Ahmad al-Sarkhasî, Syarh al-Siyar al-Kabîr, al-Syirkah al-Syarqiyyah, 1971, vol. I, hal. 79.
15 | Perang Demi Menjaga Hak Asasi Manusia_______________________________________Khoirul Anwar
Dalam sabdanya nabi Muhammad Saw. menyatakan bahwa dirinya adalah nabi
penebar kasih sayang dan nabi penebar kebencian ( 80.( وا وىب املرمحة، و وا وىب امللحمة Kasih sayang dan
kebencian adalah dua sikap yang saling berkelindan, artinya terhadap tindakan manusia sikap
nabi Saw. terbelah menjadi dua, apabila tidak mengasihi maka membenci, namun kebencian
yang dilakukannya merupakan bagian dari sikapnya yang penyayang. Nabi Saw. sangat
membenci manusia yang bertindak lalim, berlaku zalim dan merampas hak asasi manusia,
sehingga orang-orang yang seperti ini dienyahkan oleh nabi Saw. Sikap demikian
sesungguhnya bagian dari sikap kasih sayang nabi Saw. terhadap manusia itu sendiri,
singkatnya sikap membenci demi menyayangi.
Sahabat Anas menginformasikan bahwa ketika nabi Muhammad Saw. mengutus
sahabatnya untuk berperang beliau bersabda:
.ااط وا ااسم اهلل ال ت وا شيخا فاايا ال طفال صغيرا ال امرأة، ال تغ وا، ضموا غنائمكم، أص حوا أحسنوا إن اهلل يح المحسنين“Berangkatlah dengan menyebut nama Allah, janganlah kalian memerangi orang-orang
yang sudah tua renta, anak-anak yang masih kecil, dan perempuan. Dan janganlah kalian
melampaui batas, kumpulkanlah harta jarahan kalian, berbuat baiklah sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berbuat baik.”81
Itu semua merupakan pesan-pesan yang disampaikan nabi Muhammad Saw. dalam
melakukan peperangan terhadap orang-orang yang memusuhinya. Melalui hadis-hadis
tersebut para ulama merumuskan beberapa larangan yang harus diperhatikan dalam
berperang, yaitu:
1. Larangan membunuh pemimpin agama dan orang-orang yang sedang beribadah
Para ulama menyatakan bahwa dalam peperangan dilarang membunuh para pemimpin
agama dan orang-orang yang sedang beribadah. Larangan ini berdasarkan pada sabda Nabi
Muhammad Saw:
ال ت وا الولدان، ال أصحاب الصوامع“Janganlah kalian membunuh anak-anak dan orang-orang yang berada di Gereja.”
82
Juga pesan yang disampaikan Abû Bakar ketika mengirim pasukan perangnya ke
Syam, di mana di daerah tersebut terdapat tempat ibadah umat Yahudi, Nashrani, dan tempat
ibadah umat lainnya. Kepada tentara perangnya, Yazîd bin Abî Sufyân, „Amr bin al-„Âsh,
dan Syurahbîl ibn Hasanah Abu Bakar berpesan:
ال ت وا الولدان ال النساء ال الشيوخ س جد ن أ واما ح سوا أافسهم إلل الصوامع فد وىم ما ح سوا لو أافسهم“Janganlah kalian membunuh anak-anak, perempuan, dan orang tua. (Di Syam) kalian akan
menemukan kaum yang menahan dirinya di Gereja, tinggalkanlah mereka, biarkan mereka
beribadah.”83
Namun menurut pendapat minoritas dalam madzhab Syafi‟i orang-orang yang berada
di Gereja dan para pendeta boleh dibunuh, hal ini berdasarkan pada QS. Al-Taubah [9]:5
yang menyatakan bahwa orang-orang musyrik di manapun ia berada harus diperangi ( فاقيتيلوا 80 Abû Zahrah, Khâtam al-Nabiyyîn Shallallah „Alaih wa Sallam, vol. II, hal. 516. 81 Muhammad bin Yûsuf al-Shâlihî, Subul al-Hudâ wa al-Rasyâd, Beirut-Libanon: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah,
cet. I, 1993, vol. VI, hal. 7. 82 Abû Bakr al-Baihaqî, al-Sunan al-Shaghîr li al-Baihaqî, Pakistan: Jâmi‟ah al-Dirâsât al-Islâmiyyah, cet. I,
1989, vol. III, hal. 386. 83 Abû Zakariyyâ al-Nawawî, Kitâb al-Majmû‟ Syarh al-Muhadzdzab li al-Syairâzî, Jeddah: Maktabah al-
Irsyâd, tt. vol. XXI, hal. 154.
16 | Perang Demi Menjaga Hak Asasi Manusia_______________________________________Khoirul Anwar
Melalui pemahaman tekstual terhadap ayat ini pendapat minoritas dalam .(المشركني حيث وجدتوه
madzhab Syâfi‟î ini tidak membedakan antara musyrikin yang boleh dibunuh dan yang tidak.
Bagi pendapat ini semua orang musyrik yang tidak mengikat perjanjian damai dengan umat
Islam (kâfir harbî) maka di manapun keberadaannya boleh diperangi. Menurut para ulama
pendapat ini sangat lemah karena sebagaimana diungkap di muka bahwa perintah memerangi
semua orang musyrik yang dinyatakan dalam QS. Al-Taubah [9]:5 hanya tertuju pada orang-
orang musyrik yang ikut berperang. Sehingga bagi orang musyrik yang tidak ikut serta dalam
peperangan seperti yang berada di tempat ibadah maka haram diperangi.
2. Larangan membunuh perempuan, anak-anak, dan orang yang sudah tua renta
Dalam peperangan, perempuan, anak-anak, dan orang yang sudah tua renta dilarang
dibunuh. Ibnu Umar menginformasikan bahwa rasulullah Saw. melarang membunuh
perempuan dan anak-anak. Setiap kali selesai berperang nabi Muhammad Saw. meneliti di
tempat bekas peperangan dilangsungkan, suatu saat nabi Saw. menjumpai jasad perempuan
terbunuh, lalu nabi Saw. marah dan bersabda: “Apakah perempuan ini ikut berperang?
Temuilah Khâlid, katakan kepadanya, janganlah membunuh pekerja, perempuan, dan anak-
anak.” Ibnu Ka‟b Ibn Mâlik dari pamannya menceritakan, bahwa Nabi Muhammad Saw.
pada saat mengutus Ibnu Abî al-Haqîq di Khaibar beliau melarang membunuh perempuan
dan anak-anak.84
Sedangkan hukum membunuh waria (al-khuntsâ al-musykil) dalam peperangan juga
tidak diperbolehkan apabila identitas kelaminnya tidak jelas. Namun menurut madzhab
Syâfi‟î, perempuan, anak-anak, dan waria apabila ikut serta berperang maka boleh dibunuh.
Pendapat ini berdasarkan pada hadis nabi Saw. yang diinformasikan Ibnu Abbâs, bahwa
setelah perang Hunain nabi Muhammad Saw. menyaksikan jasad perempuan mati terbunuh.
Nabi Saw. bertanya, “siapa yang membunuh perempuan ini?” Lalu salah seorang sahabat
mengaku bahwa yang membunuh adalah dirinya karena perempuan tersebut pada saat
peperangan berlangsung ikut menyerang dirinya. Atas jawaban ini nabi Saw. diam dan tidak
meninggalkan pesan.85
Demikian pula dengan orang-orang yang sudah tua renta, mereka dilarang dibunuh,
namun apabila mereka ikut serta dalam berperang, baik secara langsung maupun tidak, yakni
dengan memberikan strategi jalannya peperangan maka boleh dibunuh. Hal ini berdasarkan
pada hadis yang menginformasikan bahwa salah seorang sahabat nabi Saw. yang bernama
Rabî‟ah bin Rafî‟ al-Salamî membunuh Duraîd bin al-Shimmah, orang yang sudah tua renta
berusia 155 tahun karena Duraid ikut mengatur pasukan Hawâzin yang dipimpin oleh Mâlik
bin „Auf. Atas pembunuhan ini Nabi Saw. tidak mengingkarinya.86
3. Larangan membunuh orang yang sedang bekerja
Para ulama juga menyatakan, bahwa dalam peperangan dilarang membunuh orang-
orang yang sedang bekerja. Larangan ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan Al-Sakhtiyânî
bahwa dalam peperangan nabi Muhammad Saw. melarang membunuh para pekerja (al-
„usafâ`) dan budak (al-wushafâ`).87
4. Larangan merusak lingkungan
Di antara larangan yang harus dihindari dalam peperangan adalah merusak bangunan,
memotong pepohonan, memotong atau membakar kurma, dan yang lainnya. Larangan
84 Abû Zakariyyâ al-Nawawî, Kitâb al-Majmû‟ Syarh al-Muhadzdzab li al-Syairâzî, vol. XXI, hal. 154. 85 Abû Zakariyyâ al-Nawawî, Kitâb al-Majmû‟ Syarh al-Muhadzdzab li al-Syairâzî, vol. XXI, hal. 154-155.
Lihat juga dalam Abû al-Hasan Alî al-Mâwardî, Al-Ahkâm al-Sulthâniyyah, hal. 77. 86 Abû Zakariyyâ al-Nawawî, Kitâb al-Majmû‟ Syarh al-Muhadzdzab li al-Syairâzî, vol. XXI, hal. 157 dan 159.
Abû al-Hasan Alî al-Mâwardî, Al-Ahkâm al-Sulthâniyyah, hal. 77. 87 Abû Bakr al-Baihaqî, Ma‟rifah al-Sunan wa al-Âtsâr, Beirut: Dâr Qutaibah, cet. I, 1991, vol. XIII, hal. 251.
Lihat juga Abû Bakr al-Baihaqî, al-Sunan al-Shaghîr li al-Baihaqî, vol. III, hal. 386.
17 | Perang Demi Menjaga Hak Asasi Manusia_______________________________________Khoirul Anwar
merusak lingkungan ini berdasarkan pada pesan Abu Bakar yang disampaikan kepada Yazîd
bin Abî Sufyân. Abu Bakar mengatakan:
الت ل امرأة الص يا الشيخا ك يرا الىرما الت طع شجرا مثمرا التخرب امرا، التع رن شاة الاعيرا إاللمأك و، : إاي موصيك اعشر خالل . التع رن اخال التحر و التغ ل التج ن
“Aku berpesan kepadamu dengan sepuluh macam; janganlah engkau membunuh perempuan,
anak-anak, orang tua, dan orang pikun. Dan janganlah engkau memotong pohon yang
berbuah, janganlah merobohkan bangunan, janganlah engkau menyembelih kambing dan
unta kecuali untuk dimakan, janganlah engkau memotong kurma, dan membakarnya. Dan
janganlah khianat dan takut.”88
Menurut As-Syafi‟î, dalam peperangan dilarang membunuh binatang ternak milik
musuh kecuali untuk dimakan, yakni dijadikan harta jarahan (ghanîmah), bukan bertujuan
memancing emosi musuh. Karena andai membunuh binatang milik musuh dengan tujuan
supaya musuh terpancing emosi niscaya membunuh anak-anak mereka diperbolehkan, karena
membunuh anak jauh lebih cepat membakar emosi ketimbang membunuh binatangnya. Tapi
hal ini tidak diperbolehkan. Namun menurut Abû Hanîfah membinasakan binatang milik
musuh apabila bertujuan supaya musuh menjadi lemah seiring dengan habisnya binatang
ternak yang mereka miliki maka hukumnya diperbolehkan.89
Demikianlah bahwa pada intinya peperangan dalam Islam hanya ditujukan kepada
orang-orang yang memusuhi, di luar itu walaupun seagama dan sebangsa dengan orang-orang
yang diperangi selama orang-orang tersebut tidak ikut serta menyerang maka hukum
memeranginya tidak diperbolehkan, karena perang dalam Islam bukan untuk memaksa
seseorang untuk masuk ke agama Islam, juga bukan bermaksud sebagai ekspansi kekuasaan,
tapi untuk mengenyahkan orang-orang yang berbuat kerusakan di atas bumi (daf‟ al-fasâd fi
al-`ardl). Perang dalam Islam memiliki beberapa etika yang harus diperhatikan oleh tentara-
tentara muslim, etika-etika tersebut pada intinya adalah tetap menjaga nilai-nilai humanisme,
musuh boleh diperangi hanya di medan pertempuran, di luar itu tidak diperbolehkan, apabila
dalam pertempuran musuh menyerah maka mereka dilarang dibunuh. Konon, Umar bin
Khathab memecat Khalid bin Walid dari jabatannya sebagai pimpinan perang (al-qâ`id)
karena Khalid bin Walid dalam peperangan sering melakukan pembunuhan tolol. Umar
menyatakan, “sesungguhnya pada pedang Khalid terdapat ketololan ( 90”.(إ يف سيف خالد لره ا Di
samping itu perang dalam Islam juga tidak boleh merugikan pihak musuh, seperti merusak
bangunan tempat tinggalnya, menebas pepohonan, membakar tanaman, membunuh binatang
ternak, dan hak kepemilikan lainnya.
Oleh karena itu dalam menggunakan senjata perang dilarang menggunakan senjata
yang dapat membunuh atau melukai orang-orang yang haram diperangi yang berada disekitar
musuh, juga dilarang menggunakan senjata yang dapat merusak lingkungan. Dalam hadisnya
diinformasikan bahwa nabi Saw. ketika perang melawan penduduk Syam melarang sahabat-
sahabatnya menggunakan manjanîq (alat lempar batu besar, sekarang bom) untuk
membongkar benteng musuh di Tsaqîf karena andai benteng tersebut diserang dengan alat
tersebut nabi Saw. memperkirakannya alat tersebut dapat merusak lingkungan sekitarnya
yang tidak boleh dirusak.91
Namun menurut al-Syâfi‟î, apabila musuh membuat tameng di
gunung, benteng, parit, tumbuh-tumbuhan, atau yang lainnya sekiranya sulit untuk dijangkau
88 Abî Zakariyyâ al-Nawawî, Kitâb al-Majmû‟ Syarh al-Muhadzdzab li al-Syairâzî, vol. XXI, hal. 158. 89 Abû al-Hasan Alî al-Mâwardî, al-Hâwî al-Kabîr fî Fiqh Madzhab al-Imâm al-Syâfi‟î, Beirut-Linanon: Dâr al-
Kutub al-„Ilmiyyah, cet. I, 1999, vol. XIV, hal. 190-191. 90 Abû Zahrah, Nazhâriyah al-Harb fî al-Islâm, hal. 21. 91 Muhammad bin Ahmad al-Sarkhasî, Syarh al-Siyar al-Kabîr, vol. I, hal. 44.
18 | Perang Demi Menjaga Hak Asasi Manusia_______________________________________Khoirul Anwar
maka diperbolehkan menyerangnya dengan menggunakan senjata yang dapat memberikan
dampak ledakan lebih besar, seperti dengan melempar beberapa batu besar (majânîq), batu
sedang („arrâdât), api, kalajengking, ular, dan senjata-senjata lainnya yang dapat
melumpuhkannya walaupun di sekitar musuh terdapat orang-orang yang haram dibunuh
seperti anak-anak, perempuan, dan pendeta. Dalam memperkuat pendapatnya al-Syâfi‟î
berhujjah bahwa rasulullah Saw. pada saat memerangi penduduk Thâ`if beliau menggunakan
manjanîq, padahal di tempat tersebut terdapat perempuan dan anak-anak.92
Epilog
Demikianlah penghormatan Islam terhadap manusia tidak hanya dalam keadaan
damai, tapi dalam keadaan perang pun Islam tetap memuliakannya karena sesungguhnya
syari‟at Islam sendiri diturunkan untuk menegakkan hak asasi manusia yang meliputi hak
hidup, hak memperoleh kemerdekaan, hak memperoleh persamaan dan keadilan, hak
memperoleh penghormatan, hak memperoleh ilmu pengetahuan, dan hak memiliki.
Ketika nabi Muhammad Saw. mendapatkan wahyu ketuhanan dan kemudian
menyampaikan kepada masyarakatnya, dan hal ini merupakan hak bagi nabi Saw. untuk
berpendapat dalam persoalan teologi di tengah-tengah masyarakat penyembah berhala
(musyrikîn), seketika itu pula musyrik Quraisy memaksa nabi Muhammad Saw. untuk tidak
berpendapat lain dalam persoalan ketuhanan. Bagi musyrikin Tuhan adalah berhala dan
berjumlah banyak, sementara nabi Saw. berpendapat lain, yaitu Tuhan adalah Yang Maha
Esa, tidak dilahirkan dan tidak melahirkan. Pemasungan kebebasan berfikir yang dilakukan
orang-orang musyrik kepada nabi Saw. kemudian berubah menjadi kekerasan fisik, nabi
Muhammad Saw. dan pengikutnya diserang, hendak dibunuh hanya karena berwacana dan
bertindak tidak sesuai dengan keumuman kebiasaan masyarakat saat itu. Oleh karena itu
berkelindan dengan persoalan ini Allah menurunkan QS. al-Baqarah 256 untuk menegaskan
bahwa sesungguhnya manusia memiliki kemerdekaan untuk berpendapat. Sehingga nabi
Muhammad Saw. dan sahabatnya melakukan peperangan melawan kuffar Quraisy tidak lain
bertujuan untuk menegakkan kebebasan berfikir dan berpendapat yang menjadi hak setiap
manusia.
Di tengah-tengah masyarakat yang memperlakukan perempuan secara tidak
manusiawi, setiap kali lahir anak perempuan maka dikubur hidup-hidup, ketika suami
perempuan meninggal maka perempuan dapat diwariskan kepada anak atau saudaranya,
perempuan dipaksa untuk melacur, perempuan dianggap bodoh, tidak punya hak menjadi
pemimpin, baik pemimpin keluarga maupun masyarakatnya, dan sederet perlakuan keji
lainnya terhadap perempuan, nabi Muhammad Saw. tampil membela hak-hak perempuan
sebagai manusia. Bagi nabi Saw. perempuan memiliki hak hidup (QS. Al-Nahl 58-59),
perempuan memiliki martabat (QS. Al-Nisa 19), perempuan memiliki hak yang sama seperti
kaum laki-laki (QS. Ghafir 40), mengurus keluarga, membina masyarakat, dan yang lainnya.
Namun tindakan nabi Muhammad Saw. yang berdasarkan bimbingan wahyu ini justru ditolak
secara kasar oleh musyrik Quraisy hingga akhirnya terjadi peperangan.
Di tengah kondisi sosial ekonomi masyarakat Makkah yang hanya dikuasai oleh kaum
borjuis yang sangat menindas kaum papa dengan mempraktikkan transaksi ekonomi yang
eksploitatif, nabi Muhammad Saw. melalui wahyu ketuhanan yang telah beliau terima tampil
membela kaum proletar yang tertindas dengan menyerukan penghapusan praktik-praktik
lintah darat (QS. al-Baqarah 219). Namun seruan nabi Muhammad Saw. ini justru mendapat
kecaman dan serangan fisik dari musyrik Makkah dan akhirnya terjadilah peperangan. Begitu
juga dengan tindakan-tindakan nabi Saw. lainnya yang pada intinya bertujuan membebaskan
92 Abû „Abdillah Muhammad bin Idrîs al-Syâfi‟î, Al-Umm, Beirut: Dâr al-Ma‟rifah, 1990, vol. IV, hal. 257.
19 | Perang Demi Menjaga Hak Asasi Manusia_______________________________________Khoirul Anwar
manusia dari tindakan-tindakan zalim kuffar Quraisy bukan direspon positif, tapi malah
ditolak dan diserang.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa peperangan yang dilakukan nabi
Muhammad Saw. adalah demi memperjuangkan hak asasi manusia, sementara tujuan yang
hendak digapai oleh kafir Quraisy adalah sebaliknya, yakni menindas manusia. Oleh karena
itu para ulama penganggit kitab kuning merumuskan bahwa perang dalam Islam dilakukan
semata-mata hanya untuk mempertahankan diri dari serangan musuh (daf‟ al-i‟tidâ) dan
untuk mengenyahkan orang-orang yang berbuat kerusakan di bumi (daf‟ al-fasâd fi al-`ardl).
Apabila penyerangan dan kerusakan di bumi masih bisa dihadapi dengan cara-cara selain
berperang, atau kezaliman tersebut sudah berhenti maka perang tidak diperbolehkan dan
harus segera diakhiri. Wallahu A‟lam bi al-Shawâb.
*Pernah disampaikan di Universitas Wahid Hasyim (UNWAHAS) Semarang.
**Khoirul Anwar, alumnus Pondok Pesantren Lirboyo Kediri Jatim.
Kini aktif di Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang.
Email: [email protected] Twitter: @khoirulanwar_88
20 | Perang Demi Menjaga Hak Asasi Manusia_______________________________________Khoirul Anwar
DAFTAR PUSTAKA
„Alâ` al-Dîn al-Kâsânî al-Hanafî, Badâ`i‟ al-Shanâ`i‟ fî Tartîb al-Syarâ`i‟, Dâr al-Kutub al-
„Ilmiyyah, cet. II, 1986.
Abdul Lathîf „Âmir, Ahkâm al-Usrâ wa al-Sabâyâ fî al-Hurûb al-Islâmiyyah, Beirut: Dâr al-
Kutub al-Libnânî, cet. I, 1986.
Abdul Malik bin Ibrâhîm al-Naisâbûrî, Syaraf al-Mushthafâ, Makkah: Dâr al-Basyâ`ir al-
Islâmiyyah, cet. I, 1424.
Abdul Muta‟âl al-Sha‟îdî, al-Siyâsah al-Islâmiyyah fî „Ahd al-Khulafâ` al-Râsyidîn, Kairo:
Dâr al-Fikr al-„Arabî, tt.
Abdul Wanîs Syatâ dkk, al-„Alâqât al-Dauliyyah fî al-Islâm Waqt al-Harb; Dirâsah li al-
Qawâ‟id al-Munadzdzamah li Sair al-Qitâl, Kairo: al-Ma‟had al-„Âlimî li al-Fikr
Islâmî, 1981.
Abû „Abdillah Muhammad bin Idrîs al-Syâfi‟î, Al-Umm, Beirut: Dâr al-Ma‟rifah, 1990. Abû al-Fidâ` Ibn Katsîr, Al-Sîrah al-Nabawiyyah, Beirut-Libanon: Dâr al-Ma‟rifah, 1976.
__________________, Al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Libanon: Dâr al-Ma‟rifah, 1976.
__________________, Al-Fhusûl fî al-Sîrah, Mu`assasah „Ulûm al-Qur`ân, cet. III, 1403.
__________________, Tafsîr al-Qur`ân al-„Adzîm, Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, cet. I,
tt.
Abû al-Hasan Alî al-Mâwardî, Al-Ahkâm al-Sulthâniyyah, Kairo: Dâr al-Hadîts, tt.
_______________________, Al-Hâwî al-Kabîr fî Fiqh Madzhab al-Imâm al-Syâfi‟î, Beirut-
Linanon: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, cet. I, 1999.
Abû al-Qâsim al-Thabrânî, al-Du‟â` li al-Thabrânî, Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, cet. I,
1413 H.
Abû Bakr al-Baihaqî, Al-Sunan al-Shaghîr li al-Baihaqî, Pakistan: Jâmi‟ah al-Dirâsât al-
Islâmiyyah, cet. I, 1989.
_________________, Ma‟rifah al-Sunan wa al-Âtsâr, Beirut: Dâr Qutaibah, cet. I, 1991. Abû Dâwud al-Sijistânî, Masâ`il al-Imâm Ahmad, Mesir: Maktabah Ibn Taimiyyah, cet. I,
1999.
___________________, Sunan Abî Dâwud, Beirut: al-Maktabah al-„Ashriyyah, tt. Abû Ishâq al-Fazârî, Al-Siyar, Beirut: Mu`assasah al-Risâlah, cet. I, 1987.
Abû Muhammad al-Ashbihânî, Akhlâq al-Nabiy wa Âdâbuh, Dâr al-Muslim, cet. I, 1998.
Abû Zahrah, Khâtam Al-Nabiyyîn Shallallah „Alaih wa Sallam, Kairo: Dâr al-Fikr al-„Arabî,
1425 H. _________, Nadzariyah al-Harb fî al-Islâm, Kairo: Dirâsât Islâmiyyah, cet II, 2008.
Abû Zakariyyâ al-Nawawî, Kitâb al-Majmû‟ Syarh al-Muhadzdzab li al-Syairâzî, Jeddah:
Maktabah al-Irsyâd, tt.
_____________________, Riyâdl al-Shâlihîn, Mesir: Thab‟ah al-Yûsufiyyah, 1960. Ahmad „Abdurrahman, Al-Islâm wa al-Qitâl, Dâr al-Syarq al-Ausath, tt.
Ahmad bin Abdul Lathîf al-Khathîb, Al-Nufahât „alâ Syarh al-Waraqât, Indonesia: al-
Haramain, tt. Ahmad Mukhtar, Shuwar min Hayâh al-Harb wa al-Jihâd fî al-Andalus, Mansya`ah al-
Ma‟ârif, cet. I, 2000.
Ali bin Ibrâhîm al-Halbî, Al-Sîrah al-Halbiyah; Insân al-„Uyûn fî Sîrah al-Amîn al-Ma`mûn,
Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, cet. II, 1427.
Al-Muzanî, Mukhtashar al-Muzanî, Beirut: Dâr al-Ma‟rifah, 1990.
Al-Râghib al-Ashfihânî, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur`ân, Damaskus: Dâr al-Qalam, cet. I,
1412 H.
21 | Perang Demi Menjaga Hak Asasi Manusia_______________________________________Khoirul Anwar
Bâsîn Suwaid, Hurûb al-Quds fî al-Târîkh al-Islâmî wa al-„Arabî, Beirut-Libanon: Dâr al-
Multaqâ, cet. I, 1997.
Hamdî al-Kanîsî, Al-Harb Tharîq al-Salâm, Kairo: Majallah al-Nahâr, 2005.
Hasan bin Muhammad al-Mâlikî, Inârah al-Dujâ fî Maghâzî Khair al-Warâ Shallallah „Alaih
wa Âlih wa Sallam, Jeddah: Dâr al-Minhâj, cet. II, 1426.
Husain „Athwân, Riwâyah al-Syâmiyyîn li al-Maghâzî wa al-Siyar fî al-Qarnain al-Awwal
wa al-Tsânî al-Hijrain, ttp. Dâr al-Jîl, tt.
Husain bin Muhammad Mûsâ, Fa‟âliyah al-Qiyâdah fî al-Islâm; al-Ghazawât wa al-Rasâ`il
wa Fann al-Ta‟âmul, tp. 1432.
Ibn Hisyâm, Al-Sîrah al-Nabawiyyah, Beirut-Libanon: Dâr Ihyâ al-Turats al-„Arabî, 1997. Ibn Hubaisy, Kitâb al-Ghazawât, Kairo: Dâr al-„Ulûm, cet. I, 1983.
Ibn Mandzûr al-Anshârî, Lisân al-„Arab, Beirut: Dâr Shâdir, 1414 H. Ibn Rusyd al-Hafîdz, Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid, Kairo: Dâr al-Hadîts,
2004.
Ibn Syihâb al-Zuhrî, Al-Maghâzî al-Nabawiyyah, Damaskus: Dâr al-Fikr, 1981.
Ibnu Hisyâm, Al-Sîrah al-Nabawiyyah, Mesir: Syirkah Maktabah wa Mathba‟ah Mushthafâ
al-Bâbî al-Halbî, cet. II, 1955.
Jalâluddîn al-Mahallî dan Jalâluddîn al-Suyûthî, Tafsîr al-Jalâlain, Kairo: Dâr al-Hadîts, cet.
I, tt.
Jammâl al-Bannâ, Hurriyah al-Fikr wa al-I‟tiqâd fî al-Islâm, Kairo: Dâr al-Fikr al-Islâmî, tt. Kamâl „Adwân, Al-Qitâl Huwa al-Tharîq, tp. tt.
Mâlik bin Anas, Al-Mudawwanah, Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, cet. I, 1994.
Muhammad bin Ahmad al-Sarkhasî, Syarh al-Siyar al-Kabîr, al-Syirkah al-Syarqiyyah, 1971.
Muhammad bin Hibbân, Al-Sîrah al-Nabawiyyah wa Akhbâr al-Khulafâ`, Beirut: al-Kutub
al-Tsaqâfiyah, cet. III, 1417.
Muhammad bin Isâ al-Turmudzî, Al-Syamâ`il al-Muhammadiyyah, Beirut: Dâr Ihyâ` al-
Turâts al-„Arabî, tt.
Muhammad bin Ishâq, Sîrah Ibn Ishâq, Beirut: Dâr al-Fikr, cet. I, 1978.
Muhammad bin Ismâ‟îl al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, Dâr Thûq al-Najâh, cet. I, 1422 H. Muhammad bin Jarîr al-Thabarî, Jâmi‟ al-Bayân fî Ta`wîl al-Qur`ân, Mu`assasah al-Risâlah,
cet. I, 2000. Muhammad bin Nâshir al-Ja‟wân, Al-Qitâl fî al-Islâm; Ahkâmuh wa Tasyrî‟âtuh Dirâsah
Muqâranah, tp. cet. II, 1983.
Muhammad bin Qâsim al-Ghazî, Fath al-Qarîb, Semarang: Thaha Putra, tt.
Muhammad bin Umar al-Wâqidî, Al-Maghâzî, Beirut: Dâr al-`A‟lamî, cet. III, 1989.
Muhammad bin Umar Nawawî al-Jâwî al-Bantanî, Mirâh Labîd li Kasyf Ma‟nâ al-Qur`ân al-
Majîd, Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, cet. I, 1417 H.
Muhammad bin Yûsuf al-Shâlihî, Subul al-Hudâ wa al-Rasyâd, Beirut-Libanon: Dâr al-
Kutub al-„Ilmiyyah, cet. I, 1993. Muhammad Fu`âd Abdul Bâqî, Al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâdz al-Qur`ân al-Karîm, Kairo:
Dâr al-Hadîts, 1364 H. Muhammad Khair Haikal, Al-Jihâd wa al-Qitâl fî al-Siyâsah al-Syar‟iyyah, Dâr Ibn Hazm, tt.
Muhammad Ma‟shûm bin „Alî, al-Amtsilah al-Tashrîfiyyah, Surabaya: Maktabah wa
Mathba‟ah Sâlim Nabhân, tt. Muhammad Sayyid Thanthâwî, Al-Sarâyâ al-Harbiyyah fî al-„Ahd al-Nabawiy, Kairo: al-
Zuhrâ` li al-I‟lâm al-„Arabî, 1990.
Mushthafâ Mahmûd, Al-Islâm al-Siyâsî wa al-Ma‟rakah al-Qadîmah, Mesir: al-Syirkah al-
Mishriyyah, tt.
Muslim bin al-Hajjâj Abû al-Hasan al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Shahîh Muslim, Dâr Ihyâ` al-
Turâts al-„Arabî, ttp. tt.
22 | Perang Demi Menjaga Hak Asasi Manusia_______________________________________Khoirul Anwar
Nâdiyah Husnî Shaqr, Falsafah al-Harb fî al-Islâm, Kairo: Wuzârah al-Auqâf al-Majlis al-
A‟lâ li al-Syu`ûn al-Islâmiyyah, 1990.
Râghib al-Sarjânî, Qishshah al-Hurûb al-Shalîbiyyah, Kairo: Mu`assasah Iqra` li al-Nasyr wa
al-Tauzî‟ wa al-Tarjamah, cet. II, 2009.
Salâm Syâfi‟î Mahmûd Salâm, Hushûn Khaibar fî al-Jâhiliyyah wa „Ashr al-Rasûl; Dirâsah
Târîkhiyyah li Ahamm al-Hushûn wa „Aqîdah al-Harb wa al-Qitâl „ind al-Yahûd fî
Khaibar, Mesir: al-Ma‟ârif al-Iskandariyyah, tt.
Sayyid al-Qumnî, Al-Hizb al-Hâsyimî wa Ta`sîs al-Daulah al-Islâmiyyah, Maktabah Dâr al-
Nadwah, tt.
Syâdî Ibrâhîm Abdul Qâdir, Al-Saby fî Shadr al-Islâm, Palestina: Jâmi‟ah al-Najjâh, 2010.
Tolstoj, Al-Harb wa al-Silm, al-Maktabah al-„Arabiyyah al-Syarqiyyah Orientâliyâ, cet. I,
1996.
Zainuddîn al-Malîbârî, Fath al-Mu‟în, dalam Abî Bakr „Utsmân al-Bakrî, Hâsyiyah I‟ânah
al-Thâlibîn, Beirut-Libanon: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, cet. III, 2003.
Zakariyâ al-Anshârî, Fath al-Wahhâb, Dâr al-Fikr, 1994.