PERAN KOMISI KEJAKSAAN SEBAGAI PERWUJUDAN … · berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman meliputi...
-
Upload
phunghuong -
Category
Documents
-
view
225 -
download
0
Transcript of PERAN KOMISI KEJAKSAAN SEBAGAI PERWUJUDAN … · berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman meliputi...
i
PERAN KOMISI KEJAKSAAN SEBAGAI PERWUJUDAN
PARTISIPASI PUBLIK DALAM RANGKA PENGAWASAN
LEMBAGA KEJAKSAAN
TESIS
Disusun dalam Rangka Memenuhi Persyaratan
Program Magister Ilmu hukum
Oleh :
ADITYA RAKATAMA, SH
B4A005002
PEMBIMBING :
Prof. Dr. Arief Hidayat, SH, MS
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2008
ii
PERAN KOMISI KEJAKSAAN SEBAGAI PERWUJUDAN
PARTISIPASI PUBLIK DALAM RANGKA PENGAWASAN
LEMBAGA KEJAKSAAN
Disusun Oleh :
ADITYA RAKATAMA, SH
B4A005002
Dipertahankan di Depan Tim Penguji
Pada tanggal 9 Oktober 2008
Tesis ini telah diterima
Sebagai persyaratan untuk memperoleh
Gelar Magister Hukum
Mengetahui
Ketua Program Magister Ilmu Hukum
Universitas Diponegoro
Dosen Pembimbing
Prof. Dr. Paulus Hadisuprapto, SH. MH NIP. 130 531 702
Prof. Dr. Arief Hidayat, SH.MS NIP. 130 937 134
iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH
Dengan ini saya, Aditya Rakatama, SH, menyatakan bahwa Karya Ilmiah/
Tesis ini adalah asli hasil karya saya sendiri dan Karya Ilmiah ini belum pernah
diajukan sebagai pemenuhan persyaratan untuk memperoleh gelar kesarjanaan
Strata Satu (S1) maupun Magister (S2) dari Universitas Diponegoro maupun
Perguruan Tinggi Lain.
Semua informasi yang dimuat dalam karya ilmiah ini yang berasal dari
penulis lain baik yang dipublikasikan atau tidak, telah diberikan penghargaan
dengan mengutip nama sumber penulis secara benar dan semua ini dari karya
Ilmiah / Tesis ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya sebagai penulis.
S e m a r a n g, 6 Nopember 2008 Penulis ADITYA RAKATAMA, SH NIM. B4A006002
iv
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,, karena berkat rahmat dan Karunia-Nya, penulisan tesis dengan judul “Peran Komisi Kejaksaan Sebagai Perwujudan Partisipasi Publik Dalam Rangka Pengawasan Lembaga Kejaksaan” ini dapat terselesaikan. Penyusunan tesis ini dilaksanakan dalam rangka memenuhi persyaratan menyelesaikan studi pada program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang. Dan juga penulis dedikasikan sebagai sumbangan pemikiran tentang mekanisme kontrol terhadap lembaga Kejaksaan. Dengan hadirnya Komisi Kejaksaan sebagai Lembaga pengawasan eksternal Lembaga Kejaksaan memungkinkan tumpang tindihnya tugas dan kewenangan dengan pengawasan internal Kejaksaan.
Penulis menyadari bahwa tesis ini tidak akan terwujud tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dengan selesainya penyusunan tesis ini penulis menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada yang terhormat Prof. Dr. Arief Hidayat, SH.MS selaku pembimbing, yang telah memberikan masukan dan arahan dengan penuh kesabaran dan perhatian walaupun beliau disibukkan oleh tugas-tugas lain sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang.
Selanjutnya ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada : 1. Prof. Dr. Paulus Hadisuprapto, SH. MH selaku Ketua Program Magister Ilmu
Hukum Universitas Diponegoro; 2. Ibu Ani Purwanti, SH. MH selaku Sekretaris Program Bidang Akademik
Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang. 3. Ibu Amalia Diamantina, SH. MH selaku Sekretaris Program Bidang Keuangan
Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang 4. Ibu Lita Tysta ALW, SH. MH selaku dosen Penguji yang sekaligus telah
memberikan sumbangsih dan saran penulisan tesis ini. 5. Seluruh Dosen Pengajar Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum
Universitas Diponegoro Semarang atas segala bantuan semangat yang diberikan selama penulis menjadi Mahasiswa.
6. Yang tercinta Istri dan Orang Tua yang telah memberi semangat dan penuh kasih sayang serta kesabaran dalam mendorong penulis untuk segera menyelesaikan Tesis ini.
v
7. Semua pihak yang telah bersedia memberikan data yang diperlukan untuk penyusunan tesis ini.
8. Rekan-rekan Mahasiswa Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum Univeristas Diponegoro Semarang, serta Rekan-rekan Pendidikan dan Pelatihan Jaksa Tahun 2008.
Dengan rendah hati penulis mengakui bahwa tesis ini masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun penulis harapkan dari semua pihak.
Jakarta, September 2008
P e n u l i s
vi
ABSTRAK
Pada awal reformasi isu utama yang perlu dibenahi terkait dua hal yaitu maraknya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan pemerintahan yang totaliter. Kejaksaan merupakan salah satu lembaga penegak hukum yang sarat dengan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, oleh karena itu perlu adanya pembenahan internal kelembagaan sesuai dengan agenda reformasi di bidang hukum tersebut. Naskah kesepakatan bersama pimpinan lembaga penegak hukum yang isinya perlu dikembangkan sistem pengawasan yang transparan dan akuntabel yang salah satu pointnya adalah pengkajian atas kemungkinan pengembangan lembaga pengawasan eksternal Kejaksaan. Pengawasan di dalam lembaga (internal control) itu sendiri dari dulu sudah dikenal seperti Pengawasan melekat (waskat), di Kejaksaan sendiri dan Jaksa Agung Muda Pengawasan serta Inspektur-inspektur, tetapi sampai sekarang masih ada Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan pelanggaran yang dilakukan oleh oknum Kejaksaan sehingga muncul ide pembentukan semacam lembaga di luar untuk mengawasi lembaga kejaksaan. Isu tentang perlu dibentuknya pengawasan eksternal Kejaksaan berkembang dengan masuknya dalam pembahasan Rancangan Undang-undang Kejaksaan RI. Dalam pembahasan Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia disepakati pasal 38 bahwa “Untuk meningkatkan kinerja Kejaksaan, Presiden dapat membentuk sebuah komisi yang susunan dan kewenangannya diatur oleh Presiden. Dengan kata lain “Meningkatkan Kinerja Kejaksaan”, maka salah satu faktor untuk meningkatkan kinerja Kejaksaan adalah masalah pengawasan. Pelaksanaan dari amanat pasal 38 tersebut maka dibentuklah peraturan Presiden Nomor 18 tahun 2005 tentang Komisi Kejaksaan RI. Dengan terbentuknya Komisi Kejaksaan RI yang mempunyai tugas utama sebagai lembaga pengawasan eksternal kejaksaan memungkinkan adanya tumpang tindih kewenangan dengan Pengawasan internal Kejaksaan yang dilaksanakan oleh Jaksa Agung Muda Pengawasan beserta jajarannya. Dengan tugas dan wewenang yang obyeknya sama sebagai lembaga pengawasan maka diperlukan adalah prinsip koordinasi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya masing-masing sehingga tercipta suatu mekanisme pengawasan terhadap lembaga kejaksaan yang baku, trasparan, akuntabel dan partisipatif. Dengan prinsip koordinasi maka keberadaan komisi kejaksaan tidak tumpang tindih dengan tugas dan kewenangan pengawasan internal kejaksaan dan justru dapat mendorong peningkatan kinerja lembaga pengawasan internal Kejaksaan dan kejaksaan secara umum. Kata kunci : Komisi Kejaksaan, Lembaga Pengawasan Eksternal
vii
ABSTRACT
In the early especial issue reform which require to related two matter that is the hoisterous of Corruption, Collution And Nepotism and totalitarian governance. Public Prosecution represent one of loaded law enforcement institute with Corruption, Collutio And Nepotism, therefore need the existence of internal correction as according to reform the law. Agreement copy with head institute law enforcement which its contents require to be developed by transparent observation system and accuntable which one of the study to the possibility of development institute observation of Public Prosecution eksternal. Observation in institute internal of control itself from first have been recognized by like coherent Observation in Public Prosecution alone and Solicitor General Observation and also Inspector, but hitherto there is still Corruption, Collution And Nepotism and collision conducted by Public prosecution oknum so that emerge forming idea a kind of institute outside to observe public prosecution. Issue about require to form of observation of public prosecution eksternal expand with entry of under consideration Draft Of Law Public prosecution Indonesian. Under consideration Article 16 year 2004 about Public prosecution Republic Of Indonesia agreed on section 38 that " To increase Public prosecution performance, President can form commission which formation and its arranged by President. Equally " Improving Performance Public prosecution ", one of the factor to increase Public prosecution performance is the problem of observation. Execution from section commendation 38 the hence formed by regulation of President Number 18 year 2005 about Commission Public prosecution. With formed Commission it’s having especial duty as institute observation of conducive existence of authority overlap with internal Observation Public prosecution executed by Solicitor General Observation along with overall nya. With authority and duty which its as observation institute hence needed by is principle co-ordinate in running duty and authority each is so that created by observation mechanism to standard public prosecution, akuntabel and is partisipative. With principle co-ordinate hence existence of commission public prosecution of overlap do not with internal observation authority and duty of public prosecution and exactly can push the make-up of performance institute internal observation of public prosecution in general. Keyword : Commission Public Prosecution, Observation of Eksternal.
viii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL …………………………………………………… i
HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………………….. ii
KATA PENGANTAR …………………………………………………. iv
ABSTRAK …………………………………………………………… vi
ABSTRACT …………………………………………………………… vii
DAFTAR ISI …………………………………………………………… viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang…………………………………….. 1
B. Perumusan masalah………………………………… 10
C. Tujuan Penelitian…………………………………… 11
D. Manfaat Penelitian………………………………… 11
E. Kerangka Pemikiran………………………………... 12
F. Metode Penelitian…………………………………... 19
1. Metode Pendekatan……………………………… 19
2. Spesifikasi Penelitian……………………………. 19
3. Jenis dan sumber data……………………………. 20
4. Metode Pengumpulan data………………………. 20
5. Metode analisis data……………………………... 21
G. Sistematika penulisan………………………………. 22
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Sistem Peradilan Pidana (SPP)……………………. 23
1.Pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Terpadu….. 32
2.Kejaksaan sebagai bagian dari Pelaksanaan Sistem
Peradilan Pidana Terpadu………………………...
34
B. Wewenang Penyidikan …………………………….. 37
C. Wewenang Penuntutan …………………………….. 39
ix
D. Pengawasan Lembaga Kejaksaan sebagai bagian
Pengawasan terhadap SPP ………………………….
41
E. Partisipasi Publik dalam Pengawasan Lembaga
Kejaksaan …………………………………………..
45
BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A. Pembentukan Komisi Kejaksaan …............................ 52
B. Kedudukan Komisi Kejaksaan ……………………... 59
C. Tugas dan wewenang Komisi Kejaksaan …………... 62
1. Mekanisme Aduan masyarakat …………………... 67
D. Kewenangan antara pengawasan internal Kejaksaan
dan Komisi Kejaksaan……………….........................
70
1. Pelaksanaan Pengawasan Internal Kejaksaan ……. 70
2. Majelis Kehormatan Jaksa ……………………….. 76
3. Kode Etik Jaksa…………………………………... 78
4. Lembaga Kejaksaan dan Partisipasi publik ……… 84
5. Pelaksanaan Pengawasan Eksternal oleh Komisi
Kejaksaan ………………………………………
91
E. Kendala-kendala dan upaya-upaya untuk
meningkatkan peran Komisi Kejaksaan dalam
melaksanakan pengawasan terhadap Lembaga
Kejaksaan…………………………………………….
100
1. Kendala-kendala …………………………………. 100
2. Upaya-upaya……………………………………… 102
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan …………………………………………. 105
B. Saran ………………………………………………... 108
DAFTAR PUSTAKA
x
BAB I
PENDAHULUAN
A. latar belakang
Dalam mewujudkan prinsip yang terkandung dalam perubahan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah
membawa perubahan yang mendasar dalam kehidupan ketatanegaraan
khususnya dalam pelaksanaan kehakiman. Berdasarkan perubahan tersebut
maka badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman diatur dalam undang-undang1. Ketentuan Badan-badan tersebut
dipertegas oleh Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman pasal 412 yang menyatakan “Badan-badan lain yang fungsinya
berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman meliputi Kepolisian Negara Republik
Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, dan Badan-badan lain diatur di
dalam undang-undang”.
Sejalan dengan perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman, dan beberapa undang-undang yang baru, serta
berdasarkan perkembangan kebutuhan masyarakat dan kehidupan
ketatanegaraan maka Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia sudah tidak sesuai lagi sehingga perlu diadakan
perubahan secara komprehensif dengan membentuk Undang-undang yang
baru.
Pembaharuan undang-undang tentang Kejaksaaan Republik Indonesia
tersebut dimaksudkan untuk memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan
Republik Indonesia sebagai lembaga negara pemerintahan yang melaksanakan
1 Pasal 24 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945, amandemen keempat yang bunyinya “Badan-badan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman di atur dalam undang-undang”. 2 Undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman, UU Nomor 4 Tahun 2004, LN.No.8 Tahun 2004, TLN.No.4538, Pasal 41
xi
kekuasaan negara di bidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan
pihak manapun, yakni yang melaksanakan secara merdeka dan terlepas dari
pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Selain itu
sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan
dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum,
penegakan Hak Asasi Manusia, serta Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme (KKN).
Dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya, Kejaksaan
sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan pemerintahan di
bidang penuntutan harus mampu mewujudkan kepastian hukum dan
mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan dan kesusilaan serta
wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan keadilan yang hidup
dalam masyarakat.
Peranan lembaga Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum
posisinya sangat menentukan berhasil tidaknya Kejaksaan. Dalam berbagai
peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat kita ringkas bahwa tugas
dan wewenang Kejaksaan meliputi:
a. Penuntut Umum;
b. Penyidikan tindak pidana tertentu;
c. Mewakili negara / pemerintah dalam perkara Perdata dan Tata Usaha
Negara;
d. Memberi pertimbangan hukum kepada Instansi Pemerintah;
e. Mewakili kepentingan umum.3
Tugas dan wewenang Kejaksaan tersebut sangat luas menjangkau area
hukum pidana, perdata maupun tata usaha negara.
Uraian diatas dapat memberikan gambaran bahwa betapa besar tugas
dan wewenang yang dimiliki oleh lembaga Kejaksaan. Dalam menjalankan 3 Baca pasal 30,31 dan 32 Undang-undang Nomor 16 tahun 2005 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dan pasal 14 KUHAP, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981, LN.No.76 Tahun 1981, TLN.N.3209
xii
tugas dan wewenangnya lembaga Kejaksaan akhir-akhir ini banyak menerima
kritik tajam mengenai budaya kerja, manajemen lembaga, akuntabilits publik
dan yang tak kalah pentingnya adalah masalah pengawasan.
Dalam kerangka pengawasan di lingkungan Kejaksaan, perihal
lembaga yang mengawasi diatur dalam Keputusan Presiden (Keppres) No. 86
Tahun 1999 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik
Indonesia dan ditindaklanjuti dengan Keputusan Jaksa Agung (Kepja) dengan
Kepja Nomor : Kep-115/JA/10/1999 tentang Susunan Organisasi dan Tata
Kerja Kejaksaan Republik Indonesia, dimana dalam Keppres dan Kepja
tersebut disebutkan tentang Jaksa Agung Muda Pengawasan. Hal ini
sebagaimana dinyatakan dalam bahwa :
“Jaksa Agung Muda Pengawasan mempunyai tugas dan wewenang melakukan Pengawasan atas pelaksanaan tugas rutin dan pembangunan semua unsur Kejaksaan agar berjalan sesuai dengan peraturan Perundang-undangan, rencana dan program kerja Kejaksaan serta kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung”4
Di tengah usianya yang hampir setengah abad, sorotan dan kritik
publik terhadap lembaga Kejaksaan terus saja bergulir, gambaran baik
buruknya citra Kejaksaan Agung dapat kita lihat dari Rangkaian jajak
pendapat melalui telepon yang diselenggarakan oleh Litbang Kompas selama
5 Tahun terakhir sebagai berikut 5:
Gambaran Baik Buruknya Citra
Kejaksaan Agung 2003-2007
Tahun 2003 2004 2005 2006 2007
Baik 16,2% 18,9% 17,6% 22,4% 19,9%
4 Keputusan Presiden tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia, Keppres No. 86 Tahun 1999, pasal 23 dan Kepja No. Kep-115/JA/10/1999, pasal 362 5 Kompas, Presiden Minta Kejaksaan Tidak berkecil hati, tanggal 23 Juli 2004
xiii
Buruk 76,4% 70,3% 76,2% 69,5% 80,9%
Tidak
tahu
07,4% 10,8% 06,3% 08,1% 20,2%
Pertanyaan kepada Responden :
Menurut anda baik atau burukkah citra Kejaksaan Agung sekarang ini?
Dari tabel di atas menunjukkan betapa tingginya persentase
ketidakpercayaan publik terhadap lembaga Kejaksaan. Bukan hanya
dinilai tidak mampu menjadi wakil publik dalam menegakkan keadilan,
Kejaksaan juga dianggap lamban dalam menangani kasus yang
mengandung perhatian publik.
Salah satu anggota Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia
Fakultas Hukum Universitas Indonesia (Mappi-FHUI) Asep Rahmat Fajar
menilai :
“Kejaksaan dalam posisi yang sangat penting dalam pembaharuan hukum. Atas kesadaran itu berani mengubah dirinya, dengan melakukan reformasi. Untuk meningkatkan profesionalisme Kejaksaan masih jauh dari harapan karena Kejaksaan tidak memiliki standar perekrutan dan mutasi Jaksa yang jelas. Banyak asumsi orang Kejaksaan tertutup bagi perubahan. Secara organisasi, dibandingkan dengan penegak hukum lain, sampai sekarang lembaga Kejaksaan dinilai paling resisten terhadap isu pembaharuan....”6
Fenomena ini sangat penting untuk diteliti karena Kejaksaan
memiliki fungsi yang sangat penting dalam mengendalikan perbuatan anti
sosial dalam masyarakat, Herbert L. Packer sebagaimana dikutip Ketut
Gde Widjaja mengatakan :
6 Kompas, Mampukah mengembalikan kepercayaan, Loc. cit
xiv
“... a social problem that has a important legal dimension, the problem of trying to control anti social behavior by imposing punishment on people found quilty of violating rules of conduct called criminal states...”7
Bahwa Kejaksaan kurang memiliki integritas, profesionalisme dan
efisiensi di persepsikan secara luar oleh masyarakat, padahal pada
permulaan kemerdekaan Indonesia, Kejaksaan memiliki reputasi yang
tinggi, seperti dikatakan oleh Price Water House Cooper :
“It is widely perceived as seriously lacking integrity,
profesionalism, and effeciency while earlier in it’s history it
enjoyed a strong reputation..”8
Selanjutnya Jaksa Agung Hendarman Supandji pada Upacara
Peringatan Hari Bhakti Adhyaksa ke-48 di Kejaksaan Agung dalam
sambutannya mengatakan bahwa :
“... bukan tidak mungkin hasil kerja tertutup awan mendung karena adanya tindakan-tindakan tercela beberapa warga adhyaksa sendiri, bagai nilai setitik rusak susu sebelanga. Kita semua tahu makna ungkapan itu. Tidak sekedar kealpaan atau pengingkaran kehormatan korps yang timbul karena godaan, iming-iming materi, cela dan aib sering kali juga datang karena ketidakmampuan profesi”9
Dari uraian di atas memunculkan dugaan penyimpangan perilaku
dan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh lembaga Kejaksaan,
sehingga menyebabkan menurunnya kepercayaan dan rasa hormat
masyarakat kepada lembaga Kejaksaan.
Salah satu penyebabnya adalah minimnya upaya pengawasan yang
dilakukan terhadap lembaga Kejaksaan. Padahal, untuk memenuhi 7 Ketut Gde Widjaja, Fungsi Kejaksaan Dalam Kejaksaan, Laporan hasil Penelitian Disertasi, 2003, hal. 3 8 Price Water House Cooper, Final Report of the Governance Audit of the Public Prosecution Service of The Republic Indonesia, 2001, hal. 9. Loc. It. 9 Pidato Jaksa Agung pada peringatan HBA ke 48, tanggal 24 Juli 2008 di Kejaksaan Agung.
xv
terselenggaranya Clean Government (Pemerintahan yang bersih) dan
Good Governance (pemerintahan yang baik) dalam suatu sistem
pemerintahan, keduanya tidak dapat dipisahkan karena pemerintahan yang
bersih merupakan bagian yang integral dari pemerintahan yang baik dan
pemerintahan yang bersih tidak dapat dipisahkan dengan pemerintahan
yang baik. Dengan kata lain bahwa pemerintahan yang bersih adalah
sebagian dari pemerintahan yang baik. Hal ini merupakan prinsip penting
yang harus terpenuhi sebagai salah satu perwujudan akuntabilitas dari
setiap penyelenggaraan kekuasaan publik.10
Pemerintahan yang baik (Good Governance ) mencerminkan
kesinergian antara pemerintah dan masyarakat. Salah satu komponennya
adalah pemerintahan yang bersih, yaitu pemerintahan yang didasarkan atas
keabsahan bertindak dari pemerintah. Karena itu pembahasan
pemerintahan yang bersih tidak dapat dipisahkan dengan pembahasan
pemerintahan yang baik.
Pemerintahan yang baik sebagai norma pemerintahan, adalah suatu
sasaran yang akan dituju dan diwujudkan dalam pelaksanaan pemerintahan
yang baik11 dan asas-asas umum pemerintahan yang baik layak sebagai
norma mengikat yang menuntun pemerintah dalam mewujudkan
pemerintahan yang baik. Sinergitas antara pemerintahan yang baik dan
asas umum pemerintahan yang layak menciptakan pemerintahan yang
bersih dan berwibawa.
10 Hoessein, B. 2001. “Prospek Resolusi Kebijakan dan Implementasi Otonomi Daerah dari Sudut Pandang Hukum Tata Negara”; Seminar dal Lokakarya Nasional Strategi Resolusi Kebijakan dan Implementasi Otonomi Daerah Dalam Kerangka Good Governance; Lembaga Administrasi Negara 11 Ardi Partadinata, Makna Otonomi Daerah Dalam Perspektif Good Governance, Jurnal Berdikari Vol.1 No. 6 Juni 2003, sumber daya aparat negara sangat menentukan terwujudnya pemerintahan yang bersih, untuk itu di pundak pemerintah diletakkan good governance, karena itu penyelenggaraan pemerintah harus berdasar atas visioner, transparan, responsif, akuntabel, profesional dan kompeten, efisiensi, dan efektif, desentralisasi, demokrasi partisipatif, kemitraan, supermasi hukum, komitmen pada pengurangan kesenjangan, komitmen pada tuntutan pasar dan komitmen pada lingkungan hidup, keseluruhan inilah yang menjadi prinsip good governance dan prinsip-prinsip tersebut baru bisa dapat bersinergi manakala ketiga substruktur good governance ( Pemerintah, masyarakat dan swasta) tumbuh berkembang secara serasi, selaras dan seimbang serta check and balances
xvi
Dalam ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 telah ditegaskan bahwa
konsep pemerintahan yang baik adalah :
1. Menjamin terwujudnya kehidupan bermasyarakat berdasar atas
hukum dan perlindungan hak asasi manusia;
2. Menjamin kehidupan yang demokratis ;
3. Mewujudkan keadilan sosial;
4. Menjamin terwujudnya pemerintahan yang layak.
Keempat tujuan tersebut diatas adalah tujuan yang sangat
fundamental sebagai sari dari sepuluh12 arah pembangunan hukum, yang
esensi sesungguhnya bermuara kepada satu sasaran. Yaitu tegaknya asas
kedaulatan rakyat atau yang lebih populer dengan istilah supremasi hukum
dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat.
Untuk mencapai hal tersebut, harus ada tekad untuk menempatkan
hukum pada tempat yang tertinggi. Artinya kepentingan ekonomi, politik
dan berbagai kepentingan lainnya tidak boleh menggoyahkan kepentingan
hukum, justru hukum yang harus menjaga dan mengawasi jalannya
ekonomi, politik dan pemerintahan serta berbagai hubungan sosial lainnya.
Arah pembangunan hukum dimaksud adalah :
1. Mengembangkan budaya hukum disemua lapisan masyarakat
untuk terciptanya kesadaran dan kepatuhan hukum dalam
kerangka supremasi hukum demi tegaknya negara hukum;
2. Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu
dengan mengakui dan menghormati hukum agama, hukum adat
serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial
dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan
12 Ketetapan MPR No. IV tentang garis-garis besar haluan Negara tahun 1999-2004, bab IV bagian A, Sinar Grafika, Jakarta , 1999.
xvii
gender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi
melalui program legislasi nasional;
3. Menegakkan hukum secara konsisten untuk lebih menjamin
kepastian hukum, keadilan dan kebenaran, supremasi hukum
serta menghargai hak asasi manusia;
4. Melanjutkan ratifikasi konvensi international, terutama yang
berkaitan dengan hak asasi manusia sesuai dengan kebutuhan
dan kepentingan dalam bentuk undang-undang;
5. Meningkatkan integritas moral dan keprofesionalan aparat
penegak hukum, termasuk Kejaksaan Republik Indonesia,
untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat dengan
meningkatkan kesejahteraan, dukungan sarana dan prasarana
hukum, pendidikan serta pengawasan yang efektif;
6. Mewujudkan lembaga peradilan yang mandiri dan bebas dari
pengaruh penguasa dan pihak manapun;
7. Mengembangkan peraturan perundang-undangan yang
mendukung kegiatan perekonomian dalam menghadapi era
perdagangan bebas tanpa merugikan kepentingan nasional;
8. Menyelenggarakan proses peradilan secara cepat, mudah,
murah dan terbuka, serta bebas dari Kolusi, Korupsi dan
nepotisme dengan tetap menjunjung tinggi asas keadilan dan
kebenaran;
9. Meningkatkan pemahaman dan penyadaran serta meningkatkan
perlindungan, penghormatan dan penegakan hak asasi manusia
dalam seluruh aspek kehidupan;
10. Menyelesaikan berbagai proses peradilan terhadap pelanggaran
hukum dan hak asasi manusia yang belum ditangani secara
tuntas.
xviii
Berkaitan dengan point 5 Marwan Effendy mengatakan bahwa
kasus urip jangan sampai terulang, oleh karena itu perlu adanya kesadaran
mendalam bagi seorang Jaksa pada khususnya dan pegawai Kejaksaan
secara umum untuk senantiasa menghayati tugas dan tanggung jawabnya
sebagai aparat penegak hukum. Salah satu caranya adalah selalu
memegang kode etik dan menjaga profesionalitas dalam menjalankan
tugas.13
Pembentukan Komisi Kejaksaan merupakan suatu langkah
pengawasan dalam rangka pelaksanaan pemerintahan yang bersih dan
baik dilingkungan kejaksaan, karena ini dinilai penting untuk
“mengawasi” kinerja Kejaksaan dan membuat rekomendasi kepada
Presiden untuk menentukan kebijakannya di bidang hukum. Dalam
pertemuan puncak seluruh institusi hukum yang ketiga (Law summit III)
difasilitasi oleh Governance Reform in Indonesia direkomendasikan
pembentukan lembaga pengawasan eksternal Kejaksaan. Dalam
pembahasan revisi Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 yang melahirkan
Undang-undang Kejaksaan Nomor 16 Tahun 2004, maka Dewan
Perwakilan Rakyat menyepakati Pembentukan Komisi Kejaksaan.14
Dengan disahkannya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan Republik Indonesia menggantikan Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1991 membawa angin segar bagi pembaharuan lembaga
Kejaksaan untuk meningkatkan kualitas kinerja Kejaksaan. Salah satu hal
yang baru dalam undang-undang tersebut adalah “ untuk meningkatkan
kualitas kinerja Kejaksaan, Presiden dapat membentuk sebuah komisi
yang susunan dan kewenangannya diatur oleh Presiden”.15 Dengan amanat
pasal 38 tersebut, pada tanggal 7 Pebruari 2005 Presiden Republik
Indonesia Dr.H. Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani Peraturan
13 Kompas, Saya Tidak Meniru KPK, tanggal 4 Agustus 2008 14 Harian Tempo, Komisi Kejaksaan mendesak untu dibentuk, tanggal 11 Oktober 2004 15 Bunyi pasal 38 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
xix
Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2005 tentang Komisi
Kejaksaan Republik Indonesia, dimana salah satu tugasnya adalah
pengawasan.16 Hal ini pulalah yang membuat penulis tertarik mengambil
judul “PERAN KOMISI KEJAKSAAN SEBAGAI PERWUJUDAN
PARTISIPASI PUBLIK DALAM RANGKA PENGAWASAN
LEMBAGA KEJAKSAAN”
B. Perumusan masalah
Berdasarkan Uraian diatas, penulis merumuskan permasalahan
dalam studi ini adalah :
1. Kondisi apakah yang melatarbelakangi pembentukan Komisi Kejaksaan?
2. Bagaimana kedudukan, tugas dan wewenang Komisi Kejaksaan?
3. Sejauh manakah kewenangan Komisi Kejaksaan dengan Pengawasan
Internal Kejaksaan serta masalah yang layak diantisipasi berkenaan
dengan pembentukan Komisi Kejaksaan?
C. Tujuan Penelitian
Seiring dengan masalah tersebut diatas, maka tujuan
penelitian ini adalah :
1. Mengetahui dasar pemikiran / latar belakang munculnya ide
pembentukan Komisi Kejaksaan ;
16 Indonesia, Peraturan Presiden Republik Indonesia tentang Komisi Kejaksaan, Perpres Nomor 18 Tahun 2005, pasal 10:
(1) Komisi Kejaksaan mempunyai tugas a. melakukan pengawasan, pemantauan dan penilaian terhadap kinerja Jaksa dan Pegawai
Kejaksaan dalam melaksanakan tugas kedinasan; b. Melakukan pengawasan, pemantauan dan penilaian terhadap sikap dan perilaku Jaksa dan
Pegawai Kejaksaan baik di dalam maupun di luar tugas kedinasan; c. Melakukan pemantauan dan penilaian atas kondisi organisasi, kelengkapan sarana dan
prasaran, serta sumber daya manusia di lingkungan Kejaksaan; dan d. Menyampaikan masukan kepada Jaksa Agung atas hasil pengawasan, pemantauan dan
penilaian sebagaimana tersebut huruf a, b, dan c untuk ditindaklanjuti
xx
2. Menjelaskan tentang Kedudukan, tugas dan wewenang Komisi
Kejaksaan;
3. Menjelaskan kewenangan antara pengawasan internal Kejaksaan
dengan pengawasan Komisi Kejaksaan dan juga menjelaskan hal-hal
yang layak diantisipasi dalam pembentukan Komisi Kejaksaan.
D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang menjadi fokus kajian penelitian ini
dan tujuan yang ingin dicapai maka diharapkan penelitian ini dapat
memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Berguna sebagai sumbangan pemikiran tentang Komisi Kejaksaan;
2. Untuk bahan pertimbangan bagi penentuan kebijakan dalam
mengevaluasi aspek-aspek yang berkenaan dengan komisi Kejaksaan;
3. Sebagai bahan bagi peneliti di bidang yang sama pada masa yang
akan datang.
E. Kerangka Pemikiran
Lawrence M. Friedman mengemukakan bahwa efektif dan berhasil
tidaknya pemidanaan sangat tergantung kepada realitas penegakan
hukumnya. Hal ini sangat berkaitan dengan unsur hukum yakni struktur
hukum (structure of the law), materi hukum (Substance of the Law), dan
budaya hukum (Legal culture), dalam sebuah masyarakat, struktur hukum
menyangkut aparat penegak hukum kemudian materi hukum meliputi
perangkat perundang-undangan, dan budaya hukum merupakan hukum yang
hidup ( living law) yang dianut dalam suatu masyarakat.
Tentang struktur hukum Friedman menjelaskan :
xxi
To begin with, the legal system has the structure of a legal system consist of elements of the kind, the number and size of court; their jurisdiction... structure. Also means how the legislative is organized.. . what procedures he police departemen follow, and go on. Structure in a way kind of cross section of the legal system... . a kind of still photograph, with free the action.17
Struktur dari sistem hukum terdiri unsur berikut ini, jumlah dan ukuran
pengadilan, yurisdiksinya (termasuk jenis kasus yang mereka periksa), dan
tata cara naik banding dari pengadilan ke pengadilan lainnya. Struktur juga
berarti bagaimana badan legislatif ditata, apa yang boleh dan tidak boleh
dilakukan oleh Presiden, prosedur apa yang diikuti oleh Kepolisian dan
sebagainya. Jadi struktur hukum (Legal structure) terdiri dari lembaga hukum
yang ada.
Pemahaman tentang substansi hukum adalah sebagai berikut :
Another aspect of the legal system is it’s substance. By this means the actual rules, norms behavioral patterns of people inside the system... the stress here is on living law not just rules in law goods.18
Aspek lain dari sistem hukum adalah substansinya. Yang dimaksud
dengan substansi adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang
berada dalam sistem itu. Jadi susbtansi hukum (Legal substance) menyangkut
peraturan perundang-undangan yang berlaku yang memiliki kekuatan yang
mengikat dan menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum.
Sedangkan budaya hukum, Friedman berpendapat :
The third component of legal system of legal culture. By this we mean people’s attitudes toward law and the legal system their believe, in other word, is the eliminate of social though and social force which determines how law is used avended and afused.19
17 Lawrence M. Friedman, American Law, New York : W.W Norton and Company, 1984, hal 5-6 18 Ibid 19 Ibid
xxii
Kultur hukum (Legal culture) menyangkut budaya hukum yang
merupakan sikap manusia (termasuk budaya hukum aparat penegak
hukumnya) terhadap hukum dan sistem hukum. Sebaik apapun penataan
struktur hukum untuk menjalankan aturan hukum yang dibuat tanpa didukung
dengan budaya hukum oleh orang-orang yang terlibat dalam sistem dan
masyarakat maka penegakan hukum tidak berjalan secara efektif.
Harkristuti Harkrisnowo berkenaan dengan hal tersebut mengatakan
bahwa terdapat suatu kondisi di mana seluruh sistem bekerja di dalam ruang
dan setting yang berbeda di dalam satu pekerjaan utama. Hal tersebut
menurutnya karena dipengaruhi oleh aspek struktur hukum, substansi hukum
dan budaya hukum. Identifikasi masalah dari 3 aspek tersebut sebagaimana
berikut :
a. Struktur hukum :
• Adanya diferensiasi fungsional yang kurang jelas dalam sistem (kewenangan yang tumpang tindih) antara lembaga satu dengan yang lainnya;
• Belum adanya kesepahaman mengenai perlunya pendekatan proses yang sistematik;
• Inter-dependensi dipersepsikan sebagai hambatan dan mendorong dan eksklusivisme lembaga.
b. Substansi hukum :
• Peraturan perundang-undangan kurang berorientasi pada penyelarasan hubungan antara lembaga;
• Masih diwarnai inkonsistensi;
• Upaya revisi perundang-undangan masih berkarakteristik incremental.
c. Budaya hukum :
• Esprit de corps yang salah kaprah;
• Kecenderungan masyarakat untuk mencari jalan pintas karena birokrasi peradilan yang dipandang rumit dan berbelit-belit;
• Kecenderungan penyelesaian dengan jalur “damai”20.
20 Harkristuti Harkrisnowo, Merancang Ulang Korps Adhyaksa, Newsletter Komisi Hukum Nasional, Edisi Juni 2003, Hal. 10
xxiii
Apa yang dikemukakan oleh Friedman dan Harkristuti Harkrisnowo di
atas adalah tiga hal yang terkandung dalam Kejaksaan (Criminal Justice
System). Kejaksaan merupakan salah satu usaha masyarakat untuk
mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi
yang dapat diterimanya.21 Sistem dapat berjalan dengan baik untuk mencapai
tujuan jika semua unsur saling mendukung dan melengkapi. Pelaksanaan
pidana yang terdiri dari Polisi (Penyidik), Jaksa (penuntut umum), Hakim
(Pengadilan ) dan Lembaga Pemasyarakatan. Sebagai suatu sistem, maka
antara subsistem dalam Kejaksaan itu diibaratkan seperti tabung bejana yang
berhubungan, apabila salah satu tabung bejana kotor, maka akan
mempengaruhi atau mengalir ke tabung bejana yang lainnya22.
Dalam Kejaksaan perlu adanya keterpaduan dan sinkronisasi antara
Sub-sistem. Muladi menyebutkan, perlu adanya sinkronisasi struktural,
sinkronisasi substansial dan sinkronisasi kultural.23 Sinkronisasi tersebut
sangat diperlukan dalam Kejaksaan untuk mencapai fungsi dan tujuan dari
Kejaksaan. Adanya sinkronisasi antara sub-sistem yang terlibat dalam
Kejaksaan dalam (struktur hukum) mulai dari Kepolisian sampai Lembaga
Pemasyarakatan merupakan salah satu hal yang sangat menentukan dalam
pencapaian fungsi dan tujuan Kejaksaan, selain itu perlu didukung dengan
adanya sinkronisasi substansi hukum menyangkut peraturan perundang-
undangan yang berlaku dan sinkronisasi kultur hukum menyangkut budaya
hukum baik aparat penegak hukum maupun masyarakat.
Kejaksaan merupakan salah satu subsistem dalam Kejaksaan (selain
Kepolisian, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan) memegang peranan
penting dalam penciptaan Kejaksaan Terpadu. Keterpaduan dalam Kejaksaan
menuntut dihilangkannya fragmentasi yang mengedepankan “esprit de corps”.
21 Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Kejaksaan, Kumpulan karangan kedua, Jakarta, 1997 22 Ibid 23 Muladi, Kapita Selekta Kejaksaan, Semarang UNDIP, 1995, hal.1-2
xxiv
Berbicara tentang struktur hukum dalam kaitannya dengan Kejaksaan,
salah satu hal yang sangat krusial adalah masalah kontrol atau pengawasan
pada masing-masing subsistem dalam Kejaksaan, yang termasuk di dalamnya
adalah Kejaksaan.
Kejaksaan sebagai aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya
berdasarkan asas presumption of guilt (asas praduga bersalah) tidak menutup
kemungkinan terjadi penyimpangan-penyimpangan sehingga diperlukan
adanya mekanisme kontrol terhadap lembaga Kejaksaan.
Beberapa bentuk mekanisme kontrol dalam Sistem Peradilan Pidana
Terpadu (SPPT) sekarang, antara lain : a) internal; b) eksternal; c) horizontal
(dari lembaga lain atau dari masyarakat); dan d) vertikal.24
Selanjutnya Harkristuti berpendapat, beberapa hal yang ditengarai dari
pelaksanaan mekanisme kontrol internal antara lain adalah :
1. Jarang sekali ada penjelasan dari lembaga mengenai hasil akhir pengaduan masyarakat mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh anggotanya;
2. Produk dan mekanisme pengawasan internal pada umumnya tidak untuk mekanisme publik, tetapi hanya bersifat internal;
3. Apabila ada anggota yang diproses, tidak mungkin akan bersifat obyektif dalam melakukan investivigasi terhadap anggotanya sendiri yang melakukan pelanggaran (solidaritas, in group feeling);
4. Pelanggaran oleh personel SPPT mencerminkan kelemahan ataupun keburukan lembaga tersebut, termasuk fungsi pendidikan dan pelatihannya, sehingga sulit diharapkan hal seperti ini akan diekspos oleh suatu lembaga internal;
5. Proses investivigasi oleh lembaga internal terhadap anggotanya cenderung diwarnai oleh conflict of interest sehingga hasilnya kurang credible.25
24 Harkristuti Harkrisnowo, Sistem Peradilan Terpadu dan Peran Akademis, Makalah pada forum denganr pendapat publik: pembaharuan Kejaksaan, Kejaksaan Agung, Jakarta 24-25 Juni 2003 25 Harkristuti Harkrisnowo, Komisi Pengawas Eksternal pada POLRI, Batasan kewenangan ataukah pendorong profesionalisme?. Makalah yang disampaikan dalam rangka penegakan hukum dan pelayanan masyarakat, Univeristas Riau, November 1999.
xxv
Toton Suprapto, mengatakan bahwa beberapa faktor yang
mempengaruhi lemahnya sistem pengawasan yaitu :
• Proses atau mekanismenya kurang terbuka atau bahkan tidak transparan bagi masyarakat, sebab memang hasil dari pengawasan internal pada hakekatnya bukanlah ditujukan pada publik tetapi untuk tujuan internal;
• Pemeriksaan terhadap sesama anggota korps di lingkungan internal pada umumnya sulit untuk bersifat obyektif, yang disebabkan antara lain juga karena semangat setia kawan atau solidaritas sesama korps yang jika terjadi penyimpangan janganlah sampai ada ekspose keluar;
• Proses pemeriksaan terhadap sesama korps sering akan menimbulkan juga benturan kepentingan yang akan berakibat saling membuka aib dan sisi buruk masing-masing terutama segi integritas jabatan.26
Dari paparan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa sistem
pengawasan internal banyak kelemahan-kelemahannya sehingga dirasakan
tidak maksimal terutama dari pandangan masyarakat pencari keadilan.
Dengan demikian untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dalam
pengawasan yang sifatnya internal maka Kejaksaan sebagai salah satu sub-
sistem dalam Kejaksaan perlu menciptakan mekanisme kontrol demi
peningkatan kinerja Kejaksaan. Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 16
Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, dalam pasal 38 disebutkan
bahwa “untuk meningkatkan kualitas kinerja Kejaksaan, Presiden dapat
membentuk sebuah komisi yang susunan dan kewenangannya diatur oleh
Presiden”, memberi peluang bagi terbentuknya suatu bentuk pengawasan yang
bersifat eksternal untuk mendukung sistem pengawasan yang bersifat internal.
Kejaksaan adalah suatu lembaga yang berada dalam kekuasaan
eksekutif yang mempunyai kewenangan utama untuk melakukan penuntutan.
Kejaksaan merupakan salah satu komponen atau sub-sistem dalam Kejaksaan
26 Toton Suprapto, Lembaga Pengawasan Kejaksaan Terpadu, Makalah disampaikan dalam Semilloka Administrasi Peradilan: Jakarta, 16 Juli 2002.
xxvi
yang tidak terpisahkan dengan sub-sistem lainnya bekerja sama untuk
mencapai tujuannya. Kejaksaan dalam melaksanakan tugas dan dalam bidang
penuntutan dan kewenangan lain sesuai dengan undang-undang secara
independen.
Independensi Kejaksaan di Indonesia walaupun sampai sekarang masih
diragukan karena secara ketatanegaraan lembaga Kejaksaan berada di bawah
Presiden yang merupakan kekuasaan eksekutif, tetapi ditegaskan dalam
penjelasan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia bahwa Kejaksaan merupakan lembaga pemerintah yang
melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan, dilaksanakan secara
merdeka dan terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaan
lainnya.
Untuk menjaga jangan sampai wewenang yang independen itu
disalahgunakan, maka salah satu hal yang sangat penting adalah sistem
pengawasan, di Kejaksaan sendiri secara internal sejak lama sudah ada yaitu
sejak Jaksa Agung Muda Pengawasan tetapi masyarakat masih menganggap
belum maksimal sehingga untuk mengatasi hal tersebut lahirlah Komisi
Kejaksaan dengan Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2004 tentang Komisi
Kejaksaan sebagai pengawas eksternal lembaga Kejaksaan.
Tirtaamidjono mengatakan bahwa :
Kejaksaan adalah suatu alat pemerintah yang bertindak sebagai penuntut umum dalam suatu perkara pidana terhadap si pelanggar hukum pidana. Sebagai demikian itu ia mempertahankan kepentingan masyarakat. Ia yang mempertimbangkan apakah kepentingan umum mengharuskan supaya perbuatan yang dapat dihukum itu harus dituntut atau tidak. Kepadanya pulalah semata-mata diserahkan penuntutan perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum27.
Dalam Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia :
27 Mr. M.H. Tirtaamidjono. Kedudukan Hakim dan Djaksa, Jakarta, Fasco, 1953, hal. 15
xxvii
Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang28.
Rumusan pengertian tentang pengawasan diberikan oleh Suyamto
sebagaimana dikutip Muchsan adalah segala usaha atau kegiatan untuk
mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya mengenai pelaksanaan
tugas dan kegiatan, apakah sesuai dengan semestinya atau tidak.29
Seperti halnya dengan pengawasan terhadap lembaga-lembaga lain,
partisipasi masyarakat dalam pengawasan lembaga Kejaksaan sangat
menentukan. Dengan lahirnya Komisi Kejaksaan akan menjembatani
masyakarat luas untuk menyampaikan laporan aduan terhadap sikap / perilaku
Jaksa / Pegawai Kejaksaan dalam melaksanakan tugas dan Kewenangannya.
Dalam lampiran Instruksi Presiden tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengawasan Melekat, Inpres Nomor 1 Tahun 1989 tanggal 20 Maret 1989:
“Pengawasan masyarakat adalah pengawasan yang dilakukan oleh warga masyarakat yang disampaikan secara lisan atau tertulis kepada aparatur pemerintah yang berkepentingan berupa sumbangan pikiran, saran gagasan atau keluhan / pengaduan yang bersifat membangun yang disampaikan baik secara langsung maupun tidak langsung”.30
F. Metode Penelitian
1. Metode Pendekatan
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif,
dalam penelitian ini selain menggunakan ketentuan-ketentuan hukum
yang berlaku di Indonesia juga menggunakan pendapat para ahli di bidang
hukum tertentu terutama yang terkait dengan penelitian ini, serta
28 Undang-undang tentang Kejaksaan …, op.cit., pasal 2 29 Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Yogyakarta, Liberty, 1997, hal.37 30 lampiran Instruksi Presiden tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan Melekat, Inpres Nomor 1 Tahun 1989 tanggal 20 Maret 1989.
xxviii
wawancara dengan beberapa informan yang relevan dengan obyek
penelitian.
2. Spesifikasi penelitian
Spesifikasi penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
deskriptif analitis karena bertujuan memberikan gambaran secara
menyeluruh dan mendalam tentang suatu keadaan atau gejala yang diteliti
serta menganalisa mengenai implementasi peran Komisi Kejaksaan
sebagai wujud partisipasi publik dalam rangka pengawasan lembaga
Kejaksaan. Hal ini diharapkan mampu memecahkan masalah dengan cara
memaparkan obyek penelitian apa adanya berdasarkan fakta-fakta yang
diperoleh pada saat penelitian.
3. Jenis dan sumber data
Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah jenis data primer dan
data sekunder. Data primer yang dipergunakan bersumber atau diperoleh
dari penelitian lapangan. Sedangkan data sekunder berupa data yang
bersumber atau diperoleh dari penelitian kepustakaan.
• Bahan hukum primer dapat berupa Undang-undang, Peraturan
Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Presiden, Keputusan Jaksa
Agung.
• Bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer dan dapat membantu memahami atau menganalisis
bahan hukum primer yang berbentuk buku-buku ilmiah yang
berkaitan dengan Peran Komisi Kejaksaan dan Kejaksaan, hasil
penelitian dan berbagai makalah, hasil seminar, majalah, jurnal ilmiah
dan surat kabar yang berkaitan dengan penelitian.
4. Metode dan pengumpulan data
Dengan menggunakan pendekatan masalah di atas maka pengumpulan
data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara studi pustaka dan
wawancara.
xxix
a. Studi kepustakaan (library research)
Studi kepustakaan merupakan pengkajian terhadap peraturan-peraturan
perundang-undangan, literatur-literatur, dokumen-dokumen, tulisan-
tulisan para ahli hukum dan tulisan yang erat kaitannya dengan
penelitian ini.
b. Wawancara
Adapun wawancara yang dilakukan adalah untuk melengkapi data
sekunder tersebut dengan cara mengajukan pertanyaan langsung kepada
responden secara terarah (directive interview) dan mendalam (depth
interview) dengan berpedoman pada daftar pertanyaan yang telah
dipersiapkan terlebih dahulu. Wawancara ini dilakukan dengan terbuka
kepada para Pejabat yang berwenang yang dapat memperjelas
persoalan-persoalan berkaitan dengan data yang sudah ada dan dari
Lembaga Swadaya Masyarakat. Dari hasil wawancara ini diharapkan
dapat memberi gambaran secara komprehensif tentang peran Komisi
Kejaksaan dalam melakukan pengawasan terhadap lembaga Kejaksaan.
c. Metode analisis Data
Data primer dan sekunder yang dikumpulkan dalam penelitian akan
dianalisa secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan
dibahas. Dengan metode analisis kualitatif normatif, penelitian ini akan
menghasilkan data deskriptif analitis yaitu apa yang dinyatakan oleh
responden secara tertulis atau lisan dan juga perilaku yang nyata yang
diteliti dan dipelajari sebagai suatu yang utuh.
xxx
G. Sistematika penulisan
Dalam penulisan tesis ini, penulis menggunakan sistematika sebagai
berikut :
Bab pertama (pendahuluan) merupakan pengantar dan pedoman bagi
pembahasan berikutnya. Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang
permasalahan, ruang lingkup dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan
penelitian, kerangka pemikiran, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab dua (Tinjauan pustaka) menguraikan tentang landasan teori yang
nantinya akan sangat membantu dalam analisis hasil-hasil penelitian yang
mencakup teori-teori hukum mengenai konsep dasar Komisi Kejaksaan dan
peran Komisi Kejaksaan sebagai Lembaga Pengawas Kejaksaan.
Bab Tiga (hasil penelitian) menguraikan analisis data dan pembahasan
atas hasil pengolahan data. Pembahasan tersebut mengenai pelaksaanaan peran
komisi Kejaksaan sebagai wujud partisipasi publik dalam rangka pengawasan
terhadap lembaga Kejaksaan, dengan menganalisa hambatan yang muncul
dalam pelaksanaan tersebut dan upaya untuk meminimalisir kendala-kendala
tersebut.
Bab empat (Penutup) berisi tentang kesimpulan dari penelitian yang
dilakukan dan saran-saran yang dianggap perlu sebagai masukan bagi pihak-
pihak yang terkait.
xxxi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sistem Peradilan Pidana (SPP)
Di amerika serikat, pada tahun 60-an, muncul ketidakpuasan atas
penyelenggaraan peradilan, sebagai upaya ketidakpuasan tersebut muncul
konsep pendekatan Criminal Justice System yaitu sebuah pendekatan sistem
dalam mekanisme penyelenggaraan peradilan pidana. Romli Atmasasmita
sebagaimana dikutip Mujahid mengatakan bahwa bekerjanya SPP
menitiberatkan pada administrasi peradilan31. Konsep ini kemudian diadopsi
dan dikembangkan di Indonesia sesuai kondisi yang ada mulai mendapat
perhatian pada dasawarsa terakhir ini.32
Indriyanto Seno Adji mengatakan bahwa Sistem Peradilan Pidana di
Indonesia ini sebenarnya merupakan terjemahan sekaligus penjelmaan dari
Criminal Justice System, suatu sistem yang dikembangkan oleh praktisi
hukum (Law enforcement officers) di Amerika Serikat.33
Dikatakan oleh Norvel Morris sebagaimana dikutip Mardjono
Reksodiputro, bahwa Sistem Peradilan Pidana adalah suatu operasionalisasi
atau suatu sistem yang bertujuan untuk menanggulangi kejahatan, salah satu
usaha masyarakat untuk mengendalikan terjadinya kejahatan negara berada
dalam batas-batas toleransi yang dapat diterima. Sistem ini dianggap berhasil
apabila sebagian besar dari laporan masyarakat yang menjadi korban
31 Mujahid, Menciptakan Mekanisme Pengawasan yang Efektif dalam SPP, Tesis Program Pasca Sarjana UI. 2004, hal. 36 32 Harkristuti Harkrisnowo, Sistem Peradilan Pidana Terpadu dan Peran Akademis, Loc. cit 33 Indriyanto Seno Adji, Arah dan Sistem Peradilan (Pidana) terpadu Indonesia (suatu tinjauan pengawasan aplikatif dan praktek), dengan topic mencari format pengawasan dalam system peradilan terpadu, Jakarta: Komisi Hukum Nasional, tanggal 18 April 2001, hal. 5.
xxxii
kejahatan dapat “diselesaikan” dengan diajukannya pelaku kejahatan ke
sidang pengadilan dan diputus bersalah serta mendapat pidana.34
Menurut Loebby Loqman tujuan dari SPP adalah :
Terciptanya keadilan dalam memperjelas suatu perkara, disamping untuk menjaga agar hak asasi manusia terlaksana meskipun terjadi upaya paksa yang tentunya akan terjadi pelanggaran hak asasi manusia tersebut. Tujuan lain dari SPP adalah menjaga agar seorang yang tidak bersalah dilakukan pemidanaan, sebagai tujuan dari Hukum Acara Pidana lainnya, yaitu mencari kebenaran materiil dimana dengan demikian akan tercipta suatu keadilan dalam masyarakat.35
Dalam perkembangannya, Sistem Peradilan Pidana itu mengalami
perluasan arti dan tujuannya sebagaimana digambarkan oleh Mardjono
Reksodiputro sebagai berikut :
Diatas memang tugas utama dari sistem ini, tetapi tidak merupakan
keseluruhan tugas sistem. Masih merupakan bagian tugas sistem
adalah mencegah terjadinya korban kejahatan maupun mencegah
bahwa mereka yang sedang ataupun telah selesai menjalani pidana
tidak mengulangi lagi perbuatan mereka melanggar hukum itu. Dengan
demikian cakupan tugas sistem ini memang luas : (a) mencegah
masyarakat menjadi korban kejahatan, (b) menyelesaikan kejahatan
yang terjadi, sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah
ditegakkan dan yang bersalah dipidana, serta (c) berusaha agar mereka
yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi
perbuatannya.36
Di Amerika Serikat, dikemukakan oleh Prof. Neil C. Chalin, Ph.d.
sebagaimana dikutip Indriyanto Seno Adji, pada dasarnya komponen dari
Sistem Peradilan Pidana hanyalah terdiri dari Polisi, Pengadilan dan Lembaga 34 Mardjono Reksodiptro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan karangan buku ke dua, Jakarta; Lembaga Kriminologi UI, Hal. 140 35 Loebby Loqman, Eksistensi Kejaksaan RI dalam Sistem Peradilan Pidana¸Makalah, Jakarta, 13 November 2001 36 Mardjono reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Makalah, Jakarta, 13 November 2001
xxxiii
Pemasyarakatan yang bertujuan untuk menanggulangi kejahatan yang timbul
di dalam tata kehidupan masyarakat pada tingkat lokal government. Jelasnya
dikatakan 37:
Basiccally the American Criminal Justice System is composed of Police, courts, and corrections in local, state, and federal levels. These criminal justice components functions separately and together with majority of activities occuring at the local level of government (city and county).
Menurut Soedjono Dirdjosisworo, penyelenggaraan peradilan pidana
dapat dipahami sebagai mekanisme bekerjanya aparat penegak hukum pidana
mulai dari proses penyidikan, penuntutan, pemeriksaan sidang di Pengadilan
serta pelaksanaan keputusan pengadilan.38 Muladi berpendapat bahwa
penyelenggaraan peradilan pidana tidak hanya menyangkut mekanisme
bekerjanya aparat hukum pidana, penyelenggaraan peradilan pidana mencakup
pengelolaan yang berkaitan dengan organisasi, administrasi dan pengaturan
finansial badan-badan hukum.39
Di Indonesia, tahapan dalam peradilan pidana dijalankan oleh sub-
sistem yaitu terhadap penyidikan oleh Kepolisian, penuntutan oleh Kejaksaan,
pemeriksaan sidang Pengadilan oleh Pengadilan, pemasyarakatan oleh
Lembaga Pemasyarakatan. Keempat komponen ini bekerjasama membentuk
apa yang dikenal dengan nama suatu “Integrated Criminal Justice”.40
Indriyanto Seno Adji mengatakan bahwa :
Mardjono Reksodiputro-lah yang memperkenalkan dan memperluas konsep “Sistem Peradilan Pidana” begitu pula dengan konsep “Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT)” sebagai terjemahan dari “Integrated of Criminal Justice System”. Mardjono Reksodiputro menghendaki adanya pelaksanaan sistem peradilan pidana yang
37 Indriyanto Seno Adji, Arah Sistem Peradilan (Pidana) Terpadu Indonesia (suatu tinjauan pengawasan Aplikatif dan Praktek, loc.cit 38 Ibid 39 Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Arah Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta: The Habibie Center, 2002, hal. 52 40 Mardjono Reksodiptro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Op. Cit, Hal. 85
xxxiv
terpadu diantara keempat komponen yang ada. Cara kerja keempat komponen itu diibaratkan sebagai bejana berhubungan. Satu dari keempat komponen mengalami gangguan akan mempengaruhi cara kerja komponen lainnya. Misalnya, pemeriksaan tersangka yang dilakukan dengan penyiksaan, senyatanya akan mengakibatkan kelemahan pada dakwaan Jaksa di hadapan Pengadilan. Sudah barang tentu pengadilan dapat menilai Berita Acara Penyidikan yang diperoleh berdasarkan penyiksaan itu. Akibat lebih jauh, lembaga pemasyarakatan, sebagai bagian dari sistem ini, tidak dapat berhasil membina pelakunya untuk menjadi bagian masyarakat seutuhnya, karena tersangka / terdakwa telah dibebaskan oleh pengadilan mengingat cacatnya penyidikan yang dilakukan oleh sub-sistem kepolisian.41
Sebagai suatu sistem, maka cara kerja Sistem Peradilan Pidana ini
didukung oleh keempat komponen diatas (Polisi, Jaksa, Hakim dan Lembaga
Pemasyarakatan). Ada sementara pihak berpendapat bahwa pembatasan
komponen Sistem Peradilan Pidana, tanpa memasukkan advokat didalamnya,
mengingat keberadaan profesi advokat hanya merupakan bagian dari cara
kerja sub-sistem peradilan saja. Indriyanto Seno Adji mengatakan bahwa hal
demikian perlu diperbaiki. Advokat, sebagai bagian dari profesi hukum
mempunyai tugas yang sama dalam proses penegakan hukum di indonesia.
Advokat telah mendapat pengakuan sebagai salah satu sub-sistem SPP melalui
Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
memberikan bantuan hukum sejak proses penyidikan, penuntutan sampai
dengan proses peradilan.
Lebih lanjut Mardjono Reksodiputro mengemukakan
bahwa :
Sering kita melupakan bahwa lembaga-lembaga yang melaksanakan
penyelenggaraan peradilan pidana harus saling berhubungan dalam
suatu sistem. Oleh karena itulah sering dipergunakan istilah “Sistem
Peradilan Pidana”, yang terdiri atas sub-sub sistem : Kepolisian,
Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Dalam sistem 41 Indriyanto Seno Adji, arah system peradilan (pidana) Terpadu Indonesia (Suatu Tinjauan Pengawasan Aplikatif dan praktek), op.cit, Hal .7
xxxv
peradilan inilah, maka profesi pengacara (Advokat), profesi jaksa dan
profesi hakim melakukan masing-masing tugas mereka.42
Setiap sistem mempunyai tujuan tertentu yang harus dihayati baik oleh
sub sistem itu sendiri maupun sub sistem lainnya. Meskipun setiap sub-sistem
akan mempunyai pula tujuannya sendiri, yang merupakan landasan dan
pedoman kerja bagi mereka yang bekerja dalam sub-sistem yang
bersangkutan, tetapi masing-masing tujuan sub-sistem tidak boleh
bertentangan dengan tujuan utama, yaitu dari sistem itu sendiri (dalam hal ini
: Sistem Peradilan Pidana).43 Kesalahan pada sub-sistem yang satu akan
mengakibatkan kegagalan pada sub-sistem yang lainnya sehingga tujuan dari
sistem itu sendiri yaitu tujuan SPP tidak akan terwujud.
Menurut Romli Atmasasmita sebagaimana dikutip Mujahid, lima ciri
pendekatan sistem peradilan pidana :
1. Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan
pidana;
2. Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh
komponen peradilan pidana;
3. Efektivitas dari sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari
efisiensi penyelesaian perkara;
4. Penggunaan hukum sebagai instrument untuk memantapkan the
administration of justice.44
Muladi berpendapat, penggunaan istilah sistem dalam SPP, semua sub-
sistem harus mengarah pada 6 hal, yaitu :
1. Berorientasi pada tujuan yang sama; 42 Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, op. cit, hal. 79-80 43 Ibid 44 Mujadid, Menciptakan Mekanisme Pengawasan yang Efektif Dalam SPP, Op. cit, hal.38
xxxvi
2. Menjauhkan sifat fragmentaris;
3. Berinteraksi dengan sistem yang lebih besar;
4. Adanya keterkaitan dan ketergantungan antar sub-sistem;
5. Operasionalisasi bagian-bagiannya menciptakan nilai tertentu;
6. Adanya mekanisme kontrol dalam rangka pengendalian.45
Dengan melihat pendapat diatas dapat dilihat terdapat jenis pendekatan
internal dan eksternal dalam pelaksanaan SPP. Pendekatan internal mencakup
bagaimana SPP bekerja untuk mencapai tujuan dimana salah satu sub-sistem
dari SPP adalah Kejaksaan, sedangkan pendekatan eksternal menempatkan
SPP dalam sistem yang lebih besar dimana terdapat interaksi antara SPP
dengan sistem sosial lainnya. Dalam hal ini Kejaksaan sebagai Sub-sistem
SPP merupakan bagian dari interaksi tersebut. Dari pendekatan tersebut,
dibutuhkan sebuah mekanisme pengawasan untuk menilai bagaimana SPP
bekerja untuk mencapai tujuannya.
Dari uraian diatas dapat kita lihat 3 hal mendasar yang harus
diperhatikan dalam pembaharuan SPP di Indonesia yaitu keterpaduan dalam
SPP, adanya interaksi SPP dan adanya mekanisme kontrol. Pendekatan sistem
dalam SPP menyangkut masalah perencanaan, organisasi dan kebijakan.
Dengan sendirinya seluruh komponen-komponen yang ada yaitu Kepolisian,
Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan dan advokat mempunyai
perencanaan, pengorganisasian dan pengambilan kebijakan dimungkinkan
berbeda. Akan tetapi, perbedaan antar sub-sistem harus dalam kerangka
pandangan dan tujuan. Oleh karena itu dalam SPP memungkinkan adanya
konsep Unity in diversity. Maksudnya, dalam peradilan pidana setiap sub-
sistem SPP menjalankan fungsi masing-masing dengan membedakan praktis
yang berbeda pula tetapi tetap dalam kerangka besar SPP.
45 Muladi, Peran Administrasi Peradilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu, Newsletter Komisi Hukum Nasional, Edisi Mei 2002.
xxxvii
Menurut Muladi, tidak hanya dalam konteks hukum acara semata. SPP
juga mencakup kesamaan pandang dalam hukum materiel dan hukum
pelaksanaan pidana. Lebih jauh Muladi berpendapat :
Konotasi bahwa SPP tidak hanya bersentuhan dengan hukum formal
semata, apa yang dinamakan sistem abstrak tercermin dari hukum
materiil yang menggambarkan secara jelas aliran hukum pidana yang
dianut suatu bangsa, yang selanjutnya diterjemahkan dalam hukum
formil dan hukum pelaksanaan pidana46.
Hubungan antara sub-sistem dalam SPP bersifat interdependen, yakni
pendekatan sistem terhadap peradilan terhadap peradilan pidana membuka
ruang adanya konsultasi dan kooperasi antar sub-sistem47. Lebih jauh
Harkristuti Harkrisnowo menggambarkan, pendekatan sistem yang digunakan
untuk mengkaji peradilan pidana mempunyai implikasi :
1. Semua sub-sistem akan saling tergantung, karena produk suatu
sub-sistem merupakan masukan bagi sub-sistem yang lain;
2. Pendekatan sistem mendorong adanya inter-agency consultation
and corporation, yang pada gilirannya akan meningkatkan upaya
penyusunan strategik dari keseluruhan sub-sistem;
3. Kebijakan yang diputuskan dan dijalankan oleh satu sub-sistem
akan berpengaruh pada sub-sistem lain48.
Menjadi keharusan, sub-sistem dalam sebuah sistem berorientasi pada
tujuan yang sama. Untuk mencapainya, dibutuhkan sebuah mekanisme yang
terarah. Ketidakpaduan antar sub-sistem administrasi peradilan pidana akan
menyebabkan terhambatnya proses peradilan. Fragmentasi sub-sistem akan 46 Muladi, Akses Pengadilan dan Bantuan Hukum, Makalah Workshop Akses Publik ke Pengadilan,. Jakarta 10 Juli 2002 47 Harkristuti Harkrisnowo, Sistem Peradilan Pidana Terpadu dan peran Akademis, loc.cit. 48 Ibid
xxxviii
mengurangi efektivitas sistem bahkan menyebabkan keseluruhan sistem
disfungsional.49
Untuk mewujudkan SPP terpadu dan menghindari adanya fragmentasi
maka perlu adanya sinkronisasi dalam SPP baik substansi, struktur maupun
budaya hukum.50 Sinkronisasi substansial mencakup sinkronisasi peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan SPP yang mengenai tugas dan
wewenang aparat penegak hukum dan hakim.51
Sinkronisasi struktural dalam melaksanakan tugas dan wewenang
mencakup keselarasan dalam mekanisme penyelenggaraan peradilan pidana
dalam kerangka hubungan antar sub-sistem. Selain Kepolisian, penyidikan
dilakukan juga oleh Kejaksaan dan penyidik PNS lainnya, oleh karena itu
perlu adanya sinkronisasi, sehingga tidak tumpang tindih pelaksanaan tugas
antara aparat penegak hukum. Sinkronisasi kultural mengandung usaha untuk
selalu serempak dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan
falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya Sistem Peradilan
Pidana.52
Perlunya sinkronisasi dalam ketiga aspek tersebut karena perlunya
kesamaan pandang dan gerak seluruh sub-sistem SPP dalam mencapai tujuan
SPP. Masalah utama yang muncul dalam pelaksanaan SPP sekarang, menurut
Harkristuti belum seluruh ketentuan berorientasi pada sistem demi menunjang
kinerja semua lembaga dalam proses peradilan pidana.53
Untuk mewujudkan sebuah SPP terpadu, terdapat sejumlah
contributing factors yang perlu diperhatikan. Harkristuti menjelaskan
contributing factors antara lain :
49 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Op.cit, hal. 1 50 Ibid. 51 Barda Nawawi Arief, Sistem Peradilan Pidana Terpadu dalam kaitannya dengan Pembaharuan Kejaksaan, Makalah pada Forum dengar Publik: Pembaharuan Kejaksaan, diselenggarakan oleh KHN, Kejaksaan Agung dan Partnership for Governance Reform ini Indonesia, Jakarta, 24-25 Juni 2003. 52 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Loc. Cit. 53 Harkristuti Harkrisnowo, Sistem Peradilan Pidana Terpadu dan Peran Akademis, Loc.cit
xxxix
1. Penerapan hukum dan kebijakan mengenai SPP sangat bergantung pada kerjasama antar lembaga;
2. Persepsi tiap lembaga mengenai peran mereka dalam proses peradilan pidana akan sangat mempengaruhi keputusan-keputusan kunci dan penerapan ketentuan formal;
3. Kerjasama antar lembaga dapat ditingkatkan atau mungkin sebaliknya dihambat oleh sikap dan hubungan antar lembaga-lembaga yang berbeda dengan para pihak yang terlibat;
4. Setiap perubahan dan reformasi mengenai kebijakan dan perundang-undangan, oleh karenanya harus memperhitungkan pula kesiapan dan kualitas Sumber daya serta budaya hukum masyarakat;
5. Dibutuhkan kepekaan yang lebih tinggi dari lembaga terkait untuk memiliki dan mencapai tujuan bersama.54
1. Pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Terpadu
Dalam menjalankan fungsinya, SPP selalu terkait oleh beberapa asas
umum dan pokok standar minimum penyelenggaraan peradilan pidana.
Standar minimum tersebut juga menjadi acuan minimum terhadap
pengawasan dalam SPP, standar minimum yang dimaksud adalah persamaan
di muka hukum, Due Process of law, 55 sederhana dan cepat, efektif dan
efisien dan akuntabilitas.
Dari keenam asas tersebut, mekanisme kontrol merupakan salah satu
bentuk implementasi asas akuntabilitas. Dalam asas akuntabilitas, terkandung
mekanisme kontrol efektif, rasional, proporsional serta obyektif.
Menurut Muladi, dalam SPP, semua sub-sistem harus ada mekanisme
kontrol dalam rangka pengendalian, yang mana pelaksanaan pengawasan
tersebut tidak terlepas dan selalu menjadi bagian integral pelaksanaan fungsi
SPP itu sendiri. Dengan kata lain pengawasan bertujuan untuk mengawal
pelaksanaan SPP dengan berorientasi untuk mencapai tujuan SPP.56
54 Harkristuti Harkrisnowo, Sistem Peradilan Pidana Terpadu dan Peran Akademis, Loc.Cit. 55 Mardjono Reksodiputro mengartikan asas tersebut sebagai proses hukum yang wajar 56 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Loc. cit
xl
Untuk mendukung dan mewujudkan sebuah Sistem Peradilan Pidana
Terpadu, terdapat banyak model dan konsep pengawasan. Harkristuti
Harkrisnowo berkenaan dengan model pengawasan menawarkan beberapa
bentuk mekanisme kontrol, antara lain :
1. Internal (oleh lembaga yang bersangkutan sendiri, baik per group maupun atasan);
2. Eksternal (oleh pihak luar lembaga).57
Dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1989 disebutkan terdapat
beberapa macam pengawasan antara lain :58
a. Pengawasan melekat adalah serangkaian kegiatan yang bersifat sebagai pengendalian yang terus-menerus dilakukan oleh atasan langsung terhadap bawahannya, secara preventif atau represif agar pelaksanaan tugas bawahan tersebut berjalan secara efektif dan efisien sesuai dengan rencana kegiatan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. Pengawasan fungsional adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat pengawasan secara fungsional baik intern pemerintah maupun ekstern pemerintah, yang dilaksanakan terhadap pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan agar sesuai dengan rencana dan peraturan perundang-undangan;
c. Pengawasan masyarakat, adalah pengawasan yang dilakukan oleh warga masyarakat yang disampaikan secara lesan atau tertulis kepada aparatur pemerintah yang berkepentingan berupa sumbangan pikiran, saran gagasan atau keluhan atau pengaduan yang bersifat membangun yang disampaikan baik secara langsung maupun tidak langsung;
d. Pengawasan legislatif adalah pengawasan yang dilakukan oleh lembaga perwakilan rakyat terhadap kebijaksanaan dan pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan.
Sebagai sebuah sistem SPP menyangkut masalah perencaanaan,
organisasi dan kebijakan. Masing-masing komponen mempunyai model dan
mekanisme perencanaan, pengorganisasian dan pengambilan kebijakan sendiri 57 Op.cit 58 Lampiran Instruksi Presiden tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan Melekat, Inpres Nomor 1 Tahun 1989 tanggal 20 Maret 1989.
xli
sesuai dengan fungsi kewenangannya dalam SPP, perbedaan tersebut juga
terjadi dalam sebuah kebijakan dan pengorganisasian sistem pengawasan.
Walaupun berbeda, akan tetapi hal tersebut haruslah tetap dalam kerangka
pandangan dan tujuan SPP secara keseluruhan.
2. Kejaksaan sebagai bagian dari Pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana
Terpadu
Pendekatan sistem dalam SPP juga berimplikasi adanya sebuah
koordinasi dan kerjasama antar sub-sistem. Di lain pihak, untuk mendorong
profesionalisme, dalam SPP juga dibutuhkan mekanisme kontrol secara tegas
yang diatur dalam perundang-undangan.59 Dengan demikian dibutuhkan
mekanisme kontrol yang terpadu dalam sistem peradilan pidana dengan
melibatkan masyarakat pada umumnya.
Sistem Peradilan Pidana merupakan rangkaian suatu mekanisme yang
terdiri dari sub-sistem dalam peradilan pidana. Kejaksaan merupakan salah
satu sub sistem dalam peradilan pidana. Kejaksaan merupakan salah satu sub-
sistem dalam SPP selain Kepolisian, Pengadilan dan Lembaga
Pemasyarakatan. Sub-sistem tersebut merupakan bagian saling terkait,
meskipun tiap sub-sistem tersebut mempunyai mekanisme kerja sesuai dengan
fungsinya masing-masing. Tidak dapat dihindari adalah sub-sistem lembaga
bantuan hukum tidak dapat dipungkiri bahwa ia adalah bagian dari SPP.
Keseluruhan mekanisme tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan sehingga proses peradilan pidana berjalan sesuai dengan tujuan
Hukum Acara Pidana dan juga termasuk tujuan dari SPP.60
Sebagaimana diketahui bahwa sub-sistem dalam SPP dimulai dengan
lembaga penyelidik oleh penyelidik, yang dilanjutkan dengan penyidikan oleh
59 Dalam hal ini, Harkristuti Harkrisnowo juga menekankan perlunya memberikan akses public unutk terlibat dalam penyelenggaraan peradilan pidana. Baca Harkristuti Harkrisnowo, Loc.cit. 60 Loebby Loqman, loc. cit
xlii
pegawai penyidik, penuntutan oleh Kejaksaan, pemeriksaan di depan
Pengadilan serta pembinaan narapidana oleh Lembaga Pemasyarakatan.
Peranan lembaga Kejaksaan sebagai salah satu sub-sistem SPP dan
sebagai lembaga penegak hukum posisinya sangat menentukan berhasil
tidaknya SPP. Adapun tugas dan wewenang lembaga Kejaksaan antara lain :
1. Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang :
a. Melakukan penuntutan;
b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap;
c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke Pengadilan dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
2. Di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.
3. Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan:
a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum;
c. Pengawasan peredaran barang cetakan;
d. Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;
e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
f. Penelitian dan pengembangan hukum serta stastistik kriminal.61
Disamping tugas pokok di atas, Kejaksaan juga dapat meminta kepada
Hakim untuk menempatkan seorang terdakwa di rumah sakit, tempat
61 Undang-undang tentang Kejaksaan Republik Indonesia, UU No. 16 Tahun 2004, Op.Cit, Pasal 30.
xliii
perawatan jiwa, atau tempat lain yang layak karena yang bersangkutan tidak
mampu berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal-hal yang dapat
membahayakan orang lain, lingkungan, atau diri sendiri dan Kejaksaan dapat
diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang. Serta
Kejaksaaan dapat memberikan pertimbangan hukum kepada instansi
pemerintah lainnya.62
Tugas dan kewenangan Kejaksaan dalam lingkup peradilan dipertegas
dalam KUHAP63, dimana posisi Kejaksaan sebagai lembaga penuntutan dalam
SPP. Dalam KUHAP disebutkan Penuntut umum mempunyai kewenangan:
1. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu;
2. mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik;
3. memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
4. membuat surat dakwaan;
5. melimpahkan perkara ke pengadilan;
6. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;
7. melakukan penuntutan;
8. menutup perkara demi kepentingan umum;
9. mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan Undang-undang ini;
10. melaksanakan penetapan hakim.64
62 Ibid, pasal 31, 32 dan pasal 33 63 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Op.cit 64 Ibid, pasal 14
xliv
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tugas dan wewenang
Kejaksaan adalah sebagai penuntut umum, penyidik tindak pidana tertentu dan
mewakili negara/ pemerintah dalam perkara perdata dan tata usaha negara
serta memberikan pertimbangan hukum kepada instansi pemerintah mewakili
kepentingan umum.
B. Wewenang Penyidikan
Ide dasar yang terkandung di dalam KUHAP adalah penyidik utama
adalah kepolisian. Tetapi dalam pasal 284 KUHAP secara khusus memberikan
kewenangan kepada Kejaksaan untuk menyidik perkara tindak pidana khusus
untuk sementara dimaksudkan untuk mempersiapkan sumber daya manusia
serta sarana prasarana di dalam Kepolisian agar pada waktunya dirinya sudah
memadai sebagai penyidik.65
Ada dua macam perkara pidana umumnya yang harus mengikuti ketentuan
dalam KUHAP untuk sementara, pasal 284 ayat (2) menyebutkan bahwa :
"Dalam jangka waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terdapat semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi”.
Sementara dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan, “yang dimaksud dengan “ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu” ialah ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada, antara lain :
1. Undang-undang tentang pengusutan, penuntutan dan peradilan tindak pidana ekonomi (undang-undang nomor 7 Drt. Tahun 1995);
2. Undang-undang tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (undang-undang Nomor 31 tahun 1999 jo UU Nomor 20 tahun 2001), dengan catatan bahwa semua ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu akan ditinjau kembali, diubah atau dicabut dalam waktu sesingkat-singkatnya.
65 Loebby loqman, loc.cit
xlv
Selanjutnya mengenai kewenangan penyidikan oleh Kejaksaan
dipertegas dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
dapat dijumpai pada pasal 30 ayat (1) huruf d bahwa “di Bidang Pidana,
Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap
tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang.
Dengan demikian nampak jelas bahwa dalam perkara tindak pidana
khusus Kejaksaan mempunyai wewenang untuk menyidik. Sementara itu,
Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan dapat dijumpai pada
pasal 30 ayat (1) huruf e yaitu memberi kewenangan pada Kejaksaan untuk
melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam
pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
C. Wewenang penuntutan
Pengertian penuntutan adalah suatu tindakan penuntut umum untuk
melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang, yang
dalam hal ini dan cara yang diatur dalam undang-undang dengan permintaan
supaya diperiksa oleh Hakim di Pengadilan.66 Selanjutnya dalam Undang-
undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI pasal 2 angka (1),
disebutkan bahwa Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam
undang-undang ini yang disebut Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang
melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain
berdasarkan undang-undang.
Untuk kesempurnaan tugas penuntutan, Jaksa perlu mengetahui
sejelas-jelasnya semua pekerjaan yang dilakukan dalam penyidikan perkara
66 Pasal 1 angka (7) KUHAP dan pasal 3 Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI.
xlvi
pidana dari permulaan sampai akhir, yang seluruhnya dilakukan atas dasar
hukum.67
Oleh karena itu, prapenuntutan merupakan wewenang yang diberikan
undang-undang kepada Jaksa Penuntut Umum. Apabila Jaksa Penuntut telah
menerima dan memeriksa hasil penyidikan dari Kepolisian berikut bukti-
buktinya, dan kemudian berpendapat hasil penyidikan belum lengkap dan
sempurna, maka atas dasar itu, Jaksa Penuntut Umum segera mengembalikan
berkas dengan disertai petunjuk-petunjuk seperlunya.68 Misalnya, tambahan
dan merinci tindakan tersangka dan mencari bukti lainnya yang akan
memperkuat dugaan pelanggaran tersebut dan sebagainya. Dalam kaitan ini,
penyidik segera melaksanakan permintaan penuntut umum.
Sebaliknya, Jaksa Penuntut Umum berpendapat bahwa pemeriksaan
pendahuluan sudah lengkap, maka Jaksa Penuntut Umum segera membuat
surat dakwaan dan melimpahkannya ke Pengadilan.69 Dan Jaksa Penuntut
Umum harus memperhatikan dua hal yaitu kepentingan umum dan
kepentingan tersangka. Bagi tersangka, Jaksa Penuntut Umum memberikan
kesempatan untuk persiapan pembelaan dirinya. Bagi kepentingan umum
adalah untuk menghindari sejauh mungkin jalan menghentikan penuntutan
demi kepentingan umum.
Dalam hal penuntut umum berpendapat ada alasan untuk tidak
menuntut ia harus menetapkan untuk menghentikan penuntutan. Ada dua
macam keputusan tidak menuntut yang dibenarkan KUHAP. Pertama,
penghentian penuntutan karena alasan teknis. Kedua, Penghentian penuntutan
karena alasan kebijakan.70
67 Martiman Prodjohamidjojo, Teori dan Praktek membuat surat dakwaan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002, hal.26. 68 Baca pasal 110 ayat (2) dan pasal 138 angka (2) KUHAP, Op. cit. 69 Ibid, pasal 140 ayat (1) 70 R.M. Surachman & Andi Hamzah, Jaksa di berbagai Negara, Op.cit, Hal, 37
xlvii
Wewenang tidak menuntut karena alasan teknis ada tiga keadaan yang
dapat menyebabkan penuntut umum membuat ketetapan tidak menuntut
karena alasan teknis atau ketetapan penghentian penuntutan, yaitu :71
1) Kalau tidak cukup bukti;
2) Kalau peristiwanya bukan tindak pidana korupsi;
3) Kalau perkaranya ditutup demi hukum.72
Wewenang tidak menuntut karena alasan kebijakan (diskresi) penuntutan yang
dijalankan di Jepang dan negeri belanda bersumber dari asas yang dikenal
sebagai “asas oportunitas” atas kebijakan penuntutan. Dalam “asas
oportunitas” Jaksa boleh memutuskan tidak akan menuntut perkara pidana
apabila penuntutan itu tidak dapat dilakukan atau tidak patut dilakukan atau
tidak dikehendaki, atau apabila penuntutan itu akan lebih merugikan
kepentingan umum atau pemerintah daripada apabila penuntutan dilakukan.73
Dalam Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia pasal 35 huruf c “Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang
mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.74
D. Pengawasan lembaga Kejaksaan sebagai bagian pengawasan terhadap
SPP.
Pengawasan lembaga Kejaksaan sebagai subsistem SPP sangat penting
artinya sebagai rangkaian pengawasan secara menyeluruh terhadap sub-sub
71 Pasal 140 ayat (2) KUHAP: a) dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan 72 Ditutup demi hukum meliputi tersangkanya mati, kadaluwarsa, dan nebis in idem 73 R.M. Surachman & Andi Hamzah, Jaksa di berbagai Negara, Op.cit, Hal.14 74 Yang dimaksud “kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa dan Negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan opportunitas yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negera yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.
xlviii
sistem yang lain dalam kerangka yang lebih luas dalam hubungannya untuk
mencapai tujuan SPP dan penegakan hukum.
Mardjono Reksodiputro lebih lanjut mengatakan :
Keterkaitan antar sub-sistem satu dengan yang lainnya adalah seperti
“bejana berhubungan” setiap masalah dalam salah satu subsistem (mis:
Kejaksaan) akan menimbulkan dampak pada sub-sistem awal dan
demikian selanjutnya terus menerus. Pada akhirnya tidak jelas mana
yang merupakan sebab (awal) dan yang mana akibat (reaksi).75
Ini tidak terlepas dengan adanya mekanisme kontrol terhadap sub-sub
sistem dalam SPP termasuk lembaga Kejaksaan.
Berkaitan dengan hal tersebut pertanggungjawaban Kejaksaan dapat
dilihat dari dua sisi, pertama pertanggungjawaban institusi dan kedua,
pertanggungjawaban personal. Sedangkan pengawasan terkait dengan
pedoman organisasi, kebijakan, prosedur dan peraturan. Adanya (discretion)
kebijakan kewenangan dan penggunaan wewenang dari aspek positif, justru
merupakan saran acuan bagi aparatur Kejaksaan di dalam menjalankan tugas
dan wewenangnya secara bertanggungjawab.76
Jaksa selaku penegak hukum di dalam menggunakan kewenangannya
di dalam bertindak dalam hal bersentuhan dengan kepentingan publik seperti
pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penyitaan, penangkapan serta
penahanan dengan cara-cara yang diatur oleh undang-undang tidak menutup
kemungkinan dapat melanggar hak asasi manusia.
Berkenaan dengan hal tersebut Adnan Buyung Nasution, mengatakan
bahwa :
Kejaksaan Agung harus menegakkan prinsip-prinsip atau nilai-nilai negara hukum. Yaitu kebenaran dan keadilan serta hak-hak asasi
75 Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dan Sistem Peradilan Pidana, op. cit , hal. 89 76 Marwan Effendy, Akuntabilitas Kejaksaan dan Komisi Pengawas, Makalah, Jakarta 28 Oktober 2004.
xlix
manusia, pikiran ini bersifat normatif, karena substansi hukum itu berisi norma-norma yang harusnya menjadi dasar dan acuan dalam sikap maupun tindakan Kejaksaan yang menjalankan tugas dan fungsinya. Dengan kata lain perkataan nilai-nilai kebenaran, keadilan dan hak-hak asasi manusia itulah roh daripada hukum. Nilai hak asasi manusia menjadi bagian dari roh hukum karena hak asasi manusia merupakan intisari dari pengertian negara hukum maupun demokrasi.77
Pertanggungjawaban Kejaksaan secara institusi terhadap penuntutan
yang dilakukan secara independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati
nurani langsung kepada Presiden dan DPR sebagaimana diamanatkan oleh
pasal 37 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. Ini
merupakan konsekuensi logis dari posisinya di dalam sistem ketatanegaraan
sebagai “lembaga pemerintah”.78
Berkenaan dengan hal tersebut Harkristuti Harkrisnowo mengatakan bahwa :
Pengawasan merupakan salah satu pilar dalam manajemen yang baik, lemahnya pengawasan akan membawa dampak yang negatif pada seluruh produktivitas lembaga apapun. Sebagai pemegang kekuasaan untuk melalukan proses peradilan, kewenangan yang tanpa batas akan membahayakan publik. Oleh karenanya diperlukan mekanisme kontrol untuk mencegah atau paling tidak mereduksi adanya penyimpangan hukum dan penyalahgunaan kewenangan demi terjaminnya hak asasi manusia. Mekanisme kontrol yang diciptakan haruslah rasional, proporsional dan obyektif.79
77 Adnan buyung Nasution, Posisi Kejaksaan : Kemandirian Kelembagaan dalam mewujudkan supremasi hukum, Pokok-pokok pikiran sebagai pengantar diskusi pada seminar sehari tentang “Posisi Kejaksaan dalam Sistem ketatanegaraan RI:Dalam rangka HBA, Jakarta tanggal 20 Juli 2000. 78 Marwan Effendy, Akuntabilitas Kejaksaan dan Komisi Pengawas, loc.cit pasal 37 UU Nomor 16 Tahun 2004. 79 Harkristuti Harkrisnowo, Membangun Strategi kinerja Kejaksaan bagi peningkatan Produktivitas, Profesionalisme, dan Akuntabilitas Publik: Suatu usulan pemikiran, makalah disampaikan dalam rangka seminar mewujudkan supremasi hokum, Puslitbang Kejagung, Jakarta, 22 Agustus 2001.
l
Selanjutnya Harkristuti Harkrisnowo mengatakan bahwa : untuk dapat
menjamin kinerja yang baik, dalam penyelenggaraan proses peradilan pidana
oleh Kejaksaan mekanisme kontrol dapat dilakukan sebagai berikut :
1. Mekanisme kontrol internal, yang dapat dirumuskan dalam perundang-
undangan internal lembaga, yang mendorong agar :
a. Sesama aparat menjaga kinerja kolega mereka; dan
b. Agar atasan meningkatkan kualitas produk aparat yang dipimpinnya,
dengan memberikan penghargaan pada personel yang berprestasi, dan
menjatuhkan sanksi dalam berbagai tingkatan, bagi mereka yang buruk
performancenya;
2. Mekanisme kontrol eksternal, yang dapat dilakukan oleh lembaga penegak
hukum antara lain maupun oleh publik :
a. Kontrol oleh lembaga lain dalam Sistem Peradilan Pidana.
Kontrol ini harus secara tegas dirumuskan dalam perundang-undangannya sekaligus dengan sanksi yang diancamkan apabila personel atau lembaga tidak melaksanakan kewajibannya sesuai dengan due process of Law;
b. Kontrol oleh publik.
Untuk menegaskan bahwa partisipasi publik merupakan faktor pendorong profesionalisme Kejaksaan, maka perlu dirancang adanya mekanisme kontrol yang memberikan akses pada publik manakala kinerja lembaga ini mengabaikan ketentuan yang ada. Selain melalui pra peradilan, adanya lembaga yang melakukan pemantauan terhadap setiap lembaga akan sangat membantu. Melihat pentingnya lembaga semacam ini, maka perumusannya perlu dimasukkan dalam peraturan perundang-undangan organik, untuk menjamin bahwa keberadaannya diperhatikan oleh Kejaksaan.80
Mekanisme kontrol terhadap lembaga Kejaksaan secara internal yaitu
Jaksa Agung Muda Pengawasan, Majelis kehormatan Jaksa, Kode etik dan
Eksaminasi perkara, secara eksternal: Komisi Kejaksaan dan Masyarakat. Di 80 Harkristuti Harkrisnowo, membangun strategi membangun strategi kinerja Kejaksaan bagi peningkatan produktivitas, profesionalisme, dan akuntabulitas public: Suatu usulan pemikiran, Ibid
li
sisi yang lain, kontrol terhadap Kejaksaan secara horizontal dilakukan oleh
sub-sub sistem lain dalam SPP dan secara vertikal oleh atasan dengan bentuk
pengawasan melekat dan pengawasan fungsional.
E. Partisipasi publik dalam pengawasan lembaga Kejaksaan
Pengawasan masyarakat adalah pengawasan yang dilakukan oleh
masyarakat yang disampaikan secara lesan atau tertulis kepada aparatur
pemerintah yang berkepentingan berupa sumbangan pikiran, gagasan atau
keluhan / pengaduan yang bersifat membangun yang disampaikan secara
langsung maupun melalui lisan81.
Lembaga Kejaksaan sebagai bagian dari aparatur pemerintah adalah
organisasi kerja yang bertugas melayani kepentingan umum dan masyarakat.
Oleh karena itu lembaga Kejaksaan sebagai bagian dari pemerintahan selalu
mendapat perhatian dan sorotan dari berbagai pihak di lingkungan masyarakat,
baik yang langsung maupun tidak langsung dilayani oleh lembaga Kejaksaan.
Ini tidak lepas dari peran Kejaksaan sebagai lembaga penuntutan dan tugas
dan wewenang lain yang diberikan oleh undang-undang.
Perhatian dan sorotan yang dapat disampaikan dalam berbagai bentuk
dan cara itu, merupakan masukan yang dapat dipergunakan dalam kegiatan
pengawasan melekat. Dengan kata lain kritik dan saran, pertanyaan dan lain-
lain yang dari masyarakat mengenai pelaksanaan tugas-tugas umum
pemerintahan dan pembangunan yang ditujukan pada satuan organisasi / unit
kerja tertentu disebut pengawasan melekat dari masyarakat (WASKAT).82
Fungsi pengendalian melalui pengawasan melekat harus terbuka
terhadap pengawasan masyarakat, yang harus dikembangkan sebagai
penunjang pengawasan fungsional. Dari pengawasan masyarakat Jaksa Agung
81 Masyarakat pemantau peradilan Indonesia (MAPPI)-FH-UI bekerja dengan komisi hukum nasional, Laporan sementara administrasi peradilan:Lembaga pengawasan. 82 Hadari Nawawi, Pengawasan Melekat di Lingkungan Aparatur Pemerintah, Jakarta:erlangga, 1995 hal.82
lii
mendapat masukan yang setelah diteliti dapat digunakan untuk meneliti
apakah jajaran yang dipimpinnya telah melaksanakan misi melayani dan
mengayomi masyarakat dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Informasi dari masyarakat harus diteliti dan berdasarkan hasil yang
diperoleh pimpinan dapat mengambil langkah-langkah yang perlu untuk
menjadikan aparaturnya lebih efektif, efisien, bersih dan berwibawa dalam
melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan.83 Dalam hal ini
tugas-tugas oleh lembaga Kejaksaan tidak terlepas dari pengawasan
masyarakat tersebut.
Untuk menciptakan aparatur pemerintah yang efisien, efektif, bersih
dan berwibawa. Aparatur pemerintah yang menunjukkan ciri-ciri sebagai
berikut :
1. melaksanakan tugas-tugasnya dengan semangat dan sikap pengabdian kepada masyarakat, bangsa dan negara;
2. memiliki kemampuan yang dalam melayani dan mengayomi masyarakat;
3. memiliki kemampuan menumbuhkan prakarsa dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan;
4. Memiliki sikap tanggap yang semakin baik terhadap pandangan / aspirasi masyarakat.84
Untuk mewujudkan aparatur pemerintah seperti tersebut di atas, oleh
presiden dipandang sangat perlu melakukan usaha pengawasan, baik dari
dalam maupun dari luar. Presiden sebagai pengawasan dari dalam adalah
pengawasan yang dilakukan oleh aparatur pengawasan fungsional sebagai
aparatur pemerintah terhadap pelaksanaan tugas-tugas aparatur pemerintah
lainnya. Sedangkan yang dimaksud Presiden dengan pengawasan dari luar
adalah pengawasan dari masyarakat, baik yang disampaikan langsung oleh
masyarakat maupun yang disalurkan melalui Dewan Perwakilan Rakyat.
83 Ibid 84 Hadari Nanawi, Loc.cit.
liii
Untuk secara nasional, Kantor Wakil Presiden ditugaskan untuk
menampung segala informasi dari masyarakat luas dan selanjutnya setelah
diolah akan digunakan sebagai bahan dalam mengambil tindakan yang
diperlukan. Tugas ini dilaksanakan dengan menyelenggarakan Tromol Pos
5000 sejak bulan April 1988. tujuan utama penyelenggaraan itu adalah
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan dengan
menjalankan pengawasan, yang dilakukan dengan cara memberikan
kemudahan dan kepastian ke alamat mana informasi terutama melalui surat-
surat dapat disampaikan.
Setelah surat-surat tersebut dibahas dengan memperhatikan hasil
penelitian tingkat kebenaran informasi dan bobot permasalahan yang
dibedakan antara :
1. surat yang langsung disampaikan informasinya kepada pejabat yang bertanggungjawab untuk menyelesaikannya;
2. Surat yang memuat informasi yang bersifat strategis bagi pencapaian tujuan nasional dimohonkan petunjuk kepada Wakil Presiden, sebelum diteruskan pada pejabat fungsional yang berwenang menyelesaikannya.85
Dalam hal ini, jika surat yang berkenaan dengan lembaga Kejaksaan
maka selanjutnya disampaikan kepada Kejaksaan Agung RI. Dengan demikian
informasi yang disampaikan akan menjadi masukan bagi Kejaksaan untuk
melakukan pengawasan melekat. Kejaksaan diharapkan segera melakukan
pemeriksaan melalui mekanisme pemeriksaan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Selain pengawasan langsung oleh masyarakat, dengan menyampaikan
melalui Tromol Pos 5000, pengawasan oleh masyarakat juga dalam bentuk
mengirim aduan langsung kepada Kejaksaan melalui Jaksa Agung Muda
Pengawasan. Bentuk lain adalah pemberitaan di media massa.
85 Ibid
liv
Selanjutnya para atasan / pimpinan perlu mengetahui jenis-jenis
informasi yang biasa disampaikan masyarakat. Jenis-jenis informasi itu dapat
berupa :
1. sumbangan pikiran tentang pelaksanaan tugas tertentu dengan maksud untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitasnya;
2. Saran dan gagasan dalam rangka membantu aparatur pemerintah mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi;
3. keluhan terhadap pelayanan aparatur pemerintah kepada masyarakat yang dirasakan kurang;
4. pengaduan tentang pelaksanaan tugas aparatur pemerintah yang dinilai menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku;
5. laporan tentang dugaan tindak pidana korupsi;
6. laporan tentang perilaku oknum pejabat/petugas yang melanggar norma-norma yang umum berlaku di masyarakat;
7. berbagai jenis norma lainnya.86
Dengan memperhatikan jenis-jenis informasi yang dapat diperoleh
dari pengawasan masyarakat, maka semakin jelas pentingnya
pendayagunaannya oleh pimpinan Kejaksaan dalam melaksanakan
pengawasan melekat. Akan tetapi tidak dapat dibantah pula bahwa diperlukan
ketelitian dan kecermatan dalam menilai informasi pengawasan masyarakat,
karena tidak mustahil di antaranya terdapat informasi yang tidak benar dan
bahkan cenderung bersifat fitnah. Ketelitian dan kecermatan itu sangat penting
artinya agar dalam mengambil tindakan itu tidak keliru yang dapat
merugikan, baik secara perorangan maupun bagi lembaga Kejaksaan.
Secara garis besarnya organ pengawasan internal Kejaksaan dapat
mengambil / menempuh dua jalan dalam menindaklanjuti laporan aduan
masyarakat :
Tindak lanjut ke dalam
Kegiatan utamanya berbentuk bimbingan, pembinaan dan pengarahan untuk melakukan perbaikan dan penyempurnaan kekeliruan yang ditemukan, termasuk juga terhadap fungsi pengendalian / pengawasan,
86 Ibid., hal . 85
lv
agar efektivitas dan efisien penyelenggaraan tugas-tugas umum pemerintah dan pembangunan bertambah baik semakin meningkat;
Tindak lanjut ke luar
Berusaha menyelesaikan masalah yang dilaporkan atau diinformasikan, baik secara individual maupun secara keseluruhan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya berupa langkah-langkah penyelesaian melalui proses hukum sesuai dan jenis kesalahan yang telah dilakukan.87
Dengan mendayagunakan hasil pengawasan masyarakat dalam
melaksanakan pengawasan melekat, sesuai dengan Inpres No. 5 Tahun 1983
tentang Pedoman pelaksanaan Pengawasan maka akan dapat dilakukan
peningkatan dan penyempurnaan sarana pengawasan dalam rangka
peningkatan kinerja Kejaksaan di satu sisi dan melibatkan masyarakat dalam
pengawasan lembaga Kejaksaan di sisi yang lain.
Dalam Inpres tersebut disebutkan Pasal 1 :
(1) Pengawasan bertujuan mendukung kelancaran dan ketetapan melaksanakan kegiatan pemerintahan dan pembangunan;
(2) Dalam merencanakan dan melaksanakan pengawasan perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. agar pelaksanaan tugas umum pemerintahan dilakukan secara tertib berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta berdasarkan sendi-sendi kewajaran penyelenggaraan pemerintahan agar tercapai dayaguna, hasilguna, tepatguna yang sebaiknya;
b. Agar pelaksanaan pembangunan dilakukan sesuai dengan rencana dan program pemerintah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga tercapai sasaran yang ditetapkan;
c. Agar hasil-hasil pembangunan dapat dinilai seberapa jauh tercapai untuk memberi umpan balik berupa pendapat, kesimpulan dan saran terhadap kebijakan perencanaan, pembinaan dan pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan;
d. Agar sejauh mungkin mencegah terjadinya pembocoran, kebocoran dan penyimpangan dalam penggunaan wewenang, tenaga, uang dan perlengkapan milik negara, sehingga dapat terbina aparatur yang tertib, bersih, berwibawa, berhasilguna dan berdayaguna.
87 Ibid
lvi
Pasal 2 :
(1) pengawasan terdiri dari :
a. Pengawasan yang dilakukan oleh pimpinan / atasan langsung baik ditingkat pusat maupun di tingkat daerah ;
b. Pengawasan yang dilakukan secara fungsional oleh aparatur pengawasan;
(2) Ruang lingkup pengawasan meliputi :
a. kegiatan umum pemerintahan;
b. pelaksanaan perencanaan pembangunan;
c. penyelenggaraan pengurusan dan pengelolaan keuangan dan kekayaan negara;
d. kegiatan badan usaha milik negara dan badan usaha daerah;
e. kegiatan aparatur pemerintahan di bidang yang mencakup kelembagaan, kepegawaian dan ketatalaksanaan.
Pasal 3 :
(1) Pimpinan semua satuan organisasi pemerintahan, termasuk proyek pembangunan di lingkungan Departemen/lembaga/Institusi lainnya, menciptakan pengawasan melekat dan meningkatkan mutunya di dalam lingkungan tugasnya masing-masing;
(2) Pengawasan melekat dimaksud ayat (1) dilakukan :
a. melalui penggarisan struktur organisasi yang jelas dengan pembagian tugas dan fungsi beserta uraiannya yang jelas pula;
b. melalui perincian kebijaksanaan pelaksanaan yang dituangkan secara tertulis yang dapat menjadi pegangan dalam pelaksanaannya oleh bawahan yang menerima pelimpahan wewenang oleh atasan;
c. melalui rencana kerja yang menggambarkan kegiatan yang harus dilakukan, bentuk hubungan kegiatan tersebut, dan hubungan antara berbagai kegiatan sasaran yang harus dicapai;
d. melalui prosedur kerja yang merupakan petunjuk pelaksanaan yang jelas dari atasan kepada bawahan;
e. melalui pencatatan hasil kerja serta pelaporannya yang merupakan alat bagi atasan untuk mendapatkan informasi yang diperlakukan bagi pengambilan keputusan serta menyusun pertanggungjawaban, baik mengenai pelaksanaan tugas maupun mengelola keuangan;
f. melalui pembinaan personil yang terus menerus agar para pelaksana menjadi unsur yang mampu melaksanakan dengan baik tugas yang menjadi tanggungjawabnya dan tidak melakukan tindakan yang bertentangan dengan maksud serta kepentingan tugasnya.
lvii
(3) Adanya aparat pengawasan fungsional dalam suatu satuan organisasi pemerintahan tidak mengurangi pelaksanaan dan peningkatan pengawasan melekat yang harus dilakukan oleh atasan terhadap bawahan.
Dengan demikian pengawasan oleh masyarakat terhadap lembaga tidak
terlepas dari pengawasan melekat oleh pimpinan lembaga Kejaksaan beserta
jajarannya dalam melaksanakan fungsi dan kewenangannya sebagai lembaga
penuntutan dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
lviii
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A. Pembentukan Komisi Kejaksaan
Di Indonesia, proses peradilan pidana dijalankan oleh sub-sistem yang
berbeda yaitu penyidikan (Kepolisian), penuntutan (Kejaksaan), pemeriksaan
sidang pengadilan (Pengadilan), permasyarakatan (lembaga pemasyarakatan).
Keempat komponen ini bekerjasama membentuk apa yang dikenal dengan
nama suatu “integrated criminal justice administration”. Keberhasilan SPP
untuk mencapai tujuan tergantung pada keberhasilan Kejaksaan sebagai salah
satu sub-sistem SPP dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai lembaga
penuntutan sesuai dengan undang-undang.
Untuk memaksimalkan kinerja Kejaksaan di samping adanya kontrol
dengan sub-sistem lainnya dalam SPP juga diperlukan kontrol / pengawasan
terhadap lembaga Kejaksaan. Harkrisnowo berkenaan dengan model
pengawasan menawarkan : beberapa bentuk mekanisme kontrol, antara lain :
1) Internal (oleh lembaga yang bersangkutan sendiri, baik oleh per
group maupun atasan);
2) Eksternal (oleh pihak luar lembaga) horizontal dari lembaga lain
dari masyarakat dan vertikal).88
Pengawasan internal lembaga Kejaksaan secara fungsional sejak dulu
sudah dilakukan oleh Jaksa Agung Muda Pengawasan tetapi masyarakat
menganggap belum maksimal.
Berkenaan dengan hal tersebut maka pada pertemuan seluruh instansi
hukum ketiga (Law Summit III), salah satu hasil kesepakatan yang dicapai
adalah : 88 Harkristuti Harkrisnowo, Sistem Peradilan Pidana Terpadu dan Peran Akademis, Loc. Cit.
lix
Mengembangkan sistem pengawasan yang transparan dan akuntabel,
dengan maksud untuk mengefektifkan sistem pengawasan manajerial
dan individual yang menjamin akses publik sehingga dapat lebih
efektif mendeteksi dan menindaklanjuti setiap penyimpangan dan
keluhan laporan atau pengaduan warga masyarakat tentang sikap atau
tindakan petugas penegak hukum dan mengembangkan standar profesi
atau kode etik serta menjamin keikutsertaan publik dalam pemantauan
dan pengkajian penerapan ketentuan perundang-undangan yang
berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi.89
Berkenaan dengan hal tersebut Harkristuti Harkrisnowo mengatakan
bahwa :
Pada awal reformasi ada dua masalah yaitu : a) KKN (Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme dan b) kegiatan yang totaliter atau pemerintahan yang
totaliter. Kedua masalah tersebut digugatkan juga kepada aparat
penegak hukum, termasuk Kejaksaan dianggap sarat KKN dan KKN
itu yang utama adalah kata “Korupsi” dan juga Kejaksaan dipakai oleh
pemerintahan yang otoriter untuk menekan oposisi. Bukan hanya
Kejaksaan tetapi juga pengadilan dan kepolisian. Dari kenyataan
tersebut timbul suatu wawasan bahwa di dalam wawasan demokrasi
harus ada pengawasan dari luar.90
Keberhasilan upaya mewujudkan supremasi hukum sebagai prasyarat
kesejahteraan dan perlindungan masyarakat dalam negara demokratis sangat
ditentukan oleh kinerja aparat penegak hukum. Selain itu praktek korupsi,
kolusi dan nepotisme (KKN) yang semestinya justru dimotori oleh
89 Pertemuan Puncak Pejabat Tinggi Negara di Bidang Hukum dan Peradilan serta Pimpinan Profesi Hukum (Law Summit III), difasilitasi Partnership Governance Reform in Indonesia dengan tema Pembenahan Lembaga Penegak Hukum Dalam Rangka Memulihkan Kepercayaan Masyarakat Terhadap Supremasi Hukum, Jakarta , 16 April 2004 90 Harkristuti Harkrisnowo, Sistem Peradilan Pidana Terpadu dan Peran Akademis, Loc. Cit
lx
pemberantasannya oleh aparat penegak hukum disinyalir masih mewarnai
proses penegakan hukum itu sendiri.91
Kita menyambut gembira pembentukan Komisi Kejaksaan. Sebab
kedudukan dan peran Komisi Kejaksaan sebagai lembaga pengawas Eksternal
terhadap Kejaksaan sangat penting mengingat posisi Kejaksaan sebagai salah
satu pilar penegakan hukum bersama Kepolisian Negara Republik Indonesia
dan Mahkamah Agung sangat menentukan hitam putihnya hukum di negeri
ini. Pengawasan, pembinaan dan penindakan secara tegas dan adil terhadap
Jaksa yang melakukan penyalahgunaan jabatan dan atau wewenang, atau bisa
disebut dengan “Jaksa bermasalah atau Jaksa nakal” adalah sangat penting.
Sebab ada pepatah yang mengatakan bahwa “Untuk membersihkan lantai
(memberantas korupsi) diperlukan sapu ( aparat penegak hukum) yang bersih
pula.92
Pembentukan Komisi Kejaksaan ini melengkapi berbagai macam
komisi yang lahir di masa reformasi sebagai jawaban atas rendahnya
kepercayaan masyarakat terhadap lembaga yang sudah ada. Misalnya
pembentukan state auxilary bodies seperti Komisi Ombudsman Nasional,
Komisi Hukum Nasional dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Kemudian
komisi yang merupakan lembaga pengawasan eksternal terhadap lembaga
penegak hukum, yaitu Komisi Yudisial (pembentukannya diamanatkan
konstutisi), Komisi Kepolisian (diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia), dan Komisi
Kejaksaan (diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 16 tahun 2004).
Komisi Kejaksaan hadir di tengah ketidakpuasan masyarakat terhadap
aparat penegak hukum dan lembaga peradilan, termasuk terhadap Kejaksaan.
Aparat penegak hukum dan lembaga peradilan dirasa tidak mampu
91 Wawancara dengan Marwan Effendy (Jampidsus Kejaksaan Agung), tanggal 13 Mei 2008 92 Trimedya panjaitan, Komisi Kejaksaan Antara Harapan dan Tantangan, Makalah disampaikan dalam Seminar Eksistensi Komisi Kejaksaan Dalam Penegakan Pengawasan Kejaksaan, diselenggarakan oleh Fakulatas Hukum Unissula Semarang, Sabtu 10 Juni 2006
lxi
memberikan atau memenuhi rasa keadilan masyarakat. Bahkan selama tiga
dasawasa terakhir, keadilan seolah-seolah telah menjadi barang langka93.
Naskah kesepakatan bersama pimpinan lembaga penegak hukum,
khususnya rancangan program pembaharuan hukum dan pembenahan sistem
peradilan unit organisasi Kejaksaan Republik Indonesia, bagian kedua tentang
pengembangan sistem pengawasan yang transparan dan akuntabel terdiri dari :
1. penyempurnaan sistem pengawasan dalam lingkungan Kejaksaan;
2. Penyempurnaan Mekanisme dan Tata Kerja pengawasan yang
baku, partisipatif, transparan dan akuntabel;
3. penyempurnaan sistem seleksi yang lebih ketat, transparan dan
akuntabel;
4. penyusunan pedoman pelayanan pengaduan masyarakat atas sikap /
perilaku personel;
5. penyusunan standar profesi Kejaksaan;
6. peninjauan kembali Kode Etik Kejaksaan;
7. penyusunan aturan mengenai tingkah laku Jaksa (Code Of Conduct
Jaksa);
8. Pengkajian atas kemungkinan pengembangan lembaga pengawasan
eksternal Kejaksaan.94
Dari rancangan program pembaharuan hukum dan pembenahan sistem
peradilan unit organisasi Kejaksaan Republik Indonesia di atas, jelas bahwa
disamping pembenahan sistem pengawasan internal juga dimungkinkan akan
dibentuk lembaga pengawasan eksternal Kejaksaan.
Soeroyo lebih lanjut mengatakan bahwa :
93 Ibid 94 Bahan Pertemuan puncak Pejabat Tinggi Negara di Bidang Hukum dan Peradilan serta Pimpinan Profesi Hukum (Law Summit III), Loc. Cit.
lxii
Pengawasan di dalam lembaga (Internal control) itu sendiri dari dulu
sudah dikenal seperti pengawasan melekat (Waskat), di Kejaksaan
sendiri ada Jaksa Agung Muda Pengawasan dan Inspektur-inspektur,
tetapi sampai sekarang masih ada KKN sehingga muncul ide
pembentukan semacam lembaga di luar untuk mengawasi lembaga
Kejaksaan. Memang setiap organisasi termasuk instansi pemerintahan
harus ada pengawasan dari luar. Timbullah pemikiran pertama ide
pembentukan Komisi Yudisial dan kemudian masuk dalam UUD 1945
hasil amandemen. Ide Komisi Yudisial yang berada di luar MA
(Mahkamah Agung) yang menjaga perilaku dari pada hakim terutama
hakim yang digugat oleh hakim bertindak curang dan kemungkinan
hakim itu dipergunakan oleh pemerintah sehingga berlaku tidak adil.95
Komisi Kejaksaan Republik Indonesia lahir berdasarkan pasal 38
Undang-undang Nomor 38 Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia dan Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2005
tentang Komisi Kejaksaan Republik Indonesia.
Pasal 38 Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 dengan tegas
menyatakan bahwa Komisi Kejaksaan Republik Indonesia bertujuan untuk
meningkatkan kualitas kinerja Kejaksaan Republik Indonesia. Selain dari itu
pula lahirnya Komisi Kejaksaan diharapkan dapat mempercepat pemulihan
kepercayaan masyarakat terhadap lembaga Kejaksaan Republik Indonesia.
Ide ini kemudian berlanjut pada pembahasan Undang-undang Nomor
16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, khususnya pasal 38
yang berbunyi “Untuk meningkatkan kualitas Kinerja Kejaksaan, Presiden
dapat membentuk sebuah komisi yang susunan dan kewenangannya diatur
oleh Presiden”.
95 Wawancara dengan Soeroyo (Widyaiswara Pusdiklat Kejaksaan RI), tanggal 3 Juli 2008
lxiii
Rumusan pasal 38 tersebut pada awalnya terdiri dari 2 (dua)
ayat yaitu :
(1) untuk meningkatkan kualitas kinerja Kejaksaan Presiden dapat
membentuk sebuah komisi yang susunan dan kewenangannya
diatur oleh Presiden;
(2) Pembentukan Komisi sebagaimana dimaksud ayat (1) selambat-
lambatnya satu tahun setelah undang-undang ini diundangkan.96
Rumusan tersebut ayat (2) (dua)-nya tidak disepakati karena tidak
relevan dengan kata “dapat” yang berarti bisa bermakna “tidak”, sedangkan
perintahnya adalah 1 (satu) tahun harus dibentuk. Dari pembahasan pasal 38
tersebut terlihat bahwa masih ada keragu-raguan dapat tidaknya dibentuk
sebuah komisi dan akan dikembalikan kepada Presiden apakah lembaga
tersebut dianggap perlu atau tidak.
Berkenaan dengan hal tersebut Suhartoyo mengatakan
bahwa :
Pemerintah pada saat itu enggan membuat suatu komisi karena sesuai
dengan pesan Presiden Megawati Soekarnoputri bahwa jangan lagi
mengusulkan komisi karena kita sudah mempunyai 43 komisi yang
memerlukan banyak anggaran tetapi hasilnya sampai sekarang belum
memuaskan. Maka pada saat mau diketok muncul terakhir tentang
pasal 38 tetapi bunyinya diperhalus dan pembentukannya terserah
Presiden.97
Dalam draft pembahasan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang dibahas oleh Pemerintah dan
DPR tidak tercantum adanya sebuah komisi, tetapi karena adanya tuntutan
96 Agun Gunandjar Sudarsa, Risalah Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI 97 Wawancara dengan Soehartoyo (Sesjamdatun Kejaksaan Agung ), tanggal 25 Juli 2008
lxiv
publik yang berkembang di luar untuk mendorong penegakan hukum oleh
Kejaksaan lebih efektif maka dibahas pemerintah dan DPR sepakat membahas
mengenai pembentukan sebuah komisi.98
Dengan bunyi pasal 38 tersebut membuka peluang kepada Presiden
untuk menafsirkan tentang “Peningkatan Kinerja” dan pengawasan itu sendiri.
Soehartoyo menyebutkan bahwa :
Ide pembentukan komisi sebenarnya sederhana yaitu komisi di luar
sistem yang memungkinkan orang luar mengawasi dan mengajukan
keluhan. Ini semacam lembaga ombudsman tempat orang mengadu. Di
Kejaksaan dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004, khususnya
pasal 38 “Untuk meningkatkan Kinerja” sebagai hasil ramuan politik
supaya Kejaksaan tidak KKN dan tidak menjadi aparat otoriter yang
mau saja tunduk kepada pemerintah. Jadi konsep awal dibentuknya
komisi Kejaksaan adalah suatu komisi yang memungkinkan
masyarakat dapat mengadu tentang seorang Jaksa yang tidak jujur atau
tidak adil99.
Sesuai dengan amanat pasal 38 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang berbunyi “ untuk meningkatkan
kualitas kinerja Kejaksaan, Presiden dapat membentuk sebuah komisi yang
susunan dan kewenangannya diatur oleh Presiden”. Sesuai dengan amanat
pasal 38 tersebut pada tanggal 7 Pebruari 2005 Presiden Republik Indonesia
Dr.H. Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2005 tentang Komisi Kejaksaan
Republik Indonesia. Hal ini adalah upaya untuk memperlihatkan keseriusan
pemerintah dalam penegakan hukum. Peraturan ini terdiri dari 6 (enam) Bab
dan 29 (dua puluh sembilan) pasal yang bukan hanya mengatur tentang
pengawasan terhadap kinerja dan sikap atau perilaku Jaksa dan Pegawai
98 Ibid 99 Ibid
lxv
Kejaksaan tetapi komisi Kejaksaan diberi tugas dan wewenang memantau dan
menilai kinerja dan sikap/perilaku Jaksa dan Pegawai Kejaksaan, kondisi
organisasi, kelengkapan sarana dan prasarana dan sumber daya manusia.
B. Kedudukan Komisi Kejaksaan
Dalam Perpres Nomor 18 Tahun 2005 tentang Komisi Kejaksaan pasal
3, disebutkan bahwa komisi Kejaksaan merupakan lembaga pemerintahan non
struktural yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat mandiri,
bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Komisi Kejaksaan berada dibawah dan bertanggungjawab kepada
Presiden Republik Indonesia ketentuan tersebut merupakan kekuatan dari
Komisi Kejaksaan Republik Indonesia dalam menjalankan tugas-tugas dan
kewenangannya dan sekaligus merupakan rambu-rambu utama komisi
Kejaksaan untuk senantiasa tidak terpengaruh oleh kekuasaan manapun juga.
Komisi Kejaksaan harus mandiri atau independen dalam mengambil
kebijakan-kebijakannya, tetapi terkadang Karena komisi Kejaksaan berada
dibawah dan bertanggungjawab kepada Presiden bukan kepada Jaksa Agung
sehingga ada muatan politiknya.100
Mungkin yang dimaksud adalah Komisi Kejaksaan bisa menekan
Jaksa Agung melalui laporan secara berkala kepada Presiden tentang hal-hal
yang direkomendasikan apa ditindak lanjuti atau tidak oleh Jaksa Agung.
Dalam pasal 8 ayat (1) menyebutkan bahwa untuk mendukung
pelaksanaan tugas Komisi Kejaksaan dibentuk Sekretariat Komisi Kejaksaan,
pasal 9 ayat (1) menyebutkan Sekretariat Komisi Kejaksaan dibentuk dan
berada dilingkungan Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Selanjutnya pasal
7 dikatakan bahwa Anggaran Kejaksaan dibebankan pada anggaran
100 Ibid.
lxvi
pendapatan dan negara. Dana operasional Komisi Kejaksaan diambil dari
anggaran Kejaksaan Agung.101
Penempatan Sekretariat Komisi Kejaksaan di lingkungan Kejaksaan
Agung diatur dalam pasal 9 ayat (1) Peraturan Presiden nomor 18 tahun 2005
bisa menimbulkan masalah independensi dari komisi Kejaksaan dalam
menjalankan tugas dan wewenangnya.
Selain itu pengaturan anggaran yang diserahkan kepada Kejaksaan
Agung juga dapat berpengaruh terhadap independensi Komisi Kejaksaan.
Untuk menjamin independensi tersebut seyogyanya Komisi Kejaksaan
diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengajukan sendiri anggarannya.
Bagaimana mungkin komisi Kejaksaan mengawasi secara maksimal
sedangkan anggaran pun harus meminta kepada instansi yang diawasinya.
Sekrertariat Komisi Kejaksaan yang disyaratkan dijabat oleh Pegawai
Negeri Sipil yang diangkat dalam jabatan struktural eselon I dan secara
fungsional bertanggungjawab kepada Komisi Kejaksaan.102
Komisi Kejaksaan sesuai dengan 4 Perpres Nomor 18 Tahun 2005,
terdiri atas pimpinan anggota yang seluruhnya berjumlah 7 (tujuh) orang.
Dimana pimpinan Komisi Kejaksaan terdiri atas Ketua dan seorang Wakil
Ketua yang merangkap anggota. Keanggotaan Komisi Kejaksaan adalah
merupakan pejabat publik yang terdiri atas mantan Jaksa, praktisi hukum,
akademisi hukum dan anggota masyarakat.
Komisi Kejaksaan terdiri atas pimpinan anggota yang seluruhnya
berjumlah 7 (tujuh) orang, sedang pimpinan Komisi Kejaksaan terdiri atas
Ketua dan Seorang Wakil Ketua yang merangkap anggota. Keanggotaan
Komisi Kejaksaan adalah merupakan pejabat publik yang terdiri atas mantan
Jaksa, praktisi hukum, akademisi hukum dan anggota masyarakat (pasal 4
Perpres No. 18 tahun 2005 tentang Komisi Kejaksaan).
101 Wawancara dengan Marwan Effendy (Jampidus Kejaksaan Agung RI), tanggal 13 Mei 2008 102 Lihat pasal 8 ayat (2) dan (3), Perpres Nomor 18 tahun 2005 tentang Komisi Kejaksaan Republik Indonesia, Op. Cit.
lxvii
Berkenaan dengan proses seleksi Anggota Komisi Kejaksaan Asep
Rahmat Fajar menyatakan :
Proses seleksi orang-orang yang masuk jadi anggota Komisi Kejaksaan benar-benar jelas dimulai dengan bagaimana mekanismenya, bagaimana pertanggungjawaban ke publik, transparansi, bagaimana mekanisme Fit and Proper test, Sehingga muncul Anggota Komisi Kejaksaan yang bisa dipertanggungjawabkan secara intelektual dan diterima oleh publik.103
Sedangkan keanggotaannya dikemukakan oleh Mas Ahmad Santosa
bahwa Komisi Kejaksaan :
Harus mewakili unsur dari dalam lembaga Kejaksaan, pensiunan Jaksa, universitas, LSM dan pakar-pakar. Independensi Komisi Kejaksaan tergantung dari proses seleksi yang transparan, partisipatif, dan betul-betul akuntabel. Ditambah dengan tim seleksi terdiri dari orang-orang yang mempunyai integritas.104
Komposisi Anggota Komisi Kejaksaan tidak perlu dipermasalahkan
latar belakang baik yang berasal dari mantan Jaksa maupun dari luar. Namun
penting adalah orang yang mempunyai kapabilitas, lolos tahap seleksi yang
administrasi sampai fit and proper test. Untuk menjamin efektivitas
pelaksanaan tugas komisi Kejaksaan, di dalamnya harus ada orang yang
paham betul tentang alur berfikir, program kerja dan bergeraknya aparat
Kejaksaan. Sebagai bentuk akomodasi dan keinginan publik anggota Komisi
Kejaksaan selayaknya ada dari akademisi dan LSM, praktisi yang diwakili
oleh matan Jaksa dan pengacara.
C. Tugas dan Wewenang Komisi Kejaksaan
Membicarakan tugas Komisi Kejaksaan kita merujuk pada ketentuan
pasal 10 ayat (1) Perpres Nomor 18 tahun 205 tentang Komisi Kejaksaan. Di
dalam pasal tersebut diatur tugas komisi Kejaksaan antara lain:
103 Wawancara dengan Asep Rahmat Fajar, tanggal 12 Juli 2008 104 Wawancara dengan Mas Ahmad Santosa, tanggal 19 Juli 2008
lxviii
a. Melakukan pengawasan, pemantauan dan penilaian terhadap kinerja
Jaksa dan Pegawai Kejaksaan dalam melaksanakan tugas
kedinasannya;
b. Melakukan pengawasan, pemantauan dan penilaian terhadap sikap dan
perilaku Jaksa dan Pegawai Kejaksaan baik di dalam maupun di luar
tugas kedinasan;
c. Melakukan pemantauan dan penilaian atas kondisi organisasi,
perlengkapan sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia
lingkungan Kejaksaan; dan
d. Menyampaikan masukan kepada Jaksa Agung atas hasil pengawasan,
pemantauan dan penilaian sebagaimana tersebut huruf a, huruf b dan
huruf c untuk ditindaklanjuti.
Dalam melaksanakan tugas komisi Kejaksaan dapat menyampaikan
masukan berupa usul :
1. perbaikan, penyempurnaan, pembenahan organisasi, kondisi atau
kinerja di lingkungan Kejaksaan;
2. pemberian penghargaan kepada Jaksa atau Pegawai Kejaksaan
yang dinilai berprestasi luar biasa dalam melaksanakan tugasnya
dan/atau ;
3. pemberian sanksi terhadap Jaksa dan Pegawai Kejaksaan sesuai
dengan pelanggaran yang dilakukan sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 1980 tentang Peraturan
Disiplin Pegawai Negeri dan / atau peraturan perundang-undangan
lainnya (pasal 5 Perpres 18 tahun 2005).
Dari pasal di atas dapat diambil kesimpulan bahwa tugas Komisi
Kejaksaan mencakup 3 (tiga) macam tugas pokok yaitu : pengawasan,
lxix
pemantauan dan penilaian. Hasil pengawasan, pemantauan dan penelitian
kemudian direkomendasikan kepada Jaksa Agung.
Tugas komisi Kejaksaan sebagai pengawasan lembaga Kejaksaan
terhadap Jaksa dan Pegawai Kejaksaan secara garis besarnya ada 2 (dua) yaitu
terhadap kinerja dan terhadap sikap dan perilaku.
Dengan demikian tugas Komisi Kejaksaan dalam hal pengawasan
terhadap kinerja Jaksa dan Pegawai Kejaksaan berkenaan dalam
melaksanakan tugas kedinasan sedangkan pengawasan terhadap sikap dan
perilaku Jaksa dan Pegawai Kejaksaan bukan hanya berkenaan dengan tugas
kedinasan tetapi juga di luar kedinasan.
Menurut Indriyanto Seno Adji, konsepsi Komisi Kejaksaan sebagai
lembaga pengawasan adalah : mengawasi kinerja personil-personil Kejaksaan
dalam menjalankan fungsi, tugas dan kewenangannya sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Hasil pengawasan yang dilakukan menjadi
bahan masukan bagi Jaksa Agung untuk ditindaklanjuti.
Tugas Komisi Kejaksaan sebagai lembaga pemantau lembaga
Kejaksaan bukan hanya menyangkut kinerja dan perilaku Jaksa atau Pegawai
Kejaksaan, tetapi juga menyangkut kondisi organisasi, kelengkapan dan
sumber daya manusia.
Tugas Komisi Kejaksaan untuk mengadakan penilaian terhadap
lembaga Kejaksaan sama halnya dengan tugas pemantauan bukan hanya
menyangkut kinerja dan perilaku Jaksa atau Pegawai Kejaksaan, tetapi juga
menyangkut kondisi organisasi, kelengkapan dan sumber daya manusia.
Berkenaan dengan tugas Komisi Kejaksaan diatas Soeroyo
(Widyaiswara pada Pusdiklat Kejaksaan RI) mengatakan bahwa :
Sebenarnya komisi Kejaksaan itu dibutuhkan oleh masyarakat dan
internal Kejaksaan itu adalah untuk mendorong dan memperbaiki lembaga
Kejaksaan sehingga Kejaksaan berdayaguna dan berhasil guna sehingga tugas
komisi Kejaksaan lebih tepat diarahkan sesuai dengan pasal 15 dari Peraturan
lxx
Presiden Nomor 18 tahun 2005 tentang Komisi Kejaksaan.105 Lebih lanjut
dikatakan pula bahwa:
Komisi Kejaksaan bukan hanya mengawasi tetapi Komisi Kejaksaan
juga turut kemudian menilai apakah anggaran yang dimiliki atau yang ada di
Kejaksaan kurang ataukah anggaran tidak dipergunakan, jadi sifatnya turut
mengawasi penggunaan anggaran yang ada dan turut menentukan lembaga
Kejaksaan dan memperjuangkannya.
Dalam melaksanakan tugasnya Komisi Kejaksaan memiliki kewenangan
sebagaimana dalam pasal 11 Perpres Nomor 18 tahun 205 tentang Komisi
Kejaksaan yaitu :
1) Menerima laporan masyarakat tentang perilaku Jaksa dan Pegawai
Kejaksaan dalam melaksanakan tugas baik di dalam maupun di luar
kedinasan;
2) Meminta informasi dari badan pemerintah, organisasi, atau anggota
masyarakat berkaitan dengan kondisi dan kinerja di lingkungan
Kejaksaan atas dugaan pelanggaran peraturan kedinasan Kejaksaan
maupun berkaitan dengan perilaku Jaksa dan Pegawai Kejaksaan di
dalam ataupun di luar kedinasan;
3) Memanggil dan meminta keterangan kepada Jaksa dan Pegawai
Kejaksaan sehubungan dengan perilaku dan/ atau dugaan pelanggaran
peraturan kedinasan Kejaksaan;
4) Meminta informasi kepada badan di lingkungan Kejaksaan berkaitan
dengan kondisi organisasi, personalia, sarana dan atau prasarana;
5) Menerima masukan dari masyarakat tentang kondisi organisasi,
kelengakapan sarana dan prasarana serta sumber daya manusia di
lingkungan Kejaksaan;
105 Wawancara dengan Soehartoyo (Sesjamdatun Kejaksaan Agung RI), tanggal 25 Juli 2008
lxxi
6) Membuat laporan, rekomendasi atau saran yang berkaitan dengan
perbaikan dan penyempurnaan organisasi serta kondisi lingkungan
Kejaksaan atau penilaian terhadap kinerja dan perilaku Jaksa dan
Pegawai Kejaksaan kepada Jaksa Agung dan Presiden RI106.
Hal yang berbeda dikemukakan oleh Imam Sopwan bahwa :
Kewenangan Komisi Kejaksaan sudah melenceng dari ide awal, dan
terkesan melebar. Komisi netral ini tidak harus menjadi suatu komisi yang
mempunyai kewenangan yang luar biasa yang bisa menindak secara
langsung. Komisi itu hanya membuka laporan publik, yang ide pokoknya
adalah transparansi terhadap keluhan-keluhan publik yang diterimanya.
Kewenangan Komisi Kejaksaan idealnya mempunyai tugas menerima
aduan masyarakat dan meneliti atau menilai aduan masyarakat.107
Terlepas dari pro-kontra di atas terlihat bahwa memang ide dari
pembentukan Komisi Kejaksaan sudah meluas yang mana bukan hanya
sebagai lembaga pengawas eksternal terhadap lembaga Kejaksaan tetapi
Komisi Kejaksaan dapat memantau dan menilai lembaga Kejaksaan. Artinya
ruang lingkup tugas dan wewenang Komisi Kejaksaan cukup luas.
Adanya perluasan tugas dan wewenang dari Komisi Kejaksaan yang
diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2005 tentang Komisi
Kejaksaan karena dalam pasal 38 Undang-undang nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan Republik Indonesia menggunakan kata “Untuk
meningkatkan kinerja”, sehingga berbicara masalah peningkatan kinerja bukan
hanya masalah pengawasan tetapi mencakup beberapa hal diantaranya kondisi
organisasi, sarana-prasarana, sumber daya manusia, dan sebagainya.
Lebih lanjut Soeroyo berkenaan dengan kewenangan Komisi
Kejaksaan mengatakan bahwa :
106 Perpres Nomor 18 tahun 2005 tentang Komisi Kejaksaan, pasal 11 107 Wawancara dengan Imam Sopwan (Kasubdit Pendidikan di Pusdiklat Kejaksaan RI), tanggal 22 Mei 2008
lxxii
Konsep awal dibentuknya Komisi Kejaksaan adalah suatu komisi yang
memungkinkan masyarakat dapat mengadu tentang seorang Jaksa yang
tidak jujur atau tidak adil. Tugas dari Komisi Kejaksaan memungkinkan
untuk hal lain tetapi tugas yang utama adalah menerima aduan masyarakat
dan melaporkan kepada atasannya untuk ditindaklanjuti.108
Dengan demikian hasil pengawasan oleh Komisi Kejaksaan hanya
sebatas rekomendasi atau masukan dan keputusan dikembalikan kepada Jaksa
Agung. Selain itu tugas pemantauan dan penilaian dari Komisi Kejaksaan juga
hanya rekomendasi kepada Jaksa Agung.
1. Mekanisme Aduan Masyarakat
Pembentukan komisi pengawas Kejaksaan sebagai suatu lembaga
yang pada dasarnya menjadi pembatas kewenangan dan sekaligus pendorong
profesionalisme, merupakan satu langkah pasti yang dipastikan memperbaiki
citra Kejaksaan di mata masyarakat, keberadaan komisi pengawas Kejaksaan
ini dapat pula dilihat sebagai salah satu cerminan partisipasi masyarakat
untuk memperdayakan Kejaksaan.109 Salah satu bentuk partisipasi publik
adalah menyampaikan laporan aduan terhadap kinerja dan sikap/ perilaku
Jaksa / Pegawai Kejaksaan.
Bentuk partisipasi publik dalam Peraturan Presiden Nomor 18 tahun
2005 Tentang Komisi Kejaksaan dapat kita lihat pada pasal 11 huruf a yang
menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas Komisi Kejaksaan berwenang
: “menerima laporan aduan masyarakat tentang perilaku Jaksa dan Pegawai
Kejaksaan dalam melaksanakan tugas baik di dalam maupun di luar
108 Wawancara dengan Soeroyo, tanggal 1 April 2008 109 Harkrsituti Harkrisnowo, Komisi Pengawas Eksternal Kejaksaan, mengerosi Kewenanganataukah Mendorong Profesionalisme, Makalah disampaikan pada seminar dan lokakarya tentang Komisi Pengawas Kejaksaan, Jakarta, tanggal 9 November 2004
lxxiii
kedinasan.110 Tetapi mekanisme penanganan laporan aduan masyarakat tidak
diatur lebih lanjut.
Penanganan laporan aduan masyarakat oleh pengawasan internal
Kejaksaan sejak dulu sudah ada yang disampaikan secara langsung kepada
Kejaksaan Agung atau melalui Tromol Pos 5000.111 sasaran penyelenggaraan
pengawasan ditujukan semata-mata terhadap terlaksananya penanganan
laporan aduan secara tepat, tertib dan dapat dipertanggungjawabkan kepada
si pelapor ataupun masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.112
Proses penanganan laporan aduan masyarakat selama ini masih
lambat, sebagai contoh laporan atau aduan masyarakat yang masuk biro
Umum biasa memakan waktu satu bulan baru sampai pada Jaksa Agung
Muda Pengawasan. Sehingga terkadang belum ditindaklanjuti kasus yang
dilaporkan pelapor justru sudah diperiksa sebagai tersangka pencemaran
nama baik. Belum lagi proses pemeriksaan dengan mekanisme PP nomor 30
Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil yang sangat
panjang.
Dengan hadirnya Komisi Kejaksaan maka laporan aduan masyarakat
sudah dua pintu yaitu lewat Komisi Kejaksaan dan langsung ke Kejaksaan
Agung. Laporan dari masyarakat yang disampaikan melalui Komisi
Kejaksaan diteruskan kepada Jaksa Agung untuk ditindaklanjuti oleh
pengawasan internal Kejaksaan.113 Sehingga masih dengan menggunakan
mekanisme yang ada sekarang dipastikan justru proses penanganan laporan
aduan masyarakat justru bertambah panjang.
110 Peraturan Presiden RI Tentang Komisi Kejaksaan RI, Perpres Nomor 18 tahun 2005, Op.cit pasal 11 huruf a 111 Tromol pos 5000 sekarang sudah jarang dipakai, karena masyarakat sekarang sudah berani, kebanyakan laporan aduan masyarakat disampaikan langsung kepada Kejaksaan Agung sehingga kita bentuk kotak pos 4343 (wawancara dengan Jamwas), tanggal 12 Juni 2008. 112 Imam Sopwan, Kuliah Materi Pengawasan Pusdiklat Kejaksaan RI. 113 Lihat pasal 13 ayat (2), Perpres Nomor 18 Tahun 2005 tentang Komisi Kejaksaan
lxxiv
Belajar dari pengalaman penanganan laporan aduan masyarakat
dengan waktu yang lama maka ke depan perlu dibuat suatu mekanisme
penyampaian laporan aduan masyarakat yang lebih efektif dan akomodatif.
Disamping mekanisme yang sudah ada lebih dioptimalkan lagi juga sudah
saatnya penyampaian laporan aduan masyarakat melalui website sehingga
laporan bisa sampai dalam hitungan menit saja. Selain itu perlu adanya batas
waktu suatu laporan aduan masyarakat sudah harus ditindaklanjuti oleh
Komisi Kejaksaan atau pengawasan internal Kejaksaan.
Untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap penanganan
laporan aduan masyarakat maka Komisi Kejaksaan dan pengawasan internal
Kejaksaan harus proaktif menyampaikan perkembangan laporan aduan
kepada pelapor.
Mekanisme laporan aduan masyarakat yang baku, partisipatif,
transparan dan akuntabel tidak banyak membawa hasil tanpa dukungan dari
publik untuk proaktif melaporkan dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh
Jaksa atau Pegawai Kejaksaan untuk mengembalikan lembaga Kejaksaan
sebagai lembaga yang bersih kharismatik.
Partisipasi masyarakat merupakan slaah satu pilar necessary condition
untuk reformasi hukum, dan untuk itu diperlukan adanya masyarakat
terdidik, sehingga mampu untuk mengurai makna keberadaan mereka dalam
negara, termasuk menjalankan hak dan kewajibannya.114 Salah satu hal dan
kewajiban masyarakat adalah ikut terlibat dalam pengawasan lembaga
Kejaksaan.
Tugas-tugas lain yang tak kalah pentingnya yang harus dilakukan oleh
Komisi Kejaksaan adalah selain dari melakukan pengawasan, pemantauan dan
penilaian kinerja Kejaksaan sebagaimana dalam Peraturan Presiden, adalah
tugas-tugas pemantauan dan penilaian atas kondisi organisasi, kelangkapan
114 Harkristuti Harkrisnowo, Supremasi Hukum Di Indonesia: permasalahan dan solusinya, Makalah yang disampaikan padan Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Tingkat II di Pusdiklat Kejaksaan RI, Jakarta, 19 Nopember 2001
lxxv
sarana dan prasarana serta sumber daya manusia. Sudah barang tentu tugas
tersebut bukanlah tugas-tugas yang ringan melainkan merupakan tugas yang
berat. Memerlukan waktu yang panjang dan pemikiran yang dalam dan serius,
memerlukan penguasaan persoalan internal yang komprehensif sehingga
diharapkan dapat memberikan saran-saran serta usulan-usulan yang tepat
untuk perbaikan Kejaksaan Republik Indonesia.115
D. Kewenangan antara Pengawasan Internal dan Komisi Kejaksaan
1. Pelaksanaan Pengawasan Internal Kejaksaan
Dalam kerangka pengawasan di lingkungan Kejaksaan, perihal Jaksa
Agung Muda Pengawasan diatur dalam Keputusan Presiden (Keppres) No. 86
Tahun 1999 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik
Indonesia dan Keputusan Jaksa Agung, Kepja Nomor : Kep-115/ JA / 10 /
1999 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik
Indonesia. Kedua dokumen tersebut menyebutkan bahwa :
Jaksa Agung Muda Pengawasan mempunyai tugas dan wewenang melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas rutin dan pembangunan semua unsur Kejaksaan agar berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, rencana dan program kerja Kejaksaan serta kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.116
Tugas dan kewenangan Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan117
adalah pertama, Perumusan kebijaksanaan teknis pengawasan di lingkungan
Kejaksaan; Kedua, perencanaan, pelaksanaan dari pengendalian pengamatan,
penelitian, pengujian, penilaian, pemberian bimbingan, penertiban atas
pelaksanaan tugas rutin dan pembangunan semua unsur Kejaksaan terutama
mengenai administrasi umum, proyek pembangunan, intelijen, tindak pidana
115 Wawancara dengan Soehartoyo (Sesjamdatun Kejaksaan Agung), tanggal 28 Agustus 2008 116 Keputusan Presiden tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia, Keppres No. 86 Tahun 1999, Pasal 23 dan Keputusan Jaksa Agung Nomor : Kep-115/JA/10/1999, pasal 362. 117 Keppres No. 86 Tahun 1999, Pasal 24 dan Keputusan Jaksa Agung Nomor : Kep-115/JA/10/1999, Ibid. , Pasal 363
lxxvi
umum, tindak pidana khusus, perdata dan tata usaha negara di lingkungan
Kejaksaan serta pengadministrasian; ketiga, pelaksanaan pengusutuan,
pemeriksaan atas adanya laporan, pengaduan, penyimpangan, penyalahgunaan
jabatan atau wewenang dan mengusulkan penindakan terhadap Pegawai
Kejaksaan yang terbukti melalukan perbuatan tercela atau terbukti melakukan
tindak pidana; Keempat, pemantauan dalam rangka tindak lanjut pengawasan
di lingkungan Kejaksaan; kelima, pembinaan dan peningkatan kemampuan,
keterampilan serta integritas kepribadian aparat pengawasan di lingkungan
pengawasan pada umumnya; keenam, pembinaan kerja sama dan pelaksanaan
koordinasi dengan aparat pengawasan fungsional instansi lain mengenai
pelaksanaan pengawasan pada umumnya; ketujuh, pengamanan teknis atas
pelaksanaan tugas dan wewenang Kejaksaan di bidang pengawasan
berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang
ditetapkan oleh Jaksa Agung, dan kedelapan, pemberian saran pertimbangan
kepada Jaksa Agung dan pelaksanaan tugas-tugas lain sesuai petunjuk Jaksa
Agung.
Tugas dan fungsi Jaksa Agung Muda Pengawasan tersebut diatas
merupakan salah satu bentuk pengawasan secara internal terhadap lembaga
Kejaksaan. Tugas dan fungsi tersebut pada dasarnya sudah cukup memadai
sebagai syarat pengawasan. Apa yang menjadi tugas dan fungsi Jaksa Agung
Muda Pengawasan merupakan usaha atau kegiatan mengetahui dan menilai
kenyataan yang sebenarnya mengenai tugas dan kegiatan, apakah sesuai
dengan semestinya atau tidak. Hal ini tentu saja berkenaan dengan tugas dan
kegiatan Kejaksaan sebagai lembaga Penuntutan.
Dalam Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : Kep-
115/JA/10/1999 tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Kejaksaan
Republik Indonesia, disebutkan bahwa Jaksa Agung Muda Pengawasan adalah
unsur pembantu pimpinan dalam melaksanakan sebagian tugas fungsi
Kejaksaan di bidang pengawasan.118
118 Kepja Nomor : Kpe-115/JA/10/1999, Ibid, pasal 361
lxxvii
Lebih lanjut dalam Kepja tersebut menyatakan bahwa dalam
melaksanakan tugasnya Jaksa Agung Muda Pengawasan dibantu oleh unsur-
unsur di bawahnya yang terdiri dari :
a. Sekretaris Jaksa Agung Muda Pengawasan;
b. Inspektur KePegawaian dan tugas umum;
c. Inspektur keuangan, perlengkapan dan proyek pembangunan;
d. Inspektur Intelijen;
e. Inspektur Tindak pidana umum;
f. Inspektur Tindak pidana khusus, perdata dan tata usaha negara.119
Untuk mendukung tugas dan fungsi Jaksa Agung Muda Pengawasan
sebagai lembaga pengawasan internal Kejaksaan maka dibentuk Sekretaris
Jaksa Agung Muda Pengawasan dengan tugas melaksanakan kegiatan di
bidang kesekretariatan di lingkungan Jaksa Agung Muda Pengawasan
menyelenggarakan fungsi,120 antara lain, pertama, pelaksanaan penyiapan
rumusan kebijaksanaan teknis di bidang kesekretariatan berupa pemberian
bimbingan, pembinaan dan pengamatan teknis; kedua, melaksanakan
koordinasi dengan semua satuan kerja dalam rangka penyiapan rumusan
rencana dan program kerja; ketiga, pelaksanaan pengumpulan, pencatatan,
pengolahan dan penyajian data kegiatan; keempat, pelaksanaan pemantauan,
penilaian dan penyusunan laporan pelaksanaan ketatausahaan; dan kelima,
pelaksanaan peningkatan kemampuan dan keterampilan, disiplin dan integritas
kepribadian aparat serta pelaksanaan pengamatan teknis atas pelaksanaan
tugas, sesuai petunjuk Jaksa Agung Muda Pengawasan.
Peraturan lain yang digunakan sebagai instrumen pengawasan kinerja
Kejaksaan dalam menjalankan fungsinya adalah Keputusan Jaksa Agung
Republik Indonesia Nomor : Kep-503/A/J.A/12/2000 tanggal 5 Desember 119 Ibid, pasal 364 120 Ibid, pasal 365 & 366
lxxviii
2000 dengan petunjuk pelaksanaan Nomor : Juklak-01/H/02/2000. Didalam
keputusan ini yang dimaksud dengan pengawasan121 adalah:
Kegiatan berupa pengamatan, penelitian, pengujian, pemberian bimbingan dan penertiban, serta pengusutan, pemeriksaan, penindakan dan pemantauan terhadap pelaksanaan tugas semua unsur Kejaksaan serta sikap, perilaku dan tutur kata Pegawai Kejaksaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, rencana kerja dan progam kerja serta kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung RI.
Selanjutnya pasal 2 Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia
Nomor : Kep-503/A/J.A/12/2000 disebutkan bahwa tujuan pengawasan adalah
:
Agar Kejaksaan melaksanakan tugas dan kewenangannya mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan, kebenaran berdasarkan hukum dengan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan dan kesusilaan,
Sedangkan pasal 3 Keptusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor :
Kep-503/A/J.A/12/2000 sasaran pengawasan adalah :
(a) melaksanakan tugas dengan baik rutin maupun pembangunan oleh setiap satuan kerja apakah telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, rencana kerja dan program kerja serta kebijakan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung Republik Indonesia;
(b) agar setiap Pegawai Kejaksaan mengemban tugasnya dengan baik dan penuh rasa tanggung jawab serta mengindahkan diri dari sikap, perilaku dan tutur kata yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Pengawasan melekat dilakukan oleh pejabat pengawasan melekat dari
tingkat Kejaksaan Agung (Jaksa Agung, pejabat I, II, III dan IV), tingkat
Kejaksaan Tinggi (Kajati, Pejabat Eselon II, III, IV dan V) dan tingkat
Kejaksaan Negeri (Kajari, Pejabat Eselon IV/ Kacabjari Eselon V).
121 Keputusan Jaksa Agung RI Nomor : Kep-503/A/J.A/12/2000 tanggal 5 desember 2000 tentang Ketentuan-ketentuan penyelenggaraan pengawasan Kejaksaan RI pasal 1 ayat (1), selanjutnya ayat (2) pengawasan melekat adalah pengawasan yang dilaksanakan oleh pimpinan satuan kerja terhadap bawahnya, sedangkan ayat (3) pengawasan fungsional adalah pengawasan yang dilaksanakan oleh aparat pengawasan fungsional.
lxxix
Pengawasan fungsional dilakukan oleh pejabat pengawasan fungsional
dari tingkat Kejaksaan Agung (Jaksa Agung Muda Pengawasan, Inspektur,
Inspektur Pembantu, Pemeriksa) Tingkat Kejaksaan Tinggi (Asisten
Pengawasan, pemeriksa dan pemeriksa pembantu).
Lebih lanjut Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor :
Kep-503/A/J.A/12/200 tentang Ketentuan-ketentuan penyelenggaraan
Pengawasan Kejaksaan Republik Indonesia pasal 14 menyebutkan bahwa :
Pengawasan fungsional yang dilakukan di tempat satuan kerja disebut inspeksi yang terdiri dari inspeksi umum (pemeriksaan terhadap semua satuan kerja), inspeksi pimpinan (pemeriksan yang dilakukan oleh Jaksa Agung Muda Pengawasan atau SESJAMWAS atas perintah Jaksa Agung Muda Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas Kajati dan Asisten pengawasan) dan inspeksi kasus (pemeriksaan terhadap penyimpangan-penyimpangan yang mengarah kepada perbuatan tercela yang dilakukan oleh Pegawai Kejaksaan).
Pelaksanaan Inspeksi umum didasarkan pada program kerja
pengawasan tahunan dan pelaksanaan inspeksi pimpinan yang dilakukan oleh
Jaksa Agung Muda Pengawasan atau Sekretaris Jaksa Agung Muda
Pengawasan122.
Dalam pelaksanaan inspeksi kasus tidak seluruhnya dilaksanakan oleh
aparat Pengawasan fungsional Jaksa Agung Muda Pengawasan, tetapi juga
Aparat Pengawasan fungsional di daerah, yaitu Kejaksaan Tinggi oleh Asisten
Pengawasan dan pemeriksa, sedangkan di Kejaksaan Negeri oleh pemeriksa
dan pemeriksa pembantu. Inspeksi kasus yang dilakukan langsung oleh aparat
pengawasan fungsional pada Jaksa Agung Muda Pengawasan hanyalah dipilih
untuk kasus-kasus yang berbobot dan mendapat perhatian masyarakat maupun
terhadap kasus yang dinilai akan menimbulkan dampak yang besar.
Berkenaan dengan Inspeksi, Darmono, SH. MM mengatakan bahwa :
122 Hendarman Supandji, Peningkatan Peran Masyarakat Melalui Program Pemantauan Guna Penguatan Fungsi Pengawasan Internal Kejaksaan, Kejaksaan Agung RI, 2005
lxxx
Inspeksi biasa dilakukan dengan surat perintah dengan program
tahunan yaitu Inspeksi umum yang berupa gabungan dari semua
bagian dan dipimpin oleh salah satu Inspektur. Inspeksi khusus yaitu
inspeksi kasus yang disoroti oleh masyarakat atau yang menarik,
disamping itu ada inspeksi pimpinan yang dilakukan oleh Jaksa Agung
Muda Pengawasan atau Sekretaris Jaksa Agung Muda Pengawasan.
Kesalahan yang ditemukan inspeksi umum biasanya ditindaklanjuti
dengan suatu petunjuk ke arah perbaikan, biasanya dalam berkenaan
dengan administrasi. Inspeksi khusus biasanya berkenaan dengan
laporan masyarakat.123
Selain ketiga jenis inspeksi diatas dalam Kepja Nomor : Kep-
503/A/J.A/12/2000 tanggal 5 Desember 2000 juga diatur tentang pemantauan
untuk mencapai hasil kegiatan pengawasan rutin maupun isnpeksi,
dilaksanakan pemantauan untuk mengecek kembali tindakan-tindakan yang
telah dilakukan dalam rangka tindak lanjut pengawasan agar sasaran yang
tepat.124
Dengan demikian temuan dalam kegiatan inspeksi yang dilakukan
muaranya ada dua yaitu penjatuhan sanksi terhadap pelanggaran yang
dilakukan oleh Jaksa dan Pegawai Kejaksaan dan disusul dengan memberikan
petunjuk kearah perbaikan dalam hal kesalahan administrasi.
2. Majelis Kehormatan Jaksa
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia mengamanatkan pembentukan Majelis Kehormatan Jaksa.125
Majelis Kehormatan Jaksa sebenarnya sudah diamanatkan oleh Undang-
123 Wawancara dengan Darmono, SH. MH (Kapusdiklat Kejaksaan RI), tanggal 4 Juni 2008 124 Kepja Nomor : 503/A/J.A/12/2000, Op. cit, pasal 27 125 UU No. 16 TAhun 2004, pasal 13 ayat (3) ,menyatakan pembentukan susunan dan tata cara pembelaan diri ditetapkan oleh Jaksa Agung, Op. cit
lxxxi
undang Kejaksaan sebelumnya (UU No. 5 Tahun 1991 pasal 13 ayat (3)).
Implementasi dari undang-undang tersebut telah ada Keputusan Jaksa Agung
No. Kep-017/A/J.A/01/2004 tentang Majelis Kehormatan Jaksa.
Majelis Kehormatan Jaksa adalah satuan organisasi yang
keanggotaannya ditetapkan oleh Jaksa Agung Republik Indonesia. Tugas dan
fungsi Majelis Kehormatan Jaksa adalah memberikan pendapat tertulis kepada
Jaksa Agung tentang Pemberhentian atau pemberhentian sementara Jaksa dari
jabatannya.126
Dalam pasal 16 disebutkan, bahwa untuk melaksanakan tugas
sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 5 Majelis Kehormatan Jaksa
mempunyai fungsi :
1. mengadakan sidang untuk melakukan pemeriksaan dan klarifikasi
atas pelanggaran yang dilakukan oleh Jaksa yang akan
diberhentikan atau diberhentikan sementara dari jabatannya
berdasarkan laporan hasil pemeriksaan Jaksa Agung Muda
Pengawasan;
2. menerima dan melakukan pemeriksaan terhadap temuan atau
kesimpulan dari Jaksa Agung Muda Pengawasan sepanjang
mengenai adanya Jaksa yang diusulkan untuk diberhentikan atau
diberhentikan sementara dari jabatannya;
3. memberikan pertimbangan, pendapat dan saran kepada Jaksa
Agung atas kesimpulan pemeriksaan terhadap Jaksa yang akan
diberhentikan atau diberhentikan sementara dari jabatannya.127
Tugas dan fungsi Majelis Kehormatan Jaksa adalah melakukan
pemeriksaan dipersidangan terhadap Jaksa yang akan diberhentikan atau
diberhentikan sementara dari jabatannya berdasarkan laporan Hasil
126 Keputusan Jaksa Agung RI tentang Majelis Kehormatan Jaksa Kep-017/A/J.A/01/2004, pasal 5 127 Ibid
lxxxii
Pemeriksaan Jaksa Agung Muda Pengawasan. Kesimpulan pemeriksaan oleh
Majelis Kehormatan Jaksa dilaporkan secara tertulis kepada Jaksa Agung
sebagai bahan pertimbangan, pendapat dan saran apakah Jaksa yang akan
diberhentikan atau diberhentikan sementara dari jabatannya layak dijatuhi
sanksi atau tidak. Dengan demikian kesimpulan pemeriksaan yang dilakukan
oleh Majelis Kehormatan Jaksa hanyalah bersifat rekomendasi kepada Jaksa
Agung dan keputusan final ada ditangan Jaksa Agung.
Majelis Kehormatan Jaksa bersifat internal, dimana susunan
keanggotaan dijabat oleh internal Kejaksaan sendiri yang susunannya
keanggotaannya ditetapkan oleh Jaksa Agung Republik Indonesia. Ini dapat
dilihat dari pasal 2 dalam Keputusan Jaksa Agung No. Kep-
017/A/J.A/01/2004 tentang Majelis Kehormatan Jaksa dimana susunan
Organisasi Majelis kehormatan Jaksa terdiri dari Ketua, Wakil Ketua,
Sekretaris dan anggota. Ketua dijabat oleh salah satu pejabat struktural eselon
I merangkap sebagai anggota; Wakil ketua dijabat oleh 2 (dua) orang yaitu
Ketua/Wakil Ketua Persaja merangkap sebagai anggota dan Kepala Biro
Kepegawaian merangkap sebagai anggota Sekretaris dijabat oleh 1 (satu)
orang dari unsur Sekretaris Persaja; Wakil Sekretaris dijabat oleh Kepala
Bagian Kepangkatan Biro Kepegawaian merangkap sebagai anggota.
Tata cara pembelaan diri adalah Jaksa yang akan diberhentikan atau
diberhentikan sementara dari jabatannya dapat dilihat dari pasal 6 dalam
Keputusan Jaksa Agung No. Kep-017/A/J.A/01/2004 tentang Majelis
Kehomatan Jaksa dengan mengajukan pembelaan diri diajukan secara tertulis
kepada Majelis Kehormatan Jaksa selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari
sejak diterimanya pemberitahuan tentang usulan pemberhentian atau
pemberhentian sementara Jaksa dari jabatannya; apabila dalam jangka 14
(empat belas) hari setelah diterimanya pemberitahuan tentang usulan
pemberhentian atau pemberhentian sementara Jaksa dari jabatannya tidak
mengajukan pembelaan diri secara tertulis, maka pembelaan diri yang
diajukan kemudian tidak dapat dipertimbangkan oleh Majelis Kehormatan
lxxxiii
Jaksa; pembelaan diri secara lisan dapat diajukan langsung oleh Jaksa yang
bersangkutan dihadapan sidang Majelis Kehormatan Jaksa.
3. Kode Etik Jaksa
Frans Magnis Suseno menjelaskan bahwa yang dimaksud
“etika” :
Kata “etika” dalam arti sebenarnya berarti “ filsafat” mengenai bidang
moral”. Jadi etika merupakan ilmu atau refleksi sistematik mengenai
pandapat-pendapat, norma-norma dan istilah moral. Dalam arti luas
etika yaitu sebagai “keseluruhan norma dan perilaku yang
dipergunakan oleh masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui
bagaimana manusia sebenarnya menjalankan kehidupannya, jadi
bagaimana mereka menemukan jawaban atas pertanyaan :
1. bagaimana saya harus membawa diri;
2. sikap-sikap dan tindakan-tindakan mana yang harus saya
kembangkan agar hidup saya sebagai manusia berhasil. Yang
dimaksud dengan berhasil ini adalah : kenikmatan sebanyak-
banyaknya, pengakuan oleh masyarakat, pemenuhan kehendak
Tuhan, kebahagiaan, kesesuaian dengan tuntutan-tuntutan
kewajiban mutlak dan sebagainya atau apa saja.128
Menurut Soeroyo, Etika profesi atau kode etik
adalah :
Etika yang berlaku dalam lingkungan profesi tertentu. Pada umumnya
setiap profesi sudah terikat dalam suatu kode etik profesi. Etika profesi
ini tercermin dalam kode etiknya. Ia merupakan suatu aturan atau
catatan norma yang harus diindahkan berisi petunjuk-petunjuk kepada 128 Frans Magnis Suseno, Etika Jawa, sebuah analisa Falsafi tentang kebiJaksanaan Hidup Jawa” Jakarta : PT. Gramedia, 1998, hal. 5
lxxxiv
para anggotanya tentang yang dilarang untuk diperbuat dan yang tidak
dalam menjalankan profesinya, tetapi juga kadang-kadang menyangkut
tingkah laku mereka pada umumnya dalam masyarakat.129
Menurut Muladi sebagaimana dikutip Soeroyo mengemukakan bahwa
etika profesi sangat dominan untuk menilai profesi, profesional dan perilaku
karena hal tersebut dapat dilihat sebagai sistem norma yang mempunyai
kegunaan evaluatif atau normatif . untuk ini perlu adanya standar sehingga
perbuatan diukur dengan kriteria-kriteria obyektif dengan memperhatikan hal-
hal sebagai berikut :
a. bahwa profesional diharapkan menguasai dan mempraktekkan
keterampilan dan pengetahuan profesinya dengan sebaik-baiknya;
b. penilaian dilakukan atas dasar standar profesi yang berlaku di
lingkungan profesinya. Dan ini biasa disebut “ The requisite level of
skill and knowledge”.130
Tuntutan dasar etika adalah tuntutan untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungan masyarakat dan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban yang
ditentukan oleh lingkungannya.131 Dasar sebagai tuntutan dan pedoman bagi
setiap warga Kejaksaan dalam memenuhi tuntutan masyarakat lingkungannya
dapat kita lihat Keputusan Jaksa Agung RI Nomor : Kep-030/J.A/3/1998
tanggal 23 Maret 1998 tentang Penyempurnaan Doktrin Kejaksaan Tri Krama
Adhyaksa dengan mencabut SKEP Jaksa Agung Nomor : Kep-052/J.A/8/1979
tanggal 17 Agustus 1979. Jaksa Agung memutuskan dan menetapkan bahwa
doktrin Tri Krama Adhyaksa merupakan pedoman kerja bagi setiap warga
129 Soeroyo, Etika Profesi Jaksa, Bahan Diklat Pendidikan Pembentukan Jaksa, Jakarta, 14 Mei 2008 130 Ibid 131 Ibid
lxxxv
Kejaksaan dalam mengemban amanah Korps dan melaksanakan dharma
baktinya bagi nusa dan bangsa.
Disini dimaksudkan Kejaksaan RI selaku Badan Negara Penegak
Hukum, mewakili masyarakat, Negara dan Pemerintah akan berusaha dengan
sesungguh-sungguhnya menyumbangkan dharma baktinya bagi pembangunan
bangsa dan negara guna terwujudnya masyarakat adil dan makmur
berdasarkan pancasila.132
Sehubungan dengan hal tersebut kepada Kejaksaan timbul kewajiban
serta tanggungjawab sepenuhnya atas setiap warga Kejaksaan dalam menjaga
perilaku sebagai patriot tanah air dan bangsa secara utuh dan terpadu
melaksanakan dengan setulus-tulusnya tugas dan wewenang Kejaksaan, guna
menunjang pertumbuhan iklim dan suasana yang mana, tertib dan berkeadilan
dengan sentuhan perasaan manusiawi yang luhur.133
Doktrin Tri Krama Adhyaksa ditetapkan sebagai pedoman yang
menjiwai setiap warga Kejaksaan dan harus terwujud dalam sikap mental
yang terpuji serta hal tersebut merupakan ciri hakiki Kejaksaan Republik
Indonesia. Perwjudan sikap mental yang terpuji tersebut adalah :
1. SATYA
Kesetiaan bersumber pada rasa jujur baik kepada Tuhan Yang
Maha Esa, diri pribadi dan keluarga maupun kepada sesama
manusia.
2. ADHI
Kesempurnaan dalam bertugas dan yang berunsur utama pemilikan
rasa tanggungjawab terhadap Tuhan Yang Maha Esa, keluarga dan
sesama Manusia;
132 Ibid 133 Dharma bakti warga Kejaksaan didasarkan pada :
1. landasan idiil pancasila; 2. landasan konstitusional undang-undang dasar 1945; 3. Landasan structural Undang-undang tentang Kejaksaan; 4. Landasan operasional Peraturan Perundang-undangan lainnya.
lxxxvi
3. WICAKSANA
Bijaksana dalam tutur kata dan tingkah laku, khususnya dalam
pengetrapan tugas dan wewenangnya.
Sesuai dengan Surat Keputusan Pengurus Pusat Persatuan Jaksa
Nomor : KEP-001/Persaja/03/1995 tentang Kode Etik Jaksa. Pengertian
penegakan kode etik Jaksa adalah merupakan rangkaian kegiatan Komisi
Kode Etik Jaksa dalam mencari serta mengumpulkan data dan fakta guna
membuat terang adanya dugaan pelanggaran atas Kode Etik Jaksa.
Kode Etik Jaksa adalah Tata Krama Adhyaksa dimana dalam
melaksanakan tugas Jaksa sebagai pengemban tugas dan wewenang Kejaksaan
adalah insani yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
berasaskan satu dan tidak terpisah-pisahkan, bertindak berdasarkan hukum dan
sumpah jabatan dengan mengidahkan norma keagamaan, kesopanan,
kesusilaan dan keadilan yang hidup dalam masyarakat berpedoman kepada
Doktrin Tata Krama Adhyaksa.134
Komisi Kode Etik Jaksa dalam rangkaiannya adalah bermaksud dan
bertujuan guna menjaga agar Kode Etik Jaksa benar-benar bermakna sebagai
tuntutan tata pikir, tata tutur dan tata laku bagi Jaksa. Dengan demikian
adanya Komisi Kode Etik Jaksa, diharapkan setiap Jaksa menghormati dan
mematuhi Kode Etik Jaksa serta mengamalkan secara nyata dalam lingkungan
kedinasan dan dalam pergaulannya masyarakat.135
Dengan adanya Kode Etik maka akan memperkuat sistem pengawasan
terhadap Jaksa, karena disamping ada peraturan perundang-undangan yang
dilanggar juga ada kode etik yang dilanggar.136 Sesuai dengan Surat
Keputusan Persatuan Jaksa Nomor : KEP-001/Persaja/03/1995 tentang Komisi 134 Surat Keputusan Pengurus Pusat Persatuan Jaksa tentang Kode Etik Jaksa, Kepja Nomor : KEP-001/Persaja/03/1995, pasal 1 135 Hendarman Supandji, Peningkatan Peran Serta Masyarakat melalui Program Pemantauan Guna Penguatan Fungsi Pengawasan Internal Kejaksaan.Loc. cit. 136 Ibid
lxxxvii
Kode Etik Jaksa, susunan Komisi Kode Etik Jaksa terdiri dari satu orang
ketua, satu orang sekretaris dan tiga orang anggota.
Dalam tata kerja Komisi Kode Etik Jaksa wajib meneliti dengan
cermat dan seksama data dan fakta untuk mendapatkan kejelasan dan
kebenaran atas dasar obyektivitas dan proporsional.
Selanjutnya Surat Keputusan Pusat Persatuan Jaksa Nomor : Kep-
001/Persaja/03/1995 tentang Komisi Kode Etik Jaksa mengatur tentang
tata kerja Komisi Kode Etik Jaksa dapat menyelenggarakan fungsi :
1. Memanggil para pihak yang diduga terlibat dan atau mengetahui
terjadinya pelanggaran Kode Etik Jaksa untuk mendengar
keterangannya;
2. Meneliti dan memeriksa data dan fakta yang diperoleh baik dari para
pihak maupun lembaga fungsional yang ada;
3. Melakukan konsultasi dengan pejabat struktural yang terkait;
4. Merumuskan pendapat, saran dan pertimbangan sebagai hasil eveluasi
sidang Komisi Kode Etik Jaksa;
5. Melaporkan hasil rumusan tersebut dalam bentuk berita acara laporan
sidang Komisi Kode Etik Jaksa kepada Ketua Umum Pengurus Pusat
Persaja atau Ketua Pengurus Daerah Persaja untuk mendapatkan tindak
lanjut, sesuai dengan prosedur dan hirarki yang berlaku dalam
kedinasan maupun dalam organisasi Persaja.
Dalam hubungannya dengan profesi Jaksa sebagai organisasi, Imam
Sopwan (Kasubdit Pengajaran Pusdiklat Kejaksaan RI) mengatakan bahwa :
Komisi Kode Etik terlepas dari lembaga Kejaksaan yang mana merupakan
bentukan Persaja yang sifatnya di luar kedinasan. Walaupun non
kedinasan tetapi ada ikatan moral dengan pengawasan internal Kejaksaan.
Di samping itu Persaja menyiapkan pembela terhadap Jaksa yang
lxxxviii
bermasalah. Persaja juga berfungsi memperjuangkan anggotanya. Jika ada
pemecatan maka Komisi Kode Etik dimintai rekomendasi tentang pantas
tidaknya seorang Jaksa dipecat.137
Dengan demikian keberadaan komisi Kode Etik Jaksa akan membantu
sistem pengawasan terhadap Jaksa. Persaja melalui Komisi Kode Etik Jaksa
dapat melakukan pemeriksaan terhadap Jaksa yang melanggar kode etik dan
Persaja juga berfungsi sebagai pembela/memperjuangkan jangan
disalahartikan, membela disini seyogyanya adalah mengungkapan fakta yang
sebenarnya tentang ketepatan penjatuhan sanksi terhadap Jaksa yang
bermasalah.
4. Lembaga Kejaksaan dan Partisipasi publik
Peningkatan disiplin Jaksa disamping dilakukan melalui pengawasan
melekat, pengawasan fungsional dan kode etik, juga dilaukan melalui
pengawasan masyarakat. Mekanisme kontrol eksternal dari masyarakat
disalurkan melalui tromol pos 5000, tromol pos 4343 atau kepada pimpinan
Jaksa yang bersangkutan.
Proses penyelesaian laporan pengaduan masyarakat baik secara
langsung maupun melalui tromol pos selama ini ditangani oleh Jaksa Agung
Muda Pengawasan. Setelah laporan masuk ke Kejaksaan agung kemudian
ditindaklanjuti oleh Jaksa Agung Pengawasan melalui surat-menyurat ke
Kejaksaan tinggi wilayah hukum Jaksa/ Pegawai yang terlapor.
Menurut MS. Rahardjo, SH. (JAMWAS) semua laporan aduan masyarakat
pasti akan ditangani tetapi dalam proses pemeriksaan yang biasanya melalui
surat-menyurat sehingga penanganannya lambat,138 sehingga hasilnya kurang
efektif. Bahwa penyebab kekurang efektifnya penanganan laporan aduan 137 Wawancara dengan Imam Sopwan (Kasubdit Pengajaran Pusdiklat Kejaksaan RI), tanggal 22 Mei 2008. 138 Wawancara dengan MS. Rahardjo (Jamwas) pada tanggal 3 Juni 2008 di Kejaksaan Agung.
lxxxix
masyarakat disebabkan mekanisme penyelesaian aduan masyarakat menurut
Pereaturan pemeirntah nomor 30 tahun 1980 (PP 30 Tahun 1980) tentang
Disiplin Pegawai Negeri Sipil memang mekanismenya seperti itu.
Ke depan, mekanisme penanganan laporan aduan masyarakat yang
digariskan oleh PP 30 Tahun 1980 perlu ditinjau kembali atau dibuatkan
aturan khusus bagi penanganan laporan aduan masyarakat di lingkungan
Kejaksaan sehingga tidak memakan waktu yang lama. Hal lain yang perlu
dipikirkan adalah sudah saatnya mengklasifikasikan jenis pelanggaran yang
menjadi wewenang pemeriksaannya oleh Kepala Kejaksaan Tinggi, Jaksa
Agung Muda Pengawasan dan Jaksa Agung sehingga tidak semua jenis
pelanggaran bermuara kepada Jaksa Agung.
Bahwa setelah diterimanya laporan / pengaduan masyarakat, oleh
Jaksa Agung Muda Pengawasan, laporan tersebut ditindaklanjuti
kebenarannya melalui mekanisme pemeriksaan dalam pengawasan internal
Kejaksaan dengan menjatuhkan hukuman sesuai dengan tingkat kesalahan
yang dilakukan.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan
Disiplin Pegawai Negeri Sipil, tanggal 30 Agustus 1980, pasal 6 disebutkan
bahwa :
(1) Tingkat hukuman disiplin terdiri atas; a. Hukuman disiplin ringan; b.
Hukuman disiplin sedang; c. Hukuman disiplin berat.
(2) Jenis hukuman disiplin ringan terdiri dari: a. Teguran lisan, b. Terguran
tertulis, c. Pernyataan tidak puas secara tertulis.
(3) Jenis hukuman disiplin sedang terdiri dari : a. Penundaan kenaikan gaji
berkala paling lama 1 (satu) tahun; b. Penurunan gaji sebesar satu kali
kenaikan gaji berkala untuk paling lama 1 (satu) tahun, c. Penundaan
kenaikan pangkat paling lama 1 (satu) tahun.
(4) Jenis hukuman disiplin berat terdiri dari : a. Penundaan pangkat yang
setingkat lebih rendah untuk paling lama 1 (satu) tahun; b. Pembebasan
xc
dari jabatan, c. Pemberhentian dengan tidak hormat atas permintaan
sendiri sebagai Pegawai negeri sipil; d. Pemberhentian tidak dengan
hormat sebagai Pegawai negeri sipil.
Akuntabilitas publik diartikan bahwa pemerintah menyatakan pada
kewajiban untuk menjawab setiap pertanyaan padanya.139Akuntabilitas publik
merupakan perwujudan kewajiban setiap instansi pemerintah untuk
mempertanggungjawabkan keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan visi dan
misi organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran yang hendak dicapai.
Harkristuti Harkrisnowo lebih jauh mengatakan
bahwa :
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kini sorotan terhadap lembaga
Kejaksaan sangatlah besar, bahkan lebih dari pada sorotan terhadap
lembaga-lembaga penegak hukum lainnya. Tentunya hal ini harus
dilihat sebagai kaca benggala atau cermin kinerja lembaga ini
sebagaimana dipandang oleh masyarakat luas. Ketajaman sorotan
kepada lembaga Kejaksaan ini antara lain disebabkan oleh tingginya
perhatian nasional dan international pada kasus-kasus yang nyatanya
banyak berada di tangan Kejaksaan Agung, khususnya kasus-kasus
korupsi.140
Berbagai kasus yang ditangani oleh Kejaksaan yang menarik perhatian
oleh masyarakat luas sehingga keterbukaan penanganan kasus akan
mengembalikan citra penegak hukum khususnya lembaga Kejaksaan.
Lembaga Kejaksaan harus mampu melaksanakan tugas dan kewenangan yang
ia miliki dengan penuh rasa tanggungjawab termasuk memberikan alasan- 139 Sri indarti Pudjilestastari, Peningkataan Akuntabilitas Kinerja Kejaksaan Agung RI, Puslitbang Kejaksaan Agung, Jakarta , 22 Agustus 2001 140 Harkristuti Harkrisnowo, Komisi Pengawas Eksternal Kejaksaan Mengerosi Kewenangan ataukan Mendorong Profesionalisme, bahan seminar dan loka karya tentang Komisi Pengawas Kejaksaan, Jakarta 9 November 2004.
xci
alasan yang rasional terhadap kasus-kasus yang diberhentikan penyidikannya
(SP-3).
Berkaitan dengan hal tersebut Suhadibroto mengatakan
bahwa :
Akses publik yang diselenggarakan Kejaksaan masih jauh dari harapan masyarakat, sehingga oleh masyarakat Kejaksaan diberi predikat sebagai instansi yang paling tertutup. 141
Transparansi lembaga Kejaksaan sebagai salah satu sub-sistem
peradilan pidana tentunya sangat diharapkan dalam menjalankan tugas dan
kewenangannya sesuai dengan undang-undang tetapi di sisi lain tetap
menghormati asas praduga tak bersalah sebagai cerminan perlindungan
terhadap hak tersangka / terdakwa.
Lembaga Kejaksaan harus mampu memilah-milah hal mana yang bisa
disampaikan langsung kepada masyarakat dan hal mana yang dirahasiakan,
karena pada akhirnya keterbukaan yang sesungguhnya ada di pengadilan
(sidang terbuka untuk umum). Sebagai contoh dalam penanganan perkara,
masalah bukti-bukti tentunya tetap harus dirahasiakan karena bila terlalu dini
diungkapkan kepada publik sebelum masuk dalam sidang pengadilan justru
menciptakan opini dalam masyarakat bahwa seakan-akan seorang terdakwa /
tersangka sudah bersalah, padahal belum tentu demikian setelah melalui
proses peradilan pidana.
Walaupun mungkin Kejaksaan bukanlah instansi yang paling tertutup
tetapi Kejaksaan sebagai salah satu instrumen penegak hukum yang mana
akhir-akhir ini penegakan hukum di Indonesia banyak kalangan yang
menganggap setengah hati. Untuk mengembalikan lembaga Kejaksaan sebagai
lembaga yang karismatik dipelukan keterbukaan kepada masyarakat sebagai
141 Suhadisubroto, Selamat Datang Jaksa Agung, Komisi Hukum Nasional, tanggal 21 Oktober 2004.
xcii
perwujudan keterlibatan masyarakat dalam pengawasan lembaga Kejaksaan.
Marwan Effendy mengemukakan bahwa :
Akuntabilitas (pertanggungjawaban) sangat Urgen untuk mengantisipasi
terjadinya deviasi kewenangan dari aparat Kejaksaan dalam menjalankan
tugas dan wewenang dalam menegakkan hukum. Masalah akuntabilitas ini
erat kaitannya dengan pengawasan yang harus dilakukan terhadap aparat
Kejaksaan untuk mewujudkan aparat yang profesional, berintegritas dan
disiplin142.
Dengan adanya akuntabilitas kepada publik dapat mendorong lembaga
Kejaksaan, khususnya Jaksa/Pegawai Kejaksaan bertindak secara profesional
dan jujur dalam menjalankan kewenangan yang ia miliki. Di sisi yang lain
adalah merupakan bentuk pengawasan dari masyarakat.
Berkenaan dengan akuntabilitas publik, lebih kanjut Soehadibroto
mengatakan bahwa :
Saat ini akses informasi tertumpu pada pejabat Kapuspenkum Kejaksaan; akses melalui media lain misalnya Website meskipun sudah ada tetapi belum dikelola dengan baik. Pada masa Jaksa Agung M.A. Rahman terkesan beliau menutup diri atau menghindar berkomunikasi dengan media massa143.
Kedepan lembaga Kejaksaan harus lebih terbuka, agar apa yang
diprogramkan dan dikerjakan oleh Jaksa Agung dan jajarannya dapat
diketahui, diikuti dan kontrol oleh publik. Di sisi lain akan terbuka masukan
bagi Jaksa Agung tentang perbuatan Jaksa yang tidak profesional dalam
melaksanakan jabatannya atau tingkah lakunya yang merugikan citra
Kejaksaan.
142 Marwan Effendy, Akuntabilitas Kejaksaan dan Komisi Pengawas, Loc. Cit. 143 Soehadibroto, Kejaksaan Baru suatu Conditio Sine Quanon, Makalah, Jakarta, 8 Nopember 2004, Loc. Cit.
xciii
Pertanggungjawaban Kejaksaan secara institusi terhadap penuntutan
secara independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani langsung
kepada Presiden dan DPR. Pertanggungjawaban ini pada prinsipnya juga
merupakan akuntabilitas.
Lebih lanjut Marwan Effendy berkenaan dengan akuntabilitas publik
mengemukakan bahwa :
Ke depan, Kejaksaan baik secara institusi maupun personal dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan, tidak saja kepada Presiden dan DPR tetapi terjadi juga kepada publik menyangkut jumlah perkara, baik di tingkat penyidikan maupun penuntutan dan juga jumlah perkara yang dikeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP-3) dan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP), disertai pertimbangan hukumnya melalui media cetak maupun elektronik secara periodik.144
Walaupun pertanggungjawaban lembaga Kejaksaan kepada DPR dan
Presiden sudah diamanatkan pasal 37 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan RI, dimana DPR merupakan cerminan dari masyarakat
tetapi masyarakat masih merasa belum cukup sehingga menuntut adanya
pertanggungjawaban secara langsung dari lembaga Kejaksaan.
Lebih lanjut Darmono (Kapusdiklat Kejaksaan RI) mengatakan
bahwa :
Bentuk lain dari akuntabilitas publik diwujudkan dalam bentuk komisi Kejaksaan. Dengan dibentuknya komisi Kejaksaan akan menerima aduan dari masyarakat dan masyarakat berhak mengetahui dan memperoleh informasi dari lembaga Kejaksaan tentang tindak lanjuti kasus yang mereka adukan.145
Akuntabilitas publik lembaga Kejaksaan, khususnya masalah
pengawasan mengatakan bahwa :
Pada waktu kita bicara pengawasan, di Kejaksaan Agung Pengawasan
internal sudah cukup baik dengan alur yang sistematis dari Jamwas ke 144 Marwan Effendy, Kejaksaan dan Komisi Pengawas, Loc.cit 145 Wawancara dengan Darmono (Kapusdiklat Kejaksaan RI), tanggal 8 Juli 2008
xciv
Jambin untuk divonis. Di Jamwas ada juga kelompok kerja pembagian
wilayah untuk membandingkan dan mengklaifikasi dan sebagainya.
Hanya sebenarnya di sini harus juga dilihat bahwa pada waktu kita
bicara masalah penegakan hukum maka kita butuh juga namanya
kepercayaan publik. Kepercayaan publik ini harus juga ditingkatkan di
Kejaksaan. Kesalahan bukan hanya oleh Kejaksaan tetapi publik juga
sudah apatis terhadap lembaga pemerintahan termasuk didalamnya
lembaga Kejaksaan. Dengan demikian saat sekarang ini publik tidak
begitu percaya jika yang membenahi Kejaksaan adalah dari dalam
sendiri dan mungkin juga hal tersebut yang mendasari sehingga
banyak staf ahli diambil dari luar Kejaksaan. Publik juga
mengharapkan akuntabilitas dari Kejaksaan yaitu pertanggungjawaban
kepada masyakarat luas bukan hanya (1) pertanggungjawaban ke atas
dalam konteks Kejaksaan itu sendiri sampai kepada Jaksa Agung, dan
(2) ke Presiden dalam hal eksekutif (3) ke DPR dalam konteks
legislatif. Di luar itu publik mengharapkan pertanggungjawaban di luar
itu, salah satu cara dibuat atau disusun untuk mencapai keinginan
publik tersebut adalah pembentukan komisi Kejaksaan.146
Lembaga Kejaksaan memang secara kelembagaan sejak dari dulu
sudah mempunyai mekanisme pengawasan secara internal yang dilakukan
oleh Jaksa Agung Muda Pengawasan beserta jajarannya. Bentuk
pertanggungjawaban dari pengawasan internal selama ini terfokus hanya
kepada Presiden dan DPR sementara pertanggungjawaban kepada masyarakat
masih dianggap kurang. Dalam undang-undang tentang Kejaksaan RI sendiri
hanya mengamanatkan seperti demikian karena DPR sudah dianggap jelmaan
dari masyarakat. Persoalannya adalah banyak keinginan dari masyarakat yang
belum terakomodir dengan apa yang disuarakan oleh anggota DPR, dengan
demikian lembaga Kejaksaan harus tanggap terhadap tentang rasa
146 Ibid
xcv
ketidakpuasan oleh masyarakat pada umumnya. Dengan hadirnya komisi
Kejaksaan diharapkan akan memberi solusi. Jadi komisi Kejaksaan diharapkan
sebagai sarana pertanggungjawaban kepada publik oleh lembaga Kejaksaan
untuk menyampaikan tentang apa yang telah, sedang dan akan dilakukan oleh
lembaga Kejaksaan dan pada akhirnya meningkatkan kinerja lembaga
Kejaksaan.
5. Pelaksanaan Pengawasan Eksternal oleh Komisi Kejaksaan
Adanya tugas Komisi Kejaksaan untuk memantau dan menilai
lembaga Kejaksaan, ke depan Komisi Kejaksaan diharapkan mampu
memberikan rekomendasi kepada Jaksa Agung berupa rekomendasi tentang
perbaikan organisasi penyusunan penyempurnaan mekanisme pengawasan dan
tata kerja pengawasan yang baku, partisipatif, transparan dan akuntabel. Selain
itu komisi Kejaksaan ikut mendorong penyusunan aturan mengenai tingkah
laku Jaksa (Code of Conduct Jaksa) ini terkait dengan apa yang dikatakan oleh
efektif dan berhasil tidaknya pemidanaan sangat bergantung kepada realitas
penegakan hukumnya. Hal ini sangat berkaitan dengan unsur hukum yaitu
materi hukum, struktur hukum dan budaya hukum, dalam sebuah masyarakat.
Materi hukum meliputi perangkat perundang-undangan, kemudian struktur
hukum menyangkut aparat penegak hukum dan budaya hukum merupakan
hukum yang hidup yang dianut dalam suatu masyarakat.
Karena hanya sebatas rekomendasi, keberhasilan komisi Kejaksaan
sangat tergantung pada diri Jaksa Agung dan anggota komisi Kejaksaan.
Anggota Komisi Kejaksaan harus aktif memantau hasil penelitian yang
diserahkan kepada Jaksa Agung ditindaklanjuti dan harus aktif melaporkan
kepada masyarakat yang mengadu tentang perkembangan kasus yang
diadukan.147
147 Wawancara dengan Amir Hasan Ketaren (Ketua Komisi Kejaksaan), tanggal 23 Juli 2008
xcvi
Selanjutnya dalam pasal 13 ayat (2) menyebutkan, dalam hal komisi
Kejaksaan menerima langsung lapoan masyarakat sebagaimana dalam pasal
11 huruf a, wajib mengirimkan salinan laporan tersebut kepada Jaksa Agung
untuk segera ditindak lanjuti oleh aparat internal.
Adanya keharusan dari komisi Kejaksaan yang menerima langsung
pengaduan dari masyarakat dan harus mengirimkan salinan laporan tersebut
kepada Jaksa Agung untuk ditindaklanjuti oleh aparat pengawasan internal
Kejaksaan.148 Semestinya tidak semua laporan aduan dari masyarakat
diteruskan kepada Jaksa Agung untuk ditindak lanjuti oleh pengawasan
internal. Komisi Kejaksaan harus diberikan kewenangan untuk menentukan
laporan masyarakat yang mana ia periksa sendiri dan yang mana yang harus
diteruskan kepada Jaksa Agung berdasarkan kasus yang dilaporkan. Contoh,
pengaduan masyarakat mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh aparat
pengawasan internal sendiri menjadi kewenangan komisi Kejaksaan untuk
memeriksa langsung.
Darmono (Kapusdiklat Kejaksaan RI), mengatakan bahwa :
Komisi Kejaksaan tidak melakukan action sebelum pengawasan internal
melakukan action. Jadi, action tetap berada pada pengawasan internal
Kejaksaan, tetapi bila komisi Kejaksaan melihat pengawasan internal
Kejaksaan tidak bekerja dengan baik maka pemeriksan diambil alih oleh
komisi Kejaksaan.149
Komisi Kejaksaan hanya mengambil alih pemeriksaan yang dilakukan
oleh instansi internal Kejaksaan (sesuai pasal 12 ayat (2)), apabila :
a. pemeriksaan oleh aparat internal tidak menunjukkan kesungguhan atau
berlarut-larut;
148 Lihat pasal 13 ayat (2) Perpres Nomor 18 tahun 2005 tentang Komisi Kejaksaan RI 149 Wawancara dengan Darmono (Kapusdiklat Kejaksaan RI), tanggal 17 Juli 2008
xcvii
b. hasil pemeriksaan oleh aparat pengawasan internal dinilai tidak sesuai
dengan kesalahan yang dilakuakn oleh Jaksa atau Pegawai Kejaksaan
yang diperiksa dan/atau;
c. terjadi kolusi dalam pemeriksaan oleh aparat pengawasan internal
Kejaksaan.
Pasal 12 ayat (2) huruf a di atas tentang pemeriksaan oleh aparat
internal tidak menunjukkan kesungguhan atau berlarut-larut. Komisi
Kejaksaan dalam menengtukan tidak sungguh-sungguh atau berlarut-larut
tentang proses pemeriksaan berkenaan dengan lamanya waktu yang
digunakan. Persolana yang bisa muncul adalah selama ini tidak adanya
pedoman yang digunakan mengenai lamanya suatu proses dari tahap yang satu
ketahap lainnya. Prosedur penanganan laporan aduan masyarakat terhadap
dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Jaksa atau Pegawai Kejaksaan
selama ini mengacu pada PP nomor 30 tahun 1980150 mengingat status kita
sebagai Pegawai Negeri Sipil. Prosedur dalam PP Nomor 30 Tahun 1980
memang mekanismenya panjang.
Dengan mekanisme PP Nomor 30 tahun 1980 yang lebih lanjut
dijabarkan dalam Keputusan Jaksa Agung RI Nomor : Kep-115/JA/10/1999
tentang Susunan Organisasi dan Tata kerja Kejaksaan Republik Indonesia dan
Keputusan Jaksa Agung RI Nomor : Kep-503/A/J.A/12/2000 tanggal 5
Desember 2000 tentang Ketentuan-ketentuan Penyelenggaraan Pengawasan
Kejaksaan Republik Indonesia, memang membuka peluang penanganan
pengaduan dari masyarakat dengan waktu yang lama.
Mekanisme yang sangat panjang perlu ada pembaharuan, administrasi
sudah ada tetapi kecepatan dalam menindaklanjuti perlu pembaharuan.
150 Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil, tanggal 30 Agustus 1980.
xcviii
Contoh, daerah diminta untuk melaporkan dalam jangka waktu 30 hari tetapi
tidak dilaksanakan dan tidak ada sanksi.151
Ke depan perlu ada pembaharuan mekanisme PP Nomor 30 tahun
1980 dan penjabaran dalam bentuk Kepja seyogyanya diatur mengenai batas
waktu yang jelas dalam setiap proses sehingga kepastian hukum baik pelapor
maupun terlapor dengan cepat dapat terwujud. Dan yang paling penting
adanya sanksi yang tegas terhadap aparat pengawasan jika tidak dilaksanakan.
Pasal 12 ayat (2) huruf b, “ hasil pemeriksaan oleh aparat pengawasan
internal dinilai tidak sesuai dengan kesalahan yang dilakukan oleh Jaksa atau
Pegawai Kejaksaan yang diperiksa”. Dari bunyi tersebut dapat disimpulkan
bahwa untuk menilai tidak sesuainya hukuman dan pelanggaran yang
dilakukan oleh Jaksa dan Pegawai Kejaksaan setelah pemeriksaan dilakukan
oleh parat pengawasan internal Kejaksaan. Keberatan bisa berasal dari :
1. Jaksa atau Pegawai Kejaksaan yang menganggap hukuman yang
diterima terlalu berat;
2. Pelapor yang menganggap hukuman yang dijatuhkan terlalu
ringan;
3. Komisi Kejaksaan sendiri menilai melalui penelitian terhadap
berkas penanganan kasus oleh aparat internal Kejaksaan.
Persoalan yang bisa muncul, bagaimana jika jenis hukuman yang
dijatuhkan adalah hukuman disiplin ringan berupa teguran lisan, terguran
tertulis atau pernyataan tidak puas secara tertulis yang tidak bisa diajukan
keberatan oleh Pegawai negeri sipil yang dijatuhi hukuman.152 Untuk
keberatan yang diajukan oleh Jaksa taua Pegawai kejaskaan sudah jelas tidak
bisa tetapi bagaimana dengan keberatan yang disampaikan oleh pelapor atau
temuan komisi Kejaksaan? Bagaimana halnya dengan putusan Jaksa Agung 151 Wawancara dengan Darmono, SH. MM (Kapusdiklat Kejaksaan RI) tanggal 17 Juli 2008 152 Peraturan pemerintah Nomor 30 tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil , tanggal 30 Agustus 1980. Op. cit, pasal 6
xcix
yang sudah final, mengingat pengawasan internal Kejaksaan muaranya pada
diri Jaksa Agung. Ini dapat diperkuat dengan adanya kata “hasil” yang artinya
proses pemeriksaan pengawasan internal sudah selesai yang keputusannya ada
ditangan Jaksa Agung.
Dengan bunyi pasal 12 ayat (2) huruf b memebrikan kemungkinan
keputusan Jaksa Agung dapat diperiksa ulang oleh Komisi Kejaksaan padahal
hasil pemeriksaan komisi Kejaksaan sendiri nantinya hanyalah sebagai
rekomendasi kepada Jaksa Agung.
Apakah mungkin putusan Jaksa Agung dapat dianulir kembali oleh
Jaksa Agung berdasarkan hasil rekomendasi dari komisi Kejaksaan? Ini
tergantung pada diri Jaska Agung bersedia untuk merubah keputusannya atau
tidak. Bisa saja dilakukan jika ada temuan baru yang menyatakan bahwa
memang pelanggaran yang dilakukan tidak sesuai dengan hukuman yang
dijatuhkan dan hal ini sangat bergantung keakuratan rekomendasi yang
diajukan oleh komisi Kejaksaan.
Pasal 12 ayat (2) huruf c, pengambil alihan oleh Komisi Kejaksaan
apabila terjadi kolusi dalam pemeriksaan oleh aparat pengawasan internal.
Pasal ini sama dengan pasal 12 ayat (2) huruf b, dimana kemungkinan besar
kesimpulan adanya kolusi seteleh pemeriksaan internal Kejaksaan selesai dan
sekali lagi putusannya ada ditangan Jaksa Agung.
Dengan demikian pengambilalihan oleh komisi Kejaksaan sesuai
dengan pasal 12 ayat (2) huruf b dan pasal 12 ayat (2) huruf c sangat rawan
menimbulkan masalah antara Jaksa Agung dan Komisi Kejaksaan sehingga
yang paling diutuhkan adalah koordinasi antara Jaksa Agung dan Komisi
Kejaksaan dapat dilakukan sedini mungkin mulai dari proses penanganan
perkara pada tahap awal yang dilakukan oleh aparat pengawasan internal
Kejaksaan.
Dengan dilibatkannya Komisi Kejaksaan sejak penanganan perkara
sejak awal (dalam hal memantau) dapat mendorong kinerja pengawasan
internal Kejaksaan melakukan proses pemeriksaan dengan fair sehingga
c
penjatuhan hukuman sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan oleh Jaksa/
Pegawai Kejaksaan dan kolusi dapat dihindari.
Koordinasi antara Komisi Kejaksaan dengan pengawasan internal
Kejaksaan dapat kita lihat dalam pasal 12 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor
18 Tahun 2005 tentang Komisi Kejaksaan yang berbunyi : “Dalam hal
pemeriksaan perilaku dan/atau dugaan pelanggaran peraturan kedinasan
Kejaksaan dilakukan oleh instansi internal Kejaksaan, pemeriksaan tersebut
harus dilaporkan kepada komisi Kejaksaan. Dengan adanya keharusan
internal Kejaksaan melaporkan pemeriksaan perilaku Jaksa dan Pegawai
Kejaksaan yang diduga melakukan pelanggaran peraturan kedinasan kepada
komisi Kejaksaan merupakan prinsip koordinasi.
Namun siapa yang harus melaporkan kepada komisi Kejaksaan,
apakah Jaksa Agung Muda Pengawasan? Jaksa Agung Muda Pengawasan
tidak boleh melapor kecuali kepada Jaksa Agung dan Jaksa Agung bukanlah
bawahan komisi Kejaksaan. Tetapi dengan adanya kata “harus” maka
pemeriksaan internal Kejaksaan harus dilaporkan kepada Komisi Kejaksaan.
Sistem pelaporan antara lembaga biasanya adalah pimpinan dalam hal ini
adalah Jaksa Agung setelah Jaksa Agung menerima laporan dari Jaksa
Agung Muda Pengawasan.
Penanganan laporan masyarakat yang dilaporkan kepada Jaksa Agung
baik secara langsung atau melalui tromol pos 5000 atau tromol posa 4343
harus dilaporkan kepada komisi Kejaksaan.
Koordinasi antara Komisi Kejaksaan dengan pengawasan internal
Kejaksaan dapat kita lihat juga dalam pasal 13 ayat (1) yang berbunyi “dalam
hal Komisi Kejaksaan melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran
peraturan kedinasan Kejaksaan serta sikap perilaku Jaksa dan pegwai
Kejaksaan, komisi Kejaksaan memberitahukan kepada Jaksa Agung mengenai
dimulainya pemeriksaan.153
153 Peraturan Presiden RI tentang Komisi Kejaksaan Republik Indonesia, Perpres Nomor 18 Tahun 2005, op. cit, pasal 13 ayat (1)
ci
1
Penanganan laporan masyarakat yang dilaporkan kepada komisi
Kejaksaan dapat kita lihat pada bagan Mekanisme Penanganan laporan
masyarakat yang diterima oleh Kejaksaan Agung (Penpres No. 18 Tahun
2005 tentang Komisi Kejaksaan sebagai berikut :
Ket :
1. Laporan dari masyarakat ke Komisi Kejaksaan;
2. laporan masyarakat oleh Komisi Kejaksaan diteruskan kepada Jaksa
Agung untuk segera ditindaklanjuti oleh aparat internal Kejaksaan
(pasal 13 ayat (2))
3. Laporan masyarakat yang diterima dari komisi Kejaksaan, Jaksa
Agung memerintahkan JAMWAS unutk segera menindaklanjuti;
4. Seteleh meneliti mekanisme pemeriksaan oleh JAMWAS, JAMWAS
mengajukan saran pendapat kepada Jaksa Agung mengenai jenis
hukuman yang dijatuhkan;
Komisi Kejaksaan
Jaksa Agung Jambin
Laporan masyarakat
MKJJamwas
4
7
10
89 6
235
cii
5. MKJ menerima dan melakukan pemeriksaan terhadap temuan atau
kesimpulan dari Jamwas sepanjang mengenai adanya Jaksa yang
diusulkan untuk diberhentikan atau diberhentikan sementara;
6. MKJ memberikan pertimbangan, pendapat dan saran kepada Jaksa
Agung atas kesimpulan pemeriksan terhadap Jaksa yang diberhentikan
atau diberhentikan sementara;
7. Komisi Kejaksaan sesuai dengan pasal 12 ayat (2) Penpres Nomor 18
Tahun 2005 tentang Komisi Kejaksaan dapat mengambil alih
pemeriksaan apabila :
a. Pemeriksaan oleh aparat internal tidak menunjukkan
kesungguhan atau berlarut-larut;
b. Hasil pemeriksaan oleh aparat pengawasan internal dinilai tidak
sesuai dengan kesalahan yang dilakukan oleh Jaksa atau
Pegawai Kejaksaan yang diperiksa dan/atau;
c. Terjadi kolusi dalam pemeriksaan oleh aparat pengawasan
internal.
8. MKJ menerima dan melakukan pemeriksaan terhadap temuan atau
kesimpulan dari Komisi Kejaksaan sepanjang mengenai adanya Jaksa
yang diusulkan untuk diberhentikan atau diberhentikan sementara;
9. Komisi Kejaksaan merekomendasi kepada Jaksa Agung untuk
menjatuhkan hukukman;
10. Terhadap putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap
Jaksa Agung memerintahkan Jambin untuk melaksanakan eksekusi.
Koordinasi antara Komisi Kejaksaan dengan pengawasan Internal
Kejaksaan dapat kita lihat juga dalam pasal 13 ayat (1) yang berbunyi “Dalam
hal komisi Kejaksaan melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran
peraturan kedinasan antara Kejaksaan serta sikap perilaku Jaksa dan Pegawai
ciii
Kejaksaan, Komisi Kejaksaan memberitahukan kepada Jaksa Agung
mengenai dimulainya pemeriksaan.”154
Dari bagan diatas menunjukkan bahwa tugas pemeriksaan terhadap
dugaan pelanggaran peraturan kedinasan Kejaksaan serta sikap perilaku Jaksa
dan Pegawai Kejaksaan oleh Komisi Kejaksaan, sesuai dengan pasal 13 ayat
(2) jo pasal 11 huruf a Peraturan Presiden Nomor 18 tahun 2005 tentang
Komisi Kejaksaan hanya mengambil alih pemeriksaan pengawasan internal
Kejaksaan.155 Dengan demikian komisi Kejaksaan hanya memeriksa setelah
pemeriksaan pemgawasan internal Kejaksaan dianggap gagal sesuai dengan
pasal 12 ayat (2) Penpres Nomor 18 Tahun 2005 tentang Komisi Kejaksaan.
Sepanjang dilakukan dengan prinsip koordinasi dengan berpedoman
pada kewenangan yang dimiliki oleh Komisi Kejaksaan dan aparat
Pengawasan Internal Kejaksaan maka dapat dihindari tentang kemungkinan
tumpang tindihnya suatu pemeriksaan dugaan pelanggaran oleh Jaksa atau
Pegawai Kejaksaan.156
Untuk menghindari tumpang tindihnya pemeriksaan pengawasan
internal Kejaksaan dengan komisi Kejaksaan maka saat kasus yang ditangani
oleh pengawasan internal Kejaksaan dinyatakan diambil alih pemeriksaannya
oleh komisi Kejaksaan (memenuhi syarat pasal 12 ayat (2) dari Penpres
Nomor. 18 tahun 2005 tentang Komisi Kejaksaan), seyogyannya penanganan
proses pengaduan kasus yang dimaksud dihentikan pula oleh aparat
pengawasan internal Kejaksaan.
E. Kendala-kendala dan Upaya-upaya untuk meningkatkan peran Komisi
Kejaksaan dalam melaksanakan Pengawasan terhadap Lembaga
Kejaksaan.
154 Peraturan Presiden RI tentang Komisi Kejaksaan RI, Perpres Nomor 18 Tahun 2005, op.cit pasal 13 ayat (1) 155 Lihat pasal 12 ayat (2), Ibid 156 Wawancara dengan Darmono (Kapusdiklat), Tanggal 23 Juli 2008
civ
1. Kendala-kendala.
Tugas Komisi Kejaksaan sebagaimana dalam Peraturan Presiden
Nomor 18 Tahun 2005 tentang Komisi Kejaksaan, yaitu berupa pengawasan,
pemantauan dan penilaian. Hasil dari pengawasan, pemantauan dan penilaian
akan menjadi masukan atau rekomendasi kepada Jaksa Agung. Rekomendasi
yang disampaikan oleh Komisi Kejaksaan kepada Jaksa Agung untuk
ditindaklanjuti.
Persoalan yang mungkin muncul adalah bagaimana jika
rekomendasi dari Komisi Kejaksaan tidak ditindaklanjuti oleh Jaksa Agung.
Walaupun kewenangan Komisi Kejaksaan potensial kuat (tidak kuat karena
hanya rekomendasi) sangat tergantung dari leadership dan proaktif yang
dimiliki oleh Jaksa Agung dan anggota Komisi Kejaksaan. Jadi tergantung
apakah Jaksa Agung mau menindaklanjuti rekomendasi dari Komisi
Kejaksaan atau tidak. Karena hanya berupa rekomendasi, berhasil tidaknya
Komisi Kejaksaan sangat bergantung pada komitmen dan kredibilitas Jaksa
Agung untuk merespon dan menindaklanjuti rekomendasi dari Komisi
Kejaksaan. Dan juga terkait dengan penggunaan anggaran yang masih
menginduk di Lembaga Kejaksaan sehingga hal ini dikhawatirkan akan
mengurangi independensi kewenangan Komisi Kejaksaan.
Sebagai ilustrasi ada dua hal yang menjadi penyebab turunnya
minat masyarakat melaporkan kasusnya kepada komisi ombudsman yaitu :
1). Komisi ombudsman walaupun ada tindak lanjuti terhadap laporan dari
masyarakat tetapi jika dimentahkan oleh aparat terkait mereka tidak
melaporkannya lagi ketingkat yang lebih tinggi, dan 2). Komisi Ombudsman
tidak secara berkala melaporkan hasil laporan masyarakat kepada pelapor
tentang kasus yang dilaporkan.157
Dalam pasal 13 Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia disebutkan bahwa “pengusulan pemberhentian
tidak hormat dilakukan setelah Jaksa yang bersangkutan diberi kesempatan 157 Wawancara dengan Darmono, SH. MM, tanggal 8 Juli 2008
cv
secukupnya untuk membela diri dihadapan majelis kehormatan Jaksa,
mengenai susunan keanggotaan majelis kehormatan Jaksa sudah dua kali
dibentuk yaitu tahun 1993158 sesuai dengan amanat undang-undang Nomor 5
Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Keputusan Jaksa Agung
tentang Majelis Kehormatan Jaksa sudah terbentuk tahun 2004159 tetapi
sampai sekarang belum berfungsi secara maksimal.160 Dan yang menjadi
kendala dalam Majelis Kehormatan Jaksa adalah orang-orang yang diangkat
sebagai Anggota Majelis kehormatan Jaksa mendapat Surat Keputusan yang
baru lagi untuk menduduki jabatan di daerah sehingga anggota Majelis
Kehormatan Jaksa tidak dapat berjalan.161
Dengan belum berfungsinya Majelis Kehormatan Jaksa maka selama
ini dalam proses pemecatan masih ditangani oleh Jaksa Agung Muda
Pengawasan.
2. Upaya-Upaya
Dengan kenyataan di atas, Komisi Kejaksaan yang lebih kurang sama
dengan Komisi Ombudsman yang hanya memberi rekomendasi, dalam hal
ini Komisi Kejaksaan meberi rekomendasi kepada Jaksa Agung, maka yang
harus dilakukan oleh Komisi Kejaksaan adalah :
1) Komisi Kejaksaan harus proaktif dalam memantau rekomendasi yang
disampaikan kepada Jaksa Agung apakah dilaksanakan atau tidak. Jika
tidak dilaksanakan maka menjadi bahan laporan oleh Komisi
Kejaksaan (laporan berkala) kepada Presiden sebagai atasan Jaksa
Agung.162
158 Keputusan Jaksa Agung RI Nomor : Kep-103/J.A/11/1993 tentang Susunan Keanggotaan Majelis Kehormatan Jaksa 159 Keputusan Jaksa Agung RI Nomor : Kep-080/J.A/07/1999 tentang Susunan Keanggotaan Majelis Kehormatan Jaksa 160 Keputusan Jaksa Agung RI Nomor : Kep-017/J.A/01/2004 tentang Susunan Keanggotaan Majelis Kehormatan Jaksa 161 Makalah Hendarman Supandji (Sesjamwas), Pembahasan Komisi Kejaksaan, 28 Pebruari 2005 162 Lihat pasal 27 ayat (3) Perpres Nomor 18 tahun 2005 komisi Kejaksaan, Op. cit.
cvi
2) Komisi Kejaksaan harus proaktif melaporkan kepada pelapor tentang
perkembangan kasus yang dilaporkannya. Termasuk jika kasus tidak
ditindaklanjuti karena kurang bukti disertai dengan alasan-alasan.
Belajar dari pengalaman komisi-komisi sebelumnya maka berhasil
tidaknya komisi Kejaksaan sangat tergantung pada leadership yang dalam hal
ini adalah Presiden, apakah dia berani mengambil resiko dan tampil sebagai
contoh yang tegas pada orang-orang di sekelilingnya.163
Hal yang penting adalah mutu dari Anggota Komisi Kejaksaan, apakah
orang-orang yang terpilih melalui beberapa tahap seleksi yang dilakukan oleh
panitia Seleksi penerimaaan Anggota Komisi Kejaksaan adalah orang-orang
yang terbaik sesuai dengan harapan masyarakat.
Untuk mendapatkan orang-orang yang terbaik seyogyanya panitia
seleksi mempertimbangkan masukan dari masyarakat dan koalisi pemantau
peradilan. Hal lain adalah pada saat penentuan 14 (empat belas ) nama oleh
Panitia Seleksi untuk diajukan kepada Presiden dan pada saat Presiden
menentukan 7 (tujuh) nama untuk menjadi anggota komisi Kejaksaan, maka
diharapkan subyektifitas direduksi (dikurangi) dan adanya transparansi kepada
masyarakat sehingga masyarakat percaya dengan proses perekrutan Anggota
Komisi Kejaksaan.
Persoalan lain yang mungkin muncul adalah bahwa dalam peraturan
presiden diatur tentang adanya sekretariat yang terdapat dalam lingkungan
Kejaksaan, dengan demikian anggaran komisi keJaksan mengikut pada
anggaran Kejaksaan Agung. Masalah anggaran siapa yang menanggung.
Dengan tidak jelasnya dari mana anggaran yang dioergunakan oleh komisi
Kejaksaan akan mempengaruhi kinerja komisi Kejaksaan.
Sebagai lembaga yang baru komisi Kejaksaan boleh saja anggarannya
berasal dari Kejaksaan agung, mengingat tugas utama komisi Kejaksaan
163 Adnan Buyung Nasution, Dokumen Metro TV,Komisi-komisi pengawas Penegak Hukum.
cvii
sebagai pengawas eksternal lembaga Kejaksaan, seyogyanya terpisah dari
anggaran Kejaksaan Agung sebagai lembaga yang diawasi.
Saat ini Komisi Kejaksaan Republik Indonesia sedang mengumpulkan
database penting, baik mengenai track record Jaksa maupun mengenai sarana
dan prasarana serta sumber daya manusia di lingkungan Kejaksaan Republik
Indonesia guna menjadi acuan utama dalam memberikan usulan perbaikan
maupun dalam memberikan saran untuk pemberian sanksi dan penghargaan
atas kinerja Jaksa. Hal ini dilakukan dengan cara diharapkan semua Pegawai
di lingkungan Kejaksaan wajib memberikan dan / atau data yang diminta
Komisi Kejaksaan dalam melaksanakan tugasnya. Dalam hal Pegawai di
lingkungan Kejaksaan tidak memberikan keterangan dan/atau data yang
diminta, Komisi Kejaksaan mengajukan usul kepada atasan yang bersangkutan
agar menjatuhkan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan.
cviii
BAB IV
P E N U T U P
A. Kesimpulan
1. Latar belakang terbentuknya Komisi Kejaksaan adalah pada awal
reformasi isu utama yang perlu dibenahi terkait dua hal yaitu maraknya
KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) dan pemerintahan yang totaliter.
Kejaksaan merupakan salah satu lembaga penegak hukum yang sarat
KKN, oleh karena itu perlu adanya pembenahan internal kelembagaan
sesuai dengan agenda reformasi di bidang hukum tersebut. Naskah
kesepakatan bersama pimpinan lembaga penegak hukum yang isinya perlu
dikembangkan sistem pengawasan yang akuntabel. Untuk mewujudkan hal
tersebut perlu penyempurnaan sistem pengawasn internal Kejaksaan dan
pengkajian atas kemungkinan pengembangan lembaga pengawasan
eksternal Kejaksaan. Isu tentang perlu dibentuknya pengawasan eksternal
Kejaksaan berkembang dengan masuknya dalam pembahasan Rancangan
Undang-undang Kejaksaan RI. Pembahasan Undang-undang Nomor 16
tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia disepakati pasal 38
bahwa “Untuk meningkatkan kinerja Kejaksaan, Presiden dapat
membentuk sebuah komisi yang susunan dan kewenangannya diatur oleh
Presiden. Dengan kata “meningkatkan kinerja Kejaksaan”, terkait dengan
hal tersebut maka salah satu faktor untuk meningkatkan kinerja adalah
masalah pengawasan. Pelaksanaan dari amanat pasal 38 tersebut maka
dibentuklah Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2005 tentang Komisi
Kejaksaan RI.
2. Komisi Kejaksaan merupakan lembaga pemerintahan non struktural dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat mandiri, bebas dari
pengaruh kekuasaan manapun. Komisi Kejaksaan berada dibawah dan
bertanggungjwab kepada Presiden. Tugas dan wewenang komisi
Kejaksaan menyangkut 3 (tiga) hal yaitu : pengawasan, pemantauan dan
cix
penilaian. Tugas komisi Kejaksaan sebagai pengawasan lembaga
Kejaksaan terhadap Jaksa dan pegawai Kejaksaan adalah terhadap kinerja
dan terhadap sikap dan perilaku dan tugas Komisi Kejaksaan sebagai
penilai dan pemantau lembaga Kejaksaan bukan hanya menyangkut
kinerja dan perilaku Jaksa / pegawai Kejaksaan, tetapi juga menyangkut
kondisi organisasi, kelengkapan dan sumber daya manusia. Tugas dan
kewenangan komisi Kejaksaan tumpang tindih dengan pengawasan
internal Kejaksaan namun sepanjang dilakkan dengan prinsip koordinasi
maka keberadaan Komisi Kejaksaan justru dapat mendorong peningkatan
kinerja lembaga pengawasan internal Kejaksaan dan Kejaksaan secara
umum. Dengan demikian kehadiran komisi Kejaksaan patut disambut
secara positif untuk melaksanakan salah satu agenda reformasi, khususnya
reformasi di bidang hukum.
3. Perbedaan kewenangan Komisi Kejaksaan dengan pengawasan internal
Kejaksaan dalam hal pengawasan adalah Komisi Kejaksaan merupakan
lembaga pengawasan yang berada di luar lembaga Kejaksaan sedangkan
pengawasan internal merupakan bagian integral dari lembaga Kejaksaan.
Komisi Kejaksaan dalam hal menerima aduan dari masyarakat wajib
mengirimkan salinan laporan kepada Jaksa Agung untuk ditindaklanjuti
oleh aparat pengawasan internal Kejaksaan, Komisi Kejaksaan tidak
melakukan pemeriksaan sebelum pengawasan internal lebih dahulu
melakukan pemeriksaan (hanya mengambil alih pemeriksaan yang
dilakukan oleh pengawasan internal Kejaksaan yang dianggap gagal ),
sedangkan pengawasan internal Kejaksaan dalam hal menerima aduan dari
masyarakat berwenang memeriksa langsung kasus yang diadukan (tetapi
harus dilaporkan kepada Komisi Kejaksaan tentang dimulainya
pemeriksaan). Komisi Kejaksaan selain melakukan pengawasan juga
berwenang menilai dan memantau tentang kondisi organisasi, kelengkapan
dan sumber daya manusia lembaga Kejaksaan dimana hal tersebut tidak
dimiliki oleh pengawasan internal Kejaksaan (dilakukan oleh bagian
pembinaan Kejaksaan Agung).
cx
Dan Terkait dengan prospek Komisi Kejaksaan, masalah yang perlu
diantisipasi adalah :
• Terkait dengan output Keputusan Komisi Kejaksaan yang hanya
sebatas rekomendasi kepada Jaksa Agung maka keberhasilan Komisi
Kejaksaan sangat bergantung pada komitmen dan kredibilitas Jaksa
Agung untuk menindaklanjuti rekomendasi dari Komisi Kejaksaan
karena rekomendasi tersebut tidak mengikat Jaksa Agung.
• Terkait dengan anggaran operasional Komisi Kejaksaan yang
diambilkan dari anggaran Kejaksaan Agung sebagai lembaga yang
diawasi dapat menimbulkan conflict of interest karena Komisi
Kejaksaan yang seharusnya mengawasi lembaga Kejaksaan justru
anggarannya harus diambilkan dari anggaran Kejaksaan Agung.
Dengan demikian seyogyanya Komisi Kejaksaan diberikan
kewenangan untuk mengatur dan mengajukan sendiri anggarannya.
• Terkait dengan anggota Komisi Kejaksaan yang merupakan pejabat
publik yang terdiri atas mantan Jaksa, praktisi hukum, akademisi
hukum dan anggota masyarakat. Proses seleksinya harus transparan
dan partisipatif dimana masyarakat diberikan kesempatan yang cukup
untuk menyampaikan pendapat dan tanggapan tertulis tentang
integritas dan karakter calon anggota Komisi Kejaksaan.
B. S a r a n
1. Lembaga pengawasan internal dan pengawasan eksternal yang obyek
tugasnya sama-sama sebagai lembaga pengawasan terhadap lembaga
Kejaksaan senantiasa dilakukan dengan prinsip koordinasi untuk
menghindari tumpang tindihnya suatu pemeriksaan.
cxi
2. Sebaiknya status pegawai Kejaksaan yang menduduki jabatan struktural
terlepas dari Kejaksaan agung dan dikaryakan di Komisi Kejaksaan.
Begitu pula dengan staf sekretariat tidak sepenuhnya berasal dari Pegawai
Negeri Sipil (khususnya dari lingkungan Kejaksaan) tetapi anggota Komisi
Kejaksaan selayaknya diberi wewenang untuk merekrut staf sekretariat
yang berasal dari kalangan profesional (non Pegawai Negeri Sipil).
3. Dengan terbentuknya Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, dan Komisi
Kepolisian Nasional ke depan perlu dipikirkan tentang adanya semacam
sistem kontrol terpadu antara lembaga pengawasan yang mengawasi sub-
sistem yang terlibat dalam Sistem Peradilan Pidana untuk mewujudkan
tujuan Sistem Peradilan Pidana.