Peran Kerjasama Pemerintah Dan Swasta Dalam Pembangunan Infrastruktur Kereta API Di Indonesia
-
Upload
bagus-septiawan -
Category
Documents
-
view
66 -
download
8
Transcript of Peran Kerjasama Pemerintah Dan Swasta Dalam Pembangunan Infrastruktur Kereta API Di Indonesia
KERJASAMA PEMERINTAH DAN SWASTA DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR PERKERETAAPIAN DI INDONESIA
Public Private Partnership In Railway Infrastructure Development In Indonesia
Bagus SeptiawanMahasiswa Program Diploma IV Akuntansi, Sekolah Tinggi Akuntansi Negara
AbstrakTransportasi kereta api merupakan alternatif penting untuk menjawab sejumlah masalah umum transportasi di Indonesia seperti tingginya biaya logistik, kemacetan jalan, keselamatan penumpang, keterpaduan moda, keterhubungan antar wilayah (domestic connectivity), serta pengembangan sistem transportasi yang berkelanjutan (sustainable transportation). Upaya pembangunan prasarana dan sarana kereta api dilakukan dengan menyusun Rencana Induk Perekeretaapian Nasional (RIPNAS) pada tahun 2010. Salah satu strategi investasi dan pendanaan yang tercantum dalam RIPNAS adalah mendorong keterlibatan swasta dalam investasi penyelenggaraan perkeretaapian melalui pola Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS).
Kata Kunci: Kereta Api, RIPNAS, KPS,
AbstractRailway transport is an important alternative to solve a number of common problems of transportation in Indonesia, such as the high cost of logistics, road congestion, passenger safety, trasnport integration, connectivity between regions (domestic connectivity), as well as the development of sustainable transport systems (sustainable transportation). Construction of railway infrastructures by drafting a Master Plan for the National Railways (RIPNAS) in 2010. One of the investment and financing strategies listed in RIPNAS is encouraging private sector involvement in the implementation of railway investment through a Public Private Partnership (PPP).
Keywords: Railway, RIPNAS, PPP
PENDAHULUAN
Transportasi kereta api merupakan
alternatif penting untuk menjawab
sejumlah masalah umum transportasi di
Indonesia seperti tingginya biaya logistik,
kemacetan jalan, keselamatan penumpang,
keterpaduan moda, keterhubungan antar
wilayah (domestic connectivityi), serta
pengembangan sistem transportasi yang
berkelanjutan (sustainable transportation).
Kereta api mempunyai keunggulan
komparatif jika dibandingkan dengan
moda transportasi lainnya, yaitu dalam hal
kapasitas angkut yang besar, cepat, aman,
hemat energi, dan ramah lingkungan.
Moda transportasi kereta api masih
sangat berpotensi untuk dikembangkan.
Hingga saat ini, jalur kereta api yang
beroperasi masih terfokus di Pulau Jawa
sebagian Sumatera dengan total panjang
5.434 km pada tahun 2014 dengan jumlah
armada lokomotif dimana lebih dari 50
1
persen usianya sudah di atas 20 tahun dan
Kereta Rel Listrik yang lebih dari 90
persen merupakan produksi sebelum
Tahun 1991. Disamping itu, akses jalur
kereta api menuju pelabuhan maupun
bandara belum dikembangkan secara
optimal dan diselenggarakan secara
terpadu, demikian juga dengan
pengembangan dry port serta fasilitas alih
moda kereta api dan angkutan di
perkotaan.
Upaya pembangunan prasarana dan
sarana kereta api dilakukan dengan
menyusun Rencana Induk Perekeretaapian
Nasional (RIPNAS) pada tahun 2010.
Melalui RIPNAS Pemerintah
mencanangkan visi, arah kebijakan,
strategi, sasaran, dan program utama
pembangunan perkeretaapian di Indonesia
tahun 2010 sampai dengan tahun 2030.
Program perkeretaapian yang dicanangkan
dalam RIPNAS adalah pengembangan
jaringan dan layanan kereta api perkotaan,
kereta api antar kota, serta kereta api yang
menghubungkan simpul-simpul
transportasi seperti bandara dan pelabuhan.
Selain itu juga jaringan kereta api yang
menghubungkan wilayah pertambangan
dan sumber daya alam; pembangunan
kerata api cepat di Pulau Jawa dan
interkoneksi yang menghubungkan antara
Pulau Jawa, Bali, dan Sumatera serta
pembangunan jaringan kereta api di
Kalimantan, Sulawesi dan Papua.
Salah satu strategi investasi dan
pendanaan yang tercantum dalam RIPNAS
adalah mendorong keterlibatan swasta
dalam investasi penyelenggaraan
perkeretaapian melalui pola Kerjasama
Pemerintah dan Swasta (KPS). Strategi
tersebut diharapkan akan mewujudkan
pendanaan perkeretaapian yang kuat
dengan dukungan investasi swasta. Target
yang tertuang dalam RIPNAS pada tahun
2030 struktur investasi/pendanaan
perkeretaapian akan mencapai 70%
investasi swasta dan 30% investasi
Pemerintah atau APBN.
KPS merupakan alat untuk
meningkatkan efisiensi dan meningkatkan
kualitas produk-produk dan pelayanan
publik. Tujuan bersama yang hendak
dicapai dengan menggunakan skema KPS
ini, antara lain, adalah untuk meningkatkan
efektivitas dan efisiensi dalam
pelaksanaannya, meningkatkan kualitas
produk-produk dan pelayanan publik, dan
adanya pembagian modal, risiko, dan
kompetensi atau keahlian sumber daya
manusia secara bersama-sama (Bambang
Susantono dan Berawi, 2012). Berdasarkan
hal itu, tulisan ini bertujuan untuk
mengetahui bagaimana peran KPS dalam
pembangunan infrastruktur perkeretaapian
di Indonesia dengan berbagai kelebihan
2
dan kekurangannya serta menjelaskan
skema KPS terbaik untuk meningkatkan
efisiensi dan meningkatkan kualitas
produk dan pelayanan publik di masa
depan.
TINJAUAN PUSTAKA
Kerjasama Pemerintah dan Swasta
(KPS) atau Public-Private Partnership
(PPP) dapat didefinisikan sebagai “an
agreement between the government and
one or more private partners (which may
include the operators and the financers)
according to which the private partners
deliver the service in such a manner that
the service delivery objectives of the
government are aligned with the profit
objectives of the private partners and
where the effectiveness of the alignment
depends on a sufficient transfer of risk to
the private partners (OECD, 2008)”.
Kesepakatan antara pemerintah dan
satu atau lebih mitra swasta (yang
mungkin terdiri atas operator dan
penyandang dana) dimana mitra swasta
memberikan layanan sedemikian rupa
sehingga tujuan pemberian layanan
pemerintah selaras dengan tujuan
keuntungan dari mitra swasta dan mana
efektivitas keselarasan tergantung pada
transfer yang cukup risiko kepada pihak
swasta (OECD, 2008).
Menurut Bult-Spiering and Dewulf
dalam Susantono (2012), terdapat
beberapa varian definisi KPS, antara lain:
1. KPS sebagai reformasi manajemen
ketika fungsi pemerintahan dan
birokrasi mengalami perubahan dan
pencerahan dari interaksinya dengan
manajemen profesional yang biasanya
dimiliki oleh sektor swasta.
2. KPS adalah kerjasama yang
melembaga dari sektor publik dan
sektor swasta yang bekerja bersama
untuk mencapai target tertentu ketika
kedua belah pihak menerima risiko
investasi atas dasar pembagian
keuntungan dan biaya yang
dipikulnya.
3. KPS adalah kerjasama antara
pemerintah dan swasta yang
menghasilkan produk atau jasa dengan
risiko, biaya, dan keuntungan
ditanggung bersama berdasarkan nilai
tambah yang diciptakannya.
KPS merupakan alat untuk
meningkatkan efisiensi dan meningkatkan
kualitas produk-produk dan pelayanan
publik. Tujuan bersama yang hendak
dicapai dengan menggunakan skema KPS
ini, antara lain, adalah untuk meningkatkan
efektivitas dan efisiensi dalam
pelaksanaannya, meningkatkan kualitas
produk-produk dan pelayanan publik, dan
adanya pembagian modal, risiko, dan
3
kompetensi atau keahlian sumber daya
manusia secara bersama-sama.
Sementara World Bank
mendefinisikan KPS sebagai kesepakatan
antara pemerintah dan pihak swasta
dimana pihak swasta menyediakan aset,
layanan atau keduanya dengan imbalan
pembayaran yang bersifat jangka panjang
serta disesuaikan dengan karakteristik dari
output yang dihasilkan.
Dalam kerangka peraturan
(regulatory framework), ketentuan
mengenai KPS diatur dalam Perpres No.
67 Tahun 2005 tentang Kerja Sama
Pemerintah Dengan Badan Usaha serta
berbagai perubahannya yang dituangkan
dalam Perpres No. 56 Tahun 2011 dan
Perpres No. 66 Tahun 2013. Definisi
proyek kerja sama menurut Perpres No. 67
Tahun 2005 Tentang Kerja Sama
Pemerintah Dengan Badan Usaha dalam
Penyediaan Infrastruktur adalah
penyediaan infrastruktur yang dilakukan
melalui perjanjian kerja sama atau
pemberian izin pengusahaan antara
Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah
dengan Badan Usaha. Badan Usaha
tersebut berbentuk Perseroan Terbatas,
Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan
Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) serta
koperasi.
Di lain pihak konsep KPS tidak
hanya dapat dipandang dari sisi public dan
private sector saja, akan tetapi merupakan
triangle synergy antara government,
business, dan communities. Seperti
penjelasan yang terdapat pada laporan
United Nations Development Program
(2004), United Nations Economic
Commission for Europe (2008), dan Asian
Development Bank (2008), pada pihak
KPS yang dapat dikategorikan menjadi 3
unsur, yaitiu:
1. Negara; berfungsi menciptakan
lingkungan politik dan hukum yang
kondusif.
2. Swasta; mendorong terciptanya
lapangan pekerjaan dan peningkatan
pendapatan masyarakat.
3. Masyarakat; mewadahi interaksi sosial
politik, memobilisasi kelompok dalam
masyarakat untuk berpartisipasi dalam
aktivitas ekonomi sosial dan politik.
Sementara itu, Dwinanta Utama
(2010), berpendapat bahwa inti dari PPP
adalah keterkaitan/sinergi yang
berkelanjutan (kontrak kerjasama jangka
panjang) dalam pembangunan proyek
untuk meningkatkan pelayanan umum
(pelayanan publik), antara:
1. Pemerintah atau pemerintah daerah
selaku regulator;
4
2. Perbankan/konsorsium selaku
penyandang dana; dan
3. Pihak Swasta/BUMN/BUMD selaku
Special Purpose Company (SPC) yang
bertanggungjawab atas pelaksanaan
suatu proyek mulai dari Desain,
Konstruksi, Pemeliharaan dan
Operasional.
Sinergi tersebut secara sederhana
dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar-1: Sinergi dalam Publik Private Partnership
Bentuk/Skema kerjasama dalam PPP
dapat berupa:
1. BOT (Build, Operate, Transfer),
Swasta membangun, mengoperasikan
fasiltas dan mengembalikannya ke
pemerintah setelah masa
konsesi/kontrak berakhir.
2. BTO (Bulid, Transfer, Operate),
Swasta membangun, menyerahkan
asetnya ke pemerintah dan
mengoperasikan fasilitas sampa masa
konsesi/kontrak berakhir.
3. ROT (Rehabilitate, Operate,
Transfer), Swasta memperbaiki,
mengoperasikan fasilitas dan
mengembalikannya ke pemerintah
setelah masa konsesi/kontrak berakhir.
4. BOO (Build, Own, Operate), Swasta
membangun, swasta merupakan
pemilik fasilitas dan
mengoperasikannya.
5. O&M (Operation and Maintenance),
untuk kasus khusus, pemerintah
membangun, swasta mengoperasikan
dan memelihara.
Untuk mempercepat pembangunan
infrastruktur di Indonesia, pemerintah
mencanangkan empat pilar utama Program
Percepatan Pembangunan Infrastruktur
Indonesia yang diluncurkan bersamaan
dengan digelarnya Infrastructure Summit
5
2005. Keempat pilar utama tersebut
meliputi:
1. Pilar pertama adalah reformasi
peraturan perundangan. Reformasi ini
bertujuan untuk membuka peluang
swasta secara langsung dalam
pembangunan infrastruktur.
UndangUndang Pelayaran, Undang-
Undang Penerbangan, dan Undang-
Undang Perkeretaapian dan semua
turunannya direvisi sehingga
membuka kemungkinan tidak hanya
swasta tetapi juga masyarakat dan
pemerintah daerah dapat ikut serta
dalam pembangunan infrastruktur.
2. Pilar kedua adalah penyusunan daftar
proyek yang akan dipercepat
pembangunannya, baik yang dibiayai
oleh APBN maupun oleh skema KPS.
Untuk proyek KPS, disusun KPS
Book yang berisi informasi terkait
proyek yang akan ditawarkan kepada
pihak swasta. Beberapa proyek dipilih
menjadi model proyek yang
diharapkan dapat menjadi acuan
proyek-proyek sejenis. Selain itu juga
disusun kerangka pengelolaan risiko
yang memberikan jenis penjaminan
yang sesuai dalam pembangunan
infrastruktur. Agar jaminan
Pemerintah ini tidak secara langsung
berimplikasi pada APBN, maka
disusunlah konsep cikal bakal
Indonesia Infrastructure Guarantee
Fund (IIGF).
3. Pilar ketiga adalah pembentukan
forum komunikasi yang erat antar
pemangku kepentingan. Forum ini
adalah gagasan awal terbentuknya
Indonesia Infrastructure Forum yang
menjadi wadah diskusi para pemangku
kepentingan bidang infrastruktur,
terutama dari unsur pemerintah,
swasta, akademisi, dan masyarakat
sipil. Forum ini mengadakan
pertemuan reguler dengan tujuan
menjembatani informasi, interaksi,
dan pewujudan aksi bersama untuk
mempercepat pembangunan
infrastruktur di Indonesia. Forum ini
sedianya merupakan organisasi
komplementer Komite Kebijakan
Percepatan Pembangunan
Infrastruktur (KPPI) yang
beranggotakan para menteri dan
kepala lembaga terkait.
4. Pilar keempat adalah peningkatan
kapasitas sumber daya manusia dan
institusi. Pada beberapa kementerian,
dilahirkan badan pengatur sektor yang
berfungsi sebagai regulator bagi sektor
terkait. Sebagai contoh adalah di
bidang jalan tol, yang diatur oleh
Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT), dan
di bidang air minum, dengan
dibentuknya Badan Pengatur Sistem
Penyediaan Air Minum.
6
Untuk melengkapi komitmen
pemerintah dalam mendukung KPS di
Indonesia, dibentuk beberapa lembaga
yang secara spesifik berperan dalam
pelaksanaan KPS, seperti Indonesia
Infrastructure Guarantee Fund (IIGF),
yang dibentuk untuk memitigasi risiko-
risiko tertentu yang terdapat pada
pembangunan proyek infrastruktur.
Penjaminan pemerintah ini bersifat tidak
langsung (non-recourse) sehingga pola
penjaminan dilakukan di luar neraca
keuangan (off-balance sheet), yang berarti
neraca keuangan Pemerintah tidak
terekspos secara langsung. Risiko yang
ditanggung adalah risiko yang tidak
mungkin ditanggung oleh pihak lain selain
pemerintah, seperti pembebasan lahan dan
kepastian naiknya tarif secara berkala
berdasarkan perjanjian konsesi.
Selanjutnya pemerintah membentuk PT.
Sarana Multi Infrastruktur (SMI) untuk
menutup celah pembiayaan, khususnya
pembiayaan antara (bridging finance) dan
dana ekuitas. PT. SMI bersama dengan
lembaga donor, seperti World Bank, Asian
Development Bank (ADB), Bank
Pembangunan Jerman GIZ, membentuk
Indonesia Infrastructure Funds and
Facilities (IIFF).
Dalam panduan KPS yang disusun
oleh PT. SMI, telah dibuat struktur
sederhana yang menggambarkan para
pemangku kepentingan (stakeholder)
utama yang terlibat dalam pelaksanaan
skema KPS, beserta hubungan antara para
pemangku kepentingan
Gambar 2. Para Pemangku Kepentingan dalam Skema KPS
7
Beberapa manfaat dalam
penggunaan skema KPS menurut PT. SMI
adalah:
1. Skema KPS dapat menjadi alternatif
sumber pendanaan dan pembiayaan
dalam penyediaan infrastruktur atau
layanan publik.
2. Skema KPS memungkinkan pelibatan
swasta dalam penentuan proyek yang
layak untuk dikembangkan.
3. Skema KPS memungkinkan untuk
memilih dan memberi tanggung jawab
kepada pihak swasta untuk melakukan
pengelolaan secara efisien.
4. Skema KPS memungkinkan untuk
memilih dan memberi tanggung jawab
kepada pihak swasta untuk melakukan
pemeliharaan secara optimal, sehingga
layanan publik dapat digunakan dalam
waktu yang lebih lama.
Sementara itu, menurut Perpres No.
67 Tahun 2005, tujuan dari KPS adalah
sebagai berikut:
8
1. Mencukupi kebutuhan pendanaan
secara berkelanjutan dalam
Penyediaan Infrastruktur melalui
pengerahan dana swasta;
2. meningkatkan kuantitas, kualitas dan
efisiensi pelayanan melalui persaingan
sehat;
3. meningkatkan kualitas pengelolaan
dan pemeliharaan dalam Penyediaan
Infrastruktur;
4. mendorong digunakannya prinsip
pengguna membayar pelayanan yang
diterima, atau dalam hal-hal tertentu
mempertimbangkan kemampuan
membayar pengguna.
Sementara menurut Praptono
Djunaedi (2007), dengan adanya prinsip
yang mengedepankan transparency and
competition dalam ketentuan Perpres
Nomor 67 Tahun 2005, manfaat yang
dapat diraih antara lain:
1. Terjaminnya mendapatkan harga pasar
yang terendah (lowest market prices);
2. Meningkatkan penerimaan publik
terhadap proyek KPS;
3. Mendorong kesanggupan lembaga
keuangan untuk menyediakan
pembiayaan tanpa sovereign
guarantees;
4. Mengurangi risiko kegagalan proyek;
5. Dapat membantu tertariknya bidders
yang sangat berpengalaman dan
berkualitas tinggi;
6. Mencegah aparat pemerintah dari
praktek Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme;
METODOLOGI
Metode penelitian yang digunakan
dalam makalah ini adalah metode analisis
kualitatif dengan menganalisis penerapan
KPS di sektor infrastruktur perkeretaapian
dan meneliti dampak dari penggunaan
skema KPS serta masalah-masalah yang
timbul dari penerapan skema KPS tersebut.
Dari hasil analisis tersebut kemudian
disimpulkan untuk dibuatkan langkah-
langkah perbaikan yang perlu dilakukan
untuk mengatasi masalah yang timbul
berdasarkan literatur dan refrensi yang ada.
Data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah data sekunder dari berbagai sumber.
HASIL ANALISIS DAN
PEMBAHASAN
Menurut data Global
Competitiveness Index di bidang
infrastruktur perkeretaapian yang dimuat
dalam The Global Competitiveness Report
2014-2015, Indonesia menempati
peringkat 41 dari 144 negara dengan
indeks 3,7 dari indeks maksimal 7,0. Nilai
itu masih kalah dengan beberapa negara
Asia seperti Jepang, Hong Kong,
Malaysia, China, dan India. Data Global
Competitiveness Index infrastruktur
perkeretaapian tahun 2014-2015 untuk
9
beberapa negara Asia dapat dilihat pada
tabel 1.
Tabel 1: Global Competitiveness Index
Infrastruktur Kereta Api Tahun 2014-2015
Negara Index Peringkat (dari
144 Negara)
Jepang 6,7 1
Hong Kong 6,3 3
Malaysia 5,0 12
China 4,8 17
India 4,2 27
Indonesia 3,7 41
Thailand 2,4 74
sumber: The Global Competitiveness Report 2014-2015
Moda transportasi kereta api masih
sangat berpotensi untuk dikembangkan.
Hingga saat ini, jalur kereta api yang
beroperasi masih terfokus di Pulau Jawa
sebagian Sumatera dengan total panjang
5.434 km pada tahun 2014 dengan jumlah
armada lokomotif dimana lebih dari 50
persen usianya sudah di atas 20 tahun dan
Kereta Rel Listrik yang lebih dari 90
persen merupakan produksi sebelum
Tahun 1991. Disamping itu, akses jalur
kereta api menuju pelabuhan maupun
bandara belum dikembangkan secara
optimal dan diselenggarakan secara
terpadu, demikian juga dengan
pengembangan dry port serta fasilitas alih
moda kereta api dan angkutan di
perkotaan. Upaya pembangunan prasarana
dan sarana kereta api dilakukan dengan
menyusun Rencana Induk Perekeretaapian
Nasional (RIPNAS) pada tahun 2010.
Salah satu strategi investasi dan pendanaan
yang tercantum dalam RIPNAS adalah
mendorong keterlibatan swasta dalam
investasi penyelenggaraan perkeretaapian
melalui pola Kerjasama Pemerintah dan
Swasta (KPS).
Terdapat beberapa proyek
infrastruktur perkeretaapian di Indonesia
yang dilakukan dengan skema KPS.
Proyek-proyek yang saat ini menjadi
prioritas pemerintah dan akan dibahas
dalam penelitian ini antara lain, Jaringan
Kereta Api Bandara Kualanamu, Jaringan
Kereta Api Bandara Soekarno-Hatta,
Jaringan Kereta Api Terintergrasi dengan
Terminal Terpadu Gedebage di Bandung,
dan Jaringan Kereta Api Pulau Baai
(Bengkulu) – Muara Enim (Sumatera
Selatan) untuk angkutan batu bara.
Kereta Api Bandara Kualanamu
yang mulai dioperasikan pada 25 Juli 2013
merupakan kereta bandara pertama yang
ada di Indonesia. Ruas jalur kereta yang
baru dibangun untuk rute Medan-
Kualanamu adalah ruas Stasiun Aras Kabu
di Kecamatan Beringin ke Bandara
Kualanamu sepanjang 4,8 km.
Pembangunan ini dikerjakan oleh PT. KAI
dengan investasi sekitar Rp 110 miliar.
Sementara dari Stasiun Aras Kabu ke
Stasiun Besar Medan yang berjarak sekitar
10
22,96 km sudah terhubung sebelumnya.
Kereta bandara ini dioperasikan oleh PT
Railink yang merupakan perusahaan
patungan antara PT. KAI dengan PT.
Angkasa Pura II.
Saat ini, pembangunan infrastruktur
kereta bandara Kualanamu sudah
memasuki tahap kedua yaitu pembangunan
jalur ganda dari Medan ke Kualanamu.
Pembangunan jalur ganda kereta bandara
Kualanamu dianggarkan sebesar Rp 3,9
triliun dan ditargetkan selesai pada tahun
2017. Pembangunan jalur ganda akan
berlanngsung dua tahap. Tahap pertama
dilakukan pembangunan jalur ganda dari
Stasiun Aras Kabu ke Stasiun Bandar
Klippa kemudian tahap kedua dari Stasiun
Bandar Klippa ke Stasiun Besar Medan
sekaligus dari Stasiun Aras Kabu ke
Bandara Kualanamu.
Tujuan dari pengembangan jalur
kereta bandara Kualanamu adalah untuk
menyediakan alternatif transportasi dari
Medan menuju ke bandara Kualanamu
selain jalan tol. Jalur kereta ini penting
karena digunakan sebagai fasilitas
transportasi pendukung untuk mengangkut
penumpang dan suplai barang dari Medan
ke Kualanamu. Manfaat lain dari
pembangunan jalur kereta Kualanamu ini
adalah untuk meningkatkan efisiensi
pelayanan bandara dan menyediakan
lapangan pekerjaan bagi penduduk lokal
selama proses pengembangan dan
pembangunan serta pada saat
pengoperasian.
Proyek pembangunan kedua yang
menjadi prioritas pemerintah saat ini
adalah jaringan Kereta Api Bandara
Soekarno-Hatta. Proyek ini dalam PPP
Book 2013 yang diterbitkan oleh Bappenas
diperkirakan akan menelan biaya sekitar
2,57 milyar dollar AS atau sekitar 33
triliun rupiah. Panjang jalur kereta yang
akan dibangun sekitar 33,86 km yaitu dari
Bandara Soekarno-Hatta sampai dengan
Stasiun Manggarai. Pemerintah berencana
membangun dua jalur kereta menuju
Bandara Soekarno-Hatta. Jalur pertama,
berupa commuter line yang berada di sisi
selatan dan akan melintasi Manggarai-
Tanah Abang-Duri-Grogol-Bojong Indah-
Kalideres-Tanah Tinggi hingga Soetta.
Sedangkakn jalur kedua adalah jalur utara
yang merupakan proyek kereta bandara
ekspres yang akan melalui Manggarai-
Tanah Abang-Duri-Angke-Pluit dan
sejajar dengan jalan tol menuju bandara.
Peran swasta dalam kerjasama
pembangunan jalur kereta bandara Soetta
ini nantinya antara lain, melakukan desain
teknis, membangun infrastruktur rel kereta,
melakukan pengadaan lokomotif dan
gerbong kereta, menyediakan pendaaan
dari sektor swasta serta berperan dalam
pengoperasian dan pemeliharaan
11
infrastruktur dan kereta selama masa
konsesi jangka panjang. Sedangnkan
pemerintah berperan dalam menyediakan
regulasi dan akses untuk menjalankan
proyek tersebut. Peran pemerintah lain
yang cukup penting adalah dalam hal
pembebasan lahan untuk menyediakan
lahan bagi pembangunan proyek.
Keuntungan yang diharapkan akan didapat
dari adanya kereta bandara ini adalah
adanya peningkatan aktivitas komersial
dan industri di sekitar area pembangunan
dan untuk membuka lapangan kerja baru
bagi penduduk lokal di sekitar proyek.
Proyek KPS ketiga adalah
pembangunan jalur kereta api yang
terintegrasi dengan Terminal Terpadu
Gedebage di Bandung. Proyek adalah
bagian dari pengembangan terminal
terpadu yang ada di Gedebage. Terminal
Gedebage adalah gabungan dari dua
terminal yaitu Leuwipanjang dan
Cicaheum. Terminal Terpadu Gedebage
diharapkan dapat meningkatkan
perkembangan perekonomian dan
menyediakan sistem transportasi yang
memadai untuk wilayah Bandung.
Terminal Terpadu Gedebage mencakup
terminal penumpang, terminal kontainer,
dan stasiun kereta api. Untuk mendukung
pembangunan Terminal Gedebage, akan
dibangun Stasiun di Kebon Kawung dan
Kiaracondong serta akan dibangun jalur
ganda dari daerah Padalarang/Cimindi-
Rancaekek-Cicalengka. Dalam PPP Book
2013 yang diterbitkan oleh Bappenas,
proyek ini diperkirakan akan menelan
biaya sebesar 133 juta dollar AS.
Manfaat ekonomi dari pembangunan
Terminal Terpadu ini antara lain, dapat
mengurangi angka kecelakaan dan biaya
perawatan kesehatan, pendapatan dari
penghematan bahan bakar, mengurangi
kemacetan, serta penyerapan tenaga kerja
selama masa pembangunan. Berdasarkan
Social Cost Benefit Analysis yang
dilakukan oleh Bappenas, proyek ini
memiliki EIRR 30%, hal ini
mengindikasikan bahwa proyek ini akan
dapat memberikan kontribusi signifikan
terhadap sosial perekonomian.
Proyek keempat yang menjadi
prioritas dan memiliki potensi ekonomi
adalah proyek Jaringan Kereta Api Pulau
Baai (Bengkulu) – Muara Enim (Sumatera
Selatan) untuk angkutan batu bara. Proyek
ini dilatarbelakangi oleh adanya potensi
batu bara yang cukup besar di Bengkulu
dan Sumatera Selatan tetapi belum ada
infrastruktur transportasi yang memadai.
Proyek ini akan membangun infrastruktur
kereta api sepanjang 230 km dari Muara
Enim yang merupakan sumber penghasil
batu bara menuju pelabuhan dan terminal
baru bara di Pulau Baai, Bengkulu.
Estimasi biaya yang diperukan untuk
12
membangun jalur ini adalah sekitar Rp 9,3
triliun (RPJMN 2015-2019). Dengan
adanya jalur kereta api bandara ini
diharapkan akan dapat meningkatkan
produksi batubara dan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi lokal serta nasional.
Tedapat beberapa kendala dalam
skema KPS antara lain, Adanya
ketidakjelasan pembagian risiko antara
pemerintah dan swasta. Contohnya adalah
risiko pemeliharaan pemeliharaan rel
kereta api yang ditanggung oleh PT. KAI
padahal seharusnya menjadi tanggung
jawab pemerintah. Untuk mengatasi
masalah ketidakjelasan pembagian risiko
ini diperlukan adanya suatu analisis risiko
yang tepat untuk mengidentifikasi risiko
dan mengalokasilkan risiko kepada pihak
yang paling mampu mengelola risiko
tersebut.
Kendala lain dalam KPS adalah
adanya keterbatasan kelayakan keuangan
(financially unviable) proyek infrastruktur
sehingga tidak menarik bagi sektor swasta
untuk berinvestasi di dalamnya. Sebagian
besar proyek infrastruktur di Indonesia
termasuk proyek yang tidak layak secara
keuangan, walaupun layak secara
ekonomi. Artinya, proyek infrastruktur
tersebut akan memberikan kontribusi
positif ke perekonomian (economically
feasible), namun pendapatan dari proyek
(tarif layanan) tidak cukup untuk
mengembalikan tingkat keuntungan yang
diharapkan (rate of return) oleh pihak
swasta, berupa pengembalian modal
(return on equity) dan pinjaman (debt
principal and interest), sehingga swasta
tidak tertarik untuk berinvestasi. Dalam
rangka mengatasi permasalahan
ketidaklayakan proyek infrastruktur KPS
secara finansial ini, pemerintah
memberikan dukungan tunai kepada
proyek infrastruktur KPS sebagaimana
diatur dalam PMK Nomor
223/PMK.011/2012 tentang Pemberian
Dukungan Kelayakan atas Sebagian Biaya
Konstruksi Pada Proyek Kerjasama
Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam
Penyediaan Infrastruktur. Pemerintah
memberikan dukungan dalam bentuk
kontribusi fiskal yang bersifat finansial
terhadap proyek kerjasama (KPS).
Dukungan ini disebut dengan Viability
Gap Fund (VGF). VGF diberikan dalam
bentuk tunai sebagai bagian dari biaya
konstruksi. Porsi VGF yang diberikan
tidak mendominasi di dalam keseluruhan
biaya konstruksi.
Selain dukungan pemerintah dalam
bentuk VGF, fasilitas lain yang disediakan
pemerintah dalam mendukung skema KPS
yaitu pengadaan lahan dan fasilitas
penyiapan proyek. Fasilitas pengadaan
lahan yang diberikan oleh pemerintah
dapat berupa Land Capping yang
13
merupakan dana dukungan untuk risiko
kenaikan harga tanah dan/atau Land
Acquisition Fund yang merupakan
pembebasan tanah untuk meningkatkan
kelayakan dari proyek penyediaan
infrastruktur yang dilaksanakan dengan
KPS. Sedangkan fasilitas penyiapan
proyek yang dilakukan pemerintah
dilakukan dengan mendirikan
Infrastructure Fund yaitu PT. Sarana
Multi Infrastruktur (PT. SMI) dan PT.
Indonesia Infrastructure Finance (PT IFF).
Salah satu proyek yang ditangani
penyiapannya oleh PT. SMI adalah Proyek
Kereta Api Bandara Soekarno-Hatta.
Selain itu, dalam pembiayaan
infrastruktur di Indonesia yang berbasis
input adalah tidak memiliki kualitas yang
baik dan tidak ada insentif value-for-
money. Untuk mengatasi masalah tersebut
terdapat alternatif skema pembiayaan yang
dapat mengukur output dan standar
kinerja, yaitu Performance-Based Annuity
Scheme (PBAS). Dalam model PBAS,
perusahaan swasta diikat untuk mendesain,
mendanai, membangun, dan
mengoperasikan proyek infrastruktur
sekitar 20 tahun. Pada saat infrastruktur
telah selesai dan beroperasi, perusahaan
akan menerima pendapatan secara rutin
berdasarkan standar kinerja yang disetujui
dalam perjanjian. Dengan PBAS ini,
perusahaan jadi lebih mendapatkan
kepastian atas potensi pendapatan di masa
depan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kerjasama Pemerintah dan Swasta
(KPS) dalam pembangunan infrastruktur
perkeretaapian memiliki beberapa manfaat
ekonomi dan sosial antara lain, adanya
peningkatan aktivitas industri dan
komersial disekitar wilayah proyek
pembangunan infrastruktur perkeretaapian.
Selain itu, dengan adanya proyek
pembangunan infrastruktur perkeretaapian
dapat membuka lapangan kerja baru bagi
penduduk sekitar baik dalam tahap
pembangunan maupun tenaga kerja untuk
pada saat pengoperasian fasilitas
perkeretaapian yang telah dibangun.
Dalam hal kualitas pelayanan, dengan KPS
maka ada peningkatan kualitas pelayanan
dengan standar perusahaan swasta karena
kegiatan operasional diserahkan kepada
pihak swasta.
Selain beberapa manfaat yang ada,
KPS juga memiliki beberapa kendala yaitu
adanya ketiakjelasan pengelolaan risiko,
masalah dukungan pendanaan dari
pemerintah serta masalah tingkat kualitas
dan tidak adanya insentif value-for-money.
Masalah pengelolaan risiko dapat diatasi
dengan adanya suatu analisis risiko yang
tepat untuk mengidentifikasi risiko dan
14
mengalokasilkan risiko kepada pihak yang
paling mampu mengelola risiko tersebut.
Sementara itu, untuk mengatasi
keterbatasan dukungan pendanaan,
pemerintah telah mengatur tentang peran
pemerintah dalam mendukung pendanaan
proyek melalui Viability Gap Fund (VGF)
serta dukungan pengadaan lahan dan
penyiapan proyek.
Sedangkan untuk meningkatkan
kualitas output pelayanan dan standar
kinerja, pemerintah Indonesia telah
berencana mengadopsi Performance-
Based Annuity Scheme (PBAS).
DAFTAR PUSTAKA
Bappenas. (2010). Public - Private Partnership Infrastructure in Indonesia 2010-2014. Jakarta: Bappenas.
Bappenas. (2013). Public - Private Partnership Infrastructure in Indonesia 2013. Jakarta: Bappenas.
Bappenas. (2013). Sustaining Partnership. Edisi Juli 2013. Jakarta: Bappenas.
Jusron, Dadang & Ircham, Slamet. (2012). Fasilitas Fiskal untuk Mendukung Percepatan Pembangunan Infrastruktur. Buletin Info Risiko Fiskal (IRF) Edisi IV Tahun 2012.
Kajian Good Governance Proyek-Proyek Infrastruktur. Diakses pada 21 Februari 2015, dari http://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/Kajian%20Good%20Governance%20Proyek-Proyek%20Infrastruktur.pdf
Kurniawan, Andriansyah. dkk. (2014). Public Private Partnership (PPP). Paper. Tangerang Selatan: STAN.
Nasution, Chairuddin. (2013). Distribusi Risiko Kemitraan Pemerintah dan Swasta Dalam Pembangunan Infrastruktur. Diakses pada 23 Februari 2015, dari http://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/Distribusi%20Risiko%20Kemitraan%20Pemerintah%20dan%20Swasta%20Dalam%20Pembangunan%20Infrastruktur.pdfSchwab, Klaus. (2014). “The Global Competitiveness Report 2014-2015”. Geneva: World Economic Forum
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerja Sama Pemerintah Dengan Badan Usaha.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.
Surachman, Eko. (2013). Dana Dukungan Tunai Infrastruktur (Viability Gap Fund): Harapan Baru Pembangunan Infrastruktur di Indonesia. Diakses pada 21 Februari 2015, dari http://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/Dana%20Dukungan%20Tunai%20Infrastruktur%20VGF%20Harapan%20baru%20pembangunan%20infrastruktur%20di%20Indonesia.pdf
Susantono, B & Berawi, M.A. (2012). Perkembangan Kebijakan Pembiayaan Infrastruktur Transportasi Berbasis Kerjasama Pemerintah Swasta di Indonesia. Jurnal Transportasi, 12(2), 93-102.
Utama, Dwinanta. (2010). Prinsip dan Strategi Penerapan “Public Private Partnership” Dalam Penyediaan Infrastruktur Transportasi. Jurnal
15
Sains dan Teknologi Informasi. 12(3). 145-151.
16