PERAN IBU DALAM MELATIH KEMAMPUAN BINA DIRI REMAJA … · yaitu menerima kondisi fisik dan...
Transcript of PERAN IBU DALAM MELATIH KEMAMPUAN BINA DIRI REMAJA … · yaitu menerima kondisi fisik dan...
i
PERAN IBU DALAM MELATIH KEMAMPUAN BINA DIRI
REMAJA PUTRI LOW VISION PADA MASA PUBERTAS
OLEH
RIZKY PALANTIKA NAWASTUTI
80 2013 108
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari
Persyaratan
Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2017
ii
iii
iv
v
PERAN IBU DALAM MELATIH KEMAMPUAN BINA DIRI
REMAJA PUTRI LOW VISION PADA MASA PUBERTAS
Rizky Palantika Nawastuti
Krismi Diah Ambarwati
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2017
i
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan bagaimana peran ibu dalam
melatih kemampuan bina diri remaja putri low vision pada masa pubertas.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus,
yang digunakan untuk mendalami bagaimana ibu yang mempunyai peranan
penting dalam keluarga dapat menjadi teladan serta melatih kemampuan yang
dibutuhkan oleh anaknya, terlebih anak dengan kebutuhan khusus. Subjek
penelitian ini adalah seorang ibu rumah tangga berusia 40 tahun yang memiliki
anak remaja putri low vision dan telah mengalami masa pubertas. Dalam
penelitian ini ditemukan bahwa peran ibu dalam melatih remaja putri low vision
pada masa pubertas memberi pengaruh yang besar dalam perkembangan seorang
anak terutama dalam hal kemandirian. Pengaruh yang besar dari peran ibu
tersebut timbul dari kedekatann emosional yang dimiliki ibu dengan anak,
kenyamanan yang dirasakan anak terhadap ibunya. Pemahaman ibu terhadap
karakteristik yang dimiliki anaknya membuat tingkat keberhasilan dalam melatih
anak lebih mandiri semakin meningkat.
Kata Kunci: peran ibu, kemandirian, remaja putri low vision, menstruasi.
ii
Abstract
The purpose of this study is to describe how the role of mothers in activity daily
living adolescent low vision girls at puberty. This study uses qualitative method
with case study approach, which is used to explore how mothers who have an
important role in the family can be an example and train the skills required by
their children, especially children with special needs. The subject of this study is
40 year old housewife who has a low vision young daughter and has undergone
puberty. In this study found that the role of mothers in training young women low
vision during puberty gives a big influence in the development of a child,
especially in terms of independence. The great influence of the mother's role
arises from the emotional closeness that the mother has with the child, the comfort
that the child feels toward her mother. Understanding the mother to the
characteristics of his child to make the success rate in training children more
independently increased.
Keywords: mother role, independence, low vision young women,
……………...menstruation.
ii
1
PENDAHULUAN
Masa remaja merupakan masa peralihan yaitu peralihan dari masa
kanak-kanak ke masa remaja awal, dan peralihan dari masa remaja akhir ke
masa dewasa awal. Tugas perkembangan remaja menurut Hurlock (1999)
yaitu menerima kondisi fisik dan menggunakan tubuh secara efektif, dapat
menjalin hubungan yang baru dan lebih matang baik dengan teman sejenis
atau lawan jenis, mempersiapkan karir dan kemandirian ekonomi, dan juga
memiliki nilai-nilai yang digunakan sebagai pedoman hidup.
Monks (2001), menyatakan masa remaja merupakan periode peralihan,
peralihan ini lebih dirasakan pada masa awal remaja. Hurlock (1999) lebih
lanjut mengungkapkan juga bahwa pada masa ini, remaja mengalami banyak
perubahan fisik maupun mental. Semua perubahan dan perkembangan
membutuhkan penyesuaian mental, sikap, nilai, dan pendapat yang baru,
perubahan-perubahan yang terjadi pada masa ini antara lain meningginya
emosi yang pada masa awal remaja biasanya terjadi lebih cepat. Batubara
(2010) mengungkapkan proses menjadi dewasa akan dilalui setiap anak dalam
pertumbuhannya, meliputi berbagai aspek di antaranya aspek hormonal, aspek
fisik, dan aspek psikososial. Tanpa terkecuali bagi remaja berkebutuhan
khusus, dalam hal ini remaja putri yang mengalami low vision.
Widjajatin (1995) mengatakan bahwa low vision adalah kecacatan
visual yang jelas, tetapi masih memiliki sisa penglihatan yang dapat
digunakan. Anak dengan gangguan low vision juga dapat membaca huruf
biasa, tetapi dengan cetak tebal. Sebagian besar dari tunanetra ini masih
2
memiliki sisa penglihatan, mereka inilah yang dikategorikan sebagai anak-
anak low vision. Low vision merupakan salah satu bentuk gangguan
penglihatan yang tidak dapat dibantu dengan menggunakan kacamata. Alat
bantu yang biasanya digunakan adalah kaca pembesar. Jarak pandang
maksimal untuk penyandang low vision adalah 6 meter dengan luas pandang
maksimal 20 derajat.
Menurut Pusat Pelayanan low vision Persatuan Tunanetra Indonesia
(2008), terdapat beberapa ciri umum penyandang low vision, yakni menulis
dan membaca dalam jarak dekat, hanya dapat membaca huruf berukuran
besar, terlihat tidak menatap lurus kedepan ketika memandang sesuatu,
kondisi mata terlihat berkabut atau berwarna putih pada bagian luar.
Direktorat Pendidikan Luar Biasa (2006) menyatakan ciri low vision yaitu
lebih sulit melihat pada malam hari daripada siang hari dan pernah menjalani
operasi mata dan atau memakai kacamata yang sangat tebal tetapi masih tidak
dapat melihat dengan jelas. Remaja normal pada umumnya mendapatkan
informasi dari indera penglihatan, sedangkan pada tunanetra informasi
diterima melalui indera lain, antara lain indera penciuman, peraba, dan perasa.
Masih terbatasnya media informasi untuk remaja tunanetra,
menyebabkan anak dengan tunanetra kesulitan mengakses atau mendapat
sumber informasi. Penelitian Qorizky (2009) menemukan bahwa individu
yang menyandang low vision sejak kecil mengalami kesulitan saat mengikuti
pelajaran di sekolah umum. Bagi individu yang menyandang low vision sejak
usia remaja dan dewasa, mereka akan merasa malu atau minder apabila harus
3
bepergian seorang diri. Mereka malu dan takut ditertawakan orang lain apabila
dalam perjalanannya ia terjatuh atau membentur benda di sekitarnya. Anak
atau remaja dengan tuna netra memiliki sikap tidak berdaya, sifat
ketergantungan, tingkat kemampuan rendah dalam hal orientasi waktu,
resisten terhadap perubahan, cenderung kaku dan cepat menarik tangan saat
bersalaman, serta mudah mengalami kebingungan saat berada di lingkungan
baru yang tidak familiar (Somantri, 2007).
Remaja putri low vision memiliki perilaku yang berbeda dengan remaja
putri normal lainnya dalam menghadapi menstruasi karena keterbatasan yag
dimilikinya. Penelitian Hartiningsih (2014) menunjukkan bahwa pengalaman
remaja putri tunanetra dalam menghadapi menstruasi hampir sama dengan
pengalaman remaja putri normal pada umumnya kecuali pada praktik
kebersihan menstruasi yang kurang, dimana ketergantungan pada orang lain
dalam hal deteksi kebersihan diri membuat mereka menggunakan indera
penciuman untuk mengetahui tanda datangnya menstruasi. Kurangnya
informasi juga terjadi pada remaja putri low vision dalam masa pubertas.
Masalah fisik yang mungkin timbul dari kurangnya pengetahuan remaja
tentang menstruasi adalah kurangnya personal hygiene yang beresiko pada
terjadinya infeksi saluran kemih yang merupakan faktor predisposisi
terjadinya gagal ginjal kronik dan hipertensi (Proverawati & Misaroh, 2009).
Pada masa pubertas anak dengan gangguan low vision khususnya bagi remaja
putri dituntut untuk melindungi tubuhnya dari bahaya luar, namun karena
4
keterbatasan penglihatannya anak low vision kurang memahami secara nyata
bagian tubuh mana yang harus ditutupi (Siti Mardiyah, 2011)
Menurut Hurlock (1980) pubertas berasal dari bahasa latin yang berarti
“usia kedewasaan”. Perubahan fisik daripada perilaku yang terjadi pada saat
individu secara seksual matang dan mampu memberikan keturunan. Jadi
pubertas (puberty) adalah perubahan cepat pada kematangan fisik yang
meliputi perubahan tubuh dan hormonal yang terjadi selama remaja awal.
Penelitian Hapsari (dalam Hartiningsih, 2014) pada enam remaja putri normal
yang duduk di bangku sekolah dasar, didapatkan hasil bahwa partisipan
mendapat sumber informasi tentang menstruasi antara lain dari buku, teman,
ibu, dan lembaga pelayanan kesehatan. Jenis informasi yang mereka butuhkan
tentang menstruasi adalah tanda dan gejala, frekuensi menstruasi, makanan
yang harus dimakan selama menstruasi, hal-hal yang tidak boleh dilakukan
selama menstruasi, dan bagaimana menghilangkan bau darah menstruasi.
Berdasarkan hasil penelitian Nagar dan Aimol (2010) tentang pengetahuan
remaja Meghalaya (India) tentang menstruasi menunjukkan bahwa 50%
pengetahuan tentang menstruasi diperoleh remaja dari teman, 36%
pengetahuan tentang menstruasi diperoleh dari ibu, dan 19% diperoleh dari
keluarga terdekat.
Peran orang tua terutama ibu dalam perkembangan kesehatan reproduksi
remaja menjadi hal yang penting untuk bisa diketahui dan bisa menjadi
penambahan wawasan tersendiri. Ibu juga memiliki peran yang besar dalam
melihat perkembangan anaknya untuk bisa menjalani masa pubertasnya.
5
Menurut Arwanti (2009), ibu memiliki tugas sebagai berikut: a) Ibu sebagai
pendamping suami, b) Ibu sebagai pengatur rumah tangga, c) Ibu sebagai
penerus keturunan, d) Ibu sebagai pembimbing anak, e) Ibu sebagai pelaksana
kegiatan agama.
Remaja memerlukan dukungan, perhatian, pengertian serta dorongan
untuk bisa menentukan kepribadian dan membantu untuk menjelaskan
perubahan-perubahan yang akan dialaminya. Permasalahan pubertas menjadi
hal yang tabu dibicarakan anak-anak kepada orang lain, perlu dilakukan
pendekatan khusus agar anak merasa nyaman untuk bicara masalah pubertas
pada orangtuanya. Pendampingan orangtua, terutama ibu dalam mengawasi
masa pubertas anak bertujuan untuk menjaga perilaku menyimpang dan bisa
mengarahkan anak-anak yang beranjak remaja dalam menyikapi setiap
perubahan semasa pubertas. Banyak perilaku remaja yang menyimpang karena
belum memahami apa itu pubertas dan bagaimana cara menghadapi dan
mengendalikan setiap perubahan dan gejolak yang melanda semua remaja
(Hartiningsih, 2014).
Peran ibu dalam kegiatan pendampingan belajar memiliki peran yang
sentral. Hal tersebut disebabkan selain ibu sebagai seseorang yang dalam
kesehariannya memiliki kedekatan emosional dengan anak, pendampingan
juga merupakan salah satu pondasi vital bagi kemajuan anak secara umum,
bukan hanya pada segi akademik saja, lebih dari itu aspek afektif, dan konatif
dapat diapresiasikan oleh seorang ibu kepada anak pada saat pendampingan
(Abthoki, 2009).
6
Selain itu, ibu juga berperan dalam melatih anak dalam pengembangan diri
atau bina diri. Pengembangan diri (self care skills) menurut Mumpuniarti
(2007) merupakan suatu program yang dipersiapkan untuk menolong diri,
merawat diri, dan mengurus diri pada anak tunagrahita yang berkaitan dengan
kebutuhannya. Program pengembangan diri bagi siswa tunanetra sama seperti
tunagrahita, siswa tunanetra juga membutuhkan keterampilan dalam
melakukan aktivitas menolong diri, merawat diri, dan mengurus diri sendiri.
Kemampuan pengembangan diri siswa tunanetra sangat tertinggal. Siswa tidak
terbiasa melakukan kegiatan pengembangan diri khususnya kebersihan badan
dengan prosedur yang benar.
Keterampilan menolong diri sendiri yang perlu dilatihkan pada tunanetra
(Purwaka Hadi, 2005) adalah kebersihan badan, meliputi: mandi, menggosok
gigi, merawat rambut, menggunakan make up. Widati (2011) lebih lanjut
mengungkapkan bagi anak tunagrahita, tunanetra, dan tunadaksa keterampilan
bina diri menjadi suatu keharusan. Salah satu aspek dalam bina diri bagi anak
tuna netra yaitu aspek personal care skill. Aspek ini mencakup kebiasaan
pribadi seperti makan, ke toilet, mandi, menggosok gigi, menggunakan
deodoran, memotong kuku, merawat rambut, berhias (gromming), merawat
anak dan bayi. Mengatur rumah tangga, seperti mengatur, membersihkan,
memelihara rumah dan halaman, serta membeli, memelihara dan menyimpan
pakaian (mencuci, menjemur, menyetrika, melipat, dan menggantung),
termasuk memelihara sepatu, (memakai, menyemir, dan menyimpan),
7
berikutnya termasuk memilih baju yang tepat (keserasian berkaitan dengan
waktu).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Uun (2016) pada siswa
tunanetra kelas III SLB A Yaketunis Yogyakarta menggunakan metode
praktik ditemukan bahwa siswa memiliki kemampuan yang rendah dalam
menjaga kebersihan badan terutama dalam melakukan kegiatan mandi,
menggosok gigi, dan mencuci rambut. Kenyataan di lapangan metode praktik
sudah digunakan namun belum berhasil secara optimal. Hal tersebut
dikarenakan guru lebih sering menggunakan metode simulasi, dan
demonstrasi. Guru juga ditemukan belum terlalu memahami prosedur dalam
mengajarkan kemampuan bina diri serta kurang sepenuhnya mengerti apa
yang menjadi kesulitan setiap siswa dalam memahami prosedur metode
praktik. Sarana prasarana dalam pembelajaran praktik belum sesuai dengan
kondisi dan kebutuhan siswa tunanetra. Dalam penelitian ini dihasilkan bahwa
praktik dapat meningkatkan kemampuan pengembangan diri pada siswa
tunanetra kelas III SLB A Yaketunis Yogyakarta.
Pembelajaran di lingkungan perguruan atau yang biasa dikenal dengan
istilah sekolah memang cukup memiliki andil dalam pendidikan anak. Namun,
Soemiarti (dalam Jaelani, 2014) mengungkapkan pada kenyataannya,
lingkungan rumah tangga (ayah-ibu) dianggap sebagai pusat kegiatan bagi
para ibu dalam mendidik anak, ibu mempunyai tanggung jawab yang terbesar
dalam pendidikan anak. Ibu adalah orang yang mendorong anaknya untuk
belajar sejak awal hidup anak. Lebih lanjut Ki Hajar Dewantara (dalam
8
Jaelani, 2014) mengungkapkan bahwa alam keluarga, adalah: (a) alam
pendidikan yang permulaan, pendidikan pertama kalinya bersifat pendidikan
dari orang tua yang berkedudukan sebagai guru (penuntut), sebagai pengajar
dan sebagai pemimpin, (b) di dalam keluarga itu anak-anak saling mendidik,
(c) di dalam keluarga anak-anak berkesempatan mendidik diri sendiri, karena
di dalam hidup keluarga itu mereka tidak berbeda kedudukannya, (d) di dalam
keluarga orang tua sebagai guru dan penuntun, sebagai pengajar, sebagai
pemberi contoh dan teladan bagi anak-anak.
Berdasarkan uraian diatas yang menunjukkan bahwa lingkungan
keluarga yang dalam hal ini ibu bertindak sebagai guru dan teladan bagi anak-
anak, terlebih berkaitan dengan pubertas yang dialami remaja putri low vision,
penulis tertarik untuk melihat bagaimana peran ibu dalam melatih kemampuan
bina diri remaja putri low vision pada masa pubertas.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif
dengan menggunakan metode studi kasus. Menurut Cresswell (dalam
Herdiansyah, 2015) menyatakan bahwa studi kasus adalah suatu model yang
menekankan pada eksplorasi dari suatu “sistem yang saling terkait satu sama
lain” (bounded system) pada beberapa hal dalam satu kasus secara mendetail,
disertai dengan penggalian data secara mendalam yang melibatkan beragam
sumber informasi yang kaya akan konteks.
9
Pendekatan ini digunakan untuk mendalami bagaimana ibu yang
mempunyai peranan penting dalam keluarga dapat menjadi teladan serta
melatih kemampuan yang dibutuhkan oleh anaknya, terlebih anak dengan
kebutuhan khusus.
Subjek Penelitian
Dalam penelitian ini teknik penentuan subjek menggunakan purposive
sampling dengan kriteria seorang ibu yang memiliki anak remaja putri dengan
kisaran usia 11-15 tahun dan mengalami low vision serta sudah mengalami
pubertas yang ditandai dengan terjadinya menstruasi.
Subjek adalah seorang ibu rumah tangga berinisal S berusia 40 tahun.
Seorang yang memiliki penglihatan normal dan menikah dengan bapak BS
berusia 39 tahun yang menyandang tuna netra sejak lahir. Mereka dikaruniai
seorang anak perempuan dengan inisial JS berusia 14 tahun yang saat ini
menempuh pendidikan luar biasa bagian A setara tingkat SMP di kota Klaten
karena mengalami low vision sejak lahir. Semenjak kecil hingga sekarang Ibu
S dan Bapak BS memutuskan untuk mengasuh secara bersama putri
tunggalnya tersebut. Ibu S memiliki warung soto di pekarangan depan
rumahnya, sementara suaminya membuka praktik pijat tuna netra di rumahnya
yang juga menerima panggilan.
Ibu S mengungkapkan bahwa low vision yang dialami putrinya
merupakan faktor genetika yang diturunkan dari keturunan Bapak BS. Putri
subjek mengungkapkan low vision yang dialaminya saat ini sudah lebih baik
jika disbanding sebelum melakukan operasi. Putri subjek masih dapat melihat
10
bayangan benda sejauh 15 sampai 20 meter, namun ia tidak tahu apa ataupun
siapa yang ada di tempat tersebut. Akan tetapi apabila mendekat pada jarak 2
sampai 3 meter barulah putri subjek mengetahuinya. Ketika membaca buku
yang memiliki ukuran tulisan kecil, putri subjek masih mampu membaca
tanpa alat bantu pada jarak 5cm. Dalam keseharian putri subjek beraktivitas
tanpa menggunakan alat bantu melihat ataupun berjalan, semuanya dilakukan
dengan mengandalkan sisa pengelihatan yang dimilikinya.
Sejak sebelum menikah Ibu S memang telah terbiasa dengan
lingkungan orang tuna netra sehingga ketika memutuskan untuk menikah
dengan Bapak BS yang menyandang tuna netra Ibu S tidak merasa kerepotan.
Ibu S sempat bekerja di PERTUNI yaitu persatuan tuna netra Indonesia di
Jakarta sebagai sekretaris bendahara. Meskipun hanya bekerja selama satu
tahun saja di PERTUNI, banyak hal yang Ibu S pelajari berkaitan dengan
kehidupan tuna netra mulai dari cara berinteraksi dengan mereka hingga cara
mengasuh anak.
Di rumah tempat keluarga ini tinggal juga terdapat beberapa saudara
yang tinggal bersamaan dengan mereka dan juga mengalami tuna netra.
Tetangga sekitar yang sudah paham akan hal tersebut senantiasa mendukung
dan mengayomi keluarga ini.
Metode Pengumpulan Data
Cara pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
wawancara semi-terstruktur. Bentuk ini memungkinkan peneliti dan subjek
terlibat dalam suatu dialog dimana pertanyaan-pertanyaan dapat dimodifikasi
11
sesuai dengan pernyataan atau jawaban dari subjek. Hal ini juga
memungkinkan peneliti untuk menggali bagian yang menarik dan penting
yang muncul dari pernyataan subjek (Creswell, 2015).
Analisis Data
Proses analisis data diawali dengan melakukan pengetikan data yang
telah diperoleh dari lapangan. Selanjutnya peneliti menyoroti berbagai
pernyataan penting serta kalimat yang menyediakan pemahaman tentang
bagaimana subjek melakukan peran dari fenomena tersebut. Kemudian
peneliti memberikan kode pada transkrip wawancara dan melakukan
kategorisasi terhadap data yang telah dikumpulkan, lalu memberikan istilah
khusus guna mempermudah proses analisa. Peneliti kemudian
mendeskripsikan data yang telah dianalisa untuk selanjutnya diinterpretasikan
menjadi deskripsi gabungan yang mempresentasikan esensi dari fenomena.
HASIL
Berdasarkan hasil analisis data, muncul beberapa tema sebagai berikut:
peran pengasuhan dan pemeliharaan, peran pendampingan pertumbuhan dan
perkembangan, serta peran pemberian pengertian, dukungan dan dorongan.
Peran Pengasuhan dan Pemeliharaan
Subjek yang telah memiliki banyak pengalaman serta pengetahuan
mengenai bagaimana kehidupan penyandang tuna netra semenjak sebelum
menikah, dapat mendeteksi dini gangguan yang dialami anaknya hingga
12
tindakan tepat yang harus dilakukan guna mengusahakan kesembuhan
putrinya:
Eee untuk pertama kali yaa pertama shock kan ya pertama, kan
saya gak tahu kalo memang anak saya bisa begitu,tadinya kan
saya pikir emang normal, saya gak tahu kalo dari gen suami saya.
Waktu itu lahir J di Depok Jakarta, terus saya konsultasi ke dokter,
kalo kata dokter itu harus dioperasi, waktu itu dokter bilang satu
mata 20 juta, terus waktu itu emang kami gak punya uang untuk
dana untuk operasi kan,terus dibiarkan aja. Sampai dia umur
empat tahun. Terus umur lima tahun dia pindah ke sini,ke jawa
setelah gempa pindah kesini. Terus pindah kesini terus ada itu
BPJS, . . . Maksute pertama ke puskesmas, kata puskesmas ini
harus ke rumah sakit daerah bu, gak bisa disini, waktu itu J mulai
kontrol usia tujuh tahun, tujuh tahun . .kontrol ke rumah sakit
daerah di Tegalyoso,di Tegalyoso setelah diperiksa gak ada
alatnya,langsung dirujuk ke rumah sakit pusat Jogja . .Sarjito. Di
Sarjito terus dicek dari awal sampai akhirnya dokter memutuskan
ini harus dioperasi pasang lensa. Sampai akhirnya sampai dia
operasi lima kali.(S1,2-14)
Subjek sempat tidak percaya dengan apa yang dialami putrinya, namun
keadaan tersebut tidak membuat subjek mengabaikan perannya sebagai seorang
ibu dan tetap memperjuangkan kesembuhan putrinya. Berbagai usaha dilakukan
subjek bersama suaminya, sekalipun harus melewati penantian dan menghadapi
resiko mengalami masalah yang sama di kemudian hari :
Ada . .pertama, dari awal sampai sekarang itu ada,cuman kalo
sekarang ada penurunan,karena operasi yang kelima yang terakhir
ini kan emang yang cenderung agak sering dioperasi kan yang
sebelah kanan, itu kan yang terakhir ini tumbuh kembali,
fibrosisnya itu. Jadi emang pada anak-anak yang usia anak-anak
itu emang tumbuh kembali. Dokter sudah . .profesornya bilang
emang nantinya akan tumbuh kembali pak, hla sekarang ini
tumbuh, terus ini yang terakhir kan dicoba untuk di laser tapi gak
bisa, karena terlalu dalem dan terlalu tipis, terlalu sering di
operasi. Untuk di laser itu gak bisa, harus dipakein alat, dan itu
alatnya belum ada pak disini,masih di . .di Amerika atau di mana
13
gitu, di Singapura apa di . .pokok.e di luar negeri, kata
profesornya itu. Nanti tunggu dua bulan bapak kembali kesini.
Terus suami saya tanya, itu nanti hasilnya setelah dioperasi
gimana dok? Ya bisa jernih kembali, tapi nanti kemungkinan
begini kembali. Terus kan jadi dari denger itu kan jadi J denger
gitu kan jadi down kan,terus gak mau lagi. Gak mau diobati, jadi
sekarang agak burem gitu.(S1,16-26)
Tidak berhenti sampai disitu, subjek juga melakukan pengawasan dan
pendampingan dalam keseharian putrinya berkaitan dengan orientasi lingkungan
dan perilaku. Dalam lingkungan baru subjek mengambil peran untuk
memperkenalkan segala sesuatu yang ada pada lingkungan tersebut kepada
putrinya. Hal ini dilakukan agar putrinya dapat memiliki orientasi yang baik
terhadap lingkungan dimana putrinya berada. Perlakuan tersebut dipelajari subjek
melalui pengalamannya bersosialisasi dengan tuna netra. Ketika bergaul dengan
para penyandang tuna netra subjek banyak melakukan observasi langsung dan
mendengarkan setiap pembicaraan serta pengalaman para penyandang tuna netra
tersebut, sehingga ketika memutuskan untuk berumah tangga dengan seorang
penyandang tuna netra dan juga memiliki anak dengan gangguan penglihatan low
vision subjek tidak terlalu merasa kesulitan.
Gangguan penglihatan yang dialami putrinya membuat subjek harus lebih
ekstra dalam mengasuh dan merawat putrinya dalam berbagai aspek baik
kehidupan sehari-hari, pengenalan lingkungan baru, dan terus mencari informasi
berkaitan dengan kondisi yang dialami putrinya :
. . . kadang tanpa dia tanya saya langsung kasih tahu. Karena kan
saya kan dari sebelum nikah kan udah bergaul sama tuna netra ya,
jadi kan tahu cara oo tuna netra tu begini, jadi sebelum anak saya
14
tanya,J tanya saya kasih tahu. Dek disana ada ini . .ada ini .
.gitu(S1,38-40)
kalo dari waktu dia masih bayi . .anak-anak . .TK gitu main
bergaul sama temen-temennya, main sepeda, main petak
umpet,gitu yang main. Tapi setelah masuk asrama,anu agak kaya
minder,mungkin ngerasa kok ternyata saya seperti ini,tapi kami
orangtua tetep suport, ayo main sama temen-temen gitu.Karena
kalo . .jadi kita orang tuanya tetep anu tetep apa ya?istilah.e
ngojok-ojoki gitu hlo, tetep ayo gek maen . .maen gitu hlo,jadi kalo
gitu baru main sama temennya. . . (S1,44-49)
Salah satu aspek dalam kemampuan bina diri bagi anak berkebutuhan
khusus yaitu personal care skill yang berkaitan dengan bagaimana subjek dapat
melatih putrinya untuk mampu melakukan aktivitas pribadi dan mampu mengurus
urusan rumah tangga. Kemampuan tersebut diajarkan subjek kepada putrinya
sejak usia sekolah, subjek mengajarkan mulai dari memilih pakaian yang pantas
dipakai, mandi, makan, dan berhias diri. Dalam memilih pakaian subjek
membebaskan putrinya memilih pakaian yang akan ia kenakan, namun apabila
dirasa kurang pantas subjek kemudian memberitahukan kepada putrinya dan
mengarahkan apa dan bagaimana seharusnya.
Selain itu subjek juga melatih putrinya untuk melakukan kegiatan rumah
seperti membantu mencuci piring, memasak, serta membersihkan rumah. Sejak
dini subjek mengajak putrinya untuk membantu pekerjaan rumah dan meminta
putrinya mencoba melakukan seperti apa yang subjek lakukan.
. . .ya kalo saya buka warung suka bantuin, karena dari kecil saya
latih untuk mandiri,kaya nyuci . .apa nyuci piring, apa gitu .
.masak gitu juga bisa.(S1,51-52)
15
. . . tapi kalo J anaknya kalo disuruh apa-apa itu jalan, dek
disuruh apa gitu . .ya mah,biarpun pake dia nggrundhel tapi
dilaksanakan. . .(S2,351-352)
. . .itu suka bantuin saya, kalo ada pekerjaan rumah gitu gak
pernah . .kadang kalo saya omongin sekali gitu langsung
dilaksanakan.(S2,356-357)
Pendampingan Pertumbuhan dan Perkembangan
Gambaran peran pendampingan pertumbuhan dan perkembangan dapat
dilihat saat putri subjek memasuki usia pubertas, subjek banyak memberikan
pendampingan berupa informasi dan batasan yang perlu diketahui dalam
perubahan yang dialami. Batasan berupa larangan bagi orang lain untuk
menyentuh bagian tubuhnya menjadi sebuah informasi yang dianggap penting
namun masih sesuai usia dan pemahaman putrinya:
. . .cuma dia nanya kok begini ya mah,kaya waktu pertama kali
keluar payudara, kok nen-nen J gedhe ya mah? Emang J udah
gedhe. Terus kaya waktu dia mens,ya pertanyaan umum lah bagi
anak-anak. (S1,60-62)
. . .jadi begitu dia akhil balik, mens itu, saya langsung ngasih tahu,
J kan sekarang udah gedhe . .nanti kalo misalkan deket sama
cowok kalo misalnya dipegang-pegang jangan mau. Tetep ya saya
ngasih pengertiannya masih dibatas ambangnya remaja yang gak
terlalu jauh sekali sihh, soalnya kan belum waktunya. Masih yaa
sebatas usia dia lah.(S1,71-74)
Pada saat memasuki usia pubertas dan putri subjek telah mendapatkan
mestruasi, subjek melatih putrinya untuk bisa memakai dan mengganti pembalut
sendiri, mencuci pakaian dalam yang kotor sendiri dengan mempraktikkan secara
bersama dan mengawasi putrinya ketika kemudian putrinya mencoba
16
melakukannya sendiri, serta memberikan pengertian dan informasi tentang apa
yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh putrinya:
Iya . .jadi waktu pas mens pertama kali kan belum pernah kenal
pembalut itu,dikasih tau cara pakainya, ditempel dicelana
dulu,terus cara cucinya . .(S2,383-384)
Iya terus cara pasangnya . .cara cucinya . .pakai sabun ini.
Kadang kan . .kok ini gak bisa ilang ya mah? Tetep sepengetahuan
dia kan hanya biasanya pake rinso, tapi kok pake detergen gak
bisa ilang ya mah? Karena ini darah emang susah ilang,harus
pake sabun colek itu hlo, pake sunlight atau pake sabun batangan,
tau dia sekarang.(S2,388-391)
Interpersonal competance skill merupakan kemampuan dalam
memperkenalkan diri, berteman, berkomunikasi, serta bertanggung jawab. Subjek
dalam hal ini menunjukkan perannya dengan mendorong putrinya untuk berbaur
dan bergaul dengan teman sebayanya yang lain, mendorong putrinya untuk ikut
dalam berbagai pentas dan lomba sekalipun belum dapat meraih prestasi, namun
subjek selalu mendukung setiap minat putrinya. Berkaitan dengan tanggung
jawab, subjek melatih putrinya semenjak dini untuk merawat dan mengembalikan
setiap barang yang digunakannya serta menerapkan sistim punishment untuk
setiap perilaku yang menyimpang:
Itu saya terapkan waktu dia TK, misalkan belajar gitu, tinggalin
sendiri, ntar kalo udah kan suka ditinggal, dek . .diberesin, mama
gak mau beresin, kalo besok ketinggalan mama gak mau tahu gak
mau bantuin, beresin. Biarpun berantakan tapi diberesin. Pernah
suatu saat waktu TK itu, ketinggalan pensil warnanya. Pake
crayon kan waktu TK, ketinggalan gak dimasukin, udah saya udah
bilang dek dimasukin, dia sekolah, sampe sekolah sengaja gak
saya masukin, terus pulang. Kan waktu TK sekolahnya deket . .mah
ketinggalan, apanya? Crayonnya, makanya kalo dibilangin gimana
. .dari pengalaman itu . .(S2,369-374)
17
Ketika putrinya berhadapan dengan orang lain, subjek tak lupa
memberikan nilai-nilai dan ajaran tentang kebaikan yang harus putrinya lakukan
seperti mengekspresikan perasaannya secara tepat kepada orang lain tanpa harus
menyinggung perasaan orang lain:
. . .ya dia bilang terimakasih gitu, cuman nanti disimpen gitu kalo
. .emang gak digunakan kalo dia gak seneng gitu,biasanya
gitu.Tetep bisa menghargai pemberian orang gitu. Karena dari
kecil saya didik apapun yang dikasih orang kamu suka gak suka
harus terima,jadi kita harus menunjukkan baik dihadapkan orang
itu, jangan karena gak suka terus kamu cemberut itu gak boleh .
.gitu.(S1,164-168)
Nilai-nilai agama menjadi fondasi utama yang ditekankan subjek dalam
kehidupan putrinya. Subjek selalu mendukung putrinya untuk mengikuti kegiatan
yang berkaitan dengan keagamaan guna membekali putrinya di masa yang akan
datang:
kalo untuk selama ini yang saya tanamkan hanya di agama.
Agama nomor satu yang lain belakangan. Pokok.e selama ini saya
tekankan terus. Karena dari agama itu kan bisa mencakup ke
semua.Dia juga sering ikut kebaktian remaja kaya misalnya di
Islam kaya pengajian itu kan otomatis pendetanya atau ustadnya
bercerita kan?nhah dari situ kan dia juga udah tau, apa yang
harus dilakukan remaja itu seharusnya yang boleh yang enggak itu
mana. Agama yang saya tanamkan.(S1,263-267)
Peran Pemberian Pengertian, Dukungan, dan Dorongan
Ketika putri subjek merasa tidak nyaman dengan kondisi tubuhnya, subjek
menunjukkan perannya dengan memberikan pemahaman yang benar tentang
18
kondisi yang bagi putrinya tidak nyaman serta memberikan solusi konkret yang
mudah dimengerti oleh putrinya.
Iya kalo J emang suka panik sama brubah kalo gendut . .(S1,79)
Kalo emang tubuhnya agak gedhe anu paling repot,badanku
gemuk ya mah . .gitu..paling . .emang hanya satu itu. Terus kalo
ditanya J gemuk gak ya mah?ya gak gitu . .emang paling heboh ee
kalo gemuk gitu. Hanya satu itu aja(S1,81-83)
Menjelaskannya yaa . . paling anuu suruh olahraga,terus makan .
.kan suka ngemil,dikurangi ngemilnya . .jadi program diet juga.
Kemarin waktu . .sempet dia sampe 62 itu. Sampe saya bilang dek
gak usah gendut-gendut, nanti kalo gemuk-gemuk kamu gak bisa
lari hlo.(S1,85-87)
kok gak bisa kenapa ya?tapi terus diulang lagi. .dicoba
lagi?(S1,159)
Semenjak kecil subjek memutuskan untuk mengasuh sendiri putrinya
bersama dengan sang suami yang sampai saat ini bekerja sebagai tukang pijat
panggilan dan juga membuka praktik di rumah. Sejak dini subjek selalu
mengajarkan kepada putrinya hidup mandiri ditengah keterbatasan yang dimiliki.
Sejak kecil pun subjek mendorong putrinya untuk berbaur dan bergaul dengan
teman sebayanya yang lain. Meskipun setelah memasuki usia sekolah dan masuk
asrama putri subjek sempat rendah diri dengan kekurangannya, namun subjek
selalu memberikan pemahaman dan pengertian kepada putrinya bahwa dibalik
kekurangan yang dimiliki putrinya tetap ada kelebihan yang ada dalam diri
putrinya yang tidak dimiliki oleh orang lain. Pemahaman yang demikian cukup
efektif digunakan subjek untuk menumbuhkan kembali kepercayaan diri putrinya.
Cuman kadang kalo suka murung, kalo punya masalah gitu
pertama diem dulu. Kan lama-lama kan karena tiap hari kita anu
19
kan tau ya,terus tanya . .biasanya bapaknya itu kenapa sih gtu,
dideketin, suka kadang ngomong.(S1,93-95)
Biasanya ya seputar masalah sekolah,sama temen-temennya,gak
lebih dari itu,pelajaran . .gitu aja(S1,97)
Suka . .kaya pertama kali dia masuk asrama kan suka digalakin
sma temennya, nha dari situ suka cemberut gitu, suka sms gitu .
.aku suka digini-giniin gitu, itu aja. Kalo dulu awal di asrama
emang dia kaya sering di bully gitu,orang-orang bilang gtu ya, tp
itu jaman dulu, kalo sekarang udah enggak, sekarang kan udah
gak di asrama lagi,kalo sekarang enggak, kalo dulu iya istilah.e
sering di bully gitu lah, terutama sama temen sekelasnya. Ya di
asrama maupun di sekolah. Tapi berjalannya waktu saya bilang,
kalo J digituin baikin aja . .baikin teruss, dan sekarang malah jadi
sahabat, jadi deket.(S2,301-305)
Banyak hal yang diajarkan oleh subjek kepada putrinya sesuai dengan
usianya berkaitan dengan kebersihan dirinya, ketrampilan aktivitas sehari-hari,
dan juga kemampuan bermasyarakat serta penggunaan fasilitas umum. Subjek
memberikan pengenalan dengan cara terjun langsung pada hal yang ingin
diajarkan, sehingga putri subjek dapat merasakan langsung seperti apa tanpa harus
merasa kebingungan:
Ya cara menjelaskannya suka diajak gitu,kaya misalkan orang
jawa kan ada rewangan gitu,suka diajak . .dikasih tau ooo ini
kamu kerjanya gini-gini . .kemarin juga sempet ikut pemuda disini
juga,dikampung gitu.(S1,109-111)
. . . di sekolahan kan dekat sama alfamart itu bisa belanja sendiri.
Sama temannya yang total gitu yaa,bisa sendiri. Jadi dia juga
hafal,kalo alfamart atau indomart kan letaknya gak berubah kan
yaa, pasti setiap tempat juga pasti ya disitu juga,Jadi dia
hafal.(S1,125-128)
Begitu pula dengan penggunaan fasilitas umum berupa penggunaan
transportasi umum seperti bus, yang juga digunakan putri subjek untuk menuju ke
sekolah. Dengan penjelasan secara konkret apa yang harus dilakukan dan tetap
20
memberikan pengawasan kepada putrinya subjek meyakinkan bahwa putrinya
mampu seperti anak normal lainnya:
kalo dulu awalnya emang dia gak tau kalo diikutin,dilepas tapi
dibelakangnya bapaknya ngikutin.tapi sebelumnya kan dikasih tau
cara naiknya begini,alat-alatnya kaya hp apa segala macem hati-
hati nyimpennya, kaya uang apa segala yang dia bawa, yang
disaku cuma yang buat bayar aja selebihnya disimpen sebaik-
baiknya.(S2,312-315)
. . . dek kalo naik begini dari depan, kalo turun hati-hati kaki kiri
turun dulu.(S2,317-318).
Untuk dapat menggunakan fasilitas umum tentunya membutuhkan alat
transaksi berupa uang. Pengenalan akan uang telah dilakukan semenjak subjek
berada di bangku taman kanak-kanak. Subjek tidak banyak menjelaskan kepada
putrinya, karena putrinya akan secara mandiri mencari tahu lebih lanjut dengan
indera lain seperti peraba untuk mendapatkan informasi lebih mendalam tentang
suatu benda dan menyimpan dalam memorinya.
Dari TK . .kan waktu TK suka . .kalo suka dia jajan kan . .mah
jajan, saya kasih seribu, ini uang seribu terus dipegang-pegang,
diperhatikan, sampe sekarang udah kenal. Bentuknya .
.diraba,dilihat, diperhatiin panjangnya, warnanya . .(S2,341-
342,344)
PEMBAHASAN
Subjek yang dikaruniai seorang putri merasa bahagia dengan kehadiran
putrinya. Namun, ketika subjek mengetahui bahwa anaknya mengalami gangguan
penglihatan low vision, subjek sempat terkejut mengetahui kondisi putrinya.
21
Sebagai sosok ibu, subjek berusaha memberikan yang terbaik bagi kehidupan
putrinya. Tindakan medis yang terbaik tetap diusahakan subjek dan suaminya
dengan harapan dapat merubah kondisi putrinya semakin membaik. Keterbatasan
yang dimiliki putrinya subjek dituntut memiliki kemampuan yang lebih dalam
merawat putrinya yang berkebutuhan khusus. Hal ini sejalan dengan pernyataan
Wardhani (2012) dimana memiliki anak berkebutuhan khusus merupakan beban
berat bagi orang tua baik secara fisik maupun mental. Beban berat tersebut
membuat reaksi emosional di dalam diri orang tua. Orang tua yang memiliki anak
berkebutuhan khusus dituntut untuk terbiasa menghadapi peran yang berbeda dari
sebelumnya karena memiliki anak berkebutuhan khusus. Hal ini membutuhkan
penyesuaian diri. Perubahan inilah yang membuat orang tua harus menyesuaikan
diri dengan baik. Pengalaman yang telah dimiliki oleh subjek sebelumnya, dimana
subjek sering berinteraksi dengan penyandang tuna netra dan orangtua lain yang
juga memiliki anak berkebutuhan khusus membuat subjek tidak terlalu kerepotan
dalam menyesuaikan diri dengan keadaannya sekarang. Beberapa peran dan
kemampuan tambahan yang harus dimiliki subjek dalam merawat putrinya antara
lain berkaitan dengan bagaimana subjek harus bisa berkomunikasi secara efektif
kepada putrinya dengan cara yang tepat agar putrinya dapat mengenali lingkungan
sekitar dengan segala isinya secara tepat.
Dalam kegiatan sehari-hari subjek selalu mendampingi putrinya dengan
sabar dan penuh kasih sayang. Hal ini dibuktikan dengan relasi yang terjalin
begitu harmonis antara orang tua dan anak sekalipun keterbatasan membayangi
mereka. Kemandirian yang dapat dicapai oleh putri subjek saat ini tidak terlepas
22
dari peran subjek sebagai ibu dalam memenuhi kebutuhan anaknya. Subjek
dibantu oleh suami dan keluarganya yang sebagian besar juga menyandang
tunanetra membuat mereka bahu-membahu merawat putrinya. Hal ini berbanding
lurus dengan pernyataan Kartini Kartono (1977) bahwa fungsi sebagai ibu dan
pendidik bagi anak-anak bisa dipenuhi dengan baik apabila ibu tersebut mampu
menciptakan iklim psikis yang gembira, bahagia, dan bebas, sehingga suasana
rumah tangga menjadi semarak memberikan rasa aman-bebas-hangat
menyenangkan penuh kasih sayang. Dengan begitu anak-anak akan betah tinggal
dirumah. Iklim psikologis penuh kasih sayang kesabaran, ketenangan, kehangatan
itu memberikan semacam vitamin psikologis, yang merangsang pertumbuhan
anak-anak menuju pada kedewasaan.
Ditengah keterbatasan putrinya, subjek tidak begitu saja membiarkan putri
tunggalnya tersebut terpuruk dalam ketidakberdayaan. Subjek tetap berharap
bahwa putrinya dapat tumbuh dan berkembang dengan optimal layaknya remaja
normal lainnya, sehingga subjek tetap melakukan pengasuhan sama seperti anak-
anak yang lain tetapi tetap disesuaikan dengan kemampuan yang ada pada diri
putrinya. Kemampuan yang cukup mendasar dilakukan kepada putrinya berkaitan
dengan kemampuan bina diri. Widati (2011) menjelaskan bahwa ditinjau dari arti
kata: bina berarti membangun/proses penyempurnaan agar lebih baik, maka bina
diri adalah usaha membangun diri individu baik sebagai individu maupun sebagai
makhluk sosial melalui pendidikan di keluarga, di sekolah, dan di masyarakat
sehingga terwujutnya kemandirian dengan keterlibatannya dalam kehidupan
sehari-hari secara memadai. Bila ditinjau lebih jauh, istilah bina diri lebih luas
23
dari istilah mengurus diri, menolong diri, dan merawat diri, karena kemampuan
bina diri akan mengantarkan anak berkebutuhan khusus dapat menyesuaikan diri
dan mencapai kemandirian.
Pada saat putri subjek mulai memasuki usia remaja dan mengalami
pubertas, dimana muncul tanda-tanda seksual sekunder seperti tumbuhnya
payudara, subjek mendampingi putrinya dengan memberikan pengertian tentang
apa yang terjadi dengan diri putrinya serta bagaimana putrinya harus menyikapi
perubahan fisik tersebut apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh
dilakukan. Ketika putrinya telah mengalami menstruasi, subjek segera
memberikan informasi secara tepat kepada putrinya tentang bagaimana bentuk
pembalut, cara pemakaian pembalut, hingga bagaimana mencuci pakaian dalam
yang terkena darah menstruasi. Pemberian informasi ataupun pendidikan seks
yang dilakukan ini sejalan dengan pernyataan Aziz (2014) bahwa melalui
pemberian materi pendidikan seks yang tepat dan sehat akan mengantarkan anak
memiliki seperangkat pengetahuan yang membekali dirinya untuk menjunjung
tinggi seksualitas dan menjaga dirinya dari perilaku negatif yang berhubungan
dengan masalah seks.
Layaknya remaja putri normal lainnya, putri subjek juga bersosialisasi
dengan lingkungan sekitarnya serta bergaul dengan teman sebayanya. Meskipun
hal tersebut menimbulkan rasa rendah diri pada diri putri subjek, dimana putrinya
merasa berbeda dengan teman-teman lainnya namun subjek selalu memberikan
dorongan serta menanamkan nilai- nilai kehidupan yang baik. Subjek juga
menanamkan nilai agama sebagai landasan utama dalam putrinya menjalani
24
kehidupan. Hal tersebut sesuai dengan ungkapan Jailani (2014) dimana orang tua
(ayah-ibu) memiliki tanggung jawab yang besar dalam mendidik anak-anak dalam
keluarga. Fungsi-fungsi dan peran orang tua tidak hanya sekedar memenuhi
kebutuhan fisik anak berupa kebutuhan makan dan minum, pakaian, tempat
tinggal tapi juga tanggung jawab orang tua jauh lebih penting dari itu adalah
berupa perhatian, bimbingan, arahan, motivasi, dan pendidikan, serta
menanamkan nilai-nilai bagi masa depannya. Ketika putrinya melakukan
kesalahan ataupun melanggar nilai yang telah ditanamkan, subjek menerapkan
sistem punishment yang memberikan efek jera kepada putrinya sehingga tidak
mengulangi kesalahan tersebut kembali.
Peran ibu yang dilakukan subjek S terhadap putrinya dilakukan dengan
tulus, hangat, sabar, namun tetap tegas. Putri subjek banyak diajarkan dengan
menggunakan metode praktik. Pada awal pengenalan terhadap suatu hal subjek
selalu mendampingi dan mempraktikkan apa yang sedang diajarkan kepada
putrinya secara bersama. Namun, ketika putri subjek dirasa sudah cukup
menguasai apa yang dilakukannya dengan perlahan subjek mulai melepas dan
mempercayakan segala sesuatu yang dilakukan putrinya sendiri. Sekalipun mulai
percaya kepada putrinya subjek tidak pernah membiarkan begitu saja putrinya
luput dari pengawasannya, dan apabila putrinya mengalami kesulitan dengan
tangan terbuka subjek memberikan pertolongan sesuai dengan apa yang
dibutuhkan putrinya.
25
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini, ditemukan bahwa peran ibu dalam
melatih remaja putri low vision pada masa pubertas memberi pengaruh yang besar
dalam perkembangan seorang anak terutama dalam hal kemandirian. Hal ini
berkaitan dengan kedekatan emosional yang dimiliki ibu dengan anak, serta
bagaimana anak merasa nyaman ketika membicarakan permasalahan pubertas
kepada ibunya. Pengalaman dan pengetahuan ibu di masa lalu memberikan
sumbangan positif terhadap ibu di dalam melakukan perannya, sehingga ketika hal
yang sama menimpa tidak banyak kesulitan yang ditemui.
Pelatihan yang menggunakan metode praktik secara langsung memberikan
pengetahuan, pengalaman, serta pemahaman yang lebih mendalam kepada anak.
Metode dan peralatan yang tepat sesuai dengan kondisi anak turut memberikan
pengaruh yang signifikan bagi pelatihan yang diberikan ibu kepada remaja putri
low vision. Keberhasilan pelatihan kemandirian ini tidak terlepas dari sikap anak
yang dilatih untuk mau mempelajari sesuatu yang baru.
Rasa percaya yang ditunjukkan ibu kepada anaknya juga menjadikan diri
anak lebih yakin bahwa dirinya mampu melakukan apa yang seharusnya ia
lakukan sekalipun di dalam kondisi yang penuh dengan keterbatasan.
SARAN
Berdasarkan temuan penelitian, ibu yang menerima keberadaan anak
dengan gangguan low vision sebagai hal yang tidak bisa dihindari dan
menjalankan perannya sebagai ibu dengan optimal menunjukkan bahwa anak
26
tersebut lebih mandiri dalam menjalani kehidupan terutama pada masa pubertas.
Oleh karena itu, bagi ibu yang memiliki anak dengan gangguan low vision, agar
tetap menerima bagaimanapun kondisi anak mereka dan tetap memberikan
pengasuhan dan perawatan dengan seoptimal mungkin. Selain itu, dukungan
keluarga dan lingkungan sekitar juga membuat ibu lebih merasa disayangi dan
didukung sehingga akan mempengaruhi sikap ibu terhadap anak dengan gangguan
low vision.
Ibu yang memiliki anak dengan gangguan low vision diharapkan selalu
mendampingi pada setiap tahap tumbuh kembang anak mereka. Berkaitan dengan
menstruasi pada masa pubertas, sudah seyogyanya ibu sebagai wanita yang juga
telah mengalami pengalaman menstruasi dapat membagikan pengalamannya
kepada anak agar ia dapat mengetahui gambaran menstruasi dan memberikan info
secara tepat mengenai apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan anak. Semua
info harus disesuaikan dengan perkembangan sehingga anak tidak merasa
kebingungan.
Bagi peneliti selanjutnya, sebaiknya lebih eksplisit dan mendalam dalam
memaparkan hasil sehingga perilaku yang muncul tergambarkan dengan jelas.
Peneliti selanjutnya dapat mengkaji lebih lanjut tentang bagaimana peran suami
atau ayah dapat mempengaruhi sikap istri atau ibu di dalam membantu
mengoptimalkan perkembangan anak dengan gangguan low vision. Selain itu juga
dapat dikaji tentang ayah yang lebih dominan dalam pengasuhan anak
berkebutuhan khusus.
27
DAFTAR PUSTAKA
Abthoki, A. (2009). Peran ibu dalam kegiatan pendampingan belajar anak melalui
prinsip Individual Learning-Centered, EGALITA, IV(2). Diakses pada 15
September 2016, http://ejournal.uin-malang.ac.id.
Aziz, S. (2014). Pendidikan seks bagi anak berkebutuhan khusus, Jurnal
Kependidikan,2(2). Diakses pada 5 Mei 2017,
http://ejournal.iainpurwokerto.ac.id.
Hartiningsih, E.S. (2014). Gambaran pengalaman remaja putri tunanetra dalam
menghadapi menstruasi di Asrama Yaketunis Yogyakarta. Diakses pada 13
September 2016, http://etd.repository.ugm.ac.id.
Herdiansyah, H. (2015). Metodologi penelitian kualitatif untuk ilmu psikologi.
Jakarta: Salemba Humanika.
Hurlock, E.B. (1999). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang
rentang kehidupan. Jakarta: Erlangga.
___________ (1980). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang
rentang kehidupan. Jakarta: Erlangga.
Jaelani, S. (2014). Teori pendidikan keluarga dan tanggung jawab orang tua
dalam mendidik anak usia dini. Diakses pada 5 Mei 2017,
https://journal.walisongo.ac.id.
Jose, R.L. (2010). Perkembangan remaja, Sari Pediatri,12(1). Diakses pada 13
September 2016, https://saripediatri.idai.or.id.
Kartono, Kartini. (1977). Psychologi wanita: Wanita sebagai ibu dan nenek. Jilid
2. Bandung: Alumni.
Monks,F.J., Knoers,A.M.P & Hadinoto S.R. (2001). Psikologi perkembangan:
Pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.
Mumpuniarti. (2007). Pendekatan pembelajaran bagi anak hambatan mental.
Yogyakarta: Kanwa Publiser.
Poerwandari, K. (2001). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku
Manusia. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia: Lembaga Pengembangan
Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3).
Proverawati, A., Misaroh, A. (2009). Menarche: Menstruasi pertama penuh
makna. Yogyakarta: Nuha Medika.
28
Purwaka Hadi. (2005). Kemandirian tunanetra orientasi akademik dan orientasi
sosial. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jendral Pendidikan
Tinggi Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan
Ketenagaan Perguruan Tinggi.
Qorizky, M. (2009). Kemandirian pada penyandang Low Vision: Studi kasus
berdasar Teori Kepribadian Adler. Diakses pada 13 September 2016,
https://eprints.undip.ac.id.
Somantri, S., (2007). Psikologi anak luar biasa. Bandung: PT. Refika Aditama.
Uun, D. (2016). Peningkatan kemampuan pengembangan diri dengan
menggunakan metode praktik siswa tunanetra kelas III SLB A Yaketunis
Yogyakarta. Diakses pada 5 Mei 2017, http://eprints.uny.ac.id/id/eprint/40971.
Widati, S. (2011). Bina diri bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Diakses pada
13 September 2016, https://file.upi.edu.
Widdjajantin, A., Hitipeuw, Imanuel. (1995). Ortopedagogik Tunanetra I. Jakarta:
Departemen pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi.