Peran Gereja Terhadap Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga di GPIB Ekklesia Dumai … · 2020. 10....
Transcript of Peran Gereja Terhadap Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga di GPIB Ekklesia Dumai … · 2020. 10....
-
Peran Gereja Terhadap Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga
di GPIB Ekklesia Dumai dari Perspektif Konseling Pastoral Berbasis
Budaya
Oleh
Engelbertha Giovanni
712015031
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi,
Disusun sebagai salah satu persyaratan mencapai gelar Sarjana Sains Teologi
(S.Si.Teol)
Program Studi Teologi
Fakultas Teologi
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2019
-
i
-
ii
-
iii
-
iv
-
v
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas penyertaan dan kasih
setia-Nya, saya dapat menyelesaikan tugas akhir dengan judul “Peran Gereja
Terhadap Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga di GPIB Ekklesia Dumai dari
Perspektif Konseling Pastoral Berbasis Budaya”. Tugas akhir ini disusun untuk
memenuhi salah satu persyaratan menyelesaikan Program Sarjana Fakultas Teologi di
Universitas Kristen Satya Wacana. Dalam proses penyusunan tugas akhir ini banyak
mendapat dorongan, dukungan, motivasi, saran dan semangat dari berbagai pihak.
Tanpa semua itu maka penulisan Tuhas Akhir ini tidak dapat berjalan dengan lancar.
Untuk itu dengan segala penuh kerendahan hati penulis mengucapkan banyak terima
kasih kepada:
1. Kepada mama selaku donator terbaik yang selalu memberikan nasehat,
semangat, kasih sayang, dalam proses pendidikan yang penulis lalui
selama kurang lebih empat tahun
2. Terima kasih untuk keluarga besar saya yang selalu mendukung saya
dalam berproses selamaini.
3. Kepada dosen wali terkeren Pdt. Rama Tulus Pilakoannu yang
memberikan nasehat, ketegasan, senyuman, saran, dorongan, dan
motivasi terbaik kepada saya selaku anak wali beliau
4. Pdt. Jacob selaku pembimbing 1 yang telah membimbing saya mulai dari
nol hingga saya mampu menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik. Pdt.
Nimali Fidelis Buke sebagai pembimbing 2 yang telah memberikan waktu
untuk membimbing dan memberikan motivasi dalam penulisan Tugas
Akhir
5. Seluruh dosen dan pegawai tata usaha (TU) Fakultas Teologi; Pak David,
Pak Yusak, Pak Gun, Kak Handry, Pak Eben, Kak Cindy, Kak Mery, Kak
Iki, Pak Izak, Pak Agus, Pak Simon, Pak Tony, Ibu Elisabet, Bu Budi,
Mas Eko, Bu Ningsih, Mas Adi yang telah membantu seluruh proses dari
awal perkuliahan sampai pada penulisan Tugas Akhir.
-
vi
6. Kepada GPIB TamansariSalatiga yang sudah menyediakan tempat
berproses selama 3,5tahun di Salatiga . terima kasih kepada supervisor
lapangan Pdt. Miss danPdt. Erika yang sudah memberikan nasehat kepada
penulis dan memberikan tanggung jawab agar penulis menyelesaikan
praktek di jemaat.
7. Kepada GP Tamansari terima kasih karena sudah memberikan penulis
kesempatan untuk bergabung dalam pelayanan GP
8. Kepada GPIB Bukit Benuas Balikpapan terima kasih karena sudah
menerima penulis selama 4 bulan untuk berpelayanan dan juga belajar
mengenai jemaat yang ada. Pdt. Yunus dan keluarga (Tante Vivi,
Pingkan, Andre, Tya) terima kasih karena sudah memberikan penulis
tempat tinggal selama berpraktek.
9. Kepada GP Benuas (vije, egi, tere, ontak, duwis, angel, rixy, ridel, yos,
jos, ecin, kak desy pesik, kakartur, icil, popi, jonli, junay, lintang, nikol,
fonza, ipan, ben, dan yang lain) terima kasih karena sudah menjaga,
mendukung, menemani penulis selamaberproses di Balikpapan.
10. Angkatan 2015 Fakultas Teologi yang sudah bersama-sama berjuang
untuk menyelesaikan tugas dan tanggung jawab selama kurang lebih 4
tahun
11. Tidak lupa kepada keluarga psikopathmily (windi, ermayacantik, aksel,
inezta, sinta, erika, eca, angelamanis, yos, prinses,wido) yang selalu
mendukung, merawat, menjaga, memberi nasehat, memberikan cinta yang
luar biasa hingga saat ini aku cinta kalian.
12. Anak kos kemiri hot (kak cici, kak yuyu, kak olip, pebong, nanda, tabita,
nova, windi, angela manis, ermaya cantik, sri, kak inggi) yang selalu sabar
mendengar keributan, cerewet , kemarahan penulis, yang selalu takut
kalau mati lampu satu kos.
13. Kepada anak-anak onlineku shiren, venska, uco, cantika, lala, brema,
yawan, fajar, brene, viktor, fira, dika, metu, karen, gabysisy, nova, kevin,
dave, vanicu, frida, petra
-
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN......................................................................................................i
PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT......................................................................................ii
PERNYATAAN PERSETUJUAN ASKES..........................................................................iii
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI..................................................................iv
KATA PENGANTAR..............................................................................................................v
DAFTAR ISI...........................................................................................................................vii
MOTTO...................................................................................................................................ix
ABSTRAK.................................................................................................................................x
BAGIAN I PENDAHULUAN ................................................................................................ 1
Latar Belakang .................................................................................................................... 1
Rumusan Masalah .............................................................................................................. 4
Tujuan Penelitian ................................................................................................................ 4
Manfaat Penelitian .............................................................................................................. 4
Metode Penulisan ................................................................................................................ 4
Sistematika Penulisan ......................................................................................................... 5
BAGIAN II GEREJA DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA ...................... 6
2.1 Kekerasan Dalam Rumah Tangga ......................................................................... 6
2.2 Konseling Pastoral ................................................................................................... 8
2.3 Konselor dan Kesadaran Budaya ........................................................................ 11
2.4 Peran Gereja sebagai Pendamping Pastoral ....................................................... 14
2.5 Pengertian Gereja .................................................................................................. 16
2.6 Rumah Tangga....................................................................................................... 17
BAGIAN III TEMUAN PENELITIAN .............................................................................. 19
3.1 Gambaran Umum Jemaat GPIB Ekklesia Dumai ............................................. 19
3.2 Permasalahan Kekerasan Pasangan Suami-Isteri di GPIB Ekklesia Dumai .. 20
3.3 Peran Gereja Memberikan Proses Konseling Berbasis Budaya terhadap
Korban Kekerasan ................................................................................................ 22
3.4. Rangkuman Temuan Penelitian ........................................................................... 24
-
viii
BAGIAN IV PERAN GEREJA GPIB EKKLESIA DUMAI MENGHADAPI KORBAN
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA .................................................................... 25
4.1 Peran Gereja GPIB Ekklesia dalam Pendampingan dan Konseling Pastoral
Berbasis Budaya .................................................................................................... 25
BAGIAN V PENUTUP ......................................................................................................... 30
5.1 Kesimpulan ............................................................................................................ 30
5.2 Saran ....................................................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 31
-
ix
MOTTO
Lakukanlah kewajibanmu dengan setia terhadap TUHAN, Allahmu, dengan hidup
menurut jalan yang ditunjukkan-Nya, dan dengan tetap mengikuti segala ketetapan,
perintah, peraturan dan ketentuan-Nya, seperti yang tertulis dalam hukum Musa,
supaya engkau beruntung dalam segala yang kaulakukan dan dalam segala yang
kautuju,
1 Raja-raja 2 : 3
-
x
ABSTRAK
Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) dapat terjadi dimana saja dan
kepada siapa saja termasuk di GPIB Ekklesia Dumai. Tujuan penelitian yang ingin
dicapai dari penelitian ialah mendeskripsikan peran GPIB Ekklesia Dumai kepada
korban kekerasan dalam rumah tangga dan mendeskripsikan kajian konseling pastoral
berbasis budaya terhadap peran GPIB Ekklesia Dumai kepada korban kekerasan
dalam rumah tangga. Metode yang digunakan dalam penulisan ini ialah metode
deskriptif dengan pendekatan kualitatif dan pengambilan data dengan teknik
wawancara.
Dalam tulisan ini menggunakan teori konseling pastoral berbasis budaya,
dikarenakan dalam kehidupan bermasyarakat bukan hanya mengenai makhluk sosial
ataupun ekonomis tetapi juga mengenai makhluk berbudaya. Serta kesadaran budaya
adalah kemampuan seseorang untuk melihat keluar dirinya sendiri dan menyadari
akan nilai-nilai budaya, kebiasaan budaya yang masuk.
Jadi, dalam kasus yang diangkat ini diperlukan peran gereja untuk
menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut dengan tujuan bagaimana gereja
dapat membina keluarga kristiani berdasarkan iman percaya kepada Tuhan Yesus.
Tidak dapat dipungkiri banyak permasalahan-permasalahan serupa terkait dengan
kekerasan dalam rumah tangga juga terjadi di dalam jemaat GPIB Ekklesia Dumai
Kata kunci : kekerasan dalam rumah tangga, konseling pastoral berbasis budaya
-
1
BAGIAN I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kota Dumai merupakan sebuah kota yang berada di Provinsi Riau, yang
memiliki banyak kebudayaan yang hidup berdampingan. Kota Dumai merupakan
kota pesisir karena terletak di tepi laut, menjadikan lapangan pekerjaan bagi
masyarakat Kota Dumai. Pada tahun 1967, sesuai dengan status Dumai sebagai kota
kecamatan, maka berdirilah sebuah gedung Gereja sederhana terletak di jalan Datuk
Laksamana yang berlokasi di tepi pantai Kota Dumai. Bangunan sederhana berbentuk
“Rumah Panggung” terbuat dari papan kayu, dibangun secara swadaya warga GPIB
yang terdiri dari berbagai profesi pekerjaan yang bertugas pada beberapa perusahaan.
GPIB Ekklesia Dumai selanjutnya dilembagakan oleh Majelis Sinode pada tanggal 25
Juni 1967 menjadi Jemaat GPIB “Ekklesia” Dumai, sekaligus ditetapkan sebagai hari
ulang tahun GPIB Ekklesia Dumai sesuai keputusan Majelis Jemaat ketika itu.
GPIB Ekklesia Dumai sejak berdiri setidaknya mengalami 2 kasus tindakan
KDRT yang terjadi. Pertama, dialami oleh seorang ibu yang mendapat perilaku
kekerasan dari suaminya, kasus ini terjadi dari tahun 1997- sekarang dan kasus yang
kedua sama seperti dengan kasus yang pertama yang terjadi awal tahun 2003 hingga
sekarang. Seperti fakta yang dijelaskan sepertinya belum ada peran Gereja dalam
menangani kasus tersebut. Padahal kekerasan dalam rumah tangga perlu dipayungi
oleh majelis jemaat GPIB Ekklesia Dumai. Perlakuan yang diterima oleh kedua
korban ialah berupa kekerasan fisik dan verbal.
Tindakan KDRT sangat bertentangan dengan apa yang diajarkan Allah. Allah
menciptakan manusia segambar dan serupa dengan-Nya, Ia memanggil manusia
menjadi kenyataan karena cinta kasih-Nya sekaligus untuk mencintai. Seraya
menciptakan umat manusia menurut gambar-Nya dan tidak hentinya melestarikan
keberadaan-Nya. Allah menggoreskan dalam kodrat manusiawi laki-laki maupun
perempuan dan karena itu juga kemampuan serta tanggung jawab untuk mengasihi
dan hidup dalam persekutuan diberikan kepada manusia. Oleh karena itu, cinta kasih
-
2
merupakan panggilan yang sangat mendasar bagi setiap manusia dan sudah tertera
dalam kodratnya.1
Definisi kekerasan telah dikatakatan oleh beberapa ahli, arti kekerasan dalam
KBBI diartikan sebagai perihal yang bersifat, berciri keras, perbuatan seseorang yang
menyebabkan kerusakan fisik. Dengan demikian kekerasan merupakan wujud
perbuatan yang lebih bersifat fisik yang mengakibatkan luka, cacat, sakit atau unsur
yang perlu diperhatikan adalah berupa paksaan atau ketidakrelaan pihak yang
dilukai.2 Secara kasat mata kekerasan dapat diartikan sebagai tindakan penyerangan
yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang kepada orang lain dengan
nuansa fisik seperti misalnya memukuli, menghancurkan harta benda atau rumah,
membakar, mencekik, melukai dengan tangan kosong ataupun alat atau senjata,
menyebabkan kesakitan fisik, luka, kerusakan temporer ataupun permanen, bahkan
menyebabkan kematian3. Menurut Gelles dan Straus, kekerasan adalah perbuatan
yang dilakukan dengan sengaja atau bermaksud menyakiti orang lain.4 Menurut
penulis, kekerasan merupakan perbuatan melukai orang lain baik secara fisik ataupun
verbal yang mengakibatkan kerusakan jasmani dan rohani.
KDRT yang terjadi didalam keluarga kristen memerlukan proses konseling
atau pendampingan untuk membantu penyelesaian permasalahan. Menurut
Kartadinata pendampingan merupakan suatu proses pendidikan kepada individu
untuk mencapai tingkat kemandirian dan perkembangan diri sepanjang hari. Menurut
Engel pendampingan merupakan suatu proses pertolongan yang membuat orang
1Yeremias Bala Plto Duan. Keluarga Kristiani:Kabar Gembira bagi Milenium
Ketiga.(Yogyakarta:Kanisius,2003)
2 KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional, 2008)
3 Tony Tampake, Laporan Penelitian Kekerasan Terhadap Perempuan dan Peran Agama-
Agama Jateng dan D.IY (Studi Peranan Lembaga-Lembaga Agama dalam Mencegah dan Menangani
Kasus KDRT di Kota Kudus, Jawa Tengah) (Semarang: Kementerian Agama, Balai Penelitian dan
Pengembangan Agama, 2011), 17
4 Syufri, “Perspektif Sosiologis Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Rumah
Tangga”, (Vol I, 2009), 98, diakses 6 Juni 2018
-
3
diberdayakan untuk hidup yang menghidupkan dan memanusiakan sesama manusia5.
Menurut Van Beek pendampingan merupakan suatu kegiatan menolong orang lain
yang karena suatu sebab perlu didampingi dengan tujuan saling menumbuhkan dan
mengutuhkan, antara yang didampingi dan pendamping terjadi suatu interaksi sejajar
atau relasi timbal-balik.6 Dengan kata lain, pendampingan pastoral adalah suatu
upaya yang disengaja untuk memberi pertolongan kepada seseorang ataupun
kelompok yang sedang mengalami masalah atau sakit, agar masalah tersebut tidak
menjadi penghalang dalam pertumbuhan di berbagai segi kehidupan.7
Menurut
penulis pendampingan merupakan suatu bentuk pelayanan berupa pertolongan yang
ditujukan kepada individu ataupun kelompok. Didalam proses pendampingan ada
interaksi yang terjadi dan bertujuan untuk memperbaiki relasi hubungan antara
individu. Dari hal ini juga dapat dijelaskan bahwa setiap individu tidak hanya dilihat
sebagai makhluk sosial dan spiritual tetapi juga sebagai makhluk budaya. Berbicara
tentang budaya saling berhubungan dengan pola pikir, pola perasaan, dan pola
perilaku
Judul tugas akhir penulis adalah “Peran Gereja Terhadap Korban Kekerasan
dalam Rumah Tangga di GPIB Ekklesia Dumai dari Perspektif Konseling Pastoral
Berbasis Budaya”. Pemilihan judul dan sub judul ini didasari pemikiran bahwa kasus
kekerasan dalam rumah tangga belum diperhatikan oleh Gereja dan tidak menutup
kemungkinan bahwa kasus tersebut bisa saja terjadi di keluarga kristen, yang
mungkin saja menurut pandangan beberapa masyarakat kekerasan dalam rumah
tangga terkhusunya di keluarga kristen sangat jarang terjadi. Saya bermaksud
menjadikan tulisan ini sebagai kontribusi bagi Gereja jika terjadi kasus kekerasan bisa
menjadi tolak ukur penyelesaian masalah tersebut.
5 Jacob Daan Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling (Jakarta: Gunung Mulia, 2016),
1
6 Aart Van Beek, Pendampingan Pastoral (Jakarta: Gunung Mulia, 2011), 9
7 Jacob Daan Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling, 2
-
4
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan maka rumusan masalah
penelitian adalah bagaimana peran GPIB Ekklesia Dumai kepada korban kekerasan
dalam rumah tangga dan bagaimana kajian konseling pastoral berbasis budaya
terhadap peran GPIB Ekklesia Dumai kepada korban kekerasan dalam rumah tangga?
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang ingin dicapai dari penelitian ialah mendeskripsikan
peran GPIB Ekklesia Dumai kepada korban kekerasan dalam rumah tangga dan
mendeskripsikan kajian konseling pastoral berbasis budaya terhadap peran GPIB
Ekklesia Dumai kepada korban kekerasan dalam rumah tangga
Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian, maka penelitian ini diharapkan:
1. Secara teoritis, dapat menjadi kontribusi bagi GPIB Ekklesia Dumai
dalam mengupayakan penyelesaian kasus kekerasan dalam rumah tangga dan juga
diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.
2. Secara praktis, sebagai salah satu sumber acuan informasi dalam
penelitian lebih lanjut
Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan
pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif pada dasarnya merupakan cara ilmiah
untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu secara sistematis,
faktual, dan akurat mengenai fenomena atau hubungan antara fenomena yang
diselidiki.8 Penelitian Kualitatif dipilih karena bersifat fleksibel, tidak terpaku pada
konsep, fokus, teknik pengumpulan data yang direncanakan pada awal penelitian,
8 Imam Suprayogo & Tobroni, Metode Penelitian Sosial (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2003), 136-137
-
5
tetapi dapat berubah di lapangan mengikuti situasi dan perkembangan penelitian.9
Wawancara juga dilakukan dalam penelitian, digunakan untuk mengumpulkan
keterangan dari seseorang yang berhubungan dengan penelitian ini. Wawancara
merupakan percakapan yang berlangsung secara sistematis dan terorganisasi yang
dilakukan oleh peneliti sebagai pewawancara dengan sejumlah orang yang
diwawancara untuk mendapatkan sejumlah informasi yang berhubungan dengan
masalah yang diteliti, hasil percakapan tersebut dicatat atau direkam oleh
pewawancara.10
Teknik wawancara dilakukan dengan tujuan memperoleh informasi
melalui tanya jawab lisan antara satu orang atau lebih.11
Penelitian ini bertempat di
Dumai, Riau tepatnya di GPIB Ekklesia Dumai Riau, penulis memilih tempat
penelitian tersebut untuk mengurangi kekerasan yang terjadi di GPIB “Ekklesia”
Dumai.
Sistematika Penulisan
Penulis membagi tulisan ini kedalam lima bagian. Bagian pertama,
pendahuluan yang berisikan latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bagian
kedua, yaitu konseling pastoral berbasis budaya, teori-teori KDRT dan peran Gereja
dalam pendampingan pastoral. Bagian ketiga, yaitu hasil penelitian yang meliputi
peran gereja di GPIB “Ekklesia” Dumai. Bagian keempat yaitu kajian peran gereja
dari perspektif konseling pastoral berbasis budaya. Bagian kelima yaitu penutup yang
berisikan temuan-temuan dan rekomendasi penelitian selanjutnya.
9 Haris Herdiansyah, Metode Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial (Jakarta: Salemba
Humanika, 2010), 12
10 Uber Silalahi, Metode Penelitian Sosial (Bandung: PT Refika Aditama, 2009), 312
11 Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial (Jakarta: Bumi
Aksara, 2008), 78
-
6
BAGIAN II
GEREJA DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Dalam bagian ini, akan dijelaskan tentang teori-teori mengenai pengertian kekerasan
dalam rumah tangga, pengertian konseling pastoral, dan peran gereja sebagai
pendamping pastoral terhadap kekerasan dalam rumah tangga.
2.1 Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Dalam KBBI, kekerasan diartikan sebagai perihal (yang bersifat, berciri)
keras; perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau
matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain;
paksaan. Sedangkan pengertian rumah tangga dalam KBBI yaitu yang berkenaan
dengan urusan dalam rumah (seperti hal belanja rumah); berkenaan dengan
keluarga.12
Pada dasarnya setiap keluarga ingin membangun keluarga bahagia dan penuh
rasa saling mencintai baik secara lahir maupun batin, dengan kata lain bahwa setiap
keluarga sungguh menghendaki dapat membangun keluarga yang harmoni.13
Tetapi,
rumusan pengertian haruslah bersifat objektif, dipakai sebagai ukuran bukan perasaan
subjektif korban (perempuan) yang dipakai sebagai ukuran. Bila dipakai ukuran
subjektif yang dirasakan korban, maka pengertian kekerasan menjadi kabur, karena
setiap subjek mempunyai ukuran yang berbeda.
Kekerasan dalam rumah tangga dapat menimpa siapa saja, baik laki-laki
maupun perempuan, dari anak-anak sampai dewasa. Namun, yang menarik perhatian
publik adalah kekerasan yang menimpa kaum perempuan.
12
KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional, 2008)
13 Rochmat Wahab, “Kekerasan dalam Rumah Tangga: Perspektif Psikologis dan Edukatif”
(UNISIA No.61,2006),1, diakses 11 Juni 2018
-
7
Terminologi kekerasan terhadap perempuan mempunyai ciri bahwa tindakan
tersebut:14
1. Dapat berupa fisik maupun non-fisik (psikis)
2. Dapat dilakukan secara aktif maupun dengan cara pasif (tidak berbuat)
3. Dikehendaki/diminati oleh pelaku
4. Ada akibat/kemungkinan akibat yang merugikan pada korban (fisik atau
psikis), yang tidak dikehendaki oleh korban
Adapun bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga Menurut Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2004 yang tercantum dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8 ,dan
Pasal 9, yaitu15
:
1. Kekerasan fisik, yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit
atau luka berat
2. Kekerasan psikis, yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya
rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan atau
penderitaan psikis berat pada seseorang
3. Kekerasan seksual, yaitu pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan
terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut. Selain itu juga
berarti pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah
tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial atau tujuan tertentu
4. Penelantaran rumah tangga juga dimaksukkan dalam pengertian
kekerasan, karena setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah
tangga, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau
perjanjian ia wajib memberikan penghidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada
orang tersebut. Penelantaran tersebut juga berlaku bagi setiap orang yang
14
Moerti Hadiati. Kekerasan dalam RumahTangga: Dalam Perspektif Yuridis-Viktimologis.
(Jakarta: Sinar Grafika, 2011)
15 Republik Indonesia, “Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga,” (Jakarta: Kementerian Hukum dan
HAM Republik Indonesia, 2004)
-
8
mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi atau melarang untuk
bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah, sehingga korban di bawah kendali
orang tersebut
Menurut penulis, kekerasan dalam rumah tangga ialah kejadian/perkara yang
terjadi dalam kehidupan berumah tangga yang menyebabkan kekerasan fisik berupa
pemukulan menggunakan benda ataupun bagian anggota tubuh yang menyebabkan
luka, dan juga kekerasan psikis yang biasa sering terjadi dipermasalahkan dalam
berumah tangga mulai dari hal yang terkecil hingga hal besar. Kekerasan psikis juga
dapat menyebabkan luka batin dan berakibat sakit hati, perubahan emosional, dan
terkadang dendam yang dipendam. Kekerasan dalam rumah tangga yang sering
terdengar masyarakat ialah kekerasan yang dilakukan oleh suami kepada isteri.
2.2 Konseling Pastoral
Pada hakikatnya, konseling pastoral merupakan proses perjumpaan
pertolongan antara dua orang manusia sebagai subyek, yakni konselor dengan
konseli. Perjumpaan pertolongan itu bertujuan untuk menolong konseli agar dapat
menghayati keberadaannya dan pengalamannya secara penuh dan utuh. Dalam hal ini
pengertian penuh berkaitan dengan kerangka waktu oleh yang diperlukan konseli
untuk menghayati pengalaman dan cerita hidupnya. Sedangkan pengertian utuh
berkaitan dengan seluruh isi keberadaan, pengalaman, dan perasaan yang harus
dialami oleh konseli sedemikian rupa sehingga dapat menggunakan sumber-sumber
yang tersedia untuk berubah, bertumbuh, dan berfungsi maksimal dalam aspek fisik,
mental, spiritual, dan sosial. Hakikat konseling pastoral demikian menimbulkan
proses interelasi, interaksi, dan inter-transaksi yang berkesinambungan antara
konselor dan konseli. Dengan demikian proses konseling pastoral bersifat dinamis
dan berubah dari waktu ke waktu.16
Konseling diartikan sebagai proses pemberian bantuan atau bimbingan yang
dilakukan oleh konselor kepada konseli dengan menggunakan metode psikologis,
16 Totok Wiryasaputra, Pengantar Konseling Pastoral, (Yogyakarta: Diandra Pustaka
Indonesia, 2014), 64
-
9
bisa berbentuk pengarahan atau penyuluhan sehingga konseli dapat memahami
kemampuan dirinya sendiri untuk dapat menyelesaikan berbagai masalah.17
Konseling (pastoral) adalah percakapan teraputik antara konselor (atau
pastor/pendeta) dengan konseli/kliennya, di mana konselor mencoba membimbing
konselinya kedalam suatu suasana percakapan konseling yang ideal (conductive
atmosphere) yang memungkinkan konseli tersebut dapat mengenal dan mengerti apa
yang sedang terjadi dalam dirinya sendiri (self-awareness), persoalan yang ia sedang
hadapi, kondisi hidupnya dan mengapa ia merespons semua itu dengan pola pikir,
perasaan, dan sikap tertentu.18
Dalam konseling pastoral juga dikenal logo konseling
yang merupakan pengembangan dari model logo terapi Viktor Frankl dan produk
akhir penelitian tentang pengembangan model logo konseling yang efektif untuk
memperbaiki harga diri spiritual yang rendah.19
Pendampingan mengacu pada hubungan antara dua subyek, yakni orang yang
mendampingi (pendamping) dengan yang didampingi. Keduanya dalam posisi
sederajat tidak yang lebih tinggi atau rendah20
. Model logo konseling adalah program
intervensi konseling untuk memperbaiki permasalahan perkembangan dan dimensi
harga diri spiritual yang rendah, dengan tujuan pribadi setiap individu yang
mengalami harga diri spiritual yang rendah dapat mengidentifikasi kekuatan dan
kelemahannya, mengembangkan keyakinan inti seimbang, mengembangkan evaluasi
diri seimbang, mengembangkan kepercayaan diri, serta memperoleh harga diri
spiritual yang rendah dan menemukan makna hidupnya21
.
17
KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional, 2008)
18 Yakub B Susabda, Konseling Pastoral: Pendekatan Konseling Pastoral Berdasarkan
Integrasi Teologi dan Psikologi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2014), 7
19 Jacob Daan Engel, Nilai Dasar Logo Konselin,g (Yogyakarta, Kanisius, 2014), 1
20Totok Wiryasaputra & Rini Handayani, Pengantar Kedalam Konseling Pastoral, (Salatiga:
AKPI, 2003), 21-22
21Engel, Nilai Dasar, 82
-
10
Adapun beberapa fungsi pendampingan dan konseling pastoral dideskripsikan
sebagai berikut.22
1. Fungsi Bimbingan (Guiding)
Fungsi bimbingan membantu konseli yang berada dalam kebingungan untuk
menentukan pilihan-pilihan dan pengambilan keputusan yang pasti, jika pilihan dan
keputusan demikian dipandang sebagai yang mempengaruhi keadaan jiwanya
sekarang dan yang akan datang. Fungsi membimbing berarti membantu konseli
ketika harus mengambil keputusan di antara pilihan-pilihan yang ada karena pilihan-
pilihan tersebut timbul dari relasi pastoral yang mempengaruhi keadaannya di masa
sekarang dan akan datang.
2. Fungsi Penopangan (Sustaining)
Menopang atau menyokong sebagai fungsi pastoral dimaksudkan sebagai
penghiburan dan penguatan yang dirasakan konseli dari relasi pastoral sewaktu ada
kesusahan karena mengalami kehilangan, rasa sedih, sakit, dan penderitaan. Fungsi
menopang adalah menolong konseli menghadapi keadaan sekarang sebagaimana
adanya, dan menerima kenyataan pahit yang dialami serta tetap berjuang untuk
menjalani hidup dengan baik.
3. Fungsi Penyembuhan (Healing)
Fungsi menyembuhkan ini menuntun konseli mengungkapkan perasaan
hatinya yang terdalam. Sebab bukan tidak mungkin secara fisik merupakan akibat
dari sebuah tekanan secara psikis emosional. Fungsi penyembuhan merupakan
pelayanan pastoral secara holistik, lahir dan batin, jasmani dan rohani, tubuh dan
jiwa. Fungsi penyembuhan mengatasi kerusakan dilakukan dengan cara
mengembalikan konseli pada suatu keutuhan dan menuntunnya kearah yang lebih
baik dari sebelumnya.
22
Jacob Daan Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling (Jakarta, BPK Gunung Mulia,
2016),5-9
-
11
4. Fungsi Memulihkan/Memperbaiki Hubungan (Reconciling)
Fungsi memulihkan berarti membantu konseli memperbaiki kembali
hubungan yang rusak antara dirinya dan orang lain. Fungsi memulihkan menolong
konseli memaafkan kesalahan yang telah dilakukan orang dan memberi mereka
pengampunan. Dengan mengampuni, hubungan konseli dan sesama yang telah rusak
diperbaiki kembali. Pendampingan pastoral tidak hanya memulihkan relasi
komunikasi dengan sesama tetapi juga mengembangkan spiritualitasnya dalam
hubungan dengan Tuhan.
5. Fungsi Memelihara/Mengasuh (Nurturing)
Clinebell mengatakan bahwa fungsi memelihara atau mengasuh memampukan
konseli untuk mengembangkan potensi-potensi yang diberikan Allah kepadanya.
Potensi yang dapat dilihat dalam proses tersebut adalah apa yang dapat ditumbuh
kembangkan sebagai kekuatan dalam melanjutkan kehidupannya, sehingga mereka
didorong kearah pertumbuhan dan perkembangan secara holistik. Dengan demikian,
pendampingan dan konseling pastoral melaksanakan fungsi pengembalaan dengan
tujuan utama mengutuhkan kehidupan manusia dalam segala aspek kehidupannya,
yakni fisik, sosial, mental, dan spiritualnya.
2.3 Konselor dan Kesadaran Budaya
Mempelajari keragaman budaya menjadi salah satu solusi konselor untuk
terhindar dari berbagai hambatan dalam berinteraksi saat melakukan konseling
multikultural. Setiap budaya memiliki pandangan yang berbeda-beda terhadap
tingkah laku verbal dan non verbal. Untuk itu sebagai konselor lintas budaya
sebaiknya sadar akan budaya konselor sendiri maupun konseli dalam proses
konseling
-
12
a. Kesadaran budaya
Kesadaran budaya adalah kemampuan seseorang untuk melihat keluar dirinya
sendiri dan menyadari akan nilai-nilai budaya, kebiasaan budaya yang masuk,
Wunderle menyebutkan bahwa kesadaran budaya sebagai suatu kemampuan
mengakui dan memahami pengaruh budaya terhadap nilai-nilai dan perilaku manusia.
Ada beberapa komponen yang dapat terhindar dari prejudis, miskonsepsi dan
ketidakmampuan dalam menghadapi konsdisi masyarakat majemuk,yaitu:
a. Kemampuan berkomunikasi (mendengarkan, menyimpulkan, berinteraksi)
b. Kemampuan proses (bernegosiasi, lobi, mediasi, fasilitasi).
c. Kemampuan menjaga informasi (penelitian, menulis, multimedia).
d. Kemampuan memiliki kesadaran dalam informasi.
e. Cara mengakses informasi.
f. Dan menggunakan informasi.
Beberapa kompetensi diatas memberikan peran penting dalam menghadapi
masyarakat yang multikultural dan juga penting bagi konselor dalam kesadaran
budaya. Fowers dan Davidov mengemukakan bahwa proses untuk menjadi sadar
terhadap nilai yang dimiliki, dan keterbatasan meliputi eksplorasi diri pada budaya
hingga seseorang belajar bahwa perspektifnya terbatas, memihak, dan relatif pada
latar belakang diri sendiri.
Terbentuknya kesadaran budaya pada individu merupakan suatu hal yang
terjadi begitu saja. Akan tetapi melalui berbagai hal dan melibatkan beragam faktor
diantaranya adalah persepsi dan emosi maka kesadaran akan terbentuk.
b. Tingkat kesadaran budaya
Wunderle mengemukakan lima tingkat kesadaran budaya23
, yaitu:
23
Jacob Daan Engel, Konseling Pastoral dan Isu-isu Kontemporer,(Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2016),78
-
13
a. Data dan informasi.
Data merupakan tingkat terendah dari tingkatan informasi secara kognitif.
Data terdiri dari signal-signal atau tanda-tanda yang tidak melalui proses komunikasi
antara setiap kode-kode yang terdapat dalam sistem, atau rasa yang berasal dari
lingkungan yang mendeteksi tentang manusia. Dalam tingkatan ini penting untuk
memiliki data dan informasi tentang beragam perbedaan yang ada. Dengan adanya
data dan informasi maka hal tersebut dapat membantu kelancaran proses komunikasi.
b. Culture consideration (Pertimbangan Budaya).
Setelah memiliki data dan informasi yang jelas tentang suatu budaya maka
kita akan dapat memperoleh pemahaman tentang budaya dan faktor apa saja yang
menjadi nilai-nilai dari budaya tertentu. Hal ini akan memberikan pertimbangan
tentang konsep-konsep yang dimiliki oleh suatu budaya secara umum dan dapat
memaknai budaya yang ada. Pertimbangan budaya ini akan membantu kita untuk
memperkuat proses komunikasi dan interaksi yang akan terjadi.
c. Culture knowledge (Pengetahuan Budaya).
Informasi dan perimbangan yang telah dimiliki memang tidak mudah untuk
dapat diterapkan dalam pemahaman suatu budaya. Namun, pentingnya pengetahuan
budaya merupakan faktor penting bagi seseorang untuk menghadapi situasi yang akan
dihadapinya. Pengetahuan budaya tersebut tidak hanya pengetahuan tentang budaya
orang lain namun juga penting untuk mengetahui budaya sendiri. Oleh karena itu
pengetahuan terhadap budaya dapat dilakukan melalui pelatihan-pelatihan khusus.
Tujuannya adalah untuk membuka pemahaman terhadap sejarah suatu budaya. Ini
termasuk pada isu-isu utama budaya seperti kelompok, pemimpin, dinamika,
keutamaa budaya, dan keterampilan bahasa agar dapatmemahami budaya tertentu.
d. Cultural understanding (Paham Budaya).
Memiliki pengetahuan tentang budaya yang dianutnya dan juga budaya orang
lain melalui berbagai aktivitas dan pelatihan penting agar dapat memahami dinamika
yang terjadi dalam suatu budaya tertentu. Oleh karena itu, penting untuk terus
menggali pemahaman dan kesadaran mendalam pada kekhususan budaya yang
-
14
memberikan pemahaman hingga pada proses berfikir, faktor-faktor yang memotivasi,
dan isu lain yang secara langsung mendukung proses pengambilan suatu keputusan.
e. Cultural competence (Kompetensi Budaya).
Tingkat tertinggi dari kesadaran budaya adalah kompetensi budaya.
Kompetensi budaya berfungsi untuk dapat menentukan dan mengambil suatu
keputusan dan kecerdasan budaya. Kompetensi budaya merupakan pemahaman
terhadap kelenturan budaya. Dan hal ini penting karena dengan kecerdasan budaya
yang memfokuskan pemahaman pada perencanaan dan pengambilan keputusan pada
suatu situasi tertentu. Implikasi dari kompotensi budaya adalah pemahaman secara
intensif terhadap kelompok tertentu
Berdasarkan tingkatan dari kesadaran budaya diatas perlu bagi konselor untuk
memiliki pemahaman dalam menggunakan tingkatan-tingkatan tersebut untuk
memahami budaya. Tingkatan-tingkatan tersebut dapat diigunakan untuk
menggambarkan aplikasi guna memahami fitur-fitur kunci pada perbedaan budaya.
Sehingga dapat diaplikasikan dengan menggunakan teknik-teknik yang tepat untuk
memahami dalam pelaksanaan konseling.
2.4 Peran Gereja sebagai Pendamping Pastoral
Di dalam perkembangan gereja, penyembuhan adalah bagian yang intergral
dari seluruh bagian dalam pelayanan gereja. Pelayanan gereja yang di maksud adalah
pendampingan pastoral dan di dalam pendampingan pastoral itu sendiri masih
terdapat beberapa bagian layanan, dan salah satunya adalah konseling pastoral.
Apabila konseling pastoral dipahami dalam seluruh fungsi gereja menurut Rasul
Petrus, maka konseling pastoral adalah suatu perspektif Kristen untuk menolong dan
menyembuhkan individu yang bermasalah dengan menghadiri situasi kehidupannya
sehingga perbuatan-perbuatan besar dari Allah itu dapat terbaca oleh umat manusia.
-
15
Pendeta Sebagai Konselor
Dalam kaitan dengan Tri tugas panggilan gereja, yaitu koinonia, konseling
pastoral mempunyai peranan penting untuk menolong orang dalam pengembangan
kompetensi hubungan antara manusia. Panggilan seorang pendeta dalam konseling
pastoral dapat memperkuat arti dari konseling pastoral dengan beberapa alasan
bahwa:24
1. Pendeta adalah rekan sekerja Allah, yang mengarahkan hatinya kedalam
pelayanan yang terpusat kepada Allah dan setia memampukan orang lain untuk
mengenal diri sendiri dan Allah.
2. Pendeta mendapatkan pelayanan di dalam terang Roh Kudus dalam menjawab
pergumulan-pergumulan di sekitar masalah – masalah kemanusiaan.
3. Pendeta sebagai konselor pastoral selalu bersentuhan dengan apa yang disebut
dengan relasi dengan sesama.
Pentingnya seorang pendeta berlaku sebagai pembimbing atau konselor di
dalam pelayanan adalah untuk menolong orang lain, untuk dapat mengenal dirinya,
mengetahui kemampuan dan kekurangannya sehingga orang yang dibimbing dapat
mengidentifaksikan apa yang menjadi kekurangan, danapa yang menjadi kelebihan
dalam hidupnya. Pendeta sebagai konselor harus bisa menjaga kepercayaan
bimbingannya, tidak membocorkan rahasia, menghormati dan menghargai
bimbingan, menghindari untuk mengalihkan masalah bimbingannya kepada orang
lain tanpa persetujuan yang dibimbingan.
Bertumpu pada tujuan dan manfaat konseling yang menciptakan suatu
pembinaan dalam meningkatkan kerohanian jemaat dalam gereja, maka dapat
dikatakan bahwa konseling harus dilakukan oleh Pendeta atau hamba Tuhan sebagai
suatu tugas dengan cara: Pertama, seorang konselor harus bersandar sepenuhnya
kepada Allah pada saat menolong atau membimbing anggota jemaat yang sedang
24
Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling, 91-92
-
16
bermasalah. Kedua, seorang konselor harus berdoa dan mendoakan kliennya
(bimbingannya), sesuai dengan masalah yang sedang dihadapinya. Dengan demikian
anggota jemaat dapat tertolong dari persoalan-persoalan, baik secara pribadi maupun
di dalam keluarga, sehingga kerohanian jemaat dapat mengalami peningkatan.25
2.5 Pengertian Gereja
Menurut KBBI, Gereja merupakan gedung (rumah) tempat berdoa dan
melakukan upacara agama Kristen; badan (organisasi) umat Kristen yang sama
kepercayaan, ajaran, dan tata ibadahnya.26
Secara etimologi, kata Gereja berasal dari
bahasa Portugis yaitu igreya dan berasal dari kata Yunani ekklesia yang berarti
dipanggil keluar (ek=keluar; klesia dari kata kaleo=memanggil). Ekklesia berarti
persekutuan orang-orang yang dipanggil keluar dari kegelapan datang kepada terang
Allah yang ajaib27
.
Tugas gereja yang cukup strategis adalah tugas pendidikan atau pembinaan
bagi umat atau jemaatnya. Tugas ini dianggap penting karena bagaimana pun apa
yang diinginkan terjadi bagi jemaat, baik secara invidivu maupun komunal hanya
mungkin kalau ada tugas pendidikan atau apapun namanya. Tugas seperti ini selalu
melekat dalam komunitas apapun, apalagi komunitas dalam iman atau agama.28
.
Menurut penulis gereja bukan hanya sekedar bangunan yang biasa digunakan
jemaat dalam melakukan ibadah tetapi sesungguhnya gereja itu adalah diri kita
sendiri yang mempertemukan kita dengan Yesus secara langsung melalui iman dan
sikap spiritual yang kita lakukan.
25
P.Tuhumury. “Pedoman Pimbinaan Pendidikan Kristen”(Makassar: STT Jaffray,2003), 54-
56. Diakses 21 Juli 2018
26 KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional, 2008)
27 Ismail Andar, Selamat Bergereja: 33 Renungan tentang Komunitas Iman, (Jakarta: Gunung
Mulia, 2009)
28 Daniel Nuhamara, Pembimbingan PAK, (Bandung, Jurnal Infomedia, 2007),125
-
17
2.6 Rumah Tangga
Dalam teori ini lebih menekankan tentang keluarga yang ada dalam kehidupan
bermasyarakat. Menurut KBBI keluarga merupkan 1) ibu dan bapak beserta anak-
anaknya; seisi rumah: 2) orang seisi rumah yang menjadi tanggungan; batih 3) sanak
saudara; kaum kerabat 4) seluruh kekerabatan yang sangat mendasar dalam
masyarakat.29
Keluarga Kristen adalah pemberianTuhan yang tidak ternilai. Keluarga
Kristen sejati seharusnya tidak saling menuntut pasangan harus dengan yang lain,
melainkan keluarga yang takut akan Tuhan harus memulai dari diri sendiri yaitu
memberikan kasih kepada pasangan bukan menuntut kasih dari pasangan. Keluarga
yang harmonis merupakan impian semua orang yang mau membentuk keluarga
maupun yang sudah berkeluarga. Namun, ada banyak keluarga yang tidak mengerti
keharmonisan tidak datang dengan sendirinya atau datang secara tiba-tiba di dalam
keluarga, melainkan harus didasarkan pada usaha dan upaya bersama-sama di dalam
keluarga.30
Keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dijumpai dalam
kehidupan manusia. Menurut Ki Hajar Dewantara, keluarga berasal dari bahasa Jawa
kuno kawula yang berarti hamba dan warga artinya anggota. Secara bebas dapat
diartikan bahwa keluarga adalah anggota hamba atau warga. Artinya setiap anggota
dari kawula merasakan sebaga isatu kesatuan yang utuh sebagai bagian dari dirinya
dan dirinya juga merupakan bagian dari warga yang lainnya secara keseluruhan.
Keluarga adalah lingkungan dimana beberapa orang yang masih memiliki hubungan
darah dan bersatu. Keluarga didefinisikan sebagai sekumpulan orang yang tinggal
dalam satu rumah yang masih mempunyai hubungan kekerabatan/hubungan darah
karena perkawinan, kelahiran, adopsi dan lain sebagainya.31
29
KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional, 2008)
30 Sadiria Gulo, Prinsip Pendidikan Agama Kristen dalam Keluarga bagi Keluarga Banua Niha
Keriso Protestan (BNKP) Gunungsitoli, (Gunungsitoli: BNKP,2017)
31 Eko Setiyawan, Disfungsi Sosialisasi dalam Keluarga sebagai Dampak Keberadaan
Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD): Studi pada TPA Permata Hati di Desa Wonokerto,
-
18
Menurut penulis keluarga sebuah wadah kehidupan sosial yang pertama kali
kita temui. Di dalam kehidupan keluarga banyak pengajaran yang didapat baik secara
langsung dan tidak langsung yang mampu membawa kita ke dalam kehidupan
bermasyarakat.
Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, (Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta,2012),
10
-
19
BAGIAN III
TEMUAN PENELITIAN
Bagian ini akan menjelaskan temuan Peneliti di lokasi penelitian dalam
memgumpulkan data-data terkait dengan gambaran pelayanan yang terjadi di GPIB
Ekklesia Dumai dan kondisi jemaat yang mengalami Kekerasan Dalam Rumah
Tangga.
3.1 Gambaran Umum Jemaat GPIB Ekklesia Dumai
GPIB Ekklesia Dumai terletak di Jl. Air Bersih No. 01 Dumai-Riau. Jemaat
GPIB Ekklesia Dumai mempunyai berbagai macam mata pencaharian dari berbagai
macam mulai dari pedagang, pengusaha, pegawai kantoran, buruh, dan pns. Rata-rata
pendidikan warga jemaat di GPIB Ekklesia Dumai SMA hingga S1.
GPIB Ekklesia Dumai memiliki 1 (satu) Pendeta selaku Ketua Majelis Jemaat
serta 3 (tiga) Pendeta Pos Pelayanan dan Kesaksian Pelayanan, Pengurus Harian
Majelis Jemaat GPIB Ekklesia Dumai memiliki 11 (sebelas) anggota dan Majelis
GPIB Ekklesia Dumai dalam hal ini penatua sebanyak 22 orang dan diaken 22 orang.
Pelayanan konseling pendeta di GPIB Ekklesia Dumai dilakukan setiap hari dan jam
yang disesuaikan. Saat ini pelayanan di GPIB Ekklesia Dumai mempunya jangkauan
wilayah yang cukup luas yang terbagi dalam 4 (empat) Sektor Pelayanan yang
berjumlah ±220 KK dan juga melakukan pelayanan di 5 (lima) Pos Pelayanan dan
Kesaksian (Pelkes).32
Berdasarkan data yang ditemukan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh
peneliti, ada banyak permasalahan yang dihadapi didalam Jemaat GPIB Ekklesia
Dumai, namun permasalahan-permasalahan tersebut Peneliti mengambil objek
penelitian yang menjadi pergumulan adalah masalah kekerasan dalam hubungan
pasangan suami isteri. Kekerasan dalam hubungan pasangan suami isteri merupakan
keprihatinan yang perlu dijadikan perhatian publik dalam suatu kehidupan secara
utuh ditengah-tengah keluarga kristen saat ini. Kehidupan keluarga pada dasarnya
32
April Yantonius Sihura, Website GPIB Ekklesia Dumai, 2017. diakses 27 Februari 2019
-
20
merupakan basis dari pembentukkan kehidupan sosial dan pembentukkan karakter
pola pikir seorang individu. Menjadi permasalahan ketika tempat (keluarga) yang
seharusnya dapat menjadi dasar seorang individu membentuk kehidupan sosial dan
karakter kepribadiannya, sebaliknya menjadi tempat sumber masalah bagi individu
untuk menjalani kehidupannya.
3.2 Permasalahan Kekerasan Pasangan Suami-Isteri di GPIB Ekklesia
Dumai
Dari penelitian dan permasalahan kekerasan dalam pasangan suami isteri yang
ditemui di GPIB Ekklesia Dumai, penulis menggunakan dua orang informan kunci
untuk dijadikan sumber data observasi yang dilakukan, yakni Ibu AK (52) dan Ibu
BM (40), masing-masing informan merupakan korban kekerasan yang terjadi di
dalam kehidupan keluarga yang dilakukan oleh pasangan mereka.
3.2.1 Wawancara Dengan Ibu AK33
Ibu AK(52) merupakan wanita karir disalah satu kantor pemerintahan di Kota
Dumai adalah anggota jemaat GPIB Ekklesia Dumai dan pernah menjadi presbiter
atau mejelis gereja. Memiliki hubungan yang kurang harmonis dengan suami yang
sering mengalami kekerasan secara psikis dan fisik yang dilakukan oleh suami
menyebabkan luka batin sehingga memberikan dampak kurang baik dalam menjalani
kehidupannya baik pekerjaan dan pelayanan di gereja, hal ini juga yang menyebabkan
mengapa dia memilih mundur menjadi presbiter atau tidak melanjutkan menjadi
pelayan di GPIB Ekklesia Dumai. Hingga sampai wawancara dilakukan kekerasan
yang dilakukan suami masih terjadi walaupun yang dilakukannya tidak seburuk
beberapa tahun belakangan ini.
Kekerasan yang terjadi atau yang dialami oleh Ibu AK ini diakibatkan dari
perbedaan umur dengan suami (60 tahun) dan rasa cemburu suami yang berlebihan
ini menyebabkan perubahan dari suami yang berujung pada kekerasan, ini bisa dilihat
pada saat Ibu AK masih menjabat sebagai majelis disaat melakukan pelayanan di
33
Wawancara Ibu AK pada 16 Agustus 2018 pukul 18.15 WIB di GPIB Ekklesia Dumai
-
21
Persekutuan Kaum Perempuan dimana setelah ibadah biasanya diadakan latihan
menyanyi, tetapi hal tersebut menjadi persoalan bagi suami dengan alasan latihan
menyanyi tersebut tidak perlu terlalu sering dilakukan dan membuat suami uring-
uringan dan curiga, hal ini menjadi alasan dimana Ibu AK tidak melanjutkan
pelayanannya menjadi majelis di GPIB Ekklesia Dumai pada periode berikutnya.
Suami beranggapan bahwa Pendeta jemaat disaat masih menjadi Ketua Jemaat di
GPIB Ekklesia Dumai tidak benar, dengan alasan semua kegiatan baik sinode dan
mupel hanya istrinya yang berangkat.
Kekerasan fisik yang dialami oleh Ibu AK disaat Pendeta jemaat beserta
suami pendeta mengantar Ibu AK pulang ke rumah setelah mengikuti agenda gereja
sesampai dirumah suami langsung memukul Ibu AK hal ini dihadapan istri pendeta
yang berusaha menenangkan amarah suami Ibu AK dan kebetulan suami Pendeta
berada didalam mobil dan juga melihat kejadian tersebut. Rasa cemburu yang kuat
dari suami Ibu AK ini menjadi alasan dikarenakan suami mempunyai latar belakang
masa lalu yang berat yang menghantui dirinya mengingat umur yang semakin tinggi,
fisik semakin lemah tapi tetap menunjukkan eksistensi sebagai suami dengan cara
yang salah.
3.2.2 Wawancara Dengan Ibu BM34
Informan kedua, yakni ibu BM (40), merupakan ibu rumah tangga yang telah
menjalani pernikahannya selama 16 tahun. Ibu B merupakan korban kekerasan dalam
kehidupan rumah tangga dikarenakan perselingkuhan yang dilakukan suaminya. Dari
pengakuan, informan sudah mengetahui perselingkuhan yang dilakukan suaminya
sejak delapan tahun terakhir. Untuk menutupi perselingkuhan, suaminya mencari
kesalahan informan sampai melakukan tindak kekerasan, yakni memukul, menampar,
bahkan menendang.
34
Wawancara Ibu BM pada 13 Februari 2019 pukul 13.45 WIB via telepon
-
22
Sebelum Ibu BM punya anak, suaminya memperlakukan selayaknya seorang
wanita yang selalu diperhatikan suaminya. Kehidupan pernikahannya normal dan
tidak ada permasalahan yang berarti sampai Ibu BM pun positif hamil, sejak saat itu
suami mulai berubah. Sewaktu di rumah pun, Ibu BM dan suami jarang ngobrol, Ibu
BM tetap berpikir positif bahwa suami sibuk dengan kerjaannya.
Sampai suatu ketika Ibu BM mengajak berbicara suami namun suami bereaksi
membentak marah-marah tidak jelas disertai makian dan sumpah serapah dan
membuat Ibu BM takut dan tidak berani melawan, karna menurut Ibu BM penah ada
pengalaman disaat dia melawan yang ada tamparan disertai tendangan diberikan oleh
suaminya. Hal ini membuat Ibu BM mencari tau apa yang membuat perubahan
suaminya ternyata ada perselingkuhan yang telah dilakukan oleh suami Ibu BM dan
itu diakui oleh suami Ibu BM.
3.3 Peran Gereja Memberikan Proses Konseling Berbasis Budaya terhadap
Korban Kekerasan
Pendeta Jemaat GPIB Ekklesia Dumai diwawancarai terkait peran pendeta
sebagai konselor untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan sosial yang
terjadi di lingkungan gereja terutama permasalahan kekerasan dalam rumah tangga.
Pendeta mengatakan bahwa gereja turut hadir dalam perkujungan dan pendampingan
dalam menyelesaikan permasalahan kekerasan dalam rumah tangga ini untuk
memulihkan keluarga tersebut terutama korban kekerasan dalam hal ini ibu AK dan
Ibu BM.
Pendeta menggunakan tahapan-tahapan untuk melakukan konseling terhadap
korban kekerasan dalam rumah tangga tidak langsung mengorek ke inti permasalahan
yang mengakibatkan kekerasan dalam rumah tangga. Pertama melalui perkunjungan
namun sebelum perkunjungan, koordinator sektor yang mengetahui ada permasalahan
di lingkungan pelayanannya maka dia memprioritaskan keluarga tersebut menjadi
bagian keluarga yang harus di kunjungi. Kedua melakukan perkunjungan, disaat
perkunjungan juga tidak serta merta Pendeta dan koordinator sektor tidak
menanyakan langsung ke inti masalah biasanya Pendeta akan menanyakan terkait
-
23
dengan pelayanan gereja apa yang kurang dan apa yang bisa menjadi masukan bagi
gereja. Ketiga Pendeta mengatakan apabila ada keluarga memerlukan pelayanan dari
Gereja maka kami siap melayani. Apabila dari ketiga tahapan itu akhirnya ada
pengakuan dari keluarga dalam hal ini korban namun butuh bicara khusus dengan
pendeta maka perlu diberikan waktu khusus untuk melakukan konseling dalam
menyelesaikan permasalahan kekerasan dalam rumah tangga si Ibu AK dan BM.35
Presbiter GPIB Ekklesia Dumai yang diwawancarai mengatakan bahwa dalam
hal pelayanan yang dilakukan korban mulai berubah setelah kejadian tersebut dan
juga dalam berinteraksi juga semakin berubah. Sewaktu korban masih menjadi
anggota PHMJ yang mengharuskan melakukan kegiatan mupel dan sinode di luar
kota suami mulai curiga kepada isterinya, yang paling mendapat perhatian ialah
sewaktu ibadah minggu suami mulai membicarakan kepada jemaat bahwa pendeta
pada saat itu tidak benar dalam melakukan tugas. Itulah yang menjadi salah satu
alasan mengapa ia tidak mau dipilih lagi menjadi presbiter dalam periode selanjutnya.
Sebenarnya pada saat menjadi presbiter korban menjalani tugas dan tanggung
jawabnya dengan integritas yang baik walaupun ada harga yang harus ia bayar.
Sebagai rekan kerja pelayanan sangat menyayangkan korban tidak mau dipilih dalam
periode selanjutnya karena korban termasuk orang yang memiliki potensi yang bagus
dan disiplin tetapi dari kacamata sebagai jemaat itu baik karena korban memiliki
komitmen untuk tetap melayani dalam pelayan teruna. Dalam perkunjungan korban
meminta pendampingan atau perkunjungan dari presbiter yang korban anggap
suaminya akan segan terhadap dia, dengan melakukan hal ini korban berusaha
menciptakan suasana yang kondusif dan memperhitungkan suami serta efek yang
akan ia dapatkan.36
35
Wawancara Ketua Majelis Jemaat GPIB Ekklesia Dumai pada 14 Februari 2019 pukul 12.15
WIB di GPIB Ekklesia Dumai
36 Wawancara Presbiter ST pada 15 Februari 2019 pukul 11.20 WIB di GPIB Ekklesia Dumai
-
24
3.4. Rangkuman Temuan Penelitian
Dengan demikian dapat disimpulkan atau dapat dirangkum Kasus
Kekerasasan Dalam Rumat Tangga yang dialami oleh Ibu AK (52) dan Ibu BM (40)
yang adalah jemaat GPIB Ekklesia Dumai, adapun kekerasan yang didapatkan oleh
Ibu AK (52) dan Ibu BM (40) yang merupakan korban dalam hal ini yakni :
A. Kekekerasan Fisik berupa pemukulan yang mengakibatkan luka memar
dibeberapa bagian tubuh. Faktor yang menyebabkan terjadi kekerasan fisik adalah
suami memiliki rasa cemburu jika melihat isteri berbicara dengan laki-laki lain dan
juga suami yang berselingkuh
B. Kekerasan Verbal atau Kekerasan Psikis yang mengakibatkan luka batin
mendalam bagi kedua korban.
Melihat kondisi yang dihadapi anggota jemaat GPIB Ekklesia Dumai ini maka
dapat dilihat beberapa peran Gereja turut hadir dalam menyelesaikan koflik rumah
tangga yang berujung pada kekerasan dalam rumah tangga yakni :
a. Gereja hadir dengan beberapa tahapan pertama melihat skala prioritas jemaat
yang perlu dikunjungi dengan melihat urgensi masalah. Kasus Kekerasan Dalam
Rumah Tanggayang dialami Ibu AK (52) dan Ibu BM (40) menjadi prioritas untuk
diselesaikan. Tahapan kedua perkunjungan dilakukan oleh Pendeta dan majelis sektor
namun tidak langsung menuju ke permasalahan kekerasan dalam rumah tangga yang
dialami oleh Ibu AK (52) dan Ibu BM (40). Tahapan Ketiga Konseling dengan
memberikan waktu khusus dengan pendeta untuk menyelesaikan permasalahan
kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh Ibu AK (52) dan Ibu BM (40).
b. Konseling dengan waktu khusus ini tidak digunakan oleh korban
dimungkinkan karena rasa malu yang dihadapi Ibu AK (52) dan Ibu BM (40)
mengingat permasalahan korban ini sudah menjadi rahasia umum.
-
25
BAGIAN IV
PERAN GEREJA GPIB EKKLESIA DUMAI MENGHADAPI KORBAN
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Bagian ini akan menjelaskan terkait dengan hasil penelitian yang telah di analisis
berdasarkan teori -teori yang berhubungan peran gereja dalam menghadapi korban
yang merupakan jemaat gereja dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga.
4.1 Peran Gereja GPIB Ekklesia dalam Pendampingan dan Konseling
Pastoral Berbasis Budaya
Gereja yang merupakan pusat pendidikan kristiani bagi anggota jemaat
memilki fungsi dalam menghadapi permasalahan-permasalahan sosial salah satunya
adalah kekerasan dalam rumah tangga yakni korban AK (52) dan BM (40) yang
merupakan anggota jemaat GPIB Ekklesia Dumai, dengan kasus ini maka peran
gereja dapat ini analisis berdasarkan fungsi pendampingan dan konseling pastoral.
Dalam hal ini Gereja memberikan bimbingan kepada jemaat yang menghadapi
problem kekerasan rumah tangga dengan mendukung mereka dalam keharmonisan
rumah tangga sehingga perbuatan terkait kekerasan rumah tangga tersebut tidak
terulang kembali. Pada saat memberikan bimbingan Gereja tidak memberikan sekali
bimbingan tetapi secara berkala walaupun tidak intens. Gereja menopang atau
menyokong fungsi pastoral dengan memberikan penghiburan dan penguatan kepada
keluarga dalam hal ini korban kekerasan dalam rumah tangga yakni ibu yang
mengalami kekerasan secara fisik atau psikis. Gereja menjalankan penyembuhan
dengan mengungkapkan isi hati yang terdalam terkait dengan anggota keluarga yang
mengalami kekerasan dalam rumah tangga dalam hal ini ibu yang mengalami
kekersan fisik.
Gereja belum sepenuhnya melakukan fungsi pemulihan kepada korban.
Gereja memampukan korban kekerasan dalam rumah tangga untuk mengembangkan
potensi-potensi yang diberikan Allah kepadanya sehingga korban yang mengalami
-
26
kekerasan mengalami pertumbuhan holistik yang mampu ditularkan didalam keluarga
dan memberikan output bagi keluarga yang dulunya tidak harmonis dapat tumbuh
menjadi lebih baik.
Dalam menyelesaikan berbagai masalah sosial didalam gereja adalah hal ini
permasalahan-permasalahan terkait dengan kekerasan dalam rumah tangga maka
pendeta sebagai Ketua Jemaat dalam hal ini Ketua Jemaat GPIB Ekklesia Dumai
dapat berfungsi sebagai konselor dalam menyelesaikan kasus-kasus terkait dengan
kekerasan dalam rumah tangga.
Hasil temuan penulis dalam penelitian dalam wawancara dengan Pendeta
Jemaat GPIB Ekklesia Dumai maka dianalisis kasus kekerasan dalam rumah tangga
dapat dilakukan konseling dengan berdasarkan konsep yang ditemukan
mengidentifikasikan 4 komponen yang dapat terhindar dari prejudis, miskonsepsi dan
ketidakmampuan dalam menghadapi konsdisi masyarakat majemuk,yaitu:
a. Kemampuan berkomunikasi (mendengarkan, menyimpulkan, berinteraksi).
Pendeta mendengarkan, menyimpulkan dan berinteraksi dengan mendalam
mengingat kasus ini harus diselesaikan karena merupakan anggota jemaat tapi juga
harus berhati-hati mengingat permasalahan ini merupakan ranah hukum pidana.
b. Kemampuan proses (bernegosiasi, lobi, mediasi, fasilitasi).
Apabila ada korban yang merupakan jemaat memerlukan mediasi atau memfasilitasi
penyelesaian permasalahan ini dengan mempertemukan korban dan pelaku kekerasan.
c. Kemampuan menjaga informasi (penelitian, menulis, multimedia).
Pendeta yang melakukan tugas sebagai konselor harus mampu menjaga informasi
dari korban dari siapa pun demi menjaga kenyamanan bersama.
d. Kemampuan memiliki kesadaran dalam informasi.
Pendeta tanggap informasi terkait permasalahan yang dihadapi jemaat dengan melihat
atau mendengarkan informasi dari majelis dari setiap sektor pelayanan.
Pendeta yang merupakan konselor juga peka terhadap terbentuknya kesadaran
budaya pada individu merupakan suatu hal yang terjadi begitu saja. Akan tetapi
-
27
melalui berbagai hal dan melibatkan beragam faktor diantaranya adalah persepsi dan
emosi maka kesadaran akan terbentuk. Berdasarkan hal di atas, pentingnya nilai-nilai
yang menjadi faktor penting dalam kehidupan manusia akan turut mempengaruhi
kesadaran budaya (terhadap nilai-nilai yang dianut) seseorang dan memakainya.
Penting bagi kita untuk memiliki kesadaran budaya agar dapat memahami budaya itu
sendiri.
Hal ini diakui dari cara Pendeta GPIB Ekklesia Dumai melihat persoalan
bahwa ada latar belakang budaya yang berbeda berdasarkan suku korban dan pelaku,
budaya dari lingkungan dibesarkan korban dan pelaku maupun lingkungan korban
dibesarkan.
Berdasarkan teori yang dikemukan oleh Wunderle mengemukakan lima
tingkat kesadaran budaya, maka peran gereja dapt di implementasikan sebagai upaya
penyelesaian kasus kekerasan dalam rumah tangga yakni :
a. Data dan informasi.
Data dan informasi langsung dapat diketahui melalui anggota jemaat
langsung disaat perkunjungan atau datang disaat jam kerja maupun waktu yang telah
diagihkan. Sementara data atau informasi tidak langsung dapat diketahui Gereja
GPIB Ekklesia Dumai melalui sumber-sumber arsip terkait data dan informasi dari
setiap warga gereja atau anggota jemaat, dari asal suku, umur, pekerjaan dan tempat
tinggal, jumlah anggota keluarga dan lain-lain . Terkait dengan permasalahan-
permasalahan yang dihadapi anggota jemaat gereja GPIB Ekklesia Dumai dapat
dihimpun dari kordinator di sektor pelayanan masing-masing.
b. Culture consideration (Pertimbangan Budaya).
Dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dihadapi oleh Ibu AK (52)
dan Ibu BM (40) Gereja telah mengetahui bahwa Ibu AK dan pelaku kekerasan
memiliki perbedaan suku yang berlatarbelakang suku atau karakter sama-sama keras,
suami Ibu AK pensiunan pelayaran (pelaut) sedangkan Ibu AK masih bekerja sebagai
seorang PNS, sementara kasus dari Ibu BM pelaku yakni suaminya memilki
-
28
lingkungan pertemanan yang tidak sehat. Faktor-faktor ini menjadi pertimbangan dari
cultural code mengakibatkan Pendeta sebagai konselor untuk mengambil sikap dalam
berkomunikasi sehingga tidak mencederai klien sehingga interaksi dengan klien dapat
dilakukan dan memberikan penyelesaian yang terbaik bagi korban dan pelaku
kekerasan.
c. Culture knowledge (Pengetahuan Budaya).
Pengetahuan budaya dari Pendeta yang selaku konselor penting dimana
konselor yakni GPIB Ekklesia Dumai dapat melihat latar belakang pendidikan, latar
belakang budaya, dan latar belakang pekerjaan serta latar belakang linngkungan
menjadi faktor pendeta dalam menentukan cara penyelesain yang tepat bagi kedua
korban kekerasan dalam rumah tangga.
d. Cultural understanding (Paham Budaya).
Pemahaman budaya ini penting bagi konselor sehingga mampu memotivasi
dalam konteks ini Pendeta GPIB Ekklesia Dumai paham akan perannya dan mengerti
bahwa ada perbedaan budaya antara korban AK dan BM, sehingga Pendeta mampu
memberikan motivasi-motivasi jalan terbaik untuk menyelesaikan permasalahan
dalam rumah tangga tersebut.
Dengan melihat menganalisis berdasarkan teori-teori maka Pendeta dapat
merepresentasikan tritugas panggilan gereja yakni kononia, konseling pastoral
mempunyai peran penting untuk menolong orang dalam mengembangkan kompetensi
hubungan antar manusia. Sehubungan dalam menghadapi permasalahan-
permasalahan sosial seperti kekerasan dalam rumah tangga maka peran pendeta
sangat diutamakan untuk membantu menyelesaikan persoalan-persoalan korban
dalam rumah tangga tersebut. Keluarga yang merupakan anggota jemaat GPIB
Ekklesia Dumai mendapatkan pelayanan konseling pastoral dari Gereja terutama
terkait penyelesaian permasalahan-permasalahan sosial yakni contohnya kekerasan
dalam rumah tangga.
-
29
e. Cultural Competence (Kompetensi Budaya)
Setelah melakukan pengetahuan dan paham budaya Pendeta sebagai konselor
membantu pemecahan masalah KDRT ini dengan cara memberikan pendampingan
agar tidak terjadi masalah KDRT lagi. Pentingnya seorang pendeta berlaku sebagai
pembimbing atau konselor di dalam pelayanan adalah untuk menolong orang lain,
untuk dapat mengenal dirinya dalam hal ini ialah korban KDRT, mengetahui
kemampuan dan kekurangannya sehingga orang yang dibimbing dapat
mengidentifaksikan apa yang menjadi kekurangan, dan apa yang menjadi kelebihan
dalam hidupnya.
Bertumpu pada tujuan dan manfaat konseling yang menciptakan suatu
pembinaan dalam meningkatkan kerohanian jemaat dalam gereja,maka dapat
dikatakan bahwa konseling harus dilakukan oleh Pendeta atau hamba Tuhan sebagai
suatu tugas dengan cara: Pertama, seorang konselor harus bersandar sepenuhnya
kepada Allah pada saat menolong atau membimbing anggota jemaat yang sedang
bermasalah. Kedua, seorang konselor harus berdoa dan mendoakan kliennya
(bimbingannya), sesuai dengan masalah yang sedang dihadapinya. Dengan demikian
anggota jemaat dapat tertolong dari persoalan-persoalan, baik secara pribadi maupun
di dalam keluarga, sehingga kerohanian jemaat dapat mengalami peningkatan.
-
30
BAGIAN V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dengan demikian tugas akhir ini dapat disimpulkan bahwa terkait dengan
kekerasan dalam rumah tangga di Jemaat GPIB Ekklesia Dumai diperlukan peran
gereja untuk menyelesaian permasalahan-permasalahan tersebut dengan tujuan
bagaimana gereja dapat membina keluarga kristiani berdasarkan iman percaya kepada
Tuhan Yesus. Tidak dapat dipungkiri banyak permasalahan-permasalahan serupa
terkait dengan kekerasan dalam rumah tangga juga terjadi di dalam jemaat GPIB
Ekklesia Dumai namun para korban kekerasan menutupinya karena merupakan aib
bagi keluarga mereka.
Sehubungan dengan peran pendeta GPIB Ekklesia Dumai sebagai konselor
sudah dapat menyelesaikan beberapa permasalahan di dalam keluarga anggota Jemaat
GPIB Ekklesia Dumai yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga dengan
melihat beberapa faktor yang melatarbelakangi terjadinya kekerasan dalam rumah
tangga tersebut.
5.2 Saran
Adapaun saran yang diberikan oleh Penulis yakni :
1. Gereja harus lebih aktif melihat kondisi jemaat terkait permasalahan-
permasalahan yang berhubungan dengan ranah hukum dalam konteks ini
permasalahan kekerasan dalam rumah tangga.
2. Gereja harus memilki metode yang tepat melihat kompleksitas permasalahan
yang dihadapi satu keluarga yang membutuhkan konseling.
-
31
DAFTAR PUSTAKA
Andar, Ismail. Selamat Bergereja: 33 Renungan tentang Komunitas
Iman.Jakarta: Gunung Mulia,2009.
Beek, Aart Van. Pendampingan Pastoral.Jakarta: Gunung Mulia, 2011
Benner, David G. Strategic Pastoral Counseling: A Short-Term Model.Grand
Rapids: Baker Book House, 1992.
Duan, Yeremias Bala Plto. Keluarga Kristiani: Kabar Gembira bagi Milenium
Ketiga. Yogyakarta:Kanisius, 2003.
Engel, Jacob Daan. Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling.Jakarta:BPK
Gunung Mulia, 2016.
Engel, Jacob Daan. Konseling Pastoral dan Isu-isu Kontemporer.Jakarta:BPK
Gunung Mulia, 2016.
Engel, Jacob Daan. Nilai Dasar Logo Konseling. Yogyakarta: Kanisius. 2014.
Gulo, Sadiria. Prinsip Pendidikan Agama Kristen dalam Keluarga bagi
Keluarga Banua Niha Keriso Protestan (BNKP) Gunungsitoli.
Gunungsitoli: BNKP 2017.
GPIB, Majelis Sinode . Buku IV Tata Gereja GPIB (Persidangan Sinode XX
GPIB: Balikpapan)
Herdiansyah, Haris. Metode Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu
Sosial.Jakarta: Salemba Humanika, 2010.
Hadiati, Moerti. Kekerasan dalam Rumah Tangga: DalamPerspektif Yuridis-
Viktimologis. Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
KBBI. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional, 2008.
Nuhamara, Daniel . Pembimbingan PAK,.Bandung:Jurnal Infomedia, 2007.
Setiyawan, Eko. Disfungsi Sosialisasi dalam Keluarga sebagai Dampak
Keberadaan Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD): Studi pada
TPA Permata Hati di Desa Wonokerto, Kecamatan Turi, Kabupaten
Sleman, Yogyakarta. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
2012.
Silalahi, Uber. Metode Penelitian Sosial.Bandung: PT Refika Aditama, 2009.
Sihura, April Yantonius. Website GPIB Ekklesia Dumai. 2017. Diakses 27
Februari 2019
Suprayogo, Imam, dan Tobroni. Metode Penelitian Sosial .Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2003.
-
32
Susabda, Yakub B. Konseling Pastoral: Pendekatan Konseling Pastoral
Berdasarkan Integrasi Teologi dan Psikologi.Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2014.
Syufri. “Perspektif Sosiologis Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan
Dalam Rumah Tangga”. 2009. Diakses 6 Juni 2018
Tampake, Tony. Laporan Penelitian Kekerasan Terhadap Perempuan dan
Peran Agama-Agama Jateng dan D.IY (Studi Peranan Lembaga-
Lembaga Agama dalam Mencegah dan Menangani Kasus KDRT di
Kota Kudus, Jawa Tengah).Semarang: Kementerian Agama, Balai
Penelitian dan Pengembangan Agama, 2011.
Tuhumury, P. “Pedoman Pimbinaan Pendidikan Kristen”. Makassar: STT
Jaffray, 2003. Diakses 21 Juli 2018
Republik Indonesia. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga. Jakarta: Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia.
2004
Usman, Husaini, dan Purnomo Setiady Akbar. Metodologi Penelitian
Sosial.Jakarta: Bumi Aksara, 2008.
Wahab, Rochmat. Kekerasan dalam Rumah Tangga: Perspektif Psikologis dan
Edukatif. UNISIA No.61. 2006. Diakses 11 Juni 2018
Wiryasaputra,Totok. Pengantar Konseling Pastoral.Yogyakarta: Diandra
Pustaka Indonesia, 2014.
Wiryasaputra, Totok dan Rini Handayani, Pengantar Kedalam Konseling
Pastoral, Salatiga: AKPI, 2003.
Wawancara
Wawancara Ibu AK pada 16 Agustus 2018 pukul 18.15 WIB di GPIB
Ekklesia Dumai
Wawancara Ibu BM pada 13 Februari 2019 pukul 13.45 WIB via telepon
Wawancara Ketua Majelis Jemaat GPIB Ekklesia Dumai pada 14 Februari
2019 pukul 12.15 WIB di GPIB Ekklesia Dumai
Wawancara Presbiter ST pada 15 Februari 2019 pukul 11.20 WIB di GPIB
Ekklesia Dumai