Penyelesaian Sengketa Dan Alat Bukti
-
Upload
uiechan0589 -
Category
Documents
-
view
175 -
download
5
description
Transcript of Penyelesaian Sengketa Dan Alat Bukti
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam ilmu ekonomi, bisnis adalah suatu organisasi yang menjual barang
atau jasa kepada konsumen atau bisnis lainnya, untuk mendapatkan laba. Secara
historis kata bisnis daribahasa Inggris business, dari kata dasar busy yang berarti
"sibuk" dalam konteks individu, komunitas, ataupun masyarakat. Dalam artian,
sibuk mengerjakan aktivitas dan pekerjaan yang mendatangkan keuntungan.
Dalam ekonomi kapitalis, dimana kebanyakan bisnis dimiliki oleh pihak
swasta, bisnis dibentuk untuk mendapatkan profit dan meningkatkan kemakmuran
para pemiliknya. Pemilik dan operator dari sebuah bisnis mendapatkan imbalan
sesuai dengan waktu, usaha, atau kapital yang mereka berikan. Namun tidak
semua bisnis mengejar keuntungan seperti ini, misalnya bisnis koperatif yang
bertujuan meningkatkan kesejahteraan semua anggotanya atau institusi
pemerintah yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Model bisnis
seperti ini kontras dengan sistem sosialistik, dimana bisnis besar kebanyakan
dimiliki oleh pemerintah, masyarakat umum, atau serikat pekerja.
Pertumbuhan ekonomi yang pesat dan kompleks melahirkan berbagai
macam bentuk kerjasama bisnis, yang meningkat dari hari ke hari. Semakin
meningkatnya kerjasama bisnis, menyebabkan semakin tinggi pula tingkat
sengketa diantara para pihak yang terlibat didalamnya.
Eksistensi hukum bisnis baik dalam teori maupun praktik dari waktu ke
waktu terus mengalami perkembangan yang cukup pesat. Hal ini salah satunya
karena didorong pertumbuhan ekonomi nasional maupun global yang begitu cepat
serta kompleks dengan melahirkan berbagai macam bentuk kerjasama bisnis.
Sejalan dengan hal itu, regulasi tata laksana hukum bisnis secara bertahap juga
mengikutinya.
Mengingat kegiatan bisnis semakin meningkat dari hari ke hari, maka
tidak mungkin dihindari terjadinya sengketa (dispute/difference) di antara para
pihak yang terlibat. Sengketa muncul dikarenakan berbagai sebab dan alasan yang
melatarbelakanginya, terutama karena adanya conflict of interest di antara para
pihak. Sengketa yang timbul di antara pihak-pihak yang terlibat karena
aktifitasnya dalam bidang bisnis atau perdagangan dinamakan sengketa bisnis.
Sebab-sebab terjadinya sengketa diantaranya:
1. Wanprestasi
Wanprestasi (atau ingkar janji) adalah berhubungan erat dengan adanya
perkaitan atau perjanjian antara pihak. Baik perkaitan itu di dasarkan
perjanjian sesuai pasal 1338 sampai dengan 1431 KUH PERDATA
maupun perjanjian yang bersumber pada undang undang seperti di atur
dalam pasal 1352 sampai dengan pasal 1380 KUH perdata. Salah satu
alasan untuk mengajukan gugatan ke pengadilan adalah karena adanya
wanprestasi atau ingkar janji dari debitur.wanprestasi itu dapat berupa
tidak memenuhi kewajiban sama sekali, atasu terlambat memenuhi
kewajiban, atau memenuhi kewajibanya tetapi tidak seperti apa yang telah
di perjanjikan
2. Perbuatan melawan hukum
Melawan hukum bukan hanya untuk pelanggaran perundang-undangan
tertulis semata-mata, melaikan juga melingkupi atas setiap pelanggaran
terhadap kesusilaan atau kepantasan dalam pergaulan hidup masyarakat.
Perbuatan melawan hukum telah diartikan secara luas yakni mencakup
salah satu dari perbuatan-perbuatan salah satu dari berikut:
a. Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain.
b. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri.
c. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan.
d. Perbuatan yang bertentangan dengan kehati-hatian atau keharusan
dalam pergaulan masyarakat yang baik.
3. Kerugian salah satu pihak
Apabila salah satu pihak mengalami kerugian yaitu kerugian dalam
Hukum Perdata dapat bersumber dari Wanprestasi dan Perbuatan Melawan
Hukum.
4. Ada pihak yang tidak puas atas tanggapan yang menyebabkan kerugian.
Setiap sengketa yang timbul dalam masyarakat dapat mengganggu
keseimbangan tatanan masyarakat. Oleh karena itu, perlu diupayakan agar setiap
sengketa dapat diselesaikan agar keseimbangan tatanan masyarakat dapat
dipulihkan. Pada dasarnya, keberadaan cara penyelesaian sengketa sama tuanya
dengan keberadaan manusia itu sendiri. Dalam setiap masyarakat telah
berkembang berbagai tradisi mengenai bagaimana sengketa ditangani. Sengketa
dapat diselesaikan melalui berbagai cara, baik melalui forum formal yang
disediakan oleh Negara, maupun melalui forum-forum lain yang tidak resmi
disediakan oleh Negara.
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan sebagaimana yang diatur oleh
pasal 10 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dapat dilakukan
dalam empat lingkungan peradilan, yaitu peradilan umum, peradilan agama,
peradilan militer dan peradilan tata usaha Negara. Setiap lingkungan peradilan
menyelesaikan sengketa sesuai yurisdiksinya masing-masing. Keberadaan
pengadilan sebagai forum formal penyelesaian sengketa merupakan aplikasi dari
ajaran Trias Politica, dimana badan-badan peradilan diberi wewenang dan otoritas
untuk mengadili suatu perkara. Melalui lembaga peradilan, setiap sengketa harus
diselesaikan menurut tata cara formal yang diatur dalam hukum acara serta
memberi hak kepada para pihak untuk mempergunakan upaya hukum.
Dalam beberapa masyarakat ada kecenderungan untuk menyelesaikan
sengketa melalui pengadilan, namun adapula masyarakat yang lebih suka
menyelesaikan sengketa melalui forum-forum lain diluar pengadilan. Alasan-
alasan kebudayaan menyebabkan beberapa masyarakat cenderung
mengenyampingkan pengadilan sebagai tempat penyelesaian sengketa yang
timbul diantara mereka. Pada awalnya pengadilan dijadikan sebagai pilihan
pertama dan terakhir dalam penyelesaian sengketa. Selama beberapa dekade
masyarakat di berbagai negara memberikan kepercayaan kepada lembaga
peradilan untuk mengelola sengketa yang mereka hadapi, dengan harapan akan
memperoleh keadilan sebagaimana secara normatif dan eksplisit disebutkan dalam
ketentuan perundang-undangan. Akan tetapi faktanya lembaga peradilan telah
terbukti tidak mampu memenuhi harapan masyarakat pencari keadilan. Banyak
keluhan yang timbul terhadap kinerja pengadilan yang dinilai formalistic, teknis
dan biaya mahal. Menanggapi masalah tersebut, maka muncul yang disebut
dengan alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan formal.
Dengan munculnya penyelesaian sengketa alternatif ini, pengadilan hanya
dijadikan sebagai pilihan terakhir oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa.
Para pihak yang bersengketa baru akan mengajukan sengketanya ke pengadilan
apabila mekanisme penyelesaian sengketa alternatif tidak mampu
menyelesaikannya. Di Indonesia sendiri alternatif penyelesaian sengketa ini di
atur dalam Undang-undang No. 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif
penyelesaian sengketa.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1. Pengertian Sengketa
Pengertian sengketa dalam kamus Bahasa Indonesia, berarti pertentangan
atau konflik, Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang,
kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek
permasalahan.
Senada dengan itu Winardi mengemukakan:
“Pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau
kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas
suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan
yang lain”.
Sedangkan menurut Ali Achmad berpendapat :
“Sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal
dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat
menimbulkan akibat hukum bagi keduanya”.
Dari kedua pendapat diatas maka dapat dikatakan bahwa sengketa adalah
prilaku pertentangan antara dua orang atau lebih yang dapat menimbulkan suatu
akibat hukum dan karenanya dapat diberi sangsi hukum bagi salah satu diantara
keduanya.
2. 2. Prinsip-prinsip Penyelesaian Sengketa
1. Prinsip Itikad Baik (Good Faith)
Prinsip Itikad Baik (good faith) adalah prinsip paling fundamental dan
paling sentral dalam menyelesaikan sengketa internasional. Prinsip ini
mensyaratkan dan mewajibkan adanya itikad baik dari para pihak dalam
menyelesaikan sengketanya.
2. Prinsip Larangan Penggunaan Kekerasan
Prinsip ini melarang para pihak untuk menyelesaikan sengketanya dengan
menggunakan senjata (kekerasan).
3. Prinsip Kebebasan Memilih Cara-cara Penyelesaian Sengketa
Prinsip ini memberikan Kebebasan bagi para pihak yang bersengketa
untuk memilih cara atau mekanisme bagaimana sengketanya diselesaikan
(principle of free choise of means).
4. Prinsip Kebebasan Memilih Hukum Yang Akan Diterapkan Terhadap
Pokok Sengketa
Prinsip Kebebasan para pihak untuk menentukan sendiri hukum apa yang
akan diterapkan jika sengketanya diselesaikan oleh badan peradilan.
Kebebasan para pihak untuk menentukan hukum, termasuk kebebasan
untuk memilih kepatutan dan kelayakan (ex aequo et bono), yaitu adalah
sumber bagi pengadilan untuk memutus sengketa berdasarkan prinsip
keadilan, kepatutan atau kelayakan.
5. Prinsip Kesepakatan Para Pihak Yang Bersengketa (Konsensus)
Prinsip ini menjadi dasar bagi pelaksanaan prinsip Kebebasan Memilih
Cara Penyelesaian Sengketa dan prinsip Kebebasan Memilih Hukum Yang
Akan Diterapkan Terhadap Pokok Sengketa. Prinsip ini akan bisa
direalisasikan manakala ada kesepakatan dari pihak yang bersengketa.
6. Prinsip Exhaustion of Local Remedies
Menurut prinsip ini sebelum para pihak mengajukan sengketanya ke
pengadilan internasional, maka langkah-langkah penyelesaian sengketa
yang tersedia atau diberikan oleh hukum nasional negara harus terlebih
dahulu ditempuh (exhausted).
7. Prinsip Kedaulatan, Kemerdekaan dan Integritas Wilayah Negara
Prinsip ini mensyaratkan negara-negara yang bersengketa untuk terus
mentaati dan melaksanakan kewajiban internasinal dalam hubungan antar
negara berdasarkan prinsip integritas wilayah negara.
2. 3. Cara Penyelesaian Sengketa
Bila sengketa telah terjadi, maka perlu dicarikan cara penyelesaiannya
yang tepat. Terdapat dua cara yang dapat ditempuh, yaitu:
1. Peradilan/Litigasi
2. Di Luar Peradilan/Nonlitigasi
2. 3. 1. Penyelesaian Sengketa Melalui Peradilan/Litigasi
Undang-undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum menyebutkan
bahwa “Peradilan Umum adalah salah satu pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman
bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya”.
Sedangkan Kekuasaan Kehakiman sendiri menurut Undang-undang No. 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman adalah:
“Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”.
Litigasi/peradilan merupakan jalur konvensional menyelesaikan berbagai
sengketa yang timbul. Bila sengketa timbul, maka salah satu pihak yang merasa
dirugikan pihak lain dapat membawa sengketa ke Pengadilan Negeri (PN).
Litigasi adalah sistem penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan. Sengketa
yang terjadi dan diperiksa melalui jalur litigasi akan diperiksa dan diputus oleh
hakim.
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan
tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi seperti yang disebutkan
pada pasal 2 Undang-undang No. 4 Tahun 2004.
Pasal 11 ayat 1 Undang-undang No. 4 Tahun 2004 menyebutkan bhawa,
Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi Negara mempunyai kewenangan
sebagai berikut:
a) mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada
tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang
berada di bawah Mahkamah Agung.
b) menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap
c) undang-undang; dan
d) kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang.
Sedangkan Pasal 12 ayat 1 menyebutkan, Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk:
a) menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
b) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
c) diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
d) memutus pembubaran partai politik.
e) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Sisi positif dari Litigasi:
1. Ruang lingkup pemeriksaannya yang lebih luas (karena sistem
peradilan di Indonesia terbagi menjadi beberapa bagian yaitu
peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan
Tata Usaha Negara sehingga hampir semua jenis sengketa dapat
diperiksa melalui jalur ini). Hal ini tercermin pada Pasal 16
Undang-undang No. 4 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa
“Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum
tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya”.
2. Biaya yang relatif lebih murah (Salah satu azas peradilan Indonesia
adalah Sederhana, Cepat dan Murah). Ini disebutkan dalam Pasal 4
Undang-undang No. 4 Tahun 2004 yang berbunyi, “Peradilan
dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan”.
Sedangkan sisi negatifnya:
1. Partner asing belum memberikan kepercayaan kepada efektivitas
hukum di Indonesia.
2. Proses peradilan memakan waktu yang lama. Karena terbukanya
kesempatan untuk mengajukan upaya hukum atas putusan hakim,
melalui banding, kasasi dan peninjauan kembali. Dijelaskan dalam
Pasal 21, 22, dan 23 Undang-undang No. 4 Tahun 2004 Tentang
Kekuasaan Kehakiman.
3. Proses dilakukan terbuka untuk umum. Sesuai dengan Pasal 19
ayat 1 Undang-undang No. 4 Tahun 2004 yang berbunyi, “Sidang
pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali
undangundang menentukan lain”, serta Pasal 20 Undang-undang
No. 4 Tahun 2004, “Semua putusan pengadilan hanya sah dan
mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang
terbuka untuk umum”.
Ketentuan Pasal 16 ayat 2 Undang-undang No. 4 Tahun 2004
menyebutkan bahwa tidak menutup usaha penyelesaian perkara perdata secara
perdamaian.
2. 3. 2. Penyelesaian Sengketa di Luar Peradilan/Nonlitigasi
Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa menyebutkan bahwa alternatif penyelesaian sengketa
adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang
disepakati para pihak. Pasal 6 ayat 2 menjelaskan Penyelesaian sengketa atau beda
pendapat melalui alternatif penyelesaian sengketa diselesaikan dalam pertemuan
langsung oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan
hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis. Apabila para pihak tersebut
dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dengan bantuan seorang atau lebih
penasehat ahli maupun melalui seorang mediator tidak berhasil mencapai kata
sepakat, atau mediator tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka
para pihak dapat menghubungi sebuah lembaga arbitrase atau lembaga alternatif
penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang mediator (Pasal 6 ayat 4 UU No.
30 Tahun 1999).
Walaupun pada undang-undang ini lebih banyak membahas tentang
arbitrase, namun masih banyak alternatif lain untuk penyelesaian sengketa.
Berikut beberapa model alternatif penyelesaian sengketa:
a. Negoisasi/Perundingan
Merupakan proses tawar menawar antara pihak yang bersengketa dimana
masing-masing berusaha untuk mencapai titik kesepakatan tentang persoalan
yang diperseketakan, tanpa campur tangan dari pihak ketiga. Negoisasi
dilakukan jika:
- Telah ada sengketa antara para pihak
- Belum ada sengketa karena masalahnya belum pernah dibicarakan
Terdapat dua tipe negoisasi, yaitu:
1) Negoisasi Transaksional
Para pihak merencanakan suatu peristiwa untuk dilaksanakan. Misalnya
negoisasi kontrak lisensi, usaha patungan pemborong bangunan.
2) Negoisasi Penyelesaian Sengketa
Para pihak terlibat dalam peerselisihan. Misalnya akibat wanprestasi salah
satu pihak.
b. Mediasi/Penengah
Menurut Black’s Law Dictionary mediasi diartikan sebagai proses
penyelesaian sengketa secara pribadi, informal dimana seorang pihak yang
netral yaitu mediator, membantu para pihak yang bersengketa untuk mencapai
kesepakatan. Mediator tidak mempunyai kesewenangan untuk menetapkan
keputusan bagi para pihak. Mediator bersifat netral dan tidak memihak yang
tugasnya membantu para pihak yang bersengketa untuk mengindentifikasikan
isu-isu yang dipersengketakan mencapai kesepakatan. Dalam fungsinya
mediator tidak mempunyai kewenangan untuk membuat keputusan.
c. Konsiliasi
Menurut John Wade dari bond University Dispute Resolution Center,
Australia “konsiliasi adalah suatu proses dalam mencari solusi untuk para
pihak dalam suatu konflik, dengan bantuan seorang pihak ketiga netral
(konsiliator), mengindentifikasikan masalah, menciptakan pilihan-pilihan,
mempertimbangkan pilihan penyelesaian)”.
Konsiliator dapat menyarankan syarat-syarat penyelesaian dan mendorong
para pihak untuk mencapai kesepakatan. Berbeda dengan negosiasi dan
mediasi, dalam proses konsiliasi konsiliator mempunyai peran luas. Ia dapat
memberikan saran berkaitan dengan materi sengketa, maupun terhadap hasil
perundingan. Dalam menjalankan peran ini konsiliator dituntut untuk berperan
aktif.
Beberapa aturan untuk seorang konsiliator (berlaku juga bagi mediator) yang
terdapat dalam Uncitral conciliation rule:
1) Membantu para pihak untuk secara independen.
2) Adil dan objektif, dengan mempertimbangkan faktor-faktor:
- Hak dan kewajiban para pihak.
- Kebiasaan dalam perdagangan.
- Praktek bisnis yang telah terjadi, termasuk praktek bisnis
diantara para pihak.
3) Dapat menemukan bagaimana proses konsiliasi yang dianggapnya
layak.
4) Disetiap tingkat, dapat mengajukan proposal penyelesaian sengketa.
d. Pencari Fakta
Suatu proses yang dilakukan oleh seorang atau tim pencari fakta, baik pihak
independan atau hanya sepihak, untuk melakukan proses pencarian fakta
terhadap suatu masalah, yang akan menghasilkan suatu rekomendasi yang
tidak mengikat.
e. Minitrial
Disebut juga pengadilan mini, adalah sistem pengadilan swasta untuk
menyelesaikan, memeriksa dan memutuskan terhadap kasus-kasus
perusahaan, yang dilakukan oleh orang yang disebut “manajer” yang diberi
wewenang untuk menegoisasikan suatu settlement di antara para pihak yang
bersengketa.
f. Ombudsman
Merupakan seorang pejabat pubik yang independen, yang diangkat (biasanya
oleh parlemen) untuk melakukan kritik, investigasi, dan publikasi terhadap
administrasi pemerintah.
g. Penilaian Ahli
Diperlukan untuk kasus-kasus yang rumit. Kewenangan para ahli hanya
sampai sebatas memberikan pendapat saja.
h. Pengadilan Kasus Kecil (Small Claim Court)
Merupakan sistem peradilan biasa, tetapi memakai prosedur dan sistem
pembuktian yang sederhana, pengadilan dimana hanya berwenang mengadili
kasus-kasus kecil dengan prosedur cepat dan tidak dibenarkan memakai
pengacara.
i. Pengadilan Adat
Hanya bertugas menyelesaikan masalah-masalah secara adat.
j. Arbitrase (Arbitration)
Arbitrase menurut Undang-undang No. 30 Tahun 1999 adalah cara
penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak
yang bersengketa.
Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang
bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu; lembaga
tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu
hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa (Pasal 1 ayat 4
Undang-undang No. 30 Tahun 1999).
Pasal 5 ayat 1 menyebutkan Sengketa yang dapat diselesaikan melalui
arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang
menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh
pihak yang bersengketa.
Pihak penyelesai sengketa dipilih oleh para pihak yang bersangkutan dengan
perkara yang disengketakan. Orang yang bertindak untuk menjadi penengah
dalam arbitrase disebut “arbiter” (Pasal 1 ayat 7 Undang-undang No. 30
Tahun1999), biasanya terdiri dari tiga orang.
Prinsip-prinsip hukum arbitrase:
1) Efisien
2) Terjangkau dalam artian biaya, waktu dan tempat
3) Proteksi hak para pihak
4) Final and binding
5) Adil
6) Sesuai dengan sense of justice dalam masyarakat
7) Kredibilitas
Terdapat dua jenis arbitrase:
1) Arbitrase Ad Hoc yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan perkara
tertentu, kehadiran sementara dan kasuistis. Selesai sengketa diputus
fungsinya berhenti.
2) Arbitrase kelembagaan/institusional
Lembaga/badan arbitrase yang sengaja dibentuk untuk menyelesaikan
berbagai macam transaksi bisnis di dunia perdagangan dan industri.
Para pihak terikat dalam proses arbitrase melalui dua cara:
1) Clausula Arbitrase (pactum de compromittendo) yaitu telah
dirumuskan dalam kontrak sebelumnya oleh para pihak bahwa bila
terjadi sengketa selesaikan melalui arbitrase. Pasal 7 ayat 1 Undang-
undang No. 30 Tahun 1999 menyatakan, “Para pihak dapat menyetujui
suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka untuk
diselesaikan melalui arbitrase”.
2) Persetujuan arbitrase (Akta Kompromis) yaitu karena ada kesepakatan
setelah perselisihan terjadi untuk menyelesaikan melalui arbitrase.
Pasal 9 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 menyebutkan, “Dalam hal
para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah
sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam
suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak”.
Pasal 1 ayat 2 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 menjelaskan bahwa,
“Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang
tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum
timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para
pihak setelah timbul sengketa”. Apabila klausul arbitrase tersebut telah
disepakati oleh kedua pihak, maka menurut Pasal 3 Pengadilan Negeri tidak
berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam
perjanjian arbitrase.
Pertimbangan kalangan pebisnis memilih arbitrase:
a) Untuk menghindari publisitas. Pasal 27 Undang-undang No. 30 Tahun
1999, “Semua pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase
dilakukan secara tertutup”.
b) Untuk menekan biaya penyelesaian sengketa
c) Untuk menyelesaikan sengketa dengan cepat
d) Menyelesaikan sengketa melalui penggunaan para ahli dibidangnya
e) Menghindari penyelesaian sengketa yang tidak adil
Macam-macam arbitrase:
a) Arbitrase mengikat (Binding Arbitration), putusan bersifat mengikat
dan final.
b) Arbitrase tidak mengikat (Nonbinding Arbitration), putusan boleh
diikuti dan boleh tidak diikuti.
c) Arbitrase kepentingan (Interest Arbitration). Tidak memutus suatu
sengketa, tetapi dipakai jasanya untuk menciptakan provisi-provisi
dalam kontrak setelah mengalami jalan buntu.
d) Arbitrase Hak (Right Arbitration). Member putusan terhadap sengketa
para pihak, bukan hanya sekedar membuat provisi dalam kontrak.
e) Arbitrase Sukarela (Voluntary Arbitration). Dimintakan para pihak,
baik dalam kontrak yang bersangkutan ataupun kontrak tersendiri.
f) Arbitrase Wajib (Compulsory Arbitration). Diwajibkan oleh Undang-
undang.
g) Arbitrase Ad Hoc. Arbitrase tidak ada badannya, tetapi hanya
menunjuk orang-orang secara bebas oleh para pihak sesuai
kesepakatan, dengan memberlakukan aturan hukum tertentu.
h) Arbitrase Lembaga. Merupakan lawan dari arbitrase ad hoc, yakni
sudah ada lembaga badannya, serta sudah ada aturan mainnya.\
i) Arbitrase nasional. Dimana para pihak yang bersengketa ada dalam
satu Negara.
j) Arbitrase Internasional. Dimana para pihak yang bersengketa berasal
dari Negara-negara yang berbeda.
k) Arbitrase kausalitas. Arbitrase yang menyangkut dengan fakta-fakta.
l) Arbitrase teknis. Arbitrase yang menyangkut dengan hal-hal yang
timbul dari penyusunan dan penafsiran suatu kontrak.
m) Arbitrase umum. Berbentuk badan yang mempunyai ruang lingkup di
semua bidang hukum.
n) Arbitrase bidang khusus. Berbentuk badan yang mempunyai ruang
lingkup di bidang hukum tertentu saja.
Kelebihan arbitrase:
a) Prosedur tidak berbelit
b) Biaya murah
c) Putusan tidak diekpos di depan umum
d) Hukum terhadap pembuktian dan prosedur lebih luwes
e) Para pihak yang memilih hukum mana yang diberlakukan oleh
arbitrase
f) Para pihak dapat memilih sendiri arbiter
g) Dapat dipilih arbiter dari kalangan ahli dan bidangnya
h) Putusan dapat lebih terkait dengan situasi dan kondisi
i) Putusan umumnya final and binding
j) Putusan dapat juga dieksekusi oleh pengadilan, tanpa atau sedikit
review.
k) Prosedur arbitrase lebih mudah dimengerti oleh masyarakat luas
l) Menutup kemungkinan mencoba-coba untuk memilih atau
menghindari pengadilan
Kelemahan arbitrase:
a) Hanya tersedia untuk perusahaan-perusahaan besar
b) Due proses kurang terpenuhi
c) Kurangnya kekuasaan dalam hal enforcement dan eksekusi
d) Kurangnya kekuasaan untuk menghadirkan barang bukti atau saksi
e) Tidak dapat menghasilkan solusi yang bersifat preventif
f) Putusan tidak dapat diprediksi dan ada kemungkinan timbulnya
keputusan yang bertentangan
g) Kualitas putusan bergantung pada kualitas arbiter
h) Berakibat kurangnya semangat dan upaya untuk memperbaiki
pengadilan konvensional
i) Berakibat semakin tinggi permusuhan dan hujatan terhadap badan-
badan pengadilan konvensional
Prosedur arbitrase:
1) Permohonan arbitrase oleh pemohon
2) Pengangkatan arbiter.
3) menunjuk arbiter atau majelis arbitrase oleh para pihak yang
bersengketa. Namun Pasal 13 mengemukakan bahwa, “Dalam hal para
pihak tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai pemilihan arbiter
atau tidak ada ketentuan yang dibuat mengenai pengangkatan arbiter,
Ketua Pengadilan Negeri”.
4) Pengajuan surat tuntutan oleh pemohon. Pasal 38 ayat 1, “Dalam
jangka waktu yang ditentukan oleh arbiter atau majelis arbitrase,
pemohon harus menyampaikan surat tuntutannya kepada arbiter atau
majelis arbitrase”.
5) Penyampaian satu salinan putusan kepada termohon. Setelah menerima
surat tuntutan dari pemohon, arbiter atau ketua majelis arbitrase
menyampaikan satu salinan tuntutan tersebut kepada termohon dengan
disertai perintah bahwa termohon harus menanggapi dan memberikan
jawabannya secara tertulis dalam waktu paling lama 14 ( empat belas )
hari sejak diterimanya salinan tuntutan tersebut oleh termohon (pasal
39).
6) Jawaban tertulis dari pemohon diserahkan kepada arbiter. Pasal 40 ayat
1, “Segera setelah diterimanya jawaban dari termohon atas perintah
arbiter atau ketua majelisarbitrase, salinan jawaban tersebut diserahkan
kepada pemohon”.
7) Salinan jawaban diserahkan kepada termohon atas perintah arbiter.
Pasl 40 ayat 2, “Bersamaan dengan itu, arbiter atau ketua majelis
arbitrase memerintahkan agar para pihak atau kuasa mereka
menghadap di muka sidang arbitrase yang ditetapkan paling lama 14
(empat belas) hari terhitung mulai hari dikeluarkannya perintah itu.
8) Perintah arbiter agar para pihak menghadap arbitrase. Pasal 41,
“Dalam hal termohon setelah lewat 14 (empat belas) hari sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 39 tidak menyampaikan jawabannya, termohon
akan dipanggil dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
40 ayat (2).
9) Para pihak menghadap arbitrase.
10) Tuntutan balasan dari termohon. Pasal 42 ayat 1, “Dalam jawabannya
atau selambat-lambatnya pada sidang pertama, termohon dapat
mengajukan tuntutan balasan dan terhadap tuntutan balasan tersebut
pemohon diberi kesempatan untuk menanggapi.
11) Pemanggilan lagi jika termohon tidak menghadap tanpa alasan yang
jelas. Pasal 44 ayat 1, “Apabila pada hari yang telah ditentukan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2), termohon tanpa suatu
alasan sah tidak datang menghadap, sedangkan termohon telah
dipanggil secara patut, arbiter atau majelis arbitrase segera melakukan
pemanggilan sekali lagi.
12) Jika termohon tidak juga menghadap siding, pemeriksaan diteruskan
tanpa kehadiran termohon dan tuntutan dikabulkan jika cukup alasan
untuk itu (Pasal 44 ayat 2).
13) Jika termohon hadir, diusahakan perdamaian oleh arbiter. Pasal 45 ayat
1, “Dalam hal para pihak datang menghadap pada hari yang telah
ditetapkan, arbiter atau majelis arbitrase terlebih dahulu mengusahakan
perdamaian antara para pihak yang bersengketa.
14) Proses pembuktian. Arbiter atau majelis arbitrase berhak meminta
kepada para pihak untuk mengajukan penjelasan tambahan secara
tertulis, dokumen atau bukti lainnya yang dianggap perlu dalam jangka
waktu yang ditentukan oleh arbiter atau majelis arbitrase (Pasal 46 ayat
3)
15) Pemeriksaan selesai dan ditutup (maksimal 180 hari sejak arbitrase
terbentuk). Pasal 48 ayat 1, “Pemeriksaan atas sengketa harus
diselesaikan dalam waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari
sejak arbiter atau majelis arbitrase terbentuk”.
16) Pengucapan putusan. Pasal 56 ayat 1, “Arbiter atau majelis arbitrase
mengambil putusan berdasarkan ketentuan hukum, atau berdasarkan
keadilan dan kepatutan”.
17) Putusan diserahkan kepada para pihak. Pasal 56 ayat 2, “Para pihak
berhak menentukan pilihan hukum yang akan berlaku terhadap
penyelesaian sengketa yang mungkin atau telah timbul antara para
pihak”.
18) Putusan diterima para pihak
19) Koreksi, tambahan, pengurangan terhadap putusan. Pasal 58, “Dalam
waktu paling lama 14 (empat belas) hari setelah putusan diterima, para
pihak dapat mengajukan permohonan kepada arbiter atau majelis
arbitrase untuk melakukan koreksi terhadap kekeliruan administratif
dan atau menambah atau mengurangi sesuatu tuntutan putusan”.
20) Penyerahan dan pendaftaran putusan ke Pengadilan Negeri yang
berwenang. Pasal 59 ayat 1, “Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau salinan
otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau
kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri”.
21) Permohonan eksekusi didaftarkan di Panitera Pengadilan Negeri
22) Putusan pelaksanaan dujatuhkan. Pasal 60, “Putusan arbitrase bersifat
final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak”.
23) Perintah Ketua Pengadilan Negeri jika putusan tidak dilaksanakan.
Pasal 61, “Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase
secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua
Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang
bersengketa”.
Eksekusi Putusan Arbitrase
a) Eksekusi secara sukarela
Eksekusi yang tidak memerlukan campur tangan dari pihak Pengadilan
Negeri manapun, para pihak melaksanakan sendiri secara sukarela apa
saja yang telah diputuskan.
b) Eksekusi secara terpaksa
Bila tidak mau melaksanakan secara sukarela, maka diperlukan campur
tangan pihak pengadilan diperlukan, yaitu dengan memaksa para pihak
yang kalah untuk melaksanakan putusan. Misalnya dengan melakukan
penyitaan.
Kontrak arbitrase adalah kesepakatan diantara para pihak yang bersengketa
untuk membawa ke arbitrase setiap sengketa yang timbul dari suatu bisnis
atau transaksi tertentu.
Suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan oleh keadaan
tersebut di bawah ini :
a) meninggalnya salah satu pihak,
b) bangkrutnya salah satu pihak,
c) novasi,
d) insolvensi salah satu pihak,
e) pewarisan,
f) berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok,
g) bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialihtugaskan pada pihak
ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase
tersebut,
h) berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.
Arbitrase internasional adalah lembaga maupun arbitrase ad hoc yang
melibatkan pihak dari dua Negara yang berbeda. Yang berwenang melakukan
eksekusi di Indonesia adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
2. 4. Hukum Pembuktian
Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum oleh
pihak berperkara kepada Hakim dalam persidangan dengan tujuan untuk
memperkuat kebenaran dalil tentang fakta hukum yang menjadi pokok sengketa,
sehingga Hakim memperoleh kepastian untuk dijadikan dasar putusannya.
Kebenaran yang dituju disebut kebenaran materil.
Sesuai dengan pasal 1865 KUHP tentang bukti dan daluwarsa “ Setiap
orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk
meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib
membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu.”
Tujuan pembuktian adalah memberikan kepastian kepada Hakim tentang
kebenaran fakta hukum yang menjadi pokok sengketa. Fungsi/Kegunaan dari
pembuktian adalah sebagai dasar dari keputusan Hakim untuk memutus suatu
perkara.
Suatu keadaan yang telah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan
(Pasal 101 UU Peradilan Tata Usaha Negara /PTUN). Dalam pembuktian, hakim
dapat menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktiannya, serta
penilaian terhadap bukti-bukti tersebut. Pembagian beban pembuktian itu harus
dilakukan dengan adil dan tidak berat sebelah, pembagian beban pembuktian ini
dianggap sebagai suatu soal hokum atau soal yuridis, yang dapat diperjuangkan
sampai di tingkat kasasi, yaitu Mahkamah Agung apabila melakukan pembagian
beban pembuktian yang tidak adil dianggap sebagai suatu pelanggaran hokum
atau undang-undang yang merupakan alas an bagi Mahkamah Agung untuk
membatalkan putusan hakim atau pengadilan yang lebih rendah yang
bersangkutan. Untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua
alat bukti berdasarkan keyakinan hakim.
Pembuktian di atas adalah dalam pengertian yuridis, yang bersifat
kemasyarakatan, selalu mengandung ketidakpastian dan tidak akan pernah
mencapai kebenaran mutlak. Jadi, pembuktian yuridis sifatnya relatif, dalam arti
hanya berlaku bagi pihak-pihak berperkara dan pengganti-penggantinya, dan
memungkinkan pula terjadinya perbedaan penilaian hasil pembuktian di antara
sesama Hakim.
2. 4. 2. Alat Bukti
Dalam pemeriksaan di sidang, dasar hukum mengenai alat pembuktian ada
di dalam pasal 1866 KUHPerdata, adapun macam - macam alat pembuktian yaitu:
Bukti tertulis
Bukti saksi
Persangkaan
Pengakuan
Sumpah.
a) Bukti Tertulis
Sebagai mana pada pasal 1867 KUHP bukti tertulis di kelompokan
menjadi dua, yaitu akta / surat – surat lain dan surat – surat lainnya.Akta
merupakan tulisan/ surat yang ditandatangani dan sengaja dibuat untuk
dijadikan sebuah alat pembuktian. Bentuk akta ada 2 macam, yaitu akta
otentik (resmi) dan akta dibawah tangan.Akta otentik adalah tulisan/ surat
yang dibentuk dalam format tertentu di hadapan pejabat resmi yang
berwenang membuatnya (notaris, camat, bupati, catatan sipil yang
mempunyai kepahaman yang cukup dan cakap). Oleh karena itu hakim
harus mempercayai akta tersebut, sedangkan akta dibawah tangan adalah
tulisan / surat dibuat oleh pihak yang berkepentingan/ bersangkutan tanpa
perantara pejabat resmi, sedangkan surat – surat lainnya adalah tulisan-
tulisan lain yang bukan akta (faktur, kwitansi) selama dapat dijadikan
sebuah alat bukti.
b) Bukti Saksi
Sebagai mana pada pasal 1895 KUHP bukti saksi adalah pernyataan
seseorang mengenai suatu peristiwa atau keadaan yang dilihatnya,
didengar, dialami sendiri. Namun perlu menjadi garis bawah apabila
keterangan seorang saksi saja tanpa alat pembuktian lain tidak boleh
dipercaya oleh pengadilan. Maka bukti dalam bentuk kesaksian ini
haruslah lebih dari satu keterangan seseorang dan masing – masing
kesaksian berdiri sendiri namun kesaksian – kesaksian tersebut saling
menguatkan satu sama lain. Dalam kesaksian dianut sistem : “UNUS
TESTIS & NULLUS TESTIS” Artinya keterangan seorang bukan
kesaksian. Berarti di dalam suatu perkara harus ada saksi lebih dari satu
orang supaya dapat menjadi saksi. Jika hanya ada satu orang, maka hakim
harus mencari bukti yang lain.
c) Persangkaan
Adalah kesimpulan yang diambil berdasarkan peristiwa-peristiwa yang
sudah jelas dan nyata. Namun persangkaan harus dibuktikan lebih lanjut.
Jenis persangkaan ini dalam KUHP dibagi menjadi dua jenis, yaitu
persangkaan yang berdasarkan undang-undang ialah persangkaan yang
dihubungkan dengan perbuatan tertentu atau peristiwa tertentu berdasarkan
ketentuan undang-undang danpersangkaan yang tidak berdasarkan
undang-undang sendiri diserahkan kepada pertimbangan dan kewaspadaan
Hakim, yang dalam hal ini tidak boleh memperhatikan persangkaan-
persangkaan yang lain. Persangkaan-persangkaan yang demikian hanya
boleh diperhatikan, bila undang-undang mengizinkan pembuktian dengan
saksi-saksi, begitu pula bila terhadap suatu perbuatan atau suatu akta
diajukan suatu bantahan dengan alasan-alasan adanya itikad buruk atau
penipuan.
d) Pengakuan
Pengakuan adalah Pernyataan suatu pihak mengenai peristiwa yang
dilakukan dihadapan hakimdiluar persidangan (saat diinterogasi),
Pengakuan yang diberikan di hadapan Hakim, merupakan suatu bukti yang
sempurna terhadap orang yang telah memberikannya, baik sendiri maupun
dengan perantaraan seseorang yang diberi kuasa khusus untuk itu. Suatu
pengakuan yang diberikan dihadapan Hakim tidak dapat dicabut kecuali
bila dibuktikan bahwa pengakuan itu diberikan akibat suatu kekeliruan
mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi.
e) Sumpah
Sumpah dalm hal ini adalah pernyataan dengan segala keluhuran untuk
memberikan keterangan dengan kesaksian Tuhan dan sanggup menerima
hukuman dari Tuhan.
Menurut professor Ali Afendi: pernyataan yang khitmad bahwa Tuhan
adalah yang Maha Tahu dan bahwa Tuhan akan menghukum setiap dusta
pada waktu orang bersaksi. Sumpah ini merupakan alat bukti yang paling
rendah.
Sumpah dalam hal ini di bagi kedalam dua jenis :
- Decisoir: Pemutus/ Penentu.
Sumpah atas permintaan salah satu pihak yang berperkara untuk memutus
suatu perkara. Jika kekurangan bukti-bukti bisa oleh penggugat dan
tergugat diucapkan oleh yang menang.
- Suplatoir: Sumpah Tambahan.
Sumpah yang diperintahkan hakim karena jabatannya. Untuk melengkapi
bukti-bukti yang sudah ada.
Dalam perkara pidana, alat bukti hanya ada 4. Sumpah bukan merupakan
alat bukti karena dalam perkara pidana hukuman bersifat penderitaan.
BAB III
KASUS
Kronologis Kasus
Pada hari Jumat 14 september 2012, Majelis Hakim PN Jakarta Pusat
(Jakpus) yang dipimpin Hakim Ketua Agus Iskandar memutuskan Telkomsel
pailit atas permohonan PT Prima Jaya Informatika, distributor voucher isi ulang
Kartu Prima. Telkomsel dan Prima Jaya memulai kerja sama pada 1 Juni 2011
sampai dengan Juni 2013 dengan komitmen awal Telkomsel menyediakan
voucher isi ulang bertema khusus olahraga. Namun, pada Juni 2012 anak
perusahaan Telkom ini memutuskan kontrak, karena menganggap Prima Jaya
tidak memenuhi aturan yang dipersyaratkan atau wanprestasi.
Sebelumnya PT. Prima Jaya Informatika mengajukan permohonan
purchase order kepada Telkomsel untuk mengambil kartu. Namun, purchase order
tersebut ditolak Telkomsel dengan alasan belum mendapat instruksi lebih lanjut
dari pimpinan. Akibatnya PT Prima jaya yang masih memiliki piutang pada PT.
Telkomsel sebesar 5,3 miliar yang mana sudah jatuh tempo dan tidak segera
dibayar oleh PT. Telkomsel membuat PT. Prima Jaya geram yang akhirnya
mengajukan gugatan kepailitan kepada PN Jakarta pusat.
Dasar pengajuan pailit PT. Prima Jaya Informatika adalah juga karena
adanya hutang pada rekanan lain PT. Telkomsel yang juga sudah jatuh tempo dan
belum dibayar.
Tanggal Peristiwa01 Juni 2011 PKS disetujui antara PT Telkomsel dan PT Prima Jaya
Informatika (PKS.591/LG.05/SL-01/2011 dan 031/PKS/PJI-TD/VI/2011)Berlangsung dari 11 Juni 2011 – 01 Juni 2013.
09 Mei 2012 PT Prima Jaya Informatika melakukan pemesanan produk kepada PT Telkomsel dan disetujui oleh PT Telkomsel.
20 Juni 2012 PT Prima Jaya Informatika kembali melakukan pemesanan produk kepada PT Telkomsel dengan no PO/PJI-AK/VI/2012/00000027. PT Telkomsel menerbitkan penolakan melalui Electronic Mail (E-Mail) tertanggal 20 Juni 2012 yang pada pokoknya menyatakan sampai saat ini kami
belum menerima perintah selanjutnya mengenai pendistribusian produk PRIMA, maka bersama ini kami belum bisa memenuhi permintaan alokasi tersebut.
21 Juni 2012 PT Prima Jaya Informatika kembali melakukan pemesanan produk kepada PT Telkomsel dengan no PO/PJI-AK/VI/2012/00000028 yang kembali ditolak oleh PT Telkomsel melalui Electronic Mail (E-Mail) tertanggal 21 Juni 2012, (bukti PP-8), yang pada pokoknya menyatakan menghentikan sementara alokasi produk Prima.
28 Juni 2012 PT Prima Jaya Informatika menyampaikan peringatan pertama dan terakhir (somasi) kepada PT Telkomsel Nomor: 022/P/KC/VI/2012, (bukti PP-9).
Juli 2012 PT Prima Jaya Informatika mengajukan permohonan pailit PT Telkomsel kepada Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan nomor perkara 48/Pailit/2012/PN.Niaga.JKT.PST.
Berikut ini kronologi sidang antara PT Telekomunikasi Seluler
(Telkomsel) dan PT Prima Jaya Informatika.
Sidang 1 Agustus 2012
Mantan pebulutangkis Rudi Hartono hadir di sidang
Pada sidang perdana (1 Agustus) hadir mantan atlet nasional Rudi Hartono
sebagai ketua Yayasan Olahragawan Indonesia (YOI) yang bekerjasama dengan
pemohon.
“Selain timbulnya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih sekitar
Rp5,3 miliar dan ancaman PHK karyawan, Prima Jaya mengalami kerugian
imateriil berupa rusaknya citra di hadapan konsumen dan mitranya,” katanya.
Menurut Rudi, ketidakpercayaan akibat pemutusan kontrak juga muncul dari para
mantan atlet nasional yang selama ini disantuni melalui YOI.
Mantan pemain bulutangkis itu menyayangkan sikap Telkomsel dan
berharap langkah litigasi dapat menyelesaikan masalah. “Sebagai catatan, ini
bukan program CSR [corporate social responsibility]. Kami bekerja supaya dapat
untung dan ini tidak mudah,” ungkapnya.
Prima Jaya merupakan mitra YOI dengan menyisihkan 30% pendapatan
dari setiap penjualan produk untuk menyumbang para mantan atlet nasional pada
42 cabang olahraga.
Sidang Rabu 8 Agustus 2012
Versi Telkomsel
PT Telkomunikasi Seluler (Telkomsel) menyatakan Pengadilan Niaga
Jakarta Pusat tidak berwenang mengadili sengketa dengan PT Prima Jaya
Informatika, distributor voucher isi ulang Kartu Prima, dan meminta pengadilan
menolak permohonan pailit.
Dalam sidang hari ini, Rabu (8/8/2012) kuasa hukum Telkomsel Warakah
Anhar membacakan jawaban dan tanggapan atas permohonan pailit yang diajukan
Prima Jaya (pemohon).
Menurutnya, dalam perjanjian kerja sama antara termohon dengan
pemohon terdapat klausul yang menyebutkan bila ada sengketa atau masalah di
kemudian hari maka dilakukan musyawarah. “Jika musyawarah gagal
menyelesaikan persoalan, maka perkara itu diajukan ke Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan,” katanya. Oleh karena itu, termohon menganggap Pengadilan
Niaga Jakarta Pusat tidak berwenang mengadili perkara a quo. Perjanjian
kerjasama itu menjadi muasal utang yang didalilkan pemohon.
Versi PT Prima Jaya Informatika
Permohonan pailit dengan nomor 48/Pailit/2012/PN.Niaga.JKT.PST itu
diajukan oleh PT Prima Jaya Informatika, distributor voucher isi ulang Kartu
Prima.
Menurut kuasa hukum pemohon, Kanta Cahya, utang jatuh tempo dan
dapat ditagih berasal tidak terpenuhinya penyediaan voucher isi ulang dan kartu
perdana Kartu Prima yang bergambar atlet-atlet nasional. Dalam permohonan
pemohon menyertakan PT Extent Media Indonesia sebagai kreditur lain, yang
merupakan syarat bagi pengajuan pailit. Kanta mengungkapkan utang termohon
merupakan buntut dari pemutusan kerjasama secara sepihak yang menyebabkan
operator telepon seluler itu tidak melaksanakan kewajibannya untuk
mengalokasikan voucher isi ulang dan kartu perdana kepada pemohon.
Kontrak kerjasama itu menyebutkan bahwa termohon berkewajiban menyediakan
voucher isi ulang bertema khusus olahraga sedikit-sedikitnya 120 juta lembar
yang terdiri kartu bernominal Rp25.000 dan Rp50.000.
Adapun untuk kartu perdana prabayar, termohon terikat kontrak untuk
menyediakan 10 juta kartu untuk dijual kepada pemohon.
Dua surat pemesanan (purchase order/PO) oleh pemohon yakni pada 20 juni
2012 bernilai Rp2,6 miliar dan PO tertanggal 21 Juni senilai Rp3 miliar tak
dipenuhi oleh termohon.
Sidang 3 September 2012
Versi PT Prima Jaya Informatika
Pemohon mengungkapkan bahwa permohonan pailit sudah tepat sebab ada utang
jatuh tempo dan dapat ditagih serta kreditur lain. “Jika belum jatuh tempo maka
ke wanprestasi,” katanya.
Sidang 5 September 2012
Saksi ahli bicara
Saksi ahli dalam persidangan permohonan pailit PT Telkomunikasi Seluler
(Telkomsel) menyatakan bahwa utang dalam perkara kepailitan harus dapat
dibuktikan secara sederhana, tidak sedang dalam sengketa.
Ahli hukum perikatan dan kepailitan Gunawan Widjaja mengatakan bahwa jika
utang itu masih diperdebatkan seharusnya dibawa ke pengadilan negeri, baru
setelah jelas sebagai utang maka dibawa ke pengadilan niaga.
“Jika masih diperdebatkan maka tidak bisa dibuktikan secara somir [sederhana],”
katanya dalam sidang hari ini (5 September). Kesaksiannya merupakan bagian
dari sidang kepailitan yang diajukan oleh PT Prima Jaya Informatika terhadap
Telkomsel.
Sidang 14 September 2012
Majelis Hakim putuskan Telkomsel pailit
Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat memutuskan PT Telekomunikasi
Seluler (Telkomsel) pailit dengan mengabulkan permohonan PT Prima Jaya
Informatika.
Kasasi
PT Telkomsel yang menolak putusan hakim Pengadilan Niaga Jakarta
Pusat dan melakukan Kasasi ke Mahkamah Agung. Karena menurut PT
Telkomsel Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tidak berwenang memeriksa dan
mengadili perkara a quo. Karena utang tersebut tidak bisa dibuktikan secara
sederhana dan sesuai dengan klausul perjanjian kerja sama yang menyatakan
bahwa bila ada sengketa atau masalah di kemudian hari maka dilakukan
musyawarah. Jika musyawarah gagal menyelesaikan persoalan, maka perkara itu
diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Tanggal Peristiwa21 September 2012 PT Telkomsel mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung
atas gugatan pailit oleh PT Prima Jaya Informatika di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
21 November 2012 Mahkamah Agung mengabulkan kasasi yang diajukan oleh PT Telkomsel melawan PT Prima Daya Informatika. Putusan MA atas perkara kasasi nomor 704 K/Pdt.Sus/2012 yang dikeluarkan Rabu 21 November 2012 itu sekaligus membatalkan putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang menyatakan Telkomsel pailit.
BAB IV
PEMBAHASAN
Awal mulanya kasus ini terjadi karena PT Prima Jaya Informatika merasa
Telkomsel sudah melakukan tindakan wanprestasi karena tidak melaksanakan
kewajibannya untuk memenuhi pesanan kartu perdana dan voucher sebagaimana
yang sudah diminta dan dijanjikan serta secara sepihak memutuskan kontrak kerja
sama dengan PT Prima Jaya Informatika, yang mana akibat dari pemutusan
kontrak kerja sama secara sepihak ini menimbulkan kerugian bagi PT Prima Jaya
Informatika berupa timbulnya piutang PT Prima Jaya Informatika pada Telkomsel
sebesar Rp 5,3 miliar, ancaman PHK karyawan, dan kerugian imateriil berupa
rusaknya citra dihadapan konsumen dan mitranya.
Karena masalah ini tidak bisa diselesaikan meskipun PT Prima Jaya
Informatika sudah melayangkan surat peringatan (somasi) kepada Telkomsel,
maka PT Prima Jaya Informatika membawa kasus sengketa ini untuk diselesaikan
melalui pengadilan (litigasi).
Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat
Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat memutuskan permohonan
PT Telekomunikasi Seluler (Telkomsel) pailit dengan mengabulkan permohonan
PT Prima Jaya Informatika. Karena terbukti secara sederhana debitor (PT
Telkomsel) mempunyai dua kreditor (PT Prima Jaya Informatika dan PT Extent
Media Indonesia) dan tidak membayar bukan hanya 1 (satu) melainkan 2 (dua)
utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, hal ini senada dengan pasal 2 ayat
1 Undang – Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan. Dimana dinyatakan
dalam pasal tersebut bahwa syarat debitur dapat dinyatakan pailit apabila:
1. Debitur memiliki dua atau lebih kreditur, dan
2. Debitur tidak membayar sedikitnya satu hutang yang telah jatuh
waktu/dapat ditagih.
Dan sesuai dengan pasal 1865 KUHP tentang bukti dan daluwarsa “ Setiap orang
yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk
meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib
membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu.”
Oleh karena itu, kedua syarat tersebut dapat dikuatkan secara fakta melalui bukti-
bukti persidangan yang menjadi dasar pertimbangan majelis hakim dan sesuai
dengan pasal 107 UU Peradilan Tata Usaha Negara /PTUN, dalam pembuktian,
hakim dapat menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktiannya, serta
penilaian terhadap bukti-bukti tersebut. Untuk sahnya pembuktian diperlukan
sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan hakim. Berikut bukti-
bukti yang digunakan majelis hakim terkait dengan kedua syarat yang tertuang
dalam pasal 2 ayat 1 Undang – Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan:
Dalam pemeriksaan di sidang, dasar hukum mengenai alat pembuktian ada di
dalam pasal 1866 KUHPerdata, adapun macam - macam alat pembuktian yang
digunakan dalam sengketa ini, yaitu:
1. Bukti Tertulis:
1. Perjanjian Kerjasama tentang Penjualan Produk Telkomsel antara PT
Telekomunikasi Selular dan PT.Prima Jaya Informatika Nomor PKS
Telkomsel: PKS.591/LG.05/SL-01/VI/2011, Nomor: PKS Prima Jaya
Informatika: 031/PKS/PJI-TD/VI/2011, tanggal 01 Juni 2011, (bukti
PP-3), dimana telah disepakati PT. Prima Jaya Informatika telah
ditunjuk untuk mendistribusikan Kartu Prima Voucher Isi Ulang,
dimana dalam perjanjian tersebut berisi beberapa ketentuan atau pasal
yang dilanggar oleh Telkomsel, yaitu:
a. Berdasarkan Pasal 5.1 bahwa perjanjian tersebut berlaku
selama 2 (dua) tahun, mulai 11 Juni 2011 – 01 Juni 2013
(Telkomsel memutuskan kontrak kerja sama secara sepihak
pada bulan Juni 2012).
b. Berdasarkan Pasal 7.2 Telkomsel berkewajiban untuk
menyediakan Voucher Isi Ulang bertema khusus olah raga
dalam jumlah sedikit-dikitnya 120.000.000 (seratus dua puluh
juta) yang terdiri dari Voucher Isi Ulang Rp 25.000,00 (dua
puluh lima ribu Rupiah) dan voucher isi ulang Rp 50.000,00
(lima puluh ribu Rupiah) setiap tahun untuk dijual oleh PT.
Prima Jaya Informatika
2. Puchase Order No.PO/PJI-AK/VI/2012/00000027, tanggal 20 Juni
2012, (Bukti PP-4), berjumlah Rp2.595.000.000,- (dua milyar lima
ratus sembilan puluh lima juta rupiah), yang ditujukan kepada
Termohon Pailit.
3. Purchase Order No.PO/PJI-AK/VI/2012/00000028, tertanggal 21 Juni
2012, (bukti PP-5), berjumlah Rp. 3.025.000.000,00 (tiga milyar dua
puluh lima juta Rupiah).
4. Surat PT. Telkomsel tanggal 27 Maret 2012 No.0032/
MK.01/SL.06/III/2012, Perihal: Mekanisme Pengajuan dan
Pengambilan Alokasi, (Bukti PP-6).
5. Surat Peringatan yang pertama dan terakhir (somasi) yang disampaikan
PT Prima Jaya Informatika, pada tanggal 28 Juni 2012 Nomor:
022/P/KC/VI/2012, (bukti PP-9), untuk melaksanakan Perjanjian
Kerjasama tentang Penjualan Produk Telkomsel antara PT.
Telekomunikasi Selular dan PT. Prima Jaya Informatika.
6. Bahwa Termohon Pailit juga mempunyai utang kepada Kreditor lain
yaitu: kepada PT. EXTENT MEDIA INDONESIA, atas pelaksanaan
kerja sama layanan Mobile Data Content, untuk periode bulan Agustus
2011 dan bulan September 2011, sebagaimana bukti-bukti:
a. Invoice No. INV-TSEL.012/VI/2012 tanggal 01 Juni 2012,
(Bukti KL-1) sebesar Rp. 21.031.561.274,- (Dua puluh satu
milyar tiga puluh satu juta lima ratus enam puluh satu ribu dua
ratus tujuh puluh empat rupiah), yang telah jatuh tempo pada
tanggal 08 Juni 2012, dan;
b. Invoice No. INV-TSEL.013/VI/2012 tanggal 01 Juni 2012,
Rp19.294.652.520,00 (sembilan belas milyar dua ratus
sembilan puluh empat juta enam ratus lima puluh dua ribu lima
ratus dua puluh Rupiah), yang telah jatuh tempo pada tanggal
08 Juni 2012 (bukti KL-2);
c. Somasi tanggal 24 November 2011 (bukti KL-3), surat tanggal
9 April 2012, (bukti KL-4), surat tanggal 26 Mei 2012, (bukti
KL-5), surat tanggal 01 Juni 2012, (bukti KL-6), dan Somasi
Terakhir tertanggal 4 Juli 2012, Nomor :
031.1/LQQ/Extent/VII/2012, (bukti KL-7).
2. Bukti saksi
Kerugian yang diderita oleh PT Prima Jaya Informatika dikuatkan oleh
saksi dibawah sumpah yang bekerja sama dengan PT Prima Jaya
Informatika yang menyebutkan bahwa:
“Selain timbulnya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih sekitar
Rp5,3 miliar dan ancaman PHK karyawan, Prima Jaya mengalami
kerugian imateriil berupa rusaknya citra di hadapan konsumen dan
mitranya”. Pernyataan ini menguatkan bukti tertulis yang sudah diajukan
oleh PT Prima Jaya Informatika.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, Pengadilan Niaga pada Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat memberikan putusan mengabulkan permohonan pernyataan
pailit pemohon pailit PT Prima Jaya Informatika, untuk seluruhnya menyatakan
termohon pailit PT Telekomunikasi Seluler (Telkomsel) pailit dengan segala
akibat hukumnya.
Menimbang putusan tersebut termohon pailit (PT Telekomunikasi Seluler)
mengajukan eksepsi yang pada pokoknya atas dalil-dalil sebagai berikut:
1. Bahwa Termohon Pailit membantah dan menolak seluruh dalil yang
dikemukakan Pemohon pailit dalam Permohonan Pernyataan Pailitnya,
kecuali yang tegas-tegas diakui Termohon Pailit;
2. pengadilan niaga pada pengadilan negeri jakarta pusat tidak berwenang
memeriksa dan mengadili perkara a quo karena utang-utang yang menjadi
pangkal sengketa ini tidak dapat dibuktikan secara sederhana dan sesuai
pasal 24 dalam perjanjian kerjasama diatur bahwa apabila terjadi
perselisihan maka harus diselesaikan dengan musyawarah dan apabila
dalam jangka waktu 1 bulan para pihak tidak dapat menyelesaikan
perselisihan tersebut maka para pihak bersepakat untuk membawa
perselisihan tersebut ke pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan sesuai
dengan Pasal 116 HIR/RBg masalah ini masalah Perjanjian (perdata) yang
harus diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sebagaimana telah
disepakati dalam Perjanjian Kerjasama.
3. permohonan pernyataan pailit kabur (exceptio obscurum libelum);
4. pemohon pailit tidak memiliki alasan hak untuk mengajukan permohonan
pernyataan pailit karena tidak ada utang yang jatuh tempo (exeptio
onrechtmatige of ongegrond);
Atas permohonan tersebut Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat menjatuhkan putusan, yaitu putusan Nomor
48/PAILIT/2012/PN.NIAGA.JKT.PST yang menolak eksepsi PT Telekomunikasi
Seluler dan mengabulkan permohonan pernyataan pailit PT Prima Jaya
Informatika terhadap PT Telekomunikasi Seluler dan membebankan biaya perkara
sebesar Rp 416.000,00 (empat ratus enam belas ribu rupiah) kepada PT
Telekomunikasi Seluler.
Putusan Kasasi Mahkamah Agung
Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi PT Telekomunikasi
Seluler dan membatalkan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat Nomor: 48/PAILIT/2012/PN.NIAGA.JKT.PST. tanggal 14
September 2012.
Dalam putusannya Mahkamah Agung mempertimbangkan secara fakta
bukti-bukti yang ada dan menilai bahwa Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak memahami atau sangat keliru dalam
memahami hukum perikatan/perjanjian Indonesia.
Berikut adalah yang menjadi bahan pertimbangan Mahkamah Agung
dalam putusannya, yaitu:
1. Penolakan terhadap PO yang diajukan tanggal 20 Juni 2012 dan 21 Juni
2012 dengan Nomor PO/PJI-AK/VI/2012/00000027 dan
PO/PJI-AK/VI/2012/00000028.
Bahwa sebagaimana suatu perjanjian/perikatan yang sah berdasarkan Pasal
1338 KUH Perdata Jo. Pasal 1340 KUH Perdata bahwa semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya dan suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang
membuatnya.
Bukti Tertulis
Berdasarkan pasal 7.3 disepakati bahwa PT Telekomunikasi
Seluler terikat untuk menyediakan perdana kartu Prabayar
bertema khusus olah raga dalam jumlah sedikit-dikitnya
10.000.000 (sepuluh juta) kartu setiap tahun untuk dijual olehPT
Prima Jaya Informatika, yang memberikan pengertian bahwa
Termohon Kasasi mempunyai kewajiban untuk menjual sedikit-
dikitnya 10.000.000 (sepuluh juta) perdana kartu Prabayar
bertema khusus olah raga tersebut dalam setiap tahunnya, dalam
masa dua tahun perjanjian tersebut.
Dan pada kenyataannya sejak tanggal 01 Juni 2011 hingga 1 tahun
berikutnya PT Prima Jaya Informatika hanya mampu menjual
542.000 unit kartu perdana atau hanya 8% dari target penjualan
sebesar 6.732.415 unit kartu perdana
Keterangan Saksi
Fakta tersebut secara tegas sudah disampaikan oleh Saksi Fakta
dibawah sumpah yang diajukan oleh PT Telekomunikasi Seluler,
Herdin Hasibuan dan juga disampaikan oleh Saksi Fakta dibawah
sumpah yang diajukan oleh PT Prima Jaya Informatika, Rudi
Hartono Kurniawan.
2. Penghentian, pembatasan, atau pengurangan pasokan (evaluasi) yang
dilakukan oleh Telkomsel.
Bukti tertulis
Bahwa berdasarkan Pasal 6.4 dari Perjanjian Kerjasama secara
jelas diatur tentang hak Telkomsel untuk membatasi, mengurangi
atau memberhentikan pasokan dalam hal terjadinya wanprestasi
oleh pihak PT Prima Jaya Informatika, sebagai berikut: "Dalam hal
MITRA melakukan pelanggaran atau penyimpangan dari yang
telah disepakati terkait dengan Perjanjian Kerjasama ini,
TELKOMSEL dapat membatasi, mengurangi, atau memberhenti-
kan pasokan salah satu atau keseluruhan jenis Produk Telkomsel
yang dijual atau dipasarkan oleh Mitra".
3. Perbuatan wanprestasi PT Prima Jaya Informatika dalam memenuhi
kewajibannya untuk membangun suatu komunitas yang berbasis pengemar
olah raga (Komunitas Prima)
Bukti Tertulis
Pasal 8.4 dan Pasal 8.7 Perjanjian Kerjasama disepakati bahwa PT
Prima Jaya Informatika wajib untuk membangun Komunitas Prima
yang berbasis penggemar olah raga dengan jumlah anggota
sebanyak 10.000.000 dalam 1 tahun, akan tetapi sampai pada bulan
Juni 2012 PT Prima Jaya Informatika gagal mewujudkan hal
tersebut.
Bukti Saksi
Kewajiban PT Prima Jaya Informatika untuk membuat komunitas
yang berbasis pengemar olah raga yang berisikan 10.000.000 (10
juta) anggota secara jelas juga telah dinyatakan oleh saksi fakta di
bawah sumpah, Herdin Hasibuan, yang dikutip dalam halaman 33
dari putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga.
4. Tindakan wanprestasi yang dilakukan PT Prima Jaya Informatika yang
mengakibatkan kerugian pada Telkomsel akibat tidak dibayarnya PO
Nomor PO/PKIAK/V/2012/00000026 tanggal 9 Mei 2012 sebesar
Rp4.800.000.000 yang tidak dibayar dan sudah disetujui dan diproduksi
dan hingga saat ini masih ada di gudang Telkomsel
Bukti Tertulis
PT Prima Jaya Informatika tidak melakukan pembayaran pada hari
Seninnya seperti yang disepakati Mekanisme Pengajuan dan
Pengambilan Alokasi berdasarkan Surat No.
032/MK.01/SL.06/111/2012 tanggal 27 Maret 2012.
Bukti Saksi
Bahwa tindakan wanprestasi yang dilakukan PT Prima Jaya
Informatika yang tidak melakukan pembayaran atas PO tersebut
secara jelas juga telah dinyatakan oleh saksi fakta di bawah
sumpah, Herdin Hasibuan, yang dikutip dalam halaman 33 dari
putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga
5. Kekeliruan Majelis Hakim Niaga mengenai utang jatuh tempo dan dapat
ditagih.
sesuai ketentuan angka 2 dari surat No. 032/MK.01/SL.06/III/2012
tanggal 27 Maret 2012 tersebut dinyatakan bahwa setiap Purchase
Order (pemesanan) yang diajukan secara mingguan tersebut harus
terlebih dahulu mendapatkan persetujuan (approval) dari
Telkomsel. Dimana setelah mendapat persetujuan barulah
kemudian PT Prima Jasa Informatika dapat melakukan
pembayaran pada hari senin, paling lambat pukul 12.00 WIB.
Dan jelas seperti yang sudah diuraikan sebelumnya bahwa Puchase
Order No.PO/PJI-AK/VI/2012/00000027, tanggal 20 Juni 2012,
(Bukti PP-4), berjumlah Rp2.595.000.000,- (dua milyar lima ratus
sembilan puluh lima juta rupiah) dan Purchase Order No.PO/PJI-
AK/VI/2012/00000028, tertanggal 21 Juni 2012, (bukti PP-5),
berjumlah Rp. 3.025.000.000,00 (tiga milyar dua puluh lima juta
Rupiah) tidak disetujui oleh Telkomsel dan PT Prima Jaya
Informatika sendiri belum melakukan pembayaran atas kedua PO
tersebut sehingga dapat disimpulkan bahwa PT Prima Jaya
Informatika sama sekali tidak memiliki piutang terhadap
Telkomsel sehubungan dengan kedua PO tersebut.
Hal ini mengindikasikan bahwa Majelis Hakim ketidaktepatan
pemahaman Majelis Hakim terhadap pengertian pasal 1458 KUH
Perdata yang digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk
memenuhi persyaratan dari “jatuh tempo” dan “dapat ditagih”.
Bahwa Pasal 1458 KUH.Perdata mengatur sebagai berikut: "Jual
beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika
setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan
tersebut dan harganya, meskipun benda tersebut belum
diserahkan, maupun harganya belum dibayar". Tentunya Pasal
tersebut lahir dari pengertian jual beli yang diatur dalam Pasal
1457 KUH.Perdata yang menyatakan sebagai berikut: "Jual Beli
adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan
pihak yang lain untuk membayar harga yang telan dijanjikan".
6. Majelis Hakim Niaga tidak secara benar dan jujur dalam memahami dan
mengutip poin-poin penjelasan dari Ahli, Dr. Johanes Johansyah,SH.MH,
yang dalam halaman 60 pertimbangan hukumnya dinyatakan sebagai
berikut:
"Dan dengan dikuatkan keterangan Ahli pihak pemohon yaitu: Dr.
Johanes Djohansyah, SH.MH., yang berpendapat sesuai dengan
perjanjian Termohon Pailit telah sepakat untuk menyerahkan barang
berupa voucer kartu perdana dan voucer kepada Pemohon Pailit, dimana
harga dan jenis barangnya telah disepakati". Bahwa sesungguhnya Ahli
tersebut menyatakan "Bahwa perjanjian kerjasama selama 2 tahun jangka
waktunya dimana para pihak sepakat untuk mendistribusikan produk dari
salah satu pihak dalam perjanjian ini diatur secara tegas bahwa
pendistribusian itu tidak langsung, tetapi bertahap sesuai dengan
permintaan sesuai dengan evaluasi atau penilaian dari pihak lain diatur
juga ketentuan bahwa jika salah satu menyatakan pembeli melanggar
selama dalam melaksanakan perjanjian atau ketentuan-ketentuan yang
diatur dalam perjanjian karena pihak penjual mempunyai kewenangan
untuk membatasi, mengurangi atau bahkan memberhentikan, ketika si
pembeli mengajukan pesanan tetapi kemudian penjual menghentikan
pasokan itu dengan alasan penghentian sementara atau tindakan dari
penjualan itu yang tidak memberhentikan sementara permintaan dari
pembeli menurut ahli dia melakukan kewenangan dan memberikan
perjanjian atau tidak"
Dan bahwa dengan adanya bukti kuat penolakan PO yang diajukan oleh
PT Prima Jaya Informatika adalah disebabkan oleh tindakan wanprestasi yang
dilakukan PT Prima Jaya Informatika, maka pemeriksaan perkara ini tidak dapat
dilakukan secara sederhana seperti yang disyaratkan oleh pasal 8 ayat 4 Undang–
Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan oleh karenanya pemeriksaan
perkara ini bukanlah kewenangan dari Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat akan tetapi harus diperiksa dan diputuskan melalui Pengadilan
Negeri.
7. Tindakan pembuktian mengenai adanya kreditur lain.
Bahwa Majelis hakim “menimbang, bahwa walaupun bukti KL-1, KL 1-a,
KL-2, KL-3, KL-3, KL-7 tidak ada aslinya, tetapi oleh karena diakui
kebenarannya oleh Pemohon Pailit dan Termohon Pailit menyatakan telah
melakukan pembayaran terhadap tagihan kreditor lain tersebut, maka
pengakuan Termohon di persidangan merupakan alat bukti yang bersifat
sempurna dan bukti tersebut tetap dipertimbangkan ... "
Yang kemudian dibantah oleh Telkomsel, dengan alasan telah melakukan
pembayaran berdasarkan bukti T-9 sampai dengan bukti T-14 dan
menimbang bahwa keterangan Ahli termohon pailit (Telkomsel), yaitu Dr.
Gunawan Widjaja, SH,MH dan Keterangan Ahli Prof. Dr. Sutan Remy
Syahdeini L, SH,FCB.Arb. yang memberikan pendapat bahwa
“persyaratan untuk dinyatakan pailit harus ada 2 orang kreditor dan 1
utang yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, dan apabila selama
berlangsungnya kepailitan ada pembayaran dari debitor kepada salah
satu kreditor sebelum perkara diputus sehingga tinggal 1 kreditor saja,
maka permohonan Pernyataan Pailit sudah tidak terpenuhi maka
permohonan Pailit harus ditolak". Bukti tersebut tersebut merupakan
instruksi bayar yang diajukan oleh Telkomsel melalui Bank BCA dimana
terhadap instruksi bayar tersebut, BCA telah menerbitkan salinan yang
telah ditandatangani secara asli oleh pegawai BCA dan juga terdapat tanda
bukti transfer yang tercetak asli dalam salinan bukti pembayaran tersebut.
Sebagaimana yang tertuang dalam pasal 1888 KUH Perdata “Kekuatan
pembuktian dengan suatu tulisan terletak pada akta aslinya. Bila akta yang asli
ada, maka salinan serta kutipan hanyalah dapat dipercaya sepanjang salinan
serta kutipan itu sesuai dengan aslinya yang senantiasa dapat diperintahkan
untuk ditunjukkan.”, maka bukti yang diajukan PT Prima Jaya Informatika (KL-1,
KL 1-a, KL-2, KL-3, KL-3, KL-7) tidak bisa dijadikan dasar untuk menunjukkan
adanya kreditur lain.
Sangat terlihat kesan bahwa Majelis Hakim Pengadilan Niaga hanya
berupaya untuk memenuhi perwujudan dari dalil PT Prima Jaya Informatika
secara menyalahi hukum dan melanggar asas imparsialitas ataupun Asas Audi et
Alteram Partem. Berikut Bukti Persangkaan yang digunakan oleh Mahkamah
Agung dalam memutus sengketa antara Telkomsel dan PT Prima Jaya
Informatika:
1. Putusan Majelis Kasasi No. 852 K/Pdt.Sus/2010 dalam kasus pailit yang
diajukan oleh PT Pertamina Dana Ventura terhadap PT Eurocapital
Peregrine Securities.
2. Putusan Kasasi No. 14 K/N/2001 tertanggal 3 April 2001 dalam perkara
antara Teddy Thohir, Heru Sajito, Setiadhi Lukman, Joey H. Wihardja
melawan PT. Karabha Digdaya.
3. Putusan Kasasi No. 23 K/N/1999 tanggal 16 Agustus 1999 dalam perkara
antara PT. Waskita Karya melawan PT. Mustika Princess Hotel.
4. Putusan Mahkamah Agung No. 03 K/N/2000 tertanggal 20 Desember
1999 dalam Perkara antara Bernard Ibnu Hardjojo melawan Hashim
Djojohadikusumo.
5. Putusan Mahkamah Agung No. 07 K/N/2000 tertanggal 14 Maret 2000
dalam perkara antara PT Bank Inter Pacific Tbk, melawan PT Wenang
Permai Sentosa dan Haryanto Hadikosoemo.
6. Putusan Mahkamah Agung No. 18 K/N/2000 tertanggal 8 Juni 2000 dalam
Perkara antara BPPN melawan PT. Sumi Asih.
7. Putusan No. 834 K/Pdt.Sus/2009 tertanggal 15 Desember 2009 antara PT.
Cipta Televisi Pendidikan Indonesia melawan PT. Media Nusantara Citra,
Tbk, dkk melawan Crown Capital Global Limited.
8. Putusan Mahkamah Agung No 8 K/N/2004 tertanggal 7 Juni 2004 dalam
perkara antara PT. Prudential Life Assurance melawan Tuan Lee Boon
Siong.
Terakhir pemohon kasasi adalah perusahaan telekomunikasi yang sangat
sehat dan dikelola dengan sangat balk yang terus menghasilkan keuntungan,
dimana berdasarkan laporan keuangan tahun 2011 yang telah diaudit dan
membukukan keuntungan sebesar rp.12.823.670.058.017,00 (dua belas triliun
delapan ratus dua puluh tiga miliar enam ratus tujuh puluh juta lima puluh delapan
ribu tujuh belas Rupiah). Dan bila dibandingkan dengan nilai "yang disebut oleh
Termohon Kasasi sebagai piutang" sebesar Rp.5.260.000.000,- dengan nilai aset
Pemohon Kasasi pada tahun 2011 yang sangat besar dan menghasilkan
keuntungan puluhan triliun Rupiah setiap tahunnya, seharusnya Majelis Hakim
Pengadilan Niaga secara hati-hati memeriksa dan memutuskan perkara ini,
dimana putusan yang tidak didasarkan kebenaran dan keadilan yang telah
dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Jakarta Pusat
tersebut telah menimbulkan konsekuensi kerugian yang sangat besar bagi
Telkomsel dan menimbulkan konsekuensi kerugian yang sangat besar dalam
pembangunan keamanan dan kepastian berinvestasi di indonesia, apalagi 35% dari
kepemilikan saham Pemohon Kasasi adalah investor asing, Singapore Telecom
Pte. Ltd.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut pendapat Mahkamah
Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi PT
Telekomunikasi Seluler dan membatalkan putusan Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 48/PAILIT/2012/ PN.NIAGA.JKT.PST.
Dari kasus diatas, para pelaku usaha harus berhati-hati terhadap segala
bentuk klausul yang tertuang didalam perjanjian yang mereka sepakati. Karena
sesuai dengan pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata menyebutkan bahwa setiap
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang – undang bagi mereka
yang membuatnya. Dimana PT Prima Jaya Informatika dalam kasus ini tidak
memahami secara jelas poin – poin perjanjian dengan benar sehingga salah
bertindak. Sehingga setiap bukti yang disajikan tidak dapat membantu PT Prima
Jaya Informatika dalam memenangkan sengketa yang di adili oleh Mahkamah
Agung.
Dan dalam kasus diatas membuktikan bahwa setiap bukti yang diajukan
oleh penggugat dan tergugat harus dapat diteliti dengan benar dan tepat sehingga
tidak menimbulkan ketidak tepatan putusan ataupun ketidak tepatan penafsiran
dari masing-masing pihak, baik dari pihak penggugat, tergugat, dan para hakim itu
sendiri. Sehingga apa yang disampaikan dalam pembuktian bisa menguatkan
masing – masing pihak, bukannya melemahkan. Karena tujuan dari pembuktian
itu sendiri adalah untuk meneguhkan bahwa seseorang mempunyai hak atau
membuktikan bahwa kejadian itu benar terjadi sesuai dengan pasal 1865 KUHP
tentang bukti dan daluwarsa yang berbunyi “ Setiap orang yang mengaku
mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya
itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak
itu atau kejadian yang dikemukakan itu.”.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Semakin meningkatnya kerjasama bisnis, menyebabkan semakin tinggi pula
tingkat sengketa diantara para pihak yang terlibat didalamnya. Sengketa muncul
dikarenakan berbagai sebab dan alasan yang melatarbelakanginya, terutama
karena adanya conflict of interest di antara para pihak. Penyelesaian sengketa
dapat dilakukan dengan dua cara, yeitu melalui pengadilan dan di luar pengadilan.
Ruang lingkup pemeriksaannya yang lebih luas (karena sistem peradilan di
Indonesia terbagi menjadi beberapa bagian yaitu peradilan umum, peradilan
agama, peradilan militer dan peradilan Tata Usaha Negara sehingga hampir semua
jenis sengketa dapat diperiksa melalui jalur ini).
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan muncul dengan mempertimbangkan
faktor-faktor yang berkembang dan tumbuh dimasyarakat. Selain prosedurnya
lebih simple/luwes, biaya yang dikeluarkan pun tidak terlalu besar, serta proses
peradilan lebih cepat. Selain itu penyelesaian sengketa di luar pengadilan banyak
ditentukan faktor yang berhubungan dengan kondisi mayarakat. Keputusan yang
dibuat pun tak hanya untuk menguntungkan sebelah pihak, namun juga dapat
memutuskan win win solution.
Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum oleh pihak
berperkara kepada Hakim dalam persidangan dengan tujuan untuk memperkuat
kebenaran dalil tentang fakta hukum yang menjadi pokok sengketa, sehingga
Hakim memperoleh kepastian untuk dijadikan dasar putusannya. Tujuan
pembuktian adalah memberikan kepastian kepada Hakim tentang kebenaran fakta
hukum yang menjadi pokok sengketa.
Pada Kasus Telkomsel dan PT Prima Jaya Informatika dapat disimpulkan bahwa
penelitian dan penyidikan lebih lanjut mengenai bukti-bukti yang disajikan akan
memiliki dampak yang signifikan terhadap putusan yang diambil oleh Majelis
Hakim dan Mahkamah Agung. Dimana Majelis Hakim dinilai terburu-buru dan
teledor dalam penyelidikan dan penafsiran bukti-bukti sehingga menghasilkan
putusan yang tidak tepat dan dapat mengancam perusahaan potensial dan
keamanan serta pembangunan aktivitas investasi yang ada di Indonesia.
Saran
Berdasarkan kasus tersebut, diharapkan pelaku usaha berhati-hati terhadap
perjanjian/perikatan yang telah disetujui oleh kedua belah pihak dan pelaku usaha
bisa memahami setiap klausul yang tertuang dalam perjanjian sehingga tidak
menimbulkan ketidaknyamanan bagi kedua belah pihak dimasa yang akan datang.
Dan kedua belah pihak harus menunjukkan itikad baiknya tidak hanya dalam
perjanjian tetapi juga dalam pemenuhan hak dan kewajiban kedua belah pihak.