PENYELESAIAN PERKARA PIDANA MELALUIlib.unnes.ac.id/36073/1/8111413155_Optimized.pdf · 2020. 5....
Transcript of PENYELESAIAN PERKARA PIDANA MELALUIlib.unnes.ac.id/36073/1/8111413155_Optimized.pdf · 2020. 5....
PENYELESAIAN PERKARA PIDANA MELALUI
RESTORATIVE JUSTICE TERHADAP TINDAK
PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH MANULA
(STUDI NORMATIF DAN SOSIOLOGIS)
SKRIPSI
Disusun untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum
oleh
Wahyu Nur Dwi Wijayanto
8111413155
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2019
ii
PENGESAHAN
Skripsi dengan judul “Penyelesaian Perkara Pidana Melalui Restorative Justice
Terhadap Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Manula (Studi Normatif &
Sosiologis)”, disusun oleh Wahyu Nur Dwi Wijayanto (NIM. 8111413155)), telah
dipertahankan di hadapan Sidang Ujian Skripsi Fakultas Hukum Universitas
Negeri Semarang, pada:
Hari :
Tanggal :
Penguji Utama,
Rasdi, S.Pd., M.H.
NIP. 196406121989021003
Penguji I Penguji II
Anis Widyawati, S.H., M.H. Muhammad Azil Maskur, S.H., M.H.
NIP. 197906022008012021 NIP. 198504272014041001
Mengetahui,
Dekan Fakultas Hukum UNNES
Dr. Rodiyah, S.Pd., S.H., M.Si.
NIP.197206192000032001
iii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Saya yang bertandatangan di bawah ini:
Nama : Wahyu Nur Dwi Wijayanto
NIM : 8111413155
menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Penyelesaian Perkara Pidana Melalui
Restorative Justice Terhadap Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Manula (Studi
Normatif & Sosiologis)”, adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik
yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar. Apabila
dikemudian hari diketahui adanya plagiasi maka saya siap
mempertanggungjawabkan secara hukum.
Semarang, 26 April 2019
Yang Menyatakan,
Wahyu Nur Dwi Wijayanto
NIM. 8111413155
iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS
AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Negeri Semarang, saya yang bertanda
tangan di bawah ini:
Nama : Wahyu Nur Dwi Wijayanto
NIM : 8111413155
Program Studi : Ilmu Hukum (S1)
Fakultas : Hukum
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Negeri Semarang Hak Bebas Royalti Non-eksklusif (Non-exclusive
Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul “Analisis Yuridis Pidana
Kurungan sebagai Pidana Pengganti Denda di dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang” beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Non-eksklusif ini Universitas Negeri Semarang berhak menyimpan, mengalih
mediakan/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan
nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Semarang
Pada tanggal : 26 April 2019
Yang menyatakan,
Wahyu Nur Dwi Wijayanto
NIM. 8111413155
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
Jadikan Setiap Tempat Sebagai Sekolah dan Jadikan Setiap Orang Sebagai Guru
(Ki Hajar Dewantara)
Kebahagiaan itu bergantung pada dirimu sendiri.
(Aristoteles)
Setiap orang memiliki jalan kesuksesan masing-masing.
(Penulis)
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan untuk:
1. Orang tuaku tercinta Tuinah dan Untung
Sugiarso, kakak tercinta Tunas Adi Susanto,
adik tercinta Rona Mutiara Amalia dan nenek
tercinta Ropiah.
2. Seluruh sahabat yang selalu memberi dukungan.
3. Almamater UNNES dan Fakultas Hukum
Universitas Negeri Semarang.
vi
PRAKATA
Puji syukur peneliti ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat, karunia dan hidayah-Nya kepada peneliti sehingga skripsi yang berjudul
“Penyelesaian Perkara Pidana Melalui Restorative Justice Terhadap Tindak
Pidana Yang Dilakukan Oleh Manula (Studi Normatif & Sosiologis)” dapat
terselesaikan. Penyelesaian skripsi ini bertujuan untuk melengkapi persyaratan
memperoleh gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang.
Penyelesaian penelitian dengan tersusunnya skripsi ini atas bantuan dari berbagai
pihak, sehingga dengan rendah hati penulis sampaikan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Fathur Rokhman, M.Hum. Rektor Universitas Negeri Semarang.
2. Dr. Rodiyah, S.Pd., S.H., M.Si. Dekan Fakultas Hukum Universitas
Negeri Semarang.
3. Rasdi, S.Pd., M.H., sebagai penguji utama, Anis Widyawati, S.H., M.H.
sebagai penguji I, dan Muhammad Azil Maskur, S.H., M.H. sebagai
Penguji II sekaligus dosen pembimbing yang telah memberikan saran dan
kritik yang membangun sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
4. Puguh Budi Utomo, S.H. selaku penyidik di Kepolisian Resor Kota Besar
Semarang, Dadang Suryawan, S.H. selaku Jaksa Fungsional pada Seksi
Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Kota Semarang, Dr. Eddy
Parulian Siregar, S.H., M.H., Hakim Pengadilan Negeri Semarang, Dr. Ali
Imron, S.H., M.Ag, dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Walisongo Semarang, dan Abdul Azis, S.Psi., M.Psi. selaku dosen
psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang yang
telah meluangkan waktunya untuk memberikan ilmu dan pengalamannya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini.
5. Keluarga besar UNIT PERADILAN SEMU, Alumni dan senior Mas
Romy Gumilar, Bang Agustin Lamatsi Hutabarat, Mas Denny
vii
Ardiyansyah, Bang Salomo Tarigan, Bang Adi, Bang Bolmer, Bang Jube,
Ka Tiara, Bang Rudi, Mas Rizki, Bang Rendy Andhika, Bang Dimas Estu,
Bang Sigit, Kak Aya, Bang Pandu, Bang Husen Alfarisy, Bang
Muhammad Hafidz Habibie, kak Nur Zahara Fardani, kak Hafizha, kak
Chika Marsha, Kak Fitria Khorunnisa, Bang Sofyan Anshori Rambe, Bang
Dimas Bayu M, kak Laili, Bang Artan, dan Bang Adiyansyah.
6. Sahabatku tercinta angkatan 2013 UNIT PERADILAN SEMU, Revie
Rachmansyah Pratama, Riadi Prabowo, Alldian Dwi Juliansyah, Martin
Adil Riko Harefa, Sultan Fauzan Hanif, Bayu Aji, Wahyu Nur Dwi
Wijayanto, Angga Putra Mahardika, Desy Wulandari, Eka Fatmawati,
Naila Zulfaa, Maftuhah, Elza Devi F.S, Ana Guna Maryana, dan Gianefi
Safitri.
7. Adik-adikku tersayang angkatan 2014 UNIT PERADILAN SEMU, Agam
Barep S, Stella Pangestu, Suparjo, Ridwan Tri Handoko, Idhar Dhani,
Nasiyatul Laili, Selexta Apriliani, Nina Ayu, Sucitra Indah Sari, Dyah Ayu
Adiningtyas, Andryane Balkis Raysa, Diani Juliani, Akbar Maruf, dan
Van Basten.
8. Adik-adikku tersayang angkatan 2015 UNIT PERADILAN SEMU,
Muhammad Bahtiyar, Arif Budiman, Sofyan, Abed Nego, Ahmad Nizar,
Tiara Listyani Putri, Rena Budiarti, Umi Farida, Winda Saputri, Ana
Wahyu Hassan, Lina Wahyu, Eka Candra, Listiana Citra, Putri Ratnasari,
Sidma Mun Sesri, Lulu Laila, Afada Hauna, Anisa Ribut, Anandya, dan
Fadli Rabbi.
9. Semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat peneliti sebutkan satu
persatu.
Semoga semua pihak mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah
SWT. Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, saran dan kritik yang membangun dari semua pihak sangat
viii
diharapkan guna penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi pembaca.
Semarang, 26 April 2019
Penulis
ix
ABSTRAK
Wijayanto, Wahyu Nur Dwi. 2019. Penyelesaian Perkara Pidana Melalui
Restorative Justice Terhadap Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Manula (Studi
Normatif & Sosiologis). Skripsi, Bagian Hukum Pidana, Fakultas Hukum,
Universitas Negeri Semarang. Pembimbing: Muhammad Azil Maskur, S.H., M.H.
Kata Kunci: penyelesaian perkara pidana, manula, restorative justice.
Melihat kondisi manula yang mengalami penurunan dibeberapa aspek,
kiranya perlu pemberlakuan yang berbeda dari aparat penegak hukum dalam
menangani perkara pidana yang dilakukan oleh manula. Sangat disayangkan
apabila seorang lansia yang terjerat suatu tindak pidana harus menjalani suatu
proses hukum yang memakan waktu cukup lama sebagaimana diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan akhirnya pada proses pengadialan
divonis terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan suatu tindak pidana.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah 1) Bagaimanakah praktek penyelesaian
perkara pidana terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh manula? 2)
Bagaimanakah kebijakan penyelesaian perkara pidana melalui restorative justice
terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh manula?
Penelitian skripsi ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode
normartif-sosiologis. Data yang digunakan berasala dari data primer dan sekunder.
Teknik pengambilan data menggunakan metode wawancara dan studi
kepustakaan. Validitas data dilakukan dengan teknik triangulasi data, dengan
menggunakan sumber, metode dan teori. Analisis data lebih menekankan pada
bahan hukum sekunder.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan praktek penyelesaian
perkara pidana terhadap tersangka/terdakwa manula diselesaikan dengan
mekanisme sebagaimana diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP). Artinya manula di sini dipersamakan perlakuannya dengan
orang dewasa lain yang belum memasuki usia lanjut. Proses semacam ini penulis
temukan pada instansi Kejaksaan Negeri Kota Semarang dan Pengadilan Negeri
Semarang. Namun lain halnya di Poltertabes Kota Semarang, penulis menemukan
proses penyelesaian perkara pidana terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh
manula dengan cara restorative justice. Kebijakan penyelesaian perkara pidana
melalui restorative justice terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh manula
belum diatur dalam KUHAP sekarang ini. Padahal jika melihat kondisi manula
yang mengalami penurunan baik dari aspek fisik, psikologi, dan sosial sangat
disayangkan apabila manula yang terjerat hukum diproses dengan menggunakan
mekanisme sebagaimana diatur KUHAP. Maka dari itu, perlu kiranya KUHAP
yang akan datang mengakomodir penyelesaian semacam itu beserta
mekanismenya.
Simpulan dalam penelitian ini adalah praktek penyelesaian perkara pidana
terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh manula pada instansi Polrestabes
Semarang di lakukan restorative justice. Sedangkan pada Kejaksaan Negeri Kota
x
Semarang dan Pengadilan Negeri Semarang dilakukan melalui mekanisme
KUHAP. Dewasa ini, formulasi kebijakan penyelesaian perkara pidana melalui
restorative justice untuk manula belum diatur. Maka dari itu, perlu kiranya
KUHAP yang akan datang mengakomodir penyelesaian semacam itu beserta
mekanismenya.
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i
PENGESAHAN KELULUSAN ............................................................................ ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................ iii
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK
KEPENTINGAN AKADEMIS ............................................................................ iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ........................................................................ vi
PRAKATA ............................................................................................................. vi
ABSTRAK ............................................................................................................. ix
DAFTAR ISI .......................................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2. Identifikasi Masalah ............................................................................... 11
1.3. Pembatasan Masalah .............................................................................. 11
1.4. Rumusan Masalah .................................................................................. 12
1.5. Tujuan Penelitian ................................................................................... 12
1.6. Manfaat Penelitian ................................................................................. 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 14
2.1. Penelitian Terdahulu ........................................................................... 14
xii
2.2. Landasan Teori .................................................................................... 17
2.2.1. Sistem Peradilan Pidana .............................................................. 17
2.2.2. Teori Sistem Pemidanaan ............................................................ 27
2.3. Landasan Konseptual .......................................................................... 33
2.3.1. Restorative Justice ....................................................................... 33
2.3.2. Hukum Pidana .............................................................................. 37
2.4. Kerangka Berfikir ............................................................................... 39
BAB III METODE PENELITIAN ..................................................................... 42
3.1. Pendekatan Penelitian ......................................................................... 42
3.2. Jenis Penelitian .................................................................................... 43
3.3. Fokus Penelitian ................................................................................... 44
3.4. Lokasi Penelitian ................................................................................... 45
3.5. Data dan Sumber Data ........................................................................ 45
3.5.1 Data Primer ................................................................................... 46
3.5.2 Data Sekunder .............................................................................. 47
3.6. Teknik Pengambilan Data .................................................................. 48
3.7. Validitas Data ....................................................................................... 50
3.8 Analisis Data ......................................................................................... 51
xiii
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .................................... 52
4.1 Praktek Penyelesaian Perkara Pidana terhadap Tindak Pidana yang
Dilakukan oleh Manula ......................................................................... 52
4.4.1. Praktek Penyelesaian Perkara Pidana terhadap Tindak Pidana
yang Dilakukan oleh Manula di Polrestabes Semarang ............ 55
4.4.2 Praktek Penyelesaian Perkara Pidana terhadap Tindak Pidana
yang Dilakukan oleh Manula di Kejaksaan Negeri Kota
Semarang ................................................................................... 60
4.4.3. Praktek Penyelesaian Perkara Pidana terhadap Tindak Pidana
yang Dilakukan oleh Manula di Pengadilan Negeri Semarang . 63
4.2 Formulasi Kebijakan Dalam Penyelesaian Perkara Pidana Melalui
Restorative Justice Terhadap Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh
Manula .................................................................................................... 66
4.2.1. Urgensi Penyelesaian Perkara Pidana Melalui Restorative
Justice Terhadap Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Manula 66
4.2.2. Penyelesaian Perkara Pidana Melalui Restorative Justice
Terhadap Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Manula Saat Ini 73
4.2.3. Penyelesaian Perkara Pidana Melalui Restorative Justice
Terhadap Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Manula Di Masa
Yang Akan Datang .................................................................... 75
xiv
BAB V PENUTUP ................................................................................................ 98
5.1 Simpulan ................................................................................................. 98
5.2 Saran ....................................................................................................... 99
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 100
LAMPIRAN ........................................................................................................ 104
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perbuatan pidana merupakan perbuatan yang dilarang oleh suatu
aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana
tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Dapat juga
dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan
hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa
larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian
yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya
ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu (Moeljatno,
2008:59).
Pada kehidupan di masyarakat, perbuatan pidana atau tindak
pidana tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa saja, melainkan anak pun
juga melakukannya dan bahkan manusia lanjut usia (manula) pun ikut
menjadi subjek dalam suatu tindak pidana. Menurut Pasal 1 Ayat (2)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia
disebutkan bahwa lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60
(enam puluh) tahun keatas. Merdekawati (2008:12-14), dengan memasuki
usia lanjut, pastilah terjadi suatu beberapa perubahan terhadap kemampuan
fisik, psikologis, dan sosial yang tidak lagi sebaik dengan yang dialami pada
masa sebelum lansia. Beberapa dampak penurunan yang dialami seseorang
ketika memasuki usia lanjut yaitu sebagai berikut;
2
1) Penurunan kondisi fisik
2) Penurunan fungsi kognitif dan psikomotorik
3) Perubahan dalam peran sosial masyarakat
4) Dementia atau penurunan daya ingat dan daya pikir.
Selain dampak tersebut, menurut Salamah (2005:2), kondisi psikhis
lansia ditandai dengan adanya ciri-ciri emosional yaitu mudah marah dan
tersinggung, regresi yaitu tingkah laku kembali seperti anak kecil, ilusi yaitu
salah tangkap terhadap obyek apapun, delusi yaitu anggapan bahwa segala
disekitarnya jelek, dimensia yaitu pikun atau mudah lupa, dan neurasthenia
yaitu merasa letih, lelah, sensitif terhadap cahaya dan suara. Kondisi psikhis
lansia selalu mempunyai keinginan untuk dihargai, diperhatikan, ditemani,
dirawat, dilayani oleh keluarganya.
Melihat kondisi manula sebagaimana disebutkan di atas, kiranya
perlu pemberlakuan yang berbeda dari aparat penegak hukum dalam
menangani perkara pidana yang dilakukan oleh manula. Sangat disayangkan
apabila seorang lansia dengan kondisi sebagaimana disebutkan di atas yang
terjerat suatu tindak pidana harus menjalani suatu proses hukum yang
memakan waktu cukup lama dan akhirnya pada proses pengadialan divonis
terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan suatu tindak pidana. Sebagai
contoh adalah kasus nenek Asyani (63 tahun). Bahwa nenek Asyani
didakwa mencuri dua batang pohon jati milik perhutani untuk dibuat tempat
tidur. Pada saat palu hakim diketuk, nenek Asyani langsung
mengungkapkan amarahnya dan tak terima dengan vonis bersalah oleh
hakim. Nenek Asyani divonis 1 tahun penjara dengan masa percobaan 1
3
tahun 3 bulan dan denda Rp 500 juta subsider 1 hari hukuman percobaan
(Liputan6, 2015, https://www.liputan6.com/news/read/2219231/nenek-
asyani-terdakwa-pencuri-kayu-divonis-1-tahun-penjara, 23 Mei 2018).
Kasus nenek Asyani ini mencerminkan bahwa benar adanya anggapan
bahwa hukum tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Orang miskin dan
lansia dengan mudah menjadi sasaran hukum yang kaku dan kejam, namun
sebaliknya hukum tak berkuasa ketika menghadapi orang yang memiliki
kekuasaan sehingga disegani oleh masyarakat.
Dengan vonis yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim di atas, artinya
nenek Asyani sebelumnya telah melewati serangkaian proses hukum acara
dalam KUHAP yaitu mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan,
hingga persidangan, bahkan pelaksanaan putusan. Penyelesaian perkara
tersebut tidaklah efektif jika dikaitkan dengan kondisi fisik manula
sebagaimana dijabarkan sebelumnya.
Penegakan hukum yang diterapkan pada kasus yang melibatkan
manula di atas merupakan salah satu bentuk law enforcement (penegakan
hukum) yang kaku dan hanya mengutamakan asas kepastian hukum semata.
Mazkur (2016:9), pihak kepolisian yang merupakan pintu gerbang pertama
dalam penindakan terhadap perlakuan warga negara yang diduga melakukan
tindak pidana dalam arti memenuhi rumusan pidana akan serta merta
menjalankan tugasnya sebagai lembaga penyidikan. Cara pandang
demikianlah dirasa terlalu strict dalam memaknai suatu aturan hukum.
Selama ini, hukum hanya dipahami sebagai aturan-aturan yang
bersifat kaku dan terlalu menekankan pada aspek the legal system tanpa
4
melihat kaitan antara ilmu hukum tersebut dengan persoalan-persoalan yang
harus ditangani (Henry, 2010:115). Hukum yang kaku atau tidak fleksibel
akan menimbulkan kompleksitas dan aneka konflik dalam kehidupan sosial,
sehingga diperlukan konsepsi hukum yang dapat diterima masyarakat
(akseptable) dan yang sesuai dengan sifat karakteristik dan pola kehidupan
masyarakat (adaptable). Agar hukum nasional Indonesia menjadi hukum
yang akseptable dan adaptable maka harus ditempuh upaya untuk menggali
nilai-nilai yang hidup dan diyakini oleh masyarakat sebagai sebuah nilai
luhur (Ali Imron, 2008:123). Kondisi penegakan hukum yang tidak fleksibel
diperparah dengan pengetahuan dari masyarakat sendiri tentang bagaimana
menyelesaikan perkara pidana yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Persepsi masyarakat Indonesia tentang prosedur penanganan dan hukuman
bagi prosedur penanganan dan hukuman bagi para pelaku kejahatan atau
para pelanggar hukum dalam beberapa tahun terakhir ini terlanjur legal,
formal, dan prosedural. Cara pandang demikianlah yang kurang tepat dan
menjadikan masyarakat memiliki sifat pendendam, masyarakat penghakim
“punitive” society terhadap tindak pidana yang terjadi di sekitarnya (Atalim,
2013:141).
Bahwa perlu kiranya para penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim,
dan advokat selaku legal structure mengerti konsep yang efektif dalam
menangani perkara pidana yang dilakukan oleh manula yang notabene
masuk ke dalam kategori tindak pidana ringan (tipiring).
Usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi
kejahatan (politik kriminal) sudah barang tentu tidak hanya menggunakan
5
sarana “penal” (hukum pidana), tetapi dapat juga dengan menggunakan
sarana-sarana yang non-penal (Muladi & Arief, 2005:159). Ketika
menangani suatu perkara pidana, tidak serta merta menggunakan jalur
litigasi. Adapun cara lain (non-litigasi) yang diharapkan mampu
memberikan penyelesaian yang efektif jika terjadi suatu perkara pidana,
terkhusus perkara pidana yang identik dengan kasus-kasus yang dipandang
terlalu kecil atau dikenal dengan istilah insignificance principle dan
irrelevance principle. Salam (2013:73), Insignificance principle artinya
tindak pidana yang dilakukan tidak memiliki nilai dan hasil yang
insignifikan. Sedangkan irrelevance principle tidak hanya
mempertimbangkan perbuatan yang tidak berbahaya, namun juga
mempertimbangkan kualitas kesalahan dari pelaku. Dengan melihat kedua
prinsip tersebut, akan lebih efektif bila kasus sebagaimana dialami oleh
nenek Asyani diselesaikan secara kekeluargaan dengan melihat bobot tindak
pidana serta kondisi fisiknya yang sudah tidak muda lagi.
Konsep restorative justice di Indonesia sendiri sebenarnya sudah ada
sejak zaman dahulu. Jauh sebelum lahirnya PBB, di Indonesia telah
mengenal upaya penyelesaian suatu sengketa baik perdata maupun pidana
dengan mempergunakan upaya penyelesaian dengan pendekatan
musyawarah, yang mana merupakan nilai terpenting dalam restorative
justice (Iswara, 2013:33).
Berbicara mengenai legalitas penerapan restorative justice di
Indonesia, konsep ini bisa kita jumpai dalam Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Selain itu,
6
terdapat pula Nota Kesepakatan Bersama Ketua Mahkamah Agung
Republik Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, dan Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan
Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat, Serta
Penerapan Keadilan Keadilan Restoratif Nomor 131/KMA/SKB/X/2012,
M.HH-07.HM.03.02, KEP-06/E/EJP/10/2012, B/39/X/2012 Tahun 2012.
Nota Kesepakatan Bersama ini merupakan suatu pelaksanaan Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 (Perma Nomor
2 Tahun 2012) tentang Penyesuaian Batasan Tindak Ringan dan Jumlah
Denda dalam KUHP ke seluruh aparat penegak hukum.
Dengan melihat Perma di atas, tindak pidana yang dilakukan oleh
nenek Asyani sebenernya masuk ke dalam kategori tindak pidana ringan
dikarenakan nilai dari tindak pidananya di bawah Rp. 2.500.000,-. Oleh
karena itu, seharusnya kasus nenek Asyani bisa diselesaikan melalui
restorative justice. Tetapi sebaliknya, para aparat penegak hukum justru
memilih jalur litigasi untuk menyelesaikannya. Sangat ironi apabila secara
legal substance, konsep keadilan restoratif sebenarnya sudah disepakati oleh
para aparat penegak hukum namun kenyataannya tidak diterapkan secara
optimal. Kiranya perlu untuk mempertegas pemberlakuannya, diadakan
suatu pembaharuan dalam hukum pidana untuk mengakomodir konsep
keadilan restoratif ke dalam suatu undang-undang dengan memasukannya
ke dalam RUUKHAP.
7
Berdasarkan Pasal 1 Angka 2 Nota Kesepakatan Bersama Ketua
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, dan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia tentang Pelaksanaan Penerapan
Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara
Pemeriksaan Cepat, Serta Penerapan Keadilan Keadilan Restoratif Nomor
131/KMA/SKB/X/2012, M.HH-07.HM.03.02, KEP-06/E/EJP/10/2012,
B/39/X/2012 Tahun 2012, Keadilan Restoratif (Restorative Justice) adalah
penyelesaian perkara tindak pidana ringan yang dilakukan oleh penyidik
pada tahap penyidikan atau hakim sejak awal persidangan dengan
melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan tokoh masyarakat
terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan
menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula.
Pengertian di atas hampir sama dengan pendapat Johnstone dan Van
Ness sebagaimana dikutip oleh Shen (2016:78) yang menyatakan bahwa
restorative justice diidentifikasikan ke dalam tiga konsep:
The first is the encounter conception, emphasizing stakeholder
meetings outside formal, professional‐dominated settings, the rights of
stakeholders, and the benefits to them of discussing the crime, its
causes and its aftermath. The second is the reparative conception,
emphasizing repairing the harm caused or revealed by a crime. The
third is the transformation conception, which defined restorative
justice as a way of life that emphasizes equal and wholesome
relationship with other beings and the environment.
dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa Johnstone dan Van Ness
memberikan tiga konsepsi utama yang terdapat dalam pengertian restorative
justice. Pertama, mempertemukan para pihak yang berkepentingan di luar
8
pengaturan formal hukum acara untuk mendiskusikan terkait tindak pidana
yang terjadi termasuk penyebab dan akibatnya. Kedua adalah konsepsi
reparatif, yaitu memperbaiki kerusakan yang telah terjadi akibat adanya
tindak pidana. Ketiga adalah transformasi, yang mendefinikasikan keadilan
restoratif sebagai cara untuk mewujudkan hubungan yang baik dan sehat
dengan makhluk hidup lain dan lingkungannya.
Konsep restorative justice merupakan konsep dalam perspektif dan
pencapaian keadilan kepada perbaikan maupun pemulihan keadaan setelah
peristiwa, berbeda dengan konsep retributif yang lebih berorientasi kepada
pembalasan. Penyelesaian perkara melalui restosrative justice juga dikenal
sebagai alternatif atau cara lain peradilan kriminal dengan mengedepankan
pendekatan intergasi pelaku satu sisi dan korban/masyarakat di lain sisi
sebagai satu kesatuan untuk mencari solusi serta kembali pada pola
hubungan baik dalam masyarakat. Eksistensi proses restorative justice
sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana sangat ditentukan oleh
kesadaran dan pengetahuan masyarakat itu sendiri, termasuk aparat penegak
hukumnya. Pemahaman peradilan yang hanya mengedepankan penerapan
aturan, membuktikan kesalahan pelaku dan lalu menghukumnya, tidak akan
bisa menerima konsep ini (Prayitno, 2012:409-413). Pendekatan restorative
justice juga dipandang sebagai salah satu jawaban untuk mencairkan
“kebekuan” penerapan hukum legalistik-positivistik (Umar, 2015:6).
Sistem pemidanaan dengan mengedepankan pembalasan (retribution)
kepada pelaku pembuat tindak pidana merupakan aliran yang klasik dalam
hukum pidana. Pemberian pidana semacam itu hanya berorientasi kepada
9
pelaku tindak pidana dengan tujuan menimbulkan efek jera sehingga pelaku
tindak pidana tidak melakukan tindak pidana lagi setelah menjalankan
pidananya. Cara pandang tentang sistem pemidanaan sebagaimana
dijabarkan di atas merupakan cara pandang yang bertolak pada teori absolut
yang lahir pada aliran klasik. Teori absolut atau teori pembalasan yang
menjadi dasar pijakan aliran klasik terdiri atas pembalasan subjektif dan
pembalasan objektif. Pembalasan subjektif adalah pembalasan kesalahan,
pembalasan terhadap pelaku yang tercela, sedangkan pembalasan objektif
adalah pembalasan terhadap perbuatan, perbuatan apa yang telah dilakukan
oleh pelaku (Hiariej, 2014:31). Dewasa ini, penyelesaian perkara dengan
menggunakan perspektif bahwa pidana dijadikan sebagai suatu pembalasan
adalah suatu hal keliru apalagi dalam menyelesaikan perkara pidana yang
menyangkut nenek Asyani sebagai subjek dalam suatu tindak pidana. Ada
pun hal lain yang lebih penting dan harus diperhatikan adalah bagaimana
mengembalikan kerusakan yang terjadi di masyarakat akibat terjadinya
suatu tindak pidana dengan melibatkan para pihak yang terlibat. Cara
demikian dipandang sebagai alternatif penyelesaian perkara yang jauh lebih
efektif ketimbang menggunankan cara litigasi yang cukup memakan waktu
yang lama sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana.
Maka dari itu, secara legal substance terkait penerapan keadilan
restoratif memang harus diakomodir dengan sedemikian rupa sehingga
dapat dijadikan landasan untuk menyelesaikan perkara pidana yang
tergolong kedalam tindak pidana yang insignificant dan irrelevant,
10
terkhusus dengan subjek hukum manula. Menurut Effendy sebagaimana
dikutip Adji (2016:13) menyatakan bahwa keadilan restoratif sebagai bagian
dari penyelesaian perkara pidana haruslah diberikan tempat dalam peraturan
perundang-undangan yang juga disertai dengan landasan/teori hukumnya.
Namun demikian, penerepan konsep restorative justice ini tidak serta
merta dapat diimplementasikan kepada seluruh perkara pidana yang
melibatkan manula di dalamnya. Ada beberapa kasus dengan tersangka atau
terdakwa manula yang melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana
penjara di atas lima tahun. Seperti halnya kasus seorang kakek 61 tahun
dilaporkan ke Polisi karena cabuli 4 orang anak. Dengan dugaan tindakan
yang dilakukannya tersebut, ia diancam Pasal 82 Ayat 1 Undang-Undang
nomor 23 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman pidana paling
singkat lima tahun dan paling lama 15 tahun (Kompas, 2018
(https://regional.kompas.com/read/2018/02/23/13320071/kakek-61-tahun-
dilaporkan-ke-polisi-karena-cabuli-4-bocah, 24 Mei 2018),.
Berdasarkan penjabaran di atas, maka penulis mengangkat topik
penelitian untuk dilakukannya pengkajian lebih mendalam dengan tujuan
terciptanya penegakan hukum pidana yang fleksibel dalam menangani
perkara pidana yang dilakukan manula. Artinya, dalam penegakkannya
tidak hanya mengacu pada peraturan undang-undang semata tanpa menggali
nilai dasar hukum itu sendiri. Berdasarkan uraian sebagaimana dituliskan
sebelumnya, penulis tertarik untuk mengangkat topik penelitian dengan
judul “PENYELESAIAN PERKARA PIDANA MELALUI
RESTORATIVE JUSTICE TERHADAP TINDAK PIDANA YANG
11
DILAKUKAN OLEH MANULA (STUDI NORMATIF DAN
SOSIOLOGIS)”.
1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis mengidentifikasikan beberapa
permasalahan antara lain:
1. Praktek penyelesaian perkara pidana terhadap tindak pidana yang
dilakukan oleh manula masih dengan menggunakan mekanisme
sebagaimana diatur dalam KUHAP.
2. Penyelesaian perkara pidana melalui restorative justice terhadap
tindak pidana yang dilakukan oleh manula sulit diterapkan karena
tidak ada dasar hukum yang mengaturnya.
3. Kebijakan formulasi dalam menyelesaikan perkara pidana melalui
restorative justice terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh
manula.
4. Efisiensi dan efektifitas sistem peradilan pidana dalam menyelesaikan
perkara pidana melalui restorative justice terhadap tindak pidana yang
dilakukan oleh manula.
1.3. Pembatasan Masalah
Dengan berbagai macam bentuk permasalahan yang dimunculkan oleh topik
ini, maka agar memfokuskan kepada suatu pembahasan, sehingga pada
penelitian ini penulis memberikan batasan masalah yang akan dikaji sebagai
berikut:
12
1. Praktek penyelesaian perkara pidana melalui restorative justice
dengan tersangka/terdakwa manula dalam pemeriksaan tingkat
penyidikan, penuntutan, dan persidangan.
2. Kebijakan formulasi dalam menyelesaikan perkara pidana melalui
restorative justice terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh
manula.
1.4. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis mengkaji rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah praktek penyelesaian perkara pidana terhadap tindak
pidana yang dilakukan oleh manula?
2. Bagaimanakah kebijakan penyelesaian perkara pidana melalui
restorative justice terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh
manula?
1.5. Tujuan Penelitian
Tujuan yang diharapkan penulis dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui dan memahami bagaimanakah praktek
penyelesaian perkara pidana terhadap tindak pidana yang dilakukan
oleh manula.
2. Untuk mengetahui dan memahami bagaimanakah formulasi kebijakan
penyelesaian perkara pidana melalui restorative justice terhadap
tindak pidana yang dilakukan oleh manula.
13
1.6. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan penulis dalam penelitian ini adalah:
1. Secara Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi ilmu
pengetahuan terkait praktek penyelesaian perkara pidana terhadap
tindak pidana yang dilakukan oleh manula.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi ilmu
pengetahuan terkait formulasi kebijakan penyelesaian perkara pidana
melalui restorative justice terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh
manula.
2. Secara Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua
pihak antara lain;
a. Kepada aparat penegak hukum baik polisi, jaksa, hakim dan
advokat dalam rangka menyelesaikan perkara pidana yang
dilakukan oleh manula melalui restorative justice.
b. Kepada pemerintah dalam rangka melakukan pembaharuan atau
kebijakan hukum pidana terkait penyelesaian perkara pidana
yang dilakukan oleh manula melalui restorative justice.
c. Kepada mahasiswa dan masyarakat dapat dijadikan informasi
terkait penyelesaian perkara pidana yang dilakukan oleh manula
melalui restorative justice.
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penelitian Terdahulu
Berikut ini penulis cantumkan beberapa penelitian terdahulu untuk
menjaga orisinalitas dan nilai kebaharuan dalam penelitian ini dalam
kaitannya dengan Penyelesaian Perkara Pidana Melalui Restorative Justice
terhadap Tindak Pidana yang Dilakukan oleh Manula.
2.1.1. Skripsi yang disusun oleh Muhammad Fadil Paramajeng
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar Tahun
2014: Tinjauan Yuridis Penjatuhan Pidana Terhadap
Terdakwa Yang Berusia Lanjut (Studi Kasus Putusan No.
356/Pid.B/PN. Sungguminasa)
Penelitian skipsi berfokus pada pembahasan penjatuhan
pidana terhadap terdakwa yang berusia lanjut dalam kasus
persetubuhan dengan anak. Hasil penelitian tersebut menyatakan
penerapan hukum pidana materiil terhadap terdakwa yang berusia
lanjut dalam Putusan No. 356/Pid.B/PN.
Perbedaan hasil penelitan skripsi di atas dengan penelitian
skripsi yang penulis lakukan ialah terkait ruang lingkup
pembahasannya. Penelitian tersebut lebih membahas terkait
pemberian pidana terhadap manula dalam kasus persetubuhan
dengan anak yang penyelesaiannya melalui jalur litigasi, sedangkan
ruang lingkup yang diteliti oleh penulis adalah proses penyelesaian
15
perkara pidana melalui restorative justice terhadap tindak pidana
yang dilakukan oleh manula.
2.1.2. Skripsi yang disusun oleh Desti Afriani Putri P. Fakultas
Hukum Universitas Airlangga Surabaya Tahun 2016:
Pemidanaan Terhadap “Lansia” dalam Perspektif
Pertanggungjawaban Pidana
Penelitian skripsi di atas menyatakan bahwa lansia sebagai
subjek hukum yang memenuhi persyaratan untuk bisa dimintai
pertanggungjawaban pidana tetapi menjadi sangat berat jika
seorang lansia yang sudah tua renta dengan kondisi yang
memprihatinkan harus menjalani proses pemidanaan yang
memakan waktu tidak sedikit dan tekanan-tekanan mental yang
ada.
Skrispi Desti Afriani Putri P. tersebut melihat manula
sebagai subjek yang telah melakukan tindak pidana dari perspektif
Pertangunggjawaban Pidana, artinya hanya melihat dari segi pidana
materil. Sedangkan skripsi penulis selain membahas hukum pidana
materil, lebih lanjut membahas juga pidana formil yaitu berua
proses penyelesaian perkara pidana dengan tersangka/terdakwa
manula.
16
2.1.3. Skripsi yang disusun oleh Usman Fakultas Syari’ah dan
Hukum Universitas Alauddin Makassar Tahun 2017:
Pemidanaan Terhadap “Lansia” dalam Perspektif
Pertanggungjawaban Pidana
Tidak jauh berbeda dengan sebelumnya, skripsi ini
berfokus pada penerapan pidana materil dan pertimbangan hakim
dalam menjatuhkan putusan nomor 75/Pid.B/2016/PN.Maros. di
mana terdakwanya berusia lanjut.
Perbedaan fokus skripsi di atas dengan penelitian skripsi
yang penulis lakukan ialah terkait ruang lingkup pembahasannya.
Penelitian tersebut lebih membahas terkait pemberian pidana
terhadap manula melalui jalur litigasi, sedangkan ruang lingkup
yang diteliti oleh penulis adalah proses penyelesaian perkara pidana
melalui restorative justice terhadap tindak pidana yang dilakukan
oleh manula. Ruang lingkup penelitian yang dilakukan oleh penulis
lebih luas. Selain membahas pidana materil sebagai dasar sistem
pemidanaan. Membahas juga hukum pidana formil terkait
penyelesain perkara pidana dengan tersangka/terdakwa manula.
2.1.4. Jurnal yang disusun oleh Faizhal End Millzrein, Fakultas
Hukum, Universitas Brawijaya Tahun 2017
Hasil penelitian jurnal ini menunjukkan bahwa urgensi
dari penerapan konsep diversi dalam penyelesaian kasus lanjut usia
sebagai pelaku tindak pidana ringan yaitu karena kondisi lanjut usia
17
yang mengalami permasalahan baik dari segi fisik, mental, sosial,
dan ekonomi sehingga kondisinya melemah, selain itu belum ada
aturan yang jelas dan tegas terhadap perlindungan hukum serta
penanganan penyelesaian perkara pidana yang melibatkan pelaku
orang lanjut usia.
Penelitian ini membahas atau meneliti tindak pidana
ringan yang dilakukan oleh seseorang yang berusia lanjut. Berbeda
dengan skripsi sebagaimana penulis susun, dalam hasil penelitian
tidak hanya membahas terkait tindak pidana ringan saja. Tetapi
juga membahas tindak pidana yang lebih berat dari segi
pemidaannya. Hal ini untuk menentukan kebijakan tindak pidana
mana saja yang dapat diselesaikan melalui konsep keadilan
restoratif.
2.2. Landasan Teori
2.2.1. Sistem Peradilan Pidana
Penegakan hukum pidana oleh negara dilakukan melalui aparat
penagak hukum dengan titik sentralnya pada lembaga peradilan
dengan putusan pengadilan sebagai hasil akhirnya (Baskoro,
2001:15). Aparat penegak hukum yang dimaksud di sini adalah
kepolisian, kejaksaan, hakim, adovikat dan lembaga
pemasyarakatan. Para penegak hukum tersebut saling berkaitan
satu sama lain dalam melaksanakan fungsi peradilan sehingga
dikenal dengan istilah Sistem Peradilan Pidana.
18
Sistem peradilan pidana untuk pertama kali diperkenalkan
oleh pakar hukum pidana dan para ahli dalam criminal justice
science di Amerika Serikat seiring dengan ketidakpuasan terhadap
mekanisme kerja aparatur penegak hukum dan institusi penegakan
hukum yang didasarkan pada pendekatan hukum dan ketertiban,
yang sangat menggantungkan keberhasilan penanggulangan
kejahatan pada efektivitas dan efisiensi kerja organisasi kepolisian.
Dalam hubungan ini pihak kepolisian ternyata menghadapi
berbagai kendala, baik yang bersifat operasional maupun prosedur
legal dan kemudian kendala ini tidak memberikan hasil yang
optimal dalam upaya menekan kenaikan angka kriminalitas, bahkan
terjadi sebaliknya (Supriyatna, 2009:2).
Atmasasmita sebagaimana dikutip Supriyatna (2009:2-3)
menerangkan bahwa orang pertama di Amerika Serikat yang
memperkenalkan rekayasa administrasi peradilan pidana melalui
pendekatan sistem (system approach) adalah Frank Remington.
Gagasan tersebut kemudian diberi nama Criminal Justice System
(Sistem Peradilan Pidana). Kemudian Blumstein membuat diagram
skematik terkait Criminal Justice System dengan menerapkan
pendekatan manajerial yang bertopang pada pendekatan sistem
terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana. Sejak saat itu
dalam penanggulangan kejahatan di Amerika Serikat diperkenalkan
dan dikembangkan pendekatan sistem sebagai pengganti
pendekatan hukum dan ketertiban. Melalui pendekatan sistem ini
19
kepolisian, pengadilan dan lembaga pemasyarakatn tidak lagi
merupakan instansi yang berdiri sendiri melainkan masin-masing
merupakan unsur penting dan berkaitan erat satu sama lain.
Secara umum sistem peradilan pidana dapat diartikan
sebagai suatu proses bekerjanya beberapa lembaga penegak
hukum melalui sebuah mekanisme yang meliputi kegiatan
bertahap yang dimulai dari penyidikan, penuntutan,
pemeriksaan di sidang pengadilan, dan pelaksanaan putusan
hakim yang dilakukan oleh lembaga pemasyarakatan (Supriyatna,
2009:1).
Atmasasmita (2010:6), dalam bukunya mengutip pendapat
Geoffrey Hazard mengatakan bahawa dalam sistem peradilan
pidana dikenal tiga bentuk pendekatan, yaitu pendekatan normatif,
administratif, dan sosial.
a) Pendekatan Normatif
Pendekatan ini memandang keempat aparatur penegak
hukum (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga
pemasyarakatan) sebagai institusi pelaksana peraturan
perundang-undangan yang berlaku sehingga keempat aparatur
tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem
penegakan hukum semata-mata. Lebih jauh Packer membedakan
normatif ke dalam dua model, yaitu Crime Control Model dan
Due Process Model. Polarisasi pendekatan normatif ke dalam
sistem peradilan pidana gaya Packer tersebut tidak bersifat
20
mutlak, sehingga operasionalisasi kedua model ini dilandaskan
pada asumsi yang sama sebagai berikut (Atmasasmita, 2010:7-
8):
(1). Penetapan suatu tindakan sebagai tindak pidana harus lebih
dahulu ditetapkan jauh sebelum proses identifikasi dan
kontak dengan seorang tersangka pelaku kejahatan atau
asas “ex post facto law” atau asas undang-undanga tidak
berlaku surut.
(2). Diakui kewenangan terbatas pada aparatur penegak hukum
untuk melakukan tindakaan penyidikan dan penangkapan
terhadap seorang tersangka pelaku kejahatan.
(3). Seorang pelaku kejahatan adalah subjek hukum yang
harus dilindungi dan berhak atas peradilan yang jujur dan
tidak memihak.
Selain terdapat kesamaan antara kedua model tersebut,
terdapat juga perbedaan yang tampak dari nilai-nilai yang
dijadikan landasan kerja kedua model tersebut. Perbedaan
tersebut akan dijabarkan pada tabel dan penjabaran di bawah ini
(Atmasasmita, 2010:7-11):
21
Crime Control Model Due Process Model
5 Karakteristik Value 6 Karakteristik
1. Represif
2. Presumption of guilt
3. Informal fact-finding
4. Factual guilt
5. Efisiensi
Mekanisme 1. Preventif
2. Presumption of innocence
3. Formal-adjudicative
4. Legal guilt
5. Efektivitas
Affirmative model Tipologi Negative model
Berikut ini merupakan penjabaran mengenai perbedaan
antara nilai yang melandasi crime control model dan due
process of law.
Nilai yang melandasi crime control model adalah:
(1). Tindakan represif terhadap suatu tindakan criminal
merupakan fungsi terpenting dari suatu proses peradilan;
(2). Perhatian utama harus ditujukan kepada efisiensi dari
suatu penegakan hukum;
(3). Proses criminal penegakan hukum harus dilandaskan pada
prinsip cepat (speedy) dan tuntas (finality);
(4). Asas presumption of guilt akan menyebabkan sistem ini
dilaksanakan secara efisien;
22
(5). Proses penegakan hukum harus menitikberatkan kepada
kualitas temuan-temuan fakta administratif, oleh karena
temuan tersebut akan membawa ke arah: (a) pembebasan
seorang tersangka dari penuntutan, atau (b) kesediaan
tersangka menyatakan dirinya bersalaha atau “plead of
guilty”.
Nilai-nilai yang mendasari due process model adalah:
(1). Kemungkinan adanaya faktor “kelalaian yang sifatnya
manusiawi” atau “human error” menyebabkan model ini
menolak “informal fact-finding process” sebagai cara
untuk menetapkan secaraa definitive “factual guilt”
seseorang. Model ini hanya mengutamakan “formal
adjudicative dan adversary fact-findings.” Hal ini berarti
dalam setiap kasus tersangka harus diajukan ke muka
pengadilan yang tidak memihak dan diperiksa sesudah
tersangka memperoleh hak yang penuh untuk mengajukan
pembelaannya;
(2). Model ini menekankan kepada pencegahan “preventive
measures” dan menghapuskan sejauh mungkin kesalahan
mekanisme administrasi peradilan;
(3). Proses peradilan harus dikendalikan agar dapat dicegah
penggunannya sampai pada titik optimum karena
kekuasaan cenderung disalahgunakan atau memiliki
23
potensi untuk menempatkan individu pada kekuasaan yang
koersif dari negara;
(4). Model ini bertolak dari nilai yang bersifat anti terhadap
kekuasaan sehingga memegang teguh doktrin legal-guilt.
Doktrin ini memiliki pemikiran bahwa seseorang dianggap
bersalah apabila penetapan kesalahannya dilakukan secara
procedural dan dilakukan oleh mereka yang memiliki
kewenangan untuk tugas tersebut, yaitu pengadilan yang
tidak memihak. Dalam konsep legal-guilt ini mengandung
“presumption of innonncence” atau asas praduga tak
bersalah.
(5). Gagasan “equality before the law” atau persamaan di
muuka hukum lebih diutamakan, berarti pemerintah harus
menyediakan fasilitas yang sama untuk setiap orang yang
berurusan dengan hukum. Kewajiban pemerintah ialah
menjamin bahwa ketidakmampuan secara ekonomi
seorang tersangka tidak akan menghalangi haknya untuk
membela dirinya di muka pengadilan.
Masih dari sumber yang sama, dalam tipologi modelnya,
crime control model merupakan tipe “affirmative model”,
artinya menekankan pada eksistensi dan penggunaan kekuasaan
pada setiap sudut dari proses pengadilan pidana dan dalam
proses ini kekuasaan legislatif sangat dominan. Sedangkan pada
due process model merupakan tipe “negative model”, artinya
24
selalu menekankan pembatasan pada kekuasaan formal dan
modifikasi dari penggunaan kekuasaan tersebut. Kekuasaan
yang dominan dalam model ini adalah kekuasaan yudikatif dan
selalu mengacu pada konstitusi.
Terkait dua model di atas ada beberapa ahli yang
mengutarakan pendapatnya. Supriyatna (2009:4-6), kedua model
sebagaimana diperkenalkan oleh Packer (Crime Control Model
dan Due Process Model), didasarkan pada pemikiran mengenai
hubungan antara negara dan individu dalam proses kriminal
yang menempatkan pelaku tindak pidana sebagai musuh
masyarakat (enemy of the society), sedangkan tujuan utama dari
pemidanaan adalah mengasingkan pelaku tindak pidana dari
masyarakat.
Sebagai reaksi terhadap kedua model yang dianjurkan oleh
Packer, kemudian Griffiths memperkenalkan model yang ketiga
yang disebutnya sebagai Family Model (model kekeluargaan).
Dalam model ini sanksi pidana tidak berfungsi untuk
mengasingkan, tetapi untuk pengembalian kapasitas
pengendalian diri (capacity for self control). Salah satu negara
yang disebut-sebut menganutt Family Model ini adalah negeri
Belanda. Namun menurut Barama (2016:13), yang mengutip
pendapat Muladi mengatakan bahwa terkait family model ini
tidak dapat diterima sepenuhnya karena terlalu berorientasi
25
kepada pelanggar padahal disisi lain terdapat korban (the victim
of crime) yang memerlukan perhatian serius.
Disamping ketiga model sistem peradilan pidana tersebut,
dalam perkembangannya saat ini terdapat berbagai usaha untuk
mengembangkan apa yang disebut sebagai sistem peradilan
pidana terpadu atau integrated criminal justice system. Model
terpadu dalam penyelenggaraan peradilan pidana dapat dikaji
dalam sistem peradilan pidana di Jepang yang memiliki
karakteristik (Supriyatna, 2009:6):
(1). Adanya sistem pendidikan yang memadai dari para penegak
hukum yang memungkinkan mereka memiliki pandangan
yang sama dalam melaksanakan tugasnya. Seleksi untuk
menjadi hakim, jaksa, dan pengacara dalam
penyelenggaraan peradilan pidana dilaksanakan oleh
organisasi pengacara di Jepang dan setelah mereka lulus,
kemudian masuk dalam pendidikan yang sama dengan
koordinasi oleh Mahkamah Agung Jepang.
(2). Para penegak hukum professional yang dicapai melalui
pelatihan yang baik dengan disiplin yang tinggi, serta
terorganisir dengan baik.
(3). Tujuan yang ingin dicapai adalah apa yang disebut sebagai
“precise justice” atau keadilan yang pas (tepat). Konsep
precise justice ini tampaknya merupakan kririk orang
26
Jepang terhadap model peradilan di Amerika Serikat yang
menurut mereka hanya mengejar apa yang disebut layman
justice (keadilan orang awam).
(4). Adanya partisipasi masyarakat yang tinggi akibat tingkat
profesionalisasi yang dimiliki oleh aparat penegak hukum di
Jepang.
b) Pendekatan Administratif
Pendekatan administratif memandang keempat aparatur
penegak hukum sebagai suatu organisasi manajemen yang
memiliki mekanisme kerja, baik hubungan yang bersifat
horisontal maupun yang bersifat vertikal sesuai dengan struktur
organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut. Sistem yang
digunakan adalah sistem administratif (Atmasasmita, 2010:7).
c) Pendekatan Sosial
Pendekatan sosial memandang keempat aparatur penegak
hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu
sistem soal sehingga masyarakat secara keseluruhan ikut
bertanggung jawab atas keberhasilan atau ketidakberhasilan dari
keempat aparatur penegak hukum tersebut dalam melaksanakan
tugasnya. Sistem yang digunakan adalah sistem sosial
(Atmasasmita, 2010:7).
27
2.2.2. Teori Sistem Pemidanaan
Mudzakkir (2008:10-11), dari sudut fungsional, sistem
pemidanaan dapat diartikan sebagai keseluruhan sistem (aturan
perundang-undangan) untuk
fungsionalisasi/operasionalisasi/konkretisasi pidana dan
keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) yang mengatur
bagaimana hukum pidana ditegakkan atau diperasionalkan secara
konkret, sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum) pidana. Dari
sudut ini maka sistem pemidanaan identik dengan sistem
penegakkan hukum pidana materil, hukum pidana formil, dan
pelaksanaan pidana. Sedangkan dari sudut norma-substantif (hanya
dilihat dari norma-norma hukum pidana substantif), sistem
pemidanaan dapat diartikan sebagai keseluruhan sistem
aturan/norma hukum pidana materiel untuk pemberian atau
penjatuhan dna pelaksanaan pidana.
Walaupun negara atau penguasa berwenang menjatuhkan
hukuman kepada seseorang, hak ini tidak dapat dijalankan secara
sewenang-wenang. Penguasa tetap harus mempunyai dasar
dijatuhkannya hukuman tersebut (Herlina, 2004:22). Secara
historis, dengan berkembangnya zaman berkembang pula sistem
pemidanaannya. Secara tradisional teori-teori pemidanaan pada
umumnya dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu teori absolut
atau teori pembalasan (retributive/vergeldings) dan teori relatif
atau teoiru tujuan (utilitarian/doeltheorieen) (Muladi & Arief,
28
2005:10). Sedangkan menurut Hiariej (2014:31), dalam ilmu
hukum pidana dewasa ini terdapat empat teori dalam menjatuhkan
pidana, yaitu:
2.2.2.1. Teori Absolut
Penganut teori absolut ini antara lain adalah
Imannuel Kant, Hegel, Herbart, dan Julius Stahl. Pendapat
Kant, pidana adalah etik. Praktisnya adalah suatu
ketidakadilan, oleh karena itu kejahatan harus dipidana (de
straf ls de straf van ethiek; de practische rede eist
onvoorwaardelijk, dat opo het misdrijf de straf volgt).
Karena menerapkan prinsip pembalasan, teori ini hanya
berorientasi kepada perbuatannya saja.
Muladi & Arief (2005:10), pidana merupakan akibat
mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada
orang yang melakukan kejahatan. Jadi, dasar pembenaran
dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan
itu sendiri. Menurut Johannes Andenaes tujuan utama
(primair) dari pidana menurut teori absolut ialah “untuk
memuaskan tuntutan keadilan” (to satisfy the claims of
justice). Masih dari sumber yang sama, tuntutan keadilan
yang sifatnya absolut ini terlihat jelas dalam pendapat
Immanuel sebagai berikut:
29
“... Pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata
sebagai sarana untuk mempromosikan
tujuan/kebaikan lain, baik si pelaku itu sendiri
maupun bagi masyarakat, tetapi dalam semua hal
harus dikenakan hanya karena orang yang
bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan.
Bahkan walaupun seluruh anggota masyarakat
sepakat untuk menghancurkan dirinya sendiri
(membubarkan masyarakat) pembunuh terakhir yang
masih berada di dalam penjara harus dipidana mati
sebelum resolusi/keputusan pembubaran masyarakat
itu dilaksanakan. Hal ini harus dilakukan karena
setiap orang seharusnya menerima ganjaran dari
perbuatannya, dan perasaan balas dendam tidak boleh
tetap ada pada anggota masyarakat, karena apabila
tidak demikian mereka semua dapat dipandang
sebagai orang yang ikut ambil dalam pembunuhan itu
yang merupakan pelanggaran terhadap keadilan
umum”.
Jadi menurut Kant, pidana merupakan suatu tuntutan
keadilan.
30
2.2.2.2. Teori Relatif
Jika teori absolut menyatakan bahwa tujuan pidana
sebagai pembalasan, maka teori reslatif mencari dasar
pemidanaan adalah penegakan ketertiban masyarakat dan
tujuan pidana untuk mencegah kejahatan. Teori relatif juga
disebut sebagai teori relasi atau teori tujuan. Hal ini karena
relasi antara ketidakadilan dan pidana bukanlah hubungan
secara apriori. Hubungan antara keduanya dikaitkan
dengan tujuan yang hendak dicapai pidana, yaitu
perlindungan kebendaan hukum dan penangkal
ketidakadilan.
Pencegahan terhadap kejahatan pada dasarnya
dibagi menjadi pencegahan umum dan khusus. Adanya
penjatuhan pidana secara umum agar setiap orang tidak lagi
melakukan kejahatan. Sedangkan secara khusus ditujukan
terhadap pelaku kejahatan yang telah dijatuhi pidana
sehingga tidak lagi mengulangi perbuatannya.
Muladi dan Nawawi Arief (2005:16), menyatakan
bahwa teori relatif memandang pidana bukanlah untuk
memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan itu
sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana
untuk melindungi kepentingan masyarakat. Oleh karena itu
menurut J. Andenaes, teori ini dapat disebut sebagai “teori
perlindungan masyarakat” (the theory of social defence).
31
2.2.2.3. Teori Gabungan
Teori gabungan merupakan suatu teori dalam
pemindaan yang menggabungkan antara teori absolut dan
teori relatif. Marpaung (2009:107), kedua teori tersebut
mengajarkan bahwa penjatuhan pidana adalah untuk
mempertahankan tata tertib hukum dalam masyarakat dan
memperbaiki pribadi si penjahat. Penjatuhan pidana tidak
hanya beorientasi pada upaya untuk membalas tindakan
orang itu, tetapi juga agar ada upaya untuk mendidik atau
memperbaiki orang itu sehingga tidak melakukan kejahatan
lagi yang merugikan dan meresahkan masyarakat (Ali,
2015:192). Artinya, walau pun ada suatu tujuan pemidanaan
tetapi tidak terlepas dari adanya aspek pembalasan terhadap
subjek yang melakukan tindak pidana tersebut.
Teori ini menyatakan bahwa penggunaan kedua teori
tersebut (absolut dan relatif) memiliki kelemahan-
kelemahan yaitu (Koeswadji, 1995:11-12) :
a). Kelemahan teori absolut adalah menimbulkan
ketidakadilan karena dalam penjatuhan hukuman
perlu mempertimbangkan bukti-bukti yang ada dan
pemabalasan yang dimaksud tidak harus negara
yang melaksanakan.
32
b). Kelemahan teori relatif yaitu dapat menimbulkan
ketidakadilan karena pelaku tindak pidana ringan
dapat dijatuhi hukum berat; kepuasaa masyarakat
diabaikan jika tujuannya untuk memperbaiki
masyarakat; dan mencegah kejahatan dengan
menakut-nakuti sulit dilaksanakan.
2.2.2.4. Teori Kontemporer
Hiariej (2014:35-36), dalam bukunya mengutip
pendapat Wayne R. Lafave yang menyatakan bahwa salah
satu tujuan pidana adalah sebagai deterrence effect atau
efek jera agar pelaku kejahatan tidak lagi mengulangi
perbuatannya. Masih menurut Lafave, tujuan pidana yang
lain adalah rehabitlitasi. Artinya, pelaku kejahatan harus
diperbaiki ke arah yang lebih baik, agar ketika kembali ke
masyarakat ia dapat diterima oleh komunitasnya dan tidak
lagi mengulangi perbuatan jahat. Terakhir menurut Lafave,
pidana bertujuan untuk memulihkan keadialan yang dikenal
dengan istilah restorative justice atau keadilan restoratif.
Restorative justice dipahami sebagai bentuk pendekatan
penyelesaian perkara menurut hukum pidana dengan
melibatkan pelaku kejahatan, korban, keluarga korban atau
pelaku dan pihak lain yang terkait untuk mencari
penyelesaian yang adil dengan menekankan pada pemulihan
kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan.
33
2.3. Landasan Konseptual
2.3. 1. Restorative Justice
Garner (2004:4097), memberikan defisini keadilan
restoratif sebagai berikut:
Restorative justice.An alternative delinquency sanction that
focuses on repairing the harm done, meeting the victim's
needs, and holding the offender responsible for his or her
actions. • Restorative-justice sanctions use a balanced
approach, producing the least restrictive disposition while
stressing the offender's accountability and providing relief
to the victim. The offender may be ordered to make
restitution, to perform community service, or to make
amends in some other way that the court.
Pada hakikatnya, prinsip restoratif atau pengembalian
keadaan sudah ada esensinya paling tidak semenjak Aristoteles,
hanya saja saat itu diberi nama prinsip pembalasan (Reciprocity)
(Gunawan, 2015:60). Dalam Sistem Peradilan di Indonesia, konsep
Restorative Justice untuk saat ini diterapkan pada kasus Pidana
Anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak serta Nota
Kesepakatan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik
Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, dan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia tentang Pelaksanaan
Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah
Denda, Acara Pemeriksaan Cepat, Serta Penerapan Keadilan
34
Keadilan Restoratif Nomor 131/KMA/SKB/X/2012, M.HH-
07.HM.03.02, KEP-06/E/EJP/10/2012, B/39/X/2012 Tahun 2012.
Padahal Restorative Justice merupakan suatu kebutuhan
dalam rangka Pembaharuan Hukum Pidana di masa yang akan
datang dan harus ditempatkan pada posisi yang jelas dalam
peraturan perundang-undangan. Pemberlakuan keadilan restoratif
dalam sistem peradilan pidana bukan tanpa landasan yang jelas, hal
ini dibuktikan dengan adanya dasar asumsi yang mendorong untuk
diterapkannya konsep ini, antara lain (Dandurand, 2006:8):
Restorative justice programmes are based on several
underlying assumptions: (a) that the response to crime
should repair as much as possible the harm suffered by the
victim; (b) that offenders should be brought to understand
that their behaviour is not acceptable and that it had some
real consequences for the victim and community; (c) that
offenders can and should accept responsibility for their
ahaction; (d) that victims should have an opportunity to
express their needs and to participate in determining the
best way for the offender to make reparation, and (e) that
the community has a responsibility to contribute to this
process.
Konsep keadilan restoratif didasari oleh beberapa asumsi
antara lain; (a) bahwa atas terjadinya suatu kejahatan sebisa
mungkin diupayakan terkait perbaikan kerugian yang diderita oleh
korba; (b) pelaku harus diberikan suatu pemahaman bahwa
perilakunya merupakan sesuatu yang melanggar hukum dan
memiliki konsekuensi bagi korban dan masyarakat; (c) bahwa
pelaku harus menerima pertanggungjawaban atas tindakannya; (d)
bahwa korban memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam
35
menentukan cara terbaik bagi pelaku untuk melakukan suatu
perbaikan; dan (e) bahwa masyarakat memiliki tanggung jawab
juga untuk berkontribusi dalam proses ini.
Berdasarkan kesimpulan Makalah Prof. Dr. Muladi, S.H.,
dalam Seminar Nasional Hari Ulang Tahun Ikatan Hakim
Indonesia ke-59 yang berujudul “Restorative Justice dalam Sistem
Peradilan Pidana”, Keadilan Restoratif merupakan suatu
pendekatan terhadap keadilan atas dasar falsafah dan nilai-nilai
tanggung jawab, keterbukaan, kepercayaan, harapan, penyembuhan
dan “inclusiveness” dan berdampak terhadap pengambilan
keputusan kebijakan sistem peradilan pidana dan praktisi hukum di
seluruh dunia dan menjanjikan hal positif ke depan berupa sistem
keadilan untuk mengatasi konflik akibat kejahatan dan hukum yang
dapat dipertanggungjawabkan serta keadilan restoratif dapat
terlaksana apabila fokus perhatian diarahkan pada kerugian akibat
tindak pidana, keprihatinan yang sama dan komitmen untuk
melibatkan pelaku dan korban, mendorong pelaku untuk
bertanggung jawab, kesempatan untuk dialog antara pelaku dan
korban, melibatkan masyarakat terdampak kejahatan dalam proses
restorative, mendorong kerjasama dan reintegrasi.
Marshall sebagaimana dikutip oleh Mudzakkir (20018:27-
28) menyatakan bahwa prinsip-prinsip yang terkandung dalam
restorative justice adalah sebagai berikut:
36
a) Membuat ruang bagi keterlibatan personal bagi mereka-
mereka yang memiliki kepedulian (khususnya pelaku,
korban, juga keluarga mereka dan komunitas secara
keseluruhan).
b) Melihat masalah kejahatan dalam konteks sosialnya.
c) Merupakan upaya penyelesaian masalah kejahatan yang
melihat ke depan (preventif).
d) Fleksibilitas dalam praktek (kreatifitas).
Dalam penggunaannya, konsep keadilan restoratif ini lebih
tepat diterapkan oleh aparat penegak hukum khususnya kepolisian
karena disitulah proses awal yang dilakukan (penyelidikan dan
penyidikan) ketika terjadi suatu tindak pidana. Namun demikian,
perlu kiranya aparat penegak hukum yang lain baik kejaksaan dan
hakim mampu menerapkan konsep penyelesaian seperti ini.
Sebagai contoh di negara Belgia. Dandurand (2006:13),
menyatakan “In Belgium, for example, mediation can also be
offered when the public prosecutor has already decided to
prosecute the suspect.” Pada intinya, di negara Belgia
memperbolehkan penuntut umum melakukan suatu mediasi untuk
menyelesaiakan perkara pidana.
37
2.3. 2. Hukum Pidana
Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang
berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-
aturan untuk (Moeljatno, 2000:1):
a) Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh
dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau
sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa
melanggara larangan tersebut;
b) Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang
telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau
dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan;
c) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu
dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah
melanggar larangan tersebut.
Tidak jauh berbeda, menurut Hiariej (2014:13), hukum
pidana merupakan aturan hukum dari suatu negara yang berdaulat,
berisi perbuatan yang dilarang atau perbuatan yang diperintahkan,
disertai dengan sanksi pidana bagi yang melanggar atau yang tidak
mematuhi, kapan dan dalam hal apa sanksi pidana itu dijatuhkan
dan bagaimana pelaksanaan pidana tersebut yang pemberlakuannya
dipakasakan oleh negara.
Mahrus Ali (2015:2) dalam bukunya, mengutip pendapat
Van Bemmelen yang menyatakan bahwa hukum pidana secara
38
eksplisit terbagi dalam dua hal, yaitu hukum pidana materiil dan
hukum pidana formal. Menurutnya, hukum pidana materiil terdiri
atas tindak pidana yang disebut berturut-turut, peraturan umum
yang dapat diterapkan terhadap perbuatan itu, dan pidana yang
diancamkankan terhadap perbuatan itu. Sedangkan hukum pidana
formal adalah mengatur cara bagaimana acara pidana seharusnya
dilakukan dan menentukan tata tertib yang harus diperhatikan pada
kesempatan itu.
Pengertian hukum pidana sebagaimana dituliskan di atas
merupakan pengertian hukum pidana dalam arti luas yang meliputi
hukum pidana materiil dan hukum pidana formal.
39
2.4. Kerangka Berpikir
Tindak Pidana yang
dilakukan oleh Manula
Litigasi Non-Litigasi
Konsep Penyelesaian
Melalui Restorative Justice
Hukum Pidana Formil
Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981 Tentang
Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana
• Intergrated Criminal
Justice System
• Teori Sistem
Pemidanaan
(Kontemporer)
Kebijakan Hukum
Pidana/Pembaharuan
Hukum Pidana
Kebijakan Formulasi Penyelesaian Perkara Pidana
Melalui Restorative Justice Terhadap Tindak
Pidana yang Dilakukan Oleh Manula
40
Penjelasan:
a). Input
Penelitian ini didasarkan pada segala sumber hukum yang
mengakomodir adanya suatu penyelesaian perkara pidana melalui cara
non-penal (restorative justice) terhadap tindak pidana yang dilakukan
oleh manula. Sumber hukum terkait penelitian diakui memang belum
jelas adanya.
Secara legal substence, penyelesaian secara restorative justice di
Indonesia terkait tindak pidana yang dilakukan oleh manula dapat
diterapkan dengan menggunakan dasar Nota Kesepakatan Bersama
Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik
Indonesia, dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia tentang
Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan
dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat, Serta Penerapan
Keadilan Keadilan Restoratif Nomor 131/KMA/SKB/X/2012, M.HH-
07.HM.03.02, KEP-06/E/EJP/10/2012, B/39/X/2012 Tahun 2012.
Selain mendasarkan pada Nota Kesepakatan Bersama di atas,
penulis juga dalam melakukan penelitian ini mendasarkan pada
pendapat-pendapat para ahli hukum atau doktrin. Adapun pendapat
ahli hukum ini terwujud dalam teori-teori yang akan penulis gunakan
antara lain, teori dalam sistem pemidanaan dan teori sistem peradilan
pidana.
41
b). Proses
Kemudian sumber-sumber hukum di atas dijadikan penulis
sebagai landasan menyelesaikan permasalahan sebagaimana
dijabarkan pada bagian rumusan masalah.
c). Output
Tujuan dari penelitian ini yang pertama ialah untuk mengetahui
secara jelas bagaiamana praktek penyelesaian perkara pidana melalui
restorative justice terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh
manula.
Kedua, dengan kurang jelasnya pengaturan mengenai
penyelesaian perkara pidana melalui restorative justice terhadap
tindak pidana yang dilakukan oleh manula, maka penelitian ini
bertujuan untuk memberikan suatu formulasi kebijakan hukum pidana
dalam rangka pembaharuan Hukum Acara Pidana yang akan datang
atau dengan kata lain memasukkan konsep restorative justice ke
dalam RUUKUHAP di Indonesia.
d). Manfaat
Penenlitian ini diharapkan diharapkan dapat dijadikakan sebagai
sumber referensi di bidang hukum pidana baik untuk aparat penegak
hukum, pemerintah, mau pun masyarakat terkait penyelesaian perkara
pidana melalui restorative justice terhadap tindak pidana yang
dilakukan oleh manula.
98
BAB V
PENUTUP
5.1. Simpulan
Berdasarkan hasil wawancara dan pembahasan terkait penyelesaian
perkara pidana melalui restorative justice terhadap tindak pidana yang
dilakukan oleh manula, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Praktek penyelesaian perkara pidana terhadap tindak pidana yang
dilakukan oleh manula berdasarkan hasil wawancara adalah dengan
mekanisme sebagaimana diatur di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP). Artinya manula di sini dipersamakan
perlakuannya dengan orang dewasa lain yang belum memasuki usia
lanjut. Proses semacam ini penulis temukan pada instansi Kejaksaan
Negeri Kota Semarang dan Pengadilan Negeri Semarang. Namun lain
halnya di Poltertabes Kota Semarang, penulis menemukan proses
penyelesaian perkara pidana terhadap tindak pidana yang dilakukan
oleh manula dengan cara restorative justice.
2. Kebijakan penyelesaian perkara pidana melalui restorative justice
terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh manula belum diatur
dalam KUHAP sekarang ini. Padahal jika melihat kondisi manula
yang mengalami penurunan baik dari aspek fisik, psikologi, dan
sosial sangat disayangkan apabila manula yang terjerat hukum
diproses dengan menggunakan mekanisme sebagaimana diatur
KUHAP. Secara legalitas, proses penyelesaian perkara pidana dengan
99
konsep keadilan restoratif hanya dapat kita jumpai pada perkara anak
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dengan melihat kondisi
manula, perlu kiranya KUHAP yang akan datang mengakomodir
penyelesaian semacam itu dengan syarat tertentu agar perkara pidana
dengan tersangka atau terdakwa manula dapat diselesaikan dengan
lebih efektif dan efisien.
5.2. Saran
1. Perlu diakomodir penyelesaian perkara pidana melalui restorative
justice terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh manula ke dalam
KUHAP yang akan datang dengan syarat tertentu. Proses demikian
juga kiranya perlu dapat diterapkan pada semua tahap pemeriksaan
mulai dari penyidikan, penunutan, dan pengadilan.
2. Untuk mengisi kekosongan hukum, kiranya aparat penegak hukum
terkhusus hakim dapat menggali nilai-nilai yang ada di masyarakat
sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai landasan
penyelesaian perkara pidana melalui restorative justice terhadap
tindak pidana yang dilakukan oleh manula.
100
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Ali, Mahrus. 2015. Dsasar-Dasar Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.
Amiruddin dan Zainal Asikin. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Atmasasmita, Romli. 2010. Sistem Peradilan Pidana Kontemporer. Jakarta:
Kencana.
Baskoro, Bambang Dwi. 2001. Bunga Rampai Penegakan Hukum Pidana.
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Dandurand, Yvon dkk. 2006. Handbok on Restorative Justice Programmes. New
York: United Nations Publication.
Garner, Bryan, A. 2004. Black’s Law Dictionary, Eight Edition. United State of
America: Thomson Business.
Gunawan, T.J. 2015. Konsep Pemidanaan Berbasis Nilai Kerugian Ekonomi.
Yogyakarta; Genta Press.
Hiariej, Eddy, O.S. 2014. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. Yogyakarta; Cahaya
Atma Pustaka.
Koeswadji. 1995. Perkembangan Macam-macam Pidana Dalam Rangka
Pembangunan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bhakti.
Lexi, J. Moleong. 1991. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosydakarya.
Lexi, J. Moelong. 2005. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
pRosydakarya
Mahmud, Marzuki, Peter. 2005. Penelitian Hukum. Edisi Revisi. Jakarta:
Prenadamedi Group.
Marpaung, Leden. 2009. Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana. Jakarta: Sinar
Grafika.
Moeljatno. 2000. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta; Rineka Cipta.
Moeljatno. 2008. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta; Rineka Cipta.
Mukti Fajar, Soerjono Sukanto, dan Achmad Yulianto. 2015. Dualisme
Penelitian Hukum Normatif & Empiris. Yogyakaarta: Pustaka Pelajar.
Muladi, Arief, Barda Nawawi. 2005. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana.
Bandung: P.T. Alumni.
Muladi. 1998. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: UNDIP.
Mudzakkir dkk. 2008. Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Bidana
Hukum Pidana dan Sistem Pemidanaan (Politik Hukum dan Pemidanaan).
Jakarta: Departemen Hukum dan HAM, Badan Pembinaan Hukum
Nasional.
101
Raharjo, Satjipto. 2003. Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia. Jakarta:
Kompas.
Setiadi, Edi, Kristian. 2017. Sistem Peradilan Pidana Terpadu Dan Sistem
Penegakan Hukum Di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Soekanto, Suryono. 2010. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Suratman, dan Dillah, Philips. 2012. Metode Penelitian Hukum. Bandung:
Alfabeta.
Suryana, 2010. “Buku Ajar Perkuliahan: Metode Penelitian (Model Praktis
Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif)”. Universtias Pendidikan Indonesia.
B. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia.
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana tahun 2018.
Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana tahun 2012.
C. Skripsi/Tesis/Disertasi/Jurnal dll
Skripsi
Paramajeng, Muhammad, Fadil. Skripsi: Tinjauan Yuridis Penjatuhan Pidana
Terhadap Terdakwa yang Berusia Lanjut (Studi Kasus Putusan No.
356/Pid.B/2012/PN. Sungguminasa). Universitas Hasanuddin. Makassar.
Putri, Desti, Afriani. 2016. Skripsi: Pemidanaan Terhadap “Lansia” dalam
Perspektif Pertanggungjawaban Pidana. Universitas Airlangga. Denpasar.
Disertasi
Imron, Ali. 2008. Disertasi: Kontribusi Hukum Islam Terhadap Pembangunan
Hukum Nasional (Studi Tentang Konsepsi Taklif Dan Mas`Uliyyat Dalam
Legislasi Hukum). Universitas Diponegoro. Semarang.
Jurnal
Atalim, A. 2013. Keadilan Restoratif Sebagai Kritik Inheren Terhadap
Pengadilan Legal-Konvensional. Jurnal Rechts Vinding Vol. 2 No. 2.
Arianto, Henry. 2010. Hukum Responsif dan Penegakan Hukum di Indonesia.
Lex Jurnalia Vol. 7 No. 2.
Barama, Michael. 2016. Model Sistem Peradilan Pidana Dalam Perkembangan.
Jurnal Ilmu Hukum Vol. III No. 8.
Chandra, Septa. 2013. Restorative Justice: Suatu Tinjauan Terhadap
Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia (Restorative Justice: a Revie
of Criminal Law Reform in Indonesia). Jurnal Rechts Vinding Vol. 2 No.
2.
102
Danil, Elwi. 2012. Konstitusionalitas Penerapan Hukum Adat Dalam
Penyelesaian Perkara Pidana. Jurnal Konstitusi Vol. 9 No. 3
Hilmy, Yunan. 2013. Penegakan Hukum Oleh Kepolisian Melalui Pendekatan
Restorative Justice Dalam Sistem Hukum Nasional. Jurnal Rechts Vinding
Vol. 2 No. 6.
Maskur, M. A. 2016. Potret Buram Positivisme Hukum: Sebuah Telaah
Terhadap Kasus-Kasus Kecil yang Menciderai Rasa Keadilan
Masyarakat. Jurnal Humani Vol. 6 No 1.
Merdekawati, Pricilia. 2008. Gambaran Umum Kondisi Lansia. Jurnal Vol. 2
No. 6.
Prayitno, Kuat, Puji. 2012. Restorative Justice Untuk Peradilan di Indonesia
(Perspektif Yuridis Filosofis dalam Penegakan Hukum In Concreto).
Jurnal Dinamikka Hukum Vol. 12 No. 3.
Ridwan. 2012. Membangun Integritas Penegak Hukum bagi Terciptanya
Penegakan Hukum Pidana yang Berwibawa. Jurnal Media Hukum Vol.
19. No. 1.
Salamah. 2005. Kondisi Psikis dan Alternatif Penanganan Masalah
Kesejahteraan Sosial Lansia di Panti Wredha. Jurnal PKS Vol. IV No 11.
Shen, Yinzhi. 2016. Development of Restorative Justice in China: Theory and
Practice. International Journal for Crime, Justice and Social Democracy
5(4): 76‐86. DOI: 10.5204/ijcjsd.v5i4.339. University at Albany, State
University of New York, USA.
Soleh, Nur. 201. Restorative Justice Dalam Hukum Pidana Islam dan
Kontribusinya Bagi Pembaharuan Hukum Pidana Materiil di Indonesia.
Isti’dal, Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 2. No.2. Universitas Islam Sultan
Agung Semarang.
Supriyatna. 2009. KUHAP dan Sitem Peradilan Pidana Terpadu. Jurnal Vol.
VII. No. 1.
Supriyatna. 2009. KUHAP dan Sitem Peradilan Pidana Terpadu. Jurnal Vol.
VIII. No. 1.
Triwanti, Shinta, Puji dkk. 2014. Peran Panti Sosial Tresna Wedha Dalam
Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Lansia. Jurnal Vol. 4 No. 2.
Universitas Padjadjaran.
Makalah
Adji, Indrianto, Seno. 2016. Sistem Hukum Pidana dan Keadilan Restoratif.
Makalah pada Focus Group Discussion (FGD) dengan Tema
Pembangunan Hukum Nasional Yang Mengarah Pada Pendekatan
Restorative Justice Dengan Indikator Yang Dapat Terukur Manfaatnya
Bagi Masyarakat”, pada hari Kamis, tanggal 01 Desember 2016, Jam
10.00 – 12.30 WIB, di Ruang Aula Lt. 4 Gedung BPHN, Jalan
Mayjen Sutoyo, Cililitan, Jakarta Timur.
103
Atmasasmita, Romli. 2005. Independensi Kepolisian Republik Indonesia Dalam
Penegakan Hukum. Makalah Badan Pembinaan Hukum Nasional.
Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia.
Suharjono. 2012. Kesimpulan Makalah Muladi: Restorative Justice dalam
Sistem Peradilan Pidana. Pada Seminat Nasional Hari Ulang Tahun Ikatan
Hakim Indonesia (IKAHI) ke-59 di Jakarta dengan tema Restoratife
Justice dalam Hukum Pidana Indonesia. Rabu, 25 April 2012.
Koran
Sholahudin, Umar. 2015. Keadilan Nenek Asyani. Republika, 18 Maret 2015.
D. Internet
Institute For Criminal Justice Reform. 2015. http://icjr.or.id/lansia-di-penjara-
penyelesaian-sengketa-pidana-di-luar-pengadilan-dalam-rancangan-
kuhap/. (diakses pada 1 Desember 2018. Pukul 00:04 WIB).
Liputan6. 2015. http://www.liputan6.com/news/read/2219231/nenek-asyani-
terdakwa-0 pencuri-kayu-divonis-1-tahun-penjara. (diakses pada 5
April 2018. Pukul 17:18 WIB).
Hidayat, Anwar. 2017. https://www.statistikian.com/2017/02/metode-penelitian-
metodologi-penelitian.html. (diakses pada 15 April 2018. Pukul 18:24
WIB).