Penyakit Zoonosis Kausa Ricketsia Dan Chlamidia
-
Upload
oliviaanggita -
Category
Documents
-
view
34 -
download
2
description
Transcript of Penyakit Zoonosis Kausa Ricketsia Dan Chlamidia
PENYAKIT ZOONOSIS KAUSA RICKETTSIA DAN CHLAMYDIAZOONOSIS 2014
RICKETTSIA
Rickettsiae, adalah bakteri prokariotik intraseluler.
Sebagai parasite obligat intaseluler, Rickettsia tergantung pada kemampuannya untuk masuk, tumbuh dan bereplikasi di dalam sitoplasma sel hospes (umumnya pada sel endotel atau leukosit)
Rickettsia memperbanyak diri dengan pembelahan biner di dalam sel artropoda atau di dalam sel tubuh hewan dan manusia
Berukuran 0.5 sampai 0.3 microns berbentuk batang atau bulat
Organisme genus Rickettsia dibagi menjadi 3 groups: spotted fevers, typhus, and scrub typhus.
Reservoir alami untuk rickettsia adalah artropoda dan pada caplak sebagai organisme komensal. Sedangkan hospes yang ‘tidak alami’ adalah manusia dan hewan, organisme ini bias menyebabkan sakit dengan demam, vaskulitis (menyerang pada sel endotel), dan pada kelompok spotted fever akan terlihat addanya ruam dan erytrema
Berdasarkan hospesnya dibagi menjadi:
(a) louse-borne (kutu): Rickettsia prowazekii
(b) flea-borne (pinjal): R. typhi, R. felis
(c) tick-borne (caplak): rickettsiae of the spotted-fever group (SFG):R. rickettsii,R. conorii, R. africae, R. sibirica, R. slovaca, R. japonica, R. australis; furtherAnaplasma phagocytophilum, Ehrlichia chaffeensisand other ehrlichiae
(d) mite-borne (tungau): R. akari, Orientia tsutsugamushi
(e) cercaria-borne (trematode larvae): Neorickettsia sennetsu
ROCKY MOUNTAIN SPOTTED FEVER (RMSF)
Adalah penyakit yang disebabkan oleh Rickettsia rickettsii. organisme ini bias menyebabkan gangguan yang fatal pada manusia dan ditularkan melalui gigitan caplak yang sudah terinfeksi.
Geographical distribution: North America, Brazil
Di Amerika, spesies caplak yang bias menularkan RMSF antara lain: the American dog tick (Dermacentor variabilis), Rocky Mountain wood tick (Dermacentor andersoni), and brown dog tick (Rhipicephalus sanguineus).
Sumber penularan (natural host range): rodents (Spermophilus, Marmota, Eutamias, Hydrochaeris), opossum, leporids, canids, occasionally birds.
Penyakit pada hewan: tidak ada gejala klinis yang nyata, kecuali pada anjing (menunjukkan gejala klinis)
Gejala klinis yang menciri antar lain: pusing, sakit perut, muntah dan nyeri otot. Kadang timul ruam pada kulit, tapi kemudian menghilang setelah 2 hari. Kadang tidak ada ruam kulit pada pasien lainnya.
RMSF bias menjadi penyakit yang parah apabila tidak segera diobati pada awal-awal menunjukkan gejala.
Treatment: Menggunakan Doxycycline, pengobatan paling efektif diberikan sebelum 5 hari setelah ada gejala klinis. Antibiotika lainnya: tetracycline, chloramphenicol, ciprofloxacin
Diagnosa awal berdasarkan pada gejala klinis, sejarah medis, dan menggunakan uji laboratoris
TOT : trans-ovarial transmissionTST: trans-stadial transmission
Example of an early-stage rash in an RMSF patient.
Example of a later-stage rash in an RMSF patient.
American dog tick (Dermacentor variabilis). (CDC)
Rocky Mountain wood tick (Dermacentor andersoni). (CDC)
EPIDEMIC THYPUS (Rickettsia prowazekii)
Sumber infeksi (hospes alami) : manusia, tupai terbang Glaucomys volans.
Penyakit pada hewan: tidak menunjukkan gejala klinis
Penularan: melalui kutu Pediculus humanus- siklus TST (trans stadial transmission), menggaruk kulit yang terdapat excreta kutu terinfeksi, melalui udara (aerogenik) dengan menghirup udara yang mengandung excreta dari kutu yang terinfeksi
Penyakit pada manusia: epidemic typhus, sakit kepala parah, nyeri pada kaki, demam tinggi selama 10-20 hari, rasa kedinginan, ruam pada kaki dan badan (4-7 hari), gejala-saraf, bronchopneumonia, hemoragi dan kematian apabila tidak diobati (10-50% pada pasien tanpa pengobatan)
Kadang terjadi recidiva (reaktivasi agen penyakit yang ada pada nodus limfatikus atau pada jaringan adipose) bias terjadi setelah 10-20 tahun Brill-Zinsser’s disease
Big epidemics have been reported during wars, famine and natural disasters, especially in winter and early spring.
Treatment: tetracycline, doxycycline, chloramphenicol.
Geographical distribution: Africa (Ethiopia, Algeria; Rwanda and Burundi, Zaire), Asia (e.g., Kazakhstan, 2000), South America, USA, Russia, western Europe.
FLEA-BORNE TYPHUS
Demam tipus yang disebabkan oleh Rickettsia typhi
Sinonim: Murine typhu s, endemic typhus, urban typhus.
Etiology : Rickettsia typhi (R. mooseri)
Geographic Distribution: endemic area di seluruh dunia but tropical and subtropical regions prevail; southern Europe, the Netherlands, Australia; especially harbours and coastal areas with markets (where rats are frequently present).
Kejadian pada manusia: Sporadic.
Kejadian pada hewan: Reservoir yang paling penting adalah tikus Rattus norvegicus, R.ratus, dan R.exulans , kucing, anjing,
Penyakit pada Manusia: waktu inkubasi adalah 6-14 hari. Gejala klinis yang terjadi mirip dengan tipus karena kutu (louse-borne typhus) tetapi lama penyakit lebih pendek dan lebih ringan
fever, heavy headaches, pains in limbs, dry cough for 2 weeks, usually a 6-day rash on chest and abdomen
Pengobatan: dengan memberikan antibiotic tetracycline atau analog long acting seperti doxycycline
Penyakit pada hewan: terjadi Rickettsemia pada tikus pada minggu pertama infeksi. Agen penyakit akan bertahan pada otak dan organ lain di tukus dalam jangka waktu lama. Infeksi pada tikus tidak menunjukkan gejala klinis (asymptomatic)
• Vektor utama adalah pinjal (flea) pada tikus Xenopsylla cheopis, Ctenocephalides felis
• Siklus penularan adalah tikus-pinjal-tikus, dan tikus-pinjal-manusia
Peranan hewan pada epidemiologi penyakit: Penyakit ini adalah infeksi pada tikus yang ditularkan ke manusia melalui pinjal. Kucing dan opossum dapat membawa pinjal yang terinfeksi C.felis ke lingkungan
Infeksi tidak ditularkan antar manusia
Kontrol: diarahkan untuk mengendalikan vektor penyakit, baru setelahnya mengendalikan populasi rodensia. Penggunaan insektisida pada daerah-daerah yang terlihat ada tanda-tanda tikus, lubang tikus, sarang tikus
Melakukan control tikus dengan racun tikus
Sanitasi lingkungan, bangunan anti-tikus
FAMILY COXIELLACEAE
Coxiella burnetii
Kokobaksil pleomorph, batang pendek 0.4–1.0×0.2–0.4 μm.
Parasit Intraselular Obligat mampu memperbanyak diri pada phagolysosom sel vertebrata
It reveals a phase variation:
virulent phase I (S),
avirulent II (R).
Hanya fase I yang terdapat di alam, strain C.burnetti dibedakan dari mikroba intraselular lainnya berdasarkan virulensinya (In the past,the genus Coxiella was assigned to rickettsiae.) (Hubalek & Rudolf 2011)
Q FEVER Q fever dikenal pertama kali menyebabkan sakit pada manusia
adalah di Australia tahun 1935, dan di Amerika pada 1940.
Q berarti Query, yang artinya pada saat itu agen infeksi ‘belum diketahui’
Etiologi : bakteri Coxiella burnetii
Reservoar utama: Sapi, kambing dan domba. Bakteri ini diekskresikan melalui susu, urine dan feses hewan yang terinfeksi. Pada prosen kelahiran, bakeri ini terdapat pada cairan amnion dan plasenta dalam jumlah banyak.
Bakteri ini tahan pada pemanasan, pengeringan dan tahan terhadap beberapa jenis desinfektan, sehingga memungkinkan banteri bertahan dalam waktu yang lama di lingkungan (20 hari di tanah)
Infeksi pada manusia terjadi karena menghirup udara yang tercemar oleh bakteri. Debu yang mengandung material placenta, cairan amnion, atau excreta dari hewn yang terinfeksi (aerogenik – aerosol)
mengkonsumsi susu yang tidak dipasteurisasi, penularan antar manusia jarang terjadi.
percutaneous (melalui gigitan caplak metastriate ticks, antara lain: Rhipicephalus sanguineus, Dermacentor marginatus, Hyalomma lusitaniae) – lebih sering terjadi pada daerah subtropis
Kotoran caplak mengandung 1010 bakteri coxiella per gram coxiellae per gram; transmisi transovarial bias terjadi pada caplak
Kejadian penyakit pada hewan: coxiellosis – tidak ada gejala klinis, kadang terjadi aborsi atau pneumonia
Gejala KlinisDemam yang akut, kadang berulang, hyperhidrosis,
kelemahan, sakit kepala intens, nyeri otot, nyeri sendi, pneumonia, turunnya berat badan, myo dan endocarditis, meningitis
Tidak terjadi ruam/rash di kulit. Hepatitis ditandai peningkatan level enzim transaminase,
Kasus yang kronis terjadi karena bakteri dapat berada di organ dalam waktu lama (di hati dan limpa)
Reaktivasi pada kasus laten pada saat kehamilan bakteri kemudian terdapat di plasenta
Q fever adalah occupational disease, dimana yang beresiko antara lain: breeder dan pekerja pada peternakan kambing domba, dokter hewan (membantu kelahiran pada ternak), jagal, infeksi di laboratorium
Contoh, pada tahun 2007 dari 48 orang yang terekspose pada saat praktikum di peternakan domba di Slovenia (pengajar dan murid) sebanyak 33 orang terinfeksi Q fever
Treatment: doxycycline, tetracycline, chloramphenicol (they shorten febrile period, but do not kill the intracellularly localized coxiellae), cotrimoxazole in children and pregnant women; a recommended combinations in chronic cases of Q fever are doxycycline with hydroxychloroquine, rifampicin or cotrimoxazole.
Prevention: Australian vaccine is approved for humans (it is prepared from the phase I); the protection is assumed to last 10 years. Culling of infected small ruminant herds according to the “test (bulk milk samples tested by PCR) and slaughter” policy. In addition, mandatory vaccination of small ruminants started in the Netherlands in 2009.
FAMILY CHLAMYDIACEAE
Chlamidia adalah bakteri Gram-negative, bulat dengan diameter 0.3-0.5 micron. Parasit obligat intraseluler terutama pada epitel mukosa
Bakteri ini mempunyai dinding sel solid, tetapi tidak mempunyai muramic acid (peptidoglycan diantara dinding sel dan membrane plasma)
Bakteri ini tidak mampu menghasilkan energy dari metabolismenya dan tergantung dari ATP sel hospes (sehingga disebut energetic parasite)
Siklus hidupnya melibatkan elementary bodies ektrasel (0.3-0.5 micron) yang infeksius yang dihasilkan oleh elementary body yang lebih besar yang disebut initial bodies
Chlamydiae sensitive terhadap diethyl ether karena 50% dari dinding selnya adalah lipid
Mudah di inactivasi oleh antibiotika, terutama yang menghambat proteosintesis (Chloramphenicol dan tetracycline)
Chlamydia yang zoonosis adalah Chlamidia psittaci,
Perbedaan dengan family rickettsiae, chlamydiae tidak ditularkan oleh vector artropoda
ZOONOTIC CHLAMYDIOSIS
Synonyms: Psittacosis (in birds of the family Psittacidae), parrot fever, ornithosis (in other birds).
Etiology:
Dari genus Chlamidia, yang dikenal adalah 3 spesies berikut: C. trachomatis, C. pneumoniae, and C. psittaci. A fourth species, C. pecorum
Chlamidia adalah m.o intraselular dengan karakteristik siklus reproduksi melalui 2 fase, hanya satu fase yang infeksius. Perbedaan dari bakteri yang lain adalah: parasite obligat, perbedaan struktur dan metabolisme
Geographic Distribution:Worldwide
Kejadian pada manusia: sporadic. Kebanyakan kasus pada manusia adalah oleh C. psittaci yang ditularkan melalui burung. Kasus pada mamalia jarang terjadi
Infeksi C.psitacci disebabkan sebagian besar karena bekerja dengan ungags seperti Kalkun atau bebek.
Kasus pada mamalia dilaporkan tejadi adanya keratokonjungtivitis karena penularan dari kucing yang menderita pneumonia (Schachter et al., 1969)
Kejadian pada hewan: infeksi alami sudah ditemukan pada 130 spesies burung domestic dan burung liar, terutama family Psittacidae
Semua unggas dianggap sebagai reservoir chlamidia. Antara lain brung merpati, kalkun, bebek, ayam
C.psittaci juga merupakan parasite pada mamalia domestic dan mamalia liar
Penyakit pada manusia: masa inkubasi 1-4 minggu, kadang lebih lama. Infeksi biasanya tidak menunjukkan gejala klinis, tetapi ada juga dengan gejala yang lebih parah. Bentuk ringan psittacosis kadang disalahkan dengan gejala sakit respirasi sehingga tidak begitu diperhatikan
Penyakit ini kadang terjadi dengan cepat, dengan adanya demam, menggigil, berkeringat, nyeri otot, nafsu makan menurun dan sakit kepala
Wanita hamil beresiko tertular dari domba pada daerah dimana terjadi kasus aborsi karena infeksi C.psittaci
The Disease in Animals:Most infections in birds are latent and inapparent. The disease usually appears when the birds’ overall resistance has been lowered because of stress (brought on by such factors as overcrowding, concurrent infections, unsanitary conditions, nutritional deficiencies, prolonged transport, etc.). Outbreaks have occurred in establishments that sell pet parrots and parakeets, or, more often, during the shipment of these animals, and the disease has also been reported in pigeons, turkeys, and ducks
The symptoms—fever, diarrhea, loss of appetite, emaciation, andnrespiratory distress—are uncharacteristic. Conjunctivitis is common, with severity ranging from mere conjunctival congestion to necrotic obstruction of the orbit.
Autopsy may reveal inflamed serous membranes with fibrinous exudate, edematous or hyperemic areas in the lungs, and an enlarged and striated liver. Enlargement of the spleen is common in psittacine birds, and epicarditis and myocarditis are seen in turkeys. In chickens, however, the infection is almost always inapparent.
C. pecorum, the proposed new species, causes encephalitis, pneumonia, and enteritis in bovines and polyarthritis in sheep.
The mammalian strains of C. psittaci are the strains that cause abortion, keratoconjunctivitis, and other diseases
Source of Infection and Mode of Transmission: Wild and domestic birds are the natural reservoirs of C. psittaci.
Humans contract the infection from birds by inhaling the airborne agent in contaminated environments.
Sporadic human cases have been associated mainly with psittacines and other companion or decorative birds. However, in some places turkeys or ducks may outrank psittacines and pigeons as the main source of infection.
Chlamydiosis of avian origin is largely an occupational disease of workers in turkey-processing plants, duck and geese pluckers, pigeon breeders, and employees at establishments that trade in exotic and pet birds.
In birds, the infection is primarily gastrointestinal and the agent is shed through the feces. Sick birds frequently suffer from diarrhea and release large quantities of chlamydiae into the environment through their feces, which give off aerosols as they dry.
Chlamydiae are also spread through contamination of the plumage. Transmission between birds can also take place by inhalation, and in some cases via the digestive tract (coprophagy, cannibalism).
Domestic fowl—turkeys, ducks, geese, and sometimes chickens—may be infected by wild birds, which represent a large reservoir of the infectious agent.
Migrating birds can give rise to new foci of infection (Grimes, 1978). Little importance has been given to transovarial transmission, which has been confirmed in ducks, or to mechanical transmission by arthropod vectors.
Role of Animals in the Epidemiology of the Disease: Human C. psittaci infection is a zoonosis, and, as with most zoonoses, man is an accidental host. Humanto-human transmission is rare and has only been seen in a few nurses who had cared for psittacosis patients.
Control: Eradication cannot be considered due to the large number of hosts, including many free-living birds, nor are there effective vaccines for controlling the disease.
The control strategy that has yielded the best results is giving tetracycline based chemoprophylaxis to psittacine and other birds—specifically, 1% chlortetracycline and up to 0.7% calcium included in their feed.
Chlortetracycline should be added to the birds’ feed for 45 days, and the cages and premises should be cleaned and disinfected with quaternary ammonium chloride. In the case of imported birds, chlortetracycline should be added to their feed for 45 days as a preventive measure, either in the country of origin or upon arrival at their destination.
Mass treatment has also been given on turkey farms. Epidemiological surveillance is necessary. This should include serological screening to identify infected farms, placing the establishments under quarantine, and administering tetracycline in the turkeys’ feed for a period of four weeks.
QUIZ (TULISKAN JAWABAN YANG SESUAI )
1.
2.
4. Gambar disamping adalah gejala klinis dari penyakit ____________________
3.