Penyakit Imunitas
-
Upload
astrid-windisari -
Category
Documents
-
view
238 -
download
0
description
Transcript of Penyakit Imunitas
MAKALAH NEUROENDOKRINOLOGI
PENYAKIT-PENYAKIT IMUN
Disusun oleh :
Aprilia Dyah 140410120002
Aya Sofa N. 140410120022
Fauziah Nurhusnayain 140410120026
Adela Hani Faiza 140410120052
Astrid Windisari 140410120068
Cynthia Rizka Riani 140410120078
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sistem imunitas tubuh memiliki fungsi yaitu membantu perbaikan DNA
manusia; mencegah infeksi yang disebabkan oleh jamur, bakteri, virus, dan
organisme lain; serta menghasilkan antibodi (sejenis protein yang disebut
imunoglobulin) untuk memerangi serangan bakteri dan virus asing ke dalam
tubuh. Tugas sistem imun adalah mencari dan merusak invader (penyerbu) yang
membahayakan tubuh manusia.
Untuk tetap terlindungi, beberapa mekanisme telah berevolusi yang
menetralisir patogen. Bahkan organisme uniselular seperti bakteri dimusnahkan
oleh sistem enzim yang melindungi terhadap infeksi virus. Mekanisme imun
lainnya yang berevolusi pada eukariota dan tetap pada keturunan modern, seperti
tanaman, ikan, reptil dan serangga. Mekanisme tersebut termasuk peptida
antimikrobial yang disebut defensin, fagositosis, dan sistem komplemen.
Mekanisme yang lebih berpengalaman berkembang secara relatif baru-baru ini,
dengan adanya evolusi vertebrata. Imunitas vertebrata seperti manusia berisi
banyak jenis protein, sel, organ tubuh dan jaringan yang berinteraksi pada
jaringan yang rumit dan dinamin. Sebagai bagian dari respon imun yang lebih
kompleks ini, sistem vertebrata mengadaptasi untuk mengakui patogen khusus
secara lebih efektif. Proses adaptasi membuat memori imunologis dan membuat
perlindungan yang lebih efektif selama pertemuan pada masa depan dengan
patogen tersebut. Proses imunitas yang diterima adalah basis dari vaksinasi.
Salah satu komponen utama sistem kekebalan tubuh adalah sel T, suatu
bentuk sel darah putih (limfosit) yang berfungsi mencari jenis penyakit pathogen
lalu merusaknya. Limfosit dihasilkan oleh kelenjar limfe yang penting bagi tubuh
untuk menghasilkan antibodi melawan infeksi. Secara umum, limfosit tidak
berubah banyak pada usia tua, tetapi konfigurasi limfosit dan reaksinya melawan
infeksi berkurang. Manusia memiliki jumlah T sel yang banyak dalam tubuhnya,
namun seiring peningkatan usia maka jumlahnya akan berkurang yang
ditunjukkan dengan rentannya tubuh terhadap serangan penyakit.
Fungsi sistem imunitas tubuh (immunocompetence) menurun sesuai umur.
Kemampuan imunitas tubuh melawan infeksi menurun termasuk kecepatan
respons imun dengan peningkatan usia. Hal ini bukan berarti manusia lebih sering
terserang penyakit, tetapi saat menginjak usia tua maka resiko kesakitan
meningkat seperti penyakit infeksi, kanker, kelainan autoimun, atau penyakit
kronik. Hal ini disebabkan oleh perjalanan alamiah penyakit yang berkembang
secara lambat dan gejala-gejalanya tidak terlihat sampai beberapa tahun
kemudian. Di samping itu, produksi imunoglobulin yang dihasilkan oleh tubuh
orang tua juga berkurang jumlahnya sehingga vaksinasi yang diberikan pada
kelompok lansia kurang efektif melawan penyakit. Masalah lain yang muncul
adalah tubuh orang tua kehilangan kemampuan untuk membedakan benda asing
yang masuk ke dalam tubuh atau memang benda itu bagian dari dalam tubuhnya
sendiri.
Salah satu sistem yang bekerja secara terus menerus dan tidak pernah
berhenti adalah sistem kekebalan tubuh atau disebut juga sistem imun. Sistem ini
melindungi tubuh sepanjang waktu dari semua jenis penyerang yang berpotensi
menimbulkan penyakit pada tubuh kita. Setiap sistem, organ, atau kelompok sel di
dalam tubuh mewakili keseluruhan di dalam suatu pembagian kerja yang
sempurna. Setiap kegagalan dalam sistem akan menghancurkan tatanan ini.
Sistem imun sangat diperlukan bagi tubuh kita sebagai pertahanan tubuh terhadap
infeksi. Berbagai komponen system imun bekerja sama dalam sebuah respon
imun. Apabila seseorang secara imunologis terpapar pertama kali dengan antigen
kemudian terpapar lagi dengan antigen yang sama, maka akan timbul respon imun
sekunder yang lebih efektif. Reaksi tersebut dapat berlebihan dan menjurus ke
kerusakan individu mempunyai respon imun yang menyimpang. Kelainan yang
disebabkan oleh respon imun tersebut disebut hipersensitivitas. Oleh karena itu
untuk lebih memahami mengenai jenis penyakit yang menyerang sistem imun,
maka dibuatlah makalah ini untung menambah pengetahuan tentang peranan
sistem imun dalam tubuh manusia yang mempunyai peranan penting dalam sistem
mempertahankan kesehatan dan daya tahan tubuh seseorang.
1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, dapat diidentifikasikan
masalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan sistem imun.
2. Apa saja jenis penyakit dan penyebab yang menyerang sistem imun.
1.3. Tujuan Makalah
Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui pengertian dari sistem
imun, Jenis-jenis penyakit yang menyerang sistem imun dan mekanisme faktor
apa yang menyebabkan sistem imun dapat terserang penyakit.
BAB II
ISI
Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang
melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasikan
dan membunuh patogen serta sel tumor. sistem ini mendeteksi berbagai macam
pengaruh biologis luar yang luas, organisme akan melindungi tubuh dari infeksi,
bakteri, virus, dan parasit lainya, serta menghancurkan zat-zat asing lain dan
memusnahkan mereka dari sel organisme yang sehat dari jaringan agar tetap dapat
berfungsi seperti biasa.
2.1 Defisiensi Sistem Imun
Defisiensi imun muncul ketika satu atau lebih komponen sistem imun
tidak aktif, atau fungsi sistem imun yang menurun atau tidak berfungsi dengan
baik dan akibatnya akan menyebabkan kerentanan terhadap infeksi semakin
meningkat. Defisiensi imun secara garis besar dibagi menjadi 2, yaitu defisiensi
imun primer dan sekunder. Defisiensi imun primer tidak berhubungan dengan
penyakit lain yang mengganggu sistem imun, dan banyak yang merupakan akibat
kelainan genetik dengan pola bawaan khusus. Defisiensi imun sekunder terjadi
sebagai akibat dari penyakit lain, umur, trauma, atau pengobatan.
Penyebab defisiensi imun sangat beragam dan penelitian berbasis genetik
berhasil mengidentifikasi lebih dari 100 jenis defisiensi imun primer dan pola
menurunnya terkait pada X-linked resesif, resesif autosomal, atau dominan
autosomal.
Penyakit defisiensi imun karena fungsi yang abnormal dari satu atau lebih
elemen sistem imun, terbagi atas:
Defisiensi imun spesifik, adanya disfungsi dari sel T dan sel B
Defisiensi imun non spesifik, adanya disfungsi sel fagosit.
Defisiensi imun dapat meningkatkan daya infeksi terhadap penderita. Efek
infeksi dapat dikategorikan menjadi 2, yaitu :
Infeksi pirogenik, yaitu infeksi yang terjadi saat pasien mengalami
kerusakan pada imunoglobulin, protein komplemen atau fagosit dan dapat
langsung terinfeksi oleh bakteri kapsul
Infeksi oputunistis, yaitu infeksi yang terjadi saat pasien mengalami
kerusakan pada sel mediasi (sel T)
1. Klasifikasi Defisiensi Imun Primer
a. Defisiensi imun humoral (sel B)
Pasien yang mengalami kerusakan fungsi sel B, memiliki efek infeksi
pirogenik, seperti Pneumonia, Media otitis, dan Sinusitis. Pada defisiensi imun sel
B terdapat beberapa penyakit, yaitu:
Agammaglobulinemia X-linked (X-LA), Penyakit ini menyerang anak
laki-laki karena adanya penurunan jumlah bahkan tidak adanya limfosit B,
rendahnya kadar antibodi, dan kelainan pada kromosom X. pada bayi akan
menderita infeksi paru-paru, sinus dan infeksi tulang. Infeksi ini akan
terjadi ketika berusia 6 bulan.
Gambar 2.1 Penyakit Agammaglobulinemia X-linked yang menyerang
bayi
Defisiensi IgA selektif merupakan penyakit turunan, namun penyebab
penyakit sering terjadi dengan penyebab yang tidak jelas. Penyakit ini
dapat timbul akibat pemakaian fenitoin (obat anti kejang). Penderita
kekurangan IgA tidak mengalami gangguan atau hanya megalami
gangguan ringan, namun sebagian juga mengalami infeksi pernafasan
menahun dan alergi. Jika penderita diberi transfusi darah, plasma atau
immunoglobulin IgA, beberapa penderita menghasilkan antibodi anti-IgA
yang dapat menyebabkan reaksi alergi yang hebat kerika menerima plasma
atau imunoglobulin berikutnya.
Defisiensi imun dengan hiper IgM. Penderita penyakit ini mempunyai
kadar IgM serum yang normal atau meningkat khususnya pada pendeita
anak-anak. Anak-anak penderita penykit ini mempunyai risiko tambahan
terhadap infeksi Pneumocystis carinii, yang secara normal terjadi pada
defek sel T. Efek pada defisiensi antibodi ini tidak hanya terbatas pada
defek sel B. Penyakit terkait kromosom X ini disebabkan oleh kegagalan
molekul aksesori ligan CD40 pada sel T, yang bereaksi dengan CD40 pada
sel B untuk merangsang perubahan IgM menjadi IgG atau IgA pada sel B
yang terstimulasi antigen.
Defisiensi sel B sekunder yang berhubungan dengan obat sehingga
kehilangan protein
Penyakit limfoproliferatif x-linked
b. Defesiensi Sel T
Defesiensi sel T ini lebih rentan menginfeksi pada individu yang memiliki
sel T yang sedikit atau tidak memiliki sel T. Pada manusia sel B lebih memiliki
fungsi yang besar dibandingkan sel T, sehingga defisiensi sel T akan
menghasilkan imunodefisiensi umoral, yaitu mengkoordinasi kombinasi
defisiensi antara sel humoran dan sel mediasi-imunitas. Beberapa penyakit yang
disebabkan oleh defesiensi sel T yaitu:
Kandidiasi mukokotaneus kronis, terjadi akibat fungsi sel darah putih yang
buruk dan menyebabkan infeksi jamur Candida yang dapat menetap pada
bayi dan remaja khususnya pada perempuan. Jamur ini menyebabkan
infeksi mulut, kulit kepala, kulit tubuh dan kuku. Beberapa penderita juga
mengalami hepatitis dan penyakit paru-paru serta kelainan endokrin.
Pengobatan dilakukan dengan mengggunakan obat anti jamur dan
terkadang dilakukan pencangkokan sumsung tulang.
Anomali DiGeorge, diakibatkan karena adanya kelainan pada
perkembangan janin. Kelainan ini tidak diturunkan dan bisa menyerang
anak laki-laki maupun perempuan. Anak-anak tidak memiliki kelenjar
thymus yang penting untuk perkembangan limfosit T yang normal.
Kelainan ini kadang bersifat parsial dan akan membaik dengan sendirinya.
Anak-anak memiliki kelainan jantung dan gambaran wajah yang tidak
biasa (telinganya lebih rendah, tulang rahangnya kecil dan menonjol serta
jrak antara kedua matanya lebih lebar). Penderita juga tidak memiliki
kelenjar paratiroid, sehingga kadar kalium darahnya rendah dan setelah
lahir mengalami kejang. Jika keadannya sangat berat, maka perlu
dilakukan pencangkokan sumsum tulang dan pencangkokan kelenjar
thymus dari janin atau bayi baru lahir (janin yang mengalami keguguran).
Kadang kelainan jantungnya lebih berat daripada kelainan kekebalan
sehingga perlu dilakukan pembedahan jantung untuk mencegah gagal
jantung yang berat dan kematian.
Gambar 2.2 Penderita penyakit Anomali DiGeorge
Defisiensi sel T hasil defisiensi MHC Class II
Molekul MHC klass II diekspresikan karena adanya sel makrofag dan sel
B yang merupakan karakteristik autosomal resesif. Karena pengembangan
CD4+ sel T helper mengalami seleksi positif dengan molekul MHC class
II pada kelenjar timus. Defisiensi molekul MHC class II menyebabkan
defisiensi terhadap sel CD 4+.
c. Defesiensi Sel T dan Sel B
Ataksia-telangiektasia, suatu penyakit keturunan yang menyerang sistem
kekebalan dan sistem saraf. Kelainan pada cerebelum menyebabkan
pergerakan yang tidak terkoordinasi (ataksia). Kelainan pergerakan
biasanya timbul ketika anak sudah mulai berjalan, tetapi bisa juga baru
muncul pada usia 4 tahun. Anak tidak dapat berbicara dengan jelas, otot-
ototnya lemah dan kadang terjadi keterbelakangan mental. Telangiektasi
adalah suatu keadaan dimana terjadi pelebaran kapiler di kulit dan mata.
Kelainan pada sistem endokrin bisa menyebabkan ukuran buah zakar yang
kecil, kemandulan dan diabetes. Ataksia-telangiektasia biasanya
berkembang menjadi otot yang melemah dan semakin memburuk,
kelumpuhan, demensia dan kematian.
Gambar 2.3 Penyakit Ataksia-teleangiektaskia
Imunodefisiensi komplemen kronis, terjadi karena kekurangan limfosit B
dan antibodi, disertai kekurangan atau tidak berfungsinya limfosit T,
sehingga penderita tidak mampu melawan infeksi dengan kuat. Sebagian
besar penderita akan mengalami pneumonia dan thrush (infeksi jamur di
mulut). Pengobatan terbaik adalah pencangkokan sumsum tulang atau
darah dari tali pusar.
Sindrom Wiskott-Aldrich, merupakan kelainan pada proses ekspresi
antigen oleh makrofag. Ditandai dengan trombositopenia dan eksim serta
kadar IgM yang sangat rendah.
Gambar 2.4 Penyakit Sindrom Wiskott-Aldrich
Berikut adalah daftar tabel SCID (Severe Combined Immunodeficiency
Disease) berdasarkan ada atau tidaknya sel T dan sel B:
Kondisi Defek
fungsi
Patogenesis Keturunan Keterangan
T- B+ SCIDX
linked Resesif
autosom
- Kegagala
n CMI
dan
antibodi
- Sel NK
abnormal
- Kegagala
n CMI
dan
antibodi
- Defisiensi
reseptor IL
(rantai γ)
- Defisiensi
sitokin
kinase
X linked
Resesif
autosom
40% kasus
SCID5%
kasus SCID
T- B- SCID
Resesif
autosom
Kegagalan
CMI dan
antibodi
Tidak ada
diferensiasi
karena defek
RAG1/2
Resesif
autosom
20% kasus
SCID20%
kasus SCID,
Kemungkina
n hidup tidak
ada
Defisiensi
MHC kelas
I (“bare
lymphocyte
syndrome”)
Sel T dan B
normal,
namun CMI
dan antibodi
rusak
Kegagalan
ekspresi
antigen
MHC kelas I
karena defek
transkripsi
TAP-2
Resesif
autosom
Jarang
Defisiensi
MHC kelas II
Kegagalan
presentasi
antigen ke
sel T CD4+
Defek
transkripsi
protein
MHC kelas
Resesif
autosom
< 5% kasus
SCID
II
Defisiensi
CD3 Kegagala
n aktivasi CD3
Defisiensi IL-2
Kegagalan
aktivasi sel
T CD4+
- Defek
transkrips
i
- Defek
transduks
i signal,
seperti
defisiensi
ZAP-70
- Gagal
produksi
sitokin
Resesif
autosom Resesi
f autosomTidak
diketahui
Jarang
d. Defek primer pada imunitas non-spesifik
Imunitas humoral spesifik membutuhkan mekanisme efektor non-spesifik
untuk kerjanya. Mikroorganisme yang telah diopsonisasi oleh antibodi IgG siap
untuk terikat dan difagosit oleh sel fagosit. Lisis bakteri yang tergantung
komplemen juga membutuhkan jalur komplemen yang berfungsi dengan baik,
demikian pula pada kompleks antibodi-komplemen.
e. Defek fungsi neutrofil
Peran utama neutrofil adalah memfagosit, menghancurkan dan mengolah
mikroorganisme yang menginvasi, terutama bakteri dan jamur. Defek pada
neutrofil dapat bersifat kuantitatif (neutropenia) atau kualitatif (disfungsi
neutrofil), namun manifestasi klinisnya sama. Jumlah neutrofil yang bersirkulasi
normalnya melebihi 1,5×109/liter. Neutropenia ringan biasanya asimtomatik,
namun derajat sedang sampai berat dihubungkan dengan peningkatan risiko dan
keparahan infeksi (infeksi akan mengancam nyawa bila jumlah neutrofil di
bawah 0,5×109/l). Neutropenia lebih umum ditemukan dibandingkan disfungsi
neutrofil, dan penyebab sekunder neutropenia lebih umum dibandingkan
penyebab primernya. Bentuk primer (kongenital) ini bersifat fatal dan penyakit
ini sering terjadi akibat efek samping dari kemoterapi.
Fungsi neutrofil dapat dibagi dalam beberapa stadium dan defek kualitatif
dapat diklasifikasikan sesuai tahapan fungsi yang terganggu. Pergerakan neutrofil
yang menurun dapat timbul tanpa dikaitkan dengan defek fagositosis dan
mekanisme penghancuran. Fungsi opsonisasi yang kurang karena defisiensi
antibodi berat atau kadar C3 yang rendah dapat meningkatkan kerawanan
terhadap infeksi, hal ini diperberat bila neutrofil mempunyai fungsi fagosit yang
buruk, baik primer atau sekunder. Apabila mekanisme penghancuran intraseluler
gagal, bakteri yang difagosit dapat bertahan dan berproliferasi di dalam
lingkungan intraseluler, bebas dari efek antibodi dan antibiotik. Contohnya
adalah sindrom penyakit granulomatosa kronik(chronic granulomatous disease,
CGD), yang timbul akibat kegagalan produksi radikal oksigen bakterisidal
selama proses respiratory burst dalam aktivasi fagositosis. Tipe klasik CGD
diturunkan sebagai kelainan X-linked recessive, dan biasanya muncul dalam 2
bulan pertama, meskipun diagnosis mungkin baru ditegakkan saat dewasa muda.
Komplikasi yang muncul dapat berupa limfadenopati regional,
hepatosplenomegali, abses hepar dan osteomielitis. Tatalaksana CGD meliputi
antibiotik profilaksis (biasanya kotrimoksazol) dan antifungal bila diperlukan.
f. Defisiensi komplemen
Aktivitas komplemen yang rusak biasanya terjadi sekunder terhadap
penyakit yang menggunakan komplemen melalui jalur klasik atau alternatif.
Contohnya adalah penyakit lupus eritematosus sistemik yang mengkonsumsi
jalur klasik kompenen komplemen C1, C4 dan C2 dan mengakibatkan rusaknya
kemampuan komplemen untuk melarutkan kompleks imun. Pada manusia,
defisiensi komponen komplemen yang diturunkan dikaitkan dengan sindrom
klinik. Banyak pasien dengan defisiensi C1, C4 atau C2 mempunyailupus-like
syndrome, seperti ruam malar, artralgia, glomerulonefritis, demam atau vaskulitis
kronik dan infeksi piogenik rekuren. Antinuklear dan antibodi anti-dsDNA dapat
tidak ditemukan. Adanya defisiensi komponen komplenen jalur klasik ini
menurunkan kemampuan individu untuk eliminasi kompleks imun.
Pasien dengan defisiensi C3 dapat terjadi secara primer atau sekunder,
contohnya defisiensi inhibitor C3b, seperti faktor I atau H akan meningkatkan
risiko untuk terkena infeksi bakteri rekuren. Individu biasanya terkena infeksi
yang mengancam nyawa, seperti pneumonia, septikemia dan meningitis. Terdapat
hubungan kuat antara defisiensi C5, C6, C7, C8 atau properdin dengan infeksi
neiseria rekuren. Biasanya pasien mempunyai infeksi gonokokus rekuren,
terutama septikemia dan artritis, atau meningitis meningokukos rekuren.
Defisiensi inhibitor C1 merupakan defisiensi sistem komplemen diturunkan yang
paling sering dan penyebab angioedema herediter.
2. Penanganan Defisiensi Imun Primer
a. Terapi Defisiensi Sel B, Terapi pengganti dengan suntikan gamma
globulin IV (untuk penderita CVID), terapi antimikroba (mencegah infeksi
respiratoris, komplikasi seperti pneumonia, sinusitis atau otitis media),
metronidazol, dan jika penderita anemia pernisiosa disuntikkan vitamin
B12 selama sebulan sekali.
b. Terapi Defisiensi Sel T, terapi topical dengan mikronazol, suntikan
amfoterisin B IV dan terapi oral dengan klotrimazol dan ketokonazol.
c. Terapi Defisiensi Sel T dan sel B, transplantasi sumsum tulang,
penyuntikkan dengan immunoglobulin IV dan transplantasi kelenjar
thymus.
2.2 Defisiensi Imun Sekuder
a. Penyakit Defisiensi Imun Sekunder
Penyebab sekunder defisiensi imun lebih umum dibandingkan penyebab
primer. Kadar komponen imun yang rendah menunjukkan produksi yang
menurun atau katabolisme (“hilangnya” komponen imun) yang dipercepat.
Hilangnya protein yang sampai menyebabkan hipogamaglobulinemia dan
hipoproteinemia terjadi terutama melalui ginjal (sindrom nefrotik) atau melalui
saluran cerna (protein-losing enteropathy).
Defisiensi imun sekunder terjadi sebagai akibat dari penyakit lain, umur,
trauma, atau pengobatan. Beberapa jenis penyakit yang dapat menyebabkan
defisiensi imun:
Jenis penyakit Sel target
Acquired immine deficiencies
syndrome (AIDS)
Sel T (sel merusak sel Th )
Immunodeficiencies sIgA Sel B dan sel t (rentan terhadap
infeksi pada mukosa)
Reticular disgenesis Sel B, sel T, dan sel induk
(defisiensi sel induk, sel B dan
sel T tidak berkembang)
Severe Combined
immunodeficiency
Sel B, sel t, dan sel induk
(defisiensi pada sel B dan selT)
Di Geeorge Syndrome
Sel T (kelainan pada timus
menyebabkan difesiensi sel T)
Sindroma Wiskott-Aldrich Sel B dan sel T(ksedikit platelet
dalam darah dan sel T abnormal)
Penyakit defisiensi imun sekunder dapat disebabkan:
1. Penyakit keturunan dan kelainan metabolism yaitu, diabetes, sindroma
down,gagal ginjal, malnutrisi, dan penyakit sel sabit.
2. bahan kimia dan pengobatan yang menekan system kekebalan yaitu,
kemoterapi kanker, kortikosteroid, obat immun supresan dan terapi
penyinaran.
3. infeksi yaitu, cacar air, infeksi sitomegalovirus, campak jerman
(rubella congenital, infeksi hiv (aids), campak, infeksi bakteri yang
berat, infeksi jamur yang berat, dan tuberkulosis yang berat.
4. penyakit darah dan kanker yaitu, agranulositosis, semua jenis kanker,
anemia aplastik, histiositosis, leukemia, limfoma, mielofibrosis, dan
mieloma.
Hilangnya imunoglobulin melalui renal setidaknya bersifat selektif parsial,
sehingga kadar IgM masih dapat normal meskipun kadar IgG serum dan albumin
menurun. Protein juga dapat hilang dari saluran cerna melalui penyakit
inflamatorius aktif seperti penyakit Crohn, kolitis ulseratif dan penyakit seliak.
Kerusakan sintesis paling nampak pada malnutrisi. Defisiensi protein
menyebabkan perubahan yang mendalam pada banyak organ, termasuk sistem
imun. Kerusakan produksi antibodi spesifik setelah imunisasi, dan defek pada
imunitas seluler, fungsi fagosit dan aktivitas komplemen dihubungkan dengan
nutrisi yang buruk, dan membaik setelah suplementasi diet protein dan kalori
yang cukup.
Pasien dengan penyakit limfoproliferatif sangat rentan terhadap infeksi.
Leukemia limfositik kronik yang tidak diobati umumnya berhubungan dengan
hipogamaglobulinemia dan infeksi rekuren yang cenderung bertambah berat
dengan progresifitas penyakit. Limfoma Non-Hodgkin mungkin berhubungan
dengan defek pada imunitas humoral dan seluler. Penyakit Hodgkin biasanya
berhubungan dengan kerusakan yang nyata dari imunitas seluler, namun
imunoglobulin serum masih normal sampai fase akhir penyakit.
Risiko infeksi pasien dengan mieloma multipel 5-10 kali lebih tinggi
dibandingkan kelompok kontrol. Frekuensi infeksi oportunistik pada pasien
dengan keganasan diseminata menandakan adanya defek imun, meskipun sulit
membedakan efek imunosupresif dari penyakit ataupun efek pengobatan. Obat
imunosupresif mempengaruhi beberapa aspek fungsi sel, terutama limfosit dan
polimorf, namun hipogamaglobulinemia berat jarang terjadi. Pasien dengan obat
untuk mencegah penolakan organ transplan juga dapat timbul infeksi
oportunsistik meskipun tidak biasa.
Salah satu penyakit defisiensi imun sekunder adalah HIV. HIV adalah
retrovirus yang ditularkan secara seksual dalam darah atau produk darah dan
perinatal. ada dua varian utama virus ini yaitu HIV-1 dan HIV-2. Virus HIV
terbungkus mengandung dua salinan dari ssRNA genom tunggal. Setelah masuk
ke ceil genom ini cadangan akan ditranskripsi menjadi pelengkap cDNA yang
terintegrasi ke dalam genom sel inang. genom 10 kilobase mengkodekan sembilan
gen diapit di setiap akhir oleh urutan panjang terminal yaitu:
Integrasi DNA virus ke dalam DNA sel inang
Berisi situs yang mengikat bagi protein regulator yang terlibat dalam
replikasi virus
Antigen CD4 adalah reseptor utama untuk virus dapat hadir pada limfosit
CD4+T, monosit, sel dendrit dan mikroglia otak. meskipun HIV-1 tidak
menggunakan DC-SIGN untuk menginfeksi DC interaksi ini memungkinkan DC
untuk menginternalisasi HIV-1 di situs mukosa dan kemudian bermigrasi ke
kelenjar getah bening di mana mereka memberikan HIV-1 pada sel-sel CD4 sel T.
Penyakit HIV dimulai dengan infeksi akut yang tidak dapat diatasi
sempurna oleh respons imun adaptif, dan berlanjut menjadi infeksi jaringan
limfoid perifer yang kronik dan progresif. Perjalanan penyakit HIV dapat diikuti
dengan memeriksa jumlah virus di plasma dan jumlah sel T CD4+ dalam darah.
Infeksi primer HIV pada fetus dan neonatus terjadi pada situasi sistim imun
imatur, sehingga penjelasan berikut merupakan ilustrasi patogenesis yang khas
dapat diikuti pada orang dewasa.
Infeksi primer terjadi bila virion HIV dalam darah, semen, atau cairan
tubuh lainnya dari seseorang masuk ke dalam sel orang lain melalui fusi yang
diperantarai oleh reseptor gp120 atau gp41. Tergantung dari tempat masuknya
virus, sel T CD4+ dan monosit di darah, atau sel T CD4+ dan makrofag di jaringan
mukosa merupakan sel yang pertama terkena. Sel dendrit di epitel tempat
masuknya virus akan menangkap virus kemudian bermigrasi ke kelenjar getah
bening. Sel dendrit mengekspresikan protein yang berperan dalam
pengikatan envelope HIV, sehingga sel dendrit berperan besar dalam penyebaran
HIV ke jaringan limfoid. Di jaringan limfoid, sel dendrit dapat menularkan HIV
ke sel T CD4+ melalui kontak langsung antar sel.
Beberapa hari setelah paparan pertama dengan HIV, replikasi virus dalam
jumlah banyak dapat dideteksi di kelenjar getah bening. Replikasi ini
menyebabkan viremia disertai dengan sindrom HIV akut (gejala dan tanda
nonspesifik seperti infeksi virus lainnya). Virus menyebar ke seluruh tubuh dan
menginfeksi sel T subset CD4 atau T helper, makrofag, dan sel dendrit di jaringan
limfoid perifer. Setelah penyebaran infeksi HIV, terjadi respons imun adaptif baik
humoral maupun selular terhadap antigen virus. Respons imun dapat mengontrol
sebagian dari infeksi dan produksi virus, yang menyebabkan berkurangnya
viremia dalam 12 minggu setelah paparan pertama.
Setelah infeksi akut, terjadilah fase kedua dimana kelenjar getah bening
dan limpa menjadi tempat replikasi HIV dan destruksi sel. Pada tahap ini, sistem
imun masih kompeten mengatasi infeksi mikroba oportunistik dan belum muncul
manifestasi klinis infeksi HIV, sehingga fase ini disebut juga masa laten klinis
(clinical latency period). Pada fase ini jumlah virus rendah dan sebagian besar sel
T perifer tidak mengandung HIV. Kendati demikian, penghancuran sel T
CD4+ dalam jaringan limfoid terus berlangsung dan jumlah sel T CD4+yang
bersirkulasi semakin berkurang. Lebih dari 90% sel T yang berjumlah
1012 terdapat dalam jaringan limfoid, dan HIV diperkirakan menghancurkan 1-2 x
109 sel T CD4+ per hari. Pada awal penyakit, tubuh dapat menggantikan sel T
CD4+ yang hancur dengan yang baru. Namun setelah beberapa tahun, siklus
infeksi virus, kematian sel T, dan infeksi baru berjalan terus sehingga akhirnya
menyebabkan penurunan jumlah sel T CD4+ di jaringan limfoid dan sirkulasi.
Pada fase kronik progresif, pasien rentan terhadap infeksi lain, dan respons
imun terhadap infeksi tersebut akan menstimulasi produksi HIV dan destruksi
jaringan limfoid. Transkripsi gen HIV dapat ditingkatkan oleh stimulus yang
mengaktivasi sel T, seperti antigen dan sitokin. Sitokin (misalnya TNF) yang
diproduksi sistem imun alamiah sebagai respons terhadap infeksi mikroba, sangat
efektif untuk memacu produksi HIV. Jadi, pada saat sistem imun berusaha
menghancurkan mikroba lain, terjadi pula kerusakan terhadap sistem imun oleh
HIV.
Penyakit HIV berjalan terus ke fase akhir dan letal yang disebut AIDS
dimana terjadi destruksi seluruh jaringan limfoid perifer, jumlah sel T
CD4+ dalam darah kurang dari 200 sel/mm3, dan viremia HIV meningkat drastis.
Pasien AIDS menderita infeksi oportunistik, neoplasma, kaheksia (HIV wasting
syndrome), gagal ginjal (nefropati HIV), dan degenerasi susunan saraf pusat
(ensefalopati HIV).
HIV merupakan penyakit yang belum ada obat atau vaksin yang tersedia
saat ini, senjata utama adalah mencegah melalui pendidikan kesehatan dan
pengendalian infeksi. Pengobatan HIV dapat dilakukan dengan terapi antiretrovial
yang mengontrol infeksi HIV biasanya:
Menurunkan Plasma Viral load ke tingkat bawah deteksi oleh tes yang
paling sensitif (<50 kopi RNA / ml plasma)
Penurunan risiko infeksi oportunistik seperti CD4 dan kenaikan
jumlahnya.
Kemudian dapat dilakukan terapi siRNA, prinsip dari terapi ini adalah
menggunakan small RNA yang dapat menghambat ekspresi beberapa gen spesifik
virus HIV/AIDS, sehingga dapat menghentikan sintesis protein yang digunakan
virus untuk bertahan hidup, diantaranya adalah protein yang terlibat dalam
replikasi. Selain itu, terapi dengan siRNA juga dapat menghambat ekspresi gen
spesifik pada sintesis protein yang mendukung infeksi virus HIV/AIDS ke dalam
sel host.
siRNA adalah RNA double stranded yang terdiri dari 21 -23 pasangan
basa yang mampu membentuk komplement dengan target sekuen spesifik mRNA.
SiRNA berasosiasi dengan molekul helikase dan nuclease membentuk kompleks
dengan RISC (RNA-inducing silencing compleks) yang akan melepaskan
komplemen siRNA membentuk ss-siRNA dan kemudian kompleks ini akan dapat
berkomplement dengan mRNA target, sehingga akan memotong mRNA target.
Selanjutnya potongan-potongan mRNA akan didegradasi oleh enzim RNase.
Penghancuran mRNA virus HIV/AIDS yang dimediasi oleh siRNA
selanjutnya akan menghentikan sintesis protein yang essensial bagi virus untuk
melakukan replikasi di dalam sel host dan atau tidak dapat keluar dari sel host,
sehingga akan membatasi infeksi pada sel-sel sehat lainnya. Terapi pasien yang
terinfeksi virus HIV/AIDS saat ini didasari pada ekspresi beberapa protein penting
dalam virus HIV/AIDS yang mendukung infeksi virus ke dalam sel host, replikasi
dan pembentukan lapisan kapsid, serta protein-protein yang terlibat pada tahap
akhir replikasi dan protein yang dibutuhkan untuk proses lisis (keluar dari sel).
Beberapa protein yang mendukung proses infeksi ke dalam host (disebut juga
sebagai protein kofaktor selular) diantaranya adalah NF-B, CD4 reseptor HIV, co-
reseptor CXCR4 dan CCR5. Berbagai protein ini bisa dijadikan sebagai target
dalam terapi HIV/AIDS dengan menggunakan siRNA.
Beberapa hasil penelitian yang direview oleh Reddy, et.al. (2006) menyimpulkan
bahwa semua ekspresi gen dalam sintesis protein NFB, CD4 reseptor HIV, co-
reseptor CXCR4 dan CCR5 telah berhasil dihambat oleh siRNA dan
mengakibatkan penghambatan dalam replikasi virus HIV dalam beberapa cell line
manusia, sel limposit T dan hematopoetics stem cells yang berasal dari
magropagh.
Selain itu, siRNA juga telah terbukti menghambat ekspresi gen pada
sintesis protein CD4, protein gag dan nef (protein yang terlibat dalam regulasi
mRNA virus di dalam sel host). CD4-siRNA mampu mengurangi ekspresi gen
protein CD4 pada sel Magi CCR5 yang terinfeksi virus HIV-1 sebesar 75%.
Poliprotein gag (diekspresikan oleh gag gen virus HIV/AIDS) akan dipecah secara
proteolitik menjadi polipeptida p24, p17 dan p15 dan akan membentuk struktur
inti kapsul virus. Polipeptida p24 berfungsi sebagai pelapis atau kemasan materi
genetik virus.
p24-siRNA telah terbukti mengakibatkan degradasi pada region gag
mRNA virus, mengakibatkan penghambatan akumulasi genomik virus dan p24.
Akibatnya adalah terjadinya penghambatan replikasi virus HIV-1 dalam sel host.
Dua hari setelah pemberian p24-siRNA terjadi penurunan protein virus HIV-1
sebesar empat kali lipat dibanding kontrol. Protein nef adalah salah satu protein
regulasi (non-struktural protein) yang diekspresikan oleh virus HIV-1 sebelum
terintegrasi dengan genom host. Penghambatan ekspresi gen p24 dan nef akan
menghambat perbanyakan virus pada tahap awal selama infeksi berlangsung.
b. Pengobatan
Sesuai dengan keragaman penyebab, mekanisme dasar, dan kelainan
klinisnya maka pengobatan penyakit defisiensi imun sangat bervariasi. Pada
dasarnya pengobatan tersebut bersifat suportif, substitusi, imunomodulasi, atau
kausal.
Pengobatan suportif meliputi perbaikan keadaan umum dengan memenuhi
kebutuhan gizi dan kalori, menjaga keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam-
basa, kebutuhan oksigen, serta melakukan usaha pencegahan infeksi. Substitusi
dilakukan terhadap defisiensi komponen imun, misalnya dengan memberikan
eritrosit, leukosit, plasma beku, enzim, serum hipergamaglobulin, gamaglobulin,
imunoglobulin spesifik. Kebutuhan tersebut diberikan untuk kurun waktu tertentu
atau selamanya, sesuai dengan kondisi klinis.
Pengobatan imun masih diperdebatkan manfaatnya, beberapa memang
bermanfaat dan ada yang hasilnya kontroversial. Obat yang diberikan antara lain
adalah faktor tertentu (interferon), antibodi monoklonal, produk mikroba (BCG),
produk biologik (timosin), komponen darah atau produk darah, serta bahan
sintetik seperti inosipleks dan levamisol.
Terapi kausal adalah upaya mengatasi dan mengobati penyebab defisiensi
imun, terutama pada defisiensi imun sekunder (pengobatan infeksi, suplemen
gizi, pengobatan keganasan, dan lain-lain).
2.3 Hipersensitivitas
Respon imun adaptif memberikan perlindungan spesifik melawan infeksi
bakteri, virus, parasit, dan fungi. Sistem imun dapat memberikan perlindungan
cepat dari patogen atau toksin yang sama secara berulang-ulang. Namun, sebagian
respon imun menimbulkan reaksi yang berlebihan atau tidak sesuai. Reaksi inilah
yang disebut dengan hipersensitivitas. Hipersensitivitas imunologis adalah respon
imunyangmenyebabkankerusakan jaringan. Istilah ini pertama kalidigunakan
untuk mendeskripsikan anafilaksis. Anafilaksis masih digunakan untuk
menggambarkan hipersensitif sistemik.
Pada tahun 1963, Gell dan Coombs membagi reaksi hipersensitivitas yang
telah dikenal menjadi empat jenis berdasarkan mekanisme kerusakan jaringan,
yaitu:
Hipersensitivitas Tipe I, disebut juga sebagai hipersensitivitas cepat
(immediate hipersensitivity). Kondisi ini dicirikan dengan produksi
antibodi IgE untuk melawan protein asing yang umum terdapat di
lingkungan (misalnya polen dan debu).
Hipersensitivitas Tipe II, disebut juga reaksi yang dimediasi oleh
antibodi. Hipersensitivitas ini terjadi ketika antibodi IgG atau IgM
diproduksi untuk melawan antigen pada permukaan sel tubuh.
Hipersensitivitas Tipe III, melibatkan pembentukan kompleks imun
dalam sirkulasi yang tidak dihilangkan secara cukup oleh makrofag atau
sel lain dalam sistem retikuloendotelial.
Hipersensitivitas Tipe IV, disebut juga reaksi yang dimediasi oleh sel.
Reaksi ini melibatkan sel T spesifik sebagai sel efektor utama. Contoh dari
respon yang tidak diinginkan dari sel T adalah sebagai berikut:
o Sensitivitas terhadap kontak
o Penolakan organ transplantasi
o Respon hipersensitivitsas kulit terhadap lepra atau TBC
o Respon berlebihan terhadap infeksi virus
o Gejala alergi yang berkelanjutan
Gambar 2.5 Klasifikasi Hipersensitivitas Menurut Coombs dan Gell (1963),
dalam tipe I, sel mast mengikat IgE melalui reseptor F. Alergen IgE untuk
menghalangi alergi berikatan silang, merangsang degranulasi dan pelepasa
nmediatoryang menghasilkan reaksi alergi.
2.3.1 Hipersensitivitas Tipe I
a. Alergen
Alergen adalah antigen yang menimbulkan hipersensitivitas kerja dan
substansi asing yang dapat meninmbulkan respon imun. Jenis alergen dibagi atas:
- Alergen di Udara, merupakan penyebab utama alergi serbuk bunga,
rhinitis kronis, dan asma di antara anak-anak dan orang dewasa. Alergen
ini juga berperan penting dalam dermatitis atopik. Jika terbawa dalam
suatu partikel, alergen harus terdapat di udara dalam jumlah cukup untuk
dapat menimbulkan respon imun atau gejala alergi. Serbuk polen, partikel
feses kutu, partikel hifa atau spora fungi, dan serpihan kulit hewan adalah
contoh-contoh partikel yang umum membawa antigen. Jika partikel-
partikel tersebut terhirup saat bernafas, alergen dalam partikel akan masuk
ke epitelium nasal. Alergen di udara dalam jumlah kecil dapat
menimbulkan hipersensitivitas cepat. Estimasi jumlah protein dari feses
serangga dan polen yang terhirup bervariasi antara 5-50 ng/hari. Maka,
paparan terhadap beberapa alergen hanya sebesar 1 µg/tahun.
- Alergen dalam makanan. Walaupun banyak protein makanan yang dapat
menimbulkan respon IgE, hanya ada sejumlah kecil yang secara umum
diketahui sebagai penyebab respon alergi. Contohnya adalah susu, telur,
gandum, kedelai, kacang-kacangan, ikan, dan kerang. Berbeda dengan
alergen di udara, alergen makanan dikonsumsi dalam jumlah banyak (10-
100 g/hari). Secara umum, hanya sebagian kecil dari protein makanan
yang diabsorpsi oleh tubuh. Namun, peptida kecil dapat diabsorpsi secara
bebas, serta dapat dikenali oleh sel T dan bahkan pada sebagian orang,
oleh antibodi IgE. Terlepas dari itu, respon alergi dan anafilatik terhadap
makanan diperkirakan berkaitan dengan protein makanan yang belum
dicerna, dan kemudian memicu sel mast di usus atau masuk ke dalam
sirkulasi darah.
b. Antibodi IgE
IgE berbeda dari immunoglobulin dimer lainnya karena memiliki daerah
domain tambahan, struktur daerah engsel yang berbeda, dan situs untuk berikatan
dengan reseptor IgE berafinitas tinggi (FcɛRI) maupun rendah (FcɛRII).
Gambar 2.6 Molekul IgE
Sel utama yang memiliki FcɛRI adalah sel mast dan basophil, yang
merupakan sel-sel yang mengandung histamine dalam jumlah banyak.FcɛRII
terdapat pada sel B dan diduga berperan dalam deteksi antigen. Konsentrasi IgE
dalam serum individu normal sangat rendah dibandingkan dengan isotipe
immunoglobulin lainnya. Nilai konsentrasinya berkisar antara <100 hingga 10.000
IU/ml, dan international unit (IU) setara dengan 2,4 ng. kebanyakan serum
mengandung <400 IU/ml (< 1 µg/ml). rendahnya konsentrasi IgE disebabkan
oleh:
1. Pendeknya waktu paruh IgE dibandingkan isotipe lainnya (IgE hanya 2
hari, sedangkan IgG 21-23 hari).
2. IgE diproduksi dalam jumlah kecil dan hanya diproduksi sebagai respon
terhadap kelompok antigen tertentu.
3. Antibodi IgE terisolasi di reseptor berafinitas tinggi pada sel mast dan
basofil.
Produksi IgE juga tergantung pada sel-sel TH2 dan dapat dihambat oleh
sel TH1. Sitokin utama yang secara khusus relevan dengan respon TH1 meliputi:
- interleukin-12 (IL-12) yang diproduksi oleh makrofag.
- IFNγ yang diproduksi oleh sel T.
Sebaliknya, sitokin utama yang relevan dengan TH2 adalah:
- IL-4 (IL13)
- IL-5
- IL-10
Maka jelas bahwa ekspresi gen untuk IgE tergantung pada IL-4. Dengan
demikian, jika sel-sel B manusia yang belum dewasa dibudidayakan dengan anti
CD40 dan IL-4, mereka akan memproduksi antibodi IgE.
c. Sel Mast dan Basofil
Sel mast dan basofil sama-sama memiliki granula basofilik besar dan
dipicu oleh penyilangan (cross-linking) dari reseptor IgE berafinitas tinggi, tetapi
merupakan jenis sel yang berbeda. Basofil adalah sel myeloid polimorfonuklear
yang ditemukan dalam darah dan bertahan hanya beberapa hari. Mereka tidak
hadir di jaringan normal, tetapi dapat ditemukan di beberapa reaksi inflamasi.
Kedua sel tersebut dapat melepaskan histamin, tetapi sel mast mengeluarkan
banyak sitokin, sedangkan basofil hanya menghasilkan IL-4.
Ada dua jenis berbeda dari sel mast. Sel mast mukosa ditemukan di epitel
dan subepithelium dari paru-paru, usus, dan jaringan mukosa lainnya. Sel mast
jaringan tersebar luas di daerah seperti dermis, rongga peritoneum, dan
submukosa. Sel mast jaringan mengandung enzim kimase dan triptase, sedangkan
sel mast mukosa hanya mengandung tryptase.
Perbedaan yang paling penting antara sel-sel mast adalah tidak seperti sel
mast jaringan, sel mast mukosa diaktifkan untuk berproliferasi dan matang oleh
sitokin yang diproduksi oleh sel T yang telah diaktifkan oleh antigen. Akibatnya,
sel tersebut terakumulasi pada bagian yang terekspos antigen. Dalam kondisi
normal, kedua jenis sel mast tumbuh dan matang di bawah kendali pengatur
pertumbuhan haematopoietik yang disebut faktor sel induk. Meskipun sel mast
hadir dalam jaringan normal yangh tidak mengalami inflamasi, jumlah mereka
meningkat sebagai respons terhadap peradangan. Diasumsikan bahwa akumulasi
ini tergantung sel T karena pada tikus yang terinfeksi dengan akumulasi. Pada
individu alergi perekrutan sel mast telah dibuktikan baik:
- di kulit dalam menanggapi paparan alergen berulang
- di hidung selama musim serbuk sari.
Sel-sel mast bergerak dari subepithelium ke epitel sementara basofil
muncul di ingus. Proses ini, yang membawa sel histamin yang mengandung lebih
dekat ke tempat masuknya alergen, adalah salah satu cara di mana individu alergi
menjadi lebih sensitif.
Proses degranulasi sel mast dalam manusia dan basofil melibatkan fusi
dari membran granul yang mengandung histamin dengan membran sel eksterior.
Granula menjadi bagian dari membran sel. Isi granul cepat terlarut dan
disekresikan, meninggalkan sel yang terdegranulasi total atau sebagian. Proses ini
dimulai dalam kebanyakan kasus dengan penyilangan dua molekul IgE spesifik
oleh alergen yang relevan. Ketika dua reseptor IgE (FcεRI) mengalami cross-link,
transduksi sinyal melalui rantai γ dari reseptor menyebabkan masuknya kalsium,
yang memulai degranulasi dan sintesis mediator yang baru terbentuk.
Gambar 2.7 Basofila dalah sel mononuclear yang memiliki intiberlobus
banyak dan butiran khas (1). Basofil dapat direkrut ke dalam jaringanlokal
sepertikulit, hidung, paru-paru, atau usus oleh alergi
dan respon imun lainnya. (2) Basofil yang berdegranulasi 4menit setelah
penambahan alergen. Degranulasi yang melepaskan histamine terjadi akibat
fusi membrane granul dengan membrane eksternal sel. Panah menunjukkan
hubungan antara granul dan eksterior sel. (Keterangan: C=sentriol;
er=retikulum endoplasma; np=porinukleus; G=aparatus Golgi; lv=vesikel;
m=mitokondria; ng=granuln ukleus; rg= bahan sisa dari granul; sg=granul
kecil)
Gambar 2.8 Mikrograf SEM dari sel mast peritoneum tikus(1). Sebuah
sel mast utuh dengan membran sel yang menyusut kegranul (2).Sel mast
peritoneal tikus yang berdegranulasise telah inkubasi dengan anti-IgE selama
30detik. SEM. ×1500.
2.3.2 Hipersensitivitas Tipe II
Hipersensitivitas tipe II diperantarai oleh antibodi yang diarahkan untuk
melawan antigen target pada permukaan sel atau komponen jaringan lainnya.
prinsip dari reaksi hipersensitivitas tipe II adalah adanya mediasi dari antibodi
untuk menyebabkan sitolitik pada sel terinfeksi melalui opsonisasi antigen yang
menempel pada permukaan membran sel. Menurut Kumar et al. (2005) respon
hipersensitivitas disebabkan oleh pengikatan antibodi yang diikuti salah satu dari
tiga mekanisme bergantung antibodi, yaitu:
1. Respon yang bergantung komplemen
Komplemen dapat memerantarai hipersensitivitas tipe II melalui dua
mekanisme: lisis langsung dan opsonisasi. Pada sitotoksisitas yang diperantarai
komplemen, antibodi yang terikat pada antigen permukaan sel menyebabkan
fiksasi komplemen pada permukaan sel yang selanjutnya diikuti lisis melalui
kompleks penyerangan membran. Sel yang diselubungi oleh antibodi dan
fragmen komplemen C3b (teropsonisasi) rentan pula terhadap fagositosis. Sel
darah dalam sirkulasi adalah yang paling sering dirusak melalui mekanisme ini,
meskipun antibodi yang terikat pada jaringan yang tidak dapat difagosit dapat
menyebabkan fagositosis gagal dan jejas. Secara klinis, reaksi yang
diperantarai oleh antibodi terjadi pada keadaan sebagai berikut:
Reaksi transfusi, sel darah merah dari seorang donor yang tidak suai
dirusak setelah diikat oleh antibodi resipien yang diarahkan untuk
melawan antigen darah donor.
Eritroblastosis fetalis karena inkompaktibnilitas antigen rhesus; antigen
materal yang melawan Rh pada seorang ibu Rh-negatif yang telah
tersensitisasi akan melewati plasenta dan menyebabkan kerusakan sel
darah merahnya sendiri.
Anemia hemolitik autoimun, agranulositosis, atau trombositopenia yang
disebabkan oleh antibodi yang dihasilkan oleh seorang individu yang
menghasilkan antibodi terhadap sel darah merahnya sendiri.
Reaksi obat, antibodi diarahkan untuk melawan obat tertentu (atau
metabolitnya)byang secara nonspesifik diadsorpsi pada permukaan sel
(contohnya adalah hemolisis yang dapat terjadi setelah pemberian
penisilin).
Pemfigus vulgaris disebabkan oleh antibody terhadap protein desmosom
yang menyebabkan terlepasnya taut antarsel epidermis.
2. Sitotoksisitas Selular Bergantung Antibodi
Bentuk jejas yang diperantarai antibodi ini meliputi pembunuhan melalui jenis
sel yang membawa reseptor untuk bagian Fc IgG; sasaran yang diselubungi
oleh antibodi dilisis tanpa
difagositosis ataupun fiksasi
komplemen. ADCC dapat
diperantarai oleh berbagai
macam leukosit, termasuk
neutrofil, eosinofil, makrofag,
dan sel NK. Meskipn secara
khusus ADCC diperantarai oleh
antibodi IgG, dalm kasus
tertentu (misalnya, pembunuhan
parasit yang diperantarai oleh eosinofil) yang digunakaan adalah IgE.
3. Disfungsi sel yang diperantarai oleh antibodi
Pada beberapa kasus, antibodi yang diarahkan
untuk melawan reseptor permukaan sel
merusak atau mengacaukan fungsi tanpa
menyebabkan jejas sel atau inflamasi. Oleh
karena itu, pada miastenia gravis, antibodi
terhadap reseptor asetilkolin dalm motor end-
plate otot-otot rangka mengganggu transmisi
neuromuskular disertai kelemahan otot.
Sebaliknya, antibodi dapat merangsang fungsi otot. Pada penyakit Graves,
antibodi terhadap reseptor hormon perangsang tiroid (TSH) merangsang epitel
tiroid dan menyebabkan hipertiroidisme.
2.3.3 Hipersensitivitas Tipe III
Hipersensitivitas tipe III diperantarai oleh pengendapan kompleks antigen-
antibodi (imun), diikuti dengan aktivitas komplemen dan akumulasi leukosit
polimorfonuklear. Kompleks imun dapat melibatkan antigen eksogen seperti
bakteri dan virus, atau antigen endogen seperti DNA. Kompleks imun patogen
terbentuk dalam sirkulasi dan kemudian mengendap dalam jaringan ataupun
terbentuk di daerah ekstravaskular tempat antigen tersebut tertanam (kompleks
imun in situ).
Menurut Silbernagl (2007) mekanisme hipersensitivitas tipe III adalah sebagai
berikut:
1. Terjadi akibat pembentukan & pengendapan kompleks imun (kompleks
antigen-antibodi)
2. Sering kali antigen dihubungkan satu sama lain melalui imunoglobulin
yang terlibat (IgG)
3. Penumpukan kompleks imun terjadi bila antigen dalam jumlah besar yang
masuk ke dalam sirkulasi darah. Bila antigen jauh berlebihan dibanding
antibodi, kompleks yang terbentuk kecil yang tidak mudah untuk
dibersihkan oleh fagosit.
4. Kompleks imun terutama mengendap dikapiler glomerulus (granular),
tetapi dapat ditemukan ditempat lain seperti pada sendi dan kulit
5. Kompleks imun akan mengaktivasi sistem komplemen juga makrofag,
granulosit, dan trombosit
6. Komplemen yang diaktifkan melepaskan anafilatoksin (C3a, C5a) yang
memacu sel mast dan basofil melepaskan histamin yang mengakibatkan
peningkatan permeabilitas vaskular, serta menarik lebih banyak neutrofil
untuk datang dan memfagosit kompleks imun yang ada
7. Dinding kapiler akan diserang oleh sistem komplemen dan fagosit serta
neutrofil yang tertarik secara kemotaksis. Saat neutofil bekerja
dilepaskanlah intergranular enzim (toksin) yang dapat menimbulkan
kerusakan jaringan setempat
Jejas akibat kompleks imun dapat bersifat sistemik jika kompleks tersebut
terbentuk dalam sirkulasi mengendap dalam berbagai organ , atau terlokalisasi
pada organ tertentu (misalnya, ginjal, sendi, atau kulit) jika kompleks tersebut
terbentuk dan mengendap pada tempat khusus. Tanpa memperhatikan pola
distribusi, mekanisme terjadinya jejas jarungan adalah sama; namun, urutan
kejadian dan kondisi yang menyebabkan terbentuknya kompleks imun berbeda
(Sinaga, 2009).
Penyakit Komplek Imun Sistemik
Menurut Sinaga (2009)
patogenesis penyakit kompleks
imun sistemik dapat dibagi
menjadi tiga tahapan: (1)
pembentukan kompleks antigen-
antibodi dalam sirkulasi dan (2)
pengendapan kompleks imun di
berbagai jaringan, sehingga
mengawali (3) reaksi radang di
berbagai tempat di seluruh
tubuh.
Patofisiologi:
Kira-kira 5 menit setelah
protein asing (misalnya, serum
antitetanus kuda) diinjeksikan,
antibodi spesifik akan
dihasilkan; antibodi ini bereaksi
dengan antigen yang masih ada
dalam sirkulasi untuk
membentuk kompleks antigen-
antibodi (tahap pertama). Pada
tahap kedua, kompleks antigen-
antibodi yang terbentuk dalam sirkulasi mengendap dalam berbagai jaringan. Dua
faktor penting yang menentukan apakah pembentukan kompleks imun
menyebabkan penyakit dan pengendapan jaringan:
Ukuran kompleks imun. Kompleks
yang sangat besar yang terbentuk
pada keadaan jumlah antibodi yang
berlebihan segera disingkirkan dari
sirkulasi oleh sel fagosit
mononuklear sehingga relatif tidak
membahayakan. Kompleks paling
patogen yang terbentuk selama
antigen berlebih dan berukuran
kecil atau sedang, disingkirkan
secara lebih lambat oleh sel fagosit
sehingga lebih lama berada dalam
sirkulasi.
Status sistem fagosit mononuklear. Karena normalnya menyaring keluar
kompleks imun, makrofag yang berlebih atau disfungsional menyebabkan
bertahannya kompleks imun dalam sisrkulasi dan meningkatkan
kemungkinan pengendapan jaringan.
Faktor lain yang mempengaruhi pengendapan kompleks imun yaitu muatan
kompleks (anionic vs kationik), valensi antigen, aviditas antibodi, afinitas antigen
terhadap berbagai jaringan, arsitektur tiga dimensi kompleks tersebut, dan
hemodinamika pembuluh darah yang ada.tempat pengendapan kompleks imun
yang disukai adalah ginjal, sendi, kulit, jantung, permukaan serosa, dan pembulah
darah kecil. Lokasinya pada ginjal dapat dijelaskan sebagian melalui fungsi filtrasi
glomerulus, yaitu terperangkapnya kompleks dalam sirkulasi pada glomerulus.
Belum ada penjelasan yang sama memuaskan untuk lokalisasi kompleks imun
pada tempat predileksi lainnya.
Untuk kompleks yang meninggalkan sirkulasi dan mengendap di dalam
atau di luar dinding pembuluh darah, harus terjadi peningkatan permeabilitas
pembuluh darah. Hal ini mungkin terjadi pada saat kompleks imun berkaitan
dengan sel radang melalui reseptor Fc dan C3b dan memicu pelepasan mediator
vasoaktif dan/ atau sitokin yang meningkatkan permeabilitas. Saat kompleks
tersebut mengendap dalam jaringan, terjadi tahap ketiga, yaitu reaksi radang.
Selama tahap ini (kira-kira 10 hari setelah pemberian antigen), muncul gambaran
klinis, seperti demam, utikaria, artralgia, pembesaran kelenjar getah bening, dan
proteinuria.
Di mana pun kompleks imun mengendap, kerusakan jaringannya serupa.
Aktivitas komplemen oleh kompleks imun merupakan inti patogenesis jejas,
melepaskan fragmen yang aktif secara biologis seperti anafilatoksin (C3a dan
C5a), yang meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan bersifat kemotaksis
untuk leukosit polimorfonuklear. Fagositosis kompleks imun oleh neutrofil yang
terakumulasi menimbulkan pelepasan atau produksi sejumlah substansi
proinflamasi tambahan, termasuk proataglandin, peptida vasodilator, dan
substansi kemotaksis, serta enzim lisosom yang mampu mencerna membran
basalis, kolagen, elastin, dan kartilago. Kerusakan jaringan juga diperantarai oleh
radikal bebas oksigen yang dihasilkan oleh neutrofil teraktivasi. Kompleks imun
dapat pula menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi faktor Hageman;
kedua reaksi ini meningkatkan proses peradangan dan mengawali pembentukan
mikrotrombus yang berperan pada jejas jaringan melalui iskemia lokal. Lesi
patologis yang dihasilkan disebut dengan vasokulitis jika terjadi pada pembuluh
darah, glomerulonefritis jika terjadi di glomerulus ginjal, arthritis jika terjadi di
sendi, dan seterusnya.
Jelasnya hanya antibodi pengikat komplemen (yaitu IgG dan IgM) yang
dapat menginduksi lesi semacam itu. Karena IgA dapat pula mengaktivasi
komplemen melalui jalur alternatif, kompleks yang mengandung IgA dapat pula
menginduksi jejas jaringan. Peran penting komplemen dalam patogenesis jejas
jaringan didukung oleh adanya pengamatan bahwa pengurangan kadar
komplemen serum secara eksperimental akan sangat menurunkan keparahan lesi,
demikian pula yang terjadi pada neutrofil. Selama fase aktif penyakit, konsumsi
komplemen menurunkan kadar serum.
Penyakit oleh kompleks imun
PenyakitSpesifitas
antibodiMekanisme
Manifesta
si
klinopatol
ogi
Lupus
eritematosus
sistemik
DNA, nukleoprotein
Inflamasi
diperantarai
komplemen
dan reseptor
Fc
Nefritis,
vaskulitis,
artritis
Poliarteritis
nodosa
Antigen permukaan
virus hepatitis B
Inflamasi
diperantarai
komplemen
dan reseptor
Fc
Vaskulitis
Glomreulonefirtis
post-streptokokus
Antigen dinding sel
streptokokus
Inflamasi
diperantarai
komplemen
dan reseptor
Nefritis
Fc
Sumber: (Abbas & Lichtman, 1991)
2.3.4 Hipersensitivitas Tipe IV / Hipersensitivitas Tipe Lambat (DTH-
Delayed-Type Hypersensitivity)
Contoh klasik DTH adalah reaksi tuberkulin. Delapan hingga 12 jam
setelah injeksi tuberkulin intrakutan, muncul suatu area eritema dan indurasi
setempat, dan mencapai puncaknya (biasanya berdiameter 1 hingga 2 cm) dalam
waktu 24 hingga 72 jam (sehingga digunakan kata sifat delayed [lambat/
tertunda]) dan setelah itu akan mereda secara perlahan.secara histologis , reaksi
DTH ditandai dengan penumpukan sel helper-T CD4+ perivaskular (“seperti
manset”) dan makrofag dalam jumlah yang lebih sedikit. Sekresi lokal sitokin
oleh sel radang mononuklear ini disertai dengan peningkatan permeabilitas
mikrovaskular, sehingga menimbulkan edema dermis dan pengendapan fibrin;
penyebab utama indurasi jaringan dalam respons ini adalah deposisi fibrin.
Respons tuberkulin digunakan untuk menyaring individu dalam populasi yang
pernah terpejan tuberkulosis sehingga mempunyai sel T memori dalam sirkulasi.
Lebih khusus lagi, imunosupresi atau menghilangnya sel T CD4+ (misalnya,
akibat HIV) dapat menimbulkan respons tuberkulin yang negatif, bahkan bila
terdapat suatu infeksi yang berat (Sinaga, 2009).
Patofisiologi :
Limfosit CD4+ mengenali antigen peptida dari basil tuberkel dan juga
antigen kelas II pada permukaan monosit atau sel dendrit yang telah memproses
antigen mikobakterium tersebut. Proses ini membentuk sel CD4+ tipe TH1
tersensitisasi yang tetap berada di dalam sirkulasi selama bertahun-tahun. Masih
belum jelas mengapa antigen tersebut mempunyai kecendurungan untuk
menginduksi respons TH1, meskipun lingkungan sitokin yang mengaktivasi sel T
naïf tersebut tampaknya sesuai. Saat dilakukan injeksi kutan tuberkulin berikutnya
pada orang tersebut, sel memori memberikan respons kepada antigen yang telah
diproses pada APC dan akan diaktivasi (mengalami transformasi dan proliferasi
yang luar biasa), disertai dengan sekresi sitokin TH1. Sitokin TH1 inilah yang
akhirnya bertanggungjawab untuk mengendalikan perkembangan respons DHT.
Secara keseluruhan, sitokin yang paling bersesuaian dalam proses tersebut adalah
sebagai berikut(Sinaga, 2009):
IL-12 merupakan suatu sitokin yang dihasilkan oleh makrofag setelah
interaksi awal dengan basil tuberkel. IL-12 sangat penting untuk induksi
DTH karena merupakan sitokin utama yang mengarahkan diferensiasi sel
TH1; selanjutnya, sel TH1 merupakan sumber sitokin lain yang tercantum
di bawah. IL-12 juga merupakan penginduksi sekresi IFN-γ oleh sel T dan
sel NK yang poten.
IFN-γ mempunyai berbagai macam efek dan merupakan mediator DTH
yang paling penting. IFN-γ merupakan aktivator makrofag yang sangat
poten, yang meningkatkan produksi makrofag IL-12. Makrofag teraktivasi
mengeluarkan lebih banyak molekul kelas II pada permukaannya sehingga
meningkatkan kemampuan penyajian antigen. Makrofag ini juga
mempunyai aktivitas fagositik dan mikrobisida yang meningkat, demikian
pula dengan kemampuannya membunuh sel tumor. Makrofag teraktivasi
menyekresi beberapa faktor pertumbuhan polipeptida, termasuk faktor
pertumbuhan yang berasal dari trombosit (PDGF) dan TGF-α, yang
merangsang proliferasi fibroblas dan meningkatkan sintesis kolagen.
Secara ringkas, aktivitas IFN-γ meningkatkan kemampuan makrofag untuk
membasmi agen penyerangan; jika aktivasi makrofag terus berlangsung,
akan terjadi fibrosis.
IL-2 menyebabkan proliferasi sel T yang telah terakumulasi pada tempat
DTH. Yang termasuk dalam infiltrat ini adalah kira-kira 10% sel CD4+
yang antigen-spesifik, meskipun sebagian besar adalah sel T “penonton”
yang tidak spesifik untuk agen penyerang asal.
TNF dan limfotoksin adalah sitokin yang menggunakan efek pentingnya
pada sel endotel: (1) meningkatnya sekresi nitrit oksida dan prostasiklin,
yang membantu peningkatan aliran darah melalui vasodilatasi local; (2)
meningkatnya pengeluaran selektin-E, yaitu suatu molekul adhesi yang
meningkatkan perlekatan sel mononuklear; dan (3) induksi dan sekresi
faktor kemotaksis seperti IL-8. Perubahan ini secara bersama
memudahkan keluarnya limfosit dan monosit pada lokasi terjadinya respon
DHT.
a. Inflamasi Granulomatosa
Granulomatosa adalah bentuk khusus DHT yang terjadi pada saat antigen
bersifat persisten dan/ atau tidak dapat didegradasi. Infiltrate awal sel T CD4+
perivaskular secara progresif digantikan oleh makrofag dalam waktu 2 hingga 3
minggu; makrofag yang terakumulasi ini secara khusus menunjukkan bukti
morfologis adanya aktivitas, yaitu semakin membesar , memipih, dan eosinofilik
(disebut sebagai sel epiteloid). Sel epiteloid kadang-kadang bergabung di bawah
pengaruh sitokin tertentu (misalnya, IFN-γ) untuk membentuk suatu sel raksasa
(giant cells) berinti banyak. Suatu agregat mikroskopis sel epiteloid secara khusus
dikelilingi oleh lingkaran limfosit, yang disebut granuloma, dan polanya disebut
sebagai inflamasi granulomatosa. Pada dasarnya, proses tersebur sama dengan
proses yang digambarkan untuk respons DHT lainnya. Granuloma yang lebih
dahulu terbentuk membentuk suatu sabuk rapat fibroblast dan jaringan ikat.
Pengenalan terhadap suatu granuloma mempunyai kepentingan diagnostik karena
hanya ada sejumlah kecil kondisi yang dapat menyebabkannya (Sinaga, 2009).
DHT merupakan suatu mekanisme pertahanan utama yang melawan
berbagai patogen intrasel, yang meliputi mikobakterium, fungus, dan parasit
tertentu, dan dapat pula terlibat dalam penolakan serta imunitas tumor. Peran
utama sel T CD4+ dalam hipersensitivitas tipe lambat tampak jelas pada penderita
AIDS. Karena kehilangan sel CD4+, respons penjamu terhadap patogen ekstrasel,
seperti Mycobacterium tuberculosis, akan sangat terganggu. Bakteri akan
dimangsa oleh makrofag, tetapi tidak dibunuh, dan sebagai pengganti
pembentukan granuloma, terjadi akumulasi makrofag yang tidak teraktivasi yang
sulit untuk mengatasi mikroba yang menginvasi (Sinaga, 2009).
Selain bermanfaat karena peran protektifnya, DHT dapat pula
menyebabkan suatu penyakit. Dermatitis kontak adalah salah satu contoh jejas
jaringan yang diakibatkan oleh hipersensitivitas lambat. Penyakit ini dibangkitkan
melalui kontak dengan pentadesilkatekol (juga dikenal sebagai urushiol,
komponen aktif poison ivy atao poisin oak) pada penjamu yang tersensitisasi dan
muncul sebagai suatu dermatitis vesikularis. Mekanisme dasarnya sama dengan
mekanisme pada sensitivitas tuberculin. Pajanan ulang terhadap tanaman tersebut,
sel CD4+ TH1 tersensitisasi akan berakumulasi dalam dermis dan bermigrasi
menuju antigen yag berada di dalam epidermis. Di tempat ini sel tersebut
melepaskan sitokin yang merusak keratinosit, menyebabkan terpisahnya sel ini
dan terjadi pembentukan suatu vesikel intradermal (Sinaga, 2009).
b. Sitotoksisitas Yang Diperantarai Sel T
Pada pembentukan hipersensitivitas tipe IV ini, sel T CD8+ tersensitisasi
membunuh sel target yang membawa antigen. Seperti yang telah dibahas
sebelumnya, molekul MHC tipe I berikatan dengan peptida virus intrasel dan
menyajikannya pada limfosit T CD8+. Sel efektor CD8+, yang disebut limfosit T
sitotoksik (CTL, cytotoxic T-lymphocytes), yang berperan penting dalam resistensi
terhadap infeksi virus. Pelisisan sel terinfeksi sebelumnya terjadi replikasi virus
yang lengkap pada akhirnya menyebabkan penghilangan infeksi. Diyakini bahwa
banyak peptida yang berhubungan dengan tumor muncul pula pada permukaan sel
tumor sehingga CTL dapat pula terlibat dalam imunitas tumor (Sinaga, 2009).
Telah terlihat adanya dua mekanisme pokok pembunuhan oleh sel CTL: (1)
pembunuhan yang bergantung pada perforin-granzim dan (2) pembunuhan yang
bergantung pada ligan Fas-Fas. Perforin dan granzim adalah mediator terlarut
yang terkandung dalam granula CTL, yang menyerupai lisosom. Sesuai dengan
namanya, perforin melubangi membran plasma pada sel target; hal tersebut
dilakukan dengan insersi dan polimerisasi molekul perforin untuk membentuk
suatu pori. Pori-pori ini memungkinkan air memasuki sel dan akhirnya
menyebabkan lisi osmotik. Granula limfosit juga mengandung berbagai protease
yang disebut dengan granzim, yang dikirimkan ke dalam sel target melalui pori-
pori perforin. Begitu sampai ke dalam sel, granzim mengaktifkan apoptosis sel
target. CTL teraktivasi juga mengeluarkan ligan Fas (suatu molekul yang
homolog dengan TNF), yang berikatan dengan Fas pada sel target. Interaksi ini
menyebabkan apoptosis. Selain imunitasvirus dan tumor, CTL yang diarahkann
untuk melawan antigen histokompatibilitas permukaan sel juga berperan penting
dalam penolakan graf (Sinaga, 2009).
2.4 Autoimun
Penyakit autoimmun merupakan kondisi dimana tubuh memicu sistem
imun menyerang molekul tubuh yang disebabkan oleh memburuknya imunitas
menjadi sel yang autoreaktif. Organ seperti limpa, thymus, kulit dan usu
merupakan bagian tubuh yang memonitoring masuknya senyawa asing yang
menginfeksi tubuh. Kemampuan tubuh membedakan molekul tubuh dengan agen
infeksius dipengaruhi oleh pengenalan molekul yang hadir pada permukaan sel
imun yang kompeten yaitu sel limfosit T dan B. Selain itu juga sel pertahanan
lainnya yang terinduksi adalah makrofag, sel natural killer dan leukosit
polymorponuklear. Hal tersebut juga merupakan mediator pengenalan seperti
cytokin yang berperan dalam pertahanan tubuh (Male, 2006).
Terdapat berbagai macam gejala dan gangguan yang termasuk pada
penyakit autoimun. Gejalanya bervariasi mulai dari organ spesifik hingga
sistemik. Bagian yang sering menjadi target penyakit autoimun antaralain kelenjar
tiroid, pencernaan, kelenjar adrenal dan pankreas. Penyakit autoimun yang
spesifik umumnya menyerang kulit, persendian dan jaringan otot (Fairweather,
2007).
Pada beberapa penyakit autoimmun dianalsisis dengan metode pathogenik,
seperti inflamasi pada jaringan otot skeletal manusia menghasilkan namun
didapatkan jawaban yang tidak jelas. Namun dari analisis keturunan dan
pendekatan genetika menjelaskan bahwa genetic merupakan faktor utama dari
penyakit ini(Fairweather, 2007).
Perkembangan penyakit autoimun tergantung pada kombinasi faktor
genetik dan lingkungan. Sebagian besar penyakit autoimun dianggap poligenik,
yang melibatkan lebih dari satu gen (Fairweather, 2007).
Antigen limfosit manusia, atau HLA haplotype adalah prediksi terbaik
yang terdapat pada pengembangan penyakit autoimun. Kemungkinan
pengembangan autoantibodi yang sama terkai dengan sharing HLA halotipe
dengan anggota keluarga dan kemungkinan tersebut lebih besar jika terdapat dua
halotype daripada sharing satu halotype. HLA halotype atau MHC pada tikus
bertujuan untuk meningkatkan penyakit autoimun dengan meningkatkan
kehadiran antigen di perifer sehingga menghasilkan peningkatan aktivasi sel T.
Gen diluar dari MHC juga berkontribusi pada peningkatan resiko penyakit
autoimmun. Sejumlah gen non-MHC yang berkontribusi terhadap kerentanan
(Fairweather, 2007).
Faktor yang mempengaruhi penyakit autoimun yaitu faktor lingkungan
mungkin memiliki berbagai peran dalam mempromosikan, menyebabkan atau
memodifikasi penyakit autoimun. Jika ketika faktor lingkungan yang spesifik
berkontribusi terhadap penyakit autoimun, mereka mungkin menentukan
timbulnya penyakit, sifat manifestasi awal, atau menjadi faktor penentu apakah
suatu penyakit autoimun yang terkandung dalam individu mungkin terjadi sama
sekali (Page, 2010).
c. Penyakit Autoimun
Kebanyakan penyakit autoimun lebih banyak terjadi pada wanita daripada
pria. Perkiraan konservatif menunjukkan bahwa hampir 80% dari individu
dengan penyakit autoimun adalah perempuan. Pengecualian termasuk diabetes
mellitus, ankylosing spondylitis dan penyakit jantung inflamasi, yang lebih sering
terjadi pada pria. Hormon diperoleh dari sumber eksternal seperti diet (yaitu
kedelai), obat (pil KB yaitu) atau produk kulit di samping produksi steroid oleh
tubuh. Hormon seks (alami dan sintetis) langsung berinteraksi dengan sel-sel dari
sistem kekebalan tubuh melalui reseptor di permukaan atau di dalam sel-sel
kekebalan tubuh. Hormon steroid, termasuk estrogen dan androgen, diketahui
memengaruhi dalam produksi antibodi dan proliferasi sel kekebalan. Dengan
demikian, hormon dapat memperkuat atau menghambat respon imun. Wanita
menghasilkan respon antibodi yang tinggi dibandingkan dengan laki-laki,
sedangkan pria sering mengembangkan peradangan lebih parah (Fairweather,
2007).
SLE (Sistemik Lupus Erythematosus) adalah penyakit autoinflamasi
kronis dengan etiologi yang tidak umum. Penyakit ini mendominasi pada
perempuan. Lupus Eritematosus Sistemik merupakan penyakit autoimun
dengan pembentukan antibodi antinukleus (ANA), terutama terhadap
double-stranded DNA (anti dsDNA). Pada LES terjadi proses inflamasi,
vaskulitis, deposisi kompleks imun, serta vaskulopati yang luas, dengan
manifestasi klinis yang bersifat episodik dan multisistem. Insidens LES
pada anak sebesar 10-20 kasus/100.000 anak dan sangat jarang terjadi
sebelum usia 5 sedangkan pada perempuan umumnya terjadi pada usia
sesudah pubertas dan sebelum menopause. Perbandingan jumlah pasien
perempuan dan lakilaki antara 5-10:1 tampaknya hormon estrogen yang
berlebih dan aktivitas androgen yang kuat mengganggu respons imun.
Penyakit LES lebih sering terjadi pada keluarga dengan riwayat LES atau
penyakit autoimun lainnya. Peran faktor genetik pada LES terletak pada
gen dalam major histocompatibility complex, haplotipe yang rentan adalah
DRB1*08 dan DRB1*03 (Sudewi, et al., 2009).
Etiopatogenesis: masih belum jelas dimana terdapat banyak bukti bahwa
patogenesis LES bersifat multifaktoral seperti faktor genetik,faktor
lingkungan, dan faktor hormonal terhadap respons imun. Faktor genetik
memegang peranan pada banyak penderita lupus dengan resiko yang
meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot.
Jenis lupus: Diskoid Lupus (DL) jenis ini menyerang organ bagian kulit
berupa ruam yang muncul di wajah, leher, kulit kepala dan ruam di sekujur
tubuh yang umumnya berwarna kemerahan, bersisik dan kadang gatal.
Jenis Lupus yang kedua ialah Drug Incuded Lupus (DIL), Lupus ini timbul
akibat efek samping penggunaan obat. Sistemik Lupus Erythematosus
(SLE), jenis ini merupakan jenjang yang paling berat dalam tingkatan
penyakit Lupus karena menyerang banyak organ atau sistem tubuh pasien
serta dapat menimbulkan kematian. Pada sebagian orang mungkin hanya
kulit atau sendinya yang terkena, namun pada sebagian pasien Lupus juga
menyerang organ vital seperti jantung, paru, ginjal, saraf atau otak. Selain
faktor genetik, faktor lingkungan seperti efek buruk dari sinar matahari
akibat global warming, obat, dan intervensi virus dapat menjadi penyebab
timbulnya lupus, disamping pengaruh stress serta faktor hormonal (Utomo,
2012).
Pengobatan: Operasi bisa dipertimbangkan pada penderita lupus
permanent, yang mengalami kerusakan ginjal mengancam kehidupannya.
Transplantasi ginjal dapat dilakukan sebagai pengganti pengobatan jangka
panjang dengan dosis yang tinggi, yang mampu menghasilkan efek akut.
Hal ini dapat dilakukan jika kerusakan ginjal yang terjadi dikarenakan
lupus tidak dapat merespon obat dengan kadar tinggi sehingga harus
dilakukan implantasi (Page, 2010).
d. Tiroiditis Hashimoto
Etiologi penyakit ini adalah autoimun. Pada Tiroiditis Hashimoto
didapatkan infiltrasi limfosit ke seluruh kelenjar tiroid yang menyebabkan
dekstrusi progresif folikel kelenjar. Dalam beberapa tahun akan terjadi atrofi
kelenjar dengan fibrosis. Insidens kejadian Tiroiditis Hashimoto ini biasanya
banyak didapatkan pada umur kurang dari 50 tahun dan biasanya lebih banyak
didaptkan pada perempuan. Wanita 20-30 kali lebih sering terkena berbanding
dengan lelaki (Hafiz, 2012).
Mekanisme kompleks imunologi mungkin berperan pada kematian sel
tiroid (tirosit). Sensitasi dari autoreaktif CD4 + T-helper cell ke antigen tiroid
memberikan gambaran awal kejadian. Kematian tirosit adalah dampak
mekanisme sebagai berikut (Hafiz, 2012):
CD8 + cytotoxic T cell-mediated cell-death T cell-mediated cell death : CD8 +
cytotoxic T cell-mediated mungkin menyebabkan dekstruksi tirosit oleh satu dari
dua jalur, eksositosis dari granula perforin atau granzymeataureaksi death receptor,
CD95 pada sel target.
Cytokine-mediated cell-death: CD4 + T cells menghasilkan sitokin inflamasi seperti
IFN-ƴ dalam waktu cepat dalam tirosit, dengan akibat pengerahan dan pengaktifan
makrofag dan merusak folikel.
Ikatan antitiroid - antibodi (anti-TSH receptor antibodies, antithyroglobulin dan
antithyroid peroxidase antibodies) diikuti oleh antibody-dependent cell-mediated
cytotoxicity (ADCC).
Pada penyakit tiroid autoimun, respons seluler dan humoral bekerja
bersamaan dengan sasaran kelenjar tiroid. Kerusakan seluler terjadi karena
limfosit T tersensitasi (sensitized T-lymphocyte) dan/atau antibody antitiroid
berikatan dengan membrane sel tiroid, mengakibatkan lisis sel dan reaksi
inflamasi. Sedangkan gangguan fungsi terjadi karena interaksi antara antibodi
antitiroid yang bersifat stimulator atau blocking dengan reseptor di membrane sel
tiroid yang bertindak sebagai autoantigen (Hafiz, 2012). Manifestasi klinis
tiroiditis hashimoto biasanya ditemukan goiter pada pasien yang dengan eutiroid
atau yang menderita hipotiroidisme ringan(Hafiz, 2012).
Pengobatan Tiroiditis Hashimoto ditujukan terhadap hipotiroid dan
pembesaran tiroid. Pilihan pengobatan untuk Tiroiditis Hashimoto atau hipotiroid
dengan sebab lainnya adalah terapi substitusi dengan hormone tiroid. Obat
pilihan yang dianjurkan yaitu levothyroxine sodium. Levotiroksin diberikan
sampai kadar TSH normal. Pada pasien dengan struma baik hipotiroid maupun
eutiroid, pemberian levotiroksin selama enam bulan dapat mengecilkan struma.
Dosis standard penggunaan levotiroksin yaitu 1,6-1,8 mcg/kgBB/hari. Namun
dapat berbeda-beda pada setiap individu, yaitu (Hafiz, 2012):
Pasien dengan usia dibawah 50 tahun tanpa riwayat penyakit jantung, dapat
diberikan dosis awal penuh.
Pasien diatas 50 tahun atau pasien muda dengan penyakit jantung, diberikan
dosis rendah 25mcg (0,025mg) per hari, dengan evaluasi pengobatan setiap 6-
8 minggu.
Pada pasien usia lanjut, dosis yang diberikan lebih rendah, kadang bisa
mencapai 1 mcg/kgBB/hari.
Intervensi bedah dapat dilakukan atas beberapa indikasi, diantaranya
(Hafiz, 2012). :
Pembesaran kelenjar dengan gejala obstruksi seperti disfagia, suara serak,
dan stridor karena adanya obstruksi pada jalan napas.
Terdapatnya nodul maligna yang bisa ditemukan pada pemeriksaan
sitologi dengan FNA
Terdapatnya limfoma pada FNA: limfoma tiroid memberi respon yang
baik terhadap radioterapi dan merupakan modalitas terapi pilihan.
Alasan kosmetik untuks truma yang cukup besar.
e. Artritis Reumatoid
Artritis Reumatoid atau Rheumatoid arthritis (RA) adalah penyakit
autoimun sistemik. Penyakit ini merupakan peradangan sistemik yang paling
umum ditandai dengan keterlibatan sendi yang simetris. Penyakit RA ini
merupakan kelainan autoimun yang menyebabkan inflamasi sendi yang
berlangsung kronik dan mengenai lebih dari lima sendi (poliartritis). Reaksi
autoimun terjadi dalam jaringan sinovial. Kerusakan sendi mulai terjadi dari
proliferasi makrofag dan fibroblas sinovial. Limfosit menginfiltrasi daerah
perivaskular dan terjadi proliferasi sel-sel endotel kemudian terjadi
neovaskularisasi. Pembuluh darah pada sendi yang terlibat mengalami oklusi oleh
bekuan kecil atau sel-sel inflamasi. Terbentuknya pannus akibat terjadinya
pertumbuhan yang iregular pada jaringan sinovial yang mengalami inflamasi.
Pannus kemudian menginvasi dan merusak rawan sendi dan tulang Respon
imunologi melibatkan peran sitokin, interleukin, proteinase dan faktor
pertumbuhan. Respon ini mengakibatkan destruksi sendi dan komplikasi sistemik
(Surjana, 2009).
RA dapat ditemukan pada semua sendi dan sarung tendo, tetapi paling
sering di tangan. RA juga dapat menyerang sendi siku, kaki, pergelangan kaki dan
lutut. Sinovial sendi, sarung tendo, dan bursa menebal akibat radang yang diikuti
oleh erosi tulang dan destruksi tulang disekitar sendi (Syamsuhidajat, 2010).
Etiologi RA belum diketahui dengan pasti. Namun, kejadiannya
dikorelasikan dengan interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan
lingkungan (Suarjana, 2009)
Genetik, berupa hubungan dengan gen HLA-DRB1 dan faktor ini
memiliki angka kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60% (Suarjana,
2009).
Hormon Sex, perubahan profil hormon berupa stimulasi dari Placental
Corticotraonin Releasing Hormone yang mensekresi dehidropiandrosteron
(DHEA), yang merupakan substrat penting dalam sintesis estrogen
plasenta. Stimulasi esterogen dan progesteron pada respon imun humoral
(TH2) dan menghambat respon imun selular (TH1). Pada RA respon TH1
lebih dominan sehingga estrogen dan progesteron mempunyai efek yang
berlawanan terhadap perkembangan penyakit ini (Suarjana, 2009).
Insidensi rheumatoid arthritis lebihbanyakdialamiolehwanitadaripadalaki-
lakidenganrasio 2:1 hingga 3:1. Perbedaan ini diasumsikan karena
pengaruh dari hormone.
Faktor Infeksi, beberapa agen infeksi diduga bisa menginfeksi sel induk
semang (host) dan merubah reaktivitas atau respon sel T sehingga muncul
timbulnya penyakit RA (Suarjana, 2009).
Heat Shock Protein (HSP), merupakan protein yang diproduksi sebagai
respon terhadap stres. Protein ini mengandung untaian (sequence) asam
amino homolog. Diduga terjadi fenomena kemiripan molekul dimana
antibodi dan sel T mengenali epitop HSP pada agen infeksi dan sel Host.
Sehingga bisa menyebabkan terjadinya reaksi silang Limfosit dengan sel
Host sehingga mencetuskan reaksi imunologis (Suarjana, 2009).
Faktor Lingkungan, salah satu contohnya adalah merokok (Longo, 2012).
Faktor resiko dalam peningkatan terjadinya RA antara lain jenis kelamin
perempuan, ada riwayat keluarga yang menderita RA, umur lebih tua, paparan
salisilat dan merokok. Resiko juga mungkin terjadi akibat konsumsi kopi lebih
dari tiga cangkir sehari, khusunya kopi decaffeinated (suarjana, 2009). Obesitas
juga merupakan faktor resiko (Symmons, 2006).P
Mekanisme pernyakit RA yaitu paparan antigen akan memicu
pembentukan antibodi oleh sel B. Pada pasien rheumatoid arthritis ditemukan
antibodi yang dikenal dengan Rheumatoid Factor (RF). Rheumatoid Factor
mengaktifkan komplemen kemudian memicu kemotaksis, fagositosis dan
pelepasan sitokin oleh sel mononuklear sehingga dapat mempresentasikan antigen
kepada sel T CD4+. Sitokin yang dilepaskan merupakan sitokin proinflamasi dan
kunci terjadinya inflamasi pada rheumatoid arthritis seperti TNF-α, IL-1 dan IL-6.
Aktivasi sel T CD4+ akan memicu sel-sel inflamasi datang ke area yang
mengalami inflamasi. Makrofag akan melepaskan prostaglandin dan sitotoksin
yang akan memperparah inflamasi. Protein vasoaktif seperti histamin dan kinin
juga dilepaskan yang menyebabkan edema, eritema, nyeri dan terasa panas. Selain
itu, aktivasi makrofag, limfosit dan fibroblas juga dapat menstimulasi 11
angiogenesis (pembentukan pembuluh darah baru) sehingga terjadi peningkatan
vaskularisasi yang ditemukan pada sinovial penderita RA. Inflamasi kronis yang
dialami pasien rheumatoid arthritis menyebabkan membran sinovial mengalami
proliferasi berlebih yang dikenal dengan pannus. Pannus akan menginvasi
kartilago dan permukaan tulang yang menyebabkan erosi tulang dan akhirnya
kerusakan sendi (Schuna, 2005). Proses awalnya, antigen (bakteri, mikroplasma
atau virus) menginfeksi sendi akibatnya terjadi kerusakan lapisan sendi yaitu pada
membran sinovial dan terjadi peradangan yang berlangsung terusmenerus.
Peradangan ini akan menyebar ke tulang rawan, kapsul fibroma sendi, ligamen
dan tendon. Kemudian terjadi penimbunan sel darah putih dan pembentukan pada
jaringan parut sehingga membran sinovium menjadi hipertrofi dan menebal.
Terjadinya hipertrofi dan penebalan ini menyebabkan aliran darah yang masuk ke
dalam sendi menjadi terhambat. Keadaan seperti ini akan mengakibatkan
terjadinya nekrosis (rusaknya jaringan sendi), nyeri hebat dan deformitas (Schuna,
2005).
BAB III
KESIMPULAN
1. Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang
melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan
mengidentifikasikan dan membunuh patogen serta sel tumor. sistem ini
mendeteksi berbagai macam pengaruh biologis luar yang luas, organisme
akan melindungi tubuh dari infeksi, bakteri, virus, dan parasit lainya, serta
menghancurkan zat-zat asing lain dan memusnahkan mereka dari sel
organisme yang sehat dari jaringan agar tetap dapat berfungsi seperti biasa
2. Jenis penyakit sistem imun dan penyebabnya sangat beragam berupa
defesiensi imun primer, defisiensi imun sekunder, hipersensitivitas, dan
autoimmun. Penyebab penyakit-penyakit imun dapat berasal dari sel imun
itu sendiri, virus, bakteri yang menginfeksi sel imun serta kekebalan tubuh
yang dimiliki individu.
DAFTAR PUSTAKA
Amarila Malik, Departemen Farmasi FMIPA-UI, Universitas Indonesia, Depok:Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. II, No.2, Agustus 2005, 51 – 61.
Abbas AK, Lichtman AH,Pober JS. Disease caused by humoral and cell-mediatedimmune reactions. Dalam: Cellular and molecular immunology. Philadelphia:WB Saunders, 1991;353-76.
Bratawidjaja, K.G., 2004. Imunologi Dasar .edisi ke-6. Fakultas Kedokteran UI.Jakarta.
Chinen J and Shearer WT. 2010. Secondary immunodeficiencies, including HIV infection.diakses melalui http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20042227 pada tanggal 16 Desember 2015
Fatmah.2006.Respon Imunitas yang Rendah pada Tubuh Manusia Usia Lanjut. Makara Kesehatan Vol.10 No.1.p.47-53
Fairweather, D. 2007. Autoimmune Disease: Mechanisms. Johns Hopkins University. Maryland
Hafiz, F. 2012. Tioriditis. Universitas Hasanuddin. MakasarKumar, V., Abbas, A.K., and Fausto, N. 2005. Robbins and Cotran: Pathologic
basis of disease. 7th ed. Elsevier Saunders. China.Longo, Dan L. MD., Kasper, Dennis L. MD., et al. 2012. Harrison’s Principle of
Internal Medicine ed.18 Chapter 231: Rheumatoid Arthritis. McGrawHill Companies, Inc. USA.
Male, D. J. Brostoff, D. B. Roth, and I. Roitt. 2006. Immunology. Seventh Edition. Canada: Elsevier Limited.
Martakusumah, A. H. 2009. Terapi Induksi Pada Lupus Nephritis. Universitas Padjadjaran. Bandung.
Page, L. M., Du Toit, D. F., Page, B. J. 2010. Understanding Autoimmune Disease. a review article for the layman.
Schuna, A.A., in Rheumatoid Arthritis, Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C. Matzke, G.R., Wells, B.G. & Posey, L.M., (Eds), 2005, Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach, Sixth Edition, 1671-1683, McGraw Hill, Medical Publishing Division, New York.
Silbernagl, S. 2007. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Sinaga, B. A, Sari, P. A., Sari, D. A., Merry. Astrid. 2009. Hypersensitivity Dieseases. Universitas Sumatera Utara. Medan
Sjamsuhidajat, R, et al. 2010. Buku Ajar ilmu Bedah Sjamsuhidajat-de Jong Edisi 3. EGC. Jakarta
Suarjana, I Nyoman.2009. Artritis Reumatoid Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V. Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, Idrus, et al. Interna Publishing. Jakarta.
Sudewi, N. P., Kurniati, N., Suyoko, E. M. D., Munasir, Z., Akib, A. A. P. 2009. Karakteristik Klinis Lupus Eritematosus Sistemik pada Anak. Sari Pediatri, Vol. 11, No. 2
Stiehm,E. Richard.. Stiehm’s Immune Deficiencies. Elsevier. 2005.
Stiehm, E. Richard. Immunologic disorders in infants and children. WB Saunders Co, 1989.
Stiehm, E. Richard, and Richard B. Johnston. "A history of pediatric immunology." Pediatric research 57.3 (2005): 458-467.
Symmons, Deborah., Mathers, Colin., Pfleger Bruce. 2006. The Global Burden of Rheumatoid Arthritis In The Year 2000. Diakses melalui : www.who.int/healthinfo/statistics/bod_rheumatoidarthritis
Thomas, W. R. 2001. Hypersensitivity: Immunological.Encyclopedia Of Life Sciences. John Wiley & Sons, Ltd.
Utomo, W. N. 2012. Hubungan Antara Aktivitas Penyakit Dengan Status Kesehatan Pada Pasien Les ( Lupus Eritematosus Sistemik ) Di Rsup Dr. Kariadi, Semarang. Laporan Hasil Karya Tulis Ilmiah. Universitas Diponegoro. Semarang
Yance Anas, S.Farm, Apt. 2010 Bioteknologi Farmasi : Pengobatan AIDS dengan terapi antisense Rna. Program Studi Ilmu Farmasi Fakultas Pasca-Sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta