PENINJAUAN KEMBALI FORMASI NGLANGGERAN...
Transcript of PENINJAUAN KEMBALI FORMASI NGLANGGERAN...
PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN IAGI KE-37
HOTEL HORISON BANDUNG, AGUSTUS 2008
269
PENINJAUAN KEMBALI FORMASI NGLANGGERAN DI LOKASI TIPE SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP MULA JADI DAN PENAMAAN
SATUAN BATUAN RESMI DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL, YOGYAKARTA
Oleh: S. Bronto1), G. Hartono2) & Sri Mulyaningsih3)
1) Pusat Survei Geologi, Bandung, e-mail: [email protected] 2) Teknik Geologi STTNAS, Yogyakarta
3) Teknik Geologi ISTA, Yogyakarta
Sari
Formasi Nglanggeran, atau sebelumnya disebut Nglanggran Beds, di Pegunungan Selatan, Yogyakarta sudah sangat terkenal di antara para ahli geologi Indonesia, terutama semenjak dipublikasikan di dalam buku The Geology of Indonesia karya Prof. R.W. van Bemmelen (1949). Pada umumnya para penulis, antara lain Surono dkk. (1992) dan Rahardjo dkk. (1977), memerikan Formasi Nglanggeran sebagai satuan batuan yang bahan penyusun utamanya adalah breksi gunung api. Namun demikian penulis jauh sebelum van Bemmelen (1949), yakni Bothe (1929) melaporkan bahwa Boekit Nglanggran Beds tersusun oleh a reddish agglomerate. Pemeriksaan kembali ke Boekit Nglanggran, yang sekarang dikenal dengan nama Gunung Nglanggeran atau Gunung Blencong dan Gunung Wayang di Desa Nglanggeran, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta, diyakini bahwa batuan gunung api di lokasi tipe tersebut adalah aglomerat. Aglomerat adalah batuan piroklastika yang banyak mengandung bom gunung api, yang mekanisme erupsinya secara dilontarkan dari dalam kawah gunung api seperti lontaran tolak peluru (ballistic projectiles) sebagai endapan jatuhan piroklastika fraksi kasar. Penegasan terhadap aglomerat di lokasi tipe Formasi Nglanggeran ini mempunyai dua implikasi. Pertama batuan tersebut dierupsikan tidak jauh dari sumber gunung api Tersier. Kedua, berdasarkan Sandi Stratigrafi Indonesia 1996 (Martodjojo dan Djuheni, 1996), maka secara ciri litologi bahan penyusun utama Formasi Nglanggeran seharusnya adalah aglomerat, bukan breksi gunung api. Berhubung breksi gunung api tersebar sangat luas di Pegunungan Selatan, maka perlu dicarikan lokasi tipe dan nama satuan batuan yang benar-benar tercirikan sebagai bahan penyusun utamanya adalah breksi gunung api. Kata kunci: Nglanggeran, aglomerat, breksi gunung api, Pegunungan Selatan
Abstract
Nglanggeran Formation, previously called Nglanggran Beds, in the Southern Mountains, Yogyakarta is already very well known among Indonesian Geologists, especially after publication of The Geology of Indonesia by Prof. R.W. van Bemmelen (1949). In general, previous workers, e.g. Surono et al. (1992) and Rahardjo et al. (1977), described the Nglanggran Formation as a lithostratigraphic unit that mainly composed of volcanic breccias. However, far before van Bemmelen (1949), i.e. Bothe (1929) reported that Boekit Nglanggran Beds comprise of a reddish agglomerate. Rechecking in the field of Boekit Nglanggran, now is known as Gunung Nglanggeran or Gunung Blencong and Gunung Wayang, at Nglanggeran Village, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta, has verified that volcanic rocks at the type locality of the Nglanggran Formation is agglomerate. It is a pyroclastic rock that predominantly containing of volcanic bombs ejected from a volcanic vent(s) as ballistic projectiles. This verification has two implications. First, the Nglanggeran agglomerate was erupted near a Tertiary volcanic vent(s). Second, based on the 1996 Indonesian Stratigraphic Code (Martodjojo dan Djuheni, 1996) lithologically Nglanggeran Formation should be characterized predominantly by agglomerates, not volcanic breccias. Due to widely spread distribution of volcanic breccias in the Southern Mountains, this type of volcanic rock has to be given a different name of lithostratigraphic unit with an appropriate type of locality. Key words: Nglanggeran, agglomerate, volcanic breccia, the Southern Mountains
PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN IAGI KE-37
HOTEL HORISON BANDUNG, AGUSTUS 2008
270
PENDAHULUAN
Batuan gunung api berumur Tersier
merupakan salah satu batuan penyusun
utama Pegunungan Selatan, yang
membentang mulai dari daerah Parangtritis,
Kabupaten Bantul di sebelah barat sampai
dengan Tinggian Gunung Gajahmungkur –
Panggung Masif di sebelah timur, wilayah
Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Batuan
gunung api tersebut dibagi menjadi
beberapa satuan litostratigrafi (Tabel 1),
yang salah satunya dikenal dengan nama
Formasi Nglanggeran (Rahardjo drr., 1977;
Surono dkk., 1992). Formasi Nglanggeran
ini sebelumnya disebut Boekit Nglanggran
beds (Bothe, 1929) atau Nglanggran beds
(van Bemmelen, 1949). Sekalipun sudah
menggunakan kata “Formasi” dan nama
lokasi tipe, satuan batuan gunung api di
Pegunungan Selatan tersebut belum benar-
benar resmi, karena belum sepenuhnya
memenuhi ketentuan Sandi Stratigrafi
Indonesia (Martodjojo dan Djuheni, 1996),
yang antara lain belum mempunyai
penampang tipe, apalagi penampang
stratigrafi tambahan. Bahkan untuk Formasi
Nglanggeran ciri litologi di lokasi tipe kurang
mencerminkan ciri litologi sebagian besar
batuan klastika gunung api di dalam satuan
batuan tersebut.
Secara dominan, Formasi
Nglanggeran tersusun oleh breksi gunung
api, sedangkan di lokasi tipe, yakni di bukit
atau Gunung Nglanggeran, Desa
Nglanggeran, Kecamatan Patuk, Kabupaten
Gunungkidul, Yogyakarta adalah aglomerat.
Aglomerat ini mempunyai ciri litologi dan
tata nama berbeda dengan breksi gunung
api. Penamaan aglomerat di Gunung
Nglanggeran sebenarnya sudah dilaporkan
oleh Bothe (1929). Namun pada
perkembangannya terjadi “salah kaprah”
karena para ahli geologi saat ini mengenal
Formasi Nglanggeran dengan ciri litologi
breksi gunung api.
Mengacu tata nama satuan
litostratigrafi di dalam Sandi Stratigrafi
Indonesia (Martodjojo dan Djuheni, 1996),
maka perlu dilakukan peninjauan kembali
bahwa batuan penyusun utama Formasi
Nglanggeran seharusnya sesuai dengan ciri
litologi di lokasi tipe. Ciri-ciri litologi di lokasi
tipe harus mewakili seluruh satuan dan
sebaran lateralnya dapat dipetakan dengan
skala 1 : 25.000. Tulisan ini bertujuan untuk
meneliti kembali ciri liotologi Formasi
Nglanggeran di lokasi tipe. Hal ini
dimaksudkan sebagai bahan pertimbangan
untuk menyusun satuan batuan secara
resmi sesuai ketentuan Sandi Stratigrafi
Indonesia (Martodjojo dan Djuheni, 1996).
Untuk mencapai tujuan tersebut masalah
yang harus dipecahkan adalah pemahaman
terhadap batuan klastika gunung api
berbutir kasar, baik secara pemerian
maupun genesisnya. Penelitian ini
menggunakan metoda kerja lapangan,
dengan mengamati bentang alam batuan
penyusun Formasi Nglanggeran di lokasi
tipe, memerikan singkapan batuan dan
sekaligus memetakan sebarannya,
kemudian dibandingkan dengan hasil
penelitian terdahulu serta landasan
terminologi batuan klastika gunung api.
Lokasi penelitian terletak di Desa
Nglanggeran, Kecamatan Patuk, Kabupaten
Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta (Gambar 1). Daerah ini
PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN IAGI KE-37
HOTEL HORISON BANDUNG, AGUSTUS 2008
271
mempunyai koordinat 110° 32’ 15” – 33’ 15”
Bujur Timur dan 7° 50’ 15” – 50’ 45” Lintang
Selatan.
AGLOMERAT DAN BREKSI GUNUNG API
Aglomerat dan breksi gunung api
merupakan dua macam batuan klastika
gunung api (volcaniclastic rocks) berbutir
kasar, tetapi mempunyai landasan
penamaan berbeda. Penamaan aglomerat
didasarkan pada aspek genesisnya, sedang
nama breksi gunung api didasarkan pada
aspek pemeriannya. Menurut Fisher dan
Schmincke (1984) agglomerate is a welded
agregate consisting predominantly of bombs
(suatu agregat terlaskan yang tersusun
utamanya oleh banyak bom (gunung api)).
Cas dan Wright (1987), menyatakan bahwa
an agglomerate is a coarse pyroclastic
deposit composed of large proportion of
rounded, fluidally shaped, volcanic bombs
(predominant grainsize is > 64 mm).
Batasan itu diterjemahkan secara bebas
bahwa aglomerat adalah endapan
piroklastika berbutir kasar, tersusun
sebagian besar oleh bom gunung api, yang
berbentuk membundar dengan ukuran butir
> 64 mm. Terdapatnya bom gunung api
dalam berbagai bentuk, misalnya bom kerak
roti, dan struktur jatuhan bom (bomb sags)
merupakan syarat utama untuk penamaan
aglomerat. Secara khas dan asal-usul,
istilah aglomerat mencerminkan suatu
endapan jatuhan, dan menjadi petunjuk
sangat baik sebagai bahan yang
diendapkan di dekat kawah gunung api atau
bahkan di dalam lubang kepundan
(Macdonald, 1972; Cas and Wright, 1987).
Gambar 2 memperlihatkan letusan
Gunungapi Anak Krakatau yang
melontarkan bom gunung api kemudian
jatuh bebas di tepi kawah. Gambar 3
memperlihatkan letusan gunung api yang
sama pada malam hari, sehingga lontaran-
lontaran bom gunung api nampak sangat
menakjubkan seperti kembang api. Letusan
gunung api yang menghasilkan banyak bom
gunung api dan kemudian membentuk
aglomerat mempunyai tipe erupsi Stromboli
sampai Vulkano (Simkin dan Siebert, 1994;
Newhall dan Self, 1982). Secara deskriptif,
aglomerat mengandung < 25 % volume abu
dan lapili yang berfungsi sebagai matriks di
antara fragmen bom gunung api. Bom
gunung api dilontarkan keluar dari dalam
kawah dalam kondisi cair kental yang
kemudian memadat di udara atau segera
setelah jatuh di permukaan tanah. Dengan
demikian bom-bom gunung api tersusun
oleh bahan primer magma pada waktu itu
atau material juvenile. Penamaan berbagai
macam bom didasarkan pada bentuknya,
sebagai contoh bom pita ( ribbon bombs),
bom kotoran sapi (cow-dung bombs), bom
bulat (sphaeroidal bombs), bom silindris
(cylindrical bombs), dan lain-lain. Kerak di
bagian tepi bom-bom kerak roti selalu
merekah, sebagai akibat keluarnya gas
pada saat bagian inti bom masih cair liat.
Pada umumnya, bom kerak roti dihasilkan
dari magma berkomposisi menengah
sampai asam. Sebaliknya, bom-bom basal
hanya memperlihatkan rekahan kecil,
membentuk kulit kaca yang bagian
dalamnya masih cair liat sehingga pada
waktu jatuh masih plastis, dan bentuknya
mengikuti efek jatuh, seperti halnya bom
PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN IAGI KE-37
HOTEL HORISON BANDUNG, AGUSTUS 2008
272
kotoran sapi. Dengan demikian nama
aglomerat dan bom gunung api lebih
ditekankan pada aspek genesis, asal-usul
atau proses pembentukannya.
Breksi gunung api (volcanic
breccias) adalah batuan klastika gunung api
berbutir kasar, tersusun oleh fragmen
berukuran > 2 mm berbentuk sangat
menyudut sampai menyudut. Nama ini lebih
ditekankan pada aspek deskriptif, sebanding
dengan nama batupasir gunung api
(volcanic sandstones), yang ukuran butirnya
lebih halus (1/16 – 2 mm). Secara genesis,
breksi gunung api dapat berupa breksi
piroklastika, breksi autoklastika, breksi
epiklastika dan breksi kataklastika (Cas and
Wright, 1987; McPhie et al., 1993). Breksi
piroklastika adalah batuan piroklastika yang
banyak mengandung blok gunung api,
sedangkan aglomerat adalah batuan
piroklastika yang banyak mengandung bom
gunung api (Fischer dan Schmincke, 1984).
Breksi autoklastika adalah breksi lava, yang
terbentuk pada saat mengalir atau
membentuk kubah sambil mendingin secara
cepat sehingga terjadi struktur rekahan yang
sangat intensif. Breksi autoklastika
mempunyai komposisi fragamen dan
matriks sama –sama batuan beku. Breksi
epiklastika adalah breksi yang komponen di
dalamnya (fragmen dan matriks) sebagai
hasil pengerjaan ulang, mulai dari
pelapukan, erosi, transportasi, dan
pengendapan kembali (redeposisi).
Sementara itu breksi kataklastika adalah
breksi yang terbentuk sebagai akibat
deformasi, baik secara tektonik (seperti
halnya breksi sesar), maupun sebagai
akibat longsoran besar suatu kerucut
gunung api (gigantic rocks slide
avalanches).
TATAAN GEOLOGI
Secara fisiografis, daerah penelitian
dikenal sebagai bagian dari rangkaian
Tinggian atau Pegunungan Baturagung,
yang terletak di bagian utara Pegunungan
Selatan. Bentang alam itu berbentuk
memanjang berarah barat – timur (lebih
kurang 20 km), lebar 10 km, dan sekaligus
merupakan lajur paling tinggi di kawasan
Pegunungan Selatan tersebut. Puncak
tertingginya ini adalah G. Baturagung (+ 831
m), yang terletak di bagian tengah,
sedangkan ke arah barat, timur, utara dan
selatan menurun (Gambar 4). Ke arah utara,
Tinggian Baturagung membentuk gawir
memanjang berarah barat-timur dengan
ketinggian lebih kurang 500 m, sebagai
batas dengan Perbukitan Jiwo ( + 215 m)
dan Dataran Aluvium Merapi Yogyakarta-
Klaten-Surakarta (+ 115 m). Ke arah barat,
Tinggian Baturagung dibatasi oleh Tinggian
Prambanan ( + 300 sampai + 400m), yang
ke arah baratdaya membentuk lajur tinggian
dengan Gunung Sudimoro (+ 507 m)
hingga ke Pantai Parangtritis. Ke arah timur,
Tinggian Baturagung dibatasi oleh Tinggian
Sambeng ( + 300 m) dan G. Gajahmungkur
(+ 801 m), yang ke arah selatan
menyambung dengan Tinggian Gunung
Panggung (+ 470 m sampai 580 m). Ke
arah selatan Tinggian Baturagung dibatasi
oleh Dataran Wonosari (+ 190 m) dan
topografi karst yang tersusun oleh
batugamping, mempunyai ketinggian 280 m
sampai 400 m dan lebih dikenal dengan
nama Gunung Sewu.
PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN IAGI KE-37
HOTEL HORISON BANDUNG, AGUSTUS 2008
273
Sungai-sungai di kawasan Tinggian
Baturagung ini tidak mengalir sepanjang
tahun, salah satu yang terpanjang adalah
Kali Ngalang. Sungai ini yang mengalir ke
selatan dan menyatu dengan Kali Widoro,
untuk kemudian bergabung dengan Kali
Opak, yang merupakan aliran sungai utama
di Pegunungan Selatan.
Stratigrafi Pegunungan Selatan telah
dikemukakan oleh banyak peneliti terdahulu,
di antaranya Bothe (1929), van Bemmelen
(1949), Rahardjo dkk. (1977), Surono dkk.
(1992) dan Sudarno (2007). Satuan batuan
tertua di daerah ini berupa batuan metamorf
berumur Pra-Tersier, yang tersingkap di
Pegunungan Jiwo, Kecamatan Bayat,
Kabupaten Klaten (Gambar 5). Endapan
Kuarter terdiri atas hasil kegiatan Gunung
api Merapi dan Lawu, serta bahan
rombakan berupa endapan aluvium.
Pembagian satuan batuan gunung api
Tersier dari tua ke muda, pada jalur
Perbukitan Jiwo di Kecamatan Bayat,
Kabupaten Klaten sampai dengan daerah
Sambipitu, Kecamatan Patuk, Kabupaten
Gunungkidul adalah Formasi Kebo-Butak,
Formasi Semilir, Formasi Nglanggeran dan
Formasi Sambipitu. Menurut Bothe (1929)
dan van Bemmelen (1949), kedudukan
stratigrafi Nglanggeran beds menumpang di
atas Semilir beds dan ditutupi oleh
Sambipitu beds. Namun di antara kedua
peneliti tersebut terdapat perbedaan umur
pembentukan satuan batuan. Bothe (1929)
menempatkan Nglanggeran beds pada
umur Miosen Tengah bagian bawah (N9),
sedangkan van Bemmelen (1949)
memberikan umur Miosen Tengah (N11-12).
Peneliti berikutnya, yakni Surono dkk.
(1992) dan Sudarno (1997) menempatkan
Formasi Nglanggeran menjemari dengan
Formasi Semilir dan Formasi Sambipitu
mulai Miosen Awal sampai dengan Miosen
Tengah.
Bothe (1929) melaporkan bahwa
Boekit Nglanggran Beds di lokasi tipe yakni
di Bukit Nglanggeran, Desa Nglanggeran,
Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul,
tersusun oleh aglomerat. Sementara itu
Surono drr. (1992) memerikan seluruh
batuan penyusun Formasi Nglanggeran
terdiri atas breksi gunungapi, aglomerat, tuf
dan aliran lava berkomposisi andesit basal –
andesit. Formasi Nglanggeran ini tersebar
luas dan memanjang mulai dari Parangtritis
di sebelah barat hingga Tinggian Gunung
Panggung di sebelah timur. Ketebalan
satuan batuan ini di dekat Kecamatan
Nglipar sekitar 530 m. Namun sejauh ini
batuan penyusun Formasi Nglanggeran
yang berupa aglomerat hanya terbatas di
Bukit Nglanggeran, sedangkan selebihnya
didominasi oleh breksi gunung api dan
aliran lava. Fragmen breksi dan bom
gunung api di dalam aglomerat terdiri atas
andesit, andesit basal dan sedikit basal,
berukuran 2 – 50 cm, kadang-kadang
mencapai 1 – 1,5 m, berbentuk meruncing
(blocks/bongkah), atau memperlihatkan
struktur pendinginan dari bom gunung api.
Perlapisan aliran lava, breksi gunungapi,
lapili tuf dan tuf, dijumpai di banyak tempat,
antara lain di Kali Ngalang. Bahkan pada
daerah tersebut batuan beku intrusi dangkal
berupa sill dan retas berkomposisi andesit-
andesit basal juga ditemukan.
Pada umumnya Formasi Nglanggeran
juga miskin fosil. Penemuan fosil
PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN IAGI KE-37
HOTEL HORISON BANDUNG, AGUSTUS 2008
274
foraminifera pada sissipan batupasir dan
batulempung memberikan petunjuk bahwa
Formasi Nglanggran ini berumur Miosen
Awal – Miosen Tengah bagian bawah (N5 –
N9; Surono drr., 1992). Analisis umur
dengan metoda K-Ar terhadap batuan beku
di Parangtritis (Soeria-Atmadja drr., 1994,
memberikan umur 26,55 ± 1,07 juta tahun
(PT57B; retas) dan 26,40 ± 0,83 juta tahun
(PT57A; retas) yang termasuk di dalam
Oligosen Akhir. Semetara itu Hartono (2000)
melakukan analisis K-Ar terhadap aliran
lava di K. Ngalang dan memperoleh umur
58,58 ± 3,24 juta tahun yang lalu atau
Paleosen Akhir. Dengan banyaknya
fragmen andesit dan batuan beku luar
berlubang serta mengalami oksidasi kuat
berwarna merah bata (Bronto drr.,1999)
maka diperkirakan lingkungan asal batuan
gunungapi ini adalah darat hingga laut
dangkal. Sementara itu dengan
ditemukannya fragmen batugamping koral
dan fosil koral yang masih insitu penulis
tersebut menyimpulkan bahwa lingkungan
pengendapan Formasi Nglanggeran di
perkirakan di dalam laut dangkal.
Dengan dijumpainya banyak bom dan
blok gunungapi di dalam breksi (piroklastika)
gunung api, yang berselangseling dengan
aliran lava dan diterobos oleh batuan beku
intrusi bersusunan andesit maka
diperkirakan bahwa volkanisme pada saat
itu adalah pada tahap pembangunan
kerucut gunung api komposit (Bronto, 2006).
Proses volkanisme itu berlangsung pasca
letusan kaldera gunung api yang
membentuk Formasi Semilir. Dari hasil
penelitian di Kali Ngalang (Bronto drr., 1999)
disimpulkan bahwa daerah itu merupakan
bagian dari tubuh kerucut gunung api
komposit purba. Sebelumnya (Bronto drr.,
1998) telah menemukan batuan longsoran
gunung api Tersier di Sub Zona Baturagung
ini, khususnya di Kali Ngalang, Kali Putat
dan Jentir.
Secara umum, perlapisan batuan
gunung api pada jalur Perbukitan Jiwo ke
selatan sampai Sambipitu miring ke selatan.
Kemiringan umum perlapisan batuan itu
secara lokal agak terganggu sebagai akibat
adanya sesar, yang pada umumnya berupa
sesar turun, dengan arah tenggara-baratlaut
berpasangan dengan arah baratdaya-
timurlaut. Salah satu sesar utama adalah
Sesar Opak, yang berada di bagian
baratlaut berarah baratdaya-timurlaut, dan
sejajar dengan jalur Tinggian Prambanan-
Sudimoro. Struktur perlipatan umumnya
terjadi pada batuan non-gunung api (batuan
karbonat), mempunyai arah umum timurlaut-
baratdaya dan beberapa baratlaut-tenggara.
Sayap lipatan bersudut kecil (3 – 15 o), dan
umumnya berbentuk agak setangkup.
HASIL PENELITIAN
Bentang alam daerah penelitian
merupakan tinggian, yang puncak-
puncaknya berjajar dari barat ke timur
adalah + 494 m, + 637 m, + 641 m, + 681
m, dan + 674 m. Puncak Gunung
Nglanggeran pada ketinggian + 637 m (peta
rupa bumi skala 1/25.000, Lembar1408-313:
Jabung).Sementara itu, di dalam peta lama
(lembar 48 XLII A, 82c), Gunung
Nglanggeran disebut Gunung Wayang,
sedangkan tinggian di sebelah timurnya
dinamakan Gunung Blencong. Kawasan
Gunung Nglanggeran ini mempunyai lebar
PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN IAGI KE-37
HOTEL HORISON BANDUNG, AGUSTUS 2008
275
(utara-selatan) lebih kurang 1 km dan
panjang (barat-timur) 3 km, yang pada
pandangan burung berbentuk bulat telur
atau elip. Di sebelah utara Gunung
Nglanggeran dan Gunung Blencong
terdapat Bukit Semilir, yang termasuk
wilayah Dusun Semilir, Desa Terbah,
Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul
(Gambar 5). Bila dilihat dari utara, deretan
Gunung Nglanggeran-Blencong nampak
berjajar seperti wayang, sehingga dimaklumi
bila dinamakan juga sebagai Gunung
Wayang (Gambar 6 dan 7). Pandangan dari
Desa Oro-oro atau dari samping di sebelah
barat Gunung Nglanggeran nampak
berbentuk kubah (Gambar 8).
Singkapan batuan dijumpai mulai
dari kaki, lereng hingga puncak Gunung
Nglanggeran, berupa aglomerat, yang di
dalamnya banyak mengandung bom
gunung api tertanam di dalam matriks
berbutir pasir-kerikil (Gambar 9-10). Bom
gunung api mempunyai bentuk umum
membundar sampai membundar tanggung,
berukuran butir 10 – 60 cm. Permukaan
bom bertekstur kasar – sangat kasar,
tersusun oleh kaca gunung api atau bahan
afanitik. Bom gunung api itu juga mengalami
retak-retak atau bahkan rekahan yang
intensif, relatif tidak beraturan, tetapi struktur
itu tidak menerus memotong matriks. Data
tekstur dan struktur bom gunung api
tersebut mencerminkan proses pendinginan
bahan magma sangat cepat pada waktu
dierupsikan dan sekaligus pengkerutan
akibat pembekuan atau perubahan bentuk
dari material cair liat menjadi bahan padat
secara cepat sekali. Hanya sebagian kecil
(10-20 %) fragmen berupa bongkah
menyudut – sangat menyudut, dan sisi
bidang permukaannya sangat tajam.
Kenampakan itu juga menunjukkan bahwa
fragmen batuan tersebut belum mengalami
abrasi yang berarti pada saat mengalami
transportasi. Hal itu sangat berbeda dengan
fragmen batuan di dalam konglomerat,
dimana disamping bentuk butirnya sudah
membundar, tekstur permukaan juga sudah
halus karena abrasi selama proses
transportasi. Fragmen di dalam konglomerat
pada umumnya masif/pejal atau tidak
mempunyai struktur rekahan di dalamnya.
Seluruh bom dan blok gunung api serta
butiran di dalam matriks tersusun oleh
andesit basal piroksen, berwarna segar abu-
abu sampai coklat kemerahan, sedangkan
yang sudah lapuk berwarna merah bata
sampai coklat tanah lempung. Tekstur
batuan bervariasi dari afanit sampai porfiri
dengan fenokris plagioklas dan piroksen
berbutir halus sampai sedang. Batuan segar
sangat keras mempunyai tebal singkapan
antara 30 m – 50 m, berdinding tegak dan di
antaranya terdapat rekahan-rekahan sempit
dan sangat dalam.
Salah satu kenampakan singkapan
yang sangat menarik adalah dijumpainya
bom gunung api, yang menyerupai buah
salak, dimana bagian yang besar di bawah
sedang bagian yang kecil agak meruncing
terletak di atas (Gambar 11). Kenampakan
struktur ”buah salak” itu dapat menjadi
petunjuk bahwa bom gunung api itu jatuh
bebas secara tegak, dan sesuai dengan
gaya beratnya, bagian yang besar dan berat
berada di bawah sedangkan bagian yang
kecil dan ringan terletak di atas.
PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN IAGI KE-37
HOTEL HORISON BANDUNG, AGUSTUS 2008
276
Aglomerat di Gunung Nglanggeran
ini menumpang di atas Formasi Semilir,
yang secara khas tersusun oleh tuf berlapis
dan breksi pumis berwarna, tersingkap
sangat baik di Dusun Semilir, Desa Terbah.
Perlapisan tuf dan breksi pumis tersebut
miring ke selatan dan menerus di bawah
aglomerat Gunung Nglanggeran. Singkapan
yang menunjukkan kontak antara aglomerat
dengan breksi gunung api belum ditemukan
karena pada umumnya tertutup oleh tanah
pelapukan. Dengan sebaran lateral
berukuran 1 km x 3 km, maka aglomerat di
Gunung Nglanggeran ini dapat dipetakan
pada skala 1 : 25.000, atau bahkan 1 :
50.000 (Gambar 12).
PEMBAHASAN DAN IMPLIKASI
Dari uraian di atas diketahui bahwa
Formasi Nglanggeran di lokasi tipe, yakni di
Gunung Nglanggeran, Desa Nglanggeran,
Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul,
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
adalah aglomerat, sesuai yang telah
dilaporkan oleh Bothe (1929) hampir 80
tahun yang lalu. Aglomerat, apalagi
mempunyai struktur ”buah salak”, menjadi
penciri sangat dekat dengan sumber erupsi
yang melontarkan bom gunung api pada
waktu diletuskan. Apabila tidak ada struktur
sesar yang merubah kedudukan aglomerat
dalam jarak cukup berarti, maka batuan
tersebut, baik secara sedimentologis
maupun secara tektonik masih terdapat
pada lokasi dimana diendapkan, atau
dengan kata lain masih insitu. Namun
karena di sekitar Gunung Nglanggeran
batuannya sudah lapuk menjadi tanah
lempung merah coklat, tanda-tanda yang
lebih menegaskan letak sumber erupsi
belum diketemukan di permukaan. Untuk
meyakinkan letak sumber erupsi maka
masih diperlukan penelitian geologi bawah
permukaan di daerah Nglanggeran tersebut.
Penamaan aglomerat dan bom
gunung api didasarkan pada asal-usul
pembentukan atau genesisnya. Namun
demikian, secara ciri litologi di lapangan
dapat dengan mudah dibedakan dengan
breksi gunung api, yang penamaannya
didasarkan pada data pemeriannya. Di
dalam breksi gunung api, fragmen batuan
penyusunnya secara dominan berbentuk
menyudut sampai menyudut tanggung. Di
dalam aglomerat fragmen batuan
didominasi oleh bom gunung api, yang
secara umum berbentuk membundar namun
mempunyai tekstur kasar bersusunan kaca
atau afanit di permukaannya. Fragmen bom
gunung api itu juga mengalami retak-retak
atau bahkan perekahan, yang sangat
intensif apalagi untuk jenis bom kerakroti.
Baik data tekstur maupun struktur pada bom
gunung api itu lebih meyakinkan sebagai
akibat proses pendinginan sangat cepat
(supercooling process) sewaktu bom
gunung api itu dilontarkan dari dalam kawah
ke permukaan bumi, dalam bentuk bahan
pijar/membara, bersuhu di atas 800oC,
kemudian diendapan secara insitu.
Sesuai dengan persyaratan Sandi
Stratigrafi Indonesia (Martodjojo dan
Djuheni, 1996), batuan penyusun (utama)
suatu satuan litostratigrafi, dalam hal ini
formasi, seharusnya terwakili di lokasi tipe.
Dengan kata lain, karena di Gunung
Nglanggeran sebagai lokasi tipe batuan
penyusunnya adalah aglomerat, maka
PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN IAGI KE-37
HOTEL HORISON BANDUNG, AGUSTUS 2008
277
Formasi Nglanggeran seharusnya secara
dominan tersusun oleh aglomerat. Pada
kenyataannya, sebaran Formasi
Nglanggeran sangat didominasi oleh breksi
gunung api. Berhubung sebaran aglomerat
di Gunung Nglanggeran dan sekitarnya
dapat dipetakan pada sekala 1: 25.000,
maka hal ini menjadi pemikiran perlu
adanya dua satuan litostratigrafi setingkat
formasi, yang masing-masing mempunyai
ciri-ciri litologi yang berbeda di lapangan.
Formasi pertama tetap bernama Formasi
Nglanggeran dengan lokasi tipe di Gunung
Nglanggeran dan batuan penyusun
utamanya adalah aglomerat. Sebagai
batuan penyusun utama formasi kedua
adalah breksi gunung api, yang lokasi tipe
dan namanya tidak di Gunung Nglanggeran.
Salah satu alternatif diberikan nama
Formasi Ngalang, karena di Kali Ngalang
dijumpai singkapan batuan sangat baik
dengan penyusun utama breksi gunung api
dan batuan beku luar (aliran lava)
berkomposisi andesit sampai andesit basal
(Bronto, drr., 1998; 1999). Selain itu akses
menuju Kali Ngalang juga sangat mudah,
karena ditepinya terdapat jalan utama yang
menghubungkan Kecamatan Gedangsari
dengan Kematan Patuk dan kota Wonosari,
yang merupakan ibukota Kabupaten
Gunungkidul.
KESIMPULAN
1. Batuan penyusun Formasi Nglanggeran
di lokasi tipe adalah aglomerat, yang
merupakan batuan piroklastika kaya
bom gunung api, sebagai bahan
lontaran yang kemudian jatuh bebas di
dalam atau di tepi kawah.
2. Sebaran lateral aglomerat itu memenuhi
syarat Sandi Stratigrafi Indonesia untuk
dijadikan satuan litostratigrafi tersendiri
setingkat formasi dengan nama tetap
Formasi Nglanggeran.
3. Untuk menentukan sumber erupsi
penghasil aglomerat di Gunung
Nglanggeran masih diperlukan
penelitian geologi bawah permukaan.
4. Breksi gunung api yang semula
termasuk di dalam Formasi Nglanggeran
perlu dicari nama dan lokasi tipe baru
yang lebih mewakili.
Ucapan Terimakasih Penulis mengucapkan banyak
terimakasih kepada Bapak Ir. Wartono Rahardjo, staf pengajar Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, dan Bapak Dr. Ir. Surono, staf peneliti Pusat Survei Geologi Bandung, yang telah memberikan masukan untuk melengkapi penyusunan makalah ini. Ucapan terimakasih juga ditujukan kepada Ibu Dwi Indah Purnamawati Msi., Ketua Jurusan Teknik Geologi, Institut Sains dan Teknologi ”AKPRIND”, dan Bapak Ir. Setyo Pambudi MT., Ketua Jurusan Teknik Geologi, Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta, yang telah mengijinkan staf pengajarnya untuk melakukan penelitian bersama dengan penulis pertama, di bawah payung kerjasama antara Pusat Survei Geologi dengan kedua institusi perguruan tinggi di Yogyakarta. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Panitia PIT ke 37 IAGI, yang telah menerima makalah ini untuk dipresentasikan secara oral.
ACUAN Bothe, A. Ch. D., 1929, Djiwo Hills and
Southern Ranges, Excursion Guide, IVth Pacific Sci. Cong., Bandung, 23 p.
Bronto, S., 2006, Fasies gunung api dan aplikasinya, Jurnal Geologi Indonesia, v.2, n. 1, 59-71.
Bronto, S., G. Hartono dan D. Purwanto, 1998, Batuan longsoran gunung api Tersier di Pegunungan Selatan, studi
PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN IAGI KE-37
HOTEL HORISON BANDUNG, AGUSTUS 2008
278
kasus di Kali Ngalang, Kali Putat, dan Jentir, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta, Prosid. PIT XXVII IAGI, 8-9 Des., Yogyakarta, 3.44 – 3.49.
Bronto, S., W. Rahardjo dan G. Hartono, 1999, Penelitian gunung api purba di kawasan Kali Ngalang, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta serta implikasinya terhadap pengembangan sumber daya geologi, Prosid. Seminar Nasional, Sumber Daya Geologi 40 th., Jur. Teknik Geologi, FT-UGM, Yogyakarta, 222-27.
Cas, R.A.F dan Wright, J.V., 1987, Volcanic successions: modern and ancient, Allen and Unwin, London, 528.
Fisher, R.V. dan Schmincke, H.U., 1984. Pyroclastic Rocks. Springer-Verlag, Berlin, 472 h.
Hartono, G., 2000, Studi gunung api Tersier: Sebaran pusat erupsi dan petrologi di Pegunungan Selatan, Yogyakarta, tesis magister, Program Studi Teknik Geologi, Program Pasca Sarjana, ITB, Bandung, 168, (tidak terbit).
Macdonald, G.A., 1972, Volcanoes, Prentice-Hall, Englewood Cliffs, New Jersey, 510.
Martodjojo, S. dan Djuhaeni, 1996, Sandi Stratigrafi Indonesia, Komisi Sandi Stratigrfi Indonesia IAGI, Jakarta, 25.
McPhie, J., Doyle, M. And Allen, R., 1993, Volcanic Textures. A guide to the interpretation of textures in volcanic rocks, Centre for Ore and Exploration
Studies, Univ. of Tasmania, Australia, 196 p.
Newhall, C.G. and Self, S., 1982. The Volcanic Explosivity Index (VEI): an estimate of explosive magnitude for historical volcanism. J. Geophys. Res., 87, h. 1231-38.
Rahardjo, W., Sukandarrumidi dan H.M. Rosidi, 1977, Peta Geologi Lembar Yogyakarta, Jawa, skala 1 : 100.000, Direktorat Geologi, Bandung.
Simkin, T. and Siebert, L., 1994, Volcanoes of the world, Geoscience Press Inc., Tucson, Arizona, 349 p.
Soeria-Atmadja, R., R.C. Maury, H. Bellon, H. Pringgoprawiro dan B. Priadi, 1994, Tertiary magmatic belts in Java, Journ. SE Asian Earth Sci., 9, 13-12.
Sudarno, I., 2007. Evolusi tegasan purba dan genesa sesar di daerah Pegunungan Selatan DIY dan sekitarnya. Publikasi khusus Jurnal Geologi dan Sumber Daya Mineral, PSG, hasil Seminar dan Workshop “Potensi Geologi Pegunungan Selatan dalam Pengembangan Wilayah”. Kerjasama PSG, UGM, UPN “Veteran”, STTNAS dan ISTA, Yogyakarta, 27-29 Nov. 2007, (in press).
Surono, Toha, B. dan Sudarno, I. 1992, Peta geologi lembar Surakarta Jawa skala 1: 100.000, Edisi II, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Van Bemmelen, R.W., 1949, The Geology of Indonesia, Vol. IA, Martinus Nijnhoff, The Hague, 732.
PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN IAGI KE-37
HOTEL HORISON BANDUNG, AGUSTUS 2008
279
Bom gunung api
Gambar 1. Peta lokasi daerah penelitian.
Gambar 2. Letusan Gunung api Anak Krakatau di selat Sunda, yang melontarkan bom gunung
api, sebagai model pembentukan aglomerat.
PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN IAGI KE-37
HOTEL HORISON BANDUNG, AGUSTUS 2008
280
Yogyakarta
SurakartaG. Merapi
Peg. Kulonprogo 1 2
3
4
5
67
8
Samudera Hindia
U
0 10 km
9
Gambar 3. Letusan Gunung api Anak Krakatau pada malam hari, yang melontarkan banyak
bom gunung api sehingga nampak seperti kembang api.
Gambar 4. Fisiografi daerah penelitian di Pegunungan Selatan berdasarkan citra satelit.
1. Bentang alam dataran aluvium Yogyakarta-Surakarta. 2. Bentang alam Perbukitan Prambanan 3. Bentang alam Pegunungan Baturagung 4. Bentang alam Perbukitan Jiwo 5. Bentang alam Pegunungan Gajahmungkur 6. Bentang alam Perbukitan Panggung 7. Bentang alam Dataran Wonosari 8. Bentang lama topografi karst Gunung Sewu, dan
Bentang alam Perbukitan Sudimoro
PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN IAGI KE-37
HOTEL HORISON BANDUNG, AGUSTUS 2008
281
G. Semilir G. Blencong
G. Blencong G. Nglanggeran
Gambar 5. Gunung (G.) Semilir dan G. Blencong difoto dari sebelah utara, di Dusun Nawung,
Desa Terbah, Kecamatan Patuk, koordinat 7o 49’ 11,2” LS – 110 o 32’ 36,4” BT. Gambar 6. G. Wayang atau G. Blencong difoto dari sebelah utara, Desa Terbah, Kecamatan
Patuk.
PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN IAGI KE-37
HOTEL HORISON BANDUNG, AGUSTUS 2008
282
Gambar 7. G. Wayang difoto dari sebelah utara, di Desa Terbah, Kecamatan Patuk
Gambar 8. G. Nglanggeran difoto dari sebelah barat, di Desa Oro-oro.
PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN IAGI KE-37
HOTEL HORISON BANDUNG, AGUSTUS 2008
283
Bom gunung api
Gambar 9. Singkapan aglomerat yang di dalamnya banyak mengandung fragmen bom gunung
api di kaki G. Nglanggeran.
Gambar 10. Bom gunung api di dalam aglomerat.
PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN IAGI KE-37
HOTEL HORISON BANDUNG, AGUSTUS 2008
284
Bom gunung api
Gambar 11. Bom gunung api lapuk, berbentuk seperti buah salak.