Penindasan Dalam Dunia Pendidikan Pondok Pesantren teoritis, kekerasan terhadap anak (child abuse)...

32
Penindasan Dalam Dunia Pendidikan Pondok Pesantren (Studi Kasus di Pondok Pesantren “ XXX” Kota Blitar) http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id

Transcript of Penindasan Dalam Dunia Pendidikan Pondok Pesantren teoritis, kekerasan terhadap anak (child abuse)...

Page 1: Penindasan Dalam Dunia Pendidikan Pondok Pesantren teoritis, kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat didefinisikan sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental atau seksual yang umumnya

Penindasan Dalam Dunia Pendidikan Pondok Pesantren

(Studi Kasus di Pondok Pesantren “XXX” Kota Blitar)

http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id

Page 2: Penindasan Dalam Dunia Pendidikan Pondok Pesantren teoritis, kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat didefinisikan sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental atau seksual yang umumnya

2

http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pondok pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan nonformal yang

telah eksis sejak dulu kala bahkan sebelum pendidikan formal mulai

dimasyarakatkan. Dalam perkembangannya, pendidikan pondok pesantren

berubah sesuai dengan perkembangan zaman, melakukan adaptasi-adaptasi

melalui perubahan kurikulum dan penambahan atau pengurangan mata pelajaran

yang diajarkan di bilik-bilik kelas. Bahkan, beberapa sekolah formal merangkul

pondok pesantren sebagai fitur tambahan untuk menarik perhatian wali murid

dengan kebiasaan dan budaya pondok pesantren yang kental dengan nilai-nilai

agama dan moralitas.

Pondok pesantren, sebagai sebuah realitas pendidikan yang eksis

menciptakan pribadi-pribadi yang bersesuaian dengan norma-norma agama dan

apa yang diharapkan oleh masyarakat secara umum terkait dengan nilai kebaikan,

kejujuran, kesopanan, dan religiusitas dalam setiap tindakannya membuat

lembaga pendidikan pondok pesantren dilirik sebagai sebuah lembaga pendidikan

yang paling efektif untuk menciptakan individu dengan spesifikasi yang sesuai

dengan harapan dan dambaan masyarakat secara luas (terutama masyarakat yang

kental dengan ajaran-ajaran agama islam). Belum lagi, dewasa kini pondok

pesantren eksis dengan berbagai macam bahan ajar tambahan yang diajarkan oleh

lembaga- lembaga pendidikan formal seperti pengetahuan alam, pengetahuan

sosial, dan mata pelajaran umum lainnya. Namun, hal tersebut juga berimpilasi

pada beban yang diterima oleh para santri.

Melihat pondok pesantren sebagai sebuah model lembaga pendidikan yang

diidam-idamkan oleh masyarakat secara luas, kemudian membuat kita bertanya-

tanya. Apakah benar pondok pesantren membentuk pribadi yang sesuai dan

mempunyai spesifikasi yang pas dengan harapan masyarakat secara luas?, atau

justru tak ubahnya dengan individu-individu yang diciptakan oleh lembaga

pendidikan formal yang terus mereproduksi kesenjangan antara mereka yang telah

menghafal lebih banyak kitab dengan mereka yang baru saja dan belum pernah

Page 3: Penindasan Dalam Dunia Pendidikan Pondok Pesantren teoritis, kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat didefinisikan sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental atau seksual yang umumnya

3

http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id

sama sekali menghafal kitab-kitab? Apakah benar pondok pesantren merupakan

sebuah lembaga pendidikan yang melahirkan cendekiawan-cendekiawan yang

mampu berpikir secara rasional atau justru tak ubahnya seperti individu- individu

yang tercipta dari lembaga pendidikan formal yang hanya berfungsi sebagai

mesin-mesin penghafal dan menerima segala bentuk pengetahuan yang

menghegemoni? Apakah benar pondok pesantren sebagai sebuah lembaga

pendidikan yang melahirkan orang-orang yang mampu menciptakan dan bertindak

melakukan transformasi sosial, ataukah hanya menciptakan sekumpulan manusia

yang bahkan tak mempunyai kesadaran atas dirinya dan ketertindasannya?

Secara empiris, pondok pesantren justru mereproduksi kesenjangan,

hegemoni, dan melakukan pembisuan dan pembungkaman terhadap pemikiran

para santri melalui hubungan-hubungan yang kental akan stratifikasi sosial dan

ajaran-ajaran yang dogmatis dan naratif. Dalam hal ini, realitas pondok pesantren

menjadi sebuah fenomena yang unik untuk dikaji. Di satu sisi pondok pesantren

menawarkan sebuah konsep pendidikan yang mampu menjamin pemenuhan

kebutuhan dan harapan masyarakat terhadap sosok penerus dan pemimpin di masa

depan sesuai dengan kriteria-kriteria yang didasarkan atas prinsip moralitas yang

kental dengan nilai-nilai religiusitas. Di sisi lain, pondok pesantren jika dilihat

secara kritis justru melakukan penindasan dan kekerasan terhadap pemikiran para

santri melebihi apa yang dilakukan oleh sekolah-sekolah formal pada umumnya.

Karya tulis ini secara khusus akan membahas mengenai bentuk-bentuk

penindasan dalam dunia pendidikan pondok pesantren khususnya di Pondok

Pesantren “XXX” Kota Blitar yang akan dikaji dari tokoh-tokoh pendidikan kritis

seperti Emile Durkheim, Antonio Gramschi, Pierre Bordieu, dan Paulo Freire.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimanakah realitas pendidikan di Pondok Pesantren “XXX” Kota

Blitar kaitannya dengan teori kekerasan terhadap anak (chile abuse)?

2. Bagaimana pendidikan moral yang terdapat dalam Pondok Pesantren

“XXX” Kota Blitar? Apakah sesuai dengan pandangan Emile Durkheim

tentang pendidikan moral?

Page 4: Penindasan Dalam Dunia Pendidikan Pondok Pesantren teoritis, kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat didefinisikan sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental atau seksual yang umumnya

4

http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id

3. Bagaimana kaitan antara pendidikan pada Pondok Pesantren “XXX” Kota

Blitar dengan proses hegemoni dalam pendidikan (sesuai pandangan

Antonio Gramsci)?

4. Apakah kaitan antara pendidikan pada Pondok Pesantren “XXX” Kota

Blitar dengan reproduksi budaya dan sosial, sesuai dengan pandangan

Pierre Bourdieu?

5. Apakah kesadaran kritis seperti pandangan Paulo Freire sudah diterapkan

dalam pendidikan pada Pondok Pesantren “XXX” Kota Blitar?

C. TUJUAN DAN MANFAAT

Tujuan penulisan karya tulis ini secara umum adalah untuk mengetahui

potret pendidikan di Indonesia yang dalam hal ini difokuskan pada lembaga

pendidikan pondok pesantren “XXX” kota Blitar sebagai salah satu pondok

pesantren yang prestigious di kawasan Kota dan Kabupaten Blitar.

Manfaat penulisan karya tulis ini ini secara akademis adalah untuk

meningkatkan sensitifitas masyarakat dalam berpikir ilmiah, serta manfaat praktis

yaitu meningkatkan kemampuan masyarakat sebagai pembaca dalam menganalisis

realitas pendidikan pada pondok pesantren khususnya pada Pondok Pesantren

“XXX” Kota Blitar melalui data yang berhasil dihimpun baik bersifat sekunder

maupun primer. Dengan demikian setelah membaca karya tulis ini diharapkan

masyarakat tidak serta merta menjustifikasi bahwa pendidikan pondok pesantren

jauh lebih bagus dari pada pendidikan formal, namun keduanya sama-sama

memiliki kekuarangan dan kelebihan masing-masing.

Page 5: Penindasan Dalam Dunia Pendidikan Pondok Pesantren teoritis, kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat didefinisikan sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental atau seksual yang umumnya

5

http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id

BAB II

KAJIAN TEORI

Kerangka teori merupakan kerangka dasar dalam suatu penelitian dan

mutlak diperlukan. Untuk sahihnya suatu penelitian, tentunya ada teori yang

mendasari penelitian ini. Berikut adalah teori kekerasan terhadap anak di lembaga

pendidikan pondok pesantren yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini

A. TEORI KEKERASAN TERHADAP ANAK

Secara teoritis, kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat didefinisikan

sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental atau seksual yang umumnya dilakukan

oleh orang-orang yang mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan anak

yang mana itu semua diindikasikan dengan kerugian dan ancaman terhadap

kesehatan dan kesejahteraan anak (Krisis & Child Abuse, 2002). Richard J Gelles

(2004:1) dalam Encyclopedia Article from Encarta, mengartikan child abuse

sebagai “intentional acts that result in phsycal or emotional harm to children. The

term, child abuse covers a wide, range of behavior, from actual phsycal assault by

parents or other adult” caretakers to neglect at child basic needs” (Kekerasan

terhadap anak adalah perbuatan disengaja yang menimbulkan kerugian atau

bahaya terhadap anak-anak secara fisik maupun emosional. Sementara itu, Barker,

(1987:23) mendefinisikan child abuse yaitu: “the recurrent infliction of phsycal or

emotional injury on a dependent minor, through intentional beating, uncontrolled

corporal punishment persistent redicule, and degradation, or sexual abuse, usully

comminted by parents or other in charge of the child's care” (kekerasan terhadap

anak adalah tindakan melukai yang berulang-ulang secara fisik dan emosional

terhadap anak yang ketergatungan, melalui desakan hasrat, hukuman badan yang

tak terkendali, degradasi dan cemoohan permanen atau kekerasan seksual;

biasanya dilakukan para orang tua atau pihak lain yang seharusnya merawat anak.

Menurut para ahli tindakan kekerasan atau pelanggaran hak anak dapat

terwujud setidaknya ke dalam empat kategori :

Page 6: Penindasan Dalam Dunia Pendidikan Pondok Pesantren teoritis, kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat didefinisikan sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental atau seksual yang umumnya

6

http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id

Pertama, kekerasan fisik yang meliputi menampar, menendang,

memukul/meninju, mencekik, mendorong, menggigit, membenturkan,

mengancam dengan benda tajam, dan sebagainya.

Kedua, kekerasan psikis, bentuk kekerasan ini meliputi penggunaan kata-

kata kasar, penyalahgunaan kepercayaan, mempermalukan anak di depan orang

lain atau di depan umum dan melontarkan ancaman dengan kata-kata.

Ketiga, kekerasaan seksual. Termasuk dalam kategori ini adalah segala

tindakan yang muncul dalam bentuk paksaan atau mengancam untuk melakukan

hubungan seksual (sexual intercource), melakukan penyiksan atau bertindak sadis

serta meninggalkan seseorang termasuk mereka yang tergolong masih berusia

anak-anak setelah melakukan hubungan seksual. Segala perilaku yang mengarah

pada tindakan pelecehan seksual terhadap anak-anak baik di sekolah, di dalam

keluarga, maupun lingkungan sekitar tempat tinggal anak.

Keempat, kekerasan ekonomi, meliputi tindakan memaksa anak untuk

memberikan kontribusi ekonomi keluarga. Pada anak-anak, kekerasan jenis ini

sering terjadi ketika memberikan kontribusi ekonomi keluarga.

B. TORI EMILE DURKHEIM: PENDIDIKAN MORAL

Karya-karya yang berkaitan dengan dunia pendidikan yaitu : 1) Education

and society 2) Moral Education 3) Evolution of Educational

Pernyataan Emile Durkheim tentang Pendidikan :

Pendidikan menurut Durkheim juga merupakan sarana sosial untuk

mencapai tujuan sosial, sarana yang mana suatu masyarakat menjamin

kelangsungan hidupnya. Pendidikan bukan hanya bertugas mengembangkan

seorang individu sesuai kodratnya, atau hanya menyingkapkan segala kemampuan

tersembunyi pada individu yang mengganggu penampakannya, akan tetapi

pendidikan haruslah menciptakan makhluk baru. (Elle Cree Dans I Homme Un

Etre Nouveau).

Bagi Durkheim bertindak moral berarti bertindak demi kepentingan orang

lain atau kolektif yaitu suatu tindakan atau aktifitas yang impersonal, sebab yang

menjadi objek perilaku moral adalah sesuatu yang berada diluar diri seseorang,

atau diluar sejumlah orang dari sejumlah orang yang lain yang disebut

Page 7: Penindasan Dalam Dunia Pendidikan Pondok Pesantren teoritis, kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat didefinisikan sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental atau seksual yang umumnya

7

http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id

masyarakat. Menurutnya seseorang yang bertindak demi kepentingan dirinya

belum dianggap sebagai suatu tindakan yang bersifat moral, karena tindakan

tersebut tidak bersifat sosial.

Menurut Durkheim yang terpenting yaitu pendidikan dianggap sebagai

“social think” karena

a. Cita-cita masyarakat dapat direalisasikan melalui lembaga pendidikan. Jika

kita melihat model pondok pesantren secara umum, maka pondok pesantren

inilah yang merupakan alternatif terbagik bagi masyarakat indonesia yang

mayoritas beragama islam dan menjunjung tinggi nilai-nilai keislamannya.

b. Cita-cita masyarakat : bahwa masyarakat harus dapat bertahan hidup, untuk

itu harus ada suatu tingkat homogenitas dan keseimbangan di kalangan

warganya. Dalam hal ini, apa yang ditawarkan oleh pondok pesantren ialah

homogenitas dalam pandangan dan pemikiran, homogenitas dalam

pandangan tentang kehidupan yang didapatkan melalui pedoman-pedoman

dogmatis yang dipercaya sebagai suatu kebenaran.

c. Pendidikanlah yang mampu melaksanakan cita-cita masyarakat, melalui

proses penanaman nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat (sosialisasi

moral). Melihat tingkat disiplin yang diajarkan oleh pondok pesantren

sangatlah tinggi, maka fungsi pendidikan sebagai penanaman nilai

sepertinya sangat baik.

d. Pendidikan dapat menjamin jalannya/berlangsungnya diferensiasi karena

pendidikan menyediakan beraneka ragam jenjang maupun spesialisasi,

mengikuti banyaknya perbedaan fungsi/peran di lingkungan masyarakat itu

sendiri (division of labor)

1) Pengertian Moral Menurut Durkheim

Dalam pandangan Durkheim, moral memiliki tiga unsur, yaitu:

1. Disiplin

adalah konsistensi dan keteraturan tingkah laku, yang juga meliputi

wewenang. Sehingga fungsi disiplin antara lain adalah sebagai berikut.

(1) membantu manusia untuk menetapkan cara-cara memberi respon yang

pantas;

Page 8: Penindasan Dalam Dunia Pendidikan Pondok Pesantren teoritis, kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat didefinisikan sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental atau seksual yang umumnya

8

http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id

(2) memberi jawaban kepada kebutuhan individu akan pengekangan, yang

memungkinkan individu menahan diri (mencapai secara bertahap) untuk

mendapatkan tujuan-tujuan tertentu.

2. Keterikatan/identifikasi dengan kelompok :

Obyek perilaku moral adalah kelompok/masyarakat. Bertindak secara

moral berarti bertindak demi kepentingan kolektif (tindakan untuk kepentingan

sendiri tidak pernah dianggap bersifat moral).

3. Otonomi yang didukung oleh pengetahuan yang dapat diandalkan:

Otonomi menyangkut keputusan-keputusan pribadi yang diinginkan

dengan pengetahuan sepenuhnya terhadap konsekuensi dari berbagai tindakan itu.

Dengan memperhatikan unsur-unsur moral tersebut, maka Durkheim melihat,

bahwa pendidikan adalah sarana sosial untuk suatu tujuan sosial, yaitu

terjaminnya kelangsungan hidup masyarakat.

2) Pendapat Durkheim Tentang Guru :

Guru adalah agen masyarakat, sehingga merupakan mata rantai yang berfungsi

untuk pengalihan budaya. Peran guru adalah menciptakan makhluk sosial, yaitu

makhluk yang bermoral, yaitu menciptakan manusia sesuai dengan citra

masyarakat itu sendiri.

C. ANTONIO GRAMSCI: PROSES HEGEMONI DALAM PENDIDIKAN

Hegemoni merupakan sebuah teori politik yang diungkapkan oleh Antonio

Gramsci. Dalam teori hegemoninya Gramsci mendefinisikan hegemoni sebagai

suatu dominasi oleh satu kelompok terhadap kelompok lainnya, dengan atau tanpa

ancaman kekerasan, sehingga ide-ide yang didiktekan oleh kelompok dominan

terhadap kelompok yang didominasi diterima sebagai sesuatu yang wajar yang

bersifat moral, intelektual serta budaya 1. Dalam memperoleh dominasi kekuasaan

atas kaum yang terdominasi atau dikuasai tersebut melalui mekanisme konsensus

pada kelompok masyarakat sehingga baik secara sadar maupun tak sadar bahwa

sejatinya masyarakat telah dikuasai. Hegemoni seringkali menyusup melalui

sekolah, media massa, dan lembaga- lembaga kepentingan.

1 Dominic,1995 dalam jurnal. www.isi-dps.ac.id

Page 9: Penindasan Dalam Dunia Pendidikan Pondok Pesantren teoritis, kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat didefinisikan sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental atau seksual yang umumnya

9

http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id

Melalui konsep hegemoni, Gramsci mengungkapkan bahwa dalam

memperoleh kekuasaan abadi dan langgeng membutuhkan paling tidak dua

perangkat kerja. Pertama, adalah perangkat kerja yang mampu melakukan tindak

kekerasan yang bersifat memaksa atau dengan kata lain kekuasaan membutuhkan

perangkat kerja yang bernuansa law enforcemant. Kedua, adalah perangkat kerja

yang mampu membujuk masyarakat beserta pranata-pranata untuk taat pada

mereka yang berkuasa melalui kehidupan beragama, pendidikan, kesenian dan

bahkan juga keluarga.

D. PIERRE BOURDIEU: REPRODUKSI BUDAYA DAN SOSIAL

1) Pandangan pemikiran Bourdieu tentang peran pendidikan:

Sistem pendidikan berperan dalam mereproduksi budaya masyarakat kelas

dominan, artinya: melalui sistem pendidikanlah modal budaya yang dimiliki

kelas-kelas sosial yang ada di masyarakat direproduksi dan didistribusikan.

Melalui reproduksi dan distribusi modal budaya itu pula hubungan-hubungan di

dalam struktur kekuasaan dan hubungan simbolis di antara berbagai kelas juga

direproduksi. Sehingga sistem pendidikan mereproduksi masyarakat kelas

dominan. Dalam proses reproduksi, sekolah menggunakan kekerasan simbolik

untuk melegitimasi tatanan sosial yang sudah ada /dianggap sah.

2) Asumsi-asumsi Bourdieu:

Terdapat hubungan antara sukses akademis anak dengan posisi sosial

orang tua atau keluarga yang kemudian anak-anak akan menggantikan posisi dan

sukses akademis orangtuanya. Kegagalan anak-anak dari kelompok masyarakat

kelas pekerja dalam meraih sukses akademis bukanlah karena kesalahan mereka,

tetapi karena kesalahan sistem pendidikan. Sukses dalam sistem pendidikan

didapat melalui (kemampuan) individu menyerap sebanyak-banyaknya (nilai-

nilai) budaya dominan atau seberapa banyak “modal budaya“ yang mereka miliki.

Modal budaya dalam hal ini menurut Bourdieu adalah latar belakang budaya

secara umum, pengetahuan, tindakan dan keahlian yang didapat dari satu generasi

ke generasi yang lain.

Page 10: Penindasan Dalam Dunia Pendidikan Pondok Pesantren teoritis, kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat didefinisikan sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental atau seksual yang umumnya

10

http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id

3) Konsep-konsep di dalam perspektif Reproduksi Budaya dan Sosial

(Bourdieu)

Melalui teori reproduksi sosial dan budaya, Bourdieu memperkenalkan

konsep tentang:

a) Habitus;

b) ranah sosial & (relasi) kekuasaan;

c) modal (budaya, sosial, ekonomi, dan simbolis); dan

d) kekerasan simbolis.

Melalui konsep-konsep itu Bourdieu berusaha menjelaskan realitas sosial

yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang dialami oleh anggota masyarakat,

khususnya melalui relasi- relasi sosial yang terbentuk di dalam sistem pendidikan.

Melalui konsep-konsep itu pula Bourdieu berusaha membongkar peranan sentral

yang dimainkan sekolah dalam mengubah maupun mereproduksi berbagai

ketidaksetaraan sosial dan budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya.

4) Modal Menurut Bourdieu

a. Bersifat Material:

Modal ekonomi: kepemilikan harta benda, uang atau investasi

b. Modal Immaterial:

Modal budaya : terdiri dari berbagai hal yang tak teraba. seperti misalnya:

ijazah, pengetahuan yang sah (legitimate knowledge) atau pengetahuan dan

keterampilan dari seseorang ke orang lain, kode-kode budaya cara

berbicara, sopan santun, cara bergaul, dan sebagainya

Modal sosial: variasi relasi sosial berdasakan jaringan hubungan sosial

(network) dengan orang-orang lain yang bermakna (significant others),

dan merupakan sumber daya yang berguna dalam penentuan dan

reproduksi kedudukan-kedudukan sosial;

Modal simbolik: berkaitan dengan prestis atau gengsi, penghargaan

sosial, penghormatan intelektual atau gelar pendidikan, kekuasaan

(politik), gaya hidup dengan ciri-ciri yang menunjukkan perbedaan status

pemiliknya, dan sebagainya.

5) Habitus:

Page 11: Penindasan Dalam Dunia Pendidikan Pondok Pesantren teoritis, kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat didefinisikan sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental atau seksual yang umumnya

11

http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id

Gaya hidup, nilai-nilai, perilaku, kecenderungan atau aturan (disposisi),

dan harapan-harapan dari suatu kelompok sosial. Habitus dikembangkan melalui

pengalaman, seperti ketika individu- individu belajar tentang apa yang diharapkan

dari kehidupan, bagaimana orang lain merespon mereka jika mereka melakukan

suatu tindakan, misalnya bersopan-santun dengan cara-cara yang khusus, dan

seterusnya. Habitus pada masing-masing kelompok sosial berbeda, karena

masing-masing kelompok memiliki pengalaman dan kesempatan yang berbeda

pula dalam kehidupan mereka.

6) Ranah (Field):

Tempat di mana relasi antara agen dan struktur terbentuk dan saling

berhadapan. Sekolah adalah sebuah ranah yang di dalamnya para agen, dalam hal

ini adalah kepala sekolah dan para guru, memperjuangkan mandat atau

kepercayaan kelompok masyarakatnya, termasuk pemerintah atau negara, yang

berbudaya klas dominan.

Secara tradisional, sebagian kelompok masyarakat memanfaatkan sekolah

untuk mereproduksi posisi sosial yang dapat meneguhkan posisi kelas mereka

(khususnya pada kelompok masyarakat kelas menengah atas atau kelas dominan),

sementara sebagian lainnya tidak (kelompok petani, pedagang, kelas pekerja atau

orang-orang miskin lainnya).

7) Kekerasan simbolis

Mekanisme pengendali atau kontrol terhadap individu- individu yang

menjadi anggota dari suatu kelompok. Para individu menerima 'pembebanan'

nilai-nilai kultural agar mereka dianggap sah atau terlegitimasi (legitimate) dan

diakui sebagai bagian dari kelompok atau kelas yang memiliki nilai-nilai kultural

tersebut proses sosialisasi: menggunakan kekerasan simbolis

a) Mekanisme bekerjanya kekerasan simbolis:

Halus dan tidak dapat dirasakan sebagai kekerasan fisik atau verbal, pihak-pihak

yang mengalami kekerasan simbolis juga dianggap telah salah mengenali

(misrecognition) nilai-nilai kultural yang disosialisasi dan diinternalisasikan

kepada mereka.

Page 12: Penindasan Dalam Dunia Pendidikan Pondok Pesantren teoritis, kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat didefinisikan sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental atau seksual yang umumnya

12

http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id

b) Pengertian masyarakat kelas dominan:

Memiliki nilai-nilai budaya sendiri yang berbeda dengan nilai-nilai budaya

kelompok lain. Memiliki kekuasaan untuk „memaksa‟ nilai-nilai yang dimilikinya

kepada kelompok kelas lainnya; dan menganggap apa yang dimilikinya sebagai

sesuatu yang sah/benar (legitimate). Mendefinisikan budaya mereka sebagai

„layak dimiliki‟ dan sebagai dasar pengetahuan dalam sistem pendidikan.

Ketika pendidikan menjadi semakin tersebar luas dan tersedia bagi setiap

anggota masyarakat: kelompok masyarakat dominan berusaha melanggengkan

'perbedaan' di antara kelompok masyarakat melalui perangkat-perangkat lain

yang terpaksa digunakan. Yang paling jelas di antara strategi untuk

melanggengkan 'perbedaan' tersebut adalah melalui sekolah swasta alternatif.

Habitus kelompok dominan, berusaha mempertahankan perbedaan pendidikan

melalui kepemilikan modal budaya dan simbolik tertentu (etos kerja, gaya

berpakaian, gaya berbicara, bentuk bangunan sekolah, model pembelajaran, dan

sebagainya). Biaya pendidikan yang cukup mahal, sebagai simbol modal

ekonomi, menjadi sarana penukar modal budaya, dengan menjamin sebuah tempat

yang nyaman bagi anak-anak yang berasal dari masyarakat kelompok dominan.

E. TEORI PAULO FREIRE: BANKING EDUCATION

Sebagai salah satu tokoh dan kritikus pendidikan, pemikiran Freire banyak

dipengaruhi oleh aliran Fenomenologi, Personalisme, Eksistensialisme, dan

Marxisme. Dalam salah satu kritiknya terhadap pendidikan yang ada pada saat itu,

Fraire menyusun sebuah konsep pemikiran yang kemudian dinamakan dengan

“Banking Concept Education”. Melalui konsep itulah Freire mengecam metode

belajar-mengajar yang sering dijumpainya di kelas-kelas. Konsep “Banking

Concept Education” dalam pembelajaran bagi Freire tak lain adalah sebagai

sebuah metode penindasan para guru terhadap muridnya. Menurut Freire, BCE

secara fundamental mempunyai karakter naratif, terjadi pola di mana subjek

(guru) berbicara dan objek (murid) mendengarkan dengan sabar dan seksama.

Metode belajar mengajar yang secara umum digunakan inilah yang menurutnya

tidak sehat dan “menindas,” karena melalui metode ini hanya mengajarkan narasi

pendidikan dalam bilik-bilik kelas.

Page 13: Penindasan Dalam Dunia Pendidikan Pondok Pesantren teoritis, kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat didefinisikan sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental atau seksual yang umumnya

13

http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id

Kemudian Freire menyusun tiga asumsi yang melatarbelakangi konsep

BCE sendiri, Pertama, pemahaman yang keliru tentang manusia sebagai objek

dan bukan sebagai subjek yang bertindak. Kedua, adanya dikotomi antara manusia

dan dunia: seorang manusia semata-mata ada di dunia dan bukan bersama dengan

dunia atau manusia lainnya; seorang manusia hanyalah penonton dan bukan re-

kreator. Ketiga, manusia adalah makhluk hidup yang dapat diatur dan dikuasai

sepenuhnya.

Pemikiran Freire terhadap BCE setidaknya menggambarkan pendidikan

pada saat itu. Guru berperan penuh dalam memilih dan menentukan bahan yang

akan diajarkan, sedangkan murid harus beradaptasi dengan ketentuan sang guru

serta berperan untuk menghafalkan bahan-bahan tersebut dengan seksama. Guru

adalah sosok yang mempunyai pengetahuan sedangkan murid tidak tahu apa-apa,

dan belajar mengajar adalah proses penganugerahan pengetahuan dari guru

kepada murid. Hubungan guru-murid adalah hubungan hierarkikal dan bukan

dialogikal. Dari sisi materi pengajaran, metode ini meyakini bahwa realitas adalah

statis, terbagi-bagi dan dapat diprediksi.

“Banking Concept Education” sendiri bagi Freire tidak akan menolong

siswa untuk secara kritis mempertimbangkan realitas. Murid hanya akan menjadi

penerima yang pasif dari realitas yang diberikan, tanpa pernah bisa

mempertanyakan kebenaran atau kebergunaan realitas yang diajarkan kepada

dirinya. Yang disebut keberhasilan dalam metode ini adalah ketika murid telah

menghafalkan dengan baik semua pengetahuan yang telah didepositokan ke dalam

dirinya. Sehingga, murid yang baik adalah murid yang dapat beradaptasi dengan

baik dengan realita yang berada di sekelilingya, karena manusia semacam inilah

yang “cocok” dengan dunia.

Dengan latarbelakang realitas pend idikan berupa “Banking Concept

Education”, Freire kemudian mencoba membuat solusi agar para siswa dapat

bersikap lebih kritis dalam pembelajaran. Freire kemudian memperkenalkan

sebuah solusi yang kemudian disebutnya sebagai “Problem Poshing Method”,

yaitu metode pendidikan yang tidak “menindas” dan bertujuan untuk

membangkitkan kesadaran akan realitas. Gagasan Tentang PPM kemudian

diwujudkan Freire dalam kelas, menurutnya, hubungan yang ideal antara guru dan

Page 14: Penindasan Dalam Dunia Pendidikan Pondok Pesantren teoritis, kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat didefinisikan sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental atau seksual yang umumnya

14

http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id

murid bukanlah hierarkikal sebagaimana dalam BCE , tetapi merupakan hubungan

dialogikal. Melalui hubungan yang bersifat dialogikal. Jadi, dalam hal ini guru

bukan hanya semata-mata sosok tunggal yang mengajar, tetapi juga sosok yang

diajar dalam proses dialog dengan murid; sementara murid bukan hanya diajar,

tetapi pada saat yang sama juga mengajar. Murid bukan hanya pendengar yang

semata-mata patuh, tetapi juga rekan penyelidik yang kritis dalam dialog bersama

guru. Guru bertugas mengedepankan suatu materi di hadapan murid-muridnya

untuk meminta pertimbangan mereka tentang materi tersebut. Guru

mempertimbangkan ulang materi ketika murid-murid mengekspresikan perspektif

mereka tentang materi tersebut.

Page 15: Penindasan Dalam Dunia Pendidikan Pondok Pesantren teoritis, kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat didefinisikan sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental atau seksual yang umumnya

15

http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id

BAB III

METODOLOGI

A. TIPE PENELITIAN

Tipe penelitian ini adalah penelitian deskriptif, yang bertujuan untuk

memberi gambaran secara rinci dan jelas mengenai fenomena sosial tertentu.

Sedangakan tujuan digunakannya tipe penelitian ini adalah untuk mendapatkan

data-data yang tidak mungkin didapat hanya dengan menggunakan pertanyaan-

pertanyaan tertutup dalam kuesioner. Dengan menggunakan tipe penelitian seperti

demikian ini, rumusan-rumusan masalah akan terjawab dengan lebih detil. Selain

tipe penelitian deskriptif peneliti juga menyertakan pendekatan kualitatif sebagai

analisis deskriptif tersebut. Sasaran atau obyek penelitian dibatasi agar data yang

diambil dapat digali sebanyak mungkin serta agar penelitian ini tidak

dimungkinkan adanya pelebaran obyek penelitian, oleh karena itu, maka

kredibilitas dari peneliti sendiri menentukan kualitas dari penelitian ini (Bungin;

2001:26)

Pendekatan kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang

berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan

masalah manusia. Pada pendekatan ini, peneliti membuat suatu gambaran

kompleks, meneliti kata-kata, laporan terinci dari pandangan responden, dan

melakukan studi pada situasi yang alami (Creswell, 1998:15). Bogdan dan Taylor

(Moleong, 2007:3) mengemukakan bahwa metodologi kualitatif merupakan

prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis

maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.

B. LOKASI PENELITIAN

Lokasi penelitian ini dilaksanakan di Pondok Pesantren “XXX” Kota

Blitar. Adapun pertimbangan dalam pemilihan lokasi tersebut :

1. Kota Blitar merupakan sebuah kota masyarakatnya sebagian besar masih

menganggap lembaga pendidikan pondok pesantren merupakan lembaga

pendidikan yang lebih bagus dari pada lembaga pendidikan sekolah umum

biasa.

Page 16: Penindasan Dalam Dunia Pendidikan Pondok Pesantren teoritis, kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat didefinisikan sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental atau seksual yang umumnya

16

http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id

2. Di Pondok Pesantren yang menjadi lokasi penelitian ini terdapat berbaga i

penindasan terhadap anak yang sesuai dengan tema yang diangkat dalam

penelitian ini.

C. TEKNIK PENENTUAN INFORMAN

Pemilihan Subyek merupakan elemen yang sangat penting dalam suatu

penelitian karena Subyek penelitian inilah yang akan mewakili dan

merepresentasikan apa yang kita teliti, dari para informan inilah data-data yang

kita perlukan kita dapatkan. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode

pengambilan subyek dengan teknik “Snowball” atau biasa disebut dengan teknik

“Bola Salju”. Cara ini dipakai karena peneliti tidak banyak tahu tentang populasi

penelitian. Peneliti hanya tahu satu orang yang berdasarkan penilaiannya bisa

dijadikan subyek penelitian. Di dalam penelitian di Pondok Pesantren XXX Kota

Blitar ini, peneliti mencari satu subyek kemudian melakukan wawancara. Setelah

selesai, peneliti meminta kepada subyek pertama tersebut untuk menunjukkan

teman yang bisa dijadikan subyek penelitian berikutnya. Langkah ini diteruskan

sampai data yang dibutuhkan oleh peneliti cukup atau sudah terpenuhi. Dalam

penelitian ini peneliti mengambil subyek santri/wati yang masih aktif di pondok

pesantren dan masih berusia di bawah 18 tahun, hal ini sesuai dengan definisi

“anak” di dalam UU Perlindungan Anak yang menyebutkan bahwa anak

merupakan seseorang yang belum berusia 18 tahun.

Untuk subyek pendukung peneliti memilih ustadz sekaligus pengurus

Pondok Pesantren guna melengkapi dan mendukung data yang telah diperoleh

dari subyek utama. Validitas dan reliabilitas juga menjadi pertimbangan bagi

peneliti dalam memperoleh data. .

D. TEKNIK PENGUMPULAN DATA

Data merupakan bagian terpenting dalam suatu penelitian; karena hakikat

dari penelitian in adalah pencarian data yang nantinya diinterpretasikan dan

dianalisa. Ada dua jenis data yang dibutuhkan dalam penelitian ini yaitu:

1. Data Primer, merupakan data yang diperoleh dari hasil wawancara. Penelitian

ini menggunakan alat pengumpul data berupa wawancara mendalam (indepth

Page 17: Penindasan Dalam Dunia Pendidikan Pondok Pesantren teoritis, kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat didefinisikan sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental atau seksual yang umumnya

17

http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id

interview). Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan

untuk mencapai tujuan tertentu. Secara lebih khusus jenis wawancara yang

digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara dengan pedoman umum,

dan berisi isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan.

Adapun fungsi dari pedoman wawancara adalah mengingatkan peneliti

mengenai aspek-aspek yang harus dibahas atau telah ditanyakan (Poerwandari,

2007). Hal ini ditetapkan untuk menjaga perkembangan pembicaraan dalam

wawancara tetap dalam fokus penelitian. Setiap informan dapat saja

mengalami kekerasan yang berbeda, sehingga pengembangan pertanyaan

wawancara yang menyesuaikan dengan kehidupan masing-masing informan.

Jadi, pedoman umum untuk pertanyaan awal wawancara akan dibuat sama,

sedangkan perkembangan berikutnya akan menyesuaikan dengan kekhasan di

lapangan pada masing-masing informan.

Alat yang digunakan dalam wawancara adalah tape recorder, kertas

kosong dan alat untuk mencatat. Hasil rekaman dari tape recorder kemudian

diketik dalam bentuk transkrip wawancara (verbatim) dan hasil inilah yang

kemudian dianalisis lebih lanjut.

Selain wawancara, peneliti juga melakukan observasi untuk memperoleh

informasi yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti. Observasi

sebagai pengamatan dan pencatatan dengan sistematis fenomena-fenomena

yang sedang diteliti. Berdasar hal tersebut, maka peneliti mengamati secara

langsung fenomena-fenomena yang terdapat dilokasi penelitian untuk

mendapatkan data-data awal penelitian serta pengenalan yang lebih dekat

terhadap lokasi penelitian.

2. Data sekunder, merupakan data yang secara tidak langsung untuk mendukung

penulisan pada penelitian ini melalui dokumen atau catatan yang ada dari

tulisan-tulisan karya ilmiah dari berbagai media. Data sekunder juga sebagai

penunjang dan memperkuat data utama untuk dianalsis.

E. TEKNIK ANALISIS DATA

Definisi dari analisa data terdiri dari beberapa sub proses (Miles &

Huberrman. 1984. 1994) yaitu: reduksi data, penampilan data, dan penggambaran

Page 18: Penindasan Dalam Dunia Pendidikan Pondok Pesantren teoritis, kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat didefinisikan sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental atau seksual yang umumnya

18

http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id

kesimpulan atau verifikasi (lihat gambar). Proses ini terjadi sebelum pengumpulan

data, selama mendesain dan merencanakan penelitian; selama pengumpulan data

sementara dan pada awal analisa; dan setelah pengumpulan data yang telah selesai

dihasilkan dan telah lengkap (Denzin, 1994 dalam Poerwandari, 2005).

Page 19: Penindasan Dalam Dunia Pendidikan Pondok Pesantren teoritis, kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat didefinisikan sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental atau seksual yang umumnya

19

http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id

BAB IV

PEMBAHASAN

A. REALITAS PENDIDIKAN KAITANNYA DENGAN TEORI CHILE

ABUSE

Tak dapat dipungkiri jika dalam pesantren pada umumnya sangat kental

sekali dengan nilai-nilai kultural dan nilai-nilai agama yang mendominasi seluruh

proses pendidikan di dalamnya. Tak jarang pula kita jumpai nilai-nilai tersebut

ternyata berkontribusi dalam memberikan ruang bagi munculnya kekerasan dalam

proses pendidikan di pondok pesantren. Nilai-nilai seperti konsep kepatuhan

murid terhadap guru memberi ruang bagi guru untuk melakukan kekerasan. Jika

kita pilah menurut bentuknya, bentuk kekerasan yang terjadi di pondok pesantren

adalah kekerasan fisik yang diwujudkan dalam aturan tertulis. Bentuk kekerasan

lainnya adalah kekerasan psikis dalam bentuk intimidasi dan ancaman. Pelaku

kekerasan atau aktor dalam melakukan kekerasan tak lain dan tak bukan adalah

guru dan santri senior, sedangkan yang menjadi korban adalah santri junior dan

hal itu secara terus menerus terjadi dari generasi ke generasi antara senior dengan

junior tanpa adanya pemutusan mata rantai atas permasalahan ini. Relasi

kekuasaan di pondok pesantren di dominasi oleh pimpinan pondok yang secara

penuh mengendalikan kehidupan pesantren. Seperti yang dapat kita lihat melalui

contoh kasus di bawah ini ;

Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu santri pada Pondok

Pesantren XXX di kota Blitar ditemukan fakta bahwa sistem pendidikan yang

terdapat pada pondok pesantren tersebut semakin melanggengkan budaya

penindasan struktural. Dimana penindasan tersebut dilakukan atas dasar senior

dengan junior namun juga didukung oleh para pendidik seperti guru, ustadz dan

juga para kiyai yang menitikberatkan pada ajaran agama islam sebagai alasan

diberlakukannya sebuah perintah atau suruhan terhadap para santri. Selain itu

materi yang diajarkan pada pondok pesantren akan lebih didominasi oleh

pelajaran atau pengetahuan berbasis ajaran agama islam. Mata pelajaran umum

akan diajarkan pada waktu pagi hingga siang hari. Namun mulai siang hari hingga

malam bahkan hingga dini hari pelajaran yang diberikan akan berbasis pada

Page 20: Penindasan Dalam Dunia Pendidikan Pondok Pesantren teoritis, kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat didefinisikan sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental atau seksual yang umumnya

20

http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id

pengetahuan mengenai ajaran agama islam seperti mengaji, tadarus, dan lain

sebagainya. Waktu yang diberikan kepada para peserta didik untuk dapat

beristirahat tidak sebanding dengan waktu yang harus dipergunakan untuk belajar

sepanjang hari. Kemudian dalam pondok pesantren seperti yang telah diketahui

bersama oleh masyarakat pada umumnya, tidak diperbolehkan adanya alat

komunikasi dan media elektronik seperti handphone, televisi, dan radio. Hal

tersebut dilakukan karena alat komunikasi dan media elektronik dianggap sebagai

sarana yang bisa menjerumuskan pada peserta didik ke arah yang salah, arah yang

didukung oleh setan.

Dalam sistem pendidikan pondok pesantren, junior diharuskan mentaati

dan melakukan seluruh suruhan yang diberikan oleh senior mereka. Hal tersebut

dapat melanggengkan budaya penindasan yang terjadi secara turun temurun.

Selain itu kekerasan juga kerap kali terjadi dalam pondok pesantren sebagai

sebuah bentuk hukuman jika terdapat para santri yang melanggar peraturan yang

telah dibuat oleh para pengurus pondok pesantren. Peserta didik dalam pondok

pesantren hanya akan diajarkan atau di didik berdasarkan mata pelajaran yang

sesuai dengan ajaran agama islam. Kreatifitas santri seringkali tidak dihiraukan.

Dalam sistem pendidikan pondok pesantren sangat jarang bahkan tidak ada

matapelajaran yang dirasa dapat meningkatkan kreatifitas santri. Santri diharapkan

juga berperilaku yang sesuai dengan ajaran agama islam dan tidak menuntut

apapun kepada pihak pondok pesantren karena jika ada santri yang berani

melawan maka akan diberikan sanksi berupa hukuman fisik dan juga hukuman

psikis.

Dalam kasus tersebut terlihat bahwa praktek hegemoni2 yang dilakukan

oleh para pengasuh pondok seperti, kiai, guru spiritua l, ustad atau guru, guru

murid membuat santri menjadi patuh, pasrah dan tertunduk pada pimpinan yang

berkuasa dalam hal ini guru. Hegemoni yang dilakukan dengan Modus

menggunakan beragam jenis, misalnya dengan mengancam para santri kalau

menolak ilmu yang didapatkan tidak akan bermanfaat, akan celaka hidupnya

dikemudian hari, dan tentunya akan mendapatkan dosa besar yang akan

2 Penjelasan mengenai hegemoni dapat dilihat pada pembahasan mengenai e pemikiran kritis

Gramsci pada sub-bab berikutnya

Page 21: Penindasan Dalam Dunia Pendidikan Pondok Pesantren teoritis, kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat didefinisikan sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental atau seksual yang umumnya

21

http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id

membawanya masuk ke dalam neraka. Namun apa bila taat akan dijanjikan

derajatnya meningkat dan akan masuk surga. Sebagian besar para pengasuh

Ponpes kadang menggunakan dalil agama untuk melegitimasi mereka dalam

melakukan tindak kekerasan, sehingga membuat santri seraya sepakat bahwa

apapun yang dilakukan pimpinan adalah benar dan sebagai bawahan santri harus

pasrah dan tak berhak untuk melawan karena dengan pasrah maka segala berkah

dan barokah yang dimiliki oleh para pimpinan akan dilimpahkan pada santri dan

santri akan naik derajatnya satu tingkat.

B. EMILE DURKHEIM: PENDIDIKAN MORAL

Sistem pendidikan yang terdapat pada pondok pesantren “XXX” kota

Blitar sedikit bertentangan dengan pemikiran mengenai pendidikan moral yang

dicanangkan oleh Emile Durkheim. Pondok pesantren yang seharusnya

menanamkan banyak nilai dan norma yang berlaku di masyarakat pada kasus ini

malah semakin menjauhkan santri atau peserta didik terhadap lingkungan

sosialnya. Santri hanya dibekali pengetahuan yang lebih pada bidang ilmu

keagamaan namun untuk pengetahuan mengenai nilai dan norma tidak diimbangi

dengan praktek yang sesuai dalam kehidupan para santri. Hal tersebut berdasarkan

fakta pada pondok pesantren bahwa para santri dilarang keluar pondok pesantren

tanpa keperluan yang dianggap daruraut. Bahkan untuk menemui orang tua yang

sedang berkunjung ke pondok pesantren jika bukan pada jadwal kunjungan, santri

tidak diperbolehkan menemui. Kemudian para santri juga dilarang menggunakan

alat komunikasi dan juga media elektronik karena hal tersebut dianggap dapat

memicu perbuatan dosa dengan segala aspek yang dipertontonkan.

Setiap peraturan yang terdapat pada sistem pendidikan yang disediakan

oleh pondok pesantren selalu disesuaikan dengan pengetahuan dan ajaran Agama

Islam yang digunakan sebagai pedoman sistem pendidikan yang sesuai dengan

kaidah agama. Guru, ustad atau kiyai yang seharusnya dapat mengajarkan nilai

dan norma yang berlaku di masyarakat luas, dalam kasus ini hanya akan

mengajarkan pengetahuan yang disetujui oleh para petinggi dan para pendiri

pondok pesantren yang telah disesuaikan dengan ajaran agama yang digunakan

Page 22: Penindasan Dalam Dunia Pendidikan Pondok Pesantren teoritis, kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat didefinisikan sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental atau seksual yang umumnya

22

http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id

sebagai pedoman sistem pendidikan yang ada pada pondok pesantren XXX kota

Blitar.

Sesuai dengan uraian yang telah dijelaskan pada bab 2 di atas tentang tiga

unsur pendidikan moral yaitu kedisiplinan, keterkaitan/identifikasi dengan

masyarakat, dan otonomi yang didukung oleh pengetahuan yang diandalkan. Dari

ketiga unsur tersebut, lembaga pendidikan pondok pesantren “XXX” Kota Blitar

secara teoritis belum menjalankan pendidikan moral dengan baik. Hal ini dapat

dilihat dari dari ketiga unsur tersebut hanya unsur pertama saja yang

diprioritaskan yaitu kedisiplinan, sementara itu unsur yang kedua dan ketiga tidak

dijalankan. Unsur kedua yaitu keterkaitan/identifikasi dengan masyarakat belum

dijalankan dengan baik hal ini dapat dilihat dari terisolasinya santri di dalam

lembaga pendidikan, sudah dijelaskan di paragraf sebelumnya bahwa santri tidak

diijinkan keluar dari lokasi pondok pesantren tanpa alasan yang dianggap darurat.

Kondisi seperti ini tentusaja akan membuat santri semakin jauh dari masyarakat,

tertutup, dan berpikiran sempit. Padahal tujuan dari pendidikan sendiri menurut

Emile Durkheim adalah untuk mencetak para santri yang memahami dan peduli

terhadap masyarakatnya.

Unsur ketiga adalah otonomi yang didukung oleh pengetahuan yang

diandalkan. Para santri seharusnya diberikan kebebasan (otonomi) selama hal

tersebut tidak melanggar pengatahuan yang dapat diandalkan (dalam hal ini

adalah pengetahuan yang berasal dari Al-Qur‟an dan Al-Haditz). Selama tidak

melanggar dan bertentangan dengan aturan Agama Islam, seharusnya para santri

diberikan kebebasan untuk bertindak dan mengambangkan pengatahuannya.

Semisal keluar lokasi pondok pesantren untuk sekedar berjalan-jalan menikmati

udara luar di sekitar pondok pesantren di jam-jam kosong, membeli barang-barang

keperluan di luar lokasi pondok pesantren, dan juga menemui orang tua yang

sedang menjenguk ke pondok pesantren. Dari hasil wawancara yang penulis

lakukan terhadap salah satu santri, dia mengaku bahwa dengan adanya peraturan

tersebut para santri merasa sedang berada dalam penjara. Lebih lanjut, secara

sembunyi-sembunyi banyak santri yang nekat keluar wilayah pondok pesantren

tanpa sepengetahuan petugas karena ingin menikmati udara kebebasan untuk

sejenak. Melihat dari realitas ini, pondok pesantren “XXX” Kota Blitar dapat

Page 23: Penindasan Dalam Dunia Pendidikan Pondok Pesantren teoritis, kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat didefinisikan sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental atau seksual yang umumnya

23

http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id

dikatakan belum bisa melaksanakan pendidikan moral seperti yang dicanangkan

oleh teori dari Emile Durkheim dengan baik.

C. PERSPEKTIF KRITIS GRAMSCI : HEGEMONI DALAM PONDOK

PESANTREN

Sesuai dengan teori hegemonisasi dari Antonio Gramsci yang telah

dijelaskan pada bab 2, pondok pesantren yang merupakan salah satu institusi

pendidikan dalam ranah agama sejatinya dalam praktek kesehariannya tanpa

disadari atau tidak telah melanggenkan praktek hegemoni. Aktor atau pihak yang

mendominasi dalam hegemoni pondok pesantren tak lain dan tak bukan adalah

sang guru atau Kyai itu sendiri. Hegemoni itu sendiri sering kita jumpai dalam

bentuk aturan-aturan yang berlaku di setiap pondok pesantren.

Dalam sistem pendidikan pesantren pihak pesantren seringkali

memandang bahwa ilmu yang diperoleh para santri bukan berasal dari berpikir

secara metodologis namun sebuah “berkah” yang didapat dengan sendirinya

melalui pengabdian pada kyai3. Dari uraian tersebut dapat kita paparkan bahwa

dalam memperoleh kemampuan berpikir. Para santri harus patuh, tunduk dan

pasrah pada kyai jika ingin memperoleh ilmu, dan segala ilmu yang diberikan kyai

adalah suatu kebenaran yang tak perlu diperdebatkan lagi sehingga bila ada santri

yang melanggar atau tak mau patuh pada kyai seringkali kali mendapatkan

semacam gunjingan bahwa ilmu yang didapatkan tidak akan barokah atau bahkan

tak mendapatkan ilmu pengetahuan sama sekali selama di pesantren dan semacam

itupun ternyata memperoleh semacam persetujuan atau konsensus dari para santri.

Wujud lain hegemoni dalam pesantren dapat kita temui dalam aturan atau tata

tertib yang dibuat oleh pihak pesantren semisal

Peraturan yang terdapat pada Pondok Pesantren “XXX” Kota Blitar

sebagai berikut : Seorang santri harus mempunyai keyakinan penuh bahwa tujuannya tak akan tercapai tanpa adanya sosok guru

(ustadz/ustadzak/kiyai). Santri sepenuhnya pasrah, tunduk dan tawaduk kepada guru. Santri harus senang bersama senangnya guru, dan harus benci bersama bencinya guru...

3 Mastuhu. 1994. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: Indonesia-Netherlands

Cooperation in Islamic Studies (INIS).

Page 24: Penindasan Dalam Dunia Pendidikan Pondok Pesantren teoritis, kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat didefinisikan sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental atau seksual yang umumnya

24

http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id

Jelaslah dalam aturan tersebut dalam pola interaksinya dalam segala hal

terutama dalam sistem pendidikanya menunjukkan bahwa kekuasaan sepenuhnya

dipegang oleh kyai. Aturan-aturan semacam ini disebut oleh Gramsci sebagai

salah satu alat untuk memperoleh kekuasaan dengan suatu alat kerja yang mampu

membujuk masyarakat beserta pranata-pranata untuk taat pada mereka yang

berkuasa melalui kehidupan beragama, pendidikan, kesenian dan bahkan juga

keluarga. Singkat kata dengan adanya serangkaian peraturan semacam itu

memunculkan persepsi apabila para santri ingin “selamat” maka pasrahlah pada

segala kehendak kyai.

D. PIERRE BOURDIEU: REPRODUKSI BUDAYA DAN SOSIAL DI

LEMBAGA PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN

Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu santri pondok pesantren

“XXX” kota Blitar, kebanyakan kiyai yang berada pada pondok pesantren tersebut

tergolong kiyai muda. Kiyai tersebut merupakan generasi penerus dari kiyai

sebelumnya yang pernah menjadi petinggi atau pengurus pondok pesantren.

Dalam pondok pesantren ini terdapat sistem turun temurun antar generasi untuk

penentuan kiyai (pemimpin pondok pesantren). Seorang anak kiyai sebelumnya

memang telah dipersiapkan oleh orang tuanya untuk meneruskan generasinya

untuk menjadi seorang kiyai. Dengan demikian pemilihan calon kiyai di pondok

pesantren ini menurut Bourdiew termasuk Ascribed Status atau satatus yang

diwariskan secara turun temurun, bukan berdasarkan prestasi yang dimiliki.

Dari realitas tersebut kaitannya dengan teori Bourdieu, pondok pesantren

ini secara tidak langsung menjadi sarana reproduksi sosial mengenai status kiyai

yang dimiliki karena didasarkan pada pola turun temurun yang digunakan oleh

para kiyai. Para kiyai tersebut secara tidak langsung melanggengkan status dan

budaya sosial mengenai proses itu. Sehingga masyarakat dari keturunan akan

sangat sudah (bahkan tidak dapat) menjadi kiyai di dalam pondok pesantren ini.

Jika kita berbicara dalam konteks ini, Bourdieu benar jika berkata bahwa

pendidikan berperan dalam mereproduksi budaya masyarakat kelas dominan. Pada

taraf ini, kelas dominan diartikan sebagai mereka yang memegang otoritas penuh

melalui nilai-nilai yang sakral dan religius. Mereka yang telah mendapatkan gelar

Page 25: Penindasan Dalam Dunia Pendidikan Pondok Pesantren teoritis, kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat didefinisikan sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental atau seksual yang umumnya

25

http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id

Haji dan telah “nyantri” lebih dari 10 tahun dianggap telah layak menjadi Kiyai di

sebuah pondok pesantren misalnya, tentu akan masuk dalam jajaran orang-orang

yang dapat dikatakan sebagai kelas dominan. Dalam kasus ini, dapat ditemukan

seorang Kiyai yang mati-matian menyekolahkan dan memasukkan anak-anaknya

ke dalam pondok pesantren demi meneruskan keduduka orang tuanya dalam kelas

dominan. Pendidikan pondok pesantren diyakini sebagai sebuah media yang

melanggengkan kedudukan kelas-kelas dominan, pendidikan mempersiapkan

mereka yang merupakan anak-anak dari kelas dominan untuk mempertahankan

status keturunannya sebagai pemegang kelas dominan. Namun, dalam hal ini

Bourdieu juga bisa dikatakan salah, jika kita melihat esensi pesantren yang kental

dengan ajaran agama islam, maka akan kita temukan bahwasanya apa yang

membedakan satu orang dengan orang lainnya hanyalah tingkat ketaqwaan dan

keimanan. Manusia itu sama, anak seorang pejabat, anak seorang guru, Kiyai, atau

bahkan anak seorang raja. Semuanya sama, hanya saja taraf keimanan dan

ketaqwaannya yang berbeda. Oleh karena hal tersebut berbeda-beda dari para

santri yang ada, tak hanya anak-anak kelas dominan yang hanya bisa menjadi

Kiyai dan meneruskan statusnya sebagai masyarakat kelas dominan, namun

mereka yang mulanya tersisih dan berada di kelas pinggiran dapat bergeser

menjadi kelas dominan jika mempunyai kualitas iman dan taqwa yang melebihi

santri-santri lain, juga ilmu yang didapatkan melalui kitab-kitab yang ada di

pondok pesantren.

Jika kita berbicara dalam konteks lain, pondok pesantren “XXX” Kota

Blitar ini termasuk lembaga pendidikan yang dapat dikatakan mahal sehingga

hanya golongan-golongan tertentu saja yang dapat memasukkan anaknya untuk

bersekolah di lembaga pendidikan ini. Realitas ini tentu saja sesuai dengan teori

Bourdieu bahwa lembaga pendidikan termasuk lembaga pendidikan yang

memiliki begraund agama pun merupakan agen reproduksi budaya dan soaial.

Dengan biaya pendidikan yang tergolong mahal tersebut, tentu saja hanya

masyarakat kelas menengah keatas saja yang dapat menyekolahkan anaknya di

lembaga pendidikan. Sementara masyarakat golongan bawah tidak akan sanggup

menyekolahkan anaknya di lembaga pendidikan seperti ini. Kondiri seperti ini

tentu saja akan mereproduksi kesenjangan sosial yang sudah ada. Masyarakat dari

Page 26: Penindasan Dalam Dunia Pendidikan Pondok Pesantren teoritis, kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat didefinisikan sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental atau seksual yang umumnya

26

http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id

golongan menengah keatas akan dapat mempertahankan statusnya dengan

menyekolahkan anaknya di lembaga pendidikan yang mahal dan prestigious

seperti ini. Sementara masyarakat yang berasal dari golongan bawah tidak dapat

menyekolahkan anaknya di lembaga pendidikan seperti ini. Kondisi demikian

tentu saja akan mereproduksi atau bisa dikatakan sebagai agen masyarakat kelas

kelas atas untuk mempertahankan status quo-nya.

E. KONSEPSI PAULO FREIRE TENTANG PENDIDIKAN DI PONDOK

PESANTREN “XXX” KOTA BLITAR

Praktek pendidikan yang terdapat pada pondok pesantren didominasi

dengan pengetahuan atau pelajaran mengenai ajaran Agama Islam. Selain itu

proses belajar mengajar yang terdapat pada pondok pesantren tentu saja akan

sangat berbeda dengan proses atau sistem belajar mengajar pada sekolah umum.

Jika pada sekolah umum peserta didik dituntut untuk dapat berkreasi dan

meningkatkan pengetahuan serta kreatifitas yang dimiliki maka hal sebaliknya

akan diberlakukan pada pondok pesantren. Peserta didik di pondok pesantren akan

lebih dihargai jika mempunyai sikap patuh pada sistem pengajaran dan pendidikan

yang terdapat pada pondok pesantren. Pada proses belajar mengajar pada pondok

pesantren akan lebih sering menggunakan gaya bank education seperti yang

dikemukakan oleh Paulo Freirre. Peserta didik hanya sebagai wadah dari

pengetahuan dan pendidikan yang diajarkan oleh peserta didik atau guru. Santri

sebagai peserta didik atau murid hanya berkewajiban mendengarkan dan secara

pasif menerima keseluruhan proses pengajaran yang diberikan. Para santri akan

lebih membutuhkan proses yang aktif ketika pelajaran dengan unsur agama

diberikan seperti mengaji, tadarus, bahasa arab dan lain sebagainya. Kebanyakan

praktek tersebut diikuti dengan kewajiban atau keharusan untuk dapat menghafal

ayat-ayat suci Al-Qur‟an dalam waktu yang ditentukan oleh pihak pondok

pesantren. Pada mata pelajaran umum yang diajarkan, santri hanya diharapkan

dapat menerima dan memahami keseluruhan materi yang diajarkan tanpa harus

bersikap aktif.

Jika melihat dari konsep pendidikan pondok pesantren yang ada pondok

pesantren “XXX” Kota Blitar, bisa dikatakan bahwa model-model tersebut sangat

Page 27: Penindasan Dalam Dunia Pendidikan Pondok Pesantren teoritis, kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat didefinisikan sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental atau seksual yang umumnya

27

http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id

terkait dan bahkan serupa dengan konsep Freire tentang “Banking Concept

Education” karena memenuhi kriteria yang Pertama, pemahaman yang keliru

tentang manusia sebagai objek dan bukan sebagai subjek yang bertindak. Hal ini

dapat dilihat dari tiap-tiap pertemuan dan pembelajaran yang dilakukan oleh Kiyai

dan para santri. Pengetahuan diartikan sebagai sebuah ajaran yang turun dari

langit. Padahal, jika dilihat dari ajaran-ajaran Islam sendiri, proses untuk

mendapatkan pengetahuan harusnya berasal dari kajian-kajian yang empiris dan

oleh karena itu dalam hal ini pengetahuan merupakan sebuah hasil pengindraan

yang berasal dari para santri, bukan semata-mata pemberian tuhan yang turun dari

langit melalui kitab-kitab dan ajaran yang telah ada. Kedua, adanya dikotomi

antara manusia dan dunia: seorang manusia semata-mata ada di dunia dan bukan

bersama dengan dunia atau manusia lainnya; seorang manusia hanyalah penonton

dan bukan re-kreator. Hal ini lebih disebabkan karena apa saja yang diajarkan

merupakan pemahaman dan konsep-konsep dogmatis yang statis dan berlaku

patent. Dalam hal ini, para santri tidak akan mampu melakukan penciptaan-

penciptaan terhadap ilmu pengetahuan, sebaliknya pemahaman tentang ilmu

pengetahuan dalam prespektif yang dogmatis merupakan sesuatu yang sudah ada

dan telah diciptakan dalam skal yang telah final, tidak mampu lagi digugat dan

dipertanyakan kembali eksistensinya. Ketiga, manusia adalah makhluk hidup yang

dapat diatur dan dikuasai sepenuhnya. Kepatuhan menjadi salah satu faktor

terpenting dalam pendidikan dan pengajaran yang dilakukan oleh Kiyai dan para

santri. Dalam hal ini, stratifikasi dan kesenjangan antara Kiyai dan para santri

amat jelas terlihat, oleh karena itulah posisi santri dengan Kiyai tidak bisa

disejajarkan dalam proses pendidikan dan pada akhirnya hal ini membuat para

santri tidak mempunyai kemampuan untuk melepaskan dirinya dari kekuasaan

Kiyai. Kiyai sebagai pengatur dan penguasa para santri, apa yang dikatakan oleh

Kiyai adalah sebuah kebenaran yang tak pantas untuk dipertanyakan dan

pembangkangan merupakan sebuah bentuk pengingkaran terhadap nilai-nilai

dalam pesantren yang identik dengan “Banking Concept Education” yang

dikatakan oleh Freire, dalam hal ini pendidikan dalam pondok pesantren tidak

akan menolong para santri untuk secara kritis mempertimbangkan realitas.

Sebaliknya, murid hanya akan menjadi penerima yang pasif dari realitas yang

Page 28: Penindasan Dalam Dunia Pendidikan Pondok Pesantren teoritis, kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat didefinisikan sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental atau seksual yang umumnya

28

http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id

diberikan, tanpa pernah bisa mempertanyakan kebenaran atau kebergunaan

pengetahuan yang diajarkan kepada dirinya. Yang disebut keberhasilan dalam

metode ini adalah ketika santri telah menghafalkan dengan baik semua

pengetahuan yang telah didepositokan ke dalam dirinya. Sehingga, santri yang

baik adalah santri yang dapat beradaptasi dengan baik dengan realita yang berada

di sekelilingya, karena manusia semacam inilah yang “cocok” dengan dunia dan

kehidupan di pondok pesantren. Tak heran, hanya mereka yang selalu menurut

perkataan dari para Kiyai lah yang akan dekat dan menjadi anak emas dari para

Kiyai. Sedangkan, para santri yang disinyalir mempunyai bibit-bibit tidak akan

disukai oleh para Kiyai bahkan dicap sebagai seorang pribadi yang menyimpang.

Jika kita kembali melihat pemikiran freire tentang fungsi pendidikan

dalam masyarakat, maka konsep pendidikan Pondok Pesantren bagi freire tidak

akan mampu membawa generasi muda menuju apa yang disebut dengan

transformasi sosial. Menurut Freire, tujuan utama dari pendidikan adalah

membuka mata peserta didik guna menyadari realitas ketertindasannya untuk

kemudian bertindak melakukan transformasi sosial. Model-model pendidikan

layaknya pondok pesantren merupakan sebuah model pendidikan yang hanya akan

melanggengkan kondisi masyarakat yang fatalis, masyarakat hanya akan terus

tunduk dan taat sedemikian rupa oleh penguasa, sehingga masyarakat tidak bisa

atau berani mempertanyakan keberadaannya, dan pada akhirnya cenderung

menerima keberadaan itu secara fatalistis karena apa yang diajarkan dan

diperolehnya dari pondok pesantren hanya mengajarkan untuk tunduk dan taat

pada penguasa melalui dalil-dalil yang dogmatis yang dibungkus dengan nilai-

nilai kepatuhan dan ketaatan yang semu.

Page 29: Penindasan Dalam Dunia Pendidikan Pondok Pesantren teoritis, kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat didefinisikan sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental atau seksual yang umumnya

29

http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berkaitan dengan konsep kekerasan terhadap anak (child abuse), di

lembaga pendidikan pondok pesantren “XXX” Kota Blitar tersebut banyak

dijumpai kasus-kasus kekerasan baik secara fisik maupun psikis yang dilakukan

oleh guru/ustadz maupun oleh senior.

Jika kasus dilihat dari pandangan Durkheim melalui konsep pendidikan

moralnya, maka lembaga pendidikan di Pondok Pesantren “XXX” Kota Blitar ini

kurang berhasil menerapkan pendidikan moral yang semestinya dilakukan. Sebab

dari tiga unsur pendidikan moral, hanya kedisiplinan saja yang ditonjolkan,

sementara dua unsur lainnya diabaikan.

Berkaitan dengan konsep hegemonisasi dari Antonio Gramsci, pihak guru

melakukan hegemonisasi terhadap para santrinya agar tunduk dan patuh terhadap

aturan dan semua hal yang dikatakan oleh guru. Sehingga santri menganggap

apapun yang dikatakan oleh guru (ustadz) terlebih adalah kiyai adalah yang paling

benar dan tidak boleh dibantah, sebab kalau dibantah akan mendapatkan dosa.

Sistem pendidikan di pondok pesantren “XXX” Kota Blitar terbukti

mereproduksi budaya dan sosial dari kesenjangan yang sudah ada di masyarakat.

Reproduksi sosial ini dapat dilihat dari pemilihan seorang kiyai dan juga sistem

penerimaan santri yang secara tidak langsung hanya diperuntukkan bagi golongan

masyarakat kelas dominan saja.

Kesadaran kritis seperti yang dicanangkan oleh Paulo Freire belum

diterapkan di lembaga pendidikan ini. Hal tersebut terbukti dari penerapan sistem

pendidikan bank education, di mana para santri hanya menerima ilmu secara

searah dari guru tanpa mengeksplore dan mempertajan ilmunya dengan

mendiskusikan dan mencari pengathuan dari sumber lain (empiris maupun

literatur lain).

Page 30: Penindasan Dalam Dunia Pendidikan Pondok Pesantren teoritis, kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat didefinisikan sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental atau seksual yang umumnya

30

http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id

B. SARAN

Beberapa poin penting yang menjadi rekomendasi kami adalah:

1) Penelitian lebih lanjut pada pondok pesantren lain yang telah

mengadaptasi pendidikan yang maju;

2) Penelitian lebih mendalam tentang pendidikan pondok pesantren,

mengingat kesulitan kami mengadakan studi secara mendalam dalam

lingkup pondok pesantren;

3) Peningkatan keterbukaan (cek and balance) atau akuntabilitas dan

kredibilitas untuk institusi pondok pesantren, agar mengurangi „hegemoni‟

yang seringkali membebani para santrinya; dan

4) Mengerahkan kerjasama untuk membangun kesadaran kritis peserta didik

untuk pendidikan yang lebih baik.

Page 31: Penindasan Dalam Dunia Pendidikan Pondok Pesantren teoritis, kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat didefinisikan sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental atau seksual yang umumnya

31

http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

- Dhofir, Zamakhsari. Tradisi Pesantren : Studi Tentang Pandangan Hidup

Kiyai (Jakarta, - Fuchan, Arif, Penelitian Kualitatif (Surabaya : Usaha Nasional)

- Hadimulyo, “Dua Pesantren Dua Wajah Budaya” dalam M. Dawam Rahardjo (ed), Pergulatan Dunia Pesantren Membangun dari Bawah, (Jakarta, LP3S, 1985), h. 99

- Huraerah, Abu, kekerasan Terhadap Anak (Bandung Nuansa, 2006) - Johnson, Victoria .dkk. 2002. Anak-Anak Membangun Kesadaran Kritis.

Yogyakarta. Read Book. - Kartasasmita, Ginanjar. 1996. Pembangunan Untuk Rakyat: Memadukan

Pertumbuhan dan Pemerataan (Jakarta. PT. Pustaka Cidesindo)

- Kuntowijoyo. Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi (Bandung. Mirzan, 1991) h, 247

- Mastuhu. 1994. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: Indonesia-Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS).

- Miles, Mattew B & Huberman, Michael A (1984). Qualitative data analysis a

sourcebook of new method. London : Sage Publications - Neuman, Lawrence (1994). Social research method, qualitative and

quantitative approaches (2nd ed). Boston : Ally and Bacon

- Purwati. Kristi E (2007). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Jakarta : LPSP3

- Qomar, Mujamil, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokrasi Institusi (Jakarta : Erlangga, 2006)

- Santoso, Thomas, Teori- teori Kekerasan. (Jakarta : PT. Ghalia Indonesia,

2002) - Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi, 1989. Metode Penelitian Survai,

Jakarta : LP3ES - Sudiarti Luhulima, Achie, Pemahaman Bentuk-bentuk Tindak Kekerasan

Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya (Jakarta : PT. Alumni,

2000) - Sugiyono, 2007. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung. Alfabeta

- Sulthon HM, Manajemen Pondok Pesantren Dalam Perspektif Global (LaksBang PRESSindo : 2006)

- Suroto. 1986. Strategi Pembangunan dan Perencanaan Tenaga Kerja.

Yogyakarta. Gajah Mada Univ Press - Suyanto, Bagong dan Sri Sanituti. Krisis dan Child Abuse (Surabaya :

Airlangga University Press, 2002)

Jurnal

- Nurhilaliati, 2002. Kekerasan terhadap Anak dalam Sistem Pendidikan Pesantren (Studi di PP Nurul Hakim Kediri). Fakultas Tarbiyah IAIN Mataram

Page 32: Penindasan Dalam Dunia Pendidikan Pondok Pesantren teoritis, kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat didefinisikan sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental atau seksual yang umumnya

32

http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id

- Pusat Penelitian Kependudukan, 2009. Pola Anak di Panti Asuhan dan Pondok

Pesantren Kota Solo dan Kabupaten Klaten. LPPM UNS dengan UNICEF

Internet

- (http://bataviase.co.id/detailberita-10569402.html). - http://darulhikmah.blogspot.com/pembinaan-santri-di-dalam-pondok-

pesantren.10413.html

- http://data.tp.ac.id/dokumen/artikel-kekerasan-kepada-anak-tentang-ham - (http://wikipedia.org/wiki/kota_Kota Blitar/)

- http://kabar-pendidikan-blogspot.com/2011/04/pengertian-pondok-pesantren-dalam.html)

- http://www.kadnet.info/web/index.php?option=com_content&view=article&i

d=1293:pengertian-kekerasan-terhadap-anak&catid=37;wawasanperspective&itemid=66

- http://psikologi45.blospot.com/201/06/pengertian-kekerasan-terhadap-anak.html

- (http://wikipedia.org/wiki/pesantren)