PENGUSULAN PASANGAN CALON PRESIDEN DAN WAKIL...
Transcript of PENGUSULAN PASANGAN CALON PRESIDEN DAN WAKIL...
PENGUSULAN PASANGAN CALON PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN
SEBAGAI PESERTA PEMILU MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 42
TAHUN 2008
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
AHMAD FARHAN SUBHI
NIM : 1612048000004
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
PROGRAM DOUBLE DEGREE ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1435 H/2014 M
PENGUSULAN PASANGAI\I CALON PRESIDEN DAN }VAKIL PRESIDEN
SEBAGAI PESERTA PEMILU MENURUT.UNDANG-UNDANG NOMOR 42
TAHTJN 2OO8
Slaipsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum (S.tt)
Oleh:
AHMAD FARIIAN SUBHINIM: 1612048000004
KONSENTRASI HT]KT]M KELEMBAGAAI\T I\TEGARA
PROGRAM DOUBLE DEGREE ILMU HTIKUM
FAKULTAS SYARIAII DAI\I IIUKT]M
T]NTVERSITAS ISLAM I\TEGERI
SYARIF HMAYATT]LLAH
JAKARTA1435 Ht2At4I$[
Di Bawah Bimbingan:
odikin, S.H., M.H., M.Si.
PENGESAHAN PAITITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul'.Pengusulan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden
Sebagai Peserta Pemilu Menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008" telah
diajukan dalam sidang skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Program Double Degree
Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 05
Mei 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Program Stata Satu (S-1) pada Program Double Degree Ilmu Hukum.
Jakarta,05 Mei 2014.
Mengesahkan
PAI{ITIA UJIAN SKRIPSI
1. Ketua
2. Sekretaris
3. Pembimbing
4. Pengujil
5. Penguji II
Dr. DjawahirHejazziey. S.H.. M.A.NIP. 19551015197903 1002
Drs. Abu Thamrin" S.H.. M.Hum.NIP. 19650908199503 1001
Dr. Sodikin, S.H., M.H., M.Si.
Prof. Dr. H. Salman Manggalatune. S.H." M.H.NIP. 19540303197 6tl l00l
r. H. J.M. Muslimin" M.A.NrP. 1 9680 812199903 tot 4
Dwi Puti Cahyawati, S.H., M.H.
LEMBAR PER}TYATAANI
Dengan ini saya menyatakan batrwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya asli yang diajukan untuk memenuhi
salah satu syarat mencapai gelar Shata Satu (S-1) di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang telah ditentukan oleh Universitas
Islam Negeri (UIII$ Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jika di kemudian hari terbukti bahwa skripsi ini bukan hasil karya saya asli
atau merupakan saduran dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang telatr ditetapkan oleh Universitas Islam Negeri OnQ Syarif
Hidayatullah Jakarta.
J.
ABSTRAK
Ahmad Farhan Subhi. NIM 161204800004. PENGUSULAN PASANGAN
CALON PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN SEBAGAI PESERTA PEMILU
MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2008. Konsentrasi Hukum
Kelembagaan Negara, Program Double Degree Ilmu Hukum, Fakultas Syari’ah dan
Hukum,Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H / 2014 M. vi +
86 halaman + 25 Lampiran.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan hukum calon Presiden dan
Wakil Presiden dan Partai Politik Peserta Pemilu. Karena masyarakat masih kurang
memahami tentang kedudukan hukum calon Presiden dan Wakil Presiden dan Partai
Politik Peserta Pemilu. Terdapat pengaturan mengenai pengusulan calon Presiden dan
Wakil Presiden dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008, yakni di dalam norma
Pasal 9 dan Pasal 14 ayat (2) yang tidak sesuai dengan norma Pasal 22E ayat (3) dan
norma Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945. Penulis memilih obyek penelitian yakni
norma Pasal 9 dan Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008. Penulis
ingin mengetahui pengaturan Partai Politik Peserta Pemilu dalam pengusulan Calon
Presiden dan Wakil Presiden dan pengaturan waktu pengusulan Calon Presiden dan
Wakil Presiden.
Penelitian ini menggunakan metode sinkronisasi hukum dengan pendekatan
yuridis normatif. Data diperoleh melalui draft perundang-undangan, buku atau literatur
kepustakaan lainnya. Peraturan perundang-undangan dalam skripsi ini ialah Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dan Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2008 tentang Partai Politik.
Hasil penelitian menunjukan bahwa: 1) Partai politik peserta pemilu dalam
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 bukanlah lagi partai politik peserta pemilihan
umum melainkan “mantan” partai politik peserta pemilihan umum; dan 2) Waktu
pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden dalam Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2008 adalah sebelum pelaksanaan pemilihan umum DPR dan DPRD, bukan
sebelum Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Maka apabila pengusulan
calon Presiden dan Wakil Presiden sebagai Peserta Pemilihan Umum ingin
dilaksanakan oleh Partai Politik Peserta Pemilu, maka harus dilaksanakan sebelum
pelaksanaan Pemilihan Umum DPR dan DPRD.
Kata kunci : Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Pasangan Calon Presiden
dan Wakil Presiden, dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008.
Pembimbing : Dr. Sodikin, S.H., M.H., M.Si.
Daftar Pustaka : Tahun 1960 – 2012.
i
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah, ungkapan rasa syukur senantiasa penulis panjatkan kepada
Allah Swt atas segala ni’mat dan karunia-Nya yang tiada tara, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan penuh perjuangan dan semangat bergelora. Untaian
shalawat beriringkan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad
Saw, seorang pahlawan revolusioner dunia yang berjuang demi tegaknya agama, dan
teriring pula salam kepada keluarga-Nya, para sahabat dan pengikut-Nya yang
senantiasa ta’at dan setia kepada-Nya.
Penulis menyadari bahwa berbagai macam kesulitan dan hambatan turut
menyertai langkah penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, namun langkah
tersebut berujung pada jalan kemudahan yang lahir berkat bantuan dan dukungan
serta bimbingan dan arahan yang bermanfa’at dari berbagai pihak, baik pihak luar
maupun pihak keluarga.
Dengan demikian, pada kesempatan yang baik ini penulis mengungkapkan
rasa terima kasih disertai dengan rasa hormat dan penghargaan yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Prof. Dr. H. Komaruddin Hidayat, M.A., Rektor Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
ii
2. Dr. H. J.M. Muslimin, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, M.A., Ketua Program Double Degree Ilmu Hukum
dan Ismail Hasani, S.H., M.H., Sekretaris Program Double Degree Ilmu Hukum.
4. Dr. Sodikin, S.H., M.H., M.Si. Selaku pembimbing skripsi penulis, yang telah
bersedia meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan kepada
penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan baik, semoga beliau
selalu dalam lindungan dan kasih sayang Allah Swt.
5. Seluruh dosen Program Double Degree Ilmu Hukum yang telah memberikan ilmu
dan pengetahuan selama penulis menekuni studi Strata Satu (S-1) yang kedua di
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
ini. Kepada para Pimpinan dan Civitas Akademika Fakultas Syariah dan Hukum
yang telah menyediakan fasilitas belajar dan mengajar dengan baik. Serta Staff
Perpustakaan, baik Perpustakaan Utama maupun Perpustakaan Fakultas Syariah
dan Hukum yang telah menyediakan sarana perpustakaan dengan baik sehingga
memudahkan penulis dalam mencari data kepustakaan.
6. Terlebih dan teristimewa untuk Ayahanda K.H. M. Ridwan Abdullah, S.Pd.I, dan
Ibunda Sri Mulyani, S.Pd.I tercinta, yang telah merawat, mengasuh dan mendidik
penulis dengan penuh cinta dan kasih sayang serta memberikan dukungan, do’a
dan pengorbanan yang tak terhingga sehingga penulis bisa menjadi seperti
sekarang ini, rasa hormat dan terimakasih yang tiada tara untukmu ayah dan ibuku.
Juga untuk kedua adinda kembarku, Ahmad Syahrul Fadhil dan Ahmad Syahroni
iii
Fadhil, yang telah memberikan do’a, bantuan dan dukungan kepada penulis serta
menjadi motivasi bagi penulis agar bisa memberikan tauladan yang baik. Dan juga
kepada keluarga besar Kong. H. Abdullah bin H. Muhajir dan keluarga besar
Kong. H. Muhammad bin Manah yang senantiasa memberikan do’a dan dukungan
kepada penulis di setiap perkumpulannya.
7. Para guru, asatidz dan keluarga besar Pondok Pesantren al-Islamiy as-Salafiy Ar-
Ridwan, khususnya kepada Abah K.H. Zainal Abidin, S.Ag, yang telah mendidik
dan membekali penulis ilmu agama dan dasar kepribadian yang baik, mudah-
mudahan ilmu yang telah diberikan menjadi ilmu yang bermanfaat bagi penulis
dan dapat penulis berikan manfaat pula untuk orang banyak.
8. Teman-teman seperguruan dan seperjuangan Program Double Degree Ilmu
Hukum angkatan 2012, Helmi, Rouf, Ihsan, Andre dan Mba Nisa serta teman-
teman karib penulis lainnya. Juga kakak kelas penulis yang telah bersedia menjadi
teman berdiskusi dan bertukar informasi penulis khususnya mengenai persoalan
pada skripsi penulis, Mas Atho, Mas Fathuddin, Bang Rusydi, Habib Agis Assegaf
dan yang lainnya. Terimakasih atas bantuan dan dukungan dari kalian semua, serta
atas kebersamaan dalam sebuah persahabatan yang selama ini terjalin di antara
kita, semoga persahabatan kita ini akan terus terjalin dengan baik walaupun
terdapat jarak dan waktu diantara kita. Tak lupa pula teman-teman berkumpul dan
berdiskusi pada forum PALAPA, PUKKANSI dan IBNU SINA 23, yang telah
menjadi wadah bertukar fikiran dan diskusi rutin penulis.
iv
Kepada semua pihak yang telah banyak memberikan do’a dan dukungan
kepada penulis, baik secara langsung maupun tidak langsung atau pun berupa moriil
maupun materiil. Hanyalah ucapan terima kasih dan do’a yang dapat penulis
ungkapkan, semoga semua itu dapat diterima sebagai amal baik disisi Allah Swt,
serta memperoleh balasan berupa pahala yang berlipat ganda.
Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan
penyempurnaan skripsi ini, mengingat banyak sekali kekurangan di dalamnya.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat, khususnya bagi penulis
dan umumnya bagi pembaca. Amin.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jakarta, 05 Mei 2014.
Penulis
v
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……………………………………………………………. i
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………… v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah …………………………………... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah …………………….. 8
C. Tujuan dan ManfaatPenelitian ……………………………. 9
D. Metode Penelitian ………………………………………… 10
E. Review Studi Terdahulu ………………………………….. 15
F. Kerangka Teori …………………………………………… 18
G. Sistematika Penulisan …………………………………….. 29
BAB II PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN
DI NEGARA REPUBLIK INDONESIA
A. Demokratisasi Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden ……………………………………………………. 31
B. Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Sebelum
Amandemen UUD 1945 ………..………………………… 39
C. Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Sesudah
Amandemen UUD 1945 ………..………………………… 47
vi
BAB III PENGUSULAN CALON PRESIDEN DAN WAKIL
PRESIDEN OLEH PARTAI POLITIK
A. Pengertian Calon Presiden dan Wakil Presiden …………… 53
B. Kedudukan Hukum Calon Presiden dan Wakil Presiden …. 58
C. Pengertian Partai Politik Peserta Pemilu …………………... 60
D. Kedudukan Hukum Partai Politik Peserta Pemilu ………..... 65
E. Pengusulan Calon Presiden dan Wakil Presiden oleh
Partai Politik ……………………………………………….. 67
BAB IV ANALISIS PENGUSULAN CALON PRESIDEN DAN
WAKIL PRESIDEN MENURUT UNDANG-UNDANG
NOMOR 42 TAHUN 2008
A. Pengaturan Partai Politik Peserta Pemilu dalam Pengusulan
Calon Presiden dan Wakil Presiden ……………………….. 70
B. Pengaturan Waktu Pengusulan Calon Presiden dan Wakil
Presiden ……………………………………………………. 71
C. Analisis Penulis ……………………………………………. 73
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................... 77
B. Saran-saran ........................................................................... 79
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 81
LAMPIRAN
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Gerakan reformasi yang menjanjikan pembaharuan dengan semboyan
demokrasi dan kebebasan mampu menghimpun kekuatan untuk menumbangkan
kekuatan orde baru yang otoriter dan tidak demokratis. Hasilnya, pada zaman
reformasi ini terjadilah euforia demokrasi dan kebebasan yang merasuki semua
bidang kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga berdampak pula pada upaya
dilakukannya perubahan atau pergantian terhadap konstitusi atau dasar
penyelenggaraan Negara.1
Pada dasarnya, konstitusi adalah suatu dokumen penting yang mengandung
peraturan-peraturan dasar mengenai struktur pemerintahan, hak dan kewajiban serta
pembatasan dari kewenangan Negara. Karena konstitusi merupakan hukum dasar
(grundnorm), maka secara lebih luas bias berwujud teks tertulis (written texts) dan
tidak tertulis (unwritten texts), hal tersebut tergantung pada sistem hukum yang dianut
antara Civil Law atau Common Law.2
Konstitusi Negara Republik Indonesia adalah Undang-Undang Dasar 1945
yang pertama kali berlaku dan disahkan dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945, yaitu sehari setalah kemerdekaan Negara
1 M. Dimyati Hartono, Problematik dan Solusi Amandemen Undang-Undang Dasar 1945,
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), h. 30. 2 Jawahir Thontowi, Islam, Politik, dan Hukum: Esai-esai Ilmiah untuk Pembaharuan, cet. I,
(Yogyakarta: Madyan Press, 2002), h. 150.
2
Republik Indonesia diproklamasikan oleh Soekarna dan Mohammad Hatta pada
tanggal 17 Agustus 1945.3
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia merdeka, telah tercatat beberapa
upaya (a) Pembentukan Undang-Undang Dasar, (b) Pergantian Undang-Undang
Dasar, (c) Perubahan dalam arti pembaruan Undang-Undang Dasar. 4
Negara Republik Indonesia mengalami empat kali perubahan atau pergantian
konstitusi dalam kurun waktu 15 tahun (1945-1959), dan empat kali perubahan
(amandemen) konstitusi selama 2 tahun (1999-2002) yakni perubahan I-IV Undang-
Undang Dasar 1945.5
Dalam amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang ketiga, dinyatakan
bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum.6 Demokrasi berkaitan erat dengan
prinsip penyelenggaraan negara hukum dengan alasan bahwa dalam literasi
demokrasi, pemilihan umum merupakan salah satu dari sembilan prinsip negara
hukum.7 Pemilihan umum rakyat merupakan bagian dari pelaksanaan prinsip
demokrasi,8 dimana rakyat dapat memilih pemimpin Negara atau wakil-wakilnya
3 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 32.
4 Ibid, h. 41.
5 Taufiqurrohman Syahuri, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2011), h. 22. 6 Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Lihat Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, cet. X,
(Jakarta: Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006), h. 64. 7 Ali Masykur Musa, Sistem Pemilu: Proporsional Terbuka Setengah Hati, (Jakarta: Pustaka
Indonesia Satu (PIS) kerja sama Parliamentary Support and Public Participation, 2003), h. 162. 8 Taufiqurrohman Syahuri, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, h. 155.
3
yang berhak membuat suatu kebijakan berdasarkan kehendak rakyat yang digariskan
oleh pemimpin Negara atau wakil-wakil rakyat tersebut.
Hakikat pemilihan umum adalah sebagai sarana demokrasi yang intinya
untuk menyelenggarakan suatu pemerintahan negara oleh, dari, dan untuk rakyat.9
atau dengan kata lain mewujudkan kedaulatan yang berada ditangan rakyat dalam
bingkai negara hukum yang bersifat demokratis.
Demokrasi menjadi sebuah acuan moralitas dalam setiap kebijakan negara
yang menyangkut kepentingan rakyat. Maka lazimnya setiap orang dan kelompok
masyarakat ikut berpartisipasi dalam menentukan kebijakan publik dan memperoleh
peluang yang sama untuk memperoleh manfaat dari kebijakan publik tersebut,
sehingga pengaturan penyelenggaraan pemilihan umum dalam bingkai demokrasi,
baik itu pemilihan anggota legislatif maupun pemilihan pasangan Presiden dan Wakil
Presiden, harus sesuai dengan kehendak rakyat, menjamin hak-hak asasi manusia dan
tidak diskrimanatif.10
Demokrasi di Indonesia adalah demokrasi yang dibingkai dengan norma-
norma konstitusi.11
Oleh karena itu, agar derap demokrasi dapat berputar sesuai
sumbu konstitusi, maka demokrasi itu harus dijaga. Pelaksanaan demokrasi konstitusi
9 Kwik Kian Gie, Kebijakan Ekonomi-Politik dan Hilangnya Nalar, (Jakarta: Kompas, 2006),
h. 160. 10 A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan Hidup, (Jakarta: Kompas, 2010), h. 180. 11
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Lihat Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, h. 64.
4
terihat dalam kegiatan pemilihan umum, pembentukan aturan dan pelaksanaan
kewenangan lembaga Negara.12
Selanjutnya, untuk menyelenggarakan pemilihan umum secara demokratis
pada Negara hukum ini, dibentuklah sebuah aturan atau undang-undang yang
mencakup segala hal mengenai persyaratan maupun tekhnis pelaksanaan pemilu.
Dalam hal pemilihan umum presiden dan wakil presiden, dibentuk Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003 yang kemudian diamandemen oleh
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden, yang selanjutnya disebut UU Pilpres ini, terdapat
beberapa hal tekhnis yang diatur untuk menyelenggarakan pemilihan umum Presiden
dan Wakil Presiden, salah satunya ialah mengenai tekhnis pencalonan Presiden dan
Wakil Presiden.
Pasal 8 UU Pilpres menjelaskan bahwa calon Presiden dan calon Wakil
Presiden diusulkan dalam 1 (satu) pasangan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai
Politik.
Selanjutnya Pasal 9 UU Pilpres menjelaskan bahwa Pasangan Calon
diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta Pemilu yang
memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari
jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah
12
Taufiqurrohman Syahuri, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, h. 155.
5
nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden. Serta pada Pasal 13 ayat (1) UU Pilpres dijelaskan bahwa Bakal
Pasangan Calon didaftarkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik.
Apabila Pasal 1 ayat (4), Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 13 ayat (1) UU Pilpres
tersebut dibaca secara bersamaan berarti pemahamannya jelas bahwa satu-satunya
mekanisme atau jalur untuk menjadi Calon Presiden dan Wakil Presiden adalah
melalui usulan partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu. Dengan kata
lain, hak untuk mengajukan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden adalah hak
eksklusif partai peserta pemilu dan tidak diperkenankan atau tidak ada kemungkinan
sama sekali bagi Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden perseorangan atau
independen di luar dari yang diusulkan partai politik atau gabungan partai politik
tersebut, dan yang diusulkan oleh organisasi non-partai.13
Kemudian dapat difahami pula dari Pasal 9 UU Pilpres di atas, bahwa
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi
paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR-RI atau memperoleh 25 persen dari
suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR-RI, sebelum pelaksanaan Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden. Ini berarti bahwa berdasarkan hukum positif
13
Hanta Yuda A. R., Presidensialisme Setengah Hati: dari Dilema ke Kompromi, (Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010), h. 94.
6
Presidential Threshold di Indonesia sebesar 25 persen suara sah nasional dari hasil
pemilu legislatif atau 20 persen kursi parlemen yang terpilih.14
Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
menyebutkan bahwa “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh
partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum
pelaksanaan pemilihan umum”. Maka berdasarkan ketentuan ini, semua partai politik
atau gabungan partai politik peserta pemilu dapat mengusulkan pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden.15
Namun tidak semua partai politik peserta pemilu
dapat mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, melainkan hanya
partai politik peserta pemilu yang memperoleh kursi paling sedikit 20 persen dari
jumlah kursi DPR-RI atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional dalam
Pemilu anggota DPR-RI, sesuai dengan ketentuan Presidential Threshold.
Selanjutnya, mengenai pelaksanaan waktu pengusulan calon Presiden dan
Wakil Presiden dalam Pasal 9 UU Pilpres apabila dikaitkan dengan Pasal 6A ayat (2)
UUD NRI 1945, maka menimbulkan sebuah pertanyaan, yakni apakah waktu
pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden
dan Wakil Presiden sebagaimana dalam Pasal 9 UU Pilpres sesuai dengan pengaturan
waktu pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden yang dimaksudkan oleh Pasal
6A ayat (2) UUD NRI 1945, yakni sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
14
Shanti Dwi Kartika, “Presidential Threshold dalam Revisi UU Pilpres”, jurnal diakses
pada tanggal 11 Desember 2013 dari
http://berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/info_singkat/Info%20Singkat-V-14-II-P3DI-Juli-2013-41.pdf. 15
Ign Ismanto, dkk, Pemilihan Presiden Secara Langsung 2004: Dokumentasi, Analisis, dan
Kritik, (Yogyakarta: Galang Press Group, 2004), h. 46.
7
Juga terkait dengan kedudukan partai politik peserta pemilu yang
dimaksudkan oleh Pasal 9 UU Pilpres, apakah sesuai dengan yang diatur oleh Pasal
22E ayat (3) UUD NRI 1945, yakni adalah partai politik peserta pemilihan umum
untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, karena hal tersebut sangat berpengaruh di dalam proses pencalonan
Presiden dan Wakil Presiden.
Pengaturan Pasal 9 UU Pilpres tersebut haruslah sesuai dengan konstitusi
Republik Indonesia yang menjamin adanya hak-hak warga negara berupa persamaan
kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan yang diakui secara normatif dan
dilaksanakan secara empirik,16
sebagaimana yang telah digariskan dalam Pasal 27
ayat (1), selain itu pula konstitusi Republik Indonesia menjamin adanya hak untuk
memperoleh pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama dihadapan hukum [Pasal 28D ayat (1)], dan hak untuk
memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan [Pasal 28D ayat (3)], serta
hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi [Pasal 28 I ayat (2)]. Semuanya itu
merupakan bentuk dari perwujudan kedaulatan rakyat yang telah digariskan dalam
Pasal 1 ayat (2).
Maka dengan demikian, pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden sebagai peserta pemilu dilakukan oleh partai politik peserta pemilu yang
diatur melalui UU Pilpres dan di lain sisi UUD NRI 1945 juga mengatur beberapa hal
terkait pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, seperti kedudukan partai politik
16
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, h. 128.
8
peserta pemilu dalam pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden dan waktu
pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden.
Berdasarkan uraian diatas, penulis akan memfokuskan bahasan skripsi ini
pada permasalahan tersebut dengan judul skripsi: “PENGUSULAN PASANGAN
CALON PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN SEBAGAI PESERTA PEMILU
MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2008”.
B. Pembatasan dan PerumusanMasalah
Untuk memudahkan penelitian ini dan tidak menimbulkan penafsiran yang
berbeda-beda, maka penulis memberikan batasan-batasan sebagai berikut:
1. Penelitian terhadap aturan yang mengatur mengenai pengusulan calon Presiden
dan Wakil Presiden sebagai peserta pemilu di Indonesia.
2. Perihal pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden yakni adalah mengenai
kedudukan partai politik peserta pemilu dalam pengusulan calon Presiden dan
Wakil Presiden dan waktu pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden.
3. Pembahasan terbatas pada penerapan hukum dalam Pasal 9 Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Selanjutnya, UUD NRI 1945 telah memberikan mandat kepada partai politik
peserta pemilu sebagai subyek yang berhak mengusulkan calon Presiden dan Wakil
Presiden dengan berdasarkan aturan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 yang
merupakan mandat dari UUD NRI 1945 untuk menjalankan pemilihan umum
Presiden dan Wakil Presiden, sebagaimana terdapat dalam norma Pasal 6A ayat (5)
9
UUD NRI 1945. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 seharusnya sesuai dan
tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945, namun terdapat pengaturan dalam
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008, yakni di dalam norma Pasal 9 dan Pasal 14
ayat (2) yang tidak sesuai dengan norma Pasal 22E ayat (3) dan Pasal 6A ayat (2)
UUD NRI 1945. Maka dengan demikian, rumusan masalah tersebut penulis rangkum
dalam beberapa pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kedudukan calon Presiden dan Wakil Presiden dan Partai Politik
Peserta Pemilu menurut perundang-undangan di Indonesia?
2. Bagaimanakah kedudukan partai politik peserta pemilu dalam pengusulan calon
Presiden dan Wakil Presiden menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008?
3. Bagaimanakah kedudukan waktu pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden
menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian yang disusun oleh penulis ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui kedudukan calon Presiden dan Wakil Presiden dan Partai Politik
Peserta Pemilu menurut perundang-undangan di Indonesia.
2. Mengetahui kedudukan partai politik peserta pemilu dalam pengusulan calon
Presiden dan Wakil Presiden menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008.
3. Mengetahui kedudukan waktu pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden
menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008.
10
Adapun manfaat yang didapat dari penelitian ini antara lain :
1. Memberikan stimulus kepada pihak yang terkait, dalam hal ini yang dimaksud
adalah para pihak yang berkompetensi untuk mengkaji dan melegitimasi hukum
terkait pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik.
2. Membuka wawasan kepada masyarakat mengenai pengusulan calon Presiden dan
Wakil Presiden oleh partai politik.
3. Pengembangan kualitas diri dan pengetahuan di bidang hukum bagi penulis
terutama di bidang hukum tata negara.
4. Dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk penelitian yang serupa di
masa mendatang.
5. Menambah literatur kepustakaan.
D. Metode Penelitian.
Untuk memperoleh bahan yang diperlukan di dalam penulisan skripsi ini,
penulis menggunakan metode sebagai berikut:
1. Penelitian dan Pendekatan
Penelitian memiliki arti dan tujuan sebagai “suatu upaya pencarian” dan tidak
hanya merupakan sekedar pengamatan dengan teliti terhadap suatu obyek yang
terlihat kasat mata.17
17
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2003), h. 27-28.
11
Suatu penelitian ilmiah yang dilakukan oleh manusia bertujuan untuk
menyalurkan hasrat ingin tahunya yang telah mencapai taraf ilmiah, disertai dengan
suatu keyakinan bahwa setiap gejala akan dapat ditelaah dan dicari hubungan sebab
akibatnya, atau kecenderungan yang timbul, oleh karena itu, menurut H.L. Manheim,
bahwa suatu penelitian pada dasarnya usaha secara cermat dan teliti untuk
menyelidiki berdasarkan pengetahuan yang dimiliki oleh suatu subjek ke dalam cara
berfikir ilmiah.18
Jenis penelitian yang diterapkan pada penyusunan skripsi ini adalah:
1. Penelitian kualitatif, yaitu suatu penelitian yang apabila jenis data dan analisa data
yang digunakan bersifat naratif, dalam bentuk pernyataan-pernyataan yang
menggunakan penalaran.19
2. Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan, yakni penelitian
hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder
belaka.20
Jenis Penelitian hukum normatif pada skripsi ini adalah penelitian hukum
normatif tertulis, yakni metode penelitian hukum terhadap aturan hukum yang
tertulis.21
Selanjutnya, penelitian hukum normatif tertulis pada skripsi ini berupa
sinkronisasi hukum, yakni penelitian untuk meneliti bagaimana hukum positif
tertulis yang ada dalam peraturan perundangan yang ada di Indonesia sesuai dan
18
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet.III, (Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia (UI Press), 1986), h. 3. 19
H. Yayan Sopyan, Pengantar Metode Penelitian, (Jakarta: t.p, 2010), h. 26. 20
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
Cet. VII, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 13-14. 21
Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, cet. I, (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 38.
12
tidak saling bertentangan, baik secara vertical (hierarki) maupun secara
horizontal.22
Selanjutnya penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu
pendekatan yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-
norma dalam hukum positif.23
2. Sumber Data
Dalam penelitian pada umumnya, data dapat dibedakan menjadi dua macam,
yakni data primer (data dasar) dan data sekunder. Data primer ialah data yang
diperoleh langsung dari masyarakat, sedangkat data sekunder ialah data yang
diperoleh dari bahan-bahan pustaka.24
Di dalam penelitian hukum, data sekunder mencakup:25
1. Bahan Hukum Primer
Yaitu bahan hukum yang terdiri dari:
a. Norma (dasar) atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Peraturan Dasar, yaitu:
i. Batang tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
ii. Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
22
Ibid, h. 39-40. 23
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia
Publishing, 2008), h. 294. 24
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
h. 12. 25
Ibid, h. 13.
13
c. Peraturan perundang-undangan.26
Adapun peraturan perundang-undangan pada
skripsi ini antara lain:
1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden
dan Wakil Presiden;
2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik;
3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah;
d. Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, seperti hukum adat;
e. Yurisprudensi;
f. Traktat;
g. Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku seperti,
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan lain sebagainya.
2. Bahan Hukum Sekunder
Yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.
Seperti Rancangan Undang-Undang (RUU), hasil-hasil penelitian, hasil karya dari
26
Yang diurut berdasarkan hierarki peraturan perundang-undangan, sesuai dengan Pasal 7
ayat 1Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yakni:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan presiden
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
14
kalangan hukum, dan seterusnya.27
3. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah data yang dapat memberikan petunjuk atau penjelasan
terhadap data primer dan data sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan
lain-lain.28
3. Proses Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan
metode studi dokumentasi, yaitu dengan melihat dan mencari hal-hal atau variabel
berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, media online, majalah, prasasti, notulen,
rapat, agenda, dan sebagainya.29
4. Analisis Data
Selanjutnya dalam analisis data pada skripsi ini penulis akan melakukan
kegiatan antara lain sebagai berikut:
1. Mengumpulkan data, yakni data-data sekunder yang diperlukan dalam penulisan
skripsi ini berupa bahan hukum primer, sekunder maupun tersier.
2. Mengolah, menganalisis dan memberikan interpretasi terhadap data-data yang
telah dikumpulkan tersebut untuk dapat menjawab permasalahan yang telah
dirumuskan dalam penelitian ini.
27
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, h. 52. 28
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, h. 296. 29
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, h. 201.
15
5. Tekhnik Penulisan.
Adapun dalam tekhnik penulisan pada skripsi ini, penulis mempergunakan
tekhnik yang biasa digunakan dalam karya ilmiah yang dalam hal ini berpedoman
kepada buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Cetakan pertama, tahun 2012.
E. Review Studi Terdahulu
Penulis melakukan review studi terdahulu untuk memastikan perbedaan serta
menampakan posisi akademis dari penelitian yang dijalankan agar tidak mengulang
kembali kajian yang telah dilakukan oleh peneliti sebelum penelitian ini:
No Judul Skripsi Isi Pembeda
1.
“Nahdatul „Ulama dan
Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden (Pilpres)
2004”, Skripsi karangan
Ubaidillah, Fak.
Ushuluddin, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta,
2006.
1. Mengungkapkan
peranan Nahdatul
„Ulama dalam
pemilihan umum
Presiden dan Wakil
Presiden.
2. Penelitian terhadap
korelasi antara
Nahdatul „Ulama
1. Mengungkapkan
konsep pengaturan
pengusulan calon
Presiden dan Wakil
Presiden sebagai
peserta pemilu.
2. Penelitian terhadap
kedudukan hukum
pengusulan calon
16
dengan Pemilu
Presiden dan Wakil.
3. Tinjauan lebih
mendalam terhadap
peranan Nahdatul
„Ulama pada Pilpres
tahun 2004.
Presiden dan Wakil
Presiden sebagai
peserta pemilu.
3. Tinjauan lebih
mendalam terhadap
ketentuan Undang-
Undang Nomor 42
Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil
Presiden.
2.
“Partai Islam dan
Pemilu Presiden 2009:
Faktor-Faktor yang
Mendasari Partai-Partai
Islam Mendukung SBY-
Boediono”, Skripsi
karangan: Carman
Ansari Latief, Fak. Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik,
UIN Syarif Hidayatullah
1. Mengungkapkan
korelasi antara partai
Islam dengan Pemilu
Presiden dan Wakil
Presiden.
2. Penelitian terhadap
faktor-faktor yang
mendasari partai-
partai Islam
mendukung pasangan
1. Mengungkapkan
konsep pengaturan
pengusulan calon
Presiden dan Wakil
Presiden sebagai
peserta pemilu.
2. Penelitian terhadap
kedudukan hukum
pengusulan calon
Presiden dan Wakil
17
Jakarta, 2010. SBY-Boediono.
3. Tinjauan lebih
mendalam terhadap
latar belakang dan
pengaruh yang
mendasari partai-
partai Islam
mendukung pasangan
SBY-Boediono.
Presiden sebagai
peserta pemilu.
Tinjauan lebih
mendalam terhadap
ketentuan Undang-
Undang Nomor 42
Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil
Presiden.
3.
“Konsep Negara
Hukum Terhadap
Mekanisme dan Praktik
Pemberhentian Presiden
di Indonesia” skripsi
karangan: Achmad
Farobi, Fak. Syari‟ah
dan Hukum, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta,
2012.
1. Mengungkapkan
konsep negara hukum
dalam kaitannya
dengan
pemberhentian
Presiden.
2. Penelitian terhadap
mekanisme dan
praktik
pemberhentian
Presiden.
1. Mengungkapkan
konsep pengaturan
pengusulan calon
Presiden dan Wakil
Presiden sebagai
peserta pemilu.
2. Penelitian terhadap
kedudukan hukum
pengusulan calon
Presiden dan Wakil
Presiden sebagai
18
3. Tinjauan lebih
mendalam terhadap
perspektif aturan-
aturan atau kaidah
negara hukum.
peserta pemilu.
3. Tinjauan lebih
mendalam terhadap
ketentuan Undang-
Undang Nomor 42
Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil
Presiden.
F. Kerangka Teori
1. Negara Hukum
Istilah negara merupakan terjemahan dari beberapa kata asing, yakni state
(Inggris), staat (Belanda dan Jerman), atau etat (Perancis). Kata-kata tersebut berasal
dari kata latin status atau statum yang memiliki pengertian tentang keadaan yang
tegak dan tetap atau sesuatu yang memiliki sifat-sifat yang tegak dan tetap.
Pengertian status atau statum lazim diartikan dalam bahasa inggris dengan standing
atau station (kedudukan). Istilah ini sering pula dihubungkan dengan kedudukan
persekutuan hidup antar manusia yang biasa disebut dengan istilah status civitatis
19
atau status republicae. Dari pengertian yang terakhir inilah kata status selanjutnya
dikaitkan dengan kata negara.30
Sedangkan secara terminologi, negara diartikan sebagai organisasi tertinggi di
antara satu kelompok masyarakat yang mempunyai cita untuk bersatu, hidup di dalam
suatu kawasan dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat.31
Menurut Hans Kelsen, istilah negara terkadang digunakan dalam pengertian
yang sangat luas untuk menyebut masyarakat atau bentuk khusus dari masyarakat,
juga sangat sering digunakan dalam pengertian sempit untuk menyebut suatu organ
khusus masyarakat, misalnya pemerintah, atau para subyek pemerintah, bangsa, atau
wilayah yang mereka diami.32
Hans Kelsen memberikan sebuah definisi mengenai negara yakni komunitas
yang diciptakan oleh suatu tatanan hukum nasional (sebagai lawan dari tatanan
hukum Internasional), dan adapun negara sebagai badan hukum adalah suatu
personifikasi dari komunitas ini atau personifikasi dari tatanan hukum nasional yang
membentuk komunitas ini. Wujud empirik dari hukum positif adalah tatanan hukum
nasional yang satu sama lain dihubungkan oleh tatanan hukum internasional.33
Maka
dengan demikian, dapat diartikan pula negara sebagai tatanan perbuatan manusia atau
yang disebut dengan tatanan hukum, yakni tatanan yang menjadi pedoman bagi
30
A. Ubaedillah, dkk, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, cet. III,
(Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007), h. 24. 31
Ibid. 32
Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, Penerjemah: Raisul Muttaqien, cet.
IV, (Bandung: Nusa Media, 2009), h. 261. 33
Ibid, h. 261-262.
20
perbuatan-perbuatan tertentu manusia dan ide bagi para individu untuk menyesuaikan
perbuatannya.34
Negara hukum adalah istilah bahasa Indonesia yang terdiri dari dua suku kata,
yakni negara dan hukum. Padanan kata ini menunjukan bentuk dan sifat yang saling
mengisi antara Negara di satu pihak dan hukum pada pihak yang lain. 35
Adapun tujuan Negara adalah untuk memelihara ketertiban hukum
(rechtsorde). Oleh karena itu, dapat diartikan bahwa negara hukum adalah negara
yang membutuhkan hukum dan sebaliknya pula hukum dijalankan dan ditegakkan
melalui otoritas negara.36
Pengertian negara hukum adalah merupakan lawan dari pengertian negara
kekuasaan (machtsstaat), dasar pikiran yang mendukungnya ialah kebebasan rakyat
(liberte du citoyen), bukannya kebesaran negara (gloire de I’etat).37
Menurut Wirjono Prodjodikoro, negara hukum berarti suatu negara yang di
dalam wilayahnya adalah:
a. Semua alat-alat perlengkapan dari negara, khususnya alat-alat perlengkapan dari
pemerintah dalam tindakannya baik terhadap warga negara maupun dalam saling
berhubungan masing-masing, tidak boleh sewenang-wenang, melainkan harus
memperhatikan peraturan-peraturan hukum yang berlaku;
34
Ibid, h. 271. 35
Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, cet. II, (Jakarta:
Kencana, 2007), h. 19-20. 36
Sudargo Gautama, Pengertian tentang Negara Hukum, (Bandung: Alumni, 1973), h. 20-
21. 37
Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, h. 19.
21
b. Semua orang (penduduk) dalam hubungan kemasyarakatan harus tunduk pada
peraturan-peraturan hukum yang berlaku.38
Adapun menurut Franz Magnis Suseno, dari segi moral politik terdapat empat
alasan utama untuk menuntut agar negara diselenggarakan dan dijalankan tugasnya
berdasarkan: (1) kepastian hukum; (2) tuntutan perlakuan yang sama; (3) legitimasi
demokratis; (4) tuntutan akal budi. Berdasarkan hal demikian, selanjutnya Prof.
Magnis memberikan penjelasan mengenai ciri-ciri negara hukum yang secara etis
relevan, antara lain: (1) kekuasaan dijalankan sesuai dengan hukum positif yang
berlaku; (2) kegiatan negara berada dibawah control kekuasaan kehakiman yang
efektif; (3) berdasarkan sebuah Undang-Undang Dasar yang menjamin hak-hak asasi
manusia; dan (4) menurut pembagian kekuasaan.39
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan
bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum.40
Pasal ini mengandung makna
perwujudan Indonesia yang diidealkan dan dicita-citakan, karena itu selayaknya
diadakan eksplorasi mengenai reformasi hukum dan konstitusi, serta bentukan cita
negara hukum dituju agar dapat mewujudkan Indonesia yang demokratis,
berkeadilan, dan berakhlak.41
38
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Ilmu Negara dan Politik, (Bandung: Eresco, 1971), h. 38. 39
Franz Magnis Suseno, Etika Politik Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), h. 295-298. 40
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Lihat Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, h. 64. 41
Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, (Jakarta: PT. Bhuana Ilmu
Populer, 2009), h. 184.
22
Miriam Budiardjo menjelaskan mengenai sistem pemerintahan Negara
Indonesia dengan mengacu kepada Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, yang
salah satunya yaitu Negara Indonesia berdasar atas Hukum (Rechtsstaat) tidak
berdasar atas kekuasaan belaka (Machtsstaat).42
Menurut Stahl, sebagaimana yang dikutip oleh Majda El-Muhtaj, terdapat
empat unsur berdirinya Rechtsstaat atau negara hukum, yaitu:
1. Hak-hak manusia;
2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu;
3. Pemerintah berdasarkan peraturan-peraturan;
4. Peradilan administrasi dalam perselisihan.43
Adapun ciri-ciri Rechtsstaat menurut Ni‟matul Huda, antara lain sebagai
berikut:
1. Adanya Undang-Undang Dasar atau konstitusi yang memuat ketentuan tertulis
tentang hubungan antara penguasa dan rakyat.
2. Adanya pembagian kekuasaan negara.
3. Diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat.44
Selanjutnya, Jimly Asshiddiqie menjelaskan bahwa terdapat beberapa prinsip
pokok sebagai pilar-pilar utama yang menyangga negara modern yang layak
menyandang gelar sebagai negara hukum, diantaranya adalah:45
42
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), h.
106. 43
Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, h. 23. 44
Ni‟matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, cet. VI, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h.
82. 45
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, h. 151-161.
23
1. Supremasi Hukum (supremacy of law)
2. Persamaan dalam hukum (equality before the law)
3. Asas legalitas (due process of law)
4. Pembatasan kekuasaan
5. Organ-organ ekskutif Independen
6. Peradilan bebas dan tidak memihak
7. Peradilan tata usaha Negara
8. Peradilan Tata Negara (constitutional court)
9. Perlindungan Hak Asasi Manusia
10. Bersifat demokratis (democratiche rechtsstaat)
11. Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan berbegara (welfare state)
12. Transparansi dan kontrol sosial.
2. Demokrasi
Secara etimologi, kata demokrasi berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani,
yakni “demos” (rakyat) yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat, dan “cratos”
atau “cratein”” yang berarti kekuasaan atau kedaulatan.46
Jadi, “demos-cratein” atau
“demos-cratos” (demokrasi) adalah kekuasaan atau kedaulatan rakyat, kekuasaan
tertinggi berada dalam keputusan rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan berasal dari
rakyat dan kekuasaan oleh rakyat.47
46
A. Ubaedillah, dkk, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, h. 131. 47
Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna, (Yogyakarta: Tiara Wacana,
1999), h. 71. Lihat juga Miriam Budiarjo, Demokrasi di Indonesia: Demokrasi Parlementer dan
Demokrasi Pancasila, (Jakarta: Gramedia, 1996), h. 50.
24
Secara terminologi, demokrasi adalah suatu keadaan negara di mana dalam
sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi
berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan
kekuasaan oleh rakyat.48
Menurut Henry B. Mayo, demokrasi didasari oleh beberapa nilai:
1. Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara melembaga;
2. Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang
sedang berubah;
3. Menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur;
4. Membatasi pemakaian kekerasan sampai minimum;
5. Mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman dalam masyarakat
yang tercermin dalam keanekaragaman pendapat, kepentingan, serta tingkah laku;
6. Menjamin tegaknya keadilan.49
Negara Republik Indonesia pernah menerapkan beberapa macam bentuk
demokrasi, sebagaimana Miriam Budiardjo menjelaskannya dalam sejarah demokrasi
Negara Republik Indonesia, antara lain sebagai berikut:
2) Masa Republik Indonesia I (1945-1959), yaitu masa Demokrasi Konstitusional
yang menonjolkan peranan parlemen serta partai-partai dan yang karena itu dapat
dinamakan Demokrasi Parlementer.
48
A. Ubaedillah, dkk, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, h. 131. 49
Henry B. Mayo, An Introduction to Democratic Theory, (New York: Oxford Univercity
Press, 1960), h. 70.
25
3) Masa Republik Indonesia II (1959-1965), yaitu masa Demokrasi Terpimpin yang
dalam banyak aspek telah menyimpang dari demokrasi konstitusional yang secara
formal merupakan landasannya, dan menunjukan beberapa aspek demokrasi
rakyat.
4) Masa Republik Indonesia III (1965-1998), yaitu masa Demokrasi Pancasila yang
merupakan demokrasi konstitusional yang menonjolkan sistem presidensial.
5) Masa Republik Indonesia IV (1998-Sekarang), yaitu masa reformasi yang
menginginkan tegaknya demokrasi di Indonesia sebagai koreksi terhadap praktik-
praktik politik yang terjadi pada masa Republik Indonesia III.50
Sebuah organisasi pakar hukum Internasional, International Commission of
Jurists (ICJ) secara intens melakukan kajian terhadap konsep negara hukum dan
unsur-unsur esensial di dalamnya.51
Komisi ini merumuskan syarat-syarat
pemerintahan demokratis di bawah rule of law52
, yakni:
1. Perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin hak-hak individual,
konstitusi harus pula menentukan tekhnis-prosedural untuk memperoleh
perlindungan atas hak-hak yang dijamin;
2. Lembaga kehakiman yang bebas dan tidak memihak;
3. Pemilihan umum yang bebas;
4. Kebebasan menyatakan pendapat;
50
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 127-128. 51
P.S. Atiyah, Law and Modern Society, (Oxford: Oxford University Press, 1995), h. 106. 52
Albert Venn Dicey memperkenalkan istilah rule of law yang secara sederhana diartikan
dengan keteraturan hukum. Lihat Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, h.
24, dan lihat lebih lanjut A.V. Dicey, An Introduction to The Study of The Law of The Constitution,
(London: Mac Millan, 1973), h. 202-203.
26
5. Kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi;
6. Pendidikan kewarganegaraan.53
Adapun unsur-unsur yang diperlukan bagi tegaknya suatu negara yang
demokratis adalah:54
1. Partai Politik
Partai politik adalah suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya
mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah
untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya
dengan cara konstitusional) untuk melaksanakan programnya.55
Mengenai hakikat kekuasaan partai politik, Radbruch sebagaimana dikutip
oleh Harun Alrasid, menyatakan bahwa kekuasaan rakyat berarti kekuasaan partai
politik dan menentang eksistensi partai politik berarti menentang demokrasi.56
Adapun fungsi partai politik adalah:57
1. Sarana komunikasi politik;
2. Sarana sosialisasi politik;
3. Sarana rekrutmen kader dan anggota politik;
4. Sarana pengatur konflik.
53
Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, h. 27. 54
A. Ubaedillah, dkk, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, h. 148-157. 55
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 403-404. 56
Harun Alrasid, “Masalah Pengisian Jabatan Presiden Sejak Sidang Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia 1945 Sampai Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat 1993”, (Disertasi S3
Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, 1993), h. 40. 57
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 405-409.
27
Partai politik memegang peranan dalam mengadakan pemilihan umum di
negara demokrasi.58
Maka dapat dikatakan bahwa partai politik merupakan salah satu
elemen terpenting didalam pelaksanaan pemilihan umum, khususnya pemilihan
umum Presiden dan Wakil Presiden. Hal tersebut terbukti dalam salah satu pasal di
dalam ketentuan Undang-Undang59
yakni bahwasanya calon Presiden dan calon
Wakil Presiden diusulkan dalam 1 (satu) pasangan oleh Partai Politik atau Gabungan
Partai Politik. Maka dapat difahami bahwa terdapat fungsi lainnya dari partai politik,
yakni adalah untuk mengajukan calon-calon bagi jabatan publik untuk dipilih oleh
rakyat sehingga dapat mengontrol atau mempengaruhi tindakan-tindakan politik.60
2. Pemilihan Umum (Pemilu)
Hal lain yang diperlukan bagi tegaknya sebuah Negara yang demokratis
sekaligus dapat mencegah terjadinya penyelewengan kekuasaan dalam sistem yang
demokratis adalah adanya mekanisme pelaksanaan pemerintahan atas dasar prinsip-
prinsip demokrasi, mekanisme itu antara lain melalui pemilihan umum (pemilu) yang
dilaksanakan secara teratur serta kompetisi yang terbuka dan sederajat diantara partai-
partai politik.61
Hans Kelsen menjelaskan bahwa prinsip demokrasi dari penentuan kehendak
sendiri, dibatasi kepada prosedur pencalonan organ-organ khusus (perwakilan).
58
Harun Alrasid, “Masalah Pengisian Jabatan Presiden Sejak Sidang Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia 1945 Sampai Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat 1993”, h. 40. 59
Pasal 8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden. 60
Syamsuddin Haris, Pemilu Langsung di Tengah Oligarki Partai: Proses Nominasi dan
Seleksi Calon Legislatif Pemilu 2004, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005),h. 243. 61
A. Ubaedillah, dkk, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, h. 152.
28
Bentuk pencalonan yang demokratis adalah pemilihan. Apabila pada kenyataannya
pemilihan tersebut tidak mencerminkan kehendak dari mayoritas pemilih atau yang
tanggung jawabnya kepada para pemilihnya tidak dapat ditegakkan, maka bukanlah
perwakilan yang sesungguhnya.62
Berdasarkan beberapa hal yang telah dijelaskan di atas, maka dapat difahami
bahwa prinsip demokrasi dalam pelaksanaannya mesti diletakan diatas prinsip-prinsip
moral yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai kodrat yang
diberikan Tuhan. Penghargaan dan penerapan kebebasan, persamaan, dan partisipasi
politik melalui pemilu dan melalui perwakilan rakyat yang representatif diwujudkan
dalam mekanisme partai politik sebagai salah satu wadah penyelenggara pemilu
rakyat yang tentunya tidak akan lepas dari peran dan dukungan rakyat sebagai warga
negara.63
Maka dengan demikian, partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi
mempunyai wewenang untuk melakukan seleksi calon Presiden dan Wakil Presiden.
hal demikian sebagaimana pada umumnya praktik pencalonan Presiden dan Wakil
Presiden di Negara Demokrasi.64
Demokrasi Negara Republik Indonesia ditunjukan dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni kedaulatan berada di tangan
62
Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, Penerjemah: Raisul Muttaqien, h.
409. 63
Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di
Indonesia Pasca Orde Baru, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 192. 64
H. 40.
29
rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar atau konstitusi.65
Oleh
karena itu, agar derap demokrasi dapat berputar sesuai sumbu konstitusi, maka
pelaksanaan demokrasi yang diwujudkan dengan diselenggarakannya pemilihan
umum, pembentukan aturan dan pelaksanaan kewenangan lembaga Negara harus
berdasarkan konstitusi.66
G. Sistematika Penulisan.
Adapun sistematika penulisan dalam penyusunan skripsi ini terdiri dari lima
bab, yang perinciannya sebagai berikut:
Bab pertama berisi tentang pendahuluan yang mencakup latar belakang
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode
penelitian, review studi terdahulu, kerangka teori dan sistematika penulisan.
Bab kedua berisikan tentang demokratisasi pemilihan umum Presiden dan
Wakil Presiden, pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden sebelum
amandemen UUD 1945 dan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden sesudah
amandemen UUD 1945.
Bab ketiga berisikan penjelasan mengenai pengertian calon Presiden dan
Wakil Presiden, kedudukan hukum calon Presiden dan Wakil Presiden dan
menjelaskan pula mengenai pengertian partai politik peserta pemilu dan kedudukan
65
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Lihat Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, h. 64. 66
Taufiqurrohman Syahuri, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, h. 155.
30
hukum partai politik peserta pemilu serta pengusulan calon Presiden dan Wakil
Presiden oleh partai politik.
Bab keempat menjelaskan tentang pengaturan partai politik peserta pemilu
dalam pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden, pengaturan waktu pengusulan
calon Presiden dan Wakil Presiden dan analisis penulis.
Bab kelima menjelaskan tentang bagian akhir dari pembahasan skripsi ini
yaitu penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.
31
BAB II
PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN DI NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
A. Demokratisasi Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
Secara etimologi, demokrasi ialah kekuasaan atau kedaulatan rakyat,
kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan
berasal dari rakyat dan kekuasaan oleh rakyat.1
Sedangkan secara terminologi, demokrasi adalah suatu keadaan negara di
mana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan
tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan
rakyat dan kekuasaan oleh rakyat.2
Sebagaimana telah kita ketahui, bahwasanya organisasi pakar hukum
Internasional, International Commission of Jurists (ICJ) yang secara intens
melakukan kajian terhadap konsep negara hukum dan unsur-unsur esensial di
dalamnya,3 telah merumuskan beberapa syarat pemerintahan demokratis di bawah
rule of law4, yakni sebagai berikut:
1 Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna, (Yogyakarta: Tiara Wacana,
1999), h. 71. Lihat juga Miriam Budiarjo, Demokrasi di Indonesia: Demokrasi Parlementer dan
Demokrasi Pancasila, (Jakarta: Gramedia, 1996), h. 50. 2 A. Ubaedillah, dkk, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, cet. III,
(Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007), h. 131. 3 P.S. Atiyah, Law and Modern Society, (Oxford: Oxford University Press, 1995), h. 106.
4 Albert Venn Dicey memperkenalkan istilah rule of law yang secara sederhana diartikan
dengan keteraturan hukum. Lihat Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia,
cet. II, (Jakarta: Kencana, 2007),, h. 24, dan lihat lebih lanjut A.V. Dicey, An Introduction to The Study
of The Law of The Constitution, (London: Mac Millan, 1973), h. 202-203.
32
1. Perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin hak-hak individual,
konstitusi harus pula menentukan tekhnis-prosedural untuk memperoleh
perlindungan atas hak-hak yang dijamin;
2. Lembaga kehakiman yang bebas dan tidak memihak;
3. Pemilihan umum yang bebas;
4. Kebebasan menyatakan pendapat;
5. Kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi;
6. Pendidikan kewarganegaraan.5
Lalu terdapat pula unsur-unsur yang diperlukan bagi tegaknya suatu negara
yang demokratis, sebagaimana yang dikemukakan oleh Tim Indonesian Center for
Civic Education (ICCE) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yakni adalah:
1. Partai Politik;
2. Pemilihan Umum (Pemilu)6
Dengan demikian dapat difahami bahwa pemilihan umum merupakan salah
satu syarat dan unsur terbentuknya pemerintahan atau negara yang demokratis. Hal
tersebut tidak lepas pula dari peranan partai politik sebagai unsur lainnya yang
membentuk pemerintahan atau negara demokratis.
Jimly Asshiddiqie, menjelaskan bahwasanya hukum dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh
dan/atau hanya untuk kepentingan penguasa secara bertentangan dengan prinsip-
5 Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, h. 27.
6 A. Ubaedillah, dkk, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, h. 148-157.
33
prinsip demokrasi. Karena hukum memang tidak dimaksudkan untuk hanya
menjamin kepentingan segelintir orang yang berkuasa, melainkan menjamin
kepentingan akan rasa adil bagi semua orang tanpa terkecuali. Dengan demikian
negara hukum (rechtstaat) yang dikembangkan bukanlah absolute rechtstaat,
melainkan democratische rechtstaat atau negara hukum yang demokratis.7
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan
bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum.8 Miriam Budiardjo menjelaskan
mengenai sistem pemerintahan Negara Indonesia dengan mengacu kepada Penjelasan
Undang-Undang Dasar 1945, yang salah satunya yaitu Negara Indonesia berdasar
atas Hukum (Rechtsstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka (Machtsstaat).9
Pendapat yang sama juga disampaikan oleh H. Nur Ahmad Fadhil Lubis, di
dalam buku Shari’a and Politics in Modern Indonesia, yakni: "Constitutionally, the
conduct of the government is to be based on the rule of law, since Indonesia is a
rechtstaat (Negara hukum or a state based on law), not a machtstaat (a state based
on power), (Secara konstitusional, pelaksanaan pemerintah harus didasarkan pada
7 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 132.
8 Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Lihat Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, cet. X,
(Jakarta: Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006), h. 64. 9 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), h.
106.
34
aturan hukum, karena Indonesia adalah rechtstaat (negara hukum), bukan machtstaat
(negara yang berdasarkan kekuasaan)”.10
Selanjutnya, Indonesia dapat dikatakan sebagai democratische rechtstaat atau
negara hukum yang demokratis, sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Jimly
Asshiddiqie, apabila Indonesia mampu menjamin kepentingan akan rasa adil bagi
semua orang dengan tidak menjamin kepentingan segelintir orang yang berkuasa,
karena agar tidak terjadi penyelewengan kekuasaan.
Untuk mewujudkan Negara Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis
dan adil tanpa adanya penyelewengan kekuasaan, maka perlu adanya suatu
mekanisme pelaksanaan pemerintahan atas dasar prinsip-prinsip demokrasi,
mekanisme itu antara lain melalui pemilihan umum (pemilu) yang dilaksanakan
secara teratur serta kompetisi yang terbuka dan sederajat diantara partai-partai politik
yang ada di Indonesia.11
Hal tersebut ditegaskan pula oleh pendapat Samuel Huntington dalam
bukunya Political Order in Changing Societies, sebagaimana yang dikutip oleh R.
Wiliam Liddle, ia mengugkapkan bahwa satu-satunya cara untuk menciptakan
pemerintahan yang stabil sekaligus demokratis adalah melalui organisasi politik.
10
H. Nur Ahmad Fadhil Lubis, “The States Legal Policy and The Develoment of Islamic Law
in Indonesian’s New Order”, dalam Arskal Salim dan Azyumardi Azra, ed., Shari’a and Politics in
Modern Indonesia, (Singapore: Institute of South Asian Studies (ISEAS), 2003), h. 52. 11
A. Ubaedillah, dkk, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, h. 152.
35
Organisasi yang dimaksudkan Huntington adalah partai politik, yaitu suatu lembaga
paling orisinal dalam sistem politik modern.12
Selanjutnya dapat difahami bahwa untuk dapat mewujudkan Negara Indonesia
sebagai negara hukum yang demokratis dan adil tanpa adanya penyelewengan
kekuasaan, selain harus diselenggarakannya partisipasi politik melalui pemilu dan
melalui perwakilan rakyat yang representative sebagaimana diwujudkan dalam
mekanisme partai politik sebagai salah satu wadah penyelenggara pemilu rakyat yang
tentunya tidak akan lepas dari peran dan dukungan rakyat sebagai warga negara, juga
harus diselenggarakan berdasarkan prinsip-prinsip moral yang menjunjung tinggi hak
asasi manusia (HAM) sebagai kodrat yang diberikan Tuhan serta penghargaan dan
penerapan kebebasan dan persamaan.13
Maka dengan demikian, demokrasi di Indonesia diwujudkan dalam suatu
pemilihan umum yang digariskan dan diatur dalam konstitusi Negara, yakni Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilihan umum tersebut
dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun
sekali,14
dan diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
12
R. William Liddle, Partisipasi dan Partai Politik, Penerjemah: Tim Penerjemah Pustaka
Utama Garfiti, cet. I, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992) h. 13-14. 13
Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di
Indonesia Pasca Orde Baru, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 192. 14
Pasal 22E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Lihat
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi,
h. 74.
36
Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah.15
Sebelum Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung (oleh rakyat),
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, yakni sebelum amandemen UUD 1945
(amandemen ketiga), Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR.16
Adapun
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden oleh MPR kurang demokratis.17
Selanjutnya, dalam usaha untuk mewujudkan demokratisasi pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden, maka hanya dapat dilakukan melalui pembaharuan
UUD 1945. Pembaharuan UUD 1945 dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama,
pembaharuan dalam kerangka sistem UUD 1945. Kedua, pembaharuan di luar
kerangka sistem UUD 1945. Pembaharuan dalam kerangka sistem UUD 1945
dilakukan dengan pengembangan praktik ketatanegaraan baik dalam bentuk
kebiasaan ketatanegaraan maupun melalui berbagai peraturan perundang-undangan
biasa. Sedangkan Pembaharuan di luar kerangka sistem UUD 1945 hanya mungkin
dilakukan apabila ada perubahan resmi (amandemen resmi) terhadap UUD 1945,
khususnya ketentuan mengenai pemilihan Presiden. Perubahan ini seyogianya
menuju pada pemilihan langsung (popular vote) Presiden dan Wakil Presiden, dan
15
Pasal 22E ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Lihat Ibid, h.
74. 16
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 204. 17
Jimly Asshiddiqie dan Bagir Manan, Gagasan Amandemen UUD 1945 dan Pemilihan
Presiden Secara Langsung, Cet. II, (Jakarta: Setjen & Kepaniteraan MKRI, 2006), h. 40.
37
sepanjang ada keterbukaan, kebebasan, tidak ada tekanan, rakyat akan memilih
Presiden (dan Wakil Presiden) yang terbaik.18
Oleh karena telah disahkannya perubahan Keempat UUD 1945 dalam sidang
tahunan MPR 2002 maka mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara
langsung telah ditentukan secara final ketentuan pokoknya. Dalam rumusan Pasal 6A
ayat (4) yang sempat tertunda karena belum berhasil mendapatkan kesepakatan dalam
sidang tahunan MPR 2001 dinyatakan: “Dalam hal tidak ada pasangan Calon
Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara
terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum, dipilih oleh rakyat secara
langsung, dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai
Presiden dan Wakil Presiden.
Dengan demikian rumusan norma Pasal 6A selengkapnya berbunyi: “(1)
Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh
rakyat; (2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik
atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan
umum; (3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara
lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan
sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari
setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden;
(4) Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua
18
Jimly Asshiddiqie dan Bagir Manan, Gagasan Amandemen UUD 1945 dan Pemilihan
Presiden Secara Langsung, h. 41-42.
38
pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam
pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh
suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden; (5) Tata cara
pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam
undang-undang”.19
Maka dengan demikian, secara khusus pemilihan umum Presiden
dan Wakil Presiden di Indonesia pada saat ini diatur dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden, sebagaimana mandat dari UUD NRI 1945.20
Hal ini menunjukan bahwa untuk pemilihan umum Presiden dan Wakil
Presiden telah berlaku mekanisme yang demokratis, adil dan sesuai dengan
konstitusi. Adapun pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang dimaksud ialah
pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.21
Dengan kata lain, pemilu Presiden dan
Wakil Presiden adalah pemilihan umum secara langsung untuk memilih jabatan
Presiden dan Wakil Presiden.22
19
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, h. 181-182. 20
Pasal 6A ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Lihat
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi,
h. 74. 21
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Lihat pula Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. 22
M. Bambang Pranowo, ed., Multi Dimensi Ketahanan Nasional, cet. I, (Jakarta: Pustaka
Alvabet, 2010), h. 120.
39
B. Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Sebelum Amandemen UUD
1945
Pada masa Republik pertama (17 Agustus 1945 – 27 Desember 1949) yang
landasannya ialah UUD 1945, soal pengisian jabatan Presiden diatur dalam pasal 6
ayat (2), yakni: “Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat dengan suara yang terbanyak”.23
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dapat diketahui tiga hal, yakni:24
1. Jabatan Presiden diisi dengan cara pemilihan.
2. Sistem yang dipakai ialah sistem pemilihan tidak langsung. Rakyat memilih
terlebih dahulu wakil-wakilnya yang akan duduk di dalam suatu badan, yaitu
Majelis Permusyawaratan Rakyat. Kemudian selnjutnya badan tersebut yang
melakukan pemilihan Presiden. majelis tersebut bukan merupakan badan ad hoc
melainkan badan tetap yang selain berwenang memilih Presiden (dan Wakil
Presiden), juga mempunyai wewenang lain, yaitu menetapkan undang-undang
dasar, menetapkan garis besar haluan negara dan mengubah undang-undang dasar.
3. Cara mengambil keputusan digunakan asas suara terbanyak, dengan kata lain
melalui pemungutan suara. Hal tersebut menunjukan bahwa pembuat UUD 1945
mengantisipasi lebih dari satu orang calon Presiden. selanjutnya yang terpilih ialah
23
Harun Alrasid, “Masalah Pengisian Jabatan Presiden Sejak Sidang Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia 1945 Sampai Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat 1993”, (Disertasi S3
Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, 1993), h. 45. 24
Ibid.
40
calon yang mendapatkan suara terbanyak, maksudnya adalah suara terbanyak
mutlak.
Namun teori di atas dengan praktiknya berbeda. Pada sidang pertama Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 1945, Soekarno dipilih sebagai Presiden
secara aklamasi.25
Hal tersebut dikarenakan hanya terdapat satu orang calon atau
calon tunggal untuk masing-masing jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Maka
dengan kata lain, PPKI di dalam rapatnya pada saat itu tidak mengadakan pemilihan
melainkan menyetujui dengan suara bulat pengangkatan Soekarno dan Mohammad
Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden pertama Republik Indonesia tanpa melalui
pemungutan suara sebagaimana lazimnya yang dilaksanakan pada setiap proses
pemilihan/pengambilan keputusan dengan suara terbanyak.26
Pada masa Republik kedua (27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950) yang
berdasarkan konstitusi RIS perihal pemilihan Presiden diatur di dalam Pasal 69 ayat
(2), yakni:
“Beliau (Presiden, pen.) dipilih oleh orang-orang yang dikuasakan oleh
pemerintah daerah-daerah bagian yang tersebut dalam Pasal 2. Dalam
memilih Presiden, orang-orang yang dikuasakan itu berusaha mencapai
kata sepakat.”
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka terlihat bahwa pada masa ini pemilihan
dilaksanakan dengan sistem pemilihan yang tidak dilakukan oleh rakyat, baik secara
langsung maupun tidak langsung.pemilihan dilakukan oleh sebuah badan yang terdiri
25
Harun Alrasid, “Masalah Pengisian Jabatan Presiden Sejak Sidang Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia 1945 Sampai Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat 1993”, h. 46. 26
Muchyar Yara, Pengisian Jabatan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia (Suatu
Tinjauan Sejarah Hukum Tata Negara), cet. I, (Jakarta: Nadhilah Ceria Indonesia, 1995), h. 163.
41
dari orang-orang yang mendapat mandate dari pemerintah daerah-daerah bagian.
Badan ini bersifat ad hoc yang berarti tugasnya ialah khusus untuk memilih Presiden.
Setelah tugas itu selesai, maka badan itu pun bubar. Selanjutnya sebagai catatan
bahwa pada Pemilihan Presiden yang kedua ini yakni pada tanggal 16 Desember
1949, Ir. Soekarno juga terpilih secara aklamasi, dengan kata lain, terulang kembali
preseden calon tunggal untuk kedua kalinya.27
Pada masa Republik ketiga (17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959), yang
berlandaskan UUD 1950, Ir. Soekarno tetap memangku jabatan Presiden berdasarkan
ketentuan peralihan yang tercantum dalam pasal 141 ayat (3) UUD 1950.28
Soal pengaturan pemilihan Presiden (baru) didelegasikan oleh pembuat
Undang-Undang Dasar kepada pembuat Undang-Undang biasa, sebagaimana yang
tercantum di dalam Pasal 45 ayat (3), yakni: “Presiden dan Wakil Presiden dipilih
menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.”
Namun hingga berakhirnya masa republik ketiga, undang-undang yang
dimaksud tersebut tidak terbentuk. Demikian pula konstituante hasil pemilihan umum
1955 tidak berhasil membentuk undang-undang dasar baru yang diharapkan dapat
mengatur perihal pemilihan Presiden. badan tersebut dibubarkan oleh Presiden
Soekarno sebelum tugasnya selesai.29
27
Harun Alrasid, “Masalah Pengisian Jabatan Presiden Sejak Sidang Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia 1945 Sampai Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat 1993”, h. 46. 28
Ibid, h. 47. 29
Ibid.
42
Pada masa Republik keempat (5 Juli 1959 – 19 Oktober 1999) menurut Pasal
6 ayat (2) UUD 1945, yang berlaku kembali berdasarkan Dekrit Presiden. Presiden
dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Namun Pasal tersebut belum bisa
diterapkan, dikarenakan MPR hasil pemilu belum terbentuk. Hal tersebut merupakan
berkat yang tersembunyi (blessing in disguise); jikalau pemilu dilaksanakan pada
masa Orde Lama, maka kemungkinan besar MPR akan didominasi oleh PKI, karena
Masyumi dan PSI telah dibubarkan dan PNI sudah retak.30
Situasi politik berubah setelah perebutan kekuasaan (kudeta) yang dilakukan
oleh PKI (30 September 1963) mengalami kegagalan. Peristiwa tersebut merupakan
the beginning of the end bagi Presiden Soekarno yang tidak mengambil tindakan
tegas terhadap PKI.31
Untuk menyelesaikan situasi konflik antara kekuatan Orde Lama dan Orde
Baru, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang para anggotanya telah
diganti oleh unsur-unsur Orde Baru, mengadakan sidang umum ke-IV dari tanggal 20
Juni – 5 Juli 1966. Sidang tersebut menghasilkan Ketetapan MPRS No.
XV/MPRS/1966 tentang pemilihan atau penunjukan Wakil Presiden dan tata cara
pengangkatan pejabat Presiden. Pasal 3 Ketetapan MPRS yakni: “Dalam hal terjadi
yang disebut dalam Pasal 8 Undang-Undang Dasar 1945, maka MPRS segera
memilih pejabat Presiden yang bertugas sampai dengan terbentuknya MPR hasil
pemilihan umum.” Maka dengan demikian ketetapan MPRS No. 111/MPRS/1963
30
Ibid, h. 48. 31
Ibid.
43
tentang pengangkatan Soekarno sebagai Presiden seumur hidup, dicabut dengan
ketetapan MPRS No. XVIII/MPRS/1966.32
MPRS yang pembentukannya menyalahi ketentuan Pasal IV Aturan Peralihan
UUD 1945 ternyata menjadi boomerang bagi Presiden Soekarno. Dalam sidang
istimewa MPRS pada tanggal 7 sampai 12 Maret 1967, lahirlah ketetapan MPRS No.
XXXIII/MPRS/1967 tentang pencabutan kekuasaan pemerintahan Negara dari
Presiden Soekarno. Adapun Pasal 4 Ketetapan MPRS yakni:
“Menetapkan berlakunya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
(Sementara) No. XV/MPRS/1996, dan mengangkat Jendral Soeharto,
Pengemban ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 sebagai pejabat Presiden
berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang Dasar 1945 hingga dipilihnya
Presiden oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilihan Umum.”
Maka dengan demikian, berakhir era Ir. Soekarno sebagai Presiden Republik
Indonesia yang pertama dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia.33
Dalam sidang umum MPRS yang ke-V (terakhir) yang berlangsung dari
tanggal 21 sampai dengan 27 maret 1968. Dengan Ketetapan MPRS No.
XLIV/MPRS/1968, kedudukan hukum Jendral Soeharto dari Pejabat Presiden
menjadi Presiden (Seutuhnya). Hal tersebut mengabaikan ketentuan yang tercantum
dalam Pasal 3 Ketetapan MPRS No. XV/MPRS/1996 dan Pasal 4 Ketetapan MPRS
No. XLIV/MPRS/1968 yang mengatur bahwa masa jabatan Pejabat Presiden ialah
sampai terbentuknya MPR hasil Pemilihan Umum.34
32
Ibid, h. 49. 33
Ibid. 34
Ibid, h. 50.
44
Setelah Majelis Permusyawaratan hasil Pemilihan Umum 3 Juli terbentuk, dalam
sidang umum MPR 1973 dikeluarkan Ketetapan MPR No. II/MPR/1973 yang
mengatur tata cara pemilihan Presiden sebagai berikut:
1. Tiap-tiap fraksi, melalui pimpinan masing-masing, menyampaikan secara tertulis
calon Presiden (yang telah disetujui oleh calon bersangkutan) kepada pimpinan
MPR. Dalam waktu 24 jam sebelum Rapat Paripurna Pemilihan Presiden (Pasal 9
dan Pasal 10). Quorum rapat ialah 2/3 dari jumlah anggota MPR (Pasal 31).
2. Pimpinan MPR mengumumkan nama calon yang telah memenuhi syarat jabatan
jabatan kepada rapat (Pasal 11).
3. Jika hanya ada satu orang calon, rapat langsung mengsesahkannya {Pasal 13 ayat
(2)}.
4. Jika ada lebih dari satu orang calon, dilakukan voting {Pasal 13 ayat (1)}. Yang
terpilih ialah calon yang mendapatkan suara minimal “setengah tambah satu”
(Pasal 14).
5. Jika tidak ada calon yang mendapatkan suara terbanyak mutlak, yaitu minimal
“setengah tambah satu”, maka diadakan pemungutan suara tahap kedua yang
dilakukan terhadap dua orang calon yang mendapat suara relative lebih banyak
dari calon-calon lainnya (Pasal 15), maka calon ketiga dan seterusnya gugur.
Selanjutnya siapa diantara kedua calon yang mendapatkan suara terbanyak maka
ialah yang terpilih (Pasal 16). Jika kedua calon tersebut mendapatkan suara sama
banyak, maka pada tahap ketiga dilakukan pemungutan suara ulang (Pasal 17).
Namun jika hasilnya tetap sama, maka pada tahap keempat dilakukan pemungutan
45
suara berdasarkan kehadiran wakil-wakil fraksi yang membawa jumlah suara dari
fraksi masing-masing secara tertulis (Pasal 18). Selanjutnya, jikalau masih gagal
juga, artinya tiap calon tetap mendapatkan suara sama banyak, maka fraksi-fraksi
mengusulkan calon lain (Pasal 19).35
Namun dalam praktiknya belum pernah ada pemungutan suara. Pemilihan
Presiden yang pertama kali sejak terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil
pemilihan umum (atau yang ketiga kali dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia)
dilangsungkan pada 23 Maret 1973. Karena terdapat calon tunggal, yaitu Jendral
Soeharto, maka rapat langsung mengesahkannya sebagai Presiden, sesuai ketentuan
Pasal 13 ayat (2).36
Pada pemilihan-pemilihan Presiden berikutnya (1978, 1983, 1988, dan 1993)
juga hanya terdapat calon tunggal, yaitu Jendral Soeharto. Selanjutnya, karena pada
pemilihan Presiden Republik Indonesia tanggal 18 Agustus 1945 dan pemilihan
Presiden Republik Indonesia Serikat pada tanggal 16 Desember 1949 juga terdapat
calon tunggal, yaitu Ir. Soekarno, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam
praktik ketatanegaraan di Indonesia telah timbul “tradisi calon tunggal” dalam hal
pemilihan Presiden.37
Menurut Jimly Asshiddiqie dan Bagir Manan, pada masa ini (masa Republik
keempat) meskipun pemilihan Presiden dilaksanakan secara tidak langsung, namun
pengisian jabatan Presiden masuk dalam sistem (stelsel) pemilihan (election) bukan
35
Ibid, h. 50 – 51. 36
Ibid, h. 52. 37
Ibid.
46
pengangkatan (appointment). Karena itu, merupakan suatu anomali38
, apabila terdapat
ketetapan MPR mengenai pengangkatan Presiden (dan Wakil Presiden). MPR tidak
mengangkat, melainkan memilih Presiden (dan Wakil Presiden).39
Apabila Presiden tetap dipilih MPR, tidak boleh ada ketetapan tentang
pengangkatan Presiden (dan Wakil Presiden), karena bertentangan dengan ketentuan
dalam UUD 1945 yang menegaskan Presiden (dan Wakil Presiden) dipilih bukan
diangkat. Untuk menetapkan Presiden (dan Wakil Presiden) terpilih, disusun suatu
berita acara pemilihan yang berisi penyelenggaraan pemilihan dan penetapan
Presiden (dan Wakil Presiden) terpilih.40
Jimly Asshiddiqie dan Bagir Manan menjelaskan pula bahwa terdapat 3 hal
yang menunjukkan pemilihan Presiden oleh MPR kurang demokratis, yakni:
1. MPR dikuasai oleh suatu kelompok kekuatan politik (Golkar yang selalu didukung
ABRI), yang sangat dominan (sistem partai dominan). Tidak ada kekuatan politik
lain yang berimbang untuk memungkinkan mekanisme demokrasi berjalan
sebagaimana mestinya.
2. Praktik calon tunggal yang “dipaksakan”, sehingga secara riil tidak ada pemilihan
Presiden. MPR sekedar mengukuhkan calon tunggal yang tidak mungkin ditolak.
38
Anomali adalah penyimpangan dari normal; kelainan; atau ketidaknormalan. Lihat Ivenie
Dewintari S dan Alvina Tria Febianda, Kamus Istilah Penting Modern, cet. I, (Jakarta: Aprindo, 2003),
h. 29. 39
Jimly Asshiddiqie dan Bagir Manan, Gagasan Amandemen UUD 1945 dan Pemilihan
Presiden Secara Langsung, h. 39-40. 40
Ibid, h. 40.
47
3. Mekanisme kerja MPR (diatur dalam Tata Tertib) tidak memungkinkan peranan
individual anggota. Segala kegiatan dilakukan oleh atau atas nama fraksi.41
C. Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Setelah Amandemen UUD 1945
Negara Republik Indonesia mengalami empat kali perubahan atau pergantian
konstitusi dalam kurun waktu 15 tahun (1945-1959), dan empat kali perubahan
(amandemen) konstitusi selama 2 tahun (1999-2002) yakni perubahan I-IV UUD
1945.42
Miriam Budiardjo menjelaskan bahwa amandemen pertama terjadi pada tahun
1999 yang dilakukan melalui Sidang Umum MPR Oktober 1999; Amandemen kedua
terjadi pada tahun 2000 yang dilakukan melalui Sidang Tahunan MPR Agustus 2000;
Amandemen ketiga pada tahun 2001 yang dilakukan melalui Sidang Tahunan MPR
Oktober 2001; Dan terakhir amandemen keempat pada tahun 2002 yang dilakukan
melalui Sidang Tahunan MPR Agustus 2002. UUD 1945 yang telah diamandemen
inilah yang berlaku hingga sekarang.43
Meskipun amandemen telah dilakukan dua kali sejak tahun 1999 sampai
tahun 2000, namun pada amandemen ketiga, yakni tahun 2001, Presiden dan Wakil
Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Hal tersebut
berbeda dengan sebelumnya (sebelum amandemen ketiga), yakni Presiden dan Wakil
41
Ibid. 42
Taufiqurrohman Syahuri, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2011), h. 22. 43
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 203.
48
Presiden dipilih oleh MPR.44
Dengan kata lain, pemilihan umum Presiden dan Wakil
Presiden sebelum amandemen UUD 1945 (sebelum amandemen ketiga) tidak dipilih
langsung oleh rakyat melainkan dipilih oleh MPR.
Tim Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI)
menjelaskan dalam analisisnya, bahwa terdapat beberapa alasan yang mendasari
amandemen UUD 1945, yakni sebagai berikut:45
1. Alasan utama dan terutama yang mendasari perlunya perubahan UUD 1945 adalah
karena dalam ketentuan-ketentuan lama (sebelum amandemen), UUD 1945
menciptakan struktur kelembagaan (institusi-institusi) Negara yang tidak
memungkinkan terjadinya checks and balances (saling mengontrol dan saling
mengawasi antar institusi negara) secara wajar dan memeadai. Adapun beberapa
indikasinya antara lain:
a. Pertama, MPR yang ditempatkan pada posisi sebagai lembaga tertinggi
negara. Institusi ini dianggap sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia dan
karena itu diposisikan sebagai pemegang sepenuhnya kedaulatan rakyat.
b. Kedua, Presiden diberikan kekuasaan yang sangat besar dalam wilayah
kekuasaan dan kewenangan yang seharusnya menjadi domain (wilayah)
kekuasaan lembaga negara yang lain.
44
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 204. 45
T.A. Legowo, dkk., Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia: Studi dan Analisis Sebelum
dan Setelah Perubahan UUD 1945(Kritik, Masalah dan Solusi), (Jakarta: FORMAPPI, 2005), h. 40-
44.
49
c. Ketiga, sebagaimana terdapat dalam Pasal 7 UUD 1945 (sebelum
amandemen) yang menyatakan bahwa “Presiden dan Wakil Presiden
memegang jabatannya selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih
kembali”, menimbulkan tafsir yang tidak tunggal. Hal tersebut menunjukan
bahwa tidak adanya ketegasan berapa kali lagi Presiden dan Wakil Presiden
dapat dipilih kembali pada jabatan yang sama, kiranya membuka peluang bagi
dapat dipilihnya Presiden dan Wakil Presiden secara terus menerus, bahkan
seumur hidup. Suatu ketentuan yang kurang mencerminkan prinsip dan nilai
demokrasi, karena dalam demokrasi harus dijamin adanya pergantian
penguasa dengan teratur.46
2. Karena sekalipun menurut ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dan penjelasan
umum angka Romawi II Pokok-pokok pikiran dalam “pembukuan” butir 3
(sebelum amandemen) terkandung nuansa bahwa Indonesia adalah negara yang
menganut sistem demokrasi yaitu kedaulatan berada ditangan rakyat, tetapi
beberapa unsur dasar bagi dapat dianggapnya suatu negara menganut prinsip
demokrasi, sama sekali belum tercantum dan diatur dalam pasal-pasal UUD 1945.
3. Karena dalam Pasal 37 UUD 1945 (sebelum amandemen) ditegaskan tentang
adanya peluang untuk mengubah UUD dengan persyaratan tertentu, yakni sebagai
berikut:
Pasal 37
46
Miriam Budiardjo, Masalah-Masalah Kenegaraan, (Jakarta: PT. Gramedia, 1975), h. 165-
191.
50
(1) Untuk mengubah Undang-Undang Dasar sekurang-kurangnya 2/3 daripada
jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat harus hadir.
(2) Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah
anggota yang hadir.
Oleh sebab itu, dalam amandemen UUD 1945 (amandemen ketiga) ditegaskan
bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Hal tersebut
merupakan wujud demokratisasi dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden sesuai
dengan hakikat demokrasi, yakni kekuasaan atau kedaulatan rakyat, kekuasaan
tertinggi berada dalam keputusan rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan berasal dari
rakyat dan kekuasaan oleh rakyat.47
Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 6A UUD 1945 sebagai berikut:
(1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh
rakyat.
(2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan
umum.
(3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapat suara lebih dari
lima puluh persen dari jumlah suara pemilih dengan sedikitnya dua puluh persen
suara di setiap propinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah propinsi di
Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
47
Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna, (Yogyakarta: Tiara Wacana,
1999), h. 71. Lihat juga Miriam Budiarjo, Demokrasi di Indonesia: Demokrasi Parlementer dan
Demokrasi Pancasila, (Jakarta: Gramedia, 1996), h. 50.
51
(4) Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua
pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam
pemilu dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara
terbanyak dilantik sebagai pasangan Presiden dan Wakil Presiden.
Tata cara pelaksanaan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden lebih
lanjut diatur dengan Undang-undang. Peraturan pelaksanaan dari ketentuan mengenai
pemilihan umum eksekutif sebagaimana ditegaskan pada Pasal 6A UUD 1945 adalah
UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.48
Dengan demikian dapat difahami bahwa pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden (Pilpres) yang semula dilakukan oleh MPR, kini disepakati untuk dilakukan
langsung oleh rakyat sehingga Pilpres pun dimasukkan ke dalam pemilihan umum.49
Pada pemilihan umum tahun 2004 untuk pertama kali dalam sejarah Indonesia
diadakan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden secara langsung yang
sebelumnya Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR).50
Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden secara langsung pada tahun
2004 diselenggarakan dengan sistem dua putaran. Artinya kalau pada putaran
pertama tidak ada calon yang memperoleh suara minimal yang ditentukan, akan
48
Pasal 6A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Lihat Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, h. 65. 49
Pasal 22E ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Lihat Ibid, h.
74. 50
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 483.
52
diadakan putaran kedua dengan peserta dua pasang calon yang memperoleh suara
terbanyak.51
Adapun pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu
pasangan secara langsung oleh rakyat, sebagaimana pada pemilihan umum tahun
2004 masih berlaku hingga saat sekarang ini, namun untuk pelaksanaannya diatur
dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden
dan Wakil Presiden, yang selanjutnya disebut UU Pilpres.
Adanya UU Pilpres tersebut berdasarkan mandat dari UUD NRI 1945 untuk
menjalankan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden, sebagaimana terdapat
dalam Pasal 6A ayat (5) UUD NRI 1945. Dalam UU Pilpres tersebut terdapat
beberapa hal tekhnis yang diatur untuk menyelenggarakan pemilihan umum Presiden
dan Wakil Presiden, seperti tekhnis pengusulan bakal Presiden dan Wakil Presiden,
penetapan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, dan lain sebagainya.
51
Ibid, h. 484.
53
BAB III
PENGUSULAN CALON PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN OLEH
PARTAI POLITIK
A. Pengertian Calon Presiden dan Wakil Presiden
Definisi “Calon Presiden dan Wakil Presiden” secara etimologi tersusun atas
beberapa kata, yakni:
1. Kata “Calon”, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai pengertian
yakni: 1) Orang yang akan menjadi; 2) Orang yang dididik dan dipersiapkan untuk
menduduki jabatan atau profesi tertentu; 3) Orang yang diusulkan atau
dicadangkan untuk dipilih atau diangkat menjadi sesuatu.1 Sedangkan kata
“Pencalonan” mempunyai pengertian: proses, cara, atau perbuatan mencalonkan.2
2. Kata “Presiden”, berasal dari kata “Preside”, yang mempunyai arti “menduduki
suatu jabatan”3. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata
“Presiden” mempunyai arti: 1) Kepala (Lembaga, Perusahaan, dsb.); 2) Kepala
Negara (Bagi negara yang berbentuk republik).4
3. Kata “Wakil”, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai pengertian: 1)
Orang yang dikuasakan menggantikan orang lain; 2) Jabatan yang kedua setelah
1 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. I, edisi IV, (Jakarta:
PT. Gramedia, 2008),h. 238. 2 Ibid, h. 238.
3 I.P.M. Ranuhandoko, Terminologi Hukum: Inggris-Indonesia, cet. III, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2003), h. 450. 4 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 1101.
54
yang tersebut di depannya.5 Sedangkan di dalam bahasa Inggris, kata wakil
disebutkan dengan istilah “Vice”, yang mempunyai arti Wakil atau Orang kedua.6
Sedangkan untuk memahami definisi “Calon Presiden dan Wakil Presiden”
secara terminologi, terlebih dahulu difahami definisi mengenai Presiden dan Wakil
Presiden, yakni sebagai berikut:
1. Definisi Presiden
Black’s Law Dictionary memberikan sebuah terminologi mengenai Presiden,
yakni: “President, The chief political executive of a government; the head of
state.” (Presiden ialah kepala eksekutif politik pada suatu pemerintahan atau
kepala Negara).7
Perkataan Presiden dipergunakan dalam dua arti, yaitu lingkungan jabatan “ambt”
dan pejabat “ambtsdrager”. Untuk lingkungan jabatan dipergunakan istilah
“presidency” atau “presidential”, sedangkan pejabat dipergunakan istilah
“president”. Dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lain yang
mengatur mengenai Presiden dijelaskan bahwa Presiden adalah pemangku jabatan
kepresidenan dan secara langsung pula menjelaskan makna pengaturan lingkungan
jabatan kepresidenan.8
Presiden adalah pemimpin eksekutif yang mempunyai hak preogratif untuk
mengadakan rekruitmen guna mengisi jabatan sejumlah posisi eksekutif alam
5 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 1554.
6 I.P.M. Ranuhandoko, Terminologi Hukum: Inggris-Indonesia, h. 534.
7 Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Ninth Edition, (West (USA): Thomson Reuters
business, 2009), h. 1304. 8 Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, cet. III, (Yogyakarta: FH UII Press, 2006), h. 1-2.
55
bidang pemerintahan seperti anggota kabinet (menteri, menteri coordinator,
menteri negara) dan pejabat yang setingkat dengan menteri.9
Menurut norma UUD NRI 1945, Presiden Republik Indonesia ialah orang yang
memegang kekuasaan pemerintahan menurut UndangUndang Dasar,10
yang di
dalam menjalankan tugas sebagai Kepala Negara dibantu oleh satu orang Wakil
Presiden / Wapres dan dibantu oleh Menteri-Mentri yang masing-masing.11
2. Definisi Wakil Presiden
Sedangkan untuk Wakil Presiden, Black’s Law Dictionary memberikan sebuah
terminologi yakni: “Vice President, an officer selected in advance to fill the
presidency if the president dies, resigns, is removed from office, or cannot or will
not serve”, (Wakil Presiden ialah pejabat yang dipilih terlebih dahulu untuk
mengisi jabatan presiden jika presiden meninggal, mengundurkan diri, akan
dihapus dari kantor (diberhentikan), tidak dapat melayani atau tidak akan
melayani).12
“Wakil Presiden” terdiri atas dua kata, yakni “Wakil” dan “Presiden”. “Wakil”
sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, yakni 1) Orang yang dikuasakan
menggantikan orang lain; 2) Jabatan yang kedua setelah yang tersebut di
9 Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi, Hukum Lembaga Kepresidenan Indonesia, cet. I,
(Bandung: PT. Alumni, 2010), h. 84. 10
Lihat Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Lihat
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi,
cet. X, (Jakarta: Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006), h. 64. 11
Lihat Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Lihat Ibid,
h. 64. 12
Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, h. 1702.
56
depannya.13
Sedangkan “Presiden” berarti: 1) Kepala (Lembaga, Perusahaan,
dsb.); 2) Kepala Negara (Bagi negara yang berbentuk republik).14
Maka “Wakil
Presiden” dapat diartikan sebagai orang yang dikuasakan bertindak sebagai
pengganti kepala pemerintahan dan Negara, atau orang yang bertindak sebagai
pengganti Presiden apabila Presiden berhalangan.15
Wakil Presiden adalah pembantu kewajiban Presiden yang pembentukan
kelembagaannya bersifat wajib dalam memenuhi kehendak UUD, walaupun
didalam UUD tersebut tidak dijelaskan bidang tugasnya.16
Selanjutnya, secara
faktual dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, Wakil Presiden adalah posisi yang
sering diperdebatkan dan dicari-cari untuk melengkapi pencalonan Presiden.17
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan sebuah definisi
mengenai calon Presiden, yakni ialah orang yang akan menjadi kepala pemerintahan
atau kepala negara, sedangkan definisi calon Wakil Presiden ialah orang yang akan
menjadi wakil atau pengganti kepala pemerintahan atau kepala negara jika presiden
meninggal, mengundurkan diri, akan dihapus dari kantor (diberhentikan), tidak dapat
melayani atau tidak akan melayani.
13
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 1554. 14
Ibid, h. 1101. 15
Binilang Bawatanusa Janis, Wapres: Pendamping atau Pesaing? : Peranan Wakil Presiden
dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2008), h. 1. 16
Bivitri Susanti, dkk, Semua Harus Terwakili: Studi Mengenai Reposisi MPR, DPR, dan
Lembaga Kepresidenan di Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK),
2000), h. 145. 17
Arwan Tuti Artha, Pak Boed, Ekonom yang Sederhana, (Yogyakarta: Galang Press Group,
2009), h. 46.
57
Sedangkan menurut UU Pilpres, calon Presiden disebutkan dengan istilah
“Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden” yang selanjutnya disebutkan dengan
istilah “Pasangan Calon” saja, yakni adalah pasangan calon peserta Pemilu Presiden
dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik
yang telah memenuhi persyaratan.18
Mengenai makna Presiden dan Wakil Presiden sebagai kepala pemerintahan
atau kepala negara, Jimly Asshiddiqie, berpendapat bahwa Presiden dan Wakil
Presiden cukup disebut sebagai Presiden dan Wakil Presiden saja dengan seperangkat
hak dan kewajibannya masing-masing atau tugas dan kewenangannya masing-
masing, tidak ada keperluan untuk membedakan kapan ia bertindak sebagai kepala
negara dan kapan ia berperan sebagai kepala pemerintahan seperti kebiasaan dalam
sistem parlementer.19
Oleh karena itu, dalam sistem kenegaraan yang dapat disebut constitutional
democratic republic, kedudukan konstitusi bersifat sangat sentral. Konstitusi pada
dasarnya merupakan kepala negara yang sesungguhnya, karena secara simbolik yang
dinamakan kepala negara dalam sistem pemerintahan presidensiil itu adalah
konstitusi. Dengan kata lain, kepala negara dari negara konstitusional Indonesia
adalah Undang-Undang Dasar, sedangkan Presiden dan Wakil Presiden beserta
18
Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. 19
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h.
167.
58
semua lembaga negara atau subjek hukum tata negara lain tunduk kepada konstitusi
sebagai the symbolic head of state.20
B. Kedudukan Hukum Calon Presiden dan Wakil Presiden
Perihal Calon Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam norma Pasal 6A ayat
(1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) UUD NRI 1945, yakni:
Pasal 6A
(1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara
langsung oleh rakyat.
(2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai
politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum
sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
(3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan
suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam
pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap
provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di
Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
(4) Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden
terpilih dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak
pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat
secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat
terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden. 21
Pada ayat (1) diatur bahwasanya Presiden dan Wakil Presiden dipilih
dalam satu pasangan, yakni tidak terpisah antara Presiden dan Wakil Presiden baik
ketika mengusulkan calon hingga pada saat Pilpres dilaksanakan. Maka
20
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, h. 167. 21
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang
Mahkamah Konstitusi, cet. X, (Jakarta: Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,
2006), h. 65.
59
berdasarkan ketentuan ini selanjutnya calon Presiden dan Wakil Presiden disebut
dengan istilah “pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden”.
Selanjutnya, Pasal (2) mengatur perihal persyaratan pengusulan pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden, yakni oleh partai politik atau gabungan partai
politik peserta pemilihan umum dan mengatur pula waktu pengusulan pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden.
Sedangkan Pasal (3) mengatur perihal penentuan pemenang dari pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden yang bersaing dan berkompetisi pada ajang
Pilpres, serta dilanjutkan dengan Pasal (4) yang mengatur perihal alternatif
penentuan pemenang pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden apabila tidak
ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih.
Ketetuan hukum mengenai calon Presiden dan Wakil Presiden juga
terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden., yakni di dalam:
1. Pasal 1 ayat (4) yang menjelaskan tentang ketentuan umum pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden
2. Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 7 yang mengatur tentang persyaratan calon Presiden
dan Wakil Presiden.
3. Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 yang mengatur tentang tata
cara penentuan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.
4. Pasal 13, Pasal 14, dan Pasal 15 yang mengatur tentang pendaftaran bakal
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.
60
5. Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19 dan Pasal 20 yang mengatur tentang
verifikasi bakal pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.
6. Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24 dan Pasal 25 yang mengatur tentang
penetapan dan pengumuman pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.
7. Pasal 26 yang mengatur mengenai pengawasan atas verifikasi kelengkapan
administrasi pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.
C. Pengertian Partai Politik Peserta Pemilu
Adapun definisi “Partai Politik” secara etimologi tersusun dari beberapa kata,
yakni:
1. Kata “Partai”, yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai arti:
Perkumpulan (segolongan orang) yang seasas, sehaluan, dan setujuan (terutama di
bidang politik).22
2. Kata “Politik”, yang menurut Peter H. Merkl mempunyai arti usaha untuk
mencapai suatu masyarakat yang lebih baik, yakni masyarakat yang sesuai dengan
tatanan sosial yang baik dan berkeadilan.23
Politik secara umum dapat dikatakan kegiatan dalam suatu sistem negara yang
menyangkut proses penentuan peraturan-peraturan yang dapat diterima baik oleh
22
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 1023. 23
Peter H. Merkl, Continuity and Change, (New York: Harper and Row, 1967), h. 13.
61
sebagian warga negara sesuai dengan tujuan dari sistem tersebut, yakni the good
life dan begitu pula proses pelaksanaannya.24
Maka dengan demikian dapat difahami secara etimologi bahwa partai politik
ialah perkumpulan yang didirikan untuk mewujudkan ideologi politik tertentu.25
Black’s Law Dictionary memberikan sebuah terminologi mengenai partai
politik, yakni: “Political Party, an organization of voters formed to influence the
goverment’s conduct and policies by nominating and electing candidates to public
office”, (Partai Politik ialah sebuah organisasi pemilih yang dibentuk untuk
mempengaruhi perbuatan pemerintah dan kebijakannya dengan pencalonan dan
pemilihan kandidat untuk jabatan publik).26
UU Parpol mendefinisikan Partai Politik sebagai organisasi yang bersifat
nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas
dasar kesamaan kehendak dan citacita untuk memperjuangkan dan membela
kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.27
Menurut Miriam Budiardjo, Partai Politik ialah suatu kelompok terorganisir
yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama.
Tujuan kelompok tersebut ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut
24
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 15. 25
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 1024. 26
Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, h. 1276. 27
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
62
kedudukan politik (biasanya dengan cara konstitusional) untuk melaksanakan
programnya.28
Pendapat yang serupa juga disampaikan oleh H. Abu Daud Busroh,
menurutnya partai politik ialah sekelompok anggota masyarakat yang terorganisir
secara teratur berdasarkan ideologi atau program dimana ada keinginan para
pimpinannya untuk merebut kekuasaan negara terutama eksekutif melalui cara yang
terbaik.29
Jimly Asshiddiqie menjelaskan bahwa partai politik mempunyai posisi
(status) dan peranan (role) yang sangat penting dalam setiap sistem demokrasi. Partai
memainkan peran penghubung yang sangat strategis antara proses-proses
pemerintahan dengan warga negara atau masyarakat.30
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat difahami mengenai definisi dari
pada partai politik, yakni suatu kelompok yang terorganisir secara teratur berdasarkan
ideologi atau program dan bertujuan untuk memperoleh kekuasaan politik atau
merebut kedudukan politik dengan cara konstitusional (cara yang baik). Selanjutnya,
untuk memahami makna “Partai Politik Peserta Pemilu”, maka perlu difahami
terlebih dahulu mengenai arti dari “Peserta Pemilu”.
Selanjutnya, definisi “Peserta Pemilu” secara etimologi terdiri dari dua kata,
yakni:
28
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 403-404. 29
H. Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, cet. VIII, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2011), h. 156. 30
Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, (Jakarta: PT. Bhuana Ilmu
Populer, 2009), h. 384.
63
1. Kata “Peserta”, berasal dari kata “serta”, yang menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia berarti: 1) ikut; 2) turut.31
Sedangkan pengertian “Peserta” sendiri
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah orang yang ikut serta atau yang
mengambil bagian.32
2. Kata “Pemilihan Umum”, berasal dari kata “Pemilihan” yang menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia berarti proses, cara atau perbuatan memilih. Sedangkan
“Pemilihan Umum” sendiri mempunyai arti pemilihan yang dilakukan serentak
oleh seluruh rakyat suatu negara (untuk memilih wakil rakyat).33
Adapun di dalam
bahasa Inggris pemilihan umum dikenal dengan istilah “General Election” yang
berarti Pemilihan Umum.34
Adapun definisi “pemilihan umum” secara terminologi, sebagaimana yang
terdapat dalam Black’s Law Dictionary, yakni: “General election”, 1) An election that
occurs at regular interval of time; 2) An election for all seats, as contrasted with a
by-election (by-election: an election specially held to fill a vacant post, (Pemilihan
Umum ialah: 1) Sebuah pemilihan yang terjadi pada selang waktu yang teratur; 2)
Pemilihan untuk semua kursi, sebagai kontras dengan by-election (by-election ialah
pemilu khusus yang digelar untuk mengisi pos yang kosong).35
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 menyebutkan bahwa Pemilihan
Umum yang selanjutnya disingkat Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan
31
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 1290. 32
Ibid, h. 1290. 33
Ibid, h. 1074. 34
I.P.M. Ranuhandoko, Terminologi Hukum: Inggris-Indonesia, h. 306. 35
Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, h. 595.
64
rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.36
Menurut Agust Riewanto, Pemilihan Umum adalah media artikulasi politik
masyarakat. Pemilu diperuntukan bagi para aktifis Parpol dan konstituen politik yang
benar-benar serius berkehendak mengikuti Pemilu, karena apabila para aktifis Parpol
dan konstituen politik mengikuti Pemilu hanya berprinsip “coba-coba ikut siapa tahu
akan jadi pemenang” maka hal demikian merupakan cita-cita yang keliru dan akan
mencederai makna Pemilu.37
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat difahami bahwa “Peserta Pemilu”
ialah orang (subyek tertentu) yang ikut serta atau mengambil bagian dalam Pemilu
yang dilaksanakan berdasarkan kedaulatan rakyat dan diselenggarakan secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Maka dengan demikian, dapat difahami sebuah definisi mengenai “Partai
Politik Peserta Pemilu”, yakni suatu kelompok terorganisir dan teratur berdasarkan
ideologi yang ikut serta atau mengambil bagian dalam Pemilu yang dilaksanakan
berdasarkan kedaulatan rakyat dan diselenggarakan secara langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil.
36
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011 tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum. 37
August Riewanto, ed., Ensiklopedi Pemilu: Analisis Kritis Intropektif Pemilu 2004 Menuju
Agenda Pemilu 2009, cet. I, (Yogyakarta: Lembaga Studi Agama dan Budaya (el-SAB) bekerjasama
dengan Fajar Pustaka, 2007), h. 9.
65
D. Kedudukan Hukum Partai Politik Peserta Pemilu
Perihal partai politik peserta pemilu diatur dalam norma Pasal 6A ayat (2)
UUD NRI 1945, yakni: “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh
partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum
pelaksanaan pemilihan umum”.38
Adapun mengenai kedudukan partai politik diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 4
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, yang selanjutnya disebut UU Parpol. Di
dalam Pasal 2 UU Parpol tersebut dijelaskan bahwa untuk mendirikan sebuah partai
politik haruslah minimal berjumlah 50 orang warga negara Indonesia dan dengan cara
menuangkan keinginan untuk mendirikan partai politik tersebut dalam Akta Notaris,
dan selanjutnya di dalam Pasal 4 dijelaskan bahwa partai politik itu akan sah berdiri
setelah mendapat pengesahan sebagai badan hukum oleh Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia.
Meskipun sebuah partai politik telah berdiri, namun partai politik tersebut
tidaklah secara otomatis menjadi peserta pemilihan umum. Oleh sebab itu, untuk
menjadi peserta pemilihan umum, partai politik wajib mendaftarkan diri ke KPU,
sebagaimana terdapat di dalam norma Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum
38
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang
Mahkamah Konstitusi, cet. X, (Jakarta: Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,
2006), h. 65.
66
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan
Perwakilan Daerah. Adapun tahapannya secara singkat sebagai berikut :39
1. Partai Politik mendaftarkan diri ke KPU dengan membuat surat permohonan
menjadi peserta pemilihan umum dengan ditanda tangani oleh ketua umum partai
atau sebutan lain pengurus pusat partai politik (dewan pengurus pusat partai politik
atau nama lainnya). Surat permohonan tersebut dilengkapi dengan dokumen
persyaratan umum dan persyaratan khusus.
2. KPU selanjutnya akan melakukan verifikasi administrasi dan faktual di lapangan
untuk memastikan apakah partai tersebut memenuhi syarat untuk menjadi peserta
pemilihan umum sebagaimana diatur oleh undang-undang.
3. Setelah melalui tahapan tersebut, barulah KPU memutuskan partai politik yang
memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai partai politik peserta pemilihan umum.
Selanjutnya terdapat ketentuan pula mengenai “partai politik peserta
pemilihan umum” yang telah ditetapkan KPU sebagai peserta pemilihan umum untuk
tahun tertentu, karena mengingat Pemilihan Umum sebagaimana dikemukakan oleh
norma Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 diadakan setiap lima tahun sekali, misalnya
Partai Politik Peserta Pemilihan Umum 2014.
39
H. Rozali Abdullah, Mewujudkan Pemilu yang Lebih Berkualitas, (Jakarta: Rajawali Pers,
2009), h. 165-166.
67
E. Pengusulan Calon Presiden dan Wakil Presiden oleh Partai Politik
Pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden dilakukan oleh partai politik
atau gabungan partai politik, sebagaimana ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI
1945. Partai politik yang dimaksud ialah partai politik peserta pemilu, yakni partai
politik yang telah melalui tahapan pendaftaran, verifikasi dan penetapan sebagai
peserta pemilu oleh KPU.40
Berdasarkan hal demikian, maka dapat difahami bahwa satu-satunya
mekanisme untuk menjadi Calon Presiden dan Wakil Presiden adalah melalui usulan
partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu. Dengan kata lain, hak untuk
mengajukan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden adalah hak eksklusif partai
politik peserta pemilu dan tidak diperkenankan atau tidak ada kemungkinan sama
sekali bagi Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden perseorangan atau
independen di luar dari yang diusulkan partai politik atau gabungan partai politik
tersebut, dan yang diusulkan oleh organisasi non-partai.41
Adapun selanjutnya, perihal waktu pengusulan pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden dilakukan sebelum pelaksanaan pemilihan umum, sebagaimana
ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945.
Pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diatur pula di dalam
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden, antara lain di dalam Pasal 9, yakni:
40
Ibid. 41
Hanta Yuda A. R., Presidensialisme Setengah Hati: dari Dilema ke Kompromi, (Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010), h. 94.
68
Pasal 9
Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai
Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling
sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh
25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota
DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.42
Berdasarkan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tersebut,
persyaratan perolehan kursi yang harus dipenuhi oleh partai politik atau gabungan
partai politik peserta pemilu untuk dapat mengusulkan pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden, yakni paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR-RI atau
memperoleh 25 persen dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR-RI. Hal
tersebut menunjukan bahwa berdasarkan hukum positif Presidential Threshold di
Indonesia sebesar 25 persen suara sah nasional dari hasil pemilu legislatif atau 20
persen kursi parlemen yang terpilih.43
Selanjutnya berdasarkan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008
tersebut pula, ditentukan mengenai waktu pengusulan calon Presiden dan Wakil
Presiden, yakni “sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden”.44
Pasal
14 ayat (2) memberikan penjelasan secara spesifik terhadap pentuan waktu
pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden dalam norma Pasal 9 tersebut, yakni
42
Pasal 9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden. 43
Shanti Dwi Kartika, “Presidential Threshold dalam Revisi UU Pilpres”, jurnal diakses
pada tanggal 11 Desember 2013 dari http://berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/info_singkat/Info%20Singkat-V-14-II-P3DI-Juli-2013-41.pdf.
44 Pasal 9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden.
69
“Paling lama 7 (tujuh) hari sejak penetapan secara nasional hasil pemilu anggota
DPR.”45
45
Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
70
BAB IV
ANALISIS PENGUSULAN CALON PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN
MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2008
A. Pengaturan Partai Politik Peserta Pemilu dalam Pengusulan Calon Presiden dan
Wakil Presiden
Norma Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945 mengatur bahwa: “Pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai
politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.”1
Partai politik dapat disebut sebagai “peserta pemilihan umum” apabila telah
memenuhi beberapa tahapan yakni sebagai berikut:2
1. Mendaftarkan diri ke KPU dengan disertai surat permohonan dan dokumen
persyaratan umum dan khusus.
2. Melewati tahap verifikasi administrasi dan faktual di lapangan untuk memastikan
persyaratan menjadi peserta pemilihan umum sebagaimana diatur oleh undang-
undang.
3. Mendapatkan keputusan dari KPU sebagai partai politik peserta pemilihan umum.
1 Pasal 6A ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Lihat Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, h. 65. 2 H. Rozali Abdullah, Mewujudkan Pemilu yang Lebih Berkualitas, (Jakarta: Rajawali Pers,
2009), h. 165-166. Hel tersebut berdasarkan norma Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17 Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Perwakilan Daerah.
71
Selanjutnya di dalam norma Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 terdapat ketentuan
mengenai partai politik peserta pemilu, yakni: “Peserta pemilihan umum untuk
memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah adalah partai politik”.3
Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden, mengatur pula mengenai partai politik peserta
pemilu, yakni: “yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua
puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen)
dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR”.4 Adapun frasa Pasal 9 Undang-
Undang Nomor 42 Tahun 2008 sebagai berikut:
Pasal 9
Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai
Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling
sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh
25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota
DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.5
B. Pengaturan Waktu Pengusulan Calon Presiden dan Wakil Presiden
Terlebih dahulu difahami sebuah definisi mengenai “waktu pengusulan, yakni
tersusun dari dua kata, yakni kata “waktu” dan “pengusulan”. Menurut KBBI kata
“waktu” mempunyai arti: 1) seluruh rangkaian saat ketika proses; 2) perbuatan atau
3 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang
Mahkamah Konstitusi, h. 74. 4 Pasal 9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden. 5 Ibid.
72
keadaan berada atau berlangsung.6 Sedangkan kata “pengusulan” berasal dari kata
“usul” yang berarti anjuran (pendapat) yang dikemukakan untuk dipertimbangkan
atau untuk diterima,7 maka “Pengusulan” mempunyai arti proses, cara, perbuatan
mengusulkan.8
Dengan demikian dapat difahami bahwa “waktu pengusulan” ialah suatu
keadaan dalam sebuah proses pemberian pertimbangan untuk diterima. Maka yang
dimaksud “waktu pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden” adalah
waktu untuk memberikan pertimbangan terhadap calon Presiden dan Wakil Presiden
agar dapat diterima (dalam hal ini menjadi peserta pemilihan umum).
Adapun waktu pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden
dilakukan sebelum pelaksanaan pemilihan umum, sebagaimana sesuai dengan
ketentuan norma Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945. Adapun frasa Pasal 6A ayat (2)
UUD NRI 1945 sebagai berikut: “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden
diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum
sebelum pelaksanaan pemilihan umum”.9
Sedangkan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008, menentukan
waktu pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden, yakni “sebelum pelaksanaan
6 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. I, edisi IV, (Jakarta:
PT. Gramedia, 2008), h. 1554. 7 Ibid, h. 1540.
8 Ibid.
9 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang
Mahkamah Konstitusi, h. 65.
73
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden”.10
Pasal 14 ayat (2) memberikan penjelasan
secara spesifik terhadap pentuan waktu pelaksanaan pengusulan calon Presiden dan
Wakil Presiden dalam Pasal 9 tersebut, yakni “Paling lama 7 (tujuh) hari sejak
penetapan secara nasional hasil pemilu anggota DPR.”11
C. Analisis Penulis
Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, penulis berpendapat bahwa
Pemilihan Umum yang dimaksudkan oleh frasa dalam norma Pasal 6A ayat (2) UUD
1945: “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan
umum.”12
Yakni adalah pemilihan umum untuk memilih anggota-anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, karena hanya pemilihan
umum inilah yang pesertanya adalah partai politik sebagaimana dirumuskan dalam
norma Pasal 22E ayat (3) UUD 1945: “Peserta pemilihan umum untuk memilih
anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
adalah partai politik”.13
10
Pasal 9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden. 11
Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. 12
Pasal 6A ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Lihat
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi,
h. 65. 13
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang
Mahkamah Konstitusi, h. 74.
74
Maka telah jelas dan terang bahwa yang pesertanya adalah partai politik
adalah Pemilihan Umum untuk memilih anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, bukan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden, yang tentunya Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden diikuti oleh
perorangan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.
Hal tersebut menimbulkan dampak pada ketentuan Pasal 9 Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2008, yakni:
Pasal 9
Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai
Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling
sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh
25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota
DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.14
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tersebut akan menjadi jelas
dan tegas bertentangan dengan bunyi norma “Pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan
umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”15
sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, karena telah memanipulasi kata “pemilihan umum”
dalam Pasal 6A ayat (2) dan juga dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945.
Dan selanjutnya, jikalau perolehan kursi masing-masing partai politik peserta
pemilihan umum untuk memilih anggota DPR telah diumumkan dan telah diketahui,
14
Ibid. 15
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang
Mahkamah Konstitusi, h. 65.
75
maka partai politik tersebut bukanlah lagi partai politik peserta pemilihan
umum sebagaimana dimaksud oleh frasa dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 dan
sebagaimana dirumuskan oleh Pasal 17 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah., karena pemilihan umum
yang pesertanya adalah partai politik telah selesai dilaksanakan.
Demikian pula frasa: “sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden”16
dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden telah memanipulasi maksud Pasal 6A ayat (2) UUD
1945, karena yang dimaksud dengan istilah “sebelum pelaksanaan pemilihan umum”
adalah sebelum pemilihan umum DPR dan DPRD yang pesertanya adalah partai
politik sebagaimana dimaksud norma Pasal 22E ayat (3) UUD 1945.
Terkait pula ketentuan Pasal 14 ayat (2) UU Pemilihan Presiden yang
normanya berbunyi: “Masa pendaftaran (pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, paling lama 7 (tujuh) hari sejak
penetapan secara nasional hasil Pemilu anggota DPR” adalah juga bertentangan
dengan frasa partai politik peserta pemilihan umum sebagaimana dirumuskan dalam
norma Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Karena jikalau partai politik atau gabungan
partai politik baru diperkenankan mendaftarkan pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden paling lama 7 (tujuh) hari sejak penetapan secara nasional hasil Pemilu
16 Pasal 9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden.
76
anggota DPR, maka pada saat itu partai politik atau gabungan partai politik tersebut
bukanlah lagi partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum,
karena pemilihan umum yang pesertanya adalah partai politik telah selesai. Kalau
hasil pemilihan umum sudah ditetapkan, maka partai politik tersebut bukan lagi partai
politik peserta pemilihan umum. Partai politik tersebut lebih tepat untuk disebut
partai politik “mantan” peserta pemilihan umum yang sudah selesai dilaksanakan.
Maka dengan demikian waktu pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden
di dalam ketentuan norma Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden adalah sebelum pelaksanaan Pemilihan Umum DPR dan
DPRD, bukan sebelum Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Kemudian Partai Politik Peserta Pemilu yang mengusulkan calon Presiden
dan Wakil Presiden menurut norma Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008
adalah bukanlah lagi partai politik peserta pemilihan umum melainkan “mantan”
partai politik peserta pemilihan umum.
Berdasarkan hal tersebut, penulis berpendapat bahwa apabila pengusulan
calon Presiden dan Wakil Presiden sebagai Peserta Pemilihan Umum ingin
dilaksanakan oleh Partai Politik Peserta Pemilu, maka harus dilaksanakan sebelum
pelaksanaan Pemilihan Umum DPR dan DPRD.
77
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah mengkaji dan menganalisa norma Pasal 9 dan norma Pasal 14 ayat (2)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden dengan norma Pasal 22E ayat (3) dan norma
Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945, maka bagi penulis terdapat beberapa kesimpulan
dari hal tersebut:
1. Calon Presiden dan Wakil Presiden peserta pemilu ialah calon Presiden dan Wakil
Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta
pemilu dalam satu pasangan calon, sebagaimana ketentuan Pasal 6A ayat (1) dan
ayat (2) UUD NRI 1945. Partai politik didaftarkan minimal oleh 50 orang warga
negara Indonesia dan dengan cara menuangkan keinginan untuk mendirikan partai
politik tersebut dalam Akta Notaris, dan partai politik sah berdiri setelah mendapat
pengesahan sebagai badan hukum oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia,
hal tersebut sebagaimana diatur dalam norma Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2008 tentang Partai Politik. Partai Politik Peserta Pemilu ialah partai politik yang
telah: 1) Mendaftarkan diri ke KPU dengan disertai surat permohonan dan
dokumen persyaratan umum dan khusus; 2) Melewati tahap verifikasi administrasi
dan faktual di lapangan untuk memastikan persyaratan menjadi peserta pemilihan
78
umum sebagaimana diatur oleh undang-undang; 3) Mendapatkan keputusan dari
KPU sebagai partai politik peserta pemilihan umum, sesuai dengan norma Pasal
14, Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8
Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Perwakilan Daerah.
2. Partai politik peserta pemilu dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008
bukanlah lagi partai politik peserta pemilihan umum melainkan “mantan” partai
politik peserta pemilihan umum. Disebabkan jikalau perolehan kursi masing-
masing partai politik peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPR telah
diumumkan dan telah diketahui, sebagaimana terdapat di dalam norma Pasal 9
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden, maka partai politik tersebut bukanlah lagi partai politik peserta
pemilihan umum sebagaimana dimaksud oleh frasa dalam Pasal 6A ayat (2) UUD
1945 dan sebagaimana dirumuskan oleh Pasal 17 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2012 tentang Pemilihan Umum, karena pemilihan umum yang pesertanya adalah
partai politik telah selesai dilaksanakan.
3. Waktu pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden dalam Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2008 adalah sebelum pelaksanaan pemilihan umum DPR dan
DPRD, bukan sebelum Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Disebabkan oleh frasa: “sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden” dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden yang telah memanipulasi maksud Pasal 6A ayat (2)
79
UUD 1945, karena yang dimaksud dengan istilah “sebelum pelaksanaan pemilihan
umum” adalah sebelum pemilihan umum DPR dan DPRD yang pesertanya adalah
partai politik sebagaimana dimaksud norma Pasal 22E ayat (3) UUD 1945.
4. Apabila pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden sebagai Peserta Pemilihan
Umum ingin dilaksanakan oleh Partai Politik Peserta Pemilu, maka harus
dilaksanakan sebelum pelaksanaan Pemilihan Umum DPR dan DPRD.
B. Saran-saran
Berdasarkan pada kesimpulan di atas, penulis akan membuat beberapa saran-
saran yang akan penulis berikan kepada semua pihak terkait dalam permasalahan ini,
antara lain:
1. Kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk mengamandemen
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 terkait kejelasan
mengenai ketentuan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dan ketentuan
mengenai Pemilihan Umum Anggota Legislatif (DPR, DPD dan DPRD) agar tidak
menimbulkan multi tafsir.
2. Kepada pihak pemerintah yang berwenang membuat sekaligus mensosialisasikan
suatu kebijakan, hendaklah melakukan pembenahan terhadap ketentuan atau
peraturan mengenai pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia,
agar sesuai dan tidak bertentangan dengan norma Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya.
80
3. Kepada Mahkamah Konstitusi yang berwenang mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, agar
segera mengambil tindakan dan keputusan terhadap norma UU Pilpres mengenai
pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden yang tidak sesuai dan bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
4. Pemahaman tentang pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden hendaknya
disampaikan kepada masyarakat luas oleh para pengamat, aktifis dan terlebih para
pelaku atau elit politik ketika melakukan kegiatan atau sosialisasi berkenaan
dengan politik maupun pemerintahan.
5. Perihal pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden bukan menjadi kepentingan
para pelaku atau elit politik saja, melainkan menjadi kepentingan seluruh warga
Negara Indonesia, yang diatur didalam konstitusi. Maka hendaklah dilaksanakan
berdasarkan prinsip HAM dan Demokrasi tanpa harus bertentangan dengan
konstitusi.
6. Bagi para calon Presiden dan Wakil Presiden serta Partai Politik hendaknya
memahami dengan sebenar-benarnya ketentuan yang mengatur kedudukan hukum
dan proses atau mekanisme pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden, agar
terciptanya pemilihan umum yang jujur dan adil berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
81
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, Masykuri, Demokrasi di Persimpangan Makna, Yogyakarta: Tiara Wacana,
1999.
Abdullah, H. Rozali, Mewujudkan Pemilu yang Lebih Berkualitas, Jakarta: Rajawali
Pers, 2009.
Ahmadi, Fahmi Muhammad dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, cet. I,
Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
Alrasid, Harun, “Masalah Pengisian Jabatan Presiden Sejak Sidang Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia 1945 Sampai Sidang Majelis Permusyawaratan
Rakyat 1993”, Disertasi S3 Program Pascasarjana, Universitas Indonesia,
1993.
Artha, Arwan Tuti , Pak Boed, Ekonom yang Sederhana, Yogyakarta: Galang Press
Group, 2009.
Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
_______________, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, Jakarta: PT. Bhuana
Ilmu Populer, 2009.
_______________, dan Bagir Manan, Gagasan Amandemen UUD 1945 dan
Pemilihan Presiden Secara Langsung, Cet. II, Jakarta: Setjen & Kepaniteraan
MKRI, 2006.
A. Ubaedillah, dkk, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, cet. III,
Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007.
82
A.V. Dicey, An Introduction to The Study of The Law of The Constitution, London:
Mac Millan, 1973.
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, cet. III, Yogyakarta: FH UII Press, 2006.
Budiarjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia, 1989.
______________, Demokrasi di Indonesia: Demokrasi Parlementer dan Demokrasi
Pancasila, Jakarta: Gramedia, 1996.
______________, Masalah-Masalah Kenegaraan, Jakarta: PT. Gramedia, 1975.
Busroh, H. Abu Daud, Ilmu Negara, cet. VIII, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2011.
Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Ninth Edition, West (USA): Thomson
Reuters Business, 2009.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. I, edisi IV,
Jakarta: PT. Gramedia, 2008.
El-Muhtaj, Majda, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, cet. II, Jakarta:
Kencana, 2007.
Gautama, Sudargo, Pengertian tentang Negara Hukum, Bandung: Alumni, 1973.
Gie, Kwik Kian, Kebijakan Ekonomi-Politik dan Hilangnya Nalar, Jakarta: Kompas,
2006.
Haris, Syamsuddin, Pemilu Langsung di Tengah Oligarki Partai: Proses Nominasi
dan Seleksi Calon Legislatif Pemilu 2004, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2005.
Hartono, M. Dimyati, Problematik dan Solusi Amandemen Undang-Undang Dasar
1945, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009.
83
Henry B. Mayo, An Introduction to Democratic Theory, New York: Oxford
Univercity Press, 1960.
Huda, Ni’matul, Hukum Tata Negara Indonesia, cet. VI, Jakarta: Rajawali Pers,
2012.
Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang:
Bayumedia Publishing, 2008.
I.P.M. Ranuhandoko, Terminologi Hukum: Inggris-Indonesia, cet. III, Jakarta: Sinar
Grafika, 2003.
Ismanto, Ign, dkk, Pemilihan Presiden Secara Langsung 2004: Dokumentasi,
Analisis, dan Kritik, Yogyakarta: Galang Press Group, 2004.
Ivenie Dewintari S dan Alvina Tria Febianda, Kamus Istilah Penting Modern, cet. I,
Jakarta: Aprindo, 2003.
Janis, Binilang Bawatanusa , Wapres: Pendamping atau Pesaing? : Peranan Wakil
Presiden dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jakarta: Bhuana
Ilmu Populer, 2008.
Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi, Hukum Lembaga Kepresidenan Indonesia, cet. I,
Bandung: PT. Alumni, 2010.
Kelsen, Hans, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, Penerjemah: Raisul
Muttaqien, cet. IV, Bandung: Nusa Media, 2009.
Keraf, A. Sonny , Etika Lingkungan Hidup, Jakarta: Kompas, 2010.
84
Liddle, R. William, Partisipasi dan Partai Politik, Penerjemah: Tim Penerjemah
Pustaka Utama Garfiti, cet. I, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992.
Lubis, H. Nur Ahmad Fadhil, “The States Legal Policy and The Develoment of
Islamic Law in Indonesian’s New Order”, dalam Arskal Salim dan Azyumardi
Azra, ed., Shari’a and Politics in Modern Indonesia, Singapore: Institute of
South Asian Studies (ISEAS), 2003.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24
Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, cet. X, Jakarta: Sekretariat
Jendral Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, cet.VII, Jakarta: Kencana, 2011.
Merkl, Peter H., Continuity and Change, New York: Harper and Row, 1967.
Mujani, Saiful, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik
di Indonesia Pasca Orde Baru, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007.
Musa, Ali Masykur , Sistem Pemilu: Proporsional Terbuka Setengah Hati, Jakarta:
Pustaka Indonesia Satu (PIS) kerja sama Parliamentary Support and Public
Participation, 2003.
Pranowo, M. Bambang, ed., Multi Dimensi Ketahanan Nasional, cet. I, Jakarta:
Pustaka Alvabet, 2010.
Prodjodikoro, Wirjono, Asas-asas Ilmu Negara dan Politik, Bandung: Eresco, 1971.
P.S. Atiyah, Law and Modern Society, Oxford: Oxford University Press, 1995.
85
Riewanto, August, ed., Ensiklopedi Pemilu: Analisis Kritis Intropektif Pemilu 2004
Menuju Agenda Pemilu 2009, cet. I, Yogyakarta: Lembaga Studi Agama dan
Budaya (el-SAB) bekerjasama dengan Fajar Pustaka, 2007.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia (UI Press), 1986.
Sopyan, H. Yayan, Pengantar Metode Penelitian, Jakarta: t.p, 2010.
Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2003.
Susanti, Bivitri, dkk, Semua Harus Terwakili: Studi Mengenai Reposisi MPR, DPR,
dan Lembaga Kepresidenan di Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum &
Kebijakan Indonesia (PSHK), 2000.
Suseno, Franz Magnis, Etika Politik Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999.
Syahuri, Taufiqurrohman, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2011.
T.A. Legowo, dkk., Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia: Studi dan Analisis
Sebelum dan Setelah Perubahan UUD 1945(Kritik, Masalah dan Solusi),
Jakarta: FORMAPPI, 2005.
Thontowi, Jawahir, Islam, Politik, dan Hukum: Esai-esai Ilmiah untuk Pembaharuan,
cet. I, Yogyakarta: Madyan Press, 2002.
86
Yara, Muchyar, Pengisian Jabatan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia (Suatu
Tinjauan Sejarah Hukum Tata Negara), cet. I, Jakarta: Nadhilah Ceria
Indonesia, 1995.
Yuda A. R., Hanta, Presidensialisme Setengah Hati: dari Dilema ke Kompromi,
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010.
Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara
Pemilihan Umum.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Artikel dan Website:
Shanti Dwi Kartika, “Presidential Threshold dalam Revisi UU Pilpres”, jurnal
diakses pada tanggal 11 Desember 2013 dari
http://berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/info_singkat/Info%20Singkat-V-14-II-
P3DI-Juli-2013-41.pdf.